CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 07
Apa yang telah terjadi? Ia tidak berani langsung bertanya kepada ibunya karena di situ terdapat Bong Gan yang bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka hanya berdua, atau bertiga saja dengan pamannya.
Mereka berempat lalu duduk menghadapi meja besar di ruangan dalam. Bi Sian segera menceritakan pengalamannya ketika ia diambil murid Koay Tojin. Ia juga menceritakan mengenai perbuatan Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.
“Coba ibu bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Ia menggunakan anak buahnya yang menyamar sebagai perampok dan menggangguku, kemudian dia muncul sebagai penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi, dia menggangguku! Untung muncul suhu! Ki Cong datang lagi membawa perampok-perampok palsu itu dan mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar oleh suhu! Aihh, betapa senangku pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu sekarang masih hidup, ibu?”
Sie Lan Hong menahan senyumnya.
“Hussssh, jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang lagi. Ia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu....”
Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. “Apa?! Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu? Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!”
“Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagai mana pun juga, dia putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?”
“Sumoi, apa yang ibumu katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan saja kepadaku. Di sini tak ada seorang pun yang mengenalku, maka tiada halangannya kalau aku yang pergi menemui dan menghajar orang yang berani menghinamu,” kata Bong Gan dengan sikap gagah.
“Sudahlah, Bi Sian. Aku tidak menghendaki ribut-ribut,” kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan suaminya.
Baru menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, dia sudah berduka sekali. Apa lagi kalau ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun.
“Engkau baru pulang, Bi Sian. Karena itu tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan keributan dan kekacauan.”
Bi Sian masih merasa amat penasaran, kemudian ia menoleh kepada Sie Liong. “Coba pertimbangkan, paman Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi hajaran keras? Dahulu pun dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan karena engkau laki-laki. Akan tetapi penghinaannya terhadap diriku, sungguh membuat hati ini panas dan mendongkol saja.”
Sie Liong tersenyum, akan tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada keponakannya itu. “Bi Sian, kurasa tadi ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari gara-gara dan permusuhan. Tentang kejahatan Lu Ki Cong padamu, bukankah katamu tadi dia dan anak buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhu-mu? Nah, dengan demikian berarti sudah lunas, bukan? Kalau sekarang dia melakukan perbuatan jahat lagi, barulah pantas kalau kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau cukup mengerti bahwa kepandaian yang kau pelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan, bahkan sebaliknya untuk memadamkan kekacauan. Bukankah begitu?”
Gadis itu memandang dengan mata terbelalak.
“Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan tetapi untuk memadamkan kekacauan? Paman, aku juga pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?”
Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alisnya yang berkerut.
“Kalau begitu, suhu-mu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan bijaksana!”
“Paman Liong! Engkau... engkau mengenal suhu?”
Sie Liong tersenyum lagi. “Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang waktu itu terluka oleh pukulan beracun.”
“Kalau begitu, engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo lekas ceritakan pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang sakti?” tanya Bi Sian.
Gadis ini gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang amat disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!
“Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia... dia itu masih terhitung paman guruku juga.”
Baik Bi Sian mau pun Bong Gan terkejut mendengar ini.
“Apa?!” gadis itu berseru. “Suhu-ku itu masih paman gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah, sekarang aku ingat...! Pernah suhu menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini. Nama orang itu adalah... Pek-sim Siansu! Benarkah engkau muridnya?”
Sie Liong mengangguk. “Dari dulu engkau memang cerdik, Bi Sian. Akan tetapi, orang yang cacat seperti aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup.”
“Ahh, aku tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu silat!”
“Wah, mana aku berani? Jika melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!” kata Sie Liong.
Dan suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja bengkok?
Dia merasa tidak suka sekali. Apa lagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seakan hendak menjenguk isi hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih bagus bahwa pemuda bongkok itu ialah paman dari Bi Sian, adik ibunya, sehingga bukan merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!
“Aih, kalian jangan main-main!” kata Sie Lan Hong. “Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau sudah hendak menantang pamanmu? Ketahuilah, pamanmu ini pun baru dua hari tiba di sini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak tukang pukul?”
Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu pula, terdengar teriakan dari luar rumah.
“Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Siang-siang aku sudah pulang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!”
Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya barusan mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
“Ayahhhhh...!” Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya. Dahulu, ayahnya adalah seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak awut-awutan dan kotor!
Memang orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi dari bibirnya. Sekarang matanya terbuka lebar dan dia memandang pada gadis yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri dirinya itu.
“Bi Sian... kau... kau Bi Sian...?”
“Ayah...!” Bi Sian lari menghampiri. “Kau kenapakah, ayah?”
Ayahnya merangkul puterinya itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis? Sungguh hal yang luar biasa sekali! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis?
“Ayah, tenanglah, ayah. Mari duduk...” Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi menghadapi meja.
Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Kini dia sudah memandang kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin? Bagus! Sekarang engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian...”
“Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur...!” Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit dan memapahnya ke dalam kamar.
Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, “Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kau pukul bongkoknya, biar mampus...!”
Saking heran dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa. Ia lalu memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah oleh ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.
“Paman Liong,” akhirnya Bi Sian bicara dan meski pun suaranya perlahan, akan tetapi terdengar mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. “Engkau... engkau benar telah mengalahkan ayah...?”
Sie Liong mengangkat mukanya, memandang pada keponakannya itu, kemudian melirik ke arah Bong Gan.
Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan dia berkata, “Suheng adalah seperti keluarga sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!”
Suaranya sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia amat penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak pernah mengalahkan dia, Bi Sian.”
“Akan tetapi, ayah tadi mengatakan...”
“Kemarin dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok. Terpaksa aku harus melindungi ibumu, namun bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya mengelak dan menangkis... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aihh, Bi Sian... semuanya berubah...!”
Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.
“Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah dan ibumu!”
Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi dengan hal lain, yaitu kenyataan tentang ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suheng-nya bermalam di rumah penginapan. “Baiklah, suheng. Maafkan kami.”
Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie Liong. Tadi gadis itu memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya sudah memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Dia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.
“Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang sesungguhnya, paman!” Bi Sian menuntut.
Sie Liong menarik napas panjang. “Sebenarnya, ibumu yang harus bercerita kepadamu. Akan tetapi biarlah, aku pun berkewajiban untuk memberi tahukan semua kepadamu. Ketahuilah bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat. Dia berjudi, selalu mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, perabot dan perhiasan ibumu, semua dijual untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka memukuli ibumu.”
“Ahh, mana mungkin itu?”
“Aku sendiri pun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian.”
“Aihh, ayah...! Kenapa begitu? Ibuu... ahhh, kasihan sekali, ibuku...”
Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan dia pun lari memasuki kamar ayah dan ibunya. Melihat ini, Sie Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia.
Diam-diam dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi seorang gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.
Dan dia teringat kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suheng-nya, tentu mempunyai ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.
Dia duduk di atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang? Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!
“Ah, tidak...!” Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk kembali.
Ihhh, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian seorang gadis yang cantik manis, dan suheng-nya itu pun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah sama dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di dalam hatinya harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya seorang bongkok?
“Yang tahu dirilah kau!” demikian dia memaki diri sendiri.
Dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali…..
Seorang pemuda memasuki rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera menarik perhatian para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu. Maka, ketika pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat pemuda itu tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan!
Sebetulnya tidak aneh bila kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walau pun selama ini dia sangat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dia melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu birahi yang tidak ketulungan lagi!
Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi, apa bila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika dia melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu menggunakan kepandaiannya untuk memuaskan birahinya yang berkobar-kobar.
Di luar dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan ternyata sering sekali mengganggu wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, mau pun dengan paksa! Banyak sudah isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya.
Wanita yang dirobohkannya dengan modal ketampanan, selalu adalah isteri orang yang tentu saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapatkan korban, maka tempat pelacuranlah yang kemudian menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu birahinya.
Kini dia berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian, bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, dia pun keluar berjalan-jalan. Akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan.
Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia telah menggunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam rumah itu, tanpa diketahui siapa pun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang telah dia miliki, kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.
Tidak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur.
Dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apa lagi kalau perempuan itu seorang pelacur! Akan tetapi, baru saja kakinya hendak menginjak pintu keluar tempat pelesir itu, tiba-tiba terdengar suara seorang pria menegurnya.
“Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi Sian?”
Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian di rumah pelacuran!
Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentulah sumoi-nya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoi-nya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa dia telah dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur.
Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur itu. Dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.
“Anda salah lihat!”
Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak berjudi, tentu dia berada di sini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan. Pada waktu melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya.
Sebetulnya kekhawatiran Song Gan sangat tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di tempat itu.
Yauw Sun Kok adalah seorang manusia berjiwa lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Semenjak kecil ia hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat.
Akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian sehingga dia menjadi sakit hati. Setelah dia memperdalam ilmu-ilmunya, ia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh besarnya itu. Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya.
Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia bisa mengekang nafsu-nafsunya, sebab semua nafsunya telah dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apa lagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, dia pun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, di mana tak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras.
Bagaimana pun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main karena dengan sangat mudahnya dia mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!
“Sie Liong...!” teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri.
Memang semenjak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong.
Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas dendam dan menyerangnya!
Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Akan tetapi, dengan amat sigapnya lawannya itu berhasil mengelak dengan sangat mudah.
Sun Kok telah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam. Biar pun ia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudah mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.
Akan tetapi, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh bukan main. Walau pun lawannya bertangan kosong, akan tetapi serangan-serangan pedangnya tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang. Kemudian, ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan!
Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!
Bayangan berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya berlompatan sehingga tak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Pada saat tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.
“Siapa itu?!” terdengar bentakan suara wanita dari balik jendela.
Bayangan itu tidak menjawab, melainkan menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.
“Paman Liong...?!” Bi Sian memanggil.
Akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat-cepat meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah.
Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.
“A... ayahhhhh...!” Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu.
Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!
Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para penghuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar.
“Bi Sian, apa yang terjadi...?” tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
“Ibu...! Ayah tewas terbunuh orang...!” Bi Sian berseru.
Dia pun melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, dia tidak dapat menemukan jejak orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya. Lalu ia mendekati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia berjongkok dan diambilnya benda itu.
Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
“Bi Sian, ada apakah ribut-ribut itu?”
Mendengar suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu ke dalam saku dalam bajunya. Ia memandang tajam kepada wajah Sie Liong. Walau pun remang-remang, ia melihat bahwa selarut itu pamannya ini belum tidur!
“Paman Liong, apakah sejak tadi engkau tidak mendengar sesuatu?” tanyanya sambil memandang tajam penuh selidik.
“Mendengar apa? Aku hanya mendengar teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong di belakang sini. Apakah yang telah terjadi?”
“Paman Liong, mari kau lihat sendiri!” katanya sambil menarik lengan pamannya itu.
Lengan itu tidak memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, bahkan sikap pamannya masih tenang-tenang saja. Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya jika nanti melihat cihu-nya menggeletak tewas.
Setelah tiba di tempat itu, dari jauh Sie Liong sudah mendengar ratap tangis enci-nya dan melihat tubuh cihu-nya menggeletak dengan pedang masih menancap di dada. Dia terkejut bukan main.
“Enci Hong, apa... apa yang telah terjadi? Siapa yang membunuh cihu?” Dia berlutut dan memeriksa.
Tidak salah lagi. Cihu-nya sudah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada. Melihat adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat suaminya.
“Liong-te... bagaimana pun juga... bagaimana pun jahatnya... aku... aku mencintanya...!” Wanita itu meratap dan menangis sejadinya.
Semenjak tadi Bi Sian sudah memperhatikan sikap pamannya. Terlalu tenang, pikirnya. Terlalu tenang sehingga tidak wajar. Akan tetapi, kenapa pamannya masih meragukan kenyataan itu?
Tadi dia telah melihat dengan matanya sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu berpunggung bongkok! Siapa lagi kalau bukan pamannya? Dan orang itu bertopeng hitam, topeng hitam yang ia temukan di luar kamar Sie Liong pula!
“Engkaulah pembunuh ayahku!” Tiba-tiba Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong. Tangannya sudah menyambar sebatang ranting kayu dan sekarang digenggam di tangannya, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Sie Liong.
Pemuda itu terkejut dan heran. “Apa...?! Apa maksudmu, Bi Sian?” Dia bangkit berdiri.
“Maksudku, Sie Liong, engkaulah yang membunuh ayahku!”
“Ehh?! Apa kau sudah gila? Enci, bagaimana ini? Bagaimana anakmu menuduh aku yang sudah membunuh suamimu?”
Akan tetapi anehnya, Sie Lan Hong hanya menangis, tidak membantah sedikit pun juga. Memang, di dalam hatinya, Lan Hong juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah membunuh suaminya, untuk membalaskan sakit hati orang tua mereka.
“Liong-te, kenapa engkau begitu kejam membunuhnya? Bagaimana pun juga, dia ayah Bi Sian, dia suamiku dan aku... aku cinta padanya...”
Mendengar ratap tangis enci-nya ini, Sie Liong terbelalak. Ia merasa bagaikan disambar geledek di hari terang!
Akan tetapi, Bi Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah mengeluarkan suara melengking panjang. Dia mengeluarkan topeng hitam itu dan melemparkannya ke arah muka Sie Liong yang cepat menangkapnya.
Melihat bahwa yang dilemparkan itu adalah sebuah topeng hitam tipis, Sie Liong tidak tahu maksudnya. Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Bi Sian sudah menyambar dengan totokan-totokan maut ke arah muka, tenggorokan dan ulu hatinya. Tiga totokan bertubi yang kesemuanya amat berbahaya!
Tanpa disadari, Sie Liong menyimpan topeng itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya lalu dilempar ke belakang, berjungkir balik setiap kali ada ujung tongkat menyambar dan setelah tiga kali berjungkir balik, dia lalu memalangkan kedua lengannya seperti hendak menggunting kalau tongkat yang amat berbahaya itu menyambar lagi. Akan tetapi kini tongkat itu tidak menusuknya dari depan, melainkan menghantam dari kanan ke arah lambungnya!
Bukan main cepat dan kuatnya serangan Bi Sian. Kembali Sie Liong menghindarkan diri dengan loncatan ke atas. Celaka, pikirnya. Bi Sian, dan bahkan juga enci-nya sendiri, agaknya sudah yakin bahwa dia adalah pembunuh cihu-nya! Agaknya membela diri dan menyangkal tidak ada gunanya pada saat keduanya sedang emosi itu, dan melawan serangan Bi Sian amat berbahaya. Gadis ini memiliki ilmu tongkat yang amat ganas dan lihai, dan teringat dia akan ilmu tongkat yang pernah dipertontonkan Koay Tojin.
“Kalian salah sangka...!” katanya.
Ketika tongkat itu kembali menyambar dengan totokan maut ke arah pusarnya, Sie Liong melompat ke pinggir lalu kakinya menyambar untuk menendang pinggang Bi Sian dari samping. Dia mengerahkan tenaga yang cukup besar sehingga angin tendangan itu menyambar keras.
Bi Sian terkejut dan cepat melompat ke belakang. Inilah yang memang dikehendaki Sie Liong. Dia mempergunakan kesempatan selagi gadis itu melompat ke belakang, dia pun melompat jauh dan menghilang di dalam kegelapan malam!
“Pembunuh, hendak lari ke mana kau?” Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi, Sie Liong dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sudah tidak nampak. Setelah mengejar ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke dalam kebun. Ia menemukan ibunya masih menangisi mayat ayahnya.
“Aku tidak berhasil menyusul pembunuh keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku pasti akan mencarinya sampai dapat!”
“Sudahlah, Bi Sian. Yang terpenting sekarang mengurus jenazah ayahmu,” kata Sie Lan Hong yang akhirnya dapat menguasai hatinya yang terguncang.
“Tapi, ibu, yang terpenting adalah menangkap pembunuh itu!”
“Hemm, bagaimana pun juga, dia adalah pamanmu, adik ibumu.”
“Apakah kalau adik ibu, lalu dia boleh membunuh ayah sesukanya? Apakah ibu sudah begitu membenci ayah karena ayah telah berubah selama ini?”
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong menangis lagi dan Bi Sian segera menyadari kekeliruannya. Ia berlutut dan merangkul ibunya.
“Maafkan, ibu. Maafkan aku... ahh, kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu.” Gadis itu lalu mengangkat jenazah ayahnya ke dalam rumah.
Para tetangga dan penduduk kota Sung-jan terkejut mendengar berita kematian Yauw Sun Kok yang kabarnya terbunuh orang semalam. Banyak orang menduga-duga siapa pembunuhnya. Yauw Sun Kok mereka kenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, walau pun akhir-akhir ini menjadi gila judi dan suka bermain perempuan serta mabok-mabokan.
Sie Lan Hong menangis perlahan di dalam kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan terpaksa Bi Sian duduk bersila di ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan, ditemani oleh beberapa orang pria tua tetangga mereka.
Ketika Lan Hong menangis lirih, mendadak daun jendelanya terbuka dari luar. Begitu perlahan jendela itu terbuka dari luar sehingga Lan Hong tidak mendengar sesuatu. Baru ia terkejut ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu adiknya telah berdiri di dalam kamar itu. Lan Hong memandang terbelalak kepada adiknya.
“Mau apa... engkau datang? Engkau sudah membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan? Biarlah aku yang menderita... hu-huh... sejak dulu, aku yang menderita...!”
“Enci, dengarlah baik-baik. Aku tidak membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu...!”
Wanita itu menghentikan tangisnya lalu menarik napas panjang. “Sudahlah, Liong-te. Aku pun tidak dapat menyalahkanmu. Dulu aku pun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya kalau aku atau engkau membunuhnya...”
“Enci... apa... apa maksudmu?” Sie Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.
“Engkau tentu sudah menduganya, maka engkau membunuhnya, bukan? Nah, baiklah, karena dia sudah mati, aku ceritakan segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang menjadi pembunuh ayah dan ibu kita, membunuh suheng Kim Cu An, juga dua orang pelayan keluarga kita dan semua binatang peliharaan kita.”
Sedikit banyak memang sudah ada dugaan di dalam hati Sie Liong, akan tetapi selalu dibantahnya sendiri karena bagaimana mungkin enci-nya menjadi isteri pembunuh ayah ibu mereka?
“Tapi... tapi mengapa, enci?”
“Mendiang ayah kita pernah bentrok dengan Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan perampokan. Dia dahulu seorang perampok, lalu isterinya tewas di tangan mendiang ayah kita dan dia terluka. Dia lalu memperdalam ilmu silat dan pada malam hari itu, dia berhasil membasmi keluarga ayah kita.”
“Tapi... tapi, mengapa enci dan aku sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci menjadi isterinya...?”
“Itulah selalu aku yang menderita. Dia tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan membunuh kita berdua kalau aku tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk menyelamatkan engkau yang baru berusia sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku sendiri, aku menerima permintaannya. Aku kemudian menjadi isterinya dan engkau tak dibunuhnya. Dan ternyata dia sangat baik kepadaku dan kepadamu sampai terlahir Bi Sian dan aku... aku... anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku jatuh cinta kepadanya, kepada suamiku sendiri dan kepada pembunuh ayah ibuku...” Sie Lan Hong tidak dapat menahan tangisnya lagi.
Sie Liong mendengarkan dengan bengong. Die merasa kasihan sekali kepada enci-nya.
“Akan tetapi, aku tidak membunuhnya, enci.”
“Sudahlah, siapa mau percaya. Dan aku sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah sepatutnya engkau membunuhnya dan...”
Tiba-tiba pintu kamar itu didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak. Tangannya memegang sebatang pedang, yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah membunuh ayahnya!
“Pembunuh keparat, berani engkau ke sini?!” bentaknya.
Secepat kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu. Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain nampak kilatan pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu meluncur.
Tapi, dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai. Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.
“Bi Sian, engkau keliru. Aku tidak membunuh ayahmu!” Sie Liong berseru sebelum dia meloncat ke luar dan melenyapkan diri.
“Jahanam, jangan lari!” Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya telah menubruknya dan memegangi lengannya sambil menangis.
“Jangan, anakku. Jangan kejar dia...! Biarkan dia pergi...!” tangisnya.
Bi Sian mengerutkan alisnya. Menghela napas panjang. “Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh, pembunuh suami ibu sendiri, walau pun pembunuh itu adik kandung ibu...”
Ia melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya, melainkan dengan bersungut-sungut ia pun kembali ke ruangan di mana jenazah ayahnya sedang dibaringkan.
Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana dia tega untuk merusak hati anaknya dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya?
Tidak, ia tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar gadis itu tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita! Seperti dahulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini dia bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai menderita kehancuran.
Pada keesokan harinya, para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba di situ. Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoi-nya. Tentu saja dia kaget bukan main melihat peti mati di ruangan depan.
Bi Sian menyambutnya dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.
“Sumoi! Apa yang telah terjadi! Siapa pula yang meninggal dunia...?” tanya Bong Gan dengan penuh kekhawatiran.
“Yang meninggal dunia adalah ayahku, suheng...”
“Ahh...!” Pemuda itu terbelalak memandang ke arah peti mati. “Ayahmu? Tapi kemarin beliau masih segar bugar...!”
“Malam tadi... dia meninggal...” Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis di depan pemuda itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat.
Melihat ini, Bong Gan kemudian menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi hormat kepada jenazah di dalam peti itu. Kemudian dia kembali menghampiri sumoi-nya.
“Sumoi, kenapa ayahmu meninggal? Apakah sakit?”
“Mari kita masuk, suheng, aku mau bicara denganmu.”
Bong Gan mengikuti sumoi-nya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu mempersilakan suheng-nya duduk.
“Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang....”
“Hah...!” Bong Gan meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. “Dibunuh orang? Bagaimana... siapa...?”
“Pembunuhnya adalah... pamanku, adik ibu sendiri...”
“Ahh! Pemuda berpunggung... bongkok bernama Sie Liong itu...?”
Bi Sian mengangguk, menarik napas panjang. “Benar, dialah yang membunuh ayahku.”
“Kalau begitu, biar aku mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!” Bong Gan berseru sambil mengepal tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.
“Semalam aku sudah menyerang dan mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang ringan, suheng. Agaknya ia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia itu murid supek Pek-sim Siansu yang menurut suhu memiliki kesaktian yang sangat hebat. Karena itu, aku akan pergi mencarinya, suheng, dan harap engkau suka membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan.”
“Aku siap siaga, sumoi! Tanpa kau minta sekali pun, aku memang hendak mencarinya untuk membalaskan sakit hatimu ini!”
“Terima kasih, suheng. Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan. Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!”
“Ehh? Sekarang? Tidak menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?”
“Tidak, kalau terlambat, dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihatlah, ini buntalan sebagai bekal perjalanan sudah kusiapkan. Marilah kita berangkat sekarang juga!”
Pemuda itu masih bingung karena kepergian itu demikian mendadak, walau pun hatinya merasa girang sekali bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoi-nya, berdua melakukan perjalanan!
“Kau... aku tidak berpamit kepada ibumu?”
Gadis itu menggeleng kepalanya dengan wajah duka. “Tidak, ibu melindungi adiknya. Lebih baik aku tidak menemuinya dahulu sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh ayahku!”
Berkata demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang berlayat.
Ketika Sie Lan Hong mendengar bahwa puterinya lenyap bersama suheng-nya, pergi tanpa pamit, dia pun jatuh pingsan. Tidak kuat dia menahan pukulan batin yang datang bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali memberatkan hati nyonya ini adalah karena dia bisa menduga ke mana perginya puterinya itu. Tentu puterinya ini hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam!
Maka kini ia pun merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab yang mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau dia sudah menceritakan, tentu Bi Sian akan mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh ayahnya, karena memang ayahnya amatlah jahat!
Setelah suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan Hong lalu hidup seorang diri dalam keadaan sederhana. Ia berdagang dengan modal seadanya. Setiap hari ia berprihatin, bersembahyang dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk melindungi puterinya dan untuk mencegah agar puterinya jangan sampai membunuh Sie Liong. Kalau hal ini sampai terjadi, habislah hidupnya. Ia tidak akan berani melanjutkan hidup lagi. Kehidupannya penuh dengan penyesalan jika sampai puterinya itu membunuh Sie Liong.
Sie Lan Hong sama sekali tidak khawatir kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia telah mengenal benar watak adiknya yang bongkok itu. Sampai bagaimana pun juga, Sie Liong tidak akan membunuh Bi Sian. Hal ini ia yakin, sama yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi Sian.
Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Ia seorang wanita yang mempunyai daya tarik besar sekali. Wajahnya yang berbentuk lonjong itu berkulit putih mulus kemerahan. Matanya jeli serta kedua ujungnya meruncing dan kerlingannya bisa menarik hati pria seperti besi semberani menarik besi. Senyumnya manis sekali, dengan bibir yang lembut itu pandai bergerak-gerak penuh tantangan.
Tubuhnya bagaikan bunga sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang indah dan amat menggairahkan, tidak begitu disembunyikan karena pakaiannya yang ketat dengan jelas membayangkan keindahan bentuk tubuh itu. Dadanya padat, pinggangnya ramping dan pinggulnya besar, langkahnya bagaikan seekor singa kelaparan. Pada lengan, kaki dan lehernya nampak ditumbuhi bulu lembut dan ini menambah daya tarik. Pakaiannya juga indah, dari sutera yang mahal.
Ketika wanita itu memasuki pintu gerbang kota Ho-tan, semua mata pria yang melihat wanita ini memandang hingga melotot. Bahkan ada yang seolah matanya sampai mau meloncat keluar. Kalamenjing banyak pria bergerak naik turun, seperti orang kehausan melihat buah yang segar. Ada yang lidahnya terjulur ke luar menjilat-jilat bibir sendiri, seperti kucing-kucing kelaparan melihat tikus yang montok.
Pendeknya, jarang ada pria yang mau melewatkan penglihatan seindah itu begitu saja. Bahkan di antara mereka yang memang berwatak ceriwis dan nakal, sudah memasang senyum menyeringai, ada pula yang berdehem, juga ada yang memuji dengan suara. Bermacam-macamlah ulah para pria yang salah tingkah itu ketika melihat wanita yang menggiurkan ini, dan kalau saja sinar mata dapat menusuk seperti anak-anak panah, tentu tubuh wanita itu sudah penuh dengan luka!
Wanita itu bukan tidak sadar bahwa dirinya dijadikan tontonan yang mengasyikkan. Ia sadar sepenuhnya akan kecantikannya, dan ia tidak marah, bahkan merasa bangga dan gembira sekali menjadi pusat perhatian dan pujian. Oleh karena itu ia sengaja membuat lenggangnya semakin menggairahkan, pinggulnya yang montok itu seperti menari-nari, pinggangnya meliak-liuk seperti batang pohon yang tertiup angin, matanya mengerling ke kanan kiri dengan lembut akan tetapi tajam, dan bibirnya yang merah membasah itu bergerak-gerak mengarah senyum. Manis sekali!
Semua orang bertanya-tanya siapa gerangan wanita muda yang amat cantik itu. Kalau wanita penduduk biasa dari kota Ho-tan kiranya tak mungkin, sebab melihat pakaiannya yang indah dan mewah, tentu ia seorang wanita kaya raya, mungkin seorang puteri bangsawan. Kalau ia benar wanita bangsawan dari luar kota, mengapa datang hanya berjalan kaki saja? Tidak naik kereta?
Wanita cantik itu penuh teka-teki, dan kalau dia lebih lama berada di kota itu, tentu segera akan ada orang yang berani mendekatinya untuk bertanya dan memperkenalkan diri. Terlalu cantik untuk dibiarkan sendirian saja di tempat ramai itu. Seperti setangkai bunga, yang terlalu cantik dibiarkan tumbuh di hutan tanpa ada yang melindungi. Seperti setangkai buah yang segar dan matang, tentu tidak akan lama bertahan tergantung di dahan pohon tanpa ada yang memetiknya.
Sudah mulai banyak pria tua muda yang diam-diam membayanginya! Senja telah mulai tua dan malam sudah menjelang masuk. Mereka yang membayanginya, merasa heran ketika melihat wanita cantik itu menuju ke sebuah kuil tua di pinggir kota. Padahal kuil tua itu sudah kosong dan tidak digunakan lagi, merupakan sebuah rumah tua yang ditakuti penduduk karena dikabarkan bahwa kuil itu sekarang menjadi tempat tinggal siluman-siluman!
Setelah hari mulai gelap, hampir tak ada orang berani memasuki tempat itu. Jangankan memasuki kuil itu, bahkan masuk ke halamannya pun jarang ada yang berani. Banyak orang mengabarkan bahwa kalau malam gelap, sering kali terdengar suara-suara aneh dari tempat yang angker itu!
Ketika mereka yang membayangi wanita itu melihat betapa si cantik itu melenggang lenggok memasuki pekarangan kuil, sudah banyak di antara mereka yang diam-diam menahan kaki mereka, kemudian membalikkan tubuh dan pergi dengan bulu tengkuk meremang. Sebagian lagi masih bertahan, diliputi keheranan mau apa seorang cantik seperti itu memasuki pekarangan kuil yang menyeramkan itu?
Ketika mereka melihat bahwa wanita itu terus melangkah masuk ke dalam kuil yang gelap, kotor dan tua itu, semua orang membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang! Tidak salah lagi, yang mereka bayangi itu sudah pasti siluman! Siluman yang suka menggoda pria, biasanya siluman rubah yang dapat merobah diri menjadi wanita cantik sekali. Kalau ada pria yang tertarik dan terpikat, akan dibawanya ke dalam kuil dan pada keesokan harinya, tentu pria itu ditemukan dalam keadaan mati konyol atau setidaknya tentu gila!
Kalau saja di antara mereka itu ada yang bernyali besar dan terus membayangi wanita itu masuk ke dalam kuil, tentu dia akan menjadi semakin heran. Wanita itu setelah tiba di dalam kuil, tiba-tiba saja bergerak cepat sekali, tubuhnya sudah mencelat naik ke atas wuwungan rumah dan ia mengintai dari atas ke arah jalan yang menuju ke kuil.
Dari atas itu, dalam cuaca yang sudah mulai gelap, dia dapat melihat mereka yang tadi membayanginya, satu demi satu meninggalkan jalan itu, bahkan ada yang lari pontang panting kembali ke dalam kota. Wanita itu tersenyum geli, bibirnya yang menggairahkan itu berjebi mengejek, lalu tubuhnya melayang turun lagi setelah ia merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang mengikutinya masuk ke dalam kuil.
“Hi-hik-hik,” dia tertawa lirih dan berbisik-bisik, “biarkan mereka mengira aku siluman. Memang aku siluman... hi-hik-hik, siluman asli...!”
Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan belakang kuil itu, bagian yang masih agak utuh karena banyak bagian yang sudah rusak dan dindingnya retak-retak.
Kalau saat itu ada orang lain yang mengikuti wanita ini masuk, ketika ia tiba di ruangan belakang dan membuka pintu sebuah kamar, orang itu tentu akan berseru keheranan dan ketakutan melihat betapa kamar yang diterangi oleh nyala api lilin itu merupakan sebuah kamar yang bersih, berbau harum dan sama sekali tidak pantas berada di dalam kuil tua yang kotor itu!
Kamar ini cukup besar, terdapat sebuah pembaringan yang lebar sekali, cukup untuk tidur enam tujuh orang! Sebuah pembaringan yang diberi kasur tebal dan ditilami kain kapas yang berwarna merah, dengan kelambu besar berwarna ungu! Bantal-bantalnya bersih, dengan sarung yang disulam bunga-bunga dan burung, ada pula selimutnya yang merah dan tebal.
Di kamar itu terdapat pula lima buah kursi serta sebuah meja, dan di atas meja itu ada guci arak lengkap dengan cawannya, juga roti kering, manis-manisan, buah-buahan dan makanan-makanan kering!
Sebuah kamar yang amat menyenangkan. Dan yang lebih mengherankan lagi dari pada semua itu adalah keberadaan tiga orang pemuda yang usianya antara dua puluh hingga dua puluh lima tahun, kesemuanya hanya mengenakan pakaian dalam yang minim, tiga orang pemuda yang tampan dan dengan tubuh yang sehat dan mulus. Mereka segera menyambut kedatangan wanita itu dengan uluran tangan penuh gairah birahi, dengan pandang mata penuh kasih sayang dan senyum memikat!
Pada waktu wanita itu mendekati pembaringan, tiga orang pemuda itu menyambutnya dengan rangkulan, lalu ciuman-ciuman mesra dan belaian-belaian penuh gairah. Wanita cantik itu sampai kewalahan menghadapi penyambutan mesra tiga orang pria muda itu. Ia tertawa cekikikan, lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang mereka bertiga yang duduk di atas pembaringan.
Ketiga pemuda yang sama-sama tampan, ganteng, jantan dan menarik, pikirnya. Akan tetapi, setelah bermain-main dengan mereka, berenang dalam lautan kemesraan hingga lupa waktu dan lupa batas selama tiga hari tiga malam, ia telah mulai bosan!
Siapakah wanita cantik yang menggairahkan akan tetapi juga mengerikan itu? Ia bukan lain adalah Pek Lan!
Tujuh tahun yang lalu, ketika berusia tujuh belas tahun, Pek Lan menjadi selir tersayang dari Coa Hun yang terkenal sebagai Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang ketika itu berusia sekitar lima puluh tahun dan merupakan orang terkaya di kota Ye-ceng. Akan tetapi, Pek Lan, keturunan Kirgiz dan Han itu, memiliki darah panas dan nafsu birahi yang besar sehingga ia tidak puas hanya melayani seorang suami yang usianya sudah setengah abad.
Maka, melihat betapa putera angkat hartawan itu, biar pun baru berusia tiga belas tahun akan tetapi sudah cukup besar, ia lalu merayu anak itu yang bukan lain adalah Bong Gan sehingga terjadilah hubungan gelap di antara mereka. Para selir dan pelayan yang merasa iri melihat Pek Lan menjadi selir terkasih, mengetahui hubungan itu dan mereka melaporkan kepada Coa-wangwe sehingga dua orang itu tertangkap basah, lalu diusir dari rumah keluarga Coa.
Seperti kita ketahui, Pek Lan bertemu dengan Hek-in Kui-bo, nenek iblis yang kemudian mengambilnya sebagai murid. Nenek ini bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan amat kejam, juga mewariskan pula wataknya yang amat jahat, kejam, licik dan tidak pantang segala macam perbuatan buruk atau kemaksiatan apa pun!
Maka, bagi Pek Lan tidak ada perbuatan jahat yang dipantangnya. Dia tumbuh semakin dewasa dan matang menjadi seorang wanita yang berwatak iblis! Juga nafsu birahinya semakin menjadi-jadi!
Untuk memuaskan nafsunya ini, ia memilih pria yang disukanya, dirayu atau dipaksa untuk melayaninya sampai ia merasa puas. Kalau ia sudah merasa bosan, pria itu lalu diusir begitu saja, dan kalau banyak rewel bahkan dibunuhnya! Akan tetapi perbuatan ini ia lakukan di luar rumah subo-nya.
Subo-nya memiliki sebuah rumah yang mewah di tepi telaga Co-sa dan mereka hidup sebagai orang kaya raya. Guru dan murid ini telah mencuri sejumlah harta dari gedung Pangeran Cun Kak Ong di kota Ho-tan. Selama tujuh tahun terakhir ini, kalau mereka mulai kekurangan uang, mudah saja bagi mereka untuk mengisi kembali gudang harta mereka.
Seluruh tokoh sesat dari dunia hitam berlomba untuk menyerahkan sebagian dari hasil mereka kepada Hek-in Kui-bo yang mereka anggap sebagai datuk mereka. Dan selain itu, sangat mudah bagi Pek Lan yang sudah mempunyai ilmu kepandaian tinggi untuk mengambil begitu saja dari gudang-gudang harta para hartawan atau bangsawan.
Setelah lewat tujuh tahun dan merasa bahwa dirinya sudah dibekali ilmu-ilmu yang amat hebat, Pek Lan teringat akan penghinaan yang pernah dideritanya di rumah keluarga Coa-wangwe di kota Ye-ceng. Oleh karena itu, ia berpamit dari subo-nya dan pergi ke kota itu, dengan maksud untuk membalas semua penghinaan yang pernah diterimanya, tentu saja berikut bunga-bunganya!
Ketika dia tiba di kota Ye-ceng, ia melihat tiga orang pemuda yang dijumpainya dalam perjalanan. Tiga orang pemuda yang tampan, muda dan jantan. Perhatiannya segera tercurah pada mereka, dan untuk sementara itu melupakan urusannya di Ye-ceng, sibuk memikat tiga orang pemuda itu.
Tidak sukar baginya untuk menjatuhkan hati tiga pemuda itu dengan kecantikannya dan kemontokan tubuhnya. Segera ia membawa pemuda-pemuda itu ke dalam kuil tua, di mana ia telah membuat sebuah kamar yang indah dan selama tiga hari tiga malam ia berenang dalam lautan kemesraan dan kenikmatan bersama mereka sampai ia merasa agak bosan. Dan setelah merasa bosan, barulah ia teringat kembali akan maksudnya semula datang ke kota Ye-ceng itu.
Ketika tiga orang pemuda yang sudah tergila-gila pada wanita cantik itu membelai dan menciuminya, Pek Lan yang semula merasa bosan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang kepada mereka bertiga sambil tertawa cekikikan.
“Sudahlah, malam ini aku tak bisa main-main dengan kalian, karena mempunyai urusan penting. Kalian makan minum yang kenyang, istirahat baik-baik dan malam nanti, larut tengah malam, atau besok pagi-pagi, aku akan kembali ke sini dan kalian harus sudah bersiap-siap untuk kita bertanding lagi...” Ia tertawa cekikikan seperti siluman.
Tiga orang pemuda itu pun ikut tertawa gembira. Mereka tidak peduli apakah Pek Lan seorang manusia biasa, ataukah seorang dewi atau seorang siluman! Yang jelas, wanita itu telah menyenangkan hati mereka, memberi mereka kenikmatan yang selama hidup mereka belum pernah mereka rasakan.
Setelah bermain-main dan bersendau-gurau dengan tiga orang pemuda itu dan malam mulai gelap, Pek Lan melepaskan diri lagi dari tangan-tangan mereka, kemudian sekali berkelebat ia pun sudah lenyap dari dalam kamar itu! Tiga orang pemuda itu hanya dapat merasa heran dan kagum. Kalau sudah ditinggalkan begitu, ketiganya baru mulai merasa ngeri dan seram, menduga-duga siapa gerangan wanita cantik yang selama tiga hari tiga malam mengajak mereka berenang dalam lautan asmara itu.
Tubuh Pek Lan lenyap berubah menjadi bayangan yang gerakannya cepat sekali dan dalam waktu singkat, bayangannya telah berada di atas genteng gedung keluarga Coa. Kemudian, beberapa kali bayangan itu berkelebat dan melayang turun, dan ia sudah berada di dalam gedung yang amat luas itu.
Di bawah sebuah lampu dinding di dekat taman ia berhenti, kemudian memandang ke sekeliling sambil tersenyum. Selama tujuh tahun ini tidak banyak perubahan, nampak di rumah itu masih tetap mewah dan indah. Rumah yang amat dikenalnya.
Lalu ia mengingat-ingat. Ada tiga orang selir muda dan cantik yang menjadi saingannya dan yang dulu melaporkannya kepada Coa-wangwe. Di samping tiga orang selir itu, juga terdapat dua orang pelayan pria dan seorang tukang kebun pria. Sudah lama ia merencanakan cara dia membalas dendam, dan kini dia tersenyum sendiri.
Senyum itu membuka sepasang bibir yang merah basah, dan memperlihatkan kilatan giginya yang putih berderet rapi. Cantik memang, akan tetapi juga mengerikan, karena sepasang matanya mencorong. Wajah yang cantik itu sungguh-sungguh seperti wajah seorang siluman tulen!
Dia masih ingat di mana adanya kamar-kamar para selir dan para pelayan itu. Dengan amat mudahnya, ia membuka daun jendela sebuah kamar dan bagaikan seekor kucing saja, ia melompat ke dalam kamar. Ia membuka kelambu pembaringan yang tertutup dan melihat seorang di antara musuh-musuhnya, yaitu selir yang tinggi semampai, tidur nyenyak seorang diri memeluk guling.
Ia mengguncang pinggul wanita itu yang segera membuka matanya dan terbelalak saat melihat seorang wanita cantik yang asing di depan pembaringannya.
“Apa... siapa kau...?” tanyanya gagap.
Pek Lan tersenyum manis. “Benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ingat tujuh tahun yang lalu...”
“Pek Lan...! Kau... Pek Lan...?” selir itu berseru kaget.
Akan tetapi, pada saat itu Pek Lan menggerakkan tangannya dan selir itu terkulai lemas dan tak mampu lagi mengeluarkan suara. Matanya terbelalak ketakutan ketika Pek Lan menariknya, memanggulnya dan membawanya melompat keluar dari kamar melalui jendela yang daunnya ia tutupkan kembali.
Ia membawa tubuh selir itu ke dalam Pondok Merah, yaitu sebuah bangunan mungil di tengah taman di mana biasanya Hartawan Coa menghibur diri, mendengarkan nyanyian dan melihat tarian yang dilakukan oleh para selirnya atau rombongan penari yang diundangnya. Karena malam itu Pondok Merah tidak digunakan, maka pintunya dikunci dari luar. Akan tetapi, dengan mudah Pek Lan mendorongnya terbuka dan ia membawa tubuh selir itu ke sebuah kamar di pondok itu, kemudian melemparkan tubuh itu ke atas pembaringan.
Selir itu hanya dapat terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya, akan tetapi dia ngeri melihat pandang mata Pek Lan yang mencorong seperti bukan mata manusia biasa itu!
Selir ke dua juga diseret ke dalam Pondok Merah dalam keadaan tertotok, lumpuh dan tidak mampu mengeluarkan suara oleh Pek Lan dan dilempar ke dalam kamar yang lain dalam pondok.
Ketika ia memasuki kamar selir ke tiga yang menjadi musuhnya, ternyata selir ini tidur dengan seorang anak perempuan berusia kurang lebih dua tahun. Kiranya selir ini telah mempunyai anak. Akan tetapi ia tidak peduli. Ia menotok selir ini dan juga menotok anak kecil itu supaya jangan menangis dan menggagalkan rencananya, kemudian membawa pula selir ke tiga ini ke dalam Pondok Merah. Kebetulan pondok itu memiliki tiga buah kamar dan kini tiga orang selir itu telah berada di dalam kamar-kamar itu.
Kini Pek Lan menuju ke deretan kamar para pelayan. Ia pun masih ingat di mana letak kamar dari para pelayan yang dianggapnya musuh. Seorang di antara mereka sudah mempunyai isteri yang juga bekerja di situ sebagai tukang cuci. Ia tak peduli, dan seperti yang dilakukan pada para selir tadi, ia pun dengan mudah, seperti setan saja, memasuki kamar pelayan dan menotok mereka, lalu menyeret mereka menuju ke pondok di taman bunga.
Isteri salah seorang di antara tiga pelayan pria itu pun ditotoknya sehingga tidak mampu berkutik mau pun berteriak. Pek Lan melempar-lemparkan tiga orang pelayan pria itu ke atas pembaringan di dalam tiga buah kamar. Mereka tergeletak tumpang tindih di atas pembaringan tanpa dapat berteriak, juga mereka hanya terbelalak saja ketakutan ketika Pek Lan merobek-robek pakaian mereka sehingga enam orang di dalam tiga kamar itu semua menjadi telanjang bulat.
Setelah membiarkan tiga pasang manusia itu tumpang tindih di atas pembaringan dalam keadaan tanpa pakaian, Pek Lan tersenyum girang. Di bawah sinar lampu, wajahnya yang cantik manis itu nampak sungguh menyeramkan, menyeringai laksana iblis betina. Matanya mencorong dan giginya berkilauan.
Kemudian ia menyelinap ke belakang rumah pondok itu dan membakar bagian belakang rumah, lalu dipukulnya kentongan bambu untuk membuat gaduh. Sebentar saja semua penghuni rumah gedung hartawan Coa menjadi gempar mendengar suara kentongan bertalu-talu dari belakang itu. Mereka segera memasuki taman dan menjadi semakin geger melihat pondok di taman itu.
“Pondok Merah kebakaran!” demikian teriakan mereka.
Semua orang lalu berusaha memadamkan api yang membakar bagian belakang pondok itu dengan siraman air. Tiga pasang orang yang berada di dalam tiga kamar itu tentu saja mendengar semua keributan ini, namun mereka tidak mampu bergerak dan hanya menanti dengan hati tegang.
Akhirnya api itu padam dan dipimpin oleh Coa-wangwe sendiri, semua orang memasuki pondok mengadakan pemeriksaan dan apa yang mereka dapatkan? Tiga pasang orang yang saling tindih di atas pembaringan dalam tiga kamar itu, tanpa pakaian sama sekali!
Tentu saja keadaan menjadi semakin geger. Semua orang tahu bahwa tiga orang selir Coa-wangwe secara tidak tahu malu sekali sudah mengadakan perjinahan dengan tiga orang pelayan pria. Agaknya mereka demikian asyik sehingga mereka tidak tahu bahwa pondok yang menjadi tempat pertemuan mereka itu terbakar bagian belakangnya!
Ketika tiga pasang orang itu tidak mampu bergerak, hanya memandang dengan wajah ketakutan, Coa-wangwe tentu saja menganggap mereka itu hanya pura-pura atau tidak mampu bergerak karena ketakutan. Dia tetap tidak peduli dan menyuruh para pelayan menyeret enam orang itu turun dari pembaringan, lalu dalam keadaan masih telanjang bulat mereka diberi hukuman masing-masing dua puluh kali cambukan bagi para selir dan lima puluh kali cambukan bagi para pelayan pria.
Kulit punggung dan pinggul mereka sampai pecah-pecah berdarah. Setelah itu, mereka diusir, hanya boleh membawa pakaian mereka saja, bahkan selir yang sudah memiliki anak, tidak diperbolehkan membawa anaknya.
Setelah melampiaskan kemarahannya, marah bukan hanya karena selir-selirnya berani menyeleweng dengan para pelayan, melainkan akibat nama baiknya tercemar karena seluruh penduduk Ye-ceng pasti akan segera mendengar peristiwa yang memalukan sekali itu, Coa-wangwe memasuki kamarnya. Dia tidak memperbolehkan isterinya atau selir lain menemaninya sebab ia ingin mengaso dan membiarkan hawa amarah mereda.
Akan tetapi, ketika dia memasuki kamarnya yang besar dan mewah, menutupkan pintu karena dia tidak ingin diganggu, dan membalik hendak menuju ke pembaringannya, dia terbelalak dan mulutnya ternganga. Di atas pembaringannya itu sedang rebah seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Cantik manis, kulitnya yang putih mulus itu nampak karena pakaiannya setengah terbuka. Sepasang mata yang mengerling tajam, senyum yang semanis madu dan sikap yang menantang!
“Kau... kau... Pek Lan?” Coa-wangwe berseru heran dan juga terkejut.
Biar pun wanita itu tidak semuda dulu lagi, namun ia telah menjadi seorang wanita yang matang, jauh lebih menarik dari pada dulu ketika masih menjadi selirnya, ketika masih berusia tujuh belas tahun! Pek Lan yang rebah di pembaringannya, miring menghadap kepadanya itu adalah seorang wanita yang matang dan merangsang!
Pek Lan tersenyum. Manis!
“Aihh, Coa-wangwe, engkau masih ingat kepadaku? Sungguh menggembirakan!”
“Tentu saja aku masih ingat!” Hartawan itu mendekati pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan. “Siang malam aku ingat kepadamu, Pek Lan, wajahmu selalu terbayang dan aku amat rindu kepadamu, sayang. Setelah engkau pergi, barulah aku tahu betapa besar cintaku kepadamu...”
Tangan hartawan tua itu hendak meraih, akan tetapi wanita itu mengelak.
“Hemm, kalau memang benar engkau begitu cinta kepadaku, kenapa engkau mengusir aku? Sesungguhnya anak angkatmu itulah yang kurang ajar! Dulu aku dipaksanya dan karena aku takut, dia itu anak angkatmu, terpaksa aku tidak dapat membantah. Kenapa engkau tidak melihat kenyataan itu? Engkau telah dihasut oleh tiga orang selirmu itu. Dan apa buktinya sekarang? Merekalah yang berjinah, bahkan dengan para pelayan. Sungguh memalukan keluarga dan mencemarkan nama dan kehormatanmu!”
Hartawan Coa menghela napas panjang. “Salahku, aku begitu bodoh. Tapi, sekarang mereka telah kuhukum dan kuusir. Dan engkau, Pek Lan... engkau begini cantik jelita... aih, kulitmu begitu mulus, engkau lebih cantik manis dari pada dahulu. Engkau kembali, sayang? Engkau akan kujadikan selir pertama, bukan, tapi akan kuangkat menjadi isteri yang sah!”
Kembali tangan hartawan itu meraih. Ketika Pek Lan membiarkan dan tangan hartawan itu menyentuh lengan yang berkulit lembut dan hangat, hartawan itu segera dirangsang nafsu birahi. Akan tetapi ketika dia mulai hendak merangkul, Pek Lan melompat turun dari tempat tidur.
Melihat wanita itu berdiri di lantai, Coa-wangwe menjadi semakin kagum. Tubuh itu kini demikian padat, menggiurkan, tidak lagi kekanak-kanakan seperti dahulu!
“Pek Lan...!”
“Cukup! Turunlah dan jangan merengek seperti itu. Aku datang bukan untuk itu. Aku tidak butuh cintamu, tidak butuh laki-laki macam engkau yang sudah tua dan berperut gendut berkepala botak itu!”
“Pek Lan...!”
“Dengar! Aku datang untuk menagih hutang! Dahulu engkau pernah mengusirku, tanpa memberi bekal sedikit pun. Padahal aku telah menyerahkan diri padamu, menyerahkan kegadisanku dan mandah saja menjadi barang mainanmu, menjadi pemuas nafsumu. Sekarang engkau harus membayar untuk itu semua! Aku akan mengambil semua harta milikmu yang kau simpan di dalam almari tebal ini!” Ia sudah hafal akan hal itu dan kini ia menghampiri sebuah almari hitam yang berdiri di sudut.
Melihat dan mendengar ini, Coa-wangwe menjadi sangat terkejut dan lenyaplah sudah nafsu birahinya, seperti awan tipis ditiup angin.
“Pek Lan, apa yang kau lakukan itu?!” bentaknya marah.
Tentu saja dia tidak merasa takut kepada bekas selirnya itu. Dia pun melangkah lebar menghampiri Pek Lan dan menjulurkan tangan untuk menangkap lengan wanita itu agar tidak menghampiri almari besi tempat hartanya tersimpan.
“Plakk! Dukk!”
Dan hartawan Coa terjungkal. Lengannya yang tertangkis seperti patah rasanya, dan perut yang ditendang menjadi mulas.
“Aku datang hanya untuk mengambil hartamu, bukan mengambil nyawamu!” kata Pek Lan. “Akan tetapi kalau aku marah, nyawamu juga akan kuambil sekalian!”
Sekarang hartawan itu ketakutan dan dia berlari ke arah pintu kamar. Pek Lan tidak mempedulikan dan ia sudah membuka almari tebal itu dengan mudah walau pun almari itu dikunci. Begitu terbuka, nampaklah bahwa almari itu dipenuhi perhiasan-perhiasan dari emas permata, juga bongkah-bongkah emas murni yang berkilauan.
“Tolong...! Perampok..., pembunuh...!” Coa-wangwe yang sudah keluar dari kamar itu menjerit-jerit.
Pek Lan tidak peduli, enak-enak saja mengumpulkan emas dan perhiasan itu ke dalam sebuah kantung kain yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul, tukang tagih dan penjaga keamanan keluarga hartawan itu sudah dipanggil dari luar dan kini mereka berlima lari menuju ke kamar itu. Begitu mereka tiba di ambang pintu kamar, mereka bengong dan menoleh kepada Coa-wangwe.
Di dalam kamar itu hanya terdapat seorang wanita cantik, sama sekali tidak nampak ada perampok. Bahkan wanita cantik itu memasukkan emas dari dalam almari ke dalam sebuah kantung.
“Maaf, loya, di mana perampoknya?”
“Mana ada pembunuh?”
Coa-wangwe menuding ke arah Pek Lan. “Ia itulah perampoknya! Lihat, ia mengambil semua hartaku, dan ia sudah memukulku!” Dia meringis kesakitan, mengelus perutnya yang masih mulas.
Lima orang penjaga itu tentu saja menjadi bengong. Wanita cantik itu perampoknya? Dan kini, seorang di antara mereka yang paling lama bekerja di situ mengenal Pek Lan.
“Bukankah... bukankah engkau nona Pek Lan...?”
Pek Lan yang masih sibuk memasuk-masukkan barang berharga itu ke dalam kantung, menoleh dan tersenyum manis. “Hemm, engkau masih mengenaliku? Bagus, untuk itu aku tidak akan membunuhmu!”
Coa-wangwe menjadi marah. “Untuk apa kau bercakap-cakap dengan wanita iblis itu? Tangkap ia dan belenggu kaki tangannya!”
Lima orang jagoan itu memasuki kamar dan mengepung Pek Lan dengan setengah lingkaran.
“Nona Pek Lan, lebih baik kalau engkau menyerah saja dan tidak melawan sehingga tak perlu kami mempergunakan kekerasan,” kata penjaga yang sudah mengenalnya itu. Dia merasa sayang sekali jika harus mempergunakan kekerasan terhadap wanita yang luar biasa cantik manisnya itu.
Kantung itu sudah penuh dan biar pun almari itu masih belum terkuras semua, namun sebagian besar perhiasan yang termahal sudah berpindah tempat. Pek Lan mengikat mulut kantong itu dan dengan kain sutera yang telah dibawanya, digendongnya kantung yang cukup berat itu di punggung, kemudian ia menghadapi lima orang penjaga sambil tersenyum.
“Majulah dan turuti majikan kalian kalau kalian ingin merasakan kematian!”
Tentu saja lima orang penjaga itu tidak takut. Ancaman itu hanya keluar dari mulut seorang wanita cantik yang dulunya adalah selir majikan mereka! Seorang wanita muda cantik yang lemah lembut dan berkulit halus mulus seperti itu, tentu saja sama sekali tidak menakutkan!
Empat orang penjaga tidak sabar lagi dan mereka memang sudah ingin sekali segera menangkap dan merangkul wanita cantik itu. Maka mereka pun menyerbu dan seperti hendak berebut saling mendahului, mereka serentak menerkam Pek Lan.
Wanita ini tersenyum. Tubuhnya berkelebat, kaki tangannya bergerak dan kelima orang penjaga itu pun terjengkang! Entah apa yang dilakukan, tidak bisa dilihat oleh lima orang itu saking cepatnya gerakan kaki tangan Pek Lan. Tahu-tahu lima orang itu merasakan dada atau perut mereka terpukul atau tertendang, keras sekali, membuat tubuh mereka terjengkang.
Coa-wangwe dan para selir dan pelayan yang berada di luar kamar, mundur ketakutan melihat betapa lima orang penjaga itu terjengkang dan terbanting.
“Tangkap dia! Bunuh!” Coa-wangwe memberi semangat kepada lima orang penjaganya yang sudah bangkit kembali. Dia merasa khawatir sekali melihat betapa hampir semua hartanya diambil oleh Pek Lan.
Lima orang penjaga itu menjadi malu sekali. Hanya dalam segebrakan mereka sudah dirobohkan oleh seorang wanita muda yang cantik! Mereka kini mencabut senjata golok dari pinggang dan dengan sikap mengancam mereka mengepung lagi dari depan.
Melihat ini, Pek Lan tersenyum. “Apa bila kalian berani menyerangku dengan golok itu, kalian akan mampus!”
Akan tetapi, lima orang penjaga itu sudah terlalu marah. Dan karena mereka memegang senjata, pula mereka berlima, tentu saja mereka tidak gentar menghadapi Pek Lan yang bertangan kosong, biar mereka tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Sambil mengeluarkan bentakan keras, mereka pun maju menerjang, golok mereka gemerlapan tertimpa sinar lampu dan lima batang golok sudah menyambar-nyambar ke arah Pek Lan.
Akan tetapi, dengan tenang sekali Pek Lan berloncatan. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan yang menyelinap di antara gulungan sinar golok. Dan anehnya, tak pernah ada golok yang mampu menyentuhnya.
Tiba-tiba, penjaga yang mengenal Pek Lan tadi mengaduh dan dia pun roboh, goloknya sudah berpindah ke tangan Pek Lan! Empat orang penjaga lain mempercepat gerakan serangan mereka.
Akan tetapi Pek Lan cepat menggerakkan goloknya, dengan gerakan memutar sehingga nampak sinar panjang golok itu menyambar ke arah empat orang lawannya. Terdengar mereka itu menjerit dan seorang demi seorang roboh berkelojotan dengan leher hampir putus! Darah bercucuran membanjiri lantai.
Pek Lan memandang pada penjaga yang mengenalnya tadi, yang dirobohkannya hanya dengan tendangan dan dirampas goloknya. Dia pun tersenyum.
“Aku sudah berjanji tidak akan membunuhmu!” katanya.
Akan tetapi goloknya bergerak dan orang itu pun menjerit karena pundaknya terbacok golok sehingga terluka parah. Akan tetapi, betapa pun parahnya, dia tidak akan mati.
Pek Lan meloncat keluar kamar. Semua selir dan pelayan lari ketakutan. Coa-wangwe juga melarikan diri, akan tetapi suara halus terdengar membentak di belakangnya.
“Engkau hendak mencelakai aku, maka patut dihukum!”
Goloknya menyambar dan hartawan itu menjerit-jerit sambil memegangi kepala dengan dua tangan. Dua buah daun telinganya telah buntung terbabat golok. Pek Lan tertawa, membuang goloknya lalu melompat keluar, menghilang di dalam kegelapan malam.
Peristiwa itu tentu saja cepat sekali tersiar dan dalam waktu beberapa hari saja, hampir seluruh penduduk koto Ye-ceng telah mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga Coa.
Bukan hanya orang suka sekali membicarakan mala petaka yang menimpa keluarga Coa, juga membicarakan aib yang mencemarkan nama dan kehormatan hartawan itu, tapi yang paling menggegerkan orang adalah berita tentang Pek Lan yang kini menjadi seorang wanita cantik yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan juga berwatak amat kejam.
Peristiwa lain yang amat menggemparkan adalah ditemukannya tiga orang pria muda yang sudah menjadi mayat di dalam sebuah kuil tua. Mereka tewas dalam keadaan yang amat aneh, yaitu berada di atas pembaringan di dalam kuil tua itu, hampir tanpa pakaian, dan kepala mereka retak seperti telah dipukul dengan benda keras.
Tidak seorang pun menduga bahwa mereka ini, tiga orang pemuda tampan itu, ternyata juga tewas di tangan Pek Lan, bahkan tangan lembut halus itulah yang telah membikin retak kepala mereka dengan tamparan yang sangat ampuh! Pek Lan membunuh tiga orang muda itu karena mereka itu dianggap akan dapat membocorkan rahasianya!
Maka muncullah di dunia kang-ouw seorang iblis betina yang amat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari pada Hek-in Kui-bo, guru Pek Lan di waktu masih muda. Biar pun Hek-in Kui-bo dahulu juga seorang wanita gila laki-laki, pengumbar nafsu jahat, namun dibandingkan Pek Lan, ia masih kalah sedikit.
Pek Lan, di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, dan perasaan bencinya kepada semua orang yang dianggap merugikan, juga memiliki kecantikan yang amat menarik. Dengan senjata ini, mudah saja baginya untuk menjatuhkan hati setiap orang pria yang akan dijadikan korbannya…..
Wanita itu memang manis. Seorang wanita petani yang rajin. Agaknya karena sudah terbiasa bekerja keras di sawah ladang, maka wanita itu memiliki tubuh yang padat dan sehat kuat. Pinggangnya ramping, pinggulnya besar, tubuhnya tegak. Biar pun kulit kaki tangan, leher dan mukanya agak kecoklatan karena sinar matahari, namun coklat yang sehat dan kulit itu tetap halus mulus.
Wajahnya yang manis tidak berkurang karenanya, bahkan nampak lebih manis karena mengandung kewajaran tanpa alat rias. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun.
Wanita petani ini sedang sibuk mencabuti rumput dan tumbuh-tumbuhan liar di antara tanaman gandum. Ia menggunakan cangkul atau kadang-kadang juga sebuah arit dan ia bekerja dengan asyik sekali. Sungguh merupakan penglihatan yang mengagumkan.
Wanita itu kadang-kadang membungkuk, dan dua tangannya bergerak dengan cekatan. Bentuk tubuhnya indah pada waktu membungkuk, dan kadang juga berdiri tegak untuk membuang segenggam rumput keluar ladangnya. Celana kakinya digulung sampai ke lutut dan kaki itu terbenam ke tanah berlumpur sebatas betis, sehingga kulit kaki antara betis dan lutut nampak putih mulus, jauh berbeda dengan kulit tubuh yang terbuka dan terbakar matahari.
Wanita itu bekerja dengan sangat tekun dan asyik sehingga ia pun sama sekali tidak melihat bahwa seorang pria yang tadinya berjalan di jalan raya tak jauh dari ladangnya, kini berhenti dan sampai lama orang itu memandang kepadanya dengan kagum. Pria itu adalah seorang pemuda yang mudah sekali dikenal, karena punggungnya bongkok, di bawah tengkuk terdapat sebuah daging menonjol besar. Dia adalah Sie Liong!
Setelah beberapa saat seperti terpesona menyaksikan pemandangan indah itu, bukan hanya kemanisan wanita petani, melainkan keseluruhan tamasya alam yang melatar belakangi bentuk tubuh wanita itu, Sie Liong sadar bahwa sungguh tidak sopan kalau memandangi seorang wanita seperti itu. Akan tetapi, pemandangan itu amat indahnya sehingga seolah-olah menahannya untuk tinggal lebih lama di tempat sunyi itu.
Latar belakang ladang itu merupakan pegunungan yang hijau dan ladang di belakang wanita itu amat luas, juga kehijauan dengan tanaman gandum. Sunyi. Hanya nampak di kejauhan beberapa orang wanita atau pria yang juga membersihkan ladang mereka seperti yang dilakukan wanita itu.
Hawa udara sangat segar, matahari amat cerah, dan duduk di bawah lindungan pohon besar itu sungguh teduh dan nyaman. Sie Liong duduk di bawah pohon di tepi jalan, dan kesunyian itu membuat dia melamun. Terkenanglah dia kepada semua peristiwa yang menimpa dirinya, yang baru lalu.
Terkenang dia akan kunjungannya kepada enci-nya, pertemuannya dengan enci-nya, cihu-nya, kemudian dengan Yauw Bi Sian. Kemudian betapa cihu-nya yang kini berubah sama sekali wataknya itu dibunuh orang, dan menurut Bi Sian, pembunuhnya adalah dia! Padahal, dia sama sekali tidak melakukan perbuatan itu!
Bahkan enci-nya sendiri pun menyangka dia yang menjadi pembunuh untuk membalas dendam kematian orang tuanya. Kiranya cihu-nya itu yang telah membunuh ayah dan ibunya, juga suheng-nya dan seorang pelayan, juga semua binatang peliharaan orang tuanya. Jelaslah bahwa cihu-nya itu mendendam kepada orang tuanya, amat membenci orang tuanya. Dia sendiri pun tentu telah dibunuh cihu-nya itu kalau tidak ada enci-nya, Sie Lan Hong.
“Enci Hong, sungguh kasihan engkau...” Sampai di sini Sie Liong mengeluh dalam hati.
Dia dapat membayangkan betapa sengsara keadaan enci-nya ketika pembunuhan atas keluarga mereka itu terjadi! Untuk menyelamatkan dirinya, seorang adik yang ketika itu masih kecil, baru berusia sepuluh bulan, maka enci-nya itu telah mengorbankan dirinya! Ia menyerahkan dirinya kepada si pembunuh kejam itu, demi untuk menyelamatkan diri adiknya. Dan akhirnya, enci-nya itu bahkan menjadi isteri pembunuh. Mereka saling mencinta! Dan dia pun selamat, tidak ikut dibunuh!
Tidaklah aneh apa bila enci-nya menuduh dia yang sudah membunuh Yauw Sun Kok. Bukankah sudah sepatutnya kalau dia membunuh orang yang telah membasmi keluarga orang tuanya itu? Apa lagi di sana masih ada Bi Sian yang dengan sungguh-sungguh mengatakan bahwa gadis itu telah melihat dia pada malam pembunuhan terjadi. Melihat dia, bongkoknya, bertopeng dan kemudian topeng itu ditemukan pula oleh Bi Sian, di luar kamarnya.
Sungguh aneh sekali! Siapa yang telah membunuh Yauw Sun Kok? Dan mengapa pula pembunuh itu agaknya menyamar sebagai dirinya untuk menjatuhkan fitnah padanya? Padahal, dia tidak pernah mempunyai musuh di kota Sung-jan, kecuali... cihu-nya, tentu saja.
Tadinya dia merasa penasaran dan hendak melakukan penyelidikan untuk membongkar rahasia pembunuhan itu, untuk membuktikan bahwa dia bukan pembunuhnya. Akan tetapi kemudian ketika dia menemui enci-nya, Sie Lan Hong, enci-nya itu membuka rahasia yang selama itu dipedamnya, yaitu bahwa cihu-nya itulah orang yang sudah membunuh ayah dan ibunya.
Tentu saja dia terkejut bukan main, dan mendengar bahwa cihu-nya sejahat itu, dia pun kehilangan semangat untuk mencari pembunuh cihu-nya. Biarlah dia dibunuh orang, memang itu setimpal dengan kejahatannya. Dan dia pun tahu bahwa kini Bi Sian amat membencinya, sakit hati kepadanya. Kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri, tentu gadis itu akan menyerangnya dan memaksanya mengadu nyawa. Dan dia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi.
Dia cinta Bi Sian! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, kepada keponakannya sendiri! Bahkan dia telah mencintanya sejak mereka masih sama-sama kecil. Kenyataan inilah yang membuat hati pemuda bongkok itu merasa lebih ngeri lagi, maka dia pun cepat melarikan diri, menjauhkan diri seperti orang ketakutan.
Sie Liong menghela napas ketika lamunannya membawa dia teringat kepada Bi Sian. Wajah yang manis dan jenaka itu terbayang di depan matanya, dan dia pun tersenyum. Segala yang ada pada Bi Sian amat menyenangkan hatinya, mendatangkan perasaan gembira.
Dia harus pergi jauh. Dia akan pergi ke Tibet, untuk memenuhi pesan para gurunya, yaitu melakukan penyelidikan mengenai Lima Harimau Tibet yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama dan yang berusaha keras untuk membasmi para pendeta, terutama para tosu yang melarikan diri dari Himalaya, seperti Himalaya Sam Lojin yang menjadi gurunya, juga Pek-sim Siansu, supek yang juga menjadi gurunya sendiri.
Dia harus mampu menunaikan kewajiban ini dengan berhasil. Dia juga harus mampu menjernihkan suasana dan mencari sebab yang mendorong para pendeta Lama di Tibet memusuhi para tosu di Himalaya.
Memang merupakan pekerjaan yang besar dan amat sukar, bahkan amat berbahaya, namun dia sudah mengambil keputusan untuk melaksanakan tugas itu sampai berhasil atau dia boleh mempertaruhkan nyawanya. Semua itu tiada artinya kalau dibandingkan dengan budi besar yang telah diterimanya dari para gurunya. Kalau tidak ada mereka, dia hanyalah seorang pemuda bongkok yang tidak berdaya dan tidak ada manfaatnya, tidak ada artinya hidup di dunia, hanya menjadi bahan cemoohan belaka.
Alangkah cantiknya wanita petani itu, pikirnya. Dan alangkah bahagianya orang yang menjadi suaminya. Pasti ia sudah memiliki suami, pikirnya. Mengapa wanita itu bekerja seorang diri? Mana suaminya? Betapa akan menyenangkan hati kalau suaminya juga ikut pula bekerja. Pekerjaan akan terasa ringan. Ahh, betapa bahagianya wanita itu dan suaminya!
Sie Liong merasa heran mengapa hal-hal yang sekecil ini membuat dia membuka mata bahwa kebahagiaan sesungguhnya berada di dalam diri siapa saja. Setiap orang dapat menikmati kebahagiaan hidupnya apa bila dia tidak memikirkan hal-hal lain, tidak menginginkan hal-hal lain.
Apa bila orang menyadari betapa berlimpahnya kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, apa bila dia menyerahkan segalanya kepada Tuhan, maka akan nampak bahwa hidup ini sebetulnya merupakan nikmat pemberian dan anugerah Tuhan yang tak terlukiskan besarnya. Bahkan bernapas pun mendatangkan kenikmatan dan kebahagiaan, belum lagi makan, minum dan segala kegiatan lain.
Duduk melamun di bawah pohon itu pun mengandung kenikmatan tersendiri, seperti yang sedang dirasakan oleh Sie Liong!
“Ya Tuhan, terima kasih atas segala rahmat-Mu...” Sie Liong berbisik.
Wajahnya kini cerah sekali, senyum menghias bibirnya. Pada saat itu, lupalah dia akan segala hal, akan enci-nya, Bi Sian, pembunuhan atas diri cihu-nya, bahkan dia pun lupa akan bongkoknya!
Semua begitu indah apa bila pikiran tidak dikacaukan oleh ingatan akan hal-hal yang dianggap tidak menguntungkan dan tidak menyenangkan ‘aku’.
Akan tetapi, tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada tujuh orang yang datang dari jauh menuju ke tempat itu. Mereka itu tujuh orang laki-laki yang agaknya hendak pergi ke dusun para petani. Melihat sikap mereka, diam-diam Sie Liong mengerutkan alisnya.
Mereka itu jelas bukan petani. Cara mereka berjalan melenggang, pakaian dan sikap mereka, bahkan melihat gagang golok dan pedang tersembul di balik pundak mereka, jelas bahwa mereka itu adalah golongan orang-orang persilatan, atau orang kang-ouw. Mungkinkah ada orang-orang kang-ouw yang tinggal di dusun itu? Ataukah mereka itu pendatang dari luar?
Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat beberapa orang petani, laki-laki dan perempuan, melarikan diri meninggalkan sawah ladang mereka. Semua petani yang tadi bekerja di ladang, melarikan diri begitu melihat tujuh orang laki-laki itu, kecuali wanita yang tadi membangkitkan rasa kekaguman di hati Sie Liong. Ia sedang asyik mencabuti rumput, dengan membungkuk membelakangi jalan sehingga ia tak melihat kedatangan tujuh orang laki-laki itu.
Sie Liong siap siaga, akan tetapi ia masih duduk di bawah pohon. Dengan duduk seperti itu, ia memang agak tersembunyi oleh semak alang-alang yang tumbuh di tepi selokan dekat ladang. Namun ia memandang penuh perhatian. Kini tidak ada lagi petani yang bakerja di ladang yang luas itu kecuali wanita tadi.
Tepat seperti yang dikhawatirkan, tujuh orang laki-laki itu berhenti melangkah ketika tiba di dekat ladang di mana wanita itu masih terus bekerja. Wanita itu menungging dengan pinggul ke arah mereka, tidak menyadari bahwa cara ia berdiri dan bekerja ini seolah memamerkan pinggulnya yang bulat dan besar itu, tidak tahu bahwa ada tujuh orang kasar sedang menikmati pemandangan yang mengagumkan mereka itu. Dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan agaknya menjadi pemimpin mereka, tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, sungguh indah sekali tubuh itu! Coba kulihat bagaimana wajahnya!”
Dia mengambil sebuah batu dan melempar batu itu dengan keras ke arah tanah lumpur dekat wanita itu. Air lumpur memercik dan mengotori pakaian wanita itu yang agaknya baru sadar dan ia pun cepat meluruskan tubuh, membalikkan kepala memandang.
Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika ia melihat tujuh orang itu. Ia menoleh ke kanan kiri dan baru sekarang ia tidak melihat adanya mereka yang tadi bekerja di ladang. Wanita itu kini terbelalak, mukanya pucat sekali dan matanya mengingatkan Sie Liong kepada mata seekor kelinci yang sering ditangkapnya. Liar ketakutan!
“Ha-ha-ha, cantik! Manis sekali! Perempuan dusun tentu sehat dan segar, ha-ha-ha!” Si brewok itu dengan langkah lebar lalu menghampiri tepi ladang, berdiri di tepi sambil menjulurkan tangan ke arah wanita itu.
“Manis, ke sinilah dan bersihkan kaki tanganmu. Marilah engkau ikut saja dengan kami, ha-ha-ha!”
Wanita itu agaknya, seperti para petani lainnya, sudah tahu siapa adanya tujuh orang laki-laki itu. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat ia hanya menggelengkan kepala tanda ia tidak mau, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulut yang gemetar itu.
“Ahh, manis, jangan malu-malu. Nanti kalau kami mendapatkan sumbangan yang cukup banyak dari dusun-dusun, tentu aku tidak akan melupakanmu dan akan memberi hadiah yang besar kepadamu. Hayolah, senangkan dan hibur hati kami yang sedang kesepian ini, manis. Ha-ha-ha!”
Enam orang lainnya yang menunggu di pinggir jalan ikut pula tertawa. Mereka semua senang sekali melihat wanita petani yang berwajah manis dan bertubuh padat itu.
Mereka berempat lalu duduk menghadapi meja besar di ruangan dalam. Bi Sian segera menceritakan pengalamannya ketika ia diambil murid Koay Tojin. Ia juga menceritakan mengenai perbuatan Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.
“Coba ibu bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Ia menggunakan anak buahnya yang menyamar sebagai perampok dan menggangguku, kemudian dia muncul sebagai penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi, dia menggangguku! Untung muncul suhu! Ki Cong datang lagi membawa perampok-perampok palsu itu dan mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar oleh suhu! Aihh, betapa senangku pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu sekarang masih hidup, ibu?”
Sie Lan Hong menahan senyumnya.
“Hussssh, jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang lagi. Ia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu....”
Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. “Apa?! Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu? Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!”
“Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagai mana pun juga, dia putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?”
“Sumoi, apa yang ibumu katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan saja kepadaku. Di sini tak ada seorang pun yang mengenalku, maka tiada halangannya kalau aku yang pergi menemui dan menghajar orang yang berani menghinamu,” kata Bong Gan dengan sikap gagah.
“Sudahlah, Bi Sian. Aku tidak menghendaki ribut-ribut,” kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan suaminya.
Baru menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, dia sudah berduka sekali. Apa lagi kalau ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun.
“Engkau baru pulang, Bi Sian. Karena itu tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan keributan dan kekacauan.”
Bi Sian masih merasa amat penasaran, kemudian ia menoleh kepada Sie Liong. “Coba pertimbangkan, paman Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi hajaran keras? Dahulu pun dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan karena engkau laki-laki. Akan tetapi penghinaannya terhadap diriku, sungguh membuat hati ini panas dan mendongkol saja.”
Sie Liong tersenyum, akan tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada keponakannya itu. “Bi Sian, kurasa tadi ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari gara-gara dan permusuhan. Tentang kejahatan Lu Ki Cong padamu, bukankah katamu tadi dia dan anak buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhu-mu? Nah, dengan demikian berarti sudah lunas, bukan? Kalau sekarang dia melakukan perbuatan jahat lagi, barulah pantas kalau kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau cukup mengerti bahwa kepandaian yang kau pelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan, bahkan sebaliknya untuk memadamkan kekacauan. Bukankah begitu?”
Gadis itu memandang dengan mata terbelalak.
“Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan tetapi untuk memadamkan kekacauan? Paman, aku juga pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?”
Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alisnya yang berkerut.
“Kalau begitu, suhu-mu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan bijaksana!”
“Paman Liong! Engkau... engkau mengenal suhu?”
Sie Liong tersenyum lagi. “Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang waktu itu terluka oleh pukulan beracun.”
“Kalau begitu, engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo lekas ceritakan pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang sakti?” tanya Bi Sian.
Gadis ini gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang amat disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!
“Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia... dia itu masih terhitung paman guruku juga.”
Baik Bi Sian mau pun Bong Gan terkejut mendengar ini.
“Apa?!” gadis itu berseru. “Suhu-ku itu masih paman gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah, sekarang aku ingat...! Pernah suhu menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini. Nama orang itu adalah... Pek-sim Siansu! Benarkah engkau muridnya?”
Sie Liong mengangguk. “Dari dulu engkau memang cerdik, Bi Sian. Akan tetapi, orang yang cacat seperti aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup.”
“Ahh, aku tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu silat!”
“Wah, mana aku berani? Jika melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!” kata Sie Liong.
Dan suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja bengkok?
Dia merasa tidak suka sekali. Apa lagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seakan hendak menjenguk isi hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih bagus bahwa pemuda bongkok itu ialah paman dari Bi Sian, adik ibunya, sehingga bukan merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!
“Aih, kalian jangan main-main!” kata Sie Lan Hong. “Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau sudah hendak menantang pamanmu? Ketahuilah, pamanmu ini pun baru dua hari tiba di sini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak tukang pukul?”
Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu pula, terdengar teriakan dari luar rumah.
“Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Siang-siang aku sudah pulang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!”
Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya barusan mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
“Ayahhhhh...!” Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya. Dahulu, ayahnya adalah seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak awut-awutan dan kotor!
Memang orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi dari bibirnya. Sekarang matanya terbuka lebar dan dia memandang pada gadis yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri dirinya itu.
“Bi Sian... kau... kau Bi Sian...?”
“Ayah...!” Bi Sian lari menghampiri. “Kau kenapakah, ayah?”
Ayahnya merangkul puterinya itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis? Sungguh hal yang luar biasa sekali! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis?
“Ayah, tenanglah, ayah. Mari duduk...” Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi menghadapi meja.
Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Kini dia sudah memandang kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin? Bagus! Sekarang engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian...”
“Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur...!” Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit dan memapahnya ke dalam kamar.
Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, “Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kau pukul bongkoknya, biar mampus...!”
Saking heran dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa. Ia lalu memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah oleh ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.
“Paman Liong,” akhirnya Bi Sian bicara dan meski pun suaranya perlahan, akan tetapi terdengar mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. “Engkau... engkau benar telah mengalahkan ayah...?”
Sie Liong mengangkat mukanya, memandang pada keponakannya itu, kemudian melirik ke arah Bong Gan.
Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan dia berkata, “Suheng adalah seperti keluarga sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!”
Suaranya sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia amat penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak pernah mengalahkan dia, Bi Sian.”
“Akan tetapi, ayah tadi mengatakan...”
“Kemarin dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok. Terpaksa aku harus melindungi ibumu, namun bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya mengelak dan menangkis... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aihh, Bi Sian... semuanya berubah...!”
Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.
“Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah dan ibumu!”
Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi dengan hal lain, yaitu kenyataan tentang ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suheng-nya bermalam di rumah penginapan. “Baiklah, suheng. Maafkan kami.”
Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie Liong. Tadi gadis itu memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya sudah memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Dia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.
“Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang sesungguhnya, paman!” Bi Sian menuntut.
Sie Liong menarik napas panjang. “Sebenarnya, ibumu yang harus bercerita kepadamu. Akan tetapi biarlah, aku pun berkewajiban untuk memberi tahukan semua kepadamu. Ketahuilah bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat. Dia berjudi, selalu mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, perabot dan perhiasan ibumu, semua dijual untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka memukuli ibumu.”
“Ahh, mana mungkin itu?”
“Aku sendiri pun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian.”
“Aihh, ayah...! Kenapa begitu? Ibuu... ahhh, kasihan sekali, ibuku...”
Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan dia pun lari memasuki kamar ayah dan ibunya. Melihat ini, Sie Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia.
Diam-diam dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi seorang gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.
Dan dia teringat kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suheng-nya, tentu mempunyai ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.
Dia duduk di atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang? Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!
“Ah, tidak...!” Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk kembali.
Ihhh, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian seorang gadis yang cantik manis, dan suheng-nya itu pun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah sama dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di dalam hatinya harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya seorang bongkok?
“Yang tahu dirilah kau!” demikian dia memaki diri sendiri.
Dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali…..
**********
Seorang pemuda memasuki rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera menarik perhatian para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu. Maka, ketika pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat pemuda itu tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan!
Sebetulnya tidak aneh bila kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walau pun selama ini dia sangat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dia melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu birahi yang tidak ketulungan lagi!
Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi, apa bila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika dia melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu menggunakan kepandaiannya untuk memuaskan birahinya yang berkobar-kobar.
Di luar dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan ternyata sering sekali mengganggu wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, mau pun dengan paksa! Banyak sudah isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya.
Wanita yang dirobohkannya dengan modal ketampanan, selalu adalah isteri orang yang tentu saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapatkan korban, maka tempat pelacuranlah yang kemudian menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu birahinya.
Kini dia berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian, bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, dia pun keluar berjalan-jalan. Akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan.
Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia telah menggunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam rumah itu, tanpa diketahui siapa pun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang telah dia miliki, kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.
Tidak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur.
Dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apa lagi kalau perempuan itu seorang pelacur! Akan tetapi, baru saja kakinya hendak menginjak pintu keluar tempat pelesir itu, tiba-tiba terdengar suara seorang pria menegurnya.
“Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi Sian?”
Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian di rumah pelacuran!
Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentulah sumoi-nya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoi-nya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa dia telah dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur.
Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur itu. Dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.
“Anda salah lihat!”
Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak berjudi, tentu dia berada di sini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan. Pada waktu melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya.
Sebetulnya kekhawatiran Song Gan sangat tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di tempat itu.
Yauw Sun Kok adalah seorang manusia berjiwa lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Semenjak kecil ia hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat.
Akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian sehingga dia menjadi sakit hati. Setelah dia memperdalam ilmu-ilmunya, ia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh besarnya itu. Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya.
Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia bisa mengekang nafsu-nafsunya, sebab semua nafsunya telah dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apa lagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, dia pun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, di mana tak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras.
Bagaimana pun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main karena dengan sangat mudahnya dia mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!
“Sie Liong...!” teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri.
Memang semenjak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong.
Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas dendam dan menyerangnya!
Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Akan tetapi, dengan amat sigapnya lawannya itu berhasil mengelak dengan sangat mudah.
Sun Kok telah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam. Biar pun ia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudah mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.
Akan tetapi, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh bukan main. Walau pun lawannya bertangan kosong, akan tetapi serangan-serangan pedangnya tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang. Kemudian, ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan!
Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!
Bayangan berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya berlompatan sehingga tak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Pada saat tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.
“Siapa itu?!” terdengar bentakan suara wanita dari balik jendela.
Bayangan itu tidak menjawab, melainkan menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.
“Paman Liong...?!” Bi Sian memanggil.
Akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat-cepat meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah.
Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.
“A... ayahhhhh...!” Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu.
Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!
Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para penghuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar.
“Bi Sian, apa yang terjadi...?” tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
“Ibu...! Ayah tewas terbunuh orang...!” Bi Sian berseru.
Dia pun melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, dia tidak dapat menemukan jejak orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya. Lalu ia mendekati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia berjongkok dan diambilnya benda itu.
Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
“Bi Sian, ada apakah ribut-ribut itu?”
Mendengar suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu ke dalam saku dalam bajunya. Ia memandang tajam kepada wajah Sie Liong. Walau pun remang-remang, ia melihat bahwa selarut itu pamannya ini belum tidur!
“Paman Liong, apakah sejak tadi engkau tidak mendengar sesuatu?” tanyanya sambil memandang tajam penuh selidik.
“Mendengar apa? Aku hanya mendengar teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong di belakang sini. Apakah yang telah terjadi?”
“Paman Liong, mari kau lihat sendiri!” katanya sambil menarik lengan pamannya itu.
Lengan itu tidak memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, bahkan sikap pamannya masih tenang-tenang saja. Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya jika nanti melihat cihu-nya menggeletak tewas.
Setelah tiba di tempat itu, dari jauh Sie Liong sudah mendengar ratap tangis enci-nya dan melihat tubuh cihu-nya menggeletak dengan pedang masih menancap di dada. Dia terkejut bukan main.
“Enci Hong, apa... apa yang telah terjadi? Siapa yang membunuh cihu?” Dia berlutut dan memeriksa.
Tidak salah lagi. Cihu-nya sudah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada. Melihat adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat suaminya.
“Liong-te... bagaimana pun juga... bagaimana pun jahatnya... aku... aku mencintanya...!” Wanita itu meratap dan menangis sejadinya.
Semenjak tadi Bi Sian sudah memperhatikan sikap pamannya. Terlalu tenang, pikirnya. Terlalu tenang sehingga tidak wajar. Akan tetapi, kenapa pamannya masih meragukan kenyataan itu?
Tadi dia telah melihat dengan matanya sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu berpunggung bongkok! Siapa lagi kalau bukan pamannya? Dan orang itu bertopeng hitam, topeng hitam yang ia temukan di luar kamar Sie Liong pula!
“Engkaulah pembunuh ayahku!” Tiba-tiba Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong. Tangannya sudah menyambar sebatang ranting kayu dan sekarang digenggam di tangannya, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Sie Liong.
Pemuda itu terkejut dan heran. “Apa...?! Apa maksudmu, Bi Sian?” Dia bangkit berdiri.
“Maksudku, Sie Liong, engkaulah yang membunuh ayahku!”
“Ehh?! Apa kau sudah gila? Enci, bagaimana ini? Bagaimana anakmu menuduh aku yang sudah membunuh suamimu?”
Akan tetapi anehnya, Sie Lan Hong hanya menangis, tidak membantah sedikit pun juga. Memang, di dalam hatinya, Lan Hong juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah membunuh suaminya, untuk membalaskan sakit hati orang tua mereka.
“Liong-te, kenapa engkau begitu kejam membunuhnya? Bagaimana pun juga, dia ayah Bi Sian, dia suamiku dan aku... aku cinta padanya...”
Mendengar ratap tangis enci-nya ini, Sie Liong terbelalak. Ia merasa bagaikan disambar geledek di hari terang!
Akan tetapi, Bi Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah mengeluarkan suara melengking panjang. Dia mengeluarkan topeng hitam itu dan melemparkannya ke arah muka Sie Liong yang cepat menangkapnya.
Melihat bahwa yang dilemparkan itu adalah sebuah topeng hitam tipis, Sie Liong tidak tahu maksudnya. Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Bi Sian sudah menyambar dengan totokan-totokan maut ke arah muka, tenggorokan dan ulu hatinya. Tiga totokan bertubi yang kesemuanya amat berbahaya!
Tanpa disadari, Sie Liong menyimpan topeng itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya lalu dilempar ke belakang, berjungkir balik setiap kali ada ujung tongkat menyambar dan setelah tiga kali berjungkir balik, dia lalu memalangkan kedua lengannya seperti hendak menggunting kalau tongkat yang amat berbahaya itu menyambar lagi. Akan tetapi kini tongkat itu tidak menusuknya dari depan, melainkan menghantam dari kanan ke arah lambungnya!
Bukan main cepat dan kuatnya serangan Bi Sian. Kembali Sie Liong menghindarkan diri dengan loncatan ke atas. Celaka, pikirnya. Bi Sian, dan bahkan juga enci-nya sendiri, agaknya sudah yakin bahwa dia adalah pembunuh cihu-nya! Agaknya membela diri dan menyangkal tidak ada gunanya pada saat keduanya sedang emosi itu, dan melawan serangan Bi Sian amat berbahaya. Gadis ini memiliki ilmu tongkat yang amat ganas dan lihai, dan teringat dia akan ilmu tongkat yang pernah dipertontonkan Koay Tojin.
“Kalian salah sangka...!” katanya.
Ketika tongkat itu kembali menyambar dengan totokan maut ke arah pusarnya, Sie Liong melompat ke pinggir lalu kakinya menyambar untuk menendang pinggang Bi Sian dari samping. Dia mengerahkan tenaga yang cukup besar sehingga angin tendangan itu menyambar keras.
Bi Sian terkejut dan cepat melompat ke belakang. Inilah yang memang dikehendaki Sie Liong. Dia mempergunakan kesempatan selagi gadis itu melompat ke belakang, dia pun melompat jauh dan menghilang di dalam kegelapan malam!
“Pembunuh, hendak lari ke mana kau?” Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi, Sie Liong dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sudah tidak nampak. Setelah mengejar ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke dalam kebun. Ia menemukan ibunya masih menangisi mayat ayahnya.
“Aku tidak berhasil menyusul pembunuh keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku pasti akan mencarinya sampai dapat!”
“Sudahlah, Bi Sian. Yang terpenting sekarang mengurus jenazah ayahmu,” kata Sie Lan Hong yang akhirnya dapat menguasai hatinya yang terguncang.
“Tapi, ibu, yang terpenting adalah menangkap pembunuh itu!”
“Hemm, bagaimana pun juga, dia adalah pamanmu, adik ibumu.”
“Apakah kalau adik ibu, lalu dia boleh membunuh ayah sesukanya? Apakah ibu sudah begitu membenci ayah karena ayah telah berubah selama ini?”
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong menangis lagi dan Bi Sian segera menyadari kekeliruannya. Ia berlutut dan merangkul ibunya.
“Maafkan, ibu. Maafkan aku... ahh, kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu.” Gadis itu lalu mengangkat jenazah ayahnya ke dalam rumah.
Para tetangga dan penduduk kota Sung-jan terkejut mendengar berita kematian Yauw Sun Kok yang kabarnya terbunuh orang semalam. Banyak orang menduga-duga siapa pembunuhnya. Yauw Sun Kok mereka kenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, walau pun akhir-akhir ini menjadi gila judi dan suka bermain perempuan serta mabok-mabokan.
Sie Lan Hong menangis perlahan di dalam kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan terpaksa Bi Sian duduk bersila di ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan, ditemani oleh beberapa orang pria tua tetangga mereka.
Ketika Lan Hong menangis lirih, mendadak daun jendelanya terbuka dari luar. Begitu perlahan jendela itu terbuka dari luar sehingga Lan Hong tidak mendengar sesuatu. Baru ia terkejut ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu adiknya telah berdiri di dalam kamar itu. Lan Hong memandang terbelalak kepada adiknya.
“Mau apa... engkau datang? Engkau sudah membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan? Biarlah aku yang menderita... hu-huh... sejak dulu, aku yang menderita...!”
“Enci, dengarlah baik-baik. Aku tidak membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu...!”
Wanita itu menghentikan tangisnya lalu menarik napas panjang. “Sudahlah, Liong-te. Aku pun tidak dapat menyalahkanmu. Dulu aku pun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya kalau aku atau engkau membunuhnya...”
“Enci... apa... apa maksudmu?” Sie Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.
“Engkau tentu sudah menduganya, maka engkau membunuhnya, bukan? Nah, baiklah, karena dia sudah mati, aku ceritakan segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang menjadi pembunuh ayah dan ibu kita, membunuh suheng Kim Cu An, juga dua orang pelayan keluarga kita dan semua binatang peliharaan kita.”
Sedikit banyak memang sudah ada dugaan di dalam hati Sie Liong, akan tetapi selalu dibantahnya sendiri karena bagaimana mungkin enci-nya menjadi isteri pembunuh ayah ibu mereka?
“Tapi... tapi mengapa, enci?”
“Mendiang ayah kita pernah bentrok dengan Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan perampokan. Dia dahulu seorang perampok, lalu isterinya tewas di tangan mendiang ayah kita dan dia terluka. Dia lalu memperdalam ilmu silat dan pada malam hari itu, dia berhasil membasmi keluarga ayah kita.”
“Tapi... tapi, mengapa enci dan aku sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci menjadi isterinya...?”
“Itulah selalu aku yang menderita. Dia tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan membunuh kita berdua kalau aku tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk menyelamatkan engkau yang baru berusia sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku sendiri, aku menerima permintaannya. Aku kemudian menjadi isterinya dan engkau tak dibunuhnya. Dan ternyata dia sangat baik kepadaku dan kepadamu sampai terlahir Bi Sian dan aku... aku... anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku jatuh cinta kepadanya, kepada suamiku sendiri dan kepada pembunuh ayah ibuku...” Sie Lan Hong tidak dapat menahan tangisnya lagi.
Sie Liong mendengarkan dengan bengong. Die merasa kasihan sekali kepada enci-nya.
“Akan tetapi, aku tidak membunuhnya, enci.”
“Sudahlah, siapa mau percaya. Dan aku sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah sepatutnya engkau membunuhnya dan...”
Tiba-tiba pintu kamar itu didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak. Tangannya memegang sebatang pedang, yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah membunuh ayahnya!
“Pembunuh keparat, berani engkau ke sini?!” bentaknya.
Secepat kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu. Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain nampak kilatan pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu meluncur.
Tapi, dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai. Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.
“Bi Sian, engkau keliru. Aku tidak membunuh ayahmu!” Sie Liong berseru sebelum dia meloncat ke luar dan melenyapkan diri.
“Jahanam, jangan lari!” Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya telah menubruknya dan memegangi lengannya sambil menangis.
“Jangan, anakku. Jangan kejar dia...! Biarkan dia pergi...!” tangisnya.
Bi Sian mengerutkan alisnya. Menghela napas panjang. “Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh, pembunuh suami ibu sendiri, walau pun pembunuh itu adik kandung ibu...”
Ia melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya, melainkan dengan bersungut-sungut ia pun kembali ke ruangan di mana jenazah ayahnya sedang dibaringkan.
Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana dia tega untuk merusak hati anaknya dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya?
Tidak, ia tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar gadis itu tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita! Seperti dahulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini dia bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai menderita kehancuran.
Pada keesokan harinya, para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba di situ. Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoi-nya. Tentu saja dia kaget bukan main melihat peti mati di ruangan depan.
Bi Sian menyambutnya dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.
“Sumoi! Apa yang telah terjadi! Siapa pula yang meninggal dunia...?” tanya Bong Gan dengan penuh kekhawatiran.
“Yang meninggal dunia adalah ayahku, suheng...”
“Ahh...!” Pemuda itu terbelalak memandang ke arah peti mati. “Ayahmu? Tapi kemarin beliau masih segar bugar...!”
“Malam tadi... dia meninggal...” Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis di depan pemuda itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat.
Melihat ini, Bong Gan kemudian menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi hormat kepada jenazah di dalam peti itu. Kemudian dia kembali menghampiri sumoi-nya.
“Sumoi, kenapa ayahmu meninggal? Apakah sakit?”
“Mari kita masuk, suheng, aku mau bicara denganmu.”
Bong Gan mengikuti sumoi-nya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu mempersilakan suheng-nya duduk.
“Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang....”
“Hah...!” Bong Gan meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. “Dibunuh orang? Bagaimana... siapa...?”
“Pembunuhnya adalah... pamanku, adik ibu sendiri...”
“Ahh! Pemuda berpunggung... bongkok bernama Sie Liong itu...?”
Bi Sian mengangguk, menarik napas panjang. “Benar, dialah yang membunuh ayahku.”
“Kalau begitu, biar aku mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!” Bong Gan berseru sambil mengepal tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.
“Semalam aku sudah menyerang dan mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang ringan, suheng. Agaknya ia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia itu murid supek Pek-sim Siansu yang menurut suhu memiliki kesaktian yang sangat hebat. Karena itu, aku akan pergi mencarinya, suheng, dan harap engkau suka membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan.”
“Aku siap siaga, sumoi! Tanpa kau minta sekali pun, aku memang hendak mencarinya untuk membalaskan sakit hatimu ini!”
“Terima kasih, suheng. Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan. Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!”
“Ehh? Sekarang? Tidak menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?”
“Tidak, kalau terlambat, dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihatlah, ini buntalan sebagai bekal perjalanan sudah kusiapkan. Marilah kita berangkat sekarang juga!”
Pemuda itu masih bingung karena kepergian itu demikian mendadak, walau pun hatinya merasa girang sekali bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoi-nya, berdua melakukan perjalanan!
“Kau... aku tidak berpamit kepada ibumu?”
Gadis itu menggeleng kepalanya dengan wajah duka. “Tidak, ibu melindungi adiknya. Lebih baik aku tidak menemuinya dahulu sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh ayahku!”
Berkata demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang berlayat.
Ketika Sie Lan Hong mendengar bahwa puterinya lenyap bersama suheng-nya, pergi tanpa pamit, dia pun jatuh pingsan. Tidak kuat dia menahan pukulan batin yang datang bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali memberatkan hati nyonya ini adalah karena dia bisa menduga ke mana perginya puterinya itu. Tentu puterinya ini hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam!
Maka kini ia pun merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab yang mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau dia sudah menceritakan, tentu Bi Sian akan mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh ayahnya, karena memang ayahnya amatlah jahat!
Setelah suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan Hong lalu hidup seorang diri dalam keadaan sederhana. Ia berdagang dengan modal seadanya. Setiap hari ia berprihatin, bersembahyang dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk melindungi puterinya dan untuk mencegah agar puterinya jangan sampai membunuh Sie Liong. Kalau hal ini sampai terjadi, habislah hidupnya. Ia tidak akan berani melanjutkan hidup lagi. Kehidupannya penuh dengan penyesalan jika sampai puterinya itu membunuh Sie Liong.
Sie Lan Hong sama sekali tidak khawatir kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia telah mengenal benar watak adiknya yang bongkok itu. Sampai bagaimana pun juga, Sie Liong tidak akan membunuh Bi Sian. Hal ini ia yakin, sama yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi Sian.
Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Ia seorang wanita yang mempunyai daya tarik besar sekali. Wajahnya yang berbentuk lonjong itu berkulit putih mulus kemerahan. Matanya jeli serta kedua ujungnya meruncing dan kerlingannya bisa menarik hati pria seperti besi semberani menarik besi. Senyumnya manis sekali, dengan bibir yang lembut itu pandai bergerak-gerak penuh tantangan.
Tubuhnya bagaikan bunga sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang indah dan amat menggairahkan, tidak begitu disembunyikan karena pakaiannya yang ketat dengan jelas membayangkan keindahan bentuk tubuh itu. Dadanya padat, pinggangnya ramping dan pinggulnya besar, langkahnya bagaikan seekor singa kelaparan. Pada lengan, kaki dan lehernya nampak ditumbuhi bulu lembut dan ini menambah daya tarik. Pakaiannya juga indah, dari sutera yang mahal.
Ketika wanita itu memasuki pintu gerbang kota Ho-tan, semua mata pria yang melihat wanita ini memandang hingga melotot. Bahkan ada yang seolah matanya sampai mau meloncat keluar. Kalamenjing banyak pria bergerak naik turun, seperti orang kehausan melihat buah yang segar. Ada yang lidahnya terjulur ke luar menjilat-jilat bibir sendiri, seperti kucing-kucing kelaparan melihat tikus yang montok.
Pendeknya, jarang ada pria yang mau melewatkan penglihatan seindah itu begitu saja. Bahkan di antara mereka yang memang berwatak ceriwis dan nakal, sudah memasang senyum menyeringai, ada pula yang berdehem, juga ada yang memuji dengan suara. Bermacam-macamlah ulah para pria yang salah tingkah itu ketika melihat wanita yang menggiurkan ini, dan kalau saja sinar mata dapat menusuk seperti anak-anak panah, tentu tubuh wanita itu sudah penuh dengan luka!
Wanita itu bukan tidak sadar bahwa dirinya dijadikan tontonan yang mengasyikkan. Ia sadar sepenuhnya akan kecantikannya, dan ia tidak marah, bahkan merasa bangga dan gembira sekali menjadi pusat perhatian dan pujian. Oleh karena itu ia sengaja membuat lenggangnya semakin menggairahkan, pinggulnya yang montok itu seperti menari-nari, pinggangnya meliak-liuk seperti batang pohon yang tertiup angin, matanya mengerling ke kanan kiri dengan lembut akan tetapi tajam, dan bibirnya yang merah membasah itu bergerak-gerak mengarah senyum. Manis sekali!
Semua orang bertanya-tanya siapa gerangan wanita muda yang amat cantik itu. Kalau wanita penduduk biasa dari kota Ho-tan kiranya tak mungkin, sebab melihat pakaiannya yang indah dan mewah, tentu ia seorang wanita kaya raya, mungkin seorang puteri bangsawan. Kalau ia benar wanita bangsawan dari luar kota, mengapa datang hanya berjalan kaki saja? Tidak naik kereta?
Wanita cantik itu penuh teka-teki, dan kalau dia lebih lama berada di kota itu, tentu segera akan ada orang yang berani mendekatinya untuk bertanya dan memperkenalkan diri. Terlalu cantik untuk dibiarkan sendirian saja di tempat ramai itu. Seperti setangkai bunga, yang terlalu cantik dibiarkan tumbuh di hutan tanpa ada yang melindungi. Seperti setangkai buah yang segar dan matang, tentu tidak akan lama bertahan tergantung di dahan pohon tanpa ada yang memetiknya.
Sudah mulai banyak pria tua muda yang diam-diam membayanginya! Senja telah mulai tua dan malam sudah menjelang masuk. Mereka yang membayanginya, merasa heran ketika melihat wanita cantik itu menuju ke sebuah kuil tua di pinggir kota. Padahal kuil tua itu sudah kosong dan tidak digunakan lagi, merupakan sebuah rumah tua yang ditakuti penduduk karena dikabarkan bahwa kuil itu sekarang menjadi tempat tinggal siluman-siluman!
Setelah hari mulai gelap, hampir tak ada orang berani memasuki tempat itu. Jangankan memasuki kuil itu, bahkan masuk ke halamannya pun jarang ada yang berani. Banyak orang mengabarkan bahwa kalau malam gelap, sering kali terdengar suara-suara aneh dari tempat yang angker itu!
Ketika mereka yang membayangi wanita itu melihat betapa si cantik itu melenggang lenggok memasuki pekarangan kuil, sudah banyak di antara mereka yang diam-diam menahan kaki mereka, kemudian membalikkan tubuh dan pergi dengan bulu tengkuk meremang. Sebagian lagi masih bertahan, diliputi keheranan mau apa seorang cantik seperti itu memasuki pekarangan kuil yang menyeramkan itu?
Ketika mereka melihat bahwa wanita itu terus melangkah masuk ke dalam kuil yang gelap, kotor dan tua itu, semua orang membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang! Tidak salah lagi, yang mereka bayangi itu sudah pasti siluman! Siluman yang suka menggoda pria, biasanya siluman rubah yang dapat merobah diri menjadi wanita cantik sekali. Kalau ada pria yang tertarik dan terpikat, akan dibawanya ke dalam kuil dan pada keesokan harinya, tentu pria itu ditemukan dalam keadaan mati konyol atau setidaknya tentu gila!
Kalau saja di antara mereka itu ada yang bernyali besar dan terus membayangi wanita itu masuk ke dalam kuil, tentu dia akan menjadi semakin heran. Wanita itu setelah tiba di dalam kuil, tiba-tiba saja bergerak cepat sekali, tubuhnya sudah mencelat naik ke atas wuwungan rumah dan ia mengintai dari atas ke arah jalan yang menuju ke kuil.
Dari atas itu, dalam cuaca yang sudah mulai gelap, dia dapat melihat mereka yang tadi membayanginya, satu demi satu meninggalkan jalan itu, bahkan ada yang lari pontang panting kembali ke dalam kota. Wanita itu tersenyum geli, bibirnya yang menggairahkan itu berjebi mengejek, lalu tubuhnya melayang turun lagi setelah ia merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang mengikutinya masuk ke dalam kuil.
“Hi-hik-hik,” dia tertawa lirih dan berbisik-bisik, “biarkan mereka mengira aku siluman. Memang aku siluman... hi-hik-hik, siluman asli...!”
Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan belakang kuil itu, bagian yang masih agak utuh karena banyak bagian yang sudah rusak dan dindingnya retak-retak.
Kalau saat itu ada orang lain yang mengikuti wanita ini masuk, ketika ia tiba di ruangan belakang dan membuka pintu sebuah kamar, orang itu tentu akan berseru keheranan dan ketakutan melihat betapa kamar yang diterangi oleh nyala api lilin itu merupakan sebuah kamar yang bersih, berbau harum dan sama sekali tidak pantas berada di dalam kuil tua yang kotor itu!
Kamar ini cukup besar, terdapat sebuah pembaringan yang lebar sekali, cukup untuk tidur enam tujuh orang! Sebuah pembaringan yang diberi kasur tebal dan ditilami kain kapas yang berwarna merah, dengan kelambu besar berwarna ungu! Bantal-bantalnya bersih, dengan sarung yang disulam bunga-bunga dan burung, ada pula selimutnya yang merah dan tebal.
Di kamar itu terdapat pula lima buah kursi serta sebuah meja, dan di atas meja itu ada guci arak lengkap dengan cawannya, juga roti kering, manis-manisan, buah-buahan dan makanan-makanan kering!
Sebuah kamar yang amat menyenangkan. Dan yang lebih mengherankan lagi dari pada semua itu adalah keberadaan tiga orang pemuda yang usianya antara dua puluh hingga dua puluh lima tahun, kesemuanya hanya mengenakan pakaian dalam yang minim, tiga orang pemuda yang tampan dan dengan tubuh yang sehat dan mulus. Mereka segera menyambut kedatangan wanita itu dengan uluran tangan penuh gairah birahi, dengan pandang mata penuh kasih sayang dan senyum memikat!
Pada waktu wanita itu mendekati pembaringan, tiga orang pemuda itu menyambutnya dengan rangkulan, lalu ciuman-ciuman mesra dan belaian-belaian penuh gairah. Wanita cantik itu sampai kewalahan menghadapi penyambutan mesra tiga orang pria muda itu. Ia tertawa cekikikan, lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang mereka bertiga yang duduk di atas pembaringan.
Ketiga pemuda yang sama-sama tampan, ganteng, jantan dan menarik, pikirnya. Akan tetapi, setelah bermain-main dengan mereka, berenang dalam lautan kemesraan hingga lupa waktu dan lupa batas selama tiga hari tiga malam, ia telah mulai bosan!
Siapakah wanita cantik yang menggairahkan akan tetapi juga mengerikan itu? Ia bukan lain adalah Pek Lan!
Tujuh tahun yang lalu, ketika berusia tujuh belas tahun, Pek Lan menjadi selir tersayang dari Coa Hun yang terkenal sebagai Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang ketika itu berusia sekitar lima puluh tahun dan merupakan orang terkaya di kota Ye-ceng. Akan tetapi, Pek Lan, keturunan Kirgiz dan Han itu, memiliki darah panas dan nafsu birahi yang besar sehingga ia tidak puas hanya melayani seorang suami yang usianya sudah setengah abad.
Maka, melihat betapa putera angkat hartawan itu, biar pun baru berusia tiga belas tahun akan tetapi sudah cukup besar, ia lalu merayu anak itu yang bukan lain adalah Bong Gan sehingga terjadilah hubungan gelap di antara mereka. Para selir dan pelayan yang merasa iri melihat Pek Lan menjadi selir terkasih, mengetahui hubungan itu dan mereka melaporkan kepada Coa-wangwe sehingga dua orang itu tertangkap basah, lalu diusir dari rumah keluarga Coa.
Seperti kita ketahui, Pek Lan bertemu dengan Hek-in Kui-bo, nenek iblis yang kemudian mengambilnya sebagai murid. Nenek ini bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan amat kejam, juga mewariskan pula wataknya yang amat jahat, kejam, licik dan tidak pantang segala macam perbuatan buruk atau kemaksiatan apa pun!
Maka, bagi Pek Lan tidak ada perbuatan jahat yang dipantangnya. Dia tumbuh semakin dewasa dan matang menjadi seorang wanita yang berwatak iblis! Juga nafsu birahinya semakin menjadi-jadi!
Untuk memuaskan nafsunya ini, ia memilih pria yang disukanya, dirayu atau dipaksa untuk melayaninya sampai ia merasa puas. Kalau ia sudah merasa bosan, pria itu lalu diusir begitu saja, dan kalau banyak rewel bahkan dibunuhnya! Akan tetapi perbuatan ini ia lakukan di luar rumah subo-nya.
Subo-nya memiliki sebuah rumah yang mewah di tepi telaga Co-sa dan mereka hidup sebagai orang kaya raya. Guru dan murid ini telah mencuri sejumlah harta dari gedung Pangeran Cun Kak Ong di kota Ho-tan. Selama tujuh tahun terakhir ini, kalau mereka mulai kekurangan uang, mudah saja bagi mereka untuk mengisi kembali gudang harta mereka.
Seluruh tokoh sesat dari dunia hitam berlomba untuk menyerahkan sebagian dari hasil mereka kepada Hek-in Kui-bo yang mereka anggap sebagai datuk mereka. Dan selain itu, sangat mudah bagi Pek Lan yang sudah mempunyai ilmu kepandaian tinggi untuk mengambil begitu saja dari gudang-gudang harta para hartawan atau bangsawan.
Setelah lewat tujuh tahun dan merasa bahwa dirinya sudah dibekali ilmu-ilmu yang amat hebat, Pek Lan teringat akan penghinaan yang pernah dideritanya di rumah keluarga Coa-wangwe di kota Ye-ceng. Oleh karena itu, ia berpamit dari subo-nya dan pergi ke kota itu, dengan maksud untuk membalas semua penghinaan yang pernah diterimanya, tentu saja berikut bunga-bunganya!
Ketika dia tiba di kota Ye-ceng, ia melihat tiga orang pemuda yang dijumpainya dalam perjalanan. Tiga orang pemuda yang tampan, muda dan jantan. Perhatiannya segera tercurah pada mereka, dan untuk sementara itu melupakan urusannya di Ye-ceng, sibuk memikat tiga orang pemuda itu.
Tidak sukar baginya untuk menjatuhkan hati tiga pemuda itu dengan kecantikannya dan kemontokan tubuhnya. Segera ia membawa pemuda-pemuda itu ke dalam kuil tua, di mana ia telah membuat sebuah kamar yang indah dan selama tiga hari tiga malam ia berenang dalam lautan kemesraan dan kenikmatan bersama mereka sampai ia merasa agak bosan. Dan setelah merasa bosan, barulah ia teringat kembali akan maksudnya semula datang ke kota Ye-ceng itu.
Ketika tiga orang pemuda yang sudah tergila-gila pada wanita cantik itu membelai dan menciuminya, Pek Lan yang semula merasa bosan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang kepada mereka bertiga sambil tertawa cekikikan.
“Sudahlah, malam ini aku tak bisa main-main dengan kalian, karena mempunyai urusan penting. Kalian makan minum yang kenyang, istirahat baik-baik dan malam nanti, larut tengah malam, atau besok pagi-pagi, aku akan kembali ke sini dan kalian harus sudah bersiap-siap untuk kita bertanding lagi...” Ia tertawa cekikikan seperti siluman.
Tiga orang pemuda itu pun ikut tertawa gembira. Mereka tidak peduli apakah Pek Lan seorang manusia biasa, ataukah seorang dewi atau seorang siluman! Yang jelas, wanita itu telah menyenangkan hati mereka, memberi mereka kenikmatan yang selama hidup mereka belum pernah mereka rasakan.
Setelah bermain-main dan bersendau-gurau dengan tiga orang pemuda itu dan malam mulai gelap, Pek Lan melepaskan diri lagi dari tangan-tangan mereka, kemudian sekali berkelebat ia pun sudah lenyap dari dalam kamar itu! Tiga orang pemuda itu hanya dapat merasa heran dan kagum. Kalau sudah ditinggalkan begitu, ketiganya baru mulai merasa ngeri dan seram, menduga-duga siapa gerangan wanita cantik yang selama tiga hari tiga malam mengajak mereka berenang dalam lautan asmara itu.
Tubuh Pek Lan lenyap berubah menjadi bayangan yang gerakannya cepat sekali dan dalam waktu singkat, bayangannya telah berada di atas genteng gedung keluarga Coa. Kemudian, beberapa kali bayangan itu berkelebat dan melayang turun, dan ia sudah berada di dalam gedung yang amat luas itu.
Di bawah sebuah lampu dinding di dekat taman ia berhenti, kemudian memandang ke sekeliling sambil tersenyum. Selama tujuh tahun ini tidak banyak perubahan, nampak di rumah itu masih tetap mewah dan indah. Rumah yang amat dikenalnya.
Lalu ia mengingat-ingat. Ada tiga orang selir muda dan cantik yang menjadi saingannya dan yang dulu melaporkannya kepada Coa-wangwe. Di samping tiga orang selir itu, juga terdapat dua orang pelayan pria dan seorang tukang kebun pria. Sudah lama ia merencanakan cara dia membalas dendam, dan kini dia tersenyum sendiri.
Senyum itu membuka sepasang bibir yang merah basah, dan memperlihatkan kilatan giginya yang putih berderet rapi. Cantik memang, akan tetapi juga mengerikan, karena sepasang matanya mencorong. Wajah yang cantik itu sungguh-sungguh seperti wajah seorang siluman tulen!
Dia masih ingat di mana adanya kamar-kamar para selir dan para pelayan itu. Dengan amat mudahnya, ia membuka daun jendela sebuah kamar dan bagaikan seekor kucing saja, ia melompat ke dalam kamar. Ia membuka kelambu pembaringan yang tertutup dan melihat seorang di antara musuh-musuhnya, yaitu selir yang tinggi semampai, tidur nyenyak seorang diri memeluk guling.
Ia mengguncang pinggul wanita itu yang segera membuka matanya dan terbelalak saat melihat seorang wanita cantik yang asing di depan pembaringannya.
“Apa... siapa kau...?” tanyanya gagap.
Pek Lan tersenyum manis. “Benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ingat tujuh tahun yang lalu...”
“Pek Lan...! Kau... Pek Lan...?” selir itu berseru kaget.
Akan tetapi, pada saat itu Pek Lan menggerakkan tangannya dan selir itu terkulai lemas dan tak mampu lagi mengeluarkan suara. Matanya terbelalak ketakutan ketika Pek Lan menariknya, memanggulnya dan membawanya melompat keluar dari kamar melalui jendela yang daunnya ia tutupkan kembali.
Ia membawa tubuh selir itu ke dalam Pondok Merah, yaitu sebuah bangunan mungil di tengah taman di mana biasanya Hartawan Coa menghibur diri, mendengarkan nyanyian dan melihat tarian yang dilakukan oleh para selirnya atau rombongan penari yang diundangnya. Karena malam itu Pondok Merah tidak digunakan, maka pintunya dikunci dari luar. Akan tetapi, dengan mudah Pek Lan mendorongnya terbuka dan ia membawa tubuh selir itu ke sebuah kamar di pondok itu, kemudian melemparkan tubuh itu ke atas pembaringan.
Selir itu hanya dapat terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya, akan tetapi dia ngeri melihat pandang mata Pek Lan yang mencorong seperti bukan mata manusia biasa itu!
Selir ke dua juga diseret ke dalam Pondok Merah dalam keadaan tertotok, lumpuh dan tidak mampu mengeluarkan suara oleh Pek Lan dan dilempar ke dalam kamar yang lain dalam pondok.
Ketika ia memasuki kamar selir ke tiga yang menjadi musuhnya, ternyata selir ini tidur dengan seorang anak perempuan berusia kurang lebih dua tahun. Kiranya selir ini telah mempunyai anak. Akan tetapi ia tidak peduli. Ia menotok selir ini dan juga menotok anak kecil itu supaya jangan menangis dan menggagalkan rencananya, kemudian membawa pula selir ke tiga ini ke dalam Pondok Merah. Kebetulan pondok itu memiliki tiga buah kamar dan kini tiga orang selir itu telah berada di dalam kamar-kamar itu.
Kini Pek Lan menuju ke deretan kamar para pelayan. Ia pun masih ingat di mana letak kamar dari para pelayan yang dianggapnya musuh. Seorang di antara mereka sudah mempunyai isteri yang juga bekerja di situ sebagai tukang cuci. Ia tak peduli, dan seperti yang dilakukan pada para selir tadi, ia pun dengan mudah, seperti setan saja, memasuki kamar pelayan dan menotok mereka, lalu menyeret mereka menuju ke pondok di taman bunga.
Isteri salah seorang di antara tiga pelayan pria itu pun ditotoknya sehingga tidak mampu berkutik mau pun berteriak. Pek Lan melempar-lemparkan tiga orang pelayan pria itu ke atas pembaringan di dalam tiga buah kamar. Mereka tergeletak tumpang tindih di atas pembaringan tanpa dapat berteriak, juga mereka hanya terbelalak saja ketakutan ketika Pek Lan merobek-robek pakaian mereka sehingga enam orang di dalam tiga kamar itu semua menjadi telanjang bulat.
Setelah membiarkan tiga pasang manusia itu tumpang tindih di atas pembaringan dalam keadaan tanpa pakaian, Pek Lan tersenyum girang. Di bawah sinar lampu, wajahnya yang cantik manis itu nampak sungguh menyeramkan, menyeringai laksana iblis betina. Matanya mencorong dan giginya berkilauan.
Kemudian ia menyelinap ke belakang rumah pondok itu dan membakar bagian belakang rumah, lalu dipukulnya kentongan bambu untuk membuat gaduh. Sebentar saja semua penghuni rumah gedung hartawan Coa menjadi gempar mendengar suara kentongan bertalu-talu dari belakang itu. Mereka segera memasuki taman dan menjadi semakin geger melihat pondok di taman itu.
“Pondok Merah kebakaran!” demikian teriakan mereka.
Semua orang lalu berusaha memadamkan api yang membakar bagian belakang pondok itu dengan siraman air. Tiga pasang orang yang berada di dalam tiga kamar itu tentu saja mendengar semua keributan ini, namun mereka tidak mampu bergerak dan hanya menanti dengan hati tegang.
Akhirnya api itu padam dan dipimpin oleh Coa-wangwe sendiri, semua orang memasuki pondok mengadakan pemeriksaan dan apa yang mereka dapatkan? Tiga pasang orang yang saling tindih di atas pembaringan dalam tiga kamar itu, tanpa pakaian sama sekali!
Tentu saja keadaan menjadi semakin geger. Semua orang tahu bahwa tiga orang selir Coa-wangwe secara tidak tahu malu sekali sudah mengadakan perjinahan dengan tiga orang pelayan pria. Agaknya mereka demikian asyik sehingga mereka tidak tahu bahwa pondok yang menjadi tempat pertemuan mereka itu terbakar bagian belakangnya!
Ketika tiga pasang orang itu tidak mampu bergerak, hanya memandang dengan wajah ketakutan, Coa-wangwe tentu saja menganggap mereka itu hanya pura-pura atau tidak mampu bergerak karena ketakutan. Dia tetap tidak peduli dan menyuruh para pelayan menyeret enam orang itu turun dari pembaringan, lalu dalam keadaan masih telanjang bulat mereka diberi hukuman masing-masing dua puluh kali cambukan bagi para selir dan lima puluh kali cambukan bagi para pelayan pria.
Kulit punggung dan pinggul mereka sampai pecah-pecah berdarah. Setelah itu, mereka diusir, hanya boleh membawa pakaian mereka saja, bahkan selir yang sudah memiliki anak, tidak diperbolehkan membawa anaknya.
Setelah melampiaskan kemarahannya, marah bukan hanya karena selir-selirnya berani menyeleweng dengan para pelayan, melainkan akibat nama baiknya tercemar karena seluruh penduduk Ye-ceng pasti akan segera mendengar peristiwa yang memalukan sekali itu, Coa-wangwe memasuki kamarnya. Dia tidak memperbolehkan isterinya atau selir lain menemaninya sebab ia ingin mengaso dan membiarkan hawa amarah mereda.
Akan tetapi, ketika dia memasuki kamarnya yang besar dan mewah, menutupkan pintu karena dia tidak ingin diganggu, dan membalik hendak menuju ke pembaringannya, dia terbelalak dan mulutnya ternganga. Di atas pembaringannya itu sedang rebah seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Cantik manis, kulitnya yang putih mulus itu nampak karena pakaiannya setengah terbuka. Sepasang mata yang mengerling tajam, senyum yang semanis madu dan sikap yang menantang!
“Kau... kau... Pek Lan?” Coa-wangwe berseru heran dan juga terkejut.
Biar pun wanita itu tidak semuda dulu lagi, namun ia telah menjadi seorang wanita yang matang, jauh lebih menarik dari pada dulu ketika masih menjadi selirnya, ketika masih berusia tujuh belas tahun! Pek Lan yang rebah di pembaringannya, miring menghadap kepadanya itu adalah seorang wanita yang matang dan merangsang!
Pek Lan tersenyum. Manis!
“Aihh, Coa-wangwe, engkau masih ingat kepadaku? Sungguh menggembirakan!”
“Tentu saja aku masih ingat!” Hartawan itu mendekati pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan. “Siang malam aku ingat kepadamu, Pek Lan, wajahmu selalu terbayang dan aku amat rindu kepadamu, sayang. Setelah engkau pergi, barulah aku tahu betapa besar cintaku kepadamu...”
Tangan hartawan tua itu hendak meraih, akan tetapi wanita itu mengelak.
“Hemm, kalau memang benar engkau begitu cinta kepadaku, kenapa engkau mengusir aku? Sesungguhnya anak angkatmu itulah yang kurang ajar! Dulu aku dipaksanya dan karena aku takut, dia itu anak angkatmu, terpaksa aku tidak dapat membantah. Kenapa engkau tidak melihat kenyataan itu? Engkau telah dihasut oleh tiga orang selirmu itu. Dan apa buktinya sekarang? Merekalah yang berjinah, bahkan dengan para pelayan. Sungguh memalukan keluarga dan mencemarkan nama dan kehormatanmu!”
Hartawan Coa menghela napas panjang. “Salahku, aku begitu bodoh. Tapi, sekarang mereka telah kuhukum dan kuusir. Dan engkau, Pek Lan... engkau begini cantik jelita... aih, kulitmu begitu mulus, engkau lebih cantik manis dari pada dahulu. Engkau kembali, sayang? Engkau akan kujadikan selir pertama, bukan, tapi akan kuangkat menjadi isteri yang sah!”
Kembali tangan hartawan itu meraih. Ketika Pek Lan membiarkan dan tangan hartawan itu menyentuh lengan yang berkulit lembut dan hangat, hartawan itu segera dirangsang nafsu birahi. Akan tetapi ketika dia mulai hendak merangkul, Pek Lan melompat turun dari tempat tidur.
Melihat wanita itu berdiri di lantai, Coa-wangwe menjadi semakin kagum. Tubuh itu kini demikian padat, menggiurkan, tidak lagi kekanak-kanakan seperti dahulu!
“Pek Lan...!”
“Cukup! Turunlah dan jangan merengek seperti itu. Aku datang bukan untuk itu. Aku tidak butuh cintamu, tidak butuh laki-laki macam engkau yang sudah tua dan berperut gendut berkepala botak itu!”
“Pek Lan...!”
“Dengar! Aku datang untuk menagih hutang! Dahulu engkau pernah mengusirku, tanpa memberi bekal sedikit pun. Padahal aku telah menyerahkan diri padamu, menyerahkan kegadisanku dan mandah saja menjadi barang mainanmu, menjadi pemuas nafsumu. Sekarang engkau harus membayar untuk itu semua! Aku akan mengambil semua harta milikmu yang kau simpan di dalam almari tebal ini!” Ia sudah hafal akan hal itu dan kini ia menghampiri sebuah almari hitam yang berdiri di sudut.
Melihat dan mendengar ini, Coa-wangwe menjadi sangat terkejut dan lenyaplah sudah nafsu birahinya, seperti awan tipis ditiup angin.
“Pek Lan, apa yang kau lakukan itu?!” bentaknya marah.
Tentu saja dia tidak merasa takut kepada bekas selirnya itu. Dia pun melangkah lebar menghampiri Pek Lan dan menjulurkan tangan untuk menangkap lengan wanita itu agar tidak menghampiri almari besi tempat hartanya tersimpan.
“Plakk! Dukk!”
Dan hartawan Coa terjungkal. Lengannya yang tertangkis seperti patah rasanya, dan perut yang ditendang menjadi mulas.
“Aku datang hanya untuk mengambil hartamu, bukan mengambil nyawamu!” kata Pek Lan. “Akan tetapi kalau aku marah, nyawamu juga akan kuambil sekalian!”
Sekarang hartawan itu ketakutan dan dia berlari ke arah pintu kamar. Pek Lan tidak mempedulikan dan ia sudah membuka almari tebal itu dengan mudah walau pun almari itu dikunci. Begitu terbuka, nampaklah bahwa almari itu dipenuhi perhiasan-perhiasan dari emas permata, juga bongkah-bongkah emas murni yang berkilauan.
“Tolong...! Perampok..., pembunuh...!” Coa-wangwe yang sudah keluar dari kamar itu menjerit-jerit.
Pek Lan tidak peduli, enak-enak saja mengumpulkan emas dan perhiasan itu ke dalam sebuah kantung kain yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul, tukang tagih dan penjaga keamanan keluarga hartawan itu sudah dipanggil dari luar dan kini mereka berlima lari menuju ke kamar itu. Begitu mereka tiba di ambang pintu kamar, mereka bengong dan menoleh kepada Coa-wangwe.
Di dalam kamar itu hanya terdapat seorang wanita cantik, sama sekali tidak nampak ada perampok. Bahkan wanita cantik itu memasukkan emas dari dalam almari ke dalam sebuah kantung.
“Maaf, loya, di mana perampoknya?”
“Mana ada pembunuh?”
Coa-wangwe menuding ke arah Pek Lan. “Ia itulah perampoknya! Lihat, ia mengambil semua hartaku, dan ia sudah memukulku!” Dia meringis kesakitan, mengelus perutnya yang masih mulas.
Lima orang penjaga itu tentu saja menjadi bengong. Wanita cantik itu perampoknya? Dan kini, seorang di antara mereka yang paling lama bekerja di situ mengenal Pek Lan.
“Bukankah... bukankah engkau nona Pek Lan...?”
Pek Lan yang masih sibuk memasuk-masukkan barang berharga itu ke dalam kantung, menoleh dan tersenyum manis. “Hemm, engkau masih mengenaliku? Bagus, untuk itu aku tidak akan membunuhmu!”
Coa-wangwe menjadi marah. “Untuk apa kau bercakap-cakap dengan wanita iblis itu? Tangkap ia dan belenggu kaki tangannya!”
Lima orang jagoan itu memasuki kamar dan mengepung Pek Lan dengan setengah lingkaran.
“Nona Pek Lan, lebih baik kalau engkau menyerah saja dan tidak melawan sehingga tak perlu kami mempergunakan kekerasan,” kata penjaga yang sudah mengenalnya itu. Dia merasa sayang sekali jika harus mempergunakan kekerasan terhadap wanita yang luar biasa cantik manisnya itu.
Kantung itu sudah penuh dan biar pun almari itu masih belum terkuras semua, namun sebagian besar perhiasan yang termahal sudah berpindah tempat. Pek Lan mengikat mulut kantong itu dan dengan kain sutera yang telah dibawanya, digendongnya kantung yang cukup berat itu di punggung, kemudian ia menghadapi lima orang penjaga sambil tersenyum.
“Majulah dan turuti majikan kalian kalau kalian ingin merasakan kematian!”
Tentu saja lima orang penjaga itu tidak takut. Ancaman itu hanya keluar dari mulut seorang wanita cantik yang dulunya adalah selir majikan mereka! Seorang wanita muda cantik yang lemah lembut dan berkulit halus mulus seperti itu, tentu saja sama sekali tidak menakutkan!
Empat orang penjaga tidak sabar lagi dan mereka memang sudah ingin sekali segera menangkap dan merangkul wanita cantik itu. Maka mereka pun menyerbu dan seperti hendak berebut saling mendahului, mereka serentak menerkam Pek Lan.
Wanita ini tersenyum. Tubuhnya berkelebat, kaki tangannya bergerak dan kelima orang penjaga itu pun terjengkang! Entah apa yang dilakukan, tidak bisa dilihat oleh lima orang itu saking cepatnya gerakan kaki tangan Pek Lan. Tahu-tahu lima orang itu merasakan dada atau perut mereka terpukul atau tertendang, keras sekali, membuat tubuh mereka terjengkang.
Coa-wangwe dan para selir dan pelayan yang berada di luar kamar, mundur ketakutan melihat betapa lima orang penjaga itu terjengkang dan terbanting.
“Tangkap dia! Bunuh!” Coa-wangwe memberi semangat kepada lima orang penjaganya yang sudah bangkit kembali. Dia merasa khawatir sekali melihat betapa hampir semua hartanya diambil oleh Pek Lan.
Lima orang penjaga itu menjadi malu sekali. Hanya dalam segebrakan mereka sudah dirobohkan oleh seorang wanita muda yang cantik! Mereka kini mencabut senjata golok dari pinggang dan dengan sikap mengancam mereka mengepung lagi dari depan.
Melihat ini, Pek Lan tersenyum. “Apa bila kalian berani menyerangku dengan golok itu, kalian akan mampus!”
Akan tetapi, lima orang penjaga itu sudah terlalu marah. Dan karena mereka memegang senjata, pula mereka berlima, tentu saja mereka tidak gentar menghadapi Pek Lan yang bertangan kosong, biar mereka tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Sambil mengeluarkan bentakan keras, mereka pun maju menerjang, golok mereka gemerlapan tertimpa sinar lampu dan lima batang golok sudah menyambar-nyambar ke arah Pek Lan.
Akan tetapi, dengan tenang sekali Pek Lan berloncatan. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan yang menyelinap di antara gulungan sinar golok. Dan anehnya, tak pernah ada golok yang mampu menyentuhnya.
Tiba-tiba, penjaga yang mengenal Pek Lan tadi mengaduh dan dia pun roboh, goloknya sudah berpindah ke tangan Pek Lan! Empat orang penjaga lain mempercepat gerakan serangan mereka.
Akan tetapi Pek Lan cepat menggerakkan goloknya, dengan gerakan memutar sehingga nampak sinar panjang golok itu menyambar ke arah empat orang lawannya. Terdengar mereka itu menjerit dan seorang demi seorang roboh berkelojotan dengan leher hampir putus! Darah bercucuran membanjiri lantai.
Pek Lan memandang pada penjaga yang mengenalnya tadi, yang dirobohkannya hanya dengan tendangan dan dirampas goloknya. Dia pun tersenyum.
“Aku sudah berjanji tidak akan membunuhmu!” katanya.
Akan tetapi goloknya bergerak dan orang itu pun menjerit karena pundaknya terbacok golok sehingga terluka parah. Akan tetapi, betapa pun parahnya, dia tidak akan mati.
Pek Lan meloncat keluar kamar. Semua selir dan pelayan lari ketakutan. Coa-wangwe juga melarikan diri, akan tetapi suara halus terdengar membentak di belakangnya.
“Engkau hendak mencelakai aku, maka patut dihukum!”
Goloknya menyambar dan hartawan itu menjerit-jerit sambil memegangi kepala dengan dua tangan. Dua buah daun telinganya telah buntung terbabat golok. Pek Lan tertawa, membuang goloknya lalu melompat keluar, menghilang di dalam kegelapan malam.
Peristiwa itu tentu saja cepat sekali tersiar dan dalam waktu beberapa hari saja, hampir seluruh penduduk koto Ye-ceng telah mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga Coa.
Bukan hanya orang suka sekali membicarakan mala petaka yang menimpa keluarga Coa, juga membicarakan aib yang mencemarkan nama dan kehormatan hartawan itu, tapi yang paling menggegerkan orang adalah berita tentang Pek Lan yang kini menjadi seorang wanita cantik yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan juga berwatak amat kejam.
Peristiwa lain yang amat menggemparkan adalah ditemukannya tiga orang pria muda yang sudah menjadi mayat di dalam sebuah kuil tua. Mereka tewas dalam keadaan yang amat aneh, yaitu berada di atas pembaringan di dalam kuil tua itu, hampir tanpa pakaian, dan kepala mereka retak seperti telah dipukul dengan benda keras.
Tidak seorang pun menduga bahwa mereka ini, tiga orang pemuda tampan itu, ternyata juga tewas di tangan Pek Lan, bahkan tangan lembut halus itulah yang telah membikin retak kepala mereka dengan tamparan yang sangat ampuh! Pek Lan membunuh tiga orang muda itu karena mereka itu dianggap akan dapat membocorkan rahasianya!
Maka muncullah di dunia kang-ouw seorang iblis betina yang amat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari pada Hek-in Kui-bo, guru Pek Lan di waktu masih muda. Biar pun Hek-in Kui-bo dahulu juga seorang wanita gila laki-laki, pengumbar nafsu jahat, namun dibandingkan Pek Lan, ia masih kalah sedikit.
Pek Lan, di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, dan perasaan bencinya kepada semua orang yang dianggap merugikan, juga memiliki kecantikan yang amat menarik. Dengan senjata ini, mudah saja baginya untuk menjatuhkan hati setiap orang pria yang akan dijadikan korbannya…..
**********
Wanita itu memang manis. Seorang wanita petani yang rajin. Agaknya karena sudah terbiasa bekerja keras di sawah ladang, maka wanita itu memiliki tubuh yang padat dan sehat kuat. Pinggangnya ramping, pinggulnya besar, tubuhnya tegak. Biar pun kulit kaki tangan, leher dan mukanya agak kecoklatan karena sinar matahari, namun coklat yang sehat dan kulit itu tetap halus mulus.
Wajahnya yang manis tidak berkurang karenanya, bahkan nampak lebih manis karena mengandung kewajaran tanpa alat rias. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun.
Wanita petani ini sedang sibuk mencabuti rumput dan tumbuh-tumbuhan liar di antara tanaman gandum. Ia menggunakan cangkul atau kadang-kadang juga sebuah arit dan ia bekerja dengan asyik sekali. Sungguh merupakan penglihatan yang mengagumkan.
Wanita itu kadang-kadang membungkuk, dan dua tangannya bergerak dengan cekatan. Bentuk tubuhnya indah pada waktu membungkuk, dan kadang juga berdiri tegak untuk membuang segenggam rumput keluar ladangnya. Celana kakinya digulung sampai ke lutut dan kaki itu terbenam ke tanah berlumpur sebatas betis, sehingga kulit kaki antara betis dan lutut nampak putih mulus, jauh berbeda dengan kulit tubuh yang terbuka dan terbakar matahari.
Wanita itu bekerja dengan sangat tekun dan asyik sehingga ia pun sama sekali tidak melihat bahwa seorang pria yang tadinya berjalan di jalan raya tak jauh dari ladangnya, kini berhenti dan sampai lama orang itu memandang kepadanya dengan kagum. Pria itu adalah seorang pemuda yang mudah sekali dikenal, karena punggungnya bongkok, di bawah tengkuk terdapat sebuah daging menonjol besar. Dia adalah Sie Liong!
Setelah beberapa saat seperti terpesona menyaksikan pemandangan indah itu, bukan hanya kemanisan wanita petani, melainkan keseluruhan tamasya alam yang melatar belakangi bentuk tubuh wanita itu, Sie Liong sadar bahwa sungguh tidak sopan kalau memandangi seorang wanita seperti itu. Akan tetapi, pemandangan itu amat indahnya sehingga seolah-olah menahannya untuk tinggal lebih lama di tempat sunyi itu.
Latar belakang ladang itu merupakan pegunungan yang hijau dan ladang di belakang wanita itu amat luas, juga kehijauan dengan tanaman gandum. Sunyi. Hanya nampak di kejauhan beberapa orang wanita atau pria yang juga membersihkan ladang mereka seperti yang dilakukan wanita itu.
Hawa udara sangat segar, matahari amat cerah, dan duduk di bawah lindungan pohon besar itu sungguh teduh dan nyaman. Sie Liong duduk di bawah pohon di tepi jalan, dan kesunyian itu membuat dia melamun. Terkenanglah dia kepada semua peristiwa yang menimpa dirinya, yang baru lalu.
Terkenang dia akan kunjungannya kepada enci-nya, pertemuannya dengan enci-nya, cihu-nya, kemudian dengan Yauw Bi Sian. Kemudian betapa cihu-nya yang kini berubah sama sekali wataknya itu dibunuh orang, dan menurut Bi Sian, pembunuhnya adalah dia! Padahal, dia sama sekali tidak melakukan perbuatan itu!
Bahkan enci-nya sendiri pun menyangka dia yang menjadi pembunuh untuk membalas dendam kematian orang tuanya. Kiranya cihu-nya itu yang telah membunuh ayah dan ibunya, juga suheng-nya dan seorang pelayan, juga semua binatang peliharaan orang tuanya. Jelaslah bahwa cihu-nya itu mendendam kepada orang tuanya, amat membenci orang tuanya. Dia sendiri pun tentu telah dibunuh cihu-nya itu kalau tidak ada enci-nya, Sie Lan Hong.
“Enci Hong, sungguh kasihan engkau...” Sampai di sini Sie Liong mengeluh dalam hati.
Dia dapat membayangkan betapa sengsara keadaan enci-nya ketika pembunuhan atas keluarga mereka itu terjadi! Untuk menyelamatkan dirinya, seorang adik yang ketika itu masih kecil, baru berusia sepuluh bulan, maka enci-nya itu telah mengorbankan dirinya! Ia menyerahkan dirinya kepada si pembunuh kejam itu, demi untuk menyelamatkan diri adiknya. Dan akhirnya, enci-nya itu bahkan menjadi isteri pembunuh. Mereka saling mencinta! Dan dia pun selamat, tidak ikut dibunuh!
Tidaklah aneh apa bila enci-nya menuduh dia yang sudah membunuh Yauw Sun Kok. Bukankah sudah sepatutnya kalau dia membunuh orang yang telah membasmi keluarga orang tuanya itu? Apa lagi di sana masih ada Bi Sian yang dengan sungguh-sungguh mengatakan bahwa gadis itu telah melihat dia pada malam pembunuhan terjadi. Melihat dia, bongkoknya, bertopeng dan kemudian topeng itu ditemukan pula oleh Bi Sian, di luar kamarnya.
Sungguh aneh sekali! Siapa yang telah membunuh Yauw Sun Kok? Dan mengapa pula pembunuh itu agaknya menyamar sebagai dirinya untuk menjatuhkan fitnah padanya? Padahal, dia tidak pernah mempunyai musuh di kota Sung-jan, kecuali... cihu-nya, tentu saja.
Tadinya dia merasa penasaran dan hendak melakukan penyelidikan untuk membongkar rahasia pembunuhan itu, untuk membuktikan bahwa dia bukan pembunuhnya. Akan tetapi kemudian ketika dia menemui enci-nya, Sie Lan Hong, enci-nya itu membuka rahasia yang selama itu dipedamnya, yaitu bahwa cihu-nya itulah orang yang sudah membunuh ayah dan ibunya.
Tentu saja dia terkejut bukan main, dan mendengar bahwa cihu-nya sejahat itu, dia pun kehilangan semangat untuk mencari pembunuh cihu-nya. Biarlah dia dibunuh orang, memang itu setimpal dengan kejahatannya. Dan dia pun tahu bahwa kini Bi Sian amat membencinya, sakit hati kepadanya. Kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri, tentu gadis itu akan menyerangnya dan memaksanya mengadu nyawa. Dan dia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi.
Dia cinta Bi Sian! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, kepada keponakannya sendiri! Bahkan dia telah mencintanya sejak mereka masih sama-sama kecil. Kenyataan inilah yang membuat hati pemuda bongkok itu merasa lebih ngeri lagi, maka dia pun cepat melarikan diri, menjauhkan diri seperti orang ketakutan.
Sie Liong menghela napas ketika lamunannya membawa dia teringat kepada Bi Sian. Wajah yang manis dan jenaka itu terbayang di depan matanya, dan dia pun tersenyum. Segala yang ada pada Bi Sian amat menyenangkan hatinya, mendatangkan perasaan gembira.
Dia harus pergi jauh. Dia akan pergi ke Tibet, untuk memenuhi pesan para gurunya, yaitu melakukan penyelidikan mengenai Lima Harimau Tibet yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama dan yang berusaha keras untuk membasmi para pendeta, terutama para tosu yang melarikan diri dari Himalaya, seperti Himalaya Sam Lojin yang menjadi gurunya, juga Pek-sim Siansu, supek yang juga menjadi gurunya sendiri.
Dia harus mampu menunaikan kewajiban ini dengan berhasil. Dia juga harus mampu menjernihkan suasana dan mencari sebab yang mendorong para pendeta Lama di Tibet memusuhi para tosu di Himalaya.
Memang merupakan pekerjaan yang besar dan amat sukar, bahkan amat berbahaya, namun dia sudah mengambil keputusan untuk melaksanakan tugas itu sampai berhasil atau dia boleh mempertaruhkan nyawanya. Semua itu tiada artinya kalau dibandingkan dengan budi besar yang telah diterimanya dari para gurunya. Kalau tidak ada mereka, dia hanyalah seorang pemuda bongkok yang tidak berdaya dan tidak ada manfaatnya, tidak ada artinya hidup di dunia, hanya menjadi bahan cemoohan belaka.
Alangkah cantiknya wanita petani itu, pikirnya. Dan alangkah bahagianya orang yang menjadi suaminya. Pasti ia sudah memiliki suami, pikirnya. Mengapa wanita itu bekerja seorang diri? Mana suaminya? Betapa akan menyenangkan hati kalau suaminya juga ikut pula bekerja. Pekerjaan akan terasa ringan. Ahh, betapa bahagianya wanita itu dan suaminya!
Sie Liong merasa heran mengapa hal-hal yang sekecil ini membuat dia membuka mata bahwa kebahagiaan sesungguhnya berada di dalam diri siapa saja. Setiap orang dapat menikmati kebahagiaan hidupnya apa bila dia tidak memikirkan hal-hal lain, tidak menginginkan hal-hal lain.
Apa bila orang menyadari betapa berlimpahnya kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, apa bila dia menyerahkan segalanya kepada Tuhan, maka akan nampak bahwa hidup ini sebetulnya merupakan nikmat pemberian dan anugerah Tuhan yang tak terlukiskan besarnya. Bahkan bernapas pun mendatangkan kenikmatan dan kebahagiaan, belum lagi makan, minum dan segala kegiatan lain.
Duduk melamun di bawah pohon itu pun mengandung kenikmatan tersendiri, seperti yang sedang dirasakan oleh Sie Liong!
“Ya Tuhan, terima kasih atas segala rahmat-Mu...” Sie Liong berbisik.
Wajahnya kini cerah sekali, senyum menghias bibirnya. Pada saat itu, lupalah dia akan segala hal, akan enci-nya, Bi Sian, pembunuhan atas diri cihu-nya, bahkan dia pun lupa akan bongkoknya!
Semua begitu indah apa bila pikiran tidak dikacaukan oleh ingatan akan hal-hal yang dianggap tidak menguntungkan dan tidak menyenangkan ‘aku’.
Akan tetapi, tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada tujuh orang yang datang dari jauh menuju ke tempat itu. Mereka itu tujuh orang laki-laki yang agaknya hendak pergi ke dusun para petani. Melihat sikap mereka, diam-diam Sie Liong mengerutkan alisnya.
Mereka itu jelas bukan petani. Cara mereka berjalan melenggang, pakaian dan sikap mereka, bahkan melihat gagang golok dan pedang tersembul di balik pundak mereka, jelas bahwa mereka itu adalah golongan orang-orang persilatan, atau orang kang-ouw. Mungkinkah ada orang-orang kang-ouw yang tinggal di dusun itu? Ataukah mereka itu pendatang dari luar?
Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat beberapa orang petani, laki-laki dan perempuan, melarikan diri meninggalkan sawah ladang mereka. Semua petani yang tadi bekerja di ladang, melarikan diri begitu melihat tujuh orang laki-laki itu, kecuali wanita yang tadi membangkitkan rasa kekaguman di hati Sie Liong. Ia sedang asyik mencabuti rumput, dengan membungkuk membelakangi jalan sehingga ia tak melihat kedatangan tujuh orang laki-laki itu.
Sie Liong siap siaga, akan tetapi ia masih duduk di bawah pohon. Dengan duduk seperti itu, ia memang agak tersembunyi oleh semak alang-alang yang tumbuh di tepi selokan dekat ladang. Namun ia memandang penuh perhatian. Kini tidak ada lagi petani yang bakerja di ladang yang luas itu kecuali wanita tadi.
Tepat seperti yang dikhawatirkan, tujuh orang laki-laki itu berhenti melangkah ketika tiba di dekat ladang di mana wanita itu masih terus bekerja. Wanita itu menungging dengan pinggul ke arah mereka, tidak menyadari bahwa cara ia berdiri dan bekerja ini seolah memamerkan pinggulnya yang bulat dan besar itu, tidak tahu bahwa ada tujuh orang kasar sedang menikmati pemandangan yang mengagumkan mereka itu. Dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan agaknya menjadi pemimpin mereka, tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, sungguh indah sekali tubuh itu! Coba kulihat bagaimana wajahnya!”
Dia mengambil sebuah batu dan melempar batu itu dengan keras ke arah tanah lumpur dekat wanita itu. Air lumpur memercik dan mengotori pakaian wanita itu yang agaknya baru sadar dan ia pun cepat meluruskan tubuh, membalikkan kepala memandang.
Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika ia melihat tujuh orang itu. Ia menoleh ke kanan kiri dan baru sekarang ia tidak melihat adanya mereka yang tadi bekerja di ladang. Wanita itu kini terbelalak, mukanya pucat sekali dan matanya mengingatkan Sie Liong kepada mata seekor kelinci yang sering ditangkapnya. Liar ketakutan!
“Ha-ha-ha, cantik! Manis sekali! Perempuan dusun tentu sehat dan segar, ha-ha-ha!” Si brewok itu dengan langkah lebar lalu menghampiri tepi ladang, berdiri di tepi sambil menjulurkan tangan ke arah wanita itu.
“Manis, ke sinilah dan bersihkan kaki tanganmu. Marilah engkau ikut saja dengan kami, ha-ha-ha!”
Wanita itu agaknya, seperti para petani lainnya, sudah tahu siapa adanya tujuh orang laki-laki itu. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat ia hanya menggelengkan kepala tanda ia tidak mau, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulut yang gemetar itu.
“Ahh, manis, jangan malu-malu. Nanti kalau kami mendapatkan sumbangan yang cukup banyak dari dusun-dusun, tentu aku tidak akan melupakanmu dan akan memberi hadiah yang besar kepadamu. Hayolah, senangkan dan hibur hati kami yang sedang kesepian ini, manis. Ha-ha-ha!”
Enam orang lainnya yang menunggu di pinggir jalan ikut pula tertawa. Mereka semua senang sekali melihat wanita petani yang berwajah manis dan bertubuh padat itu.