CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
PENDEKAR BONGKOK BAGIAN 08
Wanita itu tidak berani berkutik, berdiri menggigil dan terus saja menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak sudi memenuhi permintaan si brewok itu.
Sekarang Si brewok membelalakkan matanya lebar-lebar. “Apa? Kau berani menolak perintah Tiat-jiauw Jit-eng (Tujuh Garuda Bercakar Besi)?” Dia memukulkan kepalan kanannya pada telapak tangan kiri sehingga mengeluarkan bunyi keras. “Apa engkau sudah bosan hidup dan memilih mampus? Sebelum mampus pun kau tidak akan lepas dari tangan kami! Apa kau lebih suka diperkosa sampai mati dari pada melayani kami dengan manis?”
Wanita itu menjadi semakin pucat dan tiba-tiba kakinya yang menggigil tak mampu lagi menahan tubuhnya. Ia jatuh berlutut di atas lumpur! Dan ia memberi hormat kepada si brewok itu.
“Ampunkan saya... saya sudah bersuami..., ampunkan saya...”
“Ha-ha-ha, lebih baik lagi! Kalau engkau sudah bersuami, lalu apa sukarnya melayani kami? Hayo, ke sinilah!” Si brewok kembali menjulurkan tangannya ke arah wanita itu.
“Tidak... tidak... tidak!” Wanita itu menjerit histeris lalu menangis.
Marahlah si brewok. Agaknya dia tidak mau turun ke lumpur karena sepatunya masih baru. Dia menengok dan memerintahkan anak buahnya. “Turun dan seret ia ke mari!”
Seorang di antara mereka, yang termuda, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, sedangkan yang lain antara empat puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan sikap gagah.
Orang ini mukanya kecil sempit dan panjang, kepucatan seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan hidungnya pesek. Dia menyeringai ketika dia turun ke ladang untuk menghampiri wanita itu yang bangkit berdiri dan mencoba untuk melarikan diri menjauhi orang itu.
Ia adalah seorang wanita, akan tetapi sejak kecil ia bekerja di sawah ladang. Tubuhnya kuat sekali dan sudah terbiasa di lumpur, maka ia dapat berlari cepat. Berbeda dengan laki-laki yang mengejarnya.
Biar pun dia seorang kasar yang memiliki kekuatan dan kepandaian, akan tetapi belum pernah dia berjalan di dalam lumpur, apa lagi dia bersepatu, tidak seperti wanita petani itu yang bertelanjang kaki. Maka, sukarlah baginya untuk menangkap wanita itu! Semua kawan-kawannya menjadi sangat gembira dan mereka pun serentak mengepung ladang itu, menghadang wanita yang hendak melarikan diri.
Wanita itu menjadi semakin ketakutan. Hanya pinggir yang dihalangi solokan itulah yang tidak dihadang penjahat, maka ia pun lari ke situ dan meloncat ke dalam solokan, terus mendaki dan dikejar oleh tujuh orang itu yang membuat gerakan menakut-nakuti sambil tertawa-tawa. Mereka memperoleh hiburan, seperti tujuh ekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkan dan mengganyangnya.
Kebetulan sekali wanita itu melihat Sie Liong yang duduk di bawah pohon, maka ia pun berlari ke arah pohon itu, lalu menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila. Sie Liong merasa betapa wanita itu merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu penuh lumpur, maka pakaiannya sendiri pun terkena lumpur. Dia merasa betapa dada yang menempel pada pundaknya itu berdebar kencang dan bergelombang, dan betapa napas itu terengah-engah.
“Tolonglah... tolonglah saya... aduh, lebih baik saya mati dari pada tertawan mereka... tolonglah saya...”
“Enci, tenanglah dan duduklah di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka,” kata Sie Liong.
Kini tujuh orang itu sudah tiba di bawah pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu berlutut di belakang seorang laki-laki yang duduk bersila. Dia tidak peduli apakah pria itu suami si wanita. Baginya, tidak peduli wanita itu bersuami atau tidak, kalau sudah dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya!
“Heiii, siapa kau?!”
Mendengar bentakan yang nadanya sangat congkak ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri. “Namaku Sie Liong. Aku melihat betapa kalian mengganggu wanita ini. Apakah kalian tidak malu? Kalian adalah tujuh orang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita yang tidak berdaya. Pergilah kalian dari sini sebelum aku muak melihat tingkah kalian yang tidak senonoh seperti binatang itu!” berkata Sie Liong yang memang marah sekali melihat perbuatan mereka tadi.
Tujuh orang itu terbelalak. Keheranan melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling pandang. Ada seorang pemuda biasa, bongkok pula, berani berbicara seperti itu kepada mereka? Sungguh aneh, aneh sekali sehingga mereka seolah-olah lupa dengan kemarahan mereka, bahkan mereka mulai tertawa-tawa.
“Heh-heh, apakah engkau seorang pendekar?” tanya si brewok untuk mengejek.
“Seorang pendekar yang bongkok! Pendekar Bongkok! Ha-ha-ha!”
“Awas kau, Pendekar Bongkok. Nanti kupenggal punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang, baru tahu rasa kau!”
Si brewok melangkah maju satu langkah. “Hei, Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah memang tuli? Andai kata engkau tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan nama besar Tiat-jiauw Jit-eng!”
Sie Liong tersenyum. “Tujuh Garuda Cakar Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak peduli.”
“Wah, pemuda bongkok ini memang sudah bosan hidup!” si brewok berkata sambil memberi isyarat kepada anak buahnya yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa hasil.
Si mata sipit hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tak mampu menerkam si manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat bagaikan seorang jagoan asli yang tidak pernah terkalahkan. Dia melenggang seperti layangan yang tak seimbang, condong ke kanan dan ke kiri, kepalanya ditegakkan, dadanya dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya besar, maka yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!
“Heiii, orang muda yang tolol! Engkau ini masih muda, lemah dan bongkok pula, apa engkau tidak tahu diri? Engkau berani menentang kami, hanya untuk membela seorang perempuan dusun? Apamukah perempuan itu?” tanyanya, suaranya dibesar-besarkan agar berwibawa. Akan tetapi karena suaranya memang kecil parau bagai suara seorang penderita batuk kering, maka tetap saja suara yang keluar sama sekali tidak berwibawa, malah lucu.
Biar pun di dalam hatinya Sie Liong merasa marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar. “Enci ini adalah kerabat yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah dan tertindas, orang yang membutuhkan bantuan. Dan kalian adalah orang-orang jahat, manusia-manusia berwatak iblis yang patut ditentang!”
Si mata sipit hidung pesek mengerutkan alisnya dan membentak marah. “Wahh, engkau ini pemuda kurang ajar, aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!”
Setelah berkata demikian, dia pun menyerang. Meski pun tubuhnya kerempeng dan dia kelihatan berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini dapat bergerak dengan cepat sekali dan sambaran tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka Sie Liong mengandung tenaga yang terlatih.
“Wuuuuuttt...!”
Tonjokan dengan tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong. Akan tetapi pemuda bongkok ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia diserang dengan tonjokan yang akan dapat membuat pipinya bengkak dan giginya rontok! Baru setelah kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari pipinya, secepat kilat dia menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar, menangkap lengan kanan lawan dan dia pun mendorong, menambahkan tenaga dorongan pukulan itu dengan tenaganya sendiri sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu meluncur terus dan melingkar ke arah pipi kirinya sendiri.
“Desss...! Aughhhh...!”
Beberapa buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya pun berdarah karena kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah menghantam ke arah mukanya sendiri!
“Auhh... auhh... auhhh...!”
Dia mengerang kesakitan, tidak mampu berkata ‘aduh’ karena mulutnya terasa seperti remuk. Dia membungkuk-bungkuk dan kedua tangannya sibuk memegang-megang dan meraba-raba mulut dan hidung.
Kembali maju seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi besar laksana raksasa. Mukanya hitam dengan kulit muka yang kaku seperti punggung buaya, agaknya muka itu memang rusak oleh penyakit kulit yang hebat. Di antara tujuh orang gerombolan itu, dia terkenal sebagai seorang yang mempunyai tenaga besar, dan juga wataknya amat sombong karena memang sulit mencari orang yang mampu mengalahkan raksasa muka hitam ini.
Agaknya dia masih terlalu mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong mengalahkan kawannya, ia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu. Agaknya dia menganggap bahwa kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi hanya karena kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian pemuda bongkok ini.
Bahkan dia merasa terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia ingin mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.
“Heii, bocah ingusan! Lekas engkau berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku akan mengampunimu! Cepat...!” Kedua matanya yang hitam dan mencorong itu melotot galak.
“Engkong-ku sudah mati, akan tetapi seingatku, dia tak seburuk engkau,” kata Sie Liong dengan sikap tenang.
“Kalau begitu, aku akan memaksamu berlutut!” bentak si raksasa muka hitam.
Dia pun sudah menyerang dengan dua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie Liong. Pada waktu pemuda ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan raksasa itu menendang ke arah lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena, tentu Sie Liong akan benar-benar diharuskan berlutut karena tendangan itu kuat bukan main.
Namun, tentu saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat melihat gerakan serangan ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk mendahului lawan. Sebelum kaki yang menendang itu sampai ke tubuhnya, dia cepat-cepat merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping tangannya monotok ke arah lutut kanan itu.
“Tukkk!”
Seketika kaki yang besar itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksana muka hitam itu jatuh berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di depan Sie Liong! Pemuda itu tersenyum dan berkata dengan suara mengejek.
“Aku bukan engkong-mu, tidak perlu engkau berlutut memberi hormat!”
Tentu saja ucapannya ini membuat raksasa muka hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat berdiri, akan tetapi kembali dia terguling karena kakinya masih terasa lumpuh.
Melihat ini, kawan-kawannya menjadi amat marah, akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda bongkok itu betul-betul seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka mencabut senjata golok atau pedang dari punggung mereka dan di lain saat, Sie Liong telah dikepung tujuh orang yang memegang senjata tajam.
Melihat ini, wanita itu menangis ketakutan.
“Jangan bunuh dia... ahhh, jangan bunuh dia yang tidak berdosa...” ratapnya sambil menangis.
Mendengar ini, si brewok tertawa, “Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara suka rela kalau kami lepaskan bocah bongkok ini?”
“Tidak, tidak... kalian boleh membunuh aku, akan tetapi... jangan bunuh dia yang tidak berdosa...”
“Enci, tenanglah. Mereka tidak akan mampu membunuhku atau membunuhmu!” kata Sie Liong kepada wanita itu.
Hatinya terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu adalah seorang wanita yang hebat! Dia berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kehormatan, juga amat baik budi sehingga tidak tega melihat dia dikepung dan diancam bunuh oleh para penjahat itu.
Kini tujuh orang penjahat itu sudah menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka menyerang. Namun, baru mereka menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu sudah lenyap, berubah menjadi bayangan yang dengan cepatnya menyelinap di antara sambaran senjata mereka.
Mereka merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka terus mengarahkan senjata mereka, menyerang bayangan yang gesit bukan main itu. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan tahu-tahu pemuda bongkok itu sudah menyerang dari atas, bagaikan seekor naga dari angkasa saja! Dan sekali kaki tangannya bergerak, empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas!
Tiga orang penjahat lainnya terkejut bukan main. Akan tetapi mereka pun hanya diberi kesempatan untuk bengong sejenak, karena tiba-tiba saja mereka pun terjungkal roboh oleh tamparan tamparan tangan Sie Liong yang ampuh bukan main itu.
Tujuh orang itu baru sekarang merasa jeri. Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan pemuda bongkok itu! Tamparan yang hanya sekali itu saja sudah membuat mereka roboh dan bagian badan yang terpukul terasa seperti remuk!
Si brewok, pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling tangguh, mampu lebih dulu bangkit dan dia sudah bersiap untuk melarikan diri meninggalkan teman-temannya. Akan tetapi, hanya dengan beberapa langkah saja Sie Liong sudah dapat menangkap pundaknya.
Tekanan tangan Sie Liong di pundak itu membuat si brewok menggigil saking nyerinya sehingga dia pun jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram pemuda bongkok itu seperti dibakar atau dicengkeram kaitan baja membara saja, panas dan perih, nyeri luar biasa, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.
“Ampun, taihiap... ampun, saya mengaku kalah!”
“Hemmm, aku tidak membutuhkan pengakuan kalah darimu! Aku tidak membutuhkan kemenangan. Akan tetapi aku minta agar kalian suka sadar dari kelakuan jahat kalian dan bertobat!”
“Ampun, taihiap,... saya bertobat...!”
“Hemm, siapa percaya omongan orang jahat macam engkau?”
“Saya bersumpah tak akan melakukan kejahatan lagi, taihiap. Saya akan bekerja seperti dulu, yaitu memburu binatang hutan. Dahulunya kami adalah pemburu-pemburu, karena tertarik penghasilan besar lalu mulai merampok orang yang lewat di hutan...”
“Benar, engkau bertobat dan hendak kembali ke jalan benar?” tanya Sie Liong. “Aku tetap tidak percaya kalau engkau dan teman-temanmu tidak memperlihatkan buktinya. Sumpah mulut saja tidak ada artinya.” Dia lalu menggertak, “Atau aku akan membiarkan kalian mati tersiksa dengan memberi pukulan mematikan?”
Kini dia melepaskan cengkeramannya dan seketika si brewok tidak merasa nyeri lagi. Dia makin yakin bahwa pendekar muda yang bongkok itu betul-betul lihai.
“Taihiap, kami bersumpah dan inilah buktinya!”
Dia menyambar goloknya yang tadi terlempar, lalu membuka sepatu kirinya dan sekali bacok, lima buah jari kaki kirinya buntung! Darah mengalir deras dari kaki yang buntung jari-jarinya itu.
Diam-diam Sie Liong terkejut sekali, akan tetapi juga girang karena dia maklum bahwa si brewok itu bersungguh-sungguh!
“Hayo kalian buntungi jari kaki kiri masing-masing seperti aku, siapa yang tak mau, aku yang akan membuntunginya sendiri. Mulai saat ini, kita tidak akan merampok manusia lagi, melainkan memburu binatang seperti dulu lagi!”
Enam orang anak buahnya melihat bahwa pimpinan mereka bersungguh-sungguh dan mereka pun jeri terhadap Pendekar Bongkok, demikian mereka menyebut Sie Liong, oleh karena itu mereka pun mengambil senjata masing-masing yang tadi terlempar, lalu membabat buntung jari kaki kiri mereka. Melihat ini, wanita dusun itu menutupi muka karena merasa ngeri.
Sie Liong lalu menghampiri mereka seorang demi seorang, menotok kaki kiri mereka di atas bagian yang terluka, mengeluarkan obat bubuk putih yang ditaburkan pada luka di kaki.
Seketika, tujuh orang itu merasa betapa kenyerian jari yang dibuntungi itu lenyap, dan luka-luka itu pun cepat menjadi kering. Mereka menjadi makin kagum. Kiranya Pendekar Bongkok ini selain amat lihai ilmu silatnya, juga pandai ilmu pengobatan.
Hal ini sebenarnya tidaklah perlu diherankan kalau diketahui bahwa seorang di antara orang-orang sakti yang menggembleng Sie Liong adalah Pek-sim Siansu, seorang sakti yang pandai dalam ilmu pengobatan pula.
“Ingat akan sumpahmu sendiri,” kata Sie Liong ketika mereka semua sudah berdiri dan bersiap untuk pergi. “Kalau kelak kalian tetap menjadi penjahat dan mengganggu orang lain, dan aku mendengarnya, pasti akan kucari kalian sampai dapat dan bukan hanya jari kaki kalian saja yang harus dipotong. Selain itu, aku akan membangkitkan semangat para penduduk dusun supaya mereka bersatu padu dan hendak kulihat, kalau ratusan orang dusun itu bersatu padu melawan kalian, apa yang dapat kalian lakukan terhadap mereka!”
Diam-diam si brewok dan teman-temannya merasa ngeri. Bukan saja mereka ngeri terhadap kesaktian Pendekar Bongkok, akan tetapi juga ngeri kalau benar penduduk dusun sampai bangkit menentang mereka, maka tentu mereka akan dikeroyok ratusan orang dan akan dihancur lumatkan oleh mereka yang mendendam kepada mereka.
Kalau biasanya mereka itu dapat merajalela adalah karena mereka menang gertakan dan para penduduk dusun itu belum apa-apa sudah ketakutan lebih dulu, melarikan diri bersembunyi dari pada melakukan perlawanan berpadu.
Tujuh orang itu, dipimpin oleh Si Brewok, menghaturkan terima kasih kepada Sie Liong, kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu, tidak jadi mengganggu wanita petani atau dusun di dekat ladang itu.
Setelah mereka pergi, Sie Liong menghampiri wanita dusun itu dan dengan senyum kagum dia berkata sambil berlutut di dekat wanita yang masih duduk di atas rumput dengan wajah masih diliputi ketegangan itu.
“Untung bahwa engkau tabah sekali menghadapi mereka, enci...,” katanya.
Wanita itu mengangkat muka, kemudian memandang padanya dan kembali air matanya menetes-netes turun ke atas pipinya. Mulut wanita itu berkemak-kemik, namun tidak ada sedikit pun suara yang keluar. Akhirnya, ia mengeluarkan jerit kecil dan merangkulkan kedua lengannya pada pundak dan leher Sie Liong sambil menangis!
Pemuda bongkok itu terkejut, akan tetapi mendiamkannya saja dan tersenyum ketika dia merasa kehangatan air mata menembus bajunya karena wanita itu menangis di atas dadanya. Bahkan dia pun lalu merangkul dan menepuk-nepuk pundak wanita itu dengan lembut.
“Tenanglah, enci, bahaya sudah lewat sekarang,” hiburnya.
Akan tetapi wanita itu bahkan mempererat rangkulannya dan terdengar bisikan lirih dari mulut yang disembunyikan di dadanya itu. “Adik yang baik, ahhh... taihiap yang gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan diriku... terima kasih, taihiap, terima kasih...”
Suaranya mengandung isak sedangkan tubuhnya gemetar, seolah-olah ia teringat akan peristiwa tadi dan membayangkan betapa akan ngerinya apa bila ia sampai terjatuh ke tangan tujuh orang itu.
“Sudahlah, enci. Sudah semestinya aku melindungimu, dan aku kagum sekali melihat ketabahanmu tadi. Lepaskanlah rangkulanmu, lihat, di sana datang orang-orang dusun.”
Mendengar ini, wanita itu melepaskan rangkulannya dan dengan wajah masih basah air mata, ia menoleh ke kiri dan benar saja, dari arah dusun, datang berlari-larian banyak sekali penduduk dusun ke tempat itu. Dan di tangan mereka terpegang segala macam alat pertanian yang agaknya kini hendak dijadikan senjata.
Sie Liong merasa tegang dan juga malu. Dia tahu bahwa mereka yang sedang berlari dan datang itu tadi sempat melihat betapa dia dan wanita itu berpelukan-pelukan! Untuk menghilangkan rasa sungkan dan tidak enak itu, Sie Liong lalu bangkit dan memunguti potongan jari-jari kaki itu, dan mengumpulkannya di atas sehelai kain sapu tangan.
Melihat ini, wanita dusun itu bergidik.
“Taihiap, untuk apakah kau... mengumpulkan benda-benda mengerikan itu?”
“Aku akan menguburnya, enci,” kata Sie Liong sambil memunguti terus.
Tak lama kemudian, rombongan orang dusun itu tiba di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang memegang sebatang tongkat panjang moloncat maju menghampiri wanita itu.
“Kui Hwa, apa yang telah terjadi?” tanyanya, suaranya mengandung kemarahan.
Wanita dusun itu menangis dan lari menghampiri laki-laki itu. “Aku... aku hampir saja celaka...!” serunya sambil menangis.
Dia hendak merangkul laki-laki yang ternyata adalah suaminya itu. Akan tetapi, laki-laki itu mendorongnya sehingga ia terpelanting.
“Jangan sentuh aku! Engkau perempuan tak tahu malu!”
Wanita dusun yang bernama Kui Hwa itu terbelalak. Saking kaget dan herannya, ia tidak merasakan kenyerian punggungnya ketika terpelanting oleh dorongan suaminya.
“Apa... apa maksudmu...?” tanyanya dengan heran.
Kui Hwa lebih heran lagi ia saat melihat betapa orang-orang lain, para pria di dusunnya, para tetangganya, memandang padanya dengan sinar mata yang mencemoohkan dan agaknya membenarkan sikap suaminya itu!
“Maksudku kau tanyakan! Maksudmulah yang ingin sekali kuketahui! Apa yang sudah terjadi di sini?”
Suaminya dengan berang melirik ke arah Sie Liong yang sudah selesai mengumpulkan potongan jari-jari kaki tadi dan kini berdiri di situ dengan muka ditundukkan. Potongan jari-jari kaki tadi berada dalam buntalan kain sapu tangan.
“Suamiku, apakah engkau tidak mendengar dari para tetangga kita tadi? Mereka itu, Tiat-jiauw Jit-eng itu datang lagi!” kata si isteri yang masih terheran-heran melihat sikap suaminya.
“Tentu saja kami semua mendengar. Lalu di mana mereka dan apa yang telah terjadi di sini?” kembali dia menoleh ke arah Sie Liong dengan wajah merah saking marahnya.
“Mereka telah dikalahkan oleh taihiap ini. Mereka sudah melarikan diri dan aku... aku diselamatkan oleh taihiap ini!” kata si isteri dengan suara gembira dan bangga.
“Bohong!” Tiba-tiba sang suami membentak dan isteri itu kembali terkejut sekali.
Kini Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada suami itu dengan sinar mata mencorong. Akan tetapi, dia bersikap sabar karena dia bisa menduga apa yang menjadi sebab sang suami itu bersikap seburuk itu dan mengapa pula orang-orang dusun itu berdiri saja, agaknya membenarkan sikap suami itu.
“Suamiku, kenapa engkau mengatakan bohong? Pendekar muda ini yang bernama Sie Liong, dialah yang telah menyelamatkan aku dari gangguan mereka, bahkan pendekar perkasa ini yang memaksa mereka untuk meninggalkan pekerjaan jahat mereka, dan mereka bersumpah dengan membuntungi jari-jari kaki mereka sebelum pergi dari sini. Aihh, suamiku, pendekar muda ini sungguh perkasa dan kita sedusun patut berterima kasih kepadanya...”
“Cukup! Kui Hwa, jangan mengira bahwa kami semua adalah orang-orang buta dan bodoh, yang mudah saja kau tipu dengan kata-katamu itu! Kami melihat betapa engkau bercumbu dan berjinah dengan dia...”
“Diam...!” Kui Hwa yang lemah lembut itu kini membentak. Dia berdiri bagaikan seekor singa kelaparan atau seekor harimau betina membela anaknya. “Jangan engkau berani mengeluarkan ucapan kotor itu! Pendekar ini sudah menyelamatkan aku, bahkan juga menyelamatkan orang sedusun ini dan kalian bahkan berani menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?”
“Phuhh!” Suami itu meludah. “Mataku masih belum buta, aku melihat betapa kalian tadi berpelukan dan berciuman!”
“Engkau yang bohong! Engkau yang kotor dan memang kalian bodoh! Aku tadi memang merangkulnya sambil menangis, terharu dan menghaturkan terima kasih, dan dia hanya menghiburku, sama sekali kami tidak berciuman... aihh, agaknya memang matamu telah buta! Taihiap ini menundukkan tujuh orang gerombolan penjahat itu, membuat mereka takluk dan bertobat, bahkan mereka sudah membuntungi jari-jari kaki sambil bersumpah dan kalian...”
“Sudah! Siapa yang percaya obrolanmu? Engkau memang perempuan tak tahu malu, mungkin dia ini anggota bahkan pemimpin perampok! Dan engkau sudah tergila-gila kepada laki-laki bongkok ini! Sungguh tak tahu malu!” Berkata demikian, laki-laki yang sedang diamuk cemburu itu lalu mengangkat tongkat kayunya dan menghantamkan tongkat kayunya kepada Sie Liong!
Pendekar ini berdiri bengong. Sungguh tak disangkanya sama sekali bahwa cemburu dapat membuat orang menjadi seperti gila! Saking herannya, ketika suami itu memukul dengan tongkat kayu, dia pun diam saja, tidak bergerak seperti patung dan pada saat kayu itu menghantam kepalanya, barulah dia mengerahkan sinkang untuk melindungi kepala yang dipukul itu.
“Krakkk!” Tongkat kayu itu patah-patah ketika bertemu dengan kepala Sie Liong.
“Ahhhh...!”
Suami wanita dusun itu terbelalak. Mukanya pucat memandang kepada tongkat yang tinggal potongan pendek di tangannya, sedangkan tongkat yang kuat itu sudah patah menjadi tiga potong! Kepala orang bongkok itu melebihi besi kerasnya!
Sie Liong mengangkat muka, memandang kepada suami itu dengan sinar matanya yang mencorong. “Hemm, engkau memang orang bodoh, keras kepala, dan memang sepatutnya kalau matamu buta! Engkau tidak patut menjadi suami dari seorang isteri yang begini baik hati, tabah dan sangat berani mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatannya. Engkau pantasnya menjadi suami seekor kambing atau seekor monyet! Huh, menjemukan sekali!” katanya dan dia pun melemparkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berpaling kepada wanita dusun sambil memberi hormat.
“Enci, maafkan apa bila aku hanya membikin engkau menjadi ribut dengan suamimu. Selamat tinggal, enci, semoga Tuhan akan menyadarkan suamimu ini!” Dengan sekali berkelebat, Sie Liong lenyap dari depan mereka, membuat suami wanita itu dan para penduduk dusun terkejut dan melongo.
Suami itu pun terkejut dan dia menjadi ketakutan. “Apakah dia... dia itu tadi... setan...?” tanyanya kepada isterinya.
Isterinya menjadi gemas sekali. Tangannya bergerak manampar.
“Plakkk!” pipi suami itu telah ditamparnya!
“Laki-laki yang tolol, gila oleh cemburu buta! Masih berani engkau mengatakan bahwa pendekar sakti itu setan? Engkau inilah yang setan! Kalian tidak percaya akan ceritaku tadi, ya? Kalian semua mengira bahwa aku sudah berjinah dengan dia karena kalian tadi melihat dari jauh betapa kami saling berangkulan? Ohhhh, memang kalian adalah orang-orang bodoh! Dengar baik-baik. Tujuh orang penjahat itu datang ke sini. Aku tidak tahu bahwa mereka datang maka aku tidak sempat lari seperti yang lain. Dan mereka itu mengejar-ngejarku, hendak menangkapku dan tentu saja, dengan niat yang amat kotor! Dan aku melihat pendekar itu duduk seorang diri di bawah pohon….”
Kui Hwa berhenti bicara dengan napas terengah-engah karena dibakar emosi. Setelah beberapa kali menarik napas, dia baru melanjutkan kembali.
“Tadinya aku tidak tahu bahwa ia adalah seorang pendekar, akan tetapi dalam keadaan ketakutan setengah mati itu, aku lari padanya dan mohon pertolongan. Siapa saja akan kumintai tolong dalam keadaan hampir mati ketakutan seperti itu. Dan dia bangkit, dia mengalahkan semua penjahat, kemudian memaksa mereka itu bertobat, dan mereka membuntungi jari-jari kaki kiri mereka untuk tanda bertobat. Dan kalian tidak percaya? Dan engkau, engkau sudah gila, engkau malah mencemburui kami dan engkau malah menghina pendekar itu? Masih untung hanya tongkatmu yang tadi dia patahkan, bukan lehermu! Kalau kalian tidak percaya, lihat ini buktinya!” Dia memunguti jari-jari kaki itu untuk dikuburkan. “Nah, makanlah ini!”
Wanita itu kemudian melemparkan buntalan itu ke arah suaminya, setelah membuka ikatannya. Dan potongan-potongan jari kaki, sebanyak tiga puluh lima potong, langsung berhamburan mengenai muka dan leher suaminya.
Si suami tentu saja bergidik ngeri, juga para penduduk dusun merasa ngeri ketika mereka melihat bukti itu. Jari-jari kaki yang masih berlumuran darah! Sementara itu, Kui Hwa sudah berlari pulang sambil menangis.
Barulah suami itu merasa menyesal sekali dan percaya sepenuhnya akan keterangan isterinya. Sekarang dia baru dapat membayangkan betapa takutnya isterinya tadi ketika dikejar-kejar tujuh orang penjahat keji itu, tanpa ada orang yang dapat menolongnya.
Kemudian muncul pendekar bongkok itu yang lalu mengalahkan semua penjahat, yang berarti telah menyelamatkan isterinya itu dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Maka, kalau dalam keadaan penuh rasa syukur dan keharuan itu isterinya merangkul penolongnya dan manangis di dadanya, apakah yang aneh dalam hal itu?
Juga pendekar itu bukan golongan pemuda yang terlalu menarik hati wanita. Isterinya tidak mungkin tertarik kepada seorang yang tubuhnya bongkok seperti itu!
“Kui Hwa, tunggulah...!”
Dia berteriak berlari-lari mengejar isterinya. Di dalam hatinya yang penuh penyesalan itu kini penuh dengan harapan agar isterinya suka memaafkannya.
Sementara itu, para penduduk dusun yang lain segera mengumpulkan jari-jari kaki itu dan menguburnya dengan hati penuh rasa syukur bahwa kini Tiat-jiauw Jit-eng yang selama beberapa bulan lalu mengganas di sekitar daerah itu, kini sudah bertobat dan berarti mereka tidak akan lagi diganggu oleh mereka yang amat jahat itu. Dan semua ini berkat jasa Pendekar Bongkok, nama yang tak akan pernah mereka lupakan dan yang semenjak terjadinya peristiwa itu menjadi buah bibir mereka sehingga nama julukan pendekar baru ini mulai terkenal.
Sie Liong melarikan diri, pergi meninggalkan ladang dusun itu dengan senyum pahit di bibirnya. Ia memang telah memaklumi benar-benar keadaan dirinya, sudah diterimanya keadaan dirinya seperti apa adanya.
Memang dia berpunuk, dia bongkok dan itu merupakan sebuah kenyataan yang takkan dapat dirobah. Titik. Dia tidak akan lagi mengeluh, tidak lagi memprihatinkan keadaan tubuhnya yang sudah menjadi pemberian Tuhan dan yang diterimanya dengan penuh kepasrahan dan rasa syukur. Akan tetapi, kalau terjadi peristiwa seperti di sawah ladang tadi, bagaimana pun juga hatinya terasa seperti ditusuk.
Dia berniat baik. Dia menyelamatkan wanita dusun itu, bahkan dia menundukkan gerombolan jahat yang berarti juga menghindarkan dusun dari gangguan orang jahat. Dia melakukan hal itu tanpa pamrih, tidak minta imbalan apa pun. Akan tetapi, dia malah didakwa melakukan hal yang rendah, didakwa berjinah dengan wanita petani itu!
Sungguh menyakitkan hati memang. Bongkoknya terbawa-bawa pula, bahkan mungkin bongkoknya itulah yang sudah menimbulkan kecurigaan para penduduk dusun, yang mendatangkan kesan buruk di mata mereka dan membuat ia condong nampak sebagai orang yang jahat!
“Biarlah,” dia mengeluarkan kata-kata ini melalui mulutnya, dengan agak keras untuk melunakkan hatinya yang menjadi keras dan panas. “Biarlah mereka mengatakan apa pun juga! Yang penting, aku yakin benar bahwa aku tidak melakukan hal yang buruk, dan Tuhan mengetahui, Tuhan pun melihat dan Tuhan yang tidak akan dapat ditipu oleh kebongkokan tubuhku!”
Pikiran ini diucapkan Sie Liong keras-keras. Akhirnya hatinya menjadi dingin dan lunak kembali…..
Dia berhenti di atas puncak bukit terakhir tadi, dan dari situ dia melihat ke selatan. Di sanalah terdapat propinsi Tibet! Dan kini dia telah tiba di perbatasan tiga propinsi besar. Di utara adalah Propinsi Sin-kiang. Di timur Propinsi Cing-hai, dan di selatan adalah Tibet, negara yang dikuasai para pendeta Lama itu.
Dia menuruni bukit dan menuju ke sebuah dusun yang tadi dilihatnya dari bukit itu. Daerah itu merupakan daerah yang tandus dan luas sekali, jarang terdapat dusun, maka kalau melihat sebuah dusun, maka hal itu merupakan hal yang menggembirakan bagi seorang pengelana di daerah itu.
Mungkin berhari-hari dia tak akan bertemu dusun, dan saat itu, matahari telah condong jauh ke barat. Sebentar lagi cuaca tentu akan gelap dan lebih baik melewatkan malam di dalam dusun yang hangat di mana dia dapat memperoleh makanan dan minuman dari pada bermalam di daerah terbuka yang asing baginya.
Dusun itu cukup besar dan dikurung pagar tanah liat yang dibangun seperti tembok. Di dalam dusun itu tinggal penduduk yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus keluarga! Pekerjaan mereka bercocok tanam dan berburu, ada pula yang berusaha dalam bidang peternakan kambing.
Dan melihat keadaan bangunan rumah yang cukup baik itu, Sie Liong dapat mengambil kesimpulan bahwa penghasilan penduduk dusun itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan, bahkan berlebihan. Di dusun itu terdapat pula beberapa buah warung makan, bahkan terdapat pula sebuah rumah penginapan!
Kiranya dusun ini ada pula pengunjungnya dari luar kota pikirnya. Memang demikianlah, banyak dusun di daerah itu manyediakan rumah penginapan, karena mereka maklum bahwa para pedagang dan pengelana yang lewat di dusun, dan kemalaman, tentu akan mencari rumah penginapan, mengingat bahwa dusun berikutnya amatlah jauhnya! Dan banyak pula yang membuka tempat menjual barang-barang keperluan sehari-hari.
Sie Liong segera menyewa sebuah kamar di rumah penginapan itu. Beruntung bahwa dia tidak terlambat, karena pada hari itu, banyak tamu luar kota bermalam di dusun itu. Kepala dusun itu mengadakan perayaan pesta pernikahan puteranya! Dan tentu saja dia mengundang relasi dan sahabatnya dari luar dusun.
Sesudah mandi dan makan malam, Sie Liong keluar dari kamarnya yang kecil dan berjalan-jalan di dalam dusun itu. Keadaan dusun itu tidak seperti biasanya. Kini ramai sekali. Hal ini adalah karena adanya pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun.
Boleh dibilang bahwa seluruh penduduk dusun ikut pula berpesta, atau setidaknya, ikut bergembira dengan memasang banyak lampu gantung di depan rumah masing-masing sehingga keadaan di luar rumah kini menjadi terang dan gembira, tidak seperti biasa. Juga sebagian besar penduduk keluar dari rumah mereka untuk menyaksikan upacara pemboyongan mempelai wanita yang kabarnya akan diambil malam hari itu.
Mempelai wanita adalah seorang gadis yang rumahnya terletak di sudut dusun. Upacara pengambilan mempelai itu dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan penari dan penabuh gamelan. Pengantin wanitanya akan naik joli yang digotong oleh empat orang, sedangkan mempelai prianya akan menunggang kuda.
Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus rumah penginapan. Dia pun dengan gembira kini berjalan-jalan sebelum nanti ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai pria.
Tanpa disengaja, Sie Liong berjalan-jalan menuju ke arah barat dan tak lama kemudian sampailah dia di sudut dusun itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itu pun dihias amat meriah, penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain warna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung yang dihias kertas-kertas merah.
Suasana di rumah itu meriah sekali. Nampak banyak orang sedang sibuk menyiapkan joli dan semua peralatan upacara pernikahan. Melihat keadaan rumah itu, tanpa diberi tahu pun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu di situ tempat tinggal pengantin wanita.
Karena di luar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang yang menonton, terutama anak-anak, Sie Liong menggabung dengan mereka, berdiri di antara para penonton. Sebagian dari para penonton itu berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri di antara para pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam keluar seorang yang membawa keranjang berisi makanan, lalu orang itu membagi-bagikan makanan kepada mereka. Karena dia berada di antara mereka, dia pun kebagian sepotong kueh mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum.
Dia tidak merasa sakit hati. Memang pakaiannya lusuh, apa lagi punggungnya bongkok. Bukankah memang di antara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak sempurna keadaan tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk, asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu! Maka, seperti yang lain, dia pun makan kueh mangkok itu dengan gembira.
Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda yang baru datang menyelinap pula di antara para penonton. Dia merasa sangat curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu dia seorang petani. Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu wajahnya membayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan masih ada bekas air mata pada kedua pipinya.
Pada saat itu, para penonton di luar halaman itu berdesakan untuk dapat melihat lebih jelas ke dalam rumah karena agaknya sedang ada upacara penghormatan mempelai puteri kepada ayah ibunya sebelum ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di ruangan depan, di depan meja sembahyang.
Saat itu mempelai wanita yang berpakaian indah meriah itu muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan yang nampak dari luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu. Karena pakaian yang longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie Liong tidak dapat melihat wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh ramping.
Ketika gadis yang menjadi pengantin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas kursi, terdengar ia terisak menangis dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka. Dua orang nenek itu terkejut dan hendak menuntunnya agar ia berhati-hati dengan pakaiannya, namun mereka tak kuasa menahan gadis pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya di antara sedu sedannya,
“Ayah... ibu... aku tidak mau kawin... aku tidak mau menikah dengan... anak kepala dusun itu...”
Tentu saja semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan tetapi, mempelai wanita itu meronta-ronta dan tangisnya bahkan semakin menjadi-jadi.
“Lian-ji...! Hentikan tangismu itu! Jangan engkau membikin malu orang tuamu!” Ayahnya menghardik dan bentakan ini membuat pangantin wanita itu berhenti meronta, akan tetapi masih tetap menangis terisak-isak.
“Bawa ia masuk ke dalam kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak sialan...!” Sang ayah marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya kembali ke kamar.
Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dari luar. “Tidak adil...! Sungguh tidak adil dan sewenang-wenang...!”
Dan pemuda petani yang tadi menimbulkan kecurigaan dalam hati Sie Liong, nampak meninggalkan kelompok penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruangan depan itu. Semua orang terkejut, juga ayah ibu mempelai wanita memandang dengan mata terbelalak.
“Lian-moi...!” Pemuda itu memanggil.
Mempelai wanita itu meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, ia pun berseru, “Kiong-koko...!”
Dan dia pun menangis, masih berdiri karena kedua lengannya dipegang erat-erat oleh kedua orang nenek itu.
“Un Kiong! Mau apa kau? Berani kau datang ke sini dan membikin kacau? Kami tidak mengundangmu!” bentak ayah mempelai wanita itu dengan marah sekali.
“Saya datang untuk menuntut keadilan...!”
Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa orang anggota keluarga yang hadir dan merasa tidak senang dengan perbuatan pemuda itu. Mereka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah menjatuhkan diri berlutut itu.
“Pergilah! Lekas pergi dan jangan datang lagi!” bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan.
Akan tetapi pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.
“Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mendapat keadilan! Meski kalian memukuli aku sampai mati, aku tidak akan pergi!” teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali memanggil namanya.
“Kiong-koko...!” akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu ibu mempelai dan diseret masuk ke dalam kamar.
Mendengar kenekatan pemuda itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai ikut pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut.
Melihat kejadian ini, Sie Liong cepat melompat ke dalam. Begitu ia bergerak menangkis tendangan dan pukulan itu, beberapa orang lantas terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis sedemikian kuatnya. Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah babak belur dan bengkak matang biru.
Melihat munculnya seorang pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak, “Mau apa kau mencampuri urusan kami?”
“Dukkk!”
Kepalan tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya sungguh membuat orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh, namun pemukulnya sendiri yang mengaduh-aduh sambil memegangi pergelangan tangannya yang menjadi salah urat! Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh.
Melihat itu, tentu saja semua orang langsung menjadi jeri dan tidak ada lagi yang berani menghalangi ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba di luar rumah dan melihat betapa banyak orang mengikutinya, yaitu mereka yang tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu ke mana dia membawa pemuda yang dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga sebentar saja dia sudah menghilang dari kejaran para penonton.
Sie Liong membawa pemuda itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar rembulan dan berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang sembarangan. Dia melihat pada saat pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah mempelai wanita, dan terutama sekali cara pemuda itu memanggulnya dan membawanya lari secepat terbang.
“Taihiap, kenapa engkau monolongku? Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?”
Sie Liong tersenyum. Orang ini telah diselamatkan dari keadaan yang lebih parah lagi, karena mungkin dia akan mati dipukuli orang, tetapi pemuda ini tidak berterima kasih bahkan menyesal!
“Akan tetapi, kenapa engkau begitu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau tidak kularikan, mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!”
“Biar saja! Biar aku dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku padanya!”
“Wah, sungguh aneh. Coba ceritakan, apa yang sebenarnya telah terjadi? Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat menolongmu.”
Pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu bercerita. Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu. Bahkan Un Kiong sudah sering kali menyumbangkan tenaganya bekerja di sawah ladang tunangannya. Pernikahan antara mereka tinggal menanti hari, bulan dan tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba saja orang tua Sui Lian mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan kemudian Sui Lian dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!
“Kepala dusun itu orang baru, belum setahun dia diangkat menjadi kepala dusun dan bertugas di sini. Jelaslah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera kepala dusun itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah menerima nasib, aku tidak berdaya. Tadi aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas tunanganku yang semenjak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan tetapi, melihat ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan ia... ahhh, ia masih sempat memanggilku, dan ia... ia begitu bersedih...! Karena itu, aku ingin mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi untuk membuktikan cinta kasihku kepadanya!”
Sie Liong tersenyum. “Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang? Hemm, itu bukan cara membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli, apakah tunanganmu itu akan merasa gembira? Apakah perbuatanmu itu akan dapat membebaskan ia dari cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi suaminya?”
Un Kiong menjadi bengong, lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas. “Lalu apa yang dapat kulakukan, taihiap?”
“Engkau pulanglah dan biarlah aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan itu dan akan mengantarkan mempelai wanita ke rumahmu. Engkau bersiap-siaplah, besok siang mempelai wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kau sambut ia sebagai mempelaimu.”
“Tapi... tapi... tentu mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan dan dihukum!”
“Jangan khawatir. Aku yang bertanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai tuntas. Andai kata engkau ditawan, aku yang akan membebaskan engkau.”
Karena dia sendiri sudah tak berdaya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya kepada pendekar yang bongkok itu, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum saya pulang, mohon tahu nama besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada orang-tuaku.”
Sie Liong menggelengkan kepala. “Namaku tidak ada artinya, sobat. Kuberi tahu pun engkau tidak akan mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja di sini, dan aku selalu gatal tangan, ingin membereskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan tunggulah sampai besok.”
Un Kiong memberi hormat, kemudian dia pun pergi, kembali ke dusun dan pulang ke rumahnya. Dia disambut dengan omelan ayah ibunya yang sudah mendengar beritanya bahwa putera mereka membikin ribut di rumah mempelai wanita sehingga dipukuli oleh keluarga mempelai wanita. Ketika Un Kiong menceritakan tentang Pendekar Bongkok yang menolongnya, dan juga tentang janji pendekar itu, ayah ibunya menjadi semakin tegang dan gelisah.
Sementara itu, Sui Lan telah dipaksa untuk menerima rombongan pengantin pria yang malam itu datang untuk menjemput mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis terus, akan tetapi karena ia memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim bahwa mempelai wanita selalu menangis pada saat dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian.
Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang, sedangkan mempelai prianya menunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa orang. Petasan dibakar dan bunyi musik mulai mengalun mengiringi pasangan mempelai yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu. Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombongan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
“Berhenti!” bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. “Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya bukan orang itu!” Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.
Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah.
Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang berusia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
“Heiii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Sekarang semua orang sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman, sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.
“Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiwa yang membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernama Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini tentu sudah mengetahui akan hal itu. Tetapi, secara mendadak pertunangan itu dibatalkan sepihak dan Sui Lian dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh tidak adil sama sekali, apa lagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun!”
“Ehh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang telah diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini dari pada harus kami hajar!”
“Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun bahwa pernikahan ini dibatalkan!”
“Kurang ajar!”
Tujuh orang pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali Sie Liong menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.
“Sudahlah. Kalian hanya para petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh ke sini kemudian kita rundingkan bersama dengan orang tua mempelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!” kata Sie Liong yang sebetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.
“Orang gila ini sungguh kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh saja kalau melawan!” kini mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia sangat marah dan merasa malu sekali bahwa upacara pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila!
Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dengan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tiada yang mampu menyentuh tubuhnya. Dia tak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya sebab mereka bukanlah orang-orang jahat, tapi hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai.
Dia pun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu lantas beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jeri karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak mampu melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan dia pun melarikan kudanya sambil berteriak, “Mari kita lapor kepada ayah!”
Para pengikutnya lalu melarikan diri meninggalkan tempat itu. Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penasaran sekali. Akan tetapi dia pun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia menghampiri lalu memberi hormat.
“Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua tindakan ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan malapetaka kepada keluarga kami!”
“Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman. Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.”
Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tak ada yang berani membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda bongkok ini seorang pandekar yang sakti.
Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdengar suaranya, “Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!”
Dua orang nenek bersama ibunya mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar. Sementara itu, ayah Sui Lian kemudian mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Beberapa orang keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah.
Para penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan seluruh penduduk dusun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang.
Un Kiong sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru di dalam hatinya. Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan sudah mencegah terjadinya pemboyongan pengantin wanita! Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap mata pun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
“Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu sudah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini juga?” Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya.
Petani itu mengangguk. “Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin ribut...”
“Akan tetapi mengapa, paman? Apakah kesalahan Un Kiong sehingga pertunangan itu dibatalkan? Padahal, pertunangan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun, sejak keduanya masih kanak-kanak!”
Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apa pun!
“Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Karena hal itulah engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?”
Orang tua itu mengangkat muka memandang kepada Pendekar Bongkok, kemudian dia mengangguk membenarkan.
“Nah, aku ingin tahu sekarang. Mengapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon suami.”
“Ahh, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan...”
“Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?” Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
“Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?”
“Tentu saja!” jawab kedua orang tua itu.
“Kalau ji-wi menyayangnya, kenapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya. Ia bukan benda, bukan pula binatang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Dia juga berhak menentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?”
Dua orang tua itu menunduk. “Kami... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup berkecukupan...”
“Itukah ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor burung yang ada dalam sangkar, walau pun sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya lebih dahulu menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang muda itu sudah saling menyayang.”
“Tapi, tapi kami tidak berani menolak... dan sekarang... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap... ahhh, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali...” Suami isteri itu meratap dan ketakutan.
“Itu tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.”
Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang. “Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membereskan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.”
“Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,” kata Sie Liong dengan hati lega.
Sie Liong bangkit berdiri, keluar dari ruangan itu, lalu berdiri di serambi depan. Masih terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar. Dia melihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agaknya pihak kepala dusun sudah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambi depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang yang sikapnya gagah sekali. Yang seorang bertubuh tinggi besar. Mukanya persegi, jantan dan gagah. Sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah. Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sepertinya pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi dia sudah tidak ingat lagi.
Seorang di antara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah memandang tajam kepada Sie Liong, lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah. “Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?”
Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendengar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena kelemahan orang tua Sui Lian.
“Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu.”
Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya. “Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat? Dengar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pesta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia merayakan pernikahan puteranya dengan gadis dusun di sini, apa salahnya itu?”
“Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?”
Kembali dua orang itu saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang. “Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan harus dilangsungkan, siapa pun tidak berhak untuk menghalangi!”
“Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan minta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!”
“Hemmm, tidak percuma apa bila sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami menghadap kepala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan,” kata si tinggi besar.
“Kalau aku tidak mau?”
“Ji-wi taihiap, biar kami keroyok saja dia!” teriak si kumis melintang yang memimpin para pengawal tadi. Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok.
Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.
“Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!” kata si tinggi besar.
Tujuh orang pengawal itu pun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu, tetapi sesungguhnya mereka merasa jeri. Maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.
“Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!” berkata si tinggi besar yang segera melangkah maju. “Sobat, engkau sungguh tinggi hati, hendak mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak menggunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!”
Sie Liong tersenyum. “Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.”
“Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?”
“Kalau perlu...”
“Bagus! Ingin kulihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!” bentak si tinggi besar itu dan dia membentak nyaring, “Lihat serangan!”
Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang yang gagah, seorang pendekar yang memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya kuat bukan main, mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datangnya cepat sekali.
Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa kini dia berhadapan dengan lawan yang ‘berisi’, bukan sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, dia pun dengan hati-hati mengelak ke kiri, kemudian dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka.
Akan tetapi, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sinkang.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat!
Maka dia pun lalu menerjang dengan cepat. Bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak cepat, setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga. Tetapi, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri dengan langkah-langkahnya yang teratur. Sekali-kali dia menangkis, bahkan balas melancarkan serangan pula agar dirinya tidak menjadi terdesak.
“Hyaattttt...!”
Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya mengandung tenaga dahsyat yang panas! Sie Liong maklum bahwa lawannya menggunakan semacam sinkang yang hebat, maka dia pun segera mengerahkan sinkang-nya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju). Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan!
Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin. Ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin.
Melihat suheng-nya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok lalu menerjang dahsyat sambil membentak, “Lihat seranganku!”
Kedua tangan itu bergerak cepat, membentuk dua buah cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah lihainya dibanding sang suheng!
Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh lawannya itu adalah semacam ilmu yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat luar biasa. Melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu, meski tidak berkuku panjang akan tetapi tidak kalah berbahayanya dari pada cakar seekor harimau!
Dia pun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih). Begitu ia mengerahkan tenaga sinkang, maka dari dua telapak tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawannya dapat ditangkisnya dengan tepat. Dia pun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itu pun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua orang gagah itu meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok itu, maka mereka mencabut senjata!
“Sobat, ternyata engkau benar amat lihai. Nah, sekarang keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!” tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.
Sie Liong menjura kepada mereka. “Mana aku berani? Aku tidak pernah bermain-main dengan senjata, dan aku juga tak akan pernah mau mengangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa pendekar-pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tak pernah melakukan kejahatan!”
Kedua orang itu terbelalak. “Engkau... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?” tanya si tinggi besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama Ciang Sun, sedangkan sute-nya yang brewokan, bernama Kok Han.
“Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Pada saat itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat itulah kita saling berjumpa!”
“Ahh...!” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru, kemudian mereka saling pandang. “Engkau... engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendeta Lama itu...? Tapi... tapi kami sangka engkau sudah mati...!”
Sie Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku...”
“Ahhh...! Kiranya saudara adalah murid tiga orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa... ehhh, mengenai urusan pengantin itu...” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mereka tadi memandang rendah.
“Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku juga tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku berjumpa dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang sekarang menjadi pengantin. Sejak kecil bertunangan lalu mendadak dibikin putus dan tunangannya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil? Juga aku melihat sendiri bahwa pengantin wanita tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi dua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan...”
“Ahhh, kalau begitu, lain lagi urusannya!” kata Kok Han. “Sungguh heran, mengapa bisa terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana.”
“Mungkin dia tidak tahu,” kata Sie Liong. “Dia hanya tahu meminang, diterima kemudian merayakan pernikahan puteranya. Oleh karena itu, sebaiknya jika dia diajak berunding, syukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pal itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong. “Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang ke sini.”
“Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku akan menunggu di sini,” kata Sie Liong.
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersyukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang sedang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.
Benar saja seperti dugaan Sie Liong. Tidak lama kemudian kepala dusun Sun datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam, di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu melanjutkan ceritanya.
“Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan antara dua orang muda itu telah diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, sudah dilakukan semenjak keduanya masih kanak-kanak. Apa bila tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan puteramu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepala dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu.”
Kepala dusun Sun lalu memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian. “Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, mengapa pinangan kami diterima?”
Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu dia berkata dengan tenang, “Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekarang inilah saat semua orang harus berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!”
Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat. Dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata, “Mohon ampun kepada jung-cu... saat jung-cu mengajukan pinangan, kami... kami merasa terhormat dan bahagia sekali, kami pun tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu... sebab kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan...”
“Brakkk!”
Kepala dusun menggebrak meja dengan tangan kirinya, dan mukanya menjadi merah sekali. “Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!”
“Ampunkan kami... jung-cu...!” tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan.
Kepala dusun itu menarik napas panjang. “Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dapat dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?”
“Namanya Un Kiong...”
“Di mana dia? Panggil dia ke sini!”
Sie Liong bangkit. “Biarlah aku yang memanggil dia ke sini.”
Dan sekali berkelebat, pemuda bongkok ini pun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimana pun juga, dia ketakutan.
Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang saja. “Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai anak angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah kau?”
Un Kiong cepat menjatuhkan diri berlutut di depan ‘ayah angkatnya’ dan hanya mampu menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada keesokan harinya pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang menikah bukanlah putera kandungnya, tetapi ‘putera angkatnya’. Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan orang.
Pada waktu sepasang mempelai dipertemukan, Sie Liong dan kedua orang pendekar Kun-lun-pai mendapat kursi kehormatan. Tanpa diperintah, dua orang mempelai itu lalu menghampiri Sie Liong dan serta merta keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
“Wah... jangan...! Tak perlu begini...!” katanya dan sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap dari tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu, tapi juga mendatangkan keuntungan besar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan ditaati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong sendiri kembali melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dia sudah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan alangkah bahagianya sepasang orang muda itu!
Akan tetapi dia pun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal adanya. Seperti keadaan udara, tidak selamanya kehidupan manusia diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di angkasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelapkannya sama sekali. Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, kini mereka berbahagia dan dia pun merasa berbahagia karena perbuatannya telah berhasil membahagiakan orang lain…..
Tibet merupakan daerah yang tidak banyak didiami suku bangsa lain kecuali bangsa Tibet. Ada pula bangsa Han yang sudah bercampur dengan bangsa mereka. Bahkan banyak terjadi perkawinan campuran sehingga terlahir suku yang dapat disebut sebagai peranakan Tibet Han. Terutama di bagian Timur daerah Tibet, di mana terdapat sebuah perkampungan yang menjadi tempat tinggal suku peranakan Tibet Han.
Berbeda dengan suku bangsa yang tinggal di Mongol, daerah yang penuh padang pasir, suku bangsa Tibet bukan merupakan suku bangsa nomad, tidak berpindah-pindah tetapi tinggal berkelompok dan membentuk dusun-dusun di antara pegunungan-pegunungan yang memenuhi daerah itu.
Tibet memang dipagari pegunungan-pegunungan yang besar. Di utara ada Kun-lun-san yang memanjang dari barat ke timur. Di selatan juga berderet pegunungan Himalaya yang seolah-olah melindungi daerah itu. Di tenggara terdapat Heng-tuan-san, di timur laut terdapat Tanggula San, sedangkan di bagian tengah terdapat Gang Tiese San dan Nyaingen Tangla San serta masih banyak lagi pegunungan kecil yang masih memenuhi daerah itu. Selain kaya pegunungan, Tibet juga kaya akan danau besar dan telaga yang lebih kecil.
Suku Tibet adalah peternak-peternak yang pandai. Mereka beternak binatang kambing, domba dan yak, yaitu semacam keledai. Selain itu mereka juga bertani dan berkebun, dan pada umumnya mereka merupakan umat beragama yang taat. Hampir seluruh suku Tibet menganut agama Buddha dan mereka percaya sepenuhnya terhadap kekuasaan pendeta Lama yang dianggap sebagai penguasa, baik di pemerintahan mau pun dalam bidang agama.
Ibukota Lhasa di mana para Lama tinggal merupakan pusat atau kiblat mereka. Para penduduk dusun yang agak berhasil dan memiliki kelebihan kekayaan, tentu tidak akan melewatkan kesempatan berkunjung ke ibukota Lhasa itu. Tanggula San merupakan pegunungan yang memanjang dari utara ke selatan, di dekat perbatasan timur. Dari pegunungan inilah awal Yang-tse-kiang yang amat panjang itu muncul dari sebuah sumbernya.
Karena itu, terutama bagi orang-orang Han dan peranakan Han yang tinggal di Tibet, pegunungan Tanggula San ini sangat penting. Mata air yang menjadi sumber sungai Yang-tse itu dijadikan tempat keramat, bahkan di situ dibangun menara. Hal ini karena sungai Yang-tse dianggap sebagai sungai keramat pula, yaitu sungai kedua terpanjang di daratan Tiongkok sesudah sungai Huang-ho.
Karena daerah pegunungan Tanggula San ini, terutama daerah lereng kaki pegunungan merupakan daerah yang amat subur, maka banyaklah dusun para petani dan peternak bertebaran di sekitar situ. Sebagian besar dari dusun-dusun ini dihuni oleh peranakan Tibet Han.
Seperti pada umumnya suku peranakan, darah campuran agaknya membuat keturunan mereka memiliki bentuk wajah yang cantik. Bangsa Tibet asli terkenal memiliki bentuk anggun dan jantan dengan alis yang tebal dan rambut yang hitam subur. Sebaliknya orang Han memiliki kulit yang putih mulus kekuningan. Maka keturunan dari kedua suku bangsa ini, banyak sekali yang tampan dan cantik.
Terutama sekali para wanitanya, banyak yang cantik, berkulit putih kekuningan mulus, berambut hitam panjang dan alis matanya juga hitam sekali, agak tebal di kedua ujung seperti sayap kupu-kupu. Para pria peranakan ini juga berwajah tampan dan ganteng, jantan dengan bentuk tubuh mereka yang tinggi besar. Tentu saja ada kecualinya, ada juga yang berpenampilan buruk, seperti yang terjadi pada semua suku bangsa.
Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itu pun pada waktu dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggota pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut.
Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan sering kali terjadi pertengkaran di antara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu ingin memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali, yaitu kepala suku di dusun Ngomaima, selalu dapat meredakan keributan yang timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan ini, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, namun pekerjaan ini pun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan.
Hal ini amat menarik hati para pendatang. Beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat lalu bertanya. Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu dengan munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan menggunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri.
Banyak sudah anak buah Gumo Cali yang roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk menangkap ‘siluman’ itu. Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya mempunyai kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja.
Maka, setelah banyak jagoan di antara para pengawal mencoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka, bahkan ada pula yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!
Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia terlebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah darah!
Dan malamnya, biar pun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang coba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Maka, siluman itu pun terkenal dengan sebutan Siluman Merah!
Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah daun pintu. Betapa penduduk tak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti oleh semua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu!
Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!
Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat oleh para jagoan tak menenteramkan hatinya sebab sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tak ada yang mampu menandingi kesaktian siluman itu. Maka jalan kedua pun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!
“Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,” demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan, “akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan dapat mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang dukun.”
Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, maka dia pun diundang untuk mengobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, mempunyai nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sianjin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sianjin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannya pun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar. Akan tetapi jika jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni!
Juga dukun ini pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak. Dan hebatnya, bila orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!
Usia Bong Sianjin kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau meram. Hidungnya besar dan mulutnya yang kecil selalu tersenyum mengejek.
Di punggungnya terdapat sebatang pedang. Tangan kanannya menggenggam sebuah kebutan berbulu putih sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang selalu dikebut-kebutkan ke arah lehernya pada waktu dia memasuki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!
Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat. Tetapi begitu melihat tuan rumah, mendadak dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, kemudian mulutnya mengeluarkan keluhan panjang.
“Hayaaaaa...!” dan dia pun mengangguk-angguk.
Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat sambil bertanya, “Sianjin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!”
“Aihh, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!”
Ia pun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan itu.
Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantera, kemudian terdengarlah dia berkata sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru.
“Yang datang dari selatan, kembalilah ke selatan, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari utara kembalilah ke utara dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan mengganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!”
Ia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan atas kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sianjin memasuki rumah Gumo Cali sambil mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di dalam rumah itu. Kemudian dia bertanya, “Di mana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
“Di sana, Sianjin, di sudut itu...,” jawabnya cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!”
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sianjin masuk sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan milik kakak beradik itu.
Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu sekarang berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sianjin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang setengah tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar gairah!
Tiba-tiba Bong Sianjin mengeluarkan seruan, “Uhhhh...!” dan tubuhnya pun terhuyung ke belakang. “Sungguh celaka...!”
“Ada apakah, Sianjin...?” tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.
“Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!”
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itu pun menangis dan tubuh mereka menggigil.
“Aduh... lalu bagaimana baiknya, Sianjin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami... apa pun yang kau minta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu... cepat tolonglah...” kata kepala dusun itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan memang bisa membuat orang yang bagaimana perkasa pun menjadi seorang pengecut dan penakut.
“Jangan khawatir he-he-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sianjin, jangan khawatir...! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia... heh-heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sianjin, heh-heh-heh!”
“Baik, baik... ah, terima kasih sebelumnya, Sianjin. Dan apa... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?”
“Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!”
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar.
Ibu dua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, “Jangan kalian takut, ada Bong Sianjin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari... siluman...”
Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang memandang kepada mereka secara mengerikan!
Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah, maka mereka pun pasrah!
Setelah melihat betapa dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai dia pun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Setelah berada bertiga saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah birahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi sudah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya.
Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik para gadis-gadis cantik. Dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, serta pedang pusakanya yang sudah diberi mantera, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan.
Dia tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang lagi berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang mulai mekar itu, menikmati mereka, tetapi pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
“Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalau kalian kubersihkan dari hawa siluman?”
“Mau, Sianjin, tentu saja kami mau...,” kata gadis tertua dengan suara gemetar.
“Kalau kalian mau, ingat. Apa pun yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamu pun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan datang menguasai diri kalian kembali. Menurut saja dengan apa yang akan kulakukan terhadap kalian, sebab itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan di dalam ember ini. Lakukan sekarang!”
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu sekarang tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembunyi di balik pelupuk mata yang sipit itu makin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali.
Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum. Dengan nafsu yang semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua orang gadis remaja itu. Jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi dan meraba-raba serta membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.
Sekarang Si brewok membelalakkan matanya lebar-lebar. “Apa? Kau berani menolak perintah Tiat-jiauw Jit-eng (Tujuh Garuda Bercakar Besi)?” Dia memukulkan kepalan kanannya pada telapak tangan kiri sehingga mengeluarkan bunyi keras. “Apa engkau sudah bosan hidup dan memilih mampus? Sebelum mampus pun kau tidak akan lepas dari tangan kami! Apa kau lebih suka diperkosa sampai mati dari pada melayani kami dengan manis?”
Wanita itu menjadi semakin pucat dan tiba-tiba kakinya yang menggigil tak mampu lagi menahan tubuhnya. Ia jatuh berlutut di atas lumpur! Dan ia memberi hormat kepada si brewok itu.
“Ampunkan saya... saya sudah bersuami..., ampunkan saya...”
“Ha-ha-ha, lebih baik lagi! Kalau engkau sudah bersuami, lalu apa sukarnya melayani kami? Hayo, ke sinilah!” Si brewok kembali menjulurkan tangannya ke arah wanita itu.
“Tidak... tidak... tidak!” Wanita itu menjerit histeris lalu menangis.
Marahlah si brewok. Agaknya dia tidak mau turun ke lumpur karena sepatunya masih baru. Dia menengok dan memerintahkan anak buahnya. “Turun dan seret ia ke mari!”
Seorang di antara mereka, yang termuda, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, sedangkan yang lain antara empat puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan sikap gagah.
Orang ini mukanya kecil sempit dan panjang, kepucatan seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan hidungnya pesek. Dia menyeringai ketika dia turun ke ladang untuk menghampiri wanita itu yang bangkit berdiri dan mencoba untuk melarikan diri menjauhi orang itu.
Ia adalah seorang wanita, akan tetapi sejak kecil ia bekerja di sawah ladang. Tubuhnya kuat sekali dan sudah terbiasa di lumpur, maka ia dapat berlari cepat. Berbeda dengan laki-laki yang mengejarnya.
Biar pun dia seorang kasar yang memiliki kekuatan dan kepandaian, akan tetapi belum pernah dia berjalan di dalam lumpur, apa lagi dia bersepatu, tidak seperti wanita petani itu yang bertelanjang kaki. Maka, sukarlah baginya untuk menangkap wanita itu! Semua kawan-kawannya menjadi sangat gembira dan mereka pun serentak mengepung ladang itu, menghadang wanita yang hendak melarikan diri.
Wanita itu menjadi semakin ketakutan. Hanya pinggir yang dihalangi solokan itulah yang tidak dihadang penjahat, maka ia pun lari ke situ dan meloncat ke dalam solokan, terus mendaki dan dikejar oleh tujuh orang itu yang membuat gerakan menakut-nakuti sambil tertawa-tawa. Mereka memperoleh hiburan, seperti tujuh ekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkan dan mengganyangnya.
Kebetulan sekali wanita itu melihat Sie Liong yang duduk di bawah pohon, maka ia pun berlari ke arah pohon itu, lalu menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila. Sie Liong merasa betapa wanita itu merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu penuh lumpur, maka pakaiannya sendiri pun terkena lumpur. Dia merasa betapa dada yang menempel pada pundaknya itu berdebar kencang dan bergelombang, dan betapa napas itu terengah-engah.
“Tolonglah... tolonglah saya... aduh, lebih baik saya mati dari pada tertawan mereka... tolonglah saya...”
“Enci, tenanglah dan duduklah di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka,” kata Sie Liong.
Kini tujuh orang itu sudah tiba di bawah pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu berlutut di belakang seorang laki-laki yang duduk bersila. Dia tidak peduli apakah pria itu suami si wanita. Baginya, tidak peduli wanita itu bersuami atau tidak, kalau sudah dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya!
“Heiii, siapa kau?!”
Mendengar bentakan yang nadanya sangat congkak ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri. “Namaku Sie Liong. Aku melihat betapa kalian mengganggu wanita ini. Apakah kalian tidak malu? Kalian adalah tujuh orang laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita yang tidak berdaya. Pergilah kalian dari sini sebelum aku muak melihat tingkah kalian yang tidak senonoh seperti binatang itu!” berkata Sie Liong yang memang marah sekali melihat perbuatan mereka tadi.
Tujuh orang itu terbelalak. Keheranan melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling pandang. Ada seorang pemuda biasa, bongkok pula, berani berbicara seperti itu kepada mereka? Sungguh aneh, aneh sekali sehingga mereka seolah-olah lupa dengan kemarahan mereka, bahkan mereka mulai tertawa-tawa.
“Heh-heh, apakah engkau seorang pendekar?” tanya si brewok untuk mengejek.
“Seorang pendekar yang bongkok! Pendekar Bongkok! Ha-ha-ha!”
“Awas kau, Pendekar Bongkok. Nanti kupenggal punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang, baru tahu rasa kau!”
Si brewok melangkah maju satu langkah. “Hei, Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah memang tuli? Andai kata engkau tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan nama besar Tiat-jiauw Jit-eng!”
Sie Liong tersenyum. “Tujuh Garuda Cakar Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak peduli.”
“Wah, pemuda bongkok ini memang sudah bosan hidup!” si brewok berkata sambil memberi isyarat kepada anak buahnya yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa hasil.
Si mata sipit hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tak mampu menerkam si manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat bagaikan seorang jagoan asli yang tidak pernah terkalahkan. Dia melenggang seperti layangan yang tak seimbang, condong ke kanan dan ke kiri, kepalanya ditegakkan, dadanya dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya besar, maka yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!
“Heiii, orang muda yang tolol! Engkau ini masih muda, lemah dan bongkok pula, apa engkau tidak tahu diri? Engkau berani menentang kami, hanya untuk membela seorang perempuan dusun? Apamukah perempuan itu?” tanyanya, suaranya dibesar-besarkan agar berwibawa. Akan tetapi karena suaranya memang kecil parau bagai suara seorang penderita batuk kering, maka tetap saja suara yang keluar sama sekali tidak berwibawa, malah lucu.
Biar pun di dalam hatinya Sie Liong merasa marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar. “Enci ini adalah kerabat yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah dan tertindas, orang yang membutuhkan bantuan. Dan kalian adalah orang-orang jahat, manusia-manusia berwatak iblis yang patut ditentang!”
Si mata sipit hidung pesek mengerutkan alisnya dan membentak marah. “Wahh, engkau ini pemuda kurang ajar, aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!”
Setelah berkata demikian, dia pun menyerang. Meski pun tubuhnya kerempeng dan dia kelihatan berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini dapat bergerak dengan cepat sekali dan sambaran tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka Sie Liong mengandung tenaga yang terlatih.
“Wuuuuuttt...!”
Tonjokan dengan tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong. Akan tetapi pemuda bongkok ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia diserang dengan tonjokan yang akan dapat membuat pipinya bengkak dan giginya rontok! Baru setelah kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari pipinya, secepat kilat dia menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar, menangkap lengan kanan lawan dan dia pun mendorong, menambahkan tenaga dorongan pukulan itu dengan tenaganya sendiri sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu meluncur terus dan melingkar ke arah pipi kirinya sendiri.
“Desss...! Aughhhh...!”
Beberapa buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya pun berdarah karena kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah menghantam ke arah mukanya sendiri!
“Auhh... auhh... auhhh...!”
Dia mengerang kesakitan, tidak mampu berkata ‘aduh’ karena mulutnya terasa seperti remuk. Dia membungkuk-bungkuk dan kedua tangannya sibuk memegang-megang dan meraba-raba mulut dan hidung.
Kembali maju seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi besar laksana raksasa. Mukanya hitam dengan kulit muka yang kaku seperti punggung buaya, agaknya muka itu memang rusak oleh penyakit kulit yang hebat. Di antara tujuh orang gerombolan itu, dia terkenal sebagai seorang yang mempunyai tenaga besar, dan juga wataknya amat sombong karena memang sulit mencari orang yang mampu mengalahkan raksasa muka hitam ini.
Agaknya dia masih terlalu mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong mengalahkan kawannya, ia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu. Agaknya dia menganggap bahwa kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi hanya karena kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian pemuda bongkok ini.
Bahkan dia merasa terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia ingin mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.
“Heii, bocah ingusan! Lekas engkau berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku akan mengampunimu! Cepat...!” Kedua matanya yang hitam dan mencorong itu melotot galak.
“Engkong-ku sudah mati, akan tetapi seingatku, dia tak seburuk engkau,” kata Sie Liong dengan sikap tenang.
“Kalau begitu, aku akan memaksamu berlutut!” bentak si raksasa muka hitam.
Dia pun sudah menyerang dengan dua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie Liong. Pada waktu pemuda ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan raksasa itu menendang ke arah lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena, tentu Sie Liong akan benar-benar diharuskan berlutut karena tendangan itu kuat bukan main.
Namun, tentu saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat melihat gerakan serangan ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk mendahului lawan. Sebelum kaki yang menendang itu sampai ke tubuhnya, dia cepat-cepat merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping tangannya monotok ke arah lutut kanan itu.
“Tukkk!”
Seketika kaki yang besar itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksana muka hitam itu jatuh berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di depan Sie Liong! Pemuda itu tersenyum dan berkata dengan suara mengejek.
“Aku bukan engkong-mu, tidak perlu engkau berlutut memberi hormat!”
Tentu saja ucapannya ini membuat raksasa muka hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat berdiri, akan tetapi kembali dia terguling karena kakinya masih terasa lumpuh.
Melihat ini, kawan-kawannya menjadi amat marah, akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda bongkok itu betul-betul seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka mencabut senjata golok atau pedang dari punggung mereka dan di lain saat, Sie Liong telah dikepung tujuh orang yang memegang senjata tajam.
Melihat ini, wanita itu menangis ketakutan.
“Jangan bunuh dia... ahhh, jangan bunuh dia yang tidak berdosa...” ratapnya sambil menangis.
Mendengar ini, si brewok tertawa, “Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara suka rela kalau kami lepaskan bocah bongkok ini?”
“Tidak, tidak... kalian boleh membunuh aku, akan tetapi... jangan bunuh dia yang tidak berdosa...”
“Enci, tenanglah. Mereka tidak akan mampu membunuhku atau membunuhmu!” kata Sie Liong kepada wanita itu.
Hatinya terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu adalah seorang wanita yang hebat! Dia berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kehormatan, juga amat baik budi sehingga tidak tega melihat dia dikepung dan diancam bunuh oleh para penjahat itu.
Kini tujuh orang penjahat itu sudah menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka menyerang. Namun, baru mereka menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu sudah lenyap, berubah menjadi bayangan yang dengan cepatnya menyelinap di antara sambaran senjata mereka.
Mereka merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka terus mengarahkan senjata mereka, menyerang bayangan yang gesit bukan main itu. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan tahu-tahu pemuda bongkok itu sudah menyerang dari atas, bagaikan seekor naga dari angkasa saja! Dan sekali kaki tangannya bergerak, empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas!
Tiga orang penjahat lainnya terkejut bukan main. Akan tetapi mereka pun hanya diberi kesempatan untuk bengong sejenak, karena tiba-tiba saja mereka pun terjungkal roboh oleh tamparan tamparan tangan Sie Liong yang ampuh bukan main itu.
Tujuh orang itu baru sekarang merasa jeri. Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan pemuda bongkok itu! Tamparan yang hanya sekali itu saja sudah membuat mereka roboh dan bagian badan yang terpukul terasa seperti remuk!
Si brewok, pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling tangguh, mampu lebih dulu bangkit dan dia sudah bersiap untuk melarikan diri meninggalkan teman-temannya. Akan tetapi, hanya dengan beberapa langkah saja Sie Liong sudah dapat menangkap pundaknya.
Tekanan tangan Sie Liong di pundak itu membuat si brewok menggigil saking nyerinya sehingga dia pun jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram pemuda bongkok itu seperti dibakar atau dicengkeram kaitan baja membara saja, panas dan perih, nyeri luar biasa, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.
“Ampun, taihiap... ampun, saya mengaku kalah!”
“Hemmm, aku tidak membutuhkan pengakuan kalah darimu! Aku tidak membutuhkan kemenangan. Akan tetapi aku minta agar kalian suka sadar dari kelakuan jahat kalian dan bertobat!”
“Ampun, taihiap,... saya bertobat...!”
“Hemm, siapa percaya omongan orang jahat macam engkau?”
“Saya bersumpah tak akan melakukan kejahatan lagi, taihiap. Saya akan bekerja seperti dulu, yaitu memburu binatang hutan. Dahulunya kami adalah pemburu-pemburu, karena tertarik penghasilan besar lalu mulai merampok orang yang lewat di hutan...”
“Benar, engkau bertobat dan hendak kembali ke jalan benar?” tanya Sie Liong. “Aku tetap tidak percaya kalau engkau dan teman-temanmu tidak memperlihatkan buktinya. Sumpah mulut saja tidak ada artinya.” Dia lalu menggertak, “Atau aku akan membiarkan kalian mati tersiksa dengan memberi pukulan mematikan?”
Kini dia melepaskan cengkeramannya dan seketika si brewok tidak merasa nyeri lagi. Dia makin yakin bahwa pendekar muda yang bongkok itu betul-betul lihai.
“Taihiap, kami bersumpah dan inilah buktinya!”
Dia menyambar goloknya yang tadi terlempar, lalu membuka sepatu kirinya dan sekali bacok, lima buah jari kaki kirinya buntung! Darah mengalir deras dari kaki yang buntung jari-jarinya itu.
Diam-diam Sie Liong terkejut sekali, akan tetapi juga girang karena dia maklum bahwa si brewok itu bersungguh-sungguh!
“Hayo kalian buntungi jari kaki kiri masing-masing seperti aku, siapa yang tak mau, aku yang akan membuntunginya sendiri. Mulai saat ini, kita tidak akan merampok manusia lagi, melainkan memburu binatang seperti dulu lagi!”
Enam orang anak buahnya melihat bahwa pimpinan mereka bersungguh-sungguh dan mereka pun jeri terhadap Pendekar Bongkok, demikian mereka menyebut Sie Liong, oleh karena itu mereka pun mengambil senjata masing-masing yang tadi terlempar, lalu membabat buntung jari kaki kiri mereka. Melihat ini, wanita dusun itu menutupi muka karena merasa ngeri.
Sie Liong lalu menghampiri mereka seorang demi seorang, menotok kaki kiri mereka di atas bagian yang terluka, mengeluarkan obat bubuk putih yang ditaburkan pada luka di kaki.
Seketika, tujuh orang itu merasa betapa kenyerian jari yang dibuntungi itu lenyap, dan luka-luka itu pun cepat menjadi kering. Mereka menjadi makin kagum. Kiranya Pendekar Bongkok ini selain amat lihai ilmu silatnya, juga pandai ilmu pengobatan.
Hal ini sebenarnya tidaklah perlu diherankan kalau diketahui bahwa seorang di antara orang-orang sakti yang menggembleng Sie Liong adalah Pek-sim Siansu, seorang sakti yang pandai dalam ilmu pengobatan pula.
“Ingat akan sumpahmu sendiri,” kata Sie Liong ketika mereka semua sudah berdiri dan bersiap untuk pergi. “Kalau kelak kalian tetap menjadi penjahat dan mengganggu orang lain, dan aku mendengarnya, pasti akan kucari kalian sampai dapat dan bukan hanya jari kaki kalian saja yang harus dipotong. Selain itu, aku akan membangkitkan semangat para penduduk dusun supaya mereka bersatu padu dan hendak kulihat, kalau ratusan orang dusun itu bersatu padu melawan kalian, apa yang dapat kalian lakukan terhadap mereka!”
Diam-diam si brewok dan teman-temannya merasa ngeri. Bukan saja mereka ngeri terhadap kesaktian Pendekar Bongkok, akan tetapi juga ngeri kalau benar penduduk dusun sampai bangkit menentang mereka, maka tentu mereka akan dikeroyok ratusan orang dan akan dihancur lumatkan oleh mereka yang mendendam kepada mereka.
Kalau biasanya mereka itu dapat merajalela adalah karena mereka menang gertakan dan para penduduk dusun itu belum apa-apa sudah ketakutan lebih dulu, melarikan diri bersembunyi dari pada melakukan perlawanan berpadu.
Tujuh orang itu, dipimpin oleh Si Brewok, menghaturkan terima kasih kepada Sie Liong, kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu, tidak jadi mengganggu wanita petani atau dusun di dekat ladang itu.
Setelah mereka pergi, Sie Liong menghampiri wanita dusun itu dan dengan senyum kagum dia berkata sambil berlutut di dekat wanita yang masih duduk di atas rumput dengan wajah masih diliputi ketegangan itu.
“Untung bahwa engkau tabah sekali menghadapi mereka, enci...,” katanya.
Wanita itu mengangkat muka, kemudian memandang padanya dan kembali air matanya menetes-netes turun ke atas pipinya. Mulut wanita itu berkemak-kemik, namun tidak ada sedikit pun suara yang keluar. Akhirnya, ia mengeluarkan jerit kecil dan merangkulkan kedua lengannya pada pundak dan leher Sie Liong sambil menangis!
Pemuda bongkok itu terkejut, akan tetapi mendiamkannya saja dan tersenyum ketika dia merasa kehangatan air mata menembus bajunya karena wanita itu menangis di atas dadanya. Bahkan dia pun lalu merangkul dan menepuk-nepuk pundak wanita itu dengan lembut.
“Tenanglah, enci, bahaya sudah lewat sekarang,” hiburnya.
Akan tetapi wanita itu bahkan mempererat rangkulannya dan terdengar bisikan lirih dari mulut yang disembunyikan di dadanya itu. “Adik yang baik, ahhh... taihiap yang gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan diriku... terima kasih, taihiap, terima kasih...”
Suaranya mengandung isak sedangkan tubuhnya gemetar, seolah-olah ia teringat akan peristiwa tadi dan membayangkan betapa akan ngerinya apa bila ia sampai terjatuh ke tangan tujuh orang itu.
“Sudahlah, enci. Sudah semestinya aku melindungimu, dan aku kagum sekali melihat ketabahanmu tadi. Lepaskanlah rangkulanmu, lihat, di sana datang orang-orang dusun.”
Mendengar ini, wanita itu melepaskan rangkulannya dan dengan wajah masih basah air mata, ia menoleh ke kiri dan benar saja, dari arah dusun, datang berlari-larian banyak sekali penduduk dusun ke tempat itu. Dan di tangan mereka terpegang segala macam alat pertanian yang agaknya kini hendak dijadikan senjata.
Sie Liong merasa tegang dan juga malu. Dia tahu bahwa mereka yang sedang berlari dan datang itu tadi sempat melihat betapa dia dan wanita itu berpelukan-pelukan! Untuk menghilangkan rasa sungkan dan tidak enak itu, Sie Liong lalu bangkit dan memunguti potongan jari-jari kaki itu, dan mengumpulkannya di atas sehelai kain sapu tangan.
Melihat ini, wanita dusun itu bergidik.
“Taihiap, untuk apakah kau... mengumpulkan benda-benda mengerikan itu?”
“Aku akan menguburnya, enci,” kata Sie Liong sambil memunguti terus.
Tak lama kemudian, rombongan orang dusun itu tiba di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang memegang sebatang tongkat panjang moloncat maju menghampiri wanita itu.
“Kui Hwa, apa yang telah terjadi?” tanyanya, suaranya mengandung kemarahan.
Wanita dusun itu menangis dan lari menghampiri laki-laki itu. “Aku... aku hampir saja celaka...!” serunya sambil menangis.
Dia hendak merangkul laki-laki yang ternyata adalah suaminya itu. Akan tetapi, laki-laki itu mendorongnya sehingga ia terpelanting.
“Jangan sentuh aku! Engkau perempuan tak tahu malu!”
Wanita dusun yang bernama Kui Hwa itu terbelalak. Saking kaget dan herannya, ia tidak merasakan kenyerian punggungnya ketika terpelanting oleh dorongan suaminya.
“Apa... apa maksudmu...?” tanyanya dengan heran.
Kui Hwa lebih heran lagi ia saat melihat betapa orang-orang lain, para pria di dusunnya, para tetangganya, memandang padanya dengan sinar mata yang mencemoohkan dan agaknya membenarkan sikap suaminya itu!
“Maksudku kau tanyakan! Maksudmulah yang ingin sekali kuketahui! Apa yang sudah terjadi di sini?”
Suaminya dengan berang melirik ke arah Sie Liong yang sudah selesai mengumpulkan potongan jari-jari kaki tadi dan kini berdiri di situ dengan muka ditundukkan. Potongan jari-jari kaki tadi berada dalam buntalan kain sapu tangan.
“Suamiku, apakah engkau tidak mendengar dari para tetangga kita tadi? Mereka itu, Tiat-jiauw Jit-eng itu datang lagi!” kata si isteri yang masih terheran-heran melihat sikap suaminya.
“Tentu saja kami semua mendengar. Lalu di mana mereka dan apa yang telah terjadi di sini?” kembali dia menoleh ke arah Sie Liong dengan wajah merah saking marahnya.
“Mereka telah dikalahkan oleh taihiap ini. Mereka sudah melarikan diri dan aku... aku diselamatkan oleh taihiap ini!” kata si isteri dengan suara gembira dan bangga.
“Bohong!” Tiba-tiba sang suami membentak dan isteri itu kembali terkejut sekali.
Kini Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada suami itu dengan sinar mata mencorong. Akan tetapi, dia bersikap sabar karena dia bisa menduga apa yang menjadi sebab sang suami itu bersikap seburuk itu dan mengapa pula orang-orang dusun itu berdiri saja, agaknya membenarkan sikap suami itu.
“Suamiku, kenapa engkau mengatakan bohong? Pendekar muda ini yang bernama Sie Liong, dialah yang telah menyelamatkan aku dari gangguan mereka, bahkan pendekar perkasa ini yang memaksa mereka untuk meninggalkan pekerjaan jahat mereka, dan mereka bersumpah dengan membuntungi jari-jari kaki mereka sebelum pergi dari sini. Aihh, suamiku, pendekar muda ini sungguh perkasa dan kita sedusun patut berterima kasih kepadanya...”
“Cukup! Kui Hwa, jangan mengira bahwa kami semua adalah orang-orang buta dan bodoh, yang mudah saja kau tipu dengan kata-katamu itu! Kami melihat betapa engkau bercumbu dan berjinah dengan dia...”
“Diam...!” Kui Hwa yang lemah lembut itu kini membentak. Dia berdiri bagaikan seekor singa kelaparan atau seekor harimau betina membela anaknya. “Jangan engkau berani mengeluarkan ucapan kotor itu! Pendekar ini sudah menyelamatkan aku, bahkan juga menyelamatkan orang sedusun ini dan kalian bahkan berani menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?”
“Phuhh!” Suami itu meludah. “Mataku masih belum buta, aku melihat betapa kalian tadi berpelukan dan berciuman!”
“Engkau yang bohong! Engkau yang kotor dan memang kalian bodoh! Aku tadi memang merangkulnya sambil menangis, terharu dan menghaturkan terima kasih, dan dia hanya menghiburku, sama sekali kami tidak berciuman... aihh, agaknya memang matamu telah buta! Taihiap ini menundukkan tujuh orang gerombolan penjahat itu, membuat mereka takluk dan bertobat, bahkan mereka sudah membuntungi jari-jari kaki sambil bersumpah dan kalian...”
“Sudah! Siapa yang percaya obrolanmu? Engkau memang perempuan tak tahu malu, mungkin dia ini anggota bahkan pemimpin perampok! Dan engkau sudah tergila-gila kepada laki-laki bongkok ini! Sungguh tak tahu malu!” Berkata demikian, laki-laki yang sedang diamuk cemburu itu lalu mengangkat tongkat kayunya dan menghantamkan tongkat kayunya kepada Sie Liong!
Pendekar ini berdiri bengong. Sungguh tak disangkanya sama sekali bahwa cemburu dapat membuat orang menjadi seperti gila! Saking herannya, ketika suami itu memukul dengan tongkat kayu, dia pun diam saja, tidak bergerak seperti patung dan pada saat kayu itu menghantam kepalanya, barulah dia mengerahkan sinkang untuk melindungi kepala yang dipukul itu.
“Krakkk!” Tongkat kayu itu patah-patah ketika bertemu dengan kepala Sie Liong.
“Ahhhh...!”
Suami wanita dusun itu terbelalak. Mukanya pucat memandang kepada tongkat yang tinggal potongan pendek di tangannya, sedangkan tongkat yang kuat itu sudah patah menjadi tiga potong! Kepala orang bongkok itu melebihi besi kerasnya!
Sie Liong mengangkat muka, memandang kepada suami itu dengan sinar matanya yang mencorong. “Hemm, engkau memang orang bodoh, keras kepala, dan memang sepatutnya kalau matamu buta! Engkau tidak patut menjadi suami dari seorang isteri yang begini baik hati, tabah dan sangat berani mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatannya. Engkau pantasnya menjadi suami seekor kambing atau seekor monyet! Huh, menjemukan sekali!” katanya dan dia pun melemparkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berpaling kepada wanita dusun sambil memberi hormat.
“Enci, maafkan apa bila aku hanya membikin engkau menjadi ribut dengan suamimu. Selamat tinggal, enci, semoga Tuhan akan menyadarkan suamimu ini!” Dengan sekali berkelebat, Sie Liong lenyap dari depan mereka, membuat suami wanita itu dan para penduduk dusun terkejut dan melongo.
Suami itu pun terkejut dan dia menjadi ketakutan. “Apakah dia... dia itu tadi... setan...?” tanyanya kepada isterinya.
Isterinya menjadi gemas sekali. Tangannya bergerak manampar.
“Plakkk!” pipi suami itu telah ditamparnya!
“Laki-laki yang tolol, gila oleh cemburu buta! Masih berani engkau mengatakan bahwa pendekar sakti itu setan? Engkau inilah yang setan! Kalian tidak percaya akan ceritaku tadi, ya? Kalian semua mengira bahwa aku sudah berjinah dengan dia karena kalian tadi melihat dari jauh betapa kami saling berangkulan? Ohhhh, memang kalian adalah orang-orang bodoh! Dengar baik-baik. Tujuh orang penjahat itu datang ke sini. Aku tidak tahu bahwa mereka datang maka aku tidak sempat lari seperti yang lain. Dan mereka itu mengejar-ngejarku, hendak menangkapku dan tentu saja, dengan niat yang amat kotor! Dan aku melihat pendekar itu duduk seorang diri di bawah pohon….”
Kui Hwa berhenti bicara dengan napas terengah-engah karena dibakar emosi. Setelah beberapa kali menarik napas, dia baru melanjutkan kembali.
“Tadinya aku tidak tahu bahwa ia adalah seorang pendekar, akan tetapi dalam keadaan ketakutan setengah mati itu, aku lari padanya dan mohon pertolongan. Siapa saja akan kumintai tolong dalam keadaan hampir mati ketakutan seperti itu. Dan dia bangkit, dia mengalahkan semua penjahat, kemudian memaksa mereka itu bertobat, dan mereka membuntungi jari-jari kaki kiri mereka untuk tanda bertobat. Dan kalian tidak percaya? Dan engkau, engkau sudah gila, engkau malah mencemburui kami dan engkau malah menghina pendekar itu? Masih untung hanya tongkatmu yang tadi dia patahkan, bukan lehermu! Kalau kalian tidak percaya, lihat ini buktinya!” Dia memunguti jari-jari kaki itu untuk dikuburkan. “Nah, makanlah ini!”
Wanita itu kemudian melemparkan buntalan itu ke arah suaminya, setelah membuka ikatannya. Dan potongan-potongan jari kaki, sebanyak tiga puluh lima potong, langsung berhamburan mengenai muka dan leher suaminya.
Si suami tentu saja bergidik ngeri, juga para penduduk dusun merasa ngeri ketika mereka melihat bukti itu. Jari-jari kaki yang masih berlumuran darah! Sementara itu, Kui Hwa sudah berlari pulang sambil menangis.
Barulah suami itu merasa menyesal sekali dan percaya sepenuhnya akan keterangan isterinya. Sekarang dia baru dapat membayangkan betapa takutnya isterinya tadi ketika dikejar-kejar tujuh orang penjahat keji itu, tanpa ada orang yang dapat menolongnya.
Kemudian muncul pendekar bongkok itu yang lalu mengalahkan semua penjahat, yang berarti telah menyelamatkan isterinya itu dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Maka, kalau dalam keadaan penuh rasa syukur dan keharuan itu isterinya merangkul penolongnya dan manangis di dadanya, apakah yang aneh dalam hal itu?
Juga pendekar itu bukan golongan pemuda yang terlalu menarik hati wanita. Isterinya tidak mungkin tertarik kepada seorang yang tubuhnya bongkok seperti itu!
“Kui Hwa, tunggulah...!”
Dia berteriak berlari-lari mengejar isterinya. Di dalam hatinya yang penuh penyesalan itu kini penuh dengan harapan agar isterinya suka memaafkannya.
Sementara itu, para penduduk dusun yang lain segera mengumpulkan jari-jari kaki itu dan menguburnya dengan hati penuh rasa syukur bahwa kini Tiat-jiauw Jit-eng yang selama beberapa bulan lalu mengganas di sekitar daerah itu, kini sudah bertobat dan berarti mereka tidak akan lagi diganggu oleh mereka yang amat jahat itu. Dan semua ini berkat jasa Pendekar Bongkok, nama yang tak akan pernah mereka lupakan dan yang semenjak terjadinya peristiwa itu menjadi buah bibir mereka sehingga nama julukan pendekar baru ini mulai terkenal.
Sie Liong melarikan diri, pergi meninggalkan ladang dusun itu dengan senyum pahit di bibirnya. Ia memang telah memaklumi benar-benar keadaan dirinya, sudah diterimanya keadaan dirinya seperti apa adanya.
Memang dia berpunuk, dia bongkok dan itu merupakan sebuah kenyataan yang takkan dapat dirobah. Titik. Dia tidak akan lagi mengeluh, tidak lagi memprihatinkan keadaan tubuhnya yang sudah menjadi pemberian Tuhan dan yang diterimanya dengan penuh kepasrahan dan rasa syukur. Akan tetapi, kalau terjadi peristiwa seperti di sawah ladang tadi, bagaimana pun juga hatinya terasa seperti ditusuk.
Dia berniat baik. Dia menyelamatkan wanita dusun itu, bahkan dia menundukkan gerombolan jahat yang berarti juga menghindarkan dusun dari gangguan orang jahat. Dia melakukan hal itu tanpa pamrih, tidak minta imbalan apa pun. Akan tetapi, dia malah didakwa melakukan hal yang rendah, didakwa berjinah dengan wanita petani itu!
Sungguh menyakitkan hati memang. Bongkoknya terbawa-bawa pula, bahkan mungkin bongkoknya itulah yang sudah menimbulkan kecurigaan para penduduk dusun, yang mendatangkan kesan buruk di mata mereka dan membuat ia condong nampak sebagai orang yang jahat!
“Biarlah,” dia mengeluarkan kata-kata ini melalui mulutnya, dengan agak keras untuk melunakkan hatinya yang menjadi keras dan panas. “Biarlah mereka mengatakan apa pun juga! Yang penting, aku yakin benar bahwa aku tidak melakukan hal yang buruk, dan Tuhan mengetahui, Tuhan pun melihat dan Tuhan yang tidak akan dapat ditipu oleh kebongkokan tubuhku!”
Pikiran ini diucapkan Sie Liong keras-keras. Akhirnya hatinya menjadi dingin dan lunak kembali…..
*********
Dia berhenti di atas puncak bukit terakhir tadi, dan dari situ dia melihat ke selatan. Di sanalah terdapat propinsi Tibet! Dan kini dia telah tiba di perbatasan tiga propinsi besar. Di utara adalah Propinsi Sin-kiang. Di timur Propinsi Cing-hai, dan di selatan adalah Tibet, negara yang dikuasai para pendeta Lama itu.
Dia menuruni bukit dan menuju ke sebuah dusun yang tadi dilihatnya dari bukit itu. Daerah itu merupakan daerah yang tandus dan luas sekali, jarang terdapat dusun, maka kalau melihat sebuah dusun, maka hal itu merupakan hal yang menggembirakan bagi seorang pengelana di daerah itu.
Mungkin berhari-hari dia tak akan bertemu dusun, dan saat itu, matahari telah condong jauh ke barat. Sebentar lagi cuaca tentu akan gelap dan lebih baik melewatkan malam di dalam dusun yang hangat di mana dia dapat memperoleh makanan dan minuman dari pada bermalam di daerah terbuka yang asing baginya.
Dusun itu cukup besar dan dikurung pagar tanah liat yang dibangun seperti tembok. Di dalam dusun itu tinggal penduduk yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus keluarga! Pekerjaan mereka bercocok tanam dan berburu, ada pula yang berusaha dalam bidang peternakan kambing.
Dan melihat keadaan bangunan rumah yang cukup baik itu, Sie Liong dapat mengambil kesimpulan bahwa penghasilan penduduk dusun itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan, bahkan berlebihan. Di dusun itu terdapat pula beberapa buah warung makan, bahkan terdapat pula sebuah rumah penginapan!
Kiranya dusun ini ada pula pengunjungnya dari luar kota pikirnya. Memang demikianlah, banyak dusun di daerah itu manyediakan rumah penginapan, karena mereka maklum bahwa para pedagang dan pengelana yang lewat di dusun, dan kemalaman, tentu akan mencari rumah penginapan, mengingat bahwa dusun berikutnya amatlah jauhnya! Dan banyak pula yang membuka tempat menjual barang-barang keperluan sehari-hari.
Sie Liong segera menyewa sebuah kamar di rumah penginapan itu. Beruntung bahwa dia tidak terlambat, karena pada hari itu, banyak tamu luar kota bermalam di dusun itu. Kepala dusun itu mengadakan perayaan pesta pernikahan puteranya! Dan tentu saja dia mengundang relasi dan sahabatnya dari luar dusun.
Sesudah mandi dan makan malam, Sie Liong keluar dari kamarnya yang kecil dan berjalan-jalan di dalam dusun itu. Keadaan dusun itu tidak seperti biasanya. Kini ramai sekali. Hal ini adalah karena adanya pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun.
Boleh dibilang bahwa seluruh penduduk dusun ikut pula berpesta, atau setidaknya, ikut bergembira dengan memasang banyak lampu gantung di depan rumah masing-masing sehingga keadaan di luar rumah kini menjadi terang dan gembira, tidak seperti biasa. Juga sebagian besar penduduk keluar dari rumah mereka untuk menyaksikan upacara pemboyongan mempelai wanita yang kabarnya akan diambil malam hari itu.
Mempelai wanita adalah seorang gadis yang rumahnya terletak di sudut dusun. Upacara pengambilan mempelai itu dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan penari dan penabuh gamelan. Pengantin wanitanya akan naik joli yang digotong oleh empat orang, sedangkan mempelai prianya akan menunggang kuda.
Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus rumah penginapan. Dia pun dengan gembira kini berjalan-jalan sebelum nanti ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai pria.
Tanpa disengaja, Sie Liong berjalan-jalan menuju ke arah barat dan tak lama kemudian sampailah dia di sudut dusun itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itu pun dihias amat meriah, penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain warna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung yang dihias kertas-kertas merah.
Suasana di rumah itu meriah sekali. Nampak banyak orang sedang sibuk menyiapkan joli dan semua peralatan upacara pernikahan. Melihat keadaan rumah itu, tanpa diberi tahu pun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu di situ tempat tinggal pengantin wanita.
Karena di luar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang yang menonton, terutama anak-anak, Sie Liong menggabung dengan mereka, berdiri di antara para penonton. Sebagian dari para penonton itu berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri di antara para pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam keluar seorang yang membawa keranjang berisi makanan, lalu orang itu membagi-bagikan makanan kepada mereka. Karena dia berada di antara mereka, dia pun kebagian sepotong kueh mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum.
Dia tidak merasa sakit hati. Memang pakaiannya lusuh, apa lagi punggungnya bongkok. Bukankah memang di antara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak sempurna keadaan tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk, asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu! Maka, seperti yang lain, dia pun makan kueh mangkok itu dengan gembira.
Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda yang baru datang menyelinap pula di antara para penonton. Dia merasa sangat curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu dia seorang petani. Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu wajahnya membayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan masih ada bekas air mata pada kedua pipinya.
Pada saat itu, para penonton di luar halaman itu berdesakan untuk dapat melihat lebih jelas ke dalam rumah karena agaknya sedang ada upacara penghormatan mempelai puteri kepada ayah ibunya sebelum ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di ruangan depan, di depan meja sembahyang.
Saat itu mempelai wanita yang berpakaian indah meriah itu muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan yang nampak dari luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu. Karena pakaian yang longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie Liong tidak dapat melihat wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh ramping.
Ketika gadis yang menjadi pengantin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas kursi, terdengar ia terisak menangis dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka. Dua orang nenek itu terkejut dan hendak menuntunnya agar ia berhati-hati dengan pakaiannya, namun mereka tak kuasa menahan gadis pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya di antara sedu sedannya,
“Ayah... ibu... aku tidak mau kawin... aku tidak mau menikah dengan... anak kepala dusun itu...”
Tentu saja semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan tetapi, mempelai wanita itu meronta-ronta dan tangisnya bahkan semakin menjadi-jadi.
“Lian-ji...! Hentikan tangismu itu! Jangan engkau membikin malu orang tuamu!” Ayahnya menghardik dan bentakan ini membuat pangantin wanita itu berhenti meronta, akan tetapi masih tetap menangis terisak-isak.
“Bawa ia masuk ke dalam kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak sialan...!” Sang ayah marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya kembali ke kamar.
Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dari luar. “Tidak adil...! Sungguh tidak adil dan sewenang-wenang...!”
Dan pemuda petani yang tadi menimbulkan kecurigaan dalam hati Sie Liong, nampak meninggalkan kelompok penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruangan depan itu. Semua orang terkejut, juga ayah ibu mempelai wanita memandang dengan mata terbelalak.
“Lian-moi...!” Pemuda itu memanggil.
Mempelai wanita itu meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, ia pun berseru, “Kiong-koko...!”
Dan dia pun menangis, masih berdiri karena kedua lengannya dipegang erat-erat oleh kedua orang nenek itu.
“Un Kiong! Mau apa kau? Berani kau datang ke sini dan membikin kacau? Kami tidak mengundangmu!” bentak ayah mempelai wanita itu dengan marah sekali.
“Saya datang untuk menuntut keadilan...!”
Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa orang anggota keluarga yang hadir dan merasa tidak senang dengan perbuatan pemuda itu. Mereka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah menjatuhkan diri berlutut itu.
“Pergilah! Lekas pergi dan jangan datang lagi!” bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan.
Akan tetapi pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.
“Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mendapat keadilan! Meski kalian memukuli aku sampai mati, aku tidak akan pergi!” teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali memanggil namanya.
“Kiong-koko...!” akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu ibu mempelai dan diseret masuk ke dalam kamar.
Mendengar kenekatan pemuda itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai ikut pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut.
Melihat kejadian ini, Sie Liong cepat melompat ke dalam. Begitu ia bergerak menangkis tendangan dan pukulan itu, beberapa orang lantas terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis sedemikian kuatnya. Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah babak belur dan bengkak matang biru.
Melihat munculnya seorang pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak, “Mau apa kau mencampuri urusan kami?”
“Dukkk!”
Kepalan tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya sungguh membuat orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh, namun pemukulnya sendiri yang mengaduh-aduh sambil memegangi pergelangan tangannya yang menjadi salah urat! Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh.
Melihat itu, tentu saja semua orang langsung menjadi jeri dan tidak ada lagi yang berani menghalangi ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba di luar rumah dan melihat betapa banyak orang mengikutinya, yaitu mereka yang tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu ke mana dia membawa pemuda yang dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga sebentar saja dia sudah menghilang dari kejaran para penonton.
Sie Liong membawa pemuda itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar rembulan dan berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang sembarangan. Dia melihat pada saat pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah mempelai wanita, dan terutama sekali cara pemuda itu memanggulnya dan membawanya lari secepat terbang.
“Taihiap, kenapa engkau monolongku? Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?”
Sie Liong tersenyum. Orang ini telah diselamatkan dari keadaan yang lebih parah lagi, karena mungkin dia akan mati dipukuli orang, tetapi pemuda ini tidak berterima kasih bahkan menyesal!
“Akan tetapi, kenapa engkau begitu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau tidak kularikan, mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!”
“Biar saja! Biar aku dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku padanya!”
“Wah, sungguh aneh. Coba ceritakan, apa yang sebenarnya telah terjadi? Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat menolongmu.”
Pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu bercerita. Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu. Bahkan Un Kiong sudah sering kali menyumbangkan tenaganya bekerja di sawah ladang tunangannya. Pernikahan antara mereka tinggal menanti hari, bulan dan tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba saja orang tua Sui Lian mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan kemudian Sui Lian dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!
“Kepala dusun itu orang baru, belum setahun dia diangkat menjadi kepala dusun dan bertugas di sini. Jelaslah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera kepala dusun itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah menerima nasib, aku tidak berdaya. Tadi aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas tunanganku yang semenjak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan tetapi, melihat ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan ia... ahhh, ia masih sempat memanggilku, dan ia... ia begitu bersedih...! Karena itu, aku ingin mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi untuk membuktikan cinta kasihku kepadanya!”
Sie Liong tersenyum. “Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang? Hemm, itu bukan cara membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli, apakah tunanganmu itu akan merasa gembira? Apakah perbuatanmu itu akan dapat membebaskan ia dari cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi suaminya?”
Un Kiong menjadi bengong, lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas. “Lalu apa yang dapat kulakukan, taihiap?”
“Engkau pulanglah dan biarlah aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan itu dan akan mengantarkan mempelai wanita ke rumahmu. Engkau bersiap-siaplah, besok siang mempelai wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kau sambut ia sebagai mempelaimu.”
“Tapi... tapi... tentu mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan dan dihukum!”
“Jangan khawatir. Aku yang bertanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai tuntas. Andai kata engkau ditawan, aku yang akan membebaskan engkau.”
Karena dia sendiri sudah tak berdaya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya kepada pendekar yang bongkok itu, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum saya pulang, mohon tahu nama besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada orang-tuaku.”
Sie Liong menggelengkan kepala. “Namaku tidak ada artinya, sobat. Kuberi tahu pun engkau tidak akan mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja di sini, dan aku selalu gatal tangan, ingin membereskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan tunggulah sampai besok.”
Un Kiong memberi hormat, kemudian dia pun pergi, kembali ke dusun dan pulang ke rumahnya. Dia disambut dengan omelan ayah ibunya yang sudah mendengar beritanya bahwa putera mereka membikin ribut di rumah mempelai wanita sehingga dipukuli oleh keluarga mempelai wanita. Ketika Un Kiong menceritakan tentang Pendekar Bongkok yang menolongnya, dan juga tentang janji pendekar itu, ayah ibunya menjadi semakin tegang dan gelisah.
Sementara itu, Sui Lan telah dipaksa untuk menerima rombongan pengantin pria yang malam itu datang untuk menjemput mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis terus, akan tetapi karena ia memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim bahwa mempelai wanita selalu menangis pada saat dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian.
Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang, sedangkan mempelai prianya menunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria ini nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa orang. Petasan dibakar dan bunyi musik mulai mengalun mengiringi pasangan mempelai yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu. Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombongan yang sudah siap untuk berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
“Berhenti!” bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. “Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya bukan orang itu!” Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.
Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah.
Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang berusia empat puluh tahun lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
“Heiii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Sekarang semua orang sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman, sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.
“Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiwa yang membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernama Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini tentu sudah mengetahui akan hal itu. Tetapi, secara mendadak pertunangan itu dibatalkan sepihak dan Sui Lian dijodohkan dengan putera kepala dusun. Sungguh tidak adil sama sekali, apa lagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun!”
“Ehh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang telah diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini dari pada harus kami hajar!”
“Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun bahwa pernikahan ini dibatalkan!”
“Kurang ajar!”
Tujuh orang pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali Sie Liong menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.
“Sudahlah. Kalian hanya para petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh ke sini kemudian kita rundingkan bersama dengan orang tua mempelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!” kata Sie Liong yang sebetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.
“Orang gila ini sungguh kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh saja kalau melawan!” kini mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia sangat marah dan merasa malu sekali bahwa upacara pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila!
Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dengan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tiada yang mampu menyentuh tubuhnya. Dia tak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya sebab mereka bukanlah orang-orang jahat, tapi hanya orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai.
Dia pun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu lantas beterbangan dan terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jeri karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak mampu melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan dia pun melarikan kudanya sambil berteriak, “Mari kita lapor kepada ayah!”
Para pengikutnya lalu melarikan diri meninggalkan tempat itu. Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penasaran sekali. Akan tetapi dia pun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia menghampiri lalu memberi hormat.
“Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua tindakan ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan malapetaka kepada keluarga kami!”
“Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman. Mari kita masuk dan bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.”
Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tak ada yang berani membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda bongkok ini seorang pandekar yang sakti.
Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdengar suaranya, “Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!”
Dua orang nenek bersama ibunya mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar. Sementara itu, ayah Sui Lian kemudian mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Beberapa orang keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan rumah.
Para penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan seluruh penduduk dusun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang.
Un Kiong sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru di dalam hatinya. Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan sudah mencegah terjadinya pemboyongan pengantin wanita! Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap mata pun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
“Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu sudah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama Un Kiong dari dusun ini juga?” Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya.
Petani itu mengangguk. “Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin ribut...”
“Akan tetapi mengapa, paman? Apakah kesalahan Un Kiong sehingga pertunangan itu dibatalkan? Padahal, pertunangan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun, sejak keduanya masih kanak-kanak!”
Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang calon mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apa pun!
“Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Karena hal itulah engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?”
Orang tua itu mengangkat muka memandang kepada Pendekar Bongkok, kemudian dia mengangguk membenarkan.
“Nah, aku ingin tahu sekarang. Mengapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon suami.”
“Ahh, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan...”
“Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun, begitukah?” Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
“Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?”
“Tentu saja!” jawab kedua orang tua itu.
“Kalau ji-wi menyayangnya, kenapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya. Ia bukan benda, bukan pula binatang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Dia juga berhak menentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya! Benarkah perbuatan itu?”
Dua orang tua itu menunduk. “Kami... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup berkecukupan...”
“Itukah ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor burung yang ada dalam sangkar, walau pun sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya lebih dahulu menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang muda itu sudah saling menyayang.”
“Tapi, tapi kami tidak berani menolak... dan sekarang... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap... ahhh, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali...” Suami isteri itu meratap dan ketakutan.
“Itu tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.”
Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang. “Baiklah, taihiap. Kini kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membereskan urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.”
“Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,” kata Sie Liong dengan hati lega.
Sie Liong bangkit berdiri, keluar dari ruangan itu, lalu berdiri di serambi depan. Masih terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar. Dia melihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi. Agaknya pihak kepala dusun sudah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga serambi depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang yang sikapnya gagah sekali. Yang seorang bertubuh tinggi besar. Mukanya persegi, jantan dan gagah. Sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah. Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sepertinya pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi dia sudah tidak ingat lagi.
Seorang di antara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah memandang tajam kepada Sie Liong, lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah. “Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?”
Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendengar akan kejahatan kepala dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian, karena kelemahan orang tua Sui Lian.
“Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu.”
Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya. “Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat? Dengar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pesta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia merayakan pernikahan puteranya dengan gadis dusun di sini, apa salahnya itu?”
“Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?”
Kembali dua orang itu saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang. “Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan harus dilangsungkan, siapa pun tidak berhak untuk menghalangi!”
“Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan minta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!”
“Hemmm, tidak percuma apa bila sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami menghadap kepala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan,” kata si tinggi besar.
“Kalau aku tidak mau?”
“Ji-wi taihiap, biar kami keroyok saja dia!” teriak si kumis melintang yang memimpin para pengawal tadi. Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok.
Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.
“Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!” kata si tinggi besar.
Tujuh orang pengawal itu pun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa malu, tetapi sesungguhnya mereka merasa jeri. Maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.
“Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!” berkata si tinggi besar yang segera melangkah maju. “Sobat, engkau sungguh tinggi hati, hendak mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak menggunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai wanita itu!”
Sie Liong tersenyum. “Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.”
“Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?”
“Kalau perlu...”
“Bagus! Ingin kulihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!” bentak si tinggi besar itu dan dia membentak nyaring, “Lihat serangan!”
Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang yang gagah, seorang pendekar yang memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya kuat bukan main, mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datangnya cepat sekali.
Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa kini dia berhadapan dengan lawan yang ‘berisi’, bukan sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, dia pun dengan hati-hati mengelak ke kiri, kemudian dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka.
Akan tetapi, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sinkang.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat!
Maka dia pun lalu menerjang dengan cepat. Bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak cepat, setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga. Tetapi, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri dengan langkah-langkahnya yang teratur. Sekali-kali dia menangkis, bahkan balas melancarkan serangan pula agar dirinya tidak menjadi terdesak.
“Hyaattttt...!”
Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya mengandung tenaga dahsyat yang panas! Sie Liong maklum bahwa lawannya menggunakan semacam sinkang yang hebat, maka dia pun segera mengerahkan sinkang-nya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju). Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan!
Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin. Ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin.
Melihat suheng-nya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok lalu menerjang dahsyat sambil membentak, “Lihat seranganku!”
Kedua tangan itu bergerak cepat, membentuk dua buah cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah lihainya dibanding sang suheng!
Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh lawannya itu adalah semacam ilmu yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat luar biasa. Melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu, meski tidak berkuku panjang akan tetapi tidak kalah berbahayanya dari pada cakar seekor harimau!
Dia pun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan Putih). Begitu ia mengerahkan tenaga sinkang, maka dari dua telapak tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawannya dapat ditangkisnya dengan tepat. Dia pun membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itu pun terhuyung-huyung ke belakang, tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua orang gagah itu meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok itu, maka mereka mencabut senjata!
“Sobat, ternyata engkau benar amat lihai. Nah, sekarang keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main sebentar dengan senjata!” tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.
Sie Liong menjura kepada mereka. “Mana aku berani? Aku tidak pernah bermain-main dengan senjata, dan aku juga tak akan pernah mau mengangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa pendekar-pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tak pernah melakukan kejahatan!”
Kedua orang itu terbelalak. “Engkau... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?” tanya si tinggi besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama Ciang Sun, sedangkan sute-nya yang brewokan, bernama Kok Han.
“Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling berjumpa. Pada saat itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat itulah kita saling berjumpa!”
“Ahh...!” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru, kemudian mereka saling pandang. “Engkau... engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendeta Lama itu...? Tapi... tapi kami sangka engkau sudah mati...!”
Sie Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku...”
“Ahhh...! Kiranya saudara adalah murid tiga orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi, mengapa... ehhh, mengenai urusan pengantin itu...” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mereka tadi memandang rendah.
“Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku juga tidak akan melakukan perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku berjumpa dengan pemuda yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang sekarang menjadi pengantin. Sejak kecil bertunangan lalu mendadak dibikin putus dan tunangannya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil? Juga aku melihat sendiri bahwa pengantin wanita tidak mau dijodohkan dengan anak kepala dusun, akan tetapi dua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan...”
“Ahhh, kalau begitu, lain lagi urusannya!” kata Kok Han. “Sungguh heran, mengapa bisa terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana.”
“Mungkin dia tidak tahu,” kata Sie Liong. “Dia hanya tahu meminang, diterima kemudian merayakan pernikahan puteranya. Oleh karena itu, sebaiknya jika dia diajak berunding, syukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pal itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong. “Baik, kami yang akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang ke sini.”
“Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku akan menunggu di sini,” kata Sie Liong.
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersyukur bahwa mereka tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan kebenaran apa yang sedang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.
Benar saja seperti dugaan Sie Liong. Tidak lama kemudian kepala dusun Sun datang ke rumah calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam, di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu melanjutkan ceritanya.
“Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan antara dua orang muda itu telah diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, sudah dilakukan semenjak keduanya masih kanak-kanak. Apa bila tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan puteramu, bukankah penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi seorang kepala dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu.”
Kepala dusun Sun lalu memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian. “Akan tetapi, kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, mengapa pinangan kami diterima?”
Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu dia berkata dengan tenang, “Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekarang inilah saat semua orang harus berterus terang dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!”
Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat. Dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata, “Mohon ampun kepada jung-cu... saat jung-cu mengajukan pinangan, kami... kami merasa terhormat dan bahagia sekali, kami pun tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu... sebab kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan...”
“Brakkk!”
Kepala dusun menggebrak meja dengan tangan kirinya, dan mukanya menjadi merah sekali. “Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!”
“Ampunkan kami... jung-cu...!” tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan.
Kepala dusun itu menarik napas panjang. “Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dapat dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?”
“Namanya Un Kiong...”
“Di mana dia? Panggil dia ke sini!”
Sie Liong bangkit. “Biarlah aku yang memanggil dia ke sini.”
Dan sekali berkelebat, pemuda bongkok ini pun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimana pun juga, dia ketakutan.
Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang saja. “Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai anak angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah kau?”
Un Kiong cepat menjatuhkan diri berlutut di depan ‘ayah angkatnya’ dan hanya mampu menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada keesokan harinya pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang menikah bukanlah putera kandungnya, tetapi ‘putera angkatnya’. Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan orang.
Pada waktu sepasang mempelai dipertemukan, Sie Liong dan kedua orang pendekar Kun-lun-pai mendapat kursi kehormatan. Tanpa diperintah, dua orang mempelai itu lalu menghampiri Sie Liong dan serta merta keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
“Wah... jangan...! Tak perlu begini...!” katanya dan sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap dari tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu, tapi juga mendatangkan keuntungan besar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan ditaati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong sendiri kembali melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dia sudah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan alangkah bahagianya sepasang orang muda itu!
Akan tetapi dia pun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal adanya. Seperti keadaan udara, tidak selamanya kehidupan manusia diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di angkasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelapkannya sama sekali. Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, kini mereka berbahagia dan dia pun merasa berbahagia karena perbuatannya telah berhasil membahagiakan orang lain…..
**********
Tibet merupakan daerah yang tidak banyak didiami suku bangsa lain kecuali bangsa Tibet. Ada pula bangsa Han yang sudah bercampur dengan bangsa mereka. Bahkan banyak terjadi perkawinan campuran sehingga terlahir suku yang dapat disebut sebagai peranakan Tibet Han. Terutama di bagian Timur daerah Tibet, di mana terdapat sebuah perkampungan yang menjadi tempat tinggal suku peranakan Tibet Han.
Berbeda dengan suku bangsa yang tinggal di Mongol, daerah yang penuh padang pasir, suku bangsa Tibet bukan merupakan suku bangsa nomad, tidak berpindah-pindah tetapi tinggal berkelompok dan membentuk dusun-dusun di antara pegunungan-pegunungan yang memenuhi daerah itu.
Tibet memang dipagari pegunungan-pegunungan yang besar. Di utara ada Kun-lun-san yang memanjang dari barat ke timur. Di selatan juga berderet pegunungan Himalaya yang seolah-olah melindungi daerah itu. Di tenggara terdapat Heng-tuan-san, di timur laut terdapat Tanggula San, sedangkan di bagian tengah terdapat Gang Tiese San dan Nyaingen Tangla San serta masih banyak lagi pegunungan kecil yang masih memenuhi daerah itu. Selain kaya pegunungan, Tibet juga kaya akan danau besar dan telaga yang lebih kecil.
Suku Tibet adalah peternak-peternak yang pandai. Mereka beternak binatang kambing, domba dan yak, yaitu semacam keledai. Selain itu mereka juga bertani dan berkebun, dan pada umumnya mereka merupakan umat beragama yang taat. Hampir seluruh suku Tibet menganut agama Buddha dan mereka percaya sepenuhnya terhadap kekuasaan pendeta Lama yang dianggap sebagai penguasa, baik di pemerintahan mau pun dalam bidang agama.
Ibukota Lhasa di mana para Lama tinggal merupakan pusat atau kiblat mereka. Para penduduk dusun yang agak berhasil dan memiliki kelebihan kekayaan, tentu tidak akan melewatkan kesempatan berkunjung ke ibukota Lhasa itu. Tanggula San merupakan pegunungan yang memanjang dari utara ke selatan, di dekat perbatasan timur. Dari pegunungan inilah awal Yang-tse-kiang yang amat panjang itu muncul dari sebuah sumbernya.
Karena itu, terutama bagi orang-orang Han dan peranakan Han yang tinggal di Tibet, pegunungan Tanggula San ini sangat penting. Mata air yang menjadi sumber sungai Yang-tse itu dijadikan tempat keramat, bahkan di situ dibangun menara. Hal ini karena sungai Yang-tse dianggap sebagai sungai keramat pula, yaitu sungai kedua terpanjang di daratan Tiongkok sesudah sungai Huang-ho.
Karena daerah pegunungan Tanggula San ini, terutama daerah lereng kaki pegunungan merupakan daerah yang amat subur, maka banyaklah dusun para petani dan peternak bertebaran di sekitar situ. Sebagian besar dari dusun-dusun ini dihuni oleh peranakan Tibet Han.
Seperti pada umumnya suku peranakan, darah campuran agaknya membuat keturunan mereka memiliki bentuk wajah yang cantik. Bangsa Tibet asli terkenal memiliki bentuk anggun dan jantan dengan alis yang tebal dan rambut yang hitam subur. Sebaliknya orang Han memiliki kulit yang putih mulus kekuningan. Maka keturunan dari kedua suku bangsa ini, banyak sekali yang tampan dan cantik.
Terutama sekali para wanitanya, banyak yang cantik, berkulit putih kekuningan mulus, berambut hitam panjang dan alis matanya juga hitam sekali, agak tebal di kedua ujung seperti sayap kupu-kupu. Para pria peranakan ini juga berwajah tampan dan ganteng, jantan dengan bentuk tubuh mereka yang tinggi besar. Tentu saja ada kecualinya, ada juga yang berpenampilan buruk, seperti yang terjadi pada semua suku bangsa.
Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itu pun pada waktu dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para anggota pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut.
Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan sering kali terjadi pertengkaran di antara para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu ingin memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali, yaitu kepala suku di dusun Ngomaima, selalu dapat meredakan keributan yang timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan ini, dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, namun pekerjaan ini pun dilakukan dalam suasana penuh ketakutan.
Hal ini amat menarik hati para pendatang. Beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri mereka kuat lalu bertanya. Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu dengan munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan menggunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri.
Banyak sudah anak buah Gumo Cali yang roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk menangkap ‘siluman’ itu. Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya mempunyai kesaktian yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja.
Maka, setelah banyak jagoan di antara para pengawal mencoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka, bahkan ada pula yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!
Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia terlebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu adalah darah!
Dan malamnya, biar pun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang coba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah. Maka, siluman itu pun terkenal dengan sebutan Siluman Merah!
Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada sebuah daun pintu. Betapa penduduk tak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti oleh semua orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu!
Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!
Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat oleh para jagoan tak menenteramkan hatinya sebab sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tak ada yang mampu menandingi kesaktian siluman itu. Maka jalan kedua pun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang dukun!
“Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,” demikian katanya kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan, “akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan dapat mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang dukun.”
Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, maka dia pun diundang untuk mengobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, mempunyai nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sianjin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sianjin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannya pun aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar. Akan tetapi jika jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni!
Juga dukun ini pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir licin berminyak. Dan hebatnya, bila orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!
Usia Bong Sianjin kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau meram. Hidungnya besar dan mulutnya yang kecil selalu tersenyum mengejek.
Di punggungnya terdapat sebatang pedang. Tangan kanannya menggenggam sebuah kebutan berbulu putih sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang selalu dikebut-kebutkan ke arah lehernya pada waktu dia memasuki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!
Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat. Tetapi begitu melihat tuan rumah, mendadak dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, kemudian mulutnya mengeluarkan keluhan panjang.
“Hayaaaaa...!” dan dia pun mengangguk-angguk.
Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat sambil bertanya, “Sianjin, apakah yang engkau ketahui? Katakan kepada kami!”
“Aihh, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni semua penghuni rumah!”
Ia pun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi ruangan depan itu.
Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantera, kemudian terdengarlah dia berkata sambil mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru.
“Yang datang dari selatan, kembalilah ke selatan, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang dari utara kembalilah ke utara dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan mengganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!”
Ia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan atas kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong Sianjin memasuki rumah Gumo Cali sambil mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di dalam rumah itu. Kemudian dia bertanya, “Di mana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
“Di sana, Sianjin, di sudut itu...,” jawabnya cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah terkena hawa siluman ataukah belum!”
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sianjin masuk sebuah kamar yang cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan milik kakak beradik itu.
Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis itu sekarang berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sianjin yang memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang setengah tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan mata itu bersinar gairah!
Tiba-tiba Bong Sianjin mengeluarkan seruan, “Uhhhh...!” dan tubuhnya pun terhuyung ke belakang. “Sungguh celaka...!”
“Ada apakah, Sianjin...?” tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.
“Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!”
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itu pun menangis dan tubuh mereka menggigil.
“Aduh... lalu bagaimana baiknya, Sianjin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami... apa pun yang kau minta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu... cepat tolonglah...” kata kepala dusun itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai jagoan nomor satu di dusun Ngomaima itu. Ketahyulan memang bisa membuat orang yang bagaimana perkasa pun menjadi seorang pengecut dan penakut.
“Jangan khawatir he-he-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sianjin, jangan khawatir...! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau siluman datang, akan kuusir dia... heh-heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sianjin, heh-heh-heh!”
“Baik, baik... ah, terima kasih sebelumnya, Sianjin. Dan apa... apa syaratnya, apa yang perlu kami persiapkan?”
“Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!”
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu diangkat masuk ke dalam kamar.
Ibu dua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, “Jangan kalian takut, ada Bong Sianjin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari... siluman...”
Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang memandang kepada mereka secara mengerikan!
Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah, maka mereka pun pasrah!
Setelah melihat betapa dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai dia pun menghadapi kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Setelah berada bertiga saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin bergeloralah gairah birahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi sudah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya.
Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik para gadis-gadis cantik. Dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, serta pedang pusakanya yang sudah diberi mantera, sebatang pedang terbuat dari pada akar kayu pengusir setan.
Dia tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang lagi berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang mulai mekar itu, menikmati mereka, tetapi pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
“Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalau kalian kubersihkan dari hawa siluman?”
“Mau, Sianjin, tentu saja kami mau...,” kata gadis tertua dengan suara gemetar.
“Kalau kalian mau, ingat. Apa pun yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamu pun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan datang menguasai diri kalian kembali. Menurut saja dengan apa yang akan kulakukan terhadap kalian, sebab itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan di dalam ember ini. Lakukan sekarang!”
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu sekarang tersenyum-senyum dan sepasang mata yang tersembunyi di balik pelupuk mata yang sipit itu makin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali.
Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam ember terisi air kembang yang harum. Dengan nafsu yang semakin berkobar, kedua tangannya memandikan dua orang gadis remaja itu. Jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi dan meraba-raba serta membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.