Pendekar Bongkok Bagian 09

Cerita silat Mandarin, Pendekar Bongkok bagian 09 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa
Pendekar Bongkok - Biar pun nafsu birahinya sudah memuncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia cerdik sekali dan dia menahan dirinya agar tidak tergesa-gesa melakukan niatnya yang terakhir terhadap dua orang gadis remaja itu.
cerita silat karya kho ping hoo

Setelah merasa puas membelai tubuh mereka dengan dalih memandikan mereka, dia pun menyuruh mereka keluar dari ember mandi, mengeringkan tubuh yang basah itu dengan kain, kemudian memerintahkan mereka berbaring di atas tempat tidur dan menutupi tubuh tela*jang mereka dengan selimut. Dia melarang mereka mengenakan pakaian kembali, dengan alasan bahwa semua pakaian mereka sudah ternoda oleh hawa siluman.

Setelah kedua orang gadis itu merebahkan diri bersembunyi ke dalam selimut, Bong Sianjin lalu duduk bersila dengan santainya di tepi pembaringan, pura-pura bersemedhi sambil menanti datangnya malam. Hari telah mulai senja dan sebentar lagi malam tiba.

Dukun itu hendak menanti datangnya malam agar apa yang akan dilakukannya itu dapat kelak dia timpakan kepada siluman merah! Ia pun telah siap dengan pedang kayu yang sudah diletakkannya di atas pangkuannya, dan mempersiapkan pula bubuk darah anjing di dalam sebuah botol.

Malam pun tiba. Dukun Bong menyalakan dua batang lilin di atas meja sehingga dalam kamar itu suasana remang-remang akan tetapi cukup terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar itu. Dua orang gadis yang tadinya bicara berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan ketakutan.

Setiap ada suara sedikit saja di luar kamar, membuat mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati mereka merasa lega melihat dukun itu masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun itu tentu akan mampu menolong mereka.

Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu. Akan tetapi mereka tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh ‘membersihkan’ mereka. Mereka masih terlalu hijau untuk berprasangka yang bukan-bukan.

Sementara itu, dukun Bong menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu bir*hinya. Kalau siluman itu muncul dan dia sudah mengusirnya, baru dia akan menikmati ‘imbalan jasanya’.

Dia menoleh, memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan memperlihatkan sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.

"Kalian takut?" Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis itu mengangguk membenarkan. Mereka memang merasa takut sekali, bahkan merasa ngeri.

“Heh-heh, jangan takut, ada aku di sini. Biar kutemani kalian tidur agar kalian merasa aman dan tidak takut lagi.” Berkata demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu mulai mencopoti pakaiannya satu demi satu.

Melihat ini, dua orang gadis remaja itu tersipu-sipu. Mereka merasa lega karena dukun itu hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali. Akan tetapi mereka pun merasa malu bukan main melihat betapa Bong Sianjin menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sianjin tersenyum.

“Heh-heh-heh, kalian tidak usah malu-malu...” Dan dia pun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian, membuat kedua orang gadis remaja itu menggeliat dan semakin tersipu.

Nafsu birahi sudah memuncak dan Bong Sianjin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi baru saja dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja untuk menyelinap rebah di antara mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua orang gadis itu menahan jerit mereka.

Bong Sianjin cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari mana datangnya, di dalam kamar itu telah berdiri seorang ‘iblis’ yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan mukanya mengenakan topeng merah pula. Akan tetapi, dia berdiri di situ, diam seperti patung, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan sepatah pun kata atau suara apa pun.

Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya hampir tela*jang bulat, hanya mengenakan cawat saja, dia kemudian menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil, lalu melompat turun. Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup guci kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, akhirnya dia berseru.

“Iblis siluman jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!”

Melihat betapa ‘iblis’ itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya mata di balik kedok itu yang mencorong menyeramkan, Bong Sianjin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu hitam keluar dari dalam guci, melayang ke arah siluman merah itu. Akan tetapi, siluman merah itu tetap tidak bergerak.

Melihat ini, dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah kepala siluman merah itu. Hatinya penuh keberanian dan keyakinan akan mampu mengalahkan siluman, karena biasanya, bubuk darah anjing dan pedang kayunya, apa lagi ditambah mantera-materanya, manjur sekali untuk menakut-nakuti segala macam siluman, setan dan hantu. Akan tetapi, siluman merah itu agaknya lain lagi. Begitu dukun Bong menyerang, dia pun sama sekali tidak mengelak sehingga pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.

“Takkk!”

Pedang itu seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun Bong yang merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, siluman itu telah menggerakkan tangan kanannya dan pedang kayu itu telah dirampasnya!

Dukun Bong terbelalak. Dia tidak percaya bahwa ada siluman yang mampu menahan serangan pedang kayunya itu tanpa terluka sedikit pun!

“Kau... kau... bukan siluman...!” serunya.

Akan tetapi, pada saat itu siluman merah telah menusukkan pedang kayu yang barusan dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher itu pun tembus! Tubuh dukun itu terjengkang dan roboh di atas lantai, tubuhnya berkelojotan dan dari lehernya terdengar suara mengorok.

Siluman merah tidak mempedulikan Bong Ciat lagi. Dia menghampiri pembaringan dan memandang ke arah dua orang gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu. Dia mengangguk-angguk, lalu tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi.

Digulungnya dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut, kemudian siluman merah itu memanggul gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jendela yang dibukanya dan sebentar saja bayangannya telah lenyap. Gerakannya gesit bukan main. Ketika dia melompat keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda terbang saja.

Dukun Bong yang ditinggal di kamar itu, berusaha menjerit, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya suara mengorok yang cukup keras. Suara inilah yang memaksa Gumo Cali dan isterinya datang, diikuti para jagoan.

Gumo Cali memanggil-manggil dari luar pintu, akan tetapi tidak ada jawaban, baik dari kedua orang anaknya mau pun dari dukun Bong, dan yang terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu. Dengan memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu.

Daun pintu itu roboh dan mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong sedang berkelojotan sekarat dalam keadaan hampir tela*jang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu telah lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka masih lengkap nampak tertumpuk di atas tempat tidur. Jadi mereka itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang lenyap.

Gegerlah seisi rumah. Meski merasa ketakutan akibat siluman merah telah menggondol kedua orang anaknya sedangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali mengerahkan seluruh pembantunya untuk mencari kedua orang anaknya. Namun, jejak mereka pun tidak dapat ditemukan sehingga keluarga kepala dusun itu menjadi panik, bingung dan berduka.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang bangunannya sudah kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik sekali, di kanan kiri jalan raya terdapat toko-toko, kedai dan bahkan rumah penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main.

Hampir tidak nampak adanya orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya. Hanya ada satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela atau pintu, akan tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia. Apakah yang telah terjadi, pikirnya.

Apakah orang-orang di dusun ini sedemikian malasnya sehingga pagi hari itu masih enak-enak tidur? Padahal, sinar matahari sudah mengusir kegelapan malam!

Dia tidak tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang tadi malam terjadi di rumah kepala dusun Gumo Cali, mendengar betapa dukun Bong telah terbunuh dan dua orang gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman merah!

Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu, suasana dusun Ngomaima seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang malam tadi sudah mempersiapkan segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh dari dusun yang sedang diamuk siluman merah itu.

Melihat betapa orang-orang yang tadinya memandang padanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Semua pengalaman yang sudah dirasakannya membuat dia merasa rendah diri dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat keadaan dirinya, melihat tubuhnya yang bongkok. Namun, hanya sebentar saja perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan dia menelan kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobahnya.

Tanpa dia sengaja, pada saat Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah kepala dusun Gumo Cali. Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum menentukan apakah dia akan bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju ke pegunungan Nyaingen Tangla sebelah utara Tibet.

Menurut pesan Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Siansu, di pegunungan itu ia akan dapat memulai dengan penyelidikannya mengenai para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan masih terus dikejar-kejar. Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau Tibet berasal dari pegunungan Nyaingen Tangla, di mana mereka mempunyai sebuah kuil dan di situ mereka dahulu bertapa.

Ketika Sie Liong tiba di depan rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan orang dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh orang yang langsung mengepungnya dengan senjata di tangan.

“Siluman! Siluman!”
“Hajar dia!”
“Siluman, kembalikan dua orang nona kami!”
“Kepung dia, jangan sampai lolos!”

Dan dua puluh orang lebih itu serentak menyerangnya dengan senjata mereka! Tentu saja Sie Liong terkejut bukan main. Apa lagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan sebentar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!

“Heiii, tahan dulu!” teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan yang menimpa dirinya.

Karena di antara mereka itu banyak yang mempergunakan senjata tajam, maka biar pun tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sampai terobek, namun tentu saja pakaiannya tidak kebal dan mulailah pakaiannya robek-robek.

“Hei, tahan dulu dan mari kita bicara!” bentaknya lagi.

Akan tetapi, ketika semua orang melihat betapa senjata mereka tidak dapat melukai orang bongkok itu dan hanya pakaiannya saja yang robek-robek, mereka menjadi makin yakin bahwa yang mereka keroyok adalah sebangsa siluman atau iblis, maka semakin ramailah mereka mengeroyok dengan nekat walau pun senjata mereka membalik dan tangan mereka terasa panas dan nyeri.

Melihat kenyataan bahwa semua orang bahkan menjadi semakin marah dan semakin nekat menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena pakaiannya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang saja dia sudah maklum bahwa mereka yang mengeroyoknya bukanlah penjahat, melainkan penduduk dusun yang sedang marah, dan tentu dia disangka orang yang menyebabkan kemarahan mereka itu.

Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai siluman. Tentu para penghuni dusun ini sedang memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu! Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman!

Melihat serangan yang bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang dengan wajah membayangkan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada takut, akap tetapi ada pula kemarahan yang membuat mereka nekat, apa lagi karena yang maju ada ratusan orang sehingga mendatangkan keberanian yang besar.

Gumo Cali mendapat hati ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang di antara mereka, bahkan seperti hendak melarikan diri. Karena itu dia pun menuding ke atas dan membentak dengan suara garang, “Siluman jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke mana pun kaki orang sedusun akan mengejarmu dan membinanakanmu!”

“Nanti dulu!” Sie Liong berseru dengan nada suara yang marah karena hati siapa tidak menjadi dongkol bila tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang menculik dua orang gadis orang!

“Kalian ini enak saja menuduh orang yang bukan-bukan! Siapa bilang aku siluman? Apa buktinya bahwa aku ini siluman yang suka nyolong anak gadis orang?”

Mendengar ini, Gumo Cali jadi tertegun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti siluman! Dia meragu, akan tetapi orang-orang yang berada di bawah itu masih yakin bahwa mereka berhadapan dengan siluman.

“Engkau tidak seperti manusia biasa! Punggungmu berpunuk!”

“Engkau kebal dan tidak tidak terluka oleh hujan senjata kami!”

“Siluman memang bisa pian-hoa (salin rupa)!”

“Dia berpunuk, tentu siluman onta!”

Wajah Sie Liong menjadi merah karena hatinya mendongkol bukan main. Dia disangka siluman onta karena berpunuk. Sialan!

“Heii, kalian ini memang orang-orang tolol dan kejam! Andai kata aku sungguh siluman, tentu akan kuhajar kalian yang bermulut lancang ini! Aku adalah manusia biasa, dan memang aku cacat berpunuk. Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk? Andai kata di antara kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang memiliki cacat lain, apakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga dianggap siluman?

"Aku manusia biasa dan kalau aku tidak terluka oleh senjata kalian, sungguh untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak, tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi, kalian menjadi manusia-manusia binatang yang kejam, yang mengeroyok dan membunuh orang tidak bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!” Sie Liong bukan orang yang pandai bicara, sekarang ini karena terdorong rasa dongkol, maka dapat juga dia bicara agak panjang.

Melihat sikap dan mendengar ucapan Sie Liong, kagetlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah tahu bahwa di dunia ini ada banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi, yang memiliki bentuk badan aneh-aneh, dan watak yang aneh-aneh pula.

Timbul harapannya bahwa mungkin orang muda berpunuk ini adalah seorang pendekar yang melakukan perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan menyelamatkan dua orang anaknya. Oleh karena itu, dia pun segera berteriak memberi isyarat kepada semua orang untuk tenang.

Setelah semua orang tidak mengeluarkan suara, dia pun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang masih berdiri di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring. “Kalau memang engkau seorang manusia dan seorang pendekar, harap suka maafkan kami yang sedang panik oleh adanya siluman yang mengacau dusun kami.

Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bahwa taihiap bukan siluman? Hanya kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau setidaknya menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa taihiap seorang pendekar, bukan siluman!”

“Semua sudah ada enam orang gadis yang diculik!” teriak seseorang yang juga merasa kehilangan seorang anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman.

Biar pun kemarahannya mereda, namun hati Sie Liong masih mendongkol.

“Hemmm, kalian tidak berhak untuk menekan aku supaya suka menolong kalian. Kalau memang ada kejahatan terjadi di sini, tanpa diminta pun aku pasti akan turun tangan menentang kejahatan! Sepatutnya kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat berunding tentang kejahatan yang terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang sama sekali tidak berdosa!”

Mendengar ini, Gumo Cali merasa menyesal sekali, akan tetapi juga girang dan seolah menemukan harapan baru. Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi dia pun berlutut menghadap ke arah pemuda berpunuk itu. “Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun mewakili seluruh penghuni mohon maaf kepadamu.”

Lenyaplah sama sekali kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukanlah seorang pemarah. Dia lalu melayang turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh semua orang yang menjadi kagum sekali. Dia turun ke depan kepala dusun itu, tanpa sedikit pun kakinya mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan dengan ramah Sie Liong lalu mengangkat bangun kepala dusun itu.

“Namaku Sie Liong dan aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah merasa heran sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini sepi. Tidak tahunya ada penjahat yang membikin kacau di dusun ini!”

“Bukan penjahat, taihiap, melainkan... siluman... siluman merah!” kata kepala dusun itu dan ketika dia bicara, dia memandang ke kanan kiri, kelihatan takut sekali.

“Eh? Siluman?” Sie Liong mengerutkan alisnya. “Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah siluman itu menculik gadis?”

“Taihiap, marilah kita bicara di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu.” Gumo Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.

Sie Liong mengangguk dan kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah masing-masing. Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong merasa heran melihat sebuah peti mati yang depannya masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.

“Siapa yang mati?” tanyanya, tak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati sebagai mana patutnya.

“Itu adalah Bong Sianjin yang tewas semalam...” kata Gumo Cali dengan suara berbisik, kelihatan ketakutan.

Mendengar sebutan ‘Sianjin’, Sie Liong menjadi agak terkejut juga. “Siapakah dia dan mengapa tewas di sini? Apakah keluargamu?”

“Bukan, dia adalah dukun yang kami undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang anak gadis kami, akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap saja diculik...”

Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan dalam. Setelah berganti pakaian, bukan pemberian tuan tumah, tetapi pakaiannya sendiri yang diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikatkan di punggungnya, Sie Liong lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali mengenai segala hal yang sudah terjadi tadi malam. Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis.

Setelah selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong Sianjin, suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.

“Taihiap, kasihanilah kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru berusia empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka, taihiap...” Suami isteri itu tidak malu-malu menangis di depan Sie Liong.

Pemuda ini mengangkat bangun mereka. “Harap paman dan bibi suka bersikap tenang. Aku yakin bahwa kejahatan ini bukanlah perbuatan siluman, melainkan manusia biasa yang menyamar sebagai siluman. Tadi aku mendengar pula bahwa penjahat itu sudah menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja. Benarkah?”

“Memang demikianlah. Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini... siluman... eh, penjahat itu menculik gadis-gadis cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan dari dusun sini saja ada enam orang gadis yang sudah diculik.”

“Dan semua juga terjadi seperti yang terjadi di sini semalam? Sebelum menculik pada malam hari, pada siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah yang ada gadis calon korban?”

Gumo Cali mengangguk. “Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu mengadakan persiapan dan penjagaan. Bahkan beberapa orang jagoan dari para pasukan pengawal barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan ada pula yang tewas. Iblis itu sangat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia. Karena itulah kami mengundang Bong Sianjin untuk melawannya dengan ilmu sihir. Akan tetapi, ternyata Bong Sianjin malah tewas dan kedua orang anak kami tetap diculiknya.”

“Hemm, kurasa dia itu bukan iblis dan bukan siluman, tapi seorang manusia jahat yang sombong. Aku segera akan melakukan penyelidikan dan semoga saja kesombongannya terulang kembali. Mudah-mudahan dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya, sehingga aku akan siap menghadapinya.”

Sie Liong lalu melakukan penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun. Melihat ember air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya.

Diam-diam dia merasa curiga kepada dukun Bong. Apa lagi saat mendengar dari Gumo Cali bahwa dukun itu hendak ‘membersihkan’ hawa siluman dengan memandikan dua orang gadis itu di dalam kamar tanpa disaksikan siapa pun, kecurigaannya bertambah. Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik.

Akan tetapi karena dukun itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, dia pun tak dapat menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik gadis yang membunuh dukun cabul itu. Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu dibunuh dengan pedang kayunya sendiri.

Kalau penjahat itu mampu menusuk leher dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui bahwa tentu penjahat itu memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat.

Dari dalam kamar, dia membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali memandang dengan penuh kagum dan dia makin girang. Semakin besar harapannya bahwa pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya.

Sie Liong melakukan penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya ketika penjahat itu memanggul dua orang gadis, maka berat tubuhnya bertambah dan karenanya maka genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng itu dia dapat menduga bahwa si penjahat tentu lari menuju ke selatan.

Dari atas genteng itu Sie Liong memandang ke arah selatan. Nampaklah sebuah bukit kehitaman menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nampak menghitam tanda bahwa di situ terdapat hutan yang lebat.

“Bukit apa yang ada di selatan itu?” tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.

“Bukit yang mana? Ada banyak bukit di selatan...”

“Yang nampak hitam, penuh hutan.”

“Ahh, itu bukit Onta namanya. Di bagian tengah ada...” Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya dan memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.

“Ada punuknya maksudmu? Hemm, bukit Onta...”

“Ada apakah di sana, taihiap?” Gumo Cali tidak berani lagi menyebut onta, takut kalau menyinggung hati pendekar bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.

“Tidak ada apa-apa. Kita tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat itu. Sekarang aku akan mencari kamar di rumah penginapan.”

“Taihiap, bermalam saja di sini. Kamar anak-anak... bekas kamar mereka pun kosong, boleh untuk sementara taihiap tempati...”

Sie Liong maklum bahwa tuan rumah masih merasa panik dan ketakutan, dan karena itu dia hendak ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Tetapi dia merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka dia menggeleng kepala. “Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah penginapan saja.”

“Tunggulah, taihiap. Biar aku menyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap, dan sementara itu, harap suka menerima hidangan yang kami sajikan untuk taihiap sebagai sarapan pagi.”

Sie Liong merasa tidak enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama makan pagi. Setelah selesai makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala dusun sendiri pergi ke rumah penginapan di mana telah disediakan kamar terbaik untuknya.

Belum juga tengah hari, kepala dusun telah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya. Sie Liong yang sedang beristirahat segera turun dari pembaringan dan membuka daun pintu. Ia heran melihat kepala dusun nampak gugup dan mukanya agak pucat.

“Taihiap... taihiap... dia... dia datang...”

“Datang? Ke mana maksudmu, paman?”

“Dia... memberi tanda darah pada pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang cantik. Sebentar malam...”

“Bagus dan tenanglah, paman. Penjahat itu memang sombong bukan main. Mari kau tunjukkan kepadaku di mana rumah yang mendapat tanda ancaman itu.”

Keluarga Gulamar menyambut kedatangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada seorang pun jagoan yang berani menjaga keselamatan puterinya, meski dia berani membayar berapa banyak pun. Walau pun dia sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat lihai dan sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke tempat lain.

Ketika mendengar keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi mengungsi, Sie Liong menyatakan ketidak setujuannya.

“Cara itu tidak menjamin keselamatan dan bahkan berbahaya sekali, paman,” katanya. “Penjahat itu akan lebih mudah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi itu.”

“Tapi dia... dia siluman, hanya keluar di waktu malam... kami akan melarikan puteri kami siang ini juga.”

Sie Liong menggelengkan kepalanya. "Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk menculik puterimu, aku yang akan menghadapinya.”

Gulamar nampak ragu-ragu dan bingung. Dia memandang kepada kepala dusun Gumo Cali. “Bagaimana baiknya... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku...”

“Tenangkan saja hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia telah berjanji sanggup menaklukkan siluman itu. Sebaiknya jika engkau menuruti nasihatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk menghadapi penjahat siluman itu kalau malam nanti dia datang?”

Sie Liong lalu mengadakan perundingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun. “Sembunyikan gadis itu di dalam kamar lain yang tidak jauh dengan kamarnya sendiri supaya aku dapat selalu mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat itu.”

“Taihiap, apakah engkau membutuhkan bantuan?”

Sie Liong mengangguk. “Mereka yang pagi tadi mengepungku adalah penduduk yang marah kepada siluman dan mereka penuh keberanian walau pun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah mereka itu yang membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan jangan ada yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku berusaha menangkapnya. Jika sudah terdengar ribut-ribut atau melihat aku berkelahi melawan penjahat itu, barulah mereka boleh keluar dan masing-masing membawa obor untuk menerangi tempat ini.”

Kepala dusun Gumo Cali menyanggupi dan dia pun segera pergi melakukan persiapan. Dia memberi tahu kepada semua penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap siluman merah, dan diharap supaya penduduk suka membantunya.

Para penduduk yang berhati tabah dan sudah lama merasa amat penasaran dan marah terhadap siluman merah yang sudah mengganggu keamanan di dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan semangat berapi-api. Mereka tadi sudah melihat sendiri kelihaian Pendekar Bongkok yang kebal dan dapat ‘terbang’ ke atas genteng…

*********

Malam yang menyeramkan. Sejak matahari tenggelam, tidak ada penduduk yang berani keluar dari rumah mereka, apa lagi yang wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa malam itu siluman merah akan muncul, hendak menculik gadis cantik puteri saudagar Gulamar!

Mereka yang siap membantu Pendekar Bongkok, sejak sore sudah siap di tempat persembunyian mereka mengepung rumah saudagar itu, bersiap dengan obor yang tinggal dinyalakan dan segala macam senjata yang mereka miliki. Malam itu sungguh amat menakutkan. Padahal, malam itu juga malam yang biasa saja seperti pada malam-malam yang lain.

Pada waktu pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa diri, maka rasa takut pun timbul dan kalau orang sudah ketakutan, maka malam yang gelap dapat nampak menyeramkan. Orang takut akan setan karena dia pernah mendengar tentang setan.

Pikirannya sudah kemasukan bayangan setan yang pernah didengarnya dari orang lain. Pikiran itulah yang lalu mengada-ada, mereka-reka, membayangkan hal-hal mengerikan. Andai kata dia tidak pernah mendengar mengenai setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut.

Seorang anak kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di tempat yang bagaimana pun juga, oleh karena pikirannya tidak pernah dapat membayangkan hal yang belum diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka, membayangkan dan kemudian dia pun menjadi takut
.

Malam itu amat sunyi, namun, sesuai dengan perintah kepala dusun Gumo Cali, semua penghuni rumah yang berdekatan di sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu penerangan di luar rumah mereka sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu gelap.

Gadis yang diincar oleh siluman itu berada di dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya. Mereka bertiga sejak sore tadi sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis itu sendiri yang wajahnya menjadi pucat, matanya yang indah itu seperti mata kelinci melihat harimau, dan setiap suara sedikit saja cukup untuk membuat ia melonjak kaget.

Ketika malam semakin larut, mereka bertiga berdekapan di atas pembaringan. Mereka tak mungkin dapat memejamkan mata, makin lama semakin gelisah walau pun mereka semua yakin bahwa Pendekar Bongkok berada seorang diri di dalam kamar sebelah, dan bahwa di sekeliling rumah tidak kurang dari seratus orang laki-laki penduduk dusun Ngomaima sudah siap untuk membantu Pendekar Bongkok menangkap siluman yang hendak menculik puteri saudagar itu.

Sie Liong sendiri tenang-tenang saja berada di dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang cukup besar, dengan perabot-perabot kamar yang indah, kamar yang bersih dan berbau harum. Dia tidak mau duduk atau rebah di atas tempat tidur gadis itu. Karena lantai kamar itu ditilami permadani tebal yang bersih dan lunak, dia pun duduk bersila di atas lantai, memusatkan perhatian sehingga pendengarannya bisa mengetahui keadaan di luar kamar sekali pun.

Dalam persiapan menghadapi siluman yang diduganya tentu hanya seorang penjahat yang sombong dan lihai itu, dia tidak bersenjata. Akan tetapi, melihat sebuah payung di dalam kamar itu, tergantung di sudut, dia tahu bahwa kalau diperlukan, payung itu dapat menjadi sebuah senjata yang amat baik baginya.

Menjelang tengah malam suasana semakin sunyi. Yang terdengar dari dalam kamar itu hanya suara jengkerik dan belalang serta serangga malam lainnya yang mengeluarkan bunyi beraneka ragam, halus dan amat merdu, bunyi kehidupan malam yang penuh rahasia karena gelap.

Tiba-tiba ada suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie Liong. Suara jejak kaki di atas genteng. Dia datang, pikirnya dan tanpa dapat dihindarkan lagi, jantung dalam dadanya berdetak lebih kencang dari pada biasanya.

Tanpa mengeluarkan suara, Sie Liong bangkit dan menuju sudut kamar, menyambar payung yang gagangnya panjang melengkung itu, lalu menanti, menempelkan tubuhnya di sudut dinding. Matanya berganti-ganti menatap ke arah langit-langit, jendela dan pintu karena dia tahu bahwa dari tiga jurusan itulah si penjahat dapat memasuki kamar.

Dengan pendengarannya Sie Liong mencoba untuk mengikuti gerakan penjahat yang berada di atas rumah itu. Tidak mudah baginya karena penjahat itu memiliki gerakan yang ringan sekali. Kedua kakinya hampir tidak menimbulkan suara, seperti kaki kucing saja. Namun dia tahu bahwa penjahat itu kini telah turun dan mendekati kamar itu. Dia harus menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak kencang karena tegang.

“Krekkk...!” Terdengar sedikit suara dan daun jendela itu pun terbuka, palangnya patah karena ada dorongan yang amat kuat dari luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak bayangan merah berkelebat dari luar. Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan itu sehingga Sie Liong diam-diam merasa terkejut dan kagum. Kiranya memang bukan lawan biasa, pikirnya dan dia pun bersikap waspada. Orang yang mampu bergerak seperti ini tidak boleh dipandang ringan, pikirnya.

Dengan penuh perhatian Sie Liong yang berdiri di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu. Tubuh yang ramping kecil sehingga nampak kurus, dengan pakaian serba merah dan dari samping nampak wajahnya juga tertutup oleh topeng merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Bukan siluman, melainkan manusia bertopeng seperti yang sudah diduganya. Akan tetapi, manusia yang memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat.

Si topeng merah itu menghampiri pembaringan, menyingkap kelambu dan melepaskan kembali ketika melihat bahwa pembaringan itu kosong. Dikepalnya tangan itu sebagai tanda bahwa ia marah, dan pada saat itu, Sie Liong membentak.

“Penjahat sombong dan keji! Menyerahlah engkau!”

Sambil membentak demikian, Sie Liong sudah menerjang maju. Tangan kirinya sudah terulur mencengkeram ke arah lengan orang untuk menangkapnya. Bukan sembarang cengkeraman belaka karena ini merupakan satu jurus dari Pek-in Sin-ciang, dan walau pun pada saat itu tangannya belum mengeluarkan uap putih, namun telah mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Cengkeraman itu cepat sekali, sukar untuk dihindarkan oleh lawan.

Akan tetapi, si topeng merah itu ternyata cekatan bukan main. Melihat lengannya akan dicengkeram, dia membuat gerakan memutar lengan itu dan sekaligus dihantamkan ke atas untuk menangkis dan dengan kuatnya lengannya yang kecil itu menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang.

“Dukkk!” Dua lengan bertemu dan si topeng merah itu mendengus marah.
“Ihhh!”

Dan kini tangan kirinya bergerak mengadakan serangan tusukan dengan dua jari tangan ke arah mata Sie Liong. Demikian cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu seperti sebatang pedang menusuk saja! Sie Liong maklum bahwa lawannya memang tangguh, maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga, melepaskan payungnya dan menangkis tangan kiri lawan yang menusuk itu dari samping.

“Plakkk!”
“Ehhh...!”

Kini si topeng merah itu agak terhuyung dan agaknya baru dia menyadari bahwa orang bongkok ini amat lihai. Maka, tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur keluar kamar melalui jendela dengan kecepatan luar biasa.

“Penjahat keji, hendak lari ke mana kau?!” Sie Liong membentak.

Sengaja Sie Liong mengeluarkan suara nyaring agar terdengar oleh semua orang yang mengepung rumah itu sambil bersembunyi. Teriakannya nyaring sekali dan maksudnya berhasil, karena terdengar oleh semua pengepung yang langsung menyalakan obor dan mengangkat obor itu tinggi-tinggi dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan mereka memegang senjata.

Sie Liong melihat bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka dia pun cepat mengejar sambil memegang payungnya.

Ketika tiba di atas wuwungan yang agak lebar dan datar, lebarnya tidak kurang dari setengah meter, si bayangan merah itu yang tahu bahwa ia dikejar, lalu membalik dan pedangnya sudah menyambut Sie Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat sinar pedang meluncur cepat, maka dia pun segera menangkis dengan payungnya.

Sepasang mata di balik topeng itu berkilat seperti mentertawakan karena jangankan hanya payung, biar senjata terbuat dari baja yang kuat pun akan patah bertemu dengan pedangnya. Maka dia pun sudah bersiap untuk melanjutkan serangan kalau payung itu terbabat patah.

“Trangg!”

Bunga api berpijar dan si bayangan merah itu mengeluarkan seruan kaget. Payung itu tidak patah, bahkan ia merasa telapak tangannya panas sekali.

“Hei, setan bongkok! Siapakah engkau dan kenapa mencampuri urusanku?” bentaknya.

Sie Liong tertegun. Kiranya siluman ini seorang wanita yang suaranya nyaring merdu! Pantas saja mata yang berada di balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu demikian langsing dan padat, juga nampak kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Sungguh aneh sekali!

“Kiranya siluman merah ialah seorang wanita! Sungguh engkau jahat sekali! Untuk apa engkau menculiki gadis-gadis itu? Hayo kembalikan atau aku tak akan mengampunimu!”

“Setan bongkok sombong! Engkau sudah bosan hidup!” bentak siluman itu dan kini ia menyerang dengan tangan kirinya.

Semacam uap hitam menyambar ke arah Sie Liong, dan uap hitam ini mengandung tenaga dorongan yang amat kuat. Sie Liong menyambut dengan dorongan tangan kiri pula, sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang. Uap putih keluar dari tapak tangan kirinya dan bertemu dengan uap hitam itu. Kembali wanita bertopeng itu mengeluh dan terdorong dua langkah ke belakang.

“Mampuslah!”

Tangan kiri wanita bertopeng bergerak dan sinar-sinar hitam lembut menyambar ke arah tubuh Sie Liong, mengarah leher, dada dan pusar! Itulah jarum-jarum hitam beracun yang menyambar dari jarak dekat!

Sie Liong menggerakkan payungnya yang terbuka. Sekali diputar, payung itu menangkis semua jarum yang bertebaran jatuh menimpa genteng, mengeluarkan suara nyaring lembut yang hanya dapat terdengar oleh Sie Liong. Akan tetapi ketika dia memandang dari balik payungnya, bayangan merah itu telah meloncat turun.

Ributlah para penduduk menyambutnya dengan pengeroyokan. Namun mereka segera cerai berai ketika dua orang di antara mereka roboh mandi darah terbabat pedang dan beberapa kali loncatan saja, si bayangan merah sudah lenyap dari situ. Ketika semua orang memandang, ternyata Pendekar Bongkok yang tadi masih berada di atas genteng rumah juga sudah lenyap.

Ke mana perginya Sie Liong? Dia tadi melihat berkelebatnya bayangan merah itu ke arah selatan, maka diam-diam dia pun lalu meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, malam gelap menjadi penghalang dan wanita berpakaian merah itu telah lenyap ditelan kegelapan malam dan arah yang diambilnya adalah selatan, ke arah bukit yang menjulang tinggi itu, Bukit Onta!

Karena tidak mungkin mengejar seorang lawan yang demikian lihai dan berbahaya di malam gelap, Sie Liong lalu berlari kembali ke dalam dusun Ngomaima. Dia kembali ke rumah saudagar Gulamar di mana penduduk masih berkumpul.

Mereka itu ramai membicarakan apa yang mereka lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara Pendekar Bongkok melawan Siluman Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok itu, para penduduk yang dipimpin oleh kepala dusun Gumo Cali menyambut pemuda itu dengan sorak sorai penuh kegembiraan.

“Hidup Sie Taihiap...!”

Bahkan ada yang berteriak, “Hidup Pendekar Bongkok!” Namun sebutan bongkok itu kini nadanya bukan menghina atau mengejek, melainkan memuji.

Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata, “Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wanita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih selalu ada. Maka harap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Jika saudara sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan dapat mengacau lagi.”

Orang-orang lalu bubaran. Walau pun pendekar itu tidak berhasil menangkap siluman merah, akan tetapi jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu tadi melarikan diri dan sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar.

Ada sebuah hal yang sukar dapat mereka percaya. Berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita? Sukar bagi mereka untuk membayangkan ada seorang wanita selihai itu, dan pula apa urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik?

Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterima kasih sekali kepada Sie Liong, si Pendekar Bongkok. Walau pun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu dapat diselamatkan.

Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Mengapa dia menculiki gadis-gadis cantik, dan ke mana pula dia membawa gadis-gadis itu? Dia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculik, karena bila penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam bahaya.

Pada esok harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan perjalanan seorang diri menuju ke selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam karena sinar matahari pagi itu masih lemah. Dia tahu bahwa ia mencari-cari dalam gelap, hanya menduga bahwa bukit itulah yang sepatutnya menjadi sarang penjahat yang menyamar siluman.

Bukit Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan hutan lebat. Menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani memasuki hutan itu yang menurut kabar tahyul merupakan sarang iblis! Cocok dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman.

Maka, begitu Sie Liong melihat bukit itu dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia sudah menduga bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang dan bergerak memasuki dusun di waktu malam. Dugaan Sie Liong memang tepat sekali.

Tidak begitu jauh di lerang bukit itu, di dalam sebuah hutan, terdapat sebuah bangunan kayu yang nampak masih baru dan cukup besar. Bangunan itu tersembunyi di antara pohon-pohon raksasa sehingga tidak akan nampak dari luar hutan. Bangunan itu belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru kurang lebih sebulan. Dan semenjak tiga pekan ini, dari dalam rumah itu kadang-kadang terdengar suara isak tangis tertahan para wanita, disusul hardikan yang menghentikan suara isak tangis itu.

Kiranya hampir setiap malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah membawa seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah terkumpul sembilan orang gadis-gadis muda dan cantik, di antara mereka terdapat pula dua orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima. Para gadis itu dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di tengah bangunan itu.

Karena mereka selalu dihardik dan diancam bila menangis, maka mereka yang dilanda duka dan ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar pula hati mereka melihat banyaknya teman senasib.

Selama mereka ditawan itu, mereka tak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah diganggu, bahkan diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah tahu mengapa mereka diculik dan ditawan di dalam hutan itu.

Pada malam hari tadi, ketika siluman merah gagal menculik puteri saudagar Gulamar karena adanya Pendekar Bongkok, dia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar yang lihai itu. Meski hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum merasa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok itu, tapi dia tidak berani mengambil resiko untuk terus melawan pendekar Bongkok yang selain amat lihai, juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu.

Malam itu, ketika ia kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, dia disambut teguran tidak puas di dalam ruangan di rumah itu. Mereka semua ada lima orang yang duduk mengelilingi sebuah meja.

Salah seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda. Pada jubahnya di bagian dada terdapat sebuah lukisan teratai putih dengan dasar warna hitam. Biar pun dia mengenakan jubah pendeta dan kepalanya dicukur licin, namun sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha).

Para hwesio bersikap alim dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar. Wajahnya penuh dengan kelicikan sedangkan mulutnya membayangkan kerakusan dan kekejaman. Namun harus diakui bahwa dia memiliki wajah yang nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya berwibawa.

Di sampingnya duduk pula tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Tiga laki-laki ini memakai pakaian ringkas dan di punggung mereka terselip siang-to (sepasang golok) yang mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan berlagak laksana jagoan.

Orang ke lima adalah siluman merah sendiri, kini dia sudah menanggalkan topengnya. Apa bila Sie Liong melihatnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya, mereka semua tentu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang mereka namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis sekali!

Usianya tak akan lebih dari dua puluh lima tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah Pek Lan!

Seperti kita ketahui, Pek Lan telah berhasil membalas dendamnya terhadap para selir dari Hartawan Coa di kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati sangat puas dia meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di pinggir telaga Co-sa sebagai seorang yang kaya raya.

Akan tetapi setibanya di rumah subo-nya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan seorang tamu yang oleh subo-nya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai Yang Suhu, seorang tokoh Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).

“Pek Lan, Thai Yang Suhu ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan juga ilmu sihir yang hebat. Thai Yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya Pek Lan.”

Sepasang mata pria berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, kemudian dia mengangguk-angguk. “Kui-bo, muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga lincah. Tidak tahu sampai di mana engkau menggemblengnya.”

“Hemmm, dia sudah mewarisi hampir seluruh kepandaianku. Engkau cobalah dia, Thai Yang. Pek Lan, jangan sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai Yang Suhu!”

Wajah serta sikap pria berjubah pendeta itu sudah sangat menarik perhatian Pek Lan, karena itu mendengar kata-kata subo-nya, ia pun lalu meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai Yang Suhu. “Paman, silakan!”

Thai Yang Suhu tertawa bergelak, dan ternyata gigi-giginya masih berderet rapi. “Bagus, engkau adalah seorang keponakan yang mengagumkan,” katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu menghampiri Pek Lan. “Pek Lan, pinceng ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng (aku) melihat apakah benar engkau cukup berharga untuk mewakili subo-mu membantu pekerjaan kami yang besar. Awas serangan!”

Pendeta Pek-lian-kauw itu sudah menyerang, pukulannya mengandung tenaga sinkang besar dan juga gerakannya cepat sekali. Namun, tidak terlalu cepat bagi Pek Lan yang dengan mudah sudah mengelak ke samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong.

Thai Yang Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah pelipis kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat dan serangan ini diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang berbahaya.

Akan tetapi, dengan tenang saja Pek Lan meloncat ke belakang, lalu ia pun membalas dengan serangan bertubi-tubi. Ia mengerahkan tenaga sinkang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam!

“Bagus, ia sudah pandai Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!” kata Thai Yang Suhu.

Biar pun mulutnya tertawa, akan tetapi dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan yang hebat dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan tangkisan dan elakan. Walau pun yang sedang menyerangnya hanyalah seorang wanita muda, akan tetapi serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya.

Gadis itu pun tidak mau memberi hati. Ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu diam-diam harus mengakui akan kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan mendadak saja pendeta itu lenyap dari pandangan mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam! Selagi Pek Lan kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.

“Pek Lan, pinceng di sini!”

Pek Lan terkejut dan juga mendongkol atas kegenitan sahabat subo-nya itu. Dia segera membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai Yang Suhu terkena tendangan itu. Untung dia cepat-cepat menarik tangannya sambil mengelak dan sebelum Pek Lan melanjutkan serangannya, kembali dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.

“Wah, kalau paman menggunakan ilmu siluman begini, aku mengaku kalah!” teriak Pek Lan yang tidak ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.

Asap hitam menghilang dan Thai Yang Suhu kelihatan kembali.

“Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik, pinceng telah menjadi raksasa, apakah engkau masih berani melawan?”

Pek Lan memandang dan ia terbelalak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya setinggi lututnya! Tentu saja ia menjadi gentar dan ia memberi hormat sambil berkata, “Aku tidak berani...”

Thai Yang Suhu tertawa dan dia kembali berubah menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh.

“Thai Yang, engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kau lihatlah, dia pandai sekali ilmu sihir! Kini dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi karena aku sudah tua, aku akan wakilkan padamu.”

Pek Lan mangerutkan alisnya. Dia merasa menyesal mengapa subo-nya menyanggupi untuk membantu pendeta ini, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh dia yang mewakilinya. Jika subo-nya yang memerintahkan, tentu saja dia tak dapat menolak lagi.

“Bantuan yang bagaimana, Subo? Apakah yang harus kulakukan?”

“Ha-ha-ha, tidak berat dan tidak sukar, Pek Lan, apa lagi untukmu yang memiliki tenaga hebat, kecepatan kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan menurut pinceng hanya engkaulah yang akan mampu melaksanakan tugas ini sebaiknya. Tugas yang mudah sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan penambahan pelayan, yaitu gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas orang. Kita akan memilih dari dusun di mana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau bertugas untuk menculik mereka itu seorang demi seorang.”

Pek Lan mengerutkan alisnya. Memang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pendeta ini.

“Akan tetapi, mengapa mesti aku...?” bantahnya.

“Pek Lan, aku pernah berhutang budi kepada Thai Yang Suhu ini, dan sekarang ada kesempatan bagiku untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah menunjuk engkau untuk mewakili aku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa engkau tidak sanggup mewakiliku?”

Guru itu mendesak sedemikian rupa sehingga tak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pendeta itu tadi. Menghadapi ilmu aneh seperti itu, apa artinya ilmu silatnya? Tiba-tiba ia mendapatkan akal.

“Paman Thai Yang Suhu, aku sanggup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya.”

“Ha-ha-ha, anak manis, apakah syaratmu itu? Hadiah apa yang kau minta?”

“Aku mau mewakill subo membantu paman sampai berhasil mengumpulkan lima belas orang gadis dusun yang dibutuhkan Pek-lian-kauw, akan tetapi dengan imbalan bahwa paman akan mengajarkan ilmu sihir yang aneh itu kepadaku.”

Mendengar permintaan ini, kedua mata Thai Yang Suhu lantas terbelalak, akan tetapi sepasang mata itu kemudian menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan, dan dia pun tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, Kui-bo. Muridmu ini memang sungguh cerdik dan menyenangkan sekali. Permintaanmu itu memang sudah pantas! Dan pinceng bukanlah seorang yang pelit, apa lagi terhadap seorang gadis cantik manis yang cerdik seperti engkau, dan masih keponakanku sendiri pula yang akan membantu pinceng. Ha-ha-ha, memang hidup ini harus meminta dan memberi. Pinceng akan mengajarkan beberapa macam ilmu sihir padamu, Pek Lan, asalkan engkau suka mentaati segala perintahku, memenuhi segala permintaanku. Bagaimana, sanggupkah engkau?”

Pek Lan yang merasa girang sekali mendengar bahwa ia akan menerima pelajaran ilmu sihir, tanpa ragu lagi menjawab, “Tentu saja aku sanggup, Paman Thai Yang Suhu!”

“Ho-ho-ho, sekali ini engkau terjebak oleh pamanmu yang selain lihai juga amat cerdik, Pek Lan! Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaannya! Engkau lupa bahwa engkau adalah seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan menarik, sedangkan Thai Yang Suhu ini adalah seorang laki-laki yang hatinya masih muda dan dulu dia amat tampan, digilai oleh banyak wanita. Ha-ha-hi-hik!”

Mendengar ucapan subo-nya, Pek Lan memandang kepada pria gundul yang memang tampan itu, dan wajahnya lalu berubah kemerahan. Tentu saja ia mengerti apa maksud subo-nya. Akan tetapi, apa bila benar tokoh Pek-lian-kauw itu menghendaki apa yang dimaksudkan oleh subo-nya itu, ia pun tidak berkeberatan!

Demikianlah, sejak saat itu Pek Lan membantu Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw itu. Dengan ilmunya yang tinggi, Pek Lan membantu pendeta palsu itu, mulai menculiki gadis-gadis cantik dari dusun-dusun. Di samping itu, Pek Lan menerima pula petunjuk dan pelajaran dari Thai Yang Suhu yang memenuhi janjinya, mengajarkan ilmu sihir kepada wanita cantik itu.

Sebaliknya, Pek Lan juga tidak melanggar janjinya dan dengan penuh kemesraan dan kepasrahan ia pun secara suka rela menyerahkan dirinya melayani semua gairah nafsu tokoh Pek-lian-kauw itu. Bahkan ia pun merasa puas dan senang karena ternyata pria yang sudah berusia enam puluh tahun itu sangat perkasa, bahkan tidak kalah oleh yang muda-muda.

“Sungguh aku merasa heran sekali, Pek Lan. Engkau gagal hanya karena dihalangi oleh seorang pemuda yang bertubuh cacat, yang bongkok? Sungguh penasaran dan sangat memalukan!” Demikian berkali-kali Thai Yang Suhu menegur pembantunya, yang juga merangkap kekasihnya itu.

Pek Lan mengerutkan alisnya dan mulutnya yang berbibir merah basah tanpa gincu itu cemberut. “Hemm, mencela memang mudah! Aku bukan mengatakan bahwa aku kalah oleh setan bongkok itu, akan tetapi aku hanya mengatakan bahwa dia memang sangat lihai. Aku terpaksa melarikan diri bukan karena takut melawannya. Kami bahkan belum berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi, bagaimana aku akan bertindak nekat kalau ratusan orang penduduk berada di belakangnya?”

Thai Yang Suhu mengerutkan alisnya pula. “Hemm, tentunya si bongkok itu pula yang mengerahkan penduduk. Dan selama ia berada di sana dan menghasut para penduduk untuk melawan kita, maka tentu akan sukar bagi kita untuk bisa memenuhi jumlah gadis yang kita butuhkan. Sudah ada sembilan orang dan tinggal enam lagi saja, ehh, tiba-tiba muncul setan bongkok itu. Kita harus melenyapkan perintang itu.”

“Benar sekali, kalau si bongkok itu kita bunuh, tentu hati para penduduk menjadi gentar lagi dan mereka tidak akan berani lagi menentang kita,” kata seorang di antara Tibet Sam Sin-to (Tiga Golok Sakti Tibet) itu. Dua orang saudaranya mengangguk-angguk.

Pek Lan yang merasa panas hatinya karena ditegur Thai Yang Suhu tadi, mendengar ucapan Tibet Sam Sin-to segera bangkit dan bertolak pinggang, lalu ia berkata dengan suara lantang, “Sam Sin-to, biar kalian bertiga yang menghadapi penduduk yang banyak akan tetapi lemah itu, dan biarkan aku yang akan menandingi si bongkok sampai dia mampus di tanganku!”

Tibet Sam Sin-to tidak berani memandang rendah kepada wanita muda yang cantik manis itu karena mereka maklum betapa lihainya Pek Lan, mereka hanya mengangguk dan seorang di antara mereka berkata singkat, “Jangan khawatir, nona. Kami akan membasmi penduduk yang berani menentang kita!”

“Hemm, kalian tidak boleh menuruti hati marah saja. Semua harus diatur dengan cermat supaya jangan sampai gagal. Aku tidak biasa bekerja secara serampangan saja, harus menggunakan siasat yang matang,” kata Thai Yang Suhu.

Pada saat itu, seorang anak buah mereka muncul. Anak buah ini tadi telah menerima tugas untuk menyelidiki keadaan dalam dusun Ngomaima, terutama sekali menyelidiki tentang si bongkok.

“Bagaimana hasil penyelidikanmu?” tanya Thai Yang Suhu.

Anak buah ini adalah juga seorang anggota Pek-lian-kauw yang terkenal cerdik. Dia pun memiliki ginkang yang membuat dia mampu berlari cepat dan bergerak dengan gesit.

Setelah memberi hormat, anak buah itu kemudian bercerita. “Tak ada yang mengetahui siapa nama si bongkok itu, Losuhu. Orang menyebut dia Pendekar Bongkok, dan tidak ada seorang pun mau mengaku ketika saya mencoba bertanya siapa namanya dan bagaimana riwayatnya. Yang jelas, dia bukan penduduk daerah ini, melainkan datang dari timur.”

“Di mana dia sekarang dan bagaimana keadaan para penduduk dusun Ngomaima?” tanya pula Thai Yang Suhu tak sabar.

“Dia masih bermalam di rumah penginapan, akan tetapi sekarang penduduk melakukan penjagaan ketat dan puluhan orang melakukan penjagaan secara bergiliran.”

“Hemm, aku tidak takut! Mari sekarang juga kita berangkat mencari si bongkok itu di rumah penginapan!” kata Pek Lan gemas.

“Tidak,” bantah Thai Yang Suhu. “Sudah kukatakan bahwa semua harus menggunakan rencana serta siasat. Jangan sampai kita memperlihatkan kelemahan seolah-olah takut kepada si bongkok dan para penduduk. Pek Lan, besok siang kita akan usahakan untuk memberi tanda merah lagi pada pintu rumah Gulamar, dan malam harinya, engkau culik puterinya!”

“Tapi, kalau mereka tahu, tentu mereka mengatur jebakan,” bantah Pek Lan.

“Ha-ha-ha, justru itu yang kuhendaki. Biarlah mereka mengatur jebakan untukmu, akan tetapi mereka tidak tahu bahwa di belakangmu ada kami! Tibet Sam Sin-to yang akan menghadapi orang-orang dusun bodoh itu, dan engkau yang menculik gadis itu. Kalau si bongkok muncul, kita hadapi berdua, dan jangan khawatir, aku melindungimu, Pek Lan.”

Wanita muda itu mengangguk-angguk dan hatinya pun merasa tenang. Kalau Thai Yang Suhu membantunya menghadapi si bongkok, ia hampir yakin bahwa mereka tentu akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok itu.

Malam itu Pek Lan berusaha keras untuk menyenangkan hati Thai Yang Suhu. Pertama untuk menebus kekurangannya karena kegagalan menculik puteri Gulamar, dan ke dua karena pendeta Pek-lian-kauw itu besok akan membantunya. Untuk memberi tanda darah pada pintu keluarga hartawan itu, diserahkan kepada anak buah Pek-lian-kauw yang cekatan dan pandai menyamar…..

**********

Sie Liong berjalan dengan tenang mendaki bukit Onta yang penuh dengan hutan itu. Walau pun belum yakin karena belum mendapatkan bukti, namun dia menduga keras bahwa tentu siluman yang suka menculik gadis itu bersembunyi di tempat yang ditakuti orang ini. Sebuah tempat persembunyian yang baik. Akan tetapi, siluman itu seorang wanita, dan mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Tentu wanita siluman itu tidak sendiri dan mungkin terdapat banyak kawannya yang tentu saja berbahaya. Maka, meski dia melangkah dengan tenang, dia tak pernah lengah sedetik pun. Mata dan telinganya menyelidiki keadaan di sekelilingnya.

Sikapnya yang amat hati-hati itu tidak menolongnya. Semenjak dia mendaki Bukit Onta, setiap gerak-geriknya sudah diikuti oleh beberapa pasang mata. Dia tidak tahu bahwa pendakiannya tadi telah kelihatan oleh anak buah Thai Yang Suhu yang segera melapor kepada pendeta Pek-lian-kauw itu.

Mendengar bahwa Pendekar Bongkok sudah datang berkunjung dan sekarang sedang mendaki bukit, tentu saja hal ini tidak pernah disangka oleh Thai Yang Suhu yang cepat mempersiapkan diri. Dia lalu berunding dengan Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to, mengatur siasat.

Thai Yang Suhu, walau pun nampaknya seperti seorang pendeta, akan tetapi dia adalah pendeta dari aliran kebatinan yang sesat, oleh karena itu, dia tidak sungkan atau malu selalu bersikap curang. Kalau dia gagah, tentu dijumpainya Pendekar Bongkok agar mereka dapat bertanding secara gagah pula. Tidak, dia tidak ingin mengalami kerugian dan segalanya diperhitungkan demi keuntungan pihaknya.

Dia belum mengenal siapa Pendekar Bongkok, dari aliran mana dan bagaimana tingkat ilmu kepandaiannya. Kalau memang Pendekar Bongkok itu sangat pandai, kenapa tidak diusahakan dulu agar suka membantu dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Kalau semua usaha itu gagal, baru terpaksa pemuda itu dibunuh!

Sie Liong menurutkan jalan setapak yang ditemukannya di dalam hutan itu. Pada waktu membelok di bagian tengah hutan, pada jalan menurun, mendadak saja dia dihadapkan dengan sebuah telaga kecil yang amat indah dan amat jernih airnya. Ada air terjun tak jauh dari situ, dan airnya membuat sungai kecil memasuki telaga.

Dari tempat dia berdiri, dia melihat pemandangan yang amat indah. Tidak disangkanya bahwa di bukit yang sunyi dan penuh hutan, yang ditakuti orang itu, terdapat tempat yang demikian indahnya. Dia lalu menuruni jalan setapak itu, menghampiri telaga.

Terpesona dia berdiri di tepi telaga. Air telaga demikian jernihnya, bagaikan kaca yang berada di depan kakinya. Demikian jernihnya sehingga dia dapat melihat batu-batu di dasarnya, juga melihat beberapa ekor ikan yang berenang hilir mudik.

Di sebelah sana, di mana permukaan air digelapi bayang-bayang pohon, air itu seperti menelan semua pemandangan di atasnya. Pohon, daun-daun, awan dan sinar matahari, semua tenggelam dan nampak sedemikian jelasnya sehingga setiap helai daun pohon itu pun nampak. Tak ada angin yang menggerakkan daun pohon, agaknya angin sudah ditangkis oleh pohon-pohon besar di sekeliling telaga itu.

Suara air membuat dia menoleh ke kiri dan untuk kedua kalinya dia terpesona! Kalau tadi dia terpesona oleh keindahan telaga itu, kini dia terpesona oleh suatu keindahan yang lain lagi, keindahan wajah dan tubuh seorang wanita!

Wanita itu masih muda, tak lebih dari dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya cantik manis dengan bentuk bulat telur. Dan gadis itu bertelanjang bulat sama sekali, tidak ada sehelai benang pun menutupi tubuhnya yang masak dan padat.

Kulitnya demikian putih mulus dan karena dia tidak berdiri terlalu jauh, dan kebetulan pula sinar matahari menimpa tubuh telanjang itu, Sie Liong bisa melihat bulu-bulu halus lembut pada lengan dan kaki gadis itu, yang membuat dia menjadi semakin menarik.

Gadis itu duduk di atas batu dan dia melihatnya dari samping. Dengan kedua kakinya, gadis itu menendang-nendang air dan itulah bunyi air yang tadi menarik perhatiannya. Agaknya gadis itu tidak melihatnya, dan sedang asyik sendiri.

Dari keadaan terpesona, Sie Liong sekarang menjadi tersipu, merasa betapa dia telah bersikap tidak sepantasnya, memandangi seorang gadis bertelanjang bulat seperti itu. Wajahnya berubah merah. Dia pun cepat membuang muka, bahkan kemudian berdiri membelakangi gadis itu, kemudian melangkah pergi.

“Heiiiii...!”

Tiba-tiba Sie Liong mendengar suara gadis itu, disusul suara tubuh jatuh ke air. Karena ingin tahu apa yang terjadi, Sie Liong menahan kakinya dan membalik, memandang. Gadis itu agaknya tadi melihat dia dan terkejut, lalu terjun ke air di dekat batu yang tadi didudukinya. Sekarang gadis itu berdiri sepinggang di dalam air, dan nampak dadanya yang berbentuk indah.

“Heii, siapa kau? Apakah kau mau mandi? Marilah, kita boleh mandi bersama. Di sini tidak ada orang lain!”

Kedua pipi Sie Liong menjadi semakin merah dan dia mengerutkan alisnya, lalu cepat membalikkan tubuh lagi, tidak mau memandang dada indah dan wajah manis itu terlalu lama, bahkan dia lalu pergi tanpa banyak bicara lagi.

Gadis itu sungguh tidak tahu malu, pikirnya. Tidak bersusila. Sudah tidak malu dilihat oleh pria dalam keadaan bertelanjang, bahkan mengajak mandi bersama! Seperti bukan seorang wanita biasa! Pantasnya wanita itu siluman! Siluman Merah! Sie Liong merasa betapa jantungnya berdebar dan dia memperlambat langkahnya.

Kini terdengar gadis itu kembali berbicara, dan nada suaranya sangat menyesal penuh teguran. “Engkau ini orang macam apa? Disapa baik-baik tidak mau menjawab! Selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang manusia sesombong ini! Aku ingin sekali bicara denganmu, dan siapa tahu, aku dapat memberi keterangan padamu! Bukankah engkau mencari seseorang di sini?”

Mendengar ucapan ini, kembali untuk ke dua kalinya Sie Liong menahan langkahnya, akan tetapi dia tidak mau menoleh atau membalikkan tubuhnya. Mungkin saja gadis ini siluman merah yang juga seorang wanita, pikirnya, walau pun dugaan ini dia bantah sendiri.

Tidak mungkin! Siluman merah itu seorang berilmu tinggi, dan yang di belakangnya ini hanyalah seorang gadis muda yang cantik manis, sukar dipercaya kalau memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan andai kata dia bukan siluman merah, siapa tahu gadis ini dapat memberi keterangan di mana tempat persembunyian siluman merah.

“Aku bukan orang sombong. Kalau engkau berpakaian dengan sopan, tentu aku akan suka bicara dengan nona. Engkau berpakaianlah lebih dulu!”

“Hi-hi-hik-hik!” Gadis itu tertawa. Suara ketawanya merdu, tidak dibuat-buat dan bebas lepas.

“Kiranya kau seorang yang sopan santun, ya? Bersusila tinggi, ya? Apa sih salahnya bertelanjang bulat? Bukankah ketika kau dan aku terlahir, kita juga bertelanjang bulat? Bukankah manusia baru kelihatan keaslian dan keindahan tubuhnya kalau bertelanjang bulat? Baiklah, aku akan berpakaian lebih dahulu. Awas, jangan mengintai kau, seperti kebanyakan laki-laki, mulutnya bersopan-sopan, akan tetapi matanya lalu mencuri-curi, hi-hi-hi!”

Sie Liong merasa mendongkol juga. Gadis ini aneh sekali, akan tetapi ejekannya tadi memang mengena! Dia mendengar suara berkeresekan, dan walau pun matanya tidak melihat, tetapi pendengarannya yang tajam dan terlatih dapat membuat dia tahu bahwa gadis itu memang kini benar-benar sedang mengenakan pakaian.

“Nah, aku sudah selesai berpakaian. Kau lihat, apakah aku lebih baik kalau berpakaian dari pada kalau bertelanjang? Lihat baik-baik!”

Karena dari pendengarannya tadi dia sudah yakin bahwa gadis itu kini telah berpakaian, Sie Liong lalu membalikkan tubuhnya. Gadis itu memang cantik menarik bukan main. Sayang pandang matanya dan senyumnya, walau pun manis dan amat memikat, namun mengandung kegenitan dan kecabulan! Gadis itu tersenyum.

“Engkau orang aneh, tubuhmu juga aneh, akan tetapi wajahmu tampan dan engkau nampak begitu kuat! Hemm, aku ingin sekali bicara denganmu!” Berkata demikian, gadis itu lalu melangkah dari batu ke batu untuk menuju ke tepi di mana Sie Liong berdiri. Gadis itu melangkah dengan agak sukar dan hal ini saja membuktikan bahwa ia tidak pandai silat, atau andai kata bisa pun, kepandaiannya tentu masih rendah sekali.

Ketika dari batu terakhir dia melompat ke tanah yang jaraknya hanya satu meter dan agaknya lebih tinggi dari batu itu, ia meloncat dengan kaku dan tak dapat dicegah lagi, kakinya terpeleset dan dia pun jatuh miring di atas tanah.

“Aduhhhh... aduh, kakiku... sakit...!” Gadis itu mengeluh dan berusaha untuk bangkit duduk, akan tetapi tidak dapat dan ia mencoba untuk menyentuh kakinya di tumit, juga tidak dapat.

Sie Liong mengerutkan alisnya. Sejak tadi dia waspada. Gadis ini demikian muda dan cantik, dan berada seorang diri saja di tempat yang sunyi dan liar ini. Padahal, para penduduk, biar pemburu yang gagah berani sekali pun, tidak berani mendaki Bukit Onta ini. Hal ini saja membuktikan bahwa gadis ini tentu memiliki sesuatu yang membuat ia berani berada seorang diri di tempat berbahaya ini.

Tadi dia menduga bahwa gadis itu agaknya hendak merayunya lewat tubuhnya yang menggairahkan, dan lewat kegenitannya yang mengajak mandi bersama. Ketika rayuan itu tidak mendapat tanggapan, gadis ini mungkin saja sengaja membuat dirinya jatuh agar dia mau menolongnya. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia dapat lengah.

“Aduh, tolong...! Apakah selain sombong, engkau juga begitu kejam sehingga tidak mau menolong seorang wanita yang terjatuh dan terkilir kakinya? Aduhhh...!”

Gadis itu kini menjulurkan lengan kirinya ke arah Sie Liong, minta bantuan agar pemuda itu suka menolongnya bangkit.

Sie Liong tersenyum, kemudian menghampiri dan menggunakan tangan kanan untuk memegang tangan kiri yang dijulurkan itu. Dia kelihatan sama sekali tak menaruh curiga dan seperti orang yang benar-benar hendak membantu gadis itu bangkit duduk. Lunak dan hangat terasa olehnya ketika tangannya bersentuhan dengan telapak tangan yang putih mulus itu.

Gadis itu lalu bangkit duduk, bahkan sambil masih berpegang kepada tangan Sie Liong. Dia berdiri, agak terhuyung dan di lain saat dia sudah merangkul leher Sie Liong dan merapatkan pipinya di dada Pendekar Bongkok!

Sie Liong mencium bau yang harum keluar dari rambut dan leher gadis itu. Jantungnya berdebar serta tubuhnya tergetar karena betapa pun juga, darah mudanya bergejolak ketika tubuh yang hangat itu merapat pada tubuhnya. Akan tetapi, dia segera teringat bahwa hal itu tidak selayaknya, maka dia pun melangkah mundur merenggangkan diri sambil melepaskan tangan gadis itu, juga melepaskan lengan yang merangkul lehernya.

Dan pada saat itu, tiba-tiba sekali, dari jarak yang amat dekat, gadis itu menggerakkan tangannya. Dengan jari-jari terbuka, tangan itu cepat menotok ke arah perut Sie Liong! Dahsyat bukan main serangan ini dan jari-jari tangan itu sudah terisi tenaga dalam yang amat jahat, karena telapak tangan itu berubah menghitam. Gadis itu telah menggunakan pukulan maut!

“Huhhh...!” Sie Liong dapat mengelak sambil menangkis dari samping.

“Hyaaaatt...!”

Pek Lan, gadis cantik itu, menyusulkan cengkeraman ke arah leher. Namun kembali Sie Liong dapat mengelak dengan melangkah mundur sambil tangannya menangkis lengan yang bergerak ke arah lehernya. Pek Lan merasa penasaran sekali, kakinya bergerak menendang ke arah bawah pusar lawan!

“Hemm, keji sekali...!” Pendekar Bongkok berseru dan tubuhnya melayang ke belakang. Tendangan itu pun luput!

Sie Liong berdiri dan bertolak pinggang, tersenyum pahit, lalu dia berkata dengan nada suara mengejek. “Bagus sekali, kiranya selain kejam dan melakukan kejahatan aneh menculiki gadis-gadis, engkau juga masih pandai melakukan perbuatan curang!”

Pek Lan memandang dengan kedua mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa Pendekar Bongkok sedemikian lihainya. Bukan hanya tidak dapat dirayunya, juga tak mudah ditipu dengan pura-pura jatuh tadi. Padahal dia hanya seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok dan nampaknya lemah!

“Bagaimana... kau bisa tahu…?” tanyanya, menahan rasa penasaran dan kemarahan saking herannya.

“Engkau seorang gadis muda berada seorang diri di tempat seperti ini membuktikan bahwa engkau tentulah seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian. Pakaianmu demikian mewah, hal ini membuktikan bahwa engkau tentu bukan pendatang dari luar hutan, melainkan mempunyai tempat tinggal di dalam hutan. Dan siluman merah yang bertemu dengan aku semalam seorang wanita yang mempunyai ilmu silat tinggi. Ketika engkau gagal menggunakan siasat menjatuhkan kelemahanku sebagai pria, engkau lalu berpura-pura jatuh. Aku sudah curiga dan siap siaga, maka beberapa seranganmu yang masih mentah itu tentu saja dapat kuhindarkan.”

“Jahanam sombong, sekarang juga engkau akan mampus di tanganku!”

Sambil berteriak demikian, Pek Lan kemudian menerjang dengan gerakan cepat, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi.

Melihat betapa kedua telapak tangan gadis itu kini berubah menghitam, maklumlah Sie Liong bahwa dia menghadapi seorang gadis golongan sesat yang menguasai ilmu sesat pula. Diam-diam ia menyayangkan sekali bahwa seorang gadis muda yang begini cantik ternyata menjadi seorang wanita sesat yang genit, cabul dan juga amat jahat.

Maka, dia pun cepat mengerahkan sinkang-nya. Sambil mengelak atau kadang-kadang menangkis, dia pun membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang sangat mantap dan dahsyat.

Setelah mereka saling serang selama belasan jurus, terkejutlah Pek Lan. Bukan saja karena semua serangannya yang dahsyat itu tak pernah berhasil, bahkan kalau pemuda bongkok itu menangkis, dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya serasa retak dan tubuhnya tergetar hebat!

Dan bila pemuda itu membalas, angin pukulannya menyambar seperti angin badai yang membuat ia makin gentar saja. Tidak berani ia menangkis, tidak berani mengadu tenaga karena ia tahu bahwa tenaga sinkang-nya kalah kuat.

Juga penggunaan hawa beracun agaknya tiada gunanya karena kedua tangan pemuda itu dilindungi semacam uap putih yang membuat uap hitam dari telapak tangannya membuyar, bahkan membalik! Ia tidak tahu bahwa pemuda lawannya itu memiliki ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada ilmunya yang disebut Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).

Teringatlah Pek Lan akan ilmu sihir yang diajarkan oleh Thai Yang Suhu padanya. Maka diam-diam, sambil sibuk mengelak berloncatan untuk menghindarkan hujan tamparan dari Sie Liong, ia berkemak-kemik membaca mantera. Pandang matanya bagaikan dua ujung pedang yang disatukan bagaikan menembus dahi Pendekar Bongkok di antara alisnya, kemudian tiba-tiba ia membentak nyaring.

“Pendekar Bongkok, menyerah dan berlututlah engkau!”

Sie Liong terkejut sekali ketika merasa betapa ada tenaga luar biasa yang seolah-olah memaksanya untuk menyerah dan berlutut. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah menerima banyak petunjuk dari Pek-sim Siansu, bagaimana cara menghadapi ilmu-ilmu sihir dari kaum sesat.

Maka dia pun cepat menahan napas sambil mengerahkan khikang sehingga pengaruh yang memaksanya itu buyar. Akan tetapi dia menahan senyum, kemudian pura-pura menjatuhkan diri berlutut seolah-olah dia terpengaruh oleh sihir yang dilakukan gadis itu!

Melihat lawannya benar-benar berlutut, Pek Lan gembira bukan main akan hasil ilmu sihirnya itu. Ia tahu bahwa lawannya ini amat berbahaya, dan tidak mudah ditundukkan dengan pengaruh kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya, maka baginya tidak ada gunanya, bahkan membahayakan saja. Maka ia pun lalu menubruk ke depan dan kedua tangannya, dengan jari-jari membentuk cakar harimau, menyambar ke arah ubun-ubun kepala Pendekar Bongkok.

“Haiiiittt...!” Pendekar Bongkok tiba-tiba membentak, kedua tangannya mendorong ke depan dan bagaikan sebuah layang-layang yang putus talinya, tubuh Pek Lan langsung melayang ke belakang lalu terbanting jatuh! Untung bahwa Pendekar Bongkok tidak bermaksud membunuhnya, maka Pek Lan tidak tewas, bahkan tidak terluka parah, hanya terbanting keras, membuat pinggulnya terasa nyeri bukan main.

Pek Lan cepat meloncat bangun, menggosok-gosok pinggul yang tadi terbanting sambil meringis kesakitan. Akan tetapi, kemarahannya sudah memuncak. Tanpa banyak cakap lagi, ia pun sudah mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan lengkingan panjang, ia menyerang Pendekar Bongkok dengan pedangnya.

Kalau saja Sie Liong menghendaki, pukulan dahsyat Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung) tadi sudah cukup untuk membunuh Pek Lan. Akan tetapi, dia tidak bermaksud membunuh orang. Betapa pun juga, siluman merah itu belum diketahui apa sebenarnya yang menjadi latar belakang perbuatannya menculik gadis-gadis itu.

Sekarang, melihat betapa wanita itu menjadi semakin nekat dan menyerangnya dengan pedang, dengan permainan pedang yang cukup berbahaya, dia pun mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, mengelak sambil berloncatan dan berkali-kali tubuhnya berkelebatan di sekeliling lawannya, membuat gadis itu menjadi bingung dan pening. Pek Lan merasa seolah melawan bayangan saja, demikian cepatnya gerakan Pendekar Bongkok.

“Hentikanlah seranganmu, atau terpaksa aku akan merobohkanmu. Kembalikan semua gadis yang telah kau culik, maka aku akan memaafkanmu!” Pendekar Bongkok berseru beberapa kali, namun sebagai jawabannya, Pek Lan menyerang semakin ganas saja.

Sie Liong menjadi marah. Gadis ini terlalu ganas dan berhati kejam, kalau tidak diberi hajaran keras tentu tidak akan mau tunduk. Pada waktu pedang itu untuk ke sekian kalinya meluncur ke arah dadanya, Pendekar Bongkok mengelak dengan miringkan tubuh dan menarik tubuh atas ke belakang, lalu tangannya dengan cepat sekali menotok ke atas pundak kanan Pek Lan.

“Tukkk!” Pek Lan merasa lengannya lumpuh dan pedang itu terlepas dari pegangannya. Akan tetapi, dengan gerakan memutar dia menubruk ke arah Pendekar Bongkok dan tanpa malu-malu lagi tangannya yang membentuk cakar itu mencengkeram ke arah bawah pusar pemuda bongkok itu!

“Ihhhh...!”

Sie Liong meloncat ke belakang dan mukanya berubah merah. Wanita ini sungguh tidak tahu malu sama sekali! Dia melompat ke belakang bukan karena takut, tetapi karena malu.

Akan tetapi baru dia tahu bahwa serangan mencengkeram ke arah bawah pusarnya tadi hanya merupakan gertakan saja karena sekarang Pek Lan sudah menyambar kembali pedangnya yang tadi terlepas. Serangan itu dipergunakan hanya untuk dapat merampas kembali pedang yang sudah lepas dari tangan.

Wanita itu kini maklum benar bahwa Pendekar Bongkok sungguh amat lihai. Namun dia masih merasa penasaran, apa lagi mengingat bahwa ada teman-temannya yang tentu akan membantunya.

Benar saja! Ketika ia menerjang lagi, tiba-tiba bermunculan tiga orang Tibet Sam Sin-to yang semenjak tadi hanya mengintai sambil menonton saja. Mereka baru muncul dan membantu Pek Lan setelah menerima perintah dari Thai Yang Suhu.

Tokoh Pek-lian-kauw ini tidak segera memberi perintah membantu Pek Lan karena dia ingin memperhatikan gerakan ilmu silat Pendekar Bongkok dan untuk menguji sampai di mana kelihaian pemuda bongkok itu. Diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian Pendekar Bongkok yang membuat Pek Lan tidak berdaya. Setelah gadis itu terdesak hebat dan terancam bahaya, barulah dia memberi isyarat kepada Tibet Sam Sin-to untuk maju membantu.

Melihat munculnya tiga orang laki-laki tinggi besar yang masing-masing memegang sebatang golok melengkung dan gerakannya aneh, Sie Liong dapat menduga bahwa mereka tentulah jagoan-jagoan dari Tibet. Hal ini dapat diketahuinya dari gaya gerakan tubuh mereka. Dia sudah banyak mendengar dari para gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Siansu tentang ilmu silat Tibet yang bercampur dengan gaya silat gulat, semacam ilmu silat yang mengandalkan cengkeraman, tangkapan, dan juga bantingan.

Akan tetapi, perhatian Sie Liong bukan sepenuhnya kepada tiga orang ini. Dia menduga bahwa tentu masih ada musuh lain yang bersembunyi seperti tiga orang tinggi besar tadi yang bersembunyi di balik semak-semak.

Dia tadi tidak mendengar kedatangan mereka, hal itu hanya berarti bahwa sejak tadi mereka memang berada di situ, bersembunyi. Dia telah terjebak! Semua siasat yang dilakukan wanita cantik itu merupakan siasat mereka. Mungkin sejak dia mendaki Bukit Onta, gerak-geriknya tentu telah diikuti pihak musuh.

Pada saat mendengar bunyi berkeresek di atas sebuah pohon besar, tiba-tiba Sie Liong mengeluarkan lengkingan panjang dan sebelum Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to sempat menyerangnya, tubuhnya sudah melayang naik ke arah pohon di mana tadi terdengar daun berkeresekan.

Melihat bayangan manusia di dalam pohon itu, Sie Liong meloncat sambil menyerang dengan dorongan telapak tangannya. Orang itu ternyata adalah seorang kakek tinggi besar pula yang berkepala gundul dan berpakaian pendeta. Melihat Sie Liong meloncat ke atas pohon dan menyerangnya, kakek itu yang bukan lain adalah Thai Yang Suhu, menjadi terkejut dan cepat menangkis.

“Dukkk!”

Keduanya terdorong keras dan terpaksa keduanya melompat turun dari atas dahan pohon.

Ketika tubuhnya terdorong dan terpaksa meloncat turun, tangan Sie Liong menyambar sebatang ranting sebesar lengannya. Ranting itu patah dan terbawa turun. Lega rasa hati Sie Liong sesudah dia memperoleh senjata itu, sebatang ranting yang panjangnya satu setengah meter, cukup kuat dan lentur.

Di lain pihak, Thai Yang Suhu terkejut setengah mati. Tadi ketika menangkis, dia sudah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Biar pun pemuda bongkok itu dapat dipaksa meloncat turun, dia sendiri pun harus meloncat turun karena tubuhnya terpental dan seluruh lengannya yang menangkis tadi terasa dingin sekali! Dia tidak tahu bahwa tadi pemuda itu mengerahkan ilmu Swat-liong-ciang (Ilmu Silat Naga Salju) yang membuat kedua lengannya dipenuhi sinkang yang dingin sekali.

Kini Sie Liong berdiri di tengah, dikepung oleh kelima orang itu. Melihat keadaan kakek pendeta itu, Sie Liong segera mengenal gambar teratai putih, dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang tokoh Pek-lian-kauw. Mengertilah dia kini mengapa gadis cantik itu menculiki gadis-gadis dusun yang cantik.

Dia sudah sering mendengar tentang sepak terjang aliran agama sesat Pek-lian-kauw yang bersembunyi di balik kedok perjuangan membela rakyat! Sebuah perkumpulan di mana orang-orangnya mempelajari ilmu silat dan ilmu sihir, dan di mana sering kali terjadi kecabulan karena orang-orang Pek-lian-kauw merupakan hamba nafsu, terutama sekali nufsu birahi.

Dia sering kali mendengar bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak murid atau anak buah wanita-wanita muda yang cantik. Tentu perawan-perawan dusun itu akan dijadikan anak buah. Bukan saja membantu kekuatan Pek-lian-kauw, namun mereka juga akan dijadikan tenaga hiburan bagi para pimpinan Pek-lian-kauw!

“Hemm, kiranya Pek-lian-kauw yang berdiri di belakang penculikan para gadis itu!” kata Sie Liong sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Tongkat ranting pohon itu berada di tangannya dan berdiri di depannya, dengan daun-daun yang masih memenuhi ranting kecil yang mencuat ke kanan kiri.

Thai Yang Suhu yang kini tak berani memandang rendah lawannya, segera melangkah maju, sepasang pedang sudah dicabutnya dari balik jubah. Dia menudingkan pedang kiri ke arah muka Sie Liong dan terdengar suaranya yang berwibawa.

“Orang muda, siapa engkau sesungguhnya? Selamanya belum pernah kami mendengar tentang seorang yang disebut Pendekar Bongkok, dan mengapa pula memusuhi kami dan menghalangi pekerjaan kami? Bicaralah, orang muda. Pinceng adalah Thai Yang Suhu, mereka ini adalah Tibet Sam Sin-to, dan nona itu adalah nona Pek Lan, murid terkasih dari Hek-in Kui-bo. Nah, engkau lihat, engkau berhadapan dengan lima orang yang memiliki nama besar di dunia kang-ouw, oleh karena itu, sungguh tidak bijaksana bagimu kalau engkau memusuhi kami. Bukankah lebih baik kalau kita bekerja sama?”

Mendengar ucapan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya. Sepasang matanya mencorong penuh kemarahan. Tokoh sesat ini barusan menawarkan kerja sama dengan dia, berarti mengajak dia menjadi seorang penjahat!

“Thai Yang Suhu, engkau adalah seorang yang berpakaian pendeta, namun ternyata kependetaanmu itu hanya kedok belaka, bagai serigala berkedok domba. Aku bernama Sie Liong, dan tentang nama julukan itu, terserah yang menyebutku. Memang aku tidak memiliki permusuhan dengan kalian, akan tetapi aku adalah musuh besar dari semua perbuatan jahat! Kalian sudah menculik sembilan orang gadis-gadis dusun. Nah, kalau kalian tidak menghendaki pertentangan dengan aku, kalau menghendaki kerjasama, bebaskanlah sembilan orang gadis itu, dan aku pun tidak akan mengganggu kalian lagi, kecuali kalau lain kali aku melihat kalian melakukan kejahatan lagi!”

“Bocah bongkok keparat sombong! Toa-suhu, mengapa banyak bicara dengan bocah sombong ini? Biar kami habiskan dia!” bentak seorang di antara Tibet Sam Sin-to dan mereka bertiga sudah marah sekali, sudah siap dengan golok mereka...


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.