CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
PUSAKA PULAU ES BAGIAN 05
Yo Han menerima pedang itu. Tanpa membidik pula dia sudah menggerakkan tangan, melontarkan pedang itu ke arah patung. Pedang itu meluncur bagaikan sebatang anak panah, mengeluarkan suara berdesing panjang.
"Singgg... cringgg...!”
Pedang itu dengan tepat mengenai gagang golok sehingga gagang golok terbelah dua, akan tetapi pedang masih meluncur dan tepat menancap pada patung itu, dekat sekali dengan golok dan pedang itu menembus sampai ke gagangnya!
“Maaf, Totiang, kalau tanpa sengaja aku telah merusak gagang golokmu. Nah, ambillah golokmu itu!”
Dengan muka merah Bhok Im Cu menghampiri patung itu dan mencabut goloknya yang sudah pecah gagangnya itu, kemudian menghampiri tuan rumah dan memberi hormat.
“Kepandaian Yo-pangcu memang bukan berita kosong belaka. Pinto kagum sekali.”
Sementara itu, Thian Yang Cu yang mendongkol melihat sikap sute-nya, telah memberi hormat dan berkata, “Yo-pangcu, sekarang kami mohon dlri dan maafkanlah kelakuan kami yang tidak sepatutnya.”
“Selamat jalan, Ji-wi Totiang dan sampaikan pesanku kepada Thian It Tosu bahwa pada saatnya nanti kami akan menerima undangannya dan menghadiri pertemuan itu.”
Dua orang tosu itu lalu meninggalkan Thian-li-pang. Setelah mereka pergi, Tan Sian Li mendengus.
“Hemmm, kenapa para tosu Bu-tong-pai sekarang menjadi begitu pongah? Sikap tosu tadi tidak mencerminkan kalau Bu-tong-pai ada di bawah pimpinan yang baik. Mengapa engkau berjanji mau datang memenuhi undangan Thian It Tosu?”
Suaminya menghela napas panjang. “Meski pun sikap tosu tadi tidak patut, akan tetapi aku tetap menghormat pada Thian It Tosu sebagai seorang tokoh yang lebih tua. Dalam suratnya dia menyatakan untuk mengundang semua perkumpulan yang berjiwa patriot untuk hadir. Dan aku akan menghadirinya, walau pun hanya untuk mencegah terjadinya penyerbuan ke istana yang tergesa-gesa, yang tak ada manfaatnya dan bahkan hanya akan membuat kita semua menjadi buruan pemerintah saja.”
Setelah dua orang tosu itu pergi, barulah muncul Han Li. Gadis ini memandang kepada ayah dan ibunya, lalu bertanya, “Ayah dan Ibu, siapakah dua orang tosu tadi dan apa keperluan mereka?”
“Mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai. Mereka mengundang kami untuk menghadiri pertemuan rapat yang hendak diadakan oleh ketua Bu-tong-pai,” jawab Yo Han sambil berjalan menghampiri patung dan mencabut pedang isterinya dari situ.
“Ehh, kenapa pedang Ibu menancap di patung itu? Apa yang telah terjadi, Ibu? Engkau kelihatan seperti sedang tak senang hati!” Han Li kembali bertanya, sekarang ditujukan kepada ibunya.
“Hemmm, salah seorang di antara dua tosu Bu-tong-pai tadi memamerkan ilmu golok terbangnya dan menantang ayahmu sehingga ayahmu pun terpaksa melayaninya. Tosu sombong itu menjemukan!” kata Tan Sian Li, masih mendongkol karena Bhok Im Cu tadi memandangnya dengan sinar mata kurang ajar.
“Sudahlah, urusan itu dihabiskan sampai di sini saja!” kata Yo Han.
Dan mereka bertiga lalu meninggalkan ruangan tamu itu….
Keng Han melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Dia masih saja membayangkan wajah Kwi Hong dan merasa kagum sekali kepada gadis itu. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Kalau saja dia tidak ingat akan kepantasan dan juga akan keselamatan gadis itu, tentu dengan senang hati dia akan menerima tawaran Kwi Hong yang menyatakan hendak ikut dan membantunya menuntut Dalai Lama yang telah menyuruh orang untuk membunuh gurunya!
Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun di daerah pegunungan. Ketika dia mendaki bukit itu, dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di depan dan melihat orang-orang dusun berkumpul di luar dusun. Dia mempercepat jalannya dan berlari mendaki lereng.
Setelah sampai di sana dia tertegun. Mula-mula jantungnya berdebar karena mengira bahwa Kwi Hong yang mengamuk itu, akan tetapi ternyata bukan, melainkan seorang gadis lain yang sama cantiknya dengan Kwi Hong. Bahkan gadis ini agaknya memiliki gerakan ilmu pedang yang lebih hebat dari pada ilmu pedang yang dikuasai Kwi Hong, juga jauh lebih ganas.
Gadis itu dikeroyok oleh sedikitnya tiga puluh orang. Akan tetapi berbeda dengan ketika Kwi Hong dikeroyok para murid Pek-houw Bu-koan, yang membuat dia terpaksa turun tangan membantu, gadis ini agaknya sama sekali tidak perlu dibantu! Setiap kelebatan pedangnya merobohkan seorang pengeroyok, bukan hanya melukai ringan, melainkan merobohkan dan menewaskannya seketika!
Melihat orang-orang dusun yang menonton bersorak setiap kali ada pengeroyok yang roboh, Keng Han mengambil kesimpulan bahwa gadis itu tentulah orang yang dianggap baik oleh penduduk dusun itu dan mungkin sekali pembela mereka. Dan melihat bahwa para pengeroyok itu rata-rata orang yang kasar dan buas, dia lalu mengambil keputusan untuk menjadi penonton saja.
Karena di situ terdapat banyak penduduk dusun, supaya tidak menarik perhatian, diam-diam ia melompat ke atas pohon besar yang berada dekat dengan tempat pertempuran itu. Dari atas pohon Keng Han dapat melihat lebih jelas lagi dan kini nampak olehnya betapa hebatnya gerakan gadis itu.
Gadis itu lebih tua dari Kwi Hong, lebih matang dan dewasa. Kwi Hong masih dapat dikatakan seorang gadis remaja. Gerakan pedangnya yang sangat hebat itu diimbangi pula dengan gerakan tangan kirinya yang menyambar-nyambar. Setiap kali tangan kiri itu menyambar dan mengenai tubuh lawan, maka pengeroyok itu tentu terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali!
Dan agaknya gadis itu berkelahi dengan gembira sekali. Mulutnya yang amat manis itu tersenyum-senyum, senyum mengejek. Sedangkan kedua matanya yang bersinar-sinar seperti bintang kejora itu berseri-seri.
Sudah dua puluh orang lebih yang malang melintang menjadi korban amukan gadis itu. Sisanya tinggal sepuluh orang anak buah dan dua orang pimpinan mereka. Dua orang pemimpin ini adalah dua orang pria setengah tua yang bertubuh tinggi besar. Wajahnya menakutkan, bengis dan kasar. Mereka menggunakan golok besar sebagai senjata.
Melihat anak buahnya banyak yang menjadi korban amukan gadis itu, dua orang itu lalu melompat ke belakang dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.
“Pergunakan paku-paku beracun!”
Mendengar ini, agaknya para anak buah baru menyadari dan ingat akan senjata rahasia mereka yang ampuh. Mereka juga berlompatan ke belakang, dan serentak mereka mengeluarkan senjata rahasia itu dan menghujankan ke arah gadis itu.
Gadis itu sama sekali tak menjadi gugup. Pedangnya diputar dan paku-paku itu rontok semua, dan ketika tangan kirinya bergerak, ia sudah menangkap beberapa batang paku beracun itu. Begitu gadis itu menggerakkan tangan dan menyambitkan paku-paku itu ke arah penyerangnya, empat orang terjungkal roboh oleh senjata mereka sendiri. Agaknya gadis itu marah diserang dengan cara curang. Tubuhnya tiba-tiba melayang bagaikan seekor burung ke arah dua orang pimpinan itu.
Mereka terkejut dan mengangkat golok untuk menangkis. Namun, pedang itu bergerak cepat sekali dan tahu-tahu dua orang pimpinan itu sudah roboh dengan dada tertusuk pedang. Bukan main hebatnya gerakan itu. Menyerang dengan tubuh masih di udara, sekaligus merobohkan dua orang pemimpin para pengeroyok yang dilihat dari gerakan golok mereka juga bukan orang-orang lemah.
Keng Han bergidik. Gadis itu lihai bukan main, akan tetapi juga kejam tanpa mengenal ampun. Sisa para pengeroyok kini melarikan diri cerai berai dan gadis itu tidak mengejar mereka.
Orang-orang dusun yang tadi menjadi penonton, kini serentak menjatuhkan diri berlutut ke arah gadis itu, dipimpin oleh seorang tua yang agaknya menjadi kepala dusun.
“Kami semua menghaturkan terima kasih atas pertolongan Lihiap dengan membasmi gerombolan penjahat yang selalu mengganggu kehidupan kami. Akan tetapi, bagaimana kalau kawan-kawan mereka datang hendak membalas dendam, Lihiap?”
Gadis itu mencibirkan bibir, membersihkan pedangnya pada pakaian para korbannya, lalu menyimpan kembali pedangnya di pinggang, dan barulah ia berkata,
“Hemmm, kalian ini memang pengecut-pengecut besar! Kalian memiliki banyak laki-laki, kenapa membiarkan diri ditekan dan diganggu gerombolan perampok itu? Kalau kalian bersatu, jumlah kalian ratusan orang, tentu akan mampu melakukan perlawanan! Mulai sekarang bersatulah. Kalau ada gerombolan perampok datang mengganggu, lawanlah. Bila ada yang hendak membalas dendam, katakan saja bahwa yang membunuh mereka adalah aku, Bi Kiam Niocu (Nona Pedang Cantik). Nah, sekarang urus dan kuburlah mereka semua ini, aku harus pergi!”
Gadis itu melangkah pergi dan kebetulan lewat di bawah pohon di mana Keng Han bersembunyi. Tiba-tiba ia berhenti dan tersenyum-senyum.
“Engkau yang di atas pohon, tidak lekas turun?”
Keng Han terkejut, akan tetapi diam saja, pura-pura tidak mendengar. Dia merasa malu telah ketahuan persembunyiannya, juga dia khawatir akan terjadi kesalah pahaman jika dia turun. Maka dia diam saja.
“Nonamu bilang turun, engkau tidak cepat turun?!” Gadis itu kembali berseru.
Para penduduk yang mendengar ini sudah cepat memandang ke atas pohon dan kini mereka melihat seorang pemuda duduk nongkrong di atas cabang pohon. Mereka memandang dengan hati tegang, tidak tahu siapa pemuda itu, kawan dari para penjahat tadi ataukah bukan.
Keng Han sudah terlanjur diam saja. Dia merasa malu untuk melompat turun. Tiba-tiba tubuh gadis itu melayang ke atas. Tidak nampak kapan ia mencabut pedang akan tetapi tiba-tiba ada sinar terang menyambar ke arah cabang pohon.
“Krakkk...!” Cabang pohon itu terpotong dan jatuh ke bawah.
Tentu saja tubuh Keng Han ikut melayang ke bawah. Akan tetapi tubuh pemuda itu tidak terbanting karena Keng Han sudah dapat menguasai dirinya dan hinggap di atas tanah dengan ringan.
Gadis itu kini sudah berada di depannya. Pedangnya sudah disarungkannya kembali dan sepasang matanya memandang dengan liar dan penuh ancaman.
“Engkau anak buah mereka?” tanyanya dengan sikap siap untuk menyerang sehingga diam-diam Keng Han juga bersiap siaga untuk membela diri.
“Sama sekali bukan. Aku hanyalah seorang perantau yang kebetulan lewat dan melihat pertempuran tadi aku lalu menonton dari atas pohon.”
Agaknya wanita itu dapat membedakan pemuda yang gerak-geriknya lembut ini dengan para anggota gerombolan yang kasar dan buas, maka pandang matanya lantas menjadi lembut.
“Hemmm, engkau tidak terbanting jatuh, agaknya engkau memiliki kepandaian ilmu silat yang boleh juga.”
“Ah, tidak, aku hanya belajar satu dua jurus untuk membela diri dari tangan orang-orang kejam.”
“Apa?! Kau berani mengatakan aku orang kejam?” Wanita itu membentak marah.
“Tidak, hanya memang kenyataannya engkau kejam sekali, Nona. Demikian banyaknya orang kau bunuh tanpa berkedip mata, apa lagi namanya itu kalau tidak kejam?”
“Apa engkau melihat bagaimana perlakuan perampok-perampok itu terhadap penduduk dusun? Mereka memperkosa, menyakiti, membunuh dan merampok! Sudah sepatutnya mereka kubunuh! Dan kau berani bilang aku kejam?”
“Ya, memang engkau kejam sekali,” kata Keng Han bersikeras karena sudah tak dapat mundur lagi.
“Setan cilik! Tanyakan saja kepada penduduk dusun ini! Heiii, warga dusun! Adakah di antara kalian yang menganggap aku kejam karena membunuhi para perampok ini?”
Serentak mereka semua menjawab. “Tidaaak! Yang kejam adalah para perampok itu!”
“Nah, kau dengar itu, bocah kepala batu?”
“Aku tidak mau ikut-ikutan dengan mereka. Aku tadi melihat betapa kau membunuhi orang-orang yang tidak mampu melawanmu dan itu sungguh kejam sekali!”
“Bagus, jika begitu hanya ada dua pilihan untukmu. Pertama, kau ambil sebatang golok mereka dan membunuh diri di depanku, atau kau boleh membela diri dari seranganku, dan aku yang akan membunuhmu!”
“Nah, inilah dia bukti baru dari kekejamanmu, Nona. Aku yang tidak bersalah apa pun hendak kau bunuh juga. Bukankah itu kejam sekali namanya?”
“Tidak peduli! Engkau memanaskan perutku, engkau berani memaki aku kejam. Hayo kau pungut golok di sana itu dan membunuh diri di depanku.”
“Aku mendengar bahwa bunuh diri adalah perbuatan seorang pengecut, dan aku bukan pengecut. Aku berani hidup dan tidak takut mati demi membela kebenaran.”
“Ahaa!” Wanita itu mencibir, “kiranya engkau seorang pendekar pembela kebenaran?”
“Bukan hanya pendekar yang harus membela kebenaran. Biar orang awam seperti aku pun berkewajiban untuk membela kebenaran!”
“Jadi engkau tidak mau membunuh diri mentaati perintahku?” tanya wanita itu, nadanya mengancam.
Keng Han menggelengkan kepalanya. “Tidak mau!” jawabnya tegas.
“Kalau begitu, engkau harus membela dirimu dari seranganku. Aku akan menyerangmu, kalau sampai sepuluh jurus aku tidak mampu membunuhmu, biarlah aku mengampuni nyawamu. Akan tetapi kalau sebelum sepuluh jurus kau mati, jangan sampai arwahmu menyalahkan aku!”
“Engkau memang wanita kejam!” Keng Han memaki marah dan memandang dengan mata melotot. Dia tidak menganggap wanita itu jahat, karena wanita itu telah membantu para penduduk dusun dari gangguan gerombolan perampok, namun wanita itu terlalu kejam, terlalu mudah membunuh orang.
“Lihat serangan!” Wanita itu berseru dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat sekali menampar ke arah pelipis kanan Keng Han.
Akan tetapi dengan mudah saja Keng Han menarik kepalanya ke belakang sehingga tamparan tangan kiri itu lewat di depan hidungnya dan dia mencium bau harum ke luar dari lengan baju itu.
Agaknya wanita itu pun terkejut melihat betapa tamparannya dengan mudah dielakkan oleh pemuda itu, maka ia pun menyusulkan serangan yang lebih hebat lagi, menotok ke arah dada Keng Han. Kembali pemuda ini bergerak, miringkan tubuhnya dan totokan itu pun luput!
Ketika wanita itu mendesak terus dengan pukulan ketiga yang amat ganas, Keng Han menggerakkan tangan menangkis pukulan yang mengarah mukanya itu.
“Dukkk!”
Pertemuan dua tenaga sinkang itu membuat wanita itu terdorong mundur dua langkah. Tentu saja ia terkejut bukan main dan merasa penasaran sekali. Pemuda itu ternyata bukan hanya mampu mengelak, bahkan tangkisannya demikian kuat sehingga membuat ia terdorong mundur! Dengan kemarahan berkobar wanita itu menyerang terus secara bertubi-tubi, akan tetapi hingga jurus ke sembilan serangannya selalu gagal.
Keng Han juga harus mengeluarkan kepandaiannya karena ia pun mendapat kenyataan alangkah dahsyat dan hebatnya serangan-serangan itu. Hanya dengan ilmu silat sakti Hong-in Bun-hoat dia berhasil lolos dari serangkaian serangan itu.
Tiba-tiba ada sinar hitam menyambar. Keng Han terkejut bukan main karena sinar hitam itu adalah rambut wanita itu yang bergerak secara luar biasa sekali dan tahu-tahu telah melibat muka dan lehernya! Bau harum menusuk hidungnya dan selagi dia tertegun, tidak tahu harus berbuat apa karena untuk merenggut rambut itu dia merasa tidak tega, sebuah totokan mengenai kedua pundak secara beruntun dan dia pun tidak mampu bergerak lagi!
“Hi-hi-hik!” Wanita itu tertawa puas. “Ternyata tepat pada jurus ke sepuluh engkau tidak berdaya, orang muda keras kepala! Sekarang bersiaplah untuk mampus!”
“Hemmm, aku sudah bisa menduga bahwa engkau hanyalah seorang wanita yang suka menjilat ludah sendiri dan melanggar janji sendiri!” kata Keng Han yang maklum bahwa keselamatan nyawanya sedang terancam.
“Keparat!” bentak wanita itu. “Engkau masih berani memaki aku sebagai penjilat ludah sendiri? Kapan aku melakukan pelanggaran janji itu?”
“Memang belum, akan tetapi hampir. Tadi engkau berjanji bahwa kalau sampai sepuluh jurus engkau tak mampu membunuhku, engkau akan mengampuni nyawaku. Sekarang sudah lewat sepuluh jurus dan engkau tidak mampu membunuhku, namun engkau akan membunuh aku juga! Bukankah itu berarti menjilat ludah sendiri? Cih, tak tahu malu!”
Keng Han sengaja mengejek karena dia sudah sedikit mengenal watak wanita ini, yaitu angkuh dan tidak mau dianggap rendah budi.
“Baik, aku tidak membunuhmu, akan tetapi aku tidak berjanji akan membebaskanmu. Engkau akan menjadi tawananku dan jika kelakuanmu baik, kelak barangkali aku akan membebaskanmu!” Setelah berkata demikian, ia menangkap lengan kanan Keng Han yang tidak dapat digerakkan itu dan menarik Keng Han pergi dari situ.
Keng Han terseret, akan tetapi wanita itu tetap menariknya dan berlari dengan cepat sekali meninggalkan dusun itu. Para penduduk dusun hanya dapat menonton saja dan menganggap bahwa pemuda itu tentu mempunyai kesalahan, maka pendekar wanita yang telah menolong mereka menjadi marah.
Wanita cantik itu kini mencengkeram baju di punggung Keng Han dan membawa lari Keng Han sambil mengangkatnya bagaikan menenteng seekor ayam saja. Keng Han membiarkan dirinya dibawa pergi. Dia sama sekali tidak merasa khawatir karena dia merasa yakin bahwa dengan hawa sakti yang terkandung di dalam tubuhnya, dengan menyalurkan hawa itu, dia akan mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh totokan.
Ketika wanita itu sudah menuruni bukit dan masuk sebuah hutan, Keng Han mulai menyalurkan tenaga dari tantian untuk membebaskan dirinya dari pengaruh totokan. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa jalan darahnya yang pokok tetap saja tidak dapat ditembus. Dia hanya mampu menggerakkan kedua kaki dan lengannya dengan perlahan saja dan belum dapat menggerakkan jari-jarinya!
Dia mencoba dan terus mencoba, akan tetapi hasilnya sama saja. Barulah dia merasa khawatir karena kini dia merasa bahwa dia benar-benar berada dalam cengkeraman wanita kejam ini.
Tiba-tiba wanita itu berhenti. Di depannya sudah berdiri dua orang tosu. Mereka itu bukan lain adalah Thian Yang Cu yang tinggi kurus dan Bhok Im Cu yang tinggi besar.
Bhok Im Cu ini biar pun sudah menjadi seorang tosu, akan tetapi dia masih tidak dapat meninggalkan wataknya di waktu muda, yaitu mata keranjang. Kini pun dia memandang wanita itu dengan mata liar seolah-olah matanya menggerayangi seluruh bagian tubuh wanita cantik itu dan mulutnya berliur seperti seekor serigala kelaparan melihat seekor kelinci gemuk.
Akan tetapi, suheng-nya sudah menegur wanita itu dengan suara yang lantang. “Nona, siapakah Nona dan mengapa Nona menawan seorang muda ini?”
“Apa urusanmu, tanya-tanya? Lekas pergilah dan jangan menghadang di jalan, atau aku akan marah!” kata gadis itu dengan suara ketus.
“Aih, Nona. Engkau begini cantik kenapa bersikap begini kasar? Sayang kecantikanmu kalau begitu!” kata Bhok Im Cu mencela.
Mata gadis itu melotot. “Apa engkau ingin mampus? Pergilah, atau aku terpaksa akan menghajar kalian!” Gadis itu kini membentak marah.
Ia mendorong Keng Han ke belakang sehingga pemuda itu terhuyung, kemudian roboh terguling karena tubuhnya masih terasa lemas walau pun sebetulnya dia sudah mampu menggerakkan kaki tangannya dengan kaku, belum sempurna benar.
“Siancai...!” Thian Yang Cu berseru.
“Engkau tentu seorang wanita jahat, Nona. Dan kami dari Bu-tong-pai tidak mungkin tinggal diam saja melihat orang berbuat jahat. Bebaskan pemuda ini atau cepat jelaskan mengapa engkau menawannya, kalau engkau tidak ingin kami terpaksa turun tangan mencampuri urusanmu!”
“Tosu bau! Kalian kira aku takut kepada kalian?” Gadis itu membentak marah dan ia pun sudah menggerakkan kaki tangannya, menyerang ke arah kedua orang tosu itu.
Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu adalah dua orang tosu murid utama, tentu saja sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka dapat menghindarkan diri dan Thian Yang Cu lalu membalas dengan serangan tendangannya. Gadis itu mengelak cepat dan kembali tangannya meluncur untuk melakukan totokan ke arah dada lawan.
Bhok Im Cu juga menyerang dan dia merangkul dari belakang untuk meringkus nona itu. Serangannya ini membuat gadis itu bertambah marah karena mengira bahwa tosu itu hendak berkurang ajar. Ia cepat mengelak sambil membalik dan sebuah tendangan kilat menyambar ke arah perut Bhok Im Cu.
Hanya dengan melempar tubuh ke samping dan bergulingan saja Bhok Im Cu mampu meloloskan diri dari tendangan yang dahsyat itu. Akan tetapi dia menjadi terkejut sekali dan bersikap lebih hati-hati, maklum bahwa nona itu memang lihai bukan main.
Thian Yang Cu adalah seorang murid pertama Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mau bertindak sembrono terhadap gadis yang belum diketahui kesalahannya itu. Dia hanya mencurigai karena melihat gadis itu menawan seorang pemuda, namun belum ada bukti bahwa gadis itu adalah seorang yang jahat. Oleh karena itu, dia pun tidak menyerang dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi setelah beberapa gebrakan, ia menjadi terkejut bukan main karena gadis itu ternyata memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Terpaksa dia menambah tenaga pada tangannya dan dia sudah menyerang cepat, memukul ke arah pundak gadis itu.
Akan tetapi agaknya gadis itu sudah tahu bahwa si tosu tidak mempergunakan seluruh tenaganya, maka ia hanya miringkan sedikit pundaknya sehingga pukulan itu mengenai pangkal lengan, dan berbareng dengan itu ia telah meluncurkan jari tangannya menotok dada Thian Yang Cu sehingga tosu ini langsung terpelanting roboh dan tidak mampu bangkit kembali.
Melihat ini, Bhok Im Cu terkejut dan marah. Lenyaplah sifatnya yang main-main melihat gadis cantik. Dengan amat marah dia menubruk, akan tetapi dengan gerakan memutar yang indah, gadis itu dapat mengelak dan mengirim tendangan yang mengenai perutnya sehingga Bhok Im Cu juga terpelanting roboh. Sebetulnya kedua orang tosu ini tak akan demikian mudah dirobohkan kalau saja mereka tidak memandang ringan lawannya.
“Hemmm, tosu-tosu bau dari Bu-tong-pai hanya memiliki sedikit kepandaian telah berani mencampuri urusan orang? Kalian yang lancang tidak pantas dibiarkan hidup!” Gadis itu lalu melangkah maju, siap untuk membunuh.
Akan tetapi pada saat itu Keng Han yang belum dapat menggerakkan kaki tangannya dengan baik, sudah melompat dan menerkam seperti seekor singa menerkam kambing, tahu-tahu tubuhnya sudah menimpa punggung gadis itu, dua lengannya mendekap dan kedua kakinya juga mengait.
Gadis itu terkejut sekali. Dia meronta untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak mampu karena dekapan Keng Han kuat bukan main.
“Heiii, bocah gila! Lepaskan aku, lepaskan...!” Gadis itu berteriak-teriak.
“Tidak, engkau tidak boleh membunuh orang!” kata Keng Han.
Dengan gemas gadis itu terus meronta pula, mencoba melepaskan dekapan itu, bahkan menampar dan menyikut. Akan tetapi tamparan dan sikunya menghantam tubuh yang keras dan kenyal seperti karet sehingga tamparan itu membalik. Ia terkejut bukan main.
“Anak setan! Tidak tahu malu kau! Hayo lepaskan...!” Gadis itu menjerit-jerit.
Entah mengapa, ketika merasa betapa tubuhnya didekap lengan dan tubuh yang tegap dari seorang pemuda, mendadak saja dia merasa seluruh tubuhnya lemas, jantungnya berdebar keras dan keringat dingin membasahi lehernya. Ia tidak peduli lagi melihat dua tosu itu merangkak dan pergi dengan cepat dari situ.
“Berjanjilah terlebih dahulu bahwa engkau tidak akan membunuh orang, baru aku mau melepaskanmu.”
Keng Han kini juga menyadari bahwa perbuatannya itu sungguh-sungguh tidak pantas, mendekap tubuh seorang gadis seperti itu. Baru sekarang terasa olehnya betapa hangat dan lunak tubuh itu berada dalam dekapannya!
“Aku berjanji...!” kata gadis itu hampir menangis.
Keng Han melepaskannya dan begitu dilepaskan, sebuah tamparan mengenai pipi Keng Han, membuat dia terpelanting roboh. Akan tetapi dia cepat bangkit kembali dan berdiri memandang gadis itu sambil meraba pipinya, kemudian tersenyum.
“Engkau... engkau sudah mampu bergerak? Bagaimana mungkin ini?”
“Melihat engkau akan membunuh orang, agaknya mendatangkan tenaga bagiku untuk menggerakkan tubuh. Nona, mengapa engkau begitu kejam? Sedikit-sedikit membunuh orang, menganggap nyawa orang seperti nyawa nyamuk saja!”
“Huh, kau tahu apa? Orang-orang jahat itu, kalau tidak dibunuh merekalah yang akan menyusahkan atau membunuh kita. Dari pada dibunuh orang, lebih baik aku membunuh lebih dulu, bukan?”
Gadis itu lalu mendekati Keng Han dan memeriksa tangannya. Jari-jari tangan Keng Han masih terasa kaku, terlihat jelas bahwa dia masih belum dapat bergerak leluasa.
“Jalan darahmu baru setengahnya terbuka,” kata gadis itu. “Biarlah aku membukanya sama sekali!”
Gadis itu lalu menggerakkan jari-jari tangannya dan kini terbebaslah seluruh jalan darah di tubuh Keng Han. Akan tetapi di luar dugaan Keng Han, tiba-tiba telapak tangan kiri gadis itu menghantam dadanya.
“Plakkk...!”
Tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia merasa betapa ada hawa panas memasuki dadanya. Gadis itu tertawa.
“Hemmm, kenapa engkau memukul dadaku lalu tertawa?” tanya Keng Han penasaran. Namun dia tidak marah karena tamparan tadi tidak mengandung tenaga sakti sehingga seperti main-main saja.
“Jangan kira bahwa sesudah aku membebaskan totokanmu, engkau akan dapat pergi dan bebas dariku. Engkau mau atau tidak mau harus menemani aku.”
“Hemmm, kenapa begitu? Kalau aku tidak mau dan pergi, engkau mau apa?”
“Tidak mau apa-apa, hanya melihat engkau mati dalam waktu sebulan dan tidak ada obat di dunia ini yang mampu menyembuhkanmu. Aku telah membebaskan totokanmu, akan tetapi aku juga sudah memukulmu dengan tok-ciang (tangan beracun). Kalau tidak percaya, lihatlah dadamu!”
Keng Han penasaran dan membuka bajunya. Di sana, di dadanya sebelah kiri, nampak ada tanda lima telapak jari merah, jelas sekali. Diam-diam Keng Han mentertawakan gadis itu. Pukulan beracun tidak akan mencelakainya, dan sekali mengerahkan tenaga dia akan mampu melenyapkan tanda jari merah itu. Tubuhnya sudah kebal racun berkat makan daging ular merah dan gigitan binatang itu. Namun dia diam saja dan memakai kembali bajunya.
“Nona, kenapa engkau hendak memaksaku mengikutimu?” tanyanya.
“Engkau sudah berani memaki, mengatakan aku kejam, bahkan tadi engkau berani pula merangkul diriku. Hemmm... untuk kesalahan itu saja sudah cukup alasan bagiku untuk membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak akan membunuhmu dulu. Terlampau enak untukmu. Engkau harus ikut aku, menyaksikan kekejamanku seperti yang kau katakan itu, dan engkau akan mati perlahan-lahan. Racun di tubuhmu itu sebulan lagi baru akan bekerja. Dan melihat engkau masih muda, biar aku melihat kelakuanmu selama sebulan ini. Kalau kelakuanmu selama ini baik saja, aku akan mengobatimu, kalau sebaliknya, engkau akan mati tersiksa. “
“Kejamnya!” Maki Keng Han dalam hatinya.
Dia tahu bahwa gadis ini seorang yang berilmu tinggi dan tidak jahat, hanya kejam dan tangannya ringan sekali membunuh orang, meski pun orang yang dibunuhnya itu jahat atau bersalah kepadanya. Dua orang tosu Bu-tong-pai itu pun tentu sudah dibunuhnya hanya karena mencampuri urusannya dan hendak membebaskannya. Dan dia merasa sayang sekali.
Gadis ini cantik jelita, dan tidak jahat. Mungkin kalau melakukan perjalanan bersamanya selama sebulan, dia akan dapat membujuknya dan memberinya nasehat sehingga tidak kejam lagi.
“Akan tetapi aku mempunyai urusan penting sekali. Aku harus pergi ke Tibet!” kata Keng Han.
“Hemmm, ke Tibet atau ke neraka, apa bedanya bagiku? Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, dan tidak mengapa bagiku kalau harus pergi ke Tibet sekali pun. Akan tetapi mau apa engkau pergi ke Tibet? Apakah engkau ingin menjadi hwesio dan mempelajari agama?”
“Aku hendak mencari dan bertemu dengan Dalai Lama!”
Gadis itu tertegun dan memandang kepadanya dengan sinar matanya yang tajam. Mata yang indah itu mengamatinya penuh selidik. Agaknya banyak keanehan terdapat pada diri pemuda ini. Ilmu silatnya cukup baik, dapat menghindarkan diri dari sembilan jurus serangannya, bahkan dapat hampir membebaskan diri dari totokannya. Dan kini hendak mencari dan bertemu dengan Dalai Lama? tanyanya dengan hati tertarik.
“Mau apa?”
“Dia seorang yang sewenang-wenang. Aku akan menuntutnya, bertanya mengapa dia mengutus orang-orang untuk membunuh guruku!”
Tiba-tiba gadis itu tertawa. Tawanya lepas bebas, tidak ditutup-tutupi seperti gadis lain. Akan tetapi pada saat ia tertawa bebas itu, wajahnya nampak lucu dan cerah, nampak semakin manis bagai wajah seorang kanak-kanak. Lenyap sudah garis-garis kekerasan dan sifat dingin dari wajahnya yang berubah menjadi anggun dan menyenangkan sekali sehingga Keng Han terpesona. Gadis ini sesungguhnya cantik bukan main kalau saja mau melenyapkan kekerasan hatinya.
“Semestinya engkau lebih sering tertawa, Enci!” katanya tiba-tiba, menyebut enci karena setelah gadis itu tertawa, dia merasa hubungannya dekat dengannya.
“Ehhh?!” Gadis itu dua kali terkejut. Oleh ucapan itu sendiri dan oleh sebutan ‘enci’. “Mengapa?”
“Kalau tertawa, wajahmu indah sekali!”
Mendadak wajah itu menjadi dingin kembali. Tangan kanan itu sudah diangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya.
“Apa kau ingin ditampar?”
“Kenapa ditampar? Apa salahku?”
“Kau bilang wajahku indah sekali.”
“Habis, harus bilang apa? Apakah aku harus mengatakan bahwa wajahmu buruk sekali, padahal kenyataannya memang indah kalau engkau tertawa?”
Gadis itu menghela napas panjang, agaknya dia merasa kewalahan untuk berbantahan dengan Keng Han.
“Siapa sih namamu?”
“Namaku Keng Han, Si Keng Han, jawabnya, menyembunyikan nama marganya yang dia tahu hanya akan menimbulkan persoalan baru. “Dan engkau siapa?”
Kembali helaan napas panjang. “Orang menyebut aku Bi-kiam Niocu. Aku hampir lupa dengan namaku sendiri, kalau tidak salah Siang Bi Kiok. Akan tetapi engkau pun harus menyebut Bi-kiam Niocu kepadaku. Berapa usiamu?”
“Usiaku dua puluh tahun.”
“Biar pun engkau lebih muda dariku, jangan menyebut enci padaku. Sebut saja Bi-kiam Niocu. Ehh, gurumu yang dibunuh oleh utusan Dalai Lama itu, siapa namanya?”
“Dia pun seorang bekas Lama, namanya Gosang Lama.”
“Aku tidak pernah mendengar nama itu. Akan tetapi, keinginanmu untuk menuntut Dalai Lama ini sangat aneh. Orang dengan kepandaian seperti engkau ini berani menuntut Dalai Lama? Engkau mencari mati!”
“Aku tidak takut. Budi seorang guru amat besar, pantas dibela dengan taruhan nyawa.”
“Hemmm, engkau seorang pemuda yang sangat aneh. Mungkin karena inilah aku tidak membunuhmu. Nah, sekarang carilah binatang buruan untukku. Perutku sudah terasa lapar sekali, Keng Han.”
“Engkau tidak takut kalau aku melarikan diri, Niocu?”
“Mengapa harus takut? Engkau tidak akan melarikan diri, kalau engkau tidak ingin mati keracunan sebulan kemudian. Obat penawarnya berada padaku. Kini nyawamu berada di tanganku.”
“Hemmm, baiklah, Niocu. Aku pun ingin melakukan perjalanan bersamamu. Siapa tahu dalam sebulan ini aku dapat membujukmu agar jangan bertindak kejam lagi.”
Setelah berkata demikian, Keng Han kemudian memasuki hutan dan mencari binatang buruan. Sesudah berada seorang diri, dia lalu mengerahkan tenaga dari dalam tantian menuju ke dadanya dan dalam waktu sebentar saja dia sudah mengusir racun itu dari tubuhnya. Pada waktu dia membuka bajunya, ternyata tanda telapak jari merah itu telah lenyap sama sekali.
Dia tersenyum dan merasa heran kepada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak lari saja dan pergi meninggalkan gadis itu? Atau melawannya? Kalau dia berhati-hati, belum tentu dia kalah. Wanita itu hanya mempunyai kelebihan dalam ilmu totok yang memang hebat. Bahkan tenaga sinkang-nya tidak mampu menahan totokan wanita itu! Juga dia merasa heran mengapa wanita itu mau saja mengikutinya pergi ke Tibet!
Tiba-tiba ia melihat seekor kijang muda muncul dari semak belukar. Cepat ia menunduk dan bersembunyi di balik semak-semak. Untung baginya bahwa angin datang dari arah kijang itu. Kalau sebaliknya, tentu kijang itu tahu bahwa ada manusia di dekatnya dan kalau ia sudah melarikan diri, bagaimana mungkin dapat mengejarnya?
Sambil bertiarap itu tangannya mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan setelah mengintai dan membidik dengan tepat, tiba-tiba ia bangkit dan melontarkan batu itu ke arah kepala kijang.
“Wuuuttttt... takkk!”
Tepat sekali batu itu menghantam bagian belakang kepala kijang itu. Binatang itu hanya berkuik satu kali, lantas roboh dan mati dengan kepala retak. Dengan girang Keng Han kemudian mengambil bangkai binatang itu dan dipanggulnya, dibawa kembali ke tempat dimana tadi Bi-kiam Niocu sedang menunggu…..
Sementara itu, Bi-kiam Niocu menanti kembalinya Keng Han. Sambil duduk di bawah sebatang pohon, di atas sebuah batu datar. Hawa udara sangat panas, akan tetapi di bawah pohon itu teduh dan angin yang semilir membuatnya mengantuk.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara berdetak di belakangnya. Pada waktu dia menengok, beberapa helai jala sedang menyambar ke arah tubuhnya dari atas. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi terlalu banyak jala yang menyerangnya sehingga tanpa dapat dia elakkan lagi, tubuhnya telah terbungkus dua helai jala hitam.
Ia meronta dan mencoba untuk mencabut pedangnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan karena tali jala-jala itu ditarik sehingga kedua tangannya terbalut dan seperti teringkus jala. Dan jala itu agaknya terbuat dari tali yang amat kuat. Ia sudah diringkus dan ketika ia memandang dari celah-celah jala, ia melihat belasan orang laki-laki berada di sana. Beberapa orang memegang jala yang meringkusnya. Ketika mereka maju mengikatnya bersama jala, ia pun tidak berdaya.
“Jahanam pengecut. Cepat lepaskan aku dan mari kita bertanding kalau memang kalian gagah!” Ia mendamprat akan tetapi sia-sia belaka karena orang-orang itu hanya tertawa.
Seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan yang memegang tongkat besar, agaknya menjadi pemimpin mereka, memberi aba-aba dan mereka semua berloncatan pergi sambil menggotong Bi-kiam Niocu bagaikan menggotong seekor binatang buruan yang terjerat.
Wanita itu memaki-maki, menantang-nantang, akan tetapi tak ada yang mempedulikan. Ternyata mereka itu rata-rata dapat berlari cepat, didahului oleh si rakasasa pemegang tongkat besar itu.
Orang-orang itu berpakaian sederhana sekali, dari kulit binatang. Melihat wajah mereka yang berewokan mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup di dalam hutan. Mereka membawa Bi-kiam Niocu ke sebuah bukit yang penuh dengan goa-goa batu yang besar. Setelah tiba di depan goa-goa itu, sang pemimpin lalu membawa tawanan itu dengan sebelah tangannya, ditentengnya memasuki sebuah di antara goa-goa terbesar.
Bi-kiam Niocu kini diam saja. Ia tidak takut, melainkan mengumpulkan tenaga, bersiap untuk memberontak dan menyerang kalau dirinya dibebaskan dari ikatan tali dan jala itu. Akan tetapi, raksasa yang membawanya itu melemparkannya di atas sebuah dipan kayu yang kasar, kemudian dia mengambil guci dan cawan dan tak lama kemudian dia sudah minum arak seorang diri. sambil terkekeh-kekeh senang…..
Ketika tiba di tempat tadi, Keng Han tidak melihat Bi-kiam Niocu.
“Niocu...!”
Dia memanggil beberapa kali, akan tetapi tidak ada jawaban. Dia lalu memeriksa tempat itu dan melihat bekas tapak kaki banyak orang di situ. Agaknya Niocu didatangi banyak orang dan terjadi pergulatan, pikirnya, melihat banyak semak dan pohon kecil yang rusak. Celaka, jangan-jangan Niocu ditangkap gerombolan penjahat, pikirnya.
Meski pikiran ini agak aneh mengingat bahwa Niocu seorang wanita yang tidak mudah ditangkap begitu saja, tetapi Keng Han merasa khawatir. Dia lalu mencari dan mengikuti jejak belasan pasang kaki itu yang menuju ke bukit di luar hutan. Dia terus menelusuri jejak-jejak kaki itu dan mendaki bukit…..
“Heh-heh-heh, engkau sungguh cantik. Pantas menjadi isteriku dan menemani aku di sini,” akhirnya raksasa muka hitam itu berkata sambil menghentikan minumnya. Dia lalu menghampiri Bi-kiam Niocu yang masih meringkus dan terikat di atas dipan.
Wanita ini dapat berusaha untuk membalikkan tubuh dan telentang sehingga dia dapat melihat keadaan di kamar itu. Sebuah kamar goa yang cukup lebar. Terdapat tiga buah bangku, sebuah meja dan sebuah dipan kayu itu. Sederhana sekali.
Ketika laki-laki tinggi besar itu menghampiri dirinya, mau tidak mau ia merinding juga. Akan tetapi ia tetap tenang. Kalau saja ia membuka ikatan dan jala ini, pikirnya.
Akan tetapi raksasa itu mengangkatnya, masih dalam buntalan jala dan memangkunya. Meraba-raba lehernya yang putih mulus, meraba-raba pipinya.
“Cuh...!” Bi-kiam Niocu yang tidak dapat menahan kemarahannya, meludahi muka pria itu.
Raksasa muka hitam itu tidak marah, bahkan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau kuda betina yang liar! Bagus! Aku senang dengan yang liar!”
Kini tangannya merogoh di antara celah-celah jala, kemudian mengambil pedang dari pinggang Bi-kiam Niocu! Dia memandang pedang itu dan mengangguk-angguk.
“Pedang yang baik. Tidak pantas seorang wanita secantik engkau bermain-main dengan senjata tajam seperti ini!” Dia melontarkan pedang itu dan…
“Ceppp!” pedang menancap di atas meja. Gagangnya bergoyang-goyang ketika pedang itu menancap sampai setengahnya.
Diam-diam Bi-kiam Niocu memperhatikan dan mengertilah dia bahwa laki-laki kasar ini memiliki kepandaian, setidaknya mempunyai tenaga yang kuat. Maka ia menjadi makin waspada. Biarlah pedangnya diambil, ia tidak takut. Masih ada tangannya, kakinya, dan bahkan rambutnya untuk membela diri.
“Engkau cantik, engkau liar, engkau menarik!”
Raksasa itu mulai menimangnya dan aneh cara menimangnya. Ia melempar-lemparkan tubuh Bi-kiam Niocu yang masih terikat itu ke atas, diterimanya dan dilontarkannya lagi. Dia terus mempermainkan tubuh wanita itu seperti sebuah bola saja. Demikian ringan dia melempar-lemparkan tubuh itu. Bi-kiam Niocu bergidik ngeri. Laki-laki ini berbahaya, pikirnya, dan celakalah aku kalau sampai tidak dapat lolos dari tangannya.
Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan di luar goa. Ada orang-orang berkelahi di luar goa itu. Kepala gerombolan itu lalu melempar tubuh Niocu ke atas pembaringan dan dia bergegas keluar, membawa tongkatnya yang besar.
Setelah ditinggal seorang diri, Niocu kembali berusaha untuk membebaskan dirinya dan sekali ini ia berhasil. Ternyata ketika raksasa tadi melambung-lambungkannya ke atas, tali pengikat tubuhnya mengendur sehingga ia mampu membebaskan kedua lengannya. Ia mencoba untuk membikin putus tali jala itu, akan tetapi usahanya gagal.
Maka ia lalu berlompatan sambil masih diselubungi jala, mendekati jala di mana pedang miliknya diletakkan oleh raksasa tadi. Dan dengan pedang di tangannya, dia kemudian mampu membebaskan diri dan membikin putus tali-tali jala itu. Sebentar saja ia sudah bebas!
Dengan kemarahan meluap-luap, ia lalu menerjang keluar dan melihat betapa di luar, Keng Han sedang bertanding melawan kepala gerombolan itu dengan dikeroyok banyak anak buahnya. Melihat hal ini, hatinya merasa girang bukan main. Keng Han berusaha menolongnya dan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri melawan raksasa yang tangguh itu!
“Keng Han, serahkan anjing besar itu kepadaku!” bentaknya dengan suara melengking. Bi-kiam Niocu telah menerjang ke depan, memutar pedangnya dan menyerang raksasa yang memegang tongkat itu.
Keng Han girang melihat Bi-kiam Niocu selamat. Dia meloncat mundur sambil berseru, “Niocu, mari kita lari saja!”
“Tidak, terlebih dahulu aku harus membunuh anjing ini dan semua pengikutnya!” Bi-kiam Niocu membantah dan menyerang terus. Serangannya amatlah hebatnya sehingga si tinggi besar itu terdesak mundur.
Kepala gerombolan itu terkejut bukan main melihat gadis tawanannya bebas, maka dia berteriak, “Pergunakan jala! Tangkap mereka!”
“Awas, jala mereka amat lihai, Keng Han!” seru Bi-kiam Niocu sambil memutar pedang lebih cepat lagi.
Ia mendesak kepala gerombolan dengan amat hebatnya sehingga raksasa itu terpaksa harus memutar tongkatnya untuk melindungi diri. Sementara itu, beberapa orang anak buahnya sudah mencoba membantu ketua mereka dengan menggunakan jala.
Tetapi sekali ini Bi-kiam Niocu sudah siap dengan pedangnya. Begitu jala menyambar, ia melompat dan menggerakkan pedangnya ke belakang dan terdengar jerit mengerikan pada saat si pemegang jala roboh mandi darah. Dalam waktu sebentar saja, tiga orang pemegang jala sudah tewas di tangan Bi-kiam Niocu!
Sementara itu, Keng Han juga dikeroyok banyak orang. Dia pun bergerak dengan cepat, merobohkan para pengeroyoknya hanya dengan dorongan kedua tangannya, dan ketika dirinya tertutup jala, dengan mengerahkan tenaga jala itu pecah dan talinya putus-putus! Gegerlah anak buah gerombolan itu. Mereka seperti puluhan ekor semut mengeroyok dua ekor jangkerik.
"Singgg... cringgg...!”
Pedang itu dengan tepat mengenai gagang golok sehingga gagang golok terbelah dua, akan tetapi pedang masih meluncur dan tepat menancap pada patung itu, dekat sekali dengan golok dan pedang itu menembus sampai ke gagangnya!
“Maaf, Totiang, kalau tanpa sengaja aku telah merusak gagang golokmu. Nah, ambillah golokmu itu!”
Dengan muka merah Bhok Im Cu menghampiri patung itu dan mencabut goloknya yang sudah pecah gagangnya itu, kemudian menghampiri tuan rumah dan memberi hormat.
“Kepandaian Yo-pangcu memang bukan berita kosong belaka. Pinto kagum sekali.”
Sementara itu, Thian Yang Cu yang mendongkol melihat sikap sute-nya, telah memberi hormat dan berkata, “Yo-pangcu, sekarang kami mohon dlri dan maafkanlah kelakuan kami yang tidak sepatutnya.”
“Selamat jalan, Ji-wi Totiang dan sampaikan pesanku kepada Thian It Tosu bahwa pada saatnya nanti kami akan menerima undangannya dan menghadiri pertemuan itu.”
Dua orang tosu itu lalu meninggalkan Thian-li-pang. Setelah mereka pergi, Tan Sian Li mendengus.
“Hemmm, kenapa para tosu Bu-tong-pai sekarang menjadi begitu pongah? Sikap tosu tadi tidak mencerminkan kalau Bu-tong-pai ada di bawah pimpinan yang baik. Mengapa engkau berjanji mau datang memenuhi undangan Thian It Tosu?”
Suaminya menghela napas panjang. “Meski pun sikap tosu tadi tidak patut, akan tetapi aku tetap menghormat pada Thian It Tosu sebagai seorang tokoh yang lebih tua. Dalam suratnya dia menyatakan untuk mengundang semua perkumpulan yang berjiwa patriot untuk hadir. Dan aku akan menghadirinya, walau pun hanya untuk mencegah terjadinya penyerbuan ke istana yang tergesa-gesa, yang tak ada manfaatnya dan bahkan hanya akan membuat kita semua menjadi buruan pemerintah saja.”
Setelah dua orang tosu itu pergi, barulah muncul Han Li. Gadis ini memandang kepada ayah dan ibunya, lalu bertanya, “Ayah dan Ibu, siapakah dua orang tosu tadi dan apa keperluan mereka?”
“Mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai. Mereka mengundang kami untuk menghadiri pertemuan rapat yang hendak diadakan oleh ketua Bu-tong-pai,” jawab Yo Han sambil berjalan menghampiri patung dan mencabut pedang isterinya dari situ.
“Ehh, kenapa pedang Ibu menancap di patung itu? Apa yang telah terjadi, Ibu? Engkau kelihatan seperti sedang tak senang hati!” Han Li kembali bertanya, sekarang ditujukan kepada ibunya.
“Hemmm, salah seorang di antara dua tosu Bu-tong-pai tadi memamerkan ilmu golok terbangnya dan menantang ayahmu sehingga ayahmu pun terpaksa melayaninya. Tosu sombong itu menjemukan!” kata Tan Sian Li, masih mendongkol karena Bhok Im Cu tadi memandangnya dengan sinar mata kurang ajar.
“Sudahlah, urusan itu dihabiskan sampai di sini saja!” kata Yo Han.
Dan mereka bertiga lalu meninggalkan ruangan tamu itu….
Keng Han melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Dia masih saja membayangkan wajah Kwi Hong dan merasa kagum sekali kepada gadis itu. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Kalau saja dia tidak ingat akan kepantasan dan juga akan keselamatan gadis itu, tentu dengan senang hati dia akan menerima tawaran Kwi Hong yang menyatakan hendak ikut dan membantunya menuntut Dalai Lama yang telah menyuruh orang untuk membunuh gurunya!
Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun di daerah pegunungan. Ketika dia mendaki bukit itu, dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di depan dan melihat orang-orang dusun berkumpul di luar dusun. Dia mempercepat jalannya dan berlari mendaki lereng.
Setelah sampai di sana dia tertegun. Mula-mula jantungnya berdebar karena mengira bahwa Kwi Hong yang mengamuk itu, akan tetapi ternyata bukan, melainkan seorang gadis lain yang sama cantiknya dengan Kwi Hong. Bahkan gadis ini agaknya memiliki gerakan ilmu pedang yang lebih hebat dari pada ilmu pedang yang dikuasai Kwi Hong, juga jauh lebih ganas.
Gadis itu dikeroyok oleh sedikitnya tiga puluh orang. Akan tetapi berbeda dengan ketika Kwi Hong dikeroyok para murid Pek-houw Bu-koan, yang membuat dia terpaksa turun tangan membantu, gadis ini agaknya sama sekali tidak perlu dibantu! Setiap kelebatan pedangnya merobohkan seorang pengeroyok, bukan hanya melukai ringan, melainkan merobohkan dan menewaskannya seketika!
Melihat orang-orang dusun yang menonton bersorak setiap kali ada pengeroyok yang roboh, Keng Han mengambil kesimpulan bahwa gadis itu tentulah orang yang dianggap baik oleh penduduk dusun itu dan mungkin sekali pembela mereka. Dan melihat bahwa para pengeroyok itu rata-rata orang yang kasar dan buas, dia lalu mengambil keputusan untuk menjadi penonton saja.
Karena di situ terdapat banyak penduduk dusun, supaya tidak menarik perhatian, diam-diam ia melompat ke atas pohon besar yang berada dekat dengan tempat pertempuran itu. Dari atas pohon Keng Han dapat melihat lebih jelas lagi dan kini nampak olehnya betapa hebatnya gerakan gadis itu.
Gadis itu lebih tua dari Kwi Hong, lebih matang dan dewasa. Kwi Hong masih dapat dikatakan seorang gadis remaja. Gerakan pedangnya yang sangat hebat itu diimbangi pula dengan gerakan tangan kirinya yang menyambar-nyambar. Setiap kali tangan kiri itu menyambar dan mengenai tubuh lawan, maka pengeroyok itu tentu terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali!
Dan agaknya gadis itu berkelahi dengan gembira sekali. Mulutnya yang amat manis itu tersenyum-senyum, senyum mengejek. Sedangkan kedua matanya yang bersinar-sinar seperti bintang kejora itu berseri-seri.
Sudah dua puluh orang lebih yang malang melintang menjadi korban amukan gadis itu. Sisanya tinggal sepuluh orang anak buah dan dua orang pimpinan mereka. Dua orang pemimpin ini adalah dua orang pria setengah tua yang bertubuh tinggi besar. Wajahnya menakutkan, bengis dan kasar. Mereka menggunakan golok besar sebagai senjata.
Melihat anak buahnya banyak yang menjadi korban amukan gadis itu, dua orang itu lalu melompat ke belakang dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.
“Pergunakan paku-paku beracun!”
Mendengar ini, agaknya para anak buah baru menyadari dan ingat akan senjata rahasia mereka yang ampuh. Mereka juga berlompatan ke belakang, dan serentak mereka mengeluarkan senjata rahasia itu dan menghujankan ke arah gadis itu.
Gadis itu sama sekali tak menjadi gugup. Pedangnya diputar dan paku-paku itu rontok semua, dan ketika tangan kirinya bergerak, ia sudah menangkap beberapa batang paku beracun itu. Begitu gadis itu menggerakkan tangan dan menyambitkan paku-paku itu ke arah penyerangnya, empat orang terjungkal roboh oleh senjata mereka sendiri. Agaknya gadis itu marah diserang dengan cara curang. Tubuhnya tiba-tiba melayang bagaikan seekor burung ke arah dua orang pimpinan itu.
Mereka terkejut dan mengangkat golok untuk menangkis. Namun, pedang itu bergerak cepat sekali dan tahu-tahu dua orang pimpinan itu sudah roboh dengan dada tertusuk pedang. Bukan main hebatnya gerakan itu. Menyerang dengan tubuh masih di udara, sekaligus merobohkan dua orang pemimpin para pengeroyok yang dilihat dari gerakan golok mereka juga bukan orang-orang lemah.
Keng Han bergidik. Gadis itu lihai bukan main, akan tetapi juga kejam tanpa mengenal ampun. Sisa para pengeroyok kini melarikan diri cerai berai dan gadis itu tidak mengejar mereka.
Orang-orang dusun yang tadi menjadi penonton, kini serentak menjatuhkan diri berlutut ke arah gadis itu, dipimpin oleh seorang tua yang agaknya menjadi kepala dusun.
“Kami semua menghaturkan terima kasih atas pertolongan Lihiap dengan membasmi gerombolan penjahat yang selalu mengganggu kehidupan kami. Akan tetapi, bagaimana kalau kawan-kawan mereka datang hendak membalas dendam, Lihiap?”
Gadis itu mencibirkan bibir, membersihkan pedangnya pada pakaian para korbannya, lalu menyimpan kembali pedangnya di pinggang, dan barulah ia berkata,
“Hemmm, kalian ini memang pengecut-pengecut besar! Kalian memiliki banyak laki-laki, kenapa membiarkan diri ditekan dan diganggu gerombolan perampok itu? Kalau kalian bersatu, jumlah kalian ratusan orang, tentu akan mampu melakukan perlawanan! Mulai sekarang bersatulah. Kalau ada gerombolan perampok datang mengganggu, lawanlah. Bila ada yang hendak membalas dendam, katakan saja bahwa yang membunuh mereka adalah aku, Bi Kiam Niocu (Nona Pedang Cantik). Nah, sekarang urus dan kuburlah mereka semua ini, aku harus pergi!”
Gadis itu melangkah pergi dan kebetulan lewat di bawah pohon di mana Keng Han bersembunyi. Tiba-tiba ia berhenti dan tersenyum-senyum.
“Engkau yang di atas pohon, tidak lekas turun?”
Keng Han terkejut, akan tetapi diam saja, pura-pura tidak mendengar. Dia merasa malu telah ketahuan persembunyiannya, juga dia khawatir akan terjadi kesalah pahaman jika dia turun. Maka dia diam saja.
“Nonamu bilang turun, engkau tidak cepat turun?!” Gadis itu kembali berseru.
Para penduduk yang mendengar ini sudah cepat memandang ke atas pohon dan kini mereka melihat seorang pemuda duduk nongkrong di atas cabang pohon. Mereka memandang dengan hati tegang, tidak tahu siapa pemuda itu, kawan dari para penjahat tadi ataukah bukan.
Keng Han sudah terlanjur diam saja. Dia merasa malu untuk melompat turun. Tiba-tiba tubuh gadis itu melayang ke atas. Tidak nampak kapan ia mencabut pedang akan tetapi tiba-tiba ada sinar terang menyambar ke arah cabang pohon.
“Krakkk...!” Cabang pohon itu terpotong dan jatuh ke bawah.
Tentu saja tubuh Keng Han ikut melayang ke bawah. Akan tetapi tubuh pemuda itu tidak terbanting karena Keng Han sudah dapat menguasai dirinya dan hinggap di atas tanah dengan ringan.
Gadis itu kini sudah berada di depannya. Pedangnya sudah disarungkannya kembali dan sepasang matanya memandang dengan liar dan penuh ancaman.
“Engkau anak buah mereka?” tanyanya dengan sikap siap untuk menyerang sehingga diam-diam Keng Han juga bersiap siaga untuk membela diri.
“Sama sekali bukan. Aku hanyalah seorang perantau yang kebetulan lewat dan melihat pertempuran tadi aku lalu menonton dari atas pohon.”
Agaknya wanita itu dapat membedakan pemuda yang gerak-geriknya lembut ini dengan para anggota gerombolan yang kasar dan buas, maka pandang matanya lantas menjadi lembut.
“Hemmm, engkau tidak terbanting jatuh, agaknya engkau memiliki kepandaian ilmu silat yang boleh juga.”
“Ah, tidak, aku hanya belajar satu dua jurus untuk membela diri dari tangan orang-orang kejam.”
“Apa?! Kau berani mengatakan aku orang kejam?” Wanita itu membentak marah.
“Tidak, hanya memang kenyataannya engkau kejam sekali, Nona. Demikian banyaknya orang kau bunuh tanpa berkedip mata, apa lagi namanya itu kalau tidak kejam?”
“Apa engkau melihat bagaimana perlakuan perampok-perampok itu terhadap penduduk dusun? Mereka memperkosa, menyakiti, membunuh dan merampok! Sudah sepatutnya mereka kubunuh! Dan kau berani bilang aku kejam?”
“Ya, memang engkau kejam sekali,” kata Keng Han bersikeras karena sudah tak dapat mundur lagi.
“Setan cilik! Tanyakan saja kepada penduduk dusun ini! Heiii, warga dusun! Adakah di antara kalian yang menganggap aku kejam karena membunuhi para perampok ini?”
Serentak mereka semua menjawab. “Tidaaak! Yang kejam adalah para perampok itu!”
“Nah, kau dengar itu, bocah kepala batu?”
“Aku tidak mau ikut-ikutan dengan mereka. Aku tadi melihat betapa kau membunuhi orang-orang yang tidak mampu melawanmu dan itu sungguh kejam sekali!”
“Bagus, jika begitu hanya ada dua pilihan untukmu. Pertama, kau ambil sebatang golok mereka dan membunuh diri di depanku, atau kau boleh membela diri dari seranganku, dan aku yang akan membunuhmu!”
“Nah, inilah dia bukti baru dari kekejamanmu, Nona. Aku yang tidak bersalah apa pun hendak kau bunuh juga. Bukankah itu kejam sekali namanya?”
“Tidak peduli! Engkau memanaskan perutku, engkau berani memaki aku kejam. Hayo kau pungut golok di sana itu dan membunuh diri di depanku.”
“Aku mendengar bahwa bunuh diri adalah perbuatan seorang pengecut, dan aku bukan pengecut. Aku berani hidup dan tidak takut mati demi membela kebenaran.”
“Ahaa!” Wanita itu mencibir, “kiranya engkau seorang pendekar pembela kebenaran?”
“Bukan hanya pendekar yang harus membela kebenaran. Biar orang awam seperti aku pun berkewajiban untuk membela kebenaran!”
“Jadi engkau tidak mau membunuh diri mentaati perintahku?” tanya wanita itu, nadanya mengancam.
Keng Han menggelengkan kepalanya. “Tidak mau!” jawabnya tegas.
“Kalau begitu, engkau harus membela dirimu dari seranganku. Aku akan menyerangmu, kalau sampai sepuluh jurus aku tidak mampu membunuhmu, biarlah aku mengampuni nyawamu. Akan tetapi kalau sebelum sepuluh jurus kau mati, jangan sampai arwahmu menyalahkan aku!”
“Engkau memang wanita kejam!” Keng Han memaki marah dan memandang dengan mata melotot. Dia tidak menganggap wanita itu jahat, karena wanita itu telah membantu para penduduk dusun dari gangguan gerombolan perampok, namun wanita itu terlalu kejam, terlalu mudah membunuh orang.
“Lihat serangan!” Wanita itu berseru dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat sekali menampar ke arah pelipis kanan Keng Han.
Akan tetapi dengan mudah saja Keng Han menarik kepalanya ke belakang sehingga tamparan tangan kiri itu lewat di depan hidungnya dan dia mencium bau harum ke luar dari lengan baju itu.
Agaknya wanita itu pun terkejut melihat betapa tamparannya dengan mudah dielakkan oleh pemuda itu, maka ia pun menyusulkan serangan yang lebih hebat lagi, menotok ke arah dada Keng Han. Kembali pemuda ini bergerak, miringkan tubuhnya dan totokan itu pun luput!
Ketika wanita itu mendesak terus dengan pukulan ketiga yang amat ganas, Keng Han menggerakkan tangan menangkis pukulan yang mengarah mukanya itu.
“Dukkk!”
Pertemuan dua tenaga sinkang itu membuat wanita itu terdorong mundur dua langkah. Tentu saja ia terkejut bukan main dan merasa penasaran sekali. Pemuda itu ternyata bukan hanya mampu mengelak, bahkan tangkisannya demikian kuat sehingga membuat ia terdorong mundur! Dengan kemarahan berkobar wanita itu menyerang terus secara bertubi-tubi, akan tetapi hingga jurus ke sembilan serangannya selalu gagal.
Keng Han juga harus mengeluarkan kepandaiannya karena ia pun mendapat kenyataan alangkah dahsyat dan hebatnya serangan-serangan itu. Hanya dengan ilmu silat sakti Hong-in Bun-hoat dia berhasil lolos dari serangkaian serangan itu.
Tiba-tiba ada sinar hitam menyambar. Keng Han terkejut bukan main karena sinar hitam itu adalah rambut wanita itu yang bergerak secara luar biasa sekali dan tahu-tahu telah melibat muka dan lehernya! Bau harum menusuk hidungnya dan selagi dia tertegun, tidak tahu harus berbuat apa karena untuk merenggut rambut itu dia merasa tidak tega, sebuah totokan mengenai kedua pundak secara beruntun dan dia pun tidak mampu bergerak lagi!
“Hi-hi-hik!” Wanita itu tertawa puas. “Ternyata tepat pada jurus ke sepuluh engkau tidak berdaya, orang muda keras kepala! Sekarang bersiaplah untuk mampus!”
“Hemmm, aku sudah bisa menduga bahwa engkau hanyalah seorang wanita yang suka menjilat ludah sendiri dan melanggar janji sendiri!” kata Keng Han yang maklum bahwa keselamatan nyawanya sedang terancam.
“Keparat!” bentak wanita itu. “Engkau masih berani memaki aku sebagai penjilat ludah sendiri? Kapan aku melakukan pelanggaran janji itu?”
“Memang belum, akan tetapi hampir. Tadi engkau berjanji bahwa kalau sampai sepuluh jurus engkau tak mampu membunuhku, engkau akan mengampuni nyawaku. Sekarang sudah lewat sepuluh jurus dan engkau tidak mampu membunuhku, namun engkau akan membunuh aku juga! Bukankah itu berarti menjilat ludah sendiri? Cih, tak tahu malu!”
Keng Han sengaja mengejek karena dia sudah sedikit mengenal watak wanita ini, yaitu angkuh dan tidak mau dianggap rendah budi.
“Baik, aku tidak membunuhmu, akan tetapi aku tidak berjanji akan membebaskanmu. Engkau akan menjadi tawananku dan jika kelakuanmu baik, kelak barangkali aku akan membebaskanmu!” Setelah berkata demikian, ia menangkap lengan kanan Keng Han yang tidak dapat digerakkan itu dan menarik Keng Han pergi dari situ.
Keng Han terseret, akan tetapi wanita itu tetap menariknya dan berlari dengan cepat sekali meninggalkan dusun itu. Para penduduk dusun hanya dapat menonton saja dan menganggap bahwa pemuda itu tentu mempunyai kesalahan, maka pendekar wanita yang telah menolong mereka menjadi marah.
Wanita cantik itu kini mencengkeram baju di punggung Keng Han dan membawa lari Keng Han sambil mengangkatnya bagaikan menenteng seekor ayam saja. Keng Han membiarkan dirinya dibawa pergi. Dia sama sekali tidak merasa khawatir karena dia merasa yakin bahwa dengan hawa sakti yang terkandung di dalam tubuhnya, dengan menyalurkan hawa itu, dia akan mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh totokan.
Ketika wanita itu sudah menuruni bukit dan masuk sebuah hutan, Keng Han mulai menyalurkan tenaga dari tantian untuk membebaskan dirinya dari pengaruh totokan. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa jalan darahnya yang pokok tetap saja tidak dapat ditembus. Dia hanya mampu menggerakkan kedua kaki dan lengannya dengan perlahan saja dan belum dapat menggerakkan jari-jarinya!
Dia mencoba dan terus mencoba, akan tetapi hasilnya sama saja. Barulah dia merasa khawatir karena kini dia merasa bahwa dia benar-benar berada dalam cengkeraman wanita kejam ini.
Tiba-tiba wanita itu berhenti. Di depannya sudah berdiri dua orang tosu. Mereka itu bukan lain adalah Thian Yang Cu yang tinggi kurus dan Bhok Im Cu yang tinggi besar.
Bhok Im Cu ini biar pun sudah menjadi seorang tosu, akan tetapi dia masih tidak dapat meninggalkan wataknya di waktu muda, yaitu mata keranjang. Kini pun dia memandang wanita itu dengan mata liar seolah-olah matanya menggerayangi seluruh bagian tubuh wanita cantik itu dan mulutnya berliur seperti seekor serigala kelaparan melihat seekor kelinci gemuk.
Akan tetapi, suheng-nya sudah menegur wanita itu dengan suara yang lantang. “Nona, siapakah Nona dan mengapa Nona menawan seorang muda ini?”
“Apa urusanmu, tanya-tanya? Lekas pergilah dan jangan menghadang di jalan, atau aku akan marah!” kata gadis itu dengan suara ketus.
“Aih, Nona. Engkau begini cantik kenapa bersikap begini kasar? Sayang kecantikanmu kalau begitu!” kata Bhok Im Cu mencela.
Mata gadis itu melotot. “Apa engkau ingin mampus? Pergilah, atau aku terpaksa akan menghajar kalian!” Gadis itu kini membentak marah.
Ia mendorong Keng Han ke belakang sehingga pemuda itu terhuyung, kemudian roboh terguling karena tubuhnya masih terasa lemas walau pun sebetulnya dia sudah mampu menggerakkan kaki tangannya dengan kaku, belum sempurna benar.
“Siancai...!” Thian Yang Cu berseru.
“Engkau tentu seorang wanita jahat, Nona. Dan kami dari Bu-tong-pai tidak mungkin tinggal diam saja melihat orang berbuat jahat. Bebaskan pemuda ini atau cepat jelaskan mengapa engkau menawannya, kalau engkau tidak ingin kami terpaksa turun tangan mencampuri urusanmu!”
“Tosu bau! Kalian kira aku takut kepada kalian?” Gadis itu membentak marah dan ia pun sudah menggerakkan kaki tangannya, menyerang ke arah kedua orang tosu itu.
Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu adalah dua orang tosu murid utama, tentu saja sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka dapat menghindarkan diri dan Thian Yang Cu lalu membalas dengan serangan tendangannya. Gadis itu mengelak cepat dan kembali tangannya meluncur untuk melakukan totokan ke arah dada lawan.
Bhok Im Cu juga menyerang dan dia merangkul dari belakang untuk meringkus nona itu. Serangannya ini membuat gadis itu bertambah marah karena mengira bahwa tosu itu hendak berkurang ajar. Ia cepat mengelak sambil membalik dan sebuah tendangan kilat menyambar ke arah perut Bhok Im Cu.
Hanya dengan melempar tubuh ke samping dan bergulingan saja Bhok Im Cu mampu meloloskan diri dari tendangan yang dahsyat itu. Akan tetapi dia menjadi terkejut sekali dan bersikap lebih hati-hati, maklum bahwa nona itu memang lihai bukan main.
Thian Yang Cu adalah seorang murid pertama Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mau bertindak sembrono terhadap gadis yang belum diketahui kesalahannya itu. Dia hanya mencurigai karena melihat gadis itu menawan seorang pemuda, namun belum ada bukti bahwa gadis itu adalah seorang yang jahat. Oleh karena itu, dia pun tidak menyerang dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi setelah beberapa gebrakan, ia menjadi terkejut bukan main karena gadis itu ternyata memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Terpaksa dia menambah tenaga pada tangannya dan dia sudah menyerang cepat, memukul ke arah pundak gadis itu.
Akan tetapi agaknya gadis itu sudah tahu bahwa si tosu tidak mempergunakan seluruh tenaganya, maka ia hanya miringkan sedikit pundaknya sehingga pukulan itu mengenai pangkal lengan, dan berbareng dengan itu ia telah meluncurkan jari tangannya menotok dada Thian Yang Cu sehingga tosu ini langsung terpelanting roboh dan tidak mampu bangkit kembali.
Melihat ini, Bhok Im Cu terkejut dan marah. Lenyaplah sifatnya yang main-main melihat gadis cantik. Dengan amat marah dia menubruk, akan tetapi dengan gerakan memutar yang indah, gadis itu dapat mengelak dan mengirim tendangan yang mengenai perutnya sehingga Bhok Im Cu juga terpelanting roboh. Sebetulnya kedua orang tosu ini tak akan demikian mudah dirobohkan kalau saja mereka tidak memandang ringan lawannya.
“Hemmm, tosu-tosu bau dari Bu-tong-pai hanya memiliki sedikit kepandaian telah berani mencampuri urusan orang? Kalian yang lancang tidak pantas dibiarkan hidup!” Gadis itu lalu melangkah maju, siap untuk membunuh.
Akan tetapi pada saat itu Keng Han yang belum dapat menggerakkan kaki tangannya dengan baik, sudah melompat dan menerkam seperti seekor singa menerkam kambing, tahu-tahu tubuhnya sudah menimpa punggung gadis itu, dua lengannya mendekap dan kedua kakinya juga mengait.
Gadis itu terkejut sekali. Dia meronta untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak mampu karena dekapan Keng Han kuat bukan main.
“Heiii, bocah gila! Lepaskan aku, lepaskan...!” Gadis itu berteriak-teriak.
“Tidak, engkau tidak boleh membunuh orang!” kata Keng Han.
Dengan gemas gadis itu terus meronta pula, mencoba melepaskan dekapan itu, bahkan menampar dan menyikut. Akan tetapi tamparan dan sikunya menghantam tubuh yang keras dan kenyal seperti karet sehingga tamparan itu membalik. Ia terkejut bukan main.
“Anak setan! Tidak tahu malu kau! Hayo lepaskan...!” Gadis itu menjerit-jerit.
Entah mengapa, ketika merasa betapa tubuhnya didekap lengan dan tubuh yang tegap dari seorang pemuda, mendadak saja dia merasa seluruh tubuhnya lemas, jantungnya berdebar keras dan keringat dingin membasahi lehernya. Ia tidak peduli lagi melihat dua tosu itu merangkak dan pergi dengan cepat dari situ.
“Berjanjilah terlebih dahulu bahwa engkau tidak akan membunuh orang, baru aku mau melepaskanmu.”
Keng Han kini juga menyadari bahwa perbuatannya itu sungguh-sungguh tidak pantas, mendekap tubuh seorang gadis seperti itu. Baru sekarang terasa olehnya betapa hangat dan lunak tubuh itu berada dalam dekapannya!
“Aku berjanji...!” kata gadis itu hampir menangis.
Keng Han melepaskannya dan begitu dilepaskan, sebuah tamparan mengenai pipi Keng Han, membuat dia terpelanting roboh. Akan tetapi dia cepat bangkit kembali dan berdiri memandang gadis itu sambil meraba pipinya, kemudian tersenyum.
“Engkau... engkau sudah mampu bergerak? Bagaimana mungkin ini?”
“Melihat engkau akan membunuh orang, agaknya mendatangkan tenaga bagiku untuk menggerakkan tubuh. Nona, mengapa engkau begitu kejam? Sedikit-sedikit membunuh orang, menganggap nyawa orang seperti nyawa nyamuk saja!”
“Huh, kau tahu apa? Orang-orang jahat itu, kalau tidak dibunuh merekalah yang akan menyusahkan atau membunuh kita. Dari pada dibunuh orang, lebih baik aku membunuh lebih dulu, bukan?”
Gadis itu lalu mendekati Keng Han dan memeriksa tangannya. Jari-jari tangan Keng Han masih terasa kaku, terlihat jelas bahwa dia masih belum dapat bergerak leluasa.
“Jalan darahmu baru setengahnya terbuka,” kata gadis itu. “Biarlah aku membukanya sama sekali!”
Gadis itu lalu menggerakkan jari-jari tangannya dan kini terbebaslah seluruh jalan darah di tubuh Keng Han. Akan tetapi di luar dugaan Keng Han, tiba-tiba telapak tangan kiri gadis itu menghantam dadanya.
“Plakkk...!”
Tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia merasa betapa ada hawa panas memasuki dadanya. Gadis itu tertawa.
“Hemmm, kenapa engkau memukul dadaku lalu tertawa?” tanya Keng Han penasaran. Namun dia tidak marah karena tamparan tadi tidak mengandung tenaga sakti sehingga seperti main-main saja.
“Jangan kira bahwa sesudah aku membebaskan totokanmu, engkau akan dapat pergi dan bebas dariku. Engkau mau atau tidak mau harus menemani aku.”
“Hemmm, kenapa begitu? Kalau aku tidak mau dan pergi, engkau mau apa?”
“Tidak mau apa-apa, hanya melihat engkau mati dalam waktu sebulan dan tidak ada obat di dunia ini yang mampu menyembuhkanmu. Aku telah membebaskan totokanmu, akan tetapi aku juga sudah memukulmu dengan tok-ciang (tangan beracun). Kalau tidak percaya, lihatlah dadamu!”
Keng Han penasaran dan membuka bajunya. Di sana, di dadanya sebelah kiri, nampak ada tanda lima telapak jari merah, jelas sekali. Diam-diam Keng Han mentertawakan gadis itu. Pukulan beracun tidak akan mencelakainya, dan sekali mengerahkan tenaga dia akan mampu melenyapkan tanda jari merah itu. Tubuhnya sudah kebal racun berkat makan daging ular merah dan gigitan binatang itu. Namun dia diam saja dan memakai kembali bajunya.
“Nona, kenapa engkau hendak memaksaku mengikutimu?” tanyanya.
“Engkau sudah berani memaki, mengatakan aku kejam, bahkan tadi engkau berani pula merangkul diriku. Hemmm... untuk kesalahan itu saja sudah cukup alasan bagiku untuk membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak akan membunuhmu dulu. Terlampau enak untukmu. Engkau harus ikut aku, menyaksikan kekejamanku seperti yang kau katakan itu, dan engkau akan mati perlahan-lahan. Racun di tubuhmu itu sebulan lagi baru akan bekerja. Dan melihat engkau masih muda, biar aku melihat kelakuanmu selama sebulan ini. Kalau kelakuanmu selama ini baik saja, aku akan mengobatimu, kalau sebaliknya, engkau akan mati tersiksa. “
“Kejamnya!” Maki Keng Han dalam hatinya.
Dia tahu bahwa gadis ini seorang yang berilmu tinggi dan tidak jahat, hanya kejam dan tangannya ringan sekali membunuh orang, meski pun orang yang dibunuhnya itu jahat atau bersalah kepadanya. Dua orang tosu Bu-tong-pai itu pun tentu sudah dibunuhnya hanya karena mencampuri urusannya dan hendak membebaskannya. Dan dia merasa sayang sekali.
Gadis ini cantik jelita, dan tidak jahat. Mungkin kalau melakukan perjalanan bersamanya selama sebulan, dia akan dapat membujuknya dan memberinya nasehat sehingga tidak kejam lagi.
“Akan tetapi aku mempunyai urusan penting sekali. Aku harus pergi ke Tibet!” kata Keng Han.
“Hemmm, ke Tibet atau ke neraka, apa bedanya bagiku? Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, dan tidak mengapa bagiku kalau harus pergi ke Tibet sekali pun. Akan tetapi mau apa engkau pergi ke Tibet? Apakah engkau ingin menjadi hwesio dan mempelajari agama?”
“Aku hendak mencari dan bertemu dengan Dalai Lama!”
Gadis itu tertegun dan memandang kepadanya dengan sinar matanya yang tajam. Mata yang indah itu mengamatinya penuh selidik. Agaknya banyak keanehan terdapat pada diri pemuda ini. Ilmu silatnya cukup baik, dapat menghindarkan diri dari sembilan jurus serangannya, bahkan dapat hampir membebaskan diri dari totokannya. Dan kini hendak mencari dan bertemu dengan Dalai Lama? tanyanya dengan hati tertarik.
“Mau apa?”
“Dia seorang yang sewenang-wenang. Aku akan menuntutnya, bertanya mengapa dia mengutus orang-orang untuk membunuh guruku!”
Tiba-tiba gadis itu tertawa. Tawanya lepas bebas, tidak ditutup-tutupi seperti gadis lain. Akan tetapi pada saat ia tertawa bebas itu, wajahnya nampak lucu dan cerah, nampak semakin manis bagai wajah seorang kanak-kanak. Lenyap sudah garis-garis kekerasan dan sifat dingin dari wajahnya yang berubah menjadi anggun dan menyenangkan sekali sehingga Keng Han terpesona. Gadis ini sesungguhnya cantik bukan main kalau saja mau melenyapkan kekerasan hatinya.
“Semestinya engkau lebih sering tertawa, Enci!” katanya tiba-tiba, menyebut enci karena setelah gadis itu tertawa, dia merasa hubungannya dekat dengannya.
“Ehhh?!” Gadis itu dua kali terkejut. Oleh ucapan itu sendiri dan oleh sebutan ‘enci’. “Mengapa?”
“Kalau tertawa, wajahmu indah sekali!”
Mendadak wajah itu menjadi dingin kembali. Tangan kanan itu sudah diangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya.
“Apa kau ingin ditampar?”
“Kenapa ditampar? Apa salahku?”
“Kau bilang wajahku indah sekali.”
“Habis, harus bilang apa? Apakah aku harus mengatakan bahwa wajahmu buruk sekali, padahal kenyataannya memang indah kalau engkau tertawa?”
Gadis itu menghela napas panjang, agaknya dia merasa kewalahan untuk berbantahan dengan Keng Han.
“Siapa sih namamu?”
“Namaku Keng Han, Si Keng Han, jawabnya, menyembunyikan nama marganya yang dia tahu hanya akan menimbulkan persoalan baru. “Dan engkau siapa?”
Kembali helaan napas panjang. “Orang menyebut aku Bi-kiam Niocu. Aku hampir lupa dengan namaku sendiri, kalau tidak salah Siang Bi Kiok. Akan tetapi engkau pun harus menyebut Bi-kiam Niocu kepadaku. Berapa usiamu?”
“Usiaku dua puluh tahun.”
“Biar pun engkau lebih muda dariku, jangan menyebut enci padaku. Sebut saja Bi-kiam Niocu. Ehh, gurumu yang dibunuh oleh utusan Dalai Lama itu, siapa namanya?”
“Dia pun seorang bekas Lama, namanya Gosang Lama.”
“Aku tidak pernah mendengar nama itu. Akan tetapi, keinginanmu untuk menuntut Dalai Lama ini sangat aneh. Orang dengan kepandaian seperti engkau ini berani menuntut Dalai Lama? Engkau mencari mati!”
“Aku tidak takut. Budi seorang guru amat besar, pantas dibela dengan taruhan nyawa.”
“Hemmm, engkau seorang pemuda yang sangat aneh. Mungkin karena inilah aku tidak membunuhmu. Nah, sekarang carilah binatang buruan untukku. Perutku sudah terasa lapar sekali, Keng Han.”
“Engkau tidak takut kalau aku melarikan diri, Niocu?”
“Mengapa harus takut? Engkau tidak akan melarikan diri, kalau engkau tidak ingin mati keracunan sebulan kemudian. Obat penawarnya berada padaku. Kini nyawamu berada di tanganku.”
“Hemmm, baiklah, Niocu. Aku pun ingin melakukan perjalanan bersamamu. Siapa tahu dalam sebulan ini aku dapat membujukmu agar jangan bertindak kejam lagi.”
Setelah berkata demikian, Keng Han kemudian memasuki hutan dan mencari binatang buruan. Sesudah berada seorang diri, dia lalu mengerahkan tenaga dari dalam tantian menuju ke dadanya dan dalam waktu sebentar saja dia sudah mengusir racun itu dari tubuhnya. Pada waktu dia membuka bajunya, ternyata tanda telapak jari merah itu telah lenyap sama sekali.
Dia tersenyum dan merasa heran kepada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak lari saja dan pergi meninggalkan gadis itu? Atau melawannya? Kalau dia berhati-hati, belum tentu dia kalah. Wanita itu hanya mempunyai kelebihan dalam ilmu totok yang memang hebat. Bahkan tenaga sinkang-nya tidak mampu menahan totokan wanita itu! Juga dia merasa heran mengapa wanita itu mau saja mengikutinya pergi ke Tibet!
Tiba-tiba ia melihat seekor kijang muda muncul dari semak belukar. Cepat ia menunduk dan bersembunyi di balik semak-semak. Untung baginya bahwa angin datang dari arah kijang itu. Kalau sebaliknya, tentu kijang itu tahu bahwa ada manusia di dekatnya dan kalau ia sudah melarikan diri, bagaimana mungkin dapat mengejarnya?
Sambil bertiarap itu tangannya mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan setelah mengintai dan membidik dengan tepat, tiba-tiba ia bangkit dan melontarkan batu itu ke arah kepala kijang.
“Wuuuttttt... takkk!”
Tepat sekali batu itu menghantam bagian belakang kepala kijang itu. Binatang itu hanya berkuik satu kali, lantas roboh dan mati dengan kepala retak. Dengan girang Keng Han kemudian mengambil bangkai binatang itu dan dipanggulnya, dibawa kembali ke tempat dimana tadi Bi-kiam Niocu sedang menunggu…..
**********
Sementara itu, Bi-kiam Niocu menanti kembalinya Keng Han. Sambil duduk di bawah sebatang pohon, di atas sebuah batu datar. Hawa udara sangat panas, akan tetapi di bawah pohon itu teduh dan angin yang semilir membuatnya mengantuk.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara berdetak di belakangnya. Pada waktu dia menengok, beberapa helai jala sedang menyambar ke arah tubuhnya dari atas. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi terlalu banyak jala yang menyerangnya sehingga tanpa dapat dia elakkan lagi, tubuhnya telah terbungkus dua helai jala hitam.
Ia meronta dan mencoba untuk mencabut pedangnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan karena tali jala-jala itu ditarik sehingga kedua tangannya terbalut dan seperti teringkus jala. Dan jala itu agaknya terbuat dari tali yang amat kuat. Ia sudah diringkus dan ketika ia memandang dari celah-celah jala, ia melihat belasan orang laki-laki berada di sana. Beberapa orang memegang jala yang meringkusnya. Ketika mereka maju mengikatnya bersama jala, ia pun tidak berdaya.
“Jahanam pengecut. Cepat lepaskan aku dan mari kita bertanding kalau memang kalian gagah!” Ia mendamprat akan tetapi sia-sia belaka karena orang-orang itu hanya tertawa.
Seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan yang memegang tongkat besar, agaknya menjadi pemimpin mereka, memberi aba-aba dan mereka semua berloncatan pergi sambil menggotong Bi-kiam Niocu bagaikan menggotong seekor binatang buruan yang terjerat.
Wanita itu memaki-maki, menantang-nantang, akan tetapi tak ada yang mempedulikan. Ternyata mereka itu rata-rata dapat berlari cepat, didahului oleh si rakasasa pemegang tongkat besar itu.
Orang-orang itu berpakaian sederhana sekali, dari kulit binatang. Melihat wajah mereka yang berewokan mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup di dalam hutan. Mereka membawa Bi-kiam Niocu ke sebuah bukit yang penuh dengan goa-goa batu yang besar. Setelah tiba di depan goa-goa itu, sang pemimpin lalu membawa tawanan itu dengan sebelah tangannya, ditentengnya memasuki sebuah di antara goa-goa terbesar.
Bi-kiam Niocu kini diam saja. Ia tidak takut, melainkan mengumpulkan tenaga, bersiap untuk memberontak dan menyerang kalau dirinya dibebaskan dari ikatan tali dan jala itu. Akan tetapi, raksasa yang membawanya itu melemparkannya di atas sebuah dipan kayu yang kasar, kemudian dia mengambil guci dan cawan dan tak lama kemudian dia sudah minum arak seorang diri. sambil terkekeh-kekeh senang…..
Ketika tiba di tempat tadi, Keng Han tidak melihat Bi-kiam Niocu.
“Niocu...!”
Dia memanggil beberapa kali, akan tetapi tidak ada jawaban. Dia lalu memeriksa tempat itu dan melihat bekas tapak kaki banyak orang di situ. Agaknya Niocu didatangi banyak orang dan terjadi pergulatan, pikirnya, melihat banyak semak dan pohon kecil yang rusak. Celaka, jangan-jangan Niocu ditangkap gerombolan penjahat, pikirnya.
Meski pikiran ini agak aneh mengingat bahwa Niocu seorang wanita yang tidak mudah ditangkap begitu saja, tetapi Keng Han merasa khawatir. Dia lalu mencari dan mengikuti jejak belasan pasang kaki itu yang menuju ke bukit di luar hutan. Dia terus menelusuri jejak-jejak kaki itu dan mendaki bukit…..
“Heh-heh-heh, engkau sungguh cantik. Pantas menjadi isteriku dan menemani aku di sini,” akhirnya raksasa muka hitam itu berkata sambil menghentikan minumnya. Dia lalu menghampiri Bi-kiam Niocu yang masih meringkus dan terikat di atas dipan.
Wanita ini dapat berusaha untuk membalikkan tubuh dan telentang sehingga dia dapat melihat keadaan di kamar itu. Sebuah kamar goa yang cukup lebar. Terdapat tiga buah bangku, sebuah meja dan sebuah dipan kayu itu. Sederhana sekali.
Ketika laki-laki tinggi besar itu menghampiri dirinya, mau tidak mau ia merinding juga. Akan tetapi ia tetap tenang. Kalau saja ia membuka ikatan dan jala ini, pikirnya.
Akan tetapi raksasa itu mengangkatnya, masih dalam buntalan jala dan memangkunya. Meraba-raba lehernya yang putih mulus, meraba-raba pipinya.
“Cuh...!” Bi-kiam Niocu yang tidak dapat menahan kemarahannya, meludahi muka pria itu.
Raksasa muka hitam itu tidak marah, bahkan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau kuda betina yang liar! Bagus! Aku senang dengan yang liar!”
Kini tangannya merogoh di antara celah-celah jala, kemudian mengambil pedang dari pinggang Bi-kiam Niocu! Dia memandang pedang itu dan mengangguk-angguk.
“Pedang yang baik. Tidak pantas seorang wanita secantik engkau bermain-main dengan senjata tajam seperti ini!” Dia melontarkan pedang itu dan…
“Ceppp!” pedang menancap di atas meja. Gagangnya bergoyang-goyang ketika pedang itu menancap sampai setengahnya.
Diam-diam Bi-kiam Niocu memperhatikan dan mengertilah dia bahwa laki-laki kasar ini memiliki kepandaian, setidaknya mempunyai tenaga yang kuat. Maka ia menjadi makin waspada. Biarlah pedangnya diambil, ia tidak takut. Masih ada tangannya, kakinya, dan bahkan rambutnya untuk membela diri.
“Engkau cantik, engkau liar, engkau menarik!”
Raksasa itu mulai menimangnya dan aneh cara menimangnya. Ia melempar-lemparkan tubuh Bi-kiam Niocu yang masih terikat itu ke atas, diterimanya dan dilontarkannya lagi. Dia terus mempermainkan tubuh wanita itu seperti sebuah bola saja. Demikian ringan dia melempar-lemparkan tubuh itu. Bi-kiam Niocu bergidik ngeri. Laki-laki ini berbahaya, pikirnya, dan celakalah aku kalau sampai tidak dapat lolos dari tangannya.
Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan di luar goa. Ada orang-orang berkelahi di luar goa itu. Kepala gerombolan itu lalu melempar tubuh Niocu ke atas pembaringan dan dia bergegas keluar, membawa tongkatnya yang besar.
Setelah ditinggal seorang diri, Niocu kembali berusaha untuk membebaskan dirinya dan sekali ini ia berhasil. Ternyata ketika raksasa tadi melambung-lambungkannya ke atas, tali pengikat tubuhnya mengendur sehingga ia mampu membebaskan kedua lengannya. Ia mencoba untuk membikin putus tali jala itu, akan tetapi usahanya gagal.
Maka ia lalu berlompatan sambil masih diselubungi jala, mendekati jala di mana pedang miliknya diletakkan oleh raksasa tadi. Dan dengan pedang di tangannya, dia kemudian mampu membebaskan diri dan membikin putus tali-tali jala itu. Sebentar saja ia sudah bebas!
Dengan kemarahan meluap-luap, ia lalu menerjang keluar dan melihat betapa di luar, Keng Han sedang bertanding melawan kepala gerombolan itu dengan dikeroyok banyak anak buahnya. Melihat hal ini, hatinya merasa girang bukan main. Keng Han berusaha menolongnya dan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri melawan raksasa yang tangguh itu!
“Keng Han, serahkan anjing besar itu kepadaku!” bentaknya dengan suara melengking. Bi-kiam Niocu telah menerjang ke depan, memutar pedangnya dan menyerang raksasa yang memegang tongkat itu.
Keng Han girang melihat Bi-kiam Niocu selamat. Dia meloncat mundur sambil berseru, “Niocu, mari kita lari saja!”
“Tidak, terlebih dahulu aku harus membunuh anjing ini dan semua pengikutnya!” Bi-kiam Niocu membantah dan menyerang terus. Serangannya amatlah hebatnya sehingga si tinggi besar itu terdesak mundur.
Kepala gerombolan itu terkejut bukan main melihat gadis tawanannya bebas, maka dia berteriak, “Pergunakan jala! Tangkap mereka!”
“Awas, jala mereka amat lihai, Keng Han!” seru Bi-kiam Niocu sambil memutar pedang lebih cepat lagi.
Ia mendesak kepala gerombolan dengan amat hebatnya sehingga raksasa itu terpaksa harus memutar tongkatnya untuk melindungi diri. Sementara itu, beberapa orang anak buahnya sudah mencoba membantu ketua mereka dengan menggunakan jala.
Tetapi sekali ini Bi-kiam Niocu sudah siap dengan pedangnya. Begitu jala menyambar, ia melompat dan menggerakkan pedangnya ke belakang dan terdengar jerit mengerikan pada saat si pemegang jala roboh mandi darah. Dalam waktu sebentar saja, tiga orang pemegang jala sudah tewas di tangan Bi-kiam Niocu!
Sementara itu, Keng Han juga dikeroyok banyak orang. Dia pun bergerak dengan cepat, merobohkan para pengeroyoknya hanya dengan dorongan kedua tangannya, dan ketika dirinya tertutup jala, dengan mengerahkan tenaga jala itu pecah dan talinya putus-putus! Gegerlah anak buah gerombolan itu. Mereka seperti puluhan ekor semut mengeroyok dua ekor jangkerik.