CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
PUSAKA PULAU ES BAGIAN 06
Gerakan Bi-kiam Niocu amatlah berbahaya. Sebetulnya tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian si raksasa muka hitam. Tadi ia tertangkap karena tidak menyangka dan tidak bersiap sehingga dapat tertangkap jala musuh. Sekarang, dengan pedang di tangan mana mungkin ia tertangkap jala? Bahkan para pemegang jala itu semua telah tewas di tangannya dan kini wanita itu mendesak lawannya dengan hebat.
Si tinggi besar muka hitam menjadi jeri. Melihat anak buahnya banyak yang tewas dan dia pun menghadapi permainan pedang yang demikian tangguh, apa lagi melihat betapa pemuda itu pun tidak dapat ditangkap anak buahnya, nyalinya sudah terbang melayang dan dia menyerang hebat untuk mencari kesempatan melarikan diri.
“Mampuslah!” bentaknya dan tongkatnya meluncur dengan cepat ke arah dada Bi-kiam Niocu.
Pada saat gadis ini mengelak ke kiri, tongkat itu menghantam dari kanan ke kiri dengan kecepatan kilat. Karena serangan itu amat berbahaya untuk ditangkis mengingat tenaga raksasa itu besar sekali, Bi-kiam Niocu melompat ke belakang dengan sigapnya. Sejak tadi kesempatan inilah yang selalu dinantikan oleh kepala gerombolan itu. Maka begitu lawannya melompat ke belakang, dia lalu membalikkan tubuhnya kemudian melarikan diri tunggang-langgang!
“Jahanam hendak lari ke mana kau?” Bi-kiam Niocu mengejar sambil sekuat tenaganya melontarkan pedangnya.
Inilah satu di antara kepandaiannya yang amat hebat. Ia dapat melontarkan pedang itu dengan cepat dan pedangnya meluncur bagaikan anak panah saja menuju sasarannya, yaitu punggung lebar kepala gerombolan itu.
“Singgggg... cappp!”
Pedang itu tepat mengenai punggung dan menembus ke dada. Kepala gerombolan itu terbelalak, mengeluh panjang lalu roboh menelungkup, tewas seketika.
Bi-kiam Niocu sudah berada di dekatnya dan mencabut pedang itu, lalu membersihkan pedang pada pakaian si raksasa muka hitam. Kemudian ia pun mulai mengamuk! Anak buah gerombolan yang sedang mengeroyok Keng Han itu diamuknya dan pedangnya merobohkan beberapa orang lagi. Melihat ketua mereka sudah tewas, sisa anak buah gerombolan cepat melarikan diri. Bi-kiam Niocu hendak mengejar, akan tetapi ditahan oleh Keng Han.
“Musuh yang sudah lari tidak perlu dikejar lagi, Niocu!” katanya.
Bi-kiam Niocu menyimpan pedangnya dan dengan puas ia memandang kepada belasan orang yang sudah menggeletak tanpa nyawa itu. “Hemmm, sayang masih ada yang mampu meloloskan diri. Seharusnya mereka itu dibasmi habis!”
“Sudahlah, Niocu. Kalau mereka semua tewas, tentu kita juga yang akan repot, harus mengubur mereka. Biarlah yang masih hidup nanti mengubur mayat kawan-kawannya. Sesungguhnya, apa yang telah terjadl Niocu?”
“Mereka bertindak curang dan berhasil menangkap aku dengan jala, lalu membawaku ke sini. Ketika tadi engkau menyerang mereka di luar goa, kepala perampok itu sempat meninggalkan aku sehingga aku pun dapat meloloskan diri lalu mengamuk. Dan engkau bagaimana engkau bisa menyusul aku ke sini?”
“Aku sudah mendapatkan binatang buruan, seekor kijang yang muda, dan ketika aku kembali ke tempat kita tadi, engkau sudah tidak ada. Aku melihat tapak-tapak kaki yang banyak sekali, lalu aku mengikuti tapak kaki itu hingga ke sini. Ketika mereka melihatku, mereka lalu mengepung dan mengeroyokku sehingga terjadi perkelahian. Mari, Niocu, kita kembali ke sana. Bukankah perutmu sudah lapar? Akan tetapi, sebaiknya kalau aku kubur dulu mayat-mayat mereka.”
“Bodoh! Buat apa mengubur mereka? Biar teman-teman mereka yang mengurus mayat mereka. Mari kita pergi!” Bi-kiam Niocu mendengus marah dan Keng Han mengikutinya. Dia pun percaya bahwa sisa anak buah gerombolan tentu akan kembali ke situ untuk mengubur teman-teman mereka yang tewas.
Mereka kemudian cepat pergi meninggalkan bukit itu dan memasuki hutan tadi. Keng Han mengambil bangkai kijang yang tadinya dia simpan di atas sebatang pohon besar dan mulai mengambil dagingnya untuk dipanggang.
Dengan sinar mata termenung Bi-kiam Niocu memandang pada Keng Han yang sedang membakar daging kijang. Dia sudah menaruh bumbu pada daging itu. Kalau melakukan perjalanan, wanita ini selalu membawa bekal bumbu, seperti garam, merica dan lain-lain untuk penyedap makanan.
Ia merasa heran sekali. Mengapa hatinya begini tertarik kepada Keng Han dan ia tidak menghendaki pemuda itu jauh darinya? Selama ini, sampai usianya telah dua puluh dua tahun, ia selalu merasa tidak suka kepada laki-laki.
Semenjak ia belajar ilmu silat dari gurunya, yaitu seorang pendeta wanita yang hidup mengasingkan diri, gurunya selalu menekankan betapa jahatnya kaum pria. Karena ini, sejak kecil sudah tumbuh semacam perasaan tidak suka kepada pria.
Apa lagi setelah ia mulai remaja ia melihat betapa mata laki-laki seperti mata elang saja menatapnya, seperti mata elang melihat anak ayam, ingin menerkam. Semakin tak suka hatinya terhadap pria, makin dewasa ia makin muak. Entah berapa banyaknya pria yang telah dibunuhnya, hanya akibat pria itu berani memandangnya terlalu lama, menegurnya secara kurang ajar atau hendak menggodanya.
Akan tetapi kini dia merasa heran sekali. Mengapa dia begini tertarik kepada Keng Han yang bahkan lebih muda darinya? Apa lagi kalau dia membayangkan ketika pemuda itu mendekapnya untuk menghalanginya melakukan pembunuhan. Dekapan yang kuat dan hangat itu seolah masih terasa! Dan jantungnya berdebar aneh.
Daging kijang panggang itu sudah matang dan mereka lalu makan daging yang lunak dan sedap itu. Bi-kiam Niocu mengeluarkan seguci arak dan mereka pun makan minum dengan lahapnya karena memang perut mereka terasa lapar. Akan tetapi diam-diam harus diakui oleh Niocu bahwa belum pernah ia makan daging panggang selezat ini!
Setelah selesai makan, Bi-kiam Niocu berkata, “Selama perjalanan kita ke Tibet, engkau harus selalu mentaati omonganku, Keng Han. Aku jauh lebih berpengalaman darimu, kalau engkau tidak mendengar omonganku, bisa-bisa engkau akan celaka.”
“Tidak, Niocu. Aku tidak akan melakukan perjalanan bersamamu. Sekarang juga aku akan memisahkan diri darimu dan aku akan melakukan perjalanan ke Tibet seorang diri saja.”
“Ehhh, kenapa begitu?”
“Karena engkau kejam sekali. Tadi kembali engkau membunuhi banyak orang dan aku merasa tidak senang sekali melihat engkau begitu kejam.”
“Engkau tidak boleh meninggalkan aku. Kalau engkau meninggalkan aku, maka dalam beberapa hari lagi engkau akan mati keracunan. Ingat, tubuhmu sudah kupukul dengan Tok-ciang, dan hanya aku yang dapat memberi obat pemunahnya.”
“Biarlah! Lebih baik mati keracunan dari pada menjadi saksi kekejamanmu.”
“Demikian besarkah perasaan bencimu kepadaku, Keng Han?” Di dalam ucapannya itu terkandung kesedihan yang mengherankan hati Niocu sendiri.
“Aku tidak membencimu, Niocu. Bila tadinya aku suka melakukan perjalanan denganmu, tadinya aku mengharap akan dapat menasehatimu agar tidak terlalu kejam. Akan tetapi engkau tetap kejam sekali, maka aku tidak tahan lagi untuk terus melakukan perjalanan denganmu. Nah sekarang aku harus meninggalkanmu, Niocu. Selamat tinggal!” Keng Han mengemasi buntalan pakaiannya sendiri dan memanggulnya, lalu melangkah pergi dari situ.
Melihat kenekatan pemuda itu, Niocu segera bangkit berdiri dan berseru. “Nanti dulu, Keng Han! Engkau akan mati dalam beberapa hari lagi. Nah, biarlah kusembuhkan dulu lukamu karena pukulanku yang beracun itu!”
Niocu menghampiri Keng Han dan menyuruhnya membuka bajunya. Ketika melihat ke arah dada kiri pemuda itu, ia terbelalak dan ternganga keheranan. Kulit dada itu putih bersih, sama sekali tidak ada tanda telapak tangan merah seperti yang seharusnya ada.
“Aihhh... aneh sekali...!” Keng Han pura-pura terkejut.
“Tanda tapak tangan merah itu telah lenyap! Ini tidak mungkin!”
“Kenapa tidak mungkin? Kenyataannya telah lenyap dan berarti aku telah sembuh. Tak perlu lagi engkau mengobatiku,” kata Keng Han sambil menutupkan kembali bajunya.
“Hemmm, kau hedak mempermainkan aku, ya! Sambutlah serangan ini!” Wanita itu lalu menyerang dengan hebatnya!
“Ehhh, apa yang kau lakukan ini?”
Keng Han melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Namun wanita itu mengejarnya dan terus menyerang kalang-kabut dengan gencar sekali. Keng Han terpaksa mainkan ilmu silat Hong-In Bun-hoat untuk menghindarkan diri. Ternyata ilmu silatnya ini hebat sekali. Dia seolah tidak bersilat, hanya menuliskan huruf-huruf di udara dan semua serangan Bi-kiam Niocu dapat dielakkan atau ditangkis!
Tentu saja wanita itu menjadi penasaran sekali. Ia mengeluarkan ilmu totokannya yang ampuh, yaitu Tok-ciang. Ilmu ini bukan hanya menotok, akan tetapi juga menampar dan kedua tangan itu lalu berubah merah!
Meski pun Keng Han mampu mengelak sampai puluhan jurus, suatu ketika dia tidak lagi bisa menghindarkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan tidak berdaya! Bi-kiam Niocu menambahkan beberapa totokan pada kedua pundak dan dadanya sehingga tubuh Keng Han benar-benar tak mampu bergerak lagi.
Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa kalau dia mengerahkan tenaga dari pusarnya, totokan itu pasti akan dapat dipunahkannya dalam waktu tidak terlalu lama. Karena itu dia hanya memandang dengan mata melotot kepada wanita itu.
“Wanita kejam! Apakah engkau juga hendak membunuhku? Lakukanlah, aku tidak takut mati!”
“Keng Han, mengapa engkau begini keras kepala? Apakah tidak ada manusia di dunia ini yang kau taati?”
“Tentu saja ada. Yang kutaati hanyalah ayah bundaku dan juga guruku. Jika orang lain, hanya yang benar yang akan kutaati, yang tidak benar tentu tidak kutaati!”
Wanita itu tersenyum. “Keng Han, aku melihat ilmu silatmu hebat sekali, tetapi buktinya engkau masih kalah olehku. Maukah engkau menjadi muridku?”
“Hemmm, untuk apa menjadi muridmu? Untuk belajar membunuh? Ilmu silatku sudah cukup untuk menjaga diri.”
“Akan tetapi engkau tidak berdaya menghadapi ilmu totokanku. Bagaimana jika engkau mempelajari ilmu menotok dariku? Ilmuku menotok itu disebut Tok-ciang Tiam-hiat-hoat. Kalau engkau memiliki ilmu ini tentu tidak mudah engkau dikalahkan orang.”
Keng Han tertarik sekali. Harus dia akui bahwa ilmu totokan dari wanita itu lihai bukan main. Dua kali sudah dia roboh karena totokan itu. Dan kalau totokan lain dapat ditolak dengan sinkangnya, ternyata totokan ini tidak. Baru setelah lama mengerahkan tenaga sinkang, dia dapat membebaskan diri. Padahal totokan lain dapat ditolak oleh kekebalan tubuhnya karena sinkang di dalam tubuhnya.
“Kalau engkau suka mengajarkan ilmu totokan itu kepadaku, tentu saja aku suka sekali mempelajarinya.” Akhirnya setelah berpikir-pikir sejenak, dia menjawab.
“Bagus, aku suka mengajarkannya untukmu. Engkau tadi telah berusaha menolongku, sudah sepatutnya kalau aku membalas budimu. Akan tetapi untuk mengajarkan ilmu itu, engkau harus mengangkatku sebagai guru. Ini peraturan perguruanku, dan aku tidak mau melanggar peraturan. Nah, kubebaskan totokan pada tubuhmu agar engkau dapat melakukan upacara pengangkatan guru.”
Secepat kilat tangan wanita itu bergerak menotok beberapa kali ke tubuh Keng Han dan segera pemuda itu merasa betapa tubuhnya dapat bergerak kembali seperti biasa. Karena dia memang ingin sekali mempelajari ilmu itu, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi-kiam Niocu dan memberi hormat sambil menyebut subo (ibu guru).
Bi-kiam Niocu tertawa terkekeh, girang bukan main. “Bangkitlah, Keng Han. Mulai saat ini, engkau adalah muridku dan aku adalah gurumu, bukan?”
“Benar, Subo. Apakah sekarang Subo akan mengajarkan Tok-ciang Tiam-hiat-hoat itu kepada teecu (murid)?”
“Tak perlu tergesa-gesa, Keng Han. Dan mulai sekarang engkau harus mentaati segala perintahku, mengerti?”
“Akan tetapi...”
“Akan tetapi apa? Ingat, aku adalah gurumu dan bukankah engkau sudah mengatakan bahwa engkau hanya taat kepada orang tua dan gurumu?”
“Ahhh...? Jadi Subo hanya menggunakan akal agar aku selalu taat...?”
“Bukan hanya itu, aku memang ingin engkau menjadi muridku, akan tetapi murid yang taat. Nah, sekarang ceritakan kepadaku tentang suhu-mu yang katanya terbunuh oleh utusan Dalai Lama. Ingat, aku akan membantumu bertemu Dalai Lama dan hanya aku yang dapat menolongmu.”
Keng Han lalu menceritakan dengan singkat tentang tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang telah membunuh Gosang Lama. Juga tentang pesan terakhir Gosang Lama agar dia membunuh Dalai Lama yang mengutus tiga orang Lama Jubah Merah itu, dan juga membunuh ketua Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar gurunya itu.
Setelah Keng Han selesai bercerita, Bi-kiam Niocu menarik napas panjang dan berkata, “Gurumu itu agaknya seorang yang benar-benar kejam. Aku membunuhi orang jahat kau katakan kejam, akan tetapi gurumu itu seperti hendak membunuh engkau sendiri! Engkau mimpi kalau dapat membunuh Dalai Lama dan ketua Bu-tong-pai. Sukarnya sama seperti naik ke langit! Aku sendiri, terus terang saja, tidak berani mencoba untuk melakukan dua hal itu, akan tetapi aku dapat membantumu bertemu dengan Dalai Lama dan juga dengan ketua Bu-tong-pai.”
Keng Han merasa girang sekali. “Bantuan itu saja sudah cukup bagi teecu, Subo. Kalau sudah bertemu dengan mereka, aku akan menuntut mereka dan juga minta keterangan mengapa mereka memusuhi suhu Gosang Lama. Selanjutnya biarlah aku sendiri yang akan menghadapi mereka.”
Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Sekarang Keng Han merasa lebih senang karena ternyata gurunya yang baru ini mengenal jalan ke Tibet sehingga tidak perlu bertanya-tanya lagi seperti ketika dia melakukan perjalanan seorang diri. Dia percaya bahwa gurunya ini, walau pun masih muda, namun berilmu tinggi dan sudah memiliki banyak pengalaman.
Ingin dia menanyakan riwayat subo-nya yang tentu menarik. Apakah subo-nya sudah memiliki suami? Ataukah masih memiliki keluarga lain, dan kalau ada di mana tempat tinggalnya? Akan tetapi, dia khawatir kalau dibentak karena subo-nya kadang bersikap galak kepadanya, maka sampai lama dia tidak pernah mengajukan pertanyaan ini….
Malam itu gelap sekali, Keng Han dan Bi-kiam Niocu terpaksa melewatkan malam di sebuah goa. Menurut Niocu, dusun yang terdekat dari situ masih lima puluh li lebih sehingga mereka akan kemalaman di tengah jalan kalau melanjutkan perjalanan. Lebih baik melewatkan malam di goa itu, agak terlindung dari angin dan hawa dingin.
Keng Han mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun di depan goa. Dia pun mencari rumput kering untuk alas lantai goa sehingga gurunya akan dapat mengaso. Akan tetapi Niocu duduk saja di dekat api unggun dan termenung mengamati api yang bernyala. Keng Han duduk di depannya, terhalang api unggun.
“Keng Han, ke sinilah. Duduk di dekatku sini, aku ingin bercakap-cakap denganmu.”
Keng Han pindah duduk di sebelah gurunya, tapi diam saja. Setelah agak lama mereka berdiam diri, Niocu menghela napas panjang dan berkata, “Keng Han, apakah engkau berbahagia?”
Pemuda itu terheran mendengar pertanyaan ini. “Bahagia? Apakah artinya bahagia itu, Subo? Kita sudah makan tadi, perutku kenyang, badan yang letih kini dapat beristirahat di dekat api unggun yang hangat sehingga tubuh ini terasa enak. Hatiku juga merasa senang karena kita tidak mendapat gangguan. Ya, boleh jadi aku berbahagia saat ini, Subo.”
“Aih, betapa rinduku akan kebahagiaan. Aku tidak pernah merasa berbahagia. Senang, memang. Akan tetapi itu lain. lagi. Senang hanya sebentar saja lewat dan berlalu. Aku ingin bahagia! Ahh, betapa aku ingin sekali bahagia, akan tetapi bagaimana caranya? Di manakah kebahagiaan itu? Aih, aku ingin mencarinya, Keng Han. Apakah engkau dapat membantuku?”
“Bagaimana cara membantumu, Subo? Aku sendiri merasa berbahagia, lalu bagaimana aku dapat menularkan kebahagiaan ini padamu? Kebahagiaan adalah suatu perasaan, suatu keadaan hati, dan hati orang tidaklah sama. Aku sendiri saat ini merasa senang, tiada apa pun yang menggangguku, maka aku tidak butuh bahagia itu! Barangkali Subo merasa tidak berbahagia, bagaimana bisa mencari kebahagiaan? Hilangkanlah ketidak bahagiaan itu, Subo!”
“Aku merasa kesepian, merasa tidak bahagia, bagaimana dapat menghilangkan ketidak bahagiaan ini?”
“Ahh, aku juga tidak tahu, Subo.” Keduanya melamun sambil memandang ke dalam api yang bernyala di depan mereka.
Setiap orang mendambakan kebahagiaan, bahkan ada yang mencari kebahagiaan itu dengan cara apa pun, ada yang menyiksa diri, ada yang bertapa dan sebagainya lagi. Ada pula yang mengejarnya dengan cara belajar ilmu ini dan itu, seolah kebahagiaan itu adalah sesuatu yang bisa dicari dan didapatkan.
Orang yang mendambakan kebahagiaan sudah pasti adalah orang yang tidak bahagia. Tidak bahagia adalah suatu perasaan yang muncul apa bila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hati. Dalam keadaan yang tidak bahagia ini, bagaimana mungkin orang mencari dan mendapatkan kebahagiaan? Orang yang sedang berjalan-jalan di daerah pegunungan, kemudian melihat matahari tenggelam amat indahnya dan pikirannya tidak melayang-layang tak karuan, sudah tentu dia akan mengalami kebahagiaan itu. Kalau sudah begitu, tentu dia tidak perlu lagi mencari kebahagiaan!
Dari pada mencari-cari kebahagiaan, bukankah lebih tepat kalau mempelajari mengapa dia tidak bahagia, apa yang menyebabkan dia tidak berbahagia. Kalau yang menjadi penyebab ketidak-bahagiaan itu sudah tidak ada lagi, apakah dia masih membutuhkan kebahagiaan? Tidak lagi, karena dia sudah berbahagia!
Jadi, kebahagiaan itu sesungguhnya tak pernah meninggalkan kita, seperti Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kita dengan kasih sayangNya. Kitalah yang sering meninggalkan kebahagiaan, kitalah yang meninggalkan Tuhan!
Kita meninggalkan kebahagiaan melalui akal pikiran yang bergelimang nafsu sehingga kita tak pernah merasa puas dengan keadaan. Kita penuh harap, penuh kecewa, penuh iri, penuh amarah, penuh kebencian. Semua itu membuat kebahagiaan tidak nampak lagi dan membuat kita merasa tidak berbahagia!
Seperti halnya kesehatan. Kita sudah sehat setiap saat, akan tetapi kita tidak dapat merasakan itu, tidak dapat menikmati itu. Kalau kita sakit saja barulah kita dapat membayangkan betapa akan nikmatnya kalau kita sembuh dan sehat!
Kebahagiaan sudah ada setiap saat. Kalau ada gangguan sehingga kebahagiaan tidak terasa, itu adalah kesalahan kita sendiri. Karena itu, setiap saat kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih.
Kalau menghadapi mala petaka, di samping berusaha sekuatnya untuk menghindarkan diri, juga kita harus menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang berkuasa mengatur segalanya. Juga mengatur kehidupan kita. Makin kita mendekatkan diri kepada Tuhan, makin kuat iman kita kepada Tuhan, makin dekat pula kebahagiaan dengan kita, makin dapat terasakan.
“Keng Han, di manakah orang tuamu?”
Ditanya tentang orang tuanya, Keng Han terkejut. Dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia putera pangeran mahkota dari kerajaan Ceng.
“Aku hanya tinggal memiliki seorang ibu, Subo. Ayah sudah meninggalkan ibu sebelum teecu lahir.”
“Ahhh, keparat!” Dan tiba-tiba tangan wanita itu sudah bergerak cepat dan menotoknya pula sehingga Keng Han menjadi lumpuh seketika.
“Subo mengapa... mengapa Subo berbuat begini?”
“Jahanam, sama saja. Semua laki-laki memang keparat. Benar kata-kata subo. Karena itu aku benci kepada laki-laki. Ayahmu meninggalkan ibumu ketika ibumu sedang hamil. Hemmm, dan engkau ini sebagai puteranya tentu sama saja, sama jahatnya!”
“Aku... aku… selama hidupku belum pernah melihat ayah kandungku, Subo. Aku juga sudah bersumpah hendak mencari ayah, dan kalau dia tidak mempunyai alasan kuat meninggalkan dan menyia-nyiakan ibuku, aku akan menghajarnya!”
“Bagus! Kalau begitu engkau tidak sama dengan ayahmu!” Kini Niocu kembali menotok Keng Han sehingga terbebas dari totokan. Keng Han mengelus-elus pundaknya yang tadi ditotok dan meringis karena pundaknya terasa agak nyeri.
“Kenapa Subo begitu kejam, dengan mudah saja menotokku tanpa sebab?”
“Aku paling benci kalau mendengar ulah laki-laki yang mempermainkan wanita. Karena ayahmu berlaku keji terhadap ibumu, maka aku menjadi marah dan karena engkau puteranya, aku menjadi marah kepadamu. Akan tetapi sekarang tidak lagi karena engkau menyatakan tidak setuju dengan tingkah laku ayahmu itu.”
“Subo sudah mengetahui banyak tentang diriku, akan tetapi sebaliknya aku tidak tahu apa-apa tentang Subo. Bagaimana kalau kelak orang bertanya tentang guruku, apakah harus kujawab bahwa aku tidak mengenal guruku sendiri?”
Bi-kiam Niocu menghela napas panjang.
“Riwayatku tak menarik. Aku yatim piatu. Yang terdekat denganku hanya seorang guru dan seorang adik seperguruan. Guruku pembenci pria dan entah sudah berapa banyak pria yang telah dibunuhnya. Ia mengajarkan kami untuk membenci pria pula, terutama pria-pria mata keranjang dan pria yang suka mempermainkan wanita. Engkau masih beruntung bertemu dengan aku. Kalau engkau bertemu dengan guruku atau sumoi-ku, tentu kepalamu sudah dipenggal!”
Keng Han bergidik. Nona ini saja sudah begitu kejam terhadap pria, apa lagi sumoi-nya dan subo-nya itu. Hemmm, mengerikan!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Keng Han sudah terbangun dari tidurnya. Ketika bangun, dia melihat Bi-kiam Niocu sudah berdiri di depan goa dan melihat jauh ke depan, ke arah bawah karena goa itu terletak di lereng bukit. Tiba-tiba ia membalik dan dengan kakinya ia memadamkan api unggun, bahkan mencerai-beraikan kayu-kayu bakar sehingga tidak ada yang membara lagi dan tidak mengeluarkan asap. Kemudian ia berkata kepada Keng Han, sikapnya seperti orang ketakutan.
“Keng Han, cepat kemasi barang-barangmu. Kita pergi dari sini!”
“Kenapa, Subo?”
“Tidak usah bertanya, cepat lakukan perintahku!” kata wanita itu bengis.
Keng Han cepat mengemasi buntalannya. Tak lama kemudian keduanya telah menuruni bukit itu. Ketika tiba di kaki bukit, tiba-tiba wanita itu menarik tangan Keng Han, diajak bersembunyi di balik semak belukar.
Keng Han menurut saja dan ikut mengintai dari balik semak. Dari jauh dia melihat ada seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang sedang berjalan terpincang-pincang menggunakan sebatang tongkat. Sungguh aneh sekali. Gurunya yang sedemikian lihai nampak ketakutan bertemu dengan seorang tua yang timpang kakinya! Akan tetapi dia tidak berani bertanya.
“Jangan bergerak dan jangan bersuara,” bisikan halus itu terdengar dekat sekali dengan telinganya. Dan Keng Han mencium bau harum rambut gurunya.
Keng Han semakin heran dan mengintai terus. Setelah tiba tak jauh dari semak belukar itu, si timpang itu lantas berhenti melangkah dan kepalanya dimiringkan seolah-olah dia sedang menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mendengarkan sesuatu. Keng Han tidak berani bergerak, bahkan menahan napas.
“Kalian tidak lekas keluar menghadap aku, masih tunggu apa lagi?”
Keng Han kaget setengah mati. Kiranya si timpang itu dapat pula mengetahui kehadiran mereka di situ! Akan tetapi, ketika dia hendak bergerak, ada sebuah tangan menahan pundaknya sehingga dia tetap tidak bergerak. Tetapi dia siap siaga kalau-kalau diserang oleh kakek timpang itu.
Tiba-tiba dari balik semak-semak di seberang bermunculan tiga orang yang segera keluar dan menjatuhkan diri berlutut di depan si kakek timpang.
“Pangcu, mohon maaf sebesar-besarnya!” kata mereka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tidak perlu cerewet. Cepat katakan apakah kalian sudah berhasil merampas kuda itu?”
“Ampunkan kami, Pangcu. Penunggang kuda itu ternyata lihai sekali dan kami bahkan menerima hajaran darinya. Kami tidak berhasil merampas kuda itu, bahkan nyaris tewas kalau kami tidak melarikan diri.”
Kakek timpang itu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong marah. “Kalian orang-orang yang tidak berguna! Cabut pedang kalian!”
Tiga orang itu tidak berani membantah dan segera mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka.
“Cepat buntungi telinga kiri kalian sebagai hukuman!”
Kini tiga orang itu diam saja, agaknya merasa ngeri harus membuntungi daun telinganya sendiri. Melihat ini, Keng Han yang masih mengintai merasa penasaran sekali. Alangkah kejamnya pangcu itu!
Dia membuat sedikit gerakan, akan tetapi tangan Niocu cepat menekannya agar dia tidak bergerak. Kenapa gurunya begitu takut terhadap kakek timpang yang kejam itu?
“Kau tidak cepat-cepat melaksanakan perintahku? Baik, akulah yang akan menghukum kalian!” Gerakannya demikian cepat dan begitu dia menggerakkan tangan, tahu-tahu dia telah merampas sebatang pedang dari tangan anggota yang terdekat dan nampak sinar pedang berkelebat tiga kali.
“Sing-sing-sing...! Crat-crat-crattt...!”
Nampak darah muncrat dan tahu-tahu ketiga orang itu sudah kehilangan telinga kirinya! Kakek timpang itu membuang pedang rampasannya, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan kecil.
“Pergunakan bubuk obat ini supaya darahnya berhenti mengalir dan cepat sembuh. Hati-hati, kalau lain kali kalian gagal melaksanakan perintahku, bukan hanya telingamu yang kubuntungi, melainkan leher kalian! Hayo cepat pergi!”
Tiga orang itu menghaturkan terima kasih. Setelah menerima obat itu, mereka lalu pergi dengan cepat, menahan rasa nyeri pada telinga kiri yang daunnya telah buntung itu.
Kini Keng Han tak lagi dapat menahan kesabaran hatinya. Tanpa mempedulikan tangan gurunya yang mencoba untuk menahannya, ia telah meloncat keluar menghadapi kakek itu sambil membusungkan dadanya.
“Orang tua, engkau sungguh kejam bukan main! Baru terhadap anak buah sendiri yang gagal melaksanakan tugas, engkau bersikap begitu kejam membuntungi daun telinga kiri mereka. Apa lagi terhadap orang lain!”
Kakek timpang ini adalah Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa) Lo Cit, seorang di antara para datuk persilatan yang terkenal kehebatan ilmu silatnya. Dan kini, ada seorang pemuda berani menegurnya seperti seorang tua menegur seorang anak nakal saja!
Demikian heran kakek itu sampai dia tidak mampu menbeluarkan kata-kata, hanya terus memandang dengan bengong kepada Keng Han. Akhirnya, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak sedang mimpi, dia membentak dengan bengis, “Bocah setan, apakah engkau sudah bosan hidup?”
Bi-kiam Niocu terkejut setengah mati melihat ulah Keng Han. Ia merasa jeri melihat kakek timpang ini. Pada waktu tadi ia melihat seorang pria timpang berjalan dengan tongkatnya, ia segera mengenal siapa dia dan ia merasa jeri. Lebih baik tidak bertemu dengan datuk ini, pikirnya. Bagaimana ia tidak akan merasa jeri? Gurunya sendiri, Ang Hwa Nio-nio, pernah bertanding melawan datuk timpang ini dan berakhir seri, tidak ada yang menang!
Kini melihat Keng Han melompat keluar dan menegur kakek itu, hatinya tentu saja khawatir bukan main. Di luar kesadarannya sendiri Bi-kiam Niocu merasa amat sayang kepada Keng Han dan khawatir kalau pemuda itu celaka. Maka ia melupakan rasa takutnya sendiri dan meloncat pula keluar dari balik semak-semak. Ia cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata dengan nada menghormat.
“Harap Lo-pangcu sudi memberi maaf kepada muridku yang kurang sopan ini. Karena dia tak mengenal Locianpwe, maka telah bersikap kurang hormat. Dengan memandang mukaku, dan muka guruku, harap Lo-pangcu sudi memaafkan.”
Kakek itu menoleh kepada Niocu dan memandang tajam penuh perhatian. “Hemmm, ini muridmu? Dan siapa gurumu?”
“Guru saya adalah Ang Hwa Nio-nio!”
Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali memandang kepada Keng Han. “Hemmm, jadi anak setan ini adalah cucu murid Ang Hwa Nio-nio? Nenek gurunya saja tak mampu mengalahkan aku, sekarang cucu muridnya malah berani menegur aku. Dia harus dapat menahan sepuluh jurus pukulanku, baru aku dapat memaafkan dia!”
Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa kakek itu lihai bukan main. Bukan saja terkenal sebagai ahli pedang sehingga dia disebut Dewa Pedang dan pedang itu disembunyikan dalam tongkatnya itu, akan tetapi juga dia ahli menggunakan ilmu pukulan yang disebut Pukulan Halilintar yang ampuhnya menggila! Mana mungkin Keng Han dapat bertahan sampai sepuluh jurus? Lima jurus saja sudah cukup untuk membunuh Keng Han. Ia sendiri belum tentu dapat bertahan sampai sepuluh jurus.
“Saya hanya bisa memohonkan ampun bagi nyawa murid saya. Harap Lo-pangcu tidak membunuhnya karena kalau Pangcu melakukan itu, tentu akan membuat kami semua, juga guru saya, merasa tidak enak sekali.”
“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku tidak perlu membunuhnya, cukup membuat tangan dan kakinya lumpuh untuk selamanya agar dia tidak berani lagi bersikap kurang ajar!”
Sementara itu, Keng Han sudah berkata, “Subo, jangan minta-minta seperti itu. Kakek ini memang kejam bukan main.”
“Keng Han, cepat minta ampun kepada Lo-pangcu!” kata Niocu.
“Tidak, dia yang harus minta ampun kepada Tuhan atas dosanya! Aku akan menerima tantangannya dan menghadapinya sampai sepuluh jurus. Harap Subo tidak khawatir. Aku mampu menjaga diri!”
“Bagus, bocah sombong. Nah, terimalah jurus pertama ini!” Kakek timpang itu berseru dan tangan kirinya sudah menyambar dengan hebat sekali ke arah kepala Keng Han.
Memang bukan main cepatnya serangan itu, sungguh cepat dan kuat sekali sehingga mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat. Akan tetapi Keng Han telah bergerak cepat dan berhasil mengelak dari jurus pertama itu. Dia mengelak dengan gerakan dari Hong-in Bun-hoat.
Melihat serangan pertamanya gagal, kakek timpang itu menjadi penasaran sekali dan kini dia memukul lagi dengan tenaga sepenuhnya. Terdengar angin berdesir dan debu mengepul ketika kakek itu memukul dengan tangan kirinya lagi ke arah dada.
Keng Han mengubah gerakan silatnya dan sekarang dia memakai ilmu silat Toat-beng Bian-kun, ilmu silat yang dipelajarinya dari Pulau Hantu. Ilmu silat ini bersifat lemas, namun di balik kelemasan itu terkandung tenaga dahsyat sekali sehingga ketika dia menangkis, pukulan kakek itu seperti masuk ke dalam air saja. Kakek itu terkejut bukan main dan dia segera mengamuk, mengirim pukulan beruntun dengan hebatnya.
Sementara itu, Bi-kiam Niocu hanya menonton dengan hati tidak karuan rasanya. Dia yakin bahwa muridnya yang tersayang itu akan terpukul mati atau setidaknya akan lumpuh seperti ancaman kakek itu dan ia tidak berani turun tangan membantu. Akan tetapi segera ia memandang dengan terheran-heran. Muridnya itu bukan saja mampu menghindarkan diri, bahkan berani menangkis pukulan datuk itu.
Karena merasa penasaran bukan main, setelah lewat sembilan jurus dia belum mampu mengalahkan bocah itu, Toat-beng Kiam-sian lalu merendahkan tubuh dan menyalurkan tenaga sinkang ke dalam kedua tangannya, kemudian ia memukul ke depan seperti mendorong. Inilah Pukulan Halilintar yang telah mengalahkan banyak sekali ahli silat di dunia kang-ouw. Niocu memandang dengan muka pucat sekali karena kali ini muridnya pasti celaka.
Melihat pukulan yang luar biasa kuatnya itu, yang mendatangkan angin seolah timbul badai, Keng Han juga merendahkan tubuhnya dan dia menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya pula. Diam-diam dia mengerahkan dua hawa sakti yang berlawanan dalam tubuhnya dan dua macam tenaga sakti meluncur melalui kedua tangannya, yang kanan mengandung hawa panas dan yang kiri mengandung hawa dingin!
“Wuuuuuttttt... desssss...!!”
Dua tenaga yang sangat hebat bertumbukan di udara dan akibatnya, tubuh kakek itu terpental ke belakang sampai dia terhuyung beberapa langkah, sedangkan tubuh Keng Han hanya bergoyang-goyang saja!
Niocu terbelalak, hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Juga kakek timpang itu terkejut setengah mati. Tidak disangkanya bahwa pemuda itu bukan saja mampu menahan Pukulan Halilintarnya, bahkan dapat mengatasinya dan membuatnya terhuyung! Dia lalu mengangkat tongkatnya yang menyembunyikan pedang dan hendak menyerang lagi menggunakan pedangnya.
Akan tetapi Niocu cepat meloncat ke depan dan berkata, “Lo-pangcu telah menyerang sebanyak sepuluh jurus dan sudah mengalah, memberi pelajaran kepada murid saya. Saya sebagai gurunya menghaturkan terima kasih atas kebaikan ini!”
Wajah Toat-beng Kiam-sian berubah merah. Akan tetapi dia juga meragu dan agak jeri. Kalau muridnya sudah demikian hebatnya, apa lagi gurunya! Agaknya murid Ang Hwa Nio-nio ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Juga dia teringat akan janjinya tadi bahwa dia akan mengampuni pemuda itu kalau mampu menahan sepuluh jurus serangannya.
Maka sambil mendengus marah dia membalikkan tubuhnya. Sekali melompat dia sudah hilang di balik semak belukar. Gerakannya demikian cepat sehingga mengagumkan hati Keng Han. Setelah bertemu dengan Niocu, baru dia tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang amat lihai, akan tetapi juga amat kejam.
Niocu menghampiri Keng Han dan meraba-raba pundaknya. “Engkau tidak apa-apa?”
“Tidak, Subo. Kenapa Subo melerai? Biarlah dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, teecu tidak takut!” kata Keng Han penasaran.
“Sudahlah, Keng Han. Engkau dapat keluar dengan selamat saja sudah merupakan keajaiban. Keng Han, sebetulnya engkau mempunyai ilmu apakah? Bagaimana engkau dapat menahan ilmu Pukulan Halilintar tadi?”
Keng Han tersenyum. “Aku adalah murid Subo, kenapa Subo bertanya? Semua ilmuku tentu kudapatkan dari guruku, bukan?” Dia mengejek.
Niocu terbelalak, sedangkan wajahnya berubah merah. Memang selama ini dia belum mengajarkan apa-apa, juga ilmu totok itu belum ia ajarkan.
“Marilah aku mengajarkannya kepadamu. Akan tetapi engkau harus sungguh-sungguh melawanku, seperti kau melawan kakek tadi!”
“Baik, Subo,” kata Keng Han dengan girang.
Dia memang ingin mempelajari ilmu totokan yang disebut Tok-ciang itu, meski bukan itu benar yang membuat dia betah melakukan perjalanan bersama gurunya ini. Entah bagaimana, dia pun suka sekali kepada Niocu dan tidak ingin berpisah darinya, ingin agar di temani ke Tibet. Bukan hanya pribadi Niocu yang menyenangkan hatinya, akan tetapi juga pengalamannya akan sangat berguna baginya dalam perjalanan menemui Dalai Lama itu.
Keng Han telah melepaskan bungkusan pakaian dari pundaknya, dan siap menghadapi serangan gurunya. Niocu juga melepaskan buntalan pakaiannya dan pedangnya, lalu ia memasang kuda-kuda.
“Lihat seranganku!” katanya tiba-tiba.
Bi-kiam Niocu pun menyerang dengan cepat. Serangannya cepat dan kuat dan ia telah menggunakan Tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Keng Han tidak berpura-pura lagi. Dia pun menyambutnya dengan Toat-beng Bian-kun.
Dan sekali ini benar-benar Niocu dibuat terheran-heran. Ilmu silat muridnya itu demikian aneh dan asing gerakannya, akan tetapi semua pukulannya meleset dan tidak pernah mengenai sasaran.
Lalu dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan menyerang dengan hebatnya, menggunakan dua telapak tangannya. Keng Han menyambut dengan kedua tangannya pula.
“Wuuuttttt... desss...!”
Dan tubuh Niocu terjengkang seperti ditolak oleh tenaga yang sangat dahsyat dan ia merasa betapa tangan kanannya bertemu hawa dingin sekali sedangkan tangan kirinya bertemu hawa panas luar biasa.
“Ahhh... Subo, engkau tidak terluka...?”
Keng Han cepat menghampiri gurunya dan membungkuk, untuk membantunya berdiri. Akan tetapi secepat kilat tangan Niocu sudah menotok pundaknya dan seketika Keng Han tidak mampu menggerakkan kedua tanganya.
“Subo, kenapa...?” tanyanya heran.
Niocu cepat bangkit berdiri. Wajahnya agak pucat, akan tetapi pandang matanya penuh keheranan. Dalam pertandingan ilmu silat tadi, jelas bahwa dia kalah kuat dan bahwa muridnya ini memiliki ilmu silat yang hebat bukan main dan mempunyai tenaga sinkang yang berlawanan, tangan kirinya dingin dan tangan kanannya panas. Tapi, menghadapi ilmu totokannya, muridnya ini agaknya tidak berdaya.
“Keng Han, apakah gurumu Gosang Lama itu adalah seorang anggota keluarga Pulau Es?” tanyanya.
“Bukan, Subo. Akan tetapi tolong bebaskan dulu totokan ini.”
Niocu membebaskan totokannya dan Keng Han dapat bergerak kembali. “Diakah yang mengajarkanmu menggunakan tenaga tadi? Dan ilmu silatmu itu, apakah dia pula yang mengajarkannya?”
Terpaksa Keng Han berterus terang. “Sesungguhnya bukan dia yang mengajarkannya, Subo, melainkan aku belajar sendiri dari dalam sebuah goa di Pulau Hantu.”
“Pulau Hantu...?”
Keng Han lalu meceritakan tentang munculnya sebuah pulau baru di permukaan laut itu yang oleh para nelayan disebut Pulau Hantu. Diceritakannya pula penemuannya di goa, yaitu tulisan di dinding batu berikut gambar-gambar tentang ilmu silat yang dipelajarinya.
Mendengar ini Niocu kagum bukan main. “Tidak salah lagi! Pulau itu tentulah Pulau Es yang dikabarkan sudah tenggelam di lautan itu dan engkau telah mewarisi peninggalan Keluarga Pulau Es!”
“Akan tetapi pulau itu tidak ada esnya sama sekali. Bukan Pulau Es, melainkan Pulau Hantu, Niocu.”
Keng Han kadang-kadang menyebut subo (ibu guru) kepada Bi-kiam Niocu, akan tetapi kadang-kadang dia terlupa dan menyebut Niocu begitu saja. Akan tetapi agaknya wanita itu tidak keberatan disebut Niocu.
“Sudahlah, mungkin karena engkau tidak langsung dilatih orang namun hanya belajar sendiri, maka gerakanmu masih kaku sehingga engkau mudah terserang ilmu totokku. Sebetulnya engkau sudah mempunyai ilmu yang jauh lebih tinggi dari pada ilmu silatku, Keng Han. Karena itu, tidak perlu lagi engkau mempelajari ilmu menotok itu, hanya akan kuajarkan bagaimana cara untuk menghindarkan diri dari totokanku.”
Demikianlah, mulai saat itu, setiap kali berhenti mengaso, Niocu lalu mengajarkan cara menghindari ilmu totokannya sehingga Keng Han sekarang selalu dapat mengelak dan menangkis, tidak sampai tertotok. Ilmu totok itu memang memiliki gerakan yang amat aneh maka kalau tidak mempelajarinya, tentu dia akan mudah tertotok dan dibuat tidak berdaya.
Setelah mempelajari rahasianya, Keng Han bahkan dapat menggunakan sinkang-nya untuk menolak totokan-totokan itu. Tubuhnya kini menjadi kebal dari totokan itu seperti dari totokan lain.
Suatu hari, perjalanan kedua orang ini sudah sampai di daerah Propinsi Secuan sebelah utara, yaitu di Pegunungan Beng-san. Selama berbulan-bulan melakukan perjalanan bersama Keng Han, Bi-kiam Niocu nampak semakin akrab. Juga Keng Han merasa betapa gurunya itu ternyata baik sekali kepadanya dan kini tidak lagi membentak atau bersikap keras kepadanya.
Bahkan kalau dia berburu binatang dan memasaknya, wanita itu membantu dan bahkan membuatkan masakan-masakan yang lezat untuknya. Maka pemuda ini juga merasa senang sekali dan hubungannya dengan gurunya menjadi semakin akrab. Juga dia pun sudah mempelajari rahasia ilmu totok gurunya yang aneh sekali itu sehingga kini dia dapat menghindarkan diri dari serangan totokan seperti itu.
Ketika mereka sedang menuruni lereng sebuah bukit dari Pegunungan Beng-san, dari jauh mereka melihat seorang wanita berjalan cepat sekali mendaki lereng itu. Mendadak Bi-kiam Niocu mendorong punggung Keng Han sambil berkata, “Engkau jalan duluan, cepat!”
Keng Han tidak tahu persoalannya, akan tetapi dia tidak membantah dan berjalan cepat meninggalkan gurunya. Tidak lama kemudian dia berpapasan dengan seorang wanita yang aneh. Wanita itu memakai sehelai sapu tangan sutera putih menutupi mukanya dari hidung ke bawah. Akan tetapi bagian atas dari muka itu, dari hidung ke atas yang nampak saja sudah membuat Keng Han terpesona!
Hidung mancung lurus, sepasang mata yang bersinar-sinar seperti mata burung Hong dan memiliki sinar lembut, dihiasi sepasang alis mata yang kecil melengkung hitam. Anak rambut yang melingkar di dahi dan pelipis, rambut yang hitam panjang serta disanggul dan diberi pita putih, semua itu sudah cukup membuat Keng Han mengakui dalam hati bahwa dia belum pernah melihat yang seindah itu!
Tubuhnya tertutup pakaian yang serba putih dari sutera halus, dan hanya sepatunya saja yang hitam. Dari muka dan tangan yang nampak dapat diketahui bahwa gadis itu memiliki kulit yang putih mulus kemerahan.
Ketika berpapasan, Keng Han memandang dan wanita itu pun mengerling kepadanya. Kerlingan yang hanya sebentar itu tidak akan pernah dilupakan Keng Han selamanya, karena kerlingan itu demikian manisnya. Akan tetapi bukan wataknya untuk menoleh dan memandangi orang secara kurang ajar, maka dia melangkah terus, hanya sekarang langkahnya lambat sekali karena dia ingin tahu apa yang akan terjadi kalau wanita itu berpapasan dengan Bi-kiam Niocu yang berjalan di belakangnya.
Apa yang diharapkan Keng Han tercapai. Dia mendengar percakapan mereka.
“Suci...!”
“Sumoi...! Engkau dari manakah?”
“Aku baru pulang mencari rumput merah atas perintah subo. Dan engkau sendiri hendak ke mana, Suci?”
“Aku mempunyai urusan di barat. Sampaikan saja hormatku kepada subo dan setelah selesai urusanku di barat, tentu aku akan pulang.”
“Baik, akan tetapi berhati-hatilah, Suci. Aku mendengar di daerah Tibet sedang terjadi pergolakan. Ada bentrokan antara para pendeta Lama.”
“Aku akan berhati-hati, Sumoi.”
Keng Han yang mendengarkan merasa hatinya semakin tertarik. Jelas bahwa yang disebut sumoi oleh gurunya itu adalah nona berpakaian serba putih yang mukanya ditutupi sapu tangan putih itu. Suaranya! Belum pernah dia mendengar ada wanita bersuara semerdu dan selembut itu! Hanya ibunya yang dapat bersuara seperti itu, pikirnya.
Jadi nona itu adalah sumoi dari gurunya. Kenapa pakaiannya serba putih dan mengapa pula wajahnya bagian bawah ditutupi sutera putih? Wajah itu pasti cantik jelita luar biasa. Melihat hidung ke atas saja dia sudah dapat membayangkan bahwa wanita itu pasti cantik seperti bidadari!
Bulu matanya lentik dan yang tidak akan pernah dapat dilupakan adalah sinar matanya ketika mengerling kepadanya. Dia belum pernah melihat burung Hong, hanya melihat gambarnya saja. Akan tetapi seperti itulah mata burung Hong. Cemerlang indah penuh pesona dengan sinar yang tajam lembut.
Tidak lama kemudian subo-nya sudah menyusulnya. Dia melihat wajah subo-nya diliputi ketegangan.
“Subo, mengapa Subo menyuruh saya berjalan lebih dulu? Ada urusan apakah?”
“Aku baru saja bertemu dengan sumoi-ku!”
“Kenapa saya disuruh pergi dulu, dan tidak diperkenalkan kepadanya? Bukankah ia bibi guruku?”
“Tidak! Celakalah jika ia mengetahui bahwa engkau adalah muridku. Kalau subo sampai mengetahuinya, tentu aku disuruh membunuhmu sekarang juga!”
“Ehh, mengapa begitu, Niocu?”
“Murid-murid subo harus bersumpah dulu bahwa selama hidupnya tidak akan mencinta dan dicinta seorang pria. Kalau hal itu terjadi, maka dia harus membunuh pria yang mencintanya dan dicintanya itu.”
“Ahhh...!”
Keng Han berseru kaget sekali, bukan hanya kaget mendengar sumpah yang aneh itu, melainkan kaget sekali terutama karena tanpa langsung gurunya itu telah menyatakan cinta kepadanya.
“Kalau kita jalan bersama dan diketahui sumoi, dia tentu akan bertanya kepadaku siapa engkau dan ada hubungan apa di antara kita, dan itu berarti bahaya maut bagiku dan bagimu. Kalau subo mengetahui, bersembunyi di mana pun kita akan dapat ditemukan dan dibunuh.”
“Akan tetapi bibi guru tadi, mengapa ia menutupi mukanya dengan sapu tangan putih?”
“Itulah usahanya agar wajahnya tidak dapat nampak oleh pria dan agar tidak ada pria yang jatuh cinta kepadanya. Sudahlah, kita jangan lama-lama di sini. Daerah ini masih merupakan wilayah kekuasaan subo.”
Keduanya melanjutkan perjalanan secepatnya menuju ke barat. Akan tetapi sejak saat itu, bayangan wanita pakaian putih yang tertutup sebelah bawah mukanya itu sering kali muncul dalam pikiran Keng Han. Dia tidak dapat melupakan kerling itu!
Si tinggi besar muka hitam menjadi jeri. Melihat anak buahnya banyak yang tewas dan dia pun menghadapi permainan pedang yang demikian tangguh, apa lagi melihat betapa pemuda itu pun tidak dapat ditangkap anak buahnya, nyalinya sudah terbang melayang dan dia menyerang hebat untuk mencari kesempatan melarikan diri.
“Mampuslah!” bentaknya dan tongkatnya meluncur dengan cepat ke arah dada Bi-kiam Niocu.
Pada saat gadis ini mengelak ke kiri, tongkat itu menghantam dari kanan ke kiri dengan kecepatan kilat. Karena serangan itu amat berbahaya untuk ditangkis mengingat tenaga raksasa itu besar sekali, Bi-kiam Niocu melompat ke belakang dengan sigapnya. Sejak tadi kesempatan inilah yang selalu dinantikan oleh kepala gerombolan itu. Maka begitu lawannya melompat ke belakang, dia lalu membalikkan tubuhnya kemudian melarikan diri tunggang-langgang!
“Jahanam hendak lari ke mana kau?” Bi-kiam Niocu mengejar sambil sekuat tenaganya melontarkan pedangnya.
Inilah satu di antara kepandaiannya yang amat hebat. Ia dapat melontarkan pedang itu dengan cepat dan pedangnya meluncur bagaikan anak panah saja menuju sasarannya, yaitu punggung lebar kepala gerombolan itu.
“Singgggg... cappp!”
Pedang itu tepat mengenai punggung dan menembus ke dada. Kepala gerombolan itu terbelalak, mengeluh panjang lalu roboh menelungkup, tewas seketika.
Bi-kiam Niocu sudah berada di dekatnya dan mencabut pedang itu, lalu membersihkan pedang pada pakaian si raksasa muka hitam. Kemudian ia pun mulai mengamuk! Anak buah gerombolan yang sedang mengeroyok Keng Han itu diamuknya dan pedangnya merobohkan beberapa orang lagi. Melihat ketua mereka sudah tewas, sisa anak buah gerombolan cepat melarikan diri. Bi-kiam Niocu hendak mengejar, akan tetapi ditahan oleh Keng Han.
“Musuh yang sudah lari tidak perlu dikejar lagi, Niocu!” katanya.
Bi-kiam Niocu menyimpan pedangnya dan dengan puas ia memandang kepada belasan orang yang sudah menggeletak tanpa nyawa itu. “Hemmm, sayang masih ada yang mampu meloloskan diri. Seharusnya mereka itu dibasmi habis!”
“Sudahlah, Niocu. Kalau mereka semua tewas, tentu kita juga yang akan repot, harus mengubur mereka. Biarlah yang masih hidup nanti mengubur mayat kawan-kawannya. Sesungguhnya, apa yang telah terjadl Niocu?”
“Mereka bertindak curang dan berhasil menangkap aku dengan jala, lalu membawaku ke sini. Ketika tadi engkau menyerang mereka di luar goa, kepala perampok itu sempat meninggalkan aku sehingga aku pun dapat meloloskan diri lalu mengamuk. Dan engkau bagaimana engkau bisa menyusul aku ke sini?”
“Aku sudah mendapatkan binatang buruan, seekor kijang yang muda, dan ketika aku kembali ke tempat kita tadi, engkau sudah tidak ada. Aku melihat tapak-tapak kaki yang banyak sekali, lalu aku mengikuti tapak kaki itu hingga ke sini. Ketika mereka melihatku, mereka lalu mengepung dan mengeroyokku sehingga terjadi perkelahian. Mari, Niocu, kita kembali ke sana. Bukankah perutmu sudah lapar? Akan tetapi, sebaiknya kalau aku kubur dulu mayat-mayat mereka.”
“Bodoh! Buat apa mengubur mereka? Biar teman-teman mereka yang mengurus mayat mereka. Mari kita pergi!” Bi-kiam Niocu mendengus marah dan Keng Han mengikutinya. Dia pun percaya bahwa sisa anak buah gerombolan tentu akan kembali ke situ untuk mengubur teman-teman mereka yang tewas.
Mereka kemudian cepat pergi meninggalkan bukit itu dan memasuki hutan tadi. Keng Han mengambil bangkai kijang yang tadinya dia simpan di atas sebatang pohon besar dan mulai mengambil dagingnya untuk dipanggang.
Dengan sinar mata termenung Bi-kiam Niocu memandang pada Keng Han yang sedang membakar daging kijang. Dia sudah menaruh bumbu pada daging itu. Kalau melakukan perjalanan, wanita ini selalu membawa bekal bumbu, seperti garam, merica dan lain-lain untuk penyedap makanan.
Ia merasa heran sekali. Mengapa hatinya begini tertarik kepada Keng Han dan ia tidak menghendaki pemuda itu jauh darinya? Selama ini, sampai usianya telah dua puluh dua tahun, ia selalu merasa tidak suka kepada laki-laki.
Semenjak ia belajar ilmu silat dari gurunya, yaitu seorang pendeta wanita yang hidup mengasingkan diri, gurunya selalu menekankan betapa jahatnya kaum pria. Karena ini, sejak kecil sudah tumbuh semacam perasaan tidak suka kepada pria.
Apa lagi setelah ia mulai remaja ia melihat betapa mata laki-laki seperti mata elang saja menatapnya, seperti mata elang melihat anak ayam, ingin menerkam. Semakin tak suka hatinya terhadap pria, makin dewasa ia makin muak. Entah berapa banyaknya pria yang telah dibunuhnya, hanya akibat pria itu berani memandangnya terlalu lama, menegurnya secara kurang ajar atau hendak menggodanya.
Akan tetapi kini dia merasa heran sekali. Mengapa dia begini tertarik kepada Keng Han yang bahkan lebih muda darinya? Apa lagi kalau dia membayangkan ketika pemuda itu mendekapnya untuk menghalanginya melakukan pembunuhan. Dekapan yang kuat dan hangat itu seolah masih terasa! Dan jantungnya berdebar aneh.
Daging kijang panggang itu sudah matang dan mereka lalu makan daging yang lunak dan sedap itu. Bi-kiam Niocu mengeluarkan seguci arak dan mereka pun makan minum dengan lahapnya karena memang perut mereka terasa lapar. Akan tetapi diam-diam harus diakui oleh Niocu bahwa belum pernah ia makan daging panggang selezat ini!
Setelah selesai makan, Bi-kiam Niocu berkata, “Selama perjalanan kita ke Tibet, engkau harus selalu mentaati omonganku, Keng Han. Aku jauh lebih berpengalaman darimu, kalau engkau tidak mendengar omonganku, bisa-bisa engkau akan celaka.”
“Tidak, Niocu. Aku tidak akan melakukan perjalanan bersamamu. Sekarang juga aku akan memisahkan diri darimu dan aku akan melakukan perjalanan ke Tibet seorang diri saja.”
“Ehhh, kenapa begitu?”
“Karena engkau kejam sekali. Tadi kembali engkau membunuhi banyak orang dan aku merasa tidak senang sekali melihat engkau begitu kejam.”
“Engkau tidak boleh meninggalkan aku. Kalau engkau meninggalkan aku, maka dalam beberapa hari lagi engkau akan mati keracunan. Ingat, tubuhmu sudah kupukul dengan Tok-ciang, dan hanya aku yang dapat memberi obat pemunahnya.”
“Biarlah! Lebih baik mati keracunan dari pada menjadi saksi kekejamanmu.”
“Demikian besarkah perasaan bencimu kepadaku, Keng Han?” Di dalam ucapannya itu terkandung kesedihan yang mengherankan hati Niocu sendiri.
“Aku tidak membencimu, Niocu. Bila tadinya aku suka melakukan perjalanan denganmu, tadinya aku mengharap akan dapat menasehatimu agar tidak terlalu kejam. Akan tetapi engkau tetap kejam sekali, maka aku tidak tahan lagi untuk terus melakukan perjalanan denganmu. Nah sekarang aku harus meninggalkanmu, Niocu. Selamat tinggal!” Keng Han mengemasi buntalan pakaiannya sendiri dan memanggulnya, lalu melangkah pergi dari situ.
Melihat kenekatan pemuda itu, Niocu segera bangkit berdiri dan berseru. “Nanti dulu, Keng Han! Engkau akan mati dalam beberapa hari lagi. Nah, biarlah kusembuhkan dulu lukamu karena pukulanku yang beracun itu!”
Niocu menghampiri Keng Han dan menyuruhnya membuka bajunya. Ketika melihat ke arah dada kiri pemuda itu, ia terbelalak dan ternganga keheranan. Kulit dada itu putih bersih, sama sekali tidak ada tanda telapak tangan merah seperti yang seharusnya ada.
“Aihhh... aneh sekali...!” Keng Han pura-pura terkejut.
“Tanda tapak tangan merah itu telah lenyap! Ini tidak mungkin!”
“Kenapa tidak mungkin? Kenyataannya telah lenyap dan berarti aku telah sembuh. Tak perlu lagi engkau mengobatiku,” kata Keng Han sambil menutupkan kembali bajunya.
“Hemmm, kau hedak mempermainkan aku, ya! Sambutlah serangan ini!” Wanita itu lalu menyerang dengan hebatnya!
“Ehhh, apa yang kau lakukan ini?”
Keng Han melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Namun wanita itu mengejarnya dan terus menyerang kalang-kabut dengan gencar sekali. Keng Han terpaksa mainkan ilmu silat Hong-In Bun-hoat untuk menghindarkan diri. Ternyata ilmu silatnya ini hebat sekali. Dia seolah tidak bersilat, hanya menuliskan huruf-huruf di udara dan semua serangan Bi-kiam Niocu dapat dielakkan atau ditangkis!
Tentu saja wanita itu menjadi penasaran sekali. Ia mengeluarkan ilmu totokannya yang ampuh, yaitu Tok-ciang. Ilmu ini bukan hanya menotok, akan tetapi juga menampar dan kedua tangan itu lalu berubah merah!
Meski pun Keng Han mampu mengelak sampai puluhan jurus, suatu ketika dia tidak lagi bisa menghindarkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan tidak berdaya! Bi-kiam Niocu menambahkan beberapa totokan pada kedua pundak dan dadanya sehingga tubuh Keng Han benar-benar tak mampu bergerak lagi.
Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa kalau dia mengerahkan tenaga dari pusarnya, totokan itu pasti akan dapat dipunahkannya dalam waktu tidak terlalu lama. Karena itu dia hanya memandang dengan mata melotot kepada wanita itu.
“Wanita kejam! Apakah engkau juga hendak membunuhku? Lakukanlah, aku tidak takut mati!”
“Keng Han, mengapa engkau begini keras kepala? Apakah tidak ada manusia di dunia ini yang kau taati?”
“Tentu saja ada. Yang kutaati hanyalah ayah bundaku dan juga guruku. Jika orang lain, hanya yang benar yang akan kutaati, yang tidak benar tentu tidak kutaati!”
Wanita itu tersenyum. “Keng Han, aku melihat ilmu silatmu hebat sekali, tetapi buktinya engkau masih kalah olehku. Maukah engkau menjadi muridku?”
“Hemmm, untuk apa menjadi muridmu? Untuk belajar membunuh? Ilmu silatku sudah cukup untuk menjaga diri.”
“Akan tetapi engkau tidak berdaya menghadapi ilmu totokanku. Bagaimana jika engkau mempelajari ilmu menotok dariku? Ilmuku menotok itu disebut Tok-ciang Tiam-hiat-hoat. Kalau engkau memiliki ilmu ini tentu tidak mudah engkau dikalahkan orang.”
Keng Han tertarik sekali. Harus dia akui bahwa ilmu totokan dari wanita itu lihai bukan main. Dua kali sudah dia roboh karena totokan itu. Dan kalau totokan lain dapat ditolak dengan sinkangnya, ternyata totokan ini tidak. Baru setelah lama mengerahkan tenaga sinkang, dia dapat membebaskan diri. Padahal totokan lain dapat ditolak oleh kekebalan tubuhnya karena sinkang di dalam tubuhnya.
“Kalau engkau suka mengajarkan ilmu totokan itu kepadaku, tentu saja aku suka sekali mempelajarinya.” Akhirnya setelah berpikir-pikir sejenak, dia menjawab.
“Bagus, aku suka mengajarkannya untukmu. Engkau tadi telah berusaha menolongku, sudah sepatutnya kalau aku membalas budimu. Akan tetapi untuk mengajarkan ilmu itu, engkau harus mengangkatku sebagai guru. Ini peraturan perguruanku, dan aku tidak mau melanggar peraturan. Nah, kubebaskan totokan pada tubuhmu agar engkau dapat melakukan upacara pengangkatan guru.”
Secepat kilat tangan wanita itu bergerak menotok beberapa kali ke tubuh Keng Han dan segera pemuda itu merasa betapa tubuhnya dapat bergerak kembali seperti biasa. Karena dia memang ingin sekali mempelajari ilmu itu, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi-kiam Niocu dan memberi hormat sambil menyebut subo (ibu guru).
Bi-kiam Niocu tertawa terkekeh, girang bukan main. “Bangkitlah, Keng Han. Mulai saat ini, engkau adalah muridku dan aku adalah gurumu, bukan?”
“Benar, Subo. Apakah sekarang Subo akan mengajarkan Tok-ciang Tiam-hiat-hoat itu kepada teecu (murid)?”
“Tak perlu tergesa-gesa, Keng Han. Dan mulai sekarang engkau harus mentaati segala perintahku, mengerti?”
“Akan tetapi...”
“Akan tetapi apa? Ingat, aku adalah gurumu dan bukankah engkau sudah mengatakan bahwa engkau hanya taat kepada orang tua dan gurumu?”
“Ahhh...? Jadi Subo hanya menggunakan akal agar aku selalu taat...?”
“Bukan hanya itu, aku memang ingin engkau menjadi muridku, akan tetapi murid yang taat. Nah, sekarang ceritakan kepadaku tentang suhu-mu yang katanya terbunuh oleh utusan Dalai Lama. Ingat, aku akan membantumu bertemu Dalai Lama dan hanya aku yang dapat menolongmu.”
Keng Han lalu menceritakan dengan singkat tentang tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang telah membunuh Gosang Lama. Juga tentang pesan terakhir Gosang Lama agar dia membunuh Dalai Lama yang mengutus tiga orang Lama Jubah Merah itu, dan juga membunuh ketua Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar gurunya itu.
Setelah Keng Han selesai bercerita, Bi-kiam Niocu menarik napas panjang dan berkata, “Gurumu itu agaknya seorang yang benar-benar kejam. Aku membunuhi orang jahat kau katakan kejam, akan tetapi gurumu itu seperti hendak membunuh engkau sendiri! Engkau mimpi kalau dapat membunuh Dalai Lama dan ketua Bu-tong-pai. Sukarnya sama seperti naik ke langit! Aku sendiri, terus terang saja, tidak berani mencoba untuk melakukan dua hal itu, akan tetapi aku dapat membantumu bertemu dengan Dalai Lama dan juga dengan ketua Bu-tong-pai.”
Keng Han merasa girang sekali. “Bantuan itu saja sudah cukup bagi teecu, Subo. Kalau sudah bertemu dengan mereka, aku akan menuntut mereka dan juga minta keterangan mengapa mereka memusuhi suhu Gosang Lama. Selanjutnya biarlah aku sendiri yang akan menghadapi mereka.”
Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Sekarang Keng Han merasa lebih senang karena ternyata gurunya yang baru ini mengenal jalan ke Tibet sehingga tidak perlu bertanya-tanya lagi seperti ketika dia melakukan perjalanan seorang diri. Dia percaya bahwa gurunya ini, walau pun masih muda, namun berilmu tinggi dan sudah memiliki banyak pengalaman.
Ingin dia menanyakan riwayat subo-nya yang tentu menarik. Apakah subo-nya sudah memiliki suami? Ataukah masih memiliki keluarga lain, dan kalau ada di mana tempat tinggalnya? Akan tetapi, dia khawatir kalau dibentak karena subo-nya kadang bersikap galak kepadanya, maka sampai lama dia tidak pernah mengajukan pertanyaan ini….
Malam itu gelap sekali, Keng Han dan Bi-kiam Niocu terpaksa melewatkan malam di sebuah goa. Menurut Niocu, dusun yang terdekat dari situ masih lima puluh li lebih sehingga mereka akan kemalaman di tengah jalan kalau melanjutkan perjalanan. Lebih baik melewatkan malam di goa itu, agak terlindung dari angin dan hawa dingin.
Keng Han mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun di depan goa. Dia pun mencari rumput kering untuk alas lantai goa sehingga gurunya akan dapat mengaso. Akan tetapi Niocu duduk saja di dekat api unggun dan termenung mengamati api yang bernyala. Keng Han duduk di depannya, terhalang api unggun.
“Keng Han, ke sinilah. Duduk di dekatku sini, aku ingin bercakap-cakap denganmu.”
Keng Han pindah duduk di sebelah gurunya, tapi diam saja. Setelah agak lama mereka berdiam diri, Niocu menghela napas panjang dan berkata, “Keng Han, apakah engkau berbahagia?”
Pemuda itu terheran mendengar pertanyaan ini. “Bahagia? Apakah artinya bahagia itu, Subo? Kita sudah makan tadi, perutku kenyang, badan yang letih kini dapat beristirahat di dekat api unggun yang hangat sehingga tubuh ini terasa enak. Hatiku juga merasa senang karena kita tidak mendapat gangguan. Ya, boleh jadi aku berbahagia saat ini, Subo.”
“Aih, betapa rinduku akan kebahagiaan. Aku tidak pernah merasa berbahagia. Senang, memang. Akan tetapi itu lain. lagi. Senang hanya sebentar saja lewat dan berlalu. Aku ingin bahagia! Ahh, betapa aku ingin sekali bahagia, akan tetapi bagaimana caranya? Di manakah kebahagiaan itu? Aih, aku ingin mencarinya, Keng Han. Apakah engkau dapat membantuku?”
“Bagaimana cara membantumu, Subo? Aku sendiri merasa berbahagia, lalu bagaimana aku dapat menularkan kebahagiaan ini padamu? Kebahagiaan adalah suatu perasaan, suatu keadaan hati, dan hati orang tidaklah sama. Aku sendiri saat ini merasa senang, tiada apa pun yang menggangguku, maka aku tidak butuh bahagia itu! Barangkali Subo merasa tidak berbahagia, bagaimana bisa mencari kebahagiaan? Hilangkanlah ketidak bahagiaan itu, Subo!”
“Aku merasa kesepian, merasa tidak bahagia, bagaimana dapat menghilangkan ketidak bahagiaan ini?”
“Ahh, aku juga tidak tahu, Subo.” Keduanya melamun sambil memandang ke dalam api yang bernyala di depan mereka.
Setiap orang mendambakan kebahagiaan, bahkan ada yang mencari kebahagiaan itu dengan cara apa pun, ada yang menyiksa diri, ada yang bertapa dan sebagainya lagi. Ada pula yang mengejarnya dengan cara belajar ilmu ini dan itu, seolah kebahagiaan itu adalah sesuatu yang bisa dicari dan didapatkan.
Orang yang mendambakan kebahagiaan sudah pasti adalah orang yang tidak bahagia. Tidak bahagia adalah suatu perasaan yang muncul apa bila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hati. Dalam keadaan yang tidak bahagia ini, bagaimana mungkin orang mencari dan mendapatkan kebahagiaan? Orang yang sedang berjalan-jalan di daerah pegunungan, kemudian melihat matahari tenggelam amat indahnya dan pikirannya tidak melayang-layang tak karuan, sudah tentu dia akan mengalami kebahagiaan itu. Kalau sudah begitu, tentu dia tidak perlu lagi mencari kebahagiaan!
Dari pada mencari-cari kebahagiaan, bukankah lebih tepat kalau mempelajari mengapa dia tidak bahagia, apa yang menyebabkan dia tidak berbahagia. Kalau yang menjadi penyebab ketidak-bahagiaan itu sudah tidak ada lagi, apakah dia masih membutuhkan kebahagiaan? Tidak lagi, karena dia sudah berbahagia!
Jadi, kebahagiaan itu sesungguhnya tak pernah meninggalkan kita, seperti Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kita dengan kasih sayangNya. Kitalah yang sering meninggalkan kebahagiaan, kitalah yang meninggalkan Tuhan!
Kita meninggalkan kebahagiaan melalui akal pikiran yang bergelimang nafsu sehingga kita tak pernah merasa puas dengan keadaan. Kita penuh harap, penuh kecewa, penuh iri, penuh amarah, penuh kebencian. Semua itu membuat kebahagiaan tidak nampak lagi dan membuat kita merasa tidak berbahagia!
Seperti halnya kesehatan. Kita sudah sehat setiap saat, akan tetapi kita tidak dapat merasakan itu, tidak dapat menikmati itu. Kalau kita sakit saja barulah kita dapat membayangkan betapa akan nikmatnya kalau kita sembuh dan sehat!
Kebahagiaan sudah ada setiap saat. Kalau ada gangguan sehingga kebahagiaan tidak terasa, itu adalah kesalahan kita sendiri. Karena itu, setiap saat kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih.
Kalau menghadapi mala petaka, di samping berusaha sekuatnya untuk menghindarkan diri, juga kita harus menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang berkuasa mengatur segalanya. Juga mengatur kehidupan kita. Makin kita mendekatkan diri kepada Tuhan, makin kuat iman kita kepada Tuhan, makin dekat pula kebahagiaan dengan kita, makin dapat terasakan.
“Keng Han, di manakah orang tuamu?”
Ditanya tentang orang tuanya, Keng Han terkejut. Dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia putera pangeran mahkota dari kerajaan Ceng.
“Aku hanya tinggal memiliki seorang ibu, Subo. Ayah sudah meninggalkan ibu sebelum teecu lahir.”
“Ahhh, keparat!” Dan tiba-tiba tangan wanita itu sudah bergerak cepat dan menotoknya pula sehingga Keng Han menjadi lumpuh seketika.
“Subo mengapa... mengapa Subo berbuat begini?”
“Jahanam, sama saja. Semua laki-laki memang keparat. Benar kata-kata subo. Karena itu aku benci kepada laki-laki. Ayahmu meninggalkan ibumu ketika ibumu sedang hamil. Hemmm, dan engkau ini sebagai puteranya tentu sama saja, sama jahatnya!”
“Aku... aku… selama hidupku belum pernah melihat ayah kandungku, Subo. Aku juga sudah bersumpah hendak mencari ayah, dan kalau dia tidak mempunyai alasan kuat meninggalkan dan menyia-nyiakan ibuku, aku akan menghajarnya!”
“Bagus! Kalau begitu engkau tidak sama dengan ayahmu!” Kini Niocu kembali menotok Keng Han sehingga terbebas dari totokan. Keng Han mengelus-elus pundaknya yang tadi ditotok dan meringis karena pundaknya terasa agak nyeri.
“Kenapa Subo begitu kejam, dengan mudah saja menotokku tanpa sebab?”
“Aku paling benci kalau mendengar ulah laki-laki yang mempermainkan wanita. Karena ayahmu berlaku keji terhadap ibumu, maka aku menjadi marah dan karena engkau puteranya, aku menjadi marah kepadamu. Akan tetapi sekarang tidak lagi karena engkau menyatakan tidak setuju dengan tingkah laku ayahmu itu.”
“Subo sudah mengetahui banyak tentang diriku, akan tetapi sebaliknya aku tidak tahu apa-apa tentang Subo. Bagaimana kalau kelak orang bertanya tentang guruku, apakah harus kujawab bahwa aku tidak mengenal guruku sendiri?”
Bi-kiam Niocu menghela napas panjang.
“Riwayatku tak menarik. Aku yatim piatu. Yang terdekat denganku hanya seorang guru dan seorang adik seperguruan. Guruku pembenci pria dan entah sudah berapa banyak pria yang telah dibunuhnya. Ia mengajarkan kami untuk membenci pria pula, terutama pria-pria mata keranjang dan pria yang suka mempermainkan wanita. Engkau masih beruntung bertemu dengan aku. Kalau engkau bertemu dengan guruku atau sumoi-ku, tentu kepalamu sudah dipenggal!”
Keng Han bergidik. Nona ini saja sudah begitu kejam terhadap pria, apa lagi sumoi-nya dan subo-nya itu. Hemmm, mengerikan!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Keng Han sudah terbangun dari tidurnya. Ketika bangun, dia melihat Bi-kiam Niocu sudah berdiri di depan goa dan melihat jauh ke depan, ke arah bawah karena goa itu terletak di lereng bukit. Tiba-tiba ia membalik dan dengan kakinya ia memadamkan api unggun, bahkan mencerai-beraikan kayu-kayu bakar sehingga tidak ada yang membara lagi dan tidak mengeluarkan asap. Kemudian ia berkata kepada Keng Han, sikapnya seperti orang ketakutan.
“Keng Han, cepat kemasi barang-barangmu. Kita pergi dari sini!”
“Kenapa, Subo?”
“Tidak usah bertanya, cepat lakukan perintahku!” kata wanita itu bengis.
Keng Han cepat mengemasi buntalannya. Tak lama kemudian keduanya telah menuruni bukit itu. Ketika tiba di kaki bukit, tiba-tiba wanita itu menarik tangan Keng Han, diajak bersembunyi di balik semak belukar.
Keng Han menurut saja dan ikut mengintai dari balik semak. Dari jauh dia melihat ada seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang sedang berjalan terpincang-pincang menggunakan sebatang tongkat. Sungguh aneh sekali. Gurunya yang sedemikian lihai nampak ketakutan bertemu dengan seorang tua yang timpang kakinya! Akan tetapi dia tidak berani bertanya.
“Jangan bergerak dan jangan bersuara,” bisikan halus itu terdengar dekat sekali dengan telinganya. Dan Keng Han mencium bau harum rambut gurunya.
Keng Han semakin heran dan mengintai terus. Setelah tiba tak jauh dari semak belukar itu, si timpang itu lantas berhenti melangkah dan kepalanya dimiringkan seolah-olah dia sedang menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mendengarkan sesuatu. Keng Han tidak berani bergerak, bahkan menahan napas.
“Kalian tidak lekas keluar menghadap aku, masih tunggu apa lagi?”
Keng Han kaget setengah mati. Kiranya si timpang itu dapat pula mengetahui kehadiran mereka di situ! Akan tetapi, ketika dia hendak bergerak, ada sebuah tangan menahan pundaknya sehingga dia tetap tidak bergerak. Tetapi dia siap siaga kalau-kalau diserang oleh kakek timpang itu.
Tiba-tiba dari balik semak-semak di seberang bermunculan tiga orang yang segera keluar dan menjatuhkan diri berlutut di depan si kakek timpang.
“Pangcu, mohon maaf sebesar-besarnya!” kata mereka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tidak perlu cerewet. Cepat katakan apakah kalian sudah berhasil merampas kuda itu?”
“Ampunkan kami, Pangcu. Penunggang kuda itu ternyata lihai sekali dan kami bahkan menerima hajaran darinya. Kami tidak berhasil merampas kuda itu, bahkan nyaris tewas kalau kami tidak melarikan diri.”
Kakek timpang itu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong marah. “Kalian orang-orang yang tidak berguna! Cabut pedang kalian!”
Tiga orang itu tidak berani membantah dan segera mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka.
“Cepat buntungi telinga kiri kalian sebagai hukuman!”
Kini tiga orang itu diam saja, agaknya merasa ngeri harus membuntungi daun telinganya sendiri. Melihat ini, Keng Han yang masih mengintai merasa penasaran sekali. Alangkah kejamnya pangcu itu!
Dia membuat sedikit gerakan, akan tetapi tangan Niocu cepat menekannya agar dia tidak bergerak. Kenapa gurunya begitu takut terhadap kakek timpang yang kejam itu?
“Kau tidak cepat-cepat melaksanakan perintahku? Baik, akulah yang akan menghukum kalian!” Gerakannya demikian cepat dan begitu dia menggerakkan tangan, tahu-tahu dia telah merampas sebatang pedang dari tangan anggota yang terdekat dan nampak sinar pedang berkelebat tiga kali.
“Sing-sing-sing...! Crat-crat-crattt...!”
Nampak darah muncrat dan tahu-tahu ketiga orang itu sudah kehilangan telinga kirinya! Kakek timpang itu membuang pedang rampasannya, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan kecil.
“Pergunakan bubuk obat ini supaya darahnya berhenti mengalir dan cepat sembuh. Hati-hati, kalau lain kali kalian gagal melaksanakan perintahku, bukan hanya telingamu yang kubuntungi, melainkan leher kalian! Hayo cepat pergi!”
Tiga orang itu menghaturkan terima kasih. Setelah menerima obat itu, mereka lalu pergi dengan cepat, menahan rasa nyeri pada telinga kiri yang daunnya telah buntung itu.
Kini Keng Han tak lagi dapat menahan kesabaran hatinya. Tanpa mempedulikan tangan gurunya yang mencoba untuk menahannya, ia telah meloncat keluar menghadapi kakek itu sambil membusungkan dadanya.
“Orang tua, engkau sungguh kejam bukan main! Baru terhadap anak buah sendiri yang gagal melaksanakan tugas, engkau bersikap begitu kejam membuntungi daun telinga kiri mereka. Apa lagi terhadap orang lain!”
Kakek timpang ini adalah Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa) Lo Cit, seorang di antara para datuk persilatan yang terkenal kehebatan ilmu silatnya. Dan kini, ada seorang pemuda berani menegurnya seperti seorang tua menegur seorang anak nakal saja!
Demikian heran kakek itu sampai dia tidak mampu menbeluarkan kata-kata, hanya terus memandang dengan bengong kepada Keng Han. Akhirnya, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak sedang mimpi, dia membentak dengan bengis, “Bocah setan, apakah engkau sudah bosan hidup?”
Bi-kiam Niocu terkejut setengah mati melihat ulah Keng Han. Ia merasa jeri melihat kakek timpang ini. Pada waktu tadi ia melihat seorang pria timpang berjalan dengan tongkatnya, ia segera mengenal siapa dia dan ia merasa jeri. Lebih baik tidak bertemu dengan datuk ini, pikirnya. Bagaimana ia tidak akan merasa jeri? Gurunya sendiri, Ang Hwa Nio-nio, pernah bertanding melawan datuk timpang ini dan berakhir seri, tidak ada yang menang!
Kini melihat Keng Han melompat keluar dan menegur kakek itu, hatinya tentu saja khawatir bukan main. Di luar kesadarannya sendiri Bi-kiam Niocu merasa amat sayang kepada Keng Han dan khawatir kalau pemuda itu celaka. Maka ia melupakan rasa takutnya sendiri dan meloncat pula keluar dari balik semak-semak. Ia cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata dengan nada menghormat.
“Harap Lo-pangcu sudi memberi maaf kepada muridku yang kurang sopan ini. Karena dia tak mengenal Locianpwe, maka telah bersikap kurang hormat. Dengan memandang mukaku, dan muka guruku, harap Lo-pangcu sudi memaafkan.”
Kakek itu menoleh kepada Niocu dan memandang tajam penuh perhatian. “Hemmm, ini muridmu? Dan siapa gurumu?”
“Guru saya adalah Ang Hwa Nio-nio!”
Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali memandang kepada Keng Han. “Hemmm, jadi anak setan ini adalah cucu murid Ang Hwa Nio-nio? Nenek gurunya saja tak mampu mengalahkan aku, sekarang cucu muridnya malah berani menegur aku. Dia harus dapat menahan sepuluh jurus pukulanku, baru aku dapat memaafkan dia!”
Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa kakek itu lihai bukan main. Bukan saja terkenal sebagai ahli pedang sehingga dia disebut Dewa Pedang dan pedang itu disembunyikan dalam tongkatnya itu, akan tetapi juga dia ahli menggunakan ilmu pukulan yang disebut Pukulan Halilintar yang ampuhnya menggila! Mana mungkin Keng Han dapat bertahan sampai sepuluh jurus? Lima jurus saja sudah cukup untuk membunuh Keng Han. Ia sendiri belum tentu dapat bertahan sampai sepuluh jurus.
“Saya hanya bisa memohonkan ampun bagi nyawa murid saya. Harap Lo-pangcu tidak membunuhnya karena kalau Pangcu melakukan itu, tentu akan membuat kami semua, juga guru saya, merasa tidak enak sekali.”
“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku tidak perlu membunuhnya, cukup membuat tangan dan kakinya lumpuh untuk selamanya agar dia tidak berani lagi bersikap kurang ajar!”
Sementara itu, Keng Han sudah berkata, “Subo, jangan minta-minta seperti itu. Kakek ini memang kejam bukan main.”
“Keng Han, cepat minta ampun kepada Lo-pangcu!” kata Niocu.
“Tidak, dia yang harus minta ampun kepada Tuhan atas dosanya! Aku akan menerima tantangannya dan menghadapinya sampai sepuluh jurus. Harap Subo tidak khawatir. Aku mampu menjaga diri!”
“Bagus, bocah sombong. Nah, terimalah jurus pertama ini!” Kakek timpang itu berseru dan tangan kirinya sudah menyambar dengan hebat sekali ke arah kepala Keng Han.
Memang bukan main cepatnya serangan itu, sungguh cepat dan kuat sekali sehingga mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat. Akan tetapi Keng Han telah bergerak cepat dan berhasil mengelak dari jurus pertama itu. Dia mengelak dengan gerakan dari Hong-in Bun-hoat.
Melihat serangan pertamanya gagal, kakek timpang itu menjadi penasaran sekali dan kini dia memukul lagi dengan tenaga sepenuhnya. Terdengar angin berdesir dan debu mengepul ketika kakek itu memukul dengan tangan kirinya lagi ke arah dada.
Keng Han mengubah gerakan silatnya dan sekarang dia memakai ilmu silat Toat-beng Bian-kun, ilmu silat yang dipelajarinya dari Pulau Hantu. Ilmu silat ini bersifat lemas, namun di balik kelemasan itu terkandung tenaga dahsyat sekali sehingga ketika dia menangkis, pukulan kakek itu seperti masuk ke dalam air saja. Kakek itu terkejut bukan main dan dia segera mengamuk, mengirim pukulan beruntun dengan hebatnya.
Sementara itu, Bi-kiam Niocu hanya menonton dengan hati tidak karuan rasanya. Dia yakin bahwa muridnya yang tersayang itu akan terpukul mati atau setidaknya akan lumpuh seperti ancaman kakek itu dan ia tidak berani turun tangan membantu. Akan tetapi segera ia memandang dengan terheran-heran. Muridnya itu bukan saja mampu menghindarkan diri, bahkan berani menangkis pukulan datuk itu.
Karena merasa penasaran bukan main, setelah lewat sembilan jurus dia belum mampu mengalahkan bocah itu, Toat-beng Kiam-sian lalu merendahkan tubuh dan menyalurkan tenaga sinkang ke dalam kedua tangannya, kemudian ia memukul ke depan seperti mendorong. Inilah Pukulan Halilintar yang telah mengalahkan banyak sekali ahli silat di dunia kang-ouw. Niocu memandang dengan muka pucat sekali karena kali ini muridnya pasti celaka.
Melihat pukulan yang luar biasa kuatnya itu, yang mendatangkan angin seolah timbul badai, Keng Han juga merendahkan tubuhnya dan dia menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya pula. Diam-diam dia mengerahkan dua hawa sakti yang berlawanan dalam tubuhnya dan dua macam tenaga sakti meluncur melalui kedua tangannya, yang kanan mengandung hawa panas dan yang kiri mengandung hawa dingin!
“Wuuuuuttttt... desssss...!!”
Dua tenaga yang sangat hebat bertumbukan di udara dan akibatnya, tubuh kakek itu terpental ke belakang sampai dia terhuyung beberapa langkah, sedangkan tubuh Keng Han hanya bergoyang-goyang saja!
Niocu terbelalak, hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Juga kakek timpang itu terkejut setengah mati. Tidak disangkanya bahwa pemuda itu bukan saja mampu menahan Pukulan Halilintarnya, bahkan dapat mengatasinya dan membuatnya terhuyung! Dia lalu mengangkat tongkatnya yang menyembunyikan pedang dan hendak menyerang lagi menggunakan pedangnya.
Akan tetapi Niocu cepat meloncat ke depan dan berkata, “Lo-pangcu telah menyerang sebanyak sepuluh jurus dan sudah mengalah, memberi pelajaran kepada murid saya. Saya sebagai gurunya menghaturkan terima kasih atas kebaikan ini!”
Wajah Toat-beng Kiam-sian berubah merah. Akan tetapi dia juga meragu dan agak jeri. Kalau muridnya sudah demikian hebatnya, apa lagi gurunya! Agaknya murid Ang Hwa Nio-nio ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Juga dia teringat akan janjinya tadi bahwa dia akan mengampuni pemuda itu kalau mampu menahan sepuluh jurus serangannya.
Maka sambil mendengus marah dia membalikkan tubuhnya. Sekali melompat dia sudah hilang di balik semak belukar. Gerakannya demikian cepat sehingga mengagumkan hati Keng Han. Setelah bertemu dengan Niocu, baru dia tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang amat lihai, akan tetapi juga amat kejam.
Niocu menghampiri Keng Han dan meraba-raba pundaknya. “Engkau tidak apa-apa?”
“Tidak, Subo. Kenapa Subo melerai? Biarlah dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, teecu tidak takut!” kata Keng Han penasaran.
“Sudahlah, Keng Han. Engkau dapat keluar dengan selamat saja sudah merupakan keajaiban. Keng Han, sebetulnya engkau mempunyai ilmu apakah? Bagaimana engkau dapat menahan ilmu Pukulan Halilintar tadi?”
Keng Han tersenyum. “Aku adalah murid Subo, kenapa Subo bertanya? Semua ilmuku tentu kudapatkan dari guruku, bukan?” Dia mengejek.
Niocu terbelalak, sedangkan wajahnya berubah merah. Memang selama ini dia belum mengajarkan apa-apa, juga ilmu totok itu belum ia ajarkan.
“Marilah aku mengajarkannya kepadamu. Akan tetapi engkau harus sungguh-sungguh melawanku, seperti kau melawan kakek tadi!”
“Baik, Subo,” kata Keng Han dengan girang.
Dia memang ingin mempelajari ilmu totokan yang disebut Tok-ciang itu, meski bukan itu benar yang membuat dia betah melakukan perjalanan bersama gurunya ini. Entah bagaimana, dia pun suka sekali kepada Niocu dan tidak ingin berpisah darinya, ingin agar di temani ke Tibet. Bukan hanya pribadi Niocu yang menyenangkan hatinya, akan tetapi juga pengalamannya akan sangat berguna baginya dalam perjalanan menemui Dalai Lama itu.
Keng Han telah melepaskan bungkusan pakaian dari pundaknya, dan siap menghadapi serangan gurunya. Niocu juga melepaskan buntalan pakaiannya dan pedangnya, lalu ia memasang kuda-kuda.
“Lihat seranganku!” katanya tiba-tiba.
Bi-kiam Niocu pun menyerang dengan cepat. Serangannya cepat dan kuat dan ia telah menggunakan Tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Keng Han tidak berpura-pura lagi. Dia pun menyambutnya dengan Toat-beng Bian-kun.
Dan sekali ini benar-benar Niocu dibuat terheran-heran. Ilmu silat muridnya itu demikian aneh dan asing gerakannya, akan tetapi semua pukulannya meleset dan tidak pernah mengenai sasaran.
Lalu dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan menyerang dengan hebatnya, menggunakan dua telapak tangannya. Keng Han menyambut dengan kedua tangannya pula.
“Wuuuttttt... desss...!”
Dan tubuh Niocu terjengkang seperti ditolak oleh tenaga yang sangat dahsyat dan ia merasa betapa tangan kanannya bertemu hawa dingin sekali sedangkan tangan kirinya bertemu hawa panas luar biasa.
“Ahhh... Subo, engkau tidak terluka...?”
Keng Han cepat menghampiri gurunya dan membungkuk, untuk membantunya berdiri. Akan tetapi secepat kilat tangan Niocu sudah menotok pundaknya dan seketika Keng Han tidak mampu menggerakkan kedua tanganya.
“Subo, kenapa...?” tanyanya heran.
Niocu cepat bangkit berdiri. Wajahnya agak pucat, akan tetapi pandang matanya penuh keheranan. Dalam pertandingan ilmu silat tadi, jelas bahwa dia kalah kuat dan bahwa muridnya ini memiliki ilmu silat yang hebat bukan main dan mempunyai tenaga sinkang yang berlawanan, tangan kirinya dingin dan tangan kanannya panas. Tapi, menghadapi ilmu totokannya, muridnya ini agaknya tidak berdaya.
“Keng Han, apakah gurumu Gosang Lama itu adalah seorang anggota keluarga Pulau Es?” tanyanya.
“Bukan, Subo. Akan tetapi tolong bebaskan dulu totokan ini.”
Niocu membebaskan totokannya dan Keng Han dapat bergerak kembali. “Diakah yang mengajarkanmu menggunakan tenaga tadi? Dan ilmu silatmu itu, apakah dia pula yang mengajarkannya?”
Terpaksa Keng Han berterus terang. “Sesungguhnya bukan dia yang mengajarkannya, Subo, melainkan aku belajar sendiri dari dalam sebuah goa di Pulau Hantu.”
“Pulau Hantu...?”
Keng Han lalu meceritakan tentang munculnya sebuah pulau baru di permukaan laut itu yang oleh para nelayan disebut Pulau Hantu. Diceritakannya pula penemuannya di goa, yaitu tulisan di dinding batu berikut gambar-gambar tentang ilmu silat yang dipelajarinya.
Mendengar ini Niocu kagum bukan main. “Tidak salah lagi! Pulau itu tentulah Pulau Es yang dikabarkan sudah tenggelam di lautan itu dan engkau telah mewarisi peninggalan Keluarga Pulau Es!”
“Akan tetapi pulau itu tidak ada esnya sama sekali. Bukan Pulau Es, melainkan Pulau Hantu, Niocu.”
Keng Han kadang-kadang menyebut subo (ibu guru) kepada Bi-kiam Niocu, akan tetapi kadang-kadang dia terlupa dan menyebut Niocu begitu saja. Akan tetapi agaknya wanita itu tidak keberatan disebut Niocu.
“Sudahlah, mungkin karena engkau tidak langsung dilatih orang namun hanya belajar sendiri, maka gerakanmu masih kaku sehingga engkau mudah terserang ilmu totokku. Sebetulnya engkau sudah mempunyai ilmu yang jauh lebih tinggi dari pada ilmu silatku, Keng Han. Karena itu, tidak perlu lagi engkau mempelajari ilmu menotok itu, hanya akan kuajarkan bagaimana cara untuk menghindarkan diri dari totokanku.”
Demikianlah, mulai saat itu, setiap kali berhenti mengaso, Niocu lalu mengajarkan cara menghindari ilmu totokannya sehingga Keng Han sekarang selalu dapat mengelak dan menangkis, tidak sampai tertotok. Ilmu totok itu memang memiliki gerakan yang amat aneh maka kalau tidak mempelajarinya, tentu dia akan mudah tertotok dan dibuat tidak berdaya.
Setelah mempelajari rahasianya, Keng Han bahkan dapat menggunakan sinkang-nya untuk menolak totokan-totokan itu. Tubuhnya kini menjadi kebal dari totokan itu seperti dari totokan lain.
Suatu hari, perjalanan kedua orang ini sudah sampai di daerah Propinsi Secuan sebelah utara, yaitu di Pegunungan Beng-san. Selama berbulan-bulan melakukan perjalanan bersama Keng Han, Bi-kiam Niocu nampak semakin akrab. Juga Keng Han merasa betapa gurunya itu ternyata baik sekali kepadanya dan kini tidak lagi membentak atau bersikap keras kepadanya.
Bahkan kalau dia berburu binatang dan memasaknya, wanita itu membantu dan bahkan membuatkan masakan-masakan yang lezat untuknya. Maka pemuda ini juga merasa senang sekali dan hubungannya dengan gurunya menjadi semakin akrab. Juga dia pun sudah mempelajari rahasia ilmu totok gurunya yang aneh sekali itu sehingga kini dia dapat menghindarkan diri dari serangan totokan seperti itu.
Ketika mereka sedang menuruni lereng sebuah bukit dari Pegunungan Beng-san, dari jauh mereka melihat seorang wanita berjalan cepat sekali mendaki lereng itu. Mendadak Bi-kiam Niocu mendorong punggung Keng Han sambil berkata, “Engkau jalan duluan, cepat!”
Keng Han tidak tahu persoalannya, akan tetapi dia tidak membantah dan berjalan cepat meninggalkan gurunya. Tidak lama kemudian dia berpapasan dengan seorang wanita yang aneh. Wanita itu memakai sehelai sapu tangan sutera putih menutupi mukanya dari hidung ke bawah. Akan tetapi bagian atas dari muka itu, dari hidung ke atas yang nampak saja sudah membuat Keng Han terpesona!
Hidung mancung lurus, sepasang mata yang bersinar-sinar seperti mata burung Hong dan memiliki sinar lembut, dihiasi sepasang alis mata yang kecil melengkung hitam. Anak rambut yang melingkar di dahi dan pelipis, rambut yang hitam panjang serta disanggul dan diberi pita putih, semua itu sudah cukup membuat Keng Han mengakui dalam hati bahwa dia belum pernah melihat yang seindah itu!
Tubuhnya tertutup pakaian yang serba putih dari sutera halus, dan hanya sepatunya saja yang hitam. Dari muka dan tangan yang nampak dapat diketahui bahwa gadis itu memiliki kulit yang putih mulus kemerahan.
Ketika berpapasan, Keng Han memandang dan wanita itu pun mengerling kepadanya. Kerlingan yang hanya sebentar itu tidak akan pernah dilupakan Keng Han selamanya, karena kerlingan itu demikian manisnya. Akan tetapi bukan wataknya untuk menoleh dan memandangi orang secara kurang ajar, maka dia melangkah terus, hanya sekarang langkahnya lambat sekali karena dia ingin tahu apa yang akan terjadi kalau wanita itu berpapasan dengan Bi-kiam Niocu yang berjalan di belakangnya.
Apa yang diharapkan Keng Han tercapai. Dia mendengar percakapan mereka.
“Suci...!”
“Sumoi...! Engkau dari manakah?”
“Aku baru pulang mencari rumput merah atas perintah subo. Dan engkau sendiri hendak ke mana, Suci?”
“Aku mempunyai urusan di barat. Sampaikan saja hormatku kepada subo dan setelah selesai urusanku di barat, tentu aku akan pulang.”
“Baik, akan tetapi berhati-hatilah, Suci. Aku mendengar di daerah Tibet sedang terjadi pergolakan. Ada bentrokan antara para pendeta Lama.”
“Aku akan berhati-hati, Sumoi.”
Keng Han yang mendengarkan merasa hatinya semakin tertarik. Jelas bahwa yang disebut sumoi oleh gurunya itu adalah nona berpakaian serba putih yang mukanya ditutupi sapu tangan putih itu. Suaranya! Belum pernah dia mendengar ada wanita bersuara semerdu dan selembut itu! Hanya ibunya yang dapat bersuara seperti itu, pikirnya.
Jadi nona itu adalah sumoi dari gurunya. Kenapa pakaiannya serba putih dan mengapa pula wajahnya bagian bawah ditutupi sutera putih? Wajah itu pasti cantik jelita luar biasa. Melihat hidung ke atas saja dia sudah dapat membayangkan bahwa wanita itu pasti cantik seperti bidadari!
Bulu matanya lentik dan yang tidak akan pernah dapat dilupakan adalah sinar matanya ketika mengerling kepadanya. Dia belum pernah melihat burung Hong, hanya melihat gambarnya saja. Akan tetapi seperti itulah mata burung Hong. Cemerlang indah penuh pesona dengan sinar yang tajam lembut.
Tidak lama kemudian subo-nya sudah menyusulnya. Dia melihat wajah subo-nya diliputi ketegangan.
“Subo, mengapa Subo menyuruh saya berjalan lebih dulu? Ada urusan apakah?”
“Aku baru saja bertemu dengan sumoi-ku!”
“Kenapa saya disuruh pergi dulu, dan tidak diperkenalkan kepadanya? Bukankah ia bibi guruku?”
“Tidak! Celakalah jika ia mengetahui bahwa engkau adalah muridku. Kalau subo sampai mengetahuinya, tentu aku disuruh membunuhmu sekarang juga!”
“Ehh, mengapa begitu, Niocu?”
“Murid-murid subo harus bersumpah dulu bahwa selama hidupnya tidak akan mencinta dan dicinta seorang pria. Kalau hal itu terjadi, maka dia harus membunuh pria yang mencintanya dan dicintanya itu.”
“Ahhh...!”
Keng Han berseru kaget sekali, bukan hanya kaget mendengar sumpah yang aneh itu, melainkan kaget sekali terutama karena tanpa langsung gurunya itu telah menyatakan cinta kepadanya.
“Kalau kita jalan bersama dan diketahui sumoi, dia tentu akan bertanya kepadaku siapa engkau dan ada hubungan apa di antara kita, dan itu berarti bahaya maut bagiku dan bagimu. Kalau subo mengetahui, bersembunyi di mana pun kita akan dapat ditemukan dan dibunuh.”
“Akan tetapi bibi guru tadi, mengapa ia menutupi mukanya dengan sapu tangan putih?”
“Itulah usahanya agar wajahnya tidak dapat nampak oleh pria dan agar tidak ada pria yang jatuh cinta kepadanya. Sudahlah, kita jangan lama-lama di sini. Daerah ini masih merupakan wilayah kekuasaan subo.”
Keduanya melanjutkan perjalanan secepatnya menuju ke barat. Akan tetapi sejak saat itu, bayangan wanita pakaian putih yang tertutup sebelah bawah mukanya itu sering kali muncul dalam pikiran Keng Han. Dia tidak dapat melupakan kerling itu!