Pusaka Pulau Es Bagian 09

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 09

Keng Han berjalan dengan wajah muram. Dia tengah teringat kepada Kwi Hong. Harus diakuinya bahwa dia tertarik sekali pada Kwi Hong yang bersikap amat baik kepadanya. Hampir dia menduga bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis itu. Tetapi kenyataannya membuat dia muram dan berduka. Kwi Hong adalah Tao Kwi Hong, masih saudara sepupunya! Mereka bermarga Tao yang sama, maka sudah tentu tidak mungkin mereka saling jatuh cinta dan berjodoh. Makin dikenang semakin sedih hatinya.

Selagi dia berjalan perlahan-lahan, tidak peduli ke mana dia pergi asal ke timur, tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki orang. Cepat dia menyelinap dan bersembunyi ke balik semak belukar. Tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek berjalan dengan langkah panjang. Salah seorang di antara mereka segera dikenalnya sebagai kakek yang dahulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Kakek raksasa berambut putih itu tidak akan pernah dilupakan.

Ada pun kakek kedua adalah seorang berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, tangan kanan memegang sebatang dayung baja dan lengan kirinya memanggul tubuh seorang wanita yang pakaiannya serba putih dan mukanya tertutup topeng sutera putih pula. Jantung Keng Han berdebar tegang! Itulah gadis berpakaian putih yang menjadi sumoi dari Bi-kiam Niocu! Jelas bahwa gadis itu telah tertotok. Tubuhnya amat lemas ketika dipanggul oleh kakek tinggi kurus itu.

Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu memang benar adalah Swat-hai Lo-kwi, kakek yang dahulu bertemu dengan Keng Han di Pulau Hantu. Ada pun kakek kedua yang menawan Souw Cu In, gadis berpakaian putih itu adalah Tung-hai Lo-mo. Kedua orang kakek ini sedang berjalan seiring menuju ke Bu-tong-san.

Bagaimana gadis berpakaian putih itu sampai jatuh ke tangan Tung-hai Lomo? Gadis itu adalah murid Ang Hwa Nio-nio, murid ke dua. Akan tetapi karena ia lebih berbakat dan lebih disayang oleh Ang Hwa Nio-nio maka dalam hal ilmu silat, ia justru lebih lihai dari suci-nya, Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Niocu. Akan tetapi, ia yang begitu lihai bagaimana sampai dapat ditawan dua orang kakek datuk sesat itu?

Terjadinya tadi pagi. Ketika itu Souw Cun In sedang berjalan seorang diri dan melewati sebuah dusun. Di dusun itu sedang diadakan keramaian karena ada pesta pernikahan di rumah kepala dusun. Tentu saja semua penduduk dusun itu berdatangan sehingga suasana dusun itu ramai dan meriah sekali.

Selagi orang ramai merayakan pesta itu, datanglah dua orang kakek memasuki tempat pesta. Mereka berdua disambut sebagai tamu walau pun tidak ada yang mengenalnya, dan memang demikianlah kebiasaan di dusun itu. Setiap kali ada pesta, siapa pun yang datang akan dianggap sebagai tamu dan disuguhi hidangan. Dua orang kakek itu bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-mo. Dasar dua orang datuk sesat, mereka tidak merasa puas hanya dilayani sebagai tamu biasa.

“Hai, tidak tahukah kalian siapa yang datang ini? Kami adalah dua orang datuk dan kami minta pelayanan istimewa. Hayo keluarkan arak pengantin yang terbaik dan hidangan yang paling lezat, kemudian sepasang pengantin harus melayani kami makan minum!” Demikianlah kata Tung-hai Lo-mo yang berwatak mata keranjang itu. Swat-hai Lo-kwi hanya tertawa saja melihat ulah kawannya.

Tentu saja suasana menjadi gempar. Tuan rumah, si kepala dusun, datang menemui mereka dan berusaha untuk membujuk mereka supaya jangan membuat kacau pesta pernikahan. Mereka akan dilayani sebagai tamu terhormat seperti yang lain.

“Tidak, pengantin wanita harus melayani kami makan minum!” Tung-hai Lomo berkata dengan nada membentak.

Kepala dusun itu menjadi marah. Bersama beberapa orang pemuda dia menghampiri dua orang tua itu dan berkata dengan suara tegas.

“Kami tidak bisa menuruti kehendak kalian yang tidak pantas itu. Kalau mau, terimalah pelayanan kami apa adanya, atau pergi dari sini dan jangan menimbulkan kekacauan!”

Lo-mo menoleh kepada Lo-kwi. “Mereka belum mengenal siapa kita, karena itu berani sembarangan. Mereka harus dihajar agar mengenal siapa kita!”

Kedua orang kakek itu lalu menerjang maju dan kepala dusun bersama enam orang pemuda itu sudah terlempar ke sana sini!

Orang-orang muda di dusun itu menjadi sangat marah. Mereka lalu maju mengeroyok, akan tetapi hasilnya mereka sendiri yang terlempar malang melintang terkena tamparan dan tendangan kakek itu.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring tapi lembut. “Dari mana datangnya dua orang kakek yang begini jahat?” Dan muncullah seorang gadis berpakaian putih yang wajah bagian bawahnya tertutup kain putih pula. Demikian cepat gerakannya sehingga tidak ada orang yang melihatnya datang.

Lo-kwi dan Lo-mo juga ikut menengok dan menghadapi gadis itu. Mereka tertawa dan Lo-mo berkata, “Haa! Mengapa gadis secantik kamu menutupi mukamu dengan kain? Engkau pun harus melayani kami makan minum bersama mempelai wanita, jadi ada dua orang pelayan untuk kami berdua.”

“Ji-wi (kalian berdua) tentulah termasuk datuk yang tingkatnya sudah tinggi dalam ilmu silat. Mengapa masih tidak malu mengganggu orang dusun? Harap Jiwi menghentikan perbuatan yang akan mencemarkan nama besar Ji-wi sendiri.” Gadis itu berkata lagi. Sepasang matanya yang tidak ditutupi itu nampak bening dan bersinar tajam menyapu kedua orang datuk sesat itu.

“Nona, siapakah engkau? Apa lagi baru seorang gadis muda sepertimu, bahkan kalau gurumu sendiri datang ke sini, kami tidak akan gentar menghadapinya!”

“Guruku adalah seorang pendeta wanita bernama Ang Hwa Nio-nio. Jika beliau melihat perbuatan kalian, kalian tentu tidak akan diberi ampun!”

Dua orang kakek itu bangkit berdiri. “Aha, kiranya murid Ang Hwa Nio-nio?” seru Lo-kwi. “Bagus, kini aku mendapat kesempatan baik untuk membalas penghinaan yang pernah kuterima dari Ang Hwa Nio-nio!”

“Dan Nona ini tentu cantik luar biasa, sayang kalau dilewatkan begitu saja!” kata Lo-mo sambil menyeringai.

“Kiranya kalian adalah orang-orang yang sesat dan memang patut diberi hajaran!” kata gadis itu yang bukan lain adalah Souw Cu In yang kebetulan lewat di dusun itu.

“Lo-kwi, biarkan aku yang menangkap gadis ini!” berkata pula Lo-mo yang sudah tergiur hatinya melihat bentuk tubuh dan juga muka bagian atas dari Souw Cu In. Lo-kwi hanya tersenyum dan menenggak arak dari guci yang berada di atas meja.

Tung-hai Lo-mo memandang rendah gadis berkedok itu, maka dia tidak menggunakan dayungnya yang ia sandarkan pada meja. Dia lalu menerjang dengan kedua tangannya yang panjang itu, menerkam dari kanan dan kiri. Agaknya dengan sekali tubruk saja dia hendak menangkap gadis itu. Akan tetapi dia kecelik sama sekali. Tangannya hanya menerkam angin belaka karena Souw Cu In sudah dapat mengelak dengan sangat mudah, dan dengan geseran kakinya sudah berada di belakang lawan. Lo-mo membalik dengan cepat dan kini menyerang lagi dengan pukulan yang dilanjutkan cengkeraman tangannya.

Souw Cu In cepat menangkis. Tangkisan itu membuat tangan yang mencengkeram itu terpental dan gadis itu langsung membalas dengan tamparan yang kuat ke arah muka kakek tinggi kurus itu. Lo-mo menjadi terkejut sekali. Tamparan itu keras dan mendatangkan angin, maka dia lalu meloncat ke belakang untuk menghindarkan dirinya. Tiba-tiba ada sinar kecil putih meluncur ke arah mukanya. Lo-mo terkejut dan cepat hendak mengelak, akan tetapi ujung sabuk sutera putih yang panjang itu masih mengenai pundaknya.

“Prattt...!”

Dan dia terhuyung ke belakang. Baju di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa perih. Bukan main marahnya. Disambarnya dayung baja yang disandarkan pada meja tadi dan kini dia menyerang dengan ganasnya kepada gadis berpakaian putih itu. Para tamu menjadi geger. Medan pesta menjadi medan perkelahian! Kepala dusun dan para orang muda yang tadi sempat berkenalan dengan kelihaian Lo-mo hanya dapat menonton sambil berdoa semoga gadis berpakaian putih itu mendapatkan kemenangan.

Perkelahian berlangsung seru dan seimbang. Lo-mo memainkan dayungnya yang terus menyambar-nyambar. Akan tetapi gadis itu lincah sekali gerakannya sehingga setiap sambaran dayungnya selalu dapat dihindarkan. Bahkan lecutan sabuk suteranya yang meledak-ledak itu kadang mengacam kepalanya karena terus mengirim totokan ke arah jalan-jalan darah di tubuhnya. Biar pun pertandingan berjalan seimbang, namun karena Lo-mo kalah dalam hal kecepatan bergerak, dia lebih banyak menerima serangan dan kelihatan terdesak.

Melihat temannya tidak mampu mengalahkan gadis itu, Lo-kwi tidak mau tinggal diam. Dia masih mendendam kepada Ang Hwa Nio-nio yang pernah mengalahkannya dalam pertandingan. Maka kini dia hendak melampiaskan dendamnya kepada murid Ang Hwa Nio-nio itu. Dia segera maju dan melancarkan pukulannya yang mengandung sinkang dingin.

Merasa ada hawa dingin menghantamnya dari samping, Souw Cu In amat terkejut dan maklum bahwa kakek ke dua membantu temannya. Dia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil memutar sabuk suteranya yang melingkar dan membalik menyerang Lo-kwi. Akan tetapi Lo-kwi lalu menangkisnya dengan pukulannya yang ampuh sehingga ujung cambuk itu terpental. Pada saat itu dayung di tangan Lomo telah menyambar lagi. Souw Cu In mengelak akan tetapi pukulan Lo-kwi kembali menyambar dengan dahsyatnya. Kembali Cu In melompat ke belakang untuk menghindarkan diri.

Sebetulnya, tingkat kepandaian Souw Cu In sudah tinggi sekali dan kalau dibandingkan dengan Lo-kwi atau Lo-mo, tingkatnya seimbang. Akan tetapi karena kedua iblis tua itu maju bersama mengeroyoknya, tentu saja Cu In menjadi kewalahan! Akhirnya, sebuah pukulan dari Lo-kwi menyerempet pundaknya, membuat ia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lo-mo untuk menotoknya sehingga dia menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi.

Lo-mo tertawa puas dan memanggul tubuh yang ramping itu, lalu mengambil sabuk sutera putih itu dan menggunakannya untuk mengikat kedua tangan Cu In.

“Mari kita pergi dari sini!” katanya kepada Lo-kwi.

Karena merasa tidak enak bahwa semua orang dusun sudah memusuhi mereka, Lo-kwi menyambar seguci arak dan segera pergi mengikuti temannya yang sudah lebih dahulu melangkah pergi sambil memanggul tubuh Cu In.

“Hei, tunggu dulu!” berkata Lo-kwi setelah mereka meninggalkan dusun itu. “Untuk apa engkau menawannya?”

“Heh-heh-heh, untuk apa? Tentu untuk bersenang-senang. Gadis ini cantik sekali!”

“Bodoh. Apakah kau tidak mau melihat dulu mukanya yang ditutupi itu? Bukan tidak ada sebabnya ia selalu menutupi mukanya!” kata Lo-kwi.

Mendengar ini, Lo-mo lalu menurunkan tubuh Souw Cu In ke atas tanah dan tangannya menyingkap kedok putih itu. Dia terbelalak dan Lo-kwi tertawa mengejeknya.

“Kalau begitu, kita bikin mampus saja bocah setan ini. Untuk apa dibawa-bawa?” kata Lo-mo dengan marah.

“Nanti dulu. Aku pernah dihina oleh Ang Hwa Nio-nio, pernah dikalahkannya walau pun selisihnya sedikit saja. Aku ingin membawa muridnya kepadanya untuk menghinanya.”

“Kalau ia marah dan menyerangmu?”

“Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi bahwa aku hanya kalah sedikit saja olehnya. Jika ada engkau yang membantuku, tentu kita berdua akan mampu membunuhnya dengan amat mudah!”

“Engkau hendak membawa aku bermusuhan pula dengannya?” Lo-mo membantah.

“Ehhh, Kawan. Bukankah kita sudah bersekutu untuk membantu Bu-tong-pai? Kalau kita ini sekutu, dalam segala hal haruslah bersatu, bukan?”

Lo-mo menarik napas panjang. “Baiklah, mari kita pergi.”

Dia lalu mengambil lagi tubuh Cu ln dan memanggulnya, akan tetapi tidak lagi lembut dan mesra seperti tadi, melainkan dengan kasar dia memanggul tubuh itu. Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan, hendak menuju ke tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio dan Lo-kwi yang menjadi penunjuk jalan.

Demikianlah mereka tidak tahu bahwa mereka sudah diintai oleh Keng Han yang lalu membayangi mereka dari belakang. Setelah hari menjadi sore, kedua orang datuk itu beristirahat di dalam sebuah goa dan mereka menaruh tubuh Cu In di atas tanah, di ujung goa itu. Kemudian mereka mengeluarkan bekal roti kering dan minum anggur yang tadi dibawa oleh Lo-kwi dari rumah pengantin.

Keng Han mendekati mereka. Setelah tiba di balik semak dekat goa, dia lalu mengambil beberapa buah batu kerikil. Dia membidik dan menyambitkan batu-batu kerikil itu ke arah tubuh Cu In yang menggeletak di sudut goa. Bidikannya tepat dan dengan mudah dia sudah membebaskan Cu In dari totokannya.

Gadis ini terkejut dan juga girang. Dia tahu bahwa ada orang yang menolongnya, telah membebaskan totokannya dengan sambitan batu-batu kerikil. Akan tetapi karena kedua tangannya masih terbelenggu sabuknya sendiri, dia pura-pura tak bergerak. Diam-diam dia mengerahkan sinkang-nya dan perlahan-lahan dia dapat meloloskan tangannya dari ikatan sabuknya. Setelah tangannya bebas, ia pun meloncat bangun, sabuk sutera yang menjadi senjata ampuhnya itu telah berada di tangannya.

Mendengar gerakan ini, dua orang kakek itu menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat gadis itu telah bebas dan juga telah siap menyerang dengan sabuknya! Mereka meloncat berdiri dan bersiap pula. Bahkan Lo-mo sudah menyambar dayung bajanya.

Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan orang melayang dan tahu-tahu sudah berada di depan goa. Keng Han segera mengenal Swat-hai Lo-kwi, kakek raksasa rambut putih yang dulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Maka dia segera menghadapinya.

“Kakek tua, sebetulnya seorang yang sudah tua sepertimu ini sebaiknya mencari jalan terang dengan perbuatan-perbuatan yang baik agar kelak mendapat pengampunan dari Tuhan, bukan malah menumpuk kejahatan!“ kata Keng Han.

Lo-kwi tidak mengenal Keng Han. Pada saat mereka bertemu dahulu, Keng Han baru berusia lima belas tahun, masih remaja dan sekarang pemuda remaja itu telah menjadi seorang pemuda dewasa. Akan tetapi Souw Cu In mengenal Keng Han yang pernah hendak dibunuh suci-nya. Ia tahu bahwa pemuda itu yang menolongnya, akan tetapi ia pun menjadi khawatir akan keselamatan pemuda itu. Kalau pemuda itu melawan suci-nya saja kalah, bahkan diakui murid oleh suci-nya, bagaimana mungkin dia akan menandingi Swat-hai Lo-kwi?

Maka, untuk menolong pemuda itu, ia sudah cepat menyerang dengan sabuk suteranya ke arah Lo-mo sambil berseru, “Sobat, kau cepat lari dari sini!”

Akan tetapi Keng Han tidak lari, bahkan dia pun lalu menyerang Lo-kwi! Serangannya mendatangkan angin yang amat kuat sehingga Lo-kwi terkejut dan mengelak, kemudian membalas dengan pukulannya yang dingin. Menghadapi pukulan dingin ini, Keng Han menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan hawa panas dari Hwi-yang Sinkang.

“Wuuuttttt... desssss...!”

Akibatnya, tubuh kakek raksasa itu lantas terpental ke belakang. Bukan main kagetnya Swat-hai Lo-kwi karena ketika tangannya tertangkis tadi, ada hawa yang panas sekali menyusup ke tubuhnya melalui lengannya sehingga membuyarkan tenaga dingin yang tadi dikerahkannya. Dia lalu menerjang lagi dengan ilmu silatnya yang aneh dan Keng Han melayaninya dengan Hong-in Bun-hoat sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka.

Sementara itu, Cu In juga sudah menyerang Lo-mo kalang-kabut karena kemarahannya kepada kakek yang tinggi kurus ini. Sabuk sutera putihnya menyambar-nyambar dan meledak-ledak di atas kepala lawan dengan totokan-totokan yang berbahaya.

Ang Hwa Nio-nio memang seorang ahli totok yang lihai sekali, dan ia telah menurunkan ilmu totoknya itu kepada kedua orang muridnya. Hanya bedanya, kalau Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Niocu diajar menotok dengan jari tangan, Souw Cu In melakukan totokan-totokan dengan ujung sabuk suteranya! Karena kini tidak lagi dibantu Lo-kwi yang sibuk sendiri melawan pemuda itu, Lo-mo menjadi kewalahan dan segera terdesak oleh gadis berpakaian putih itu.

Keng Han juga sama sekali tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya. Ketika lawannya lengah, sebuah hantaman dengan tangan kirinya mengenai pundak lawan. Tangan kirinya mengandung Swat-im Sinkang dan kakek yang ahli ilmu tenaga sinkang dingin itu kini menggigil kedinginan. Dia menjadi jeri dan berteriak kepada kawannya.

“Lo-mo, mari kita pergi!”

Teriakan itu sudah dimengerti oleh Lo-mo bahwa kawannya itu tak mampu menandingi lawan, maka dia memutar dayungnya dengan cepat dan dahsyat. Menghadapi serangan dahsyat ini, terpaksa Cu In mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Lo-mo untuk meloncat dan melarikan diri bersama kawannya.

Cu In yang masih marah sekali kepada kakek itu hendak mengejar, namun Keng Han berkata, “Tidak menguntungkan mengejar lawan yang sudah kalah. Apa lagi mereka berdua!”

Mendengar ini, Cu In tidak melanjutkan pengejarannya. Dia berdiri memandang pemuda itu dengan sinar matanya yang tajam sambil menggulung kembali sabuk suteranya dan menyelipkan di pinggangnya.

“Kenapa engkau membantuku?” Pertanyaan itu pendek akan tetapi seperti suara orang yang menuntut.

Keng Han menjadi bingung. “Kenapa? Kenapa, ya? Barangkali karena melihat seorang wanita sedang ditawan oleh dua orang datuk sesat, atau barangkali juga karena engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika aku akan dibunuh oleh Bi-kiam Niocu.”

“Aku tidak menyelamatkanmu, tapi menghindarkan suci dari perbuatan yang keliru. Aku tidak menghutangkan budi apa pun padamu. Lalu kenapa engkau menolongku? Jawab yang jelas!” Wanita itu kembali bertanya dengan suara sungguh-sungguh.

“Jawabannya mudah saja. Melihat seorang wanita ditawan orang jahat, tentu saja aku menolongnya.”

“Bagaimana kalau wanita itu bukan aku?”

“Aku tetap akan menolongnya, tidak peduli orang itu engkau atau siapa pun juga. Sudah menjadi tugas kewajibanku untuk menolong orang yang tertindas dan menentang orang yang jahat. Nah, puaskah engkau dengan jawaban itu?”

Souw Cu In menghela napas panjang, mukanya nampak lega. “Cukup puas. Jadi itu berarti bahwa engkau menolong tanpa pamrih, bukan menolong aku pribadi, melainkan aku sebagai wanita yang terancam bahaya.”

“Tentu saja. Pula, andai kata aku menolong karena engkau, itu pun tidak aneh, bukan? Engkau pernah menyelamatkan aku, sudah semestinya kalau sekarang aku membalas budi itu.”

“Tidak! Jangan kau lakukan itu. Tidak ada budi di antara kita. Aku adalah wanita biasa bagimu, bukan? Engkau tidak tertarik kepadaku karena aku pernah menolongmu, atau karena keadaan diriku?”

Keng Han merasa betapa anehnya pertanyaan wanita ini. Kemudian dia teringat akan keterangan Bi-kiam Niocu. Guru kedua orang gadis itu adalah nenek yang amat kejam itu, melarang kedua orang muridnya berhubungan akrab dengan pria. Mereka dilarang jatuh cinta atau dicinta oleh seorang laki-laki. Kalau ada laki-laki yang jatuh cinta kepada mereka, mereka harus membunuh pria itu!

Karena itulah agaknya wanita berkedok ini bertanya kepadanya untuk melihat apakah dia menaruh perhatian atau jatuh cinta kepadanya. Diam-diam dia bergidik! Kalau dia mengaku tertarik, mungkin wanita ini akan membunuhnya!

“Engkau aneh sekali, Nona. Aku menolongmu tanpa pamrih apa pun!”

Mendengar jawaban yang tegas itu, baru Souw Cu In kelihatan tenang. Matanya berseri dan sinarnya tidak setajam tadi, melainkan lembut.

“Siapakah namamu?”

“Namaku Si Keng Han.”

“Jadi engkau telah menjadi murid suci-ku?”

“Benar, subo mengajarkan ilmu menotok kepadaku.”

“Kalau begitu aku ini su-i-mu (bibi gurumu) maka sudah semestinya engkau menyebut bibi guru kepadaku.”

“Akan tetapi engkau masih begini muda, tidak pantas aku menyebut bibi guru!”

“Keng Han, engkau murid suci-ku, bukan? Apakah suci-ku sudah begitu tua sehingga ia menjadi gurumu?”

Keng Han teringat dan dia pun memberi hormat sambil berkata, “Baiklah, Su-i!”

“Bagaimana engkau tadi dapat melihat aku dibawa dua orang datuk itu? Engkau hendak pergi ke manakah?”

“Aku sedang melakukan perjalanan ke timur, ke kota raja, dan tadi aku melihat kedua orang datuk itu lewat. Melihat mereka menawanmu, aku lalu membayangi mereka dan setelah mereka tiba di sini, aku turun tangan menolongmu.”

“Pantas engkau pandai membebaskan totokan pada tubuhku, kiranya sudah belajar dari suci. Akan tetapi, aku lihat kepandaianmu tidak di sebelah bawah tingkat suci, mengapa engkau menjadi muridnya? Benarkah engkau tidak mempunyai perasaan suka dan cinta terhadap suci?”

“Tidak sama sekali, Su-i. Aku suka menjadi muridnya mempelajari ilmu totokan, karena selain aku memang suka mempelajari segala macam ilmu, juga subo sudah lebih dulu menunjukkan kemahirannya dengan mengalahkan aku, yaitu dengan totokan itu.”

“Untung engkau tidak mencintanya, jika engkau mencintanya berarti engkau harus mati di tangannya. Jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada orang-orang seperti kami, karena itu merupakan keputusan hukuman mati bagimu.”

“Aku... aku tidak berani...!” kata Keng Han ngeri.

Akan tetapi dia tak dapat membohongi dirinya bahwa berbeda dengan perasaan hatinya terhadap Niocu, terhadap nona berpakaian putih ini lain lagi. Hatinya amat tertarik dan dia ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

“Nah, sekarang kita harus berpisah di sini, Keng Han,” kata Souw Cu In.

“Su-i, setelah aku menyebutmu bibi guru sungguh tidak masuk akal kalau aku tidak mengetahui namamu?”

“Namaku Souw Cu In. Sudahlah, aku harus pergi sekarang!”

“Su-i, sungguh berbahaya pergi sekarang. Hari sudah hampir gelap, tentu engkau akan kegelapan dalam perjalanan. Dan itu berbahaya sekali. Bagaimana kalau kedua orang kakek iblis tadi masih berada di sekitar tempat ini?”

Gadis itu nampak membelalakkan matanya dan memandang ke arah depan, lalu alisnya berkerut. “Lalu bagaimana baiknya?”

“Yang terbaik adalah melewatkan malam di goa ini, Su-i. Di sini aman, tidak terganggu angin malam yang dingin dan kita dapat membuat api unggun. Selain itu, apakah Su-i tidak merasa lapar?”

Souw Cu In termenung. Baru sekarang terasa olehnya betapa perutnya memang lapar sekali. “Begitu pun baik, tetapi di tempat seperti ini bagaimana kita bisa mendapatkan makanan?”

“Jangan khawatir, Bibi Guru yang baik. Aku akan mencari binatang buruan untuk kita panggang dagingnya. Dan tentang minuman, sayang aku tidak punya.”

“Aku masih mempunyai seguci arak,” berkata Souw Cu In sambil melepaskan buntalan pakaiannya.

“Kalau begitu, sungguh beruntung kita. Nah, aku pergi sebentar untuk mencari binatang buruan, Su-i!” Setelah berkata demikian, Keng Han melompat pergi dengan cepat.

Dia harus cepat mendapatkan binatang buruan karena sebentar lagi malam tiba dan sukar baginya untuk memperoleh binatang buruan. Senja menjelang malam itu menjadi waktu bagi burung-burung untuk terbang kembali ke sarangnya dan inilah yang menarik perhatian Keng Han.

Dia pergi ke sebatang pohon besar di mana nampak banyak burung terbang berputaran. Dengan beberapa buah batu dia menyambit dan berhasil mengenai empat ekor burung yang berjatuhan ke bawah. Dia girang sekali. Burung ini cukup besar sehingga seorang makan dua ekor saja tentu sudah kenyang. Cepat dia pun berlari kembali ke goa tadi dan melihat betapa Cu In sudah membuat api unggun.

“Ini hasil buruanku, Su-i!” katanya bangga sambil memperlihatkan empat ekor burung yang sudah mati itu.

Dengan pedang bengkoknya dia membersihkan burung itu, membuang isi perut dan semua bulunya, kemudian menusuknya dengan bambu dan siap memanggangnya di api unggun.

“Bagaimana mungkin makan panggang burung tanpa dibumbui? Tentu rasanya tidak enak. Aku membawa bumbu untuk itu!” kata Cu In dan ia mengeluarkan dari buntalan pakaiannya beberapa bungkusan terisi bumbu seperti garam, merica, bawang dan lain-lainnya.

Keng Han merasa girang sekali. Mereka bekerja menaruh bumbu pada daging burung yang lalu dipanggangnya. Tercium bau sedap pada saat daging burung itu terpanggang. Tentu saja yang dapat membuat daging itu mengeluarkan bau sedap adalah bumbunya, terutama bawangnya.

Sebentar saja empat ekor daging burung itu matang dan mereka lalu makan. Ketika Keng Han memandang untuk mencuri lihat wajah yang tertutup kedok itu, dia kecelik. Gadis itu makan daging burung tanpa sedikit pun memperlihatkan mulutnya. Tangannya yang membawa daging itu ke balik topeng sutera dan yang kelihatan hanya kain itu bergerak-gerak ketika mulutnya makan.

Keng Han merasa penasaran sekali. Ia yakin bahwa gadis ini tentu berwajah cantik jelita luar biasa. Baru dilihat dari rambutnya yang hitam panjang dan ikal mayang, melihat sinom (anak rambut) yang melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya, dahi yang halus dan putih mulus, alis yang seperti dilukis seorang pelukis pandai, melengkung dan kecil hitam, mata yang bagaikan sepasang bintang kejora, tulang pipi yang agak menonjol dan selalu kemerahan bukan oleh pemerah muka, itu semua saja sudah menunjukkan kecantikan yang luar biasa. Hidung dan mulutnya tidak nampak, juga dagunya, akan tetapi Keng Han berani bertaruh bahwa hidung dan mulut itu tentu indah sekali.
cerita silat karya kho ping hoo

Setelah makan daging burung panggang, Cui In mengeluarkan seguci anggur. Ia lalu membawa mulut guci ke balik topengnya dan menengadah, minum anggur itu langsung dari mulut guci ke mulutnya. Kemudian ia menyerahkan guci itu kepada Keng Han.

“Nah, kau minumlah. Anggur ini tidak keras, hanya sebagai penyegar setelah makan.”

Keng Han tertegun. “Tapi... mana cawannya, Su-i?”

“Cawan? Untuk apa? Aku tidak mempunyai cawan.”

“Untuk minum tentu saja. Kalau tidak ada cawannya, bagaimana aku dapat minum?”

“Bodoh! Minum saja dari mulut guci, apa sukarnya?”

Jantung dalam dada Keng Han berdebar. Mulut guci itu baru saja beradu dengan mulut nona itu, dan sekarang nona itu menyuruh dia minum dari mulut guci pula!

“Akan tetapi, mana aku berani? Bukankah guci anggur ini milikmu, Su-i? Bagaimana aku berani mengotori dengan minum dari mulut guci?”

Gadis itu memandang keheranan, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api unggun. “Engkau ini kenapa? Apakah mulutmu mengandung penyakit? Apakah engkau sedang menderita sakit batuk yang parah?”

“Tidak, Su-i.”

“Nah, kalau begitu minumlah dari mulut guci!”

Jika gadis itu merasa heran melihat kesungkanan Keng Han yang agaknya terlalu sopan santun itu, sebaliknya Keng Han bahkan terheran-heran melihat keterbukaan nona itu yang wataknya begitu polos dan bersih! Maka dia lalu menenggak anggur itu dari mulut guci dan memang rasanya segar sekali. Setelah merasa cukup dia mengembalikan guci kepada pemiliknya dan Cu In menutupkan kembali mulut guci, menyimpannya dalam buntalannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang janggal.

Kemudian Keng Han teringat. Bibi gurunya itu perlu beristirahat dan tempat itu demikian kotornya. Ia segera mencari daun-daun kering untuk membersihkan dan menyapu lantai goa yang paling rata. Kemudian dia baru mempersilakan Cu In untuk duduk atau rebah di situ.

“Silakan Bibi Guru mengaso di sini, tempat ini sudah bersih. Aku akan menjaga di luar goa sambil menjaga agar api unggun tidak padam.”

Cu In mengikuti pekerjaan Keng Han dengan penuh perhatian. Kemudian pada waktu ia dipersilakan mengaso, ia pun mengangguk, lalu bangkit dan melangkah ke dalam goa. Langkahnya! Alangkah indah lenggangnya, bagaikan seekor harimau betina melangkah, demikian lemah gemulai akan tetapi juga demikian kokoh kuat!

Cu In duduk di tempat yang sudah dibersihkan itu, kemudian dia merebahkan diri miring berbantalkan buntalan pakaiannya. Sebentar saja gadis itu sudah tertidur pulas. Hal ini diketahui oleh Keng Han dari pernapasannya yang lembut dan teratur.

Keng Han merasa berbahagia sekali. Dia sendiri merasa heran. Pernah dia merasakan kebahagiaan seperti ini, yaitu ketika dia bertemu dengan Kwi Hong. Dia juga merasa tertarik dan suka sekali kepada dara itu. Akan tetapi semenjak dia mengetahui bahwa Kwi Hong bermarga Tao, puteri Pangeran Mahkota, masih saudara sepupunya sendiri, hatinya terasa perih dan dia mencoba melupakan gadis itu.

Kemudian dia melakukan perjalanan bersama Bi-kiam Niocu. Harus diakuinya bahwa dia juga suka sekali kepada Niocu, akan tetapi rasa sukanya itu sekedar bersahahat, bahkan dia menjadi muridnya. Maka ketika Niocu bertanya tentang cinta, terus terang dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Niocu sebagai seorang pria mencinta wanita, melainkan sebagai murid mencinta guru atau seorang sahabat mencinta sahabatnya.

Dan sekarang... perasaannya lain lagi. Dia tertarik kepada Souw Cu In, tertarik dengan kepribadiannya dan dia merasa amat berbahagia dapat bersama dengan gadis itu walau pun hanya semalam!

Keng Han termenung memandangi api unggun dan menambah kayu pada api unggun. Dia sama sekali tidak tahu betapa Cu In juga kini membuka matanya dan memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Gadis ini merasa gelisah sekali ketika ia merasa bahwa hatinya tertarik kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang lain sekali dari pada pemuda lain.

Kaum lelaki yang dijumpainya selalu ingin membuka kedoknya, selalu memujinya cantik dan selalu mengeluarkan cumbu rayu seribu satu macam untuk menarik perhatiannya. Akan tetapi Keng Han sama sekali tidak! Bahkan ketika disuruh minum anggur dari mulut guci, jelas pemuda itu merasa rikuh sekali. Pemuda ini sungguh sopan dan pandai membawa diri.

Di samping itu, juga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Tadi sudah dibuktikannya ketika dia melawan Swat-hai Lo-kwi. Pemuda ini memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya dan ilmu silatnya juga aneh sekali. Namun, sikapnya demikian biasa, bahwa begitu rendah hati seolah dia seorang pemuda yang lemah dan bodoh sehingga mau mempelajari ilmu totokan dari suci-nya! Dan wajahnya! Sungguh tampan dan gagah.

Mendadak Souw Cu In memejamkan matanya kuat-kuat untuk mengusir perhatiannya terhadap pemuda itu.

Tidak! Ia tidak ingin tertarik kepada pemuda itu. Ia tidak ingin harus membunuh pemuda itu. Dan ia menghela napas panjang. Ia dan suci-nya sudah bersumpah kepada subo mereka untuk tidak jatuh cinta, dan kalau ada pria yang jatuh cinta kepada mereka harus mereka bunuh!

Semua lelaki jahat, demikian subo mereka selalu menekankan ke dalam hati mereka. Semua lelaki itu jahat dan palsu, bagaikan kumbang yang selalu mendekati kembang dengan suaranya yang merayu-rayu. Akan tetapi setelah dia menghisap madu kembang itu sampai habis, lalu ditinggalkannya kembang itu begitu saja!

Dan, kalau menurut keterangan gurunya itu, tidak ada laki-laki yang baik. Berarti Keng Han juga bukan seorang yang baik. Mungkin sikapnya yang baik itu hanya merupakan akal untuk merayunya belaka! Tidak, ia tidak boleh tertarik kepadanya!

Lewat tengah malam, Souw Cu In terbangun dari tidur. Ia menggeliat karena tubuhnya terasa kaku akibat tidur di lantai yang kasar itu, lalu menutupi mulut dari luar topeng untuk menahan nguapnya, dan ia bangkit berdiri. Dihampirinya Keng Han dan ia berkata dengan suara yang kasar.

“Sekarang engkau boleh mengaso dan tidur, giliranku berjaga,” katanya.

Keng Han merasa heran sekali mendengar ucapan yang bernada ketus itu. Dia pun lalu memandang dan berkata. “Tak perlu, Su-i. Su-i mengaso dan tidurlah, biar aku berjaga di sini sampai malam lewat.”

“Tidak!” suara Cu In membentak karena dalam perasaannya, sikap baik pemuda ini hanya akal untuk merayunya saja. “Kau kira aku ini orang macam apa? Engkau sudah berjaga setengah malaman, maka setengah malam yang lain menjadi bagianku untuk berjaga!”

Melihat sikap gadis itu demikian galak dan tegas, Keng Han merasa heran sekali. “Kalau bagitu, biarlah aku juga berjaga di sini saja. Aku tidak merasa mengantuk.”

Cu In duduk di dekat api unggun berhadapan dengan pemuda itu terhalang api unggun. Mereka saling pandang dan Keng Han tak dapat menyembunyikan perasaan kagumnya. Wajah yang meski hanya kelihatan bagian atasnya saja itu demikian indahnya tertimpa sinar api unggun, kemerahan dan begitu halusnya dahi itu. Ditambah lagi anak rambut yang berjuntai melingkar-lingkar itu. Begitu manisnya!

“Kau melihat apa?” bentak gadis itu dan Keng Han baru menyadari bahwa terlalu lama dia menatap wajah itu.

“Tidak apa-apa, Su-i. Hanya aku heran mengapa Su-i tidak tidur saja mengaso. Malam sudah larut dan biarkan aku yang berjaga di sini.”

“Tidak, aku tidak mau tidur.”

“Kalau begitu, kita berdua tidak tidur,” kata Keng Han bersikeras.

“Engkau bandel!”

“Bukan cuma aku yang bandel.”

Keduanya diam dan terasa amat heningnya malam itu. Yang terdengar hanya suara api makan kayu kering. Keng Han maklum bahwa gadis ini berwatak aneh sekali. Bukankah Niocu juga pernah berkata betapa sumoi-nya ini lebih kejam darinya? Akan tetapi dia tak percaya. Seorang gadis dengan sinar mata selembut itu tidak mungkin berhati kejam.

“Engkau berasal dari mana?” tiba-tiba gadis itu bertanya dan nada suaranya sambil lalu saja, seolah pertanyaan itu hanya untuk mengisi kesepian.

Terhadap Souw Cu In, entah apa sebabnya, Keng Han tidak ingin menyembunyikan rahasianya. “Aku berasal dari daerah Khitan.”

“Engkau orang Khitan?”

“Peranakan Khitan. Ibuku orang Khitan, tapi ayahku orang Han.” Ia masih belum berani mengakui ayahnya sebagai seorang pangeran Mancu.

“Pantas. Aku sudah menduga bahwa engkau seorang peranakan. Di mana orang tuamu sekarang?”

“Ibuku masih di Khitan bersama kakekku akan tetapi ayahku...”

“Bagaimana dengan ayahmu? Sudah matikah?”

Keng Han menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang. “Aku belum pernah melihat ayahku. Semenjak aku di dalam kandungan ibu, ayah telah pergi meninggalkan ibu dan sejak itu tidak pernah kembali.”

Souw Cu In melempar sepotong kayu di api unggun sehingga bunga-bunga api terbang membubung ke atas.

“Huh!” katanya gemas. “Benar juga kata subo. Lelaki adalah makhluk yang palsu dan kejam!”

“Akan tetapi aku memang sedang mencari ayahku, Su-i. Dia harus menjelaskan kenapa dia tidak pernah pulang menengok ibu. Kalau memang benar dia telah melupakannya dan mengkhianatinya, aku sendiri yang akan menghajarnya!”

“Hemmm, apa lagi yang terjadi kalau bukan ayahmu bertemu dengan wanita lain yang lebih cantik lalu ayahmu mengawini wanita itu dan melupakan ibumu?”

“Belum tentu. Kurasa ayahku tidak sejahat itu! Akan tetapi, aku ingin mencarinya sampai dapat! Dan engkau sendiri, Su-i. Maukah engkau bercerita tentang dirimu? Dari Niocu aku sudah tahu bahwa engkau juga murid Ang Hwa Nio-nio, dan bahwa engkau pun memiliki pendirian yang sama dengan Bi-kiam Niocu tentang pria. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Maukah engkau bercerita?”

“Hemm, untuk apa bercerita tentang diriku padamu?” Sepasang mata itu menatap tajam penuh selidik.

Keng Han menghela napas panjang. “Bukan apa-apa, Su-i. Akan tetapi engkau adalah bibi guruku, dengan adanya hubungan ini, tidak pantaskah kalau aku mengenalmu lebih baik lagi? Agar engkau tidak menjadi seperti orang asing lagi bagiku.”

“Engkau sudah mengetahui namaku.”

“Ya, aku masih ingat. Nama Su-i adalah Souw Cu In, hanya itu yang kuketahui.”

Aku juga seperti engkau. Hidup keluargaku tidak bahagia. Ayah ibuku telah meninggal dunia, terbunuh musuh. Ketika itu aku baru berusia lima tahun, lalu aku diambil murid oleh subo. Nah, hanya begitu saja riwayatku. Aku pun sedang mencari-cari seseorang untuk membalas kematian ayah ibuku.”

“Musuh besar yang membunuh ayah ibumu itu?”

“Benar. Ahhh, sudahlah. Kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu?” Dia seperti menegur diri sendiri. “Oh ya, ke mana engkau hendak mencari ayahmu itu, Keng Han?”

Mendengar gadis itu tiba-tiba membelokkan arah percakapan, tahulah Keng Han bahwa gadis itu tidak mau lagi bercerita tentang dirinya. Maka dia pun menjawab sejujurnya, “Aku hendak mencari ayahku di kota raja.”

“Ahhh...!”

“Kenapa Su-i terkejut mendengar itu?”

“Tujuan perjalananku juga ke kota raja!”

Bukan main girangnya hati Keng Han mendengar ini.

“Kalau begitu kebetulan sekali, Su-i. Kita dapat melakukan perjalanan bersama.”

“Tidak! Besok pagi kita harus berpisah, melakukan perjalanan sendiri-sendiri. Jika subo mengetahui, baru malam ini saja kita berada di sini berdua, sudah cukup bagi subo untuk menuduh yang tidak-tidak dan membunuhku!”

“Gurumu amat kejam terhadap laki-laki, Su-i!” Keng Han memprotes.

“Tidak! Guruku sudah sangat adil. Engkau tidak tahu betapa hatinya telah dihancurkan, kehidupannya sudah dilumatkan, oleh kaum pria! Ia hanya membalas dendam! Aku pun mencari musuh besarku itu, juga sekalian untuk mencari musuh besar yang dulu telah menghancurkan kebahagiaan hidup guruku. Orangnya sama!”

“Ahhh...!”

Keng Han bukan hanya terkejut mendengar ucapan itu, akan tetapi dia juga terkejut mendengar suara lain, suara gerakan orang-orang di sekitar mereka! Akan tetapi karena malam itu gelap sekali dan api unggun itu tidak terlalu besar, dia tidak melihat apa-apa.

“Engkau dengar tadi?” Souw Cu In bertanya. Keng Han mengangguk dan keduanya lalu waspada.

Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras di sekitar mereka. Mereka terkejut dan cepat meloncat berdiri, tidak tahu harus berbuat apa karena musuh masih belum nampak dan ledakan-ledakan masih terjadi di sekeliling mereka. Agaknya musuh menyerang mereka dengan bahan ledakan yang mengeluarkan asap tebal.

Kedua orang itu tidak berani sembarang bergerak karena khawatir kalau-kalau diserang musuh yang tidak kelihatan. Akan tetapi tiba-tiba keduanya mencium bau keras sekali dan Souw Cu In berseru.

“Tahan napas...!”

Tetapi sudah terlambat. Keduanya sudah menghisap asap terlalu banyak dan mereka terbatuk-batuk, lalu roboh terkulai dan pingsan. Kiranya bahan peledak itu mengandung racun pembius yang kuat sekali.

Tubuh Keng Han memang sudah kebal terhadap racun, berkat dia makan daging ular merah. Akan tetapi yang kebal adalah tubuhnya sehingga andai kata dia terkena makan racun atau dilukai oleh racun, tentu hawa beracun dalam tubuhnya akan menolak dan membuatnya kebal. Akan tetapi sekali ini dia terkena racun pembius berupa asap yang memasuki paru-parunya, maka dia pun tidak dapat bertahan dan roboh pingsan seperti Souw Cu In.

Beberapa bayangan orang yang memakai kedok tebal berkelebatan memasuki tabir asap itu dan menghampiri kedua orang yang sudah pingsan itu. Akan tetapi ketika empat orang itu menghampiri Keng Han dan Cu In, Cu In melompat dan dua orang roboh tewas seketika terkena pukulan Tok-ciang (Tangan Beracun).

Kiranya Cu In belum pingsan seperti keadaan Keng Han. Ketika wanita ini tahu bahwa ada musuh menggunakan asap beracun, ia meneriaki Keng Han, akan tetapi Keng Han yang terlambat. Ia sendiri baru sedikit menghisap asap beracun. Untuk menyelamatkan diri, ia menjatuhkan diri agar tidak terpengaruh asap yang membubung ke atas. Setelah ada empat orang datang, Cu In cepat menyerang dan setelah merobohkan dua orang, dia pun melompat menjauh, keluar dari tabir asap itu. Dua orang berkedok lain menggotong Keng Han dan membawanya pergi dari situ.

Souw Cu In merasa khawatir sekali, akan tetapi tidak dapat mencegah dengan adanya tabir asap pembius yang menghalanginya. Setelah tabir asap menipis dan mulai hilang, barulah ia melakukan pengejaran. Akan tetapi dia tidak menemukan jejak mereka, apa lagi malam itu gelap sekali dan api unggun yang mereka buat malam tadi sudah hampir padam.

Terpaksa dia duduk kembali dekat api unggun dan menambahkan kayu bakar sehingga api unggun itu membesar kembali. Akan tetapi dia sudah tidak mungkin dapat tidur lagi. Sambil menanti lewatnya malam, ia duduk bersila dekat api unggun dan memperhatikan sekelilingnya dengan pendengarannya. Hatinya amat gelisah memikirkan Keng Han. Ia menduga-duga siapa yang menangkap pemuda itu dan apa alasannya. Juga dia mengingat-ingat siapa tokoh dunia kang-ouw yang suka mempergunakan alat peledak yang mengandung racun pembius itu.

Ia lalu teringat kepada seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Ban-tok Kwi-ong (Raja Iblis Selaksa Racun). Datuk inikah yang melakukannya? Akan tetapi rasanya tidak mungkin. Seorang datuk seperti dia itu biasanya memiliki ketinggian hati, tidak mungkin kalau hanya hendak menangkap seorang pemuda saja harus menggunakan peledak racun pembius. Siapa pun yang menangkap pemuda itu, Keng Han berada dalam bahaya dan dia harus menolong pemuda itu.


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 10


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.