Pusaka Pulau Es Bagian 11

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 11

Mereka kembali ke dusun dan menyewa kamar, kemudian bercakap-cakap berdua saja di kamar yang disewa Keng Han.

“Nah, sekarang katakanlah apa yang hendak kau bicarakan, Gulam Sang. Kerja sama yang bagaimana yang dapat kita bersama lakukan.”

“Nanti dulu, Keng Han. Aku ingin tahu siapakah orang tuamu dan sekarang ini engkau hendak ke mana? Kita harus terbuka dan menceritakan keadaan masing-masing, baru kita dapat bekerja sama, bukan?”

Keng Han mengangguk-angguk. Dia belum percaya kepada pemuda tinggi besar ini, akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda ini adalah putera Gosang Lama yang pernah menjadi gurunya yang baik.

“Terus terang saja, saudara Golam Sang. Ibuku adalah seorang wanita Khitan, puteri seorang kepada suku di sana dan ayahku...”

Ia berhenti dan meragu. Haruskah dia mengatakan rahasia tentang ayahnya...?

“Dan ayahmu tentu bukan orang Khitan!” kata Golam Sang.

“Engkau benar. Ayahku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng.”

“Ahhh...!” Gulam Sang nampak terkejut. “Siapa nama ayahmu yang pangeran itu?”

“Nama ayahku adalah Tao Seng, jadi aku she Tao bernama Keng Han.”

“Ahhh...!” kembali Golam Sang terkejut. “Apakah Pangeran Tao Seng yang dua puluh tahun lalu dihukum buang itu?”

“Agaknya engkau mengetahui banyak hal tentang ayahku, saudara Golam Sang.”

“Aku hanya mendengar saja bahwa ada dua orang pangeran yang dihukum buang.”

“Dan tahukah engkau di mana ayahku itu sekarang?”

“Aku tidak tahu, mungkin di kota raja, mungkin juga masih di tempat pembuangannya, di Barat. Akan tetapi engkau tentu dapat mencari keterangan di kota raja. Kebetulan aku mengenal seorang pensiunan pejabat tinggi yang dahulu mempunyai hubungan erat dengan ayahmu. Kau carilah dia di kota raja dan dia pasti akan dapat memberi tahu di mana ayahmu. Namanya Ji Soan dan dikenal dengan sebutan Ji-wangwe (hartawan Ji) karena sekarang dia sudah menjadi seorang saudagar yang kaya raya. Kau tanyakan kepada siapa saja di mana rumahnya Ji-wangwe, tentu dengan mudah engkau akan dapat menemukannya.”

“Ahh, terima kasih, Gulam Sang. Keteranganmu ini penting sekali bagiku. Besok pagi-pagi aku akan langsung menuju ke kota raja untuk mencari Ji-wangwe itu.”

“Kabarnya, ayahmu itu difitnah dan dia dihukum dalam keadaan penasaran sekali.”

“Difitnah?” tanya Keng Han, ingin sekali tahu.

“Ya, kabarnya yang melakukan fitnah adalah seorang pangeran lain yang kini menjadi Pangeran Mahkota.”

“Aku mendengar dari ibuku bahwa ayahku itu adalah Pangeran Mahkota.”

“Mungkin benar demikian. Mungkin karena dia adalah seorang Pangeran Mahkota, ada pangeran lain yang iri hati dan melakukan fitnah sehingga dia dihukum buang.”

“Siapakah pangeran jahat itu?”

“Dia adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Akan tetapi urusan itu aku pun tidak tahu banyak. Yang lebih mengetahui adalah Hartawan Ji itu. Bagaimana pun juga, Pangeran Tao Kuang dan Kaisar Cia Cing itu adalah musuh besarmu karena mereka yang telah mencelakakan dan menghukum ayahmu.”

“Kalau benar ayahku terhukum dengan penasaran, aku akan membalas dendam!” kata Keng Han dengan hati panas.

“Bagus! Dalam hal ini, kita dapat bekerja sama. Kita akan sama-sama berjuang untuk menggulingkan pemerintahan Ceng yang dipegang oleh Cia Cing dan kelak dipegang oleh Pangeran Tao Kuang itu! Kita bekerja sama dengan teman-teman seperjuangan.”

“Hemm, kau maksudkan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang dulu kau bantu mengeroyok kami itu? Mereka itu bukan orang-orang baik. Aku sudah mendengar sepak terjang orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu. Mereka adalah orang-orang jahat yang berkedok perjuangan. Bagaimana kita dapat bekerja sama dengan mereka?”

“Nah, di sini letak kesalah pahaman itu. Engkau berpikiran seperti ketua Thian-li-pang itu. Kalau kita sungguh-sungguh hendak berjuang menentang pemerintahan, kita harus mempersatukan semua tenaga dari pihak mana pun. Karena itu kita harus bersatu padu tanpa mempedulikan watak masing-masing, untuk bersama-sama menghadapi pasukan pemerintah yang kuat. Aku lebih condong menyetujui pendapat ketua Bu-tong-pai!”

“Ahh, engkau juga hadir ketika ada rapat besar itu?”

“Tentu saja. Aku hadir sebagai pendengar saja. Nah, bagaimana pendapatmu?”

Keng Han mulai meragu. “Agaknya engkau benar. Aku harus membalas dendam atas kematian ayahku kalau benar dia sudah mati secara penasaran dan difitnah. Aku suka bekerja sama denganmu, Gulam Sang.”

Gulam Sang menjabat tangan Keng Han. “Bagus, kita akan bekerja sama kelak. Kau tunggu saja di rumah Hartawan Ji, karena dia pun sudah menjadi sekutu kami untuk melakukan pemberontakan. Pergilah engkau ke sana, cari keterangan tentang ayahmu dan katakan kepada Ji-wangwe bahwa engkau adalah sahabat dan sekutuku yang suka untuk bekerja sama.”

Demikianlah, Keng Han yang masih hijau dalam pengalaman itu percaya sepenuhnya kepada Gulam Sang karena orang ini adalah putera gurunya yang sudah meninggalkan pesan agar dia bekerja sama dengan Gulam Sang….
cerita silat karya kho ping hoo

Yo Han dan Tan Sian Li tidak dapat membantah atau melarang lagi ketika Yo Han Li menyatakan pendapatnya bahwa ia ingin merantau untuk mencari pengalaman.

“Bukankah Ibu dahulu ketika masih muda juga suka merantau mencari pengalaman di dunia kangouw sehingga Ibu dijuluki Si Bangau Merah di dunia kang-ouw? Juga Ayah mendapat julukan Pendekar Tangan Sakti karena perantauannya di dunia kangouw. Saya hanya ingin merantau dan meluaskan pengalaman saja. Saya tidak ingin mengejar nama julukan dan saya akan selalu berhati-hati agar tak terpancing dalam permusuhan.”

Demikian ucapan Yo Han Li yang membuat ayah ibunya tidak dapat membantah lagi dan terpaksa memberi ijin kepada puterinya untuk merantau. Siapa tahu justru dalam perantauannya itu puteri mereka akan bertemu dengan jodohnya. Mereka tidak perlu khawatir karena sekarang Han Li sudah memiliki tingkat kepandaian yang sebanding dengan tingkat ibunya, sudah cukup kuat untuk menjaga diri.

“Baiklah, kami mengijinkan engkau untuk pergi merantau meluaskan pengalaman. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan pergi lebih lama dari satu tahun. Dalam waktu setahun engkau harus sudah pulang,” kata Yo Han. “Di dunia kangouw sedang kacau karena partai besar seperti Bu-tong-pai hendak memberontak dan mengajak partai-partai sesat untuk bekerja sama. Engkau jangan terpikat oleh mereka itu. Perjuangan kita lain sifatnya. Kita pantang bekerja sama dengan penjahat dan kita bergerak melihat suasana.”

“Aku berjanji, Ayah,” kata Han Li.

“Hati-hatilah, anakku,” kata Tan Sian Li. “Jangan engkau mencari permusuhan dengan siapa pun. Meski pun engkau harus membela kebenaran dan keadilan, membela yang tertindas dan menentang yang jahat, namun kalau tidak terpaksa sekali jangan engkau membunuh orang. Dan yang harus kau ingat benar, jangan sekali-kali percaya begitu saja kepada mulut manis seseorang, karena di dunia kangouw banyak sekali penjahat yang bermuka dan bermulut manis. Engkau harus pandai menjaga harga dirimu, walau pun tidak perlu tinggi hati. Jika sekiranya ada bahaya mengancam, sebut nama julukan ayahmu dan nama julukanku, mungkin dapat menolongmu.”

“Baik, Ibu. Aku akan selalu ingat akan nasehat Ayah dan Ibu.”

Tiga hari kemudian, Yo Han Li berangkat meninggalkan Thian-li-pang yang berpusat di Bukit Naga itu dan turun gunung untuk memulai dengan perantauannya. Ia membawa sebuah buntalan pakaian dan sekantung uang. Tidak lupa ia membawa pula sebatang pedang pemberian ayahnya yang selalu dipakainya untuk berlatih silat pedang.

Ayah dan ibunya mengantar puteri mereka sampai keluar pintu gerbang. Bagaimana pun juga, kedua orang tua ini mengkhawatirkan puteri mereka yang merupakan anak tunggal. Mereka tahu bahwa justru kecantikan gadis itu yang akan banyak memberikan gangguan pada puteri mereka.

Yo Han Li yang berusia delapan belas tahun itu memang cantik. Wajahnya mirip dengan ibunya. Mukanya bulat telur dan kulitnya putih mulus, mata agak lebar dan hidungnya mancung. Mulutnya selalu tersenyum agak mengejek dan dihias lesung pipit di pipi kiri.

Tubuhnya sedang dan ramping. Ia berpakaian sederhana, dari sutera berwarna biru dan kuning. Sepatunya dari kulit berwarna hitam. Ia membawa pedang di pinggangnya dan buntalan pakaiannya berada di punggungnya.

Apa yang dikhawatirkan ayah ibu gadis itu ternyata terbukti, bahkan baru sehari setelah gadis itu meninggalkan rumahnya. Sore itu tibalah Han Li di sebuah bukit yang masih bertetangga dengan Bukit Naga. Dari bukit itu, kalau ia menoleh, ia akan melihat Bukit Naga yang dari situ nampak memanjang dan berlekuk-lekuk seperti tubuh seekor naga, dan karena bentuknya itulah maka bukit itu disebut Bukit Naga.

Ketika Han Li sedang melangkah maju dengan cepat untuk mencari dusun di mana ia dapat melewatkan malam, tiba-tiba muncullah dua belas orang laki-laki yang kelihatan kasar. Pakaian mereka tidak karuan dan sikap mereka kasar sekali, mata mereka liar dan bengis, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang muka codet, yaitu terdapat cacat bekas goresan senjata pada pipi kirinya.

Melihat seorang gadis berjalan seorang diri, dua belas orang itu tertawa senang dan si muka codet itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, sungguh tidak kusangka di tempat sesunyi ini terdapat seorang nona yang cantiknya seperti bidadari! Eh, Manis, engkau siapakah dan hendak pergi ke mana?”

Han Li belum pernah bertemu dengan orang-orang macam itu, akan tetapi dia sudah mendengar banyak cerita dari ayah ibunya mengenai orang-orang kasar yang biasanya menjadi perampok. Maka kini dia pun dapat menduga bahwa dia sedang berhadapan dengan segerombolan perampok.

“Aku seorang gadis perantau yang hendak mencari dusun di depan sana. Harap kalian tidak menghalangiku pergi.”

“Ha-ha-ha, untuk apa mencari dusun? Kalau hanya hendak melewatkan malam, ikutlah bersama kami dan kita bersenang-senang. Kami mempunyai banyak arak dan kami pun telah menangkap beberapa ekor lembu dari dusun yang kami lewati. Kita berpesta pora. Mari, Nona!” kata si codet yang menjadi pimpinan gerombolan perampok itu.

Tangan si codet itu sudah dijulurkan ke depan untuk merangkul pinggang yang ramping itu, tapi dengan cepat Han Li sudah melangkah mundur. Pandang matanya mencorong ketika ia berkata, suaranya masih lembut namun mengandung ancaman.

“Sudah kukatakan, harap jangan halangi dan ganggu aku atau kalian akan menyesal nanti!”

“Ehhh? Engkau mengancam kami? Ho-ho-ho-ha-ha, agaknya karena engkau membawa pedang engkau dapat mengancam kami? Menyerahlah, Nona, dan aku akan bersikap manis padamu. Kalau engkau berkeras, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu!”

“Hemmm, sombongnya! Boleh kau coba kalau engkau mampu menangkap aku!” kata Han Li dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap untuk menghadapi penyerangan lawan.

“Heiii, kalian dengar, kawan-kawan? Ia menantangku, ha-ha-ha!”

Semua anak buahnya juga tertawa. “Jangan sampai dia terluka, sayang kalau sampai terluka, Toako!”

“Jangan sampai kulit yang putih mulus itu lecet!”

“Ha-ha-ha, sekali ringkus saja ia pun akan berada dalam pelukanku. Kalian lihat saja!”

Tiba-tiba si codet menubruk dengan amat cepatnya. Kedua lengannya yang panjang dikembangkan dan jari-jari kedua tangannya menyambar ke depan untuk menerkam Han Li.

Namun dengan lincah dan mudah saja Han Li menyelinap dan mengelak dari terkaman itu. Ia melihat bahwa lawannya itu hanya seorang yang mengandalkan kekuatan otot saja dan gerakannya terlalu lamban baginya. Begitu mengelak, ia sudah menyelinap ke belakang si codet dan sekali kaki kirinya bergerak, sepatu hitamnya sudah menendang pantat si codet sehingga tubuh tinggi besar itu jatuh tersungkur!

Semua anak buah kaget bukan main melihat betapa pimpinan mereka tertendang roboh oleh gadis itu hanya dalam segebrakan saja. Akan tetapi si codet menjadi penasaran dan marah sekali karena malu.

Dia merangkak bangun, lalu menghadapi Han Li dengan muka bengis dan kemerahan, kedua tangannya dibuka seperti cakar harimau dan tanpa banyak cakap lagi sekarang dia menyerang dengan pukulan dan tamparan. Sepak terjangnya ganas dan liar seperti seekor harimau.

Namun bagi Han Li gerakan itu terasa amat lambat sehingga mudah sekali baginya untuk mengelak ke kanan kiri dan setelah mendapatkan kesempatan, tangan kirinya menampar, kini mengenai leher si codet yang kembali terpelanting roboh dan sekali ini agak lambat dapat bantuan. Kepalanya terasa pening dan lehernya terasa seperti patah!

Akan tetapi hajaran kedua kali itu agaknya tidak membuat kepala gerombolan perampok itu jera. Dia bahkan mencabut golok besarnya dari pinggang dan memutar-mutar golok itu di atas kepala dengan sikap mengancam. Dia tidak lagi menyayang gadis cantik itu dan kalau perlu akan disembelihnya untuk meredakan kemarahannya.

Melihat cara orang mencabut golok dan memutar-mutar di atas kepalanya, tahulah Han Li bahwa orang ini hanya memiliki ilmu silat biasa saja, maka ia pun tak mau mencabut pedangnya. Dia siap menghadapi serbuan orang bergolok itu dengan tangan kosong saja.

“Bocah setan, mampuslah kau sekarang!” bentak si codet dan dia sudah menyerang dengan ganasnya. Goloknya berayun dari kanan ke kiri membabat ke arah leher Han Li.

Dengan menundukkan kepala Han Li sudah mengelak. Golok lewat menyambar di atas kepalanya, kemudian membalik menyambar dari kiri ke kanan membabat pinggangnya! Dengan geseran kaki ke belakang, kembali Han Li membiarkan golok itu lewat.

Setelah dua kali bacokannya dengan mudah dapat dielakkan lawan, si codet menjadi semakin penasaran.

“Hyaaaattt...!” Dia berteriak nyaring dan kini goloknya menusuk ke arah perut gadis itu.

Han Li menggeser kaki ke kiri. Ketika golok itu lewat di dekat perutnya, dia melangkah maju dan secepat kilat tangannya menampar, kini dengan tenaga yang lebih besar dan tamparan tangannya menghantam bawah leher kepala perampok itu.

“Plakkk... ughhhhh...!”

Tubuh itu terbanting keras dan tak dapat bangun kembali. Tamparan tadi amat hebatnya dan membuat kepalanya seperti remuk, bumi berputar dan matanya menjadi juling.

Sebelas orang anak buahnya melihat betapa pimpinan mereka roboh segera mencabut golok masing-masing dan dengan teriakan-teriakan dahsyat mereka serentak menyerbu dan mengeroyok Han Li yang bertangan kosong dari berbagai jurusan. Akan tetapi mereka terkejut bukan main.

Gadis yang tadi berada di tengah-tengah mereka tiba-tiba melayang ke atas dan sudah berada di belakang mereka. Mereka membalik, tetapi dua kali kaki Han Li melayang dan dua orang di antara mereka roboh.

Han Li mengamuk di antara pengeroyokan gerombolan itu dan membagi-bagi tamparan tangannya yang ampuh dan tendangan. Dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah jatuh bangun dan akhirnya, dipimpin oleh si codet, mereka melarikan diri seperti sekawanan monyet melihat singa betina mengamuk.

Han Li tersenyum geli dan mengibas-ngibaskan dua tangannya, mengebutkan bajunya supaya bebas dari kotoran debu, kemudian ia pun melanjutkan perjalanan seperti tak pernah terjadi sesuatu. Ia sudah mendapatkan pengalaman yang menarik dan ia sudah memenuhi pesan ayah ibunya, yaitu menentang kejahatan namun tidak sembarangan membunuh orang. Kalau ia menghendaki, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh semua lawan tadi.

Han Li melanjutkan perjalanannya. Yang dituju adalah ke kota raja. Ia sudah mendapat keterangan dari ayah ibunya di manakah adanya kota raja, dan ia ingin sekali melihat kota yang besar dan indah itu. Sudah banyak ia mendengar mengenai keindahan kota raja, namun belum pernah ia melihatnya.

Dengan cepat ia menuruni lereng bukit itu menuju ke sebuah dusun yang dilihatnya dari lereng bukit tadi dan mencari tempat untuk bermalam di dusun itu. Sepasang suami isteri petani yang sederhana dengan senang hati memberikan kamar mereka untuk Han Li yang menyewanya…..

Beberapa pekan telah lewat tanpa ada halangan sesuatu yang mengganggu perjalanan Yo Han Li. Pada suatu pagi tibalah ia di tepi Sungai Kuning di daerah Propinsi Shansi. Niatnya akan pergi ke kota Tai-goan dan dari sana terus ke kota Peking.

Ia berjalan menyusuri sungai besar itu untuk mencari tumpangan perahu yang akan dapat menyeberangkannya. Akan tetapi tepi di mana ia tiba itu sangat sunyi, tidak ada dusun nelayan di situ. Dan perahu-perahu yang sedang berlayar itu berada di tengah sungai sehingga ia tidak dapat menghubungi mereka.

Tiba-tiba ia melihat seorang kakek sedang memancing ikan. Kakek itu duduk di atas sebongkah batu di tepi sungai dan memegangi tangkai pancing dari batang bambu kecil, matanya penuh perhatian memandang joran pancingnya.

Memang itulah nikmatnya seorang pemancing ikan. Memperhatikan joran pancingnya dengan penuh harapan dan begitu joran pancingnya bergerak, begitu tangan yang memegang tangkai pancing itu merasakan sentakan, itu tandanya umpan disambar ikan dan pada saat yang tepat menggerakkan tangkai pancingnya ke atas supaya pancing dapat menusuk mulut ikan!

Han Li tidak mengerti tentang seni memancing ikan. Kalau pemancing ikan sedang mencurahkan segenap perhatian kepada joran pancingnya, dia sama sekali tidak boleh ditegur atau diganggu. Karena tidak tahu, Han Li menghampiri kakek itu dari belakang dan bertanya, “Kakek yang baik, tahukah engkau di mana aku bisa menyewa perahu untuk menyeberangkan aku?”

Kakek yang sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada joran pancingnya serta melupakan segala yang berada di sekelilingnya itu terkejut dan marah.

“Apakah engkau tidak melihat bahwa aku sedang memancing?!” kakek itu membentak tanpa menoleh.

Han Li sangat terkejut. “Maafkan kalau aku mengganggu. Kalau engkau dapat memberi keterangan padaku di mana aku dapat menyewa perahu, biarlah aku beri sedikit uang agar engkau dapat membeli ikan, dari pada susah payah memancing.”

Tapi kakek itu menjadi lebih marah lagi. “Aku tidak butuh ikannya! Aku membutuhkan ketenangan memancingnya. Kalau aku ingin ikan, tidak usah membeli. Dan kalau hanya menangkap ikan, apa sih sukarnya? Kau lihat!”

Tiba-tiba kakek itu menggerakkan ujung tangkai pancingnya ke dalam air seperti orang menusuk dengan tombak. Ketika dia mengangkat tangkai pancing itu... di ujung tangkai dari bambu itu sudah tertusuk seekor ikan besar yang menggelepar-gelepar.

Han Li terkejut sekali. Ia maklum bahwa kakek ini seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia memberi hormat dan berkata, “Harap Locianpwe suka memaafkan kalau aku sudah mengganggu ketenangan Locianpwe.”

“Enak saja mengganggu ketenanganku, engkau bahkan sudah menghilangkan seleraku memancing!”

Kakek itu melemparkan ikan dan tangkai pancingnya ke air, lalu membalikkan tubuhnya sambil melompat berdiri. Ternyata kakek itu gemuk dan pendek sekali, bahkan masih kalah tinggi dibandingkan Han Li. Wajahnya seperti kanak-kanak, telinganya lebar dan matanya kemerahan. Wajah itu mendatangkan rasa ngeri dalam hati Han Li.

Ketika kakek itu melihat Han Li, matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. “Aha, kiranya yang menggangguku adalah seorang gadis yang cantik jelita. Nona, engkau ini manusia ataukah penunggu sungai ini?”

Dalam ucapan dan pandang mata kakek itu terkandung keceriwisan seorang yang mata keranjang, maka Han Li lalu memutar tubuhnya hendak pergi dari situ tanpa menjawab pertanyaan tadi. Akan tetapi ketika ia memutar tubuh dan baru melangkah, tiba-tiba ada bayangan orang melewatinya dan tahu-tahu kakek itu telah berdiri di depannya.

“Ho-ho-ho, nanti dulu, Nona. Engkau sudah menggangguku dan sekarang hendak pergi begitu saja? Tidak bisa, tidak boleh! Engkau harus dihukum untuk gangguanmu tadi.”

“Locianpwe, atas kesalahan itu aku tadi telah minta maaf dan bersedia untuk mengganti kerugianmu. Harap Locianpwe tidak menghalangiku dan biarkan aku pergi melanjutkan perjalananku.”

“Ha-ha-ha, enak saja! Orang yang telah menggangguku selagi memancing, seharusnya dihukum mati. Akan tetapi melihat engkau begini cantik, biarlah hukuman itu kuubah. Engkau tidak akan kuhukum mati, tetapi harus menjadi pelayanku selama satu minggu!”

“Engkau keterlaluan, Locianpwe. Aku tak mau menjadi pelayanmu walau hanya sehari, apa lagi seminggu.”

“Hemmm, keputusan hukumanmu tidak dapat diubah lagi. Mau atau tidak engkau harus menjadi pelayanku selama seminggu.”

“Aku tidak sudi dan harap jangan halangi aku pergi!” kata Han Li dengan marah.

Han Li lalu membalikkan tubuh lagi untuk meninggalkan kakek pendek gemuk itu. Akan tetapi kembali ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu kembali telah berada di depannya, mengembangkan kedua lengannya sambil menyeringai.

“Engkau tidak boleh pergi sebelum aku membebaskanmu!” katanya.

Han Li menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya dia mendorong pundak kakek itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. Akan tetapi betapa terkejutnya Han Li ketika tangannya bertemu dengan pundak yang sekokoh baja dan tubuh itu sama sekali tidak tergoyangkan dorongannya!

“Ha-ha-ha, mana bisa engkau menyuruhku pergi?” Kakek itu mengejek.

Dalam kemerahannya, Han Li lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar dada kakek itu. Tamparannya ini kuat sekali karena ia mengerahkan tenaga sinkang.

“Wuuuuuttt...plakkk!”

Untuk kedua kalinya ia terkejut dan merasa heran. Tamparannya tadi demikian kuatnya sehingga akan mampu menghancurkan sebongkah batu. Akan tetapi ketika mengenai dada kakek itu, pukulannya itu tidak berarti sama sekali, tenaga sinkang-nya bagaikan tenggelam dan hilang sendiri. Ini hebat! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek sakti yang agaknya berniat jahat terhadap dirinya, Han Li lalu menyerang dengan ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah) yang dipelajari dari ibunya!

Kakek itu pun mengeluarkan seruan heran dan tubuhnya demikian cepatnya mengelak ke sana sini, lalu dia berseru sambil meloncat ke belakang. “Hei, bukankah ini Ang-ho Sin-kun? Apa hubunganmu dengan Si Bangau Merah?”

Han Li merasa bangga bahwa kakek ini mengenal ilmu silat ibunya. “Beliau adalah ibu kandungku!”

“Ho-ho-ho, kebetulan sekali, tidak dapat menghajar ibunya, anaknya pun boleh mewakili ibunya. Nah, kini hukumanmu ditambah lagi. Engkau harus menjadi pelayanku selama satu bulan penuh. Sama sekali tidak boleh ditawar-tawar lagi dan kelak engkau boleh bercerita kepada Si Bangau Merah bahwa engkau pernah menjadi pelayanku selama satu bulan! Ha-ha-ha!”

“Kakek yang sesat! Kalau ayahku mengetahui hal ini, engkau tentu akan dihajar sampai setengah mampus! Ayah kandungku adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han!”

“Ha-ha-ha, itu aku sudah tahu karena aku pernah mendengar bahwa Si Bangau Merah telah menikah dengan Si Tangan Sakti. Karena itu, sampai hari ini perasaan penasaran di hatiku kupendam saja. Dan sekarang engkau muncul tanpa kusangka-sangka. Biarlah rasa penasaran ini kutumpahkan kepadamu!”

“Apa kesalahan ibuku sehingga engkau hendak membalas dendam melalui penghinaan atas diriku?”

“Dulu, pada waktu mudanya, Si Bangau Merah pernah mencampuri satu urusanku dan membikin malu diriku sehingga belasan tahun aku tak ada muka untuk muncul di dunia kang-ouw. Akan tetapi sekarang, ha-ha-ha, biar dia dibantu suaminya, aku tidak akan merasa gentar. Nah, hayo cepat berlutut dan beri hormat kepada majikanmu!”

“Aku tidak sudi!” jawab Han Li.

“Kalau begitu aku akan memaksamu berlutut!”

Kakek itu kemudian menggerakkan tangan kirinya ke arah pundak Han Li. Han Li cepat mengelak, akan tetapi tetap saja merasa pundaknya dilanda angin yang mengandung hawa panas. Ia meloncat ke belakang dan cepat mencabut pedangnya.

“Kalau engkau tidak menghentikan perbuatanmu, terpaksa pedangku ikut bicara!”

“Ha-ha-ha-ha, pedang mainan kanak-kanak itu hendak kau pakai untuk menakut-nakuti aku? Ha-ha-ha-ho-ho!”

Han Li maklum bahwa kakek ini sudah nekat, maka ia kemudian memainkan ilmu silat Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang ia pelajari dari ibunya pula. Ilmu pedang ini hebat bukan main. Saat ia menggerakkan pedangnya, pedang itu mengaum seperti seekor singa marah. Pedangnya berkelebatan dan membentuk gulungan sinar pedang yang dahsyat.

Ilmu pedang ini berasal dari Lembah Naga Siluman yang dikuasai oleh Kam Hong. Kam Hong mengajarkan kepada puterinya, Kam Bi Eng dan Kam Bi Eng menurunkan kepada Tan Sian Li Si Bangau Merah. Kini Tan Sian Li menurunkan kepada puterinya, Yo Han Li.

Sebetulnya, ilmu pedang ini merupakan gabungan ilmu pedang dan ilmu silat suling dan biasanya Tan Sian Li memainkannya dengan sebatang suling berselaput emas. Akan tetapi Yo Han Li tidak suka menggunakan suling, maka oleh ibunya lalu diganti pedang. Walau pun dengan pedang ilmu itu menjadi Ilmu Pedang Naga Siluman, namun unsur-unsur ilmu Suling Emas masih terkandung di dalamnya, maka kehebatannya luar biasa.

Kakek itu berilmu tinggi karena sesungguhnya dia adalah seorang tokoh datuk selatan yang berjuluk Lam-hai Koai-jin (Orang Aneh Laut Selatan). Walau pun usianya sudah enam puluh tahun namun wajahnya seperti kanak-kanak dan wataknya keras, bahkan dia mempunyai watak mata keranjang pula.

Melihat Han Li yang demikian cantiknya, timbul nafsunya dan ingin dia mempermainkan gadis itu. Apa lagi ketika mendengar bahwa gadis itu puteri Si Bangau Merah, nafsunya makin menjadi.

Dahulu, dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih bertualang di selatan, pernah dia bertemu dengan Si Bangau Merah dan hendak mempermainkannya. Akan tetapi dia lalu dikalahkan oleh pendekar wanita itu. Karena itu, kini dia hendak membalas dendamnya kepada puteri musuh besarnya itu.

Namun, menghadapi permainan pedang Han Li, kakek itu menjadi sibuk dan kewalahan juga. Setelah berloncatan mundur dan kadang ke kanan kiri untuk mengelak, akhirnya dia menyambar tangkai pancingnya dan dengan senjata istimewa ini dia lalu melakukan perlawanan.

Tangkai pancing dari bambu itu bersiutan menyambar-nyambar dan dapat dipergunakan untuk menangkis pedang lawan tanpa khawatir patah atau putus. Juga tangkai pancing itu lebih panjang dari pedang sehingga kakek itu lebih leluasa menyerang Han Li.

Gadis ini terkejut bukan main. Ia memang sudah menduga bahwa kakek itu lihai sekali, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa dengan tangkai pancing bambu seperti itu kakek itu mampu melawan, bahkan mendesak dirinya! Ujung tangkai itu kini menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darahnya. Selain itu, juga tangkai pancing itu terus berputar-putar bagai dayung lebar dan ujungnya seperti seekor lebah yang mengancam kepala dan lehernya.

Pada saat yang amat gawat bagi Han Li, tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh-kekeh, “Heh-heh-heh, datuk Lam-hai Koai-jin sekarang sudah menjadi seorang pengecut yang menyerang seorang gadis yang pantas menjadi cucunya!”

Mendengar suara tawa ini, kakek itu segera menahan gerakan tangkai pancingnya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Han Li yang sudah terdesak itu untuk melompat ke belakang.

Ternyata yang datang dan tertawa itu adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun. Tubuhnya tinggi kurus seperti orang yang kurang makan, pakaiannya juga penuh tambalan walau pun bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu. Dari pakaiannya saja sudah dapat diduga bahwa kakek ini seorang pengemis. Rambutnya yang sudah putih semua dibiarkan tergantung di sekeliling pundak dan lehernya.

Melihat pengemis tua ini, Lam-hai Koai-jin terkejut dan segera mengenalnya.

“Lu Tong Ki, gembel tua bangka busuk, mau apa engkau mencampuri urusanku? Gadis ini telah mengganggu aku yang sedang enak-enak memancing ikan, maka perlu kuberi hukuman. Bukankah itu sudah adil?”

“Memang adil, heh-heh-heh. Akan tetapi bagaimana caranya gadis ini mengganggumu dan hukuman apa yang hendak kau berikan kepadanya?”

“Ia mengganggu ketenanganku memancing ikan.”

“Dia bohong, Kek!” Han Li cepat berkata. “Aku hanya menghampiri dia dan bertanya di mana aku bisa mendapatkan tukang perahu untuk menyeberangkan aku ke seberang sana. Tahu-tahu dia marah dan menyerangku!”

“Heh-heh-heh, dan hukuman apa yang akan kau berikan kepada Nona ini, Koai-jin?”

“Aku hanya minta agar ia menjadi pelayanku selama beberapa hari...”

“Tidak begitu, Kek. Tadi dia minta aku berlutut di depannya sebagai majikanku dan dia hendak menjadikan aku pelayannya selama satu bulan!” kata pula Han Li dengan suara nyaring.

“Wah-wah-wah, ini sudah keterlaluan sekali namanya. Tidak malukah engkau, Koai-jin, menghina dan mengganggu seorang gadis muda seperti itu?”

“Kai-ong (Raja Pengemis), jangan engkau usil dan mencampuri urusanku atau terpaksa aku harus menghajarmu pula!”

Kakek yang bernama Lu Tong Ki yang berjuluk Kai-ong itu tertawa panjang. “He-he-heh! Engkau hendak menghajarku? Sejak kapan engkau berani mengeluarkan kesombongan seperti itu? Dan bagaimana caranya engkau hendak menghajarku? Dengan apa?”

“Tentunya dengan ini!” Lam-hai Koai-jin berteriak marah sambil menggerakkan tangkai pancingnya.

Kalau tadi ketika melawan Han Li dia menggenggam pancingnya sehingga pancing itu tidak akan melukai Han Li. Sekarang dia melepaskan pancingnya sehingga ketika dia menyerang, pancing yang berupa kaitan besi kecil menyambar dahsyat ke arah muka Kai-ong.

Akan tetapi Lu Tong Ki bersikap tenang sekali. Begitu pancing itu menyambar dekat, tongkat bambu di tangannya bergerak.

“Trakkk!”

Pancing itu terpental ketika tertangkis tongkat bambu itu dan selanjutnya kedua kakek itu saling menyerang dan tubuh mereka berkelebatan dengan cepat sekali. Bagi orang biasa yang melihatnya, tentu tidak akan mampu mengikuti gerakan mereka karena dua orang itu seperti berubah menjadi bayang-bayang saja.

Akan tetapi Han Li sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat, karena itu ia dapat mengikuti gerakan mereka dan ia merasa kagum bukan main. Kedua orang kakek itu menggunakan kecepatan gerakan mereka untuk mendapat kemenangan dan agaknya dalam hal ilmu ginkang (ilmu meringankan tubuh) keduanya seimbang. Nampaklah sinar tongkat bergumul dengan sinar tangkai pancing, sedangkan pancingnya sendiri sudah sejak tadi putus talinya.

Karena tidak mampu menang dalam hal kecepatan gerakan, Lam-hai Koai-jin kemudian memperlambat gerakannya dan kini dia menggerakkan tangkai pancingnya dan juga menggerakkan tangan kirinya yang terisi penuh tenaga sinkang. Melihat ini, Lu Tong Ki juga mengimbangi lawan dan dia pun mengerahkan tenaga sinkang untuk menandingi pukulan Koai-jin. Mereka ini saling pukul dan suara pukulan mereka menderu-deru, membuat pepohonan di sekeliling mereka bergoyang dan daunnya runtuh berguguran.

Dengan penasaran sekali Koai-jin melempar tangkai pancingnya, dan kini tubuhnya berjongkok. Tubuh yang pendek itu berjongkok sampai pantatnya hampir menyentuh tanah. Dalam keadaan berjongkok itu dia memukulkan kedua tangannya yang terbuka ke depan, dan dari dalam mulutnya terdengar suara nyaring sekali.

“Kok-kok-kok!”

Han Li merasa geli karena sikap dan suara Koai-jin seperti seekor katak besar yang menggembung perutnya.

Akan tetapi agaknya Kai-ong tidak memandang rendah serangan seperti katak besar ini. Dia pun menancapkan tongkatnya ke atas tanah, menekuk kedua lututnya dan dia juga mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut serangan lawan.

Jarak di antara mereka ada sekitar dua meter, akan tetapi ketika dua tenaga dahsyat itu bertemu, Han Li merasa ada getaran hebat melanda dirinya sehingga ia cepat duduk bersila dan mengarahkan sinkang agar jangan sampai terluka. Ia melihat betapa kedua orang kakek itu tergetar, akan tetapi tubuh Koai-jin kemudian terpental dan bergulingan ke belakang, sedangkan tubuh Kai-ong hanya bergoyang-goyang saja.

Lam-hai Koai-jin terpental masuk ke dalam sungai. Terdengar suara berjebur, kemudian tubuhnya lenyap ditelan air. Han Li cepat berlari ke tepi sungai dan melihat. Ternyata tubuh itu tidak tersembul kembali.

“Ahh, dia mati Kek...?” tanyanya kepada Kai-ong yang juga sudah berdiri di dekatnya memandang ke air sungai yang dalam itu.

“He-he-heh, dia mati? Hemmm, agaknya engkau masih belum mengenal siapa adanya Lam-hai Koai-jin. Dia datuk besar Laut Selatan, bagaimana bisa mati tercebur ke dalam sungai? Tidak, saat ini dia pasti sudah muncul jauh dari sini, entah berapa jauhnya karena ketika tercebur tadi, dia menyelam. Dia memang seekor katak buduk besar yang lihai!”

“Ahhh...!” Gadis itu berseru kagum. “Akan tetapi engkau telah dapat mengalahkannya, Locianpwe!”

Han Li menyebut locianpwe untuk menghormati kakek pengemis yang ternyata sangat sakti itu.

“Heh-heh-heh, jangan sebut aku Locianpwe atau aku tidak akan sudi bicara denganmu. Namaku Lu Tong Ki, sebut saja aku kakek atau Kai-ong karena memang itu julukanku. Jelek-jelek aku ini raja lho, walau pun hanya raja pengemis, heh-heh-heh!”

“Baiklah, aku akan menyebutmu Kakek atau Kai-ong. Aku merasa berterima kasih sekali kepadamu, Kakek, karena kalau engkau tidak datang mengusir Katak Buduk itu, entah apa jadinya dengan diriku.”

Kai-ong menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya mengeluarkan suara berdecak, baru kemudian da berkata, “Engkau tentu akan celaka sekali! Katak Buduk itu memang jahat, orang yang paling jahat di selatan dan sampai tua tetap saja dia mata keranjang dan jahat sekali. Akan tetapi aku melihat ilmu pedangmu hebat sekali, dan ilmu pedang seperti itu setahuku hanyalah Koai-liong Kiam-sut. Benarkah demikian?”

“Pandanganmu tajam sekali, Kek. Memang benar aku tadi memainkan jurus-jurus dari Koai-liong Kiam-sut.”

“Aha! Kalau begitu, apa hubungannya dengan Lembah Naga Siluman? Bukankah ilmu itu milik Pendekar Suling Emas dan Naga Siluman, Locianpwe Kam Hong?”

“Beliau adalah kakek buyutku, Kek.”

Raja Pengemis itu nampak girang bukan main. “Kalau begitu sudah tentu engkau puteri Si Bangau Merah dan Pendekar Tangan Sakti, bukan?”

“Benar sekali.”

“He-he-heh, pantas saja Katak Buduk tadi hendak menghinamu karena aku mendengar dia pernah dikalahkan oleh ibumu.”

“Dia tadi juga mengatakan demikian, Kek.”

“Engkau hendak ke manakah dan siapa pula namamu?”

“Namaku Yo Han Li, dan aku sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja. Aku tadi mencari tukang perahu untuk menyewa perahunya menyeberangi sungai ini.”

“Wah, kebetulan sekali jika begitu. Aku pun hendak ke kota raja, sudah terlalu lama aku tidak menikmati masakan di dapur istana. Aku mempunyai sebuah perahu kecil. Tuh di sana perahuku. Han Li, maukah engkau menyeberang bersamaku kemudian melakukan perjalanan bersamaku ke kota raja?”

“Tentu saja aku mau, Kek. Akan tetapi...” Ia memandang pakaian kakek itu. “Aku tidak mau kalau kau ajak mengemis. Aku membawa bekal uang cukup banyak.”

"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Biar pun pengemis, tetapi aku ini rajanya, tahu? Mana ada seorang raja yang pekerjaannya mengemis?”

“Akan tetapi pakaianmu itu, Kek. Penuh tambalan. Biar nanti kubelikan pakaian yang lebih pantas untukmu.”

“Oho, kau kira yang kupakai ini pakaian apa? Ini adalah pakaian kebesaranku sebagai Raja Pengemis, tahukah engkau? Biar ditukar dengan pakaian kaisar sekali pun, aku tidak akan mau. Dan di dalam buntalan ini masih ada beberapa stel pakaian kebesaran. Jangan khawatir, aku setiap hari mandi dan bertukar pakaian. Biar pengemis, aku bukan pengemis busuk, heh-heh-heh!”

Wajah Han Li berubah kemerahan. “Aku pun tidak mengatakan engkau demikian, Kek. Akan tetapi, orang melakukan perjalanan harus ada hubungannya. Sedangkan aku tidak mempunyai hubungan apa pun denganmu. Bagaimana kalau aku menyebut suhu dan menjadi muridmu? Sebagai suhu dan muridnya, tentu tidak aneh melakukan perjalanan bersama.”

Kakek itu tertawa dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Li. “Gadis cerdik, engkau ingin aku mengajarkan ilmu silat kepadamu? Bagaimana kalau kelak Pendekar Tangan Sakti dan Si Bangau Merah mengetahui? Tentu mereka akan menjadi marah kepadaku.”

“Tidak, aku jamin. Kalau orang tuaku bertanya, aku akan mengaku bahwa akulah yang ingin menjadi muridmu, bukan engkau yang minta aku menjadi muridmu.”

“Heh-heh-heh, engkau memang cerdik sekali.”

Melihat kakek itu tidak membantah lagi, Yo Han Li lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu sambil menyebut ‘suhu’. Lu Tong Ki segera membangunkan Han Li.

“Sudahlah, tak perlu memakai banyak peradatan. Aku memang suka menerima engkau menjadi murid. Engkau puteri sepasang pendekar besar dan engkau berbakat sekali. Akan tetapi, dari semua ilmuku yang dapat menandingi ilmu-ilmumu hanya sebuah saja, yaitu Ta-kwi-tung (Tongkat Pemukul Iblis). Itulah yang akan kuajarkan kepadamu sambil melakukan perjalanan ke kota raja.”

"Terima kasih, Suhu.”

“Nah, sekarang mari kita seberangi sungai ini, Han Li.” kata kakek itu sambil meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang berada di pantai.

Kiranya kakek itu tadi datang berperahu. Han Li juga menyusul Lu Tong Ki meloncat ke dalam perahu. Kalau tadi ketika kakek itu meloncat, perahu sama sekali tidak bergoyang seolah yang hinggap di perahu itu hanya seekor burung. Tetapi ketika Han Li meloncat, perahu itu bergoyang sedikit. Ini saja menunjukkan bahwa dalam hal ginkang, kakek itu telah memiliki ilmu yang tinggi sekali.

Karena perahu itu hanya mempunyai sebuah dayung, Han Li lalu meminta dayung itu dari gurunya dan sebagai seorang murid yang baik, dialah yang mendayung perahu itu menyeberang ke pantai timur. Lu Tong Ki tidak membantah dan membiarkan muridnya mendayung perahu itu. Perahu itu pun meluncur dengan cepatnya karena Han Li mengerahkan sinkang untuk mendayung perahu itu….

Ketika perahu itu tiba di seberang sungai, dari perahu mereka dapat melihat seorang wanita berpakaian putih sedang dikeroyok oleh belasan orang yang memegang pedang. Wanita itu bersenjatakan sabuk sutera putih dan gerakannya ringan bagaikan seekor burung bangau putih.

Namun, belasan orang pengeroyoknya itu membentuk barisan pedang yang lihai sekali sehingga wanita itu agaknya berada dalam keadaan cukup berbahaya. Ke mana pun dia bergerak, selalu dia bertemu dengan pedang para pengeroyok yang sudah mengepung dirinya dengan barisan yang teratur rapi.

Kai-ong Lu Tong Ki berkata kepada Han Li. “Han Li, kalau melihat perkelahian itu, apa yang akan kau lakukan? Kau hendak membantu pihak yang mana?”

Han Li berdiri di perahu dan memandang sejenak.

“Aku akan melerai dan menegur belasan orang yang mengeroyok seorang wanita itu, Suhu. Kalau mereka tidak mau menurut, tentu aku akan membantu wanita itu. Ia amat lihai, akan tetapi para pengeroyoknya menggunakan barisan yang amat kuat.”

“Engkau benar dan lakukanlah!” kata kakek pengemis itu sambil tersenyum.

Mendengar ucapan gurunya, Han Li segera melompat ke darat dan berlari menghampiri mereka yang sedang bertanding. Setelah mencabut pedangnya, Han Li menerjang para pengeroyok sambil berseru, “Tahan senjata!”

Dua orang pengeroyok yang pedangnya bertemu dengan Han Li terkejut karena pedang mereka terpental, hampir terlepas dari pegangan. Yang lain lalu berhenti mengeroyok gadis berpakaian putih yang bukan lain adalah Souw Cu In itu.

“Berhenti dulu!” kata Han Li sambil memandang kepada Cu In. “Kalian ini belasan orang laki-laki mengapa mengeroyok seorang wanita? Itu curang namanya!”

“Siapa kau berani mencampuri urusan kami?”

“Tidak peduli aku siapa, akan tetapi kalau melihat kecurangan aku tidak akan tinggal diam. Kalau kalian ini bertanding satu lawan satu aku tentu tidak akan campur tangan.”

“Perempuan ini lancang. Hajar saja!” terdengar teriakan mereka.

Kembali mereka bergerak dengan teratur dan menggerakkan pedang untuk menyerang. Akan tetapi sekali ini bukan hanya Cu In yang dikeroyok, melainkan juga Han Li.

Han Li menggerakkan pedangnya dan Cu In menggerakkan sabuk suteranya. Gerakan dua orang gadis ini begitu hebatnya sehingga barisan pedang itu mulai menjadi kacau.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Semua pengeroyok mengundurkan diri mendengar bentakan ini dan di situ telah muncul seorang kakek berusia enam puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat dan mendatangi tempat itu dengan terpincang-pincang. Ternyata kaki kiri kakek ini timpang sehingga jalannya terpincang-pincang.

Melihat kakek itu, Cu In amat terkejut karena dia mengenal kakek itu sebagai Toat-beng Kiam-sian Lo Cit yang amat lihai itu. Baru-baru ini dia dan Keng Han dapat meloloskan diri dari pengeroyokan kakek ini bersama anak buahnya.

Tadi ketika menyeberangi sungai dan di daratan timur bertemu dengan belasan orang itu yang mengeroyoknya dengan pedang, dia sudah menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kwi-kiam-pang. Agaknya di antara mereka ada yang mengenal dirinya yang pernah bermusuhan dengan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit.

“Ha-ha-ha, kiranya engkau!” Kakek itu menuding ke arah Cu In. “Sekarang jangan harap engkau akan dapat lolos dari tanganku!”

Berkata demikian kakek itu lalu menggerakkan tongkat pedangnya menyerang Cu In. Gadis ini mengelak dan Han Li membantu, akan tetapi para anak buah Kwi-kiam-pang sudah maju pula mengeroyoknya.

Serangan Lo Cit terhadap Cu In amat hebatnya sehingga dalam waktu pendek saja Cu In sudah terdesak hebat. Juga Han Li yang dikeroyok anak buah Kwi-kiam-pang yang mernbentuk barisan, kini telah terdesak pula.

Tiba-tiba terdengar suara tawa orang. “Ha-ha-ha, Pangcu dari Kwi-kiam-pang ternyata hanyalah seorang pengecut yang mengeroyok dua orang gadis muda!”

Mendengar ucapan itu, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit meloncat mundur untuk melihat. Ketika melihat seorang kakek berpakaian tambal-tambalan, dia mengerutkan alisnya. Dia lalu menudingkan tongkat pedangnya ke arah muka pengemis itu dan membentak, “Bukankah engkau Lu Tong Ki yang di juluki Kai-ong? Mau apa engkau mencampuri urusan pribadiku?!”

“Heh-heh-heh, tentu saja aku mencampuri karena yang dikeroyok itu adalah muridku. Bebaskan kedua orang gadis itu dan aku tidak akan mencampuri urusanmu lagi.”

Lo Cit sebetulnya merasa jeri terhadap kakek yang namanya terkenal sekali di antara para datuk itu, akan tetapi dia berbesar hati karena di situ terdapat belasan orang murid-murid utamanya yang sudah pandai membentuk barisan pedang yang amat lihai.

“Kalahkan dulu kami kalau engkau ingin bebas!” tantangnya.

Dia pun langsung menggerakkan pedang yang tersembunyi dalam tongkatnya itu untuk menyerang Kai-ong. Melihat pimpinan mereka sudah menyerang kakek pengemis yang baru tiba itu, anak buah Kwi-kiam-pang kembali menyerbu ke arah Cu In dan Han Li. Kedua orang gadis itu menggerakkan senjata mereka masing-masing dan bekerja sama melakukan perlawanan.

Pertempuran antara Lo Cit melawan Kai-ong amat ramai dan hebatnya. Ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya Kai-ong mempunyai kecepatan yang lebih dari lawannya sehingga serangan tongkatnya membuat Li Cit agak kewalahan. Biar pun ilmu pedang Lo Cit amat dahsyat, akan tetapi karena gerakannya kalah cepat, dialah yang terdesak...


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 12


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.