Pusaka Pulau Es Bagian 12

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PUSAKA PULAU ES BAGIAN 12

Sementara itu, setelah kini dibantu Han Li, Cu In mengamuk dan dapat mendesak para pengeroyoknya. Anak buah Kwi-kiam-pang yang membentuk kiam-tin (barisan pedang) mulai kacau dan kocar-kacir diamuk dua orang gadis perkasa itu.

Akan tetapi Kai-ong agaknya maklum bahwa apa bila datang lebih banyak anak buah Kwi-kiam-pang, tentu keadaan mereka akan menjadi berbahaya sekali. Juga dia pun maklum bahwa Dewa Pedang itu mempunyai anak perempuan dan murid yang lihai. Kalau mereka datang mengeroyok, kekuatan mereka bertambah dan tentu dia bersama dua orang gadis itu menjadi repot. Kai-ong memutar tongkatnya dengan cepat, membuat Lo Cit terkejut dan mundur.

“Lo Cit, biarlah lain kali saja kita lanjutkan perkelahian ini, aku masih mempunyai banyak urusan. Han Li dan engkau Nona, mari kita pergi!”

Sebetulnya Han Li dan Cu In merasa heran mengapa orang tua itu mengajak mereka pergi, padahal keadaan mereka tidak kalah, bahkan sedang mendesak lawan. Akan tetapi Han Li tidak berani membantah perintah gurunya.

“Enci, mari kita pergi!” ajaknya kepada Cu In.

Cu In sendiri maklum bahwa tanpa bantuan gadis dan gurunya itu, tentu ia akan celaka di tangan musuh. Maka ia pun melompat keluar dari gelanggang perkelahian dan pergi mengikuti Han Li yang sudah melarikan diri bersama gurunya.

Melihat tiga orang itu melarikan diri, Lo Cit yang tahu diri tidak mengejar. Keadaannya tadi sudah sangat terdesak, jelas kekuatan musuh lebih besar. Mengejar berarti mencari penyakit, maka dia pun tidak mau mengejar, dan mengajak anak buahnya untuk kembali ke bukit Kwi-san.

Setelah yakin bahwa mereka tidak dikejar, Kai-ong berhenti berlari dan dua orang gadis itu pun berhenti. Kai-ong tertawa-tawa, “Heh-heh-heh, baru sekali ini aku berlari-larian seperti orang dikejar anjing!”

“Akan tetapi, Suhu. Kita sama sekali tidak kalah, malah kita mendesak lawan, kenapa Suhu mengajak kami melarikan diri?”

“Benar, Locianpwe, orang-orang Kwi-kiam-pang itu adalah orang-orang jahat yang perlu dihajar. Kenapa Locianpwe mengajak kami melarikan diri?” bertanya pula Cu In dengan hati penasaran.

“Heh-heh-heh, kalian tahu? Kalau aku mengajak kalian melarikan diri itu adalah untuk keselamatan kalian! Aku mengenal Kwi-kiam-pang. Selain mereka itu lihai, juga mereka licik dan curang sekali, suka menggunakan alat-alat rahasia dan jumlah mereka banyak. Kalau yang lain-lain berdatangan, bagaimana aku akan mampu menyelamatkan kalian. Lebih baik kita pergi selagi mereka terdesak sehingga mereka tidak berani mengejar, heh-heh-heh!”

“Sudah lama aku mendengar kecerdikan Kai-ong, dan ternyata memang Locianpwe cerdik sekali!” puji Cu In.

“Ehhh? Engkau mengenal nama julukanku?”

“Sudah lama aku mengenalnya, Locianpwe dan hari ini aku beruntung sekali mendapat pertolongan Locianpwe dan Adik ini.”

“Enci, tak ada kata tolong-menolong. Sudah menjadi kewajiban kami untuk turun tangan menentang yang jahat. Enci, namaku Yo Han Li, dan bolehkah kami tahu siapa nama Enci?”

“Hemmm, melihat ilmu pedangmu tadi, engkau tentu puteri dari Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan Si Bangau Merah, bukan?”

“Ahh, Enci ternyata berpandangan luas dan mempunyai banyak pengalaman sehingga mengenal pula ilmu pedangku. Siapakah engkau, Enci yang baik?”

“Namaku Souw Cu In dari Beng-san.”

“He-he-heh, engkau dari Beng-san? Melihat sepak terjangmu yang hebat dengan sabuk suteramu, tentu engkau ini murid Ang Hwa Nio-nio. Benarkah?”

Cu In memberi hormat. “Locianpwe berpandangan luas dan tentu mengenal Subo.”

Kai-ong mengerutkan alisnya. “Hemm, siapa yang tidak mengenal Ang Hwa Nio-nio dan muridnya Bi-kiam Niocu yang tanpa berkedip suka membunuhi orang? Nama mereka terkenal sekali!”

Mendengar ini, Cu In juga mengerutkan alis. Ia sendiri harus mengakui bahwa subo-nya dan suci-nya sangat kejam terhadap kaum pria. Salah sedikit saja tentu akan mereka bunuh! Ia sendiri tidak demikian dan selalu menentang perbuatan yang kejam itu, dan karena ini pula ia selalu menyembunyikan mukanya agar tidak dilihat pria dan tidak ada pria yang tertarik kepadanya, agar dia tidak usah menyakiti atau membunuh pria itu.

“Subo dan suci memang tersohor, aku lebih suka tidak dikenal orang,“ katanya perlahan dan suaranya mengandung penyesalan besar. “Sekarang aku harus pergi, dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Kalian)!” Setelah berkata demikian, gadis berpakaian putih itu lalu berkelebat lenyap dari situ.

Han Li menghela napas panjang. “Sayang sekali ia pergi. Padahal aku ingin berkenalan lebih lanjut dan ingin melihat wajahnya, Suhu.”

“Ah, sudahlah. Lebih baik ia lekas pergi dan tidak bersama kita agar kita tidak berurusan dengannya. Ia menyembunyikan mukanya tentu bukannya tanpa sebab, apa lagi kalau mengingat watak suci dan subo-nya.”

“Kenapa suci dan subo-nya, Suhu?”

“Mereka adalah pembunuh-pembunuh kejam. Kalau ada laki-laki berani menegur atau memuji, atau bahkan hanya memandang mereka terlalu lama, laki-laki itu tentu akan dibunuhnya! Mereka itu pembenci kaum pria yang sudah hampir gila barangkali!”

“Ahhh...! Akan tetapi aku melihat enci Souw Cu In tadi begitu lemah lembut dan aku yakin dia pasti memiliki wajah yang cantik sekali.”

“Hemmm, siapa tahu? Menurut pengalamanku, wanita yang memiliki wajah cantik tentu selalu ingin memamerkan kecantikannya itu, bukan malah disembunyikan di balik cadar. Aku ragu apakah ia memiliki wajah cantik seperti yang kau duga!”

“Akan tetapi, wajahnya bagian atas demikian indahnya, terutama sepasang matanya. Tidak mungkin kalau dari hidung ke bawah tidak sempurna.”

“Sudahlah, bagaimana pun juga, ia hendak menyembunyikan dirinya di balik cadar. Itu adalah haknya. Sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

Guru dan murid ini melanjutkan perjalanan dan makin lama Han Li semakin sayang kepada gurunya. Gurunya bersikap manis budi, lemah lembut dan mengajarkan ilmu tongkat dengan sungguh-sungguh. Dia merasa seolah melakukan perjalanan bersama kakeknya sendiri….
cerita silat karya kho ping hoo

Para pendekar serta ketua-ketua perkumpulan persilatan besar semacam Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan yang lain-lain merasa heran sekali melihat sikap Thian It Tosu, ketua Bu-tong-pai yang secara mendadak begitu bersemangat untuk memberontak terhadap kerajaan Ceng. Dan yang lebih mengherankan mereka lagi adalah betapa ketua ini kini tidak segan-segan untuk bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.

Bahkan banyak tokoh Bu-tong-pai sendiri merasa heran akan sikap ketua mereka ini. Akan tetapi karena Thian It Tosu memiliki alasan yang kuat, yaitu untuk berjuang harus menyatukan segala kekuatan, mereka pun tidak berani membantah.

Pada suatu hari Thian It Tosu memanggil para sute dan muridnya dalam suatu rapat. Ketua Bu-tong-pai ini masih merasa badannya kurang enak dan kurang sehat sehingga suaranya juga masih parau.

"Pinto merasa tidak sehat, maka untuk memulihkan kesehatan, pinto harus beristirahat dan bersemedhi. Selama pinto bersemedhi, tidak ada seorang pun boleh mengganggu pinto.”

Para sute dan murid menyatakan setuju dan tidak akan melanggar perintah ketua itu. Thian It Tosu yang bertubuh tinggi besar itu menghela napas lega.

“Masih ada satu pesanan lagi. Kalau dalam beberapa hari ini datang seorang pemuda bernama Gulam Sang, harap kalian menerimanya sebagai seorang tamu kehormatan dan melayaninya sebaik-baiknya. Dia adalah seorang tokoh Lama Jubah Kuning yang berilmu tinggi dan dia sudah menjanjikan kerja sama dengan pinto. Para Lama Jubah Kuning akan menjadi sekutu kita dalam perjuangan.”

Kembali semua orang menyatakan taat akan pesan itu. Dan sejak hari itu Thian It Tosu mengurung diri di dalam sebuah ruangan tertutup untuk bersemedhi.

Pesan Thian It Tosu benar terjadi. Tiga hari kemudian di Bu-tong-pai muncullah seorang pemuda yang gagah dan tampan, bermuka bundar dengan mata lebar, dan mengaku bernama Gulam Sang.

“Aku bernama Gulam Sang berasal dari Tibet. Aku sudah menerima pesan dari Thian It Tosu untuk bergabung di sini. Dapatkah aku bertemu dengan Thian It Tosu?”

“Saat ini ketua kami sedang bersemedhi dan sama sekali tidak boleh diganggu. Akan tetapi beliau sudah memesan kepada kami agar supaya menerima Kongcu (Tuan Muda) sebagai tamu terhormat. Silakan Kongcu menanti di sini sampai suhu keluar dari tempat pertapaannya sehingga dapat bertemu dan bicara.”

“Ah, tidak mengapa kalau begitu. Memang tidak baik mengganggu pangcu (ketua) yang sedang bersemedhi. Baiklah, aku akan tinggal di sini menunggu sampai beliau keluar. Aku bisa melewatkan waktuku dengan berjalan-jalan menikmati keindahan Pegunungan Bu-tong-san.”

Para tosu dan murid Bu-tong-pai diam-diam merasa heran dan tidak senang karena Gulam Sang yang dikatakan seorang tokoh Lama Jubah Kuning itu ternyata minum arak dan makan daging.

Ketika Gulam Sang melihat keheranan mereka, dia lalu tertawa dan memberi alasan. “Dahulu aku memang seorang pendeta Lama yang tentu saja pantang minum arak dan makan daging. Akan tetapi karena sekarang aku menjadi orang biasa, bukan pendeta lagi, maka pantangan itu pun sudah aku tinggalkan.”

Setiap hari Gulam Sang meninggalkan Bu-tong-pai, dan setelah hari mulai gelap baru dia kembali. Tak ada seorang pun mengetahui apa saja yang dikerjakan orang aneh ini.

Tiga hari kemudian, Thian It Tosu keluar dari ruangan semedhinya. Selama tiga hari itu hanya seorang saja diperbolehkan memasuki ruangan semedhi, yaitu Thian Tan Tosu, seorang sute-nya yang bertugas untuk mengirim makanan. Tentu saja begitu keluar dari ruangan semedhinya, Thian It Tosu menerima laporan tentang kunjungan Gulam Sang.

“Biarkan saja kalau dia pergi setiap hari, karena tentu ada hubungannya dengan usaha perjuangan kita. Kalau dia pulang, suruh Thian Tan Tosu mengantarnya masuk kamar semedhiku. Pinto akan menemuinya di sana.”

Tidak lama Thian It Tosu keluar, setelah menerima laporan-laporan, dia pun masuk lagi ke dalam kamar semedhi itu.

Sore harinya, Gulam Sang pulang ke Bu-tong-pai. Para tosu memberi tahu kepadanya bahwa Thian It Tosu tadi memesan agar dia diajak masuk ke ruangan semedhi. Gulam Sang menjadi gembira. Dengan diantar oleh Thian Tan Tosu, dia pun masuk ke dalam ruangan semedhi itu.

Tidak ada seorang pun mengetahui apa yang mereka bicarakan. Bahkan Thian Tan Tosu juga tidak tahu karena setelah membawa Gulam Sang masuk, dia pun disuruh keluar lagi. Sampai jauh malam barulah Gulam Sang keluar dari ruangan itu, kemudian memasuki kamarnya sendiri.

Pada keesokan harinya, Gulam Sang berpamit dari para tosu karena dia hendak pergi ke kota raja untuk mengadakan kontak hubungan dengan sekutunya di sana.

“Malam tadi hal itu sudah kubicarakan dengan Thian It Tosu dan aku sudah berpamit kepadanya. Kalau beliau keluar, katakan saja bahwa aku sudah berangkat ke kota raja,” demikian pesannya kepada para tosu Bu-tong-pai.”

Dan setelah Gulam Sang berangkat pergi, pada keesokan harinya Thian It Tosu sudah keluar dari kamar semedhinya dan memimpin Bu-tong-pai seperti biasa. Akan tetapi banyak terjadi hal yang membingungkan para tosu yang lain.

Thian It Tosu sering kali menerima kunjungan tokoh-tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan bahkan tokoh-tokoh dari dunia sesat! Mereka tidak diijinkan hadir dalam pertemuan itu sehingga tidak tahu apa yang dibicarakan oleh ketua mereka dengan tokoh-tokoh sesat itu. Dan para tosu Bu-tong-pai hanya dapat merasa heran dan khawatir.

Pada suatu hari, terjadilah hal yang menggemparkan para tokoh dan murid Bu-tong-pai. Hari itu kembali Thian It Tosu menerima beberapa orang Pek-lian-pai. Menjelang rapat, terdengar suara gaduh. Para tosu yang berlari menuju ke ruangan sidang yang tertutup itu melihat tubuh seorang tosu terlempar keluar, dan ketika mereka semua melihat, ternyata tubuh itu adalah Beng An Tosu yang telah tewas!

Selagi mereka ramai membicarakan hal itu, Thian It Tosu muncul dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan, “Itulah jadinya kalau ada yang lancang berani mengintai dan mendengarkan percakapan kami. Pinto kira yang mengintai itu tentu mata-mata musuh, maka pinto menyerangnya sungguh-sungguh sehingga dia tewas. Kiranya dia adalah sute (adik seperguruan) Beng An Tosu sendiri! Biarlah hal ini menjadi peringatan bagi kalian agar jangan ada yang berani lancang mendengarkan atau mengintai kami!”

Semua anggota Bu-tong-pai benar-benar merasa heran bukan main. Beng An Tosu merupakan seorang tosu yang jujur dan setia, bahkan biasanya amat dipercaya oleh Thian It Tosu. Dan sekarang Beng An Tosu tewas di tangan ketua mereka sendiri! Mulailah para tosu Bu-tong-pai merasa tidak puas dan menduga bahwa ketua mereka agaknya sudah terlalu dipengaruhi oleh para tokoh sesat itu. Akan tetapi apa yang dapat mereka lakukan?

Pada suatu hari, terlihat banyak tamu yang berdatangan dan berkunjung ke Bu-tong-pai. Mereka disambut oleh Thian It Tosu sendiri. Dan kepada para anggota Bu-tong-pai yang terheran-heran melihat hadirnya para tokoh dan datuk sesat, Thiat It Tosu kemudian memperingatkan mereka bahwa untuk berhasilnya perjuangan, dia tidak mempedulikan golongan dari mana yang akan membantunya. Memang para tamu yang berdatangan di waktu itu sangat istimewa.

Thian Yang Cu dari Bu-tong-pai yang merupakan murid utama dari Thian It Tosu, dan juga Thian Tan Tosu, dipercaya untuk membantu ketua Bu-tong-pai itu menyambut para tamu. Selain dua orang tosu ini, tidak ada orang lain boleh mencampuri dan hanya menjadi penonton dari jauh saja.

Tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan golongan sesat berdatangan. Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai bersama beberapa orang temannya anggota Pat-kwa-pai datang lebih dulu. Lalu Thian Yang Ji tokoh Pek-lian-pai juga datang bersama belasan orang kawannya. Kemudian muncul pula Swat-hai Lo-kwi yang sudah tua dan semua rambutnya sudah putih itu! Swat-hai Lo-kwi datang bersama Tung-hai Lo-mo yang tak pernah ketinggalan membawa dayung bajanya. Bahkan Ban-tok Kwi-ong, datuk sesat dari selatan itu juga muncul.

Mereka semua dipersilakan masuk ke dalam ruangan besar tertutup, mengadakan rapat yang penuh rahasia sehingga para anak buah Bu-tong-pai sendiri tidak ada yang boleh mendengarkan.

Thian It Tosu yang memimpin rapat itu nampak bersemangat serta gembira sekali, dan dengan berapi-api dia berkata, “Saudara sekalian, kita tidak perlu mempedulikan para pejuang yang tidak mau bekerja sama dengan kita. Setidaknya mereka itu pasti tidak akan membantu pemerintah Mancu.”

“Pangcu kapan kita mulai bergerak? Aku sudah tidak sabar lagi untuk melihat hancurnya kerajaan Ceng!” kata Swat-hai Lo-kwi.

“Benar, aku pun sudah siap dengan sedikitnya lima puluh orang kawanku untuk mulai bergerak menyerang musuh!” kata Tung-hai Lo-mo.

“Harap saudara sekalian bersabar. Kita harus sabar dan memakai perhitungan yang masak,“ kata Thian It Tosu. “Kalian masih ingat ketika pertemuan dulu itu? Gadis yang memperingatkan kita agar jangan memberontak itu telah kami selidiki dan ternyata dara itu adalah puteri dari Putera Mahkota!”

“Ahhh...!” Semua orang berseru kaget.

“Jangan panik! Karena itu, kita harus berhati-hati karena tentu gadis itu akan bercerita kepada ayahnya dan tentu keadaan kita telah diamati dari jauh dan mungkin pemerintah telah menyebar mata-mata. Kalau kini kita bergerak, baru mengumpulkan banyak orang saja sudah akan ketahuan dan sebelum kita bergerak, tentu kita akan dipukul lebih dulu. Dan kita harus ingat bahwa kekuatan pasukan pemerintah amat besar.”

“Lalu bagaimana kita akan bergerak dan mulai berjuang?” tanya Ban-tok Kwi-ong.

“Sabar! Kita harus mempergunakan siasat. Kami perhitungkan, kalau beberapa orang di antara kita yang memiliki ilmu tinggi, seperti Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Ban-tok Kwi-ong dan beberapa orang lagi pergi ke kota raja dan berhasil menyusup ke dalam istana, akan mudah bagi kita untuk membunuh kaisar dan Putera Mahkota! Kalau hal itu terjadi, kaisar dan Putera Mahkota dibinasakan, tentu di istana akan terjadi kekacauan. Kita akan berusaha supaya yang menjadi pengganti kaisar adalah orang yang berpihak kepada kita. Semua itu akan diatur oleh sekutu kita yang kini juga sedang berada di kota raja, yaitu Gulam Sang.”

“Ahh, Lama Jubah Kuning itu?” terdengar beberapa orang bertanya.

“Benar, akan tetapi sekarang dia bukanlah pendeta Lama lagi. Dia sudah menghubungi beberapa orang hartawan yang akan membiayai semua rencana kita, juga dialah yang akan berhubungan dengan para pangeran di istana. Apa bila pangeran pilihan kita yang menggantikan menjadi kaisar, tentu segalanya akan mudah diatur selanjutnya.”

“Akan tetapi, tidak mudah untuk menyusup ke dalam istana. Pekerjaan itu berbahaya sekali dan nyawa taruhannya,” kata Swat-hai Lo-kwi.

“Harap Lo-kwi jangan khawatir. Hal itu pun serahkan saja kepada Gulam Sang Kongcu. Dia yang akan mengatur sehingga kalian semua akan menyusup ke dalam istana tanpa dicurigai. Misalnya menjadi guru silat salah seorang pangeran, atau ahli pengobatan dari pangeran lain, atau juga pembantu baru. Pendeknya, kalian akan dapat masuk ke istana dengan berterang, tentu saja dengan menyamar. Semua itu telah direncanakan oleh Gulam Sang Kongcu. Kalian tinggal menanti berita selanjutnya dari kami…..”

**********

Telah lama kita tinggalkan Tao Seng dan Tao San, dua orang pangeran yang dulu telah dijatuhi hukuman buang oleh kaisar karena usaha mereka hendak membunuh Putera Mahkota Tao Kuang, akan tetapi mengalami kegagalan karena Pangeran Tao Kuang dapat ditolong oleh Liang Cun yang berjuluk Sin-tung Koai-jin dan puterinya, yaitu Liang Siok Cu. Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Liang Siok Cu kemudian menjadi selir Pangeran Tao Kuang yang kemudian melahirkan Tao Kwi Hong.

Bagaimana dengan kedua orang pangeran yang dibuang itu? Mereka dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun dan telah dilupakan orang. Akan tetapi, mereka tidaklah lenyap begitu saja. Juga mereka tidak mati dalam pembuangan mereka, meski mereka hidup sengsara. Tidak, mereka masih hidup!

Pada suatu hari, mereka bahkan kembali ke kota raja karena hukuman mereka sudah habis. Keluarga kaisar tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kembalinya dua pangeran itu. Akan tetapi, lingkungan istana bersikap tidak acuh kepada mereka yang dianggap telah melakukan kejahatan yang memalukan.

Tao Seng dan adik tirinya, Tao San, kini telah menjadi dua orang laki-laki setengah tua. Tao Seng kini berusia empat puluh lima tahun dan Tao San berusia empat puluh empat tahun. Mereka mengumpulkan harta kekayaan mereka, kemudian menjadi pedagang yang berhasil sehingga mereka menjadi kaya raya.

Untuk membuang riwayat yang memalukan di waktu yang lalu. Tao Seng kini memakai nama Ji dan terkenal dengan sebutan Ji Wan-gwe (Hartawan Ji), sedangkan Tao San menggunakan nama San Wan-gwe (Hartawan San). Hanya keluarga kaisar saja yang tahu bahwa Ji Wan-gwe dan San Wan-gwe adalah bekas Pangeran Tao Seng dan Tao San.

Karena saat dihukum buang mereka masih muda, maka setelah lewat dua puluh tahun, mereka sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Setelah menjadi hartawan, keduanya lalu mengambil isteri dan membentuk keluarga baru.

Keliru kalau ada yang menganggap bahwa kedua orang pangeran itu telah menjadi jera atau sadar akan kesalahan mereka. Sama sekali tidak dan sebaliknya malah. Peristiwa hukuman bagi mereka itu mendatangkan dendam kesumat yang membuat mereka tidak segan untuk mencari jalan membalas dendam mereka.

Di dalam pembuangan mereka di barat, pada suatu hari Pangeran Tao Seng bertemu dengan seorang pemuda yang menarik hatinya. Pada saat itu dia berusia empat puluh tahun dan pemuda itu berusia dua puluh lima tahun. Pemuda itu menarik perhatiannya karena pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan pandai pula dalam ilmu sihir. Pemuda itu adalah Gulam Sang!

Gulam Sang sendiri adalah seorang pelarian dari Tibet. Dia adalah murid para pendeta Lama termasuk Dalai Lama, akan tetapi akhirnya dia berkhianat dan memihak Pendeta Lama Jubah Kuning untuk memberontak. Maka dia dikejar-kejar dan melarikan diri ke timur sampai bertemu dengan Pangeran Tao Seng.

Mungkin karena nasib sama, mereka segera menjadi akrab, dan akhirnya Pangeran Tao Seng melihat bahwa pemuda itu kelak akan amat berguna baginya, maka dia kemudian mengangkat Gulam Sang sebagai puteranya! Mula-mula Gulam Sang merasa ragu-ragu untuk menerimanya, karena walau pun Tao Seng adalah seorang pangeran akan tetapi pangeran buangan!

Tetapi Pangeran Tao Seng lalu menceritakan ambisinya. Ia hendak membalas dendam dan merebut kekuasaan kaisar! Kalau dia telah berhasil menjadi kaisar, maka dia akan mengangkat Gulam Sang menjadi Pangeran Mahkota yang kelak akan menggantikan dia menjadi kaisar. Janji muluk inilah yang menarik hati Gulam Sang dan akhirnya dia menerima menjadi putera Pangeran Tao Seng.

Demikianlah, setelah hukuman buang mereka habis dan Pangeran Tao Seng bersama Pangeran Tao San kembali ke timur, Gulam Sang juga ikut pergi ke kota raja Peking, di mana dia dikenal sebagai putera Tao Seng yang bernama Tai Lam Sang.

Pada suatu hari, di rumah tempat kediamannya, Tao Seng mengajak Gulam Sang dan Tao San bercakap-cakap tentang rencananya.

“Kita mempunyai cita-cita yang besar,” demikian Tao Seng bicara kepada Tao San dan Gulam Sang. “Akan tetapi jangan dikira mudah saja untuk membuat cita-cita kita dapat menjadi kenyataan. Selama lima tahun ini engkau banyak belajar dariku, Lam Sang. Engkau sudah mempelajari sastra dan budaya sehingga tahu bagaimana untuk menjadi seorang pribumi. Akan tetapi untuk sungguh-sungguh bisa berhasil, engkau harus pergi menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw. Terutama sekali hubungilah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Dalam hubungan itu sebaiknya kalau engkau menggunakan namamu sendiri dan mengaku saja dari Lama Jubah Kuning. Kita harus menyusun kekuatan dan untuk itu, engkaulah yang bertugas mengadakan hubungan-hubungan dengan mereka. Kalau saatnya sudah tiba, barulah kita turun tangan.”

Semua rencana diatur oleh Tao Seng, sedangkan pelaksananya adalah Gulam Sang yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa. Dengan sangat mudahnya, melalui ilmu silatnya yang tinggi dan ilmu sihirnya, dia mampu mempengaruhi Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Didatanginya para pimpinan kedua perkumpulan, itu dan di depan mereka dia membuktikan kehebatan kepandaiannya.

Setelah mendengar bahwa Gulam Sang adalah seorang Tibet dan dari kelompok Lama Jubah Kuning, mereka semua percaya dan menariknya sebagai sekutu dan sahabat. Tercapailah rencana pertama dari Tao Seng, yaitu mencari sekutu yang memiliki banyak anak buah dan yang memusuhi pemerintah.

“Lam Sang, aku tahu benar bahwa orang-orang pribumi bangsa Han pada umumnya tidak suka akan pemerintah Mancu yang mereka anggap sebagai penjajah. Mereka itu mendendam, tetapi mereka belum ada yang sungguh-sungguh bergerak karena merasa kekuatan mereka belum ada. Akan tetapi, begitu kekuatan mereka dianggap cukup, tentu mereka bergerak menyerang pemerintah. Karena itu, tugasmu yang ke dua adalah membujuk partai-partai bersih, para pendekar, terutama dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan lain-lain. Jika dipersatukan, mereka itu merupakan kekuatan yang amat besar karena mereka memiliki banyak pendekar yang sakti. Nah, engkau harus mencari akal bagaimana cara untuk dapat mempengaruhi mereka sehingga mereka mau diajak bersekutu dan memberontak.”

Kembali Tao Seng membuat rencana. Ditambah dengan kecerdikannya sendiri, Gulam Sang lalu mulai bergerak. Ia melakukan penyelidikan terhadap semua perkumpulan silat besar itu dan mencari kelemahan-kelemahan mereka. Tetapi sukar sekali menemukan kelemahan mereka, sampai akhirnya dia mendengar betapa ketua Bu-tong-pai yang bernama Thian It Tosu berada dalam keadaan yang tidak sehat.

Kekuasaan tosu itu besar sekali. Setiap kata-katanya merupakan hukum bagi para anak murid Bu-tong-pai. Lebih dari itu, Bu-tong-pai amat terkenal di antara semua partai dan sangat dihormati. Betapa besar pengaruh orang yang menjadi ketua Bu-tong-pai, tidak hanya di dalam perguruan itu sendiri, melainkan juga di dunia kang-ouw. Kalau saja dia dapat menguasai Bu-tong-pai!

Dengan pikiran ini dia kemudian mulai mempelajari keadaan Thian It Tosu, kebiasaan-kebiasaannya, tingkah lakunya, caranya berbicara, dan sebagainya. Ketua yang berusia enam puluh tahun itu bertubuh tinggi besar, amat mirip dengan tubuhnya. Ini merupakan modal utama baginya.

Setelah mempelajari semua dengan baik, mulailah dia bertindak. Mula-mula dia menguji diri sendiri. Dengan ilmunya menyamar, dia menggunakan topeng tipis terbuat dari karet yang menutupi mukanya sehingga wajahnya berubah menjadi wajah Thian It Tosu, lengkap dengan jenggot dan kumisnya yang panjang. Topeng itu sedemikian sempurna sehingga kalau tidak dikupas dari mukanya, tidak akan ada orang yang tahu bahwa dia memakai topeng. Pakaiannya pun persis dengan pakaian jubah tosu.

Pada suatu senja, dalam cuaca remang-remang, dia pun berjalan dekat Bu-tong-san dan sengaja berjalan berpapasan dengan lima orang murid Bu-tong-pai. Pada waktu melihat dia, serta merta lima orang murid itu memberi hormat dan menyebutnya suhu.

Dia pun menirukan suara Thiat It Tosu. “Hemmm, sudah larut senja begini baru pulang. Kalian dari mana?”

“Kami pergi berburu dan sekalian mencari kayu bakar, Suhu,” jawab kelima orang murid itu.

Gulam Sang merasa gembira sekali. Ujiannya terhadap dirinya sendiri yang menyamar sebagai Thian It Tosu berhasil baik. Pada lain harinya, dia sengaja muncul di siang hari menemui murid-murid yang sedang bekerja di luar dan tidak ada seorang pun murid yang meragukan bahwa dia adalah Thian It Tosu.

Setelah yakin benar baru dia melanjutkan rencananya. Dia melakukan pengintaian dan pada suatu hari dia melihat Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu sedang pergi berdua turun gunung. Dia sudah menyelidiki dengan jelas siapa adanya dua orang tosu ini.

Thian Tan Tosu adalah sute dari Thian It Tosu sedangkan Thian Yang Cu adalah salah seorang murid utama dari Thian It Tosu. Dia juga telah mempelajari keadaan dua orang tosu ini dan maklum bahwa ia mampu menaklukkannya, baik dengan ilmu silat mau pun dengan ilmu sihirnya. Dengan menyamar sebagai Thian It Tosu, di tempat yang sunyi di lereng bukit dia muncul menghadang dua orang yang sedang melakukan perjalanan itu.

Begitu bertemu dengan Thian It Tosu palsu ini, Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu segera memberi hormat.

“Suheng...!”

“Suhu...!”

“Hemmm, Sute dan Thian Yang Cu, kalian hendak pergi ke mana?” tanya Gulam Sang atau Thian It Tosu palsu itu.

Kedua orang itu memandang heran. “Apakah Suheng sudah lupa lagi? Tadi Suheng yang minta kami untuk mencari sumbangan ke kota, untuk membeli bahan pakaian kita semua.”

“Oh, benar juga, pinto yang lupa. Sute, sudah lama pinto tidak melihat kemajuan ilmu silatmu. Juga engkau Thian Yang Cu. Sebagai murid utama engkau harus memiliki ilmu silat yang tinggi.”

“Saya mohon petunjuk, Suheng,” kata Thian Tan Tosu.

“Teecu (murid) mohon petunjuk Suhu,” kata Thian Yang Cu.

“Baik, sekarang kalian berdua coba untuk bertanding dengan pinto supaya pinto dapat melihat di mana letak kekurangan-kekuranganmu. Maju dan seranglah!”

“Teecu tidak berani, Suhu.”

“Berani atau tidak, engkau harus melawanku bertanding. Kalau tidak, bagaimana pinto mengetahui kelemahanmu dan memberi petunjuk?”

“Suheng, akhir-akhir ini kesehatan Suheng terganggu, sungguh tidak baik mengeluarkan banyak tenaga untuk berlatih.” Thian Tan Tosu juga mencegah.

“Sute, engkau tidak memperoleh banyak kemajuan, untuk melawanmu bertanding, pinto tidak perlu menggunakan banyak tenaga. Kalau kalian sungkan menyerang lebih dulu, baiklah pinto yang menyerang lebih dulu. Lihat pukulan!” Dengan cepat Thian It Tosu menyerang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dua orang itu.

Akan tetapi Thian Yang Cu dan Thian Tan Tosu dapat mengelak dengan sigapnya dan kedua orang ini tidak dapat menolak lagi. Mereka harus mengeluarkan kepandaiannya agar dinilai oleh sang ketua.

Akan tetapi serangan mereka dapat dielakkan dengan mudah oleh tosu yang selama ini nampak kurang sehat itu. Gerakannya demikian cepatnya sehingga serangan dua orang tokoh Bu-tong-pai itu hanya mengenai angin saja. Kemudian terdengar Thian It Tosu membentak, kedua kakinya ditekuk rendah, kedua tangan didorongkan ke depan dan akibatnya, Thian Tan Tosu terhuyung ke belakang sedangkan Thian Yang Cu terpental beberapa meter jauhnya!

Dua orang itu terkejut bukan main. Mereka tidak mengenal pukulan sang ketua, pukulan aneh yang dilakukan dengan dua kaki ditekuk itu, akan tetapi daya pukulan itu sungguh dahsyat bukan main. Thian Yang Cu yang ilmu silatnya sudah cukup tinggi langsung merasa sesak dadanya, sedangkan Thian Tan Tosu merasa kepalanya pening.

Thian Yang Cu segera memberi hormat, kemudian berkata dengan malu-malu. “Teecu memang bodoh dan lemah.”

Dia merasa malu sekali bahwa menghadapi gurunya, mengeroyok pula dengan paman gurunya, mereka berdua dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja! Itu pun suhu-nya masih menahan tenaganya. Kalau tenaga sinkang yang dahsyat itu dikeluarkan semua, mungkin mereka berdua sudah tidak mampu bangkit lagi.

“Wah, suheng agaknya telah menciptakan jurus pukulan baru yang hebat bukan main!” kata pula Thian Tan Tosu dengan kagum.

“Hemm, pinto tidak menciptakan jurus baru, tapi kalian yang bodoh, kalian yang lemah, tidak ada kemajuan sama sekali. Sungguh menyebalkan dan menyedihkan sekali!”

“Suhu...!”

“Suheng...!”

“Diam! Kalian membuatku kecewa. Bila kepandaian kalian hanya sebegitu saja, padahal kalian merupakan dua orang terpenting di Bu-tong-pai sesudah pinto, apa jadinya nanti dengan Bu-tong-pai? Hanya akan menjadi bahan tertawaan saja. Dengar baik-baik, aku melarang kalian membicarakan lagi tentang latihan kita tadi! Mengerti?”

“Baik, Suheng.”

“Baik, Suhu.”

Thian It Tosu sudah tidak mempedulikan keduanya lagi dan membalikkan tubuhnya, lalu berkelebat cepat lenyap dari situ. Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu saling pandang dengan heran. Mengapa ketua mereka yang biasanya ramah dan tutur sapanya halus lembut itu mendadak menjadi begitu galak? Akan tetapi larangan tadi amat berkesan di dalam hati mereka dan suara ketua itu seolah-olah masih berdengung berulang-ulang di telinga mereka.

“Thian Yang Cu, kau pikir bagaimana baiknya sekarang?”

“Susiok (Paman Guru), sebaiknya kita kembali dan menghadap Suhu, mohon agar kita diajari ilmu pukulan baru yang dahsyat tadi.”

“Kalau dia marah?”

“Biar kita tanggung berdua. Pelajaran itu penting sekali untuk memperkuat Bu-tong-pai, Susiok. Dan memang sudah sepatutnya kalau suhu mengajarkan kepada kita.”

“Akan tetapi karena dia sudah melarang kita membicarkkan hal itu, tentu berarti dia tidak suka terdengar oleh orang lain. Maka, kita harus mencari saat yang tepat selagi suheng berada seorang diri untuk menghadap dan mohon diberi pelajaran itu.”

Kedua orang itu lalu kembali ke Bu-tong-pai. Dan pada sore harinya, ketika Thian It Tosu sedang berjalan-jalan di taman bunga perkumpulan itu seorang diri dan di sekitar tempat itu sunyi tidak nampak seorang pun murid Bu-tong-pai, muncullah Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu, segera berlutut di depan Thian It Tosu sedangkan Thian Tan Tosu memberi hormat dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke depan dada.

Thian It Tosu adalah seorang tosu yang ramah dan lembut, akan tetapi dia pun keras memegang disiplin dan semua peraturan Bu-tong-pai harus ditaati. Merasa terganggu ketika berjalan-jalan itu, dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada mereka dengan singkat, “Apa maksudnya ini? Kalian mau apa?”

Kedua orang itu menjadi gentar mendengar pertanyaan singkat itu. Mereka mengira bahwa Thian It Tosu marah, dan sebelum mereka sempat menjawab tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang mereka.

“Siancai-siancai-siancai...! Dari mana datangnya orang yang berani menyamar sebagai pinto?”

Ketika dua orang menoleh, mereka terkejut melihat ada seorang Thian It Tosu yang lain berada di situ. Semuanya sama, bentuk tubuhnya, wajahnya, bahkan suaranya. Hanya bedanya, yang baru muncul ini bersuara lembut, sedangkan yang pertama tadi nampak marah.

Dengan sendirinya kedua orang itu berpihak kepada yang baru datang. Yang pertama itulah yang palsu. Mereka berani memastikan hal itu. Bukankah yang pertama bersikap aneh dan keras terhadap mereka bahkan merobohkan mereka dengan pukulan aneh dan ampuh?

“Suheng, orang itu adalah orang yang memalsukan dan menyamar sebagai Suheng!” kata Thian Tan Tosu kepada tosu yang baru muncul.

“Benar, Suhu! Harap Suhu suka memberi hajaran padanya. Akan tetapi dia lihai sekali, Suhu.” kata pula Thian Yang Cu dan keduanya sudah meloncat ke belakang tosu yang baru muncul.

Thian It Tosu yang pertama tercengang. “Ehhh, lelucon macam apa ini? Pinto Thian It Tosu. Saudara siapakah dan mengapa menyamar sebagai pinto?”

“Siancai...! Inilah yang dinamakan maling teriak maling. Sute dan kau Thian Yang Cu, karena kesehatanku masih terganggu, bantulah pinto menangkap maling ini!”

Biar pun gentar menghadapi ketua palsu yang amat lihai itu, namun karena sekarang Thian It Tosu berada dengan mereka, kedua orang itu menjadi berani dan cepat mereka menyerang Thian It Tosu yang pertama.

Kakek itu mengelak dan menangkis, lalu dia berseru, “Sute! Thian Yang Cu, ini adalah pinto, Thian It Tosu! Kalian tertipu!”

“Hemmm, manusia jahat. Engkaulah yang menipu. Sejak dahulu Thian It Tosu adalah pinto!” bentak tosu kedua dan dia pun segera menyerang dan mengeroyok Thian It Tosu pertama.

Tosu itu mencoba untuk melawan, akan tetapi sebuah tamparan tosu kedua mengenai pundak kanannya. Agaknya tosu pertama itu memang sedang terganggu kesehatannya sehingga gerakannya tidaklah setangkas tosu kedua. Dia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh tosu kedua untuk mengirim pukulan tamparan yang sangat kuat ke dadanya.

“Bukkk...!” Tosu itu terpelanting, muntah darah dan pingsan.

“Biarkan pinto yang menangani, mungkin dia masih berbahaya. Kita bawa ke tempat tahanan bawah tanah. Pinto ingin mengetahui siapa saja kawan-kawannya dan apa maksudnya menyelundup masuk menyamar sebagai pinto.” Tosu kedua dengan ringan sekali memanggul tubuh tosu pertama yang pingsan.

Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu mendahului Thian It Tosu pergi ke tempat tahanan bawah tanah yang kebetulan kosong. Tidak ada seorang pun murid Bu-tong-pai yang melihat semua peristiwa ini.

Setelah tiba di dalam kamar tahanan bawah tanah yang berpintu dan berjeruji besi itu, Thian It Tosu menurunkan tawanannya ke atas lantai.

“Biar kita periksa dia dan membuka kedoknya!” kata Thian Tan Tosu.

Thian Yang Cu juga ingin sekali melihat siapa adanya orang yang menyamar sebagai Thian It Tosu, maka bersama susiok-nya dia sudah berjongkok dan keduanya lalu mulai menarik-narik kumis serta jenggot Thian It Tosu yang palsu. Akan tetapi, betapa pun mereka menarik-narik, jenggot dan kumis itu tidak dapat terlepas dan ketika mereka meraba-raba muka tosu itu, juga kulit muka itu asli dan tidak memakai kedok apa pun.

Kedua orang itu saling pandang dan terkejut, lalu meloncat dan membalikkan tubuh menghadapi tosu kedua.

“Dia asli!” kata Thian Tan Tosu dengan muka berubah pucat. “Kalau begitu engkau yang palsu!”

Thian It Tosu palsu yang sebetulnya bukan lain adalah Gulam Sang itu tertawa dan berdiri menghadang di pintu kamar tahanan. “Ha-ha-ha! Memang aku bukan Thian It Tosu. Aku membutuhkan pribadinya hanya untuk beberapa bulan saja. Kalau urusanku telah selesai semua, akan kukembalikan kepada Thian It Tosu. Sementara ini dia harus tinggal di sini sebagai tawananku!”

“Jahanam! Siapa engkau yang begini jahat?” bentak Thian Yang Cu marah.

“Siapa aku kau tidak perlu tahu. Yang jelas, kalian harus menurut semua kehendakku atau kakek ini akan mati di sini, baru kemudian kalian menyusulnya.”

“Kami akan mengadu nyawa denganmu!” Thian Tan Tosu membentak marah dan dia sudah menyerang ke arah ketua palsu itu.

Akan tetapi tangan Gulam Sang menampar sehingga tubuh Thian Tan Tosu terlempar dan roboh. Thian Yang Cu juga menyerang, akan tetapi sama saja, dalam segebrakan saja dia pun roboh. Dan sebelum kedua orang itu bangkit lagi, secepat kilat Gulam Sang menggerakkan jari tangannya menotok sehingga dua orang itu tidak mampu bergerak lagi, rebah telentang di samping tubuh Thian It Tosu yang masih pingsan.

Gulam Sang kini berjongkok di dekat mereka dan suaranya terdengar penuh wibawa. Kiranya dia sedang menggunakan sihirnya untuk mempengaruhi dua orang yang sudah ditotoknya itu.

“Dengar baik-baik, Thian Tan Tosu dan Thian Yang Cu! Nyawa ketua kalian sudah berada di tanganku. Dia sudah kupukul dengan pukulan beracun dan hanya aku yang memegang obat penawarnya. Kalau tidak kuberi obat, dalam waktu sebulan dia akan mati dengan tubuh hancur. Kalau kuberi obat penawar, dia hanya akan menderita sakit, akan tetapi dalam waktu tiga bulan dia akan sembuh sama sekali. Kalian berdua juga berada di tanganku, akan tetapi aku akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada ketua kalian kalau kalian berjanji akan taat kepadaku. Kalau tidak taat, kalian bertiga dan semua murid Bu-tong-pai akan kubunuh!”

Walau pun berada di bawah pengaruh sihir, Thian Tan Tosu masih dapat membantah, “Kalau kami harus menaatimu untuk melakukan kejahatan, lebih baik engkau bunuh kami sekarang juga!”

“Ha-ha-ha, siapa yang akan berbuat jahat? Aku bukanlah penjahat, melainkan pejuang. Aku hanya hendak meminjam Bu-tong-pai untuk mempersatukan semua tenaga dan menggerakkan mereka untuk memberontak terhadap penjajah. Bagaimana, maukah kalian berdua berjanji?”

Thian Tan Tosu berpikir sejenak. Kalau memang tidak diharuskan melakukan kejahatan, melainkan untuk perjuangan, lebih baik ia taat agar Thian It Tosu tidak terbunuh. Orang ini sangat licik dan lihai bukan main, sedangkan Thian It Tosu berada dalam keadaan tidak sehat dan lemah sehingga sulit dicari kawan yang dapat mengimbangi orang aneh ini.

“Aku berjanji akan taat asal bukan untuk kejahatan!” katanya dan mendengar ucapan susiok-nya, Thian Yang Cu juga mengikutinya dan mengucapkan janjinya pula.

Gulam Sang tertawa senang, lalu dia membuka jubah Thian It Tosu, memperlihatkan dada tosu itu kepada dua orang tokoh Bu-tong-pai. Ternyata di dada itu terdapat tanda telapak jari lima buah yang menghitam. Orang ini bukan hanya menggertak. Pukulannya memang beracun dan nyawa Thiat It Tosu berada di tangannya.

Gulam Sang lalu memulihkan dua orang tokoh Bu-tong-pai itu dari totokannya. Dia tidak khawatir kalau mereka itu akan memberontak, karena selain mereka telah berjanji, juga mereka telah dipengaruhi kekuatan sihirnya sehingga dia mampu mengendalikan pikiran mereka.

“Gosokkan minyak ini pada gambar telapak tangan hitam di dadanya dan minumkan pil ini padanya. Racun itu perlahan-lahan akan meninggalkannya dan sesudah lewat tiga bulan dia akan sembuh sama sekali.”

Gulam Sang segera mengeluarkan obat yang berupa minyak itu, dan Thian Tan Tosu lalu mengobati suheng-nya. Ketika siuman Thian It Tosu mencoba untuk bangkit duduk, segera ditopang oleh murid dan sute-nya. Dia memandang ke arah Gulam Sang.

“Apa artinya semua ini? Siapakah engkau?”
“Thian It Tosu, aku tidak mempunyai niat buruk. Aku hanya ingin meminjam namamu dan Bu-tong-pai untuk menggerakkan semua tenaga para pejuang untuk mulai dengan pemberontakan terhadap pemerintah penjajah. Apa bila niatku itu sudah terlaksana dan tercapai, akan kukembalikan Bu-tong-pai kepadamu. Akan tetapi jika engkau mencoba untuk menghalangiku, maka engkau akan mati bersama seluruh muridmu. Bu-tong-pai juga akan kuhancurkan!”

“Siancai...! Melakukan pemberontakan sekarang merupakan kebodohan. Engkau tidak akan berhasil...” kata Thian It Tosu lemah.

“Ha-ha-ha, kita sama-sama melihatnya nanti!”

Tiba-tiba Gulam Sang bersuit dan muncullah lima orang yang gerakannya ringan dan cekatan. Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang sudah bersekutu dengan Gulam Sang. Kiranya semenjak tadi mereka melakukan pengintaian dan ketika Thian It Tosu dibawa masuk kamar tahanan bawah tanah, mereka juga membayangi.

“Apa yang harus kita lakukan, Kongcu?” tanya seorang di antara lima orang itu.

“Kalian berjagalah di sini dan begitu ada gerakan untuk memberontak dari orang-orang Bu-tong-pai, kalian lebih dulu bunuh kakek ini!”

“Baik, Kongcu.”

“Nah, Thian Tan Tosu. Engkau setiap hari dua kali harus membawakan makanan dan minuman untuk Thian It Tosu dan lima orang penjaganya. Tidak boleh ada orang lain kecuali kalian berdua yang mengetahui bahwa Thian It Tosu ditawan di sini dan bahwa yang menjadi Thian It Tosu adalah aku.”

Thian It Tosu palsu itu lalu mengajak dua orang yang diakuinya sebagai sute-nya dan muridnya itu untuk keluar dari tempat tahanan tanpa terlihat orang lain, meninggalkan Thian It Tosu bersama lima orang penjaganya.

Demikianlah, mulai hari itu yang memimpin Bu-tong-pai ialah Thian It Tosu yang palsu. Dengan pandainya Gulam Sang berperan sebagai Thian It Tosu, selalu menggunakan alasan bahwa badannya tidak sehat sehingga harus beristirahat dan bersemedhi dalam kamarnya. Kalau sudah berada di kamar semedhinya, dengan mudah dia mengubah dirinya menjadi Gulam Sang yang diterima sebagai ‘tamu terhormat’ dari Bu-tong-pai.

Dengan penyamaran itu pula dia mengundang semua partai besar dan tokoh persilatan, menghasut mereka untuk bekerja sama melakukan pemberontakan. Tentu saja dia juga bersekutu dengan Pek-lian-pai, Pak-kwa-pai serta para tokoh dan datuk sesat, sesuai seperti yang direncanakan Pangeran Tao Seng! Semua itu adalah siasat Pangeran Tao Seng yang dilaksanakan oleh Gulam Sang.

Akan tetapi tepat seperti yang diramalkan Thian It tosu, pertemuan itu akhirnya gagal karena penolakan Yo Han, ketua Thian-li-pang. Apa lagi dengan munculnya Tao Kwi Hong yang mengancam mereka, dan sepak terjang Keng Han yang mencari tahu sebab permusuhan gurunya, Gosang Lama dengan Bu-tong-pai.

Pada saat Thian It Tosu palsu ditanya tentang permusuhan antara Bu-tong-pai dengan Gosang Lama, dia terkejut sekali. Akan tetapi dasar orang cerdik, Gulam Sang pandai mencari alasan tentang sebab permusuhan itu dan dia lalu menjatuhkan kesalahannya di pundak Gosang Lama, atau ayah kandungnya sendiri!

Ketika sebagai Gulam Sang dia bertemu Keng Han yang dianggapnya sebagai teman karena ia adalah putera gurunya, Gulam Sang berhasil pula mengajak pemuda itu untuk bekerja sama, bahkan dia sudah memberi alamat Ji Wan-gwe di kota raja yang banyak mengetahui tentang keadaan Pangeran Tao Seng.

Tentu saja secepatnya dia mengirim utusan dengan pemberitahuan kepada Pangeran Tao Seng atau ayah angkatnya itu bahwa akan datang seorang pemuda bernama Keng Han yang sedang mencari tahu tentang Pangeran Tao Seng, yang diakui oleh pemuda itu sebagai ayah kandungnya. Juga ia memberi tahu bahwa Keng Han mempunyai ilmu silat yang amat lihai sehingga kalau perlu pemuda itu dapat dimanfaatkan.

Yang merasa tersiksa hatinya adalah Thian Yang Cu beserta Thian Tan Tosu. Mereka merasa tidak berdaya karena takut akan ancaman Gulam Sang untuk membunuh Thian It Tosu yang selalu dijaga oleh lima orang jagoan dari Pek-lian-pai itu. Juga mereka tahu betul akan kelihaian Gulam Sang yang mungkin akan melaksanakan ancamannya, yaitu membasmi Bu-tong-pai kalau rahasianya terbongkar.


BERSAMBUNG KE PUSAKA PULAU ES BAGIAN 13


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.