CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
PUSAKA PULAU ES BAGIAN 14
Dia tidak tahu apa hubungannya semua itu dengan tugasnya untuk membunuh musuh besarnya ini.
"Aku harus menghadapi kemarahan Sim Hong Bwe. Ia tidak mau mendengar alasanku, bahkan ia menolak keras ketika aku mengusulkan supaya ia suka menjadi selirku. Kalau hanya sebagai selir, tentu ayahku tidak akan keberatan. Akan tetapi Hong Bwe menolak dan menuntut supaya aku menikahinya sebagai isteri yang sah. Aku tak mungkin dapat memenuhi permintaannya dan ia menjadi demikian marah sehingga meninggalkan aku begitu saja. Padahal, pada waktu itu ia telah mengandung! Ia mengandung anakku dan sejak itu aku tak pernah dapat menemukannya. Aku selalu mencarinya, bahkan sampai sekarang aku masih terus mencarinya. Akan tetapi ia selalu menghilang begitu aku bisa menemukan tempat persembunyiannya. Aku pun mendengar bahwa ia telah melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi tidak pernah aku melihat anakku itu pula."
Cu In mengamati wajah di depannya dengan tajam dan penuh selidik. Wajah itu nampak jujur dan tidak berbohong. Ia menjadi bingung ketika mulai dapat menangkap bahwa yang disebut Hong Bwe itu tentulah nama kecil subonya. Akan tetapi subonya tidak mempunyai anak perempuan! Anak laki-laki pun tidak. Subonya tidak mempunyai anak!
"Nah, demikianlah keadaannya, nona Souw. Sim Hong Bwe itu ialah gurumu. Aku sudah mendengar bahwa ia memakai nama Ang Hwa Nio-nio karena di rambutnya selalu ada kembang merah. Itu memang kesenangan dan kebiasaan Hong Bwe, selalu menghias rambutnya dengan bunga merah. Sekarang engkau sudah tahu apa sebabnya maka ia membenciku dan kini mengutus mu untuk membunuhku. Tapi aku mencintainya, sampai sekarang pun masih tetap mencintainya. Sekarang isteriku telah meninggal dunia akibat sakit, dan aku mengharapkan Hong Bwe untuk menjadi isteriku. Akan tetapi, agaknya ia tidak dapat memaafkan aku. Nona Souw, engkau muridnya, tentu engkau mengerti bagaimana keadaannya dengan puterinya. Sudah besarkah sekarang anakku itu? Siapa pula namanya?"
Cu In menggelengkan kepalanya. "Subo tidak pernah mempunyai seorang puteri, juga tidak mempunyai putera. Subo tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak."
Ia tidak menceritakan betapa subonya sangat benci kepada laki-laki. Bahkan sejak ia masih kecil, ia sudah dilatih untuk membenci dan tidak percaya kepada pria, terutama kepada pria yang mencintanya! Agaknya sakit hati subo-nya terhadap The Sun Tek demikian mendalam, membuat ia menjadi pembenci laki-laki.
"Nah, demikianlah ceritaku. Aku tak pernah membunuh orang begitu saja karena urusan pribadi. Jika aku membunuh orang, tentu hal itu terjadi dalam perang. Maka aku merasa tidak pernah membunuh ayah bundamu. Mungkin dulu ayahmu berada dalam pasukan musuh sehingga dalam perang aku membunuhnya, akan tetapi tak mungkin ibumu juga ikut berperang. Aku yakin bahwa itu hanya suatu akal dari Hong Bwe untuk membuat engkau membenci padaku, kemudian membalas dendam kematian ayah bundamu. Dan melihat keadaan dirimu, walau pun mukamu tertutup cadar, aku hampir yakin bahwa engkaulah anak itu, Nona! Engkaulah anak dari Hong Bwe sendiri. Engkaulah anakku. Perasaanku mengatakan demikian. Suaramu dan pandang matamu itu tidak akan dapat menipuku. Itulah suara dan mata Hong Bwe! Ya Tuhan demikian bencikah ia kepadaku sehingga ia ingin melihat anakku sendiri membunuhku?"
Cu In bangkit berdiri. Mukanya menjadi pucat. Kemungkinan itu menyerbu pikirannya. Besar sekali kemungkinan apa yang diduga orang tua ini benar. Ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap panglima ini. Tidak ada rasa benci, bahkan ada perasaan iba kepadanya. Jangan-jangan dia benar ayahnya!
Pada saat itu terdengar bentakan suara lembut, "Cu In, cepat laksanakan perintahku. Jangan dengar dia dan bunuhlah musuh besar kita itu!"
Yang muncul adalah Ang Hwa Nio-nio. Mukanya kemerahan dan sepasang matanya mencorong penuh kebencian ditujukan kepada The Sun Tek.
Panglima itu melangkah maju menghampiri, "Hong Bwe...! Ahhh, bertahun-tahun aku mencarimu, Hong Bwe. Akan tetapi engkau selalu menyingkir. Kembalilah kepadaku, Hong Bwe dan sekarang aku dapat memenuhi permintaanmu. Engkau dapat menjadi isteriku. Dan anak kita! Bukankah nona Souw ini anak kita? Begitu kejamkah engkau menyuruh anak kita untuk membunuhku?"
"Kejam katamu? Orang seperti engkau ini masih bisa mengatakan orang lain kejam? Engkau yang membuat aku hidup sengsara dan merana selama dua puluh tahun! Engkaulah manusia yang paling kejam di dunia. Cu In, cepat kau bunuh dia!"
Akan tetapi kini Cu In memandang kepada subo-nya dengan sinar mata penuh tuntutan. "Subo, benarkah dia itu ayahku?"
"Hemmm, Cu In, jangan sebut subo kepadanya, melainkan ibu!" kata The Sun Tek, kini dia hampir yakin bahwa gadis itu pasti anaknya dari Hong Bwe.
"Tidak peduli dia itu apamu, engkau harus membunuhnya. Sekarang juga! Hayo, cepat serang dan bunuh dia!" kembali Ang Hwa Nio-nio membentak, suaranya bercampur tangis saking jengkel hatinya.
"Akan tetapi, Su... bo...!"
"Tidak ada tetapi, hayo laksanakan perintahku!"
"Tidak! Kalau benar dia itu ayahku, aku tidak akan membunuhnya!"
"Kau... kau... berani membantah perintahku? Dari kecil engkau kubesarkan, kupelihara, kudidik, hanya untuk melaksanakan keinginanku ini. Kalau engkau tidak mau, aku akan membunuhmu di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio menggertak sambil menghunus pedangnya.
"Jawab dulu, apakah benar dia itu ayahku dan engkau ibuku? Kalau sudah kau jawab, baru aku akan menentukan sikapku."
"Ya atau tidak, engkau harus membunuhnya atau engkau akan kubunuh sendiri!"
"Tidak! Aku tidak mau!"
"Kalau begitu mampuslah kau di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Cu In dengan ganasnya. Cu In meloncat ke belakang akan tetapi pedang gurunya mengejar terus.
"Tranggg...!"
Pedang itu tertangkis dan terpental oleh sebatang pedang lain, yaitu pedang di dalam genggaman tangan The Sun Tek.
"Hong Bwe, tahan dulu! Apakah engkau sudah menjadi gila? Gila oleh dendam yang kau buat sendiri? Hong Bwe, aku memang telah bersalah kepadamu, kesalahan karena keadaan, karena desakan orang tua. Aku bersedia minta maaf kepadamu sejak lama, dan kini aku bersedia menerimamu sebagai isteriku yang sah. Mengapa engkau masih mendendam dan hendak memaksa anak kita membunuhku? Jika dia tidak mau engkau bahkan akan membunuhnya di depan mataku? Begitu kejamkah hatimu, Hong Bwe? Tidak ingatkah engkau betapa dahulu kita saling mencinta dan sampai sekarang pun aku masih mencintamu? Hong Bwe, aku menyesal sekali, aku minta maaf kepadamu, aku mohon ampun kepadamu. Apa bila engkau masih mendendam, nah, inilah dadaku, tusuklah dan aku tidak akan melawanmu. Aku rela mati di tanganmu kalau hal itu akan membahagiakan hatimu. Akan tetapi jangan paksa anakku membunuhku!"
Sim Hong Bwe atau Ang Hwa Nionio tertegun memandang pria itu. Tiba-tiba tangannya gemetar, pedangnya terlepas dari tangannya, lalu telunjuknya menuding ke arah muka The Sun Tek.
"Kau... kau... ahhhhh...!"
Tubuhnya terhuyung dan ia tentu akan jatuh kalau tidak cepat The Sun Tek merangkul dan memapahnya. Akan tetapi Ang Hwa Nio-nio telah jatuh pingsan dalam rangkulan panglima ini.
Cu In memalingkan mukanya. Kedua matanya basah air mata, bukan hanya karena keharuan melainkan karena sedih hatinya bahwa ibu kandungnya sendiri yang hendak memaksa ia membunuh ayah kandungnya. Sungguh ibunya keterlaluan. Karena sakit hati, membuahkan pembalasan dendam yang teramat kejam.
Dendam ibunya kepada ayahnya demikian mendalam sehingga ia tidak puas jika harus membunuhnya sendiri, tapi menyuruh anak kandung mereka yang membunuhnya. Dan pada saat terakhir, ucapan The Sun Tek agaknya membuatnya lemas, lemah lunglai dan tidak dapat menahan jeritan hatinya sendiri bahwa selama ini, sampai kini, ia masih mencintai pria itu! Cu In berlari meninggalkan tempat itu dengan air mata bercucuran.
"Cu In...!" Terdengar The Sun Tek memanggi-manggil, akan tetapi Cu In tidak peduli dan berlari terus, meloncati pagar tembok meninggalkan rumah besar itu.
Sementara itu, Ang Hwa Nio-nio mulai sadar dari pingsannya. Melihat ia berada dalam rangkulan bekas kekasihnya, ia meronta dan meloncat berdiri. The Sun Tek berlutut di depan kakinya.
"Hong Bwe, aku mohon ampun darimu. Lihatlah, aku benar-benar menyesal dan ingin menebus semua kesalahanku kepadamu. Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk membahagiakanmu. Bila perlu aku akan mengundurkan diri dari jabatanku. Seharusnya hal ini sejak dahulu kulakukan. Maafkanlah aku dan terimalah uluran tanganku ini, Hong Bwe."
Wanita itu seperti nanar, memandang sekeliling. "Mana dia...? Mana Cu In anakku...?" Baru sekarang ia terang-terangan menyebut gadis itu sebagai anaknya.
"Ia telah lari. Dapat kubayangkan betapa sakit hatinya melihat ayah dan ibunya sendiri hampir saling bunuh. Ahh, kelak kita harus memberi cinta kasih dan kesayangan kepada anak kita."
"Aku juga telah bertindak keliru menuruti hatiku yang panas dan penuh dendam. Aku sudah membuat ia menjadi pembenci pria dan ia bahkan rela memakai cadar supaya mukanya jangan sampai terlihat pria. Aku mabuk dendam karena engkau..."
"Aku menyesal. Sekarang marilah kita bangun kembali rumah tangga kita, kita hidup bahagia seperti dulu..." The Sun Tek memegang kedua tangan wanita itu.
Ketika itu muncul seorang pemuda berusia dua puluhan tahun, pemuda yang tampan dan gagah. Melihat The Sun Tek sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita asing di taman dalam suasana yang begitu akrab, memegang kedua tangannya, dia berhenti melangkah, memandang dan tidak berani bertanya.
The Sun Tek mendengar langkahnya dan menoleh, kemudian berkata kepada Ang Hwa Nio-nio. "Dia ini The Kong, anakku, anak kita karena ibunya telah meninggal. Aku hidup menduda sejak isteriku meninggal dan selalu mengharapkan kedatanganmu. Kong-ji, ini adalah ibumu, pengganti ibumu. Beri hormat kepadanya dan tinggalkan kami berdua di sini!"
The Kong dengan patuh memberi hormat kepada Ang Hwa Nio-nio dengan menyebut ‘ibu’, kemudian pergi dari taman meninggalkan mereka berdua.
"Hong Bwe, seperti sudah kukatakan tadi. Bertahun-tahun aku hidup menduda, tidak mau kawin lagi karena aku mengharapkan engkau. Kini engkau sudah datang, hiduplah bersamaku sebagai isteriku, Hong Bwe. Rumah ini seolah dunia gelap yang mendapat matahari kalau engkau berada di sini. Anakku Kong-ji adalah seorang anak yang baik dan patuh. Tadi pun dia sudah menyebutmu sebagai ibunya, pengganti ibunya."
"Hemmm, kau kira luka di hati yang hancur luluh ini sedemikian mudahnya sembuh? Kalau engkau benar-benar hendak memperisteri aku, engkau harus dapat mencari Cu In dan membawanya pulang kepadaku di Beng-san. Aku hanya mau kau boyong ke sini kalau Cu In bersamaku. Kalau sudah begitu, kita boleh melupakan semua kesalahan masa lalu. Nah, aku pergi dulu dan menunggu kedatanganmu bersama Cu In!" Setelah berkata demikian, wanita itu menyambar pedangnya, melompat dan pergi dengan cepat.
"Hong Bwe...!"
Akan tetapi The Sun Tek maklumi bahwa wanita itu tidak akan mau berhenti. Mau atau tidak terpaksa dia harus melaksanakan permintaan Hong Bwe kalau dia menghendaki hidup sebagai suami isteri dengannya.
Sambil menghela napas panjang karena hatinya merasa lega seolah-olah batu yang amat berat dan yang selama ini menindih hatinya telah diangkat pergi. Harapan baru bagaikan cahaya matahari menggantikannya menyentuh hatinya.
Dia berjanji kepada diri sendiri untuk dapat menemukan Cu In dan membujuknya agar mau pulang ke Beng-san bersamanya….
Gadis manis dan ayahnya itu dikerumuni banyak orang di depan pasar di kota Leng-an. Mereka adalah seorang gadis bersama dengan ayahnya yang bermain silat, sengaja mempertontonkan kepandaian mereka sehingga menarik banyak perhatian penonton. Setelah gadis itu bersilat dengan sepasang pedangnya dengan gerakan indah dan kuat serta cepat sehingga mendapat tepuk tangan kagum dari para penonton, sang ayah lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada semua penonton di sekelilingnya.
"Cu-wi (saudara sekalian) yang mulia. Kami ayah dan anak mohon maaf sebesarnya bila kami berani mempertontonkan ilmu silat kami yang masih rendah. Terutama kepada para eng-hiong (pendekar) yang kebetulan berada di sini, hendaknya dimaklumi bahwa kami sama sekali tidak bermaksud untuk membanggakan kepandaian kami. Kalau kami mempertontonkan kepandaian, tidak lain karena kami kekurangan dan kehabisan bekal dalam perjalanan ini dan mengharapkan sumbangan suka rela dari para penonton, di samping itu juga mengharapkan mudah-mudahan puteriku akan menemukan jodohnya di tempat ini."
Ucapan yang terus terang itu disambut sorak-sorai dan tepuk tangan. Sekarang tahulah semua orang bahwa gadis itu hendak mencari jodohnya melalui pertandingan silat. Tentu nanti akan ramai kalau ada pemuda yang berani mencoba-coba.
Dan dugaan semua orang benar saja. Penawaran jodoh itu menarik perhatian banyak orang. Hal ini tidak aneh karena gadis itu memang manis sekali.
Wajahnya berbentuk bulat telur, dengan anak rambut melingkar-lingkar di pelipis serta dahinya. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung ke atas dengan ringkas. Kulitnya agak gelap, akan tetapi menambah kemanisannya.
Matanya tajam dan bersinar-sinar penuh gairah hidup, hidungnya kecil mancung serta mulutnya mengandung daya tarik yang amat kuat. Mulut itu selalu mengandung senyum memikat, dengan lesung pipit di kiri bibir. Mulut dan mata gadis ini yang benar-benar memikat. Usianya pun paling banyak delapan belas tahun.
Namun karena semua orang sudah menyaksikan ketika gadis itu tadi berdemonstrasi silat tangan kosong kemudian silat sepasang pedang, yang berani maju hanya mereka yang merasa dirinya cukup tangguh saja.
Mula-mula seorang pemuda berpakaian ringkas seperti seorang jago silat yang maju. Pemuda berbaju biru ini melompat ke depan dengan sikapnya yang gagah dan semua orang bertepuk tangan ketika mengenalnya sebagai putera seorang guru silat di kota itu. Pemuda itu memang agak menyombongkan kepandaiannya, akan tetapi dia memang belum mempunyai seorang isteri.
"Saya ingin mencoba-coba ilmu kepandaian Nona!" katanya dengan gagah dan terang-terangan sehingga banyak orang tersenyum lebar.
Ayah gadis itu melangkah maju dan bertanya, "Apakah Sicu hendak menyumbang?"
"Saya memiliki sedikit uang untuk menyumbang, akan tetapi saya lebih ingin mencoba ilmu silat puteri Paman. Siapa tahu kami bisa berjodoh." Ucapan ini disambut gelak tawa para penonton dan sang ayah memberi isyarat kepada puterinya untuk maju.
Gadis itu juga bukan seorang gadis pemalu. Dengan sikap tenang ia melangkah maju menghadapi pemuda baju biru dan bertanya, "Aduh, kepandaian yang manakah yang Sicu kehendaki? Tangan kosong atau dengan senjata?"
"Ah, Nona. Kita hanya bermain-main untuk meramaikan suasana, bukan berkelahi untuk saling melukai. Maka sebaiknya kita main-main dengan tangan kosong saja."
"Baiklah. Nah, saya sudah siap, Sicu boleh mulai!" kata gadis itu sambil memasang kuda-kuda.
"Aku seorang laki-laki, Nona boleh menyerang terlebih dahulu!" kata pemuda baju biru, mengambil sikap mengalah untuk menarik perhatian.
"Kalau begitu baiklah. Awas, saya mulai menyerang!"
Gadis itu mengirim pukulan cepat ke arah dada si pemuda. Pemuda itu mengelak ke kiri dan membalas dengan tamparan ke arah pundak, namun dengan mudah tamparan ini dielakkan oleh gadis itu. Segera serang menyerang terjadi dengan seru.
Akan tetapi, bagi mereka yang mempunyai kepandaian, setelah lewat belasan jurus saja sudah ketahuanlah bahwa pemuda itu bukan tandingan si gadis. Dia mulai terdesak dan gerakan gadis itu sedemikian cepatnya, terlalu cepat bagi pemuda baju biru sehingga dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menyerang dan hanya dapat mengelak atau menangkis terhadap serangan gadis itu yang datangnya bertubi-tubi. Belum lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki gadis itu mengenai lutut si pemuda dan pemuda itu pun terpelanting jatuh.
Sorak-sorai menyambut kemenangan gadis ini. Pemuda baju biru itu dengan muka merah bangkit kembali dan setelah memberi hormat lalu mundur, mengaku kalah.
Tiba-tiba seorang lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam, meloncat ke tengah lingkaran itu. Matanya yang besar memandang kepada gadis itu dan terdengar suaranya yang parau dan lantang.
"Aku Hek-houw (Macan Hitam) Bong Kiat ingin mencoba-coba kepandaian Nona!"
Terdengar seruan-seruan di sana sini ketika Bong Kiat memasuki sayembara memilih suami itu.
"Dia sudah beranak-isteri!"
"Tidak pantas kalau dia ikut!"
Mendengar seruan-seruan itu, Bong Kiat membusungkan dadanya dan memandang ke sekelilingnya. "Aku Bong Kiat memang sudah beranak-isteri, akan tetapi siapa yang bisa melarangku memilih seorang gadis untuk menjadi selirku? Hayo katakan, siapa berani melarang?"
Si Macan Hitam Bong Kiat memang sudah terkenal sebagai seorang jagoan yang biasa malang melintang di kota Leng-an, sering menimbulkan keributan karena memaksakan kehendaknya sehingga semua orang menjadi takut. Tentu saja tantangannya itu tidak ada yang berani menyambut dan para penonton hanya diam saja.
Melihat ini, ayah gadis itu maju menyambut Bong Kiat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu berkata, "Kami Liong Biauw dan anak Liong Siok Hwa ini memang sedang mencari jodoh, namun untuk menjadi seorang isteri yang baik, bukan menjadi seorang selir. Oleh karena itu, harap Sicu suka mengurungkan niatnya untuk mengadu kepandaian."
"Apa kau bilang barusan? Mengurungkan niatku mengadu kepandaian untuk memasuki sayembara ini? Tidak bisa! Engkau tadi sudah mengatakan bahwa siapa yang dapat mengalahkan Nona ini akan menjadi jodohnya, maka sekarang aku hendak mencoba kepandaiannya. Kalau aku kalah, sudahlah, akan tetapi bila aku menang, Nona ini harus menjadi selirku!"
"Tidak ada yang mengatakan begitu, Sicu. Memang tadi aku mengatakan bahwa kami mengharapkan anak kami mendapatkan jodoh di sini, akan tetapi bukan untuk menjadi selir. Dan perjodohan bukan hanya ditentukan oleh kalah menangnya pertandingan, melainkan oleh cocok tidaknya anakku dengan calon jodohnya."
"Aih, tidak peduli! Pendeknya, anakmu harus melayani aku bertanding, atau kalau perlu ayahnya boleh maju mewakilinya. Kalau kalian tidak berani, kalian harus cepat pergi dari kota ini!"
Liong Biauw, sang ayah, tentu saja tidak ingin mencari permusuhan, maka dia pun lalu menghela napas panjang dan berkata kepada puterinya, "Siok Hwa, kemasilah barang-barangnya. Kita pergi saja dari kota ini." Jelas bahwa dia tak ingin melanjutkan keributan dengan Si Macan Hitam.
Akan tetapi, ketika penonton menjadi kecewa karena pertunjukan yang menarik itu akan berhenti, tiba-tiba dari penonton muncul seorang pemuda.
"Tahan dulu!" kata pemuda itu, lalu dia menghadapi Bong Kiat. "Sobat engkau sungguh tak tahu malu. Orang sudah menolak untuk bertanding denganmu karena engkau sudah berkeluarga, mengapa engkau memaksa? Bagaimana kalau aku mewakili Nona itu maju menandingimu?"
Bong Kiat memandang pemuda itu dengan mata penuh selidik. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi besar, mukanya bundar dan matanya lebar. Belum pernah dia melihat pemuda ini, akan tetapi watak Bong Kiat memang selalu meremehkan orang lain.
"Tentu saja boleh, kalau engkau memang sudah bosan hidup!"
Pemuda itu lalu memberi hormat kepada Liong Biauw dan berkata, "Paman, sebetulnya saya pun ingin mencoba kepandaian puteri Paman, akan tetapi terdapat gangguan dari orang tidak tahu malu ini. Maka saya mohon perkenan Paman untuk mewakili puterimu memberi hajaran kepadanya."
Liong Biauw merasa tertarik dan suka kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang sudah matang, usianya sekitar tiga puluh tahun dan matanya yang lebar itu bersinar tajam. Dia pun mengangguk dan berkata, "Silakan saja akan tetapi berhati-hatilah, dia bukan lawan yang lemah."
Mendengar ini, Bong Kiat menjadi semakin sombong. "Hai bocah tidak tahu diri. Berani engkau mencampuri urusan orang lain. Agaknya tidak mengenal siapa Si Macan Hitam! Perkenalkan namamu sebelum engkau berkenalan dengan tinjuku!"
Pemuda itu tersenyum mengejek dan berkata, "Namaku Ji Lam Sang, dari kota raja."
Pemuda itu sesungguhnya adalah Gu Lam Sang. Setelah diakui sebagai putera angkat oleh Pangeran Tao Seng, dia berhak memakai nama Tao Lam Sang. Akan tetapi karena kini Pangeran Tao Seng sendiri sedang menyamar sebagai hartawan Ji, maka dia pun mengaku marga Ji. Belum tiba saatnya dia menggunakan nama keluarga kerajaan itu.
Secara kebetulan saja Lam Sang lewat di kota itu dan hatinya tertarik melihat banyak orang melihat pertunjukan silat itu. Dia pun menjenguk pertunjukan itu dan jantungnya berdebar. Dia bukan seorang laki-laki yang mata keranjang, akan tetapi entah mengapa, begitu melihat Liong Siok Hwa, hatinya tertarik sekali. Maka kalau tadinya hanya ingin menjenguk sebentar, dia lalu menjadi penonton.
Ia melihat betapa pemuda baju biru dikalahkan gadis itu. Diam-diam ia semakin kagum. Ilmu silat gadis itu lumayan tinggi. Lalu muncullah Bong Kiat yang hendak memaksakan kehendaknya. Melihat betapa Liong Biauw dan puterinya hendak mengalah dan pergi, dia lalu turun tangan mencampuri.
“Cabut senjatamu, Ji Lam Sang, dan bersiaplah engkau untuk mampus!” kata Bong Kiat yang sudah menghunus sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.
Semua orang bergidik melihat Si Macan Hitam sudah menghunus golok besarnya. Akan tetapi Lam Sang sendiri hanya tersenyum menghadapi ancaman golok besar yang tajam itu, bahkan dia berkata dengan nada mengejek.
“Untuk menghadapi golok pernotong ayam itu aku tidak perlu menggunakan senjata apa pun, cukup dengan tangan dan kakiku saja. Nah, aku telah siap, cepat gunakan golok pemotong ayammu itu!”
Bukan main marahnya Bong Kiat mendengar ejekan ini. Kalau saja Lam Sang tadi tidak mengejeknya, dia pun tentu akan menghadapi Lam Sang yang bertangan kosong tanpa senjata, untuk menjaga kehormatannya. Akan tetapi ejekan itu membuatnya marah dan dia ingin cepat-cepat dapat membunuh lawannya! Dia memutar-mutar golok besar yang berat itu di atas kepalanya.
"Sambutlah golokku dan mampuslah!” Bong Kiat membentak dan goloknya meluncur ke depan, membabat ke arah leher Lam Sang.
Akan tetapi, pemuda Tibet itu dengan amat mudahnya mengelak dengan merendahkan tubuhnya, dan ketika golok itu menyambar lewat, kakinya mencuat dengan cepatnya ke depan, menendang ke arah perut Bong Kiat. Serangan yang mendadak ini berbahaya sekali, akan tetapi Bong Kiat juga bukan orang lemah. Dia cepat melangkah mundur sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong.
Akan tetapi gebrakan pertama yang sudah dapat dibalas secara kontan oleh lawannya membuat Bong Kiat berhati-hati karena ternyata lawannya memang memiliki ilmu silat yang tangguh. Kini dia mengayun goloknya dan melakukan serangan bertubi-tubi. Golok itu membentuk gulungan sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Lam Sang.
Semua orang merasa ngeri melihat buasnya serangan Bong Kiat. Akan tetapi Liong Biauw mendekati puterinya dan berkata lirih, “Pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tentu akan dapat mengalahkan Bong Kiat itu, dan agaknya dia seorang calon jodohmu yang baik sekali.”
Wajah Siok Hwa menjadi kemerahan mendengar ucapan ayahnya itu dan ia menonton dengan penuh perhatian.
Pertandingan masih berjalan dengan seru. Bong Kiat menjadi penasaran sekali ketika goloknya tidak pernah mengenai lawan, bahkan kalau sekali-kali Lam Sang menangkis lengannya, dia merasa betapa lengannya terguncang hebat dan terasa ada hawa panas menyerangnya. Dia mengamuk semakin hebat, akan tetapi justru ini yang dikehendaki Lam Sang. Makin marah dan semakin hebat serangannya, makin lemah pertahanannya.
Ketika goloknya menyambar, membacok kepala Lam Sang dari atas ke bawah, Gu Lam Sang mengelak dan membiarkan golok itu lewat. Secepat kilat jari tangannya kemudian menyambar dan menotok ke arah siku kanan Bong Kiat.
“Wuuuttt... dukkk!”
Bong Kiat mengeluarkan teriakan kaget. Tangan kanannya menjadi lumpuh dan golok itu dengan sendirinya terlepas dari pegangannya dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba lengan kirinya disambar lawan dan tubuhnya terangkat ke atas. Kiranya Lam Sang memakai kesempatan itu untuk menangkap lengan kiri lawan dan memutarnya sehingga tubuh itu terputar ke atas lalu terbanting ke atas tanah.
“Bukkkkk...!”
Keras sekali bantingan itu. Bong Kiat merasa tubuhnya bagaikan remuk dan kepalanya menjadi pening. Ia mencoba bangkit, akan tetapi roboh lagi karena bumi yang diinjaknya seperti bergelombang.
Lam Sang tersenyum dan penonton menyambut kemenangan mutlak itu dengan tepuk tangan dan sorak-sorai.
“Cepat ambil golok pemotong ayammu dan pergi dari sini!” Lam Sang membentak.
Merasa bahwa dia sudah benar-benar kalah, hati Bong Kiat menjadi jeri. Dengan kepala masih pening ia cepat-cepat memungut goloknya, lalu terhuyung-huyung seperti mabuk meninggalkan gelanggang itu, ditertawakan oleh para penonton.
Lam Sang menghadapi Liong Biauw dan Siok Hwa. Ia menjura dan bertanya, “Bolehkah sekarang saya mencoba ilmu kepandaian Nona?”
Dengan muka kemerahan Siok Hwa mengangguk. “Tentu saja boleh, akan tetapi saya bukan tandinganmu, Kongcu.”
“Ahh, Nona terlalu merendahkan diri. Kulihat tadi ilmu pedang Nona lihai sekali. Nona boleh mempergunakan siang-kiam itu.”
“Engkau sendiri bertangan kosong, bagaimana aku harus menggunakan senjata? Aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, Kongcu.”
“Terserah kepadamu, Nona. Aku telah siap, harap Nona suka mulai menyerang.”
Siok Hwa melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri saja seperti tidak sedang menghadapi pertandingan. Ia merasa tidak enak dan sebelum menyerang, ia memberi peringatan. “Kongcu sambutlah seranganku ini!” dan ia pun menerjang dengan cepat sekali.
“Bagus!” Lam Sang memuji dan dia cepat mengelak, lalu membalas dengan tamparan tangannya.
Keduanya lalu saling serang dengan seru dan cepat. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata para penonton, kecuali oleh mereka yang berkepandaian.
Liong Biauw menonton dengan penuh perhatian. Dia segera mengerti bahwa pemuda itu telah banyak mengalah. Pemuda itu agaknya membiarkan Siok Hwa yang memimpin penyerangan. Dia sendiri lebih banyak mengelak dan sesekali hanya membalas dengan serangan sekedarnya saja, tidak bersungguh-sungguh. Kalau dia bersungguh-sungguh, tentu sudah sejak tadi Siok Hwa dapat dikalahkannya.
Hal ini membuat hatinya merasa girang bukan main. Agaknya pemuda itu menaruh hati kepada puterinya maka mengambil sikap mengalah.
Sementara itu, Siok Hwa menjadi bingung sendiri. Semua jurus terampuh ia keluarkan untuk menyerang lawan, akan tetapi selalu berhasil dielakkan atau ditangkis. Dan kalau lawannya menangkis, lengannya bertemu dengan telapak tangan yang lunak. Ia merasa heran sekali. Tenaga sinkang yang ia keluarkan dalam penyerangannya seolah lenyap ketika bertemu dengan tangan yang lunak itu, dan kadang tenaganya membalik.
Ia sudah mulai berkeringat, akan tetapi belum juga ia mampu mendesak lawan. Ia pun mengerti bahwa pemuda itu mengalah. Serangan pemuda itu seenaknya saja, berbeda dengan pertahanannya yang demikian kokoh kuat. Orang yang dapat bertahan seperti itu, kalau dikehendaki, tentu dapat menyerang dengan hebat pula, tidak seperti pemuda itu yang menyerang hanya dengan tamparan-tamparan lemah. Ia mulai menjadi bingung bagaimana caranya untuk mengakhiri pertandingan itu.
Tiba-tiba ia teringat akan sebuah jurus yang belum dipergunakannya. Jurus itu adalah sebuah tendangan yang dilakukan dengan tubuh seolah ‘terbang’ di udara. Tendangan ini ampuh sekali dan jarang ada lawan mampu manghindarkan diri.
“Haiiittt...!”
Siok Hwa membentak. Tubuhnya meloncat ke udara dan kedua kakinya mencuat dan menendang ke arah dada dan kepala Lam Sang!
Ketika kedua tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dia telah menangkap kedua kaki itu. Dia mendorong sehingga tubuh Siok Hwa terpental, lalu berjungkir balik beberapa kali sebelum turun kembali ke atas tanah. Indah bukan main gerakan ini dan semua orang memuji.
Akan tetapi gadis itu menjadi kemerahan mukanya, tersipu-sipu malu sedangkan Lam Sang memegang dua buah sepatu gadis itu yang tertinggal di tangannya. Melihat ini, semua orang bersorak memuji.
Liong Biauw menghampiri pemuda itu dan menjura, “Anakku sudah kalah olehmu, Ji Kongcu.”
Lam Sang juga menjura. “Nona telah banyak mengalah, harap maafkan aku.”
Dia lalu mengembalikan sepasang sepatu itu kepada pemiliknya, dan diterima oleh Siok Hwa sambil tersipu dan tersenyum malu-malu.
Liong Biauw segera memberi hormat kepada para penonton. “Cu-wi, terima kasih atas perhatian dan bantuan Cu-wi. Pertunjukan sudah habis dan dihentikan sampai di sini.”
Penonton mulai bubar dan Liong Biauw berkata kepada Lam Sang. “Ji Kongcu, silakan ikut dengan kami ke pondokan kami untuk bicara.”
Lam Sang hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka bertiga lalu pergi ke rumah penginapan di mana ayah dan anak itu menyewa dua buah kamar. Setelah mereka masuk ke rumah penginapan, Lam Sang dipersilakan masuk ke kamar Liong Biauw dan di situ mereka berdua mengadakan pembicaraan. Siok Hwa tinggal di kamarnya sendiri karena maklum apa yang akan dibicarakan ayahnya dengan pemuda itu dan ia merasa malu untuk menghadirinya.
“Ji Kongcu, tentunya engkau sudah dapat menduga apa yang hendak kami bicarakan denganmu, bukan?”
Tentu saja Lam Sang sudah dapat menduganya, akan tetapi dia pura-pura bodoh dan bertanya, “Apakah yang hendak Paman bicarakan? Aku tidak dapat menduganya.”
“Kongcu tentu tadi telah mendengar bahwa kami sedang mencarikan jodoh bagi anakku Liong Siok Hwa dengan mengadakan pertandingan silat. Nah, kini ternyata engkau yang telah mampu mengalahkan Siok Hwa, maka hal itu berarti bahwa engkau adalah jodoh Siok Hwa yang selama ini kami nanti-nanti.”
Lam Sang pura-pura kaget. “Ah, akan tetapi aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk menikah, Paman!”
Liong Biauw mengerutkan alis. “Lalu mengapa engkau tadi mengajak Siok Hwa untuk mengadu kepandaian silat?”
“Aku tadi hanya iseng-iseng karena kagum melihat ilmu kepandaian puterimu, dan aku menandingi Bong Kiat karena tidak suka melihat ulahnya.”
“Ji Kongcu, apakah engkau tidak suka kepada Siok Hwa?”
“Aku kagum kepadanya, Paman, dan tentu saja aku suka kepadanya. Ia cantik manis dan berkepandaian lumayan.”
“Kalau begitu, mengapa menolak? Kami sudah menyatakan setuju untuk menjodohkan ia denganmu.”
“Tidak begitu mudah bagiku untuk menikah, Paman. Harus kutanyakan dulu pada orang tuaku dan aku sendiri belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga.”
“Kalau begitu, harap engkau suka memberi tahukan orang tuamu. Dari sini kota raja tak berapa jauh, kami akan menunggu keputusanmu di sini, dalam waktu seminggu engkau tentu sudah dapat kembali ke sini. Bagaimana, Ji Kongcu?”
“Baiklah kalau begitu, Paman. Aku akan memberi tahukan orang tuaku dan dalam waktu seminggu aku akan kembali ke sini,” kata Lam Sang.
Liong Biauw menjadi gembira sekali dan dia segera memanggil puterinya ke kamarnya. Siok Hwa muncul dengan muka kemerahan dan kepala ditundukkan.
“Siok Hwa, kami telah membicarakan tentang perjodohan kalian. Ji Kongcu sekarang hendak pulang ke kota raja untuk memberi tahu tentang hal itu kepada orang tuanya. Kita berdua menanti di sini, dan dalam waktu seminggu dia akan kembali memberikan keputusannya.”
Siok Hwa makin menunduk dan tersenyum malu sambil melirik ke arah Lam Sang. “Terserah kepada Ayah saja...” jawabnya lirih.
Lam Sang memandang gadis itu. Sungguh cantik manis dan menarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia tertarik oleh wanita dan ini merupakan yang pertama kalinya dia terpesona oleh kecantikan wanita.
Akan tetapi dia tidak boleh mengikatkan diri dalam pernikahan. Dia bercita-cita besar, seperti Pangeran Tao Seng yang mengakuinya sebagai putera. Ia ingin ayah angkatnya itu menjadi kaisar dan dia menjadi putera mahkota. Sebelum cita-cita itu tercapai, bagai mana dia boleh mengikatkan diri dalam perjodohan? Tidak mungkin. Akan tetapi gadis ini sungguh menarik hatinya!
Lam Sang lalu berpamit kepada Liong Biauw dan Siok Hwa dan dia pergi meninggalkan rumah penginapan itu, diantar sampai ke pintu luar oleh ayah dan anak itu.
Setelah Lam Sang pergi. Liong Biauw dengan girang berkata kepada anaknya. “Pilihan kita tepat sekali Siok Hwa! Dia bukan hanya lihai dalam ilmu silat, akan tetapi juga tahu aturan dan berbakti kepada orang tua. Engkau menemukan suami yang pilihan dan aku memperoleh mantu yang baik!”
“Mudah-mudahan begitu, Ayah,” jawab Siok Hwa lirih, seperti berdoa.
Dan keduanya pun kembali ke dalam rumah penginapan…..
Malam itu Siok Hwa tidak dapat tidur. Dia terus membayangkan wajah Lam Sang dan kadang ia tersenyum sendiri. Hatinya begitu girang dan penuh harapan manis sehingga dia tak dapat tidur. Kamarnya remang-remang saja, hanya menerima cahaya dari lampu gantung yang berada di luar kamarnya.
Tiba-tiba kamarnya menjadi lebih terang dan terkejutlah dia ketika melihat bahwa yang membuat kamarnya terang itu adalah karena jendela kamarnya telah dibuka orang dari luar sehingga cahaya lampu di luar dapat menerobos masuk. Akan tetapi sinar terang itu hanya sebentar.
Sesosok tubuh orang cepat sekali meloncat memasuki kamarnya melalui jendela dan daun jendela sudah ditutupkan lagi dari dalam. Kini bayangan itu sudah berdiri di tengah kamarnya.
Siok Hwa bangkit duduk dan siap menerjang bayangan itu. Tentu pencuri yang sudah memasuki kamarnya. Cepat tangannya meraih sepasang pedangnya yang diletakkan di atas meja dekat pembaringannya.
“Ssttt... ini aku, Nona...” bisik bayangan itu.
Siok Hwa terkejut. Suara Lam Sang! Saking kaget dan herannya ia tidak mampu bicara, hanya memandang saja bayangan itu dengan tangan kiri di atas sepasang pedang yang masih berada di atas meja.
Bayangan itu mendekatinya. “Ini aku, Nona. Lam Sang, bukan orang lain. Simpanlah pedangmu. Engkau tidak ingin membunuh aku, bukan?”
Barulah Siok Hwa dapat membuka mulutnya. “Engkau... Kongcu? Akan tetapi kenapa... kenapa engkau memasuki kamarku seperti ini?”
“Aku rindu sekali kepadamu, Nona. Tak dapat aku menahan kerinduan hatiku padamu, karena itu aku memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Mungkin pencuri... hati...”
Pemuda itu menghampiri sampai dekat dan duduk di tepi pembaringan, dekat sekali dengan Siok Hwa.
“Tidak... ahh, bukankah engkau tadi sudah berangkat ke kota raja untuk memberi tahu orang tuamu, Ji Kongcu?”
“Sudah kukatakan bahwa aku rindu sekali kepadamu, maka aku kembali. Besok masih ada waktu bagiku untuk pergi ke kota raja. Malam ini aku ingin bersamamu.”
“Tidak... tidak... tadi aku pun terus memikirkanmu, Ji Kongcu. Akan tetapi tidak seperti ini. Jangan...”
Siok Hwa tidak mampu mengeluarkan suara lagi dan tubuhnya telah lemas oleh totokan. Selanjutnya dia hanya mampu menangis sejadi-jadinya dan menyerah kepada pemuda yang kini berubah menjadi ganas melebihi binatang liar itu.
Setelah mengalami penderitaan yang membuat dunianya hancur luluh, Siok Hwa hanya terbaring tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Dan pemuda itu, pemuda yang tadinya diharapkannya menjadi suami yang baik, pemuda yang menarik hatinya dan yang telah merusak kehormatan dirinya itu, sekarang tidur mendengkur di sisinya! Demikian pulas tidurnya seolah-olah dia tidak pernah melakukan suatu kesalahan apa pun!
Kurang lebih tiga jam kemudian barulah totokan pada tubuhnya membuyar dan mulailah Siok Hwa mampu menggerakkan tubuhnya. Ia bingung, bingung bercampur sedih. Akan dibunuhnya orang ini? Akan tetapi dia calon suaminya!
Karena tidak tahu harus berbuat apa, perlahan-lahan ia melangkahi tubuh Lam Sang, lalu berindap keluar dari kamarnya. Ia menghampiri kamar ayahnya dan mengetuk daun pintu kamar ayahnya.
“Siapa di luar...?” tanya Liong Biauw.
“Aku, Ayah. Bukalah pintunya, cepat...!”
Daun pintu terbuka. Liong Biauw melihat puterinya dengan pakaian dan rambutnya yang awut-awutan sedang menangis terisak-isak.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Liong Biauw bingung.
Siok Hwa menubruk ayahnya dan menangis dalam rangkulan ayahnya. “Ayah... dia... dia kembali...”
“Apa...? Siapa...?”
“Ji Kongcu! Dia memasuki kamarku dan... dan dia memperkosaku...” Gadis itu kembali menangis.
Tentu saja Liong Biauw terkejut bukan main mendengar Ini. “Keparat! Di mana dia sekarang?”
“Tertidur di kamarku...”
Liong Biauw berlari memasuki kamarnya mengambil pedang, lalu lari menuju ke kamar Liong Siok Hwa. Karena pintunya sudah dibuka oleh gadis itu ketika keluar tadi, dia langsung menerjang masuk. Dalam cuaca yang remang-remang itu dia melihat sesosok tubuh tidur membujur di atas pembaringan.
Saking marahnya, orang tua ini tidak mengeluarkan sepatah pun kata lagi dan langsung menerjang, membacokkan pedangnya ke arah tubuh itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh itu bergerak menendang, tepat mengenai pergelangan tangan kanan Liong Biauw yang memegang pedang sehingga pedangnya terlepas dari pegangan.
Lam Sang yang tadi terbangun segera meloncat turun. Dengan jari-jari tangan terbuka dia menyerang Liong Biauw. Hebat sekali serangan itu, tidak dapat ditangkis atau pun dielakkan lagi oleh Liong Biauw. Dia berteriak dan roboh berkelojotan. Dadanya terkena hantaman tangan terbuka itu dengan pukulan beracun, pukulan maut.
Liong Siok Hwa melompat masuk.
”Ayah...!” teriaknya, akan tetapi tubuhnya segera lemas tertotok dan dia pun dipanggul oleh Lam Sang yang segera melompat keluar dari tempat itu.
Tidak ada orang menyaksikan peristiwa itu. Baru pada keesokan harinya para pelayan rumah penginapan menjadi gempar melihat pintu kamar terbuka dan tubuh Liong Biauw sudah menjadi mayat, sedangkan puterinya lenyap entah ke mana!
Pagi itu, Siok Hwa diturunkan dari pundak Lam Sang. Gadis itu menangis, lalu meronta dan setelah dapat bergerak, ia langsung menyerang pemuda itu dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi dengan mudah Lam Sang menangkap pergelangan tangan itu dan sekali puntir dia sudah dapat menangkap gadis itu yang menjadi tidak berdaya.
“Engkau hendak melawanku? Bodoh! Aku justru tidak ingin membunuhmu karena aku suka kepadamu, Siok Hwa,” kata Gulam Sang sambil melepaskan pergelangan tangan itu.
"Kau... jahanam busuk...!” Setelah dilepaskan, kembali Siok Hwa menyerang.
Akan tetapi sekali ini Gulam Sang mengelak dan sekali mendorong dengan tangannya, gadis itu pun terpelanting keras.
“Engkau bukan lawanku, Siok Hwa. Dengar baik-baik, kalau aku hendak membunuhmu, mudahnya seperti membalikkan telapak tangan saja. Akan tetapi aku sama sekali tidak ingin membunuhmu, bahkan aku ingin engkau ikut aku dan membantu usahaku. Kelak, kalau aku menjadi pengeran, engkau akan menjadi seorang selirku yang tercinta.”
Siok Hwa memandang penuh kebencian, dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya. “Engkau...engkau telah membunuh ayahku!”
“Salah! Dialah yang hendak membunuh aku maka terpaksa aku lenyapkan dia. Salahmu juga karena engkau melapor kepada ayahmu. Kalau dia tidak menyerangku, untuk apa aku membunuhnya?”
“Kau... kau jahat...!”
“Kembali engkau keliru. Aku baik sekali padamu, dan aku sayang padamu.” Kini suara Gulam Sang berubah, penuh getaran dan penuh wibawa.
Mendadak saja Siok Hwa merasa dirinya lemas, pikirannya bagaikan melayang-layang. Kiranya Gulam Sang mulai mempergunakan sihirnya.
“Mulai sekarang engkau akan menuruti semua kehendakku. Engkau akan selalu taat kepadaku!”
Siok Hwa menunduk. “Aku... akan taat kepadamu,” katanya lirih dan tanpa tenaga.
Gulam Sang merasa girang sekali karena sudah dapat menguasai Siok Hwa.
“Mulai sekarang, ikutlah ke mana aku pergi kecuali kalau kularang. Sekarang, ikuti aku!”
Gulam Sang lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dan seperti telah kehilangan semangatnya, Siok Hwa lalu mengikutinya. Kalau Gulam Sang berlari, ia pun ikut pula berlari!
Mulai saat itu, Siok Hwa telah berada dalam cengkraman Gu Lam Sang. Sekali waktu, ingatannya kembali dan apa bila dia teringat akan kematian ayahnya dan akan keadaan dirinya, dia menangis. Akan tetapi ia segera terhibur kalau Gulam Sang sudah mengeluarkan kata-kata hiburan yang mengandung kekuatan sihir...
"Aku harus menghadapi kemarahan Sim Hong Bwe. Ia tidak mau mendengar alasanku, bahkan ia menolak keras ketika aku mengusulkan supaya ia suka menjadi selirku. Kalau hanya sebagai selir, tentu ayahku tidak akan keberatan. Akan tetapi Hong Bwe menolak dan menuntut supaya aku menikahinya sebagai isteri yang sah. Aku tak mungkin dapat memenuhi permintaannya dan ia menjadi demikian marah sehingga meninggalkan aku begitu saja. Padahal, pada waktu itu ia telah mengandung! Ia mengandung anakku dan sejak itu aku tak pernah dapat menemukannya. Aku selalu mencarinya, bahkan sampai sekarang aku masih terus mencarinya. Akan tetapi ia selalu menghilang begitu aku bisa menemukan tempat persembunyiannya. Aku pun mendengar bahwa ia telah melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi tidak pernah aku melihat anakku itu pula."
Cu In mengamati wajah di depannya dengan tajam dan penuh selidik. Wajah itu nampak jujur dan tidak berbohong. Ia menjadi bingung ketika mulai dapat menangkap bahwa yang disebut Hong Bwe itu tentulah nama kecil subonya. Akan tetapi subonya tidak mempunyai anak perempuan! Anak laki-laki pun tidak. Subonya tidak mempunyai anak!
"Nah, demikianlah keadaannya, nona Souw. Sim Hong Bwe itu ialah gurumu. Aku sudah mendengar bahwa ia memakai nama Ang Hwa Nio-nio karena di rambutnya selalu ada kembang merah. Itu memang kesenangan dan kebiasaan Hong Bwe, selalu menghias rambutnya dengan bunga merah. Sekarang engkau sudah tahu apa sebabnya maka ia membenciku dan kini mengutus mu untuk membunuhku. Tapi aku mencintainya, sampai sekarang pun masih tetap mencintainya. Sekarang isteriku telah meninggal dunia akibat sakit, dan aku mengharapkan Hong Bwe untuk menjadi isteriku. Akan tetapi, agaknya ia tidak dapat memaafkan aku. Nona Souw, engkau muridnya, tentu engkau mengerti bagaimana keadaannya dengan puterinya. Sudah besarkah sekarang anakku itu? Siapa pula namanya?"
Cu In menggelengkan kepalanya. "Subo tidak pernah mempunyai seorang puteri, juga tidak mempunyai putera. Subo tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak."
Ia tidak menceritakan betapa subonya sangat benci kepada laki-laki. Bahkan sejak ia masih kecil, ia sudah dilatih untuk membenci dan tidak percaya kepada pria, terutama kepada pria yang mencintanya! Agaknya sakit hati subo-nya terhadap The Sun Tek demikian mendalam, membuat ia menjadi pembenci laki-laki.
"Nah, demikianlah ceritaku. Aku tak pernah membunuh orang begitu saja karena urusan pribadi. Jika aku membunuh orang, tentu hal itu terjadi dalam perang. Maka aku merasa tidak pernah membunuh ayah bundamu. Mungkin dulu ayahmu berada dalam pasukan musuh sehingga dalam perang aku membunuhnya, akan tetapi tak mungkin ibumu juga ikut berperang. Aku yakin bahwa itu hanya suatu akal dari Hong Bwe untuk membuat engkau membenci padaku, kemudian membalas dendam kematian ayah bundamu. Dan melihat keadaan dirimu, walau pun mukamu tertutup cadar, aku hampir yakin bahwa engkaulah anak itu, Nona! Engkaulah anak dari Hong Bwe sendiri. Engkaulah anakku. Perasaanku mengatakan demikian. Suaramu dan pandang matamu itu tidak akan dapat menipuku. Itulah suara dan mata Hong Bwe! Ya Tuhan demikian bencikah ia kepadaku sehingga ia ingin melihat anakku sendiri membunuhku?"
Cu In bangkit berdiri. Mukanya menjadi pucat. Kemungkinan itu menyerbu pikirannya. Besar sekali kemungkinan apa yang diduga orang tua ini benar. Ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap panglima ini. Tidak ada rasa benci, bahkan ada perasaan iba kepadanya. Jangan-jangan dia benar ayahnya!
Pada saat itu terdengar bentakan suara lembut, "Cu In, cepat laksanakan perintahku. Jangan dengar dia dan bunuhlah musuh besar kita itu!"
Yang muncul adalah Ang Hwa Nio-nio. Mukanya kemerahan dan sepasang matanya mencorong penuh kebencian ditujukan kepada The Sun Tek.
Panglima itu melangkah maju menghampiri, "Hong Bwe...! Ahhh, bertahun-tahun aku mencarimu, Hong Bwe. Akan tetapi engkau selalu menyingkir. Kembalilah kepadaku, Hong Bwe dan sekarang aku dapat memenuhi permintaanmu. Engkau dapat menjadi isteriku. Dan anak kita! Bukankah nona Souw ini anak kita? Begitu kejamkah engkau menyuruh anak kita untuk membunuhku?"
"Kejam katamu? Orang seperti engkau ini masih bisa mengatakan orang lain kejam? Engkau yang membuat aku hidup sengsara dan merana selama dua puluh tahun! Engkaulah manusia yang paling kejam di dunia. Cu In, cepat kau bunuh dia!"
Akan tetapi kini Cu In memandang kepada subo-nya dengan sinar mata penuh tuntutan. "Subo, benarkah dia itu ayahku?"
"Hemmm, Cu In, jangan sebut subo kepadanya, melainkan ibu!" kata The Sun Tek, kini dia hampir yakin bahwa gadis itu pasti anaknya dari Hong Bwe.
"Tidak peduli dia itu apamu, engkau harus membunuhnya. Sekarang juga! Hayo, cepat serang dan bunuh dia!" kembali Ang Hwa Nio-nio membentak, suaranya bercampur tangis saking jengkel hatinya.
"Akan tetapi, Su... bo...!"
"Tidak ada tetapi, hayo laksanakan perintahku!"
"Tidak! Kalau benar dia itu ayahku, aku tidak akan membunuhnya!"
"Kau... kau... berani membantah perintahku? Dari kecil engkau kubesarkan, kupelihara, kudidik, hanya untuk melaksanakan keinginanku ini. Kalau engkau tidak mau, aku akan membunuhmu di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio menggertak sambil menghunus pedangnya.
"Jawab dulu, apakah benar dia itu ayahku dan engkau ibuku? Kalau sudah kau jawab, baru aku akan menentukan sikapku."
"Ya atau tidak, engkau harus membunuhnya atau engkau akan kubunuh sendiri!"
"Tidak! Aku tidak mau!"
"Kalau begitu mampuslah kau di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Cu In dengan ganasnya. Cu In meloncat ke belakang akan tetapi pedang gurunya mengejar terus.
"Tranggg...!"
Pedang itu tertangkis dan terpental oleh sebatang pedang lain, yaitu pedang di dalam genggaman tangan The Sun Tek.
"Hong Bwe, tahan dulu! Apakah engkau sudah menjadi gila? Gila oleh dendam yang kau buat sendiri? Hong Bwe, aku memang telah bersalah kepadamu, kesalahan karena keadaan, karena desakan orang tua. Aku bersedia minta maaf kepadamu sejak lama, dan kini aku bersedia menerimamu sebagai isteriku yang sah. Mengapa engkau masih mendendam dan hendak memaksa anak kita membunuhku? Jika dia tidak mau engkau bahkan akan membunuhnya di depan mataku? Begitu kejamkah hatimu, Hong Bwe? Tidak ingatkah engkau betapa dahulu kita saling mencinta dan sampai sekarang pun aku masih mencintamu? Hong Bwe, aku menyesal sekali, aku minta maaf kepadamu, aku mohon ampun kepadamu. Apa bila engkau masih mendendam, nah, inilah dadaku, tusuklah dan aku tidak akan melawanmu. Aku rela mati di tanganmu kalau hal itu akan membahagiakan hatimu. Akan tetapi jangan paksa anakku membunuhku!"
Sim Hong Bwe atau Ang Hwa Nionio tertegun memandang pria itu. Tiba-tiba tangannya gemetar, pedangnya terlepas dari tangannya, lalu telunjuknya menuding ke arah muka The Sun Tek.
"Kau... kau... ahhhhh...!"
Tubuhnya terhuyung dan ia tentu akan jatuh kalau tidak cepat The Sun Tek merangkul dan memapahnya. Akan tetapi Ang Hwa Nio-nio telah jatuh pingsan dalam rangkulan panglima ini.
Cu In memalingkan mukanya. Kedua matanya basah air mata, bukan hanya karena keharuan melainkan karena sedih hatinya bahwa ibu kandungnya sendiri yang hendak memaksa ia membunuh ayah kandungnya. Sungguh ibunya keterlaluan. Karena sakit hati, membuahkan pembalasan dendam yang teramat kejam.
Dendam ibunya kepada ayahnya demikian mendalam sehingga ia tidak puas jika harus membunuhnya sendiri, tapi menyuruh anak kandung mereka yang membunuhnya. Dan pada saat terakhir, ucapan The Sun Tek agaknya membuatnya lemas, lemah lunglai dan tidak dapat menahan jeritan hatinya sendiri bahwa selama ini, sampai kini, ia masih mencintai pria itu! Cu In berlari meninggalkan tempat itu dengan air mata bercucuran.
"Cu In...!" Terdengar The Sun Tek memanggi-manggil, akan tetapi Cu In tidak peduli dan berlari terus, meloncati pagar tembok meninggalkan rumah besar itu.
Sementara itu, Ang Hwa Nio-nio mulai sadar dari pingsannya. Melihat ia berada dalam rangkulan bekas kekasihnya, ia meronta dan meloncat berdiri. The Sun Tek berlutut di depan kakinya.
"Hong Bwe, aku mohon ampun darimu. Lihatlah, aku benar-benar menyesal dan ingin menebus semua kesalahanku kepadamu. Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk membahagiakanmu. Bila perlu aku akan mengundurkan diri dari jabatanku. Seharusnya hal ini sejak dahulu kulakukan. Maafkanlah aku dan terimalah uluran tanganku ini, Hong Bwe."
Wanita itu seperti nanar, memandang sekeliling. "Mana dia...? Mana Cu In anakku...?" Baru sekarang ia terang-terangan menyebut gadis itu sebagai anaknya.
"Ia telah lari. Dapat kubayangkan betapa sakit hatinya melihat ayah dan ibunya sendiri hampir saling bunuh. Ahh, kelak kita harus memberi cinta kasih dan kesayangan kepada anak kita."
"Aku juga telah bertindak keliru menuruti hatiku yang panas dan penuh dendam. Aku sudah membuat ia menjadi pembenci pria dan ia bahkan rela memakai cadar supaya mukanya jangan sampai terlihat pria. Aku mabuk dendam karena engkau..."
"Aku menyesal. Sekarang marilah kita bangun kembali rumah tangga kita, kita hidup bahagia seperti dulu..." The Sun Tek memegang kedua tangan wanita itu.
Ketika itu muncul seorang pemuda berusia dua puluhan tahun, pemuda yang tampan dan gagah. Melihat The Sun Tek sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita asing di taman dalam suasana yang begitu akrab, memegang kedua tangannya, dia berhenti melangkah, memandang dan tidak berani bertanya.
The Sun Tek mendengar langkahnya dan menoleh, kemudian berkata kepada Ang Hwa Nio-nio. "Dia ini The Kong, anakku, anak kita karena ibunya telah meninggal. Aku hidup menduda sejak isteriku meninggal dan selalu mengharapkan kedatanganmu. Kong-ji, ini adalah ibumu, pengganti ibumu. Beri hormat kepadanya dan tinggalkan kami berdua di sini!"
The Kong dengan patuh memberi hormat kepada Ang Hwa Nio-nio dengan menyebut ‘ibu’, kemudian pergi dari taman meninggalkan mereka berdua.
"Hong Bwe, seperti sudah kukatakan tadi. Bertahun-tahun aku hidup menduda, tidak mau kawin lagi karena aku mengharapkan engkau. Kini engkau sudah datang, hiduplah bersamaku sebagai isteriku, Hong Bwe. Rumah ini seolah dunia gelap yang mendapat matahari kalau engkau berada di sini. Anakku Kong-ji adalah seorang anak yang baik dan patuh. Tadi pun dia sudah menyebutmu sebagai ibunya, pengganti ibunya."
"Hemmm, kau kira luka di hati yang hancur luluh ini sedemikian mudahnya sembuh? Kalau engkau benar-benar hendak memperisteri aku, engkau harus dapat mencari Cu In dan membawanya pulang kepadaku di Beng-san. Aku hanya mau kau boyong ke sini kalau Cu In bersamaku. Kalau sudah begitu, kita boleh melupakan semua kesalahan masa lalu. Nah, aku pergi dulu dan menunggu kedatanganmu bersama Cu In!" Setelah berkata demikian, wanita itu menyambar pedangnya, melompat dan pergi dengan cepat.
"Hong Bwe...!"
Akan tetapi The Sun Tek maklumi bahwa wanita itu tidak akan mau berhenti. Mau atau tidak terpaksa dia harus melaksanakan permintaan Hong Bwe kalau dia menghendaki hidup sebagai suami isteri dengannya.
Sambil menghela napas panjang karena hatinya merasa lega seolah-olah batu yang amat berat dan yang selama ini menindih hatinya telah diangkat pergi. Harapan baru bagaikan cahaya matahari menggantikannya menyentuh hatinya.
Dia berjanji kepada diri sendiri untuk dapat menemukan Cu In dan membujuknya agar mau pulang ke Beng-san bersamanya….
Gadis manis dan ayahnya itu dikerumuni banyak orang di depan pasar di kota Leng-an. Mereka adalah seorang gadis bersama dengan ayahnya yang bermain silat, sengaja mempertontonkan kepandaian mereka sehingga menarik banyak perhatian penonton. Setelah gadis itu bersilat dengan sepasang pedangnya dengan gerakan indah dan kuat serta cepat sehingga mendapat tepuk tangan kagum dari para penonton, sang ayah lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada semua penonton di sekelilingnya.
"Cu-wi (saudara sekalian) yang mulia. Kami ayah dan anak mohon maaf sebesarnya bila kami berani mempertontonkan ilmu silat kami yang masih rendah. Terutama kepada para eng-hiong (pendekar) yang kebetulan berada di sini, hendaknya dimaklumi bahwa kami sama sekali tidak bermaksud untuk membanggakan kepandaian kami. Kalau kami mempertontonkan kepandaian, tidak lain karena kami kekurangan dan kehabisan bekal dalam perjalanan ini dan mengharapkan sumbangan suka rela dari para penonton, di samping itu juga mengharapkan mudah-mudahan puteriku akan menemukan jodohnya di tempat ini."
Ucapan yang terus terang itu disambut sorak-sorai dan tepuk tangan. Sekarang tahulah semua orang bahwa gadis itu hendak mencari jodohnya melalui pertandingan silat. Tentu nanti akan ramai kalau ada pemuda yang berani mencoba-coba.
Dan dugaan semua orang benar saja. Penawaran jodoh itu menarik perhatian banyak orang. Hal ini tidak aneh karena gadis itu memang manis sekali.
Wajahnya berbentuk bulat telur, dengan anak rambut melingkar-lingkar di pelipis serta dahinya. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung ke atas dengan ringkas. Kulitnya agak gelap, akan tetapi menambah kemanisannya.
Matanya tajam dan bersinar-sinar penuh gairah hidup, hidungnya kecil mancung serta mulutnya mengandung daya tarik yang amat kuat. Mulut itu selalu mengandung senyum memikat, dengan lesung pipit di kiri bibir. Mulut dan mata gadis ini yang benar-benar memikat. Usianya pun paling banyak delapan belas tahun.
Namun karena semua orang sudah menyaksikan ketika gadis itu tadi berdemonstrasi silat tangan kosong kemudian silat sepasang pedang, yang berani maju hanya mereka yang merasa dirinya cukup tangguh saja.
Mula-mula seorang pemuda berpakaian ringkas seperti seorang jago silat yang maju. Pemuda berbaju biru ini melompat ke depan dengan sikapnya yang gagah dan semua orang bertepuk tangan ketika mengenalnya sebagai putera seorang guru silat di kota itu. Pemuda itu memang agak menyombongkan kepandaiannya, akan tetapi dia memang belum mempunyai seorang isteri.
"Saya ingin mencoba-coba ilmu kepandaian Nona!" katanya dengan gagah dan terang-terangan sehingga banyak orang tersenyum lebar.
Ayah gadis itu melangkah maju dan bertanya, "Apakah Sicu hendak menyumbang?"
"Saya memiliki sedikit uang untuk menyumbang, akan tetapi saya lebih ingin mencoba ilmu silat puteri Paman. Siapa tahu kami bisa berjodoh." Ucapan ini disambut gelak tawa para penonton dan sang ayah memberi isyarat kepada puterinya untuk maju.
Gadis itu juga bukan seorang gadis pemalu. Dengan sikap tenang ia melangkah maju menghadapi pemuda baju biru dan bertanya, "Aduh, kepandaian yang manakah yang Sicu kehendaki? Tangan kosong atau dengan senjata?"
"Ah, Nona. Kita hanya bermain-main untuk meramaikan suasana, bukan berkelahi untuk saling melukai. Maka sebaiknya kita main-main dengan tangan kosong saja."
"Baiklah. Nah, saya sudah siap, Sicu boleh mulai!" kata gadis itu sambil memasang kuda-kuda.
"Aku seorang laki-laki, Nona boleh menyerang terlebih dahulu!" kata pemuda baju biru, mengambil sikap mengalah untuk menarik perhatian.
"Kalau begitu baiklah. Awas, saya mulai menyerang!"
Gadis itu mengirim pukulan cepat ke arah dada si pemuda. Pemuda itu mengelak ke kiri dan membalas dengan tamparan ke arah pundak, namun dengan mudah tamparan ini dielakkan oleh gadis itu. Segera serang menyerang terjadi dengan seru.
Akan tetapi, bagi mereka yang mempunyai kepandaian, setelah lewat belasan jurus saja sudah ketahuanlah bahwa pemuda itu bukan tandingan si gadis. Dia mulai terdesak dan gerakan gadis itu sedemikian cepatnya, terlalu cepat bagi pemuda baju biru sehingga dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menyerang dan hanya dapat mengelak atau menangkis terhadap serangan gadis itu yang datangnya bertubi-tubi. Belum lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki gadis itu mengenai lutut si pemuda dan pemuda itu pun terpelanting jatuh.
Sorak-sorai menyambut kemenangan gadis ini. Pemuda baju biru itu dengan muka merah bangkit kembali dan setelah memberi hormat lalu mundur, mengaku kalah.
Tiba-tiba seorang lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam, meloncat ke tengah lingkaran itu. Matanya yang besar memandang kepada gadis itu dan terdengar suaranya yang parau dan lantang.
"Aku Hek-houw (Macan Hitam) Bong Kiat ingin mencoba-coba kepandaian Nona!"
Terdengar seruan-seruan di sana sini ketika Bong Kiat memasuki sayembara memilih suami itu.
"Dia sudah beranak-isteri!"
"Tidak pantas kalau dia ikut!"
Mendengar seruan-seruan itu, Bong Kiat membusungkan dadanya dan memandang ke sekelilingnya. "Aku Bong Kiat memang sudah beranak-isteri, akan tetapi siapa yang bisa melarangku memilih seorang gadis untuk menjadi selirku? Hayo katakan, siapa berani melarang?"
Si Macan Hitam Bong Kiat memang sudah terkenal sebagai seorang jagoan yang biasa malang melintang di kota Leng-an, sering menimbulkan keributan karena memaksakan kehendaknya sehingga semua orang menjadi takut. Tentu saja tantangannya itu tidak ada yang berani menyambut dan para penonton hanya diam saja.
Melihat ini, ayah gadis itu maju menyambut Bong Kiat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu berkata, "Kami Liong Biauw dan anak Liong Siok Hwa ini memang sedang mencari jodoh, namun untuk menjadi seorang isteri yang baik, bukan menjadi seorang selir. Oleh karena itu, harap Sicu suka mengurungkan niatnya untuk mengadu kepandaian."
"Apa kau bilang barusan? Mengurungkan niatku mengadu kepandaian untuk memasuki sayembara ini? Tidak bisa! Engkau tadi sudah mengatakan bahwa siapa yang dapat mengalahkan Nona ini akan menjadi jodohnya, maka sekarang aku hendak mencoba kepandaiannya. Kalau aku kalah, sudahlah, akan tetapi bila aku menang, Nona ini harus menjadi selirku!"
"Tidak ada yang mengatakan begitu, Sicu. Memang tadi aku mengatakan bahwa kami mengharapkan anak kami mendapatkan jodoh di sini, akan tetapi bukan untuk menjadi selir. Dan perjodohan bukan hanya ditentukan oleh kalah menangnya pertandingan, melainkan oleh cocok tidaknya anakku dengan calon jodohnya."
"Aih, tidak peduli! Pendeknya, anakmu harus melayani aku bertanding, atau kalau perlu ayahnya boleh maju mewakilinya. Kalau kalian tidak berani, kalian harus cepat pergi dari kota ini!"
Liong Biauw, sang ayah, tentu saja tidak ingin mencari permusuhan, maka dia pun lalu menghela napas panjang dan berkata kepada puterinya, "Siok Hwa, kemasilah barang-barangnya. Kita pergi saja dari kota ini." Jelas bahwa dia tak ingin melanjutkan keributan dengan Si Macan Hitam.
Akan tetapi, ketika penonton menjadi kecewa karena pertunjukan yang menarik itu akan berhenti, tiba-tiba dari penonton muncul seorang pemuda.
"Tahan dulu!" kata pemuda itu, lalu dia menghadapi Bong Kiat. "Sobat engkau sungguh tak tahu malu. Orang sudah menolak untuk bertanding denganmu karena engkau sudah berkeluarga, mengapa engkau memaksa? Bagaimana kalau aku mewakili Nona itu maju menandingimu?"
Bong Kiat memandang pemuda itu dengan mata penuh selidik. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi besar, mukanya bundar dan matanya lebar. Belum pernah dia melihat pemuda ini, akan tetapi watak Bong Kiat memang selalu meremehkan orang lain.
"Tentu saja boleh, kalau engkau memang sudah bosan hidup!"
Pemuda itu lalu memberi hormat kepada Liong Biauw dan berkata, "Paman, sebetulnya saya pun ingin mencoba kepandaian puteri Paman, akan tetapi terdapat gangguan dari orang tidak tahu malu ini. Maka saya mohon perkenan Paman untuk mewakili puterimu memberi hajaran kepadanya."
Liong Biauw merasa tertarik dan suka kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang sudah matang, usianya sekitar tiga puluh tahun dan matanya yang lebar itu bersinar tajam. Dia pun mengangguk dan berkata, "Silakan saja akan tetapi berhati-hatilah, dia bukan lawan yang lemah."
Mendengar ini, Bong Kiat menjadi semakin sombong. "Hai bocah tidak tahu diri. Berani engkau mencampuri urusan orang lain. Agaknya tidak mengenal siapa Si Macan Hitam! Perkenalkan namamu sebelum engkau berkenalan dengan tinjuku!"
Pemuda itu tersenyum mengejek dan berkata, "Namaku Ji Lam Sang, dari kota raja."
Pemuda itu sesungguhnya adalah Gu Lam Sang. Setelah diakui sebagai putera angkat oleh Pangeran Tao Seng, dia berhak memakai nama Tao Lam Sang. Akan tetapi karena kini Pangeran Tao Seng sendiri sedang menyamar sebagai hartawan Ji, maka dia pun mengaku marga Ji. Belum tiba saatnya dia menggunakan nama keluarga kerajaan itu.
Secara kebetulan saja Lam Sang lewat di kota itu dan hatinya tertarik melihat banyak orang melihat pertunjukan silat itu. Dia pun menjenguk pertunjukan itu dan jantungnya berdebar. Dia bukan seorang laki-laki yang mata keranjang, akan tetapi entah mengapa, begitu melihat Liong Siok Hwa, hatinya tertarik sekali. Maka kalau tadinya hanya ingin menjenguk sebentar, dia lalu menjadi penonton.
Ia melihat betapa pemuda baju biru dikalahkan gadis itu. Diam-diam ia semakin kagum. Ilmu silat gadis itu lumayan tinggi. Lalu muncullah Bong Kiat yang hendak memaksakan kehendaknya. Melihat betapa Liong Biauw dan puterinya hendak mengalah dan pergi, dia lalu turun tangan mencampuri.
“Cabut senjatamu, Ji Lam Sang, dan bersiaplah engkau untuk mampus!” kata Bong Kiat yang sudah menghunus sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.
Semua orang bergidik melihat Si Macan Hitam sudah menghunus golok besarnya. Akan tetapi Lam Sang sendiri hanya tersenyum menghadapi ancaman golok besar yang tajam itu, bahkan dia berkata dengan nada mengejek.
“Untuk menghadapi golok pernotong ayam itu aku tidak perlu menggunakan senjata apa pun, cukup dengan tangan dan kakiku saja. Nah, aku telah siap, cepat gunakan golok pemotong ayammu itu!”
Bukan main marahnya Bong Kiat mendengar ejekan ini. Kalau saja Lam Sang tadi tidak mengejeknya, dia pun tentu akan menghadapi Lam Sang yang bertangan kosong tanpa senjata, untuk menjaga kehormatannya. Akan tetapi ejekan itu membuatnya marah dan dia ingin cepat-cepat dapat membunuh lawannya! Dia memutar-mutar golok besar yang berat itu di atas kepalanya.
"Sambutlah golokku dan mampuslah!” Bong Kiat membentak dan goloknya meluncur ke depan, membabat ke arah leher Lam Sang.
Akan tetapi, pemuda Tibet itu dengan amat mudahnya mengelak dengan merendahkan tubuhnya, dan ketika golok itu menyambar lewat, kakinya mencuat dengan cepatnya ke depan, menendang ke arah perut Bong Kiat. Serangan yang mendadak ini berbahaya sekali, akan tetapi Bong Kiat juga bukan orang lemah. Dia cepat melangkah mundur sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong.
Akan tetapi gebrakan pertama yang sudah dapat dibalas secara kontan oleh lawannya membuat Bong Kiat berhati-hati karena ternyata lawannya memang memiliki ilmu silat yang tangguh. Kini dia mengayun goloknya dan melakukan serangan bertubi-tubi. Golok itu membentuk gulungan sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Lam Sang.
Semua orang merasa ngeri melihat buasnya serangan Bong Kiat. Akan tetapi Liong Biauw mendekati puterinya dan berkata lirih, “Pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tentu akan dapat mengalahkan Bong Kiat itu, dan agaknya dia seorang calon jodohmu yang baik sekali.”
Wajah Siok Hwa menjadi kemerahan mendengar ucapan ayahnya itu dan ia menonton dengan penuh perhatian.
Pertandingan masih berjalan dengan seru. Bong Kiat menjadi penasaran sekali ketika goloknya tidak pernah mengenai lawan, bahkan kalau sekali-kali Lam Sang menangkis lengannya, dia merasa betapa lengannya terguncang hebat dan terasa ada hawa panas menyerangnya. Dia mengamuk semakin hebat, akan tetapi justru ini yang dikehendaki Lam Sang. Makin marah dan semakin hebat serangannya, makin lemah pertahanannya.
Ketika goloknya menyambar, membacok kepala Lam Sang dari atas ke bawah, Gu Lam Sang mengelak dan membiarkan golok itu lewat. Secepat kilat jari tangannya kemudian menyambar dan menotok ke arah siku kanan Bong Kiat.
“Wuuuttt... dukkk!”
Bong Kiat mengeluarkan teriakan kaget. Tangan kanannya menjadi lumpuh dan golok itu dengan sendirinya terlepas dari pegangannya dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba lengan kirinya disambar lawan dan tubuhnya terangkat ke atas. Kiranya Lam Sang memakai kesempatan itu untuk menangkap lengan kiri lawan dan memutarnya sehingga tubuh itu terputar ke atas lalu terbanting ke atas tanah.
“Bukkkkk...!”
Keras sekali bantingan itu. Bong Kiat merasa tubuhnya bagaikan remuk dan kepalanya menjadi pening. Ia mencoba bangkit, akan tetapi roboh lagi karena bumi yang diinjaknya seperti bergelombang.
Lam Sang tersenyum dan penonton menyambut kemenangan mutlak itu dengan tepuk tangan dan sorak-sorai.
“Cepat ambil golok pemotong ayammu dan pergi dari sini!” Lam Sang membentak.
Merasa bahwa dia sudah benar-benar kalah, hati Bong Kiat menjadi jeri. Dengan kepala masih pening ia cepat-cepat memungut goloknya, lalu terhuyung-huyung seperti mabuk meninggalkan gelanggang itu, ditertawakan oleh para penonton.
Lam Sang menghadapi Liong Biauw dan Siok Hwa. Ia menjura dan bertanya, “Bolehkah sekarang saya mencoba ilmu kepandaian Nona?”
Dengan muka kemerahan Siok Hwa mengangguk. “Tentu saja boleh, akan tetapi saya bukan tandinganmu, Kongcu.”
“Ahh, Nona terlalu merendahkan diri. Kulihat tadi ilmu pedang Nona lihai sekali. Nona boleh mempergunakan siang-kiam itu.”
“Engkau sendiri bertangan kosong, bagaimana aku harus menggunakan senjata? Aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, Kongcu.”
“Terserah kepadamu, Nona. Aku telah siap, harap Nona suka mulai menyerang.”
Siok Hwa melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri saja seperti tidak sedang menghadapi pertandingan. Ia merasa tidak enak dan sebelum menyerang, ia memberi peringatan. “Kongcu sambutlah seranganku ini!” dan ia pun menerjang dengan cepat sekali.
“Bagus!” Lam Sang memuji dan dia cepat mengelak, lalu membalas dengan tamparan tangannya.
Keduanya lalu saling serang dengan seru dan cepat. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata para penonton, kecuali oleh mereka yang berkepandaian.
Liong Biauw menonton dengan penuh perhatian. Dia segera mengerti bahwa pemuda itu telah banyak mengalah. Pemuda itu agaknya membiarkan Siok Hwa yang memimpin penyerangan. Dia sendiri lebih banyak mengelak dan sesekali hanya membalas dengan serangan sekedarnya saja, tidak bersungguh-sungguh. Kalau dia bersungguh-sungguh, tentu sudah sejak tadi Siok Hwa dapat dikalahkannya.
Hal ini membuat hatinya merasa girang bukan main. Agaknya pemuda itu menaruh hati kepada puterinya maka mengambil sikap mengalah.
Sementara itu, Siok Hwa menjadi bingung sendiri. Semua jurus terampuh ia keluarkan untuk menyerang lawan, akan tetapi selalu berhasil dielakkan atau ditangkis. Dan kalau lawannya menangkis, lengannya bertemu dengan telapak tangan yang lunak. Ia merasa heran sekali. Tenaga sinkang yang ia keluarkan dalam penyerangannya seolah lenyap ketika bertemu dengan tangan yang lunak itu, dan kadang tenaganya membalik.
Ia sudah mulai berkeringat, akan tetapi belum juga ia mampu mendesak lawan. Ia pun mengerti bahwa pemuda itu mengalah. Serangan pemuda itu seenaknya saja, berbeda dengan pertahanannya yang demikian kokoh kuat. Orang yang dapat bertahan seperti itu, kalau dikehendaki, tentu dapat menyerang dengan hebat pula, tidak seperti pemuda itu yang menyerang hanya dengan tamparan-tamparan lemah. Ia mulai menjadi bingung bagaimana caranya untuk mengakhiri pertandingan itu.
Tiba-tiba ia teringat akan sebuah jurus yang belum dipergunakannya. Jurus itu adalah sebuah tendangan yang dilakukan dengan tubuh seolah ‘terbang’ di udara. Tendangan ini ampuh sekali dan jarang ada lawan mampu manghindarkan diri.
“Haiiittt...!”
Siok Hwa membentak. Tubuhnya meloncat ke udara dan kedua kakinya mencuat dan menendang ke arah dada dan kepala Lam Sang!
Ketika kedua tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dia telah menangkap kedua kaki itu. Dia mendorong sehingga tubuh Siok Hwa terpental, lalu berjungkir balik beberapa kali sebelum turun kembali ke atas tanah. Indah bukan main gerakan ini dan semua orang memuji.
Akan tetapi gadis itu menjadi kemerahan mukanya, tersipu-sipu malu sedangkan Lam Sang memegang dua buah sepatu gadis itu yang tertinggal di tangannya. Melihat ini, semua orang bersorak memuji.
Liong Biauw menghampiri pemuda itu dan menjura, “Anakku sudah kalah olehmu, Ji Kongcu.”
Lam Sang juga menjura. “Nona telah banyak mengalah, harap maafkan aku.”
Dia lalu mengembalikan sepasang sepatu itu kepada pemiliknya, dan diterima oleh Siok Hwa sambil tersipu dan tersenyum malu-malu.
Liong Biauw segera memberi hormat kepada para penonton. “Cu-wi, terima kasih atas perhatian dan bantuan Cu-wi. Pertunjukan sudah habis dan dihentikan sampai di sini.”
Penonton mulai bubar dan Liong Biauw berkata kepada Lam Sang. “Ji Kongcu, silakan ikut dengan kami ke pondokan kami untuk bicara.”
Lam Sang hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka bertiga lalu pergi ke rumah penginapan di mana ayah dan anak itu menyewa dua buah kamar. Setelah mereka masuk ke rumah penginapan, Lam Sang dipersilakan masuk ke kamar Liong Biauw dan di situ mereka berdua mengadakan pembicaraan. Siok Hwa tinggal di kamarnya sendiri karena maklum apa yang akan dibicarakan ayahnya dengan pemuda itu dan ia merasa malu untuk menghadirinya.
“Ji Kongcu, tentunya engkau sudah dapat menduga apa yang hendak kami bicarakan denganmu, bukan?”
Tentu saja Lam Sang sudah dapat menduganya, akan tetapi dia pura-pura bodoh dan bertanya, “Apakah yang hendak Paman bicarakan? Aku tidak dapat menduganya.”
“Kongcu tentu tadi telah mendengar bahwa kami sedang mencarikan jodoh bagi anakku Liong Siok Hwa dengan mengadakan pertandingan silat. Nah, kini ternyata engkau yang telah mampu mengalahkan Siok Hwa, maka hal itu berarti bahwa engkau adalah jodoh Siok Hwa yang selama ini kami nanti-nanti.”
Lam Sang pura-pura kaget. “Ah, akan tetapi aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk menikah, Paman!”
Liong Biauw mengerutkan alis. “Lalu mengapa engkau tadi mengajak Siok Hwa untuk mengadu kepandaian silat?”
“Aku tadi hanya iseng-iseng karena kagum melihat ilmu kepandaian puterimu, dan aku menandingi Bong Kiat karena tidak suka melihat ulahnya.”
“Ji Kongcu, apakah engkau tidak suka kepada Siok Hwa?”
“Aku kagum kepadanya, Paman, dan tentu saja aku suka kepadanya. Ia cantik manis dan berkepandaian lumayan.”
“Kalau begitu, mengapa menolak? Kami sudah menyatakan setuju untuk menjodohkan ia denganmu.”
“Tidak begitu mudah bagiku untuk menikah, Paman. Harus kutanyakan dulu pada orang tuaku dan aku sendiri belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga.”
“Kalau begitu, harap engkau suka memberi tahukan orang tuamu. Dari sini kota raja tak berapa jauh, kami akan menunggu keputusanmu di sini, dalam waktu seminggu engkau tentu sudah dapat kembali ke sini. Bagaimana, Ji Kongcu?”
“Baiklah kalau begitu, Paman. Aku akan memberi tahukan orang tuaku dan dalam waktu seminggu aku akan kembali ke sini,” kata Lam Sang.
Liong Biauw menjadi gembira sekali dan dia segera memanggil puterinya ke kamarnya. Siok Hwa muncul dengan muka kemerahan dan kepala ditundukkan.
“Siok Hwa, kami telah membicarakan tentang perjodohan kalian. Ji Kongcu sekarang hendak pulang ke kota raja untuk memberi tahu tentang hal itu kepada orang tuanya. Kita berdua menanti di sini, dan dalam waktu seminggu dia akan kembali memberikan keputusannya.”
Siok Hwa makin menunduk dan tersenyum malu sambil melirik ke arah Lam Sang. “Terserah kepada Ayah saja...” jawabnya lirih.
Lam Sang memandang gadis itu. Sungguh cantik manis dan menarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia tertarik oleh wanita dan ini merupakan yang pertama kalinya dia terpesona oleh kecantikan wanita.
Akan tetapi dia tidak boleh mengikatkan diri dalam pernikahan. Dia bercita-cita besar, seperti Pangeran Tao Seng yang mengakuinya sebagai putera. Ia ingin ayah angkatnya itu menjadi kaisar dan dia menjadi putera mahkota. Sebelum cita-cita itu tercapai, bagai mana dia boleh mengikatkan diri dalam perjodohan? Tidak mungkin. Akan tetapi gadis ini sungguh menarik hatinya!
Lam Sang lalu berpamit kepada Liong Biauw dan Siok Hwa dan dia pergi meninggalkan rumah penginapan itu, diantar sampai ke pintu luar oleh ayah dan anak itu.
Setelah Lam Sang pergi. Liong Biauw dengan girang berkata kepada anaknya. “Pilihan kita tepat sekali Siok Hwa! Dia bukan hanya lihai dalam ilmu silat, akan tetapi juga tahu aturan dan berbakti kepada orang tua. Engkau menemukan suami yang pilihan dan aku memperoleh mantu yang baik!”
“Mudah-mudahan begitu, Ayah,” jawab Siok Hwa lirih, seperti berdoa.
Dan keduanya pun kembali ke dalam rumah penginapan…..
**********
Malam itu Siok Hwa tidak dapat tidur. Dia terus membayangkan wajah Lam Sang dan kadang ia tersenyum sendiri. Hatinya begitu girang dan penuh harapan manis sehingga dia tak dapat tidur. Kamarnya remang-remang saja, hanya menerima cahaya dari lampu gantung yang berada di luar kamarnya.
Tiba-tiba kamarnya menjadi lebih terang dan terkejutlah dia ketika melihat bahwa yang membuat kamarnya terang itu adalah karena jendela kamarnya telah dibuka orang dari luar sehingga cahaya lampu di luar dapat menerobos masuk. Akan tetapi sinar terang itu hanya sebentar.
Sesosok tubuh orang cepat sekali meloncat memasuki kamarnya melalui jendela dan daun jendela sudah ditutupkan lagi dari dalam. Kini bayangan itu sudah berdiri di tengah kamarnya.
Siok Hwa bangkit duduk dan siap menerjang bayangan itu. Tentu pencuri yang sudah memasuki kamarnya. Cepat tangannya meraih sepasang pedangnya yang diletakkan di atas meja dekat pembaringannya.
“Ssttt... ini aku, Nona...” bisik bayangan itu.
Siok Hwa terkejut. Suara Lam Sang! Saking kaget dan herannya ia tidak mampu bicara, hanya memandang saja bayangan itu dengan tangan kiri di atas sepasang pedang yang masih berada di atas meja.
Bayangan itu mendekatinya. “Ini aku, Nona. Lam Sang, bukan orang lain. Simpanlah pedangmu. Engkau tidak ingin membunuh aku, bukan?”
Barulah Siok Hwa dapat membuka mulutnya. “Engkau... Kongcu? Akan tetapi kenapa... kenapa engkau memasuki kamarku seperti ini?”
“Aku rindu sekali kepadamu, Nona. Tak dapat aku menahan kerinduan hatiku padamu, karena itu aku memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Mungkin pencuri... hati...”
Pemuda itu menghampiri sampai dekat dan duduk di tepi pembaringan, dekat sekali dengan Siok Hwa.
“Tidak... ahh, bukankah engkau tadi sudah berangkat ke kota raja untuk memberi tahu orang tuamu, Ji Kongcu?”
“Sudah kukatakan bahwa aku rindu sekali kepadamu, maka aku kembali. Besok masih ada waktu bagiku untuk pergi ke kota raja. Malam ini aku ingin bersamamu.”
“Tidak... tidak... tadi aku pun terus memikirkanmu, Ji Kongcu. Akan tetapi tidak seperti ini. Jangan...”
Siok Hwa tidak mampu mengeluarkan suara lagi dan tubuhnya telah lemas oleh totokan. Selanjutnya dia hanya mampu menangis sejadi-jadinya dan menyerah kepada pemuda yang kini berubah menjadi ganas melebihi binatang liar itu.
Setelah mengalami penderitaan yang membuat dunianya hancur luluh, Siok Hwa hanya terbaring tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Dan pemuda itu, pemuda yang tadinya diharapkannya menjadi suami yang baik, pemuda yang menarik hatinya dan yang telah merusak kehormatan dirinya itu, sekarang tidur mendengkur di sisinya! Demikian pulas tidurnya seolah-olah dia tidak pernah melakukan suatu kesalahan apa pun!
Kurang lebih tiga jam kemudian barulah totokan pada tubuhnya membuyar dan mulailah Siok Hwa mampu menggerakkan tubuhnya. Ia bingung, bingung bercampur sedih. Akan dibunuhnya orang ini? Akan tetapi dia calon suaminya!
Karena tidak tahu harus berbuat apa, perlahan-lahan ia melangkahi tubuh Lam Sang, lalu berindap keluar dari kamarnya. Ia menghampiri kamar ayahnya dan mengetuk daun pintu kamar ayahnya.
“Siapa di luar...?” tanya Liong Biauw.
“Aku, Ayah. Bukalah pintunya, cepat...!”
Daun pintu terbuka. Liong Biauw melihat puterinya dengan pakaian dan rambutnya yang awut-awutan sedang menangis terisak-isak.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Liong Biauw bingung.
Siok Hwa menubruk ayahnya dan menangis dalam rangkulan ayahnya. “Ayah... dia... dia kembali...”
“Apa...? Siapa...?”
“Ji Kongcu! Dia memasuki kamarku dan... dan dia memperkosaku...” Gadis itu kembali menangis.
Tentu saja Liong Biauw terkejut bukan main mendengar Ini. “Keparat! Di mana dia sekarang?”
“Tertidur di kamarku...”
Liong Biauw berlari memasuki kamarnya mengambil pedang, lalu lari menuju ke kamar Liong Siok Hwa. Karena pintunya sudah dibuka oleh gadis itu ketika keluar tadi, dia langsung menerjang masuk. Dalam cuaca yang remang-remang itu dia melihat sesosok tubuh tidur membujur di atas pembaringan.
Saking marahnya, orang tua ini tidak mengeluarkan sepatah pun kata lagi dan langsung menerjang, membacokkan pedangnya ke arah tubuh itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh itu bergerak menendang, tepat mengenai pergelangan tangan kanan Liong Biauw yang memegang pedang sehingga pedangnya terlepas dari pegangan.
Lam Sang yang tadi terbangun segera meloncat turun. Dengan jari-jari tangan terbuka dia menyerang Liong Biauw. Hebat sekali serangan itu, tidak dapat ditangkis atau pun dielakkan lagi oleh Liong Biauw. Dia berteriak dan roboh berkelojotan. Dadanya terkena hantaman tangan terbuka itu dengan pukulan beracun, pukulan maut.
Liong Siok Hwa melompat masuk.
”Ayah...!” teriaknya, akan tetapi tubuhnya segera lemas tertotok dan dia pun dipanggul oleh Lam Sang yang segera melompat keluar dari tempat itu.
Tidak ada orang menyaksikan peristiwa itu. Baru pada keesokan harinya para pelayan rumah penginapan menjadi gempar melihat pintu kamar terbuka dan tubuh Liong Biauw sudah menjadi mayat, sedangkan puterinya lenyap entah ke mana!
Pagi itu, Siok Hwa diturunkan dari pundak Lam Sang. Gadis itu menangis, lalu meronta dan setelah dapat bergerak, ia langsung menyerang pemuda itu dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi dengan mudah Lam Sang menangkap pergelangan tangan itu dan sekali puntir dia sudah dapat menangkap gadis itu yang menjadi tidak berdaya.
“Engkau hendak melawanku? Bodoh! Aku justru tidak ingin membunuhmu karena aku suka kepadamu, Siok Hwa,” kata Gulam Sang sambil melepaskan pergelangan tangan itu.
"Kau... jahanam busuk...!” Setelah dilepaskan, kembali Siok Hwa menyerang.
Akan tetapi sekali ini Gulam Sang mengelak dan sekali mendorong dengan tangannya, gadis itu pun terpelanting keras.
“Engkau bukan lawanku, Siok Hwa. Dengar baik-baik, kalau aku hendak membunuhmu, mudahnya seperti membalikkan telapak tangan saja. Akan tetapi aku sama sekali tidak ingin membunuhmu, bahkan aku ingin engkau ikut aku dan membantu usahaku. Kelak, kalau aku menjadi pengeran, engkau akan menjadi seorang selirku yang tercinta.”
Siok Hwa memandang penuh kebencian, dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya. “Engkau...engkau telah membunuh ayahku!”
“Salah! Dialah yang hendak membunuh aku maka terpaksa aku lenyapkan dia. Salahmu juga karena engkau melapor kepada ayahmu. Kalau dia tidak menyerangku, untuk apa aku membunuhnya?”
“Kau... kau jahat...!”
“Kembali engkau keliru. Aku baik sekali padamu, dan aku sayang padamu.” Kini suara Gulam Sang berubah, penuh getaran dan penuh wibawa.
Mendadak saja Siok Hwa merasa dirinya lemas, pikirannya bagaikan melayang-layang. Kiranya Gulam Sang mulai mempergunakan sihirnya.
“Mulai sekarang engkau akan menuruti semua kehendakku. Engkau akan selalu taat kepadaku!”
Siok Hwa menunduk. “Aku... akan taat kepadamu,” katanya lirih dan tanpa tenaga.
Gulam Sang merasa girang sekali karena sudah dapat menguasai Siok Hwa.
“Mulai sekarang, ikutlah ke mana aku pergi kecuali kalau kularang. Sekarang, ikuti aku!”
Gulam Sang lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dan seperti telah kehilangan semangatnya, Siok Hwa lalu mengikutinya. Kalau Gulam Sang berlari, ia pun ikut pula berlari!
Mulai saat itu, Siok Hwa telah berada dalam cengkraman Gu Lam Sang. Sekali waktu, ingatannya kembali dan apa bila dia teringat akan kematian ayahnya dan akan keadaan dirinya, dia menangis. Akan tetapi ia segera terhibur kalau Gulam Sang sudah mengeluarkan kata-kata hiburan yang mengandung kekuatan sihir...