CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
PUSAKA PULAU ES BAGIAN 18
Bhe Seng Kok adalah seorang pria berusia empat puluh lima tahun dan tinggal di kota Cian-an. Sepuluh tahun yang lalu, pada saat diadakan pemilihan bengcu, dia juga hadir. Tadinya semua orang sudah sepakat untuk memilih serta menunjuk Pendekar Sakti Yo Han untuk menjadi bengcu baru, akan tetapi Yo Han yang pada waktu itu sudah menjadi ketua Thian-li-pang menolak. Atas usul Yo Han yang mengenal baik Bhe Seng Kok, pendekar Siauw-lim-pai inilah yang kemudian dipilih menjadi bengcu. Bhe Seng Kok menerimanya dan sejak itu dialah yang menjadi bengcu.
Tugas seorang bengcu adalah mengepalai seluruh dunia kang-ouw dan kalau terjadi bentrokan di antara orang kang-ouw, bengcu inilah yang akan menyelesaikannya. Akan tetapi ketika terjadi perang antara pemberontak dan pemerintah, dia sama sekali tidak mau mencampurinya. Biar pun banyak anggota kang-ouw yang terlibat, akan tetapi Bhe Seng Kok menganggap itu urusan pemerintah dan dia tidak mau melibatkan diri, hanya mendengar laporan dari orang-orang kang-ouw saja. Bhe Seng Kok hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga dan tidak pernah menikah. Bahkan ada keinginan dalam hatinya untuk kembali ke biara Siauw-lim-pai dan menjadi hwesio di sana.
Pada suatu hari Bhe Seng Kok sedang duduk sendiri di dalam rumahnya yang tidak besar. Tiba-tiba terdengar langkah kaki orang di depan rumahnya dan dia cepat keluar untuk menyambut tamu yang datang. Ternyata yang datang adalah dua orang, seorang pemuda yang gagah dan seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja. Sebagai seorang bengcu, tentu saja Bhe Seng Kok mengenal hampir semua orang dari kalangan kang-ouw, apa lagi tokoh-tokoh golongan tua. Maka begitu melihat kakek yang memegang dayung baja, dia teringat dan segera menyambut dengan ramah.
“Ahh, kiranya Tung-hai Lo-mo yang datang berkunjung. Selamat datang dan marilah kita duduk di dalam agar dapat bicara dengan leluasa.”
“Terima kasih, Bengcu,” kata Tung-hai Lo-mo.
Tung-hai Lo-mo masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Gulam Sang, pemuda gagah itu. Bhe Seng Kok lalu mempersilakan dua orang tamunya.
“Silakan Ji-wi (kalian berdua) duduk!”
“Terima kasih, Bengcu,” kata Tung-hai Lo-mo sambil tersenyum. “Perkenalkan pemuda ini bernama Gulam Sang, seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi bukan main.”
Bhe Seng Kok mengangguk, lalu dia memandang kepada Gulam Sang sambil berkata, “Maafkan kalau aku belum mengenal Sicu, karena Sicu masih muda dan baru muncul di dunia kang-ouw. Tung-hai Lo-mo, ada keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini?”
“Yang mempunyai keperluan justru Gulam Sang kongcu ini. Aku hanya mengantarkan dia saja.”
“Ahh, begitukah? Sicu, ada keperluan apakah maka Sicu datang menemuiku?”
Gulam Sang tersenyum mengejek. “Aku mendengar bahwa engkau adalah bengcu yang mengepalai seluruh dunia kang-ouw. Benarkah?”
“Benar, dan aku menjadi bengcu karena dipilih dan didorong oleh para saudara di dunia kang-ouw.”
“Seorang bengcu tentu mempunyai ilmu silat yang tak terkalahkan. Karena tertarik dan ingin sekali membuktikan sendiri bagaimana hebatnya ilmu silat bengcu, maka sekarang aku sengaja datang untuk menantangmu mengadu ilmu silat!” kata Gulam Sang terus terang.
Bhe Seng Kok tersenyum lebar dan berkata, “Orang muda, menjadi bengcu bukan diukur dari ilmu silatnya saja, melainkan harus pula memiliki kebijaksanaan dan rasa keadilan. Bengcu bukan jagoan yang membanggakan ilmu silatnya, maka tidak perlu kita harus mengadakan pibu (mengadu ilmu silat).”
“Maaf, Bengcu. Kurasa pendapat itu tidak benar,” kata Tung-hai Lo-mo. “Kongcu Gulam Sang ini datang dari jauh di Barat. Kalau permintaannya untuk pibu tidak dipenuhi, tentu dia akan menceritakan kepada semua orang bahwa Bengcu takut bertanding dengan dia.”
Gulam Sang tertawa. “Ha-ha-ha, kalau memang Bengcu takut bertanding melawanku, akuilah saja. Asalkan engkau suka berlutut memberi hormat tiga kali padaku, aku tidak akan memaksamu lagi.”
Berkerut alis Bhe Seng Kok. “Tidak ada yang takut dan tidak ada yang perlu berlutut! Aku menolak diadakan pibu hanya karena menyayangkan Sicu yang masih muda. Kalau sampai Sicu terluka dalam pibu, aku akan ditertawakan orang sedunia. Seorang bengcu melayani tantangan seorang pemuda yang tidak ternama tanpa alasan. Tidak, aku tidak mau pibu denganmu!”
Gulam Sang bangkit dan mencabut pedangnya. “Engkau telah menghinaku Pendeknya, mau atau tidak engkau harus melawanku untuk menentukan siapa di antara kita yang lebilh lihai!”
Melihat kenekatan Gulam Sang, Bhe Seng Kok mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Begitukah yang kau kehendaki? Kalau begitu terpaksa aku akan melayanimu!” Setelah berkata demikian, Bhe Seng Kok menyambar pedangnya yang tergantung di dinding. “Mari kita pergi ke kebun di belakang agar lebih leluasa bertanding!”
Mereka pergi ke kebun di belakang rumah itu. Di kebun ini biasanya Bhe Seng Kok bercocok tanam.
“Nah, di sini tempatnya luas dan engkau boleh mulai, orang muda!”
“Bengcu, jagalah seranganku!” kata Gulam Sang dan dia sudah menyerang dengan ganasnya.
Melihat serangan ini, diam-diam Bhe Seng Kok terkejut karena dia mengenal ilmu silat yang dahsyat. Maka dia pun menangkis dengan pedangnya, lalu membalas serangan itu. Gulam Sang juga dapat menghindarkan diri dan mereka sudah bertanding dengan seru.
Melihat betapa semua serangan Gulam Sang bukan sekedar untuk menguji kepandaian, melainkan benar-benar menyerang dengan serangan maut yang berbahaya, Bhe Seng Kok terpaksa mengimbanginya dengan ilmu pedangnya yang kokoh kuat. Bengcu ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Gulam Sang yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dahsyat dari Dalai Lama, maka pertandingan itu berlangsung seimbang dan amat hebatnya. Sinar kedua pedang itu bergulung-gulung dan dua orang yang bertanding itu merasa betapa tangguh lawannya. Seratus jurus telah lewat tanpa ada yang terdesak dan ternyata tingkat mereka seimbang!
Mendadak sebatang dayung baja yang kuat dan berat menyambar ke arah Bhe Seng Kok. Bengcu itu terkejut bukan main. Segera dia mengelak dan menahan pedangnya, kemudian menudingkan telunjuknya kepada Tung-hai Lo-mo.
“Lo-mo, kau...!” Bhe Seng Kok berseru.
Akan tetapi pada saat itu pedang di tangan Gulam Sang sudah menyerangnya dari belakang. Bhe Seng Kok sedang mencurahkan perhatiannya kepada Tung-hai Lo-mo, maka dia tidak tahu akan kecurangan itu dan tahu-tahu punggungnya sudah ditembusi pedang.
Bengcu itu roboh terlentang, matanya mendelik ke arah kedua orang itu dan berseru, “Kalian keji dan curang...!” Dan dia pun terkulai, menghembuskan napas terakhir.
“Bagus!” kata Tung-hai Lamo. “Perkelahian ini tidak nampak oleh orang lain. Mari cepat pergi dari sini, jangan sampai terlihat orang lain!”
Keduanya lalu cepat melarikan diri, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon kemudian melompat keluar dari pagar tembok rumah itu. Tidak ada orang lain yang melihatnya dan baru beberapa hari kemudian mayat Bhe Seng Kok ditemukan tetangganya yang mencium bau mayat.
Tidak ada orang mengetahuinya siapa yang membunuh bengcu itu. Melihat bengcu itu tewas dengan luka di punggung dan masih memegang sebatang pedang, semua orang tahu bahwa bengcu itu terbunuh dalam suatu perkelahian, akan tetapi tidak ada yang tahu siapa pembunuh itu.
Matinya bengcu ini segera tersiar ke seluruh pelosok negeri. Hanya dua hari setelah kematian bengcu itu, Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw dan ketua partai-partai besar untuk datang ke Bu-tong-san. Bu-tong-pai hendak menjadi pelopor untuk pemilihan bengcu baru. Undangan ini pun tersiar cepat sehingga terdengar sampai ke kota raja. Maka The Sun Tek juga mendengar tentang undangan Bu-tong-pai itu walau pun dia belum mendengar akan kematian Bhe Seng Kok.
Orang yang memiliki pamrih besar yang dia sendiri sebut sebagai cita-cita, memang mempunyai seribu satu macam akal untuk mencapai apa yang dituju. Dia tidak peduli lagi akan caranya, segala macam cara akan dianggap halal dan pantas dilakukan demi mencapai apa yang dicita-citakan.
Seperti Gulam Sang dan kawan-kawannya itu. Baru saja mereka gagal dalam usaha membunuh kaisar dan pangeran mahkota, juga penyerbuan ke kota raja gagal, mereka kini sudah menjalankan siasat lain. Dan untuk keberhasilan siasat itu, mereka pun tidak segan-segan membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah. Siapa pun yang dianggap menghalangi jalan mereka tentu akan dihancurkan….
Mereka bertiga melakukan perjalanan dengan cepat dan pada suatu hari tibalah mereka di kaki Beng-san. The Sun Tek berjalan paling depan, kemudian di belakangnya Cu In berjalan di samping Keng Han.
Cu In yang menjadi penunjuk jalan. “Di depan itu terdapat jalan simpangan ke kiri. Jalan itulah yang harus diambil, Ayah. Membelok ke kiri.” Kini Cu In sudah tidak asing lagi menyebut ayah kepada The Sun Tek dan sebutan ini benar-benar membahagiakan hati panglima itu dan juga menyenangkan hati Keng Han.
“Kita sudah berjalan lebih dari setengah hari, apakah tidak baik kalau kita beristirahat lebih dulu?” Keng Han mengusulkan. Dia sendiri sebetulnya masih dapat bertahan, akan tetapi dia melihat betapa dahi Cu In sudah berkeringat dan dia merasa kasihan kepada gadis itu.
Mendengar ini, The Sun Tek tersenyum dan menghentikan langkahnya. “Engkau benar, Keng Han. Saking besarnya semangatku ingin cepat-cepat bertemu isteriku, aku sampai lupa akan kelelahan, dahaga dan kelaparan. Mari kita beristirahat sejenak sambil makan bekal kita.”
Cu In diam saja, akan tetapi juga tidak membantah. Mereka memilih tempat yang teduh di bawah pohon besar dan duduk di atas batu yang terdapat di situ. Keng Han lalu membuka buntalan dan mengeiuarkan beberapa potong roti kering dan dendeng kering. Juga seguci anggur dan tiga buah cawan. Tanpa banyak cakap lagi mereka duduk makan dan minum. Karena mereka sudah lelah dan lapar, maka makanan sederhana itu bagi mereka terasa nikmat sekali. Sesudah selesai makan mereka lalu duduk beristirahat melepas lelah.
“Cu In, anakku. Engkau mengenakan cadar di mukamu karena tekanan ibumu supaya mukamu tidak sampai terlihat pria yang dianggapnya semua jahat. Akan tetapi, kukira sekarang pendapat ibumu itu lain lagi, maka pantangan itu pun harus dapat kau buang jauh-jauh. Tidak semua pria merupakan orang jahat. Contohnya Keng Han ini. Apakah engkau dapat mengatakan bahwa dia seorang laki-laki yang jahat?”
“Tidak, Ayah,” kata Cu In sambil menundukkan mukanya.
“Apakah engkau menganggap ayahmu ini laki-laki yang jahat pula?”
“Tidak juga, Ayah.”
“Nah, kalau begitu kenapa engkau selalu memakai cadar itu menyembunyikan mukamu dari kami? Aku ini ayahmu, Cu In. Aku ingin sekali melihat mukamu. Maka kuminta, bukalah cadar itu, Cu In.”
Melihat gadis itu menjadi kebingungan, Keng Han lalu berkata dengan lembut. “Cu In, bukalah cadarmu dan biarkan ayahmu melihatmu. Seorang ayah yang baik tentu akan tetap menyayang anaknya, bagaimana pun juga wajah anaknya itu.“
“Ayah, kau berjanji tidak akan membenciku atau malu mengakui aku sebagai anakmu setelah melihat wajahku?”
“Ahh, bagaimana mungkin? Engkau tetap anakku, tidak peduli bagaimana pun bentuk wajahmu. Bukalah cadar itu sebentar saja, untukku.”
Cu In lalu menghadapi ayahnya dan berkata, “Lihatlah Ayah, betapa buruk rupaku!” Ia menyingkap cadarnya dan The Sun Tek sampai melangkah mundur dua langkah saking kagetnya.
“Engkau... jijik melihatku, Ayah?”
“Tidak, ah, tidak...!” Ayah itu menghampiri dan memeluk Cu In yang sudah menutupkan lagi cadarnya. “Aku tetap sayang kepadamu, bahkan aku iba kepadamu. Tapi kenapa mukamu sampai begini, anakku? Kenapa?”
“Ketika kecil aku diserang penyakit cacar yang berat sehingga setelah sembuh mukaku bercacat seperti ini.”
“Nah, apa kataku, Cu In. Orang yang mencinta dengan hati tulus tidak akan berubah hanya karena melihat muka yang dicintanya itu cacat. Bahkan rasa iba memperdalam rasa cinta itu. Jangan khawatir, kelak aku akan mengobati dan menghilangkan cacat di mukamu itu!”
Dari ucapan ini The Sun Tek dapat menduga bahwa pemuda itu pun sudah pernah melihat muka anaknya yang cacat. Sudah melihat bahwa muka gadis itu mengerikan akan tetapi tetap mencintanya, sungguh merupakan seorang pemuda yang sulit dicari keduanya di dunia ini.
“Ucapan Keng Han benar, anakku. Kami akan mencarikan tabib yang terpandai untuk mengobatimu. Nanti sesudah kita hidup serumah dengan ibumu, aku akan menyebar anak buahku untuk mencarikan tabib itu. Nah, sesudah sekarang engkau melihat bukti bahwa kami tidak berubah sikap terhadapmu setelah melihat mukamu yang cacat, tentu engkau menyadari bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini jahat seperti yang diajarkan ibumu. Baru dua orang yang melihat wajahmu, yaitu aku dan Keng Han, akan tetapi kami tidak menjadi jijik atau membencimu.”
“Bukan baru Ayah dan Keng Han yang melihatnya. Ada seorang lain yang melihatnya dan begitu dia melihatku, langsung saja aku akan dibunuh.”
“Siapakah orang itu, Cu In?” tanya Keng Han dengan cepat.
“Tung-hai Lo-mo. Kau ingat, Keng Han ketika engkau menolongku dari tangan Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai Lo-kwi? Nah, ketika itu Tung-hai Lo-mo yang menawanku sempat membuka cadarku dan begitu dia melihat wajahku, dia hendak membunuhku. Baiknya engkau datang dan menolong.”
“Tung-hai Lo-mo? Datuk sesat itu memang orang yang jahat. Biar pun tidak membuka cadarmu pun dia tetap seorang jahat yang harus dibasmi! Orang laki-laki macam dia tidak masuk hitungan, Cu In. Seperti juga julukannya, dia memang seorang iblis!” kata The Sun Tek marah.
“Aku sendiri akan membunuhnya, Ayah, sesuai dengan sumpahku dahulu bahwa siapa yang berani membuka cadarku, dia harus mati di tanganku.”
“Ahhh, sumpah itu mengerikan sekali anakku. Aku sendiri dan Keng Han juga sudah melihat wajahmu, apakah engkau juga akan membunuh kami?”
“Tidak, Ayah. Sumpahku itu sudah kuanggap habis begitu aku bertemu dengan Keng Han dan kemudian melihat bahwa kebencian ibuku terhadap laki-laki hanyalah sekedar pelampiasan amarahnya terhadapmu. Akan tetapi perkenankan aku memakai cadar ini, Ayah. Pertama, karena aku sudah terbiasa memakainya sehingga kalau ditanggalkan aku merasa malu seolah telanjang, dan kedua kupakai supaya tidak menjadi perhatian orang. Ketiga, agar engkau dan Keng Han tidak akan menjadi malu.”
“Aku? Malu? Kenapa aku harus malu?”
“Punya anak yang cacat wajahnya.”
“Aku adalah seorang yang berani menghadapi kenyataan betapa pun pahitnya, Cu In. Cacatnya wajahmu tidak mengurangi kasih sayangku kepada engkau sebagai puteriku!”
“Dan kenapa aku harus malu, Cu In?” tanya Keng Han dengan suara mengandung rasa penasaran.
“Kalau orang-orang melihat wajahku lalu mendengar bahwa engkau... mencinta padaku, bukankah engkau akan menjadi bahan tertawaan?”
Keng Han terkejut. Gadis ini membuka rahasia hatinya begitu saja di depan ayahnya! Dia menjadi tersipu dan salah tingkah, lalu memandang kepada The Sun Tek. Panglima ini juga memandangnya, wajahnya berseri dan mulutnya pun tersenyum, lalu kepalanya mengangguk perlahan.
“Cu In, apa pun yang terjadi padaku, aku tidak peduli. Orang boleh menertawakan aku sesuka hati mereka, namun aku tetap seorang sahabat yang amat mencintamu.”
“Ayah, kau dengar itu? Apakah ucapan seperti itu bisa dipercaya? Bagaimana mungkin seorang pemuda yang amat tampan dan gagah tanpa cacat dapat mencinta aku yang berwajah buruk mengerikan ini? Aku belum dapat percaya sepenuhnya!”
“Cu In, engkau belum mengerti tentang cinta. Bagaikan aku dan ibumu. Apa pun yang telah dilakukan oleh ibumu, aku tetap mencinta dan menyayangnya. Bagi seorang yang mencinta dengan tulus, segala macam cacat pada diri orang yang dicintanya tidak ada artinya. Bukankah begitu, Keng Han?”
“Benar sekali, Paman. Aku mencinta Cu In karena kepribadiannya, bukan hanya karena wajahnya. Setelah melihat wajahnya, aku bahkan merasa semakin sayang karena iba, dan kelak aku akan mencarikan tabib yang pandai untuk mengobati cacatnya itu.”
“Nah, anakku. Engkau beruntung sekali menemukan pemuda seperti ini. Cintanya tulus dan suci, dan aku pun setuju sekali kalau dia menjadi menantuku!”
“Ayah. Apakah Ayah telah tahu siapa dia? Dia adalah putera Tao Seng, pangeran yang memberontak itu! Nah, apakah Ayah masih setuju juga berbesan dengan pengkhianat Pangeran Tao Seng itu?”
“Menilai orang dengan melihat ayahnya adalah picik. Belum tentu seorang ayah yang baik budi memiliki anak yang baik pula dan tidak semua ayah yang jahat memiliki anak yang jahat pula. Aku tidak peduli calon menantuku itu anak siapa, yang penting asal pribadinya baik. Dan kulihat Keng Han adalah seorang pendekar yang baik dan gagah perkasa.”
Cu In menundukkan mukanya, akan tetapi terlihat betapa sepasang mata itu mencorong berseri. “Aku sendiri tidak dapat menjawab sekarang. Kita lihat nanti sajalah. Sekarang yang penting kita harus bertemu ibu dulu. Masih ada ibuku yang mempunyai hak untuk menentukan siapa calon menantunya.”
Keng Han diam saja, akan tetapi The Sun Tek mengerutkan alisnya. Dia sudah tahu akan watak isterinya yang keras. Kalau isterinya tidak menyetujui Keng Han, sampai mati pun ia tentu tidak akan menyetujuinya!
Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang cantik jelita. Usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun, cantik jelita, kulit mukanya putih mulus, pipinya kemerahan, mata dan bibirnya begitu manisnya sehingga tiap pria pasti akan tertarik. Rambutnya yang dibiarkan terurai panjang di punggungnya itu diikat sutera merah dekat kepala. Punggungnya membawa sebatang pedang.
“Suci kiranya engkau!” tegur Cu In.
Keng Han merasa tidak enak juga kalau tidak menyapa wanita itu.
“Subo...!” katanya, terpaksa menyebut subo kepada Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok karena dia pernah diberi pelajaran cara menghindarkan totokannya yang amat lihai.
Akan tetapi Bi-kiam Niocu mengerutkan alisnya dan memandang kepada Keng Han dengan mata bersinar marah. Ia sudah merendahkan diri begitu rupa terhadap pemuda itu, bahkan menemani pemuda itu sampai dapat menghadap Dalai Lama, akan tetapi apa balasan Keng Han kepadanya? Saat diajak berjodoh dan lari minggat meninggalkan subo-nya, pemuda itu tidak mau! Dan sekarang nampak bergaul akrab sekali dengan sumoi-nya!
Niocu menudingkan telunjuknya yang runcing ke arah muka bercadar itu dan terdengar suaranya yang lantang. “Sumoi, apa artinya ini? Engkau bukan saja sudah melanggar pantangan subo, bahkan engkau berani membawa dua orang laki-laki ke sini! Apa kau sudah bosan hidup? Hayo lekas bunuh dua orang laki-laki itu, atau aku akan segera melaporkan kepada subo!”
“Kebetulan sekali kalau begitu, Suci. Cepat laporkan kepada subo bahwa aku datang menghadap bersama ayahku dan saudara Keng Han yang sudah berulang-ulang kali menyelamatkan diriku.”
“Apa kau bilang? Ayahmu...?” Niocu mengamati The Sun Tek dengan penuh perhatian.
“Ya, Ayahku. Sudahlah jangan bertanya panjang lebar. Beri tahukan saja bahwa aku datang bersama ayahku dan sahabat baikku, tentu subo akan mengerti.”
Betapa pun marahnya, Niocu yang galak dan kejam ini masih jeri terhadap Cu In yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi darinya.
“Baik, dan kalian tentu akan dibunuh semua!” Ia pun berkelebat dan pergi.
“Cu In, itukah yang terkenal dengan julukan Bi-kiam Niocu? “ tanya The Sun Tek kepada puterinya.
“Benar, Ayah. Ia suci-ku dan patuh sekali kepada guru kami sehingga ia melaksanakan semua perintah guru. Entah berapa banyak laki-laki yang telah dibunuh olehnya karena berani bersikap ceriwis kepadanya.”
The Sun Tek menghela napas panjang. “Mudah-mudahan nanti aku bisa menghentikan semua perintah ibumu yang keterlaluan itu.”
Mereka mendaki bukit Beng-san dengan cepat.
“Kita akan mengambil jalan pintas, Ayah, agar supaya lebih dekat. Akan tetapi kita harus berhati-hati karena daerah ini termasuk wilayah yang dilindungi oleh keluarga Gak.”
“Keluarga Gak…?” Keng Han bertanya sambil mengingat-ingat.
Sambil terus berjalan, Cu In kemudian menjelaskan tentang keluarga Gak yang tadi dia sebutkan.
“Keluarga Gak adalah keluarga yang sakti. Paman Gak Ciang Hun sendiri adalah orang yang dekat dengan keluarga Pulau Es. Ilmu silatnya lihai sekali. Juga isterinya memiliki ilmu silat yang hebat. Bahkan subo sendiri kalau tidak perlu sekali tidak mau lewat di daerah ini.”
Keng Han tertarik sekali. “Kalau begitu, dia tentu mengenal baik Paman Yo Han.”
“Kiranya demikian. Sudah lama aku mendengar akan nama besar Pendekar Tangan Sakti Yo Han. Apa lagi isterinya yang berjuluk Bangau Merah adalah seorang wanita sakti. Kabarnya ia pernah belajar dari locianpwe Suma Ceng Liong yang merupakan keturunan langsung dari Keluarga Pulau Es.”
Keng Han mengangguk-angguk. “Kalau begitu tidak salah lagi bahwa Pulau Hantu itu adalah Pulau Es yang dulu tenggelam dan kini muncul lagi. Paman Yo Han mengenal semua ilmu silat yang kupelajari dari pulau itu.”
“Ahh, kalau begitu engkau adalah pewaris ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!” seru The Sun Tek dengan kagum.
“Ahh, hanya kebetulan saja aku menemukan dan mempelajari, Paman. Dibandingkan dengan orang-orang keturunan keluarga itu tentu kepandaianku tidak ada artinya. Aku belajar sendiri tanpa ada yang membimbing.”
“Jangan merendahkan diri, Keng Han. Aku sendiri sudah melihat betapa hebatnya ilmu kepandaianmu, dapat menandingi ilmu silat para datuk sesat.”
“Engkau terlalu memuji, Cu In. Ilmumu sendiri juga hebat sekali.”
Dua orang muda itu saling memuji dan saling merendahkan diri mereka sehingga The Ciangkun yang mendengarnya menjadi senang. Pertanda baik bagi orang yang saling mencinta dan calon berjodoh.
Akan tetapi mereka tak menemui halangan sehingga mereka menduga bahwa keluarga Gak itu disegani dan ditakuti orang karena adalah pendekar-pendekar yang lihai. Akan tetapi mereka sendiri tidak pernah usil mencampuri urusan orang lain sehingga biar pun ada orang asing memasuki wilayah mereka asal orang asing itu tidak mengganggu, juga tidak dilarang.
Ketika mereka tiba di pondok tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio, ternyata wanita itu sudah menunggu di serambi depan bersama Bi-kiam Niocu. Wanita itu agaknya mengenakan pakaian yang masih baru dan rambutnya tersisir rapi dengan hiasan kembang merah. Agaknya ia sudah diberi tahu oleh Niocu akan kedatangan Cu In, Keng Han, dan laki-laki setengah tua itu.
Ketika melihat The Ciangkun, Ang Hwa Nio-nio menyambutnya dengan ucapan dingin. “Hemmm, kiranya engkau memenuhi janjimu, menemukan dan membawa Cu In ke sini.”
Mendengar sikap dan mendengar ucapan yang nadanya dingin itu, Cu In merasa marah sekali kepada wanita yang menjadi ibu dan gurunya itu. Dia pun berkata, “Kalau tidak dibujuk Ayah dan Keng Han, sampai mati pun aku tidak akan mau datang ke sini lagi!”
Ang Hwa Nio-nio memandang kepada Cu In. Hatinya bagaikan ditusuk rasanya. Puteri kandungnya sendiri berkata seperti itu!
“Cu In, jangan berkata begitu, Nak!” katanya.
“Mengapa baru sekarang ibu memanggilku seperti itu? Mengapa ibu mengingkari dan mengatakan bahwa aku yatim piatu dan dipungut menjadi murid, kemudian bahkan aku disuruh membunuh ayah kandungku sendiri? Mengapa?” Sekarang dalam suara gadis berkerudung itu terdengar isak tangis.
Ang Hwa Nio-nio menghela napas panjang. “Engkau tidak mengetahui penderitaanku selama itu, Cu In. Hidup seorang diri, menahan semua rasa rindu. Bahkan peristiwa itu membuat aku membenci dan ingin membunuh semua pria! Akan tetapi setelah bertemu dengan ayahmu, aku menginsyafi kekeliruanku. Ternyata tidak semua laki-laki itu jahat. Juga ayahmu sama sekali bukan seorang laki-laki jahat.”
Mendengar semua percakapan itu, Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok menjadi terheran-heran. Ia membelalakkan matanya yang indah, memandang kepada The Sun Tek, lalu kepada gurunya.
“Jadi... Paman ini... dia suami Subo?” tanyanya dengan suara lirih terputus-putus.
Ang Hwa Nio-nio hanya mengangguk dan kedua matanya menjadi basah, berlinang air mata! Makin heranlah Niocu. Belum pernah selama ini ia melihat subo-nya menangis.
“Aku... aku memang bersalah diracuni sakit hatiku, Cu In. Maafkan ibumu, Nak...”
The Sun Tek lalu berkata, “Sudahlah, mari kita lupakan semua yang terjadi dan memulai hidup baru yang penuh kasih sayang dan berbahagia. Cu In, ibumu telah minta maaf. Cairkan perasaan hatimu yang membeku itu.”
“Benar, Cu In. Bagaimana pun juga, beliau adalah ibu kandungmu yang melahirkanmu kemudian memeliharamu sampai menjadi dewasa,” kata Keng Han membujuk.
Semenjak melihat ibunya menangis dan bicara dengan suara terputus-putus mengakui kesalahannya, Cu In sudah menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran akan tetapi tidak kelihatan karena ia menundukkan mukanya. Kini mendengar bujukan ayahnya dan Keng Han, ia lalu bangkit dan berlari menubruk kedua kaki ibunya.
“Ibuku...!”
“Cu In... Cu In... engkau anakku, anak tunggal. Kau maafkan ibumu, ya?” Ibunya juga merangkul dan keduanya bertangisan.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ibu. Aku dapat memaklumi perasaan Ibu.”
“Subo, bagaimanakah ini? Jadi Sumoi adalah puteri Subo sendiri dan Paman ini adalah suami Subo?”
Keng Han pun melangkah maju dan menghampiri Niocu sambil berkata, “Sesungguhnya begitulah, Subo.”
“Jangan kau panggil subo kepadaku! Seperti orang mengejek saja. Panggil saja Niocu seperti dulu. Siapa yang tidak tahu bahwa ilmumu jauh lebih tinggi dari ilmuku? Jangan sekali-kali panggil subo lagi atau aku akan menganggap engkau menghinaku.”
Ang Hwa Nio-nio yang tahu benar bahwa hati para muridnya itu penuh rasa kebencian kepada pria seperti yang sejak dulu ia tekankan, tahu pula akan watak Bi-kiam Niocu. “Bi Kiok, sudahlah. Mulai sekarang, jangan membenci setiap pria. Hanya yang jahat saja boleh kau benci. Akan tetapi kalau pria itu baik, tak ada salahnya menjadi sahabatnya.”
“Ibu, bagaimana kalau ada pria yang mencinta Suci? Apakah dia harus dibunuh?”
“Tidak, tidak. Dulu itu aku sudah gila. Jatuh cinta bukanlah hal yang jahat. Kalau ada pria yang jatuh cinta dan Bi Kiok tidak membalas cintanya, jauhi saja dan katakan terus terang.”
“Bagaimana kalau teecu yang jatuh cinta, Subo? Apakah pria itu harus dibunuh?”
“Tidak! Kalau engkau mencinta seseorang dan orang itu pun mencintamu, maka tiada halangannya engkau berjodoh dengan dia.”
“Aihh, terima kasih, Subo! Adik Cu In, mulai sekarang engkau tidak perlu lagi menutupi mukamu. Kutukan itu telah dihapuskan oleh Subo!”
“Suci, aku tidak mau menjadi buah tertawaan orang dengan mukaku yang penuh cacat ini! Tidak, aku kini mempunyai sumpah bahwa aku tak akan membuka cadar ini sebelum aku menikah. Pada waktu malam pengantin aku akan membuka dan membuang cadar ini untuk selamanya!”
“Sumoi...!” kata Niocu sambil memandang kepada Keng Han.
Dari sikap mereka dia dapat menduga bahwa keduanya saling mencinta. Akan tetapi bila kelak Keng Han melihat wajah sumoi-nya itu, apakah Keng Han akan mau menjadi suaminya?
“Bi Kiok, Cu In sudah mempunyai pendirian begitu, engkau tidak boleh mencampurinya!” kata Ang Hwa Nio-nio sambil tersenyum.
Niocu memandang bengong. Belum pernah dilihatnya gurunya itu tersenyum, apa lagi tertawa. Dan ia melihat wajah subo-nya itu kini penuh senyuman dan ternyata gurunya itu masih cantik walau pun usianya sudah lima puluh tahun!
“Hong Bwe, anak kita ini sudah memiliki calon jodohnya, bahkan sudah pernah melihat mukanya.”
“Ayah...!” Cu In berseru dan dahinya nampak kemerahan.
“Cu In, engkau tidak dapat menyembunyikan perasaanmu di depan ayahmu, Ha-ha-ha!”
“Benarkah itu?” Ang Hwa Nio-nio berseru, dari nada suaranya terdengar gembira bukan main, “Siapakah laki-laki yang bijaksana itu?”
“Orangnya dekat di sini, apa engkau tidak dapat menduganya, Hong Bwe?”
“Ahh, engkaukah itu, orang muda? Benarkah engkau mencinta Cu In dengan setulus hatimu?”
Biar pun dengan perasaan sungkan dan tersipu, Keng Han menjawab dengan lantang, “Benar, Bibi. Saya mencinta Cu In dengan segenap jiwa ragaku.”
“Ahhh, tidak mungkin!” mendadak Bikiam Niocu berseru nyaring. “Sama sekali tidak mungkin!”
Tentu saja dia merasa sangat terkejut mendengar ucapan Keng Han itu. Dia pernah mencinta Keng Han dan mengharapkan pemuda itu bisa menjadi suaminya. Akan tetapi Keng Han menolaknya. Dan sekarang Keng Han menyatakan bahwa dia mencinta Cu In? Rasanya tidak mungkin.
Ia sendiri seorang wanita cantik dan ia menyadari benar akan hal ini. Sebaliknya, ia pun sudah melihat wajah sumoi-nya yang totol-totol hitam dan buruk sekali. Kalau Keng Han pernah melihat wajah itu, bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta kepada wanita yang wajahnya sedemikian buruknya?
The Sun Tek berkata, suaranya tegas dan berwibawa, “Mengapa tidak mungkin? Ada dua macam cinta di dunia ini. Yang pertama cinta murni yang tidak dipengaruhi oleh buruknya rupa, buruknya nama atau kemiskinan. Yang kedua adalah cinta nafsu yang digerakkan oleh keadaan yang dicinta seperti wajah elok, terkenal, berkuasa atau kaya raya. Dan cinta Keng Han seperti cinta yang pertama tadi.”
“Ucapan suamiku ini benar, Bi Kiok. Lihat cinta suamiku kepadaku. Walau pun namaku buruk dan terkenal sebagai seorang yang disebut kejam dan sesat, akan tetapi cintanya kepadaku sama sekali tidak pernah berkurang. Usahakan supaya engkau menemukan seorang pria seperti itu, yang mencintamu bukan sekedar pelampiasan nafsu belaka!”
The Sun Tek berkata kepada Ang Hwa Nio-nio, “Hong Bwe, sebaiknya engkau segera berkemas karena sekarang juga kita akan pergi ke kota raja, pulang ke rumah kita.”
“Pulang...?” Ang Hwa Nio-nio bertanya, suaranya seperti orang kebingungan, seperti di dalam mimpi.
“Ya, pulang ke rumah kita di kota raja.”
“Aku sudah bersiap-siap, lama sebelum engkau datang,” kata Ang Hwa Nio-nio dengan kedua pipinya berubah kemerahan. “Aku hanya membawa sebuah buntalan saja.”
“Subo, apakah Subo akan pergi meninggalkan tempat ini?” tanya Bi-kiam Niocu.
“Benar, Bi Kiok. Aku akan pergi, akan pulang ke kota raja, meninggalkan Beng-san dan tak akan kembali ke sini lagi. Rumah beserta isinya ini kutinggalkan kepadamu, menjadi milikmu.”
Ang Hwa Nio-nio lalu mengambil buntalan yang menjadi bekalnya, kemudian mengajak suami dan puterinya untuk segera berangkat.
Keng Han tidak ikut. “Paman, sebagai seorang anak, saya harus mencari ayah saya, membujuknya agar dia menghentikan usahanya memberontak dan mengajaknya pulang ke Khitan. Setelah itu barulah orang tua saya akan mengajukan peminangan resmi atas diri Cu In.”
The Sun Tek mengangguk-angguk, diam-diam memuji calon mantunya itu. “Itu adalah suatu niat yang mulia sekali. Pergilah, kami akan menunggumu di kota raja. Memang sudah semestinya kalau orang tuamu merestui perjodohanmu.”
The Sun Tek, Ang Hwa Nio-nio dan Cu In segera berangkat. Akan tetapi belum jauh mereka pergi, Cu In membalikkan tubuhnya dan lari menghampiri Keng Han.
“Keng Han, kuharap engkau suka menyimpan ini baik-baik!” Ia pun meloloskan sabuk suteranya yang putih. “Selama ini sabukku menjadi temanku yang setia.”
Keng Han merasa terharu sekali ketika menerima sabuk sutera putih itu. Dia pun lalu mengambil pedang bengkoknya dan diserahkan kepada Cu In.
“Terima kasih, Cu In. Dan ini pedangku harap kau simpan baik-baik. Pedang ini adalah pemberian ibuku dan biarlah sekarang untuk sementara ini disimpan oleh calon isteriku yang tercinta.”
“Selamat tinggal, Keng Han,” kata Cu In sambil menerima pedang bengkok itu.
“Selamat jalan dan selamat berpisah untuk sementara, Cu In,” kata Keng Han. Gadis itu lalu pergi dengan cepat menyusul orang tuanya.
“Hi-hik-hik, sungguh lucu. Seperti orang bermain sandiwara saja. Alangkah mesranya, Keng Han!” Bi-kiam Niocu mengejek sambil tertawa.
“Kalau dua hati sudah bertemu dalam cinta, tentu saja timbul kemesraan, Niocu.“
“Aku heran sekali. Apakah matamu sudah buta, Keng Han?”
“Niocu, harap engkau jangan menghinaku. Kenapa engkau mengatakan mataku buta?”
“Benarkah engkau sudah menyaksikan bagaimana bentuk wajah sumoi Cu In?”
“Sudah, mengapa?”
“Wajahnya begitu buruk dan menjijikkan! Engkau dapat mencinta gadis dengan wajah seperti itu?”
“Niocu, engkau belum mengenal apa artinya cinta. Aku mencinta Cu In sejak ia belum memperlihatkan mukanya. Aku mencinta dia, aku mencinta pribadinya, bukan mencinta wajahnya. Setelah aku melihat mukanya, cintaku semakin kuat karena ada dorongan perasaan iba kepadanya. Aku kelak akan mencarikan tabib terpandai di seluruh dunia untuk mengobatinya!”
“Hi-hik-hik, percuma saja. Cacat di mukanya itu menurut kata subo dan sumoi sendiri, adalah cacat bekas cacar. Mana mungkin pulih kembali? Kelak engkau akan menyesal. Kalau semua orang menertawakanmu ketika engkau bersanding dengan isterimu yang wajahnya seperti setan...!”
“Cukup, Niocu! Jangan engkau menghina Cu In atau aku akan menghajarmu!”
“Eh-eh-eh, engkau akan menghajarku? Lupakah, engkau bahwa aku ini gurumu?”
“Hemmm, memang engkau pernah mengajari cara menghadapi tok-ciang, akan tetapi tadi engkau sendiri yang menyuruh aku memanggil Niocu. Jadi sekarang aku bukan lagi muridmu.”
“Hemmm, pedangmu sudah kau berikan kepada kekasihmu, bagaimana engkau akan melawan aku? Dengan sabuk sutera putih pemberian kekasihmu itu?”
“Niocu, untuk melawanmu tidak perlu aku menggunakan senjata!” kata Keng Han sambil mengikatkan sabuk sutera putih itu di pinggangnya.
“Keparat! Berulang kali engkau menghinaku, menolakku, dan sekaranglah kesempatan bagiku untuk membunuhmu! Jika aku tidak dapat memperolehmu, orang lain juga tidak boleh!” Berkata demikian, Bi-kiam Niocu mencabut pedangnya lalu menyerang dengan cepat dan dahsyat.
Namun Keng Han dengan tenang saja menggerakkan tubuhnya mengelak dari tusukan ke arah dada itu.
“Percuma, Niocu. Engkau tidak akan menang. Hentikanlah seranganmu itu dan jangan ganggu aku lagi!” Keng Han masih mencoba untuk memperingatkan lawannya.
“Mampuslah!” Niocu membentak dan menyerang lebih hebat lagi.
“Wuuuuuttt... singgg...!”
Pedang yang menebas ke arah leher itu luput karena dielakkan oleh Keng Han. Keng Han mengalah dan terus mengelak sampai sepuluh jurus. Ketika melihat gadis itu makin nekat menyerangnya, dia pun lalu membalas.
Tangan kirinya menampar ke arah leher Niocu, akan tetapi ketika Niocu mengelak, dia langsung disambut oleh tangan kanan Keng Han yang menjotos ke arah lambungnya. Niocu berseru kaget dan melompat mundur ke belakang sehingga jotosan ke lambung itu luput.
Keng Han segera bersilat dengan ilmu Toat-beng Bian-kun, sebuah di antara ilmu silat pusaka Pulau Es. Nampaknya saja ilmu silat ini lemah lembut seperti kapas, akan tetapi di dalamnya terkandung tenaga sinkang yang mengancam lawan dengan dahsyatnya! Menghadapi ilmu silat aneh dan berbahaya sekali ini, Niocu terdesak mundur terus.
“Hentikan seranganmu, Niocu. Hentikan!” Keng Han berkali-kali membujuk.
Akan tetapi Niocu yang sudah menjadi penasaran itu tidak mempedulikan seruannya dan menyerang terus. Tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya ke belakang dan gelungan rambutnya terlepas sehingga rambut itu pun menjadi riap-riapan dan panjang sampai ke pinggang.
Rambut ini, yang lembut dan berbau harum, adalah senjata yang tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan kanan Niocu. Bahkan gerakan rambut ini datangnya bisa tidak terduga-duga, dapat dipergunakan untuk menyolok mata, melibat dan mencekik leher, bahkan menotok ke arah jalan darah lawan.
Tapi Keng Han telah mengenal kelihaian rambut panjang itu. Ketika Niocu menusukkan pedangnya ke arah perut, tiba-tiba saja rambutnya melibat leher Keng Han! Keng Han mengelak ke kiri akan tetapi tidak dapat lagi mengelak dari rambut yang sudah melilit lehernya. Dia menggunakan tangan kirinya, menangkap rambut itu dan sekali tarik, rambut itu putus setengahnya!
Niocu menjerit kaget. Rambutnya yang tadinya sepanjang pinggang kini hanya tinggal sepundak! Akan, tetapi ketika sedang mundur dan kaget melihat rambutnya, Keng Han sudah maju dan menendang ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.
Kembali Niocu menjerit kaget dan pedangnya terlepas dari pegangan, mencelat ke atas. Mendadak nampak bayangan tubuh orang yang menangkis pedang yang terpental itu. Ketika bayangan itu turun, ternyata dia seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Wajahnya penuh berewok seperti muka harimau dan berewok serta rambutnya sudah putih semua!
“Bi-kiam Niocu, ini pedangmu! Apa engkau perlu bantuanku menghadapi bocah lancang ini?”
Bi-kiam Niocu bukan seorang yang curang. Sebaliknya, dia menghargai kegagahan dan tanpa malu lagi ia mengaku dalam hati bahwa kepandaiannya tidak mampu menandingi kepandaian Keng Han. Ia menyimpan kembali pedangnya dan menyanggul rambutnya yang tinggal sepundak, lalu berkata kepada orang itu.
“Pek-thou-houw (Harimau Kepala Putih), tidak perlu engkau mencampuri urusanku. Dan ada keperluan apakah engkau datang ke sini?”
Orang yang berjuluk Harimau Kepala Putih itu menghela napas panjang. Bi-kiam Niocu ini ternyata masih sama angkuhnya dengan dulu. Seorang wanita yang amat dingin dan angkuh! Maka dia pun tidak mau bicara panjang lebar, hanya menyampaikan tugasnya saja.
“Bi-kiam Niocu, aku diutus oleh Thian It Tosu dari Bu-tong-pai untuk mengundang Ang Hwa Nio-nio ke Bu-tong-san, karena di sana akan diadakan rapat besar antara para datuk dan tokoh kang-ouw. Harap engkau suka minta pada gurumu untuk menemuiku atau aku yang menghadap ke dalam,” kata Pek-thou-houw sambil memandang ke arah rumah itu.
“Guruku sudah pergi dan tidak akan kembali,” kata Bi-kiam Niocu, “maka tidak mungkin dapat pergi. Akan tetapi aku yang akan mewakilinya datang ke Bu-tong-san.”
“Begitu juga bagus, Niocu. Kami semua sudah mendengar nama besar Bi-kiam Niocu. Niocu, bagaimana kalau sebelum aku pergi, aku memberi hajaran kepada bocah ini agar lain kali dia tidak akan menggodamu lagi?”
Bi-kiam Niocu tersenyum mengejek. “Sesukamulah!” katanya.
Pek-thou-houw menghampiri Keng Han yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja. “Heh, orang muda, siapa namamu? Aku tidak biasa membunuh orang yang tak memiliki nama!” bentak Harimau Kepala Putih itu dengan sikap bengis.
“Namaku Si Keng Han dan kuharap engkau tidak mencampuri urusan antara aku dan Niocu,” kata Keng Han dengan lembut.
“Apa katamu? Kalau aku mencampuri, kau mau apa?”
“Sesukamulah kalau begitu. Tapi aku sudah memperingatkan!” kata Keng Han, kini tidak lembut lagi bahkan suaranya mengandung gertakan.
“Awas seranganku. Heh-heiiiiittt!”
Si Kepala Putih itu mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau dan tubuhnya sudah meloncat ke depan, sikapnya persis harimau yang hendak menerkam korbannya, kedua tangan dibentangkan dengan jari-jari membentuk cakar harimau.
“Hemmm...!”
Keng Han mengenal ilmu silat harimau ini. Akan tetapi harus diakui bahwa Si Harimau Kepala Putih ini sudah mempelajari segala bentuk gerakan harimau dengan seksama dan seorang ahli dalam Houw-kun (silat Harimau) itu. Dia percaya bahwa dua cakar itu sanggup merobek kulit dan daging lawan! Karena sudah mengenal ilmu itu, dengan mudah dia mengelak dengan lompatan ke kiri dan begitu ‘harimau’ itu turun ke atas tanah, dia sudah menampar dengan tangan kiri.
“Wuuuuuttt... plakkk...!”
Keng Han terkejut sendiri. Tanpa dia sadari, tangan kirinya masih memegang potongan rambut Niocu sehingga ketika dia menampar, rambut itu yang melecut ke arah muka Pek-thou-houw!
Pek-thou-houw berteriak kesakitan. Lecutan cambuk istimewa itu keras sekali sehingga meninggalkan jalur merah pada pipi dan lehernya. Sementara itu, Keng Han yang baru ingat akan rambut itu sudah mendekati Niocu dan menjulurkan tangan mengembalikan rambut.
“Maafkan aku, Niocu. Aku menyesal sekali.” katanya.
Bi-kiam Niocu menyambar rambutnya sambil menggigit bibir dan menahan keluarnya air mata, lalu ia membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Pek-thou-houw tertegun. Saat melihat bahwa Bi-kiam Niocu lari pergi, dan teringat akan lecutan rambut tadi, dia pun merasa jeri. Tahulah dia bahwa Bi-kiam Niocu tadi agaknya kalah oleh pemuda itu, apa lagi dia! Maka, tanpa pamit lagi dia pun lari meninggalkan Keng Han.
Keng Han memandang ke arah bayangan Niocu dan berulang kali dia menghela napas panjang. Mudah-mudahan kelak dia bisa mendapatkan seorang pria yang benar-benar mengasihinya, pikirnya.
Dia merasa kasihan pada Bi-kiam Niocu. Dia mengerti bahwa Bi-kiam Niocu mencintai dirinya, bahkan pernah mengajaknya menikah lalu lari minggat dari subo-nya. Sekarang, melihat dia saling mencinta dengan Cu In, tentu hati wanita itu penuh iri dan cemburu, maka berusaha mati-matian untuk membunuhnya.
Dia tahu bahwa Bi-kiam Niocu bukan orang jahat, dan kalau wataknya menjadi kejam terhadap kaum pria, hal itu adalah karena sejak kecil dara ini dididik untuk membenci pria. Akan tetapi mulai sekarang, dia berharap gadis itu berubah pula setelah melihat betapa subo-nya kembali kepada kekasihnya, bahkan merestui perjodohan antara dia dan Cu In.
“Semoga engkau kelak menemukan jodohmu yang tepat, Niocu,” kata Keng Han sambil menarik napas panjang dan dia pun pergi ke Bu-tong-san.
Dia tertarik mendengar dari Pek-thou-houw tadi bahwa Bu-tong-pai akan mengadakan pertemuan besar. Siapa tahu dia akan dapat kembali bertemu dengan ayahnya di sana, mengingat bahwa gerakan ayahnya itu sejalan dengan sikap Bu-tong-pai yang hendak memberontak.
Tugas seorang bengcu adalah mengepalai seluruh dunia kang-ouw dan kalau terjadi bentrokan di antara orang kang-ouw, bengcu inilah yang akan menyelesaikannya. Akan tetapi ketika terjadi perang antara pemberontak dan pemerintah, dia sama sekali tidak mau mencampurinya. Biar pun banyak anggota kang-ouw yang terlibat, akan tetapi Bhe Seng Kok menganggap itu urusan pemerintah dan dia tidak mau melibatkan diri, hanya mendengar laporan dari orang-orang kang-ouw saja. Bhe Seng Kok hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga dan tidak pernah menikah. Bahkan ada keinginan dalam hatinya untuk kembali ke biara Siauw-lim-pai dan menjadi hwesio di sana.
Pada suatu hari Bhe Seng Kok sedang duduk sendiri di dalam rumahnya yang tidak besar. Tiba-tiba terdengar langkah kaki orang di depan rumahnya dan dia cepat keluar untuk menyambut tamu yang datang. Ternyata yang datang adalah dua orang, seorang pemuda yang gagah dan seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja. Sebagai seorang bengcu, tentu saja Bhe Seng Kok mengenal hampir semua orang dari kalangan kang-ouw, apa lagi tokoh-tokoh golongan tua. Maka begitu melihat kakek yang memegang dayung baja, dia teringat dan segera menyambut dengan ramah.
“Ahh, kiranya Tung-hai Lo-mo yang datang berkunjung. Selamat datang dan marilah kita duduk di dalam agar dapat bicara dengan leluasa.”
“Terima kasih, Bengcu,” kata Tung-hai Lo-mo.
Tung-hai Lo-mo masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Gulam Sang, pemuda gagah itu. Bhe Seng Kok lalu mempersilakan dua orang tamunya.
“Silakan Ji-wi (kalian berdua) duduk!”
“Terima kasih, Bengcu,” kata Tung-hai Lo-mo sambil tersenyum. “Perkenalkan pemuda ini bernama Gulam Sang, seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi bukan main.”
Bhe Seng Kok mengangguk, lalu dia memandang kepada Gulam Sang sambil berkata, “Maafkan kalau aku belum mengenal Sicu, karena Sicu masih muda dan baru muncul di dunia kang-ouw. Tung-hai Lo-mo, ada keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini?”
“Yang mempunyai keperluan justru Gulam Sang kongcu ini. Aku hanya mengantarkan dia saja.”
“Ahh, begitukah? Sicu, ada keperluan apakah maka Sicu datang menemuiku?”
Gulam Sang tersenyum mengejek. “Aku mendengar bahwa engkau adalah bengcu yang mengepalai seluruh dunia kang-ouw. Benarkah?”
“Benar, dan aku menjadi bengcu karena dipilih dan didorong oleh para saudara di dunia kang-ouw.”
“Seorang bengcu tentu mempunyai ilmu silat yang tak terkalahkan. Karena tertarik dan ingin sekali membuktikan sendiri bagaimana hebatnya ilmu silat bengcu, maka sekarang aku sengaja datang untuk menantangmu mengadu ilmu silat!” kata Gulam Sang terus terang.
Bhe Seng Kok tersenyum lebar dan berkata, “Orang muda, menjadi bengcu bukan diukur dari ilmu silatnya saja, melainkan harus pula memiliki kebijaksanaan dan rasa keadilan. Bengcu bukan jagoan yang membanggakan ilmu silatnya, maka tidak perlu kita harus mengadakan pibu (mengadu ilmu silat).”
“Maaf, Bengcu. Kurasa pendapat itu tidak benar,” kata Tung-hai Lo-mo. “Kongcu Gulam Sang ini datang dari jauh di Barat. Kalau permintaannya untuk pibu tidak dipenuhi, tentu dia akan menceritakan kepada semua orang bahwa Bengcu takut bertanding dengan dia.”
Gulam Sang tertawa. “Ha-ha-ha, kalau memang Bengcu takut bertanding melawanku, akuilah saja. Asalkan engkau suka berlutut memberi hormat tiga kali padaku, aku tidak akan memaksamu lagi.”
Berkerut alis Bhe Seng Kok. “Tidak ada yang takut dan tidak ada yang perlu berlutut! Aku menolak diadakan pibu hanya karena menyayangkan Sicu yang masih muda. Kalau sampai Sicu terluka dalam pibu, aku akan ditertawakan orang sedunia. Seorang bengcu melayani tantangan seorang pemuda yang tidak ternama tanpa alasan. Tidak, aku tidak mau pibu denganmu!”
Gulam Sang bangkit dan mencabut pedangnya. “Engkau telah menghinaku Pendeknya, mau atau tidak engkau harus melawanku untuk menentukan siapa di antara kita yang lebilh lihai!”
Melihat kenekatan Gulam Sang, Bhe Seng Kok mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Begitukah yang kau kehendaki? Kalau begitu terpaksa aku akan melayanimu!” Setelah berkata demikian, Bhe Seng Kok menyambar pedangnya yang tergantung di dinding. “Mari kita pergi ke kebun di belakang agar lebih leluasa bertanding!”
Mereka pergi ke kebun di belakang rumah itu. Di kebun ini biasanya Bhe Seng Kok bercocok tanam.
“Nah, di sini tempatnya luas dan engkau boleh mulai, orang muda!”
“Bengcu, jagalah seranganku!” kata Gulam Sang dan dia sudah menyerang dengan ganasnya.
Melihat serangan ini, diam-diam Bhe Seng Kok terkejut karena dia mengenal ilmu silat yang dahsyat. Maka dia pun menangkis dengan pedangnya, lalu membalas serangan itu. Gulam Sang juga dapat menghindarkan diri dan mereka sudah bertanding dengan seru.
Melihat betapa semua serangan Gulam Sang bukan sekedar untuk menguji kepandaian, melainkan benar-benar menyerang dengan serangan maut yang berbahaya, Bhe Seng Kok terpaksa mengimbanginya dengan ilmu pedangnya yang kokoh kuat. Bengcu ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Gulam Sang yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dahsyat dari Dalai Lama, maka pertandingan itu berlangsung seimbang dan amat hebatnya. Sinar kedua pedang itu bergulung-gulung dan dua orang yang bertanding itu merasa betapa tangguh lawannya. Seratus jurus telah lewat tanpa ada yang terdesak dan ternyata tingkat mereka seimbang!
Mendadak sebatang dayung baja yang kuat dan berat menyambar ke arah Bhe Seng Kok. Bengcu itu terkejut bukan main. Segera dia mengelak dan menahan pedangnya, kemudian menudingkan telunjuknya kepada Tung-hai Lo-mo.
“Lo-mo, kau...!” Bhe Seng Kok berseru.
Akan tetapi pada saat itu pedang di tangan Gulam Sang sudah menyerangnya dari belakang. Bhe Seng Kok sedang mencurahkan perhatiannya kepada Tung-hai Lo-mo, maka dia tidak tahu akan kecurangan itu dan tahu-tahu punggungnya sudah ditembusi pedang.
Bengcu itu roboh terlentang, matanya mendelik ke arah kedua orang itu dan berseru, “Kalian keji dan curang...!” Dan dia pun terkulai, menghembuskan napas terakhir.
“Bagus!” kata Tung-hai Lamo. “Perkelahian ini tidak nampak oleh orang lain. Mari cepat pergi dari sini, jangan sampai terlihat orang lain!”
Keduanya lalu cepat melarikan diri, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon kemudian melompat keluar dari pagar tembok rumah itu. Tidak ada orang lain yang melihatnya dan baru beberapa hari kemudian mayat Bhe Seng Kok ditemukan tetangganya yang mencium bau mayat.
Tidak ada orang mengetahuinya siapa yang membunuh bengcu itu. Melihat bengcu itu tewas dengan luka di punggung dan masih memegang sebatang pedang, semua orang tahu bahwa bengcu itu terbunuh dalam suatu perkelahian, akan tetapi tidak ada yang tahu siapa pembunuh itu.
Matinya bengcu ini segera tersiar ke seluruh pelosok negeri. Hanya dua hari setelah kematian bengcu itu, Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw dan ketua partai-partai besar untuk datang ke Bu-tong-san. Bu-tong-pai hendak menjadi pelopor untuk pemilihan bengcu baru. Undangan ini pun tersiar cepat sehingga terdengar sampai ke kota raja. Maka The Sun Tek juga mendengar tentang undangan Bu-tong-pai itu walau pun dia belum mendengar akan kematian Bhe Seng Kok.
Orang yang memiliki pamrih besar yang dia sendiri sebut sebagai cita-cita, memang mempunyai seribu satu macam akal untuk mencapai apa yang dituju. Dia tidak peduli lagi akan caranya, segala macam cara akan dianggap halal dan pantas dilakukan demi mencapai apa yang dicita-citakan.
Seperti Gulam Sang dan kawan-kawannya itu. Baru saja mereka gagal dalam usaha membunuh kaisar dan pangeran mahkota, juga penyerbuan ke kota raja gagal, mereka kini sudah menjalankan siasat lain. Dan untuk keberhasilan siasat itu, mereka pun tidak segan-segan membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah. Siapa pun yang dianggap menghalangi jalan mereka tentu akan dihancurkan….
Mereka bertiga melakukan perjalanan dengan cepat dan pada suatu hari tibalah mereka di kaki Beng-san. The Sun Tek berjalan paling depan, kemudian di belakangnya Cu In berjalan di samping Keng Han.
Cu In yang menjadi penunjuk jalan. “Di depan itu terdapat jalan simpangan ke kiri. Jalan itulah yang harus diambil, Ayah. Membelok ke kiri.” Kini Cu In sudah tidak asing lagi menyebut ayah kepada The Sun Tek dan sebutan ini benar-benar membahagiakan hati panglima itu dan juga menyenangkan hati Keng Han.
“Kita sudah berjalan lebih dari setengah hari, apakah tidak baik kalau kita beristirahat lebih dulu?” Keng Han mengusulkan. Dia sendiri sebetulnya masih dapat bertahan, akan tetapi dia melihat betapa dahi Cu In sudah berkeringat dan dia merasa kasihan kepada gadis itu.
Mendengar ini, The Sun Tek tersenyum dan menghentikan langkahnya. “Engkau benar, Keng Han. Saking besarnya semangatku ingin cepat-cepat bertemu isteriku, aku sampai lupa akan kelelahan, dahaga dan kelaparan. Mari kita beristirahat sejenak sambil makan bekal kita.”
Cu In diam saja, akan tetapi juga tidak membantah. Mereka memilih tempat yang teduh di bawah pohon besar dan duduk di atas batu yang terdapat di situ. Keng Han lalu membuka buntalan dan mengeiuarkan beberapa potong roti kering dan dendeng kering. Juga seguci anggur dan tiga buah cawan. Tanpa banyak cakap lagi mereka duduk makan dan minum. Karena mereka sudah lelah dan lapar, maka makanan sederhana itu bagi mereka terasa nikmat sekali. Sesudah selesai makan mereka lalu duduk beristirahat melepas lelah.
“Cu In, anakku. Engkau mengenakan cadar di mukamu karena tekanan ibumu supaya mukamu tidak sampai terlihat pria yang dianggapnya semua jahat. Akan tetapi, kukira sekarang pendapat ibumu itu lain lagi, maka pantangan itu pun harus dapat kau buang jauh-jauh. Tidak semua pria merupakan orang jahat. Contohnya Keng Han ini. Apakah engkau dapat mengatakan bahwa dia seorang laki-laki yang jahat?”
“Tidak, Ayah,” kata Cu In sambil menundukkan mukanya.
“Apakah engkau menganggap ayahmu ini laki-laki yang jahat pula?”
“Tidak juga, Ayah.”
“Nah, kalau begitu kenapa engkau selalu memakai cadar itu menyembunyikan mukamu dari kami? Aku ini ayahmu, Cu In. Aku ingin sekali melihat mukamu. Maka kuminta, bukalah cadar itu, Cu In.”
Melihat gadis itu menjadi kebingungan, Keng Han lalu berkata dengan lembut. “Cu In, bukalah cadarmu dan biarkan ayahmu melihatmu. Seorang ayah yang baik tentu akan tetap menyayang anaknya, bagaimana pun juga wajah anaknya itu.“
“Ayah, kau berjanji tidak akan membenciku atau malu mengakui aku sebagai anakmu setelah melihat wajahku?”
“Ahh, bagaimana mungkin? Engkau tetap anakku, tidak peduli bagaimana pun bentuk wajahmu. Bukalah cadar itu sebentar saja, untukku.”
Cu In lalu menghadapi ayahnya dan berkata, “Lihatlah Ayah, betapa buruk rupaku!” Ia menyingkap cadarnya dan The Sun Tek sampai melangkah mundur dua langkah saking kagetnya.
“Engkau... jijik melihatku, Ayah?”
“Tidak, ah, tidak...!” Ayah itu menghampiri dan memeluk Cu In yang sudah menutupkan lagi cadarnya. “Aku tetap sayang kepadamu, bahkan aku iba kepadamu. Tapi kenapa mukamu sampai begini, anakku? Kenapa?”
“Ketika kecil aku diserang penyakit cacar yang berat sehingga setelah sembuh mukaku bercacat seperti ini.”
“Nah, apa kataku, Cu In. Orang yang mencinta dengan hati tulus tidak akan berubah hanya karena melihat muka yang dicintanya itu cacat. Bahkan rasa iba memperdalam rasa cinta itu. Jangan khawatir, kelak aku akan mengobati dan menghilangkan cacat di mukamu itu!”
Dari ucapan ini The Sun Tek dapat menduga bahwa pemuda itu pun sudah pernah melihat muka anaknya yang cacat. Sudah melihat bahwa muka gadis itu mengerikan akan tetapi tetap mencintanya, sungguh merupakan seorang pemuda yang sulit dicari keduanya di dunia ini.
“Ucapan Keng Han benar, anakku. Kami akan mencarikan tabib yang terpandai untuk mengobatimu. Nanti sesudah kita hidup serumah dengan ibumu, aku akan menyebar anak buahku untuk mencarikan tabib itu. Nah, sesudah sekarang engkau melihat bukti bahwa kami tidak berubah sikap terhadapmu setelah melihat mukamu yang cacat, tentu engkau menyadari bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini jahat seperti yang diajarkan ibumu. Baru dua orang yang melihat wajahmu, yaitu aku dan Keng Han, akan tetapi kami tidak menjadi jijik atau membencimu.”
“Bukan baru Ayah dan Keng Han yang melihatnya. Ada seorang lain yang melihatnya dan begitu dia melihatku, langsung saja aku akan dibunuh.”
“Siapakah orang itu, Cu In?” tanya Keng Han dengan cepat.
“Tung-hai Lo-mo. Kau ingat, Keng Han ketika engkau menolongku dari tangan Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai Lo-kwi? Nah, ketika itu Tung-hai Lo-mo yang menawanku sempat membuka cadarku dan begitu dia melihat wajahku, dia hendak membunuhku. Baiknya engkau datang dan menolong.”
“Tung-hai Lo-mo? Datuk sesat itu memang orang yang jahat. Biar pun tidak membuka cadarmu pun dia tetap seorang jahat yang harus dibasmi! Orang laki-laki macam dia tidak masuk hitungan, Cu In. Seperti juga julukannya, dia memang seorang iblis!” kata The Sun Tek marah.
“Aku sendiri akan membunuhnya, Ayah, sesuai dengan sumpahku dahulu bahwa siapa yang berani membuka cadarku, dia harus mati di tanganku.”
“Ahhh, sumpah itu mengerikan sekali anakku. Aku sendiri dan Keng Han juga sudah melihat wajahmu, apakah engkau juga akan membunuh kami?”
“Tidak, Ayah. Sumpahku itu sudah kuanggap habis begitu aku bertemu dengan Keng Han dan kemudian melihat bahwa kebencian ibuku terhadap laki-laki hanyalah sekedar pelampiasan amarahnya terhadapmu. Akan tetapi perkenankan aku memakai cadar ini, Ayah. Pertama, karena aku sudah terbiasa memakainya sehingga kalau ditanggalkan aku merasa malu seolah telanjang, dan kedua kupakai supaya tidak menjadi perhatian orang. Ketiga, agar engkau dan Keng Han tidak akan menjadi malu.”
“Aku? Malu? Kenapa aku harus malu?”
“Punya anak yang cacat wajahnya.”
“Aku adalah seorang yang berani menghadapi kenyataan betapa pun pahitnya, Cu In. Cacatnya wajahmu tidak mengurangi kasih sayangku kepada engkau sebagai puteriku!”
“Dan kenapa aku harus malu, Cu In?” tanya Keng Han dengan suara mengandung rasa penasaran.
“Kalau orang-orang melihat wajahku lalu mendengar bahwa engkau... mencinta padaku, bukankah engkau akan menjadi bahan tertawaan?”
Keng Han terkejut. Gadis ini membuka rahasia hatinya begitu saja di depan ayahnya! Dia menjadi tersipu dan salah tingkah, lalu memandang kepada The Sun Tek. Panglima ini juga memandangnya, wajahnya berseri dan mulutnya pun tersenyum, lalu kepalanya mengangguk perlahan.
“Cu In, apa pun yang terjadi padaku, aku tidak peduli. Orang boleh menertawakan aku sesuka hati mereka, namun aku tetap seorang sahabat yang amat mencintamu.”
“Ayah, kau dengar itu? Apakah ucapan seperti itu bisa dipercaya? Bagaimana mungkin seorang pemuda yang amat tampan dan gagah tanpa cacat dapat mencinta aku yang berwajah buruk mengerikan ini? Aku belum dapat percaya sepenuhnya!”
“Cu In, engkau belum mengerti tentang cinta. Bagaikan aku dan ibumu. Apa pun yang telah dilakukan oleh ibumu, aku tetap mencinta dan menyayangnya. Bagi seorang yang mencinta dengan tulus, segala macam cacat pada diri orang yang dicintanya tidak ada artinya. Bukankah begitu, Keng Han?”
“Benar sekali, Paman. Aku mencinta Cu In karena kepribadiannya, bukan hanya karena wajahnya. Setelah melihat wajahnya, aku bahkan merasa semakin sayang karena iba, dan kelak aku akan mencarikan tabib yang pandai untuk mengobati cacatnya itu.”
“Nah, anakku. Engkau beruntung sekali menemukan pemuda seperti ini. Cintanya tulus dan suci, dan aku pun setuju sekali kalau dia menjadi menantuku!”
“Ayah. Apakah Ayah telah tahu siapa dia? Dia adalah putera Tao Seng, pangeran yang memberontak itu! Nah, apakah Ayah masih setuju juga berbesan dengan pengkhianat Pangeran Tao Seng itu?”
“Menilai orang dengan melihat ayahnya adalah picik. Belum tentu seorang ayah yang baik budi memiliki anak yang baik pula dan tidak semua ayah yang jahat memiliki anak yang jahat pula. Aku tidak peduli calon menantuku itu anak siapa, yang penting asal pribadinya baik. Dan kulihat Keng Han adalah seorang pendekar yang baik dan gagah perkasa.”
Cu In menundukkan mukanya, akan tetapi terlihat betapa sepasang mata itu mencorong berseri. “Aku sendiri tidak dapat menjawab sekarang. Kita lihat nanti sajalah. Sekarang yang penting kita harus bertemu ibu dulu. Masih ada ibuku yang mempunyai hak untuk menentukan siapa calon menantunya.”
Keng Han diam saja, akan tetapi The Sun Tek mengerutkan alisnya. Dia sudah tahu akan watak isterinya yang keras. Kalau isterinya tidak menyetujui Keng Han, sampai mati pun ia tentu tidak akan menyetujuinya!
Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang cantik jelita. Usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun, cantik jelita, kulit mukanya putih mulus, pipinya kemerahan, mata dan bibirnya begitu manisnya sehingga tiap pria pasti akan tertarik. Rambutnya yang dibiarkan terurai panjang di punggungnya itu diikat sutera merah dekat kepala. Punggungnya membawa sebatang pedang.
“Suci kiranya engkau!” tegur Cu In.
Keng Han merasa tidak enak juga kalau tidak menyapa wanita itu.
“Subo...!” katanya, terpaksa menyebut subo kepada Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok karena dia pernah diberi pelajaran cara menghindarkan totokannya yang amat lihai.
Akan tetapi Bi-kiam Niocu mengerutkan alisnya dan memandang kepada Keng Han dengan mata bersinar marah. Ia sudah merendahkan diri begitu rupa terhadap pemuda itu, bahkan menemani pemuda itu sampai dapat menghadap Dalai Lama, akan tetapi apa balasan Keng Han kepadanya? Saat diajak berjodoh dan lari minggat meninggalkan subo-nya, pemuda itu tidak mau! Dan sekarang nampak bergaul akrab sekali dengan sumoi-nya!
Niocu menudingkan telunjuknya yang runcing ke arah muka bercadar itu dan terdengar suaranya yang lantang. “Sumoi, apa artinya ini? Engkau bukan saja sudah melanggar pantangan subo, bahkan engkau berani membawa dua orang laki-laki ke sini! Apa kau sudah bosan hidup? Hayo lekas bunuh dua orang laki-laki itu, atau aku akan segera melaporkan kepada subo!”
“Kebetulan sekali kalau begitu, Suci. Cepat laporkan kepada subo bahwa aku datang menghadap bersama ayahku dan saudara Keng Han yang sudah berulang-ulang kali menyelamatkan diriku.”
“Apa kau bilang? Ayahmu...?” Niocu mengamati The Sun Tek dengan penuh perhatian.
“Ya, Ayahku. Sudahlah jangan bertanya panjang lebar. Beri tahukan saja bahwa aku datang bersama ayahku dan sahabat baikku, tentu subo akan mengerti.”
Betapa pun marahnya, Niocu yang galak dan kejam ini masih jeri terhadap Cu In yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi darinya.
“Baik, dan kalian tentu akan dibunuh semua!” Ia pun berkelebat dan pergi.
“Cu In, itukah yang terkenal dengan julukan Bi-kiam Niocu? “ tanya The Sun Tek kepada puterinya.
“Benar, Ayah. Ia suci-ku dan patuh sekali kepada guru kami sehingga ia melaksanakan semua perintah guru. Entah berapa banyak laki-laki yang telah dibunuh olehnya karena berani bersikap ceriwis kepadanya.”
The Sun Tek menghela napas panjang. “Mudah-mudahan nanti aku bisa menghentikan semua perintah ibumu yang keterlaluan itu.”
Mereka mendaki bukit Beng-san dengan cepat.
“Kita akan mengambil jalan pintas, Ayah, agar supaya lebih dekat. Akan tetapi kita harus berhati-hati karena daerah ini termasuk wilayah yang dilindungi oleh keluarga Gak.”
“Keluarga Gak…?” Keng Han bertanya sambil mengingat-ingat.
Sambil terus berjalan, Cu In kemudian menjelaskan tentang keluarga Gak yang tadi dia sebutkan.
“Keluarga Gak adalah keluarga yang sakti. Paman Gak Ciang Hun sendiri adalah orang yang dekat dengan keluarga Pulau Es. Ilmu silatnya lihai sekali. Juga isterinya memiliki ilmu silat yang hebat. Bahkan subo sendiri kalau tidak perlu sekali tidak mau lewat di daerah ini.”
Keng Han tertarik sekali. “Kalau begitu, dia tentu mengenal baik Paman Yo Han.”
“Kiranya demikian. Sudah lama aku mendengar akan nama besar Pendekar Tangan Sakti Yo Han. Apa lagi isterinya yang berjuluk Bangau Merah adalah seorang wanita sakti. Kabarnya ia pernah belajar dari locianpwe Suma Ceng Liong yang merupakan keturunan langsung dari Keluarga Pulau Es.”
Keng Han mengangguk-angguk. “Kalau begitu tidak salah lagi bahwa Pulau Hantu itu adalah Pulau Es yang dulu tenggelam dan kini muncul lagi. Paman Yo Han mengenal semua ilmu silat yang kupelajari dari pulau itu.”
“Ahh, kalau begitu engkau adalah pewaris ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!” seru The Sun Tek dengan kagum.
“Ahh, hanya kebetulan saja aku menemukan dan mempelajari, Paman. Dibandingkan dengan orang-orang keturunan keluarga itu tentu kepandaianku tidak ada artinya. Aku belajar sendiri tanpa ada yang membimbing.”
“Jangan merendahkan diri, Keng Han. Aku sendiri sudah melihat betapa hebatnya ilmu kepandaianmu, dapat menandingi ilmu silat para datuk sesat.”
“Engkau terlalu memuji, Cu In. Ilmumu sendiri juga hebat sekali.”
Dua orang muda itu saling memuji dan saling merendahkan diri mereka sehingga The Ciangkun yang mendengarnya menjadi senang. Pertanda baik bagi orang yang saling mencinta dan calon berjodoh.
Akan tetapi mereka tak menemui halangan sehingga mereka menduga bahwa keluarga Gak itu disegani dan ditakuti orang karena adalah pendekar-pendekar yang lihai. Akan tetapi mereka sendiri tidak pernah usil mencampuri urusan orang lain sehingga biar pun ada orang asing memasuki wilayah mereka asal orang asing itu tidak mengganggu, juga tidak dilarang.
Ketika mereka tiba di pondok tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio, ternyata wanita itu sudah menunggu di serambi depan bersama Bi-kiam Niocu. Wanita itu agaknya mengenakan pakaian yang masih baru dan rambutnya tersisir rapi dengan hiasan kembang merah. Agaknya ia sudah diberi tahu oleh Niocu akan kedatangan Cu In, Keng Han, dan laki-laki setengah tua itu.
Ketika melihat The Ciangkun, Ang Hwa Nio-nio menyambutnya dengan ucapan dingin. “Hemmm, kiranya engkau memenuhi janjimu, menemukan dan membawa Cu In ke sini.”
Mendengar sikap dan mendengar ucapan yang nadanya dingin itu, Cu In merasa marah sekali kepada wanita yang menjadi ibu dan gurunya itu. Dia pun berkata, “Kalau tidak dibujuk Ayah dan Keng Han, sampai mati pun aku tidak akan mau datang ke sini lagi!”
Ang Hwa Nio-nio memandang kepada Cu In. Hatinya bagaikan ditusuk rasanya. Puteri kandungnya sendiri berkata seperti itu!
“Cu In, jangan berkata begitu, Nak!” katanya.
“Mengapa baru sekarang ibu memanggilku seperti itu? Mengapa ibu mengingkari dan mengatakan bahwa aku yatim piatu dan dipungut menjadi murid, kemudian bahkan aku disuruh membunuh ayah kandungku sendiri? Mengapa?” Sekarang dalam suara gadis berkerudung itu terdengar isak tangis.
Ang Hwa Nio-nio menghela napas panjang. “Engkau tidak mengetahui penderitaanku selama itu, Cu In. Hidup seorang diri, menahan semua rasa rindu. Bahkan peristiwa itu membuat aku membenci dan ingin membunuh semua pria! Akan tetapi setelah bertemu dengan ayahmu, aku menginsyafi kekeliruanku. Ternyata tidak semua laki-laki itu jahat. Juga ayahmu sama sekali bukan seorang laki-laki jahat.”
Mendengar semua percakapan itu, Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok menjadi terheran-heran. Ia membelalakkan matanya yang indah, memandang kepada The Sun Tek, lalu kepada gurunya.
“Jadi... Paman ini... dia suami Subo?” tanyanya dengan suara lirih terputus-putus.
Ang Hwa Nio-nio hanya mengangguk dan kedua matanya menjadi basah, berlinang air mata! Makin heranlah Niocu. Belum pernah selama ini ia melihat subo-nya menangis.
“Aku... aku memang bersalah diracuni sakit hatiku, Cu In. Maafkan ibumu, Nak...”
The Sun Tek lalu berkata, “Sudahlah, mari kita lupakan semua yang terjadi dan memulai hidup baru yang penuh kasih sayang dan berbahagia. Cu In, ibumu telah minta maaf. Cairkan perasaan hatimu yang membeku itu.”
“Benar, Cu In. Bagaimana pun juga, beliau adalah ibu kandungmu yang melahirkanmu kemudian memeliharamu sampai menjadi dewasa,” kata Keng Han membujuk.
Semenjak melihat ibunya menangis dan bicara dengan suara terputus-putus mengakui kesalahannya, Cu In sudah menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran akan tetapi tidak kelihatan karena ia menundukkan mukanya. Kini mendengar bujukan ayahnya dan Keng Han, ia lalu bangkit dan berlari menubruk kedua kaki ibunya.
“Ibuku...!”
“Cu In... Cu In... engkau anakku, anak tunggal. Kau maafkan ibumu, ya?” Ibunya juga merangkul dan keduanya bertangisan.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ibu. Aku dapat memaklumi perasaan Ibu.”
“Subo, bagaimanakah ini? Jadi Sumoi adalah puteri Subo sendiri dan Paman ini adalah suami Subo?”
Keng Han pun melangkah maju dan menghampiri Niocu sambil berkata, “Sesungguhnya begitulah, Subo.”
“Jangan kau panggil subo kepadaku! Seperti orang mengejek saja. Panggil saja Niocu seperti dulu. Siapa yang tidak tahu bahwa ilmumu jauh lebih tinggi dari ilmuku? Jangan sekali-kali panggil subo lagi atau aku akan menganggap engkau menghinaku.”
Ang Hwa Nio-nio yang tahu benar bahwa hati para muridnya itu penuh rasa kebencian kepada pria seperti yang sejak dulu ia tekankan, tahu pula akan watak Bi-kiam Niocu. “Bi Kiok, sudahlah. Mulai sekarang, jangan membenci setiap pria. Hanya yang jahat saja boleh kau benci. Akan tetapi kalau pria itu baik, tak ada salahnya menjadi sahabatnya.”
“Ibu, bagaimana kalau ada pria yang mencinta Suci? Apakah dia harus dibunuh?”
“Tidak, tidak. Dulu itu aku sudah gila. Jatuh cinta bukanlah hal yang jahat. Kalau ada pria yang jatuh cinta dan Bi Kiok tidak membalas cintanya, jauhi saja dan katakan terus terang.”
“Bagaimana kalau teecu yang jatuh cinta, Subo? Apakah pria itu harus dibunuh?”
“Tidak! Kalau engkau mencinta seseorang dan orang itu pun mencintamu, maka tiada halangannya engkau berjodoh dengan dia.”
“Aihh, terima kasih, Subo! Adik Cu In, mulai sekarang engkau tidak perlu lagi menutupi mukamu. Kutukan itu telah dihapuskan oleh Subo!”
“Suci, aku tidak mau menjadi buah tertawaan orang dengan mukaku yang penuh cacat ini! Tidak, aku kini mempunyai sumpah bahwa aku tak akan membuka cadar ini sebelum aku menikah. Pada waktu malam pengantin aku akan membuka dan membuang cadar ini untuk selamanya!”
“Sumoi...!” kata Niocu sambil memandang kepada Keng Han.
Dari sikap mereka dia dapat menduga bahwa keduanya saling mencinta. Akan tetapi bila kelak Keng Han melihat wajah sumoi-nya itu, apakah Keng Han akan mau menjadi suaminya?
“Bi Kiok, Cu In sudah mempunyai pendirian begitu, engkau tidak boleh mencampurinya!” kata Ang Hwa Nio-nio sambil tersenyum.
Niocu memandang bengong. Belum pernah dilihatnya gurunya itu tersenyum, apa lagi tertawa. Dan ia melihat wajah subo-nya itu kini penuh senyuman dan ternyata gurunya itu masih cantik walau pun usianya sudah lima puluh tahun!
“Hong Bwe, anak kita ini sudah memiliki calon jodohnya, bahkan sudah pernah melihat mukanya.”
“Ayah...!” Cu In berseru dan dahinya nampak kemerahan.
“Cu In, engkau tidak dapat menyembunyikan perasaanmu di depan ayahmu, Ha-ha-ha!”
“Benarkah itu?” Ang Hwa Nio-nio berseru, dari nada suaranya terdengar gembira bukan main, “Siapakah laki-laki yang bijaksana itu?”
“Orangnya dekat di sini, apa engkau tidak dapat menduganya, Hong Bwe?”
“Ahh, engkaukah itu, orang muda? Benarkah engkau mencinta Cu In dengan setulus hatimu?”
Biar pun dengan perasaan sungkan dan tersipu, Keng Han menjawab dengan lantang, “Benar, Bibi. Saya mencinta Cu In dengan segenap jiwa ragaku.”
“Ahhh, tidak mungkin!” mendadak Bikiam Niocu berseru nyaring. “Sama sekali tidak mungkin!”
Tentu saja dia merasa sangat terkejut mendengar ucapan Keng Han itu. Dia pernah mencinta Keng Han dan mengharapkan pemuda itu bisa menjadi suaminya. Akan tetapi Keng Han menolaknya. Dan sekarang Keng Han menyatakan bahwa dia mencinta Cu In? Rasanya tidak mungkin.
Ia sendiri seorang wanita cantik dan ia menyadari benar akan hal ini. Sebaliknya, ia pun sudah melihat wajah sumoi-nya yang totol-totol hitam dan buruk sekali. Kalau Keng Han pernah melihat wajah itu, bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta kepada wanita yang wajahnya sedemikian buruknya?
The Sun Tek berkata, suaranya tegas dan berwibawa, “Mengapa tidak mungkin? Ada dua macam cinta di dunia ini. Yang pertama cinta murni yang tidak dipengaruhi oleh buruknya rupa, buruknya nama atau kemiskinan. Yang kedua adalah cinta nafsu yang digerakkan oleh keadaan yang dicinta seperti wajah elok, terkenal, berkuasa atau kaya raya. Dan cinta Keng Han seperti cinta yang pertama tadi.”
“Ucapan suamiku ini benar, Bi Kiok. Lihat cinta suamiku kepadaku. Walau pun namaku buruk dan terkenal sebagai seorang yang disebut kejam dan sesat, akan tetapi cintanya kepadaku sama sekali tidak pernah berkurang. Usahakan supaya engkau menemukan seorang pria seperti itu, yang mencintamu bukan sekedar pelampiasan nafsu belaka!”
The Sun Tek berkata kepada Ang Hwa Nio-nio, “Hong Bwe, sebaiknya engkau segera berkemas karena sekarang juga kita akan pergi ke kota raja, pulang ke rumah kita.”
“Pulang...?” Ang Hwa Nio-nio bertanya, suaranya seperti orang kebingungan, seperti di dalam mimpi.
“Ya, pulang ke rumah kita di kota raja.”
“Aku sudah bersiap-siap, lama sebelum engkau datang,” kata Ang Hwa Nio-nio dengan kedua pipinya berubah kemerahan. “Aku hanya membawa sebuah buntalan saja.”
“Subo, apakah Subo akan pergi meninggalkan tempat ini?” tanya Bi-kiam Niocu.
“Benar, Bi Kiok. Aku akan pergi, akan pulang ke kota raja, meninggalkan Beng-san dan tak akan kembali ke sini lagi. Rumah beserta isinya ini kutinggalkan kepadamu, menjadi milikmu.”
Ang Hwa Nio-nio lalu mengambil buntalan yang menjadi bekalnya, kemudian mengajak suami dan puterinya untuk segera berangkat.
Keng Han tidak ikut. “Paman, sebagai seorang anak, saya harus mencari ayah saya, membujuknya agar dia menghentikan usahanya memberontak dan mengajaknya pulang ke Khitan. Setelah itu barulah orang tua saya akan mengajukan peminangan resmi atas diri Cu In.”
The Sun Tek mengangguk-angguk, diam-diam memuji calon mantunya itu. “Itu adalah suatu niat yang mulia sekali. Pergilah, kami akan menunggumu di kota raja. Memang sudah semestinya kalau orang tuamu merestui perjodohanmu.”
The Sun Tek, Ang Hwa Nio-nio dan Cu In segera berangkat. Akan tetapi belum jauh mereka pergi, Cu In membalikkan tubuhnya dan lari menghampiri Keng Han.
“Keng Han, kuharap engkau suka menyimpan ini baik-baik!” Ia pun meloloskan sabuk suteranya yang putih. “Selama ini sabukku menjadi temanku yang setia.”
Keng Han merasa terharu sekali ketika menerima sabuk sutera putih itu. Dia pun lalu mengambil pedang bengkoknya dan diserahkan kepada Cu In.
“Terima kasih, Cu In. Dan ini pedangku harap kau simpan baik-baik. Pedang ini adalah pemberian ibuku dan biarlah sekarang untuk sementara ini disimpan oleh calon isteriku yang tercinta.”
“Selamat tinggal, Keng Han,” kata Cu In sambil menerima pedang bengkok itu.
“Selamat jalan dan selamat berpisah untuk sementara, Cu In,” kata Keng Han. Gadis itu lalu pergi dengan cepat menyusul orang tuanya.
“Hi-hik-hik, sungguh lucu. Seperti orang bermain sandiwara saja. Alangkah mesranya, Keng Han!” Bi-kiam Niocu mengejek sambil tertawa.
“Kalau dua hati sudah bertemu dalam cinta, tentu saja timbul kemesraan, Niocu.“
“Aku heran sekali. Apakah matamu sudah buta, Keng Han?”
“Niocu, harap engkau jangan menghinaku. Kenapa engkau mengatakan mataku buta?”
“Benarkah engkau sudah menyaksikan bagaimana bentuk wajah sumoi Cu In?”
“Sudah, mengapa?”
“Wajahnya begitu buruk dan menjijikkan! Engkau dapat mencinta gadis dengan wajah seperti itu?”
“Niocu, engkau belum mengenal apa artinya cinta. Aku mencinta Cu In sejak ia belum memperlihatkan mukanya. Aku mencinta dia, aku mencinta pribadinya, bukan mencinta wajahnya. Setelah aku melihat mukanya, cintaku semakin kuat karena ada dorongan perasaan iba kepadanya. Aku kelak akan mencarikan tabib terpandai di seluruh dunia untuk mengobatinya!”
“Hi-hik-hik, percuma saja. Cacat di mukanya itu menurut kata subo dan sumoi sendiri, adalah cacat bekas cacar. Mana mungkin pulih kembali? Kelak engkau akan menyesal. Kalau semua orang menertawakanmu ketika engkau bersanding dengan isterimu yang wajahnya seperti setan...!”
“Cukup, Niocu! Jangan engkau menghina Cu In atau aku akan menghajarmu!”
“Eh-eh-eh, engkau akan menghajarku? Lupakah, engkau bahwa aku ini gurumu?”
“Hemmm, memang engkau pernah mengajari cara menghadapi tok-ciang, akan tetapi tadi engkau sendiri yang menyuruh aku memanggil Niocu. Jadi sekarang aku bukan lagi muridmu.”
“Hemmm, pedangmu sudah kau berikan kepada kekasihmu, bagaimana engkau akan melawan aku? Dengan sabuk sutera putih pemberian kekasihmu itu?”
“Niocu, untuk melawanmu tidak perlu aku menggunakan senjata!” kata Keng Han sambil mengikatkan sabuk sutera putih itu di pinggangnya.
“Keparat! Berulang kali engkau menghinaku, menolakku, dan sekaranglah kesempatan bagiku untuk membunuhmu! Jika aku tidak dapat memperolehmu, orang lain juga tidak boleh!” Berkata demikian, Bi-kiam Niocu mencabut pedangnya lalu menyerang dengan cepat dan dahsyat.
Namun Keng Han dengan tenang saja menggerakkan tubuhnya mengelak dari tusukan ke arah dada itu.
“Percuma, Niocu. Engkau tidak akan menang. Hentikanlah seranganmu itu dan jangan ganggu aku lagi!” Keng Han masih mencoba untuk memperingatkan lawannya.
“Mampuslah!” Niocu membentak dan menyerang lebih hebat lagi.
“Wuuuuuttt... singgg...!”
Pedang yang menebas ke arah leher itu luput karena dielakkan oleh Keng Han. Keng Han mengalah dan terus mengelak sampai sepuluh jurus. Ketika melihat gadis itu makin nekat menyerangnya, dia pun lalu membalas.
Tangan kirinya menampar ke arah leher Niocu, akan tetapi ketika Niocu mengelak, dia langsung disambut oleh tangan kanan Keng Han yang menjotos ke arah lambungnya. Niocu berseru kaget dan melompat mundur ke belakang sehingga jotosan ke lambung itu luput.
Keng Han segera bersilat dengan ilmu Toat-beng Bian-kun, sebuah di antara ilmu silat pusaka Pulau Es. Nampaknya saja ilmu silat ini lemah lembut seperti kapas, akan tetapi di dalamnya terkandung tenaga sinkang yang mengancam lawan dengan dahsyatnya! Menghadapi ilmu silat aneh dan berbahaya sekali ini, Niocu terdesak mundur terus.
“Hentikan seranganmu, Niocu. Hentikan!” Keng Han berkali-kali membujuk.
Akan tetapi Niocu yang sudah menjadi penasaran itu tidak mempedulikan seruannya dan menyerang terus. Tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya ke belakang dan gelungan rambutnya terlepas sehingga rambut itu pun menjadi riap-riapan dan panjang sampai ke pinggang.
Rambut ini, yang lembut dan berbau harum, adalah senjata yang tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan kanan Niocu. Bahkan gerakan rambut ini datangnya bisa tidak terduga-duga, dapat dipergunakan untuk menyolok mata, melibat dan mencekik leher, bahkan menotok ke arah jalan darah lawan.
Tapi Keng Han telah mengenal kelihaian rambut panjang itu. Ketika Niocu menusukkan pedangnya ke arah perut, tiba-tiba saja rambutnya melibat leher Keng Han! Keng Han mengelak ke kiri akan tetapi tidak dapat lagi mengelak dari rambut yang sudah melilit lehernya. Dia menggunakan tangan kirinya, menangkap rambut itu dan sekali tarik, rambut itu putus setengahnya!
Niocu menjerit kaget. Rambutnya yang tadinya sepanjang pinggang kini hanya tinggal sepundak! Akan, tetapi ketika sedang mundur dan kaget melihat rambutnya, Keng Han sudah maju dan menendang ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.
Kembali Niocu menjerit kaget dan pedangnya terlepas dari pegangan, mencelat ke atas. Mendadak nampak bayangan tubuh orang yang menangkis pedang yang terpental itu. Ketika bayangan itu turun, ternyata dia seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Wajahnya penuh berewok seperti muka harimau dan berewok serta rambutnya sudah putih semua!
“Bi-kiam Niocu, ini pedangmu! Apa engkau perlu bantuanku menghadapi bocah lancang ini?”
Bi-kiam Niocu bukan seorang yang curang. Sebaliknya, dia menghargai kegagahan dan tanpa malu lagi ia mengaku dalam hati bahwa kepandaiannya tidak mampu menandingi kepandaian Keng Han. Ia menyimpan kembali pedangnya dan menyanggul rambutnya yang tinggal sepundak, lalu berkata kepada orang itu.
“Pek-thou-houw (Harimau Kepala Putih), tidak perlu engkau mencampuri urusanku. Dan ada keperluan apakah engkau datang ke sini?”
Orang yang berjuluk Harimau Kepala Putih itu menghela napas panjang. Bi-kiam Niocu ini ternyata masih sama angkuhnya dengan dulu. Seorang wanita yang amat dingin dan angkuh! Maka dia pun tidak mau bicara panjang lebar, hanya menyampaikan tugasnya saja.
“Bi-kiam Niocu, aku diutus oleh Thian It Tosu dari Bu-tong-pai untuk mengundang Ang Hwa Nio-nio ke Bu-tong-san, karena di sana akan diadakan rapat besar antara para datuk dan tokoh kang-ouw. Harap engkau suka minta pada gurumu untuk menemuiku atau aku yang menghadap ke dalam,” kata Pek-thou-houw sambil memandang ke arah rumah itu.
“Guruku sudah pergi dan tidak akan kembali,” kata Bi-kiam Niocu, “maka tidak mungkin dapat pergi. Akan tetapi aku yang akan mewakilinya datang ke Bu-tong-san.”
“Begitu juga bagus, Niocu. Kami semua sudah mendengar nama besar Bi-kiam Niocu. Niocu, bagaimana kalau sebelum aku pergi, aku memberi hajaran kepada bocah ini agar lain kali dia tidak akan menggodamu lagi?”
Bi-kiam Niocu tersenyum mengejek. “Sesukamulah!” katanya.
Pek-thou-houw menghampiri Keng Han yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja. “Heh, orang muda, siapa namamu? Aku tidak biasa membunuh orang yang tak memiliki nama!” bentak Harimau Kepala Putih itu dengan sikap bengis.
“Namaku Si Keng Han dan kuharap engkau tidak mencampuri urusan antara aku dan Niocu,” kata Keng Han dengan lembut.
“Apa katamu? Kalau aku mencampuri, kau mau apa?”
“Sesukamulah kalau begitu. Tapi aku sudah memperingatkan!” kata Keng Han, kini tidak lembut lagi bahkan suaranya mengandung gertakan.
“Awas seranganku. Heh-heiiiiittt!”
Si Kepala Putih itu mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau dan tubuhnya sudah meloncat ke depan, sikapnya persis harimau yang hendak menerkam korbannya, kedua tangan dibentangkan dengan jari-jari membentuk cakar harimau.
“Hemmm...!”
Keng Han mengenal ilmu silat harimau ini. Akan tetapi harus diakui bahwa Si Harimau Kepala Putih ini sudah mempelajari segala bentuk gerakan harimau dengan seksama dan seorang ahli dalam Houw-kun (silat Harimau) itu. Dia percaya bahwa dua cakar itu sanggup merobek kulit dan daging lawan! Karena sudah mengenal ilmu itu, dengan mudah dia mengelak dengan lompatan ke kiri dan begitu ‘harimau’ itu turun ke atas tanah, dia sudah menampar dengan tangan kiri.
“Wuuuuuttt... plakkk...!”
Keng Han terkejut sendiri. Tanpa dia sadari, tangan kirinya masih memegang potongan rambut Niocu sehingga ketika dia menampar, rambut itu yang melecut ke arah muka Pek-thou-houw!
Pek-thou-houw berteriak kesakitan. Lecutan cambuk istimewa itu keras sekali sehingga meninggalkan jalur merah pada pipi dan lehernya. Sementara itu, Keng Han yang baru ingat akan rambut itu sudah mendekati Niocu dan menjulurkan tangan mengembalikan rambut.
“Maafkan aku, Niocu. Aku menyesal sekali.” katanya.
Bi-kiam Niocu menyambar rambutnya sambil menggigit bibir dan menahan keluarnya air mata, lalu ia membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Pek-thou-houw tertegun. Saat melihat bahwa Bi-kiam Niocu lari pergi, dan teringat akan lecutan rambut tadi, dia pun merasa jeri. Tahulah dia bahwa Bi-kiam Niocu tadi agaknya kalah oleh pemuda itu, apa lagi dia! Maka, tanpa pamit lagi dia pun lari meninggalkan Keng Han.
Keng Han memandang ke arah bayangan Niocu dan berulang kali dia menghela napas panjang. Mudah-mudahan kelak dia bisa mendapatkan seorang pria yang benar-benar mengasihinya, pikirnya.
Dia merasa kasihan pada Bi-kiam Niocu. Dia mengerti bahwa Bi-kiam Niocu mencintai dirinya, bahkan pernah mengajaknya menikah lalu lari minggat dari subo-nya. Sekarang, melihat dia saling mencinta dengan Cu In, tentu hati wanita itu penuh iri dan cemburu, maka berusaha mati-matian untuk membunuhnya.
Dia tahu bahwa Bi-kiam Niocu bukan orang jahat, dan kalau wataknya menjadi kejam terhadap kaum pria, hal itu adalah karena sejak kecil dara ini dididik untuk membenci pria. Akan tetapi mulai sekarang, dia berharap gadis itu berubah pula setelah melihat betapa subo-nya kembali kepada kekasihnya, bahkan merestui perjodohan antara dia dan Cu In.
“Semoga engkau kelak menemukan jodohmu yang tepat, Niocu,” kata Keng Han sambil menarik napas panjang dan dia pun pergi ke Bu-tong-san.
Dia tertarik mendengar dari Pek-thou-houw tadi bahwa Bu-tong-pai akan mengadakan pertemuan besar. Siapa tahu dia akan dapat kembali bertemu dengan ayahnya di sana, mengingat bahwa gerakan ayahnya itu sejalan dengan sikap Bu-tong-pai yang hendak memberontak.