CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
PUSAKA PULAU ES BAGIAN 19
Sebuah kereta kuda berhenti di halaman depan gedung istana Pangeran Mahkota Tao Kuang. Setelah kepala jaga memeriksa siapa yang berada di dalam kereta itu, dia lalu memberi hormat dan kereta itu diperbolehkan masuk sampai ke pintu depan istana. Pangeran Tao Kuang sedang bercakap-cakap dengan Kwi Hong, Kai-ong dan Han Li di ruangan perpustakaan yang luas ketika penjaga melapor akan kedatangan tamu-tamu berkereta itu. Mendengar siapa yang datang berkunjung, Pangeran Mahkota tersenyum dan berseri wajahnya, lalu mengajak mereka semua untuk keluar menyambut.
“Ayo kalian ikutlah, akan kuperkenalkan kepada seorang pangeran adik sepupuku yang menjadi sahabat baikku! Dialah satu-satunya orang di kalangan keluarga kami yang bisa kupercaya sepenuhnya.” katanya kepada Kai-ong dan Han Li.
Ketika mereka tiba di luar, mereka semua melihat tiga orang berada di serambi depan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang tampan dan lembut sikapnya, seorang wanita cantik yang agung dan anggun, berusia sebaya dengan pria itu. Dan di belakang mereka berjalan seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Begitu melihat mereka, Han Li berubah air mukanya, menjadi kikuk dan salah tingkah karena ia mengenal mereka itu sebagai suami isteri Pangeran Cia Sun dan isterinya, Sim Hui Eng dan putera mereka, Cia Kun. Suami isteri dan putera mereka itu belum lama ini telah datang ke Bukit Naga untuk meminang dirinya yang hendak dijodohkan dengan putera mereka itu!
Begitu pun Kwi Hong. Ketika ia melihat siapa yang datang, kedua pipinya lalu menjadi kemerahan karena ayah bundanya pernah bertanya kepadanya, bagaimana kalau ia dijodohkan dengan putera Cia Sun, saudara sepupu ayahnya. Sudah lebih dari tiga tahun dara ini tidak pernah bertemu dengan Cia Kun dan kini pemuda itu telah menjadi seorang dewasa yang ganteng!
Demikian pula dengan Cia Kun. Dia terheran melihat Han Li berada di situ dan dia juga terpesona melihat Kwi Hong yang kini demikian cantik jelita.
Pangeran Cia Sun beserta isterinya juga merasa heran melihat Han Li. “Ehh, bukankah engkau Yo Han Li? Bagaimana bisa berada di sini?”
Sebelum Han Li dapat menjawab, Pangeran Tao Kuang berkata sambil tertawa, “Bagus, kiranya kalian sudah saling mengenal sehingga tidak perlu kuperkenalkan lagi.”
“Akan tetapi siapa Locianpwe ini? Kami tidak mengenalnya.”
“Ah, Paman ini adalah seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw, Dinda Pangeran. Tentu engkau pernah mendengar akan julukan Kai-ong, bukan?”
“Bukankah Kai-ong Lu Tong Ki?” tanya Pangeran Cia Sun.
“Benar, dia dan muridnya, nona Han Li, menjadi tamu kehormatan kami. Paman Lu, ini adalah Pangeran Cia Sun yang dahulu sering bertualang di dunia kang-ouw.”
Pangeran Cia Sun dan pengemis tua itu saling memberi hormat.
“Nah, mari kita semua masuk ke dalam dan bicara di sana!” kata Pangeran Tao Kuang dengan ramah.
Mereka semua diajak masuk ruangan tamu yang luas dan sejuk karena di ruangan itu terdapat banyak jendela sehingga hawa dapat masuk dengan leluasa.
“Kanda Pangeran, kedatangan kami untuk menjenguk Kanda karena kami mendengar bahwa Kanda baru saja diserbu orang-orang yang hendak membunuh. Kami bersyukur sekali mendengar bahwa Kanda Pangeran terlepas dari bahaya maut.”
“Benar, Adinda Pangeran. Semua ini adalah jasanya Tao Keng Han dan nona Souw Cu In yang membongkar rencana pemberontakan dan pembunuhan itu. Karena kami telah mengetahui lebih dulu, maka kami sekeluarga dibantu Paman Lu dan muridnya Han Li yang telah bersiap-siap. Juga penjagaan oleh pasukan dilakukan dengan ketat. Dengan ayahanda Kaisar pun demikian. Bahkan sepasang pendekar itu pun menyamar sebagai pengawal pribadi Kaisar.”
“Ahh, kami merasa gembira sekali mendengar itu, Kanda. Untuk itu, biarlah kuucapkan selamat dan menyulangi Kanda dengan tiga cawan arak!”
Karena di situ memang sudah dipersiapkan dan disediakan arak, maka kedua orang pangeran, diikuti yang lain minum tiga cawan arak.
“Bagaimana pun juga, kalau tidak ada bantuan nona Yo Han Li dan gurunya, tetap saja kami terancam bahaya maut. Mereka berdua yang bisa menandingi pihak pemberontak itu.”
Cia Sun tersenyum memandang kepada Han Li. “Tentu saja. Han Li adalah puteri Si Tangan Sakti Yo Han dan isterinya Si Bangau Merah Tan Sian Li. Apa lagi sekarang menjadi murid Kai-ong! Tentu ilmu kepandaiannya menjadi luar biasa sekali!”
“Aihh, Paman Cia terlalu memujiku, membuat aku merasa malu saja.”
“Li-moi, ayahku hanya berkata sebenarnya, mengapa harus malu? Dan aku percaya bahwa Hong-moi sekarang tentu telah menjadi seorang gadis yang lihai pula. Kabarnya Hong-moi menerima pelajaran dari para ahli silat yang menjadi panglima pengawal, berganti-ganti guru sehingga tentu mempunyai banyak macam ilmu silat!” kata Cia Kun sambil memandang adik sepupunya itu dengan sinar mata penuh kagum.
Pemuda ini sudah mendengar dari ayahnya bahwa pinangan mereka atas diri Han Li ditolak secara halus oleh orang tua gadis itu, maka dia tidak mengharapkan lagi dan kini perhatiannya beralih kepada Kwi Hong yang tidak kalah cantiknya dibandingkan Han Li.
“Aih, Kun-ko, engkau pandai memuji orang. Mana aku dapat dibandingkan dengan enci Han Li? Kalau dibandingkan dengan engkau saja aku sudah kalah jauh! Selain Paman Pangeran Cia sendiri memiliki ilmu yang tinggi, Bibi yang menjadi ibumu memiliki ilmu silat yang lebih hebat pula. Engkau tentu telah mewarisi semua ilmunya!”
“Ahh, Ayah dan terutama ibu memang pandai, akan tetapi aku yang bodoh, tidak dapat maju-maju dalam pelajaran ilmu silat,” bantah Cia Kun sambil memandang kepada adik sepupunya itu dengan senyum.
“Kwi Hong, kenapa engkau tidak mengajak Han Li dan Cia Kun untuk bicara di taman? Biarkan kami yang tua-tua bicara di sini,” kata Pangeran Tao Kuang kepada puterinya.
“Ah, taman bunga sedang indah karena bunga-bunga sedang mekar, di mana hawanya sejuk sekali. Marilah, enci Han Li dan kanda Cia Kun, kita bermain-main dan bicara di sana!”
Karena ajakan nona rumah ini, Han Li dan Cia Kun tidak dapat menolak dan pergilah tiga orang muda itu ke taman bunga.
Setelah tiga orang muda itu pergi, bertanyalah Cia Sun kepada Pangeran Tao Kuang, “Kanda Pangeran, sebetulnya apakah yang sudah terjadi? Siapakah yang mendalangi pemberontakan itu?”
Pangeran Tao Kuang menghela napas panjang. “Sungguh memalukan bila dipikir. Yang menjadi dalangnya adalah Tao Seng dan Tao San.”
“Bukankah mereka telah dihukum buang ketika hendak membunuhmu dahulu itu, Kanda Pangeran?” tanya Cia Sun.
“Benar, akan tetapi hukuman mereka telah habis. Mereka lalu kembali ke kota raja dan menyamar sebagai orang-orang hartawan. Kita mengetahui akan hal itu, akan tetapi mendiamkan saja. Bagaimana pun juga mereka adalah saudara-saudara kita dan pada kenyataannya hukuman bagi mereka sudah habis. Akan tetapi sungguh tidak disangka sama sekali, diam-diam mereka menghimpun kekuatan, mempergunakan datuk-datuk dan tokoh-tokoh sesat untuk membunuh ayahanda Kaisar dan aku sendiri. Dan engkau tahu siapa yang membongkar rahasia mereka?”
“Kakanda tadi sudah memberi tahukan bahwa yang membongkar rahasia itu adalah seorang bernama Tao Keng Han dan nona Souw Cu In.”
“Benar dan tahukah engkau siapa Tao Keng Han itu? Dia adalah keponakan kita sendiri, yaitu putera dari kakanda Tao Seng.”
Pangeran Mahkota Tao Kuang lalu menceritakan betapa Keng Han hendak membunuh dia karena pemuda itu dihasut oleh ayahnya sendiri yang menyamar sebagai Hartawan Ji. Akan tetapi akhirnya pemuda itu dapat disadarkan akan kekeliruannya dan bahwa dia terkena hasutan.
Cia Sun mendengarkan dengan perasaan heran bercampur kagum. “Jadi pemuda itu memusuhi ayahnya sendiri dan membongkar rahasia pemberontakannya kepadamu?”
“Benar. Akan tetapi bukan berarti bahwa dia membenci ayah kandungnya. Dia berbuat demikian sebab melihat bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar. Sekarang dia hendak mencari ayahnya untuk dibujuk pulang ke Khitan. Ibunya adalah puteri kepala suku Khitan.”
Pangeran Cia Sun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar hebat pemuda itu. Dia tentu seorang pendekar yang besar!”
“Dia memang berjiwa pendekar dan menurut keponakanmu Kwi Hong, ilmu silatnya hebat sekali sehingga dia mampu mengalahkan para datuk sesat. Karena itu maka aku minta agar dia dan nona Souw Cu In yang juga lihai sekali untuk melindungi Kaisar dan tarnyata mereka berhasil merobohkan banyak penjahat yang menyamar sebagai prajurit pengawal, akan tetapi sayang, para datuk yang memimpin penyerbuan itu dapat kabur. Rencana pemberontakan itu keji sekali. Mereka hendak membunuh ayahanda Kaisar dan aku, dan mereka mempersiapkan pasukan di luar dan di dalam kota raja, berhasil pula mempengaruhi seorang panglima. Tujuan mereka, kalau Kaisar dan aku sudah tewas, istana akan dikuasainya dan dengan dalih singgasana kosong dan dia yang berhak duduk sebagai kakakku yang tertua, Pangeran Tao Seng akan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar.”
“Keterlaluan sekali kanda Tao Seng itu. Dan sekarang, apakah dia sudah tertangkap kembali?”
“Belum. Begitu gerakan mereka gagal, dia sudah menghilang entah ke mana. Kini para penyelidik sedang mencarinya dan kalau tertangkap, sekali ini tentu dia akan dijatuhi hukuman mati.”
“Aku dapat menduga siapa datuk-datuk sesat yang dipergunakan para pemberontak itu. Mereka tentu termasuk Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka adalah datuk-datuk yang tersesat, mau melakukan apa saja asalkan pahalanya besar,” kata Kai-ong Lu Tong Ki yang sejak tadi diam saja.
“Hemmm, tiga nama datuk itu sudah terkenal sekali. Kalau hanya menerima upah harta saja tentu mereka tidak mau membantu pemberontakan,” kata isteri Pangeran Cia Sun yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw, maka ia mengenal pula ketiga orang datuk yang disebutkan tadi. “Kurasa mereka itu mendapatkan janji akan diberi kedudukan tinggi kalau Pangeran Tao Seng berhasil menjadi Kaisar.”
Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk-angguk. “Dugaan itu memang tepat sekali. Tidak dapat disangsikan lagi, mereka tentu diberi janji yang muluk-muluk.”
“Akan tetapi masih ada satu hal lagi yang sangat mengherankan hatiku, Kanda Tao Kuang.”
“Apa yang kau herankan?”
“Hadirnya Yo Han Li di tempat ini. Kalau Locianpwe Kai-ong tidak aneh berada di sini sebagai tamu karena aku tahu bahwa Kanda Pangeran suka menghargai orang pandai. Akan tetapi Han Li, dia masih terhitung keponakanku sendiri karena ayahnya adalah kakak angkatku. Akan tetapi walau pun demikian, ayahnya itu juga ketua Thian-li-pang yang jelas-jelas merupakan perkumpulan para pejuang yang sewaktu-waktu juga dapat memberontak. Bukankah tersiar berita bahwa para penyerang yang hendak membunuh kaisar itu mengaku orang Thian-li-pang?”
Pangeran Tao Kuang tersenyum. “Berita itu bohong dan yang membongkar rahasianya adalah nona Yo Han Li. Ia tidak mengenal satu pun orang-orang itu sebagai anggota Thian-li-pang, bahkan kemudian diketahui bahwa para penyerang itu adalah orang dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Tadinya aku pun sangat curiga kepada nona Yo, akan tetapi selama ia di sini ia memperlihatkan sikap yang baik sekali, bahkan cocok dengan Kwi Hong. Oleh sebab itu, aku sepenuhnya menanggung bahwa nona Yo tidak berpihak kepada pemberontakan, bahkan ia pun ikut turun tangan melawan ketika gerombolan penjahat itu menyerbu ke istana ini.”
Pangeran Cia Sun mengangguk-angguk, dan Liang Siok Cu, selir Pangeran Tao Kuang yang mendampingi mereka bercakap-cakap, menambahkan, “Menurut penglihatanku, nona Yo sama sekali tidak jahat. Bahkan ia baik sekali, sopan dan ramah. Dengan terus terang dia pernah mengatakan kepada aku dan Kwi Hong, bahwa ayahnya memang pemimpin Thian-li-pang dan berjiwa patriot, tetapi sama sekali tidak membenci keluarga Kaisar. Yang dibencinya adalah penjajahan, dan kini mereka hanya bergerak melindungi rakyat dari penindasan pejabat-pejabat yang menyeleweng atau gangguan gerombolan perampok. Itulah sebabnya mengapa ia mau tinggal di sini menjadi tamu kami, bahkan telah ikut membantu menyelamatkan kami dari serbuan para pembunuh.”
Kembali Cia Sun mengangguk-angguk. “Aku sudah mengenal baik siapa itu Yo Han. Pendekar Tangan Sakti itu memang seorang pendekar tulen yang budiman. Dia hampir tak pernah membunuh orang. Orang-orang jahat hanya dia kalahkan dan dia taklukkan, kemudian diampuni asalkan mau mengubah jalan hidup mereka yang menyeleweng.”
Sementara itu, di taman bunga juga terjadi percakapan yang menarik hati.
“Taman begini indah, hawa pun begini sejuk, sungguh tepat sekali untuk menulis sajak, meniup suling dan menabuh yangkim. Akan tetapi, karena kita belum mempersiapkan peralatannya, bagaimana kalau kita isi dengan mempertunjukkan ilmu silat kita masing-masing?” kata Kwi Hong dengan gembira.
“Bagus!” Cia Kun memuji. “Engkau yang mengusulkan, sebaiknya engkau yang terlebih dulu mulai, Hong-moi!”
“Tidak, sebaiknya kalau enci Han Li yang mulai, mengingat bahwa ilmu silatnya yang paling tinggi di antara kita. Marilah, enci Han Li, bermainlah silat agar membuka mata kami yang bodoh!” kata pula Kwi Hong sambil menarik-narik tangan Han Li.
Han Li tersenyum. “Sudah lajim di mana-mana bahwa pria harus mengalah kepada wanita. Karena kita berdua wanita dan yang pria hanya Kun-ko, maka sepantasnyalah kalau dia mangalah dan bermain silat lebih dulu.”
Kwi Hong bertepuk tangan dan bersorak. “Setuju sekali. Nah, Kun-ko, kalau engkau menolak berarti engkau seorang laki-laki yang tidak bijaksana, tidak mau mengalah terhadap wanita!”
Menghadapi serangan Kwi Hong ini, Cia Kun menyeringai dan tidak mampu membantah lagi. “Baiklah aku akan mengalah. Aku mainkan ilmu pedang yang kupelajari dari ibuku.”
Kwi Hong bertepuk tangan. “Wah, tentu hebat sekali!”
Cia Kun lalu mengeluarkan sebatang pedang dari punggungnya dan mencabut sebuah kipas putih dari pinggangnya, kemudian dia berkata sambil tersenyum. “Ibuku biasanya memainkan pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri. Oleh karena aku tidak memainkan kebutan seperti seorang pendeta, ibu lalu mengganti kebutan itu dengan kipas. Nah, aku mulai, akan tetapi harap jangan ditertawakan!”
Cia Kun lalu melompat ke bagian yang luas dekat kolam ikan dan mulailah dia bermain pedang dan kipas. Gerakannya cepat dan indah sekali, seperti orang menari-nari dan terdengar suara berdesing dari pedangnya. Kipasnya melakukan totokan-totokan yang cepat dan kuat, kadang dikembangkan untuk menangkis serangan lawan.
Pemuda itu memainkan ilmu pedangnya yang sebanyak tiga puluh enam jurus itu, lalu berhenti. Lehernya sedikit berkeringat namun pernapasannya biasa saja, tanda bahwa dia sudah menguasai ilmu itu dengan baik dan dapat mengatur pernapasannya ketika berlatih tadi.
Kwi Hong bertepuk tangan, diikuti oleh Han Li. Dan Han Li berkata, “Sungguh kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!”
“Aihh, Li-moi, jangan memuji di mulut akan tetapi menertawakan di hati!” kata Cia Sun sambil menyimpan kembali pedang dan kipasnya.
“Siapa menertawakan, Kun-ko?” Tiga tahun yang lalu, ketika engkau dan orang tuamu datang berkunjung engkau juga memperlihatkan ilmu silatmu, akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan yang kau mainkan tadi. Dalam waktu tiga tahun saja ilmu silatmu telah maju pesat sekali.”
“Terima kasih atas pujianmu, Li-moi.”
“Haiii, kalian ini agaknya sudah lama berkenalan,” kata Kwi Hong sambil memandang wajah kakak misannya.
“Tentu saja!” jawab Cia Kun sambil tersenyum. “Bahkan Han Li ini boleh dibilang adikku sendiri. Ayahku dan ayahnya adalah saudara angkat!”
“Ah, pantas saja kalian demikian akrab. Nah, enci Han Li, sekarang tiba giliranmu untuk menunjukkan kepandaianmu!” kata Kwi Hong dengan gembira. Tadi ia merasa bangga dan kagum sekali melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh kakak misannya.
“Ihh, apakah engkau tidak mengenal lagi sopan santun, adik Kwi Hong. Engkau adalah nona rumah dan aku hanya tamu, maka sudah selayaknya kalau nona rumah memberi contoh lebih dulu, baru aku sebagai tamu mengikutinya!”
“Wah, kiranya yang lihai bukan hanya ilmu silatmu, enci. Han Li. Engkau lihai sekali berdebat dan bicara. Baiklah, sebagai nona rumah aku harus mengalah. Akan tetapi berjanjilah bahwa kalian berdua tidak mentertawakan ilmu pedangku.“
“Mana mungkin kami menertawakanmu? Kami percaya bahwa ilmu pedangmu tentu hebat sekali. Hayolah, adik Hong, perlihatkan kehebatan pedangmu!”
“Hong-moi, aku tadi sudah mengalah bermain pedang lebih dulu, maka kini engkau tidak dapat menolak lagi,” Cia Kun juga membujuk.
“Baiklah, boleh lihat baik-baik ilmu pedangku yang jelek dan dangkal.”
Kwi Hong lalu meloncat ke tempat dekat kolam tadi sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali gerakan mencabut pedang itu sehingga seperti bermain sulap saja, tahu-tahu pedang sudah berada di tangan kanannya. Ia memberi hormat dengan kedua tangan di dada terhadap dua orang penontonnya dan mulailah ia bermain silat pedang Ngo-heng Sin-kiam (Pedang Sakti Lima Unsur), yaitu ilmu silat yang secara kebetulan dia temukan bukunya di perpustakaan istana kaisar.
Dan kedua orang penontonnya tertegun. Hebat memang ilmu pedang itu, mengandung tenaga keras tetapi kadang lembut, kadang cepat dan kadang lambat. Dan Kwi Hong memainkannya dengan gerakan yang indah sekali.
Kini Yo Han Li yang merasa kagum. Belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti itu. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan ilmu pedang yang dimainkan Cia Kun tadi, jelas bahwa ilmu pedang yang dimainkan Kwi Hong ini lebih lihai. Juga Cia Kun kagum bukan main. Ilmu pedang itu tidak pernah dilihatnya, namun gerakannya demikian kuat dan cepat.
Setelah Kwi Hong menghentikan permainan pedangnya, Cia Kun dan Han Li langsung menyambutnya dengan tepuk tangan.
“Kiam-hoat itu sungguh hebat sekali!” kata Han Li.
“Wah, Hong-moi, kalau aku tahu bahwa ilmu pedangmu demikian hebat, aku tadi tidak akan berani memperlihatkan kebodohanku. Aku mengaku kalah!” kata Cia Kun sambil menghampiri adik misannya itu.
“Kalian berdua terlalu memujiku!” berkata Kwi Hong sambil menyapu dahi dan lehernya yang berkeringat itu dengan sapu tangan. “Sekarang aku minta enci Han Li yang memperlihatkan kepandaiannya.”
“Karena kalian tadi bermain pedang, biarlah aku pun menggunakan pedang,” kata Han Li sambil mencabut pedangnya. Pedang itu tipis dan tidak begitu panjang.
Setelah memberi hormat kepada dua orang penontonnya, Han Li mulai menggerakkan pedangnya. Mula-mula gerakannya lambat saja, akan tetapi makin lama semakin cepat sehingga tubuhnya lenyap tergulung sinar pedang. Pedang itu mengeluarkan angin dan kadang sinarnya membubung ke atas, lalu mencuat ke kanan kiri. Kalau sinar pedang itu mencuat ke atas, maka jatuhlah daun-daun pohon berhamburan! Sungguh ilmu silat yang luar biasa, baru sinar pedangnya saja mampu membuat daun-daun itu berjatuhan!
Cia Kun dan Kwi Hong menjadi bengong menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Han Li. Mereka tidak tahu bahwa itu adalah ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), sebuah ilmu pedang dari keluarga Lembah Naga. Mata mereka menjadi silau dan seolah mereka menahan napas saking kagumnya.
Baru setelah gulungan sinar itu lenyap dan nampak Han Li berdiri di situ dengan pedang bersembunyi di lengan kanarnya, mereka bertepuk tangan. Han Li menyimpan pedang dan menghampiri mereka dengan senyum simpul.
“Hebat! Hebat sekali ilmu pedangmu tadi, enci Han Li!” seru Kwi Hong.
“Memang hebat, akan tetapi ilmu pedangmu juga tidak kalah hebatnya, Hong-moi,” kata Cia Kun.
“Ahh, engkau bisa saja memuji orang, Kun-ko!”
“Aku tidak asal memuji. Memang ilmu pedangmu tadi bagus sekali. Tanyakan kepada nona Yo kalau tidak percaya!”
Yo Han Li mengangguk. “Memang hebat ilmu pedangmu tadi. Aku tidak pernah melihat ilmu pedang seperti itu. Apa namanya ilmu pedangmu itu, adik Kwi Hong?”
“Ilmu pedang itu kudapatkan secara kebetulan sekali. Pada saat aku mencari-cari buku bacaan di kamar perpustakaan istana, aku menemukan sebuah kitab lama yang sukar dibaca. Aku lalu minta tolong kepada para sastrawan di istana dan akhirnya mengetahui bahwa isinya adalah ilmu pedang yang namanya Ngo-heng Kiam-sut. Nah, aku pun lalu mempelajarinya.”
“Hebat sekali. Ilmu itu tentu peninggalan orang sakti dan engkau beruntung sekali dapat menemukannya, adik Kwi Hong.”
“Jangan terlalu memujiku, enci Han Li. Ilmu pedangmu tadilah yang sangat hebat. Apa sih namanya?”
“Itu adalah Koai-liong Kiam-sut yang kupelajari dari ibuku.”
“Dari kitab kuno dapat mempelajari ilmu pedang yang demikian kuat dan indah? Engkau sungguh seorang gadis yang cerdik dan tekun, Hong-moi. Aku sungguh merasa kagum sekali!” tiba-tiba Cia Kun berkata sambil memandang wajah gadis itu. Wajah Kwi Hong menjadi kemerahan.
“Ahh, Kun-ko. Sudahlah, jangan memuji-muji aku terlalu tinggi. Jangan-jangan kepala ini nanti membesar dan meledak karena bangga!” kata Kwi-Hong sambil tersenyum.
Cia Kun juga tertawa dan dia beradu pandang dengan Kwi Hong. Dari pandang mata ini mereka dapat mengetahui bahwa keduanya saling tertarik. Han Li melihat gelagat ini.
Tadinya Cia Kun menyatakan suka kepadanya, bahkan ayah dan ibunya sudah datang meminangnya. Akan tetapi karena ayah ibunya tidak menyetujui pinangan itu, agaknya Cia Kun tidak lagi mengharapkannya dan memindahkan perhatian kepada Kwi Hong.
Mereka memang pasangan yang sangat cocok, keduanya anak pangeran, sama-sama berdarah bangsawan. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin hadir terus di situ yang hanya akan merupakan gangguan bagi mereka.
“Ahh, kepalaku agak pening rasanya. Maafkan aku, adik Kwi Hong, aku permisi dahulu untuk rebahan di kamarku.”
“Ahhh, tentu saja, Enci Han Li. Apakah engkau sakit? Jangan-jangan masuk angin.“ Kwi Hong mendekatinya dan meraba dahi Han Li, “Perlukah kupanggilkan tabib?”
“Ah, tidak usah, adik Kwi Hong, terima kasih. Aku hanya merasa pening dan lelah. Ingin mengaso.”
“Kalau begitu baiklah, enci Han Li, aku akan bercakap-cakap dengan Kun-ko di sini.”
Han Li lalu pergi dari situ. Setelah agak jauh dia mendengar suara Kwi Hong dan Cia Kun. Keduanya tertawa-tawa dengan gembira.
“Semoga mereka berbahagia,” katanya dalam hati sambil memasuki gedung istana itu untuk menuju ke kamar yang disediakan untuknya.
“Nah, kebetulan sekali, Hong-moi. Kini kita ditinggalkan berdua saja. Aku memang ingin menyampaikan perasaan hatiku setelah bertemu denganmu. Sudah sekian lama tidak saling bertemu dan tadi begitu melihatmu, jantungku berdebar tidak karuan. Kini engkau sudah menjadi gadis dewasa yang cantik seperti bidadari dan juga tangguh seperti seorang pendekar wanita. Aku merasa kagum sekali, Hong-moi.”
“Wah, pujianmu terlalu muluk, Kun-ko. Aku hanya seorang gadis biasa, mana mungkin disamakan dengan bidadari?” Kwi Hong lalu tertawa dan Cia Kun juga tertawa. Inilah yang didengarnya oleh Han Li sebelum ia masuk ke dalam istana.
“Sungguh, Hong-moi. Aku tidak main-main. Di dalam istana ayahku ada sebuah patung Dewi Kwan Im, dan kulihat engkau mirip patung itu, lebih elok malah.”
“Aku kau samakan dengan Kwan Im Pousat? Ngaco! Engkau terlalu memujiku, padahal engkau sendiri seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Tentu banyak gadis puteri istana yang tergila-gila padamu.”
“Entahlah, aku tidak memperhatikan mereka. Tidak ada seorang pun puteri istana yang dapat menyamai engkau, Hong-moi. Karena itulah, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk meminangmu sebagai calon isteriku.”
“Ihh! Jangan bicara soal perjodohan, Kun-ko.” Kwi Hong membalikkan diri dan mukanya menjadi merah sekali. Cia Kun mengitarinya dan menghadapinya.
“Engkau marah, Hong-moi? Maafkan kelancanganku kalau begitu. Akan tetapi sebelum ayah bundaku melamarmu, aku ingin lebih dahulu mengetahui darimu, apakah hatimu sudah ada yang punya? Kalau engkau tidak setuju, katakan saja sekarang agar orang tuaku tidak usah melamar kalau kemudian kau akan menolaknya. Maka itu, katakanlah, bagaimana kalau ayah bundaku melamarmu?”
Kwi Hong merasa terharu sekali. Ia memang pernah jatuh cinta pada seorang pemuda, dan pemuda itu adalah Keng Han. Akan tetapi ternyata bahwa Keng Han adalah kakak sepupunya, satu marga sehingga tidak mungkin sekali mereka menjadi suami isteri.
Sekarang Cia Kun menyatakan cintanya. Ditanya seperti itu, tentu saja sukar baginya untuk menjawab. Di dalam hatinya, ia pun kagum dan suka kepada Cia Kun. Seorang pemuda bangsawan, putera pangeran yang terkenal berbudi, seorang pemuda yang juga tidak lemah, karena ibunya seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi. Mau apa lagi?
“Hong-moi, jawablah. Jangan biarkan aku dalam keraguan yang akan menyiksa hatiku. Aku tidak akan merasa sakit hati andai kata engkau menolakku. Aku hanya ingin adanya kepastian dan jawablah selagi kita hanya berdua di sini.”
“Ahhh, Kun-ko... urusan begituan... kuserahkan saja kepada ayah dan ibuku. Mari kita kembali kepada mereka.“
Dan tanpa menanti jawaban Kwi Hong lalu berlari masuk, disusul oleh Cia Kun. Pemuda ini merasa gembira bukan main. Dia tahu bahwa kalau seorang gadis setuju dipinang, ia pasti akan mengatakan seperti yang dikatakan gadis itu, yaitu menyerahkan kepada orang tuanya. Kalau tidak setuju, pasti terus terang dikatakan tidak setuju!
Ketika Cia Kun dan Sim Hui Eng melihat putera mereka kembali dari taman bersama Kwi Hong dan wajah pemuda itu berseri serta matanya bersinar-sinar, mereka sudah dapat menduga. Apa lagi saat melihat Kwi Hong malu-malu duduk sambil menundukkan mukanya!
Mereka berpamit dan diantar oleh Pangeran Tao Kuang dan selirnya sampai ke pintu depan. Dengan hati gembira dan tidak sabar lagi, Cia Kun lalu menceritakan kepada ayah bundanya bahwa dia telah menyatakan cintanya kepada Kwi Hong dan agaknya gadis itu tidak berkeberatan. Maka dia minta kepada ayah ibunya untuk meminang gadis itu. Cia Sun dan isterinya gembira mendengar berita ini karena mereka tentu setuju sekali kalau mempunyai menantu puteri Pangeran Mahkota. Mereka berjanji akan melakukan pinangan secepat mungkin…..
Bi-kiam Niocu Siok Bi Kiok melakukan perjalanan seorang diri. Berulang kali ia menarik napas panjang karena hatinya murung dan kecewa sekali. Sampai usianya yang dua puluh dua tahun, dia belum pernah merasa jatuh cinta terhadap seorang pria. Apa lagi akibat penekanan dari subo-nya bahwa semua pria adalah jahat dan palsu, dia bahkan membenci kaum pria.
Dan karena ia seorang gadis yang berwajah cantik, maka tentu saja dalam perjalanan ia banyak digoda pria yang mengakibatkan pria-pria itu tewas terbunuh olehnya. Akan tetapi sejak ia bertemu Keng Han, entah bagaimana ia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu. Ilmu kepandaian dan watak serta ketampanan wajah pemuda itu membuatnya tergila-gila. Bahkan saking cintanya, ia lalu menjadikan pemuda itu sebagai muridnya dan ikut membantunya menghadap Dalai Lama.
Akhirnya ia pun minta pemuda itu agar suka menjadi suaminya, walau pun maksud ini bertentangan dengan ajaran subo-nya. Ia berani menentang maut demi cintanya kepada pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu menolaknya.
Sakit sekali rasa hatinya. Ingin dia membunuh pemuda itu, akan tetapi kembali hatinya kecewa karena ternyata dia tidak mampu mengalahkan Keng Han, bahkan sebagian rambutnya putus di tangan pemuda itu. Rasa sakit hatinya bertambah.
Apa lagi ketika Keng Han mengakui bahwa dia mencintai Cu In yang berwajah cacat dan buruk! Dari pada memilih dirinya yang cantik jelita, pemuda itu malah memilih gadis yang cacat wajahnya! Hal ini amat menyakitkan dan mengecewakan hatinya dan kini ia pergi ke Bu-tong-pai untuk menghibur diri dan melihat apa yang terjadi di sana.
Pada suatu hari tibalah ia di kota Hue-nam. Kota ini cukup besar dan Niocu memasuki pintu gerbang kota itu. Karena hari telah senja, ia hendak melewatkan malam di kota itu. Mulailah dia mencari rumah makan yang juga merupakan penginapan. Setelah melihat rumah penginapan yang dari papan namanya diketahui bernama Losmen Hok-lai, ia lalu masuk ke rumah makan di depan penginapan itu.
Masuknya seorang wanita seperti Niocu, yang cantik jelita dan sendiri pula, tentu saja menarik perhatian banyak orang, terutama para prianya. Kebetulan dalam rumah makan itu maslh terdapat meja yang kosong dan Niocu disambut seorang pelayan serta diajak menuju ke sebuah meja kosong di sudut. Puluhan pasang mata pria mengikutinya dan memandang dengan kagum. Akan tetapi Niocu tidak mengacuhkan. Sudah biasa baginya melihat mata pria menantapnya penuh kagum. Asal tidak ada yang berucap atau berbuat kurang ajar, ia tidak ambil peduli.
Akan tetapi hatinya tertarik sekali melihat seorang pemuda yang juga duduk seorang diri menghadapi meja. Pemuda itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, bertubuh tinggi besar, dan wajahnya berbentuk bundar dengan mata yang lebar. Pemuda itu duduk menghadap ke arahnya, akan tetapi pemuda itu bersikap tidak acuh. Melihat ini hati Niocu menjadi penasaran. Belum pernah dara ini melihat laki-laki yang bersikap acuh tak acuh terhadap kehadirannya. Sekali pun pemuda itu tak memandang kepadanya!
Wanita memang aneh. Diperhatikan orang tidak suka, akan tetapi tidak diacuhkan juga tidak senang dan penasaran. Dengan sengaja Niocu menaruh pedangnya di atas meja sambil agak dibanting untuk menimbulkan suara agar pria di depan itu memperhatikan dirinya.
Akan tetapi pria itu mengangkat muka dan hanya memandang kepada pedangnya di atas meja, sama sekali tidak melirik kepadanya! Padahal semua pria yang berada di rumah makan itu menoleh kepadanya. Kepada pelayan yang mengantarnya ke meja itu ia lalu memesan masakan yang mahal, juga dengan suara tinggi agar terdengar pemuda di depannya itu. Akan tetapi kembali sang pemuda tidak mengacuhkannya, bahkan mulai makan kacang goreng yang berada di mejanya sambil sesekali minum araknya dari cawan.
Bila pemuda itu tidak mempedulikan Niocu, sebaliknya ada empat orang pemuda yang tidak menyembunyikan kekaguman mereka. Empat orang pemuda ini jelas merupakan pemuda-pemuda bangsawan atau hartawan. Pakaian mereka mewah sekali dan usia mereka rata-rata dua puluh lima tahun.
“Bukan main cantiknya nona itu! Hatiku seketika jatuh!” terdengar seorang di antara mereka berkata, suaranya cukup lantang untuk dapat terdengar oleh Niocu.
“Kasihan ia makan seorang diri, bagaimana kalau kita undang ia makan di meja kita?” kata orang kedua.
“Bagus sekali. Meja kita cukup lebar untuk ditempati lima orang. Akan tetapi bagaimana kalau ia menolak undangan kita dan marah?” kata yang ketiga.
“Hemmm, siapa yang tidak mengenalku, si penakluk wanita? Belum, pernah ada wanita yang menolak undanganku. Kalian lihat saja!” berkata orang keempat, seorang pemuda yang paling pesolek di antara mereka dan memang wajahnya tampan sekali.
Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja Niocu. Kepada gadis itu dia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Niocu menghadapinya dengan dingin dan tenang, tidak membalas penghormatan itu.
“Maafkan aku, Nona. Namaku Teng Sin, dan melihat Nona duduk seorang diri, kami berempat merasa kasihan. Maka saya mengundang Nona untuk duduk makan bersama di meja kami. Kami yang akan membayar semua pesanan Nona! Marilah, Nona, kami mengundang dengan hormat!”
Niocu mengerutkan alisnya. Meski pun pemuda itu secara tidak wajar mengundangnya makan bersama, namun ucapannya sopan dan ia masih dapat menahan diri. Pemuda ini tidak kurang ajar, hanya mengundang makan dengan hormat walau pun undangan itu tidak wajar karena mereka tidak saling mengenal.
“Terima kasih. Aku ingin makan sendirian di sini, tidak ingin ditemani siapa pun juga,” jawabnya dingin.
“Aih, Nona. Mengapa Nona menolak undangan kami? Kami bermaksud baik, Nona. Aku Teng Sin selalu memandang tinggi gadis-gadis cantik dan sangat menghargai mereka. Marilah, Nona, harap jangan malu-malu.”
Kalau tadinya Niocu hanya menunduk, kini ia mengangkat muka dan matanya bersinar tajam memandang kepada pemuda itu, mula-mula ke wajah lalu pakaiannya. Pemuda yang tampan dan pesolek, model pemuda-pemuda yang suka mempermainkan wanita.
“Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Cepat pergilah!” kata Niocu, masih dapat menahan kesabarannya. “Pergi atau engkau akan menyesal nanti!”
Akan tetapi mana pemuda itu mau pergi? Dia telah berdiri di dekat Niocu dan melihat betapa cantiknya gadis itu.
“Nona begini cantik seperti bidadari, tentu berbudi mulia seperti bidadari pula dan tidak akan menolak maksud baik kami. Marilah, nona manis, engkau tentu akan mendapatkan kegembiraan makan semeja dengan kami. Kami adalah pemuda-pemuda hartawan dan bahkan di antara kami ada yang menjadi putera jaksa. Engkau akan terhormat kalau memenuhi undangan kami.” Pemuda itu tidak mau kalah dan terus membujuk.
“Hemmm, sudah ditolak masih terus minta-minta dan merengek. Sungguh bermuka tebal dan tidak tahu malu!”
Terdengar suara orang dan ketika semua orang menoleh, ternyata yang bicara adalah pemuda yang makan kacang goreng itu. Niocu juga memandang dan melihat pemuda itu masih makan kacang goreng, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan kepada pemuda hartawan itu. Pemuda hartawan itu menjadi marah sekali dan dengan langkah lebar dia menghampiri pemuda yang mengeluarkan kata-kata mengejeknya tadi.
“Siapa engkau? Berani mencampuri urusanku?” Dan tiga orang pemuda lain juga sudah bangkit berdiri siap mengeroyok pemuda bermata lebar itu.
Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum. Dia lalu mengambil empat biji kacang goreng, dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian dengan tiba-tiba dia menyemburkan empat biji kacang itu dari mulutnya dan empat orang pemuda itu mengaduh sambil meraba pipi mereka. Ternyata semburan kacang itu mengenai pipi mereka dan terasa nyeri bukan main seolah pipi mereka disambar benda keras yang membuat pipi itu lecet dan kulitnya pecah!
Empat orang pemuda itu adalah pemuda-pemuda kaya yang biasanya tidak pernah disentuh orang. Apa lagi di antara mereka terdapat putera jaksa yang membuat mereka berani melakukan apa saja. Kini, melihat ada orang berani menentang mereka bahkan melukai mereka, empat orang pemuda itu menjadi semakin marah.
“Orang lancang dan kurang ajar! Engkau pantas dihukum!” kata mereka dan empat orang itu maju hendak menghajar laki-laki itu.
Kini pria itu menenggak arak dari cawan dan kembali dia menyemburkan arak itu ke arah empat orang yang mengancamnya. Kini empat orang itu terhuyung ke belakang, muka mereka rasanya seperti ditusuk banyak jarum sehingga mata mereka juga sukar dibuka.
Barulah mereka menyadari bahwa pemuda itu seorang yang berilmu tinggi. Mereka menjadi ketakutan dan tanpa dikomando, mereka serentak mundur dan melarikan diri keluar dari rumah makan itu!
Niocu menjadi kagum. Orang itu tentu lihai sekali dan ketika laki-laki itu memandang kepadanya, ia mengangguk dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu.”
Pemuda itu pun mengangguk dan melanjutkan makan minum. Niocu juga makan minum seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Pemuda itu selesai makan dan setelah membayar harga makanan, dia keluar lebih dulu. Tidak lama kemudian, Niocu juga selesai makan, membayar harga makanan ia lalu berkata kepada pelayan bahwa ia hendak bermalam di rumah penginapan Hok-lai itu.
Si pelayan segera mengantar Niocu masuk ke dalam dan mendapatkan sebuah kamar di loteng. Kamar itu menghadap ke jalan sehingga dari jendela kamarnya Niocu dapat menjenguk keluar dan melihat lalu lintas di jalan raya yang berada di luar losmen itu. Baru saja Niocu melepaskan buntalan pakaiannya dan bersiap hendak mandi, tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia menghampiri jendela dan menjenguk keluar.
Dan ia melihat betapa tidak begitu jauh dari losmen itu, terdapat seorang pemuda yang dikeroyok belasan orang. Ia segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang tadi sudah membantunya. Cepat ia turun dari loteng dan keluar. Pemuda itu memang benar-benar tangguh. Para pengeroyoknya adalah tukang-tukang pukul yang memegang senjata golok dan ruyung, akan tetapi pemuda itu hanya dengan kedua tangan kosong saja melawan mereka, membagi pukulan dan tendangan.
Melihat ini, Niocu tidak sabar lagi dan segera berlari ke tempat itu dan terjun ke dalam perkelahian. Belasan orang itu yang tadinya memang sudah kewalahan mengeroyok si pemuda, kini menjadi kalang kabut diterjang oleh Niocu. Niocu juga tidak menggunakan pedangnya, hanya menggunakan kedua tangan dan kaki saja, akan tetapi dalam waktu singkat ia sudah merobohkan lima orang!
Pemuda itu pun dengan cepat merobohkan beberapa orang. Para pengeroyok menjadi jeri bukan main melihat sepak terjang dua orang yang sedang mereka keroyok. Mereka segera melarikan diri sambil memapah teman-teman mereka yang sudah roboh. Pemuda itu berhadapan dengan Niocu.
“Terima kasih atas bantuanmu!” katanya sambil mengangguk.
Niocu balas mengangguk dan keduanya lalu pergi karena di situ terdapat banyak orang yang menonton. Niocu kembali ke losmen dan segera mandi serta bertukar pakaian. Akan tetapi sejak tadi dia tidak pernah dapat melupakan pemuda yang tadi dibantunya.
Seorang pemuda yang gagah, pikirnya dan diam-diam ia merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya. Bukan pemuda mata keranjang, bukan pemuda usil yang suka menggoda wanita. Akan tetapi pemuda itu sungguh gagah dan lihai.
Pada keesokan harinya, Niocu melanjutkan perjalanan menuju ke Bu-tong-pai. Ketika ia tiba di luar kota Hue-nam, ia melihat seorang pria berjalan di depannya, menuju arah yang sama. Meski ia hanya melihat dari belakang, namun hatinya berdebar karena dia mengenal orang itu sebagai pemuda yang kemarin. Dia mempercepat langkahnya mengejar dan ternyata dugaannya benar. Ia melampaui pemuda itu, pura-pura tidak melihatnya karena rasanya tidak pantas kalau ia sebagai seorang wanita menegur lebih dulu.
“Perlahan dulu, Nona,” terdengar suara pemuda itu.
Niocu menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya. Kini dia berhadapan dengan pemuda itu.
“Ah, kiranya engkau!” katanya dengan wajar.
“Nona, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Kalau aku boleh bertanya, Nona hendak pergi ke manakah?”
“Aku hendak pergi ke Bu-tong-san.”
Wajah pemuda tampan itu berseri. “Ah, sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan. Aku pun sedang menuju ke Bu-tong-pai, Nona!”
Niocu memandang dengan tajam seolah-olah hendak menjenguk isi hati pemuda itu. “Apakah engkau murid Bu-tong-pai?”
“Sama sekali bukan. Akan tetapi aku mengenal baik ketua Bu-tong-pai dan aku menjadi tamu di sana. Kalau memang engkau hendak pergi ke Bu-tong-san, apa bila Nona tidak berkeberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama. ”Ucapan pemuda itu wajar saja. “Akan tetapi kalau Nona keberatan, aku pun tidak akan memaksa atau kecewa.”
Niocu diam-diam merasa gembira sekali. Ia sudah tertarik kepada pemuda ini dan ingin mengenalnya lebih baik. Ternyata secara kebetulan sekali bertemu di sini dan arah perjalanan mereka ternyata sama!
Tentu saja ia tidak tahu sama sekali betapa sejak pagi sekali tadi, pemuda itu dengan sembunyi sudah mengamatinya dan tahu bahwa dia meninggalkan losmen dan pergi keluar kota. Pemuda itu selalu membayanginya dan ketika melihat ia pergi ke jurusan itu, pemuda itu dengan jalan memutar mendahuluinya!
“Aku hendak ke Bu-tong-pai dan mendengar bahwa di sana akan diadakan pertemuan orang-orang kang-ouw, aku pergi ke sana untuk meluaskan pengalaman. Engkau tentu mengetahui tentang Bu-tong-pai, apakah benar akan ada pertemuan besar di sana?”
“Benar sekali, Nona. Bahkan aku baru pulang setelah mengirim undangan-undangan dari Bu-tong-pai. Aku dimintai bantuan oleh ketua Bu-tong-pai. Dan sekarang, biarlah kami mengundang juga Nona untuk menghadiri pertemuan itu sebagai tamu agung.”
“Aihh, kebetulan sekali kalau begitu.”
“Jadi Nona tidak keberatan kalau melakukan perjalanan bersamaku ke sana?”
“Tentu saja tidak.”
“Terima kasih atas kepercayaan Nona padaku. Nona, namaku Gulam Sang. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama Nona?”
“Namaku Siang Bi Kiok, akan tetapi dunia kang-ouw lebih mengenalku sebagai Bi-kiam Niocu.”
“Ahhh! Jadi Nona yang disebut Bi-kiam Niocu? Sudah lama sekali aku mendengar dan mengagumi Bi-kiam Niocu yang kabarnya pandai sekali menggunakan pedang. Kiranya Nonalah orang itu dan sekarang bahkan aku mendapat kehormatan untuk melakukan perjalanan bersama.”
Melihat kegembiraan pemuda itu Niocu merasa senang. Semua itu begitu wajar dan pemuda ini tidak bermuka-muka.
“Melihat namamu tentu engkau seorang asing. Boleh aku mengetahui dari mana engkau berasal?”
Gulam Sang menjawab cepat. “Memang aku berasal dari Tibet, Nona. Tetapi setelah berada di sini aku tidak merasa sebagai orang asing.”
“Mari kita lanjutkan perjalanan kita sambil bercakap-cakap, saudara Gulam Sang. Ahh, aku harus menyebut apa padamu?“
“Sebut saja namaku tanpa embel-embel, dan aku akan menyebut Niocu kepadamu,” kata Gulam Sang merendah.
“Baiklah, Gulam Sang. Aku melihat betapa hebat kepandaianmu ketika menghadapi empat pemuda di rumah makan dan ketika tadi dikeroyok banyak tukang pukul. Engkau dari perguruan manakah? Dan siapakah gurumu?”
“Guruku hanya satu, yaitu Sang Dalai Lama di Tibet.”
“Aihh, tidak mengherankan kalau begitu. Dalai Lama adalah seorang yang sakti. Aku pernah menghadap dia dan menyaksikan kehebatan ilmunya. Mengapa waktu aku ke sana engkau tidak berada di sana, Gulam Sang?”
“Aku sudah lama sekali meninggalkan Tibet. Sudah lebih dari lima tahun. Tentu aku sudah pergi dari sana ketika engkau menghadap guruku. Akan tetapi, mengapa engkau pergi menghadap guruku, Niocu? Ada keperluan apakah engkau dengan guruku?”
“Ahh, aku sendiri tidak memiliki urusan apa pun dengannya. Akan tetapi aku mengantar seorang kawan bernama Si Keng Han yang mendendam kepada Dalai Lama karena Dalai Lama menyuruh para Lama untuk membunuh gurunya yang namanya Gosang Lama.”
Berdebar jantung dalam dada Gulam Sang. Tentu saja dia telah mengetahui semuanya. Gosang Lama itu adalah ayah kandungnya sendiri yang dihukum mati oleh Dalai Lama karena telah memberontak. Dan dia pun pernah bertemu dengan Keng Han beberapa kali, bahkan pernah bertanding pula melawan pemuda itu yang dia tahu amat lihai. Dan Niocu ini agaknya bersahabat baik dengan Keng Han!
Pada saat itu dia membutuhkan pembantu yang pandai dan begitu bertemu dengan Niocu hatinya tertarik, apa lagi mendengar bahwa nona ini Bi-kiam Niocu yang namanya tersohor. Timbul niat di dalam hatinya untuk memikat gadis ini supaya suka menjadi pembantunya. Setelah menggunakan siasat, akhirnya dia pun dapat berkenalan dengan gadis ini.
“Niocu, sebagai seorang yang mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi seperti engkau ini, apakah engkau tidak mempunyai cita-cita untuk masa depan?”
Niocu menoleh sambil terus berjalan. “Cita-cita? Apakah maksudmu? Aku sudah puas dengan keadaanku yang sekarang.”
“Ahh, mana mungkin orang puas dengan keadaannya sekarang? Orang harus memiliki cita-cita untuk memperoleh kemajuan dalam hidupnya.”
Niocu menghela napas. Cita-cita apa? Dia mengharapkan menjadi jodoh Keng Han, tapi ternyata gagal dan ditolak pemuda itu! Dia pun tidak kerasan tinggal di Beng-san, di bekas rumah gurunya yang kini telah mengikuti The Ciangkun, hidup di kota raja!
“Saat ini aku belum mempunyai cita-cita, Gulam Sang. Dan bagaimana dengan engkau? Apakah engkau memiliki cita-cita yang muluk?”
“Tentu saja! Aku bercita-cita membantu gerakan Bu-tong-pai yang sedang berusaha menggulingkan pemerintah Mancu. Kalau gerakan itu berhasil, tentu aku memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai pahalaku. Alangkah senangnya kalau aku memperoleh kedudukan tinggi. Aku akan memiliki kekuasaan, harta, juga dihormati dan dimuliakan orang! Apakah engkau tidak ingin seperti itu?”
Niocu diam saja, namun alisnya berkerut dan ia pun membayangkan, mengingat-ingat. Kemudian dia mengangguk. “Kalau bisa demikian, tentu aku akan senang sekali. Aku pun bercita-cita seperti itu, Gulam Sang. Akan tetapi bagaimana caranya?”
“Mudah saja, Niocu. Kalau engkau mau membantu aku, kelak tentu engkau juga akan memperoleh pahala yang besar. Aku yang menanggung itu. Kita bekerja sama dengan Bu-tong-pai serta dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mengadakan pemberontakan dan menggulingkan pemerintah Mancu. Nah, mudah saja, bukan? Aku sendiri ingin sekali bekerja sama denganmu. Kawan-kawan lain tentu akan bergembira mendengar bahwa Bi-kiam Niocu mau bekerja sama dengan kami!”
Hati Bi-kiam Niocu semakin tertarik. Dara ini tidak tahu betapa diam-diam Gulam Sang sejak tadi sudah mengerahkan ilmu sihirnya sehingga dalam penglihatan Niocu, Gulam Sang kelihatan sebagai orang yang amat baik hati dan wajahnya amat menarik hatinya.
Mereka melanjutkan perjalanan. Gulam Sang cukup cerdik sehingga dia bersikap sopan sekali terhadap Niocu. Bahkan pada suatu malam yang dingin, ketika mereka terpaksa melewatkan malam di hutan, ketika melihat Niocu seperti orang yang sudah pulas, padahal dia tahu betul wanita itu belum tidur nyenyak, dia melepaskan jubahnya dan dipergunakan untuk menyelimuti Niocu!
Niocu tahu akan hal itu, dan dia diam saja karena cara Gulam Sang menyelimutinya dilakukan dengan sopan, sedikit pun tangan pemuda itu tidak menyentuh kulit tubuhnya. Gulam Sang juga berjaga semalam suntuk untuk menjaga supaya perapian yang dibuat dari api unggun itu tidak sampai padam.
Demikian pula kalau mereka membutuhkan makanan, Gulam Sang selalu mencarikan untuk mereka. Dalam perjalanan bersama ini, Niocu melihat bahwa Gulam Sang lebih memperhatikan dirinya dibanding Keng Han dahulu. Tanpa kata ia dapat mengerti bahwa Gulam Sang jatuh cinta kepadanya.
Hal ini mendatangkan kebanggaan di hatinya. Kini ia pun sama sekali tidak membenci pria yang jatuh hati padanya, semenjak gurunya menyatakan bahwa semua pantangan dan larangan itu telah dihapus. Ia boleh menikah dengan pria yang dicinta dan mencinta dirinya.
Dan bagi Gulam Sang sendiri, Bi-kiam Niocu merupakan tenaga yang sangat penting. Selain gadis ini cantik jelita sehingga dia akan merasa puas dan senang kalau dapat memperisterinya, juga gadis ini memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga dapat menjadi pembantu yang berharga.
Berbeda dengan Liong Siok Hwa yang sekarang menjadi kekasihnya itu. Siok Hwa juga seorang gadis manis, namun masih kalah dibandingkan dengan Niocu. Dan Siok Hwa hanya memiliki ilmu silat rendah saja, tidak banyak gunanya untuk membantunya. Juga tidak ada orang tahu bagaimana hubungannya dengan Siok Hwa yang kini berada di Bu-tong-pai. Para murid Bu-tong-pai hanya menganggap bahwa Siok Hwa adalah tamu dari ketua mereka dan sahabat dari Gulam Sang!
Saat mereka tiba di Bu-tong-pai, Gulam Sang disambut para murid dengan sikap hormat sebab orang ini merupakan tamu kehormatan ketua mereka. Pernah Thian It Tosu, tentu saja sebagai penyamaran Gulam Sang, memesan kepada para muridnya agar supaya memperlakukan Gulam Sang sebagai tamu terhormat karena Gulam Sang merupakan kenalan dekat dengan Thian It Tosu!
Bi-kiam Niocu sudah mempunyai nama besar, maka orang-orang Bu-tong-pai juga telah mendengar akan kelihaian pendekar wanita itu. Maka semua orang menghormatinya. Oleh Gulam Sang, Niocu diberi sebuah kamar yang bersih dan lengkap. Ketika Niocu bertanya di mana adanya Thian It Tosu, Gulam Sang menjawab bahwa Thian It Tosu kini lebih sering kali mengurung diri di dalam ruangan bersemedhi dan tak mau diganggu. Pada waktunya dia akan keluar sendiri dari kamar semedhi itu. Sebelum dia keluar, tak seorang pun boleh mengganggunya.
Pada keesokan harinya, benar saja Thian It Tosu keluar dari dalam kamarnya dan murid kepala memberi laporan bahwa keadaan Bu-tong-pai baik-baik saja dan bahwa Gulam Sang telah pulang akan tetapi karena ada urusan ke dusun di kaki bukit, pagi-pagi tadi sudah berangkat meninggalkan Bu-tong-pai!
Dari kalangan Bu-tong-pai hanya Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang mengetahui bahwa Gulam Sang tidak turun gunung, melainkan menyamar sebagai Thian It Tosu yang sekarang ada di hadapan para murid itu. Selain dua orang itu, tidak ada orang lain yang tahu. Dua orang ini berada di bawah tekanan dan ancaman bahwa Thian It Tosu yang asli akan dibunuh kalau mereka membocorkan rahasia.
Orang ke tiga yang mengetahuinya adalah Liong Siok Hwa yang terpaksa mau dijadikan kekasih Gulam Sang. Ia telah ternoda, ayahnya telah tewas dan biar pun bagaimana juga, ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Gulam Sang.
Akan tetapi semenjak Bi-kiam Niocu datang bersama Gulam Sang dan mendapatkan sebuah kamar yang besar, hati Liong Siok Hwa menjadi tidak enak. Gadis itu terlalu cantik untuk tidak dicurigai. Apa lagi melihat sikap Gulam Sang terhadap gadis itu yang begitu manis budi dan menghormat, hati Liong Siok Hwa dipenuhi rasa cemburu yang hebat.
Dia sudah terlalu mengenal Gulam Sang sehingga ia tahu pula bahwa Gulam Sang mencinta gadis yang baru datang itu. Dan sejak kehadiran Bi-kiam Niocu di Bu-tong-pai, Gulam Sang tidak pernah berkunjung ke kamarnya di waktu malam seperti biasanya, seolah Gulam Sang telah lupa kepadanya.
Pada hari yang sudah ditentukan, berdatanganlah para tokoh kang-ouw di Bu-tong-pai. Sebuah panggung didirikan dan dikelilingi kursi-kursi untuk para tamu. Thian It Tosu sendiri sebagai tuan rumah duduk di belakang panggung, didampingi oleh Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang merupakan murid-murid kepala dari Bu-tong-pai.
Dua orang murid ini sama sekali tidak berani berkutik, apa lagi membongkar rahasia Gulam Sang karena orang ini telah mengancam akan membunuh guru mereka yang ditahan di ruangan tahanan bawah tanah oleh Gulam Sang dan dijaga siang malam oleh orang-orang Pek-lian-pai yang membantu Gulam Sang.
Di antara para tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi, termasuk ketua-ketua partai dan para datuk, hadir pula di situ Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan puterinya, Yo Han Li. Han Li telah meninggalkan kota raja bersama gurunya, Kai-ong Lu Tong Ki. Han Li mengatakan kepada Kai-ong bahwa sudah tiba saatnya ia harus pulang ke Bukit Naga, pusat Thian-li-pang.
“Engkau telah menguasai ilmu Tongkat Pemukul Iblis, maka tidak perlu lagi mengikuti aku. Pulanglah, Han Li, dan selalu bersikaplah sebagai seorang pendekar wanita yang menegakkan kebenaran dan keadilan.”
“Apakah Suhu tidak ikut bersama teecu ke Bukit Naga dan bertemu dengan ayah bundaku?”
Lu Tong Ki menggoyang-goyang tangan kirinya. “Bertemu Pendekar Tangan Sakti dan pendekar wanita Si Bangau Merah? Wah, tidak, aku malu sudah mengangkat engkau menjadi muridku.”
“Tidak apa-apa, Suhu. Aku yang menanggung kalau orang tuaku marah kepadamu.”
“Tidak, aku lebih senang merantau dan mencari makanan yang enak-enak. Selamat jalan!” kata kakek itu yang lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan muridnya itu.
Han Li merasa kehilangan. Sudah lama ia hidup di dekat kakek itu, menerima pelajaran Tongkat Pemukul Iblis dan ikut pula makan enak di dapur istana Pangeran Mahkota, bahkan sampai menjadi tamu pangeran itu selama beberapa pekan. Han Li tidak tahu betapa gurunya itu pergi dengan wajah muram dan hati yang merasa sengsara.
Manusia memang sukar membebaskan diri dari pada ikatan-ikatan antara manusia, ikatan dengan harta benda, dengan kedudukan, dengan kepandaian. Segala sesuatu yang menyenangkan segera melekat dan mengikat manusia sehingga dia merasa sedih kalau harus berpisah dengan yang menyenangkan itu.
Han Li pulang dan banyak sekali yang diceritakan kepada ayah bundanya. Juga tentang orang-orang yang hendak membunuh kaisar dan pangeran mahkota, dan orang-orang yang tertangkap hidup itu mengaku bahwa mereka itu orang dari Thian-li-pang, padahal kenyataannya mereka adalah orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
“Keparat!” Yo Han marah sekali. “Kiranya begitu permainan mereka? Mereka melakukan fitnah keji untuk memburukkan nama Thian-li-pang. Jika pemerintah mendengar ini tentu kita akan diserbu pasukan!”
“Harap jangan khawatir, Ayah. Aku sudah menjadi saksi bahwa mereka bukan orang Thian-li-pang karena tidak ada yang dapat mengenali aku dan ketika kurobek baju di dada mereka terdapat tanda-tanda Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai di dada mereka. Baik kaisar mau pun pangeran mahkota melihat sendiri sehingga kita bebas dari tuduhan yang merupakan fitnah itu.”
Han Li kemudian bercerita betapa ia bertemu dengan Kai-ong Lu Tong Ki dan menjadi muridnya mempelajari ilmu Tongkat Pemukul Iblis, dan betapa dengan gurunya itu ia menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota.
“Aku melihat sendiri bahwa Pangeran Mahkota sekeluarganya adalah orang-orang yang baik dan dapat menghargai orang-orang gagah.”
Yo Han yang marah kepada Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ketika mendengar bahwa Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengadakan undangan kepada orang-orang gagah, lalu berangkat dan kini dia ditemani isterinya, Si Bangau Merah serta puterinya.
Nafsu memang menguasai manusia, tidak peduli orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Nafsu yang semula diikut-sertakan manusia agar manusia dapat hidup bahagia, ternyata nafsu yang tadinya hanya menjadi peserta dan alat, sebaliknya malah menjadi majikan manusia. Dalam segala tindakannya, manusia selalu dikendalikan nafsu. Rasa benci, marah, dendam, iri dan sebagainya adalah akibat dari batin yang dikuasai nafsu.
Nafsu menghendaki kesenangan dan kalau kesenangan itu diganggu maka timbullah marah dan benci yang akibatnya melahirkan duka. Sejak jaman dahulu kala sampai sekarang, orang sudah menyadari akan hal ini. Sudah banyak usaha dilakukan manusia untuk mengendalikan nafsu. Melalui agama, bertapa, menyiksa diri dan sebagainya.
Akan tetapi semua itu telah gagal. Kegagalan ini terbukti dari keadaan dunia di jaman dahulu sampai saat ini. Permusuhan terjadi di mana-mana, bukan hanya permusuhan antara negara dan bangsa, bahkan permusuhan antara bangsa sendiri, antara rekan, teman dan bahkan keluarga. Padahal mereka itu semua beragama, semua maklum akan bekerjanya nafsu yang menyeret manusia pada perbuatan jahat dan permusuhan.
Kenapa demikian? Karena pengertian mereka hanya sebatas akal pikiran saja. Padahal, nafsu daya rendah telah menguasai hati dan akal pikiran kita. Dalam keadaan demikian maka hati akal pikiran ini bahkan membela perbuatan-perbuatan kita yang sesat. Kalau dua orang bermusuhan, tentu hati akal pikiran selalu membela diri sendiri sebagai pihak yang benar dan lawannya sebagai pihak yang bersalah!
Bahkan seorang pencuri pun, yang tentu tahu bahwa mencuri itu tidak baik atau jahat, dibela hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu yang lalu mengatakan bahwa manusia mencuri karena kelaparan sehingga mereka membutuhkan uang, karena ini dan itu. Pendeknya, hati akal pikiran membela perbuatan mencuri itu sebagai perbuatan yang tidak jahat.
Karena hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu, maka pengertian tidak ada gunanya, tidak dapat mengekang dan mengendalikan nafsu yang sudah menyusup ke dalam diri kita sampai ke tulang sumsum, sampai ke pembuluh darah. Buktinya cukup banyak.
Orang-orang yang katanya berkepandaian tinggi, berilmu, para sarjana dan cerdik pandai banyak yang melakukan tindakan menyimpang dari kebenaran. Ada yang korup, ada yang menyalah gunakan kekuasaannya, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pengertian atau kepandaian hati akal pikiran tidak berdaya menghadapi nafsu yang selalu ingin mencari enak, ingin mencari senang dan kepuasan lahir mau pun batin.
Kalau sudah begitu, bagaimana agar kita dapat mengendalikan nafsu? Hanya satu yang dapat mengendalikan nafsu, yaitu Penciptanya. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu menyingkirkan nafsu, yang mampu mengembalikan nafsu ke tempatnya semula, yaitu menjadi peserta dan pembantu manusia dalam kehidupannya, tidak menjadi majikan dari manusia. Karena itu, jalan satu-satunya bagi kita adalah menyerah kepada Tuhan! Penyerahan yang tulus ikhlas, dengan segala kerendahan hati, dengan tawakal dan kesabaran. Kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, tidak ada lagi hal yang tidak mungkin dilakukan. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita dan menundukkan nafsu.
Yo Han, isterinya Tan Sian Li, dan puteri mereka Yo Han Li, berangkat meninggalkan rumah dan pergi berkunjung ke Bu-tong-pai. Semua urusan perkumpulan Thian-li-pang diserahkan kepada para murid kepala untuk bekerja seperti biasa dan menjauhkan diri dari pertikaian dan permusuhan….
“Cu-wi (Saudara sekalian) yang terhormat tentu sudah mendengar akan berita yang menyedihkan itu, yaitu bahwa bengcu Bhe Seng Kok telah tewas terbunuh orang yang tidak kita ketahui siapa orangnya. Oleh karena kedudukan bengcu sekarang ini sedang lowong, maka pinto (saya) memberanikan diri untuk mengundang Cu-wi berkumpul hari ini di Bu-tong-pai agar dapat melakukan pemilihan bengcu baru!” demikian Thian It Tosu berkata kepada para tamunya.
“Kami setuju...!” Banyak seorang orang berteriak.
Mereka yang berteriak itu adalah orang-orang kang-ouw golongan sesat yang memang sudah diatur terlebih dahulu oleh Gulam Sang. Terutama sekali para tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, mereka itu tanpa kecuali segera menyambut dengan teriakan setuju.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, melebihi suara banyak orang yang menyatakan setuju. “Tunggu dulu!”
Teriakan ini membuat semua orang yang berseru setuju berhenti berteriak dan semua orang menengok ke arah pembicara. Ternyata yang berseru nyaring tadi adalah Yo Han dan pendekar ini melompat naik ke atas panggung di mana Thian It Tosu berdiri.
Melihat ini, Thian It Tosu merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata lantang, “Siancai! Kiranya Yo-taihiap yang berseru tadi. Mengapa Taihiap berseru supaya kami menunggu dulu? Apa lagi yang harus ditunggu?”
Yo Han menjawab, suaranya lantang sehingga dapat terdengar semua orang. “Thian It Totiang, di antara kita telah terjalin persahabatan yang erat dan aku Yo Han mengakui bahwa Totiang adalah seorang ketua yang bijaksana dan para murid Bu-tong-pai adalah pendekar-pendekar yang menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi akhir-akhir ini telah terjadi perubahan besar di Bu-tong-pai. Totiang tak lagi memegang teguh kependekaran Bu-tong-pai. Seperti dulu, sekarang pun aku dapat melihat orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di sini! Mereka dan seluruh orang-orang golongan sesat tidak berhak untuk ikut melakukan pemilihan bengcu!”
“Siancai, ucapan Yo-taihiap keterlaluan. Bengcu adalah pemimpin dari dunia kang-ouw, tidak hanya milik orang-orang seperti Yo-taihiap ini. Dunia kang-ouw milik semua orang yang gagah perkasa, ahli-ahli silat di dunia tanpa membedakan golongan,” jawab Thian It Tosu.
“Tidak!” bentak Yo Han. “Semua locianpwe dan sahabat dari dunia kang-ouw pasti tidak menyetujui turutnya golongan sesat dalam pemilihan ini. Terutama sekali Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai! Aku pribadi mempunyai perhitungan dengan kedua perkumpulan sesat itu. Mereka mengirim pembunuh-pembunuh ke kota raja untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota. Hal itu bukan urusan kami, akan tetapi ketika di antara mereka ada yang tertangkap hidup, mereka mengaku sebagai anggota Thian-li-pang. Itu merupakan fitnah yang keji dan sekarang kita kebetulan berkumpul di sini, maka aku tantang para pimpinan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai untuk menyelesaikan urusan denganku melalui pertandingan!” Yo Han memang marah sekali karena nama Thian-li-pang difitnah oleh mereka.
Sesosok tubuh melayang ke atas panggung dan seorang tosu telah berdiri di depan Yo Han sambil tersenyum mengejek.
“Pinto Koai Tosu adalah seorang di antara pimpinan Pat-kwa-pai. Tidak kami sangkal bahwa Pat-kwa-pai mengirim orang-orangnya untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang. Semua pejuang yang menghendaki berakhirnya penjajahan Mancu tentu akan setuju dengan usaha kami itu. Akan tetapi tahukah Cu-wi, apa yang terjadi di sana? Orang-orang kita itu sudah dihadapi oleh puteri Yo-pangcu! Puteri Yo-pangcu membela pangeran mahkota! Dan tahukah Cu-wi apa artinya itu? Artinya bahwa Thian-li-pang telah menjadi antek penjajah!”
“Tutup mulutmu yang kotor!” Yo Han berteriak lantang, memandang Koai Tosu. “Puteri kami berada di sana sebagai tamu, dan sudah wajar kalau tamu membela tuan rumah yang hendak dibunuh. Dulu sudah kukatakan bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot, akan tetapi kami ingin menumbangkan kekuasaan penjajah bukan dengan cara-cara yang curang dan keji. Justru puteri kami yang mengetahui bahwa orang-orang yang mengaku orang Thian-li-pang itu sebetulnya adalah orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.”
“Kami mengaku sebagai orang Thian-li-pang bukan untuk melakukan fitnah, tetapi untuk menggugah semangat perjuangan Thian-li-pang yang kini agaknya menjadi lemah,” kata pula Koai Tosu penuh semangat.
“Cukup! Di sini sekali lagi kukatakan bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai tidak berhak ikut pemilihan bengcu dan aku menantang kalian untuk menyelesaikan urusan itu lewat pertandingan!” Yo Han berseru dengan tegas.
“Siancai! Agaknya Yo-pangcu menganggap diri sendiri yang paling hebat! Akan tetapi pangcu kami tidak hadir di sini sehingga tidak dapat memenuhi tantangan Yo-pangcu!”
Tiba-tiba Thian Yang Ji, tokoh Pek-lian-pai, juga meloncat dan berdiri di samping Koai Tosu. “Siancai, tantangan Yo-pangcu tidak dapat kami sambut karena ketua kami juga tidak berada di sini. Kalau Yo-pangcu merasa penasaran, boleh datang ke tempat kami agar ketua kami dapat menyambut!” kata Thian Yang Ji.
Melihat dua orang tosu ini, Yo Han sudah menjadi marah sekali.
“Kalian berdua pernah mengerahkan anak buah untuk mengeroyok kami dahulu ketika kami meninggalkan Bu-tong-pai. Kalian menggunakan banyak orang untuk mengeroyok kami. Kalau kalian memang ada kepandaian, kalian berdua boleh mewakili ketua kalian dan sekarang kalian berdua menghadapi aku!”
“Siancai! Pada waktu itu pun sudah ternyata bahwa ketua Thian-li-pang bersekutu dan menjadi antek penjajah. Ketika itu pun muncul pasukan penjajah membantu Yo-pangcu. Apakah Yo-pangcu akan menyangkal hal itu?”
“Sama sekali tidak!” jawab Yo Han. “Tetapi pasukan itu bergerak untuk menyelamatkan nona Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota, bukan untuk membantuku!”
Melihat suasana semakin panas, Thian It Tosu maju untuk melerai. “Sudahlah, tempat ini didirikan untuk pemilihan bengcu, sama sekali bukan untuk berkelahi. Urusan pribadi boleh diselesaikan di tempat lain, bukan di Bu-tong-pai. Kalau Sam-wi (Kalian bertiga) masih menghargai Bu-tong-pai sebagai sahabat, harap pertikaian ini tidak dilanjutkan di sini.”
Yo Han menyadari kebenaran ucapan Thian It Tosu, maka dia pun memberi hormat dan berkata, “Maafkan aku, Totiang. Ucapan Totiang benar dan aku tidak akan memaksa mereka untuk bertanding di sini. Akan tetapi aku tetap tidak setuju kalau yang dipilih itu orang dari golongan sesat!”
Ketika orang-orang membicarakan ucapan Yo Han yang mereka anggap mewakili para pendekar, di sebelah dalam bangunan induk Bu-tong-pai terjadi hal yang menarik. Pada saat semua perhatian ditujukan ke dalam, sesosok bayangan yang cepat seperti seekor burung walet sudah menyelinap masuk ke dalam gedung itu tanpa diketahui seorang pun.
Bayangan ini bukan lain adalah Keng Han. Pemuda ini datang ke Bu-tong-pai bukan tertarik oleh pemilihan bengcu, melainkan dia hendak mencari ayahnya, Pangeran Tao Seng yang disangkanya bersembunyi di Bu-tong-pai.
Di ruangan tengah dia melihat seorang wanita muda sedang dipegangi dua orang pria yang tinggi besar. Wanita itu meronta dan berteriak, “Aku harus membuka kedoknya! Thian It Tosu itu palsu adanya. Dia adalah Gulam Sang!”
Akan tetapi baru saja ia mengucapkan itu, seorang di antara dua orang tinggi besar menggerakkan tangannya, dihantamkan ke tengkuk gadis itu yang lantas terkulai lemas. Tewas seketika!
Keng Han yang bersembunyi tertegun. Dia tidak mengenal siapa adanya gadis itu, juga tidak mengetahui persoalannya. Pula, untuk menolong gadis itu sudah tidak keburu lagi, maka dia diam saja.
Ucapan gadis itu yang membuat dia tertegun. Thian It Tosu adalah Gulam Sang yang menyamar! Jika begitu, di mana adanya Thian It Tosu yang sesungguhnya? Dan wanita itu sudah dibunuh karena membocorkan rahasia itu.
Dia mencari terus, tidak mempedulikan dua orang dan gadis yang dibunuh itu. Setiap kamar dijenguknya, akan tetapi dia belum juga melihat adanya ayahnya di situ. Tiba-tiba nampak seorang murid Bu-tong-pai berjalan, agaknya dia yang bertugas menjaga dalam bangunan itu.
Keng Han menanti sampai bayangan itu mendekat. Dia meloncat, dan menyergapnya dengan totokan sehingga orang itu tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.
“Cepat katakan, di mana adanya Thian It Tosu?” katanya sambil membebaskan totokan pada leher orang itu sehingga dapat bicara.
“Suhu? Suhu jelas berada di luar, menyambut para tamu,” kata murid itu dengan heran.
“Dan di mana adanya Pangeran Tao Seng?”
“Tidak ada pangeran di sini!”
Keng Han mengingat-ingat, lalu bertanya, “Apakah di sini ada tempat tahanan rahasia?”
“Ada... ada…”
Keng Han lalu menotok lagi lehernya sehingga orang itu tidak mampu bersuara lagi, lalu melepaskan totokan sehingga kini orang itu mampu bergerak lagi. Dapat bergerak akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.
“Hayo cepat antarkan aku ke tempat tahanan itu! Awas, kalau engkau meronta atau lari, aku akan membunuhmu!”
Orang itu mengangguk lalu melangkah ke belakang, tangan kirinya dipegang oleh Keng Han. Dia membawa Keng Han ke belakang bangunan dan di taman terdapat sebuah pondok.
“Di sanakah tempat tahanan itu?”
Orang itu menunjukkan ke pondok, lalu ke bawah.
Terpaksa Keng Han kembali membebaskan totokannya pada leher sehingga orang itu dapat bicara lagi. Sebetulnya dia tidak suka melakukan ini karena sekali saja orang itu berteriak, semua usahanya akan gagal! Akan tetapi orang itu sudah menjadi begitu takut sekali sehingga dia tidak berani berteriak.
“Katakan, apakah penjara itu berada di bawah pondok itu?”
“Benar, merupakan penjara rahasia.”
“Bagaimana caranya masuk?”
“Di sana ada arca yang sesudah diputar tiga kali ke kanan, akan terbuka pintu yang menuju ke lorong bawah tanah.”
“Kau tidak berbohong?”
“Tidak, akan tetapi kalau engkau hendak masuk ke sana, engkau akan menempuh bahaya besar. Tempat itu di jaga ketat oleh orang-orang Pek-lian-kauw!”
“Terima kasih! Maaf, terpaksa aku membuatmu tak berdaya sampai aku berhasil keluar lagi.” Kembali jari-jari tangannya bergerak cepat dan orang itu roboh terkulai serta tidak mampu bersuara.
Keng Han menyeret tubuh orang itu, disembunyikan di belakang semak-semak, lalu dia berindap-indap memasuki pondok. Pondok itu kosong dan setelah diperiksanya, benar saja terdapat sebuah arca singa di atas meja. Ia menghampiri arca itu dan memutarnya ke kanan tiga kali, sambil terus waspada karena dia khawatir itu merupakan jebakan. Akan tetapi tidak begitu, karena terdengar bunyi berderit dan di lantai kamar itu terbuka sebuah lubang dengan tangga yang menurun ke bawah.
Keng Han lalu menuruni tangga dengan hati-hati sekali. Ternyata anak-anak tangga itu menembus sebuah lorong yang diterangi oleh lampu-lampu dinding. Ia melangkah maju terus dengan hati-hati dan berhenti ketika mendengar suara orang bercakap-cakap. Dia pun mengintai.
Di depan terdapat lima orang penjaga yang membawa golok di tangan. Agaknya itulah orang-orang Pek-lian-kauw yang berjaga di situ. Keng Han memperhitungkan dengan teliti sebelum bergerak, kemudian secara tiba-tiba dia meloncat ke depan dan kedua tangannya yang bergerak cepat sudah merobohkan dua orang!
Tiga orang yang lain terkejut melihat munculnya seorang pemuda dan robohnya dua orang rekan mereka. Tiga orang itu lalu menyerang dengan golok mereka. Akan tetapi mereka kalah cepat. Dua orang roboh oleh kedua tangan Keng Han sedangkan yang seorang lagi roboh oleh tendangannya. Keng Han cepat menotok lima orang itu agar jangan mampu bergerak mau pun bersuara.
Dia maju terus dan akhirnya dia melihat sebuah kamar tahanan dengan pintu besi dan jendela beruji besi. Ketika dia memandang ke dalam, dia melihat seorang tosu tua sedang bersila dan bersemedhi. Dan tosu itu bukan lain adalah Thian It Tosu yang asli!
“Totiang...!” Keng Han berseru lirih.
Akan tetapi suara itu cukup untuk menggugah tosu itu dari semedhinya dan dia menoleh ke kanan, ke arah ruji jendela. Di sana dia melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.
“Siapa engkau orang muda?”
“Ssttt, Totiang, saya datang untuk membebaskan Totiang.”
Pendeta itu terkejut dan girang, lalu cepat dia meloncat dari lantai dan berdiri di balik ruji besi.
“Pintu ini terkunci kuat sekali, juga jendela ini agaknya terlalu kuat untuk dijebol,” kata kakek itu.
Keng Han teringat. “Akan saya cari kuncinya!”
Dia lalu menghampiri kelima orang itu dan memeriksa mereka satu demi satu. Akhirnya dia dapat menemukan kuncinya di dalam saku salah seorang di antara mereka. Cepat dia menggunakan kunci untuk membuka pintu besi yang tebal dan berat itu.
Melihat para penjaga menggeletak tak mampu berdaya, tahulah Thian It Tosu bahwa penolongnya seorang pemuda yang berilmu tinggi. Padahal orang-orang Pek-lian-kauw yang berjaga di situ rata-rata merupakan anggota pilihan yang sudah memiliki ilmu silat yang tangguh!
“Ke mana engkau hendak membawa pinto, orang muda? Apakah yang telah terjadi?”
Dengan singkat Keng Han menceritakan. “Gulam Sang telah menangkap Totiang dan menyekap dalam penjara itu. Dan dia sendiri menyamar sebagai Totiang. Dia membawa Bu-tong-pai bersekutu dengan orang-orang sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, kemudian dia membawa Bu-tong-pai untuk memberontak, mengirim orang-orang untuk mencoba membunuh Kaisar dan Pangeran Mahkota. Akan tetapi usahanya gagal dan kini dia mengundang para tokoh kang-ouw untuk mencari bengcu baru karena bengcu yang lama sudah terbunuh orang tanpa diketahui siapa yang membunuhnya. Marilah, Totiang. Kita ke sana dan membuka rahasia penyamaran Gulam Sang.”
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Niocu telah berada di depan mereka.
“Niocu, kau... di sini?” Keng Han benar-benar terkejut melihat wanita itu.
“Dan engkau pun mau apa berada di sini? Aku di sini sebagai tamunya Thian It Tosu, bukankah demikian, Totiang?”
“Siancai! Pinto tidak pernah bertemu denganmu, Nona.”
“Apa? Baru kemarin dulu Totiang menerimaku sebagai tamu dan sahabat Gulam Sang. Bagaimana baru dua hari Totiang sudah lupa lagi padaku?”
“Niocu, engkau telah ditipu orang! Ketahuilah bahwa aku baru saja membebaskan Thian It Tosu dari penjara bawah tanah.”
“Tapi...tapi Thian It Tosu kemarin dulu benar-benar menerimaku. Aku tidak berbohong, Keng Han.”
“Engkau memang tidak berbohong, melainkan telah dibohongi orang. Thian It Tosu yang kemarin dulu menerimamu itu bukan lain adalah Gulam Sang yang menyamar. Gulam Sang sudah menguasai Bu-tong-pai dengan menyamar sebagai Thian It Tosu dan dia menahan Totiang ini di bawah tanah.”
“Ihhh... rasanya tidak mungkin. Gulam Sang adalah seorang yang baik budi dan gagah perkasa.”
“Hemmm, agaknya engkau sudah melupakan sama sekali nasehat gurumu. Di dunia ini memang terdapat banyak pria yang jahat dan Gulam Sang merupakan seorang yang paling jahat di antara mereka.”
“Benarkah begitu, dapatkah aku percaya padamu, Keng Han?”
“Buktikan saja sendiri. Kami mau keluar untuk membongkar rahasia ini. Mari kau lihat dan dengar sendiri!”
Pada saat itu, Thian It Tosu penyamaran Gulam Sang sedang berdiri di atas panggung dan berkata dengan suara lantang. “Saudara sekalian, bengcu telah dibunuh orang. Untuk menjaga kesatuan dan ketertiban, kita harus memilih seorang bengcu baru. Kalau sudah mendapatkan bengcu yang baru, tentu kita dapat memulai dengan perjuangan kita.”
“Tahan dulu...!”
Terdengar teriakan sangat nyaring dan sesosok bayangan melompat ke atas panggung. Ternyata dia adalah Keng Han. Melihat pemuda ini Gulam Sang merasa terkejut sekali.
“Orang muda, telah kami katakan padamu, bahwa gurumu Gosang Lama itu seorang penjahat dan kami dari Bu-tong-pai terkenal sebagai para pendekar! Engkau muncul lagi mempunyai keperluan apakah?”
Keng Han tidak menjawab, melainkan berpaling kepada semua orang yang hadir.
“Cu-wi, apakah Cu-wi (Saudara sekalian) mengenal orang ini?” Dia menuding ke arah Thian It Tosu yang palsu.
Banyak orang tertawa menanggapi pertanyaan yang mereka anggap aneh itu.
“Heiii, orang muda! Siapa yang tidak mengenalnya? Beliau adalah Thian It Tosu ketua Bu-tong-pai. Siapa pun yang berada di sini tentu tahu akan hal itu. Mengapa engkau menanyakannya?”
“Ketahuilah, Cu-wi yang mulia. Orang ini bukan Thian It Tosu. Dia adalah Thian It Tosu palsu!”
“Orang muda, enak saja engkau bicara! Pinto adalah Thian It Tosu, mengapa engkau bilang palsu?”
“Cu-wi menghendaki bukti?” suara Keng Han nyaring sekali, mengatasi suara semua orang yang riuh rendah terheran-heran mendengar bahwa Thian It Tosu yang di atas panggung adalah palsu.
Keng Han lalu memberi isyarat dengan tangannya dan sesosok tubuh lain melayang dan berada di atas panggung. Ketika semua orang memandang mereka, mereka berseru terheran-heran karena orang itu juga Thian It Tosu! Di panggung itu berdiri dua orang Thian It Tosu yang sama, baik bentuk tubuh, wajah dan pakaiannya!
Selagi semua orang ribut bicara sendiri mengomentari pemunculan dua orang Thian It Tosu itu, Keng Han berkata dengan lantang, “Nah, kini saudara sekalian sudah melihat buktinya. Thian It Tosu yang baru muncul inilah yang asli, sedangkan Thian It Tosu yang pertama tadi adalah palsu. Dia adalah Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu!”
Tentu saja Gulam Sang menjadi marah sekali dan juga bingung. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Keng Han mampu membebaskan Thian It Tosu sehingga kedoknya terbongkar. Akan tetapi dia masih ingin mempertahankan diri dan dia segera berseru.
“Dia itu yang palsu! Lihat ini, Pek-coa-kiam ini jelas milik Thian It Tosu yang asli. Akulah yang asli dan dia itu palsu!” Setelah berkata demikian, dengan pedang Pek-coa-kiam di tangan, Gulam Sang menyerang dan menusukkan pedangnya kepada Thian It Tosu.
“Tranggg...!”
Pedangnya itu tertangkis oleh pedang di tangan Bi-kiam Niocu. Wanita ini marah sekali kepada Gulam Sang. Pemuda itu tadinya dia harapkan untuk menjadi suaminya, akan tetapi ternyata pemuda itu malah telah menipu dan membohonginya.
“Niocu, kuharap engkau jangan mencampuri urusan ini, atau bantulah aku membunuh Thian It Tosu yang palsu ini!”
“Engkaulah yang palsu, Gulam Sang!” bentak Bi-kiam Niocu.
Akan tetapi dara ini terkejut ketika pedangnya yang menangkis pedang Pek-coa-kiam itu terpental dan tangannya tergetar hebat. Pemuda Tibet itu ternyata mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya.
Keng Han meloncat ke depan Niocu, kemudian berkata, “Mundurlah, Niocu. Jahanam ini adalah musuh besarku, biarlah aku yang menghadapinya! Nah, Gulam Sang, sebaiknya engkau melepas kedokmu itu!”
Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu memandang Keng Han dengan mata mencorong penuh kebencian.
“Engkau pengacau sinting, biar kubunuh engkau terlebih dahulu!” Dengan bentakan ini, Gulam Sang menyerang Keng Han dengan Pedang Ular Putih.
Serangan itu hebat sekali dan Pek-coa-kiam itu menyambar ke arah leher Keng Han. Akan tetapi Keng Han yang sudah tahu betapa lihainya Gulam Sang, sudah mengelak dengan loncatan jauh ke belakang. Akan tetapi, Gulam Sang mendesak terus dengan Pek-coa-kiam yang ampuh itu sehingga Keng Han harus berloncatan dan mengelak ke sana sini dan nampak terdesak serta tidak mampu balas menyerang.
Saat itu Bi-kiam Niocu berteriak, “Keng Han, pakailah pedangku ini!” Ia melontarkan pedangnya ke arah Keng Han yang menyambutnya dengan tangan.
Kini Keng Han juga memegang sebatang pedang. Ketika Gulam Sang menyerang lagi dengan bacokan dahsyat, Keng Han malah maju dan menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya.
“Tranggggg...!”
Sepasang pedang itu bertemu dengan hebatnya. Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu terdorong mundur ke belakang. Akan tetapi ketika Keng Han melihat pedangnya, ternyata pedang itu sudah buntung pada bagian ujungnya! Jelaslah bahwa Pek-coa-kiam di tangan Gulam Sang itu sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang sangat ampuh.
Namun dari pertemuan tenaga itu dapat diketahui bahwa dalam hal sinkang, ternyata Gulam Sang masih belum mampu menandingi Keng Han. Keng Han kemudian balas menyerang dengan pedang buntungnya. Dia memainkan ilmu Hongin-bun-hoat, pedang buntungnya seperti menulis dan membuat corat-coret di udara, akan tetapi semua itu sebenarnya merupakan serangan yang dahsyat bukan main.
Menghadapi ilmu pedang yang aneh ini, Gulam Sang terkejut dan kini dia yang terdesak mundur. Beberapa kali dia mencoba untuk memanfaatkan keunggulan pedangnya untuk menangkis dan membabat pedang buntung lawan, akan tetapi usahanya itu tidak pernah berhasil karena Keng Han selalu mengelak kalau diajak beradu pedang.
Di antara para penonton terdapat Yo Han, Tan Sian Li, dan juga Yo Han Li yang sejak tadi menonton pertandingan itu. Yo Han sendiri juga kaget dan tidak mengerti mengapa muncul dua orang Thian It Tosu. Dia masih ragu-ragu siapa di antara kedua orang itu yang asli dan mana pula yang palsu. Maka ketika Keng Han bertanding dengan Thian It Tosu, Yo Han, isterinya dan puterinya tidak tahu harus memihak yang mana.
Akan tetapi ketika Keng Han mulai memainkan ilmu Hong-in-bun-hoat, mereka bertiga lalu memandang heran. Pemuda itu sedemikian hebatnya memainkan Hong-in Bun-hoat yang mereka kenal. Bahkan biar pun pedangnya sudah buntung, dia sekarang mampu mendesak Thian It Tosu yang menjadi kewalahan dan main mundur terus.
Pertandingan itu memang hebat bukan main. Gulam Sang yang didesak terus itu telah mengeluarkan semua ilmunya, bahkan beberapa kali dia membentak dengan kekuatan sihirnya untuk merobohkan Keng Han. Akan tetapi, ilmu sihirnya tidak mempan terhadap Keng Han karena pemuda ini telah memiliki tenaga sakti yang hebat.
Dan setelah mereka bertanding sampai seratus jurus lebih, tahulah Yo Han, isteri dan puterinya bahwa Thian It Tosu itu jelas palsu. Hal ini mudah saja diketahui. Kalau Thian It Tosu ini asli, tentu menggunakan ilmu pedang Bu-tong-pai yang sudah mereka kenal. Akan tetapi Thian It Tosu ini sama sekali tidak mempergunakan ilmu silat Bu-tong-pai melainkan menggunakan ilmu silat yang aneh dan belum pernah mereka lihat!
Yo Han yang berpengalaman luas itu berbisik kepada isteri dan puterinya, “Ilmu silatnya tentu datang dari Barat. Dan lihat, dia menggunakan sihir dalam bentakan-bentakannya itu. Untung bagi Keng Han, dia sudah memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir itu.”
Tiba-tiba Keng Han mengubah ilmu silatnya. Pedangnya masih membuat gerakan ilmu Hong-in Bun-hoat, tetapi tangan kirinya memukul dengan jurus pukulan ilmu Toat-beng Bian-kun yang kelihatan lemah lembut namun menyembunyikan kekuatan yang amat dasyat. Dan Gulam Sang benar-benar terdesak hebat.
Pada saat itu dari dalam melayang keluar tiga orang kakek yang membentak, “Bocah lancang!. Berani engkau menghina tuan rumah kami, ketua Bu-tong-pai?”
Yo Han melihat bahwa mereka itu adalah para datuk sesat yang terkenal, yaitu Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Tiga orang datuk ini memang sengaja tidak keluar dulu dan hanya mengintai dari dalam, melihat perkembangan keadaan.
Ketika melihat Keng Han datang bersama Thian It Tosu, tahulah mereka bahwa Gulam Sang terancam bahaya. Apa lagi setelah melihat betapa Gulam Sang terdesak hebat oleh Keng Han, mereka tidak dapat tinggal diam saja.
Ketiganya lalu keluar dan segera melompat ke atas panggung, meninggalkan Pangeran Tao Seng yang masih bersembunyi di dalam kamar rahasia. Karena mereka berada di kamar rahasia, maka tadi Keng Han tidak berhasil menemukan ayahnya ketika mencari di seluruh kamar tahanan dalam rumah induk Bu-tong-pai itu.
Melihat tiga orang datuk sesat itu maju, Bi-kiam Niocu yang sudah marah sekali melihat Gulam Sang menyamar sebagai Thian It Tosu juga melompat ke atas panggung.
“Main keroyokan bukan watak orang gagah!” dia berseru.
Dan ia sudah siap untuk melawan siapa saja yang hendak mengeroyok Keng Han, biar pun ia bertangan kosong karena pedangnya sudah dipinjamkan kepada Keng Han.
Han Li tadi melihat betapa gadis itu meminjamkan pedangnya kepada Keng Han, maka tanpa ragu lagi ia mencabut pedangnya dan melemparkannya kepada Bi-kiam Niocu sambil berseru, “Enci, pakailah pedangku ini!”
Niocu menyambut pedang itu dengan tangan kanannya, lalu dia menghadapi Swat-hai Lo-kwi yang juga memegang sebatang pedang.
Pada saat itu pula, dua bayangan berkelebat ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Yo Han dan isterinya, si Bangau Merah Tan Sian Li! Tan Sian Li telah mencabut suling emas yang diselipkan pada pinggangnya, sedangkan Yo Han yang tidak pernah bersenjata itu hanya berdiri dengan tangan kosong.
Tan Sian Li menghadapi Tung-hai Lo-mo sambil berkata lantang, suaranya mengejek. “Main keroyokan, ya? Kami juga bisa!”
Tanpa banyak komentar lagi wanita berusia empat puluh tahun yang masih cantik itu sudah menggerakkan sulingnya untuk menyerang Tung-hai Lo-mo. Terdengarlah suara berdesing nyaring dan suling itu kini menjadi sinar keemasan yang melengking-lengking! Terpaksa Tung-hai Lo-mo menyambut dengan pedangnya, dan mereka berdua sudah bertanding dengan hebatnya.
Sekarang hanya tertinggal Lam-hai Koai-jin yang belum mendapat lawan. Maka Yo Han segera menghadapinya sambil berkata, “Lam-hai Koai-jin, engkau ingin memperlihatkan kepandaianmu? Majulah dan akulah lawanmu!”
Melihat Yo Han, Lam-hai Koai-jin sudah merasa gentar. Dia maklum betapa tinggi ilmu kepandaian Pendekar Tangan Sakti ini. Selagi dia meragu untuk menyambut tantangan Yo Han, Thian It Tosu yang sejak tadi hanya menonton saja lalu melangkah maju dan dia berseru lantang, “Cuwi harap menahan senjata dan berhenti berkelahi!”
Mendengar bentakan nyaring ini semua menahan senjata, Thian It Tosu yang palsu sudah terdesak hebat, mandi peluh dan napasnya terengah-engah. Maka seruan untuk, berhenti bertanding itu telah menyelamatkannya.
Thian It Tosu lalu menghampiri Gulam Sang dan berkata, “Gulam Sang, engkau yang menjadi gara-gara semua keributan ini. Pinto tak ingin bila Bu-tong-pai dijadikan tempat pertempuran. Harap para saudara yang membela Gulam Sang dan membelaku suka mundur semua dan biarkan kami berdua yang menyelesaikan urusan ini!”
Sikap Thian It Tosu berwibawa sekali. Tiga orang datuk itu segera mundur. Melihat ini, Bi-kiam Niocu, Yo Han dan Tan Sian Li juga mengundurkan diri. Kini yang berdiri di atas panggung hanya kedua orang yang sama itu.
Thian It Tosu berkata dengan suaranya yang lembut namun berwibawa. “Gulam Sang, untuk membuktikan siapa yang asli dan palsu di antara kita berdua, mari kita bertanding ilmu di sini, disaksikan oleh semua orang. Akan tetapi, yang namanya Thian it Tosu itu selamanya tak pernah menyerang lawan yang tidak bersenjata. Nah, beranikah engkau melawan pinto?”
“Hemmm, engkaulah yang palsu dan jangan mencoba untuk mengelabui orang lain. Aku Thian It Tosu yang asli. Tentu saja aku siap melawanmu dengan tangan kosong!”
Setelah berkata demikian, Thian It Tosu yang palsu itu lalu melontarkan pedangnya ke bawah dan pedang itu lalu menancap di atas papan, bergoyang-goyang saking kuatnya lontaran itu.
Sekarang kedua orang kakek itu saling berhadapan dan semua orang menahan napas menyaksikan peristiwa yang aneh itu. Dua orang Thian It Tosu saling berhadapan untuk saling menyerang.
Kalau tadi Yo Han, Keng Han dan dua orang wanita itu menaati permintaan Thian It Tosu adalah karena mereka menghormati Thian It Tosu sebagai tuan rumah. Mereka ini yakin dan percaya kepada Keng Han bahwa yang muncul belakangan itu adalah ketua Bu-tong-pai yang asli. Juga semua murid Bu-tong-pai yakin dan tahu mana yang asli dan mana yang palsu dengan melihat cara Thian It Tosu tadi bertanding melawan Keng Han.
Gulam Sang adalah murid Dalai Lama yang lebih banyak mempelajari kebatinan. Sebab itu pemuda ini merasa sinkangnya lebih dapat diandalkan dibandingkan ilmu silatnya. Apa lagi dia pun tahu bahwa ketua Bu-tong-pai yang menjadi lawannya ini setiap hari telah diberi racun sehingga sekarang sudah keracunan hebat. Dalam keadaan begini tentu saja Thian It Tosu tidak akan mampu sepenuhnya mengerahkan sinkangnya.
Selain itu, Gulam Sang juga tahu bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai sungguh lihai dan sulit dicari tandingannya. Karena itu, setelah mengetahui bahwa pertandingannya melawan Thian It Tosu akan dilakukan dengan tangan kosong tanpa senjata, dia merasa yakin bahwa dia akan dapat memenangkan pertandingan ini.
Dia lalu menerjang ke depan dan mulai dengan serangannya. Thian It Tosu mengelak dan bersilat dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Kini Gulam Sang tidak dapat menirukan lagi dan mengeluarkan ilmu silatnya yang dia pelajari dari Dalai Lama.
Melihat kenyataan ini, para murid Bu-tong-pai tidak ragu lagi untuk menentukan siapa di antara dua orang yang sedang bertanding itu mana yang asli mana yang palsu. Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu, dua orang murid kepala di Bu-tong-pai yang selama itu sudah terpaksa menuruti kemauan Gulam Sang karena khawatir bahwa Gulam Sang akan membunuh guru mereka, sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka segera berloncatan ke atas panggung, diikuti oleh belasan orang murid lainnya.
“Dialah yang palsu!” bentak Thian Yang Cu kepada Gulam Sang sehingga para murid itu mengepungnya.
Melihat ini, Gulam Sang menjadi gentar dan Thian It Tosu memanfaatkannya dengan sebuah tendangan yang mengenai dadanya. Gulam Sang roboh dan para murid sudah mengayun pedang untuk membunuhnya.
Akan tetapi Thian It Tosu berseru nyaring, “Jangan bunuh!”
Gulam Sang tidak dibunuh, akan tetapi ia ditangkap dan banyak senjata menodongnya. Thian Yang Cu lalu menjambak rambutnya dan sekali tarik dengan kuat, terlepaslah kedok yang dipakai oleh Gulam Sang.
Thian Yang Cu mengangkat kedok itu ke atas dan berseru kepada semua tamu. “Lihat, dia menggunakan kedok menyamar sebagai guru dan ketua kami. Dia adalah Gulam Sang!”
Bukan hanya pendekar yang terheran-heran, bahkan tiga datuk yang tadi membelanya terkejut dan merasa heran. Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa Thian It Tosu yang selama ini mereka anggap asli itu ternyata palsu.
“Kalau begitu, semua janji itu pun palsu.”
“Bunuh saja keparat itu!” demikian banyak orang berteriak-teriak karena marah.
Akan tetapi Thian Yang Cu melarang para murid membunuhnya.
“Gulam Sang, permainanmu sudah berakhir. Semestinya engkau dibunuh oleh banyak senjata murid Bu-tong-pai. Akan tetapi kami akan membebaskan engkau kalau engkau suka memberi obat penawar racun dari tubuh ketua kami.”
Gulam Sang menyeringai. “Bagus jika kalian mengetahui dan ingat akan keadaan Thian It Tosu!” katanya.
Karena dia sudah ditodong dan tak mungkin melawan lagi, dia merogoh saku dalam di bajunya dan mengeluarkan sebuah bungkusan kertas. Kemudian dia berkata kepada Thian It Tosu, “Tubuhmu sudah penuh dengan racun yang berada di dalam makanan dan minumanmu selama ini. Telanlah obat ini dan engkau akan sembuh kembali.”
Thian It Tosu menerima bungkusan itu dan seorang murid mengambilkan air teh. Thian It Tosu membuka bungkusan itu dan menuangkan isinya ke dalam mulut, kemudian air teh itu diminumnya. Setelah obat itu memasuki perutnya, dari dalam perut itu keluarlah bunyi dan dia merasa betapa rasa nyeri di dada dan perut menghilang...
“Ayo kalian ikutlah, akan kuperkenalkan kepada seorang pangeran adik sepupuku yang menjadi sahabat baikku! Dialah satu-satunya orang di kalangan keluarga kami yang bisa kupercaya sepenuhnya.” katanya kepada Kai-ong dan Han Li.
Ketika mereka tiba di luar, mereka semua melihat tiga orang berada di serambi depan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang tampan dan lembut sikapnya, seorang wanita cantik yang agung dan anggun, berusia sebaya dengan pria itu. Dan di belakang mereka berjalan seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Begitu melihat mereka, Han Li berubah air mukanya, menjadi kikuk dan salah tingkah karena ia mengenal mereka itu sebagai suami isteri Pangeran Cia Sun dan isterinya, Sim Hui Eng dan putera mereka, Cia Kun. Suami isteri dan putera mereka itu belum lama ini telah datang ke Bukit Naga untuk meminang dirinya yang hendak dijodohkan dengan putera mereka itu!
Begitu pun Kwi Hong. Ketika ia melihat siapa yang datang, kedua pipinya lalu menjadi kemerahan karena ayah bundanya pernah bertanya kepadanya, bagaimana kalau ia dijodohkan dengan putera Cia Sun, saudara sepupu ayahnya. Sudah lebih dari tiga tahun dara ini tidak pernah bertemu dengan Cia Kun dan kini pemuda itu telah menjadi seorang dewasa yang ganteng!
Demikian pula dengan Cia Kun. Dia terheran melihat Han Li berada di situ dan dia juga terpesona melihat Kwi Hong yang kini demikian cantik jelita.
Pangeran Cia Sun beserta isterinya juga merasa heran melihat Han Li. “Ehh, bukankah engkau Yo Han Li? Bagaimana bisa berada di sini?”
Sebelum Han Li dapat menjawab, Pangeran Tao Kuang berkata sambil tertawa, “Bagus, kiranya kalian sudah saling mengenal sehingga tidak perlu kuperkenalkan lagi.”
“Akan tetapi siapa Locianpwe ini? Kami tidak mengenalnya.”
“Ah, Paman ini adalah seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw, Dinda Pangeran. Tentu engkau pernah mendengar akan julukan Kai-ong, bukan?”
“Bukankah Kai-ong Lu Tong Ki?” tanya Pangeran Cia Sun.
“Benar, dia dan muridnya, nona Han Li, menjadi tamu kehormatan kami. Paman Lu, ini adalah Pangeran Cia Sun yang dahulu sering bertualang di dunia kang-ouw.”
Pangeran Cia Sun dan pengemis tua itu saling memberi hormat.
“Nah, mari kita semua masuk ke dalam dan bicara di sana!” kata Pangeran Tao Kuang dengan ramah.
Mereka semua diajak masuk ruangan tamu yang luas dan sejuk karena di ruangan itu terdapat banyak jendela sehingga hawa dapat masuk dengan leluasa.
“Kanda Pangeran, kedatangan kami untuk menjenguk Kanda karena kami mendengar bahwa Kanda baru saja diserbu orang-orang yang hendak membunuh. Kami bersyukur sekali mendengar bahwa Kanda Pangeran terlepas dari bahaya maut.”
“Benar, Adinda Pangeran. Semua ini adalah jasanya Tao Keng Han dan nona Souw Cu In yang membongkar rencana pemberontakan dan pembunuhan itu. Karena kami telah mengetahui lebih dulu, maka kami sekeluarga dibantu Paman Lu dan muridnya Han Li yang telah bersiap-siap. Juga penjagaan oleh pasukan dilakukan dengan ketat. Dengan ayahanda Kaisar pun demikian. Bahkan sepasang pendekar itu pun menyamar sebagai pengawal pribadi Kaisar.”
“Ahh, kami merasa gembira sekali mendengar itu, Kanda. Untuk itu, biarlah kuucapkan selamat dan menyulangi Kanda dengan tiga cawan arak!”
Karena di situ memang sudah dipersiapkan dan disediakan arak, maka kedua orang pangeran, diikuti yang lain minum tiga cawan arak.
“Bagaimana pun juga, kalau tidak ada bantuan nona Yo Han Li dan gurunya, tetap saja kami terancam bahaya maut. Mereka berdua yang bisa menandingi pihak pemberontak itu.”
Cia Sun tersenyum memandang kepada Han Li. “Tentu saja. Han Li adalah puteri Si Tangan Sakti Yo Han dan isterinya Si Bangau Merah Tan Sian Li. Apa lagi sekarang menjadi murid Kai-ong! Tentu ilmu kepandaiannya menjadi luar biasa sekali!”
“Aihh, Paman Cia terlalu memujiku, membuat aku merasa malu saja.”
“Li-moi, ayahku hanya berkata sebenarnya, mengapa harus malu? Dan aku percaya bahwa Hong-moi sekarang tentu telah menjadi seorang gadis yang lihai pula. Kabarnya Hong-moi menerima pelajaran dari para ahli silat yang menjadi panglima pengawal, berganti-ganti guru sehingga tentu mempunyai banyak macam ilmu silat!” kata Cia Kun sambil memandang adik sepupunya itu dengan sinar mata penuh kagum.
Pemuda ini sudah mendengar dari ayahnya bahwa pinangan mereka atas diri Han Li ditolak secara halus oleh orang tua gadis itu, maka dia tidak mengharapkan lagi dan kini perhatiannya beralih kepada Kwi Hong yang tidak kalah cantiknya dibandingkan Han Li.
“Aih, Kun-ko, engkau pandai memuji orang. Mana aku dapat dibandingkan dengan enci Han Li? Kalau dibandingkan dengan engkau saja aku sudah kalah jauh! Selain Paman Pangeran Cia sendiri memiliki ilmu yang tinggi, Bibi yang menjadi ibumu memiliki ilmu silat yang lebih hebat pula. Engkau tentu telah mewarisi semua ilmunya!”
“Ahh, Ayah dan terutama ibu memang pandai, akan tetapi aku yang bodoh, tidak dapat maju-maju dalam pelajaran ilmu silat,” bantah Cia Kun sambil memandang kepada adik sepupunya itu dengan senyum.
“Kwi Hong, kenapa engkau tidak mengajak Han Li dan Cia Kun untuk bicara di taman? Biarkan kami yang tua-tua bicara di sini,” kata Pangeran Tao Kuang kepada puterinya.
“Ah, taman bunga sedang indah karena bunga-bunga sedang mekar, di mana hawanya sejuk sekali. Marilah, enci Han Li dan kanda Cia Kun, kita bermain-main dan bicara di sana!”
Karena ajakan nona rumah ini, Han Li dan Cia Kun tidak dapat menolak dan pergilah tiga orang muda itu ke taman bunga.
Setelah tiga orang muda itu pergi, bertanyalah Cia Sun kepada Pangeran Tao Kuang, “Kanda Pangeran, sebetulnya apakah yang sudah terjadi? Siapakah yang mendalangi pemberontakan itu?”
Pangeran Tao Kuang menghela napas panjang. “Sungguh memalukan bila dipikir. Yang menjadi dalangnya adalah Tao Seng dan Tao San.”
“Bukankah mereka telah dihukum buang ketika hendak membunuhmu dahulu itu, Kanda Pangeran?” tanya Cia Sun.
“Benar, akan tetapi hukuman mereka telah habis. Mereka lalu kembali ke kota raja dan menyamar sebagai orang-orang hartawan. Kita mengetahui akan hal itu, akan tetapi mendiamkan saja. Bagaimana pun juga mereka adalah saudara-saudara kita dan pada kenyataannya hukuman bagi mereka sudah habis. Akan tetapi sungguh tidak disangka sama sekali, diam-diam mereka menghimpun kekuatan, mempergunakan datuk-datuk dan tokoh-tokoh sesat untuk membunuh ayahanda Kaisar dan aku sendiri. Dan engkau tahu siapa yang membongkar rahasia mereka?”
“Kakanda tadi sudah memberi tahukan bahwa yang membongkar rahasia itu adalah seorang bernama Tao Keng Han dan nona Souw Cu In.”
“Benar dan tahukah engkau siapa Tao Keng Han itu? Dia adalah keponakan kita sendiri, yaitu putera dari kakanda Tao Seng.”
Pangeran Mahkota Tao Kuang lalu menceritakan betapa Keng Han hendak membunuh dia karena pemuda itu dihasut oleh ayahnya sendiri yang menyamar sebagai Hartawan Ji. Akan tetapi akhirnya pemuda itu dapat disadarkan akan kekeliruannya dan bahwa dia terkena hasutan.
Cia Sun mendengarkan dengan perasaan heran bercampur kagum. “Jadi pemuda itu memusuhi ayahnya sendiri dan membongkar rahasia pemberontakannya kepadamu?”
“Benar. Akan tetapi bukan berarti bahwa dia membenci ayah kandungnya. Dia berbuat demikian sebab melihat bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar. Sekarang dia hendak mencari ayahnya untuk dibujuk pulang ke Khitan. Ibunya adalah puteri kepala suku Khitan.”
Pangeran Cia Sun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar hebat pemuda itu. Dia tentu seorang pendekar yang besar!”
“Dia memang berjiwa pendekar dan menurut keponakanmu Kwi Hong, ilmu silatnya hebat sekali sehingga dia mampu mengalahkan para datuk sesat. Karena itu maka aku minta agar dia dan nona Souw Cu In yang juga lihai sekali untuk melindungi Kaisar dan tarnyata mereka berhasil merobohkan banyak penjahat yang menyamar sebagai prajurit pengawal, akan tetapi sayang, para datuk yang memimpin penyerbuan itu dapat kabur. Rencana pemberontakan itu keji sekali. Mereka hendak membunuh ayahanda Kaisar dan aku, dan mereka mempersiapkan pasukan di luar dan di dalam kota raja, berhasil pula mempengaruhi seorang panglima. Tujuan mereka, kalau Kaisar dan aku sudah tewas, istana akan dikuasainya dan dengan dalih singgasana kosong dan dia yang berhak duduk sebagai kakakku yang tertua, Pangeran Tao Seng akan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar.”
“Keterlaluan sekali kanda Tao Seng itu. Dan sekarang, apakah dia sudah tertangkap kembali?”
“Belum. Begitu gerakan mereka gagal, dia sudah menghilang entah ke mana. Kini para penyelidik sedang mencarinya dan kalau tertangkap, sekali ini tentu dia akan dijatuhi hukuman mati.”
“Aku dapat menduga siapa datuk-datuk sesat yang dipergunakan para pemberontak itu. Mereka tentu termasuk Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka adalah datuk-datuk yang tersesat, mau melakukan apa saja asalkan pahalanya besar,” kata Kai-ong Lu Tong Ki yang sejak tadi diam saja.
“Hemmm, tiga nama datuk itu sudah terkenal sekali. Kalau hanya menerima upah harta saja tentu mereka tidak mau membantu pemberontakan,” kata isteri Pangeran Cia Sun yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw, maka ia mengenal pula ketiga orang datuk yang disebutkan tadi. “Kurasa mereka itu mendapatkan janji akan diberi kedudukan tinggi kalau Pangeran Tao Seng berhasil menjadi Kaisar.”
Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk-angguk. “Dugaan itu memang tepat sekali. Tidak dapat disangsikan lagi, mereka tentu diberi janji yang muluk-muluk.”
“Akan tetapi masih ada satu hal lagi yang sangat mengherankan hatiku, Kanda Tao Kuang.”
“Apa yang kau herankan?”
“Hadirnya Yo Han Li di tempat ini. Kalau Locianpwe Kai-ong tidak aneh berada di sini sebagai tamu karena aku tahu bahwa Kanda Pangeran suka menghargai orang pandai. Akan tetapi Han Li, dia masih terhitung keponakanku sendiri karena ayahnya adalah kakak angkatku. Akan tetapi walau pun demikian, ayahnya itu juga ketua Thian-li-pang yang jelas-jelas merupakan perkumpulan para pejuang yang sewaktu-waktu juga dapat memberontak. Bukankah tersiar berita bahwa para penyerang yang hendak membunuh kaisar itu mengaku orang Thian-li-pang?”
Pangeran Tao Kuang tersenyum. “Berita itu bohong dan yang membongkar rahasianya adalah nona Yo Han Li. Ia tidak mengenal satu pun orang-orang itu sebagai anggota Thian-li-pang, bahkan kemudian diketahui bahwa para penyerang itu adalah orang dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Tadinya aku pun sangat curiga kepada nona Yo, akan tetapi selama ia di sini ia memperlihatkan sikap yang baik sekali, bahkan cocok dengan Kwi Hong. Oleh sebab itu, aku sepenuhnya menanggung bahwa nona Yo tidak berpihak kepada pemberontakan, bahkan ia pun ikut turun tangan melawan ketika gerombolan penjahat itu menyerbu ke istana ini.”
Pangeran Cia Sun mengangguk-angguk, dan Liang Siok Cu, selir Pangeran Tao Kuang yang mendampingi mereka bercakap-cakap, menambahkan, “Menurut penglihatanku, nona Yo sama sekali tidak jahat. Bahkan ia baik sekali, sopan dan ramah. Dengan terus terang dia pernah mengatakan kepada aku dan Kwi Hong, bahwa ayahnya memang pemimpin Thian-li-pang dan berjiwa patriot, tetapi sama sekali tidak membenci keluarga Kaisar. Yang dibencinya adalah penjajahan, dan kini mereka hanya bergerak melindungi rakyat dari penindasan pejabat-pejabat yang menyeleweng atau gangguan gerombolan perampok. Itulah sebabnya mengapa ia mau tinggal di sini menjadi tamu kami, bahkan telah ikut membantu menyelamatkan kami dari serbuan para pembunuh.”
Kembali Cia Sun mengangguk-angguk. “Aku sudah mengenal baik siapa itu Yo Han. Pendekar Tangan Sakti itu memang seorang pendekar tulen yang budiman. Dia hampir tak pernah membunuh orang. Orang-orang jahat hanya dia kalahkan dan dia taklukkan, kemudian diampuni asalkan mau mengubah jalan hidup mereka yang menyeleweng.”
Sementara itu, di taman bunga juga terjadi percakapan yang menarik hati.
“Taman begini indah, hawa pun begini sejuk, sungguh tepat sekali untuk menulis sajak, meniup suling dan menabuh yangkim. Akan tetapi, karena kita belum mempersiapkan peralatannya, bagaimana kalau kita isi dengan mempertunjukkan ilmu silat kita masing-masing?” kata Kwi Hong dengan gembira.
“Bagus!” Cia Kun memuji. “Engkau yang mengusulkan, sebaiknya engkau yang terlebih dulu mulai, Hong-moi!”
“Tidak, sebaiknya kalau enci Han Li yang mulai, mengingat bahwa ilmu silatnya yang paling tinggi di antara kita. Marilah, enci Han Li, bermainlah silat agar membuka mata kami yang bodoh!” kata pula Kwi Hong sambil menarik-narik tangan Han Li.
Han Li tersenyum. “Sudah lajim di mana-mana bahwa pria harus mengalah kepada wanita. Karena kita berdua wanita dan yang pria hanya Kun-ko, maka sepantasnyalah kalau dia mangalah dan bermain silat lebih dulu.”
Kwi Hong bertepuk tangan dan bersorak. “Setuju sekali. Nah, Kun-ko, kalau engkau menolak berarti engkau seorang laki-laki yang tidak bijaksana, tidak mau mengalah terhadap wanita!”
Menghadapi serangan Kwi Hong ini, Cia Kun menyeringai dan tidak mampu membantah lagi. “Baiklah aku akan mengalah. Aku mainkan ilmu pedang yang kupelajari dari ibuku.”
Kwi Hong bertepuk tangan. “Wah, tentu hebat sekali!”
Cia Kun lalu mengeluarkan sebatang pedang dari punggungnya dan mencabut sebuah kipas putih dari pinggangnya, kemudian dia berkata sambil tersenyum. “Ibuku biasanya memainkan pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri. Oleh karena aku tidak memainkan kebutan seperti seorang pendeta, ibu lalu mengganti kebutan itu dengan kipas. Nah, aku mulai, akan tetapi harap jangan ditertawakan!”
Cia Kun lalu melompat ke bagian yang luas dekat kolam ikan dan mulailah dia bermain pedang dan kipas. Gerakannya cepat dan indah sekali, seperti orang menari-nari dan terdengar suara berdesing dari pedangnya. Kipasnya melakukan totokan-totokan yang cepat dan kuat, kadang dikembangkan untuk menangkis serangan lawan.
Pemuda itu memainkan ilmu pedangnya yang sebanyak tiga puluh enam jurus itu, lalu berhenti. Lehernya sedikit berkeringat namun pernapasannya biasa saja, tanda bahwa dia sudah menguasai ilmu itu dengan baik dan dapat mengatur pernapasannya ketika berlatih tadi.
Kwi Hong bertepuk tangan, diikuti oleh Han Li. Dan Han Li berkata, “Sungguh kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!”
“Aihh, Li-moi, jangan memuji di mulut akan tetapi menertawakan di hati!” kata Cia Sun sambil menyimpan kembali pedang dan kipasnya.
“Siapa menertawakan, Kun-ko?” Tiga tahun yang lalu, ketika engkau dan orang tuamu datang berkunjung engkau juga memperlihatkan ilmu silatmu, akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan yang kau mainkan tadi. Dalam waktu tiga tahun saja ilmu silatmu telah maju pesat sekali.”
“Terima kasih atas pujianmu, Li-moi.”
“Haiii, kalian ini agaknya sudah lama berkenalan,” kata Kwi Hong sambil memandang wajah kakak misannya.
“Tentu saja!” jawab Cia Kun sambil tersenyum. “Bahkan Han Li ini boleh dibilang adikku sendiri. Ayahku dan ayahnya adalah saudara angkat!”
“Ah, pantas saja kalian demikian akrab. Nah, enci Han Li, sekarang tiba giliranmu untuk menunjukkan kepandaianmu!” kata Kwi Hong dengan gembira. Tadi ia merasa bangga dan kagum sekali melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh kakak misannya.
“Ihh, apakah engkau tidak mengenal lagi sopan santun, adik Kwi Hong. Engkau adalah nona rumah dan aku hanya tamu, maka sudah selayaknya kalau nona rumah memberi contoh lebih dulu, baru aku sebagai tamu mengikutinya!”
“Wah, kiranya yang lihai bukan hanya ilmu silatmu, enci. Han Li. Engkau lihai sekali berdebat dan bicara. Baiklah, sebagai nona rumah aku harus mengalah. Akan tetapi berjanjilah bahwa kalian berdua tidak mentertawakan ilmu pedangku.“
“Mana mungkin kami menertawakanmu? Kami percaya bahwa ilmu pedangmu tentu hebat sekali. Hayolah, adik Hong, perlihatkan kehebatan pedangmu!”
“Hong-moi, aku tadi sudah mengalah bermain pedang lebih dulu, maka kini engkau tidak dapat menolak lagi,” Cia Kun juga membujuk.
“Baiklah, boleh lihat baik-baik ilmu pedangku yang jelek dan dangkal.”
Kwi Hong lalu meloncat ke tempat dekat kolam tadi sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali gerakan mencabut pedang itu sehingga seperti bermain sulap saja, tahu-tahu pedang sudah berada di tangan kanannya. Ia memberi hormat dengan kedua tangan di dada terhadap dua orang penontonnya dan mulailah ia bermain silat pedang Ngo-heng Sin-kiam (Pedang Sakti Lima Unsur), yaitu ilmu silat yang secara kebetulan dia temukan bukunya di perpustakaan istana kaisar.
Dan kedua orang penontonnya tertegun. Hebat memang ilmu pedang itu, mengandung tenaga keras tetapi kadang lembut, kadang cepat dan kadang lambat. Dan Kwi Hong memainkannya dengan gerakan yang indah sekali.
Kini Yo Han Li yang merasa kagum. Belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti itu. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan ilmu pedang yang dimainkan Cia Kun tadi, jelas bahwa ilmu pedang yang dimainkan Kwi Hong ini lebih lihai. Juga Cia Kun kagum bukan main. Ilmu pedang itu tidak pernah dilihatnya, namun gerakannya demikian kuat dan cepat.
Setelah Kwi Hong menghentikan permainan pedangnya, Cia Kun dan Han Li langsung menyambutnya dengan tepuk tangan.
“Kiam-hoat itu sungguh hebat sekali!” kata Han Li.
“Wah, Hong-moi, kalau aku tahu bahwa ilmu pedangmu demikian hebat, aku tadi tidak akan berani memperlihatkan kebodohanku. Aku mengaku kalah!” kata Cia Kun sambil menghampiri adik misannya itu.
“Kalian berdua terlalu memujiku!” berkata Kwi Hong sambil menyapu dahi dan lehernya yang berkeringat itu dengan sapu tangan. “Sekarang aku minta enci Han Li yang memperlihatkan kepandaiannya.”
“Karena kalian tadi bermain pedang, biarlah aku pun menggunakan pedang,” kata Han Li sambil mencabut pedangnya. Pedang itu tipis dan tidak begitu panjang.
Setelah memberi hormat kepada dua orang penontonnya, Han Li mulai menggerakkan pedangnya. Mula-mula gerakannya lambat saja, akan tetapi makin lama semakin cepat sehingga tubuhnya lenyap tergulung sinar pedang. Pedang itu mengeluarkan angin dan kadang sinarnya membubung ke atas, lalu mencuat ke kanan kiri. Kalau sinar pedang itu mencuat ke atas, maka jatuhlah daun-daun pohon berhamburan! Sungguh ilmu silat yang luar biasa, baru sinar pedangnya saja mampu membuat daun-daun itu berjatuhan!
Cia Kun dan Kwi Hong menjadi bengong menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Han Li. Mereka tidak tahu bahwa itu adalah ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), sebuah ilmu pedang dari keluarga Lembah Naga. Mata mereka menjadi silau dan seolah mereka menahan napas saking kagumnya.
Baru setelah gulungan sinar itu lenyap dan nampak Han Li berdiri di situ dengan pedang bersembunyi di lengan kanarnya, mereka bertepuk tangan. Han Li menyimpan pedang dan menghampiri mereka dengan senyum simpul.
“Hebat! Hebat sekali ilmu pedangmu tadi, enci Han Li!” seru Kwi Hong.
“Memang hebat, akan tetapi ilmu pedangmu juga tidak kalah hebatnya, Hong-moi,” kata Cia Kun.
“Ahh, engkau bisa saja memuji orang, Kun-ko!”
“Aku tidak asal memuji. Memang ilmu pedangmu tadi bagus sekali. Tanyakan kepada nona Yo kalau tidak percaya!”
Yo Han Li mengangguk. “Memang hebat ilmu pedangmu tadi. Aku tidak pernah melihat ilmu pedang seperti itu. Apa namanya ilmu pedangmu itu, adik Kwi Hong?”
“Ilmu pedang itu kudapatkan secara kebetulan sekali. Pada saat aku mencari-cari buku bacaan di kamar perpustakaan istana, aku menemukan sebuah kitab lama yang sukar dibaca. Aku lalu minta tolong kepada para sastrawan di istana dan akhirnya mengetahui bahwa isinya adalah ilmu pedang yang namanya Ngo-heng Kiam-sut. Nah, aku pun lalu mempelajarinya.”
“Hebat sekali. Ilmu itu tentu peninggalan orang sakti dan engkau beruntung sekali dapat menemukannya, adik Kwi Hong.”
“Jangan terlalu memujiku, enci Han Li. Ilmu pedangmu tadilah yang sangat hebat. Apa sih namanya?”
“Itu adalah Koai-liong Kiam-sut yang kupelajari dari ibuku.”
“Dari kitab kuno dapat mempelajari ilmu pedang yang demikian kuat dan indah? Engkau sungguh seorang gadis yang cerdik dan tekun, Hong-moi. Aku sungguh merasa kagum sekali!” tiba-tiba Cia Kun berkata sambil memandang wajah gadis itu. Wajah Kwi Hong menjadi kemerahan.
“Ahh, Kun-ko. Sudahlah, jangan memuji-muji aku terlalu tinggi. Jangan-jangan kepala ini nanti membesar dan meledak karena bangga!” kata Kwi-Hong sambil tersenyum.
Cia Kun juga tertawa dan dia beradu pandang dengan Kwi Hong. Dari pandang mata ini mereka dapat mengetahui bahwa keduanya saling tertarik. Han Li melihat gelagat ini.
Tadinya Cia Kun menyatakan suka kepadanya, bahkan ayah dan ibunya sudah datang meminangnya. Akan tetapi karena ayah ibunya tidak menyetujui pinangan itu, agaknya Cia Kun tidak lagi mengharapkannya dan memindahkan perhatian kepada Kwi Hong.
Mereka memang pasangan yang sangat cocok, keduanya anak pangeran, sama-sama berdarah bangsawan. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin hadir terus di situ yang hanya akan merupakan gangguan bagi mereka.
“Ahh, kepalaku agak pening rasanya. Maafkan aku, adik Kwi Hong, aku permisi dahulu untuk rebahan di kamarku.”
“Ahhh, tentu saja, Enci Han Li. Apakah engkau sakit? Jangan-jangan masuk angin.“ Kwi Hong mendekatinya dan meraba dahi Han Li, “Perlukah kupanggilkan tabib?”
“Ah, tidak usah, adik Kwi Hong, terima kasih. Aku hanya merasa pening dan lelah. Ingin mengaso.”
“Kalau begitu baiklah, enci Han Li, aku akan bercakap-cakap dengan Kun-ko di sini.”
Han Li lalu pergi dari situ. Setelah agak jauh dia mendengar suara Kwi Hong dan Cia Kun. Keduanya tertawa-tawa dengan gembira.
“Semoga mereka berbahagia,” katanya dalam hati sambil memasuki gedung istana itu untuk menuju ke kamar yang disediakan untuknya.
“Nah, kebetulan sekali, Hong-moi. Kini kita ditinggalkan berdua saja. Aku memang ingin menyampaikan perasaan hatiku setelah bertemu denganmu. Sudah sekian lama tidak saling bertemu dan tadi begitu melihatmu, jantungku berdebar tidak karuan. Kini engkau sudah menjadi gadis dewasa yang cantik seperti bidadari dan juga tangguh seperti seorang pendekar wanita. Aku merasa kagum sekali, Hong-moi.”
“Wah, pujianmu terlalu muluk, Kun-ko. Aku hanya seorang gadis biasa, mana mungkin disamakan dengan bidadari?” Kwi Hong lalu tertawa dan Cia Kun juga tertawa. Inilah yang didengarnya oleh Han Li sebelum ia masuk ke dalam istana.
“Sungguh, Hong-moi. Aku tidak main-main. Di dalam istana ayahku ada sebuah patung Dewi Kwan Im, dan kulihat engkau mirip patung itu, lebih elok malah.”
“Aku kau samakan dengan Kwan Im Pousat? Ngaco! Engkau terlalu memujiku, padahal engkau sendiri seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Tentu banyak gadis puteri istana yang tergila-gila padamu.”
“Entahlah, aku tidak memperhatikan mereka. Tidak ada seorang pun puteri istana yang dapat menyamai engkau, Hong-moi. Karena itulah, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk meminangmu sebagai calon isteriku.”
“Ihh! Jangan bicara soal perjodohan, Kun-ko.” Kwi Hong membalikkan diri dan mukanya menjadi merah sekali. Cia Kun mengitarinya dan menghadapinya.
“Engkau marah, Hong-moi? Maafkan kelancanganku kalau begitu. Akan tetapi sebelum ayah bundaku melamarmu, aku ingin lebih dahulu mengetahui darimu, apakah hatimu sudah ada yang punya? Kalau engkau tidak setuju, katakan saja sekarang agar orang tuaku tidak usah melamar kalau kemudian kau akan menolaknya. Maka itu, katakanlah, bagaimana kalau ayah bundaku melamarmu?”
Kwi Hong merasa terharu sekali. Ia memang pernah jatuh cinta pada seorang pemuda, dan pemuda itu adalah Keng Han. Akan tetapi ternyata bahwa Keng Han adalah kakak sepupunya, satu marga sehingga tidak mungkin sekali mereka menjadi suami isteri.
Sekarang Cia Kun menyatakan cintanya. Ditanya seperti itu, tentu saja sukar baginya untuk menjawab. Di dalam hatinya, ia pun kagum dan suka kepada Cia Kun. Seorang pemuda bangsawan, putera pangeran yang terkenal berbudi, seorang pemuda yang juga tidak lemah, karena ibunya seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi. Mau apa lagi?
“Hong-moi, jawablah. Jangan biarkan aku dalam keraguan yang akan menyiksa hatiku. Aku tidak akan merasa sakit hati andai kata engkau menolakku. Aku hanya ingin adanya kepastian dan jawablah selagi kita hanya berdua di sini.”
“Ahhh, Kun-ko... urusan begituan... kuserahkan saja kepada ayah dan ibuku. Mari kita kembali kepada mereka.“
Dan tanpa menanti jawaban Kwi Hong lalu berlari masuk, disusul oleh Cia Kun. Pemuda ini merasa gembira bukan main. Dia tahu bahwa kalau seorang gadis setuju dipinang, ia pasti akan mengatakan seperti yang dikatakan gadis itu, yaitu menyerahkan kepada orang tuanya. Kalau tidak setuju, pasti terus terang dikatakan tidak setuju!
Ketika Cia Kun dan Sim Hui Eng melihat putera mereka kembali dari taman bersama Kwi Hong dan wajah pemuda itu berseri serta matanya bersinar-sinar, mereka sudah dapat menduga. Apa lagi saat melihat Kwi Hong malu-malu duduk sambil menundukkan mukanya!
Mereka berpamit dan diantar oleh Pangeran Tao Kuang dan selirnya sampai ke pintu depan. Dengan hati gembira dan tidak sabar lagi, Cia Kun lalu menceritakan kepada ayah bundanya bahwa dia telah menyatakan cintanya kepada Kwi Hong dan agaknya gadis itu tidak berkeberatan. Maka dia minta kepada ayah ibunya untuk meminang gadis itu. Cia Sun dan isterinya gembira mendengar berita ini karena mereka tentu setuju sekali kalau mempunyai menantu puteri Pangeran Mahkota. Mereka berjanji akan melakukan pinangan secepat mungkin…..
*********
Bi-kiam Niocu Siok Bi Kiok melakukan perjalanan seorang diri. Berulang kali ia menarik napas panjang karena hatinya murung dan kecewa sekali. Sampai usianya yang dua puluh dua tahun, dia belum pernah merasa jatuh cinta terhadap seorang pria. Apa lagi akibat penekanan dari subo-nya bahwa semua pria adalah jahat dan palsu, dia bahkan membenci kaum pria.
Dan karena ia seorang gadis yang berwajah cantik, maka tentu saja dalam perjalanan ia banyak digoda pria yang mengakibatkan pria-pria itu tewas terbunuh olehnya. Akan tetapi sejak ia bertemu Keng Han, entah bagaimana ia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu. Ilmu kepandaian dan watak serta ketampanan wajah pemuda itu membuatnya tergila-gila. Bahkan saking cintanya, ia lalu menjadikan pemuda itu sebagai muridnya dan ikut membantunya menghadap Dalai Lama.
Akhirnya ia pun minta pemuda itu agar suka menjadi suaminya, walau pun maksud ini bertentangan dengan ajaran subo-nya. Ia berani menentang maut demi cintanya kepada pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu menolaknya.
Sakit sekali rasa hatinya. Ingin dia membunuh pemuda itu, akan tetapi kembali hatinya kecewa karena ternyata dia tidak mampu mengalahkan Keng Han, bahkan sebagian rambutnya putus di tangan pemuda itu. Rasa sakit hatinya bertambah.
Apa lagi ketika Keng Han mengakui bahwa dia mencintai Cu In yang berwajah cacat dan buruk! Dari pada memilih dirinya yang cantik jelita, pemuda itu malah memilih gadis yang cacat wajahnya! Hal ini amat menyakitkan dan mengecewakan hatinya dan kini ia pergi ke Bu-tong-pai untuk menghibur diri dan melihat apa yang terjadi di sana.
Pada suatu hari tibalah ia di kota Hue-nam. Kota ini cukup besar dan Niocu memasuki pintu gerbang kota itu. Karena hari telah senja, ia hendak melewatkan malam di kota itu. Mulailah dia mencari rumah makan yang juga merupakan penginapan. Setelah melihat rumah penginapan yang dari papan namanya diketahui bernama Losmen Hok-lai, ia lalu masuk ke rumah makan di depan penginapan itu.
Masuknya seorang wanita seperti Niocu, yang cantik jelita dan sendiri pula, tentu saja menarik perhatian banyak orang, terutama para prianya. Kebetulan dalam rumah makan itu maslh terdapat meja yang kosong dan Niocu disambut seorang pelayan serta diajak menuju ke sebuah meja kosong di sudut. Puluhan pasang mata pria mengikutinya dan memandang dengan kagum. Akan tetapi Niocu tidak mengacuhkan. Sudah biasa baginya melihat mata pria menantapnya penuh kagum. Asal tidak ada yang berucap atau berbuat kurang ajar, ia tidak ambil peduli.
Akan tetapi hatinya tertarik sekali melihat seorang pemuda yang juga duduk seorang diri menghadapi meja. Pemuda itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, bertubuh tinggi besar, dan wajahnya berbentuk bundar dengan mata yang lebar. Pemuda itu duduk menghadap ke arahnya, akan tetapi pemuda itu bersikap tidak acuh. Melihat ini hati Niocu menjadi penasaran. Belum pernah dara ini melihat laki-laki yang bersikap acuh tak acuh terhadap kehadirannya. Sekali pun pemuda itu tak memandang kepadanya!
Wanita memang aneh. Diperhatikan orang tidak suka, akan tetapi tidak diacuhkan juga tidak senang dan penasaran. Dengan sengaja Niocu menaruh pedangnya di atas meja sambil agak dibanting untuk menimbulkan suara agar pria di depan itu memperhatikan dirinya.
Akan tetapi pria itu mengangkat muka dan hanya memandang kepada pedangnya di atas meja, sama sekali tidak melirik kepadanya! Padahal semua pria yang berada di rumah makan itu menoleh kepadanya. Kepada pelayan yang mengantarnya ke meja itu ia lalu memesan masakan yang mahal, juga dengan suara tinggi agar terdengar pemuda di depannya itu. Akan tetapi kembali sang pemuda tidak mengacuhkannya, bahkan mulai makan kacang goreng yang berada di mejanya sambil sesekali minum araknya dari cawan.
Bila pemuda itu tidak mempedulikan Niocu, sebaliknya ada empat orang pemuda yang tidak menyembunyikan kekaguman mereka. Empat orang pemuda ini jelas merupakan pemuda-pemuda bangsawan atau hartawan. Pakaian mereka mewah sekali dan usia mereka rata-rata dua puluh lima tahun.
“Bukan main cantiknya nona itu! Hatiku seketika jatuh!” terdengar seorang di antara mereka berkata, suaranya cukup lantang untuk dapat terdengar oleh Niocu.
“Kasihan ia makan seorang diri, bagaimana kalau kita undang ia makan di meja kita?” kata orang kedua.
“Bagus sekali. Meja kita cukup lebar untuk ditempati lima orang. Akan tetapi bagaimana kalau ia menolak undangan kita dan marah?” kata yang ketiga.
“Hemmm, siapa yang tidak mengenalku, si penakluk wanita? Belum, pernah ada wanita yang menolak undanganku. Kalian lihat saja!” berkata orang keempat, seorang pemuda yang paling pesolek di antara mereka dan memang wajahnya tampan sekali.
Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja Niocu. Kepada gadis itu dia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Niocu menghadapinya dengan dingin dan tenang, tidak membalas penghormatan itu.
“Maafkan aku, Nona. Namaku Teng Sin, dan melihat Nona duduk seorang diri, kami berempat merasa kasihan. Maka saya mengundang Nona untuk duduk makan bersama di meja kami. Kami yang akan membayar semua pesanan Nona! Marilah, Nona, kami mengundang dengan hormat!”
Niocu mengerutkan alisnya. Meski pun pemuda itu secara tidak wajar mengundangnya makan bersama, namun ucapannya sopan dan ia masih dapat menahan diri. Pemuda ini tidak kurang ajar, hanya mengundang makan dengan hormat walau pun undangan itu tidak wajar karena mereka tidak saling mengenal.
“Terima kasih. Aku ingin makan sendirian di sini, tidak ingin ditemani siapa pun juga,” jawabnya dingin.
“Aih, Nona. Mengapa Nona menolak undangan kami? Kami bermaksud baik, Nona. Aku Teng Sin selalu memandang tinggi gadis-gadis cantik dan sangat menghargai mereka. Marilah, Nona, harap jangan malu-malu.”
Kalau tadinya Niocu hanya menunduk, kini ia mengangkat muka dan matanya bersinar tajam memandang kepada pemuda itu, mula-mula ke wajah lalu pakaiannya. Pemuda yang tampan dan pesolek, model pemuda-pemuda yang suka mempermainkan wanita.
“Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Cepat pergilah!” kata Niocu, masih dapat menahan kesabarannya. “Pergi atau engkau akan menyesal nanti!”
Akan tetapi mana pemuda itu mau pergi? Dia telah berdiri di dekat Niocu dan melihat betapa cantiknya gadis itu.
“Nona begini cantik seperti bidadari, tentu berbudi mulia seperti bidadari pula dan tidak akan menolak maksud baik kami. Marilah, nona manis, engkau tentu akan mendapatkan kegembiraan makan semeja dengan kami. Kami adalah pemuda-pemuda hartawan dan bahkan di antara kami ada yang menjadi putera jaksa. Engkau akan terhormat kalau memenuhi undangan kami.” Pemuda itu tidak mau kalah dan terus membujuk.
“Hemmm, sudah ditolak masih terus minta-minta dan merengek. Sungguh bermuka tebal dan tidak tahu malu!”
Terdengar suara orang dan ketika semua orang menoleh, ternyata yang bicara adalah pemuda yang makan kacang goreng itu. Niocu juga memandang dan melihat pemuda itu masih makan kacang goreng, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan kepada pemuda hartawan itu. Pemuda hartawan itu menjadi marah sekali dan dengan langkah lebar dia menghampiri pemuda yang mengeluarkan kata-kata mengejeknya tadi.
“Siapa engkau? Berani mencampuri urusanku?” Dan tiga orang pemuda lain juga sudah bangkit berdiri siap mengeroyok pemuda bermata lebar itu.
Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum. Dia lalu mengambil empat biji kacang goreng, dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian dengan tiba-tiba dia menyemburkan empat biji kacang itu dari mulutnya dan empat orang pemuda itu mengaduh sambil meraba pipi mereka. Ternyata semburan kacang itu mengenai pipi mereka dan terasa nyeri bukan main seolah pipi mereka disambar benda keras yang membuat pipi itu lecet dan kulitnya pecah!
Empat orang pemuda itu adalah pemuda-pemuda kaya yang biasanya tidak pernah disentuh orang. Apa lagi di antara mereka terdapat putera jaksa yang membuat mereka berani melakukan apa saja. Kini, melihat ada orang berani menentang mereka bahkan melukai mereka, empat orang pemuda itu menjadi semakin marah.
“Orang lancang dan kurang ajar! Engkau pantas dihukum!” kata mereka dan empat orang itu maju hendak menghajar laki-laki itu.
Kini pria itu menenggak arak dari cawan dan kembali dia menyemburkan arak itu ke arah empat orang yang mengancamnya. Kini empat orang itu terhuyung ke belakang, muka mereka rasanya seperti ditusuk banyak jarum sehingga mata mereka juga sukar dibuka.
Barulah mereka menyadari bahwa pemuda itu seorang yang berilmu tinggi. Mereka menjadi ketakutan dan tanpa dikomando, mereka serentak mundur dan melarikan diri keluar dari rumah makan itu!
Niocu menjadi kagum. Orang itu tentu lihai sekali dan ketika laki-laki itu memandang kepadanya, ia mengangguk dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu.”
Pemuda itu pun mengangguk dan melanjutkan makan minum. Niocu juga makan minum seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Pemuda itu selesai makan dan setelah membayar harga makanan, dia keluar lebih dulu. Tidak lama kemudian, Niocu juga selesai makan, membayar harga makanan ia lalu berkata kepada pelayan bahwa ia hendak bermalam di rumah penginapan Hok-lai itu.
Si pelayan segera mengantar Niocu masuk ke dalam dan mendapatkan sebuah kamar di loteng. Kamar itu menghadap ke jalan sehingga dari jendela kamarnya Niocu dapat menjenguk keluar dan melihat lalu lintas di jalan raya yang berada di luar losmen itu. Baru saja Niocu melepaskan buntalan pakaiannya dan bersiap hendak mandi, tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia menghampiri jendela dan menjenguk keluar.
Dan ia melihat betapa tidak begitu jauh dari losmen itu, terdapat seorang pemuda yang dikeroyok belasan orang. Ia segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang tadi sudah membantunya. Cepat ia turun dari loteng dan keluar. Pemuda itu memang benar-benar tangguh. Para pengeroyoknya adalah tukang-tukang pukul yang memegang senjata golok dan ruyung, akan tetapi pemuda itu hanya dengan kedua tangan kosong saja melawan mereka, membagi pukulan dan tendangan.
Melihat ini, Niocu tidak sabar lagi dan segera berlari ke tempat itu dan terjun ke dalam perkelahian. Belasan orang itu yang tadinya memang sudah kewalahan mengeroyok si pemuda, kini menjadi kalang kabut diterjang oleh Niocu. Niocu juga tidak menggunakan pedangnya, hanya menggunakan kedua tangan dan kaki saja, akan tetapi dalam waktu singkat ia sudah merobohkan lima orang!
Pemuda itu pun dengan cepat merobohkan beberapa orang. Para pengeroyok menjadi jeri bukan main melihat sepak terjang dua orang yang sedang mereka keroyok. Mereka segera melarikan diri sambil memapah teman-teman mereka yang sudah roboh. Pemuda itu berhadapan dengan Niocu.
“Terima kasih atas bantuanmu!” katanya sambil mengangguk.
Niocu balas mengangguk dan keduanya lalu pergi karena di situ terdapat banyak orang yang menonton. Niocu kembali ke losmen dan segera mandi serta bertukar pakaian. Akan tetapi sejak tadi dia tidak pernah dapat melupakan pemuda yang tadi dibantunya.
Seorang pemuda yang gagah, pikirnya dan diam-diam ia merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya. Bukan pemuda mata keranjang, bukan pemuda usil yang suka menggoda wanita. Akan tetapi pemuda itu sungguh gagah dan lihai.
Pada keesokan harinya, Niocu melanjutkan perjalanan menuju ke Bu-tong-pai. Ketika ia tiba di luar kota Hue-nam, ia melihat seorang pria berjalan di depannya, menuju arah yang sama. Meski ia hanya melihat dari belakang, namun hatinya berdebar karena dia mengenal orang itu sebagai pemuda yang kemarin. Dia mempercepat langkahnya mengejar dan ternyata dugaannya benar. Ia melampaui pemuda itu, pura-pura tidak melihatnya karena rasanya tidak pantas kalau ia sebagai seorang wanita menegur lebih dulu.
“Perlahan dulu, Nona,” terdengar suara pemuda itu.
Niocu menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya. Kini dia berhadapan dengan pemuda itu.
“Ah, kiranya engkau!” katanya dengan wajar.
“Nona, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Kalau aku boleh bertanya, Nona hendak pergi ke manakah?”
“Aku hendak pergi ke Bu-tong-san.”
Wajah pemuda tampan itu berseri. “Ah, sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan. Aku pun sedang menuju ke Bu-tong-pai, Nona!”
Niocu memandang dengan tajam seolah-olah hendak menjenguk isi hati pemuda itu. “Apakah engkau murid Bu-tong-pai?”
“Sama sekali bukan. Akan tetapi aku mengenal baik ketua Bu-tong-pai dan aku menjadi tamu di sana. Kalau memang engkau hendak pergi ke Bu-tong-san, apa bila Nona tidak berkeberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama. ”Ucapan pemuda itu wajar saja. “Akan tetapi kalau Nona keberatan, aku pun tidak akan memaksa atau kecewa.”
Niocu diam-diam merasa gembira sekali. Ia sudah tertarik kepada pemuda ini dan ingin mengenalnya lebih baik. Ternyata secara kebetulan sekali bertemu di sini dan arah perjalanan mereka ternyata sama!
Tentu saja ia tidak tahu sama sekali betapa sejak pagi sekali tadi, pemuda itu dengan sembunyi sudah mengamatinya dan tahu bahwa dia meninggalkan losmen dan pergi keluar kota. Pemuda itu selalu membayanginya dan ketika melihat ia pergi ke jurusan itu, pemuda itu dengan jalan memutar mendahuluinya!
“Aku hendak ke Bu-tong-pai dan mendengar bahwa di sana akan diadakan pertemuan orang-orang kang-ouw, aku pergi ke sana untuk meluaskan pengalaman. Engkau tentu mengetahui tentang Bu-tong-pai, apakah benar akan ada pertemuan besar di sana?”
“Benar sekali, Nona. Bahkan aku baru pulang setelah mengirim undangan-undangan dari Bu-tong-pai. Aku dimintai bantuan oleh ketua Bu-tong-pai. Dan sekarang, biarlah kami mengundang juga Nona untuk menghadiri pertemuan itu sebagai tamu agung.”
“Aihh, kebetulan sekali kalau begitu.”
“Jadi Nona tidak keberatan kalau melakukan perjalanan bersamaku ke sana?”
“Tentu saja tidak.”
“Terima kasih atas kepercayaan Nona padaku. Nona, namaku Gulam Sang. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama Nona?”
“Namaku Siang Bi Kiok, akan tetapi dunia kang-ouw lebih mengenalku sebagai Bi-kiam Niocu.”
“Ahhh! Jadi Nona yang disebut Bi-kiam Niocu? Sudah lama sekali aku mendengar dan mengagumi Bi-kiam Niocu yang kabarnya pandai sekali menggunakan pedang. Kiranya Nonalah orang itu dan sekarang bahkan aku mendapat kehormatan untuk melakukan perjalanan bersama.”
Melihat kegembiraan pemuda itu Niocu merasa senang. Semua itu begitu wajar dan pemuda ini tidak bermuka-muka.
“Melihat namamu tentu engkau seorang asing. Boleh aku mengetahui dari mana engkau berasal?”
Gulam Sang menjawab cepat. “Memang aku berasal dari Tibet, Nona. Tetapi setelah berada di sini aku tidak merasa sebagai orang asing.”
“Mari kita lanjutkan perjalanan kita sambil bercakap-cakap, saudara Gulam Sang. Ahh, aku harus menyebut apa padamu?“
“Sebut saja namaku tanpa embel-embel, dan aku akan menyebut Niocu kepadamu,” kata Gulam Sang merendah.
“Baiklah, Gulam Sang. Aku melihat betapa hebat kepandaianmu ketika menghadapi empat pemuda di rumah makan dan ketika tadi dikeroyok banyak tukang pukul. Engkau dari perguruan manakah? Dan siapakah gurumu?”
“Guruku hanya satu, yaitu Sang Dalai Lama di Tibet.”
“Aihh, tidak mengherankan kalau begitu. Dalai Lama adalah seorang yang sakti. Aku pernah menghadap dia dan menyaksikan kehebatan ilmunya. Mengapa waktu aku ke sana engkau tidak berada di sana, Gulam Sang?”
“Aku sudah lama sekali meninggalkan Tibet. Sudah lebih dari lima tahun. Tentu aku sudah pergi dari sana ketika engkau menghadap guruku. Akan tetapi, mengapa engkau pergi menghadap guruku, Niocu? Ada keperluan apakah engkau dengan guruku?”
“Ahh, aku sendiri tidak memiliki urusan apa pun dengannya. Akan tetapi aku mengantar seorang kawan bernama Si Keng Han yang mendendam kepada Dalai Lama karena Dalai Lama menyuruh para Lama untuk membunuh gurunya yang namanya Gosang Lama.”
Berdebar jantung dalam dada Gulam Sang. Tentu saja dia telah mengetahui semuanya. Gosang Lama itu adalah ayah kandungnya sendiri yang dihukum mati oleh Dalai Lama karena telah memberontak. Dan dia pun pernah bertemu dengan Keng Han beberapa kali, bahkan pernah bertanding pula melawan pemuda itu yang dia tahu amat lihai. Dan Niocu ini agaknya bersahabat baik dengan Keng Han!
Pada saat itu dia membutuhkan pembantu yang pandai dan begitu bertemu dengan Niocu hatinya tertarik, apa lagi mendengar bahwa nona ini Bi-kiam Niocu yang namanya tersohor. Timbul niat di dalam hatinya untuk memikat gadis ini supaya suka menjadi pembantunya. Setelah menggunakan siasat, akhirnya dia pun dapat berkenalan dengan gadis ini.
“Niocu, sebagai seorang yang mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi seperti engkau ini, apakah engkau tidak mempunyai cita-cita untuk masa depan?”
Niocu menoleh sambil terus berjalan. “Cita-cita? Apakah maksudmu? Aku sudah puas dengan keadaanku yang sekarang.”
“Ahh, mana mungkin orang puas dengan keadaannya sekarang? Orang harus memiliki cita-cita untuk memperoleh kemajuan dalam hidupnya.”
Niocu menghela napas. Cita-cita apa? Dia mengharapkan menjadi jodoh Keng Han, tapi ternyata gagal dan ditolak pemuda itu! Dia pun tidak kerasan tinggal di Beng-san, di bekas rumah gurunya yang kini telah mengikuti The Ciangkun, hidup di kota raja!
“Saat ini aku belum mempunyai cita-cita, Gulam Sang. Dan bagaimana dengan engkau? Apakah engkau memiliki cita-cita yang muluk?”
“Tentu saja! Aku bercita-cita membantu gerakan Bu-tong-pai yang sedang berusaha menggulingkan pemerintah Mancu. Kalau gerakan itu berhasil, tentu aku memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai pahalaku. Alangkah senangnya kalau aku memperoleh kedudukan tinggi. Aku akan memiliki kekuasaan, harta, juga dihormati dan dimuliakan orang! Apakah engkau tidak ingin seperti itu?”
Niocu diam saja, namun alisnya berkerut dan ia pun membayangkan, mengingat-ingat. Kemudian dia mengangguk. “Kalau bisa demikian, tentu aku akan senang sekali. Aku pun bercita-cita seperti itu, Gulam Sang. Akan tetapi bagaimana caranya?”
“Mudah saja, Niocu. Kalau engkau mau membantu aku, kelak tentu engkau juga akan memperoleh pahala yang besar. Aku yang menanggung itu. Kita bekerja sama dengan Bu-tong-pai serta dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mengadakan pemberontakan dan menggulingkan pemerintah Mancu. Nah, mudah saja, bukan? Aku sendiri ingin sekali bekerja sama denganmu. Kawan-kawan lain tentu akan bergembira mendengar bahwa Bi-kiam Niocu mau bekerja sama dengan kami!”
Hati Bi-kiam Niocu semakin tertarik. Dara ini tidak tahu betapa diam-diam Gulam Sang sejak tadi sudah mengerahkan ilmu sihirnya sehingga dalam penglihatan Niocu, Gulam Sang kelihatan sebagai orang yang amat baik hati dan wajahnya amat menarik hatinya.
Mereka melanjutkan perjalanan. Gulam Sang cukup cerdik sehingga dia bersikap sopan sekali terhadap Niocu. Bahkan pada suatu malam yang dingin, ketika mereka terpaksa melewatkan malam di hutan, ketika melihat Niocu seperti orang yang sudah pulas, padahal dia tahu betul wanita itu belum tidur nyenyak, dia melepaskan jubahnya dan dipergunakan untuk menyelimuti Niocu!
Niocu tahu akan hal itu, dan dia diam saja karena cara Gulam Sang menyelimutinya dilakukan dengan sopan, sedikit pun tangan pemuda itu tidak menyentuh kulit tubuhnya. Gulam Sang juga berjaga semalam suntuk untuk menjaga supaya perapian yang dibuat dari api unggun itu tidak sampai padam.
Demikian pula kalau mereka membutuhkan makanan, Gulam Sang selalu mencarikan untuk mereka. Dalam perjalanan bersama ini, Niocu melihat bahwa Gulam Sang lebih memperhatikan dirinya dibanding Keng Han dahulu. Tanpa kata ia dapat mengerti bahwa Gulam Sang jatuh cinta kepadanya.
Hal ini mendatangkan kebanggaan di hatinya. Kini ia pun sama sekali tidak membenci pria yang jatuh hati padanya, semenjak gurunya menyatakan bahwa semua pantangan dan larangan itu telah dihapus. Ia boleh menikah dengan pria yang dicinta dan mencinta dirinya.
Dan bagi Gulam Sang sendiri, Bi-kiam Niocu merupakan tenaga yang sangat penting. Selain gadis ini cantik jelita sehingga dia akan merasa puas dan senang kalau dapat memperisterinya, juga gadis ini memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga dapat menjadi pembantu yang berharga.
Berbeda dengan Liong Siok Hwa yang sekarang menjadi kekasihnya itu. Siok Hwa juga seorang gadis manis, namun masih kalah dibandingkan dengan Niocu. Dan Siok Hwa hanya memiliki ilmu silat rendah saja, tidak banyak gunanya untuk membantunya. Juga tidak ada orang tahu bagaimana hubungannya dengan Siok Hwa yang kini berada di Bu-tong-pai. Para murid Bu-tong-pai hanya menganggap bahwa Siok Hwa adalah tamu dari ketua mereka dan sahabat dari Gulam Sang!
Saat mereka tiba di Bu-tong-pai, Gulam Sang disambut para murid dengan sikap hormat sebab orang ini merupakan tamu kehormatan ketua mereka. Pernah Thian It Tosu, tentu saja sebagai penyamaran Gulam Sang, memesan kepada para muridnya agar supaya memperlakukan Gulam Sang sebagai tamu terhormat karena Gulam Sang merupakan kenalan dekat dengan Thian It Tosu!
Bi-kiam Niocu sudah mempunyai nama besar, maka orang-orang Bu-tong-pai juga telah mendengar akan kelihaian pendekar wanita itu. Maka semua orang menghormatinya. Oleh Gulam Sang, Niocu diberi sebuah kamar yang bersih dan lengkap. Ketika Niocu bertanya di mana adanya Thian It Tosu, Gulam Sang menjawab bahwa Thian It Tosu kini lebih sering kali mengurung diri di dalam ruangan bersemedhi dan tak mau diganggu. Pada waktunya dia akan keluar sendiri dari kamar semedhi itu. Sebelum dia keluar, tak seorang pun boleh mengganggunya.
Pada keesokan harinya, benar saja Thian It Tosu keluar dari dalam kamarnya dan murid kepala memberi laporan bahwa keadaan Bu-tong-pai baik-baik saja dan bahwa Gulam Sang telah pulang akan tetapi karena ada urusan ke dusun di kaki bukit, pagi-pagi tadi sudah berangkat meninggalkan Bu-tong-pai!
Dari kalangan Bu-tong-pai hanya Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang mengetahui bahwa Gulam Sang tidak turun gunung, melainkan menyamar sebagai Thian It Tosu yang sekarang ada di hadapan para murid itu. Selain dua orang itu, tidak ada orang lain yang tahu. Dua orang ini berada di bawah tekanan dan ancaman bahwa Thian It Tosu yang asli akan dibunuh kalau mereka membocorkan rahasia.
Orang ke tiga yang mengetahuinya adalah Liong Siok Hwa yang terpaksa mau dijadikan kekasih Gulam Sang. Ia telah ternoda, ayahnya telah tewas dan biar pun bagaimana juga, ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Gulam Sang.
Akan tetapi semenjak Bi-kiam Niocu datang bersama Gulam Sang dan mendapatkan sebuah kamar yang besar, hati Liong Siok Hwa menjadi tidak enak. Gadis itu terlalu cantik untuk tidak dicurigai. Apa lagi melihat sikap Gulam Sang terhadap gadis itu yang begitu manis budi dan menghormat, hati Liong Siok Hwa dipenuhi rasa cemburu yang hebat.
Dia sudah terlalu mengenal Gulam Sang sehingga ia tahu pula bahwa Gulam Sang mencinta gadis yang baru datang itu. Dan sejak kehadiran Bi-kiam Niocu di Bu-tong-pai, Gulam Sang tidak pernah berkunjung ke kamarnya di waktu malam seperti biasanya, seolah Gulam Sang telah lupa kepadanya.
Pada hari yang sudah ditentukan, berdatanganlah para tokoh kang-ouw di Bu-tong-pai. Sebuah panggung didirikan dan dikelilingi kursi-kursi untuk para tamu. Thian It Tosu sendiri sebagai tuan rumah duduk di belakang panggung, didampingi oleh Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang merupakan murid-murid kepala dari Bu-tong-pai.
Dua orang murid ini sama sekali tidak berani berkutik, apa lagi membongkar rahasia Gulam Sang karena orang ini telah mengancam akan membunuh guru mereka yang ditahan di ruangan tahanan bawah tanah oleh Gulam Sang dan dijaga siang malam oleh orang-orang Pek-lian-pai yang membantu Gulam Sang.
Di antara para tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi, termasuk ketua-ketua partai dan para datuk, hadir pula di situ Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan puterinya, Yo Han Li. Han Li telah meninggalkan kota raja bersama gurunya, Kai-ong Lu Tong Ki. Han Li mengatakan kepada Kai-ong bahwa sudah tiba saatnya ia harus pulang ke Bukit Naga, pusat Thian-li-pang.
“Engkau telah menguasai ilmu Tongkat Pemukul Iblis, maka tidak perlu lagi mengikuti aku. Pulanglah, Han Li, dan selalu bersikaplah sebagai seorang pendekar wanita yang menegakkan kebenaran dan keadilan.”
“Apakah Suhu tidak ikut bersama teecu ke Bukit Naga dan bertemu dengan ayah bundaku?”
Lu Tong Ki menggoyang-goyang tangan kirinya. “Bertemu Pendekar Tangan Sakti dan pendekar wanita Si Bangau Merah? Wah, tidak, aku malu sudah mengangkat engkau menjadi muridku.”
“Tidak apa-apa, Suhu. Aku yang menanggung kalau orang tuaku marah kepadamu.”
“Tidak, aku lebih senang merantau dan mencari makanan yang enak-enak. Selamat jalan!” kata kakek itu yang lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan muridnya itu.
Han Li merasa kehilangan. Sudah lama ia hidup di dekat kakek itu, menerima pelajaran Tongkat Pemukul Iblis dan ikut pula makan enak di dapur istana Pangeran Mahkota, bahkan sampai menjadi tamu pangeran itu selama beberapa pekan. Han Li tidak tahu betapa gurunya itu pergi dengan wajah muram dan hati yang merasa sengsara.
Manusia memang sukar membebaskan diri dari pada ikatan-ikatan antara manusia, ikatan dengan harta benda, dengan kedudukan, dengan kepandaian. Segala sesuatu yang menyenangkan segera melekat dan mengikat manusia sehingga dia merasa sedih kalau harus berpisah dengan yang menyenangkan itu.
Han Li pulang dan banyak sekali yang diceritakan kepada ayah bundanya. Juga tentang orang-orang yang hendak membunuh kaisar dan pangeran mahkota, dan orang-orang yang tertangkap hidup itu mengaku bahwa mereka itu orang dari Thian-li-pang, padahal kenyataannya mereka adalah orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
“Keparat!” Yo Han marah sekali. “Kiranya begitu permainan mereka? Mereka melakukan fitnah keji untuk memburukkan nama Thian-li-pang. Jika pemerintah mendengar ini tentu kita akan diserbu pasukan!”
“Harap jangan khawatir, Ayah. Aku sudah menjadi saksi bahwa mereka bukan orang Thian-li-pang karena tidak ada yang dapat mengenali aku dan ketika kurobek baju di dada mereka terdapat tanda-tanda Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai di dada mereka. Baik kaisar mau pun pangeran mahkota melihat sendiri sehingga kita bebas dari tuduhan yang merupakan fitnah itu.”
Han Li kemudian bercerita betapa ia bertemu dengan Kai-ong Lu Tong Ki dan menjadi muridnya mempelajari ilmu Tongkat Pemukul Iblis, dan betapa dengan gurunya itu ia menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota.
“Aku melihat sendiri bahwa Pangeran Mahkota sekeluarganya adalah orang-orang yang baik dan dapat menghargai orang-orang gagah.”
Yo Han yang marah kepada Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ketika mendengar bahwa Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengadakan undangan kepada orang-orang gagah, lalu berangkat dan kini dia ditemani isterinya, Si Bangau Merah serta puterinya.
Nafsu memang menguasai manusia, tidak peduli orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Nafsu yang semula diikut-sertakan manusia agar manusia dapat hidup bahagia, ternyata nafsu yang tadinya hanya menjadi peserta dan alat, sebaliknya malah menjadi majikan manusia. Dalam segala tindakannya, manusia selalu dikendalikan nafsu. Rasa benci, marah, dendam, iri dan sebagainya adalah akibat dari batin yang dikuasai nafsu.
Nafsu menghendaki kesenangan dan kalau kesenangan itu diganggu maka timbullah marah dan benci yang akibatnya melahirkan duka. Sejak jaman dahulu kala sampai sekarang, orang sudah menyadari akan hal ini. Sudah banyak usaha dilakukan manusia untuk mengendalikan nafsu. Melalui agama, bertapa, menyiksa diri dan sebagainya.
Akan tetapi semua itu telah gagal. Kegagalan ini terbukti dari keadaan dunia di jaman dahulu sampai saat ini. Permusuhan terjadi di mana-mana, bukan hanya permusuhan antara negara dan bangsa, bahkan permusuhan antara bangsa sendiri, antara rekan, teman dan bahkan keluarga. Padahal mereka itu semua beragama, semua maklum akan bekerjanya nafsu yang menyeret manusia pada perbuatan jahat dan permusuhan.
Kenapa demikian? Karena pengertian mereka hanya sebatas akal pikiran saja. Padahal, nafsu daya rendah telah menguasai hati dan akal pikiran kita. Dalam keadaan demikian maka hati akal pikiran ini bahkan membela perbuatan-perbuatan kita yang sesat. Kalau dua orang bermusuhan, tentu hati akal pikiran selalu membela diri sendiri sebagai pihak yang benar dan lawannya sebagai pihak yang bersalah!
Bahkan seorang pencuri pun, yang tentu tahu bahwa mencuri itu tidak baik atau jahat, dibela hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu yang lalu mengatakan bahwa manusia mencuri karena kelaparan sehingga mereka membutuhkan uang, karena ini dan itu. Pendeknya, hati akal pikiran membela perbuatan mencuri itu sebagai perbuatan yang tidak jahat.
Karena hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu, maka pengertian tidak ada gunanya, tidak dapat mengekang dan mengendalikan nafsu yang sudah menyusup ke dalam diri kita sampai ke tulang sumsum, sampai ke pembuluh darah. Buktinya cukup banyak.
Orang-orang yang katanya berkepandaian tinggi, berilmu, para sarjana dan cerdik pandai banyak yang melakukan tindakan menyimpang dari kebenaran. Ada yang korup, ada yang menyalah gunakan kekuasaannya, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pengertian atau kepandaian hati akal pikiran tidak berdaya menghadapi nafsu yang selalu ingin mencari enak, ingin mencari senang dan kepuasan lahir mau pun batin.
Kalau sudah begitu, bagaimana agar kita dapat mengendalikan nafsu? Hanya satu yang dapat mengendalikan nafsu, yaitu Penciptanya. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu menyingkirkan nafsu, yang mampu mengembalikan nafsu ke tempatnya semula, yaitu menjadi peserta dan pembantu manusia dalam kehidupannya, tidak menjadi majikan dari manusia. Karena itu, jalan satu-satunya bagi kita adalah menyerah kepada Tuhan! Penyerahan yang tulus ikhlas, dengan segala kerendahan hati, dengan tawakal dan kesabaran. Kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, tidak ada lagi hal yang tidak mungkin dilakukan. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita dan menundukkan nafsu.
Yo Han, isterinya Tan Sian Li, dan puteri mereka Yo Han Li, berangkat meninggalkan rumah dan pergi berkunjung ke Bu-tong-pai. Semua urusan perkumpulan Thian-li-pang diserahkan kepada para murid kepala untuk bekerja seperti biasa dan menjauhkan diri dari pertikaian dan permusuhan….
**********
“Cu-wi (Saudara sekalian) yang terhormat tentu sudah mendengar akan berita yang menyedihkan itu, yaitu bahwa bengcu Bhe Seng Kok telah tewas terbunuh orang yang tidak kita ketahui siapa orangnya. Oleh karena kedudukan bengcu sekarang ini sedang lowong, maka pinto (saya) memberanikan diri untuk mengundang Cu-wi berkumpul hari ini di Bu-tong-pai agar dapat melakukan pemilihan bengcu baru!” demikian Thian It Tosu berkata kepada para tamunya.
“Kami setuju...!” Banyak seorang orang berteriak.
Mereka yang berteriak itu adalah orang-orang kang-ouw golongan sesat yang memang sudah diatur terlebih dahulu oleh Gulam Sang. Terutama sekali para tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, mereka itu tanpa kecuali segera menyambut dengan teriakan setuju.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, melebihi suara banyak orang yang menyatakan setuju. “Tunggu dulu!”
Teriakan ini membuat semua orang yang berseru setuju berhenti berteriak dan semua orang menengok ke arah pembicara. Ternyata yang berseru nyaring tadi adalah Yo Han dan pendekar ini melompat naik ke atas panggung di mana Thian It Tosu berdiri.
Melihat ini, Thian It Tosu merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata lantang, “Siancai! Kiranya Yo-taihiap yang berseru tadi. Mengapa Taihiap berseru supaya kami menunggu dulu? Apa lagi yang harus ditunggu?”
Yo Han menjawab, suaranya lantang sehingga dapat terdengar semua orang. “Thian It Totiang, di antara kita telah terjalin persahabatan yang erat dan aku Yo Han mengakui bahwa Totiang adalah seorang ketua yang bijaksana dan para murid Bu-tong-pai adalah pendekar-pendekar yang menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi akhir-akhir ini telah terjadi perubahan besar di Bu-tong-pai. Totiang tak lagi memegang teguh kependekaran Bu-tong-pai. Seperti dulu, sekarang pun aku dapat melihat orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di sini! Mereka dan seluruh orang-orang golongan sesat tidak berhak untuk ikut melakukan pemilihan bengcu!”
“Siancai, ucapan Yo-taihiap keterlaluan. Bengcu adalah pemimpin dari dunia kang-ouw, tidak hanya milik orang-orang seperti Yo-taihiap ini. Dunia kang-ouw milik semua orang yang gagah perkasa, ahli-ahli silat di dunia tanpa membedakan golongan,” jawab Thian It Tosu.
“Tidak!” bentak Yo Han. “Semua locianpwe dan sahabat dari dunia kang-ouw pasti tidak menyetujui turutnya golongan sesat dalam pemilihan ini. Terutama sekali Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai! Aku pribadi mempunyai perhitungan dengan kedua perkumpulan sesat itu. Mereka mengirim pembunuh-pembunuh ke kota raja untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota. Hal itu bukan urusan kami, akan tetapi ketika di antara mereka ada yang tertangkap hidup, mereka mengaku sebagai anggota Thian-li-pang. Itu merupakan fitnah yang keji dan sekarang kita kebetulan berkumpul di sini, maka aku tantang para pimpinan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai untuk menyelesaikan urusan denganku melalui pertandingan!” Yo Han memang marah sekali karena nama Thian-li-pang difitnah oleh mereka.
Sesosok tubuh melayang ke atas panggung dan seorang tosu telah berdiri di depan Yo Han sambil tersenyum mengejek.
“Pinto Koai Tosu adalah seorang di antara pimpinan Pat-kwa-pai. Tidak kami sangkal bahwa Pat-kwa-pai mengirim orang-orangnya untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang. Semua pejuang yang menghendaki berakhirnya penjajahan Mancu tentu akan setuju dengan usaha kami itu. Akan tetapi tahukah Cu-wi, apa yang terjadi di sana? Orang-orang kita itu sudah dihadapi oleh puteri Yo-pangcu! Puteri Yo-pangcu membela pangeran mahkota! Dan tahukah Cu-wi apa artinya itu? Artinya bahwa Thian-li-pang telah menjadi antek penjajah!”
“Tutup mulutmu yang kotor!” Yo Han berteriak lantang, memandang Koai Tosu. “Puteri kami berada di sana sebagai tamu, dan sudah wajar kalau tamu membela tuan rumah yang hendak dibunuh. Dulu sudah kukatakan bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot, akan tetapi kami ingin menumbangkan kekuasaan penjajah bukan dengan cara-cara yang curang dan keji. Justru puteri kami yang mengetahui bahwa orang-orang yang mengaku orang Thian-li-pang itu sebetulnya adalah orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.”
“Kami mengaku sebagai orang Thian-li-pang bukan untuk melakukan fitnah, tetapi untuk menggugah semangat perjuangan Thian-li-pang yang kini agaknya menjadi lemah,” kata pula Koai Tosu penuh semangat.
“Cukup! Di sini sekali lagi kukatakan bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai tidak berhak ikut pemilihan bengcu dan aku menantang kalian untuk menyelesaikan urusan itu lewat pertandingan!” Yo Han berseru dengan tegas.
“Siancai! Agaknya Yo-pangcu menganggap diri sendiri yang paling hebat! Akan tetapi pangcu kami tidak hadir di sini sehingga tidak dapat memenuhi tantangan Yo-pangcu!”
Tiba-tiba Thian Yang Ji, tokoh Pek-lian-pai, juga meloncat dan berdiri di samping Koai Tosu. “Siancai, tantangan Yo-pangcu tidak dapat kami sambut karena ketua kami juga tidak berada di sini. Kalau Yo-pangcu merasa penasaran, boleh datang ke tempat kami agar ketua kami dapat menyambut!” kata Thian Yang Ji.
Melihat dua orang tosu ini, Yo Han sudah menjadi marah sekali.
“Kalian berdua pernah mengerahkan anak buah untuk mengeroyok kami dahulu ketika kami meninggalkan Bu-tong-pai. Kalian menggunakan banyak orang untuk mengeroyok kami. Kalau kalian memang ada kepandaian, kalian berdua boleh mewakili ketua kalian dan sekarang kalian berdua menghadapi aku!”
“Siancai! Pada waktu itu pun sudah ternyata bahwa ketua Thian-li-pang bersekutu dan menjadi antek penjajah. Ketika itu pun muncul pasukan penjajah membantu Yo-pangcu. Apakah Yo-pangcu akan menyangkal hal itu?”
“Sama sekali tidak!” jawab Yo Han. “Tetapi pasukan itu bergerak untuk menyelamatkan nona Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota, bukan untuk membantuku!”
Melihat suasana semakin panas, Thian It Tosu maju untuk melerai. “Sudahlah, tempat ini didirikan untuk pemilihan bengcu, sama sekali bukan untuk berkelahi. Urusan pribadi boleh diselesaikan di tempat lain, bukan di Bu-tong-pai. Kalau Sam-wi (Kalian bertiga) masih menghargai Bu-tong-pai sebagai sahabat, harap pertikaian ini tidak dilanjutkan di sini.”
Yo Han menyadari kebenaran ucapan Thian It Tosu, maka dia pun memberi hormat dan berkata, “Maafkan aku, Totiang. Ucapan Totiang benar dan aku tidak akan memaksa mereka untuk bertanding di sini. Akan tetapi aku tetap tidak setuju kalau yang dipilih itu orang dari golongan sesat!”
Ketika orang-orang membicarakan ucapan Yo Han yang mereka anggap mewakili para pendekar, di sebelah dalam bangunan induk Bu-tong-pai terjadi hal yang menarik. Pada saat semua perhatian ditujukan ke dalam, sesosok bayangan yang cepat seperti seekor burung walet sudah menyelinap masuk ke dalam gedung itu tanpa diketahui seorang pun.
Bayangan ini bukan lain adalah Keng Han. Pemuda ini datang ke Bu-tong-pai bukan tertarik oleh pemilihan bengcu, melainkan dia hendak mencari ayahnya, Pangeran Tao Seng yang disangkanya bersembunyi di Bu-tong-pai.
Di ruangan tengah dia melihat seorang wanita muda sedang dipegangi dua orang pria yang tinggi besar. Wanita itu meronta dan berteriak, “Aku harus membuka kedoknya! Thian It Tosu itu palsu adanya. Dia adalah Gulam Sang!”
Akan tetapi baru saja ia mengucapkan itu, seorang di antara dua orang tinggi besar menggerakkan tangannya, dihantamkan ke tengkuk gadis itu yang lantas terkulai lemas. Tewas seketika!
Keng Han yang bersembunyi tertegun. Dia tidak mengenal siapa adanya gadis itu, juga tidak mengetahui persoalannya. Pula, untuk menolong gadis itu sudah tidak keburu lagi, maka dia diam saja.
Ucapan gadis itu yang membuat dia tertegun. Thian It Tosu adalah Gulam Sang yang menyamar! Jika begitu, di mana adanya Thian It Tosu yang sesungguhnya? Dan wanita itu sudah dibunuh karena membocorkan rahasia itu.
Dia mencari terus, tidak mempedulikan dua orang dan gadis yang dibunuh itu. Setiap kamar dijenguknya, akan tetapi dia belum juga melihat adanya ayahnya di situ. Tiba-tiba nampak seorang murid Bu-tong-pai berjalan, agaknya dia yang bertugas menjaga dalam bangunan itu.
Keng Han menanti sampai bayangan itu mendekat. Dia meloncat, dan menyergapnya dengan totokan sehingga orang itu tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.
“Cepat katakan, di mana adanya Thian It Tosu?” katanya sambil membebaskan totokan pada leher orang itu sehingga dapat bicara.
“Suhu? Suhu jelas berada di luar, menyambut para tamu,” kata murid itu dengan heran.
“Dan di mana adanya Pangeran Tao Seng?”
“Tidak ada pangeran di sini!”
Keng Han mengingat-ingat, lalu bertanya, “Apakah di sini ada tempat tahanan rahasia?”
“Ada... ada…”
Keng Han lalu menotok lagi lehernya sehingga orang itu tidak mampu bersuara lagi, lalu melepaskan totokan sehingga kini orang itu mampu bergerak lagi. Dapat bergerak akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.
“Hayo cepat antarkan aku ke tempat tahanan itu! Awas, kalau engkau meronta atau lari, aku akan membunuhmu!”
Orang itu mengangguk lalu melangkah ke belakang, tangan kirinya dipegang oleh Keng Han. Dia membawa Keng Han ke belakang bangunan dan di taman terdapat sebuah pondok.
“Di sanakah tempat tahanan itu?”
Orang itu menunjukkan ke pondok, lalu ke bawah.
Terpaksa Keng Han kembali membebaskan totokannya pada leher sehingga orang itu dapat bicara lagi. Sebetulnya dia tidak suka melakukan ini karena sekali saja orang itu berteriak, semua usahanya akan gagal! Akan tetapi orang itu sudah menjadi begitu takut sekali sehingga dia tidak berani berteriak.
“Katakan, apakah penjara itu berada di bawah pondok itu?”
“Benar, merupakan penjara rahasia.”
“Bagaimana caranya masuk?”
“Di sana ada arca yang sesudah diputar tiga kali ke kanan, akan terbuka pintu yang menuju ke lorong bawah tanah.”
“Kau tidak berbohong?”
“Tidak, akan tetapi kalau engkau hendak masuk ke sana, engkau akan menempuh bahaya besar. Tempat itu di jaga ketat oleh orang-orang Pek-lian-kauw!”
“Terima kasih! Maaf, terpaksa aku membuatmu tak berdaya sampai aku berhasil keluar lagi.” Kembali jari-jari tangannya bergerak cepat dan orang itu roboh terkulai serta tidak mampu bersuara.
Keng Han menyeret tubuh orang itu, disembunyikan di belakang semak-semak, lalu dia berindap-indap memasuki pondok. Pondok itu kosong dan setelah diperiksanya, benar saja terdapat sebuah arca singa di atas meja. Ia menghampiri arca itu dan memutarnya ke kanan tiga kali, sambil terus waspada karena dia khawatir itu merupakan jebakan. Akan tetapi tidak begitu, karena terdengar bunyi berderit dan di lantai kamar itu terbuka sebuah lubang dengan tangga yang menurun ke bawah.
Keng Han lalu menuruni tangga dengan hati-hati sekali. Ternyata anak-anak tangga itu menembus sebuah lorong yang diterangi oleh lampu-lampu dinding. Ia melangkah maju terus dengan hati-hati dan berhenti ketika mendengar suara orang bercakap-cakap. Dia pun mengintai.
Di depan terdapat lima orang penjaga yang membawa golok di tangan. Agaknya itulah orang-orang Pek-lian-kauw yang berjaga di situ. Keng Han memperhitungkan dengan teliti sebelum bergerak, kemudian secara tiba-tiba dia meloncat ke depan dan kedua tangannya yang bergerak cepat sudah merobohkan dua orang!
Tiga orang yang lain terkejut melihat munculnya seorang pemuda dan robohnya dua orang rekan mereka. Tiga orang itu lalu menyerang dengan golok mereka. Akan tetapi mereka kalah cepat. Dua orang roboh oleh kedua tangan Keng Han sedangkan yang seorang lagi roboh oleh tendangannya. Keng Han cepat menotok lima orang itu agar jangan mampu bergerak mau pun bersuara.
Dia maju terus dan akhirnya dia melihat sebuah kamar tahanan dengan pintu besi dan jendela beruji besi. Ketika dia memandang ke dalam, dia melihat seorang tosu tua sedang bersila dan bersemedhi. Dan tosu itu bukan lain adalah Thian It Tosu yang asli!
“Totiang...!” Keng Han berseru lirih.
Akan tetapi suara itu cukup untuk menggugah tosu itu dari semedhinya dan dia menoleh ke kanan, ke arah ruji jendela. Di sana dia melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.
“Siapa engkau orang muda?”
“Ssttt, Totiang, saya datang untuk membebaskan Totiang.”
Pendeta itu terkejut dan girang, lalu cepat dia meloncat dari lantai dan berdiri di balik ruji besi.
“Pintu ini terkunci kuat sekali, juga jendela ini agaknya terlalu kuat untuk dijebol,” kata kakek itu.
Keng Han teringat. “Akan saya cari kuncinya!”
Dia lalu menghampiri kelima orang itu dan memeriksa mereka satu demi satu. Akhirnya dia dapat menemukan kuncinya di dalam saku salah seorang di antara mereka. Cepat dia menggunakan kunci untuk membuka pintu besi yang tebal dan berat itu.
Melihat para penjaga menggeletak tak mampu berdaya, tahulah Thian It Tosu bahwa penolongnya seorang pemuda yang berilmu tinggi. Padahal orang-orang Pek-lian-kauw yang berjaga di situ rata-rata merupakan anggota pilihan yang sudah memiliki ilmu silat yang tangguh!
“Ke mana engkau hendak membawa pinto, orang muda? Apakah yang telah terjadi?”
Dengan singkat Keng Han menceritakan. “Gulam Sang telah menangkap Totiang dan menyekap dalam penjara itu. Dan dia sendiri menyamar sebagai Totiang. Dia membawa Bu-tong-pai bersekutu dengan orang-orang sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, kemudian dia membawa Bu-tong-pai untuk memberontak, mengirim orang-orang untuk mencoba membunuh Kaisar dan Pangeran Mahkota. Akan tetapi usahanya gagal dan kini dia mengundang para tokoh kang-ouw untuk mencari bengcu baru karena bengcu yang lama sudah terbunuh orang tanpa diketahui siapa yang membunuhnya. Marilah, Totiang. Kita ke sana dan membuka rahasia penyamaran Gulam Sang.”
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Niocu telah berada di depan mereka.
“Niocu, kau... di sini?” Keng Han benar-benar terkejut melihat wanita itu.
“Dan engkau pun mau apa berada di sini? Aku di sini sebagai tamunya Thian It Tosu, bukankah demikian, Totiang?”
“Siancai! Pinto tidak pernah bertemu denganmu, Nona.”
“Apa? Baru kemarin dulu Totiang menerimaku sebagai tamu dan sahabat Gulam Sang. Bagaimana baru dua hari Totiang sudah lupa lagi padaku?”
“Niocu, engkau telah ditipu orang! Ketahuilah bahwa aku baru saja membebaskan Thian It Tosu dari penjara bawah tanah.”
“Tapi...tapi Thian It Tosu kemarin dulu benar-benar menerimaku. Aku tidak berbohong, Keng Han.”
“Engkau memang tidak berbohong, melainkan telah dibohongi orang. Thian It Tosu yang kemarin dulu menerimamu itu bukan lain adalah Gulam Sang yang menyamar. Gulam Sang sudah menguasai Bu-tong-pai dengan menyamar sebagai Thian It Tosu dan dia menahan Totiang ini di bawah tanah.”
“Ihhh... rasanya tidak mungkin. Gulam Sang adalah seorang yang baik budi dan gagah perkasa.”
“Hemmm, agaknya engkau sudah melupakan sama sekali nasehat gurumu. Di dunia ini memang terdapat banyak pria yang jahat dan Gulam Sang merupakan seorang yang paling jahat di antara mereka.”
“Benarkah begitu, dapatkah aku percaya padamu, Keng Han?”
“Buktikan saja sendiri. Kami mau keluar untuk membongkar rahasia ini. Mari kau lihat dan dengar sendiri!”
Pada saat itu, Thian It Tosu penyamaran Gulam Sang sedang berdiri di atas panggung dan berkata dengan suara lantang. “Saudara sekalian, bengcu telah dibunuh orang. Untuk menjaga kesatuan dan ketertiban, kita harus memilih seorang bengcu baru. Kalau sudah mendapatkan bengcu yang baru, tentu kita dapat memulai dengan perjuangan kita.”
“Tahan dulu...!”
Terdengar teriakan sangat nyaring dan sesosok bayangan melompat ke atas panggung. Ternyata dia adalah Keng Han. Melihat pemuda ini Gulam Sang merasa terkejut sekali.
“Orang muda, telah kami katakan padamu, bahwa gurumu Gosang Lama itu seorang penjahat dan kami dari Bu-tong-pai terkenal sebagai para pendekar! Engkau muncul lagi mempunyai keperluan apakah?”
Keng Han tidak menjawab, melainkan berpaling kepada semua orang yang hadir.
“Cu-wi, apakah Cu-wi (Saudara sekalian) mengenal orang ini?” Dia menuding ke arah Thian It Tosu yang palsu.
Banyak orang tertawa menanggapi pertanyaan yang mereka anggap aneh itu.
“Heiii, orang muda! Siapa yang tidak mengenalnya? Beliau adalah Thian It Tosu ketua Bu-tong-pai. Siapa pun yang berada di sini tentu tahu akan hal itu. Mengapa engkau menanyakannya?”
“Ketahuilah, Cu-wi yang mulia. Orang ini bukan Thian It Tosu. Dia adalah Thian It Tosu palsu!”
“Orang muda, enak saja engkau bicara! Pinto adalah Thian It Tosu, mengapa engkau bilang palsu?”
“Cu-wi menghendaki bukti?” suara Keng Han nyaring sekali, mengatasi suara semua orang yang riuh rendah terheran-heran mendengar bahwa Thian It Tosu yang di atas panggung adalah palsu.
Keng Han lalu memberi isyarat dengan tangannya dan sesosok tubuh lain melayang dan berada di atas panggung. Ketika semua orang memandang mereka, mereka berseru terheran-heran karena orang itu juga Thian It Tosu! Di panggung itu berdiri dua orang Thian It Tosu yang sama, baik bentuk tubuh, wajah dan pakaiannya!
Selagi semua orang ribut bicara sendiri mengomentari pemunculan dua orang Thian It Tosu itu, Keng Han berkata dengan lantang, “Nah, kini saudara sekalian sudah melihat buktinya. Thian It Tosu yang baru muncul inilah yang asli, sedangkan Thian It Tosu yang pertama tadi adalah palsu. Dia adalah Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu!”
Tentu saja Gulam Sang menjadi marah sekali dan juga bingung. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Keng Han mampu membebaskan Thian It Tosu sehingga kedoknya terbongkar. Akan tetapi dia masih ingin mempertahankan diri dan dia segera berseru.
“Dia itu yang palsu! Lihat ini, Pek-coa-kiam ini jelas milik Thian It Tosu yang asli. Akulah yang asli dan dia itu palsu!” Setelah berkata demikian, dengan pedang Pek-coa-kiam di tangan, Gulam Sang menyerang dan menusukkan pedangnya kepada Thian It Tosu.
“Tranggg...!”
Pedangnya itu tertangkis oleh pedang di tangan Bi-kiam Niocu. Wanita ini marah sekali kepada Gulam Sang. Pemuda itu tadinya dia harapkan untuk menjadi suaminya, akan tetapi ternyata pemuda itu malah telah menipu dan membohonginya.
“Niocu, kuharap engkau jangan mencampuri urusan ini, atau bantulah aku membunuh Thian It Tosu yang palsu ini!”
“Engkaulah yang palsu, Gulam Sang!” bentak Bi-kiam Niocu.
Akan tetapi dara ini terkejut ketika pedangnya yang menangkis pedang Pek-coa-kiam itu terpental dan tangannya tergetar hebat. Pemuda Tibet itu ternyata mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya.
Keng Han meloncat ke depan Niocu, kemudian berkata, “Mundurlah, Niocu. Jahanam ini adalah musuh besarku, biarlah aku yang menghadapinya! Nah, Gulam Sang, sebaiknya engkau melepas kedokmu itu!”
Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu memandang Keng Han dengan mata mencorong penuh kebencian.
“Engkau pengacau sinting, biar kubunuh engkau terlebih dahulu!” Dengan bentakan ini, Gulam Sang menyerang Keng Han dengan Pedang Ular Putih.
Serangan itu hebat sekali dan Pek-coa-kiam itu menyambar ke arah leher Keng Han. Akan tetapi Keng Han yang sudah tahu betapa lihainya Gulam Sang, sudah mengelak dengan loncatan jauh ke belakang. Akan tetapi, Gulam Sang mendesak terus dengan Pek-coa-kiam yang ampuh itu sehingga Keng Han harus berloncatan dan mengelak ke sana sini dan nampak terdesak serta tidak mampu balas menyerang.
Saat itu Bi-kiam Niocu berteriak, “Keng Han, pakailah pedangku ini!” Ia melontarkan pedangnya ke arah Keng Han yang menyambutnya dengan tangan.
Kini Keng Han juga memegang sebatang pedang. Ketika Gulam Sang menyerang lagi dengan bacokan dahsyat, Keng Han malah maju dan menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya.
“Tranggggg...!”
Sepasang pedang itu bertemu dengan hebatnya. Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu terdorong mundur ke belakang. Akan tetapi ketika Keng Han melihat pedangnya, ternyata pedang itu sudah buntung pada bagian ujungnya! Jelaslah bahwa Pek-coa-kiam di tangan Gulam Sang itu sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang sangat ampuh.
Namun dari pertemuan tenaga itu dapat diketahui bahwa dalam hal sinkang, ternyata Gulam Sang masih belum mampu menandingi Keng Han. Keng Han kemudian balas menyerang dengan pedang buntungnya. Dia memainkan ilmu Hongin-bun-hoat, pedang buntungnya seperti menulis dan membuat corat-coret di udara, akan tetapi semua itu sebenarnya merupakan serangan yang dahsyat bukan main.
Menghadapi ilmu pedang yang aneh ini, Gulam Sang terkejut dan kini dia yang terdesak mundur. Beberapa kali dia mencoba untuk memanfaatkan keunggulan pedangnya untuk menangkis dan membabat pedang buntung lawan, akan tetapi usahanya itu tidak pernah berhasil karena Keng Han selalu mengelak kalau diajak beradu pedang.
Di antara para penonton terdapat Yo Han, Tan Sian Li, dan juga Yo Han Li yang sejak tadi menonton pertandingan itu. Yo Han sendiri juga kaget dan tidak mengerti mengapa muncul dua orang Thian It Tosu. Dia masih ragu-ragu siapa di antara kedua orang itu yang asli dan mana pula yang palsu. Maka ketika Keng Han bertanding dengan Thian It Tosu, Yo Han, isterinya dan puterinya tidak tahu harus memihak yang mana.
Akan tetapi ketika Keng Han mulai memainkan ilmu Hong-in-bun-hoat, mereka bertiga lalu memandang heran. Pemuda itu sedemikian hebatnya memainkan Hong-in Bun-hoat yang mereka kenal. Bahkan biar pun pedangnya sudah buntung, dia sekarang mampu mendesak Thian It Tosu yang menjadi kewalahan dan main mundur terus.
Pertandingan itu memang hebat bukan main. Gulam Sang yang didesak terus itu telah mengeluarkan semua ilmunya, bahkan beberapa kali dia membentak dengan kekuatan sihirnya untuk merobohkan Keng Han. Akan tetapi, ilmu sihirnya tidak mempan terhadap Keng Han karena pemuda ini telah memiliki tenaga sakti yang hebat.
Dan setelah mereka bertanding sampai seratus jurus lebih, tahulah Yo Han, isteri dan puterinya bahwa Thian It Tosu itu jelas palsu. Hal ini mudah saja diketahui. Kalau Thian It Tosu ini asli, tentu menggunakan ilmu pedang Bu-tong-pai yang sudah mereka kenal. Akan tetapi Thian It Tosu ini sama sekali tidak mempergunakan ilmu silat Bu-tong-pai melainkan menggunakan ilmu silat yang aneh dan belum pernah mereka lihat!
Yo Han yang berpengalaman luas itu berbisik kepada isteri dan puterinya, “Ilmu silatnya tentu datang dari Barat. Dan lihat, dia menggunakan sihir dalam bentakan-bentakannya itu. Untung bagi Keng Han, dia sudah memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir itu.”
Tiba-tiba Keng Han mengubah ilmu silatnya. Pedangnya masih membuat gerakan ilmu Hong-in Bun-hoat, tetapi tangan kirinya memukul dengan jurus pukulan ilmu Toat-beng Bian-kun yang kelihatan lemah lembut namun menyembunyikan kekuatan yang amat dasyat. Dan Gulam Sang benar-benar terdesak hebat.
Pada saat itu dari dalam melayang keluar tiga orang kakek yang membentak, “Bocah lancang!. Berani engkau menghina tuan rumah kami, ketua Bu-tong-pai?”
Yo Han melihat bahwa mereka itu adalah para datuk sesat yang terkenal, yaitu Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Tiga orang datuk ini memang sengaja tidak keluar dulu dan hanya mengintai dari dalam, melihat perkembangan keadaan.
Ketika melihat Keng Han datang bersama Thian It Tosu, tahulah mereka bahwa Gulam Sang terancam bahaya. Apa lagi setelah melihat betapa Gulam Sang terdesak hebat oleh Keng Han, mereka tidak dapat tinggal diam saja.
Ketiganya lalu keluar dan segera melompat ke atas panggung, meninggalkan Pangeran Tao Seng yang masih bersembunyi di dalam kamar rahasia. Karena mereka berada di kamar rahasia, maka tadi Keng Han tidak berhasil menemukan ayahnya ketika mencari di seluruh kamar tahanan dalam rumah induk Bu-tong-pai itu.
Melihat tiga orang datuk sesat itu maju, Bi-kiam Niocu yang sudah marah sekali melihat Gulam Sang menyamar sebagai Thian It Tosu juga melompat ke atas panggung.
“Main keroyokan bukan watak orang gagah!” dia berseru.
Dan ia sudah siap untuk melawan siapa saja yang hendak mengeroyok Keng Han, biar pun ia bertangan kosong karena pedangnya sudah dipinjamkan kepada Keng Han.
Han Li tadi melihat betapa gadis itu meminjamkan pedangnya kepada Keng Han, maka tanpa ragu lagi ia mencabut pedangnya dan melemparkannya kepada Bi-kiam Niocu sambil berseru, “Enci, pakailah pedangku ini!”
Niocu menyambut pedang itu dengan tangan kanannya, lalu dia menghadapi Swat-hai Lo-kwi yang juga memegang sebatang pedang.
Pada saat itu pula, dua bayangan berkelebat ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Yo Han dan isterinya, si Bangau Merah Tan Sian Li! Tan Sian Li telah mencabut suling emas yang diselipkan pada pinggangnya, sedangkan Yo Han yang tidak pernah bersenjata itu hanya berdiri dengan tangan kosong.
Tan Sian Li menghadapi Tung-hai Lo-mo sambil berkata lantang, suaranya mengejek. “Main keroyokan, ya? Kami juga bisa!”
Tanpa banyak komentar lagi wanita berusia empat puluh tahun yang masih cantik itu sudah menggerakkan sulingnya untuk menyerang Tung-hai Lo-mo. Terdengarlah suara berdesing nyaring dan suling itu kini menjadi sinar keemasan yang melengking-lengking! Terpaksa Tung-hai Lo-mo menyambut dengan pedangnya, dan mereka berdua sudah bertanding dengan hebatnya.
Sekarang hanya tertinggal Lam-hai Koai-jin yang belum mendapat lawan. Maka Yo Han segera menghadapinya sambil berkata, “Lam-hai Koai-jin, engkau ingin memperlihatkan kepandaianmu? Majulah dan akulah lawanmu!”
Melihat Yo Han, Lam-hai Koai-jin sudah merasa gentar. Dia maklum betapa tinggi ilmu kepandaian Pendekar Tangan Sakti ini. Selagi dia meragu untuk menyambut tantangan Yo Han, Thian It Tosu yang sejak tadi hanya menonton saja lalu melangkah maju dan dia berseru lantang, “Cuwi harap menahan senjata dan berhenti berkelahi!”
Mendengar bentakan nyaring ini semua menahan senjata, Thian It Tosu yang palsu sudah terdesak hebat, mandi peluh dan napasnya terengah-engah. Maka seruan untuk, berhenti bertanding itu telah menyelamatkannya.
Thian It Tosu lalu menghampiri Gulam Sang dan berkata, “Gulam Sang, engkau yang menjadi gara-gara semua keributan ini. Pinto tak ingin bila Bu-tong-pai dijadikan tempat pertempuran. Harap para saudara yang membela Gulam Sang dan membelaku suka mundur semua dan biarkan kami berdua yang menyelesaikan urusan ini!”
Sikap Thian It Tosu berwibawa sekali. Tiga orang datuk itu segera mundur. Melihat ini, Bi-kiam Niocu, Yo Han dan Tan Sian Li juga mengundurkan diri. Kini yang berdiri di atas panggung hanya kedua orang yang sama itu.
Thian It Tosu berkata dengan suaranya yang lembut namun berwibawa. “Gulam Sang, untuk membuktikan siapa yang asli dan palsu di antara kita berdua, mari kita bertanding ilmu di sini, disaksikan oleh semua orang. Akan tetapi, yang namanya Thian it Tosu itu selamanya tak pernah menyerang lawan yang tidak bersenjata. Nah, beranikah engkau melawan pinto?”
“Hemmm, engkaulah yang palsu dan jangan mencoba untuk mengelabui orang lain. Aku Thian It Tosu yang asli. Tentu saja aku siap melawanmu dengan tangan kosong!”
Setelah berkata demikian, Thian It Tosu yang palsu itu lalu melontarkan pedangnya ke bawah dan pedang itu lalu menancap di atas papan, bergoyang-goyang saking kuatnya lontaran itu.
Sekarang kedua orang kakek itu saling berhadapan dan semua orang menahan napas menyaksikan peristiwa yang aneh itu. Dua orang Thian It Tosu saling berhadapan untuk saling menyerang.
Kalau tadi Yo Han, Keng Han dan dua orang wanita itu menaati permintaan Thian It Tosu adalah karena mereka menghormati Thian It Tosu sebagai tuan rumah. Mereka ini yakin dan percaya kepada Keng Han bahwa yang muncul belakangan itu adalah ketua Bu-tong-pai yang asli. Juga semua murid Bu-tong-pai yakin dan tahu mana yang asli dan mana yang palsu dengan melihat cara Thian It Tosu tadi bertanding melawan Keng Han.
Gulam Sang adalah murid Dalai Lama yang lebih banyak mempelajari kebatinan. Sebab itu pemuda ini merasa sinkangnya lebih dapat diandalkan dibandingkan ilmu silatnya. Apa lagi dia pun tahu bahwa ketua Bu-tong-pai yang menjadi lawannya ini setiap hari telah diberi racun sehingga sekarang sudah keracunan hebat. Dalam keadaan begini tentu saja Thian It Tosu tidak akan mampu sepenuhnya mengerahkan sinkangnya.
Selain itu, Gulam Sang juga tahu bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai sungguh lihai dan sulit dicari tandingannya. Karena itu, setelah mengetahui bahwa pertandingannya melawan Thian It Tosu akan dilakukan dengan tangan kosong tanpa senjata, dia merasa yakin bahwa dia akan dapat memenangkan pertandingan ini.
Dia lalu menerjang ke depan dan mulai dengan serangannya. Thian It Tosu mengelak dan bersilat dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Kini Gulam Sang tidak dapat menirukan lagi dan mengeluarkan ilmu silatnya yang dia pelajari dari Dalai Lama.
Melihat kenyataan ini, para murid Bu-tong-pai tidak ragu lagi untuk menentukan siapa di antara dua orang yang sedang bertanding itu mana yang asli mana yang palsu. Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu, dua orang murid kepala di Bu-tong-pai yang selama itu sudah terpaksa menuruti kemauan Gulam Sang karena khawatir bahwa Gulam Sang akan membunuh guru mereka, sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka segera berloncatan ke atas panggung, diikuti oleh belasan orang murid lainnya.
“Dialah yang palsu!” bentak Thian Yang Cu kepada Gulam Sang sehingga para murid itu mengepungnya.
Melihat ini, Gulam Sang menjadi gentar dan Thian It Tosu memanfaatkannya dengan sebuah tendangan yang mengenai dadanya. Gulam Sang roboh dan para murid sudah mengayun pedang untuk membunuhnya.
Akan tetapi Thian It Tosu berseru nyaring, “Jangan bunuh!”
Gulam Sang tidak dibunuh, akan tetapi ia ditangkap dan banyak senjata menodongnya. Thian Yang Cu lalu menjambak rambutnya dan sekali tarik dengan kuat, terlepaslah kedok yang dipakai oleh Gulam Sang.
Thian Yang Cu mengangkat kedok itu ke atas dan berseru kepada semua tamu. “Lihat, dia menggunakan kedok menyamar sebagai guru dan ketua kami. Dia adalah Gulam Sang!”
Bukan hanya pendekar yang terheran-heran, bahkan tiga datuk yang tadi membelanya terkejut dan merasa heran. Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa Thian It Tosu yang selama ini mereka anggap asli itu ternyata palsu.
“Kalau begitu, semua janji itu pun palsu.”
“Bunuh saja keparat itu!” demikian banyak orang berteriak-teriak karena marah.
Akan tetapi Thian Yang Cu melarang para murid membunuhnya.
“Gulam Sang, permainanmu sudah berakhir. Semestinya engkau dibunuh oleh banyak senjata murid Bu-tong-pai. Akan tetapi kami akan membebaskan engkau kalau engkau suka memberi obat penawar racun dari tubuh ketua kami.”
Gulam Sang menyeringai. “Bagus jika kalian mengetahui dan ingat akan keadaan Thian It Tosu!” katanya.
Karena dia sudah ditodong dan tak mungkin melawan lagi, dia merogoh saku dalam di bajunya dan mengeluarkan sebuah bungkusan kertas. Kemudian dia berkata kepada Thian It Tosu, “Tubuhmu sudah penuh dengan racun yang berada di dalam makanan dan minumanmu selama ini. Telanlah obat ini dan engkau akan sembuh kembali.”
Thian It Tosu menerima bungkusan itu dan seorang murid mengambilkan air teh. Thian It Tosu membuka bungkusan itu dan menuangkan isinya ke dalam mulut, kemudian air teh itu diminumnya. Setelah obat itu memasuki perutnya, dari dalam perut itu keluarlah bunyi dan dia merasa betapa rasa nyeri di dada dan perut menghilang...