Pusaka Pulau Es adalah seri ke-16 dari rangkaian cerita silat mandarin serial Bu-kek Sian-su karya Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Kisah ini merupakan lanjutan dari Si Tangan Sakti.
Pria penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling dan dia terpesona. Memang pagi itu indah bukan main. Di sekeliling tempat itu terdapat bukit-bukit berjajar-jajar. Bukit-bukit di timur masih nampak gelap sebab matahari baru muncul mengintai dari balik punggung mereka.
Akan tetapi bukit-bukit di sisi barat sudah mulai menerima sinar matahari pagi yang kuning keemasan. Nampaklah kabut menyingkir perlahan dihalau sinar matahari pagi. Sinar matahari pagi yang masih lembut akan tetapi sudah garang itu menerobos di antara kabut, sungguh merupakan keindahan yang sukar untuk dilukiskan. Keindahannya lebih terasa di dalam hati dari pada di dalam mata.
Burung-burung mulai beterbangan meninggalkan sarang, meski masih ada yang sempat berkicau di antara ranting-ranting pohon, membuat suasana makin ceria gembira dan mendorong seseorang untuk turut bernyanyi. Matahari pagi mulai muncul dan sinarnya menghidupkan segalanya, membangunkan semuanya yang tadinya terlelap tidur dalam kegelapan sang malam.
Nampak beberapa ekor kelinci dan kijang menyeberangi semak dengan hati-hati sekali. Telinga mereka membantu mata yang menoleh ke kanan kiri, lalu mereka melanjutkan jalan menuju ke semak lain. Tidak ada seorang pun manusia lain kecuali si penunggang kuda yang menghentikan kudanya di atas puncak sebuah bukit kecil itu.
Kekuasaan dan kecintaan Tuhan sungguh mengalir sepenuhnya di pagi hari itu, terasa sekali di dalam hati. Dan orang itu merasa bahwa dirinya menjadi satu dengan segala keindahan itu, menjadi bagian tak terpisahkan dari isi alam mayapada yang demikian indah. Dia merasa dirinya kecil sekali, kecil tidak ada artinya, padahal biasanya dia merupakan orang penting yang diperhatikan, dihormati dan dilayani oleh banyak orang.
Laki-laki itu masih muda. Paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Rambutnya dikuncir menjadi sebuah kuncir yang gemuk dan panjang, ujungnya diikat sutera kuning. Rambut itu di atasnya disisir rapi dan mengkilap karena minyak rambut yang harum.
Dahinya lebar, dengan sepasang alis hitam tebal berbentuk golok. Sepasang matanya mencorong bagaikan mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk indah dengan bibir mengarah senyum mengejek. Dandanannya menunjukkan bahwa dia tentu seorang bangsawan muda yang kaya-raya.
Siapakah pemuda tampan gagah yang pakaiannya perlente dan amat pesolek ini? Dia memang bukan orang sembarangan. Ia adalah seorang pangeran! Namanya Pangeran Tao Seng, putera dari Kaisar Cia Cing (1796-1820). Kenapa dan mau apakah seorang pangeran berada di antara pegunungan di tempat yang begitu jauh di utara itu, seorang diri pula...?