CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJA PEDANG JILID 02
Memang ketika menggunakan selimut istimewa itu, Beng San menanggalkan pakaiannya yang basah oleh peluh dan sekarang pakaian itu digantungkannya pada sebatang pohon. Pada masa itu, usia sembilan tahun bagi seorang anak perempuan sudah cukup besar, cukup untuk membuat Kwa Hong menjerit serta membalikkan tubuh dan membelakangi Beng San, sambil mulutnya memaki-maki.
“Kadal! Bunglon! Monyet... tak tahu malu kau…!”
Beng San juga terkejut dan malu sekali. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dengan pedangnya bocah itu mampu membelah selongsong ular sedemikian rupa hingga ujung pedang tadi hampir saja menggurat kulit perutnya. Cepat-cepat dia lari menyambar pakaiannya dan segera memakainya.
“Kau yang tak tahu malu, kaulah yang kurang ajar!” Beng San marah marah. “Main-main dengan pedang. Kalau kena perutku tadi, apa aku tidak mati?”
“Mampus juga salahmu sendiri,” Kwa Hong menjawab sambil memutar tubuh. Sekarang ia melihat Beng San dalam pakaian yang kotor, butut dan tambal-tambalan.
“Huh!” ia menjebi, “kiranya hanya pengemis.”
“Kuntilanak! Aku tak pernah mengemis apa-apa padamu.”
Pada saat itu, Kwa Tin Siong sudah berlari-lari sampai di tempat itu. Dia barusan sempat mendengar percekcokan terakhir ini sehingga datang-datang ia menegur puterinya.
“Hong-ji, tak boleh kau menghina orang, tak boleh bercekcok. Pengemis adalah saudara kita.”
Datang-datang jago Hoa-san-pai yang pikirannya selalu penuh dengan ujar-ujar pelajaran Khong Cu telah menasehati puterinya dengan sebuah ujar-ujar yang lengkapnya berbunyi: ‘Di seluruh penjuru lautan, semua manusia adalah saudara’.
Beng San yang memang berwatak nakal dan berani, tertawa-tawa sambil bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, bagus! Puas, puas! Maka harus ingat selalu bahwa jika tidak mau dihina orang lain, janganlah menghina orang lain.”
Seperti sudah diceritakan di bagian depan, semenjak kecilnya Beng San dijejali kitab-kitab kuno oleh para hwesio di Kelenteng Hok-thian-tong, di antaranya juga kitab-kitab Su-si Ngo-keng yang pernah dihafalkannya, maka dia pun masih banyak hafal akan ujar-ujar nabi Khong Cu. Yang dia ucapkan tadi pun merupakan sebuah ujar-ujar yang lengkapnya berbunyi: ‘Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu’.
Melihat sikap Beng San, Kwa Tin Siong mengerutkan kening, kemudian terheran-heran. Apa lagi melihat pakaian Beng San yang buruk dan melihat pula selongsong kulit ular di situ, ia mengira bahwa Beng San tentulah murid seorang pandai. Ia sedang terburu-buru dan ada urusan besar, tidak baik kalau sampai terjadi hal-hal tidak enak dengan tokoh lain. Maka ia lalu menarik tangan Kwa Hong dan berkata.
“Mari, Hong ji. Mari kita pergi. Aku tadi membunuh seekor ular besar, kita boleh makan dagingnya sebelum melanjutkan perjalanan.”
Kwa Hong tidak berani membantah, hanya memandang kepada Beng San dengan mata berapi-api dan mulut cemberut.
Kwa Tin Siong tersenyum, sebelum pergi menoleh ke arah Beng San yang berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar. Kembali Kwa Tin Siong terheran-heran melihat betapa kulit muka yang bengkak-bengkak itu menjadi agak kehijauan, padahal tadinya merah sekali. Ia merasa heran dan karena tidak melihat hawa beracun keluar dari tubuh pemuda cilik itu, maka ia tidak menduga bahwa anak ini telah mempelajari semacam ilmu mukjijat yang memang pada waktu itu banyak dimiliki tokoh-tokoh kang-ouw.
Mendengar orang bicara tentang ‘daging’ dan tentang ‘makan’, seketika perut Beng San memberontak lagi. Perutnya melilit-lilit dan ia tak dapat menahan lagi kedua kakinya yang berjalan mengikuti ayah dan anak itu dari jauh.
Berindap-indap ia menghampiri ketika mencium bau asap yang sangat wangi dan gurih. Setelah dekat dia melihat betapa Kwa Tin Siong dibantu oleh anak perempuan yang galak tadi sedang membakari potongan-potongan daging ular. Ularnya kelihatan menggeletak tak jauh dari situ, ular besar sekali yang tentu banyak dagingnya.
Beng San beberapa kali menelan ludahnya. Ketika ayah dan anak itu ramai-ramai makan panggang daging ular, Beng San membalikkan tubuhnya, tak mau melihat.
“Ayah, lihat itu pengemis yang tadi datang lagi.” Tiba-tiba terdengar Kwa Hong berkata nyaring.
Dengan perut panas Beng San menoleh dan memandang dengan mata mendelik.
Kwa Tin Siong tersenyum dan berkata kepada Beng San, “Anak baik, apakah kau lapar?”
Beng San berwatak angkuh namun ia jujur. Ia mengangguk mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan sikap ramah dan halus itu.
“Kau mau mengemis daging ular?” Kwa Hong mengejek.
“Tidak!” Beng San membentak dan membalikkan mukanya lagi.
Kwa Tin Siong diam-diam merasa kagum juga melihat anak jembel yang berwatak angkuh itu. Itulah sikap jantan yang jarang terdapat pada diri anak-anak, apa lagi anak jembel.
Dengan halus ia bertanya, “Anak baik, apakah kau mau minta daging ular?”
Beng San menoleh sebentar dan dengan mengeraskan hatinya ia menjawab halus, tidak membentak seperti ketika menjawab Kwa Hong tadi. “Tidak, lopek (paman tua), aku tidak minta.”
Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Jawaban kali ini adalah jawaban seorang anak baik-baik yang mengerti akan tata susila dan kesopanan. Ia dapat menjenguk isi hati anak itu yang agaknya memiliki keangkuhan besar, walau pun hampir kelaparan akan tetapi tidak mau minta-minta. Anak luar biasa, pikirnya.
“Anak baik, boleh aku mengetahui namamu?”
“Namaku Beng San, anak korban banjir, tiada orang tua, tidak tahu lagi she apa,” Beng San sekaligus menjawab karena tidak suka kalau dihujani pertanyaan selanjutnya.
Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Kasihan sekali anak ini, agaknya sejak kecil terpaksa harus hidup terlunta-lunta seorang diri.
“Beng San, aku Kwa Tin Siong dan ini anakku Kwa Hong. Kau tidak minta makanan, akan tetapi aku memberi kepadamu, kau mau, bukan ?”
Orang tua itu mengambil dua potong panggang daging ular dan memberikannya kepada Beng San. Anak itu menerima tanpa menyatakan terima kasihnya karena ia melihat Kwa Hong memandang dengan senyum mengejek. Begitu menerimanya ia mengembalikannya kepada Kwa Hong.
“Tak pernah aku menerima pemberian yang tak rela,” katanya singkat.
“Hong-ji!” Kwa Tin Siong membentak anaknya. “Jangan kau kurang ajar. Daging ini ayah yang dapat, bukan kau!”
Kwa Tin Siong membujuk supaya Beng San suka menerimanya dan Kwa Hong tak berani lagi senyum-senyum mengejek seperti tadi. Setelah yakin bahwa pemberian itu rela, Beng San segera makan daging ular itu.
Aduh lezatnya, sedapnya, gurihnya. Dengan lahap Beng San makan dan dalam sekejap mata saja habislah dua potong daging itu. Kwa Tin Siong yang diam-diam melirik menjadi terharu. Ia tahu bahwa kalau ia memberi terus menerus, maka kehormatan anak itu akan tersinggung. Sebab itu, karena ia dan Kwa Hong sudah merasa kenyang, ia lalu berdiri dan berkata kepada Kwa Hong.
“Hong ji, mari kita melanjutkan perjalanan. Kita harus mencari kudaku yang tadi melarikan diri.” Kemudian kepada Beng San ia pun berkata. “Beng San, karena kami sudah tidak lagi memerlukan daging ular, maka kuberikan sisa daging ular ini kepadamu, juga sisa garam dan bumbu ini. Kau pangganglah sendiri. Nah, selamat tinggal anak baik.”
Melihat sikap ini Beng San segera menjatuhkan diri berlutut. “Kwa Tin Siong lopek, kau benar-benar seorang mulia. Aku Beng San tak akan mudah melupakan kau dan semoga saja kelak aku mendapatkan kesempatan untuk membalas kebaikanmu ini.”
Sekali lagi Kwa Tin Siong terkesiap. Bukan main anak ini, mempunyai pribudi tinggi pula. Ia lalu mengangguk angguk dan diam-diam ia mencatat nama Beng San di dalam hatinya. Dan sebelum mereka berpisah, antara Beng San dan Kwa Hong kembali terjadi ‘adu sinar mata’. Pandang mata keduanya berapi dan gemas!
Setelah ayah dan anak itu pergi, Beng San segera berpesta pora. Ia memanggang daging ular sebanyaknya dan selagi masih panas-panas dia sudah tak sabar menanti, terus saja dimakannya. Sambil makan ia tersenyum-senyum kalau teringat akan kebaikan sikap Kwa Tin Siong, akan tetapi ia menggerutu kalau teringat akan Kwa Hong.
“Kui-bo…!“ makinya keras-keras. “Kuntilanak…! Cantik manis, genit dan galak. Kui-bo, Kui-bo, Kui-bo! Nah, kumaki kau sampai puas, mau apa sekarang, Kui-bo!”
Tiba-tiba dari atas puncak sebuah pohon besar terdengar suara orang perempuan tertawa mengikik, “Hi-hi-hi-hi!”
Beng San meloncat berdiri, menoleh ke kanan kiri. Disangkanya bahwa Kwa Hong datang kembali. Akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang. Ia menjadi gemas, dikiranya Kwa Hong datang lagi dan mengganggunya atau bersembunyi.
“Kuntilanak kau! Kui-bo, perlu apa datang menggangguku?”
Kembali terdengar suara ketawa seperti tadi, kini tepat di atas kepala Beng San. Anak itu cepat-cepat mendongak, memandang ke pepohonan di atasnya, di antara daun-daun dan cabang-cabang pohon. Akan tetapi, seekor burung pun tak tampak dan suara ketawa itu masih terdengar di situ.
Tiba-tiba suara itu pindah ke lain pohon, juga terdengar di puncak sambung menyambung, “Hi-hi-hi-hi!”
Beng San adalah seorang anak pemberani. Akan tetapi setidaknya dia pernah tinggal di kelenteng dan pernah mendengar cerita-cerita tahyul dari beberapa orang hwesio, maka sekarang ia mulai merasa bulu tengkuknya meremang. Betapa pun juga, ia mengeraskan hatinya. Masa di siang hari terang benderang ada setan? Kata seorang hwesio, kuntilanak hanya muncul di waktu malam!
“Hi-hi-hi-hi-hi!”
Dan kini Beng San benar-benar tersentak kaget karena tiba-tiba saja di depannya berdiri seorang perempuan yang cantik. Wanita ini tertawa-tawa, nampak giginya yang putih rapi. Pakaiannya seperti pakaian gambar dewi di tembok kelenteng, serba sutera dan indah. Ia memegang sebuah sapu tangan sutera yang panjang. Mukanya manis dan matanya liar galak serta mengandung sinar yang aneh menyeramkan, seperti bukan mata orang yang sehat otaknya. Inikah kuntilanak?
Wanita itu tertawa-tawa lagi, kemudian bertanya. “Anak bagus, kau suka kepada Kui-bo (kuntilanak)? Betulkah katamu tadi bahwa Kui-bo cantik manis, genit dan galak?”
Suara wanita itu halus, tapi matanya betul-betul menyeramkan, membuat Beng San makin ketakutan. Anak ini memberanikan hatinya dan bertanya.
“Kau… kau siapakah...?”
“He-he-he, anak bagus, dari tadi kau menyebut-nyebut Kui-bo. Akulah Kui-bo dan namaku ini.” Wanita itu seperti seorang tukang sulap tahu-tahu sudah memegang setangkai bunga hitam di tangannya.
“Namamu… kembang hitam itu…?”
Beng San melongo melihat wanita itu menancapkan tangkai bunga itu pada rambutnya. Karena bunga itu hitam dan rambutnya juga hitam, maka hiasan rambut ini tidak begitu kentara.
“Ya, akulah Hek-hwa Kui-bo (Kuntilanak Bunga Hitam). Kau bilang dia si gadis cilik yang mungil itu seperti aku ? Hi-hi-hi-hi, kau baik sekali, anak bagus...” Wanita itu tertawa-tawa lagi, nampaknya girang sekali.
Sebaliknya Beng San terkejut. Bagaimana wanita ini bisa mengetahui semua ucapannya kepada Kwa Hong?
“Aku tidak percaya,” katanya. “Menurut kata orang, kuntilanak itu biar pun cantik tapi suka makan...” sampai di sini Beng San menjadi pucat.
Mengapa ia begini goblok menyebut-nyebut tentang itu? Bagaimana kalau ini kuntilanak tulen dan dagingnya akan dimakan?
“Tepat sekali, memang aku suka makan daging mentah, terutama daging ular...”
Sapu tangan sutera yang panjang itu lalu dikebutkan dan... ujung sapu tangan itu sudah menarik keluar sepotong daging dari tubuh ular, dan langsung potongan daging ini ditarik dan diterima oleh mulutnya yang berbibir merah, kemudian dikunyahnya dengan enak dan dimakan! Beng San sampai melotot ngeri menyaksikan wanita itu makan daging ular yang masih mentah, bahkan masih ada darahnya.
“Kau percaya sekarang? Aku Hek-hwa Kui-bo, sama cantik dengan anak perempuan tadi, bukan? sama baiknya...”
Beng San teringat akan Kwa Hong dan mulutnya cemberut. Anak perempuan itu tadi telah menghinanya.
“Kalau sama dengan dia aku tak suka,” katanya setengah melamun, “Anak itu galak dan menghinaku. Kalau kau sama dengan dia, pergilah saja jangan dekat denganku.”
Sejenak wanita itu tertegun. Apa yang keluar dari mulut anak ini adalah kata-kata baru baginya, kata-kata yang tidak biasa ia dengar. Biasanya setiap orang tidak ada yang bersikap kasar, apa lagi berkata kasar kepadanya, semua selalu bermuka-muka, selalu bermanis-manis. Dan anak ini berani mengusirnya! Hal ini menggirangkan hatinya, dan ia tertawa-tawa lagi.
“Kau dihina oleh anak itu? Biar kubawa dia ke sini agar kau boleh membalasnya!” tiba-tiba tubuh wanita itu lenyap dari situ. Entah bagaimana caranya, tidak terlihat oleh Beng San.
Beng San semakin ketakutan, bulu tengkuknya berdiri semua. Sekarang dia baru mau percaya bahwa yang dihadapinya tadi betul-betul seekor siluman kuntilanak.
“Aduh, celaka... jangan-jangan dia kembali...,“ demikian dia berkata seorang diri.
Rasa ketakutan ini membuat pengaruh racun hijau dan hawa Im di tubuhnya meningkat, membuat dia menjadi kedinginan dan kehijauan mukanya. Rasa takut membuat Beng San segera lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ke manakah ia harus pergi menyembunyikan diri? Hutan itu besar sekali, di mana-mana pohon belaka. Ia tidak tahu ke mana jalan keluar. Tidak lama kemudian selagi berlari-lari, kembali ia mendengar suara ketawa yang tadi.
“Hi-hi-hi-hi-hi!”
Beng San menelusup ke dalam semak-semak, bersembunyi. Akan tetapi percuma saja, tahu-tahu wanita yang tadi sudah berada di depan semak-semak dan berkata,
“Anak bagus, hayo keluar. Ini orang yang menghinamu sudah kubawa ke sini.”
Beng San merangkak keluar dan... ia melihat Kwa Hong sudah berada di situ.
Anak perempuan itu kebingungan, kini memandang wanita tadi dan berkata gugup, “Ba… bagaimana kau bisa membawaku ke sini?”
Wanita itu hanya tertawa, mengelus pipi Kwa Hong yang halus kemerahan. “Kau cantik, aku juga sama dengan kau, kata anak bagus itu...”
Kwa Hong marah. Tadi ia sedang naik kuda bersama ayahnya dengan cepat. Tahu-tahu ada bayangan berkelebat, terdengar ayahnya berteriak dan ia merasa matanya pedas dan tahu-tahu sekarang ia sudah berada di dalam hutan berhadapan dengan seorang wanita cantik bersama Beng San.
Mengira bahwa tentu wanita ini guru Beng San yang hendak menuntut balas, Kwa Hong menunjukkan keberaniannya. Cepat bagaikan kilat tangannya yang kecil sudah mencabut pedangnya dan menusuk ke arah dada wanita itu! Anehnya, yang ditusuk tidak bergerak sedikit pun juga, hanya memandang sambil tersenyum-senyum.
“Krakkk!”
Tiba-tiba pedang di tangan Kwa Hong itu patah menjadi dua dan gadis kecil itu sendiri melepaskan gagang pedang karena merasa telapak tangannya serasa hendak pecah. Ia meloncat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. Ia tadi melihat betul bahwa pedangnya belum juga menyentuh tubuh perempuan itu, lalu kenapa tiba-tiba bisa patah sendiri?
“Kuntilanak dia, jangan dilawan, kau takkan menang melawan Kui-bo!” kata Beng San.
Kwa Hong marah bukan main. Ia mengira bahwa Beng San bicara kepada wanita itu dan memaki dia sebagai kuntilanak lagi.
“Anak jembel! Kau mendatangkan siluman untuk membalas!” bentaknya.
Pada saat itu terdengar angin bertiup dan tubuh Kwa Tin Siong berkelebat. Orang gagah ini memegang pedang telanjang di tangannya. Wajahnya yang muram nampak semakin muram dan penuh kekhawatiran. Ia bernapas lega melihat anaknya masih selamat di situ, lalu ia memandang sekilas ke arah Beng San, baru kemudian ia memperhatikan wanita itu.
Ia melihat seorang wanita cantik, sepasang matanya liar dan aneh, tangan kirinya sedang bermain-main dengan sehelai sapu tangan sutera beraneka warna, indah serta panjang. Melihat sinar mata wanita ini, diam-diam Kwa Tin Siong terkejut sekali. Bukan mata orang biasa.
Ia berlaku hati-hati, sekali lagi melirik ke arah Kwa Hong untuk melihat keadaan anaknya. Setelah mendapat keyakinan bahwa anaknya tidak terluka hanya agak takut-takut, ia lalu menjura kepada perempuan itu.
“Toanio (nyonya) dengan aku Kwa Tin Siong tidak pernah saling mengenal dan karenanya tidak ada permusuhan sesuatu, maka mohon tanya, ada maksud apa Toanio membawa anakku sampai ke sini?” Kwa Tin Siong bersikap hormat sekali karena dari cara nyonya ini tadi merampas anaknya tanpa ia dapat berdaya sama sekali sudah menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali.
Wanita itu tersenyum mengejek, memandang tak acuh. Ia tidak menjawab, bahkan lalu berkata kepada Beng San. “Kau tadi dihina hayo balas!”
Akan tetapi mana Beng San mau membalas? Ia memang tidak merasa sakit hati kepada ayah dan anak itu. Apa lagi Kwa Tin Siong sangat baik kepadanya, sedangkan terhadap Kwa Hong dia hanya mendongkol saja. Maka dia menggeleng kepalanya tanpa berkata sesuatu.
Kwa Tin Siong mendongkol juga melihat lagak wanita ini yang seakan sama sekali tidak mempedulikannya, jelas-jelas amat memandang rendah. Maka ia kembali berkata dengan hormat, “Toanio, aku Kwa Tin Siong tidak mempunyai permusuhan, juga Hoa-san-pai tak mempunyai permusuhan.”
Kwa Tin Siong sengaja menyebut nama Hoa-san-pai agar supaya perempuan ini tidak lagi memandang rendah kepadanya dan mau bersikap selayaknya orang kang-ouw berurusan dengan sesama orang kang-ouw.
“Tosu bau Lian Bu tak kenal mampus, tidak mampu mengajar anak muridnya.” Wanita itu bicara seperti kepada dirinya sendiri, akan tetapi cukup membuat Kwa Tin Siong bangkit kemarahannya.
Lian Bu Tojin adalah gurunya, juga adalah ketua Hoa-san-pai, seorang ciang-bunjin (ketua partai) yang amat dihormati seluruh orang kang-ouw. Mana bisa perempuan ini menyebut namanya begitu saja ditambah sebutan tosu bau segala? Pedang di tangannya gemetar.
Kwa Hong yang mengenal sikap ayahnya yang marah ini tiba-tiba saja memperingatkan. “Ayah, tadi aku tusuk dia tapi pedangku patah sebelum menyentuhnya!”
Kwa Tin Siong kaget sekali. Ia tidak kaget karena pedang anaknya patah. Ia tahu bahwa kepandaian anaknya belum seberapa, tentu saja kalau melawan seorang tokoh pandai tak akan ada artinya. Ia kaget akibat mendengar pengakuan anaknya yang sudah menyerang wanita ini.
“Hong-ji, jangan kurang ajar kau. Mari sini!” Ia menyuruh anaknya mendekatinya supaya lebih mudah melindungi kalau sampai terjadi pertempuran.
Akan tetapi, baru saja Kwa Hong hendak bergerak mendekati ayahnya, tampak wanita itu menggerakkan sapu tangan suteranya ke arah Kwa Hong yang segera berdiri diam tak bergerak seperti patung.
Hampir Kwa Tin Siong tak dapat mempercayai matanya sendiri. Ujung sapu tangan yang halus itu tampaknya tidak mengenai tubuh anaknya, tetapi... nyatanya anaknya telah kena ditotok jalan darahnya!
“Hi-hi-hi-hi-hi... Hoa-san-pai....” Wanita itu tertawa mengejek.
Sesabar-sabarnya manusia, kalau anaknya diganggu dan nama partainya diejek seperti itu, pasti tak akan dapat menahan juga. Kwa Tin Siong lalu berseru. “Manusia sombong, bersiaplah kau menghadapi pedangku!”
Sebagai seorang laki-laki gagah tentu saja ia masih menahan diri, tidak mau menyerang seorang wanita yang hanya memegang sehelai sapu tangan.
Akan tetapi wanita itu menjawab halus. “Pedangmu yang buruk dan ilmu silat Hoa-san-pai yang rendah mau bisa apakah terhadapku?”
“Hemm, sombong amat. Kalau begitu lihat pedangku!”
Kwa Tin Siong memutar pedangnya dan langsung menyerang dengan gerak tipu yang lihai dari Hoa-san Kiam-hoat, yaitu gerakan Tian-mo Po-in (Payung Kilat Sapu Awan). Pedangnya berputar cepat sampai merupakan payung yang berkilauan dan berkelebatan menyambar ke arah wanita itu.
“Hi-hi-hi-hi-hi, kiam-hoat (ilmu pedang) buruk!” Wanita itu dengan mudahnya memiringkan tubuh sambil menundukkan kepala untuk menghindari sabetan pedang.
Tapi Kwa Tin Siong adalah seorang jago tangguh dari Hoa-san-pai. Gerakan-gerakannya amat mahir, sudah masak dan cepat sekali. Melihat bahwa serangan pertamanya takkan berhasil, ia cepat sekali merubah gerakannya tanpa menarik kembali pedangnya.
Kini pedangnya meluncur dengan gerakan yang disebut Kwan-kong Sia-ciok (Kwan Kong Memanah Batu). Cepat sekali pedangnya sudah meluncur menusuk ke arah ulu hati sang lawan.
Kwa Tin Siong sudah mulai merasa kaget dan menyesal melihat agaknya lawannya tidak mampu mengelak. Bukan maksudnya untuk membunuh orang, maka gerakannya ia tahan dan perlambat sedapatnya.
Akan tetapi sebelum ujung pedang itu menyentuh lawan, tepat seperti yang dikatakan oleh Kwa Hong tadi, tiba-tiba menyambar sinar terang dari sapu tangan itu menyambar ke arah pedang dan tangan.
“Krakkk!”
Semacam tenaga mukjijat menghantam patah pedang di tangan Kwa Tin Siong. Namun orang she Kwa ini mempertahankan getaran hebat, dia tidak mau melepaskan pedangnya yang buntung. Akibatnya ia terpental mundur lima langkah dan muntahkan darah segar.
“Hi-hi-hi-hi-hi..., Hoa-san-pai... belum kubalas menyerang kau sudah mundur, orang she Kwa. Sekarang terimalah seranganku!”
Wanita itu melangkah maju dan menggerakkan sapu tangannya. Kwa Tin Siong merasa bahwa ia berhadapan dengan orang yang sakti luar biasa atau sebangsa siluman, maka dia menerima nasib, tahu bahwa ia tak akan kuat melawan.
“Hek-hwa Kui-bo, jangan ganggu mereka!” mendadak Beng San melompat dan menarik pakaian belakang wanita itu.
Hek-hwa Kui-bo menoleh. Ia tersenyum dan mengejek, “Mereka itu apamu sih, kau bela mati-matian.”
“Jangan bunuh, jangan ganggu... kalau tidak, aku takkan suka lagi kepadamu!”
Ancaman ini agaknya berpengaruh juga, buktinya wanita itu menurunkan sapu tangannya. Yang kaget setengah mati adalah Kwa Tin Siong ketika dia mendengar disebutnya nama Hek-hwa Kui-bo oleh Beng San tadi. Hek-hwa Kui-bo merupakan nama seorang di antara empat orang tokoh terbesar di dunia persilatan!
Menurut cerita gurunya, yang bernama Hek-hwa Kui-bo ini adalah seorang wanita yang cantik luar biasa dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini, melihat bentuk tubuh dan wajahnya, kiranya tak akan lebih dari tiga puluh tahun! Ia memandang lebih tegas dan melihat setangkai bunga hitam yang tadi tidak dia lihat tertancap di rambut kepala wanita itu!
“Jangan bunuh, jangan bunuh...!” Hek-hwa Kui-bo mengulang. “Ahh, anak bagus, lain kali mereka mungkin yang akan mengganggu dan membunuhmu. Hayo ikut!”
Mendadak wanita itu menggerakkan sapu tangannya yang meluncur ke arah Beng San. Tahu-tahu ujung sapu tangan sudah melibat pergelangan tangan anak itu dan Beng San merasa tubuhnya melayang di udara. Ia meramkan matanya dan mendengar suara angin mendesir-desir di pinggir kedua telinganya….
Kwa Tin Siong menarik napas panjang saat melihat perempuan itu berkelebat pergi sambil membawa Beng San, lalu ia mulai menyalurkan pernapasan untuk memulihkan kekuatan dirinya. Baiknya tadi ia mengurangi tenaga tusukannya. Apa bila dilakukan dengan sekuat tenaga, tentu sekarang dia sudah menggeletak dengan jantung putus! Setelah lukanya yang tidak parah di dalam dada itu mendingan, barulah dia berdiri dan membuka totokan pada diri anaknya.
“Ayah, siapakah perempuan siluman itu?”
“Hushhh, jangan kau sombong, Hong-ji. Dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang malah lebih tinggi kedudukannya dari pada sukong-mu (kakek gurumu). Hayo kita melanjutkan perjalanan dan jangan banyak bertanya lagi.”
Pendekar yang amat gagah dan jarang menemui tandingan ini segera mengajak anaknya pergi, nampaknya dia gelisah sekali. Memang dia merasa gelisah dan juga aneh. Kenapa seorang tokoh seperti Hek-hwa Kui-bo yang sudah bertahun-tahun tidak pernah muncul di dunia kang-ouw itu sekarang tiba-tiba turun gunung dan mengganggunya? Ia harus cepat-cepat kembali ke Hoa-san-pai dan menceritakan hal ini kepada suhunya.
Pada jaman itu, pemerintahan pusat yang dipegang oleh kerajaan Goan (Mongol) sedang dikacau oleh pelbagai pemberontakan rakyat yang sudah tidak kuat lagi atas penindasan penjajah Mongol. Di mana-mana muncul perkumpulan rahasia yang menghimpun banyak tenaga untuk melakukan pemberontakan dan rongrongan terhadap pemerintah penjajah. Di antara puluhan macam perkumpulan rahasia ini, murid-murid Hoa-san-pai termasuk pula anggota sebuah perkumpulan yang terbesar, yaitu Pek-lian-pai (perkumpulan Teratai Putih) yang tujuannya merobohkan pemerintah Mongol.
Kwa Tin Siong yang mempelopori kegiatan adik-adik seperguruannya, ketika itu sedang pergi mencari sute-sute dan sumoi-sumoi-nya yang berpencaran di mana-mana. Bahkan dia sedang mencari dan mengumpulkan tiga orang adik seperguruannya karena Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san) harus berkumpul di Hoa-san untuk membicarakan soal pemasukan menjadi anggota perkumpulan anti penjajah ini.
Saat tiba di hutan dan mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong baru saja pulang dari Kwi-nam-hu bertemu dengan sute-nya, Thio Wan It, yang sudah berjanji akan menghadap ke Hoa-san bulan depan tanggal lima. Juga dia sudah bertemu dengan Toat-beng-kiam Kui Teng, sute-nya yang ketiga, dan sudah mendapat janji pula. Kini ia sedang menuju ke arah dusun Lam-bi-chung, tempat tinggal orang tua sumoi-nya (adik seperguruan), yaitu Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa.
Setelah mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong mempercepat perjalanannya untuk segera kembali ke Hoa-san setelah memberi tahu sumoi-nya tentang pertemuan Hoa-san Sie-eng di Hoa-san.
Dalam waktu tiga hari saja Kwa Tin Siong dan anak perempuannya telah sampai di dusun Lam-bi-chung. Namun apa yang mereka dapati di dusun tempat tinggal jago keempat dari Hoa-san Sie-eng ini? Mereka dapatkan Liem Sian Hwa sedang berkabung atas kematian ayahnya yang dibunuh orang satu minggu yang lalu. Begitu melihat kedatangan Kwa Tin Siong, gadis itu segera menubruk dan berlutut di depan twa-suheng (kakak seperguruan tertua) ini dan menangis tersedu-sedu.
Seperti sudah disebutkan di bagian depan, Kwa Tin Siong merupakan jago pertama dari empat Hoa-san Sie-eng yang selama ini telah mengharumkan nama Hoa-san-pai sebagai pendekar-pendekar budiman.
Liem Sian Hwa adalah tokoh keempat dan yang termuda. Akan tetapi biar pun ia termuda, baru dua puluh tahun usianya dan satu-satu wanita di antara empat pendekar Hoa-san-pai itu, kepandaiannya hanya kalah setingkat oleh twa-suheng-nya ini. Ia seorang gadis yang cantik, manis, dan sederhana sekali. Maklumlah, karena Sian Hwa adalah anak seorang miskin.
Ayahnya, Liem Ta, juga seorang guru silat yang semenjak mudanya menjadi penjual obat keliling sambil mendemontrasikan ilmu silatnya hanya untuk menarik perhatian pembeli. Ilmu silatnya adalah warisan dari ilmu silat Siauw-lim, akan tetapi tidak begitu tinggi, hanya sekedar untuk ilmu pembela diri belaka.
Bertahun-tahun Sian Hwa tinggal di Hoa-san setelah ia diantar oleh ayahnya dan diterima menjadi murid oleh ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin yang melihat bahwa memang anak perempuan itu bertulang baik sekali, bersemangat dan cerdik. Ayahnya tetap berkeliling obat karena sudah menjadi kebiasaan seorang yang suka merantau, tentu takkan senang kalau harus berdiam di suatu tempat.
Memang benar bahwa Liem Ta sudah memiliki sebuah rumah kecil di dusun Lam-bi-chung tempat kelahiran Sian Hwa. Namun, karena isteri Liem Ta sudah lama meninggal, ia tidak tahan hidup seorang diri dan sering kali melakukan perjalanan merantau.
Ketika Sian Hwa berusia lima belas tahun, datanglah ketua Kun-lun-pai, yaitu Pek Gan Siansu, berkunjung ke Hoa-san bersama muridnya yang bernama Kwee Sin, yang pada waktu itu berusia tujuh belas tahun. Pertemuan antara dua orang ketua ini menghasilkan ikatan jodoh antara Sian Hwa dan Kwee Sin yang sudah yatim piatu. Tentu saja Liem Ta diberi tahu dan duda perantau ini setelah melihat Kwee Sin yang tampan dan gagah, apa lagi anak murid Kun-lun-pai, segera memberi persetujuannya.
Lima tahun kemudian mereka sudah tamat belajar. Sian Hwa menjadi seorang pendekar wanita yang gagah, menjadi orang termuda dari Hoa-san Sie-eng yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Ada pun Kwee Sin juga menjadi seorang jago muda Kun-lun-pai yang tak kalah tersohornya. Ia adalah orang termuda pula dari Kun-lun Sam-hengte (Tiga Saudara dari Kun-lun), yaitu bersama dua orang suheng-nya yang bernama Bun Si Teng dan Bu Si Liong.
Demikianlah sepintas lalu keadaan Sian Hwa. Dan sebagai pendekar-pendekar gagah, baik Sian Hwa mau pun Kwee Sin tidak tergesa-gesa melangsungkan pernikahan, malah kedua tunangan ini bertemu muka pun jarang sekali. Walau pun keduanya bertemu muka mungkin setengah tahun sekali, jalinan cinta kasih di antara mereka makin erat.
Pada waktu cerita ini terjadi, Liem Sian Hwa sudah kembali ke rumahnya di Lam-bi-chung, sedangkan Kwee Sin seperti biasanya sedang pergi merantau sebagai seorang pendekar muda yang memiliki cita-cita melepaskan tanah air dan bangsa dari penindasan penjajah Mongol.
Pada suatu hari Liem Ta pulang dari merantaunya. Sekali ini dia tidak pergi terlalu jauh, maka dalam waktu setengah bulan dia sudah pulang. Begitu datang ke rumah, dia sudah marah-marah dan memanggil Sian Hwa.
Gadis ini segera menghampiri ayahnya yang nampak tidak senang dan marah-marah itu, penuh keheranan karena biasanya ayahnya sangat sayang kepadanya dan tidak pernah marah-marah seperti itu.
“Sian Hwa, mulai sekarang hubunganmu dengan manusia she Kwee itu putus saja sampai di sini! Biar besok aku pergi naik Hoa-san untuk memberi tahu gurumu. Pertunanganmu dengan manusia she Kwee itu harus putus!”
Kalau ada halilintar menyambarnya di saat itu, kiranya Sian Hwa tak akan sekaget ketika mendengar perkataan ayahnya ini. Kedua pipinya yang biasanya kemerahan itu tiba-tiba menjadi pucat. Akan tetapi sebagai seorang pendekar wanita yang gagah ia bersikap tenang ketika bertanya,
“Apakah sebabnya ayah menjadi marah-marah seperti ini? Tentu sudah terjadi sesuatu yang membuat ayah menjadi marah.”
“Terjadi sesuatu?” Liem Ta membentak. “Sudah terlalu lama terjadinya, sudah terlalu lama orang itu menipu kita, menipumu! Pantas saja sampai sekarang belum juga ada ketentuan tentang hari baikmu. Huh, kiranya manusia itu bermain gila!”
Mulai khawatir hati Sian Hwa, sepasang alisnya yang hitam bergerak-gerak.
“Ayah, apakah sebenarnya yang telah terjadi?” Hatinya benar-benar mulai merasa tidak enak karena ia sudah bisa menduga bahwa pasti terjadi sesuatu dengan diri tunangannya, Kwee Sin.
“Manusia she Kwee itu ternyata bukan orang baik-baik, Sian hwa. Biar pun dia itu murid Kun-lun-pai, biar pun dia seorang di antara Kun-lun Sam-hengte namun sekarang ia telah tersesat. Dia bergulung-gulung dengan seorang wanita jahat, kalau tidak salah wanita itu seorang dari perkumpulan Ngo-lian-kauw yang terpimpin iblis. Mataku sendiri melihat dia bermain gila secara tak tahu malu dengan wanita genit dan cabul itu. Sudahlah, pendek kata aku tidak rela anakku menjadi isteri seorang laki-laki yang bergulung-gulung dengan wanita cabul!”
Dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Sian Hwa. Akan tetapi ia masih tetap menahan-nahan perasaan dan bertanya sambil lalu, “Aneh sekali mengapa orang bisa begitu tak tahu malu, ayah? Di manakah ayah melihatnya... ehhh, mereka itu?”
“Di mana lagi kalau tidak di Telaga Pok-yang! Mereka bermain perahu, bernyanyi-nyanyi, minum-minum, uhhh... pendeknya, terlalu!”
Ayah ini menyumpah-nyumpah dan kembali menyatakan besok akan berangkat naik ke Hoa-san untuk meminta ketua Hoa-san membatalkan perjodohan Sian Hwa dengan Kwee Sin. Akan tetapi pada keesokan harinya, Liem Ta membatalkan kepergiannya ke Hoa-san karena melihat bahwa anak gadisnya telah pergi secara diam-diam malam hari itu.
“Ahhh…” pikirnya dengan hati duka, “kasihan kau, Sian Hwa, kau tentu pergi menyusul ke Pok-yang untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Lebih baik lagi, lebih baik kau menyaksikan sendiri agar tidak penasaran hatimu...”
Dugaan Liem Ta memang benar. Karena tak dapat lagi menahan panasnya hati, gadis itu malam-malam pergi dari rumahnya menuju ke Telaga Pok-yang yang letaknya tak berapa jauh dari dusunnya, hanya perjalanan tiga hari.
Akan tetapi ketika ia sampai di telaga itu, tidak terdapat tunangannya itu di antara sekian banyaknya para pelancong. Ia bertanya ke sana kemari dan selagi ia mencari keterangan, tiba-tiba seorang tukang perahu yang berkumis panjang mendekatinya.
“Nona hendak mencari siapakah?”
Sian Hwa berterus terang. “Aku mencari seorang teman, wanita cantik yang berpesiar di sini bersama seorang pemuda yang...” ia tak sudi menyebut tampan dan menambahkan, “…yang mukanya putih...”
Tiba-tiba tukang perahu itu nampak sungguh-sungguh dan berkata perlahan-lahan,
“Apakah wanitanya itu seorang anggota Pek-lian-pai (Partai Teratai putih)...?”
Sian Hwa terkejut. Pada masa itu, di mana negara sedang kacau dan banyak muncul perkumpulan-perkumpulan rahasia bertujuan merobohkan pemerintah, nama Pek-lian-pai amat terkenal sebagai perkumpulan besar yang berpengaruh. Sebagai seorang pendekar tentu saja Sian Hwa menaruh simpati terhadap perkumpulan Pek-lian-pai ini, maka dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar pertanyaan si tukang perahu.
“Hemmm...,” ia meragu, “mungkin demikian. Apakah kau melihat mereka?”
“Yang laki-laki muda tampan bermuka putih, menggantung pedang di punggung seperti Nona sekarang ini, bukan?”
“Ya....ya....”
Tukang perahu itu tertawa. “Ahhh, pengantin baru seperti mereka itu ke mana lagi kalau tidak berpesiar ke tempat-tempat indah? Kebetulan sekali ketika mereka berpesiar di sini, mereka selalu menggunakan perahuku, Nona. Ahhh, benar-benar pasangan yang cocok, mesra dan saling mencinta....”
“Ngaco!” Sian Hwa membentak marah hingga tukang perahu itu nampak amat ketakutan. “Katakan saja, di mana mereka berada?”
“Nona yang memakai teratai putih di rambutnya itu... dan pemuda tampan itu… kemarin sudah pergi dari sini. Menurut yang kudengar dari percakapan mereka, si pemuda hendak mengajak nona itu pergi ke dusun Lam-bi-chung... dan....”
Sian Hwa tidak melanjutkan pendengarannya, ia berkelebat pergi dan lari cepat menyusul, kembali ke Lam-bi-chung lagi. Ia tidak melihat betapa seperginya, tukang perahu berkumis panjang itu tertawa mengejek.
Alangkah mengkalnya hati Sian Hwa ketika ia tak dapat menyusul dua orang itu. Buktinya, sesudah ia sampai di dusun Lam-bi-chung, ia tidak melihat dua orang itu.
Dan dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketika ia melihat ayahnya telah rebah dengan luka-luka parah pada tubuhnya! Ia datang tepat di pagi hari dan ternyata ayahnya malam tadi diserang orang.
“Siapakah yang menyerangnya, sumoi? Dan apakah.... apakah ayahmu meninggal akibat penyerangan itu?” tanya Kwa Tin Siong yang sejak tadi mendengarkan penuturan adik seperguruannya itu dengan sabar. Kwa Hong dia suruh main di luar rumah karena dia merasa kurang baik jika anak-anak mendengarkan urusan besar.
Sian Hwa menyusuti air matanya. “Ayah hanya dapat bertahan sehari saja, twa-suheng. Luka-lukanya berat dan... dan itulah yang membuat hatiku amat sakit. Ayah menderita tiga macam luka, yang pertama adalah tusukan pedang dekat leher, kedua adalah luka karena sebatang paku berkepala bunga teratai putih...”
“Hemmm, Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih)...,” diam-diam Kwa Tin Siong terheran-heran karena itulah paku tanda rahasia anggota perkumpulan Pek-lian-pai!
“Dan luka yang ketiga?”
Tiba-tiba wajah Sian Hwa pucat sekali. “Yang ketiga adalah akibat pukulan Pek-lek-jiu... dari Kun-lun-pai...”
Kwa Tin Siong hampir melompat saking kagetnya. “Apa...?!”
Sian Hwa berkata dengan sungguh-sungguh. “Aku sudah memeriksa dengan teliti sekali, suheng. Tentu kau masih ingat, dulu suhu pernah menuturkan secara jelas sekali tentang Pek-lek-jiu Kun-lun-pai itu, termasuk tanda-tanda bekas pukulannya. Aku merasa yakin bahwa dada ayah telah dipukul orang dengan ilmu pukulan Pek-lek-jiu (Pukulan Geledek) dari Kun-lun-pai…”
“Dan murid Kun-lun-pai yang paling pandai menggunakan Pek-lek-jiu adalah... Kwee Sin!” kata jago pertama dari Hoa-san Sieeng ini sambil merenung.
“Betul, twa-suheng.” Liem Sian Hwa menangis lagi. “Aku harus membalas dendam…! Si keparat she Kwee, kalau belum membalas kekejamanmu, aku Liem Sian Hwa takkan mau sudah...”
“Husshhh, nanti dulu, sumoi. Kau tenanglah. Tak baik bila menjatuhkan dakwaan kepada seseorang tanpa ada bukti. Apa lagi saudara Kwee Sin sepanjang pendengaranku adalah seorang gagah. Sebagai seorang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, agaknya tak masuk akal kalau dia melakukan pembunuhan ini. Andai kata buktinya kuat, habis apa alasannya dia mau melakukan hal ini?”
“Twa-suheng masa masih tidak dapat menduganya? Dia... manusia she Kwee keparat itu, setelah terlihat oleh ayah di Telaga Pok-yang, agaknya merasa malu dan takut apa bila rahasianya disiar-siarkan oleh ayah. Dia bersama... siluman dari Pek-lian-pai itu… tentu mengejar ke sini dan membunuh ayah...”
“Kenapa begitu yakin?”
“Ayah sendiri yang mengatakan demikian, twa-suheng. Ayah masih dapat menceritakan hal ini, meski amat sukar dia bicara.” Sian Hwa menghapus air matanya yang bercucuran deras ketika ia bicara tentang ayahnya.
“Menurut ayah, malam itu ayah terkejut dan terbangun dari tidur karena suara keras pada jendela. Begitu ayah melompat turun, dia roboh karena tusukan pedang yang mengarah lehernya, dan masih menyerempet ketika dielakkan oleh ayah. Kemudian ia terpukul pada dadanya, keras sekali membuat ayah hampir pingsan. Sebelum pingsan ayah mendengar suara ketawa seorang wanita dari luar jendela, kemudian terasa sakit pada pinggangnya akibat tertusuk paku itu. Ayah masih sempat mendengar kata-kata seorang laki-laki yang mengatakan bahwa ayah tak boleh sekali-sekali menghina seorang jagoan Kun-lun! Malah ayah mendengar pula ejekan wanita itu yang menyatakan bahwa partai Pek-lian-pai tidak mau mengampuni orang-orang yang sombong.”
Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Bagaimana mungkin Kwee Sin melakukan hal yang securang itu? Apa lagi dia, wanita yang katanya ialah anggota Pek-lian-pai yang tersohor sebagai perkumpulan orang-orang gagah, patriot-patriot bangsa! Bahkan kini dia sendiri mencari tiga orang adik seperguruannya untuk diajak berunding tentang memasuki partai itu dan membantu perjuangan.
“Apakah ayahmu melihat pula laki-laki dan wanita itu?” desaknya.
“Tidak, twa-suheng. Kamar ayah gelap sekali, tidak ada penerangan sama sekali. Hal ini pun menunjukkan bahwa kedua orang yang datang menyerang ayah itu berkepandaian amat tinggi, dapat menyerang di tempat gelap secara tepat.”
“Apakah ayahmu mengenal suara saudara Kwee Sin?”
“Tentu tidak, suheng. Jarang sekali ayah bertemu dengan dia. Ahh, twa-suheng, mengapa kau masih ragu-ragu? Tak bisa salah lagi bahwa anjing Kwee Sin itulah yang membunuh ayah, dibantu seorang siluman dari Pek-lian-pai. Twa-suheng, hanya para suhenglah yang sekiranya dapat membantu Siauw-moi untuk menuntut balas atas kematian ayah secara penasaran ini....”
“Siapakah orangnya yang tidak akan ragu-ragu, sumoi. Dua hal yang amat berlawanan antara dugaan dan pendengaran. Seorang jago muda Kun-lun... dan seorang lagi anggota Pek-lian-pai... ahhh, apa bila bukan kau yang tertimpa hal ini, agaknya sukar untuk dapat kupercaya....”
Tiba-tiba mereka dikejutkan suara jeritan di luar rumah. “Tidak...! Pergi.....!”
Itulah suara Kwa Hong.
Kwa Tin Siong mencelat dari kursinya keluar pintu, diikuti Sian Hwa yang juga meloncat dengan amat lincahnya. Seperti terbang melayang keduanya meloncat keluar dan melihat sebuah Pek-lian-ting (paku teratai putih) seperti yang dipergunakan orang untuk melukai ayah Sian Hwa sudah tertancap pada daun pintu depan!
Kwa Hong sudah tidak tampak lagi di situ. Hanya terdengar derap kaki kuda berlari cepat menjauhi tempat itu.
“Cepat, twa-suheng, kejar....!”
Kwa Tin Siong melompat ke atas kudanya dan Sian Hwa berlari-lari menuju ke halaman belakang rumahnya untuk mengambil kudanya pula. Pada lain saat kedua kakak beradik seperguruan ini sudah melakukan pengejaran. Sebentar saja Kwa Tin Siong tersusul oleh kuda tunggangan Sian Hwa, seekor kuda tunggang yang amat baik dan pilihan.
Dua orang pendekar ini adalah jago tertua dan termuda dari Hoa-san Sie-eng. Selain ilmu silat mereka yang tinggi, juga dalam hal menunggang kuda mereka adalah ahli-ahli yang jarang bandingannya. Apa lagi Sian Hwa yang memang sejak kecil telah diajak merantau ayahnya dan semenjak kecilnya gadis ini sudah suka sekali menunggang kuda.
Sesudah melewati kurang lebih lima li, akhirnya suara derap kuda yang mereka kejar itu semakin jelas terdengar, tanda bahwa kuda itu tak jauh lagi terpisah.
“Sumoi, kau kejar terus, aku hendak mendahuluinya memotong jalan.”
Biar pun masih amat muda, baru dua puluh tahun, namun pengalaman Sian Hwa di dunia kang-ouw sudah cukup luas. Maka sedikit kata-kata twa-suheng-nya ini cukup ia ketahui maksudnya.
Ia tahu bahwa untuk menangkap seorang penculik anak-anak lebih aman menggunakan siasat, yaitu disergap dari belakang. Jika secara berterang, mungkin akan gagal karena si penculik bisa menggunakan anak yang diculik untuk mengancam. Ia hanya mengangguk.
Kwa Tin Siong lantas membedal kudanya, mengambil jalan memutar hendak memotong jalan. Baiknya ia sudah mengenal betul jalan di daerah tempat tinggal sumoi-nya ini, maka tanpa ragu-ragu, dia tahu ke mana arah jalan yang diambil oleh si penjahat di depan itu. Jalan itu menikung ke kanan dan agak memutar, maka kalau dia memotongnya melalui kebun dan hutan kecil, dia akan dapat mendahului si penjahat.
Tidak lama kemudian Sian Hwa sudah dapat melihat penculik itu. Kuda yang ditunggangi penculik itu bukan kuda baik, nampak sudah lelah sekali, apa lagi ditunggangi dua orang, biar pun salah satunya adalah anak kecil seperti Kwa Hong. Anak perempuan itu tampak lemas dan tidak bergerak atau bersuara lagi.
“Bangsat rendah, hendak lari ke mana kau!” Sian Hwa mencabut siang-kiam (sepasang pedang) tipis dan mempercepat larinya kuda.
Penculik itu, seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun bertubuh kecil bermata lebar, ketika mendengar suara wanita lalu menoleh. Dia tercengang melihat bahwa yang mengejarnya hanya seorang gadis cantik yang masih sangat muda. Tiba-tiba ia menahan kudanya dan tertawa sambil mencabut goloknya.
“Aha, kiranya ada seorang nona manis ingin main-main dengan aku,” katanya dengan senyum mengejek. Suaranya menunjukkan bahwa dia seorang dari utara.
Dengan gerakan yang gesit sekali orang itu meloncat turun dari kuda setelah menurunkan Kwa Hong yang dia gulingkan ke atas tanah. Jalan darah gadis cilik itu agaknya tertotok, lemas seperti orang pingsan. Dengan tenang orang itu lalu berdiri menghadang Sian Hwa yang datang membalapkan kudanya.
“Penculik hina, hari ini pedang nonamu akan mengantar nyawamu ke neraka,” Sian Hwa berseru.
Tiba-tiba tubuhnya melayang meninggalkan punggung kudanya yang masih berlari. Bagai seekor burung walet nona ini sudah menggerakkan pedangnya dan langsung menyerang penculik itu dengan gerakan sepasang pedang yang menyambar-nyambar!
Hebat benar sepak terjang nona Liem Sian Hwa yang berjuluk Kiam-eng-cu (Bayangan pedang) ini. Tidak mengecewakan dia berjulukan demikian karena sepasang pedangnya betul-betul merupakan segunduk sinar yang menutupi tubuhnya ketika ia melompat sambil menyerang.
“Bagus....!”
Laki-laki itu mau tak mau memuji melihat ketangkasan gerakan gadis ini. Cepat-cepat dia menangkis dengan golok yang diputar seperti payung di depan tubuhnya.
“Trangg... trangg...!”
Bunga api muncrat ke sana ke mari ketika sepasang pedang itu bertemu dengan golok. Dari getaran pada tangannya maklumlah Sian Hwa bahwa lawannya ini biar pun bertubuh kecil namun bertenaga besar juga. Begitu kedua kakinya berada di tanah, nona ini lalu menggenjot tanah dan tubuhnya berkelebat ke sebelah kiri orang itu, pedangnya kembali berkelebat.
Sian Hwa sudah sengaja menggunakan ginkang-nya untuk mengalahkan lawan dengan kecepatan gerakannya. Akan tetapi siapa kira, orang ini pun ternyata cepat sekali dapat memutar tubuhnya sambil membabatkan goloknya ke pinggang Sian Hwa. Terpaksa Sian Hwa menangkis dengan pedang kirinya, sedangkan pedang kanan menusuk ke arah dada lawan dengan gerak tipu Kwan-kong Sia-ciok (Kwan Kong Memanah Batu).
Sekarang kagetlah orang itu, tidak berani lagi dia tertawa-tawa. Ternyata nona muda ini sangat hebat ilmu pedangnya. Cepat, gesit dan serangannya tidak terduga. Ia cepat cepat menjengkangkan diri ke belakang sambil berjungkir balik kemudian menghadapi lawannya dengan hati-hati. Pertempuran seru segera terjadi.
Pada saat itu muncullah Kwa Tin Siong dari belakang pohon-pohon. Girang hati pendekar ini melihat bahwa anaknya hanya tertotok dan tidak mengalami kecelakaan. Maka dia pun cepat meloncat dan membebaskan totokan pada tubuh anaknya lebih dahulu, karena dia melihat bahwa sepasang pedang sumoi-nya ternyata dapat menahan gerakan golok yang aneh dan lihai dari penculik.
Setelah Kwa Hong dibebaskan dari totokan serta menyuruh anaknya ini duduk bersila dan mengatur napas untuk membereskan kembali jalan darahnya, Kwa Tin Siong melompat ke medan pertempuran sambil berseru,
“Sumoi serahkan penjahat ini kepadaku!”
Sebetulnya Sian Hwa tidak pernah terdesak oleh lawannya. Akan tetapi maklum betapa twa-suheng-nya marah karena orang ini telah menculik puterinya, ia meloncat keluar dan membiarkan twa-suheng-nya menghadapi penculik itu.
“Tahan, sobat!”
Kwa Tin Siong mengulurkan pedang menahan golok lawan. Dia mengerahkan tenaganya sehingga golok lawannya itu tertahan dan tak dapat bergerak lagi. Lawannya kaget sekali dan menatap tajam.
“Kau ini siapakah dan seingatku, di antara aku Kwa Tin Siong dan kau tidak pernah ada permusuhan apa-apa. Mengapa kau datang dan menculik anakku?” tanya pendekar itu yang tidak mau menurutkan nafsu amarah.
Orang itu tertawa mengejek. “Aku... aku hanya ingin menguji sampai di mana nama besar Hoa-san Sie-eng!”
Kwa Tin Siong mengeryitkan keningnya. “Kau yang sudah mengenal nama kami tentulah seorang kang-ouw. Kulihat engkau menggunakan Pek-lian-ting, apa hubunganmu dengan Pek-lian-pai? Sobat, harap engkau jangan main-main dan mengakulah terus terang, apa sebetulnya kehendakmu dan siapa namamu yang besar.”
Tiba-tiba saja terdengar orang itu bersuit keras sekali dan goloknya berkelebat menyerang Kwa Tin Siong. Tentu saja pedekar ini marah sekali. Tak pernah diduganya bahwa orang akan berlaku begini rendah, padahal dia sudah cukup bersikap jujur dan menghormat.
“Bagus, kiranya kau hanya sebangsa pengecut curang!” serunya.
Dengan sekali tangkisan dia dapat membikin golok orang itu terpental, kemudian desakan pedangnya yang sekaligus menyerang bertubi-tubi sampai empat lima jurus membuat orang itu mundur-mundur tak mampu balas menyerang.
Memang hebat ilmu pedang Kwa Tin Siong dan tidak percuma dia menjadi orang pertama dari Hoa-san Sie-eng. Gerakan-gerakannya mantap dan matang, tenaga lweekang-nya juga sudah tinggi sehingga baru belasan jurus saja si penculik itu sudah harus meloncat ke sana ke mari dan menangkis sedapatnya.
Kembali ia bersuit keras dan kali ini tiba-tiba dari arah timur hutan terdengar suitan-suitan semacam yang agaknya menjawab suitan si penculik tadi.
Mendengar ini Kwa Tin Siong berseru, “Awas, sumoi, kawanan penculik datang!”
Sian Hwa memang sudah siap. Dia menyuruh Kwa Hong bersembunyi di balik sebatang pohon besar, sedangkan ia sendiri lalu menjaga di situ dengan sepasang pedang di kedua tangan.
Terdengar seruan kesakitan dan penculik itu terhuyung ke belakang dengan pundak yang berdarah. Ternyata pundaknya sudah kena disambar pedang sehingga terbabat kulit dan dagingnya. Namun ia masih sanggup melawan sehingga Kwa Tin Siong masih belum juga dapat merobohkannya.
Pada waktu itu terdengar suara banyak orang menunggang kuda. Mereka adalah empat orang lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Gerakan mereka tangkas dan begitu sampai di situ, keempatnya lalu melompat turun dan mencabut golok mereka.
Tanpa banyak cakap lagi Sian Hwa menyambut mereka. Dua orang mengeroyoknya dan dua yang lainnya sekarang sudah membantu si penculik tadi, mengeroyok Kwa Tin Siong. Diam-diam dua orang anak murid Hoa-san-pai ini terkejut sekali. Ternyata empat orang yang baru datang ini malah memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada penculik. Ilmu golok mereka adalah ilmu golok utara. Keras dan bertenaga, gerak-geriknya juga cepat.
Sian Hwa dan Tin Siong memang mewarisi Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang ampuh. Keduanya patut diberi julukan pendekar pedang Hoa-san dan mereka dalam pertempuran keroyokan ini telah memperlihatkan ketangkasan.
Akan tetapi, lawan-lawan mereka yang mengeroyok juga bukan sembarangan orang, tapi memiliki kelihaian yang tingkatnya dengan mereka hanya kalah sedikit. Namun, dengan pertempuran secara pengeroyokan itu tentu saja mereka lebih unggul dan perlahan-lahan mulai mendesak.
Lima puluh jurus telah lewat. Kwa Tin Siong masih mampu bertahan dan dapat membalas serangan. Akan tetapi Sian Hwa mulai lelah, mulai berkurang daya serangnya. Dia lebih banyak menangkis dan meloncat ke sana-kemari.
Gadis itu hebat sekali. Kali ini benar-benar tepat julukannya Kiam-eng-cu karena tubuhnya lenyap terbungkus sinar kedua pedangnya di antara dua batang golok lawan yang terus menyambar-nyambar mengitari dirinya.
Kwa Tin Siong mengeluh di dalam hatinya. “Celaka,” pikirnya. “Sekali ini aku dan sumoi menghadapi bencana.”
Hal ini masih belum hebat. Lebih celakanya, anaknya pun ikut menghadapi bencana yang hebat pula. Siapa yang akan melindungi anaknya? Berpikir sampai di sini dia mencoba untuk menggunakan daya lain.
Tiba-tiba ia berseru keras. “Bukankah cuwi (tuan-tuan sekalian) ini anggota-anggota dari Pek-lian-pai? Ketahuilah, siauwte Kwa Tin Siong dari Hoa-san-pai tidak ada permusuhan dengan Pek-lian-pai, malah tadinya hendak menggabungkan diri.”
Akan tetapi tiga orang lawannya tertawa dan seorang di antara mereka berkata mengejek, “Anak murid Hoa-san-pai mana ada harga masuk Pek-lian-pai? Kalau mau mengaku kalah barulah kami melepaskan dan boleh belajar lagi. Lihat kelak, kalau sudah pandai baru boleh masuk Pek-lian-pai!” tiga orang itu tertawa-tawa dan menyerang...
“Kadal! Bunglon! Monyet... tak tahu malu kau…!”
Beng San juga terkejut dan malu sekali. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dengan pedangnya bocah itu mampu membelah selongsong ular sedemikian rupa hingga ujung pedang tadi hampir saja menggurat kulit perutnya. Cepat-cepat dia lari menyambar pakaiannya dan segera memakainya.
“Kau yang tak tahu malu, kaulah yang kurang ajar!” Beng San marah marah. “Main-main dengan pedang. Kalau kena perutku tadi, apa aku tidak mati?”
“Mampus juga salahmu sendiri,” Kwa Hong menjawab sambil memutar tubuh. Sekarang ia melihat Beng San dalam pakaian yang kotor, butut dan tambal-tambalan.
“Huh!” ia menjebi, “kiranya hanya pengemis.”
“Kuntilanak! Aku tak pernah mengemis apa-apa padamu.”
Pada saat itu, Kwa Tin Siong sudah berlari-lari sampai di tempat itu. Dia barusan sempat mendengar percekcokan terakhir ini sehingga datang-datang ia menegur puterinya.
“Hong-ji, tak boleh kau menghina orang, tak boleh bercekcok. Pengemis adalah saudara kita.”
Datang-datang jago Hoa-san-pai yang pikirannya selalu penuh dengan ujar-ujar pelajaran Khong Cu telah menasehati puterinya dengan sebuah ujar-ujar yang lengkapnya berbunyi: ‘Di seluruh penjuru lautan, semua manusia adalah saudara’.
Beng San yang memang berwatak nakal dan berani, tertawa-tawa sambil bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, bagus! Puas, puas! Maka harus ingat selalu bahwa jika tidak mau dihina orang lain, janganlah menghina orang lain.”
Seperti sudah diceritakan di bagian depan, semenjak kecilnya Beng San dijejali kitab-kitab kuno oleh para hwesio di Kelenteng Hok-thian-tong, di antaranya juga kitab-kitab Su-si Ngo-keng yang pernah dihafalkannya, maka dia pun masih banyak hafal akan ujar-ujar nabi Khong Cu. Yang dia ucapkan tadi pun merupakan sebuah ujar-ujar yang lengkapnya berbunyi: ‘Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu’.
Melihat sikap Beng San, Kwa Tin Siong mengerutkan kening, kemudian terheran-heran. Apa lagi melihat pakaian Beng San yang buruk dan melihat pula selongsong kulit ular di situ, ia mengira bahwa Beng San tentulah murid seorang pandai. Ia sedang terburu-buru dan ada urusan besar, tidak baik kalau sampai terjadi hal-hal tidak enak dengan tokoh lain. Maka ia lalu menarik tangan Kwa Hong dan berkata.
“Mari, Hong ji. Mari kita pergi. Aku tadi membunuh seekor ular besar, kita boleh makan dagingnya sebelum melanjutkan perjalanan.”
Kwa Hong tidak berani membantah, hanya memandang kepada Beng San dengan mata berapi-api dan mulut cemberut.
Kwa Tin Siong tersenyum, sebelum pergi menoleh ke arah Beng San yang berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar. Kembali Kwa Tin Siong terheran-heran melihat betapa kulit muka yang bengkak-bengkak itu menjadi agak kehijauan, padahal tadinya merah sekali. Ia merasa heran dan karena tidak melihat hawa beracun keluar dari tubuh pemuda cilik itu, maka ia tidak menduga bahwa anak ini telah mempelajari semacam ilmu mukjijat yang memang pada waktu itu banyak dimiliki tokoh-tokoh kang-ouw.
Mendengar orang bicara tentang ‘daging’ dan tentang ‘makan’, seketika perut Beng San memberontak lagi. Perutnya melilit-lilit dan ia tak dapat menahan lagi kedua kakinya yang berjalan mengikuti ayah dan anak itu dari jauh.
Berindap-indap ia menghampiri ketika mencium bau asap yang sangat wangi dan gurih. Setelah dekat dia melihat betapa Kwa Tin Siong dibantu oleh anak perempuan yang galak tadi sedang membakari potongan-potongan daging ular. Ularnya kelihatan menggeletak tak jauh dari situ, ular besar sekali yang tentu banyak dagingnya.
Beng San beberapa kali menelan ludahnya. Ketika ayah dan anak itu ramai-ramai makan panggang daging ular, Beng San membalikkan tubuhnya, tak mau melihat.
“Ayah, lihat itu pengemis yang tadi datang lagi.” Tiba-tiba terdengar Kwa Hong berkata nyaring.
Dengan perut panas Beng San menoleh dan memandang dengan mata mendelik.
Kwa Tin Siong tersenyum dan berkata kepada Beng San, “Anak baik, apakah kau lapar?”
Beng San berwatak angkuh namun ia jujur. Ia mengangguk mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan sikap ramah dan halus itu.
“Kau mau mengemis daging ular?” Kwa Hong mengejek.
“Tidak!” Beng San membentak dan membalikkan mukanya lagi.
Kwa Tin Siong diam-diam merasa kagum juga melihat anak jembel yang berwatak angkuh itu. Itulah sikap jantan yang jarang terdapat pada diri anak-anak, apa lagi anak jembel.
Dengan halus ia bertanya, “Anak baik, apakah kau mau minta daging ular?”
Beng San menoleh sebentar dan dengan mengeraskan hatinya ia menjawab halus, tidak membentak seperti ketika menjawab Kwa Hong tadi. “Tidak, lopek (paman tua), aku tidak minta.”
Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Jawaban kali ini adalah jawaban seorang anak baik-baik yang mengerti akan tata susila dan kesopanan. Ia dapat menjenguk isi hati anak itu yang agaknya memiliki keangkuhan besar, walau pun hampir kelaparan akan tetapi tidak mau minta-minta. Anak luar biasa, pikirnya.
“Anak baik, boleh aku mengetahui namamu?”
“Namaku Beng San, anak korban banjir, tiada orang tua, tidak tahu lagi she apa,” Beng San sekaligus menjawab karena tidak suka kalau dihujani pertanyaan selanjutnya.
Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Kasihan sekali anak ini, agaknya sejak kecil terpaksa harus hidup terlunta-lunta seorang diri.
“Beng San, aku Kwa Tin Siong dan ini anakku Kwa Hong. Kau tidak minta makanan, akan tetapi aku memberi kepadamu, kau mau, bukan ?”
Orang tua itu mengambil dua potong panggang daging ular dan memberikannya kepada Beng San. Anak itu menerima tanpa menyatakan terima kasihnya karena ia melihat Kwa Hong memandang dengan senyum mengejek. Begitu menerimanya ia mengembalikannya kepada Kwa Hong.
“Tak pernah aku menerima pemberian yang tak rela,” katanya singkat.
“Hong-ji!” Kwa Tin Siong membentak anaknya. “Jangan kau kurang ajar. Daging ini ayah yang dapat, bukan kau!”
Kwa Tin Siong membujuk supaya Beng San suka menerimanya dan Kwa Hong tak berani lagi senyum-senyum mengejek seperti tadi. Setelah yakin bahwa pemberian itu rela, Beng San segera makan daging ular itu.
Aduh lezatnya, sedapnya, gurihnya. Dengan lahap Beng San makan dan dalam sekejap mata saja habislah dua potong daging itu. Kwa Tin Siong yang diam-diam melirik menjadi terharu. Ia tahu bahwa kalau ia memberi terus menerus, maka kehormatan anak itu akan tersinggung. Sebab itu, karena ia dan Kwa Hong sudah merasa kenyang, ia lalu berdiri dan berkata kepada Kwa Hong.
“Hong ji, mari kita melanjutkan perjalanan. Kita harus mencari kudaku yang tadi melarikan diri.” Kemudian kepada Beng San ia pun berkata. “Beng San, karena kami sudah tidak lagi memerlukan daging ular, maka kuberikan sisa daging ular ini kepadamu, juga sisa garam dan bumbu ini. Kau pangganglah sendiri. Nah, selamat tinggal anak baik.”
Melihat sikap ini Beng San segera menjatuhkan diri berlutut. “Kwa Tin Siong lopek, kau benar-benar seorang mulia. Aku Beng San tak akan mudah melupakan kau dan semoga saja kelak aku mendapatkan kesempatan untuk membalas kebaikanmu ini.”
Sekali lagi Kwa Tin Siong terkesiap. Bukan main anak ini, mempunyai pribudi tinggi pula. Ia lalu mengangguk angguk dan diam-diam ia mencatat nama Beng San di dalam hatinya. Dan sebelum mereka berpisah, antara Beng San dan Kwa Hong kembali terjadi ‘adu sinar mata’. Pandang mata keduanya berapi dan gemas!
Setelah ayah dan anak itu pergi, Beng San segera berpesta pora. Ia memanggang daging ular sebanyaknya dan selagi masih panas-panas dia sudah tak sabar menanti, terus saja dimakannya. Sambil makan ia tersenyum-senyum kalau teringat akan kebaikan sikap Kwa Tin Siong, akan tetapi ia menggerutu kalau teringat akan Kwa Hong.
“Kui-bo…!“ makinya keras-keras. “Kuntilanak…! Cantik manis, genit dan galak. Kui-bo, Kui-bo, Kui-bo! Nah, kumaki kau sampai puas, mau apa sekarang, Kui-bo!”
Tiba-tiba dari atas puncak sebuah pohon besar terdengar suara orang perempuan tertawa mengikik, “Hi-hi-hi-hi!”
Beng San meloncat berdiri, menoleh ke kanan kiri. Disangkanya bahwa Kwa Hong datang kembali. Akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang. Ia menjadi gemas, dikiranya Kwa Hong datang lagi dan mengganggunya atau bersembunyi.
“Kuntilanak kau! Kui-bo, perlu apa datang menggangguku?”
Kembali terdengar suara ketawa seperti tadi, kini tepat di atas kepala Beng San. Anak itu cepat-cepat mendongak, memandang ke pepohonan di atasnya, di antara daun-daun dan cabang-cabang pohon. Akan tetapi, seekor burung pun tak tampak dan suara ketawa itu masih terdengar di situ.
Tiba-tiba suara itu pindah ke lain pohon, juga terdengar di puncak sambung menyambung, “Hi-hi-hi-hi!”
Beng San adalah seorang anak pemberani. Akan tetapi setidaknya dia pernah tinggal di kelenteng dan pernah mendengar cerita-cerita tahyul dari beberapa orang hwesio, maka sekarang ia mulai merasa bulu tengkuknya meremang. Betapa pun juga, ia mengeraskan hatinya. Masa di siang hari terang benderang ada setan? Kata seorang hwesio, kuntilanak hanya muncul di waktu malam!
“Hi-hi-hi-hi-hi!”
Dan kini Beng San benar-benar tersentak kaget karena tiba-tiba saja di depannya berdiri seorang perempuan yang cantik. Wanita ini tertawa-tawa, nampak giginya yang putih rapi. Pakaiannya seperti pakaian gambar dewi di tembok kelenteng, serba sutera dan indah. Ia memegang sebuah sapu tangan sutera yang panjang. Mukanya manis dan matanya liar galak serta mengandung sinar yang aneh menyeramkan, seperti bukan mata orang yang sehat otaknya. Inikah kuntilanak?
Wanita itu tertawa-tawa lagi, kemudian bertanya. “Anak bagus, kau suka kepada Kui-bo (kuntilanak)? Betulkah katamu tadi bahwa Kui-bo cantik manis, genit dan galak?”
Suara wanita itu halus, tapi matanya betul-betul menyeramkan, membuat Beng San makin ketakutan. Anak ini memberanikan hatinya dan bertanya.
“Kau… kau siapakah...?”
“He-he-he, anak bagus, dari tadi kau menyebut-nyebut Kui-bo. Akulah Kui-bo dan namaku ini.” Wanita itu seperti seorang tukang sulap tahu-tahu sudah memegang setangkai bunga hitam di tangannya.
“Namamu… kembang hitam itu…?”
Beng San melongo melihat wanita itu menancapkan tangkai bunga itu pada rambutnya. Karena bunga itu hitam dan rambutnya juga hitam, maka hiasan rambut ini tidak begitu kentara.
“Ya, akulah Hek-hwa Kui-bo (Kuntilanak Bunga Hitam). Kau bilang dia si gadis cilik yang mungil itu seperti aku ? Hi-hi-hi-hi, kau baik sekali, anak bagus...” Wanita itu tertawa-tawa lagi, nampaknya girang sekali.
Sebaliknya Beng San terkejut. Bagaimana wanita ini bisa mengetahui semua ucapannya kepada Kwa Hong?
“Aku tidak percaya,” katanya. “Menurut kata orang, kuntilanak itu biar pun cantik tapi suka makan...” sampai di sini Beng San menjadi pucat.
Mengapa ia begini goblok menyebut-nyebut tentang itu? Bagaimana kalau ini kuntilanak tulen dan dagingnya akan dimakan?
“Tepat sekali, memang aku suka makan daging mentah, terutama daging ular...”
Sapu tangan sutera yang panjang itu lalu dikebutkan dan... ujung sapu tangan itu sudah menarik keluar sepotong daging dari tubuh ular, dan langsung potongan daging ini ditarik dan diterima oleh mulutnya yang berbibir merah, kemudian dikunyahnya dengan enak dan dimakan! Beng San sampai melotot ngeri menyaksikan wanita itu makan daging ular yang masih mentah, bahkan masih ada darahnya.
“Kau percaya sekarang? Aku Hek-hwa Kui-bo, sama cantik dengan anak perempuan tadi, bukan? sama baiknya...”
Beng San teringat akan Kwa Hong dan mulutnya cemberut. Anak perempuan itu tadi telah menghinanya.
“Kalau sama dengan dia aku tak suka,” katanya setengah melamun, “Anak itu galak dan menghinaku. Kalau kau sama dengan dia, pergilah saja jangan dekat denganku.”
Sejenak wanita itu tertegun. Apa yang keluar dari mulut anak ini adalah kata-kata baru baginya, kata-kata yang tidak biasa ia dengar. Biasanya setiap orang tidak ada yang bersikap kasar, apa lagi berkata kasar kepadanya, semua selalu bermuka-muka, selalu bermanis-manis. Dan anak ini berani mengusirnya! Hal ini menggirangkan hatinya, dan ia tertawa-tawa lagi.
“Kau dihina oleh anak itu? Biar kubawa dia ke sini agar kau boleh membalasnya!” tiba-tiba tubuh wanita itu lenyap dari situ. Entah bagaimana caranya, tidak terlihat oleh Beng San.
Beng San semakin ketakutan, bulu tengkuknya berdiri semua. Sekarang dia baru mau percaya bahwa yang dihadapinya tadi betul-betul seekor siluman kuntilanak.
“Aduh, celaka... jangan-jangan dia kembali...,“ demikian dia berkata seorang diri.
Rasa ketakutan ini membuat pengaruh racun hijau dan hawa Im di tubuhnya meningkat, membuat dia menjadi kedinginan dan kehijauan mukanya. Rasa takut membuat Beng San segera lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ke manakah ia harus pergi menyembunyikan diri? Hutan itu besar sekali, di mana-mana pohon belaka. Ia tidak tahu ke mana jalan keluar. Tidak lama kemudian selagi berlari-lari, kembali ia mendengar suara ketawa yang tadi.
“Hi-hi-hi-hi-hi!”
Beng San menelusup ke dalam semak-semak, bersembunyi. Akan tetapi percuma saja, tahu-tahu wanita yang tadi sudah berada di depan semak-semak dan berkata,
“Anak bagus, hayo keluar. Ini orang yang menghinamu sudah kubawa ke sini.”
Beng San merangkak keluar dan... ia melihat Kwa Hong sudah berada di situ.
Anak perempuan itu kebingungan, kini memandang wanita tadi dan berkata gugup, “Ba… bagaimana kau bisa membawaku ke sini?”
Wanita itu hanya tertawa, mengelus pipi Kwa Hong yang halus kemerahan. “Kau cantik, aku juga sama dengan kau, kata anak bagus itu...”
Kwa Hong marah. Tadi ia sedang naik kuda bersama ayahnya dengan cepat. Tahu-tahu ada bayangan berkelebat, terdengar ayahnya berteriak dan ia merasa matanya pedas dan tahu-tahu sekarang ia sudah berada di dalam hutan berhadapan dengan seorang wanita cantik bersama Beng San.
Mengira bahwa tentu wanita ini guru Beng San yang hendak menuntut balas, Kwa Hong menunjukkan keberaniannya. Cepat bagaikan kilat tangannya yang kecil sudah mencabut pedangnya dan menusuk ke arah dada wanita itu! Anehnya, yang ditusuk tidak bergerak sedikit pun juga, hanya memandang sambil tersenyum-senyum.
“Krakkk!”
Tiba-tiba pedang di tangan Kwa Hong itu patah menjadi dua dan gadis kecil itu sendiri melepaskan gagang pedang karena merasa telapak tangannya serasa hendak pecah. Ia meloncat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. Ia tadi melihat betul bahwa pedangnya belum juga menyentuh tubuh perempuan itu, lalu kenapa tiba-tiba bisa patah sendiri?
“Kuntilanak dia, jangan dilawan, kau takkan menang melawan Kui-bo!” kata Beng San.
Kwa Hong marah bukan main. Ia mengira bahwa Beng San bicara kepada wanita itu dan memaki dia sebagai kuntilanak lagi.
“Anak jembel! Kau mendatangkan siluman untuk membalas!” bentaknya.
Pada saat itu terdengar angin bertiup dan tubuh Kwa Tin Siong berkelebat. Orang gagah ini memegang pedang telanjang di tangannya. Wajahnya yang muram nampak semakin muram dan penuh kekhawatiran. Ia bernapas lega melihat anaknya masih selamat di situ, lalu ia memandang sekilas ke arah Beng San, baru kemudian ia memperhatikan wanita itu.
Ia melihat seorang wanita cantik, sepasang matanya liar dan aneh, tangan kirinya sedang bermain-main dengan sehelai sapu tangan sutera beraneka warna, indah serta panjang. Melihat sinar mata wanita ini, diam-diam Kwa Tin Siong terkejut sekali. Bukan mata orang biasa.
Ia berlaku hati-hati, sekali lagi melirik ke arah Kwa Hong untuk melihat keadaan anaknya. Setelah mendapat keyakinan bahwa anaknya tidak terluka hanya agak takut-takut, ia lalu menjura kepada perempuan itu.
“Toanio (nyonya) dengan aku Kwa Tin Siong tidak pernah saling mengenal dan karenanya tidak ada permusuhan sesuatu, maka mohon tanya, ada maksud apa Toanio membawa anakku sampai ke sini?” Kwa Tin Siong bersikap hormat sekali karena dari cara nyonya ini tadi merampas anaknya tanpa ia dapat berdaya sama sekali sudah menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali.
Wanita itu tersenyum mengejek, memandang tak acuh. Ia tidak menjawab, bahkan lalu berkata kepada Beng San. “Kau tadi dihina hayo balas!”
Akan tetapi mana Beng San mau membalas? Ia memang tidak merasa sakit hati kepada ayah dan anak itu. Apa lagi Kwa Tin Siong sangat baik kepadanya, sedangkan terhadap Kwa Hong dia hanya mendongkol saja. Maka dia menggeleng kepalanya tanpa berkata sesuatu.
Kwa Tin Siong mendongkol juga melihat lagak wanita ini yang seakan sama sekali tidak mempedulikannya, jelas-jelas amat memandang rendah. Maka ia kembali berkata dengan hormat, “Toanio, aku Kwa Tin Siong tidak mempunyai permusuhan, juga Hoa-san-pai tak mempunyai permusuhan.”
Kwa Tin Siong sengaja menyebut nama Hoa-san-pai agar supaya perempuan ini tidak lagi memandang rendah kepadanya dan mau bersikap selayaknya orang kang-ouw berurusan dengan sesama orang kang-ouw.
“Tosu bau Lian Bu tak kenal mampus, tidak mampu mengajar anak muridnya.” Wanita itu bicara seperti kepada dirinya sendiri, akan tetapi cukup membuat Kwa Tin Siong bangkit kemarahannya.
Lian Bu Tojin adalah gurunya, juga adalah ketua Hoa-san-pai, seorang ciang-bunjin (ketua partai) yang amat dihormati seluruh orang kang-ouw. Mana bisa perempuan ini menyebut namanya begitu saja ditambah sebutan tosu bau segala? Pedang di tangannya gemetar.
Kwa Hong yang mengenal sikap ayahnya yang marah ini tiba-tiba saja memperingatkan. “Ayah, tadi aku tusuk dia tapi pedangku patah sebelum menyentuhnya!”
Kwa Tin Siong kaget sekali. Ia tidak kaget karena pedang anaknya patah. Ia tahu bahwa kepandaian anaknya belum seberapa, tentu saja kalau melawan seorang tokoh pandai tak akan ada artinya. Ia kaget akibat mendengar pengakuan anaknya yang sudah menyerang wanita ini.
“Hong-ji, jangan kurang ajar kau. Mari sini!” Ia menyuruh anaknya mendekatinya supaya lebih mudah melindungi kalau sampai terjadi pertempuran.
Akan tetapi, baru saja Kwa Hong hendak bergerak mendekati ayahnya, tampak wanita itu menggerakkan sapu tangan suteranya ke arah Kwa Hong yang segera berdiri diam tak bergerak seperti patung.
Hampir Kwa Tin Siong tak dapat mempercayai matanya sendiri. Ujung sapu tangan yang halus itu tampaknya tidak mengenai tubuh anaknya, tetapi... nyatanya anaknya telah kena ditotok jalan darahnya!
“Hi-hi-hi-hi-hi... Hoa-san-pai....” Wanita itu tertawa mengejek.
Sesabar-sabarnya manusia, kalau anaknya diganggu dan nama partainya diejek seperti itu, pasti tak akan dapat menahan juga. Kwa Tin Siong lalu berseru. “Manusia sombong, bersiaplah kau menghadapi pedangku!”
Sebagai seorang laki-laki gagah tentu saja ia masih menahan diri, tidak mau menyerang seorang wanita yang hanya memegang sehelai sapu tangan.
Akan tetapi wanita itu menjawab halus. “Pedangmu yang buruk dan ilmu silat Hoa-san-pai yang rendah mau bisa apakah terhadapku?”
“Hemm, sombong amat. Kalau begitu lihat pedangku!”
Kwa Tin Siong memutar pedangnya dan langsung menyerang dengan gerak tipu yang lihai dari Hoa-san Kiam-hoat, yaitu gerakan Tian-mo Po-in (Payung Kilat Sapu Awan). Pedangnya berputar cepat sampai merupakan payung yang berkilauan dan berkelebatan menyambar ke arah wanita itu.
“Hi-hi-hi-hi-hi, kiam-hoat (ilmu pedang) buruk!” Wanita itu dengan mudahnya memiringkan tubuh sambil menundukkan kepala untuk menghindari sabetan pedang.
Tapi Kwa Tin Siong adalah seorang jago tangguh dari Hoa-san-pai. Gerakan-gerakannya amat mahir, sudah masak dan cepat sekali. Melihat bahwa serangan pertamanya takkan berhasil, ia cepat sekali merubah gerakannya tanpa menarik kembali pedangnya.
Kini pedangnya meluncur dengan gerakan yang disebut Kwan-kong Sia-ciok (Kwan Kong Memanah Batu). Cepat sekali pedangnya sudah meluncur menusuk ke arah ulu hati sang lawan.
Kwa Tin Siong sudah mulai merasa kaget dan menyesal melihat agaknya lawannya tidak mampu mengelak. Bukan maksudnya untuk membunuh orang, maka gerakannya ia tahan dan perlambat sedapatnya.
Akan tetapi sebelum ujung pedang itu menyentuh lawan, tepat seperti yang dikatakan oleh Kwa Hong tadi, tiba-tiba menyambar sinar terang dari sapu tangan itu menyambar ke arah pedang dan tangan.
“Krakkk!”
Semacam tenaga mukjijat menghantam patah pedang di tangan Kwa Tin Siong. Namun orang she Kwa ini mempertahankan getaran hebat, dia tidak mau melepaskan pedangnya yang buntung. Akibatnya ia terpental mundur lima langkah dan muntahkan darah segar.
“Hi-hi-hi-hi-hi..., Hoa-san-pai... belum kubalas menyerang kau sudah mundur, orang she Kwa. Sekarang terimalah seranganku!”
Wanita itu melangkah maju dan menggerakkan sapu tangannya. Kwa Tin Siong merasa bahwa ia berhadapan dengan orang yang sakti luar biasa atau sebangsa siluman, maka dia menerima nasib, tahu bahwa ia tak akan kuat melawan.
“Hek-hwa Kui-bo, jangan ganggu mereka!” mendadak Beng San melompat dan menarik pakaian belakang wanita itu.
Hek-hwa Kui-bo menoleh. Ia tersenyum dan mengejek, “Mereka itu apamu sih, kau bela mati-matian.”
“Jangan bunuh, jangan ganggu... kalau tidak, aku takkan suka lagi kepadamu!”
Ancaman ini agaknya berpengaruh juga, buktinya wanita itu menurunkan sapu tangannya. Yang kaget setengah mati adalah Kwa Tin Siong ketika dia mendengar disebutnya nama Hek-hwa Kui-bo oleh Beng San tadi. Hek-hwa Kui-bo merupakan nama seorang di antara empat orang tokoh terbesar di dunia persilatan!
Menurut cerita gurunya, yang bernama Hek-hwa Kui-bo ini adalah seorang wanita yang cantik luar biasa dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini, melihat bentuk tubuh dan wajahnya, kiranya tak akan lebih dari tiga puluh tahun! Ia memandang lebih tegas dan melihat setangkai bunga hitam yang tadi tidak dia lihat tertancap di rambut kepala wanita itu!
“Jangan bunuh, jangan bunuh...!” Hek-hwa Kui-bo mengulang. “Ahh, anak bagus, lain kali mereka mungkin yang akan mengganggu dan membunuhmu. Hayo ikut!”
Mendadak wanita itu menggerakkan sapu tangannya yang meluncur ke arah Beng San. Tahu-tahu ujung sapu tangan sudah melibat pergelangan tangan anak itu dan Beng San merasa tubuhnya melayang di udara. Ia meramkan matanya dan mendengar suara angin mendesir-desir di pinggir kedua telinganya….
*********
Kwa Tin Siong menarik napas panjang saat melihat perempuan itu berkelebat pergi sambil membawa Beng San, lalu ia mulai menyalurkan pernapasan untuk memulihkan kekuatan dirinya. Baiknya tadi ia mengurangi tenaga tusukannya. Apa bila dilakukan dengan sekuat tenaga, tentu sekarang dia sudah menggeletak dengan jantung putus! Setelah lukanya yang tidak parah di dalam dada itu mendingan, barulah dia berdiri dan membuka totokan pada diri anaknya.
“Ayah, siapakah perempuan siluman itu?”
“Hushhh, jangan kau sombong, Hong-ji. Dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang malah lebih tinggi kedudukannya dari pada sukong-mu (kakek gurumu). Hayo kita melanjutkan perjalanan dan jangan banyak bertanya lagi.”
Pendekar yang amat gagah dan jarang menemui tandingan ini segera mengajak anaknya pergi, nampaknya dia gelisah sekali. Memang dia merasa gelisah dan juga aneh. Kenapa seorang tokoh seperti Hek-hwa Kui-bo yang sudah bertahun-tahun tidak pernah muncul di dunia kang-ouw itu sekarang tiba-tiba turun gunung dan mengganggunya? Ia harus cepat-cepat kembali ke Hoa-san-pai dan menceritakan hal ini kepada suhunya.
Pada jaman itu, pemerintahan pusat yang dipegang oleh kerajaan Goan (Mongol) sedang dikacau oleh pelbagai pemberontakan rakyat yang sudah tidak kuat lagi atas penindasan penjajah Mongol. Di mana-mana muncul perkumpulan rahasia yang menghimpun banyak tenaga untuk melakukan pemberontakan dan rongrongan terhadap pemerintah penjajah. Di antara puluhan macam perkumpulan rahasia ini, murid-murid Hoa-san-pai termasuk pula anggota sebuah perkumpulan yang terbesar, yaitu Pek-lian-pai (perkumpulan Teratai Putih) yang tujuannya merobohkan pemerintah Mongol.
Kwa Tin Siong yang mempelopori kegiatan adik-adik seperguruannya, ketika itu sedang pergi mencari sute-sute dan sumoi-sumoi-nya yang berpencaran di mana-mana. Bahkan dia sedang mencari dan mengumpulkan tiga orang adik seperguruannya karena Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san) harus berkumpul di Hoa-san untuk membicarakan soal pemasukan menjadi anggota perkumpulan anti penjajah ini.
Saat tiba di hutan dan mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong baru saja pulang dari Kwi-nam-hu bertemu dengan sute-nya, Thio Wan It, yang sudah berjanji akan menghadap ke Hoa-san bulan depan tanggal lima. Juga dia sudah bertemu dengan Toat-beng-kiam Kui Teng, sute-nya yang ketiga, dan sudah mendapat janji pula. Kini ia sedang menuju ke arah dusun Lam-bi-chung, tempat tinggal orang tua sumoi-nya (adik seperguruan), yaitu Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa.
Setelah mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong mempercepat perjalanannya untuk segera kembali ke Hoa-san setelah memberi tahu sumoi-nya tentang pertemuan Hoa-san Sie-eng di Hoa-san.
Dalam waktu tiga hari saja Kwa Tin Siong dan anak perempuannya telah sampai di dusun Lam-bi-chung. Namun apa yang mereka dapati di dusun tempat tinggal jago keempat dari Hoa-san Sie-eng ini? Mereka dapatkan Liem Sian Hwa sedang berkabung atas kematian ayahnya yang dibunuh orang satu minggu yang lalu. Begitu melihat kedatangan Kwa Tin Siong, gadis itu segera menubruk dan berlutut di depan twa-suheng (kakak seperguruan tertua) ini dan menangis tersedu-sedu.
Seperti sudah disebutkan di bagian depan, Kwa Tin Siong merupakan jago pertama dari empat Hoa-san Sie-eng yang selama ini telah mengharumkan nama Hoa-san-pai sebagai pendekar-pendekar budiman.
Liem Sian Hwa adalah tokoh keempat dan yang termuda. Akan tetapi biar pun ia termuda, baru dua puluh tahun usianya dan satu-satu wanita di antara empat pendekar Hoa-san-pai itu, kepandaiannya hanya kalah setingkat oleh twa-suheng-nya ini. Ia seorang gadis yang cantik, manis, dan sederhana sekali. Maklumlah, karena Sian Hwa adalah anak seorang miskin.
Ayahnya, Liem Ta, juga seorang guru silat yang semenjak mudanya menjadi penjual obat keliling sambil mendemontrasikan ilmu silatnya hanya untuk menarik perhatian pembeli. Ilmu silatnya adalah warisan dari ilmu silat Siauw-lim, akan tetapi tidak begitu tinggi, hanya sekedar untuk ilmu pembela diri belaka.
Bertahun-tahun Sian Hwa tinggal di Hoa-san setelah ia diantar oleh ayahnya dan diterima menjadi murid oleh ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin yang melihat bahwa memang anak perempuan itu bertulang baik sekali, bersemangat dan cerdik. Ayahnya tetap berkeliling obat karena sudah menjadi kebiasaan seorang yang suka merantau, tentu takkan senang kalau harus berdiam di suatu tempat.
Memang benar bahwa Liem Ta sudah memiliki sebuah rumah kecil di dusun Lam-bi-chung tempat kelahiran Sian Hwa. Namun, karena isteri Liem Ta sudah lama meninggal, ia tidak tahan hidup seorang diri dan sering kali melakukan perjalanan merantau.
Ketika Sian Hwa berusia lima belas tahun, datanglah ketua Kun-lun-pai, yaitu Pek Gan Siansu, berkunjung ke Hoa-san bersama muridnya yang bernama Kwee Sin, yang pada waktu itu berusia tujuh belas tahun. Pertemuan antara dua orang ketua ini menghasilkan ikatan jodoh antara Sian Hwa dan Kwee Sin yang sudah yatim piatu. Tentu saja Liem Ta diberi tahu dan duda perantau ini setelah melihat Kwee Sin yang tampan dan gagah, apa lagi anak murid Kun-lun-pai, segera memberi persetujuannya.
Lima tahun kemudian mereka sudah tamat belajar. Sian Hwa menjadi seorang pendekar wanita yang gagah, menjadi orang termuda dari Hoa-san Sie-eng yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Ada pun Kwee Sin juga menjadi seorang jago muda Kun-lun-pai yang tak kalah tersohornya. Ia adalah orang termuda pula dari Kun-lun Sam-hengte (Tiga Saudara dari Kun-lun), yaitu bersama dua orang suheng-nya yang bernama Bun Si Teng dan Bu Si Liong.
Demikianlah sepintas lalu keadaan Sian Hwa. Dan sebagai pendekar-pendekar gagah, baik Sian Hwa mau pun Kwee Sin tidak tergesa-gesa melangsungkan pernikahan, malah kedua tunangan ini bertemu muka pun jarang sekali. Walau pun keduanya bertemu muka mungkin setengah tahun sekali, jalinan cinta kasih di antara mereka makin erat.
Pada waktu cerita ini terjadi, Liem Sian Hwa sudah kembali ke rumahnya di Lam-bi-chung, sedangkan Kwee Sin seperti biasanya sedang pergi merantau sebagai seorang pendekar muda yang memiliki cita-cita melepaskan tanah air dan bangsa dari penindasan penjajah Mongol.
Pada suatu hari Liem Ta pulang dari merantaunya. Sekali ini dia tidak pergi terlalu jauh, maka dalam waktu setengah bulan dia sudah pulang. Begitu datang ke rumah, dia sudah marah-marah dan memanggil Sian Hwa.
Gadis ini segera menghampiri ayahnya yang nampak tidak senang dan marah-marah itu, penuh keheranan karena biasanya ayahnya sangat sayang kepadanya dan tidak pernah marah-marah seperti itu.
“Sian Hwa, mulai sekarang hubunganmu dengan manusia she Kwee itu putus saja sampai di sini! Biar besok aku pergi naik Hoa-san untuk memberi tahu gurumu. Pertunanganmu dengan manusia she Kwee itu harus putus!”
Kalau ada halilintar menyambarnya di saat itu, kiranya Sian Hwa tak akan sekaget ketika mendengar perkataan ayahnya ini. Kedua pipinya yang biasanya kemerahan itu tiba-tiba menjadi pucat. Akan tetapi sebagai seorang pendekar wanita yang gagah ia bersikap tenang ketika bertanya,
“Apakah sebabnya ayah menjadi marah-marah seperti ini? Tentu sudah terjadi sesuatu yang membuat ayah menjadi marah.”
“Terjadi sesuatu?” Liem Ta membentak. “Sudah terlalu lama terjadinya, sudah terlalu lama orang itu menipu kita, menipumu! Pantas saja sampai sekarang belum juga ada ketentuan tentang hari baikmu. Huh, kiranya manusia itu bermain gila!”
Mulai khawatir hati Sian Hwa, sepasang alisnya yang hitam bergerak-gerak.
“Ayah, apakah sebenarnya yang telah terjadi?” Hatinya benar-benar mulai merasa tidak enak karena ia sudah bisa menduga bahwa pasti terjadi sesuatu dengan diri tunangannya, Kwee Sin.
“Manusia she Kwee itu ternyata bukan orang baik-baik, Sian hwa. Biar pun dia itu murid Kun-lun-pai, biar pun dia seorang di antara Kun-lun Sam-hengte namun sekarang ia telah tersesat. Dia bergulung-gulung dengan seorang wanita jahat, kalau tidak salah wanita itu seorang dari perkumpulan Ngo-lian-kauw yang terpimpin iblis. Mataku sendiri melihat dia bermain gila secara tak tahu malu dengan wanita genit dan cabul itu. Sudahlah, pendek kata aku tidak rela anakku menjadi isteri seorang laki-laki yang bergulung-gulung dengan wanita cabul!”
Dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Sian Hwa. Akan tetapi ia masih tetap menahan-nahan perasaan dan bertanya sambil lalu, “Aneh sekali mengapa orang bisa begitu tak tahu malu, ayah? Di manakah ayah melihatnya... ehhh, mereka itu?”
“Di mana lagi kalau tidak di Telaga Pok-yang! Mereka bermain perahu, bernyanyi-nyanyi, minum-minum, uhhh... pendeknya, terlalu!”
Ayah ini menyumpah-nyumpah dan kembali menyatakan besok akan berangkat naik ke Hoa-san untuk meminta ketua Hoa-san membatalkan perjodohan Sian Hwa dengan Kwee Sin. Akan tetapi pada keesokan harinya, Liem Ta membatalkan kepergiannya ke Hoa-san karena melihat bahwa anak gadisnya telah pergi secara diam-diam malam hari itu.
“Ahhh…” pikirnya dengan hati duka, “kasihan kau, Sian Hwa, kau tentu pergi menyusul ke Pok-yang untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Lebih baik lagi, lebih baik kau menyaksikan sendiri agar tidak penasaran hatimu...”
Dugaan Liem Ta memang benar. Karena tak dapat lagi menahan panasnya hati, gadis itu malam-malam pergi dari rumahnya menuju ke Telaga Pok-yang yang letaknya tak berapa jauh dari dusunnya, hanya perjalanan tiga hari.
Akan tetapi ketika ia sampai di telaga itu, tidak terdapat tunangannya itu di antara sekian banyaknya para pelancong. Ia bertanya ke sana kemari dan selagi ia mencari keterangan, tiba-tiba seorang tukang perahu yang berkumis panjang mendekatinya.
“Nona hendak mencari siapakah?”
Sian Hwa berterus terang. “Aku mencari seorang teman, wanita cantik yang berpesiar di sini bersama seorang pemuda yang...” ia tak sudi menyebut tampan dan menambahkan, “…yang mukanya putih...”
Tiba-tiba tukang perahu itu nampak sungguh-sungguh dan berkata perlahan-lahan,
“Apakah wanitanya itu seorang anggota Pek-lian-pai (Partai Teratai putih)...?”
Sian Hwa terkejut. Pada masa itu, di mana negara sedang kacau dan banyak muncul perkumpulan-perkumpulan rahasia bertujuan merobohkan pemerintah, nama Pek-lian-pai amat terkenal sebagai perkumpulan besar yang berpengaruh. Sebagai seorang pendekar tentu saja Sian Hwa menaruh simpati terhadap perkumpulan Pek-lian-pai ini, maka dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar pertanyaan si tukang perahu.
“Hemmm...,” ia meragu, “mungkin demikian. Apakah kau melihat mereka?”
“Yang laki-laki muda tampan bermuka putih, menggantung pedang di punggung seperti Nona sekarang ini, bukan?”
“Ya....ya....”
Tukang perahu itu tertawa. “Ahhh, pengantin baru seperti mereka itu ke mana lagi kalau tidak berpesiar ke tempat-tempat indah? Kebetulan sekali ketika mereka berpesiar di sini, mereka selalu menggunakan perahuku, Nona. Ahhh, benar-benar pasangan yang cocok, mesra dan saling mencinta....”
“Ngaco!” Sian Hwa membentak marah hingga tukang perahu itu nampak amat ketakutan. “Katakan saja, di mana mereka berada?”
“Nona yang memakai teratai putih di rambutnya itu... dan pemuda tampan itu… kemarin sudah pergi dari sini. Menurut yang kudengar dari percakapan mereka, si pemuda hendak mengajak nona itu pergi ke dusun Lam-bi-chung... dan....”
Sian Hwa tidak melanjutkan pendengarannya, ia berkelebat pergi dan lari cepat menyusul, kembali ke Lam-bi-chung lagi. Ia tidak melihat betapa seperginya, tukang perahu berkumis panjang itu tertawa mengejek.
Alangkah mengkalnya hati Sian Hwa ketika ia tak dapat menyusul dua orang itu. Buktinya, sesudah ia sampai di dusun Lam-bi-chung, ia tidak melihat dua orang itu.
Dan dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketika ia melihat ayahnya telah rebah dengan luka-luka parah pada tubuhnya! Ia datang tepat di pagi hari dan ternyata ayahnya malam tadi diserang orang.
“Siapakah yang menyerangnya, sumoi? Dan apakah.... apakah ayahmu meninggal akibat penyerangan itu?” tanya Kwa Tin Siong yang sejak tadi mendengarkan penuturan adik seperguruannya itu dengan sabar. Kwa Hong dia suruh main di luar rumah karena dia merasa kurang baik jika anak-anak mendengarkan urusan besar.
Sian Hwa menyusuti air matanya. “Ayah hanya dapat bertahan sehari saja, twa-suheng. Luka-lukanya berat dan... dan itulah yang membuat hatiku amat sakit. Ayah menderita tiga macam luka, yang pertama adalah tusukan pedang dekat leher, kedua adalah luka karena sebatang paku berkepala bunga teratai putih...”
“Hemmm, Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih)...,” diam-diam Kwa Tin Siong terheran-heran karena itulah paku tanda rahasia anggota perkumpulan Pek-lian-pai!
“Dan luka yang ketiga?”
Tiba-tiba wajah Sian Hwa pucat sekali. “Yang ketiga adalah akibat pukulan Pek-lek-jiu... dari Kun-lun-pai...”
Kwa Tin Siong hampir melompat saking kagetnya. “Apa...?!”
Sian Hwa berkata dengan sungguh-sungguh. “Aku sudah memeriksa dengan teliti sekali, suheng. Tentu kau masih ingat, dulu suhu pernah menuturkan secara jelas sekali tentang Pek-lek-jiu Kun-lun-pai itu, termasuk tanda-tanda bekas pukulannya. Aku merasa yakin bahwa dada ayah telah dipukul orang dengan ilmu pukulan Pek-lek-jiu (Pukulan Geledek) dari Kun-lun-pai…”
“Dan murid Kun-lun-pai yang paling pandai menggunakan Pek-lek-jiu adalah... Kwee Sin!” kata jago pertama dari Hoa-san Sieeng ini sambil merenung.
“Betul, twa-suheng.” Liem Sian Hwa menangis lagi. “Aku harus membalas dendam…! Si keparat she Kwee, kalau belum membalas kekejamanmu, aku Liem Sian Hwa takkan mau sudah...”
“Husshhh, nanti dulu, sumoi. Kau tenanglah. Tak baik bila menjatuhkan dakwaan kepada seseorang tanpa ada bukti. Apa lagi saudara Kwee Sin sepanjang pendengaranku adalah seorang gagah. Sebagai seorang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, agaknya tak masuk akal kalau dia melakukan pembunuhan ini. Andai kata buktinya kuat, habis apa alasannya dia mau melakukan hal ini?”
“Twa-suheng masa masih tidak dapat menduganya? Dia... manusia she Kwee keparat itu, setelah terlihat oleh ayah di Telaga Pok-yang, agaknya merasa malu dan takut apa bila rahasianya disiar-siarkan oleh ayah. Dia bersama... siluman dari Pek-lian-pai itu… tentu mengejar ke sini dan membunuh ayah...”
“Kenapa begitu yakin?”
“Ayah sendiri yang mengatakan demikian, twa-suheng. Ayah masih dapat menceritakan hal ini, meski amat sukar dia bicara.” Sian Hwa menghapus air matanya yang bercucuran deras ketika ia bicara tentang ayahnya.
“Menurut ayah, malam itu ayah terkejut dan terbangun dari tidur karena suara keras pada jendela. Begitu ayah melompat turun, dia roboh karena tusukan pedang yang mengarah lehernya, dan masih menyerempet ketika dielakkan oleh ayah. Kemudian ia terpukul pada dadanya, keras sekali membuat ayah hampir pingsan. Sebelum pingsan ayah mendengar suara ketawa seorang wanita dari luar jendela, kemudian terasa sakit pada pinggangnya akibat tertusuk paku itu. Ayah masih sempat mendengar kata-kata seorang laki-laki yang mengatakan bahwa ayah tak boleh sekali-sekali menghina seorang jagoan Kun-lun! Malah ayah mendengar pula ejekan wanita itu yang menyatakan bahwa partai Pek-lian-pai tidak mau mengampuni orang-orang yang sombong.”
Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Bagaimana mungkin Kwee Sin melakukan hal yang securang itu? Apa lagi dia, wanita yang katanya ialah anggota Pek-lian-pai yang tersohor sebagai perkumpulan orang-orang gagah, patriot-patriot bangsa! Bahkan kini dia sendiri mencari tiga orang adik seperguruannya untuk diajak berunding tentang memasuki partai itu dan membantu perjuangan.
“Apakah ayahmu melihat pula laki-laki dan wanita itu?” desaknya.
“Tidak, twa-suheng. Kamar ayah gelap sekali, tidak ada penerangan sama sekali. Hal ini pun menunjukkan bahwa kedua orang yang datang menyerang ayah itu berkepandaian amat tinggi, dapat menyerang di tempat gelap secara tepat.”
“Apakah ayahmu mengenal suara saudara Kwee Sin?”
“Tentu tidak, suheng. Jarang sekali ayah bertemu dengan dia. Ahh, twa-suheng, mengapa kau masih ragu-ragu? Tak bisa salah lagi bahwa anjing Kwee Sin itulah yang membunuh ayah, dibantu seorang siluman dari Pek-lian-pai. Twa-suheng, hanya para suhenglah yang sekiranya dapat membantu Siauw-moi untuk menuntut balas atas kematian ayah secara penasaran ini....”
“Siapakah orangnya yang tidak akan ragu-ragu, sumoi. Dua hal yang amat berlawanan antara dugaan dan pendengaran. Seorang jago muda Kun-lun... dan seorang lagi anggota Pek-lian-pai... ahhh, apa bila bukan kau yang tertimpa hal ini, agaknya sukar untuk dapat kupercaya....”
Tiba-tiba mereka dikejutkan suara jeritan di luar rumah. “Tidak...! Pergi.....!”
Itulah suara Kwa Hong.
Kwa Tin Siong mencelat dari kursinya keluar pintu, diikuti Sian Hwa yang juga meloncat dengan amat lincahnya. Seperti terbang melayang keduanya meloncat keluar dan melihat sebuah Pek-lian-ting (paku teratai putih) seperti yang dipergunakan orang untuk melukai ayah Sian Hwa sudah tertancap pada daun pintu depan!
Kwa Hong sudah tidak tampak lagi di situ. Hanya terdengar derap kaki kuda berlari cepat menjauhi tempat itu.
“Cepat, twa-suheng, kejar....!”
Kwa Tin Siong melompat ke atas kudanya dan Sian Hwa berlari-lari menuju ke halaman belakang rumahnya untuk mengambil kudanya pula. Pada lain saat kedua kakak beradik seperguruan ini sudah melakukan pengejaran. Sebentar saja Kwa Tin Siong tersusul oleh kuda tunggangan Sian Hwa, seekor kuda tunggang yang amat baik dan pilihan.
Dua orang pendekar ini adalah jago tertua dan termuda dari Hoa-san Sie-eng. Selain ilmu silat mereka yang tinggi, juga dalam hal menunggang kuda mereka adalah ahli-ahli yang jarang bandingannya. Apa lagi Sian Hwa yang memang sejak kecil telah diajak merantau ayahnya dan semenjak kecilnya gadis ini sudah suka sekali menunggang kuda.
Sesudah melewati kurang lebih lima li, akhirnya suara derap kuda yang mereka kejar itu semakin jelas terdengar, tanda bahwa kuda itu tak jauh lagi terpisah.
“Sumoi, kau kejar terus, aku hendak mendahuluinya memotong jalan.”
Biar pun masih amat muda, baru dua puluh tahun, namun pengalaman Sian Hwa di dunia kang-ouw sudah cukup luas. Maka sedikit kata-kata twa-suheng-nya ini cukup ia ketahui maksudnya.
Ia tahu bahwa untuk menangkap seorang penculik anak-anak lebih aman menggunakan siasat, yaitu disergap dari belakang. Jika secara berterang, mungkin akan gagal karena si penculik bisa menggunakan anak yang diculik untuk mengancam. Ia hanya mengangguk.
Kwa Tin Siong lantas membedal kudanya, mengambil jalan memutar hendak memotong jalan. Baiknya ia sudah mengenal betul jalan di daerah tempat tinggal sumoi-nya ini, maka tanpa ragu-ragu, dia tahu ke mana arah jalan yang diambil oleh si penjahat di depan itu. Jalan itu menikung ke kanan dan agak memutar, maka kalau dia memotongnya melalui kebun dan hutan kecil, dia akan dapat mendahului si penjahat.
Tidak lama kemudian Sian Hwa sudah dapat melihat penculik itu. Kuda yang ditunggangi penculik itu bukan kuda baik, nampak sudah lelah sekali, apa lagi ditunggangi dua orang, biar pun salah satunya adalah anak kecil seperti Kwa Hong. Anak perempuan itu tampak lemas dan tidak bergerak atau bersuara lagi.
“Bangsat rendah, hendak lari ke mana kau!” Sian Hwa mencabut siang-kiam (sepasang pedang) tipis dan mempercepat larinya kuda.
Penculik itu, seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun bertubuh kecil bermata lebar, ketika mendengar suara wanita lalu menoleh. Dia tercengang melihat bahwa yang mengejarnya hanya seorang gadis cantik yang masih sangat muda. Tiba-tiba ia menahan kudanya dan tertawa sambil mencabut goloknya.
“Aha, kiranya ada seorang nona manis ingin main-main dengan aku,” katanya dengan senyum mengejek. Suaranya menunjukkan bahwa dia seorang dari utara.
Dengan gerakan yang gesit sekali orang itu meloncat turun dari kuda setelah menurunkan Kwa Hong yang dia gulingkan ke atas tanah. Jalan darah gadis cilik itu agaknya tertotok, lemas seperti orang pingsan. Dengan tenang orang itu lalu berdiri menghadang Sian Hwa yang datang membalapkan kudanya.
“Penculik hina, hari ini pedang nonamu akan mengantar nyawamu ke neraka,” Sian Hwa berseru.
Tiba-tiba tubuhnya melayang meninggalkan punggung kudanya yang masih berlari. Bagai seekor burung walet nona ini sudah menggerakkan pedangnya dan langsung menyerang penculik itu dengan gerakan sepasang pedang yang menyambar-nyambar!
Hebat benar sepak terjang nona Liem Sian Hwa yang berjuluk Kiam-eng-cu (Bayangan pedang) ini. Tidak mengecewakan dia berjulukan demikian karena sepasang pedangnya betul-betul merupakan segunduk sinar yang menutupi tubuhnya ketika ia melompat sambil menyerang.
“Bagus....!”
Laki-laki itu mau tak mau memuji melihat ketangkasan gerakan gadis ini. Cepat-cepat dia menangkis dengan golok yang diputar seperti payung di depan tubuhnya.
“Trangg... trangg...!”
Bunga api muncrat ke sana ke mari ketika sepasang pedang itu bertemu dengan golok. Dari getaran pada tangannya maklumlah Sian Hwa bahwa lawannya ini biar pun bertubuh kecil namun bertenaga besar juga. Begitu kedua kakinya berada di tanah, nona ini lalu menggenjot tanah dan tubuhnya berkelebat ke sebelah kiri orang itu, pedangnya kembali berkelebat.
Sian Hwa sudah sengaja menggunakan ginkang-nya untuk mengalahkan lawan dengan kecepatan gerakannya. Akan tetapi siapa kira, orang ini pun ternyata cepat sekali dapat memutar tubuhnya sambil membabatkan goloknya ke pinggang Sian Hwa. Terpaksa Sian Hwa menangkis dengan pedang kirinya, sedangkan pedang kanan menusuk ke arah dada lawan dengan gerak tipu Kwan-kong Sia-ciok (Kwan Kong Memanah Batu).
Sekarang kagetlah orang itu, tidak berani lagi dia tertawa-tawa. Ternyata nona muda ini sangat hebat ilmu pedangnya. Cepat, gesit dan serangannya tidak terduga. Ia cepat cepat menjengkangkan diri ke belakang sambil berjungkir balik kemudian menghadapi lawannya dengan hati-hati. Pertempuran seru segera terjadi.
Pada saat itu muncullah Kwa Tin Siong dari belakang pohon-pohon. Girang hati pendekar ini melihat bahwa anaknya hanya tertotok dan tidak mengalami kecelakaan. Maka dia pun cepat meloncat dan membebaskan totokan pada tubuh anaknya lebih dahulu, karena dia melihat bahwa sepasang pedang sumoi-nya ternyata dapat menahan gerakan golok yang aneh dan lihai dari penculik.
Setelah Kwa Hong dibebaskan dari totokan serta menyuruh anaknya ini duduk bersila dan mengatur napas untuk membereskan kembali jalan darahnya, Kwa Tin Siong melompat ke medan pertempuran sambil berseru,
“Sumoi serahkan penjahat ini kepadaku!”
Sebetulnya Sian Hwa tidak pernah terdesak oleh lawannya. Akan tetapi maklum betapa twa-suheng-nya marah karena orang ini telah menculik puterinya, ia meloncat keluar dan membiarkan twa-suheng-nya menghadapi penculik itu.
“Tahan, sobat!”
Kwa Tin Siong mengulurkan pedang menahan golok lawan. Dia mengerahkan tenaganya sehingga golok lawannya itu tertahan dan tak dapat bergerak lagi. Lawannya kaget sekali dan menatap tajam.
“Kau ini siapakah dan seingatku, di antara aku Kwa Tin Siong dan kau tidak pernah ada permusuhan apa-apa. Mengapa kau datang dan menculik anakku?” tanya pendekar itu yang tidak mau menurutkan nafsu amarah.
Orang itu tertawa mengejek. “Aku... aku hanya ingin menguji sampai di mana nama besar Hoa-san Sie-eng!”
Kwa Tin Siong mengeryitkan keningnya. “Kau yang sudah mengenal nama kami tentulah seorang kang-ouw. Kulihat engkau menggunakan Pek-lian-ting, apa hubunganmu dengan Pek-lian-pai? Sobat, harap engkau jangan main-main dan mengakulah terus terang, apa sebetulnya kehendakmu dan siapa namamu yang besar.”
Tiba-tiba saja terdengar orang itu bersuit keras sekali dan goloknya berkelebat menyerang Kwa Tin Siong. Tentu saja pedekar ini marah sekali. Tak pernah diduganya bahwa orang akan berlaku begini rendah, padahal dia sudah cukup bersikap jujur dan menghormat.
“Bagus, kiranya kau hanya sebangsa pengecut curang!” serunya.
Dengan sekali tangkisan dia dapat membikin golok orang itu terpental, kemudian desakan pedangnya yang sekaligus menyerang bertubi-tubi sampai empat lima jurus membuat orang itu mundur-mundur tak mampu balas menyerang.
Memang hebat ilmu pedang Kwa Tin Siong dan tidak percuma dia menjadi orang pertama dari Hoa-san Sie-eng. Gerakan-gerakannya mantap dan matang, tenaga lweekang-nya juga sudah tinggi sehingga baru belasan jurus saja si penculik itu sudah harus meloncat ke sana ke mari dan menangkis sedapatnya.
Kembali ia bersuit keras dan kali ini tiba-tiba dari arah timur hutan terdengar suitan-suitan semacam yang agaknya menjawab suitan si penculik tadi.
Mendengar ini Kwa Tin Siong berseru, “Awas, sumoi, kawanan penculik datang!”
Sian Hwa memang sudah siap. Dia menyuruh Kwa Hong bersembunyi di balik sebatang pohon besar, sedangkan ia sendiri lalu menjaga di situ dengan sepasang pedang di kedua tangan.
Terdengar seruan kesakitan dan penculik itu terhuyung ke belakang dengan pundak yang berdarah. Ternyata pundaknya sudah kena disambar pedang sehingga terbabat kulit dan dagingnya. Namun ia masih sanggup melawan sehingga Kwa Tin Siong masih belum juga dapat merobohkannya.
Pada waktu itu terdengar suara banyak orang menunggang kuda. Mereka adalah empat orang lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Gerakan mereka tangkas dan begitu sampai di situ, keempatnya lalu melompat turun dan mencabut golok mereka.
Tanpa banyak cakap lagi Sian Hwa menyambut mereka. Dua orang mengeroyoknya dan dua yang lainnya sekarang sudah membantu si penculik tadi, mengeroyok Kwa Tin Siong. Diam-diam dua orang anak murid Hoa-san-pai ini terkejut sekali. Ternyata empat orang yang baru datang ini malah memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada penculik. Ilmu golok mereka adalah ilmu golok utara. Keras dan bertenaga, gerak-geriknya juga cepat.
Sian Hwa dan Tin Siong memang mewarisi Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang ampuh. Keduanya patut diberi julukan pendekar pedang Hoa-san dan mereka dalam pertempuran keroyokan ini telah memperlihatkan ketangkasan.
Akan tetapi, lawan-lawan mereka yang mengeroyok juga bukan sembarangan orang, tapi memiliki kelihaian yang tingkatnya dengan mereka hanya kalah sedikit. Namun, dengan pertempuran secara pengeroyokan itu tentu saja mereka lebih unggul dan perlahan-lahan mulai mendesak.
Lima puluh jurus telah lewat. Kwa Tin Siong masih mampu bertahan dan dapat membalas serangan. Akan tetapi Sian Hwa mulai lelah, mulai berkurang daya serangnya. Dia lebih banyak menangkis dan meloncat ke sana-kemari.
Gadis itu hebat sekali. Kali ini benar-benar tepat julukannya Kiam-eng-cu karena tubuhnya lenyap terbungkus sinar kedua pedangnya di antara dua batang golok lawan yang terus menyambar-nyambar mengitari dirinya.
Kwa Tin Siong mengeluh di dalam hatinya. “Celaka,” pikirnya. “Sekali ini aku dan sumoi menghadapi bencana.”
Hal ini masih belum hebat. Lebih celakanya, anaknya pun ikut menghadapi bencana yang hebat pula. Siapa yang akan melindungi anaknya? Berpikir sampai di sini dia mencoba untuk menggunakan daya lain.
Tiba-tiba ia berseru keras. “Bukankah cuwi (tuan-tuan sekalian) ini anggota-anggota dari Pek-lian-pai? Ketahuilah, siauwte Kwa Tin Siong dari Hoa-san-pai tidak ada permusuhan dengan Pek-lian-pai, malah tadinya hendak menggabungkan diri.”
Akan tetapi tiga orang lawannya tertawa dan seorang di antara mereka berkata mengejek, “Anak murid Hoa-san-pai mana ada harga masuk Pek-lian-pai? Kalau mau mengaku kalah barulah kami melepaskan dan boleh belajar lagi. Lihat kelak, kalau sudah pandai baru boleh masuk Pek-lian-pai!” tiga orang itu tertawa-tawa dan menyerang...