Raja Pedang Jilid 04

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJA PEDANG JILID 04

Beng San memiliki ketabahan dan kenekatan. Daya tahannya, lahir batin amat kuat. Biar pun dia menderita banyak siksaan dari latihan pertama ini, dia lanjutkan terus. Tiga empat hari pertama, setiap kali siulian paling lama satu malam dia tentu roboh pingsan.

Akan tetapi pada hari kelima dia tidak pingsan lagi. Dia tidak tahu bahwa akibatnya, kulit mukanya makin lama menjadi semakin merah dan akhirnya menjadi hitam seperti pantat kwali. Namun dia yang tak pernah melihat bayangan mukanya sendiri, tidak tahu akan hal ini!

Sebulan kemudian dia mulai dengan pelajaran kedua. Ketika ia mulai melatih pernapasan menurut ilmu Siu-hwee (simpan api), dia merasa bahwa hawa panas yang dia dapat dari ilmu pertama itu berkumpul di pusarnya, lalu berpindah-pindah ke dadanya dan terasalah dada kirinya sakit seperti di tusuki jarum. Ia nekat terus dan akhirnya rasa sakit hebat itu menghilang. Setelah satu bulan, dia hanya merasa seakan-akan dalam dadanya tertekan sesuatu.

Bulan ketiga dia pergunakan untuk melatih diri dengan ilmu pukulan yang disebut Ci-hwee (Mengeluarkan Api). Ilmu pukulan ini terdiri dari tiga jurus gerakan saja. Gerakan pertama menghantam kedua tangan dengan jari-jari terbuka ke arah tanah di depan kakinya, lalu gerakan kedua menghantam ke depan dan gerakan ketiga menghantam ke atas. Semua gerakan ini dilakukan dengan pemindahan kaki kanan kiri, yang satu di depan yang lain di belakang. Sederhana sekali akan tetapi ternyata amat sukar dilakukannya.

Baiknya Beng San sudah memperhatikan dengan teliti sekali dan akhirnya dia dapat juga melakukan gerakan-gerakan ini dengan baik pula setelah selama satu bulan berlatih siang dan malam. Tiap kali dia melakukan pukulan-pukulan dengan jari-jari tangan terbuka, dia merasa dadanya yang tertekan agak enakan, seakan-akan agak berkurang tekanannya.

Ia tidak tahu bahwa hal itu disebabkan karena adanya hawa Yang-kang yang keluar dari dalam tubuhnya. Perginya sebagian hawa ini mengurangi tekanan hawa mukjijat yang kini berkumpul dan seolah terkurung di dadanya sehingga mengancam pekerjaan isi dadanya.

Empat bulan lewat ketika Beng San memberanikan diri keluar dari hutan. Dia tidak tahu di mana batas kesempurnaan mempelajari ilmu-ilmu itu, maka dia berlaku untung-untungan saja. Kalau nanti ketemu Hek-hwa Kui-bo dan dia diuji, dia akan mainkan sebaik-baiknya. Andai kata dinyatakan belum sempurna, bagaimana nanti sajalah.

Selama empat bulan dia sudah merasa seperti terhukum. Tubuhnya tidak pernah terasa enak lagi, selalu dia diserang hawa panas yang kadang-kadang membuatnya seperti gila. Dengan latihan-latihan itu, Hek-hwa Kui-bo sudah menambah hawa Yang-kang di dalam tubuhnya.

Kalau dulu tenaga Im-kang akibat serangan Koai Atong lebih kuat, sekarang setelah dia berlatih, di dalam tubuhnya yang lebih kuat adalah tenaga Yang-kang. Maka dia tidak lagi terserang hawa dingin, tetapi selalu kepanasan. Ia seperti seorang yang selalu menderita demam panas, akan tetapi bukan panas biasa, melainkan panas yang takkan tertahankan orang biasa. Dia tentu sudah mati lebih dulu jika di badannya tidak terkandung racun dari jing-tok yang mengandung hawa Im.

Agaknya memang nasib Beng San harus menderita hebat pada waktu kecilnya. Memang agak aneh apa yang dia alami semua ini.

Tiga butir pil buatan Siok Tin Cu itu sebetulnya cukup untuk membunuh nyawa tiga orang, tapi kekuatan hawa Yang-kang dari tiga butir pil itu bahkan semuanya kini terkandung di dalam tubuh Beng San. Seharusnya dia mati karena ini, akan tetapi siapa kira secara kebetulan sekali dia diserang oleh Koai Atong yang berotak miring sehingga tubuhnya kemasukan hawa Im-kang yang malah lebih kuat dari pada hawa Yang-kang itu.

Dan sekarang, Hek-hwa Kui-bo yang tidak tahu mengenai penyerangan Koai Atong dan bermaksud membunuhnya dengan cara memperkuat hawa Yang dengan latihan-latihan itu, ternyata hanya menambah hawa panas sehingga bisa mengimbangi hawa dingin dari racun hijau. Karena itu, walau pun mukanya menjadi gosong hitam dan dadanya seperti terbakar, biar pun keselamatan nyawanya tetap terancam, namun Beng San masih hidup dan dapat bertahan sampai sekian lamanya!

Alangkah girangnya hati Beng San ketika dia tidak melihat munculnya Hek-hwa Kui-bo. Sesudah keluar dari hutan itu, hatinya berdebar saking girangnya. Benar-benar dia tidak melihat bayangan wanita itu. Akan tetapi, di samping rasa gembiranya, dia pun merasa mendongkol sekali.

“Dasar siluman kuntilanak jahat,” gerutunya. “Aku sudah ditipunya. Disuruh mempelajari ilmu siluman selama berbulan-bulan dan dia ternyata tidak menjaga di sini. Dasar bodoh, kalau tahu begini, siapa sudi berbulan-bulan menjadi monyet di dalam hutan?”

Sambil memaki-maki Hek-hwa Kui-bo di dalam hatinya, Beng San melanjutkan perjalanan. Karena dia sedang berada di daerah pegunungan dan di situ tidak terlihat adanya dusun atau orang lewat, dia lalu berjalan ke mana saja tanpa tujuan tertentu.

Akan tetapi semua pengalamannya itu mendatangkan keinginan di dalam hatinya untuk mempelajari ilmu silat yang betul-betul dan yang bermutu tinggi agar dia dapat mencegah orang lain melakukan penghinaan atas dirinya. Apa bila teringat kepada Kwa Hong, dia masih merasa mendongkol sekali.

Pada hari ketiga, ketika dia merasa sangat haus dan dia minum air, dia menjadi terkejut setengah mati pada saat melihat mukanya di dalam air. Aduh celaka, kenapa mukanya menjadi hitam seperti setan? Beng San tidak percaya, lalu pindah ke air yang lebih jernih untuk melihat mukanya sendiri. Akan tetapi tetap saja, nampak jelas bahwa mukanya memang hitam seperti pantat kwali.

“Celaka... ah, mukaku jadi begini...” tak terasa lagi anak ini menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya air matanya mengucur deras.

Setelah memutar otak, dia mencela diri sendiri. “Ah, kenapa aku harus menangis? Kenapa bersedih? Menilai orang bukan melihat dari warna kulit mukanya, demikianlah kata para pujangga. Ada lagi yang bilang bahwa roman muka tidak mencerminkan keadaan hati dan watak. Aku boleh buruk, aku boleh hitam, mengapa pusing? Malu...? Malu kepada siapa? Huh...!”

Dan tiba-tiba dia mendengar suara cecowetan. Ketika dia memandang, dia melihat agak jauh, di atas pohon terdapat dua ekor lutung hitam. Sepasang binatang itu sedang duduk dan saling mencumbu, kelihatan akur dan saling mencinta.

Beng San tertawa, “Mukaku pun hitam seperti muka lutung. Siapa bilang mukaku jelek? Lihat itu, bagi mereka akan jeleklah andai kata muka kawannya itu putih tidak hitam. Hitam atau putih apakah perbedaannya? Baik dan buruk, di mana garis pemisahnya?”

Tanpa disengaja Beng San sudah mengeluarkan ujar-ujar dan filsafat-filsafat kuno yang pernah dibacanya di dalam kelenteng Hok-thian-tong ketika dia masih menjadi kacung kelenteng. Akan tetapi, biar pun ujar-ujar itu tentu saja belum dapat dimengerti oleh anak yang baru berusia sepuluh tahun ini, sedikitnya pada saat itu menjadi hiburan baginya, melenyapkan rasa duka dan kecewanya melihat bayangan mukanya yang hitam seperti muka lutung. Setelah puas minum dan mencuci muka, dia melanjutkan perjalanan lagi.

Pada suatu pagi dia tiba di lereng sebuah gunung yang hijau. Ketika dia sedang berjalan hati-hati sekali di jalan kecil yang amat sunyi itu, tiba-tiba dia mendengar suara dua orang yang bercakap-cakap jelas di sebelah depannya. Ia mengangkat muka, akan tetapi tidak melihat ada orang. Ia berjalan cepat dan tibalah dia di sebuah jalan kecil.

Di kanan kiri jalan itu terdapat jurang yang panjang dan curam. Dan di tempat inilah dia mendengar suara dua orang sedang bercakap-cakap dengan jelas sekali, akan tetapi tak kelihatan orangnya! Biar pun hari sudah terang tanah, matahari sudah naik tinggi, namun bulu tengkuk Beng San berdiri juga saking seramnya.

Bagaimana ada dua orang bercakap-cakap di depannya, sepertinya di kanan kirinya, akan tetapi dia tidak melihat orangnya! Ia berdiri seperti patung dan mendengarkan dua suara orang yang saling jawab di kanan kirinya itu.

“Phoa Ti, kalau saja tidak keburu terjerumus di sini, sekali mengenal pukulanku ilmu silat Pat-hong-ciang (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin), kau tentu mampus!” terdengar suara dari sebelah kiri Beng San, suara yang terbawa angin dari kiri tanpa kelihatan orangnya.

Segera suara dari kanan menjawab. “Ha-ha-ha, orang she The, dari sini pun telah tercium mulutmu yang bau. Kalau tadi aku berlaku hati-hati sedikit dan tidak sampai terjerumus ke sini, dengan ilmu silatku Khong-ji-ciang (Ilmu Silat Hawa Kosong) yang belum sempat aku keluarkan, kau akan mampus lebih dulu.”

Beng San bingung sekali. Suara dari kiri terdengar kecil melengking, sedangkan yang dari kanan besar dan parau. Suara apa lagi kalau bukan suara setan atau iblis? Apa bila ada orangnya, masa tidak kelihatan sedangkan suaranya begitu jelas terdengar olehnya.

Atau jangan-jangan semacam kuntilanak yang kejam itu, cuma kali ini pria. Beng San yang sudah mengalami hal-hal tidak enak dengan Hek-hwa Kui-bo, menjadi ketakutan dan segera dia berlari pergi.

Tiba-tiba dari sebelah kanan terdengar suara yang parau tadi, “Ehh siapa di atas?”

Beng San mempercepat larinya. Mendadak dari sebelah kanannya menyambar semacam hawa yang amat kuat dan tak tertahankan lagi tubuh Beng San tergelincir ke dalam jurang di sebelah kiri jalan!

Tubuh anak itu bergulingan ke bawah. Untung baginya tidak ada batu-batu di sana dan jurang itu ternyata merupakan tanah lembek sehingga meski pun tubuhnya sakit-sakit, dia tidak menderita luka parah.

“Ha-ha-ha!” terdengar suara melengking tinggi tadi tertawa, kini dekat sekali. “Kau benar lihai, Phoa Ti, dalam keadaan terluka parah masih mampu memukul roboh orang. Akan tetapi kau akan malu kalau melihat bahwa yang kau robohkan hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahunan. Ha-ha-ha-ha!”

Beng San cepat menengok dan terlihatlah olehnya seorang yang bertubuh tinggi besar dan bermuka merah sedang duduk bersimpuh di dasar jurang.
cerita silat karya kho ping hoo

Benar-benar menggelikan melihat seorang bertubuh begini besar akan tetapi suaranya luar biasa tinggi dan kecil seperti suara perempuan. Orang itu sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan agaknya terluka hebat, buktinya sukar menggerakkan kedua kakinya.

Tiba-tiba terdengar suara yang jelas, suara parau tadi, tanpa kelihatan orangnya sehingga Beng San melupakan sakit-sakit di tubuhnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Orang she The, tidak perlu kau mengejek. Kalau betul kau masih mempunyai ilmu silat cakar bebek yang disebut Pat-hong-ciang itu, kau datanglah ke sini, biar aku melihatnya.”

Orang tinggi besar itu menjawab lantang, “Kau saja yang turun ke sini kalau memang masih memiliki ilmu silat Khong-ji-ciang, siapa takut menghadapinya?”

Tidak terdengar jawabannya. Sampai lama tak ada suara lagi dan Beng San hanya duduk sambil mengurut-urut kakinya yang terasa sakit ketika dia bergulingan tadi. Kemudian si tinggi besar itu berkata lagi.

“He, Phoa Ti, di mana kau?”

“Di sini!” terdengar jawaban parau.

“Kenapa tidak turun ke sini? Kau takut padaku?”

“Muka merah, tak perlu menjual omongan busuk. Kau saja yang ke sini, apakah kau tidak becus?”

Kali ini si tinggi besar yang duduk bersimpuh di dalam jurang itu tidak menjawab, sampai lama juga. Tiba-tiba dia melambaikan tangannya kepada Beng San.

Anak itu segera menghampiri. Akan tetapi, alangkah kagetnya Beng San ketika tiba-tiba tangannya dicengkeram oleh orang itu yang berbisik, “Kau lihat keadaannya bagaimana?”

Sebelum Beng San maklum apa maksudnya, tiba-tiba saja orang itu menggerakkan kedua tangannya sambil berteriak, “He, Phoa Ti, kau terimalah anak yang kau pukul roboh tadi.”

Hampir Beng San menjerit kaget ketika tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas seperti terbang cepatnya. Ternyata dia sudah dilontarkan orang sedemikian kerasnya sehingga tubuhnya melewati jalan kecil di atas jurang tadi dan langsung tubuhnya melayang turun ke jurang sebelah kanan jalan tanpa dia dapat mencegahnya lagi.

Beng San menyangka bahwa tubuhnya tentu akan hancur, maka dia menutupkan kedua matanya, menerima nasib. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya berhenti melayang dan ketika dia membuka matanya, ternyata dia telah ditahan oleh sebuah tangan yang amat kuat. Ia diturunkan dan pada saat dia memandang, ternyata bahwa yang menahan jatuhnya tadi adalah seorang laki-laki tua sekali yang bertubuh tinggi kurus.

Seperti kakek besar tadi, kakek ini pun terluka hebat, buktinya tidak dapat menggerakkan kedua kakinya pula, malah kakek ini hanya merebahkan diri saja di atas dasar jurang yang penuh rumput hijau. Sekarang mengertilah Beng San bahwa kedua orang kakek aneh ini saling bicara dari tempat masing-masing, yaitu yang seorang di dasar jurang sebelah kiri jalan sedangkan yang kedua di dasar jurang sebelah kanan jalan.

Benar-benar aneh bukan main, bagaimana dari tempat sejauh ini seseorang bisa saling bercakap-cakap dengan orang lainnya di seberang sana? Apa lagi kalau mengingat akan pengalamannya tadi ketika dilempar dari jurang sebelah dan diterima di jurang ini, dia lalu bergidik. Celaka, pikirnya, iblis-iblis ini kiranya tidak kalah aneh dan hebatnya dari pada Hek-hwa Kui-bo.

Ketika kakek itu menggerakkan tangan kanannya yang menyangga tubuh Beng San, anak ini terguling ke atas rumput. Beng San mulai memperhatikan kakek ini. Kakek yang amat tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya. Tubuhnya kurus seperti cecak kering, kedua kakinya tak dapat bergerak, malah tangan kirinya buntung.

Si tangan buntung ini segera berbisik “Ehh, bocah sial. Bagaimana keadaan si tinggi besar itu?”

Diam-diam Beng San merasa mendongkol juga. Betapa pun lihainya dua orang aneh ini, dia merasa sudah dipermainkan seperti sebuah bola, dilempar ke sana ke mari. Maka dia menjawab sambil merengut. “Tak lebih buruk dari pada engkau. Dia duduk bersimpuh tak dapat berdiri.”

Tiba-tiba si tinggi kurus yang tangan kirinya buntung ini tertawa meledak dengan suaranya yang parau dan keras sampai terngiang dalam telinga Beng San. “Ha-ha-ha-ha, The Bok Nam! Kiranya pukulanku tadi membuat kau tak berdaya di dalam jurang situ. Ha-ha-ha!”

Dari seberang sana terdengar jawaban, “Tak usah banyak cerewet kalau anak itu sudah mengobrol yang bukan-bukan. Kalau kau memang masih punya ilmu kepandaian, segera datanglah ke sini, aku tidak takut!”

Mendengar ini, si tinggi kurus yang bernama Phoa Ti itu terdiam. Tiba-tiba saja matanya bersinar-sinar aneh ketika dia memandang Beng San.

“Bagus,” katanya perlahan, matanya tidak pernah lepas dari tubuh Beng San, “Tulang dan darahmu cukup baik. Kau bisa menjadi penguji dan penentu kalah menang antara aku dan The Bok Nam.”

Setelah berkata demikian dia berteriak lagi. “He, orang she The. Seorang gagah tak perlu berpura-pura. Kau terluka tak dapat keluar dari jurang, aku pun demikian. Akan tetapi kita masih seri, belum ada yang kalah atau menang. Sekarang ada saksi bocah tolol ini. Mari kita adu kepandaian melalui bocah ini!”

Dari sana sampai lama baru terdengar jawaban yang merupakan pertanyaan, “Apa pula maksudmu?”

“Ha, kau tolol seperti bocah ini. Aku akan ajarkan dia beberapa jurus Khong-ji-ciang, lalu dia datang padamu, menyerangmu dengan jurus itu, hendak kulihat apakah kau mampu memecahkannya. Demikian pula kau boleh turunkan Pat-hong-ciang, ilmu cakar bebek itu kepadanya, untuk kupecahkan. Siapa yang tidak mampu memecahkan sejurus serangan, dia boleh mengaku kalah disaksikan setan-setan jurang. Bagaimana?”

Terdengar sorak gembira dari sebelah sana.

“Bagus! Memang betul, burung yang mau mati suaranya paling indah. Engkau pun yang sudah hampir mampus ternyata mampu mengeluarkan kata-kata bagus. Hayo lekas, kau turunkan ilmumu Khong-ji-ciang cakar ayam itu.”

Beng San yang mendengar ini pula tentu saja dapat menangkap maksud mereka. Dalam hatinya, sebetulnya dia merasa girang juga karena hendak diajari dua macam ilmu yang pasti hebat ini. Akan tetapi karena sebetulnya keinginannya belajar silat itu hanya karena marah kepada mereka yang sudah menghinanya, maka keinginan itu tidak berapa besar.

Sekarang dalam keadaan marah kepada dua orang kakek yang tadi mempermainkannya seperti bola dan sekarang hendak menggunakan dia untuk bertempur, dia menjadi makin dongkol. Beng San lalu berkata keras.

“Aku tidak sudi mempelajari ilmu cakar bebek dan cakar ayam!” setelah berkata demikian, dia hendak keluar dari jurang itu, mendaki tebingnya yang licin oleh rumput basah.

Akan tetapi baru naik setinggi semeter lebih, dia merasa tubuhnya bagai ditarik orang dan tanpa dapat ditahan lagi terpelantinglah dia ke bawah. Ia menoleh, tak melihat ada orang di dekatnya kecuali kakek buntung yang masih rebah miring, namun jatuhnya empat lima meter dari tempatnya.

Ia mendaki lagi, tetapi kembali terpelanting dan bahkan lebih keras dari tadi. Tiga empat kali dia terpelanting tanpa mengetahui sebabnya. Kakek itu tertawa mengejek dan makin panas hati Beng San.

Sekarang dia mendaki lagi, akan tetapi mukanya menoleh memandang ke arah kakek itu. Sampai hampir dua meter dia memanjat dan terlihatlah kakek itu menggerakkan tangan kanannya ke arahnya dan... dia tertarik lalu terpelanting ke bawah.

Bukan main marahnya Beng San. Dihampirinya kakek itu dan dibentaknya. “Kau orang tua menghina anak-anak, apa tidak malu? Punya kepandaian hanya untuk mengganggu anak kecil, apa ini bisa dibilang gagah?”

Tiba-tiba kakek itu mengulur tangannya dan tahu-tahu leher Beng San sudah dijepitnya. “Anak bodoh, anak setan. Kalau kau tidak mau membantu kami mengadu ilmu, kau boleh tinggal di sini menemani aku mampus.”

Beng San anak yang cerdik akan tetapi dia pun bandel bukan main. Diancam mati anak ini tidak takut, malah menantang, “Kakek bau, kau mau bikin mampus aku? Hemmmm, mau bunuh boleh bunuh, kalau kalian ini dua orang kakek bau tidak takut mampus, apakah aku pun takut mati? Kau sudah tua tidak mencari jalan terang, tua-tua mau memupuk dosa, rasakan saja nanti di neraka jahanam!”

Phoa Ti tercengang dan cengkeramannya pada leher anak itu mengendur. Dua matanya terbelalak kaget dan heran. “Apa? Kau anak masih begini kecil tidak takut mati? Hemmm, agaknya lebih banyak kesengsaraan yang kau derita dari pada kesenangan.”

“Senang apa? Hidupku hanya menjadi permainan orang, malah sekarang menjadi korban kegilaan dua orang kakek yang sudah mau mati,” jawab Beng San.

Tiba-tiba Phoa Ti tertawa bergelak, suara ketawanya begitu keras sampai bergema di atas jurang.

“He, orang she Phoa. Kau malah tertawa-tawa dan tidak cepat-cepat mengirim anak itu ke sini memamerkan ilmu cakar bebekmu, apa sudah miring otakmu?”

“Ha-ha-ha, The Bok Nam. Anak ini sama sekali tidak tolol atau gila, malah dia lebih gila dari pada yang gila. Anak yang aneh sekali, dan kau tidak ada sepersepuluh anak ini… he-he-he-he!”

Beng San hanya melongo menyaksikan kelakuan yang aneh itu dan lebih lagi keherannya ketika ia melihat kakek buntung itu tiba-tiba menangis! Di dasar hati Beng San terpendam sifat welas asih yang amat besar, yang dulu dihidupkan oleh pelajaran-pelajaran di dalam kelenteng oleh para pendeta Buddha. Sekarang melihat kakek itu menangis, tanpa terasa lagi matanya menjadi merah dan dia menyentuh lengan yang tinggal sebelah itu.

“Orang tua, kenapa kau menangis sedih? Apa kau takut mati?”

“Sudah berani hidup kenapa takut mati? Yang kutakuti bukan matinya, akan tetapi… ahhh, di seberang kematian yang penuh rahasia...”

Anak sekecil Beng San, mana tahu akan segala perasaan seperti ini? Dia hanya dapat merasa bahwa kakek ini benar-benar amat gelisah dan berduka. Makin tebal rasa kasihan di hatinya.

“Kakek, apa yang dapat kulakukan untuk menolongmu? Katakanlah, barangkali aku dapat menolong...”

Akan tetapi Phoa Ti masih menangis terus. Beng San sudah berlutut sambil menghibur. Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya dan wajahnya memperlihatkan harapan besar.

“Anak baik, kau bisa menolongku! Yang membuat aku takut menghadapi kematian adalah The Bok Nam. Dia juga terluka dan mau mati. Aku tidak ada muka bertemu dengan dia di seberang kematian kalau aku belum bisa mengalahkannya. Maka kau tolonglah aku, Nak, tolonglah supaya aku bisa menang dalam pertarungan ini dan mendapat muka terang.”

Beng San terheran-heran. Akan tetapi melihat sinar mata yang penuh permohonan itu dia tidak tega menolak, “Baiklah akan kucoba. Tapi bagaimana caranya?”

Seketika itu kakek itu bangkit semangatnya. Biar pun dia sudah tidak dapat bangun lagi, namun tangan kanannya membuat gerakan-gerakan penuh gairah.

“Kau perhatikan baik-baik. Sekarang aku akan menurunkan tiga jurus lihai dari ilmu silatku Khong-ji-ciang. Lihat ini, dua buah jariku ini adalah gerakan-gerakan kaki yang harus kau lakukan dalam jurus pertama.”

Kakek itu lalu menekuk tiga jari tangannya dan mendirikan jari telunjuk dan tengah seperti sepasang kaki. Kedua jari itu, laksana sepasang kaki bergerak-gerak maju mundur secara teratur sekali.

“Nah, lebih dulu kau lakukan gerakan kaki ini, jurus pertama yang disebut jurus Khong-ji Khai-bun (Hawa Kosong Membuka Pintu).”

Karena bersungguh-sungguh hendak menolong kakek ini, Beng San lalu memperhatikan dengan seksama, kemudian dia berdiri dan meniru gerakan-gerakan itu. Mula-mula tentu saja kaku dan keliru, akan tetapi dengan tekun dia mempelajari dengan petunjuk kakek itu.

Kemudian, setelah gerakan kakinya mulai benar, dia diberi tahu tentang gerakan tangan dan tubuhnya. Kakek itu nampak bersemangat sekali, berkali-kali memuji, “Tulang bersih, bakat-bakat baik...”

Pujian ini memperbesar semangat Beng San dan membuat kakek itu tak mengenal lelah. Setelah dapat melakukan jurus pertama dengan baik, dia mendapat petunjuk tentang cara bernapas dalam melakukan jurus ini dan cara menyimpan hawa dalam tubuh.

Kemudian, dia diberi pelajaran jurus kedua yang disebut Khong-ji Twi-san (Hawa Kosong Mendorong Bukit). Jurus ketiga disebut Khong-ji Lo-hai (Hawa Kosong Mengacau Lautan). Untuk mempelajari tiga jurus ini dengan baik mereka telah berlatih sehari penuh.

“Phoa Ti, mana jago mudamu?” berkali-kali suara di seberang lain bertanya.

“Orang she Tek, ajalmu sudah dekat. Tunggulah sampai besok pagi, pasti kau beres oleh tiga jurusku dari Khong-ji-ciang.”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Beng San sudah diberi makan oleh Phoa Ti. Apa makannya? Hanya tiga helai daun muda! Akan tetapi anehnya, begitu makan daun-daun itu, Beng San merasa perutnya langsung kenyang dan tenaganya penuh, membuat dia semakin kagum. Ternyata kakek ini membawa bekal banyak daun semacam ini.

“Anak baik, sekarang kau pergilah ke seberang sana dan kau boleh perlihatkan tiga jurus penyerangan ini. Jika dia tidak mampu memecahkannya satu saja dari yang tiga jurus ini, berarti dia kalah.”

Beng San mengangguk dan hendak memanjat tebing. Akan tetapi tiba-tiba saja kakek itu memegang lengannya dan berkata.

“Terlalu lambat... terlalu lambat... bersiaplah!” sekali tangannya mendorong tubuh Beng San melayang melewati jalan kecil dan meluncur ke dalam jurang di sebelah kiri.

“The Bok Nam, terimalah kedatangan penguji kita.”

Ketika Beng San merasa betapa tubuhnya ditahan dua buah tangan, dia mulai merasakan tubuhnya ringan dan enak. Rasa panas di tubuhnya yang selalu mengganggunya selama ini agak berkurang. Maka dia menjadi gembira dan begitu dia dilepaskan dan berdiri di depan kakek tinggi besar yang duduk bersimpuh itu, dia berkata.

“Kakek yang baik, apa betul kata kakek Phoa Ti itu bahwa kau sudah hampir tewas?”

Kakek tinggi besar yang suaranya melengking itu mendelikkan matanya dan membentak, “Kalau betul begitu, bukan aku sendiri yang mati, dia pun sudah hampir mati!”

“Kau betul, karena itu aku hendak mengajukan sebuah usul padamu?”

“Hemmm, apa maksudmu?”

“Kalau kalian berdua sudah mendekati mati, kenapa tidak melakukan perbuatan baik yang terakhir? Kakek Phoa Ti itu menghendaki supaya kau mengaku kalah. Lakukanlah itu, kau mengalah saja, mengaku kalah dan membiarkan aku keluar dan pergi dari sini. Bukankah dengan begitu sedikit banyak kau telah meringankan dosamu?”

Memang aneh mendengar seorang anak berusia sepuluh tahun bicara seperti ini. Akan tetapi tidak aneh lagi kalau diketahui bahwa dia besar di dalam kelenteng, dari usia lima sampai sembilan tahun.

Tentu saja kakek The Bok Nam yang tak mengetahui asal usul anak ini menjadi melongo mendengar ucapan ini. Namun hanya sebentar dia tertegun, lalu dia tertawa melengking dan tahu-tahu dia telah mencengkeram baju Beng San di bagian dada.

“Apa katamu? Jangan mencoba untuk membujuk dan menipuku. Aku masih belum mau mati sebelum menundukkan kakek tua bangka she Phoa itu! Hayo cepat kau keluarkan tiga jurus ilmu cakar bebek itu, hendak kulihat bagaimana buruknya!”

Mendongkol juga hati Beng San. Oleh karena kakek tinggi besar ini memperlihatkan sikap kasar, berbeda dengan Phoa Ti yang menangis ketika minta bantuannya, sekaligus dia lalu berpihak kepada kakek Phoa Ti.

Dengan penuh semangat dia lalu mengeluarkan jurus-jurus itu satu demi satu dengan gerakan sebaik mungkin. Anehnya, kali ini tiap kali bergerak dia merasa dadanya tidak begitu tertekan lagi oleh gangguan hawa panas di tubuhnya yang timbul setelah dahulu dia melatih diri selama tiga bulan dengan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek-hwa Kui-bo. Maka dia menjadi makin bersemangat dan melanjutkan tiga jurus itu sampai habis.

Setelah selesai mainkan tiga jurus yang dia latih sehari semalam itu, dia lalu berkata dengan wajah puas karena melihat muka The Bok Nam nampak kaget dan kagum.

“Ha, mana bisa kau memecahkan tiga jurus serangan lihai dari kakek Phoa Ti. Sudahlah, lebih baik mengaku kalah.”

Perlu diketahui bahwa gerakan tiga jurus ini memang hebat. Dan anehnya, ketika mainkan tiga jurus ilmu silat ini, Beng San hanya menggunakan sebelah tangan saja, yaitu tangan kanan sedangkan tangan kirinya dia selipkan di antara tali pinggangnya. Hal ini adalah karena yang mengajarkan ilmu ini hanya mempunyai sebelah tangan kanan. Karena itu, ketika kemarin melatih ilmu silat ini Beng San selalu salah gerak dan canggung karena tidak boleh menggunakan tangan kirinya.

Akan tetapi Phoa Ti yang memberi nasehat supaya dia menyelipkan tangan kirinya di ikat pinggangnya supaya tidak menjadi pengganggu kesempurnaan gerakannya. Justru tidak adanya tangan kiri inilah yang menjadi inti kelihaian ilmu silat Phoa Ti, karena orang atau lawan dibikin bingung oleh tangan kanan yang bergerak seperti dua tangan, kadang kala seperti tangan kanan akan tetapi ada kalanya menggantikan kedudukan tangan kiri. Dan ini pula mengapa diberi nama Khong-ji-ciang (ilmu silat hawa kosong), karena memang di dalam ‘kekosongan’ tangan kiri itulah terletak kelihaiannya.

Sampai beberapa lamanya The Bok Nam tak berkata apa-apa. Kedua matanya mendelik tanpa berkedip tetapi otaknya diputar-putar. Dia terus mencari kelemahan dalam tiga jurus tadi. Akhirnya dia tertawa melengking.

“Ho-ho-ho, tua bangka Phoa Ti. Segala ilmu cakar bebek ini mana bisa digunakan untuk menggertakku? Mudah cara memecahkannya. Nah, kau lihat baik-baik bocah tolol. Jurus pertama kuhancurkan dengan gerakan ini!”

Kakek itu menggerakkan tangannya, tepat seperti menghadapi gerak serangan pertama dari Khong-ji-ciang, malah sambil membalas dengan gerak memunahkan dan mematikan.

“Kau mengerti?”

Tentu saja Beng San tidak mengerti! Ia menggeleng dan matanya yang lebar itu menjadi makin lebar.

“Ahh, memang kau tolol. Hayo perhatikan baik-baik dan ikuti kedua tanganku.”

“Mana mungkin bisa sambil duduk bersimpuh menghadapi serangan orang hanya dengan menggerak-gerakkan kedua tangan?” Beng San membantah.

“Tolol!”

“Tolol, tolol, kau memaki siapa? Enak saja memaki anak orang!” Beng San marah-marah.

Mendadak kakek itu mencengkeram pundaknya. Beng San merasa seakan-akan tulang pundaknya hendak remuk dan sakit menembus sampai ke jantungnya. Akan tetapi dia mempertahankan dan berkata mengejek.

“Sekali kau bunuh aku, berarti kau kalah oleh kakek Phoa Ti dan karena kalah maka kau bunuh aku.”

Cengkeraman itu dilepas lagi. “Memang kau tolol. Tentu saja disertai gerakan kedua kaki. Nah, lihat garis-garis ini!”

Dengan telunjuknya The Bok Nam menggurat-gurat tanah sambil menerangkan letak dua kaki dan gerakan-gerakannya dalam jurus itu.

“Jurus pertama untuk melawan jurus pertama dari ilmu silat cakar bebek ini namanya...”

“Jurus cakar ayam kurus!” sambung Beng San mengejek.

“Namanya jurus Nam-hong Jip-te (Angin Selatan Masuk Bumi),” kata The Bok Nam tanpa menghiraukan ejekan itu. “Hayo kau pelajari baik-baik dan nanti perlihatkan kepada kakek mau mampus she Phoa, suruh dia memecahkannya kembali.”

Demikianlah, terpaksa sekali dan dengan hati mendongkol Beng San mulai mempelajari jurus Nam-hong Jip-te itu. Setelah hafal betul, dia lalu disuruh mempelajari dan melatih gerakan jurus kedua yang diberi nama Tung-hong Tong-hwa (Angin Timur Menggetarkan Bunga) dan jurus ketiga See-hong Cam-liong (Angin Barat Membunuh Naga).

Satu hal yang membuat Beng San merasa gembira dan bersemangat adalah betapa gerakan-gerakan ini pun membuat rasa sakit di dadanya berkurang banyak dan kini dia mendapat kenyataan betapa makin lama serasa makin mudah melatih dengan jurus-jurus yang sukar ini. Seperti halnya Phoa Ti, kakek tinggi besar ini pun kagum sekali melihat cara Beng San melatih diri.

“Bocah tolol, tulangmu bersih, bakatmu besar, sayang otakmu tolol!”

Tiga macam jurus yang memecahkan sekaligus membalas tiga jurus serangan Phoa Ti ini juga makan waktu sehari penuh dan ditambah setengah malam barulah Beng San dapat menggerakkan dengan baik.

“Aku lapar!”

Menjelang tengah malam dia berhenti dan merebahkan diri di atas tanah, perutnya perih dan lapar. Dia tidak minta makanan, seperti biasa dia tidak sudi minta-minta. Celakanya, tidak seperti kakek Phoa Ti, kakek tinggi besar ini diam saja.

Juga Beng San tidak melihat kakek ini makan apa-apa, maka dia pun diam saja menahan lapar.

Pada keesokan harinya, yaitu pada hari ketiga, kembali dia dilemparkan keluar oleh The Bok Nam dan diterima oleh kakek Phoa Ti.

“Bagaimana....?” Kakek kurus itu bertanya penuh gairah. “Bisakah dia memecahkan tiga seranganku?”

Beng San hanya mengangguk, tubuhnya lemas.
“Kenapa kau?”
“Lapar...,” jawab Beng San menelan ludahnya.

“Manusia tidak punya jantung si tua bangka itu!” Phoa Ti memaki. “Masa menyuruh anak berlatih silat tanpa diberi makan?”

“Dia sendiri pun tidak makan,” Beng San membela, lalu menerima beberapa helai daun dan memakannya. Setelah kenyang dia lalu berkata. “Kakek The Bok Nam itu melawan tiga jurusmu dengan tiga jurus pula yang sekaligus memecahkan jurusmu dan berbalik menjadi serangan tiga kali.”

Phoa Ti mengerutkan kening. “Begitu cepat?” ia menggeleng-geleng kepala tidak percaya. “Coba kau mainkan jurus-kurusnya.”

Beng San lalu menggerakkan tiga jurus yang baru dia pelajari itu dengan gerakan-gerakan yang sudah cepat dan baik sekali, malah tiap kali dia melakukan gerakan-gerakan itu dia merasa tubuhnya ringan dan enak.

Sesudah dia selesai bersilat dan duduk di atas rumput, dia melihat Phoa Ti berkali-kali menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya.

“Hebat..., hebat tua bangka itu...”

Sampai matahari sudah naik tinggi, Phoa Ti masih duduk termenung saja dan berkali-kali menarik napas panjang.

“Bagaimanakah? Apakah kau tidak bisa memecahkan tiga serangannya?” Beng San yang merasa kasihan bertanya.

Melihat keadaan kakek ini seperti terdesak, timbul keinginannya hendak membantu, maka dia juga mencurahkan pikiran dan ingatannya, menghafal lagi enam macam jurus yang dia pelajari dari dua orang kakek itu. Namun, karena dia tidak mempunyai kepandaian dasar, tentu saja dia tidak melihat bagaimana tiga jurus kakek Phoa Ti itu sampai dikalahkan oleh tiga jurus kakek The Bok Nam.

Menjelang senja, setelah berkali-kali terdengar pertanyaan penuh ejekan, barulah Phoa Ti sadar dari lamunannya dan nampak harapan bersinar pada mukanya.

“Dapat…! Dapat olehku sekarang...!” katanya girang.

Cepat-cepat dia memberi pelajaran tiga jurus ilmu silat lagi kepada Beng San yang sudah siap menanti.

Bukan main girangnya hati Beng San dan kagumnya hati Phoa Ti ketika kali ini, hanya dalam waktu setengah malam saja Beng San sudah dapat mainkan tiga jurus ini dengan baik! Anak ini ternyata memang memiliki bakat luar biasa sehingga kaki tangannya lincah dan tepat sekali melakukan segala gerakan ilmu silat.

“Besok pagi-pagi kau sudah boleh mendatangi kakek The,” kata Phoa Ti girang.

“Nanti dulu, kakek Phoa Ti yang baik. Aku sudah berjanji membantumu, dan aku sudah menuruti segala kehendak kalian dua orang kekek tua. Akan tetapi, sudah sepatutnya kalau aku mendengar pula apa sebabnya maka kalian bermusuhan, bahkan di tepi lubang kubur masih bertanding ilmu?”

Kakek itu menarik napas panjang. “Lekas kau berlutut, hanya sebagai muridku kau boleh mendengar ini. Lekas sebelum berubah lagi pendirianku.”

Karena merasa suka kepada kakek ini, Beng San tidak keberatan untuk menjadi murid, maka dia lalu memberi hormat. “Teecu Beng San, mulai saat ini menjadi murid suhu Phoa Ti,” katanya.

Agaknya kakek itu tidak begitu menaruh perhatian, buktinya dia tidak heran mendengar anak ini tidak menyebutkan she (nama keturunan). Lalu dia menceritakan keadaannya dan keadaan The Bok Nam yang sampai mati tidak mau mengalah terhadapnya itu.

“Aku dan kakek The Bok Nam itu sebelumnya dahulu adalah dua sekawan yang sangat karib dan kami berdua di dunia kang-ouw pada dua puluhan tahun yang lalu terkenal dengan julukan Thian-te Siang-hiap (Sepasang Pendekar Langit dan Bumi),” demikian kakek Phoa Ti mulai dengan ceritanya. Lalu ia melanjutkan ceritanya seperti berikut….

Dua orang sekawan ini memiliki kepandaian tinggi sekali dalam ilmu silat. The Bok Nam adalah seorang tokoh dari selatan, sudah mempelajari segala macam ilmu silat selatan, sebaliknya Phoa Ti adalah ahli silat dari utara yang juga sudah mempelajari seluruh ilmu silat utara.

Setelah keduanya bertemu dan menjadi sahabat yang amat karib, keduanya lalu bertukar ilmu silat, saling mengajar sehingga keduanya akhirnya menjadi sepasang jago silat yang jarang tandingannya di dunia kang-ouw. Karena kedua orang ini tukar menukar ilmu silat, maka dalam hal kepandaian mereka dapat dikatakan setingkat.

Pada masa mereka masih jaya, di dunia kang-ouw tak ada orang yang berani menentang Thian-te Siang-hiap. Tentu saja ada kecualinya, yaitu tokoh-tokoh besar ilmu silat yang jarang muncul di dunia kang-ouw yang pada waktu itu sampai sekarang di kenal sebagai empat datuk persilatan dari barat, timur, utara dan selatan.

Mereka ini adalah Hek-hwa Kui-bo sebagai siluman dari daerah selatan. Dari utara adalah Siauw-ong-kwi (Setan Raja Kecil) yang sangat jarang dilihat manusia lain. Jagoan nomor satu dari timur adalah Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, yang seperti julukannya Tai-lek-sin (Malaikat Geledek) merupakan tokoh yang ditakuti. Ada pun orang keempat sebagai raja tokoh barat adalah Song-bun-kwi (Setan Berkabung) yang seperti juga yang lain kecuali Swi Lek Hosiang, tidak diketahui nama aslinya.

Empat orang ini semenjak puluhan tahun tidak pernah memasuki dunia ramai. Akan tetapi harus diakui bahwa di antara tokoh-tokoh besar persilatan, belum pernah ada yang berani mengganggu mereka dan mereka selalu masih dianggap sebagai empat tokoh besar yang tak terlawan.

Barulah pada dua puluh tahun yang lalu, empat orang tokoh besar ini keluar dari tempat pertapaan atau tempat persembunyian mereka untuk memperebutkan sebuah kitab yang berisi pelajaran ilmu pedang peninggalan dari guru besar Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Lu Kwan Cu, si pendekar sakti pada jaman lima ratus tahun yang lalu.

Pendekar sakti Bu Pun Su ini adalah pewaris asli dari ilmu silat yang tiada bandingannya, yaitu kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Pada lima ratus tahun yang lalu, pendekar sakti ini sebelum meninggal dunia sudah meninggalkan sebuah kitab ilmu pedang yang bernama Im-yang Sin-kiam-sut. Kitab ini tak pernah terjatuh ke tangan orang lain karena disimpan di dalam sebuah goa dalam bukit yang tersembunyi.

Setelah bukit itu longsor pada dua puluhan tahun yang lalu, barulah batu-batu besar penutup goa itu ikut runtuh ke bawah dan tampak goanya. Seorang penggembala domba memasuki goa itu dan mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tadi tanpa mengerti apa isi kitab dan apa pula gunanya.

Akhirnya, secara kebetulan sekali seorang jago silat dari golongan penjahat mendapatkan kitab ini. Kepandaiannya masih terlampau rendah untuk dapat mempelajari ilmu pedang sakti ini, akan tetapi Lui Kok, jago silat yang sombong ini, membual dan memamerkan penemuannya itu di dunia kang-ouw. Hal ini sama dengan mencari penyakit sendiri bagi Lui Kok.

Mulailah para jago silat memperebutkan kitab ini. Hal ini tidaklah aneh. Siapakah di antara para jago silat yang tidak pernah mendengar nama besar pendekar sakti Bu Pun Su Lu Kwan Cu?

Bahkan empat tokoh besar dari timur, barat, utara dan selatan itu pun sampai keluar dari tempat persembunyian mereka ketika mereka mendengar bahwa sudah ditemukan kitab pelajaran ilmu pedang dari Bu Pun Su. Padahal urusan besar apa pun juga yang terjadi di dunia kang-ouw, tak mungkin akan menarik hati empat tokoh besar itu.

Akan tetapi kedatangan empat besar ini terlambat. Kitab di tangan Lui Kok telah dirampas orang lain dan Lui Kok sudah terbunuh. Tidak seorang pun tahu siapa pembunuh Lui Kok dan siapa yang merampas kitab itu. Dengan kecewa empat besar itu kembali ke tempat masing-masing, tentu saja selama itu mereka selalu mendengar-dengar kalau ada orang muncul dengan kitab yang ingin mereka miliki itu.

Siapakah pembunuh Lui Kok? Bukan lain orang adalah Thian-te Siang-hiap, dua sekawan itulah. Kitab itu mereka rampas setelah Lui Kok mereka bunuh. Kebetulan sekali kitab itu terdiri dari dua jilid, yaitu bagian Im-sin-kiam dan bagian Yang-sin-kiam.

Karena tahu bahwa empat besar yang sangat mereka takuti itu juga sedang mencari-cari kitab peninggalan Bu Pun Su, mereka lalu membagi kitab itu menjadi dua bagian, seorang memegang sejilid. Dan selama ini mereka diam saja, tak pernah mengeluarkan kitab-kitab itu.

Memang sudah menjadi watak setiap orang manusia di dunia ini, selalu merasa berat dan sayang pada diri sendiri, tidak mau kalah dan mengharapkan bahwa dirinya akan menjadi orang yang paling pandai, paling mulia, dan sebagainya.

Demikian pula watak ini juga dimiliki oleh The Bok Nam dan Phoa Ti. Diam diam mereka mempelajari isi kitab, The Bok Nam mempelajari bagian yang disimpannya yaitu bagian Yang-sin-kiam, sedangkan Phoa Ti mempelajari Im-sin-kiam.

Sampai bertahun-tahun mereka mempelajari kitab masing-masing, akan tetapi alangkah kecewa mereka bahwa di antara dua kitab itu ada hubungannya yang amat dekat. Hanya mengetahui Yang-sin-kiam saja tanpa mempelajari Im-sin-kiam, tidak akan dapat mereka memperoleh inti sari dari pelajaran Im-yang Sin-kiam-sut yang hebat itu.

Memang betul bahwa dari kitab-kitab itu masing-masing telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali dalam ilmu silat mereka. Akan tetapi, kepandaian Im-yang Sin-kiam sut yang mereka inginkan itu tidak dapat mereka pelajari tanpa kitab yang satu lagi. Demikianlah, saat itu mulai timbul persaingan di antara mereka yang tadinya menjadi sahabat karib.

Hal ini pun sudah menjadi watak manusia. Banyak sudah peristiwa dalam hidup terjadi, di mana dua orang yang tadinya bersahabat karib, kemudian persahabatan mereka dapat menjadi retak oleh karena perebutan harta, kedudukan, kepandaian mau pun cinta kasih. Padahal semua itu hanyalah merupakan akibat, akibat dari sifat ingin senang sendiri dan ingin menang sendiri. Pendeknya sifat egoistis yang menempel pada diri setiap manusia.

Mula-mula Phoa Ti yang mendatangi sahabatnya dan minta pinjam kitab. Akan tetapi The Bok Nam tidak mau memberikan, hanya mau kalau kitab di tangan Phoa Ti itu diberikan dulu kepadanya untuk dipinjam, baru sesudah itu dia akan meminjamkan kitabnya...


BERSAMBUNG KE Raja Pedang Jilid 05


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.