CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJA PEDANG JILID 05
Phoa Ti mengusulkan agar kitab itu saling ditukar saja supaya keduanya bisa mempelajari bersama. Akan tetapi The Bok Nam yang tidak ingin dikalahkan oleh sahabatnya itu tidak setuju. Akhirnya terjadilah pertengkaran dan bahkan timbul persetujuan di antara mereka bahwa siapa yang lebih tinggi ilmunya, dialah yang berhak membaca kedua kitab lebih dulu. Mulai saat itulah mereka sering kali mengadu ilmu, sampai berhari-hari.
Akan tetapi tingkat mereka memang sama persis. Walau pun Phoa Ti sudah mempelajari Im-sin-kiam, akan tetapi The Bok Nam juga sudah mempelajari Yang-sin-kiam sehingga kepandaian mereka sama-sama memperoleh kemajuan yang hebat.
Hal ini terjadi sampai dua puluh tahun, sampai mereka sudah menjadi kakek-kakek tetap saja tidak ada yang mau mengalah. Pada hari itu, mereka kembali mengadu kepandaian di atas jalan kecil yang diapit-apit oleh dua jurang.
Akibatnya, saking hebatnya pertempuran mereka, keduanya terluka dan roboh terguling ke dalam jurang, seorang di kanan seorang di kiri. Akhirnya Beng San datang dan anak ini kemudian mereka pergunakan untuk melanjutkan ‘adu kepandaian’ itu.
“Demikianlah, Beng San, muridku,” Phoa Ti menutup ceritanya kepada muridnya yang baru dia angkat, yaitu Beng San yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Baru sekarang aku merasa menyesal sekali mengapa sampai terjadi persaingan seperti ini. The Bok Nam adalah seorang sahabat yang baik. Sayang, dia membiarkan keinginan timbul di hatinya, keinginan untuk menjadi orang yang terpandai.”
“Suhu (guru), apakah selama ini tokoh-tokoh besar dari empat penjuru itu tidak pernah datang untuk merampas kitab?” tanya Beng San.
“Tidak, kami sangat rapat menyimpan rahasia ini, karena kami tahu betul bahwa kalau sampai empat tokoh besar itu muncul mengganggu kami, kami akan celaka. Hanya kalau kami atau seorang di antara kami sudah dapat mempelajari Im-Yang Sin-kiam-sut, kiranya kami baru akan kuat menghadapi mereka.”
Beng San teringat akan Hek-hwa Kui-bo, maka dia lalu berkata, “Suhu, belum lama ini teecu (murid) bertemu dengan Hek-hwa Kui-bo dan....”
Tiba-tiba pucatlah muka Phoa Ti mendengar ini. Dengan tangannya yang hanya sebelah itu dia memegang pundak Beng San dengan erat, lalu katanya,
“Apa...? Dia...? Celaka... tentu dia sudah mendengar akan hal kitab itu. Kalau tidak, tak mungkin dia muncul... coba kau ceritakan tentang pertemuan itu.”
Dengan singkat Beng San lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ia bekerja di dalam kelenteng sampai dia bertemu dengan berbagai pengalaman pahit itu. Gurunya mendengarkan dengan hati tertarik, kadang kala sambil menggeleng kepala. Kemudian dia berkata sambil menarik napas panjang.
“Tidak salah lagi, tentu setelah aku dan The Bok Nam mengeluarkan ilmu silat Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam untuk mengadu kepandaian, kuntilanak itu tentu telah mendengar dan menduga bahwa kami berdua yang menyimpan kitab Bu Pun Su thai-sucouw. Lekas, hari sudah akan pagi. Kau harus usahakan betul supaya jurus-jurus yang kau pelajari itu dapat menangkan The Bok Nam agar dia suka memberikan kitab Yang-sin-kiam itu kepadaku. Lekas jangan sampai terlambat. Kalau seorang di antara empat setan itu muncul, maka celakalah.....”
Demikianlah, Beng San melanjutkan tugasnya sebagai penguji kedua orang kakek itu.
The Bok Nam benar-benar hebat. Semua jurus yang dikeluarkan oleh Phoa Ti dia dapat memecahkannya, padahal jurus dari ilmu silat Khong-ji-ciang itu adalah jurus-jurus yang diciptakan oleh Phoa Ti berdasarkan kitab Im-sin-kiam.
Sebaliknya, Phoa Ti juga mampu memecahkan semua jurus yang dikeluarkan The Bok Nam, jurus-jurus ilmu silat Pat-hong-ciang yang inti sarinya diambil oleh orang she The itu dari kitabnya, Yang-sin-kiam.
Beng San adalah seorang anak yang cerdik bukan main. Sampai sepuluh hari dia menjadi penguji dan selama sepuluh hari itu dia sudah melatih diri dengan lima belas jurus dari Khong-ji-ciang serta lima belas jurus dari Pat-hong-ciang! Dia melihat betapa makin hari kedua orang kakek itu makin lemah karena luka mereka dalam pertempuran itu memang hebat sekali. Apa lagi sekarang dalam memberikan petunjuk kepada Beng San, mereka harus mengerahkan tenaga Iweekang.
Yang membuat senang hati Beng San adalah karena untuk menjalankan semua pelajaran jurus-jurus yang harus dia bawa ke sana ke mari ini mengandung hawa-hawa murni dari Yang-kang dan Im-kang, maka tentu saja kedua macam hawa yang memenuhi dadanya itu makin kuat dan makin dapat diatur. Gerakan-gerakan dalam melakukan jurus-jurus ilmu silat itu telah membuka jalan darahnya sehingga makin lama dia merasa tubuhnya makin enak dan kuat, bahkan kekurangan tidur dan makan tidak mengganggunya sama sekali.
Pada hari kesebelas dia melihat suhu-nya sudah amat lemah, sampai jatuh pingsan ketika memberi petunjuk kepadanya. Beng San bingung. Ia tidak suka kepada Phoa Ti seperti juga ketidak sukaannya kepada The Bok Nam. Akan tetapi dia merasa kasihan kepada Phoa Ti yang sudah mengangkat dia sebagai murid, karena memang sikap Phoa Ti lebih baik dan lebih lemah lembut dari pada sikap The Bok Nam.
Di samping tubuh suhu-nya yang masih pingsan itu, Beng San duduk termenung, memutar otaknya. Tanpa sengaja dia mengingat-ingat kembali semua jurus yang sudah pernah dia pelajari dari kedua pihak dan tiba-tiba dia melihat persamaan-persamaan tersembunyi di dalam jurus-jurus kedua pihak itu. Jika dipandang sepintas lalu dan dimainkan, jurus-jurus ilmu silat itu nampaknya seperti saling bertentangan, namun sebetulnya dapat disatukan dan dapat disesuaikan.
Phoa Ti siuman kembali menjelang fajar. Beng San segera mengemukakan pendapatnya. “Suhu, malam tadi teecu teringat akan persamaan-persamaan yang aneh antara beberapa jurus ilmu silat suhu dan kakek The itu. Contohnya jurus yang kemarin itu, betapa sama gerakannya, hanya dibalik saja. Jika jurus suhu menggunakan tangan kanan, adalah jurus kakek itu menggunakan tangan kiri. Kalau dalam jurus suhu harus menyedot napas pada waktu memukul, dalam jurus kakek itu sebaliknya, harus meniupkan napas. Bukankah ada persamaannya yang tepat, hanya terbalik saja?”
Sejenak kakek yang sudah payah keadaannya itu termenung. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara seperti jeritan dan... dia memuntahkan darah segar dari mulut!
Beng San cepat-cepat mengurut punggung kakek itu. Setelah agak reda napasnya, kakek itu berkata lemah, “Aduh... kau hebat... aduh, aku bodoh sekali, Beng San. Kau benar... kau benar... itulah sebabnya mengapa sekaligus harus mempelajari kedua kitab itu, tidak boleh satu-satu. Bagus...! Sekarang kau pergilah ke sana, gunakan jurus yang kau latih kemarin, hanya sejurus saja, tapi cukup... kau balikkan kedudukan tangan dan tubuh, tapi kakimu kau ubah seperti yang pernah kau pelajari dari Hek-hwa Kui-bo, atau kau bikin kacau sesuka hatimu. He-he-he... hendak kulihat apakah dia masih mampu memecahkan serangan dari jurusnya sendiri yang dibikin rusak...”
“Andai kata dia tidak dapat memecahkan jurus ini, lalu bagaimana suhu?”
“Dia... uhhh... uhhh... dia harus menyerahkan kitabnya.....” sukar sekali bagi Phoa Ti untuk mengeluarkan kata-kata karena napasnya amat sesak. “Lekaslah kau pergi...”
Kakek Phoa Ti hendak melontarkan tubuh Beng San ke jurang sebelah sana seperti yang sudah-sudah, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya dapat memberi isyarat dengan tangannya supaya Beng San memanjat sendiri ke tempat kakek The Bok Nam.
Beng San lalu memanjat tebing jurang dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa tubuhnya ringan dan mudah saja baginya memanjat tebing itu. Ketika dia tiba di atas, di jalan kecil yang dulu dilaluinya, dia telah bebas.
Apa sukarnya kalau dia melarikan diri dari situ? Baik kakek Phoa Ti mau pun kakek The Bok Nam takkan dapat lagi menghalanginya. Kedua orang tua itu sudah terlampau lemah karena luka-luka mereka yang amat parah.
Akan tetapi aneh, sekali ini tak ada keinginan di hati Beng San untuk melarikan diri. Malah dia ingin sekali melanjutkan tugasnya sebagai penguji, karena dia mulai merasa tertarik dengan ilmu silat. Apa lagi karena hasrat hatinya telah dibangkitkan oleh cerita suhu-nya tentang kitab Im-yang Sin-kiam-sut yang kini diperebutkan oleh semua ahli silat, termasuk empat besar itu.
Ketika menuruni jurang di mana The Bok Nam berada, dia melihat kakek ini keadaannya tidak lebih baik dari pada kakek Phoa Ti. Kakek itu menyambut kedatangan Beng San dengan mata terbelalak, lalu dia memaksa tertawa.
“Ha-ha-ha, tua bangka Phoa Ti sudah tak bertenaga lagi untuk melemparmu ke sini, Beng San?” biar pun mulutnya tertawa, namun diam-diam dia bersyukur juga.
Andai kata kakek Phoa Ti masih sanggup melemparkan Beng San, kiranya dia sendiri yang takkan kuat menerima tubuh itu. Kemarin saja ketika dia menerima Beng San, kedua tangannya terasa pegal dan sakit-sakit karena terlampau banyak dia memakai tenaganya yang sebenarnya sudah hampir habis.
“Bukan dia tidak bertenaga,” kata Beng San membela suhu-nya, “Hanya aku sendiri yang mau memanjat, tak suka aku dilempar-lemparkan ke sana ke mari seperti bola.”
Kembali The Bok Nam tertawa dan dari sikap ini saja Beng San bisa mengetahui bahwa keadaan suhu-nya lebih buruk dari pada kakek tinggi besar ini.
“Nah, ilmu cakar bebek apa lagi yang kau bawa sekali ini? Lebih baik Phoa Ti mengaku kalah dan memberikan kitabnya kepadaku.”
Pada saat itu terdengar suara Phoa Ti, suara yang parau sekali seperti babi mengorok, “The Bok Nam, seorang gagah sejati takkan menarik kembali janjinya. Kalau engkau tidak bisa memecahkan jurusku, kau harus memberikan kitab itu...” Tiba-tiba suara itu berhenti seakan-akan yang bicara dicekik lehernya.
The Bok Nam menjadi pucat. “Celaka,” katanya. “Kakek Phoa Ti diserang....” Tiba-tiba dia mengeluh dan tubuhnya yang tadinya duduk bersimpuh terguling roboh.
Beng San terkejut sekali karena tadi samar-samar dia melihat cahaya putih berkelebat. Sekarang tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kecil kurus seperti tengkorak hidup. Orang ini usianya sudah enam puluhan tahun, mukanya pucat bagaikan mayat sedangkan pakaiannya pun putih semua seperti orang sedang berkabung. Orang itu tertawa-tawa seperti orang gendeng.
Beng San benar-benar heran sekali karena dia tadi tidak melihat orang itu melayang masuk, bagaimana tahu-tahu bisa berdiri di situ? Ketika dia melirik ke arah The Bok Nam, kakek tinggi besar ini memandang dengan mata terbelalak kepada mayat hidup itu.
“Song... bun kwi (Setan Berkabung), kau... kau curang... menyerang orang yang terluka...”
Akan tetapi The Bok Nam tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena tiba-tiba orang tinggi kurus yang bermuka mayat itu sekali bergerak sudah sampai di dekatnya, langsung mengguling-gulingkan tubuh The Bok Nam, dan kedua tangannya mencari-cari.
Sebentar saja tangannya mencari-cari, dia sudah mendapatkan apa yang dicarinya dan mencabut keluar sebuah kitab kecil dari dalam saku baju orang she The yang sudah tak berdaya itu. Semua ini berjalan cepat sekali hingga Beng San hampir tak dapat mengikuti dengan matanya.
Melihat betapa secara kejam dan kurang ajar sekali si muka mayat itu mempermainkan The Bok Nam, timbul kemarahan dalam hati Beng San. Dengan mata berkilat ia melompat maju dan menudingkan telunjuknya ke hidung si muka mayat.
“Menyerang dan merampas barang orang yang sedang sakit, tindakan begitu mana bisa disebut perbuatan gagah? Sungguh tidak tahu malu sekali engkau, Song-bun-kwi!” Sikap dan kata-kata Beng San seperti sikap seorang tua memarahi orang muda, maka tampak lucu sekali.
Akan tetapi Song-bun-kwi terbelalak dan nampak mengerikan sekali. Matanya mendadak hanya kelihatan putihnya saja bagaikan mata iblis! Beng San sampai bergidik ketakutan menyaksikan muka yang bukan seperti muka manusia lagi itu.
Tiba-tiba setan berkabung itu tertawa, disusul suara orang seperti orang menangis dan akhirnya dia benar-benar menangis! Namun hanya sebentar saja. Tangisnya lalu terhenti dan dia berkata kepada Beng San, “Dua puluh tahun lebih tidak mendengar orang memaki dan memarahiku, tidak mendengar orang mencelaku. Ha, anak baik. Orang seperti kau inilah baru patut disebut orang.” Setelah berkata demikian, dia menggerakkan dua kakinya dan melesatlah sinar putih keluar dari jurang itu.
Beng San melongo. Gerakan yang demikian cepat sampai seperti menghilang ini segera mengingatkan dia kepada Hek-hwa Kui-bo. Diam-diam dia bergidik. Mengapa di dunia ini ada orang-orang berkepandaian sehebat itu sampai seperti iblis-iblis saja?
Beng San mendengar The Bok Nam mengeluh. Ketika menengok, dia melihat orang tua itu napasnya empas-empis. Tersentuh perasaan welas asihnya.
Beng San segera berlutut, mengeluarkan daun obat yang sering kali dia dapatkan dari suhu-nya, memeras daun itu dan memasukkannya ke dalam mulut The Bok Nam. Kakek itu nampak heran, akan tetapi makan daun itu dan warna merah menjalar ke pipinya yang sudah pucat. Kemudian dia menghela napas panjang.
“Dua puluh tahun berkukuh tak mau memperlihatkan kepada sahabatku Phoa Ti, dan kini terampas oleh Song-bun-kwi.... Hemmm, ini namanya hukuman bagi si orang yang tidak ingat kepada sahabat baiknya....”
Ia terengah-engah dan dari kedua matanya bercucuran air mata. Baru kali ini Beng San melihat kakek yang keras hati ini menangis dan dia menjadi terharu.
“Orang tua, dua puluh tahun kitab itu berada di tanganmu, tentu sudah kau pelajari semua isinya. Terampas orang lain apa ruginya?”
Tiba-tiba kakek itu tampak bersemangat, matanya bercahaya. “Kau betul... ehhh, Beng San, kau betul... bantu aku duduk... ehh, pukulan Setan Berkabung itu hebat...”
Beng San membantu kakek itu duduk bersila seperti tadi sebelum dia roboh terguling oleh pukulan jarak jauh Song-bun-kwi.
“Lekaslah kau berlutut, kau sekarang menjadi muridku. Kau akan kuwarisi seluruh isi kitab Yang-sin-kiam.”
Karena merasa kasihan kepada kakek ini yang dia tahu dari perasaannya tak akan dapat hidup lebih lama lagi, Beng San lalu berlutut dan menyebut.
“Suhu…!”
“Dengar baik-baik. Yang-sin-kiam hanya terdiri dari delapan belas pokok gerakan yang lalu dapat dipecah menjadi ratusan jurus menurut bakat dan daya cipta orang yang telah mempelajarinya. Nah, kauhafalkan satu demi satu.”
“Nanti dulu, The-suhu. Teecu hendak melihat dulu keadaan Phoa Ti suhu di sana…”
The Bok Nam tercengang. “Kau menjadi muridnya.....? Ahhh, betul sekali sahabatku she Phoa itu. Engkau harus pula mewarisi Im-sin-kiam, begitu baru lengkap sehingga kelak si Setan Berkabung ada tandingannya...”
Setelah mendapat persetujuan kakek itu, Beng San lalu memanjat ke atas untuk melihat kakek Phoa Ti. Akan tetapi dia mendengar suara aneh yang melengking-lengking seperti suara orang menangis. Ketika dia tiba di atas dia melihat dua bayangan berkelebat di atas jalan kecil. Ternyata bahwa Song-bun-kwi sedang bertanding melawan Hek-hwa Kui-bo!
Song-bun-kwi bersenjata sebuah suling yang mengeluarkan suara seperti menangis itu, sedangkan Hek-hwa Kui-bo bersenjata sapu tangan suteranya. Pertempuran itu berjalan seru seperti dua ekor kupu-kupu beterbangan. Meski pun gerakan mereka begitu ringan seperti terbang saja, tapi angin dari pukulan mereka menyambar-nyambar sehingga Beng San tak kuat menahan. Anak ini terguling dan dengan ketakutan dia bersembunyi di balik sebuah batu besar sambil mengintai.
Pertandingan itu berlangsung tidak lama karena keduanya berkelahi sambil berlari-lari dan sebentar saja lenyaplah dari pandangan mata. Hanya suara tangis suling itu lapat-lapat masih terdengar dari jauh.
Setelah suara suling itu lenyap, barulah Beng San berani muncul dan berlari-lari menuruni jurang. Hatinya berdebar penuh kegelisahan ketika dia melihat Phoa Ti telah menggeletak dengan napas senin kemis. Ia cepat menubruk dan menolong, tetapi ternyata keadaan kakek ini sama dengan keadaan The Bok Nam, telah terluka hebat oleh pukulan Hek-hwa Kui-bo.
“Bagaimana, suhu.....?” Beng San berbisik ketika melihat suhu-nya membuka mata.
“Ahhh, celaka... celaka... Kitab Im-sin-kiam dirampas Hek-hwa Kui-bo.....” Phoa Ti berkata lemah sambil meramkan mata, mukanya berduka sekali, “Beng San, nyawaku tidak akan dapat tinggal lebih lama lagi di tubuhku yang rusak dan terluka berat. Lekas kau bersiap, hendak kuturunkan padamu seluruh isi Im-sin-kiam yang terdiri dari delapan belas pokok gerakan...”
Beng San tak mau banyak membantah. Melihat bahwa keadaan Phoa Ti lebih payah, dia cepat-cepat mempelajari ilmu silat pedang yang diturunkan kakek itu kepadanya. Tentu saja dia hanya dapat menghafalnya, tidak dapat melatih secara baik karena tidak ada waktu baginya. Namun dengan mudah dia dapat mempelajari inti sarinya.
Hal ini bukan hanya karena Beng San memang seorang anak yang cerdas, akan tetapi terutama sekali karena dia pernah mempelajari jurus-jurus Khong-ji-ciang yang inti sarinya memang bersumber kepada Im-sin-kiam sehingga mudahlah baginya untuk menghafal pokok-pokok gerakan yang inti sarinya sudah dikenalnya itu.
Betapa pun juga, untuk menghafal delapan belas pokok gerakan itu dengan baik, ia harus mempergunakan waktu setengah bulan. Setelah tamat, keadaan suhu-nya sudah payah sekali.
Sebetulnya Beng San tidak tega meninggalkan suhu-nya ini. Maka setelah tamat, biar pun hatinya ingin sekali pergi ke The Bok Nam untuk menerima warisan Yang-sin-kiam, namun dia tidak mau pergi, melainkan terus menjaga dan merawat suhu-nya.
“Ahh... Puas hatiku... Im-sin-kiam telah kau hafalkan semua... sayang… alangkah baiknya kalau kau pun dapat menghafal Yang-sin-kiam.”
“Suhu, sebetulnya suhu The Bok Nam juga sudah mengangkat teecu sebagai murid dan hendak menurunkan Yang-sin-kiam, akan tetapi... teecu tidak tega meninggalkan suhu seorang diri...”
“Bagus! Anak bodoh, mengapa tidak bilang dari kemarin? Hayo kau lekas pergi ke sana. Lekas...!” Beng San tidak dapat membantah lagi dan ketika dia dengan gerakan ringan memanjat tebing, dia mendengar di bawah suhu-nya itu tertawa-tawa gembira.
The Bok Nam menerima kedatangan Beng San dengan merengut. “Hemmm, murid apa kau ini? Kenapa begitu lama tidak muncul?”
Beng San menjatuhkan diri berlutut. “The-suhu, harap ampunkan teecu yang lama tidak datang karena teecu harus menghafalkan Im-sin-kiam dari Phoa Ti suhu.”
Wajah yang muram itu menjadi terang. “Aha, kiranya sahabatku Phoa Ti juga sudah sadar dan insyaf. Siapa yang merampas kitabnya?”
Diam-diam Beng San merasa kagum. Tanpa melihat kakek ini sudah tahu bahwa Phoa Ti diserang orang dan dirampas kitabnya. “Hek-hwa Kui-bo yang merampasnya, suhu.”
Lalu dia menceritakan secara singkat apa yang dilihatnya ketika dia keluar dari jurang ini setengah bulan yang lalu.
The Bok Nam menghela napas panjang. “Dunia kang-ouw akan geger akibat terampasnya kitab-kitab itu. Lekas, Beng San, kau pelajari Yang-sin-kiam..., aku sudah hampir tak kuat lagi.”
Demikianlah, sekali ini Beng San mempelajari Yang-sin-kiam dari gurunya yang kedua. Mungkin karena dia sudah menghafal Im-sin-kiam, kali ini dia mempelajari ilmu itu secara lebih mudah. Baru sepuluh hari dia sudah dapat menghafal delapan belas pokok gerakan Yang-sin-kiam.
Sementara itu, pada hari kesebelasnya dia mendapati The Bok Nam sudah kaku dalam keadaan duduk bersila, sudah tidak bernyawa lagi! Beng San kaget dan terharu sekali, dia menangis dengan sedihnya.
Segera dia menggali lubang di jurang itu dengan kedua tangannya. Baiknya dia sudah melatih silat dan gerakan-gerakan itu menambah besar tenaga di tubuhnya, sudah dapat mempersatukan hawa Yang dan Im di tubuhnya, maka tak begitu sukarlah baginya untuk menggali lubang di tanah dasar jurang yang tidak keras itu.
Setelah mengubur jenazah The Bok Nam dan berlutut beberapa lama, anak itu kemudian meninggalkan jurang, lalu menuruni jurang di seberang untuk menghadap gurunya yang seorang lagi. Ia melihat orang tua itu rebah miring seperti biasa.
“Phoa-suhu, teecu sudah berhasil mempelajari...” ia menghentikan kata-katanya karena melihat keadaan suhu-nya yang diam tidak bergerak. Cepat dia melompat mendekatinya dan....
“Suhu...!” untuk kedua kalinya Beng San menangisi kematian seorang lagi yang sangat disayang dan dihormatinya. Phoa Ti ternyata sudah meninggal dunia pula, agaknya belum lama dia mati karena tubuhnya masih baik.
Seperti yang dia lakukan pada jenazah The Bok Nam, Beng San juga mengubur jenazah Phoa Ti di dasar jurang itu. Dia memberi hormat di depan makam suhu-nya itu, lalu dia memanjat jurang keluar dari situ. Diambilnya sebuah batu besar dan diletakkannya di tepi jalan sebagai tanda pengenal. Tanpa tanda ini akan sukar sekali mencari di mana adanya jurang yang menjadi kuburan kedua orang tua itu.
Barulah anak ini sadar bahwa dia tadi telah mengangkat sebuah batu yang amat besar dengan mudah saja! Ia pun kaget berbareng girang bukan main. Karena maklum bahwa pelajaran-pelajaran yang dia dapatkan dari kedua orang kakek itulah yang mendatangkan tenaga besar dalam tubuhnya, dia lalu mengingat-ingat semua pelajaran itu dengan baik.
Sambil berjalan meninggalkan tempat itu dia berjanji kepada diri sendiri untuk melatih diri dengan semua jurus itu setiap kali ada kesempatan baginya…..
Pada malam hari terang bulan, seorang gadis cantik yang bepakaian sederhana duduk seorang diri di belakang sebuah losmen. Taman bunga kecil milik losmen itu lumayan juga dan keadaan tentu akan amat menyenangkan dan indah apa bila orang tidak mendengar isak tangis perlahan, isak tangis yang tertahan-tahan.
Gadis yang menangis perlahan itu bukan lain adalah Liem Sian Hwa, orang termuda dari empat orang gagah dari Hoa-san-pai. Memang aneh apa bila melihat gadis perkasa ini menangis. Sebagai seorang pendekar wanita yang sangat terkenal namanya, walau pun seorang wanita, tangis merupakan sebuah hal yang dipantangnya, yang amat memalukan baginya.
Oleh karena itu, semua kedukaan hatinya ditahan-tahan selama ia melakukan perjalanan bersama twa-suheng-nya, yaitu Kwa Tin Siong. Baru pada malam hari ini, ketika mereka bermalam di losmen kecil di kota Leng-ki ini, ia mendapat kesempatan pada malam hari itu untuk keluar losmen, duduk di taman bunga yang sunyi meratapi nasibnya yang buruk.
Siapakah orang yang takkan merasa berduka? Ayahnya telah dibunuh orang dan menurut bukti-bukti, pembunuhnya itu bukan lain adalah tunangannya sendiri, bersama seorang perempuan kekasih tunangannya itu!
Tunangannya itu adalah pilihan gurunya dan sudah disetujui ayahnya, maka tentu saja ia sudah menganggapnya sebagai seorang yang akan menjadi pelindung atau kawan hidup selamanya. Siapa duga, orang itu pula yang membunuh ayahnya. Sekaligus ia kehilangan ayah dan calon suami, dan sebagai gantinya ia mendapatkan seorang musuh besar yang lihai, yaitu Kwee Sin jago muda dari Kun-lun-pai itu.
Ia tidak gentar menghadapi Kwee Sin atau siapa pun juga untuk membalas sakit hatinya. Akan tetapi mengingat betapa justru tunangannya sendiri yang menjadi musuh besarnya, yang membunuh ayahnya, sekaligus berantakanlah mimpi muluk-muluk yang selama ini memenuhi tidurnya. Hancur hati gadis cantik itu dan di dalam taman yang sunyi ia dapat menuangkan semua kesedihannya melalui air matanya yang bercucuran deras seperti air sungai yang meluap-luap.
Sunyi di sekeliling tempat itu. Sian Hwa begitu terbenam dalam tangis dan kesedihannya sehingga ia tidak melihat atau mendengar datangnya Kwa Tin Siong ke dalam taman.
Pendekar ini mendekati sumoi-nya dan menegur halus.
“Sumoi, harap kau suka menenangkan pikiranmu. Tiada gunanya ditangisi dan disedihi, paling perlu engkau harus dapat menjernihkan kekeruhan itu. Dan percayalah, sumoi. Aku senantiasa menyediakan tenaga dan nyawa untuk membantumu. Pasti kita berdua akan dapat membongkar rahasia kematian ayahmu dan membalas dendam ini.”
Sian Hwa terisak-isak, hatinya makin perih dan terharu. Dengan sedu-sedan ia menubruk kakak seperguruannya.
“Twa-suheng..., ahhh..., alangkah buruk nasibku, suheng...” Sian Hwa menangis sedih di dada Kwa Tin Siong yang memeluk pundaknya dan menghiburnya.
“Sudahlah sumoi, mari kita masuk ke dalam. Kalau terlihat orang lain engkau menangis seorang diri di sini, nanti bisa menimbulkan dugaan yang bukan-bukan.”
Tiba-tiba Kwa Tin Siong mendorong tubuh adik seperguruannya ke samping dan pada lain saat tangannya menyambar ke depan.
“Keparat pengecut!” bentaknya sambil melompat ke depan.
Sian Hwa yang tadi dikuasai kesedihannya kurang waspada. Dia tidak mendengar dan tak melihat menyambarnya benda itu. Sekarang ia maklum bahwa ada orang jahat, maka ia cepat melompat mengejar suheng-nya.
Akan tetapi Kwa Tin Siong sudah kembali lagi. “Dia menghilang di dalam gelap,” katanya. “Mari kita masuk, sumoi. Entah benda apa yang dilemparkan ke arah kita tadi.”
Di dalam ruangan losmen, di bawah penerangan lampu, mereka berdua melihat benda itu. Sian Hwa mengeluarkan seruan kaget. Benda itu adalah sebuah sisir rambut dari perak. Sisir rambutnya sendiri yang dahulu dipergunakan sebagai tanda pengikat perjodohannya dengan Kwee Sin! Sekarang sisir rambut itu dikembalikan kepadanya dengan tambahan sedikit tulisan pada kertas yang membungkus sisir.
‘Putus karena berlaku serong’.
Wajah Sian Hwa menjadi merah sekali, merah karena jengah dan kemarahannya yang memuncak. Sudah jelas sekarang bahwa yang menyambit dengan sisir peraknya tadi adalah Kwee Sin, tunangannya yang melihat dia menangis dalam pelukan Kwa Tin Siong! Dan tunangannya itu, yang membunuh ayahnya, yang bermain gila dengan perempuan Pek-lian-kauw, sekarang malah menuduh dia bermain gila dengan suheng-nya sendiri.
Dengan isak ditahan-tahan Sian Hwa lari masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Kwa Tin Siong yang berdiri terlongong di ruangan itu. Pendekar ini menarik napas berulang kali, hatinya berdebar-debar tidak karuan, pikirannya kusut. Baru kali ini semenjak dia ditinggal mati isterinya, hati dan pikirannya digoda oleh persoalan wanita, dan wanita itu adalah sumoi-nya sendiri.
Kemudian dia teringat akan puterinya, Kwa Hong. Diam-diam di dalam hati ayah ini pun timbul kekhawatiran besar, bukan hanya kekhawatiran memikirkan anaknya itu sekarang pergi bersama seorang aneh seperti Koai Atong, juga khawatir akan nasib anaknya itu kelak.
Sebenarnya, di dalam hatinya sudah ada rencana untuk mengikat tali perjodohan antara Kwa Hong dengan putera sulung sute-nya, Thio Wan It. Akan tetapi setelah sekarang dia menghadapi kenyataan pahit dalam ikatan jodoh sumoi-nya, dia pun merasa berkhawatir. Khawatir kalau-kalau kelak anaknya juga menghadapi kekecewaan dalam pertunangan seperti apa yang dialami oleh sumoi-nya itu.
Semalam itu Kwa Tin Siong tak dapat tidur dan ketika pada keesokan harinya dia bertemu dengan Sian Hwa, dia melihat sumoi-nya itu pun merah sepasang matanya, tanda bahwa sumoi-nya ini pun tidak tidur dan banyak menangis. Mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi karena peristiwa malam tadi masih menggores hati dan perasaan mereka. Setelah sarapan, dengan cepat mereka melanjutkan perjalanan ke Hoa-san yang tak jauh lagi letaknya, hanya perjalanan setengah hari.
Lian Bu Tojin, ketua Hoa-san-pai yang kini sudah berusia enam puluh tahun ini, seorang kakek tinggi kurus, berjenggot panjang, bertongkat bambu, duduk di atas bangku sambil mengusap-usap jenggotnya dan memandang murid bungsunya yang berlutut di depan kakinya. Beberapa lama dia membiarkan muridnya itu menangis tersedu-sedu. Sesudah melihat tangis Sian Hwa agak reda barulah dia berkata dengan suaranya yang halus dan sabar.
“Sian Hwa, kau tenangkanlah hatimu dan pergunakanlah pikiranmu. Dalam menghadapi segala macam peristiwa, baik yang menyenangkan mau pun yang menyedihkan, kau harus dapat menggunakan pikiranmu. Terlampau menuruti perasaan dapat menggelapkan pikiran. Hati boleh sepanas-panasnya, akan tetapi kepala harus dingin sehingga pikiran tidak dikuasai hati dan dapat mempertimbangkan segala sesuatu dengan sebaiknya.”
“Teecu menurut petuah suhu, akan tetapi, suhu... manusia she Kwee itu betul-betul keji. Hanya karena ayah teecu melihat perbuatannya yang tidak tahu malu itu, mengapa dia sampai hati membunuh ayah? Ahh..., teecu mohon perkenan suhu untuk mencarinya dan membalas dendam ini.”
Lian Bu Tojin tersenyum dan mengangguk-angguk. “Darah muda..., darah muda…! Sian Hwa, persoalanmu ini mengandung rahasia yang meragukan. Lagi pula, tak percuma kau menjadi muridku. Bukankah dahulu sudah sering kuajarkan padamu bahwa di balik segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, terdapat kekuasaan tertinggi yang mengatur segalanya? Apa yang terjadi pada diri ayahmu sekali pun adalah hal yang sudah semestinya begitu, tepat menurut kehendak kekuasaan itu. Manusia yang melakukannya hanyalah menjadi lantaran belaka. Karena itu tugasmu memang harus memegang kebenaran, menegakkan keadilan, memberantas kejahatan dan penyelewengan, akan tetapi jangan sekali-kali kau dipengaruhi dan ditunggangi oleh nafsu kebencian, nafsu membalas dendam, karena jika terjadi hal demikian, namanya sudah bukan penegak keadilan dan pemberantas kejahatan lagi, melainkan menjadi budak nafsu sendiri yang termasuk kejahatan pula.”
“Teecu menyerahkan urusan ini kepada suhu...,” Sian Hwa berkata lemah, terpukul oleh petuah suhu-nya yang tentu saja sudah dimengertinya baik-baik itu.
“Sekarang biarlah suheng-mu yang menuturkan semua apa yang telah terjadi.”
Kwa Tin Siong lalu menceritakan kepada suhu-nya tentang semua pengalamannya sejak dia berniat membantu Pek-lian-pai untuk menentang pemerintah penjajah, juga betapa dia bertemu dengan Koai Atong yang membawa pergi anaknya dan mengenai penyerangan orang-orang yang mengaku anggota Pek-lian-kauw terhadap dia dan Sian Hwa.
Sebagai penutup dia mengemukakan bahwa keadaan Kwee Sin memang mencurigakan sekali, dan sangat boleh jadi Kun-lun Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng, Bun Si Liong, dan Kwee Sin sudah pula mengadakan hubungan dengan kaum Pek lian pai.
“Hanya sebuah hal yang teecu tidak mengerti, yaitu mengenai hubungan antara saudara Kwee Sin dengan wanita Pek-lian-pai yang sangat mencurigakan itu, benar-benar teecu tidak mengerti...” Demikian Kwa Tin Siong menutup penuturannya.
Dalam penuturannya tadi, ia sengaja tidak menceritakan tentang kejadian di taman bunga belakang losmen. Kwa Tin Siong adalah seorang gagah yang sudah banyak pengalaman, maka mendengar bahwa tadi sumoi-nya pun tidak bercerita tentang hal ini, dia tidak mau menyebut-nyebutnya pula karena dia tidak ingin menyinggung perasaan Sian Hwa.
Ketua Hoa-san-pai mengangguk-angguk, lalu dia berkata. “Memang keadaan Kwee Sin itu mencurigakan sekali. Sekarang begini saja baiknya, Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Segala urusan yang menyangkut diri sahabat-sahabat, harus diselesaikan secara musyawarah, secara damai dan seadil-adilnya. Tunggulah sampai Wan It dan Kui Keng datang. Kalian juga boleh pergi mengunjungi Kun-lun Sam-hengte untuk minta penjelasan langsung dari Kwee Sin. Dengan demikian, maka segala hal akan dapat diselesaikan.”
Setelah berkata demikian, ketua Hoa-san-pai ini bertanya lebih lanjut tentang Kwa Hong yang pergi bersama Koai Atong.
“Itulah yang sangat menggelisahkan hati teecu, Suhu. Koai Atong adalah seorang yang amat aneh kelakuannya, seperti anak kecil atau seperti orang yang miring otaknya. Teecu tidak tahu ke mana anak teecu itu dibawa pergi."
Lian Bu Tojin tersenyum. "Tak usah khawatir. Kalau Koai Atong sudah berkeliaran di sini, berarti bahwa gurunya, Ban-tok-sian Giam Kong juga sudah meninggalkan Tibet dan kini berada di sini pula. Asal saja anakmu itu mengaku bahwa dia cucu murid Hoa-san-pai, kiranya dia tidak akan mendapat kesukaran karena Ban-tok-sim Giam Kong tentunya akan memandang muka pinto."
Tidak lama Kwa Tin Siong dan Sian Hwa menanti di Hoa-san. Hanya empat hari kemudian berturut-turut datanglah Bu-eng-kiam Thio Wan It bersama dua orang anaknya, yaitu yang sulung Thio Ki, anak laki-laki berusia dua belas tahun dan yang ke dua Thio Bwee, anak perempuan berusia sepuluh tahun. Toat-beng-kiam Kui Keng yang juga datang bersama anaknya laki-laki bernama Kui Lok Si, berusia sebelas tahun.
Dua orang pendekar Hoa-san ini sengaja datang bersama-sama anak-anak mereka untuk menghadap Lian Bu Tojin, sekalian mengenalkan anak-anak itu dan memberi tambahan pengalaman kepada anak-anak itu yang mereka harapkan kelak akan menjadi pendekar-pendekar Hoa-san pengganti mereka.
Pertemuan antara empat Hoa-san Sie-eng itu tentu akan menggembirakan sekali kalau saja yang baru datang tidak mendengar tentang peristiwa kemalangan yang menimpa diri Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong. Tin Siong kehilangan anak perempuannya dan Sian Hwa kematian ayahnya.
Dua orang pendekar Hoa-san itu, Thio Wan It dan Kui Keng, menyambut berita duka ini sesuai dengan watak mereka masing-masing. Thio Wan It yang julukannya Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) ini berwatak pendiam dan berangasan mudah marah, akan tetapi jujur dan keras, berlawanan dengan perawakannya yang pendek dan gemuk, muka bundar, bajunya selalu serba hitam.
Dengan kedua tangan terkepal dia berkata. "Mari kita pergi mencari Kwee Sin, ingin aku menghajar bocah kejam yang kurang ajar itu!"
Kui Keng si Pedang Pencabut Nyawa, wajahnya tampan tubuhnya kecil, sikapnya selalu gembira dan pakaiannya serba putih. Dia menyambut berita itu sambil tertawa.
"Urusan Sumoi perlahan-lahan dapat diurus, kurasa yang lebih penting adalah mencari puterinya Twa-suheng, siapa tahu anak nakal gila itu akan mengganggu Hong-ji. Urusan dengan Kwee Sin itu berbelit-belit, mungkin ada hubungannya dengan Pek-lian-pai, harus diselidiki dengan seksama.”
Sian Hwa yang mencoba untuk menghibur kesedihannya, menyerahkan perundingan itu kepada tiga orang suheng-nya, dia sendiri lalu menggandeng Thio Bwee, Thio Ki, dan Kui Lok diajak ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) sambil berkata,
"Mari anak-anak, hendak Bibi lihat sampai di mana kemajuan kalian di bawah asuhan ayah-ayah kalian."
Memang terhibur juga hati Sian Hwa bertemu dengan keponakan-keponakannya yang menyenangkan itu. Thio Ki berwajah bundar seperti ayahnya, tampan dan sikapnya sudah membayangkan kegagahan walau pun dia baru berusia dua belas tahun, pendiam dan dadanya selalu terangkat.
Thio Bwee yang berusia sepuluh tahun itu mewarisi kecantikan ibunya, juga pendiam dan manis sekali. Sepasang matanya tajam serius, dagu di bawah bibirnya yang manis itu membayangkan kekerasan hatinya. Segera ia senang sekali dekat dengan bibinya yang sering kali dipuji-puji ayahnya sebagai seorang pendekar wanita Hoa-san-pai yang hebat iimu pedangnya.
Ada pun Kui Lok, anak tunggal Kui Keng, berusia sebelas tahun, memiliki watak seperti ayahnya, gembira dan agak nakal, akan tetapi juga bersifat angkuh, hal ini mudah dilihat dari bentuk mulut dan matanya. Ketiga orang anak Ini nampak gagah-gagah, cocok benar menjadi keturunan dari Hoa-san Sie-eng, empat orang gagah dari Hoa-san-pai.
"Sayang," katanya kepada tiga orang anak itu, "kalau Hong-ji tidak dibawa pergi oleh Koai Atong dan berada di sini bersama kalian, alangkah akan gembiranya.”
“Bibi, sebagai anak Twa-supek, tentu kepandaian adik Hong hebat sekali, bukan?" Thio Bwee bertanya kepada bibi gurunya.
Sian Hwa mengangguk. "Tentu saja, akan tetapi kau pun tentu sudah banyak mempelajari ilmu silat dari ayahmu. Coba, Bwee-ji, kau perlihatkan padaku."
Thio Ki sangat sayang kepada adiknya dan pemuda pendiam ini dapat mengerti isi hati adiknya, maka dia lalu berkata kepada Sian Hwa sambil memandang ke arah Kui Lok,
"Sukouw, tentu adikku malu karena menurut sepatutnya, saudara Kui Lok ini yang harus memperlihatkan kepandaiannya lebih dulu."
Dengan kata-kata ini, Thio Ki yang baru berusia dua belas tahun itu telah memperlihatkan sikapnya yang sungguh-sungguh dan memegang aturan. Kui Lok adalah putera dari orang ketiga Hoa-san Sie-eng, maka kalau dihitung urutan atau tingkatnya, masih lebih rendah dari pada mereka yang menjadi putera-puteri Thio Wan It, yaitu orang kedua dari Hoa-san Sie-eng.
Diam-diam Sian Hwa tidak senang menyaksikan sikap yang angkuh ini, akan tetapi karena dia pun mengenal watak ji-suheng-nya yang keras dan jujur, ia anggap saja bahwa sikap Thio Ki ini adalah warisan ayahnya.
"Betul juga, Lok-Ji. Hayo kau yang mendahului, lekas kau perlihatkan apa yang sudah kau pelajari dari ayahmu," katanya sambil tersenyum.
Kui Lok tersenyum dan berkata merendah, tapi nada suaranya mengandung kebanggaan, "Kepandaianku masih amat dangkal mana dapat disamakan dengan pewaris kepandaian ji-supek (Uwak Guru ke Dua)?" Meski pun mulutnya berkata demikian, akan tetapi tangan kirinya lantas bergerak dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang pendek dari pinggangnya.
Memang tiga orang anak pendekar Hoa-san-pai ini ke semuanya membawa pedang pada punggung masing-masing. Itulah kiranya yang membuat mereka nampak gagah sekali.
Melihat gerakan ini, Sian Hwa tersenyum dan bertanya heran. "Kau menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang?"
Agak merah kedua pipi Kui Lok yang tadinya putih itu. "Betul, Sukouw, semenjak kecil saya lebih enak menggunakan tangan kiri dari pada kanan, maka ayah sengaja melatih ilmu pedang dengan tangan kiri."
"Kidal...," Thio Bwee berkata mencemooh karena gadis ini agak mendongkol juga melihat lagak anak itu.
"Akan tetapi, Sukouw...," sambung Kui Lok cepat-cepat untuk menjawab cemoohan gadis cilik itu, "meski pun tangan kiri, kiranya tidak akan kalah dengan tangan kanan..., ehhh, maksudku, tangan kananku sendiri, tentunya."
Sian Hwa kembali tersenyum. Gadis ini maklum akan ejekan-ejekan itu, dan diam-diam ia menyesal mengapa para suheng-nya itu hanya melatih ilmu silat, namun agaknya kurang memperhatikan pendidikan watak sehingga anak-anak ini tak pandai menguasai perasaan dan mudah tersinggung.
"Kau mainlah, biar kami melihatnya."
Setelah memberi hormat kepada Sian Hwa dan mengerling penuh tantangan kepada Thio Ki dan Thio Bwee, Kui Lok mulai bersilat dengan pedangnya. la mainkan pedang tunggal dan caranya memainkan pedang itu memang hebat, apa lagi karena dia menggunakan tangan kiri sehingga menjadi kebalikan dari ilmu pedang yang aslinya.
Diam-diam Sian Hwa memperhatikan dan kagum juga akan kecepatan gerakan anak ini. Memang permainan pedang Hoa-san-pai sangat mengutamakan kecepatan. Yang paling mengagumkan hatinya adalah kekuatan yang digunakan dalam setiap serangan, demikian sungguh-sungguh dan selalu mematikan. Tidak percuma anak ini menjadi putera tunggal suheng-nya, Toat-beng-kiam si Pedang Pencabut Nyawa!
Setelah Kui Lok menghentikan permainan pedangnya, Sian Hwa berseru, "Bagus sekali, Lok-ji, kau tidak memalukan ayahmu!"
Gadis ini bertepuk tangan sambil memberi pujian. Akan tetapi Thio Bwee dan Thio Ki diam saja, tidak mau memberi pujian.
Tentu saja Kui Lok maklum akan hal ini, maka sambil menyarungkan pedangnya dia pun berkata, “Harap saja sekarang saudara Thio Ki dan nona Thio Bwee tidak pelit-pelit lagi mengeluarkan kepandaian mereka."
"Mana aku bisa melawan engkau? Kau hanya menggunakan tangan kiri, dan kalau aku pun menggunakan tangan kiri, aku tak dapat bersilat, sebaliknya kalau aku menggunakan tangan kanan, berarti aku licik, tentu saja tangan kanan lebih baik dari pada tangan kiri," Thio Bwee menjawab sambil merengut.
Sian Hwa tertawa. "Hi-hi-hi, Bwee-ji, jangan kau bicara begitu. Lok-ji menggunakan tangan kiri karena memang semenjak kecil dia melatih dirinya dengan tangan kiri. Tangan kirinya sama dengan tangan kananmu, sebaliknya tangan kanannya sama dengan tangan kirimu. Hayo lekas kau memperlihatkan kepandaianmu kepada bibimu, anak manis."
Thio Bwee tidak berani membantah bibi gurunya. Gadis cilik ini pun kemudian mencabut pedangnya dan bersilat secepat ia bisa untuk memamerkan kelincahannya di depan bibi gurunya, terutama sekali di depan Kui Lok! Dan dia berhasil!
Memang, dalam hal kelincahan, yakni dalam hal ilmu ginkang (meringankan tubuh), gadis ini menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kui Lok. Hal ini pun tidak aneh karena sebagai puteri Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) yang mengandalkan ilmu ginkang, tentu saja ayahnya juga telah menggembleng kedua anaknya itu dalam ilmu ini.
Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat memang tepat sekali jika dimainkan secepatnya. Tubuh gadis cilik ini berloncatan ke sana ke mari bagaikan seekor burung walet saja, dan pedang diputar sedemikian cepatnya sampai hampir tidak kelihatan.
Setelah Thio Bwee berhenti bersilat, kembali Sian Hwa bersorak memuji. Tetapi sebagai seorang ahli silat Hoa-san-pai, tentu saja gadis ini cukup maklum bahwa kepandaian gadis cilik ini masih tidak mampu melawan ilmu pedang yang dimainkan dengan tangan kiri oleh Kui Lok. Gerakan Kui Lok lebih matang, pula tenaga bocah ini jauh lebih besar.
"Sekarang kau, Ki-ji, kau mainlah beberapa jurus agar puas hatiku."
Thio Ki orangnya pendiam dan serius sekali. la memberi hormat kepada Sian Hwa dan berkata, "Jika ada kekeliruan, mohon Sukouw memberi petunjuk."
Terang bahwa kata-kata ini hanya sebagai basa-basi atau sopan-santun belaka karena tanpa menanti jawaban anak ini pun sudah mencabut pedangnya dan di lain saat dia pun sudah bermain pedang dengan kecepatan yang sama dengan adiknya tadi. Hanya kali ini Sian Hwa melihat bahwa kepandaian Thio Ki lebih unggul dari pada adiknya, juga kalau dibandingkan dengan Kui Lok, Thio Ki menang kecepatan biar pun tenaganya seimbang, maka kalau ditarik kesimpulannya, di antara tiga orang anak itu, Thio Ki yang paling tinggi tingkatnya.
"Bagus, bagus! Wah, kalian memang hebat!" Sian Hwa memuji setelah Thio Ki berhenti bersilat pedang.
"Ahhh, Sumoi! Kalau kau pun terlalu tinggi memuji anak-anak itu, mereka bisa menjadi besar kepala." Mendadak terdengar Kui Keng berseru gembira sambil tertawa-tawa. Kui Keng memasuki ruangan itu bersama Thio Wan It dan Kwa Tin Siong.
"Kui-susiok (Paman Guru Kui), saudara Lok puteramu ini memandang rendah aku dan kakak Ti!" tiba-tiba Thio Bwee berseru.
Semua orang terkejut, termasuk Thio Wan It, akan tetapi Kui Keng hanya tersenyum, dan sepasang matanya berseri. "Memandang rendah bagaimana?"
"Habis, dia sengaja memamerkan kepandaian dan bermain pedang dengan tangan kiri, bukankah itu menghina sekali?" kata gadis cilik itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Dia bermain dengan tangan kirinya karena memang dia itu kede (kidal)! Ha-ha-ha!"
Semua orang di situ tertawa dan Thio Bwee sengaja memperlihatkan muka heran.
"Aaah, jadi dia ini kidal? Habis kalau makan, apakah juga menggunakan tangan kiri juga, Susiok?" tanya pula Thio Bwee.
“Ha-ha-ha, tentu saja tidak. Kalau makan tangan kanan dan kalau... membersihkan tubuh pakai tangan kiri."
Kui Keng tertawa-tawa lagi, karena memang orang ini sifatnya gembira sekali. Kui Lok yang tadinya mendongkol karena ejekan Thio Bwee, sekarang ikut tertawa-tawa seperti ayahnya dan kalau anak perempuan itu memandang kepadanya, secara diam-diam dia menjulurkan lidahnya mengejek!
"Sudahlah, anak-anak semua supaya pergi menghadap Sukong (Kakek Guru)," kata Thio Wan It. "Ki-ji, kau yang paling tua, kau harus dapat memimpin dua orang adikmu. Kalian bertiga tinggal baik-baik di Hoa-san, dan taati setiap petunjuk serta perintah Sukong. Kami orang-orang tua akan turun gunung untuk waktu kurang lebih dua bulan."
"Lok-ji, kau harus yang akur bermain-main dengan kedua saudaramu, jangan nakal," Kui Keng memesan kepada puteranya pula.
Setelah berpamit kepada Lian Bu Tojin, empat orang pendekar Hoa-san-pai ini lalu turun gunung, meninggalkan ketiga orang anak itu di bawah pengawasan ketua Hoa-san-pai. Pada waktu turun gunung, Kwa Tin Siong menjelaskan kepada Liem Sian Hwa tentang keputusan perundingan mereka tadi, yaitu bahwa untuk membereskan urusan Sian Hwa dengan Kwee Sin yang gerak-geriknya amat mencurigakan, mereka akan langsung pergi mendatangi orang tertua dari Kun-lun Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng yang kini menjadi pedagang kuda dan tinggal di Sin-yang.
"Sesuai dengan pesan suhu," demikian Kwa Tin Siong menutup penjelasannya, "kita tidak boleh bertindak sembrono terhadap Kun-lun Sam-hengte yang selama ini sudah memiliki nama baik sebagai pendekar-pendekar gagah dari Kun-lun. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil tindakan terhadap Kwee Sin, kita harus terlebih dahulu rnemberi tahu kepada kedua saudara Bun Si Teng dan Bun Si Liong tentang kesesatan sute mereka Kwee Sin. Dengan cara demikian berarti kita sudah cukup menghormat dan memandang muka pada Kun-lun-pai."
Sian Hwa hanya mengangguk-angguk saja. Di dalam hati gadis ini merasa tidak cocok, karena dia merasa gemas dan sakit hati sekali kepada bekas tunangannya yang selain sudah membunuh ayahnya, juga sudah amat menghinanya itu. Kalau bisa, ingin ia sekali berjumpa terus menyerang dan mencincang tubuh Kwee Sin….
Kita tunda dulu perjalanan Hoa-san Sie-eng yang hendak menjumpai Kun-lun Sam-hengte itu dan mari kita mengikuti perjalanan Kwa Hong, bocah perempuan yang berwatak lincah dan gembira, yang dibawa pergi oleh Koai Atong, orang lihai aneh seperti telah dituturkan di bagian depan.
Sambil tertawa-tawa Koai Atong menggandeng tangan Kwa Hong diajak pergi dari Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa yang tidak dapat mengejarnya. Kwa Hong merasa betapa tubuhnya melayang-layang, kedua kakinya tidak menginjak tanah biar pun kelihatannya ia berjalan digandeng orang aneh itu. Mula-mula ia merasa takut, akan tetapi karena Koai Atong tertawa-tawa sambil berkata bahwa mereka akan bermain-main di sebuah telaga yang indah, ia akhirnya menjadi tertarik juga.
Kemudian ternyata oleh Kwa Hong bahwa orang aneh itu memang tidak berdusta. Tidak lama kemudian tibalah mereka di tepi sebuah telaga yang amat indah, telaga kecil yang pinggirnya penuh ditumbuhi bunga-bunga liar yang beraneka warna.
Di puncak pohon-pohon banyak burung menari-nari dan bernyanyi-nyanyi, sedangkan di dalam air telaga yang penuh bayangan bunga dan pohon itu berloncatan ikan-ikan besar kecil. Bukan main indahnya tempat itu, membuat Kwa Hong lupa akan kekhawatirannya bahwa ia telah berpisah dari ayahnya.
"Bagus sekali... nyaman sekali tempat ini...," ia berkata.
"Bagus, ya? Aku pun senang bermain-main di sini," kata Koai Atong berjingkrak-jingkrak.
"Hayo kita main kejar-kejaran, kau boleh kejar aku, tapi yang dikejar tidak boleh pergi dari sekitar telaga ini!"
Kwa Hong seorang anak yang sangat cerdik. Tadi dia sudah digandeng Koai Atong yang mempergunakan ilmu lari cepat yang luar biasa sekali. Sebagai seorang anak pendekar, tentu saja dia mengerti bahwa orang aneh ini mempunyai kepandaian ilmu lari cepat yang tinggi, mana bisa dia mampu mengejarnya?
Kwa Hong tertawa dan berkata nakal. “Koai Atong, kau mau mengakali aku? Ihhh, apa kau kira aku ini sebodoh orang lain? Dari pada kau mencoba mengakali aku, lebih baik kau mengajarkan ilmu lari cepat tadi kepadaku."
"Ilmu lari cepat? Apa itu? Aku tidak bisa... aku tidak boleh mengajarkan apa-apa...," Koai Atong cepat-cepat berkata dengan muka ketakutan ketika mendengar Kwa Hong minta diajari ilmu lari cepat. "Lebih baik kau minta yang lain... ehh, kau mau burung itu? Katakan saja mana yang kau sukai, aku akan menangkapnya untukmu...!" Dia tertawa-tawa sambil menunjuk ke atas, ke arah burung-burung yang berloncatan di cabang-cabang pohon.
"Yang kecil sekali itu, yang berbulu kuning!"
Kwa Hong menunjuk ke arah seekor burung yang tampak paling lincah dan gesit di antara burung-burung yang lainnya. Bukannya karena ia suka kepada burung kecil ini, melainkan karena anak yang cerdik ini memang sengaja memilih burung yang paling gesit supaya Koai Atong tidak dapat menangkapnya.
"Baik, kau lihat, dia takkan bisa lari dariku."
Koai Atong segera menggenjot tubuhnya yang tinggi besar itu, melayang ke arah puncak pohon. Semua burung buyar pergi beterbangan karena takut, termasuk burung kecil yang sudah terbang lebih dulu dengan amat cepatnya.
Kwa Hong sudah hampir bersorak mengejek kegagalan Koai Atong. Akan tetapi tiba-tiba Koai Atong tertawa keras dan tangan kirinya digerak-gerakkan ke depan. Dan aneh sekali, tiba-tiba burung kuning kecil itu seperti ditarik benang yang diikatkan pada kakinya karena binatang ini terbang kembali ke arah Koai Atong dengan gerakan lemah!
Dengan enak dan mudahnya orang aneh itu menangkap burung kuning tadi, lalu meloncat turun dan menyodorkan burung kuning itu pada Kwa Hong. Hebatnya burung itu berdiri di atas telapak tangannya, diam saja hanya menggerak-gerakkan sayap tanpa dapat terbang pergi!
Kwa Hong sampai melongo menghadapi pertunjukan ilmu tinggi yang seperti main sulap ini. Akan tetapi dasar dia amat cerdik, dia tak mau memperlihatkan keheranannya, malah tertawa-tawa dan mengambil burung itu yang berdiri di telapak tangan Koai Atong.
la mengira bahwa burung itu memang sudah tidak dapat terbang lagi, maka ia memegang perlahan sekali. Siapa kira, begitu terlepas dari telapak tangan Koai Atong dan berada dalam genggaman Kwa Hong, burung itu meronta dan...
“Brrrttt...!” burung itu terbang pergi, cepat sekali!
Koai Atong tertawa terbahak-bahak. Kwa Hong merengut.
"Koai Atong, kau telah menipuku! Di tanganmu burung itu tidak bisa terbang, tapi kenapa setelah kugenggam dia lalu terbang?"
"Ha-ha-ha, mana bisa burung terbang tanpa pancalan kaki? Telapak tangan yang dibikin lunak, disertai hawa menyedot, tentu membikin dia tak mampu terbang, apa anehnya...? Ha-ha-ha!"
"Ahhh, kau nakal! Mengapa kau tidak memberi tahu dari tadi?" Kwa Hong cemberut dan marah-marah.
Melihat temannya marah-marah, Koai Atong cepat berkata, "Sudahlah, biar kutangkapkan lagi dia untukmu..." la sudah bangkit berdiri.
Akan tetapi Kwa Hong berkata, "Tidak, aku sudah tidak suka lagi. Tidak suka main-main denganmu, aku hendak kembali kepada ayah."
"Waaah, jangan marah. Belum puas kita bermain-main di sini. Mari kita pergi ke tempat lain yang lebih indah. Kau mau ke puncak gunung bermain dengan awan? Atau ke dalam hutan yang penuh binatang buas? Aku tahu banyak tempat indah...”
"Tidak," jawab Kwa Hong yang mendapatkan pikiran untuk pergi meninggalkan orang ini. la mulai mendapat perasaan tak enak, takut kalau-kalau si gila ini tak mau melepaskannya kembali. "Kalau kau bisa mencarikan ikan bersisik kuning emas dari telaga ini, baru aku mau main main lagi.”
Koai Atong memandang ke arah telaga. Banyak ikan-ikan kecil besar berloncatan, malah kadang-kadang keluar jauh dari permukaan air, akan tetapi tidak ada yang bersisik kuning emas, kesemuanya putih atau hitam.
"Mana ada ikan bersisik kuning emas?" tanyanya ketolol-tololan.
"Tentu saja ada, di dalam telaga. Ataukah barangkali kau tidak becus menangkapnya? Kalau kau tidak becus, kau tidak berharga merijadi temanku bermain-main."
Koai Atong nampak gugup. "Baik, baik... akan aku tangkapkan untukmu. Kau tunggu dan lihatlah."
Tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar itu berkelebat ke arah telaga dan...
“Byurrrrr…!” Koai Atong telah terjun ke dalam air itu!
Wajah Kwa Hong berubah. Celaka, kiranya dia pun setan air yang pandai bermain di air. Inilah kesempatan baik, aku harus cepat pergi meninggalkan tempat ini.
Akan tetapi sebelum kakinya bergerak, timbul perasaan malu dan kasihan di hatinya. Malu kepada diri sendiri yang seakan-akan hendak menipu Koai Atong dan kasihan kepada si gila itu. Dia amat baik kepadaku, sampai-sampai mau menyelami telaga untuk mencarikan ikan, masa aku begitu rendah hati untuk menipu dan meninggalkannya?
Kwa Hong menjadi ragu-ragu. Anak ini sudah banyak dijejali filsafat tentang kebajikan dan terutama mengenai kegagahan serta keadilan oleh ayahnya, maka dia menjadi ragu-ragu untuk meninggalkan Koai Atong yang sengaja dia suruh menyelam di telaga.
Selagi ia ragu-ragu, tiba-tiba terdengar suara orang, "Nah, ini dia anak Hoa-san It-kiam!"
Dan muncullah seorang laki-laki yang membuat Kwa Hong menjadi pucat mukanya karena mengenal orang ini sebagai orang yang pernah menculiknya. Lalu muncul dua orang lain yang berpakaian sebagai pendeta-pendeta Agama To (tosu), akan tetapi tak seperti para tosu biasanya, di atas rambut mereka terdapat hiasan bunga teratai.
"Mana bocah nakal yang gila itu?" tanya seorang di antara dua orang tosu tadi sambil memandang ke kanan kiri.
“Susiok berdua menjaga kalau dia muncul, biar teecu melarikan anak ini lebih dulu!" kata si penculik itu sambil menubruk Kwa Hong.
"Koai Atong, lekaslah kau keluar...! Tolong aku...!" Kwa Hong berteriak-teriak sambil loncat mengelak dan lari mendekati telaga. Penculik itu sambil tertawa lebar mengejar.
"Hendak lari ke mana kau?"
Tiba-tiba muncul kepala Koai Atong dari permukaan air dengan kedua tangan memegang dua ekor ikan. Melihat Kwa Hong dikejar orang, kedua tangannya bergerak dan dua ekor ikan itu dengan kecepatan luar biasa menyambar ke arah penculik yang sudah tak keburu mengelak lagi.
“Aduhh...! Auuuwww... aaaapppp!”
Ikan pertama dengan tepat mengenai hidungnya dan entah karena kesakitan atau apa, ikan itu lalu membuka mulut dan... menggigit hidung si penculik dan ketika si penculik mengaduh-aduh, ikan ke dua melayang tepat ke... mulutnya yang celangap, terus masuk sampai ke kerongkongannya.
Tentu saja dia menjadi kebingungan seperti kakek kebakaran jenggotnya. Dengan susah payah dia dapat melepaskan ikan yang menggigit hidungnya dan menarik keluar ikan ke dua dari tenggorokannya. Hidungnya berdarah dan si penculik menyumpah-nyumpah, apa lagi ketika melihat Kwa Hong tertawa cekikikan menyaksikan pemandangan yang lucu itu.
Akan tetapi melihat Koai Atong sudah meloncat naik dan kini orang aneh itu ikut tertawa berdiri di dekat Kwa Hong, si penculik tidak berani maju lagi dan malah berlari ke belakang dua orang tosu yang menjadi susiok-nya (paman gurunya).
Dua orang tosu itu melangkah maju menghadapi Koai Atong.
"Koai Atong," kata seorang di antara mereka yang mempunyai andeng-andeng (tahi lalat) besar di pipi kanannya, "harap kau jangan ikut campur dan berikan anak ini kepada kami."
Koai Atong masih tertawa-tawa dengan Kwa Hong, sama sekali tidak mau melayani dua orang tosu itu. Akan tetapi Kwa Hong yang maklum bahwa kedua orang tosu itu pun tidak mempunyai maksud baik, dan agaknya teman dari si penculik tadi, segera berkata, "Koai Atong, jangan dengarkan mereka. Ganyang saja!"
Koai Atong tertawa lagi dan menggerak-gerakkan tubuhnya yang basah kuyup itu. Air dari pakaiannya memercik-mercik dan menyambar ke arah dua orang tosu itu. Tanpa dapat dicegah lagi pakaian tosu itu pun terkena air, malah muka mereka menjadi basah dan terasa sakit karena sambaran titik-titik air itu terasa seperti jarum-jarum menusuk kulit. Mereka menjadi marah dan membentak.
"Orang gila, kau mencari mampus?"
Serentak kedua tosu itu mencabut keluar ikat pinggang mereka yang ternyata merupakan joan-pian (cambuk lemas) berduri, nampaknya menakutkan sekali.
Akan tetapi Koai Atong hanya tertawa saja dan begitu kedua orang menyerang, dia telah memegang anak panahnya yang berujung kehijauan. Entah dari mana dia mengeluarkan senjatanya ini.
Terdengarlah suara yang keras. Dua orang tosu itu mengeluarkan seruan tertahan karena joan-pian mereka yang diserangkan tadi telah bertemu dengan anak panah dan membuat tangan mereka tergetar. Namun karena mereka percaya akan kepandaian sendiri, apa lagi karena mereka maju berdua, dua orang tosu ini tidak gentar dan segera mengurung, menghujankan sambaran joan-pian ke arah tubuh Koai Atong.
Orang aneh ini menggerakkan anak panahnya sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang ia menggerakkan tubuhnya yang basah dan mengirim titik-titik air yang menyambar ke arah kedua orang lawannya. Kwa Hong bertepuk tangan memberi hati kepada temannya.
"Hayo, Koai Atong. Gasak mereka. Sikat saja!"
Pertempuran berjalan seru sekali. Ternyata kepandaian dua orang tosu itu pun lihai bukan main. Gerakan joan-pian mereka amat hebat, seperti dua ekor ular yang menggeliat-geliat dan menyambar-nyambar.
Akan tetapi semua serangan mereka dapat dihindarkan oleh Koai Atong dengan mudah. Sebaliknya, dengan anak panahnya itu pun Koai Atong tidak mampu mendesak dua orang lawannya, malah nampaknya Koai Atong dalam gerakan-gerakannya terlampau lemah sedangkan dua orang lawannya itu makin cepat dan kuat daya serangannya.
Hal ini tidak aneh karena dua orang itu rnenggunakan ilmu silat yang mengandung tenaga Yang, sebaliknya Koai Atong memang memiliki kepandaian yang berdasarkan tenaga Im yang lebih halus dan lemas. Akan tetapi hanya tampaknya saja dia kalah cepat dan kalah kuat, padahal sesungguhnya tidak demikian karena dengan tenaga lemas dia dapat pula menggunakan tenaga lawan untuk balas menyerang.
Pada jurus ke lima puluh, mendadak dua orang tosu itu mengeluarkan bunyi melengking tinggi yang aneh dan serempak mereka menggerakkan tangan kirinya ke depan. Hanya tampak sinar beraneka warna menyambar ke arah Koai Atong.
Orang aneh ini nampak kebingungan. Cepat-cepat dia memutar anak panahnya sambil mengibaskan tangan kirinya seperti orang menghadapi sambaran banyak senjata rahasia yang kecil. Akan tetapi tetap saja dia mengaduh ketika terasa pundak kirinya gatal-gatal.
“Aduh, curang... auhh, curang...!”
Dan orang tinggi besar yang berjiwa kanak-kanak ini lalu menangis! Akan tetapi sambil menangis dia lalu menyerang lebih hebat sehingga kedua lawannya terpaksa lebih banyak main mundur saja karena memang bukan main berbahayanya sepak terjang Koai Atong yang seperti seorang anak-anak sedang marah itu.
Kwa Hong khawatir sekali melihat bahwa temannya menangis dan agaknya kesakitan.
"Tosu-tosu bau! Kakek-kakek mau mampus! Tidak tahu malu, cih, tidak tahu malu. Sudah main keroyokan masih berlaku curang!" Kwa Hong memaki-maki sehingga kedua orang tosu itu menjadi merah mukanya.
"Diam, anak setan!" bentak kakek yang bertahi lalat pipinya
“Kau yang diam, tosu bau! Ahhh, kalau aku sudah besar, kucongkel tahi lalatmu di pipi itu dan kuganti dengan tahi kerbau!" Kwa Hong memaki dan makian ini membuat Koai Atong yang tadinya menangis menjadi tertawa terbahak-bahak.
"Ha-ha-ha, betul-betul! Ganti dengan tahi orang, lebih bau lagi!"
Akan tetapi setelah dia tertawa, penyerangannya menjadi kurang kuat sehingga dia kena didesak mundur lagi. Kwa Hong melihat ini menjadi makin khawatir. Koai Atong boleh jadi lihai, akan tetapi dia kurang siasat dan seperti anak kecil saja, pula kedua orang lawannya itu ternyata amat lihai.
Pada saat itu, si penculik diam-diam mendekati Kwa Hong. la menganggap anak ini amat mengganggu kedua orang susiok-nya. Lagi pula, ketika melihat orang aneh itu terdesak, dia mendapat kesempatan untuk menangkap Kwa Hong. Setelah cukup dekat, dia lantas menubruk anak itu.
Kwa Hong yang sudah banyak belajar ilmu silat, cepat-cepat membanting diri ke belakang sehingga tubrukan itu meleset dan... mendadak Koai Atong menggerakkan tangan kirinya dari jauh dengan cara mendorong. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh penculik itu terlempar masuk ke dalam air telaga!
Koai Atong tertawa cekakakan, dan Kwa Hong mau tidak mau tertawa geli juga melihat betapa si penculik yang sial itu sekali lagi menyumpah-nyumpah sambil berenang ke tepi dan merayap naik dengan pakaian basah kuyup. Akan tetapi Kwa Hong yang agaknya lebih cerdik dari pada Koai Atong, segera teringat akan gerakan tangan kiri orang aneh itu.
"Koai Atong, gunakan tangan kirimu, putar-putar dan pukul..."
la ingat betapa lihainya tangan kiri Koai Atong yang pernah memukul mundur rombongan penculik, juga tadi baru saja diperlihatkan lagi pada waktu mendorong tubuh si penculik ke dalam telaga.
Seperti orang baru teringat, Koai Atong menghentikan suara ketawanya dan berkata, "Wah, iya, aku sampai lupa. Ehhh, ini rasakan pukulanku, tosu-tosu hidung kerbau!"
la memutar-mutar tangan kirinya dengan gerakan lucu seperti orang... menyelinger mobil, lalu mendorong dua kali ke depan.
Dua orang tosu itu masih belum menduga bahwa gerakan yang aneh dan lucu ini adalah gerakan pukulan Jing-tok-ciang, maka begitu mereka terdorong, mereka mengeluarkan teriakan kaget, mundur terhuyung-huyung dengan muka pucat dan napas sesak.
"Celaka...!" Mereka berteriak.
Kemudian mereka cepat-cepat melarikan diri bagai dikejar setan. Padahal yang mengejar mereka bukan lain adalah si penculik yang lebih ketakutan lagi melihat susiok-susiok-nya sudah lebih dulu melarikan diri.
"Kejar, Koai Atong. Tangkap!" seru Kwa Hong berkali-kali.
Akan tetapi Koai Atong hanya tertawa-tawa, lalu berjingkrak sambil bertepuk-tepuk tangan kegirangan, seperti seorang anak-anak bergirang karena menang dalam permainan.
"Bagus, ya? Bagus, ya?" katanya kepada Kwa Hong. "Sayang ikan-ikan itu telah dimakan monyet tadi. Ikan-ikan sisik kuning emas tulen tadi."
"Sudahlah, aku sudah bosan. Aku mau kembali kepada ayah. Hayo, antarkan aku.”
“Kenapa kembali? Habis aku bagaimana? Ehh, Enci... siapa namamu?"
Geli juga hati Kwa Hong mendengar orang itu menyebut dirinya enci (kakak perempuan). Orang setua ayahnya kok menyebut enci. Benar-benar gila!
"Namaku Hong, she Kwa."
"Jangan kembali dulu, Enci Hong. Aku masih senang bermain-main dengan kau. Mari aku perlihatkan puncak yang ada bunga cengger ayam. Bagus sekali." Koai Atong masih saja terus membujuk-bujuk seperti anak merengek-rengek.
"Tidak, aku sudah lama pergi, takut ayah mengharap-harap kembaliku."
"Kau takut dimarahi ayahmu? Jangan takut. Kalau dia berani marah, kupukul dia!"
Tiba-tiba Kwa Hong memandang kepada Koai Atong dengan muka beringas dan mata berapi. "Apa katamu?! Kau mau pukul ayah? Kau berani pukul dia? Kubunuh kau!"
Koai Atong nampak kaget dan cepat dia berkata halus, "Ah, tidak..., tidak, Enci Hong... aku tidak berani..."
Meski masih kecil, sekarang Kwa Hong mengerti bahwa orang ini memang tidak normal, merasa seperti seorang anak yang kecil, lebih kecil dari dia sendiri. Maka ia lalu berkata dengan suara marah, menakut-nakuti.
"Kalau begitu, lekas antar aku kembali kepada ayah. Kalau kau tidak mau, aku tidak suka lagi menjadi temanmu."
“Oh, baik, baik, Enci Hong, baik. Marilah..."
Koai Atong memegang lengan tangan Kwa Hong dan seperti tadi, dia berlari cepat sekali kembali ke dalam hutan di mana tadi mereka meninggalkan Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, mereka ttdak dapat menemui dua orang itu yang sudah lama pergi. Hari telah menjadi senja dan Kwa Hong gelisah bukan main.
"Kau yang salah! Kenapa kau ajak aku pergi? Sekarang bagaimana? Ke mana aku harus mencari ayah?" Gadis cilik ini rnembanting-banting kakinya sehingga Koai Atong juga ikut bingung dan ketakutan.
"Habis bagaimana baiknya? Salahnya ayahmu yang tidak mau menunggu di sini," Koai Atong membela diri.
"Kau persalahkan ayah? Lekas sekarang kita menyusul. Kau harus dapat membawa aku bertemu dengan ayah, kalau tidak, awas kau...!"
Koai Atong mengangguk-angguk. "Baiklah... mari kita susul ayahmu."
Mereka keluar dari hutan itu, akan tetapi terpaksa mereka berhenti karena malam telah tiba. Kwa Hong merasa bingung dan amat gelisah, ingin menangis. Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dia menangis, maka hal itu bahkan akan membuat Koai Atong ikut menjadi bingung. Dia lalu menahan perasaannya dan bersikap seolah-olah ia menjadi kakak yang memimpin sedangkan Koai Atong seperti adiknya.
"Aku mau mengaso dan tidur di bawah pohon sini, kau buatkan api unggun dan menjaga di sini," katanya.
Akan tetapi Koai Atong begitu bodohnya, sehingga membuat api unggun saja tidak becus. Kwa Hong terpaksa memberi petunjuk caranya membuat api dari dua kayu yang digosok secara keras. Tentu saja dengan tenaga Iweekang-nya yang tinggi, beberapa kali gosok saja Koai Atong sudah berhasil menimbulkan api.
Orang aneh ini bersorak-sorak girang melihat api dan sekiranya dia tidak sedang bersama Kwa Hong yang mencegahnya, tentu dia akan membuat api yang amat besar yang akan membakar seluruh hutan! Dengan Koai Atong menjaga di dekatnya Kwa Hong merasa aman dan anak ini segera tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwa Hong sudah sadar karena merasa dingin sekali. Ketika dia menengok, ternyata orang aneh itu pun sudah tertidur mengorok sambil duduk bersandar pohon. Seketika Kwa Hong merasa ketakutan karena di dalam tidurnya, lenyaplah sifat kanak-kanak pada diri orang aneh itu, kelihatan seperti seorang laki-laki yang setengah tua dan menakutkan.
Rasa takut membuat Kwa Hong segera bangkit lalu berjalan perlahan meninggalkan Koai Atong yang masih tertidur. Bagaimana pun juga, dia belum mengenal bagaimana watak orang aneh ini sebenarnya dan makin lama kelakuan Koai Atong makin aneh menakutkan. Siapa tahu kalau-kalau akan timbul sifat jahatnya, demikian Kwa Hong berpikir sambil pergi meninggalkan orang itu dengan maksud mencari sendiri ayahnya.
Lama dia berjalan sampai dia tiba di luar sebuah dusun ketika matahari telah mulai naik. Kwa Hong mulai rnerasa lapar perutnya. Aduh, bagaimana ia harus mencari makan? Rasa lapar hampir tidak tertahankan pada waktu pagi itu, perutnya melilit-lilit dan terasa perih. Hampir ia menangis. Mulailah ia merasa menyesal mengapa ia meninggalkan Koai Atong. Sekiranya ada orang aneh itu, tentu dapat ia suruh mencari makanan.
Tiba-tiba Kwa Hong terkejut ketika mendengar suara tinggi melengking yang amat aneh. la menoleh ketakutan ke kanan kiri, akan tetapi tidak melihat sesuatu. Suara melengking itu makin lama makin dekat dan akhirnya ia melihat seorang anak laki-laki berwajah putih pucat datang berjalan perlahan sambil meniup sebuah suling yang bentuknya seperti ular.
Anak itu pakaiannya berwarna kuning. Bajunya terlalu panjang pada lengannya, bahkan belakangnya sampai hampir menyentuh tanah. Wajahnya tampan, matanya berkilat, dan alisnya hitam, menambah wajah yang pucat itu menjadi makin pucat.
Kwa Hong tertegun melihat anak yang aneh itu. Tadinya ia tidak melihat sesuatu ketika anak itu masih jauh, akan tetapi setelah anak itu datang makin dekat, Kwa Hong hampir menjerit karena ngerinya.
Di belakang anak itu berjalan ratusan ekor ular besar kecil yang agaknya teratur sekali. Tidak seekor pun menyeleweng jalannya, semua mengikuti jejak pemuda itu, ada yang kepalanya menyusur tanah, ada yang mengangkat kepala dan berlenggang-lenggok, akan tetapi kesemuanya mengikuti pemuda yang menyuling tadi seakan-akan dikomandani oleh suara suling!
Kwa Hong merasa ngeri bukan hanya karena melihat ular sedemikian banyaknya, akan tetapi terutama sekali karena ia melihat betapa pemuda itu seakan-akan tidak tahu bahwa di belakangnya ada ratusan ular yang mengikutinya, masih terus melangkah enak-enakan sambil menyuling.
"Lari...! Lekas kau lari... di belakangmu banyak ular...!" Kwa Hong berteriak-teriak.
Anak ini sendiri lalu meloncat ke arah sebatang pohon besar dan memanjat pohon dengan ketakutan. Di atas pohon ia masih berteriak-teriak menyuruh anak laki-laki itu segera lari.
Akan tetapi tingkat mereka memang sama persis. Walau pun Phoa Ti sudah mempelajari Im-sin-kiam, akan tetapi The Bok Nam juga sudah mempelajari Yang-sin-kiam sehingga kepandaian mereka sama-sama memperoleh kemajuan yang hebat.
Hal ini terjadi sampai dua puluh tahun, sampai mereka sudah menjadi kakek-kakek tetap saja tidak ada yang mau mengalah. Pada hari itu, mereka kembali mengadu kepandaian di atas jalan kecil yang diapit-apit oleh dua jurang.
Akibatnya, saking hebatnya pertempuran mereka, keduanya terluka dan roboh terguling ke dalam jurang, seorang di kanan seorang di kiri. Akhirnya Beng San datang dan anak ini kemudian mereka pergunakan untuk melanjutkan ‘adu kepandaian’ itu.
“Demikianlah, Beng San, muridku,” Phoa Ti menutup ceritanya kepada muridnya yang baru dia angkat, yaitu Beng San yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Baru sekarang aku merasa menyesal sekali mengapa sampai terjadi persaingan seperti ini. The Bok Nam adalah seorang sahabat yang baik. Sayang, dia membiarkan keinginan timbul di hatinya, keinginan untuk menjadi orang yang terpandai.”
“Suhu (guru), apakah selama ini tokoh-tokoh besar dari empat penjuru itu tidak pernah datang untuk merampas kitab?” tanya Beng San.
“Tidak, kami sangat rapat menyimpan rahasia ini, karena kami tahu betul bahwa kalau sampai empat tokoh besar itu muncul mengganggu kami, kami akan celaka. Hanya kalau kami atau seorang di antara kami sudah dapat mempelajari Im-Yang Sin-kiam-sut, kiranya kami baru akan kuat menghadapi mereka.”
Beng San teringat akan Hek-hwa Kui-bo, maka dia lalu berkata, “Suhu, belum lama ini teecu (murid) bertemu dengan Hek-hwa Kui-bo dan....”
Tiba-tiba pucatlah muka Phoa Ti mendengar ini. Dengan tangannya yang hanya sebelah itu dia memegang pundak Beng San dengan erat, lalu katanya,
“Apa...? Dia...? Celaka... tentu dia sudah mendengar akan hal kitab itu. Kalau tidak, tak mungkin dia muncul... coba kau ceritakan tentang pertemuan itu.”
Dengan singkat Beng San lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ia bekerja di dalam kelenteng sampai dia bertemu dengan berbagai pengalaman pahit itu. Gurunya mendengarkan dengan hati tertarik, kadang kala sambil menggeleng kepala. Kemudian dia berkata sambil menarik napas panjang.
“Tidak salah lagi, tentu setelah aku dan The Bok Nam mengeluarkan ilmu silat Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam untuk mengadu kepandaian, kuntilanak itu tentu telah mendengar dan menduga bahwa kami berdua yang menyimpan kitab Bu Pun Su thai-sucouw. Lekas, hari sudah akan pagi. Kau harus usahakan betul supaya jurus-jurus yang kau pelajari itu dapat menangkan The Bok Nam agar dia suka memberikan kitab Yang-sin-kiam itu kepadaku. Lekas jangan sampai terlambat. Kalau seorang di antara empat setan itu muncul, maka celakalah.....”
Demikianlah, Beng San melanjutkan tugasnya sebagai penguji kedua orang kakek itu.
The Bok Nam benar-benar hebat. Semua jurus yang dikeluarkan oleh Phoa Ti dia dapat memecahkannya, padahal jurus dari ilmu silat Khong-ji-ciang itu adalah jurus-jurus yang diciptakan oleh Phoa Ti berdasarkan kitab Im-sin-kiam.
Sebaliknya, Phoa Ti juga mampu memecahkan semua jurus yang dikeluarkan The Bok Nam, jurus-jurus ilmu silat Pat-hong-ciang yang inti sarinya diambil oleh orang she The itu dari kitabnya, Yang-sin-kiam.
Beng San adalah seorang anak yang cerdik bukan main. Sampai sepuluh hari dia menjadi penguji dan selama sepuluh hari itu dia sudah melatih diri dengan lima belas jurus dari Khong-ji-ciang serta lima belas jurus dari Pat-hong-ciang! Dia melihat betapa makin hari kedua orang kakek itu makin lemah karena luka mereka dalam pertempuran itu memang hebat sekali. Apa lagi sekarang dalam memberikan petunjuk kepada Beng San, mereka harus mengerahkan tenaga Iweekang.
Yang membuat senang hati Beng San adalah karena untuk menjalankan semua pelajaran jurus-jurus yang harus dia bawa ke sana ke mari ini mengandung hawa-hawa murni dari Yang-kang dan Im-kang, maka tentu saja kedua macam hawa yang memenuhi dadanya itu makin kuat dan makin dapat diatur. Gerakan-gerakan dalam melakukan jurus-jurus ilmu silat itu telah membuka jalan darahnya sehingga makin lama dia merasa tubuhnya makin enak dan kuat, bahkan kekurangan tidur dan makan tidak mengganggunya sama sekali.
Pada hari kesebelas dia melihat suhu-nya sudah amat lemah, sampai jatuh pingsan ketika memberi petunjuk kepadanya. Beng San bingung. Ia tidak suka kepada Phoa Ti seperti juga ketidak sukaannya kepada The Bok Nam. Akan tetapi dia merasa kasihan kepada Phoa Ti yang sudah mengangkat dia sebagai murid, karena memang sikap Phoa Ti lebih baik dan lebih lemah lembut dari pada sikap The Bok Nam.
Di samping tubuh suhu-nya yang masih pingsan itu, Beng San duduk termenung, memutar otaknya. Tanpa sengaja dia mengingat-ingat kembali semua jurus yang sudah pernah dia pelajari dari kedua pihak dan tiba-tiba dia melihat persamaan-persamaan tersembunyi di dalam jurus-jurus kedua pihak itu. Jika dipandang sepintas lalu dan dimainkan, jurus-jurus ilmu silat itu nampaknya seperti saling bertentangan, namun sebetulnya dapat disatukan dan dapat disesuaikan.
Phoa Ti siuman kembali menjelang fajar. Beng San segera mengemukakan pendapatnya. “Suhu, malam tadi teecu teringat akan persamaan-persamaan yang aneh antara beberapa jurus ilmu silat suhu dan kakek The itu. Contohnya jurus yang kemarin itu, betapa sama gerakannya, hanya dibalik saja. Jika jurus suhu menggunakan tangan kanan, adalah jurus kakek itu menggunakan tangan kiri. Kalau dalam jurus suhu harus menyedot napas pada waktu memukul, dalam jurus kakek itu sebaliknya, harus meniupkan napas. Bukankah ada persamaannya yang tepat, hanya terbalik saja?”
Sejenak kakek yang sudah payah keadaannya itu termenung. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara seperti jeritan dan... dia memuntahkan darah segar dari mulut!
Beng San cepat-cepat mengurut punggung kakek itu. Setelah agak reda napasnya, kakek itu berkata lemah, “Aduh... kau hebat... aduh, aku bodoh sekali, Beng San. Kau benar... kau benar... itulah sebabnya mengapa sekaligus harus mempelajari kedua kitab itu, tidak boleh satu-satu. Bagus...! Sekarang kau pergilah ke sana, gunakan jurus yang kau latih kemarin, hanya sejurus saja, tapi cukup... kau balikkan kedudukan tangan dan tubuh, tapi kakimu kau ubah seperti yang pernah kau pelajari dari Hek-hwa Kui-bo, atau kau bikin kacau sesuka hatimu. He-he-he... hendak kulihat apakah dia masih mampu memecahkan serangan dari jurusnya sendiri yang dibikin rusak...”
“Andai kata dia tidak dapat memecahkan jurus ini, lalu bagaimana suhu?”
“Dia... uhhh... uhhh... dia harus menyerahkan kitabnya.....” sukar sekali bagi Phoa Ti untuk mengeluarkan kata-kata karena napasnya amat sesak. “Lekaslah kau pergi...”
Kakek Phoa Ti hendak melontarkan tubuh Beng San ke jurang sebelah sana seperti yang sudah-sudah, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya dapat memberi isyarat dengan tangannya supaya Beng San memanjat sendiri ke tempat kakek The Bok Nam.
Beng San lalu memanjat tebing jurang dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa tubuhnya ringan dan mudah saja baginya memanjat tebing itu. Ketika dia tiba di atas, di jalan kecil yang dulu dilaluinya, dia telah bebas.
Apa sukarnya kalau dia melarikan diri dari situ? Baik kakek Phoa Ti mau pun kakek The Bok Nam takkan dapat lagi menghalanginya. Kedua orang tua itu sudah terlampau lemah karena luka-luka mereka yang amat parah.
Akan tetapi aneh, sekali ini tak ada keinginan di hati Beng San untuk melarikan diri. Malah dia ingin sekali melanjutkan tugasnya sebagai penguji, karena dia mulai merasa tertarik dengan ilmu silat. Apa lagi karena hasrat hatinya telah dibangkitkan oleh cerita suhu-nya tentang kitab Im-yang Sin-kiam-sut yang kini diperebutkan oleh semua ahli silat, termasuk empat besar itu.
Ketika menuruni jurang di mana The Bok Nam berada, dia melihat kakek ini keadaannya tidak lebih baik dari pada kakek Phoa Ti. Kakek itu menyambut kedatangan Beng San dengan mata terbelalak, lalu dia memaksa tertawa.
“Ha-ha-ha, tua bangka Phoa Ti sudah tak bertenaga lagi untuk melemparmu ke sini, Beng San?” biar pun mulutnya tertawa, namun diam-diam dia bersyukur juga.
Andai kata kakek Phoa Ti masih sanggup melemparkan Beng San, kiranya dia sendiri yang takkan kuat menerima tubuh itu. Kemarin saja ketika dia menerima Beng San, kedua tangannya terasa pegal dan sakit-sakit karena terlampau banyak dia memakai tenaganya yang sebenarnya sudah hampir habis.
“Bukan dia tidak bertenaga,” kata Beng San membela suhu-nya, “Hanya aku sendiri yang mau memanjat, tak suka aku dilempar-lemparkan ke sana ke mari seperti bola.”
Kembali The Bok Nam tertawa dan dari sikap ini saja Beng San bisa mengetahui bahwa keadaan suhu-nya lebih buruk dari pada kakek tinggi besar ini.
“Nah, ilmu cakar bebek apa lagi yang kau bawa sekali ini? Lebih baik Phoa Ti mengaku kalah dan memberikan kitabnya kepadaku.”
Pada saat itu terdengar suara Phoa Ti, suara yang parau sekali seperti babi mengorok, “The Bok Nam, seorang gagah sejati takkan menarik kembali janjinya. Kalau engkau tidak bisa memecahkan jurusku, kau harus memberikan kitab itu...” Tiba-tiba suara itu berhenti seakan-akan yang bicara dicekik lehernya.
The Bok Nam menjadi pucat. “Celaka,” katanya. “Kakek Phoa Ti diserang....” Tiba-tiba dia mengeluh dan tubuhnya yang tadinya duduk bersimpuh terguling roboh.
Beng San terkejut sekali karena tadi samar-samar dia melihat cahaya putih berkelebat. Sekarang tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kecil kurus seperti tengkorak hidup. Orang ini usianya sudah enam puluhan tahun, mukanya pucat bagaikan mayat sedangkan pakaiannya pun putih semua seperti orang sedang berkabung. Orang itu tertawa-tawa seperti orang gendeng.
Beng San benar-benar heran sekali karena dia tadi tidak melihat orang itu melayang masuk, bagaimana tahu-tahu bisa berdiri di situ? Ketika dia melirik ke arah The Bok Nam, kakek tinggi besar ini memandang dengan mata terbelalak kepada mayat hidup itu.
“Song... bun kwi (Setan Berkabung), kau... kau curang... menyerang orang yang terluka...”
Akan tetapi The Bok Nam tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena tiba-tiba orang tinggi kurus yang bermuka mayat itu sekali bergerak sudah sampai di dekatnya, langsung mengguling-gulingkan tubuh The Bok Nam, dan kedua tangannya mencari-cari.
Sebentar saja tangannya mencari-cari, dia sudah mendapatkan apa yang dicarinya dan mencabut keluar sebuah kitab kecil dari dalam saku baju orang she The yang sudah tak berdaya itu. Semua ini berjalan cepat sekali hingga Beng San hampir tak dapat mengikuti dengan matanya.
Melihat betapa secara kejam dan kurang ajar sekali si muka mayat itu mempermainkan The Bok Nam, timbul kemarahan dalam hati Beng San. Dengan mata berkilat ia melompat maju dan menudingkan telunjuknya ke hidung si muka mayat.
“Menyerang dan merampas barang orang yang sedang sakit, tindakan begitu mana bisa disebut perbuatan gagah? Sungguh tidak tahu malu sekali engkau, Song-bun-kwi!” Sikap dan kata-kata Beng San seperti sikap seorang tua memarahi orang muda, maka tampak lucu sekali.
Akan tetapi Song-bun-kwi terbelalak dan nampak mengerikan sekali. Matanya mendadak hanya kelihatan putihnya saja bagaikan mata iblis! Beng San sampai bergidik ketakutan menyaksikan muka yang bukan seperti muka manusia lagi itu.
Tiba-tiba setan berkabung itu tertawa, disusul suara orang seperti orang menangis dan akhirnya dia benar-benar menangis! Namun hanya sebentar saja. Tangisnya lalu terhenti dan dia berkata kepada Beng San, “Dua puluh tahun lebih tidak mendengar orang memaki dan memarahiku, tidak mendengar orang mencelaku. Ha, anak baik. Orang seperti kau inilah baru patut disebut orang.” Setelah berkata demikian, dia menggerakkan dua kakinya dan melesatlah sinar putih keluar dari jurang itu.
Beng San melongo. Gerakan yang demikian cepat sampai seperti menghilang ini segera mengingatkan dia kepada Hek-hwa Kui-bo. Diam-diam dia bergidik. Mengapa di dunia ini ada orang-orang berkepandaian sehebat itu sampai seperti iblis-iblis saja?
Beng San mendengar The Bok Nam mengeluh. Ketika menengok, dia melihat orang tua itu napasnya empas-empis. Tersentuh perasaan welas asihnya.
Beng San segera berlutut, mengeluarkan daun obat yang sering kali dia dapatkan dari suhu-nya, memeras daun itu dan memasukkannya ke dalam mulut The Bok Nam. Kakek itu nampak heran, akan tetapi makan daun itu dan warna merah menjalar ke pipinya yang sudah pucat. Kemudian dia menghela napas panjang.
“Dua puluh tahun berkukuh tak mau memperlihatkan kepada sahabatku Phoa Ti, dan kini terampas oleh Song-bun-kwi.... Hemmm, ini namanya hukuman bagi si orang yang tidak ingat kepada sahabat baiknya....”
Ia terengah-engah dan dari kedua matanya bercucuran air mata. Baru kali ini Beng San melihat kakek yang keras hati ini menangis dan dia menjadi terharu.
“Orang tua, dua puluh tahun kitab itu berada di tanganmu, tentu sudah kau pelajari semua isinya. Terampas orang lain apa ruginya?”
Tiba-tiba kakek itu tampak bersemangat, matanya bercahaya. “Kau betul... ehhh, Beng San, kau betul... bantu aku duduk... ehh, pukulan Setan Berkabung itu hebat...”
Beng San membantu kakek itu duduk bersila seperti tadi sebelum dia roboh terguling oleh pukulan jarak jauh Song-bun-kwi.
“Lekaslah kau berlutut, kau sekarang menjadi muridku. Kau akan kuwarisi seluruh isi kitab Yang-sin-kiam.”
Karena merasa kasihan kepada kakek ini yang dia tahu dari perasaannya tak akan dapat hidup lebih lama lagi, Beng San lalu berlutut dan menyebut.
“Suhu…!”
“Dengar baik-baik. Yang-sin-kiam hanya terdiri dari delapan belas pokok gerakan yang lalu dapat dipecah menjadi ratusan jurus menurut bakat dan daya cipta orang yang telah mempelajarinya. Nah, kauhafalkan satu demi satu.”
“Nanti dulu, The-suhu. Teecu hendak melihat dulu keadaan Phoa Ti suhu di sana…”
The Bok Nam tercengang. “Kau menjadi muridnya.....? Ahhh, betul sekali sahabatku she Phoa itu. Engkau harus pula mewarisi Im-sin-kiam, begitu baru lengkap sehingga kelak si Setan Berkabung ada tandingannya...”
Setelah mendapat persetujuan kakek itu, Beng San lalu memanjat ke atas untuk melihat kakek Phoa Ti. Akan tetapi dia mendengar suara aneh yang melengking-lengking seperti suara orang menangis. Ketika dia tiba di atas dia melihat dua bayangan berkelebat di atas jalan kecil. Ternyata bahwa Song-bun-kwi sedang bertanding melawan Hek-hwa Kui-bo!
Song-bun-kwi bersenjata sebuah suling yang mengeluarkan suara seperti menangis itu, sedangkan Hek-hwa Kui-bo bersenjata sapu tangan suteranya. Pertempuran itu berjalan seru seperti dua ekor kupu-kupu beterbangan. Meski pun gerakan mereka begitu ringan seperti terbang saja, tapi angin dari pukulan mereka menyambar-nyambar sehingga Beng San tak kuat menahan. Anak ini terguling dan dengan ketakutan dia bersembunyi di balik sebuah batu besar sambil mengintai.
Pertandingan itu berlangsung tidak lama karena keduanya berkelahi sambil berlari-lari dan sebentar saja lenyaplah dari pandangan mata. Hanya suara tangis suling itu lapat-lapat masih terdengar dari jauh.
Setelah suara suling itu lenyap, barulah Beng San berani muncul dan berlari-lari menuruni jurang. Hatinya berdebar penuh kegelisahan ketika dia melihat Phoa Ti telah menggeletak dengan napas senin kemis. Ia cepat menubruk dan menolong, tetapi ternyata keadaan kakek ini sama dengan keadaan The Bok Nam, telah terluka hebat oleh pukulan Hek-hwa Kui-bo.
“Bagaimana, suhu.....?” Beng San berbisik ketika melihat suhu-nya membuka mata.
“Ahhh, celaka... celaka... Kitab Im-sin-kiam dirampas Hek-hwa Kui-bo.....” Phoa Ti berkata lemah sambil meramkan mata, mukanya berduka sekali, “Beng San, nyawaku tidak akan dapat tinggal lebih lama lagi di tubuhku yang rusak dan terluka berat. Lekas kau bersiap, hendak kuturunkan padamu seluruh isi Im-sin-kiam yang terdiri dari delapan belas pokok gerakan...”
Beng San tak mau banyak membantah. Melihat bahwa keadaan Phoa Ti lebih payah, dia cepat-cepat mempelajari ilmu silat pedang yang diturunkan kakek itu kepadanya. Tentu saja dia hanya dapat menghafalnya, tidak dapat melatih secara baik karena tidak ada waktu baginya. Namun dengan mudah dia dapat mempelajari inti sarinya.
Hal ini bukan hanya karena Beng San memang seorang anak yang cerdas, akan tetapi terutama sekali karena dia pernah mempelajari jurus-jurus Khong-ji-ciang yang inti sarinya memang bersumber kepada Im-sin-kiam sehingga mudahlah baginya untuk menghafal pokok-pokok gerakan yang inti sarinya sudah dikenalnya itu.
Betapa pun juga, untuk menghafal delapan belas pokok gerakan itu dengan baik, ia harus mempergunakan waktu setengah bulan. Setelah tamat, keadaan suhu-nya sudah payah sekali.
Sebetulnya Beng San tidak tega meninggalkan suhu-nya ini. Maka setelah tamat, biar pun hatinya ingin sekali pergi ke The Bok Nam untuk menerima warisan Yang-sin-kiam, namun dia tidak mau pergi, melainkan terus menjaga dan merawat suhu-nya.
“Ahh... Puas hatiku... Im-sin-kiam telah kau hafalkan semua... sayang… alangkah baiknya kalau kau pun dapat menghafal Yang-sin-kiam.”
“Suhu, sebetulnya suhu The Bok Nam juga sudah mengangkat teecu sebagai murid dan hendak menurunkan Yang-sin-kiam, akan tetapi... teecu tidak tega meninggalkan suhu seorang diri...”
“Bagus! Anak bodoh, mengapa tidak bilang dari kemarin? Hayo kau lekas pergi ke sana. Lekas...!” Beng San tidak dapat membantah lagi dan ketika dia dengan gerakan ringan memanjat tebing, dia mendengar di bawah suhu-nya itu tertawa-tawa gembira.
The Bok Nam menerima kedatangan Beng San dengan merengut. “Hemmm, murid apa kau ini? Kenapa begitu lama tidak muncul?”
Beng San menjatuhkan diri berlutut. “The-suhu, harap ampunkan teecu yang lama tidak datang karena teecu harus menghafalkan Im-sin-kiam dari Phoa Ti suhu.”
Wajah yang muram itu menjadi terang. “Aha, kiranya sahabatku Phoa Ti juga sudah sadar dan insyaf. Siapa yang merampas kitabnya?”
Diam-diam Beng San merasa kagum. Tanpa melihat kakek ini sudah tahu bahwa Phoa Ti diserang orang dan dirampas kitabnya. “Hek-hwa Kui-bo yang merampasnya, suhu.”
Lalu dia menceritakan secara singkat apa yang dilihatnya ketika dia keluar dari jurang ini setengah bulan yang lalu.
The Bok Nam menghela napas panjang. “Dunia kang-ouw akan geger akibat terampasnya kitab-kitab itu. Lekas, Beng San, kau pelajari Yang-sin-kiam..., aku sudah hampir tak kuat lagi.”
Demikianlah, sekali ini Beng San mempelajari Yang-sin-kiam dari gurunya yang kedua. Mungkin karena dia sudah menghafal Im-sin-kiam, kali ini dia mempelajari ilmu itu secara lebih mudah. Baru sepuluh hari dia sudah dapat menghafal delapan belas pokok gerakan Yang-sin-kiam.
Sementara itu, pada hari kesebelasnya dia mendapati The Bok Nam sudah kaku dalam keadaan duduk bersila, sudah tidak bernyawa lagi! Beng San kaget dan terharu sekali, dia menangis dengan sedihnya.
Segera dia menggali lubang di jurang itu dengan kedua tangannya. Baiknya dia sudah melatih silat dan gerakan-gerakan itu menambah besar tenaga di tubuhnya, sudah dapat mempersatukan hawa Yang dan Im di tubuhnya, maka tak begitu sukarlah baginya untuk menggali lubang di tanah dasar jurang yang tidak keras itu.
Setelah mengubur jenazah The Bok Nam dan berlutut beberapa lama, anak itu kemudian meninggalkan jurang, lalu menuruni jurang di seberang untuk menghadap gurunya yang seorang lagi. Ia melihat orang tua itu rebah miring seperti biasa.
“Phoa-suhu, teecu sudah berhasil mempelajari...” ia menghentikan kata-katanya karena melihat keadaan suhu-nya yang diam tidak bergerak. Cepat dia melompat mendekatinya dan....
“Suhu...!” untuk kedua kalinya Beng San menangisi kematian seorang lagi yang sangat disayang dan dihormatinya. Phoa Ti ternyata sudah meninggal dunia pula, agaknya belum lama dia mati karena tubuhnya masih baik.
Seperti yang dia lakukan pada jenazah The Bok Nam, Beng San juga mengubur jenazah Phoa Ti di dasar jurang itu. Dia memberi hormat di depan makam suhu-nya itu, lalu dia memanjat jurang keluar dari situ. Diambilnya sebuah batu besar dan diletakkannya di tepi jalan sebagai tanda pengenal. Tanpa tanda ini akan sukar sekali mencari di mana adanya jurang yang menjadi kuburan kedua orang tua itu.
Barulah anak ini sadar bahwa dia tadi telah mengangkat sebuah batu yang amat besar dengan mudah saja! Ia pun kaget berbareng girang bukan main. Karena maklum bahwa pelajaran-pelajaran yang dia dapatkan dari kedua orang kakek itulah yang mendatangkan tenaga besar dalam tubuhnya, dia lalu mengingat-ingat semua pelajaran itu dengan baik.
Sambil berjalan meninggalkan tempat itu dia berjanji kepada diri sendiri untuk melatih diri dengan semua jurus itu setiap kali ada kesempatan baginya…..
**********
Pada malam hari terang bulan, seorang gadis cantik yang bepakaian sederhana duduk seorang diri di belakang sebuah losmen. Taman bunga kecil milik losmen itu lumayan juga dan keadaan tentu akan amat menyenangkan dan indah apa bila orang tidak mendengar isak tangis perlahan, isak tangis yang tertahan-tahan.
Gadis yang menangis perlahan itu bukan lain adalah Liem Sian Hwa, orang termuda dari empat orang gagah dari Hoa-san-pai. Memang aneh apa bila melihat gadis perkasa ini menangis. Sebagai seorang pendekar wanita yang sangat terkenal namanya, walau pun seorang wanita, tangis merupakan sebuah hal yang dipantangnya, yang amat memalukan baginya.
Oleh karena itu, semua kedukaan hatinya ditahan-tahan selama ia melakukan perjalanan bersama twa-suheng-nya, yaitu Kwa Tin Siong. Baru pada malam hari ini, ketika mereka bermalam di losmen kecil di kota Leng-ki ini, ia mendapat kesempatan pada malam hari itu untuk keluar losmen, duduk di taman bunga yang sunyi meratapi nasibnya yang buruk.
Siapakah orang yang takkan merasa berduka? Ayahnya telah dibunuh orang dan menurut bukti-bukti, pembunuhnya itu bukan lain adalah tunangannya sendiri, bersama seorang perempuan kekasih tunangannya itu!
Tunangannya itu adalah pilihan gurunya dan sudah disetujui ayahnya, maka tentu saja ia sudah menganggapnya sebagai seorang yang akan menjadi pelindung atau kawan hidup selamanya. Siapa duga, orang itu pula yang membunuh ayahnya. Sekaligus ia kehilangan ayah dan calon suami, dan sebagai gantinya ia mendapatkan seorang musuh besar yang lihai, yaitu Kwee Sin jago muda dari Kun-lun-pai itu.
Ia tidak gentar menghadapi Kwee Sin atau siapa pun juga untuk membalas sakit hatinya. Akan tetapi mengingat betapa justru tunangannya sendiri yang menjadi musuh besarnya, yang membunuh ayahnya, sekaligus berantakanlah mimpi muluk-muluk yang selama ini memenuhi tidurnya. Hancur hati gadis cantik itu dan di dalam taman yang sunyi ia dapat menuangkan semua kesedihannya melalui air matanya yang bercucuran deras seperti air sungai yang meluap-luap.
Sunyi di sekeliling tempat itu. Sian Hwa begitu terbenam dalam tangis dan kesedihannya sehingga ia tidak melihat atau mendengar datangnya Kwa Tin Siong ke dalam taman.
Pendekar ini mendekati sumoi-nya dan menegur halus.
“Sumoi, harap kau suka menenangkan pikiranmu. Tiada gunanya ditangisi dan disedihi, paling perlu engkau harus dapat menjernihkan kekeruhan itu. Dan percayalah, sumoi. Aku senantiasa menyediakan tenaga dan nyawa untuk membantumu. Pasti kita berdua akan dapat membongkar rahasia kematian ayahmu dan membalas dendam ini.”
Sian Hwa terisak-isak, hatinya makin perih dan terharu. Dengan sedu-sedan ia menubruk kakak seperguruannya.
“Twa-suheng..., ahhh..., alangkah buruk nasibku, suheng...” Sian Hwa menangis sedih di dada Kwa Tin Siong yang memeluk pundaknya dan menghiburnya.
“Sudahlah sumoi, mari kita masuk ke dalam. Kalau terlihat orang lain engkau menangis seorang diri di sini, nanti bisa menimbulkan dugaan yang bukan-bukan.”
Tiba-tiba Kwa Tin Siong mendorong tubuh adik seperguruannya ke samping dan pada lain saat tangannya menyambar ke depan.
“Keparat pengecut!” bentaknya sambil melompat ke depan.
Sian Hwa yang tadi dikuasai kesedihannya kurang waspada. Dia tidak mendengar dan tak melihat menyambarnya benda itu. Sekarang ia maklum bahwa ada orang jahat, maka ia cepat melompat mengejar suheng-nya.
Akan tetapi Kwa Tin Siong sudah kembali lagi. “Dia menghilang di dalam gelap,” katanya. “Mari kita masuk, sumoi. Entah benda apa yang dilemparkan ke arah kita tadi.”
Di dalam ruangan losmen, di bawah penerangan lampu, mereka berdua melihat benda itu. Sian Hwa mengeluarkan seruan kaget. Benda itu adalah sebuah sisir rambut dari perak. Sisir rambutnya sendiri yang dahulu dipergunakan sebagai tanda pengikat perjodohannya dengan Kwee Sin! Sekarang sisir rambut itu dikembalikan kepadanya dengan tambahan sedikit tulisan pada kertas yang membungkus sisir.
‘Putus karena berlaku serong’.
Wajah Sian Hwa menjadi merah sekali, merah karena jengah dan kemarahannya yang memuncak. Sudah jelas sekarang bahwa yang menyambit dengan sisir peraknya tadi adalah Kwee Sin, tunangannya yang melihat dia menangis dalam pelukan Kwa Tin Siong! Dan tunangannya itu, yang membunuh ayahnya, yang bermain gila dengan perempuan Pek-lian-kauw, sekarang malah menuduh dia bermain gila dengan suheng-nya sendiri.
Dengan isak ditahan-tahan Sian Hwa lari masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Kwa Tin Siong yang berdiri terlongong di ruangan itu. Pendekar ini menarik napas berulang kali, hatinya berdebar-debar tidak karuan, pikirannya kusut. Baru kali ini semenjak dia ditinggal mati isterinya, hati dan pikirannya digoda oleh persoalan wanita, dan wanita itu adalah sumoi-nya sendiri.
Kemudian dia teringat akan puterinya, Kwa Hong. Diam-diam di dalam hati ayah ini pun timbul kekhawatiran besar, bukan hanya kekhawatiran memikirkan anaknya itu sekarang pergi bersama seorang aneh seperti Koai Atong, juga khawatir akan nasib anaknya itu kelak.
Sebenarnya, di dalam hatinya sudah ada rencana untuk mengikat tali perjodohan antara Kwa Hong dengan putera sulung sute-nya, Thio Wan It. Akan tetapi setelah sekarang dia menghadapi kenyataan pahit dalam ikatan jodoh sumoi-nya, dia pun merasa berkhawatir. Khawatir kalau-kalau kelak anaknya juga menghadapi kekecewaan dalam pertunangan seperti apa yang dialami oleh sumoi-nya itu.
Semalam itu Kwa Tin Siong tak dapat tidur dan ketika pada keesokan harinya dia bertemu dengan Sian Hwa, dia melihat sumoi-nya itu pun merah sepasang matanya, tanda bahwa sumoi-nya ini pun tidak tidur dan banyak menangis. Mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi karena peristiwa malam tadi masih menggores hati dan perasaan mereka. Setelah sarapan, dengan cepat mereka melanjutkan perjalanan ke Hoa-san yang tak jauh lagi letaknya, hanya perjalanan setengah hari.
Lian Bu Tojin, ketua Hoa-san-pai yang kini sudah berusia enam puluh tahun ini, seorang kakek tinggi kurus, berjenggot panjang, bertongkat bambu, duduk di atas bangku sambil mengusap-usap jenggotnya dan memandang murid bungsunya yang berlutut di depan kakinya. Beberapa lama dia membiarkan muridnya itu menangis tersedu-sedu. Sesudah melihat tangis Sian Hwa agak reda barulah dia berkata dengan suaranya yang halus dan sabar.
“Sian Hwa, kau tenangkanlah hatimu dan pergunakanlah pikiranmu. Dalam menghadapi segala macam peristiwa, baik yang menyenangkan mau pun yang menyedihkan, kau harus dapat menggunakan pikiranmu. Terlampau menuruti perasaan dapat menggelapkan pikiran. Hati boleh sepanas-panasnya, akan tetapi kepala harus dingin sehingga pikiran tidak dikuasai hati dan dapat mempertimbangkan segala sesuatu dengan sebaiknya.”
“Teecu menurut petuah suhu, akan tetapi, suhu... manusia she Kwee itu betul-betul keji. Hanya karena ayah teecu melihat perbuatannya yang tidak tahu malu itu, mengapa dia sampai hati membunuh ayah? Ahh..., teecu mohon perkenan suhu untuk mencarinya dan membalas dendam ini.”
Lian Bu Tojin tersenyum dan mengangguk-angguk. “Darah muda..., darah muda…! Sian Hwa, persoalanmu ini mengandung rahasia yang meragukan. Lagi pula, tak percuma kau menjadi muridku. Bukankah dahulu sudah sering kuajarkan padamu bahwa di balik segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, terdapat kekuasaan tertinggi yang mengatur segalanya? Apa yang terjadi pada diri ayahmu sekali pun adalah hal yang sudah semestinya begitu, tepat menurut kehendak kekuasaan itu. Manusia yang melakukannya hanyalah menjadi lantaran belaka. Karena itu tugasmu memang harus memegang kebenaran, menegakkan keadilan, memberantas kejahatan dan penyelewengan, akan tetapi jangan sekali-kali kau dipengaruhi dan ditunggangi oleh nafsu kebencian, nafsu membalas dendam, karena jika terjadi hal demikian, namanya sudah bukan penegak keadilan dan pemberantas kejahatan lagi, melainkan menjadi budak nafsu sendiri yang termasuk kejahatan pula.”
“Teecu menyerahkan urusan ini kepada suhu...,” Sian Hwa berkata lemah, terpukul oleh petuah suhu-nya yang tentu saja sudah dimengertinya baik-baik itu.
“Sekarang biarlah suheng-mu yang menuturkan semua apa yang telah terjadi.”
Kwa Tin Siong lalu menceritakan kepada suhu-nya tentang semua pengalamannya sejak dia berniat membantu Pek-lian-pai untuk menentang pemerintah penjajah, juga betapa dia bertemu dengan Koai Atong yang membawa pergi anaknya dan mengenai penyerangan orang-orang yang mengaku anggota Pek-lian-kauw terhadap dia dan Sian Hwa.
Sebagai penutup dia mengemukakan bahwa keadaan Kwee Sin memang mencurigakan sekali, dan sangat boleh jadi Kun-lun Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng, Bun Si Liong, dan Kwee Sin sudah pula mengadakan hubungan dengan kaum Pek lian pai.
“Hanya sebuah hal yang teecu tidak mengerti, yaitu mengenai hubungan antara saudara Kwee Sin dengan wanita Pek-lian-pai yang sangat mencurigakan itu, benar-benar teecu tidak mengerti...” Demikian Kwa Tin Siong menutup penuturannya.
Dalam penuturannya tadi, ia sengaja tidak menceritakan tentang kejadian di taman bunga belakang losmen. Kwa Tin Siong adalah seorang gagah yang sudah banyak pengalaman, maka mendengar bahwa tadi sumoi-nya pun tidak bercerita tentang hal ini, dia tidak mau menyebut-nyebutnya pula karena dia tidak ingin menyinggung perasaan Sian Hwa.
Ketua Hoa-san-pai mengangguk-angguk, lalu dia berkata. “Memang keadaan Kwee Sin itu mencurigakan sekali. Sekarang begini saja baiknya, Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Segala urusan yang menyangkut diri sahabat-sahabat, harus diselesaikan secara musyawarah, secara damai dan seadil-adilnya. Tunggulah sampai Wan It dan Kui Keng datang. Kalian juga boleh pergi mengunjungi Kun-lun Sam-hengte untuk minta penjelasan langsung dari Kwee Sin. Dengan demikian, maka segala hal akan dapat diselesaikan.”
Setelah berkata demikian, ketua Hoa-san-pai ini bertanya lebih lanjut tentang Kwa Hong yang pergi bersama Koai Atong.
“Itulah yang sangat menggelisahkan hati teecu, Suhu. Koai Atong adalah seorang yang amat aneh kelakuannya, seperti anak kecil atau seperti orang yang miring otaknya. Teecu tidak tahu ke mana anak teecu itu dibawa pergi."
Lian Bu Tojin tersenyum. "Tak usah khawatir. Kalau Koai Atong sudah berkeliaran di sini, berarti bahwa gurunya, Ban-tok-sian Giam Kong juga sudah meninggalkan Tibet dan kini berada di sini pula. Asal saja anakmu itu mengaku bahwa dia cucu murid Hoa-san-pai, kiranya dia tidak akan mendapat kesukaran karena Ban-tok-sim Giam Kong tentunya akan memandang muka pinto."
Tidak lama Kwa Tin Siong dan Sian Hwa menanti di Hoa-san. Hanya empat hari kemudian berturut-turut datanglah Bu-eng-kiam Thio Wan It bersama dua orang anaknya, yaitu yang sulung Thio Ki, anak laki-laki berusia dua belas tahun dan yang ke dua Thio Bwee, anak perempuan berusia sepuluh tahun. Toat-beng-kiam Kui Keng yang juga datang bersama anaknya laki-laki bernama Kui Lok Si, berusia sebelas tahun.
Dua orang pendekar Hoa-san ini sengaja datang bersama-sama anak-anak mereka untuk menghadap Lian Bu Tojin, sekalian mengenalkan anak-anak itu dan memberi tambahan pengalaman kepada anak-anak itu yang mereka harapkan kelak akan menjadi pendekar-pendekar Hoa-san pengganti mereka.
Pertemuan antara empat Hoa-san Sie-eng itu tentu akan menggembirakan sekali kalau saja yang baru datang tidak mendengar tentang peristiwa kemalangan yang menimpa diri Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong. Tin Siong kehilangan anak perempuannya dan Sian Hwa kematian ayahnya.
Dua orang pendekar Hoa-san itu, Thio Wan It dan Kui Keng, menyambut berita duka ini sesuai dengan watak mereka masing-masing. Thio Wan It yang julukannya Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) ini berwatak pendiam dan berangasan mudah marah, akan tetapi jujur dan keras, berlawanan dengan perawakannya yang pendek dan gemuk, muka bundar, bajunya selalu serba hitam.
Dengan kedua tangan terkepal dia berkata. "Mari kita pergi mencari Kwee Sin, ingin aku menghajar bocah kejam yang kurang ajar itu!"
Kui Keng si Pedang Pencabut Nyawa, wajahnya tampan tubuhnya kecil, sikapnya selalu gembira dan pakaiannya serba putih. Dia menyambut berita itu sambil tertawa.
"Urusan Sumoi perlahan-lahan dapat diurus, kurasa yang lebih penting adalah mencari puterinya Twa-suheng, siapa tahu anak nakal gila itu akan mengganggu Hong-ji. Urusan dengan Kwee Sin itu berbelit-belit, mungkin ada hubungannya dengan Pek-lian-pai, harus diselidiki dengan seksama.”
Sian Hwa yang mencoba untuk menghibur kesedihannya, menyerahkan perundingan itu kepada tiga orang suheng-nya, dia sendiri lalu menggandeng Thio Bwee, Thio Ki, dan Kui Lok diajak ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) sambil berkata,
"Mari anak-anak, hendak Bibi lihat sampai di mana kemajuan kalian di bawah asuhan ayah-ayah kalian."
Memang terhibur juga hati Sian Hwa bertemu dengan keponakan-keponakannya yang menyenangkan itu. Thio Ki berwajah bundar seperti ayahnya, tampan dan sikapnya sudah membayangkan kegagahan walau pun dia baru berusia dua belas tahun, pendiam dan dadanya selalu terangkat.
Thio Bwee yang berusia sepuluh tahun itu mewarisi kecantikan ibunya, juga pendiam dan manis sekali. Sepasang matanya tajam serius, dagu di bawah bibirnya yang manis itu membayangkan kekerasan hatinya. Segera ia senang sekali dekat dengan bibinya yang sering kali dipuji-puji ayahnya sebagai seorang pendekar wanita Hoa-san-pai yang hebat iimu pedangnya.
Ada pun Kui Lok, anak tunggal Kui Keng, berusia sebelas tahun, memiliki watak seperti ayahnya, gembira dan agak nakal, akan tetapi juga bersifat angkuh, hal ini mudah dilihat dari bentuk mulut dan matanya. Ketiga orang anak Ini nampak gagah-gagah, cocok benar menjadi keturunan dari Hoa-san Sie-eng, empat orang gagah dari Hoa-san-pai.
"Sayang," katanya kepada tiga orang anak itu, "kalau Hong-ji tidak dibawa pergi oleh Koai Atong dan berada di sini bersama kalian, alangkah akan gembiranya.”
“Bibi, sebagai anak Twa-supek, tentu kepandaian adik Hong hebat sekali, bukan?" Thio Bwee bertanya kepada bibi gurunya.
Sian Hwa mengangguk. "Tentu saja, akan tetapi kau pun tentu sudah banyak mempelajari ilmu silat dari ayahmu. Coba, Bwee-ji, kau perlihatkan padaku."
Thio Ki sangat sayang kepada adiknya dan pemuda pendiam ini dapat mengerti isi hati adiknya, maka dia lalu berkata kepada Sian Hwa sambil memandang ke arah Kui Lok,
"Sukouw, tentu adikku malu karena menurut sepatutnya, saudara Kui Lok ini yang harus memperlihatkan kepandaiannya lebih dulu."
Dengan kata-kata ini, Thio Ki yang baru berusia dua belas tahun itu telah memperlihatkan sikapnya yang sungguh-sungguh dan memegang aturan. Kui Lok adalah putera dari orang ketiga Hoa-san Sie-eng, maka kalau dihitung urutan atau tingkatnya, masih lebih rendah dari pada mereka yang menjadi putera-puteri Thio Wan It, yaitu orang kedua dari Hoa-san Sie-eng.
Diam-diam Sian Hwa tidak senang menyaksikan sikap yang angkuh ini, akan tetapi karena dia pun mengenal watak ji-suheng-nya yang keras dan jujur, ia anggap saja bahwa sikap Thio Ki ini adalah warisan ayahnya.
"Betul juga, Lok-Ji. Hayo kau yang mendahului, lekas kau perlihatkan apa yang sudah kau pelajari dari ayahmu," katanya sambil tersenyum.
Kui Lok tersenyum dan berkata merendah, tapi nada suaranya mengandung kebanggaan, "Kepandaianku masih amat dangkal mana dapat disamakan dengan pewaris kepandaian ji-supek (Uwak Guru ke Dua)?" Meski pun mulutnya berkata demikian, akan tetapi tangan kirinya lantas bergerak dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang pendek dari pinggangnya.
Memang tiga orang anak pendekar Hoa-san-pai ini ke semuanya membawa pedang pada punggung masing-masing. Itulah kiranya yang membuat mereka nampak gagah sekali.
Melihat gerakan ini, Sian Hwa tersenyum dan bertanya heran. "Kau menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang?"
Agak merah kedua pipi Kui Lok yang tadinya putih itu. "Betul, Sukouw, semenjak kecil saya lebih enak menggunakan tangan kiri dari pada kanan, maka ayah sengaja melatih ilmu pedang dengan tangan kiri."
"Kidal...," Thio Bwee berkata mencemooh karena gadis ini agak mendongkol juga melihat lagak anak itu.
"Akan tetapi, Sukouw...," sambung Kui Lok cepat-cepat untuk menjawab cemoohan gadis cilik itu, "meski pun tangan kiri, kiranya tidak akan kalah dengan tangan kanan..., ehhh, maksudku, tangan kananku sendiri, tentunya."
Sian Hwa kembali tersenyum. Gadis ini maklum akan ejekan-ejekan itu, dan diam-diam ia menyesal mengapa para suheng-nya itu hanya melatih ilmu silat, namun agaknya kurang memperhatikan pendidikan watak sehingga anak-anak ini tak pandai menguasai perasaan dan mudah tersinggung.
"Kau mainlah, biar kami melihatnya."
Setelah memberi hormat kepada Sian Hwa dan mengerling penuh tantangan kepada Thio Ki dan Thio Bwee, Kui Lok mulai bersilat dengan pedangnya. la mainkan pedang tunggal dan caranya memainkan pedang itu memang hebat, apa lagi karena dia menggunakan tangan kiri sehingga menjadi kebalikan dari ilmu pedang yang aslinya.
Diam-diam Sian Hwa memperhatikan dan kagum juga akan kecepatan gerakan anak ini. Memang permainan pedang Hoa-san-pai sangat mengutamakan kecepatan. Yang paling mengagumkan hatinya adalah kekuatan yang digunakan dalam setiap serangan, demikian sungguh-sungguh dan selalu mematikan. Tidak percuma anak ini menjadi putera tunggal suheng-nya, Toat-beng-kiam si Pedang Pencabut Nyawa!
Setelah Kui Lok menghentikan permainan pedangnya, Sian Hwa berseru, "Bagus sekali, Lok-ji, kau tidak memalukan ayahmu!"
Gadis ini bertepuk tangan sambil memberi pujian. Akan tetapi Thio Bwee dan Thio Ki diam saja, tidak mau memberi pujian.
Tentu saja Kui Lok maklum akan hal ini, maka sambil menyarungkan pedangnya dia pun berkata, “Harap saja sekarang saudara Thio Ki dan nona Thio Bwee tidak pelit-pelit lagi mengeluarkan kepandaian mereka."
"Mana aku bisa melawan engkau? Kau hanya menggunakan tangan kiri, dan kalau aku pun menggunakan tangan kiri, aku tak dapat bersilat, sebaliknya kalau aku menggunakan tangan kanan, berarti aku licik, tentu saja tangan kanan lebih baik dari pada tangan kiri," Thio Bwee menjawab sambil merengut.
Sian Hwa tertawa. "Hi-hi-hi, Bwee-ji, jangan kau bicara begitu. Lok-ji menggunakan tangan kiri karena memang semenjak kecil dia melatih dirinya dengan tangan kiri. Tangan kirinya sama dengan tangan kananmu, sebaliknya tangan kanannya sama dengan tangan kirimu. Hayo lekas kau memperlihatkan kepandaianmu kepada bibimu, anak manis."
Thio Bwee tidak berani membantah bibi gurunya. Gadis cilik ini pun kemudian mencabut pedangnya dan bersilat secepat ia bisa untuk memamerkan kelincahannya di depan bibi gurunya, terutama sekali di depan Kui Lok! Dan dia berhasil!
Memang, dalam hal kelincahan, yakni dalam hal ilmu ginkang (meringankan tubuh), gadis ini menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kui Lok. Hal ini pun tidak aneh karena sebagai puteri Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) yang mengandalkan ilmu ginkang, tentu saja ayahnya juga telah menggembleng kedua anaknya itu dalam ilmu ini.
Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat memang tepat sekali jika dimainkan secepatnya. Tubuh gadis cilik ini berloncatan ke sana ke mari bagaikan seekor burung walet saja, dan pedang diputar sedemikian cepatnya sampai hampir tidak kelihatan.
Setelah Thio Bwee berhenti bersilat, kembali Sian Hwa bersorak memuji. Tetapi sebagai seorang ahli silat Hoa-san-pai, tentu saja gadis ini cukup maklum bahwa kepandaian gadis cilik ini masih tidak mampu melawan ilmu pedang yang dimainkan dengan tangan kiri oleh Kui Lok. Gerakan Kui Lok lebih matang, pula tenaga bocah ini jauh lebih besar.
"Sekarang kau, Ki-ji, kau mainlah beberapa jurus agar puas hatiku."
Thio Ki orangnya pendiam dan serius sekali. la memberi hormat kepada Sian Hwa dan berkata, "Jika ada kekeliruan, mohon Sukouw memberi petunjuk."
Terang bahwa kata-kata ini hanya sebagai basa-basi atau sopan-santun belaka karena tanpa menanti jawaban anak ini pun sudah mencabut pedangnya dan di lain saat dia pun sudah bermain pedang dengan kecepatan yang sama dengan adiknya tadi. Hanya kali ini Sian Hwa melihat bahwa kepandaian Thio Ki lebih unggul dari pada adiknya, juga kalau dibandingkan dengan Kui Lok, Thio Ki menang kecepatan biar pun tenaganya seimbang, maka kalau ditarik kesimpulannya, di antara tiga orang anak itu, Thio Ki yang paling tinggi tingkatnya.
"Bagus, bagus! Wah, kalian memang hebat!" Sian Hwa memuji setelah Thio Ki berhenti bersilat pedang.
"Ahhh, Sumoi! Kalau kau pun terlalu tinggi memuji anak-anak itu, mereka bisa menjadi besar kepala." Mendadak terdengar Kui Keng berseru gembira sambil tertawa-tawa. Kui Keng memasuki ruangan itu bersama Thio Wan It dan Kwa Tin Siong.
"Kui-susiok (Paman Guru Kui), saudara Lok puteramu ini memandang rendah aku dan kakak Ti!" tiba-tiba Thio Bwee berseru.
Semua orang terkejut, termasuk Thio Wan It, akan tetapi Kui Keng hanya tersenyum, dan sepasang matanya berseri. "Memandang rendah bagaimana?"
"Habis, dia sengaja memamerkan kepandaian dan bermain pedang dengan tangan kiri, bukankah itu menghina sekali?" kata gadis cilik itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Dia bermain dengan tangan kirinya karena memang dia itu kede (kidal)! Ha-ha-ha!"
Semua orang di situ tertawa dan Thio Bwee sengaja memperlihatkan muka heran.
"Aaah, jadi dia ini kidal? Habis kalau makan, apakah juga menggunakan tangan kiri juga, Susiok?" tanya pula Thio Bwee.
“Ha-ha-ha, tentu saja tidak. Kalau makan tangan kanan dan kalau... membersihkan tubuh pakai tangan kiri."
Kui Keng tertawa-tawa lagi, karena memang orang ini sifatnya gembira sekali. Kui Lok yang tadinya mendongkol karena ejekan Thio Bwee, sekarang ikut tertawa-tawa seperti ayahnya dan kalau anak perempuan itu memandang kepadanya, secara diam-diam dia menjulurkan lidahnya mengejek!
"Sudahlah, anak-anak semua supaya pergi menghadap Sukong (Kakek Guru)," kata Thio Wan It. "Ki-ji, kau yang paling tua, kau harus dapat memimpin dua orang adikmu. Kalian bertiga tinggal baik-baik di Hoa-san, dan taati setiap petunjuk serta perintah Sukong. Kami orang-orang tua akan turun gunung untuk waktu kurang lebih dua bulan."
"Lok-ji, kau harus yang akur bermain-main dengan kedua saudaramu, jangan nakal," Kui Keng memesan kepada puteranya pula.
Setelah berpamit kepada Lian Bu Tojin, empat orang pendekar Hoa-san-pai ini lalu turun gunung, meninggalkan ketiga orang anak itu di bawah pengawasan ketua Hoa-san-pai. Pada waktu turun gunung, Kwa Tin Siong menjelaskan kepada Liem Sian Hwa tentang keputusan perundingan mereka tadi, yaitu bahwa untuk membereskan urusan Sian Hwa dengan Kwee Sin yang gerak-geriknya amat mencurigakan, mereka akan langsung pergi mendatangi orang tertua dari Kun-lun Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng yang kini menjadi pedagang kuda dan tinggal di Sin-yang.
"Sesuai dengan pesan suhu," demikian Kwa Tin Siong menutup penjelasannya, "kita tidak boleh bertindak sembrono terhadap Kun-lun Sam-hengte yang selama ini sudah memiliki nama baik sebagai pendekar-pendekar gagah dari Kun-lun. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil tindakan terhadap Kwee Sin, kita harus terlebih dahulu rnemberi tahu kepada kedua saudara Bun Si Teng dan Bun Si Liong tentang kesesatan sute mereka Kwee Sin. Dengan cara demikian berarti kita sudah cukup menghormat dan memandang muka pada Kun-lun-pai."
Sian Hwa hanya mengangguk-angguk saja. Di dalam hati gadis ini merasa tidak cocok, karena dia merasa gemas dan sakit hati sekali kepada bekas tunangannya yang selain sudah membunuh ayahnya, juga sudah amat menghinanya itu. Kalau bisa, ingin ia sekali berjumpa terus menyerang dan mencincang tubuh Kwee Sin….
**********
Kita tunda dulu perjalanan Hoa-san Sie-eng yang hendak menjumpai Kun-lun Sam-hengte itu dan mari kita mengikuti perjalanan Kwa Hong, bocah perempuan yang berwatak lincah dan gembira, yang dibawa pergi oleh Koai Atong, orang lihai aneh seperti telah dituturkan di bagian depan.
Sambil tertawa-tawa Koai Atong menggandeng tangan Kwa Hong diajak pergi dari Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa yang tidak dapat mengejarnya. Kwa Hong merasa betapa tubuhnya melayang-layang, kedua kakinya tidak menginjak tanah biar pun kelihatannya ia berjalan digandeng orang aneh itu. Mula-mula ia merasa takut, akan tetapi karena Koai Atong tertawa-tawa sambil berkata bahwa mereka akan bermain-main di sebuah telaga yang indah, ia akhirnya menjadi tertarik juga.
Kemudian ternyata oleh Kwa Hong bahwa orang aneh itu memang tidak berdusta. Tidak lama kemudian tibalah mereka di tepi sebuah telaga yang amat indah, telaga kecil yang pinggirnya penuh ditumbuhi bunga-bunga liar yang beraneka warna.
Di puncak pohon-pohon banyak burung menari-nari dan bernyanyi-nyanyi, sedangkan di dalam air telaga yang penuh bayangan bunga dan pohon itu berloncatan ikan-ikan besar kecil. Bukan main indahnya tempat itu, membuat Kwa Hong lupa akan kekhawatirannya bahwa ia telah berpisah dari ayahnya.
"Bagus sekali... nyaman sekali tempat ini...," ia berkata.
"Bagus, ya? Aku pun senang bermain-main di sini," kata Koai Atong berjingkrak-jingkrak.
"Hayo kita main kejar-kejaran, kau boleh kejar aku, tapi yang dikejar tidak boleh pergi dari sekitar telaga ini!"
Kwa Hong seorang anak yang sangat cerdik. Tadi dia sudah digandeng Koai Atong yang mempergunakan ilmu lari cepat yang luar biasa sekali. Sebagai seorang anak pendekar, tentu saja dia mengerti bahwa orang aneh ini mempunyai kepandaian ilmu lari cepat yang tinggi, mana bisa dia mampu mengejarnya?
Kwa Hong tertawa dan berkata nakal. “Koai Atong, kau mau mengakali aku? Ihhh, apa kau kira aku ini sebodoh orang lain? Dari pada kau mencoba mengakali aku, lebih baik kau mengajarkan ilmu lari cepat tadi kepadaku."
"Ilmu lari cepat? Apa itu? Aku tidak bisa... aku tidak boleh mengajarkan apa-apa...," Koai Atong cepat-cepat berkata dengan muka ketakutan ketika mendengar Kwa Hong minta diajari ilmu lari cepat. "Lebih baik kau minta yang lain... ehh, kau mau burung itu? Katakan saja mana yang kau sukai, aku akan menangkapnya untukmu...!" Dia tertawa-tawa sambil menunjuk ke atas, ke arah burung-burung yang berloncatan di cabang-cabang pohon.
"Yang kecil sekali itu, yang berbulu kuning!"
Kwa Hong menunjuk ke arah seekor burung yang tampak paling lincah dan gesit di antara burung-burung yang lainnya. Bukannya karena ia suka kepada burung kecil ini, melainkan karena anak yang cerdik ini memang sengaja memilih burung yang paling gesit supaya Koai Atong tidak dapat menangkapnya.
"Baik, kau lihat, dia takkan bisa lari dariku."
Koai Atong segera menggenjot tubuhnya yang tinggi besar itu, melayang ke arah puncak pohon. Semua burung buyar pergi beterbangan karena takut, termasuk burung kecil yang sudah terbang lebih dulu dengan amat cepatnya.
Kwa Hong sudah hampir bersorak mengejek kegagalan Koai Atong. Akan tetapi tiba-tiba Koai Atong tertawa keras dan tangan kirinya digerak-gerakkan ke depan. Dan aneh sekali, tiba-tiba burung kuning kecil itu seperti ditarik benang yang diikatkan pada kakinya karena binatang ini terbang kembali ke arah Koai Atong dengan gerakan lemah!
Dengan enak dan mudahnya orang aneh itu menangkap burung kuning tadi, lalu meloncat turun dan menyodorkan burung kuning itu pada Kwa Hong. Hebatnya burung itu berdiri di atas telapak tangannya, diam saja hanya menggerak-gerakkan sayap tanpa dapat terbang pergi!
Kwa Hong sampai melongo menghadapi pertunjukan ilmu tinggi yang seperti main sulap ini. Akan tetapi dasar dia amat cerdik, dia tak mau memperlihatkan keheranannya, malah tertawa-tawa dan mengambil burung itu yang berdiri di telapak tangan Koai Atong.
la mengira bahwa burung itu memang sudah tidak dapat terbang lagi, maka ia memegang perlahan sekali. Siapa kira, begitu terlepas dari telapak tangan Koai Atong dan berada dalam genggaman Kwa Hong, burung itu meronta dan...
“Brrrttt...!” burung itu terbang pergi, cepat sekali!
Koai Atong tertawa terbahak-bahak. Kwa Hong merengut.
"Koai Atong, kau telah menipuku! Di tanganmu burung itu tidak bisa terbang, tapi kenapa setelah kugenggam dia lalu terbang?"
"Ha-ha-ha, mana bisa burung terbang tanpa pancalan kaki? Telapak tangan yang dibikin lunak, disertai hawa menyedot, tentu membikin dia tak mampu terbang, apa anehnya...? Ha-ha-ha!"
"Ahhh, kau nakal! Mengapa kau tidak memberi tahu dari tadi?" Kwa Hong cemberut dan marah-marah.
Melihat temannya marah-marah, Koai Atong cepat berkata, "Sudahlah, biar kutangkapkan lagi dia untukmu..." la sudah bangkit berdiri.
Akan tetapi Kwa Hong berkata, "Tidak, aku sudah tidak suka lagi. Tidak suka main-main denganmu, aku hendak kembali kepada ayah."
"Waaah, jangan marah. Belum puas kita bermain-main di sini. Mari kita pergi ke tempat lain yang lebih indah. Kau mau ke puncak gunung bermain dengan awan? Atau ke dalam hutan yang penuh binatang buas? Aku tahu banyak tempat indah...”
"Tidak," jawab Kwa Hong yang mendapatkan pikiran untuk pergi meninggalkan orang ini. la mulai mendapat perasaan tak enak, takut kalau-kalau si gila ini tak mau melepaskannya kembali. "Kalau kau bisa mencarikan ikan bersisik kuning emas dari telaga ini, baru aku mau main main lagi.”
Koai Atong memandang ke arah telaga. Banyak ikan-ikan kecil besar berloncatan, malah kadang-kadang keluar jauh dari permukaan air, akan tetapi tidak ada yang bersisik kuning emas, kesemuanya putih atau hitam.
"Mana ada ikan bersisik kuning emas?" tanyanya ketolol-tololan.
"Tentu saja ada, di dalam telaga. Ataukah barangkali kau tidak becus menangkapnya? Kalau kau tidak becus, kau tidak berharga merijadi temanku bermain-main."
Koai Atong nampak gugup. "Baik, baik... akan aku tangkapkan untukmu. Kau tunggu dan lihatlah."
Tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar itu berkelebat ke arah telaga dan...
“Byurrrrr…!” Koai Atong telah terjun ke dalam air itu!
Wajah Kwa Hong berubah. Celaka, kiranya dia pun setan air yang pandai bermain di air. Inilah kesempatan baik, aku harus cepat pergi meninggalkan tempat ini.
Akan tetapi sebelum kakinya bergerak, timbul perasaan malu dan kasihan di hatinya. Malu kepada diri sendiri yang seakan-akan hendak menipu Koai Atong dan kasihan kepada si gila itu. Dia amat baik kepadaku, sampai-sampai mau menyelami telaga untuk mencarikan ikan, masa aku begitu rendah hati untuk menipu dan meninggalkannya?
Kwa Hong menjadi ragu-ragu. Anak ini sudah banyak dijejali filsafat tentang kebajikan dan terutama mengenai kegagahan serta keadilan oleh ayahnya, maka dia menjadi ragu-ragu untuk meninggalkan Koai Atong yang sengaja dia suruh menyelam di telaga.
Selagi ia ragu-ragu, tiba-tiba terdengar suara orang, "Nah, ini dia anak Hoa-san It-kiam!"
Dan muncullah seorang laki-laki yang membuat Kwa Hong menjadi pucat mukanya karena mengenal orang ini sebagai orang yang pernah menculiknya. Lalu muncul dua orang lain yang berpakaian sebagai pendeta-pendeta Agama To (tosu), akan tetapi tak seperti para tosu biasanya, di atas rambut mereka terdapat hiasan bunga teratai.
"Mana bocah nakal yang gila itu?" tanya seorang di antara dua orang tosu tadi sambil memandang ke kanan kiri.
“Susiok berdua menjaga kalau dia muncul, biar teecu melarikan anak ini lebih dulu!" kata si penculik itu sambil menubruk Kwa Hong.
"Koai Atong, lekaslah kau keluar...! Tolong aku...!" Kwa Hong berteriak-teriak sambil loncat mengelak dan lari mendekati telaga. Penculik itu sambil tertawa lebar mengejar.
"Hendak lari ke mana kau?"
Tiba-tiba muncul kepala Koai Atong dari permukaan air dengan kedua tangan memegang dua ekor ikan. Melihat Kwa Hong dikejar orang, kedua tangannya bergerak dan dua ekor ikan itu dengan kecepatan luar biasa menyambar ke arah penculik yang sudah tak keburu mengelak lagi.
“Aduhh...! Auuuwww... aaaapppp!”
Ikan pertama dengan tepat mengenai hidungnya dan entah karena kesakitan atau apa, ikan itu lalu membuka mulut dan... menggigit hidung si penculik dan ketika si penculik mengaduh-aduh, ikan ke dua melayang tepat ke... mulutnya yang celangap, terus masuk sampai ke kerongkongannya.
Tentu saja dia menjadi kebingungan seperti kakek kebakaran jenggotnya. Dengan susah payah dia dapat melepaskan ikan yang menggigit hidungnya dan menarik keluar ikan ke dua dari tenggorokannya. Hidungnya berdarah dan si penculik menyumpah-nyumpah, apa lagi ketika melihat Kwa Hong tertawa cekikikan menyaksikan pemandangan yang lucu itu.
Akan tetapi melihat Koai Atong sudah meloncat naik dan kini orang aneh itu ikut tertawa berdiri di dekat Kwa Hong, si penculik tidak berani maju lagi dan malah berlari ke belakang dua orang tosu yang menjadi susiok-nya (paman gurunya).
Dua orang tosu itu melangkah maju menghadapi Koai Atong.
"Koai Atong," kata seorang di antara mereka yang mempunyai andeng-andeng (tahi lalat) besar di pipi kanannya, "harap kau jangan ikut campur dan berikan anak ini kepada kami."
Koai Atong masih tertawa-tawa dengan Kwa Hong, sama sekali tidak mau melayani dua orang tosu itu. Akan tetapi Kwa Hong yang maklum bahwa kedua orang tosu itu pun tidak mempunyai maksud baik, dan agaknya teman dari si penculik tadi, segera berkata, "Koai Atong, jangan dengarkan mereka. Ganyang saja!"
Koai Atong tertawa lagi dan menggerak-gerakkan tubuhnya yang basah kuyup itu. Air dari pakaiannya memercik-mercik dan menyambar ke arah dua orang tosu itu. Tanpa dapat dicegah lagi pakaian tosu itu pun terkena air, malah muka mereka menjadi basah dan terasa sakit karena sambaran titik-titik air itu terasa seperti jarum-jarum menusuk kulit. Mereka menjadi marah dan membentak.
"Orang gila, kau mencari mampus?"
Serentak kedua tosu itu mencabut keluar ikat pinggang mereka yang ternyata merupakan joan-pian (cambuk lemas) berduri, nampaknya menakutkan sekali.
Akan tetapi Koai Atong hanya tertawa saja dan begitu kedua orang menyerang, dia telah memegang anak panahnya yang berujung kehijauan. Entah dari mana dia mengeluarkan senjatanya ini.
Terdengarlah suara yang keras. Dua orang tosu itu mengeluarkan seruan tertahan karena joan-pian mereka yang diserangkan tadi telah bertemu dengan anak panah dan membuat tangan mereka tergetar. Namun karena mereka percaya akan kepandaian sendiri, apa lagi karena mereka maju berdua, dua orang tosu ini tidak gentar dan segera mengurung, menghujankan sambaran joan-pian ke arah tubuh Koai Atong.
Orang aneh ini menggerakkan anak panahnya sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang ia menggerakkan tubuhnya yang basah dan mengirim titik-titik air yang menyambar ke arah kedua orang lawannya. Kwa Hong bertepuk tangan memberi hati kepada temannya.
"Hayo, Koai Atong. Gasak mereka. Sikat saja!"
Pertempuran berjalan seru sekali. Ternyata kepandaian dua orang tosu itu pun lihai bukan main. Gerakan joan-pian mereka amat hebat, seperti dua ekor ular yang menggeliat-geliat dan menyambar-nyambar.
Akan tetapi semua serangan mereka dapat dihindarkan oleh Koai Atong dengan mudah. Sebaliknya, dengan anak panahnya itu pun Koai Atong tidak mampu mendesak dua orang lawannya, malah nampaknya Koai Atong dalam gerakan-gerakannya terlampau lemah sedangkan dua orang lawannya itu makin cepat dan kuat daya serangannya.
Hal ini tidak aneh karena dua orang itu rnenggunakan ilmu silat yang mengandung tenaga Yang, sebaliknya Koai Atong memang memiliki kepandaian yang berdasarkan tenaga Im yang lebih halus dan lemas. Akan tetapi hanya tampaknya saja dia kalah cepat dan kalah kuat, padahal sesungguhnya tidak demikian karena dengan tenaga lemas dia dapat pula menggunakan tenaga lawan untuk balas menyerang.
Pada jurus ke lima puluh, mendadak dua orang tosu itu mengeluarkan bunyi melengking tinggi yang aneh dan serempak mereka menggerakkan tangan kirinya ke depan. Hanya tampak sinar beraneka warna menyambar ke arah Koai Atong.
Orang aneh ini nampak kebingungan. Cepat-cepat dia memutar anak panahnya sambil mengibaskan tangan kirinya seperti orang menghadapi sambaran banyak senjata rahasia yang kecil. Akan tetapi tetap saja dia mengaduh ketika terasa pundak kirinya gatal-gatal.
“Aduh, curang... auhh, curang...!”
Dan orang tinggi besar yang berjiwa kanak-kanak ini lalu menangis! Akan tetapi sambil menangis dia lalu menyerang lebih hebat sehingga kedua lawannya terpaksa lebih banyak main mundur saja karena memang bukan main berbahayanya sepak terjang Koai Atong yang seperti seorang anak-anak sedang marah itu.
Kwa Hong khawatir sekali melihat bahwa temannya menangis dan agaknya kesakitan.
"Tosu-tosu bau! Kakek-kakek mau mampus! Tidak tahu malu, cih, tidak tahu malu. Sudah main keroyokan masih berlaku curang!" Kwa Hong memaki-maki sehingga kedua orang tosu itu menjadi merah mukanya.
"Diam, anak setan!" bentak kakek yang bertahi lalat pipinya
“Kau yang diam, tosu bau! Ahhh, kalau aku sudah besar, kucongkel tahi lalatmu di pipi itu dan kuganti dengan tahi kerbau!" Kwa Hong memaki dan makian ini membuat Koai Atong yang tadinya menangis menjadi tertawa terbahak-bahak.
"Ha-ha-ha, betul-betul! Ganti dengan tahi orang, lebih bau lagi!"
Akan tetapi setelah dia tertawa, penyerangannya menjadi kurang kuat sehingga dia kena didesak mundur lagi. Kwa Hong melihat ini menjadi makin khawatir. Koai Atong boleh jadi lihai, akan tetapi dia kurang siasat dan seperti anak kecil saja, pula kedua orang lawannya itu ternyata amat lihai.
Pada saat itu, si penculik diam-diam mendekati Kwa Hong. la menganggap anak ini amat mengganggu kedua orang susiok-nya. Lagi pula, ketika melihat orang aneh itu terdesak, dia mendapat kesempatan untuk menangkap Kwa Hong. Setelah cukup dekat, dia lantas menubruk anak itu.
Kwa Hong yang sudah banyak belajar ilmu silat, cepat-cepat membanting diri ke belakang sehingga tubrukan itu meleset dan... mendadak Koai Atong menggerakkan tangan kirinya dari jauh dengan cara mendorong. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh penculik itu terlempar masuk ke dalam air telaga!
Koai Atong tertawa cekakakan, dan Kwa Hong mau tidak mau tertawa geli juga melihat betapa si penculik yang sial itu sekali lagi menyumpah-nyumpah sambil berenang ke tepi dan merayap naik dengan pakaian basah kuyup. Akan tetapi Kwa Hong yang agaknya lebih cerdik dari pada Koai Atong, segera teringat akan gerakan tangan kiri orang aneh itu.
"Koai Atong, gunakan tangan kirimu, putar-putar dan pukul..."
la ingat betapa lihainya tangan kiri Koai Atong yang pernah memukul mundur rombongan penculik, juga tadi baru saja diperlihatkan lagi pada waktu mendorong tubuh si penculik ke dalam telaga.
Seperti orang baru teringat, Koai Atong menghentikan suara ketawanya dan berkata, "Wah, iya, aku sampai lupa. Ehhh, ini rasakan pukulanku, tosu-tosu hidung kerbau!"
la memutar-mutar tangan kirinya dengan gerakan lucu seperti orang... menyelinger mobil, lalu mendorong dua kali ke depan.
Dua orang tosu itu masih belum menduga bahwa gerakan yang aneh dan lucu ini adalah gerakan pukulan Jing-tok-ciang, maka begitu mereka terdorong, mereka mengeluarkan teriakan kaget, mundur terhuyung-huyung dengan muka pucat dan napas sesak.
"Celaka...!" Mereka berteriak.
Kemudian mereka cepat-cepat melarikan diri bagai dikejar setan. Padahal yang mengejar mereka bukan lain adalah si penculik yang lebih ketakutan lagi melihat susiok-susiok-nya sudah lebih dulu melarikan diri.
"Kejar, Koai Atong. Tangkap!" seru Kwa Hong berkali-kali.
Akan tetapi Koai Atong hanya tertawa-tawa, lalu berjingkrak sambil bertepuk-tepuk tangan kegirangan, seperti seorang anak-anak bergirang karena menang dalam permainan.
"Bagus, ya? Bagus, ya?" katanya kepada Kwa Hong. "Sayang ikan-ikan itu telah dimakan monyet tadi. Ikan-ikan sisik kuning emas tulen tadi."
"Sudahlah, aku sudah bosan. Aku mau kembali kepada ayah. Hayo, antarkan aku.”
“Kenapa kembali? Habis aku bagaimana? Ehh, Enci... siapa namamu?"
Geli juga hati Kwa Hong mendengar orang itu menyebut dirinya enci (kakak perempuan). Orang setua ayahnya kok menyebut enci. Benar-benar gila!
"Namaku Hong, she Kwa."
"Jangan kembali dulu, Enci Hong. Aku masih senang bermain-main dengan kau. Mari aku perlihatkan puncak yang ada bunga cengger ayam. Bagus sekali." Koai Atong masih saja terus membujuk-bujuk seperti anak merengek-rengek.
"Tidak, aku sudah lama pergi, takut ayah mengharap-harap kembaliku."
"Kau takut dimarahi ayahmu? Jangan takut. Kalau dia berani marah, kupukul dia!"
Tiba-tiba Kwa Hong memandang kepada Koai Atong dengan muka beringas dan mata berapi. "Apa katamu?! Kau mau pukul ayah? Kau berani pukul dia? Kubunuh kau!"
Koai Atong nampak kaget dan cepat dia berkata halus, "Ah, tidak..., tidak, Enci Hong... aku tidak berani..."
Meski masih kecil, sekarang Kwa Hong mengerti bahwa orang ini memang tidak normal, merasa seperti seorang anak yang kecil, lebih kecil dari dia sendiri. Maka ia lalu berkata dengan suara marah, menakut-nakuti.
"Kalau begitu, lekas antar aku kembali kepada ayah. Kalau kau tidak mau, aku tidak suka lagi menjadi temanmu."
“Oh, baik, baik, Enci Hong, baik. Marilah..."
Koai Atong memegang lengan tangan Kwa Hong dan seperti tadi, dia berlari cepat sekali kembali ke dalam hutan di mana tadi mereka meninggalkan Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, mereka ttdak dapat menemui dua orang itu yang sudah lama pergi. Hari telah menjadi senja dan Kwa Hong gelisah bukan main.
"Kau yang salah! Kenapa kau ajak aku pergi? Sekarang bagaimana? Ke mana aku harus mencari ayah?" Gadis cilik ini rnembanting-banting kakinya sehingga Koai Atong juga ikut bingung dan ketakutan.
"Habis bagaimana baiknya? Salahnya ayahmu yang tidak mau menunggu di sini," Koai Atong membela diri.
"Kau persalahkan ayah? Lekas sekarang kita menyusul. Kau harus dapat membawa aku bertemu dengan ayah, kalau tidak, awas kau...!"
Koai Atong mengangguk-angguk. "Baiklah... mari kita susul ayahmu."
Mereka keluar dari hutan itu, akan tetapi terpaksa mereka berhenti karena malam telah tiba. Kwa Hong merasa bingung dan amat gelisah, ingin menangis. Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dia menangis, maka hal itu bahkan akan membuat Koai Atong ikut menjadi bingung. Dia lalu menahan perasaannya dan bersikap seolah-olah ia menjadi kakak yang memimpin sedangkan Koai Atong seperti adiknya.
"Aku mau mengaso dan tidur di bawah pohon sini, kau buatkan api unggun dan menjaga di sini," katanya.
Akan tetapi Koai Atong begitu bodohnya, sehingga membuat api unggun saja tidak becus. Kwa Hong terpaksa memberi petunjuk caranya membuat api dari dua kayu yang digosok secara keras. Tentu saja dengan tenaga Iweekang-nya yang tinggi, beberapa kali gosok saja Koai Atong sudah berhasil menimbulkan api.
Orang aneh ini bersorak-sorak girang melihat api dan sekiranya dia tidak sedang bersama Kwa Hong yang mencegahnya, tentu dia akan membuat api yang amat besar yang akan membakar seluruh hutan! Dengan Koai Atong menjaga di dekatnya Kwa Hong merasa aman dan anak ini segera tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwa Hong sudah sadar karena merasa dingin sekali. Ketika dia menengok, ternyata orang aneh itu pun sudah tertidur mengorok sambil duduk bersandar pohon. Seketika Kwa Hong merasa ketakutan karena di dalam tidurnya, lenyaplah sifat kanak-kanak pada diri orang aneh itu, kelihatan seperti seorang laki-laki yang setengah tua dan menakutkan.
Rasa takut membuat Kwa Hong segera bangkit lalu berjalan perlahan meninggalkan Koai Atong yang masih tertidur. Bagaimana pun juga, dia belum mengenal bagaimana watak orang aneh ini sebenarnya dan makin lama kelakuan Koai Atong makin aneh menakutkan. Siapa tahu kalau-kalau akan timbul sifat jahatnya, demikian Kwa Hong berpikir sambil pergi meninggalkan orang itu dengan maksud mencari sendiri ayahnya.
Lama dia berjalan sampai dia tiba di luar sebuah dusun ketika matahari telah mulai naik. Kwa Hong mulai rnerasa lapar perutnya. Aduh, bagaimana ia harus mencari makan? Rasa lapar hampir tidak tertahankan pada waktu pagi itu, perutnya melilit-lilit dan terasa perih. Hampir ia menangis. Mulailah ia merasa menyesal mengapa ia meninggalkan Koai Atong. Sekiranya ada orang aneh itu, tentu dapat ia suruh mencari makanan.
Tiba-tiba Kwa Hong terkejut ketika mendengar suara tinggi melengking yang amat aneh. la menoleh ketakutan ke kanan kiri, akan tetapi tidak melihat sesuatu. Suara melengking itu makin lama makin dekat dan akhirnya ia melihat seorang anak laki-laki berwajah putih pucat datang berjalan perlahan sambil meniup sebuah suling yang bentuknya seperti ular.
Anak itu pakaiannya berwarna kuning. Bajunya terlalu panjang pada lengannya, bahkan belakangnya sampai hampir menyentuh tanah. Wajahnya tampan, matanya berkilat, dan alisnya hitam, menambah wajah yang pucat itu menjadi makin pucat.
Kwa Hong tertegun melihat anak yang aneh itu. Tadinya ia tidak melihat sesuatu ketika anak itu masih jauh, akan tetapi setelah anak itu datang makin dekat, Kwa Hong hampir menjerit karena ngerinya.
Di belakang anak itu berjalan ratusan ekor ular besar kecil yang agaknya teratur sekali. Tidak seekor pun menyeleweng jalannya, semua mengikuti jejak pemuda itu, ada yang kepalanya menyusur tanah, ada yang mengangkat kepala dan berlenggang-lenggok, akan tetapi kesemuanya mengikuti pemuda yang menyuling tadi seakan-akan dikomandani oleh suara suling!
Kwa Hong merasa ngeri bukan hanya karena melihat ular sedemikian banyaknya, akan tetapi terutama sekali karena ia melihat betapa pemuda itu seakan-akan tidak tahu bahwa di belakangnya ada ratusan ular yang mengikutinya, masih terus melangkah enak-enakan sambil menyuling.
"Lari...! Lekas kau lari... di belakangmu banyak ular...!" Kwa Hong berteriak-teriak.
Anak ini sendiri lalu meloncat ke arah sebatang pohon besar dan memanjat pohon dengan ketakutan. Di atas pohon ia masih berteriak-teriak menyuruh anak laki-laki itu segera lari.