CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJA PEDANG JILID 08
Sebelum mereka meninggalkan dusun itu, lebih dahulu Kwee Sin singgah di Sin-yang, ke rumah Bun Si Teng dan Bun Si Liong. Kim Li tidak mau turut dan hendak menanti di luar kampung. Hal ini malah dianggap suatu kebetulan oleh Kwee Sin, karena dia sendiri juga merasa sungkan dan malu terhadap kedua suheng-nya kalau mereka ini tahu bahwa dia hendak melanjutkan perjalanan bersama seorang gadis cantik.
Bun Si Teng dan Bun Si Liong yang sudah sembuh, merasa gembira dan lega melihat munculnya Kwee Sin. Tadinya dua orang suheng ini merasa amat khawatir karena sudah beberapa hari sute ini tidak muncul.
Bun Si Teng malah sudah menyusul ke dalam hutan dan dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika di tengah hutan itu dia mendapatkan mayat Thio Sian ditangisi oleh seorang anak perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun! Selagi dia terlongong dan heran karena tidak melihat sute-nya di dekat tempat itu, terdengar suara keras, disusul berkelebatnya bayangan tinggi besar dan di lain saat, mayat bersama gadis cilik itu telah lenyap dari situ.
Bun Sin Teng kaget dan berlari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan. Akan tetapi dia hanya melihat dari jauh seorang hwesio tinggi besar memondong gadis kecil itu sambil mengempit mayat Thio Sian, berjalan dengan langkah lebar akan tetapi cepat bagaikan terbang!
Melihat tangan kiri hwesio itu memanggul sebatang dayung, Bu Si Teng menjadi pucat karena dia pernah mendengar tentang seorang sakti yang menjadi orang nomor satu di dunia timur, yaitu Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang. Apa betul pertapa yang puluhan tahun tak pernah turun gunung itu sekarang tiba-tiba muncul di situ?
Setelah mendengar cerita Kwee Sin yang sudah berhasil merobohkan Thio Sian dengan pertolongan seorang nona pendekar yang bernama Coa Kim Li, dua orang saudara Bun itu menarik napas lega.
"Sungguh sayang sekali bahwa kita dihadapkan dengan kenyataan yang mengecewakan dan amat pahit. Pek-lian-pai yang tadinya kita anggap sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang berjiwa patriotik, kini ternyata hanyalah merupakan perkumpulan orang-orang jahat belaka. Sute, kau harus memberi laporan yang jelas kepada suhu, agar orang tua itu tenang hatinya dan tidak akan menyalahkan kita kalau kita tidak membantu Pek lian-pai," kata Bun Si Teng kepada sute-nya.
Setelah menyatakan bahwa dia hendak lekas-lekas kembali Kun-lun-pai sesudah singgah di Lam-bi-chung seperti yang dipesankan suhu-nya, Kwee Sin pergi meninggalkan dusun Sin-yang, berjalan cepat sekali keluar kampung untuk menjumpai sahabat barunya, nona Coa Kim Li. Akan tetapi dia menjadi kaget dan kecewa, juga gelisah karena tidak melihat nona itu yang tadi duduk menantinya di bawah sebatang pohon.
"Aduh, celaka ke mana dia? Jangan-jangan aku sudah dia tinggalkan. Jangan-jangan dia kesal karena aku tadi terlalu lama di rumah suheng..."
la duduk di bawah pohon itu dengan kening berkerut. Mendadak terdengar suara ketawa dari belakang pohon. Kwee Sin cepat melompat dan menengok, wajahnya lantas berseri dan matanya bersinar-sinar.
“Kim Li...!" Saking girangnya melihat nona itu ternyata tidak pergi meninggalkannya, Kwee Sin memegang kedua lengannya dan hampir saja dia merangkulnya.
Kim Li tersenyum dan matanya bersinar-sinar.
"Kwee-koko, kenapa kau tadi bermuram di bawah pohon?" Kim Li menggoda.
"Kukira kau telah pergi meninggalkan aku."
“Ehh, jadi kau sedih kalau kutinggalkan?”
"Sedih...? Tentu saja... ehh, aku... aku..." Kwee Sin baru merasa bahwa tanpa disadarinya dia telah kena umpan sehingga perasaan hatinya sudah dipancing keluar.
Kim Li tertawa, menarik lengan Kwee Sin dan berkata, "Sudahlah, hayo kita melanjutkan perjalanan."
Kwee Sin tersenyum-senyum, membiarkan saja tangannya digandeng sehingga mereka berdua berjalan sambil bergandengan tangan, bagai sepasang kekasih. Tanpa dia sadari, Kwee Sin sudah mulai roboh, masuk ke dalam perangkap yang dipasang gadis cantik itu. Terlalu pandai Kim-thouw Thian-li memikat dengan wajahnya yang cantik ataukah terlalu hijau Kwee Sin dalam menghadapi kelihaian siasat wanita cantik?
Dengan melalui perjalanan yang penuh kegembiraan bagi Kwee Sin, kegembiraan hidup yang baru kali ini dia rasakan, akhirnya mereka tiba di Telaga Pok-yang. Mereka berdua, seperti sepasang pengantin baru, berpesiar naik perahu di telaga ini.
Sering kali Kwee Sin terheran-heran melihat bahwa gadis ini ternyata memiliki pengaruh besar di mana-mana. Pada waktu hendak memasuki daerah telaga, tampak serombongan tentara yang mencegat para pelancong, lalu memeriksa dengan teliti. Memang daerah ini terkenal sebagai daerah para tokoh pemberontak, maka pemerintah Mongol mengadakan penjagaan yang teliti. Akan tetapi ketika mereka ini melihat Coa Kim Li, mereka memberi hormat dan tidak mengganggu gadis itu bersama Kwee Sin.
Dalam keheranannya, Kwee Sin bertanya apa sebabnya gadis ini seakan-akan memiliki kekuasaan. Namun Kim Li hanya tersenyum dan berkata, "Cacing-cacing tanah macam mereka masih dapat mengenal orang baik-baik, itu masih untung. Andai kata tadi mereka berani mengganggu kita berdua, apakah mereka akan dapat hidup terus dengan kepala menempel di leher?"
Karena pandainya Kim Li menjawab dan menyimpan pertanyaan, pandainya ia merayu, Kwee Sin tidak mendesak lebih jauh. Mereka berpesiar sampai puas di Telaga Pok-yang yang amat indah itu. Sama sekali Kwee Sin tidak tahu bahwa gerak-geriknya di telaga ini diketahui oleh calon mertuanya, Liem Ta ayah Liem Sian Hwa!
Dan seperti sudah dituturkan di bagian depan, Liem Ta pulang sambil marah-marah dan menyatakan di depan puterinya bahwa pertunangan dengan Kwee Sin diputuskan!
Pada saat Kwee Sin menyatakan keinginannya kepada Kim Li untuk menengok ke dusun Lam-bi-chung, ke rumah calon isterinya, Kim Li tersenyum pahit dan berkata, "Guru adalah setingkat dengan ayah, kata-katanya harus ditaati. Engkau hendak mentaati pesan gurumu, pergilah kau singgah ke rumah keluarga Liem. Akan tetapi aku tidak bisa ikut pergi ke sana. Selamat berpisah, Kwee-koko. Harap engkau tidak melupakan Coa Kim Li!" Setelah berkata demikian, sekali meloncat gadis itu lenyap dari depan Kwee Sin.
Pemuda ini menyesal sekali dan hendak mengejar, akan tetapi dia maklum bahwa tidak mungkin dia mengejar Coa Kim Li yang berkepandaian lebih tinggi dari padanya. Dengan kecewa, kehilangan kegembiraan dan malas-malasan, kemudian dia pergi seorang diri ke Lam-bi-chung.
Karena masih mengharapkan untuk dapat melihat Kim Li kembali ke Po-yang, dia tidak meninggalkan telaga itu sebelum menanti sampai tiga hari. Ia baru pergi ke Lam-bi-chung setelah pada hari ke empat dia masih belum melihat kembali Kim Li. Dengan hati berat dia berjalan ke dusun Lam-bi-chung untuk menengok rumah Liem Sian Hwa.
Akan tetapi, apa yang dia dapatkan di rumah itu? Rumah yang tertutup dan tidak ada penghuninya. Masih ada tanda-tanda berkabung di depan pintu rumah kosong itu. Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika dia mendapat keterangan dari para tetangga bahwa calon mertuanya, Liem Ta, telah didatangi penjahat dan terbunuh ketika Liem Sian Hwa sedang pergi!
Sudah dituturkan di bagian depan bahwa Liem Sian Hwa menyusul ke Pok-yang untuk membuktikan dengan mata kepalanya sendiri penuturan ayahnya tentang Kwee Sin dan seorang wanita. Sayang bahwa dia tidak bertemu dengan dua orang itu dan ketika dia pulang, ayahnya sudah terluka dan tewas.
Kita kembali kepada Kwee Sin yang menjadi kaget dan berduka sekali. Dia mendapat keterangan lagi bahwa sesudah kematian ayahnya, Liem Sian Hwa lalu pergi bersama seorang laki-laki gagah perkasa yang disebut suheng-nya. Kwee Sin dapat menduga bahwa Liem Sian Hwa tentulah pergi bersama seorang di antara tiga orang suheng-nya, yakni orang-orang dari Hoa-san Sie-eng.
"Betapa pun juga, aku harus mencarinya," pikir Kwee Sin. "Kasihan sekali Sian Hwa, aku harus menyatakan penyesalanku dan menghiburnya."
Dalam berpikir demikian ini dia membayangkan wajah Sian Hwa. Akan tetapi heran sekali wajah gadis itu berangsur-angsur berubah menjadi wajah Kim Li yang tersenyum-senyum dan membujuk rayu! Cepat dia mengerahkan tenaga mengusir wajah Kim Li dan pipinya menjadi kemerahan.
“Ahh, kalau saja tidak berlambat-lambat dengan Kim Li dalam perjalanan, kalau aku dapat datang di Lam-bi-chung beberapa pekan lebih dulu, kiranya aku akan dapat mencegah terjadinya pembunuhan atas diri calon mertuaku!” pikirnya.
Makin berat rasa hati Kwee Sin ketika dia melanjutkan perjalanan meninggalkan Lam-bi-chung. Tadinya dia sudah merasa kecewa dan murung karena Kim Li meninggalkannya secara demikian saja tanpa memberi tahu di mana dan kapan dia dapat bertemu kembali dengan gadis itu. Sekarang di tambah lagi dengan peristiwa menyedihkan yang menimpa keluarga calon isterinya, hati Kwee Sin menjadi sedih dan dia lalu mengambil keputusan untuk kembali saja ke Kun-lun-san.
Pada suatu senja dia sampai di luar kota Leng-ki. Di jalan itu sunyi sekali, tidak tampak seorang pun manusia. Kwee Sin berjalan dengan kepala tunduk. Dalam beberapa hari ini wajahnya nampak kurus dan agak pucat.
Tiba-tiba dia mendengar ada benda menyambar ke arahnya. Sebagai seorang jago muda yang berkepandaian tinggi, keadaan tubuh pemuda ini selalu dalam keadaan siap siaga. Cepat dia miringkan tubuhnya dan tangannya otomatis menangkis, menyampok sambaran benda itu.
Sebelum melihat ke arah benda yang dapat dia pukul jatuh, dia trengginas melompat ke arah dari mana benda tadi menyambar, matanya tajam mencari-cari. Akan tetapi tidak terlihat seorang pun manusia di sekitar tempat itu yang sudah mulai gelap itu.
Kini perhatiannya ditujukan ke arah benda yang menyambarnya tadi. Benda itu segumpal kertas. Ketika dia memungutnya, ternyata kertas yang digumpal-gumpal itu berisi tulisan singkat, tulisan tangan yang halus dan berbunyi:
PERGILAH KE LOSMEN KECIL MALAM INI.
Tak ada tanda-tanda yang dapat dia kenal pada kertas itu, entah siapa yang menulisnya. Akan tetapi ketika hidungnya mencium wangi harum pada kertas itu, hatinya berdebar penuh harapan. Harum kertas itu mengingatkan dia akan diri Coa Kim Li! Pergi ke losmen kecil? Losmen manakah?
Kwee Sin memandang ke depan. Di depan itu terdapat sebuah kota kecil, tentu di situlah yang dimaksudkan adanya losmen kecil. Mengapa ke situ? Menemui siapa? Timbul pula harapannya.
Tentu Coa Kim Li berada di losmen itu. Akan tetapi kenapa meninggalkan pesan supaya dia malam ini juga harus pergi ke sana? Kalau gadis itu betul-betul berada di sini, kenapa tidak langsung menemuinya?
Akan tetapi, jawaban atas semua pertanyaan ini yang merupakan kenyataan apa yang dia dapatkan di losmen kecil dalam kota Leng-ki, benar-benar di luar dari pada dugaannya semula. Dia mendengar bahwa tunangannya, Liem Sian Hwa, bersama Kwa Tin Siong orang tertua dari Hoa-san Sie-eng sedang berada di losmen itu!
Timbul juga kegembiraannya untuk menjumpai tunangannya dan pendekar Hoa-san-pai ini, akan tetapi diam-diam dia menaruh hati curiga. Apa maksudnya surat yang dia terima secara aneh di tengah jalan tadi? Siapakah si pengirim surat itu? Apakah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa? Kalau memang mereka ini, tidak aneh karena dia maklum bahwa jago-jago Hoa-san-pai memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi apa maksudnya? Dengan cara yang penuh rahasia itu tentu mereka bermaksud supaya dia mengunjungi mereka secara diam-diam dan rahasia pula.
Oleh karena pikiran ini, Kwee Sin menunggu sampai datangnya malam yang sunyi dan secara rahasia dia mendatangi losmen, langsung mencari jalan melalui taman bunganya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran, marah dan malunya pada saat dia menyaksikan adegan yang membuat darahnya mendidih.
la melihat Liem Sian Hwa terisak-isak berada dalam pelukan Kwa Tin Siong. Api cemburu membakar jantung Kwee Sin. Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung mengeluarkan sisir perak yang menjadi tanda pengikat perjodohannya dengan Liem Sian Hwa, kemudian dia melemparkan sisir perak itu ke arah dua orang yang sedang berpelukan di taman. Setelah itu dia meloncat dan pergi menghilang di dalam gelap.
Dengan hati makin berat dan penuh kedukaan, penuh kekecewaan, Kwee Sin pada saat itu juga meninggalkan kota Leng-ki, melanjutkan perjalanannya menuju ke Kun-lun-san. la tidak beristirahat malam itu, semalam penuh dia terus saja berjalan, dalam hatinya penuh penyesalan.
Selagi dia berjalan sambil melamun di atas jalan raya yang sunyi, di waktu malam mulai berganti fajar, dia mendengar suara kaki banyak kuda berlari cepat dari arah belakang. la cepat minggir dan berdiri memandang.
Tujuh ekor kuda dengan para penunggangnya berlari cepat sekali dan sebentar saja telah melewatinya. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan gagah, yang tiga orang berbaju putih. Seorang yang melarikan kuda paling depan adalah seorang wanita cantik dan juga gagah. Hanya sekejap saja mereka melewati jalan itu, akan tetapi di dalam cuaca yang remang-remang itu Kwee Sin masih dapat mengenal wanita tadi.
"Kim Li...!" teriaknya. Akan tetapi teriakannya tertelan oleh derap kaki kuda.
Betapa pun juga dia masih sempat melihat wanita itu menoleh dan tersenyum ke arahnya, lalu makin membalapkan kudanya tanpa memberi isyarat sesuatu.
Kwee Sin penasaran. Tidak mungkin salah lagi, wanita itu tentulah Kim Li. Tidak saja dia mengenal wajah yang cantik itu, mata yang tajam bersinar, akan tetapi ia pun mengenal baik-baik senyum manis Kim Li, senyum yang selama ini menjatuhkan hatinya. la lantas melupakan kelelahan dan kesedihannya, mempercepat larinya dan mengejar ke arah para penunggang kuda yang makin lama semakin jauh itu.
Sepertl telah dituturkan di bagian depan, Kwee Sin akhirnya memasuki dusun Kui-lin di tepi Sungai Yang-ce, dan dia sempat mencegah Coa Kim Li atau Kim-thouw Thian-li yang hendak membunuh Tan Hok.
Demikianlah keadaan Kwee Sin, jago termuda dari Kun-lun Sam-heng te, dan bagaimana dia sampai dapat berkenalan dengan Kim-thouw Thian-li yang dia kenal sebagai gadis Coa Kim Li yang gagah perkasa, cantik jelita, dan menarik hatinya….
Kita kembali ke warung arak Phang Kwi di mana Kwee Sin bertemu kembali dengan Kim Li. Setelah mencegah Kim Li membunuh Tan Hok, Kwee Sin bagai seekor kerbau menurut saja dituntun oleh Kim Li duduk menghadapi meja dan menerima hidangan dari Phang Kwi yang nampaknya takut sekali terhadap Kim Li.
"Minumlah, Koko, minumlah arak ini dan bergembiralah. Setelah aku kembali berada di sampingmu, tak perlu kau bermuram durja lagi. Wanita tidak setia seperti dia itu lebih baik kau lupakan saja." Kim Li membujuk sambil mengisi penuh cawan arak di depan Kwee Sin, lalu mengangkat cawan itu diberikannya kepada Kwee Sin. Sikapnya amat menarik, matanya memandang penuh kasih dan mulutnya tersenyum-senyum manis.
Kwee Sin melengak. “Kau sudah tahu...?”
Kim Li mengangguk dan baru ia melihat bahwa gadis itu sekarang membawa golok tipis kecil yang terselip di punggungnya, selendang merah yang harum indah itu tergantung di ikat pinggang. Bajunya berkembang terbuat dari sutera mahal yang indah dan mencetak tubuhnya. Rambutnya yang panjang hitam digelung rapi, dihiasi setangkai bunga teratai yang sangat aneh warnanya, karena ada merahnya, ada putihnya, ada biru, kuning dan kehijauan, terbuat dari mutiara-mutiara pilihan. Nampak cantik jelita dengan pipinya yang merah.
"Kalau begitu... kau pula agaknya yang mengirim surat kepadaku...?"
Kembali Kim Li mengangguk. "Melihat bahwa wanita pilihan gurumu itu tidak patut menjadi pendampingmu selama hidup, aku tidak tega mendiamkan begitu saja. Aku merasa kau perlu mengetahui dengan mata kepala sendiri."
"Kenapa kau berlaku secara rahasia, tidak langsung menjumpai aku?"
Kim Li memegang lengan Kwee Sin dengan sentuhan mesra. "Aku khawatir kalau aku muncul, kau mengira aku cemburu."
Kwee Sin menarik napas panjang dan Kim Li kembali membujuk, "Sudahlah, Koko, kau lupakan saja dia. Setelah kita berkumpul lagi, mengapa susah-susah? Mari minum!"
Karena hiburan serta sikap manis dari gadis ini, Kwee Sin terhibur juga dan tidak lama kemudian dua orang itu sudah minum sepuas-puasnya sambil bertukar pandang penuh cinta kasih, malah Kwee Sin telah bangkit kembali kegembiraannya, mau melayani senda gurau wanita itu.
Baik Kwee Sin mau pun Kim Li sama sekali tak pernah mengira bahwa semua perbuatan mereka semenjak tadi sudah diintai orang. Setelah mendapat pertolongan dari Kwee Sin, dan walau pun kelihatannya tadi sudah pergi, akan tetapi diam-diam Tan Hok merayap datang kembali secara diam-diam.
Dia amat sakit hati terhadap Kim-thouw Thian-li yang sudah membunuh Tan Sam, akan tetapi ia juga amat berterima kasih kepada Kwee Sin yang telah menolongnya. Alangkah kecewa, marah, dan menyesalnya ketika dia melihat betapa Kwee Sin yang sekarang dia tahu dari namanya ternyata seorang jago muda gagah perkasa dari Kun-lun-pai itu, jatuh hati kepada Kim-thouw Thian-li.
Pemandangan yang dia lihat di dalam warung arak itu membuat hatinya menjadi jemu dan kesedihannya timbul. Tadinya dia hendak mengharapkan bantuan dari Kwee Sin, kiranya pemuda Kun-lun-pai itu sudah bertekuk lutut di bawah kaki Kim-thouw Thian-li, tak kuasa menentang kecantikan wanita berbahaya itu! Dengan hati sedih Tan Hok malam-malam pergi dari tempat itu. Matanya yang biasanya sayu itu kini menjadi basah air mata.
Sejak kecil Tan Hok tidak pernah mengenal orang tuanya, hidup sebatang kara. Setelah Tan Sam memungutnya, barulah dia mengenal sedikit kesenangan hidup. Sekarang Tan Sam tewas dan dia tidak berdaya membalas dendam. Meski pun Tan Hok menjadi murid dan kawan Tan Sam yang menjadi tokoh Pek-lian-pai dan luas pengalamannya, namun pemuda ini memang pada dasarnya bodoh dan jujur, malah hatinya penuh oleh kedukaan yang dideritanya semenjak kecil.
Bagaikan sebuah layangan putus talinya, tanpa pegangan tanpa tujuan, Tan Hok berjalan ke mana saja kakinya bergerak. Kadang-kadang dia menangis tanpa suara, kadang kala dia menangis menggerung-gerung seperti anak kecil….
Di masa itu kehidupan rakyat jelata di Tiongkok amat sengsara. Keadaan pemerintahan kacau-balau, para pembesar hanya mementingkan isi sakunya sendiri tanpa peduli akan keadaan rakyat sama sekali. Pembesar-pembesar saling memperebutkan kekuasaan dan kedudukan dalam kehausan rnereka akan pangkat dan kemuliaan duniawi.
Pemerintah penjajah kurang memperhatikan keadaan rakyat. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya raya menggunakan harta kekayaannya untuk menghisap yang miskin, yang berkuasa mempergunakan kedudukannya untuk mencekik si kecil.
Rakyat yang terkekang oleh belenggu penjajahan bangsa Mongol mulai berteriak dan melakukan perlawanan. Di mana-mana timbul pemberontakan dan rakyat kecil pulalah yang menderita. Semua ini ditambah lagi dengan datangnya musim kering yang sangat hebat sehingga kelaparan merajalela.
Di sebelah utara Propinsi Shen-si rakyat amat menderita oleh panjangnya musim kering. Sawah-sawah kering merekah, pecah-pecah tidak mungkin dapat ditanami. Sungai-sungai kecil kehilangan sumbernya, telaga-telaga kelihatan dasarnya, pohon-pohon kehilangan daunnya. Manusia dan binatang kurus-kurus kekurangan makanan, setiap hari banyak orang dan binatang mati kelaparan.
Rakyat pun menjerit, ratap tangisnya membubung ke angkasa, bersambat kepada Tuhan. Setiap hari orang bersembahyang, minta hujan, minta perlindungan, minta-minta dengan ratap tangis yang tak berdaya. Namun di lain tempat, di kota-kota besar, para pembesar dan hartawan berpesta pora. Mereka seakan-akan berlomba menghamburkan arak dan gandum, bersenang-senang, seujung-rambut pun tak pernah teringat kepada Tuhan!
Sayang, Tuhan hanya dijadikan sebagai tempat pelarian bagi mereka yang menderita. Sayang, Tuhan hanya diingat oleh manusia setelah mereka itu membutuhkan pertolongan dari kesengsaraan duniawi. Lebih patut disayangkan pula, di dalam keadaan menderita, orang mengeluh mengapa Tuhan meninggalkannya, lupa sama sekali bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia, sebaliknya manusialah yang meninggalkan Tuhan sampai jauh, sampai tersesat dan akhirnya mereka kehilangan Tuhan.
Bagaikan orang yang menyia-nyiakan obor dan membuang-buangnya di waktu hari masih terang, kemudian kebingungan meraba-raba, mencari-cari obor di kala malam gelap tiba.
Penduduk di daerah kering ini sudah banyak yang meninggalkan kampung halaman, dan berbondong-bondong mengungsi ke selatan di mana daerahnya lebih mendingan apa bila dibandingkan dengan daerah utara.
Akan tetapi sungguh patut dikasihani para petani miskin ini. Di daerah baru mereka justru dianggap sebagai pengganggu. Mereka itu baru bisa mendapatkan sekedar pengisi perut setelah tenaga mereka diperas melebihi tenaga kuda. Tidak heran apa bila dusun-dusun di utara ini banyak yang kosong ditinggalkan penduduknya sehingga merupakan daerah mati.
Pada suatu pagi, seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa memasuki sebuah dusun yang cukup besar. la merasa heran sekali melihat dusun ini sunyi senyap, banyak rumah-rumah kosong ditinggalkan penduduknya. Ia sudah merasa lapar sekali, akan tetapi tidak melihat sebuah pun rumah makan.
Pemuda ini bukan lain adalah Tan Hok. Dipikirnya bahwa penduduk sepagi itu agaknya sudah pergi ke sawah, maka dia lalu keluar lagi dari dusun itu menuju ke sawah untuk menemui penduduk dan minta diberi makan. Tetapi apa yang dia lihat di sawah membuat dia bergidik. Sawah mengering, sunyi senyap.
Tiba-tiba dia melihat benda-benda yang membuat dia makin bergidik. Benda-benda yang menggeletak di sepanjang jalan dusun itu bukan lain adalah mayat orang-orang yang mati kelaparan, bahkan ada yang sudah berbau busuk. Dengan hati cemas ketakutan Tan Hok menjauhkan diri. la segera berlari menuju ke tengah sawah di mana dia mendengar suara orang berteriak-teriak. Ketika sudah dekat, pemuda ini berdiri seperti patung, matanya terbelalak memandang penglihatan di tengah sawah yang tanahnya mengering itu.
Di sana, di tengah sawah, dia melihat seorang kakek berlutut, menangis dan tertawa-tawa tak karuan, jelas bahwa orang itu sudah berubah ingatannya. Kakek ini kurus bukan main, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya compang-camping, wajahnya seperti tengkorak hidup. Dengan dua tangannya kakek ini menggenggam tanah kering dan berteriak-teriak.
"Thian (Tuhan), kepada siapa aku harus mengeluh? Kepada siapa lagi aku dapat minta tolong kalau Kau sendiri sudah menutup telinga, menutup mata terhadap penderitaanku?" Dia menangis terguguk-guguk, kemudian matanya menjadi beringas dan tiba-tiba saja dia tertawa-tawa terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha! Ibu tanah... kau yang memberi kehidupan. Kau yang menghasilkan makanan, kau yang mengeluarkan air. Sekarang engkau tidak mau memberi air dan makanan, apa salahnya kalau aku memakan kau? Ha-ha-ha-ha, semua bahan makanan datangnya dari tanah, mustahil tanah tidak mengenyangkan perut!"
Sambil tertawa-tawa orang itu lalu makan tanah kering yang dia kepal tadi! Sungguh amat menyayat hati melihat orang ini. Makan tanah kering sambil tertawa dan kadang-kadang menangis tanpa mengeluarkan air mata.
Mulutnya sudah mengering karena dijejali tanah kering yang dimakan secara lahap itu, membuat dia tercekik, terengah-engah, megap-megap seperti ikan dilempar ke darat. Dia memegangi leher, memekik-mekik, berputaran lalu jatuh berkelojotan!
Tan Hok cepat lari menghampiri dan... dia melihat kakek itu sudah putus nyawanya. Kakek itu mati dengan mata melotot lebar, dan mulut yang penuh tanah kering itu ternganga menyeringai. Tan Hok merasa ngeri dan menutupi mukanya, tak terasa air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya.
"Thian Yang Maha Kuasa, mengapa aku yang sudah banyak menderita ini masih harus menyaksikan ini semua...?"
la berlutut dekat mayat kakek itu dan menangis. Kemudian dia dapat menguasai hatinya, lalu digalinya lubang di sawah itu dan dikuburnya mayat kakek tadi.
"Kakek, mudah-mudahan tubuhmu akan menyuburkan tanah ini...," doanya.
Kemudian pemuda raksasa ini mengubur pula empat mayat lainnya yang menggeletak di tepi jalan. Selagi dia mengubur mayat terakhir, tiba-tiba dia mendengar suara keras dan belasan orang dusun datang berlari-lari ke arahnya.
Mereka itu membawa segala macam senjata tajam alat-alat pertanian. Dengan muka mengancam mereka datang menyerbu sambil berteriak-teriak.
"Siluman pemakan bangkai!"
"Bikin mampus iblis jahat ini!"
Belasan batang senjata bagai hujan datang menghantam ke arah Tan Hok yang menjadi terheran-heran. Akan tetapi, sekali sampok saja dengan lengannya yang besar dan penuh tenaga itu, semua senjata lalu terpental dan terlempar disusul teriakan-teriakan kaget dan kesakitan. Tan Hok tidak tega menggunakan kekerasan terhadap orang-orang ini, yang ternyata adalah orang-orang kurus pucat yang mirip setan-setan kelaparan.
"Kalian ini setan-setan gila datang-datang menyerangku apa sebabnya?" tanya Tan Hok dengan suaranya yang menggeledek.
"Kaulah setan pemakan bangkai!" seorang di antara mereka memberanikan diri memaki.
"Aku tak pernah makah bangkai!" jawab Tan Hok.
Orang-orang itu memandang penuh perhatian, agak ragu-ragu. "Habis, mayat-mayat tadi kau apakan?"
"Aku kubur mereka. Kalian lihat, ini yang terakhir." la menuding ke arah lubang yang dia gali di mana mayat terakhir telah dia masukkan.
Orang-orang itu lalu melongok ke dalam lubang. "Apa tubuhnya masih utuh? Apa tak ada bagian yang dimakannya?" Demikianlah mereka bertanya-tanya.
Ketika melihat bahwa mayat itu memang masih utuh badannya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, ada yang menangis dan ada pula yang minta ampun.
Seorang kakek yang mengepalai mereka lalu berkata, "Orang muda yang gagah, harap ampunkan kami sekalian. Kami telah salah sangka..."
”Kasihan kami orang-orang kelaparan...," kata orang ke dua.
Tan Hok menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengomel, "Kalian ini orang-orang gendeng, mengganggu saja!"
Dia lalu lanjutkan pekerjaannya, menguruk lubang dengan tanah galian. Orang-orang itu tanpa diperintah membantu. Akan tetapi tubuh mereka yang lemah itu memang tidak kuat untuk dipakai bekerja berat.
Kakek yang memimpin rombongan ini berkata, "Sudah banyak teman kami mati kelaparan dan sepekan yang lalu ada orang kelaparan gila yang suka makan bangkai saking tidak kuat menahan laparnya. Kami klra kau itulah orangnya..."
Tergerak juga hati Tan Hok mendengar ini, meski pun dia tidak dapat mengerti mengapa orang-orang itu sampai kelaparan dan mengapa ada orang sampai makan bangkai orang dan bahkan tadi dia melihat sendiri ada orang makan tanah.
"Kalau kalian kelaparan, kenapa tidak makan?”
Orang-orang itu saling pandang, kemudian mereka semua memandang kepada Tan Hok dengan heran. Melihat wajah Tan Hok membayangkan kebodohan, kakek tua itu menarik napas panjang dan berkata,
"Orang muda, kau menyuruh kami makan, tetapi apa yang dimakan? Musim kering terlalu hebat, tanah menjadi kering, semua tanaman habis. Yang mempunyai simpanan gandum hanyalah pembesar-pembesar dan orang-orang kaya. Orang-orang seperti kami ini mana ada simpanan? Semua orang terpaksa mengungsi ke selatan, hanya kami yang tak punya apa-apa terpaksa tinggal di sini."
"Jadi ada pembesar dan orang kaya di sini?"
"Pembesar sih tidak ada, orang-orang kaya juga tidak banyak. Tapi yang paling kaya dan paling kikir adalah Kwi-wangwe (hartawan Kwi), tuan tanah terkaya di sini."
"Kenapa tidak minta makan padanya?"
"Uuuhhh minta makan? Orang muda, dia itu amat kikir, jangankan dimintai, dipinjami saja tidak mau memberi. Kami bahkan diusir dan dikeroyok oleh anjing-anjingnya, anjing kaki empat dan kaki dua."
"Ada anjing kaki dua?" Tan Hok benar-benar terheran.
Kembali orang-orang itu saling pandang. Agaknya makin jelas bagi mereka bahwa orang muda yang tinggi besar seperti raksasa ini kelebihan tenaga akan tetapi kekurangan otak.
"Orang muda, Kwi-wangwe selain memelihara anjing-anjing kaki empat, juga dia dilindungi oleh tukang-tukang pukulnya. Malah semua pembesar di kota-kota yang berdekatan juga melindunginya. Siapa berani terhadapnya?"
"Hemmm, aku berani! Kalian lapar? Aku pun lapar. Hayo kita pergi ke rumah anjing she Kwi itu. Aku akan paksa dia keluarkan makanan untuk kita."
Bangkit semangat orang-orang itu. Mereka sudah tahu bahwa pemuda raksasa ini adalah seorang yang kuat dan pandai ilmu silat, hanya sayang wataknya aneh dan agak bodoh.
"Orang muda, penjagaan di rumah Kwi-wangwe kuat sekali. Apa kau tidak takut?" Kakek itu masih mencoba untuk menakutinya.
"Aku Tan Hok tak kenal takut. Mendiang suhu bilang bahwa orang tidak perlu takut kalau membela si lemah dan menegakkan keadilan. Orang she Kwi itu gandumnya berlebihan, kalian sebaliknya kelaparan, ini tidak adil namanya. Mari, antarkan aku!"
Sikap dan ucapan Tan Hok membangkitkan semangat orang-orang yang kelaparan itu, dan rombongan ini lalu menuju ke rumah Kwi-wangwe. Di sepanjang jalan yang sunyi rombongan ini terus bertambah besar dan akhirnya semua sisa penduduk dusun itu yang berjumlah dua puluh orang lebih berada di dalam rombongan.
Orang-orang yang tadinya berputus harapan ini timbul keberaniannya sesudah mereka dibela oleh pendekar muda Tan Hok. Betapa pun juga, setelah mereka sampai di depan gedung besar milik Kwi-wangwe, gedung dan pagar tembok yang tinggi tebal, dan melihat empat orang tukang pukul menjaga di depan pintu pagar tembok, keberanian mereka mendadak lenyap dan orang-orang ini bersembunyi di belakang Tan Hok.
Melihat sikap pengecut ini, lenyap kesabaran Tan Hok. "Hayo kalian maju dan nyatakan kehendak hati kalian. Takut apa?" serunya.
Kakek tadi bersama dua orang temannya lalu memberanikan diri mendekati pintu pagar tembok.
"Anjing-anjing kelaparan, mau apa kalian ribut-ribut di sini?!" bentak seorang tukang pukul sambil melintangkan toyanya, sikapnya mengancam dan sombong sekali.
"Kami hampir mati kelaparan...," kata kakek itu merendah, "Kami hendak mohon belas kasihan Kwi-wangwe, mohon bantuan sedikit gandum untuk penyambung nyawa..."
"Pengemis-pengemis kelaparan, pergi kalian! Kwi-wangwe mana ada waktu buat melayani kalian? Sedang ada tamu agung dan sibuk. Pergi!"
"Kasihanilah kami... biarlah kami diberi pinjaman gandum, kelak tentu kami bayar dengan tenaga...," kakek itu mendesak.
"Setan, tidak lekas pergi?!"
Empat orang tukang pukul itu menjadi marah sekali dan serentak mereka menggerakkan toya menerjang maju. Segera terdengar suara bak-bik-buk disusul pekik kesakitan ketika para petani itu dipukul. Percuma saja mereka mencoba melawan karena mereka yang di waktu sehat saja tidak mampu melawan tukang-tukang pukul ini, apa lagi sekarang dalam keadaan hampir mati kelaparan.
"Kejam sekali! Anjing-anjing penjaga, jangan gigit orang."
Tan Hok melompat ke depan dan sekali dia menggerakkan kedua kaki tangannya, empat orang tukang pukul itu langsung roboh. Toya mereka ada yang patah dan ada pula yang terlempar jauh.
Bukan main kaget hati mereka. Apa lagi ketika mereka melihat bahwa yang merobohkan mereka begitu mudahnya hanyalah seorang pemuda yang tubuhnya seperti raksasa.
"Tolong... ada pengacau...!" Mereka berteriak-teriak ke dalam sambil merayap bangun.
Berbondong-bondong dari dalam gedung keluar belasan orang tukang pukul, malah di antara mereka ada yang berpakaian seperti serdadu pemerintah Goan. Mereka ini ada yang membawa golok, toya, atau pedang dan dengan sikap mengancam mereka berlari menyerbu keluar.
Para petani yang tadinya berbesar hati melihat betapa dengan amat mudahnya Tan Hok merobohkan empat orang tukang pukul yang melabrak mereka tadi, sekarang berbalik menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.
Tan Hok sendiri sama sekali tidak merasa takut. Malah dia menyambut mereka dengan suaranya yang keras, "Kalau tidak mau memberi gandum kepada mereka yang kelaparan, kupukul mampus kalian anjing-anjing penjaga!"
Tentu saja para tukang pukul dan serdadu penjaga itu memandang rendah kepada Tan Hok. Sambil berteriak-teriak memaki mereka menerjang. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh tinggi besar itu, namun segera terdengar teriakan-teriakan mengaduh-aduh dan keadaan menjadi kacau-balau.
Para pengeroyok sibuk menyerang Tan Hok dari empat penjuru, namun pemuda gagah perkasa ini selalu bisa melindungi tubuhnya dari ancaman senjata dengan jalan mengelak atau menangkis. Malah dia cepat secara kontan mengirim pukulan-pukulan balasan yang membuat beberapa orang menggeletak pingsan. Melihat semakin banyak tukang pukul berlarian dari dalam, Tan Hok merampas sebatang toya dan mengamuk dengan senjata ini. Makin ramailah pertempuran di depan gedung Kwi-wangwe itu.
"Saudara-saudara, Tan-enghiong dikeroyok ketika membela kita. Bagaimana kita bisa tinggal diam saja? Hayo bantu!" Kakek petani berseru keras.
Memang keberanian para petani itu mulai timbul setelah melihat betapa gagahnya Tan Hok melawan para tukang pukul.
"Betul... betul... hayo bantu Tan-enghiong...!"
Puluhan orang petani yang kurus-kurus itu dengan semangat menyala lalu menyerbu para tukang pukul yang mengeroyok Tan Hok. Mereka tidak peduli lagi akan keselamatan diri sendiri. Yang dipukul jatuh, langsung bangkit lagi dan melawan penuh kenekatan.
Mendapat bantuan ini, tentu saja Tan Hok menjadi makin bersemangat. Toyanya lantas mengamuk dan satu demi satu para tukang pukul dapat dia robohkan.
Pada saat itu pula, dari sebelah dalam gedung terdengar suara orang berseru, "Mundur semua, biarkan Giam-siauwya (Tuan Muda Giam) mengusir para pengacau!" Itulah suara Kwi-wangwe.
Mendengar perintah ini, para tukang pukul lalu mengundurkan diri sambil menyereti tubuh teman-teman mereka yang terluka. Semua orang termasuk Tan Hok lalu memandang ke dalam.
Mereka melihat Kwi-wangwe yang sudah setengah tua, seorang bertubuh tinggi kecil yang berpakaian mewah sekali, tangan kiri mengisap huncwe berujung emas, berdiri di anak tangga sambil memandang ke luar. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang aneh.
Muka pemuda ini pucat putih, matanya liar tajam, hidungnya mancung. Akan tetapi wajah yang tampan ini nampaknya aneh dan mengandung sesuatu yang mengerikan, terutama pada matanya. Pakaiannya serba kuning dan tangan kanannya memegang sebuah suling ular.
Pada saat itu, pemuda yang usianya antara dua belas tahun ini berkata sambil tertawa. "Kwi-wangwe, biarlah aku mengadakan sedikit pertunjukan yang menarik hati."
Bocah laki-laki belasan tahun itu kemudian mengangkat sulingnya, ditiupnya suling itu. Terdengar suara melengking yang aneh, naik turun seperti gelombang samudera, makin lama makin tinggi dan nyaring menusuk anak telinga. Tan Hok yang sudah mempelajari ilmu silat tinggi, kaget sekali karena tahu bahwa suling itu ditiup dengan kekuatan khikang yang hebat!
"Ular...! Ular...!" Para petani berteriak-teriak ketakutan.
Tan Hok kaget dan cepat memutar tubuh memandang. Ia bergidik melihat banyak sekali ular merayap cepat menuju ke tempat itu, besar kecil dan datang dari semua jurusan. Tadinya hanya beberapa ekor saja, mungkin ular-ular yang terdekat di tempat itu, akan tetapi sebentar kemudian menjadi puluhan dan akhirnya ratusan ekor ular datang dan dari jauh masih kelihatan banyak lagi mendatangi.
Pada saat ular-ular yang amat banyak itu sudah berkumpul dan menggeliat-geliat sambil menujukan mata ke arah si penyuling cilik yang sudah berjalan keluar dari pintu pagar tembok, suara suling tiba-tiba berubah menjadi kacau balau dan tiba-tiba saja ular-ular itu mendesis-desis dan nampak marah, lalu menyerang para petani.
Segera terdengar jerit-jerit kesakitan bercampur dengan teriakan ketakutan. Para petani mencoba melawan, namun sia-sia karena jumlah ular terlampau banyak.
Melihat ini Tan Hok marah sekali. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka orang muda ini menyambar sebatang toya, kemudian menerjang rombongan ular itu. Dia menggebuk dan memukul, menghancurkan banyak kepala ular.
Akan tetapi ular itu terlampau banyak dan tidak mungkin dia dapat melindungi dua puluh lebih orang bernasib malang yang diserbu ular-ular itu. Apa lagi di antara ular-ular itu, juga banyak terdapat ular-ular kecil berbisa yang amat gesit. Sekali pagut saja ular-ular seperti ini mematikan korbannya.
Melihat betapa para petani itu roboh binasa, Tan Hok menjadi ngeri dan dengan amarah meluap-luap dia melihat betapa makin banyak dia membunuh ular, maka makin ganaslah ular-ular yang lain dan dalam sekejap mata saja para petani itu sudah roboh semua. Tak seorang pun tinggal hidup lagi.
"Iblis kecil berhati keji!"
Tan Hok membalik tubuh dan melompat dengan toya di tangan, menyerang bocah kecil penyuling yang aneh itu. Sama sekali dia tidak tahu bahwa bocah itu bukanlah sembarang bocah. Dia ini bukan lain adalah Giam Kin, murid Siauw-ong-kwi tokoh besar dari utara yang amat jahat.
Serangan dengan toya yang dilakukan oleh Tan Hok amat dahsyat. Akan tetapi tiba-tiba Giam Kin menggerakkan tangan kirinya dan sinar keemasan menyambar ke arah muka Tan Hok. Terkejut raksasa muda ini. Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok sinar keemasan tanpa membatalkan serangannya dengan toya yang dipegang di tangan kanan.
Akan tetapi sebelum toyanya mendekati tubuh Giam Kin, dia menjerit kesakitan sambil melempar toyanya, kemudian tangan kanannya merenggut ular kuning emas yang sudah menggigit tangan kirinya. Rasa sakit, panas dan gatal-gatal menyerang seluruh tubuhnya.
Sekali remas saja hancur luluhlah kepala dan tubuh ular kecil itu, akan tetapi rasa sakit yang menguasai tubuhnya tak tertahankan lagi. Sambii memekik-mekik Tan Hok memutar tubuh dan pergi secepatnya dari tempat itu.
"Ha-ha-ha-ha, orang sombong itu tidak akan waras lagi otaknya, dia sudah terkena racun Kim-tok-coa (Ular Racun Emas)!" Giam Kin tertawa bergelak kemudian meniup sulingnya lagi.
Ular-ular yang tadinya sedang berpesta-pora menggigiti mayat para petani itu sekarang lari ketakutan mendengar suara suling sehingga sebentar saja di situ tidak ada seekor pun ular, kecuali bangkai-bangkai ular yang dibunuh Tan Hok tadi dan mayat para petani yang malang melintang.
Kwi-wangwe beserta kaki tangannya yang sudah kerap kali menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang miskin itu, sekarang bergidik juga menyaksikan kejadian yang amat menyeramkan ini. Dengan penuh hormat Kwi-wangwe mempersilakan Giam Kin masuk ke dalam gedungnya lagi dan memerintahkan kepada orang-orangnya untuk membersihkan halaman itu, membawa pergi bangkai-bangkai ular dan mayat para petani….
Tan Hok berlari-lari terus secepatnya. Tubuhnya memang luar biasa kuatnya sehingga biar pun dia sudah terkena gigitan ular berbisa yang amat berbahaya, dia masih dapat berlari cepat sampai puluhan li jauhnya. Akan tetapi akhirnya dia terguling roboh di tengah sawah yang tanahnya kering merekah, pingsan.
Matahari dengan cahayanya yang penuh menyinari tubuh Tan Hok yang menggeletak tak berdaya, seolah-olah hendak membakarnya. Ternyata bahwa racun ular kuning keemasan itu mengandung hawa yang amat panas sehingga seluruh tubuh Tan Hok menjadi merah kehitaman, apa lagi di bagian tangan yang tergigit sampai menjadi hitam seperti hangus terbakar.
Pada saat itu, dari jurusan selatan, di atas jalan kecil yang kering kerontang dan sunyi, terdengar suara orang bernyanyi! Benar-benar amat ganjil mendengar orang bernyanyi di tempat yang diliputi hawa maut kering ini.
Setelah kelihatan orangnya, dia itu adalah seorang anak laki-laki yang baru belasan tahun usianya. Pakaiannya compang-camping, lebih patut menjadi pakaian seorang jembel yang terlantar. Akan tetapi lengan dan kakinya berkulit bersih.
Betapa pun juga, jelas bahwa dia itu bukan bocah biasa. Hal ini terlihat dari mukanya yang berkulit aneh, yaitu berwarna kehijauan seperti hijaunya daun muda. Sepasang matanya juga bukan mata manusia biasa karena mengandung sinar yang amat tajam, malah terlalu tajam sehingga seperti tidak normal lagi. Wajah yang berwarna kehijauan dengan mata setajam itu benar-benar akan membikin orang bergidik ketakutan dan mengira bahwa dia ini tentu bukan manusia.
Apa lagi kalau mendengar kata-kata dalam nyanyiannya. Aneh! Nyanyiannya saja sudah tidak karuan, iramanya pun bukan nyanyian, lebih pantas disebut ocehan orang gila atau orang mengigau akibat sakit demam. Dan kata-katanya, dengarkan saja dia bernyanyi,
Heh perut berhentilah merengek!
Tidak malukah kau kepada kaki?
Yang bekerja keras tak pernah mengeluh
Kau tiada guna, tak pernah bekerja,
Kerjamu hanya merengek minta diisi!
Kata-kata aneh ini dia nyanyikan di sepanjang jalan sambil saling memukulkan dua batang kayu yang dipegang oleh kedua tangannya untuk membuat irama nyanyiannya yang tidak karuan. Selain warna mukanya yang kehijauan dan sepasang matanya yang luar biasa tajamnya, selebihnya anak ini boleh dibilang tampan, tubuhnya pun padat berisi dan kuat. Bocah ini bukan lain adalah Beng San.
Seperti sudah diceritakan dalam bagian terdahulu dari cerita ini, secara kebetulan sekali Beng San bocah korban banjir Sungai Huang-ho yang tak tahu akan nama keturunannya sendiri ini, telah bertemu dengan Hek-hwa Kui-bo dan mendapat Ilmu-ilmu Thai-hwee, Siu-hwee, dan Ci-hwee yang oleh Hek-hwa Kui-bo dimaksudkan untuk memperbesar daya hawa ‘Yang’ dalam tubuh anak ini dan membunuhnya. Akan tetapi tanpa disadari ia malah memberi tambahan tenaga kepada anak ini dan malah menyelamatkan nyawa Beng San dari hawa pukulan Jing-tok-ciang dari Koai Atong.
Kemudian secara kebetulan pula Beng San bertemu dua orang kakek aneh, yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam yang mengangkatnya sebagai murid dan kedua orang kakek aneh ini menurunkan atau mewariskan dua macam ilmu silat yang hebat padanya. Dari Phoa Ti, dia mewarisi Khong-ji-ciang dan Im-sin-kiam, sedangkan dari The Bok Nam, dia mewarisi Pat-hong-ciang dan Yang-sin-kiam.
Ada pun Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam ini adalah dua bagian yang berlawanan dari Ilmu Im-yang Sin-kiam yang merupakan pecahan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, yaitu ilmu silat tertinggi di dunia persilatan yang dahulu dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su di jaman pemberontakan An Lu Shan (tahun 755), kira-kira lima ratus tahun yang lalu.
Ilmu Im-yang Sin-kiam diingini oleh semua tokoh persilatan dari empat penjuru, siapa kira secara tidak disengaja telah terjatuh ke dalam tubuh Beng San! Lucunya, Beng San yang sudah mempelajari ilmu ini dan melatihnya setiap hari sampai hafal betul, sama sekali tak pernah tahu bahwa dia sekarang telah mempunyai ilmu yang hebat. Anak ini hanya tahu bahwa berkat latihan-latihan itu tubuhnya menjadi kuat dan ringan, malah dia sekarang tidak pernah menderita gangguan lagi dari perasaan panas atau dingin di tubuhnya.
Setiap kali dia menderita panas dari teriknya matahari, secara otomatis tubuhnya akan mengeluarkan hawa dingin untuk melawannya dan pengerahan hawa ‘Im’ secara otomatis ini hanya dapat diketahui dari wajahnya yang berubah menjadi kehijauan. Sebaliknya, di waktu dingin secara otomatis pula wajahnya berubah merah kehitaman, tanda bahwa tenaga dari hawa ‘Yang’ di tubuhnya bekerja.
Hanya apa bila hawa udara biasa, wajahnya berubah putih seperti biasa pula. Selain ini, tanpa dia sadari, apa bila dia terserang nafsu amarah, wajahnya juga otomatis berubah merah kehitaman, sebaliknya apa bila dia merasa gembira, wajahnya menjadi hijau!
Pada saat itu hawa udara amat panasnya, maka tak heran kalau muka anak ini menjadi kehijauan, tanda bahwa hawa ‘Im’ otomatis bekerja di tubuhnya. Perutnya terasa lapar sekali, sejak kemarin tidak kemasukan apa-apa. Dusun-dusun kosong sunyi, pepohonan gundul kering. Untuk menahan rasa lapar perutnya, dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi mencela perutnya yang selalu merengek-rengek minta isi.
"Ehh, mata yang sial. Di mana-mana melihat mayat orang. Sudah enam belas mayat aku kubur, sekarang ada lagi di tengah sawah. Sialan benar!" Beng San mengomel ketika dia melihat tubuh Tan Hok menggeletak di tengah sawah.
Memang, seperti halnya Tan Hok, bocah ini pun semenjak hari kemarin melihat banyak mayat menggeletak di pinggir jalan, mayat mereka yang kelaparan. Sejak kecil Beng San sudah dijejali pelajaran filsafat-filsafat kuno tentang peri kebajikan dan peri kemanusiaan, maka melihat mayat-mayat menggeletak terlantar itu, hatinya merasa tidak tega dan dia pun mengubur setiap mayat yang dijumpainya, dikubur secara sederhana.
Dengan hati agak kesal karena perutnya lapar dan selalu bertemu mayat, Beng San lalu menyimpang dari jalan kecil memasuki sawah kering menghampiri tubuh Tan Hok yang tak bergerak seperti sudah mati itu. Setelah memandang wajah dan tubuh Tan Hok, anak itu menarik napas panjang dan berkata,
"Sayang... sayang sekali orang begini gagah dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa mati di sini. Anehnya, orang mati kelaparan mengapa badannya masih tegap dan besar seperti ini? Aneh...aneh..."
Namun Beng San lalu mulai bekerja, menggali tanah kering di sawah itu. Pekerjaan ini dia lakukan dengan dua batang kayu kecil yang dipegangnya tadi. Benar-benar hebat. Orang tentu takkan percaya kalau tidak menyaksikannya sendiri. Dua batang kayu ranting kecil itu ketika dia pakai mendongkel tanah, ternyata berubah seperti dua batang linggis besi yang kuat. Sebentar saja dia menggali tanah sampai satu meter lebih dalamnya.
Melihat tubuh tinggi besar yang masih dalam keadaan baik itu, Beng San merasa kasihan apa bila menguburnya kurang dalam, maka dia sengaja menggali sampai dalam. Ternyata bagian bawah tanah itu merupakan tanah lempung yang kering, akan tetapi halus dan berwarna kemerahan.
Setelah menggali cukup dalam, dia meletakkan sepasang rantingnya dan membungkuk, mengangkat tubuh itu. Badan Tan Hok besar sekali, beratnya takkan kurang dari seratus kilo, akan tetapi benar-benar mengherankan betapa anak kecil itu dapat memondongnya dengan mudah.
Beng San kaget sekali ketika merasakan betapa kulit tubuh Tan Hok amat panas. la masih kecil, belum dapat mengerti betul bagaimana keadaan orang mati. Karena tubuh itu kaku dan diam tak bernapas, dia menganggapnya sudah mati. Dia menganggap panas tubuh Tan Hok disebabkan terik sinar matahari.
Dengan perlahan dan hati-hati Beng San lalu meletakkan tubuh tinggi besar itu ke dalam lubang. Mulutnya berbisik-bisik "Kembalilah kau ke asalmu, tenteram dan damai."
Kata-kata ini dahulu pernah dia dengar dari seorang hwesio ketika melakukan upacara menguburkan mayat.
Mendadak dia kaget dan melompat mundur, matanya terbelalak. Kalau saja Beng San bukannya seorang anak luar biasa yang tidak mengenal rasa takut, tentu dia akan lari terbirit-birit menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu. ‘Mayat’ tadi bergerak-gerak dan dengan gerakan liar lalu bangun duduk, matanya melotot merah, sedangkan mulutnya berteriak-teriak.
"Lapar... lapar...! Tanah menghasilkan segala macam tetumbuhan yang dapat dimakan, masa tanah sendiri tak boleh dimakan?"
Dan ‘mayat’ itu lalu mencengkeram tanah lempung merah dan... tanah itu dimakannya dengan amat lahapnya.
Untuk sejenak Beng San berdiri seperti patung, matanya terbelalak heran. Mula-mula dia merasa ngeri juga. Akan tetapi ketika melihat betapa ‘mayat’ itu makan tanah lempung merah dengan enaknya bagaikan orang makan daging panggang, air liurnya memenuhi mulutnya.
Perutnya memang amat lapar. Sekarang melihat orang makan demikian enaknya, meski pun yang dimakan hanya tanah lempung, timbul seleranya. la mulai menengok ke bawah, ke arah tanah lempung yang tadi dia gali dan sekarang bertimbun di luar lubang. Otomatis dia berjongkok, tangannya mengambil segumpal tanah lempung merah dan... membawa tanah itu ke mulutnya terus digigit.
"Wah, enak..."
Dengan terheran-heran Beng San terus makan tanah lempung itu. Rasanya sih tidak bisa dibilang enak, akan tetapi juga bukan tak enak, sebab tanah itu halus dan berbau harum. Dan yang jelas, setelah memasuki perut tanah itu mendatangkan rasa kenyang juga.
Sampai empat gumpal tanah memasuki perut Beng San yang menjadi girang sekali sebab sekarang dia dapat mengisi perutnya yang tadi merengek-rengek. Sama sekali dia tidak tahu bahwa memang tanah lempung itu adalah sejenis tanah lempung yang halus dan tak berbahaya kalau dimakan, malah mengandung khasiat menguatkan badan.
‘Mayat’ itu lalu makan tanah lempung banyak sekali, kemudian mayat yang duduk dalam lubang kubur itu mendongak dan memandang ke arah Beng San dengan sepasang mata merah. Beng San tersenyum kepadanya dan mengangguk.
"Twako, jadi kau sebetulnya belum matikah? Syukur kalau begitu!"
Tiba-tiba Tan Hok mengeluarkan suara menggereng, kemudian tubuhnya meloncat keluar lubang sambil berteriak geram, “Aku tidak mati, kaulah yang akan mampus!"
Serta merta pemuda raksasa ini mengirim serangan memukul ke arah kepala Beng San dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Beng San yang kehijauan.
Semenjak mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang suhu-nya, yaitu kedua kakek Phoa Ti dan The Bok Nam, belum pernah Beng San mempergunakan kepandaian ini dalam pertempuran. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa dia amat tekun melatih diri, mempelajar semua ilmu itu dengan teliti, namun tanpa diketahui apa khasiatnya semua ilmu itu. Sekarang menghadapi serangan bertubi-tubi dari pemuda raksasa yang seperti tidak waras otaknya ini, dia kaget juga. Namun otomatis gerak silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya bekerja.
"Husss, nanti dulu, Twako. Hidup atau mati bukanlah urusan kita. Bagaimana kau bisa tentukan?" Sambil mengeluarkan jawaban yang mengandung filsafat kebatinan ini, Beng San memiringkan kepalanya menghindarkan pukulan tangan kanan Tan Hok, sedangkan tangan kanannya dia angkat untuk menangkis cengkeraman tangan kiri lawannya yang tinggi besar itu.
"Plakkk!"
Tangan kiri Tan Hok yang berjari panjang besar itu berhasil mencengkeram tangan Beng San yang kecil sehingga lima pasang jari-jari tangan saling genggam. Beng San merasa betapa dari tangan Tan Hok mengalir hawa panas yang melebihi api. Otomatis tubuhnya menyambut hawa ini dengan hawa ‘Im’ yang luar biasa kuatnya, sehingga tangannya yang dicengkeram kini terasa dingin sejuk.
Hebat sekali akibatnya, Tan Hok seketika menjadi kaku tubuhnya. la masih tetap berdiri dengan tangan kiri mencengkeram tangan kanan Beng San, matanya melotot kemerahan dan kini sekujur tubuhnya menggigil bagaikan orang terserang demam. Tangannya yang mencengkeram tangan kanan Beng San seperti lengket dan tidak dapat ditarik kembali, sedangkan dari tangan anak kecil itu mengalir hawa yang dinginnya melebihi bukit es.
Makin lama tubuh Tan Hok semakin menggigil, mukanya yang merah itu mulai berkurang warnanya. Tiba-tiba ia muntahkan darah menghitam, juga dari luka di tangan kirinya yang kini menempel pada tangan kanan Beng San keluar darah hitam.
Tiga kali dia muntahkan darah hitam, dan tubuh yang tadinya panas itu sekarang berubah dingin. Matanya yang kemerahan dan liar berubah tenang.
"Aduh... aduh... dingin...!"
Tubuh Tan Hok yang tadinya kaku itu sekarang dapat melompat mundur. Beng San juga melompat mundur sambil melepaskan tangannya. Mereka kini berdiri berhadapan dalam jarak tiga empat meter, saling pandang.
Setelah tangannya terlepas dari tangan Beng San, lenyaplah rasa dingin yang menusuk jantung Tan Hok. Diam-diam Tan Hok merasa terheran-heran, apa lagi baru sekarang dia teringat mengapa dirinya bisa berada di situ.
Tiba-tiba dia celingukan memandang ke kanan kiri dengan rasa takut karena dia teringat akan ular-ular yang tadinya mengeroyoknya. Melihat bahwa dia berada di sawah, sedang berhadapan dengan seorang bocah bermuka hijau bermata tajam yang memiliki tangan mengandung hawa dingin luar biasa, Tan Hok kembali memandang Beng San, lalu melirik ke arah lubang kuburan di dekat situ.
"Adik kecil, kau siapakah? Setan atau manusia?"
Beng San tertawa, matanya yang tajam itu berkilat-kilat. "Ha-ha-ha, Twako, kalau satu di antara kita ini bukan manusia, kiranya kaulah orangnya. Aku manusia biasa, akan tetapi kau... apakah kau bukan siluman?"
Tan Hok yang mengerti akan ilmu silat tinggi, tadi mendapat kenyataan bahwa anak ini bukanlah anak biasa. Tangannya mengandung tenaga Im yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa tenaga inilah yang telah menolong nyawanya, yang mengusir racun hawa panas yang tadinya menyerang tubuhnya akibat gigitan ular Kim-tok-coa.
Tentu saja di pihak Beng San sama sekali tidak tahu akan hal ini. Jangankan mengenai penyembuhan yang tanpa sengaja dia lakukan, bahkan tentang tenaga-tenaga yang kini telah berada di dalam dirinya saja dia tidak tahu apa artinya.
"Adik yang aneh, kenapa kau menyangka aku seorang siluman?"
"Kau aneh sekali sih! Sejak kemarin aku mengubur mayat-mayat orang mati kelaparan yang bergelimpangan di pinggir jalan. Tadi aku mendapatkan kau menggeletak mati di sini, tidak bernapas lagi. Aku menggali lubang untuk menguburmu. Eh, tahu-tahu di dalam lubang kuburan kau hidup lagi, malah makan tanah, lalu meloncat dan menyerangku. Dan sekarang, setelah muntah-muntah, kau bicara seperti orang waras. Orang dengan tubuh raksasa seperti kau, bisa mati dan hidup lagi, benar-benar bukan seperti manusia."
Mendengar hal ini, Tan Hok bengong, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Melihat pemuda raksasa itu bengong terlongong mengurut-urut dagu, Beng San juga ikut duduk di depannya. Dua orang ini duduk tak berkata-kata seperti dua buah patung batu. Akhirnya Tan Hok yang menoleh dan bertanya.
"Adik yang baik, siapa namamu? Kau anak siapa, murid siapa dan kenapa bisa sampai di sini?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, Beng San tersenyum nakal, kemudian menjawab secara memberondong pula. "Namaku Beng San, bukan anak siapa-siapa. Guru-guruku sudah meninggal dan bisa sampai ke sini karena kedua kakiku berjalan."
Akan tetapi agaknya Tan Hok tidak melayani sendau-guraunya, malah kembali bertanya dengan sungguh-sungguh, "Kau tidak punya orang tua dan guru-gurumu sudah mati? Jadi kau hidup sebatang kara di dunia ini?"
Beng San mengangguk. "Sejak dulu aku hidup sebatang kara."
"Tidak punya tempat tinggal?"
Beng San menggelengkan kepala.
"Ah, adikku yang baik... sama benar nasib kita..." Tan Hok menubruk dan merangkul Beng San sambil menangis.
Beng San bingung, lalu karena tidak tahu harus berbuat apa, ia pun ikut-ikut menangis! Dua orang ini bertangis-tangisan di tengah sawah kering kerontang dan tetes-tetesan air mata mereka diisap cepat oleh tanah yang kehausan.
"Adik Beng San, aku Tan Hok, dan baru saja ditinggal mati guruku..." Tan Hok menangis sambil merangkul, "dan aku,... ehhh, celaka! Kau terkena racun!"
Tiba-tiba dia memegang tangan Beng San dan memandang tajam. "Mukamu kehijauan, badanmu mengeluarkan hawa dingin sekali. Tentu kau sudah terkena hawa pukulan yang mengandung racun dingin... celaka...!"
Beng San tersenyum. "Tidak, Tan-twako (Kakak Tan). Aku tidak apa-apa."
"Betulkah? Kau tidak merasa sakit?"
"Tidak."
"Aneh... aneh... kukira kau terkena racun, semacam racun ular atau..."
Tiba-tiba saja dia melompat dan mukanya berubah. "Ular! Ahh, sekarang aku ingat. Bocah siluman ular itu yang melukaiku. Dia harus dibunuh! Celaka para petani malang itu..."
Beng San benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran melihat sikap raksasa yang berubah-ubah dan aneh ini. "Siluman ular? Di mana dia?"
“Dia seorang anak sebaya denganmu. Aku sedang memimpin para petani yang kelaparan untuk minta bantuan makanan dari hartawan Kwi yang kaya raya. Akan tetapi para petani itu malah diserang oleh kaki tangannya. Aku lalu membantu dan muncullah siluman ular, mendatangkan ratusan ekor ular yang mengeroyok para petani, Banyak yang mati. Aku menyerang dan... aku terluka oleh seekor ular kuning emas. Hayo, kita harus pergi ke sana. Aku harus bunuh siluman itu!"
"Ratusan ekor ular! liihhhhh, menakutkan sekali!" Beng San bergidik dan kelihatan ngeri, lalu memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau ratusan ekor ular itu datang ke situ.
"Jangan takut, ada aku di sini. Aku harus basmi ular-ular itu dan silumannya. Hayo, Adik Beng San, kau ikut atau tidak?" Tan Hok berdiri. "Kalau kau takut, kau tinggal saja di sini, aku harus segera kembali ke dusun itu."
Tan Hok sudah mulai lari.
"Nanti dulu, Twako. Aku ikut!" Beng San segera mengambil dua batang ranting yang tadi dia gunakan untuk menggali tanah, lalu ikut berlari di belakang Tan Hok.
Karena amat bernafsu untuk segera kembali ke dusun dan membantu para petani yang dikeroyok ular, Tan Hok mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali. Ia sampai lupa bahwa di belakangnya ada Beng San, lupa bahwa apa bila dia berlari secepat itu tentulah seorang anak kecil seperti Beng San akan tertinggal jauh.
Setelah berlari sampai di luar dusun barulah dia teringat dan cepat-cepat dia menengok. Alangkah herannya melihat anak itu berlari-lari kecil, seenaknya saja tapi masih berada di belakangnya.
“Ehh, kau masih di belakangku?"
"Tentu saja, bukankah kau mengajakku?"
Pada saat itu Tan Hok penuh ketegangan akan bertemu dengan siluman ular, maka dia kurang memperhatikan Beng San. Dia terus melanjutkan larinya memasuki dusun menuju ke gedung tempat tinggal Kwi-wangwe.
Di depan gedung Kwi-wangwe para tukang pukul sedang duduk dan sibuk membicarakan amukan para petani yang dibantu seorang pemuda raksasa. Tentu saja mereka menjadi amat kaget ketika melihat pemuda raksasa yang kemarin telah dilukai dan diusir pergi oleh ‘Giam-kongcu’ itu kini tiba-tiba muncul di depan mereka bersama seorang anak laki-laki bermuka hijau.
"Anjing-anjing keparat, hayo lekas suruh keluar Kwi-wangwe dan siluman ular itu!" Tan Hok memaki sambil memegang dua orang tukang pukul dan sekali lempar dua orang itu jatuh bergulingan tiga meter lebih jauhnya. Yang lain-lain segera mencabut senjata dan sebagian melapor ke dalam.
Sementara itu, pada waktu melihat para tukang pukul mencabut senjata, Tan Hok sudah bangkit amarahnya. "Di mana paman-paman tani semua? Sudah kalian bunuh, ya? Awas, rasakan pembalasanku!"
Tan Hok lalu mengamuk, menerjang para tukang pukul yang kini hanya membela diri, tidak berani menyerang karena maklum akan kelihaian Tan Hok. Sebentar saja Tan Hok sudah dikeroyok belasan orang tukang pukul dan di dalam gedung terdengar ramai-ramai karena semua orang tidak tahu bahwa pemuda raksasa itu telah datang lagi mengamuk.
Mendadak terdengar tiupan suara suling yang melengking. Suling yang ditiup oleh Giam Kin melengking tinggi dan mengalun dengan irama yang amat luar biasa. Jantung Tan Hok berdebar, maklum apa artinya tiupan suling itu.
Betul saja dugaannya. Tidak lama kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan banyak sekali ular menggeleser datang. Biar pun Tan Hok tidak begitu cerdik, namun karena dia merasa jijik juga melihat banyak ular, Tan Hok kemudian berkelahi dengan cara menyerbu ke tengah-tengah para tukang pukul. Perbuatannya ini bukan berdasarkan kecerdikan, melainkan karena takut kepada ular-ular itu.
Akan tetapi untung baginya, Giam Kin menjadi bingung untuk memimpin pasukan ularnya. Bagaimana caranya ular-ularnya itu bisa disuruh menyerang seorang saja yang berada di tengah-tengah dan dikurung para tukang pukul? Baiknya setelah terjadi keributan, yaitu serbuan para petani, Kwi-wangwe mendatangkan lebih banyak tukang pukul yang pandai sehingga untuk sementara amukan Tan Hok dapat dibendung.
Sementara itu, melihat demikian banyak ular yang datang melenggang-lenggok mendekati dirinya, Beng San menjadi jijik dan takut bukan main. Dia tidak takut kalau menghadapi orang, akan tetapi menghadapi ular yang banyak serta amat menjijikkan dan mengerikan itu, dia takut juga.
Pada waktu ular-ular dengan mata merah dan lidah menjilat-jilat keluar itu menyerbu ke arahnya, Beng San segera lari sambil berteriak-teriak, "Ular...! Ular...!"
Mendadak tubuhnya mencelat ke atas, ke tengah-tengah orang yang sedang berkelahi. Bagaikan seekor burung terbang, kakinya menginjak kepala orang-orang yang sedang mengeroyok Tan Hok, dan begitu kakinya menginjak kepala orang, dia meloncat lagi ke sana ke mari, melalui kepala-kepala orang itu hingga akhirnya dia bisa meloncat ke atas genteng. Di situ dia berjongkok dengan tubuh gemetaran sambil memandang ke bawah.
Semua orang, terutama sekali Tan Hok, kaget dan heran bukan main melihat perbuatan Beng San ini. Melihat cara anak itu meloncat, jelas bahwa dia sama sekali tidak mengerti ilmu meloncat tinggi. Akan tetapi mengapa tubuhnya begitu ringan sehingga seakan-akan dia dapat beterbangan di atas kepala orang-orang?
Tan Hok tidak sempat lagi memperhatikan Beng San karena pengeroyokan para tukang pukul sudah cukup membuat dia kerepotan juga. Kali ini pun Tan Hok berhasil merampas sebatang toya dan langsung digunakannya untuk mengamuk. Sudah ada beberapa orang tukang pukul roboh oleh kemplangan toyanya.
Melihat sepak terjang Tan Hok ini, Giam Kin menjadi penasaran dan khawatir juga. Tidak mungkin dia dapat menyuruh ular-ularnya menyerbu, karena sekali ular-ular itu menyerbu maka para tukang pukul Kwi-wangwe tentu akan digigit pula. la lalu berseru.
"Paman-paman mundur semua, biar ular-ularku menghabiskannya!"
Tukang-tukang pukul itu memang sudah kewalahan menghadapi Tan Hok. Bukan ilmu silatnya yang hebat, melainkan tenaganya yang benar-benar sukar dihadapi. Setiap kali toya di tangan pemuda raksasa itu menangkis, tentu banyak senjata terpental atau rusak. Mendengar perintah ini, mereka lalu meloncat mundur meninggalkan Tan Hok.
Tan Hok maklum bahwa ia akan dikeroyok ular, maka ia hendak mendahului menyerang Giam Kin. Celakanya, anak aneh ini sudah meniup sulingnya yang mengeluarkan suara melengking tinggi sehingga ular-ular itu sudah mulai menyerbu. Di lain saat Tan Hok telah dikelilingi ular-ular yang amat marah, mendesis desis dan siap menyerangnya.
Tan Hok bergidik. Dia melintangkan toyanya, bingung harus menyerang yang mana dulu karena dia telah dikurung dalam pagar ular.
"Ha-ha-ha-ha-ha, manusia sombong. Ternyata kau masih belum mampus! Sekarang aku akan melihat kau mampus digigit ularku. Ha-ha-ha-ha!" kata Giam Kin setelah melepaskan sulingnya. Kemudian dia mulai menyuling lagi, suara sulingnya melengking-lengking tinggi dan menyakitkan telinga.
Beng San yang berada di atas genteng melihat semua kejadian ini. Dialah yang merasa paling sakit telinganya mendengar suara suling itu. Saking marahnya dia berteriak-teriak, "Siluman jahat, siluman busuk. Suara sulingmu sungguh tidak enak. Dengarlah, aku lebih pandai menyuling dari pada suara sulingmu yang seperti angin kotor itu"
Beng San lalu meniru-nirukan bunyi suling dengan suaranya. Tanpa dia sadari, khikang di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, maka ketika dia meniru bunyi melengking, suara suling itu kalah kuat dan kalah nyaring!
Sekarang terdengar bunyi yang luar biasa dan aneh, suara suling bercampuran dengan suara mulut Beng San yang meniru-nirukan suara suling. Ketika dia mendapat kenyataan betapa ssudlah dia menjerit-jerit telinganya tidak terganggu lagi oleh suara suling yang kalah nyaring, dia makin bersemangat dan teriakan-teriakannya makin kuat.
Kasihan sekali ular-ular itu. Suara suling merupakan perintah atau dorongan bagi mereka, dorongan yang tak mungkin terlawan lagi. Akan tetapi, sekarang binatang-binatang buas ini mendengar suara suling yang tidak karuan, campur aduk bising bukan main. Mereka mulai kacau, tidak tahu harus bagaimana, apa lagi perasaan mereka tidak karuan dengan ‘perintah’ yang kacau-balau ini.
Makin lama gerakan ular-ular itu semakin kacau. Mereka saling terjang sehingga akhirnya semua ular-ular itu menjadi marah dan saling terkam! Mereka sama sekali tak mau peduli lagi kepada Tan Hok, sibuk mengigiti kawan-kawan sendiri yang lebih dekat.
Melihat hal ini, Giam Kin marah sekali. Dibantu oleh Kwi-wangwe sendiri, ia pun memberi perintah kepada para tukang pukul untuk mengeroyok lagi Tan Hok. Sementara itu, Giam Kin sudah melangkah maju untuk melihat bocah yang telah meniru bunyi sulingnya dan telah mengacau komandonya atas ular-ular itu.
Akan tetapi, Tan Hok yang sudah marah sekali melihat adanya hartawan Kwi di situ. Dia lalu memberontak dan cepat meloncat ke arah hartawan itu dengan toya di tangannya.
"Kau hartawan pelit, rasakan ini!"
Toyanya mengemplang kepala hartawan itu yang cepat-cepat mundur ketakutan. Baiknya masih ada beberapa orang pengawal pribadinya yang menangkis toya sehingga toya itu menyeleweng, tidak mengenai kepalanya hanya menggebuk pundaknya. Namun gebukan ini cukup keras untuk membuat Kwi-wangwe meringis dan mengaduh-aduh. Dan sekejap kemudian, Tan Hok sudah dikeroyok lagi oleh para tukang pukul.
Giam Kin sekarang dapat melihat adanya Beng San di atas genteng. Marahnya bukan main.
"Ehh, bocah dusun busuk, kau berani main-main di depan kongcu-mu?" la memaki sambil menuding dengan sulingnya ke arah Beng San.
Beng San pada waktu itu sudah tidak hijau lagi mukanya, sudah biasa putih dan tampan karena hawa udara tidak begitu panas lagi. Sekarang dia cengar-cengir mentertawakan Giam Kin.
"Aku tidak main-main di depanmu, melainkan di atasmu. Kau mau apa sih?"
la tidak takut kepada Giam Kin. Anak bermuka pucat itu, apanya yang harus ditakuti?
"Jembel busuk, kau makanlah ini!"
Giam Kin menggerakkan tangannya dan sinar kuning emas menyambar ke atas, ke arah Beng San yang nongkrong di atas genteng.
Beng San yang sudah menyelipkan dua batang kayu ranting di ikat pinggangnya, sambil tertawa-tawa menerima sinar kuning emas ini dengan tangan kanan. Sinar itu mengenai tangannya dan Beng San merasa ibu jari tangan kanannya agak sakit seperti tertusuk jarum. Saat dia melihatnya, ternyata bahwa yang tadi dilemparkan adalah seekor ular kecil berwarna kuning keemasan yang sekarang menggigit ibu jarinya, sedangkan tubuh ular itu membelit tangannya.
Diam-diam dia kaget. Akan tetapi dasar dia nakal dan tak sudi memperlihatkan rasa takut atau sakit di depan Giam Kin. Dia lalu tertawa terbahak-bahak dan teringatlah dia akan pengalamannya dahulu ketika bertemu dengan Kwa Tin Siong dan Kwa Hong yang dia maki ‘kuntilanak’, teringat dia betapa dia ikut makan daging ular bersama ayah dan anak itu.
Sekarang, melihat tangannya dibelit ular kuning emas bersih, untuk menggoda Giam Kin, Beng San tanpa ragu-ragu lagi lalu... menggigit leher ular itu. Hanya dengan sekali gigit saja maka putuslah leher ular.
”Kau kira aku tidak berani memakannya? Ha-ha-ha!" Beng San mentertawakan Giam Kin yang berdiri terlongong heran menyaksikan betapa bocah jembel itu benar-benar sudah menggigit mati ularnya.
Akan tetapi dia pun segera menjadi girang karena mendadak muka Beng San berubah menjadi kehijauan. Beng San sendiri tidak tahu akan hal ini. Dia hanya merasa betapa bekas gigitan ular itu amat panasnya, maka otomatis tubuhnya mengerahkan daya "Im" yarig kuat, sehingga membuat wajahnya yang putih berubah hijau.
Hal ini disalah artikan oleh Giam Kin. Biar pun anak ini maklum bahwa siapa yang tergigit Kim-tok-coa itu, tentu akan mati dengan tubuh hangus kemerahan seperti terbakar, tetapi dia menganggap bahwa tanda kehijauan pada wajah anak jembel itu cukup membuktikan bahwa racun ularnya telah menjalar di tubuh anak aneh itu.
"Hi-hi-hi, kau sudah mau mampus masih banyak tingkah. Sekarang biar aku mempercepat kematianmu!" Setelah berkata demikian, Giam Kin pun menggenjotkan kedua kakinya dan tubuhnya meloncat ke atas genteng. Suling ular di tangannya bergerak cepat menyerang ke arah Beng San, memukul kepalanya.
Beng San segera mencabut sepasang ranting kayu dari ikat pinggangnya, lalu dengan masih berjongkok dia menangkis dari kanan kiri. Sepasang ranting di tangannya membuat gerakan seperti menggunting ke arah suling.
"Krakkk!"
Suling di tangan Giam Kin patah menjadi dua dan tubuh anak ini terlempar kembali ke bawah!
Tanpa disadari, dalam kegemasannya ketika menangkis tadi Beng San menggunakan dua macam tenaga pada sepasang rantingnya, dengan pergerakan gabungan dari Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam. Jangankan baru suling di tangan seorang anak semacam Giam Kin, andai kata yang menyerangnya tadi adalah seorang ahli silat yang menggunakan pedang atau toya, kiranya akan patah juga.
"Jembel busuk, pengemis bau, kau mematahkan sulingku! Awas kau...! Suhu, suling teecu patah...!" Giam Kin lari sambil menangis.
Karena dimaki-maki, Beng San pun menjadi marah. Apa lagi dia melihat bahwa anak itu ternyata tidak becus apa-apa, demikian pikirnya, baru ditangkis satu kali saja suling itu sudah patah. Tanpa pikir panjang dia lalu meloncat turun dan mengejar Giam Kin.
Giam Kin memiliki kepandaian ilmu berlari berdasarkan ginkang yang tinggi, maka larinya cepat sekali. Beng San yang belum pernah mempelajari ilmu berlari cepat, akan tetapi karena di luar kesadarannya dia telah ditempati tenaga Im dan Yang, tenaga yang amat besar mukjijat, maka otomatis dia memiliki keringanan tubuh dan larinya pun cepat sekali.
Maka kejar-kejaran ini terjadi ramai sekali dan sebentar saja dua orang anak itu telah jauh meninggalkan dusun tadi. Beberapa kali Giam Kin yang amat marah dan penasaran itu sengaja berhenti dan menyerang dengan tiba-tiba, akan tetapi setiap serangannya selalu dapat ditangkis oleh Beng San, dan setiap kali lengan tangan mereka beradu, Giam Kin mengaduh dan kedua lengannya sudah bengkak-bengkak!
Giam Kin menjadi amat ketakutan dan lari makin cepat, dikejar terus oleh Beng San yang berteriak-teriak.
"Kau berlutut dulu minta ampun baru kulepas!"
"Jembel busuk, siapa sudi minta ampun? Guruku akan membikin remuk kepalamu!" jawab Giam Kin yang berlari terus.
Sampai dua puluh li mereka berkejaran. Akhirnya Giam Kin tidak kuat lagi dan dia kena dipegang pundaknya oleh Beng San dari belakang.
"Hendak lari ke mana engkau, siluman ular?"
Giam Kin melawan dan memukul, akan tetapi pukulannya ditangkis oleh Beng San yang langsung membalas menampar pipinya.
"Plakkk!"
Giam Kin roboh terguling, merasa betapa tamparan itu membuat matanya berkunang dan kepalanya pening.
"Hayo kau minta ampun dan berjanjilah lain kali tidak akan bermain-main dengan ular-ular jahat!" bentak Beng San sambil bertolak pinggang.
"Tidak sudi!"
"Kau memang layak dipukul!"
Beng San menjadi marah, kemudian dia memukuli kepala dan badan Giam Kin. Anak itu menjerit-jerit dan menangis.
"Suhu, tolong... suhu, tolong...!"
Tiba-tiba Giam Kin mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali. Akan tetapi, Beng San tak peduli dan memukuli terus.
"Kau siluman kejam! Dengan ular-ularmu itu kau telah membunuh banyak orang. Lekaslah berjanji tak akan main-main lagi dengan ular, atau... kupukul kepalamu sampai remuk!" Beng San membentak-bentaknya.
"Heh, bocah kasar, jangan main pukul kepada muridku!” Suara ini terdengar dari tempat jauh.
Beng San menengok ke kanan kiri, tapi tidak melihat orangnya yang berbicara.
"Setan," pikirnya. "Bocah siluman ular, gurunya juga iblis dan setan." Tapi dia tidak takut dan hendak memukul pula.
Angin bertiup di belakangnya dan ketika Beng San menoleh, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Laki-laki ini tubuhnya sedang saja, tetapi pakaiannya terlampau besar hingga nampak lucu. Apa lagi lengan bajunya amat panjang menutupi kedua tangannya. Mukanya nampak sabar, alisnya tebal dan sepasang matanya tajam.
Bun Si Teng dan Bun Si Liong yang sudah sembuh, merasa gembira dan lega melihat munculnya Kwee Sin. Tadinya dua orang suheng ini merasa amat khawatir karena sudah beberapa hari sute ini tidak muncul.
Bun Si Teng malah sudah menyusul ke dalam hutan dan dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika di tengah hutan itu dia mendapatkan mayat Thio Sian ditangisi oleh seorang anak perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun! Selagi dia terlongong dan heran karena tidak melihat sute-nya di dekat tempat itu, terdengar suara keras, disusul berkelebatnya bayangan tinggi besar dan di lain saat, mayat bersama gadis cilik itu telah lenyap dari situ.
Bun Sin Teng kaget dan berlari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan. Akan tetapi dia hanya melihat dari jauh seorang hwesio tinggi besar memondong gadis kecil itu sambil mengempit mayat Thio Sian, berjalan dengan langkah lebar akan tetapi cepat bagaikan terbang!
Melihat tangan kiri hwesio itu memanggul sebatang dayung, Bu Si Teng menjadi pucat karena dia pernah mendengar tentang seorang sakti yang menjadi orang nomor satu di dunia timur, yaitu Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang. Apa betul pertapa yang puluhan tahun tak pernah turun gunung itu sekarang tiba-tiba muncul di situ?
Setelah mendengar cerita Kwee Sin yang sudah berhasil merobohkan Thio Sian dengan pertolongan seorang nona pendekar yang bernama Coa Kim Li, dua orang saudara Bun itu menarik napas lega.
"Sungguh sayang sekali bahwa kita dihadapkan dengan kenyataan yang mengecewakan dan amat pahit. Pek-lian-pai yang tadinya kita anggap sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang berjiwa patriotik, kini ternyata hanyalah merupakan perkumpulan orang-orang jahat belaka. Sute, kau harus memberi laporan yang jelas kepada suhu, agar orang tua itu tenang hatinya dan tidak akan menyalahkan kita kalau kita tidak membantu Pek lian-pai," kata Bun Si Teng kepada sute-nya.
Setelah menyatakan bahwa dia hendak lekas-lekas kembali Kun-lun-pai sesudah singgah di Lam-bi-chung seperti yang dipesankan suhu-nya, Kwee Sin pergi meninggalkan dusun Sin-yang, berjalan cepat sekali keluar kampung untuk menjumpai sahabat barunya, nona Coa Kim Li. Akan tetapi dia menjadi kaget dan kecewa, juga gelisah karena tidak melihat nona itu yang tadi duduk menantinya di bawah sebatang pohon.
"Aduh, celaka ke mana dia? Jangan-jangan aku sudah dia tinggalkan. Jangan-jangan dia kesal karena aku tadi terlalu lama di rumah suheng..."
la duduk di bawah pohon itu dengan kening berkerut. Mendadak terdengar suara ketawa dari belakang pohon. Kwee Sin cepat melompat dan menengok, wajahnya lantas berseri dan matanya bersinar-sinar.
“Kim Li...!" Saking girangnya melihat nona itu ternyata tidak pergi meninggalkannya, Kwee Sin memegang kedua lengannya dan hampir saja dia merangkulnya.
Kim Li tersenyum dan matanya bersinar-sinar.
"Kwee-koko, kenapa kau tadi bermuram di bawah pohon?" Kim Li menggoda.
"Kukira kau telah pergi meninggalkan aku."
“Ehh, jadi kau sedih kalau kutinggalkan?”
"Sedih...? Tentu saja... ehh, aku... aku..." Kwee Sin baru merasa bahwa tanpa disadarinya dia telah kena umpan sehingga perasaan hatinya sudah dipancing keluar.
Kim Li tertawa, menarik lengan Kwee Sin dan berkata, "Sudahlah, hayo kita melanjutkan perjalanan."
Kwee Sin tersenyum-senyum, membiarkan saja tangannya digandeng sehingga mereka berdua berjalan sambil bergandengan tangan, bagai sepasang kekasih. Tanpa dia sadari, Kwee Sin sudah mulai roboh, masuk ke dalam perangkap yang dipasang gadis cantik itu. Terlalu pandai Kim-thouw Thian-li memikat dengan wajahnya yang cantik ataukah terlalu hijau Kwee Sin dalam menghadapi kelihaian siasat wanita cantik?
Dengan melalui perjalanan yang penuh kegembiraan bagi Kwee Sin, kegembiraan hidup yang baru kali ini dia rasakan, akhirnya mereka tiba di Telaga Pok-yang. Mereka berdua, seperti sepasang pengantin baru, berpesiar naik perahu di telaga ini.
Sering kali Kwee Sin terheran-heran melihat bahwa gadis ini ternyata memiliki pengaruh besar di mana-mana. Pada waktu hendak memasuki daerah telaga, tampak serombongan tentara yang mencegat para pelancong, lalu memeriksa dengan teliti. Memang daerah ini terkenal sebagai daerah para tokoh pemberontak, maka pemerintah Mongol mengadakan penjagaan yang teliti. Akan tetapi ketika mereka ini melihat Coa Kim Li, mereka memberi hormat dan tidak mengganggu gadis itu bersama Kwee Sin.
Dalam keheranannya, Kwee Sin bertanya apa sebabnya gadis ini seakan-akan memiliki kekuasaan. Namun Kim Li hanya tersenyum dan berkata, "Cacing-cacing tanah macam mereka masih dapat mengenal orang baik-baik, itu masih untung. Andai kata tadi mereka berani mengganggu kita berdua, apakah mereka akan dapat hidup terus dengan kepala menempel di leher?"
Karena pandainya Kim Li menjawab dan menyimpan pertanyaan, pandainya ia merayu, Kwee Sin tidak mendesak lebih jauh. Mereka berpesiar sampai puas di Telaga Pok-yang yang amat indah itu. Sama sekali Kwee Sin tidak tahu bahwa gerak-geriknya di telaga ini diketahui oleh calon mertuanya, Liem Ta ayah Liem Sian Hwa!
Dan seperti sudah dituturkan di bagian depan, Liem Ta pulang sambil marah-marah dan menyatakan di depan puterinya bahwa pertunangan dengan Kwee Sin diputuskan!
Pada saat Kwee Sin menyatakan keinginannya kepada Kim Li untuk menengok ke dusun Lam-bi-chung, ke rumah calon isterinya, Kim Li tersenyum pahit dan berkata, "Guru adalah setingkat dengan ayah, kata-katanya harus ditaati. Engkau hendak mentaati pesan gurumu, pergilah kau singgah ke rumah keluarga Liem. Akan tetapi aku tidak bisa ikut pergi ke sana. Selamat berpisah, Kwee-koko. Harap engkau tidak melupakan Coa Kim Li!" Setelah berkata demikian, sekali meloncat gadis itu lenyap dari depan Kwee Sin.
Pemuda ini menyesal sekali dan hendak mengejar, akan tetapi dia maklum bahwa tidak mungkin dia mengejar Coa Kim Li yang berkepandaian lebih tinggi dari padanya. Dengan kecewa, kehilangan kegembiraan dan malas-malasan, kemudian dia pergi seorang diri ke Lam-bi-chung.
Karena masih mengharapkan untuk dapat melihat Kim Li kembali ke Po-yang, dia tidak meninggalkan telaga itu sebelum menanti sampai tiga hari. Ia baru pergi ke Lam-bi-chung setelah pada hari ke empat dia masih belum melihat kembali Kim Li. Dengan hati berat dia berjalan ke dusun Lam-bi-chung untuk menengok rumah Liem Sian Hwa.
Akan tetapi, apa yang dia dapatkan di rumah itu? Rumah yang tertutup dan tidak ada penghuninya. Masih ada tanda-tanda berkabung di depan pintu rumah kosong itu. Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika dia mendapat keterangan dari para tetangga bahwa calon mertuanya, Liem Ta, telah didatangi penjahat dan terbunuh ketika Liem Sian Hwa sedang pergi!
Sudah dituturkan di bagian depan bahwa Liem Sian Hwa menyusul ke Pok-yang untuk membuktikan dengan mata kepalanya sendiri penuturan ayahnya tentang Kwee Sin dan seorang wanita. Sayang bahwa dia tidak bertemu dengan dua orang itu dan ketika dia pulang, ayahnya sudah terluka dan tewas.
Kita kembali kepada Kwee Sin yang menjadi kaget dan berduka sekali. Dia mendapat keterangan lagi bahwa sesudah kematian ayahnya, Liem Sian Hwa lalu pergi bersama seorang laki-laki gagah perkasa yang disebut suheng-nya. Kwee Sin dapat menduga bahwa Liem Sian Hwa tentulah pergi bersama seorang di antara tiga orang suheng-nya, yakni orang-orang dari Hoa-san Sie-eng.
"Betapa pun juga, aku harus mencarinya," pikir Kwee Sin. "Kasihan sekali Sian Hwa, aku harus menyatakan penyesalanku dan menghiburnya."
Dalam berpikir demikian ini dia membayangkan wajah Sian Hwa. Akan tetapi heran sekali wajah gadis itu berangsur-angsur berubah menjadi wajah Kim Li yang tersenyum-senyum dan membujuk rayu! Cepat dia mengerahkan tenaga mengusir wajah Kim Li dan pipinya menjadi kemerahan.
“Ahh, kalau saja tidak berlambat-lambat dengan Kim Li dalam perjalanan, kalau aku dapat datang di Lam-bi-chung beberapa pekan lebih dulu, kiranya aku akan dapat mencegah terjadinya pembunuhan atas diri calon mertuaku!” pikirnya.
Makin berat rasa hati Kwee Sin ketika dia melanjutkan perjalanan meninggalkan Lam-bi-chung. Tadinya dia sudah merasa kecewa dan murung karena Kim Li meninggalkannya secara demikian saja tanpa memberi tahu di mana dan kapan dia dapat bertemu kembali dengan gadis itu. Sekarang di tambah lagi dengan peristiwa menyedihkan yang menimpa keluarga calon isterinya, hati Kwee Sin menjadi sedih dan dia lalu mengambil keputusan untuk kembali saja ke Kun-lun-san.
Pada suatu senja dia sampai di luar kota Leng-ki. Di jalan itu sunyi sekali, tidak tampak seorang pun manusia. Kwee Sin berjalan dengan kepala tunduk. Dalam beberapa hari ini wajahnya nampak kurus dan agak pucat.
Tiba-tiba dia mendengar ada benda menyambar ke arahnya. Sebagai seorang jago muda yang berkepandaian tinggi, keadaan tubuh pemuda ini selalu dalam keadaan siap siaga. Cepat dia miringkan tubuhnya dan tangannya otomatis menangkis, menyampok sambaran benda itu.
Sebelum melihat ke arah benda yang dapat dia pukul jatuh, dia trengginas melompat ke arah dari mana benda tadi menyambar, matanya tajam mencari-cari. Akan tetapi tidak terlihat seorang pun manusia di sekitar tempat itu yang sudah mulai gelap itu.
Kini perhatiannya ditujukan ke arah benda yang menyambarnya tadi. Benda itu segumpal kertas. Ketika dia memungutnya, ternyata kertas yang digumpal-gumpal itu berisi tulisan singkat, tulisan tangan yang halus dan berbunyi:
PERGILAH KE LOSMEN KECIL MALAM INI.
Tak ada tanda-tanda yang dapat dia kenal pada kertas itu, entah siapa yang menulisnya. Akan tetapi ketika hidungnya mencium wangi harum pada kertas itu, hatinya berdebar penuh harapan. Harum kertas itu mengingatkan dia akan diri Coa Kim Li! Pergi ke losmen kecil? Losmen manakah?
Kwee Sin memandang ke depan. Di depan itu terdapat sebuah kota kecil, tentu di situlah yang dimaksudkan adanya losmen kecil. Mengapa ke situ? Menemui siapa? Timbul pula harapannya.
Tentu Coa Kim Li berada di losmen itu. Akan tetapi kenapa meninggalkan pesan supaya dia malam ini juga harus pergi ke sana? Kalau gadis itu betul-betul berada di sini, kenapa tidak langsung menemuinya?
Akan tetapi, jawaban atas semua pertanyaan ini yang merupakan kenyataan apa yang dia dapatkan di losmen kecil dalam kota Leng-ki, benar-benar di luar dari pada dugaannya semula. Dia mendengar bahwa tunangannya, Liem Sian Hwa, bersama Kwa Tin Siong orang tertua dari Hoa-san Sie-eng sedang berada di losmen itu!
Timbul juga kegembiraannya untuk menjumpai tunangannya dan pendekar Hoa-san-pai ini, akan tetapi diam-diam dia menaruh hati curiga. Apa maksudnya surat yang dia terima secara aneh di tengah jalan tadi? Siapakah si pengirim surat itu? Apakah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa? Kalau memang mereka ini, tidak aneh karena dia maklum bahwa jago-jago Hoa-san-pai memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi apa maksudnya? Dengan cara yang penuh rahasia itu tentu mereka bermaksud supaya dia mengunjungi mereka secara diam-diam dan rahasia pula.
Oleh karena pikiran ini, Kwee Sin menunggu sampai datangnya malam yang sunyi dan secara rahasia dia mendatangi losmen, langsung mencari jalan melalui taman bunganya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget, heran, marah dan malunya pada saat dia menyaksikan adegan yang membuat darahnya mendidih.
la melihat Liem Sian Hwa terisak-isak berada dalam pelukan Kwa Tin Siong. Api cemburu membakar jantung Kwee Sin. Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung mengeluarkan sisir perak yang menjadi tanda pengikat perjodohannya dengan Liem Sian Hwa, kemudian dia melemparkan sisir perak itu ke arah dua orang yang sedang berpelukan di taman. Setelah itu dia meloncat dan pergi menghilang di dalam gelap.
Dengan hati makin berat dan penuh kedukaan, penuh kekecewaan, Kwee Sin pada saat itu juga meninggalkan kota Leng-ki, melanjutkan perjalanannya menuju ke Kun-lun-san. la tidak beristirahat malam itu, semalam penuh dia terus saja berjalan, dalam hatinya penuh penyesalan.
Selagi dia berjalan sambil melamun di atas jalan raya yang sunyi, di waktu malam mulai berganti fajar, dia mendengar suara kaki banyak kuda berlari cepat dari arah belakang. la cepat minggir dan berdiri memandang.
Tujuh ekor kuda dengan para penunggangnya berlari cepat sekali dan sebentar saja telah melewatinya. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan gagah, yang tiga orang berbaju putih. Seorang yang melarikan kuda paling depan adalah seorang wanita cantik dan juga gagah. Hanya sekejap saja mereka melewati jalan itu, akan tetapi di dalam cuaca yang remang-remang itu Kwee Sin masih dapat mengenal wanita tadi.
"Kim Li...!" teriaknya. Akan tetapi teriakannya tertelan oleh derap kaki kuda.
Betapa pun juga dia masih sempat melihat wanita itu menoleh dan tersenyum ke arahnya, lalu makin membalapkan kudanya tanpa memberi isyarat sesuatu.
Kwee Sin penasaran. Tidak mungkin salah lagi, wanita itu tentulah Kim Li. Tidak saja dia mengenal wajah yang cantik itu, mata yang tajam bersinar, akan tetapi ia pun mengenal baik-baik senyum manis Kim Li, senyum yang selama ini menjatuhkan hatinya. la lantas melupakan kelelahan dan kesedihannya, mempercepat larinya dan mengejar ke arah para penunggang kuda yang makin lama semakin jauh itu.
Sepertl telah dituturkan di bagian depan, Kwee Sin akhirnya memasuki dusun Kui-lin di tepi Sungai Yang-ce, dan dia sempat mencegah Coa Kim Li atau Kim-thouw Thian-li yang hendak membunuh Tan Hok.
Demikianlah keadaan Kwee Sin, jago termuda dari Kun-lun Sam-heng te, dan bagaimana dia sampai dapat berkenalan dengan Kim-thouw Thian-li yang dia kenal sebagai gadis Coa Kim Li yang gagah perkasa, cantik jelita, dan menarik hatinya….
**********
Kita kembali ke warung arak Phang Kwi di mana Kwee Sin bertemu kembali dengan Kim Li. Setelah mencegah Kim Li membunuh Tan Hok, Kwee Sin bagai seekor kerbau menurut saja dituntun oleh Kim Li duduk menghadapi meja dan menerima hidangan dari Phang Kwi yang nampaknya takut sekali terhadap Kim Li.
"Minumlah, Koko, minumlah arak ini dan bergembiralah. Setelah aku kembali berada di sampingmu, tak perlu kau bermuram durja lagi. Wanita tidak setia seperti dia itu lebih baik kau lupakan saja." Kim Li membujuk sambil mengisi penuh cawan arak di depan Kwee Sin, lalu mengangkat cawan itu diberikannya kepada Kwee Sin. Sikapnya amat menarik, matanya memandang penuh kasih dan mulutnya tersenyum-senyum manis.
Kwee Sin melengak. “Kau sudah tahu...?”
Kim Li mengangguk dan baru ia melihat bahwa gadis itu sekarang membawa golok tipis kecil yang terselip di punggungnya, selendang merah yang harum indah itu tergantung di ikat pinggang. Bajunya berkembang terbuat dari sutera mahal yang indah dan mencetak tubuhnya. Rambutnya yang panjang hitam digelung rapi, dihiasi setangkai bunga teratai yang sangat aneh warnanya, karena ada merahnya, ada putihnya, ada biru, kuning dan kehijauan, terbuat dari mutiara-mutiara pilihan. Nampak cantik jelita dengan pipinya yang merah.
"Kalau begitu... kau pula agaknya yang mengirim surat kepadaku...?"
Kembali Kim Li mengangguk. "Melihat bahwa wanita pilihan gurumu itu tidak patut menjadi pendampingmu selama hidup, aku tidak tega mendiamkan begitu saja. Aku merasa kau perlu mengetahui dengan mata kepala sendiri."
"Kenapa kau berlaku secara rahasia, tidak langsung menjumpai aku?"
Kim Li memegang lengan Kwee Sin dengan sentuhan mesra. "Aku khawatir kalau aku muncul, kau mengira aku cemburu."
Kwee Sin menarik napas panjang dan Kim Li kembali membujuk, "Sudahlah, Koko, kau lupakan saja dia. Setelah kita berkumpul lagi, mengapa susah-susah? Mari minum!"
Karena hiburan serta sikap manis dari gadis ini, Kwee Sin terhibur juga dan tidak lama kemudian dua orang itu sudah minum sepuas-puasnya sambil bertukar pandang penuh cinta kasih, malah Kwee Sin telah bangkit kembali kegembiraannya, mau melayani senda gurau wanita itu.
Baik Kwee Sin mau pun Kim Li sama sekali tak pernah mengira bahwa semua perbuatan mereka semenjak tadi sudah diintai orang. Setelah mendapat pertolongan dari Kwee Sin, dan walau pun kelihatannya tadi sudah pergi, akan tetapi diam-diam Tan Hok merayap datang kembali secara diam-diam.
Dia amat sakit hati terhadap Kim-thouw Thian-li yang sudah membunuh Tan Sam, akan tetapi ia juga amat berterima kasih kepada Kwee Sin yang telah menolongnya. Alangkah kecewa, marah, dan menyesalnya ketika dia melihat betapa Kwee Sin yang sekarang dia tahu dari namanya ternyata seorang jago muda gagah perkasa dari Kun-lun-pai itu, jatuh hati kepada Kim-thouw Thian-li.
Pemandangan yang dia lihat di dalam warung arak itu membuat hatinya menjadi jemu dan kesedihannya timbul. Tadinya dia hendak mengharapkan bantuan dari Kwee Sin, kiranya pemuda Kun-lun-pai itu sudah bertekuk lutut di bawah kaki Kim-thouw Thian-li, tak kuasa menentang kecantikan wanita berbahaya itu! Dengan hati sedih Tan Hok malam-malam pergi dari tempat itu. Matanya yang biasanya sayu itu kini menjadi basah air mata.
Sejak kecil Tan Hok tidak pernah mengenal orang tuanya, hidup sebatang kara. Setelah Tan Sam memungutnya, barulah dia mengenal sedikit kesenangan hidup. Sekarang Tan Sam tewas dan dia tidak berdaya membalas dendam. Meski pun Tan Hok menjadi murid dan kawan Tan Sam yang menjadi tokoh Pek-lian-pai dan luas pengalamannya, namun pemuda ini memang pada dasarnya bodoh dan jujur, malah hatinya penuh oleh kedukaan yang dideritanya semenjak kecil.
Bagaikan sebuah layangan putus talinya, tanpa pegangan tanpa tujuan, Tan Hok berjalan ke mana saja kakinya bergerak. Kadang-kadang dia menangis tanpa suara, kadang kala dia menangis menggerung-gerung seperti anak kecil….
**********
Di masa itu kehidupan rakyat jelata di Tiongkok amat sengsara. Keadaan pemerintahan kacau-balau, para pembesar hanya mementingkan isi sakunya sendiri tanpa peduli akan keadaan rakyat sama sekali. Pembesar-pembesar saling memperebutkan kekuasaan dan kedudukan dalam kehausan rnereka akan pangkat dan kemuliaan duniawi.
Pemerintah penjajah kurang memperhatikan keadaan rakyat. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya raya menggunakan harta kekayaannya untuk menghisap yang miskin, yang berkuasa mempergunakan kedudukannya untuk mencekik si kecil.
Rakyat yang terkekang oleh belenggu penjajahan bangsa Mongol mulai berteriak dan melakukan perlawanan. Di mana-mana timbul pemberontakan dan rakyat kecil pulalah yang menderita. Semua ini ditambah lagi dengan datangnya musim kering yang sangat hebat sehingga kelaparan merajalela.
Di sebelah utara Propinsi Shen-si rakyat amat menderita oleh panjangnya musim kering. Sawah-sawah kering merekah, pecah-pecah tidak mungkin dapat ditanami. Sungai-sungai kecil kehilangan sumbernya, telaga-telaga kelihatan dasarnya, pohon-pohon kehilangan daunnya. Manusia dan binatang kurus-kurus kekurangan makanan, setiap hari banyak orang dan binatang mati kelaparan.
Rakyat pun menjerit, ratap tangisnya membubung ke angkasa, bersambat kepada Tuhan. Setiap hari orang bersembahyang, minta hujan, minta perlindungan, minta-minta dengan ratap tangis yang tak berdaya. Namun di lain tempat, di kota-kota besar, para pembesar dan hartawan berpesta pora. Mereka seakan-akan berlomba menghamburkan arak dan gandum, bersenang-senang, seujung-rambut pun tak pernah teringat kepada Tuhan!
Sayang, Tuhan hanya dijadikan sebagai tempat pelarian bagi mereka yang menderita. Sayang, Tuhan hanya diingat oleh manusia setelah mereka itu membutuhkan pertolongan dari kesengsaraan duniawi. Lebih patut disayangkan pula, di dalam keadaan menderita, orang mengeluh mengapa Tuhan meninggalkannya, lupa sama sekali bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia, sebaliknya manusialah yang meninggalkan Tuhan sampai jauh, sampai tersesat dan akhirnya mereka kehilangan Tuhan.
Bagaikan orang yang menyia-nyiakan obor dan membuang-buangnya di waktu hari masih terang, kemudian kebingungan meraba-raba, mencari-cari obor di kala malam gelap tiba.
Penduduk di daerah kering ini sudah banyak yang meninggalkan kampung halaman, dan berbondong-bondong mengungsi ke selatan di mana daerahnya lebih mendingan apa bila dibandingkan dengan daerah utara.
Akan tetapi sungguh patut dikasihani para petani miskin ini. Di daerah baru mereka justru dianggap sebagai pengganggu. Mereka itu baru bisa mendapatkan sekedar pengisi perut setelah tenaga mereka diperas melebihi tenaga kuda. Tidak heran apa bila dusun-dusun di utara ini banyak yang kosong ditinggalkan penduduknya sehingga merupakan daerah mati.
Pada suatu pagi, seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa memasuki sebuah dusun yang cukup besar. la merasa heran sekali melihat dusun ini sunyi senyap, banyak rumah-rumah kosong ditinggalkan penduduknya. Ia sudah merasa lapar sekali, akan tetapi tidak melihat sebuah pun rumah makan.
Pemuda ini bukan lain adalah Tan Hok. Dipikirnya bahwa penduduk sepagi itu agaknya sudah pergi ke sawah, maka dia lalu keluar lagi dari dusun itu menuju ke sawah untuk menemui penduduk dan minta diberi makan. Tetapi apa yang dia lihat di sawah membuat dia bergidik. Sawah mengering, sunyi senyap.
Tiba-tiba dia melihat benda-benda yang membuat dia makin bergidik. Benda-benda yang menggeletak di sepanjang jalan dusun itu bukan lain adalah mayat orang-orang yang mati kelaparan, bahkan ada yang sudah berbau busuk. Dengan hati cemas ketakutan Tan Hok menjauhkan diri. la segera berlari menuju ke tengah sawah di mana dia mendengar suara orang berteriak-teriak. Ketika sudah dekat, pemuda ini berdiri seperti patung, matanya terbelalak memandang penglihatan di tengah sawah yang tanahnya mengering itu.
Di sana, di tengah sawah, dia melihat seorang kakek berlutut, menangis dan tertawa-tawa tak karuan, jelas bahwa orang itu sudah berubah ingatannya. Kakek ini kurus bukan main, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya compang-camping, wajahnya seperti tengkorak hidup. Dengan dua tangannya kakek ini menggenggam tanah kering dan berteriak-teriak.
"Thian (Tuhan), kepada siapa aku harus mengeluh? Kepada siapa lagi aku dapat minta tolong kalau Kau sendiri sudah menutup telinga, menutup mata terhadap penderitaanku?" Dia menangis terguguk-guguk, kemudian matanya menjadi beringas dan tiba-tiba saja dia tertawa-tawa terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha! Ibu tanah... kau yang memberi kehidupan. Kau yang menghasilkan makanan, kau yang mengeluarkan air. Sekarang engkau tidak mau memberi air dan makanan, apa salahnya kalau aku memakan kau? Ha-ha-ha-ha, semua bahan makanan datangnya dari tanah, mustahil tanah tidak mengenyangkan perut!"
Sambil tertawa-tawa orang itu lalu makan tanah kering yang dia kepal tadi! Sungguh amat menyayat hati melihat orang ini. Makan tanah kering sambil tertawa dan kadang-kadang menangis tanpa mengeluarkan air mata.
Mulutnya sudah mengering karena dijejali tanah kering yang dimakan secara lahap itu, membuat dia tercekik, terengah-engah, megap-megap seperti ikan dilempar ke darat. Dia memegangi leher, memekik-mekik, berputaran lalu jatuh berkelojotan!
Tan Hok cepat lari menghampiri dan... dia melihat kakek itu sudah putus nyawanya. Kakek itu mati dengan mata melotot lebar, dan mulut yang penuh tanah kering itu ternganga menyeringai. Tan Hok merasa ngeri dan menutupi mukanya, tak terasa air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya.
"Thian Yang Maha Kuasa, mengapa aku yang sudah banyak menderita ini masih harus menyaksikan ini semua...?"
la berlutut dekat mayat kakek itu dan menangis. Kemudian dia dapat menguasai hatinya, lalu digalinya lubang di sawah itu dan dikuburnya mayat kakek tadi.
"Kakek, mudah-mudahan tubuhmu akan menyuburkan tanah ini...," doanya.
Kemudian pemuda raksasa ini mengubur pula empat mayat lainnya yang menggeletak di tepi jalan. Selagi dia mengubur mayat terakhir, tiba-tiba dia mendengar suara keras dan belasan orang dusun datang berlari-lari ke arahnya.
Mereka itu membawa segala macam senjata tajam alat-alat pertanian. Dengan muka mengancam mereka datang menyerbu sambil berteriak-teriak.
"Siluman pemakan bangkai!"
"Bikin mampus iblis jahat ini!"
Belasan batang senjata bagai hujan datang menghantam ke arah Tan Hok yang menjadi terheran-heran. Akan tetapi, sekali sampok saja dengan lengannya yang besar dan penuh tenaga itu, semua senjata lalu terpental dan terlempar disusul teriakan-teriakan kaget dan kesakitan. Tan Hok tidak tega menggunakan kekerasan terhadap orang-orang ini, yang ternyata adalah orang-orang kurus pucat yang mirip setan-setan kelaparan.
"Kalian ini setan-setan gila datang-datang menyerangku apa sebabnya?" tanya Tan Hok dengan suaranya yang menggeledek.
"Kaulah setan pemakan bangkai!" seorang di antara mereka memberanikan diri memaki.
"Aku tak pernah makah bangkai!" jawab Tan Hok.
Orang-orang itu memandang penuh perhatian, agak ragu-ragu. "Habis, mayat-mayat tadi kau apakan?"
"Aku kubur mereka. Kalian lihat, ini yang terakhir." la menuding ke arah lubang yang dia gali di mana mayat terakhir telah dia masukkan.
Orang-orang itu lalu melongok ke dalam lubang. "Apa tubuhnya masih utuh? Apa tak ada bagian yang dimakannya?" Demikianlah mereka bertanya-tanya.
Ketika melihat bahwa mayat itu memang masih utuh badannya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, ada yang menangis dan ada pula yang minta ampun.
Seorang kakek yang mengepalai mereka lalu berkata, "Orang muda yang gagah, harap ampunkan kami sekalian. Kami telah salah sangka..."
”Kasihan kami orang-orang kelaparan...," kata orang ke dua.
Tan Hok menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengomel, "Kalian ini orang-orang gendeng, mengganggu saja!"
Dia lalu lanjutkan pekerjaannya, menguruk lubang dengan tanah galian. Orang-orang itu tanpa diperintah membantu. Akan tetapi tubuh mereka yang lemah itu memang tidak kuat untuk dipakai bekerja berat.
Kakek yang memimpin rombongan ini berkata, "Sudah banyak teman kami mati kelaparan dan sepekan yang lalu ada orang kelaparan gila yang suka makan bangkai saking tidak kuat menahan laparnya. Kami klra kau itulah orangnya..."
Tergerak juga hati Tan Hok mendengar ini, meski pun dia tidak dapat mengerti mengapa orang-orang itu sampai kelaparan dan mengapa ada orang sampai makan bangkai orang dan bahkan tadi dia melihat sendiri ada orang makan tanah.
"Kalau kalian kelaparan, kenapa tidak makan?”
Orang-orang itu saling pandang, kemudian mereka semua memandang kepada Tan Hok dengan heran. Melihat wajah Tan Hok membayangkan kebodohan, kakek tua itu menarik napas panjang dan berkata,
"Orang muda, kau menyuruh kami makan, tetapi apa yang dimakan? Musim kering terlalu hebat, tanah menjadi kering, semua tanaman habis. Yang mempunyai simpanan gandum hanyalah pembesar-pembesar dan orang-orang kaya. Orang-orang seperti kami ini mana ada simpanan? Semua orang terpaksa mengungsi ke selatan, hanya kami yang tak punya apa-apa terpaksa tinggal di sini."
"Jadi ada pembesar dan orang kaya di sini?"
"Pembesar sih tidak ada, orang-orang kaya juga tidak banyak. Tapi yang paling kaya dan paling kikir adalah Kwi-wangwe (hartawan Kwi), tuan tanah terkaya di sini."
"Kenapa tidak minta makan padanya?"
"Uuuhhh minta makan? Orang muda, dia itu amat kikir, jangankan dimintai, dipinjami saja tidak mau memberi. Kami bahkan diusir dan dikeroyok oleh anjing-anjingnya, anjing kaki empat dan kaki dua."
"Ada anjing kaki dua?" Tan Hok benar-benar terheran.
Kembali orang-orang itu saling pandang. Agaknya makin jelas bagi mereka bahwa orang muda yang tinggi besar seperti raksasa ini kelebihan tenaga akan tetapi kekurangan otak.
"Orang muda, Kwi-wangwe selain memelihara anjing-anjing kaki empat, juga dia dilindungi oleh tukang-tukang pukulnya. Malah semua pembesar di kota-kota yang berdekatan juga melindunginya. Siapa berani terhadapnya?"
"Hemmm, aku berani! Kalian lapar? Aku pun lapar. Hayo kita pergi ke rumah anjing she Kwi itu. Aku akan paksa dia keluarkan makanan untuk kita."
Bangkit semangat orang-orang itu. Mereka sudah tahu bahwa pemuda raksasa ini adalah seorang yang kuat dan pandai ilmu silat, hanya sayang wataknya aneh dan agak bodoh.
"Orang muda, penjagaan di rumah Kwi-wangwe kuat sekali. Apa kau tidak takut?" Kakek itu masih mencoba untuk menakutinya.
"Aku Tan Hok tak kenal takut. Mendiang suhu bilang bahwa orang tidak perlu takut kalau membela si lemah dan menegakkan keadilan. Orang she Kwi itu gandumnya berlebihan, kalian sebaliknya kelaparan, ini tidak adil namanya. Mari, antarkan aku!"
Sikap dan ucapan Tan Hok membangkitkan semangat orang-orang yang kelaparan itu, dan rombongan ini lalu menuju ke rumah Kwi-wangwe. Di sepanjang jalan yang sunyi rombongan ini terus bertambah besar dan akhirnya semua sisa penduduk dusun itu yang berjumlah dua puluh orang lebih berada di dalam rombongan.
Orang-orang yang tadinya berputus harapan ini timbul keberaniannya sesudah mereka dibela oleh pendekar muda Tan Hok. Betapa pun juga, setelah mereka sampai di depan gedung besar milik Kwi-wangwe, gedung dan pagar tembok yang tinggi tebal, dan melihat empat orang tukang pukul menjaga di depan pintu pagar tembok, keberanian mereka mendadak lenyap dan orang-orang ini bersembunyi di belakang Tan Hok.
Melihat sikap pengecut ini, lenyap kesabaran Tan Hok. "Hayo kalian maju dan nyatakan kehendak hati kalian. Takut apa?" serunya.
Kakek tadi bersama dua orang temannya lalu memberanikan diri mendekati pintu pagar tembok.
"Anjing-anjing kelaparan, mau apa kalian ribut-ribut di sini?!" bentak seorang tukang pukul sambil melintangkan toyanya, sikapnya mengancam dan sombong sekali.
"Kami hampir mati kelaparan...," kata kakek itu merendah, "Kami hendak mohon belas kasihan Kwi-wangwe, mohon bantuan sedikit gandum untuk penyambung nyawa..."
"Pengemis-pengemis kelaparan, pergi kalian! Kwi-wangwe mana ada waktu buat melayani kalian? Sedang ada tamu agung dan sibuk. Pergi!"
"Kasihanilah kami... biarlah kami diberi pinjaman gandum, kelak tentu kami bayar dengan tenaga...," kakek itu mendesak.
"Setan, tidak lekas pergi?!"
Empat orang tukang pukul itu menjadi marah sekali dan serentak mereka menggerakkan toya menerjang maju. Segera terdengar suara bak-bik-buk disusul pekik kesakitan ketika para petani itu dipukul. Percuma saja mereka mencoba melawan karena mereka yang di waktu sehat saja tidak mampu melawan tukang-tukang pukul ini, apa lagi sekarang dalam keadaan hampir mati kelaparan.
"Kejam sekali! Anjing-anjing penjaga, jangan gigit orang."
Tan Hok melompat ke depan dan sekali dia menggerakkan kedua kaki tangannya, empat orang tukang pukul itu langsung roboh. Toya mereka ada yang patah dan ada pula yang terlempar jauh.
Bukan main kaget hati mereka. Apa lagi ketika mereka melihat bahwa yang merobohkan mereka begitu mudahnya hanyalah seorang pemuda yang tubuhnya seperti raksasa.
"Tolong... ada pengacau...!" Mereka berteriak-teriak ke dalam sambil merayap bangun.
Berbondong-bondong dari dalam gedung keluar belasan orang tukang pukul, malah di antara mereka ada yang berpakaian seperti serdadu pemerintah Goan. Mereka ini ada yang membawa golok, toya, atau pedang dan dengan sikap mengancam mereka berlari menyerbu keluar.
Para petani yang tadinya berbesar hati melihat betapa dengan amat mudahnya Tan Hok merobohkan empat orang tukang pukul yang melabrak mereka tadi, sekarang berbalik menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.
Tan Hok sendiri sama sekali tidak merasa takut. Malah dia menyambut mereka dengan suaranya yang keras, "Kalau tidak mau memberi gandum kepada mereka yang kelaparan, kupukul mampus kalian anjing-anjing penjaga!"
Tentu saja para tukang pukul dan serdadu penjaga itu memandang rendah kepada Tan Hok. Sambil berteriak-teriak memaki mereka menerjang. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh tinggi besar itu, namun segera terdengar teriakan-teriakan mengaduh-aduh dan keadaan menjadi kacau-balau.
Para pengeroyok sibuk menyerang Tan Hok dari empat penjuru, namun pemuda gagah perkasa ini selalu bisa melindungi tubuhnya dari ancaman senjata dengan jalan mengelak atau menangkis. Malah dia cepat secara kontan mengirim pukulan-pukulan balasan yang membuat beberapa orang menggeletak pingsan. Melihat semakin banyak tukang pukul berlarian dari dalam, Tan Hok merampas sebatang toya dan mengamuk dengan senjata ini. Makin ramailah pertempuran di depan gedung Kwi-wangwe itu.
"Saudara-saudara, Tan-enghiong dikeroyok ketika membela kita. Bagaimana kita bisa tinggal diam saja? Hayo bantu!" Kakek petani berseru keras.
Memang keberanian para petani itu mulai timbul setelah melihat betapa gagahnya Tan Hok melawan para tukang pukul.
"Betul... betul... hayo bantu Tan-enghiong...!"
Puluhan orang petani yang kurus-kurus itu dengan semangat menyala lalu menyerbu para tukang pukul yang mengeroyok Tan Hok. Mereka tidak peduli lagi akan keselamatan diri sendiri. Yang dipukul jatuh, langsung bangkit lagi dan melawan penuh kenekatan.
Mendapat bantuan ini, tentu saja Tan Hok menjadi makin bersemangat. Toyanya lantas mengamuk dan satu demi satu para tukang pukul dapat dia robohkan.
Pada saat itu pula, dari sebelah dalam gedung terdengar suara orang berseru, "Mundur semua, biarkan Giam-siauwya (Tuan Muda Giam) mengusir para pengacau!" Itulah suara Kwi-wangwe.
Mendengar perintah ini, para tukang pukul lalu mengundurkan diri sambil menyereti tubuh teman-teman mereka yang terluka. Semua orang termasuk Tan Hok lalu memandang ke dalam.
Mereka melihat Kwi-wangwe yang sudah setengah tua, seorang bertubuh tinggi kecil yang berpakaian mewah sekali, tangan kiri mengisap huncwe berujung emas, berdiri di anak tangga sambil memandang ke luar. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang aneh.
Muka pemuda ini pucat putih, matanya liar tajam, hidungnya mancung. Akan tetapi wajah yang tampan ini nampaknya aneh dan mengandung sesuatu yang mengerikan, terutama pada matanya. Pakaiannya serba kuning dan tangan kanannya memegang sebuah suling ular.
Pada saat itu, pemuda yang usianya antara dua belas tahun ini berkata sambil tertawa. "Kwi-wangwe, biarlah aku mengadakan sedikit pertunjukan yang menarik hati."
Bocah laki-laki belasan tahun itu kemudian mengangkat sulingnya, ditiupnya suling itu. Terdengar suara melengking yang aneh, naik turun seperti gelombang samudera, makin lama makin tinggi dan nyaring menusuk anak telinga. Tan Hok yang sudah mempelajari ilmu silat tinggi, kaget sekali karena tahu bahwa suling itu ditiup dengan kekuatan khikang yang hebat!
"Ular...! Ular...!" Para petani berteriak-teriak ketakutan.
Tan Hok kaget dan cepat memutar tubuh memandang. Ia bergidik melihat banyak sekali ular merayap cepat menuju ke tempat itu, besar kecil dan datang dari semua jurusan. Tadinya hanya beberapa ekor saja, mungkin ular-ular yang terdekat di tempat itu, akan tetapi sebentar kemudian menjadi puluhan dan akhirnya ratusan ekor ular datang dan dari jauh masih kelihatan banyak lagi mendatangi.
Pada saat ular-ular yang amat banyak itu sudah berkumpul dan menggeliat-geliat sambil menujukan mata ke arah si penyuling cilik yang sudah berjalan keluar dari pintu pagar tembok, suara suling tiba-tiba berubah menjadi kacau balau dan tiba-tiba saja ular-ular itu mendesis-desis dan nampak marah, lalu menyerang para petani.
Segera terdengar jerit-jerit kesakitan bercampur dengan teriakan ketakutan. Para petani mencoba melawan, namun sia-sia karena jumlah ular terlampau banyak.
Melihat ini Tan Hok marah sekali. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka orang muda ini menyambar sebatang toya, kemudian menerjang rombongan ular itu. Dia menggebuk dan memukul, menghancurkan banyak kepala ular.
Akan tetapi ular itu terlampau banyak dan tidak mungkin dia dapat melindungi dua puluh lebih orang bernasib malang yang diserbu ular-ular itu. Apa lagi di antara ular-ular itu, juga banyak terdapat ular-ular kecil berbisa yang amat gesit. Sekali pagut saja ular-ular seperti ini mematikan korbannya.
Melihat betapa para petani itu roboh binasa, Tan Hok menjadi ngeri dan dengan amarah meluap-luap dia melihat betapa makin banyak dia membunuh ular, maka makin ganaslah ular-ular yang lain dan dalam sekejap mata saja para petani itu sudah roboh semua. Tak seorang pun tinggal hidup lagi.
"Iblis kecil berhati keji!"
Tan Hok membalik tubuh dan melompat dengan toya di tangan, menyerang bocah kecil penyuling yang aneh itu. Sama sekali dia tidak tahu bahwa bocah itu bukanlah sembarang bocah. Dia ini bukan lain adalah Giam Kin, murid Siauw-ong-kwi tokoh besar dari utara yang amat jahat.
Serangan dengan toya yang dilakukan oleh Tan Hok amat dahsyat. Akan tetapi tiba-tiba Giam Kin menggerakkan tangan kirinya dan sinar keemasan menyambar ke arah muka Tan Hok. Terkejut raksasa muda ini. Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok sinar keemasan tanpa membatalkan serangannya dengan toya yang dipegang di tangan kanan.
Akan tetapi sebelum toyanya mendekati tubuh Giam Kin, dia menjerit kesakitan sambil melempar toyanya, kemudian tangan kanannya merenggut ular kuning emas yang sudah menggigit tangan kirinya. Rasa sakit, panas dan gatal-gatal menyerang seluruh tubuhnya.
Sekali remas saja hancur luluhlah kepala dan tubuh ular kecil itu, akan tetapi rasa sakit yang menguasai tubuhnya tak tertahankan lagi. Sambii memekik-mekik Tan Hok memutar tubuh dan pergi secepatnya dari tempat itu.
"Ha-ha-ha-ha, orang sombong itu tidak akan waras lagi otaknya, dia sudah terkena racun Kim-tok-coa (Ular Racun Emas)!" Giam Kin tertawa bergelak kemudian meniup sulingnya lagi.
Ular-ular yang tadinya sedang berpesta-pora menggigiti mayat para petani itu sekarang lari ketakutan mendengar suara suling sehingga sebentar saja di situ tidak ada seekor pun ular, kecuali bangkai-bangkai ular yang dibunuh Tan Hok tadi dan mayat para petani yang malang melintang.
Kwi-wangwe beserta kaki tangannya yang sudah kerap kali menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang miskin itu, sekarang bergidik juga menyaksikan kejadian yang amat menyeramkan ini. Dengan penuh hormat Kwi-wangwe mempersilakan Giam Kin masuk ke dalam gedungnya lagi dan memerintahkan kepada orang-orangnya untuk membersihkan halaman itu, membawa pergi bangkai-bangkai ular dan mayat para petani….
**********
Tan Hok berlari-lari terus secepatnya. Tubuhnya memang luar biasa kuatnya sehingga biar pun dia sudah terkena gigitan ular berbisa yang amat berbahaya, dia masih dapat berlari cepat sampai puluhan li jauhnya. Akan tetapi akhirnya dia terguling roboh di tengah sawah yang tanahnya kering merekah, pingsan.
Matahari dengan cahayanya yang penuh menyinari tubuh Tan Hok yang menggeletak tak berdaya, seolah-olah hendak membakarnya. Ternyata bahwa racun ular kuning keemasan itu mengandung hawa yang amat panas sehingga seluruh tubuh Tan Hok menjadi merah kehitaman, apa lagi di bagian tangan yang tergigit sampai menjadi hitam seperti hangus terbakar.
Pada saat itu, dari jurusan selatan, di atas jalan kecil yang kering kerontang dan sunyi, terdengar suara orang bernyanyi! Benar-benar amat ganjil mendengar orang bernyanyi di tempat yang diliputi hawa maut kering ini.
Setelah kelihatan orangnya, dia itu adalah seorang anak laki-laki yang baru belasan tahun usianya. Pakaiannya compang-camping, lebih patut menjadi pakaian seorang jembel yang terlantar. Akan tetapi lengan dan kakinya berkulit bersih.
Betapa pun juga, jelas bahwa dia itu bukan bocah biasa. Hal ini terlihat dari mukanya yang berkulit aneh, yaitu berwarna kehijauan seperti hijaunya daun muda. Sepasang matanya juga bukan mata manusia biasa karena mengandung sinar yang amat tajam, malah terlalu tajam sehingga seperti tidak normal lagi. Wajah yang berwarna kehijauan dengan mata setajam itu benar-benar akan membikin orang bergidik ketakutan dan mengira bahwa dia ini tentu bukan manusia.
Apa lagi kalau mendengar kata-kata dalam nyanyiannya. Aneh! Nyanyiannya saja sudah tidak karuan, iramanya pun bukan nyanyian, lebih pantas disebut ocehan orang gila atau orang mengigau akibat sakit demam. Dan kata-katanya, dengarkan saja dia bernyanyi,
Heh perut berhentilah merengek!
Tidak malukah kau kepada kaki?
Yang bekerja keras tak pernah mengeluh
Kau tiada guna, tak pernah bekerja,
Kerjamu hanya merengek minta diisi!
Kata-kata aneh ini dia nyanyikan di sepanjang jalan sambil saling memukulkan dua batang kayu yang dipegang oleh kedua tangannya untuk membuat irama nyanyiannya yang tidak karuan. Selain warna mukanya yang kehijauan dan sepasang matanya yang luar biasa tajamnya, selebihnya anak ini boleh dibilang tampan, tubuhnya pun padat berisi dan kuat. Bocah ini bukan lain adalah Beng San.
Seperti sudah diceritakan dalam bagian terdahulu dari cerita ini, secara kebetulan sekali Beng San bocah korban banjir Sungai Huang-ho yang tak tahu akan nama keturunannya sendiri ini, telah bertemu dengan Hek-hwa Kui-bo dan mendapat Ilmu-ilmu Thai-hwee, Siu-hwee, dan Ci-hwee yang oleh Hek-hwa Kui-bo dimaksudkan untuk memperbesar daya hawa ‘Yang’ dalam tubuh anak ini dan membunuhnya. Akan tetapi tanpa disadari ia malah memberi tambahan tenaga kepada anak ini dan malah menyelamatkan nyawa Beng San dari hawa pukulan Jing-tok-ciang dari Koai Atong.
Kemudian secara kebetulan pula Beng San bertemu dua orang kakek aneh, yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam yang mengangkatnya sebagai murid dan kedua orang kakek aneh ini menurunkan atau mewariskan dua macam ilmu silat yang hebat padanya. Dari Phoa Ti, dia mewarisi Khong-ji-ciang dan Im-sin-kiam, sedangkan dari The Bok Nam, dia mewarisi Pat-hong-ciang dan Yang-sin-kiam.
Ada pun Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam ini adalah dua bagian yang berlawanan dari Ilmu Im-yang Sin-kiam yang merupakan pecahan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, yaitu ilmu silat tertinggi di dunia persilatan yang dahulu dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su di jaman pemberontakan An Lu Shan (tahun 755), kira-kira lima ratus tahun yang lalu.
Ilmu Im-yang Sin-kiam diingini oleh semua tokoh persilatan dari empat penjuru, siapa kira secara tidak disengaja telah terjatuh ke dalam tubuh Beng San! Lucunya, Beng San yang sudah mempelajari ilmu ini dan melatihnya setiap hari sampai hafal betul, sama sekali tak pernah tahu bahwa dia sekarang telah mempunyai ilmu yang hebat. Anak ini hanya tahu bahwa berkat latihan-latihan itu tubuhnya menjadi kuat dan ringan, malah dia sekarang tidak pernah menderita gangguan lagi dari perasaan panas atau dingin di tubuhnya.
Setiap kali dia menderita panas dari teriknya matahari, secara otomatis tubuhnya akan mengeluarkan hawa dingin untuk melawannya dan pengerahan hawa ‘Im’ secara otomatis ini hanya dapat diketahui dari wajahnya yang berubah menjadi kehijauan. Sebaliknya, di waktu dingin secara otomatis pula wajahnya berubah merah kehitaman, tanda bahwa tenaga dari hawa ‘Yang’ di tubuhnya bekerja.
Hanya apa bila hawa udara biasa, wajahnya berubah putih seperti biasa pula. Selain ini, tanpa dia sadari, apa bila dia terserang nafsu amarah, wajahnya juga otomatis berubah merah kehitaman, sebaliknya apa bila dia merasa gembira, wajahnya menjadi hijau!
Pada saat itu hawa udara amat panasnya, maka tak heran kalau muka anak ini menjadi kehijauan, tanda bahwa hawa ‘Im’ otomatis bekerja di tubuhnya. Perutnya terasa lapar sekali, sejak kemarin tidak kemasukan apa-apa. Dusun-dusun kosong sunyi, pepohonan gundul kering. Untuk menahan rasa lapar perutnya, dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi mencela perutnya yang selalu merengek-rengek minta isi.
"Ehh, mata yang sial. Di mana-mana melihat mayat orang. Sudah enam belas mayat aku kubur, sekarang ada lagi di tengah sawah. Sialan benar!" Beng San mengomel ketika dia melihat tubuh Tan Hok menggeletak di tengah sawah.
Memang, seperti halnya Tan Hok, bocah ini pun semenjak hari kemarin melihat banyak mayat menggeletak di pinggir jalan, mayat mereka yang kelaparan. Sejak kecil Beng San sudah dijejali pelajaran filsafat-filsafat kuno tentang peri kebajikan dan peri kemanusiaan, maka melihat mayat-mayat menggeletak terlantar itu, hatinya merasa tidak tega dan dia pun mengubur setiap mayat yang dijumpainya, dikubur secara sederhana.
Dengan hati agak kesal karena perutnya lapar dan selalu bertemu mayat, Beng San lalu menyimpang dari jalan kecil memasuki sawah kering menghampiri tubuh Tan Hok yang tak bergerak seperti sudah mati itu. Setelah memandang wajah dan tubuh Tan Hok, anak itu menarik napas panjang dan berkata,
"Sayang... sayang sekali orang begini gagah dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa mati di sini. Anehnya, orang mati kelaparan mengapa badannya masih tegap dan besar seperti ini? Aneh...aneh..."
Namun Beng San lalu mulai bekerja, menggali tanah kering di sawah itu. Pekerjaan ini dia lakukan dengan dua batang kayu kecil yang dipegangnya tadi. Benar-benar hebat. Orang tentu takkan percaya kalau tidak menyaksikannya sendiri. Dua batang kayu ranting kecil itu ketika dia pakai mendongkel tanah, ternyata berubah seperti dua batang linggis besi yang kuat. Sebentar saja dia menggali tanah sampai satu meter lebih dalamnya.
Melihat tubuh tinggi besar yang masih dalam keadaan baik itu, Beng San merasa kasihan apa bila menguburnya kurang dalam, maka dia sengaja menggali sampai dalam. Ternyata bagian bawah tanah itu merupakan tanah lempung yang kering, akan tetapi halus dan berwarna kemerahan.
Setelah menggali cukup dalam, dia meletakkan sepasang rantingnya dan membungkuk, mengangkat tubuh itu. Badan Tan Hok besar sekali, beratnya takkan kurang dari seratus kilo, akan tetapi benar-benar mengherankan betapa anak kecil itu dapat memondongnya dengan mudah.
Beng San kaget sekali ketika merasakan betapa kulit tubuh Tan Hok amat panas. la masih kecil, belum dapat mengerti betul bagaimana keadaan orang mati. Karena tubuh itu kaku dan diam tak bernapas, dia menganggapnya sudah mati. Dia menganggap panas tubuh Tan Hok disebabkan terik sinar matahari.
Dengan perlahan dan hati-hati Beng San lalu meletakkan tubuh tinggi besar itu ke dalam lubang. Mulutnya berbisik-bisik "Kembalilah kau ke asalmu, tenteram dan damai."
Kata-kata ini dahulu pernah dia dengar dari seorang hwesio ketika melakukan upacara menguburkan mayat.
Mendadak dia kaget dan melompat mundur, matanya terbelalak. Kalau saja Beng San bukannya seorang anak luar biasa yang tidak mengenal rasa takut, tentu dia akan lari terbirit-birit menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu. ‘Mayat’ tadi bergerak-gerak dan dengan gerakan liar lalu bangun duduk, matanya melotot merah, sedangkan mulutnya berteriak-teriak.
"Lapar... lapar...! Tanah menghasilkan segala macam tetumbuhan yang dapat dimakan, masa tanah sendiri tak boleh dimakan?"
Dan ‘mayat’ itu lalu mencengkeram tanah lempung merah dan... tanah itu dimakannya dengan amat lahapnya.
Untuk sejenak Beng San berdiri seperti patung, matanya terbelalak heran. Mula-mula dia merasa ngeri juga. Akan tetapi ketika melihat betapa ‘mayat’ itu makan tanah lempung merah dengan enaknya bagaikan orang makan daging panggang, air liurnya memenuhi mulutnya.
Perutnya memang amat lapar. Sekarang melihat orang makan demikian enaknya, meski pun yang dimakan hanya tanah lempung, timbul seleranya. la mulai menengok ke bawah, ke arah tanah lempung yang tadi dia gali dan sekarang bertimbun di luar lubang. Otomatis dia berjongkok, tangannya mengambil segumpal tanah lempung merah dan... membawa tanah itu ke mulutnya terus digigit.
"Wah, enak..."
Dengan terheran-heran Beng San terus makan tanah lempung itu. Rasanya sih tidak bisa dibilang enak, akan tetapi juga bukan tak enak, sebab tanah itu halus dan berbau harum. Dan yang jelas, setelah memasuki perut tanah itu mendatangkan rasa kenyang juga.
Sampai empat gumpal tanah memasuki perut Beng San yang menjadi girang sekali sebab sekarang dia dapat mengisi perutnya yang tadi merengek-rengek. Sama sekali dia tidak tahu bahwa memang tanah lempung itu adalah sejenis tanah lempung yang halus dan tak berbahaya kalau dimakan, malah mengandung khasiat menguatkan badan.
‘Mayat’ itu lalu makan tanah lempung banyak sekali, kemudian mayat yang duduk dalam lubang kubur itu mendongak dan memandang ke arah Beng San dengan sepasang mata merah. Beng San tersenyum kepadanya dan mengangguk.
"Twako, jadi kau sebetulnya belum matikah? Syukur kalau begitu!"
Tiba-tiba Tan Hok mengeluarkan suara menggereng, kemudian tubuhnya meloncat keluar lubang sambil berteriak geram, “Aku tidak mati, kaulah yang akan mampus!"
Serta merta pemuda raksasa ini mengirim serangan memukul ke arah kepala Beng San dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Beng San yang kehijauan.
Semenjak mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang suhu-nya, yaitu kedua kakek Phoa Ti dan The Bok Nam, belum pernah Beng San mempergunakan kepandaian ini dalam pertempuran. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa dia amat tekun melatih diri, mempelajar semua ilmu itu dengan teliti, namun tanpa diketahui apa khasiatnya semua ilmu itu. Sekarang menghadapi serangan bertubi-tubi dari pemuda raksasa yang seperti tidak waras otaknya ini, dia kaget juga. Namun otomatis gerak silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya bekerja.
"Husss, nanti dulu, Twako. Hidup atau mati bukanlah urusan kita. Bagaimana kau bisa tentukan?" Sambil mengeluarkan jawaban yang mengandung filsafat kebatinan ini, Beng San memiringkan kepalanya menghindarkan pukulan tangan kanan Tan Hok, sedangkan tangan kanannya dia angkat untuk menangkis cengkeraman tangan kiri lawannya yang tinggi besar itu.
"Plakkk!"
Tangan kiri Tan Hok yang berjari panjang besar itu berhasil mencengkeram tangan Beng San yang kecil sehingga lima pasang jari-jari tangan saling genggam. Beng San merasa betapa dari tangan Tan Hok mengalir hawa panas yang melebihi api. Otomatis tubuhnya menyambut hawa ini dengan hawa ‘Im’ yang luar biasa kuatnya, sehingga tangannya yang dicengkeram kini terasa dingin sejuk.
Hebat sekali akibatnya, Tan Hok seketika menjadi kaku tubuhnya. la masih tetap berdiri dengan tangan kiri mencengkeram tangan kanan Beng San, matanya melotot kemerahan dan kini sekujur tubuhnya menggigil bagaikan orang terserang demam. Tangannya yang mencengkeram tangan kanan Beng San seperti lengket dan tidak dapat ditarik kembali, sedangkan dari tangan anak kecil itu mengalir hawa yang dinginnya melebihi bukit es.
Makin lama tubuh Tan Hok semakin menggigil, mukanya yang merah itu mulai berkurang warnanya. Tiba-tiba ia muntahkan darah menghitam, juga dari luka di tangan kirinya yang kini menempel pada tangan kanan Beng San keluar darah hitam.
Tiga kali dia muntahkan darah hitam, dan tubuh yang tadinya panas itu sekarang berubah dingin. Matanya yang kemerahan dan liar berubah tenang.
"Aduh... aduh... dingin...!"
Tubuh Tan Hok yang tadinya kaku itu sekarang dapat melompat mundur. Beng San juga melompat mundur sambil melepaskan tangannya. Mereka kini berdiri berhadapan dalam jarak tiga empat meter, saling pandang.
Setelah tangannya terlepas dari tangan Beng San, lenyaplah rasa dingin yang menusuk jantung Tan Hok. Diam-diam Tan Hok merasa terheran-heran, apa lagi baru sekarang dia teringat mengapa dirinya bisa berada di situ.
Tiba-tiba dia celingukan memandang ke kanan kiri dengan rasa takut karena dia teringat akan ular-ular yang tadinya mengeroyoknya. Melihat bahwa dia berada di sawah, sedang berhadapan dengan seorang bocah bermuka hijau bermata tajam yang memiliki tangan mengandung hawa dingin luar biasa, Tan Hok kembali memandang Beng San, lalu melirik ke arah lubang kuburan di dekat situ.
"Adik kecil, kau siapakah? Setan atau manusia?"
Beng San tertawa, matanya yang tajam itu berkilat-kilat. "Ha-ha-ha, Twako, kalau satu di antara kita ini bukan manusia, kiranya kaulah orangnya. Aku manusia biasa, akan tetapi kau... apakah kau bukan siluman?"
Tan Hok yang mengerti akan ilmu silat tinggi, tadi mendapat kenyataan bahwa anak ini bukanlah anak biasa. Tangannya mengandung tenaga Im yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa tenaga inilah yang telah menolong nyawanya, yang mengusir racun hawa panas yang tadinya menyerang tubuhnya akibat gigitan ular Kim-tok-coa.
Tentu saja di pihak Beng San sama sekali tidak tahu akan hal ini. Jangankan mengenai penyembuhan yang tanpa sengaja dia lakukan, bahkan tentang tenaga-tenaga yang kini telah berada di dalam dirinya saja dia tidak tahu apa artinya.
"Adik yang aneh, kenapa kau menyangka aku seorang siluman?"
"Kau aneh sekali sih! Sejak kemarin aku mengubur mayat-mayat orang mati kelaparan yang bergelimpangan di pinggir jalan. Tadi aku mendapatkan kau menggeletak mati di sini, tidak bernapas lagi. Aku menggali lubang untuk menguburmu. Eh, tahu-tahu di dalam lubang kuburan kau hidup lagi, malah makan tanah, lalu meloncat dan menyerangku. Dan sekarang, setelah muntah-muntah, kau bicara seperti orang waras. Orang dengan tubuh raksasa seperti kau, bisa mati dan hidup lagi, benar-benar bukan seperti manusia."
Mendengar hal ini, Tan Hok bengong, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Melihat pemuda raksasa itu bengong terlongong mengurut-urut dagu, Beng San juga ikut duduk di depannya. Dua orang ini duduk tak berkata-kata seperti dua buah patung batu. Akhirnya Tan Hok yang menoleh dan bertanya.
"Adik yang baik, siapa namamu? Kau anak siapa, murid siapa dan kenapa bisa sampai di sini?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, Beng San tersenyum nakal, kemudian menjawab secara memberondong pula. "Namaku Beng San, bukan anak siapa-siapa. Guru-guruku sudah meninggal dan bisa sampai ke sini karena kedua kakiku berjalan."
Akan tetapi agaknya Tan Hok tidak melayani sendau-guraunya, malah kembali bertanya dengan sungguh-sungguh, "Kau tidak punya orang tua dan guru-gurumu sudah mati? Jadi kau hidup sebatang kara di dunia ini?"
Beng San mengangguk. "Sejak dulu aku hidup sebatang kara."
"Tidak punya tempat tinggal?"
Beng San menggelengkan kepala.
"Ah, adikku yang baik... sama benar nasib kita..." Tan Hok menubruk dan merangkul Beng San sambil menangis.
Beng San bingung, lalu karena tidak tahu harus berbuat apa, ia pun ikut-ikut menangis! Dua orang ini bertangis-tangisan di tengah sawah kering kerontang dan tetes-tetesan air mata mereka diisap cepat oleh tanah yang kehausan.
"Adik Beng San, aku Tan Hok, dan baru saja ditinggal mati guruku..." Tan Hok menangis sambil merangkul, "dan aku,... ehhh, celaka! Kau terkena racun!"
Tiba-tiba dia memegang tangan Beng San dan memandang tajam. "Mukamu kehijauan, badanmu mengeluarkan hawa dingin sekali. Tentu kau sudah terkena hawa pukulan yang mengandung racun dingin... celaka...!"
Beng San tersenyum. "Tidak, Tan-twako (Kakak Tan). Aku tidak apa-apa."
"Betulkah? Kau tidak merasa sakit?"
"Tidak."
"Aneh... aneh... kukira kau terkena racun, semacam racun ular atau..."
Tiba-tiba saja dia melompat dan mukanya berubah. "Ular! Ahh, sekarang aku ingat. Bocah siluman ular itu yang melukaiku. Dia harus dibunuh! Celaka para petani malang itu..."
Beng San benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran melihat sikap raksasa yang berubah-ubah dan aneh ini. "Siluman ular? Di mana dia?"
“Dia seorang anak sebaya denganmu. Aku sedang memimpin para petani yang kelaparan untuk minta bantuan makanan dari hartawan Kwi yang kaya raya. Akan tetapi para petani itu malah diserang oleh kaki tangannya. Aku lalu membantu dan muncullah siluman ular, mendatangkan ratusan ekor ular yang mengeroyok para petani, Banyak yang mati. Aku menyerang dan... aku terluka oleh seekor ular kuning emas. Hayo, kita harus pergi ke sana. Aku harus bunuh siluman itu!"
"Ratusan ekor ular! liihhhhh, menakutkan sekali!" Beng San bergidik dan kelihatan ngeri, lalu memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau ratusan ekor ular itu datang ke situ.
"Jangan takut, ada aku di sini. Aku harus basmi ular-ular itu dan silumannya. Hayo, Adik Beng San, kau ikut atau tidak?" Tan Hok berdiri. "Kalau kau takut, kau tinggal saja di sini, aku harus segera kembali ke dusun itu."
Tan Hok sudah mulai lari.
"Nanti dulu, Twako. Aku ikut!" Beng San segera mengambil dua batang ranting yang tadi dia gunakan untuk menggali tanah, lalu ikut berlari di belakang Tan Hok.
Karena amat bernafsu untuk segera kembali ke dusun dan membantu para petani yang dikeroyok ular, Tan Hok mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali. Ia sampai lupa bahwa di belakangnya ada Beng San, lupa bahwa apa bila dia berlari secepat itu tentulah seorang anak kecil seperti Beng San akan tertinggal jauh.
Setelah berlari sampai di luar dusun barulah dia teringat dan cepat-cepat dia menengok. Alangkah herannya melihat anak itu berlari-lari kecil, seenaknya saja tapi masih berada di belakangnya.
“Ehh, kau masih di belakangku?"
"Tentu saja, bukankah kau mengajakku?"
Pada saat itu Tan Hok penuh ketegangan akan bertemu dengan siluman ular, maka dia kurang memperhatikan Beng San. Dia terus melanjutkan larinya memasuki dusun menuju ke gedung tempat tinggal Kwi-wangwe.
Di depan gedung Kwi-wangwe para tukang pukul sedang duduk dan sibuk membicarakan amukan para petani yang dibantu seorang pemuda raksasa. Tentu saja mereka menjadi amat kaget ketika melihat pemuda raksasa yang kemarin telah dilukai dan diusir pergi oleh ‘Giam-kongcu’ itu kini tiba-tiba muncul di depan mereka bersama seorang anak laki-laki bermuka hijau.
"Anjing-anjing keparat, hayo lekas suruh keluar Kwi-wangwe dan siluman ular itu!" Tan Hok memaki sambil memegang dua orang tukang pukul dan sekali lempar dua orang itu jatuh bergulingan tiga meter lebih jauhnya. Yang lain-lain segera mencabut senjata dan sebagian melapor ke dalam.
Sementara itu, pada waktu melihat para tukang pukul mencabut senjata, Tan Hok sudah bangkit amarahnya. "Di mana paman-paman tani semua? Sudah kalian bunuh, ya? Awas, rasakan pembalasanku!"
Tan Hok lalu mengamuk, menerjang para tukang pukul yang kini hanya membela diri, tidak berani menyerang karena maklum akan kelihaian Tan Hok. Sebentar saja Tan Hok sudah dikeroyok belasan orang tukang pukul dan di dalam gedung terdengar ramai-ramai karena semua orang tidak tahu bahwa pemuda raksasa itu telah datang lagi mengamuk.
Mendadak terdengar tiupan suara suling yang melengking. Suling yang ditiup oleh Giam Kin melengking tinggi dan mengalun dengan irama yang amat luar biasa. Jantung Tan Hok berdebar, maklum apa artinya tiupan suling itu.
Betul saja dugaannya. Tidak lama kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan banyak sekali ular menggeleser datang. Biar pun Tan Hok tidak begitu cerdik, namun karena dia merasa jijik juga melihat banyak ular, Tan Hok kemudian berkelahi dengan cara menyerbu ke tengah-tengah para tukang pukul. Perbuatannya ini bukan berdasarkan kecerdikan, melainkan karena takut kepada ular-ular itu.
Akan tetapi untung baginya, Giam Kin menjadi bingung untuk memimpin pasukan ularnya. Bagaimana caranya ular-ularnya itu bisa disuruh menyerang seorang saja yang berada di tengah-tengah dan dikurung para tukang pukul? Baiknya setelah terjadi keributan, yaitu serbuan para petani, Kwi-wangwe mendatangkan lebih banyak tukang pukul yang pandai sehingga untuk sementara amukan Tan Hok dapat dibendung.
Sementara itu, melihat demikian banyak ular yang datang melenggang-lenggok mendekati dirinya, Beng San menjadi jijik dan takut bukan main. Dia tidak takut kalau menghadapi orang, akan tetapi menghadapi ular yang banyak serta amat menjijikkan dan mengerikan itu, dia takut juga.
Pada waktu ular-ular dengan mata merah dan lidah menjilat-jilat keluar itu menyerbu ke arahnya, Beng San segera lari sambil berteriak-teriak, "Ular...! Ular...!"
Mendadak tubuhnya mencelat ke atas, ke tengah-tengah orang yang sedang berkelahi. Bagaikan seekor burung terbang, kakinya menginjak kepala orang-orang yang sedang mengeroyok Tan Hok, dan begitu kakinya menginjak kepala orang, dia meloncat lagi ke sana ke mari, melalui kepala-kepala orang itu hingga akhirnya dia bisa meloncat ke atas genteng. Di situ dia berjongkok dengan tubuh gemetaran sambil memandang ke bawah.
Semua orang, terutama sekali Tan Hok, kaget dan heran bukan main melihat perbuatan Beng San ini. Melihat cara anak itu meloncat, jelas bahwa dia sama sekali tidak mengerti ilmu meloncat tinggi. Akan tetapi mengapa tubuhnya begitu ringan sehingga seakan-akan dia dapat beterbangan di atas kepala orang-orang?
Tan Hok tidak sempat lagi memperhatikan Beng San karena pengeroyokan para tukang pukul sudah cukup membuat dia kerepotan juga. Kali ini pun Tan Hok berhasil merampas sebatang toya dan langsung digunakannya untuk mengamuk. Sudah ada beberapa orang tukang pukul roboh oleh kemplangan toyanya.
Melihat sepak terjang Tan Hok ini, Giam Kin menjadi penasaran dan khawatir juga. Tidak mungkin dia dapat menyuruh ular-ularnya menyerbu, karena sekali ular-ular itu menyerbu maka para tukang pukul Kwi-wangwe tentu akan digigit pula. la lalu berseru.
"Paman-paman mundur semua, biar ular-ularku menghabiskannya!"
Tukang-tukang pukul itu memang sudah kewalahan menghadapi Tan Hok. Bukan ilmu silatnya yang hebat, melainkan tenaganya yang benar-benar sukar dihadapi. Setiap kali toya di tangan pemuda raksasa itu menangkis, tentu banyak senjata terpental atau rusak. Mendengar perintah ini, mereka lalu meloncat mundur meninggalkan Tan Hok.
Tan Hok maklum bahwa ia akan dikeroyok ular, maka ia hendak mendahului menyerang Giam Kin. Celakanya, anak aneh ini sudah meniup sulingnya yang mengeluarkan suara melengking tinggi sehingga ular-ular itu sudah mulai menyerbu. Di lain saat Tan Hok telah dikelilingi ular-ular yang amat marah, mendesis desis dan siap menyerangnya.
Tan Hok bergidik. Dia melintangkan toyanya, bingung harus menyerang yang mana dulu karena dia telah dikurung dalam pagar ular.
"Ha-ha-ha-ha-ha, manusia sombong. Ternyata kau masih belum mampus! Sekarang aku akan melihat kau mampus digigit ularku. Ha-ha-ha-ha!" kata Giam Kin setelah melepaskan sulingnya. Kemudian dia mulai menyuling lagi, suara sulingnya melengking-lengking tinggi dan menyakitkan telinga.
Beng San yang berada di atas genteng melihat semua kejadian ini. Dialah yang merasa paling sakit telinganya mendengar suara suling itu. Saking marahnya dia berteriak-teriak, "Siluman jahat, siluman busuk. Suara sulingmu sungguh tidak enak. Dengarlah, aku lebih pandai menyuling dari pada suara sulingmu yang seperti angin kotor itu"
Beng San lalu meniru-nirukan bunyi suling dengan suaranya. Tanpa dia sadari, khikang di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, maka ketika dia meniru bunyi melengking, suara suling itu kalah kuat dan kalah nyaring!
Sekarang terdengar bunyi yang luar biasa dan aneh, suara suling bercampuran dengan suara mulut Beng San yang meniru-nirukan suara suling. Ketika dia mendapat kenyataan betapa ssudlah dia menjerit-jerit telinganya tidak terganggu lagi oleh suara suling yang kalah nyaring, dia makin bersemangat dan teriakan-teriakannya makin kuat.
Kasihan sekali ular-ular itu. Suara suling merupakan perintah atau dorongan bagi mereka, dorongan yang tak mungkin terlawan lagi. Akan tetapi, sekarang binatang-binatang buas ini mendengar suara suling yang tidak karuan, campur aduk bising bukan main. Mereka mulai kacau, tidak tahu harus bagaimana, apa lagi perasaan mereka tidak karuan dengan ‘perintah’ yang kacau-balau ini.
Makin lama gerakan ular-ular itu semakin kacau. Mereka saling terjang sehingga akhirnya semua ular-ular itu menjadi marah dan saling terkam! Mereka sama sekali tak mau peduli lagi kepada Tan Hok, sibuk mengigiti kawan-kawan sendiri yang lebih dekat.
Melihat hal ini, Giam Kin marah sekali. Dibantu oleh Kwi-wangwe sendiri, ia pun memberi perintah kepada para tukang pukul untuk mengeroyok lagi Tan Hok. Sementara itu, Giam Kin sudah melangkah maju untuk melihat bocah yang telah meniru bunyi sulingnya dan telah mengacau komandonya atas ular-ular itu.
Akan tetapi, Tan Hok yang sudah marah sekali melihat adanya hartawan Kwi di situ. Dia lalu memberontak dan cepat meloncat ke arah hartawan itu dengan toya di tangannya.
"Kau hartawan pelit, rasakan ini!"
Toyanya mengemplang kepala hartawan itu yang cepat-cepat mundur ketakutan. Baiknya masih ada beberapa orang pengawal pribadinya yang menangkis toya sehingga toya itu menyeleweng, tidak mengenai kepalanya hanya menggebuk pundaknya. Namun gebukan ini cukup keras untuk membuat Kwi-wangwe meringis dan mengaduh-aduh. Dan sekejap kemudian, Tan Hok sudah dikeroyok lagi oleh para tukang pukul.
Giam Kin sekarang dapat melihat adanya Beng San di atas genteng. Marahnya bukan main.
"Ehh, bocah dusun busuk, kau berani main-main di depan kongcu-mu?" la memaki sambil menuding dengan sulingnya ke arah Beng San.
Beng San pada waktu itu sudah tidak hijau lagi mukanya, sudah biasa putih dan tampan karena hawa udara tidak begitu panas lagi. Sekarang dia cengar-cengir mentertawakan Giam Kin.
"Aku tidak main-main di depanmu, melainkan di atasmu. Kau mau apa sih?"
la tidak takut kepada Giam Kin. Anak bermuka pucat itu, apanya yang harus ditakuti?
"Jembel busuk, kau makanlah ini!"
Giam Kin menggerakkan tangannya dan sinar kuning emas menyambar ke atas, ke arah Beng San yang nongkrong di atas genteng.
Beng San yang sudah menyelipkan dua batang kayu ranting di ikat pinggangnya, sambil tertawa-tawa menerima sinar kuning emas ini dengan tangan kanan. Sinar itu mengenai tangannya dan Beng San merasa ibu jari tangan kanannya agak sakit seperti tertusuk jarum. Saat dia melihatnya, ternyata bahwa yang tadi dilemparkan adalah seekor ular kecil berwarna kuning keemasan yang sekarang menggigit ibu jarinya, sedangkan tubuh ular itu membelit tangannya.
Diam-diam dia kaget. Akan tetapi dasar dia nakal dan tak sudi memperlihatkan rasa takut atau sakit di depan Giam Kin. Dia lalu tertawa terbahak-bahak dan teringatlah dia akan pengalamannya dahulu ketika bertemu dengan Kwa Tin Siong dan Kwa Hong yang dia maki ‘kuntilanak’, teringat dia betapa dia ikut makan daging ular bersama ayah dan anak itu.
Sekarang, melihat tangannya dibelit ular kuning emas bersih, untuk menggoda Giam Kin, Beng San tanpa ragu-ragu lagi lalu... menggigit leher ular itu. Hanya dengan sekali gigit saja maka putuslah leher ular.
”Kau kira aku tidak berani memakannya? Ha-ha-ha!" Beng San mentertawakan Giam Kin yang berdiri terlongong heran menyaksikan betapa bocah jembel itu benar-benar sudah menggigit mati ularnya.
Akan tetapi dia pun segera menjadi girang karena mendadak muka Beng San berubah menjadi kehijauan. Beng San sendiri tidak tahu akan hal ini. Dia hanya merasa betapa bekas gigitan ular itu amat panasnya, maka otomatis tubuhnya mengerahkan daya "Im" yarig kuat, sehingga membuat wajahnya yang putih berubah hijau.
Hal ini disalah artikan oleh Giam Kin. Biar pun anak ini maklum bahwa siapa yang tergigit Kim-tok-coa itu, tentu akan mati dengan tubuh hangus kemerahan seperti terbakar, tetapi dia menganggap bahwa tanda kehijauan pada wajah anak jembel itu cukup membuktikan bahwa racun ularnya telah menjalar di tubuh anak aneh itu.
"Hi-hi-hi, kau sudah mau mampus masih banyak tingkah. Sekarang biar aku mempercepat kematianmu!" Setelah berkata demikian, Giam Kin pun menggenjotkan kedua kakinya dan tubuhnya meloncat ke atas genteng. Suling ular di tangannya bergerak cepat menyerang ke arah Beng San, memukul kepalanya.
Beng San segera mencabut sepasang ranting kayu dari ikat pinggangnya, lalu dengan masih berjongkok dia menangkis dari kanan kiri. Sepasang ranting di tangannya membuat gerakan seperti menggunting ke arah suling.
"Krakkk!"
Suling di tangan Giam Kin patah menjadi dua dan tubuh anak ini terlempar kembali ke bawah!
Tanpa disadari, dalam kegemasannya ketika menangkis tadi Beng San menggunakan dua macam tenaga pada sepasang rantingnya, dengan pergerakan gabungan dari Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam. Jangankan baru suling di tangan seorang anak semacam Giam Kin, andai kata yang menyerangnya tadi adalah seorang ahli silat yang menggunakan pedang atau toya, kiranya akan patah juga.
"Jembel busuk, pengemis bau, kau mematahkan sulingku! Awas kau...! Suhu, suling teecu patah...!" Giam Kin lari sambil menangis.
Karena dimaki-maki, Beng San pun menjadi marah. Apa lagi dia melihat bahwa anak itu ternyata tidak becus apa-apa, demikian pikirnya, baru ditangkis satu kali saja suling itu sudah patah. Tanpa pikir panjang dia lalu meloncat turun dan mengejar Giam Kin.
Giam Kin memiliki kepandaian ilmu berlari berdasarkan ginkang yang tinggi, maka larinya cepat sekali. Beng San yang belum pernah mempelajari ilmu berlari cepat, akan tetapi karena di luar kesadarannya dia telah ditempati tenaga Im dan Yang, tenaga yang amat besar mukjijat, maka otomatis dia memiliki keringanan tubuh dan larinya pun cepat sekali.
Maka kejar-kejaran ini terjadi ramai sekali dan sebentar saja dua orang anak itu telah jauh meninggalkan dusun tadi. Beberapa kali Giam Kin yang amat marah dan penasaran itu sengaja berhenti dan menyerang dengan tiba-tiba, akan tetapi setiap serangannya selalu dapat ditangkis oleh Beng San, dan setiap kali lengan tangan mereka beradu, Giam Kin mengaduh dan kedua lengannya sudah bengkak-bengkak!
Giam Kin menjadi amat ketakutan dan lari makin cepat, dikejar terus oleh Beng San yang berteriak-teriak.
"Kau berlutut dulu minta ampun baru kulepas!"
"Jembel busuk, siapa sudi minta ampun? Guruku akan membikin remuk kepalamu!" jawab Giam Kin yang berlari terus.
Sampai dua puluh li mereka berkejaran. Akhirnya Giam Kin tidak kuat lagi dan dia kena dipegang pundaknya oleh Beng San dari belakang.
"Hendak lari ke mana engkau, siluman ular?"
Giam Kin melawan dan memukul, akan tetapi pukulannya ditangkis oleh Beng San yang langsung membalas menampar pipinya.
"Plakkk!"
Giam Kin roboh terguling, merasa betapa tamparan itu membuat matanya berkunang dan kepalanya pening.
"Hayo kau minta ampun dan berjanjilah lain kali tidak akan bermain-main dengan ular-ular jahat!" bentak Beng San sambil bertolak pinggang.
"Tidak sudi!"
"Kau memang layak dipukul!"
Beng San menjadi marah, kemudian dia memukuli kepala dan badan Giam Kin. Anak itu menjerit-jerit dan menangis.
"Suhu, tolong... suhu, tolong...!"
Tiba-tiba Giam Kin mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali. Akan tetapi, Beng San tak peduli dan memukuli terus.
"Kau siluman kejam! Dengan ular-ularmu itu kau telah membunuh banyak orang. Lekaslah berjanji tak akan main-main lagi dengan ular, atau... kupukul kepalamu sampai remuk!" Beng San membentak-bentaknya.
"Heh, bocah kasar, jangan main pukul kepada muridku!” Suara ini terdengar dari tempat jauh.
Beng San menengok ke kanan kiri, tapi tidak melihat orangnya yang berbicara.
"Setan," pikirnya. "Bocah siluman ular, gurunya juga iblis dan setan." Tapi dia tidak takut dan hendak memukul pula.
Angin bertiup di belakangnya dan ketika Beng San menoleh, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Laki-laki ini tubuhnya sedang saja, tetapi pakaiannya terlampau besar hingga nampak lucu. Apa lagi lengan bajunya amat panjang menutupi kedua tangannya. Mukanya nampak sabar, alisnya tebal dan sepasang matanya tajam.