CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJA PEDANG JILID 10
Song-bun-kwi sebetulnya adalah seorang she Kwee bernama Lun. Kwee Lun atau yang berjuluk Song-bun-kwi (Setan Berkabung) ini mendapat julukannya semenjak kematian isterinya, yaitu ibu Bi Goat yang amat dicintainya.
Seperti pernah disinggung oleh Hek-hwa Kui-bo kepada Beng San, Kwee Lun ini pernah merampas seorang pengantin wanita dan dalam perbuatannya yang sangat jahat ini dia telah membunuh pengantin pria dan semua tamu yang berada di situ! Pengantin wanita inilah yang kemudian melahirkan Bi Goat.
Akan tetapi, karena wanita ini selalu berduka dan putus asa semenjak dirinya dirampas oleh Song-bun-kwi, setelah melahirkan anak kesehatannya menjadi amat buruk. Akhirnya, ketika Bi Goat berusia kurang dari tiga tahun, ibu muda ini meninggalkan anaknya, bebas dari penderitaan dunia.
Kwee Lun amat cinta kepada isteri rampasannya itu, juga dia amat cinta kepada Bi Goat. Akan tetapi, begitu isterinya yang tercinta meninggal, timbul kembali sifat-sifatnya yang kejam dan jahat. Malah kadang-kadang kalau teringat kepada isterinya, dia menjadi benci kepada Bi Goat.
Begitu isterinya meninggal, dia menyalahkan hal ini kepada Bi Goat dan hampir saja dia membunuh anaknya sendiri. Anak yang baru berusia tiga tahun itu dia pukuli, dia banting dan dia cekik hampir mati. Akan tetapi dia segera teringat kepada pesan isterinya supaya menjaga Bi Goat baik-baik, maka segera dia menghentikan kekejamannya ini dan malah mengobati Bi Goat.
Kalau saja bukan dia yang mengobati, anak yang sudah dipukul dan dibanting itu tentu akan mati. Bi Goat tidak sampai mati, akan tetapi mungkin saking kaget, atau juga karena sakit, anak ini lalu menjadi gagu!
Dan demikianlah, Song-bun-kwi Kwee Lun yang sakti dan menjadi tokoh terbesar dari barat, setiap kali dapat bersikap kejam dan menyiksa Kwee Bi Goat, akan tetapi kadang kala dia teringat kepada isterinya dan kasih sayangnya tumpah kembali kepada anaknya itu.
Beng San sama sekali tidak tahu akan riwayat ini. Ia hanya menganggap bahwa Bi Goat, anak gagu itu, hidupnya tersiksa oleh Song-bun-kwi yang kejam dan jahat.
Beng San baru berani keluar dari tempat persembunyiannya dan melanjutkan perjalanan setelah Song-bun-kwi pergi jauh. Dia berjalan terus ke barat dan mengalami penderitaan yang hebat. Ada kala nya bocah belasan tahun ini dalam dua tiga hari tidak makan dan baru bisa mengisi perutnya kalau ada orang menaruh kasihan kepadanya atau kalau dia bisa mendapatkan buah-buahan di dalam hutan liar.
Baiknya dia memiliki tubuh yang kuat dan gerakannya cepat sehingga kadang-kadang dia bisa mendapat binatang-binatang hutan kecil untuk menjadi pengisi perutnya. Sementara itu, tak pernah dia lupa untuk melatih diri dengan ilmu yang dia pelajari dari Lo-tong Souw Lee.
Pandai sekali Beng San menjaga rahasianya sehingga tak pernah ada orang mengetahui bahwa anak ini mempunyai ilmu yang luar biasa. Semua orang yang bertemu dengannya hanya mengira bahwa ia adalah seorang anak jembel yang terlantar dan patut dikasihani.
Banyak pula hinaan-hinaan dan ejekan-ejekan yang diderita oleh Beng San, akan tetapi anak ini menerima semua itu dengan sabar. Seperti yang pernah dia dengar dari Lo-tong Souw Lee, dia maklum bahwa semua penderitaan hidup merupakan gemblengan yang paling baik untuk seseorang, merupakan latihan rohani yang amat berharga.
Sementara itu, hawa Im dan Yang di dalam dirinya makin hari makin menjadi kuat dan teratur. Dan betul saja seperti yang diajarkan oleh Souw Lee, semakin tekun dia belajar, makin terasa olehnya betapa tubuhnya menjadi makin kuat dan sama sekali tidak pernah menderita lagi dari perasaan panas atau dingin akibat dua macam hawa yang tadinya meracuni darahnya tapi yang sekarang setelah dapat dia kuasai merupakan tenaga yang maha kuat…..
Sungguh patut disayangkan bahwa kesalah pahaman antara Kun-lun Sam-hengte dengan Hoa-san Sie-eng makin membesar dengan adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi antara mereka.
Seperti diketahui, sesudah melaporkan semua peristiwa yang menimpa dirinya di depan gurunya, yaitu ketua Hoa-san-pai Lian Bu Tojin, Sian Hwa serta ketiga orang suheng-nya pergi turun dari Gunung Hoa-san untuk mencari tiga orang bersaudara murid Kun-lun-pai untuk memprotes perbuatan Kwee Sin. Sesuai dengan petunjuk guru mereka, keempat orang murid Hoa-san-pai lalu pergi mengunjungi orang tertua dari Kun-lun Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng di Sin-yang.
Kedatangan mereka berempat disambut oleh Bun Si Teng dan adiknya Bun Si Liong yang sudah sembuh dari luka-lukanya. Dua orang saudara Bun ini sudah pernah bertemu dengan Sian Hwa, dan biar pun di antara tiga orang jago Hoa-san yang lain baru Kwa Tin Siong yang pernah mereka lihat, namun dua orang lagi, Thio Wan It dan Kui Keng, pernah mereka mendengar namanya.
Karena yang datang adalah jago-jago ternama dari Hoa-san, dua orang saudara Bun ini menyambut dengan penuh penghormatan. Akan tetapi saat melihat wajah para tamu yang nampaknya mengandung sesuatu yang tidak puas dan marah, mereka menjadi heran dan berlaku hati-hati.
Bun Si Teng beserta Bun Si Liong segera menyambut kedatangan mereka dan memberi hormat. Bun Si Teng sambil menjura berkata, "Ah, kiranya Hoa-san Sie-enghiong (Empat Orang Gagah dari Hoa-san) yang datang mengunjungi gubuk kami yang buruk. Selamat datang! Adik Sian Hwa, mari silakan duduk." Kepada tunangan sute-nya ini, Bun Si Teng bersikap manis. "Liong-te, lekas beri tahu soso-mu (kakak ipar-mu) untuk menemani Adik Sian Hwa."
"Tidak usah repot-repot, Ji-wi tak perlu repot-repot. Kami datang untuk minta keadilan dan minta dibereskannya sebuah urusan besar, bukan datang untuk bercakap-cakap kosong atau minum arak!" Ucapan ini dikeluarkan oleh Thio Wan It, orang ke dua dari Hoa-san Sie-eng yang terkenal berangasan.
Dua orang saudara Bun mengerutkan kening. Benar-benar tak sopan tamu ini, pikir Bun Si Liong sambil memandang kepada orang pendek gemuk berbaju hitam itu dengan mata menaksir-naksir. Akan tetapi Bun Si Teng yang lebih tua dan berpengalaman, segera bisa menduga bahwa tentu sudah terjadi hal yang amat gawat sehingga orang-orang gagah ini bersikap seperti itu.
"Saudara-saudara berempat jauh-jauh datang membawa urusan penting apakah? Tentu kami selalu siap untuk membantu kalian. Harap Sie-enghiong segera menceritakan pada kami berdua," kata Bun Si Teng, masih ramah-tamah.
Bu-eng-kiam Thio Wan It yang sudah sangat tidak sabar karena marahnya menghadapi urusan sumoi-nya, segera melangkah maju dan berkata kasar. "Sekarang ini, Hoa-san Sie-eng berhadapan dengan Kun-lun Sam-hengte sebagai sesama orang gagah yang hendak membereskan urusan penasaran! Kedatangan kami ini adalah karena perbuatan yang sangat tidak patut dan keji dari orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte. Kwee Sin harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya dan Ji-wi berdua ini harus pula bertanggung jawab dan dapat segera menyeret Kwee Sin kepada kami!"
Kata-kata ini seperti halilintar menyambar bagi dua orang saudara Bun itu. Bun Si Teng yang lebih sabar menekan dada dan mukanya agak pucat, ada pun Bun Si Liong sudah meraba gagang pedang dan goloknya sambil mengeluarkan suara gerengan bagaikan harimau terluka, matanya tajam menyapu keempat orang tamu itu.
Baiknya Bun Si Teng memberi isyarat kepada adiknya supaya bersabar dan dia sendiri lalu berkata, "Segala urusan dapat diurus, segala penasaran dapat diadili, akan tetapi seharusnya diberi penjelasan lebih dahulu apa sebabnya Sie-wi (Tuan Berempat) seperti marah-marah. Sute kami, Kwee Sin, bukan kami hendak menyombong, tetapi Kwee-sute telah terkenal di empat penjuru langit sebagai orang gagah yang tak pernah meninggalkan sifat-sifat satria. Siapakah yang tak pernah mendengar nama Pek-lek-jiu Kwee Sin murid termuda Kun-lun-pai yang selalu menjunjung tinggi keadilan dan membela kebenaran? Sekarang Sie-wi datang-datang menyatakan sute kami itu melakukan perbuatan yang amat tidak patut dan keji. Hemmm, tentu saja sukar bagi kami untuk dapat mempercayai. Tidak ada perbuatan Kwee-sute yang tidak patut!"
Liem Sian Hwa tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Seorang yang bergaul dengan siluman betina dari Pek-lian-pai, setelah terlihat oleh ayahku kemudian bersama siluman itu datang membunuh ayahku yang tua dan tak berdaya, apakah hal ini kau anggap patut dan tidak keji?"
Bun Si Teng melengak, lalu saling pandang dengan adiknya. Bun Si Liong marah sekali, mulutnya telah bergerak-gerak hendak membantah dan memaki. Akan tetapi orang gagah ini mempunyai sifat yang lucu sekali, yaitu dia sangat takut kalau berhadapan dengan wanita. Andai kata yang mengeluarkan tuduhan itu bukan Sian Hwa melainkan seorang di antara suheng-suheng nona itu, tentu Si Liong sudah memaki dan marah.
Sekarang dia hanya berdiri dengan kedua tangan terkepal, kedua mata melotot, akan tetapi tidak melotot kepada Sian Hwa, melainkan kepada Kwa Tin Siong bertiga! Bun Si Teng sudah dapat menguasai hatinya pula. la kini menghadapi Kwa Tin Siong yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan mata tajam penuh selidik.
"Hoa-san It-kiam, namamu di dunia kang-ouw sudah tersohor sebagai seorang pendekar gagah dan adil. Kuharap saja sekarang kau pun akan bersikap seperti seorang yang adil. Adikku Kwee Sin tertimpa tuduhan yang amat berat. Tetapi setiap tuduhan harus disertai bukti-bukti dan dasar. Tanpa dasar dan bukti maka tuduhan itu adalah fitnah yang amat jahat. Apakah bukti dan dasarnya tuduhan terhadap Kwee-sute itu?"
Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Saudara Bun, aku pun merasa menyesal sekali dengan terjadinya hal yang menimpa sumoi-ku. Apa bila kalian merasa penasaran karena sute kalian tertimpa tuduhan berat, bagaimana dengan kami? Sumoi kami tertimpa mala petaka yang lebih berat dan hebat lagi. Karena itu, kita harus berani mempertanggung jawabkan secara adil. Harus berani membela yang benar dan menghukum yang salah. Sikap begini sudah menjadi tugas kita sebagai orang gagah, bukan? Siapa saja yang salah harus dihukum, baik dia itu orang lain mau pun adik sendiri. Sebaliknya siapa saja orangnya, asal dia itu berada di pihak kebenaran, haruslah kita bela. Bukankah begitu juga pelajaran yang kalian terima dari suhu kalian?"
Bun Si Teng mengangguk-angguk. "Kau betul. Hoa-san It-kiam, Kami pun tidak akan membela sute kami sendiri kalau dia betul-betul bersalah. Hanya kami amat sangsikan apakah sute kami bersalah, karena kami percaya, bahkan yakin bahwa Kwee-sute bukanlah seorang yang demikian jahat dan keji. Dia pun sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw. Oleh karena itu, tuduhan berat tadi harap kau jelaskan dan kau beri dasar-dasar atau bukti-bukti."
Kwa Tin Siong tersenyum pahit. "Seorang yang sudah mempunyai kepandaian setingkat dengan kita, kalau sudah melakukan sesuatu, bagaimana bisa dicari buktinya? Kadang kala kejadian tanpa sebuah bukti pun sudah jelas, cukup jelas untuk ditarik kesimpulan dan diambil keputusan siapa yang bersalah. Nah, kau dengarlah baik-baik. Pada suatu hari, beberapa pekan yang lalu, ayah dari Liem-sumoi yaitu Liem Ta lopek, pulang ke rumah sambil marah-marah dan menyatakan kepada Liem-sumoi bahwa dia melihat Kwee Sin berpelesir bersama seorang perempuan cabul dari Pek-lian-pai, kemudian Liem-lopek menyatakan hendak memutuskan tali perjodohan antara Liem-sumoi dengan Kwee Sin. Liem-sumoi merasa penasaran dan diam-diam ia pergi ke Telaga Pok-yang di mana Kwee Sin terlihat oleh ayahnya. Sayang ia tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri, akan tetapi dari keterangan tukang-tukang perahu di sana ia mendapatkan keterangan bahwa memang betul Kwee Sin dan seorang perempuan berada di situ beberapa hari lamanya. Dengan hati berat Liem-sumoi pulang ke rumahnya, dan dia mendapatkan ayahnya telah luka-luka hebat. Sebelum meninggal dunia, Liem-lopek masih sempat menyatakan bahwa yang menyerangnya adalah Kwee Sin dibantu seorang perempuan cantik.”
"Penasaran... penasaran...!" Bun Si Liong berteriak-teriak. "Tidak mungkin Kwee-sute bisa melakukan perbuatan semacam itu. Tak mungkin! Mana buktinya bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah Kwee-sute?"
"Twa-suheng!" Kui Keng sudah meloncat maju. "Mengapa Suheng masih simpan-simpan keterangan? Jelaskan saja sekalian. Ehh, Kun-lun Sam-hengte, jangan coba-coba untuk menutupi kesalahan sute kalian. Kesalahannya sudah jelas, karena menurut keterangan Liem-sumoi, di tubuh Liem-lopek itu terdapat paku-paku Pek-lian-ting dan bekas pukulan Pek-lek-jiu! Nah, mau bilang apa lagi? Paku-paku Pek-lian-ting tentulah paku-paku yang dilepas oleh perempuan siluman dari Pek-lian-pai itu dan pukulan Pek-lek-jiu... hemmm, bukankah julukan Kwee Sin adalah Pek-lek-jiu?"
"Bohong! Bukan bukti itu!" Bun Si Liong membanting-banting kakinya. "Siapa saja yang pernah mempelajari Pek-lek-jiu tentu bisa menggunakannya. Apakah hanya sute sendiri? Tentang paku-paku Pek-lian-ting, aku mau percaya kalau Pek-lian-pai memusuhi kalian, karena Pek-lian-pai juga memusuhi kami. Akan tetapi tentang Kwee-sute, tetap aku tidak mau menerima kalau dia dituduh!"
"Ha-ha-ha, rupanya Kun-lun Sam-heng-te mau menang sendiri saja! Agaknya hanya mau mengandalkan kegagahan sendiri dan tak memandang kepada orang lain. Suheng, Sute, dan Sumoi, agaknya urusan ini hanya bisa dibereskan di ujung pedang!" kata Thio Wan It mengejek sambil meraba gagang pedangnya.
"Boleh sekali!" Bun Si Liong berteriak sambil tangannya mencabut sepasang senjatanya, yaitu sebatang pedang dan sebatang golok. “Apakah Hoa-san Sie-eng berempat datang hendak mengeroyok kami berdua? Jangan dikira kami takut! Kun-lun Sam-hengte takkan pernah mundur setapak pun menghadapi pengeroyokan siapa saja!"
"Ho-ho sombongnya! Kami Hoa-san Sie-eng bukanlah tukang keroyok! Untuk menghadapi kalian berdua cukup dengan pedangku saja. Orang she Bun, kalau kau ada kepandaian, keluarlah!" Thio Wan It berkata mengejek dan begitu kakinya bergerak, tubuhnya melesat keluar.
"Baik, hendak kukenal kelihaian Bu-eng-kiam!" berseru Bun Si Liong yang meloncat keluar pula.
Semua orang mengejar keluar dan ternyata bahwa dua orang jago itu sudah bertanding dengan hebat. Suara beradunya senjata tajam berdenting-denting nyaring disusul bunga api berpijar-pijar, gerakan dua orang jago ini gesit dan tangkas dan amat kuat. Di antara debu yang berhamburan berkelebat ujung pedang dan golok mencari nyawa.
Thio Wan It, sesuai dengan julukannya, Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) sangat cepat gerak-geriknya. Pedangnya diputar demikian cepat sehingga lenyap dari pandangan mata dan bagi lawan yang telah tinggi ilmunya, pedang ini hanya bisa diduga dari mana datangnya dengan mendengar suara anginnya saja. Gerakan-gerakan Thio Wan It yang mainkan Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat, boleh diumpamakan seekor burung walet yang menyambar-nyambar ke sana ke mari, perubahan-perubahan gerakannya sangat sukar diduga.
Di lain pihak, Bun Si Liong adalah murid ke dua Kun-lun-pai. Tentu saja kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang tinggi pula. Seperti juga dengan Hoa-san-pai, Kun-lun-pai juga amat terkenal dengan ilmu pedangnya.
Maka yang berhadapan dan bertanding sekarang ini adalah dua orang jago pedang dari dua partai yang mewakili Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Thio Wan It hanya menggunakan sebuah pedang saja, pedang panjang tipis yang dapat melengkung pada saat digerakkan secara cepat dan kuat.
Ada pun Bun Si Liong bersenjata pasangan, yaitu sebatang pedang dan sebatang golok. Inilah keistimewaan Bun Si Liong. Dua buah senjata yang berlainan itu akan membuat lawan menjadi bingung, seakan-akan dikeroyok oleh dua orang lawan yang senjatanya tidak sama.
Thio Wan It itu cepat dan lincah, pedangnya menyambar-nyambar. Bun Si Liong tenang dan kokoh kuat kedudukannya seperti seekor banteng sakti yang siap menanti serangan lawan untuk ditangkis dan dibalas dengan serangan-serangan yang tak kalah ampuhnya.
Pedang di tangan Thio Wan It mengancam semua bagian tubuh. Akan tetapi sepasang senjata Bun Si Liong yang jarang bergerak itu selalu dapat menangkis, kemudian kalau ada saat baik membalas dengan tusukan atau bacokan. Dilihat sekelebatan, Thio Wan It seperti menari-nari mengelilingi Bun Si Liong yang berdiri teguh sambil menggeser-geser kakinya untuk mengikuti pergerakan lawan yang amat lincahnya itu.
Pertempuran yang sengit dan seru itu ditonton oleh semua orang dengan hati berdebar. Pertempuran seimbang seperti ini tak mungkin berakhir tanpa membawa korban di satu pihak, hanya dapat diputuskan dengan menggeletaknya salah seorang. Padahal dalam urusan ini, baik Thio Wan It mau pun Bun Si Liong tidak ada sangkutan apa-apa, tidak ada kesalahan apa-apa.
Orang yang langsung tersangkut, Kwee Sin, belum diajak bicara, tapi keduanya sudah main hantam sendiri. Hal ini tidak betul. Demikianlah jalan pikiran Kwa Tin Siong dan juga Bun Si Teng.
"Urusan gelap belum dibikin terang, tidak perlu ditambah keruh dengan lain pertumpahan darah," kata Kwa Tin Siong sambil memandang kepada Bun Si Teng.
Orang tertua Kun-lun Sam-heng-te ini mengangguk. "Betul. Urusan ini harus diselidiki, tak akan beres kalau menurutkan nafsu dan sakit hati."
Dua orang itu seperti telah bermufakat, meloncat maju dan menahan adik masing-masing. Dua orang jago yang sedang bertanding itu terpaksa mundur dengan dada turun naik, mata melotot lebar dan sikap menantang.
"Aku masih belum kalah!" Thio Wan It berkata penasaran.
”Aku juga belum kalah," kata Bun Si Liong.
"Kalau begitu hayo teruskan sampai salah seorang di antara kita mampus!" kata pula Thio Wan It.
"Hayo, majulah!" tantang Bun Si Liong.
Kwa Tin Siong dan Bun Si Teng sibuk mencegah dua orang jago yang sudah panas perutnya itu supaya tidak bertanding lagi.
"Yang menjadi pokok persoalan ini adalah Kwee Sin, sebelum dia ditemukan dan ditanya, amatlah jelek apa bila kita menyerang orang-orang lain," berkata Kwa Tin Siong kepada sute-nya sambil menyabarkan dan memaksa sute-nya menyimpan kembali pedangnya.
"Liong-te, sabarlah," kata Bun Si Teng kepada adiknya. "Simpanlah kembali senjatamu. Urusan ini tidak bisa dibereskan hanya dengan mengangkat senjata. Kwee-sute ternyata telah terkena fitnah yang hebat dan hal ini harus kita bersihkan." Dia lalu membalik dan menghadapi Kwa Tin Siong.
"Hoa-san It-kiam, terus terang saja, aku tidak akan meragukan semua ceritamu tadi. Hanya yang kuragukan bahkan tidak dapat kuterima adalah bahwa sute-ku melakukan semua perbuatan itu. Hal itu tidak mungkin sekali."
"Hemmm, saudara Bun. Urusan sumoi-ku yang ayahnya dibunuh mati orang ini kiranya takkan puas jika hanya kau beri keyakinan bahwa sute-mu tidak mungkin melakukannya. Habis, karena hal ini menyangkut nama baik sute-mu, apa yang selanjutnya hendak kau lakukan? Kami masih memandang muka Kun-lun Sam-hengte, juga memandang muka Kun-lun-pai ciangbunjin (ketua Kun-lun-pai) maka kami tidak tergesa-gesa dan secara sembrono mencari dan mengadili sendiri kepada Kwee Sin."
Bun Si Teng mengangguk-angguk. "Baiklah. Kami akan mencari Kwee-sute dan dalam waktu lima bulan kami bertiga Kun-lun Sam-hengte akan menghadap ke Hoa-san. Kami harus membersihkan nama baik Kwee-sute di depan ketua Hoa-san-pai sendiri."
"Bagus. Lima bulan sesudah hari ini, Hoa-san Sie-eng akan menanti kedatangan Kun-lun Sam-hengte di puncak Hoa-san," kata Kwa Tin Siong yang segera mengajak pergi tiga orang adik seperguruannya, meninggalkan tempat itu.
Setelah ditinggal pergi para tamunya, Bun Si Teng dan Bun Si Liong duduk dengan hati berat.
"Heran sekali mengapa ada peristiwa seperti ini," kata Bun Si Teng. "Kita harus menyusul Kwee-sute ke Kun-lun.”
"Memang urusan ini harus dibikin terang, karena menyangkut nama baik dan kehormatan Kwee Sin," kata Bun Si Liong, mukanya yang hitam makin hitam karena kemarahannya.
“Kau tinggallah di rumah mengurus pekerjaan kita, Liong-te. Biar aku saja yang pergi ke Kun-lun. Lim Kwi akan kuajak serta agar anak itu berdiam dan belajar di sana, dipimpin langsung oleh suhu. Aku akan segera kembali bersama Kwee-sute."
Demikianlah, pada keesokan harinya, Bun Si Teng bersama puteranya, Bun Lim Kwi, berangkat ke Kun-lun-san untuk mencari Kwee Sin dan menitipkan Lim Kwi di Kun-lun-san supaya menerima gemblengan ilmu silat dari ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Pek Gan Siansu….
“Minggir, jembel-jembel busuk, minggir!”
Suara kaki banyak kuda berdetakan, didahului bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan kasar dari para penunggangnya. Orang-orang dusun yang sedang berjalan menuju ke sawah ladang, cepat-cepat berlari ke pinggir supaya jangan sampai diseruduk kuda yang berlari cepat di jalan dusun yang kecil itu. Ternyata barisan kuda ini adalah sepasukan berkuda tentara negeri yang berpakaian keren dan bersenjata lengkap.
Tinggi besar kuda-kuda itu, gagah dan tinggi besar pula para penunggangnya. Sambil tertawa-tawa para serdadu Mongol ini mempergunakan cambuk untuk secara main-main mencambuk kanan kiri kepada orang-orang desa yang sudah menjauhkan diri sampai ada yang kesakitan dan ketakutan sehingga terjatuh ke dalam selokan sawah!
Seorang kakek kena didorong oleh seorang penunggang kuda dan kakek itu terjengkang roboh ke dalam tanah berlumpur. Ketika dia merangkak bangun, tubuhnya yang kurus itu terbungkus lumpur, menakutkan. Semua kejadian ini disambut gelak terbahak dari pada serdadu itu.
Seorang wanita muda menjerit-jerit ketika tubuhnya disambar oleh tangan yang kuat dan tahu-tahu ia telah berada di atas kuda, dipeluk oleh seorang serdadu yang kurang ajar. Wanita itu meronta-ronta, menjerit-jerit sedangkan serdadu yang menangkapnya itu terus tertawa-tawa menggoda, sikapnya kurang ajar dan tidak ada kesopanan sama sekali. Di depan dan belakang, para serdadu lainnya tertawa-tawa gembira.
Saking takut dan jijiknya, wanita muda itu akhirnya pingsan di atas pangkuan serdadu itu. Setelah wanita itu pingsan, agaknya tidak ada kegembiraan lagi bagi serdadu itu, maka tubuh wanita itu lalu didorong turun dari atas kuda, jatuh berdebuk di atas tanah berdebu.
"Setan! Iblis kejam!" Seorang anak laki-laki berlari menolong wanita itu.
"Jembel cilik, minggir kau!" Seorang serdadu mengayun cambuknya.
"Tarr! Tarr!"
Cambuk menghantam muka anak itu yang berdiri dengan berani dan matanya melotot. Cambukan dua kali itu seperti tak dirasainya dan dia memandang serdadu-serdadu yang melarikan kuda sambil mengepal-ngepalkan tinjunya yang kecil. Wanita itu masih saja menangis terisak-isak di depannya. Akhirnya debu tebal saja yang ditinggalkan serdadu-serdadu itu yang jumlahnya tiga puluh orang lebih.
"Keparat...!” Beng San, anak berpakaian jembel itu, memaki dan membangunkan wanita tadi, "Sudahlah, Cici, jangan menangis dan pulanglah. Masih baik kau tidak mereka culik tadi."
Para penduduk yang melihat sikap Beng San, merasa heran dan juga kagum.
"Anak, kau berani sekali," seorang kakek berkata sambil mengangguk-angguk. "Bila saja pemuda-pemuda kita seperti kau ini, takkan sukar membebaskan tanah air dari penjajah-penjajah keji seperti mereka..." Sambil terbungkuk-bungkuk kakek itu melanjutkan langkah kakinya menuju ke sawah ladang.
Beng San masih terengah-engah saking marahnya. Baru kali ini dia menyaksikan sendiri keganasan serdadu-serdadu Mongol kalau beraksi di dusun-dusun. Seorang petani lain berjalan di sisinya dan bercerita betapa serdadu-serdadu itu menjadi lebih kejam lagi bila bermalam di suatu dusun. Mereka merampoki bahan makan, merampas segala benda berharga, menculik gadis-gadis dusun dan isteri orang, membunuh pemuda-pemuda yang berani melawan.
Pendeknya, rakyat kecil mengalami neraka dunia kalau kedatangan serdadu-serdadu ini. Apa lagi mereka itu biasanya lalu disambut oleh pembesar setempat dan tuan-tuan tanah setempat yang mempergunakan kekuasaan mereka untuk memeras para petani yang sudah amat miskin.
"Keparat," pikir Beng San. "Kalau aku sudah kuat, kuhajar mereka itu."
Setelah meninggalkan perkampungan ini, Beng San lalu berlari cepat mengejar ke arah perginya barisan berkuda tadi. Ia telah berada dekat kaki Gunung Hoa-san dan kebetulan sekali barisan berkuda itu sejurusan dengan dia. Menjelang tengah hari dia memasuki sebuah hutan besar di kaki Gunung Hoa-san.
Ia mendengar suara berisik dari dalam hutan. Ketika dia mendekat, jelas terdengar pekik kesakitan bercampur teriak kemarahan diselingi suara senjata tajam beradu. Jelas bahwa terjadi pertempuran besar-besaran di tengah hutan itu.
Beng San cepat menyelinap di antara pohon-pohon besar, mendekati tempat pertempuran sambil mengintai. Ringkik banyak kuda mengingatkan dia akan barisan serdadu-serdadu Mongol.
Celaka, pikirnya, tentunya setan-setan Mongol itu kembali mengganggu penduduk dekat hutan sini. Akan tetapi, mengapa penduduk berada di dalam hutan besar? Ahh, mungkin pemburu-pemburu.
Dia cepat berindap ke tengah hutan dan akhirnya terlihatlah olehnya pertempuran hebat sudah terjadi di tempat terbuka. Benar saja dugaannya. Para serdadu Mongol itu tengah bertempur melawan sekumpulan orang-orang yang bersikap gagah dan rata-rata pandai ilmu silat. Jumlah orang-orang gagah itu hanya belasan orang sehingga tiap orang harus menghadapi keroyokan dua atau tiga orang serdadu Mongol.
Perang tanding itu hebat sekali. Banyak serdadu Mongol sudah roboh mandi darah. Akan tetapi mereka adalah serdadu-serdadu yang terlatih dan rata-rata sangat kuat sehingga belasan orang gagah itu terdesak juga, malah di antaranya ada yang terluka.
Tiba-tiba terdengar aba-aba keras. Para serdadu Mongol itu mengeluarkan panah tangan, lantas serentak menyerang dengan anak-anak panah mereka yang terkenal berbahaya. Serangan mendadak ini membikin para orang gagah menjadi kacau-balau dan tiga orang terjungkal roboh.
"Anjing-anjing Mongol rasakan pembalasan kami!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tinggi besar bersama enam orang lain dari jurusan selatan. Mereka datang dan terus menyerbu.
Hebat sekali serbuan pemuda tinggi besar serta kawan-kawannya ini. Sisa orang-orang gagah yang dikeroyok tadi timbul kembali semangat mereka saat melihat datangnya bala bantuan.
Perang tanding makin berkobar dan kini giliran para serdadu Mongol yang dihantam dari kanan kiri sehingga kocar-kacir. Mereka sudah mulai ketakutan dan mencoba-coba untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiap seorang serdadu Mongol berhasil meloncat ke punggung kuda dan melarikan kuda itu, tentu dia disambar oleh beberapa buah senjata rahasia paku dan robohlah dia dari atas punggung kuda.
Beng San yang sedang mengintai dan menonton semua pertandingan ini, menjadi girang dan berdebar hatinya ketika melihat pemuda tinggi besar itu.
"Dia adalah Tan Hok," pikirnya gembira. "Benar-benar dia gagah perkasa."
Memang hebat sepak terjang Tan Hok. Dia paling besar di antara teman-temannya dan golok di tangannya mengamuk bagai seekor naga. Mayat serdadu-serdadu Mongol roboh bergelimpangan dan sebentar saja, setelah datang Tan Hok beserta teman-temannya ini, serdadu-serdadu itu dapat dirobohkan semua.
Beberapa orang serdadu dapat melarikan diri dengan kuda mereka yang kuat dan cepat. Biar pun mereka tidak terluput dari luka-luka, akan tetapi mereka tidak mengalami nasib seperti kawan-kawan mereka yang bergelimpangan tak bernyawa lagi di hutan itu.
"Pasukan besar musuh tentu akan segera menyusul ke sini, kita harus cepat-cepat pergi. Lekas kumpulkan teman-teman yang tewas. Cepat, saudara-saudara!" Tan Hok memberi aba-aba.
Dari tempat sembunyinya, Beng San memandang dengan kagum. Kini pemuda raksasa itu tidak kelihatan bodoh lagi, melainkan tangkas dan dihormati teman-temannya.
Semua orang gagah itu bekerja. Ada yang mengubur mayat teman-temannya, ada yang merawat teman-teman yang terluka, ada yang mengumpulkan senjata-senjata rampasan, ada yang mengumpulkan kuda-kuda tinggi besar tunggangan para serdadu tadi. Ada pun Tan Hok sendiri memasang sebuah bendera kecil di batang pohon, bendera kecil tanda perkumpulan Pek-lian-pai, bendera kecil bergambar teratai putih!
"Tan-twako...!" Beng San meloncat keluar dan memanggil.
Semua orang terkejut. Seorang anggota Pek-lian-pai cepat melompat mendekati Beng San dan membentak, "Mata-mata Mongol, tangkap!"
Akan tetapi Tan Hok segera berseru, "Ahh, bukankah kau Adik Beng San?"
Dia berlari menghampiri dan mencegah kawan-kawannya menangkap Beng San, malah segera memperkenalkan, "Inilah anak ajaib Beng San, adikku yang sangat gagah berani. Ehh, Adik Beng San, kau dari mana tiba-tiba muncul di tempat ini?"
"Tan-twako, aku tadi melihat semua kejadian ini. Tadinya aku tidak tahu kenapa kau dan teman-temanmu mencegat dan membunuh serdadu-serdadu ini biar pun aku tahu betapa kejam dan jahatnya mereka. Akan tetapi... jika kau dan teman-temanmu hanya mengubur mayat kawan sendiri ini di sini, kau telah melakukan dua macam kesalahan.”
Semua anggota Pek-lian-pai melengak mendengar ini. Masa seorang anak kecil hendak menasehati orang-orang Pek-lian-pai?
Akan tetapi Tan Hok yang sudah banyak melihat keanehan pada diri anak ini, dengan sabar berkata, "Kau jelaskanlah, Adik Beng San. Kesalahan-kesalahan apakah itu?"
"Pertama, kau melanggar peri kemanusiaan kalau kau tidak mau mengubur mayat para serdadu ini. Bukankah dahulu kau mengubur semua mayat orang-orang kelaparan yang menggeletak di pinggir jalan?"
Tan Hok menarik napas panjang. "Lain lagi. Mereka itu adalah mayat-mayat bangsaku yang sengsara, yang kelaparan karena pemerasan kaum penjajah seperti anjing-anjing Mongol ini. Sebaliknya, mereka ini adalah musuh-musuh besar rakyat, untuk apa aku harus mengubur mereka?"
"Tan-twako, kau keliru. Yang kau benci adalah perbuatan mereka. Sekarang mereka sudah mati, tidak bisa berbuat apa-apa lagi, apakah mayat-mayat itu pun masih dibenci?"
"Kau memang aneh. Di dalam perang, kalau orang harus mengubur mayat musuh, bisa kehabisan waktu untuk mengubur saja! Dalam perang memang begitu, adikku, jangankan mayat musuh, bahkan mayat teman-teman sendiri kadang-kadang tidak ada waktu untuk mengurusnya. Dan apakah kesalahanku yang ke dua?"
"Kalau kau tidak mengubur mayat-mayat ini dan membiarkan mereka berserakan di sini, kau akan membikin celaka Hoa-san-pai pula. Bukankah mayat-mayat serdadu ini berada di kaki Gunung Hoa-san? Kalau sampai terlihat oleh pasukan negeri, sudah tentu mereka akan mengira bahwa Hoa-san-pai yang melakukannya..."
"Kan sudah kuberi tanda bendera kecil di sini," bantah Tan Hok.
"Betapa pun juga, kejadiannya di kaki Gunung Hoa-san, tentu Hoa-san-pai akan terlibat. Kalau mereka ini dikubur, tidak akan ada bekasnya lagi dan Hoa-san-pai akan terbebas dari sangkaan." Sambil berkata demikian Beng San lalu mulai menggali lubang untuk mengubur mayat sebanyak dua puluh orang lebih itu.
Ada pun Tan Hok dan kawan-kawannya, dengan kagum sekali mendengar ucapan Beng San tadi. Akhirnya mereka harus pula membenarkan ucapan itu. Bukankah ada golongan yang memang sengaja hendak memburukkan nama Pek-lian-pai dan kemudian mengadu Pek-lian-pai dengan lain-lain perkumpulan?
Memang tidak baik sekali kalau kelak pemerintah penjajah memusuhi Hoa-san-pai karena urusan perang di kaki Gunung Hoa-san ini. Tidak baik membuat Hoa-san-pai mengalami bencana karena perbuatan Pek-lian-pai.
"Saudara-saudara, hayo bantu Adik Beng San mengubur bangkai-bangkai anjing penjajah ini!" kata Tan Hok dengan suaranya yang keras.
Mereka segera turun tangan dan sebentar saja mayat-mayat itu sudah dikubur semua. Tiba-tiba seorang di antara mereka berlari datang dan berkata. "Sepasukan anjing Mongol sudah datang!"
Mereka semua mendengarkan dan betul saja, dari jauh terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali. Tan Hok segera berunding dengan teman-temannya.
"Kita pancing mereka memasuki Lembah Pek-tiok-kok (Lembah Gunung Bambu Putih). Cepat kumpulkan semua kuda!" Akhinya keputusan ini diambil dan beramai-ramai mereka meninggalkan tempat itu.
"Adik Beng San, kau harus ikut kami kali ini!" kata Tan Hok sambil menggandeng tangan anak itu.
Karena Beng San amat tertarik dan kagum kepada rombongan orang-orang gagah ini dan ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan terhadap para pengejar, pasukan musuh itu, maka dia menurut saja dan ikut berlari-lari dengan yang lainnya. Hati Beng San lega melihat orang-orang gagah ini berlari meninggalkan Gunung Hoa-san, kemudian mendaki gunung kecil yang gundul dan banyak batu-batu karangnya yang tinggi meruncing.
Derap kaki kuda dari belakang makin lama semakin terdengar dekat dan ketika mereka sudah mulai mendaki bukit, dari atas terlihatlah oleh mereka pasukan berkuda terdiri dari sedikitnya enam puluh orang mengejar mereka dari belakang!
Melihat ini, diam-diam Beng San khawatir. Sisa teman-teman Tan Hok termasuk pemuda raksasa itu sendiri hanya ada dua belas orang. Bagaimana mereka akan dapat melawan enam puluh orang serdadu musuh?
Jalan yang dilalui rombongan Tan Hok amat sukar, banyak lubang-lubang sehingga tak mungkin dilalui kuda. Tan Hok memimpin teman-temannya berloncatan melalui jalan ini dan setelah sampai di tempat yang agak tinggi, baru Beng San tahu bahwa kuda-kuda rampasan tadi tidak ikut dibawa ke tempat itu, entah sudah disembunyikan di mana oleh teman-teman Tan Hok. Anak ini sekarang mengerti, atau demikian dia mengira, bahwa Tan Hok dan teman-temannya memilih jalan ini supaya lawan yang berkuda tidak dapat mengejar mereka.
Akan tetapi, setelah mereka sampai di tempat yang lebih tinggi, Beng San kaget melihat betapa pasukan besar di belakang itu pun kini telah turun dari kuda dan terus mengejar mereka sambil berloncat-loncatan dan berlarian. Dilihat dari atas, enam puluh orang itu seperti semut yang merayap-rayap naik!
"Tan-twako, mereka mulai mengejar tanpa kuda!” kata Beng San khawatir sekali.
Tan Hok hanya tersenyum. "Jangan kau khawatir, Adik Beng San. Kita kaum Pek-lian-pai sudah biasa menghadapi musuh banyak. Musuh yang mengejar itu tidak ada seratus dan kita... bersama kau dan kita ada tiga belas orang. Takut apa?”
Diam-diam Beng San menghitung. Tiga belas orang melawan enam puluh orang lebih. Berarti seorang melawan lima orang musuh! Bagaimana raksasa ini masih bicara begitu enak? Beng San merasa heran, akan tetapi juga kagum.
"Aku jangan dihitung, Twako. Melawan satu orang saja belum tentu aku menang, bagai mana harus melawan lima orang?"
Tan Hok hanya tertawa saja. "Kau lihat saja nanti. Lihat dan pelajarilah cara-cara kaum Pek-lian-pai mengganyang musuh-musuhnya."
"Srrrt! Srrrt!"
Beberapa buah anak panah meluncur dari belakang. Salah satu anak panah hampir saja mengenai tubuh Tan Hok, baiknya raksasa muda ini cepat menangkisnya dengan golok. la nampak kaget ketika merasa telapak tangannya tergetar.
"Teman-teman, cepat! Dan awas, pelepas panah tadi lihai sekali. Kita lari sambil mencari perlindungan. Cepat!" la menarik tangan Beng San dan mendahului rombongannya.
Mereka sudah hampir sampai di puncak bukit. Tadinya anak panah dari belakang masih gencar menyerang, akan tetapi karena perjalanan itu berliku-liku, musuh dari belakang tak dapat melepas anak panah secara ngawur lagi.
Mereka tiba di daerah batu-batu besar yang banyak goanya. Tan Hok segera membawa teman-temannya memasuki goa besar yang ternyata merupakan terowongan batu dan alangkah herannya hati Beng San ketika ternyata olehnya bahwa rombongan itu jalannya menuju... kembali turun! Di tengah-tengah terowongan terdapat lubang-lubang di antara batu dan dari lubang-lubang ini mereka dapat mengintai musuh yang berada di luar.
"Ahh, benar pasukan itu berhenti, tidak mengejar terus," kata Tan Hok setelah mengintai. "Tentu dipimpin oleh orang pandai yang berpengalaman. Kita harus memancing mereka sampai di Pek-tiok-kok. Mari, teman-teman, cepat. Kita menggunakan kecerdikan musuh justru untuk menipu mereka."
Sambil berlari Tan Hok menggandeng tangan Beng San. Mereka memasuki terowongan yang gelap itu, diikuti teman-temannya. Tidak lama kemudian mereka sampai di tempat terbuka, keluar dari terowongan yang merupakan goa besar.
"Serbu mereka sambil berteriak-teriak. Jika mereka melawan pura-pura kalah biar mereka mengejar kita," bisik Tan Hok kepada teman-temannya. "Mungkin di pihak kita akan jatuh korban, akan tetapi ingat, pengorbanan kita itu tidak ada artinya bila akhirnya kita dapat menghancurkan mereka.”
Semua orang mengangguk menyatakan setuju dan rombongan ini kembali merayap naik karena mereka sekeluarnya dari terowongan itu ternyata telah berada di sebelah bawah kedudukan musuh. Mereka melihat barisan musuh memasang kedudukan di lereng, tidak mengejar terus.
Inilah kecerdikan pimpinan barisan itu, karena kalau tadi mereka terus mengejar, tentu mereka itu akan menjadi korban hujan Pek-lian-ting (Paku-paku Teratai Putih) yang tentu akan dilakukan oleh rombongan Tan Hok. Enak saja menyikat mereka dari terowongan, menyerang tanpa dapat diserang kembali dan karena jalanan sempit pasti musuh akan kacau-balau dan banyak jatuh korban.
Pimpinan tentara Mongol itu agaknya menaruh hati curiga, maka menyuruh pasukannya berhenti dan dia hanya menyuruh beberapa orang pengintai untuk merayap mendekati daerah berbatu-batu itu untuk melakukan penyelidikan.
Ketika mendengar bahwa di situ tak ada jejak orang-orang yang mereka kejar, pimpinan barisan itu berkata, "Kita tunggu saja, pasti mereka itu menggunakan siasat. Kita lihat saja apa siasat mereka. Dengan menanti di tempat terbuka ini sambil siap siaga, tak mungkin mereka dapat menipu."
Tiba-tiba mereka mendengar suara sorak-sorai dan paku-paku Pek-lian-ting beterbangan menyambar dari belakang! Kaget sekali barisan itu. Pemimpinnya sendiri pun amat kaget, karena apa pun yang akan dilakukan oleh rombongan pemberontak Pek-lian-pai yang dikejar tadi sama sekali dia tak pernah menduga bahwa yang dikejar itu tahu-tahu sudah muncul di belakangnya!
Mereka tak sempat lagi menggunakan panah, maka pemimpin ini berteriak-teriak memberi komando supaya melawan. Apa lagi ketika dilihatnya bahwa yang muncul hanya belasan orang lawan saja.
"Serbu! Bunuh habis para pemberontak!" teriaknya keras.
Tan Hok dan teman-temannya mengamuk. Dalam sekejap pemuda raksasa ini sedikitnya sudah merobohkan lima orang dan pertempuran yang berat sebelah ini hanya berjalan seperempat jam. Beng San oleh Tan Hok disuruh bersembunyi agak jauh agar jangan tertimpa bencana.
Tiba-tiba Tan Hok memberi aba-aba, "Mundur! Lari... musuh terlampau kuat!"
Teman-teman Tan Hok berlari cerai-berai, nampaknya kacau-balau ketakutan. Pemimpin barisan Mongol tertawa bergelak-gelak.
"Ha-ha-ha-ha-ha, tikus-tikus Pek-lian-pai, mampus kalian semua. Hayo kejar.”
Walau pun kelihatannya kacau-balau, sebenarnya rombongan teman-teman Tan Hok ini melarikan diri secara teratur. Mereka sengaja lari cerai-berai sehingga pengejaran musuh menjadi kacau pula. Dan apa bila ada seorang dua orang musuh terpencil, tiba-tiba yang dikejar muncul dari tempat sembunyinya dan merobohkan satu dua orang musuh dengan Pek-lian-ting. Dan akhirnya, karena memang sudah diatur lebih dulu, semua orang yang lari kacau-balau dan sebetulnya siasat untuk mengacau musuh, telah berkumpul lagi dan melarikan diri ke selatan.
Pimpinan barisan marah bukan main melihat betapa anak buahnya sudah dipermainkan. Seorang anggota Pek-lian-pai yang dapat dirobohkan, segera dia cincang dengan golok besarnya, kemudian dia memberi aba-aba kepada semua barisannya supaya mengejar terus dan membasmi habis rombongan Pek-lian-pai yang hanya terdiri dari belasan orang itu.
Beng San menyaksikan semua ini dengan kagum. Ketika rombongan ini lari ke selatan, ia ikut lari pula di samping Tan Hok, dikejar dan dihujani anak panah. Tiga orang temannya roboh pula terkena anak panah. Mereka tidak mati, hanya terluka parah.
Beng San ingin menolong mereka, tetapi Tan Hok mencegahnya, malah menghampiri tiga orang itu dan berkata, "Saudara-saudara, teruskan siasat kita!"
Tiga orang itu tersenyum lebar. Dengan muka pucat mereka mengangguk dan dengan tubuh mandi darah mereka diam-diam mempersiapkan Pek-lian-ting dan golok di tangan.
Sambil berlari Beng San tak dapat menahan keinginannya untuk menengok ke belakang, melihat ke arah tiga orang teman yang telah terluka itu. Dua orang terluka dadanya yang tertancap anak panah, sedangkan yang seorang lagi terluka parah pahanya karena anak panah menancap dan menembus pahanya.
"Adik Beng San, tak usah menengok. Mereka akan tewas sebagai satria sejati, mereka akan gugur sebagai bunga bangsa, sebagai patriot pahlawan tanah air."
"Apa? Mereka akan mati? Dan kau diamkan saja...?" Beng San tak dapat lagi menahan teriakannya dan dia sekarang mogok betul-betul, tidak mau lari lagi.
Tan Hok tersenyum dan memberi isyarat kepada teman-temannya supaya lari terus. Dia sendiri berkata, "Kau mau menyaksikan kegagahan mereka? Baiklah, mari kita mengintai dari sini." Dia membawa Beng San ke belakang sebuah batu besar dan berlutut di situ, mengintai ke arah tiga orang yang menggeletak tadi.
"Lihat, Adik Beng San. Lihat dan ingatlah selalu kepada kegagahan kaum Pek-lian-pai, patriot-patriot sejati,” bisik Tan Hok.
Barisan itu sudah tiba di tempat di mana tiga orang anggota Pek-lian pai itu menggeletak. Tiba-tiba tiga orang itu meloncat bangun dan menyambit dengan Pek-lian-ting. Terdengar pekik kesakitan dan beberapa orang pengejar terjengkang roboh.
Komandan barisan itu marah sekali. Anak panahnya menyambar dan seorang di antara tiga orang Pek-lian-pai roboh dengan leher tertembus anak panah. Yang dua mengamuk, dikeroyok dan biar pun mereka berhasil melukai dua orang lawan, namun mereka sendiri roboh dengan tubuh hancur dihujani senjata para pengeroyoknya.
Beng San menutupi mukanya, dia merasa ngeri.
"Twako, kenapa mereka tadi tidak dibawa lari saja? Kenapa kau begitu tega membiarkan teman-teman sendiri mati seperti itu?"
Tan Hok menarik tangan Beng San, diajak berlari pergi menyusul kawan-kawannya yang sudah melarikan diri terlebih dahulu. Di belakang mereka, serdadu-serdadu itu bersorak dan pengejaran dilanjutkan.
"Kau dengar itu, Beng San? Kematian tiga orang teman kita tadi selain tidak rugi karena mereka dapat merobohkan beberapa orang musuh, juga merupakan kelanjutan siasat pancingan kita. Karena kita meninggalkan teman-teman yang terluka, tentu para serdadu mengira bahwa kita ketakutan betul-betul dan melarikan diri kacau-balau, bukan sedang menjalankan siasat. Dalam siasat perang, pengorbanan tiga orang teman bukan apa-apa, bahkan kalau perlu, pengorbanan tiga ribu orang pahlawan masih belum terhitung mahal demi tanah air dan bangsa. Kau dengar? Mereka mengejar terus. Hayo cepat, kita sudah dekat Pek-tiok-kok."
Yang disebut Pek-tiok-kok atau Lembah Gunung Bambu Putih itu adalah lembah gunung yang penuh jurang-jurang berbahaya dan di sana-sini terdapat rumpun-rumpun bambu yang berwarna keputihan. Jalan di daerah ini berbahaya sekali, kadang-kadang sempit sekali, hanya dapat dilalui seorang saja dengan jurang-jurang dalam di kanan kiri yang juga penuh dengan rumpun bambu-bambu putih. Memang amat indah, akan tetapi juga amat berbahaya.
Menyambung jalan sempit diapit-apit jurang itu adalah jalan sempit diapit-apit batu karang yang tinggi di kanan kiri. Tan Hok membawa Beng San lari cepat melalui jalan sempit dan tiap kali terdengar suara-suara suitan di kanan kiri jalan, suara dari dalam jurang. Itulah suara teman-teman mereka yang sudah lebih dulu sampai di tempat itu dan memasang barisan pendam!
Tan Hok dan Beng San kemudian mendaki batu karang, menggunakan sehelai tambang besar yang memang sudah dipasang oleh teman-teman mereka. Di atas batu-batu itu, di kanan kiri, sudah menjaga pula beberapa orang teman.
Karena para anggota Pek-lian-pai itu pun sambil berlari membuang senjata golok mereka di sepanjang jalan, maka barisan pengejar makin bernafsu. Mereka merasa yakin bahwa orang-orang Pek-lian-pai yang mereka kejar itu sudah ketakutan setengah mati bahkan sudah lelah, buktinya senjata-senjata golok mereka berserakan di jalan.
Dengan bersemangat mereka memasuki Lembah Gunung Bambu Putih, didahului oleh komandan mereka yang memegang golok besar. Ketika memasuki lereng ini, barisan itu merupakan iring-iringan panjang sekali, karena jalan amat sempit.
Setelah semua serdadu masuk lembah gunung, tepat seperti yang sudah diperhitungkan oleh para pejuang yang berpengalaman itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan dari atas batu-batu karang yang mengapit-apit jalan sempit, menggeludung turun batu-batu besar yang setibanya di jalan itu mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Debu mengebul dan jalan itu tertutup!
"Celaka, kita terjebak! Mundur!" Komandan itu berseru dengan wajah pucat.
Barisan itu menjadi kacau. Takut kalau-kalau mendapat serangan gelap di jalan yang sempit itu, mereka saling tabrakan lari jatuh bangun untuk kembali melalui jalan sempit. Akan tetapi tiba-tiba di depan tampak asap bergulung-gulung ke atas dan... rumpun-rumpun bambu di kanan kiri jurang ternyata telah dibakar orang!
Api menjilat tinggi sampai di jalan sempit sehingga tak mungkin lagi orang bisa melaluinya. Kini barisan itu sudah terkurung, di depan dihalangi oleh batu-batu besar, dan di belakang dihalang-halangi api.
Selagi mereka kebingungan, tiba-tiba menyambar paku-paku Pek-lian-ting, juga batu-batu besar menggelundung dari atas karang. Teriakan-teriakan kesakitan terdengar, sementara serdadu-serdadu itu mulai roboh dan keadaan menjadi makin panik.
Komandan mencoba memberi perintah supaya semua bersikap tenang dan menghujani anak panah ke arah lawan. Akan tetapi karena lawan tidak kelihatan sedangkan mereka berada di tempat terbuka tanpa perlindungan sama sekali, serdadu-serdadu itu menjadi bingung. Lebih lagi ketika hujan api menyerang mereka, yaitu kayu-kayu terbakar yang dilemparkan ke arah mereka.
Serumpun bambu yang terbakar dilemparkan dari atas, tepat mengenai tubuh komandan pasukan itu. Dia berteriak-teriak dan meloncat-loncat ke sana kemari, bajunya terbakar, demikian pula rambut dan jenggotnya. Akhirnya komandan ini menggelundung ke dalam jurang, disambut api yang berkobar.
Beng San yang mengintai dari atas batu karang merasa kagum bukan main. Benar-benar hebat. Hanya sembilan orang saja mampu membasmi puluhan musuh. Akan tetapi selain kekagumannya, juga dia merasa ngeri dan bergidik. Bagaimana sesama manusia dapat melakukan pembunuhan besar-besaran seperti ini?
Beng San cukup tahu bahwa para serdadu Mongol itu mempunyai kebiasaan yang jahat terhadap rakyat, seperti yang pernah dilihatnya baru-baru ini. Akan tetapi menghadapi perang bunuh-bunuhan seperti itu, melihat manusia terpanggang oleh anak panah, orang terbakar hidup-hidup, dan melihat orang ketakutan setengah mati, dia tak kuasa melihat lebih lama lagi dan Beng San membuang muka.
Hanya sebentar saja perang ini terjadi. Siasat gerilya yang dilakukan oleh para anggota Pek-lian-pai benar hebat dan tak seorang pun di antara serdadu Mongol dapat meloloskan diri dari maut. Di pihak Pek-lian-pai, hanya tujuh orang termasuk Tan Hok dan Beng San yang masih hidup. Yang lain tewas terkena anak panah, bahkan ada yang ikut terbakar ketika dia sibuk membakari bambu untuk menjebak musuh. Tan Hok dan teman-temannya lalu berpencaran meninggalkan tempat itu.
"Kau hendak ke mana, Beng San?" tanya Tan Hok ketika melihat anak ini agak pucat dan nampak berduka.
"Aku hendak pergi ke Hoa-san," jawab Beng San singkat.
"Mari kau ikut saja denganku. Kau akan kumasukkan sebagai anggota Pek-lian-pai..."
"Tidak...! Tidak Aku tidak sudi menjadi pembunuh!"
Tan Hok memandang heran, tetapi hanya sebentar saja. la maklum bahwa anak ini tadi merasa ngeri menyaksikan pembunuhan terhadap musuh-musuh itu. Dia menggandeng tangan Beng San.
"Baiklah, kalau kau belum kuat perasaanmu untuk maju berperang. Mari kuantar kau ke Hoa-san. Setelah apa yang terjadi di sini, amat berbahaya melakukan perjalanan seorang diri di daerah ini. Kalau kau berjumpa dengan serdadu, kau akan ditangkap, dipukul dan dipaksa mengaku di mana adanya orang-orang Pek-lian-pai. Mari kau ikut aku, mengambil jalan rahasia untuk menuju ke Hoa-san."
Beng San menurut saja. Wajahnya yang cemberut dan muram dapat dimengerti oleh Tan Hok. Maka pemuda raksasa itu di sepanjang jalan lalu menceritakan keadaan dirinya, dan menceritakan keadaan Pek-lian-pai juga.
"Semenjak kecil, oleh guruku aku sudah diikut sertakan berkecimpung dalam perjuangan melawan pemerintah penjajah Mongol. Guruku yang sudah tidak ada lagi bernama Tan Sam. Dia adalah seorang tokoh terkenal di Pek-lian-pai. Kau tahu, Beng San, Pek-lian-pai merupakan perkumpulan kaum patriot yang anggotanya tersebar di seluruh negeri."
Dengan panjang lebar Tan Hok kemudian menceritakan sepak terjang Pek-lian-pai serta kegagahan para anggotanya yang pantang mundur dan rela mengorbankan nyawa untuk membela bangsa. Beng San yang telah banyak membaca kitab kuno, sudah banyak pula mendengar tentang riwayat para pahlawan, maka dia merasa kagum juga dan simpatinya terhadap Pek-lian-pai menjadi besar.
"Betapa pun juga, perang bunuh-membunuh itu menyakitkan hatiku," katanya sebagai komentar. "Jika membunuh seorang dua orang penjahat masih bisa kuterima. Akan tetapi puluhan orang itu, meski mereka semua orang-orang Mongol atau kaki tangan pemerintah Mongol, apakah mungkin orang sebegitu banyaknya itu jahat-jahat semua?"
Tan Hok tertawa lebar. "Di dalam perang, tidak ada istilah jahat ataukah tidak jahat. Tidak ada permusuhan pribadi. Tentu saja aku sendiri tidak membenci seorang pun serdadu Mongol atas dasar perasaan pribadi karena mengapa aku membenci seorang yang sama sekali tak kukenal? Tentu saja andai kata mereka tadi itu bukan serdadu-serdadu Mongol, aku tak akan sudi mengganggu mereka. Akan tetapi di dalam perang, mereka itu adalah musuh-musuh kita. Musuh rakyat yang harus dibasmi habis. Kalau tidak kita membunuh mereka, tentulah mereka yang akan membunuh kita."
Seorang anak sekecil Beng San yang belum pernah mendengar mengenai politik negara dan kebangsaan, mana bisa mengerti akan hal ini? Apa yang pernah dia pelajari hanyalah tentang peri kemanusiaan dan tentang filsafat-filsafat hidup yang pada umumnya mencela kekerasan dan tidak membenarkan tentang bunuh-membunuh.
Betapa pun juga, semangat Tan Hok saat bercerita membangkitkan rasa suka yang besar dalam hati Beng San, apa lagi setelah raksasa muda itu menjelaskan tentang penjajahan dan kesengsaraan rakyat karena diperas oleh kaum penjajah, yaitu bangsa Mongol.
"Sungguh menggemaskan bila kita pikirkan," demikian antara lain Tan Hok menceritakan, “bangsa kita adalah bangsa yang besar, yang memiliki rakyat banyak sekali. Sebaliknya bangsa Mongol adalah bangsa perantau yang tidak memiliki tempat tinggal yang tertentu, juga rakyatnya hanya sedikit. Akan tetapi bagaimana bisa bangsa kita malah dijajah dan diperbudak oleh bangsa Mongol? Padahal kalau rakyat kita semua bangkit dan melakukan perlawanan, setiap orang Mongol sedikitnya akan berhadapan dengan tiga puluh orang bangsa kita!"
"Kenapa tidak semua rakyat mau bangkit melakukan perlawanan?" tanya Beng San, mulai terbuka matanya dan dia pun merasa heran akan kenyataan ini.
Tan Hok menarik napas panjang. "Sayang di antara bangsa kita banyak yang mudah dan rela dipermainkan, masih banyak orang yang mabuk akan kesenangan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan rakyat jelata yang sengsara. Orang-orang kita yang pandai malah banyak yang menjadi kaki tangan Mongol, malah banyak pengkhianat-pengkhianat seperti ini sengaja memusuhi Pek-Lian-pai untuk membantu pemerintah penjajah. Perbuatan keji dan tidak tahu malu ini dilakukan hanya karena mengejar kesenangan duniawi untuk diri pribadi belaka. Mereka tidak malu menjual bangsa sendiri kepada penjajah. Benar-benar sikap yang memuakkan.”
Tan Hok lalu menceritakan pada Beng San tentang orang-orang dan golongan-golongan yang sengaja digunakan oieh pemenntah Mongol untuk menentang kaum pemberontak.
"Di antara mereka ini, yang paling menjemukan adalah kaum Ngo-lian-kauw. Ketuanya adalah Kim-thouw Thian-li. Dia itulah yang sudah membunuh guruku dan aku bersumpah demi tanah air dan keadilan, pada suatu hari aku pasti akan dapat membunuh siluman betina yang cabul itu!" Teringat akan perbuatan Kim-thouw Thian-li dahulu yaitu setelah membunuh gurunya, lalu hendak membunuhnya pula, dia menjadi merah mukanya dan kebenciannya mendalam.
"Aku telah mengumpulkan banyak keterangan tentang Ngo-lian-kauw, juga tentang semua perbuatan Kim-thouw Thian-li yang tak tahu malu. Perempuan cabul itu memang sengaja digunakan oleh pemerintah Mongol untuk melawan Pek-lian-pai. Dia benar-benar lihai dan jahat sekali, licin bagai belut dan banyak siasatnya."
"Mendengar namanya, Kim-thouw Thian-li (Bidadari Kepala Emas), tentulah dia seorang wanita yang baik. Sebutannya Thian-li (Bidadari), bagaimana bisa jahat? Pula, seorang wanita saja, apa dayanya terhadap Pek-lian-pai yang begitu banyak mempunyai anggota yang terdiri dari orang-orang gagah perkasa?"
Tan Hok tersenyum pahit. "Sebetulnya itu hanyalah nama yang dipilihnya sendiri, bagiku dia lebih patut disebut iblis betina dari pada bidadari. Tidak dapat dibantah bahwa dia memang cantik jelita. Kim-thouw Thian-li adalah murid tunggal dari Hek-hwa Kui-bo yang terkenal jahat dan kejam..."
"Ahhh...!"
"Kau sudah mendengar namanya?"
"Sudah... sudah...," jawab Beng San yang tentu saja sudah mengenal baik nenek itu.
"Meski Kim-thouw Thian-li adalah seorang wanita, jangan kau kira bahwa dia tak berdaya terhadap Pek-lian-pai. Dia licik, dan selain jumlah anggota Ngo-lian-kauw cukup banyak, juga di setiap tempat dia dibantu oleh para pembesar karena ia memiliki tanda kekuasaan dari kaisar sendiri. Sepak terjangnya sangat licin dan curang. Baru-baru ini dia berusaha keras untuk merusak nama baik Pek-lian-pai dengan perbuatan-perbuatan jahat yang dia sengaja lakukan sambil meninggalkan tanda-tanda Pek-lian-pai. Tentu saja perbuatannya ini dimaksudkan untuk merusak nama Pek-lian-pai, agar Pek-lian-pai dijauhi oleh rakyat dan bahkan dia sengaja hendak mengadu domba Pek-lian-pai dengan partai-partai besar lain. Pendeknya, segala usaha tak tahu malu dia jalankan untuk melemahkan perjuangan menentang pemerintah Mongol. Malah aku sudah mendapat keterangan dari penyelidik Pek-lian-pai bahwa dia sudah berhasil dalam usahanya mengacau hubungan baik antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai."
Beng San sangat kaget. Dia juga pernah mendengar tentang partai-partai besar di dunia persilatan dari Lo-tong Souw Lee, malah sekarang pun dia membawa surat Lo-tong Souw Lee untuk ketua Hoa-san-pai.
"Kenapa pula dia mengganggu Hoa-san-pai dan Kun-lunpai?"
"Sekarang ini di seluruh negeri, para orang gagah bangkit semangatnya untuk melawan penjajah dan banyak yang menggabungkan diri dengan Pek-lian-pai. Untuk mencegah hal inilah maka Kim-thouw Thian-li berusaha merusak hubungan antara partai-partai besar supaya bertengkar sendiri, terutama sekali agar mereka memusuhi Pek-lian-pai. Sayang sekali, seorang pendekar muda dari Kun-lun-pai sudah kena dipikat olehnya, dijatuhkan oleh kecantikannya."
Tan Hok yang sudah mendengar dari para penyelidik Pek-lian-pai, bahkan sudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa penolongnya, yaitu Kwee Sin, terpikat oleh kecantikan Kim-thouw Thian-li, lalu menceritakan apa yang dia ketahui. Betapa Kim-thouw Thian-li dengan bantuan orang-orangnya menyamar sebagai orang-orang Pek-lian-pai, kemudian melakukan pelbagai kejahatan, di antaranya membunuh Liem Ta, ayah Liem Sian Hwa tunangan Kwee Sin.
"Tentu saja maksudnya untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai," dia menutup ceritanya, "malah bukan itu saja maksudnya. Ia pun hendak mengadu dombakan kedua partai besar itu dengan Pek-lian-pai. Pernah dia melakukan penyerangan kepada dua saudara, Bun, murid-murid Kun-lun-pai dengan menyamar sebagai orang-orang dari Pek-lian-pai."
Beng San tertarik sekali. "Alangkah kejam dan jahatnya wanita itu."
"Karena itulah aku dan teman-teman selalu memasang mata mencarinya. Awas dia kalau terjatuh ke dalam tangan Pek-lian-pai!"
Karena berjalan sambil bercakap-cakap, tidak terasa lagi mereka sudah sampai di lereng Hoa-san. Tan Hok lalu menyuruh anak itu melanjutkan perjalanannya.
"Kau terus saja mengikuti jalan kecil ini, dan di dekat puncak sana itulah bangunan dari Hoa-san-pai. Mulai dari sini tidak akan ada yang berani mengganggumu lagi. Aku harus kembali kepada teman-temanku. Adik Beng San, selamat berpisah dan mudah-mudahan kelak kita akan bertemu kembali."
Beng San memberi hormat. "Tan-twako, siapa tahu kelak aku pun akan dapat membantu perjuanganmu."
Mereka berpisah dan dengan cerita-cerita Tan Hok masih terbayang dalam benaknya, Beng San mendaki puncak Hoa-san. Akan tetapi segera bayangan ini lenyap ketika dia melihat pemandangan alam yang amat indah dari puncak Hoa-san itu. Hawa udara pun amat segarnya. Dia menghirup hawa sebanyaknya dan merasa bahwa dia akan betah tinggal di daerah ini….
Seperti pernah disinggung oleh Hek-hwa Kui-bo kepada Beng San, Kwee Lun ini pernah merampas seorang pengantin wanita dan dalam perbuatannya yang sangat jahat ini dia telah membunuh pengantin pria dan semua tamu yang berada di situ! Pengantin wanita inilah yang kemudian melahirkan Bi Goat.
Akan tetapi, karena wanita ini selalu berduka dan putus asa semenjak dirinya dirampas oleh Song-bun-kwi, setelah melahirkan anak kesehatannya menjadi amat buruk. Akhirnya, ketika Bi Goat berusia kurang dari tiga tahun, ibu muda ini meninggalkan anaknya, bebas dari penderitaan dunia.
Kwee Lun amat cinta kepada isteri rampasannya itu, juga dia amat cinta kepada Bi Goat. Akan tetapi, begitu isterinya yang tercinta meninggal, timbul kembali sifat-sifatnya yang kejam dan jahat. Malah kadang-kadang kalau teringat kepada isterinya, dia menjadi benci kepada Bi Goat.
Begitu isterinya meninggal, dia menyalahkan hal ini kepada Bi Goat dan hampir saja dia membunuh anaknya sendiri. Anak yang baru berusia tiga tahun itu dia pukuli, dia banting dan dia cekik hampir mati. Akan tetapi dia segera teringat kepada pesan isterinya supaya menjaga Bi Goat baik-baik, maka segera dia menghentikan kekejamannya ini dan malah mengobati Bi Goat.
Kalau saja bukan dia yang mengobati, anak yang sudah dipukul dan dibanting itu tentu akan mati. Bi Goat tidak sampai mati, akan tetapi mungkin saking kaget, atau juga karena sakit, anak ini lalu menjadi gagu!
Dan demikianlah, Song-bun-kwi Kwee Lun yang sakti dan menjadi tokoh terbesar dari barat, setiap kali dapat bersikap kejam dan menyiksa Kwee Bi Goat, akan tetapi kadang kala dia teringat kepada isterinya dan kasih sayangnya tumpah kembali kepada anaknya itu.
Beng San sama sekali tidak tahu akan riwayat ini. Ia hanya menganggap bahwa Bi Goat, anak gagu itu, hidupnya tersiksa oleh Song-bun-kwi yang kejam dan jahat.
Beng San baru berani keluar dari tempat persembunyiannya dan melanjutkan perjalanan setelah Song-bun-kwi pergi jauh. Dia berjalan terus ke barat dan mengalami penderitaan yang hebat. Ada kala nya bocah belasan tahun ini dalam dua tiga hari tidak makan dan baru bisa mengisi perutnya kalau ada orang menaruh kasihan kepadanya atau kalau dia bisa mendapatkan buah-buahan di dalam hutan liar.
Baiknya dia memiliki tubuh yang kuat dan gerakannya cepat sehingga kadang-kadang dia bisa mendapat binatang-binatang hutan kecil untuk menjadi pengisi perutnya. Sementara itu, tak pernah dia lupa untuk melatih diri dengan ilmu yang dia pelajari dari Lo-tong Souw Lee.
Pandai sekali Beng San menjaga rahasianya sehingga tak pernah ada orang mengetahui bahwa anak ini mempunyai ilmu yang luar biasa. Semua orang yang bertemu dengannya hanya mengira bahwa ia adalah seorang anak jembel yang terlantar dan patut dikasihani.
Banyak pula hinaan-hinaan dan ejekan-ejekan yang diderita oleh Beng San, akan tetapi anak ini menerima semua itu dengan sabar. Seperti yang pernah dia dengar dari Lo-tong Souw Lee, dia maklum bahwa semua penderitaan hidup merupakan gemblengan yang paling baik untuk seseorang, merupakan latihan rohani yang amat berharga.
Sementara itu, hawa Im dan Yang di dalam dirinya makin hari makin menjadi kuat dan teratur. Dan betul saja seperti yang diajarkan oleh Souw Lee, semakin tekun dia belajar, makin terasa olehnya betapa tubuhnya menjadi makin kuat dan sama sekali tidak pernah menderita lagi dari perasaan panas atau dingin akibat dua macam hawa yang tadinya meracuni darahnya tapi yang sekarang setelah dapat dia kuasai merupakan tenaga yang maha kuat…..
**********
Sungguh patut disayangkan bahwa kesalah pahaman antara Kun-lun Sam-hengte dengan Hoa-san Sie-eng makin membesar dengan adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi antara mereka.
Seperti diketahui, sesudah melaporkan semua peristiwa yang menimpa dirinya di depan gurunya, yaitu ketua Hoa-san-pai Lian Bu Tojin, Sian Hwa serta ketiga orang suheng-nya pergi turun dari Gunung Hoa-san untuk mencari tiga orang bersaudara murid Kun-lun-pai untuk memprotes perbuatan Kwee Sin. Sesuai dengan petunjuk guru mereka, keempat orang murid Hoa-san-pai lalu pergi mengunjungi orang tertua dari Kun-lun Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng di Sin-yang.
Kedatangan mereka berempat disambut oleh Bun Si Teng dan adiknya Bun Si Liong yang sudah sembuh dari luka-lukanya. Dua orang saudara Bun ini sudah pernah bertemu dengan Sian Hwa, dan biar pun di antara tiga orang jago Hoa-san yang lain baru Kwa Tin Siong yang pernah mereka lihat, namun dua orang lagi, Thio Wan It dan Kui Keng, pernah mereka mendengar namanya.
Karena yang datang adalah jago-jago ternama dari Hoa-san, dua orang saudara Bun ini menyambut dengan penuh penghormatan. Akan tetapi saat melihat wajah para tamu yang nampaknya mengandung sesuatu yang tidak puas dan marah, mereka menjadi heran dan berlaku hati-hati.
Bun Si Teng beserta Bun Si Liong segera menyambut kedatangan mereka dan memberi hormat. Bun Si Teng sambil menjura berkata, "Ah, kiranya Hoa-san Sie-enghiong (Empat Orang Gagah dari Hoa-san) yang datang mengunjungi gubuk kami yang buruk. Selamat datang! Adik Sian Hwa, mari silakan duduk." Kepada tunangan sute-nya ini, Bun Si Teng bersikap manis. "Liong-te, lekas beri tahu soso-mu (kakak ipar-mu) untuk menemani Adik Sian Hwa."
"Tidak usah repot-repot, Ji-wi tak perlu repot-repot. Kami datang untuk minta keadilan dan minta dibereskannya sebuah urusan besar, bukan datang untuk bercakap-cakap kosong atau minum arak!" Ucapan ini dikeluarkan oleh Thio Wan It, orang ke dua dari Hoa-san Sie-eng yang terkenal berangasan.
Dua orang saudara Bun mengerutkan kening. Benar-benar tak sopan tamu ini, pikir Bun Si Liong sambil memandang kepada orang pendek gemuk berbaju hitam itu dengan mata menaksir-naksir. Akan tetapi Bun Si Teng yang lebih tua dan berpengalaman, segera bisa menduga bahwa tentu sudah terjadi hal yang amat gawat sehingga orang-orang gagah ini bersikap seperti itu.
"Saudara-saudara berempat jauh-jauh datang membawa urusan penting apakah? Tentu kami selalu siap untuk membantu kalian. Harap Sie-enghiong segera menceritakan pada kami berdua," kata Bun Si Teng, masih ramah-tamah.
Bu-eng-kiam Thio Wan It yang sudah sangat tidak sabar karena marahnya menghadapi urusan sumoi-nya, segera melangkah maju dan berkata kasar. "Sekarang ini, Hoa-san Sie-eng berhadapan dengan Kun-lun Sam-hengte sebagai sesama orang gagah yang hendak membereskan urusan penasaran! Kedatangan kami ini adalah karena perbuatan yang sangat tidak patut dan keji dari orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte. Kwee Sin harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya dan Ji-wi berdua ini harus pula bertanggung jawab dan dapat segera menyeret Kwee Sin kepada kami!"
Kata-kata ini seperti halilintar menyambar bagi dua orang saudara Bun itu. Bun Si Teng yang lebih sabar menekan dada dan mukanya agak pucat, ada pun Bun Si Liong sudah meraba gagang pedang dan goloknya sambil mengeluarkan suara gerengan bagaikan harimau terluka, matanya tajam menyapu keempat orang tamu itu.
Baiknya Bun Si Teng memberi isyarat kepada adiknya supaya bersabar dan dia sendiri lalu berkata, "Segala urusan dapat diurus, segala penasaran dapat diadili, akan tetapi seharusnya diberi penjelasan lebih dahulu apa sebabnya Sie-wi (Tuan Berempat) seperti marah-marah. Sute kami, Kwee Sin, bukan kami hendak menyombong, tetapi Kwee-sute telah terkenal di empat penjuru langit sebagai orang gagah yang tak pernah meninggalkan sifat-sifat satria. Siapakah yang tak pernah mendengar nama Pek-lek-jiu Kwee Sin murid termuda Kun-lun-pai yang selalu menjunjung tinggi keadilan dan membela kebenaran? Sekarang Sie-wi datang-datang menyatakan sute kami itu melakukan perbuatan yang amat tidak patut dan keji. Hemmm, tentu saja sukar bagi kami untuk dapat mempercayai. Tidak ada perbuatan Kwee-sute yang tidak patut!"
Liem Sian Hwa tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Seorang yang bergaul dengan siluman betina dari Pek-lian-pai, setelah terlihat oleh ayahku kemudian bersama siluman itu datang membunuh ayahku yang tua dan tak berdaya, apakah hal ini kau anggap patut dan tidak keji?"
Bun Si Teng melengak, lalu saling pandang dengan adiknya. Bun Si Liong marah sekali, mulutnya telah bergerak-gerak hendak membantah dan memaki. Akan tetapi orang gagah ini mempunyai sifat yang lucu sekali, yaitu dia sangat takut kalau berhadapan dengan wanita. Andai kata yang mengeluarkan tuduhan itu bukan Sian Hwa melainkan seorang di antara suheng-suheng nona itu, tentu Si Liong sudah memaki dan marah.
Sekarang dia hanya berdiri dengan kedua tangan terkepal, kedua mata melotot, akan tetapi tidak melotot kepada Sian Hwa, melainkan kepada Kwa Tin Siong bertiga! Bun Si Teng sudah dapat menguasai hatinya pula. la kini menghadapi Kwa Tin Siong yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan mata tajam penuh selidik.
"Hoa-san It-kiam, namamu di dunia kang-ouw sudah tersohor sebagai seorang pendekar gagah dan adil. Kuharap saja sekarang kau pun akan bersikap seperti seorang yang adil. Adikku Kwee Sin tertimpa tuduhan yang amat berat. Tetapi setiap tuduhan harus disertai bukti-bukti dan dasar. Tanpa dasar dan bukti maka tuduhan itu adalah fitnah yang amat jahat. Apakah bukti dan dasarnya tuduhan terhadap Kwee-sute itu?"
Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Saudara Bun, aku pun merasa menyesal sekali dengan terjadinya hal yang menimpa sumoi-ku. Apa bila kalian merasa penasaran karena sute kalian tertimpa tuduhan berat, bagaimana dengan kami? Sumoi kami tertimpa mala petaka yang lebih berat dan hebat lagi. Karena itu, kita harus berani mempertanggung jawabkan secara adil. Harus berani membela yang benar dan menghukum yang salah. Sikap begini sudah menjadi tugas kita sebagai orang gagah, bukan? Siapa saja yang salah harus dihukum, baik dia itu orang lain mau pun adik sendiri. Sebaliknya siapa saja orangnya, asal dia itu berada di pihak kebenaran, haruslah kita bela. Bukankah begitu juga pelajaran yang kalian terima dari suhu kalian?"
Bun Si Teng mengangguk-angguk. "Kau betul. Hoa-san It-kiam, Kami pun tidak akan membela sute kami sendiri kalau dia betul-betul bersalah. Hanya kami amat sangsikan apakah sute kami bersalah, karena kami percaya, bahkan yakin bahwa Kwee-sute bukanlah seorang yang demikian jahat dan keji. Dia pun sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw. Oleh karena itu, tuduhan berat tadi harap kau jelaskan dan kau beri dasar-dasar atau bukti-bukti."
Kwa Tin Siong tersenyum pahit. "Seorang yang sudah mempunyai kepandaian setingkat dengan kita, kalau sudah melakukan sesuatu, bagaimana bisa dicari buktinya? Kadang kala kejadian tanpa sebuah bukti pun sudah jelas, cukup jelas untuk ditarik kesimpulan dan diambil keputusan siapa yang bersalah. Nah, kau dengarlah baik-baik. Pada suatu hari, beberapa pekan yang lalu, ayah dari Liem-sumoi yaitu Liem Ta lopek, pulang ke rumah sambil marah-marah dan menyatakan kepada Liem-sumoi bahwa dia melihat Kwee Sin berpelesir bersama seorang perempuan cabul dari Pek-lian-pai, kemudian Liem-lopek menyatakan hendak memutuskan tali perjodohan antara Liem-sumoi dengan Kwee Sin. Liem-sumoi merasa penasaran dan diam-diam ia pergi ke Telaga Pok-yang di mana Kwee Sin terlihat oleh ayahnya. Sayang ia tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri, akan tetapi dari keterangan tukang-tukang perahu di sana ia mendapatkan keterangan bahwa memang betul Kwee Sin dan seorang perempuan berada di situ beberapa hari lamanya. Dengan hati berat Liem-sumoi pulang ke rumahnya, dan dia mendapatkan ayahnya telah luka-luka hebat. Sebelum meninggal dunia, Liem-lopek masih sempat menyatakan bahwa yang menyerangnya adalah Kwee Sin dibantu seorang perempuan cantik.”
"Penasaran... penasaran...!" Bun Si Liong berteriak-teriak. "Tidak mungkin Kwee-sute bisa melakukan perbuatan semacam itu. Tak mungkin! Mana buktinya bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah Kwee-sute?"
"Twa-suheng!" Kui Keng sudah meloncat maju. "Mengapa Suheng masih simpan-simpan keterangan? Jelaskan saja sekalian. Ehh, Kun-lun Sam-hengte, jangan coba-coba untuk menutupi kesalahan sute kalian. Kesalahannya sudah jelas, karena menurut keterangan Liem-sumoi, di tubuh Liem-lopek itu terdapat paku-paku Pek-lian-ting dan bekas pukulan Pek-lek-jiu! Nah, mau bilang apa lagi? Paku-paku Pek-lian-ting tentulah paku-paku yang dilepas oleh perempuan siluman dari Pek-lian-pai itu dan pukulan Pek-lek-jiu... hemmm, bukankah julukan Kwee Sin adalah Pek-lek-jiu?"
"Bohong! Bukan bukti itu!" Bun Si Liong membanting-banting kakinya. "Siapa saja yang pernah mempelajari Pek-lek-jiu tentu bisa menggunakannya. Apakah hanya sute sendiri? Tentang paku-paku Pek-lian-ting, aku mau percaya kalau Pek-lian-pai memusuhi kalian, karena Pek-lian-pai juga memusuhi kami. Akan tetapi tentang Kwee-sute, tetap aku tidak mau menerima kalau dia dituduh!"
"Ha-ha-ha, rupanya Kun-lun Sam-heng-te mau menang sendiri saja! Agaknya hanya mau mengandalkan kegagahan sendiri dan tak memandang kepada orang lain. Suheng, Sute, dan Sumoi, agaknya urusan ini hanya bisa dibereskan di ujung pedang!" kata Thio Wan It mengejek sambil meraba gagang pedangnya.
"Boleh sekali!" Bun Si Liong berteriak sambil tangannya mencabut sepasang senjatanya, yaitu sebatang pedang dan sebatang golok. “Apakah Hoa-san Sie-eng berempat datang hendak mengeroyok kami berdua? Jangan dikira kami takut! Kun-lun Sam-hengte takkan pernah mundur setapak pun menghadapi pengeroyokan siapa saja!"
"Ho-ho sombongnya! Kami Hoa-san Sie-eng bukanlah tukang keroyok! Untuk menghadapi kalian berdua cukup dengan pedangku saja. Orang she Bun, kalau kau ada kepandaian, keluarlah!" Thio Wan It berkata mengejek dan begitu kakinya bergerak, tubuhnya melesat keluar.
"Baik, hendak kukenal kelihaian Bu-eng-kiam!" berseru Bun Si Liong yang meloncat keluar pula.
Semua orang mengejar keluar dan ternyata bahwa dua orang jago itu sudah bertanding dengan hebat. Suara beradunya senjata tajam berdenting-denting nyaring disusul bunga api berpijar-pijar, gerakan dua orang jago ini gesit dan tangkas dan amat kuat. Di antara debu yang berhamburan berkelebat ujung pedang dan golok mencari nyawa.
Thio Wan It, sesuai dengan julukannya, Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) sangat cepat gerak-geriknya. Pedangnya diputar demikian cepat sehingga lenyap dari pandangan mata dan bagi lawan yang telah tinggi ilmunya, pedang ini hanya bisa diduga dari mana datangnya dengan mendengar suara anginnya saja. Gerakan-gerakan Thio Wan It yang mainkan Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat, boleh diumpamakan seekor burung walet yang menyambar-nyambar ke sana ke mari, perubahan-perubahan gerakannya sangat sukar diduga.
Di lain pihak, Bun Si Liong adalah murid ke dua Kun-lun-pai. Tentu saja kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang tinggi pula. Seperti juga dengan Hoa-san-pai, Kun-lun-pai juga amat terkenal dengan ilmu pedangnya.
Maka yang berhadapan dan bertanding sekarang ini adalah dua orang jago pedang dari dua partai yang mewakili Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Thio Wan It hanya menggunakan sebuah pedang saja, pedang panjang tipis yang dapat melengkung pada saat digerakkan secara cepat dan kuat.
Ada pun Bun Si Liong bersenjata pasangan, yaitu sebatang pedang dan sebatang golok. Inilah keistimewaan Bun Si Liong. Dua buah senjata yang berlainan itu akan membuat lawan menjadi bingung, seakan-akan dikeroyok oleh dua orang lawan yang senjatanya tidak sama.
Thio Wan It itu cepat dan lincah, pedangnya menyambar-nyambar. Bun Si Liong tenang dan kokoh kuat kedudukannya seperti seekor banteng sakti yang siap menanti serangan lawan untuk ditangkis dan dibalas dengan serangan-serangan yang tak kalah ampuhnya.
Pedang di tangan Thio Wan It mengancam semua bagian tubuh. Akan tetapi sepasang senjata Bun Si Liong yang jarang bergerak itu selalu dapat menangkis, kemudian kalau ada saat baik membalas dengan tusukan atau bacokan. Dilihat sekelebatan, Thio Wan It seperti menari-nari mengelilingi Bun Si Liong yang berdiri teguh sambil menggeser-geser kakinya untuk mengikuti pergerakan lawan yang amat lincahnya itu.
Pertempuran yang sengit dan seru itu ditonton oleh semua orang dengan hati berdebar. Pertempuran seimbang seperti ini tak mungkin berakhir tanpa membawa korban di satu pihak, hanya dapat diputuskan dengan menggeletaknya salah seorang. Padahal dalam urusan ini, baik Thio Wan It mau pun Bun Si Liong tidak ada sangkutan apa-apa, tidak ada kesalahan apa-apa.
Orang yang langsung tersangkut, Kwee Sin, belum diajak bicara, tapi keduanya sudah main hantam sendiri. Hal ini tidak betul. Demikianlah jalan pikiran Kwa Tin Siong dan juga Bun Si Teng.
"Urusan gelap belum dibikin terang, tidak perlu ditambah keruh dengan lain pertumpahan darah," kata Kwa Tin Siong sambil memandang kepada Bun Si Teng.
Orang tertua Kun-lun Sam-heng-te ini mengangguk. "Betul. Urusan ini harus diselidiki, tak akan beres kalau menurutkan nafsu dan sakit hati."
Dua orang itu seperti telah bermufakat, meloncat maju dan menahan adik masing-masing. Dua orang jago yang sedang bertanding itu terpaksa mundur dengan dada turun naik, mata melotot lebar dan sikap menantang.
"Aku masih belum kalah!" Thio Wan It berkata penasaran.
”Aku juga belum kalah," kata Bun Si Liong.
"Kalau begitu hayo teruskan sampai salah seorang di antara kita mampus!" kata pula Thio Wan It.
"Hayo, majulah!" tantang Bun Si Liong.
Kwa Tin Siong dan Bun Si Teng sibuk mencegah dua orang jago yang sudah panas perutnya itu supaya tidak bertanding lagi.
"Yang menjadi pokok persoalan ini adalah Kwee Sin, sebelum dia ditemukan dan ditanya, amatlah jelek apa bila kita menyerang orang-orang lain," berkata Kwa Tin Siong kepada sute-nya sambil menyabarkan dan memaksa sute-nya menyimpan kembali pedangnya.
"Liong-te, sabarlah," kata Bun Si Teng kepada adiknya. "Simpanlah kembali senjatamu. Urusan ini tidak bisa dibereskan hanya dengan mengangkat senjata. Kwee-sute ternyata telah terkena fitnah yang hebat dan hal ini harus kita bersihkan." Dia lalu membalik dan menghadapi Kwa Tin Siong.
"Hoa-san It-kiam, terus terang saja, aku tidak akan meragukan semua ceritamu tadi. Hanya yang kuragukan bahkan tidak dapat kuterima adalah bahwa sute-ku melakukan semua perbuatan itu. Hal itu tidak mungkin sekali."
"Hemmm, saudara Bun. Urusan sumoi-ku yang ayahnya dibunuh mati orang ini kiranya takkan puas jika hanya kau beri keyakinan bahwa sute-mu tidak mungkin melakukannya. Habis, karena hal ini menyangkut nama baik sute-mu, apa yang selanjutnya hendak kau lakukan? Kami masih memandang muka Kun-lun Sam-hengte, juga memandang muka Kun-lun-pai ciangbunjin (ketua Kun-lun-pai) maka kami tidak tergesa-gesa dan secara sembrono mencari dan mengadili sendiri kepada Kwee Sin."
Bun Si Teng mengangguk-angguk. "Baiklah. Kami akan mencari Kwee-sute dan dalam waktu lima bulan kami bertiga Kun-lun Sam-hengte akan menghadap ke Hoa-san. Kami harus membersihkan nama baik Kwee-sute di depan ketua Hoa-san-pai sendiri."
"Bagus. Lima bulan sesudah hari ini, Hoa-san Sie-eng akan menanti kedatangan Kun-lun Sam-hengte di puncak Hoa-san," kata Kwa Tin Siong yang segera mengajak pergi tiga orang adik seperguruannya, meninggalkan tempat itu.
Setelah ditinggal pergi para tamunya, Bun Si Teng dan Bun Si Liong duduk dengan hati berat.
"Heran sekali mengapa ada peristiwa seperti ini," kata Bun Si Teng. "Kita harus menyusul Kwee-sute ke Kun-lun.”
"Memang urusan ini harus dibikin terang, karena menyangkut nama baik dan kehormatan Kwee Sin," kata Bun Si Liong, mukanya yang hitam makin hitam karena kemarahannya.
“Kau tinggallah di rumah mengurus pekerjaan kita, Liong-te. Biar aku saja yang pergi ke Kun-lun. Lim Kwi akan kuajak serta agar anak itu berdiam dan belajar di sana, dipimpin langsung oleh suhu. Aku akan segera kembali bersama Kwee-sute."
Demikianlah, pada keesokan harinya, Bun Si Teng bersama puteranya, Bun Lim Kwi, berangkat ke Kun-lun-san untuk mencari Kwee Sin dan menitipkan Lim Kwi di Kun-lun-san supaya menerima gemblengan ilmu silat dari ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Pek Gan Siansu….
**********
“Minggir, jembel-jembel busuk, minggir!”
Suara kaki banyak kuda berdetakan, didahului bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan kasar dari para penunggangnya. Orang-orang dusun yang sedang berjalan menuju ke sawah ladang, cepat-cepat berlari ke pinggir supaya jangan sampai diseruduk kuda yang berlari cepat di jalan dusun yang kecil itu. Ternyata barisan kuda ini adalah sepasukan berkuda tentara negeri yang berpakaian keren dan bersenjata lengkap.
Tinggi besar kuda-kuda itu, gagah dan tinggi besar pula para penunggangnya. Sambil tertawa-tawa para serdadu Mongol ini mempergunakan cambuk untuk secara main-main mencambuk kanan kiri kepada orang-orang desa yang sudah menjauhkan diri sampai ada yang kesakitan dan ketakutan sehingga terjatuh ke dalam selokan sawah!
Seorang kakek kena didorong oleh seorang penunggang kuda dan kakek itu terjengkang roboh ke dalam tanah berlumpur. Ketika dia merangkak bangun, tubuhnya yang kurus itu terbungkus lumpur, menakutkan. Semua kejadian ini disambut gelak terbahak dari pada serdadu itu.
Seorang wanita muda menjerit-jerit ketika tubuhnya disambar oleh tangan yang kuat dan tahu-tahu ia telah berada di atas kuda, dipeluk oleh seorang serdadu yang kurang ajar. Wanita itu meronta-ronta, menjerit-jerit sedangkan serdadu yang menangkapnya itu terus tertawa-tawa menggoda, sikapnya kurang ajar dan tidak ada kesopanan sama sekali. Di depan dan belakang, para serdadu lainnya tertawa-tawa gembira.
Saking takut dan jijiknya, wanita muda itu akhirnya pingsan di atas pangkuan serdadu itu. Setelah wanita itu pingsan, agaknya tidak ada kegembiraan lagi bagi serdadu itu, maka tubuh wanita itu lalu didorong turun dari atas kuda, jatuh berdebuk di atas tanah berdebu.
"Setan! Iblis kejam!" Seorang anak laki-laki berlari menolong wanita itu.
"Jembel cilik, minggir kau!" Seorang serdadu mengayun cambuknya.
"Tarr! Tarr!"
Cambuk menghantam muka anak itu yang berdiri dengan berani dan matanya melotot. Cambukan dua kali itu seperti tak dirasainya dan dia memandang serdadu-serdadu yang melarikan kuda sambil mengepal-ngepalkan tinjunya yang kecil. Wanita itu masih saja menangis terisak-isak di depannya. Akhirnya debu tebal saja yang ditinggalkan serdadu-serdadu itu yang jumlahnya tiga puluh orang lebih.
"Keparat...!” Beng San, anak berpakaian jembel itu, memaki dan membangunkan wanita tadi, "Sudahlah, Cici, jangan menangis dan pulanglah. Masih baik kau tidak mereka culik tadi."
Para penduduk yang melihat sikap Beng San, merasa heran dan juga kagum.
"Anak, kau berani sekali," seorang kakek berkata sambil mengangguk-angguk. "Bila saja pemuda-pemuda kita seperti kau ini, takkan sukar membebaskan tanah air dari penjajah-penjajah keji seperti mereka..." Sambil terbungkuk-bungkuk kakek itu melanjutkan langkah kakinya menuju ke sawah ladang.
Beng San masih terengah-engah saking marahnya. Baru kali ini dia menyaksikan sendiri keganasan serdadu-serdadu Mongol kalau beraksi di dusun-dusun. Seorang petani lain berjalan di sisinya dan bercerita betapa serdadu-serdadu itu menjadi lebih kejam lagi bila bermalam di suatu dusun. Mereka merampoki bahan makan, merampas segala benda berharga, menculik gadis-gadis dusun dan isteri orang, membunuh pemuda-pemuda yang berani melawan.
Pendeknya, rakyat kecil mengalami neraka dunia kalau kedatangan serdadu-serdadu ini. Apa lagi mereka itu biasanya lalu disambut oleh pembesar setempat dan tuan-tuan tanah setempat yang mempergunakan kekuasaan mereka untuk memeras para petani yang sudah amat miskin.
"Keparat," pikir Beng San. "Kalau aku sudah kuat, kuhajar mereka itu."
Setelah meninggalkan perkampungan ini, Beng San lalu berlari cepat mengejar ke arah perginya barisan berkuda tadi. Ia telah berada dekat kaki Gunung Hoa-san dan kebetulan sekali barisan berkuda itu sejurusan dengan dia. Menjelang tengah hari dia memasuki sebuah hutan besar di kaki Gunung Hoa-san.
Ia mendengar suara berisik dari dalam hutan. Ketika dia mendekat, jelas terdengar pekik kesakitan bercampur teriak kemarahan diselingi suara senjata tajam beradu. Jelas bahwa terjadi pertempuran besar-besaran di tengah hutan itu.
Beng San cepat menyelinap di antara pohon-pohon besar, mendekati tempat pertempuran sambil mengintai. Ringkik banyak kuda mengingatkan dia akan barisan serdadu-serdadu Mongol.
Celaka, pikirnya, tentunya setan-setan Mongol itu kembali mengganggu penduduk dekat hutan sini. Akan tetapi, mengapa penduduk berada di dalam hutan besar? Ahh, mungkin pemburu-pemburu.
Dia cepat berindap ke tengah hutan dan akhirnya terlihatlah olehnya pertempuran hebat sudah terjadi di tempat terbuka. Benar saja dugaannya. Para serdadu Mongol itu tengah bertempur melawan sekumpulan orang-orang yang bersikap gagah dan rata-rata pandai ilmu silat. Jumlah orang-orang gagah itu hanya belasan orang sehingga tiap orang harus menghadapi keroyokan dua atau tiga orang serdadu Mongol.
Perang tanding itu hebat sekali. Banyak serdadu Mongol sudah roboh mandi darah. Akan tetapi mereka adalah serdadu-serdadu yang terlatih dan rata-rata sangat kuat sehingga belasan orang gagah itu terdesak juga, malah di antaranya ada yang terluka.
Tiba-tiba terdengar aba-aba keras. Para serdadu Mongol itu mengeluarkan panah tangan, lantas serentak menyerang dengan anak-anak panah mereka yang terkenal berbahaya. Serangan mendadak ini membikin para orang gagah menjadi kacau-balau dan tiga orang terjungkal roboh.
"Anjing-anjing Mongol rasakan pembalasan kami!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tinggi besar bersama enam orang lain dari jurusan selatan. Mereka datang dan terus menyerbu.
Hebat sekali serbuan pemuda tinggi besar serta kawan-kawannya ini. Sisa orang-orang gagah yang dikeroyok tadi timbul kembali semangat mereka saat melihat datangnya bala bantuan.
Perang tanding makin berkobar dan kini giliran para serdadu Mongol yang dihantam dari kanan kiri sehingga kocar-kacir. Mereka sudah mulai ketakutan dan mencoba-coba untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiap seorang serdadu Mongol berhasil meloncat ke punggung kuda dan melarikan kuda itu, tentu dia disambar oleh beberapa buah senjata rahasia paku dan robohlah dia dari atas punggung kuda.
Beng San yang sedang mengintai dan menonton semua pertandingan ini, menjadi girang dan berdebar hatinya ketika melihat pemuda tinggi besar itu.
"Dia adalah Tan Hok," pikirnya gembira. "Benar-benar dia gagah perkasa."
Memang hebat sepak terjang Tan Hok. Dia paling besar di antara teman-temannya dan golok di tangannya mengamuk bagai seekor naga. Mayat serdadu-serdadu Mongol roboh bergelimpangan dan sebentar saja, setelah datang Tan Hok beserta teman-temannya ini, serdadu-serdadu itu dapat dirobohkan semua.
Beberapa orang serdadu dapat melarikan diri dengan kuda mereka yang kuat dan cepat. Biar pun mereka tidak terluput dari luka-luka, akan tetapi mereka tidak mengalami nasib seperti kawan-kawan mereka yang bergelimpangan tak bernyawa lagi di hutan itu.
"Pasukan besar musuh tentu akan segera menyusul ke sini, kita harus cepat-cepat pergi. Lekas kumpulkan teman-teman yang tewas. Cepat, saudara-saudara!" Tan Hok memberi aba-aba.
Dari tempat sembunyinya, Beng San memandang dengan kagum. Kini pemuda raksasa itu tidak kelihatan bodoh lagi, melainkan tangkas dan dihormati teman-temannya.
Semua orang gagah itu bekerja. Ada yang mengubur mayat teman-temannya, ada yang merawat teman-teman yang terluka, ada yang mengumpulkan senjata-senjata rampasan, ada yang mengumpulkan kuda-kuda tinggi besar tunggangan para serdadu tadi. Ada pun Tan Hok sendiri memasang sebuah bendera kecil di batang pohon, bendera kecil tanda perkumpulan Pek-lian-pai, bendera kecil bergambar teratai putih!
"Tan-twako...!" Beng San meloncat keluar dan memanggil.
Semua orang terkejut. Seorang anggota Pek-lian-pai cepat melompat mendekati Beng San dan membentak, "Mata-mata Mongol, tangkap!"
Akan tetapi Tan Hok segera berseru, "Ahh, bukankah kau Adik Beng San?"
Dia berlari menghampiri dan mencegah kawan-kawannya menangkap Beng San, malah segera memperkenalkan, "Inilah anak ajaib Beng San, adikku yang sangat gagah berani. Ehh, Adik Beng San, kau dari mana tiba-tiba muncul di tempat ini?"
"Tan-twako, aku tadi melihat semua kejadian ini. Tadinya aku tidak tahu kenapa kau dan teman-temanmu mencegat dan membunuh serdadu-serdadu ini biar pun aku tahu betapa kejam dan jahatnya mereka. Akan tetapi... jika kau dan teman-temanmu hanya mengubur mayat kawan sendiri ini di sini, kau telah melakukan dua macam kesalahan.”
Semua anggota Pek-lian-pai melengak mendengar ini. Masa seorang anak kecil hendak menasehati orang-orang Pek-lian-pai?
Akan tetapi Tan Hok yang sudah banyak melihat keanehan pada diri anak ini, dengan sabar berkata, "Kau jelaskanlah, Adik Beng San. Kesalahan-kesalahan apakah itu?"
"Pertama, kau melanggar peri kemanusiaan kalau kau tidak mau mengubur mayat para serdadu ini. Bukankah dahulu kau mengubur semua mayat orang-orang kelaparan yang menggeletak di pinggir jalan?"
Tan Hok menarik napas panjang. "Lain lagi. Mereka itu adalah mayat-mayat bangsaku yang sengsara, yang kelaparan karena pemerasan kaum penjajah seperti anjing-anjing Mongol ini. Sebaliknya, mereka ini adalah musuh-musuh besar rakyat, untuk apa aku harus mengubur mereka?"
"Tan-twako, kau keliru. Yang kau benci adalah perbuatan mereka. Sekarang mereka sudah mati, tidak bisa berbuat apa-apa lagi, apakah mayat-mayat itu pun masih dibenci?"
"Kau memang aneh. Di dalam perang, kalau orang harus mengubur mayat musuh, bisa kehabisan waktu untuk mengubur saja! Dalam perang memang begitu, adikku, jangankan mayat musuh, bahkan mayat teman-teman sendiri kadang-kadang tidak ada waktu untuk mengurusnya. Dan apakah kesalahanku yang ke dua?"
"Kalau kau tidak mengubur mayat-mayat ini dan membiarkan mereka berserakan di sini, kau akan membikin celaka Hoa-san-pai pula. Bukankah mayat-mayat serdadu ini berada di kaki Gunung Hoa-san? Kalau sampai terlihat oleh pasukan negeri, sudah tentu mereka akan mengira bahwa Hoa-san-pai yang melakukannya..."
"Kan sudah kuberi tanda bendera kecil di sini," bantah Tan Hok.
"Betapa pun juga, kejadiannya di kaki Gunung Hoa-san, tentu Hoa-san-pai akan terlibat. Kalau mereka ini dikubur, tidak akan ada bekasnya lagi dan Hoa-san-pai akan terbebas dari sangkaan." Sambil berkata demikian Beng San lalu mulai menggali lubang untuk mengubur mayat sebanyak dua puluh orang lebih itu.
Ada pun Tan Hok dan kawan-kawannya, dengan kagum sekali mendengar ucapan Beng San tadi. Akhirnya mereka harus pula membenarkan ucapan itu. Bukankah ada golongan yang memang sengaja hendak memburukkan nama Pek-lian-pai dan kemudian mengadu Pek-lian-pai dengan lain-lain perkumpulan?
Memang tidak baik sekali kalau kelak pemerintah penjajah memusuhi Hoa-san-pai karena urusan perang di kaki Gunung Hoa-san ini. Tidak baik membuat Hoa-san-pai mengalami bencana karena perbuatan Pek-lian-pai.
"Saudara-saudara, hayo bantu Adik Beng San mengubur bangkai-bangkai anjing penjajah ini!" kata Tan Hok dengan suaranya yang keras.
Mereka segera turun tangan dan sebentar saja mayat-mayat itu sudah dikubur semua. Tiba-tiba seorang di antara mereka berlari datang dan berkata. "Sepasukan anjing Mongol sudah datang!"
Mereka semua mendengarkan dan betul saja, dari jauh terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali. Tan Hok segera berunding dengan teman-temannya.
"Kita pancing mereka memasuki Lembah Pek-tiok-kok (Lembah Gunung Bambu Putih). Cepat kumpulkan semua kuda!" Akhinya keputusan ini diambil dan beramai-ramai mereka meninggalkan tempat itu.
"Adik Beng San, kau harus ikut kami kali ini!" kata Tan Hok sambil menggandeng tangan anak itu.
Karena Beng San amat tertarik dan kagum kepada rombongan orang-orang gagah ini dan ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan terhadap para pengejar, pasukan musuh itu, maka dia menurut saja dan ikut berlari-lari dengan yang lainnya. Hati Beng San lega melihat orang-orang gagah ini berlari meninggalkan Gunung Hoa-san, kemudian mendaki gunung kecil yang gundul dan banyak batu-batu karangnya yang tinggi meruncing.
Derap kaki kuda dari belakang makin lama semakin terdengar dekat dan ketika mereka sudah mulai mendaki bukit, dari atas terlihatlah oleh mereka pasukan berkuda terdiri dari sedikitnya enam puluh orang mengejar mereka dari belakang!
Melihat ini, diam-diam Beng San khawatir. Sisa teman-teman Tan Hok termasuk pemuda raksasa itu sendiri hanya ada dua belas orang. Bagaimana mereka akan dapat melawan enam puluh orang serdadu musuh?
Jalan yang dilalui rombongan Tan Hok amat sukar, banyak lubang-lubang sehingga tak mungkin dilalui kuda. Tan Hok memimpin teman-temannya berloncatan melalui jalan ini dan setelah sampai di tempat yang agak tinggi, baru Beng San tahu bahwa kuda-kuda rampasan tadi tidak ikut dibawa ke tempat itu, entah sudah disembunyikan di mana oleh teman-teman Tan Hok. Anak ini sekarang mengerti, atau demikian dia mengira, bahwa Tan Hok dan teman-temannya memilih jalan ini supaya lawan yang berkuda tidak dapat mengejar mereka.
Akan tetapi, setelah mereka sampai di tempat yang lebih tinggi, Beng San kaget melihat betapa pasukan besar di belakang itu pun kini telah turun dari kuda dan terus mengejar mereka sambil berloncat-loncatan dan berlarian. Dilihat dari atas, enam puluh orang itu seperti semut yang merayap-rayap naik!
"Tan-twako, mereka mulai mengejar tanpa kuda!” kata Beng San khawatir sekali.
Tan Hok hanya tersenyum. "Jangan kau khawatir, Adik Beng San. Kita kaum Pek-lian-pai sudah biasa menghadapi musuh banyak. Musuh yang mengejar itu tidak ada seratus dan kita... bersama kau dan kita ada tiga belas orang. Takut apa?”
Diam-diam Beng San menghitung. Tiga belas orang melawan enam puluh orang lebih. Berarti seorang melawan lima orang musuh! Bagaimana raksasa ini masih bicara begitu enak? Beng San merasa heran, akan tetapi juga kagum.
"Aku jangan dihitung, Twako. Melawan satu orang saja belum tentu aku menang, bagai mana harus melawan lima orang?"
Tan Hok hanya tertawa saja. "Kau lihat saja nanti. Lihat dan pelajarilah cara-cara kaum Pek-lian-pai mengganyang musuh-musuhnya."
"Srrrt! Srrrt!"
Beberapa buah anak panah meluncur dari belakang. Salah satu anak panah hampir saja mengenai tubuh Tan Hok, baiknya raksasa muda ini cepat menangkisnya dengan golok. la nampak kaget ketika merasa telapak tangannya tergetar.
"Teman-teman, cepat! Dan awas, pelepas panah tadi lihai sekali. Kita lari sambil mencari perlindungan. Cepat!" la menarik tangan Beng San dan mendahului rombongannya.
Mereka sudah hampir sampai di puncak bukit. Tadinya anak panah dari belakang masih gencar menyerang, akan tetapi karena perjalanan itu berliku-liku, musuh dari belakang tak dapat melepas anak panah secara ngawur lagi.
Mereka tiba di daerah batu-batu besar yang banyak goanya. Tan Hok segera membawa teman-temannya memasuki goa besar yang ternyata merupakan terowongan batu dan alangkah herannya hati Beng San ketika ternyata olehnya bahwa rombongan itu jalannya menuju... kembali turun! Di tengah-tengah terowongan terdapat lubang-lubang di antara batu dan dari lubang-lubang ini mereka dapat mengintai musuh yang berada di luar.
"Ahh, benar pasukan itu berhenti, tidak mengejar terus," kata Tan Hok setelah mengintai. "Tentu dipimpin oleh orang pandai yang berpengalaman. Kita harus memancing mereka sampai di Pek-tiok-kok. Mari, teman-teman, cepat. Kita menggunakan kecerdikan musuh justru untuk menipu mereka."
Sambil berlari Tan Hok menggandeng tangan Beng San. Mereka memasuki terowongan yang gelap itu, diikuti teman-temannya. Tidak lama kemudian mereka sampai di tempat terbuka, keluar dari terowongan yang merupakan goa besar.
"Serbu mereka sambil berteriak-teriak. Jika mereka melawan pura-pura kalah biar mereka mengejar kita," bisik Tan Hok kepada teman-temannya. "Mungkin di pihak kita akan jatuh korban, akan tetapi ingat, pengorbanan kita itu tidak ada artinya bila akhirnya kita dapat menghancurkan mereka.”
Semua orang mengangguk menyatakan setuju dan rombongan ini kembali merayap naik karena mereka sekeluarnya dari terowongan itu ternyata telah berada di sebelah bawah kedudukan musuh. Mereka melihat barisan musuh memasang kedudukan di lereng, tidak mengejar terus.
Inilah kecerdikan pimpinan barisan itu, karena kalau tadi mereka terus mengejar, tentu mereka itu akan menjadi korban hujan Pek-lian-ting (Paku-paku Teratai Putih) yang tentu akan dilakukan oleh rombongan Tan Hok. Enak saja menyikat mereka dari terowongan, menyerang tanpa dapat diserang kembali dan karena jalanan sempit pasti musuh akan kacau-balau dan banyak jatuh korban.
Pimpinan tentara Mongol itu agaknya menaruh hati curiga, maka menyuruh pasukannya berhenti dan dia hanya menyuruh beberapa orang pengintai untuk merayap mendekati daerah berbatu-batu itu untuk melakukan penyelidikan.
Ketika mendengar bahwa di situ tak ada jejak orang-orang yang mereka kejar, pimpinan barisan itu berkata, "Kita tunggu saja, pasti mereka itu menggunakan siasat. Kita lihat saja apa siasat mereka. Dengan menanti di tempat terbuka ini sambil siap siaga, tak mungkin mereka dapat menipu."
Tiba-tiba mereka mendengar suara sorak-sorai dan paku-paku Pek-lian-ting beterbangan menyambar dari belakang! Kaget sekali barisan itu. Pemimpinnya sendiri pun amat kaget, karena apa pun yang akan dilakukan oleh rombongan pemberontak Pek-lian-pai yang dikejar tadi sama sekali dia tak pernah menduga bahwa yang dikejar itu tahu-tahu sudah muncul di belakangnya!
Mereka tak sempat lagi menggunakan panah, maka pemimpin ini berteriak-teriak memberi komando supaya melawan. Apa lagi ketika dilihatnya bahwa yang muncul hanya belasan orang lawan saja.
"Serbu! Bunuh habis para pemberontak!" teriaknya keras.
Tan Hok dan teman-temannya mengamuk. Dalam sekejap pemuda raksasa ini sedikitnya sudah merobohkan lima orang dan pertempuran yang berat sebelah ini hanya berjalan seperempat jam. Beng San oleh Tan Hok disuruh bersembunyi agak jauh agar jangan tertimpa bencana.
Tiba-tiba Tan Hok memberi aba-aba, "Mundur! Lari... musuh terlampau kuat!"
Teman-teman Tan Hok berlari cerai-berai, nampaknya kacau-balau ketakutan. Pemimpin barisan Mongol tertawa bergelak-gelak.
"Ha-ha-ha-ha-ha, tikus-tikus Pek-lian-pai, mampus kalian semua. Hayo kejar.”
Walau pun kelihatannya kacau-balau, sebenarnya rombongan teman-teman Tan Hok ini melarikan diri secara teratur. Mereka sengaja lari cerai-berai sehingga pengejaran musuh menjadi kacau pula. Dan apa bila ada seorang dua orang musuh terpencil, tiba-tiba yang dikejar muncul dari tempat sembunyinya dan merobohkan satu dua orang musuh dengan Pek-lian-ting. Dan akhirnya, karena memang sudah diatur lebih dulu, semua orang yang lari kacau-balau dan sebetulnya siasat untuk mengacau musuh, telah berkumpul lagi dan melarikan diri ke selatan.
Pimpinan barisan marah bukan main melihat betapa anak buahnya sudah dipermainkan. Seorang anggota Pek-lian-pai yang dapat dirobohkan, segera dia cincang dengan golok besarnya, kemudian dia memberi aba-aba kepada semua barisannya supaya mengejar terus dan membasmi habis rombongan Pek-lian-pai yang hanya terdiri dari belasan orang itu.
Beng San menyaksikan semua ini dengan kagum. Ketika rombongan ini lari ke selatan, ia ikut lari pula di samping Tan Hok, dikejar dan dihujani anak panah. Tiga orang temannya roboh pula terkena anak panah. Mereka tidak mati, hanya terluka parah.
Beng San ingin menolong mereka, tetapi Tan Hok mencegahnya, malah menghampiri tiga orang itu dan berkata, "Saudara-saudara, teruskan siasat kita!"
Tiga orang itu tersenyum lebar. Dengan muka pucat mereka mengangguk dan dengan tubuh mandi darah mereka diam-diam mempersiapkan Pek-lian-ting dan golok di tangan.
Sambil berlari Beng San tak dapat menahan keinginannya untuk menengok ke belakang, melihat ke arah tiga orang teman yang telah terluka itu. Dua orang terluka dadanya yang tertancap anak panah, sedangkan yang seorang lagi terluka parah pahanya karena anak panah menancap dan menembus pahanya.
"Adik Beng San, tak usah menengok. Mereka akan tewas sebagai satria sejati, mereka akan gugur sebagai bunga bangsa, sebagai patriot pahlawan tanah air."
"Apa? Mereka akan mati? Dan kau diamkan saja...?" Beng San tak dapat lagi menahan teriakannya dan dia sekarang mogok betul-betul, tidak mau lari lagi.
Tan Hok tersenyum dan memberi isyarat kepada teman-temannya supaya lari terus. Dia sendiri berkata, "Kau mau menyaksikan kegagahan mereka? Baiklah, mari kita mengintai dari sini." Dia membawa Beng San ke belakang sebuah batu besar dan berlutut di situ, mengintai ke arah tiga orang yang menggeletak tadi.
"Lihat, Adik Beng San. Lihat dan ingatlah selalu kepada kegagahan kaum Pek-lian-pai, patriot-patriot sejati,” bisik Tan Hok.
Barisan itu sudah tiba di tempat di mana tiga orang anggota Pek-lian pai itu menggeletak. Tiba-tiba tiga orang itu meloncat bangun dan menyambit dengan Pek-lian-ting. Terdengar pekik kesakitan dan beberapa orang pengejar terjengkang roboh.
Komandan barisan itu marah sekali. Anak panahnya menyambar dan seorang di antara tiga orang Pek-lian-pai roboh dengan leher tertembus anak panah. Yang dua mengamuk, dikeroyok dan biar pun mereka berhasil melukai dua orang lawan, namun mereka sendiri roboh dengan tubuh hancur dihujani senjata para pengeroyoknya.
Beng San menutupi mukanya, dia merasa ngeri.
"Twako, kenapa mereka tadi tidak dibawa lari saja? Kenapa kau begitu tega membiarkan teman-teman sendiri mati seperti itu?"
Tan Hok menarik tangan Beng San, diajak berlari pergi menyusul kawan-kawannya yang sudah melarikan diri terlebih dahulu. Di belakang mereka, serdadu-serdadu itu bersorak dan pengejaran dilanjutkan.
"Kau dengar itu, Beng San? Kematian tiga orang teman kita tadi selain tidak rugi karena mereka dapat merobohkan beberapa orang musuh, juga merupakan kelanjutan siasat pancingan kita. Karena kita meninggalkan teman-teman yang terluka, tentu para serdadu mengira bahwa kita ketakutan betul-betul dan melarikan diri kacau-balau, bukan sedang menjalankan siasat. Dalam siasat perang, pengorbanan tiga orang teman bukan apa-apa, bahkan kalau perlu, pengorbanan tiga ribu orang pahlawan masih belum terhitung mahal demi tanah air dan bangsa. Kau dengar? Mereka mengejar terus. Hayo cepat, kita sudah dekat Pek-tiok-kok."
Yang disebut Pek-tiok-kok atau Lembah Gunung Bambu Putih itu adalah lembah gunung yang penuh jurang-jurang berbahaya dan di sana-sini terdapat rumpun-rumpun bambu yang berwarna keputihan. Jalan di daerah ini berbahaya sekali, kadang-kadang sempit sekali, hanya dapat dilalui seorang saja dengan jurang-jurang dalam di kanan kiri yang juga penuh dengan rumpun bambu-bambu putih. Memang amat indah, akan tetapi juga amat berbahaya.
Menyambung jalan sempit diapit-apit jurang itu adalah jalan sempit diapit-apit batu karang yang tinggi di kanan kiri. Tan Hok membawa Beng San lari cepat melalui jalan sempit dan tiap kali terdengar suara-suara suitan di kanan kiri jalan, suara dari dalam jurang. Itulah suara teman-teman mereka yang sudah lebih dulu sampai di tempat itu dan memasang barisan pendam!
Tan Hok dan Beng San kemudian mendaki batu karang, menggunakan sehelai tambang besar yang memang sudah dipasang oleh teman-teman mereka. Di atas batu-batu itu, di kanan kiri, sudah menjaga pula beberapa orang teman.
Karena para anggota Pek-lian-pai itu pun sambil berlari membuang senjata golok mereka di sepanjang jalan, maka barisan pengejar makin bernafsu. Mereka merasa yakin bahwa orang-orang Pek-lian-pai yang mereka kejar itu sudah ketakutan setengah mati bahkan sudah lelah, buktinya senjata-senjata golok mereka berserakan di jalan.
Dengan bersemangat mereka memasuki Lembah Gunung Bambu Putih, didahului oleh komandan mereka yang memegang golok besar. Ketika memasuki lereng ini, barisan itu merupakan iring-iringan panjang sekali, karena jalan amat sempit.
Setelah semua serdadu masuk lembah gunung, tepat seperti yang sudah diperhitungkan oleh para pejuang yang berpengalaman itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan dari atas batu-batu karang yang mengapit-apit jalan sempit, menggeludung turun batu-batu besar yang setibanya di jalan itu mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Debu mengebul dan jalan itu tertutup!
"Celaka, kita terjebak! Mundur!" Komandan itu berseru dengan wajah pucat.
Barisan itu menjadi kacau. Takut kalau-kalau mendapat serangan gelap di jalan yang sempit itu, mereka saling tabrakan lari jatuh bangun untuk kembali melalui jalan sempit. Akan tetapi tiba-tiba di depan tampak asap bergulung-gulung ke atas dan... rumpun-rumpun bambu di kanan kiri jurang ternyata telah dibakar orang!
Api menjilat tinggi sampai di jalan sempit sehingga tak mungkin lagi orang bisa melaluinya. Kini barisan itu sudah terkurung, di depan dihalangi oleh batu-batu besar, dan di belakang dihalang-halangi api.
Selagi mereka kebingungan, tiba-tiba menyambar paku-paku Pek-lian-ting, juga batu-batu besar menggelundung dari atas karang. Teriakan-teriakan kesakitan terdengar, sementara serdadu-serdadu itu mulai roboh dan keadaan menjadi makin panik.
Komandan mencoba memberi perintah supaya semua bersikap tenang dan menghujani anak panah ke arah lawan. Akan tetapi karena lawan tidak kelihatan sedangkan mereka berada di tempat terbuka tanpa perlindungan sama sekali, serdadu-serdadu itu menjadi bingung. Lebih lagi ketika hujan api menyerang mereka, yaitu kayu-kayu terbakar yang dilemparkan ke arah mereka.
Serumpun bambu yang terbakar dilemparkan dari atas, tepat mengenai tubuh komandan pasukan itu. Dia berteriak-teriak dan meloncat-loncat ke sana kemari, bajunya terbakar, demikian pula rambut dan jenggotnya. Akhirnya komandan ini menggelundung ke dalam jurang, disambut api yang berkobar.
Beng San yang mengintai dari atas batu karang merasa kagum bukan main. Benar-benar hebat. Hanya sembilan orang saja mampu membasmi puluhan musuh. Akan tetapi selain kekagumannya, juga dia merasa ngeri dan bergidik. Bagaimana sesama manusia dapat melakukan pembunuhan besar-besaran seperti ini?
Beng San cukup tahu bahwa para serdadu Mongol itu mempunyai kebiasaan yang jahat terhadap rakyat, seperti yang pernah dilihatnya baru-baru ini. Akan tetapi menghadapi perang bunuh-bunuhan seperti itu, melihat manusia terpanggang oleh anak panah, orang terbakar hidup-hidup, dan melihat orang ketakutan setengah mati, dia tak kuasa melihat lebih lama lagi dan Beng San membuang muka.
Hanya sebentar saja perang ini terjadi. Siasat gerilya yang dilakukan oleh para anggota Pek-lian-pai benar hebat dan tak seorang pun di antara serdadu Mongol dapat meloloskan diri dari maut. Di pihak Pek-lian-pai, hanya tujuh orang termasuk Tan Hok dan Beng San yang masih hidup. Yang lain tewas terkena anak panah, bahkan ada yang ikut terbakar ketika dia sibuk membakari bambu untuk menjebak musuh. Tan Hok dan teman-temannya lalu berpencaran meninggalkan tempat itu.
"Kau hendak ke mana, Beng San?" tanya Tan Hok ketika melihat anak ini agak pucat dan nampak berduka.
"Aku hendak pergi ke Hoa-san," jawab Beng San singkat.
"Mari kau ikut saja denganku. Kau akan kumasukkan sebagai anggota Pek-lian-pai..."
"Tidak...! Tidak Aku tidak sudi menjadi pembunuh!"
Tan Hok memandang heran, tetapi hanya sebentar saja. la maklum bahwa anak ini tadi merasa ngeri menyaksikan pembunuhan terhadap musuh-musuh itu. Dia menggandeng tangan Beng San.
"Baiklah, kalau kau belum kuat perasaanmu untuk maju berperang. Mari kuantar kau ke Hoa-san. Setelah apa yang terjadi di sini, amat berbahaya melakukan perjalanan seorang diri di daerah ini. Kalau kau berjumpa dengan serdadu, kau akan ditangkap, dipukul dan dipaksa mengaku di mana adanya orang-orang Pek-lian-pai. Mari kau ikut aku, mengambil jalan rahasia untuk menuju ke Hoa-san."
Beng San menurut saja. Wajahnya yang cemberut dan muram dapat dimengerti oleh Tan Hok. Maka pemuda raksasa itu di sepanjang jalan lalu menceritakan keadaan dirinya, dan menceritakan keadaan Pek-lian-pai juga.
"Semenjak kecil, oleh guruku aku sudah diikut sertakan berkecimpung dalam perjuangan melawan pemerintah penjajah Mongol. Guruku yang sudah tidak ada lagi bernama Tan Sam. Dia adalah seorang tokoh terkenal di Pek-lian-pai. Kau tahu, Beng San, Pek-lian-pai merupakan perkumpulan kaum patriot yang anggotanya tersebar di seluruh negeri."
Dengan panjang lebar Tan Hok kemudian menceritakan sepak terjang Pek-lian-pai serta kegagahan para anggotanya yang pantang mundur dan rela mengorbankan nyawa untuk membela bangsa. Beng San yang telah banyak membaca kitab kuno, sudah banyak pula mendengar tentang riwayat para pahlawan, maka dia merasa kagum juga dan simpatinya terhadap Pek-lian-pai menjadi besar.
"Betapa pun juga, perang bunuh-membunuh itu menyakitkan hatiku," katanya sebagai komentar. "Jika membunuh seorang dua orang penjahat masih bisa kuterima. Akan tetapi puluhan orang itu, meski mereka semua orang-orang Mongol atau kaki tangan pemerintah Mongol, apakah mungkin orang sebegitu banyaknya itu jahat-jahat semua?"
Tan Hok tertawa lebar. "Di dalam perang, tidak ada istilah jahat ataukah tidak jahat. Tidak ada permusuhan pribadi. Tentu saja aku sendiri tidak membenci seorang pun serdadu Mongol atas dasar perasaan pribadi karena mengapa aku membenci seorang yang sama sekali tak kukenal? Tentu saja andai kata mereka tadi itu bukan serdadu-serdadu Mongol, aku tak akan sudi mengganggu mereka. Akan tetapi di dalam perang, mereka itu adalah musuh-musuh kita. Musuh rakyat yang harus dibasmi habis. Kalau tidak kita membunuh mereka, tentulah mereka yang akan membunuh kita."
Seorang anak sekecil Beng San yang belum pernah mendengar mengenai politik negara dan kebangsaan, mana bisa mengerti akan hal ini? Apa yang pernah dia pelajari hanyalah tentang peri kemanusiaan dan tentang filsafat-filsafat hidup yang pada umumnya mencela kekerasan dan tidak membenarkan tentang bunuh-membunuh.
Betapa pun juga, semangat Tan Hok saat bercerita membangkitkan rasa suka yang besar dalam hati Beng San, apa lagi setelah raksasa muda itu menjelaskan tentang penjajahan dan kesengsaraan rakyat karena diperas oleh kaum penjajah, yaitu bangsa Mongol.
"Sungguh menggemaskan bila kita pikirkan," demikian antara lain Tan Hok menceritakan, “bangsa kita adalah bangsa yang besar, yang memiliki rakyat banyak sekali. Sebaliknya bangsa Mongol adalah bangsa perantau yang tidak memiliki tempat tinggal yang tertentu, juga rakyatnya hanya sedikit. Akan tetapi bagaimana bisa bangsa kita malah dijajah dan diperbudak oleh bangsa Mongol? Padahal kalau rakyat kita semua bangkit dan melakukan perlawanan, setiap orang Mongol sedikitnya akan berhadapan dengan tiga puluh orang bangsa kita!"
"Kenapa tidak semua rakyat mau bangkit melakukan perlawanan?" tanya Beng San, mulai terbuka matanya dan dia pun merasa heran akan kenyataan ini.
Tan Hok menarik napas panjang. "Sayang di antara bangsa kita banyak yang mudah dan rela dipermainkan, masih banyak orang yang mabuk akan kesenangan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan rakyat jelata yang sengsara. Orang-orang kita yang pandai malah banyak yang menjadi kaki tangan Mongol, malah banyak pengkhianat-pengkhianat seperti ini sengaja memusuhi Pek-Lian-pai untuk membantu pemerintah penjajah. Perbuatan keji dan tidak tahu malu ini dilakukan hanya karena mengejar kesenangan duniawi untuk diri pribadi belaka. Mereka tidak malu menjual bangsa sendiri kepada penjajah. Benar-benar sikap yang memuakkan.”
Tan Hok lalu menceritakan pada Beng San tentang orang-orang dan golongan-golongan yang sengaja digunakan oieh pemenntah Mongol untuk menentang kaum pemberontak.
"Di antara mereka ini, yang paling menjemukan adalah kaum Ngo-lian-kauw. Ketuanya adalah Kim-thouw Thian-li. Dia itulah yang sudah membunuh guruku dan aku bersumpah demi tanah air dan keadilan, pada suatu hari aku pasti akan dapat membunuh siluman betina yang cabul itu!" Teringat akan perbuatan Kim-thouw Thian-li dahulu yaitu setelah membunuh gurunya, lalu hendak membunuhnya pula, dia menjadi merah mukanya dan kebenciannya mendalam.
"Aku telah mengumpulkan banyak keterangan tentang Ngo-lian-kauw, juga tentang semua perbuatan Kim-thouw Thian-li yang tak tahu malu. Perempuan cabul itu memang sengaja digunakan oleh pemerintah Mongol untuk melawan Pek-lian-pai. Dia benar-benar lihai dan jahat sekali, licin bagai belut dan banyak siasatnya."
"Mendengar namanya, Kim-thouw Thian-li (Bidadari Kepala Emas), tentulah dia seorang wanita yang baik. Sebutannya Thian-li (Bidadari), bagaimana bisa jahat? Pula, seorang wanita saja, apa dayanya terhadap Pek-lian-pai yang begitu banyak mempunyai anggota yang terdiri dari orang-orang gagah perkasa?"
Tan Hok tersenyum pahit. "Sebetulnya itu hanyalah nama yang dipilihnya sendiri, bagiku dia lebih patut disebut iblis betina dari pada bidadari. Tidak dapat dibantah bahwa dia memang cantik jelita. Kim-thouw Thian-li adalah murid tunggal dari Hek-hwa Kui-bo yang terkenal jahat dan kejam..."
"Ahhh...!"
"Kau sudah mendengar namanya?"
"Sudah... sudah...," jawab Beng San yang tentu saja sudah mengenal baik nenek itu.
"Meski Kim-thouw Thian-li adalah seorang wanita, jangan kau kira bahwa dia tak berdaya terhadap Pek-lian-pai. Dia licik, dan selain jumlah anggota Ngo-lian-kauw cukup banyak, juga di setiap tempat dia dibantu oleh para pembesar karena ia memiliki tanda kekuasaan dari kaisar sendiri. Sepak terjangnya sangat licin dan curang. Baru-baru ini dia berusaha keras untuk merusak nama baik Pek-lian-pai dengan perbuatan-perbuatan jahat yang dia sengaja lakukan sambil meninggalkan tanda-tanda Pek-lian-pai. Tentu saja perbuatannya ini dimaksudkan untuk merusak nama Pek-lian-pai, agar Pek-lian-pai dijauhi oleh rakyat dan bahkan dia sengaja hendak mengadu domba Pek-lian-pai dengan partai-partai besar lain. Pendeknya, segala usaha tak tahu malu dia jalankan untuk melemahkan perjuangan menentang pemerintah Mongol. Malah aku sudah mendapat keterangan dari penyelidik Pek-lian-pai bahwa dia sudah berhasil dalam usahanya mengacau hubungan baik antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai."
Beng San sangat kaget. Dia juga pernah mendengar tentang partai-partai besar di dunia persilatan dari Lo-tong Souw Lee, malah sekarang pun dia membawa surat Lo-tong Souw Lee untuk ketua Hoa-san-pai.
"Kenapa pula dia mengganggu Hoa-san-pai dan Kun-lunpai?"
"Sekarang ini di seluruh negeri, para orang gagah bangkit semangatnya untuk melawan penjajah dan banyak yang menggabungkan diri dengan Pek-lian-pai. Untuk mencegah hal inilah maka Kim-thouw Thian-li berusaha merusak hubungan antara partai-partai besar supaya bertengkar sendiri, terutama sekali agar mereka memusuhi Pek-lian-pai. Sayang sekali, seorang pendekar muda dari Kun-lun-pai sudah kena dipikat olehnya, dijatuhkan oleh kecantikannya."
Tan Hok yang sudah mendengar dari para penyelidik Pek-lian-pai, bahkan sudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa penolongnya, yaitu Kwee Sin, terpikat oleh kecantikan Kim-thouw Thian-li, lalu menceritakan apa yang dia ketahui. Betapa Kim-thouw Thian-li dengan bantuan orang-orangnya menyamar sebagai orang-orang Pek-lian-pai, kemudian melakukan pelbagai kejahatan, di antaranya membunuh Liem Ta, ayah Liem Sian Hwa tunangan Kwee Sin.
"Tentu saja maksudnya untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai," dia menutup ceritanya, "malah bukan itu saja maksudnya. Ia pun hendak mengadu dombakan kedua partai besar itu dengan Pek-lian-pai. Pernah dia melakukan penyerangan kepada dua saudara, Bun, murid-murid Kun-lun-pai dengan menyamar sebagai orang-orang dari Pek-lian-pai."
Beng San tertarik sekali. "Alangkah kejam dan jahatnya wanita itu."
"Karena itulah aku dan teman-teman selalu memasang mata mencarinya. Awas dia kalau terjatuh ke dalam tangan Pek-lian-pai!"
Karena berjalan sambil bercakap-cakap, tidak terasa lagi mereka sudah sampai di lereng Hoa-san. Tan Hok lalu menyuruh anak itu melanjutkan perjalanannya.
"Kau terus saja mengikuti jalan kecil ini, dan di dekat puncak sana itulah bangunan dari Hoa-san-pai. Mulai dari sini tidak akan ada yang berani mengganggumu lagi. Aku harus kembali kepada teman-temanku. Adik Beng San, selamat berpisah dan mudah-mudahan kelak kita akan bertemu kembali."
Beng San memberi hormat. "Tan-twako, siapa tahu kelak aku pun akan dapat membantu perjuanganmu."
Mereka berpisah dan dengan cerita-cerita Tan Hok masih terbayang dalam benaknya, Beng San mendaki puncak Hoa-san. Akan tetapi segera bayangan ini lenyap ketika dia melihat pemandangan alam yang amat indah dari puncak Hoa-san itu. Hawa udara pun amat segarnya. Dia menghirup hawa sebanyaknya dan merasa bahwa dia akan betah tinggal di daerah ini….