CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJA PEDANG JILID 14
Pada suatu pagi yarig cerah, di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Cin-lin-san, di depan sebuah goa yang dinamakan goa Ular, tampak seorang pemuda tengah berlutut di depan seorang kakek yang sudah tua sekali.
Kalau baru melihat saja orang tentu mengira bahwa kakek ini bermata lebar, akan tetapi setelah lama memandang dan melihat bahwa mata kakek itu melotot tak pernah berkedip, akan tahulah orang bahwa dia adalah seorang kakek yang buta matanya. Rambutnya yang putih panjang riap-riapan di kedua pundaknya. Muka dan tubuhnya hanya tinggal kulit membungkus tulang belaka. Ada pun pemuda yang berlutut itu nampaknya terharu sekali.
"Mohon Locianpwe sudi memberikan maaf sebesarnya karena teecu telah meninggalkan Locianpwe bertahun-tahun. Ternyata Locianpwe masih berada di sini dan dalam keadaan menderita," terdengar pemuda itu berkata sambil memandang tubuh yang kurus kering itu dengan perasaan kasihan.
Kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, seperti jerami kering yang tertiup angin. Mulutnya bergerak-gerak beberapa lama, baru terdengar dia berkata perlahan. "Ahhh, anak baik, alangkah bahagia rasa hatiku akhirnya dapat mendengar suaramu. Akhirnya kau datang juga, hampir aku tak kuat lagi menahan..."
Kakek itu kemudian duduk bersila dan meraba-raba pundak pemuda tadi. Beberapa kali meraba-raba kemudian kakek itu berkata penuh kekaguman, "Hebat... dahulu aku pun tak sekuat engkau sekarang. Bukan main…, ahhh, kalau saja aku mendapatkan kesempatan melihat... ehh, maksudku mendengar kau main Liong-cu Siang-kiam dalam Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut, mati pun aku akan puas. Mainkanlah, mainkanlah sekali ini saja, untuk mengantar perjalananku yang amat jauh...”
Kakek itu lalu mengeluarkan sepasang pedang yang berkilauan cahayanya, memberikan sepasang pedang itu kepada pemuda tadi. Sepasang mata pemuda itu berkilat-kilat tajam ketika dia melihat sepasang pedang ini. la menerima sepasang pedang itu, memeriksanya dengan teliti lalu bertanya,
"Locianpwe, betulkah sepasang pedang ini yang bernama Liong-cu Siang-kiam, sepasang pedang yang selama puluhan tahun diperebutkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw?"
Kakek buta itu tersenyum. "Beng San, apakah kau sudah lupa lagi? Bukankah dahulu kau pernah melihatnya, bahkan pernah menggunakannya pada saat kau berhadapan dengan Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo? Inilah Liong-cu Siang-kiam, pedang peninggalkan sepasang pendekar yang sakti, yaitu pendekar sakti Sie Cin Hai pada ratusan tahun yang lalu. Pedang ini asalnya dimiliki seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang raja pedang. Oleh karena itu, pada jaman sekarang ini hanya kaulah, Beng San, orang yang berhak menggunakannya, sebab hanya kau yang menjadi ahli waris Im-yang Sin-kiam-sut. Hayo, berdirilah, dan kau mainkan Im-yang Sin-kiam-sut untukku..!"
Kakek itu terengah-engah, nampaknya sangat tegang dan gembira sekali, perasaan yang memberi pukulan hebat pada tubuhnya yang memang sudah amat lemah.
Orang muda itu setelah menimang-nimang kedua pedang tadi, yang panjang di tangan kanan sedangkan yang pendek di tangan kiri, lalu bangkit berdiri, meloncat agak jauh ke tempat yang luas di depan goa itu, kemudian dia bersilat dengan amat cepat dan sigap. Sepasang pedang itu berkelebat menyambar-nyambar ke kanan kiri, depan belakang, dan atas bawah seperti dua ekor naga yang sedang bermain-main di angkasa!
Mendadak muka Lo-tong Souw Lee yang sangat kurus itu menjadi pucat pasi. Kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan seperti hendak mencengkeram ke depan dan dia berteriak, penuh kepahitan, "Heeeiii, itu bukan Im-yang Sin-kiam... itu... itu... ahhh, kau bukan Beng San... aduhai celaka, kau bukan Beng San...!"
Terdengar suara ketawa, angin sambaran pedang terhenti dan Lo-tong Souw Lee tidak mendengar apa-apa lagi, tanda bahwa orang muda itu sudah pergi jauh.
"Beng San... sia-sia aku menanti sampai tahunan... aduh, mataku yang buta... celaka..."
Kakek ini terhuyung-huyung, wajahnya makin pucat, dia mendekap dadanya lalu roboh tertelungkup di depan goa itu. Dari puncak Cin-lin-san itu, bayangan pemuda tadi dengan amat cepatnya dan ringannya seperti melayang-layang turun dari jurusan utara. Sepasang pedang tadi tidak kelihatan dia bawa lagi karena sudah dia sembunyikan di balik jubah luarnya yang panjang.
Kurang lebih tiga jam berikutnya, seorang pemuda lain kelihatan mendaki puncak dengan tenang. Pakaiannya sederhana, rambutnya yang panjang diikat ke atas. Mukanya putih sehingga alisnya yang hitam gompyok berbentuk golok itu nampak lebih hitam lagi, dan sepasang matanya bersinar tajam melebihi sinar pedang dan mempunyai wibawa yang aneh. Tubuhnya tegap dadanya bidang, sepatunya sudah bolong-bolong saking tuanya.
Dari gerak kakinya yang tetap dan tak tergesa-gesa dapat diketahui bahwa pemuda yang baru datang mendaki puncak Cin-ling-san ini adalah seorang yang memiliki ketenangan lahir batin. Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, tidak kelihatan membawa senjata tajam, jadi tidak seperti seorang pemuda kang-ouw, juga tidak membawa kipas atau tanda lahir yang menunjukkan bahwa dia seorang pemuda ahli sastra. Lebih patut dia disangka seorang pemuda tani.
Akhirnya, dengan langkah yang tidak pernah mengendur namun tidak pula tergesa-gesa, pemuda ini tiba di depan goa Ular. Ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh kakek yang menggeletak tertelungkup di depan goa, kedua kakinya langsung bergerak sehingga tubuhnya berkelebat. Pada lain saat tahu-tahu dia telah berlutut di dekat tubuh kakek itu lalu mengangkatnya, menyangga leher dan punggungnya di atas lengan kiri sedangkan tangan kanannya membersihkan debu dan tanah dari muka yang pucat dan kurus itu.
"Kakek Souw... Kakek Souw... kau kenapakah?"
Kakek itu menggerak-gerakkan biji matanya yang melotot, bibirnya bergerak-gerak dan akhirnya dia berkata dengan suara terisak, "Ahh... Beng San... sekarang benar kau Beng San... kenapa aku begini bodoh...?” Kakek itu terisak-isak!
Beng San terkejut sekali. Pada saat tadi mengangkat tubuh kakek ini, dia melihat bahwa Lo-tong Souw Lee tidak terluka. "Ada apakah, Kakek Souw? Apa yang telah terjadi...?"
"Ahh, Beng San. Aku bodoh... orang pengecut mempergunakan mataku yang buta untuk menipuku... pedang Liong-Siang-kiam sudah diambil orang yang mengaku sebagai kau... dia juga memiliki ilmu tinggi... masih muda... sayang aku tidak tahu bagaimana bentuknya, hanya ketika kupegang pundaknya... dia... dia memiliki tenaga dalam yang hebat..."
Beng San mampu menguasai hatinya. ”Sudahlah, harap kau tenang dan jangan berduka, Kakek Souw. Apa sih artinya sepasang pedang saja? Aku tidak begitu mengingininya..."
"Apa...?!" Mendadak kakek itu berkata keras. "Sepasang pedang itu adalah punyamu! Mengerti kau? Aku sengaja bersembunyi bertahun-tahun, sengaja menahan-nahan nyawa yang sudah tak kerasan di tubuh tua dan bobrok ini, sengaja menanti-nanti datangmu untuk menyerahkan sepasang pedang itu. Sekarang pedang dicuri oleh orang dan kau... kau bilang tidak mengingininya? Lepaskan aku, lepaskan...!" Kakek itu meronta-ronta dan terpaksa Beng San menurunkannya lagi ke atas tanah.
Beng San merasa menyesal sekali. Ia merasa sudah berbicara seenaknya dan lancang. "Aduh, ampunkan aku, Kakek Souw. Sama sekali bukan maksudku untuk menyakiti hati dan perasaanmu. Maksudku tadi hendak menghiburmu agar jangan terlalu berduka akibat kehilangan Liong-cu Siang-kiam."
Tapi kakek itu masih marah dan kecewa. Matanya yang terbelalak itu dipejam-pejamkan, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya meringis seperti orang menangis. Menyedihkan sekali muka yang tua itu.
"Biarlah... biar aku mampus... aku tua bangka mampus karena sikap orang muda yang tak kenal kasih sayang orang... biar aku mampus karena kau...”
Beng San cepat menjatuhkan diri berlutut. "Kakek Souw, ampunkanlah aku... ampunkan, aku sama sekali tak bermaksud mengecewakan hatimu. Katakanlah, apa yang harus aku lakukan, aku bersumpah akan memenuhi permintaanmu."
”Betul kata-katamu itu?" Kakek itu menegas dengan napas terengah-engah.
"Betul, Kakek Souw."
"Kau berani bersumpah?”
Tanpa ragu-ragu lagi Beng San bersumpah, "Aku bersumpah, disaksikan langit dan bumi, biarlah Thian menghukum seberat-beratnya kepada aku apa bila aku tidak memenuhi permintaan Kakek Souw."
Kakek itu nampak lega sekali. Dia lalu bangun duduk dengan susah payah, dibantu oleh Beng San.
"Aku tidak akan minta kau berbuat yang melanggar kebenaran dan keadilan, anak baik. Pertama-tama, aku minta agar kau berusaha mencari orang yang sudah mencuri pedang Liong-cu Siang-kiam. Setelah orang itu dapat kau temukan, kalau dia laki-laki kau harus membunuhnya. Kalau dia wanita..." Kakek itu berhenti, batuk-batuk dan agaknya sungkan melanjutkan kata-katanya.
"Ya...? Kalau dia wanita bagaimana, Kakek Souw?"
"Kalau dia itu wanita, kau harus menjadi suaminya."
"Apa...?!" Beng San melompat tinggi seperti orang yang tersentak kaget karena diserang ular. Sepasang matanya terbelalak lebar dan dia merasa bulu tengkuknya berdiri. "Kakek Souw yang mulia, apa kau bicara dengan pikiran waras?
”Tentu saja aku waras!" bentak kakek tua itu marah. "Kalau pencuri pedang itu pria, dia adalah orang jahat yang berbahaya, karenanya perlu kau bunuh. Tapi jika dia itu wanita, tentu wanita yang memiliki kepandaian tinggi, nah... tak patut seorang gagah seperti kau membunuh wanita, maka kupikir lebih baik kau kawin saja dengannya supaya Liong-cu Siang-kiam tidak terjatuh kepada orang lain."
"Mana ada aturan begini?" Beng San membantah. "Kalau perampas pedang itu ternyata pria, tentu akan kulihat dulu orang macam apa dia ini dan apa alasannya dia merampas pedang. Apa bila dia bukan orang jahat, bagaimana aku akan dapat membunuhnya? Soal kedua, kalau dia itu wanita... dan seorang wanita tua, atau sudah bersuami, atau juga seorang wanita yang aku tidak suka, bagaimana aku dapat mengawininya? Ahh, Kakek Souw, aku hanya bisa memenuhi permintaanmu tadi, yaitu mencari sampai dapat kembali pedang Liong-cu Siang-kiam."
"Jadi kau hendak melanggar sumpah?"
”Kakek Souw, aku takkan melanggar sumpah. Akan tetapi, aku juga tak bisa melakukan hal yang bertentangan dengan peri kebenaran, yang bertentangan dengan suara hatiku. Apa bila penolakanku tentang membunuh orang baik-baik dan mengawini wanita secara serampangan saja kau anggap salah dan melanggar janji, nah, ini aku masih di sini. Aku menyerahkan nyawa dan raga untuk menebus pelanggaran sumpah!"
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak, keadaannya yang tadi lemah itu mendadak seperti segar kembali.
"Begitulah seharusnya seorang laki-laki!" katanya gembira. "Rela mengorbankan nyawa sendiri dari pada melakukan sesuatu yang tidak patut. Beng San, aku girang sekali telah memilih kau sebagai pewaris Liong-cu Siangkiam!" kembali kakek itu tertawa-tawa.
Beng San diam saja akan tetapi dia tersenyum pahit. Menerima warisan saja warisan yang tercuri orang dan harus dicari dulu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya mencari seorang pencuri yang tidak diketahui laki-laki atau wanita, tidak diketahui rupanya, hanya diketahui bahwa dia masih muda dan bertenaga dalam cukup lihai.
"Jangan kira aku sudah gila, Beng San. Tadi pun sudah kujelaskan bahwa aku tak akan meminta kau melakukan hal-hal yang tidak baik. Kau pun tentu sudah dapat menyelami watakku, bila tidak demikian, mana mungkin kau berani mengucapkan sumpah tadi? Nah, sekarang permintaanku ke dua. Kau harus mempergunakan Liong-cu Siang-kiam untuk membantu pergerakan rakyat menumbangkan pemerintah Mongol..." Kakek ini kembali kelihatan berduka dan menarik napas panjang. "Aku sendiri masih ada keturunan darah Mongol, tetapi aku tidak suka melihat sepak terjang kaisar dan para pembesar bangsaku. Karena itu aku mencuri pedang. Dan sekarang kembali kepada tugasmu. Kau harus ikut membantu perjuangan rakyat yang hendak memperjuangkan kemerdekaannya, dengan syarat bahwa kau lakukan itu tidak untuk mencari pangkat, harta, dan kemuliaan. Setelah berhasil perjuangan, kau harus meninggalkan kedudukan dan tidak mencampurinya lagi. Bagaimaina?"
"Aku akan berusaha memenuhi permintaan ke dua ini, Kakek Souw. Memang aku sendiri merasa suka kalau teringat akan orang-orang gagah seperti Tan-twako yang memimpin serombongan pejuang Pek-lian pai.”
"Sekarang permintaan ke tiga," kata kakek itu dengan suara seperti tergesa-gesa. ”Kau harus mempergunakan Liong-cu Siang-kiam untuk memainkan Im-yang Sin-kiam-sut dan merebut sebutan Raja Pedang.”
Beng San tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, maka dia memandang heran. Kakek yang napasnya sudah sengal-sengal itu menarik napas untuk menenangkan dadanya yang sesak, kemudian memaksa diri berkata,
"Setiap dua puluh lima tahun sekali, di puncak Thai-san diadakan perebutan kejuaraan ilmu pedang yang dihadiri oleh semua tokoh persilatan. Sudah dua kali aku berusaha merebut gelar Raja Pedang, tapi selalu gagal. Itulah yang menjadi sebab kedua mengapa aku mencuri Liong-cu Siang-kiam. Kurang lebih dua tahun lagi akan diadakan perebutan itu, tepat dua puluh lima tahun semenjak gelar Raja Pedang dimenangkan oleh pendekar Cia Hui Gan dari selatan. Cia Hui Gan ini kabarnya masih keturunan dari pendekar wanita Ang-i Niocu. Sejak itu ia mendapat julukan Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan). Sayang aku sudah terlalu tua, tidak kuat menghadiri perebutan itu lagi... kau... kau harus mewakili aku, merebut gelar itu..."
Setelah menjelaskan demikian panjang, napas Souw Lee semakin tersengal-sengal, akan tetapi keadaan ini tidak makan waktu terlalu lama. Akhirnya napas yang sengal-sengal itu menjadi tenang kembali, bahkan terlalu tenang.
"Kakek Souw...!" Beng San merangkulnya akan tetapi ternyata napas kakek tua itu sudah berhenti!
Beng San terharu sekali, dia merebahkan tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu di atas tanah, berlutut dan mulutnya bergerak dalam bisikan. "Kakek Souw, mengasolah dengan tenang. Aku bersumpah akan berusaha memenuhi harapanmu, aku pasti akan melakukan semua pesanmu. Mudah-mudahan saja semua akan terlaksana sebagaimana pesanmu yang terakhir."
Dengan sedih dan penuh hormat pemuda ini kemudian mengurus jenazah kakek Souw, menguburnya di bekas tempat pertapaannya, di Ban-seng-kok yang terletak di puncak Cin-ling-san. Sesudah itu dia lalu turun dari puncak, meninggaikan Cin-ling-san sebagai seorang pemuda sebatang kara yang memikul tugas yang dipesankan oleh kakek Souw Lee, tugas yang amat berat. Akan tetapi dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia pasti akan dapat memenuhi semua pesan kakek itu….
Manusia boleh berdaya upaya, namun Tuhan jualah yang berkuasa. Sudah menjadi hak, bahkan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha dan berdaya upaya ke arah kemajuan, ke arah perbaikan dan ke arah keadaan sebagaimana yang ia kehendaki dan inginkan. Namun tak dapat disangkal pula bahwa pada akhirnya, kekuasaan Tuhan yang akan menentukan bagaimana jadinya dengan segala daya upaya itu.
Oleh karena itulah maka para bijaksana, para ahli pikir dan ahli filsafat menganjurkan agar dalam setiap gerak, setiap langkah dan daya upaya, seyogyanya manusia menyerahkan penentuan terakhir kepada Yang Maha Kuasa. Kalau hati sudah sungguh-sungguh dapat menyerah terhadap segala keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan apa bila hati sudah betul-betul sadar penuh keyakinan bahwasanya segala apa ini, baik mau pun buruk dalam penilaiannya, terjadi karena kehendak Yang Maha Penentu, maka kita tidak akan terlalu merasa sengsara apa bila yang dikehendaki dan diinginkannya tidak terkabul.
Sebenarnya sudah terlalu banyak contoh-contoh untuk kebenaran di atas tadi terjadi di dunia sepanjang masa. Tidak usah kita mencari contoh jauh-jauh, kita kenangkan kembali pengalaman hidup diri kita sendiri.
Sudah betapa seringkah terjadi di dalam hidup kita hal-hal yang sama sekali berlawanan dengan apa yang kita inginkan? Berlawanan sama sekali dengan apa yang sebenarnya kita kehendaki? Padahal sudah mati-matian kita berusaha untuk menjuruskan hal itu agar terjadi seperti keinginan kita! Tidakkah sudah terlalu sering kita merasa kecewa?
Ini keliru! Ini salah! Kita harus dapat menerima segala kejadian sebagai hal yang sudah semestinya begitu, betapa pun pahitnya bagi kita. Sedapat mungkin, kita harus menerima pahit getir sebagai gemblengan batin, dan mencari-cari dalam diri sendiri kesalahan apa yang kita lakukan tanpa kita sadari sehingga hal yang tidak kita kehendaki itu terjadi.
Karena, segala akibat itu pasti bersebab dan sebab-sebab ini kalau tidak terlihat di luar, harus kita cari mendalam, mencari tak usah jauh-jauh, tapi dalam diri kita sendiri. Apa bila kita benar-benar sudah menyerahkan diri sebulatnya kepada kekuasaan Yang Maha Esa, sudah dapat dipastikan bahwa kita akan mampu mencari kesalahan sendiri itu, kesalahan yang dilakukan tanpa kita sendiri menyadari bahwa kita telah bertindak salah.
Semua manusia, baik dia itu orang biasa mau pun orang besar dalam arti kata besar kekuasaannya, tinggi kedudukannya, tetap saja harus tunduk pada kekuasaan Tertinggi.
Kaisar Dinasti Goan yang terakhir, yaitu Kaisar Sun Ti, boleh saja menyombongkan diri sebagai manusia besar, pewaris Kerajaan Goan yang dulu dibangun oleh Jenghis Khan, kerajaan yang meliputi seluruh Tiongkok, bahkan makin meluas ke barat dan ke selatan. Akan tetapi, menghadapi keadaan yang memang sudah ditentukan oleh Tuhan, dia dan bala tentaranya yang besar tak berdaya.
Pemberontakan tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Tentu saja kelemahan Dinasti Goan ini pasti ada sebabnya, seperti juga semua akibat tentu bersebab. Dinasti yang tadinya berkembang dan mencapai masa jaya dan masa keemasannya di waktu Kaisar Kubilai Khan bertahta itu, mulai goyah kedudukan dan keangkerannya setelah kaisar ini meninggal dunia.
Setelah Kubilai Khan meninggal dunia, mulailah terjadi perebutan kekuasaan di antara para raja muda dan pangeran. Apa bila seorang raja muda atau pangeran dapat merebut singgasana, yang lain akan melakukan pemberontakan dan merebut kekuasaan sehingga terjadi ganti-mengganti kaisar yang hanya menduduki tahta selama beberapa tahun saja. Apa lagi di antara tahun 1307 sampai tahun 1333, H selama dua puluh enam tahun ini terjadi penobatan kaisar sebanyak delapan kali!
Oleh karena selalu terjadi ribut-ribut di dalam istana kaisar, para pembesar menumpahkan perhatiannya akan perebutan kursi, sedangkan para pejabat yang berada di luar istana mempergunakan kesempatan selagi orang-orang besar itu tidak memperhatikan mereka, lalu berpesta pora mengeduk harta kekayaan untuk mengisi gudangnya sendiri-sendiri.
Pemerasan terjadi di mana-mana dan akibatnya selalu rakyat yang tergencet. Semua ini masih ditambah lagi dengan bencana musim kering yang menimbulkan kekurangan bahan makan sehingga tak dapat dicegah lagi rakyat menderita bencana kelaparan yang hebat. Inilah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan-pemberontakan, baik di daerah utara mau pun selatan.
Memang harus diakui bahwa pemerintah Mongol mulai menginsyafi akan adanya bahaya pemberontakan. Mereka segera dapat menindih serta membasmi para pemberontak yang menentang di sana-sini secara kecil-kecilan. Akan tetapi mulai tahun 1351 kembali rakyat memberontak, malah kali ini sangat hebat karena mereka mendapat pemimpin-pemimpin yang pandai.
Di antara para pemimpin pemberontak ini tentu saja yang paling terkenal adalah Cu Goan Ciang yang kelak akan menjadi raja pertama dari Dinasti Beng. Ada pun perkumpulan rahasia dari para pemberontak yang paling terkenal adalah perkumpulan Pek-lian-pai.
Belasan tahun telah lewat dan keadaan pemerintah Mongol menjadi makin lemah. Perang terjadi di mana-mana, terutama sekali di sepanjang lembah Sungai Yang-ce-kiang, sungai Huai dan Sungai Huang-ho. Daerah ini menjadi pusat para pemberontak.
Memang di antara para pemberontak ini terpecah menjadi banyak golongan yang bekerja sendiri-sendiri atau tidak terikat satu kepada yang lain, akan tetapi di dalam menghadapi pemerintah penjajah, mereka ini dapat bersatu dan saling membantu. Ada kalanya apa bila tidak sedang menghadapi barisan musuh, terjadi pula bentrokan antara dua golongan pemberontak, akan tetapi begitu musuh datang menyerang, dua golongan yang tadinya bentrok ini segera bersatu bahu membahu melawan serdadu-serdadu Mongol!
Demikianlah sedikit catatan mengenai keadaan Tiongkok pada masa Dinasti Goan yang dipimpin oleh Kaisar Sun Ti, Kaisar Mongol yang terakhir. Keadaan di seluruh negeri amat kacau dan penduduk merasa selalu tidak aman. Memang demikian yang selalu dirasakan rakyat apa bila negara dilanda perang.
Perubahan besar ini sangat dirasakan oleh Beng San yang selama delapan tahun lebih seakan-akan mengasingkan diri. Selama delapan tahun ini, setiap hari Beng San hanya berhadapan dengan air sungai dan ikan yang dipancing atau dijaringnya bersama kakek nelayan. Tidak pernah dia mendengar tentang keadaan di lain tempat, hanya mendengar bahwa pemberontakan makin menghebat.
Maka dapat dibayangkan betapa herannya melihat kesengsaraan rakyat jelata ketika dia turun dari Pegunungan Cin-ling-san. Dia menyaksikan para petani yang tubuhnya sangat kurus dengan wajah penuh kebencian berbondong-bondong menggabungkan diri dengan para pemberontak yang bersembunyi di hutan-hutan.
Ketika memasuki sebuah dusun di mana justru sedang terjadi perang, dia menghadapi kesukaran pertama. Puluhan orang serdadu Goan mengepung dan hendak menangkap dirinya karena dia dituduh anggota pemberontak.
Beng San tidak mau melayani mereka. Dia hanya merobohkan beberapa orang tanpa membunuhnya, lalu lari meninggalkan para serdadu yang melongo terheran-heran karena melihat betapa pemuda seperti petani yang hendak mereka tangkap itu tahu-tahu sudah lenyap dari depan mata!
Semenjak mengalami hal ini, Beng San berlaku hati-hati. Dia selalu menjauhkan diri dari para serdadu Goan yang berkeliaran di mana-mana dalam usaha mereka membasmi pemberontak.
Betapa pun juga, kesukaran ke dua segera menyusul setelah dia tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai Sungai Yang-ce di Propinsi Ho-pak. Kota ini masih ramai dan terjaga kuat oleh pasukan pemerintah. Penjagaan ketat mengepung tembok kota dan di dalam kota sendiri, di antara para pedagang, para penduduk dan pendatang, banyak berkeliaran mata-mata yang mengawasi gerak-gerik setiap orang secara rahasia.
Beng San tentu saja sama sekali tidak tahu akan hal ini. la memasuki kota I-kiang dan agak bergembira melihat keadaan kota yang ramai yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa keadaan di dalam negeri sedang kacau balau akibat perang. la melihat adanya losmen-losmen besar kecil dan warung-warung arak berikut nasi dan bakmi.
Akan tetapi karena selama hidupnya belum pernah dia bermalam di losmen atau makan di warung, ditambah pula tidak ada sepeser pun uang di saku, dia hanya melihat-lihat dari luar saja. Kemudian baru terasa lapar perutnya ketika hidungnya mencium bau masakan dan arak.
"Aku harus mencari tempat penginapan, hari sudah mulai gelap dan perutku amat lapar," pikirnya.
Seperti dulu di waktu dia masih kecil, setiap kali memasuki dusun atau kota dia mencari tempat penginapan di dalam sebuah kelenteng, oleh karena itu sekarang dia juga mulai mencari-cari kelenteng untuk dijadikan tempat beristirahat.
Akhirnya di pinggir kota dia mendapatkan sebuah kelenteng besar, akan tetapi kelenteng ini sudah kosong, hanya tinggal bangunannya yang kokoh kuat dan tiang-tiangnya yang terukir. Meja sembahyang sudah tidak tampak lagi, juga tidak ada toapekong-nya. Malah patung-patung yang menghias sekeliling kelenteng sudah rusak semuanya dan tempat itu kotor sekali.
Tidak kelihatan seorang pun hwesio di situ. Sebagai gantinya, halaman depan kelenteng itu penuh dengan orang-orang yang pakaiannya compang-comping, terang bahwa mereka adalah golongan jembel atau orang minta-minta.
Tanpa ragu-ragu Beng San memasuki halaman itu dan dia segera disambut oleh pandang mata belasan orang jembel yang duduk atau pun tiduran malang-melintang di tempat itu.
Seorang pengemis yang masih muda segera berkata kepadanya. "Kau pengungsi dari dusun? Ingin mencari tempat menginap di sini? Silakan, di sini banyak tempat... banyak tempat. Belum makan? Marilah, bantu habiskan hidangan raja ini."
Pengemis itu umurnya tidak akan lebih dari empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya kotor, cambangnya tidak terpelihara, dan pakaiannya dari kain tebal yang sudah kotor. Yang disebut ‘hidangan raja’ itu adalah beberapa potong roti kering yang kelihatan keras dan sudah lama, kekuning-kuningan.
Melihat keramahan orang, Beng San merasa tidak enak kalau menolak. Dan memang perutnya sudah lapar. la lalu duduk di sebelah orang itu, di atas lantai kelenteng.
"Kau baik sekali, Saudara. Terima kasih."
"Hayo, jangan sungkan-sungkan. Makanlah."
Beng San mengambil sepotong roti kering dan memakannya. Memang keras dan apek, akan tetapi cukup asin dan sesudah dikunyah enak juga rasanya. Agaknya, memang roti yang baik, sayang sudah terlalu lama. Orang itu memandang sejenak, lalu mengeluarkan sebotol arak yang bercampur air tawar.
"Arak selatan ini baik sekali, sudah tua, hanya... ehh, terpaksa diperbanyak dengan air." la tersenyum dan memberikan botol itu kepada Beng San.
Pemuda ini ikut tersenyum pula, lalu minum. la merasa tubuhnya segar kembali setelah perutnya diisi.
"Sekarang jaman sukar, sampai seorang petani lari ke kota bercampuran dengan kaum jembel..." Orang itu menarik napas panjang dan memandang kepada Beng San.
Pemuda ini tidak menjawab, menoleh ke kanan kiri dan bertanya. "Kenapa kelenteng ini terlantar? Melihat bangunannya, agaknya dahulu sebuah kelenteng yang besar juga."
"Betul dugaanmu itu," jawab pengemis, "memang kelenteng ini besar. Tapi sayang semua hwesio-nya telah dibasmi habis, sebagian terbunuh, sebagian lagi dijebloskan penjara."
"Kenapa?" Beng San bertanya kaget. Baru sekarang dia mendengar ada hwesio-hwesio dibunuh dan dipenjara.
"Mereka membantu pemberontak," kemudian pengemis itu bisik-bisik, "Sobat, kau adalah petani, mengapa kau tidak ikut kawan-kawanmu? Apakah kedatanganmu ini pun hendak mengadakan pertemuan rahasia dengan anggota pemberontak? Atau barang kali dengan anggota Pek-lian-pai?"
Beng San menggeleng kepala, termenung memikirkan nasib para hwesio yang celaka itu.
"Apa bila kau hendak mengadakan pertemuan dengan Pek-lian-pai, katakan terus terang saja, barang kali aku dapat membantumu..." Kembali orang itu berbisik.
"Tidak... tidak... aku hanya pelancong yang kemalaman di kota ini. Terima kasih atas kebaikanmu dan terima kasih atas pemberian roti dan arak."
Beng San bangkit berdiri dan mencari tempat untuk mengaso di sebelah dalam. la segera membersihkan lantai di sudut yang sunyi, lalu duduk bersandar dinding. Pengemis tadi hanya tersenyum dan mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata tajam, kemudian mengangkat bahu dan membaringkan tubuhnya di lantai.
Sambil duduk mengaso Beng San melamun, mengenangkan semua pengalamannya di masa lalu. Tanpa disengaja, seperti sudah ribuan kali dia mengalami, dia lalu terbayang akan wajah-wajah orang yang pernah dia kenal. Wajah orang-orang yang silih berganti terbayang di depan matanya, yang membuat dia kadang-kadang merasa marah, girang, terharu.
la tersenyum geli kalau mengenangkan wajah Kwa Hong, bocah yang galak dan cantik manis, yang selalu memakinya bunglon itu. la menjadi gemas kalau mengenangkan wajah orang-orang yang pernah mengganggunya, yang pernah berbuat jahat kepadanya.
Tetapi semua bayangan ini lenyap tak membekas apa bila muncul wajah seorang anak perempuan yang berpakaian merah, yang memandang kepadanya dengan mulut mungil tersenyum-senyum, dengan sepasang matanya yang lebar dan bening, dengan tangan bergerak-gerak memberi isyarat. Wajah Bi Goat, si bocah gagu!
Segera ia menjadi termenung, matanya sayu memandang jauh, hatinya penuh keharuan. Di manakah dia sekarang? Apakah masih ikut Song-bun-kwi si kakek iblis itu?
Beng San telah hampir pulas ketika tiba-tiba dia mendengar suara bisik-bisik yang cukup jelas dan mencurigakan sekali. Segera dia membuka mata dan memasang pendengaran. Ternyata bahwa para pengemis yang tadinya malang-melintang di halaman kelenteng itu hanya tinggal beberapa orang saja lagi. Yang lain sudah tidak ada, termasuk orang yang tadi memberinya makan dan minum.
Ada pun suara-suara bisikan tadi terdengar dari sebelah dalam kelenteng, agak jauh dari tempat dia mengaso. Namun berkat kepandaiannya, Beng San mampu menangkap suara bisik-bisik itu. Alangkah herannya ketika dia mendengar suara pengemis yang baik hati tadi berbisik.
"Betulkah penyelidikanmu itu? Kalau begitu tak bisa salah lagi, mereka itu tentulah kaum Pek-lian-pai yang akan mengadakan hubungan dengan hartawan Ong! Hayo siap semua, seorang melapor kepada Kui-ciangkun supaya menyiapkan barisan mengepung gedung Ong-wangwe (hartawan Ong). Kau dan dua orang teman lagi menjaga baik-baik di sini. Awas, pemuda tani yang tampan itu juga mencurigakan. Ringkus saja dia sebelum dapat melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan. Kalau dia melawan, bunuh saja!"
Suara kaki terdengar bergerak-gerak dan keadaan sunyi kembali. Beng San pun menanti dengan hati penuh curiga, akan tetapi dia masih belum dapat menduga siapakah adanya pengemis yang aneh itu dan siapa pula teman-temannya yang diajak berunding tadi.
Kemudian di dalam gelap dia melihat bayangan tiga orang yang pandai ilmu silat, malah memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik sekali. Dia masih belum yakin betul apakah yang dimaksudkan dengan ‘pemuda tani yang tampan’ tadi dia orangnya. Baru dia merasa yakin setelah tiga orang itu di dalam gelap menubruk dan meringkusnya!
"Ehh, ehh... mengapa kalian menangkap aku?" Beng San memprotes, penuh keheranan, akan tetapi juga marah.
"Diam kau, petani busuk! Kau kaki tangan pemberontak!"
"Bohong! Aku bukan petani, juga bukan pemberontak."
"Semua petani adalah pemberontak, jangan melawan kaiau tidak ingin mampus!"
Seorang di antara mereka mengayun tangan ke arah muka Beng San. Biar pun di dalam gelap, pemuda ini dapat mengetahui datangnya pukulan. Ia mengelak, kedua lengannya bergerak dan pada lain saat ketiga orang peringkusnya itu sudah terlempar cerai-berai ke belakang. Dan ketika mereka bangun sambil mengaduh-aduh, ternyata pemuda yang tadi mereka ringkus itu telah lenyap tak berbekas lagi!
Dengan penuh kegemasan Beng San meloncat keluar, terus naik ke atas genteng. Di dalam gelap dia masih melihat sosok bayangan beberapa orang berlari menuju ke dalam kota. Cepat dia mengikuti setelah mendapat kenyataan bahwa seorang di antara mereka adalah pengemis tinggi kurus yang ramah, yang tadi berbisik menyuruh kawan-kawannya meringkusnya.
Dia mengikuti dengan diam-diam, ingin tahu apa yang hendak mereka lakukan. Di suatu tikungan jalan, para pengemis ini bertemu dengan sepasukan tentara pemerintah. Segera mereka berbisik-bisik dan bergabung menjadi satu, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah gedung besar yang berdiri di tengah kota. Dengan cepat tapi teratur sekali mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih ini merayap dan mengurung rumah gedung itu.
Beng San tetap mengikuti mereka dan dia dapat menduga bahwa ini tentulah gedung hartawan Ong seperti yang dirundingkan oleh para pengemis tadi. Ia pun bersiap sedia menolong karena maklum bahwa keluarga hartawan Ong itu pasti berada dalam ancaman mala petaka.
Akan tetapi para pengurung itu segera mendapat kenyataan bahwa mereka sudah keliru. Dengan tanda suitan para pengurung menyerbu ke dalam dan... rumah gedung itu telah kosong! Tak seorang pun manusia tinggal di situ, agaknya burung-burung yang hendak mereka tangkap sudah terbang jauh sebelumnya.
Untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaan mereka, para tentara dan mata-mata yang berpakaian pengemis itu kemudian menggeledah gedung, tentu saja tidak lupa untuk mengantongi barang-barang berharga yang kecil-kecil dan merusak yang besar karena tak dapat mereka bawa. Beng San menyaksikan ini semua dan menarik napas panjang.
Baru pertama kali setelah dia turun gunung dia menyaksikan kelakuan para tentara pemerintah yang tidak ada ubahnya seperti perampok-perampok itu. Dan diam-diam dia kagum kepada Pek-lian-pai yang sekali lagi telah dapat menipu mereka.
Sambil tertawa kecil Beng San lalu teringat kepada Tan Hok. Orang tinggi besar seperti raksasa itu juga pernah menipu pasukan pemerintah penjajah. Agaknya yang memimpin rombongan orang Pek-lian-pai di kota ini juga bukan seorang bodoh.
Dengan hati puas melihat para kaki tangan pemerintah penjajah itu marah-marah dan tertipu, Beng San diam-diam meninggalkan tempat pengintaiannya dan di dalam gelap dia melihat seorang pengemis tua terbongkok-bongkok dari depan menghampirinya.
"Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu (Tuan Muda)...," pengemis tua itu mengeluh.
Beng San menghela napas panjang. "Maafkan, Lopek. Aku sendiri tidak punya apa-apa, uang sepeser pun tidak punya, roti sekerat pun tidak ada. Apa yang harus aku berikan kepadamu?"
"Kasihan, orang muda sengsara. Kalau begitu akulah yang harus memberikan sesuatu kepadamu." la mengulur tangan dan memberikan sebuah benda kecil kepada Beng San.
Sebelum hilang herannya, Beng San sudah menerima benda itu dan pengemis tua tadi sudah terbongkok-bongkok lagi pergi dari situ. Benda itu ternyata hanyalah selipat kertas. Dibawanya benda itu ke bawah lampu penerangan di pojok sebuah rumah dan dibacanya tulisan di atas kertas.
Adik Beng San,
Aku dan kawan-kawan berada di perahu-perahu nelayan sebelah selatan kota. Datanglah, kami mengharapkan bantuanmu.
Tertanda: TAN HOK
Tan Hok di sini? Beng San tersenyum girang. Pantas saja serdadu-serdadu itu tertipu, kiranya pemuda raksasa yang kelihatan bodoh tapi ternyata cerdik sekali itu berada di sini memimpin para pejuang! Dia menjadi semakin kagum akan kecerdikan Tan Hok bersama kawan-kawannya yang ternyata segera dapat mengenalnya setelah berpisahan selama delapan tahun.
Surat itu diremasnya hancur, lalu dia menyelinap di antara kegelapan malam menuju ke arah selatan. Setelah dia tiba di sebelah selatan kota yang sunyi, dia melihat banyak perahu nelayan di pinggir sungai dan tak tampak seorang manusia pun.
Selagi dia kebingungan, tidak tahu di mana adanya Tan Hok dan kawan-kawannya, dia melihat bayangan orang yang dengan cepatnya berkelebatan di dekat kumpulan perahu. Meski pun bayangan itu berkelebat cepat luar biasa, namun mata Beng San yang tajam masih dapat melihat jelas bahwa bayangan itu adalah tubuh seseorang yang langsing seperti tubuh seorang wanita, dan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi.
la segera berjalan seperti biasa supaya orang itu tidak akan tahu bahwa dia pun tadi mempergunakan ilmu lari cepat. Di tempat seperti ini yang penuh rahasia, penuh dengan pertentangan dan dalam keadaan perang, dia harus berlaku hati-hati agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan, yang akibatnya tanpa disengaja akan merugikan Tan Hok serta kawan-kawannya.
Dalam sekejap mata saja bayangan itu lenyap. Tidak lama kemudian, muncul bayangan orang bongkok dari kumpulan perahu, yang berjalan menghampirinya.
"Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu...," bayangan ini berkata.
Beng San berdebar jantungnya. Inilah pengemis tua yang tadi memberi surat kepadanya. Tanpa ragu-ragu lagi mendekati, "Lopek, di mana Tan-twako?" ia bertanya langsung.
‘Kakek pengemis’ itu memberi isyarat dengan tangan supaya Beng San mengikutinya dan... ternyata kakek ini sama sekali tidak bongkok, malah kini dapat berjalan cepat dan tangkas. Kakek itu tidak membawanya ke tempat di mana perahu-perahu berkumpul, melainkan sebaliknya, menuju ke sebuah hutan kecil di tepi sungai! Dan di tengah-tengah hutan itulah Tan Hok serta belasan orang temannya berkelompok, duduk bercakap-cakap dengan suara bisik-bisik.
Mereka bersikap sangat berhati-hati, bahkan api unggun saja mereka tidak berani bikin, padahal malam itu dingin sekali dan di hutan itu banyak nyamuknya. Hanya sebuah lampu yang dikerodong kertas merah dinyalakan orang, cukup menerangi wajah mereka yang duduk di dekat lampu. Di antara orang-orang itu, Beng San melihat wajah Tan Hok. Masih seperti dulu, delapan tahun yang lalu. Masih tampan, gagah, dan tinggi besar bagaikan raksasa. Tubuhnya yang tinggi besar itu menjulang satu kaki lebih di atas kepala semua teman-temannya.
"Tan-twako...!" Beng San segera maju memberi hormat.
"Ha-ha-ha, Adik Beng San, kau sudah dewasa sekarang!"
Tan Hok melompat bangun dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya. Dua pasang tangan saling berpegang erat dan keduanya tersenyum girang.
"Tan-twako, harap kau dan teman-teman yang lain hati-hati. Tadi aku melihat bayangan orang menyelinap di antara perahu-perahu," bisik Beng San.
Tan Hok menoleh kepada kakek yang tadi menyambut Beng San. "Betulkah itu Ciu-siok (Paman Ciu)?"
Kakek itu berkata dengan suara menghibur, "Aku hanya melihat kedatangan saudara Beng San seorang. Tidak ada bayangan orang lain. Kalau pun ada dan aku sendiri tidak melihat, dia tak akan dapat terlepas dari penjagaan teman-teman kita."
Tan Hok kembali menghadapi Beng San. "Jangan kau khawatir, Adik Beng San. Kami sudah menaruh penjaga-penjaga di setiap sudut daerah ini. Apa bila betul ada orang yang mengintai tempat ini, pasti akan diketahui oleh para penjaga kami itu." Ia tertawa lagi dan memandang kepada Beng San dengan kagum.
Diam-diam Beng San tak membenarkan pendapat ini. Gerak-gerik orang tadi terlalu cepat, mungkin sekali takkan dapat terlihat oleh para penjaga pikirnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau menyatakan pikiran ini dengan kata-kata, khawatir kalau-kalau disangka meremehkan para penjaga. Maka dia diam saja.
"Adik Beng San. Perbuatanmu di dalam kelenteng tadi hebat. Ternyata kepandaianmu sudah maju pesat. Sayang kau tidak sempat membalas anjing-anjing Mongol yang hendak menangkapmu itu dengan pukulan mematikan."
Beng San kaget. Kiranya Tan Hok sudah memasang mata-mata di mana-mana sampai tahu pula tentang kejadian di dalam kelenteng tua di mana dia hendak ditangkap oleh para serdadu Mongol yang menyamar sebagai kaum jembel. Akan tetapi hatinya lega mendengar kata-kata Tan Hok yang menyatakan bahwa orang raksasa ini masih belum tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian yang tinggi.
"Ah, Tan-twako, kiranya kau sudah mengetahui pula hal itu. Aku hanya merasa kaget dan juga penasaran kenapa aku yang tidak punya kesalahan hendak ditangkap. Maka setelah berhasil meloloskan diri, aku kemudian lari pergi. Kau menyuruh orang memanggilku dan mengirim surat mengharapkan bantuanku, sebetulnya bantuan apakah yang dapat aku lakukan untukmu?"
"Sebelum kau mendengar tentang bantuan yang dapat kau lakukan untuk kami, lebih dulu akan kujelaskan kepadamu tentang keadaan-keadaan selama ini. Adik Beng San, selama bertahun-tahun ini, ke mana saja kau pergi dan apakah kau sudah mengetahui tentang keadaan perjuangan?"
Beng San menggeleng kepala, wajahnya berubah sedikit karena dia merasa jengah dan malu. "Aku... aku bekerja membantu seorang nelayan, dan baru saja aku memasuki dunia ramai, aku tidak tahu apa-apa, Twako."
"Nah, kau dengar baik-baik penuturanku…."
Dengan panjang lebar Tan Hok lalu menceritakan keadaan pemberontakan yang makin lama semakin hebat itu. Menceritakan pula betapa rakyat yang dipimpin oleh pendekar-pendekar besar melakukan perlawanan terhadap pemerintah Mongol dan kini sedikit demi sedikit sudah memperoleh kemajuan dan kemenangan.
Tan Hok sendiri dengan teman-temannya, para anggota Pek-lian-pai yang dia pimpin ini, sekarang bekerja langsung di bawah pemimpin besar para pemberontak, Ciu Goan Ciang! Malah pemuda raksasa ini mendapat kepercayaan dari Ciu Goan Ciang dan melatihnya dengan beberapa macam ilmu silat tinggi. Kemudian Tan Hok menceritakan mengenai keadaan para partai besar persilatan.
Ketika dia bercerita tentang Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai, Beng San mendengarkan penuh gairah. Di antara para partai persilatan, hanya dua partai besar ini pernah dia ketahui, bahkan secara langsung dia pernah berhubungan dengan kedua partai itu. la pernah berdiam di Hoa-san, mengenal ketuanya, mengenal pula murid-muridnya, yaitu Hoa-san Sie-eng dan cucu-cucu muridnya, Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok.
Ada pun tentang Kun-lun-pai, biar dia tidak mempunyai hubungan langsung, namun dia pernah membela murid Kun-lun yang bernama Pek-lek-jiu Kwee Sin. Pernah pula dia melihat dua orang Kun-lun, Bun Si Teng dan Bun Si Liong, tewas di depan kakinya dan menerima pesan Bun Si Teng agar dia membela dan melindungi anak jago Kun-lun ini yang bernama Bun Lim Kwi. Semua ini masih terbayang di depan matanya seakan-akan baru terjadi kemarin hari. Maka, tidak aneh kalau sekarang dia mendengarkan penuturan Tan Hok dengan penuh perhatian.
Tan Hok menarik napas panjang. ”Sayang…," dia melanjutkan ceritanya, “karena yang dilancarkan oleh orang-orang Ngo-lian-kauw siasat liclk dan penuh kecurangan dari ketua Ngo-lian-kauw, dua partai besar itu. Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, dapat diadu domba dan terpecah-belah, menjadi dua partai yang selalu bermusuhan. Padahal kalau dua partai itu dapat ikut membantu perjuangan rakyat menumbangkan kekuasaan penjajah, kedudukan para pejuang akan menjadi lebih kuat lagi. Semua ini adalah gara-gara kelemahan hati jago muda Kwee Sin..." Kembali Tan Hok menarik napas panjang.
"Bagaimana dengan dia setelah dia dulu dilarikan oleh Hek-hwa Kui-bo?” Beng San tak sabar lagi bertanya.
"Kau tahu tentang itu?" Tan Hok bertanya heran, tapi lalu disambungnya, "Kau memang anak aneh, ini sudah kuketahui sejak pertemuan kita yang pertama. Kau tanya tentang Kwee Sin? Justru dia itu yang menjadi biang keladi semua pertentangan, karena hatinya yang lemah, mudah roboh menghadapi bujuk rayu dan kecantikan ketua Ngo-lian-pai. Pek-lek-jiu Kwee Sin, jago muda yang berkepandaian tinggi itu setelah dilarikan oleh pihak Ngo-lian-pai, menjadi makin binal dan tergila-gila kepada ketua Ngo-lian-pai yang berjuluk Kim-thouw Thian-li. Hanya beberapa bulan setelah dua orang suheng-nya, yaitu dua saudara Bun tewas dalam pertempuran di Hoa-san menghadapi murid-murid Hoa-san-pai, Kwee Sin bersama kekasihnya, ketua Ngo-lian-pai dan beberapa orang tokoh lagi dari Ngo-lian-kauw, bahkan diam-diam juga dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo, menyerbu Hoa-san, berhasil melukai Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, malah berhasil membunuh Thio Wan It dan Kui Keng. Mereka meninggalkan yang luka-luka dan menyatakan bahwa mereka membunuh dua orang tokoh Hoa-san itu untuk menebus kematian dua saudara Bun dari Kun-lun-pai."
Beng San membelalakkan matanya "Hebat...!"
Dan hatinya terasa perih penuh kasihan ketika dia teringat kepada Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok yang kematian ayah mereka.
"Bagaimana dengan ketua Hoa-san-pai, apakah dia tidak membantu murid-muridnya?"
"Tentu saja Lian Bu Tojin turun tangan, akan tetapi dengan adanya Hek-hwa Kui-bo, dia tidak berdaya banyak. Semenjak itu, permusuhan selalu terjadi antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai."
"Kenapa Kun-lun-pai juga terbawa-bawa dalam hal ini? Bukankah Kwee Sin menyerbu Hoa-san-pai atas kehendaknya sendiri dan bersama orang-orang Ngo-lian-kauw, bukan atas kehendak Kun-lun-pai?"
"Hoa-san-pai rupa-rupanya tidak mau tahu akan hal ini, karena ke mana mereka harus mencari Kwee Sin? Kwee Sin semenjak itu lenyap bersama Ngo-lian-kauw dan celakanya, secara rahasia Kwee Sin lalu ikut membantu Ngo-lian-kauw memusuhi partai-partai yang membantu para pejuang! Apa bila dulu kedua partai besar itu, baik Hoa-san-pai mau pun Kun-lun-pai, hidup tenang dan damai, sekarang keduanya mengumpulkan bekas-bekas murid mereka dan membentuk kekuatan yang terdiri dari murid-murid yang pandai, selalu siap untuk saling gempur."
Beng San mendengarkan dengan kening berkerut. "Ah, sayang sekali..." hanya demikian komentarnya.
Dia benar-benar merasa menyesal sekali, mengapa permusuhan yang terang-terangan disebabkan oleh Ngo-lian-kauw itu bisa sampai demikian berlarut-larut. Akhirnya, karena rasa penasaran membuat dia berkata, "Jika kedua partai sudah tahu bahwa permusuhan itu disebabkan oleh tipu muslihat ketua Ngo-lian-kauw, kenapa mereka tidak memusuhi Ngo-lian-kauw saja?"
"Mereka pun kedua pihak sudah mulai melakukan permusuhan dengan Ngo-lian-kauw, akan tetapi dendam di antara Hoa-san dan Kun-lun agaknya lebih parah dan mendalam."
Dengan panjang lebar Tan Hok lalu menuturkan semua kejadian yang diketahuinya dan diam-diam Beng San girang sekali bahwa dia bertemu dengan raksasa ini karena ternyata pengetahuan Tan Hok tentang dunia kang-ouw dan semua peristiwa yang terjadi, sangat luas.
Kalau baru melihat saja orang tentu mengira bahwa kakek ini bermata lebar, akan tetapi setelah lama memandang dan melihat bahwa mata kakek itu melotot tak pernah berkedip, akan tahulah orang bahwa dia adalah seorang kakek yang buta matanya. Rambutnya yang putih panjang riap-riapan di kedua pundaknya. Muka dan tubuhnya hanya tinggal kulit membungkus tulang belaka. Ada pun pemuda yang berlutut itu nampaknya terharu sekali.
"Mohon Locianpwe sudi memberikan maaf sebesarnya karena teecu telah meninggalkan Locianpwe bertahun-tahun. Ternyata Locianpwe masih berada di sini dan dalam keadaan menderita," terdengar pemuda itu berkata sambil memandang tubuh yang kurus kering itu dengan perasaan kasihan.
Kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, seperti jerami kering yang tertiup angin. Mulutnya bergerak-gerak beberapa lama, baru terdengar dia berkata perlahan. "Ahhh, anak baik, alangkah bahagia rasa hatiku akhirnya dapat mendengar suaramu. Akhirnya kau datang juga, hampir aku tak kuat lagi menahan..."
Kakek itu kemudian duduk bersila dan meraba-raba pundak pemuda tadi. Beberapa kali meraba-raba kemudian kakek itu berkata penuh kekaguman, "Hebat... dahulu aku pun tak sekuat engkau sekarang. Bukan main…, ahhh, kalau saja aku mendapatkan kesempatan melihat... ehh, maksudku mendengar kau main Liong-cu Siang-kiam dalam Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut, mati pun aku akan puas. Mainkanlah, mainkanlah sekali ini saja, untuk mengantar perjalananku yang amat jauh...”
Kakek itu lalu mengeluarkan sepasang pedang yang berkilauan cahayanya, memberikan sepasang pedang itu kepada pemuda tadi. Sepasang mata pemuda itu berkilat-kilat tajam ketika dia melihat sepasang pedang ini. la menerima sepasang pedang itu, memeriksanya dengan teliti lalu bertanya,
"Locianpwe, betulkah sepasang pedang ini yang bernama Liong-cu Siang-kiam, sepasang pedang yang selama puluhan tahun diperebutkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw?"
Kakek buta itu tersenyum. "Beng San, apakah kau sudah lupa lagi? Bukankah dahulu kau pernah melihatnya, bahkan pernah menggunakannya pada saat kau berhadapan dengan Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo? Inilah Liong-cu Siang-kiam, pedang peninggalkan sepasang pendekar yang sakti, yaitu pendekar sakti Sie Cin Hai pada ratusan tahun yang lalu. Pedang ini asalnya dimiliki seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang raja pedang. Oleh karena itu, pada jaman sekarang ini hanya kaulah, Beng San, orang yang berhak menggunakannya, sebab hanya kau yang menjadi ahli waris Im-yang Sin-kiam-sut. Hayo, berdirilah, dan kau mainkan Im-yang Sin-kiam-sut untukku..!"
Kakek itu terengah-engah, nampaknya sangat tegang dan gembira sekali, perasaan yang memberi pukulan hebat pada tubuhnya yang memang sudah amat lemah.
Orang muda itu setelah menimang-nimang kedua pedang tadi, yang panjang di tangan kanan sedangkan yang pendek di tangan kiri, lalu bangkit berdiri, meloncat agak jauh ke tempat yang luas di depan goa itu, kemudian dia bersilat dengan amat cepat dan sigap. Sepasang pedang itu berkelebat menyambar-nyambar ke kanan kiri, depan belakang, dan atas bawah seperti dua ekor naga yang sedang bermain-main di angkasa!
Mendadak muka Lo-tong Souw Lee yang sangat kurus itu menjadi pucat pasi. Kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan seperti hendak mencengkeram ke depan dan dia berteriak, penuh kepahitan, "Heeeiii, itu bukan Im-yang Sin-kiam... itu... itu... ahhh, kau bukan Beng San... aduhai celaka, kau bukan Beng San...!"
Terdengar suara ketawa, angin sambaran pedang terhenti dan Lo-tong Souw Lee tidak mendengar apa-apa lagi, tanda bahwa orang muda itu sudah pergi jauh.
"Beng San... sia-sia aku menanti sampai tahunan... aduh, mataku yang buta... celaka..."
Kakek ini terhuyung-huyung, wajahnya makin pucat, dia mendekap dadanya lalu roboh tertelungkup di depan goa itu. Dari puncak Cin-lin-san itu, bayangan pemuda tadi dengan amat cepatnya dan ringannya seperti melayang-layang turun dari jurusan utara. Sepasang pedang tadi tidak kelihatan dia bawa lagi karena sudah dia sembunyikan di balik jubah luarnya yang panjang.
Kurang lebih tiga jam berikutnya, seorang pemuda lain kelihatan mendaki puncak dengan tenang. Pakaiannya sederhana, rambutnya yang panjang diikat ke atas. Mukanya putih sehingga alisnya yang hitam gompyok berbentuk golok itu nampak lebih hitam lagi, dan sepasang matanya bersinar tajam melebihi sinar pedang dan mempunyai wibawa yang aneh. Tubuhnya tegap dadanya bidang, sepatunya sudah bolong-bolong saking tuanya.
Dari gerak kakinya yang tetap dan tak tergesa-gesa dapat diketahui bahwa pemuda yang baru datang mendaki puncak Cin-ling-san ini adalah seorang yang memiliki ketenangan lahir batin. Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, tidak kelihatan membawa senjata tajam, jadi tidak seperti seorang pemuda kang-ouw, juga tidak membawa kipas atau tanda lahir yang menunjukkan bahwa dia seorang pemuda ahli sastra. Lebih patut dia disangka seorang pemuda tani.
Akhirnya, dengan langkah yang tidak pernah mengendur namun tidak pula tergesa-gesa, pemuda ini tiba di depan goa Ular. Ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh kakek yang menggeletak tertelungkup di depan goa, kedua kakinya langsung bergerak sehingga tubuhnya berkelebat. Pada lain saat tahu-tahu dia telah berlutut di dekat tubuh kakek itu lalu mengangkatnya, menyangga leher dan punggungnya di atas lengan kiri sedangkan tangan kanannya membersihkan debu dan tanah dari muka yang pucat dan kurus itu.
"Kakek Souw... Kakek Souw... kau kenapakah?"
Kakek itu menggerak-gerakkan biji matanya yang melotot, bibirnya bergerak-gerak dan akhirnya dia berkata dengan suara terisak, "Ahh... Beng San... sekarang benar kau Beng San... kenapa aku begini bodoh...?” Kakek itu terisak-isak!
Beng San terkejut sekali. Pada saat tadi mengangkat tubuh kakek ini, dia melihat bahwa Lo-tong Souw Lee tidak terluka. "Ada apakah, Kakek Souw? Apa yang telah terjadi...?"
"Ahh, Beng San. Aku bodoh... orang pengecut mempergunakan mataku yang buta untuk menipuku... pedang Liong-Siang-kiam sudah diambil orang yang mengaku sebagai kau... dia juga memiliki ilmu tinggi... masih muda... sayang aku tidak tahu bagaimana bentuknya, hanya ketika kupegang pundaknya... dia... dia memiliki tenaga dalam yang hebat..."
Beng San mampu menguasai hatinya. ”Sudahlah, harap kau tenang dan jangan berduka, Kakek Souw. Apa sih artinya sepasang pedang saja? Aku tidak begitu mengingininya..."
"Apa...?!" Mendadak kakek itu berkata keras. "Sepasang pedang itu adalah punyamu! Mengerti kau? Aku sengaja bersembunyi bertahun-tahun, sengaja menahan-nahan nyawa yang sudah tak kerasan di tubuh tua dan bobrok ini, sengaja menanti-nanti datangmu untuk menyerahkan sepasang pedang itu. Sekarang pedang dicuri oleh orang dan kau... kau bilang tidak mengingininya? Lepaskan aku, lepaskan...!" Kakek itu meronta-ronta dan terpaksa Beng San menurunkannya lagi ke atas tanah.
Beng San merasa menyesal sekali. Ia merasa sudah berbicara seenaknya dan lancang. "Aduh, ampunkan aku, Kakek Souw. Sama sekali bukan maksudku untuk menyakiti hati dan perasaanmu. Maksudku tadi hendak menghiburmu agar jangan terlalu berduka akibat kehilangan Liong-cu Siang-kiam."
Tapi kakek itu masih marah dan kecewa. Matanya yang terbelalak itu dipejam-pejamkan, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya meringis seperti orang menangis. Menyedihkan sekali muka yang tua itu.
"Biarlah... biar aku mampus... aku tua bangka mampus karena sikap orang muda yang tak kenal kasih sayang orang... biar aku mampus karena kau...”
Beng San cepat menjatuhkan diri berlutut. "Kakek Souw, ampunkanlah aku... ampunkan, aku sama sekali tak bermaksud mengecewakan hatimu. Katakanlah, apa yang harus aku lakukan, aku bersumpah akan memenuhi permintaanmu."
”Betul kata-katamu itu?" Kakek itu menegas dengan napas terengah-engah.
"Betul, Kakek Souw."
"Kau berani bersumpah?”
Tanpa ragu-ragu lagi Beng San bersumpah, "Aku bersumpah, disaksikan langit dan bumi, biarlah Thian menghukum seberat-beratnya kepada aku apa bila aku tidak memenuhi permintaan Kakek Souw."
Kakek itu nampak lega sekali. Dia lalu bangun duduk dengan susah payah, dibantu oleh Beng San.
"Aku tidak akan minta kau berbuat yang melanggar kebenaran dan keadilan, anak baik. Pertama-tama, aku minta agar kau berusaha mencari orang yang sudah mencuri pedang Liong-cu Siang-kiam. Setelah orang itu dapat kau temukan, kalau dia laki-laki kau harus membunuhnya. Kalau dia wanita..." Kakek itu berhenti, batuk-batuk dan agaknya sungkan melanjutkan kata-katanya.
"Ya...? Kalau dia wanita bagaimana, Kakek Souw?"
"Kalau dia itu wanita, kau harus menjadi suaminya."
"Apa...?!" Beng San melompat tinggi seperti orang yang tersentak kaget karena diserang ular. Sepasang matanya terbelalak lebar dan dia merasa bulu tengkuknya berdiri. "Kakek Souw yang mulia, apa kau bicara dengan pikiran waras?
”Tentu saja aku waras!" bentak kakek tua itu marah. "Kalau pencuri pedang itu pria, dia adalah orang jahat yang berbahaya, karenanya perlu kau bunuh. Tapi jika dia itu wanita, tentu wanita yang memiliki kepandaian tinggi, nah... tak patut seorang gagah seperti kau membunuh wanita, maka kupikir lebih baik kau kawin saja dengannya supaya Liong-cu Siang-kiam tidak terjatuh kepada orang lain."
"Mana ada aturan begini?" Beng San membantah. "Kalau perampas pedang itu ternyata pria, tentu akan kulihat dulu orang macam apa dia ini dan apa alasannya dia merampas pedang. Apa bila dia bukan orang jahat, bagaimana aku akan dapat membunuhnya? Soal kedua, kalau dia itu wanita... dan seorang wanita tua, atau sudah bersuami, atau juga seorang wanita yang aku tidak suka, bagaimana aku dapat mengawininya? Ahh, Kakek Souw, aku hanya bisa memenuhi permintaanmu tadi, yaitu mencari sampai dapat kembali pedang Liong-cu Siang-kiam."
"Jadi kau hendak melanggar sumpah?"
”Kakek Souw, aku takkan melanggar sumpah. Akan tetapi, aku juga tak bisa melakukan hal yang bertentangan dengan peri kebenaran, yang bertentangan dengan suara hatiku. Apa bila penolakanku tentang membunuh orang baik-baik dan mengawini wanita secara serampangan saja kau anggap salah dan melanggar janji, nah, ini aku masih di sini. Aku menyerahkan nyawa dan raga untuk menebus pelanggaran sumpah!"
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak, keadaannya yang tadi lemah itu mendadak seperti segar kembali.
"Begitulah seharusnya seorang laki-laki!" katanya gembira. "Rela mengorbankan nyawa sendiri dari pada melakukan sesuatu yang tidak patut. Beng San, aku girang sekali telah memilih kau sebagai pewaris Liong-cu Siangkiam!" kembali kakek itu tertawa-tawa.
Beng San diam saja akan tetapi dia tersenyum pahit. Menerima warisan saja warisan yang tercuri orang dan harus dicari dulu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya mencari seorang pencuri yang tidak diketahui laki-laki atau wanita, tidak diketahui rupanya, hanya diketahui bahwa dia masih muda dan bertenaga dalam cukup lihai.
"Jangan kira aku sudah gila, Beng San. Tadi pun sudah kujelaskan bahwa aku tak akan meminta kau melakukan hal-hal yang tidak baik. Kau pun tentu sudah dapat menyelami watakku, bila tidak demikian, mana mungkin kau berani mengucapkan sumpah tadi? Nah, sekarang permintaanku ke dua. Kau harus mempergunakan Liong-cu Siang-kiam untuk membantu pergerakan rakyat menumbangkan pemerintah Mongol..." Kakek ini kembali kelihatan berduka dan menarik napas panjang. "Aku sendiri masih ada keturunan darah Mongol, tetapi aku tidak suka melihat sepak terjang kaisar dan para pembesar bangsaku. Karena itu aku mencuri pedang. Dan sekarang kembali kepada tugasmu. Kau harus ikut membantu perjuangan rakyat yang hendak memperjuangkan kemerdekaannya, dengan syarat bahwa kau lakukan itu tidak untuk mencari pangkat, harta, dan kemuliaan. Setelah berhasil perjuangan, kau harus meninggalkan kedudukan dan tidak mencampurinya lagi. Bagaimaina?"
"Aku akan berusaha memenuhi permintaan ke dua ini, Kakek Souw. Memang aku sendiri merasa suka kalau teringat akan orang-orang gagah seperti Tan-twako yang memimpin serombongan pejuang Pek-lian pai.”
"Sekarang permintaan ke tiga," kata kakek itu dengan suara seperti tergesa-gesa. ”Kau harus mempergunakan Liong-cu Siang-kiam untuk memainkan Im-yang Sin-kiam-sut dan merebut sebutan Raja Pedang.”
Beng San tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, maka dia memandang heran. Kakek yang napasnya sudah sengal-sengal itu menarik napas untuk menenangkan dadanya yang sesak, kemudian memaksa diri berkata,
"Setiap dua puluh lima tahun sekali, di puncak Thai-san diadakan perebutan kejuaraan ilmu pedang yang dihadiri oleh semua tokoh persilatan. Sudah dua kali aku berusaha merebut gelar Raja Pedang, tapi selalu gagal. Itulah yang menjadi sebab kedua mengapa aku mencuri Liong-cu Siang-kiam. Kurang lebih dua tahun lagi akan diadakan perebutan itu, tepat dua puluh lima tahun semenjak gelar Raja Pedang dimenangkan oleh pendekar Cia Hui Gan dari selatan. Cia Hui Gan ini kabarnya masih keturunan dari pendekar wanita Ang-i Niocu. Sejak itu ia mendapat julukan Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Lawan). Sayang aku sudah terlalu tua, tidak kuat menghadiri perebutan itu lagi... kau... kau harus mewakili aku, merebut gelar itu..."
Setelah menjelaskan demikian panjang, napas Souw Lee semakin tersengal-sengal, akan tetapi keadaan ini tidak makan waktu terlalu lama. Akhirnya napas yang sengal-sengal itu menjadi tenang kembali, bahkan terlalu tenang.
"Kakek Souw...!" Beng San merangkulnya akan tetapi ternyata napas kakek tua itu sudah berhenti!
Beng San terharu sekali, dia merebahkan tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu di atas tanah, berlutut dan mulutnya bergerak dalam bisikan. "Kakek Souw, mengasolah dengan tenang. Aku bersumpah akan berusaha memenuhi harapanmu, aku pasti akan melakukan semua pesanmu. Mudah-mudahan saja semua akan terlaksana sebagaimana pesanmu yang terakhir."
Dengan sedih dan penuh hormat pemuda ini kemudian mengurus jenazah kakek Souw, menguburnya di bekas tempat pertapaannya, di Ban-seng-kok yang terletak di puncak Cin-ling-san. Sesudah itu dia lalu turun dari puncak, meninggaikan Cin-ling-san sebagai seorang pemuda sebatang kara yang memikul tugas yang dipesankan oleh kakek Souw Lee, tugas yang amat berat. Akan tetapi dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia pasti akan dapat memenuhi semua pesan kakek itu….
Manusia boleh berdaya upaya, namun Tuhan jualah yang berkuasa. Sudah menjadi hak, bahkan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha dan berdaya upaya ke arah kemajuan, ke arah perbaikan dan ke arah keadaan sebagaimana yang ia kehendaki dan inginkan. Namun tak dapat disangkal pula bahwa pada akhirnya, kekuasaan Tuhan yang akan menentukan bagaimana jadinya dengan segala daya upaya itu.
Oleh karena itulah maka para bijaksana, para ahli pikir dan ahli filsafat menganjurkan agar dalam setiap gerak, setiap langkah dan daya upaya, seyogyanya manusia menyerahkan penentuan terakhir kepada Yang Maha Kuasa. Kalau hati sudah sungguh-sungguh dapat menyerah terhadap segala keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan apa bila hati sudah betul-betul sadar penuh keyakinan bahwasanya segala apa ini, baik mau pun buruk dalam penilaiannya, terjadi karena kehendak Yang Maha Penentu, maka kita tidak akan terlalu merasa sengsara apa bila yang dikehendaki dan diinginkannya tidak terkabul.
Sebenarnya sudah terlalu banyak contoh-contoh untuk kebenaran di atas tadi terjadi di dunia sepanjang masa. Tidak usah kita mencari contoh jauh-jauh, kita kenangkan kembali pengalaman hidup diri kita sendiri.
Sudah betapa seringkah terjadi di dalam hidup kita hal-hal yang sama sekali berlawanan dengan apa yang kita inginkan? Berlawanan sama sekali dengan apa yang sebenarnya kita kehendaki? Padahal sudah mati-matian kita berusaha untuk menjuruskan hal itu agar terjadi seperti keinginan kita! Tidakkah sudah terlalu sering kita merasa kecewa?
Ini keliru! Ini salah! Kita harus dapat menerima segala kejadian sebagai hal yang sudah semestinya begitu, betapa pun pahitnya bagi kita. Sedapat mungkin, kita harus menerima pahit getir sebagai gemblengan batin, dan mencari-cari dalam diri sendiri kesalahan apa yang kita lakukan tanpa kita sadari sehingga hal yang tidak kita kehendaki itu terjadi.
Karena, segala akibat itu pasti bersebab dan sebab-sebab ini kalau tidak terlihat di luar, harus kita cari mendalam, mencari tak usah jauh-jauh, tapi dalam diri kita sendiri. Apa bila kita benar-benar sudah menyerahkan diri sebulatnya kepada kekuasaan Yang Maha Esa, sudah dapat dipastikan bahwa kita akan mampu mencari kesalahan sendiri itu, kesalahan yang dilakukan tanpa kita sendiri menyadari bahwa kita telah bertindak salah.
Semua manusia, baik dia itu orang biasa mau pun orang besar dalam arti kata besar kekuasaannya, tinggi kedudukannya, tetap saja harus tunduk pada kekuasaan Tertinggi.
Kaisar Dinasti Goan yang terakhir, yaitu Kaisar Sun Ti, boleh saja menyombongkan diri sebagai manusia besar, pewaris Kerajaan Goan yang dulu dibangun oleh Jenghis Khan, kerajaan yang meliputi seluruh Tiongkok, bahkan makin meluas ke barat dan ke selatan. Akan tetapi, menghadapi keadaan yang memang sudah ditentukan oleh Tuhan, dia dan bala tentaranya yang besar tak berdaya.
Pemberontakan tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Tentu saja kelemahan Dinasti Goan ini pasti ada sebabnya, seperti juga semua akibat tentu bersebab. Dinasti yang tadinya berkembang dan mencapai masa jaya dan masa keemasannya di waktu Kaisar Kubilai Khan bertahta itu, mulai goyah kedudukan dan keangkerannya setelah kaisar ini meninggal dunia.
Setelah Kubilai Khan meninggal dunia, mulailah terjadi perebutan kekuasaan di antara para raja muda dan pangeran. Apa bila seorang raja muda atau pangeran dapat merebut singgasana, yang lain akan melakukan pemberontakan dan merebut kekuasaan sehingga terjadi ganti-mengganti kaisar yang hanya menduduki tahta selama beberapa tahun saja. Apa lagi di antara tahun 1307 sampai tahun 1333, H selama dua puluh enam tahun ini terjadi penobatan kaisar sebanyak delapan kali!
Oleh karena selalu terjadi ribut-ribut di dalam istana kaisar, para pembesar menumpahkan perhatiannya akan perebutan kursi, sedangkan para pejabat yang berada di luar istana mempergunakan kesempatan selagi orang-orang besar itu tidak memperhatikan mereka, lalu berpesta pora mengeduk harta kekayaan untuk mengisi gudangnya sendiri-sendiri.
Pemerasan terjadi di mana-mana dan akibatnya selalu rakyat yang tergencet. Semua ini masih ditambah lagi dengan bencana musim kering yang menimbulkan kekurangan bahan makan sehingga tak dapat dicegah lagi rakyat menderita bencana kelaparan yang hebat. Inilah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan-pemberontakan, baik di daerah utara mau pun selatan.
Memang harus diakui bahwa pemerintah Mongol mulai menginsyafi akan adanya bahaya pemberontakan. Mereka segera dapat menindih serta membasmi para pemberontak yang menentang di sana-sini secara kecil-kecilan. Akan tetapi mulai tahun 1351 kembali rakyat memberontak, malah kali ini sangat hebat karena mereka mendapat pemimpin-pemimpin yang pandai.
Di antara para pemimpin pemberontak ini tentu saja yang paling terkenal adalah Cu Goan Ciang yang kelak akan menjadi raja pertama dari Dinasti Beng. Ada pun perkumpulan rahasia dari para pemberontak yang paling terkenal adalah perkumpulan Pek-lian-pai.
Belasan tahun telah lewat dan keadaan pemerintah Mongol menjadi makin lemah. Perang terjadi di mana-mana, terutama sekali di sepanjang lembah Sungai Yang-ce-kiang, sungai Huai dan Sungai Huang-ho. Daerah ini menjadi pusat para pemberontak.
Memang di antara para pemberontak ini terpecah menjadi banyak golongan yang bekerja sendiri-sendiri atau tidak terikat satu kepada yang lain, akan tetapi di dalam menghadapi pemerintah penjajah, mereka ini dapat bersatu dan saling membantu. Ada kalanya apa bila tidak sedang menghadapi barisan musuh, terjadi pula bentrokan antara dua golongan pemberontak, akan tetapi begitu musuh datang menyerang, dua golongan yang tadinya bentrok ini segera bersatu bahu membahu melawan serdadu-serdadu Mongol!
Demikianlah sedikit catatan mengenai keadaan Tiongkok pada masa Dinasti Goan yang dipimpin oleh Kaisar Sun Ti, Kaisar Mongol yang terakhir. Keadaan di seluruh negeri amat kacau dan penduduk merasa selalu tidak aman. Memang demikian yang selalu dirasakan rakyat apa bila negara dilanda perang.
Perubahan besar ini sangat dirasakan oleh Beng San yang selama delapan tahun lebih seakan-akan mengasingkan diri. Selama delapan tahun ini, setiap hari Beng San hanya berhadapan dengan air sungai dan ikan yang dipancing atau dijaringnya bersama kakek nelayan. Tidak pernah dia mendengar tentang keadaan di lain tempat, hanya mendengar bahwa pemberontakan makin menghebat.
Maka dapat dibayangkan betapa herannya melihat kesengsaraan rakyat jelata ketika dia turun dari Pegunungan Cin-ling-san. Dia menyaksikan para petani yang tubuhnya sangat kurus dengan wajah penuh kebencian berbondong-bondong menggabungkan diri dengan para pemberontak yang bersembunyi di hutan-hutan.
Ketika memasuki sebuah dusun di mana justru sedang terjadi perang, dia menghadapi kesukaran pertama. Puluhan orang serdadu Goan mengepung dan hendak menangkap dirinya karena dia dituduh anggota pemberontak.
Beng San tidak mau melayani mereka. Dia hanya merobohkan beberapa orang tanpa membunuhnya, lalu lari meninggalkan para serdadu yang melongo terheran-heran karena melihat betapa pemuda seperti petani yang hendak mereka tangkap itu tahu-tahu sudah lenyap dari depan mata!
Semenjak mengalami hal ini, Beng San berlaku hati-hati. Dia selalu menjauhkan diri dari para serdadu Goan yang berkeliaran di mana-mana dalam usaha mereka membasmi pemberontak.
Betapa pun juga, kesukaran ke dua segera menyusul setelah dia tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai Sungai Yang-ce di Propinsi Ho-pak. Kota ini masih ramai dan terjaga kuat oleh pasukan pemerintah. Penjagaan ketat mengepung tembok kota dan di dalam kota sendiri, di antara para pedagang, para penduduk dan pendatang, banyak berkeliaran mata-mata yang mengawasi gerak-gerik setiap orang secara rahasia.
Beng San tentu saja sama sekali tidak tahu akan hal ini. la memasuki kota I-kiang dan agak bergembira melihat keadaan kota yang ramai yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa keadaan di dalam negeri sedang kacau balau akibat perang. la melihat adanya losmen-losmen besar kecil dan warung-warung arak berikut nasi dan bakmi.
Akan tetapi karena selama hidupnya belum pernah dia bermalam di losmen atau makan di warung, ditambah pula tidak ada sepeser pun uang di saku, dia hanya melihat-lihat dari luar saja. Kemudian baru terasa lapar perutnya ketika hidungnya mencium bau masakan dan arak.
"Aku harus mencari tempat penginapan, hari sudah mulai gelap dan perutku amat lapar," pikirnya.
Seperti dulu di waktu dia masih kecil, setiap kali memasuki dusun atau kota dia mencari tempat penginapan di dalam sebuah kelenteng, oleh karena itu sekarang dia juga mulai mencari-cari kelenteng untuk dijadikan tempat beristirahat.
Akhirnya di pinggir kota dia mendapatkan sebuah kelenteng besar, akan tetapi kelenteng ini sudah kosong, hanya tinggal bangunannya yang kokoh kuat dan tiang-tiangnya yang terukir. Meja sembahyang sudah tidak tampak lagi, juga tidak ada toapekong-nya. Malah patung-patung yang menghias sekeliling kelenteng sudah rusak semuanya dan tempat itu kotor sekali.
Tidak kelihatan seorang pun hwesio di situ. Sebagai gantinya, halaman depan kelenteng itu penuh dengan orang-orang yang pakaiannya compang-comping, terang bahwa mereka adalah golongan jembel atau orang minta-minta.
Tanpa ragu-ragu Beng San memasuki halaman itu dan dia segera disambut oleh pandang mata belasan orang jembel yang duduk atau pun tiduran malang-melintang di tempat itu.
Seorang pengemis yang masih muda segera berkata kepadanya. "Kau pengungsi dari dusun? Ingin mencari tempat menginap di sini? Silakan, di sini banyak tempat... banyak tempat. Belum makan? Marilah, bantu habiskan hidangan raja ini."
Pengemis itu umurnya tidak akan lebih dari empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya kotor, cambangnya tidak terpelihara, dan pakaiannya dari kain tebal yang sudah kotor. Yang disebut ‘hidangan raja’ itu adalah beberapa potong roti kering yang kelihatan keras dan sudah lama, kekuning-kuningan.
Melihat keramahan orang, Beng San merasa tidak enak kalau menolak. Dan memang perutnya sudah lapar. la lalu duduk di sebelah orang itu, di atas lantai kelenteng.
"Kau baik sekali, Saudara. Terima kasih."
"Hayo, jangan sungkan-sungkan. Makanlah."
Beng San mengambil sepotong roti kering dan memakannya. Memang keras dan apek, akan tetapi cukup asin dan sesudah dikunyah enak juga rasanya. Agaknya, memang roti yang baik, sayang sudah terlalu lama. Orang itu memandang sejenak, lalu mengeluarkan sebotol arak yang bercampur air tawar.
"Arak selatan ini baik sekali, sudah tua, hanya... ehh, terpaksa diperbanyak dengan air." la tersenyum dan memberikan botol itu kepada Beng San.
Pemuda ini ikut tersenyum pula, lalu minum. la merasa tubuhnya segar kembali setelah perutnya diisi.
"Sekarang jaman sukar, sampai seorang petani lari ke kota bercampuran dengan kaum jembel..." Orang itu menarik napas panjang dan memandang kepada Beng San.
Pemuda ini tidak menjawab, menoleh ke kanan kiri dan bertanya. "Kenapa kelenteng ini terlantar? Melihat bangunannya, agaknya dahulu sebuah kelenteng yang besar juga."
"Betul dugaanmu itu," jawab pengemis, "memang kelenteng ini besar. Tapi sayang semua hwesio-nya telah dibasmi habis, sebagian terbunuh, sebagian lagi dijebloskan penjara."
"Kenapa?" Beng San bertanya kaget. Baru sekarang dia mendengar ada hwesio-hwesio dibunuh dan dipenjara.
"Mereka membantu pemberontak," kemudian pengemis itu bisik-bisik, "Sobat, kau adalah petani, mengapa kau tidak ikut kawan-kawanmu? Apakah kedatanganmu ini pun hendak mengadakan pertemuan rahasia dengan anggota pemberontak? Atau barang kali dengan anggota Pek-lian-pai?"
Beng San menggeleng kepala, termenung memikirkan nasib para hwesio yang celaka itu.
"Apa bila kau hendak mengadakan pertemuan dengan Pek-lian-pai, katakan terus terang saja, barang kali aku dapat membantumu..." Kembali orang itu berbisik.
"Tidak... tidak... aku hanya pelancong yang kemalaman di kota ini. Terima kasih atas kebaikanmu dan terima kasih atas pemberian roti dan arak."
Beng San bangkit berdiri dan mencari tempat untuk mengaso di sebelah dalam. la segera membersihkan lantai di sudut yang sunyi, lalu duduk bersandar dinding. Pengemis tadi hanya tersenyum dan mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata tajam, kemudian mengangkat bahu dan membaringkan tubuhnya di lantai.
Sambil duduk mengaso Beng San melamun, mengenangkan semua pengalamannya di masa lalu. Tanpa disengaja, seperti sudah ribuan kali dia mengalami, dia lalu terbayang akan wajah-wajah orang yang pernah dia kenal. Wajah orang-orang yang silih berganti terbayang di depan matanya, yang membuat dia kadang-kadang merasa marah, girang, terharu.
la tersenyum geli kalau mengenangkan wajah Kwa Hong, bocah yang galak dan cantik manis, yang selalu memakinya bunglon itu. la menjadi gemas kalau mengenangkan wajah orang-orang yang pernah mengganggunya, yang pernah berbuat jahat kepadanya.
Tetapi semua bayangan ini lenyap tak membekas apa bila muncul wajah seorang anak perempuan yang berpakaian merah, yang memandang kepadanya dengan mulut mungil tersenyum-senyum, dengan sepasang matanya yang lebar dan bening, dengan tangan bergerak-gerak memberi isyarat. Wajah Bi Goat, si bocah gagu!
Segera ia menjadi termenung, matanya sayu memandang jauh, hatinya penuh keharuan. Di manakah dia sekarang? Apakah masih ikut Song-bun-kwi si kakek iblis itu?
Beng San telah hampir pulas ketika tiba-tiba dia mendengar suara bisik-bisik yang cukup jelas dan mencurigakan sekali. Segera dia membuka mata dan memasang pendengaran. Ternyata bahwa para pengemis yang tadinya malang-melintang di halaman kelenteng itu hanya tinggal beberapa orang saja lagi. Yang lain sudah tidak ada, termasuk orang yang tadi memberinya makan dan minum.
Ada pun suara-suara bisikan tadi terdengar dari sebelah dalam kelenteng, agak jauh dari tempat dia mengaso. Namun berkat kepandaiannya, Beng San mampu menangkap suara bisik-bisik itu. Alangkah herannya ketika dia mendengar suara pengemis yang baik hati tadi berbisik.
"Betulkah penyelidikanmu itu? Kalau begitu tak bisa salah lagi, mereka itu tentulah kaum Pek-lian-pai yang akan mengadakan hubungan dengan hartawan Ong! Hayo siap semua, seorang melapor kepada Kui-ciangkun supaya menyiapkan barisan mengepung gedung Ong-wangwe (hartawan Ong). Kau dan dua orang teman lagi menjaga baik-baik di sini. Awas, pemuda tani yang tampan itu juga mencurigakan. Ringkus saja dia sebelum dapat melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan. Kalau dia melawan, bunuh saja!"
Suara kaki terdengar bergerak-gerak dan keadaan sunyi kembali. Beng San pun menanti dengan hati penuh curiga, akan tetapi dia masih belum dapat menduga siapakah adanya pengemis yang aneh itu dan siapa pula teman-temannya yang diajak berunding tadi.
Kemudian di dalam gelap dia melihat bayangan tiga orang yang pandai ilmu silat, malah memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik sekali. Dia masih belum yakin betul apakah yang dimaksudkan dengan ‘pemuda tani yang tampan’ tadi dia orangnya. Baru dia merasa yakin setelah tiga orang itu di dalam gelap menubruk dan meringkusnya!
"Ehh, ehh... mengapa kalian menangkap aku?" Beng San memprotes, penuh keheranan, akan tetapi juga marah.
"Diam kau, petani busuk! Kau kaki tangan pemberontak!"
"Bohong! Aku bukan petani, juga bukan pemberontak."
"Semua petani adalah pemberontak, jangan melawan kaiau tidak ingin mampus!"
Seorang di antara mereka mengayun tangan ke arah muka Beng San. Biar pun di dalam gelap, pemuda ini dapat mengetahui datangnya pukulan. Ia mengelak, kedua lengannya bergerak dan pada lain saat ketiga orang peringkusnya itu sudah terlempar cerai-berai ke belakang. Dan ketika mereka bangun sambil mengaduh-aduh, ternyata pemuda yang tadi mereka ringkus itu telah lenyap tak berbekas lagi!
Dengan penuh kegemasan Beng San meloncat keluar, terus naik ke atas genteng. Di dalam gelap dia masih melihat sosok bayangan beberapa orang berlari menuju ke dalam kota. Cepat dia mengikuti setelah mendapat kenyataan bahwa seorang di antara mereka adalah pengemis tinggi kurus yang ramah, yang tadi berbisik menyuruh kawan-kawannya meringkusnya.
Dia mengikuti dengan diam-diam, ingin tahu apa yang hendak mereka lakukan. Di suatu tikungan jalan, para pengemis ini bertemu dengan sepasukan tentara pemerintah. Segera mereka berbisik-bisik dan bergabung menjadi satu, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah gedung besar yang berdiri di tengah kota. Dengan cepat tapi teratur sekali mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih ini merayap dan mengurung rumah gedung itu.
Beng San tetap mengikuti mereka dan dia dapat menduga bahwa ini tentulah gedung hartawan Ong seperti yang dirundingkan oleh para pengemis tadi. Ia pun bersiap sedia menolong karena maklum bahwa keluarga hartawan Ong itu pasti berada dalam ancaman mala petaka.
Akan tetapi para pengurung itu segera mendapat kenyataan bahwa mereka sudah keliru. Dengan tanda suitan para pengurung menyerbu ke dalam dan... rumah gedung itu telah kosong! Tak seorang pun manusia tinggal di situ, agaknya burung-burung yang hendak mereka tangkap sudah terbang jauh sebelumnya.
Untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaan mereka, para tentara dan mata-mata yang berpakaian pengemis itu kemudian menggeledah gedung, tentu saja tidak lupa untuk mengantongi barang-barang berharga yang kecil-kecil dan merusak yang besar karena tak dapat mereka bawa. Beng San menyaksikan ini semua dan menarik napas panjang.
Baru pertama kali setelah dia turun gunung dia menyaksikan kelakuan para tentara pemerintah yang tidak ada ubahnya seperti perampok-perampok itu. Dan diam-diam dia kagum kepada Pek-lian-pai yang sekali lagi telah dapat menipu mereka.
Sambil tertawa kecil Beng San lalu teringat kepada Tan Hok. Orang tinggi besar seperti raksasa itu juga pernah menipu pasukan pemerintah penjajah. Agaknya yang memimpin rombongan orang Pek-lian-pai di kota ini juga bukan seorang bodoh.
Dengan hati puas melihat para kaki tangan pemerintah penjajah itu marah-marah dan tertipu, Beng San diam-diam meninggalkan tempat pengintaiannya dan di dalam gelap dia melihat seorang pengemis tua terbongkok-bongkok dari depan menghampirinya.
"Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu (Tuan Muda)...," pengemis tua itu mengeluh.
Beng San menghela napas panjang. "Maafkan, Lopek. Aku sendiri tidak punya apa-apa, uang sepeser pun tidak punya, roti sekerat pun tidak ada. Apa yang harus aku berikan kepadamu?"
"Kasihan, orang muda sengsara. Kalau begitu akulah yang harus memberikan sesuatu kepadamu." la mengulur tangan dan memberikan sebuah benda kecil kepada Beng San.
Sebelum hilang herannya, Beng San sudah menerima benda itu dan pengemis tua tadi sudah terbongkok-bongkok lagi pergi dari situ. Benda itu ternyata hanyalah selipat kertas. Dibawanya benda itu ke bawah lampu penerangan di pojok sebuah rumah dan dibacanya tulisan di atas kertas.
Adik Beng San,
Aku dan kawan-kawan berada di perahu-perahu nelayan sebelah selatan kota. Datanglah, kami mengharapkan bantuanmu.
Tertanda: TAN HOK
Tan Hok di sini? Beng San tersenyum girang. Pantas saja serdadu-serdadu itu tertipu, kiranya pemuda raksasa yang kelihatan bodoh tapi ternyata cerdik sekali itu berada di sini memimpin para pejuang! Dia menjadi semakin kagum akan kecerdikan Tan Hok bersama kawan-kawannya yang ternyata segera dapat mengenalnya setelah berpisahan selama delapan tahun.
Surat itu diremasnya hancur, lalu dia menyelinap di antara kegelapan malam menuju ke arah selatan. Setelah dia tiba di sebelah selatan kota yang sunyi, dia melihat banyak perahu nelayan di pinggir sungai dan tak tampak seorang manusia pun.
Selagi dia kebingungan, tidak tahu di mana adanya Tan Hok dan kawan-kawannya, dia melihat bayangan orang yang dengan cepatnya berkelebatan di dekat kumpulan perahu. Meski pun bayangan itu berkelebat cepat luar biasa, namun mata Beng San yang tajam masih dapat melihat jelas bahwa bayangan itu adalah tubuh seseorang yang langsing seperti tubuh seorang wanita, dan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi.
la segera berjalan seperti biasa supaya orang itu tidak akan tahu bahwa dia pun tadi mempergunakan ilmu lari cepat. Di tempat seperti ini yang penuh rahasia, penuh dengan pertentangan dan dalam keadaan perang, dia harus berlaku hati-hati agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan, yang akibatnya tanpa disengaja akan merugikan Tan Hok serta kawan-kawannya.
Dalam sekejap mata saja bayangan itu lenyap. Tidak lama kemudian, muncul bayangan orang bongkok dari kumpulan perahu, yang berjalan menghampirinya.
"Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu...," bayangan ini berkata.
Beng San berdebar jantungnya. Inilah pengemis tua yang tadi memberi surat kepadanya. Tanpa ragu-ragu lagi mendekati, "Lopek, di mana Tan-twako?" ia bertanya langsung.
‘Kakek pengemis’ itu memberi isyarat dengan tangan supaya Beng San mengikutinya dan... ternyata kakek ini sama sekali tidak bongkok, malah kini dapat berjalan cepat dan tangkas. Kakek itu tidak membawanya ke tempat di mana perahu-perahu berkumpul, melainkan sebaliknya, menuju ke sebuah hutan kecil di tepi sungai! Dan di tengah-tengah hutan itulah Tan Hok serta belasan orang temannya berkelompok, duduk bercakap-cakap dengan suara bisik-bisik.
Mereka bersikap sangat berhati-hati, bahkan api unggun saja mereka tidak berani bikin, padahal malam itu dingin sekali dan di hutan itu banyak nyamuknya. Hanya sebuah lampu yang dikerodong kertas merah dinyalakan orang, cukup menerangi wajah mereka yang duduk di dekat lampu. Di antara orang-orang itu, Beng San melihat wajah Tan Hok. Masih seperti dulu, delapan tahun yang lalu. Masih tampan, gagah, dan tinggi besar bagaikan raksasa. Tubuhnya yang tinggi besar itu menjulang satu kaki lebih di atas kepala semua teman-temannya.
"Tan-twako...!" Beng San segera maju memberi hormat.
"Ha-ha-ha, Adik Beng San, kau sudah dewasa sekarang!"
Tan Hok melompat bangun dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya. Dua pasang tangan saling berpegang erat dan keduanya tersenyum girang.
"Tan-twako, harap kau dan teman-teman yang lain hati-hati. Tadi aku melihat bayangan orang menyelinap di antara perahu-perahu," bisik Beng San.
Tan Hok menoleh kepada kakek yang tadi menyambut Beng San. "Betulkah itu Ciu-siok (Paman Ciu)?"
Kakek itu berkata dengan suara menghibur, "Aku hanya melihat kedatangan saudara Beng San seorang. Tidak ada bayangan orang lain. Kalau pun ada dan aku sendiri tidak melihat, dia tak akan dapat terlepas dari penjagaan teman-teman kita."
Tan Hok kembali menghadapi Beng San. "Jangan kau khawatir, Adik Beng San. Kami sudah menaruh penjaga-penjaga di setiap sudut daerah ini. Apa bila betul ada orang yang mengintai tempat ini, pasti akan diketahui oleh para penjaga kami itu." Ia tertawa lagi dan memandang kepada Beng San dengan kagum.
Diam-diam Beng San tak membenarkan pendapat ini. Gerak-gerik orang tadi terlalu cepat, mungkin sekali takkan dapat terlihat oleh para penjaga pikirnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau menyatakan pikiran ini dengan kata-kata, khawatir kalau-kalau disangka meremehkan para penjaga. Maka dia diam saja.
"Adik Beng San. Perbuatanmu di dalam kelenteng tadi hebat. Ternyata kepandaianmu sudah maju pesat. Sayang kau tidak sempat membalas anjing-anjing Mongol yang hendak menangkapmu itu dengan pukulan mematikan."
Beng San kaget. Kiranya Tan Hok sudah memasang mata-mata di mana-mana sampai tahu pula tentang kejadian di dalam kelenteng tua di mana dia hendak ditangkap oleh para serdadu Mongol yang menyamar sebagai kaum jembel. Akan tetapi hatinya lega mendengar kata-kata Tan Hok yang menyatakan bahwa orang raksasa ini masih belum tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian yang tinggi.
"Ah, Tan-twako, kiranya kau sudah mengetahui pula hal itu. Aku hanya merasa kaget dan juga penasaran kenapa aku yang tidak punya kesalahan hendak ditangkap. Maka setelah berhasil meloloskan diri, aku kemudian lari pergi. Kau menyuruh orang memanggilku dan mengirim surat mengharapkan bantuanku, sebetulnya bantuan apakah yang dapat aku lakukan untukmu?"
"Sebelum kau mendengar tentang bantuan yang dapat kau lakukan untuk kami, lebih dulu akan kujelaskan kepadamu tentang keadaan-keadaan selama ini. Adik Beng San, selama bertahun-tahun ini, ke mana saja kau pergi dan apakah kau sudah mengetahui tentang keadaan perjuangan?"
Beng San menggeleng kepala, wajahnya berubah sedikit karena dia merasa jengah dan malu. "Aku... aku bekerja membantu seorang nelayan, dan baru saja aku memasuki dunia ramai, aku tidak tahu apa-apa, Twako."
"Nah, kau dengar baik-baik penuturanku…."
Dengan panjang lebar Tan Hok lalu menceritakan keadaan pemberontakan yang makin lama semakin hebat itu. Menceritakan pula betapa rakyat yang dipimpin oleh pendekar-pendekar besar melakukan perlawanan terhadap pemerintah Mongol dan kini sedikit demi sedikit sudah memperoleh kemajuan dan kemenangan.
Tan Hok sendiri dengan teman-temannya, para anggota Pek-lian-pai yang dia pimpin ini, sekarang bekerja langsung di bawah pemimpin besar para pemberontak, Ciu Goan Ciang! Malah pemuda raksasa ini mendapat kepercayaan dari Ciu Goan Ciang dan melatihnya dengan beberapa macam ilmu silat tinggi. Kemudian Tan Hok menceritakan mengenai keadaan para partai besar persilatan.
Ketika dia bercerita tentang Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai, Beng San mendengarkan penuh gairah. Di antara para partai persilatan, hanya dua partai besar ini pernah dia ketahui, bahkan secara langsung dia pernah berhubungan dengan kedua partai itu. la pernah berdiam di Hoa-san, mengenal ketuanya, mengenal pula murid-muridnya, yaitu Hoa-san Sie-eng dan cucu-cucu muridnya, Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok.
Ada pun tentang Kun-lun-pai, biar dia tidak mempunyai hubungan langsung, namun dia pernah membela murid Kun-lun yang bernama Pek-lek-jiu Kwee Sin. Pernah pula dia melihat dua orang Kun-lun, Bun Si Teng dan Bun Si Liong, tewas di depan kakinya dan menerima pesan Bun Si Teng agar dia membela dan melindungi anak jago Kun-lun ini yang bernama Bun Lim Kwi. Semua ini masih terbayang di depan matanya seakan-akan baru terjadi kemarin hari. Maka, tidak aneh kalau sekarang dia mendengarkan penuturan Tan Hok dengan penuh perhatian.
Tan Hok menarik napas panjang. ”Sayang…," dia melanjutkan ceritanya, “karena yang dilancarkan oleh orang-orang Ngo-lian-kauw siasat liclk dan penuh kecurangan dari ketua Ngo-lian-kauw, dua partai besar itu. Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, dapat diadu domba dan terpecah-belah, menjadi dua partai yang selalu bermusuhan. Padahal kalau dua partai itu dapat ikut membantu perjuangan rakyat menumbangkan kekuasaan penjajah, kedudukan para pejuang akan menjadi lebih kuat lagi. Semua ini adalah gara-gara kelemahan hati jago muda Kwee Sin..." Kembali Tan Hok menarik napas panjang.
"Bagaimana dengan dia setelah dia dulu dilarikan oleh Hek-hwa Kui-bo?” Beng San tak sabar lagi bertanya.
"Kau tahu tentang itu?" Tan Hok bertanya heran, tapi lalu disambungnya, "Kau memang anak aneh, ini sudah kuketahui sejak pertemuan kita yang pertama. Kau tanya tentang Kwee Sin? Justru dia itu yang menjadi biang keladi semua pertentangan, karena hatinya yang lemah, mudah roboh menghadapi bujuk rayu dan kecantikan ketua Ngo-lian-pai. Pek-lek-jiu Kwee Sin, jago muda yang berkepandaian tinggi itu setelah dilarikan oleh pihak Ngo-lian-pai, menjadi makin binal dan tergila-gila kepada ketua Ngo-lian-pai yang berjuluk Kim-thouw Thian-li. Hanya beberapa bulan setelah dua orang suheng-nya, yaitu dua saudara Bun tewas dalam pertempuran di Hoa-san menghadapi murid-murid Hoa-san-pai, Kwee Sin bersama kekasihnya, ketua Ngo-lian-pai dan beberapa orang tokoh lagi dari Ngo-lian-kauw, bahkan diam-diam juga dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo, menyerbu Hoa-san, berhasil melukai Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, malah berhasil membunuh Thio Wan It dan Kui Keng. Mereka meninggalkan yang luka-luka dan menyatakan bahwa mereka membunuh dua orang tokoh Hoa-san itu untuk menebus kematian dua saudara Bun dari Kun-lun-pai."
Beng San membelalakkan matanya "Hebat...!"
Dan hatinya terasa perih penuh kasihan ketika dia teringat kepada Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok yang kematian ayah mereka.
"Bagaimana dengan ketua Hoa-san-pai, apakah dia tidak membantu murid-muridnya?"
"Tentu saja Lian Bu Tojin turun tangan, akan tetapi dengan adanya Hek-hwa Kui-bo, dia tidak berdaya banyak. Semenjak itu, permusuhan selalu terjadi antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai."
"Kenapa Kun-lun-pai juga terbawa-bawa dalam hal ini? Bukankah Kwee Sin menyerbu Hoa-san-pai atas kehendaknya sendiri dan bersama orang-orang Ngo-lian-kauw, bukan atas kehendak Kun-lun-pai?"
"Hoa-san-pai rupa-rupanya tidak mau tahu akan hal ini, karena ke mana mereka harus mencari Kwee Sin? Kwee Sin semenjak itu lenyap bersama Ngo-lian-kauw dan celakanya, secara rahasia Kwee Sin lalu ikut membantu Ngo-lian-kauw memusuhi partai-partai yang membantu para pejuang! Apa bila dulu kedua partai besar itu, baik Hoa-san-pai mau pun Kun-lun-pai, hidup tenang dan damai, sekarang keduanya mengumpulkan bekas-bekas murid mereka dan membentuk kekuatan yang terdiri dari murid-murid yang pandai, selalu siap untuk saling gempur."
Beng San mendengarkan dengan kening berkerut. "Ah, sayang sekali..." hanya demikian komentarnya.
Dia benar-benar merasa menyesal sekali, mengapa permusuhan yang terang-terangan disebabkan oleh Ngo-lian-kauw itu bisa sampai demikian berlarut-larut. Akhirnya, karena rasa penasaran membuat dia berkata, "Jika kedua partai sudah tahu bahwa permusuhan itu disebabkan oleh tipu muslihat ketua Ngo-lian-kauw, kenapa mereka tidak memusuhi Ngo-lian-kauw saja?"
"Mereka pun kedua pihak sudah mulai melakukan permusuhan dengan Ngo-lian-kauw, akan tetapi dendam di antara Hoa-san dan Kun-lun agaknya lebih parah dan mendalam."
Dengan panjang lebar Tan Hok lalu menuturkan semua kejadian yang diketahuinya dan diam-diam Beng San girang sekali bahwa dia bertemu dengan raksasa ini karena ternyata pengetahuan Tan Hok tentang dunia kang-ouw dan semua peristiwa yang terjadi, sangat luas.