Raja Pedang Jilid 15

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJA PEDANG JILID 15

Kini menjadi jelas bagi Beng San apa yang telah terjadi selagi dia pergi menyembunyikan diri sebagai nelayan. Betapa pun luas pengetahuan Tan Hok tentang dunia kang-ouw, ketika ditanya tentang Song-bun-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan lain-lain tokoh sakti itu, Tan Hok menggeleng-geleng kepalanya.

"Orang-orang seperti mereka itu bukan manusia biasa lagi. Tentu saja mereka tidak peduli tentang perjuangan, oleh karena mereka termasuk orang-orang aneh yang selalu berbeda dengan manusia biasa. Bagaimana bisa mengikuti jejak mereka? Andai kata mereka ikut mencampuri urusan perjuangan, baik yang membela pejuang mau pun yang mendukung Kerajaan Goan, tentu mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi."

Agak kecewa hati Beng San karena maksud pertanyaannya tentang orang-orang sakti itu sebenarnya ditujukan untuk mengetahui berita tentang seorang anak perempuan gagu!

"Twako, setelah kau menceritakan semua itu kepadaku, agaknya tidak ada sesuatu yang mendorong kau membutuhkan bantuanku. Jika yang kau maksudkan dengan bantuan itu adalah permintaan seperti dulu agar aku masuk menggabungkan diri dengan Pek-lian-pai, terpaksa aku tak dapat memenuhi permintaanmu. Aku suka untuk membantu perjuangan Pek-lian-pai, akan tetapi tidak suka terikat oleh sesuatu perkumpulan kemudian terlibat ke dalam permusuhan-permusuhan yang saling mendendam."

"Aku bisa mengerti pendirianmu, Beng San. Tidak, pertolongan yang kubutuhkan darimu ini lebih bersifat pribadi. Ketahuilah, aku sudah diserahi tugas yang sangat penting oleh pemimpin kami, Ciu Goan Ciang taihiap. Dan sekarang, selagi aku bingung bagaimana akan dapat melakukan tugas ini dengan sempurna, aku bertemu dengan kau. Hatiku yakin bahwa hanya kau seoranglah yang tepat untuk melaksanakan tugas ini."

Berdebar-debar hati Beng San. Tugas dari pemimpin besar Ciu Goan Ciang? Bukan main! Dia merasa sangat terhormat dan bangga sekali. Akan tetapi mukanya yang tampan tidak membayangkan sesuatu.

"Pendekar besar Ciu Goan Ciang amat menyesal dengan adanya gontok-gontokan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. la pun maklum apa yang menyebabkan permusuhan antara dua golongan itu, bukan lain adalah karena siasat pemerintah Mongol yang menggunakan Ngo-lian-kauw. Bulan depan Hoa-san-pai mengadakan pesta perayaan hari ulang tahun ke seratus dari Hoa-san pai. Tentu banyak sekali tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw hadir. Menurut penyelidikan Pek-lian-pai, pada kesempatan ini Kun-lun-pai akan datang kembali untuk membuat perhitungan. Karena permusuhan itu telah berlarut-larut, maka muncullah sahabat-sahabat dan musuh-musuh baru bagi kedua pihak. Ada golongan-golongan yang membantu Hoa-san-pai, sebaliknya banyak pula yang pro kepada Kun-lun-pai. Karena itu dapat diramalkan bahwa akan terjadi sesuatu yang hebat di puncak Hoa-san nanti. Nah, pemimpin kami tidak setuju dengan adanya perpecahan di kalangan kita sendiri, maka dia mempercayakan kepadaku untuk berusaha mendamaikan mereka. Aku membawa surat bagi kedua ketua perkumpulan Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Tetapi mudah saja diduga bahwa di dalam pertemuan besar itu, pasti di sana akan penuh dengan orang-orang pihak Ngo-lian-kauw dan pihak pemerintah pasti akan menyebar mata-matanya pula. Aku sedikit banyak telah dikenal di antara mereka, maka mereka pasti akan menghalangiku sebelum aku sempat melakukan sesuatu untuk mendamaikan Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. Juga orang-orangku sebagian besar sudah dikenal. Oleh karena itu, Adik Beng San, engkaulah orangnya yang paling tepat untuk mewakiliku melakukan tugas ini. Sanggupkah kau?"

Beng San mengangguk-angguk. Tugas itu adalah tugas mulia. Tugas untuk mencegah perpecahan antara bangsa sendiri, antara kedua partai besar yang memiliki nama harum.

Apa lagi kalau diingat bahwa di dalam Hoa-san-pai terdapat orang-orang yang di waktu kecil sudah dia kenal baik, terutama Kwa Hong. Ada pun di pihak Kun-lun-pai terdapat cucu murid yang harus dia bela, yaitu Bun Lim Kwi putera mendiang Bun Si Teng yang sudah meninggalkan pesan terakhir kepadanya dan yang harus ia hormati.

"Baiklah, Twako. Aku akan berusaha melakukan tugasmu itu sebaiknya."

Tan Hok nampak girang sekali. Akan tetapi tiba-tiba Beng San menggunakan dua kakinya menginjak lampu merah yang diletakkan di tanah. Lampu seketika padam. Terdengar jerit kesakitan dan robohnya tubuh orang-orang tak jauh dari situ. Disusul pula mendesingnya senjata-senjata rahasia yang menghujani tempat perundingan ini.

Tan Hok sudah cepat memberi aba-aba kepada kawan-kawannya. Senjata dicabut dan mereka melesat ke kanan kiri, mencari jalan untuk melarikan diri. Akan tetapi kemudian berkelebat bayangan putih yang makin lama semakin banyak sekali.

Kiranya tempat itu sudah dikurung, puluhan orang banyaknya yang mengurung. Beberapa orang anggota Pek-lian-pai yang bertugas menjaga di luar tadi sudah dirobohkan musuh.

"Pemberontak-pemberontak Pek-lian-pai, lebih baik kalian menyerah!" terdengar bentakan kasar seorang yang bertubuh tinggi besar.

Tan Hok melihat orang ini, lalu meloncat dari tempat persembunyiannya dan di lain saat dua orang yang tubuhnya sama-sama tinggi besar ini sudah berperang tanding dengan hebatnya. Bunga api muncrat berhamburan ketika pedang di tangan Tan Hok bertemu dengan golok lawannya itu. Agaknya keduanya adalah ahli-ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti kerbau jantan kuatnya. Nyaring bunyi pertemuan senjata itu dan kedua orang raksasa ini merasa betapa telapak tangan mereka pedas dan sakit.

Beng San yang masih duduk di tempat tadi karena tiba-tiba semua anggota Pek-lian-pai sudah menghilang, melihat empat orang lain maju dari belakang Tan Hok, siap dengan rantai-rantai besi. Rupa-rupanya mereka ingin menawan Tan Hok dalam keadaan hidup. Sekali menggerakkan kakinya pemuda ini telah melesat ke depan. Kaki tangannya bekerja laksana kilat, dan tanpa mengerti mengapa, empat orang itu tahu-tahu sudah terlempar dan terjengkang ke belakang tanpa dapat bangun lagi karena kaki tangan mereka patah tulangnya!

Setelah melihat bahwa penyerang yang datang menyerbu itu adalah pengemis-pengemis yang dibantu oleh serdadu Mongol, tahulah Beng San bahwa dia harus membantu para anggota Pek-lian-pai. Tubuhnya lalu bergerak ke sana ke mari untuk membantu setiap temannya yang terdesak. Untuk sementara ia meninggalkan Tan Hok karena dari gerakan raksasa itu menghadapi lawannya, dia maklum bahwa Tan Hok akan dapat menang. la lebih mementingkan membantu mereka yang terdesak.

Akan tetapi segera dia mendapat kenyataan betapa sia-sia kalau melakukan perlawanan secara nekat. Jumlah lawan sangat banyak, ada puluhan orang, malah mungkin tidak kurang dari seratus orang. Sedangkan di pihak Pek-lian-pai hanya ada tujuh belas orang termasuk dia sendiri. Dan pertandingan dilakukan di dalam gelap, kacau-balau! Memang dengan sangat mudahnya Beng San mampu merobohkan belasan orang lawan tanpa membunuh mereka yang merupakan pantangan baginya, akan tetapi juga di antara para anggota Pek-lian-pai, sedikitnya sudah roboh lima enam orang.

Sementara itu, tepat seperti yang diduga oleh Beng San, pelan-pelan Tan Hok dapat mendesak lawannya. Pada suatu saat, ketika lawannya sudah terdesak hebat, perwira Mongol itu secara nekat tanpa mempedulikan datangnya hantaman dari tangan kiri Tan Hok, membacok pundak Tan Hok sekuat tenaga dengan goloknya.

Andai kata Tan Hok melanjutkan pukulannya yang pasti mengenai dada lawan, tak dapat dicegah lagi golok itu pasti akan membabat putus pundaknya. Tan Hok tentu saja tidak mau menukarkan pundaknya dengan sebuah pukulannya. Cepat dia menarik tangan kiri dan menggerakkan pedang sekuat tenaga menangkis.

"Krakkk!"

Dua senjata itu bertemu, api berbunga berhamburan dan kedua senjata itu patah! Sambil menggeram marah kedua orang yang bertubuh raksasa ini melempar gagang senjata ke bawah, lalu melanjutkan perkelahian mereka mempergunakan sepasang kepalan tangan yang sebesar kepala orang berikut sepasang kaki yang kokoh kuat.

Hebat luar biasa pertandingan ini. Terdengar suara bak-bik-buk ketika kepalan-kepalan itu mengenai sasaran. Akan tetapi keduanya ternyata amat kuat tubuhnya, tidak roboh oleh pukulan, hanya terengah-engah dan mendesis-desis, memaki-maki.

Akhirnya, dengan sebuah tendangan yang tepat mengenai lambung lawan, disusul dua kali pukulan pada leher dan ulu hati, Tan Hok berhasil membuat lawannya roboh berdebuk seperti pohon tumbang.

Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali ke arah Tan Hok. Pemuda raksasa ini mengangkat tangan kanan menangkis datangnya pukulan yang sangat kuat dan cepat, namun lebih cepat lagi pukulan itu ditarik kembali dan sebuah pukulan lain secara gelap telah menghantamnya dari samping, tepat mengenai rusuknya. Tan Hok mengeluh dan roboh tergelimpang, muntah-muntah darah!

Beng San mendengar keluhan Tan Hok, cepat melompat mendekati. Kaget dia melihat temannya itu sudah roboh terlentang. Segera dia mengempit tubuh yang tinggi besar itu dengan tangan kirinya.

"Saudara-saudara, lari...!" serunya cepat dengan suara yang nyaring luar biasa sehingga mengagetkan kedua pihak yang sedang bertempur.

Para anggota Pek-lian-pai yang hanya tinggal beberapa orang dan mempertahankan diri dengan gigih dan nekat, melihat Tan Hok sudah roboh, menjadi kendor semangatnya. Apa lagi ketika mendengar seruan Beng San, mereka lalu mencari kesempatan untuk mundur.

Beng San sendiri mengamuk. Dengan sebelah tangan menghadapi puluhan orang lawan, tangan kiri mengempit tubuh Tan Hok, dia menahan serbuan orang-orang itu yang hendak mengejar larinya sisa anggota Pek-lian-pai. Tak lama kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada lagi anggota Pek-lian-pai, Beng San lalu meloncat ke belakang dan dengan beberapa loncatan lagi dia sudah dapat meninggalkan semua pengeroyoknya. Cepat dia berlari ke dalam hutan, menyelinap di antara pohon-pohon besar dan gelap.

Tiba-tiba dari balik pohon muncul bayangan orang yang bertubuh langsing. Tanpa berkata apa-apa orang itu melayangkan pukulan ke arah Beng San. Pukulan yang dilakukan perlahan saja, namun memiliki kecepatan dan kekuatan yang amat hebat.

Terkejut juga Beng San ketika merasa betapa angin pukulan ini tajam bagaikan mata pedang. Maka maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh.

Namun, dia merasa bukan waktunya untuk melakukan pertandingan. Luka Tan Hok harus diperiksa dan diobati, apa lagi dengan mengempit tubuh Tan Hok. Meski dia tidak takut menghadapi lawan itu, akan tetapi amat berbahaya bagi keselamatan Tan Hok sendiri. la mengerahkan tenaga di lengan kanan lalu menangkis pukulan itu.

Penyerang itu mengeluarkan seruan kaget, demikian juga Beng San karena pemuda ini merasa betapa lengannya bertemu dengan tenaga yang lunak halus dan mengandung hawa mukjijat, membuat lengannya tergetar. Sementara itu, orang tadi sudah menyerang lagi dengan dua kali pukulan.

Kembali Beng San menangkis, kini dia menggabung tenaga Im dan Yang di tubuhnya sehingga keadaan lengannya dijalari tenaga yang tiada bandingnya. Penyerangnya lantas terpental ke belakang, mengeluarkan seruan tertahan lalu melesat pergi, lenyap ditelan kegelapan malam.

Beng San tidak peduli, hanya sedetik dia mengenal potongan tubuh orang itu. Tak salah lagi, penyerangnya adalah orang yang dia lihat bayangannya malam tadi ketika sedang mencari tempat persembunyian Tan Hok. Dan lengan itu begitu halus dan lunak. Hanya ada dua macam keterangan untuk ini, pertama, pemilik lengan itu seorang laki-laki yang sudah memiliki Iweekang yang sangat tinggi, ke dua, pemilik lengan itu adalah seorang wanita!

Menjelang fajar dia berhenti dan menurunkan tubuh Tan Hok di atas rumput. Ia memeriksa luka pada bagian tulang rusuk setelah membuka baju pemuda raksasa itu. Beng San mengerutkan kening.

"Kejam..." katanya perlahan. Dua batang tulang rusuk patah dan kulitnya menghitam.

la maklum bahwa hawa pukulan yang melukai Tan Hok mengandung tenaga Yang. Cepat dia menempelkan telapak tangan kirinya ke tulang rusuk yang sebelah lagi, mengerahkan tenaga Im di tubuhnya dan dengan cara menyalurkan hawa di dalam tubuh, dia mengobati luka Tan Hok.

Tentu saja tidak dapat sekaligus sembuh, akan tetapi sejam kemudian dia merasa yakin bahwa Tan Hok tertolong nyawanya. Racun hawa pukulan telah dia basmi dengan tenaga Im tadi.

Tan Hok mengeluh, membuka mata. Ketika melihat Beng San di sisinya, dia tersenyum. "Kau hebat, Adik Beng San... sudah kuduga... kau lihai sekali..."

"Kau yang hebat, Twako. Dua tulang rusukmu patah, masih bisa tersenyum," kata Beng San, benar-benar bangga dan kagum.

Bangga karena Tan Hok adalah seorang yang sama nama keturunannya dengan dia. Bukankah dia, seingatnya, juga bernama keluarga Tan? Pantas saja dia dahulu begitu bertemu sudah merasa sangat suka kepada Tan Hok dan sekarang dia merasa bangga mempunyai sahabat satu nama keturunan, yang demikian gagahnya.

Sambil meringis menahan rasa nyeri Tan Hok menggerakkan tangannya merogoh saku, mengeluarkan dua lipat kertas. "Inilah dua surat itu, satu untuk ketua Hoa-san-pai, satu untuk ketua Kun-lun-pai. Lekas, adikku, pergilah kau ke Hoa-san, hadiri perayaan itu dan berikan ini kepada mereka. Jaga agar jangan sampai terjadi pertandingan hebat..."

"Tapi kau..., Twako...?"

"Aku tidak apa-apa, kurasa tidak terluka sebelah dalam. Tidak merasa apa-apa, hanya tulang rusuk, itu mudah... yang penting adalah kehadiranmu di sana dan surat-surat ini."

"Baiklah, Twako," berkata Beng San sambil menerima surat-surat itu dan menyimpannya, "jaga baik-baik dirimu. Aku akan pergi ke Hoa-san, bukan sebagai seorang Pek-lian-pai, tapi..."

"Hal itu bukan soal yang penting asal kau bisa mencegah agar kedua partai itu tidak saling bermusuhan, dapat insyaf dan kalau mungkin membantu perjuangan kita."

Setelah memesan banyak-banyak, kedua orang sahabat itu berpisah. Tan Hok yang gagah perkasa itu biar pun menanggung nyeri hebat, masih dapat berjalan cepat untuk menjauhkan diri dari bahaya pengejaran pasukan Mongol.

Ada pun Beng San juga cepat menuju ke Hoa-san. la ingin datang di Hoa-san sebelum perayaan hari ulang tahun diadakan. Terus terang saja dia ingin sekali bertemu dengan ‘anak-anak’ itu, terutama sekali si ‘kuntilanak’…..

***********

Baru kurang lebih dua li Beng San berjalan di tengah hutan, menikmati keindahan suara burung-burung pagi yang mulai bernyanyi-nyanyi di antara daun-daun pohon, tiba-tiba dia berhenti, memandang tajam ke kiri. Serentak bermunculan lima orang dari balik batang pohon besar.

Kiranya mereka adalah sisa-sisa anggota Pek-lian-pai, nampak sedih dan lelah, dipimpin oleh ‘pengemis’ tua yang dahulu menyambut Beng San. Kakek pengemis ini pun terluka lengannya, berdarah dan dibalut. Begitu melihat Beng San mereka lalu maju mendekat.

"Di mana Tan-hiante?" tanya pengemis tua itu, sekarang tidak berpura-pura lagi minta sedekah seperti dulu.

"Dia selamat, minta kutinggalkan di tengah hutan, kurang lebih dua li dari sini. Harap kalian lekas menyusulnya dan merawat lukanya. Dua buah tulang rusuknya patah-patah. Akan tetapi keselamatan nyawanya tidak terancam," kata Beng San.

Kakek itu mengangguk-angguk dan melihat Beng San dengan kagum. "Kau masih muda, sudah begitu lihai. Pantas Tan-hiante mempercayaimu. Kalau tidak ada kau, kiranya kami semua sudah tewas. Hanya kami berlima, berenam dengan Tan-hiante yang masih hidup. Orang muda, dari Tan-hiante tentu kau sudah menerima tugas pergi ke Hoa-san, bukan?"

Beng San mengangguk. Kakek itu lalu memandangnya dari kepala sampai ke kaki penuh perhatian.

"Tak baik..., pakaianmu itu. Seperti petani muda. Padahal setiap orang petani sekarang dicurigai. Kau bawa bekal uang?"

Beng San kali ini menggeleng kepala.

"Lebih tidak baik lagi. Tanpa uang akan mudah dicap pemberontak. Orang muda yang gagah, kau terimalah beberapa stel pakaian ini dan sedikit uang untuk bekal. Tak boleh kau tolak karena kau juga telah membantu perjuangan kami."

Tak enak hati Beng San untuk menolak karena dia sudah mulai dapat menyelami watak orang-orang ini. Ia menerima sebungkus besar pakaian dan sekantung uang perak, lalu menghaturkan terima kasih. Kemudian mereka berpisah.

Setelah di situ sunyi, Beng San hendak mentaati pesan kakek pengemis yang dia percaya sudah luas pengalamannya itu. Ia menanggalkan pakaiannya dan mengenakan satu stel pakaian pemberian mereka. Ternyata pas benar dan dia kini berubah sebagai seorang muda yang tampan dan pantas, mirip seorang pemuda terpelajar!

Memandangi pakaiannya, Beng San merasa malu sendiri. Baru bisa berpakaian pantas kalau sudah diberi orang lain, pikirnya. Pemuda macam apa aku ini! Betapa pun juga, dengan pakaian bersih menutupi tubuhnya, bahkan masih ada beberapa stel lagi yang digendong di punggungnya, mengantongi bekal yang lumayan pula, dia merasa lebih lega.

“Semua ini akan melancarkan perjalananku,” pikirnya.

Dengan hati ringan dia lalu menyusuri tepi Sungai Yang-ce menuju ke Hoa-san. Jalan yang dilaluinya makin sunyi. Bukan merupakan jalan umum lagi. Jalan setapak yang liar dan semakin jauh ke utara makin sunyi. Apa lagi dia harus membuka jalan di antara tetumbuhan liar di pinggir sungai. la harus menyeberang!

Alangkah sukarnya menyeberangi sungai yang luar biasa lebarnya ini tanpa perahu. Tidak mungkin itu. Ia berhenti di pinggir sungai, memandang ke sana ke mari, mengharapkan adanya perahu agar dapat menyeberangkannya ke depan. Tiba-tiba saja telinganya mendengar suara orang bernyanyi. Suara wanita, tak salah lagi, merdu dan nyaring. Makin lama suara itu makin jelas terdengar.

Beng San berdiri terkesima pada saat dia melihat seorang gadis berpakaian serba hijau mendayung perahu kecil di tengah sungai. Gadis itu mendayung perlahan, tapi sengaja menimpakan dayung ke air sehingga menimbulkan suara yang berirama, yang mengikuti irama lagunya. Merdu dan indah sekali bunyi dayung menimpa air sehingga air memercik ke atas, mengikuti suara nyanyiannya, indah dan aneh.

Mulut yang kecil mungil dan berbibir merah itu bergerak-gerak menyanyi. Wajahnya amat manis, dengan sepasang mata yang lebar serta hidung kecil mancung dan sepasang pipi kemerahan. Rambut yang dibiarkan terurai kacau ke kanan kiri itu bahkan menambah kemanisannya.

Malam purnama sudah lalu,
bunga seruni sudah rontok,
aku yang merana seorang diri
kenapa belum mendapatkan yang kucari?


Hanya demikian kata-kata yang dinyanyikan, diulang-ulang lagi, tapi tidak membosankan. Beng San yang mendengarkan dengan teliti dapat menangkap hal-hal yang mengharukan hatinya. Di dalam nyanyian itu dia dapat membayangkan perasaan yang penuh harapan, penuh kemarahan, penuh sesal, penuh semangat dan juga penuh rahasia.

Agaknya sudah cukup lama nona itu mencari sesuatu. Apakah sesuatu itu? Orangkah? Bendakah? Dia sudah mulai merasa habis sabar dan jengkel, juga berduka. Namun, masih sangat mengharapkan untuk dapat menemukan yang ia cari-cari.

Siapakah nona itu? Demikianlah Beng San berpikir. Siapa pun juga dia, bukankah dia memiliki perahu yang akan dapat menolongku menyeberang? Boleh kucoba!

"Ehh, Nona yang berperahu...!” la memanggil.

Kalau saja Beng San menjadi dewasa di kota, tentu dia sekali-kali tidak berani memanggil seorang gadis yang berperahu seorang diri seperti ini. la tidak pernah bergaul dengan wanita, tidak mengerti pula akan tata cara kesopanan kota, maka sikapnya terbuka dan jujur, sama sekali tidak mengerti bahwa sikap ini bisa dianggap kurang ajar atau ceriwis.

Nona berbaju hijau itu kaget mendengar teguran Beng San dan cepat-cepat menengok. Sepasang mata yang bersorot tajam dan galak menatap wajah Beng San yang memaksa diri tersenyum, biar pun hanya merasa tidak enak karena sikap nona itu seakan-akan hendak marah. la mengulangi kata-katanya.

"Nona berperahu yang baik hati. Tolonglah aku seorang pelancong menyeberang ke sana dengan perahu," la mengatur kata-katanya supaya terdengar halus.

Sejenak nona baju hijau itu tidak menjawab, hanya sepasang matanya menatap tajam tak pernah berkedip sehingga Beng San merasa makin tidak enak hatinya.

”Kuharap saja aku tidak terlalu mengganggumu dengan permintaan tolong ini," katanya lagi.

"Mengganggu katamu?" Bibir merah itu cemberut tapi tambah manisnya. "Kau laki-laki ceriwis! Laki-laki lancang mulut!"

Beng San menengok ke kanan kiri, mengira bahwa ada orang laki-laki lain yang bersikap kurang ajar berdiri di situ dan dimaki oleh nona baju hijau ini. Tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berada di situ hanya dia seorang bersama bayangannya, dia mulai percaya bahwa dialah yang dimaki.

"Ceriwis? Apa ceriwis itu? Bermulut lancang? Aku...?" la bertanya penuh keheranan.

"Ya, kau kurang ajar dan bermulut lancang! Berani memanggil-manggil seorang wanita yang tidak kau kenal!"

Beng San melengak, makin terheran. la memang ahli fiisafat, maka mendengar ucapan yang menyerangnya ini segera dia tangkis dengan kata-kata filsafat yang sesungguhnya sifatnya berkelakar.

"Apabila orang yang saling tidak mengenal semua berdiam diri tak berani memanggil, alangkah akan sunyinya dunia ini! Kalau tadinya tidak saling mengenal, setelah dipanggil bukankah jadi kenal?"

"Kurang ajar kau.” Gadis baju hijau itu makin marah.

"Kenapa kurang ajar? Aku hanya minta tolong supaya diseberangkan ke sana. Aku butuh menyeberang, kau memiliki perahu, bukankah itu sudah cocok?"

"Apa kau kira aku ini gadis tukang menyeberangkan orang? Kau kira aku mencari nafkah dengan menyeberangkan segala orang?"

"Pakai biaya pun aku sanggup bayar, aku punya uang," jawab Beng San sejujurnya dan salah mengartikan kata-kata orang.

Sepasang mata itu berkilat-kilat, malah bibir yang tadinya cemberut kini agak tersenyum, seakan-akan dia mulai mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang tolol. Atau setidaknya, wajah yang tampan dan bentuk tubuh yang tegap itu sudah menimbulkan simpatinya sehingga menghapus cemberut di bibirnya.

"Kau bawa uang banyak?"

"Banyak sih tidak, kiranya kalau hanya seratus tail perak ada."

Dara baju hijau itu mengeluarkan suara mendengus seperti mengejek, lalu dengan dua kali mendayung saja perahunya meluncur seperti anak panah ke pinggir!

Beng San diam-diam terkejut sekali. Itulah gerakan tangan yang amat kuatnya, gerakan seorang ahli ilmu silat tinggi. Apa lagi setelah Beng San melihat sebatang pedang dengan gagang dan sarungnya yang terukir indah menggeletak di perahu, tahulah dia bahwa dara baju hijau itu bukanlah orang sembarangan.

"Kau mau menyeberang? Nah, kau loncatlah ke perahu!"

Jarak antara perahu itu dengan tanah yang diinjak Beng San masih ada sekitar satu meter jauhnya, sedangkan tempat itu pun agak tinggi, ada dua meter dari perahu. Beng San hendak menyembunyikan kepandaiannya, maka dia pura-pura tidak berani dan berkata.

"Tolong dekatkan perahu sampai ke sini, agar mudah aku turun. Meloncat dari sini dan setinggi ini, mana aku berani?" la sengaja memperlihatkan muka ketakutan.

Gadis itu tertawa kecil. Deretan gigi yang putih mengkilap menyilaukan mata Beng San. Silau dia akan kemanisan muka gadis ini.

"Hi-hi-hi, kau ini laki-laki atau perempuan?"

Beng San mempunyai dasar watak nakal di waktu kecilnya. Biar pun dia sekarang sudah dewasa, kenakalan kanak-kanak masih ada padanya. la mendongkol sekali mendengar kata-kata itu dan dengan suara merajuk dia menjawab.

"Kau melihat sendiri bagaimana? Laki-laki atau perempuan?" Ia cemberut.

Dara baju hijau itu tertawa lagi, sekarang agak lebar sehingga dari atas terlihat dalam mulutnya yang merah dan sepasang lesung pipit di kedua pipinya. Manis benar!

"Masa seorang laki-laki takut meloncat dari tempat itu ke sini? Seorang perempuan pun akan berani. Kau tak patut menjadi laki-laki atau perempuan, kiraku kau banci."

Panas perut Beng San rasanya. Ia mengukur dengan pandang matanya dan akhirnya harus mengakui bahwa permainan sandiwaranya memang agak keterlaluan. Setiap orang laki-laki yang tidak mengerti ilmu silat, asal dia tidak terlalu penakut, tentu akan dapat meloncat ke perahu itu.

"Tentu saja aku laki-laki sejati!" katanya mendongkol. "Tidak seperti kau, perempuan yang tukang merengek, hanya karena belum bisa mendapatkan yang dicari-cari, sudah mulai mengeluh panjang pendek. Tentu saja aku berani meloncat ke situ!"

Dara itu seketika hilang senyumnya, kembali memandang tajam dan berkata, suaranya terdengar ganjil, "Kalau begitu, kau loncatlah!"

Beng San beraksi seperti orang yang menghadapi pekerjaan berat. Kantong uang dia masukkan ke saku bajunya yang lebar, sedangkan bungkusan pakaian dia ikatkan pada lengannya. Kemudian dia mengambil posisi dan meloncat ke bawah.

Alangkah kagetnya ketika dia melihat gadis itu tiba-tiba mendayung perahunya ke depan sehingga perahu itu seolah-olah telah mengelak dari loncatannya! Dengan kepandaiannya meringankan tubuh tentu saja Beng San dengan mudah sekali akan bisa bersalto ke arah perahu itu, akan tetapi dia memang sudah mengambil keputusan untuk menyembunyikan kepandaiannya.

Apa boleh buat, dia melanjutkan loncatannya dan tentu saja ke air. Sebelum tubuhnya menimpa air dia sempat memaki.

"Siauw-kwi (Setan cilik)...!" Ia hanya mendengar suara ketawa nyaring dan air muncrat tinggi, tubuhnya terus tenggelam.

Meski pun berusaha menyembunyikan kepandaiannya, kiranya Beng San tak akan begitu sembrono untuk membiarkan dirinya tenggelam dan terancam bahaya kalau saja dia tidak mempunyai kepandaian bermain di dalam air. Baginya, permainan di dalam air bukanlah apa-apa lagi setelah delapan tahun dia bekerja sebagai nelayan, dan setiap hari hanya bermain dengan ikan dan air.

la sengaja mengorbankan dirinya menjadi basah kuyup, tidak saja untuk menyembunyikan kepandaian, akan tetapi juga ingin membalas kenakalan gadis itu. Dengan enak, seperti seekor ikan besar, dia menyelam terus ke bawah perahu gadis tadi dengan maksud hendak menggulingkan perahu dari bawah agar gadis itu pun menjadi basah kuyup.

Tiba-tiba dia melihat seekor ikan yang sepaha besarnya, ikan yang gemuk dan sebagai bekas nelayan dia mengenal ikan ini sebagai ikan yang amat enak dagingnya, gemuk dan tidak berduri kecil. Cepat tangannya meraih dan ikan itu sudah dia tangkap, kepalanya dia masukkan ke dalam bungkusan pakaian sehingga tak dapat bergerak melepaskan diri lagi.

Kemudian dia hendak menangkap dasar perahu untuk digulingkan. Tapi gerakan ini dia tahan ketika dia mendengar air di atas memercik dan sebuah benda kehijauan menyelam. Ternyata dara baju hijau itu telah meloncat ke air dan menyelam dengan gerakan seorang ahli dalam air!

Beng San tersenyum nakal. Baiknya dia belum menggulingkan perahu, pikirnya. Kiranya bocah nakal ini masih berhati emas, kini berusaha menolongnya.

Benar saja dugaannya. Ketika dia meronta-ronta dan beraksi seperti orang yang tidak pandai berenang, tenggelam dan akan hanyut, tiba-tiba tangan gadis itu meraihnya dan rambutnya telah kena dijambak dan ditarik ke atas! Mendongkol lagi hati Beng San yang tadinya sudah dingin. Ikatan rambutnya sampai terlepas dan dengan rambut awut-awutan dia ditarik oleh dara itu seperti orang menarik ekor ikan besar.

"Laki-laki apa kau ini? Berenang pun tak pandai!" kata gadis itu mencemooh ketika sudah timbul ke permukaan air. "Hayo lekas kau pegang pinggiran perahu dan naik," perintahnya sedangkan dia sendiri dengan loncatan indah naik ke perahu.

"Aku... aku tidak bisa... tolonglah..." Beng San berpura-pura, kini perutnya sudah panas lagi dan otaknya diputar untuk membalas dendam.

Gadis itu bersungut-sungut menghina, akan tetapi ia ulurkan tangan juga mencengkeram pundak Beng San, kemudian menarik pemuda itu ke atas perahu. Beng San terseret naik. Dengan canggungnya dia mencoba melompat, namun tubuhnya terhuyung-huyung dan akan jatuh menubruk gadis itu. Bungkusan pakaiannya melayang ke depan dan otomatis ikan besar itu pun turut melayang dengan ekornya yang panjang menampar pipi gadis baju hijau.

"liiiihhhhh... apa ini...?!" teriak gadis itu kaget sambil menangkis.

Pipinya memang tidak terkena tamparan ekor ikan, akan tetapi air dan lendir ikan dari ekor itu melayang dan tak dapat dicegah lagi membasahi mukanya. Lendir ikan yang manis itu memasuki mulut dan hidungnya yang mancung.

"Uiuhhhhh..."

Gadis itu hampir muntah dan meludah-ludah, kemudian cepat mencelupkan mukanya dan kepalanya ke dalam air dari pinggiran perahu sehingga untuk ke dua kalinya kepalanya basah kuyup. Beng San menahan ketawanya, perutnya terasa kaku saking geli hatinya.

Dara baju hijau itu menarik kembali kepalanya dari air, mengusap air dari muka. Mukanya basah kuyup, pipinya makin kemerahan, rambutnya basah awut-awutan. Tapi aneh, makin manis saja dia! Matanya memperlihatkan kemarahan ketika ia memandang ke arah ikan sebesar paha yang kepalanya berada dalam bungkusan pakaian.

"Dari mana ikan itu?!" bentaknya.

"Tentu saja dari air, masa ikan dari gunung?" Beng San menggoda.

"Jangan main-main! Kau yang hampir mati tenggelam, bagaimana bisa mendapatkan ikan di air?" Gadis itu memandang penuh curiga.

Ah, bodoh aku, celaka kali ini, pikir Beng San. Akan tetapi otaknya cepat bekerja. "Entah, aku tadi tenggelam, dalam bingungku aku menggerak-gerakkan tangan dan tahu-tahu aku merasa bungkusan menjadi berat. Agaknya ikan bodoh ini terjerat oleh tali bungkusan pakaianku dan tak dapat terlepas lagi."

Gadis itu memperhatikan muka Beng San yang berlagak bodoh, lalu dia berkata marah, "Memang ikan bodoh, seperti kau, laki-laki goblok."

Beng San tunduk, agak lega hatinya. Untuk melenyapkan sama sekali kecurigaan gadis itu, dia mengangguk dan berkata perlahan, "Memang dia bodoh seperti aku."

"Air ikan itu tadi mengotori mukaku, sekarang kau harus membayar. Nah, kau makan ikan ini mentah-mentah!"

Beng San membelalakkan matanya. Seharusnya dia marah kepada gadis nakal ini, akan tetapi aneh, muka yang manis ini tidak patut dimarahi. Sukar baginya untuk bisa marah, malah dia menganggap sikap gadis ini lucu sekali. la sama sekali tidak dapat melihat sinar jahat dalam pandang mata yang bening itu.

"Ah, mana bisa ikan dimakan mentah? Ikan ini enak sekali dagingnya, kalau dipanggang. Aku sudah biasa memanggang ikan seperti ini. Apa lagi daging di kepala dan ekornya, waaahh, gurih dan sedap. Perutku lapar, apakah kau tidak lapar? Kalau ada api di sini, aku bisa memanggang ikan ini, lumayan untuk kita berdua, bisa melegakan perut lapar." Beng San terus saja bicara tentang kelezatan daging ikan itu.

Si gadis mendengarkan dan akhirnya tertarik juga. la mengangguk dan berkata, suaranya masih aja ketus, "Kau boleh panggang, tapi awas, kalau kau bohong, kalau ikan itu tidak enak, kau harus makan sendiri sampai habis dengan tulang-tulangnya. Tahu?"

Gadis itu lalu memasuki kepala perahu yang dipasangi bilik bambu. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dan alangkah mendongkol dan iri rasanya hati Beng San ketika melihat bahwa gadis itu sudah bertukar pakaian baru yang kering dan enak! Juga pakaian yang dipakainya kini terbuat dari sutera hijau.

"Eh, kenapa kau masih belum memanggang ikan itu?" bentaknya melihat Beng San masih duduk terlongong.

"Bagaimana aku bisa memanggang ikan?" Beng San tak bisa menyembunyikan suaranya yang mendongkol karena melihat gadis itu sudah bertukar pakaian kering sedangkan dia sendiri masih basah kuyup. "Kulihat ada tempat api di perahu ini, tapi tidak ada apinya. Dan ikan ini harus dibuang sisiknya, harus dipotong-potong. Kau kerjakanlah itu, nanti aku yang memanggang."

"Cih, tak bermalu! Kau bersihkan dan potong-potong sendiri."

"Biasanya yang mengerjakan adalah wanita. Tentu kau menyimpan pisau dapur. Kulihat kau menyediakan tempat masak, biasanya tentu masak sendiri.”

"Aku tidak punya pisau. Hayolah, lekas kerjakan, jangan bikin aku habis sabar!"

Beng San makin merasa mendongkol. Gadis itu tadi memasuki kamar tanpa membawa pedangnya yang menggeletak di perahu, hal itu saja sudah menandakan bahwa gadis ini amat memandang rendah kepadanya. Tentu dipikirnya orang laki-laki selemah dia ini, biar pun ada pedang, akan bisa berbuat apakah terhadap dia?

Dengan bersungut-sungut dia lalu meraba pedang di lantai perahu itu. Bagaimana isinya? Apakah seindah gagang dan sarungnya? Siapa tahu? Hatinya berdebar. Jangan-jangan sebuah di antara Liong-cu Siang-kiam!

Tapi sebelum dia dapat menyentuhnya, gadis itu sudah bergerak dan tahu-tahu pedang itu sudah di tangannya, "Mau apa kau dengan pedang ini?" bentaknya.

"Pisau dapurmu memang aneh, terlalu panjang! Mau apa katamu? Tentu saja aku mau membersihkan ikan dan memotong-motongnya."

"Edan! Mana ada orang membersihkan ikan memakai pedang?"

"Habis apa gunanya benda tajam ini di sini? Tentu kau pergunakan sebagai alat dapur, bukan?" Beng San berpura-pura tolol.

"Bodoh! Agaknya matamu sudah dipenuhi dengan tinta dan huruf, sampai-sampai tidak mengerti gunanya pedang."

Setelah berkata demikian gadis itu menggerakkan tangannya dan…

"Sratttt…!" sebatang pedang yang putih berkilauan saking tajamnya sudah tercabut dari sarungnya.

"Aduh tajamnya! Berbahaya sekali untuk pisau dapur, bisa-bisa makan jarimu yang kecil halus itu!"

Ucapan tentang jari ini sama sekali bukan dia sengaja untuk memuji, akan tetapi tiba-tiba gadis itu menjadi agak lunak sikapnya.

"Benarkah jari tanganku kecil dan halus?" la mengulur tangan kirinya kepada Beng San.

Beng San memegang tangan itu, membelai-belai jari tangannya seperti orang memeriksa dan menaksir. "Memang kecil, halus, berkuku bagus, bersih, lunak dan hangat."

Mendadak wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan perlahan-lahan dia menarik kembali tangannya.

"Cih, tidak tahu malu!" katanya, akan tetapi nada kata-kata ini sama sekali tidak marah, malahan bibir yang manis itu tersenyum. "Nih, kau boleh pakai untuk memotong ikan, biar nanti aku yang memanggangnya."

Beng San menerima pedang itu dan dengan canggung sekali dia memegang gagangnya, lalu mengerik sisik ikan dengan hati-hati, takut kalau-kalau jari tangannya terluka oleh pedang.

Dara baju hijau itu menonton saja sambil tertawa-tawa geli melihat kecanggungan Beng San. Kadang-kadang gadis itu termenung dan menatap wajah Beng San yang tampan, seperti orang melamun.

Tanpa sengaja Beng San menengok, dua pasang mata lalu bertemu pandang. Mata gadis itu setengah dikatupkan, bibirnya merekah dan baru dia sadar sehingga mukanya menjadi kemerah-merahan. Ketika sadar bahwa sudah lama mereka bertemu pandang, gadis itu membuang muka dan pada sudut bibirnya membayangkan senyum.

Beng San juga diam saja, tapi hatinya penuh keheranan. Tidak mengerti dia akan sikap wanita, sama sekali dia tidak dapat menerka apa gerangan yang berkecamuk dalam lubuk hati gadis baju hijau ini.

"Ampun... ada orang begini canggungnya. Ke sinikan, biar aku yang membersihkan ikan!" Akhirnya gadis itu berkata sambil menahan ketawanya.

Beng San memberikan ikan dan pedangnya. Dengan sangat cekatan gadis baju hijau itu mengerik sisik ikan, memotong-motongnya dan membuang isi perutnya. Jari-jarinya yang kecil lentik itu cekatan sekali, membuat Beng San yang kini mendapat giliran menonton menjadi kagum.

"Pakaianmu basah kuyup, tidak dinginkah? Kenapa kau tidak bertukar pakaian?" Sambil memotong ikan itu, gadis baju hijau bertanya.

Beng San cemberut. "Semua pakaianku basah, bagaimana bisa bertukar? Sama saja, penggantinya juga basah. Gara-gara kau...”

Gadis itu tertawa lagi, matanya berseri-seri ketika dia mengangkat muka memandang pemuda itu. "Kau kan sudah membalas?"

Beng San tercengang, mengira bahwa perbuatannya menyerang dengan ekor ikan tadi diketahui. Tapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, "Membalas apa? Kau majukan perahu, aku tenggelam hampir mampus!"

"Kau tadi sudah memaki-maki aku sebagai setan cilik, bukankah itu sudah merupakan balasan? Bodoh, pakaianmu basah, mengapa tidak diperas dan dijemur? Sebentar juga kering dan dapat dibuat pengganti."

Beng San baru sadar. Benar juga, matahari sudah mulai naik, pakaian dalam buntalan itu basah semua, kalau tidak diperas dan dijemur, kapan keringnya? Tanpa menjawab, dia lalu membuka buntalan pakaiannya, memeras pakaian itu satu per satu lalu menjemurnya di atas atap kamar perahu. Baru sekarang dia melihat pakaiannya ini yang dia terima dari orang-orang Pek-lian-pai. Semua pakaian itu masih baik sekali, dari kain sutera dengan warna biru dan kuning.

"Heee, aku yang mengganti kau memotong ikan, kenapa sekarang kau tidak membantu? Hayo buat api."

"Bagaimana? Mana batu apinya?"

Gadis itu nampak gemas. "Benar-benar kau canggung. Lihat, pedangku tidak hanya dapat dipakai untuk memotong ikan."

Sekali pedangnya terayun, ujungnya menyentuh sebuah batu yang sengaja diletakkan di pinggir perahu. Bunga api berpijar besar dan menyambar daun yang telah diberi minyak, lalu menyala.

Beng San berseru girang dan kagum, lalu mengambil daun itu, ditaruh di dalam anglo (tempat perapian) dan membuat api unggun dengan kayu ranting dan daun kering yang juga sudah tersedia di situ, dalam sebuah keranjang.

Tak lama kemudian, bau daging ikan dipanggang menusuk hidung. Sedap dan gurih. Untungnya di situ memang sudah tersedia bumbu-bumbu, maka mudah bagi Beng San untuk membuat ikan panggang yang dibumbui lengkap. Hidung yang kecil mancung dari nona baju hijau itu berkembang-kempis.

"Aduh, bukan main sedap baunya..."

"Itu baru baunya, belum rasanya!" Beng San membanggakan. "Sekali kau mencicipi, aku khawatir tak akan kebagian."

"Idih sombongnya!" Gadis itu sudah mulai jenaka.

Beng San girang sekali bahwa tafsirannya dalam hati tentang gadis ini ternyata cocok. la tadi sudah menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai hati yang baik, jenaka, gembira dan kadang-kadang saja galak. Sedikit banyak dia sudah dapat menduga karena dia teringat akan watak dan sikap Kwa Hong dahulu. Ketika panggang daging ikan matang, pakaian sutera tipis yang dijemur pun sudah kering. Beng San bingung.

"Aku hendak berganti pakaian, tapi di mana? Boleh aku memasuki kamarmu?"

"Jangan!" Gadis itu membentak. "Biar aku yang sembunyi di dalam dan kau bisa bertukar pakaian di sini."

Ketika gadis itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang kecil di atas perahu, Beng San membelakangi kamar itu, lalu menanggalkan pakaiannya yang juga sudah hampir kering itu, dan menukarnya dengan pakaian pengganti yang sudah kering betul. Setelah menyimpan semua pakaian-pakaiannya, dibungkus lagi di dalam buntalan, dia berjongkok memeriksa panggang ikannya yang sudah matang.

"Heee, Nona! Keluarlah, aku sudah selesai!" teriaknya.

Akan tetapi ketika dia menengok, dia merasa betapa tiada gunanya dia berteriak-teriak memanggil karena nona itu sudah berdiri di belakangnya!

"Tak usah berteriak-teriak, aku sudah tahu!" jawab si nona.

"Bagaimana kau bisa tahu aku sudah selesai berpakaian?" tanya Beng San, pertanyaan sewajarnya dan tidak mengandung maksud apa-apa.

Akan tetapi nona itu menjadi merah sekali mukanya dan ia memalingkan muka ke kiri. Tanpa memandang pemuda itu ia berkata. "Lancang! Kau kira aku... mengintaimu?"

Beng San tertawa dan tiba-tiba mukanya sendiri menjadi merah saking jengah. "Ahh, aku sama sekali tidak menyangka yang bukan-bukan, Nona. Daging ini sudah cukup matang, boleh dimakan. Silakan."

Nona baju hijau itu tanpa sungkan-sungkan lagi lalu duduk di atas lantai perahu menghadapi Beng San setelah mengeluarkan sebuah guci terisi air teh dan keduanya lalu makan daging yang memang sedap dan gurih itu. Selama makan ikan dan minum teh itu keduanya tidak berkata-kata, hanya kadang-kadang sinar mata mereka saling sambar tanpa maksud tertentu. Kenyang juga perut mereka setelah daging ikan sebesar paha itu amblas ke dalam perut, tinggal tulang-tulang ikan saja yang berserakan di lantai.

Setelah mencuci bibir dan mulut, baru Beng San berkata. "Kau baik sekali, Nona, sudah suka menolongku. Sayang kau mempunyai ganjalan hati, belum terdapat apa yang kau cari-cari. Kalau saja kau suka memberi tahu kepadaku apa atau siapa yang kau cari, aku berjanji akan membantumu."

Tiba-tiba gadis baju hijau itu membelalakkan kedua matanya yang bagus, dan di lain saat tangannya sudah mencengkeram pundak Beng San. Cengkeraman yang amat kuat dan pemuda ini maklum bahwa seorang pemuda biasa saja tentu tulang pundaknya akan remuk kalau gadis ini menggunakan tenaganya meremas. la kagum dan juga makin kaget melihat sikap ini.

"Kau she (bernama keturunan) Bun?" Gadis itu membentak, matanya berapi.

"Bukan, aku she Tan."

"Sayang..."

Gadis itu melepaskan cekalannya pada pundak, meraba-raba gagang pedang kemudian memandang air di pinggir perahu seperti orang melamun. Kekecewaan dan kemurungan kembali membayang di antara seri wajahnya yang manis. Beng San terheran, juga hatinya berdebar. Pada waktu gadis tadi menggerakkan tangan mencengkeram pundaknya, dia teringat bahwa dia pernah melihat gerakan ini, pernah merasakan serangan seperti ini.

Tiba-tiba dia teringat bahwa bayangan yang langsing malam tadi, yang menyerangnya ketika dia membawa lari Tan Hok, amat boleh jadi adalah gadis baju hijau inilah! Apakah dia tidak mengenalku? Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, mengambil keputusan untuk terus bersandiwara, berpura-pura bodoh.

”Andai kata aku orang she Bun, mengapa?" tanyanya ingin tahu.

Gadis itu tiba-tiba mencabut pedangnya dan…

"Srrrattt!"

Pedang sudah menyambar ke permukaan air dekat perahu dan... seekor ikan sebesar lengan yang tadi berenang di pinggir perahu telah terpotong menjadi dua, tepat di antara kepala dan badan. Dua potong tubuh ikan itu mengambang di air, perlahan-lahan hanyut terbawa aliran air.

"Kalau kau orang she Bun, kau akan menjadi seperti itulah..." Gadis itu berkata lagi tanpa menengok.

Beng San memandang ke arah ikan yang terbacok tadi. Bergidik. Gadis begini manis mengapa bisa begitu kejam? Tentu mengandung penasaran yang mendalam, pikirnya. Memang aneh watak nona ini. Baik hati karena mau membawanya ke perahu, akan tetapi kadang-kadang kejam seperti tadi ketika sengaja menggerakkan perahu agar dia jatuh ke air. Tapi kembali berbaik hati karena terjun dan menyelam untuk menolongnya.

Gadis yang jenaka, lucu, manis, galak dan kadang-kadang kejam. Ada titik persamaan antara gadis baju hijau ini dengan Kwa Hong... ehh, ya. Bukankah dia sedang menuju ke Hoa-san? Kenapa sekarang mengobrol dengan gadis baju hijau ini?

Beng San memandang ke depan dan kaget melihat bahwa tanpa dia sadar lagi perahu itu telah meluncur sejak tadi, jauh meninggalkan tempat di mana dia hendak menyeberang.

la melirik gadis itu yang masih duduk termenung, kelihatan berduka dan bersunyi. Ia merasa kasihan. Tentu gadis ini sudah lama sekali mencari orang she Bun yang agaknya musuh besarnya.

"Sayang aku bukan she Bun," dia mencoba menghibur.

Gadis itu menoleh kepadanya dan perlahan-lahan kemurungannya buyar.

"Kau maksudkan sayang bahwa kau orang yang ber-she Tan tidak pandai silat."

Beng San tidak mau orang bicara tentang dirinya yang sengaja hendak dia sembunyikan keadaannya, maka dia segera berkata, "Ehh, kenapa perahu ini tidak menyeberang? Aku sampai lupa. Nona, tolong seberangkan aku ke sana."

Dara berpakaian hijau itu tersenyum. "Aku pun lupa."

la segera mendayung perlahan, tapi perahu itu meluncur cepat seperti ikan hiu, sebentar saja dengan melawan arus air sudah sampai ke seberang. la menancapkan dayung di tanah dan mengikat perahu dengan dayung itu yang sekarang dipergunakan sebagai patok. Mereka saling pandang, merasa bahwa saat perpisahan telah tiba.

Beng San menggendong buntalan pakaiannya, lalu menoleh kepada nona yang masih duduk di lantai perahu. "Nona, aku berterima kasih sekali atas semua pertolonganmu. Pertolongan menyeberangkan aku dan terutama sekali pertolongan yang kau berikan ketika aku tenggelam. Nona, kini keadaan sedang kacau-balau, dalam perjalananku aku melihat perang dan maut merajalela. Kau kenapa seorang diri di sini berperahu? Di mana orang tuamu? Kurasa bagi seorang dara remaja seperti engkau ini, amat berbahaya hidup seorang diri di sini, lebih baik kau pulang dan berdiam di rumah dengan ayah bundamu..." Ucapan yang keluar dari hati yang tulus dari Beng San ini terdengar nyata, dengan suara yang mengandung penuh kejujuran seperti nasihat seorang yang lebih tua kepada orang muda.

Mendengar ini, sesaat gadis itu bengong, memandang kepada Beng San dengan muka menengadah, sayu. Kemudian tiba-tiba air matanya bercucuran dan dia mulai menangis terisak-isak, menelungkup di atas papan perahu. Beng San terkejut sekaii, tidak jadi melangkah keluar perahu, lalu berlutut di depan gadis itu. Suaranya tergetar penuh keharuan ketika ia berhasil membuka mulut.

"Nona... kau kenapakah...? Janganlah menangis, ahhh... maafkan kalau tadi aku berkata lancang sehingga menyinggung perasaanmu..."

Tangis dara itu makin menjadi-jadi, sampai bergoyang-goyang pundaknya, sedih sekali ia menangis tersedu-sedan. Saking besarnya rasa haru dan kasihan, tanpa disadari lagi Beng San mengelus-elus kepala dara itu, mengeluarkan kata-kata menghibur. Gadis itu bangun duduk, dan di lain saat ia telah menjatuhkan diri di atas dada Beng San yang terpaksa memeluknya dengan bingung.

"Tenanglah… diamlah... Nona, jangan menangis. Ahhh, kau membuat aku ikut bersedih..." Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, kerongkongannya serasa tersumbat. Memang pada dasarnya Beng San berwatak mulia, mudah menaruh kasihan kepada lain orang.

Sambil menangis di atas dada Beng San, gadis itu berkata lirih, terputus-putus, "Ibuku sudah meninggal... ayah terbunuh orang... aku yatim piatu, sebatang kara tiada orang tiada tempat tinggal... selalu menerima hinaan orang... baru kau... baru kau seorang yang baik kepadaku..."
cerita silat karya kho ping hoo

"Hemmm, kasihan..." dan tiba-tiba Beng San menjadi begitu sedih sampai titik air mata membasahi pipinya sendiri. la teringat akan keadaan diri sendiri, yang juga sebatang kara, tidak tahu di mana adanya orang tuanya. "Sabarlah, Nona. Tidak hanya kau seorang di dunia ini yang bernasib seperti ini. Aku pun sebatang kara, aku pun hidup seorang diri di dunia yang luas ini."

Keduanya saling peluk, gadis itu masih terisak-isak dan Beng San mengelus-elus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu. Hatinya tidak karuan rasanya. Baru kali ini dia mengalami keadaan seperti ini yang sangat membingungkan, yang membuat jantungnya berloncatan tidak menentu.

"Kau baik sekali... kau baik sekali...," berkali-kali gadis itu berbisik.

"Kau pun orang yang baik, Nona. Kau baik dan patut dikasihani. Aku takkan melupakanmu selama hidupku. Siapakah namamu, Nona? Biarlah nama itu akan selalu berada di dalam ingatanku dan aku berjanji akan membantumu mencari orang she Bun itu asal kau suka memberi tahu nama lengkapnya dan bagaimana orangnya."

Tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukan Beng San, duduk menjauhi dan mengusap air matanya. Matanya yang bagus itu menjadi kemerahan, pipinya lebih merah lagi.

"Aku tidak tanya namamu, kau pun tak usah tahu namaku..."
"Bagaimana ini? Kau tentu punya nama, bukan?"

"Panggil saja aku Eng... sudahlah, kau kenal aku sebagai dara baju hijau bernama Eng yang sengsara, sebatang kara. Aku mengenal engkau sebagai orang she Tan yang baik hati, dan... alangkah sayangnya... orang she Tan yang baik hati tapi yang lemah... ahh, kalau saja kau pandai silat... pergilah, pergilah tinggalkan aku seorang diri..." la menangis lagi.

Beng San bangkit berdiri, lalu menarik napas panjang. "Baiklah, Nona Eng. Ataukah lebih tepat kusebut Adik Eng? Nah, aku pergi, selamat tinggal dan mudah-mudahan kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik."

la keluar dari perahu itu dan tak lama kemudian Beng San sudah berjalan pergi, tidak tahu betapa gadis baju hijau itu sudah duduk memandangnya dari jauh dengan mata sayu.


BERSAMBUNG KE Raja Pedang Jilid 16


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.