Raja Pedang Jilid 17

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJA PEDANG JILID 17

Beng San mendapat kenyataan betapa cocok kata-kata Tan Hok ketika menceritakan tentang keadaan Hoa-san-pai dalam permusuhannya dengan Kun-lun-pai. Tidak saja dia melihat banyaknya tosu Hoa-san-pai yang berkumpul di gunung itu, mendekati seratus jumlahnya, akan tetapi menjelang datangnya hari perayaan ulang tahun ke seratus dari Hoa-san-pai, berturut-turut datang murid-murid Hoa-san-pai yang tinggal jauh dari gunung Hoa-san. Tiga hari sebelum hari perayaan, di sana sudah berkumpul seluruh anggota Hoa-san-pai yang jumlahnya mendekati seratus dua puluh orang!

Keadaan Hoa-san-pai sungguh angker sekali. Tosu-tosu dengan pakaian seragam putih melakukan penjagaan dengan sikap mereka yang alim dan amat gagah. Jalan kecil yang menuju ke pendakian puncak itu, dihias dengan bunga-bunga kertas, setiap seperempat kilometer dijaga oleh tiga orang tosu di pinggir jalan, merupakan tiang-tiang hidup. Hal ini diadakan bukan hanya untuk memberi penghormatan kepada para tamu, tetapi kiranya terutama sekali untuk ‘unjuk gigi’ kepada para tamu yang datang dengan maksud-maksud buruk tertentu.

Sebagai sebuah partai besar yang sudah terkenal namanya di seluruh dunia kang-ouw, kali ini Hoa-san-pai mengadakan persiapan besar-besaran. Beberapa hari sebelumnya, para tosu sudah sibuk berbelanja, menyediakan segala bahan makanan dan minuman untuk menjamu para tamu. Ratusan bangku baru dibuat dan diatur di ruangan depan.

Ruangan ini menjadi luas sekali karena diberi bangunan tambahan darurat. Ruangan yang amat luas ini dibagi-bagi, untuk para tamu kehormatan di sebelah dalam dan menghadap keluar, untuk tamu wanita di sebelah kiri dan agak tertutup, dan untuk yang muda-muda di sebelah kanan.

Di belakang ke tiga tempat ini yang paling luas, disediakan bangku-bangku panjang untuk tempat para tamu lain yang dianggap sebagai pengikut-pengikut saja. Pihak tuan rumah mengambil tempat di ruangan yang mepet dinding dalam, dekat tempat tamu kehormatan, membelakangi pintu besar yang dapat menuju ke dalam ‘rumah besar’. Di tengah-tengah ruangan merupakan tempat terbuka yang cukup luas untuk memberi tempat bagi para pelayan hilir-mudik.

Menurut berita yang dibawa oleh para tosu penjaga kaki gunung, dua hari sebelum pesta dimulai, sudah banyak sekali tamu yang datang sampai di kaki Gunung Hoa-san. Mereka menginap di kampung-kampung, menanti datangnya hari yang ditentukan untuk mendaki puncak. Tentu saja para tosu itu di antaranya ada yang bertugas menyelidiki siapa-siapa yang akan datang, kawan ataukah lawan!

Pada hari itu, pagi-pagi sekali sudah kelihatan para tamu berbondong-bondong mendaki puncak Hoa-san. Banyak sekali tamu yang datang. Para tosu Hoa-san-pai yang menjaga di sepanjang jalan sampai ke puncak, mewakili ketua mereka, melihat dengan hati kaget betapa partai-partai lain datang lengkap dengan para anak murid yang pilihan. Bahkan partai-partai Khong-tong-pai, Bu-tong-pai, dan Bu-eng-pai datang dengan puluhan orang anak murid masing-masing sehingga merupakan pasukan yang kuat!

Lian Bu-Tojin memang tidak mau memperlihatkan diri lebih dahulu, malah dia sengaja melarang Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa dan cucu-cucu muridnya untuk keluar lebih dulu sebelum para tamu lengkap. Kakek ini amat berhati-hati. la mau melihat murid-murid dan cucu-cucu muridnya muncul lalu dipancing oleh pihak lawan untuk mengacaukan pesta ulang tahun perkumpulannya.

Setelah ruangan tamu di depan penuh oleh para tamu, barulah Lian Bu Tojin diiringkan oleh Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa, Kwa Hong, Thio Bwee, Thio Ki dan Kui Lok, keluar dari dalam menuju ke tempat duduk yang disediakan untuk pihak tuan rumah. Para tamu segera berdiri memberi hormat yang dibalas oleh Kwa Tin Siong sebagai wakil pihak tuan rumah. Lian Bu Tojin sebagai seorang yang tingkatnya lebih tinggi, hanya mengangguk dan hanya mengangkat kedua tangan membalas penghormatan para tamu yang duduk di bagian terhormat.

Walau pun baru sekarang Lian Bu Tojin keluar, namun kakek ini sudah tahu siapa saja tamu-tamunya yang hadir. Tadi Kwa Tin Siong mengintai dari dalam dan memberi tahu kepada gurunya tentang para tamu yang sebagian besar dikenal oleh jago pertama dari Hoa-san-pai ini.

Yang amat mengherankan hati Lian Bu Tojin dan Kwa Tin Siong adalah ketidak hadiran orang-orang Kun-lun-pai. Padahal mereka melihat bahwa Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai, dua partai yang selalu memperlihatkan sikap membela Kun-lun-pai, sudah lengkap hadir di situ. Diam-diam mereka juga merasa gembira bukan main dengan hadirnya jago-jago dari Bu-tong-pai, karena partai ini selalu memperlihatkan sikap baik kepada Hoa-san-pai.

Banyak terdapat jago-jago silat yang sudah terkenal namanya hadir di ruangan itu. Nama Hoa-san-pai sudah terlalu terkenal sehingga kali ini dapat menarik kedatangan jago-jago silat dari seluruh negeri. Tapi yang paling penting disebutkan di sini hanyalah beberapa orang saja. Di antaranya pemimpin rombongan Khong-tong-pai, seorang lelaki gemuk pendek berusia lima puluh tahun. Dia adalah murid pertama dari Khong-tong-pai bernama Liu Ta, seorang ahli Iweekeng dan ahli golok. Karena terlalu dipercaya oleh gurunya yang sudah tua, Liu Ta ini sering kali bertindak mewakili Khong-tong-pai tanpa setahu gurunya.

Dari pihak Bu-eng-pai, rombongan ini dipimpin oleh dua orang jago Bu-eng-pai yang telah terkenal namanya, yaitu Ang Kim Seng yang tinggi kurus berusia empat puluh tahun lebih dan adiknya, Ang Kim Nio yang cantik genit berusia tiga puluh tahun lebih. Kakak beradik ini terkenal sebagai ahli pedang dari Bu-eng-pai. Seperti juga pihak Khong-tong-pai, kakak beradik ini lebih condong membantu Kun-lun-pai dari pada Hoa-san-pai.

Beng Tek Cu, seorang tosu yang tinggi besar serta bermata lebar adalah seorang tokoh Bu-tong-pai, usianya lima puluh lima tahun. Orangnya jujur dan keras hati, akan tetapi kepandaiannya tinggi dan namanya ditakuti orang-orang jahat karena tosu Bu-tong-pai ini tak pernah menaruh kasihan kepada para penjahat. la menjadi sahabat Kwa Tin Siong, maka dalam urusan antara Hoa-san dan Kun-lun, tosu tinggi besar ini dan rombongannya berpihak kepada Hoa-san-pai. Masih banyak tokoh-tokoh besar yang hadir di pertemuan itu, akan tetapi agaknya akan terlalu panjang kalau disebut satu persatu.

Yang patut disebut kiranya hanya mereka yang duduk di ruang tamu kehormatan, yaitu pemimpin tiga rombongan yang sudah disebut tadi untuk menghormati nama besar partai yang mereka wakili. Dari golongan perorangan ada beberapa orang kakek lagi, yaitu dua orang hwesio, dua orang kakek petani dan tiga orang tosu.

Mereka ini adalah tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw yang kenal dengan pribadi Lian Bu Tojin, jadi tidak mewakili sesuatu partai. Namun karena mereka ini tergolong orang-orang lihai dan setingkat, maka mereka dipersilakan duduk di ruang tamu kehormatan.

Di antara ramainya para tamu yang saling berbicara seperti bunyi tawon madu diganggu, para tamu mulai menyerahkan sumbangan-sumbangan serta barang-barang tanda mata untuk memberi selamat kepada Hoa-san-pai. Riuh rendah suara tertawa karena gembira pada saat Lian Bu Tojin berkenan menerima sendiri barang-barang hadiah yang diberikan para tamu kepada Hoa-san-pai.

Kakek ini berdiri di tengah ruangan di mana disediakan meja kosong yang panjang, diapit di kanan kiri oleh Kwa Tin Siong dan Liem Sian. Ada pun Kwa Hong bersama tiga orang saudara seperguruannya membantu untuk menerima semua barang hadiah dan kemudian mengaturnya di atas meja.

Hampir semua tamu membawa barang hadiah. Oleh sebab itu kini mereka berdiri dalam antrian panjang. Setiap orang yang telah sampai di meja itu menghormat kepada Lian Bu Tojin, mengucapkan selamat dan menyerahkan barang sumbangannya. Lian Bu Tojin dan dua orang muridnya menghaturkan terima kasih, lalu barang itu diterima oleh Kwa Hong dan saudara-saudara seperguruannya untuk diatur di atas meja panjang tadi.

Kwa Hong menjadi heran dari juga geli hatinya ketika ia melihat Beng San ikut-ikutan pula berdiri dalam antrian. Pemuda ini mengenakan pakaiannya yang paling bersih, wajahnya yang berseri kelihatan gagah dan tampan sekali, yakni dalam pandangan Kwa Hong.

Sejak tadi pemuda ini duduk di ruang kelas kambing, yaitu tempat luas di mana terdapat bangku-bangku panjang. Di sana adalah tempat berkumpulnya tamu-tamu yang menjadi pengikut rombongan. Dan sekarang tahu-tahu dia ikut di dalam antrian sambil membawa sebuah bungkusan besar!

Kwa Hong dengan perasaan heran dan hati geli menduga-duga apakah gerangan hadiah yang dibawa orang muda itu untuk Hoa-san-pai? Juga Thio Bwee melihat pemuda ini dan di bibir gadis ini pun tampak senyum geli.

Dalam pandang mata Thio Bwee, biar pun Beng San merupakan seorang pemuda yang ia suka karena sikapnya yang selalu sopan dan baik, apa lagi dahulu di waktu kecil pernah menolongnya, akan tetapi tetap saja Thio Bwee memandangnya sebagai seorang pemuda yang tidak punya guna, seorang pemuda yang lemah dan tidak tahu akan ilmu silat.

Berbeda dengan dua orang gadis itu yang melihat Beng San berdiri di dalam antrian para pemberi hadiah merasa lucu dan ingin sekali tahu apakah gerangan barang hadiah yang dibawanya dalam bungkusan besar itu, adalah Thio Ki dan Kui Lok memandang dengan mata penuh curiga, iri hati dan cemburu.

Dua orang pemuda ini dalam beberapa hari saja telah tahu betapa Kwa Hong amat suka bergaul dengan Beng San, betapa wajah gadis itu selalu berseri-seri bila bercakap-cakap dengan ‘bocah dusun’ itu. Betapa Kwa Hong agaknya lebih suka bercakap-cakap dengan Beng San dari pada dengan mereka.

Kalau saja tidak berada di tempat perjamuan, dan kalau saja tidak takut kepada sukong mereka, agaknya dua orang pemuda ini sudah akan mengusir Beng San dari tempat itu. Menurut pendapat mereka, Beng San tidak patut hadir dalam ruangan ini, yang sekarang penuh dengan para tamu ahli silat belaka.

Akan tetapi Beng San sendiri agaknya tidak peduli akan cucu-cucu murid Hoa-san-pai, tak peduli bagaimana mereka memandangnya. Dia sendiri terus tersenyum dengan wajahnya yang berseri-seri, melihat ke kanan kiri kepada para tokoh kang-ouw yang kini sebagian besar sudah berkumpul di situ. Baru sekarang dia mendapat kesempatan bertemu dengan mereka, siapa tidak akan girang?

Dari seorang di dekatnya, dia tadi mendapat keterangan satu demi satu tentang para tamu yang dianggap tamu kehormatan. Malah teman di dekatnya tadi, seorang anak murid dari Bu-tong-pai, agaknya senang sekali bercerita sehingga membocorkan rahasia partainya bahwa Bu-tong-pai membantu Hoa-san-pai. Dia menceritakan pula betapa Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai selalu membantu Kun-lun-pai dalam memusuhi Hoa-san-pai. Teman baru ini juga menceritakan kehebatan setiap orang tokoh yang dia anggap memiliki kesaktian seperti dewa-dewa!

Selain gembira karena mendapat kesempatan melihat orang-orang kang-ouw, Beng San juga sangat gembira ketika mendengar bahwa pihak Kun-lun-pai tidak hadir. Bukankah dengan demikian maka keributan takkan terjadi dan dia tidak usah bersusah payah untuk mencegahnya?

Setelah sampai giliran Beng San menyerahkan sumbangannya, pemuda ini dengan wajah sungguh-sungguh memberi hormat dengan menjura dalam di depan Lian Bu Tojin sambil berkata, "Dengan hati tulus dan hormat saya menghaturkan selamat kepada Hoa-san-pai yang mencapai umur seratus tahun. Semoga Hoa-san-pai akan melewati ratusan tahun lagi dan melahirkan patriot-patriot yang gagah perkasa, pembela-pembela rakyat yang adil dan bijaksana. Harap Totiang sudi menerima kenang-kenangan tidak berharga ini."

la membuka bungkusannya dan terdengar sedak tertahan dari Kwa Hong ketika gadis ini melihat isi bungkusan yang besar itu. Ternyata isinya adalah... kulit harimau yang besar dan amat indahnya. Harimau yang kemarin dulu ia bunuh di hutan!

Muka ketua Hoa-san-pai berseri gembira. "Terima kasih, terima kasih..."

Sebagai layaknya seorang tuan rumah, dia membalas penghormatan tamu bersama Kwa Tin Siong, sedangkan Thio Bwee menerima kulit harimau itu, diletakkan di atas meja.

Ketika Beng San kembali ke tempat duduknya, telinganya yang tajam pendengarannya itu menangkap seruan-seruan heran dan kagum dari para tamu.

"Siapa dia itu? Dapat mengambil kulit harimau sebesar itu tanpa melukainya… hemmm, agaknya pandai juga dia..."

Diam-diam Beng San tersenyum dan merasa lucu. Yang membunuh harimau itu adalah Kwa Hong dan dia dengan hati-hati telah menutup luka-luka bekas tusukan pedang Kwa Hong sehingga dilihat sepintas lalu saja seakan-akan tidak ada bekas luka, seakan-akan dia sudah menangkapnya dengan tangan kosong, atau membunuhnya dengan kepalan saja!

Tiba-tiba saja terdengar suara gaduh di bagian depan. Orang-orang lalu memandang dan terbelalak kaget. Seorang pemuda yang bukan lain adalah Giam Kin, berlenggang masuk. Orangnya sih tidak mendatangkan kaget pada para tamu, hanya apa yang di bawanya yang mendatangkan heboh.

Pemuda ini datang membawa seekor ular besar yang melilit-lilit tubuhnya. Ular sebesar paha yang kelihatan galak! Beng San memandang dengan perasaan mendongkol. Terang sekali bahwa pemuda itu sengaja hendak berlagak untuk menarik perhatian orang. Sambil tersenyum-senyum pemuda itu menghampiri meja dan menjura kepada Lian Bu Tojin.
cerita silat karya kho ping hoo

"Lian Bu-totiang, saya mewakili suhu datang untuk mengucapkan selamat dan terimalah semacam hadiah saya ini."

Semua orang kaget dan mengira bahwa pemuda, ini akan menghadiahkan ular besar itu.

Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan wajah tenang membalas penghormatannya dan berkata, "Ah, saudara Giam terlalu sungkan. Terima kasih atas pemberian selamat."

Giam Kin lalu merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan dua buah tabung bambu yang tersumbat. Tercium bau yang amat amis ketika dia membuka sumbat dari pada sebuah di antaranya.

"Agar Totiang tahu apa isinya, baik saya buka dan perlihatkan."

Dia mengetuk bambu itu dan keluarlah... seekor ular bersisik merah yang kecil dan liar. Dengan gerakan seorang ahli ditangkapnya leher ular itu dan diangkatnya tinggi-tinggi ke atas. la berkata, jelas kata-katanya ditujukan kepada semua tamu seperti seorang penjual obat mempropagandakan obatnya.

"Harap Lian Bu Totiang tidak menganggap bahwa saya memberi tanda mata yang tidak ada harganya. Sungguh pun hanya merupakan dua ekor ular kecil dalam tabung bambu, tetapi dibandingkan dengan semua barang sumbangan yang ada di atas meja ini, kurasa hadiahku adalah yang paling berharga. Sepasang ular ini disebut Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun), bisa digunakan untuk menyembuhkan lima macam bahaya akibat terkena racun. Biar pun hanya merupakan dua ekor ular kecil, namun sewaktu-waktu dapat berjasa dan menyambung nyawa, benda-benda yang lain ini hanya indah dipandang tetapi tidak ada gunanya, mana dapat dibandingkan dengan ular-ular pemberianku ini?"

Dengan bangga dia menyerahkan kedua tabung itu kepada Kwa Hong dan Thio Bwee seorang satu. Gerak-geriknya bebas dan tak tahu malu, akan tetapi karena ia merupakan seorang tamu yang memberi hadiah ulang tahun untuk Hoa-san-pai, walau pun dengan muka merah dan mulut cemberut, terpaksa Kwa Hong dan Thio Bwee menerimanya juga. Ada pun Kwa Tin Siong mewakili suhu-nya menjura dan mengucapkan terinia kasih.

Giam Kin lalu menoleh ke kanan kiri, agaknya mencari tempat duduk yang sudah penuh. Seorang tosu Hoa-san-pai segera menghampiri dan sambil membungkuk-bungkuk tosu itu berkata.

"Tuan muda, silakan duduk di sebelah sana, masih ada tempat kosong."

Tosu itu hendak mengantar Giam Kin duduk di ruangan bagian kanan di mana berkumpul tamu-tamu muda. Akan tetapi Giam Kin mengerutkan keningnya ketika melihat betapa tempat itu adalah tempat duduk orang-orang yang bukan ‘orang atas’. la menggelengkan kepala dan berkata sambil tertawa.

"Biarlah aku di sana saja, aku sudah membawa tempat duduk sendiri." la lalu melangkah lebar menuju ke ruangan tamu kehormatan!

Liu Ta, pemimpin rombongan Kho-tong-pai, agaknya sudah mengenal pemuda ini karena dia segera berdiri dan tersenyum memberi hormat. Akan tetapi yang paling menyolok adalah sikap Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio, dua orang jago Bu-eng-pai. Ang Kim Nio melirik-lirik dengan senyum genit sedangkan Ang Kim Seng bahkan cepat-cepat berdiri dan menyilakan Giam Kin menduduki tempat duduknya.

"Duduklah Ang-twako. Duduklah, biar aku duduk di tempat yang sudah kubawa sendiri.”

Dia lalu melepaskan lilitan ular di pinggangnya, kemudian ular besar dan panjang itu dia gulung dan lingkar-lingkar sehingga merupakan satu gundukan yang lebih tinggi dari pada bangku-bangku yang berada di situ. Di atas gundukan atau lingkaran tubuh ular inilah dia duduk, nampak bangga dan jelas sengaja melakukan semua ini untuk menarik perhatian dan memancing pujian!

Bukan main mendongkolnya hati orang-orang Hoa-san-pai menyaksikan sikap pemuda itu. Thio Ki dan Kui Lok sudah mengepal tinju dan mereka ini diam-diam berjanji bahwa kalau pemuda setan itu berani main gila, mereka akan menghadapinya lebih dahulu. Kwa Hong dan Thio Bwee juga marah sekali. Dengan kerling tajam menyambar diam-diam mereka memaki pemuda itu.

Akan tetapi Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa kelihatan tenang-tenang saja, apa lagi Lian Bu Tojin, kakek ini malah tersenyum-senyum nampak gembira. Padahal di dalam hatinya, guru dan dua orang muridnya ini selalu terheran mengapa pihak Kun-lun-pai belum juga muncul.

Tidak hanya pihak tuan rumah yang terheran, juga para tamu terheran-heran, malah para tamu muda menjadi kecewa sekali. Sesungguhnya, mereka naik ke Hoa-san bukanlah semata-mata untuk memberikan penghormatan kepada Hoa-san-pai, akan tetapi terutama sekali tertarik akan harapan melihat pertandingan hebat antara jago-jago Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Mereka semua sudah tahu bahwa antara dua partai persilatan ini terdapat permusuhan, maka sekali ini dalam pertemuan terbuka, tentu akan diadakan pertandingan terbuka pula untuk menentukan siapa yang lebih kuat.

Giam Kin menoleh ke kanan kiri seperti orang yang sedang mencari-cari. Diam-diam dia memperhatikan para tamu dan mencari seorang pemuda muka hitam. Dia bernapas lega ketika tidak dapat menemukan orang bermuka hitam itu, akan tetapi dia masih merasa gelisah yang ditutup-tutupinya dengan sikap yang sangat jumawa. Padahal sebetulnya dia merasa khawatir kalau-kalau ‘setan muka hitam’ itu akan muncul di sini.

"Ah, kenapa aku tidak melihat seorang pun dari Kun-lun-pai?" tiba-tiba Giam Kin berkata, suaranya nyaring dan terdengar oleh banyak orang, terutama oleh para tamu kehormatan yang hadir di situ.

Semua mata memandangnya karena memang pertanyaan ini sudah sejak tadi berada di dalam benak semua tamu berikut tuan rumah, hanya tiada seorang pun berani lancang mulut bertanya seperti yang dilakukan Giam Kin.

Ang Kim Seng tertawa, lalu menjawab, juga dia sengaja mengerahkan tenaga sehingga suaranya terdengar sangat nyaring, "Giam-taihiap, apakah kau juga ingin sekali menonton keramaian? Tentu mereka akan datang!"

"Kabarnya ketua Kun-lun-pai juga mau datang memberi selamat. Betulkah berita ini?" Giam Kin bertanya lagi, tanpa peduli akan pandang mata tak senang dari seorang tosu yang tinggi besar dan duduk di dekatnya.

"Memang ada berita itu," jawab Ang Kim Seng, "dan malah murid-murid Kun-lun-pai telah memberi tahu kepadaku sendiri. Aku pun sudah lama sekali tidak berjumpa dengan Pek Gan Siansu, ingin aku menyampaikan hormat."

"Ha-ha-ha, Ang-twako. Agaknya kau ini sahabat karib Kun-lun-pai!" terang-terangan Giam Kin menegur sambil tertawa.

Ang Kim Seng juga tertawa. "Kun-lun-pai adalah partai terbesar di dunia ini, partai yang terbesar dan terkuat, juga terkenal sebagai tempat pendekar-pendekar gagah perkasa. Siapa orangnya yang tidak bersahabat dengan mereka?”

Jelas bahwa percakapan antara Giam Kin dan Ang Kim Seng ini merupakan percakapan yang menyerempet ketenangan. Para tamu serentak menghentikan percakapan mereka dan mendengarkan dengan hati tegang.

Kwa Tin Siong sendiri mulai melirik-lirik ke arah tempat duduk para tamu kehormatan. Ada pun Thio Ki, Thio Bwee, Kui Lok, dan Kwa Hong sudah terang-terangan memandang ke arah Ang Kim Seng dengan mata tajam.

Tiba-tiba Beng Tek Cu, tosu dan Bu-tong-pai yang sejak tadi merasa muak melihat lagak Giam Kin, berdiri dan bangkunya. la memang seorang yang galak dan jujur, dan di dalam hatinya dia pro kepada Hoa-san-pai. Sekarang, setelah dia mendengar percakapan yang menyinggung-nyinggung urusan Kun-lun-pai, dia tidak dapat menahan kesabarannya lagi.

Seperti orang berbicara kepada diri sendiri, tosu tinggi besar yang sudah tua tapi masih kelihatan muda ini menengadahkan kepalanya dan berkata keras.

"Siapa yang menjilat dan bermuka-muka kepada yang besar dan kuat, tidak ada bedanya dengan kutu-kutu anjing yang selama hidupnya hanya mengandalkan tubuh anjing yang ditumpanginya!"

Mendengar ucapan yang keras ini, Semua tamu diam dan semua memandang ke arah ruangan tamu kehormatan itu. Tak seorang pun mengira bahwa dari ruang ini akan disulut api yang akan membakar perayaan itu. Giam Kin tertawa-tawa geli, seakan-akan merasa betapa lucunya kata-kata tadi.

Ang Kim Seng melompat bangun dari bangkunya, lalu memandang ke arah Beng Tek Cu sambil bertanya. "Kau berani menyamakan aku dengan kutu anjing?"

Beng Tek Cu menoleh kepadanya, seakan-akan tidak peduli, lalu balas bertanya, "Kau merasa menjadi kutu anjing atau tidak?"

"Tentu saja tidak!" Ang Kim Seng marah, mukanya sudah menjadi merah sekali, matanya melotot.

”Kalau tidak ya sudah! Aku tidak memaki siapa-siapa, hanya mengatakan bahwa kalau ada yang menjilat dan bermuka-muka pada yang besar dan kuat, dia itu seperti kutu anjing. Kalau kau bukan kutu anjing, ya sudahlah, kenapa ribut-ribut?"

Terdengar suara ketawa di sana-sini.

"Hi-hi-hi-hi...” Kwa Hong menutupi mulutnya dengan tangan untuk menahan ketawanya.

Tentu saja gadis ini sudah maklum bahwa pihak Bu-eng-pai memang selalu menangkan Kun-lun, ada pun pihak Bu-tong-pai membantu pihaknya. Apa lagi ia mengenal Beng Tek Cu sebagai sahabat karib ayahnya, maka ia girang dan geli melihat betapa tosu yang memang berwatak berangasan, kasar dan jujur tapi pandai berdebat itu mempermainkan Ang Kim Seng.

"Satu nol...," kata Beng San.

Pemuda ini sejak tadi sudah memperlihatkan keringanan tangannya, tanpa diminta telah membantu ke sana ke sini, kadang-kadang membantu para tosu yang menghidangkan makan minum kepada para tamu, kadang kala dia juga membantu memberes-bereskan barang-barang sumbangan di atas meja panjang itu. Pada saat dia mendengar Kwa Hong tertawa, dia sendiri juga merasa geli maka tanpa disengaja dia tadi berkata, "Satu nol..."

"Apanya yang satu nol?" Kwa Hong bertanya lirih tanpa pedulikan lirikan ayahnya yang hendak mencegah dia bicara tentang hal yang meributkan.

"Tosu hitam tinggi besar itu menang satu, si tinggi kurus itu kalah dan belum menangkan apa-apa, maka kedudukan mereka menjadi satu nol untuk si tosu tinggi besar," jawab Beng San.

Sementara itu, mendengar ucapan Beng Tek Cu, Ang Kim Seng makin marah. Akan tetapi tentu saja dia akan berada di pihak salah bila mana dia yang mulai memaki. Ia menahan kemarahannya dan pura-pura bersikap tenang, lalu bertanya.

"Eh, tosu yang bersikap kasar. Tidak tahu siapakah kau?"

"Ang Kim Seng sicu (orang gagah) sebagai seorang jagoan besar Bu-eng-pai, tentu saja tidak mengenal pinto (aku) Beng Tek Cu dari Bu-tong-pai."

Ang Kim Seng nampak kaget sekali dan dia merasa menyesal mengapa tadinya dia tidak mencari keterangan lebih dulu siapa sebenarnya tosu tinggi besar yang kasar ini. Kiranya tokoh Bu-tong-pai!

Jawaban Beng Tek Cu tadi sekaligus memukul lawannya oleh karena jawaban itu juga merupakan sindiran tajam sekali. Dengan mengenal nama Ang Kim Seng dan partainya merupakan tanda betapa tajam pandangan dan luas pengetahuan Beng Tek Cu, namun sebaliknya kalau orang sampai tidak mengenal tokoh Bu-tong-pai, hal itu boleh dikatakan keterlaluan dan sangat picik pengetahuannya.

"Dua nol..." kata pula Beng San, tapi sebelum Kwa Hong sempat bicara, pemuda ini telah pergi untuk membantu para tosu mengisi lagi arak bagi para tamu. Sementara itu, Ang Kim Seng berusaha menyembunyikan perasaan malunya.

"Ahh, kiranya orang Bu-tong-pai..." Sambil berkata demikian, dia pun duduk kembali dan mengajak Giam Kin bercakap-cakap. Sikapnya ini jelas sekali hendak membalas, seakan kelihatan memandang rendah kepada Bu-tong-pai.

Beng Tek Cu tentu saja merasai ini. Mukanya sudah merah, hatinya sudah panas, akan tetapi oleh karena tiada alasan, maka dia pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ketegangan antara dua orang ini makin terasa, dan semua orang tahu bahwa apa bila ada sedikit saja dasar dan alasannya, tentu kedua orang ini akan saling tantang.

Pada saat itu, ketegangan yang ditimbulkan oleh tokoh Bu-eng-pai dan Bu-tong-pai ini seketika lenyap dengan masuknya seorang gadis berpakaian serba hijau yang cantik dan gagah. Dara ini masih remaja sekali, memakai pakaian serba hijau yang amat sederhana potongannya tetapi ringkas. Gagang pedang tersembul di balik punggungnya.

Dia memasuki ruangan itu seorang diri saja dan inilah yang menarik perhatian orang, terutama sekali perhatian para tamu muda. Tanpa menoleh ke kanan kiri gadis itu segera menghampiri Lian Bu Tojin dan memberi hormat dengan sopan.

"Totiang yang mulia, teecu mewakili suhu Swi Lek Hosiang mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai dan menyampaikan tanda mata ini."

Ternyata gadis itu membawa barang sumbangan berupa sebuah mainan burung dara yang terbuat dari perak dan diukir indah sekali, bermata kumala.

Lian Bu Tojin tersenyum lebar, nampak gembira sekali dan menerima benda sumbangan itu. "Ha-ha-ha, benar-benar pinto yang sudah tua ini menerima penghormatan besar yang sangat membanggakan hati. Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang sampai sudi mengingat hari ulang tahun Hoa-san-pai, benar-benar menggirangkan sekali. Terima kasih, anak yang baik. Berbahagialah Swi Lek Hosiang mempunyai murid seperti engkau. Hong Hong dan Bwee-ji, ajak nona ini duduk bersama."

Sebagai murid Swi Lek Hosiang, kiranya sudah sepantasnya kalau nona ini diberi tempat duduk pada bagian tamu kehormatan. Tetapi Lian Bu Tojin melihat betapa tak pantasnya kalau nona muda jelita ini harus duduk dalam satu ruangan dengan orang-orang laki-laki, terutama di situ terdapat Giam Kin.

Oleh karena inilah maka dia sengaja menyuruh Kwa Hong dan Thio Bwee mengajak nona itu duduk bersama. Dengan demikian dia dapat menjaga nama besar Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, dan di samping itu dapat pula menjaga nona muda ini dari pandang mata atau ucapan yang kasar dan mengandung kekurang ajaran. Diam-diam kakek ini sudah dapat menilai watak dari orang muda semacam Giam Kin.

Kwa Hong dan Thio Bwee sudah pernah mendengar nama besar Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, maka sekarang bertemu dengan muridnya yang begini cantik dan sebaya dengan mereka, tentu saja mereka dapat menerimanya dengan girang dan sebentar saja tiga orang nona ini bercakap-cakap dengan ramah dan akrab. Hanya menjadi keheranan hati dua orang nona Hoa-san-pai itu ketika melihat betapa nona berbaju hijau ini sering kali memandang ke arah para tamu. Sinar matanya menyambar-nyambar penuh selidik, seakan-akan dia sedang mencari seseorang di antara para tamu.

Mendadak terdengar teriakan tosu penjaga pintu gerbang depan.

“Pek Gan Siansu dari Kun-lun-pai datang...!"

Serentak suara berisik dari para tamu terhenti. Muka-muka menjadi tegang, mata menatap keluar penuh perhatian, dada berdebar-debar. Terutama sekali murid-murid Hoa-san-pai, mereka siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka mengira bahwa tentu Pek Gan Siansu, ketua Kun-lun-pai ini datang dengan membawa banyak anak muridnya dari Kun-lun-pai.

Akan tetapi mereka semua itu kecele ketika melihat bahwa yang muncul hanya seorang kakek tua sekali, usianya hampir delapan puluh tahun, jenggotnya putih panjang sampai ke perut, sepasang matanya juga kelihatan putihnya saja seperti mata yang sudah lamur. Tubuhnya tinggi kurus, mulutnya tersungging senyuman ramah dan tenang, dan tangan kanannya membawa sebatang tongkat bambu yang panjang.

Di belakangnya, sambil menundukkah mukanya, berjalan seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, bermuka tampan gagah. Usia pemuda ini takkan lebih dari dua puluh empat tahun. la berjalan di belakang kakek itu membawa sebatang pedang yang diletakkan di atas kedua lengannya yang ditelentangkan, seperti orang membawa baki. Pada pinggangnya sendiri tergantung pula sebatang pedang.

Dapat diduga bahwa pedang yang dibawanya itu tentulah pedang pusaka Kun-lun-pai, dan agaknya kakek tua itu sudah menyuruh pemuda ini sebagai tukang membawanya.

Dengan sikap yang amat manis, Pek Gan Siansu berjalan memasuki ruangan itu. Dia mengangguk ke kanan kiri kepada tokoh-tokoh yang dia kenal, kemudian dengan langkah halus dia terus masuk menghampiri Lian Bu Tojin yang siang-siang sudah berdiri dari tempat duduknya, berdiri tegak menyambut, sikapnya halus wajahnya berseri ramah akan tetapi sepasang matanya memandang penuh keangkeran seorang ketua partai besar.

"Pek Gan Siansu, selamat datang di Hoa-san-pai. Kedatanganmu ini benar-benar sangat melegakan hati pinto," kata Lian Bu Tojin sambil mengangkat kedua tangan ke dada dan membungkuk.

"Ahh, kau baik sekali, Lian Bu toyu," berkata kakek tua itu sambil tersenyum dan balas memberi hormat. "Tidak hanya engkau, aku pun merasa lapang dadaku dapat bertemu muka dengan ketua Hoa-san-pai. Lebih dulu perkenankanlah aku mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai."

"Terima kasih... terima kasih... dan silakan duduk, Siansu. Silakan duduk dan pengiringmu itu juga. Dan suruhlah anak-anak muridmu masuk semua, pinto persilakan mereka duduk dan menerima jamuan sederhana dan seadanya dari Hoa-san-pai."

Akan tetapi, meski pun masih tersenyum-senyum kakek Kun-lun-pai itu tidak mau duduk, tetap berdiri di situ. Pemuda yang gagah tampan tadi masih berdiri pula di belakangnya, tunduk membawa pedang pusaka.

"Terima kasih, Lian Bu toyu. Aku datang hanya dengan muridku yang paling muda ini. Aku datang tidak membawa maksud buruk, mengapa aku harus datang membawa anak-anak Kun-lun-pai? Lian Bu toyu, sudah terlalu lama kau dan aku diam saja melihat kebodohan anak-anak kita. Kurasa sekaranglah saatnya kita harus bertindak.”

Kembali suasana menjadi tegang. Orang-orang diam tak bergerak, tak bersuara. Semua perhatian dicurahkan kepada dua orang kakek tua yang kini berdiri saling berhadapan itu. Lian Bu Tojin masih tersenyum, akan tetapi keningnya bergerak-gerak.

"Pek Gan Siansu, tindakan apa gerangan yang hendak kau lakukan?"

Pek Gan Siansu menoleh ke kanan kiri, jenggotnya yang panjang itu bergerak-gerak.

"Toyu (sahabat dalam To), lajimnya urusan seperti yang hendak kubicarakan ini dilakukan di dalam sebuah kamar tertutup atau di lingkungan keluarga saja. Akan tetapi melihat keadaan kedua partai kita yang selama ini telah terjadi kesalah pahaman dan bentrokan-bentrokan, maka kurasa malah ada baiknya kalau pembicaraan ini disaksikan oleh para orang gagah yang hadir di sini. Justru memerlukan saksi-saksi inilah maka aku sengaja memilih hari baik ini."

"Katakanlah maksudmu, tentu pinto akan mendengarkan dengan penuh perhatian," Lian Bu Tojin berkata ketika melihat kakek tua itu berhenti sejenak.

Pek Gan Siansu menarik napas panjang. "Lian Bu toyu, berpuluh tahun kau dan aku menjadi sahabat karib sampai-sampai dahulu kita pernah mempererat hubungan dengan menjodohkan murid-murid kita satu dengan yang lain."

"Celakanya, justru perjodohan itulah yang menyebabkan semua keributan," Lian Bu Tojin mencela sambil menarik napas panjang penuh penyesalan.

"Segala sesuatu memang sudah ditentukan oleh Thian Yang Maha Kuasa," Pek Gan Siansu menghibur. "Akan tetapi bagi orang-orang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan seperti kita ini, kiranya mengingatkan hal-hal lama bukanlah perbuatan yang benar. Lebih baik kita memandang ke depan dari pada menengok ke belakang. Tidakkah kau pikir demikian juga, Toyu?”

Tiba-tiba tosu penjaga di pintu gerbang berkata keras.

"Souw-kongcu (tuan muda Souw) dan Tan-kongcu datang...!”

Lian Bu Tojin mengangkat muka memandang, juga semua tamu. Yang masuk adalah dua orang laki-laki muda yang berpakaian indah dan bersikap gagah. Seorang di antaranya adalah Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang pernah menggoda Liem Sian Hwa dahulu, kemudian menculik Thio Bwee dan Kwa Hong, kemudian dapat membujuk Lian Bu Tojin memberikan janjinya untuk tidak membantu pemberontak Pek-lian-pai.

Hal ini telah dituturkan di bagian depan, yaitu terjadi hampir sepuluh tahun yang lalu. Biar pun semenjak itu tidak ada lagi hubungan antara Hoa-san-pai dengan Pangeran Mongol ini, akan tetapi tidak mengherankan apa bila Souw Kian Bi datang pula untuk menghadiri perayaan Hoa-san-pai.

Melihat orang yang dulu pernah menculiknya, Kwa Hong dan Thio Bwee menjadi merah mukanya, mereka marah sekali. Juga Liem Sian Hwa memandang dengan sinar mata penuh kebencian.

Begitu masuk, Souw Kian Bi segera menujukan pandang matanya ke dalam, ke arah wanita-wanita cantik itu. Mulutnya terus tersenyum-senyum dan matanya liar memandang. Tiba-tiba dia melihat gadis baju hijau yang duduk bersama Kwa Hong dan Thio Bwee, dia nampak kaget lalu berseru gembira.

"Heeeee... Nona Thio Eng! Kau di sini juga...?"

Bagi orang-orang Hoa-san-pai, bukan hal aneh kalau Souw Kian Bi mengenal nona baju hijau yang sekarang baru mereka ketahui bernama Thio Eng itu. Bukankah dahulu juga Souw Kian Bi berada di markas Mongol bersama dengan Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang guru nona itu?

Thio Eng, nona baju hijau yang pernah kita kenal ketika ia bertemu dengan Beng San dan mengaku bernama Eng, hanya mengangguk kaku ke arah Souw Kian Bi dan berkata, "Aku mewakili suhu."

"Ah, suhumu di mana sekarang? Bertahun-tahun hwesio tua itu tidak pernah muncul. Dan kau... hemmm, sudah besar sekarang dan... cantik..."

Terdengar suara orang tertawa di sana-sini dan Souw Kian Bi menjadi merah mukanya, sadar dia bahwa di depan banyak orang itu dia telah bersikap terlalu bebas dan mungkin agak ceriwis! Cepat-cepat dia menarik tangan temannya untuk diajak menghampiri Lian Bu Tojin, menjura dan menghaturkan selamat.

Lian Bu Tojin mengucapkan terima kasih, lalu Kwa Tin Siong yang mempersilakan dua orang muda itu mengambil tempat duduk. Karena maklum bahwa seakan-akan Souw Kian Bi mewakili Pemerintah Mongol, maka Kwa Tin Siong memberinya tempat duduk yang selayaknya, yaitu di dekat ruangan tamu kehormatan.

Kwa Hong duduk di bangkunya dengan bengong. Sepasang matanya tiada henti menatap wajah pemuda yang menjadi teman Souw Kian Bi. Orang itu benar-benar mirip Beng San, pikirnya terheran-heran.

Ingin ia bicarakan hal ini dengan Thio Bwee, akan tetapi ia melihat Thio Bwee memeluk lengan gadis baju hijau sambil berkata.

"Ehhh, Cici Eng yang baik, ternyata kita masih satu keturunan! Jadi kau juga bernama keturunan Thio?"

Akan tetapi gadis berbaju hijau itu, Thio Eng, tidak menyambut sikap Thio Bwee dengan gembira, sebaliknya ia hanya menundukkan muka dan mengerutkan kening.

"Enci Eng, siapakah ayahmu...?” Thio Bwee dalam kegembiraannya mendesak.

"Ayah... ayah sudah meninggal dunia, juga ibu, aku yatim piatu."

Thio Bwee terharu dan memeluk pinggang gadis itu. "Ah, kasihan kau, Enci Eng. Ayahku juga sudah meninggal dunia, tapi ibuku masih ada, di Gi-nam...”

Kwa Hong yang tak jadi mengajak Thio Bwee bicara tentang orang muda teman Souw Kian Bi yang ia anggap mirip Beng San, segera memutar leher mencari-cari Beng San dengan matanya. Tapi ke mana pun ia mencari dengan pandang matanya, di situ tidak kelihatan adanya Beng San.

Ke manakah perginya pemuda ini? Memang Beng San pergi bersembunyi! Pemuda ini mengalami hal-hal yang mengguncangkan hatinya. Pertama-tama melihat munculnya Thio Eng yang dia kenal sebagai nona Eng berperahu, dia sudah cepat menyingkirkan diri agar jangan terlihat oleh nona itu. Pengalamannya dengan Thio Eng membuat dia terharu dan juga merasa malu untuk bertemu muka di tempat umum seperti itu.

Kemudian munculnya Pek Gan Siansu dengan seorang pemuda yang membawa pedang pusaka, membuat hatinya cukup merasakan ketegangan hebat. Inilah tugasnya dan inilah sebabnya mengapa dia datang ke tempat ini. la harus menjaga agar Hoa-san-pai jangan sampai bentrok lebih hebat dengan Kun-lun-pai, dan ini pula sebabnya kenapa pemimpin para pemberontak, Ciu Goan Ciang, menitipkan dua pucuk surat untuk masing-masing ketua partai, untuk mendamaikan.

Sekarang kedua orang ketua itu telah saling berhadapan, kata-kata mereka sudah mulai menyinggung-nyinggung persoalan. Beng San biar pun menyembunyikan diri di belakang orang-orang lain, dia memasang telinga mendengarkan penuh perhatian dan siap untuk bertindak sebagai penengah apa bila keadaan menjadi panas. Kemudian muncullah Souw Kian Bi itu.

Hatinya ikut panas melihat Souw Kian Bi yang sudah pernah dikenalnya, dan melihat sikap yang kurang ajar dari laki-laki ceriwis dan mata keranjang ini. Akan tetapi segera jantungnya serasa berhenti berdetak ketika dia melihat orang muda yang menjadi teman Souw Kian Bi. la menggosok-gosok kedua matanya dan wajahnya perlahan-lahan menjadi pucat dan tentu akan berubah hijau sekali kalau saja dia tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan hawa yang menjalar ke mukanya.

"Ya Tuhan...," bisiknya dalam batin.

Tak salahkah ingatannya! Itulah wajah Kui-ko (kakak Kui), wajah Tan Beng Kui kakaknya, kakak kandungnya...! Dan tadi tosu penyambut juga meneriakkan nama Tan-kongcu untuk orang itu. Betulkah? Beng San menjadi pusing.

Wajah kakaknya ini sering kali terbayang di otaknya semenjak dia dilemparkan ke sungai oleh Song-bun-kwi dahulu itu. Meski pun dia mengenal wajah kakaknya ketika dia masih kecil, namun wajah orang muda yang sekarang duduk dengan anteng di kursi itu tak salah lagi. Tetapi benarkah? Bagaimana kalau dia keliru? Bukan tidak mungkin ada orang lain ber-she Tan yang wajahnya ada persamaan dengan wajah kakaknya!

Setelah gangguan kecil ini mereda, yaitu kedatangan Souw Kian Bi bersama temannya, perhatian semua orang dialihkan kembali pada dua orang ketua yang masih berdiri saling berhadapan itu. Memang Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin masih berdiri di tempat tadi.

Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa juga masih berdiri di belakang suhu-nya, sedangkan pemuda yang oleh Pek Gan Siansu diaku sebagai muridnya termuda, juga masih berdiri di situ tak bergerak seperti patung. Wajah yang tampan dari pemuda tinggi tegap ini malah agak pucat, matanya redup.

Agaknya Souw Kian Bi segera dapat merasakan ketegangan suasana ini, maka dia pun tidak banyak tingkah lagi dan segera menujukan perhatiannya ke dalam.

Pek Gan Siansu mulai membuka mulut. "Lian Bu toyu, seperti kukatakan tadi, segala apa di dunia ini, betapa pun hebat manusia berusaha, keputusannya diambil oleh Thian Yang Maha Kuasa. Buktinya, kau dan aku dua orang tua telah berusaha untuk kebaikan, untuk eratnya hubungan antara kita dengan jalan menjodohkan murid-murid kita. Akan tetapi apa dayanya, agaknya Thian menghendaki lain. Betapa pun juga, kita jangan habis daya upaya, sahabatku. Oleh karena itu, kedatanganku ini selain memberi selamat atas ulang tahun Hoa-san-pai, juga ingin aku mengajukan sebuah usul baik kepadamu demi untuk meredakan suasana panas dan sekalian untuk menyambung kembali persahabatan yang hampir diputus oleh sepak terjang anak-anak murid kita." Pek Gan Siansu berhenti dan mengambil napas panjang.

Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. "Ucapan-ucapanmu dapat pinto terima. Akan tetapi tentang usul yang hendak kau ajukan itu, hemmm... baiklah kita lihat-lihat dulu. Usul apakah gerangan itu, Siansu?"

Kakek Kun-lun-pai itu menengok ke arah pemuda yang membawa pedang pusaka, lalu dia tersenyum berkata, "Lian Bu totiang, pemuda ini adalah muridku yang termuda, dia ini adalah anak tunggal dari mendiang muridku Bun Si Teng...," kembali ia berhenti sebentar untuk mengumpulkan tenaga mengusir ingatan bahwa Bun Si Teng muridnya itu tewas di tempat ini. "Dia ini adalah ahli warisku satu-satunya dan dia pula yang kuserahi pedang pusaka Kun-lun-pai, kelak akan menggantikan kedudukanku. Muridku yang termuda ini bernama Bun Lim Kwi, berusia dua puluh dua tahun. Lian Bu totiang, jika kau masih suka melihat mukaku, masih suka mengingat perhubungan lama dan masih ada niat baik untuk menyambung kembali tali persahabatan, aku datang untuk mengusulkan kepadamu agar diadakan pengikatan jodoh antara muridku ini dengan seorang di antara cucu muridmu perempuan." Setelah berkata demikian, Pek Gan Siansu menengok ke arah Thio Bwee dan Kwa Hong yang seketika menjadi pucat.

Hening di tempat itu. Semua orang memandang dengan hati tegang. Hebat sekali usul ini, sekaligus ketua Kun-lun-pai itu seperti orang takluk dan menyerah kalah, mengulurkan jalan perdamaian.

Muka pemuda itu, Bun Lim Kwi, juga pucat sekali dan perlahan-lahan dua titik air mata mengalir keluar dari kedua matanya yang dia meramkan. Memang hebat usul dari gurunya ini.

Bayangkan saja, Bun Lim Kwi adalah putera tunggal Bun Si Teng yang dahulu tewas di Hoa-san-pai dalam pertandingan melawan Hoa-san Sie-eng! Dan dia, putera tunggalnya, kini hendak dijodohkan dengan anak dari pembunuh ayahnya! Kedua tangannya yang memegang pedang pusaka tiba-tiba gemetar.

Semua ini terlihat oleh Beng San dari tempat sembunyinya. la sudah mendekat dan bukan main terharu hatinya. Terngiang dalam telinganya pesan terakhir dari mendiang Bun Si Teng ketika hendak menghembuskan nafas terakhir dahulu. Bagaimana kata-kata terakhir itu?

“... kau berjanjilah bahwa kelak kau akan mengamat-amati putera tunggalku, Bun Lim Kwi..."

Biar pun Beng San tak pernah mengeluarkan ucapan janji itu, akan tetapi di dalam hatinya dia tak pernah melupakan kata-kata terakhir yang merupakan pesan itu. Dan sekarang dia melihat Bun Lim Kwi berdiri di sana, di belakang Pek Gan Siansu sebagai murid kakek itu, sebagai ahli waris tunggal dari Kun-lun-pai! Dan dia melihat Bun Lim Kwi hendak dijadikan alat pendamai antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai.

la merasakan betapa hebatnya keperihan hati pemuda tinggi tegap itu, disuruh mengawini anak musuh besar yang telah membunuh ayahnya. Dan diam-diam simpati di hati Beng San tercurah kepada pemuda tinggi besar itu, perasaan kasihan dan juga kagum. la melihat Bun Lim Kwi sebagai seorang pemuda yang amat berbakti kepada guru, seorang pemuda yang baik dan juga dapat menahan hati. Terharulah dia melihat dua butir air mata yang mengalir turun dari sepasang mata Bun Lim Kwi.

Wajah Lian Bu Tojin juga berubah Nampaknya kakek ini bimbang sekali, terpukul dan bingung oleh usul yang tidak tersangka-sangka dari Pek Gan Siansu itu. Sampai lama kakek ini hanya memandang pada Pek Gan Siansu yang masih berdiri tegak memegangi tongkat bambunya. Kemudian memandang pada Bun Lim Kwi yang masih tunduk sambil memegangi pedang pusaka. Terharu juga hati Lian Bu Tojin.

Terang bahwa biar pun hatinya hancur, pemuda Kun-lun-pai itu tunduk akan keputusan gurunya, seorang murid yang baik dan patuh. Akhirnya ketua Hoa-san-pai ini menengok ke arah murid-muridnya, kemudian setelah melihat pandang mata keras bercahaya dari mata Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, dia berkata kepada Pek Gan Siansu.

"Hebat sekali usulmu itu, Siansu. Benar-benar pinto tidak pernah menyangkanya bahwa usaha untuk jalan damai yang kau adakan sampai demikian jauhnya. Untuk maksud baik itu saja pinto sudah wajib menghaturkan terima kasih kepadamu. Akan tetapi, urusan yang kau usulkan ini bukanlah urusan kecil, dan sungguh pinto merasa ragu-ragu dan bahkan tidak berani memutuskannya. Ada banyak sahabat yang duduk menjadi saksi di sini, dan kiranya sudah sepatutnya kalau kita minta nasihat dan pertimbangan mereka. Akan tetapi tentu saja lebih dahulu aku harus minta pendapat kedua orang muridku, karena mereka adalah orang-orang yang secara langsung tersangkut dalam urusan pertentangan dengan pihakmu."

"Baiklah, Lian Bu toyu, kau bicarakanlah urusan ini, aku masih sabar menanti."

Kakek itu lalu melangkah mundur dua langkah dan berdiri bersandar pada tongkatnya. Bun Lim Kwi juga melangkah mundur dan menggunakan kesempatan ini untuk mengusap dua titik air mata dari pipinya dengan ujung lengan bajunya.

"Tin Siong, Sian Hwa, bagaimana pendapat kalian?" Lian Bu Tojin bertanya kepada dua orang muridnya dengan suara nyaring. Memang kakek ini sengaja hendak merundingkan usul ini secara terbuka sehingga banyak saksi akan melihat bahwa Hoa-san-pai tidak sekali-kali mempunyai maksud buruk.

"Suhu, teecu dalam urusan besar ini hanya menyerahkan segala keputusan kepada Suhu. Hanya teecu mengharap kelonggaran Suhu agar mengingat bahwa Hong-ji sudah teecu rencanakan mengenai calon suaminya." Dengan ucapan ini secara halus Kwa Tin Siong tidak menyetujui kalau puteri tunggalnya yang akan dijadikan pengikat antara dua partai itu dan menjadi jodoh putera Bun Si Teng!

"Suhu, teecu rasa amat tidak baik kalau mengulang kembali urusan busuk yang pernah menjadi sebab penghinaan terhadap Hoa-san-pai kita. Apakah kita tidak kapok setelah apa yang terjadi dengan diri teecu? Orang Kun-lun-pai tak dapat dipercaya. Siapa tahu kalau-kalau urusan perjodohan nanti hanya akan menghancurkan penghidupan seorang murid lain dari Hoa-san-pai seperti yang telah teecu derita?" Sampai di sini tak tertahan lagi air mata bercucuran dari mata Liem Sian Hwa.

Lian Bu Tojin menarik napas panjang. “Pek Gan Siansu, kau lihatlah, pinto tidak dapat memutuskan usulmu itu begitu saja, pinto harus mendengarkan keterangan pihak lain." la menoleh ke arah Beng Tek Cu, "Beng Tek Cu toyu, kau sebagai sahabat baikku, coba kau keluarkan pendapatmu tentang usul pihak Kun-lun-pai agar hati pinto tidak bimbang ragu."

Beng Tek Cu, tosu tokoh Bu-tong-pai yang tinggi besar dan jujur ini segera bangkit berdiri lalu terdengar suaranya yang keras dan parau.

"Pinto adalah orang luar, akan tetapi karena Lian Bu toyu sudah menaruh penghargaan terhadap pendapat pinto, baiklah pinto mengeluarkan pendapat secara jujur dengan terus terang. Terserah kalau ada pihak yang tidak setuju pendapat pinto ini, pokoknya bagi pinto, pendapat ini keluar dari hati yang jujur dan tidak berat sebelah." Sampai di sini tosu tinggi besar ini melirik ke arah Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio.

"Beng Tek Cu toyu, teruskanlah," Lian Bu Tojin mendesak.

“Pinto yang sudah mendengar seluruhnya tentang persoalan Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai dari Lian Bu toyu, dapat menarik kesimpulan bahwa segala pokok pangkal persoalannya ini yang menjadi biang keladinya adalah Kwee Sin. Sudah jelas bahwa dia bersekongkol dengan pihak Ngo-lian-kauw mengadakan kerusuhan, membunuh orang tua Liem-lihiap dan karenanya dia menyeret Kun-lun-pai dalam permusuhan dengan pihak Hoa-san-pai. Karena dia pulalah maka dua orang saudara Bun dari Kun-lun-pai sampai tewas dalam pertandingan di Hoa-san, dan kemudian permusuhan menjadi berlarut-larut."

"Pertandingan apa?" tiba-tiba Liu Ta, jago Khong-tong-pai berdiri dan mencela, suaranya tinggi kecil tidak sesuai dengan tubuhnya yang pendek gemuk. "Kedua Bun-enghiong itu datang berdua saja, mengantarkan sute mereka Kwee Sin naik ke puncak. Naik berdua saja berarti mempunyai maksud baik, akan tetapi tahu-tahu mereka terbunuh di sini. Aku heran, kalau tidak dikeroyok mana bisa dua orang gagah she Bun itu tewas?"

"Liu-sicu," Lian Bu Tojin menegur, mendahului Beng Tek Cu yang sudah memandang dengan mata melotot. "Pinto harap Liu-sicu sudi bersabar. Tentu saja sebagai tamu dan saksi, Sicu berhak mengukirkan pendapat, akan tetapi tunggulah saat dan giliran."

Ucapan Lian Bu Tojin penuh kehalusan, akan tetapi di dalam kehalusan ini tersembunyi celaan dan kekerasan. Semua ini dilakukan oleh ketua Hoa-san-pai, selain untuk menjaga keangkeran partainya, juga untuk mencegah terjadinya bentrokan antara Beng Tek Cu dan Liu Ta.


BERSAMBUNG KE Raja Pedang Jilid 18


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.