CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJAWALI EMAS JILID 05
Maka ia mengambil jalan ini dan mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaian ginkang-nya untuk berlari cepat, tanpa mempedulikan tubuhnya yang amat lelah dan darah segar yang mengucur keluar lagi dari luka di pundaknya karena gerakan-gerakannya ini.
Usaha mati-matian ini ternyata tidak sia-sia. Menjelang pagi dia sudah mendengar suara kaki kuda di sebelah depan, mulai memasuki hutan terakhir dalam perjalanan jauh ke kota raja itu. Hatinya masih ragu-ragu. Benarkah suara kaki kuda itu berasal dari kuda yang ditunggangi oleh Beng Kui?
Tiba-tiba semangatnya bangkit ketika lapat-lapat ia mendengar jeritan.
"Beng San...!!"
Beng San mempercepat larinya dan tak lama kemudian benar saja dia melihat Beng Kui membalapkan kudanya sambil memangku Li Cu yang masih tak berdaya karena kaki dan tangannya terbelenggu. Sambil meringankan langkah kakinya sehingga suara larinya tidak terdengar, Beng San makin mendekati dan akhirnya ia mendengar suara Beng Kui yang sedang mentertawakan, bahkan menghina.
"Li Cu, kau sekarang tergila-gila kepada Beng San? Heh-heh, benar-benar lucu. Tadinya kau marah-marah melihat aku kawin dengan puteri Raja Muda Lu dengan dasar politik, karena kelak aku ingin merebut kedudukan tinggi. Tapi cintaku masih kepada dirimu, Li Cu. Kalau kelak aku menjadi kaisar, atau setidaknya menjadi raja muda, apa salahnya kalau aku beristeri dua? Kau tetap akan menjadi isteriku yang tercinta. Kenapa kau tidak sabar dan tidak mau mengerti, lalu marah-marah? Kenapa kau sekarang malah kelihatan lebih mencinta adikku yang gila itu?"
"Dia seribu kali lebih baik dari padamu, kau laki-laki palsu, kau pengkhianat. Awas kau, Ayah pasti akan membalaskan sakit hatiku!" Li Cu berteriak-teriak.
Beng Kui tertawa mengejek, "Kau bilang Beng San lebih baik dari padaku? Ha-ha-ha, Li Cu, kau tidak mengerti. Dia adalah seorang iblis perusak wanita. Tak tahukah kau betapa murid Hoa-san-pai yang bernama Kwa Hong itu sudah dirusaknya, lantas ditinggalkannya pergi, malah dia menikah dengan anak seorang penjahat yang terkenal Song-bun-kwi? Tentang ayahmu... hemm, suhu tentu akan memaklumi pendirianku..."
Mendadak suaranya berhenti karena pada saat itu kuda yang ditungganginya terjungkal sehingga dua orang itu terlempar dari atas punggung kuda! Beng Kui terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil mencabut sepasang pedangnya, membalikkan tubuh dan dia sudah berhadapan dengan Beng San!
"Kau lagi...?! Seperti iblis saja kau, mengapa selalu mengikuti aku?" Beng Kui berteriak marah.
Beng San tersenyum mengejek. "Bukan aku yang mengikuti kau, tapi kejahatanmu yang memaksa aku datang. Tidak boleh kau menculik seorang gadis, biar pun dia itu sumoi-mu sendiri." Sambil berkata demikian, Beng San lalu melangkahkan kaki menghampiri Li Cu yang rebah di atas tanah.
Pada saat terjatuh dari punggung kuda tadi, gadis ini masih dalam keadaan terbelenggu, maka jatuhnya lebih parah sehingga pakaiannya sampai robek-robek. Ia kini benar-benar dalam keadaan setengah pingsan, akan tetapi masih cukup sadar untuk bisa menangkap percakapan antara kakak beradik itu.
Selagi Beng San melangkah menghampiri Li Cu, Beng Kui yang sudah tak kuat menahan kemarahannya itu serentak menerjang dari belakang, menggerakkan sepasang pedang Liong-cu-kiam secepat kilat.
"Awas... Beng San... belakang...!" Li Cu yang melihat ini menjerit.
Akan tetapi gerakan Beng San bahkan mendahului jeritannya, karena pemuda ini sudah membalik, kedua tangannya bergerak, kakinya bergeser dengan langkah-langkah aneh. Secara otomatis tubuhnya menyelinap di antara sambaran dua pedang, tahu-tahu kedua tangannya sudah ‘memasuki’ ruang kosong di celah-celah kilatan pedang dan mendorong ke arah sepasang pundak lawan.
Terdengar Beng Kui mengeluh sebelum tangan Beng San sempat menyentuh pundaknya, sepasang pedangnya hampir terlepas dan di lain saat kedua pedang itu sudah berpindah ke tangan Beng San! Bukan main hebatnya gerakan ini dan dari kedua tangan Beng San itu samar-samar tampak mengebulnya uap putih.
Inilah sebuah gerakan dari ilmu silat mukjijat yang dahulu di jamannya Pendekar Sakti Bu Pun Su disebut Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih)! Karena kemahirannya dalam Im-yang Sin-kun, otomatis Beng San dapat mewarisi sebuah gerakan dari ilmu itu dan ternyata hasilnya hebat luar biasa.
Beng Kui memandang dengan muka pucat dan mata melotot. Beng San untuk sesaat juga memandang dengan muka marah dan mata berkilat, tetapi dia lalu menyerahkan pedang yang panjang itu kembali sambil berkata, "Aku sudah berjanji meminjamkan Liong-cu-kiam sepasang ini kepada kau dan Nona Cia Li Cu selama tiga tahun. Janji itu tetap berlaku. Tiga tahun setelah janjiku aku pasti akan mengambil kembali Liong-cu-kiam jantan ini dari
tanganmu."
Masih tertegun oleh kehebatan adik kandungnya yang secara mukjijat mampu merampas sepasang pedangnya, Beng Kui mengeluarkan tangan dan menerima pedangnya kembali. Kemudian setelah memandang, dengan mata melotot beberapa saat lamanya, ia menoleh ke arah Li Cu sejenak lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Beng San menarik napas panjang dan menghampiri Li Cu. Sekali pedang Liong-cu-kiam pendek itu bergerak di tangannya, nampak kilat menyambar dan sekaligus belenggu yang mengikat kaki dan tangan Li Cu putus semua tanpa terasa sedikit pun oleh gadis itu.
Li Cu meloncat bangun, mengeluh dan terhuyung-huyung ke belakang. Baiknya Beng San cepat mengejarnya dan menyambar pundaknya. Alangkah kagetnya pemuda ini pada saat melihat Li Cu sudah meramkan mata, tak ingat orang lagi, pingsan dalam pelukannya.
Beng San bingung. Ia pun meraba pergelangan lengan gadis itu dan maklumlah ia bahwa gadis ini tidak apa-apa. Hanya karena sudah banyak mengalami ketegangan, kemarahan dan kekuatiran, ditambah lagi tadi terlalu lama ia tertotok dan terbelenggu, maka begitu ia dibebaskan, di dalam batin dan pikirannya terjadi pukulan yang tak kuat ia menahannya sehingga membuatnya pingsan.
Terpaksa Beng San memondong dan membawanya lari keluar dari hutan itu. Dia merasa kuatir kalau-kalau Beng Kui tiba-tiba datang bersama kawan-kawannya. Akan payah juga kalau dia kembali dikeroyok orang-orang pandai sementara Li Cu masih pingsan. Lebih baik cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Belum juga dia berlari, dia melihat kuda yang tadi ditunggangi Beng Kui, sekarang sudah sembuh dan sedang makan rumput. Memang tadi ketika merobohkan kuda itu, Beng San tidak mempergunakan serangan mematikan, melainkan menotok dengan lemparan kerikil ke arah lutut kuda sehingga kuda itu terjungkal saja.
Dengan girang kini Beng San menghampiri kuda yang masih lengkap dengan pelana dan kendali itu, lalu ia melompat ke atasnya sambil merangkul Li Cu. Dengan perlahan ia lalu menjalankan kudanya ke arah utara.
Matahari telah naik tinggi ketika kuda yang ditunggangi Beng San sampai di tepi Sungai Huang-ho sebelah barat. Beng San membelokkan kudanya ke barat, menyusur sepanjang pantai sungai memasuki sebuah hutan yang segar kehijauan dan teduh.
Hari itu panasnya bukan kepalang. Walau pun tidak dibalapkan, kudanya sudah berpeluh dan napasnya terengah-engah. Beng San merasa kasihan dan menghentikan kuda itu di bawah sebatang pohon besar di mana air Sungai Huang-ho tampak indah kehijauan.
Li Cu baru saja siuman dari pingsan. Gadis ini merasa kepalanya pening sekali, matanya berputar-putar. Dia mulai membuka sedikit kedua matanya, lalu memejamkannya kembali karena sinar matahari yang menerobos dari celah-celah daun memasuki matanya.
Lalu ia teringat betapa indahnya daun-daun pohon di atas tadi, maka dibukanya kembali matanya. Memang indah! Daun-daun pohon yang kecil dengan bentuk sempurna ditimpa matahari, bersusun-susun menimbulkan warna hijau yang dihias sinar kuning emas dan bayangan kehitaman. Bagai benang-benang sutera kuning emas sinar matahari meluncur turun di antara celah-celah daun, kadang-kadang berubah kedudukan karena daun-daun itu bergerak oleh angin.
Sampai lama Li Cu terpesona dengan keindahan pemandangan yang belum pernah dia perhatikan sebelumnya. Kemudian terasa olehnya pergerakan napas dan bunyi berdetik di pinggir telinganya. Makin lebar matanya dibuka.
Yang mula-mula tampak adalah sebuah hidung dan sebuah mulut dari muka yang putih. Yang paling jelas adalah bentuk dagu yang keras. Ia pun makin mengerahkan perhatian, memandang kepada muka itu. Tahulah ia sekarang bahwa yang berdetik-detik itu adalah bunyi jantung dalam dada di mana ia bersandar. Ia dipangku orang, di atas sebuah pelana kuda! Dan muka itu... muka Beng Kui!
"Bedebah kurang ajar kau!"
Li Cu seketika timbul tenaganya. Kedua tangannya meraih ke atas lalu dipukulkan dua kali ke muka itu, muka yang dibencinya, muka yang dahulu pernah dicintainya. Muka Beng Kui!
Li Cu sudah berhasil memukul. Sambil terus meloncat dia menjatuhkan diri ke pinggir, lalu berjungkir balik dan di lain saat dia sudah berdiri tegak di depan kuda, siap sedia untuk menyerang lagi. Ia melihat orang yang dipukul mukanya tadi meloncat turun, terus duduk di atas akar pohon sambil menutupi mukanya.
Beng San tak dapat mengelak ketika tadi secara mendadak Li Cu memukulnya. Memang dia pun seperti Li Cu, terpesona oleh cahaya matahari yang secara indah menghias hutan itu dengan sinar benang emas, akan tetapi warna kuning emas itu mengingatkan ia akan burung rajawali emas dan sekaligus mengingatkan ia kembali kepada Kwa Hong.
Terngiang di telinganya kata-kata tuduhan Beng Kui bahwa dia sudah merusak kehidupan Kwa Hong. Beng Kui tidak tahu keadaan yang sebenarnya, akan tetapi memang tuduhan itu tak dapat disangkalnya pula. Memang ia telah merusak kehidupan Kwa Hong. Ia telah berdosa besar, besar sekali.
Pada saat itulah Li Cu memaki dan memukul mukanya dua kali, yang pertama mengenai pinggir jidatnya dan yang ke dua mengenai pinggir mulutnya. Darah mengucur dari kedua tempat itu, sakit rasanya. Akan tetapi hati Beng San lebih sakit oleh makian tadi.
Dia dapat menahan pukulan itu, lalu meloncat turun dan menjatuhkan diri duduk di atas akar pohon, menutupi mukanya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir air mata yang berloncatan keluar. Akan tetapi tanpa disengaja kedua tangannya itu pun menyembunyikan jidat dan bibir yang mengucurkan darah.
Setelah kini agak reda peningnya, pandang mata Li Cu makin terang. Dia memandang terbelalak kepada orang yang duduk menutupi muka di bawah pohon itu. Sejenak Li Cu bingung. Ia teringat betul bahwa yang dipukulnya tadi adalah Beng Kui. Tapi orang itu... pakaian itu dan... dan pundak yang terluka itu...!
"Beng San...!” Li Cu menahan jeritnya, tangan kirinya menutupi mulut, lalu ia melangkah maju tiga tindak mendekat.
Beng San menurunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Darah mengucur deras dari luka di jidatnya. Memang bagian tubuh yang teratas ini paling banyak rnengeluarkan darah apa bila terluka. Pandang mata Beng San kabur dan dia melihat seakan-akan Kwa Hong yang berdiri di depannya sekarang ini.
"Kau... kau boleh pukul aku lagi kalau kau suka... bunuh pun boleh...," katanya perlahan.
Meremang bulu tengkuk Li Cu saat melihat muka yang berlumuran darah dan mendengar suara yang tak berirama ini, seperti suara dari balik kubur. Dia merasa menyesal bukan main. Kenapa dia malah memukul Beng San yang telah menolongnya dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut? Timbul penyesalan dan kasihannya.
"Ahhh, jadi kaukah yang kupukul tadi?" tanyanya dengan penuh sesal sambil cepat maju menghampiri.
Setelah dekat barulah Beng San ingat kembali bahwa gadis ini sama sekali bukan Kwa Hong biar pun pakaiannya serba merah, melainkan Cia Li Cu.
"Nona Cia, ini pedangmu... ambil... ambil... ambillah sendiri..." katanya lemah.
Pedang Liong-cu-kiam pendek itu telah ia selipkan di belakang punggungnya.
"Siapa bicara tentang pedang? Mukamu itu... harus diurus dulu," kata Li Cu.
Dengan cepat gadis ini sudah berlutut di depan Beng San, kemudian dengan cekatan ia membersihkan darah dari luka di bibir dan jidat itu.Tanpa ragu-ragu lagi dan sama sekali tidak jijik Li Cu mempergunakan sapu tangannya dari sutera yang harum untuk mengusap darah. Sapu tangan itu sudah penuh darah, dan luka di kening masih terus mengucurkan darah.
"Tunggu sebentar, aku mencari air dulu," kata Li Cu.
Cepat gadis ini lari ke tepi sungai dan mengambil air dengan mempergunakan daun yang lebar. Kemudian ia datang lagi dan dicucinya luka-luka itu. Cekatan sekali ia bekerja tanpa ragu-ragu dan jari-jari tangannya dengan mesra membersihkan luka yang diakibatkan oleh pukulannya sendiri tadi.
"Wah, darahnya mengucur terus. Jidatmu ini harus dibungkus," bisik Li Cu perlahan dan agak bingung karena tidak ada obat penghenti darah di situ.
Dia mencuci sapu tangannya dan mempergunakannya untuk membalut jidat Beng San. Tentu saja untuk pekerjaan ini ia harus mengangkat kedua lengannya dan seakan-akan memeluk kepala Beng San.
Selama itu, jantung Beng San berdebar tidak karuan. Lenyaplah bayangan Kwa Hong yang selama ini mengikutinya dan membuat ia merasa berdosa hebat. Malah bayangan isterinya, Kwee Bi Goat, isterinya yang tercinta yang selama ini dirindukannya, juga tak nampak pada saat itu.
Bukan main cantik jelitanya gadis ini, demikian ia mendengar bisikan-bisikan di belakang telinganya, seakan-akan batang pohon yang dia sandari itulah yang berbisik-bisik. Cantik bagai bidadari.
Mata yang bening redup itu, mulut kecil mungil dengan hidung yang mancung. Rambut yang panjang hitam awut-awutan, kadang-kadang memperlihatkan kulit leher yang putih kekuningan.
Ketika gadis itu membalutkan sapu tangan ke belakang lehernya ia merasa seakan-akan dipeluk dan Beng San meramkan matanya. Ganda sedap mengharum membuat ia seperti mabok dan ketika ia membuka matanya, ternyata pekerjaan gadis itu sudah selesai.
Li Cu masih berlutut di depannya, mukanya sangat dekat, terlalu dekat seakan-akan dia dapat merasai tiupan napas gadis itu. Dua pasang mata bertemu, saling pandang, saling terkam dan sukar terlepas lagi. Mulut Li Cu agak terbuka, matanya redup dan bulu mata yang panjang itu bergerak-gerak.
Bisikan di belakang telinga Beng San semakin mendesak. “Dia cantik bukan main. Dan agaknya suka kepadamu. Hemmm... tunggu apa lagi? Hajar!”
Li Cu menjerit kecil sambil melompat mundur. Hampir berbareng di saat itu juga Beng San sambil duduk membalikkan tubuhnya. Tangan kanannya yang terkepal lantas memukul batang pohon besar di belakangnya.
“Blukkk!”
Saking kerasnya dia menghantam, kepalan tangan itu melesak masuk ke dalam batang pohon sampai ke pergelangan tangannya!
"Ehh... ahh... kenapa...? Kenapa kau memukul pohon...?" Li Cu yang kini sudah berdiri, memandang dengan mata terbelalak terheran-heran.
Beng San perlahan-lahan bangkit berdiri, menarik napas berkali-kali. Dia masih sempat mendengar suara yang berbisik-bisik tadi seperti mentertawakannya dari jauh. Setelah dia mendengarkan betul-betul, itu sebenarnya adalah suara daun-daun pohon tertiup angin. Ia bergidik.
Betapa bahayanya bisikan-bisikan tadi. Bisikan iblis yang setiap saat menggoda manusia. Untung dia dapat mengalahkannya tadi dan biar pun kepalan tangannya terasa sakit, dia merasa lega hatinya. Kini tanpa ragu-ragu ia dapat mengangkat muka memandang wajah Li Cu.
"Beng San... kenapa kau memukul pohon...?" tanyanya sekali lagi.
"Ahh, tidak... tidak apa-apa, Nona."
"Mukamu tadi menakutkan sekali..."
"Bukan salahku. Mukaku memang buruk..."
"Sekarang tidak lagi," buru-buru Li Cu memotong. "Tadi, sedetik sebelum kau memukul pohon. Aku sampai kaget dan menjerit. Beng San, kenapa mukamu bisa berubah-ubah?"
"Sudah nasibku, Nona. Ketika kecil aku dipaksa makan racun. Apakah sekarang mukaku masih menakutkanmu?"
Li Cu memaksa senyum, matanya bersinar-sinar lagi. "Tidak lagi. Sekarang tidak. Hanya tadi sebentar... ahh, membikin aku teringat akan kata-kata Beng Kui tadi. Kau disebut iblis perusak wanita."
"Memang aku iblis... bukan hanya iblis, bahkan kau tadi pun menyebutku bedebah dan kurang ajar... memang demikianlah aku..."
Beng San menunduk dan menarik napas, merasa betapa memang ia tepat sekali disebut demikian setelah apa yang dia akibatkan pada diri Kwa Hong. Dia berdosa kepada Kwa Hong dan lebih-lebih lagi kepada Bi Goat.
"Aku tadi mengira kau Beng Kui, maka aku memaki demikian."
Kembali Beng San menarik napas panjang. "Memang tidak banyak selisihnya, Nona Cia. Kami berdua... ahh, kami bukan orang baik..."
Li Cu memandang dan menjadi terharu. Muka itu kurus benar, tapi kulitnya sekarang putih dan... hemmm, tampan sekali. Apa lagi alis yang berbentuk golok itu, dan sepasang mata yang tajam luar biasa. Rambutnya tidak terpelihara, pakaiannya pun hampir menyerupai pakaian jembel. Memang jika telihat lahirnya saja jauh bedanya dengan Beng Kui yang mentereng dan rapi. Tapi hatinya… jauh nian bedanya.
"Beng San...," katanya setelah mereka berdua tercekam oleh suasana hening.
"Malam tadi di atas genteng, kenapa kau menangis?"
"Apakah aku menangis? Aku sudah lupa...”
"Sebelum kau muncul untuk menolongku, kau menangis. Tangismu memilukan sekali biar pun hanya terdengar sebentar."
"Bisa jadi. Aku menangisi keadaanku, juga keadaan dia yang dulu kuagungkan, kukagumi sebagai kakakku yang mulia dan perkasa. Kiranya dia sama saja dengan aku..."
"Kau kenapa? Kau... kau baik sekali, Beng San." Ucapan ini terdengar lantang dan terus terang.
Ketika Beng San mengangkat muka memandang, kembali dua pasang mata bertemu dan Beng San melihat pandang mata yang jujur dan tahu bahwa pernyataan nona ini keluar dari hatinya. Ia menarik napas.
"Bukan, sayang sekali. Benar seperti yang dikatakan olehnya, aku seorang jahat, perusak hati wanita, aku seorang penuh dosa..."
“Tak percaya! Aku tidak percaya!" Suara Li Cu makin keras penuh kesungguhan.
Gadis ini diam-diam merasa aneh. Sesuatu yang aneh terjadi dalam dirinya. Meski pun sudah lama sekali ia bertunangan secara resmi dengan Beng Kui, namun hubungannya sama saja dengan hubungan kakak beradik, seorang suheng dan sumoi. Belum pernah jantungnya menggetar, seperti tadi ketika ia membalut kepala Beng San. Malah belum pernah berdekatan seperti tadi dengan Beng San. Apakah artinya semua ini? Dan ia sama sekali tidak mau percaya kalau Beng San seorang jahat, seorang perusak wanita.
Beng San memandang dengan melongo. Tiba-tiba dia merasa jantungnya berdebar keras. Penuh keharuan dan kengerian dia memandang pada wajah jelita itu. Sudah terlalu sering dia melihat wajah gadis-gadis yang mencintanya, terutama sekali wajah Kwa Hong dan isterinya Kwee Bi Goat. Sinar mata dan wajah mereka itu seperti wajah Li Cu sekarang ini, demikian mesra, demikian jelas cinta kasih terbayang pada sepasang mata yang bening itu.
Tak boleh ini! Sekali-kali tidak boleh! Ia tidak mau berlaku sembrono seperti dulu. Dia tak mau melukai hati gadis, apa lagi gadis seperti Li Cu. Dulu sudah banyak gadis-gadis yang hatinya terluka olehnya.
"Nona Cia, aku harus berterus terang kepadamu. Memang aku seorang laki-laki penuh dosa dan apa yang dikatakan suheng-mu tadi, semuanya betul belaka."
Kemudian dengan suara tegas jelas, sama sekali tidak ragu-ragu dengan pengakuannya itu, sebab ia hendak meringankan tekanan dosanya yang menindih isi dada, ia kemudian menceritakan kepada Li Cu telah melakukan perhubungan dengan Kwa Hong, kemudian meninggalkannya karena ia sudah jatuh cinta dengan Kwee Bi Goat dan kemudian ia ikut bersama Bi Goat ke Min-san dan menjadi suami isteri di sana. Diceritakannya pula betapa Kwa Hong menjadi rusak hatinya dan jadi seperti gila, apa lagi setelah ternyata bahwa hubungan mereka itu telah mengakibatkan Kwa Hong mengandung.
"Aku telah berdosa besar kepada Kwa Hong, aku telah merusak hidupnya. Dan aku lebih berdosa lagi kepada isteriku yang belum tahu akan hal itu. Seharusnya dulu aku mengaku di depan Bi Goat, tetapi aku pengecut... aku takut kehilangan dia, jadi aku seakan-akan menipunya. Ahhh, dosaku bertumpuk-tumpuk, Nona Cia. Sudah sepatutnya kalau orang semulia engkau membenciku, menganggap rendah kepadaku seperti yang dikatakan oleh suheng-mu itu..." Demikian Beng San menutup ceritanya.
Li Cu sejak tadi mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka yang sebentar pucat sebentar merah. Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, mendengar akan penuturan Beng San tentang pengalaman dengan beberapa orang gadis cantik ini, dadanya terasa panas dan ingin sekali ia marah-marah! Ingin sekali ia menampar muka Beng San. Tetapi juga ingin sekali ia menangis!
"Kau... kau... laki-laki mata keranjang!" makinya dengan suara serak sambil berdiri dan berlari pergi dari tempat itu.
"Nona Cia...! Ini pedangmu, bawalah...!”
Beng San juga berdiri dan sekali ia meloncat, ia sudah berada di depan Li Cu, pedang pendek Liong-cu-kiam telah ia cabut dan ia angsurkan kepada gadis itu. Herannya bukan main ketika ia melihat muka yang jelita itu basah oleh air mata yang bercucuran.
Li Cu menggunakan tangan kiri mengusapi air matanya. Tanpa mengeluarkan kata-kata dan tanpa memandangi muka Beng San ia menyambar pedang itu lalu berlari pergi lagi. Isaknya terdengar memilukan ketika tubuhnya berkelebat di depan Beng San.
Pemuda ini berdiri bengong memandang ke arah tubuh berpakaian merah yang berlari cepat itu. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan seperti patung dia memandang ke depan sampai bayangan merah itu lenyap ditelan kejauhan.
"Ha-ha-ha-ha, puteri Bu-tek Kiam-ong itu cinta kepadamu, Adikku!” mendadak suara itu terdengar di belakang.
Beng San terkejut sekali, cepat berputar dan dia berhadapan dengan seorang laki-laki bertubuh raksasa yang gagah sekali dan yang berdiri sambil tersenyum lebar dan bertolak pinggang.
"Twako...!" Beng San berseru girang dan maju merangkul laki-laki gagah perkasa itu.
"Ha-ha-ha, Beng San adikku. Di mana-mana kau selalu menghadapi keruwetan dengan wanita. Ahh, kau bikin aku mengiri saja."
"Tan-twako, jangan menggoda aku. Bagaimana keadaanmu? Ke mana saja selama ini kau pergi?" Beng San menjadi gembira kembali sesudah bertemu dengan laki-laki tinggi besar itu.
Siapakah dia? Bukan seorang biasa, melainkan seorang bekas pejuang yang sudah terkenal namanya sebagai pemimpin dari perkumpulan Pek-lian-pai yang banyak jasanya dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan pemerintah Mongol. Namanya adalah Tan Hok dan semenjak dahulu menjadi sahabat baik Beng San, malah Tan Hok menganggap Beng San sebagai adik angkatnya sendiri.
Tan Hok juga seorang gagah yang memiliki ilmu silat tinggi. Sebetulnya yang membuat ia amat dikagumi Beng San bukanlah ilmu silatnya, melainkan jiwa kepatriotannya yang luar biasa besarnya. Dalam hal perjuangan, Tan Hok sama sekali tak bisa disamakan dengan orang seperti Beng Kui yang berjuang karena ada pamrih untuk memetik buah dari hasil perjuangannya itu untuk keperluan dan kesenangan diri pribadi.
Perjuangan yang dilakukan Tan Hok dengan perkumpulan rahasianya adalah perjuangan suci tanpa pamrih. Kalau pun ada pamrih, maka pamrih itu hanya ingin melihat rakyatnya terbebas dari pada belenggu penjajahan. Jadi pamrihnya bukan untuk kepentingan diri pribadi, tetapi demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena inilah setelah pemerintah Mongol tumbang, Tan Hok dan teman-temannya tidak termasuk bekas-bekas pejuang yang ikut gontok-gontokan untuk memperebutkan kedudukan dan kemuliaan di kota raja!
"Tan-twako, kau hendak pergi ke manakah?" Kembali Beng San bertanya, untuk sejenak ia lupa akan penderitaan batin yang sedang mengamuk di hatinya ketika bertemu dengan orang yang amat disayangnya ini.
"San-te (Adik San), sebetulnya tidak sengaja aku dapat bertemu dengan kau di sini. Pagi tadi aku melihat kau naik kuda sambil memangku seorang nona yang tampaknya sakit atau pingsan. Tadinya aku curiga melihat keadaan Nona itu maka aku tidak menegurmu dan diam-diam mengikutimu. Maafkan kecurigaanku ini. Kemudian aku melihat bahwa dia adalah Nona Cia Li Cu puteri Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan." Tan Hok berhenti sebentar, kemudian dengan muka sungguh-sungguh ia berkata lagi, "San-te, sebetulnya pertemuan ini sangat menggembirakan hatiku dan kebetulan sekali. Andai kata kita tidak bertemu di sini, agaknya aku pun akan mencarimu di Min-san untuk minta bantuanmu."
Girang hati Beng San bahwa teman baiknya ini tidak melanjutkan bicaranya tentang Li Cu. Ia sudah merasa malu sekali kalau ada orang berbicara tentang gadis-gadis yang pernah membuat hidupnya kacau-balau. Dengan penuh gairah ia lalu berkata,
"Katakanlah, Twako. Apakah urusan yang mengganggumu? Tentu adikmu ini dengan hati lapang siap sedia membantumu."
"Kalau hanya menghadapi urusan pribadi, mana aku berani mengganggumu, Adik Beng San? Hanya ada satu macam urusan yang memaksaku minta bantuan siapa pun juga."
"Urusan negara?" Beng San menduga. Dia tahu akan watak laki-laki raksasa itu.
Tan Hok mengangguk. "Patriot-patriot palsu itu benar-benar menjemukan. Mereka kini mengacau dan berusaha merampas kedudukan Kaisar Thai Cu, merasa bahwa mereka lebih berhak dari pada bekas pahlawan Giu Goan Ciang. Hemmm, benar-benar tidak ubahnya dengan anjing-anjing yang memperebutkan bangkai srigala yang tadinya mereka keroyok!"
"Aku sudah mendengar juga tentang itu, Twako, bahkan sudah bertemu dengan Ho-hai Sam-ong yang bersekongkol dengan Raja Muda Lu Siauw Ong. Aku mendengar tentang rencana mereka yang akan bergerak dari luar dan dari dalam."
"Bagus!" Tan Hok melompat bangun, lalu duduk kembali di atas akar pohon. "Jadi mereka sudah bersekongkol pula? Kalau begitu lebih mudah untuk sekaligus menghancurkan mereka. Adikku, karena inilah maka aku minta bantuanmu. Aku dan teman-temanku dari Pek-lian-pai sudah siap dan malah Kaisar sudah pula memberi bantuan pasukan untuk menumpas para pemberontak tak tahu malu itu. San-te, dengan kau di sampingku, aku akan merasa kuat untuk menghadapi mereka yang tak boleh dipandang ringan itu. Dan perlu kuberi tahukan kepadamu, yang kau sebut Lu Siauw Ong tadi, dia itu adalah mertua dari kakak kandungmu Tang Beng Kui. Jadi kalau kau membantuku, kau tentu akan berhadapan dengan Tan Beng Kui sebagai musuh!"
Beng San mengangguk. "Hal itu pun aku sudah tahu, Twako." Kemudian secara singkat Beng San menuturkan pertemuannya dengan kakak kandungnya itu di rumah Ho-hai Sam-ong. Hanya soal Li Cu tidak ia ceritakan.
Tan Hok amat senang mendengar ini. "Kalau begitu, mari kau ikut denganku. Kita akan bergerak dari utara, membersihkan pemberontak-pemberontak yang datang dari sana. Ho-hai Sam-ong tidak akan berani sembarangan bergerak kalau komplotan-komplotannya dari utara belum kuat benar membantunya."
"Aku bersedia membantumu, Twako. Hanya saja aku masih belum tahu pasti, belum yakin akan tujuan pergerakanmu sekarang ini. Orang-orang itu saling memperebutkan kedudukan dan semua yang kudengar menyatakan bahwa Kaisar sekarang ini, bekas pemimpin pejuang Ciu Goan Ciang adalah seorang yang tidak adil. Sekarang ternyata kau membantu Kaisar. Apakah menurut pendapatmu Kaisar Thai Cu yang betul dan mereka yang tidak puas itu salah?"
"Adikku Beng San, kau tidak mengerti tentang keadaan negara, memang hal ini tidak aneh karena kau tidak mempedulikannya. Tetapi aku yang selalu mengikuti perkembangannya, dapat melihat dengan nyata. Dengarlah kata-kataku ini, Adikku. Sudah jelas bahwa dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan Mongol, pemimpin besar Ciu Goan Ciang sudah membuktikan bahwa dialah seorang pemimpin yang pandai dan hanya dia yang akan mampu memimpin rakyat dan memajukan negara yang baru saja terbebas dari belenggu penjajahan. Andai kata bukan Ciu Goan Ciang yang dalam perjuangan dapat menyatukan semua unsur kekuatan rakyat, mana perjuangan melawan Mongol bisa tercapai?"
Tan Hok berhenti sebentar untuk meredakan gelora dalam dadanya, lalu disambungnya perlahan dan tenang,
"Bahaya yang mengancam keadaan negara masih belum lenyap. Bangsa Mongol yang melarikan diri ke utara setiap waktu tentu hendak mencoba merampas kembali tanah jajahannya. Belum lagi bangsa-bangsa lainnya yang hendak mengambil keuntungan dari keadaan kacau-balau sehabis perang. Kita semua membutuhkan bimbingan seorang yang kuat lahir batin, sedangkan perjuangan membuktikan bahwa hanya Ciu Goan Ciang yang mempunyai kemampuan untuk tugas berat itu. Pengangkatan dirinya sebagai Kaisar telah disetujui oleh semua pemimpin para pejuang." Kembali ia berhenti.
Akan tetapi Beng San mengemukakan pendapatnya. "Kalau begitu, kenapa masih banyak orang yang merasa kurang puas dan menganggap dia kurang adil karena tidak memberi kedudukan kepada para bekas pejuang?"
"Kalau menurutkan pendapat setiap orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri, di dunia ini memang tak akan pernah ada keadilan. Mana bisa timbul keadilan kalau semua orang menghendaki bahwa yang enak-enak dan yang baik-baik itu seyogianya diberikan kepadanya saja? Soal kedudukan bukan hal yang semudah orang bicarakan. Tentu saja Kaisar harus memilih orang dengan amat hati-hati untuk didudukkan pada suatu pangkat, disesuaikan dengan kecakapan orang itu. Bagaimana nanti jadinya kalau seorang bekas kepala rampok diangkat menjadi menteri yang mengurus kekayaan negara? Bagaimana akan jadinya kalau seorang yang hampir tidak pandai menulis diangkat menjadi menteri kebudayaan? Seorang yang buta akan urusan pemerintahan diangkat menjadi menteri urusan negara? Tentu akan menjadi makin kacau kalau hal-hal semacam itu dilakukan hanya untuk memenuhi pamrih bekas-bekas pejuang yang menganggap diri sendiri paling berjasa itu." Kembali Tan Hok bicara penuh semangat.
"Kalau begitu, menurut anggapan Twako, Kaisar Thai Cu atau bekas pejuang Ciu Goan Ciang itu adalah seorang yang sempurna dan semua rakyat harus mentaati saja apa yang ia kehendaki?"
Tan Hok tertawa. "Adikku. Tidak ada seorang manusia yang sempurna sama sekali di dunia ini! Para dewa sekali pun masih belum sempurna karena masih tidak luput dari kesalahan. Tentu saja Kaisar tak terkecuali. Aku takkan membantah jika ada orang yang dapat mengemukakan kesalahan-kesalahan, cacat-cacat atau kekurangan-kekurangan Kaisar. Setiap manusia sudah pasti memiliki kekurangan-kekurangan dan cacat-cacatnya. Akan tetapi dalam hal kenegaraan, adalah keliru kalau menilai kedudukan seseorang dari tabiat pribadinya. Seharusnya dilihat pelaksanaan dari tugasnya, hasil dari pekerjaannya, dan kemampuan pada dirinya. Kiraku tidak ada orang lainnya yang lebih pandai dan lebih bijaksana dan lebih tepat untuk menduduki singgasana dari pada Kaisar yang sekarang ini. Oleh karena mengingat bahwa dia adalah pusat dari kekuatan kerajaan yang baru, pusat dari pemerintahan sesudah kaum penjajah jatuh, maka sudah seharusnyalah kalau kita mendukung dan membantunya. Bukan semata-mata membela pribadi Ciu Goan Ciang yang sekarang sudah menjadi Kaisar Thai Cu, melainkan mendukung dan membela pemimpin dari bangsa kita. Kalau tidak kita bela, lalu pimpinan terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak bijaksana, tidak mampu, apa lagi yang jahat seperti bekas-bekas kepala rampok macam Ho-hai Sam-ong, ahhh, akan bagaimanakah jadinya dengan negara kita?"
Setelah mendengar penjelasan dan penuturan Tan Hok secara panjang lebar, akhirnya Tan Beng San menyatakan suka ikut dan membantu Tan Hok untuk menggempur dan menghalau para pemberontak yang hendak mendatangkan kekacauan itu. Hal ini bukan semata-mata karena semangat Beng San bangkit oleh uraian Tan Hok, akan tetapi untuk melupakan atau menghibur kehancuran hatinya.
Tiba-tiba dia merasa malu untuk pulang ke Min-san, untuk berhadapan muka dengan Bi Goat, isterinya yang tercinta itu. Untuk sementara waktu dia ingin menjauh dulu. Memang kadang kala hatinya penuh rindu, perasaannya juga hancur kalau ia teringat betapa Bi Goat sudah mengandung ketika ia tinggalkan ke Hoa-san. Sudah mengandung beberapa bulan. Inilah sebabnya kenapa ia melarang ketika Bi Goat menyatakan keinginan hatinya hendak ikut pergi dengan suaminya itu ke Hoa-san…..
Di puncak sebuah bukit kecil yang ditumbuhi beberapa batang pohon raksasa terdapat sebuah rumah papan yang kecil menyendiri. Tak ada rumah lain dari puncak sampai ke kaki bukit kecuali pondok kecil itu. Sunyi sepi sekelilingnya, namun harus diakui bahwa hawa udara amat sejuk dan pemandangan alam amat indahnya dari puncak itu. Di lereng dan kaki bukit tampak pohon-pohon kecil yang menghijau. Hanya di puncak itulah adanya beberapa pohon raksasa yang sudah tua dan amat besar lagi tinggi.
Seperti biasanya setiap hari, pada pagi hari itu pun sunyi, seakan-akan tempat itu tidak ada penghuninya. Akan tetapi kesunyian pagi hari itu tidak lama sebab segera terdengar lapat-lapat suara tangisan seorang wanita, tangisan yang amat memilukan. Terisak-isak wanita itu menangis, kemudian terdengar keluhannya.
"Kau bunuhlah aku... bunuhlah aku... ah, alangkah keji hatimu, kau melebihi segala iblis... kau bunuhlah aku...!"
Lalu disusul suara laki-laki, suaranya halus tapi penuh ejekan.
"Kau selalu minta mati saja, sudah sebulan lebih permintaanmu tak lain hanya itu saja. Bosan aku mendengarnya. Bukankah sudah jelas bahwa aku sangat sayang kepadamu, bahwa aku cinta padamu? Manis, apakah kau bosan tinggal di tempat sunyi ini? Apakah kau ingin ikut denganku merantau ke utara? Di sana indah sekali. Apakah kau pernah menyaksikan gurun pasir?"
"Aku tidak inginkan apa-apa kecuali mati. Kau bunuh sajalah aku!” lagi-lagi suara wanita itu memohon.
"Sudahlah, mari kau ikut ke utara. Tentu kau senang dan kau akan melihat betapa besar cintaku kepadamu." Laki-laki itu tertawa.
Tak lama kemudian tampaklah seorang laki-laki muda yang tampan keluar dari pondok itu, memondong seorang wanita muda cantik yang lemas tak berdaya, agaknya telah tertotok jalan darahnya. Laki-laki muda itu bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin, pemuda raja ular yang jahat itu. Ada pun wanita yang bukan lain adalah Lee Giok atau Nyonya Thio Ki yang telah ditawan dan dilarikannya sebulan yang lalu. Lee Giok kelihatan pucat dan berduka sekali, akan tetapi ia tidak berdaya karena memang kalah kuat dan kalah tinggi kepandaiannya.
Setelah tiba di luar pondok, Lee Giok berkata sambil menarik napas panjang, "Giam Kin, agaknya Thian sudah menakdirkan aku menjadi teman hidupmu. Sudahlah aku tidak akan membantah lagi dan aku mau ikut denganmu ke utara. Asal selama hidupku aku tak akan bertemu dengan suamiku dan kau membawa ku ke tempat yang jauh, aku menurut."
Giam Kin girang sekali dan memeluknya. "Betulkah kata-katamu ini? Aha, bagus sekali, adikku yang tercinta. Mari kubawa kau ke sorga di utara dan kita hidup bahagia di sana. Ha-ha-ha!" Seperti orang gila Giam Kin memeluk nyonya muda itu sambil menari-nari.
"Hushh, gila kau! Tak usah aku kau gendong-gendong terus seperti orang lumpuh, hayo lepaskan totokan pada tubuhku dan aku akan jalan sendiri di sisimu selama hidupku."
Sambil tersenyum-senyum dan terus menerus menggoda dengan ceriwis sekali Giam Kin lalu menurunkan Lee Giok dan menotok beberapa jalan darahnya, kemudian mengurut punggung nyonya muda yang cantik itu. Ia tidak kuatir membebaskan Lee Giok karena kalau Lee Giok melawan, dengan mudah ia akan dapat mengatasinya kembali.
Setelah bebas dari totokan, Lee Giok terhuyung-huyung lemas. Memang tubuhnya lemas sekali, terbawa oleh perihnya perasaannya yang ditahan-tahan. Pada saat Giam Kim maju memeluknya untuk mencegahnya jatuh, ia berkata, suaranya halus mesra,
"Biarkan aku mengaso di bawah pohon ini dulu, aku... aku pening dan lesu sekali."
Sambil memeluknya Giam Kin lalu membawa Lee Giok ke bawah pohon raksasa dan mendudukkannya di atas akar pohon itu yang keluar dari dalam tanah seperti tubuh ular besar. Lee Giok menjatuhkan diri duduk di situ, lalu meramkan matanya mengumpulkan tenaga. Ketika ia sedang meramkan mata, terbayanglah wajah suaminya dan terbayang pula pengalamannya ketika ia tertawan oleh Giam Kin. Hatinya bagai ditusuk-tusuk pisau rasanya dan tak tertahankan lagi kembali air matanya be bercucuran turun.
"Ahh, kekasihku, lagi-lagi kau menangis..." Giam Kin mendekat dan hendak merangkul leher Lee Giok.
Tiba-tiba saja Lee Giok menggerakkan kedua tangannya, lalu memukul ke depan sekuat tenaganya. Giam Kin memang sudah siap sedia karena orang yang cerdik ini mana mau percaya begitu saja akan sikap menyerah dari nyonya muda yang selalu berkeras untuk membencinya ini? Cepat ia melompat mundur untuk menghindarkan diri dari penyerangan tiba-tiba ini. Lee Giok juga melompat berdiri dan memandang kepada Giam Kin penuh kebencian.
"Manusia iblis! Aku Lee Giok bersumpah tidak akan mau hidup sebelum menghancurkan kepalamu, membelah dadamu dan mencabut keluar isi dadamu!" teriak Lee Giok penuh kemarahan yang meluap-luap.
"Heh-heh, galaknya… tapi malah lebih manis!" Giam Kim mengejek. "Kau perempuan tak tahu disayang orang! Aku ingin membikin kau bahagia dan ingin mencintamu selamanya. Kiranya kau seorang yang tidak punya jantung. Baiklah, aku akan menjadikan kau barang permainanku, nanti kalau sudah bosan akan kulempar ke jurang biar menjadi makanan serigala!"
Lee Giok tidak sudi mendengarkan lagi, terus saja ia menerjang dengan kaki tangannya, mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membunuh manusia yang sangat dibencinya ini, yang sudah merusak hidupnya. Akan tetapi, seperti beberapa kali yang sudah-sudah, kali ini pun ia tak berhasil mengalahkan Giam Kin yang memang amat lihai itu. Ia malah dipermainkan oleh Giam Kin yang mengelak ke sana ke mari, berloncatan sambil mengejek dan menggoda.
Giam Kin ingin membuat Lee Giok kelelahan lebih dulu untuk kemudian ditawan lagi dan dipermainkan. Memang pada dasarnya hati Giam Kin memiliki kekejaman yang luar biasa, sudah bukan seperti manusia lagi. Hal ini tidak aneh kalau dipikir bahwa dia adalah murid tunggal dari manusia iblis Siauw-ong-kwi dan semenjak kecil sudah banyak melakukan kekejaman-kekejaman.
Tubuh Lee Giok masih amat lesu, maka ketika dipermainkan oleh Giam Kin dia menjadi semakin payah dan lemas. Akan tetapi dengan nekat nyonya muda ini menyerang terus mati-matian dengan tekad membunuh atau mati dalam pertempuran ini.
Tiba-tiba terdengar suara aneh di atas, suara melengking yang sangat nyaring sehingga menggetarkan jantung. Kemudian dari puncak pohon raksasa di bawah mana dua orang itu sedang bertempur, melayang turun seekor burung raksasa yang berbulu kuning emas.
Di punggung burung itu duduk seorang wanita muda cantik yang sinar matanya tajam dan liar. Sebelah tangannya memegang sebuah cambuk yang bercabang lima di mana terikat lima batang anak panah hijau. Di punggungnya tergantung sebuah pedang pusaka. Inilah Kwa Hong yang menunggang burung rajawali emas yang sakti itu.
"Hi-hi-hik, Giam Kin, kebetulan sekali! Tak usah aku mencarimu kau sekarang mengantar nyawa kepadaku!" kata Kwa Hong ketika ia mengenal isteri dari suheng-nya, Thio Ki.
Akan tetapi ia tidak menegur Lee Giok yang tadi amat terdesak hebat oleh Giam Kin itu. Sinar kuning emas menyambar turun dan burung itu telah menerkam ke arah kepala Giam Kin.
Bukan main kagetnya Giam Kin melihat penyerangan ini. Cepat ia melompat mundur dan membentak, "Siapa kau?!"
Bergidik juga ia melihat wanita cantik menunggang burung rajawali yang bermata liar itu.
Sementara itu Lee Giok segera mengenal Kwa Hong. Ia girang mendapat bala bantuan, akan tetapi juga heran dan kaget sekali menyaksikan keadaan Kwa Hong yang tidak wajar ini.
"Adik Hong...!" serunya.
Burung itu masih beterbangan berputar-putar di atas mereka. Kwa Hong berkata dengan suara mengejek, "Lee Giok, tidak lekas lari menunggu apa lagi? Apa kau mengharapkan tertawan oleh lawanmu yang tampan ini? Heh-heh-heh, kau mau main gila di belakang suamimu, ya?"
Kalau ada halilintar menyambar kepalanya, kiranya Lee Giok takkan begitu kaget seperti ketika ia mendengar ejekan ini. Sejenak ia memandang dengan mata terbelalak kepada Kwa Hong yang duduk di punggung burung. Lalu terlihat olehnya, sepasang mata yang mengerikan itu. Lee Giok tertusuk hatinya, sambil terisak-isak ia lalu lari pergi dari situ, diikuti suara ketawa yang mengerikan dari Kwa Hong.
Dasar watak Giam Kin mata keranjang dan keji. Melihat nona cantik jelita di punggung burung itu, ia segera tertarik sekali hatinya. Sekarang ia sudah mengenal wanita muda yang duduk di punggung burung itu. Kwa Hong murid Hoa-san-pai yang cantik itu, yang dulu pernah membuat ia tergila-gila juga.
Karena dia sendiri seorang berwatak keji, maka sinar ganas dan liar pada sepasang mata Kwa Hong itu baginya malah mendatangkan perasaan menyenangkan, malah menjadikan Kwa Hong makin manis dalam pandang matanya. Pula ia memandang rendah kepada Kwa Hong, karena murid Hoa-san-pai saja sampai di mana sih kelihaiannya?
"Aha, kukira tadi siapa. Tidak tahunya adik manis dari Hoa-san-pai. Turunlah Nona manis, dan mari bersenang-senang dengan aku. Boleh aku membonceng di punggung burungmu yang indah itu?"
Tiba-tiba sinar hijau menyambar sebagai jawaban. Giam Kin tertawa mengejek akan tetapi segera ketawanya berubah seruan kaget ketika lima batang anak panah itu menyambar kepadanya dengan kecepatan yang amat luar biasa, seperti kilat menyambar. Ia segera menjatuhkan diri di atas tanah dan hanya dengan cara begini ia dapat menyelamatkan dirinya.
Celaka baginya, wanita yang duduk di punggung rajawali emas itu ternyata lihai bukan main. Burungnya menyambar-nyambar rendah, sedangkan anak-anak panah pada ujung cambuk itu terus menyambar-nyambar dengan pukulan dahsyat sekali.
Giam Kin mencabut suling ularnya dan berusaha menangkis, akan tetapi baru dua kali menangkis saja sulingnya sudah terlepas dari tangannya dan mencelat entah ke mana. Demikian hebatnya tenaga pukulan Kwa Hong sampai-sampai dia sendiri tidak mampu menangkisnya. Mulailah pengejaran yang mengerikan.
Giam Kin lari ke sana ke mari, namun burung itu terus mengejar dan sinar hijau bersuitan di atas kepalanya. Giam Kin menjadi pucat sekali, keringat dingin bercucuran keluar. Dia menjatuhkan diri, bergulingan, tapi ke mana pun juga dia selalu dikejar oleh sinar hijau itu yang diikuti suara ketawa. Baru sekarang telinga Giam Kin mendengar suara ketawa yang mengerikan sekali, tidak semerdu tadi.
"Mampus kau.... hi-hi-hik, mampus kau...!"
Akibatnya, Giam Kin yang belum sekali pun terkena anak panah itu menjadi lemas saking lelah dan ketakutan. Gerakannya melambat dan mendadak sepasang cakar burung yang kuat sekali mencengkeram tubuhnya di bagian dada dan kepala. Terdengar suara daging dan kulit dirobek-robek diiringi suara ketawa melengking tinggi dari Kwa Hong. Beberapa kali Giam Kin mengeluarkan pekik kesakitan dan ketakutan, kemudian hening kembali di situ.
Ketika burung rajawali yang ditunggangi Kwa Hong itu kembali terbang ke atas, di bawah pohon raksasa itu tertinggal tubuh Giam Kin yang diam tak bergerak dan dalam keadaan mengerikan sekali. Pakaiannya robek-robek, dan penuh darah yang bercucuran dari dada dan mukanya yang juga sudah terobek-robek oleh cakar cakar tajam tadi.
Matanya sebelah kiri hancur, telinga kirinya juga lenyap, mulutnya robek lebar, kulit pada dadanya terbeset dan lengan kirinya tadi sudah dicengkeram sedemikian rupa oleh cakar rajawali sehingga semua urat-urat besarnya terputus dan kini lengan kiri itu kaku dengan jari-jari mencengkeram saking menahan sakit. Matikah Giam Kin? Pada saat itu masih belum, karena masih terdengar rintihan perlahan dari dadanya. Akan tetapi kalau ada orang yang menyaksikan keadaannya, orang itu tentu tak akan mengharapkan dia dapat hidup lagi.
Sementara itu, Lee Giok terus berlari cepat sambil menangis terisak-isak. Ia telah terlepas dari cengkeraman tangan Giam Kin. Akan tetapi apa gunanya? Lebih baik ia mati saja. Mana mungkin dia dapat memandang wajah suaminya lagi. Lebih baik dia mati dari pada menanggung aib yang hebat. Lebih baik ia terjun ke dalam jurang yang curam. Akan tetapi, apa pula artinya kalau ia mati tanpa ada yang mengetahuinya kelak? Tetap saja dia akan mati dalam keadaan menanggung malu. Lebih baik dia ke Hoa-san dan mati di sana agar suaminya kelak tahu bahwa ia telah menebus aib itu dengan nyawanya.
Di Hoa-san dia harus mati, supaya suaminya tahu bahwa sampai detik terakhir ia masih teringat kepada suaminya, masih ingin mendekatinya walau pun hanya dengan maksud mendekatkan arwahnya dengan Hoa-san! Selain itu, alangkah akan besar dosanya kalau dia mati dengan membawa anak di dalam kandungannya. Bukankah hal itu sama artinya dengan dia membunuh anak itu? Anaknya? Anak suaminya? Tidak, ia harus menanti, biar pun hatinya akan remuk-redam. Dia harus menanti sampai anak dalam kandungannya yang sudah tiga bulan itu lahir.
Lee Giok berlari terus sampai akhirnya tubuhnya terguling menggeletak di tengah hutan saking tak kuat lagi, saking lelahnya. Sambil merintih-rintih ia merangkak ke bawah pohon yang bersih, lalu membaringkan tubuh dan pikirannya melayang-layang.
Hidupnya rusak oleh Giam Kin. Yang menjadi biang keladi adalah Kim-thouw Thian-li dan Hek-hwa Kui-bo. Semangatnya sebagai seorang gagah dalam diri Lee Giok bangkit ketika ia mengingat akan ketiga orang ini. Akan sia-sia belaka kalau ia mati sebelum ia mampu membalas, sebelum ia mampu melenyapkan tiga manusia iblis itu dari permukaan bumi. Kepandaiannya memang masih belum begitu tinggi untuk mampu mengalahkan mereka, akan tetapi ia dapat memperdalam kepandaiannya.
Setelah tidur semalam di hutan itu, pada keesokan harinya Lee Giok lalu melanjutkan perjalanannya dengan hati yang sudah mengambil dua buah keputusan, yaitu sebelum ia membunuh diri untuk mencuci noda pada dirinya, ia harus lebih dahulu melahirkan anak dalam kandungannya, kemudian tugasnya yang kedua ialah membunuh tiga orang musuh besarnya itu!
Ia tidak boleh mati sekarang, ia malah harus kuat dan harus bisa memperdalam ilmunya. Pikiran inilah yang menyelamatkan nyawa Lee Giok dan dengan hati teguh nyonya muda ini melanjutkan perjalanannya menuju Hoa-san…..
Gunung Min-san berada di tapal batas antara Propinsi Se-cuan, Ceng-hai, dan Kan-su. Gunung ini amat indah pemandangannya dan merupakan pegunungan yang subur sekali. Sungai-sungai besar yang amat terkenal seperti Sungai Yang-ce-kiang dan Sungai Kuning boleh dibilang mendapatkan sumber mata airnya dari Pegunungan Min-san ini, sungguh pun masih banyak pegunungan lain yang menjadi sumbernya pula.
Salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Min-san inilah menjadi tempat tinggal Song-bun-kwi Kwee Lun yang dahulunya amat terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun-kwi. Ia dijuluki Song-bun-kwi (Setan Berkabung) sebab selalu memakai pakaian putih berkabung semenjak isterinya meninggal dan ia hidup merantau bersama dengan puteri tunggalnya, Kwee Bi Goat.
Sesudah sekarang Kwee Bi Goat menikah dengan Tan Beng San dan hidup bahagia di Min-san, Kwee Lun ini tidak patut lagi dijuluki Song-bun-kwi karena ia tak lagi berpakaian berkabung, juga tak lagi hidup seperti yang sudah-sudah, yaitu seperti manusia iblis yang ditakuti orang. Kakek ini sekarang hidup tenang dan tenteram di Pegunungan Min-san ini, malah setiap hari bertani atau semedhi memperdalam ilmu batinnya.
Ada pun Kwee Bi Goat yang dahulunya gagu, tapi sekarang telah sembuh, menjadi isteri yang cantik jelita dan penuh kasih sayang bagi Beng San. Suami isteri ini bersama Kakek Kwee hidup aman dan damai di Min-san.
Akan tetapi, nasib manusia memang tidak menentu seperti air laut, kadang-kadang surut. Baru beberapa bulan saja mereka hidup penuh madu kasih dan kebahagiaan di Min-san, datanglah seorang tosu dari Hoa-san-pai yang minta bantuan Beng San untuk menolong Hoa-san-pai yang sedang ditimpa mala petaka karena pengamukan Kwa Hong.
Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Beng San yang mengingat akan hubungannya dengan Hoa-san-pai dahulu, terpaksa pergi meninggalkan isterinya yang tercinta untuk membantu Hoa-san-pai. Kepergiannya ini diakhiri dengan kehancuran hatinya sehingga membuat ia tidak berani pulang dan tidak berani bertemu muka dengan isterinya!
Berbulan-bulan Bi Goat menunggu kembalinya suaminya dengan hati penuh rindu dan kekuatiran. Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi hatinya yang penuh rasa kegelisahan. Ia takut kalau-kalau suaminya tertimpa bencana karena sudah terlalu lama meninggalkan rumah tanpa ada kabar beritanya dan juga tidak kelihatan pulang. Akhirnya Bi Goat lalu minta pertolongan ayahnya untuk pergi menyusul Beng San ke Hoa-san dan mencarinya sampai dapat.
"Hemmm, baru ditinggal beberapa bulan saja kau sudah rewel!" Kwee Lun mengomel. "Sudah lama aku tidak meninggalkan gunung, kalau turun gunung aku takut akan kumat penyakitku yang lama!"
Kakek yang dulu dijuluki setan berkabung itu mula-mula menolak permintaan puterinya. Ia sudah mulai senang dengan hidup bersunyi di puncak yang indah itu, hidup menikmati ketenteraman di hari tua.
"Ayah, jangan salah mengerti. Bukan sekali-kali karena aku terlalu manja dan tidak bisa ditinggalkan suami yang pergi menjalankan tugas sebagai orang gagah. Tetapi, harap Ayah ketahui bahwa sekarang kandunganku sudah lima bulan. Bagaimana kalau sampai tiba saatnya melahirkan tidak ada ayahnya di sini? Ayah, apa kau tidak kasihan padaku?" Suara Bi Goat menggetar dan hati kakek yang dulu dianggap manusia iblis itu mencair.
"Baiklah... baiklah... dasar bocah yang jadi mantuku itu tidak tahu diri! Akan kucari dia dan kuseret pulang!"
Sambil mengomel panjang pendek, kakek yang pernah menjadi tokoh nomor satu di dunia kang-ouw sebelah barat itu akhirnya turun gunung meninggalkan Min-san untuk menyusul dan mencari anak mantunya, Tang Beng San.
Sebulan sudah Song-bun-kwi Kwee Lun meninggalkan Min-san. Pada suatu sore Bi Goat duduk seorang diri di halaman depan rumahnya. Dengan penuh harapan, seperti setiap sore yang lalu, dia duduk menanti kalau-kalau ayah dan suaminya pulang.
Para pelayan yang tak kurang enam orang banyaknya, sudah selesai bekerja dan sedang asyik mengobrol di belakang rumah. Bi Goat duduk seorang diri menghadapi cangkir teh dan makanan yang mengandung khasiat penguat badan. Ayahnya banyak memberikan makanan seperti ini untuknya.
Mendadak dia mendengar suara aneh di udara. Ketika dia mengangkat muka, Bi Goat terheran-heran melihat seekor burung yang besar dan indah sekali terbang berputaran di atas puncak itu. Cahaya matahari senja yang merah membuat bulu burung itu kelihatan kuning kemerahan, amat indahnya seperti emas.
"Ahh, burung rajawali kalau aku tidak salah...," kata Bi Goat kagum sekali.
Mendadak wajahnya berubah dan nyonya muda ini cepat barigkit berdiri dari kursinya. Ia melihat sesuatu yang aneh, sesuatu yang ajaib. Ada seorang wanita menunggang burung rajawali itu!
"Mimpikah aku?" gumamnya seorang diri sambil menggosok-gosok matanya.
Tidak, ia tidak mimpi. Malah kini burung itu menukik turun dan tak lama kemudian burung itu sudah sampai di atas tanah, hanya belasan meter jauhnya dari tempat Bi Goat berdiri. Wanita muda dan cantik itu melompat turun dari punggung rajawali.
Dengan hati berdebar-debar Bi Goat mendapatkan kenyataan bahwa wanita itu sedang mengandung. Malah perutnya lebih besar dari pada perutnya sendiri. Kandungan wanita itu sudah tua. Wanita itu melangkah maju, agak terhuyung-huyung.
Bi Goat adalah seorang yang pada dasarnya memiliki budi yang halus. Melihat wanita yang mengandung tua ini terhuyung-huyung dan nampak letih, mukanya pucat, ia cepat lari menghampiri dan merangkul pundaknya.
"Hati-hatilah, Cici...," katanya halus.
Wanita itu bukan lain adalah Kwa Hong! Kemarahannya ketika tadi turun dan menduga bahwa wanita cantik yang juga sudah mengandung di depannya itu tentulah isteri Beng San, agak mereda oleh sikap halus Bi Goat. Pernah ia melihat Bi Goat, akan tetapi hanya sebentar maka ia sudah lupa lagi.
Demlkian pula Bi Goat, biar pun pernah bertemu dengan Kwa Hong, tapi karena baru sekali dan hanya sebentar, ia pun sudah lupa lagi.
"Di mana Beng San? Aku ingin bicara dengannya," berkata Kwa Hong menahan marah, suaranya agak ketus dan sama sekali ia tidak menyambut baik sikap halus dari Bi Goat tadi.
Bi Goat terkejut, tapi ia menjawab juga. "Suamiku sudah beberapa bulan turun gunung, sampai sekarang belum pulang," jawabnya masih halus dan hati-hati ia bertanya, "Tidak tahu siapakah Cici ini dan ada keperluan apalah mencari suamiku?"
"Hemmm, jadi kau ini Bi Goat, dara baju merah yang dulu gagu itu?" tanya Kwa Hong, suaranya mengejek dan pandang matanya menyapu Bi Goat dari atas ke bawah.
Kini Bi Goat mulai curiga. Pandang matanya tajam menyelidik. "Kau siapakah dan apa keperluanmu datang ke Puncak Min-san ini?"
"Heh, kau sudah lupa kepadaku. Aku Kwa Hong..."
"Ohhh, murid Hoa-san-pai?"
"Bodoh! Ketua Hoa-san-pai, bukan murid! Aku datang mencari Beng San. Mana dia?"
"Sudah kukatakan tadi, dia sedang pergi." Bi Goat mulai tak senang hatinya.
"Aku mencari Beng San, bukan suamimu."
"Beng San adalah suamiku!" jawabnya Bi Goat sekarang agak ketus.
Kwa Hong tersenyum mengejek, lalu melirik ke arah perut Bi Goat. Dia bertanya penuh ejekan, "Berapa bulan kau mengandung?"
"Heee?! Kenapa...?" Wajah Bi Goat menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat bahwa yang mengajukan pertanyaan ini pun sedang mengandung, tentu ia akan menjadi marah. "Sudah enam bulan, mengapa?"
Kembali Kwa Hong tersenyum mengejek. "Seharusnya tadi kau bilang baru enam bulan, bukannya sudah enam bulan. Jadi baru enam bulan, kan? Lihat kandunganku ini sudah sembilan bulan! Mana lebih dulu? Sebelum menjadi suamimu, Beng San sudah menjadi ayah dari anak yang kukandung ini, tahu?"
Seketika wajah Bi Goat menjadi amat pucat. Ucapan Kwa Hong itu betul-betul merupakan pedang yang menusuk tembus jantungnya. Gemetar seluruh tubuhnya dan suaranya pun menggigil ketika ia berseru, "Kau... kau bohong...!"
Kwa Hong memperlebar senyumnya. "Kalau tak percaya kau tanyakan saja kepada Beng San. Hayo, mana dia? Panggil dia keluar, dia harus menyaksikan kelahiran anaknya..." Tiba-tiba Kwa Hong mengeluh sambil memegangi perutnya.
"Dia sedang pergi... hee, bagaimana ini? Kau kenapa, Cici...?"
Bingung juga Bi Goat melihat Kwa Hong tiba-tiba terhuyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat dia tangkap lengannya. Dia melihat wajah Kwa Hong pucat sekali, mulutnya merintih-rintih dan keadaannya hampir pingsan.
Memang pada dasarnya Bi Goat seorang yang berhati mulia. Biar pun ia tadi marah sekali dan perasaannya seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan Kwa Hong, akan tetapi melihat keadaan nyonya muda yang akan melahirkan itu dia menjadi tidak tega dan cepat-cepat menolong.
"Biarlah... aku... aku harus melahirkan... di tempat tinggal... Beng San...," demikian Kwa Hong mengeluh perlahan ketika siuman.
Sementara itu, Bi Goat sudah berseru memanggil para pelayannya dan Kwa Hong lalu digotong masuk ke dalam rumah. Karena dia sendiri sedang mengandung, maka Bi Goat memang sudah mengundang seorang wanita tua yang ahli menolong orang beranak dan yang disuruh tinggal di rumahnya. Maka Kwa Hong dapat menerima pertolongan yang cepat.
Dalam keadaan setengah sadar saking menahan sakit, Kwa Hong mengigau dan bercerita kepada Bi Goat tentang hubungannya dengan Beng San dulu, juga tentang pertemuannya yang terakhir. Semua diceritakan oleh Kwa Hong sehingga Bi Goat yang mendengarkan ini hanya dapat menangis dengan hati hancur.
Dia amat mencinta Beng San, sejak dahulu ia mencinta Beng San dengan seluruh jiwa raganya. Ia tidak rela kalau Beng San membagi cintanya dengan wanita lain, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan parah luka yang ditimbulkan oleh penuturan Kwa Hong ini di dalam hatinya.
Pada tengah malam hari itu, dari dalam rumah Bi Goat terdengarlah suara pertama dari seorang bayi yang baru saja terlahir. Tangisnya memecahkan kesunyian malam, nyaring melengking. Tangis seorang bayi laki-laki yang montok dan sehat.
Tidak lama kemudian terdengar lengking lain susul-menyusul menjawab tangis bayi ini, suara lengking tinggi yang datangnya dari atas rumah. Itulah suara lengking rajawali emas yang menanti munculnya Kwa Hong sambil mendekam dl atas wuwungan genteng rumah itu. Entah mengapa binatang itu melengking, mungkin karena tangis bayi itu hampir sama dengan suaranya sendiri.
Meski pun hatinya hancur, siang malam Bi Goat menunggui Kwa Hong dan merawatnya dengan baik. Sepekan kemudian Kwa Hong sudah sembuh. Dia menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, lalu ia keluar dari rumah itu memanggil rajawali emas.
Burung itu yang mulai tak sabar dan setiap hari berkaok-kaok di depan rumah, menjadi girang sekali dan menyambar turun. Bi Goat yang berwajah pucat sekali mengikuti Kwa Hong dari belakang.
"Cici Hong, kau baru sepekan melahirkan, jangan pergi dulu...," katanya menahan.
Akan tetapi Kwa Hong tidak peduli. Ia membawa anaknya melompat ke arah punggung rajawali, lalu berkata, "Katakan kepada Beng San kalau dia pulang, bahwa aku tidak bisa membunuhnya karena kalah kuat, dan aku juga tak bisa membunuhmu karena kau telah menolongku ketika aku melahirkan. Akan tetapi kelak anak inilah yang akan membunuh Beng San, kau dan semua anak anak dan keluargamu!"
Setelah berkata demikian, Kwa Hong menepuk-nepuk leher rajawali emas yang segera melengking tinggi dan melesat, terbang ke atas dengan cepat sekali. Untuk beberapa lama Bi Goat berdiri bengong, kemudian dia mengeluh dan tubuhnya menjadi lemas. Dia roboh pingsan di depan pintu rumahnya! Para pelayan segera mengejar keluar dan sibuk menolong nyonya muda yang menderita kehancuran hati ini.
Bi Goat jatuh sakit dan semenjak hari itu ia tidak kuat lagi bangun dari tempat tidurnya. Badannya panas dan setiap kali panasnya naik, dia selalu mengigau menyebut-nyebut nama suaminya dan Kwa Hong. Setiap kali ia berusaha untuk tidak mempercayai semua omongan Kwa Hong, namun hal itu amat sukar baginya.
Diharap-harapkan kedatangan suaminya supaya dia dapat bertanya mengenai Kwa Hong. Pengharapan bahwa suaminya akan menyangkal semua itu merupakan sinar kecil yang masih menerangi hatinya, penuh harapan. Akan tetapi, suaminya tidak kunjung pulang, malah ayahnya yang mencari dan menyusul suaminya itu, belum juga pulang.
Dua bulan ia jatuh sakit itu, sementara kandungannya makin besar, sudah delapan bulan lamanya dia mengandung. Pada suatu sore, datanglah Song-bun-kwi Kwee Lun. Bi Goat yang sudah agak kuat segera turun dari tempat tidurnya dan keluar meyambut.
"Ayah, mana dia? Mana Beng San...?" tanyanya dengan nada suara penuh harapan.
Kwee Lun kaget sekali melihat puterinya menjadi begini kurus dan wajahnya begini pucat. "Bi Goat, kau kenapakah? Sakitkah kau? tanyanya gugup sambil melangkah maju.
"Ayah, mana suamiku? Mana Beng San-koko?" Bi Goat tidak mempedulikan pertanyaan ayahnya, tapi mendesak menanyakan suaminya.
Terpaksa Kwee Lun menjawab, "Aku tidak dapat menjumpai dia. Kabarnya dia ke utara, mungkin terlibat lagi dalam urusan pemberontakan terhadap kaisar baru. Ahhh, anak itu memang tak tahu diri!"
Kekecewaan hebat merupakan palu godam yang menghantam pertahanan terakhir di hati Bi Goat. Matanya terbelalak, kemudian tertutup dan tubuhnya limbung. Cepat Kwee Lun merangkul dan ayah yang gelisah dan keheranan ini segera memondong tubuh puterinya, dibawa masuk ke dalam kamar Bi Goat.
Dengan suara parau Kwee Lun memanggil pelayan-pelayan yang segera berlari-larian mendatangi, memaki-maki mereka yang dikatakan tidak melayani Bi Goat sebaiknya.
Setelah siuman kembali Bi Goat hanya menangis terus, tidak mau menjawab pertanyaan ayahnya. Dan pada malam itu juga Bi Goat melahirkan kandungannya yang belum penuh sembilan bulan itu. Kelahiran yang sukar sekali, membuat nenek yang membantunya bermandikan peluh, para pelayan kebingungan dan semua ini membuat Kwee Lun yang menjaga di luar kamar menjadi makin gelisah.
Beberapa kali Bi Goat pingsan dan kalau sudah siuman ia memanggil-manggil nama Beng San, mengeluh tak kuat lagi. Akhirnya menjelang pagi lahirlah bayi dalam kandungannya. Tangisnya keras sekali, membuat Kwee Lun melonjak kaget dari tempat duduknya. Lalu bagaikan gila kakek ini lalu mendorong pintu kamar untuk segera melihat wajah cucunya. Apa yang ia lihat?
Ia berdiri tegak bagai patung raksasa. Mukanya pucat, matanya melotot selebar-lebarnya, bukan memandang kepada bayi laki-laki yang bergerak-gerak dan menangis hebat itu, melainkan ke atas ranjang, memandang kepada Bi Goat yang telentang tak bergerak, dengan mata setengah terbuka dan mulut menyeringai kesakitan, wajah yang putih dan mata yang tidak bersinar lagi karena berbareng dengan lahirnya bayinya ibu muda yang malang ini telah ditinggalkan nyawanya.
Untuk beberapa lama Song-bun-kwi Kwee Lun berdiri tegak dengan muka pucat, telinga seperti tuli tidak mendengar suara tangis bayi yang bercampur dengan suara tangis para pelayan, tidak melihat betapa nenek pembantu kelahiran itu sangat sibuk membersihkan bayi kemudian membungkusnya dengan kain putih bersih.
Akhirnya tampak air mata berkumpul di pelupuk mata tua itu, lalu setetes demi setetes air mata itu mengalir turun. Bibir kakek itu bergerak-gerak, lalu terdengar suaranya parau, "Bi Goat... kenapa kau mati...? Habis aku bagaimana..." Berulang-ulang kalimat ini keluar dari mulutnya, kemudian ia menubruk maju dan kakek ini lalu menangis menggerung-gerung sambil memeluki mayat Bi Goat.
Sampai lama ia menangis bagai anak kecil. Saat ia mengangkat kembali mukanya yang menjadi basah air mata, matanya merah dan mengerikan. Ia sudah berhenti menangis secara tiba-tiba, lalu ia memandang ke sana ke mari, menyapu ruangan itu dengan sinar matanya yang beringas.
Ketika ia melihat nenek pembantu kelahiran yang duduk di pojok dengan ketakutan, ia melompat maju dan sekali terkam nenek itu sudah diangkatnya lalu dibantingnya ke lantai. Sekali banting saja nenek itu tidak berkutik lagi, kepalanya pecah dan nenek yang malang itu tewas tanpa dapat bersambat lagi, Song-bun-kwi Kwee Lun makin beringas, matanya liar.
"Ampun, Lo-ya (Tuan Tua)... ampun… hamba semua tidak berdosa. Nyonya muda jatuh sakit setelah kedatangan seorang nyonya yang mengaku bernama Kwa Hong dan yang melahirkan anak di rumah ini. Menurut pengakuannya, Nyonya Kwa Hong itu adalah isteri pertama Siauw-ya (Tuan Muda)... eh, bukan isteri... hubungan di luar nikah... datangnya menunggang rajawali emas, mengerikan sekali, Lo-ya... semenjak itulah Nyonya Muda lalu jatuh sakit..."
Mendengar ini, Kwee Lun mengeluarkan suara menggereng bagai seekor binatang buas, lalu terdengar suaranya, "Beng San, keparat kau... mampus kau olehku...!"
Tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak lagi, kini sekali sambar ia telah mencengkeram buntalan kain yang terisi bayi yang masih menangis nyaring itu. Bukan main tangis bayi itu, seakan-akan dalam kelahirannya sekaligus ia menangisi kematian ibunya. Begitu lahir anak ini sudah harus menghadapi kematian ibunya. Betapa memilukan.
"Mampus kau...! Mampus kau...!" Kwee Lun mengangkat buntalan itu tinggi-tinggi seperti hendak membantingnya!
"Lo-ya..., ampunkan anak itu yang tidak berdosa..."
"Lo-yaaaa, ampun...!"
"Jangan, Lo-ya, jangan...!" Para pelayan itu menjerit-jerit.
Jerit tangis pelayan ini seakan-akan menyadarkan Kwee Lun, matanya tidak lagi menatap buntalan, melainkan liar menyapu ke kanan kiri, kemudian terdengar ia menggereng dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Kakek itu lari keluar dan turun gunung membawa buntalan bayi, cucunya yang baru saja lahir!
Tidak ada jalan lain bagi para pelayan itu kecuali mengurus jenazah Bi Goat dan nenek bidan itu. Dengan bantuan penduduk kampung di kaki bukit yang mereka mintai bantuan, dua jenazah itu dikuburkan di belakang rumah dengan upacara sederhana. Para pelayan itu hanya dua yang tinggal untuk mengurus rumah dan menanti kembalinya Beng San….
Rencana yang baru saja dirundingkan oleh utusan Raja Muda Lu Siauw Ong dan Ho-hai Sam-ong, benar-benar dilaksanakan oleh dua golongan yang haus akan kedudukan dan berusaha menggulingkan kekuasaan kaisar baru, Thai Cu. Mereka ini benar-benar terlalu percaya kepada kekuatan sendiri sehingga biar pun rahasia mereka itu telah diketahui oleh Li Cu dan Beng San yang sudah berhasil meloloskan diri, akan tetapi tetap saja mereka melanjutkan rencana itu. Mereka berhasil mengumpulkan banyak sekali pasukan bajak dan perampok, juga pihak Raja Muda Lu Siauw Ong yang bertugas merampas tahta selagi Kaisar pergi, berhasil menghasut pasukan besar tentara.
Pada hari yang telah ditentukan, rombongan Kaisar Thai Cu berangkat meninggalkan kota raja menuju ke utara, yaitu ke kota raja lama di Peking. Rombongan ini dikawal ketat oleh sepasukan tentara pilihan, yaitu para pengawal pribadi kaisar. Sebagai seorang bekas panglima perang, Kaisar Thai Cu tidak merasa gentar melakukan perjalanan jauh ini walau pun dia sudah tahu akan adanya banyak golongan yang tidak suka kepadanya karena tidak diberi kedudukan tinggi seperti yang mereka inginkan. Akan tetapi sama sekali Kaisar ini belum tahu akan siasat busuk yang direncanakan oleh Ho-hai Sam-ong dan Raja Muda Lu Siauw Ong yang sudah bersekongkol itu.
Di sepanjang jalan rakyat dusun menyambut Kaisar baru itu dengan meriah. Tampaknya rakyat amat mengagumi Kaisar yang telah berhasil membebaskan negara dari penjajahan bangsa Mongol itu. Orang-orang bersorak memberi hormat, di mana-mana rombongan Kaisar disambut tari-tarian daerah. Malah setiap dusun tentu mengutus orang-orang muda yang gagah perkasa untuk mengiring rombongan ini sampai di dusun lain, lalu diganti oleh para muda dusun ini, demikian seterusnya.
Kaisar amat gembira dengan ini semua. Kaisar menyangka bahwa hal itu memang sudah semestinya karena rakyat merasa sangat gembira dapat terbebas dari penjajahan. Sama sekali Kaisar ini tidak tahu bahwa biar pun sudah terbebas dari pada penjajahan Mongol, sesungguhnya rakyat kecil apa lagi para petani masih sama sekali belum bebas dari pada belenggu penjajahan para tuan tanah yang kadang kala malah lebih keras dan kejam dari pada penjajah Mongol sendiri!
Juga Kaisar ini tidak tahu bahwa sebagian besar dari para pengiring ini, yang terlihatnya sebagai orang-orang kampung, sebenarnya adalah orang-orang gagah dari Pek-lian-pai dan para bekas pejuang yang setia kepadanya. Mereka ini anak buah dari Tan Hok yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga rombongan Kaisar selalu terkawal anak buahnya. Malah masih banyak lagi orang yang mengawal secara sembunyi, ada yang mendahului rombongan, dan ada pula yang mengiring dari jauh di belakangnya.
Tan Hok memang hebat. Raksasa ini semenjak berkecimpung dalam perjuangan ternyata sudah makin matang sebagai seorang pemimpin dan pengatur siasat yang ulung. Secara cepat sekali, sesudah dia mendengar penjelasan dari Beng San tentang persekongkolan antara Beng Kui dan Ho-hai Sam-ong, ia pergi ke kota raja dan bersama para panglima pasukan yang setia kepada Kaisar itu lalu berunding dan membuat rencana.
Cepat sekali dia menyiapkan pasukan Pek-lian-pai dan kawan-kawan seperjuangan yang terpilih, yaitu orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, untuk secara diam-diam mengiringi, mengawal atau melindungi rombongan Kaisar yang hendak pergi ke utara.
Juga Beng San sendiri ia serahi tugas yang paling berat, yaitu mengawal Kaisar secara sembunyi. Tan Hok maklum akan kelihaian Beng San, maka tugas penting ini ia serahkan kepada Beng San, sedangkan ia sendiri perlu mengatur pasukan gabungan di kota raja untuk menindas dan menggempur pemberontakan dari dalam yang hendak dilakukan oleh Raja Muda Lu Siauw Ong.
Pada saat Kaisar menggunakan perahu naga menyeberangi Sungai Huang-ho, keadaan di sungai juga ramai bukan main. Para nelayan seakan-akan datang dari segenap penjuru untuk mengelu-elukan kaisar baru ini. Juga di sini Kaisar tidak tahu bahwa para nelayan ini sebagian besar adalah anggota-anggota Pek-lian-pai, malah ada pula beberapa orang anak buah Ho-hai Sam-ong yang menyelinap, dan ada beberapa orang pembunuh datang untuk mencari kesempatan baik menghabiskan nyawa Kaisar Thai Cu!
Maka, amat kagetlah Kaisar dan para pengiringnya ketika perahu sampai di tengah sungai di kanan kiri perahu tiba-tiba timbul enam mayat di permukaan air. Mayat-mayat ini adalah mayat orang-orang yang tadinya berusaha melubangi perahu dengan jalan menyelam di bawahnya.
Namun anak buah Tan Hok yang waspada dan memang sudah dipilih ahli-ahli dalam air, telah mengetahui akan hal ini dan cepat mereka itu pun menyelam. Terjadi pertandingan di bawah perahu, di dalam air yang amat hebat tanpa diketahui oleh mereka yang berada di permukaan air.
Tahu-tahu mayat para penjahat itu timbul di permukaan air mengagetkan semua orang. Kaisar buru-buru memerintahkan agar perahu dipercepat penyeberangannya.
Sesudah sampai di seberang Sungai Huang-ho sebelah utara dan rombongan memasuki sebuah hutan yang amat lebat, mulailah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Ho-hai Sam-ong dan pasukannya yang sudah beberapa hari menghadang di tempat ini. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai bergemuruh dan pasukan bajak dibantu oleh pasukan mereka yang tak puas melihat Cu Goan Ciang menjadi Kaisar, lantas berserabutan keluar dari tempat persembunyian dengan senjata di tangan.
"Bunuh Ciu Goan Ciang!"
"Seret Kaisar lalim!"
Demikianlah ucapan-ucapan yang ditujukan kepada Kaisar. Mulailah terjadi pertempuran hebat antara para penyerbu dan para pengawal Kaisar. Makin lama semakin banyaklah penyerbu. Kaisar sendiri tampaknya tenang-tenang saja karena semenjak penyeberangan tadi tidak memperlihatkan diri, terus bersembunyi saja di dalam tandunya yang sekarang terpaksa diturunkan dan dilindungi oleh beberapa orang pengawal pribadi.
Tiba-tiba Ho-hai Sam-ong sendiri, tiga orang kepala bajak yang lihai itu, meloncat ke dekat tandu Kaisar ini. Mereka memang sengaja mengincar Kaisar dan hendak turun tangan sendiri.
Melihat tandu dengan tanda pangkat Kaisar, serta bendera berkibar di atasnya, Ho-hai Sam-ong girang sekali. Mereka mengeluarkan tanda suitan. Lalu bermunculan Hek-hwa Kui-bo, Kim-thouw Thian-li, dan masih banyak lagi kepala rampok dan orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam) datang menyerbu ke tempat itu.
Para pengawal pribadi dengan gigih menyambut serbuan orang-orang ini, namun dalam beberapa gebrakan saja robohlah belasan orang pengawal. Lui Cai Si Bajul Besi sendiri dengan sebuah loncatan meninggalkan kawan-kawannya yang sedang menandingi para pengawal pribadi itu, langsung mendekati tandu. Senjatanya berupa dayung baja yang besar berat itu sudah diayunnya, mulutnya berseru,
"Ha-ha-ha-ha, Ciu Goan Ciang! Lihat baik-baik, ini Lui Cai datang untuk menghancurkan kepalamu!"
Tiba-tiba kain tenda dari joli itu terbuka dan keluarlah seorang laki-laki tua dengan tubuh menggigil dan muka pucat. Tangan Lui Cai yang memegang dayung gemetar, ia berteriak sambll melangkah mundur. Kiranya orang yang berada di dalam joli itu bukanlah Kaisar, melainkan seorang yang menyamar sebagai Kaisar dan memakai pakaian kaisar!
"Celaka...!" serunya dengan muka pucat. "Kita telah terjebak... dia bukan Kaisar!"
Sementara itu, para pengawai pribadi Kaisar amat repot menghadapi amukan para kepala bajak yang dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang ganas. Akan tetapi tiba-tiba terlihat bayangan merah berkelebat cepat didahului sinar pedang yang gemilang.
Robohlah beberapa orang penjahat seperti alang-alang dibabat. Dalam waktu singkat saja pengamuk ini sudah berhadapan dengan Ho-hai Sam-ong serta dua orang pembantunya yang paling dahsyat bersama sepuluh orang lagi kepala rampok.
"Ho-hai Sam-ong, kalian benar-benar ingin mampus!" teriakan yang nyaring tetapi merdu terdengar lantang.
Kiranya yang muncul ini bukan lain adalah Cia Li Cu yang sebenarnya sudah sejak tadi mengamuk di sebelah luar hutan untuk menerjang masuk. Seperti diceritakan di bagian depan, Li Cu juga sudah mendengar semua rencana busuk yang diatur oleh Beng Kui dan Ho-hai Sam-ong, maka cepat-cepat gadis ini pulang menemui ayahnya dan menceritakan semua yang dia alami, kecuali pengalamannya dengan Beng San!
Sebagai seorang patriot berjiwa besar, Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan marah bukan main mendengar bahwa muridnya yang pertama, murid yang dicintanya dan malah yang akan menjadi mantunya, telah menyia-nyiakan Li Cu. Hal ini masih belum berapa hebat seperti ketika dia mendengar bahwa Beng Kui hendak berkhianat.
Wajahnya menjadi merah, matanya berkilat-kilat. Dia lalu menyuruh Li Cu berangkat lagi untuk melindungi Kaisar secara diam-diam, sementara dia sendiri pergi menuju ke kota raja untuk berhadapan dengan Beng Kui, muridnya.
Demikianlah, Li Cu segera melakukan perjalanan cepat dan kedatangannya tepat sekali pada saat para pemberontak itu menyerbu ke dalam peperangan. Dia mengamuk dengan pedang pendek Liong-cu-kiam yang tajam dan ampuh.
Ketika Ho-hai Sam-ong melihat Li Cu, mereka menjadi marah sekali. Lui Cai melompat maju dan memaki, "Siluman cilik! Tentunya kau yang sudah membuka rahasia dan Kaisar sekarang sengaja bersembunyi. Kaulah yang bosan hidup, sekarang kami tidak akan mau mengampunimu lagi!"
Dayungnya lantas menyambar dahsyat, akan tetapi segera ia tarik kembali ketika pedang Liong-cu-kiam sengaja dibabatkan oleh Li Cu sambil tersenyum. Lui Cai sudah mengenal ketajaman pedang itu dan kelihaian gadis ini, maka untuk bertempur seorang melawan seorang kiranya dia tak akan dapat menang.
"Ji-te, Sam-te, hayo kita binasakan bocah ini dulu!" teriaknya sambil memutar dayung.
Kiang Hun dan Thio Ek Sui yang juga merasa amat kecewa melihat bahwa yang duduk di dalam joli itu bukan Kaisar segera memutar senjata dan mengeroyok Li Cu. Sebentar saja Li Cu sudah sibuk dikeroyok tiga oleh Ho-hai Sam-ong, seperti ketika ia dikeroyok di atas perahu dahulu itu. Akan tetapi ia tidak gentar dan pedangnya diputar cepat untuk melayani tiga orang musuhnya yang benar-benar tangguh itu.
Sementara itu, Hek-hwa Kui-bo dan muridnya, juga para kepala perampok yang tadinya menyerbu ke sana untuk bersama-sama membinasakan Kaisar, sekarang sudah mulai bertempur kembali menghadapi para pengawal yang kini dibantu oleh orang-orang dari Pek-lian-pai yang tadinya menyamar sebagai petani dan nelayan.
Makin lama makin banyak anggota-anggota Pek-lian-pai yang berdatangan. Bahkan yang mendahului rombongan Kaisar sudah pula diberi tahu dan kini mereka datang menyerbu dari utara. Hal ini membuat para pemberontak terdesak hebat, apa lagi karena di pihak Pek-lian-pai terdapat banyak orang-orang gagah yang tinggi kepandaiannya.
Melihat pihaknya terdesak hebat, Ho-hai Sam-ong menjadi gelisah. Bagaimana dapat muncul demikian banyaknya yang membantu Kaisar? Tidak salah lagi, ini tentu jebakan yang sengaja diatur oleh Kaisar yang dulunya juga seorang panglima perang yang pandai. Dan tentu karena rahasia mereka sudah dibocorkan oleh gadis puteri Bu-tek Kiam-ong ini. Kemarahan Ho-hai Sam-ong terhadap Li Cu makin menjadi.
"Hek-hwa Kui-bo, harap bantu kami menangkap gadis liar ini!" seru Lui Cai.
Mendengar ini, Hek-hwa Kui-bo yang tadinya sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang Pek-lian-pai, lantas bersuit keras. Inilah tanda bagi para anggota perampok untuk menahan penyerbuan musuh agar dia dan Ho-hai Sam-ong tidak terganggu dalam usaha mereka menangkap Li Cu.
Setelah Hek-hwa Kui-bo datang mengeroyoknya, sebentar saja Li Cu menjadi terdesak hebat. Gadis ini dengan gigih mempertahankan dirinya.
"Ho-hai Sam-ong dan Hek-hwa Kui-bo, jangan banyak bertingkah!" mendadak terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu di situ sudah muncul Beng San dengan tangan kosong!
Diam-diam Li Cu girang bukan main, akan tetapi melirik pun ia tidak mau ke arah Beng San. Ada pun Ho-hai Sam-ong ketika melihat kedatangan pemuda yang sangat lihai itu, seketika menjadi pucat. Serentak mereka menyerang pemuda yang bertangan kosong itu. Yang paling cepat menyambar tubuh Beng San adalah tambang di tangan Kiang Hun.
Beng San menggerakkan tangan menangkap ujung tambang. Sekali membetot tambang itu putus menjadi dua, tepat di tengah-tengah sehingga separoh tambang itu berada di tangan Beng San dan menjadi senjatanya! Ketika Beng San menggerakkan tambang itu, kiranya ia tidak kalah hebat memainkan senjata aneh ini dari pada Kiang Hun!
Li Cu mendapat angin. Pedangnya bergerak cepat, maka robohlah Thio Ek Sui sambil menjerit keras. Dadanya tertembus oleh Liong-cu-kiam.
Kiang Hun menjadi gugup sekali sehingga kembali pedang Liong-cu-kiam menyerempet pundaknya. Dia memekik dan meloncat hendak lari, tetapi dari belakangnya menyambar dua batang tombak anggota Pek-lian-pai sehingga Kiang Hun juga roboh binasa.
Dengan tambangnya Beng San menghadapi Lui Cai yang masih mengamuk mati-matian, dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo. Sedikit saja Lui Cai terlambat bergerak, jalan darahnya di dada telah disentuh oleh ujung tambang itu. Ia roboh lemas dan kembali pedang pendek Liong-cu-kiam di tangan Li Cu bekerja, menamatkan riwayat kepala Ho-hai Sam-ong ini.
"Nona Cia, awas...!"
Beng San cepat meniup dengan mulutnya ke depan, malah mengebut-ngebutkan kedua tangan untuk mengusir asap beracun berwarna merah. Namun terlambat, Hek-hwa Kui-bo tadi dengan cepatnya mengebutkan sapu tangannya dan asap kemerahan menyambar ke depan, ke arah Li Cu.
Gadis ini baru saja menewaskan Lui Cai dan kurang waspada. Meski ia sudah mengelak karena mendengar seruan Beng San, tetapi masih ada asap yang memasuki hidungnya. Ia mengeluh, terhuyung-huyung dan pedangnya terlepas dari pegangan.
Beng San cepat-cepat memeluk dan memondongnya sambil menyambar Liong-cu-kiam. Ia masih melihat Hek-hwa Kui-bo menyambar tangan muridnya melarikan diri di antara banyak orang yang bertempur. Ia tidak peduli lagi. Yang paling perlu Li Cu harus dibawa pergi dari tempat berbahaya itu. Sekali meloncat ia sudah lolos dari kepungan musuh, lalu mengerjakan kakinya untuk merobohkan setiap orang penghalang, langsung ia membawa Li Cu ke tempat sunyi di lain bagian dari hutan itu.
Di bawah sebatang pohon besar yang sangat sunyi di dalam hutan itu, Beng San cepat menurunkan Li Cu dan memeriksanya. Sedikit banyak dia juga sudah mempelajari ilmu pengobatan dari mertuanya, Song-bun-kwi Kwee Lun, terutama mengenai akibat senjata beracun.
Ketika menurunkan tubuh Li Cu dan melihat muka gadis itu, ia kaget bukan main. Wajah Li Cu sepucat salju dan napasnya sesak hampir berhenti. Dari mulut yang terengah-engah itu tercium bau wangi yang memuakkan, yaitu bau racun asap kemerahan yang tadi kena tersedot oleh gadis ini.
Beng San lalu memutar otak. Menurut keterangan dari mertuanya, mengobati akibat dari keracunan hanya dua macam, pertama memasukkan racun yang berlawanan atau obat penawar ke dalam tubuh si sakit untuk memerangi racun itu. Ke dua, mengeluarkan racun dari tubuh si sakit.
Kalau Li Cu terluka oleh senjata beracun, ia dapat mengeluarkan racun itu dengan cara menyedot lukanya sehingga racun yang telah bercampur dengan darah itu dapat tersedot keluar. Ada pun Li Cu terserang racun bukan melalui luka, melainkan racun itu langsung memasuki paru-parunya melalui mulut, bagaimana ia akan dapat mengeluarkan racun dari dalam paru-paru?
Dalam bingungnya karena baru pertama kali ini menghadapi orang keracunan oleh racun asap, Beng San cepat mengambil keputusan. Ia merasa yakin bahwa satu-satunya jalan untuk menolong gadis itu adalah mengeluarkan asap yang masuk ke dalam paru-parunya.
Ia maklum pula atau dapat menduga bahwa cara pertolongan ini amat berbahaya bagi dirinya sendiri. Akan tetapi pada saat itu ia tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri. Untuk menolong orang, terutama orang seperti Li Cu ini, dia tidak perlu takut-takut untuk mengorbankan diri sendiri!
Ketika sudah mengambil keputusan ini dan hendak mulai dengan usaha pertolongannya, tiba-tiba mukanya menjadi kehijauan karena ia merasa jengah dan malu. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya. Pada saat nyawa Li Cu terancam bahaya seperti itu, ia tidak perlu ingat lagi akan tata susila kosong dan akan hukum adat yang berlaku tentang kesopanan antara pria dan wanita.
Cepat ia mengangkat kepala Li Cu, lalu tanpa ragu-ragu ia membuka mulut gadis itu dengan jari tangannya. Kemudian ia menunduk dan menempelkan mulutnya sendiri pada mulut Li Cu lalu ia menyedot dengan pengerahan tenaga khikang sekuatnya!
Ia merasa betapa hawa yang dingin laksana es memasuki rongga dadanya. Tubuhnya menggigil dan cepat ia melepaskan mulutnya, perlahan-lahan menurunkan kepala gadis itu dan ia lalu duduk bersila, mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, menyalurkan lweekang-nya untuk melawan hawa dingin di rongga dada itu.
Hawa Thai-yang di dalam tubuhnya segera bekerja. Dari pusarnya naik hawa panas bagai api membara, terus hawa panas ini ia desak ke atas, menyerbu ke rongga dada dan menghantam hawa dingin yang tadi memasuki dadanya melalui mulut Li Cu. Terjadilah perang tanding antara kedua hawa ini, akan tetapi tenaga dalam dan hawa Thai-yang di tubuh Beng San memang mukjijat sekali. Dengan hati lega orang muda itu merasa betapa perlahan-lahan tetapi pasti hawa dingin itu buyar dan lenyap.
Setelah hawa dingin di dalam rongga dadanya itu lenyap, ia membuka mata. Li Cu masih belum sadar dan napasnya masih terengah-engah biar pun tidak seberat tadi. Ia kembali menempelkan mulutnya pada mulut Li Cu dan menyedot lagi.
Seperti tadi, hawa dingin memasuki dadanya, tapi sebentar saja buyar dihantam tenaga Thai-yang. Girang hati Beng San. Tubuh gadis yang tadinya sudah dingin itu sekarang agak hangat dan ketika ia menyedot untuk ke empat kalinya, ia merasa betapa tubuh Li Cu bergerak sedikit.
Kalau saja Beng San tahu bahwa pada saat itu Li Cu sudah setengah sadar, sudah pasti ia akan cepat-cepat melepaskan mulutnya yang menyedot! Di lain pihak, Li Cu yang mulai sadar, seolah-olah dalam mimpi. Hampir ia tak dapat percaya akan pandangan mata dan perasaan tubuhnya sendiri.
Benarkah orang itu Beng San? Dan benarkah Beng San melakukan perbuatan seperti ini terhadap dirinya? Saking kaget, malu, ngeri dan marah, Li Cu pingsan kembali. Bukan pingsan karena pengaruh racun asap, melainkan pingsan karena hantaman perasaannya melihat perbuatan Beng San terhadap dirinya!
Usaha mati-matian ini ternyata tidak sia-sia. Menjelang pagi dia sudah mendengar suara kaki kuda di sebelah depan, mulai memasuki hutan terakhir dalam perjalanan jauh ke kota raja itu. Hatinya masih ragu-ragu. Benarkah suara kaki kuda itu berasal dari kuda yang ditunggangi oleh Beng Kui?
Tiba-tiba semangatnya bangkit ketika lapat-lapat ia mendengar jeritan.
"Beng San...!!"
Beng San mempercepat larinya dan tak lama kemudian benar saja dia melihat Beng Kui membalapkan kudanya sambil memangku Li Cu yang masih tak berdaya karena kaki dan tangannya terbelenggu. Sambil meringankan langkah kakinya sehingga suara larinya tidak terdengar, Beng San makin mendekati dan akhirnya ia mendengar suara Beng Kui yang sedang mentertawakan, bahkan menghina.
"Li Cu, kau sekarang tergila-gila kepada Beng San? Heh-heh, benar-benar lucu. Tadinya kau marah-marah melihat aku kawin dengan puteri Raja Muda Lu dengan dasar politik, karena kelak aku ingin merebut kedudukan tinggi. Tapi cintaku masih kepada dirimu, Li Cu. Kalau kelak aku menjadi kaisar, atau setidaknya menjadi raja muda, apa salahnya kalau aku beristeri dua? Kau tetap akan menjadi isteriku yang tercinta. Kenapa kau tidak sabar dan tidak mau mengerti, lalu marah-marah? Kenapa kau sekarang malah kelihatan lebih mencinta adikku yang gila itu?"
"Dia seribu kali lebih baik dari padamu, kau laki-laki palsu, kau pengkhianat. Awas kau, Ayah pasti akan membalaskan sakit hatiku!" Li Cu berteriak-teriak.
Beng Kui tertawa mengejek, "Kau bilang Beng San lebih baik dari padaku? Ha-ha-ha, Li Cu, kau tidak mengerti. Dia adalah seorang iblis perusak wanita. Tak tahukah kau betapa murid Hoa-san-pai yang bernama Kwa Hong itu sudah dirusaknya, lantas ditinggalkannya pergi, malah dia menikah dengan anak seorang penjahat yang terkenal Song-bun-kwi? Tentang ayahmu... hemm, suhu tentu akan memaklumi pendirianku..."
Mendadak suaranya berhenti karena pada saat itu kuda yang ditungganginya terjungkal sehingga dua orang itu terlempar dari atas punggung kuda! Beng Kui terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil mencabut sepasang pedangnya, membalikkan tubuh dan dia sudah berhadapan dengan Beng San!
"Kau lagi...?! Seperti iblis saja kau, mengapa selalu mengikuti aku?" Beng Kui berteriak marah.
Beng San tersenyum mengejek. "Bukan aku yang mengikuti kau, tapi kejahatanmu yang memaksa aku datang. Tidak boleh kau menculik seorang gadis, biar pun dia itu sumoi-mu sendiri." Sambil berkata demikian, Beng San lalu melangkahkan kaki menghampiri Li Cu yang rebah di atas tanah.
Pada saat terjatuh dari punggung kuda tadi, gadis ini masih dalam keadaan terbelenggu, maka jatuhnya lebih parah sehingga pakaiannya sampai robek-robek. Ia kini benar-benar dalam keadaan setengah pingsan, akan tetapi masih cukup sadar untuk bisa menangkap percakapan antara kakak beradik itu.
Selagi Beng San melangkah menghampiri Li Cu, Beng Kui yang sudah tak kuat menahan kemarahannya itu serentak menerjang dari belakang, menggerakkan sepasang pedang Liong-cu-kiam secepat kilat.
"Awas... Beng San... belakang...!" Li Cu yang melihat ini menjerit.
Akan tetapi gerakan Beng San bahkan mendahului jeritannya, karena pemuda ini sudah membalik, kedua tangannya bergerak, kakinya bergeser dengan langkah-langkah aneh. Secara otomatis tubuhnya menyelinap di antara sambaran dua pedang, tahu-tahu kedua tangannya sudah ‘memasuki’ ruang kosong di celah-celah kilatan pedang dan mendorong ke arah sepasang pundak lawan.
Terdengar Beng Kui mengeluh sebelum tangan Beng San sempat menyentuh pundaknya, sepasang pedangnya hampir terlepas dan di lain saat kedua pedang itu sudah berpindah ke tangan Beng San! Bukan main hebatnya gerakan ini dan dari kedua tangan Beng San itu samar-samar tampak mengebulnya uap putih.
Inilah sebuah gerakan dari ilmu silat mukjijat yang dahulu di jamannya Pendekar Sakti Bu Pun Su disebut Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih)! Karena kemahirannya dalam Im-yang Sin-kun, otomatis Beng San dapat mewarisi sebuah gerakan dari ilmu itu dan ternyata hasilnya hebat luar biasa.
Beng Kui memandang dengan muka pucat dan mata melotot. Beng San untuk sesaat juga memandang dengan muka marah dan mata berkilat, tetapi dia lalu menyerahkan pedang yang panjang itu kembali sambil berkata, "Aku sudah berjanji meminjamkan Liong-cu-kiam sepasang ini kepada kau dan Nona Cia Li Cu selama tiga tahun. Janji itu tetap berlaku. Tiga tahun setelah janjiku aku pasti akan mengambil kembali Liong-cu-kiam jantan ini dari
tanganmu."
Masih tertegun oleh kehebatan adik kandungnya yang secara mukjijat mampu merampas sepasang pedangnya, Beng Kui mengeluarkan tangan dan menerima pedangnya kembali. Kemudian setelah memandang, dengan mata melotot beberapa saat lamanya, ia menoleh ke arah Li Cu sejenak lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Beng San menarik napas panjang dan menghampiri Li Cu. Sekali pedang Liong-cu-kiam pendek itu bergerak di tangannya, nampak kilat menyambar dan sekaligus belenggu yang mengikat kaki dan tangan Li Cu putus semua tanpa terasa sedikit pun oleh gadis itu.
Li Cu meloncat bangun, mengeluh dan terhuyung-huyung ke belakang. Baiknya Beng San cepat mengejarnya dan menyambar pundaknya. Alangkah kagetnya pemuda ini pada saat melihat Li Cu sudah meramkan mata, tak ingat orang lagi, pingsan dalam pelukannya.
Beng San bingung. Ia pun meraba pergelangan lengan gadis itu dan maklumlah ia bahwa gadis ini tidak apa-apa. Hanya karena sudah banyak mengalami ketegangan, kemarahan dan kekuatiran, ditambah lagi tadi terlalu lama ia tertotok dan terbelenggu, maka begitu ia dibebaskan, di dalam batin dan pikirannya terjadi pukulan yang tak kuat ia menahannya sehingga membuatnya pingsan.
Terpaksa Beng San memondong dan membawanya lari keluar dari hutan itu. Dia merasa kuatir kalau-kalau Beng Kui tiba-tiba datang bersama kawan-kawannya. Akan payah juga kalau dia kembali dikeroyok orang-orang pandai sementara Li Cu masih pingsan. Lebih baik cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Belum juga dia berlari, dia melihat kuda yang tadi ditunggangi Beng Kui, sekarang sudah sembuh dan sedang makan rumput. Memang tadi ketika merobohkan kuda itu, Beng San tidak mempergunakan serangan mematikan, melainkan menotok dengan lemparan kerikil ke arah lutut kuda sehingga kuda itu terjungkal saja.
Dengan girang kini Beng San menghampiri kuda yang masih lengkap dengan pelana dan kendali itu, lalu ia melompat ke atasnya sambil merangkul Li Cu. Dengan perlahan ia lalu menjalankan kudanya ke arah utara.
Matahari telah naik tinggi ketika kuda yang ditunggangi Beng San sampai di tepi Sungai Huang-ho sebelah barat. Beng San membelokkan kudanya ke barat, menyusur sepanjang pantai sungai memasuki sebuah hutan yang segar kehijauan dan teduh.
Hari itu panasnya bukan kepalang. Walau pun tidak dibalapkan, kudanya sudah berpeluh dan napasnya terengah-engah. Beng San merasa kasihan dan menghentikan kuda itu di bawah sebatang pohon besar di mana air Sungai Huang-ho tampak indah kehijauan.
Li Cu baru saja siuman dari pingsan. Gadis ini merasa kepalanya pening sekali, matanya berputar-putar. Dia mulai membuka sedikit kedua matanya, lalu memejamkannya kembali karena sinar matahari yang menerobos dari celah-celah daun memasuki matanya.
Lalu ia teringat betapa indahnya daun-daun pohon di atas tadi, maka dibukanya kembali matanya. Memang indah! Daun-daun pohon yang kecil dengan bentuk sempurna ditimpa matahari, bersusun-susun menimbulkan warna hijau yang dihias sinar kuning emas dan bayangan kehitaman. Bagai benang-benang sutera kuning emas sinar matahari meluncur turun di antara celah-celah daun, kadang-kadang berubah kedudukan karena daun-daun itu bergerak oleh angin.
Sampai lama Li Cu terpesona dengan keindahan pemandangan yang belum pernah dia perhatikan sebelumnya. Kemudian terasa olehnya pergerakan napas dan bunyi berdetik di pinggir telinganya. Makin lebar matanya dibuka.
Yang mula-mula tampak adalah sebuah hidung dan sebuah mulut dari muka yang putih. Yang paling jelas adalah bentuk dagu yang keras. Ia pun makin mengerahkan perhatian, memandang kepada muka itu. Tahulah ia sekarang bahwa yang berdetik-detik itu adalah bunyi jantung dalam dada di mana ia bersandar. Ia dipangku orang, di atas sebuah pelana kuda! Dan muka itu... muka Beng Kui!
"Bedebah kurang ajar kau!"
Li Cu seketika timbul tenaganya. Kedua tangannya meraih ke atas lalu dipukulkan dua kali ke muka itu, muka yang dibencinya, muka yang dahulu pernah dicintainya. Muka Beng Kui!
Li Cu sudah berhasil memukul. Sambil terus meloncat dia menjatuhkan diri ke pinggir, lalu berjungkir balik dan di lain saat dia sudah berdiri tegak di depan kuda, siap sedia untuk menyerang lagi. Ia melihat orang yang dipukul mukanya tadi meloncat turun, terus duduk di atas akar pohon sambil menutupi mukanya.
Beng San tak dapat mengelak ketika tadi secara mendadak Li Cu memukulnya. Memang dia pun seperti Li Cu, terpesona oleh cahaya matahari yang secara indah menghias hutan itu dengan sinar benang emas, akan tetapi warna kuning emas itu mengingatkan ia akan burung rajawali emas dan sekaligus mengingatkan ia kembali kepada Kwa Hong.
Terngiang di telinganya kata-kata tuduhan Beng Kui bahwa dia sudah merusak kehidupan Kwa Hong. Beng Kui tidak tahu keadaan yang sebenarnya, akan tetapi memang tuduhan itu tak dapat disangkalnya pula. Memang ia telah merusak kehidupan Kwa Hong. Ia telah berdosa besar, besar sekali.
Pada saat itulah Li Cu memaki dan memukul mukanya dua kali, yang pertama mengenai pinggir jidatnya dan yang ke dua mengenai pinggir mulutnya. Darah mengucur dari kedua tempat itu, sakit rasanya. Akan tetapi hati Beng San lebih sakit oleh makian tadi.
Dia dapat menahan pukulan itu, lalu meloncat turun dan menjatuhkan diri duduk di atas akar pohon, menutupi mukanya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir air mata yang berloncatan keluar. Akan tetapi tanpa disengaja kedua tangannya itu pun menyembunyikan jidat dan bibir yang mengucurkan darah.
Setelah kini agak reda peningnya, pandang mata Li Cu makin terang. Dia memandang terbelalak kepada orang yang duduk menutupi muka di bawah pohon itu. Sejenak Li Cu bingung. Ia teringat betul bahwa yang dipukulnya tadi adalah Beng Kui. Tapi orang itu... pakaian itu dan... dan pundak yang terluka itu...!
"Beng San...!” Li Cu menahan jeritnya, tangan kirinya menutupi mulut, lalu ia melangkah maju tiga tindak mendekat.
Beng San menurunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Darah mengucur deras dari luka di jidatnya. Memang bagian tubuh yang teratas ini paling banyak rnengeluarkan darah apa bila terluka. Pandang mata Beng San kabur dan dia melihat seakan-akan Kwa Hong yang berdiri di depannya sekarang ini.
"Kau... kau boleh pukul aku lagi kalau kau suka... bunuh pun boleh...," katanya perlahan.
Meremang bulu tengkuk Li Cu saat melihat muka yang berlumuran darah dan mendengar suara yang tak berirama ini, seperti suara dari balik kubur. Dia merasa menyesal bukan main. Kenapa dia malah memukul Beng San yang telah menolongnya dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut? Timbul penyesalan dan kasihannya.
"Ahhh, jadi kaukah yang kupukul tadi?" tanyanya dengan penuh sesal sambil cepat maju menghampiri.
Setelah dekat barulah Beng San ingat kembali bahwa gadis ini sama sekali bukan Kwa Hong biar pun pakaiannya serba merah, melainkan Cia Li Cu.
"Nona Cia, ini pedangmu... ambil... ambil... ambillah sendiri..." katanya lemah.
Pedang Liong-cu-kiam pendek itu telah ia selipkan di belakang punggungnya.
"Siapa bicara tentang pedang? Mukamu itu... harus diurus dulu," kata Li Cu.
Dengan cepat gadis ini sudah berlutut di depan Beng San, kemudian dengan cekatan ia membersihkan darah dari luka di bibir dan jidat itu.Tanpa ragu-ragu lagi dan sama sekali tidak jijik Li Cu mempergunakan sapu tangannya dari sutera yang harum untuk mengusap darah. Sapu tangan itu sudah penuh darah, dan luka di kening masih terus mengucurkan darah.
"Tunggu sebentar, aku mencari air dulu," kata Li Cu.
Cepat gadis ini lari ke tepi sungai dan mengambil air dengan mempergunakan daun yang lebar. Kemudian ia datang lagi dan dicucinya luka-luka itu. Cekatan sekali ia bekerja tanpa ragu-ragu dan jari-jari tangannya dengan mesra membersihkan luka yang diakibatkan oleh pukulannya sendiri tadi.
"Wah, darahnya mengucur terus. Jidatmu ini harus dibungkus," bisik Li Cu perlahan dan agak bingung karena tidak ada obat penghenti darah di situ.
Dia mencuci sapu tangannya dan mempergunakannya untuk membalut jidat Beng San. Tentu saja untuk pekerjaan ini ia harus mengangkat kedua lengannya dan seakan-akan memeluk kepala Beng San.
Selama itu, jantung Beng San berdebar tidak karuan. Lenyaplah bayangan Kwa Hong yang selama ini mengikutinya dan membuat ia merasa berdosa hebat. Malah bayangan isterinya, Kwee Bi Goat, isterinya yang tercinta yang selama ini dirindukannya, juga tak nampak pada saat itu.
Bukan main cantik jelitanya gadis ini, demikian ia mendengar bisikan-bisikan di belakang telinganya, seakan-akan batang pohon yang dia sandari itulah yang berbisik-bisik. Cantik bagai bidadari.
Mata yang bening redup itu, mulut kecil mungil dengan hidung yang mancung. Rambut yang panjang hitam awut-awutan, kadang-kadang memperlihatkan kulit leher yang putih kekuningan.
Ketika gadis itu membalutkan sapu tangan ke belakang lehernya ia merasa seakan-akan dipeluk dan Beng San meramkan matanya. Ganda sedap mengharum membuat ia seperti mabok dan ketika ia membuka matanya, ternyata pekerjaan gadis itu sudah selesai.
Li Cu masih berlutut di depannya, mukanya sangat dekat, terlalu dekat seakan-akan dia dapat merasai tiupan napas gadis itu. Dua pasang mata bertemu, saling pandang, saling terkam dan sukar terlepas lagi. Mulut Li Cu agak terbuka, matanya redup dan bulu mata yang panjang itu bergerak-gerak.
Bisikan di belakang telinga Beng San semakin mendesak. “Dia cantik bukan main. Dan agaknya suka kepadamu. Hemmm... tunggu apa lagi? Hajar!”
Li Cu menjerit kecil sambil melompat mundur. Hampir berbareng di saat itu juga Beng San sambil duduk membalikkan tubuhnya. Tangan kanannya yang terkepal lantas memukul batang pohon besar di belakangnya.
“Blukkk!”
Saking kerasnya dia menghantam, kepalan tangan itu melesak masuk ke dalam batang pohon sampai ke pergelangan tangannya!
"Ehh... ahh... kenapa...? Kenapa kau memukul pohon...?" Li Cu yang kini sudah berdiri, memandang dengan mata terbelalak terheran-heran.
Beng San perlahan-lahan bangkit berdiri, menarik napas berkali-kali. Dia masih sempat mendengar suara yang berbisik-bisik tadi seperti mentertawakannya dari jauh. Setelah dia mendengarkan betul-betul, itu sebenarnya adalah suara daun-daun pohon tertiup angin. Ia bergidik.
Betapa bahayanya bisikan-bisikan tadi. Bisikan iblis yang setiap saat menggoda manusia. Untung dia dapat mengalahkannya tadi dan biar pun kepalan tangannya terasa sakit, dia merasa lega hatinya. Kini tanpa ragu-ragu ia dapat mengangkat muka memandang wajah Li Cu.
"Beng San... kenapa kau memukul pohon...?" tanyanya sekali lagi.
"Ahh, tidak... tidak apa-apa, Nona."
"Mukamu tadi menakutkan sekali..."
"Bukan salahku. Mukaku memang buruk..."
"Sekarang tidak lagi," buru-buru Li Cu memotong. "Tadi, sedetik sebelum kau memukul pohon. Aku sampai kaget dan menjerit. Beng San, kenapa mukamu bisa berubah-ubah?"
"Sudah nasibku, Nona. Ketika kecil aku dipaksa makan racun. Apakah sekarang mukaku masih menakutkanmu?"
Li Cu memaksa senyum, matanya bersinar-sinar lagi. "Tidak lagi. Sekarang tidak. Hanya tadi sebentar... ahh, membikin aku teringat akan kata-kata Beng Kui tadi. Kau disebut iblis perusak wanita."
"Memang aku iblis... bukan hanya iblis, bahkan kau tadi pun menyebutku bedebah dan kurang ajar... memang demikianlah aku..."
Beng San menunduk dan menarik napas, merasa betapa memang ia tepat sekali disebut demikian setelah apa yang dia akibatkan pada diri Kwa Hong. Dia berdosa kepada Kwa Hong dan lebih-lebih lagi kepada Bi Goat.
"Aku tadi mengira kau Beng Kui, maka aku memaki demikian."
Kembali Beng San menarik napas panjang. "Memang tidak banyak selisihnya, Nona Cia. Kami berdua... ahh, kami bukan orang baik..."
Li Cu memandang dan menjadi terharu. Muka itu kurus benar, tapi kulitnya sekarang putih dan... hemmm, tampan sekali. Apa lagi alis yang berbentuk golok itu, dan sepasang mata yang tajam luar biasa. Rambutnya tidak terpelihara, pakaiannya pun hampir menyerupai pakaian jembel. Memang jika telihat lahirnya saja jauh bedanya dengan Beng Kui yang mentereng dan rapi. Tapi hatinya… jauh nian bedanya.
"Beng San...," katanya setelah mereka berdua tercekam oleh suasana hening.
"Malam tadi di atas genteng, kenapa kau menangis?"
"Apakah aku menangis? Aku sudah lupa...”
"Sebelum kau muncul untuk menolongku, kau menangis. Tangismu memilukan sekali biar pun hanya terdengar sebentar."
"Bisa jadi. Aku menangisi keadaanku, juga keadaan dia yang dulu kuagungkan, kukagumi sebagai kakakku yang mulia dan perkasa. Kiranya dia sama saja dengan aku..."
"Kau kenapa? Kau... kau baik sekali, Beng San." Ucapan ini terdengar lantang dan terus terang.
Ketika Beng San mengangkat muka memandang, kembali dua pasang mata bertemu dan Beng San melihat pandang mata yang jujur dan tahu bahwa pernyataan nona ini keluar dari hatinya. Ia menarik napas.
"Bukan, sayang sekali. Benar seperti yang dikatakan olehnya, aku seorang jahat, perusak hati wanita, aku seorang penuh dosa..."
“Tak percaya! Aku tidak percaya!" Suara Li Cu makin keras penuh kesungguhan.
Gadis ini diam-diam merasa aneh. Sesuatu yang aneh terjadi dalam dirinya. Meski pun sudah lama sekali ia bertunangan secara resmi dengan Beng Kui, namun hubungannya sama saja dengan hubungan kakak beradik, seorang suheng dan sumoi. Belum pernah jantungnya menggetar, seperti tadi ketika ia membalut kepala Beng San. Malah belum pernah berdekatan seperti tadi dengan Beng San. Apakah artinya semua ini? Dan ia sama sekali tidak mau percaya kalau Beng San seorang jahat, seorang perusak wanita.
Beng San memandang dengan melongo. Tiba-tiba dia merasa jantungnya berdebar keras. Penuh keharuan dan kengerian dia memandang pada wajah jelita itu. Sudah terlalu sering dia melihat wajah gadis-gadis yang mencintanya, terutama sekali wajah Kwa Hong dan isterinya Kwee Bi Goat. Sinar mata dan wajah mereka itu seperti wajah Li Cu sekarang ini, demikian mesra, demikian jelas cinta kasih terbayang pada sepasang mata yang bening itu.
Tak boleh ini! Sekali-kali tidak boleh! Ia tidak mau berlaku sembrono seperti dulu. Dia tak mau melukai hati gadis, apa lagi gadis seperti Li Cu. Dulu sudah banyak gadis-gadis yang hatinya terluka olehnya.
"Nona Cia, aku harus berterus terang kepadamu. Memang aku seorang laki-laki penuh dosa dan apa yang dikatakan suheng-mu tadi, semuanya betul belaka."
Kemudian dengan suara tegas jelas, sama sekali tidak ragu-ragu dengan pengakuannya itu, sebab ia hendak meringankan tekanan dosanya yang menindih isi dada, ia kemudian menceritakan kepada Li Cu telah melakukan perhubungan dengan Kwa Hong, kemudian meninggalkannya karena ia sudah jatuh cinta dengan Kwee Bi Goat dan kemudian ia ikut bersama Bi Goat ke Min-san dan menjadi suami isteri di sana. Diceritakannya pula betapa Kwa Hong menjadi rusak hatinya dan jadi seperti gila, apa lagi setelah ternyata bahwa hubungan mereka itu telah mengakibatkan Kwa Hong mengandung.
"Aku telah berdosa besar kepada Kwa Hong, aku telah merusak hidupnya. Dan aku lebih berdosa lagi kepada isteriku yang belum tahu akan hal itu. Seharusnya dulu aku mengaku di depan Bi Goat, tetapi aku pengecut... aku takut kehilangan dia, jadi aku seakan-akan menipunya. Ahhh, dosaku bertumpuk-tumpuk, Nona Cia. Sudah sepatutnya kalau orang semulia engkau membenciku, menganggap rendah kepadaku seperti yang dikatakan oleh suheng-mu itu..." Demikian Beng San menutup ceritanya.
Li Cu sejak tadi mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka yang sebentar pucat sebentar merah. Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, mendengar akan penuturan Beng San tentang pengalaman dengan beberapa orang gadis cantik ini, dadanya terasa panas dan ingin sekali ia marah-marah! Ingin sekali ia menampar muka Beng San. Tetapi juga ingin sekali ia menangis!
"Kau... kau... laki-laki mata keranjang!" makinya dengan suara serak sambil berdiri dan berlari pergi dari tempat itu.
"Nona Cia...! Ini pedangmu, bawalah...!”
Beng San juga berdiri dan sekali ia meloncat, ia sudah berada di depan Li Cu, pedang pendek Liong-cu-kiam telah ia cabut dan ia angsurkan kepada gadis itu. Herannya bukan main ketika ia melihat muka yang jelita itu basah oleh air mata yang bercucuran.
Li Cu menggunakan tangan kiri mengusapi air matanya. Tanpa mengeluarkan kata-kata dan tanpa memandangi muka Beng San ia menyambar pedang itu lalu berlari pergi lagi. Isaknya terdengar memilukan ketika tubuhnya berkelebat di depan Beng San.
Pemuda ini berdiri bengong memandang ke arah tubuh berpakaian merah yang berlari cepat itu. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan seperti patung dia memandang ke depan sampai bayangan merah itu lenyap ditelan kejauhan.
"Ha-ha-ha-ha, puteri Bu-tek Kiam-ong itu cinta kepadamu, Adikku!” mendadak suara itu terdengar di belakang.
Beng San terkejut sekali, cepat berputar dan dia berhadapan dengan seorang laki-laki bertubuh raksasa yang gagah sekali dan yang berdiri sambil tersenyum lebar dan bertolak pinggang.
"Twako...!" Beng San berseru girang dan maju merangkul laki-laki gagah perkasa itu.
"Ha-ha-ha, Beng San adikku. Di mana-mana kau selalu menghadapi keruwetan dengan wanita. Ahh, kau bikin aku mengiri saja."
"Tan-twako, jangan menggoda aku. Bagaimana keadaanmu? Ke mana saja selama ini kau pergi?" Beng San menjadi gembira kembali sesudah bertemu dengan laki-laki tinggi besar itu.
Siapakah dia? Bukan seorang biasa, melainkan seorang bekas pejuang yang sudah terkenal namanya sebagai pemimpin dari perkumpulan Pek-lian-pai yang banyak jasanya dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan pemerintah Mongol. Namanya adalah Tan Hok dan semenjak dahulu menjadi sahabat baik Beng San, malah Tan Hok menganggap Beng San sebagai adik angkatnya sendiri.
Tan Hok juga seorang gagah yang memiliki ilmu silat tinggi. Sebetulnya yang membuat ia amat dikagumi Beng San bukanlah ilmu silatnya, melainkan jiwa kepatriotannya yang luar biasa besarnya. Dalam hal perjuangan, Tan Hok sama sekali tak bisa disamakan dengan orang seperti Beng Kui yang berjuang karena ada pamrih untuk memetik buah dari hasil perjuangannya itu untuk keperluan dan kesenangan diri pribadi.
Perjuangan yang dilakukan Tan Hok dengan perkumpulan rahasianya adalah perjuangan suci tanpa pamrih. Kalau pun ada pamrih, maka pamrih itu hanya ingin melihat rakyatnya terbebas dari pada belenggu penjajahan. Jadi pamrihnya bukan untuk kepentingan diri pribadi, tetapi demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena inilah setelah pemerintah Mongol tumbang, Tan Hok dan teman-temannya tidak termasuk bekas-bekas pejuang yang ikut gontok-gontokan untuk memperebutkan kedudukan dan kemuliaan di kota raja!
"Tan-twako, kau hendak pergi ke manakah?" Kembali Beng San bertanya, untuk sejenak ia lupa akan penderitaan batin yang sedang mengamuk di hatinya ketika bertemu dengan orang yang amat disayangnya ini.
"San-te (Adik San), sebetulnya tidak sengaja aku dapat bertemu dengan kau di sini. Pagi tadi aku melihat kau naik kuda sambil memangku seorang nona yang tampaknya sakit atau pingsan. Tadinya aku curiga melihat keadaan Nona itu maka aku tidak menegurmu dan diam-diam mengikutimu. Maafkan kecurigaanku ini. Kemudian aku melihat bahwa dia adalah Nona Cia Li Cu puteri Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan." Tan Hok berhenti sebentar, kemudian dengan muka sungguh-sungguh ia berkata lagi, "San-te, sebetulnya pertemuan ini sangat menggembirakan hatiku dan kebetulan sekali. Andai kata kita tidak bertemu di sini, agaknya aku pun akan mencarimu di Min-san untuk minta bantuanmu."
Girang hati Beng San bahwa teman baiknya ini tidak melanjutkan bicaranya tentang Li Cu. Ia sudah merasa malu sekali kalau ada orang berbicara tentang gadis-gadis yang pernah membuat hidupnya kacau-balau. Dengan penuh gairah ia lalu berkata,
"Katakanlah, Twako. Apakah urusan yang mengganggumu? Tentu adikmu ini dengan hati lapang siap sedia membantumu."
"Kalau hanya menghadapi urusan pribadi, mana aku berani mengganggumu, Adik Beng San? Hanya ada satu macam urusan yang memaksaku minta bantuan siapa pun juga."
"Urusan negara?" Beng San menduga. Dia tahu akan watak laki-laki raksasa itu.
Tan Hok mengangguk. "Patriot-patriot palsu itu benar-benar menjemukan. Mereka kini mengacau dan berusaha merampas kedudukan Kaisar Thai Cu, merasa bahwa mereka lebih berhak dari pada bekas pahlawan Giu Goan Ciang. Hemmm, benar-benar tidak ubahnya dengan anjing-anjing yang memperebutkan bangkai srigala yang tadinya mereka keroyok!"
"Aku sudah mendengar juga tentang itu, Twako, bahkan sudah bertemu dengan Ho-hai Sam-ong yang bersekongkol dengan Raja Muda Lu Siauw Ong. Aku mendengar tentang rencana mereka yang akan bergerak dari luar dan dari dalam."
"Bagus!" Tan Hok melompat bangun, lalu duduk kembali di atas akar pohon. "Jadi mereka sudah bersekongkol pula? Kalau begitu lebih mudah untuk sekaligus menghancurkan mereka. Adikku, karena inilah maka aku minta bantuanmu. Aku dan teman-temanku dari Pek-lian-pai sudah siap dan malah Kaisar sudah pula memberi bantuan pasukan untuk menumpas para pemberontak tak tahu malu itu. San-te, dengan kau di sampingku, aku akan merasa kuat untuk menghadapi mereka yang tak boleh dipandang ringan itu. Dan perlu kuberi tahukan kepadamu, yang kau sebut Lu Siauw Ong tadi, dia itu adalah mertua dari kakak kandungmu Tang Beng Kui. Jadi kalau kau membantuku, kau tentu akan berhadapan dengan Tan Beng Kui sebagai musuh!"
Beng San mengangguk. "Hal itu pun aku sudah tahu, Twako." Kemudian secara singkat Beng San menuturkan pertemuannya dengan kakak kandungnya itu di rumah Ho-hai Sam-ong. Hanya soal Li Cu tidak ia ceritakan.
Tan Hok amat senang mendengar ini. "Kalau begitu, mari kau ikut denganku. Kita akan bergerak dari utara, membersihkan pemberontak-pemberontak yang datang dari sana. Ho-hai Sam-ong tidak akan berani sembarangan bergerak kalau komplotan-komplotannya dari utara belum kuat benar membantunya."
"Aku bersedia membantumu, Twako. Hanya saja aku masih belum tahu pasti, belum yakin akan tujuan pergerakanmu sekarang ini. Orang-orang itu saling memperebutkan kedudukan dan semua yang kudengar menyatakan bahwa Kaisar sekarang ini, bekas pemimpin pejuang Ciu Goan Ciang adalah seorang yang tidak adil. Sekarang ternyata kau membantu Kaisar. Apakah menurut pendapatmu Kaisar Thai Cu yang betul dan mereka yang tidak puas itu salah?"
"Adikku Beng San, kau tidak mengerti tentang keadaan negara, memang hal ini tidak aneh karena kau tidak mempedulikannya. Tetapi aku yang selalu mengikuti perkembangannya, dapat melihat dengan nyata. Dengarlah kata-kataku ini, Adikku. Sudah jelas bahwa dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan Mongol, pemimpin besar Ciu Goan Ciang sudah membuktikan bahwa dialah seorang pemimpin yang pandai dan hanya dia yang akan mampu memimpin rakyat dan memajukan negara yang baru saja terbebas dari belenggu penjajahan. Andai kata bukan Ciu Goan Ciang yang dalam perjuangan dapat menyatukan semua unsur kekuatan rakyat, mana perjuangan melawan Mongol bisa tercapai?"
Tan Hok berhenti sebentar untuk meredakan gelora dalam dadanya, lalu disambungnya perlahan dan tenang,
"Bahaya yang mengancam keadaan negara masih belum lenyap. Bangsa Mongol yang melarikan diri ke utara setiap waktu tentu hendak mencoba merampas kembali tanah jajahannya. Belum lagi bangsa-bangsa lainnya yang hendak mengambil keuntungan dari keadaan kacau-balau sehabis perang. Kita semua membutuhkan bimbingan seorang yang kuat lahir batin, sedangkan perjuangan membuktikan bahwa hanya Ciu Goan Ciang yang mempunyai kemampuan untuk tugas berat itu. Pengangkatan dirinya sebagai Kaisar telah disetujui oleh semua pemimpin para pejuang." Kembali ia berhenti.
Akan tetapi Beng San mengemukakan pendapatnya. "Kalau begitu, kenapa masih banyak orang yang merasa kurang puas dan menganggap dia kurang adil karena tidak memberi kedudukan kepada para bekas pejuang?"
"Kalau menurutkan pendapat setiap orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri, di dunia ini memang tak akan pernah ada keadilan. Mana bisa timbul keadilan kalau semua orang menghendaki bahwa yang enak-enak dan yang baik-baik itu seyogianya diberikan kepadanya saja? Soal kedudukan bukan hal yang semudah orang bicarakan. Tentu saja Kaisar harus memilih orang dengan amat hati-hati untuk didudukkan pada suatu pangkat, disesuaikan dengan kecakapan orang itu. Bagaimana nanti jadinya kalau seorang bekas kepala rampok diangkat menjadi menteri yang mengurus kekayaan negara? Bagaimana akan jadinya kalau seorang yang hampir tidak pandai menulis diangkat menjadi menteri kebudayaan? Seorang yang buta akan urusan pemerintahan diangkat menjadi menteri urusan negara? Tentu akan menjadi makin kacau kalau hal-hal semacam itu dilakukan hanya untuk memenuhi pamrih bekas-bekas pejuang yang menganggap diri sendiri paling berjasa itu." Kembali Tan Hok bicara penuh semangat.
"Kalau begitu, menurut anggapan Twako, Kaisar Thai Cu atau bekas pejuang Ciu Goan Ciang itu adalah seorang yang sempurna dan semua rakyat harus mentaati saja apa yang ia kehendaki?"
Tan Hok tertawa. "Adikku. Tidak ada seorang manusia yang sempurna sama sekali di dunia ini! Para dewa sekali pun masih belum sempurna karena masih tidak luput dari kesalahan. Tentu saja Kaisar tak terkecuali. Aku takkan membantah jika ada orang yang dapat mengemukakan kesalahan-kesalahan, cacat-cacat atau kekurangan-kekurangan Kaisar. Setiap manusia sudah pasti memiliki kekurangan-kekurangan dan cacat-cacatnya. Akan tetapi dalam hal kenegaraan, adalah keliru kalau menilai kedudukan seseorang dari tabiat pribadinya. Seharusnya dilihat pelaksanaan dari tugasnya, hasil dari pekerjaannya, dan kemampuan pada dirinya. Kiraku tidak ada orang lainnya yang lebih pandai dan lebih bijaksana dan lebih tepat untuk menduduki singgasana dari pada Kaisar yang sekarang ini. Oleh karena mengingat bahwa dia adalah pusat dari kekuatan kerajaan yang baru, pusat dari pemerintahan sesudah kaum penjajah jatuh, maka sudah seharusnyalah kalau kita mendukung dan membantunya. Bukan semata-mata membela pribadi Ciu Goan Ciang yang sekarang sudah menjadi Kaisar Thai Cu, melainkan mendukung dan membela pemimpin dari bangsa kita. Kalau tidak kita bela, lalu pimpinan terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak bijaksana, tidak mampu, apa lagi yang jahat seperti bekas-bekas kepala rampok macam Ho-hai Sam-ong, ahhh, akan bagaimanakah jadinya dengan negara kita?"
Setelah mendengar penjelasan dan penuturan Tan Hok secara panjang lebar, akhirnya Tan Beng San menyatakan suka ikut dan membantu Tan Hok untuk menggempur dan menghalau para pemberontak yang hendak mendatangkan kekacauan itu. Hal ini bukan semata-mata karena semangat Beng San bangkit oleh uraian Tan Hok, akan tetapi untuk melupakan atau menghibur kehancuran hatinya.
Tiba-tiba dia merasa malu untuk pulang ke Min-san, untuk berhadapan muka dengan Bi Goat, isterinya yang tercinta itu. Untuk sementara waktu dia ingin menjauh dulu. Memang kadang kala hatinya penuh rindu, perasaannya juga hancur kalau ia teringat betapa Bi Goat sudah mengandung ketika ia tinggalkan ke Hoa-san. Sudah mengandung beberapa bulan. Inilah sebabnya kenapa ia melarang ketika Bi Goat menyatakan keinginan hatinya hendak ikut pergi dengan suaminya itu ke Hoa-san…..
**********
Di puncak sebuah bukit kecil yang ditumbuhi beberapa batang pohon raksasa terdapat sebuah rumah papan yang kecil menyendiri. Tak ada rumah lain dari puncak sampai ke kaki bukit kecuali pondok kecil itu. Sunyi sepi sekelilingnya, namun harus diakui bahwa hawa udara amat sejuk dan pemandangan alam amat indahnya dari puncak itu. Di lereng dan kaki bukit tampak pohon-pohon kecil yang menghijau. Hanya di puncak itulah adanya beberapa pohon raksasa yang sudah tua dan amat besar lagi tinggi.
Seperti biasanya setiap hari, pada pagi hari itu pun sunyi, seakan-akan tempat itu tidak ada penghuninya. Akan tetapi kesunyian pagi hari itu tidak lama sebab segera terdengar lapat-lapat suara tangisan seorang wanita, tangisan yang amat memilukan. Terisak-isak wanita itu menangis, kemudian terdengar keluhannya.
"Kau bunuhlah aku... bunuhlah aku... ah, alangkah keji hatimu, kau melebihi segala iblis... kau bunuhlah aku...!"
Lalu disusul suara laki-laki, suaranya halus tapi penuh ejekan.
"Kau selalu minta mati saja, sudah sebulan lebih permintaanmu tak lain hanya itu saja. Bosan aku mendengarnya. Bukankah sudah jelas bahwa aku sangat sayang kepadamu, bahwa aku cinta padamu? Manis, apakah kau bosan tinggal di tempat sunyi ini? Apakah kau ingin ikut denganku merantau ke utara? Di sana indah sekali. Apakah kau pernah menyaksikan gurun pasir?"
"Aku tidak inginkan apa-apa kecuali mati. Kau bunuh sajalah aku!” lagi-lagi suara wanita itu memohon.
"Sudahlah, mari kau ikut ke utara. Tentu kau senang dan kau akan melihat betapa besar cintaku kepadamu." Laki-laki itu tertawa.
Tak lama kemudian tampaklah seorang laki-laki muda yang tampan keluar dari pondok itu, memondong seorang wanita muda cantik yang lemas tak berdaya, agaknya telah tertotok jalan darahnya. Laki-laki muda itu bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin, pemuda raja ular yang jahat itu. Ada pun wanita yang bukan lain adalah Lee Giok atau Nyonya Thio Ki yang telah ditawan dan dilarikannya sebulan yang lalu. Lee Giok kelihatan pucat dan berduka sekali, akan tetapi ia tidak berdaya karena memang kalah kuat dan kalah tinggi kepandaiannya.
Setelah tiba di luar pondok, Lee Giok berkata sambil menarik napas panjang, "Giam Kin, agaknya Thian sudah menakdirkan aku menjadi teman hidupmu. Sudahlah aku tidak akan membantah lagi dan aku mau ikut denganmu ke utara. Asal selama hidupku aku tak akan bertemu dengan suamiku dan kau membawa ku ke tempat yang jauh, aku menurut."
Giam Kin girang sekali dan memeluknya. "Betulkah kata-katamu ini? Aha, bagus sekali, adikku yang tercinta. Mari kubawa kau ke sorga di utara dan kita hidup bahagia di sana. Ha-ha-ha!" Seperti orang gila Giam Kin memeluk nyonya muda itu sambil menari-nari.
"Hushh, gila kau! Tak usah aku kau gendong-gendong terus seperti orang lumpuh, hayo lepaskan totokan pada tubuhku dan aku akan jalan sendiri di sisimu selama hidupku."
Sambil tersenyum-senyum dan terus menerus menggoda dengan ceriwis sekali Giam Kin lalu menurunkan Lee Giok dan menotok beberapa jalan darahnya, kemudian mengurut punggung nyonya muda yang cantik itu. Ia tidak kuatir membebaskan Lee Giok karena kalau Lee Giok melawan, dengan mudah ia akan dapat mengatasinya kembali.
Setelah bebas dari totokan, Lee Giok terhuyung-huyung lemas. Memang tubuhnya lemas sekali, terbawa oleh perihnya perasaannya yang ditahan-tahan. Pada saat Giam Kim maju memeluknya untuk mencegahnya jatuh, ia berkata, suaranya halus mesra,
"Biarkan aku mengaso di bawah pohon ini dulu, aku... aku pening dan lesu sekali."
Sambil memeluknya Giam Kin lalu membawa Lee Giok ke bawah pohon raksasa dan mendudukkannya di atas akar pohon itu yang keluar dari dalam tanah seperti tubuh ular besar. Lee Giok menjatuhkan diri duduk di situ, lalu meramkan matanya mengumpulkan tenaga. Ketika ia sedang meramkan mata, terbayanglah wajah suaminya dan terbayang pula pengalamannya ketika ia tertawan oleh Giam Kin. Hatinya bagai ditusuk-tusuk pisau rasanya dan tak tertahankan lagi kembali air matanya be bercucuran turun.
"Ahh, kekasihku, lagi-lagi kau menangis..." Giam Kin mendekat dan hendak merangkul leher Lee Giok.
Tiba-tiba saja Lee Giok menggerakkan kedua tangannya, lalu memukul ke depan sekuat tenaganya. Giam Kin memang sudah siap sedia karena orang yang cerdik ini mana mau percaya begitu saja akan sikap menyerah dari nyonya muda yang selalu berkeras untuk membencinya ini? Cepat ia melompat mundur untuk menghindarkan diri dari penyerangan tiba-tiba ini. Lee Giok juga melompat berdiri dan memandang kepada Giam Kin penuh kebencian.
"Manusia iblis! Aku Lee Giok bersumpah tidak akan mau hidup sebelum menghancurkan kepalamu, membelah dadamu dan mencabut keluar isi dadamu!" teriak Lee Giok penuh kemarahan yang meluap-luap.
"Heh-heh, galaknya… tapi malah lebih manis!" Giam Kim mengejek. "Kau perempuan tak tahu disayang orang! Aku ingin membikin kau bahagia dan ingin mencintamu selamanya. Kiranya kau seorang yang tidak punya jantung. Baiklah, aku akan menjadikan kau barang permainanku, nanti kalau sudah bosan akan kulempar ke jurang biar menjadi makanan serigala!"
Lee Giok tidak sudi mendengarkan lagi, terus saja ia menerjang dengan kaki tangannya, mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membunuh manusia yang sangat dibencinya ini, yang sudah merusak hidupnya. Akan tetapi, seperti beberapa kali yang sudah-sudah, kali ini pun ia tak berhasil mengalahkan Giam Kin yang memang amat lihai itu. Ia malah dipermainkan oleh Giam Kin yang mengelak ke sana ke mari, berloncatan sambil mengejek dan menggoda.
Giam Kin ingin membuat Lee Giok kelelahan lebih dulu untuk kemudian ditawan lagi dan dipermainkan. Memang pada dasarnya hati Giam Kin memiliki kekejaman yang luar biasa, sudah bukan seperti manusia lagi. Hal ini tidak aneh kalau dipikir bahwa dia adalah murid tunggal dari manusia iblis Siauw-ong-kwi dan semenjak kecil sudah banyak melakukan kekejaman-kekejaman.
Tubuh Lee Giok masih amat lesu, maka ketika dipermainkan oleh Giam Kin dia menjadi semakin payah dan lemas. Akan tetapi dengan nekat nyonya muda ini menyerang terus mati-matian dengan tekad membunuh atau mati dalam pertempuran ini.
Tiba-tiba terdengar suara aneh di atas, suara melengking yang sangat nyaring sehingga menggetarkan jantung. Kemudian dari puncak pohon raksasa di bawah mana dua orang itu sedang bertempur, melayang turun seekor burung raksasa yang berbulu kuning emas.
Di punggung burung itu duduk seorang wanita muda cantik yang sinar matanya tajam dan liar. Sebelah tangannya memegang sebuah cambuk yang bercabang lima di mana terikat lima batang anak panah hijau. Di punggungnya tergantung sebuah pedang pusaka. Inilah Kwa Hong yang menunggang burung rajawali emas yang sakti itu.
"Hi-hi-hik, Giam Kin, kebetulan sekali! Tak usah aku mencarimu kau sekarang mengantar nyawa kepadaku!" kata Kwa Hong ketika ia mengenal isteri dari suheng-nya, Thio Ki.
Akan tetapi ia tidak menegur Lee Giok yang tadi amat terdesak hebat oleh Giam Kin itu. Sinar kuning emas menyambar turun dan burung itu telah menerkam ke arah kepala Giam Kin.
Bukan main kagetnya Giam Kin melihat penyerangan ini. Cepat ia melompat mundur dan membentak, "Siapa kau?!"
Bergidik juga ia melihat wanita cantik menunggang burung rajawali yang bermata liar itu.
Sementara itu Lee Giok segera mengenal Kwa Hong. Ia girang mendapat bala bantuan, akan tetapi juga heran dan kaget sekali menyaksikan keadaan Kwa Hong yang tidak wajar ini.
"Adik Hong...!" serunya.
Burung itu masih beterbangan berputar-putar di atas mereka. Kwa Hong berkata dengan suara mengejek, "Lee Giok, tidak lekas lari menunggu apa lagi? Apa kau mengharapkan tertawan oleh lawanmu yang tampan ini? Heh-heh-heh, kau mau main gila di belakang suamimu, ya?"
Kalau ada halilintar menyambar kepalanya, kiranya Lee Giok takkan begitu kaget seperti ketika ia mendengar ejekan ini. Sejenak ia memandang dengan mata terbelalak kepada Kwa Hong yang duduk di punggung burung. Lalu terlihat olehnya, sepasang mata yang mengerikan itu. Lee Giok tertusuk hatinya, sambil terisak-isak ia lalu lari pergi dari situ, diikuti suara ketawa yang mengerikan dari Kwa Hong.
Dasar watak Giam Kin mata keranjang dan keji. Melihat nona cantik jelita di punggung burung itu, ia segera tertarik sekali hatinya. Sekarang ia sudah mengenal wanita muda yang duduk di punggung burung itu. Kwa Hong murid Hoa-san-pai yang cantik itu, yang dulu pernah membuat ia tergila-gila juga.
Karena dia sendiri seorang berwatak keji, maka sinar ganas dan liar pada sepasang mata Kwa Hong itu baginya malah mendatangkan perasaan menyenangkan, malah menjadikan Kwa Hong makin manis dalam pandang matanya. Pula ia memandang rendah kepada Kwa Hong, karena murid Hoa-san-pai saja sampai di mana sih kelihaiannya?
"Aha, kukira tadi siapa. Tidak tahunya adik manis dari Hoa-san-pai. Turunlah Nona manis, dan mari bersenang-senang dengan aku. Boleh aku membonceng di punggung burungmu yang indah itu?"
Tiba-tiba sinar hijau menyambar sebagai jawaban. Giam Kin tertawa mengejek akan tetapi segera ketawanya berubah seruan kaget ketika lima batang anak panah itu menyambar kepadanya dengan kecepatan yang amat luar biasa, seperti kilat menyambar. Ia segera menjatuhkan diri di atas tanah dan hanya dengan cara begini ia dapat menyelamatkan dirinya.
Celaka baginya, wanita yang duduk di punggung rajawali emas itu ternyata lihai bukan main. Burungnya menyambar-nyambar rendah, sedangkan anak-anak panah pada ujung cambuk itu terus menyambar-nyambar dengan pukulan dahsyat sekali.
Giam Kin mencabut suling ularnya dan berusaha menangkis, akan tetapi baru dua kali menangkis saja sulingnya sudah terlepas dari tangannya dan mencelat entah ke mana. Demikian hebatnya tenaga pukulan Kwa Hong sampai-sampai dia sendiri tidak mampu menangkisnya. Mulailah pengejaran yang mengerikan.
Giam Kin lari ke sana ke mari, namun burung itu terus mengejar dan sinar hijau bersuitan di atas kepalanya. Giam Kin menjadi pucat sekali, keringat dingin bercucuran keluar. Dia menjatuhkan diri, bergulingan, tapi ke mana pun juga dia selalu dikejar oleh sinar hijau itu yang diikuti suara ketawa. Baru sekarang telinga Giam Kin mendengar suara ketawa yang mengerikan sekali, tidak semerdu tadi.
"Mampus kau.... hi-hi-hik, mampus kau...!"
Akibatnya, Giam Kin yang belum sekali pun terkena anak panah itu menjadi lemas saking lelah dan ketakutan. Gerakannya melambat dan mendadak sepasang cakar burung yang kuat sekali mencengkeram tubuhnya di bagian dada dan kepala. Terdengar suara daging dan kulit dirobek-robek diiringi suara ketawa melengking tinggi dari Kwa Hong. Beberapa kali Giam Kin mengeluarkan pekik kesakitan dan ketakutan, kemudian hening kembali di situ.
Ketika burung rajawali yang ditunggangi Kwa Hong itu kembali terbang ke atas, di bawah pohon raksasa itu tertinggal tubuh Giam Kin yang diam tak bergerak dan dalam keadaan mengerikan sekali. Pakaiannya robek-robek, dan penuh darah yang bercucuran dari dada dan mukanya yang juga sudah terobek-robek oleh cakar cakar tajam tadi.
Matanya sebelah kiri hancur, telinga kirinya juga lenyap, mulutnya robek lebar, kulit pada dadanya terbeset dan lengan kirinya tadi sudah dicengkeram sedemikian rupa oleh cakar rajawali sehingga semua urat-urat besarnya terputus dan kini lengan kiri itu kaku dengan jari-jari mencengkeram saking menahan sakit. Matikah Giam Kin? Pada saat itu masih belum, karena masih terdengar rintihan perlahan dari dadanya. Akan tetapi kalau ada orang yang menyaksikan keadaannya, orang itu tentu tak akan mengharapkan dia dapat hidup lagi.
**********
Sementara itu, Lee Giok terus berlari cepat sambil menangis terisak-isak. Ia telah terlepas dari cengkeraman tangan Giam Kin. Akan tetapi apa gunanya? Lebih baik ia mati saja. Mana mungkin dia dapat memandang wajah suaminya lagi. Lebih baik dia mati dari pada menanggung aib yang hebat. Lebih baik ia terjun ke dalam jurang yang curam. Akan tetapi, apa pula artinya kalau ia mati tanpa ada yang mengetahuinya kelak? Tetap saja dia akan mati dalam keadaan menanggung malu. Lebih baik dia ke Hoa-san dan mati di sana agar suaminya kelak tahu bahwa ia telah menebus aib itu dengan nyawanya.
Di Hoa-san dia harus mati, supaya suaminya tahu bahwa sampai detik terakhir ia masih teringat kepada suaminya, masih ingin mendekatinya walau pun hanya dengan maksud mendekatkan arwahnya dengan Hoa-san! Selain itu, alangkah akan besar dosanya kalau dia mati dengan membawa anak di dalam kandungannya. Bukankah hal itu sama artinya dengan dia membunuh anak itu? Anaknya? Anak suaminya? Tidak, ia harus menanti, biar pun hatinya akan remuk-redam. Dia harus menanti sampai anak dalam kandungannya yang sudah tiga bulan itu lahir.
Lee Giok berlari terus sampai akhirnya tubuhnya terguling menggeletak di tengah hutan saking tak kuat lagi, saking lelahnya. Sambil merintih-rintih ia merangkak ke bawah pohon yang bersih, lalu membaringkan tubuh dan pikirannya melayang-layang.
Hidupnya rusak oleh Giam Kin. Yang menjadi biang keladi adalah Kim-thouw Thian-li dan Hek-hwa Kui-bo. Semangatnya sebagai seorang gagah dalam diri Lee Giok bangkit ketika ia mengingat akan ketiga orang ini. Akan sia-sia belaka kalau ia mati sebelum ia mampu membalas, sebelum ia mampu melenyapkan tiga manusia iblis itu dari permukaan bumi. Kepandaiannya memang masih belum begitu tinggi untuk mampu mengalahkan mereka, akan tetapi ia dapat memperdalam kepandaiannya.
Setelah tidur semalam di hutan itu, pada keesokan harinya Lee Giok lalu melanjutkan perjalanannya dengan hati yang sudah mengambil dua buah keputusan, yaitu sebelum ia membunuh diri untuk mencuci noda pada dirinya, ia harus lebih dahulu melahirkan anak dalam kandungannya, kemudian tugasnya yang kedua ialah membunuh tiga orang musuh besarnya itu!
Ia tidak boleh mati sekarang, ia malah harus kuat dan harus bisa memperdalam ilmunya. Pikiran inilah yang menyelamatkan nyawa Lee Giok dan dengan hati teguh nyonya muda ini melanjutkan perjalanannya menuju Hoa-san…..
*********
Gunung Min-san berada di tapal batas antara Propinsi Se-cuan, Ceng-hai, dan Kan-su. Gunung ini amat indah pemandangannya dan merupakan pegunungan yang subur sekali. Sungai-sungai besar yang amat terkenal seperti Sungai Yang-ce-kiang dan Sungai Kuning boleh dibilang mendapatkan sumber mata airnya dari Pegunungan Min-san ini, sungguh pun masih banyak pegunungan lain yang menjadi sumbernya pula.
Salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Min-san inilah menjadi tempat tinggal Song-bun-kwi Kwee Lun yang dahulunya amat terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun-kwi. Ia dijuluki Song-bun-kwi (Setan Berkabung) sebab selalu memakai pakaian putih berkabung semenjak isterinya meninggal dan ia hidup merantau bersama dengan puteri tunggalnya, Kwee Bi Goat.
Sesudah sekarang Kwee Bi Goat menikah dengan Tan Beng San dan hidup bahagia di Min-san, Kwee Lun ini tidak patut lagi dijuluki Song-bun-kwi karena ia tak lagi berpakaian berkabung, juga tak lagi hidup seperti yang sudah-sudah, yaitu seperti manusia iblis yang ditakuti orang. Kakek ini sekarang hidup tenang dan tenteram di Pegunungan Min-san ini, malah setiap hari bertani atau semedhi memperdalam ilmu batinnya.
Ada pun Kwee Bi Goat yang dahulunya gagu, tapi sekarang telah sembuh, menjadi isteri yang cantik jelita dan penuh kasih sayang bagi Beng San. Suami isteri ini bersama Kakek Kwee hidup aman dan damai di Min-san.
Akan tetapi, nasib manusia memang tidak menentu seperti air laut, kadang-kadang surut. Baru beberapa bulan saja mereka hidup penuh madu kasih dan kebahagiaan di Min-san, datanglah seorang tosu dari Hoa-san-pai yang minta bantuan Beng San untuk menolong Hoa-san-pai yang sedang ditimpa mala petaka karena pengamukan Kwa Hong.
Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Beng San yang mengingat akan hubungannya dengan Hoa-san-pai dahulu, terpaksa pergi meninggalkan isterinya yang tercinta untuk membantu Hoa-san-pai. Kepergiannya ini diakhiri dengan kehancuran hatinya sehingga membuat ia tidak berani pulang dan tidak berani bertemu muka dengan isterinya!
Berbulan-bulan Bi Goat menunggu kembalinya suaminya dengan hati penuh rindu dan kekuatiran. Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi hatinya yang penuh rasa kegelisahan. Ia takut kalau-kalau suaminya tertimpa bencana karena sudah terlalu lama meninggalkan rumah tanpa ada kabar beritanya dan juga tidak kelihatan pulang. Akhirnya Bi Goat lalu minta pertolongan ayahnya untuk pergi menyusul Beng San ke Hoa-san dan mencarinya sampai dapat.
"Hemmm, baru ditinggal beberapa bulan saja kau sudah rewel!" Kwee Lun mengomel. "Sudah lama aku tidak meninggalkan gunung, kalau turun gunung aku takut akan kumat penyakitku yang lama!"
Kakek yang dulu dijuluki setan berkabung itu mula-mula menolak permintaan puterinya. Ia sudah mulai senang dengan hidup bersunyi di puncak yang indah itu, hidup menikmati ketenteraman di hari tua.
"Ayah, jangan salah mengerti. Bukan sekali-kali karena aku terlalu manja dan tidak bisa ditinggalkan suami yang pergi menjalankan tugas sebagai orang gagah. Tetapi, harap Ayah ketahui bahwa sekarang kandunganku sudah lima bulan. Bagaimana kalau sampai tiba saatnya melahirkan tidak ada ayahnya di sini? Ayah, apa kau tidak kasihan padaku?" Suara Bi Goat menggetar dan hati kakek yang dulu dianggap manusia iblis itu mencair.
"Baiklah... baiklah... dasar bocah yang jadi mantuku itu tidak tahu diri! Akan kucari dia dan kuseret pulang!"
Sambil mengomel panjang pendek, kakek yang pernah menjadi tokoh nomor satu di dunia kang-ouw sebelah barat itu akhirnya turun gunung meninggalkan Min-san untuk menyusul dan mencari anak mantunya, Tang Beng San.
Sebulan sudah Song-bun-kwi Kwee Lun meninggalkan Min-san. Pada suatu sore Bi Goat duduk seorang diri di halaman depan rumahnya. Dengan penuh harapan, seperti setiap sore yang lalu, dia duduk menanti kalau-kalau ayah dan suaminya pulang.
Para pelayan yang tak kurang enam orang banyaknya, sudah selesai bekerja dan sedang asyik mengobrol di belakang rumah. Bi Goat duduk seorang diri menghadapi cangkir teh dan makanan yang mengandung khasiat penguat badan. Ayahnya banyak memberikan makanan seperti ini untuknya.
Mendadak dia mendengar suara aneh di udara. Ketika dia mengangkat muka, Bi Goat terheran-heran melihat seekor burung yang besar dan indah sekali terbang berputaran di atas puncak itu. Cahaya matahari senja yang merah membuat bulu burung itu kelihatan kuning kemerahan, amat indahnya seperti emas.
"Ahh, burung rajawali kalau aku tidak salah...," kata Bi Goat kagum sekali.
Mendadak wajahnya berubah dan nyonya muda ini cepat barigkit berdiri dari kursinya. Ia melihat sesuatu yang aneh, sesuatu yang ajaib. Ada seorang wanita menunggang burung rajawali itu!
"Mimpikah aku?" gumamnya seorang diri sambil menggosok-gosok matanya.
Tidak, ia tidak mimpi. Malah kini burung itu menukik turun dan tak lama kemudian burung itu sudah sampai di atas tanah, hanya belasan meter jauhnya dari tempat Bi Goat berdiri. Wanita muda dan cantik itu melompat turun dari punggung rajawali.
Dengan hati berdebar-debar Bi Goat mendapatkan kenyataan bahwa wanita itu sedang mengandung. Malah perutnya lebih besar dari pada perutnya sendiri. Kandungan wanita itu sudah tua. Wanita itu melangkah maju, agak terhuyung-huyung.
Bi Goat adalah seorang yang pada dasarnya memiliki budi yang halus. Melihat wanita yang mengandung tua ini terhuyung-huyung dan nampak letih, mukanya pucat, ia cepat lari menghampiri dan merangkul pundaknya.
"Hati-hatilah, Cici...," katanya halus.
Wanita itu bukan lain adalah Kwa Hong! Kemarahannya ketika tadi turun dan menduga bahwa wanita cantik yang juga sudah mengandung di depannya itu tentulah isteri Beng San, agak mereda oleh sikap halus Bi Goat. Pernah ia melihat Bi Goat, akan tetapi hanya sebentar maka ia sudah lupa lagi.
Demlkian pula Bi Goat, biar pun pernah bertemu dengan Kwa Hong, tapi karena baru sekali dan hanya sebentar, ia pun sudah lupa lagi.
"Di mana Beng San? Aku ingin bicara dengannya," berkata Kwa Hong menahan marah, suaranya agak ketus dan sama sekali ia tidak menyambut baik sikap halus dari Bi Goat tadi.
Bi Goat terkejut, tapi ia menjawab juga. "Suamiku sudah beberapa bulan turun gunung, sampai sekarang belum pulang," jawabnya masih halus dan hati-hati ia bertanya, "Tidak tahu siapakah Cici ini dan ada keperluan apalah mencari suamiku?"
"Hemmm, jadi kau ini Bi Goat, dara baju merah yang dulu gagu itu?" tanya Kwa Hong, suaranya mengejek dan pandang matanya menyapu Bi Goat dari atas ke bawah.
Kini Bi Goat mulai curiga. Pandang matanya tajam menyelidik. "Kau siapakah dan apa keperluanmu datang ke Puncak Min-san ini?"
"Heh, kau sudah lupa kepadaku. Aku Kwa Hong..."
"Ohhh, murid Hoa-san-pai?"
"Bodoh! Ketua Hoa-san-pai, bukan murid! Aku datang mencari Beng San. Mana dia?"
"Sudah kukatakan tadi, dia sedang pergi." Bi Goat mulai tak senang hatinya.
"Aku mencari Beng San, bukan suamimu."
"Beng San adalah suamiku!" jawabnya Bi Goat sekarang agak ketus.
Kwa Hong tersenyum mengejek, lalu melirik ke arah perut Bi Goat. Dia bertanya penuh ejekan, "Berapa bulan kau mengandung?"
"Heee?! Kenapa...?" Wajah Bi Goat menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat bahwa yang mengajukan pertanyaan ini pun sedang mengandung, tentu ia akan menjadi marah. "Sudah enam bulan, mengapa?"
Kembali Kwa Hong tersenyum mengejek. "Seharusnya tadi kau bilang baru enam bulan, bukannya sudah enam bulan. Jadi baru enam bulan, kan? Lihat kandunganku ini sudah sembilan bulan! Mana lebih dulu? Sebelum menjadi suamimu, Beng San sudah menjadi ayah dari anak yang kukandung ini, tahu?"
Seketika wajah Bi Goat menjadi amat pucat. Ucapan Kwa Hong itu betul-betul merupakan pedang yang menusuk tembus jantungnya. Gemetar seluruh tubuhnya dan suaranya pun menggigil ketika ia berseru, "Kau... kau bohong...!"
Kwa Hong memperlebar senyumnya. "Kalau tak percaya kau tanyakan saja kepada Beng San. Hayo, mana dia? Panggil dia keluar, dia harus menyaksikan kelahiran anaknya..." Tiba-tiba Kwa Hong mengeluh sambil memegangi perutnya.
"Dia sedang pergi... hee, bagaimana ini? Kau kenapa, Cici...?"
Bingung juga Bi Goat melihat Kwa Hong tiba-tiba terhuyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat dia tangkap lengannya. Dia melihat wajah Kwa Hong pucat sekali, mulutnya merintih-rintih dan keadaannya hampir pingsan.
Memang pada dasarnya Bi Goat seorang yang berhati mulia. Biar pun ia tadi marah sekali dan perasaannya seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan Kwa Hong, akan tetapi melihat keadaan nyonya muda yang akan melahirkan itu dia menjadi tidak tega dan cepat-cepat menolong.
"Biarlah... aku... aku harus melahirkan... di tempat tinggal... Beng San...," demikian Kwa Hong mengeluh perlahan ketika siuman.
Sementara itu, Bi Goat sudah berseru memanggil para pelayannya dan Kwa Hong lalu digotong masuk ke dalam rumah. Karena dia sendiri sedang mengandung, maka Bi Goat memang sudah mengundang seorang wanita tua yang ahli menolong orang beranak dan yang disuruh tinggal di rumahnya. Maka Kwa Hong dapat menerima pertolongan yang cepat.
Dalam keadaan setengah sadar saking menahan sakit, Kwa Hong mengigau dan bercerita kepada Bi Goat tentang hubungannya dengan Beng San dulu, juga tentang pertemuannya yang terakhir. Semua diceritakan oleh Kwa Hong sehingga Bi Goat yang mendengarkan ini hanya dapat menangis dengan hati hancur.
Dia amat mencinta Beng San, sejak dahulu ia mencinta Beng San dengan seluruh jiwa raganya. Ia tidak rela kalau Beng San membagi cintanya dengan wanita lain, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan parah luka yang ditimbulkan oleh penuturan Kwa Hong ini di dalam hatinya.
Pada tengah malam hari itu, dari dalam rumah Bi Goat terdengarlah suara pertama dari seorang bayi yang baru saja terlahir. Tangisnya memecahkan kesunyian malam, nyaring melengking. Tangis seorang bayi laki-laki yang montok dan sehat.
Tidak lama kemudian terdengar lengking lain susul-menyusul menjawab tangis bayi ini, suara lengking tinggi yang datangnya dari atas rumah. Itulah suara lengking rajawali emas yang menanti munculnya Kwa Hong sambil mendekam dl atas wuwungan genteng rumah itu. Entah mengapa binatang itu melengking, mungkin karena tangis bayi itu hampir sama dengan suaranya sendiri.
Meski pun hatinya hancur, siang malam Bi Goat menunggui Kwa Hong dan merawatnya dengan baik. Sepekan kemudian Kwa Hong sudah sembuh. Dia menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, lalu ia keluar dari rumah itu memanggil rajawali emas.
Burung itu yang mulai tak sabar dan setiap hari berkaok-kaok di depan rumah, menjadi girang sekali dan menyambar turun. Bi Goat yang berwajah pucat sekali mengikuti Kwa Hong dari belakang.
"Cici Hong, kau baru sepekan melahirkan, jangan pergi dulu...," katanya menahan.
Akan tetapi Kwa Hong tidak peduli. Ia membawa anaknya melompat ke arah punggung rajawali, lalu berkata, "Katakan kepada Beng San kalau dia pulang, bahwa aku tidak bisa membunuhnya karena kalah kuat, dan aku juga tak bisa membunuhmu karena kau telah menolongku ketika aku melahirkan. Akan tetapi kelak anak inilah yang akan membunuh Beng San, kau dan semua anak anak dan keluargamu!"
Setelah berkata demikian, Kwa Hong menepuk-nepuk leher rajawali emas yang segera melengking tinggi dan melesat, terbang ke atas dengan cepat sekali. Untuk beberapa lama Bi Goat berdiri bengong, kemudian dia mengeluh dan tubuhnya menjadi lemas. Dia roboh pingsan di depan pintu rumahnya! Para pelayan segera mengejar keluar dan sibuk menolong nyonya muda yang menderita kehancuran hati ini.
Bi Goat jatuh sakit dan semenjak hari itu ia tidak kuat lagi bangun dari tempat tidurnya. Badannya panas dan setiap kali panasnya naik, dia selalu mengigau menyebut-nyebut nama suaminya dan Kwa Hong. Setiap kali ia berusaha untuk tidak mempercayai semua omongan Kwa Hong, namun hal itu amat sukar baginya.
Diharap-harapkan kedatangan suaminya supaya dia dapat bertanya mengenai Kwa Hong. Pengharapan bahwa suaminya akan menyangkal semua itu merupakan sinar kecil yang masih menerangi hatinya, penuh harapan. Akan tetapi, suaminya tidak kunjung pulang, malah ayahnya yang mencari dan menyusul suaminya itu, belum juga pulang.
Dua bulan ia jatuh sakit itu, sementara kandungannya makin besar, sudah delapan bulan lamanya dia mengandung. Pada suatu sore, datanglah Song-bun-kwi Kwee Lun. Bi Goat yang sudah agak kuat segera turun dari tempat tidurnya dan keluar meyambut.
"Ayah, mana dia? Mana Beng San...?" tanyanya dengan nada suara penuh harapan.
Kwee Lun kaget sekali melihat puterinya menjadi begini kurus dan wajahnya begini pucat. "Bi Goat, kau kenapakah? Sakitkah kau? tanyanya gugup sambil melangkah maju.
"Ayah, mana suamiku? Mana Beng San-koko?" Bi Goat tidak mempedulikan pertanyaan ayahnya, tapi mendesak menanyakan suaminya.
Terpaksa Kwee Lun menjawab, "Aku tidak dapat menjumpai dia. Kabarnya dia ke utara, mungkin terlibat lagi dalam urusan pemberontakan terhadap kaisar baru. Ahhh, anak itu memang tak tahu diri!"
Kekecewaan hebat merupakan palu godam yang menghantam pertahanan terakhir di hati Bi Goat. Matanya terbelalak, kemudian tertutup dan tubuhnya limbung. Cepat Kwee Lun merangkul dan ayah yang gelisah dan keheranan ini segera memondong tubuh puterinya, dibawa masuk ke dalam kamar Bi Goat.
Dengan suara parau Kwee Lun memanggil pelayan-pelayan yang segera berlari-larian mendatangi, memaki-maki mereka yang dikatakan tidak melayani Bi Goat sebaiknya.
Setelah siuman kembali Bi Goat hanya menangis terus, tidak mau menjawab pertanyaan ayahnya. Dan pada malam itu juga Bi Goat melahirkan kandungannya yang belum penuh sembilan bulan itu. Kelahiran yang sukar sekali, membuat nenek yang membantunya bermandikan peluh, para pelayan kebingungan dan semua ini membuat Kwee Lun yang menjaga di luar kamar menjadi makin gelisah.
Beberapa kali Bi Goat pingsan dan kalau sudah siuman ia memanggil-manggil nama Beng San, mengeluh tak kuat lagi. Akhirnya menjelang pagi lahirlah bayi dalam kandungannya. Tangisnya keras sekali, membuat Kwee Lun melonjak kaget dari tempat duduknya. Lalu bagaikan gila kakek ini lalu mendorong pintu kamar untuk segera melihat wajah cucunya. Apa yang ia lihat?
Ia berdiri tegak bagai patung raksasa. Mukanya pucat, matanya melotot selebar-lebarnya, bukan memandang kepada bayi laki-laki yang bergerak-gerak dan menangis hebat itu, melainkan ke atas ranjang, memandang kepada Bi Goat yang telentang tak bergerak, dengan mata setengah terbuka dan mulut menyeringai kesakitan, wajah yang putih dan mata yang tidak bersinar lagi karena berbareng dengan lahirnya bayinya ibu muda yang malang ini telah ditinggalkan nyawanya.
Untuk beberapa lama Song-bun-kwi Kwee Lun berdiri tegak dengan muka pucat, telinga seperti tuli tidak mendengar suara tangis bayi yang bercampur dengan suara tangis para pelayan, tidak melihat betapa nenek pembantu kelahiran itu sangat sibuk membersihkan bayi kemudian membungkusnya dengan kain putih bersih.
Akhirnya tampak air mata berkumpul di pelupuk mata tua itu, lalu setetes demi setetes air mata itu mengalir turun. Bibir kakek itu bergerak-gerak, lalu terdengar suaranya parau, "Bi Goat... kenapa kau mati...? Habis aku bagaimana..." Berulang-ulang kalimat ini keluar dari mulutnya, kemudian ia menubruk maju dan kakek ini lalu menangis menggerung-gerung sambil memeluki mayat Bi Goat.
Sampai lama ia menangis bagai anak kecil. Saat ia mengangkat kembali mukanya yang menjadi basah air mata, matanya merah dan mengerikan. Ia sudah berhenti menangis secara tiba-tiba, lalu ia memandang ke sana ke mari, menyapu ruangan itu dengan sinar matanya yang beringas.
Ketika ia melihat nenek pembantu kelahiran yang duduk di pojok dengan ketakutan, ia melompat maju dan sekali terkam nenek itu sudah diangkatnya lalu dibantingnya ke lantai. Sekali banting saja nenek itu tidak berkutik lagi, kepalanya pecah dan nenek yang malang itu tewas tanpa dapat bersambat lagi, Song-bun-kwi Kwee Lun makin beringas, matanya liar.
"Ampun, Lo-ya (Tuan Tua)... ampun… hamba semua tidak berdosa. Nyonya muda jatuh sakit setelah kedatangan seorang nyonya yang mengaku bernama Kwa Hong dan yang melahirkan anak di rumah ini. Menurut pengakuannya, Nyonya Kwa Hong itu adalah isteri pertama Siauw-ya (Tuan Muda)... eh, bukan isteri... hubungan di luar nikah... datangnya menunggang rajawali emas, mengerikan sekali, Lo-ya... semenjak itulah Nyonya Muda lalu jatuh sakit..."
Mendengar ini, Kwee Lun mengeluarkan suara menggereng bagai seekor binatang buas, lalu terdengar suaranya, "Beng San, keparat kau... mampus kau olehku...!"
Tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak lagi, kini sekali sambar ia telah mencengkeram buntalan kain yang terisi bayi yang masih menangis nyaring itu. Bukan main tangis bayi itu, seakan-akan dalam kelahirannya sekaligus ia menangisi kematian ibunya. Begitu lahir anak ini sudah harus menghadapi kematian ibunya. Betapa memilukan.
"Mampus kau...! Mampus kau...!" Kwee Lun mengangkat buntalan itu tinggi-tinggi seperti hendak membantingnya!
"Lo-ya..., ampunkan anak itu yang tidak berdosa..."
"Lo-yaaaa, ampun...!"
"Jangan, Lo-ya, jangan...!" Para pelayan itu menjerit-jerit.
Jerit tangis pelayan ini seakan-akan menyadarkan Kwee Lun, matanya tidak lagi menatap buntalan, melainkan liar menyapu ke kanan kiri, kemudian terdengar ia menggereng dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Kakek itu lari keluar dan turun gunung membawa buntalan bayi, cucunya yang baru saja lahir!
Tidak ada jalan lain bagi para pelayan itu kecuali mengurus jenazah Bi Goat dan nenek bidan itu. Dengan bantuan penduduk kampung di kaki bukit yang mereka mintai bantuan, dua jenazah itu dikuburkan di belakang rumah dengan upacara sederhana. Para pelayan itu hanya dua yang tinggal untuk mengurus rumah dan menanti kembalinya Beng San….
**********
Rencana yang baru saja dirundingkan oleh utusan Raja Muda Lu Siauw Ong dan Ho-hai Sam-ong, benar-benar dilaksanakan oleh dua golongan yang haus akan kedudukan dan berusaha menggulingkan kekuasaan kaisar baru, Thai Cu. Mereka ini benar-benar terlalu percaya kepada kekuatan sendiri sehingga biar pun rahasia mereka itu telah diketahui oleh Li Cu dan Beng San yang sudah berhasil meloloskan diri, akan tetapi tetap saja mereka melanjutkan rencana itu. Mereka berhasil mengumpulkan banyak sekali pasukan bajak dan perampok, juga pihak Raja Muda Lu Siauw Ong yang bertugas merampas tahta selagi Kaisar pergi, berhasil menghasut pasukan besar tentara.
Pada hari yang telah ditentukan, rombongan Kaisar Thai Cu berangkat meninggalkan kota raja menuju ke utara, yaitu ke kota raja lama di Peking. Rombongan ini dikawal ketat oleh sepasukan tentara pilihan, yaitu para pengawal pribadi kaisar. Sebagai seorang bekas panglima perang, Kaisar Thai Cu tidak merasa gentar melakukan perjalanan jauh ini walau pun dia sudah tahu akan adanya banyak golongan yang tidak suka kepadanya karena tidak diberi kedudukan tinggi seperti yang mereka inginkan. Akan tetapi sama sekali Kaisar ini belum tahu akan siasat busuk yang direncanakan oleh Ho-hai Sam-ong dan Raja Muda Lu Siauw Ong yang sudah bersekongkol itu.
Di sepanjang jalan rakyat dusun menyambut Kaisar baru itu dengan meriah. Tampaknya rakyat amat mengagumi Kaisar yang telah berhasil membebaskan negara dari penjajahan bangsa Mongol itu. Orang-orang bersorak memberi hormat, di mana-mana rombongan Kaisar disambut tari-tarian daerah. Malah setiap dusun tentu mengutus orang-orang muda yang gagah perkasa untuk mengiring rombongan ini sampai di dusun lain, lalu diganti oleh para muda dusun ini, demikian seterusnya.
Kaisar amat gembira dengan ini semua. Kaisar menyangka bahwa hal itu memang sudah semestinya karena rakyat merasa sangat gembira dapat terbebas dari penjajahan. Sama sekali Kaisar ini tidak tahu bahwa biar pun sudah terbebas dari pada penjajahan Mongol, sesungguhnya rakyat kecil apa lagi para petani masih sama sekali belum bebas dari pada belenggu penjajahan para tuan tanah yang kadang kala malah lebih keras dan kejam dari pada penjajah Mongol sendiri!
Juga Kaisar ini tidak tahu bahwa sebagian besar dari para pengiring ini, yang terlihatnya sebagai orang-orang kampung, sebenarnya adalah orang-orang gagah dari Pek-lian-pai dan para bekas pejuang yang setia kepadanya. Mereka ini anak buah dari Tan Hok yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga rombongan Kaisar selalu terkawal anak buahnya. Malah masih banyak lagi orang yang mengawal secara sembunyi, ada yang mendahului rombongan, dan ada pula yang mengiring dari jauh di belakangnya.
Tan Hok memang hebat. Raksasa ini semenjak berkecimpung dalam perjuangan ternyata sudah makin matang sebagai seorang pemimpin dan pengatur siasat yang ulung. Secara cepat sekali, sesudah dia mendengar penjelasan dari Beng San tentang persekongkolan antara Beng Kui dan Ho-hai Sam-ong, ia pergi ke kota raja dan bersama para panglima pasukan yang setia kepada Kaisar itu lalu berunding dan membuat rencana.
Cepat sekali dia menyiapkan pasukan Pek-lian-pai dan kawan-kawan seperjuangan yang terpilih, yaitu orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, untuk secara diam-diam mengiringi, mengawal atau melindungi rombongan Kaisar yang hendak pergi ke utara.
Juga Beng San sendiri ia serahi tugas yang paling berat, yaitu mengawal Kaisar secara sembunyi. Tan Hok maklum akan kelihaian Beng San, maka tugas penting ini ia serahkan kepada Beng San, sedangkan ia sendiri perlu mengatur pasukan gabungan di kota raja untuk menindas dan menggempur pemberontakan dari dalam yang hendak dilakukan oleh Raja Muda Lu Siauw Ong.
Pada saat Kaisar menggunakan perahu naga menyeberangi Sungai Huang-ho, keadaan di sungai juga ramai bukan main. Para nelayan seakan-akan datang dari segenap penjuru untuk mengelu-elukan kaisar baru ini. Juga di sini Kaisar tidak tahu bahwa para nelayan ini sebagian besar adalah anggota-anggota Pek-lian-pai, malah ada pula beberapa orang anak buah Ho-hai Sam-ong yang menyelinap, dan ada beberapa orang pembunuh datang untuk mencari kesempatan baik menghabiskan nyawa Kaisar Thai Cu!
Maka, amat kagetlah Kaisar dan para pengiringnya ketika perahu sampai di tengah sungai di kanan kiri perahu tiba-tiba timbul enam mayat di permukaan air. Mayat-mayat ini adalah mayat orang-orang yang tadinya berusaha melubangi perahu dengan jalan menyelam di bawahnya.
Namun anak buah Tan Hok yang waspada dan memang sudah dipilih ahli-ahli dalam air, telah mengetahui akan hal ini dan cepat mereka itu pun menyelam. Terjadi pertandingan di bawah perahu, di dalam air yang amat hebat tanpa diketahui oleh mereka yang berada di permukaan air.
Tahu-tahu mayat para penjahat itu timbul di permukaan air mengagetkan semua orang. Kaisar buru-buru memerintahkan agar perahu dipercepat penyeberangannya.
Sesudah sampai di seberang Sungai Huang-ho sebelah utara dan rombongan memasuki sebuah hutan yang amat lebat, mulailah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Ho-hai Sam-ong dan pasukannya yang sudah beberapa hari menghadang di tempat ini. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai bergemuruh dan pasukan bajak dibantu oleh pasukan mereka yang tak puas melihat Cu Goan Ciang menjadi Kaisar, lantas berserabutan keluar dari tempat persembunyian dengan senjata di tangan.
"Bunuh Ciu Goan Ciang!"
"Seret Kaisar lalim!"
Demikianlah ucapan-ucapan yang ditujukan kepada Kaisar. Mulailah terjadi pertempuran hebat antara para penyerbu dan para pengawal Kaisar. Makin lama semakin banyaklah penyerbu. Kaisar sendiri tampaknya tenang-tenang saja karena semenjak penyeberangan tadi tidak memperlihatkan diri, terus bersembunyi saja di dalam tandunya yang sekarang terpaksa diturunkan dan dilindungi oleh beberapa orang pengawal pribadi.
Tiba-tiba Ho-hai Sam-ong sendiri, tiga orang kepala bajak yang lihai itu, meloncat ke dekat tandu Kaisar ini. Mereka memang sengaja mengincar Kaisar dan hendak turun tangan sendiri.
Melihat tandu dengan tanda pangkat Kaisar, serta bendera berkibar di atasnya, Ho-hai Sam-ong girang sekali. Mereka mengeluarkan tanda suitan. Lalu bermunculan Hek-hwa Kui-bo, Kim-thouw Thian-li, dan masih banyak lagi kepala rampok dan orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam) datang menyerbu ke tempat itu.
Para pengawal pribadi dengan gigih menyambut serbuan orang-orang ini, namun dalam beberapa gebrakan saja robohlah belasan orang pengawal. Lui Cai Si Bajul Besi sendiri dengan sebuah loncatan meninggalkan kawan-kawannya yang sedang menandingi para pengawal pribadi itu, langsung mendekati tandu. Senjatanya berupa dayung baja yang besar berat itu sudah diayunnya, mulutnya berseru,
"Ha-ha-ha-ha, Ciu Goan Ciang! Lihat baik-baik, ini Lui Cai datang untuk menghancurkan kepalamu!"
Tiba-tiba kain tenda dari joli itu terbuka dan keluarlah seorang laki-laki tua dengan tubuh menggigil dan muka pucat. Tangan Lui Cai yang memegang dayung gemetar, ia berteriak sambll melangkah mundur. Kiranya orang yang berada di dalam joli itu bukanlah Kaisar, melainkan seorang yang menyamar sebagai Kaisar dan memakai pakaian kaisar!
"Celaka...!" serunya dengan muka pucat. "Kita telah terjebak... dia bukan Kaisar!"
Sementara itu, para pengawai pribadi Kaisar amat repot menghadapi amukan para kepala bajak yang dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang ganas. Akan tetapi tiba-tiba terlihat bayangan merah berkelebat cepat didahului sinar pedang yang gemilang.
Robohlah beberapa orang penjahat seperti alang-alang dibabat. Dalam waktu singkat saja pengamuk ini sudah berhadapan dengan Ho-hai Sam-ong serta dua orang pembantunya yang paling dahsyat bersama sepuluh orang lagi kepala rampok.
"Ho-hai Sam-ong, kalian benar-benar ingin mampus!" teriakan yang nyaring tetapi merdu terdengar lantang.
Kiranya yang muncul ini bukan lain adalah Cia Li Cu yang sebenarnya sudah sejak tadi mengamuk di sebelah luar hutan untuk menerjang masuk. Seperti diceritakan di bagian depan, Li Cu juga sudah mendengar semua rencana busuk yang diatur oleh Beng Kui dan Ho-hai Sam-ong, maka cepat-cepat gadis ini pulang menemui ayahnya dan menceritakan semua yang dia alami, kecuali pengalamannya dengan Beng San!
Sebagai seorang patriot berjiwa besar, Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan marah bukan main mendengar bahwa muridnya yang pertama, murid yang dicintanya dan malah yang akan menjadi mantunya, telah menyia-nyiakan Li Cu. Hal ini masih belum berapa hebat seperti ketika dia mendengar bahwa Beng Kui hendak berkhianat.
Wajahnya menjadi merah, matanya berkilat-kilat. Dia lalu menyuruh Li Cu berangkat lagi untuk melindungi Kaisar secara diam-diam, sementara dia sendiri pergi menuju ke kota raja untuk berhadapan dengan Beng Kui, muridnya.
Demikianlah, Li Cu segera melakukan perjalanan cepat dan kedatangannya tepat sekali pada saat para pemberontak itu menyerbu ke dalam peperangan. Dia mengamuk dengan pedang pendek Liong-cu-kiam yang tajam dan ampuh.
Ketika Ho-hai Sam-ong melihat Li Cu, mereka menjadi marah sekali. Lui Cai melompat maju dan memaki, "Siluman cilik! Tentunya kau yang sudah membuka rahasia dan Kaisar sekarang sengaja bersembunyi. Kaulah yang bosan hidup, sekarang kami tidak akan mau mengampunimu lagi!"
Dayungnya lantas menyambar dahsyat, akan tetapi segera ia tarik kembali ketika pedang Liong-cu-kiam sengaja dibabatkan oleh Li Cu sambil tersenyum. Lui Cai sudah mengenal ketajaman pedang itu dan kelihaian gadis ini, maka untuk bertempur seorang melawan seorang kiranya dia tak akan dapat menang.
"Ji-te, Sam-te, hayo kita binasakan bocah ini dulu!" teriaknya sambil memutar dayung.
Kiang Hun dan Thio Ek Sui yang juga merasa amat kecewa melihat bahwa yang duduk di dalam joli itu bukan Kaisar segera memutar senjata dan mengeroyok Li Cu. Sebentar saja Li Cu sudah sibuk dikeroyok tiga oleh Ho-hai Sam-ong, seperti ketika ia dikeroyok di atas perahu dahulu itu. Akan tetapi ia tidak gentar dan pedangnya diputar cepat untuk melayani tiga orang musuhnya yang benar-benar tangguh itu.
Sementara itu, Hek-hwa Kui-bo dan muridnya, juga para kepala perampok yang tadinya menyerbu ke sana untuk bersama-sama membinasakan Kaisar, sekarang sudah mulai bertempur kembali menghadapi para pengawal yang kini dibantu oleh orang-orang dari Pek-lian-pai yang tadinya menyamar sebagai petani dan nelayan.
Makin lama makin banyak anggota-anggota Pek-lian-pai yang berdatangan. Bahkan yang mendahului rombongan Kaisar sudah pula diberi tahu dan kini mereka datang menyerbu dari utara. Hal ini membuat para pemberontak terdesak hebat, apa lagi karena di pihak Pek-lian-pai terdapat banyak orang-orang gagah yang tinggi kepandaiannya.
Melihat pihaknya terdesak hebat, Ho-hai Sam-ong menjadi gelisah. Bagaimana dapat muncul demikian banyaknya yang membantu Kaisar? Tidak salah lagi, ini tentu jebakan yang sengaja diatur oleh Kaisar yang dulunya juga seorang panglima perang yang pandai. Dan tentu karena rahasia mereka sudah dibocorkan oleh gadis puteri Bu-tek Kiam-ong ini. Kemarahan Ho-hai Sam-ong terhadap Li Cu makin menjadi.
"Hek-hwa Kui-bo, harap bantu kami menangkap gadis liar ini!" seru Lui Cai.
Mendengar ini, Hek-hwa Kui-bo yang tadinya sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang Pek-lian-pai, lantas bersuit keras. Inilah tanda bagi para anggota perampok untuk menahan penyerbuan musuh agar dia dan Ho-hai Sam-ong tidak terganggu dalam usaha mereka menangkap Li Cu.
Setelah Hek-hwa Kui-bo datang mengeroyoknya, sebentar saja Li Cu menjadi terdesak hebat. Gadis ini dengan gigih mempertahankan dirinya.
"Ho-hai Sam-ong dan Hek-hwa Kui-bo, jangan banyak bertingkah!" mendadak terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu di situ sudah muncul Beng San dengan tangan kosong!
Diam-diam Li Cu girang bukan main, akan tetapi melirik pun ia tidak mau ke arah Beng San. Ada pun Ho-hai Sam-ong ketika melihat kedatangan pemuda yang sangat lihai itu, seketika menjadi pucat. Serentak mereka menyerang pemuda yang bertangan kosong itu. Yang paling cepat menyambar tubuh Beng San adalah tambang di tangan Kiang Hun.
Beng San menggerakkan tangan menangkap ujung tambang. Sekali membetot tambang itu putus menjadi dua, tepat di tengah-tengah sehingga separoh tambang itu berada di tangan Beng San dan menjadi senjatanya! Ketika Beng San menggerakkan tambang itu, kiranya ia tidak kalah hebat memainkan senjata aneh ini dari pada Kiang Hun!
Li Cu mendapat angin. Pedangnya bergerak cepat, maka robohlah Thio Ek Sui sambil menjerit keras. Dadanya tertembus oleh Liong-cu-kiam.
Kiang Hun menjadi gugup sekali sehingga kembali pedang Liong-cu-kiam menyerempet pundaknya. Dia memekik dan meloncat hendak lari, tetapi dari belakangnya menyambar dua batang tombak anggota Pek-lian-pai sehingga Kiang Hun juga roboh binasa.
Dengan tambangnya Beng San menghadapi Lui Cai yang masih mengamuk mati-matian, dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo. Sedikit saja Lui Cai terlambat bergerak, jalan darahnya di dada telah disentuh oleh ujung tambang itu. Ia roboh lemas dan kembali pedang pendek Liong-cu-kiam di tangan Li Cu bekerja, menamatkan riwayat kepala Ho-hai Sam-ong ini.
"Nona Cia, awas...!"
Beng San cepat meniup dengan mulutnya ke depan, malah mengebut-ngebutkan kedua tangan untuk mengusir asap beracun berwarna merah. Namun terlambat, Hek-hwa Kui-bo tadi dengan cepatnya mengebutkan sapu tangannya dan asap kemerahan menyambar ke depan, ke arah Li Cu.
Gadis ini baru saja menewaskan Lui Cai dan kurang waspada. Meski ia sudah mengelak karena mendengar seruan Beng San, tetapi masih ada asap yang memasuki hidungnya. Ia mengeluh, terhuyung-huyung dan pedangnya terlepas dari pegangan.
Beng San cepat-cepat memeluk dan memondongnya sambil menyambar Liong-cu-kiam. Ia masih melihat Hek-hwa Kui-bo menyambar tangan muridnya melarikan diri di antara banyak orang yang bertempur. Ia tidak peduli lagi. Yang paling perlu Li Cu harus dibawa pergi dari tempat berbahaya itu. Sekali meloncat ia sudah lolos dari kepungan musuh, lalu mengerjakan kakinya untuk merobohkan setiap orang penghalang, langsung ia membawa Li Cu ke tempat sunyi di lain bagian dari hutan itu.
Di bawah sebatang pohon besar yang sangat sunyi di dalam hutan itu, Beng San cepat menurunkan Li Cu dan memeriksanya. Sedikit banyak dia juga sudah mempelajari ilmu pengobatan dari mertuanya, Song-bun-kwi Kwee Lun, terutama mengenai akibat senjata beracun.
Ketika menurunkan tubuh Li Cu dan melihat muka gadis itu, ia kaget bukan main. Wajah Li Cu sepucat salju dan napasnya sesak hampir berhenti. Dari mulut yang terengah-engah itu tercium bau wangi yang memuakkan, yaitu bau racun asap kemerahan yang tadi kena tersedot oleh gadis ini.
Beng San lalu memutar otak. Menurut keterangan dari mertuanya, mengobati akibat dari keracunan hanya dua macam, pertama memasukkan racun yang berlawanan atau obat penawar ke dalam tubuh si sakit untuk memerangi racun itu. Ke dua, mengeluarkan racun dari tubuh si sakit.
Kalau Li Cu terluka oleh senjata beracun, ia dapat mengeluarkan racun itu dengan cara menyedot lukanya sehingga racun yang telah bercampur dengan darah itu dapat tersedot keluar. Ada pun Li Cu terserang racun bukan melalui luka, melainkan racun itu langsung memasuki paru-parunya melalui mulut, bagaimana ia akan dapat mengeluarkan racun dari dalam paru-paru?
Dalam bingungnya karena baru pertama kali ini menghadapi orang keracunan oleh racun asap, Beng San cepat mengambil keputusan. Ia merasa yakin bahwa satu-satunya jalan untuk menolong gadis itu adalah mengeluarkan asap yang masuk ke dalam paru-parunya.
Ia maklum pula atau dapat menduga bahwa cara pertolongan ini amat berbahaya bagi dirinya sendiri. Akan tetapi pada saat itu ia tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri. Untuk menolong orang, terutama orang seperti Li Cu ini, dia tidak perlu takut-takut untuk mengorbankan diri sendiri!
Ketika sudah mengambil keputusan ini dan hendak mulai dengan usaha pertolongannya, tiba-tiba mukanya menjadi kehijauan karena ia merasa jengah dan malu. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya. Pada saat nyawa Li Cu terancam bahaya seperti itu, ia tidak perlu ingat lagi akan tata susila kosong dan akan hukum adat yang berlaku tentang kesopanan antara pria dan wanita.
Cepat ia mengangkat kepala Li Cu, lalu tanpa ragu-ragu ia membuka mulut gadis itu dengan jari tangannya. Kemudian ia menunduk dan menempelkan mulutnya sendiri pada mulut Li Cu lalu ia menyedot dengan pengerahan tenaga khikang sekuatnya!
Ia merasa betapa hawa yang dingin laksana es memasuki rongga dadanya. Tubuhnya menggigil dan cepat ia melepaskan mulutnya, perlahan-lahan menurunkan kepala gadis itu dan ia lalu duduk bersila, mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, menyalurkan lweekang-nya untuk melawan hawa dingin di rongga dada itu.
Hawa Thai-yang di dalam tubuhnya segera bekerja. Dari pusarnya naik hawa panas bagai api membara, terus hawa panas ini ia desak ke atas, menyerbu ke rongga dada dan menghantam hawa dingin yang tadi memasuki dadanya melalui mulut Li Cu. Terjadilah perang tanding antara kedua hawa ini, akan tetapi tenaga dalam dan hawa Thai-yang di tubuh Beng San memang mukjijat sekali. Dengan hati lega orang muda itu merasa betapa perlahan-lahan tetapi pasti hawa dingin itu buyar dan lenyap.
Setelah hawa dingin di dalam rongga dadanya itu lenyap, ia membuka mata. Li Cu masih belum sadar dan napasnya masih terengah-engah biar pun tidak seberat tadi. Ia kembali menempelkan mulutnya pada mulut Li Cu dan menyedot lagi.
Seperti tadi, hawa dingin memasuki dadanya, tapi sebentar saja buyar dihantam tenaga Thai-yang. Girang hati Beng San. Tubuh gadis yang tadinya sudah dingin itu sekarang agak hangat dan ketika ia menyedot untuk ke empat kalinya, ia merasa betapa tubuh Li Cu bergerak sedikit.
Kalau saja Beng San tahu bahwa pada saat itu Li Cu sudah setengah sadar, sudah pasti ia akan cepat-cepat melepaskan mulutnya yang menyedot! Di lain pihak, Li Cu yang mulai sadar, seolah-olah dalam mimpi. Hampir ia tak dapat percaya akan pandangan mata dan perasaan tubuhnya sendiri.
Benarkah orang itu Beng San? Dan benarkah Beng San melakukan perbuatan seperti ini terhadap dirinya? Saking kaget, malu, ngeri dan marah, Li Cu pingsan kembali. Bukan pingsan karena pengaruh racun asap, melainkan pingsan karena hantaman perasaannya melihat perbuatan Beng San terhadap dirinya!