CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJAWALI EMAS JILID 07
Kembali ayah dan anak berpandangan, bertentangan mengadu kekuatan kemauan yang sama kerasnya.
"Aku mendengar ejekan si bangsat Beng Kui...," berkata Cia Hui Gan, suaranya perlahan penuh penyesalan, "bahwa anakku lagi tergila-gila pada seorang laki-laki perusak wanita! Bahwa Beng San ini sudah merusak penghidupan seorang gadis murid Hoa-san-pai yang ditinggalkannya untuk menikah dengan anak Song-bun-kwi. Sekarang agaknya ia menjadi penyebab kematian isterinya itu dan dia sekarang menempel engkau!"
"Ayah...! Semua itu bohong belaka! Semua itu terjadi bukan karena kesalahan Beng San. Tentang aku..., bukan dia yang menempel, melainkan aku sendiri yang tak dapat berpisah lagi dari padanya."
Bergerak-gerak alis mata Cia Hui Gan. "Hemm, ini pendapat seorang bocah masih hijau! Cintamu mudah berubah dan berganti-ganti. Orang ini lebih baik mati dari pada merusak hidupmu!" Dengan pedang yang tinggal sepotong itu Cia Hui Gan melompat ke depan dan menyerang Beng San lagi.
"Ayah, kalau kau hendak membunuhnya, kau boleh melihat anakmu menggeletak tanpa nyawa lebih dulu!" Li Cu berseru keras dan cepat dia menyambar Liong-cu-kiam dari atas tanah, langsung dia bacokkan ke lehernya sendiri!
"Anak gila...!"
Pedang buntung di tangan Cia Hui Gan terlepas meluncur ke arah Li Cu dan menghantam Liong-cu-kiam di tangan gadis itu. Hebat sekali sambitan ini yang merupakan kepandaian istimewa dari Si Raja Pedang, sehingga Li Cu sendiri tidak sanggup mempertahankan pedangnya yang runtuh terlepas dari tangannya.
Gadis ini menangis dan menutupi mukanya. "Ayah..., kau boleh bunuh dia... tapi aku pun tidak sudi lagi hidup di dunia ini...," tangisnya.
Cia Hui Gan menarik napas panjang. Ia sangat sayang kepada puteri tunggalnya ini. Ia hidup hanya berdua dengan puterinya karena ibu Li Cu sudah semenjak dulu meninggal dunia. Bagaimana ia dapat merelakan anaknya mati?
Tadi pun ia hanya ingin menyelami hati Li Cu, sampai di mana perasaan yang dianggap cinta kasih oleh anaknya itu terhadap Beng San. Kakek ini maklum betapa hancur dan sakitnya hati Li Cu oleh karena sikap dan perlakuan Beng Kui kepadanya. Dan kakek ini maklum pula bahwa meski pun di mulutnya tidak pernah menyatakan sesuatu, namun di dalam hatinya gadisnya itu tentu menaruh penyesalan kepada ayahnya sendiri, karena sesungguhnya dialah yang dahulu menjodohkan anaknya itu dengan Beng Kui.
Beng Kui merupakan pemuda pilihan Cia Hui Gan untuk anaknya yang hanya mentaati kehendak ayahnya. Setelah pilihan itu ternyata keliru, sekarang anaknya mencari pilihan hatinya sendiri, bagaimana dia tega untuk menghalanginya?
Sebetulnya, sejak dahulu ketika untuk pertama kali bertemu dengan Beng San, memang Cia Hui Gan menaruh rasa simpati yang besar terhadap pemuda ini dan diam-diam dia mengakui bahwa Beng San sebetulnya lebih cocok untuk menjadi jodoh puterinya. Akan tetapi sekarang pemuda itu selain sudah menjadi duda yang ditinggali anak, keadaannya juga tidak normal lagi, kehilangan ingatan dan lupa akan kepandaiannya sama sekali!
"Kau memang bandel..." akhirnya dia berkata. "Baiklah, kalau kau memang sudah yakin akan cinta kasihmu terhadap Beng San, akan tetapi kelak jangan kau salahkan ayahmu kalau kau kecewa."
"Ayah... terima kasih, Ayah..." Li Cu menubruk dan merangkul ayahnya sambil menangis.
"Sudahlah, kita harus segera pergi dari sini, kita tak boleh mengacau di tempat orang lain. Hemmm, bocah itu hanya akan memancing datangnya banyak musuh ke Thai-san..."
Li Cu tidak memberi komentar apa-apa atas ucapan ayahnya barusan, melainkan dengan girang ia lalu menggandeng tangan Beng San sambil menariknya dan berkata, "Beng San, hayo kau ikut aku ke Thai-san."
"Bi Goat, kenapa kita ke Thai-san?" Beng San bertanya seperti orang bingung.
"Mulai sekarang kita akan tinggal di sana, kau ikutlah saja dengan aku dan jangan banyak bertanya."
Beng San mengangguk-angguk. "Baiklah...baiklah, kita ke Thai-san...aku menurut dan tak akan membantah asal selalu berada di dekatmu."
Melihat dan mendengar ini Cia Hui Gan menggeleng kepalanya dan diam-diam ia berdoa kepada Tuhan semoga keputusan yang diambil oleh anaknya itu tidak keliru dan tak akan merusak penghidupan anaknya dikelak kemudian hari. Atas pertanyaan Li Cu, dalam perjalanan menuju Thai-san itu Cia Hui Gan menceritakan apa yang telah terjadi di kota raja.
Seperti yang sudah diceritakan pada bagian depan, para orang gagah berusaha untuk menggagalkan rencana jahat yang diatur oleh Pangeran Lu Siauw Ong bersama Ho-hai Sam-ong. Di antara mereka itu terdapat pula Cia Hui Gan dan anaknya Li Cu sendiri, yang pergi menyusul rombongan Kaisar untuk melindunginya. Ada pun Cia Hui Gan pergi ke kota raja untuk menghukum muridnya yang murtad dan durhaka.
Telah dituturkan pula di bagian depan betapa Kaisar akhirnya terhindar dari mala petaka pencegatan Ho-hai Sam-ong dan anak buahnya serta teman-temannya. Sebagian besar adalah jasa Beng San yang terlebih dahulu secara sembunyi sudah menjumpai Kaisar di tengah perjalanan dan mengajukan usul supaya supaya Kaisar diam-diam kembali ke kota Raja, dan menyuruh orang lain menggantikan Kaisar di dalam joli, Seperti yang telah kita ketahui, Ho-Hai Sam-ong tertipu dan usaha mereka tidak saja hancur berantakan, malah mereka pun akhirnya tewas.
Ada pun Cia Hui Gan yang mencari muridnya, Tan Beng Kui di kota saja, datang dalam saat yang kebetulan pula. Pemberontakan telah pecah, penyerbuan para pemberontak ke dalam istana sedang terjadi. Akan tetapi, alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba, tidak saja muncul para pengawal yang serba lengkap dan kuat, juga muncul banyak sekali anggota Pek-lian-pai di bawah pimpinan Tan-Hok yang gagah perkasa. Lebih hebat lagi kekagetan para pemberontak ketika tiba-tiba muncul pula Kaisar sendiri yang memimpin tentaranya untuk menghancurkan barisan pemberontak yang menyerbu.
Sudah terang bahwa Kaisar pergi ke utara dengan rombongannya, mengapa tiba-tiba bisa berada di situ? Keadaan menjadi kacau-balau dan para pemberontak itu lantas berkurang semangatnya. Apa lagi di pihak Kaisar terdapat orang-orang gagah, terutama sekali Cia Hui Gan yang mengamuk seperti seekor naga terbang dan masih ada lagi raksasa muda Tan Hok yang mengamuk dengan anak buahnya yang gagah.
Cia Hui Gan yang sengaja mencari muridnya, akhirnya dapat berhadapan muka dengan Beng Kui yang berpakaian seperti seorang jenderal besar dan sedang mengamuk dengan pedangnya, Liong-cu-kiam. Alangkah kagetnya ketika tiba-tiba dia melihat gurunya. Akan tetapi Beng Kui malah menegur,
"Suhu, mengapa Suhu menghalangi cita-cita teecu yang tinggi?"
"Keparat, kau membikin malu gurumu saja dengan perbuatanmu yang hina. Mulai saat ini aku bukan gurumu lagi!"
"Aha, jadi Suhu juga berpandangan picik seperti Li Cu dan merasa sakit hati karena teecu menjadi menantu Lu Siauw Ong? Apakah Suhu tidak melihat bahwa kalau teecu kelak menjadi menantu Kaisar dan calon kaisar, masih belum terlambat untuk menikah dengan sumoi dan Suhu sendiri tentu memperoleh kedudukan tinggi?"
"Bangsat, tutup mulutmu!" dengan amarah meluap-luap Cia Hui Gan menyerang.
Beng Kui menangkis dan melakukan perlawanan. Tapi betapa pun juga, pedang pusaka Liong-cu-kiam di tangannya tidak mampu membantu banyak terhadap serangan-serangan gurunya yang lihai bukan main itu. Apa lagi ketika Beng Kui melihat betapa barisan yang dipimpinnya itu mulai berantakan dan cerai-berai karena memang kalah kuat, hatinya lalu menjadi risau dan permainan pedangnya kacau-balau.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Cia Hui Gan untuk mendesaknya dan pada saat yang baik, pundak kiri Beng Kui dapat tertusuk oleh pedang gurunya. Ia menjerit dan melompat ke belakang, menghilang di antara anak buahnya yang mulai berlarian ke sana ke mari mencari jalan keluar. Cia Hui Gan cepat mengejar karena ia bermaksud membunuh bekas muridnya itu, namun Beng Kui sudah mendapatkan seekor kuda dan sudah lari jauh.
Demikianlah pengalaman Cia Hui Gan di kota raja. Kaisar sendiri lalu menyatakan terima kasih kepadanya, akan tetapi Cia Hui Gan tak lama berdiam di kota raja, melainkan terus menyusul puterinya. Ia mendengar bahwa pencegatan rombongan Kaisar dapat digagalkan serta dihancurkan pula. Akan tetapi dengan hati kecut ia juga mendengar bahwa puterinya telah terluka dan ditolong oleh Beng San. Kisah ini ia dengar dari pada anggota Pek-lian-pai yang masih tertinggal di tempat itu karena terluka.
Cia Hui Gan tidak percaya lagi kepada Beng San setelah kekecewaannya pada Beng Kui. Jika kakaknya seperti itu, mana bisa adiknya baik pula? Dengan hati kuatir ia cepat-cepat melakukan perjalanan menyusul ke Min-san dan akhirnya ia menyaksikan semua kejadian yang membuat hatinya menjadi penuh kegelisahan akan hari depan puterinya….
Setahun lebih Li Cu merawat Beng San dengan penuh kesabaran dan penuh cinta kasih. Melihat keadaan puterinya itu yang rela mengorbankan segala hal untuk Beng San yang masih saja belum kembali ingatannya, Cia Hui Gan merasa terharu dan kasihan sekali. Oleh karena keadaan Beng San yang boleh dibilang telah berubah menjadi seorang yang lemah, maka Raja Pedang ini lalu menggembleng puterinya dengan ilmu yang lebih tinggi agar kelak sepeninggalannya Li Cu dapat mempertahankan diri dari segala bahaya yang menimpanya.
Memang Cia Li Cu seorang gadis yang hebat, jarang bandingannya di dunia ini. Cintanya terhadap Beng San benar-benar cinta yang murni dan suci, cinta yang tidak dikotori nafsu, tidak tercemar oleh keinginan menyenangkan diri sendiri. Oleh karena sifat cintanya yang mulus inilah maka ia tahan menderita segala tekanan batin.
Beng San masih menganggap Li Cu sebagai Bi Goat. Dia masih saja belum mendapatkan kembali ilmu-ilmu silatnya. Sering kali Cia Hui Gan menyatakan kekuatirannya kepada puterinya itu dengan kata-kata nasihat,
"Li Cu, keputusan hatimu untuk mengorbankan diri demi cintamu kepada Beng San, aku sebagai orang tua tidak akan mengganggu gugat lagi. Akan tetapi engkau harus mengerti bahwa keputusan ini memancing datangnya banyak musuh. Sudah pasti Song-bun-kwi akan membalaskan anaknya yang kematiannya dia anggap karena kesalahan Beng San. Juga wanita yang bernama Kwa Hong, murid Hoa-san-pai itu... hemmm, kiraku dia juga merupakan ancaman bahaya dalam hidupmu kelak. Belum lagi kalau kita ingat kepada musuh-musuh Beng San yang amat banyak dan yang semuanya terdiri dari orang-orang sakti."
"Aku tidak takut, Ayah," jawab Li Cu gagah. "Biarkan mereka datang, orang-orang jahat itu. Aku akan membela Beng San mati-matian. Pula, Ayah berada di sini, aku takut apa lagi?" Ucapan terakhir ini bernada manja.
Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah mulai penuh rambut putih. "Tentu saja aku akan melindungimu selama aku masih hidup, Li Cu. Akan tetapi, kau harus mengerti bahwa usia manusia ada batasnya, demikian pula kepandaian. Menghadapi musuh-musuh Beng San itu, biar pun aku sendiri maju kiranya masih belum cukup kuat. Oleh karena itu, mari bantulah aku dalam pembuatan rencanaku yang sudah lama kupikir dan kuciptakan."
"Rencana apakah, Ayah?"
"Kita harus dapat membuat tempat kita ini menjadi tempat yang tidak mudah dikunjungi orang luar. Aku sudah mempunyai rencana lengkapnya. Kita minta bantuan penduduk di kaki gunung untuk mengerjakannya dan kurasa dalam waktu setahun tempat kita ini akan menjadi tempat persembunyian yang takkan gampang-gampang dimasuki orang luar, biar pun mereka memiliki kepandaian tinggi."
Semenjak terjadi percakapan ini, Cia Hui Gan lalu mencari bantuan tenaga para penduduk di kaki gunung dan mulailah rencananya itu dibuat. Ia memilih sebuah puncak yang amat indah pemandangannya dan nyaman pula hawa udaranya, pula puncak ini dikelilingi oleh jurang yang terjal dan tak mungkin dilalui manusia.
Bagian-bagian yang dapat digunakan orang untuk mendaki puncak, sengaja digugurkan sehingga bagi orang luar tampaknya tempat itu tak mungkin didatangi. Menurut rencana kakek ini mereka akan membuat jalan rahasia ke puncak, melalui terowongan buatan di bawah tanah.
Terowongan ini selain tidak tampak dari luar, juga di dalamnya dipenuhi alat-alat rahasia sehingga bagi orang-orang luar amat berbahayalah untuk melaluinya, andai kata dia dapat menemukan pintu terowongan juga. Selain alat-alat rahasia juga terowongan ini dibangun berliku-liku, banyak cabangnya dan mudah sekali menyesatkan orang.
Akan tetapi untuk membuat semua ini membutuhkan tenaga dan waktu. Dan kekhawatiran Cia Hui Gan tentang musuh-musuh besar Beng San ternyata terbukti ketika pembuatan jalan terowongan itu baru mulai dibuat!
Pada waktu itu matahari baru saja terbit dan penduduk kaki gunung sudah berkumpul dan mulai bekerja mengangkuti batu-batu yang dibutuhkan untuk pembuatan terowongan. Cia Hui Gan dan Cia Li Cu sedang mengatur pekerjaan dan berada di puncak, di tempat terbuka yang akan dibangun menjadi tempat tinggal mereka.
Beng San juga berada di situ, duduk di bawah sebatang pohon besar. Orang muda ini sekarang nampak sehat, wajahnya segar dan agak gemuk malah, akan tetapi sepasang matanya kehilangan cahaya yang biasanya bersinar tajam dan aneh. Sekarang bahkan kelihatan seperti orang bodoh.
Pakaiannya bersih dan ia nampak tersenyum-senyum gembira memandang ke arah Li Cu. Ia merasa heran sekali mengapa orang-orang itu sibuk hendak membuat rumah, akan tetapi seperti biasa ia tidak mengganggu ‘isterinya’.
Di pagi hari yang sejuk ini timbul bermacam-macam pertanyaan di dalam otaknya yang tidak sehat. Kenapa isterinya menyebut ‘ayah’ kepada orang tua yang katanya seorang ahli pedang berjuluk Bu-tek Kiam-ong bernama Cia Hui Gan? Ia sekarang sudah ingat bahwa ayah dari isterinya adalah Song-bun-kwi!
Tetapi mengapa Song-bun-kwi malah tidak kelihatan? Memang aneh isterinya sekarang! Kelihatannya begitu mencinta padanya, akan tetapi kenapa amat berubah sehingga tidur pun mereka berpisah? Diam-diam dia merasa kecewa dan berduka, akan tetapi dia tidak berani membantah. Kalau isterinya marah dan meninggalkan dia, celaka!
Mendadak terdengar kegaduhan hebat. Orang-orang berteriak-teriak dan ada pula yang memekik kesakitan, disusul suara gerengan seperti binatang buas mengamuk. Ada pula yang menjerit-jerit ketakutan disusul ketawa melengking.
Cia Hui Gan dan Li Cu kaget sekali dan cepat mereka memandang. Apa yang mereka lihat membuat keduanya berubah mukanya. Para pekerja lari cerai-berai dan malah ada yang sudah roboh karena amukan dua orang yang bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun dan Kwa Hong!
Dengan gerakan-gerakannya yang luar biasa, kakek tua berpakaian putih ini menggereng-gereng dan kadang-kadang melengking seperti orang menangis sambil menghantam ke kanan kiri merobohkan para pekerja yang tidak sempat lari menjauhkan diri. Lebih hebat dan mengerikan lagi ialah sepak terjang Kwa Hong yang duduk di atas rajawali emasnya yang menyambar-nyambar dari atas dan menyebar maut kepada para pekerja.
Kasihan sekali para penduduk kampung yang tidak mempunyai ilmu kepandaian silat itu. Mereka berusaha lari menyelamatkan diri, akan tetapi hanya sedikit saja yang berhasil. Sebagian besar tak mampu lagi menyelamatkan diri dan terpaksa harus menjadi korban keganasan dua orang itu.
Apa lagi mereka hanyalah petani-petani yang tidak berkepandaian. Andai kata mereka memiliki ilmu silat sekali pun belum tentu mereka akan dapat menghindarkan diri dari dua orang yang memiliki kepandaian dahsyat dan keganasan seperti iblis itu.
Melihat kejadian ini, tentu saja Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan merasa dadanya bagaikan dibakar. Kemarahannya tak dapat ia tahan lagi dan serentak ia lalu mencabut pedang dari belakang punggung, meloncat ke depan dan membentak keras,
"Iblis jahat Song-bun-kwi dan kau tentu siluman betina she Kwa murid Hoa-san-pai! Hari ini kalian berani datang ke Thai-san membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, aku Cia Hui Gan bersumpah akan membasmi kalian!" Pedangnya segera digerakkan dan secepat kilat ia menerjang kepada Song-bun-kwi.
Kakek ini pun sudah siap sedia, cepat mengelak dari pada sambaran sinar pedang yang luar biasa itu sambil memutar pedangnya sendiri untuk balas menyerang. Sementara itu Li Cu juga sudah melompat maju dan menggerakkan Liong-cu-kiam membantu ayahnya.
Akan tetapi dari atas terdengar suara ketawa mengikik dan menyambarlah sinar kehijauan lima buah banyaknya ke arah ayah dan anak itu. Cia Hui Gan dan Li Cu melompat ke samping sambil menggerakkan pedang menangkis.
Terdengar suara keras dan bunga api muncrat menyilaukan mata. Li Cu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka diam-diam dia terkejut bukan main. Alangkah kuatnya wanita yang naik burung rajawaii itu!
Sambil tertawa-tawa Kwa Hong juga sudah meloncat turun dari atas punggung rajawali yang segera terbang dan hinggap di atas puncak pohon besar sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring. Empat orang musuh besar itu kini saling berhadapan, masih belum bergerak lagi setelah gebrakan pertama tadi.
Bagaimanakah Kwa Hong bisa datang bersama-sama Song-bun-kwi di Puncak Thai-san? Hanya hal kebetulan saja. Ternyata bahwa Song-bun-kwi yang merasa sakit hati terhadap bekas mantunya itu tidak jauh meninggalkan Thai-san. Ia selalu menanti saat baik untuk menculik dan membunuh Beng San.
Akhirnya pada pagi hari itu ia melihat Kwa Hong menunggang burung rajawali naik ke Thai-san. Giranglah hatinya karena ia dapat menduga bahwa kedatangan tokoh baru yang menggemparkan ini pasti akan memusuhi Beng San, maka ia segera menyusul naik dan melihat Kwa Hong menghajar para pekerja, ia pun lalu turun tangan menyerbu. Yang amat berat dihadapi bagi Song-bun-kwi hanyalah Bu-tek Kiam-ong, maka apa bila ia mendapat kawan yang kosen, ia tidak takut.
Sementara itu Kwa Hong sengaja datang ke Thai-san karena ia sudah mendengar tentang keadaan Beng San yang kehilangan kepandaiannya. Ia ingin sekali menyaksikan dan jika betul demikian berarti ia akan dapat segera membalas sakit hatinya. Pada saat ia melihat Song-bun-kwi membantunya, ia tidak berkata apa-apa, malah tidak peduli sama sekali.
Cia Hui Gan sudah sangat marah melihat banyak penduduk menjadi korban keganasan Kwa Hong, maka dia langsung membentak, “Perempuan liar, kenapa datang-datang kau mengacau tempat orang?!”
“Aku bukan perempuan liar, bukan pula mengacau tempat orang,” Kwa Hong menjawab sambil tersenyum mengejek. “Aku datang untuk membawa suamiku pulang.”
“Kau pergilah. Di sini tidak ada suamimu, lagi pula kenapa kau harus mencari suamimu di tempat orang?” kata Cia Hui Gan, nada bicaranya seperti balas mengejek.
Kwa Hong mulai marah, dia tahu Si Raja Pedang barusan menghinanya.
“Itulah suamiku,” kata Kwa Hong sambil menunjuk Beng San yang masih duduk di bawah pohon, dijaga oleh Li Cu yang begitu melihat gelagat kurang baik langsung menghampiri pemuda itu untuk dijaganya. “Namanya Tan Beng San!” sambung Kwa Hong.
“Kau perempuan tak tahu malu, mengakui laki-laki lain sebagai suami sendiri!” bentak Cia Hui Gan.
"Cia Hui Gan, kenapa kau begini tak tahu malu? Anak perempuanmu yang bermuka tebal itu telah melindunginya? Hemmm, apakah hanya begini saja orang yang memiliki julukan Kiam-ong? Ternyata hanya orang rendah...!" Kwa Hong memaki kalang-kabut.
Wajah Cia Hui Gan menjadi merah bukan main, matanya bersinar-sinar memancarkan api kemarahan, "Iblis wanita, kau sebenarnya siapa dan apa maksudmu ke sini?" bentaknya.
"He, perempuan muda, jangan kau sembarangan bicara!" Song-bun-kwi juga amat kaget mendengar ucapan Kwa Hong dan cepat memaki. "Beng San suami anakku, sekarang dirampas oleh anak orang she Cia ini, Kenapa kau berani mengakunya sebagai suami? Apakah kau orang yang dulu melahirkan anak di tempatku, ditolong oleh Bi Goat?"
Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Kalian orang-orang tua tahu apa? Dengarlah baik-baik. Manusia bernama Tan Beng San itu, yang sekarang duduk di sana seperti patung hidup, sebelum dia menikah dengah Kwee Bi Goat, dia sudah lebih dahulu menjadi ayah dari anakku. Akulah orang yang paling berhak atas dirinya, dan siapa pun hendak menghalangi akan kubunuh mampus. Hee, Beng San! Hayo kau ikut denganku. Apakah kau tidak ingin menengok anakmu?"
Beng San hanya melongo, sama sekali ia tidak ingat lagi siapa adanya wanita yang bicara tidak karuan itu. Suara dan wajahnya serasa ia kenal baik, akan tetapi ia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Beng San memijit-mijit keningnya, mengingat-ingat.
"Ho-ho, nanti dulu!" Song-bun-kwi berseru sambil tertawa mengejek.
"Bukankah kau yang bernama Kwa Hong, anak murid Hoa-san-pai? Aku sudah banyak mendengar tentang kau! Orang bilang bahwa kau telah menjadi isteri Koai Atong Si Bocah Tua gila. Kalau kau punya anak, tentulah anakmu dengan Koai Atong itulah! Kau murid Hoa-san-pai jangan banyak membohong di sini."
"Tutup mulut busukmu, tua bangka gila!" Kwa Hong membentak sambil mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai. "Buka matamu dan lihat ini. Aku Ketua Hoa-san-pai, bukan murid lagi, tahu? Ini adalah pusaka Hoa-san-pai, berada di tangan Ketua Hoa-san-pai. Pedang pusaka ini kelak akan memenggal batang lehermu karena kau sudah berani berkurang ajar kepadaku. Sekarang hendak kupakai membasmi orang-orang yang berani merampas Beng San."
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Keluarga Cia memang patut dibasmi. Mari kubantu kau!" kata Song-bun-kwi yang cerdik dan licin.
Semenjak tadi Cia Hui Gan hanya berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Ia merasa susah dan malu sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan tentu saja ia tahu akan peraturan kang-ouw. Dua orang yang datang ini memang berhak atas diri Beng San, yang seorang bekas kekasih Beng San, dan yang seorang lagi mertuanya malah. Memang dia dan puterinya berada di pihak yang salah. Akan tetapi mana bisa ia tidak membela Li Cu?
Tentu saja Li Cu maklum pula apa yang dipikirkan ayahnya, maka dengan gagah ia melangkah maju dan berkata lantang, "Kalian bicara seakan mau menang sendiri saja! Song-bun-kwi, sudah jelas bahwa kematian puterimu bukan karena kesalahan Beng San, melainkan karena Kwa Hong yang merupakan kenyataan yang menghancurkan hatinya. Malah Beng San demikian mencinta puterimu itu sehingga kematiannya membuat Beng San kehilangan ingatan. Dan kau, Kwa Hong, kau sungguh tak tahu malu, perbuatanmu dengan Beng San itu sudah menunjukkan betapa rendah watakmu. Hubunganmu dengan Beng San terjadi di bawah pengaruh racun, akan tetapi kau begitu tak punya malu untuk menyatakan Beng San adalah suamimu!"
"Setan betina, tutup mulutmu!" Kwa Hong menjadi marah, mukanya menjadi merah dan matanya liar. "Suami atau bukan dia adalah ayah anakku. Sebaliknya engkau ini bukan apa-apanya, tapi kenapa membela mati-matian? Bukankah kau yang tergila-gila kepada Beng San?"
"Memang aku mencinta Beng San!” jawab Li Cu dengan suara tegas dan sikap gagah sambil mengedikkan kepala. "Aku mencinta Beng San dan aku berhutang budi padanya. Sebaliknya, dia menganggap bahwa aku adalah isterinya yang sudah meninggal. Demi cintaku dan demi untuk membalas budi, aku akan melindunginya dengan taruhan nyawa dan ragaku. Apa bila kalian berdua manusia-manusia berhati iblis bermaksud membunuh atau menculiknya, kalian harus lebih dulu dapat membunuh aku!"
"Bagus, memang aku hendak membunuhmu!" Kwa Hong menjerit dan anak panah-anak panah pada ujung cambuknya menyambar.
"Trang-trang-trang!"
Li Cu menangkis dengan Liong-cu-kiam. Ujung tiga batang anak panah itu patah semua sedangkan yang dua buah tidak mengenai pedang pusaka sehingga terhindar dari pada kerusakan. Bukan main marahnya Kwa Hong melihat betapa dalam segebrakan saja senjatanya telah rusak oleh pedang lawan yang ternyata amat kuat itu. Ia mencabut Hoa-san Po-kiam dan menerjang lagi.
Li Cu menangkis lagi dan kali ini ia terhuyung mundur dengan tangan sakit-sakit. Pedang di tangan Kwa Hong sama sekali tidak rusak! Hal ini tidak aneh karena Hoa-san Po-kiam juga merupakan sebatang pedang pusaka yang ampuh.
Sementara itu Kwa Hong sudah menyerang lagi. Gerakannya dalam penyerangan aneh sekali, menyambar-nyambar bagaikan gerakan seekor burung. Pedang Hoa-san Po-kiam meluncur ke arah tenggorokan Li Cu. Baru saja gadis ini hendak mengelak, ujung pedang itu sudah menyambar ke bawah membelah dada!
Li Cu kaget dan cepat menggunakan Liong-cu-kiam menangkis, akan tetapi lagi-lagi ujung pedang lawan tidak melanjutkan serangannya dan tahu-tahu tangan kiri Kwa Hong yang memukul dengan gerakan pukulan Jing-tok-ciang! Li Cu benar-benar kaget sekali ketika tiba-tiba ada angin dingin menyambar dari sebelah kanannya. Cepat ia mengelak namun karena serangan ini memang tidak tersangka-sangka olehnya, ia terdorong hawa pukulan Jing-tok-ciang dan kembali ia terhuyung-huyung.
Pada waktu itu pedang Kwa Hong sudah mengejar pula dengan tusukan-tusukan disertai bacokan-bacokan maut yang amat sukar diketahui perubahannya.
"Li Cu, mundurlah!" kata Cia Hui Gan sambil meloncat maju. Pedangnya menyambar mengeluarkan sinar kilat dan sekaligus ia telah berhasil mengancam pergelangan tangan Kwa Hong dengan gulungan sinar pedangnya yang hebat.
"Ayaaaa...!" Kwa Hong berjengit sambil menarik tangannya ke belakang, juga melangkah mundur setindak, tidak melanjutkan desakannya kepada Li Cu.
"Ha-ha-ha, Raja Pedang tak tahu malu, mengeroyok seorang perempuan muda!" berkata Song-bun-kwi sambil terjun ke dalam kalangan pertempuran.
Dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut ia segera menerjang Cia Hui Gan. Sementara itu, karena tadi kaget ketika pergelangan tangannya hampir putus oleh pedang Cia Hui Gan, Kwa Hong marah bukan main. Sambil mengeluarkan pekik melengking ia kini menerjang orang tua dari Thai-san itu sehingga dalam sekejap mata saja Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan sudah dikeroyok dua oleh Kwa Hong dan Song-bun-kwi.
Cia Hui Gan berjuluk Bu-tek Kiam-Ong (Raja Pedang Tanpa Tanding), ilmu pedang Sian-li Kiam-sut adalah ilmu pedang keturunan yang asli dari pendekar sakti Ang I Niocu ratusan tahun yang lalu. Semenjak ratusan tahun itu, Sian-li Kiam-sut boleh dibilang menjagoi di antara segala ilmu pedang.
Sebetulnya, ilmu pedang ini masih bersumber dengan Im-yang Sin-kiam-sut atau boleh dikatakan cabangnya. Karena mempunyai ilmu pedang ini yang sudah dilatihnya secara sempurna maka tidak heran apa bila Cia Hui Gan merupakan jago pedang yang sukar dilawan.
Akan tetapi sekarang ia dikeroyok oleh dua orang lawan yang bukan orang sembarangan. Song-bun-kwi Kwee Lun adalah seorang tokoh kenamaan, malah tokoh nomor satu dari barat yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi dan sakti, juga telah mendapatkan ilmu silat pedang Yang-sin Kiam-sut. Di dunia kang-ouw jarang ada yang mampu menandingi dirinya.
Ada pun orang ke dua biar pun tidak ternama dan hanya merupakan murid Hoa-san-pai, akan tetapi Kwa Hong sekarang sama sekali tidak boleh disamakan dengan Kwa Hong dahulu pada saat menjadi murid Hoa-san-pai. Kwa Hong telah mempelajari ilmu dari Koai Atong, terutama Jing-tok-ciang dan di samping ini, yang membuat ia sekarang sekaligus berubah menjadi seorang yang luar biasa adalah ilmu silat yang ia petik bersama Koai Atong dari gerakan-gerakan rajawali emas yang sekarang menjadi teman dan binatang tunggangannya.
Li Cu maklum bahwa kepandaian dua orang ini hebat sekali. Ketika dia teringat bahwa pedang di tangan Kwa Hong ternyata merupakan sebatang pedang pusaka yang ampuh, ia pun kuatir kalau-kalau ayahnya akan terdesak dan rusak pedangnya. Maka ia segera berseru,
"Ayah, kau pergunakan Liong-cu-kiam ini!"
Oleh karena Cia Hui Gan juga seorang yang bermata awas dan tadi dapat melihat betapa pedang Kwa Hong dapat menandingi Liong-cu-kiam, ia tidak mau banyak sungkan lagi. Diterimanya pedang Liong-cu-kiam pendek itu dengan tangan kirinya, lalu ia berseru,
"Li Cu, bawa Beng San pergi dari sini. Biar aku menandingi dua iblis jahat ini!"
Akan tetapi Li Cu sendiri adalah seorang pendekar yang berhati baja, mana dia sudi pergi meninggalkan ayahnya yang terancam bahaya dan melarikan diri?
"Tidak, Ayah. Mati hidup aku harus bersamamu, aku harus membantumu. Berikan saja pedangmu kepadaku!"
"Jangan, Li Cu. Kalau hanya menghadapi dua ekor manusia binatang ini, aku sendirian masih sanggup. Kau bawa pergi Beng San, selamatkan dia lebih dulu!"
Li Cu ragu-ragu dan sejenak ia berdiri memandang. Betul saja, biar pun dikeroyok dua, sepasang pedang di tangan ayahnya itu benar-benar hebat, merupakan dua gulung sinar pedang yang berlainan warna, menyambar-nyambar laksana naga di angkasa raya. Ilmu pedang ayahnya benar-benar sudah sampai pada puncaknya. Hebat bukan main sampai Li Cu dalam suasana tegang itu menjadi kagum akan keindahan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dimainkan ayahnya.
Andai kata Song-bun-kwi dan Kwa Hong mengeroyoknya tidak menggunakan pedang, kiranya tidak akan mungkin Cia Hui Gan kuat mempertahankan diri. Tingkat kepandaian Song-bun-kwi tidak lebih bawah dari pada tingkatnya sendiri, ada pun wanita muda itu benar-benar memiliki ilmu silat yang aneh dan mukjijat sekali.
Baiknya dua orang itu pun bermain pedang, sedangkan senjata pedang adalah permainan Cia Hui Gan semenjak kecil, yang menjadi keahliannya sehingga ia dijuluki Raja Pedang. Maka, menghadapi permainan pedang kedua orang lawannya, Cia Hui Gan merasa lebih mudah untuk tidak saja mempertahankan diri, malah balas mendesak dengan jurus-jurus yang lihai.
Selagi Li Cu berdiam bimbang, mendadak terdengar suara bentakan orang, "Li Cu, kau benar-benar membikin malu aku yang menjadi kekasihmu!"
Li Cu kaget bukan main karena tiba-tiba muncul Tan Beng Kui bersama Hek-hwa Kui-bo! Hek-hwa Kui-bo segera menghunus pedang dan menyerbu ke dalam pertempuran sambil berseru kepada Song-bun-kwi.
"Hi-hi-hi-hi, tua bangka keparat, jangan kau perlihatkan sendiri kelihaian Yang-sin-kiam. Mana yang lebih hebat dibandingkan dengan Im-sin-kiam ilmuku?"
Seperti kita ketahui dalam cerita Raja Pedang, kalau Song-bun-kwi dapat merampas kitab pelajaran Ilmu Pedang Yang-sin-kiam, adalah Hek-hwa Kui-bo yang berhasil merampas kitab pasangannya, yaitu yang mengandung pelajaran Ilmu Pedang Im-sin-kiam!
Dengan munculnya ahli Im-sin-kiam ini, boleh dibilang Cia Hui Gan menghadapi pasangan ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-Sut yang hebat bukan main. Tentu saja ilmu pedang ini tidak sehebat kalau dimainkan oleh satu orang seperti Beng San sebelum dia kehilangan ingatannya. Betapa pun juga, baru dalam gebrakan-gebrakan pertama saja sudah terlihat betapa Cia Hui Gan menjadi sangat sibuk menghadapi serangan-serangan pasangan dari dua orang tokoh ilmu silat kelas tinggi itu!
Li Cu kaget sekali melihat kedatangan bekas suheng dan tunangannya beserta Hek-hwa Kui-bo itu. Ini berarti bertambahnya pihak lawan yang sangat tangguh. Juga di samping kekuatirannya, dia menjadi marah sekali kepada Beng Kui. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menerjang bekas tunangannya itu dengan pukulan-pukulan maut. Ia merasa menyesal bukan main karena ia masih belum sempat mengambil pedang lain setelah Liong-cu-kiam dipinjamkan kepada ayahnya.
"Ha-ha, Li Cu. Kau tak tahu malu, melarikan laki-laki. Hah, perbuatan rendah dan hina."
"Tutup mulut dan jangan mencampuri urusanku!" bentak Li Cu makin marah.
Li Cu memperhebat serangannya. Akan tetapi dengan mudah Beng Kui dapat mengelak. Memang tingkat kepandaian Beng Kui lebih tinggi dari pada kepandaian Li Cu, apa lagi memang dahulu sering kali ia melatih ilmu silat kepada bekas sumoi-nya ini, karena itu gerakan-gerakan Li Cu sudah ia hafal benar.
Tiba-tiba Beng San datang berlari-lari dengan maksud hendak melerai mereka berdua yang sedang bertanding. Sejak tadi ia mendengarkan semua percekcokan dengan pikiran bingung dan hati berdebar. Ia menganggap mereka semua itu juga ‘isterinya’, bicara tidak karuan.
Selagi ia mengerahkan pikirannya untuk menyelami maksud dari semua percakapan yang ganjil itu, tiba-tiba muncul Tan Beng Kui dan di dalam kebingungannya ternyata ia masih dapat ingat dan kenal kepada kakak kandungnya ini. Kini kakak kandungnya itu bertempur melawan isterinya, tentu saja ia menjadi makin bingung dan cepat lari menghampiri untuk mencegah.
"Kui-ko... jangan berkelahi dengan dia. Dia itu isteriku!" tegurnya sambil menggerakkan kedua tangan ke atas untuk mencegah.
"Ha, sudah menjadi isterinya, ya? Sejak kapan?" Beng Kui mengejek sambil memandang kepada Li Cu.
Gadis ini menjadi merah mukanya, akan tetapi dia mengedikkan kepala dan menjawab lantang, "Kalau betul kau mau apa? Bukan urusanmu!"
"Bi Goat, dia ini adalah kakak kandungku, jangan kau bertengkar kepadanya," kata pula Beng San, suaranya penuh permohonan.
“Ha-ha-ha-ha, menjadi isteri seorang gila.” Beng Kui tertawa dan mengejek lagi, kemudian tiba-tiba tangannya menghantam ke depan, tepat mengenai dada Beng San.
"Blukkk!"
Tubuh Beng San terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan jatuh bergulingan. Akan tetapi ia segera bangun kembali dan bertanya dengan mata terbelalak heran.
"Kui-ko, kenapa kau memukulku?" tanyanya berulang-ulang sambil melangkah maju lagi.
Beng Kui tadinya girang karena kini mendapat kenyataan bahwa adik kandungnya yang dahulu lihai itu sekarang benar-benar telah kehilangan kepandaiannya. Tadinya pada saat mendengar berita ini ia masih ragu-ragu.
Ketika tadi ia mendengar Beng San mengaku Li Cu sebagai isteri dan menyebutnya ‘Bi Goat’, ia tahu bahwa adiknya benar-benar sudah kehilangan ingatan. Akan tetapi hal ini belum berarti kehilangan kepandaiannya, karena itu untuk mencobanya ia cepat memukul. Pukulan ini cepat dan tak terduga-duga sehingga Li Cu sendiri tidak sempat mencegah.
Giranglah hati Beng Kui melihat pukulannya tepat sasaran sehingga membuat adik yang ditakuti itu terlempar dan bergulingan. Akan tetapi ia kaget bukan main melihat Beng San bangun lagi dan tidak apa-apa. Padahal pukulannya tadi ia lakukan dengan pengerahan tenaga lweekang.
Ia tidak tahu bahwa tenaga lweekang dan hawa murni di tubuh Beng San masih ada dan secara otomatis bergerak melindungi bagian yang terpukul. Ia mengira bahwa Beng San masih lihai seperti dulu. Akan tetapi melihat sikap Beng San dan mendengar pertanyaan yang berkali-kali itu ia dapat menduga bahwa Beng San masih dilindungi oleh hawa murni di tubuhnya, tapi takkan dapat mempergunakan hawa dan tenaganya untuk menyerang karena semua ilmu telah dilupakannya.
Sementara itu Li Cu marah bukan main melihat Beng San dipukul tadi. Juga ia merasa kuatir kalau-kalau Beng San terluka parah, meski pun ia melihat Beng San sudah bangkit kembali dan malah mendekati Beng Kui. Karena kuatir kalau Beng Kui memukul lagi, Li Cu mendahuluinya dan menyerang dengan hebatnya. Beng Kui tertawa-tawa dan segera melayaninya. Ada pun Beng San terus berteriak-teriak mencegah mereka bertempur.
Hati Li Cu gelisah bukan main. Biar pun ia sedang berhantam dengan Beng Kui, namun ia dapat menangkap dengan pendengaran telinganya yang tajam bahwa keadaan ayahnya mulai terdesak hebat. Hal ini mengguncangkan hatinya dan mengacaukan gerakan kaki tangannya.
"Beng Kui anak durhaka! Lepaskan Li Cu!" tiba-tiba Gia Hui Gan berteriak keras. "Li Cu, bawa Beng San pergi jauh-jauh!"
Akan tetapi kata-katanya itu disambut dengan ketawa mengejek oleh Beng Kui. Cia Hui Gan tidak berdaya menolong puterinya karena tiga orang lawannya makin hebat mendesaknya. Rupanya karena maklum bahwa mereka menghadapi lawan yang sangat tangguh.
Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi dapat bekerja sama dan mempergunakan Yang-sin Kiam-sut dan Im-sin Kiam-sut untuk mengeroyok jago pedang itu. Sedangkan Kwa Hong dengan ilmu silatnya yang tidak karuan akan tetapi dahsyat sekali, terus saja melancarkan serangan-serangan maut.
Li Cu makin gelisah dan kesempatan ini digunakan dengan baik oleh Beng Kui. Sebuah tendangan pada sambungan lutut membuat Li Cu roboh dan susulan totokan membuat gadis itu tidak dapat bergerak pula,
"Jangan pukul isteriku...!" Beng San berseru dan menubruk Li Cu.
Akan tetapi dia pun segera lemas tak dapat bergerak karena ditotok oleh Beng Kui pada dua jalan darahnya yang penting. Kemudian sambil tertawa-tawa Beng Kui mengempit tubuh Li Cu dan Beng San, lalu di bawa pergi lari cepat dari tempat itu.
"Beng Kui... keparat...! Lepaskan Li Cu...!" Cia Hui Gan membentak dan pedang di tangan kanannya meluncur cepat mengejar bayangan Beng Kui.
Orang muda ini maklum akan kehebatan ilmu melempar pedang dari gurunya, ia menjadi pucat dan kaget sekali. Cepat ia mengelak dan merendahkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya tertusuk pedang yang meluncur dari belakang. Sambil menjerit kesakitan Beng Kui mempercepat larinya. Tubuh Li Cu serta Beng San masih dikempitnya dan pedang itu pun masih menancap di pundaknya.
Masih untung bagi Beng Kui bahwa pada waktu itu pula Kwa Hong, Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi mendesak Cia Hui Gan sehingga Raja Pedang ini tidak sempat lagi untuk mengejarnya. Malah kini keadaan Cia Hui Gan terdesak hebat karena di tangannya hanya terdapat sebatang pedang pendek, yaitu pedang Liong-cu-kiam karena pedangnya sendiri tadi telah disambitkan ke arah Beng Kui dalam usaha mencegah bekas murid itu menculik puterinya.
Hal ini ditambah lagi dengan hatinya yang risau memikirkan puterinya, maka permainan pedang Cia Hui Gan menjadi agak kalut sehingga kurang kuat bagian pertahanannya. Kesempatan yang baik ini digunakan oleh tiga orang pengeroyoknya untuk menghujankan serangan pedang. Raja Pedang itu kurang cepat dan kulit lambungnya tergores pedang di tangan Kwa Hong.
Darah mengucur dan membasahi bajunya. Rasa perih menimbulkan kemarahan hebat dan mengobarkan semangat perlawanan Cia Hui Gan. Kakek yang gagah perkasa ini lalu mengeluarkan seruan panjang. Pedangnya yang hanya pendek saja itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, dahsyat sekali. Bunyi nyaring beradunya pedang-pedang pusaka makin sering terdengar dibarengi oleh berpijarnya bunga-bunga api. Namun tiga orang pengeroyoknya juga makin memperhebat tekanan karena mereka merasa penasaran sekali.
Sambil mengerahkan tenaganya yang mukjijat Kwa Hong memutar pedang tiga kali, lalu membalikkan arah pedang menusuk ke arah perut Raja Pedang itu. Pada saat yang sama Hek-hwa Kui-bo dengan gerakan lemas membabat kakinya. Dua penyerangan sekaligus dari dua jurusan ini benar-benar berbahaya dan hebat.
Cia Hui Gan membentak nyaring. Pedangnya berkelebat ketika menangkis tusukan Kwa Hong dan pada saat itu ia harus pula meloncat tinggi-tinggi untuk menghindarkan diri dari babatan pedang Hek-hwa Kui-bo. Detik berikutnya pedang di tangan Song-bun-kwi sudah menyambar datang, menusuk punggung. Cepat ia kembali menurunkan kakinya setelah babatan lewat. Tubuhnya agak miring karena pedangnya masih tergetar dalam menangkis tusukan Kwa Hong, ia tidak sempat lagi mengelak atau menangkis.
Namun dengan gerakan tiba-tiba, lengan kirinya yang ditekuk itu digerakkan sedemikian rupa sehingga sikunya membentur pinggir pedang Song-bun-kwi. Tepat dan cepat sekali gerakan ini dan pedang Song-bun-kwi meluncur lewat pinggir tubuhnya, merobek pakaian dan melukai kulit, tapi ia selamat!
"Bagus!" Song-bun-kwi memuji.
Song-bun-kwi kagum sekali melihat betapa dalam cengkeraman maut itu lawannya masih mampu menyelamatkan diri. Selanjutnya, dengan penuh penasaran hati, ia pun mendesak terus, mainkan Yang-sin Kiam-sut yang bersifat keras itu. Tekanan makin hebat. Cia Hui Gan sudah mengerahkan seluruh tenaga, kegesitan dan mengeluarkan seluruh kemahiran bermain pedang. Namun tetap saja ia didesak terus dan tidak ada jalan keluar lagi baginya kecuali melawan mati-matian. Dia sudah menderita beberapa luka ringan.
Darah membasahi seluruh pakaiannya. Ia sudah terluka di pundak, di pangkal lengan, di kedua paha, malah sebuah tusukan yang agak dalam di punggung membuat gerakannya makin lemah dan lambat. Namun semangatnya tak kunjung padam, sambil mengeluarkan bentakan-bentakan hebat kakek ini mengamuk terus seperti banteng terluka.
Tiba-tiba Kwa Hong mengeluarkan suara melengking yang aneh dan ternyata kemudian bahwa suara ini adalah suara panggilan untuk burung rajawali emas yang semenjak tadi bertengger di cabang pohon besar yang tak jauh dari situ. Segulung sinar kuning emas meluncur turun dibarengi lengking yang seperti tadi keluar dari mulut Kwa Hong.
"Tiauw-heng (Kakak Rajawali), bantulah aku!" seru Kwa Hong sambil memperhebat desakannya kepada Cia Hui Gan.
Burung itu agaknya sudah hafal akan suara dan perintah Kwa Hong. Melihat bahwa nonanya itu bertempur melawan Cia Hui Gan, ia cepat menukik ke bawah menerjang Raja Pedang itu. Tiba-tiba burung itu terbang membalik, berputaran di atas sambil memekik-mekik nyaring. Agaknya ia ragu-ragu dan merasa bingung, kemudian ia menukik lagi dengan kedua kaki bergerak-gerak menyerang.
Cia Hui Gan memang sudah terdesak dan terkurung hebat sekali, sekarang mendadak ia melihat gerakan kedua kaki burung itu. Ia tidak dapat menangkis lagi dan... secara aneh sekali tahu-tahu pedang di tangannya sudah dicengkeram oleh burung itu dan dibetot terlepas dari tangannya. Cia Hui Gan tadi terkejut melihat gerakan burung itu yang ia kenal. Kemudian teringatlah ia bahwa gerakan itu mirip, bahkan tidak ada bedanya dengan gerakan Sian-li Teng-liong (Bidadari Menunggang Naga), sebuah gerakan yang terahasia dari ilmu silatnya Sian-li Kiam-sut.
"Kau... kau...!" serunya terheran-heran.
Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu tiga batang pedang sudah ambles memasuki tubuhnya. Cia Hui Gan tidak mengeluarkan suara lagi, roboh dan tewas di saat itu juga! Sungguh patut disesalkan nasib seorang Raja Pedang yang namanya sudah puluhan tahun gemilang dikagumi orang, ternyata sekarang harus mengorbankan nyawa gara-gara asmara yang telah menguasai hati puterinya!
"Berikan Liong-cu-kiam itu kepadaku!" bentak Song-bun-kwi sambil melotot kepada Kwa Hong yang sudah menerima pedang pusaka itu dari burung rajawalinya.
"Tidak, harus kau berikan kepadaku!" Hek-hwa Kui-bo membentak sambil menerjang maju hendak merampas Liong-cu-kiam yang amat diinginkan itu.
Akan tetapi, sekali Kwa Hong menggerakkan kaki secara aneh, usaha Hek-hwa Kui-bo untuk merampas pedang itu gagal dan ia hanya menangkap angin. Diam-diam nenek ini kaget sekali. Biar pun tadi dalam pengeroyokan atas diri Raja Pedang ia sudah mendapat kenyataan betapa lihainya wanita muda ini, namun tak pernah disangkanya akan demikian hebat sehingga serangannya merampas pedang dapat digagalkan hanya dengan sedikit menggerakkan kaki saja!
"Kalian ini tua bangka tak tahu diri! Bukalah matamu baik-baik dan lihat kepada siapa kalian bicara! Kalau tidak ada aku dan rajawali emasku, mana bisa kalian mengalahkan Bu-tek Kiam-ong? Sekarang masih berlagak hendak merampas pedang? Lihat, yang di tangan kananku adalah Hoa-san Po-kiam, pedang pusaka Hoa-san-pai yang menandakan bahwa aku adalah Ketua Hoa-san-pai. Dan di tangan kiriku ini adalah Liong-cu-kiam yang menandakan bahwa aku lebih lihai dari pada Bu-tek Kiam-ong dan tentu saja lebih lihai dari pada kalian para tua-tua bangka. Mau pedang? Hi-hi-hi, bila kalian sudah mengidam kuburan, boleh, majulah untuk kutebas batang leher kalian seorang satu!" Ia menyodorkan kedua pedang itu ke depan sambil tersenyum-senyum penuh ejekan.
Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi saling pandang. Baru satu kali selama hidup mereka itu mereka menerima hinaan dan kekalahan dari seorang muda, yaitu dari Beng San. Dan sekarang ada seorang gadis muda lagi yang mengejek dan menantang mereka. Tanpa mengeluarkan suara, saling pandang ini cukup bagi dua orang tokoh itu bersepakat untuk mencoba kepandaian mereka yang sebetulnya berpasangan itu kepada gadis aneh ini. Serentak keduanya bergerak menyerang Kwa Hong...
"Aku mendengar ejekan si bangsat Beng Kui...," berkata Cia Hui Gan, suaranya perlahan penuh penyesalan, "bahwa anakku lagi tergila-gila pada seorang laki-laki perusak wanita! Bahwa Beng San ini sudah merusak penghidupan seorang gadis murid Hoa-san-pai yang ditinggalkannya untuk menikah dengan anak Song-bun-kwi. Sekarang agaknya ia menjadi penyebab kematian isterinya itu dan dia sekarang menempel engkau!"
"Ayah...! Semua itu bohong belaka! Semua itu terjadi bukan karena kesalahan Beng San. Tentang aku..., bukan dia yang menempel, melainkan aku sendiri yang tak dapat berpisah lagi dari padanya."
Bergerak-gerak alis mata Cia Hui Gan. "Hemm, ini pendapat seorang bocah masih hijau! Cintamu mudah berubah dan berganti-ganti. Orang ini lebih baik mati dari pada merusak hidupmu!" Dengan pedang yang tinggal sepotong itu Cia Hui Gan melompat ke depan dan menyerang Beng San lagi.
"Ayah, kalau kau hendak membunuhnya, kau boleh melihat anakmu menggeletak tanpa nyawa lebih dulu!" Li Cu berseru keras dan cepat dia menyambar Liong-cu-kiam dari atas tanah, langsung dia bacokkan ke lehernya sendiri!
"Anak gila...!"
Pedang buntung di tangan Cia Hui Gan terlepas meluncur ke arah Li Cu dan menghantam Liong-cu-kiam di tangan gadis itu. Hebat sekali sambitan ini yang merupakan kepandaian istimewa dari Si Raja Pedang, sehingga Li Cu sendiri tidak sanggup mempertahankan pedangnya yang runtuh terlepas dari tangannya.
Gadis ini menangis dan menutupi mukanya. "Ayah..., kau boleh bunuh dia... tapi aku pun tidak sudi lagi hidup di dunia ini...," tangisnya.
Cia Hui Gan menarik napas panjang. Ia sangat sayang kepada puteri tunggalnya ini. Ia hidup hanya berdua dengan puterinya karena ibu Li Cu sudah semenjak dulu meninggal dunia. Bagaimana ia dapat merelakan anaknya mati?
Tadi pun ia hanya ingin menyelami hati Li Cu, sampai di mana perasaan yang dianggap cinta kasih oleh anaknya itu terhadap Beng San. Kakek ini maklum betapa hancur dan sakitnya hati Li Cu oleh karena sikap dan perlakuan Beng Kui kepadanya. Dan kakek ini maklum pula bahwa meski pun di mulutnya tidak pernah menyatakan sesuatu, namun di dalam hatinya gadisnya itu tentu menaruh penyesalan kepada ayahnya sendiri, karena sesungguhnya dialah yang dahulu menjodohkan anaknya itu dengan Beng Kui.
Beng Kui merupakan pemuda pilihan Cia Hui Gan untuk anaknya yang hanya mentaati kehendak ayahnya. Setelah pilihan itu ternyata keliru, sekarang anaknya mencari pilihan hatinya sendiri, bagaimana dia tega untuk menghalanginya?
Sebetulnya, sejak dahulu ketika untuk pertama kali bertemu dengan Beng San, memang Cia Hui Gan menaruh rasa simpati yang besar terhadap pemuda ini dan diam-diam dia mengakui bahwa Beng San sebetulnya lebih cocok untuk menjadi jodoh puterinya. Akan tetapi sekarang pemuda itu selain sudah menjadi duda yang ditinggali anak, keadaannya juga tidak normal lagi, kehilangan ingatan dan lupa akan kepandaiannya sama sekali!
"Kau memang bandel..." akhirnya dia berkata. "Baiklah, kalau kau memang sudah yakin akan cinta kasihmu terhadap Beng San, akan tetapi kelak jangan kau salahkan ayahmu kalau kau kecewa."
"Ayah... terima kasih, Ayah..." Li Cu menubruk dan merangkul ayahnya sambil menangis.
"Sudahlah, kita harus segera pergi dari sini, kita tak boleh mengacau di tempat orang lain. Hemmm, bocah itu hanya akan memancing datangnya banyak musuh ke Thai-san..."
Li Cu tidak memberi komentar apa-apa atas ucapan ayahnya barusan, melainkan dengan girang ia lalu menggandeng tangan Beng San sambil menariknya dan berkata, "Beng San, hayo kau ikut aku ke Thai-san."
"Bi Goat, kenapa kita ke Thai-san?" Beng San bertanya seperti orang bingung.
"Mulai sekarang kita akan tinggal di sana, kau ikutlah saja dengan aku dan jangan banyak bertanya."
Beng San mengangguk-angguk. "Baiklah...baiklah, kita ke Thai-san...aku menurut dan tak akan membantah asal selalu berada di dekatmu."
Melihat dan mendengar ini Cia Hui Gan menggeleng kepalanya dan diam-diam ia berdoa kepada Tuhan semoga keputusan yang diambil oleh anaknya itu tidak keliru dan tak akan merusak penghidupan anaknya dikelak kemudian hari. Atas pertanyaan Li Cu, dalam perjalanan menuju Thai-san itu Cia Hui Gan menceritakan apa yang telah terjadi di kota raja.
Seperti yang sudah diceritakan pada bagian depan, para orang gagah berusaha untuk menggagalkan rencana jahat yang diatur oleh Pangeran Lu Siauw Ong bersama Ho-hai Sam-ong. Di antara mereka itu terdapat pula Cia Hui Gan dan anaknya Li Cu sendiri, yang pergi menyusul rombongan Kaisar untuk melindunginya. Ada pun Cia Hui Gan pergi ke kota raja untuk menghukum muridnya yang murtad dan durhaka.
Telah dituturkan pula di bagian depan betapa Kaisar akhirnya terhindar dari mala petaka pencegatan Ho-hai Sam-ong dan anak buahnya serta teman-temannya. Sebagian besar adalah jasa Beng San yang terlebih dahulu secara sembunyi sudah menjumpai Kaisar di tengah perjalanan dan mengajukan usul supaya supaya Kaisar diam-diam kembali ke kota Raja, dan menyuruh orang lain menggantikan Kaisar di dalam joli, Seperti yang telah kita ketahui, Ho-Hai Sam-ong tertipu dan usaha mereka tidak saja hancur berantakan, malah mereka pun akhirnya tewas.
Ada pun Cia Hui Gan yang mencari muridnya, Tan Beng Kui di kota saja, datang dalam saat yang kebetulan pula. Pemberontakan telah pecah, penyerbuan para pemberontak ke dalam istana sedang terjadi. Akan tetapi, alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba, tidak saja muncul para pengawal yang serba lengkap dan kuat, juga muncul banyak sekali anggota Pek-lian-pai di bawah pimpinan Tan-Hok yang gagah perkasa. Lebih hebat lagi kekagetan para pemberontak ketika tiba-tiba muncul pula Kaisar sendiri yang memimpin tentaranya untuk menghancurkan barisan pemberontak yang menyerbu.
Sudah terang bahwa Kaisar pergi ke utara dengan rombongannya, mengapa tiba-tiba bisa berada di situ? Keadaan menjadi kacau-balau dan para pemberontak itu lantas berkurang semangatnya. Apa lagi di pihak Kaisar terdapat orang-orang gagah, terutama sekali Cia Hui Gan yang mengamuk seperti seekor naga terbang dan masih ada lagi raksasa muda Tan Hok yang mengamuk dengan anak buahnya yang gagah.
Cia Hui Gan yang sengaja mencari muridnya, akhirnya dapat berhadapan muka dengan Beng Kui yang berpakaian seperti seorang jenderal besar dan sedang mengamuk dengan pedangnya, Liong-cu-kiam. Alangkah kagetnya ketika tiba-tiba dia melihat gurunya. Akan tetapi Beng Kui malah menegur,
"Suhu, mengapa Suhu menghalangi cita-cita teecu yang tinggi?"
"Keparat, kau membikin malu gurumu saja dengan perbuatanmu yang hina. Mulai saat ini aku bukan gurumu lagi!"
"Aha, jadi Suhu juga berpandangan picik seperti Li Cu dan merasa sakit hati karena teecu menjadi menantu Lu Siauw Ong? Apakah Suhu tidak melihat bahwa kalau teecu kelak menjadi menantu Kaisar dan calon kaisar, masih belum terlambat untuk menikah dengan sumoi dan Suhu sendiri tentu memperoleh kedudukan tinggi?"
"Bangsat, tutup mulutmu!" dengan amarah meluap-luap Cia Hui Gan menyerang.
Beng Kui menangkis dan melakukan perlawanan. Tapi betapa pun juga, pedang pusaka Liong-cu-kiam di tangannya tidak mampu membantu banyak terhadap serangan-serangan gurunya yang lihai bukan main itu. Apa lagi ketika Beng Kui melihat betapa barisan yang dipimpinnya itu mulai berantakan dan cerai-berai karena memang kalah kuat, hatinya lalu menjadi risau dan permainan pedangnya kacau-balau.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Cia Hui Gan untuk mendesaknya dan pada saat yang baik, pundak kiri Beng Kui dapat tertusuk oleh pedang gurunya. Ia menjerit dan melompat ke belakang, menghilang di antara anak buahnya yang mulai berlarian ke sana ke mari mencari jalan keluar. Cia Hui Gan cepat mengejar karena ia bermaksud membunuh bekas muridnya itu, namun Beng Kui sudah mendapatkan seekor kuda dan sudah lari jauh.
Demikianlah pengalaman Cia Hui Gan di kota raja. Kaisar sendiri lalu menyatakan terima kasih kepadanya, akan tetapi Cia Hui Gan tak lama berdiam di kota raja, melainkan terus menyusul puterinya. Ia mendengar bahwa pencegatan rombongan Kaisar dapat digagalkan serta dihancurkan pula. Akan tetapi dengan hati kecut ia juga mendengar bahwa puterinya telah terluka dan ditolong oleh Beng San. Kisah ini ia dengar dari pada anggota Pek-lian-pai yang masih tertinggal di tempat itu karena terluka.
Cia Hui Gan tidak percaya lagi kepada Beng San setelah kekecewaannya pada Beng Kui. Jika kakaknya seperti itu, mana bisa adiknya baik pula? Dengan hati kuatir ia cepat-cepat melakukan perjalanan menyusul ke Min-san dan akhirnya ia menyaksikan semua kejadian yang membuat hatinya menjadi penuh kegelisahan akan hari depan puterinya….
*********
Setahun lebih Li Cu merawat Beng San dengan penuh kesabaran dan penuh cinta kasih. Melihat keadaan puterinya itu yang rela mengorbankan segala hal untuk Beng San yang masih saja belum kembali ingatannya, Cia Hui Gan merasa terharu dan kasihan sekali. Oleh karena keadaan Beng San yang boleh dibilang telah berubah menjadi seorang yang lemah, maka Raja Pedang ini lalu menggembleng puterinya dengan ilmu yang lebih tinggi agar kelak sepeninggalannya Li Cu dapat mempertahankan diri dari segala bahaya yang menimpanya.
Memang Cia Li Cu seorang gadis yang hebat, jarang bandingannya di dunia ini. Cintanya terhadap Beng San benar-benar cinta yang murni dan suci, cinta yang tidak dikotori nafsu, tidak tercemar oleh keinginan menyenangkan diri sendiri. Oleh karena sifat cintanya yang mulus inilah maka ia tahan menderita segala tekanan batin.
Beng San masih menganggap Li Cu sebagai Bi Goat. Dia masih saja belum mendapatkan kembali ilmu-ilmu silatnya. Sering kali Cia Hui Gan menyatakan kekuatirannya kepada puterinya itu dengan kata-kata nasihat,
"Li Cu, keputusan hatimu untuk mengorbankan diri demi cintamu kepada Beng San, aku sebagai orang tua tidak akan mengganggu gugat lagi. Akan tetapi engkau harus mengerti bahwa keputusan ini memancing datangnya banyak musuh. Sudah pasti Song-bun-kwi akan membalaskan anaknya yang kematiannya dia anggap karena kesalahan Beng San. Juga wanita yang bernama Kwa Hong, murid Hoa-san-pai itu... hemmm, kiraku dia juga merupakan ancaman bahaya dalam hidupmu kelak. Belum lagi kalau kita ingat kepada musuh-musuh Beng San yang amat banyak dan yang semuanya terdiri dari orang-orang sakti."
"Aku tidak takut, Ayah," jawab Li Cu gagah. "Biarkan mereka datang, orang-orang jahat itu. Aku akan membela Beng San mati-matian. Pula, Ayah berada di sini, aku takut apa lagi?" Ucapan terakhir ini bernada manja.
Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah mulai penuh rambut putih. "Tentu saja aku akan melindungimu selama aku masih hidup, Li Cu. Akan tetapi, kau harus mengerti bahwa usia manusia ada batasnya, demikian pula kepandaian. Menghadapi musuh-musuh Beng San itu, biar pun aku sendiri maju kiranya masih belum cukup kuat. Oleh karena itu, mari bantulah aku dalam pembuatan rencanaku yang sudah lama kupikir dan kuciptakan."
"Rencana apakah, Ayah?"
"Kita harus dapat membuat tempat kita ini menjadi tempat yang tidak mudah dikunjungi orang luar. Aku sudah mempunyai rencana lengkapnya. Kita minta bantuan penduduk di kaki gunung untuk mengerjakannya dan kurasa dalam waktu setahun tempat kita ini akan menjadi tempat persembunyian yang takkan gampang-gampang dimasuki orang luar, biar pun mereka memiliki kepandaian tinggi."
Semenjak terjadi percakapan ini, Cia Hui Gan lalu mencari bantuan tenaga para penduduk di kaki gunung dan mulailah rencananya itu dibuat. Ia memilih sebuah puncak yang amat indah pemandangannya dan nyaman pula hawa udaranya, pula puncak ini dikelilingi oleh jurang yang terjal dan tak mungkin dilalui manusia.
Bagian-bagian yang dapat digunakan orang untuk mendaki puncak, sengaja digugurkan sehingga bagi orang luar tampaknya tempat itu tak mungkin didatangi. Menurut rencana kakek ini mereka akan membuat jalan rahasia ke puncak, melalui terowongan buatan di bawah tanah.
Terowongan ini selain tidak tampak dari luar, juga di dalamnya dipenuhi alat-alat rahasia sehingga bagi orang-orang luar amat berbahayalah untuk melaluinya, andai kata dia dapat menemukan pintu terowongan juga. Selain alat-alat rahasia juga terowongan ini dibangun berliku-liku, banyak cabangnya dan mudah sekali menyesatkan orang.
Akan tetapi untuk membuat semua ini membutuhkan tenaga dan waktu. Dan kekhawatiran Cia Hui Gan tentang musuh-musuh besar Beng San ternyata terbukti ketika pembuatan jalan terowongan itu baru mulai dibuat!
Pada waktu itu matahari baru saja terbit dan penduduk kaki gunung sudah berkumpul dan mulai bekerja mengangkuti batu-batu yang dibutuhkan untuk pembuatan terowongan. Cia Hui Gan dan Cia Li Cu sedang mengatur pekerjaan dan berada di puncak, di tempat terbuka yang akan dibangun menjadi tempat tinggal mereka.
Beng San juga berada di situ, duduk di bawah sebatang pohon besar. Orang muda ini sekarang nampak sehat, wajahnya segar dan agak gemuk malah, akan tetapi sepasang matanya kehilangan cahaya yang biasanya bersinar tajam dan aneh. Sekarang bahkan kelihatan seperti orang bodoh.
Pakaiannya bersih dan ia nampak tersenyum-senyum gembira memandang ke arah Li Cu. Ia merasa heran sekali mengapa orang-orang itu sibuk hendak membuat rumah, akan tetapi seperti biasa ia tidak mengganggu ‘isterinya’.
Di pagi hari yang sejuk ini timbul bermacam-macam pertanyaan di dalam otaknya yang tidak sehat. Kenapa isterinya menyebut ‘ayah’ kepada orang tua yang katanya seorang ahli pedang berjuluk Bu-tek Kiam-ong bernama Cia Hui Gan? Ia sekarang sudah ingat bahwa ayah dari isterinya adalah Song-bun-kwi!
Tetapi mengapa Song-bun-kwi malah tidak kelihatan? Memang aneh isterinya sekarang! Kelihatannya begitu mencinta padanya, akan tetapi kenapa amat berubah sehingga tidur pun mereka berpisah? Diam-diam dia merasa kecewa dan berduka, akan tetapi dia tidak berani membantah. Kalau isterinya marah dan meninggalkan dia, celaka!
Mendadak terdengar kegaduhan hebat. Orang-orang berteriak-teriak dan ada pula yang memekik kesakitan, disusul suara gerengan seperti binatang buas mengamuk. Ada pula yang menjerit-jerit ketakutan disusul ketawa melengking.
Cia Hui Gan dan Li Cu kaget sekali dan cepat mereka memandang. Apa yang mereka lihat membuat keduanya berubah mukanya. Para pekerja lari cerai-berai dan malah ada yang sudah roboh karena amukan dua orang yang bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun dan Kwa Hong!
Dengan gerakan-gerakannya yang luar biasa, kakek tua berpakaian putih ini menggereng-gereng dan kadang-kadang melengking seperti orang menangis sambil menghantam ke kanan kiri merobohkan para pekerja yang tidak sempat lari menjauhkan diri. Lebih hebat dan mengerikan lagi ialah sepak terjang Kwa Hong yang duduk di atas rajawali emasnya yang menyambar-nyambar dari atas dan menyebar maut kepada para pekerja.
Kasihan sekali para penduduk kampung yang tidak mempunyai ilmu kepandaian silat itu. Mereka berusaha lari menyelamatkan diri, akan tetapi hanya sedikit saja yang berhasil. Sebagian besar tak mampu lagi menyelamatkan diri dan terpaksa harus menjadi korban keganasan dua orang itu.
Apa lagi mereka hanyalah petani-petani yang tidak berkepandaian. Andai kata mereka memiliki ilmu silat sekali pun belum tentu mereka akan dapat menghindarkan diri dari dua orang yang memiliki kepandaian dahsyat dan keganasan seperti iblis itu.
Melihat kejadian ini, tentu saja Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan merasa dadanya bagaikan dibakar. Kemarahannya tak dapat ia tahan lagi dan serentak ia lalu mencabut pedang dari belakang punggung, meloncat ke depan dan membentak keras,
"Iblis jahat Song-bun-kwi dan kau tentu siluman betina she Kwa murid Hoa-san-pai! Hari ini kalian berani datang ke Thai-san membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, aku Cia Hui Gan bersumpah akan membasmi kalian!" Pedangnya segera digerakkan dan secepat kilat ia menerjang kepada Song-bun-kwi.
Kakek ini pun sudah siap sedia, cepat mengelak dari pada sambaran sinar pedang yang luar biasa itu sambil memutar pedangnya sendiri untuk balas menyerang. Sementara itu Li Cu juga sudah melompat maju dan menggerakkan Liong-cu-kiam membantu ayahnya.
Akan tetapi dari atas terdengar suara ketawa mengikik dan menyambarlah sinar kehijauan lima buah banyaknya ke arah ayah dan anak itu. Cia Hui Gan dan Li Cu melompat ke samping sambil menggerakkan pedang menangkis.
Terdengar suara keras dan bunga api muncrat menyilaukan mata. Li Cu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka diam-diam dia terkejut bukan main. Alangkah kuatnya wanita yang naik burung rajawaii itu!
Sambil tertawa-tawa Kwa Hong juga sudah meloncat turun dari atas punggung rajawali yang segera terbang dan hinggap di atas puncak pohon besar sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring. Empat orang musuh besar itu kini saling berhadapan, masih belum bergerak lagi setelah gebrakan pertama tadi.
Bagaimanakah Kwa Hong bisa datang bersama-sama Song-bun-kwi di Puncak Thai-san? Hanya hal kebetulan saja. Ternyata bahwa Song-bun-kwi yang merasa sakit hati terhadap bekas mantunya itu tidak jauh meninggalkan Thai-san. Ia selalu menanti saat baik untuk menculik dan membunuh Beng San.
Akhirnya pada pagi hari itu ia melihat Kwa Hong menunggang burung rajawali naik ke Thai-san. Giranglah hatinya karena ia dapat menduga bahwa kedatangan tokoh baru yang menggemparkan ini pasti akan memusuhi Beng San, maka ia segera menyusul naik dan melihat Kwa Hong menghajar para pekerja, ia pun lalu turun tangan menyerbu. Yang amat berat dihadapi bagi Song-bun-kwi hanyalah Bu-tek Kiam-ong, maka apa bila ia mendapat kawan yang kosen, ia tidak takut.
Sementara itu Kwa Hong sengaja datang ke Thai-san karena ia sudah mendengar tentang keadaan Beng San yang kehilangan kepandaiannya. Ia ingin sekali menyaksikan dan jika betul demikian berarti ia akan dapat segera membalas sakit hatinya. Pada saat ia melihat Song-bun-kwi membantunya, ia tidak berkata apa-apa, malah tidak peduli sama sekali.
Cia Hui Gan sudah sangat marah melihat banyak penduduk menjadi korban keganasan Kwa Hong, maka dia langsung membentak, “Perempuan liar, kenapa datang-datang kau mengacau tempat orang?!”
“Aku bukan perempuan liar, bukan pula mengacau tempat orang,” Kwa Hong menjawab sambil tersenyum mengejek. “Aku datang untuk membawa suamiku pulang.”
“Kau pergilah. Di sini tidak ada suamimu, lagi pula kenapa kau harus mencari suamimu di tempat orang?” kata Cia Hui Gan, nada bicaranya seperti balas mengejek.
Kwa Hong mulai marah, dia tahu Si Raja Pedang barusan menghinanya.
“Itulah suamiku,” kata Kwa Hong sambil menunjuk Beng San yang masih duduk di bawah pohon, dijaga oleh Li Cu yang begitu melihat gelagat kurang baik langsung menghampiri pemuda itu untuk dijaganya. “Namanya Tan Beng San!” sambung Kwa Hong.
“Kau perempuan tak tahu malu, mengakui laki-laki lain sebagai suami sendiri!” bentak Cia Hui Gan.
"Cia Hui Gan, kenapa kau begini tak tahu malu? Anak perempuanmu yang bermuka tebal itu telah melindunginya? Hemmm, apakah hanya begini saja orang yang memiliki julukan Kiam-ong? Ternyata hanya orang rendah...!" Kwa Hong memaki kalang-kabut.
Wajah Cia Hui Gan menjadi merah bukan main, matanya bersinar-sinar memancarkan api kemarahan, "Iblis wanita, kau sebenarnya siapa dan apa maksudmu ke sini?" bentaknya.
"He, perempuan muda, jangan kau sembarangan bicara!" Song-bun-kwi juga amat kaget mendengar ucapan Kwa Hong dan cepat memaki. "Beng San suami anakku, sekarang dirampas oleh anak orang she Cia ini, Kenapa kau berani mengakunya sebagai suami? Apakah kau orang yang dulu melahirkan anak di tempatku, ditolong oleh Bi Goat?"
Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Kalian orang-orang tua tahu apa? Dengarlah baik-baik. Manusia bernama Tan Beng San itu, yang sekarang duduk di sana seperti patung hidup, sebelum dia menikah dengah Kwee Bi Goat, dia sudah lebih dahulu menjadi ayah dari anakku. Akulah orang yang paling berhak atas dirinya, dan siapa pun hendak menghalangi akan kubunuh mampus. Hee, Beng San! Hayo kau ikut denganku. Apakah kau tidak ingin menengok anakmu?"
Beng San hanya melongo, sama sekali ia tidak ingat lagi siapa adanya wanita yang bicara tidak karuan itu. Suara dan wajahnya serasa ia kenal baik, akan tetapi ia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Beng San memijit-mijit keningnya, mengingat-ingat.
"Ho-ho, nanti dulu!" Song-bun-kwi berseru sambil tertawa mengejek.
"Bukankah kau yang bernama Kwa Hong, anak murid Hoa-san-pai? Aku sudah banyak mendengar tentang kau! Orang bilang bahwa kau telah menjadi isteri Koai Atong Si Bocah Tua gila. Kalau kau punya anak, tentulah anakmu dengan Koai Atong itulah! Kau murid Hoa-san-pai jangan banyak membohong di sini."
"Tutup mulut busukmu, tua bangka gila!" Kwa Hong membentak sambil mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai. "Buka matamu dan lihat ini. Aku Ketua Hoa-san-pai, bukan murid lagi, tahu? Ini adalah pusaka Hoa-san-pai, berada di tangan Ketua Hoa-san-pai. Pedang pusaka ini kelak akan memenggal batang lehermu karena kau sudah berani berkurang ajar kepadaku. Sekarang hendak kupakai membasmi orang-orang yang berani merampas Beng San."
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Keluarga Cia memang patut dibasmi. Mari kubantu kau!" kata Song-bun-kwi yang cerdik dan licin.
Semenjak tadi Cia Hui Gan hanya berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Ia merasa susah dan malu sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan tentu saja ia tahu akan peraturan kang-ouw. Dua orang yang datang ini memang berhak atas diri Beng San, yang seorang bekas kekasih Beng San, dan yang seorang lagi mertuanya malah. Memang dia dan puterinya berada di pihak yang salah. Akan tetapi mana bisa ia tidak membela Li Cu?
Tentu saja Li Cu maklum pula apa yang dipikirkan ayahnya, maka dengan gagah ia melangkah maju dan berkata lantang, "Kalian bicara seakan mau menang sendiri saja! Song-bun-kwi, sudah jelas bahwa kematian puterimu bukan karena kesalahan Beng San, melainkan karena Kwa Hong yang merupakan kenyataan yang menghancurkan hatinya. Malah Beng San demikian mencinta puterimu itu sehingga kematiannya membuat Beng San kehilangan ingatan. Dan kau, Kwa Hong, kau sungguh tak tahu malu, perbuatanmu dengan Beng San itu sudah menunjukkan betapa rendah watakmu. Hubunganmu dengan Beng San terjadi di bawah pengaruh racun, akan tetapi kau begitu tak punya malu untuk menyatakan Beng San adalah suamimu!"
"Setan betina, tutup mulutmu!" Kwa Hong menjadi marah, mukanya menjadi merah dan matanya liar. "Suami atau bukan dia adalah ayah anakku. Sebaliknya engkau ini bukan apa-apanya, tapi kenapa membela mati-matian? Bukankah kau yang tergila-gila kepada Beng San?"
"Memang aku mencinta Beng San!” jawab Li Cu dengan suara tegas dan sikap gagah sambil mengedikkan kepala. "Aku mencinta Beng San dan aku berhutang budi padanya. Sebaliknya, dia menganggap bahwa aku adalah isterinya yang sudah meninggal. Demi cintaku dan demi untuk membalas budi, aku akan melindunginya dengan taruhan nyawa dan ragaku. Apa bila kalian berdua manusia-manusia berhati iblis bermaksud membunuh atau menculiknya, kalian harus lebih dulu dapat membunuh aku!"
"Bagus, memang aku hendak membunuhmu!" Kwa Hong menjerit dan anak panah-anak panah pada ujung cambuknya menyambar.
"Trang-trang-trang!"
Li Cu menangkis dengan Liong-cu-kiam. Ujung tiga batang anak panah itu patah semua sedangkan yang dua buah tidak mengenai pedang pusaka sehingga terhindar dari pada kerusakan. Bukan main marahnya Kwa Hong melihat betapa dalam segebrakan saja senjatanya telah rusak oleh pedang lawan yang ternyata amat kuat itu. Ia mencabut Hoa-san Po-kiam dan menerjang lagi.
Li Cu menangkis lagi dan kali ini ia terhuyung mundur dengan tangan sakit-sakit. Pedang di tangan Kwa Hong sama sekali tidak rusak! Hal ini tidak aneh karena Hoa-san Po-kiam juga merupakan sebatang pedang pusaka yang ampuh.
Sementara itu Kwa Hong sudah menyerang lagi. Gerakannya dalam penyerangan aneh sekali, menyambar-nyambar bagaikan gerakan seekor burung. Pedang Hoa-san Po-kiam meluncur ke arah tenggorokan Li Cu. Baru saja gadis ini hendak mengelak, ujung pedang itu sudah menyambar ke bawah membelah dada!
Li Cu kaget dan cepat menggunakan Liong-cu-kiam menangkis, akan tetapi lagi-lagi ujung pedang lawan tidak melanjutkan serangannya dan tahu-tahu tangan kiri Kwa Hong yang memukul dengan gerakan pukulan Jing-tok-ciang! Li Cu benar-benar kaget sekali ketika tiba-tiba ada angin dingin menyambar dari sebelah kanannya. Cepat ia mengelak namun karena serangan ini memang tidak tersangka-sangka olehnya, ia terdorong hawa pukulan Jing-tok-ciang dan kembali ia terhuyung-huyung.
Pada waktu itu pedang Kwa Hong sudah mengejar pula dengan tusukan-tusukan disertai bacokan-bacokan maut yang amat sukar diketahui perubahannya.
"Li Cu, mundurlah!" kata Cia Hui Gan sambil meloncat maju. Pedangnya menyambar mengeluarkan sinar kilat dan sekaligus ia telah berhasil mengancam pergelangan tangan Kwa Hong dengan gulungan sinar pedangnya yang hebat.
"Ayaaaa...!" Kwa Hong berjengit sambil menarik tangannya ke belakang, juga melangkah mundur setindak, tidak melanjutkan desakannya kepada Li Cu.
"Ha-ha-ha, Raja Pedang tak tahu malu, mengeroyok seorang perempuan muda!" berkata Song-bun-kwi sambil terjun ke dalam kalangan pertempuran.
Dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut ia segera menerjang Cia Hui Gan. Sementara itu, karena tadi kaget ketika pergelangan tangannya hampir putus oleh pedang Cia Hui Gan, Kwa Hong marah bukan main. Sambil mengeluarkan pekik melengking ia kini menerjang orang tua dari Thai-san itu sehingga dalam sekejap mata saja Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan sudah dikeroyok dua oleh Kwa Hong dan Song-bun-kwi.
Cia Hui Gan berjuluk Bu-tek Kiam-Ong (Raja Pedang Tanpa Tanding), ilmu pedang Sian-li Kiam-sut adalah ilmu pedang keturunan yang asli dari pendekar sakti Ang I Niocu ratusan tahun yang lalu. Semenjak ratusan tahun itu, Sian-li Kiam-sut boleh dibilang menjagoi di antara segala ilmu pedang.
Sebetulnya, ilmu pedang ini masih bersumber dengan Im-yang Sin-kiam-sut atau boleh dikatakan cabangnya. Karena mempunyai ilmu pedang ini yang sudah dilatihnya secara sempurna maka tidak heran apa bila Cia Hui Gan merupakan jago pedang yang sukar dilawan.
Akan tetapi sekarang ia dikeroyok oleh dua orang lawan yang bukan orang sembarangan. Song-bun-kwi Kwee Lun adalah seorang tokoh kenamaan, malah tokoh nomor satu dari barat yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi dan sakti, juga telah mendapatkan ilmu silat pedang Yang-sin Kiam-sut. Di dunia kang-ouw jarang ada yang mampu menandingi dirinya.
Ada pun orang ke dua biar pun tidak ternama dan hanya merupakan murid Hoa-san-pai, akan tetapi Kwa Hong sekarang sama sekali tidak boleh disamakan dengan Kwa Hong dahulu pada saat menjadi murid Hoa-san-pai. Kwa Hong telah mempelajari ilmu dari Koai Atong, terutama Jing-tok-ciang dan di samping ini, yang membuat ia sekarang sekaligus berubah menjadi seorang yang luar biasa adalah ilmu silat yang ia petik bersama Koai Atong dari gerakan-gerakan rajawali emas yang sekarang menjadi teman dan binatang tunggangannya.
Li Cu maklum bahwa kepandaian dua orang ini hebat sekali. Ketika dia teringat bahwa pedang di tangan Kwa Hong ternyata merupakan sebatang pedang pusaka yang ampuh, ia pun kuatir kalau-kalau ayahnya akan terdesak dan rusak pedangnya. Maka ia segera berseru,
"Ayah, kau pergunakan Liong-cu-kiam ini!"
Oleh karena Cia Hui Gan juga seorang yang bermata awas dan tadi dapat melihat betapa pedang Kwa Hong dapat menandingi Liong-cu-kiam, ia tidak mau banyak sungkan lagi. Diterimanya pedang Liong-cu-kiam pendek itu dengan tangan kirinya, lalu ia berseru,
"Li Cu, bawa Beng San pergi dari sini. Biar aku menandingi dua iblis jahat ini!"
Akan tetapi Li Cu sendiri adalah seorang pendekar yang berhati baja, mana dia sudi pergi meninggalkan ayahnya yang terancam bahaya dan melarikan diri?
"Tidak, Ayah. Mati hidup aku harus bersamamu, aku harus membantumu. Berikan saja pedangmu kepadaku!"
"Jangan, Li Cu. Kalau hanya menghadapi dua ekor manusia binatang ini, aku sendirian masih sanggup. Kau bawa pergi Beng San, selamatkan dia lebih dulu!"
Li Cu ragu-ragu dan sejenak ia berdiri memandang. Betul saja, biar pun dikeroyok dua, sepasang pedang di tangan ayahnya itu benar-benar hebat, merupakan dua gulung sinar pedang yang berlainan warna, menyambar-nyambar laksana naga di angkasa raya. Ilmu pedang ayahnya benar-benar sudah sampai pada puncaknya. Hebat bukan main sampai Li Cu dalam suasana tegang itu menjadi kagum akan keindahan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dimainkan ayahnya.
Andai kata Song-bun-kwi dan Kwa Hong mengeroyoknya tidak menggunakan pedang, kiranya tidak akan mungkin Cia Hui Gan kuat mempertahankan diri. Tingkat kepandaian Song-bun-kwi tidak lebih bawah dari pada tingkatnya sendiri, ada pun wanita muda itu benar-benar memiliki ilmu silat yang aneh dan mukjijat sekali.
Baiknya dua orang itu pun bermain pedang, sedangkan senjata pedang adalah permainan Cia Hui Gan semenjak kecil, yang menjadi keahliannya sehingga ia dijuluki Raja Pedang. Maka, menghadapi permainan pedang kedua orang lawannya, Cia Hui Gan merasa lebih mudah untuk tidak saja mempertahankan diri, malah balas mendesak dengan jurus-jurus yang lihai.
Selagi Li Cu berdiam bimbang, mendadak terdengar suara bentakan orang, "Li Cu, kau benar-benar membikin malu aku yang menjadi kekasihmu!"
Li Cu kaget bukan main karena tiba-tiba muncul Tan Beng Kui bersama Hek-hwa Kui-bo! Hek-hwa Kui-bo segera menghunus pedang dan menyerbu ke dalam pertempuran sambil berseru kepada Song-bun-kwi.
"Hi-hi-hi-hi, tua bangka keparat, jangan kau perlihatkan sendiri kelihaian Yang-sin-kiam. Mana yang lebih hebat dibandingkan dengan Im-sin-kiam ilmuku?"
Seperti kita ketahui dalam cerita Raja Pedang, kalau Song-bun-kwi dapat merampas kitab pelajaran Ilmu Pedang Yang-sin-kiam, adalah Hek-hwa Kui-bo yang berhasil merampas kitab pasangannya, yaitu yang mengandung pelajaran Ilmu Pedang Im-sin-kiam!
Dengan munculnya ahli Im-sin-kiam ini, boleh dibilang Cia Hui Gan menghadapi pasangan ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-Sut yang hebat bukan main. Tentu saja ilmu pedang ini tidak sehebat kalau dimainkan oleh satu orang seperti Beng San sebelum dia kehilangan ingatannya. Betapa pun juga, baru dalam gebrakan-gebrakan pertama saja sudah terlihat betapa Cia Hui Gan menjadi sangat sibuk menghadapi serangan-serangan pasangan dari dua orang tokoh ilmu silat kelas tinggi itu!
Li Cu kaget sekali melihat kedatangan bekas suheng dan tunangannya beserta Hek-hwa Kui-bo itu. Ini berarti bertambahnya pihak lawan yang sangat tangguh. Juga di samping kekuatirannya, dia menjadi marah sekali kepada Beng Kui. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menerjang bekas tunangannya itu dengan pukulan-pukulan maut. Ia merasa menyesal bukan main karena ia masih belum sempat mengambil pedang lain setelah Liong-cu-kiam dipinjamkan kepada ayahnya.
"Ha-ha, Li Cu. Kau tak tahu malu, melarikan laki-laki. Hah, perbuatan rendah dan hina."
"Tutup mulut dan jangan mencampuri urusanku!" bentak Li Cu makin marah.
Li Cu memperhebat serangannya. Akan tetapi dengan mudah Beng Kui dapat mengelak. Memang tingkat kepandaian Beng Kui lebih tinggi dari pada kepandaian Li Cu, apa lagi memang dahulu sering kali ia melatih ilmu silat kepada bekas sumoi-nya ini, karena itu gerakan-gerakan Li Cu sudah ia hafal benar.
Tiba-tiba Beng San datang berlari-lari dengan maksud hendak melerai mereka berdua yang sedang bertanding. Sejak tadi ia mendengarkan semua percekcokan dengan pikiran bingung dan hati berdebar. Ia menganggap mereka semua itu juga ‘isterinya’, bicara tidak karuan.
Selagi ia mengerahkan pikirannya untuk menyelami maksud dari semua percakapan yang ganjil itu, tiba-tiba muncul Tan Beng Kui dan di dalam kebingungannya ternyata ia masih dapat ingat dan kenal kepada kakak kandungnya ini. Kini kakak kandungnya itu bertempur melawan isterinya, tentu saja ia menjadi makin bingung dan cepat lari menghampiri untuk mencegah.
"Kui-ko... jangan berkelahi dengan dia. Dia itu isteriku!" tegurnya sambil menggerakkan kedua tangan ke atas untuk mencegah.
"Ha, sudah menjadi isterinya, ya? Sejak kapan?" Beng Kui mengejek sambil memandang kepada Li Cu.
Gadis ini menjadi merah mukanya, akan tetapi dia mengedikkan kepala dan menjawab lantang, "Kalau betul kau mau apa? Bukan urusanmu!"
"Bi Goat, dia ini adalah kakak kandungku, jangan kau bertengkar kepadanya," kata pula Beng San, suaranya penuh permohonan.
“Ha-ha-ha-ha, menjadi isteri seorang gila.” Beng Kui tertawa dan mengejek lagi, kemudian tiba-tiba tangannya menghantam ke depan, tepat mengenai dada Beng San.
"Blukkk!"
Tubuh Beng San terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan jatuh bergulingan. Akan tetapi ia segera bangun kembali dan bertanya dengan mata terbelalak heran.
"Kui-ko, kenapa kau memukulku?" tanyanya berulang-ulang sambil melangkah maju lagi.
Beng Kui tadinya girang karena kini mendapat kenyataan bahwa adik kandungnya yang dahulu lihai itu sekarang benar-benar telah kehilangan kepandaiannya. Tadinya pada saat mendengar berita ini ia masih ragu-ragu.
Ketika tadi ia mendengar Beng San mengaku Li Cu sebagai isteri dan menyebutnya ‘Bi Goat’, ia tahu bahwa adiknya benar-benar sudah kehilangan ingatan. Akan tetapi hal ini belum berarti kehilangan kepandaiannya, karena itu untuk mencobanya ia cepat memukul. Pukulan ini cepat dan tak terduga-duga sehingga Li Cu sendiri tidak sempat mencegah.
Giranglah hati Beng Kui melihat pukulannya tepat sasaran sehingga membuat adik yang ditakuti itu terlempar dan bergulingan. Akan tetapi ia kaget bukan main melihat Beng San bangun lagi dan tidak apa-apa. Padahal pukulannya tadi ia lakukan dengan pengerahan tenaga lweekang.
Ia tidak tahu bahwa tenaga lweekang dan hawa murni di tubuh Beng San masih ada dan secara otomatis bergerak melindungi bagian yang terpukul. Ia mengira bahwa Beng San masih lihai seperti dulu. Akan tetapi melihat sikap Beng San dan mendengar pertanyaan yang berkali-kali itu ia dapat menduga bahwa Beng San masih dilindungi oleh hawa murni di tubuhnya, tapi takkan dapat mempergunakan hawa dan tenaganya untuk menyerang karena semua ilmu telah dilupakannya.
Sementara itu Li Cu marah bukan main melihat Beng San dipukul tadi. Juga ia merasa kuatir kalau-kalau Beng San terluka parah, meski pun ia melihat Beng San sudah bangkit kembali dan malah mendekati Beng Kui. Karena kuatir kalau Beng Kui memukul lagi, Li Cu mendahuluinya dan menyerang dengan hebatnya. Beng Kui tertawa-tawa dan segera melayaninya. Ada pun Beng San terus berteriak-teriak mencegah mereka bertempur.
Hati Li Cu gelisah bukan main. Biar pun ia sedang berhantam dengan Beng Kui, namun ia dapat menangkap dengan pendengaran telinganya yang tajam bahwa keadaan ayahnya mulai terdesak hebat. Hal ini mengguncangkan hatinya dan mengacaukan gerakan kaki tangannya.
"Beng Kui anak durhaka! Lepaskan Li Cu!" tiba-tiba Gia Hui Gan berteriak keras. "Li Cu, bawa Beng San pergi jauh-jauh!"
Akan tetapi kata-katanya itu disambut dengan ketawa mengejek oleh Beng Kui. Cia Hui Gan tidak berdaya menolong puterinya karena tiga orang lawannya makin hebat mendesaknya. Rupanya karena maklum bahwa mereka menghadapi lawan yang sangat tangguh.
Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi dapat bekerja sama dan mempergunakan Yang-sin Kiam-sut dan Im-sin Kiam-sut untuk mengeroyok jago pedang itu. Sedangkan Kwa Hong dengan ilmu silatnya yang tidak karuan akan tetapi dahsyat sekali, terus saja melancarkan serangan-serangan maut.
Li Cu makin gelisah dan kesempatan ini digunakan dengan baik oleh Beng Kui. Sebuah tendangan pada sambungan lutut membuat Li Cu roboh dan susulan totokan membuat gadis itu tidak dapat bergerak pula,
"Jangan pukul isteriku...!" Beng San berseru dan menubruk Li Cu.
Akan tetapi dia pun segera lemas tak dapat bergerak karena ditotok oleh Beng Kui pada dua jalan darahnya yang penting. Kemudian sambil tertawa-tawa Beng Kui mengempit tubuh Li Cu dan Beng San, lalu di bawa pergi lari cepat dari tempat itu.
"Beng Kui... keparat...! Lepaskan Li Cu...!" Cia Hui Gan membentak dan pedang di tangan kanannya meluncur cepat mengejar bayangan Beng Kui.
Orang muda ini maklum akan kehebatan ilmu melempar pedang dari gurunya, ia menjadi pucat dan kaget sekali. Cepat ia mengelak dan merendahkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya tertusuk pedang yang meluncur dari belakang. Sambil menjerit kesakitan Beng Kui mempercepat larinya. Tubuh Li Cu serta Beng San masih dikempitnya dan pedang itu pun masih menancap di pundaknya.
Masih untung bagi Beng Kui bahwa pada waktu itu pula Kwa Hong, Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi mendesak Cia Hui Gan sehingga Raja Pedang ini tidak sempat lagi untuk mengejarnya. Malah kini keadaan Cia Hui Gan terdesak hebat karena di tangannya hanya terdapat sebatang pedang pendek, yaitu pedang Liong-cu-kiam karena pedangnya sendiri tadi telah disambitkan ke arah Beng Kui dalam usaha mencegah bekas murid itu menculik puterinya.
Hal ini ditambah lagi dengan hatinya yang risau memikirkan puterinya, maka permainan pedang Cia Hui Gan menjadi agak kalut sehingga kurang kuat bagian pertahanannya. Kesempatan yang baik ini digunakan oleh tiga orang pengeroyoknya untuk menghujankan serangan pedang. Raja Pedang itu kurang cepat dan kulit lambungnya tergores pedang di tangan Kwa Hong.
Darah mengucur dan membasahi bajunya. Rasa perih menimbulkan kemarahan hebat dan mengobarkan semangat perlawanan Cia Hui Gan. Kakek yang gagah perkasa ini lalu mengeluarkan seruan panjang. Pedangnya yang hanya pendek saja itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, dahsyat sekali. Bunyi nyaring beradunya pedang-pedang pusaka makin sering terdengar dibarengi oleh berpijarnya bunga-bunga api. Namun tiga orang pengeroyoknya juga makin memperhebat tekanan karena mereka merasa penasaran sekali.
Sambil mengerahkan tenaganya yang mukjijat Kwa Hong memutar pedang tiga kali, lalu membalikkan arah pedang menusuk ke arah perut Raja Pedang itu. Pada saat yang sama Hek-hwa Kui-bo dengan gerakan lemas membabat kakinya. Dua penyerangan sekaligus dari dua jurusan ini benar-benar berbahaya dan hebat.
Cia Hui Gan membentak nyaring. Pedangnya berkelebat ketika menangkis tusukan Kwa Hong dan pada saat itu ia harus pula meloncat tinggi-tinggi untuk menghindarkan diri dari babatan pedang Hek-hwa Kui-bo. Detik berikutnya pedang di tangan Song-bun-kwi sudah menyambar datang, menusuk punggung. Cepat ia kembali menurunkan kakinya setelah babatan lewat. Tubuhnya agak miring karena pedangnya masih tergetar dalam menangkis tusukan Kwa Hong, ia tidak sempat lagi mengelak atau menangkis.
Namun dengan gerakan tiba-tiba, lengan kirinya yang ditekuk itu digerakkan sedemikian rupa sehingga sikunya membentur pinggir pedang Song-bun-kwi. Tepat dan cepat sekali gerakan ini dan pedang Song-bun-kwi meluncur lewat pinggir tubuhnya, merobek pakaian dan melukai kulit, tapi ia selamat!
"Bagus!" Song-bun-kwi memuji.
Song-bun-kwi kagum sekali melihat betapa dalam cengkeraman maut itu lawannya masih mampu menyelamatkan diri. Selanjutnya, dengan penuh penasaran hati, ia pun mendesak terus, mainkan Yang-sin Kiam-sut yang bersifat keras itu. Tekanan makin hebat. Cia Hui Gan sudah mengerahkan seluruh tenaga, kegesitan dan mengeluarkan seluruh kemahiran bermain pedang. Namun tetap saja ia didesak terus dan tidak ada jalan keluar lagi baginya kecuali melawan mati-matian. Dia sudah menderita beberapa luka ringan.
Darah membasahi seluruh pakaiannya. Ia sudah terluka di pundak, di pangkal lengan, di kedua paha, malah sebuah tusukan yang agak dalam di punggung membuat gerakannya makin lemah dan lambat. Namun semangatnya tak kunjung padam, sambil mengeluarkan bentakan-bentakan hebat kakek ini mengamuk terus seperti banteng terluka.
Tiba-tiba Kwa Hong mengeluarkan suara melengking yang aneh dan ternyata kemudian bahwa suara ini adalah suara panggilan untuk burung rajawali emas yang semenjak tadi bertengger di cabang pohon besar yang tak jauh dari situ. Segulung sinar kuning emas meluncur turun dibarengi lengking yang seperti tadi keluar dari mulut Kwa Hong.
"Tiauw-heng (Kakak Rajawali), bantulah aku!" seru Kwa Hong sambil memperhebat desakannya kepada Cia Hui Gan.
Burung itu agaknya sudah hafal akan suara dan perintah Kwa Hong. Melihat bahwa nonanya itu bertempur melawan Cia Hui Gan, ia cepat menukik ke bawah menerjang Raja Pedang itu. Tiba-tiba burung itu terbang membalik, berputaran di atas sambil memekik-mekik nyaring. Agaknya ia ragu-ragu dan merasa bingung, kemudian ia menukik lagi dengan kedua kaki bergerak-gerak menyerang.
Cia Hui Gan memang sudah terdesak dan terkurung hebat sekali, sekarang mendadak ia melihat gerakan kedua kaki burung itu. Ia tidak dapat menangkis lagi dan... secara aneh sekali tahu-tahu pedang di tangannya sudah dicengkeram oleh burung itu dan dibetot terlepas dari tangannya. Cia Hui Gan tadi terkejut melihat gerakan burung itu yang ia kenal. Kemudian teringatlah ia bahwa gerakan itu mirip, bahkan tidak ada bedanya dengan gerakan Sian-li Teng-liong (Bidadari Menunggang Naga), sebuah gerakan yang terahasia dari ilmu silatnya Sian-li Kiam-sut.
"Kau... kau...!" serunya terheran-heran.
Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu tiga batang pedang sudah ambles memasuki tubuhnya. Cia Hui Gan tidak mengeluarkan suara lagi, roboh dan tewas di saat itu juga! Sungguh patut disesalkan nasib seorang Raja Pedang yang namanya sudah puluhan tahun gemilang dikagumi orang, ternyata sekarang harus mengorbankan nyawa gara-gara asmara yang telah menguasai hati puterinya!
"Berikan Liong-cu-kiam itu kepadaku!" bentak Song-bun-kwi sambil melotot kepada Kwa Hong yang sudah menerima pedang pusaka itu dari burung rajawalinya.
"Tidak, harus kau berikan kepadaku!" Hek-hwa Kui-bo membentak sambil menerjang maju hendak merampas Liong-cu-kiam yang amat diinginkan itu.
Akan tetapi, sekali Kwa Hong menggerakkan kaki secara aneh, usaha Hek-hwa Kui-bo untuk merampas pedang itu gagal dan ia hanya menangkap angin. Diam-diam nenek ini kaget sekali. Biar pun tadi dalam pengeroyokan atas diri Raja Pedang ia sudah mendapat kenyataan betapa lihainya wanita muda ini, namun tak pernah disangkanya akan demikian hebat sehingga serangannya merampas pedang dapat digagalkan hanya dengan sedikit menggerakkan kaki saja!
"Kalian ini tua bangka tak tahu diri! Bukalah matamu baik-baik dan lihat kepada siapa kalian bicara! Kalau tidak ada aku dan rajawali emasku, mana bisa kalian mengalahkan Bu-tek Kiam-ong? Sekarang masih berlagak hendak merampas pedang? Lihat, yang di tangan kananku adalah Hoa-san Po-kiam, pedang pusaka Hoa-san-pai yang menandakan bahwa aku adalah Ketua Hoa-san-pai. Dan di tangan kiriku ini adalah Liong-cu-kiam yang menandakan bahwa aku lebih lihai dari pada Bu-tek Kiam-ong dan tentu saja lebih lihai dari pada kalian para tua-tua bangka. Mau pedang? Hi-hi-hi, bila kalian sudah mengidam kuburan, boleh, majulah untuk kutebas batang leher kalian seorang satu!" Ia menyodorkan kedua pedang itu ke depan sambil tersenyum-senyum penuh ejekan.
Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi saling pandang. Baru satu kali selama hidup mereka itu mereka menerima hinaan dan kekalahan dari seorang muda, yaitu dari Beng San. Dan sekarang ada seorang gadis muda lagi yang mengejek dan menantang mereka. Tanpa mengeluarkan suara, saling pandang ini cukup bagi dua orang tokoh itu bersepakat untuk mencoba kepandaian mereka yang sebetulnya berpasangan itu kepada gadis aneh ini. Serentak keduanya bergerak menyerang Kwa Hong...