CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJAWALI EMAS JILID 08
Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa sambil menangkis dengan sepasang pedangnya. Akan tetapi suara ketawanya tak berlangsung lama karena ia segera menjadi repot sekali oleh pengeroyokan dua orang itu. Hek-hwa Kui-bo mainkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut sedangkan Song-bun-kwi memainkan Yang-sin Kiam-sut dan mereka dapat bekerja sama secara baik sekali.
Menghadapi pasangan ilmu pedang sakti ini, Kwa Hong segera terdesak hebat. Masih untung baginya ia sudah paham betul akan gerakan dan perubahan geseran kaki menurut gerakan rajawali emas, sehingga biar pun terdesak hebat ia masih dapat menyelamatkan diri secara aneh. Akhirnya ia melengking keras minta bantuan rajawali. Rajawali emas segera menyambar-nyambar di atas kepala kedua orang itu. Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo tadi sudah menyaksikan ketika rajawali itu merampas pedang dari tangan Cia Hui Gan, maka mereka kaget dan cepat-cepat meloncat dan menjatuhkan diri.
Kesempatan ini dipergunakan Kwa Hong untuk meloncat ke atas punggung burungnya, sambil tertawa-tawa ia berkata, "Aku tidak ada waktu untuk main-main dengan kalian dua orang tua bangka!"
Cepat burungnya terbang meninggalkan dua orang itu yang menyumpah-nyumpah saking mendongkol dan marahnya.
"Ahh, kenapa bisa begini tolol? Aku harus menangkap Beng San keparat!" tiba-tiba saja Song-bun-kwi teringat akan urusannya dan tanpa menoleh lagi kepada Hek-hwa Kui-bo ia berlari cepat mengejar ke arah larinya Beng San dan Li Cu tadi.
Hek-hwa Kui-bo datang bersama Beng Kui. Memang dia dimintai tolong oleh orang muda itu setelah Beng Kui mendengar bahwa Beng San kini sudah kehilangan kepandaian dan ingatannya. Seperti telah dituturkan pada bagian atas, antara Hek-hwa Kui-bo dan Beng Kui terdapat kerja sama lagi ketika mereka bersama-sama membantu pemberontak-pemberontak yang ingin menggulingkan kedudukan Kaisar pertama dari Kerajaan Beng. Sekarang Beng Kui berhasil dengan usahanya, yaitu menculik Beng San dan Li Cu.
Akan tetapi, di belakang orang muda itu mengejar Song-bun-kwi dan mungkin juga Kwa Hong, siapa tahu? Sudah menjadi tugasnya untuk membantu Beng Kui, maka ia pun lalu meninggalkan tempat itu dan menyusul Beng Kui karena ia sudah tahu ke mana pemuda itu membawa pergi dua orang korbannya itu.
Dalam kempitan Beng Kui, Beng San tidak berdaya. Akan tetapi diam-diam ia memutar terus otaknya yang sejak pertempuran di Thai-san tadi mengalami guncangan-guncangan hebat. Banyak hal yang membingungkannya. Sekarang kakak kandungnya menangkap dia dan isterinya. Apakah kesalahannya? Apa pula kesalahan isterinya? Dan ke manakah mereka berdua hendak dibawa? Lalu hendak diapakan?
Seingatnya, isterinya adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, yang juga merupakan puteri dari Song-bun-kwi. Dan baru teringat ia sekarang, kenapa tadi Song-bun-kwi tidak menolongnya dan menolong isterinya?
"Aku tidak peduli itu semua...," akhirnya hatinya memutuskan karena kepalanya serasa pecah karena kepeningan ketika dia mencoba memecahkan semua rahasia itu. "...asal saja Bi Goat jangan diganggu..."
Ia merasa kuatir sekali kalau-kalau isterinya diganggu orang. Dan apa bila sampai terjadi demikian, biar pun yang mengganggunya adalah kakak kandungnya, biar pun dia sendiri tak bisa silat, hemm... dia akan mencegahnya dan melawan mati-matian mempertaruhkan nyawanya sendiri.
"Kui-ko, mengapa kau menangkap kami suami isteri dan ke mana kau hendak membawa kami?" Beng San akhirnya bertanya.
Akan tetapi yang ditanya tidak menjawab, melainkan berlari makin cepat lagi. Beng San mengulang-ulang pertanyaannya, namun Beng Kui tetap tidak menjawab sedangkan Li Cu tidak dapat bersuara karena jalan darah di lehernya telah tertotok.
Semenjak Beng Kui gagal dalam rencana pemberontakannya dulu, hatinya menjadi lebih sakit dan menaruh dendam besar terhadap Beng San. Ia sudah mendengar betapa adik kandungnya itulah yang telah menggagalkan pencegatan terhadap Kaisar, malah dia juga mendengar betapa dengan kerja sama antara Beng San dan Li Cu, Ho-hai Sam-ong telah tewas pula dalam pertempuran.
Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan betapa gurunya sendiri pun turun tangan di kota raja menghadapinya, maka ia menaruh sakit hati terhadap bekas gurunya, terhadap Li Cu dan terutama sekali terhadap Beng San. Inilah yang menyebabkan mengapa ia lalu sengaja datang ke Thai-san bersama Hek-hwa Kui-bo ketika ia mendengar berita bahwa Beng San yang ia takuti itu telah kehilangan kepandaiannya dan menjadi orang gila. Sebagai seorang bekas pemberontak, tentu saja Beng Kui tidak dapat bergerak bebas. Ia menyembunyikan diri sambil menanti saat baik, malah membuat tempat persembunyian tidak jauh dari Puncak Thai-san.
Di sebuah hutan ia telah mendirikan rumah besar dan ia mempunyai banyak kaki tangan yang masih setia kepadanya. Pada saat berada di tempatnya ini Beng Kui menganggap diri sendiri seolah-olah sudah menjadi seorang ‘raja kecil’. Isterinya, puteri pangeran yang bertubuh lemah, tidak ia ajak dalam perantauan dan persembunyiannya ini, melainkan ia tinggalkan di tempat persembunyiannya di dekat kota raja.
Menjelang senja Beng Kui telah memasuki sebuah hutan besar di kaki Gunung Thai-san sebelah utara. Hutan itu gelap dan amat liar, tidak pernah didatangi manusia. Akan tetapi ternyata di tengah-tengah hutan besar itu terdapat sebuah rumah besar yang dikelilingi oleh rumah-rumah berukuran agak kecil. Inilah ‘perkampungan’ kecil yang menjadi tempat persembunyian Beng Kui bersama pengikut-pengikutnya.
Kedatangan Beng Kui disambut beberapa orang kaki tangannya. Dia langsung memasuki rumahnya kemudian membanting tubuh Beng San ke atas lantai. Pemuda ini terbanting dan bergulingan, lalu terdengar beberapa orang anak buah Beng Kui tertawa mengejek.
"Kui-ko, di manakah ini? Rumah siapa dan apa yang hendak kau lakukan terhadap kami? Kau lepaskan isteriku!" Beng San tak pedulikan tubuhnya yang sakit-sakit lalu merangkak bangun.
Andai kata Beng Kui tidak semarah itu, kiranya hal ini akan menimbulkan keheranannya. Akan tetapi dia lupa bahwa tadi dia sudah menotok jalan darah di tubuh Beng San yang membuat adiknya itu lumpuh.
"Kau mau tahu apa yang hendak kulakukan? Ha-ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu sekarang! Kau harus melihat dulu apa yang akan kulakukan terhadap perempuan tak tahu malu ini!" ia melempar Li Cu ke atas sebuah dipan diruangan itu.
Gadis itu jatuh lemas dan tidak dapat bergerak, hanya kedua matanya yang memandang tajam penuh kemarahan dan kebencian. Beng Kui mengejar maju dan sekali tangannya bergerak ia telah membebaskan totokan pada leher gadis itu sehingga Li Cu dapat bicara kembali. Tetapi, saking marahnya sampai gadis itu tidak mampu mengeluarkan perkataan apa pun!
"Kui-ko, kau tahu bahwa aku tidak takut mati. Kau mau bunuh aku, boleh bunuh. Akan tetapi kau harus membebaskan Bi Goat, dia itu tidak mempunyai dosa apa-apa terhadap dirimu. Kalau kau benci kepadaku, kalau kau marah kepadaku, boleh kau perlakukan aku sesukamu, tapi jangan ganggu Bi Goat!" kembali Beng San memohon kepada kakaknya.
Beng Kui tertawa mengejek. "Sudah kukatakan tadi, kau tidak akan kubunuh sekarang. Kau perlu hidup untuk menyaksikan betapa aku akan membuat wanita tak tahu malu ini sebagai barang permainanku. Ya, aku harus membalas, dia harus menjadi permainanku, ha-ha-ha... dan di depan matamu, Beng San! Nanti kalau aku sudah bosan, baru kurusak mukanya dan kubebaskan dia dan kau pun akan kulempar ke dalam jurang di belakang rumah. Sudah terlalu sering kau merusak rencanaku, sudah terlalu banyak usahaku yang kau gagalkan."
Ia ketawa lagi dan berpaling kepada beberapa orang anak buahnya yang berada di situ, berdiri seperti patung. "Sediakan hidangan untukku!"
Orang-orang itu memberi hormat sambil berlutut lalu mengundurkan diri. Beng Kui tertawa lagi.
"Lihat Beng San, lihatlah baik-baik. Biar pun kau sudah menggagalkan semua rencanaku, akan tetapi aku tetap dapat hidup sebagai raja. Dan kau akan kujadikan anjing, manusia bukan binatang pun bukan, hidup tidak mati pun belum. Dan dia... ha-ha, perempuan yang mencintamu ini, yang melempar aku memilih kau, dia akan melihat bahwa aku jauh lebih berharga dari padamu."
Beng San sukar menangkap arti semua ucapan itu. Dia berusaha mengingat-ingat dan memeras otaknya, maka terlihat ia berdiri bengong seperti patung batu. Ada pun Li Cu saking marahnya sampai seperti gagu tak dapat bicara, hanya pancaran matanya yang berapi-api seperti hendak membakar tubuh Beng Kui dengan api kebencian yang berkobar-kobar. Akan tetapi di samping kebencian dan kemarahannya ini, diam-dian Li Cu menjadi terheran-heran.
Selama hidup belum pernah ia melihat suheng-nya itu seperti sekarang ini. Alangkah jauh bedanya dengan dahulu. Rasa herannya makin memuncak ketika hidangan yang mewah disediakan di atas meja. Beng Kui makan minum seorang diri dengan sikap berlebihan. Orang-orang yang melayaninya kelihatan amat menghormat seolah-olah sedang melayani seorang kaisar saja. Dilihat keadaannya sekarang dan bila dibandingkan dengan dahulu, agaknya lebih pantas kalau dikatakan bahwa Beng Kui telah berubah pikirannya atau tidak waras lagi pikirannya.
Setelah selesai makan, Beng Kui melemparkan beberapa potong tulang kepada Beng San sambil tertawa dan berkata, "He, anjing... nih kuberi tulang, makanlah! Ha-ha-ha!"
Beng San berdiri tak bergerak, hanya memandang kepada kakak kandungnya yang sudah seperti orang gila itu. "Kui-ko ingatlah... kenapa kau menjadi begini...? Kau seperti orang gila..."
"Keparat!" Tubuh Beng Kui bergerak tangannya kiri kanan menampar dan…
"Plak-plak-plak!" muka Beng San sudah dihujani tamparan yang keras sehingga Beng San terhuyung-huyung dan kedua pipinya menjadi merah.
"Bersihkan meja dan tinggalkan kami. Tutup pintu depan, lalu jaga baik-baik!" Beng Kui memberi perintah kepada orang-orangnya yang dengan sigap lalu mengerjakan perintah orang muda itu. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah ditinggalkan pergi oleh para pelayan.
Beng San masih berdiri tegak, bekas tamparan kakaknya masih tampak di kedua pipinya. Setelah semua pelayan pergi, Beng Kui kemudian mencabut pedang Liong-cu-kiam dari pinggangnya. Dia menghampiri Beng San yang berdiri dengan sikap tegak, sama sekali tidak kelihatan takut. Kiranya biar pun kehliangan ingatan dan kepandaian, namun Beng San tidak pernah kehilangan keberanian dan ketabahannya.
"Hemm, kau hendak bunuh aku, Kui-ko? Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut. Akan tetapi jangan sekali-kali kau mengganggu isteriku. Dia... dia tidak berdosa, mengapa kau menawannya? Lekas kau bebaskan dia!"
"Beng San keparat, hayo kau lekas berlutut! Hayo!"
Akan tetapi Beng San berdiri tegak dan memandang dengan matanya yang kini bersinar tenang dan bodoh. Teringat ia akan segala pelajaran filsafatnya dan ia menjawab, "Kui-ko, aku hanya dapat berlutut kepada Tuhan, kepada nenek moyang, kepada ayah bunda, kepada guru, kepada pemimpin dan kepada orang yang telah kuperlakukan dengan keliru sehingga aku patut minta ampun kepadanya. Padamu aku tidak salah apa-apa, kenapa harus berlutut?"
"Keparat!" Kaki Beng Kui bergerak dan lutut Beng San keduanya sudah kena ditendang dengan cepat. Beng San tak dapat mempertahankan diri lagi dan jatuh berlutut.
Beng Kui tertawa bergelak-gelak, "Ha-ha-ha, akhirnya kau berlutut juga di hadapanku. Hemmm, kau mengaku adik kandungku, akan tetapi semenjak pertemuan kita kau selalu menjadi perintang, selalu menjadi penghalang dan selalu menjadi pengacau hidupku! Sudah sepatutnya kalau kau kubunuh!"
"Beng Kui, kau ini manusia apakah? Cih, kau tak tahu malu, curang, dan benar-benar pengecut besar! Kau berani bertingkah setelah melihat Beng San kehilangan ingatannya. Coba kalau dia masih seperti biasa, aku berani bertaruh kau akan lari tunggang-langgang kalau bertemu dengan dia! Huh, muak perutku melihat mukamu!" Ucapan ini keluar dari mulut Li Cu yang marah bukan main menyaksikan betapa Beng Kui memperlakukan Beng San seperti itu.
Pucat muka Beng Kui mendengar cacian yang luar biasa menghinanya ini. Selama hidup belum pernah Li Cu berani bicara seperti ini kepadanya, kepada dia yang menjadi kakak seperguruannya, juga menjadi bekas tunangan! Benar-benar penghinaan yang melampaui batas. Sekali melompat ia telah berada di pinggir dipan, memandang kepada Li Cu yang rebah miring di atas dipan karena masih tertotok, namun sepasang matanya memandang tajam penuh kebencian.
"Kau berani menghinaku? Apakah kau kira aku pun tidak sanggup mempermainkan dan menghinamu?" Pedangnya berkelebat dan…
"Brettt" robeklah baju Li Cu.
Baju luar berwarna merah itu robek lebar sekali sehingga tampak baju dalamnya yang berwarna merah muda. Beng Kui tertawa terbahak-bahak sedangkan Li Cu menjadi pucat sekali, tak berani mengeluarkan kata-kata lagi saking ngerinya melihat perbuatan bekas suheng-nya yang seperti kemasukan iblis itu.
"Kui-ko, jangan kau ganggu isteriku!" Beng San lari menghampiri dan mengangkat tangan hendak mencegah kakaknya bertindak lebih jauh.
Akan tetapi sambil membalikkan tubuh Beng Kui menendang lagi dengan keras sehingga tubuh Beng San terlempar dan terbanting pada dinding. Namun Beng San sudah nekat. Ia bangun lagi, menghampiri dan berseru.
"Tak boleh kau menghina isteriku... Tak boleh..."
Sekali lagi ia terjungkal karena tendangan Beng Kui pada perutnya. Kali ini agak sukar Beng San untuk bangkit. Tendangan itu membuat napasnya menjadi sesak. Akan tetapi sambil merangkak mendekati kakaknya lagi dan merangkul kedua kakinya.
"Kui-ko, jangan... jangan kau menggangu isteriku..., bunuhlah aku kalau kau kehendaki, tapi bebaskan dia..."
Beng Kui mehjadi gemas sekali, pedang di tangannya berkelebat ke arah Beng San. Li Cu menjerit dan rambut di kepala Beng San terbabat putus. Li Cu terisak-isak saking kuatirnya, akan tetapi Beng San sama sekali tidak kelihatan gentar biar pun tadi pedang itu hampir saja membabat putus batang lehernya.
"Kui-ko, sekali lagi kuminta, jangan kau ganggu isteriku."
"Bangsat, kalau aku mau mengganggunya kau mau apa? Hayo kau mau apa?” Beng Kui menantang.
"Biar pun aku tidak pandai silat, aku akan melawanmu!" kata Beng San sambil berusaha untuk berdiri.
"Ha-ha-ha-ha, kau hendak melawan? Nah, terimalah bacokan ini!" Pedang di tangannya berkelebat dan kini benar-benar melayang ke arah batang leher Beng San dengan cepat dan kuat.
"Beng San...!" Li Cu menjerit lagi dengan sekuat tenaga dan ia hampir pingsan melihat pedang itu menyambar leher kekasihnya.
Beng San terjungkal dan tak bergerak. Akan tetapi lehernya tidak putus dan tidak ada setetes pun darah keluar. Kiranya tadi Beng Kui hanya menakut-nakuti saja dan membalik pedangnya sehingga punggung pedangnya yang menghantam belakang kepala Beng San, bukan mata pedangnya. Pukulan ini keras sekali dan Beng San tersungkur, tak mampu bangun kembali. Ia merasa seperti melayang-layang dari tempat yang sangat tinggi penuh bintang beraneka warna beterbangan di sekelilingnya. Ia jatuh terus ke bawah, makin lama semakin cepat.
Mula-mula melalui ruangan yang putih seperti salju, lalu ruangan merah seperti darah, Kemudian setelah melalui beberapa ruangan yang beraneka warna ia tidak melihat apa pun lagi. Hanya perasaannya yang menyatakan bahwa ia masih terus melayang-layang ke bawah. Telinganya mendengar suara yang sangat mengerikan, mengiang-ngiang dan mendengung-dengung, kadang-kadang rendah, lalu disusul suara ketawa terbahak-bahak yang bergema di sekelilingnya, disusul suara tangis yang memilukan!
Apakah aku sudah mati? Di mana aku berada? Bukan aku yang mati, melainkan Bi Goat! Ah, Bi Goat sudah mati dan ia mengunjungi kuburannya. Bi Goat isterinya yang tercinta, telah mati. Apakah aku juga sudah menyusulnya dan sekarang terseret?
"Bi Goat... Bi Goat..." Ia mencoba untuk memanggil, namun tidak terdengar suaranya.
"Beng San...!" Teriakan ini seperti terdengar dari tempat yang amat jauh.
Beng San merasa seakan-akan ia berhenti melayang. Tahu-tahu ia merasa telah berada di atas bumi. Mimpikah aku? Siapa yang memanggilku tadi? Apakah Bi Goat? Ia merasa kini bahwa tubuhnya sedang rebah tertelungkup. Ahh, tentu ia mimpi, tapi...
"Beng San...!" Makin keras panggilan ini, suara wanita dan jerit itu menyayat hati benar.
Ia membuka mata. Benar saja, ia sedang rebah tertelungkup. Akan tetapi mengapa di atas lantai? Kedua kakinya terasa sakit dan lehernya juga sakit. Ia menoleh ke atas. Apa yang dilihatnya membuat ia bengong dan terbelalak. Gilakah dia? Kenapa dia melihat semua ini? Ia melihat Beng Kui kakaknya dan Li Cu yang rebah tidak dapat bergerak di atas dipan, sedangkan Beng Kui yang berdiri di dekat dipan terus tertawa-tawa.
"Beng San...!" Kembali Li Cu memekik dan kembali Beng Kui tertawa,
"Ha-ha-ha, kau boleh seribu kali memanggilnya. Dia tak dapat bangun lagi, anjing lemah itu. Ha-ha, Li Cu, benar-benar aku masih hampir tak dapat percaya kalau kau dapat jatuh cinta kepada orang gila!"
“Beng Kui, mengapa kau begini kejam? Apakah kau hendak membunuh adik kandungmu sendiri? Apakah kesalahannya? Kalau begitu, kau bunuh aku juga, Beng Kui."
"Tidak, kau tak akan kubunuh. Sayang kecantikanmu. Aku masih cinta kepadamu, Li Cu. Dan kau, mau tidak mau, harus menemaniku di dalam hutan ini."
"Tidak! Aku lebih baik mati! Beng Kui, ingatlah. Aku... aku hanya cinta kepada Beng San. Aku mau mati atau hidup bersama dia. Kalau kau sudah membunuhnya, kau bunuhlah aku. Jika kau lakukan itu, aku bersumpah takkan menaruh dendam kepadamu. Bunuhlah aku." Li Cu terisak-isak menangis.
"Benar-benar aneh kau ini, Li Cu. Beng San sudah gila, dia selain gila juga menjadi orang lemah. Kau dianggapnya isterinya yang bernama Bi Goat, yang sudah mati. Sudah jelas bahwa ia tidak mencintamu sebagai Li Cu, tetapi mencintamu sebagai Bi Goat. Kenapa kau bisa membalas cinta kasih orang gila macam itu? Aku belum membunuhnya, Li Cu. Akan tetapi, kalau kau dengan suka rela mau menjadi isteriku, aku akan bebaskan dia. Sebaliknya, kalau kau tetap keras kepala, aku akan membunuhnya setelah menyiksanya seperti anjing gila, dan kau tetap akan kujadikan isteriku!"
Sepasang mata Li Cu terbelalak lebar dan kemarahannya tidak mampu ditahannya lagi. "Keparat, kau! Iblis kau! Tuhan akan mengutukmu, jahanam!"
"Ha-ha-ha, kau hendak mengamuk lagi? Ha-ha, Li Cu, mati hidupmu di tanganku, tahu?"
"Aku tidak takut! Kau iblis bermuka manusia. Terkutuklah kau!"
"Ha-ha-ha, semakin manis saja kalau kau marah-marah." Pedangnya bergerak perlahan dan…
"Brettt!" sekarang pakaian dalam yang menempel di tubuh Li Cu robek pula oleh ujung pedang.
Li Cu menjerit ngeri dan menutupkan matanya yang penuh air mata. Akan tetapi apa dayanya? Tubuhnya tak mampu bergerak.
Tiba-tiba tubuh Beng Kui terlempar ke belakang, menimpa meja yang tadi ia pakai makan minum sampai kaki meja itu patah-patah! Kaget bukan main Beng Kui yang tadi merasa seakan-akan tubuhnya bisa terbang melayang begitu saja.
Cepat ia meloncat bangun sambil mempersiapkan pedang yang masih terpegang olehnya. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, matanya terbelalak lebar seakan-akan hendak meloncat keluar dari tempatnya. Ia melihat Beng San sudah berdiri di hadapannya dengan sepasang mata yang bersinar sinar penuh api kemarahan. Sepasang mata itu kini bercahaya ganjil dan menyeramkan seperti dahulu!
Ia masih belum mau percaya kalau Beng San yang tadi melemparkannya. Tidak mungkin! Bukankah tadi setelah ia hantam belakang kepala Beng San dengan punggung pedang, adiknya itu roboh dan pingsan? Tentu saja manusia yang sudah mabok kemenangan dan mabok pangkat ini tidak sadar bahwa di dunia ini kekuasaan manusia sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan.
Manusia yang merasa dirinya menang, yang merasa dirinya kuat sendiri, yang merasa dirinya benar sendiri, menyatakan bahwa manusia seperti ini adalah manusia yang berjiwa rendah. Atau setidaknya, pada saat itu hati nuraninya dikuasai oleh iblis.
Segala kemenangan, kekuatan dan kebenaran seluruhnya terletak di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Merupakan rahmat-Nya bagi manusia. Oleh karena itu, segala rahmat dari Tuhan harus dipersembahkan kemudian kepada-Nya dengan jalan mengakui dengan segala kerendahan hati bahwa kesemuanya itu datang dari pada-Nya. Pengakuan yang tulus akan hal ini akan menjauhkan manusia dari mabok kemenangan serta kekuasaan.
Pada saat punggung pedang di tangan Beng Kui tadi menghantam belakang kepala Beng San, Tuhan memperlihatkan kekuasaan-Nya. Hantaman itu tepat mengenai jalan darah yang menjurus ke kepala, menggetarkan urat saraf di kepala Beng San yang terganggu ketika dia dahulu terpukul oleh kedukaan karena kematian isterinya.
Bagaikan air yang mengalir kembali setelah bendungannya dibuka, ingatan Beng San kembali perlahan-lahan dan semua ini ditambah oleh pendengarannya ketika Beng Kui dan Li Cu berdebat. Terbukalah semua ingatan dan pengertiannya, sekaligus membuat ia marah bukan main. Baiknya ia dapat cepat sadar kembali dan dapat mencegah sebelum Beng Kui melakukan perbuatan yang lebih biadab lagi.
"Beng San...!" Li Cu berseru lirih, namun di dalam seruan lirih ini terkandung jerit yang memecahkan kesunyian angkasa, penuh kekagetan, penuh keheranan, penuh gairah dan harapan.
Beng San melirik ke arah Li Cu, akan tetapi cepat-cepat ia membuang muka pada saat melihat keadaan nona itu yang tubuhnya bagian atas tidak tertutup lagi baik-baik karena bajunya yang koyak-koyak lebar itu. Tanpa banyak cakap ia segera meloloskan bajunya sendiri dan melemparkan bajunya ini di atas tubuh Li Cu yang tidak tertutup. Barulah ia berani berpaling.
Mereka berpandangan sejenak, keduanya dengan mata berlinangan air mata. Beng San sudah tahu semua ketika tadi ia mendengar percakapan antara Li Cu dan Beng Kui.
"Nona, biarlah kubebaskan kau dari totokan..."
"Beng San, awas!" teriak Li Cu.
Beng San dengan tenang tapi cepat menggeser kakinya dan tangannya bergerak ke kiri. Pedang Liong-cu-kiam menyambar lewat di pinggir kepalanya.
"Beng Kui, kau benar-benar tidak tahu diri...," dia mencela sambil melompat ke tengah ruangan, terpaksa belum dapat membuka totokan atas diri Li Cu.
Akan tetapi kemarahan Beng Kui sudah memuncak. Sepasang matanya menjadi merah dan berputar-putar liar.
"Kau orang gila banyak tingkah... mampuslah!" bentak Beng Kui dan pedangnya kembali menyambar-nyambar.
Banyak orang bilang bahwa orang gila menganggap diri sendiri waras dan menganggap orang waras sebagai orang gila. Kiranya keadaan Beng Kui cocok dengan pendapat ini. Dia memaki gila akan tetapi dia sendirilah yang mengamuk seperti orang gila.
Pedangnya mengeluarkan suara kemudian berubah menjadi segulung sinar panjang yang melayang-layang dan menyambar-nyambar hebat ke arah Beng San. Namun, sekaligus Beng San sudah mendapatkan kembali semua kepandaiannya yang memang tak pernah hilang, hanya ‘terlupa’ oleh otaknya. Secara otomatis kakinya bergerak-gerak dan semua serangan pedang itu dapat ia hindarkan dengan amat mudahnya.
"Beng Kui, kau orang tua yang tidak mau dihormati adiknya. Sekali lagi sekarang aku beri kesempatan kepadamu untuk pergi dari sini dengan aman. Kau pergilah, tetapi tinggalkan Liong-cu-kiam."
"Jangan banyak cakap!" Beng Kui malah memaki dan pedangnya terus menyerang.
Tiga kali Beng San minta kepada kakaknya untuk pergi dengan aman, namun jawabannya selalu serangan maut yang ditujukan kepadanya secara nekat.
"Kau memang keras kepala!" seru Beng San kemudian.
Saat itu pedang di tangan Beng Kui menusuk dadanya. Beng San tiba-tiba menggunakan gerakan merendahkan tubuh, kemudian dari bawah tangannya bergerak ke atas, yang kanan merampas gagang pedang yang kiri memukul dengan pukulan Pek-in Hoat-sut.
Hawa pukulan yang mengandung uap putih itu melumpuhkan seluruh tenaga Beng Kui dan dengan mudah pedang di tangannya berpindah tempat! Ia masih hendak menerjang dengan tangan kosong, namun kaki kiri Beng San menendangnya sehingga dia tepental keluar ruangan itu dan bergulingan sampai jauh. Beberapa orang anak buah Beng Kui menyerbu ke dalam.
"Pergilah kalian!"
Seruan Beng San ini demikian berpengaruh, apa lagi disertai dorongan tangan kirinya ke depan yang membuat sekaligus tiga orang terjengkang tanpa tersentuh tubuhnya sedikit pun, sehingga mereka semua menjadi kaget dan jeri. Pada saat itu, terdengar hiruk pikuk di luar dan terdengar pula suara banyak orang berlari-lari pergi meninggalkan tempat itu, seakan-akan takut menghadapi sesuatu yang hebat.
"Song-bun-kwi setan tua, jangan ganggu orang-orang ini! Nona Kwa Hong, orang-orang ini adalah teman-teman Tan Beng Kui-enghiong, jangan kau ganggu!" Terdengar suara Hek-hwa Kui-bo.
Beng San terheran-heran dan hanya berdiri di tengah ruangan itu, pedang Liong-cu-kiam di tangan. Celananya robek-robek pada bagian yang ditendang Beng Kui tadi, sedangkan tubuhnya bagian atas telanjang karena bajunya tadi sudah ia lemparkan kepada Li Cu. Ia kelihatan seperti seorang bajak sungai!
Berturut-turut mereka meloncat masuk. Mula-mula Song-bun-kwi, disusul Kwa Hong dan kemudian sekali Hek-hwa Kui-bo. Tiga orang itu begitu memasuki ruangan berdiri tertegun seperti melihat setan di tengah hari!
Ada pun Beng San begitu melihat Song-bun-kwi, segera dia menjura dengan hormat dan berkata memanggil, "Gak-hu (Ayah Mertua)..."
Song-bun-kwi masih mengira bahwa Beng San kehilangan kepandaiannya, karena itu ia membentak, "Aku bukan ayah mertuamu! Keparat, kau pembunuh anakku Bi Goat dan karenanya sekarang akan kupatahkan batang lehermu!" Ia menerjang ke depan.
Tapi sinar hijau menyambar dan menghalangi gerakan kakek ini. Sinar itu tidak lain adalah panah-panah hijau dari Kwa Hong.
"Perlahan dulu Song-bun-kwi!" Memang Kwa Hong tidak ingin melihat Beng San terbunuh oleh orang lain. Mati atau hidupnya Beng San dialah sendiri yang berhak memutuskan, begitu pikirnya.
"Hong-moi kau juga di sini?" tegur Beng San dengan suara halus.
Kwa Hong seketika menjadi pucat, apa lagi ketika melihat pedang Liong-cu-kiam di tangan pemuda itu. "Kau...sudah ingatkah...?"
"Bangsat, kau sudah membunuh anak perempuanku. Kalau kau sudah ingat, tentu kau tak akan mungkir lagi!" Song-bun-kwi membentak sambil melangkah maju.
Beng San tersenyum sedih, "Gak-hu, aku amat mencinta Bi Goat. Bagaimana aku dapat membunuhnya? Bi Goat meninggal karena berduka dan marah yang ditimbulkan oleh Hong-moi. Memang aku lama meninggalkan Bi Goat, akan tetapi hal itu adalah karena aku merasa amat berduka dan menyesal serta malu karena perbuatanku bersama Kwa Hong dahulu. Kemudian aku membantu orang-orang gagah untuk melindungi Kaisar dari pengkhianatan beberapa orang, maka pulangku terlambat. Aku menyesal sekali, Gak-hu, tapi sesungguhnya bukan aku yang menyebabkan kematian isteriku. Dia tahu bahwa aku mencintanya. Tapi Tuhan lebih kuasa dari segala di dunia ini..."
Beng San nampak sangat berduka.
"Keparat, kau bisa saja memutar omongan. Isteri melahirkan anak sampai mati tapi kau sebagai suami tidak menjaganya!"
"Ahh, Gak-hu. Memang aku benar-benar merasa berdosa. Sekarang di manakah anakku itu, Gak-hu? Biarlah aku akan merawatnya penuh kasih sayang, sebagai pengganti Bi Goat dan..."
"Tutup mulut! Kau laki-laki mata keranjang, kau laki-laki hina-dina, kau... kau sudah main gila dengan perempuan lain. Hemmm hendak menyangkal, kau?"
Kakek ini menudingkan telunjuknya ke arah Li Cu yang masih rebah terselimut baju luar Beng San, rebah miring tak bergerak di atas dipan! Semua mata lalu memandang dan Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa genit penuh arti ketika melihat baju Beng San menyelimuti tubuh Li Cu.
Wajah Li Cu sebentar pucat sebentar merah sekali. Namun Beng San tetap tenang.
"Aku tidak pernah main gila dengan siapa pun juga. Mungkin karena kehilangan ingatan aku menjadi seperti gila dan syukurlah... berkat pertolongan Nona Cia yang berbudi mulia sampai sekarang aku masih terlindung. Gak-hu, kau berikanlah puteraku."
"Putera apa? Pedang inilah yang akan menghabisi nyawamu!"
"Nanti dulu, Song-bun-kwi. Aku pun hendak bicara dengan Beng San!" Kwa Hong cepat menghadang di depan dan terpaksa Song-bun-kwi menunda penyerangannya.
Kwa Hong kini menghadapi Beng San. Orang muda itu menjadi agak pucat. Baginya jauh lebih berat menghadapi Kwa Hong dari pada menghadapi musuh yang mana pun juga.
"Adik Hong, apakah selama ini kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya halus sewajarnya karena di lubuk hatinya orang muda ini benar-benar merasa kasihan sekali kepada gadis itu.
Tersedu kerongkongan Kwa Hong mendengar pertanyaan yang halus ini. Akan tetapi dia segera menjawab, "Baik-baik saja, San-ko, aku sengaja mencarimu dan syukurlah kalau kau sudah sembuh kembali. Marilah kau ikut dengan aku, San-ko. Mari kita pelihara anak kita baik-baik. Tentang musuh-musuhmu ini, jangan kuatir, San-ko, Hong-moi-mu ini dapat membunuh mereka seperti orang membunuh anjing!" Setelah berkata demikian, Kwa Hong tertawa, suara ketawanya melengking menyeramkan sekali.
Ucapan terakhir dan suara ketawa Kwa Hong itu menusuk jantung Beng San, karena ia maklum bahwa Kwa Hong sekarang sudah bukan Kwa Hong yang dulu lagi. Wajahnya jelas membayangkan watak yang sombong, kejam, dan tidak wajar.
"Hong-moi, kau tahu bahwa tak mungkin aku memenuhi permintaanmu ini. Kau dan aku telah melakukan perbuatan terkutuk, itu memang benar. Akan tetapi hal itu terjadi di luar kesadaran kita, Hong-moi. Tentang anak itu kau sendiri hendak mendidiknya syukurlah. Kalau kau keberatan, boleh kau berikan kepadaku karena anak itu juga menjadi tanggung jawabku."
"Kau... kau...!” Kwa Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis terisak-isak.
Hatinya sedih bukan kepalang. Tadinya dia mengharapkan akan dapat membawa Beng San dengan secara paksa karena Beng San sudah kehilangan kepandaiannya dan dia sanggup merampas Beng San dari tangan siapa pun juga. Akan tetapi sekarang Beng San kelihatannya sudah sembuh kembali, bagaimana mungkin?
"Beng San, katakan di mana adanya Beng Kui? Pedangnya kau pegang, kau apakan dia?" kali ini Hek-hwa Kui-bo yang bertanya, menggunakan kesempatan selagi Kwa Hong sedang menangis.
"Dia sudah pergi...," jawab Beng San acuh tak acuh, kemudian ia menoleh ke arah Li Cu dan berkata "Nona Cia, agaknya lebih baik kita segera pergi dari tempat ini. Tetapi aku harus membebaskan kau dari totokan lebih dulu..."
Ia melangkah maju. Tapi sebelum ia sempat menyembuhkan Li Cu, tiga bayangan orang berkelebat dan angin-angin pukulan dahsyat datang menyambar dari tiga jurusan disusul berkelebatnya senjata-senjata tajam! Beng San maklum bahwa tiga orang sakti itu ‘sudah turun tangan’. Ia menarik napas panjang dengan sedih, akan tetapi tubuhnya bergerak didahului sinar pedang Liong-cu-kiam tangannya.
Tiga orang itu menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan seluruh kepandaian mereka. Namun Beng San sekarang memegang Liong-cu-kiam panjang. Kalau ia boleh diumpamakan seekor harimau, sekarang harimau itu tumbuh sayap dan pandai terbang.
Memang ilmu silatnya yang paling hebat adalah ilmu Im-yang Sin-kiam-sut. Sekarang ilmu pedang ini dimainkan dengan sebatang pedang seperti Liong-cu-kiam yang panjang, tentu saja hebatnya bukan kepalang.
Tiga orang itu, walau pun masing-masing mempunyai kepandaian luar biasa, akan tetapi menghadapi Beng San mereka tidak sanggup berdaya banyak, seakan-akan menghadapi benteng baja yang tidak saja sulit tembus, malah dari dalam benteng kadang menyambar ujung-ujung pedang runcing dan ampuh, setiap saat mengancam nyawa mereka.
Beng San bukanlah orang yang suka membunuh orang. Sebetulnya dia mempunyai watak yang pantang membunuh orang. Apa lagi sekarang yang dia hadapi adalah orang-orang yang sedikit banyak sudah ada hubungan dengannya, yang sudah dikenalnya baik. Tidak mungkin ia mau membunuh mereka.
Kelihaiannya bermain pedang memungkinkannya menggoreskan luka ringan pada pundak Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi. Dua orang tua ini menjadi malu dan jeri. Sambil mengeluh mereka berturut-turut lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu.
Kwa Hong yang ditinggalkan seorang diri menghadapi Beng San, tadinya menjadi nekat. Pedang Hoa-san Po-kiam di tangan kirinya, sedangkan di tangan kanannya memegang pedang Liong-cu-kiam yang pendek. Permainan pedangnya hebat dan liar, dahsyat bukan main sehingga diam-diam Beng San terkejut juga. Akan tetapi ilmu pedang itu dimainkan dengan cara yang masih mentah.
Lebih-lebih terhadap Kwa Hong, Beng San, sama sekali tidak mau melukainya. Setelah ia menindih pedang Hoa-san Po-kiam dengan pedangnya sendiri, tangannya lalu bergerak mencengkeram ke depan sehingga di lain saat pedang Liong-cu-kiam yang pendek telah berpindah ke tangan kirinya.
"Kembalikan pedang itu!" teriak Kwa Hong sambil menangis.
"Yang ini bukan pedangmu, Hong-moi. Tak boleh kau merampasnya," jawab Beng San.
Dengan pekik panjang Kwa Hong memanggil burungnya. Terdengar suara genteng yang hancur berantakan, langit-langit di atas ruangan itu tiba-tiba menjadi rusak dan berlubang besar di mana menerobos masuk seekor burung rajawali emas. Beng San pernah melihat burung ini dan kembali ia menjadi kagum bukan main.
Kwa Hong terisak, kemudian meloncat ke punggung burung. Akhirnya burung itu terbang menerobos melalui pintu depan dan sebentar saja menghilang dari situ.
Sampai beberapa lamanya Beng San berdiri bengong. Pedang Liong-cu-kiam berada di kedua tangannya. Kemudian ia membalikkan tubuh menghampiri Li Cu yang masih rebah tak bergerak dan semenjak tadi menonton semua itu dengan hati terharu. Ternyata bahwa pengorbanannya terhadap diri Beng San tidak sia-sia. Buktinya baru saja sembuh Beng San lagi-lagi telah melindungi dan membebaskannya dari ancaman bahaya maut.
"Nona Cia, maafkan kelancanganku!" kata Beng San.
Tangan Beng San bergerak cepat menotok dua jalan darah di tubuh Li Cu, lalu mengurut punggungnya sebentar. Setelah itu ia membalikkan tubuh dan berkata, "Nona, setelah kau dapat bergerak, harap bajuku itu kau pakai dulu."
Muka Li Cu menjadi merah. Ia bergerak perlahan, tubuhnya masih sakit semua rasanya. Ketika ia bangun, baju yang menyelimuti tubuhnya itu jatuh dan cepat-cepat ia menutupi dadanya. Tapi usahanya ini sebetulnya tak perlu karena Beng San berdiri membelakangi dirinya.
Karena terpaksa dan tidak mungkin hanya memakai bajunya yang sudah dikoyak-koyak pedang Beng Kui tadi, ia cepat-cepat mengenakan baju Beng San yang terlalu besar itu. Setelah selesai, ia berkata, "Kenapa... kau tidak membunuh mereka?"
"Membunuh siapa?" tanya Beng San tanpa menoleh.
"Beng Kui jahanam itu..."
"Dia itu jelek-jelek kakak kandungku, bagaimana aku tega membunuhnya?" jawab Beng San cepat.
"Hek-hwa Kui-bo yang pernah melukaiku dengan racun dan hampir saja membunuhku..." desak pula Li Cu yang merasa penasaran mengapa semua orang yang jahat itu dibiarkan pergi oleh Beng San.
"Dahulu dia itu pernah menurunkan ilmu silat kepadaku, secara tidak resmi dia adalah guruku pula. Bagaimana aku dapat membunuhnya? Dan pula, Nona, bukankah akhirnya kau selamat terhindar dari racunnya itu?" Jantung Beng San berdebar ketika ia teringat cara ia menolong gadis itu dari pengaruh racun di paru-parunya!
Di belakangnya, wajah Li Cu juga tiba-tiba menjadi merah. Gadis ini merasa heran bukan kepalang. Hampir dua tahun ia merawat Beng San, otomatis ia sudah merasa menjadi isteri Beng San biar pun hanya dalam sebutan. Akan tetapi kenapa sekarang ia menjadi begini canggung, sungkan dan malu-malu kepada Beng San? Diam-diam rasa kuatir dan gelisah menggerogoti hatinya.
Beng San yang kehilangan ingatannya, mau saja hidup di sampingnya, malah selama ini menganggap dia sebagai isterinya yang bernama Bi Goat. Akan tetapi setelah sekarang sadar dan mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia masih mau hidup seperti itu? Apakah ini bukan berarti saat perpisahan?
"Kwa Hong itu... kenapa juga tidak kau bunuh...?" Ia berusaha menekan hatinya dengan melanjutkan pertanyaan ini.
"Tak mungkin, Nona. Dia itu... secara tidak sadar... telah menjadi ibu anakku... perbuatan terkutuk di luar kesadaran kami berdua... dia sudah amat menderita... karena aku, mana mungkin aku membunuhnya? Walau pun dia akan membunuhku, agaknya aku tetap akan mengalah..."
"Hemm..." suara Li Cu terdengar kaku dan kalau Beng San melihat sinar matanya ia akan tahu-bahwa gadis itu marah! "Dan Song-bun-kwi...?"
"Apa lagi dia. Dia adalah ayah mertuaku, sama juga dengan ayahku. Mana boleh aku membunuh ayah Bi Goat?"
Sudah jelas kini! Beng San sekarang sudah kembali ingatannya. Beng San yang terlalu mencinta isterinya, Bi Goat. Sampai-sampai mengorbankan Kwa Hong. Mana sudi hidup bersama dia? Teringat akan ini, tak tertahankan lagi Li Cu terisak menangis.
Beng San cepat membalikkan tubuh. "Ehh, kenapa kau menangis, Nona?"
Suara ini mengandung penuh perhatian sehingga tangis Li Cu makin menghebat. Beng San sampai menjadi bingung, lalu menyerahkan pedang Liong-cu-kiam pendek.
"Ini... ini pedangmu... jangan kau menangis..."
Li Cu menerima pedang tanpa berkata apa-apa.
"Nona Cia, setelah semua pertanyaanmu kujawab, mengapa kau menangis?" Beng San bertanya, matanya yang tajam memandang penuh selidik.
Li Cu yang sekarang menjadi gugup. Tentu saja ia tidak sudi menyatakan isi hatinya. Ia mencari alasan dan pada saat itu ia teringat akan ayahnya. Wajahnya menjadi pucat dan serentak ia meloncat sampai Beng San menjadi kaget.
"Celaka! Ayahku...! Mereka tadi mengeroyoknya... tak mungkin bisa sampai ke sini kalau tidak... ahhh, Ayah...!" Li Cu menjerit lalu melompat keluar dan berlari cepat sekali.
Beng San baru saja kembali ingatannya, maka yang diketahui olehnya hanyalah semenjak saat ia sembuh tadi. Sebelum itu gelap baginya. Karena itu ia tidak ingat betapa Bu-tek Kiam-ong untuk melindunginya telah dikeroyok oleh tiga orang tokoh sakti tadi.
Meiihat Li Cu yang berlari-lari sambil menjerit memanggil-manggil ayahnya dan menangis, ia pun ikut pula berlari. Sebentar saja ia dapat menyusul gadis itu, lalu lari di sebelahnya tanpa banyak bertanya.
Setibanya di puncak Gunung Thai-san, kedua orang muda ini melihat betapa penduduk perkampungan di kaki gunung itu sedang sibuk mengurus dan menangisi jenazah Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan!
"Ayaaaahhh...!" Li Cu menubruk mayat ayahnya dan roboh pingsan.
Li Cu jatuh sakit. Demam panas menyerang tubuhnya setelah dia berkali-kali pingsan. Sampai sepekan ia rebah di pembaringan dalam keadaan setengah sadar. Selama itu Beng San merawat dan melayaninya dengan penuh perhatian.
Beng San mengalami hal-hal aneh ketika ia berhadapan dengan para penduduk yang dulu membantu Cia Hui Gan merampungkan rencana tempat tinggalnya. Mereka menyebutnya ‘tuan muda’ yang dianggapnya sebagai suami dari ‘nyonya muda’ yang sekarang sakit. Kemudian, sesudah mereka semua menyatakan kegembiraan hati bahwa nyonya muda dan suaminya dapat kembali dengan selamat, mereka lalu menyatakan kegirangan pula bahwa tuan muda sudah sembuh dari sakitnya lupa ingatan.
Mereka pulalah yang menceritakan tentang pertempuran itu sehingga terbuka mata Beng San akan segala yang telah terjadi kepada dirinya selama hampir dua tahun ini. Tahulah ia bahwa ia sebagai seorang gila menganggap Li Cu sebagai isterinya, sebagai Bi Goat dan betapa selama hampir dua tahun ini Li Cu merawatnya penuh kecintaan. Juga ia tahu sekarang bahwa Cia Hui Gan tewas dalam membela dia!
Semua ini ditambah lagi dengan keadaan Li Cu yang mengigau pada saat demam panas menyerangnya. Li Cu mengigau tentang masa lalu, tentang cinta kasihnya kepada Beng San. Semua ini membuat Beng San demikian terharu sehingga ia menitikkan air mata ketika duduk di pinggir pembaringan gadis itu. Dengan amat tekun ia merawat Li Cu dan siang malam tidak pernah meninggalkan kamar itu.
Sembilan hari kemudian demam meninggalkan tubuh Li Cu dan gadis ini pada pagi hari itu sadar. Dilihatnya Beng San sedang tertidur sambil duduk di kursi! Namun suara gerakan Li Cu cukup untuk membangunkan Beng San. Mereka berpandangan sejenak.
"Kau... kau masih di sini...?"
"Di mana lagi kalau tidak di sini...?" jawab Beng San halus, sinar matanya gembira sekali.
"Ayah... bagaimana...?" Matanya meragu dan dia memandang ke arah pintu kamarnya, agaknya ingin menjenguk keluar.
"Sudah beres, sudah kuurus pemakamannya."
Li Cu menarik napas panjang. Hatinya menjerit-jerit, namun air matanya sudah kering. "Berapa lama aku rebah di sini...?"
"Kau terserang demam, Nona. Sembilan hari sembilan malam kau dalam keadaan tidak sadar. Karena itulah aku lancang mewakilimu mengurus pemakaman ayahmu."
Li Cu bergerak hendak duduk. Melihat kelemahan gadis itu, Beng San segera bangkit membantunya. Ia merasa kasihan sekali dan cepat ia menghibur, "Harap kau kuatkan hatimu. Nona. Ingatlah bahwa mati hidup seorang manusia berada di tangan Tuhan. Apa bila Tuhan sudah menghendaki kematian seseorang, ada saja yang menjadi lantarannya. Ayahmu tewas sebagai seorang gagah perkasa, mati dikeroyok tokoh-tokoh besar dalam melindungi... aku yang tak berharga..."
"Tidak! Bukan melindungi kau, melainkan membela aku!" Cepat Li Cu membantah.
"Apa bedanya, Nona? Membela engkau karena kau berusaha melindungi aku."
"Kau merawatku terus-menerus selama aku sakit?" cepat Li Cu memotong omongan Beng San, mukanya yang tadinya pucat menjadi agak merah.
Beng San mengangguk dan memandang dengan mata penuh perasaan. "Nona Cia, apa artinya perawatan sembilan hari kalau dibandingkan dengan perawatanmu selama hampir dua tahun? Kau amat mulia, kau mengorbankan..."
"Kau dalam sakit, kau kehilangan ingatan!" Li Cu cepat memotong, mukanya kini menjadi merah sekali. "Siapa lagi kalau bukan aku yang akan merawatmu? Kau pun beberapa kali sudah menyelamatkan nyawaku, sudah sepatutnya aku membalas kebaikanmu."
Dengan keras kepala Beng San melanjutkan setelah menggelengkan kepalanya untuk menyangkal alasan Li Cu yang lemah itu. "Kau mengorbankan dirimu, mengorbankan nama baik ayahmu. Dalam gilaku aku menganggap kau isteriku, menganggap kau Bi Goat. Namun... kau menerima semua itu, kau malah memaksa ayahmu membawaku ke sini mengorbankan segalanya untuk aku, malah berusaha membuat tempat perlindungan yang aman untukku. Li Cu... Nona Cia... mengapa kau lakukan semua itu?"
Li Cu menunduk, menyembunyikan muka di belakang bantal yang diangkatnya. Suaranya terdengar lirih bertanya, "Semua itu bohong. Kau yang kehilangan ingatan bagaimana kau bisa tahu itu semua? Bohong..."
"Aku mendengar percakapanmu dengan Beng Kui pada saat aku sadar. Kemudian aku mendengar penuturan saudara-saudara yang berada di sini, dan ketika kau sakit, kau sering mengigau..."
Cepat bantal itu diturunkan dan sepasang mata itu memandangnya penuh pertanyaan. Wajah itu merah dan tidak tampak lagi bahwa gadis ini habis sakit kecuali tubuhnya yang agak kurus itu.
"Beng San..." terhenti kata-kata Li Cu ketika ia teringat betapa janggal panggilan ini yang begitu saja keluar dari bibirnya dengan suara mesra.
"Ya...? Kau hendak bilang apakah, Nona...?"
Li Cu semakin gugup. Biasanya, ketika belum sembuh, Beng San selalu menyebutnya ‘isteriku’ sehingga ia sudah biasa benar dengan sebutan itu. Sekarang, orang yang telah ia anggap sebagai suaminya dalam batin itu, menyebutnya nona!
"...andai kata benar semua itu..., tapi waktu itu keadaanmu dalam lupa ingatan. Kau mau tinggal di sini karena... karena kau mengira bahwa aku Bi Goat. Kau mengira bahwa aku isterimu yang sudah meninggal dunia itu...," ia berhenti lagi.
"Betul, Nona. Lalu bagaimana?" Beng San bertanya tenang dan sabar,
"...sekarang kau sudah sembuh..., kau telah mendapatkan kembali ingatanmu... kau tahu bahwa aku bukan isterimu Bi Goat... kau tahu bahwa aku hanya seorang gadis yatim piatu sebatang kara..." Sampai di sini ia terisak dan menutup mukanya dengan bantal. Beng San tidak berkata apa-apa hanya menanti dengan sabar.
"...aku... aku bukan apa-apamu... tak berhak menahanmu... dan kau tentu akan pergi dari sini." Tiba-tiba ia menurunkan bantalnya dan dengan mata basah ia bertanya, "Mengapa kau masih belum juga pergi dari sini? Aku bukan Bi Goat!"
Wajah Beng San tiba-tiba menjadi pucat dan matanya membayangkan kegelisahan besar. "Tapi... tapi kau... isteriku..."
Li Cu menggigit bibirnya, bukan main jengahnya. Ia merasa malu sekali kalau teringat akan semua perbuatannya itu. Tapi ia harus rnembela diri, tak mungkin ia mengaku begitu saja bahwa ia mencinta Beng San. Ia harus mencari alasan mengapa ia berbuat demikian, untuk membela diri.
"Isterimu adalah Bi Goat..."
"Tapi.... bukankah hampir dua tahun kau mengaku sebagai isteriku...?"
Li Cu membuang muka. "Karena kau menganggap aku Bi Goat. Aku harus merawatmu dan karenanya tiada lain jalan kecuali membiarkan kau menganggap aku isterimu Bi Goat. Sekarang kau sudah sembuh, sudah sadar dan ingat bahwa aku bukanlah isterimu Bi Goat, bahwa aku bukan apa-apamu dan kau boleh pergi meninggalkanku sekarang juga!"
Beng San merasa tubuhnya lemas, seakan-akan dilolos semua urat-urat dari tubuhnya. Jantungnya terasa ringan kosong, perasaannya hampa.
Ahh, mengapa aku tidak tahu diri, pikirnya. Sudah terang bahwa Li Cu melakukan semua itu hanya karena hendak membalas budi pertolongannya karena kasihan, apa lagi? Tidak mungkin gadis seperti Li Cu bisa cinta kepadanya, seorang laki-laki yang menjadi hina namanya karena urusannya dengan Kwa Hong, seorang duda yang sudah mempunyai anak. Dua malah anaknya, satu anak Kwa Hong, ke dua anak Bi Goat. Mana sudi Li Cu kepadanya?
"...ah... maaf... maaf... sungguh aku tak tahu diri..."
Bagaikan mimpi kedua kakinya bergerak menuju ke pintu kamar, dengan langkah limbung seperti orang mabuk arak ia keluar dari kamar itu...
Menghadapi pasangan ilmu pedang sakti ini, Kwa Hong segera terdesak hebat. Masih untung baginya ia sudah paham betul akan gerakan dan perubahan geseran kaki menurut gerakan rajawali emas, sehingga biar pun terdesak hebat ia masih dapat menyelamatkan diri secara aneh. Akhirnya ia melengking keras minta bantuan rajawali. Rajawali emas segera menyambar-nyambar di atas kepala kedua orang itu. Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo tadi sudah menyaksikan ketika rajawali itu merampas pedang dari tangan Cia Hui Gan, maka mereka kaget dan cepat-cepat meloncat dan menjatuhkan diri.
Kesempatan ini dipergunakan Kwa Hong untuk meloncat ke atas punggung burungnya, sambil tertawa-tawa ia berkata, "Aku tidak ada waktu untuk main-main dengan kalian dua orang tua bangka!"
Cepat burungnya terbang meninggalkan dua orang itu yang menyumpah-nyumpah saking mendongkol dan marahnya.
"Ahh, kenapa bisa begini tolol? Aku harus menangkap Beng San keparat!" tiba-tiba saja Song-bun-kwi teringat akan urusannya dan tanpa menoleh lagi kepada Hek-hwa Kui-bo ia berlari cepat mengejar ke arah larinya Beng San dan Li Cu tadi.
Hek-hwa Kui-bo datang bersama Beng Kui. Memang dia dimintai tolong oleh orang muda itu setelah Beng Kui mendengar bahwa Beng San kini sudah kehilangan kepandaian dan ingatannya. Seperti telah dituturkan pada bagian atas, antara Hek-hwa Kui-bo dan Beng Kui terdapat kerja sama lagi ketika mereka bersama-sama membantu pemberontak-pemberontak yang ingin menggulingkan kedudukan Kaisar pertama dari Kerajaan Beng. Sekarang Beng Kui berhasil dengan usahanya, yaitu menculik Beng San dan Li Cu.
Akan tetapi, di belakang orang muda itu mengejar Song-bun-kwi dan mungkin juga Kwa Hong, siapa tahu? Sudah menjadi tugasnya untuk membantu Beng Kui, maka ia pun lalu meninggalkan tempat itu dan menyusul Beng Kui karena ia sudah tahu ke mana pemuda itu membawa pergi dua orang korbannya itu.
Dalam kempitan Beng Kui, Beng San tidak berdaya. Akan tetapi diam-diam ia memutar terus otaknya yang sejak pertempuran di Thai-san tadi mengalami guncangan-guncangan hebat. Banyak hal yang membingungkannya. Sekarang kakak kandungnya menangkap dia dan isterinya. Apakah kesalahannya? Apa pula kesalahan isterinya? Dan ke manakah mereka berdua hendak dibawa? Lalu hendak diapakan?
Seingatnya, isterinya adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, yang juga merupakan puteri dari Song-bun-kwi. Dan baru teringat ia sekarang, kenapa tadi Song-bun-kwi tidak menolongnya dan menolong isterinya?
"Aku tidak peduli itu semua...," akhirnya hatinya memutuskan karena kepalanya serasa pecah karena kepeningan ketika dia mencoba memecahkan semua rahasia itu. "...asal saja Bi Goat jangan diganggu..."
Ia merasa kuatir sekali kalau-kalau isterinya diganggu orang. Dan apa bila sampai terjadi demikian, biar pun yang mengganggunya adalah kakak kandungnya, biar pun dia sendiri tak bisa silat, hemm... dia akan mencegahnya dan melawan mati-matian mempertaruhkan nyawanya sendiri.
"Kui-ko, mengapa kau menangkap kami suami isteri dan ke mana kau hendak membawa kami?" Beng San akhirnya bertanya.
Akan tetapi yang ditanya tidak menjawab, melainkan berlari makin cepat lagi. Beng San mengulang-ulang pertanyaannya, namun Beng Kui tetap tidak menjawab sedangkan Li Cu tidak dapat bersuara karena jalan darah di lehernya telah tertotok.
Semenjak Beng Kui gagal dalam rencana pemberontakannya dulu, hatinya menjadi lebih sakit dan menaruh dendam besar terhadap Beng San. Ia sudah mendengar betapa adik kandungnya itulah yang telah menggagalkan pencegatan terhadap Kaisar, malah dia juga mendengar betapa dengan kerja sama antara Beng San dan Li Cu, Ho-hai Sam-ong telah tewas pula dalam pertempuran.
Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan betapa gurunya sendiri pun turun tangan di kota raja menghadapinya, maka ia menaruh sakit hati terhadap bekas gurunya, terhadap Li Cu dan terutama sekali terhadap Beng San. Inilah yang menyebabkan mengapa ia lalu sengaja datang ke Thai-san bersama Hek-hwa Kui-bo ketika ia mendengar berita bahwa Beng San yang ia takuti itu telah kehilangan kepandaiannya dan menjadi orang gila. Sebagai seorang bekas pemberontak, tentu saja Beng Kui tidak dapat bergerak bebas. Ia menyembunyikan diri sambil menanti saat baik, malah membuat tempat persembunyian tidak jauh dari Puncak Thai-san.
Di sebuah hutan ia telah mendirikan rumah besar dan ia mempunyai banyak kaki tangan yang masih setia kepadanya. Pada saat berada di tempatnya ini Beng Kui menganggap diri sendiri seolah-olah sudah menjadi seorang ‘raja kecil’. Isterinya, puteri pangeran yang bertubuh lemah, tidak ia ajak dalam perantauan dan persembunyiannya ini, melainkan ia tinggalkan di tempat persembunyiannya di dekat kota raja.
Menjelang senja Beng Kui telah memasuki sebuah hutan besar di kaki Gunung Thai-san sebelah utara. Hutan itu gelap dan amat liar, tidak pernah didatangi manusia. Akan tetapi ternyata di tengah-tengah hutan besar itu terdapat sebuah rumah besar yang dikelilingi oleh rumah-rumah berukuran agak kecil. Inilah ‘perkampungan’ kecil yang menjadi tempat persembunyian Beng Kui bersama pengikut-pengikutnya.
Kedatangan Beng Kui disambut beberapa orang kaki tangannya. Dia langsung memasuki rumahnya kemudian membanting tubuh Beng San ke atas lantai. Pemuda ini terbanting dan bergulingan, lalu terdengar beberapa orang anak buah Beng Kui tertawa mengejek.
"Kui-ko, di manakah ini? Rumah siapa dan apa yang hendak kau lakukan terhadap kami? Kau lepaskan isteriku!" Beng San tak pedulikan tubuhnya yang sakit-sakit lalu merangkak bangun.
Andai kata Beng Kui tidak semarah itu, kiranya hal ini akan menimbulkan keheranannya. Akan tetapi dia lupa bahwa tadi dia sudah menotok jalan darah di tubuh Beng San yang membuat adiknya itu lumpuh.
"Kau mau tahu apa yang hendak kulakukan? Ha-ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu sekarang! Kau harus melihat dulu apa yang akan kulakukan terhadap perempuan tak tahu malu ini!" ia melempar Li Cu ke atas sebuah dipan diruangan itu.
Gadis itu jatuh lemas dan tidak dapat bergerak, hanya kedua matanya yang memandang tajam penuh kemarahan dan kebencian. Beng Kui mengejar maju dan sekali tangannya bergerak ia telah membebaskan totokan pada leher gadis itu sehingga Li Cu dapat bicara kembali. Tetapi, saking marahnya sampai gadis itu tidak mampu mengeluarkan perkataan apa pun!
"Kui-ko, kau tahu bahwa aku tidak takut mati. Kau mau bunuh aku, boleh bunuh. Akan tetapi kau harus membebaskan Bi Goat, dia itu tidak mempunyai dosa apa-apa terhadap dirimu. Kalau kau benci kepadaku, kalau kau marah kepadaku, boleh kau perlakukan aku sesukamu, tapi jangan ganggu Bi Goat!" kembali Beng San memohon kepada kakaknya.
Beng Kui tertawa mengejek. "Sudah kukatakan tadi, kau tidak akan kubunuh sekarang. Kau perlu hidup untuk menyaksikan betapa aku akan membuat wanita tak tahu malu ini sebagai barang permainanku. Ya, aku harus membalas, dia harus menjadi permainanku, ha-ha-ha... dan di depan matamu, Beng San! Nanti kalau aku sudah bosan, baru kurusak mukanya dan kubebaskan dia dan kau pun akan kulempar ke dalam jurang di belakang rumah. Sudah terlalu sering kau merusak rencanaku, sudah terlalu banyak usahaku yang kau gagalkan."
Ia ketawa lagi dan berpaling kepada beberapa orang anak buahnya yang berada di situ, berdiri seperti patung. "Sediakan hidangan untukku!"
Orang-orang itu memberi hormat sambil berlutut lalu mengundurkan diri. Beng Kui tertawa lagi.
"Lihat Beng San, lihatlah baik-baik. Biar pun kau sudah menggagalkan semua rencanaku, akan tetapi aku tetap dapat hidup sebagai raja. Dan kau akan kujadikan anjing, manusia bukan binatang pun bukan, hidup tidak mati pun belum. Dan dia... ha-ha, perempuan yang mencintamu ini, yang melempar aku memilih kau, dia akan melihat bahwa aku jauh lebih berharga dari padamu."
Beng San sukar menangkap arti semua ucapan itu. Dia berusaha mengingat-ingat dan memeras otaknya, maka terlihat ia berdiri bengong seperti patung batu. Ada pun Li Cu saking marahnya sampai seperti gagu tak dapat bicara, hanya pancaran matanya yang berapi-api seperti hendak membakar tubuh Beng Kui dengan api kebencian yang berkobar-kobar. Akan tetapi di samping kebencian dan kemarahannya ini, diam-dian Li Cu menjadi terheran-heran.
Selama hidup belum pernah ia melihat suheng-nya itu seperti sekarang ini. Alangkah jauh bedanya dengan dahulu. Rasa herannya makin memuncak ketika hidangan yang mewah disediakan di atas meja. Beng Kui makan minum seorang diri dengan sikap berlebihan. Orang-orang yang melayaninya kelihatan amat menghormat seolah-olah sedang melayani seorang kaisar saja. Dilihat keadaannya sekarang dan bila dibandingkan dengan dahulu, agaknya lebih pantas kalau dikatakan bahwa Beng Kui telah berubah pikirannya atau tidak waras lagi pikirannya.
Setelah selesai makan, Beng Kui melemparkan beberapa potong tulang kepada Beng San sambil tertawa dan berkata, "He, anjing... nih kuberi tulang, makanlah! Ha-ha-ha!"
Beng San berdiri tak bergerak, hanya memandang kepada kakak kandungnya yang sudah seperti orang gila itu. "Kui-ko ingatlah... kenapa kau menjadi begini...? Kau seperti orang gila..."
"Keparat!" Tubuh Beng Kui bergerak tangannya kiri kanan menampar dan…
"Plak-plak-plak!" muka Beng San sudah dihujani tamparan yang keras sehingga Beng San terhuyung-huyung dan kedua pipinya menjadi merah.
"Bersihkan meja dan tinggalkan kami. Tutup pintu depan, lalu jaga baik-baik!" Beng Kui memberi perintah kepada orang-orangnya yang dengan sigap lalu mengerjakan perintah orang muda itu. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah ditinggalkan pergi oleh para pelayan.
Beng San masih berdiri tegak, bekas tamparan kakaknya masih tampak di kedua pipinya. Setelah semua pelayan pergi, Beng Kui kemudian mencabut pedang Liong-cu-kiam dari pinggangnya. Dia menghampiri Beng San yang berdiri dengan sikap tegak, sama sekali tidak kelihatan takut. Kiranya biar pun kehliangan ingatan dan kepandaian, namun Beng San tidak pernah kehilangan keberanian dan ketabahannya.
"Hemm, kau hendak bunuh aku, Kui-ko? Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut. Akan tetapi jangan sekali-kali kau mengganggu isteriku. Dia... dia tidak berdosa, mengapa kau menawannya? Lekas kau bebaskan dia!"
"Beng San keparat, hayo kau lekas berlutut! Hayo!"
Akan tetapi Beng San berdiri tegak dan memandang dengan matanya yang kini bersinar tenang dan bodoh. Teringat ia akan segala pelajaran filsafatnya dan ia menjawab, "Kui-ko, aku hanya dapat berlutut kepada Tuhan, kepada nenek moyang, kepada ayah bunda, kepada guru, kepada pemimpin dan kepada orang yang telah kuperlakukan dengan keliru sehingga aku patut minta ampun kepadanya. Padamu aku tidak salah apa-apa, kenapa harus berlutut?"
"Keparat!" Kaki Beng Kui bergerak dan lutut Beng San keduanya sudah kena ditendang dengan cepat. Beng San tak dapat mempertahankan diri lagi dan jatuh berlutut.
Beng Kui tertawa bergelak-gelak, "Ha-ha-ha, akhirnya kau berlutut juga di hadapanku. Hemmm, kau mengaku adik kandungku, akan tetapi semenjak pertemuan kita kau selalu menjadi perintang, selalu menjadi penghalang dan selalu menjadi pengacau hidupku! Sudah sepatutnya kalau kau kubunuh!"
"Beng Kui, kau ini manusia apakah? Cih, kau tak tahu malu, curang, dan benar-benar pengecut besar! Kau berani bertingkah setelah melihat Beng San kehilangan ingatannya. Coba kalau dia masih seperti biasa, aku berani bertaruh kau akan lari tunggang-langgang kalau bertemu dengan dia! Huh, muak perutku melihat mukamu!" Ucapan ini keluar dari mulut Li Cu yang marah bukan main menyaksikan betapa Beng Kui memperlakukan Beng San seperti itu.
Pucat muka Beng Kui mendengar cacian yang luar biasa menghinanya ini. Selama hidup belum pernah Li Cu berani bicara seperti ini kepadanya, kepada dia yang menjadi kakak seperguruannya, juga menjadi bekas tunangan! Benar-benar penghinaan yang melampaui batas. Sekali melompat ia telah berada di pinggir dipan, memandang kepada Li Cu yang rebah miring di atas dipan karena masih tertotok, namun sepasang matanya memandang tajam penuh kebencian.
"Kau berani menghinaku? Apakah kau kira aku pun tidak sanggup mempermainkan dan menghinamu?" Pedangnya berkelebat dan…
"Brettt" robeklah baju Li Cu.
Baju luar berwarna merah itu robek lebar sekali sehingga tampak baju dalamnya yang berwarna merah muda. Beng Kui tertawa terbahak-bahak sedangkan Li Cu menjadi pucat sekali, tak berani mengeluarkan kata-kata lagi saking ngerinya melihat perbuatan bekas suheng-nya yang seperti kemasukan iblis itu.
"Kui-ko, jangan kau ganggu isteriku!" Beng San lari menghampiri dan mengangkat tangan hendak mencegah kakaknya bertindak lebih jauh.
Akan tetapi sambil membalikkan tubuh Beng Kui menendang lagi dengan keras sehingga tubuh Beng San terlempar dan terbanting pada dinding. Namun Beng San sudah nekat. Ia bangun lagi, menghampiri dan berseru.
"Tak boleh kau menghina isteriku... Tak boleh..."
Sekali lagi ia terjungkal karena tendangan Beng Kui pada perutnya. Kali ini agak sukar Beng San untuk bangkit. Tendangan itu membuat napasnya menjadi sesak. Akan tetapi sambil merangkak mendekati kakaknya lagi dan merangkul kedua kakinya.
"Kui-ko, jangan... jangan kau menggangu isteriku..., bunuhlah aku kalau kau kehendaki, tapi bebaskan dia..."
Beng Kui mehjadi gemas sekali, pedang di tangannya berkelebat ke arah Beng San. Li Cu menjerit dan rambut di kepala Beng San terbabat putus. Li Cu terisak-isak saking kuatirnya, akan tetapi Beng San sama sekali tidak kelihatan gentar biar pun tadi pedang itu hampir saja membabat putus batang lehernya.
"Kui-ko, sekali lagi kuminta, jangan kau ganggu isteriku."
"Bangsat, kalau aku mau mengganggunya kau mau apa? Hayo kau mau apa?” Beng Kui menantang.
"Biar pun aku tidak pandai silat, aku akan melawanmu!" kata Beng San sambil berusaha untuk berdiri.
"Ha-ha-ha-ha, kau hendak melawan? Nah, terimalah bacokan ini!" Pedang di tangannya berkelebat dan kini benar-benar melayang ke arah batang leher Beng San dengan cepat dan kuat.
"Beng San...!" Li Cu menjerit lagi dengan sekuat tenaga dan ia hampir pingsan melihat pedang itu menyambar leher kekasihnya.
Beng San terjungkal dan tak bergerak. Akan tetapi lehernya tidak putus dan tidak ada setetes pun darah keluar. Kiranya tadi Beng Kui hanya menakut-nakuti saja dan membalik pedangnya sehingga punggung pedangnya yang menghantam belakang kepala Beng San, bukan mata pedangnya. Pukulan ini keras sekali dan Beng San tersungkur, tak mampu bangun kembali. Ia merasa seperti melayang-layang dari tempat yang sangat tinggi penuh bintang beraneka warna beterbangan di sekelilingnya. Ia jatuh terus ke bawah, makin lama semakin cepat.
Mula-mula melalui ruangan yang putih seperti salju, lalu ruangan merah seperti darah, Kemudian setelah melalui beberapa ruangan yang beraneka warna ia tidak melihat apa pun lagi. Hanya perasaannya yang menyatakan bahwa ia masih terus melayang-layang ke bawah. Telinganya mendengar suara yang sangat mengerikan, mengiang-ngiang dan mendengung-dengung, kadang-kadang rendah, lalu disusul suara ketawa terbahak-bahak yang bergema di sekelilingnya, disusul suara tangis yang memilukan!
Apakah aku sudah mati? Di mana aku berada? Bukan aku yang mati, melainkan Bi Goat! Ah, Bi Goat sudah mati dan ia mengunjungi kuburannya. Bi Goat isterinya yang tercinta, telah mati. Apakah aku juga sudah menyusulnya dan sekarang terseret?
"Bi Goat... Bi Goat..." Ia mencoba untuk memanggil, namun tidak terdengar suaranya.
"Beng San...!" Teriakan ini seperti terdengar dari tempat yang amat jauh.
Beng San merasa seakan-akan ia berhenti melayang. Tahu-tahu ia merasa telah berada di atas bumi. Mimpikah aku? Siapa yang memanggilku tadi? Apakah Bi Goat? Ia merasa kini bahwa tubuhnya sedang rebah tertelungkup. Ahh, tentu ia mimpi, tapi...
"Beng San...!" Makin keras panggilan ini, suara wanita dan jerit itu menyayat hati benar.
Ia membuka mata. Benar saja, ia sedang rebah tertelungkup. Akan tetapi mengapa di atas lantai? Kedua kakinya terasa sakit dan lehernya juga sakit. Ia menoleh ke atas. Apa yang dilihatnya membuat ia bengong dan terbelalak. Gilakah dia? Kenapa dia melihat semua ini? Ia melihat Beng Kui kakaknya dan Li Cu yang rebah tidak dapat bergerak di atas dipan, sedangkan Beng Kui yang berdiri di dekat dipan terus tertawa-tawa.
"Beng San...!" Kembali Li Cu memekik dan kembali Beng Kui tertawa,
"Ha-ha-ha, kau boleh seribu kali memanggilnya. Dia tak dapat bangun lagi, anjing lemah itu. Ha-ha, Li Cu, benar-benar aku masih hampir tak dapat percaya kalau kau dapat jatuh cinta kepada orang gila!"
“Beng Kui, mengapa kau begini kejam? Apakah kau hendak membunuh adik kandungmu sendiri? Apakah kesalahannya? Kalau begitu, kau bunuh aku juga, Beng Kui."
"Tidak, kau tak akan kubunuh. Sayang kecantikanmu. Aku masih cinta kepadamu, Li Cu. Dan kau, mau tidak mau, harus menemaniku di dalam hutan ini."
"Tidak! Aku lebih baik mati! Beng Kui, ingatlah. Aku... aku hanya cinta kepada Beng San. Aku mau mati atau hidup bersama dia. Kalau kau sudah membunuhnya, kau bunuhlah aku. Jika kau lakukan itu, aku bersumpah takkan menaruh dendam kepadamu. Bunuhlah aku." Li Cu terisak-isak menangis.
"Benar-benar aneh kau ini, Li Cu. Beng San sudah gila, dia selain gila juga menjadi orang lemah. Kau dianggapnya isterinya yang bernama Bi Goat, yang sudah mati. Sudah jelas bahwa ia tidak mencintamu sebagai Li Cu, tetapi mencintamu sebagai Bi Goat. Kenapa kau bisa membalas cinta kasih orang gila macam itu? Aku belum membunuhnya, Li Cu. Akan tetapi, kalau kau dengan suka rela mau menjadi isteriku, aku akan bebaskan dia. Sebaliknya, kalau kau tetap keras kepala, aku akan membunuhnya setelah menyiksanya seperti anjing gila, dan kau tetap akan kujadikan isteriku!"
Sepasang mata Li Cu terbelalak lebar dan kemarahannya tidak mampu ditahannya lagi. "Keparat, kau! Iblis kau! Tuhan akan mengutukmu, jahanam!"
"Ha-ha-ha, kau hendak mengamuk lagi? Ha-ha, Li Cu, mati hidupmu di tanganku, tahu?"
"Aku tidak takut! Kau iblis bermuka manusia. Terkutuklah kau!"
"Ha-ha-ha, semakin manis saja kalau kau marah-marah." Pedangnya bergerak perlahan dan…
"Brettt!" sekarang pakaian dalam yang menempel di tubuh Li Cu robek pula oleh ujung pedang.
Li Cu menjerit ngeri dan menutupkan matanya yang penuh air mata. Akan tetapi apa dayanya? Tubuhnya tak mampu bergerak.
Tiba-tiba tubuh Beng Kui terlempar ke belakang, menimpa meja yang tadi ia pakai makan minum sampai kaki meja itu patah-patah! Kaget bukan main Beng Kui yang tadi merasa seakan-akan tubuhnya bisa terbang melayang begitu saja.
Cepat ia meloncat bangun sambil mempersiapkan pedang yang masih terpegang olehnya. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, matanya terbelalak lebar seakan-akan hendak meloncat keluar dari tempatnya. Ia melihat Beng San sudah berdiri di hadapannya dengan sepasang mata yang bersinar sinar penuh api kemarahan. Sepasang mata itu kini bercahaya ganjil dan menyeramkan seperti dahulu!
Ia masih belum mau percaya kalau Beng San yang tadi melemparkannya. Tidak mungkin! Bukankah tadi setelah ia hantam belakang kepala Beng San dengan punggung pedang, adiknya itu roboh dan pingsan? Tentu saja manusia yang sudah mabok kemenangan dan mabok pangkat ini tidak sadar bahwa di dunia ini kekuasaan manusia sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan.
Manusia yang merasa dirinya menang, yang merasa dirinya kuat sendiri, yang merasa dirinya benar sendiri, menyatakan bahwa manusia seperti ini adalah manusia yang berjiwa rendah. Atau setidaknya, pada saat itu hati nuraninya dikuasai oleh iblis.
Segala kemenangan, kekuatan dan kebenaran seluruhnya terletak di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Merupakan rahmat-Nya bagi manusia. Oleh karena itu, segala rahmat dari Tuhan harus dipersembahkan kemudian kepada-Nya dengan jalan mengakui dengan segala kerendahan hati bahwa kesemuanya itu datang dari pada-Nya. Pengakuan yang tulus akan hal ini akan menjauhkan manusia dari mabok kemenangan serta kekuasaan.
Pada saat punggung pedang di tangan Beng Kui tadi menghantam belakang kepala Beng San, Tuhan memperlihatkan kekuasaan-Nya. Hantaman itu tepat mengenai jalan darah yang menjurus ke kepala, menggetarkan urat saraf di kepala Beng San yang terganggu ketika dia dahulu terpukul oleh kedukaan karena kematian isterinya.
Bagaikan air yang mengalir kembali setelah bendungannya dibuka, ingatan Beng San kembali perlahan-lahan dan semua ini ditambah oleh pendengarannya ketika Beng Kui dan Li Cu berdebat. Terbukalah semua ingatan dan pengertiannya, sekaligus membuat ia marah bukan main. Baiknya ia dapat cepat sadar kembali dan dapat mencegah sebelum Beng Kui melakukan perbuatan yang lebih biadab lagi.
"Beng San...!" Li Cu berseru lirih, namun di dalam seruan lirih ini terkandung jerit yang memecahkan kesunyian angkasa, penuh kekagetan, penuh keheranan, penuh gairah dan harapan.
Beng San melirik ke arah Li Cu, akan tetapi cepat-cepat ia membuang muka pada saat melihat keadaan nona itu yang tubuhnya bagian atas tidak tertutup lagi baik-baik karena bajunya yang koyak-koyak lebar itu. Tanpa banyak cakap ia segera meloloskan bajunya sendiri dan melemparkan bajunya ini di atas tubuh Li Cu yang tidak tertutup. Barulah ia berani berpaling.
Mereka berpandangan sejenak, keduanya dengan mata berlinangan air mata. Beng San sudah tahu semua ketika tadi ia mendengar percakapan antara Li Cu dan Beng Kui.
"Nona, biarlah kubebaskan kau dari totokan..."
"Beng San, awas!" teriak Li Cu.
Beng San dengan tenang tapi cepat menggeser kakinya dan tangannya bergerak ke kiri. Pedang Liong-cu-kiam menyambar lewat di pinggir kepalanya.
"Beng Kui, kau benar-benar tidak tahu diri...," dia mencela sambil melompat ke tengah ruangan, terpaksa belum dapat membuka totokan atas diri Li Cu.
Akan tetapi kemarahan Beng Kui sudah memuncak. Sepasang matanya menjadi merah dan berputar-putar liar.
"Kau orang gila banyak tingkah... mampuslah!" bentak Beng Kui dan pedangnya kembali menyambar-nyambar.
Banyak orang bilang bahwa orang gila menganggap diri sendiri waras dan menganggap orang waras sebagai orang gila. Kiranya keadaan Beng Kui cocok dengan pendapat ini. Dia memaki gila akan tetapi dia sendirilah yang mengamuk seperti orang gila.
Pedangnya mengeluarkan suara kemudian berubah menjadi segulung sinar panjang yang melayang-layang dan menyambar-nyambar hebat ke arah Beng San. Namun, sekaligus Beng San sudah mendapatkan kembali semua kepandaiannya yang memang tak pernah hilang, hanya ‘terlupa’ oleh otaknya. Secara otomatis kakinya bergerak-gerak dan semua serangan pedang itu dapat ia hindarkan dengan amat mudahnya.
"Beng Kui, kau orang tua yang tidak mau dihormati adiknya. Sekali lagi sekarang aku beri kesempatan kepadamu untuk pergi dari sini dengan aman. Kau pergilah, tetapi tinggalkan Liong-cu-kiam."
"Jangan banyak cakap!" Beng Kui malah memaki dan pedangnya terus menyerang.
Tiga kali Beng San minta kepada kakaknya untuk pergi dengan aman, namun jawabannya selalu serangan maut yang ditujukan kepadanya secara nekat.
"Kau memang keras kepala!" seru Beng San kemudian.
Saat itu pedang di tangan Beng Kui menusuk dadanya. Beng San tiba-tiba menggunakan gerakan merendahkan tubuh, kemudian dari bawah tangannya bergerak ke atas, yang kanan merampas gagang pedang yang kiri memukul dengan pukulan Pek-in Hoat-sut.
Hawa pukulan yang mengandung uap putih itu melumpuhkan seluruh tenaga Beng Kui dan dengan mudah pedang di tangannya berpindah tempat! Ia masih hendak menerjang dengan tangan kosong, namun kaki kiri Beng San menendangnya sehingga dia tepental keluar ruangan itu dan bergulingan sampai jauh. Beberapa orang anak buah Beng Kui menyerbu ke dalam.
"Pergilah kalian!"
Seruan Beng San ini demikian berpengaruh, apa lagi disertai dorongan tangan kirinya ke depan yang membuat sekaligus tiga orang terjengkang tanpa tersentuh tubuhnya sedikit pun, sehingga mereka semua menjadi kaget dan jeri. Pada saat itu, terdengar hiruk pikuk di luar dan terdengar pula suara banyak orang berlari-lari pergi meninggalkan tempat itu, seakan-akan takut menghadapi sesuatu yang hebat.
"Song-bun-kwi setan tua, jangan ganggu orang-orang ini! Nona Kwa Hong, orang-orang ini adalah teman-teman Tan Beng Kui-enghiong, jangan kau ganggu!" Terdengar suara Hek-hwa Kui-bo.
Beng San terheran-heran dan hanya berdiri di tengah ruangan itu, pedang Liong-cu-kiam di tangan. Celananya robek-robek pada bagian yang ditendang Beng Kui tadi, sedangkan tubuhnya bagian atas telanjang karena bajunya tadi sudah ia lemparkan kepada Li Cu. Ia kelihatan seperti seorang bajak sungai!
Berturut-turut mereka meloncat masuk. Mula-mula Song-bun-kwi, disusul Kwa Hong dan kemudian sekali Hek-hwa Kui-bo. Tiga orang itu begitu memasuki ruangan berdiri tertegun seperti melihat setan di tengah hari!
Ada pun Beng San begitu melihat Song-bun-kwi, segera dia menjura dengan hormat dan berkata memanggil, "Gak-hu (Ayah Mertua)..."
Song-bun-kwi masih mengira bahwa Beng San kehilangan kepandaiannya, karena itu ia membentak, "Aku bukan ayah mertuamu! Keparat, kau pembunuh anakku Bi Goat dan karenanya sekarang akan kupatahkan batang lehermu!" Ia menerjang ke depan.
Tapi sinar hijau menyambar dan menghalangi gerakan kakek ini. Sinar itu tidak lain adalah panah-panah hijau dari Kwa Hong.
"Perlahan dulu Song-bun-kwi!" Memang Kwa Hong tidak ingin melihat Beng San terbunuh oleh orang lain. Mati atau hidupnya Beng San dialah sendiri yang berhak memutuskan, begitu pikirnya.
"Hong-moi kau juga di sini?" tegur Beng San dengan suara halus.
Kwa Hong seketika menjadi pucat, apa lagi ketika melihat pedang Liong-cu-kiam di tangan pemuda itu. "Kau...sudah ingatkah...?"
"Bangsat, kau sudah membunuh anak perempuanku. Kalau kau sudah ingat, tentu kau tak akan mungkir lagi!" Song-bun-kwi membentak sambil melangkah maju.
Beng San tersenyum sedih, "Gak-hu, aku amat mencinta Bi Goat. Bagaimana aku dapat membunuhnya? Bi Goat meninggal karena berduka dan marah yang ditimbulkan oleh Hong-moi. Memang aku lama meninggalkan Bi Goat, akan tetapi hal itu adalah karena aku merasa amat berduka dan menyesal serta malu karena perbuatanku bersama Kwa Hong dahulu. Kemudian aku membantu orang-orang gagah untuk melindungi Kaisar dari pengkhianatan beberapa orang, maka pulangku terlambat. Aku menyesal sekali, Gak-hu, tapi sesungguhnya bukan aku yang menyebabkan kematian isteriku. Dia tahu bahwa aku mencintanya. Tapi Tuhan lebih kuasa dari segala di dunia ini..."
Beng San nampak sangat berduka.
"Keparat, kau bisa saja memutar omongan. Isteri melahirkan anak sampai mati tapi kau sebagai suami tidak menjaganya!"
"Ahh, Gak-hu. Memang aku benar-benar merasa berdosa. Sekarang di manakah anakku itu, Gak-hu? Biarlah aku akan merawatnya penuh kasih sayang, sebagai pengganti Bi Goat dan..."
"Tutup mulut! Kau laki-laki mata keranjang, kau laki-laki hina-dina, kau... kau sudah main gila dengan perempuan lain. Hemmm hendak menyangkal, kau?"
Kakek ini menudingkan telunjuknya ke arah Li Cu yang masih rebah terselimut baju luar Beng San, rebah miring tak bergerak di atas dipan! Semua mata lalu memandang dan Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa genit penuh arti ketika melihat baju Beng San menyelimuti tubuh Li Cu.
Wajah Li Cu sebentar pucat sebentar merah sekali. Namun Beng San tetap tenang.
"Aku tidak pernah main gila dengan siapa pun juga. Mungkin karena kehilangan ingatan aku menjadi seperti gila dan syukurlah... berkat pertolongan Nona Cia yang berbudi mulia sampai sekarang aku masih terlindung. Gak-hu, kau berikanlah puteraku."
"Putera apa? Pedang inilah yang akan menghabisi nyawamu!"
"Nanti dulu, Song-bun-kwi. Aku pun hendak bicara dengan Beng San!" Kwa Hong cepat menghadang di depan dan terpaksa Song-bun-kwi menunda penyerangannya.
Kwa Hong kini menghadapi Beng San. Orang muda itu menjadi agak pucat. Baginya jauh lebih berat menghadapi Kwa Hong dari pada menghadapi musuh yang mana pun juga.
"Adik Hong, apakah selama ini kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya halus sewajarnya karena di lubuk hatinya orang muda ini benar-benar merasa kasihan sekali kepada gadis itu.
Tersedu kerongkongan Kwa Hong mendengar pertanyaan yang halus ini. Akan tetapi dia segera menjawab, "Baik-baik saja, San-ko, aku sengaja mencarimu dan syukurlah kalau kau sudah sembuh kembali. Marilah kau ikut dengan aku, San-ko. Mari kita pelihara anak kita baik-baik. Tentang musuh-musuhmu ini, jangan kuatir, San-ko, Hong-moi-mu ini dapat membunuh mereka seperti orang membunuh anjing!" Setelah berkata demikian, Kwa Hong tertawa, suara ketawanya melengking menyeramkan sekali.
Ucapan terakhir dan suara ketawa Kwa Hong itu menusuk jantung Beng San, karena ia maklum bahwa Kwa Hong sekarang sudah bukan Kwa Hong yang dulu lagi. Wajahnya jelas membayangkan watak yang sombong, kejam, dan tidak wajar.
"Hong-moi, kau tahu bahwa tak mungkin aku memenuhi permintaanmu ini. Kau dan aku telah melakukan perbuatan terkutuk, itu memang benar. Akan tetapi hal itu terjadi di luar kesadaran kita, Hong-moi. Tentang anak itu kau sendiri hendak mendidiknya syukurlah. Kalau kau keberatan, boleh kau berikan kepadaku karena anak itu juga menjadi tanggung jawabku."
"Kau... kau...!” Kwa Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis terisak-isak.
Hatinya sedih bukan kepalang. Tadinya dia mengharapkan akan dapat membawa Beng San dengan secara paksa karena Beng San sudah kehilangan kepandaiannya dan dia sanggup merampas Beng San dari tangan siapa pun juga. Akan tetapi sekarang Beng San kelihatannya sudah sembuh kembali, bagaimana mungkin?
"Beng San, katakan di mana adanya Beng Kui? Pedangnya kau pegang, kau apakan dia?" kali ini Hek-hwa Kui-bo yang bertanya, menggunakan kesempatan selagi Kwa Hong sedang menangis.
"Dia sudah pergi...," jawab Beng San acuh tak acuh, kemudian ia menoleh ke arah Li Cu dan berkata "Nona Cia, agaknya lebih baik kita segera pergi dari tempat ini. Tetapi aku harus membebaskan kau dari totokan lebih dulu..."
Ia melangkah maju. Tapi sebelum ia sempat menyembuhkan Li Cu, tiga bayangan orang berkelebat dan angin-angin pukulan dahsyat datang menyambar dari tiga jurusan disusul berkelebatnya senjata-senjata tajam! Beng San maklum bahwa tiga orang sakti itu ‘sudah turun tangan’. Ia menarik napas panjang dengan sedih, akan tetapi tubuhnya bergerak didahului sinar pedang Liong-cu-kiam tangannya.
Tiga orang itu menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan seluruh kepandaian mereka. Namun Beng San sekarang memegang Liong-cu-kiam panjang. Kalau ia boleh diumpamakan seekor harimau, sekarang harimau itu tumbuh sayap dan pandai terbang.
Memang ilmu silatnya yang paling hebat adalah ilmu Im-yang Sin-kiam-sut. Sekarang ilmu pedang ini dimainkan dengan sebatang pedang seperti Liong-cu-kiam yang panjang, tentu saja hebatnya bukan kepalang.
Tiga orang itu, walau pun masing-masing mempunyai kepandaian luar biasa, akan tetapi menghadapi Beng San mereka tidak sanggup berdaya banyak, seakan-akan menghadapi benteng baja yang tidak saja sulit tembus, malah dari dalam benteng kadang menyambar ujung-ujung pedang runcing dan ampuh, setiap saat mengancam nyawa mereka.
Beng San bukanlah orang yang suka membunuh orang. Sebetulnya dia mempunyai watak yang pantang membunuh orang. Apa lagi sekarang yang dia hadapi adalah orang-orang yang sedikit banyak sudah ada hubungan dengannya, yang sudah dikenalnya baik. Tidak mungkin ia mau membunuh mereka.
Kelihaiannya bermain pedang memungkinkannya menggoreskan luka ringan pada pundak Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi. Dua orang tua ini menjadi malu dan jeri. Sambil mengeluh mereka berturut-turut lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu.
Kwa Hong yang ditinggalkan seorang diri menghadapi Beng San, tadinya menjadi nekat. Pedang Hoa-san Po-kiam di tangan kirinya, sedangkan di tangan kanannya memegang pedang Liong-cu-kiam yang pendek. Permainan pedangnya hebat dan liar, dahsyat bukan main sehingga diam-diam Beng San terkejut juga. Akan tetapi ilmu pedang itu dimainkan dengan cara yang masih mentah.
Lebih-lebih terhadap Kwa Hong, Beng San, sama sekali tidak mau melukainya. Setelah ia menindih pedang Hoa-san Po-kiam dengan pedangnya sendiri, tangannya lalu bergerak mencengkeram ke depan sehingga di lain saat pedang Liong-cu-kiam yang pendek telah berpindah ke tangan kirinya.
"Kembalikan pedang itu!" teriak Kwa Hong sambil menangis.
"Yang ini bukan pedangmu, Hong-moi. Tak boleh kau merampasnya," jawab Beng San.
Dengan pekik panjang Kwa Hong memanggil burungnya. Terdengar suara genteng yang hancur berantakan, langit-langit di atas ruangan itu tiba-tiba menjadi rusak dan berlubang besar di mana menerobos masuk seekor burung rajawali emas. Beng San pernah melihat burung ini dan kembali ia menjadi kagum bukan main.
Kwa Hong terisak, kemudian meloncat ke punggung burung. Akhirnya burung itu terbang menerobos melalui pintu depan dan sebentar saja menghilang dari situ.
Sampai beberapa lamanya Beng San berdiri bengong. Pedang Liong-cu-kiam berada di kedua tangannya. Kemudian ia membalikkan tubuh menghampiri Li Cu yang masih rebah tak bergerak dan semenjak tadi menonton semua itu dengan hati terharu. Ternyata bahwa pengorbanannya terhadap diri Beng San tidak sia-sia. Buktinya baru saja sembuh Beng San lagi-lagi telah melindungi dan membebaskannya dari ancaman bahaya maut.
"Nona Cia, maafkan kelancanganku!" kata Beng San.
Tangan Beng San bergerak cepat menotok dua jalan darah di tubuh Li Cu, lalu mengurut punggungnya sebentar. Setelah itu ia membalikkan tubuh dan berkata, "Nona, setelah kau dapat bergerak, harap bajuku itu kau pakai dulu."
Muka Li Cu menjadi merah. Ia bergerak perlahan, tubuhnya masih sakit semua rasanya. Ketika ia bangun, baju yang menyelimuti tubuhnya itu jatuh dan cepat-cepat ia menutupi dadanya. Tapi usahanya ini sebetulnya tak perlu karena Beng San berdiri membelakangi dirinya.
Karena terpaksa dan tidak mungkin hanya memakai bajunya yang sudah dikoyak-koyak pedang Beng Kui tadi, ia cepat-cepat mengenakan baju Beng San yang terlalu besar itu. Setelah selesai, ia berkata, "Kenapa... kau tidak membunuh mereka?"
"Membunuh siapa?" tanya Beng San tanpa menoleh.
"Beng Kui jahanam itu..."
"Dia itu jelek-jelek kakak kandungku, bagaimana aku tega membunuhnya?" jawab Beng San cepat.
"Hek-hwa Kui-bo yang pernah melukaiku dengan racun dan hampir saja membunuhku..." desak pula Li Cu yang merasa penasaran mengapa semua orang yang jahat itu dibiarkan pergi oleh Beng San.
"Dahulu dia itu pernah menurunkan ilmu silat kepadaku, secara tidak resmi dia adalah guruku pula. Bagaimana aku dapat membunuhnya? Dan pula, Nona, bukankah akhirnya kau selamat terhindar dari racunnya itu?" Jantung Beng San berdebar ketika ia teringat cara ia menolong gadis itu dari pengaruh racun di paru-parunya!
Di belakangnya, wajah Li Cu juga tiba-tiba menjadi merah. Gadis ini merasa heran bukan kepalang. Hampir dua tahun ia merawat Beng San, otomatis ia sudah merasa menjadi isteri Beng San biar pun hanya dalam sebutan. Akan tetapi kenapa sekarang ia menjadi begini canggung, sungkan dan malu-malu kepada Beng San? Diam-diam rasa kuatir dan gelisah menggerogoti hatinya.
Beng San yang kehilangan ingatannya, mau saja hidup di sampingnya, malah selama ini menganggap dia sebagai isterinya yang bernama Bi Goat. Akan tetapi setelah sekarang sadar dan mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia masih mau hidup seperti itu? Apakah ini bukan berarti saat perpisahan?
"Kwa Hong itu... kenapa juga tidak kau bunuh...?" Ia berusaha menekan hatinya dengan melanjutkan pertanyaan ini.
"Tak mungkin, Nona. Dia itu... secara tidak sadar... telah menjadi ibu anakku... perbuatan terkutuk di luar kesadaran kami berdua... dia sudah amat menderita... karena aku, mana mungkin aku membunuhnya? Walau pun dia akan membunuhku, agaknya aku tetap akan mengalah..."
"Hemm..." suara Li Cu terdengar kaku dan kalau Beng San melihat sinar matanya ia akan tahu-bahwa gadis itu marah! "Dan Song-bun-kwi...?"
"Apa lagi dia. Dia adalah ayah mertuaku, sama juga dengan ayahku. Mana boleh aku membunuh ayah Bi Goat?"
Sudah jelas kini! Beng San sekarang sudah kembali ingatannya. Beng San yang terlalu mencinta isterinya, Bi Goat. Sampai-sampai mengorbankan Kwa Hong. Mana sudi hidup bersama dia? Teringat akan ini, tak tertahankan lagi Li Cu terisak menangis.
Beng San cepat membalikkan tubuh. "Ehh, kenapa kau menangis, Nona?"
Suara ini mengandung penuh perhatian sehingga tangis Li Cu makin menghebat. Beng San sampai menjadi bingung, lalu menyerahkan pedang Liong-cu-kiam pendek.
"Ini... ini pedangmu... jangan kau menangis..."
Li Cu menerima pedang tanpa berkata apa-apa.
"Nona Cia, setelah semua pertanyaanmu kujawab, mengapa kau menangis?" Beng San bertanya, matanya yang tajam memandang penuh selidik.
Li Cu yang sekarang menjadi gugup. Tentu saja ia tidak sudi menyatakan isi hatinya. Ia mencari alasan dan pada saat itu ia teringat akan ayahnya. Wajahnya menjadi pucat dan serentak ia meloncat sampai Beng San menjadi kaget.
"Celaka! Ayahku...! Mereka tadi mengeroyoknya... tak mungkin bisa sampai ke sini kalau tidak... ahhh, Ayah...!" Li Cu menjerit lalu melompat keluar dan berlari cepat sekali.
Beng San baru saja kembali ingatannya, maka yang diketahui olehnya hanyalah semenjak saat ia sembuh tadi. Sebelum itu gelap baginya. Karena itu ia tidak ingat betapa Bu-tek Kiam-ong untuk melindunginya telah dikeroyok oleh tiga orang tokoh sakti tadi.
Meiihat Li Cu yang berlari-lari sambil menjerit memanggil-manggil ayahnya dan menangis, ia pun ikut pula berlari. Sebentar saja ia dapat menyusul gadis itu, lalu lari di sebelahnya tanpa banyak bertanya.
Setibanya di puncak Gunung Thai-san, kedua orang muda ini melihat betapa penduduk perkampungan di kaki gunung itu sedang sibuk mengurus dan menangisi jenazah Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan!
"Ayaaaahhh...!" Li Cu menubruk mayat ayahnya dan roboh pingsan.
Li Cu jatuh sakit. Demam panas menyerang tubuhnya setelah dia berkali-kali pingsan. Sampai sepekan ia rebah di pembaringan dalam keadaan setengah sadar. Selama itu Beng San merawat dan melayaninya dengan penuh perhatian.
Beng San mengalami hal-hal aneh ketika ia berhadapan dengan para penduduk yang dulu membantu Cia Hui Gan merampungkan rencana tempat tinggalnya. Mereka menyebutnya ‘tuan muda’ yang dianggapnya sebagai suami dari ‘nyonya muda’ yang sekarang sakit. Kemudian, sesudah mereka semua menyatakan kegembiraan hati bahwa nyonya muda dan suaminya dapat kembali dengan selamat, mereka lalu menyatakan kegirangan pula bahwa tuan muda sudah sembuh dari sakitnya lupa ingatan.
Mereka pulalah yang menceritakan tentang pertempuran itu sehingga terbuka mata Beng San akan segala yang telah terjadi kepada dirinya selama hampir dua tahun ini. Tahulah ia bahwa ia sebagai seorang gila menganggap Li Cu sebagai isterinya, sebagai Bi Goat dan betapa selama hampir dua tahun ini Li Cu merawatnya penuh kecintaan. Juga ia tahu sekarang bahwa Cia Hui Gan tewas dalam membela dia!
Semua ini ditambah lagi dengan keadaan Li Cu yang mengigau pada saat demam panas menyerangnya. Li Cu mengigau tentang masa lalu, tentang cinta kasihnya kepada Beng San. Semua ini membuat Beng San demikian terharu sehingga ia menitikkan air mata ketika duduk di pinggir pembaringan gadis itu. Dengan amat tekun ia merawat Li Cu dan siang malam tidak pernah meninggalkan kamar itu.
Sembilan hari kemudian demam meninggalkan tubuh Li Cu dan gadis ini pada pagi hari itu sadar. Dilihatnya Beng San sedang tertidur sambil duduk di kursi! Namun suara gerakan Li Cu cukup untuk membangunkan Beng San. Mereka berpandangan sejenak.
"Kau... kau masih di sini...?"
"Di mana lagi kalau tidak di sini...?" jawab Beng San halus, sinar matanya gembira sekali.
"Ayah... bagaimana...?" Matanya meragu dan dia memandang ke arah pintu kamarnya, agaknya ingin menjenguk keluar.
"Sudah beres, sudah kuurus pemakamannya."
Li Cu menarik napas panjang. Hatinya menjerit-jerit, namun air matanya sudah kering. "Berapa lama aku rebah di sini...?"
"Kau terserang demam, Nona. Sembilan hari sembilan malam kau dalam keadaan tidak sadar. Karena itulah aku lancang mewakilimu mengurus pemakaman ayahmu."
Li Cu bergerak hendak duduk. Melihat kelemahan gadis itu, Beng San segera bangkit membantunya. Ia merasa kasihan sekali dan cepat ia menghibur, "Harap kau kuatkan hatimu. Nona. Ingatlah bahwa mati hidup seorang manusia berada di tangan Tuhan. Apa bila Tuhan sudah menghendaki kematian seseorang, ada saja yang menjadi lantarannya. Ayahmu tewas sebagai seorang gagah perkasa, mati dikeroyok tokoh-tokoh besar dalam melindungi... aku yang tak berharga..."
"Tidak! Bukan melindungi kau, melainkan membela aku!" Cepat Li Cu membantah.
"Apa bedanya, Nona? Membela engkau karena kau berusaha melindungi aku."
"Kau merawatku terus-menerus selama aku sakit?" cepat Li Cu memotong omongan Beng San, mukanya yang tadinya pucat menjadi agak merah.
Beng San mengangguk dan memandang dengan mata penuh perasaan. "Nona Cia, apa artinya perawatan sembilan hari kalau dibandingkan dengan perawatanmu selama hampir dua tahun? Kau amat mulia, kau mengorbankan..."
"Kau dalam sakit, kau kehilangan ingatan!" Li Cu cepat memotong, mukanya kini menjadi merah sekali. "Siapa lagi kalau bukan aku yang akan merawatmu? Kau pun beberapa kali sudah menyelamatkan nyawaku, sudah sepatutnya aku membalas kebaikanmu."
Dengan keras kepala Beng San melanjutkan setelah menggelengkan kepalanya untuk menyangkal alasan Li Cu yang lemah itu. "Kau mengorbankan dirimu, mengorbankan nama baik ayahmu. Dalam gilaku aku menganggap kau isteriku, menganggap kau Bi Goat. Namun... kau menerima semua itu, kau malah memaksa ayahmu membawaku ke sini mengorbankan segalanya untuk aku, malah berusaha membuat tempat perlindungan yang aman untukku. Li Cu... Nona Cia... mengapa kau lakukan semua itu?"
Li Cu menunduk, menyembunyikan muka di belakang bantal yang diangkatnya. Suaranya terdengar lirih bertanya, "Semua itu bohong. Kau yang kehilangan ingatan bagaimana kau bisa tahu itu semua? Bohong..."
"Aku mendengar percakapanmu dengan Beng Kui pada saat aku sadar. Kemudian aku mendengar penuturan saudara-saudara yang berada di sini, dan ketika kau sakit, kau sering mengigau..."
Cepat bantal itu diturunkan dan sepasang mata itu memandangnya penuh pertanyaan. Wajah itu merah dan tidak tampak lagi bahwa gadis ini habis sakit kecuali tubuhnya yang agak kurus itu.
"Beng San..." terhenti kata-kata Li Cu ketika ia teringat betapa janggal panggilan ini yang begitu saja keluar dari bibirnya dengan suara mesra.
"Ya...? Kau hendak bilang apakah, Nona...?"
Li Cu semakin gugup. Biasanya, ketika belum sembuh, Beng San selalu menyebutnya ‘isteriku’ sehingga ia sudah biasa benar dengan sebutan itu. Sekarang, orang yang telah ia anggap sebagai suaminya dalam batin itu, menyebutnya nona!
"...andai kata benar semua itu..., tapi waktu itu keadaanmu dalam lupa ingatan. Kau mau tinggal di sini karena... karena kau mengira bahwa aku Bi Goat. Kau mengira bahwa aku isterimu yang sudah meninggal dunia itu...," ia berhenti lagi.
"Betul, Nona. Lalu bagaimana?" Beng San bertanya tenang dan sabar,
"...sekarang kau sudah sembuh..., kau telah mendapatkan kembali ingatanmu... kau tahu bahwa aku bukan isterimu Bi Goat... kau tahu bahwa aku hanya seorang gadis yatim piatu sebatang kara..." Sampai di sini ia terisak dan menutup mukanya dengan bantal. Beng San tidak berkata apa-apa hanya menanti dengan sabar.
"...aku... aku bukan apa-apamu... tak berhak menahanmu... dan kau tentu akan pergi dari sini." Tiba-tiba ia menurunkan bantalnya dan dengan mata basah ia bertanya, "Mengapa kau masih belum juga pergi dari sini? Aku bukan Bi Goat!"
Wajah Beng San tiba-tiba menjadi pucat dan matanya membayangkan kegelisahan besar. "Tapi... tapi kau... isteriku..."
Li Cu menggigit bibirnya, bukan main jengahnya. Ia merasa malu sekali kalau teringat akan semua perbuatannya itu. Tapi ia harus rnembela diri, tak mungkin ia mengaku begitu saja bahwa ia mencinta Beng San. Ia harus mencari alasan mengapa ia berbuat demikian, untuk membela diri.
"Isterimu adalah Bi Goat..."
"Tapi.... bukankah hampir dua tahun kau mengaku sebagai isteriku...?"
Li Cu membuang muka. "Karena kau menganggap aku Bi Goat. Aku harus merawatmu dan karenanya tiada lain jalan kecuali membiarkan kau menganggap aku isterimu Bi Goat. Sekarang kau sudah sembuh, sudah sadar dan ingat bahwa aku bukanlah isterimu Bi Goat, bahwa aku bukan apa-apamu dan kau boleh pergi meninggalkanku sekarang juga!"
Beng San merasa tubuhnya lemas, seakan-akan dilolos semua urat-urat dari tubuhnya. Jantungnya terasa ringan kosong, perasaannya hampa.
Ahh, mengapa aku tidak tahu diri, pikirnya. Sudah terang bahwa Li Cu melakukan semua itu hanya karena hendak membalas budi pertolongannya karena kasihan, apa lagi? Tidak mungkin gadis seperti Li Cu bisa cinta kepadanya, seorang laki-laki yang menjadi hina namanya karena urusannya dengan Kwa Hong, seorang duda yang sudah mempunyai anak. Dua malah anaknya, satu anak Kwa Hong, ke dua anak Bi Goat. Mana sudi Li Cu kepadanya?
"...ah... maaf... maaf... sungguh aku tak tahu diri..."
Bagaikan mimpi kedua kakinya bergerak menuju ke pintu kamar, dengan langkah limbung seperti orang mabuk arak ia keluar dari kamar itu...