CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJAWALI EMAS JILID 13
Yok-mo mengeluh dan merangkak bangun. Bermacam perasaan mengaduk di hatinya ketika ia memandang kepada burung itu dengan mata terbelalak. Heran, kaget dan marah sekali. Sudah bertahun-tahun dia ingin mendapatkan seekor burung seperti ini, burung rajawali emas yang jarang sekali terdapat di dunia ini dan hanya muncul dalam dongeng-dongeng kuno.
Menurut pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, jantung burung rajawali emas dapat dibuat menjadi obat penguat tubuh yang luar biasa sedangkan otak burung itu dapat dibuat menjadi bahan obat terhadap bermacam-macam luka berbisa. Sekarang, tanpa terduga-duga olehnya, dia bertemu burung ini. Akan tetapi siapa sangka bahwa burung ini ternyata bukanlah burung biasa, gerakan-gerakannya hebat sekali bagai seorang ahli silat kelas tinggi!
Betapa pun juga, Yok-mo menjadi penasaran. Ia masih belum mau kalah. Mungkin karena tubuhnya masih belum pulih benar maka tenaganya berkurang dan kecepatannya pun tak seperti biasanya sehingga dua kali dia dibikin roboh oleh burung itu. Sekarang dia telah mengeluarkan tongkatnya, tongkat hitam yang selama ini dia sembunyikan saja di balik bajunya. Dengan kemarahan meluap-luap kakek ini lalu melompat maju dan menyerang burung itu dengan tongkat hitamnya.
Aneh sekali, burung itu agaknya tahu akan keampuhan tongkat hitam itu. Ia mengeluarkan bunyi melengking lalu terbang dan dari atas dia menyambar kepala Toat-beng Yok-mo. Kakek ini sudah siap sedia, cepat mengelak dan membalas dengan tusukan tongkatnya. Burung ini ternyata merasa gentar menghadapi tongkat hitam itu sehingga serangannya selalu gagal karena ia harus mengelak dari sambaran tongkat yang ampuh itu. Pertempuran itu menjadi seru sekali. Burung itu menang gesit, tapi dengan mengandalkan tongkatnya yang ditakuti lawannya, Yok-mo dapat mempertahankan dirinya, malah dapat balas menyerang dengan hebat.
Sementara itu, semenjak tadi Kun Hong melongo. Kagumnya bukan main melihat burung yang indah sekali, dengan bulu mengkilap berwarna kuning keemasan itu. Segera saja ia merasa suka dan sayang kepada binatang itu. Lebih-lebih kagumnya pada saat ia melihat betapa burung itu dengan mudah dapat membuat Toat-beng Yok-mo yang berkepandaian tinggi itu terguling-guling.
Pemuda ini sebetulnya mempunyai rasa kagum dan suka akan kegagahan sungguh pun ia benci sekali terhadap pembunuhan dan penyiksaan. Baginya, kegagahan seharusnya dipergunakan untuk menegakkan keadilan tanpa melakukan pembunuhan, cukup dengan mengalahkan yang jahat dan memaksanya kembali ke jalan benar.
Melihat burung indah itu mengalahkan Yok-mo, ia merasa kagum sekali. Akan tetapi rasa kekagumannya itu berubah menjadi kekuatiran besar saat Yok-mo mengeluarkan tongkat hitamnya yang mengerikan dan terjadi pertempuran seru antara dua lawan yang memiliki gerakan cepat sehingga membuat ia bingung memandangnya itu.
Karena tadi Kun Hong terpesona oleh keindahan burung dan sekarang menjadi bingung menyaksikan pertempuran mati-matian itu, tanpa disadari tiga jilid kitab yang dipegangnya itu ia masukkan dalam saku bajunya yang lebar. Ia lalu berdiri dan menyambar tabung bambu terisi katak putih. Hanya itulah yang akan dapat mengobati luka mengerikan yang diakibatkan oleh tongkat hitam itu, pikirnya. Sambil membawa tabung itu dia lalu berlari sambil berteriak, "Jangan bunuh burung itu, Yok-mo! Sayang sekali kalau sampai ia terluka...!"
Setelah dekat dengan tempat pertempuran, Kun Hong semakin suka dan kagum melihat burung itu yang memang indah luar biasa. Juga ia melihat adanya sebuah kalung mutiara tergantung di leher burung itu. Maka tahulah ia bahwa burung ini tentulah ada yang punya, tentu burung peliharaan orang. "Yok-mo, jangan bunuh dia, tentu ada pemiliknya. Lihat kalung itu!"
Tentu saja Toat-beng Yok-mo sudah melihat kalung mutiara besar-besar yang tergantung di leher burung itu pula. Akan tetapi sudah tentu saja dia tidak ambil peduli. Ada yang punya atau tidak, burung ini harus ia tangkap, ia bunuh untuk diambil jantung dan otaknya. Ia memperhebat permainan tongkatnya dan semakin lama ia bersilat, ia merasa bahwa kekuatannya mulai pulih kembali. Burung itu pun mulai menjadi marah sekali. Apa lagi ketika ia meiihat Kun Hong datang berlari-lari, dianggapnya bahwa tentu ia akan dikeroyok. Ia memekik keras dan menerjang Yok-mo dengan serbuan yang dahsyat sekali.
Yok-mo juga kaget, tak menduga bahwa burung itu dapat melakukan serangan demikian hebatnya. Dalam kegugupannya melihat sepasang sayap berikut sepasang cakar serta sebuah paruh yang kuat dan runcing itu sekaligus menyerangnya, Yok-mo cepat memutar tongkatnya untuk melindungi diri. Akan tetapi, secara aneh sekali cakar kiri burung itu dapat menyelinap di antara gulungan sinar tongkatnya dan mencengkeram ke arah muka Yok-mo.
"Mati aku...!" Yok-mo berteriak kaget dan ia menjadi nekat.
Ia menarik tongkatnya itu lalu ia tusukkan ke arah kaki berkuku runcing mengerikan yang hendak mencengkeram mukanya. Tepat sekali ujung tongkatnya menusuk telapak kaki burung itu. Akan tetapi, pada saat itu pula sayap kanan burung itu menghantam kepala dan pundaknya.
"Blukkk!"
Tubuh Toat-beng Yok-mo terlempar jauh dan kakek ini lantas roboh pingsan. Bukan main hebatnya hantaman sayap tadi yang akan dapat menghancurkan kepala seekor harimau. Burung itu menjerit-jerit kesakitan dan anehnya, kaki kirinya menjadi putih sekali seperti kaki mati. Dalam kesakitan itu ia menjadi makin marah dan segera ia melompat ke arah tubuh Yok-mo.
"Hee... jangan... dia sudah kalah, jangan kau serang lagi!" Kun Hong berteriak mencegah sambil menghadang di antara Yok-mo dan burung itu.
Kebetulan sekali tadi tubuh Yok-mo terlempar ke arahnya sehingga ia dapat mendahului burung itu dan menghadang di tengah jalan sambil mengacungkan tabung bambu untuk menakuti. Akan tetapi burung itu mana takut terhadap Kun Hong? Ia memekik keras dan menerjang. Sebelum Kun Hong tahu apa yang terjadi, dia merasa tubuhnya melayang ke atas dan kiranya baju pada punggungnya telah dicengkeram oleh kaki kanan burung itu dan dibawa terbang tinggi!
Dulu, di waktu ia dikerek oleh Li Eng ke atas sebatang pohon tinggi, ia sudah ketakutan sekali. Sekarang ia dibawa terbang jauh lebih tinggi lagi di atas pohon-pohon yang paling tinggi, bagaimana ia tidak akan ketakutan setengah mati? Melihat pohon-pohon yang ada di bawahnya makin lama makin kecil, Kun Hong berteriak-teriak.
"Heee... lepaskan aku... ehh, jangan lepas… jangan lepas! Kau... turunkanlah aku, burung yang baik..."
Akan tetapi jawaban burung itu hanya memekik-mekik marah dan kesakitan. Mendengar ini, Kun Hong teringat bahwa burung itu terluka kaki kirinya. Ia memandang dan melihat betapa kaki kiri burung itu berubah putih semua, seputih kukunya. Ia teringat akan tabung yang masih dipegangnya. Cepat ia membuka sumbat tabung itu dan berkata, "Kau terluka oleh tongkat Yok-mo, lekas kau minumlah sedikit darah katak putih di dalam tabung ini..."
Baru saja dia berkata demikian, dia melihat bayangan putih melompat keluar dari dalam tabung. Kun Hong kaget sekali sampai tabung kosong itu terlepas dari tangannya. "Celaka... dia terlepas lagi..."
Akan tetapi burung itu segera berbunyi nyaring. Tubuhnya menyambar ke depan sampai Kun Hong merasa matanya berkunang karena tubuhnya sendiri pun terbawa melayang cepat ke depan. Dengan paruhnya yang runcing dan terbuka lebar, burung itu mematuk katak yang tadi melompat keluar dari dalam tabung, kemudian langsung menelan katak itu sehingga binatang kecil itu lenyap ke dalam perutnya!
Kembali ia melengking girang sampai berkali-kali. Tiba-tiba ia melepaskan cengkeraman kakinya pada baju Kun Hong. Setelah dilepaskan, tentu saja tubuh pemuda ini melayang ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia merasa makin ketakutan.
"Waah...!" teriaknya ketika makin lama semakin cepatlah tubuhnya meluncur ke bawah, disambut pohon-pohon yang makin membesar dan kelihatan mengerikan sekali.
Tiba-tiba Kun Hong yang sudah setengah pingsan itu merasa tubuhnya terapung lagi ke atas, tertahan luncurannya ke bawah tadi. Kiranya burung itu sudah menangkapnya lagi dan mencengkeram bajunya dengan tepat. Kemudian perlahan-lahan burung itu melayang turun dan sesampainya di atas tanah ia melepaskan Kun Hong. Kun Hong yang tadinya sudah ketakutan dan tidak mengharapkan akan dapat hidup lagi, serta merta memeluk burung itu.
"Kim-tiauw-heng (Kakak Rajawali Emas) yang baik, kau telah menolong nyawaku. Terima kasih!" Ia menjura di depan burung itu seolah-olah ia sedang berhadapan dengan seorang manusia!
Aneh sekali! Burung itu mengeluarkan bunyi mencicit dan... segera berlutut kemudian mendekam di depan Kun Hong. Ketika pemuda ini dengan terheran-heran melihat dengan teliti, ternyata bahwa kaki kiri burung itu sudah pulih menjadi merah seperti sedia kala. Ia menengok ke kanan kiri mencari-cari, akan tetapi ternyata Toat-beng Yok-mo telah lenyap bersama tongkat dan buntalan pakaiannya.
"Dia sudah dapat berjalan sendiri, mengapa selama ini menipu?" Gemas juga kalau ia teringat betapa setiap hari ia harus menggendong kakek itu yang sebetulnya malah lebih kuat dari padanya.
"Kim-tiauw-heng, kau datang dari manakah? Aku suka sekali kepadamu, kau baik dan mengenal budi orang, tidak seperti Toat-beng Yok-mo yang hati dan pikirannya penuh terisi kehendak jahat. Kim-tiauw-heng, kau tentu milik seorang gagah, siapakah pemilikmu dan di mana tempat tinggalmu?"
Burung itu mengeluarkan bunyi mencicit lagi, kemudian dia maju mendekati Kun Hong. Dengan lehernya yang berbulu halus dan hangat itu ia membelai leher Kun Hong, lalu ia berlutut dan dari belakang menyelinapkan kepalanya di bawah kedua kaki pemuda itu. Dengan begini maka Kun Hong duduk pada punggungnya, lalu burung itu menggerakkan kedua sayapnya membawa Kun Hong terbang lagi!
"Heee... bagaimana ini... aduh, aku bisa jatuh...!” Kun Hong panik lagi dan ketakutan.
Akan tetapi karena burung itu terbang perlahan dan tubuhnya sama sekali tak bergoyang, Kun Hong akhirnya dapat duduk dengan enak. Ia mulai menyesuaikan, malah ia segera berpegang pada kalung yang melingkari leher burung itu. Makin lama burung itu terbang makin tinggi, berputaran di atas hutan itu dan makin memuncak pula ketakutan Kun Hong.
Akan tetapi segera ia tertarik oleh pemandangan di bawah dan tak terasa lagi mulutnya berseru kegirangan. "Aduh... bagus sekali, betapa indahnya pemandangan alam di bawah itu. Hee, hati-hati Kim-tiauw-heng, jangan sampai aku jatuh!"
Demikianlah, di antara rasa takut dan rasa girang serta kekaguman melihat keindahan pemandangan di bawah, Kun Hong tak berdaya membiarkan dirinya dibawa terbang oleh burung rajawali emas yang aneh itu. Mudah saja diduga burung apakah yang telah membawa terbang Kun Hong itu. Memang dugaan Toat-beng Yok-mo tidak keliru bahwa burung seperti itu tak ada dicari keduanya di dunia ini. Burung itu bukan lain adalah burung rajawali emas sakti, yang pernah kita kenal sebagai burung tunggangan Kwa Hong, juga burung yang secara tidak langsung menjadi guru dari Kwa Hong.
Seperti telah kita ketahui bahwa tujuh belas tahun yang lalu, pada saat Kwa Hong untuk penghabisan kali mendatangi Hoa-san-pai dan hendak membunuh Thio Ki, dia bertemu muka dengan ayahnya, Kwa Tin Siong sehingga hampir saja ia tewas karena membiarkan dirinya diserang oleh ayahnya yang marah itu.
Burung rajawali emas menolongnya dan membawanya pergi, kembali ke tempat ia semula tinggal, yaitu di puncak Pegunungan Lu-liang-san. Semenjak itu, Kwa Hong tidak berani lagi memperlihatkan mukanya di dunia ramai. Ketika ia pergi ke Hoa-san itu, ia pun meninggalkan puteranya yang baru berusia setahun dalam asuhan seorang inang pengasuh yang ia dapatkan dari penduduk di kaki Gunung Lu-liang-san. Semenjak saat itu, Kwa Hong berdiam di Lu-liang-san, jauh dari keramaian dunia dan agaknya sudah tak mau mengurus persoalan duniawi lagi. Semua perhatiannya ia tumpahkan kepada puteranya yang ia beri nama Sin Lee.
Betapa pun juga, wanita ini belum juga dapat melupakan cinta kasih terhadap Beng San berikut perasaan iri hati dan cemburu terhadap wanita yang telah berhasil menjadi isteri kekasihnya itu. Oleh karena ini pula ia tekun mendidik puteranya itu yang semenjak kecil sudah dilatihnya dengan ilmu silat sehingga semenjak kecilnya Sin Lee menjadi seorang anak laki-laki yang bertubuh kuat dan bertenaga besar.
Sudah menjadi sifat pembawaan bahwa anak laki-laki lebih nakal dari pada anak-anak perempuan karena anak laki-laki pada umumnya lebih bandel dan lebih berani. Kenakalan anak laki-laki bisa dikendalikan oleh perhatian orang tuanya yang mendidik dan menuntun agar kebandelan dan keberanian ini menjurus kepada kebenaran.
Akan tetapi Kwa Hong yang mendidik anaknya seorang diri tanpa disertai suami, hanya mencurahkan perhatian kepada ilmu silat saja, malah terlalu memanjakan puteranya. Hal inilah kiranya yang menjadi sebab hingga Sin Lee menjadi seorang anak yang luar biasa nakalnya, luar biasa berani dan nekatnya. Tidak ada orang di dunia ini yang ditakutinya, dan satu-satunya orang yang kiranya akan ia takuti, yaitu ibunya, terlalu menyayangnya sehingga ia menjadi seorang anak yang tak kenal takut lagi.
Anak yang masih kecil ini kalau tidak bermain-main dengan burung rajawali emas, tentu pergi jauh ke bawah gunung dan bermain-main dengan anak-anak penduduk di situ. Dan sebentar saja semua anak sudah takut kepadanya karena siapa yang tidak mau menuruti kehendaknya tentu dipukulnya. Bahkan setelah ia berusia sepuluh tahun, tak seorang pun laki-laki dewasa berani menentangnya. Kalau ada yang menentang, biar orang tua akan ia pukul.
Mula-mula, pada waktu ia masih belum kuat benar, orang-orang itu takut mengganggunya karena takut kepada Toanio (Nyonya besar) yang tinggal di puncak. Akan tetapi setelah Sin Lee menjadi seorang anak yang benar-benar memiliki kepandaian silat yang hebat, orang-orang takut kepadanya karena memang takut dipukuli oleh anak yang luar biasa itu.
Sudah terlalu sering Sin Lee membuat gara-gara. Apa bila tidak memukul orang, ia tentu menyerang kampung lain yang belum dikenalnya dan memaksa orang-orang kampung itu mengakui dia sebagai ‘jagoan cllik’ yang tak terkalahkan!
Pada suatu hari ia malah membikin ribut di sebuah kelenteng yang berada di kaki gunung sebelah timur. Kelenteng tua ini hanya ditinggali oleh lima orang hwesio dan menjadi tempat sembahyang para penduduk kampung di sekitar kaki Gunung Lu-liang-san.
Lima orang hwesio ini hidup dengan aman dan tenteram. Setiap hari mereka bekerja di ladang, menanam sayur-sayuran atau buah-buahan untuk bahan makanan mereka dan melayani setiap keperluan bersembahyang dari penduduk. Karena tidak ada pekerjaan lain, maka tanaman sayuran mereka terpelihara baik dan ladang sayuran hwesio-hwesio itu terkenal sebagai ladang sayuran yang paling subur dan menghasilkan sayur-sayuran pilihan.
Pada suatu hati yang cerah, seorang hwesio tinggi besar tengah bekerja di ladang sayur itu dengan wajah berseru gembira. Betapa tidak? Ladang itu ditumbuhi bermacam-macam sayur yang sangat subur, juga buah labu yang sudah dekat masanya dipetik, besar-besar dan gemuk-gemuk menyenangkan. Hwesio itu tengah bekerja mencabuti rumput liar yang mengganggu kesuburan tanaman.
Tiba-tiba serombongan anak-anak berusia antara sepuluh sampai tiga belas tahun, semua laki-laki, muncul dari lereng gunung. Jumlah mereka ada sekitar lima belas orang dan kelihatannya nakal-nakal. Setelah dekat dengan ladang itu, kemudian terdengar mereka berteriak-teriak.
"Lo-suhu, minta labunya!"
"Lo-suhu, berilah kami seorang satu!"
Simpang siur anak-anak itu berteriak-teriak sambil tertawa-tawa.
Hwesio tinggi besar itu bangkit berdiri menoleh dan dengan muka sabar ia tersenyum lalu menjawab, "Belum waktunya, anak-anak. Labu-labu ini belum waktunya dipetik.. Nanti apa bila pinceng panen labu, tentu selebihnya pinceng bagi-bagikan kepada orang tua kalian, sudahlah, main-main ke sana, jangan mengganggu pinceng yang sedang bekerja."
Seperti telah diatur sebelumnya, anak-anak itu segera berteriak-teriak.
"Hwesio pelit!"
"Hwesio medit, kikir!"
Hwesio itu diam saja, tidak ambil peduli dan mulai bekerja lagi mencabuti rumput-rumput liar. Anak-anak itu makin berani, malah ada yang memaki-makinya.
"Kalau malam babi-babi hutan mengambil labu kau diam saja, tapi kalau kami yang minta tidak diberi. Dasar hwesio busuk!" terdengar suara seorang anak.
Hwesio itu kembali berdiri. Keningnya berkerut ketika ia memandang kumpulan anak-anak nakal itu.
"Hemmm, karena mereka itu babi hutan termasuk golongan binatang maka mereka tidak mengenal aturan dan makan apa saja yang ada karena mereka lapar. Akan tetapi kalian adalah anak manusia, mengerti aturan. Apakah kalian mau jika pinceng samakan dengan anak-anak babi hutan?"
"Ahh.. hwesio pelit. Banyak alasan untuk menutupi kepelitannya!" anak-anak itu ribut-ribut lagi, mengejek dan memaki.
Sesabar-sabarnya orang, namun menghadapi ejekan dan makian anak-anak ini memang merupakan ujian berat. Jarang sekali ada orang mampu mempertahankan kesabarannya.
Hwesio itu mulai membelalakkan kedua matanya. Akan tetapi karena ia masih ingat akan kesabaran, maka ia pun bertanya, "Anak-anak, kalian minta labu untuk apakah? Apakah kalian lapar dan hendak memakannya?"
"Aku mau yang bundar untuk main bola!"
"Aku yang panjang untuk bikin kereta!"
Hwesio itu menjadi marah. "Enak saja kalian bicara! Pinceng menanam sayur dan labu untuk bahan makan, bukan untuk main-main. Hayo kalian pergi, tidak boleh minta labu!"
Kembali anak-anak itu memaki-maki, tetapi hwesio itu tidak mempedulikan mereka lagi, malah melanjutkan pekerjaannya. Sekarang ia ke ladang sayur-sayuran untuk memeriksa kalau-kalau sayur-sayurnya dihinggapi ulat. Kesempatan ini dipergunakan oleh anak-anak nakal itu untuk menyerbu ladang dan mengambil labu yang besar-besar.
"Ehh, anak-anak nakal, kalian tiada bedanya dengan babi hutan!"
Hwesio itu melompat dan menampar anak-anak yang dekat dengannya. Anak-anak itu berteriak-teriak, ada yang menangis dan mereka berserabutan lari.
"Kalian perlu dihajar supaya kelak tidak menjadi manusia-manusia berwatak babi hutan!" hwesio itu masih memaki sambil menempiling anak-anak yang terdekat.
Pada waktu itu, sesosok bayangan berkelebat di belakangnya dibarengi bentakan suara anak-anak, "Hwesio gundul, berani kau memukuli teman-temanku?"
Hwesio itu kaget sekali. Akan tetapi ia tak sempat membalikkan tubuhnya sebab tiba-tiba bayangan yang ternyata adalah Sin Lee anak berusia sepuluh tahun itu sudah menampar kepalanya yang gundul. Walau pun hanya tamparan seorang anak kecil, namun karena tamparan itu menggunakan gerakan ilmu silat dan tangan anak itu semenjak kecil sudah terlatih, hwesio ini menjadi pening dan terhuyung-huyung lalu roboh tertelungkup.
Sin Lee berseru girang dan menindih tubuh hwesio yang tertelungkup di atas tanah itu dan memukulinya. Malah ia berteriak-teriak, "Kawan-kawan, hayo kalian hajar hwesio ini!"
Anak-anak yang tadi berlari serabutan, sekarang dengan girang lalu datang dan dengan tangan-tangan kecil mereka anak-anak itu memukuli tubuh dan kepala hwesio tadi! Tentu saja hwesio yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat itu tak merasakan pukulan anak-anak itu. Akan tetapi pukulan yang jatuh oleh tangan Sin Lee benar-benar membuat ia luka-luka parah juga sehingga membuat ia pingsan.
"Omitohud... anak-anak, jangan nakal!" tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Nampak seorang hwesio tua menggerakkan dua lengan bajunya ke arah anak-anak yang memukuli hwesio tinggi besar tadi. Lima orang anak langsung terlempar, kemudian jatuh bergulingan. Mereka menangis, lalu semua orang anak itu berlari pergi.
Hwesio tua itu terheran-heran melihat seorang anak kecil tidak bergeming oleh sambaran lengan bajunya tadi, malah sekarang anak itu sudah meloncat bangun dan berdiri tegak di depannya dengan mata bersinar-sinar marah!
"Hwesio tua! berani kau memukul teman-temanku? Tidak malukah kau? Aturan mana yang membolehkan orang tua seperti kau ini memukul anak-anak kecil?"
Diam-diam hwesio tua itu tertegun. Ucapan anak nakal berusia antara sepuluh tahun ini tidak patut keluar dari mulut seorang anak sekecil ini. Dan melihat keadaan muridnya yang pingsan itu sudah dapat diduga bahwa tentulah anak ini yang merobohkannya. Diam-diam ia heran dan kagum.
Jika anak sekecil ini bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu, apa lagi dapat merobohkan muridnya, sudah dapat dipastikan bahwa anak ini bukanlah anak sembarangan dan kalau bukan putera tentulah murid seorang pandai. Maka berhati-hatilah kakek itu dan sambil tersenyum sabar ia bertanya,
"Ehh, anak yang baik, kalau kau bilang bahwa seorang kakek seperti pinceng memberi penghajaran kepada anak-anak nakal adalah tidak menurut aturan, apakah kau bersama teman-temanmu yang menyerang dan memukul seorang hwesio sampai pingsan ini juga termasuk aturan benar?"
"Tentu saja benar! Tadi hwesio ini tidak mau memberi labu kepada anak-anak dan ketika anak-anak mengambil sendiri, malah dia pukul."
Kembali hwesio tua itu melengak. Memang amat tidak patut apa bila anak-anak kecil itu mengeroyok dan memukuli muridnya, akan tetapi lebih keterlaluan lagi kalau muridnya itu yang telah menjadi hwesio, berurusan dengan anak-anak kecil saja tak mampu menahan nafsu dan menggunakan tangan memukul.
Dia menarik napas panjang memandang muridnya. Sebagai seorang ahli silat yang sudah matang kepandaiannya, ia mengerti bahwa biar pun mukanya matang biru dan kepalanya benjol-benjol, muridnya itu hanya terluka di luar saja dan tidak berbahaya.
"Sudahlah, jika betul murid pinceng ini yang salah, pinceng yang memintakan maaf. Kau pergilah."
"Tidak bisa!" Sin Lee membantah. "Kau pun tadi sudah mempergunakan kepandaianmu memukul teman-temanku. Kau mengandalkan kegagahan sendiri, apa kaukira aku takut?"
Merah muka kakek itu. Anak ini benar-benar aneh dan liar silatnya.
"Hemm... hemmm... kalau begitu kau mau apakah?"
"Aku harus balas memukulmu."
"Begitu? Kau benar-benar nekat. Nah, kau boleh coba pukul kalau bisa, anak bandel."
Sin Lee mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya seperti seekor burung saja menerjang maju. Dua kepalannya yang kecil memukul bertubi-tubi dari kanan kiri, sulit diketahui yang mana yang betul-betul memukul dan sementara itu, kedua kakinya menendang-nendang.
"Omitohud..." hwesio tua itu menyebut nama Buddha saking merasa kagum dan heran serta kagetnya.
Akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan bajunya saja tubuh Sin Lee terguling seperti tertiup angin puyuh. Sebentar Sin Lee nanar, akan tetapi dia segera merangkak bangun. Ia kembali menyerang, malah lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi kembali ia terguling, bahkan lebih hebat lagi.
Beberapa kali ia bangun dan menyerang lagi, akan tetapi semakin keras ia menyerang, semakin keras pula ia roboh sehingga akhirnya ia menyerah. Ia maklum bahwa ia tidak mampu menandingi kakek tua itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia bangun setelah agak lama ia nanar, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
"Hee... anak yang aneh, kau tunggu dulu, aku hendak bicara denganmu!" Hwesio tua itu mengejar.
Tiba-tiba Sin Lee membalikkan tubuh, sikapnya angkuh dan matanya berapi.
"Aku sudah kalah, kenapa kau masih banyak cerewet lagi?" Setelah berkata demikian ia mengeluarkan bunyi melengking keras.
Pada saat itu juga dari udara terdengar bunyi lengking yang lebih nyaring lagi dan seekor burung menyambar turun seperti kilat menyambar. Sin Lee meloncat ke atas punggung burung itu yang segera terbang meninggi, meninggalkan kakek tua itu yang masih berdiri terlongong di bawah.
"Omitohud... apakah itu yang oleh orang-orang disebut kim-tiauw milik orang sakti yang dipanggil toanio dan anak itu, kiranya puteranya... benarkah di dunia ada hal seaneh dan sehebat ini...?” Ia menarik nafas berulang-ulang dan diam-diam dia menguatirkan bahwa kelak di dunia kang-ouw pasti akan muncul seorang tokoh luar biasa, yaitu bocah tadi.
“Semoga ia tidak tersesat..." demikian doanya.
Betapa pun juga nakalnya, Sin Lee memiliki watak gagah yang jarang terdapat dalam diri anak kecil berusia sepuluh tahun. Contohnya, kekalahan terhadap hwesio tua itu sama sekali tidak ia beri tahukan kepada ibunya. Ia tidak mendendam malah tidak ada dalam pikirannya sama sekali pada waktu itu untuk minta bantuan burungnya. Juga ia tidak mau minta ibunya supaya membalaskan kekalahannya.
Banyak sekali kenakalan dilakukan oleh Sin Lee, akan tetapi semenjak kekalahannya oleh kakek itu, ia mendapat pengalaman pahit sekali. Belum pernah ia mengalami kekalahan dalam perkelahian, maka semenjak ia kalah oleh kakek tua itu, ia makin tekun belajar ilmu silat dari ibunya. Tentu saja Kwa Hong yang tidak menyangka sesuatu, menjadi gembira sekali dan menurunkan seluruh kepandaiannya.
Watak keras yang dulu dimiliki Kwa Hong kiranya menurun pula kepada Sin Lee, malah lebih hebat lagi. Ketika ia berusia enam belas tahun, Sin Lee melakukan perbuatan yang amat merugikan dia sendiri dan ibunya.
Sudah menjadi kebiasaan binatang peliharaan, sekali-kali tentu ingin bebas lepas tak ingin terganggu. Demikian pula burung rajawali emas. Meski pun kelihatan amat setia kepada Kwa Hong dan Sin Lee, namun ada kalanya burung ini terbang pergi sampai beberapa hari tidak kembali. Mungkin burung ini terbang untuk pergi mencari teman-temannya, atau mungkin juga mencari mangsa di tempat-tempat jauh.
Ini hanya dugaan Kwa Hong dan Sin Lee saja. Padahal sebenarnya burung itu sering kali pergi pulang ke tempat asalnya, yaitu di puncak sebuah gunung yang tak pernah didatangi manusia, tempat di mana ia tinggal sebelum ia bertemu dengan Kwa Hong dan kemudian dipeliharanya.
Pada suatu hari, seperti sudah sering kali tejadi, Sin Lee marah-marah karena rajawali itu tidak pulang. Sudah hampir sebulan rajawali itu tidak pulang dan telah payah pula Sin Lee mencari ke dalam hutan-hutan, bersuit-suit memanggil tanpa ada jawaban.
Pemuda berusia enam belas tahun ini sampai tak enak makan tak enak tidur memikirkan burungnya. Dan ia menjadi marah bukan main ketika pada suatu pagi, burung itu datang!
"Keparat, kau benar-benar menggemaskan!" kata Sin Lee yang menyambut kedatangan burungnya.
Tanpa banyak pikir lagi ia lalu... mencabuti bulu-bulu sayap burung itu. Bukan sekali-kali ia bermaksud untuk menyiksa, melainkan saking marahnya ia bermaksud untuk menghukum burung itu agar burung itu tidak mampu terbang lagi.
Burung adalah seekor binatang biasa. Kalau ia dibaiki tentu ia akan membalas kebaikan itu dengan kesetiaan. Akan tetapi kalau ia disakiti, siapa pun yang melakukannya tentu akan dilawannya.
Sekali dua kali bulunya dicabut ia diam saja, hanya memekik-mekik. Akan tetapi setelah Sin Lee terus saja mencabuti bulunya, ia menjadi marah dan menampar. Pemuda itu yang tidak menduga akan ditampar, terlempar tubuhnya.
"Setan, kau menantang berkelahi?”
Bagi Sin Lee, siapa pun yang menantangnya berkelahi pasti akan dilayani. Kemarahannya memuncak ketika burung yang ia anggap bersalah dan hendak ia hukum itu malah berani menyerangnya.
"Kita lihat siapa yang akan menang! Kalau aku kalah, aku tidak akan mencabuti bulumu, akan tetapi kalau kau yang kalah, tidak hanya sayapmu, malah ekormu akan kucabut habis untuk hukumanmu!" Kemudian ia menerjang maju, menyerang burungnya.
Sudah menjadi kebiasaan Kwa Hong di waktu Sin Lee masih kecil untuk melatih anaknya itu bertempur melawan rajawali, akan tetapi dalam latihan ini rajawali emas tak bertempur sungguh-sungguh. Betapa pun juga, makin besar anak itu, semakin hebat kepandaiannya dan akhirnya dalam setiap latihan, akhirnya burung itulah yang kalah. Sin Lee pun tidak mau menyakitinya, apa lagi membunuhnya, cukup dia dianggap menang kalau ia dapat menangkap leher burung dalam kempitannya membuat burung itu tak mampu bergerak lagi.
Akan tetapi sekarang keduanya berhadapan sebagai lawan yang sungguh-sungguh akan bertempur. Sin Lee dalam kemarahannya hendak menghukum burung yang dianggapnya jahat itu, sebaliknya rajawali emas itu dengan nalurinya merasa bahwa pemuda ini hendak berbuat jahat kepadanya, hendak menyakitinya, maka ia pun tidak mau main-main lagi.
Melihat penyerangan hebat dari Sin Lee, burung rajawali emas itu pun cepat mengelak dan mengibaskan sayapnya. Biar pun burung itu sudah termasuk berusia tua, akan tetapi tenaganya tidak berkurang semenjak dahulu. Kibasan sayapnya memiliki tenaga ratusan kati.
Sin Lee yang melihat tamparan sayap ini pun maklum bahwa burungnya tidak main-main, maka ia menjadi makin marah. Cepat tubuhnya berkelebat mengelak dan dengan keras ia memukul kepala binatang itu.
Gerakan rajawali emas tetap gesit. Serangan itu dapat ia elakkan pula dan dibalasnya dengan tendangannya yang biasanya hebat sekali. Namun Sin Lee yang sudah hafal akan semua gerakan burungnya, dapat menghindar.
Terjadilah pertandingan yang bukan main serunya. Tubuh burung dan manusia itu sama berkelebatan sampai tidak kelihatan lagi, hanya tampak gulungan sinar kuning emas dan bayangan-bayangan yang menjadi satu. Debu mengebul tinggi dan daun-daun pohon di dekat tempat pertandingan itu bergerak-gerak bagaikan tertiup angin, malah daun-daun yang sudah menguning pada rontok berhamburan.
Sejam lebih mereka bertempur, akhirnya burung itu harus mengakui keunggulan Sin Lee. Dua kali dadanya terkena pukulan dan segenggam bulu di lehernya sudah copot karena cengkeraman pemuda itu. Sambil mengeluarkan keluhan panjang burung itu lalu terbang pergi. Ia tidak mau turun kembali, biar pun dipanggil dan dimaki-maki oleh Sin Lee.
Kwa Hong menyesal sekali setelah mendengar tentang pertempuran ini. Dia mendapat kenyataan bahwa kali ini burung rajawali itu benar-benar tak mau pulang ke Lu-liang-san. Akan tetapi Sin Lee tidak pernah memperlihatkan rasa sesalnya.
"Bila dia tidak mau lagi ikut kita, kenapa kita harus menyesal? Biarlah dia tidak kembali lagi, tidak apa-apa."
"Lee-ji, kenapa kau berkata begini? Burung itu sudah belasan tahun ikut dengan aku, aku sayang padanya dan... ah, bukankah kalau ada dia mudah sekali kita hendak pergi ke mana-mana? Dia adalah seekor binatang tunggangan yang jarang ada keduanya di dunia ini."
"Aku masih mempunyai kedua kakiku, kalau tidak ada dia, aku dapat pergi ke mana saja dengan jalan kaki. Ibu, bukankah ibu sering kali mengatakan bahwa hidup di dunia ini terutama sekali harus mengandalkan diri sendiri dan tidak boleh bersandar kepada orang lain?"
Kwa Hong telalu menyayangi puteranya, maka dia pun tidak tega untuk memarahinya. Diam-diam ia girang karena anaknya ini ternyata mendapatkan kemajuan pesat sehingga burung rajawali emas yang tidak mudah dikalahkan orang itu akhirnya kalah juga ketika menghadapi puteranya. Maka, ia kemudian lebih tekun menggembleng Sin Lee sehingga akhirnya dia sendiri dengan pedang di tangan kanan dan cambuk anak panah di tangan kiri tidak mampu menandingi pedang puteranya, lebih dari lima puluh jurus!
Usia Sin Lee sudah delapan belas tahun ketika Kwa Hong membuka rahasia hatinya yang terpendam selama belasan tahun ini.
"Lee-ji puteraku sayang, kau sekarang telah mewarisi semua kepandaian ibumu, dan kau sudah terlalu besar untuk tinggal terus di puncak gunung ini. Sudah tiba waktunya kau harus turun gunung memperluas pengetahuan dan... mencari jodoh."
"Aku tidak inginkan jodoh!" Sin Lee memotong cepat dengan kedua pipinya kemerahan.
Ibunya memandang penuh kasih, dengan mata berseri-seri sambil tersenyum. Alangkah tampan puteranya, melampaui Beng San! Teringat Beng San, jantungnya berdebaran dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu dan perasaannya menjadi panas.
"Dengar, puteraku. Dulu kau sering kali menanyakan ayahmu dan selalu kujawab bahwa ayahmu telah mati. Itu memang benar, akan tetapi baru sekarang hendak kuceritakan kepadamu sebab kematian ayahmu."
Sin Lee segera memandang ibunya dan mendengarkan penuh perhatian. Sejak kecil dia merasa berduka dan kecewa sekali mendengar bahwa ayahnya telah mati.
"Apakah sebab kematian ayahku, Ibu?" tanyanya mendesak.
Kwa Hong menarik napas panjang berulang-ulang, agaknya berat hendak mengeluarkan kata-kata. Akhirnya ia bicara dengan suara serak.
"Anakku..., ayahmu she Tan jadi namamu Tan Sin Lee. Ada pun kematian ayahmu tidak sewajarnya, melainkan dibunuh orang."
Tldak ada reaksi apa-apa pada pemuda itu. Memang Sin Lee aneh orangnya. Ia tidak bisa menaruh hati dendam karena selama ia hidup di gunung itu ia tidak pernah menghadapi sesuatu dan segala peristiwa yang menimpa siapa pun juga ia anggap sudah sewajarnya, pasti ada sebab menjadikan peristiwa itu.
Umpamanya ketika ia kalah oleh hwesio tua, ia anggap hal itu terjadi karena ia memang kalah pandai dan habis perkara. Ia tidak menaruh dendam. Dan kini, mendengar ayahnya mati dibunuh orang, otomatis ia menganggap bahwa ayahnya dibunuh akibat kalah dalam pertempuran, jadi menurut pendapatnya, ayahnya yang bersalah mengapa sampai kalah!
"Banyak orang yang membunuh ayahmu. Pertama-tama adalah seorang lelaki bernama... Tan Beng San!" ia berhenti sebentar dan menahan air matanya, memandang puteranya.
Sin Lee kelihatan mengerutkan keningnya karena terheran-heran. "Dia pun she Tan, Ibu? Bukankah orang yang sama she-nya itu berarti masih keluarga?"
"Tidak... tidak... banyak orang she-nya sama tapi bukan apa-apa," jawab Kwa Hong cepat.
"Hemmm, lalu siapa lagi, Ibu?"
"Orang ke dua adalah seorang wanita bernama Cia Li Cu, isteri dari Tan Beng San itu."
Ia memang sudah mendengar bahwa Beng San sudah menikah dengan Li Cu, maka dia menyebut nama wanita yang dibencinya karena iri hati dan cemburu ini.
"Ada pun orang ke tiga... dia adalah Song-bun-kwi Kwee Lun. Nah, tiga orang itulah yang telah membunuh ayahmu dan yang membuat ibumu hidup menderita. Kau harus mencari mereka. Kau bunuhlah Cia Li Cu dan Song-bun-kwi Kwee Lun, tapi... kau jangan bunuh Tan Beng San, kau tangkap saja dan kau seret dia ke sini!"
Sin Lee memandang ibunya dengan mata membelalak, "Kenapa, Ibu? Kenapa aku harus membunuh mereka? Mereka tidak mempunyai urusan apa-apa denganku."
Kwa Hong balas memandang dengan marah. "Apa?! Kau tidak mau mewakili ibumu untuk membalas sakit hati? Percuma sajakah aku mempunyai seorang anak laki-laki seperti kau, hidup menderita untukmu dan menurunkan semua kepandaianku untukmu?"
Sin Lee cepat-cepat memeluk ibunya yang telah menangis. "Sudahlah, Ibu. Sama sekali bukan begitu maksudku. Aku hanya menyatakan isi hatiku bahwa aku tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Akan tetapi jika Ibu memerintah anakmu ini, biar pun harus melawan naga berapi akan kujalani. Terangkanlah maksud Ibu bagaimana, anak akan segera melaksanakan semua kehendakmu."
Dengan terharu dan girang Kwa Hong memeluk puteranya, lalu berkata dengan sungguh-sungguh.
"Tugas yang kuserahkan kepadamu ini bukanlah tugas ringan, Anakku. Tiga orang yang kusebut-sebut tadi adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian luar biasa tingginya. Song-bun-kwi Kwee Lun adalah seorang kakek sakti yang kepandaiannya dahsyat sekali. Dia terkenal dengan ilmu pedangnya Yang-sin Kiam-sut dan suling tangisnya yang dapat melumpuhkan semangat lawan. Dahulu, Song-bun-kwi Kwee Lun ini adalah tokoh nomor satu dari barat. Nah, kau harus cari orang ini di puncak Min-san, bunuhlah dia karena dia telah menjadi sebab rusaknya kehidupan ibumu," sambil berkata demikian, dengan gemas Kwa Hong mengenangkan Bi Goat yang dianggap telah merampas cinta kasih Beng San.
Sekarang Bi Goat sudah meninggal dunia, maka ia anggap sudah semestinya kalau dia menyuruh puteranya membunuh kakek itu. Padahal ia mempunyai maksud lain dengan perintah ini. Ia tahu bahwa putera Bi Goat diambil oleh Song-bun-kwi maka mencari kakek itu berarti mencari putera Bi Goat dan Beng San!
"Kalau kau sudah bertemu dengan kakek itu, selain dia kau harus pula membinasakan seorang pemuda sebaya engkau yang menjadi cucunya atau putera seorang wanita bernama Bi Goat."
Sin Lee mengerutkan keningnya, di dalam hatinya sebetulnya ia tidak setuju dengan tugas membunuh-bunuhi orang yang sama sekali tak dikenalnya itu. Akan tetapi ia tidak mau mengecewakan hati ibunya, orang yang amat dikasihinya itu.
"Hemmm, jadi kakek itu tinggal di Min-san, Ibu? Lalu yang lain-lain itu tinggal di mana?"
"Orang yang harus kau bunuh lagi adalah Cia Li Cu. Kau harus sangat berhati-hati kalau berhadapan dengan dia ini. Dia adalah murid mendiang Raja Pedang. Ilmu pedangnya hebat sekali. Dia tinggal di Thai-san bersama... orang ke tiga itu, yang bernama Tan Beng San."
"Jadi Cia Li Cu itu isteri dari Tan Beng San?" tanya Sin Lee.
"...ehh, hemm... betul. Cia Li Cu harus kau bunuh. Kemudian kau seret Tan Beng San itu ke sini, kau hadapkan padaku. Ingat betul, jangan kau bunuh dia itu, boleh kau lukai kalau dia melawan, akan tetapi jangan sekali-kali kau bunuh. Aku yang hendak membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri!"
Melihat pandang mata dan gerakan tangan ibunya, diam-diam Sin Lee terkejut sekali. "Ibu, kenapa kau amat membenci Tan Beng San ini?"
Sampai lama Kwa Hong tak dapat menjawab. Mata yang tadinya bersinar ganas dan liar itu pelan-pelan melunak dan air matanya hampir menitik turun. Cepat-cepat ia mengusap kedua matanya, kemudian berkata perlahan, "Dia itulah yang menghancurkan hidupku, memaksa ibumu hidup menyendiri di puncak gunung ini. Kau harus berhasil menangkap dia, tak peduli apa pun yang terjadi. Dia harus kau tangkap, kau seret ke sini, Anakku..."
Suaranya ibunya yang penuh permohonan ini membanjirkan perasaan haru dan kasihan dalam dada Sin Lee. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan ibunya ini, apa pun yang akan terjadi dengan dirinya. "Ibu, agaknya aku akan berhasil menangkapnya dan menyeretnya ke depan kakimu. Akan tetapi... dia itu orang macam apakah?"
Kwa Hong menarik napas panjang. "Kau tidak boleh memandang rendah Song-bun-kwi Kwee Lun, kau harus berhati-hati terhadap Cia Li Cu. Akan tetapi menghadapi orang ini, Anakku... aku sungguh-sungguh sangsi apakah kau akan mampu melawannya. Dia itulah Raja Pedang sesungguhnya. Ilmu pedang serta ilmu silatnya luar biasa sekali, belum pernah aku melihat dia dikalahkan orang. Dia hebat... dia hebat..."
Kwa Hong merenung, wajahnya agak berseri. Bangkit kembali cinta kasihnya kalau dia merenungkan bekas kekasihnya itu. "Dia laki-laki hebat..." kembali ia berkata dan kali ini dengan keluhan.
Panas hati Sin Lee mendengar ini. Biasanya ibunya hanya menganggap bahwa dialah orang yang paling pandai di dunia ini, sekarang ibunya memuji seorang musuh! "Ibu, aku bersumpah akan menyeret Tan Beng San itu ke hadapan kakimu. Kalau belum terjadi hal ini, aku bersumpah tak akan kembali ke sini."
Sin Lee segera berkemas, membawa pedang pusaka pemberian ibunya dan membuntal pakaian serta membawa beberapa potong emas, lalu turun gunung. Kwa Hong mengantar puteranya sampai di lereng gunung dan membekalinya banyak nasihat dan memesannya agar berhati-hati.
Menurut pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, jantung burung rajawali emas dapat dibuat menjadi obat penguat tubuh yang luar biasa sedangkan otak burung itu dapat dibuat menjadi bahan obat terhadap bermacam-macam luka berbisa. Sekarang, tanpa terduga-duga olehnya, dia bertemu burung ini. Akan tetapi siapa sangka bahwa burung ini ternyata bukanlah burung biasa, gerakan-gerakannya hebat sekali bagai seorang ahli silat kelas tinggi!
Betapa pun juga, Yok-mo menjadi penasaran. Ia masih belum mau kalah. Mungkin karena tubuhnya masih belum pulih benar maka tenaganya berkurang dan kecepatannya pun tak seperti biasanya sehingga dua kali dia dibikin roboh oleh burung itu. Sekarang dia telah mengeluarkan tongkatnya, tongkat hitam yang selama ini dia sembunyikan saja di balik bajunya. Dengan kemarahan meluap-luap kakek ini lalu melompat maju dan menyerang burung itu dengan tongkat hitamnya.
Aneh sekali, burung itu agaknya tahu akan keampuhan tongkat hitam itu. Ia mengeluarkan bunyi melengking lalu terbang dan dari atas dia menyambar kepala Toat-beng Yok-mo. Kakek ini sudah siap sedia, cepat mengelak dan membalas dengan tusukan tongkatnya. Burung ini ternyata merasa gentar menghadapi tongkat hitam itu sehingga serangannya selalu gagal karena ia harus mengelak dari sambaran tongkat yang ampuh itu. Pertempuran itu menjadi seru sekali. Burung itu menang gesit, tapi dengan mengandalkan tongkatnya yang ditakuti lawannya, Yok-mo dapat mempertahankan dirinya, malah dapat balas menyerang dengan hebat.
Sementara itu, semenjak tadi Kun Hong melongo. Kagumnya bukan main melihat burung yang indah sekali, dengan bulu mengkilap berwarna kuning keemasan itu. Segera saja ia merasa suka dan sayang kepada binatang itu. Lebih-lebih kagumnya pada saat ia melihat betapa burung itu dengan mudah dapat membuat Toat-beng Yok-mo yang berkepandaian tinggi itu terguling-guling.
Pemuda ini sebetulnya mempunyai rasa kagum dan suka akan kegagahan sungguh pun ia benci sekali terhadap pembunuhan dan penyiksaan. Baginya, kegagahan seharusnya dipergunakan untuk menegakkan keadilan tanpa melakukan pembunuhan, cukup dengan mengalahkan yang jahat dan memaksanya kembali ke jalan benar.
Melihat burung indah itu mengalahkan Yok-mo, ia merasa kagum sekali. Akan tetapi rasa kekagumannya itu berubah menjadi kekuatiran besar saat Yok-mo mengeluarkan tongkat hitamnya yang mengerikan dan terjadi pertempuran seru antara dua lawan yang memiliki gerakan cepat sehingga membuat ia bingung memandangnya itu.
Karena tadi Kun Hong terpesona oleh keindahan burung dan sekarang menjadi bingung menyaksikan pertempuran mati-matian itu, tanpa disadari tiga jilid kitab yang dipegangnya itu ia masukkan dalam saku bajunya yang lebar. Ia lalu berdiri dan menyambar tabung bambu terisi katak putih. Hanya itulah yang akan dapat mengobati luka mengerikan yang diakibatkan oleh tongkat hitam itu, pikirnya. Sambil membawa tabung itu dia lalu berlari sambil berteriak, "Jangan bunuh burung itu, Yok-mo! Sayang sekali kalau sampai ia terluka...!"
Setelah dekat dengan tempat pertempuran, Kun Hong semakin suka dan kagum melihat burung itu yang memang indah luar biasa. Juga ia melihat adanya sebuah kalung mutiara tergantung di leher burung itu. Maka tahulah ia bahwa burung ini tentulah ada yang punya, tentu burung peliharaan orang. "Yok-mo, jangan bunuh dia, tentu ada pemiliknya. Lihat kalung itu!"
Tentu saja Toat-beng Yok-mo sudah melihat kalung mutiara besar-besar yang tergantung di leher burung itu pula. Akan tetapi sudah tentu saja dia tidak ambil peduli. Ada yang punya atau tidak, burung ini harus ia tangkap, ia bunuh untuk diambil jantung dan otaknya. Ia memperhebat permainan tongkatnya dan semakin lama ia bersilat, ia merasa bahwa kekuatannya mulai pulih kembali. Burung itu pun mulai menjadi marah sekali. Apa lagi ketika ia meiihat Kun Hong datang berlari-lari, dianggapnya bahwa tentu ia akan dikeroyok. Ia memekik keras dan menerjang Yok-mo dengan serbuan yang dahsyat sekali.
Yok-mo juga kaget, tak menduga bahwa burung itu dapat melakukan serangan demikian hebatnya. Dalam kegugupannya melihat sepasang sayap berikut sepasang cakar serta sebuah paruh yang kuat dan runcing itu sekaligus menyerangnya, Yok-mo cepat memutar tongkatnya untuk melindungi diri. Akan tetapi, secara aneh sekali cakar kiri burung itu dapat menyelinap di antara gulungan sinar tongkatnya dan mencengkeram ke arah muka Yok-mo.
"Mati aku...!" Yok-mo berteriak kaget dan ia menjadi nekat.
Ia menarik tongkatnya itu lalu ia tusukkan ke arah kaki berkuku runcing mengerikan yang hendak mencengkeram mukanya. Tepat sekali ujung tongkatnya menusuk telapak kaki burung itu. Akan tetapi, pada saat itu pula sayap kanan burung itu menghantam kepala dan pundaknya.
"Blukkk!"
Tubuh Toat-beng Yok-mo terlempar jauh dan kakek ini lantas roboh pingsan. Bukan main hebatnya hantaman sayap tadi yang akan dapat menghancurkan kepala seekor harimau. Burung itu menjerit-jerit kesakitan dan anehnya, kaki kirinya menjadi putih sekali seperti kaki mati. Dalam kesakitan itu ia menjadi makin marah dan segera ia melompat ke arah tubuh Yok-mo.
"Hee... jangan... dia sudah kalah, jangan kau serang lagi!" Kun Hong berteriak mencegah sambil menghadang di antara Yok-mo dan burung itu.
Kebetulan sekali tadi tubuh Yok-mo terlempar ke arahnya sehingga ia dapat mendahului burung itu dan menghadang di tengah jalan sambil mengacungkan tabung bambu untuk menakuti. Akan tetapi burung itu mana takut terhadap Kun Hong? Ia memekik keras dan menerjang. Sebelum Kun Hong tahu apa yang terjadi, dia merasa tubuhnya melayang ke atas dan kiranya baju pada punggungnya telah dicengkeram oleh kaki kanan burung itu dan dibawa terbang tinggi!
Dulu, di waktu ia dikerek oleh Li Eng ke atas sebatang pohon tinggi, ia sudah ketakutan sekali. Sekarang ia dibawa terbang jauh lebih tinggi lagi di atas pohon-pohon yang paling tinggi, bagaimana ia tidak akan ketakutan setengah mati? Melihat pohon-pohon yang ada di bawahnya makin lama makin kecil, Kun Hong berteriak-teriak.
"Heee... lepaskan aku... ehh, jangan lepas… jangan lepas! Kau... turunkanlah aku, burung yang baik..."
Akan tetapi jawaban burung itu hanya memekik-mekik marah dan kesakitan. Mendengar ini, Kun Hong teringat bahwa burung itu terluka kaki kirinya. Ia memandang dan melihat betapa kaki kiri burung itu berubah putih semua, seputih kukunya. Ia teringat akan tabung yang masih dipegangnya. Cepat ia membuka sumbat tabung itu dan berkata, "Kau terluka oleh tongkat Yok-mo, lekas kau minumlah sedikit darah katak putih di dalam tabung ini..."
Baru saja dia berkata demikian, dia melihat bayangan putih melompat keluar dari dalam tabung. Kun Hong kaget sekali sampai tabung kosong itu terlepas dari tangannya. "Celaka... dia terlepas lagi..."
Akan tetapi burung itu segera berbunyi nyaring. Tubuhnya menyambar ke depan sampai Kun Hong merasa matanya berkunang karena tubuhnya sendiri pun terbawa melayang cepat ke depan. Dengan paruhnya yang runcing dan terbuka lebar, burung itu mematuk katak yang tadi melompat keluar dari dalam tabung, kemudian langsung menelan katak itu sehingga binatang kecil itu lenyap ke dalam perutnya!
Kembali ia melengking girang sampai berkali-kali. Tiba-tiba ia melepaskan cengkeraman kakinya pada baju Kun Hong. Setelah dilepaskan, tentu saja tubuh pemuda ini melayang ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia merasa makin ketakutan.
"Waah...!" teriaknya ketika makin lama semakin cepatlah tubuhnya meluncur ke bawah, disambut pohon-pohon yang makin membesar dan kelihatan mengerikan sekali.
Tiba-tiba Kun Hong yang sudah setengah pingsan itu merasa tubuhnya terapung lagi ke atas, tertahan luncurannya ke bawah tadi. Kiranya burung itu sudah menangkapnya lagi dan mencengkeram bajunya dengan tepat. Kemudian perlahan-lahan burung itu melayang turun dan sesampainya di atas tanah ia melepaskan Kun Hong. Kun Hong yang tadinya sudah ketakutan dan tidak mengharapkan akan dapat hidup lagi, serta merta memeluk burung itu.
"Kim-tiauw-heng (Kakak Rajawali Emas) yang baik, kau telah menolong nyawaku. Terima kasih!" Ia menjura di depan burung itu seolah-olah ia sedang berhadapan dengan seorang manusia!
Aneh sekali! Burung itu mengeluarkan bunyi mencicit dan... segera berlutut kemudian mendekam di depan Kun Hong. Ketika pemuda ini dengan terheran-heran melihat dengan teliti, ternyata bahwa kaki kiri burung itu sudah pulih menjadi merah seperti sedia kala. Ia menengok ke kanan kiri mencari-cari, akan tetapi ternyata Toat-beng Yok-mo telah lenyap bersama tongkat dan buntalan pakaiannya.
"Dia sudah dapat berjalan sendiri, mengapa selama ini menipu?" Gemas juga kalau ia teringat betapa setiap hari ia harus menggendong kakek itu yang sebetulnya malah lebih kuat dari padanya.
"Kim-tiauw-heng, kau datang dari manakah? Aku suka sekali kepadamu, kau baik dan mengenal budi orang, tidak seperti Toat-beng Yok-mo yang hati dan pikirannya penuh terisi kehendak jahat. Kim-tiauw-heng, kau tentu milik seorang gagah, siapakah pemilikmu dan di mana tempat tinggalmu?"
Burung itu mengeluarkan bunyi mencicit lagi, kemudian dia maju mendekati Kun Hong. Dengan lehernya yang berbulu halus dan hangat itu ia membelai leher Kun Hong, lalu ia berlutut dan dari belakang menyelinapkan kepalanya di bawah kedua kaki pemuda itu. Dengan begini maka Kun Hong duduk pada punggungnya, lalu burung itu menggerakkan kedua sayapnya membawa Kun Hong terbang lagi!
"Heee... bagaimana ini... aduh, aku bisa jatuh...!” Kun Hong panik lagi dan ketakutan.
Akan tetapi karena burung itu terbang perlahan dan tubuhnya sama sekali tak bergoyang, Kun Hong akhirnya dapat duduk dengan enak. Ia mulai menyesuaikan, malah ia segera berpegang pada kalung yang melingkari leher burung itu. Makin lama burung itu terbang makin tinggi, berputaran di atas hutan itu dan makin memuncak pula ketakutan Kun Hong.
Akan tetapi segera ia tertarik oleh pemandangan di bawah dan tak terasa lagi mulutnya berseru kegirangan. "Aduh... bagus sekali, betapa indahnya pemandangan alam di bawah itu. Hee, hati-hati Kim-tiauw-heng, jangan sampai aku jatuh!"
Demikianlah, di antara rasa takut dan rasa girang serta kekaguman melihat keindahan pemandangan di bawah, Kun Hong tak berdaya membiarkan dirinya dibawa terbang oleh burung rajawali emas yang aneh itu. Mudah saja diduga burung apakah yang telah membawa terbang Kun Hong itu. Memang dugaan Toat-beng Yok-mo tidak keliru bahwa burung seperti itu tak ada dicari keduanya di dunia ini. Burung itu bukan lain adalah burung rajawali emas sakti, yang pernah kita kenal sebagai burung tunggangan Kwa Hong, juga burung yang secara tidak langsung menjadi guru dari Kwa Hong.
Seperti telah kita ketahui bahwa tujuh belas tahun yang lalu, pada saat Kwa Hong untuk penghabisan kali mendatangi Hoa-san-pai dan hendak membunuh Thio Ki, dia bertemu muka dengan ayahnya, Kwa Tin Siong sehingga hampir saja ia tewas karena membiarkan dirinya diserang oleh ayahnya yang marah itu.
Burung rajawali emas menolongnya dan membawanya pergi, kembali ke tempat ia semula tinggal, yaitu di puncak Pegunungan Lu-liang-san. Semenjak itu, Kwa Hong tidak berani lagi memperlihatkan mukanya di dunia ramai. Ketika ia pergi ke Hoa-san itu, ia pun meninggalkan puteranya yang baru berusia setahun dalam asuhan seorang inang pengasuh yang ia dapatkan dari penduduk di kaki Gunung Lu-liang-san. Semenjak saat itu, Kwa Hong berdiam di Lu-liang-san, jauh dari keramaian dunia dan agaknya sudah tak mau mengurus persoalan duniawi lagi. Semua perhatiannya ia tumpahkan kepada puteranya yang ia beri nama Sin Lee.
Betapa pun juga, wanita ini belum juga dapat melupakan cinta kasih terhadap Beng San berikut perasaan iri hati dan cemburu terhadap wanita yang telah berhasil menjadi isteri kekasihnya itu. Oleh karena ini pula ia tekun mendidik puteranya itu yang semenjak kecil sudah dilatihnya dengan ilmu silat sehingga semenjak kecilnya Sin Lee menjadi seorang anak laki-laki yang bertubuh kuat dan bertenaga besar.
Sudah menjadi sifat pembawaan bahwa anak laki-laki lebih nakal dari pada anak-anak perempuan karena anak laki-laki pada umumnya lebih bandel dan lebih berani. Kenakalan anak laki-laki bisa dikendalikan oleh perhatian orang tuanya yang mendidik dan menuntun agar kebandelan dan keberanian ini menjurus kepada kebenaran.
Akan tetapi Kwa Hong yang mendidik anaknya seorang diri tanpa disertai suami, hanya mencurahkan perhatian kepada ilmu silat saja, malah terlalu memanjakan puteranya. Hal inilah kiranya yang menjadi sebab hingga Sin Lee menjadi seorang anak yang luar biasa nakalnya, luar biasa berani dan nekatnya. Tidak ada orang di dunia ini yang ditakutinya, dan satu-satunya orang yang kiranya akan ia takuti, yaitu ibunya, terlalu menyayangnya sehingga ia menjadi seorang anak yang tak kenal takut lagi.
Anak yang masih kecil ini kalau tidak bermain-main dengan burung rajawali emas, tentu pergi jauh ke bawah gunung dan bermain-main dengan anak-anak penduduk di situ. Dan sebentar saja semua anak sudah takut kepadanya karena siapa yang tidak mau menuruti kehendaknya tentu dipukulnya. Bahkan setelah ia berusia sepuluh tahun, tak seorang pun laki-laki dewasa berani menentangnya. Kalau ada yang menentang, biar orang tua akan ia pukul.
Mula-mula, pada waktu ia masih belum kuat benar, orang-orang itu takut mengganggunya karena takut kepada Toanio (Nyonya besar) yang tinggal di puncak. Akan tetapi setelah Sin Lee menjadi seorang anak yang benar-benar memiliki kepandaian silat yang hebat, orang-orang takut kepadanya karena memang takut dipukuli oleh anak yang luar biasa itu.
Sudah terlalu sering Sin Lee membuat gara-gara. Apa bila tidak memukul orang, ia tentu menyerang kampung lain yang belum dikenalnya dan memaksa orang-orang kampung itu mengakui dia sebagai ‘jagoan cllik’ yang tak terkalahkan!
Pada suatu hari ia malah membikin ribut di sebuah kelenteng yang berada di kaki gunung sebelah timur. Kelenteng tua ini hanya ditinggali oleh lima orang hwesio dan menjadi tempat sembahyang para penduduk kampung di sekitar kaki Gunung Lu-liang-san.
Lima orang hwesio ini hidup dengan aman dan tenteram. Setiap hari mereka bekerja di ladang, menanam sayur-sayuran atau buah-buahan untuk bahan makanan mereka dan melayani setiap keperluan bersembahyang dari penduduk. Karena tidak ada pekerjaan lain, maka tanaman sayuran mereka terpelihara baik dan ladang sayuran hwesio-hwesio itu terkenal sebagai ladang sayuran yang paling subur dan menghasilkan sayur-sayuran pilihan.
Pada suatu hati yang cerah, seorang hwesio tinggi besar tengah bekerja di ladang sayur itu dengan wajah berseru gembira. Betapa tidak? Ladang itu ditumbuhi bermacam-macam sayur yang sangat subur, juga buah labu yang sudah dekat masanya dipetik, besar-besar dan gemuk-gemuk menyenangkan. Hwesio itu tengah bekerja mencabuti rumput liar yang mengganggu kesuburan tanaman.
Tiba-tiba serombongan anak-anak berusia antara sepuluh sampai tiga belas tahun, semua laki-laki, muncul dari lereng gunung. Jumlah mereka ada sekitar lima belas orang dan kelihatannya nakal-nakal. Setelah dekat dengan ladang itu, kemudian terdengar mereka berteriak-teriak.
"Lo-suhu, minta labunya!"
"Lo-suhu, berilah kami seorang satu!"
Simpang siur anak-anak itu berteriak-teriak sambil tertawa-tawa.
Hwesio tinggi besar itu bangkit berdiri menoleh dan dengan muka sabar ia tersenyum lalu menjawab, "Belum waktunya, anak-anak. Labu-labu ini belum waktunya dipetik.. Nanti apa bila pinceng panen labu, tentu selebihnya pinceng bagi-bagikan kepada orang tua kalian, sudahlah, main-main ke sana, jangan mengganggu pinceng yang sedang bekerja."
Seperti telah diatur sebelumnya, anak-anak itu segera berteriak-teriak.
"Hwesio pelit!"
"Hwesio medit, kikir!"
Hwesio itu diam saja, tidak ambil peduli dan mulai bekerja lagi mencabuti rumput-rumput liar. Anak-anak itu makin berani, malah ada yang memaki-makinya.
"Kalau malam babi-babi hutan mengambil labu kau diam saja, tapi kalau kami yang minta tidak diberi. Dasar hwesio busuk!" terdengar suara seorang anak.
Hwesio itu kembali berdiri. Keningnya berkerut ketika ia memandang kumpulan anak-anak nakal itu.
"Hemmm, karena mereka itu babi hutan termasuk golongan binatang maka mereka tidak mengenal aturan dan makan apa saja yang ada karena mereka lapar. Akan tetapi kalian adalah anak manusia, mengerti aturan. Apakah kalian mau jika pinceng samakan dengan anak-anak babi hutan?"
"Ahh.. hwesio pelit. Banyak alasan untuk menutupi kepelitannya!" anak-anak itu ribut-ribut lagi, mengejek dan memaki.
Sesabar-sabarnya orang, namun menghadapi ejekan dan makian anak-anak ini memang merupakan ujian berat. Jarang sekali ada orang mampu mempertahankan kesabarannya.
Hwesio itu mulai membelalakkan kedua matanya. Akan tetapi karena ia masih ingat akan kesabaran, maka ia pun bertanya, "Anak-anak, kalian minta labu untuk apakah? Apakah kalian lapar dan hendak memakannya?"
"Aku mau yang bundar untuk main bola!"
"Aku yang panjang untuk bikin kereta!"
Hwesio itu menjadi marah. "Enak saja kalian bicara! Pinceng menanam sayur dan labu untuk bahan makan, bukan untuk main-main. Hayo kalian pergi, tidak boleh minta labu!"
Kembali anak-anak itu memaki-maki, tetapi hwesio itu tidak mempedulikan mereka lagi, malah melanjutkan pekerjaannya. Sekarang ia ke ladang sayur-sayuran untuk memeriksa kalau-kalau sayur-sayurnya dihinggapi ulat. Kesempatan ini dipergunakan oleh anak-anak nakal itu untuk menyerbu ladang dan mengambil labu yang besar-besar.
"Ehh, anak-anak nakal, kalian tiada bedanya dengan babi hutan!"
Hwesio itu melompat dan menampar anak-anak yang dekat dengannya. Anak-anak itu berteriak-teriak, ada yang menangis dan mereka berserabutan lari.
"Kalian perlu dihajar supaya kelak tidak menjadi manusia-manusia berwatak babi hutan!" hwesio itu masih memaki sambil menempiling anak-anak yang terdekat.
Pada waktu itu, sesosok bayangan berkelebat di belakangnya dibarengi bentakan suara anak-anak, "Hwesio gundul, berani kau memukuli teman-temanku?"
Hwesio itu kaget sekali. Akan tetapi ia tak sempat membalikkan tubuhnya sebab tiba-tiba bayangan yang ternyata adalah Sin Lee anak berusia sepuluh tahun itu sudah menampar kepalanya yang gundul. Walau pun hanya tamparan seorang anak kecil, namun karena tamparan itu menggunakan gerakan ilmu silat dan tangan anak itu semenjak kecil sudah terlatih, hwesio ini menjadi pening dan terhuyung-huyung lalu roboh tertelungkup.
Sin Lee berseru girang dan menindih tubuh hwesio yang tertelungkup di atas tanah itu dan memukulinya. Malah ia berteriak-teriak, "Kawan-kawan, hayo kalian hajar hwesio ini!"
Anak-anak yang tadi berlari serabutan, sekarang dengan girang lalu datang dan dengan tangan-tangan kecil mereka anak-anak itu memukuli tubuh dan kepala hwesio tadi! Tentu saja hwesio yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat itu tak merasakan pukulan anak-anak itu. Akan tetapi pukulan yang jatuh oleh tangan Sin Lee benar-benar membuat ia luka-luka parah juga sehingga membuat ia pingsan.
"Omitohud... anak-anak, jangan nakal!" tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Nampak seorang hwesio tua menggerakkan dua lengan bajunya ke arah anak-anak yang memukuli hwesio tinggi besar tadi. Lima orang anak langsung terlempar, kemudian jatuh bergulingan. Mereka menangis, lalu semua orang anak itu berlari pergi.
Hwesio tua itu terheran-heran melihat seorang anak kecil tidak bergeming oleh sambaran lengan bajunya tadi, malah sekarang anak itu sudah meloncat bangun dan berdiri tegak di depannya dengan mata bersinar-sinar marah!
"Hwesio tua! berani kau memukul teman-temanku? Tidak malukah kau? Aturan mana yang membolehkan orang tua seperti kau ini memukul anak-anak kecil?"
Diam-diam hwesio tua itu tertegun. Ucapan anak nakal berusia antara sepuluh tahun ini tidak patut keluar dari mulut seorang anak sekecil ini. Dan melihat keadaan muridnya yang pingsan itu sudah dapat diduga bahwa tentulah anak ini yang merobohkannya. Diam-diam ia heran dan kagum.
Jika anak sekecil ini bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu, apa lagi dapat merobohkan muridnya, sudah dapat dipastikan bahwa anak ini bukanlah anak sembarangan dan kalau bukan putera tentulah murid seorang pandai. Maka berhati-hatilah kakek itu dan sambil tersenyum sabar ia bertanya,
"Ehh, anak yang baik, kalau kau bilang bahwa seorang kakek seperti pinceng memberi penghajaran kepada anak-anak nakal adalah tidak menurut aturan, apakah kau bersama teman-temanmu yang menyerang dan memukul seorang hwesio sampai pingsan ini juga termasuk aturan benar?"
"Tentu saja benar! Tadi hwesio ini tidak mau memberi labu kepada anak-anak dan ketika anak-anak mengambil sendiri, malah dia pukul."
Kembali hwesio tua itu melengak. Memang amat tidak patut apa bila anak-anak kecil itu mengeroyok dan memukuli muridnya, akan tetapi lebih keterlaluan lagi kalau muridnya itu yang telah menjadi hwesio, berurusan dengan anak-anak kecil saja tak mampu menahan nafsu dan menggunakan tangan memukul.
Dia menarik napas panjang memandang muridnya. Sebagai seorang ahli silat yang sudah matang kepandaiannya, ia mengerti bahwa biar pun mukanya matang biru dan kepalanya benjol-benjol, muridnya itu hanya terluka di luar saja dan tidak berbahaya.
"Sudahlah, jika betul murid pinceng ini yang salah, pinceng yang memintakan maaf. Kau pergilah."
"Tidak bisa!" Sin Lee membantah. "Kau pun tadi sudah mempergunakan kepandaianmu memukul teman-temanku. Kau mengandalkan kegagahan sendiri, apa kaukira aku takut?"
Merah muka kakek itu. Anak ini benar-benar aneh dan liar silatnya.
"Hemm... hemmm... kalau begitu kau mau apakah?"
"Aku harus balas memukulmu."
"Begitu? Kau benar-benar nekat. Nah, kau boleh coba pukul kalau bisa, anak bandel."
Sin Lee mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya seperti seekor burung saja menerjang maju. Dua kepalannya yang kecil memukul bertubi-tubi dari kanan kiri, sulit diketahui yang mana yang betul-betul memukul dan sementara itu, kedua kakinya menendang-nendang.
"Omitohud..." hwesio tua itu menyebut nama Buddha saking merasa kagum dan heran serta kagetnya.
Akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan bajunya saja tubuh Sin Lee terguling seperti tertiup angin puyuh. Sebentar Sin Lee nanar, akan tetapi dia segera merangkak bangun. Ia kembali menyerang, malah lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi kembali ia terguling, bahkan lebih hebat lagi.
Beberapa kali ia bangun dan menyerang lagi, akan tetapi semakin keras ia menyerang, semakin keras pula ia roboh sehingga akhirnya ia menyerah. Ia maklum bahwa ia tidak mampu menandingi kakek tua itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia bangun setelah agak lama ia nanar, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
"Hee... anak yang aneh, kau tunggu dulu, aku hendak bicara denganmu!" Hwesio tua itu mengejar.
Tiba-tiba Sin Lee membalikkan tubuh, sikapnya angkuh dan matanya berapi.
"Aku sudah kalah, kenapa kau masih banyak cerewet lagi?" Setelah berkata demikian ia mengeluarkan bunyi melengking keras.
Pada saat itu juga dari udara terdengar bunyi lengking yang lebih nyaring lagi dan seekor burung menyambar turun seperti kilat menyambar. Sin Lee meloncat ke atas punggung burung itu yang segera terbang meninggi, meninggalkan kakek tua itu yang masih berdiri terlongong di bawah.
"Omitohud... apakah itu yang oleh orang-orang disebut kim-tiauw milik orang sakti yang dipanggil toanio dan anak itu, kiranya puteranya... benarkah di dunia ada hal seaneh dan sehebat ini...?” Ia menarik nafas berulang-ulang dan diam-diam dia menguatirkan bahwa kelak di dunia kang-ouw pasti akan muncul seorang tokoh luar biasa, yaitu bocah tadi.
“Semoga ia tidak tersesat..." demikian doanya.
Betapa pun juga nakalnya, Sin Lee memiliki watak gagah yang jarang terdapat dalam diri anak kecil berusia sepuluh tahun. Contohnya, kekalahan terhadap hwesio tua itu sama sekali tidak ia beri tahukan kepada ibunya. Ia tidak mendendam malah tidak ada dalam pikirannya sama sekali pada waktu itu untuk minta bantuan burungnya. Juga ia tidak mau minta ibunya supaya membalaskan kekalahannya.
Banyak sekali kenakalan dilakukan oleh Sin Lee, akan tetapi semenjak kekalahannya oleh kakek itu, ia mendapat pengalaman pahit sekali. Belum pernah ia mengalami kekalahan dalam perkelahian, maka semenjak ia kalah oleh kakek tua itu, ia makin tekun belajar ilmu silat dari ibunya. Tentu saja Kwa Hong yang tidak menyangka sesuatu, menjadi gembira sekali dan menurunkan seluruh kepandaiannya.
Watak keras yang dulu dimiliki Kwa Hong kiranya menurun pula kepada Sin Lee, malah lebih hebat lagi. Ketika ia berusia enam belas tahun, Sin Lee melakukan perbuatan yang amat merugikan dia sendiri dan ibunya.
Sudah menjadi kebiasaan binatang peliharaan, sekali-kali tentu ingin bebas lepas tak ingin terganggu. Demikian pula burung rajawali emas. Meski pun kelihatan amat setia kepada Kwa Hong dan Sin Lee, namun ada kalanya burung ini terbang pergi sampai beberapa hari tidak kembali. Mungkin burung ini terbang untuk pergi mencari teman-temannya, atau mungkin juga mencari mangsa di tempat-tempat jauh.
Ini hanya dugaan Kwa Hong dan Sin Lee saja. Padahal sebenarnya burung itu sering kali pergi pulang ke tempat asalnya, yaitu di puncak sebuah gunung yang tak pernah didatangi manusia, tempat di mana ia tinggal sebelum ia bertemu dengan Kwa Hong dan kemudian dipeliharanya.
Pada suatu hari, seperti sudah sering kali tejadi, Sin Lee marah-marah karena rajawali itu tidak pulang. Sudah hampir sebulan rajawali itu tidak pulang dan telah payah pula Sin Lee mencari ke dalam hutan-hutan, bersuit-suit memanggil tanpa ada jawaban.
Pemuda berusia enam belas tahun ini sampai tak enak makan tak enak tidur memikirkan burungnya. Dan ia menjadi marah bukan main ketika pada suatu pagi, burung itu datang!
"Keparat, kau benar-benar menggemaskan!" kata Sin Lee yang menyambut kedatangan burungnya.
Tanpa banyak pikir lagi ia lalu... mencabuti bulu-bulu sayap burung itu. Bukan sekali-kali ia bermaksud untuk menyiksa, melainkan saking marahnya ia bermaksud untuk menghukum burung itu agar burung itu tidak mampu terbang lagi.
Burung adalah seekor binatang biasa. Kalau ia dibaiki tentu ia akan membalas kebaikan itu dengan kesetiaan. Akan tetapi kalau ia disakiti, siapa pun yang melakukannya tentu akan dilawannya.
Sekali dua kali bulunya dicabut ia diam saja, hanya memekik-mekik. Akan tetapi setelah Sin Lee terus saja mencabuti bulunya, ia menjadi marah dan menampar. Pemuda itu yang tidak menduga akan ditampar, terlempar tubuhnya.
"Setan, kau menantang berkelahi?”
Bagi Sin Lee, siapa pun yang menantangnya berkelahi pasti akan dilayani. Kemarahannya memuncak ketika burung yang ia anggap bersalah dan hendak ia hukum itu malah berani menyerangnya.
"Kita lihat siapa yang akan menang! Kalau aku kalah, aku tidak akan mencabuti bulumu, akan tetapi kalau kau yang kalah, tidak hanya sayapmu, malah ekormu akan kucabut habis untuk hukumanmu!" Kemudian ia menerjang maju, menyerang burungnya.
Sudah menjadi kebiasaan Kwa Hong di waktu Sin Lee masih kecil untuk melatih anaknya itu bertempur melawan rajawali, akan tetapi dalam latihan ini rajawali emas tak bertempur sungguh-sungguh. Betapa pun juga, makin besar anak itu, semakin hebat kepandaiannya dan akhirnya dalam setiap latihan, akhirnya burung itulah yang kalah. Sin Lee pun tidak mau menyakitinya, apa lagi membunuhnya, cukup dia dianggap menang kalau ia dapat menangkap leher burung dalam kempitannya membuat burung itu tak mampu bergerak lagi.
Akan tetapi sekarang keduanya berhadapan sebagai lawan yang sungguh-sungguh akan bertempur. Sin Lee dalam kemarahannya hendak menghukum burung yang dianggapnya jahat itu, sebaliknya rajawali emas itu dengan nalurinya merasa bahwa pemuda ini hendak berbuat jahat kepadanya, hendak menyakitinya, maka ia pun tidak mau main-main lagi.
Melihat penyerangan hebat dari Sin Lee, burung rajawali emas itu pun cepat mengelak dan mengibaskan sayapnya. Biar pun burung itu sudah termasuk berusia tua, akan tetapi tenaganya tidak berkurang semenjak dahulu. Kibasan sayapnya memiliki tenaga ratusan kati.
Sin Lee yang melihat tamparan sayap ini pun maklum bahwa burungnya tidak main-main, maka ia menjadi makin marah. Cepat tubuhnya berkelebat mengelak dan dengan keras ia memukul kepala binatang itu.
Gerakan rajawali emas tetap gesit. Serangan itu dapat ia elakkan pula dan dibalasnya dengan tendangannya yang biasanya hebat sekali. Namun Sin Lee yang sudah hafal akan semua gerakan burungnya, dapat menghindar.
Terjadilah pertandingan yang bukan main serunya. Tubuh burung dan manusia itu sama berkelebatan sampai tidak kelihatan lagi, hanya tampak gulungan sinar kuning emas dan bayangan-bayangan yang menjadi satu. Debu mengebul tinggi dan daun-daun pohon di dekat tempat pertandingan itu bergerak-gerak bagaikan tertiup angin, malah daun-daun yang sudah menguning pada rontok berhamburan.
Sejam lebih mereka bertempur, akhirnya burung itu harus mengakui keunggulan Sin Lee. Dua kali dadanya terkena pukulan dan segenggam bulu di lehernya sudah copot karena cengkeraman pemuda itu. Sambil mengeluarkan keluhan panjang burung itu lalu terbang pergi. Ia tidak mau turun kembali, biar pun dipanggil dan dimaki-maki oleh Sin Lee.
Kwa Hong menyesal sekali setelah mendengar tentang pertempuran ini. Dia mendapat kenyataan bahwa kali ini burung rajawali itu benar-benar tak mau pulang ke Lu-liang-san. Akan tetapi Sin Lee tidak pernah memperlihatkan rasa sesalnya.
"Bila dia tidak mau lagi ikut kita, kenapa kita harus menyesal? Biarlah dia tidak kembali lagi, tidak apa-apa."
"Lee-ji, kenapa kau berkata begini? Burung itu sudah belasan tahun ikut dengan aku, aku sayang padanya dan... ah, bukankah kalau ada dia mudah sekali kita hendak pergi ke mana-mana? Dia adalah seekor binatang tunggangan yang jarang ada keduanya di dunia ini."
"Aku masih mempunyai kedua kakiku, kalau tidak ada dia, aku dapat pergi ke mana saja dengan jalan kaki. Ibu, bukankah ibu sering kali mengatakan bahwa hidup di dunia ini terutama sekali harus mengandalkan diri sendiri dan tidak boleh bersandar kepada orang lain?"
Kwa Hong telalu menyayangi puteranya, maka dia pun tidak tega untuk memarahinya. Diam-diam ia girang karena anaknya ini ternyata mendapatkan kemajuan pesat sehingga burung rajawali emas yang tidak mudah dikalahkan orang itu akhirnya kalah juga ketika menghadapi puteranya. Maka, ia kemudian lebih tekun menggembleng Sin Lee sehingga akhirnya dia sendiri dengan pedang di tangan kanan dan cambuk anak panah di tangan kiri tidak mampu menandingi pedang puteranya, lebih dari lima puluh jurus!
Usia Sin Lee sudah delapan belas tahun ketika Kwa Hong membuka rahasia hatinya yang terpendam selama belasan tahun ini.
"Lee-ji puteraku sayang, kau sekarang telah mewarisi semua kepandaian ibumu, dan kau sudah terlalu besar untuk tinggal terus di puncak gunung ini. Sudah tiba waktunya kau harus turun gunung memperluas pengetahuan dan... mencari jodoh."
"Aku tidak inginkan jodoh!" Sin Lee memotong cepat dengan kedua pipinya kemerahan.
Ibunya memandang penuh kasih, dengan mata berseri-seri sambil tersenyum. Alangkah tampan puteranya, melampaui Beng San! Teringat Beng San, jantungnya berdebaran dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu dan perasaannya menjadi panas.
"Dengar, puteraku. Dulu kau sering kali menanyakan ayahmu dan selalu kujawab bahwa ayahmu telah mati. Itu memang benar, akan tetapi baru sekarang hendak kuceritakan kepadamu sebab kematian ayahmu."
Sin Lee segera memandang ibunya dan mendengarkan penuh perhatian. Sejak kecil dia merasa berduka dan kecewa sekali mendengar bahwa ayahnya telah mati.
"Apakah sebab kematian ayahku, Ibu?" tanyanya mendesak.
Kwa Hong menarik napas panjang berulang-ulang, agaknya berat hendak mengeluarkan kata-kata. Akhirnya ia bicara dengan suara serak.
"Anakku..., ayahmu she Tan jadi namamu Tan Sin Lee. Ada pun kematian ayahmu tidak sewajarnya, melainkan dibunuh orang."
Tldak ada reaksi apa-apa pada pemuda itu. Memang Sin Lee aneh orangnya. Ia tidak bisa menaruh hati dendam karena selama ia hidup di gunung itu ia tidak pernah menghadapi sesuatu dan segala peristiwa yang menimpa siapa pun juga ia anggap sudah sewajarnya, pasti ada sebab menjadikan peristiwa itu.
Umpamanya ketika ia kalah oleh hwesio tua, ia anggap hal itu terjadi karena ia memang kalah pandai dan habis perkara. Ia tidak menaruh dendam. Dan kini, mendengar ayahnya mati dibunuh orang, otomatis ia menganggap bahwa ayahnya dibunuh akibat kalah dalam pertempuran, jadi menurut pendapatnya, ayahnya yang bersalah mengapa sampai kalah!
"Banyak orang yang membunuh ayahmu. Pertama-tama adalah seorang lelaki bernama... Tan Beng San!" ia berhenti sebentar dan menahan air matanya, memandang puteranya.
Sin Lee kelihatan mengerutkan keningnya karena terheran-heran. "Dia pun she Tan, Ibu? Bukankah orang yang sama she-nya itu berarti masih keluarga?"
"Tidak... tidak... banyak orang she-nya sama tapi bukan apa-apa," jawab Kwa Hong cepat.
"Hemmm, lalu siapa lagi, Ibu?"
"Orang ke dua adalah seorang wanita bernama Cia Li Cu, isteri dari Tan Beng San itu."
Ia memang sudah mendengar bahwa Beng San sudah menikah dengan Li Cu, maka dia menyebut nama wanita yang dibencinya karena iri hati dan cemburu ini.
"Ada pun orang ke tiga... dia adalah Song-bun-kwi Kwee Lun. Nah, tiga orang itulah yang telah membunuh ayahmu dan yang membuat ibumu hidup menderita. Kau harus mencari mereka. Kau bunuhlah Cia Li Cu dan Song-bun-kwi Kwee Lun, tapi... kau jangan bunuh Tan Beng San, kau tangkap saja dan kau seret dia ke sini!"
Sin Lee memandang ibunya dengan mata membelalak, "Kenapa, Ibu? Kenapa aku harus membunuh mereka? Mereka tidak mempunyai urusan apa-apa denganku."
Kwa Hong balas memandang dengan marah. "Apa?! Kau tidak mau mewakili ibumu untuk membalas sakit hati? Percuma sajakah aku mempunyai seorang anak laki-laki seperti kau, hidup menderita untukmu dan menurunkan semua kepandaianku untukmu?"
Sin Lee cepat-cepat memeluk ibunya yang telah menangis. "Sudahlah, Ibu. Sama sekali bukan begitu maksudku. Aku hanya menyatakan isi hatiku bahwa aku tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Akan tetapi jika Ibu memerintah anakmu ini, biar pun harus melawan naga berapi akan kujalani. Terangkanlah maksud Ibu bagaimana, anak akan segera melaksanakan semua kehendakmu."
Dengan terharu dan girang Kwa Hong memeluk puteranya, lalu berkata dengan sungguh-sungguh.
"Tugas yang kuserahkan kepadamu ini bukanlah tugas ringan, Anakku. Tiga orang yang kusebut-sebut tadi adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian luar biasa tingginya. Song-bun-kwi Kwee Lun adalah seorang kakek sakti yang kepandaiannya dahsyat sekali. Dia terkenal dengan ilmu pedangnya Yang-sin Kiam-sut dan suling tangisnya yang dapat melumpuhkan semangat lawan. Dahulu, Song-bun-kwi Kwee Lun ini adalah tokoh nomor satu dari barat. Nah, kau harus cari orang ini di puncak Min-san, bunuhlah dia karena dia telah menjadi sebab rusaknya kehidupan ibumu," sambil berkata demikian, dengan gemas Kwa Hong mengenangkan Bi Goat yang dianggap telah merampas cinta kasih Beng San.
Sekarang Bi Goat sudah meninggal dunia, maka ia anggap sudah semestinya kalau dia menyuruh puteranya membunuh kakek itu. Padahal ia mempunyai maksud lain dengan perintah ini. Ia tahu bahwa putera Bi Goat diambil oleh Song-bun-kwi maka mencari kakek itu berarti mencari putera Bi Goat dan Beng San!
"Kalau kau sudah bertemu dengan kakek itu, selain dia kau harus pula membinasakan seorang pemuda sebaya engkau yang menjadi cucunya atau putera seorang wanita bernama Bi Goat."
Sin Lee mengerutkan keningnya, di dalam hatinya sebetulnya ia tidak setuju dengan tugas membunuh-bunuhi orang yang sama sekali tak dikenalnya itu. Akan tetapi ia tidak mau mengecewakan hati ibunya, orang yang amat dikasihinya itu.
"Hemmm, jadi kakek itu tinggal di Min-san, Ibu? Lalu yang lain-lain itu tinggal di mana?"
"Orang yang harus kau bunuh lagi adalah Cia Li Cu. Kau harus sangat berhati-hati kalau berhadapan dengan dia ini. Dia adalah murid mendiang Raja Pedang. Ilmu pedangnya hebat sekali. Dia tinggal di Thai-san bersama... orang ke tiga itu, yang bernama Tan Beng San."
"Jadi Cia Li Cu itu isteri dari Tan Beng San?" tanya Sin Lee.
"...ehh, hemm... betul. Cia Li Cu harus kau bunuh. Kemudian kau seret Tan Beng San itu ke sini, kau hadapkan padaku. Ingat betul, jangan kau bunuh dia itu, boleh kau lukai kalau dia melawan, akan tetapi jangan sekali-kali kau bunuh. Aku yang hendak membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri!"
Melihat pandang mata dan gerakan tangan ibunya, diam-diam Sin Lee terkejut sekali. "Ibu, kenapa kau amat membenci Tan Beng San ini?"
Sampai lama Kwa Hong tak dapat menjawab. Mata yang tadinya bersinar ganas dan liar itu pelan-pelan melunak dan air matanya hampir menitik turun. Cepat-cepat ia mengusap kedua matanya, kemudian berkata perlahan, "Dia itulah yang menghancurkan hidupku, memaksa ibumu hidup menyendiri di puncak gunung ini. Kau harus berhasil menangkap dia, tak peduli apa pun yang terjadi. Dia harus kau tangkap, kau seret ke sini, Anakku..."
Suaranya ibunya yang penuh permohonan ini membanjirkan perasaan haru dan kasihan dalam dada Sin Lee. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan ibunya ini, apa pun yang akan terjadi dengan dirinya. "Ibu, agaknya aku akan berhasil menangkapnya dan menyeretnya ke depan kakimu. Akan tetapi... dia itu orang macam apakah?"
Kwa Hong menarik napas panjang. "Kau tidak boleh memandang rendah Song-bun-kwi Kwee Lun, kau harus berhati-hati terhadap Cia Li Cu. Akan tetapi menghadapi orang ini, Anakku... aku sungguh-sungguh sangsi apakah kau akan mampu melawannya. Dia itulah Raja Pedang sesungguhnya. Ilmu pedang serta ilmu silatnya luar biasa sekali, belum pernah aku melihat dia dikalahkan orang. Dia hebat... dia hebat..."
Kwa Hong merenung, wajahnya agak berseri. Bangkit kembali cinta kasihnya kalau dia merenungkan bekas kekasihnya itu. "Dia laki-laki hebat..." kembali ia berkata dan kali ini dengan keluhan.
Panas hati Sin Lee mendengar ini. Biasanya ibunya hanya menganggap bahwa dialah orang yang paling pandai di dunia ini, sekarang ibunya memuji seorang musuh! "Ibu, aku bersumpah akan menyeret Tan Beng San itu ke hadapan kakimu. Kalau belum terjadi hal ini, aku bersumpah tak akan kembali ke sini."
Sin Lee segera berkemas, membawa pedang pusaka pemberian ibunya dan membuntal pakaian serta membawa beberapa potong emas, lalu turun gunung. Kwa Hong mengantar puteranya sampai di lereng gunung dan membekalinya banyak nasihat dan memesannya agar berhati-hati.