CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJAWALI EMAS JILID 15
Keadaan di situ cukup ramai. Walau pun semua orang sudah duduk di atas tanah tanpa seorang pun kelihatan berdiri, namun mereka saling bicara perlahan, ada yang berbisik-bisik sehingga tempat itu menjadi berisik juga. Akhirnya Hwa-i Lokai membuka kedua matanya, memandang ke kanan kiri kemudian ia mengangkat tangan kanannya ke atas. Siraplah suara berisik. Semua orang memandang kakek ini dengan penuh perhatian.
"Para tamu sekalian dan saudara-saudaraku anggota Hwa-i Kaipang yang tercinta. Tidak kepada seorang pun pernah kuberi tahu, bahkan para pembantuku juga tidak, mengapa secara mendadak aku hendak meninggalkan Hwa-i Kaipang dan menyerahkan pimpinan kepada seorang saudara. Sekarang, untuk menghilangkan dugaan yang bukan-bukan, terus terang saja aku jelaskan bahwa aku mempunyai seorang musuh pribadi..."
Kembali keadaan menjadi sangat berisik, terutama di kalangan anggota Hwa-i Kaipang yang banyak mengeluarkan suara marah. Kalau ada musuh, kenapa harus meninggalkan kedudukan? Apakah takut? Hwa-i Kaipang sangat kuat, siapa yang berani mengganggu ketuanya?
Kembali Hwa-i Lokai mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua orang jangan berisik. "Urusan ini merupakan urusan pribadiku, dan hari ini adalah hari janji kami berdua untuk membuat perhitungan terakhir. Aku tidak suka membawa-bawa perkumpulan dalam urusan pribadi, juga aku tak mau menyeret musuh pribadiku menjadi musuh perkumpulan. Biarlah hal ini akan kuselesaikan sendiri sebagai urusan pribadi yang tak boleh orang lain mencampurinya. Nah, sekarang hatiku telah lega sebab saudara semua telah mendengar penjelasanku. Sekarang, marilah kita semua memilih seorang ketua baru yang tepat, yang kiranya akan dapat memimpin saudara-saudara sekalian lebih baik dari pada yang telah kulakukan."
Kembali para anggota Hwa-i Kaipang menjadi berisik karena mereka saling berbisik dan banyak terdengar suara-suara tidak setuju. Malah tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari Coa-lokai, yang bicara dengan sepasang mata lebar membelalak.
"Saya tidak setuju dengan uraian Lokai! Selama saya membantu Lokai, tak pernah satu kali pun saya ragu-ragu dan membangkang terhadap perintah, akan tetapi kali ini terpaksa saya tidak setuju! Lokai tidak saja menjadi ketua, bahkan merupakan pendiri dari Hwa-i Kaipang. Oleh karena itu segala urusan Hwa-i Kaipang adalah urusan Lokai, sebaliknya urusan Lokai berarti juga urusan semua anggota Hwa-i Kaipang! Dulu kita semua sudah bersumpah, susah sama dipikul, senang sama dinikmati. Mana ada peraturan sekarang Lokai hendak meninggalkan kita hanya karena ada urusan pribadi? Apa bila ada musuh Lokai, katakan saja siapa dan di mana, saya Coa-lokai tak akan mundur untuk mewakili Lokai, walau pun nyawaku yang tidak berharga ini akan melayang karenanya!" Setelah berkata demikian, pengemis tinggi besar yang usianya belum ada lima puluh itu meloncat berdiri, tegak siap sedia dengan mata memandang ke sana ke mari seolah-olah hendak mencari musuh pribadi ketuanya.
Hwa-i Lokai menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. "Coa-lokai, terima kasih atas kesetiaanmu ini. Akan tetapi urusan ini benar-benar adalah urusan pribadiku dan kali ini terpaksa aku harus menebus sifatku yang pengecut, yang sudah kupertahankan hingga belasan tahun lamanya. Ya... aku sudah bersikap pengecut sehingga belasan tahun aku menyembunyikan nama dan paling akhir aku menggunakan nama Hwa-i Lokai. Dahulu... hemmm, sekarang sudah tiba saatnya aku meninggalkan sikap pengecut dan membuka rahasiaku sendiri, dahulu aku bernama Sin-chio (Tombak Sakti) The Kok."
Semua pengemis dan yang hadir di situ, terutama kaum tuanya tercengang mendengar nama ini. Belasan tahun yang lalu nama Sin-chio The Kok amat terkenal sebagai seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Kabarnya ilmu tombaknya belum pernah terkalahkan sehingga dia dijuluki orang Sin-chio (Tombak Sakti). Setelah mendengar siapa adanya Hwa-i Lokai, semua orang menjadi berisik.
Ada yang merasa kecewa bahwa Hwa-i Kaipang ternyata dipimpin oleh seorang bekas perampok, akan tetapi ada suara yang membantah dengan pernyataan bahwa biar pun seorang perampok, tapi nama The Kok tetap bersih sebagai perampok budiman yang tak sembarang merampok orang. Yang selalu menjadi sasaran dan korbannya adalah para pembesar jahat dan hartawan-hartawan kikir, malah kabarnya hasil rampokannya selalu ia bagi-bagikan kepada rakyat yang miskin.
Hwa-i Lokai atau Sin-chio The Kok mengangkat tangannya dan suara berisik segera sirap. "Nah, sekarang saudara sekalian tahu siapa saya dan saya sendiri merasa tidak pantas menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Bukan karena saya bekas perampok, akan tetapi terutama sekali karena saya seorang pengecut yang karena takut menghadapi musuh lalu bersembunyi di balik nama palsu. Sekarang musuh besarku telah mengetahui dan hendak menuntut balas, karena inilah aku akan meninggalkan Hwa-i Kaipang untuk membereskan perhitungan dengan dia dan sebelum aku pergi, aku ingin melihat bahwa perkumpulan kita mendapatkan seorang ketua baru yang tepat."
Beng-lokai yang gemuk pendek segera berdiri dan dengan senyuman yang tidak pernah meninggalkan bibirnya ia berkata, "Memang tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangcu (Ketua). Harap Pangcu segera tetapkan saja calon-calon pengganti Pangcu agar supaya pemilihan dapat dilakukan segera."
"Siapa lagi yang kucalonkan kecuali kalian bertiga pembantu-pembantuku? Kalian bertiga adalah calon-calon ketua dan pemilihannya siapa di antara kalian bertiga terserah kepada para anggota," jawab Ketua itu.
"Saya tidak setuju...!" Coa-lokai kembali berkata dengan suaranya yang nyaring. "Setelah kita ketahui bahwa ketua kita adalah Sin-chio The Kok, seharusnya kita bangga memiliki seorang ketua yang gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang yang budiman. Biar pun sekarang Lokai menghadapi urusan itu tapi saya percaya Lokai akan bisa mengatasinya dengan baik. Setelah itu, bukankah Lokai dapat kembali memimpin perkumpulan kita?"
"Heh, Coa-lokai banyak cerewet!" Terdengar suara yang parau seperti kaleng dipukul dan pembicara ini adalah Sun-lokai yang sudah berdiri dan memandang tajam. "Apakah kau hendak membangkang terhadap perintah Pangcu? Lupakah kau apa hukumannya kalau seorang anggota membangkang terhadap perintah?"
Pengemis tinggi besar itu membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Sun-lokai dengan mata berapi-api. "Ho-ho, Sun-lokai, tak usah kau mengingatkan. Aku sendiri tahu bahwa tugasku meneliti dan menghukum para anggota yang menyeleweng, tentu aku maklum akan aturan-aturan di perkumpulan kita. Kalau ketua kita memerintah kepadaku untuk melaksanakan sebuah tugas, walau pun harus mempertaruhkah nyawa, aku tidak akan mundur. Akan tetapi sekarang ini lain lagi. Pangcu kita hendak pergi meninggalkan kita dan menunjuk seorang di antara kita untuk menjadi ketua. Aku tidak setuju sama sekali untuk memilih ketua baru selama Lokai masih hidup! Sun-lokai, agaknya kau sudah terlalu mengilar untuk memperoleh kursi ketua?"
Sepasang mata dari pengemis bongkok ini bersinar dan bercahaya. "Hemm, Pangcu tadi mencalonkan kita bertiga, bukan hanya aku. Kau sendiri pun, kalau mampu membuktikan bahwa kau lebih gagah dan pandai dari aku dan Beng-lokai, kau boleh menjadi ketua."
"Aku tidak sudi selama Lokai masih ada, aku tidak sudi menjadi ketua dan juga tidak sudi membiarkan seorang di antara kalian menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Apa lagi seorang seperti kau!" Coa-lokai menudingkan telunjuknya ke muka Sun-lokai sehingga pengemis bongkok ini menjadi marah sekali.
"Berani kau menghinaku di depan banyak orang?"
"Aku tidak menghina, melainkan bicara sejujurnya. Kau tahu aku suka berterus terang dan aku pun terus terang saja menyatakan bahwa aku tidak suka melihat dan mendengar kau berhubungan erat dengan golongan merah dan hijau."
"Kau keparat, kau menuduh yang bukan-bukan. Apakah kau mau mengajak berkelahi?" Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Berkelahi atau apa saja masa aku takut?" Coa-lokai juga marah.
Dua orang ini sudah saling berhadapan dan saling mendekat, siap hendak menggunakan kekerasan.
"Coa-lokai, Sun-lokai, sudahlah. Tak perlu ribut-ribut!" Hwa-i Lokai berseru untuk melerai mereka.
"Biarlah, Lokai, biar kuberi hajaran kepada si Bongkok ini!" Coa-lokai berkata keras.
"Pengemis busuk, kaulah yang akan mampus di tanganku!" Sun-lokai yang tidak pandai bicara itu mendengus.
Ada pun para anggota Hwa-i Kaipang yang berada di situ memang sudah terpecah-pecah dalam pemilihan ketua, ada yang pro Coa-lokai, dan ada yang pro Sun-lokai. Melihat dua orang jagoan mereka itu sudah saling berhadapan, mereka menjadi tegang dan terdengar seruan-seruan kedua pihak untuk memberi semangat kepada jagoan mereka. Keadaan menjadi berisik bukan main sehingga suara Hwa-i Lokai yang hendak mencegah pertarungan itu tidak terdengar nyata. Dua orang pengemis tua itu sekarang sudah saling serang.
Mula-mula Sun-lokai yang membuka serangan. Dia adalah seorang ahli Cu-see-ciang, yaitu kedua tangannya telah digembleng dan diperkeras dengan latihan mencacah pasir panas. Ia bersilat dengan kedua tangan terbuka, dengan jari-jari lurus dan ibu jari ditekuk ke dalam sehingga kedua tangannya itu seakan-akan sepasang golok yang diserangkan dengan bacokan atau tusukan maut.
Di lain pihak, Coa-lokai ialah seorang ahli gwakang, tenaganya seperti gajah, gerakannya tenang. Kalau sambaran tangan Sun-lokai bagaikan sambaran golok yang tajam, adalah sambaran kepalan tangan Coa-lokai yang besar itu seperti sambaran toya baja yang amat keras dan berat. Keduanya adalah ahli-ahli silat yang kemudian mendapat latihan dari Hwa-I Lokai, maka biar pun mereka memiliki keistimewaan masing-masing, boleh dibilang tingkat mereka kini seimbang. Para pengemis yang menonton pertempuran ini menjadi tegang dan gembira, dari sana sini terdengar seruan-seruan memihak.
Hwa-i Lokai menjadi bingung. Tentu saja mudah baginya untuk datang memisah, namun apa gunanya? Sekali mereka menanam bibit kebencian satu kepada yang lain, hal itu tak akan mudah dipadamkan. Biarlah mereka menentukan siapa yang lebih kuat, bahkan ini merupakan saringan pula untuk memilih seorang ketua baru. Ia hanya berdiri dengan dua lengan di belakang tubuh, akan tetapi siap setiap saat apa bila seorang di antara kedua pembantunya itu terancam bahaya maut, tentu ia akan turun tangan mencegah. Ketika dua orang itu sedang saling gempur dengan ramainya, tiba-tiba dari jauh terdengar orang berteriak-teriak, nyaring menusuk telinga semua orang.
“Heiii... dua orang pengemis tua saling tempur memperebutkan apa sih?"
Karena suara ini hebat dan nyaring, maka semua orang menengok, bahkan Coa-lokai dan Sun-lokai juga otomatis berhenti untuk melihat siapa orangnya yang berteriak sedemikian nyaringnya itu. Dari jauh tampak dua orang berjalan menuju ke tempat itu. Yang di depan adalah seorang pemuda tampan yang pakaiannya sama lapuknya dengan pakaiannya para pengemis, sungguh pun potongan pakaian itu seperti pakaian seorang pemuda terpelajar. Pemuda inilah yang berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya tidak keruan seperti orang gendeng.
Ada pun orang yang berjalan di sampingnya, agak di belakang, adalah seorang kakek tua sekali, terbongkok-bongkok jalannya. Pakaiannya juga compang-camping, dengan tangan memegang tongkat yang diperlukannya untuk membantu ia berjalan.
Siapakah dua orang ini? Pemuda itu bukan lain orang adalah Kwa Kun Hong! Seperti kita ketahui, pemuda ini telah turun dari puncak Bukit Kepala Naga, kenapa dia bisa berada di sini dan datang bersama seorang kakek pengemis tua renta itu? Baiklah kita mengikuti perjalanannya sebentar sejak pemuda ini meninggalkan Bukit Kepala Naga dan sampai ke tempat ini, yaitu di kaki Pegunungan Ta-pie-san, pusat dari perkumpulan Hwa-i Kaipang.
Telah dituturkan pada bagian depan betapa Kun Hong meninggalkan Bukit Kepala Naga dengan maksud mencari dusun untuk bertanya kepada orang ke mana arah perjalanan menuju ke Hoa-san. Memang tidak lama kemudian ia bertemu dengan penduduk dusun, akan tetapi penduduk dusun yang jarang meninggalkan kampung halaman itu, mana ada yang tahu tentang Hoa-san?
Keterangan yang didapat oleh Kun Hong sama sekali tidak mendekatkan dirinya dengan tempat tinggalnya, malah membuat ia tersesat semakin jauh dari Hoa-san. Akhirnya ia mendengar bahwa ia sudah tiba di daerah kota raja selatan (Nanking). Ia tertegun ketika mendengar dari orang yang mengetahui bahwa ia salah jalan dan malah menjauhi Hoa-san. Akan tetapi sebaliknya ia gembira ketika mendengar bahwa ia sudah berada di kota raja.
Setelah ia berada di tempat yang dekat dengan kota raja, apa salahnya untuk sekalian melihat-lihat keadaan kota raja? Sudah lama ia mendengar tentang kota raja yang hanya dapat ia lihat dalam alam mimpi saja. Sekarang, tanpa disengaja ia mendekati kota raja, sudah tentu ia tidak akan melewatkan kesempatan sebaik ini. Ketika Kun Hong melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja, ia melalui Pegunungan Ta-pie-san. Setelah turun naik lereng bukit, dia merasa lelah dan beristirahat di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di lereng gunung.
Pemandangan indah, hawa amat nyaman. Kun Hong lalu menuruni jurang kecil di mana terdapat air terjun yang kecil akan tetapi amat jernih airnya. Dengan sedap dan segar ia minum air itu, lalu mencuci muka, tangan, dan kakinya. Setelah merasa tubuhnya segar lagi, perutnya menggeliat minta isi. Kun Hong kembali ke bawah pohon dan mengeluarkan bekalnya roti kering yang ia terima dari seorang hwesio sebuah kelenteng tua yang amat baik hati, di mana ia semalam menginap.
Terpaksa ia menunda tangannya yang sudah mengantar roti kering ke mulutnya, ia kaget dan terheran-heran kenapa di tempat sesunyi itu terdengar suara orang. Orang itu bicara dengan keras suaranya terbawa angin, sayup-sayup sampai tak dapat ia tangkap artinya. Akan tetapi mengapa tidak pernah ada suara lain yang menjawabnya? Biasanya orang bercakap-cakap tentu sedikitnya membutuhkan dua orang. Suara itu makin jelas dan kini tertangkap oleh telinga Kun Hong, suara orang mencari sesuatu!
"Ahhh, di manakah dia? Haaa, boleh jadi inilah! Ya betul, inilah agaknya yang kucari-cari puluhan tahun sampai sampai saat ini. Tak mungkin salah lagi..., akan tetapi betulkah ini dia? Jangan-jangan aku salah duga dan akan kecele lagi..."
Tergerak hati Kun Hong. Suara itu agak menggetar, dan bisa diduga pembicaranya tentu seorang yang sudah tua. Ia menyimpan kembali roti keringnya, lalu berdiri dan berjalan menuju arah suara tadi.
Setelah ia melalui sebuah gundukan batu karang, tampaklah olehnya seorang kakek yang berpakaian compang-camping. Kakek ini berdiri dengan tongkat tertekan tangan sehingga seakan-akan tongkat itulah yang membantu ia berdiri. Tangan kirinya ditaruh melintang di kening untuk melindungi kedua mata tuanya dari sinar matahari, dan menoleh kian ke mari memandangi tamasya alam di bawah gunung. Ataukah sedang mencari sesuatu?
Segera timbul welas dalam hati Kun Hong melihat kakek yang amat tua ini. Tubuhnya kurus, tinggal kulit dan tulang. Pakaiannya sudah tak patut disebut pakaian lagi, hanya robekan-robekan kain menutupi tubuh di sana sini. Sepatunya sudah bolong sehingga tampak beberapa buah jari kaki tersembul keluar dari pinggir sepatu.
Aduh kasihan, pikir Kun Hong. Sudah begini tua mengapa pergi susah payah ke gunung yang tidak mudah dilalui jalannya? Begitu kurus, tentu sudah berhari-hari tidak makan.
"Kakek yang baik, kau sudah begini tua dan lemah mengapa sampai di tempat seperti ini? Kau sedang mencari apakah, Kek?" tanyanya sambil maju mendekat.
"Ya, aku memang mencari sesuatu," jawab kakek itu tanpa menoleh kepada Si Penanya.
"Mencari apakah yang hilang? Di mana hilangnya? Biarlah kubantu kau mencarinya," kata Kun Hong dengan ramah dan dengan suara mengandung hiburan yang membesarkan hati.
"Heh... tidak ada yang hilang... tapi sudah puluhan tahun aku mencarinya..."
Tiba-tiba ia menoleh dan terkejutlah Kun Hong ketika bertemu pandang dengan sepasang mata yang luar biasa tajamnya seakan-akan menembus sampai ke dalam dadanya. Tak kuat Kun Hong menatap sepasang mata yang hebat itu, maka terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
"Kau bilang hendak bantu aku mencarinya? Huh, betulkah itu? Aku yang sudah puluhan tahun mencari belum juga bertemu. Tapi... hemmm, mungkin sekali ini aku akan dapat bertemu dengannya!" Kata-kata ini penuh semangat dan kakek itu berdongak memandang ke atas.
Otomatis Kun Hong juga mendongakkan kepalanya, akan tetapi di atas sana tidak ada apa-apa, kecuali mega-mega putih berarak di angkasa. Celaka, pikirnya, kasihan benar kakek ini, agaknya dia sudah miring otaknya! Kun Hong menggeleng-geleng kepalanya, lalu memegang tangan kakek itu, menuntunnya perlahan menuju ke bawah pohon.
"Kakek yang baik, marilah kita beristirahat di tempat yang teduh di sana, aku mempunyai beberapa potong roti kering, marilah kita makan bersama," bujuknya.
Kakek itu sejenak memandang kepadanya dengan heran tapi menurut saja ketika dituntun ke bawah pohon. Malah ia segera ikut Kun Hong duduk di bawah pohon itu dan menerima pemberian roti kering dari Kun Hong yang dimakannya lambat-lambat.
"Orang muda, jarang ada orang semacam kau ini di jaman yang sulit ini... hemm, senang juga bertemu dengan orang macam kau di tempat sunyi."
Kun Hong memadang penuh perhatian dan sekarang ia merasa yakin bahwa tak mungkin kakek ini miring otaknya. Mungkin hanya karena berwatak aneh saja maka dia kelihatan seperti orang yang tidak waras pikirannya.
"Aku pun merasa gembira sekali dapat berjumpa dengan kau di sini, kakek yang baik. Sebetulnya, siapakah yang kau cari itu? Benda atau manusia? Aku akan merasa girang kalau kau segera dapat bertemu dengannya, Kek."
Kakek itu tiba-tiba tampak gembira dan wajahnya berseri-seri. "Ya, betul sekali, pasti aku akan dapat bertemu dengannya setelah aku membunuh manusia she The itu!"
Ia nampak bersemangat dan gembira sekali, tak melihat betapa muka Kun Hong sekilas menjadi pucat dan kembali menjadi merah.
"Waaahhh... jangan, Kek. Tidak boleh kau membunuh orang biar dia itu she The atau she apa pun!"
Kini kakek itu menatap tajam wajah Kun Hong, agaknya marah. Roti kering yang baru dimakan separuh itu lalu dilemparkannya ke atas tanah.
"Siapa bilang tidak boleh? Dia itu musuh besarku, dia sudah membunuh muridku yang tercinta. Belasan tahun aku mengejar-ngejarnya, mencari-carinya dan akhirnya aku tahu bahwa dia sudah berganti nama... ha-ha-ha... berganti nama menjadi Hwa-i Lokai ketua perkumpulan Hwa-i Kaipang. Ha-ha-ha, manusia she The, ke mana pun kau bersembunyi, pasti kau akan terpegang olehku."
"Kau salah, Kek. Bagaimana pun juga, tidak boleh membunuh orang. Berdosa sekali perbuatan itu, dan manusia takkan terlepas dari hukum karma, kecuali kalau dengan budi kebaikan dia melepaskan diri dari hukum karma masa yang lalu, barulah dia itu seorang manusia yang bebas dan mulia."
"Uahhh, kau anak kecil tahu apa? Aku hendak membunuh orang she The itu sekali-kali bukan hanya karena dia telah membunuh muridku. Aku akan membunuhnya karena aku ingin mencari kebahagiaan, kau tahu? Tidak pernah aku dapat menemukan kebahagiaan. Seluruh dunia kujelajahi, perbuatan apa pun kulakukan, semedhi, bertapa, menyiksa diri, tapi kebahagiaan belum pernah dapat kumiliki. Orang bilang harta benda mendatangkan kebahagiaan? Phuah! Itu omong kosongnya seorang kepala angin. Kau lihat ini? Emas murni. Bahhh, jemu aku melihatnya karena mengingatkan aku akan manusia kepala angin yang menyatakan bahwa kebahagiaan dapat dicapai kalau orang mempunyai harta benda sebanyak-banyaknya!" Setelah berkata demikian kakek itu mengeluarkan sebongkah emas murni yang berkilauan, lalu ia melempar emas murni itu jauh ke dalam jurang yang tak mungkin dapat didatangi manusia!
Kun Hong mendengarkan dengan tenang dan sabar, kemudian mengangguk-angguk. Dia tidak heran melihat orang membuang sebongkah emas yang berharga itu.
"Kau betul, Kek. Memang kebahagiaan tidak dapat dimiliki melalui emas itu."
"Bagus, kau sependapat. Jika kau menyayangkan emas tadi, kau pun akan kulempar ke dalam jurang itu!" Kakek aneh itu berkata lagi. "Ada pula orang tolol bilang bahwa kalau mempunyai kesaktian sehingga tak terkalahkan orang lain, barulah memiliki kebahagiaan. Uhhh, si goblok. Apa artinya kepandaian tinggi? Hemm, apakah ini yang dianggap dapat membahagiakan manusia?"
Kakek itu menoleh ke kiri, lalu tangan kirinya meremas dan batu hitam itu bagaikan tanah lempung saja dalam tangannya, sekali remas hancur lebur!
"Apakah ini yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Celaka, si manusia sombong. Bila penyakit datang, usia lanjut menggerayang, kematian menjangkit, bisa apakah dia dengan ilmu saktinya? Ha-ha-ha, pikiran katak dalam tempurung!"
Diam-diam Kun Hong terkejut. Dia sama sekali tak mengira bahwa kakek yang ia anggap hampir mati kelaparan ini ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.
Sekali remas saja batu hitam tadi hancur lebur. Wah, hampir ia tidak percaya kalau tidak melihat sendiri. Akan tetapi ia lebih tertarik oleh filsafat yang terkandung dalam ucapan Si Kakek itu, maka ia lalu mengangguk-angguk kembali dan membenarkan.
"Kembali kau benar, Kek. Kebahagiaan memang tidak terletak pada ilmu kepandaian atau kesaktian."
"Juga tidak dalam kedudukan dan pangkat kemuliaan dan harta?"
"Betul, tidak dalam kedudukan dan pangkat"
"He-he-he, kau pintar juga, orang muda. Kaisar-kaisar di jaman dahulu kurang begaimana hebatnya? Kedudukannya setinggi langit, dianggap putera Tuhan, pangkatnya nomor satu di dunia, mulia dan dihormat semua orang, kekayaannya berlimpah, tapi mana ada kaisar yang tak pernah bermusuh-musuhan dan selalu terancam keselamatannya, tidak pernah marah-marah dan jengkel? Mana ada kaisar yang telah memiliki kebahagiaan di samping segala yang dimilikinya itu?"
"Mungkin kau betul, kakek yang baik. Mungkin mereka yang berlimpahan dengan harta dan kemuliaan dunia, malah tidak memiliki kebahagiaan. Akan tetapi agaknya kau sendiri pun sedang mencari kebahagiaan. Mengapa kau tadi katakan bahwa kau akan bahagia kalau kau sudah dapat membunuh seorang she The? Bagaimana ini? Harap kau jelaskan, Kek, agar hatiku tidak mengandung penasaran.”
"Heh-heh-heh, baik… baik, biarlah kujelaskan. Puluhan tahun aku mencari tapi tidak dapat menemukan kebahagiaan. Selain itu, aku pun selalu mencari musuh besarku, yaitu The Kok yang telah membunuh muridku. Kini aku sudah mendapatkan tempat persembunyian The Kok. Nah, timbullah pikiran dalam otakku bahwa agaknya yang menjadi penghalang kebahagiaanku adalah karena aku belum berhasil membalaskan sakit hatiku. Kalau aku telah berhasil membunuh manusia she The itu, sudah pasti aku akan dapat menemukan kebahagiaan. Ha-ha-ha, orang muda yang baik, yang pintar, bukankah betul pendapatku ini?"
Kun Hong mengerutkan keningnya, menarik napas panjang kemudian menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang sekali, Kek. Terpaksa aku tidak dapat membenarkan pendapatmu itu. Menurut perkiraanku, apa bila kau sudah berhasil membunuh orang she The yang kau maksudkan itu, kau malah makin jauh dari kebahagiaan yang kau cari. Hal ini aku merasa yakin sekali, seyakin kenyataan bahwa kau berhadapan dengan aku pada saat ini."
Di waktu bicara, Kun Hong mengerutkan kening, matanya menatap tajam dan suaranya begitu sungguh-sungguh. Pada mulanya kakek itu melengak heran, lalu mukanya merah dan ia menjadi marah sekali.
"Hati-hati kalau bicara orang muda. Jangan-jangan kau malah akan kubunuh lebih dulu, sebelum membunuh The Kok."
"Apa boleh buat jika kau bermaksud begitu, Kek, Akan tetapi kalau demikian makin tebal keyakinanku bahwa kau selama hidupmu tak akan dapat menemui kebahagiaan."
"Keparat, kau kurang ajar sekali. Akan tetapi... hemmm, kau juga aneh dan bukan main beraninya. Heiii, orang muda yang bernyali naga bermulut wanita, apa alasanmu bahwa orang membunuh orang, akan menjauhkannya dari kebahagiaan?"
"Aku yakin akan hal ini, Kek. Apa lagi setelah aku membaca tulisan yang ditinggalkan oleh suhu-ku, betapa dia merana dan menderita hebat sekali karena sudah terlampau banyak membunuh orang, meski yang dibunuhnya itu menurut anggapannya adalah orang-orang jahat belaka. Kau hendak membunuh The Kok, katakanlah bahwa menurut anggapanmu, dia telah membunuh muridmu dan dia itu jahat. Akan tetapi apakah demikian pula dengan anggapan sahabat-sahabatnya, sanak keluarganya, gurunya, muridnya, orang tua serta anak-anaknya? Ketika muridmu dibunuhnya, kau menjadi sakit hati. Kalau kau sekarang membunuhnya, apakah kau kira mereka-mereka yang dekat dengan dia tidak akan sakit hati? Kau tentu akan dicari-cari oleh mereka, musuh-musuhmu akan makin banyak dan hidupmu tidak tenteram lagi! Kalau sudah begitu, mana bisa kau bilang bahwa kau sudah menemui kebahagiaan?"
Kakek itu tertegun, memandang aneh, matanya agak dipejamkan, tampak memutar otak. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya memandang tajam dan bertanya, "Orang muda, kau murid siapakah? Siapa itu gurumu yang meninggalkan pesan penyesalannya akibat sudah banyak membunuh orang?"
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan suhu-ku, hanya membaca dari kitabnya dan peninggalan tulisan-tulisannya. Dia menuliskan namanya sebagai Bu Beng Cu, aku hanya sempat bertemu dengan burung rajawali emas, agaknya binatang peliharaannya."
"Dia...?! Bu Beng Cu...? Kau muridnya?!" Kakek itu terkejut sekali dan kedua tangannya memegang pundak Kun Hong.
Pemuda ini merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih gunung, merasa seakan-akan tulang-tulangnya remuk dan patah-patah. Ia cepat mengempos semangat dan hawa murni mengalir dari pusarnya menuju ke pundak sehingga penderitaannya berkurang banyak.
"Heh, kau bilang muridnya? Bohong kau! Sedikit kepandaianmu ini mana membolehkan kau mengaku sebagai muridnya? Dia itu suheng-ku (kakak seperguruan), kau tahu? Kalau benar kau sudah mewarisi tulisan-tulisan peninggalannya, harap kau jelaskan bagaimana bunyi tulisan-tulisan itu!"
Kun Hong mendongkol sekali, akan tetapi ia menyabarkan hatinya. Ia tahu bahwa kini ia berhadapan dengan orang sakti yang berwatak aneh dan kiranya soal membunuh orang bukanlah soal baru bagi kakek ini. Akan tetapi ia tidak takut dan malah ia mengambil keputusan untuk sedapat mungkin menyadarkan kakek itu agar tidak sampai membunuh orang!
"Percaya atau tidak terserah. Aku masih hafal akan tulisan peninggalan Locianpwe itu, begini: ‘Telah bertumpuk dosaku. Ratusan orang telah kubunuh dengan anggapan bahwa itu adalah perbuatan baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap jahat. Anggapan yang sesat! Aku tidak mampu memberi kehidupan, lalu bagaimana aku berhak mengakhiri kehidupan? Aku sangat berdosa! Mengandalkan kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapa pun jahat si manusia itu, bukanlah perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula’. Nah, begitulah tulisan peninggalan Locianpwe Bu Beng Cu, Kek."
Kakek itu terlongong kembali, lalu tiba-tiba ia berkata, "Keluarkan pedangmu itu, hendak kulihat apakah benar pedang suheng-ku!"
Kun Hong kaget sekali. Bagaimana kakek ini bisa tahu akan pedangnya yang selalu dia sembunyikan di balik jubahnya itu? Ia tidak membantah, lalu mengeluarkan pedangnya yang selama dalam perjalanan selalu dia sembunyikan itu. Kakek itu menerima pedang, menghunusnya dan tiba-tiba ia menangis terisak-isak!
"Ahh... Ang-hong-kiam... Ang-hong-kiam... ahh, Twa-suheng... jadi kau benar-benar telah mati lebih dulu dan meninggalkan pesan melalui mulut bocah ini..."
"Agaknya betul dugaanmu itu, Locianpwe," berkata Kun Hong yang sekarang menyebut ‘locianpwe’ karena tahu bahwa kakek ini sebetulnya adalah seorang berilmu tinggi yang wataknya aneh sekali. "Kiranya Locianpwe Bu Beng Cu sengaja meninggalkan pesan itu untukmu. Kau lihat sendiri, sesudah membunuh ratusan orang, Locianpwe Bu Beng Cu merasa berdosa dan menyesal, karena itu apa bila kau tadi menyatakan bahwa dengan membunuh si orang The Kok lalu kau akan menemukan kebahagiaan, alangkah jauhnya menyeleweng dari kebenaran!"
Sepasang mata kakek itu tidak mengucurkan air mata lagi, sekarang memandang kepada Kun Hong penuh kebingungan, tangannya gemetar ketika mengembalikan pedang. Kun Hong menerima pedangnya dan menyimpannya kembali.
"Kau betul orang muda yang aneh, kau benar sekali. Ahh... selamanya suhengku itu memang bijaksana... agaknya kau pun mewarisi kebijaksanaannya... memang aku bodoh, Suheng sudah kakek-kakek ketika aku masih menjelang dewasa. Orang muda yang baik, kau sebagai wakil Suheng, lekas kau katakan kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan!"
Kun Hong kaget sekali. Dia seorang pemuda yang masih hijau, pengetahuannya tentang filsafat kehidupan hanya diperolehnya dari membaca kitab-kitab kuno yang ia selaraskan dengan suara hati nuraninya sendiri. Bagaimana dia bisa menerangkan pada kakek yang hendak mencari kebahagiaan ini? Akan tetapi dia bertekad untuk mencegah kakek ini melakukan pembunuhan, maka ia akan mencobanya.
"Locianpwe, aku mau bicara tentang kebahagiaan kalau kau suka berjanji bahwa kau tak akan membunuh orang bernama The Kok itu."
"Baik... baik... setelah mendengar pesan Suheng, kini aku sendiri ngeri untuk membunuh orang. Aku berjanji mulai sekarang aku takkan mau membunuh orang lagi. Tapi kau harus segera memberi tahukan kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan."
Lega hati Kun Hong. Betapa pun juga, kakek ini adalah seorang cianpwe, tidak mungkin mau menarik kembali janjinya atau melanggarnya. Dengan demikian berarti dia telah bisa membatalkan niat orang untuk membunuh. Tentang pendapatnya mengenai kebahagiaan, adalah menurut jalan pikirannya, sesuai pula dengan hati nuraninya yang disesuaikan dengan ilmu kebatinan yang ia baca dari kitab-kitab filsafat kuno.
"Menurut pendapatku, Locianpwe. Kebahagiaan hidup itu tidak dapat dikejar, karena bagaimana pun orang mengejar-ngejarnya, takkan mungkin dia dapat menemukannya. Bahagia tak dapat dicari-cari..."
"Apa kau kata? Kebahagiaan tak dapat dikejar, tak dapat dicari, kalau begitu kebahagiaan itu tidak ada? Jangan kau main-main!"
Berkerut kening Kun Hong, tanda bahwa dia sedang berpikir keras untuk mencari cara menjelaskan tentang persoalan sulit yang mengandung filsafat hidup itu.
"Locianpwe, bukan maksudku mengatakan bahwa kebahagiaan itu sebenarnya tidak ada. Kebahagiaan itu memang ada. Akan tetapi janganlah keliru menafsirkan apa sebetulnya kebahagiaan itu. Banyak sekali orang tertipu oleh kesenangan dan menganggap bahwa kesenangan itulah kebahagiaan. Yang dapat dikejar dan dapat dicari adalah kesenangan, bukan kebahagiaan. Ada pun kesenangan itu bukan lain adalah pemuasan nafsu jasmani dan nafsu perasaan. Kesenangan duniawi adalah pemuasan kehendak yang terdorong oleh nafsu semata. Contohnya keinginan Locianpwe tadi hendak membunuh The Kok, tak lain adalah karena dorongan kehendak memuaskan nafsu dendam dan andai kata hal itu terjadi, kiranya akan dapat merasakan kesenangan karena nafsu dendam itu dipuaskan. Akan tetapi orang lupa bahwa kesenangan mempunyai saudara kembar yang bernama kesusahan. Di mana kesenangan berada, di sana akan muncul pula saudara kembarnya, yaitu kesusahan. Kalau orang mencari kesenangan, memang dia akan mendapatkannya, namun sifat kesenangan hanyalah sementara saja. Rasa senang akan segera lenyap dan kalau sudah begitu, muncullah kesusahan dan ia akan kecewa karena segera ternyata bahwa kesenangan yang dicari-carinya itu setelah didapatkannya ternyata tidaklah begitu menyenangkan, apa lagi membahagiakan. Siapa mencari dia akan kecewa, karena yang dicarinya itu hanyalah kehendak dari nafsunya, bukanlah kebutuhan jiwanya."
Sampai berkeringat kening pemuda itu karena pengerahan otaknya yang diperas untuk menerangkan hal yang amat gawat ini. Akan tetapi hasilnya hebat sekali. Muka kakek itu mula-mula membayangkan keharuan, lalu matanya membelalak dan akhirnya wajahnya berseri-seri.
"Aduh, kau hebat..., kau orang muda luar biasa... teruskanlah, teruskanlah uraianmu yang menarik ini. Kau barusan bicara tentang kesenangan dunia, sekarang bagaimana dengan kebahagiaan yang ajaib itu? Selama ini aku sendiri telah tertipu dan mengacau-balaukan kesenangan dengan kebahagiaan. Orang muda yang hebat, apakah kebahagiaan itu dan mengapa tidak boleh dikejar dan dicari?"
"Locianpwe, maafkan kalau aku yang muda dan bodoh ini lancang berani bicara tentang hal yang pelik ini."
"Tidak apa, tidak apa, teruskanlah..."
"Lebih dulu aku akan mengulangi sajak yang pernah kubaca, hasil karya seorang pujangga kuno yang tidak diketahui namanya, begini sajak itu:
Kebahagiaan seperti bayangan,
serasa tergenggam di jari, tanpa bekas kau lari
tak dikejar mendekati, dikejar kau menjauhi
memang kau bayanganku, tak pernah berpisah dariku
bagaimana orang dapat mengejar bayangan sendiri…?”
Kun Hong berhenti sejenak dan menarik napas panjang, kemudian melanjutkan kembali, "Demikianlah, Locianpwe. Kebahagiaan adalah keadaan, memang ada, yaitu sudah ada di dalam diri setiap makhluk. Setiap yang mengejarnya akan tersesat jauh karena memang tak dapat dan tak semestinya dikejar. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang sudah sadar akan keadaan hidupnya, yang sadar bahwa ada yang menghidupkannya. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang tenang tenteram damai dan tahu bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu ia dapat menerima dengan hati ikhlas, tak dapat kecewa, tak dapat berduka, adanya hanya puas dan dapat menikmati kekuasaan Tuhan yang sudah dilimpahkan atas dirinya, baik kekuasaan yang mendatangkan rasa tidak enak atau pun yang sebaliknya bagi badan dan pikiran. Hanya manusia yang sadar akan kekuasaan Tuhan, dapat menerima segala yang terjadi atas dirinya dengan penuh penyerahan, dengan tunduk dan taat serta menganggap segala peristiwa, baik yang dianggap menyenangkan atau menyusahkan oleh badan dan pikiran serta perasaannya, sebagai berkah Tuhan. Manusia seperti itulah yang berhasil menemukan kebahagiaan yang sebetulnya memang sudah berada dalam dirinya. Karena menghadapi keadaan yang bagaimana pun juga, dia akan tetap tenang, tenteram dan menerima dengan hati tulus ikhlas, dan kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan takkan tergoyahkan. Nah, hanya sekian saja pendapatku, Locianpwe, sekali lagi maaf kalau kau anggap tidak cocok dengan pendapat Locianpwe."
Kakek itu merangkul Kun Hong. "Ahh, anak yang baik... kau telah membuka mataku yang buta! Kau benar sekali... anak yang baik, coba kau terangkan, bila ada orang membunuh muridku, mengapa aku tidak boleh membunuhnya juga sebagai hukumannya?"
"Menurut pendapatku, pendirian itu keliru, Locianpwe. Locianpwe sendiri mengakui bahwa membunuh murid Locianpwe adalah suatu perbuatan jahat, dan sudah menjadi anggapan umum bahwa membunuh sesama manusia adalah perbuatan jahat. Kalau kita sudah tahu bahwa membunuh itu jahat, mengapa justru untuk menghadapi kejahatan membunuh kita pun harus berlaku jahat dan membunuh pula? Kalau sudah terjadi bunuh-membunuh, bagaimana kita dapat membedakan mana yang jahat mana yang baik, mana yang benar mana yang salah? Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, dan untuk itu manusia sudah mengadakan hukum bagi yang jahat. Kalau ada yang melakukan pembunuhan, tangkaplah dan hadapkan kepada yang berwajib yang berhak mengurus tentang hukuman bagi si jahat dengan mengadakan pengadilan ciptaan manusia. Akan tetapi menghukumnya sendiri dengan jalan membunuh? Ahh, Locianpwe, hendak kutanyakan kepada Locianpwe, apa perbedaannya dalam soal kejahatan antara pembunuhan yang dilakukan The Kok terhadap murid Locianpwe dengan pembunuhan yang akan dilakukan oleh Locianpwe terhadap The Kok?"
Kakek itu merenung sejenak. "Bedanya, karena kalau aku membunuhnya, aku memiliki alasan untuk membalaskan sakit hati muridku."
"Ah, Locianpwe, setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti mempunyai alasan untuk perbuatannya. Ada akibat pasti bersebab. Apakah kiranya orang yang bernama The Kok itu ketika membunuh murid Locianpwe juga tidak mempunyai alasan? Kiraku pasti ada alasannya. Betapa pun juga, dia bersalah besar ketika membunuh muridmu dan bagiku, dia telah melakukan perbuatan jahat. Jika Locianpwe membunuhnya pula, apa pun alasan yang Locianpwe ajukan, perbuatan membunuh itu tak bisa tidak juga termasuk perbuatan jahat. Dan kebahagiaan tak mungkin dicapai dengan melalui perbuatan jahat. Di samping penyerahan akan kekuasaan Tuhan, juga setiap tindakan dalam hidup haruslah menjauhi kejahatan dan memupuk kebaikan sebanyak mungkin. Inilah yang disebut menyesuaikan diri dengan sifat-sifat alam. Adakah alam pernah menuntun sesuatu demi kesenangannya sendiri? Tidak pernah, alam dan segala isinya selalu memberi kebaikan kepada siapa saja tanpa pernah meminta dan menuntut. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, tiada yang dikecualikan, berkah-Nya melimpah-limpah seperti aliran Sungai Kuning yang tak pernah kering, akan tetapi, pernahkah Tuhan menuntut dan minta sesuatu dari kita? Alam adalah cermin kecil dari sifat Maha Pengasih dan Penyayang itu. Coba lihatlah pohon berbuah itu, Locianpwe. Tanpa diminta ia siap memberikan segala-galanya, batangnya, daunnya, bunganya, buahnya kepada siapa saja yang membutuhkan. Ia memberikan dengan segala keikhlasan tanpa diminta, segala kenikmatan kepada yang mampu menikmatinya. Akan tetapi, pernahkah pohon itu minta sesuatu, menuntut sesuatu dari siapa pun juga? Ah, alangkah akan indahnya dunia ini kalau manusia dapat memetik pelajaran dari sikap pohon buah itu, di mana manusia hanya mengenal pemupukan kebaikan dari sifat alam tanpa menuntut kesenangan bagi diri sendiri."
"Ahhh... kau betul, Anakku... kau betul sekali... ha-ha-ha-ha, Lui Bok, kau dijuluki orang Sin-eng-cu (Garuda Sakti), akan tetapi kau goblok dan patut berguru kepada bocah ini!" Ia menepuk-nepuk kepalanya sendiri dan kelihatan girang sekali. "Ehhh orang muda, kau masih murid keponakanku sendiri, tapi aku patut menjadi muridmu. Siapakah namamu?"
"Aku bernama Kwa Kun Hong, Locianpwe. Aku banyak mengharapkan banyak petunjuk dari Locianpwe."
"Heran sekali... kau menjadi pewaris kitab peninggalan suheng-ku, tetapi mengapa kau tidak memiliki kepandaian silat sebaliknya malah menjadi ahli filsafat? Kun Hong, coba kau bersilat dari pelajaran dalam kitab yang kau hafal itu, hendak kulihat."
Merah muka Kun Hong. "Ah, sesungguhnya Locianpwe, aku hanya menghafal saja akan tetapi aku tidak dapat bersilat."
"Hee...?! Habis untuk apa kau menghafal kitab itu?"
"Menurut pendapatku, ilmu silat yang diwariskan dalam kitab Suhu hanya untuk menjaga diri agar jangan sampai dicelakakan orang. Akan tetapi kalau hendak dipergunakan untuk memukul orang... ahh, aku tidak sudi melakukannya, Locianpwe."
Kembali kakek itu melengak, lalu mengangguk-angguk. Tiba-tiba dia berseru, "Aku akan menyerangmu dan kalau kau terkena pukulanku, mungkin kau akan mati!"
Cepat sekali, tidak sesuai dengan tubuhnya yang kelihatan lemah itu, kakek ini lalu maju memukul dengan pukulan kilat. Serangan ini dilakukan dengan cepat serta mengandung tenaga yang amat dahsyat. Kun Hong kaget bukan main. Otomatis kedua kakinya melangkah dengan langkah ajaib yang ia pelajari dari kitab. Kedua lengannya bergerak-gerak sebagai imbangan tubuhnya dan pukulan itu tidak mengenai tubuhnya.
Kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan menyerang terus, makin lama makin cepat dan keras. Kun Hong terpaksa terus melangkah ke sana ke mari, langkah-langkahnya ganjil dan kacau, namun sampai sepuluh jurus kakek itu hanya memukul angin belaka.
Tiba-tiba kakek itu berhenti dan bertepuk tangan. "Bagus... bagus sekali! Inilah agaknya Kim-tiauw-kun yang dahulu hendak diciptakan oleh Suheng berdasarkan Im-yang bu-tek-cin-keng! Hebat... hebat!"
Ia merangkul lagi Kun Hong diajak duduk bawah pohon. "Mana roti keringmu tadi? Keluarkan aku lapar sekali!"
Girang hati Kun Hong. Memang masih ada ia menyimpan roti kering dalam buntalannya. Kemudian ia mengeluarkan roti-roti kering itu dan memberikan kepada kakek aneh yang menyebut namanya Sin-eng-cu Lui Bok ini.
"Silakan makan, Locianpwe, tapi hanya roti kering yang keras dan tengik."
"Heh-heh-heh, jangan kau merendah, Kun Hong. Rotimu begini empuk, harum, masih hangat dan di dalamnya diberi cacahan daging yang begini gurih, kau katakan roti kering tengik? Ha-ha-ha benar-benar kau merendah. Bukan main sedapnya roti ini!"
Tiba-tiba Kun Hong terbelalak matanya. Mimpikah dia? Roti kering yang tadinya keras dan memang agak tengik yang dipegangnya, sekarang kenapa sudah berubah sama sekali? Roti itu menjadi roti yang besar dan empuk, benar-benar masih hangat dan berbau harum malah ketika ia melihat bagian yang sudah ia gigit, tampak cacahan daging matang yang benar-benar gurih!
"Ehh..., ini... ini... bagaimanakah ini? Kenapa bisa begini, Locianpwe...?" tanyanya gagap saking herannya.
"Ha-ha-ha! Biar pun kesenangan bukan termasuk kebahagiaan sejati, namun kesenangan pun anugerah Tuhan dan kita berhak menikmatinya, bukan? Nah, marilah kita menikmati roti yang enak ini!"
"Memang benar, Locianpwe. Tapi... tapi... bagaimana ini...? Mengapa roti keringku bisa berubah?"
"Tidak usah tanya-tanya, nanti kuberi penjelasan. Makan dulu." Keduanya lalu makan dan Kun Hong harus mengakui bahwa selama ini belum pernah ia makan roti seenak itu.
"Wah, habis makan roti tidak ada minuman. Kalau saja ada arak baik di sini, alangkah sedapnya."
Melihat kakek itu agaknya kesereten, Kun Hong menjadi kasihan dan segera dia berlari mencari air mancur dan menyendok air menggunakan daun yang lebar. Dibawanya air itu ke bawah pohon.
"Heh-heh-heh, kau betul-betul hebat. Orang ingin minum arak kau datang membawa arak wangi dalam cawan perak. Ha-ha-ha!"
"Ahh, Locianpwe, hanya air biasa dalam daun, mana ada arak?"
Kun Hong tertawa dan memandang daun di tangannya yang penuh air. Tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget dan heran karena yang berada di tangannya adalah benar-benar arak di dalam cawan perak yang indah.
"Ehhh, bagaimana pula ini...?! Locianpwe, apakah aku sudah gila? Ataukah aku sedang mimpi...?!" teriaknya terkejut.
"Ha-ha-ha, minumlah, nikmatilah kesenangan untuk lidah dan mulut kita. Nanti akan aku ceritakan," kata kakek itu sambil menenggak arak dalam cawannya.
Terpaksa Kun Hong juga minum araknya dan ternyata, betul seperti dikatakan kakek itu, arak di dalam cawannya amat harum dan enak.
"Kau lihat baik-baik, yang di dalam tanganmu itu hanya daun biasa."
Kun Hong melihat dan betul saja, cawan yang kosong tadi sudah berubah pula menjadi daun yang tadi, tanpa ia ketahui. "Ini... kau main sulap, Locianpwe," katanya tertawa.
"Kau sudah menggirangkan hatiku, Kun Hong. Maka aku harus membikin senang sedikit hatimu. Ketahuilah, yang kuperlihatkan tadi adalah ilmu yang disebut menguasai pikiran orang lain (semacam hypnotisme). Memang amat berbahaya kalau memiliki ilmu ini dan sebagian orang yang tidak mengerti akan menganggapnya sebagai hoat-sut (ilmu sihir) yang jahat, semacam ilmu hitam. Akan tetapi anggapan itu keliru. Ilmu kepandaian tidak ada yang jahat. Hitam atau putihnya, jahat atau pun baiknya, tergantung dari pemilik ilmu itu sendiri. Hoat-sut (menguasai pikiran orang) ini kalau dimiliki oleh orang yang berjiwa bersih, tentu akan banyak mendatangkan kebaikan seperti yang baru saja kuperlihatkan. Bukankah makan roti kering dan minum air tawar tidak begitu sedap? Dan bukankah akan menambah kenikmatan kalau ingatanmu kukuasai sehingga kau menganggapnya sebagai roti enak dan arak wangi? Nah, untuk segala petunjukmu tadi tentang kebahagiaan, aku harus membalas. Kau adalah ahli membaca kitab, nah, ilmu ini terdapat dalam kitab ini. Kau baca dan pelajarilah, tentu kelak berguna untukmu. Ilmu yang kuperlihatkan tadi baru sepersepuluhnya saja dari isi kitab ini."
Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kitab yang sudah lapuk dan Kun Hong menerimanya dengan pernyataan terima kasih. Tentu saja ia girang bukan main mendapat hadiah kitab istimewa itu. "Sekarang marilah kau ikut denganku, Kun Hong. Ikutlah dengan aku pergi ke kaki gunung ini untuk menjumpai The Kok yang sekarang menjadi Ketua Hwa-I Kaipang."’
Kun Hong terkejut dan memandang. "Locianpwe, kau tidak..."
Kakek itu tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Jangan kuatir. Sudah lenyap semua nafsuku untuk membunuh orang. Aku harus menemuinya. Ha-ha-ha! Kau benar. Dia telah membunuh muridku, biarlah kesadarannya sendiri yang akan menghukumnya." Kakek itu lalu berdiri dan mengajak Kun Hong turun gunung.
Demikianlah kisah pertemuan antara Kun Hong dengan Sin-eng-cu Lui Bok seperti telah diceritakan di bagian depan.
Kun Hong dan Sin-eng-cu Lui Bok telah tiba di tempat para pengemis Hwa-i Kaipang. Dari jauh Kun Hong melihat ribut-ribut di antara pengemis yang memenuhi pekarangan depan rumah perkumpulan itu. Ia mendapat keterangan dari pengemis yang dijumpainya bahwa dua orang pembantu ketua sedang ribut hendak bertempur dalam perebutan kedudukan ketua.
Kun Hong merasa kuatir sekali. Dari jauh dia segera berteriak-teriak, "Heeiii..., berhenti... dua orang pengemis tua saling pukul memperebutkan apa sih?"
"Para tamu sekalian dan saudara-saudaraku anggota Hwa-i Kaipang yang tercinta. Tidak kepada seorang pun pernah kuberi tahu, bahkan para pembantuku juga tidak, mengapa secara mendadak aku hendak meninggalkan Hwa-i Kaipang dan menyerahkan pimpinan kepada seorang saudara. Sekarang, untuk menghilangkan dugaan yang bukan-bukan, terus terang saja aku jelaskan bahwa aku mempunyai seorang musuh pribadi..."
Kembali keadaan menjadi sangat berisik, terutama di kalangan anggota Hwa-i Kaipang yang banyak mengeluarkan suara marah. Kalau ada musuh, kenapa harus meninggalkan kedudukan? Apakah takut? Hwa-i Kaipang sangat kuat, siapa yang berani mengganggu ketuanya?
Kembali Hwa-i Lokai mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua orang jangan berisik. "Urusan ini merupakan urusan pribadiku, dan hari ini adalah hari janji kami berdua untuk membuat perhitungan terakhir. Aku tidak suka membawa-bawa perkumpulan dalam urusan pribadi, juga aku tak mau menyeret musuh pribadiku menjadi musuh perkumpulan. Biarlah hal ini akan kuselesaikan sendiri sebagai urusan pribadi yang tak boleh orang lain mencampurinya. Nah, sekarang hatiku telah lega sebab saudara semua telah mendengar penjelasanku. Sekarang, marilah kita semua memilih seorang ketua baru yang tepat, yang kiranya akan dapat memimpin saudara-saudara sekalian lebih baik dari pada yang telah kulakukan."
Kembali para anggota Hwa-i Kaipang menjadi berisik karena mereka saling berbisik dan banyak terdengar suara-suara tidak setuju. Malah tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari Coa-lokai, yang bicara dengan sepasang mata lebar membelalak.
"Saya tidak setuju dengan uraian Lokai! Selama saya membantu Lokai, tak pernah satu kali pun saya ragu-ragu dan membangkang terhadap perintah, akan tetapi kali ini terpaksa saya tidak setuju! Lokai tidak saja menjadi ketua, bahkan merupakan pendiri dari Hwa-i Kaipang. Oleh karena itu segala urusan Hwa-i Kaipang adalah urusan Lokai, sebaliknya urusan Lokai berarti juga urusan semua anggota Hwa-i Kaipang! Dulu kita semua sudah bersumpah, susah sama dipikul, senang sama dinikmati. Mana ada peraturan sekarang Lokai hendak meninggalkan kita hanya karena ada urusan pribadi? Apa bila ada musuh Lokai, katakan saja siapa dan di mana, saya Coa-lokai tak akan mundur untuk mewakili Lokai, walau pun nyawaku yang tidak berharga ini akan melayang karenanya!" Setelah berkata demikian, pengemis tinggi besar yang usianya belum ada lima puluh itu meloncat berdiri, tegak siap sedia dengan mata memandang ke sana ke mari seolah-olah hendak mencari musuh pribadi ketuanya.
Hwa-i Lokai menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. "Coa-lokai, terima kasih atas kesetiaanmu ini. Akan tetapi urusan ini benar-benar adalah urusan pribadiku dan kali ini terpaksa aku harus menebus sifatku yang pengecut, yang sudah kupertahankan hingga belasan tahun lamanya. Ya... aku sudah bersikap pengecut sehingga belasan tahun aku menyembunyikan nama dan paling akhir aku menggunakan nama Hwa-i Lokai. Dahulu... hemmm, sekarang sudah tiba saatnya aku meninggalkan sikap pengecut dan membuka rahasiaku sendiri, dahulu aku bernama Sin-chio (Tombak Sakti) The Kok."
Semua pengemis dan yang hadir di situ, terutama kaum tuanya tercengang mendengar nama ini. Belasan tahun yang lalu nama Sin-chio The Kok amat terkenal sebagai seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Kabarnya ilmu tombaknya belum pernah terkalahkan sehingga dia dijuluki orang Sin-chio (Tombak Sakti). Setelah mendengar siapa adanya Hwa-i Lokai, semua orang menjadi berisik.
Ada yang merasa kecewa bahwa Hwa-i Kaipang ternyata dipimpin oleh seorang bekas perampok, akan tetapi ada suara yang membantah dengan pernyataan bahwa biar pun seorang perampok, tapi nama The Kok tetap bersih sebagai perampok budiman yang tak sembarang merampok orang. Yang selalu menjadi sasaran dan korbannya adalah para pembesar jahat dan hartawan-hartawan kikir, malah kabarnya hasil rampokannya selalu ia bagi-bagikan kepada rakyat yang miskin.
Hwa-i Lokai atau Sin-chio The Kok mengangkat tangannya dan suara berisik segera sirap. "Nah, sekarang saudara sekalian tahu siapa saya dan saya sendiri merasa tidak pantas menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Bukan karena saya bekas perampok, akan tetapi terutama sekali karena saya seorang pengecut yang karena takut menghadapi musuh lalu bersembunyi di balik nama palsu. Sekarang musuh besarku telah mengetahui dan hendak menuntut balas, karena inilah aku akan meninggalkan Hwa-i Kaipang untuk membereskan perhitungan dengan dia dan sebelum aku pergi, aku ingin melihat bahwa perkumpulan kita mendapatkan seorang ketua baru yang tepat."
Beng-lokai yang gemuk pendek segera berdiri dan dengan senyuman yang tidak pernah meninggalkan bibirnya ia berkata, "Memang tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangcu (Ketua). Harap Pangcu segera tetapkan saja calon-calon pengganti Pangcu agar supaya pemilihan dapat dilakukan segera."
"Siapa lagi yang kucalonkan kecuali kalian bertiga pembantu-pembantuku? Kalian bertiga adalah calon-calon ketua dan pemilihannya siapa di antara kalian bertiga terserah kepada para anggota," jawab Ketua itu.
"Saya tidak setuju...!" Coa-lokai kembali berkata dengan suaranya yang nyaring. "Setelah kita ketahui bahwa ketua kita adalah Sin-chio The Kok, seharusnya kita bangga memiliki seorang ketua yang gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang yang budiman. Biar pun sekarang Lokai menghadapi urusan itu tapi saya percaya Lokai akan bisa mengatasinya dengan baik. Setelah itu, bukankah Lokai dapat kembali memimpin perkumpulan kita?"
"Heh, Coa-lokai banyak cerewet!" Terdengar suara yang parau seperti kaleng dipukul dan pembicara ini adalah Sun-lokai yang sudah berdiri dan memandang tajam. "Apakah kau hendak membangkang terhadap perintah Pangcu? Lupakah kau apa hukumannya kalau seorang anggota membangkang terhadap perintah?"
Pengemis tinggi besar itu membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Sun-lokai dengan mata berapi-api. "Ho-ho, Sun-lokai, tak usah kau mengingatkan. Aku sendiri tahu bahwa tugasku meneliti dan menghukum para anggota yang menyeleweng, tentu aku maklum akan aturan-aturan di perkumpulan kita. Kalau ketua kita memerintah kepadaku untuk melaksanakan sebuah tugas, walau pun harus mempertaruhkah nyawa, aku tidak akan mundur. Akan tetapi sekarang ini lain lagi. Pangcu kita hendak pergi meninggalkan kita dan menunjuk seorang di antara kita untuk menjadi ketua. Aku tidak setuju sama sekali untuk memilih ketua baru selama Lokai masih hidup! Sun-lokai, agaknya kau sudah terlalu mengilar untuk memperoleh kursi ketua?"
Sepasang mata dari pengemis bongkok ini bersinar dan bercahaya. "Hemm, Pangcu tadi mencalonkan kita bertiga, bukan hanya aku. Kau sendiri pun, kalau mampu membuktikan bahwa kau lebih gagah dan pandai dari aku dan Beng-lokai, kau boleh menjadi ketua."
"Aku tidak sudi selama Lokai masih ada, aku tidak sudi menjadi ketua dan juga tidak sudi membiarkan seorang di antara kalian menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Apa lagi seorang seperti kau!" Coa-lokai menudingkan telunjuknya ke muka Sun-lokai sehingga pengemis bongkok ini menjadi marah sekali.
"Berani kau menghinaku di depan banyak orang?"
"Aku tidak menghina, melainkan bicara sejujurnya. Kau tahu aku suka berterus terang dan aku pun terus terang saja menyatakan bahwa aku tidak suka melihat dan mendengar kau berhubungan erat dengan golongan merah dan hijau."
"Kau keparat, kau menuduh yang bukan-bukan. Apakah kau mau mengajak berkelahi?" Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Berkelahi atau apa saja masa aku takut?" Coa-lokai juga marah.
Dua orang ini sudah saling berhadapan dan saling mendekat, siap hendak menggunakan kekerasan.
"Coa-lokai, Sun-lokai, sudahlah. Tak perlu ribut-ribut!" Hwa-i Lokai berseru untuk melerai mereka.
"Biarlah, Lokai, biar kuberi hajaran kepada si Bongkok ini!" Coa-lokai berkata keras.
"Pengemis busuk, kaulah yang akan mampus di tanganku!" Sun-lokai yang tidak pandai bicara itu mendengus.
Ada pun para anggota Hwa-i Kaipang yang berada di situ memang sudah terpecah-pecah dalam pemilihan ketua, ada yang pro Coa-lokai, dan ada yang pro Sun-lokai. Melihat dua orang jagoan mereka itu sudah saling berhadapan, mereka menjadi tegang dan terdengar seruan-seruan kedua pihak untuk memberi semangat kepada jagoan mereka. Keadaan menjadi berisik bukan main sehingga suara Hwa-i Lokai yang hendak mencegah pertarungan itu tidak terdengar nyata. Dua orang pengemis tua itu sekarang sudah saling serang.
Mula-mula Sun-lokai yang membuka serangan. Dia adalah seorang ahli Cu-see-ciang, yaitu kedua tangannya telah digembleng dan diperkeras dengan latihan mencacah pasir panas. Ia bersilat dengan kedua tangan terbuka, dengan jari-jari lurus dan ibu jari ditekuk ke dalam sehingga kedua tangannya itu seakan-akan sepasang golok yang diserangkan dengan bacokan atau tusukan maut.
Di lain pihak, Coa-lokai ialah seorang ahli gwakang, tenaganya seperti gajah, gerakannya tenang. Kalau sambaran tangan Sun-lokai bagaikan sambaran golok yang tajam, adalah sambaran kepalan tangan Coa-lokai yang besar itu seperti sambaran toya baja yang amat keras dan berat. Keduanya adalah ahli-ahli silat yang kemudian mendapat latihan dari Hwa-I Lokai, maka biar pun mereka memiliki keistimewaan masing-masing, boleh dibilang tingkat mereka kini seimbang. Para pengemis yang menonton pertempuran ini menjadi tegang dan gembira, dari sana sini terdengar seruan-seruan memihak.
Hwa-i Lokai menjadi bingung. Tentu saja mudah baginya untuk datang memisah, namun apa gunanya? Sekali mereka menanam bibit kebencian satu kepada yang lain, hal itu tak akan mudah dipadamkan. Biarlah mereka menentukan siapa yang lebih kuat, bahkan ini merupakan saringan pula untuk memilih seorang ketua baru. Ia hanya berdiri dengan dua lengan di belakang tubuh, akan tetapi siap setiap saat apa bila seorang di antara kedua pembantunya itu terancam bahaya maut, tentu ia akan turun tangan mencegah. Ketika dua orang itu sedang saling gempur dengan ramainya, tiba-tiba dari jauh terdengar orang berteriak-teriak, nyaring menusuk telinga semua orang.
“Heiii... dua orang pengemis tua saling tempur memperebutkan apa sih?"
Karena suara ini hebat dan nyaring, maka semua orang menengok, bahkan Coa-lokai dan Sun-lokai juga otomatis berhenti untuk melihat siapa orangnya yang berteriak sedemikian nyaringnya itu. Dari jauh tampak dua orang berjalan menuju ke tempat itu. Yang di depan adalah seorang pemuda tampan yang pakaiannya sama lapuknya dengan pakaiannya para pengemis, sungguh pun potongan pakaian itu seperti pakaian seorang pemuda terpelajar. Pemuda inilah yang berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya tidak keruan seperti orang gendeng.
Ada pun orang yang berjalan di sampingnya, agak di belakang, adalah seorang kakek tua sekali, terbongkok-bongkok jalannya. Pakaiannya juga compang-camping, dengan tangan memegang tongkat yang diperlukannya untuk membantu ia berjalan.
Siapakah dua orang ini? Pemuda itu bukan lain orang adalah Kwa Kun Hong! Seperti kita ketahui, pemuda ini telah turun dari puncak Bukit Kepala Naga, kenapa dia bisa berada di sini dan datang bersama seorang kakek pengemis tua renta itu? Baiklah kita mengikuti perjalanannya sebentar sejak pemuda ini meninggalkan Bukit Kepala Naga dan sampai ke tempat ini, yaitu di kaki Pegunungan Ta-pie-san, pusat dari perkumpulan Hwa-i Kaipang.
Telah dituturkan pada bagian depan betapa Kun Hong meninggalkan Bukit Kepala Naga dengan maksud mencari dusun untuk bertanya kepada orang ke mana arah perjalanan menuju ke Hoa-san. Memang tidak lama kemudian ia bertemu dengan penduduk dusun, akan tetapi penduduk dusun yang jarang meninggalkan kampung halaman itu, mana ada yang tahu tentang Hoa-san?
Keterangan yang didapat oleh Kun Hong sama sekali tidak mendekatkan dirinya dengan tempat tinggalnya, malah membuat ia tersesat semakin jauh dari Hoa-san. Akhirnya ia mendengar bahwa ia sudah tiba di daerah kota raja selatan (Nanking). Ia tertegun ketika mendengar dari orang yang mengetahui bahwa ia salah jalan dan malah menjauhi Hoa-san. Akan tetapi sebaliknya ia gembira ketika mendengar bahwa ia sudah berada di kota raja.
Setelah ia berada di tempat yang dekat dengan kota raja, apa salahnya untuk sekalian melihat-lihat keadaan kota raja? Sudah lama ia mendengar tentang kota raja yang hanya dapat ia lihat dalam alam mimpi saja. Sekarang, tanpa disengaja ia mendekati kota raja, sudah tentu ia tidak akan melewatkan kesempatan sebaik ini. Ketika Kun Hong melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja, ia melalui Pegunungan Ta-pie-san. Setelah turun naik lereng bukit, dia merasa lelah dan beristirahat di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di lereng gunung.
Pemandangan indah, hawa amat nyaman. Kun Hong lalu menuruni jurang kecil di mana terdapat air terjun yang kecil akan tetapi amat jernih airnya. Dengan sedap dan segar ia minum air itu, lalu mencuci muka, tangan, dan kakinya. Setelah merasa tubuhnya segar lagi, perutnya menggeliat minta isi. Kun Hong kembali ke bawah pohon dan mengeluarkan bekalnya roti kering yang ia terima dari seorang hwesio sebuah kelenteng tua yang amat baik hati, di mana ia semalam menginap.
Terpaksa ia menunda tangannya yang sudah mengantar roti kering ke mulutnya, ia kaget dan terheran-heran kenapa di tempat sesunyi itu terdengar suara orang. Orang itu bicara dengan keras suaranya terbawa angin, sayup-sayup sampai tak dapat ia tangkap artinya. Akan tetapi mengapa tidak pernah ada suara lain yang menjawabnya? Biasanya orang bercakap-cakap tentu sedikitnya membutuhkan dua orang. Suara itu makin jelas dan kini tertangkap oleh telinga Kun Hong, suara orang mencari sesuatu!
"Ahhh, di manakah dia? Haaa, boleh jadi inilah! Ya betul, inilah agaknya yang kucari-cari puluhan tahun sampai sampai saat ini. Tak mungkin salah lagi..., akan tetapi betulkah ini dia? Jangan-jangan aku salah duga dan akan kecele lagi..."
Tergerak hati Kun Hong. Suara itu agak menggetar, dan bisa diduga pembicaranya tentu seorang yang sudah tua. Ia menyimpan kembali roti keringnya, lalu berdiri dan berjalan menuju arah suara tadi.
Setelah ia melalui sebuah gundukan batu karang, tampaklah olehnya seorang kakek yang berpakaian compang-camping. Kakek ini berdiri dengan tongkat tertekan tangan sehingga seakan-akan tongkat itulah yang membantu ia berdiri. Tangan kirinya ditaruh melintang di kening untuk melindungi kedua mata tuanya dari sinar matahari, dan menoleh kian ke mari memandangi tamasya alam di bawah gunung. Ataukah sedang mencari sesuatu?
Segera timbul welas dalam hati Kun Hong melihat kakek yang amat tua ini. Tubuhnya kurus, tinggal kulit dan tulang. Pakaiannya sudah tak patut disebut pakaian lagi, hanya robekan-robekan kain menutupi tubuh di sana sini. Sepatunya sudah bolong sehingga tampak beberapa buah jari kaki tersembul keluar dari pinggir sepatu.
Aduh kasihan, pikir Kun Hong. Sudah begini tua mengapa pergi susah payah ke gunung yang tidak mudah dilalui jalannya? Begitu kurus, tentu sudah berhari-hari tidak makan.
"Kakek yang baik, kau sudah begini tua dan lemah mengapa sampai di tempat seperti ini? Kau sedang mencari apakah, Kek?" tanyanya sambil maju mendekat.
"Ya, aku memang mencari sesuatu," jawab kakek itu tanpa menoleh kepada Si Penanya.
"Mencari apakah yang hilang? Di mana hilangnya? Biarlah kubantu kau mencarinya," kata Kun Hong dengan ramah dan dengan suara mengandung hiburan yang membesarkan hati.
"Heh... tidak ada yang hilang... tapi sudah puluhan tahun aku mencarinya..."
Tiba-tiba ia menoleh dan terkejutlah Kun Hong ketika bertemu pandang dengan sepasang mata yang luar biasa tajamnya seakan-akan menembus sampai ke dalam dadanya. Tak kuat Kun Hong menatap sepasang mata yang hebat itu, maka terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
"Kau bilang hendak bantu aku mencarinya? Huh, betulkah itu? Aku yang sudah puluhan tahun mencari belum juga bertemu. Tapi... hemmm, mungkin sekali ini aku akan dapat bertemu dengannya!" Kata-kata ini penuh semangat dan kakek itu berdongak memandang ke atas.
Otomatis Kun Hong juga mendongakkan kepalanya, akan tetapi di atas sana tidak ada apa-apa, kecuali mega-mega putih berarak di angkasa. Celaka, pikirnya, kasihan benar kakek ini, agaknya dia sudah miring otaknya! Kun Hong menggeleng-geleng kepalanya, lalu memegang tangan kakek itu, menuntunnya perlahan menuju ke bawah pohon.
"Kakek yang baik, marilah kita beristirahat di tempat yang teduh di sana, aku mempunyai beberapa potong roti kering, marilah kita makan bersama," bujuknya.
Kakek itu sejenak memandang kepadanya dengan heran tapi menurut saja ketika dituntun ke bawah pohon. Malah ia segera ikut Kun Hong duduk di bawah pohon itu dan menerima pemberian roti kering dari Kun Hong yang dimakannya lambat-lambat.
"Orang muda, jarang ada orang semacam kau ini di jaman yang sulit ini... hemm, senang juga bertemu dengan orang macam kau di tempat sunyi."
Kun Hong memadang penuh perhatian dan sekarang ia merasa yakin bahwa tak mungkin kakek ini miring otaknya. Mungkin hanya karena berwatak aneh saja maka dia kelihatan seperti orang yang tidak waras pikirannya.
"Aku pun merasa gembira sekali dapat berjumpa dengan kau di sini, kakek yang baik. Sebetulnya, siapakah yang kau cari itu? Benda atau manusia? Aku akan merasa girang kalau kau segera dapat bertemu dengannya, Kek."
Kakek itu tiba-tiba tampak gembira dan wajahnya berseri-seri. "Ya, betul sekali, pasti aku akan dapat bertemu dengannya setelah aku membunuh manusia she The itu!"
Ia nampak bersemangat dan gembira sekali, tak melihat betapa muka Kun Hong sekilas menjadi pucat dan kembali menjadi merah.
"Waaahhh... jangan, Kek. Tidak boleh kau membunuh orang biar dia itu she The atau she apa pun!"
Kini kakek itu menatap tajam wajah Kun Hong, agaknya marah. Roti kering yang baru dimakan separuh itu lalu dilemparkannya ke atas tanah.
"Siapa bilang tidak boleh? Dia itu musuh besarku, dia sudah membunuh muridku yang tercinta. Belasan tahun aku mengejar-ngejarnya, mencari-carinya dan akhirnya aku tahu bahwa dia sudah berganti nama... ha-ha-ha... berganti nama menjadi Hwa-i Lokai ketua perkumpulan Hwa-i Kaipang. Ha-ha-ha, manusia she The, ke mana pun kau bersembunyi, pasti kau akan terpegang olehku."
"Kau salah, Kek. Bagaimana pun juga, tidak boleh membunuh orang. Berdosa sekali perbuatan itu, dan manusia takkan terlepas dari hukum karma, kecuali kalau dengan budi kebaikan dia melepaskan diri dari hukum karma masa yang lalu, barulah dia itu seorang manusia yang bebas dan mulia."
"Uahhh, kau anak kecil tahu apa? Aku hendak membunuh orang she The itu sekali-kali bukan hanya karena dia telah membunuh muridku. Aku akan membunuhnya karena aku ingin mencari kebahagiaan, kau tahu? Tidak pernah aku dapat menemukan kebahagiaan. Seluruh dunia kujelajahi, perbuatan apa pun kulakukan, semedhi, bertapa, menyiksa diri, tapi kebahagiaan belum pernah dapat kumiliki. Orang bilang harta benda mendatangkan kebahagiaan? Phuah! Itu omong kosongnya seorang kepala angin. Kau lihat ini? Emas murni. Bahhh, jemu aku melihatnya karena mengingatkan aku akan manusia kepala angin yang menyatakan bahwa kebahagiaan dapat dicapai kalau orang mempunyai harta benda sebanyak-banyaknya!" Setelah berkata demikian kakek itu mengeluarkan sebongkah emas murni yang berkilauan, lalu ia melempar emas murni itu jauh ke dalam jurang yang tak mungkin dapat didatangi manusia!
Kun Hong mendengarkan dengan tenang dan sabar, kemudian mengangguk-angguk. Dia tidak heran melihat orang membuang sebongkah emas yang berharga itu.
"Kau betul, Kek. Memang kebahagiaan tidak dapat dimiliki melalui emas itu."
"Bagus, kau sependapat. Jika kau menyayangkan emas tadi, kau pun akan kulempar ke dalam jurang itu!" Kakek aneh itu berkata lagi. "Ada pula orang tolol bilang bahwa kalau mempunyai kesaktian sehingga tak terkalahkan orang lain, barulah memiliki kebahagiaan. Uhhh, si goblok. Apa artinya kepandaian tinggi? Hemm, apakah ini yang dianggap dapat membahagiakan manusia?"
Kakek itu menoleh ke kiri, lalu tangan kirinya meremas dan batu hitam itu bagaikan tanah lempung saja dalam tangannya, sekali remas hancur lebur!
"Apakah ini yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Celaka, si manusia sombong. Bila penyakit datang, usia lanjut menggerayang, kematian menjangkit, bisa apakah dia dengan ilmu saktinya? Ha-ha-ha, pikiran katak dalam tempurung!"
Diam-diam Kun Hong terkejut. Dia sama sekali tak mengira bahwa kakek yang ia anggap hampir mati kelaparan ini ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.
Sekali remas saja batu hitam tadi hancur lebur. Wah, hampir ia tidak percaya kalau tidak melihat sendiri. Akan tetapi ia lebih tertarik oleh filsafat yang terkandung dalam ucapan Si Kakek itu, maka ia lalu mengangguk-angguk kembali dan membenarkan.
"Kembali kau benar, Kek. Kebahagiaan memang tidak terletak pada ilmu kepandaian atau kesaktian."
"Juga tidak dalam kedudukan dan pangkat kemuliaan dan harta?"
"Betul, tidak dalam kedudukan dan pangkat"
"He-he-he, kau pintar juga, orang muda. Kaisar-kaisar di jaman dahulu kurang begaimana hebatnya? Kedudukannya setinggi langit, dianggap putera Tuhan, pangkatnya nomor satu di dunia, mulia dan dihormat semua orang, kekayaannya berlimpah, tapi mana ada kaisar yang tak pernah bermusuh-musuhan dan selalu terancam keselamatannya, tidak pernah marah-marah dan jengkel? Mana ada kaisar yang telah memiliki kebahagiaan di samping segala yang dimilikinya itu?"
"Mungkin kau betul, kakek yang baik. Mungkin mereka yang berlimpahan dengan harta dan kemuliaan dunia, malah tidak memiliki kebahagiaan. Akan tetapi agaknya kau sendiri pun sedang mencari kebahagiaan. Mengapa kau tadi katakan bahwa kau akan bahagia kalau kau sudah dapat membunuh seorang she The? Bagaimana ini? Harap kau jelaskan, Kek, agar hatiku tidak mengandung penasaran.”
"Heh-heh-heh, baik… baik, biarlah kujelaskan. Puluhan tahun aku mencari tapi tidak dapat menemukan kebahagiaan. Selain itu, aku pun selalu mencari musuh besarku, yaitu The Kok yang telah membunuh muridku. Kini aku sudah mendapatkan tempat persembunyian The Kok. Nah, timbullah pikiran dalam otakku bahwa agaknya yang menjadi penghalang kebahagiaanku adalah karena aku belum berhasil membalaskan sakit hatiku. Kalau aku telah berhasil membunuh manusia she The itu, sudah pasti aku akan dapat menemukan kebahagiaan. Ha-ha-ha, orang muda yang baik, yang pintar, bukankah betul pendapatku ini?"
Kun Hong mengerutkan keningnya, menarik napas panjang kemudian menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang sekali, Kek. Terpaksa aku tidak dapat membenarkan pendapatmu itu. Menurut perkiraanku, apa bila kau sudah berhasil membunuh orang she The yang kau maksudkan itu, kau malah makin jauh dari kebahagiaan yang kau cari. Hal ini aku merasa yakin sekali, seyakin kenyataan bahwa kau berhadapan dengan aku pada saat ini."
Di waktu bicara, Kun Hong mengerutkan kening, matanya menatap tajam dan suaranya begitu sungguh-sungguh. Pada mulanya kakek itu melengak heran, lalu mukanya merah dan ia menjadi marah sekali.
"Hati-hati kalau bicara orang muda. Jangan-jangan kau malah akan kubunuh lebih dulu, sebelum membunuh The Kok."
"Apa boleh buat jika kau bermaksud begitu, Kek, Akan tetapi kalau demikian makin tebal keyakinanku bahwa kau selama hidupmu tak akan dapat menemui kebahagiaan."
"Keparat, kau kurang ajar sekali. Akan tetapi... hemmm, kau juga aneh dan bukan main beraninya. Heiii, orang muda yang bernyali naga bermulut wanita, apa alasanmu bahwa orang membunuh orang, akan menjauhkannya dari kebahagiaan?"
"Aku yakin akan hal ini, Kek. Apa lagi setelah aku membaca tulisan yang ditinggalkan oleh suhu-ku, betapa dia merana dan menderita hebat sekali karena sudah terlampau banyak membunuh orang, meski yang dibunuhnya itu menurut anggapannya adalah orang-orang jahat belaka. Kau hendak membunuh The Kok, katakanlah bahwa menurut anggapanmu, dia telah membunuh muridmu dan dia itu jahat. Akan tetapi apakah demikian pula dengan anggapan sahabat-sahabatnya, sanak keluarganya, gurunya, muridnya, orang tua serta anak-anaknya? Ketika muridmu dibunuhnya, kau menjadi sakit hati. Kalau kau sekarang membunuhnya, apakah kau kira mereka-mereka yang dekat dengan dia tidak akan sakit hati? Kau tentu akan dicari-cari oleh mereka, musuh-musuhmu akan makin banyak dan hidupmu tidak tenteram lagi! Kalau sudah begitu, mana bisa kau bilang bahwa kau sudah menemui kebahagiaan?"
Kakek itu tertegun, memandang aneh, matanya agak dipejamkan, tampak memutar otak. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya memandang tajam dan bertanya, "Orang muda, kau murid siapakah? Siapa itu gurumu yang meninggalkan pesan penyesalannya akibat sudah banyak membunuh orang?"
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan suhu-ku, hanya membaca dari kitabnya dan peninggalan tulisan-tulisannya. Dia menuliskan namanya sebagai Bu Beng Cu, aku hanya sempat bertemu dengan burung rajawali emas, agaknya binatang peliharaannya."
"Dia...?! Bu Beng Cu...? Kau muridnya?!" Kakek itu terkejut sekali dan kedua tangannya memegang pundak Kun Hong.
Pemuda ini merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih gunung, merasa seakan-akan tulang-tulangnya remuk dan patah-patah. Ia cepat mengempos semangat dan hawa murni mengalir dari pusarnya menuju ke pundak sehingga penderitaannya berkurang banyak.
"Heh, kau bilang muridnya? Bohong kau! Sedikit kepandaianmu ini mana membolehkan kau mengaku sebagai muridnya? Dia itu suheng-ku (kakak seperguruan), kau tahu? Kalau benar kau sudah mewarisi tulisan-tulisan peninggalannya, harap kau jelaskan bagaimana bunyi tulisan-tulisan itu!"
Kun Hong mendongkol sekali, akan tetapi ia menyabarkan hatinya. Ia tahu bahwa kini ia berhadapan dengan orang sakti yang berwatak aneh dan kiranya soal membunuh orang bukanlah soal baru bagi kakek ini. Akan tetapi ia tidak takut dan malah ia mengambil keputusan untuk sedapat mungkin menyadarkan kakek itu agar tidak sampai membunuh orang!
"Percaya atau tidak terserah. Aku masih hafal akan tulisan peninggalan Locianpwe itu, begini: ‘Telah bertumpuk dosaku. Ratusan orang telah kubunuh dengan anggapan bahwa itu adalah perbuatan baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap jahat. Anggapan yang sesat! Aku tidak mampu memberi kehidupan, lalu bagaimana aku berhak mengakhiri kehidupan? Aku sangat berdosa! Mengandalkan kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapa pun jahat si manusia itu, bukanlah perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula’. Nah, begitulah tulisan peninggalan Locianpwe Bu Beng Cu, Kek."
Kakek itu terlongong kembali, lalu tiba-tiba ia berkata, "Keluarkan pedangmu itu, hendak kulihat apakah benar pedang suheng-ku!"
Kun Hong kaget sekali. Bagaimana kakek ini bisa tahu akan pedangnya yang selalu dia sembunyikan di balik jubahnya itu? Ia tidak membantah, lalu mengeluarkan pedangnya yang selama dalam perjalanan selalu dia sembunyikan itu. Kakek itu menerima pedang, menghunusnya dan tiba-tiba ia menangis terisak-isak!
"Ahh... Ang-hong-kiam... Ang-hong-kiam... ahh, Twa-suheng... jadi kau benar-benar telah mati lebih dulu dan meninggalkan pesan melalui mulut bocah ini..."
"Agaknya betul dugaanmu itu, Locianpwe," berkata Kun Hong yang sekarang menyebut ‘locianpwe’ karena tahu bahwa kakek ini sebetulnya adalah seorang berilmu tinggi yang wataknya aneh sekali. "Kiranya Locianpwe Bu Beng Cu sengaja meninggalkan pesan itu untukmu. Kau lihat sendiri, sesudah membunuh ratusan orang, Locianpwe Bu Beng Cu merasa berdosa dan menyesal, karena itu apa bila kau tadi menyatakan bahwa dengan membunuh si orang The Kok lalu kau akan menemukan kebahagiaan, alangkah jauhnya menyeleweng dari kebenaran!"
Sepasang mata kakek itu tidak mengucurkan air mata lagi, sekarang memandang kepada Kun Hong penuh kebingungan, tangannya gemetar ketika mengembalikan pedang. Kun Hong menerima pedangnya dan menyimpannya kembali.
"Kau betul orang muda yang aneh, kau benar sekali. Ahh... selamanya suhengku itu memang bijaksana... agaknya kau pun mewarisi kebijaksanaannya... memang aku bodoh, Suheng sudah kakek-kakek ketika aku masih menjelang dewasa. Orang muda yang baik, kau sebagai wakil Suheng, lekas kau katakan kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan!"
Kun Hong kaget sekali. Dia seorang pemuda yang masih hijau, pengetahuannya tentang filsafat kehidupan hanya diperolehnya dari membaca kitab-kitab kuno yang ia selaraskan dengan suara hati nuraninya sendiri. Bagaimana dia bisa menerangkan pada kakek yang hendak mencari kebahagiaan ini? Akan tetapi dia bertekad untuk mencegah kakek ini melakukan pembunuhan, maka ia akan mencobanya.
"Locianpwe, aku mau bicara tentang kebahagiaan kalau kau suka berjanji bahwa kau tak akan membunuh orang bernama The Kok itu."
"Baik... baik... setelah mendengar pesan Suheng, kini aku sendiri ngeri untuk membunuh orang. Aku berjanji mulai sekarang aku takkan mau membunuh orang lagi. Tapi kau harus segera memberi tahukan kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan."
Lega hati Kun Hong. Betapa pun juga, kakek ini adalah seorang cianpwe, tidak mungkin mau menarik kembali janjinya atau melanggarnya. Dengan demikian berarti dia telah bisa membatalkan niat orang untuk membunuh. Tentang pendapatnya mengenai kebahagiaan, adalah menurut jalan pikirannya, sesuai pula dengan hati nuraninya yang disesuaikan dengan ilmu kebatinan yang ia baca dari kitab-kitab filsafat kuno.
"Menurut pendapatku, Locianpwe. Kebahagiaan hidup itu tidak dapat dikejar, karena bagaimana pun orang mengejar-ngejarnya, takkan mungkin dia dapat menemukannya. Bahagia tak dapat dicari-cari..."
"Apa kau kata? Kebahagiaan tak dapat dikejar, tak dapat dicari, kalau begitu kebahagiaan itu tidak ada? Jangan kau main-main!"
Berkerut kening Kun Hong, tanda bahwa dia sedang berpikir keras untuk mencari cara menjelaskan tentang persoalan sulit yang mengandung filsafat hidup itu.
"Locianpwe, bukan maksudku mengatakan bahwa kebahagiaan itu sebenarnya tidak ada. Kebahagiaan itu memang ada. Akan tetapi janganlah keliru menafsirkan apa sebetulnya kebahagiaan itu. Banyak sekali orang tertipu oleh kesenangan dan menganggap bahwa kesenangan itulah kebahagiaan. Yang dapat dikejar dan dapat dicari adalah kesenangan, bukan kebahagiaan. Ada pun kesenangan itu bukan lain adalah pemuasan nafsu jasmani dan nafsu perasaan. Kesenangan duniawi adalah pemuasan kehendak yang terdorong oleh nafsu semata. Contohnya keinginan Locianpwe tadi hendak membunuh The Kok, tak lain adalah karena dorongan kehendak memuaskan nafsu dendam dan andai kata hal itu terjadi, kiranya akan dapat merasakan kesenangan karena nafsu dendam itu dipuaskan. Akan tetapi orang lupa bahwa kesenangan mempunyai saudara kembar yang bernama kesusahan. Di mana kesenangan berada, di sana akan muncul pula saudara kembarnya, yaitu kesusahan. Kalau orang mencari kesenangan, memang dia akan mendapatkannya, namun sifat kesenangan hanyalah sementara saja. Rasa senang akan segera lenyap dan kalau sudah begitu, muncullah kesusahan dan ia akan kecewa karena segera ternyata bahwa kesenangan yang dicari-carinya itu setelah didapatkannya ternyata tidaklah begitu menyenangkan, apa lagi membahagiakan. Siapa mencari dia akan kecewa, karena yang dicarinya itu hanyalah kehendak dari nafsunya, bukanlah kebutuhan jiwanya."
Sampai berkeringat kening pemuda itu karena pengerahan otaknya yang diperas untuk menerangkan hal yang amat gawat ini. Akan tetapi hasilnya hebat sekali. Muka kakek itu mula-mula membayangkan keharuan, lalu matanya membelalak dan akhirnya wajahnya berseri-seri.
"Aduh, kau hebat..., kau orang muda luar biasa... teruskanlah, teruskanlah uraianmu yang menarik ini. Kau barusan bicara tentang kesenangan dunia, sekarang bagaimana dengan kebahagiaan yang ajaib itu? Selama ini aku sendiri telah tertipu dan mengacau-balaukan kesenangan dengan kebahagiaan. Orang muda yang hebat, apakah kebahagiaan itu dan mengapa tidak boleh dikejar dan dicari?"
"Locianpwe, maafkan kalau aku yang muda dan bodoh ini lancang berani bicara tentang hal yang pelik ini."
"Tidak apa, tidak apa, teruskanlah..."
"Lebih dulu aku akan mengulangi sajak yang pernah kubaca, hasil karya seorang pujangga kuno yang tidak diketahui namanya, begini sajak itu:
Kebahagiaan seperti bayangan,
serasa tergenggam di jari, tanpa bekas kau lari
tak dikejar mendekati, dikejar kau menjauhi
memang kau bayanganku, tak pernah berpisah dariku
bagaimana orang dapat mengejar bayangan sendiri…?”
Kun Hong berhenti sejenak dan menarik napas panjang, kemudian melanjutkan kembali, "Demikianlah, Locianpwe. Kebahagiaan adalah keadaan, memang ada, yaitu sudah ada di dalam diri setiap makhluk. Setiap yang mengejarnya akan tersesat jauh karena memang tak dapat dan tak semestinya dikejar. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang sudah sadar akan keadaan hidupnya, yang sadar bahwa ada yang menghidupkannya. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang tenang tenteram damai dan tahu bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu ia dapat menerima dengan hati ikhlas, tak dapat kecewa, tak dapat berduka, adanya hanya puas dan dapat menikmati kekuasaan Tuhan yang sudah dilimpahkan atas dirinya, baik kekuasaan yang mendatangkan rasa tidak enak atau pun yang sebaliknya bagi badan dan pikiran. Hanya manusia yang sadar akan kekuasaan Tuhan, dapat menerima segala yang terjadi atas dirinya dengan penuh penyerahan, dengan tunduk dan taat serta menganggap segala peristiwa, baik yang dianggap menyenangkan atau menyusahkan oleh badan dan pikiran serta perasaannya, sebagai berkah Tuhan. Manusia seperti itulah yang berhasil menemukan kebahagiaan yang sebetulnya memang sudah berada dalam dirinya. Karena menghadapi keadaan yang bagaimana pun juga, dia akan tetap tenang, tenteram dan menerima dengan hati tulus ikhlas, dan kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan takkan tergoyahkan. Nah, hanya sekian saja pendapatku, Locianpwe, sekali lagi maaf kalau kau anggap tidak cocok dengan pendapat Locianpwe."
Kakek itu merangkul Kun Hong. "Ahh, anak yang baik... kau telah membuka mataku yang buta! Kau benar sekali... anak yang baik, coba kau terangkan, bila ada orang membunuh muridku, mengapa aku tidak boleh membunuhnya juga sebagai hukumannya?"
"Menurut pendapatku, pendirian itu keliru, Locianpwe. Locianpwe sendiri mengakui bahwa membunuh murid Locianpwe adalah suatu perbuatan jahat, dan sudah menjadi anggapan umum bahwa membunuh sesama manusia adalah perbuatan jahat. Kalau kita sudah tahu bahwa membunuh itu jahat, mengapa justru untuk menghadapi kejahatan membunuh kita pun harus berlaku jahat dan membunuh pula? Kalau sudah terjadi bunuh-membunuh, bagaimana kita dapat membedakan mana yang jahat mana yang baik, mana yang benar mana yang salah? Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, dan untuk itu manusia sudah mengadakan hukum bagi yang jahat. Kalau ada yang melakukan pembunuhan, tangkaplah dan hadapkan kepada yang berwajib yang berhak mengurus tentang hukuman bagi si jahat dengan mengadakan pengadilan ciptaan manusia. Akan tetapi menghukumnya sendiri dengan jalan membunuh? Ahh, Locianpwe, hendak kutanyakan kepada Locianpwe, apa perbedaannya dalam soal kejahatan antara pembunuhan yang dilakukan The Kok terhadap murid Locianpwe dengan pembunuhan yang akan dilakukan oleh Locianpwe terhadap The Kok?"
Kakek itu merenung sejenak. "Bedanya, karena kalau aku membunuhnya, aku memiliki alasan untuk membalaskan sakit hati muridku."
"Ah, Locianpwe, setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti mempunyai alasan untuk perbuatannya. Ada akibat pasti bersebab. Apakah kiranya orang yang bernama The Kok itu ketika membunuh murid Locianpwe juga tidak mempunyai alasan? Kiraku pasti ada alasannya. Betapa pun juga, dia bersalah besar ketika membunuh muridmu dan bagiku, dia telah melakukan perbuatan jahat. Jika Locianpwe membunuhnya pula, apa pun alasan yang Locianpwe ajukan, perbuatan membunuh itu tak bisa tidak juga termasuk perbuatan jahat. Dan kebahagiaan tak mungkin dicapai dengan melalui perbuatan jahat. Di samping penyerahan akan kekuasaan Tuhan, juga setiap tindakan dalam hidup haruslah menjauhi kejahatan dan memupuk kebaikan sebanyak mungkin. Inilah yang disebut menyesuaikan diri dengan sifat-sifat alam. Adakah alam pernah menuntun sesuatu demi kesenangannya sendiri? Tidak pernah, alam dan segala isinya selalu memberi kebaikan kepada siapa saja tanpa pernah meminta dan menuntut. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, tiada yang dikecualikan, berkah-Nya melimpah-limpah seperti aliran Sungai Kuning yang tak pernah kering, akan tetapi, pernahkah Tuhan menuntut dan minta sesuatu dari kita? Alam adalah cermin kecil dari sifat Maha Pengasih dan Penyayang itu. Coba lihatlah pohon berbuah itu, Locianpwe. Tanpa diminta ia siap memberikan segala-galanya, batangnya, daunnya, bunganya, buahnya kepada siapa saja yang membutuhkan. Ia memberikan dengan segala keikhlasan tanpa diminta, segala kenikmatan kepada yang mampu menikmatinya. Akan tetapi, pernahkah pohon itu minta sesuatu, menuntut sesuatu dari siapa pun juga? Ah, alangkah akan indahnya dunia ini kalau manusia dapat memetik pelajaran dari sikap pohon buah itu, di mana manusia hanya mengenal pemupukan kebaikan dari sifat alam tanpa menuntut kesenangan bagi diri sendiri."
"Ahhh... kau betul, Anakku... kau betul sekali... ha-ha-ha-ha, Lui Bok, kau dijuluki orang Sin-eng-cu (Garuda Sakti), akan tetapi kau goblok dan patut berguru kepada bocah ini!" Ia menepuk-nepuk kepalanya sendiri dan kelihatan girang sekali. "Ehhh orang muda, kau masih murid keponakanku sendiri, tapi aku patut menjadi muridmu. Siapakah namamu?"
"Aku bernama Kwa Kun Hong, Locianpwe. Aku banyak mengharapkan banyak petunjuk dari Locianpwe."
"Heran sekali... kau menjadi pewaris kitab peninggalan suheng-ku, tetapi mengapa kau tidak memiliki kepandaian silat sebaliknya malah menjadi ahli filsafat? Kun Hong, coba kau bersilat dari pelajaran dalam kitab yang kau hafal itu, hendak kulihat."
Merah muka Kun Hong. "Ah, sesungguhnya Locianpwe, aku hanya menghafal saja akan tetapi aku tidak dapat bersilat."
"Hee...?! Habis untuk apa kau menghafal kitab itu?"
"Menurut pendapatku, ilmu silat yang diwariskan dalam kitab Suhu hanya untuk menjaga diri agar jangan sampai dicelakakan orang. Akan tetapi kalau hendak dipergunakan untuk memukul orang... ahh, aku tidak sudi melakukannya, Locianpwe."
Kembali kakek itu melengak, lalu mengangguk-angguk. Tiba-tiba dia berseru, "Aku akan menyerangmu dan kalau kau terkena pukulanku, mungkin kau akan mati!"
Cepat sekali, tidak sesuai dengan tubuhnya yang kelihatan lemah itu, kakek ini lalu maju memukul dengan pukulan kilat. Serangan ini dilakukan dengan cepat serta mengandung tenaga yang amat dahsyat. Kun Hong kaget bukan main. Otomatis kedua kakinya melangkah dengan langkah ajaib yang ia pelajari dari kitab. Kedua lengannya bergerak-gerak sebagai imbangan tubuhnya dan pukulan itu tidak mengenai tubuhnya.
Kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan menyerang terus, makin lama makin cepat dan keras. Kun Hong terpaksa terus melangkah ke sana ke mari, langkah-langkahnya ganjil dan kacau, namun sampai sepuluh jurus kakek itu hanya memukul angin belaka.
Tiba-tiba kakek itu berhenti dan bertepuk tangan. "Bagus... bagus sekali! Inilah agaknya Kim-tiauw-kun yang dahulu hendak diciptakan oleh Suheng berdasarkan Im-yang bu-tek-cin-keng! Hebat... hebat!"
Ia merangkul lagi Kun Hong diajak duduk bawah pohon. "Mana roti keringmu tadi? Keluarkan aku lapar sekali!"
Girang hati Kun Hong. Memang masih ada ia menyimpan roti kering dalam buntalannya. Kemudian ia mengeluarkan roti-roti kering itu dan memberikan kepada kakek aneh yang menyebut namanya Sin-eng-cu Lui Bok ini.
"Silakan makan, Locianpwe, tapi hanya roti kering yang keras dan tengik."
"Heh-heh-heh, jangan kau merendah, Kun Hong. Rotimu begini empuk, harum, masih hangat dan di dalamnya diberi cacahan daging yang begini gurih, kau katakan roti kering tengik? Ha-ha-ha benar-benar kau merendah. Bukan main sedapnya roti ini!"
Tiba-tiba Kun Hong terbelalak matanya. Mimpikah dia? Roti kering yang tadinya keras dan memang agak tengik yang dipegangnya, sekarang kenapa sudah berubah sama sekali? Roti itu menjadi roti yang besar dan empuk, benar-benar masih hangat dan berbau harum malah ketika ia melihat bagian yang sudah ia gigit, tampak cacahan daging matang yang benar-benar gurih!
"Ehh..., ini... ini... bagaimanakah ini? Kenapa bisa begini, Locianpwe...?" tanyanya gagap saking herannya.
"Ha-ha-ha! Biar pun kesenangan bukan termasuk kebahagiaan sejati, namun kesenangan pun anugerah Tuhan dan kita berhak menikmatinya, bukan? Nah, marilah kita menikmati roti yang enak ini!"
"Memang benar, Locianpwe. Tapi... tapi... bagaimana ini...? Mengapa roti keringku bisa berubah?"
"Tidak usah tanya-tanya, nanti kuberi penjelasan. Makan dulu." Keduanya lalu makan dan Kun Hong harus mengakui bahwa selama ini belum pernah ia makan roti seenak itu.
"Wah, habis makan roti tidak ada minuman. Kalau saja ada arak baik di sini, alangkah sedapnya."
Melihat kakek itu agaknya kesereten, Kun Hong menjadi kasihan dan segera dia berlari mencari air mancur dan menyendok air menggunakan daun yang lebar. Dibawanya air itu ke bawah pohon.
"Heh-heh-heh, kau betul-betul hebat. Orang ingin minum arak kau datang membawa arak wangi dalam cawan perak. Ha-ha-ha!"
"Ahh, Locianpwe, hanya air biasa dalam daun, mana ada arak?"
Kun Hong tertawa dan memandang daun di tangannya yang penuh air. Tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget dan heran karena yang berada di tangannya adalah benar-benar arak di dalam cawan perak yang indah.
"Ehhh, bagaimana pula ini...?! Locianpwe, apakah aku sudah gila? Ataukah aku sedang mimpi...?!" teriaknya terkejut.
"Ha-ha-ha, minumlah, nikmatilah kesenangan untuk lidah dan mulut kita. Nanti akan aku ceritakan," kata kakek itu sambil menenggak arak dalam cawannya.
Terpaksa Kun Hong juga minum araknya dan ternyata, betul seperti dikatakan kakek itu, arak di dalam cawannya amat harum dan enak.
"Kau lihat baik-baik, yang di dalam tanganmu itu hanya daun biasa."
Kun Hong melihat dan betul saja, cawan yang kosong tadi sudah berubah pula menjadi daun yang tadi, tanpa ia ketahui. "Ini... kau main sulap, Locianpwe," katanya tertawa.
"Kau sudah menggirangkan hatiku, Kun Hong. Maka aku harus membikin senang sedikit hatimu. Ketahuilah, yang kuperlihatkan tadi adalah ilmu yang disebut menguasai pikiran orang lain (semacam hypnotisme). Memang amat berbahaya kalau memiliki ilmu ini dan sebagian orang yang tidak mengerti akan menganggapnya sebagai hoat-sut (ilmu sihir) yang jahat, semacam ilmu hitam. Akan tetapi anggapan itu keliru. Ilmu kepandaian tidak ada yang jahat. Hitam atau putihnya, jahat atau pun baiknya, tergantung dari pemilik ilmu itu sendiri. Hoat-sut (menguasai pikiran orang) ini kalau dimiliki oleh orang yang berjiwa bersih, tentu akan banyak mendatangkan kebaikan seperti yang baru saja kuperlihatkan. Bukankah makan roti kering dan minum air tawar tidak begitu sedap? Dan bukankah akan menambah kenikmatan kalau ingatanmu kukuasai sehingga kau menganggapnya sebagai roti enak dan arak wangi? Nah, untuk segala petunjukmu tadi tentang kebahagiaan, aku harus membalas. Kau adalah ahli membaca kitab, nah, ilmu ini terdapat dalam kitab ini. Kau baca dan pelajarilah, tentu kelak berguna untukmu. Ilmu yang kuperlihatkan tadi baru sepersepuluhnya saja dari isi kitab ini."
Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kitab yang sudah lapuk dan Kun Hong menerimanya dengan pernyataan terima kasih. Tentu saja ia girang bukan main mendapat hadiah kitab istimewa itu. "Sekarang marilah kau ikut denganku, Kun Hong. Ikutlah dengan aku pergi ke kaki gunung ini untuk menjumpai The Kok yang sekarang menjadi Ketua Hwa-I Kaipang."’
Kun Hong terkejut dan memandang. "Locianpwe, kau tidak..."
Kakek itu tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Jangan kuatir. Sudah lenyap semua nafsuku untuk membunuh orang. Aku harus menemuinya. Ha-ha-ha! Kau benar. Dia telah membunuh muridku, biarlah kesadarannya sendiri yang akan menghukumnya." Kakek itu lalu berdiri dan mengajak Kun Hong turun gunung.
Demikianlah kisah pertemuan antara Kun Hong dengan Sin-eng-cu Lui Bok seperti telah diceritakan di bagian depan.
Kun Hong dan Sin-eng-cu Lui Bok telah tiba di tempat para pengemis Hwa-i Kaipang. Dari jauh Kun Hong melihat ribut-ribut di antara pengemis yang memenuhi pekarangan depan rumah perkumpulan itu. Ia mendapat keterangan dari pengemis yang dijumpainya bahwa dua orang pembantu ketua sedang ribut hendak bertempur dalam perebutan kedudukan ketua.
Kun Hong merasa kuatir sekali. Dari jauh dia segera berteriak-teriak, "Heeiii..., berhenti... dua orang pengemis tua saling pukul memperebutkan apa sih?"