CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJAWALI EMAS JILID 20
Sesosok bayangan berjalan lambat memasuki pekarangan istana itu. Orang ini sudah tua, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kekar, jalannya sempoyongan sedang tenggorokannya mengeluarkan suara merintih-rintih bagaikan orang sedang menangis. Akan tetapi mulutnya terdengar menggerutu, "Anak murid Hoa-san-pai? Ha, anak murid Hoa-san-pai..."
Lima orang perajurit pengawal yang bertugas menjaga Istana Kembang pada malam itu, terheran-heran ketika melihat datangnya seorang kakek berpakaian putih di situ. Mereka mengira bahwa tentulah kakek ini seorang pengemis gila, karena itu salah seorang dari mereka segera membentak, "Hee! Kakek gila, keluar kau!"
Akan tetapi kakek berpakaian putih ini seperti tidak mendengar bentakan itu. Dia terus melanjutkan perjalanannya melewati pekarangan menuju ke pintu depan. Tentu saja lima orang pengawal itu menjadi marah dan juga amat curiga. Dengan gerakan cepat mereka melompat dan tahu-tahu mereka sudah berdiri menghadang di depan kakek itu.
"He, Kakek! Apa kehendakmu dan siapa kau?" tegur seorang di antara mereka dengan sikap mengancam.
Kakek itu tetap tidak mengacuhkan mereka, memandang pun tidak, hanya menggumam, "Anak murid Hoa-san-pai..."
Lima orang itu semakin curiga, malah mereka sudah meraba gagang golok dan pedang. Jangan-jangan orang ini adalah teman gadis-gadis yang ditahan dan hendak merampas mereka, pikir mereka.
"Siapa kau?! Jangan main-main di sini, orang gila. Lekas keluar atau kau akan merasakan tajamnya golokku!" seorang di antara mereka berseru sambil mencabut goloknya. Empat orang yang lain juga sudah mencabut senjata masing-masing.
Akan tetapi kakek itu agaknya benar-benar gila. Rengek tangis di tenggorokannya masih terdengar terus dan bibirnya tiada henti-hentinya berkata, "Serahkan padaku anak murid Hoa-san-pai..."
Sementara itu kedua kakinya masih terus melangkah ke arah pintu, agaknya dia hendak memaksa memasuki istana itu.
"Orang gila sudah bosan hidup!" teriak para pengawal marah.
Berbareng mereka menggerakkan senjata, ada yang menusuk paha, ada yang membacok pundak, pendeknya mereka hendak merobohkan orang tua itu tanpa membunuhnya. Akan tetapi semua bacokan itu hanya mengenai angin belaka, padahal kakek itu kelihatannya tidak mengelak sama sekali!
Para pengawal itu terkejut bukan main dan mereka sadar bahwa orang gila ini bukanlah orang sembarangan. Namun kesadaran mereka terlambat karena dengan sekali renggut saja kakek itu sudah mencabut sebatang pohon bunga di depan istana. Pohon sebesar paha orang itu tercabut berikut akar-akarnya, kemudian tanpa banyak cakap lagi ia pun menghajar lima orang pengawal dengan pohon ini!
Kelima orang pengawal itu mencoba sedapat mungkin untuk menangkis atau mengelak, meloncat ke sana ke mari, namun sia-sia belaka. Tidak sampai lima menit mereka semua telah roboh dengan kepala pecah dan tulang-tulang patah tanpa nyawa lagi!
Setelah merobohkan lima orang ini, kakek gila tadi melemparkan batang pohon itu secara sembarangan, lalu berjalan terus dengan langkah lebar menuju pintu. Pintu itu terpalang dari depan, tapi sekali dorong daun pintu yang tebal itu terbuka, palangnya patah-patah. Sambil mengomel panjang pendek dan rengek tangisnya masih terdengar jelas, kakek ini melangkah masuk.
Dua orang pelayan wanita muncul dengan kaget dari dalam. Mereka menjerit ngeri ketika melihat seorang kakek aneh berjalan masuk dan daun pintu telah roboh dan pecah. Kakek itu agaknya marah mendengar jeritan mereka. Tangannya cepat bergerak ke arah mereka dan pelayan itu roboh terjungkal, mati tanpa dapat bersambat lagi. Lalu kakek ini melangkah terus.
"Anak murid Hoa-san-pai, mana anak murid Hoa-san-pai?" demikian terdengar ia bicara perlahan. Semua pintu kamar dibukanya dan ia mencari terus sampai ke kamar di sebelah belakang.
Pada waktu itu, dengan lagak genit dan centil sekali dua orang selir Pangeran sedang membujuk Li Eng dan Hui Cu yang terbelenggu di atas pembaringan. Mereka membujuk terus agar supaya dua orang gadis itu menurut saja menjadi selir Pangeran, malah tanpa malu-malu lagi dua orang wanita yang sudah tidak lagi mengenal kesusilaan ini mulai menceritakan hal-hal yang tak patut didengar telinga sopan, memuji-muji Pangeran yang muda dan tampan itu dan betapa senangnya menjadi selirnya.
Mula-mula Li Eng dan Hui Cu memaki-maki, akan tetapi lama-lama mereka lelah sendiri dan meramkan mata, sama sekali tidak mau melihat atau mendengar lagi. Kalau saja tangan mereka tidak terbelenggu, pasti sekali pukul mereka merobohkan dua orang yang tak tahu malu ini. Sementara itu, dua orang pelayan wanita juga berada di dalam kamar untuk melayani dua orang selir tadi.
Tiba-tiba pintu kamar itu terdorong dari luar, dan setelah terbuka masuklah Si Kakek tadi. Dua orang selir Pangeran itu bukanlah wanita-wanita lemah, segera mereka melompat dan menyambar pedang masing-masing.
"Siapa kau...?" Belum habis gema suara ini, dua orang selir itu telah terlempar dan kepala mereka terbentur tembok hingga pecah dan tewaslah mereka.
Diam-diam terkejut sekali hati Li Eng dan Hui Cu melihat betapa dengan gerakan kedua tangannya, kakek ini melakukan pukulan jarak jauh yang dapat membinasakan dua orang selir itu. Ada pun dua orang pelayan yang menjadi ketakutan segera menjerit-jerit. Akan tetapi dua kali tendangan menamatkan hidup mereka.
Sekaligus kakek ini telah membunuh empat orang di dalam kamar itu, dua orang lagi di luar kamar dan lima orang di luar rumah. Kemudian ia menghampiri Li Eng dan Hui Cu, memandang sejenak lalu terdengar ia berkata, "Anak murid Hoa-san-pai...?"
Li Eng dari Hui Cu tidak tahu siapakah kakek ini dan apa gerangan maksudnya dengan perbuatannya yang mengerikan itu, tidak tahu pula apa maksudnya bertanya tentang anak murid Hoa-san-pai. Akan tetapi karena dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang tokoh luar biasa di dunia kang-ouw dan tentu mengenal baik Hoa-san-pai, Li Eng yang lebih tabah itu menjawab,
"Benar, Locianpwe, kami berdua adalah murid Hoa-san-pai..."
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangan dan pada lain saat tubuh Li Eng dan Hui Cu telah dipanggulnya di kanan kiri atas pundaknya, kemudian bagaikan terbang ia berlari keluar dari istana yang penghuninya telah dibunuhnya semua itu!
Ketika kota raja geger dan pintu pintu gerbang kota raja sudah ditutup dan dijaga keras, kakek ini telah lama meninggalkan kota raja dengan memanggul dua tubuh gadis itu. Ia berlari terus secepat angin menembus gelap malam dan menjelang tengah malam tibalah ia di sebuah hutan, langsung memasuki hutan itu dan menuju ke sebuah kelenteng kuno yang sudah kosong.
Ia masuk di ruangan belakang kelenteng itu yang ternyata bersih. Melihat betapa di dalam gelap ia dapat bergerak leluasa, dapat diduga bahwa ia sudah hafal akan tempat ini. Sambil merengek-rengek terus dia melepaskan dua tubuh dara itu ke atas lantai secara kasar, mulutnya tiada hentinya berbisik, "Anak murid Hoa-san-pai... hemmm, anak murid Hoa-san-pai..."
Li Eng dan Hui Cu sudah terbebas dari totokan dan kini mereka berusaha melepaskan belenggu yang mengikat kedua tangan mereka. Tentu saja mereka dapat menggerakkan kaki dan andai kata menghadapi seorang biasa saja, dengan kaki mereka dua orang dara perkasa ini sanggup merobohkannya. Akan tetapi kini mereka menghadapi seorang kakek aneh yang sakti, tentu saja mereka tak berani berlaku sembrono menyerang dengan kaki saja!
Mereka mendapat kenyataan bahwa lantai itu licin dan bersih, dan mereka menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh kakek itu terhadap diri mereka. Tiba-tiba terdengar bunyi benda-benda nyaring dan terjadilah api. Tak lama kemudian ruangan itu menjadi terang oleh sebatang lilin yang dipasang oleh kakek itu di atas sebuah meja sembahyang yang sudah butut.
Ngeri juga hati dua orang gadis itu melihat wajah kakek yang tua dan menyeramkan tadi tersinar cahaya lilin. Kakek itu kini tertawa terkekeh-kekeh sambil memandang mereka.
"Heh-heh-heh-heh! Anak-anak murid Hoa-san-pai! Muda-muda dan cantik, tetapi semua anak murid Hoa-san-pai genit-genit, cabul dan tidak tahu malu!"
"Kakek tua bangka gila!" Li Eng tak dapat menahan kemarahannya mendengar kata-kata yang sangat menghina nama baik Hoa-san-pai ini. "Mulutmu kotor, kau manusia ataukah iblis? Kami orang-orang Hoa-san-pai selalu memegang tinggi kesopanan dan juga pribudi kebijaksanaan, jangan sembarangan kau menuduh!"
Kakek itu tertegun kaget mendengar suara ini dan melihat sikap Li Eng yang berani. Akan tetapi hanya sebentar karena ia terkekeh kembali.
"Heh-heh-heh! Sama saja semua. Kelihatannya memang sopan-sopan, lagaknya seperti pendekar-pendekar, akan tetapi begitu dekat laki-laki lalu menjadi cabul. Mempunyai anak di luar pernikahan, coba bilang, apakah itu tidak cabul dan tak tahu malu?"
"Keparat! Tua bangka! Lepaskan belenggu ini dan mari kita bertanding untuk membela pendirian kita. Kau akan mampus di tanganku untuk menebus ucapanmu yang menghina Hoa-san-pai!" kata pula Li Eng.
"Heh-heh-heh, hendak kulihat kau akan mampu berbuat apa nanti. Tetapi nanti, sekarang kau harus mengalami penghinaan lebih dahulu. Semua wanita-wanita Hoa-san-pai harus mengalami penghinaan, sesuai dengan watak Hoa-san-pai yang hinal" Ucapan ini disusul gerakan tangannya menyambar ke arah tubuh Li Eng.
"Brettt!"
Baju yang menempel di bagian atas tubuh Li Eng hancur berkeping-keping, kemudian bertaburan seperti daun-daun kering tertiup angin. Li Eng menjerit dan cepat menggunakan kaki menggulingkan tubuh sehingga yang hancur hanya pakaian bagian pundak dan leher saja, namun cukup banyak sehingga membuat tubuh bagian atasnya setengah telanjang. Mula-mula ia memaki-maki marah, akan tetapi makiannya berubah menjadi jerit mengerikan ketika dia melihat kakek itu mendekatinya dengan muka seperti iblis dan dari pandang matanya jelas tampak nafsu untuk menghina, untuk membikin malu dan merendahkan dua orang gadis itu.
Sementara itu, Hui Cu sudah bangkit berdiri dan memandang dengan muka pucat. Gadis ini belum diganggu, mungkin karena semenjak tadi ia diam saja, tidak seperti Li Eng yang memaki-maki sehingga agaknya kemarahan kakek aneh itu ditumpahkan kepada Li Eng semua.
Melihat kakek itu seperti gila, Li Eng menjadi nekat. Ia maklum bahwa akan sia-sia saja membujuk kakek ini agar tidak melakukan hal-hal yang tidak patut. Pada waktu kakek itu bergerak maju hendak mencengkeramnya, secepat kilat Li Eng mengangkat kaki kanan menendang. Tendangannya amat hebat dan cepat, yang diarah adalah pusar tempat yang paling berbahaya.
Tapi sambil terkekeh-kekeh kakek itu menangkis ke bawah dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menjangkau ke depan. Li Eng segera membuang dirinya ke belakang, bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan kakek itu.
"Heh-heh-heh, anak murid Hoa-san-pai, kau hendak lari ke mana?" katanya sambil terus mengejar.
Pada saat itu pula, dari belakangnya menyambar angin tendangan Hui Cu yang tak bisa berdiam diri saja melihat Li Eng terancam. Tetapi tubuh Hui Cu malah terpental dan gadis ini roboh terguling ketika tangan yang amat kuat menangkis kakinya.
"Enci Cu, lari...!"
Tiba-tiba lilin di atas meja padam. Ternyata Li Eng sudah mempergunakan kesempatan ketika Hui Cu menyerang kakek itu tadi untuk melompat ke dekat meja dan meniup padam lilin di atas meja, kemudian ia berteriak mengajak Hui Cu lari. Hui Cu maklum bahwa usaha itu tidak banyak harapannya, tapi itulah jalan satu-satunya, yakni mencoba untuk melarikan diri ke dalam hutan yang lebat itu. Ia pun lalu meloncat berdiri dan secepat kilat ia lari menerobos pintu, keluar kelenteng.
Dua orang gadis itu lari tersaruk-saruk dan jatuh bangun di dalam kegelapan. Akan tetapi akhirnya mereka sampai juga di luar kelenteng dan ternyata keadaan di situ tidak segelap di dalam karena bulan sudah muncul.
Namun, alangkah mendongkol, gelisah dan kecewanya mereka ketika mereka tiba di luar kelenteng, kakek gila tadi sudah berada di situ pula, berdiri tegak sambil terkekeh-kekeh mengejek. Entah kapan kakek itu keluar, dan hal ini saja menambah bukti betapa saktinya kakek aneh yang seperti orang gila ini.
"Locianpwe, harap kau jangan menganggu kami," Hui Cu yang sejak tadi diam saja kini mendadak mengeluarkan suara, menurutkan pikirannya yang mendapatkan sebuah akal. "Kami sedang dalam perjalanan menuju Thai-san untuk memberi hormat kepada paman kami Raja Pedang Tan Beng San. Harap kau orang tua memandang muka Paman Tan Beng San dan suka membebaskan kami berdua!"
Hui Cu mendapatkan akal ini untuk membawa-bawa nama Tan Beng San yang tentu saja dikenal oleh semua tokoh persilatan, agar kakek itu menjadi sungkan dan mundur. Siapa kira, mendengar kata-kata ini kakek itu menjadi makin menggila.
Ia membanting-banting kakinya dan berteriak, "Tan Beng San si keparat jahanam? Mana dia, biar kuhancurkan kepalanya seperti ini!" Ia menghantam ke kiri dan sebatang pohon sebesar paha orang segera tumbang dengan sekali pukul.
Kemudian dia terkekeh-kekeh lebih menyeramkan. "Jadi kau keponakan Tan Beng San? He-he-heh kebetulan sekali, kau harus merasakan bagaimana dihina dan disakiti orang!" Kalau tadi ia menumpahkan kemarahannya kepada Li Eng yang memaki-makinya kini ia mulai menubruk ke arah Hui Cu.
Gadis ini terkejut dan mengelak ke kiri. Akan tetapi karena kedua tangannya terbelenggu, ia pun terhuyung-huyung sehingga cengkeraman kakek itu mengenai tali rambutnya dan membuat rambutnya terlepas, terurai ke atas pundaknya. Sambil terkekeh-kekeh kakek itu menubruk lagi, namun kini Li Eng maju menolong Hui Cu, mengirim tendangan berantai dari belakang.
Betapa pun lihainya gadis ini, tetapi dengan kedua tangan yang terbelenggu ke belakang, keseimbangan tubuhnya sukar diatur, maka tendangan berantai yang mestinya cepat dan dahsyat itu menjadi kurang daya serangan. Apa lagi yang diserang adalah seorang kakek yang sakti. Dengan sedikit miringkan tubuhnya dan membabat dengan tangan kiri, tubuh Li Eng kena dibikin terpelanting dan untuk sekian kalinya gadis ini rebah mencium tanah!
Kakek itu kini melangkah perlahan mendekati Hui Cu yang sudah berdiri dengan tubuh gemetar saking lelah dan gelisahnya. Dia sudah mengambil keputusan nekat, kalau tidak dapat menghindarkan diri dari kakek gila ini, ia akan menyerang dengan kepalanya untuk membunuh atau terbunuh!
Pada saat yang amat berbahaya bagi Hui Cu ini, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam disusul bentakan keras. "Kakek jahat, pergilah!"
Bayangan itu menyambar ke arah kakek itu.
"Dukkk!"
Dua tangan bertemu dan keduanya sama-sama terhuyung ke belakang, disusul seruan kaget bayangan itu dan seruan heran Si Kakek tadi. Agaknya pertemuan dua tangan itu membuat mereka kaget bukan main karena ternyata bahwa lawan amatlah tangguh. Dengan gerakan yang luar biasa cepat bayangan itu kembali menyambar. Tangan kirinya menghantam, akan tetapi segera disusul tangan kanan yang memukul sedangkan tangan kiri ditarik pulang.
"Plak! Plak!"
Kembali keduanya terhuyung hampir roboh karena telah saling bertukar pukulan. Pukulan bayangan itu tepat mengenai sasaran, tapi pada saat yang sama Si Kakek berhasil pula memukulnya!
Di samping kekagetannya, bayangan itu marah sekali. Terdengar ia mengeluarkan bunyi melengking keras, lalu tubuhnya berkelebat menyerang kakek itu dengan dahsyat sekali. Kakek itu pun tidak tinggal diam. Dia menggereng dan menyambut serangan ini, malah kemudian kakek ini mengeluarkan suara melengking juga seperti orang menangis.
Dua lengkingan aneh bercampur menjadi satu dan Hui Cu pun cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya untuk menahan guncangan pada jantungnya. Demikian pula Li Eng segera maklum bahwa dua orang itu adalah ahli-ahli Iweekeh yang amat tinggi kepandaiannya.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking dari jauh, lengking meninggi seperti tangisan, persis lengking yang keluar dari tenggorokan kakek itu.
"Ha, anak baik, lekas datang!" kakek itu berseru girang.
Bayangan yang melawan kakek itu tampak gelisah, kemudian menyerang dahsyat lagi. Serangan yang amat aneh, kedua lengan memukul, tubuh menerjang seperti terbang dan kedua kakinya menendang di udara.
Kakek itu berteriak keras dan menghadapi terjangan ini dengan keempat kaki tangannya pula. Akibatnya kakek ini terguling karena ia telah terkena sebuah pukulan dan sebuah tendangan, tetapi sebaliknya bayangan itu pun terhuyung karena pukulan keras Si Kakek. Namun bayangan itu tidak memberi kesempatan lagi, cepat ia menyambar Hui Cu pada pinggangnya dan membawa pergi gadis ini seperti burung terbang cepatnya.
Kakek itu yang agaknya maklum pula akan kelihaian lawan yang berhasil menculik atau merampas seorang tawanannya. Ia tidak mengejar, sebaliknya, ia lalu menangkap Li Eng dan menyeret gadis ini kembali ke dalam kelenteng.
Setelah melempar gadis itu ke atas lantai, ia menyalakan lilin yang tadi padam. Kemudian ia berbalik memandang Li Eng yang sudah bangkit berdiri kembali, sikapnya mengancam dan berkata dengan suara parau,
"Kau anak murid Hoa-san-pai, sekarang kau akan merasai penghinaan yang sebesarnya, setelah itu kau mampus!" Ia melangkah mendekat.
Li Eng melejit dan hendak lari, namun sekali sambar tangan gadis itu telah dipegangnya. Li Eng mengangkat kaki menendang, namun tidak mengenai sasaran. Gadis ini tak dapat melepaskan diri lagi, menjerit dan meronta.
"Kongkong (Kakek), apa yang kau lakukan ini?" tiba-tiba terdengar suara nyaring sekali dan tahu-tahu seorang pemuda gagah telah berdiri di dalam kamar itu.
Kakek itu melepaskan tubuh Li Eng yang menjadi lemas dan terpelanting saking lelah dan ngerinya tadi, kemudian kakek itu tertawa dan berkata, "Aku pun muak dan sebal karena terpaksa harus melakukan perbuatan ini. Kalau saja dia bukan anak murid Hoa-san-pai, tentu sekali pukul sudah kubikin remuk kepalanya, habis perkara. Tapi dia anak murid Hoa-san-pai. Ha-ha-ha, Kong Bu, kau tahu apa artinya itu. Anak murid Hoa-san-pai, terutama yang perempuan, semua merupakan orang-orang hina. Pembunuh ibumu! Uh-uh, satu demi satu harus dibasmi, dihina lebih dahulu baru dibelek dadanya dan dikeluarkan jantungnya."
Pemuda itu melangkah maju, memandang kepada Li Eng lebih tajam penuh perhatian, kemudian ia mendengus penuh kebencian. "Hemmm, Kongkong, seperti dia inikah anak murid Hoa-san-pai pembunuh mendiang ibuku?"
"Ya ya, seperti ini. Cantik menarik, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Kong Bu, kau sudah datang, kebetulan sekali. Kuserahkan dia kepadamu, lakukanlah sesukamu terhadap dia, kau boleh hina dia, boleh permainkan dia, kemudian bunuhlah. Aku akan mengejar yang seorang lagi, yang tadi dirampas orang lain. Nah, aku pergi... heh-heh, kebetulan kau datang, aku... aku muak dan sebal kalau harus menyentuh wanita... aku sudah tua." Sekali berkelebat kakek itu sudah meluncur lewat dan lenyap.
"Kongkong, di mana kita dapat bertemu kembali?"
Dari jauh terdengar jawaban sayup-sayup, "...di Thai-san..."
Siapakah kakek aneh dan sakti ini? Siapa pula pemuda yang menjadi cucunya bernama Kong Bu ini? Kiranya pembaca telah dapat menduga siapa adanya kakek itu. Dia bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun Si Setan Berkabung, tokoh nomor satu di dunia barat, seorang sakti yang berwatak aneh bukan main dan kadang-kadang dapat bersikap kejam melebihi iblis.
Ada pun pemuda gagah dan tampan bernama Kong Bu itu bukan lain adalah anak dari Kwee Bi Goat dan Tan Beng San. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, bayi itu dibawa lari Song-bun-kwi dan dipeliharanya baik-baik, diajarkan ilmu silat hingga menjadi seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya.
Tentu saja mudah diketahui sebabnya, kenapa Song-bun-kwi bersikap demikian kejamnya terhadap Li Eng dan Hui Cu. Secara kebetulan sekali Song-bun-kwi sedang berada di kota raja dan ia mendengar dari para pengemis bahwa ada dua orang gadis anak-anak murid Hoa-san-pai diundang oleh Pangeran Mahkota.
Di dalam hati Song-bun-kwi, semenjak ia kematian anaknya, timbul dendam yang hebat terhadap Hoa-san-pai. Bukankah Kwa Hong yang menyebabkan kematian anaknya itu anak murid Hoa-san-pai? Oleh karena inilah, begltu mendengar tentang dua orang gadis anak murid Hoa-san-pai di kota raja, ia menggunakan kesempatan ini untuk menawan dua orang gadis itu untuk dihina dan dibunuhnya sebagai pembalasan dendamnya terhadap Hoa-san-pai!
Memang jalan pikiran seorang seperti Song-bun-kwi amat aneh dan kadang-kadang lebih ganas dari iblis sendiri. Kong Bu semenjak kecil hidup bersama Song-bun-kwi, tentu saja ia pun memiliki watak aneh seperti kakeknya. Namun pada dasarnya ia tidak mempunyai watak kejam seperti Song-bun-kwi, malah agak pendiam seperti ibunya, keras hati pula.
Semenjak kecil pemuda ini dijejali rasa dendam oleh kakeknya. Diceritakan bahwa ibunya yang tercinta mati karena kekejian anak murid Hoa-san-pai. Diceritai pula bahwa ayahnya bernama Tan Beng San telah meninggalkan ibunya, karena tergoda oleh siluman cantik murid Hoa-san-pai, sehingga ibunya ‘makan hati’ dan meninggal dunia. Ditanamkan bibit kebencian dan dendam sejak kecil sehingga pemuda ini mau tidak mau membenci apa pun yang ‘berbau’ Hoa-san-pai, malah selalu ditekan oleh kongkong-nya, bahwa kelak ia harus dapat membalaskan sakit hati ibunya dengan jalan membunuh ayahnya yang telah berdosa terhadap ibunya!
Demikianlah, kini Kong Bu dihadapkan dengan seorang gadis dari Hoa-san-pai. Di bawah penerangan api lilin, dia menatap wajah Li Eng yang kini perlahan-lahan bangkit berdiri dan balas memandangnya. Bukan main cantik jelitanya gadis ini. Pakaian sebelah atas yang koyak-koyak sebagian itu menambah hebatnya daya tarik sehingga Kong Bu tak kuat memandang lebih lama lagi. Kong Bu membuang muka dan merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, meremang dan terasa dingin pada tulang punggungnya.
Cantik jelita, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Itulah kata-kata kakeknya yang berkumandang dalam telinganya dan kembali Kong Bu bergidik. Sifat siluman betina adalah merupakan iblis di dalam tubuh seorang wanita cantik. Banyak sudah ia melihat wanita cantik, terutama kalau ia diajak kakeknya menyusup ke dalam istana untuk sekedar melihat-lihat atau mencuri makanan. Akan tetapi harus diakui bahwa belum pernah selama hidupnya ia berhadapan atau melihat seorang gadis seperti ini!
Dan kakeknya sudah menahan gadis ini, sekarang memberikannya kepada dia. Dia boleh berbuat sesuka hatinya terhadap gadis ini, lalu membunuhnya. Dia boleh menghinanya, mempermainkannya, hemm, apakah maksud kakeknya?
Sungguh pun pikiran Kong Bu tidak sampai ke situ, namun perasaannya membuat dia dapat menduga, penghinaan apakah yang paling hebat bagi seorang gadis. Melihat baju yang koyak-koyak itu, yang memperlihatkan sebagian dari kulit yang halus, jantungnya berdebar tidak karuan membuat ia membuang muka dan tidak berani lagi memandang kulit di balik baju yang koyak itu.
Di lain pihak, Li Eng merasa agak lega karena ia telah terlepas dari ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut di tangan kakek gila tadi. Malah kini ia mendapatkan harapan untuk terlepas pula dari tangan pemuda ini. Tak mungkin pemuda ini selihai kakek tadi. Kalau saja ada kesempatan bagiku, pikir Li Eng dan pandang matanya mengukur-ukur sementara kedua kakinya menegang, siap mengirim tendangan yang mematikan. Tetapi bagaimana kalau tendangannya tak berhasil? Li Eng ragu-ragu.
Kalau saja dua tanganku bebas. Ataukah lebih baik ia merayu pemuda ini dan membujuk dia agar suka membuka belenggunya? Kalau sudah bebas kedua tangannya, kiranya tak akan sukar membunuhnya!
Tapi pikiran ini membuat mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Sampai mati sekali pun tak mungkin ia dapat melakukan pekerjaan itu, membujuk rayu seorang lelaki! Ia teringat kepada pamannya, Kwa Kun Hong. Biar pun lemah, pamannya itu cerdik. Apa yang akan dilakukan pamannya dalam keadaan begini? Apakah dia masih terus hendak mengalah saja?
Ahh, bagaimana nasib pamannya? Bagaimana pula nasib Hui Cu yang tadi dilarikan oleh seorang laki-laki yang luar biasa pula? Aku harus bebas dulu, baru dapat menolong Enci Cu dan Paman Hong, pikirnya.
Tiba-tiba Li Eng berseru keras dan kaki kanannya melayang menendang pusar pemuda yang sedang berdiri bengong, Li Eng menahan seruannya ketika kakinya bertemu dengan benda yang keras sekali, tetapi tubuh Kong Bu terlempar seperti tertiup angin, terbanting pada dinding dan terpelanting jatuh. Akan tetapi seperti karet saja, dia sudah berdiri lagi dan memandang kepada Li Eng dengan alis terangkat. Ia tidak apa-apa.
Celaka, Li Eng mengeluh dalam batin, kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dari kakek tadi. Tendangannya tepat sekali, akan tetapi pemuda itu hanya terlempar, luka sedikit pun tidak, malah kelihatannya tidak merasa sakit. Kini pemuda itu berjalan lambat-lambat menghampiri, dengan mata memandang tajam dan alisnya yang tebal itu bergerak-gerak.
"Kenapa kau menendangku? Benar-benar berhati curang, kenapa kau menendangku?"
Li Eng tertegun. Biar pun sama lihai, pemuda itu agaknya tidak seliar kakek tadi, sungguh pun sama pula anehnya. Pertanyaan yang aneh pula, bagaimana ia bisa menjawab?
"Hemmm," katanya dengan nada mengejek dan mengumpulkan semangat supaya jangan kelihatan rasa takut dan gelisahnya, "kenapa aku menendangmu? Jawab dulu, mengapa kau menawanku?"
Kening pemuda itu semakin berkerut. "Karena kau anak murid Hoa-san-pai, yang cantik, muda belia, lihai, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Orang yang membikin celaka ibuku adalah anak murid Hoa-san-pai seperti kau. Karena itu sekarang kau harus mati setelah mengalami siksaan dan hinaan lebih dulu."
Terbelalak mata Li Eng. Ancaman penghinaan lebih hebat dari maut baginya. Biar pun ia sendiri belum mengerti benar penghinaan apa yang dimaksudkan, akan tetapi seperti juga keadaan pemuda itu sendiri, gadis ini dengan perasaannya dapat menduga-duga yang membuat ia ketakutan dan ngeri setengah mati.
"Kau... kau adalah pengecut besar!" tiba-tlba saja Li Eng berteriak dalam kengerian dan kebingungannya. Makiannya ini ternyata tepat mengenai sasaran, memukul kelemahan pemuda itu.
Mendengar makian pengecut, Kong Bu meloncat dengan kedua tangan dikepal keras dan matanya seakan-akan hendak membakar diri Li Eng. Ia akan menerima dan masih dapat menahan dimaki apa saja, akan tetapi makian pengecut merupakan pantangan baginya. Dalam anggapannya, tidak ada sifat yang lebih rendah dari sifat pengecut!
"Apa kau bilang tadi? Pengecut? Aku... pengecut?" Suaranya gemetar saking marahnya. "Buktikan... setan kau, hayo buktikan kalau aku... pengecut!"
Li Eng yang cerdik itu menahan gejolak hatinya yang girang karena akalnya berhasil. Ia sengaja menjebirkan bibirnya dengan lagak mengejek dan menghina.
"Seorang laki-laki yang mengganggap diri sendiri gagah, beraninya berlagak hanya kalau menghadapi lawan wanita yang dibelenggu kedua tangannya. Huh! Andai kata aku tidak terbelenggu, kiranya kau sudah lari jatuh bangun ketakutan. Apa lagi namanya kalau bukan pengecut paling rendah?"
Kong Bu tidak sanggup menahan kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan suara melengking tinggi yang membuat Li Eng amat kaget dan seram. Tiba-tiba pemuda ini mendekatinya, menggerakkan kedua tangan dan... belenggu yang mengikat Li Eng lantas putus menjadi beberapa potong!
"Nah, putus sudah! Kau tidak terbelenggu lagi. Hayo, kau mau apa sekarang? Setan betina, tarik kembali makianmu pengecut tadi. Setan, kau menghinaku, ya? Hayo, cepat tarik kembali kata-kata pengecut tadi!"
Saking girangnya karena telah bebas, Li Eng untuk sejenak tidak dapat menjawab, hanya menggosok-gosok pergelangan dua tangannya yang masih kaku-kaku untuk memulihkan jalan darahnya. Matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum manis, serta timbul kembali keberaniannya dan kepercayaan kepada diri sendiri.
"Sudah bebas kedua tanganku! Ehh, kau belum juga lari jatuh bangun?"
"Tidak sudi! Mengapa harus lari? Aku bukan pengecut! Hayo cepat katakan, aku bukan pengecut!" teriak Kong Bu makin marah.
Li Eng memandang dengan senyum ejekan yang amat menyakitkan hati pemuda itu.
"Apa? Kau tidak mau lari? Larilah, aku tidak akan mengejarmu sebagai upahmu sudah membebaskan tanganku dari belenggu."
"Tidak sudi!"
"Ah, kalau begitu ternyata kau sudah bosan hidup. Terpaksa kedua tanganku mengantar nyawamu ke neraka!"
Li Eng cepat sekali menerjang maju dengan kedua tangannya memukul, susul-menyusul ke arah pelipis dan lambung. Kong Bu yang marah sekali cepat menangkis kedua pukulan itu dan balas menyerang dengan sama keras dan dahsyatnya.Tadinya Li Eng memandang rendah dan mengejek, sedangkan Kong Bu juga memandang rendah dan marah-marah. Akan tetapi makin lama mereka bertempur, makin lenyaplah perasaan merendahkan lawan, lenyap pula rasa mengejek dan marah, terganti oleh rasa keheranan besar dan sedikit kekaguman. Ternyata bahwa keduanya sama tangguhnya, atau hanya sedikit selisihnya!
Kong Bu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis ini sedemikian hebat ilmu silatnya, memiliki gerakan yang cepat bukan main bagaikan burung walet saja sehingga kadang-kadang matanya berkunang. Di lain pihak, meski pun maklum bahwa pemuda itu bukan orang lemah, namun sama sekali di luar sangkaan Li Eng bahwa ternyata pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh, yang dapat mengimbangi Hoa-san Kun-hoat, dan malah memiliki tenaga dahsyat sehingga lengannya sakit-sakit dan panas tiap kali mereka harus beradu tangan.
Mulailah ia merasa menyesal mengapa ia tidak bersenjata. Dengan pedang di tangan, kiranya ia takkan terdesak seperti ini. Mulailah nona yang cerdik ini mencari akal. Pada saat terdapat kesempatan baik, Li Eng berseru keras dan kedua kakinya bergerak dengan Ilmu Tendangan Soan-hong-tui (Tendangan Angin Puyuh), yaitu yang merupakan tendangan berantai dengan dua kaki seperti kitiran angin. Yang dijadikan sasaran adalah pusar lawan.
Menghadapi tendangan berantai yang amat berbahaya ini, Kong Bu berseru keras dan melompat mundur. Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Li Eng untuk melompat ke dekat meja dan menendang meja itu sehingga terbalik. Seketika keadaan menjadi gelap pekat karena lilin di atas meja itu terlempar dan apinya padam. Inilah yang dihendaki oleh Li Eng. Ia mempunyai pendengaran tajam dan lweekang yang sudah tinggi, maka ia hendak mengandalkan dua kelebihan ini untuk melawan Kong Bu di dalam gelap!
Akan tetapi, sekali lagi ia kecele. Pemuda ini berseru keras, "Kau hendak lari ke mana?"
Dan dari angin gerakannya tahulah Li Eng bahwa pemuda itu menerjang ke arahnya seakan-akan memiliki mata yang dapat menembus kegelapan. Terpaksa ia mengerahkan ketajaman pendengarannya untuk menghadapi serbuan dalam gelap ini. Kembali mereka bertempur, kini di dalam gelap dan ternyata malah makin seru dari tadi. Karena keadaan gelap sama sekali, kedua orang muda yang berilmu tinggi itu bertempur hanya mengandalkan ketajaman pendengaran dan kegesitan gerakan saja.
Makin lama makin terasa oleh Kong Bu akan kelihaian dara itu dan diam-diam ia merasa heran bagaimana kakeknya mampu menangkap gadis selihai ini dengan mudah. Apa lagi berdua dengan gadis lain yang tidak ia ketahui sampai di mana tinggi kepandaiannya. Kalau dilihat keadaannya sekarang agaknya biar pun kakeknya sendiri, belum tentu dapat mengalahkan gadis ini dengan mudah.
Dengan penasaran sekali Kong Bu menggereng dan mengeluarkan ilmu yang paling ia andalkan, yaitu Yang-sin-hoat. Ilmu ini adalah inti sari ilmu Yang-sin Kiam-sut yang dulu didapatkan oleh Song-bun-kwi dan telah diturunkan kepada pemuda ini. Yang-sin-hoat mengandalkan tenaga kasar dan ketika pemuda ini mainkan Yang-sin-hoat, Li Eng menjadi kewalahan. Sebagai seorang wanita, oleh kedua orang tuanya Li Eng dilatih dengan ilmu-ilmu yang berdasarkan kehalusan, disesuaikan dengan keadaan tubuh dan sifat wanita.
Maka ketika tadi lawannya menggunakan lweekang, ia masih sanggup melayani dengan baik. Sekarang, begitu lawannya berkelahi secara kasar dan keras, di mana pertemuan tenaga mungkin dapat mematahkan tulang dan melecetkan kulit, Li Eng menjadi sibuk sekali. Ia mencari kesempatan dan begitu terdapat lowongan gadis ini melompat keluar dari kamar terus lari keluar dari kelenteng.
"He, kau hendak lari ke mana?"
Kong Bu mengejar dengan lompatan keras sekali sehingga sekaligus ia dapat menyusul Li Eng. Dengan lompatan yang amat cepat ini ia telah menubruk tubuh Li Eng dari belakang. Segera ia menggunakan kedua lengan untuk menangkapnya dan dua orang itu terguling roboh di luar kelenteng, bergumul di atas tanah. Namun Li Eng kalah tenaga, juga ia disikap dari belakang dengan mendadak, maka ia tidak berdaya dan Kong Bu berhasil menotok punggungnya, membuat gadis itu lemas tak dapat menggerakkan kaki tangannya lagi. Li Eng hanya dapat memandang dengan mata bersinar marah.
Kong Bu melepaskan Li Eng dan bangkit berdiri, mengatur napas. Ia terengah-engah dan lelah, juga tubuhnya sakit di sana-sini. Harus diakui bahwa baru kali inilah ia betul-betul berkelahi melawan seorang yang amat tangguh. Sekali lagi ia memandang ke arah di mana Li Eng rebah miring tak bergerak, di bawah sinar bulan nampak seperti seorang gadis sedang tidur saja, ataukah seekor harimau betina sedang mendekam?
"Gadis liar!" gerutunya sambil mengelus lehernya yang mengeluarkan darah, terluka oleh kuku-kuku tangan Li Eng ketika bergumul tadi.
Kong Bu kemudian lari mengambil tali pengikat tangan Li Eng, lalu keluar lagi dan setelah menyambung-nyambung tali yang kuat itu. Dia membelenggu lagi kedua tangan Li Eng. Setelah itu ia membebaskan totokannya dan membentak,
"Hayo bangun berdiri!"
Begitu terbebas dari totokan, dengan kemarahan meluap-luap Li Eng meloncat bangun dan langsung kedua kakinya yang bebas itu mengirim tendangan berantai!
Kong Bu kaget sekali dan dengan gugup ia mengelak ke sana ke mari karena tendangan-tendangan itu betul-betul mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan mematikan. Akhirnya ia dapat menyambar kaki kiri Li Eng dan sekali dorong tubuh Li Eng roboh lagi.
"Gadis liar!" lagi-lagi ia memaki.
Li Eng sudah meloncat bangun lagi, berdiri tegak, kepala dikedikkan, mata berapi-api, gigi digeget, kemarahan memenuhi dadanya.
"Hayo jalan, ikut denganku!" kata Kong Bu lagi.
"Tidak sudi! Mau bunuh boleh bunuh!" balas Li Eng, tak kalah ketus.
"Kepala batu!" Kong Bu memaki lagi.
Mendadak, sebelum Li Eng sempat menduga apa yang akan dilakukannya, pemuda ini menubruk ke depan, langsung menangkap dua kaki gadis itu dan mengangkat tubuhnya, terus dipanggul di atas pundaknya. Li Eng meronta-ronta, menendang-nendang, akan tetapi karena kedua tangannya diikat dan kedua kakinya dipeluk keras-keras oleh pemuda yang besar sekali tenaganya itu, ia tak berhasil melepaskan dirinya. Akan tetapi, dengan menggerak-gerakkan tubuh bagian atasnya, mulutnya berhasil mendekati pundak dan dengan gemas dia menggigit pundak pemuda itu.
"Aduh... perempuan liar!"
Kong Bu terpaksa melepaskan tubuh Li Eng yang terpelanting ke atas tanah. Pemuda ini memegangi dan mengusap-usap pundaknya yang luka berdarah dan bajunya yang robek tertembus gigi yang kecil-kecil putih akan tetapi kuat bukan main itu. Pundaknya sakit sekali, perih dan panas. Dengan marah ia maju lagi, mengangkat tangan hendak memukul pecah kepala Li Eng. Akan tetapi entah bagaimana, pada saat bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api dan penuh keberanian itu, kepalannya berubah menjadi totokan dan kembali Li Eng telah tertotok jalan darahnya, lemas dan tak dapat bergerak lagi.
"Hemmm, perempuan liar. Anak murid Hoa-san-pai, cantik jelita, muda belia, lihai namun berhati palsu dan berwatak hina. Kau harus disiksa dulu sebelum dibiarkan mati. Keparat, rasakan kau nanti!" Ia lalu mengangkat tubuh Li Eng yang sekarang tidak mampu meronta lagi itu, lalu memanggulnya.
Tiba-tiba ia berseru, "Ihhhh!" dan melepaskan tubuh Li Eng yang untuk kesekian kalinya lagi-lagi terbanting di atas tanah. Apa yang membuat pemuda itu berseru kegelian dan melepaskan tubuh gadis itu? Li Eng sendiri tidak mengerti.
Sebetulnya adalah karena ketika memanggul, kebetulan sekali sebagian pundak Li Eng yang tidak tertutup bajunya yang sudah koyak-koyak itu menumpang pada pundak dan leher Kong Bu, tepat di bagian baju yang robek oleh gigitan Li Eng tadi. Sentuhan kulit halus hangat pada kulit leher dan pundaknya itulah yang membuat Kong Bu kaget dan geli. Tubuhnya serasa dimasuki aliran listrik yang membuat ia menggigil dan seketika membanting tubuh Li Eng ke atas tanah.
Pemuda itu kini berdiri dengan leher terasa tebal dan tengkuknya berdiri semua. Akan tetapi mukanya terasa panas dan jantungnya berdebar keras. Perlahan-lahan dilepasnya baju luarnya, lalu diselimutkan pada tubuh atas Li Eng. Setelah melihat bahwa pundak gadis itu yang telanjang telah tertutup rapat, barulah ia membungkuk dan memanggul gadis itu kembali, dibawa lari secepatnya dari tempat itu, memasuki hutan.
Sementara itu, tanpa terasa selama dua orang ini ribut-ribut tadi, malam terganti fajar dan ketika Kong Bu memanggul Li Eng berlari-lari, ayam hutan sudah mulai berkokok. Namun pemuda itu berlari terus, menuju ke arah tertentu. Pemuda itu tidak berkata apa-apa, juga Li Eng tidak mengeluarkan suara sungguh pun kemarahan gadis itu membuat kedua matanya meneteskan air mata. Ia tidak takut, hanya marah dan penasaran mengapa ia tidak mampu mengalahkan laki-laki gila ini.
Tiba-tiba terdengar suitan saling bersahutan di dalam hutan itu. Pada saat itu cuaca mulai remang-remang karena dalam hutan penuh embun yang dingin menyusupi tulang-tulang. Tak lama kemudian suara suitan makin sering dan makin keras.
Pada saat tiba di dalam hutan yang penuh pohon-pohon besar, mendadak belasan orang berlompatan dari balik batang pohon sehingga Kong Bu terkurung oleh enam belas orang laki-laki yang tinggi besar, bercambang bauk dan membawa senjata tajam. Melihat sikap mereka yang kasar, mudah diduga mereka tentulah sebangsa perampok.
Kong Bu sedikit pun tidak menjadi gugup. Ia menurunkan tubuh Li Eng setelah lebih dulu membebaskan totokannya pada punggung gadis itu. Tadinya saking marah dan lelahnya, Li Eng hampir pulas dalam panggulan pemuda itu. Sekarang ia terkejut dan sadar ketika merasa tubuhnya terguling di atas tanah.
Cepat Li Eng menggerakkan kaki dan girang mendapat kenyataan bahwa dia tidak lemas tertotok lagi, maka ia meloncat berdiri. Ia terheran-heran melihat belasan orang laki-laki kasar itu berdiri di situ dengan menyerigai dan sikap mengancam.
“Ada keperluan apa kalian menghadang perjalananku?” Kong Bu membentak dan alisnya yang tebal menghitam itu berkerut tanda kesal hati menghadapi gangguan ini.
Salah seorang di antara mereka yang tubuhnya paling tinggi melangkah maju dan tertawa bergelak sambil memandang ke arah Li Eng yang berdiri dengan dua tangan terbelenggu.
“Ha-ha-ha, kiranya saudara seorang ahli pemetik bunga! Wah, kawan-kawan, kita kecele kali ini!”
Belasan orang laki-laki itu mengeluarkan suara kecewa, akan tetapi ada pula beberapa orang yang ketawa-tawa dan memuji-muji kecantikan Li Eng.
“Sebetulnya kalian ini mau apakah?” Kong Bu membentak lagi.
Hati Kong Bu tak senang mendengar pujian-pujian tentang kecantikan Li Eng. Dia lebih tidak senang lagi melihat sikap mereka yang ceriwis terhadap gadis tawanannya.
“Hai, saudara muda, karena kita sealiran, kami tidak akan mengganggu. Kau boleh pergi melanjutkan perjalananmu, akan tetapi kau tinggalkan bunga ini untuk kami, hitung-hitung tanda mata dan tanda persahabatan kita,” berkata pula pemimpin gerombolan itu sambil memandang kepada Li Eng dengan mata berminyak.
“Apa maksudmu? Bunga apa yang kau minta?” Kong Bu yang masih belum mengerti itu membentak lagi.
“Aih… aihh… kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Seorang perampok lainnya berolok-olok, “Tentu saja perempuan ini yang ditinggal…” Baru saja sampai sini ia bicara, mendadak tubuhnya terlempar jauh, lalu terbanting ke atas tanah dan tidak dapat bangun kembali!
Bukan main marahnya para perampok ketika melihat orang muda yang mereka sangka lemah itu sekali tangkap sanggup melemparkan kawan tadi. Apa lagi kepalanya, dengan marah berteriak, “Kawan-kawan, bunuh anjing jantan ini, biar aku tangkap yang betina!”
Terjadilah pengeroyokan hebat. Akan tetapi, alangkah kaget hati para pengeroyok itu saat pemuda itu menggerakkan kaki tangan, empat orang perampok langsung roboh kemudian mengaduh-aduh. Lebih-lebih kekagetan mereka ketika melihat pemimpin mereka begitu mendekati gadis yang terbelenggu itu tiba-tiba saja dadanya tertendang oleh gadis itu dan roboh sambil muntahkan darah segar.
Tidak berhenti sampai di situ saja. Gadis yang terbelenggu ini menggerak-gerakkan kedua kakinya dan sebentar saja empat orang perampok roboh pula tak dapat bangun kembali. Juga Kong Bu yang sudah marah menghajar para perampok itu. Sebentar saja beberapa orang roboh lagi.
Mereka bagaikan rombongan laron mengeroyok api lilin. Setelah lebih setengah jumlah mereka yang roboh, yang lain lalu melarikan diri menyelinap di antara gerombolan pohon. Kong Bu tidak memperdulikan mereka, kemudian memandang kepada Li Eng. Sejenak ia bengong terlongong, menatap wajah gadis itu yang juga memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Aduh hebatnya mata itu, demikian kesan pertama dihati Kong Bu.
Malam tadi dia tidak dapat melihat wajah Li Eng dengan terang, tidak sejelas sekarang. Wajah yang luar biasa dan terutama matanya, seperti sepasang bintang pagi. Tetapi ia teringat kembali akan kenyataan bahwa gadis ini adalah anak murid Hoa-san-pai, maka kemarahannya timbul pula. Apa lagi bila teringat betapa dengan susah payah malam tadi ia mengalahkan gadis ini, malah masih perih dan panas pundaknya yang digigit.
Sebaliknya, Li Eng juga tercengang ketika menyaksikan wajah yang tampan dan ganteng, yang sama sekali jauh berlainan dengan wajah kakek malam tadi. Pemuda ini betul-betul gagah. Mukanya lebar bulat, matanya jeli, alisnya hitam tebal, mulutnya membayangkan kekerasan hati. Akan tetapi kalau dia teringat akan perlakuan pemuda ini kepadanya, hatinya marah dan mendongkol bukan main. Dan dia telah dipanggul setengah malaman oleh pemuda ini!
Tiba-tiba saja Li Eng merasa mukanya panas dan ia berkata ketus. “Aku tidak sudi kau… pondong lagi!”
Kedua pipi Kong Bu langsung berubah merah. Dengan ketus pula dia menjawab, “Siapa yang sudi memondongmu? Kalau kau tidak rewel dan mau jalan sendiri, aku pun tak sudi memanggulmu!”
Sejenak keduanya diam, saling pandang penuh kemarahan. Kong Bu marah mengapa gadis ini begini kasar dan galak. Andai kata sikapnya halus dan penurut, agaknya ia tak akan tega memperlakukannya seperti tadi.
Li Eng marah mengapa pemuda itu bersikap sombong dan memandang rendah padanya. Andai kata tidak demikian sikap pemuda itu, tentu dia akan menerangkan bahwa mereka mempunyai musuh yang sama, yaitu Kwa Hong. Dia merasa yakin bahwa yang membuat pemuda ini dan kakeknya membenci anak murid Hoa-san-pai terutama yang perempuan, tentulah Kwa Hong.
“Kau hendak memaksaku pergi ke mana?”
“Akan kau lihat sendiri nanti!”
“Akan kau apakan aku?”
“Hemm, kau akan lihat sendiri!”
“Iblis kau! Kalau hendak bunuh padaku, bunuhlah. Siapa takut mampus?”
“Terlalu enak kalau kau dibunuh begitu saja. Kata kakek, semua anak murid Hoa-san-pai terutama yang perempuan adalah siluman-siluman jahat, harus disiksa dan dipermainkan dulu sebelum dibunuh.”
“Kakekmu gila!”
“Mungkin, tetapi tidak palsu dan hina seperti murid Hoa-san-pai yang menggoda ayahku dan membunuh ibuku!”
“Ahhh, kau juga gila!”
Kong Bu memandang dengan mata berapi, kemudian ia balas memaki, “Kaulah seorang gadis gila!”
“Kau hanya bisa meniru-niru!”
“Tidak, kau memang gila. Gadis normal tentu akan menangis dan minta ampun, tidak seperti kau yang begini nekat menantang maut.”
“Aku tidak takut!”
“Ha, ingin aku melihat nanti apakah betul-betul kau tidak mengenal takut.”
“Mau kau apakan aku?”
Kong Bu tersenyum dan karena ia ingin melihat gadis ini membayangkan ketakutan pada wajah yang cantik dan selalu menantang penuh keberanian itu, ia berkata, “Aku hendak melepaskan kau di tempat yang penuh dengan anjing-anjing hutan, biar kau dikeroyok oleh anjing hutan!”
Akan tetapi keinginan hatinya tidak terpenuhi, malah gadis itu menjebikan bibirnya yang merah sambil mengejek, “Phuhh, siapa mau percaya omong kosongmu? Anjing kaki dua seperti kau saja aku tidak takut, apa lagi segala macam anjing hutan!”
Kong Bu kalah bicara, kemudian berkata marah, “Sudah jangan cerewet! Hayo jalan, ikut denganku!”
“Tidak sudi!” Li Eng berjebi lagi.
“Kepala batu!” Kong Bu menerjang maju, disambut tendangan oleh Li Eng.
Untuk kesekian kalinya dua orang ini saling serang. Li Eng berusaha merobohkan dengan tendangan-tendangannya yang amat dahsyat, sedangkan Kong Bu berusaha merobohkan gadis itu untuk dapat dipanggulnya seperti malam tadi. Tentu saja dengan kedua tangan terbelenggu dan tubuh lemas dan lelah, Li Eng tak dapat melakukan perlawanan berarti. Akhirnya dia kena diringkus kedua kakinya, diangkat dan dipanggul oleh Kong Bu yang lalu berlari cepat.
Li Eng memaki-maki, meronta-ronta dan mencoba untuk menggigit lagi, namun Kong Bu tidak pedulikan semua itu dan lari secepatnya menuju ke tengah hutan. Akhirnya Kong Bu berhenti di sebuah lereng dan berkata,
“Nah, kau lihat ke bawah!”
Li Eng yang masih dipanggul itu melirik ke bawah. Di depannya terdapat sebuah lembah yang curam dan di dalam lembah itu tampaklah puluhan ekor anjing yang berkeliaran. Mereka nampak buas. Begitu melihat dua orang di atas lereng, mereka menggonggong dan menyalak dengan muka ganas.
Ngeri juga hati Li Eng, akan tetapi ia mengeraskan hati dan berkata, “Aku tidak takut!”
Kong Bu mengeluarkan suara ketawa getir, hatinya kecewa kenapa gadis ini belum juga menyerah kalah dan mengaku takut. Dengan mendongkol ia menurunkan Li Eng, menotok jalan darahnya hingga gadis itu lemas kaki tangannya. Kemudian dengan menggunakan sebuah pedang dia memutuskan tali belenggu kedua tangan Li Eng.
“Aku tak sudi membunuhmu dengan kedua tangan sendiri, karena aku bukan pembunuh murahan. Aku pun tak sudi menghina dan mempermainkanmu seperti yang dimaksudkan kakek, karena aku bukanlah seorang manusia rendah dan hina. Akan tetapi karena kau seorang anak murid Hoa-san-pai, untuk membalas sakit hati mendiang ibuku, kau akan ku lempar ke dalam jurang lembah itu. Kau boleh melawan anjing-anjing itu, bila kau menang dan dapat naik kembali dengan selamat, aku tak akan mengganggumu.”
Tanpa memberi kesempatan kepada gadis yang pandai itu untuk menjawab, Kong Bu menggerakkan kedua tanggannya, yang kanan menotok punggung membebaskan aliran jalan darah, yang kiri mendorong tubuh gadis itu ke dalam lembah yang curam itu. Tanpa dapat menahan diri lagi tubuh Li Eng terdorong ke bawah. Tubuhnya melayang ke tempat yang dalamnya lima enam meter itu. Segera ia mampu menguasai diri dan cepat mengatur keseimbangan tubuhnya, lalu berjungkir balik dan dapat turun ke dasar lembah dalam keadaan berdiri.
Suara hiruk pikuk binatang-binatang itu menyambut kedatangannya. Puluhan ekor anjing yang bermata merah dengan lidah terjulur keluar segera mengurungnya, menggonggong dan memperlihatkan gigi dan taring yang runcing mengerikan. Gadis itu menyedot napas dalam-dalam, mengumpulkan semangat dan tenaga, mengusir rasa jijik dan takut, kemudian ia mendahului anjing-anjing itu, menendang dan memukul. Makin berisiklah keadaan di lembah itu. Ada anjing yang terpukul mati seketika, hanya dapat berkelojotan sebentar, ada yang berkuik-kuik, ada pula yang meraung-raung.
Anjing-anjing yang lain semua mengonggong dan menyalak marah. Mereka ini kemudian menyergap dan mengeroyok Li Eng. Akan tetapi dengan gagahnya gadis ini mengamuk. Tangan dan kakinya bergerak-gerak menghindar ke sana ke mari sambil memukul serta menendang, lalu meloncat untuk mengelak. Di atas tebing lereng itu, Kong Bu berdiri tegak menonton. Mula-mula mulutnya tersenyum mengejek dan matanya membayangkan kekerasan hatinya. Tetapi ketika ia menyaksikan sepak terjang Li Eng, senyumnya menghilang dan matanya berubah membayangkan rasa kekaguman yang besar.
Bukan main gadis ini pikirnya. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang gadis demikian gagah beraninya. Jangankan melihat, malah mimpi pun belum pernah. Sukarlah, malah tak mungkin kiranya, membayangkan seorang dara seperti ini hebatnya! Dadanya berdebar dan kini ia memandang penuh perhatian.
Betapa pun gagah dan lihainya Li Eng, gadis itu semalam suntuk tidak tidur, lagi pula tubuhnya amat lelah dan berkali-kali ia harus mengerahkan tenaga menghadapi Kong Bu. Kini dikeroyok puluhan ekor anjing yang liar itu, perlahan-lahan ia mulai kehabisan tenaga dan berkuranglah kegesitannya.
Sudah dua belas ekor anjing menggeletak jadi bangkai oleh pukulan dan tendangannya, namun yang mengeroyoknya masih berpuluh-puluh! Pukulannya kini mulai kurang keras, gerakannya juga sudah lemah dan limbung. Namun sedikit pun juga semangatnya tidak pernah berkurang, dan tidak sedikit pun juga ia nampak takut atau bingung.
Tiba-tiba lima ekor anjing menyerangnya dengan serentak, menubruk dari kanan kiri dan depan. Li Eng melompat mundur untuk menghindarkan diri. Akan tetapi malang baginya, kebetulan sekali di sebelah belakang ada seekor anjing pula sehingga kakinya terhalang dan ia terjengkang ke belakang. Serempak lebih dari sepuluh ekor anjing menubruknya dengan moncong terbuka lebar!
Wajah Kong Bu menjadi pucat seketika. Akan tetapi dia kagum bukan main ketika gadis itu dengan kegesitan luar biasa telah menggulingkan tubuhnya cepat-cepat ke kiri terus melompat berdiri. Namun ia tak dapat menghindar serangan seekor anjing dari sebelah belakang yang menubruk kakinya dan menggigit betisnya. Kain celana pada bagian betis robek berikut kulit betisnya.
Li Eng menjerit tertahan, membalikkan tubuh dan sekali tangan kanannya menghantam maka pecahlah kepala anjing itu! Demikian hebat amarahnya sehingga seketika timbul kembali tenaganya, namun kini ia merasa kakinya yang tergigit tadi kaku dan sakit-sakit. Sekilas ia mengerling ke atas dan melihat pemuda itu masih berdiri tegak. Kemarahannya bangkit, sampai mati ia tidak akan memperlihatkan rasa takut dan takkan mau menyerah, biar pemuda gila itu terbuka matanya bahwa dia adalah seorang dara berdarah pendekar sejati.
Ia melawan terus, memukul menendang, tapi pandang matanya mulai berkunang-kunang, tubuhnya terhuyung-huyung dan kepalanya pening. Ia masih dapat melihat berkelebatnya sosok bayangan orang diikuti sinar pedang yang membabati anjing-anjing yang sedang mengeroyoknya, kemudian Li Eng mengeluh dan roboh pingsan!
Dalam keadaan setengah sadar Li Eng merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya sedang terbakar. Warna merah dan kuning menyelubungi dirinya, dan suara gonggongan anjing terngiang-ngiang di telinganya. Kemudian ia juga melihat kepala-kepala banyak anjing liar dengan moncong terbuka hendak menggigitnya. Ia merasa ngeri sekali, kemudian kepala-kepala anjing ini menyuram, terganti kepala seorang pemuda yang gagah dan ganteng.
“Kenapa kau begini benci kepadaku…?” Li Eng berbisik, hatinya sakit sekali.
“Diamlah…” ia tiba-tiba mendengar suara perlahan, “biar kuhisap keluar racun anjing itu. Siapa tahu anjing tadi gila…” Lalu ia merasa amat sakit pada betis kaki kirinya.
Li Eng membuka mata. Ternyata ia sedang rebah terlungkup di bawah sebatang pohon, beralaskan rumput hijau yang sangat sedap dan segar. Ia menggerakkan lehernya dan melihat… pemuda ‘gila’ itu duduk di dekatnya, mengangkat kaki kirinya dan… menyedot betisnya yang terasa panas dan sakit.
“Kurang ajar! Kau! Lepaskan kakiku, lepaskan!” Li eng berteriak keras sekali. Meremang seluruh bulu di badannya ketika mendapat kenyataan kakinya telah telanjang sampai ke lutut dan betapa betisnya di ‘cium’ oleh mulut pemuda itu.
Kong Bu, pemuda itu, menunda pekerjaannya, menoleh dengan kening berkerut.
“Rewel benar kau!” bentaknya. “Kalau anjing yang menggigit betismu tadi gila, sebentar lagi kau yang menjadi gila, tahukah kau? Aku sedang berusaha untuk menyedot keluar racun dari luka di betismu, mengapa kau banyak cerewet?”
Li Eng terkejut, takut, dan juga heran. Alangkah ngerinya kalau betul ucapan itu, dan dia menjadi gila! Akan tetapi benar-benar amat mengherankan kenapa pemuda ini menolong dirinya keluar dari lembah, malah sekarang hendak mengobatinya?
“Biarkan aku duduk menyandar pohon, tak enak terlungkup begini…” akhirnya ia berkata.
“Sesukamulah, tapi kalau terlalu lama penyedotan racun tertunda, aku tidak tanggung lagi kalau kau menjadi gila, lebih gila dari pada anjing yang menggigitmu.”
Li Eng menarik kakinya dan duduk, menyandarkan diri di batang pohon itu. Ia melonjorkan kakinya yang agak parah bekas gigitan anjing. Rasa ngeri menyelinap dalam hatinya.
“Apakah… apakah… anjing yang menggigitku tadi benar-benar gila?” tanyanya perlahan, tanpa memandang pemuda itu.
“Mudah-mudahan tidak, tapi siapa tahu. Anjing-anjing hutan itu liar, hampir semua seperti gila,” jawab pemuda itu. “Cara pengobatan satu-satunya harus menyedot racun keluar dari luka itu.”
Setelah berkata demikian, tanpa minta izin lagi ia kemudian mengulangi usahanya tadi, membungkukkan badan, mendekatkan mulut kepada kaki Li Eng yang sudah diangkatnya, lalu ia menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisapnya.
Li Eng meramkan kedua matanya, mukanya merah padam. Celaka, ia telah menerima penghinaan yang hebat dan terus-menerus dari pemuda ini. Ia sudah dikalahkan dalam pertempuran, itu penghinaan pertama, kemudian ia dimaki-maki, itu penghinaan kedua, lalu ia dipanggul sebagai tawanan, penghinaan ke tiga. Kemudian ia dilempar ke dalam lembah anjing hutan, itu penghinaan ke empat dan sekarang ini, penghinaan ke lima, yang paling hebat!
Pemuda itu secara kurang ajar sekali telah menyentuh betis kakinya, memegangnya, dan tidak itu saja, malah… di cucupnya betis kakinya dengan mulut. Inilah penghinaan yang tak dapat diampuni lagi. Ia membuka kedua matanya. Melihat pemuda itu membungkuk dengan penuh perhatian dan pengerahan tenaga Iweekang menyedot luka untuk mengeluarkan racun, tiba-tiba Li Eng menggerakan tangan kanannya, dipukulkan ke arah tengkuk Kong Bu dengan jari-jari terbuka.
“Bukkk!”
Tanpa dapat bersambat lagi pemuda itu roboh terguling dalam keadaan pingsan! Pukulan Li Eng hebat sekali dan tidak dapat ditangkis oleh pemuda itu yang sama sekali tidak pernah menyangka dirinya akan diserang ini.
Li Eng meloncat bangun, meringis karena betis kaki kirinya terasa perih sekali, namun ditahannya. Cepat ia menotok punggung Kong Bu untuk mencegah pemuda itu bergerak bila siuman nanti, kemudian ia mencari akar pohon dan dengan akar ini ia membelenggu tangan Kong Bu ke belakang. Setelah ini ia membebaskan pemuda itu dari pada totokan dan dengan merobek sedikit tali pinggang yang panjang ia membalut luka betisnya.
Tidak lama kemudian Kong Bu siuman dari pingsannya. Ia cepat meloncat berdiri, akan tetapi sebuah tendangan membuat dia terjungkal lagi. Ia rebah miring dan mengangkat kepala memandang kepada gadis yang berdiri sambil tersenyum mengejek dengan amat manisnya itu. Lenyap kebingungan dan keheranan Kong Bu. Mengertilah ia kini kenapa ia tadi pingsan dan kenapa pula kedua tangannya terbelenggu.
“Mengapa…?” Kong Bu menahan kembali pertanyaannya kerena dari senyum dan sinar mata itu ia sudah mendapat jawaban sejelasnya.
“Hi-hi-hik, ada ubi ada talas, ada budi ada balas!” kata Li Eng, suaranya bening karena kini dia telah bebas dan malah sudah pulih kembali kejenakaannya dan keriangannya.
Berbeda dengan sikap Kong Bu yang hanya memandang dengan penuh kagum. Entah bagaimana, setelah Li Eng tidak galak dan pemarah seperti pada saat menjadi tawanan, setelah gadis itu mendapatkan kembali sifat pribadinya yang lucu jenaka, dalam pandang matanya gadis itu berubah menjadi sangat manis dan jelita.
"Kau boleh bunuh aku. Memang aku patut dibunuh karena kebodohanku, bisa saja diakali oleh seorang gadis liar macam kau. Hemmm, betul Kakek, gadis Hoa-san-pai mana boleh dipercaya? Aku kurang hati-hati. Bunuhlah."
"Enak saja dibunuh! Pemuda sombong dan gila seperti kau harus mengalami siksaan dan penghinaan lebih dulu sebelum dibunuh!"
Kong Bu tak dapat berkata apa-apa lagi karena ia maklum bahwa gadis ini tentu akan terus meniru kata-katanya, ketika masih menjadi tawanannya.
"Sudahlah, kau boleh lempar aku ke lembah itu biar dikeroyok anjing gila," katanya.
Li Eng menjebirkan bibirnya, luar biasa manisnya dalam pandangan Kong Bu.
"Huh, kau mau akali aku, ya? Biar digigit kakimu lalu biar aku menolongmu?"
"Habis, apa yang hendak kau lakukan dengan diriku?"
Li Eng meloncat bangun. "Hayo, bangun berdiri, dan ikut aku!"
Kini tiba giliran Kong Bu untuk mempermainkan gadis itu, seperti ia dipermainkan ketika menawannya.
"Aku tidak sudi!" jawabnya. Baru kali ini pemuda itu memperlihatkan senyumnya, senyum mengejek dan menggoda.
Wajah yang tampan itu kelihatan berseri terang ketika tersenyum, lenyap sama sekali bayangan watak keras dan aneh. Li Eng menggigit bibir dan membanting kaki.
"Kau tidak mau turut perintahku?"
Kong Bu menggeleng kepala. "Aku tidak sudi ikut kau, hendak kulihat kau mau apa?"
Celaka, pikir Li Eng dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah sekali ketika pandang matanya bertemu dengan mata pemuda itu. Dari sinar mata pemuda itu ia dapat membaca pikiran orang. Kiranya pemuda itu hendak melihat apakah dia juga akan memanggulnya!
"Awas, aku pun bisa menggigit pundakmu!" Kong Bu sengaja mengejek gadis itu sambil tersenyum.
Li Eng semakin merah mukanya. Dasar setan alas, sudah menjadi tawanan masih bisa mempermainkan dirinya. Ia lupa betapa ketika ia sendiri menjadi tawanan, ia pun tiada sudahnya mengejek dan memaki pemuda itu.
"Kau kira aku akan sudi memanggulmu? Cih, tak punya malu!"
Li Eng lalu menggunakan akar yang panjang dan kuat, diikatkan pada pinggang pemuda itu dan... ia menyeret pemuda itu pergi dari situ! Kong Bu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diseret seperti itu ia masih enak-enak saja telentang dengan mata merem-melek, kelihatan keenakan sekali.
"Kau akan membawaku ke mana?" beberapa kali ia mengajukan pertanyaan ini.
Karena pertanyaan itu diulang-ulang, akhirnya Li Eng dengan gemas menjawab, "Aku bukan seorang gila seperti engkau dan kakekmu. Karena kau menghina dan memusuhi Hoa-san-pai, aku akan membawamu sebagai tawanan ke Hoa-san-pai, biar Supek yang akan memberi keputusan apakah kau harus dilempar ke jurang ataukah digantung pada pohon pek!"
"Ha-ha-ha-ha, bocah sombong, jangan kau hendak membodohi aku," kata Kong Bu yang masih diseret-seret. "Hoa-san-pai bukan di sebelah sana letaknya, kau mengambil arah yang bertentangan."
"Huh, aku bukan pembohong seperti kau. Aku mempunyai urusan ke Thai-san lebih dulu, mungkin di Thai-san kau sudah bisa mendapat pengadilan dari Paman Tan Beng San."
Pemuda itu nampak terkejut sekali. "Ke... ke Thai-san...?"
"Sudahlah, jangan banyak cerewet! Pendeknya kau sekarang menjadi tawananku. Kalau kakekmu atau teman-temanmu tidak melepaskan Enci Hui Cu yang tertawan, kau pun tak akan kulepaskan. Apa bila kalian mengganggu Enci Hui Cu, awas kau, takkan kuampuni lagi!"
Kali ini Kong Bu betul-betul kelihatan gelisah. Ia tidak tahu siapakah itu Hui Cu dan siapa pula yang menawan gadis itu. Menurut kakeknya, seorang gadis lain dirampas orang dan kakeknya tengah mengejar orang itu. Karena itu ia pun diam saja dan membiarkan dirinya diseret-seret sepanjang jalan...
Lima orang perajurit pengawal yang bertugas menjaga Istana Kembang pada malam itu, terheran-heran ketika melihat datangnya seorang kakek berpakaian putih di situ. Mereka mengira bahwa tentulah kakek ini seorang pengemis gila, karena itu salah seorang dari mereka segera membentak, "Hee! Kakek gila, keluar kau!"
Akan tetapi kakek berpakaian putih ini seperti tidak mendengar bentakan itu. Dia terus melanjutkan perjalanannya melewati pekarangan menuju ke pintu depan. Tentu saja lima orang pengawal itu menjadi marah dan juga amat curiga. Dengan gerakan cepat mereka melompat dan tahu-tahu mereka sudah berdiri menghadang di depan kakek itu.
"He, Kakek! Apa kehendakmu dan siapa kau?" tegur seorang di antara mereka dengan sikap mengancam.
Kakek itu tetap tidak mengacuhkan mereka, memandang pun tidak, hanya menggumam, "Anak murid Hoa-san-pai..."
Lima orang itu semakin curiga, malah mereka sudah meraba gagang golok dan pedang. Jangan-jangan orang ini adalah teman gadis-gadis yang ditahan dan hendak merampas mereka, pikir mereka.
"Siapa kau?! Jangan main-main di sini, orang gila. Lekas keluar atau kau akan merasakan tajamnya golokku!" seorang di antara mereka berseru sambil mencabut goloknya. Empat orang yang lain juga sudah mencabut senjata masing-masing.
Akan tetapi kakek itu agaknya benar-benar gila. Rengek tangis di tenggorokannya masih terdengar terus dan bibirnya tiada henti-hentinya berkata, "Serahkan padaku anak murid Hoa-san-pai..."
Sementara itu kedua kakinya masih terus melangkah ke arah pintu, agaknya dia hendak memaksa memasuki istana itu.
"Orang gila sudah bosan hidup!" teriak para pengawal marah.
Berbareng mereka menggerakkan senjata, ada yang menusuk paha, ada yang membacok pundak, pendeknya mereka hendak merobohkan orang tua itu tanpa membunuhnya. Akan tetapi semua bacokan itu hanya mengenai angin belaka, padahal kakek itu kelihatannya tidak mengelak sama sekali!
Para pengawal itu terkejut bukan main dan mereka sadar bahwa orang gila ini bukanlah orang sembarangan. Namun kesadaran mereka terlambat karena dengan sekali renggut saja kakek itu sudah mencabut sebatang pohon bunga di depan istana. Pohon sebesar paha orang itu tercabut berikut akar-akarnya, kemudian tanpa banyak cakap lagi ia pun menghajar lima orang pengawal dengan pohon ini!
Kelima orang pengawal itu mencoba sedapat mungkin untuk menangkis atau mengelak, meloncat ke sana ke mari, namun sia-sia belaka. Tidak sampai lima menit mereka semua telah roboh dengan kepala pecah dan tulang-tulang patah tanpa nyawa lagi!
Setelah merobohkan lima orang ini, kakek gila tadi melemparkan batang pohon itu secara sembarangan, lalu berjalan terus dengan langkah lebar menuju pintu. Pintu itu terpalang dari depan, tapi sekali dorong daun pintu yang tebal itu terbuka, palangnya patah-patah. Sambil mengomel panjang pendek dan rengek tangisnya masih terdengar jelas, kakek ini melangkah masuk.
Dua orang pelayan wanita muncul dengan kaget dari dalam. Mereka menjerit ngeri ketika melihat seorang kakek aneh berjalan masuk dan daun pintu telah roboh dan pecah. Kakek itu agaknya marah mendengar jeritan mereka. Tangannya cepat bergerak ke arah mereka dan pelayan itu roboh terjungkal, mati tanpa dapat bersambat lagi. Lalu kakek ini melangkah terus.
"Anak murid Hoa-san-pai, mana anak murid Hoa-san-pai?" demikian terdengar ia bicara perlahan. Semua pintu kamar dibukanya dan ia mencari terus sampai ke kamar di sebelah belakang.
Pada waktu itu, dengan lagak genit dan centil sekali dua orang selir Pangeran sedang membujuk Li Eng dan Hui Cu yang terbelenggu di atas pembaringan. Mereka membujuk terus agar supaya dua orang gadis itu menurut saja menjadi selir Pangeran, malah tanpa malu-malu lagi dua orang wanita yang sudah tidak lagi mengenal kesusilaan ini mulai menceritakan hal-hal yang tak patut didengar telinga sopan, memuji-muji Pangeran yang muda dan tampan itu dan betapa senangnya menjadi selirnya.
Mula-mula Li Eng dan Hui Cu memaki-maki, akan tetapi lama-lama mereka lelah sendiri dan meramkan mata, sama sekali tidak mau melihat atau mendengar lagi. Kalau saja tangan mereka tidak terbelenggu, pasti sekali pukul mereka merobohkan dua orang yang tak tahu malu ini. Sementara itu, dua orang pelayan wanita juga berada di dalam kamar untuk melayani dua orang selir tadi.
Tiba-tiba pintu kamar itu terdorong dari luar, dan setelah terbuka masuklah Si Kakek tadi. Dua orang selir Pangeran itu bukanlah wanita-wanita lemah, segera mereka melompat dan menyambar pedang masing-masing.
"Siapa kau...?" Belum habis gema suara ini, dua orang selir itu telah terlempar dan kepala mereka terbentur tembok hingga pecah dan tewaslah mereka.
Diam-diam terkejut sekali hati Li Eng dan Hui Cu melihat betapa dengan gerakan kedua tangannya, kakek ini melakukan pukulan jarak jauh yang dapat membinasakan dua orang selir itu. Ada pun dua orang pelayan yang menjadi ketakutan segera menjerit-jerit. Akan tetapi dua kali tendangan menamatkan hidup mereka.
Sekaligus kakek ini telah membunuh empat orang di dalam kamar itu, dua orang lagi di luar kamar dan lima orang di luar rumah. Kemudian ia menghampiri Li Eng dan Hui Cu, memandang sejenak lalu terdengar ia berkata, "Anak murid Hoa-san-pai...?"
Li Eng dari Hui Cu tidak tahu siapakah kakek ini dan apa gerangan maksudnya dengan perbuatannya yang mengerikan itu, tidak tahu pula apa maksudnya bertanya tentang anak murid Hoa-san-pai. Akan tetapi karena dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang tokoh luar biasa di dunia kang-ouw dan tentu mengenal baik Hoa-san-pai, Li Eng yang lebih tabah itu menjawab,
"Benar, Locianpwe, kami berdua adalah murid Hoa-san-pai..."
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangan dan pada lain saat tubuh Li Eng dan Hui Cu telah dipanggulnya di kanan kiri atas pundaknya, kemudian bagaikan terbang ia berlari keluar dari istana yang penghuninya telah dibunuhnya semua itu!
Ketika kota raja geger dan pintu pintu gerbang kota raja sudah ditutup dan dijaga keras, kakek ini telah lama meninggalkan kota raja dengan memanggul dua tubuh gadis itu. Ia berlari terus secepat angin menembus gelap malam dan menjelang tengah malam tibalah ia di sebuah hutan, langsung memasuki hutan itu dan menuju ke sebuah kelenteng kuno yang sudah kosong.
Ia masuk di ruangan belakang kelenteng itu yang ternyata bersih. Melihat betapa di dalam gelap ia dapat bergerak leluasa, dapat diduga bahwa ia sudah hafal akan tempat ini. Sambil merengek-rengek terus dia melepaskan dua tubuh dara itu ke atas lantai secara kasar, mulutnya tiada hentinya berbisik, "Anak murid Hoa-san-pai... hemmm, anak murid Hoa-san-pai..."
Li Eng dan Hui Cu sudah terbebas dari totokan dan kini mereka berusaha melepaskan belenggu yang mengikat kedua tangan mereka. Tentu saja mereka dapat menggerakkan kaki dan andai kata menghadapi seorang biasa saja, dengan kaki mereka dua orang dara perkasa ini sanggup merobohkannya. Akan tetapi kini mereka menghadapi seorang kakek aneh yang sakti, tentu saja mereka tak berani berlaku sembrono menyerang dengan kaki saja!
Mereka mendapat kenyataan bahwa lantai itu licin dan bersih, dan mereka menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh kakek itu terhadap diri mereka. Tiba-tiba terdengar bunyi benda-benda nyaring dan terjadilah api. Tak lama kemudian ruangan itu menjadi terang oleh sebatang lilin yang dipasang oleh kakek itu di atas sebuah meja sembahyang yang sudah butut.
Ngeri juga hati dua orang gadis itu melihat wajah kakek yang tua dan menyeramkan tadi tersinar cahaya lilin. Kakek itu kini tertawa terkekeh-kekeh sambil memandang mereka.
"Heh-heh-heh-heh! Anak-anak murid Hoa-san-pai! Muda-muda dan cantik, tetapi semua anak murid Hoa-san-pai genit-genit, cabul dan tidak tahu malu!"
"Kakek tua bangka gila!" Li Eng tak dapat menahan kemarahannya mendengar kata-kata yang sangat menghina nama baik Hoa-san-pai ini. "Mulutmu kotor, kau manusia ataukah iblis? Kami orang-orang Hoa-san-pai selalu memegang tinggi kesopanan dan juga pribudi kebijaksanaan, jangan sembarangan kau menuduh!"
Kakek itu tertegun kaget mendengar suara ini dan melihat sikap Li Eng yang berani. Akan tetapi hanya sebentar karena ia terkekeh kembali.
"Heh-heh-heh! Sama saja semua. Kelihatannya memang sopan-sopan, lagaknya seperti pendekar-pendekar, akan tetapi begitu dekat laki-laki lalu menjadi cabul. Mempunyai anak di luar pernikahan, coba bilang, apakah itu tidak cabul dan tak tahu malu?"
"Keparat! Tua bangka! Lepaskan belenggu ini dan mari kita bertanding untuk membela pendirian kita. Kau akan mampus di tanganku untuk menebus ucapanmu yang menghina Hoa-san-pai!" kata pula Li Eng.
"Heh-heh-heh, hendak kulihat kau akan mampu berbuat apa nanti. Tetapi nanti, sekarang kau harus mengalami penghinaan lebih dahulu. Semua wanita-wanita Hoa-san-pai harus mengalami penghinaan, sesuai dengan watak Hoa-san-pai yang hinal" Ucapan ini disusul gerakan tangannya menyambar ke arah tubuh Li Eng.
"Brettt!"
Baju yang menempel di bagian atas tubuh Li Eng hancur berkeping-keping, kemudian bertaburan seperti daun-daun kering tertiup angin. Li Eng menjerit dan cepat menggunakan kaki menggulingkan tubuh sehingga yang hancur hanya pakaian bagian pundak dan leher saja, namun cukup banyak sehingga membuat tubuh bagian atasnya setengah telanjang. Mula-mula ia memaki-maki marah, akan tetapi makiannya berubah menjadi jerit mengerikan ketika dia melihat kakek itu mendekatinya dengan muka seperti iblis dan dari pandang matanya jelas tampak nafsu untuk menghina, untuk membikin malu dan merendahkan dua orang gadis itu.
Sementara itu, Hui Cu sudah bangkit berdiri dan memandang dengan muka pucat. Gadis ini belum diganggu, mungkin karena semenjak tadi ia diam saja, tidak seperti Li Eng yang memaki-maki sehingga agaknya kemarahan kakek aneh itu ditumpahkan kepada Li Eng semua.
Melihat kakek itu seperti gila, Li Eng menjadi nekat. Ia maklum bahwa akan sia-sia saja membujuk kakek ini agar tidak melakukan hal-hal yang tidak patut. Pada waktu kakek itu bergerak maju hendak mencengkeramnya, secepat kilat Li Eng mengangkat kaki kanan menendang. Tendangannya amat hebat dan cepat, yang diarah adalah pusar tempat yang paling berbahaya.
Tapi sambil terkekeh-kekeh kakek itu menangkis ke bawah dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menjangkau ke depan. Li Eng segera membuang dirinya ke belakang, bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan kakek itu.
"Heh-heh-heh, anak murid Hoa-san-pai, kau hendak lari ke mana?" katanya sambil terus mengejar.
Pada saat itu pula, dari belakangnya menyambar angin tendangan Hui Cu yang tak bisa berdiam diri saja melihat Li Eng terancam. Tetapi tubuh Hui Cu malah terpental dan gadis ini roboh terguling ketika tangan yang amat kuat menangkis kakinya.
"Enci Cu, lari...!"
Tiba-tiba lilin di atas meja padam. Ternyata Li Eng sudah mempergunakan kesempatan ketika Hui Cu menyerang kakek itu tadi untuk melompat ke dekat meja dan meniup padam lilin di atas meja, kemudian ia berteriak mengajak Hui Cu lari. Hui Cu maklum bahwa usaha itu tidak banyak harapannya, tapi itulah jalan satu-satunya, yakni mencoba untuk melarikan diri ke dalam hutan yang lebat itu. Ia pun lalu meloncat berdiri dan secepat kilat ia lari menerobos pintu, keluar kelenteng.
Dua orang gadis itu lari tersaruk-saruk dan jatuh bangun di dalam kegelapan. Akan tetapi akhirnya mereka sampai juga di luar kelenteng dan ternyata keadaan di situ tidak segelap di dalam karena bulan sudah muncul.
Namun, alangkah mendongkol, gelisah dan kecewanya mereka ketika mereka tiba di luar kelenteng, kakek gila tadi sudah berada di situ pula, berdiri tegak sambil terkekeh-kekeh mengejek. Entah kapan kakek itu keluar, dan hal ini saja menambah bukti betapa saktinya kakek aneh yang seperti orang gila ini.
"Locianpwe, harap kau jangan menganggu kami," Hui Cu yang sejak tadi diam saja kini mendadak mengeluarkan suara, menurutkan pikirannya yang mendapatkan sebuah akal. "Kami sedang dalam perjalanan menuju Thai-san untuk memberi hormat kepada paman kami Raja Pedang Tan Beng San. Harap kau orang tua memandang muka Paman Tan Beng San dan suka membebaskan kami berdua!"
Hui Cu mendapatkan akal ini untuk membawa-bawa nama Tan Beng San yang tentu saja dikenal oleh semua tokoh persilatan, agar kakek itu menjadi sungkan dan mundur. Siapa kira, mendengar kata-kata ini kakek itu menjadi makin menggila.
Ia membanting-banting kakinya dan berteriak, "Tan Beng San si keparat jahanam? Mana dia, biar kuhancurkan kepalanya seperti ini!" Ia menghantam ke kiri dan sebatang pohon sebesar paha orang segera tumbang dengan sekali pukul.
Kemudian dia terkekeh-kekeh lebih menyeramkan. "Jadi kau keponakan Tan Beng San? He-he-heh kebetulan sekali, kau harus merasakan bagaimana dihina dan disakiti orang!" Kalau tadi ia menumpahkan kemarahannya kepada Li Eng yang memaki-makinya kini ia mulai menubruk ke arah Hui Cu.
Gadis ini terkejut dan mengelak ke kiri. Akan tetapi karena kedua tangannya terbelenggu, ia pun terhuyung-huyung sehingga cengkeraman kakek itu mengenai tali rambutnya dan membuat rambutnya terlepas, terurai ke atas pundaknya. Sambil terkekeh-kekeh kakek itu menubruk lagi, namun kini Li Eng maju menolong Hui Cu, mengirim tendangan berantai dari belakang.
Betapa pun lihainya gadis ini, tetapi dengan kedua tangan yang terbelenggu ke belakang, keseimbangan tubuhnya sukar diatur, maka tendangan berantai yang mestinya cepat dan dahsyat itu menjadi kurang daya serangan. Apa lagi yang diserang adalah seorang kakek yang sakti. Dengan sedikit miringkan tubuhnya dan membabat dengan tangan kiri, tubuh Li Eng kena dibikin terpelanting dan untuk sekian kalinya gadis ini rebah mencium tanah!
Kakek itu kini melangkah perlahan mendekati Hui Cu yang sudah berdiri dengan tubuh gemetar saking lelah dan gelisahnya. Dia sudah mengambil keputusan nekat, kalau tidak dapat menghindarkan diri dari kakek gila ini, ia akan menyerang dengan kepalanya untuk membunuh atau terbunuh!
Pada saat yang amat berbahaya bagi Hui Cu ini, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam disusul bentakan keras. "Kakek jahat, pergilah!"
Bayangan itu menyambar ke arah kakek itu.
"Dukkk!"
Dua tangan bertemu dan keduanya sama-sama terhuyung ke belakang, disusul seruan kaget bayangan itu dan seruan heran Si Kakek tadi. Agaknya pertemuan dua tangan itu membuat mereka kaget bukan main karena ternyata bahwa lawan amatlah tangguh. Dengan gerakan yang luar biasa cepat bayangan itu kembali menyambar. Tangan kirinya menghantam, akan tetapi segera disusul tangan kanan yang memukul sedangkan tangan kiri ditarik pulang.
"Plak! Plak!"
Kembali keduanya terhuyung hampir roboh karena telah saling bertukar pukulan. Pukulan bayangan itu tepat mengenai sasaran, tapi pada saat yang sama Si Kakek berhasil pula memukulnya!
Di samping kekagetannya, bayangan itu marah sekali. Terdengar ia mengeluarkan bunyi melengking keras, lalu tubuhnya berkelebat menyerang kakek itu dengan dahsyat sekali. Kakek itu pun tidak tinggal diam. Dia menggereng dan menyambut serangan ini, malah kemudian kakek ini mengeluarkan suara melengking juga seperti orang menangis.
Dua lengkingan aneh bercampur menjadi satu dan Hui Cu pun cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya untuk menahan guncangan pada jantungnya. Demikian pula Li Eng segera maklum bahwa dua orang itu adalah ahli-ahli Iweekeh yang amat tinggi kepandaiannya.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking dari jauh, lengking meninggi seperti tangisan, persis lengking yang keluar dari tenggorokan kakek itu.
"Ha, anak baik, lekas datang!" kakek itu berseru girang.
Bayangan yang melawan kakek itu tampak gelisah, kemudian menyerang dahsyat lagi. Serangan yang amat aneh, kedua lengan memukul, tubuh menerjang seperti terbang dan kedua kakinya menendang di udara.
Kakek itu berteriak keras dan menghadapi terjangan ini dengan keempat kaki tangannya pula. Akibatnya kakek ini terguling karena ia telah terkena sebuah pukulan dan sebuah tendangan, tetapi sebaliknya bayangan itu pun terhuyung karena pukulan keras Si Kakek. Namun bayangan itu tidak memberi kesempatan lagi, cepat ia menyambar Hui Cu pada pinggangnya dan membawa pergi gadis ini seperti burung terbang cepatnya.
Kakek itu yang agaknya maklum pula akan kelihaian lawan yang berhasil menculik atau merampas seorang tawanannya. Ia tidak mengejar, sebaliknya, ia lalu menangkap Li Eng dan menyeret gadis ini kembali ke dalam kelenteng.
Setelah melempar gadis itu ke atas lantai, ia menyalakan lilin yang tadi padam. Kemudian ia berbalik memandang Li Eng yang sudah bangkit berdiri kembali, sikapnya mengancam dan berkata dengan suara parau,
"Kau anak murid Hoa-san-pai, sekarang kau akan merasai penghinaan yang sebesarnya, setelah itu kau mampus!" Ia melangkah mendekat.
Li Eng melejit dan hendak lari, namun sekali sambar tangan gadis itu telah dipegangnya. Li Eng mengangkat kaki menendang, namun tidak mengenai sasaran. Gadis ini tak dapat melepaskan diri lagi, menjerit dan meronta.
"Kongkong (Kakek), apa yang kau lakukan ini?" tiba-tiba terdengar suara nyaring sekali dan tahu-tahu seorang pemuda gagah telah berdiri di dalam kamar itu.
Kakek itu melepaskan tubuh Li Eng yang menjadi lemas dan terpelanting saking lelah dan ngerinya tadi, kemudian kakek itu tertawa dan berkata, "Aku pun muak dan sebal karena terpaksa harus melakukan perbuatan ini. Kalau saja dia bukan anak murid Hoa-san-pai, tentu sekali pukul sudah kubikin remuk kepalanya, habis perkara. Tapi dia anak murid Hoa-san-pai. Ha-ha-ha, Kong Bu, kau tahu apa artinya itu. Anak murid Hoa-san-pai, terutama yang perempuan, semua merupakan orang-orang hina. Pembunuh ibumu! Uh-uh, satu demi satu harus dibasmi, dihina lebih dahulu baru dibelek dadanya dan dikeluarkan jantungnya."
Pemuda itu melangkah maju, memandang kepada Li Eng lebih tajam penuh perhatian, kemudian ia mendengus penuh kebencian. "Hemmm, Kongkong, seperti dia inikah anak murid Hoa-san-pai pembunuh mendiang ibuku?"
"Ya ya, seperti ini. Cantik menarik, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Kong Bu, kau sudah datang, kebetulan sekali. Kuserahkan dia kepadamu, lakukanlah sesukamu terhadap dia, kau boleh hina dia, boleh permainkan dia, kemudian bunuhlah. Aku akan mengejar yang seorang lagi, yang tadi dirampas orang lain. Nah, aku pergi... heh-heh, kebetulan kau datang, aku... aku muak dan sebal kalau harus menyentuh wanita... aku sudah tua." Sekali berkelebat kakek itu sudah meluncur lewat dan lenyap.
"Kongkong, di mana kita dapat bertemu kembali?"
Dari jauh terdengar jawaban sayup-sayup, "...di Thai-san..."
Siapakah kakek aneh dan sakti ini? Siapa pula pemuda yang menjadi cucunya bernama Kong Bu ini? Kiranya pembaca telah dapat menduga siapa adanya kakek itu. Dia bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun Si Setan Berkabung, tokoh nomor satu di dunia barat, seorang sakti yang berwatak aneh bukan main dan kadang-kadang dapat bersikap kejam melebihi iblis.
Ada pun pemuda gagah dan tampan bernama Kong Bu itu bukan lain adalah anak dari Kwee Bi Goat dan Tan Beng San. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, bayi itu dibawa lari Song-bun-kwi dan dipeliharanya baik-baik, diajarkan ilmu silat hingga menjadi seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya.
Tentu saja mudah diketahui sebabnya, kenapa Song-bun-kwi bersikap demikian kejamnya terhadap Li Eng dan Hui Cu. Secara kebetulan sekali Song-bun-kwi sedang berada di kota raja dan ia mendengar dari para pengemis bahwa ada dua orang gadis anak-anak murid Hoa-san-pai diundang oleh Pangeran Mahkota.
Di dalam hati Song-bun-kwi, semenjak ia kematian anaknya, timbul dendam yang hebat terhadap Hoa-san-pai. Bukankah Kwa Hong yang menyebabkan kematian anaknya itu anak murid Hoa-san-pai? Oleh karena inilah, begltu mendengar tentang dua orang gadis anak murid Hoa-san-pai di kota raja, ia menggunakan kesempatan ini untuk menawan dua orang gadis itu untuk dihina dan dibunuhnya sebagai pembalasan dendamnya terhadap Hoa-san-pai!
Memang jalan pikiran seorang seperti Song-bun-kwi amat aneh dan kadang-kadang lebih ganas dari iblis sendiri. Kong Bu semenjak kecil hidup bersama Song-bun-kwi, tentu saja ia pun memiliki watak aneh seperti kakeknya. Namun pada dasarnya ia tidak mempunyai watak kejam seperti Song-bun-kwi, malah agak pendiam seperti ibunya, keras hati pula.
Semenjak kecil pemuda ini dijejali rasa dendam oleh kakeknya. Diceritakan bahwa ibunya yang tercinta mati karena kekejian anak murid Hoa-san-pai. Diceritai pula bahwa ayahnya bernama Tan Beng San telah meninggalkan ibunya, karena tergoda oleh siluman cantik murid Hoa-san-pai, sehingga ibunya ‘makan hati’ dan meninggal dunia. Ditanamkan bibit kebencian dan dendam sejak kecil sehingga pemuda ini mau tidak mau membenci apa pun yang ‘berbau’ Hoa-san-pai, malah selalu ditekan oleh kongkong-nya, bahwa kelak ia harus dapat membalaskan sakit hati ibunya dengan jalan membunuh ayahnya yang telah berdosa terhadap ibunya!
Demikianlah, kini Kong Bu dihadapkan dengan seorang gadis dari Hoa-san-pai. Di bawah penerangan api lilin, dia menatap wajah Li Eng yang kini perlahan-lahan bangkit berdiri dan balas memandangnya. Bukan main cantik jelitanya gadis ini. Pakaian sebelah atas yang koyak-koyak sebagian itu menambah hebatnya daya tarik sehingga Kong Bu tak kuat memandang lebih lama lagi. Kong Bu membuang muka dan merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, meremang dan terasa dingin pada tulang punggungnya.
Cantik jelita, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Itulah kata-kata kakeknya yang berkumandang dalam telinganya dan kembali Kong Bu bergidik. Sifat siluman betina adalah merupakan iblis di dalam tubuh seorang wanita cantik. Banyak sudah ia melihat wanita cantik, terutama kalau ia diajak kakeknya menyusup ke dalam istana untuk sekedar melihat-lihat atau mencuri makanan. Akan tetapi harus diakui bahwa belum pernah selama hidupnya ia berhadapan atau melihat seorang gadis seperti ini!
Dan kakeknya sudah menahan gadis ini, sekarang memberikannya kepada dia. Dia boleh berbuat sesuka hatinya terhadap gadis ini, lalu membunuhnya. Dia boleh menghinanya, mempermainkannya, hemm, apakah maksud kakeknya?
Sungguh pun pikiran Kong Bu tidak sampai ke situ, namun perasaannya membuat dia dapat menduga, penghinaan apakah yang paling hebat bagi seorang gadis. Melihat baju yang koyak-koyak itu, yang memperlihatkan sebagian dari kulit yang halus, jantungnya berdebar tidak karuan membuat ia membuang muka dan tidak berani lagi memandang kulit di balik baju yang koyak itu.
Di lain pihak, Li Eng merasa agak lega karena ia telah terlepas dari ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut di tangan kakek gila tadi. Malah kini ia mendapatkan harapan untuk terlepas pula dari tangan pemuda ini. Tak mungkin pemuda ini selihai kakek tadi. Kalau saja ada kesempatan bagiku, pikir Li Eng dan pandang matanya mengukur-ukur sementara kedua kakinya menegang, siap mengirim tendangan yang mematikan. Tetapi bagaimana kalau tendangannya tak berhasil? Li Eng ragu-ragu.
Kalau saja dua tanganku bebas. Ataukah lebih baik ia merayu pemuda ini dan membujuk dia agar suka membuka belenggunya? Kalau sudah bebas kedua tangannya, kiranya tak akan sukar membunuhnya!
Tapi pikiran ini membuat mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Sampai mati sekali pun tak mungkin ia dapat melakukan pekerjaan itu, membujuk rayu seorang lelaki! Ia teringat kepada pamannya, Kwa Kun Hong. Biar pun lemah, pamannya itu cerdik. Apa yang akan dilakukan pamannya dalam keadaan begini? Apakah dia masih terus hendak mengalah saja?
Ahh, bagaimana nasib pamannya? Bagaimana pula nasib Hui Cu yang tadi dilarikan oleh seorang laki-laki yang luar biasa pula? Aku harus bebas dulu, baru dapat menolong Enci Cu dan Paman Hong, pikirnya.
Tiba-tiba Li Eng berseru keras dan kaki kanannya melayang menendang pusar pemuda yang sedang berdiri bengong, Li Eng menahan seruannya ketika kakinya bertemu dengan benda yang keras sekali, tetapi tubuh Kong Bu terlempar seperti tertiup angin, terbanting pada dinding dan terpelanting jatuh. Akan tetapi seperti karet saja, dia sudah berdiri lagi dan memandang kepada Li Eng dengan alis terangkat. Ia tidak apa-apa.
Celaka, Li Eng mengeluh dalam batin, kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dari kakek tadi. Tendangannya tepat sekali, akan tetapi pemuda itu hanya terlempar, luka sedikit pun tidak, malah kelihatannya tidak merasa sakit. Kini pemuda itu berjalan lambat-lambat menghampiri, dengan mata memandang tajam dan alisnya yang tebal itu bergerak-gerak.
"Kenapa kau menendangku? Benar-benar berhati curang, kenapa kau menendangku?"
Li Eng tertegun. Biar pun sama lihai, pemuda itu agaknya tidak seliar kakek tadi, sungguh pun sama pula anehnya. Pertanyaan yang aneh pula, bagaimana ia bisa menjawab?
"Hemmm," katanya dengan nada mengejek dan mengumpulkan semangat supaya jangan kelihatan rasa takut dan gelisahnya, "kenapa aku menendangmu? Jawab dulu, mengapa kau menawanku?"
Kening pemuda itu semakin berkerut. "Karena kau anak murid Hoa-san-pai, yang cantik, muda belia, lihai, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Orang yang membikin celaka ibuku adalah anak murid Hoa-san-pai seperti kau. Karena itu sekarang kau harus mati setelah mengalami siksaan dan hinaan lebih dulu."
Terbelalak mata Li Eng. Ancaman penghinaan lebih hebat dari maut baginya. Biar pun ia sendiri belum mengerti benar penghinaan apa yang dimaksudkan, akan tetapi seperti juga keadaan pemuda itu sendiri, gadis ini dengan perasaannya dapat menduga-duga yang membuat ia ketakutan dan ngeri setengah mati.
"Kau... kau adalah pengecut besar!" tiba-tlba saja Li Eng berteriak dalam kengerian dan kebingungannya. Makiannya ini ternyata tepat mengenai sasaran, memukul kelemahan pemuda itu.
Mendengar makian pengecut, Kong Bu meloncat dengan kedua tangan dikepal keras dan matanya seakan-akan hendak membakar diri Li Eng. Ia akan menerima dan masih dapat menahan dimaki apa saja, akan tetapi makian pengecut merupakan pantangan baginya. Dalam anggapannya, tidak ada sifat yang lebih rendah dari sifat pengecut!
"Apa kau bilang tadi? Pengecut? Aku... pengecut?" Suaranya gemetar saking marahnya. "Buktikan... setan kau, hayo buktikan kalau aku... pengecut!"
Li Eng yang cerdik itu menahan gejolak hatinya yang girang karena akalnya berhasil. Ia sengaja menjebirkan bibirnya dengan lagak mengejek dan menghina.
"Seorang laki-laki yang mengganggap diri sendiri gagah, beraninya berlagak hanya kalau menghadapi lawan wanita yang dibelenggu kedua tangannya. Huh! Andai kata aku tidak terbelenggu, kiranya kau sudah lari jatuh bangun ketakutan. Apa lagi namanya kalau bukan pengecut paling rendah?"
Kong Bu tidak sanggup menahan kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan suara melengking tinggi yang membuat Li Eng amat kaget dan seram. Tiba-tiba pemuda ini mendekatinya, menggerakkan kedua tangan dan... belenggu yang mengikat Li Eng lantas putus menjadi beberapa potong!
"Nah, putus sudah! Kau tidak terbelenggu lagi. Hayo, kau mau apa sekarang? Setan betina, tarik kembali makianmu pengecut tadi. Setan, kau menghinaku, ya? Hayo, cepat tarik kembali kata-kata pengecut tadi!"
Saking girangnya karena telah bebas, Li Eng untuk sejenak tidak dapat menjawab, hanya menggosok-gosok pergelangan dua tangannya yang masih kaku-kaku untuk memulihkan jalan darahnya. Matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum manis, serta timbul kembali keberaniannya dan kepercayaan kepada diri sendiri.
"Sudah bebas kedua tanganku! Ehh, kau belum juga lari jatuh bangun?"
"Tidak sudi! Mengapa harus lari? Aku bukan pengecut! Hayo cepat katakan, aku bukan pengecut!" teriak Kong Bu makin marah.
Li Eng memandang dengan senyum ejekan yang amat menyakitkan hati pemuda itu.
"Apa? Kau tidak mau lari? Larilah, aku tidak akan mengejarmu sebagai upahmu sudah membebaskan tanganku dari belenggu."
"Tidak sudi!"
"Ah, kalau begitu ternyata kau sudah bosan hidup. Terpaksa kedua tanganku mengantar nyawamu ke neraka!"
Li Eng cepat sekali menerjang maju dengan kedua tangannya memukul, susul-menyusul ke arah pelipis dan lambung. Kong Bu yang marah sekali cepat menangkis kedua pukulan itu dan balas menyerang dengan sama keras dan dahsyatnya.Tadinya Li Eng memandang rendah dan mengejek, sedangkan Kong Bu juga memandang rendah dan marah-marah. Akan tetapi makin lama mereka bertempur, makin lenyaplah perasaan merendahkan lawan, lenyap pula rasa mengejek dan marah, terganti oleh rasa keheranan besar dan sedikit kekaguman. Ternyata bahwa keduanya sama tangguhnya, atau hanya sedikit selisihnya!
Kong Bu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis ini sedemikian hebat ilmu silatnya, memiliki gerakan yang cepat bukan main bagaikan burung walet saja sehingga kadang-kadang matanya berkunang. Di lain pihak, meski pun maklum bahwa pemuda itu bukan orang lemah, namun sama sekali di luar sangkaan Li Eng bahwa ternyata pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh, yang dapat mengimbangi Hoa-san Kun-hoat, dan malah memiliki tenaga dahsyat sehingga lengannya sakit-sakit dan panas tiap kali mereka harus beradu tangan.
Mulailah ia merasa menyesal mengapa ia tidak bersenjata. Dengan pedang di tangan, kiranya ia takkan terdesak seperti ini. Mulailah nona yang cerdik ini mencari akal. Pada saat terdapat kesempatan baik, Li Eng berseru keras dan kedua kakinya bergerak dengan Ilmu Tendangan Soan-hong-tui (Tendangan Angin Puyuh), yaitu yang merupakan tendangan berantai dengan dua kaki seperti kitiran angin. Yang dijadikan sasaran adalah pusar lawan.
Menghadapi tendangan berantai yang amat berbahaya ini, Kong Bu berseru keras dan melompat mundur. Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Li Eng untuk melompat ke dekat meja dan menendang meja itu sehingga terbalik. Seketika keadaan menjadi gelap pekat karena lilin di atas meja itu terlempar dan apinya padam. Inilah yang dihendaki oleh Li Eng. Ia mempunyai pendengaran tajam dan lweekang yang sudah tinggi, maka ia hendak mengandalkan dua kelebihan ini untuk melawan Kong Bu di dalam gelap!
Akan tetapi, sekali lagi ia kecele. Pemuda ini berseru keras, "Kau hendak lari ke mana?"
Dan dari angin gerakannya tahulah Li Eng bahwa pemuda itu menerjang ke arahnya seakan-akan memiliki mata yang dapat menembus kegelapan. Terpaksa ia mengerahkan ketajaman pendengarannya untuk menghadapi serbuan dalam gelap ini. Kembali mereka bertempur, kini di dalam gelap dan ternyata malah makin seru dari tadi. Karena keadaan gelap sama sekali, kedua orang muda yang berilmu tinggi itu bertempur hanya mengandalkan ketajaman pendengaran dan kegesitan gerakan saja.
Makin lama makin terasa oleh Kong Bu akan kelihaian dara itu dan diam-diam ia merasa heran bagaimana kakeknya mampu menangkap gadis selihai ini dengan mudah. Apa lagi berdua dengan gadis lain yang tidak ia ketahui sampai di mana tinggi kepandaiannya. Kalau dilihat keadaannya sekarang agaknya biar pun kakeknya sendiri, belum tentu dapat mengalahkan gadis ini dengan mudah.
Dengan penasaran sekali Kong Bu menggereng dan mengeluarkan ilmu yang paling ia andalkan, yaitu Yang-sin-hoat. Ilmu ini adalah inti sari ilmu Yang-sin Kiam-sut yang dulu didapatkan oleh Song-bun-kwi dan telah diturunkan kepada pemuda ini. Yang-sin-hoat mengandalkan tenaga kasar dan ketika pemuda ini mainkan Yang-sin-hoat, Li Eng menjadi kewalahan. Sebagai seorang wanita, oleh kedua orang tuanya Li Eng dilatih dengan ilmu-ilmu yang berdasarkan kehalusan, disesuaikan dengan keadaan tubuh dan sifat wanita.
Maka ketika tadi lawannya menggunakan lweekang, ia masih sanggup melayani dengan baik. Sekarang, begitu lawannya berkelahi secara kasar dan keras, di mana pertemuan tenaga mungkin dapat mematahkan tulang dan melecetkan kulit, Li Eng menjadi sibuk sekali. Ia mencari kesempatan dan begitu terdapat lowongan gadis ini melompat keluar dari kamar terus lari keluar dari kelenteng.
"He, kau hendak lari ke mana?"
Kong Bu mengejar dengan lompatan keras sekali sehingga sekaligus ia dapat menyusul Li Eng. Dengan lompatan yang amat cepat ini ia telah menubruk tubuh Li Eng dari belakang. Segera ia menggunakan kedua lengan untuk menangkapnya dan dua orang itu terguling roboh di luar kelenteng, bergumul di atas tanah. Namun Li Eng kalah tenaga, juga ia disikap dari belakang dengan mendadak, maka ia tidak berdaya dan Kong Bu berhasil menotok punggungnya, membuat gadis itu lemas tak dapat menggerakkan kaki tangannya lagi. Li Eng hanya dapat memandang dengan mata bersinar marah.
Kong Bu melepaskan Li Eng dan bangkit berdiri, mengatur napas. Ia terengah-engah dan lelah, juga tubuhnya sakit di sana-sini. Harus diakui bahwa baru kali inilah ia betul-betul berkelahi melawan seorang yang amat tangguh. Sekali lagi ia memandang ke arah di mana Li Eng rebah miring tak bergerak, di bawah sinar bulan nampak seperti seorang gadis sedang tidur saja, ataukah seekor harimau betina sedang mendekam?
"Gadis liar!" gerutunya sambil mengelus lehernya yang mengeluarkan darah, terluka oleh kuku-kuku tangan Li Eng ketika bergumul tadi.
Kong Bu kemudian lari mengambil tali pengikat tangan Li Eng, lalu keluar lagi dan setelah menyambung-nyambung tali yang kuat itu. Dia membelenggu lagi kedua tangan Li Eng. Setelah itu ia membebaskan totokannya dan membentak,
"Hayo bangun berdiri!"
Begitu terbebas dari totokan, dengan kemarahan meluap-luap Li Eng meloncat bangun dan langsung kedua kakinya yang bebas itu mengirim tendangan berantai!
Kong Bu kaget sekali dan dengan gugup ia mengelak ke sana ke mari karena tendangan-tendangan itu betul-betul mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan mematikan. Akhirnya ia dapat menyambar kaki kiri Li Eng dan sekali dorong tubuh Li Eng roboh lagi.
"Gadis liar!" lagi-lagi ia memaki.
Li Eng sudah meloncat bangun lagi, berdiri tegak, kepala dikedikkan, mata berapi-api, gigi digeget, kemarahan memenuhi dadanya.
"Hayo jalan, ikut denganku!" kata Kong Bu lagi.
"Tidak sudi! Mau bunuh boleh bunuh!" balas Li Eng, tak kalah ketus.
"Kepala batu!" Kong Bu memaki lagi.
Mendadak, sebelum Li Eng sempat menduga apa yang akan dilakukannya, pemuda ini menubruk ke depan, langsung menangkap dua kaki gadis itu dan mengangkat tubuhnya, terus dipanggul di atas pundaknya. Li Eng meronta-ronta, menendang-nendang, akan tetapi karena kedua tangannya diikat dan kedua kakinya dipeluk keras-keras oleh pemuda yang besar sekali tenaganya itu, ia tak berhasil melepaskan dirinya. Akan tetapi, dengan menggerak-gerakkan tubuh bagian atasnya, mulutnya berhasil mendekati pundak dan dengan gemas dia menggigit pundak pemuda itu.
"Aduh... perempuan liar!"
Kong Bu terpaksa melepaskan tubuh Li Eng yang terpelanting ke atas tanah. Pemuda ini memegangi dan mengusap-usap pundaknya yang luka berdarah dan bajunya yang robek tertembus gigi yang kecil-kecil putih akan tetapi kuat bukan main itu. Pundaknya sakit sekali, perih dan panas. Dengan marah ia maju lagi, mengangkat tangan hendak memukul pecah kepala Li Eng. Akan tetapi entah bagaimana, pada saat bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api dan penuh keberanian itu, kepalannya berubah menjadi totokan dan kembali Li Eng telah tertotok jalan darahnya, lemas dan tak dapat bergerak lagi.
"Hemmm, perempuan liar. Anak murid Hoa-san-pai, cantik jelita, muda belia, lihai namun berhati palsu dan berwatak hina. Kau harus disiksa dulu sebelum dibiarkan mati. Keparat, rasakan kau nanti!" Ia lalu mengangkat tubuh Li Eng yang sekarang tidak mampu meronta lagi itu, lalu memanggulnya.
Tiba-tiba ia berseru, "Ihhhh!" dan melepaskan tubuh Li Eng yang untuk kesekian kalinya lagi-lagi terbanting di atas tanah. Apa yang membuat pemuda itu berseru kegelian dan melepaskan tubuh gadis itu? Li Eng sendiri tidak mengerti.
Sebetulnya adalah karena ketika memanggul, kebetulan sekali sebagian pundak Li Eng yang tidak tertutup bajunya yang sudah koyak-koyak itu menumpang pada pundak dan leher Kong Bu, tepat di bagian baju yang robek oleh gigitan Li Eng tadi. Sentuhan kulit halus hangat pada kulit leher dan pundaknya itulah yang membuat Kong Bu kaget dan geli. Tubuhnya serasa dimasuki aliran listrik yang membuat ia menggigil dan seketika membanting tubuh Li Eng ke atas tanah.
Pemuda itu kini berdiri dengan leher terasa tebal dan tengkuknya berdiri semua. Akan tetapi mukanya terasa panas dan jantungnya berdebar keras. Perlahan-lahan dilepasnya baju luarnya, lalu diselimutkan pada tubuh atas Li Eng. Setelah melihat bahwa pundak gadis itu yang telanjang telah tertutup rapat, barulah ia membungkuk dan memanggul gadis itu kembali, dibawa lari secepatnya dari tempat itu, memasuki hutan.
Sementara itu, tanpa terasa selama dua orang ini ribut-ribut tadi, malam terganti fajar dan ketika Kong Bu memanggul Li Eng berlari-lari, ayam hutan sudah mulai berkokok. Namun pemuda itu berlari terus, menuju ke arah tertentu. Pemuda itu tidak berkata apa-apa, juga Li Eng tidak mengeluarkan suara sungguh pun kemarahan gadis itu membuat kedua matanya meneteskan air mata. Ia tidak takut, hanya marah dan penasaran mengapa ia tidak mampu mengalahkan laki-laki gila ini.
Tiba-tiba terdengar suitan saling bersahutan di dalam hutan itu. Pada saat itu cuaca mulai remang-remang karena dalam hutan penuh embun yang dingin menyusupi tulang-tulang. Tak lama kemudian suara suitan makin sering dan makin keras.
Pada saat tiba di dalam hutan yang penuh pohon-pohon besar, mendadak belasan orang berlompatan dari balik batang pohon sehingga Kong Bu terkurung oleh enam belas orang laki-laki yang tinggi besar, bercambang bauk dan membawa senjata tajam. Melihat sikap mereka yang kasar, mudah diduga mereka tentulah sebangsa perampok.
Kong Bu sedikit pun tidak menjadi gugup. Ia menurunkan tubuh Li Eng setelah lebih dulu membebaskan totokannya pada punggung gadis itu. Tadinya saking marah dan lelahnya, Li Eng hampir pulas dalam panggulan pemuda itu. Sekarang ia terkejut dan sadar ketika merasa tubuhnya terguling di atas tanah.
Cepat Li Eng menggerakkan kaki dan girang mendapat kenyataan bahwa dia tidak lemas tertotok lagi, maka ia meloncat berdiri. Ia terheran-heran melihat belasan orang laki-laki kasar itu berdiri di situ dengan menyerigai dan sikap mengancam.
“Ada keperluan apa kalian menghadang perjalananku?” Kong Bu membentak dan alisnya yang tebal menghitam itu berkerut tanda kesal hati menghadapi gangguan ini.
Salah seorang di antara mereka yang tubuhnya paling tinggi melangkah maju dan tertawa bergelak sambil memandang ke arah Li Eng yang berdiri dengan dua tangan terbelenggu.
“Ha-ha-ha, kiranya saudara seorang ahli pemetik bunga! Wah, kawan-kawan, kita kecele kali ini!”
Belasan orang laki-laki itu mengeluarkan suara kecewa, akan tetapi ada pula beberapa orang yang ketawa-tawa dan memuji-muji kecantikan Li Eng.
“Sebetulnya kalian ini mau apakah?” Kong Bu membentak lagi.
Hati Kong Bu tak senang mendengar pujian-pujian tentang kecantikan Li Eng. Dia lebih tidak senang lagi melihat sikap mereka yang ceriwis terhadap gadis tawanannya.
“Hai, saudara muda, karena kita sealiran, kami tidak akan mengganggu. Kau boleh pergi melanjutkan perjalananmu, akan tetapi kau tinggalkan bunga ini untuk kami, hitung-hitung tanda mata dan tanda persahabatan kita,” berkata pula pemimpin gerombolan itu sambil memandang kepada Li Eng dengan mata berminyak.
“Apa maksudmu? Bunga apa yang kau minta?” Kong Bu yang masih belum mengerti itu membentak lagi.
“Aih… aihh… kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Seorang perampok lainnya berolok-olok, “Tentu saja perempuan ini yang ditinggal…” Baru saja sampai sini ia bicara, mendadak tubuhnya terlempar jauh, lalu terbanting ke atas tanah dan tidak dapat bangun kembali!
Bukan main marahnya para perampok ketika melihat orang muda yang mereka sangka lemah itu sekali tangkap sanggup melemparkan kawan tadi. Apa lagi kepalanya, dengan marah berteriak, “Kawan-kawan, bunuh anjing jantan ini, biar aku tangkap yang betina!”
Terjadilah pengeroyokan hebat. Akan tetapi, alangkah kaget hati para pengeroyok itu saat pemuda itu menggerakkan kaki tangan, empat orang perampok langsung roboh kemudian mengaduh-aduh. Lebih-lebih kekagetan mereka ketika melihat pemimpin mereka begitu mendekati gadis yang terbelenggu itu tiba-tiba saja dadanya tertendang oleh gadis itu dan roboh sambil muntahkan darah segar.
Tidak berhenti sampai di situ saja. Gadis yang terbelenggu ini menggerak-gerakkan kedua kakinya dan sebentar saja empat orang perampok roboh pula tak dapat bangun kembali. Juga Kong Bu yang sudah marah menghajar para perampok itu. Sebentar saja beberapa orang roboh lagi.
Mereka bagaikan rombongan laron mengeroyok api lilin. Setelah lebih setengah jumlah mereka yang roboh, yang lain lalu melarikan diri menyelinap di antara gerombolan pohon. Kong Bu tidak memperdulikan mereka, kemudian memandang kepada Li Eng. Sejenak ia bengong terlongong, menatap wajah gadis itu yang juga memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Aduh hebatnya mata itu, demikian kesan pertama dihati Kong Bu.
Malam tadi dia tidak dapat melihat wajah Li Eng dengan terang, tidak sejelas sekarang. Wajah yang luar biasa dan terutama matanya, seperti sepasang bintang pagi. Tetapi ia teringat kembali akan kenyataan bahwa gadis ini adalah anak murid Hoa-san-pai, maka kemarahannya timbul pula. Apa lagi bila teringat betapa dengan susah payah malam tadi ia mengalahkan gadis ini, malah masih perih dan panas pundaknya yang digigit.
Sebaliknya, Li Eng juga tercengang ketika menyaksikan wajah yang tampan dan ganteng, yang sama sekali jauh berlainan dengan wajah kakek malam tadi. Pemuda ini betul-betul gagah. Mukanya lebar bulat, matanya jeli, alisnya hitam tebal, mulutnya membayangkan kekerasan hati. Akan tetapi kalau dia teringat akan perlakuan pemuda ini kepadanya, hatinya marah dan mendongkol bukan main. Dan dia telah dipanggul setengah malaman oleh pemuda ini!
Tiba-tiba saja Li Eng merasa mukanya panas dan ia berkata ketus. “Aku tidak sudi kau… pondong lagi!”
Kedua pipi Kong Bu langsung berubah merah. Dengan ketus pula dia menjawab, “Siapa yang sudi memondongmu? Kalau kau tidak rewel dan mau jalan sendiri, aku pun tak sudi memanggulmu!”
Sejenak keduanya diam, saling pandang penuh kemarahan. Kong Bu marah mengapa gadis ini begini kasar dan galak. Andai kata sikapnya halus dan penurut, agaknya ia tak akan tega memperlakukannya seperti tadi.
Li Eng marah mengapa pemuda itu bersikap sombong dan memandang rendah padanya. Andai kata tidak demikian sikap pemuda itu, tentu dia akan menerangkan bahwa mereka mempunyai musuh yang sama, yaitu Kwa Hong. Dia merasa yakin bahwa yang membuat pemuda ini dan kakeknya membenci anak murid Hoa-san-pai terutama yang perempuan, tentulah Kwa Hong.
“Kau hendak memaksaku pergi ke mana?”
“Akan kau lihat sendiri nanti!”
“Akan kau apakan aku?”
“Hemm, kau akan lihat sendiri!”
“Iblis kau! Kalau hendak bunuh padaku, bunuhlah. Siapa takut mampus?”
“Terlalu enak kalau kau dibunuh begitu saja. Kata kakek, semua anak murid Hoa-san-pai terutama yang perempuan adalah siluman-siluman jahat, harus disiksa dan dipermainkan dulu sebelum dibunuh.”
“Kakekmu gila!”
“Mungkin, tetapi tidak palsu dan hina seperti murid Hoa-san-pai yang menggoda ayahku dan membunuh ibuku!”
“Ahhh, kau juga gila!”
Kong Bu memandang dengan mata berapi, kemudian ia balas memaki, “Kaulah seorang gadis gila!”
“Kau hanya bisa meniru-niru!”
“Tidak, kau memang gila. Gadis normal tentu akan menangis dan minta ampun, tidak seperti kau yang begini nekat menantang maut.”
“Aku tidak takut!”
“Ha, ingin aku melihat nanti apakah betul-betul kau tidak mengenal takut.”
“Mau kau apakan aku?”
Kong Bu tersenyum dan karena ia ingin melihat gadis ini membayangkan ketakutan pada wajah yang cantik dan selalu menantang penuh keberanian itu, ia berkata, “Aku hendak melepaskan kau di tempat yang penuh dengan anjing-anjing hutan, biar kau dikeroyok oleh anjing hutan!”
Akan tetapi keinginan hatinya tidak terpenuhi, malah gadis itu menjebikan bibirnya yang merah sambil mengejek, “Phuhh, siapa mau percaya omong kosongmu? Anjing kaki dua seperti kau saja aku tidak takut, apa lagi segala macam anjing hutan!”
Kong Bu kalah bicara, kemudian berkata marah, “Sudah jangan cerewet! Hayo jalan, ikut denganku!”
“Tidak sudi!” Li Eng berjebi lagi.
“Kepala batu!” Kong Bu menerjang maju, disambut tendangan oleh Li Eng.
Untuk kesekian kalinya dua orang ini saling serang. Li Eng berusaha merobohkan dengan tendangan-tendangannya yang amat dahsyat, sedangkan Kong Bu berusaha merobohkan gadis itu untuk dapat dipanggulnya seperti malam tadi. Tentu saja dengan kedua tangan terbelenggu dan tubuh lemas dan lelah, Li Eng tak dapat melakukan perlawanan berarti. Akhirnya dia kena diringkus kedua kakinya, diangkat dan dipanggul oleh Kong Bu yang lalu berlari cepat.
Li Eng memaki-maki, meronta-ronta dan mencoba untuk menggigit lagi, namun Kong Bu tidak pedulikan semua itu dan lari secepatnya menuju ke tengah hutan. Akhirnya Kong Bu berhenti di sebuah lereng dan berkata,
“Nah, kau lihat ke bawah!”
Li Eng yang masih dipanggul itu melirik ke bawah. Di depannya terdapat sebuah lembah yang curam dan di dalam lembah itu tampaklah puluhan ekor anjing yang berkeliaran. Mereka nampak buas. Begitu melihat dua orang di atas lereng, mereka menggonggong dan menyalak dengan muka ganas.
Ngeri juga hati Li Eng, akan tetapi ia mengeraskan hati dan berkata, “Aku tidak takut!”
Kong Bu mengeluarkan suara ketawa getir, hatinya kecewa kenapa gadis ini belum juga menyerah kalah dan mengaku takut. Dengan mendongkol ia menurunkan Li Eng, menotok jalan darahnya hingga gadis itu lemas kaki tangannya. Kemudian dengan menggunakan sebuah pedang dia memutuskan tali belenggu kedua tangan Li Eng.
“Aku tak sudi membunuhmu dengan kedua tangan sendiri, karena aku bukan pembunuh murahan. Aku pun tak sudi menghina dan mempermainkanmu seperti yang dimaksudkan kakek, karena aku bukanlah seorang manusia rendah dan hina. Akan tetapi karena kau seorang anak murid Hoa-san-pai, untuk membalas sakit hati mendiang ibuku, kau akan ku lempar ke dalam jurang lembah itu. Kau boleh melawan anjing-anjing itu, bila kau menang dan dapat naik kembali dengan selamat, aku tak akan mengganggumu.”
Tanpa memberi kesempatan kepada gadis yang pandai itu untuk menjawab, Kong Bu menggerakkan kedua tanggannya, yang kanan menotok punggung membebaskan aliran jalan darah, yang kiri mendorong tubuh gadis itu ke dalam lembah yang curam itu. Tanpa dapat menahan diri lagi tubuh Li Eng terdorong ke bawah. Tubuhnya melayang ke tempat yang dalamnya lima enam meter itu. Segera ia mampu menguasai diri dan cepat mengatur keseimbangan tubuhnya, lalu berjungkir balik dan dapat turun ke dasar lembah dalam keadaan berdiri.
Suara hiruk pikuk binatang-binatang itu menyambut kedatangannya. Puluhan ekor anjing yang bermata merah dengan lidah terjulur keluar segera mengurungnya, menggonggong dan memperlihatkan gigi dan taring yang runcing mengerikan. Gadis itu menyedot napas dalam-dalam, mengumpulkan semangat dan tenaga, mengusir rasa jijik dan takut, kemudian ia mendahului anjing-anjing itu, menendang dan memukul. Makin berisiklah keadaan di lembah itu. Ada anjing yang terpukul mati seketika, hanya dapat berkelojotan sebentar, ada yang berkuik-kuik, ada pula yang meraung-raung.
Anjing-anjing yang lain semua mengonggong dan menyalak marah. Mereka ini kemudian menyergap dan mengeroyok Li Eng. Akan tetapi dengan gagahnya gadis ini mengamuk. Tangan dan kakinya bergerak-gerak menghindar ke sana ke mari sambil memukul serta menendang, lalu meloncat untuk mengelak. Di atas tebing lereng itu, Kong Bu berdiri tegak menonton. Mula-mula mulutnya tersenyum mengejek dan matanya membayangkan kekerasan hatinya. Tetapi ketika ia menyaksikan sepak terjang Li Eng, senyumnya menghilang dan matanya berubah membayangkan rasa kekaguman yang besar.
Bukan main gadis ini pikirnya. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang gadis demikian gagah beraninya. Jangankan melihat, malah mimpi pun belum pernah. Sukarlah, malah tak mungkin kiranya, membayangkan seorang dara seperti ini hebatnya! Dadanya berdebar dan kini ia memandang penuh perhatian.
Betapa pun gagah dan lihainya Li Eng, gadis itu semalam suntuk tidak tidur, lagi pula tubuhnya amat lelah dan berkali-kali ia harus mengerahkan tenaga menghadapi Kong Bu. Kini dikeroyok puluhan ekor anjing yang liar itu, perlahan-lahan ia mulai kehabisan tenaga dan berkuranglah kegesitannya.
Sudah dua belas ekor anjing menggeletak jadi bangkai oleh pukulan dan tendangannya, namun yang mengeroyoknya masih berpuluh-puluh! Pukulannya kini mulai kurang keras, gerakannya juga sudah lemah dan limbung. Namun sedikit pun juga semangatnya tidak pernah berkurang, dan tidak sedikit pun juga ia nampak takut atau bingung.
Tiba-tiba lima ekor anjing menyerangnya dengan serentak, menubruk dari kanan kiri dan depan. Li Eng melompat mundur untuk menghindarkan diri. Akan tetapi malang baginya, kebetulan sekali di sebelah belakang ada seekor anjing pula sehingga kakinya terhalang dan ia terjengkang ke belakang. Serempak lebih dari sepuluh ekor anjing menubruknya dengan moncong terbuka lebar!
Wajah Kong Bu menjadi pucat seketika. Akan tetapi dia kagum bukan main ketika gadis itu dengan kegesitan luar biasa telah menggulingkan tubuhnya cepat-cepat ke kiri terus melompat berdiri. Namun ia tak dapat menghindar serangan seekor anjing dari sebelah belakang yang menubruk kakinya dan menggigit betisnya. Kain celana pada bagian betis robek berikut kulit betisnya.
Li Eng menjerit tertahan, membalikkan tubuh dan sekali tangan kanannya menghantam maka pecahlah kepala anjing itu! Demikian hebat amarahnya sehingga seketika timbul kembali tenaganya, namun kini ia merasa kakinya yang tergigit tadi kaku dan sakit-sakit. Sekilas ia mengerling ke atas dan melihat pemuda itu masih berdiri tegak. Kemarahannya bangkit, sampai mati ia tidak akan memperlihatkan rasa takut dan takkan mau menyerah, biar pemuda gila itu terbuka matanya bahwa dia adalah seorang dara berdarah pendekar sejati.
Ia melawan terus, memukul menendang, tapi pandang matanya mulai berkunang-kunang, tubuhnya terhuyung-huyung dan kepalanya pening. Ia masih dapat melihat berkelebatnya sosok bayangan orang diikuti sinar pedang yang membabati anjing-anjing yang sedang mengeroyoknya, kemudian Li Eng mengeluh dan roboh pingsan!
Dalam keadaan setengah sadar Li Eng merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya sedang terbakar. Warna merah dan kuning menyelubungi dirinya, dan suara gonggongan anjing terngiang-ngiang di telinganya. Kemudian ia juga melihat kepala-kepala banyak anjing liar dengan moncong terbuka hendak menggigitnya. Ia merasa ngeri sekali, kemudian kepala-kepala anjing ini menyuram, terganti kepala seorang pemuda yang gagah dan ganteng.
“Kenapa kau begini benci kepadaku…?” Li Eng berbisik, hatinya sakit sekali.
“Diamlah…” ia tiba-tiba mendengar suara perlahan, “biar kuhisap keluar racun anjing itu. Siapa tahu anjing tadi gila…” Lalu ia merasa amat sakit pada betis kaki kirinya.
Li Eng membuka mata. Ternyata ia sedang rebah terlungkup di bawah sebatang pohon, beralaskan rumput hijau yang sangat sedap dan segar. Ia menggerakkan lehernya dan melihat… pemuda ‘gila’ itu duduk di dekatnya, mengangkat kaki kirinya dan… menyedot betisnya yang terasa panas dan sakit.
“Kurang ajar! Kau! Lepaskan kakiku, lepaskan!” Li eng berteriak keras sekali. Meremang seluruh bulu di badannya ketika mendapat kenyataan kakinya telah telanjang sampai ke lutut dan betapa betisnya di ‘cium’ oleh mulut pemuda itu.
Kong Bu, pemuda itu, menunda pekerjaannya, menoleh dengan kening berkerut.
“Rewel benar kau!” bentaknya. “Kalau anjing yang menggigit betismu tadi gila, sebentar lagi kau yang menjadi gila, tahukah kau? Aku sedang berusaha untuk menyedot keluar racun dari luka di betismu, mengapa kau banyak cerewet?”
Li Eng terkejut, takut, dan juga heran. Alangkah ngerinya kalau betul ucapan itu, dan dia menjadi gila! Akan tetapi benar-benar amat mengherankan kenapa pemuda ini menolong dirinya keluar dari lembah, malah sekarang hendak mengobatinya?
“Biarkan aku duduk menyandar pohon, tak enak terlungkup begini…” akhirnya ia berkata.
“Sesukamulah, tapi kalau terlalu lama penyedotan racun tertunda, aku tidak tanggung lagi kalau kau menjadi gila, lebih gila dari pada anjing yang menggigitmu.”
Li Eng menarik kakinya dan duduk, menyandarkan diri di batang pohon itu. Ia melonjorkan kakinya yang agak parah bekas gigitan anjing. Rasa ngeri menyelinap dalam hatinya.
“Apakah… apakah… anjing yang menggigitku tadi benar-benar gila?” tanyanya perlahan, tanpa memandang pemuda itu.
“Mudah-mudahan tidak, tapi siapa tahu. Anjing-anjing hutan itu liar, hampir semua seperti gila,” jawab pemuda itu. “Cara pengobatan satu-satunya harus menyedot racun keluar dari luka itu.”
Setelah berkata demikian, tanpa minta izin lagi ia kemudian mengulangi usahanya tadi, membungkukkan badan, mendekatkan mulut kepada kaki Li Eng yang sudah diangkatnya, lalu ia menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisapnya.
Li Eng meramkan kedua matanya, mukanya merah padam. Celaka, ia telah menerima penghinaan yang hebat dan terus-menerus dari pemuda ini. Ia sudah dikalahkan dalam pertempuran, itu penghinaan pertama, kemudian ia dimaki-maki, itu penghinaan kedua, lalu ia dipanggul sebagai tawanan, penghinaan ke tiga. Kemudian ia dilempar ke dalam lembah anjing hutan, itu penghinaan ke empat dan sekarang ini, penghinaan ke lima, yang paling hebat!
Pemuda itu secara kurang ajar sekali telah menyentuh betis kakinya, memegangnya, dan tidak itu saja, malah… di cucupnya betis kakinya dengan mulut. Inilah penghinaan yang tak dapat diampuni lagi. Ia membuka kedua matanya. Melihat pemuda itu membungkuk dengan penuh perhatian dan pengerahan tenaga Iweekang menyedot luka untuk mengeluarkan racun, tiba-tiba Li Eng menggerakan tangan kanannya, dipukulkan ke arah tengkuk Kong Bu dengan jari-jari terbuka.
“Bukkk!”
Tanpa dapat bersambat lagi pemuda itu roboh terguling dalam keadaan pingsan! Pukulan Li Eng hebat sekali dan tidak dapat ditangkis oleh pemuda itu yang sama sekali tidak pernah menyangka dirinya akan diserang ini.
Li Eng meloncat bangun, meringis karena betis kaki kirinya terasa perih sekali, namun ditahannya. Cepat ia menotok punggung Kong Bu untuk mencegah pemuda itu bergerak bila siuman nanti, kemudian ia mencari akar pohon dan dengan akar ini ia membelenggu tangan Kong Bu ke belakang. Setelah ini ia membebaskan pemuda itu dari pada totokan dan dengan merobek sedikit tali pinggang yang panjang ia membalut luka betisnya.
Tidak lama kemudian Kong Bu siuman dari pingsannya. Ia cepat meloncat berdiri, akan tetapi sebuah tendangan membuat dia terjungkal lagi. Ia rebah miring dan mengangkat kepala memandang kepada gadis yang berdiri sambil tersenyum mengejek dengan amat manisnya itu. Lenyap kebingungan dan keheranan Kong Bu. Mengertilah ia kini kenapa ia tadi pingsan dan kenapa pula kedua tangannya terbelenggu.
“Mengapa…?” Kong Bu menahan kembali pertanyaannya kerena dari senyum dan sinar mata itu ia sudah mendapat jawaban sejelasnya.
“Hi-hi-hik, ada ubi ada talas, ada budi ada balas!” kata Li Eng, suaranya bening karena kini dia telah bebas dan malah sudah pulih kembali kejenakaannya dan keriangannya.
Berbeda dengan sikap Kong Bu yang hanya memandang dengan penuh kagum. Entah bagaimana, setelah Li Eng tidak galak dan pemarah seperti pada saat menjadi tawanan, setelah gadis itu mendapatkan kembali sifat pribadinya yang lucu jenaka, dalam pandang matanya gadis itu berubah menjadi sangat manis dan jelita.
"Kau boleh bunuh aku. Memang aku patut dibunuh karena kebodohanku, bisa saja diakali oleh seorang gadis liar macam kau. Hemmm, betul Kakek, gadis Hoa-san-pai mana boleh dipercaya? Aku kurang hati-hati. Bunuhlah."
"Enak saja dibunuh! Pemuda sombong dan gila seperti kau harus mengalami siksaan dan penghinaan lebih dulu sebelum dibunuh!"
Kong Bu tak dapat berkata apa-apa lagi karena ia maklum bahwa gadis ini tentu akan terus meniru kata-katanya, ketika masih menjadi tawanannya.
"Sudahlah, kau boleh lempar aku ke lembah itu biar dikeroyok anjing gila," katanya.
Li Eng menjebirkan bibirnya, luar biasa manisnya dalam pandangan Kong Bu.
"Huh, kau mau akali aku, ya? Biar digigit kakimu lalu biar aku menolongmu?"
"Habis, apa yang hendak kau lakukan dengan diriku?"
Li Eng meloncat bangun. "Hayo, bangun berdiri, dan ikut aku!"
Kini tiba giliran Kong Bu untuk mempermainkan gadis itu, seperti ia dipermainkan ketika menawannya.
"Aku tidak sudi!" jawabnya. Baru kali ini pemuda itu memperlihatkan senyumnya, senyum mengejek dan menggoda.
Wajah yang tampan itu kelihatan berseri terang ketika tersenyum, lenyap sama sekali bayangan watak keras dan aneh. Li Eng menggigit bibir dan membanting kaki.
"Kau tidak mau turut perintahku?"
Kong Bu menggeleng kepala. "Aku tidak sudi ikut kau, hendak kulihat kau mau apa?"
Celaka, pikir Li Eng dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah sekali ketika pandang matanya bertemu dengan mata pemuda itu. Dari sinar mata pemuda itu ia dapat membaca pikiran orang. Kiranya pemuda itu hendak melihat apakah dia juga akan memanggulnya!
"Awas, aku pun bisa menggigit pundakmu!" Kong Bu sengaja mengejek gadis itu sambil tersenyum.
Li Eng semakin merah mukanya. Dasar setan alas, sudah menjadi tawanan masih bisa mempermainkan dirinya. Ia lupa betapa ketika ia sendiri menjadi tawanan, ia pun tiada sudahnya mengejek dan memaki pemuda itu.
"Kau kira aku akan sudi memanggulmu? Cih, tak punya malu!"
Li Eng lalu menggunakan akar yang panjang dan kuat, diikatkan pada pinggang pemuda itu dan... ia menyeret pemuda itu pergi dari situ! Kong Bu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diseret seperti itu ia masih enak-enak saja telentang dengan mata merem-melek, kelihatan keenakan sekali.
"Kau akan membawaku ke mana?" beberapa kali ia mengajukan pertanyaan ini.
Karena pertanyaan itu diulang-ulang, akhirnya Li Eng dengan gemas menjawab, "Aku bukan seorang gila seperti engkau dan kakekmu. Karena kau menghina dan memusuhi Hoa-san-pai, aku akan membawamu sebagai tawanan ke Hoa-san-pai, biar Supek yang akan memberi keputusan apakah kau harus dilempar ke jurang ataukah digantung pada pohon pek!"
"Ha-ha-ha-ha, bocah sombong, jangan kau hendak membodohi aku," kata Kong Bu yang masih diseret-seret. "Hoa-san-pai bukan di sebelah sana letaknya, kau mengambil arah yang bertentangan."
"Huh, aku bukan pembohong seperti kau. Aku mempunyai urusan ke Thai-san lebih dulu, mungkin di Thai-san kau sudah bisa mendapat pengadilan dari Paman Tan Beng San."
Pemuda itu nampak terkejut sekali. "Ke... ke Thai-san...?"
"Sudahlah, jangan banyak cerewet! Pendeknya kau sekarang menjadi tawananku. Kalau kakekmu atau teman-temanmu tidak melepaskan Enci Hui Cu yang tertawan, kau pun tak akan kulepaskan. Apa bila kalian mengganggu Enci Hui Cu, awas kau, takkan kuampuni lagi!"
Kali ini Kong Bu betul-betul kelihatan gelisah. Ia tidak tahu siapakah itu Hui Cu dan siapa pula yang menawan gadis itu. Menurut kakeknya, seorang gadis lain dirampas orang dan kakeknya tengah mengejar orang itu. Karena itu ia pun diam saja dan membiarkan dirinya diseret-seret sepanjang jalan...