CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJAWALI EMAS JILID 22
Tiga orang busu ini cepat menggerakkan senjata mereka dan masing-masing menyerbu satu kelompok Ngo-lian-tin. Ruyung baja di tangan Souw Ki mengeluarkan angin ketika ia memutarnya dan menerjang lima orang wanita cantik yang cepat menggunakan pedang untuk menghadapinya dalam bentuk Ngo-lian-tin itu. Kaget juga jagoan istana ini ketika seorang anggota Ngo-lian-tin yang diserangnya sama sekali tidak mengelak, hanya mengangkat pedang menangkis. Akan tetapi empat batang pedang lainnya membarengi gerakannya, dari empat jurusan menyerang empat bagian berbahaya dari tubuhnya.
Terpaksa dia menarik kembali senjatanya dan menangkis serangan-serangan itu dengan memutar ruyung sekuat tenaga. Empat orang wanita itu mengeluarkan seruan tertahan karena hampir saja pedang mereka terlempar dari tangan, begitu hebat tenaga Si Tangan Besi ini. Souw Ki kini maklum bahwa jika ia menyerang seorang lawan, yang empat tentu akan membarengi serangannya sehingga dasar Ngo-lian-tin ini adalah mengorbankan seorang anggota untuk mengalahkan lawan. Tentu saja ia tidak mau dan ia segera mengerahkan tenaganya memutar ruyungnya, mengambil keuntungan dari tenaganya yang besar untuk mengadu senjata dengan lima batang pedang itu. Usahanya itu berhasil baik karena lima orang wanita yang menjadi lawannya terdesak mundur sampai ke tengah jembatan!
Juga sepasang saudara kembar she Bu itu ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat dan cepat hingga kelompok Ngo-lian-tin yang mengeroyok mereka tak dapat mengimbanginya. Terdengar jerit susul-menyusul ketika beberapa orang wanita anggota Ngo-lian-tin terluka oleh pedang mereka, lantas disusul Souw Ki yang berhasil pula menendang dua orang pengeroyoknya masuk ke dalam anak sungai! Benar-benar tingkat kepandaian para busu yang menjadi tangan kanan Pangeran Mahkota ini tak boleh dipandang rendah.
Sampai pucat muka Kim-thouw Thian-li saking malu dan marahnya. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Tadi ia sudah berjanji bahwa kalau tiga orang itu dapat mengalahkan Ngo-lian-tin, mereka diperbolehkan masuk ke dalam untuk melakukan penggeledahan. Sebagai Ketua Ngo-lian-kauw tentu saja ia tidak suka menjilat ludah sendiri. Ia memberi isyarat dengan tepukan tangan dan sisa barisan Ngo-lian-tin itu yang tahu bahwa mereka tidak akan dapat menang, cepat mengundurkan diri. Souw Ki tertawa bergelak dan bersama kedua Saudara Bu ia lalu menyeberangi jembatan memasuki lima bangunan berbentuk bunga teratai itu. Mereka melakukan penggeledahan, memasuki semua kamar dan ruangan, tetapi tentu saja mereka tidak bisa mendapatkan dua orang gadis pilihan Pangeran yang terculik pada malam itu, karena memang bukan Yok-mo penculiknya.
Tiga orang itu menjadi kecewa sekali oleh karena tadinya mereka menduga keras bahwa satu-satunya kakek yang selihai itu, yang berani mengacau Istana Kembang, siapa lagi kalau bukan kakek ini? Apa lagi kalau dipikir bahwa Yok-mo menjadi ‘teman baik’ Ketua Ngo-lian-kauw yang dahulu pernah memusuhi Kaisar.
Sementara itu, Kun Hong yang sedang bersembunyi sambil mengintai, melihat betapa jagoan-jagoan istana itu mencurigai Yok-mo, diam-diam juga ikut menjadi curiga. Ia cukup mengenal Yok-mo yang berwatak palsu, bukan tidak mungkin kakek ini yang menculik Li Eng dan Hui Cu! Maka ia menanti hasil penyelidikan tiga orang jagoan itu dengan hati berdebar. Ia pun ikut kecewa ketika tiga orang itu keluar dengan tangan kosong dan wajah muram.
Yok-mo terkekeh-kekeh mentertawakan, lalu berkata, "Heh-heh-heh, apakah kalian sudah menemukan dua orang gadis itu?"
Souw Ki semakin marah ketika ditertawakan. "Kakek jahat! Siapa tahu kalau kau sudah menyembunyikan dua orang gadis itu di tempat lain?"
"Heh-heh, andai kata memang benar kusembunyikan, kewajibanmulah untuk mencari dan menemukannya."
Souw Ki dan kedua orang Saudara Bu marah, akan tetapi karena tak ada bukti, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sudah hendak pergi, akan tetapi Kim-thouw Thian-li tiba-tiba menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan tiga orang itu, menghadang mereka. Mulut Ketua Ngo-lian-kauw ini tersenyum mengejek, "Hemmm, kalian sewenang-wenang datang merusak hiasan jembatan, lalu memasuki tempat tinggal kami dengan fitnah jahat. Setelah semua itu, apakah kalian hendak pergi begitu saja?"
"Kim-thouw Thian-li, sesudah Ngo-lian-tin yang kau ajukan itu sanggup kami hancurkan, apakah kau masih belum puas juga?" Souw Ki mengejek sambil melintangkan ruyungnya di depan dada.
"Justru karena Sam-wi Busu telah memecahkan Ngo-lian-tin, aku yang bodoh ingin sekali berkenalan dengan kelihaian Sam-wi. Tak sekali-kali Ngo-lian-kauw hendak memandang rendah kepada Pangeran Mahkota, akan tetapi ini adalah urusan mengenai pribadi kita, tidak tahu apakah Sam-wi Busu sudi memberi petunjuk?" Biar pun kata-kata ini sifatnya halus, namun jelas mengandung tantangan.
Orang seperti Tiat-jiu Souw Ki yang semenjak mudanya mengumbar nafsu berkelahi, tak mau mengalah dan selalu menganggap diri sendiri paling jagoan, mana bisa menghadapi tantangan tanpa melayaninya? Ia tertawa bergelak lalu berkata,
"Kim-thow Thian-li! Telah lama aku mendengar namamu yang amat tenar. Tentu saja aku pun ingin sekali merasai kelihaianmu dan urusan di antara kita ini tiada sangkut-pautnya dengan Pangeran. Setelah kami bertindak sebagai utusan, sekarang kami akan bertindak atas nama diri pribadi kami sendiri. Kalau kau ada kepandaian, boleh memberi petunjuk!"
Kim-thouw Thian-li mendengus lalu tangannya bergerak, tahu-tahu tangan kanan sudah memegang pedang dan tangan kiri memegang sehelai sabuk berwarna merah.
"Tiat-jiu Souw Ki, ingin sekali aku berkenalan dengan ruyung bajamu yang ganas!" Sambil berkata demikian, pedangnya berubah menjadi sinar ketika bergerak menusuk ke arah dada Souw Ki.
Orang tinggi besar ini tidak berani memandang remeh karena ia pun sudah mendengar bahwa Ketua Ngo-lian-kauw ini adalah seorang wanita yang ganas dan dahsyat sekali sepak terjangnya. Cepat ia menggeser kakinya ke kiri sambil menyabetkan ruyungnya ke arah sinar pedang untuk menangkis.
Akan tetapi, Kim-thouw Thian-li telah menahan pedangnya dan sebagai gantinya, tangan kiri wanita itu bergerak dan sinar merah melayang-layang menotok ke arah ulu hati Souw Ki. Jangan dipandang rendah sabuk merah di tangan kiri Kim-thouw Thian-li ini. Biar pun hanya sehelai kain halus, namun, di tangan wanita ini berubah menjadi senjata yang amat ampuh, yang ujungnya mampu merobek jalan darah lawan dan karena lemasnya maka lebih berbahaya dan sukar dilawan oleh sebatang pedang!
Souw Ki mengeluarkan seruan panjang. Ruyungnya lantas diputar menjadi benteng baja melindungi dirinya sehingga totokan ujung sabuk sutera ini pun dapat ditangkisnya. Akan tetapi Kim-thouw Thian-li kembali mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan, lalu pedangnya bergerak menjadi gulungan sinar memanjang, menyambar-nyambar tubuh Souw Ki dari pelbagai jurusan sehingga jagoan istana ini menjadi kaget dan sibuk sekali.
Kim-thouw Thian-li adalah murid tersayang dari tokoh besar Hek-hwa Kui-bo Si Iblis Betina, malah ilmu pedang Im-sin Kiam sut yang luar biasa hebatnya itu sebagian telah diajarkan kepada Kim-thouw Thian-li. Biar pun hanya sebagian saja Im-sin Kiam-sut yang dimiliki oleh Ketua Ngo-lian-kauw ini, namun cukup untuk menghadapi lawan yang sakti.
Souw Ki boleh mengagulkan dirinya sebagai jagoan yang bertangan besi dan bersenjata ruyung yang dahsyat, namun menghadapi Kim-thouw Thian-li dia repot sekali. Andai kata Ketua Ngo-lian-kouw ini hanya bermain pedang saja, ia pun sudah repot dan takkan dapat melawan wanita itu dengan ruyungnya, apa lagi sekarang Kim-thouw Thian-li membantu permainan pedangnya dengan sabuk merahnya, membuat jagoan yang galak itu menjadi makin kewalahan.
Untung sekali baginya bahwa Kim-thouw Thian-li masih jeri untuk mencelakai orangnya Pangeran Mahkota. Andai kata tidak, sekali saja Ketua Ngo-lian-kauw ini mengeluarkan senjata-senjatanya yang paling ampuh, yaitu senjata rahasia yang mengandung racun berbahaya, kiranya dalam waktu tak lama Souw Ki tentu akan roboh.
Sepasang saudara Bu yang tadinya hanya menonton pertandingan ini, pada saat melihat bahwa teman mereka terdesak hebat dan sekarang hanya main mundur dan berputaran untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan yang amat gencar itu, kini menjadi marah. Selama ini, tujuh orang jagoan istana pengawal Pangeran Mahkota adalah jagoan-jagoan yang ditakuti, yang sudah dianggap sebagai sekelompok jagoan tanpa tanding. Apa bila sekarang seorang di antara mereka dijatuhkan lawan, berarti nama tujuh orang jagoan ini akan tercemar.
Oleh karena itu, keduanya saling bertukar pandang, kemudian sepasang saudara kembar ini menggerakkan pedang dan Bu Sek membentak, "Kim-thouw Thian-li, jangan menjual lagak di depan kami!"
Ilmu pedang dari sepasang saudara Bu ini adalah ilmu pedang keturunan yang bersumber pada ilmu pedang Go-bi Kiam-hoat dari Go-bi-pai. Karena mereka adalah dua saudara kembar, maka dalam permainan pasangan ini mereka seakan-akan merupakan pasangan yang sangat cocok, laksana dua orang satu perasaan saja sehingga kalau maju bersama mereka kelihatan amat hebat.
Tadi saja mereka masing-masing bisa memecahkan Ngo-lian-tin, ini berarti bahwa tingkat mereka bukanlah tingkat jago silat sembarangan. Kini mereka maju bersama mengeroyok Kim-thouw Thian-li, sekali serang merupakan gulungan sepasang sinar pedang yang amat kuat.
Ketua Ngo-lian-kauw itu diam-diam amat terkejut. Ia cepat menahan desakannya terhadap Souw Ki untuk menghadapi dua orang lawan barunya ini. Cepat dan kuat gerakan dua pedang dari saudara kembar itu, maka terpaksa Kim-thouw Thian-li harus mengeluarkan Im-sin Kiam-sut lagi untuk menghadapinya. Wanita tua Ketua Ngo-lian-kauw ini sungguh hebat sekali, biar pun dikeroyok tiga ia masih dapat mengimbangi permainan lawannya.
Kun Hong yang menonton di balik batang pohon, merasa gembira juga karena sekarang ia dapat menonton dengan penuh pengertian. Ia dapat mengikuti semua permainan itu, bahkan dia dapat menduga bahwa kalau pertandingan ini dilanjutkan, Kim-thouw Thian-li akan kalah, biar pun mungkin wanita ini akan dapat melukai seorang di antara tiga orang pengeroyoknya. Ia ingin melerai mereka, akan tetapi dia pun merasa bahwa pertandingan itu bukanlah urusannya dan ia tidak mempunyai kepentingan sama sekali.
Agaknya penilaian Kun Hong ini sama persis dengan penilaian Yok-mo. Setan Obat ini pun maklum bahwa setelah dua saudara Bu itu ikut memasuki gelanggang pertempuran, Kim-thouw Thian-li tentu takkan kuat menahan. Tentu saja kalau ia membantu Ketua Ngo-lian-kauw itu, takkan sulit bagi mereka berdua untuk mengalahkan tiga orang busu ini. Akan tetapi mengingat bahwa mereka merupakan utusan-utusan Pangeran Mahkota, amatlah berbahaya untuk bermusuhan dengan ketiga orang ini.
Maka ia segera meloncat ke tengah lapangan, tongkat hitamnya bergerak dan mulutnya berseru, "Cukup... cukup...! Untuk apa bertempur terus?"
“Trang! Trang!”
Terdengar bunyi beradunya senjata. Baik ruyung baja di tangan Souw Ki mau pun pedang dl tangan kedua orang saudara Bu itu terpental ke belakang saat terbentur tongkat hitam. Tiga orang busu ini kaget dan melompat ke belakang, diam-diam mengakui kelihaian Si Setan Obat.
"Sam-wi Busu, setelah Sam-wi mendapat kenyataan bahwa aku bukan pengacau Istana Kembang, harap laporkan kepada Pangeran dan jangan melanjutkan pertempuran yang tak ada artinya ini. Kauwcu (Ketua), harap kau mengalah."
Kim-thouw Thian-li tersenyum dan mendengus lalu mengejek, "Ah, sekarang aku merasa sendiri betapa lihainya Sam-wi Busu!"
Wajah ketiga orang jagoan itu menjadi merah. Mereka merasa disindir karena tadi jelas bahwa mereka bertiga tidak mampu mengalahkan Ketua Ngo-lian-kauw yang lihai itu, apa lagi Yok-mo yang sekali menggerakkan tongkat telah mampu membuat senjata mereka terpental.
Mereka maklum bahwa Ketua Ngo-lian-kauw dan Yok-mo itu telah berlaku dan bersikap mengalah karena takut akan nama Pangeran Mahkota, maka mereka pun tidak bodoh untuk tidak tahu diri dan mencari perkara. Kedatangan mereka untuk menyelidik tentang kakek yang mengacau Istana Kembang, setelah sekarang tidak terdapat bukti, kiranya tak perlu mengacau di situ lebih lama lagi.
"Kauwcu sungguh lihai," berkata Souw Ki, "dan Yok-mo, karena tidak ada bukti terpaksa sementara ini kami mencabut dakwaan kami. Selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, tiga orang busu itu kemudian meninggalkan tempat itu dengan mengangkat dada. Betapa pun juga mereka belum kalah, dan andai kata mereka datang bertujuh, biar pun di situ ada Yok-mo, tanggung mereka takkan mendapat malu dan akan dapat mengalahkan pihak Ngo-lian-kauw. Setelah tiga orang itu pergi, Yok-mo dan Kim-thouw Thian-li tertawa. Kim-thouw Thian-li lalu memerintahkan para pengawalnya untuk kembali ke dalam benteng Ngo-lian-kauw.
Akan tetapi Yok-mo tiba-tiba berkata, "Nanti dulu, ada tamu yang sejak tadi bersembunyi, harus kita sambut dulu." Dia lalu memandang ke arah tempat sembunyi Kun Hong dan berseru keras, "Sahabat tak perlu bersembunyi lagi, kalau ada perlu, keluarlah!"
Kun Hong kaget sekali dan diam-diam memuji ketajaman mata Yok-mo. Tentu tadi dalam keasyikannya menonton pertempuran dia kurang hati-hati dan sempat memperlihatkan diri dari balik batang pohon sehingga terlihat oleh kakek itu. Ia berjalan keluar dan berkata,
"Toat-beng Yok-mo, aku memang datang hendak menemui engkau untuk mengembalikan kitab-kitabmu!" Ia segera berjalan menghampiri dan mengambil tiga buah kitab dari dalam kantong bajunya yang selama ini ia simpan dan ia pelajari.
Sejenak Toat-beng Yok-mo memandang heran. Akan tetapi begitu melihat tiga buah kitab di tangan pemuda itu, ia segera teringat dan berseru girang dan heran, "Kau... kau masih hidup...?"
Tentu saja ia sekarang ingat akan pemuda yang telah menggendongnya ketika ia terluka dari Bukit Hoa-san, pemuda yang ia kira mati digondol burung rajawali emas yang lihai itu. Ia bukan girang karena pemuda itu masih hidup, tetapi girang karena tiga buah kitabnya yang ia sangka sudah lenyap itu kini ternyata masih utuh. Cepat dia menyambar tiga buah kitab itu dan segera disusulnya pertanyaan,
"Dan manakah katak putih dalam tabung itu?"
"Ahhh, menyesal sekali, Yok-mo, katak itu sudah ditelan habis oleh Kim-thiauw-ko (Kakak Rajawali Emas)." Lalu pemuda ini segera balas bertanya, "Yok-mo, aku tadi mendengar mengenai urusan para busu mencari dua orang gadis. Gadis-gadis itu adalah dua orang keponakanku. Betulkah kau tidak melihat mereka, Yok-mo?"
Pada saat itu, sebelum Yok-mo menjawab, terdengarlah suara, "Bagus sekali, Toat-beng Yok-mo, kau telah menipu kami!"
Dan muncullah Souw Ki, dua orang saudara kembar Bu, dan seorang tosu. Tosu ini bukan lain adalah Thian It Tosu tokoh Ngo-lian-kauw, tangan kanan Kim-thouw Thian-li. Seperti kita ketahui, Thian It Tosu menggabungkan diri dan menjadi seorang di antara tujuh jagoan istana. Inilah sebabnya mengapa Kim-thouw Thian-li berlaku mengalah dan tadi tidak suka bermusuhan dengan Souw Ki bertiga, tetapi juga ini yang menyebabkan ia merasa penasaran melihat sikap Souw Ki yang sombong dan tidak mengindahkannya.
Pada saat Souw Ki bertiga kembali ke istana, di tengah jalan bertemulah mereka dengan teman mereka, Thian It Tosu. Tiga orang ini berterus terang tentang kecurigaan mereka terhadap Toat-beng Yok-mo dan menceritakan pula peristiwa di Ngo-lian-kauw tadi. Thian It Tosu mencela mereka dan merasa menyesal telah terjadi peristiwa itu.
"Marilah kita kembali ke sana, kalau tidak begitu, sungguh pinto akan merasa tidak enak sekali terhadap Kauwcu."
Souw Ki dan dua orang saudara kembar itu menurut, maka keempat orang ini segera kembali ke situ dan kebetulan sekali mereka melihat Kun Hong bercakap-cakap dengan Toat-beng Yok-mo, Tentu saja Souw Ki menjadi marah dan mengeluarkan bentakan tadi. Mereka mengenal Kun Hong sebagai pemuda yang lenyap secara aneh dari tahanan. Sekarang ternyata pemuda ini bercakap-cakap dengan Yok-mo, siapa lagi kalau bukan Setan Obat yang menolongnya keluar dari tahanan?
Juga Thian It Tosu menjadi curiga. Tosu ini memang diam-diam merasa iri hati dan tidak suka melihat hubungan antara Yok-mo dengan ketuanya. Sebelum Yok-mo datang, dialah orang yang paling ‘dekat’ dengan Kim-thouw Thian-li dan setelah ia menjadi pengawal Pangeran lalu mendengar kedatangan Yok-mo tentu saja ia menjadi iri hati dan cemburu.
"Toat-beng Yok-mo, kau tadi bilang tidak tahu menahu mengenai pengacauan di Istana Kembang, namun ternyata kau mengenal baik orang muda ini. Hemmm, andai kata benar bukan kau yang mengacau di Istana Kembang, tapi sudah dapat dipastikan bahwa yang menolong pemuda ini keluar dari tahanan adalah kau!" kata Souw Ki dengan suara marah.
"Toat-beng Yok-mo, dengan perbuatanmu menentang Pangeran Mahkota ini, jangan kau menyeret-nyeret nama baik Ngo-lian-kauw. Seorang lelaki harus berani mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri!" berkata Thian It Tosu sambil melirik ke arah Kim-thouw Thian-li yang masih berdiri di jembatan.
Melihat empat orang jagoan istana ini bersikap hendak menyerangnya, Toat-beng Yok-mo hanya terkekeh lalu berkata, "Tidak kusangkal bahwa aku mengenal pemuda ini, habis kalian mau apakah? Heh-heh-heh!"
"Yok-mo, kami harus menangkap kau dan pemuda ini!" seru Souw Ki.
Sementara itu, pada saat Kun Hong melihat datangnya empat orang pengawal istana ini, mukanya segera menjadi pucat. Celaka, pikirnya, tentu aku akan ditangkap lagi. Ketika mendengar kata-kata Souw Ki yang terakhir, tanpa pikir panjang lagi Kun Hong segera membalikkan tubuh dan lari dari situ!
"Hee, hendak lari ke mana kau?!"
Souw Ki melompat dan ruyungnya digunakan untuk menyerampang kaki Kun Hong dari belakang. Ia memang gemas kepada pemuda ini dan ingin memberi hajaran. Akan tetapi alangkah herannya ketika sudah yakin hatinya akan dapat mematahkan dua kaki pemuda itu, ternyata ruyungnya hanya mengenai angin karena kaki pemuda itu bergeser ke arah yang berlawanan dan secara aneh sekali.
Ternyata dalam keadaan berbahaya itu Kun Hong sudah mempergunakan langkah dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun sehingga dengan mudah ia dapat menghindarkan kedua kakinya dari sambaran ruyung. Setelah terhindar dari serangan ruyung itu, segera kaki Kun Hong melanjutkan langkahnya melarikan diri.
Melihat pemuda itu hendak lari, sepasang saudara kembar Bu dan Thian It Tosu juga lari mengejar. Kun Hong lalu terkurung oleh empat orang busu. Sejenak pemuda ini bingung, lalu dia mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmu yang telah dipelajarinya, yaitu Kim-tiauw-kun untuk melakukan perlawanan. Kalau tidak terpaksa sekali, pemuda ini tidak suka mempergunakan ilmu ini untuk bertanding dengan orang lain.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara parau yang disusul dengan suara melengking yang menusuk telinga dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tinggi besar yang berpakaian serba putih. Melihat kakek ini, Toat-beng Yok-mo serta Kim-thouw Thian-li segera menghampiri, lalu memberi hormat dan menegur, "Kiranya Locianpwe Song-bun-kwi yang datang, silakan... silakan."
Empat orang pengawal itu tentu saja pernah mendengar nama besar Song-bun-kwi, maka serantak mereka menegok. Thian It Tosu yang juga sudah pernah melihat kakek ini, cepat memberi hormat kepada Song-bun-kwi, akan tetapi kakek itu menerimanya acuh tak acuh. Souw Ki dan dua orang saudara kembar, walau pun mereka pernah mendengar nama Song-bun-kwi, akan tetapi belum pernah bertemu muka. Mereka adalah pengawal istana kepercayaan Pangeran Mahkota, maka tentu saja sikap mereka angkuh dan terhadap Song-bun-kwi mereka tak memandang sebelah mata! Setelah memandang sejenak, Souw Ki dan dua orang saudara itu lalu mengurung Kun Hong lagi.
"Yok-mo, siapakah tiga manusia ini?" Song-bun-kwi bertanya.
Diam-diam kakek ini merasa heran sekali karena tadi ia melihat geseran kaki Kun Hong yang dalam pandangannya merupakan ilmu langkah yang ajaib sekali. Yok-mo tertawa, "Heh-heh-heh, mereka adalah pengawal-pengawal istana yang datang dengan fitnah bahwa aku telah mengacau Istana Kembang, kemudian mengira lagi bahwa aku telah mengeluarkan pemuda itu dari dalam tahanan. Lucu sekali!"
"Ah, kiranya anjing-anjing istana. Hei, dengarlah kalian. Yang mengacau Istana Kembang, menculik dua orang gadis adalah aku. Kalian mau apa?"
Bukan main kagetnya Souw Ki dan teman-temannya, juga Thian It Tosu. Kalau Thian It Tosu merasa kaget dan gelisah, adalah Souw Ki dan kedua saudara Bu kaget berbareng girang.
"Aha, dicari susah payah tidak ketemu, sekarang datang sendiri menyerahkan diri. Bagus! Kakek, dosamu sudah terlalu besar, kau menyerahlah saja dari pada rusak badanmu oleh ruyungku!" Souw Ki menggertak dan serta merta bersama teman-temannya lupa akan Kun Hong, meninggalkan pemuda itu dan menghampiri Song-bun-kwi.
Song-bun-kwi tertawa bergelak dan ia melengking tinggi ketika melihat sambaran ruyung Souw Ki. Hebat dan dahsyat sekali sambaran ruyung baja itu dan sekiranya mengenai kepala kakek ini, kiranya akan pecah berhamburan karena ruyung baja ini di tangan Souw Ki sanggup menghancurkan batu karang yang keras. Karena maklum bahwa kakek ini sakti, di samping hantaman ruyungnya ke arah kepala, tangan kiri Souw Ki juga mengirim pukulan ke arah dada.
Hebat sekali Song-bun-kwi. Diserang seganas itu, kakek ini berdiri tak bergerak, dalam arti kata mengelak, seakan-akan dia tidak melihat datangnya dua serangan dahsyat itu. Setelah ruyung tinggal satu dim lagi dari keningnya barulah kakek ini membabat senjata lawan itu dari bawah dengan tangan kiri dimiringkan, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menerima pukulan tangan kiri Souw Ki.
"Souw-busu, jangan...!" Thian It Tosu coba untuk mencegah temannya yang sembrono menyerang Song-bun-kwi, namun terlambat.
Terdengar suara keras. Ruyung baja itu terpental dari tangan Souw Ki, melayang jauh, dan disusul jeritan Souw Ki ketika kepalan tangan kirinya kena dicengkeram oleh tangan kanan kakek itu.
Sambil tertawa bergelak-gelak Song-bun-kwi mendorong tubuh Souw Ki yang melayang seperti daun kering tertiup angin dan jatuh ke dalam air di dekat jembatan. Thian It Tosu cepat meloncat dan menolong Souw Ki keluar dari air, namun jagoan ini terpaksa harus digotong karena tulang tangan kirinya remuk dan mukanya biru serta matanya mendelik! Baiknya, Song-bun-kwi tidak menghendaki nyawa Souw Ki maka jagoan yang galak ini tidak sampai mati.
"Song-bun-kwi, iblis tua, lihat pedang!"
Sepasang saudara kembar she Bu itu marah sekali melihat teman mereka dirobohkan demikian mudahnya oleh kakek ini. Pedang mereka berkelebat dan mengurung diri kakek itu dengan ganas. Mereka bekerja sama baik sekali dan dalam gebrakan pertama Bu Sek menikam sedangkan Bu Tai melindungi kakaknya dari samping dengan memutar-mutar pedangnya, bersiap menanti kesempatan untuk menyerang apa bila serangan kakaknya gagal.
Song-bun-kwi mengeluarkan lengking tinggi tanda bahwa dia sudah marah sekali. Tentu saja sama sekali ia tidak gentar menghadapi serangan pedang ini. Dengan mengebutkan lengan bajunya arah pedang itu meleset sedangkan tangan Bu Sek serasa hendak robek kulitnya. Malah Bu Tai yang memutar pedangnya, terhuyung mundur dua langkah karena sambaran angin kebutan ujung lengan baju itu.
Thian It Tosu yang melihat betapa dua orang saudara kembar itu sudah maju bertempur mengeroyok Song-bun-kwi, segera meloncat pula ke depan sambil berkata, "Locianpwe Song-bun-kwi, terpaksa pinto kini berlaku kurang ajar karena kau sudah berani menghina utusan-utusan Pangeran Mahkota!"
Tosu ini mencabut pedangnya dan menerjang ke depan, pedangnya membabat ke arah pinggang Song-bun-kwi yang cepat mengelak sambil tertawa mengejek. Dikeroyok tiga orang jagoan istana yang lihai ini, Song-bun-kwi enak saja melayaninya dengan tangan kosong. Serangan senjata tiga orang lawannya itu apa bila tidak dilegos, tentu ditangkis dengan ujung lengan bajunya, kadang-kadang malah dengan tangan yang dimiringkan!
Kim-thouw Thian-li dan Toat-beng Yok-mo saling pandang. Wanita Ketua Ngo-lian-kauw itu merasa serba salah. Akan tetapi setelah melihat Thian It Tosu terjun dalam lapangan pertempuran, ia segera dapat memilih pihak mana yang harus dibantu.
Memihak Song-bun-kwi tidak ada keuntungannya sama sekali, sebaliknya kalau dia tidak membantu utusan-utusan Pangeran Mahkota, tentu akan menjadi bahaya bagi berdirinya Ngo-lian-kauw. Ia pun cepat melolos pedang dan sabuk merahnya, tubuhnya ringan ketika meloncat ke depan dan suaranya halus membentak,
"Song-bun-kwi, melawan utusan-utusan Pangeran Mahkota berarti memberontak dan aku harus menghalangimu!" Pedangnya menyambar-nyambar diikuti sinar merah sabuknya.
"Ha-ha-ha, Kim-thouw Thian-li, semenjak kapan kau menjadi anjing Pangeran? Baik, baik, bagus, majulah hendak kulihat apakah kau sudah mempelajari Im-sin Kiam-sut dengan baik!"
Marahlah Kim-thouw Thian-li dan benar saja ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat, Im-sin Kiam-sut! Sementara itu, Toat-beng Yok-mo setelah mengantongi tiga buah kitabnya lalu maju pula dengan tongkatnya.
"Song-bun-kwi, kau semakin tua semakin jahat, suka membikin kacau saja! Perbuatanmu mengacau Istana Kembang sudah membuat namaku rusak, orang mengira akulah yang melakukannya. Kau harus mencuci namaku!" Tongkatnya melayang dan sekali bergerak telah mengirim lima totokan ke arah tubuh kakek itu.
"Ha-ha-ha, maju semua, hayo majulah!" Song-bun-kwi berteriak.
Tiba-tiba dia mengeluarkan lengking tinggi memanjang dan tahu-tahu kedua saudara Bu telah menjerit kaget akibat pedang mereka terpental dan tangan mereka sampai berdarah sedangkan Thian It Tosu terjengkang ke belakang keserempet ujung lengan baju.
Song-bun-kwi tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat ke dekat Kun Hong, "Hayo kau ikut aku!"
Tangan Kun Hong sudah dicekalnya kemudian pemuda ini dibawanya lari seperti terbang cepatnya! Biar pun ganas dan tidak takut terhadap siapa pun juga, Song-bun-kwi masih cukup cerdik untuk menanam permusuhan dengan Ngo-lian-kauw. Maka ia lalu pergi saja setelah memperlihatkan kelihaiannya. Dia membawa pergi Kun Hong, karena tadi melihat gerakan pemuda itu yang aneh sekali ketika mengelak dari serangan Souw Ki.
"Heii, kakek tua, hendak kau bawa ke mana aku?" Kun Hong berteriak-teriak sepanjang jalan, akan tetapi kakek itu membisu saja dan menarik tangannya yang dicekal erat.
"Kakek tua, kalau kau ada urusan denganku, mari kita bicara baik-baik, kenapa kau lari seperti orang dikejar setan? Apakah kau takut kalau mereka itu mengejarmu?"
Kalau saja Kun Hong mengeluarkan ucapan lain, agaknya kakek aneh ini tidak akan mempedulikannya dan lari terus. Akan tetapi sekali Kun Hong mengucapkan sangkaan takut, kakek itu tiba-tiba berhenti dan memandang marah,
"Aku takut kepada mereka? Ehh, bocah, kau tidak tahu siapa aku!"
"Tentu saja aku tahu. Kau adalah seorang tokoh di Min-san bernama Kwee Lun berjuluk Song-bun-kwi," jawab Kun Hong.
Kakek tua itu nampak tercengang. Di Ngo-lian-kauw tadi, orang-orang hanya menyebut julukannya, bagaimana bocah ini bisa kenal namanya yang jarang disebut-sebut dunia kang-ouw?
"Bocah, kau siapakah dan bagaimana kau bisa kenal namaku?"
"Locianpwe, namaku Kwa Kun Hong dan aku telah banyak mendengar tentang Locianpwe dari Ayah."
"Siapa ayahmu? Lekas katakan!"
"Ayah adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai."
Tiba-tiba kakek itu mendelikkan matanya. "Kau anak Kwa Tin Siong? Kau adik siluman betina? Ha-ha-heh-heh, bagus sekali! Tak kusangka untungku sebaik ini. Ha-ha, Bi Goat anakku, lihat betapa adik musuhmu ini akan kuhancurkan kepalanya dan kucabut keluar jantungnya!" Dengan buas ia lalu maju menerkam Kun Hong.
Pemuda ini terkejut setengah mati karena penyerangan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu. Disangkanya tadi bahwa dengan mengenalkan nama ayahnya sebagai seorang tokoh kang-ouw juga, kakek ini tak akan mengganggunya lagi, siapa tahu justru nama ayahnya membuat kakek ini marah sekali.
Akan tetapi yang kaget sekali ternyata malah Song-bun-kwi sendiri ketika tubrukannya mengenai angin dan tubuh pemuda itu sudah melejit seperti seekor belut dengan geseran kaki yang ajaib. Tanpa menghentikan gerakannya Song-bun-kwi melempar tubuh ke kiri mengejar, sekarang tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala dan tangan kirinya menyambar lambung dengan gerak tipu yang ampuh dan tidak mungkin dapat ditangkis atau dihindarkan oleh orang yang diserangnya. Angin yang panas hawanya mendahului serangan ini.
Sekarang Song-bun-kwi mengeluarkan suara gerengan keras saking marah dan herannya karena kembali penyerangannya tadi hanya mengenai angin belaka, jangankan mengenai tubuh Si Pemuda, menyentuh ujung bajunya pun tidak. Kemarahan dan penasarannya memuncak. Kakek ini lantas menyerang lagi dengan segenap tenaga dan kepandaiannya, memukul-mukul dan menendang-nendang sambil terus mengeluarkan suara melengking.
Kun Hong mengerahkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk menahan isi dadanya yang mendadak tergetar-getar karena suara lengkingan itu. Untuk menghadapi serangan-serangan Song-bun-kwi, dia terpaksa mengeluarkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun. Namun belum pernah ia balas menyerang karena memang tidak ada niat di hatinya untuk menyerang orang yang sama sekali tak dikenalnya dan tidak mempunyai urusan dengannya ini.
"Locianpwe, kenapa kau menyerangku? Apa salahku?" berkali-kali ia bertanya.
Akan tetapi hal ini bahkan merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan Song-bun-kwi karena masih dapatnya pemuda itu mengajukan pertanyaan berarti bahwa semua serangannya itu dipandang rendah saja. Kalau saja ia tidak ingat bahwa lawannya seorang pemuda, tentu telah ia cabut pedangnya.
Song-bun-kwi adalah seorang tokoh sakti. Biar pun sampai belasan jurus ia belum mampu memukul roboh Kun Hong, namun sebenarnya dia cukup membuat pemuda itu bingung sekali. Hanya karena gerakan-gerakannya yang aneh serta langkah-langkah yang ajaib maka sebegitu lama pemuda ini masih dapat menyelamatkan diri.
Akan tetapi, karena ia tidak balas menyerang, kalau ia terus-menerus mengelak, kiranya lambat-laun kakek itu akan mengenal gerakan-gerakannya dan akan dapat memecahkan rahasia lalu memukulnya. Sekali saja terkena pukulan kakek ini, kiranya akan celakalah pemuda itu.
Kun Hong tidak berani mencobakan ilmu sihirnya atas diri kakek yang sakti ini. Celaka, pikirnya, apakah dia gila mendadak? Lebih baik lari saja.
Setelah berpikir demikian, ia menunggu kesempatan baik. Ketika dilihatnya Song-bun-kwi tiba-tiba berjongkok dengan dua tangan dibuka di kanan kiri seperti seekor katak hendak melompat, tanpa pikir panjang lagi Kun Hong lalu memutar tubuh dan melarikan diri.
Ia merasa datangnya hawa pukulan yang luar biasa dari belakang, cepat kakinya digeser ke kanan dan tubuhnya seperti terhuyung-huyung ke depan sedangkan kedua tangannya diam-diam menggunakan gerakan Dewa Menyambut Mustika. Ia merasa dua tangannya itu bertemu dengan hawa yang panas, akan tetapi dengan pengerahan lweekang yang dilatih selama berada di puncak bukit, ia dapat menolak serangan itu.
Kembali Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan heran dan kagum, lalu ia mengejar sambil mengerahkan ginkang-nya. Beberapa kali lompatan saja membuat ia dapat menyusul Kun Hong. Akan tetapi anehnya, ketika sudah dekat, tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak aneh dan sudah menjauh lagi beberapa tombak jauhnya. Ada kalanya kalau ia melompat menyusul, tahu-tahu pemuda itu seperti mundur sehingga lompatannya terlewat jauh. Kalau sudah berhasil ia mendekat, selalu uluran tangannya tak berhasil mencengkeram pemuda aneh itu.
Keringat dingin mulai membasahi tubuh Song-bun-kwi. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami hal seaneh ini. Banyak sudah dia menghadapi lawan-lawan sakti dan sering mengalami pertempuran-pertempuran mati-matian dan hebat, akan tetapi belum pernah ia menghadapi perlawanan begini aneh.
Pemuda itu laksana bayangan saja, susah dijamah, akan tetapi juga sama sekali tidak pernah membalas. Ia kelihatan takut-takut dan bingung, bagai orang tidak bisa ilmu silat. Gerakan-gerakannya itu pun tidak patut disebut ilmu silat, lebih mirip seperti ayam dikejar atau seperti burung.
Mereka terus berkejaran keluar masuk hutan dan sudah setengah jam lebih Song-bun-kwi mengejar, belum juga ia dapat memegang pemuda itu. Saking marahnya ia lalu mencabut keluar pedangnya dan membentak, "Anak setan, rasakan ketajaman pedangku!"
Ia masih merasa malu kepada dirinya sendiri jika harus mempergunakan senjata rahasia. Menggunakan pedang saja sebetulnya sudah merupakan hal yang amat memalukan, apa lagi kalau harus menggunakan senjata gelap!
Sekali ini kehormatannya benar-benar tersinggung sekali. Diam-diam Song-bun-kwi hanya mengharap jangan sampai perbuatannya ini diketahui lain orang. Akan tetapi pengharapannya itu ternyata bahkan sebaliknya karena mendadak terdengar suara orang mengejek, "Ha-ha, sejak kapan Song-bun-kwi tua bangka menjadi pengecut, mengejar-ngejar seorang pemuda dengan pedang di tangan? Ha-ha-ha!"
Kaget bukan main Song-bun-kwi, mukanya menjadi merah padam dan otomatis ia lantas menghentikan pengejarannya, kemudian membalikkan tubuh. Ia melihat seorang kakek bertubuh sedang, agak membungkuk saking tuanya. Segera ia mengenal kakek ini dan makin malulah ia. Dari malu ia menjadi marah sekali.
"Siauw-ong-kwi, berani kau mengatakan aku pengecut? Kau sudah bosan hidup!"
Cepat ia lalu menyerang kakek itu dengan pedangnya tanpa memberi kesempatan lagi. Kakek itu memang benar Siauw-ong-kwi adanya, seorang tokoh besar dari utara. Belasan tahun kakek ini tidak pernah lagi memperlihatkan diri di dunia kang-ouw, seperti halnya Song-bun-kwi sendiri.
Seperti pembaca masih ingat, dalam cerita Raja Pedang sudah pernah diceritakan bahwa Siauw-ong-kwi ini adalah seorang di antara Empat Besar dan dia adalah jago nomor satu dari utara, guru dari Giam Kin. Mengapa ia tiba-tiba bisa muncul di situ?
Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Giam Kin telah bertemu dengan Kwa Hong dan disiksa setengah mati oleh rajawali emas dan Kwa Hong ketika Giam Kin menculik Lee Giok. Semenjak itu Giam Kin tak pernah ada kabar ceritanya lagi. Karena inilah maka sekarang Siauw-ong-kwi yang selama ini mengasingkan diri, menjadi kuatir akan keselamatan muridnya. Sengaja ia sekarang turun gunung untuk mencarinya, sekalian ia hendak datang pada upacara pembukaan Thai-san-pai karena sebagai tokoh besar ia pun ingin mencoba lagi kelihaian Si Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi pendiri dari Thai-san-pai.
Kebetulan sekali di hutan ini dia melihat Song-bun-kwi sedang mengejar-ngejar seorang pemuda yang kelihatan lari ketakutan, maka ia lalu muncul dan mengejek. Ketika dengan marah Song-bun-kwi menyerangnya, Siauw-ong-kwi mengeluarkan teriakan keras sambil menggerakkan kedua lengan bajunya yang merupakan senjatanya yang ampuh.
Dua orang tokoh besar ini segera bertempur dengan hebatnya. Sambaran angin pukulan mereka membuat daun-daun di puncak pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar. Pertempuran hebat ini diselingi teriakan-teriakan aneh Siauw-ong-kwi serta suara melengking dari tenggorokan Song-bun-kwi. Selain bertarung dengan kepandaian silat, kedua tokoh ini juga saling mengadu kekuatan khikang mereka.
Sementara itu, untuk sejenak Kun Hong hanya berdiri bengong. Bukan main kagumnya dia menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu sampai pandang matanya berkunang melihatnya. Diam-diam ia menarik napas panjang dan harus mengakui bahwa dua orang kakek itu benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Ketika teringat bahwa mungkin ia akan celaka kalau tertawan oleh dua orang ini, segera ia mengangkat kaki melarikan diri secepat mungkin pergi dari tempat itu.
Ia masih berlari-lari ketika tiba-tiba ada orang menegurnya, "Heii, kenapa kau berlari-lari seperti dikejar setan?"
Kun Hong menoleh dengan kaget karena mengira bahwa yang berseru itu adalah kakek yang hendak menawannya. Akan tetapi ketika ia melihat seorang pemuda yang tampan sekali, timbul kemendongkolan hatinya. Ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda tampan pesolek yang pernah menampar pipinya di rumah gedung Tan-taijin! Segera dia berhenti dan memandang dengan muka merengut.
"Ada keperluan apa kau mencampuri urusanku?"
Pemuda itu balas memandang dan agaknya baru sekarang ia bisa mengenal Kun Hong. Alisnya yang hitam itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan ia lalu tersenyum.
"Ehhh, kiranya kaukah ini? Kutu buku yang sombong itu?" katanya dengan nada seakan kecewa sudah menegurnya tadi. Tanpa bilang apa-apa lagi pemuda itu lalu melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah dari mana Kun Hong datang.
Kun Hong mendongkol sekali kepada pemuda itu. Hemm, sampai-sampai di dalam hutan begini dan dalam melakukan perjalanan, pemuda itu masih berpakaian indah dan bersih, sepertl orang berjalan-jalan menjual aksi saja. Dan alangkah angkuh dan sombongnya!
Akan tetapi ketika melihat pemuda itu menuju ke arah dari mana ia datang, ia menjadi kuatir juga. Betapa pun juga, pemuda itu yang menyebut Tan-taijin pek-hu (uwa), berarti masih keponakan pembesar itu dan Tan-taijin berkesan baik di hati Kun Hong.
Apa lagi pembesar itu dulu menyatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayahnya. Kalau sampai pemuda angkuh ini bertemu dengan dua orang kakek sakti itu dan tertimpa mala petaka, tentu Tan-taijin akan menjadi susah hatinya.
"Heii, tunggu dulu!" teriaknya mengejar.
Pemuda itu menoleh. "Mau apa kau?" caranya bertanya memandang rendah sekali.
Kun Hong menahan gemas hatinya. "Jangan kau pergi ke sana, di sana ada dua orang kakek sakti sedang bertanding. Kalau kau terlihat oleh mereka, kau akan celaka!"
Pemuda itu mencibirkan bibir mengejek, "Huh, mana aku takut dengan segala obrolan kosongmu?"
"Sombong kau! Siapa mengobrol kosong? Song-bun-kwi dan seorang kakek lain bernama Siauw-ong-kwi sedang bertempur hebat di sana. Mereka benar-benar sakti dan jahat."
Berubah wajah pemuda itu mendengar nama-nama ini dan diam-diam Kun Hong merasa girang. Nah, baru tahu kau sekarang, baru takut mendengar dua nama itu.
Akan tetapi pemuda itu segera mencabut pedang dan berseru, "Betulkah Song-bun-kwi di sana?"
Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu kemudian berlari meninggalkan Kun Hong menuju ke hutan di depan. Sejenak Kun Hong hanya terlongong. Apakah orang muda itu sudah gila? Ataukah saking sombongnya maka tidak mengenal keadaan seperti seekor anak kerbau yang tak gentar menghadapi singa?
Celaka, dia tentu mampus, pikirnya. Kembali ia merasa tidak enak terhadap Tan-taijin dan di luar kehendaknya kedua kakinya sudah bergerak, mengejar pemuda itu!
"Heee, jangan ke sana...!" serunya berkali-kali.
Kun Hong kagum sekali pada saat melihat betapa pemuda itu berlari cepat sekali laksana terbang. Tubuhnya demikian ringan sehingga terlihat dari belakang seakan-akan pemuda itu tidak menginjak tanah! Ia juga mempergunakan ilmu lari cepat yang ia miliki tanpa ia sadari, akan tetapi Kun Hong menjaga supaya jangan sampai dia menyusul pemuda itu, melainkan mengikuti dari belakang.
Ketika ia tiba di dalam hutan di mana tadi Song-bun-kwi bertempur, ia melihat pemuda itu berdiri tegak seorang diri, menanti kedatangannya dengan wajah tak senang. Begitu Kun Hong datang, pemuda itu menyambutnya dengan suara marah, "Kau pembohong besar! Mana dia Song-bun-kwi? Bayangannya pun tidak ada di sini?"
Kun Hong berpura-pura terengah-engah napasnya karena dia tidak ingin diketahui orang bahwa ia pun pandai ilmu lari cepat. "Wah! Kau lari seperti kijang melompat. Bagus sekali Song-bun-kwi sudah pergi, kalau tidak kau tentu akan dipukul mati dan aku pun tidak diampuni. Tadi dia berada di sini bertempur dengan kakek aneh itu. Siapa membohong? Hayo kau kembalikan pedangku yang kau rampas tempo hari!"
Pemuda itu mendengus marah. "Orang macam kau, mana pantas mempunyai pedang pusaka?"
"Ehh-ehh, soal pantas atau tidak bukan urusanmu. Yang terang pedang Ang-hong-kiam adalah pedangku, apakah kau nekat hendak merampas pedang orang? Benar-benar tak bermalu!"
Mendengar kata-kata ini, pemuda itu marah sekali. Pedang Ang-hong-kiam yang masih tergantung di pinggangnya itu segera diambilnya dan sekali tangannya diayun pedang itu berikut sarungnya amblas ke tanah sampai setengahnya!
"Nah, nih pedangmu pemotong ayam!"
Kun Hong menghampiri pedang itu dan dengan kedua tangannya mencabut. Pemuda itu memandang dengan mulut mengejek. Melihat sikap orang itu, Kun Hong malah sengaja berpura-pura mengerahkan seluruh tenaganya sehingga ketika pedang itu dapat tercabut ia terjengkang ke belakang dengan pedang di tangan.
Pemuda itu pun terkekeh geli, "Kutu buku macam kau mempunyai pedang itu untuk apa? Paling-paling di tengah jalan dirampas orang jahat. Kau telah berhasil lari dari tahanan, siapa yang menolongmu? Apakah Song-bun-kwi? Dan dua orang gadis Hoa-san-pai itu, ke mana mereka?"
"Aku... aku tidak tahu bagaimana aku bisa keluar. Ehhh... para penjaga tahanan yang mengeluarkan aku, kukira Tan-taijin yang memerintahkannya. Ada pun tentang dua orang keponakanku itu, justru aku hendak mencari mereka."
"Ke mana kau hendak mencari mereka?"
"Mungkin mereka ke Thai-san... ehhh, kau... kenapa kau memperhatikan mereka?" Kun Hong memandang dengan tajam penuh curiga.
Melihat pandang mata Kun Hong ini, pemuda itu mencibirkan bibir dan berkata, "Kudengar mereka cantik-cantik, aku senang gadis-gadis jelita!"
Wajah Kun Hong merah sekali. Dengan telunjuknya ia menuding ke arah hidung pemuda itu. Dengan lagak seorang tua memberi peringatan seorang anak nakal, ia lalu berkata, "Hemm, kau bocah kurang ajar, dengarlah baik-baik! Kalau bukan keponakan Tan-taijin yang menjadi sahabat ayahku, takkan sudi aku memberi nasihat kepadamu. Jangan kau mengumbar nafsumu yang bejat, janganlah kau bertingkah seperti laki-laki yang gagah sendiri, yang tampan sendiri, yang kaya sendiri. Kau berlagak seperti... seperti seorang banci, laki-laki pesolek yang mata keranjang. Apa kau kira semua perempuan akan jatuh olehmu? Awas kau kalau kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemm..."
Pemuda itu membusungkan dada, mengedikkan kepalanya kemudian berkata menantang, "Kalau aku ganggu mereka, kau mau apakah? Apa kau berani berkelahi melawanku?"
Merah muka Kun Hong. Ia tidak suka berkelahi, tidak sudi, apa lagi dengan pemuda yang seperti kanak-kanak ini. Juga ia tidak mau memperlihatkan kepada siapa pun juga bahwa ia pandai ilmu silat. Akan tetapi pemuda ini benar-benar memanaskan perutnya.
"Huh, lagakmu! Kalau kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemmm, tentu ada seorang laki-laki muda penuh aksi yang roboh dan mampus oleh dua orang gadis keponakanku itu! Sudah, tak sudi aku bicara lagi denganmu!"
Dengan marah Kun Hong lalu membalikkan tubuh hendak melanjutkan perjalanannya. Di dalam hatinya ia betul-betul marah kepada pemuda ini, belum pernah seingatnya ia marah dan mendongkol kepada orang lain seperti kepada orang muda sombong ini.
"He! kau bilang hendak ke Thai-san. Kenapa ke sana?"
Tanpa menoleh Kun Hong menjawab, "Banyak cerewet! Kalau ke sana mengapa?"
Terdengar pemuda itu tertawa mengejek, "Soalnya, tolol, Thai-san berada di sebelah sini, bukan sana!"
Kalau tadinya Kun Hong mengambil sikap tidak peduli, ketika mendengar kata-kata itu ia kaget dan cepat-cepat menghentikan tindakannya dan menengok...
Terpaksa dia menarik kembali senjatanya dan menangkis serangan-serangan itu dengan memutar ruyung sekuat tenaga. Empat orang wanita itu mengeluarkan seruan tertahan karena hampir saja pedang mereka terlempar dari tangan, begitu hebat tenaga Si Tangan Besi ini. Souw Ki kini maklum bahwa jika ia menyerang seorang lawan, yang empat tentu akan membarengi serangannya sehingga dasar Ngo-lian-tin ini adalah mengorbankan seorang anggota untuk mengalahkan lawan. Tentu saja ia tidak mau dan ia segera mengerahkan tenaganya memutar ruyungnya, mengambil keuntungan dari tenaganya yang besar untuk mengadu senjata dengan lima batang pedang itu. Usahanya itu berhasil baik karena lima orang wanita yang menjadi lawannya terdesak mundur sampai ke tengah jembatan!
Juga sepasang saudara kembar she Bu itu ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat dan cepat hingga kelompok Ngo-lian-tin yang mengeroyok mereka tak dapat mengimbanginya. Terdengar jerit susul-menyusul ketika beberapa orang wanita anggota Ngo-lian-tin terluka oleh pedang mereka, lantas disusul Souw Ki yang berhasil pula menendang dua orang pengeroyoknya masuk ke dalam anak sungai! Benar-benar tingkat kepandaian para busu yang menjadi tangan kanan Pangeran Mahkota ini tak boleh dipandang rendah.
Sampai pucat muka Kim-thouw Thian-li saking malu dan marahnya. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Tadi ia sudah berjanji bahwa kalau tiga orang itu dapat mengalahkan Ngo-lian-tin, mereka diperbolehkan masuk ke dalam untuk melakukan penggeledahan. Sebagai Ketua Ngo-lian-kauw tentu saja ia tidak suka menjilat ludah sendiri. Ia memberi isyarat dengan tepukan tangan dan sisa barisan Ngo-lian-tin itu yang tahu bahwa mereka tidak akan dapat menang, cepat mengundurkan diri. Souw Ki tertawa bergelak dan bersama kedua Saudara Bu ia lalu menyeberangi jembatan memasuki lima bangunan berbentuk bunga teratai itu. Mereka melakukan penggeledahan, memasuki semua kamar dan ruangan, tetapi tentu saja mereka tidak bisa mendapatkan dua orang gadis pilihan Pangeran yang terculik pada malam itu, karena memang bukan Yok-mo penculiknya.
Tiga orang itu menjadi kecewa sekali oleh karena tadinya mereka menduga keras bahwa satu-satunya kakek yang selihai itu, yang berani mengacau Istana Kembang, siapa lagi kalau bukan kakek ini? Apa lagi kalau dipikir bahwa Yok-mo menjadi ‘teman baik’ Ketua Ngo-lian-kauw yang dahulu pernah memusuhi Kaisar.
Sementara itu, Kun Hong yang sedang bersembunyi sambil mengintai, melihat betapa jagoan-jagoan istana itu mencurigai Yok-mo, diam-diam juga ikut menjadi curiga. Ia cukup mengenal Yok-mo yang berwatak palsu, bukan tidak mungkin kakek ini yang menculik Li Eng dan Hui Cu! Maka ia menanti hasil penyelidikan tiga orang jagoan itu dengan hati berdebar. Ia pun ikut kecewa ketika tiga orang itu keluar dengan tangan kosong dan wajah muram.
Yok-mo terkekeh-kekeh mentertawakan, lalu berkata, "Heh-heh-heh, apakah kalian sudah menemukan dua orang gadis itu?"
Souw Ki semakin marah ketika ditertawakan. "Kakek jahat! Siapa tahu kalau kau sudah menyembunyikan dua orang gadis itu di tempat lain?"
"Heh-heh, andai kata memang benar kusembunyikan, kewajibanmulah untuk mencari dan menemukannya."
Souw Ki dan kedua orang Saudara Bu marah, akan tetapi karena tak ada bukti, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sudah hendak pergi, akan tetapi Kim-thouw Thian-li tiba-tiba menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan tiga orang itu, menghadang mereka. Mulut Ketua Ngo-lian-kauw ini tersenyum mengejek, "Hemmm, kalian sewenang-wenang datang merusak hiasan jembatan, lalu memasuki tempat tinggal kami dengan fitnah jahat. Setelah semua itu, apakah kalian hendak pergi begitu saja?"
"Kim-thouw Thian-li, sesudah Ngo-lian-tin yang kau ajukan itu sanggup kami hancurkan, apakah kau masih belum puas juga?" Souw Ki mengejek sambil melintangkan ruyungnya di depan dada.
"Justru karena Sam-wi Busu telah memecahkan Ngo-lian-tin, aku yang bodoh ingin sekali berkenalan dengan kelihaian Sam-wi. Tak sekali-kali Ngo-lian-kauw hendak memandang rendah kepada Pangeran Mahkota, akan tetapi ini adalah urusan mengenai pribadi kita, tidak tahu apakah Sam-wi Busu sudi memberi petunjuk?" Biar pun kata-kata ini sifatnya halus, namun jelas mengandung tantangan.
Orang seperti Tiat-jiu Souw Ki yang semenjak mudanya mengumbar nafsu berkelahi, tak mau mengalah dan selalu menganggap diri sendiri paling jagoan, mana bisa menghadapi tantangan tanpa melayaninya? Ia tertawa bergelak lalu berkata,
"Kim-thow Thian-li! Telah lama aku mendengar namamu yang amat tenar. Tentu saja aku pun ingin sekali merasai kelihaianmu dan urusan di antara kita ini tiada sangkut-pautnya dengan Pangeran. Setelah kami bertindak sebagai utusan, sekarang kami akan bertindak atas nama diri pribadi kami sendiri. Kalau kau ada kepandaian, boleh memberi petunjuk!"
Kim-thouw Thian-li mendengus lalu tangannya bergerak, tahu-tahu tangan kanan sudah memegang pedang dan tangan kiri memegang sehelai sabuk berwarna merah.
"Tiat-jiu Souw Ki, ingin sekali aku berkenalan dengan ruyung bajamu yang ganas!" Sambil berkata demikian, pedangnya berubah menjadi sinar ketika bergerak menusuk ke arah dada Souw Ki.
Orang tinggi besar ini tidak berani memandang remeh karena ia pun sudah mendengar bahwa Ketua Ngo-lian-kauw ini adalah seorang wanita yang ganas dan dahsyat sekali sepak terjangnya. Cepat ia menggeser kakinya ke kiri sambil menyabetkan ruyungnya ke arah sinar pedang untuk menangkis.
Akan tetapi, Kim-thouw Thian-li telah menahan pedangnya dan sebagai gantinya, tangan kiri wanita itu bergerak dan sinar merah melayang-layang menotok ke arah ulu hati Souw Ki. Jangan dipandang rendah sabuk merah di tangan kiri Kim-thouw Thian-li ini. Biar pun hanya sehelai kain halus, namun, di tangan wanita ini berubah menjadi senjata yang amat ampuh, yang ujungnya mampu merobek jalan darah lawan dan karena lemasnya maka lebih berbahaya dan sukar dilawan oleh sebatang pedang!
Souw Ki mengeluarkan seruan panjang. Ruyungnya lantas diputar menjadi benteng baja melindungi dirinya sehingga totokan ujung sabuk sutera ini pun dapat ditangkisnya. Akan tetapi Kim-thouw Thian-li kembali mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan, lalu pedangnya bergerak menjadi gulungan sinar memanjang, menyambar-nyambar tubuh Souw Ki dari pelbagai jurusan sehingga jagoan istana ini menjadi kaget dan sibuk sekali.
Kim-thouw Thian-li adalah murid tersayang dari tokoh besar Hek-hwa Kui-bo Si Iblis Betina, malah ilmu pedang Im-sin Kiam sut yang luar biasa hebatnya itu sebagian telah diajarkan kepada Kim-thouw Thian-li. Biar pun hanya sebagian saja Im-sin Kiam-sut yang dimiliki oleh Ketua Ngo-lian-kauw ini, namun cukup untuk menghadapi lawan yang sakti.
Souw Ki boleh mengagulkan dirinya sebagai jagoan yang bertangan besi dan bersenjata ruyung yang dahsyat, namun menghadapi Kim-thouw Thian-li dia repot sekali. Andai kata Ketua Ngo-lian-kouw ini hanya bermain pedang saja, ia pun sudah repot dan takkan dapat melawan wanita itu dengan ruyungnya, apa lagi sekarang Kim-thouw Thian-li membantu permainan pedangnya dengan sabuk merahnya, membuat jagoan yang galak itu menjadi makin kewalahan.
Untung sekali baginya bahwa Kim-thouw Thian-li masih jeri untuk mencelakai orangnya Pangeran Mahkota. Andai kata tidak, sekali saja Ketua Ngo-lian-kauw ini mengeluarkan senjata-senjatanya yang paling ampuh, yaitu senjata rahasia yang mengandung racun berbahaya, kiranya dalam waktu tak lama Souw Ki tentu akan roboh.
Sepasang saudara Bu yang tadinya hanya menonton pertandingan ini, pada saat melihat bahwa teman mereka terdesak hebat dan sekarang hanya main mundur dan berputaran untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan yang amat gencar itu, kini menjadi marah. Selama ini, tujuh orang jagoan istana pengawal Pangeran Mahkota adalah jagoan-jagoan yang ditakuti, yang sudah dianggap sebagai sekelompok jagoan tanpa tanding. Apa bila sekarang seorang di antara mereka dijatuhkan lawan, berarti nama tujuh orang jagoan ini akan tercemar.
Oleh karena itu, keduanya saling bertukar pandang, kemudian sepasang saudara kembar ini menggerakkan pedang dan Bu Sek membentak, "Kim-thouw Thian-li, jangan menjual lagak di depan kami!"
Ilmu pedang dari sepasang saudara Bu ini adalah ilmu pedang keturunan yang bersumber pada ilmu pedang Go-bi Kiam-hoat dari Go-bi-pai. Karena mereka adalah dua saudara kembar, maka dalam permainan pasangan ini mereka seakan-akan merupakan pasangan yang sangat cocok, laksana dua orang satu perasaan saja sehingga kalau maju bersama mereka kelihatan amat hebat.
Tadi saja mereka masing-masing bisa memecahkan Ngo-lian-tin, ini berarti bahwa tingkat mereka bukanlah tingkat jago silat sembarangan. Kini mereka maju bersama mengeroyok Kim-thouw Thian-li, sekali serang merupakan gulungan sepasang sinar pedang yang amat kuat.
Ketua Ngo-lian-kauw itu diam-diam amat terkejut. Ia cepat menahan desakannya terhadap Souw Ki untuk menghadapi dua orang lawan barunya ini. Cepat dan kuat gerakan dua pedang dari saudara kembar itu, maka terpaksa Kim-thouw Thian-li harus mengeluarkan Im-sin Kiam-sut lagi untuk menghadapinya. Wanita tua Ketua Ngo-lian-kauw ini sungguh hebat sekali, biar pun dikeroyok tiga ia masih dapat mengimbangi permainan lawannya.
Kun Hong yang menonton di balik batang pohon, merasa gembira juga karena sekarang ia dapat menonton dengan penuh pengertian. Ia dapat mengikuti semua permainan itu, bahkan dia dapat menduga bahwa kalau pertandingan ini dilanjutkan, Kim-thouw Thian-li akan kalah, biar pun mungkin wanita ini akan dapat melukai seorang di antara tiga orang pengeroyoknya. Ia ingin melerai mereka, akan tetapi dia pun merasa bahwa pertandingan itu bukanlah urusannya dan ia tidak mempunyai kepentingan sama sekali.
Agaknya penilaian Kun Hong ini sama persis dengan penilaian Yok-mo. Setan Obat ini pun maklum bahwa setelah dua saudara Bu itu ikut memasuki gelanggang pertempuran, Kim-thouw Thian-li tentu takkan kuat menahan. Tentu saja kalau ia membantu Ketua Ngo-lian-kauw itu, takkan sulit bagi mereka berdua untuk mengalahkan tiga orang busu ini. Akan tetapi mengingat bahwa mereka merupakan utusan-utusan Pangeran Mahkota, amatlah berbahaya untuk bermusuhan dengan ketiga orang ini.
Maka ia segera meloncat ke tengah lapangan, tongkat hitamnya bergerak dan mulutnya berseru, "Cukup... cukup...! Untuk apa bertempur terus?"
“Trang! Trang!”
Terdengar bunyi beradunya senjata. Baik ruyung baja di tangan Souw Ki mau pun pedang dl tangan kedua orang saudara Bu itu terpental ke belakang saat terbentur tongkat hitam. Tiga orang busu ini kaget dan melompat ke belakang, diam-diam mengakui kelihaian Si Setan Obat.
"Sam-wi Busu, setelah Sam-wi mendapat kenyataan bahwa aku bukan pengacau Istana Kembang, harap laporkan kepada Pangeran dan jangan melanjutkan pertempuran yang tak ada artinya ini. Kauwcu (Ketua), harap kau mengalah."
Kim-thouw Thian-li tersenyum dan mendengus lalu mengejek, "Ah, sekarang aku merasa sendiri betapa lihainya Sam-wi Busu!"
Wajah ketiga orang jagoan itu menjadi merah. Mereka merasa disindir karena tadi jelas bahwa mereka bertiga tidak mampu mengalahkan Ketua Ngo-lian-kauw yang lihai itu, apa lagi Yok-mo yang sekali menggerakkan tongkat telah mampu membuat senjata mereka terpental.
Mereka maklum bahwa Ketua Ngo-lian-kauw dan Yok-mo itu telah berlaku dan bersikap mengalah karena takut akan nama Pangeran Mahkota, maka mereka pun tidak bodoh untuk tidak tahu diri dan mencari perkara. Kedatangan mereka untuk menyelidik tentang kakek yang mengacau Istana Kembang, setelah sekarang tidak terdapat bukti, kiranya tak perlu mengacau di situ lebih lama lagi.
"Kauwcu sungguh lihai," berkata Souw Ki, "dan Yok-mo, karena tidak ada bukti terpaksa sementara ini kami mencabut dakwaan kami. Selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, tiga orang busu itu kemudian meninggalkan tempat itu dengan mengangkat dada. Betapa pun juga mereka belum kalah, dan andai kata mereka datang bertujuh, biar pun di situ ada Yok-mo, tanggung mereka takkan mendapat malu dan akan dapat mengalahkan pihak Ngo-lian-kauw. Setelah tiga orang itu pergi, Yok-mo dan Kim-thouw Thian-li tertawa. Kim-thouw Thian-li lalu memerintahkan para pengawalnya untuk kembali ke dalam benteng Ngo-lian-kauw.
Akan tetapi Yok-mo tiba-tiba berkata, "Nanti dulu, ada tamu yang sejak tadi bersembunyi, harus kita sambut dulu." Dia lalu memandang ke arah tempat sembunyi Kun Hong dan berseru keras, "Sahabat tak perlu bersembunyi lagi, kalau ada perlu, keluarlah!"
Kun Hong kaget sekali dan diam-diam memuji ketajaman mata Yok-mo. Tentu tadi dalam keasyikannya menonton pertempuran dia kurang hati-hati dan sempat memperlihatkan diri dari balik batang pohon sehingga terlihat oleh kakek itu. Ia berjalan keluar dan berkata,
"Toat-beng Yok-mo, aku memang datang hendak menemui engkau untuk mengembalikan kitab-kitabmu!" Ia segera berjalan menghampiri dan mengambil tiga buah kitab dari dalam kantong bajunya yang selama ini ia simpan dan ia pelajari.
Sejenak Toat-beng Yok-mo memandang heran. Akan tetapi begitu melihat tiga buah kitab di tangan pemuda itu, ia segera teringat dan berseru girang dan heran, "Kau... kau masih hidup...?"
Tentu saja ia sekarang ingat akan pemuda yang telah menggendongnya ketika ia terluka dari Bukit Hoa-san, pemuda yang ia kira mati digondol burung rajawali emas yang lihai itu. Ia bukan girang karena pemuda itu masih hidup, tetapi girang karena tiga buah kitabnya yang ia sangka sudah lenyap itu kini ternyata masih utuh. Cepat dia menyambar tiga buah kitab itu dan segera disusulnya pertanyaan,
"Dan manakah katak putih dalam tabung itu?"
"Ahhh, menyesal sekali, Yok-mo, katak itu sudah ditelan habis oleh Kim-thiauw-ko (Kakak Rajawali Emas)." Lalu pemuda ini segera balas bertanya, "Yok-mo, aku tadi mendengar mengenai urusan para busu mencari dua orang gadis. Gadis-gadis itu adalah dua orang keponakanku. Betulkah kau tidak melihat mereka, Yok-mo?"
Pada saat itu, sebelum Yok-mo menjawab, terdengarlah suara, "Bagus sekali, Toat-beng Yok-mo, kau telah menipu kami!"
Dan muncullah Souw Ki, dua orang saudara kembar Bu, dan seorang tosu. Tosu ini bukan lain adalah Thian It Tosu tokoh Ngo-lian-kauw, tangan kanan Kim-thouw Thian-li. Seperti kita ketahui, Thian It Tosu menggabungkan diri dan menjadi seorang di antara tujuh jagoan istana. Inilah sebabnya mengapa Kim-thouw Thian-li berlaku mengalah dan tadi tidak suka bermusuhan dengan Souw Ki bertiga, tetapi juga ini yang menyebabkan ia merasa penasaran melihat sikap Souw Ki yang sombong dan tidak mengindahkannya.
Pada saat Souw Ki bertiga kembali ke istana, di tengah jalan bertemulah mereka dengan teman mereka, Thian It Tosu. Tiga orang ini berterus terang tentang kecurigaan mereka terhadap Toat-beng Yok-mo dan menceritakan pula peristiwa di Ngo-lian-kauw tadi. Thian It Tosu mencela mereka dan merasa menyesal telah terjadi peristiwa itu.
"Marilah kita kembali ke sana, kalau tidak begitu, sungguh pinto akan merasa tidak enak sekali terhadap Kauwcu."
Souw Ki dan dua orang saudara kembar itu menurut, maka keempat orang ini segera kembali ke situ dan kebetulan sekali mereka melihat Kun Hong bercakap-cakap dengan Toat-beng Yok-mo, Tentu saja Souw Ki menjadi marah dan mengeluarkan bentakan tadi. Mereka mengenal Kun Hong sebagai pemuda yang lenyap secara aneh dari tahanan. Sekarang ternyata pemuda ini bercakap-cakap dengan Yok-mo, siapa lagi kalau bukan Setan Obat yang menolongnya keluar dari tahanan?
Juga Thian It Tosu menjadi curiga. Tosu ini memang diam-diam merasa iri hati dan tidak suka melihat hubungan antara Yok-mo dengan ketuanya. Sebelum Yok-mo datang, dialah orang yang paling ‘dekat’ dengan Kim-thouw Thian-li dan setelah ia menjadi pengawal Pangeran lalu mendengar kedatangan Yok-mo tentu saja ia menjadi iri hati dan cemburu.
"Toat-beng Yok-mo, kau tadi bilang tidak tahu menahu mengenai pengacauan di Istana Kembang, namun ternyata kau mengenal baik orang muda ini. Hemmm, andai kata benar bukan kau yang mengacau di Istana Kembang, tapi sudah dapat dipastikan bahwa yang menolong pemuda ini keluar dari tahanan adalah kau!" kata Souw Ki dengan suara marah.
"Toat-beng Yok-mo, dengan perbuatanmu menentang Pangeran Mahkota ini, jangan kau menyeret-nyeret nama baik Ngo-lian-kauw. Seorang lelaki harus berani mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri!" berkata Thian It Tosu sambil melirik ke arah Kim-thouw Thian-li yang masih berdiri di jembatan.
Melihat empat orang jagoan istana ini bersikap hendak menyerangnya, Toat-beng Yok-mo hanya terkekeh lalu berkata, "Tidak kusangkal bahwa aku mengenal pemuda ini, habis kalian mau apakah? Heh-heh-heh!"
"Yok-mo, kami harus menangkap kau dan pemuda ini!" seru Souw Ki.
Sementara itu, pada saat Kun Hong melihat datangnya empat orang pengawal istana ini, mukanya segera menjadi pucat. Celaka, pikirnya, tentu aku akan ditangkap lagi. Ketika mendengar kata-kata Souw Ki yang terakhir, tanpa pikir panjang lagi Kun Hong segera membalikkan tubuh dan lari dari situ!
"Hee, hendak lari ke mana kau?!"
Souw Ki melompat dan ruyungnya digunakan untuk menyerampang kaki Kun Hong dari belakang. Ia memang gemas kepada pemuda ini dan ingin memberi hajaran. Akan tetapi alangkah herannya ketika sudah yakin hatinya akan dapat mematahkan dua kaki pemuda itu, ternyata ruyungnya hanya mengenai angin karena kaki pemuda itu bergeser ke arah yang berlawanan dan secara aneh sekali.
Ternyata dalam keadaan berbahaya itu Kun Hong sudah mempergunakan langkah dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun sehingga dengan mudah ia dapat menghindarkan kedua kakinya dari sambaran ruyung. Setelah terhindar dari serangan ruyung itu, segera kaki Kun Hong melanjutkan langkahnya melarikan diri.
Melihat pemuda itu hendak lari, sepasang saudara kembar Bu dan Thian It Tosu juga lari mengejar. Kun Hong lalu terkurung oleh empat orang busu. Sejenak pemuda ini bingung, lalu dia mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmu yang telah dipelajarinya, yaitu Kim-tiauw-kun untuk melakukan perlawanan. Kalau tidak terpaksa sekali, pemuda ini tidak suka mempergunakan ilmu ini untuk bertanding dengan orang lain.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara parau yang disusul dengan suara melengking yang menusuk telinga dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tinggi besar yang berpakaian serba putih. Melihat kakek ini, Toat-beng Yok-mo serta Kim-thouw Thian-li segera menghampiri, lalu memberi hormat dan menegur, "Kiranya Locianpwe Song-bun-kwi yang datang, silakan... silakan."
Empat orang pengawal itu tentu saja pernah mendengar nama besar Song-bun-kwi, maka serantak mereka menegok. Thian It Tosu yang juga sudah pernah melihat kakek ini, cepat memberi hormat kepada Song-bun-kwi, akan tetapi kakek itu menerimanya acuh tak acuh. Souw Ki dan dua orang saudara kembar, walau pun mereka pernah mendengar nama Song-bun-kwi, akan tetapi belum pernah bertemu muka. Mereka adalah pengawal istana kepercayaan Pangeran Mahkota, maka tentu saja sikap mereka angkuh dan terhadap Song-bun-kwi mereka tak memandang sebelah mata! Setelah memandang sejenak, Souw Ki dan dua orang saudara itu lalu mengurung Kun Hong lagi.
"Yok-mo, siapakah tiga manusia ini?" Song-bun-kwi bertanya.
Diam-diam kakek ini merasa heran sekali karena tadi ia melihat geseran kaki Kun Hong yang dalam pandangannya merupakan ilmu langkah yang ajaib sekali. Yok-mo tertawa, "Heh-heh-heh, mereka adalah pengawal-pengawal istana yang datang dengan fitnah bahwa aku telah mengacau Istana Kembang, kemudian mengira lagi bahwa aku telah mengeluarkan pemuda itu dari dalam tahanan. Lucu sekali!"
"Ah, kiranya anjing-anjing istana. Hei, dengarlah kalian. Yang mengacau Istana Kembang, menculik dua orang gadis adalah aku. Kalian mau apa?"
Bukan main kagetnya Souw Ki dan teman-temannya, juga Thian It Tosu. Kalau Thian It Tosu merasa kaget dan gelisah, adalah Souw Ki dan kedua saudara Bu kaget berbareng girang.
"Aha, dicari susah payah tidak ketemu, sekarang datang sendiri menyerahkan diri. Bagus! Kakek, dosamu sudah terlalu besar, kau menyerahlah saja dari pada rusak badanmu oleh ruyungku!" Souw Ki menggertak dan serta merta bersama teman-temannya lupa akan Kun Hong, meninggalkan pemuda itu dan menghampiri Song-bun-kwi.
Song-bun-kwi tertawa bergelak dan ia melengking tinggi ketika melihat sambaran ruyung Souw Ki. Hebat dan dahsyat sekali sambaran ruyung baja itu dan sekiranya mengenai kepala kakek ini, kiranya akan pecah berhamburan karena ruyung baja ini di tangan Souw Ki sanggup menghancurkan batu karang yang keras. Karena maklum bahwa kakek ini sakti, di samping hantaman ruyungnya ke arah kepala, tangan kiri Souw Ki juga mengirim pukulan ke arah dada.
Hebat sekali Song-bun-kwi. Diserang seganas itu, kakek ini berdiri tak bergerak, dalam arti kata mengelak, seakan-akan dia tidak melihat datangnya dua serangan dahsyat itu. Setelah ruyung tinggal satu dim lagi dari keningnya barulah kakek ini membabat senjata lawan itu dari bawah dengan tangan kiri dimiringkan, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menerima pukulan tangan kiri Souw Ki.
"Souw-busu, jangan...!" Thian It Tosu coba untuk mencegah temannya yang sembrono menyerang Song-bun-kwi, namun terlambat.
Terdengar suara keras. Ruyung baja itu terpental dari tangan Souw Ki, melayang jauh, dan disusul jeritan Souw Ki ketika kepalan tangan kirinya kena dicengkeram oleh tangan kanan kakek itu.
Sambil tertawa bergelak-gelak Song-bun-kwi mendorong tubuh Souw Ki yang melayang seperti daun kering tertiup angin dan jatuh ke dalam air di dekat jembatan. Thian It Tosu cepat meloncat dan menolong Souw Ki keluar dari air, namun jagoan ini terpaksa harus digotong karena tulang tangan kirinya remuk dan mukanya biru serta matanya mendelik! Baiknya, Song-bun-kwi tidak menghendaki nyawa Souw Ki maka jagoan yang galak ini tidak sampai mati.
"Song-bun-kwi, iblis tua, lihat pedang!"
Sepasang saudara kembar she Bu itu marah sekali melihat teman mereka dirobohkan demikian mudahnya oleh kakek ini. Pedang mereka berkelebat dan mengurung diri kakek itu dengan ganas. Mereka bekerja sama baik sekali dan dalam gebrakan pertama Bu Sek menikam sedangkan Bu Tai melindungi kakaknya dari samping dengan memutar-mutar pedangnya, bersiap menanti kesempatan untuk menyerang apa bila serangan kakaknya gagal.
Song-bun-kwi mengeluarkan lengking tinggi tanda bahwa dia sudah marah sekali. Tentu saja sama sekali ia tidak gentar menghadapi serangan pedang ini. Dengan mengebutkan lengan bajunya arah pedang itu meleset sedangkan tangan Bu Sek serasa hendak robek kulitnya. Malah Bu Tai yang memutar pedangnya, terhuyung mundur dua langkah karena sambaran angin kebutan ujung lengan baju itu.
Thian It Tosu yang melihat betapa dua orang saudara kembar itu sudah maju bertempur mengeroyok Song-bun-kwi, segera meloncat pula ke depan sambil berkata, "Locianpwe Song-bun-kwi, terpaksa pinto kini berlaku kurang ajar karena kau sudah berani menghina utusan-utusan Pangeran Mahkota!"
Tosu ini mencabut pedangnya dan menerjang ke depan, pedangnya membabat ke arah pinggang Song-bun-kwi yang cepat mengelak sambil tertawa mengejek. Dikeroyok tiga orang jagoan istana yang lihai ini, Song-bun-kwi enak saja melayaninya dengan tangan kosong. Serangan senjata tiga orang lawannya itu apa bila tidak dilegos, tentu ditangkis dengan ujung lengan bajunya, kadang-kadang malah dengan tangan yang dimiringkan!
Kim-thouw Thian-li dan Toat-beng Yok-mo saling pandang. Wanita Ketua Ngo-lian-kauw itu merasa serba salah. Akan tetapi setelah melihat Thian It Tosu terjun dalam lapangan pertempuran, ia segera dapat memilih pihak mana yang harus dibantu.
Memihak Song-bun-kwi tidak ada keuntungannya sama sekali, sebaliknya kalau dia tidak membantu utusan-utusan Pangeran Mahkota, tentu akan menjadi bahaya bagi berdirinya Ngo-lian-kauw. Ia pun cepat melolos pedang dan sabuk merahnya, tubuhnya ringan ketika meloncat ke depan dan suaranya halus membentak,
"Song-bun-kwi, melawan utusan-utusan Pangeran Mahkota berarti memberontak dan aku harus menghalangimu!" Pedangnya menyambar-nyambar diikuti sinar merah sabuknya.
"Ha-ha-ha, Kim-thouw Thian-li, semenjak kapan kau menjadi anjing Pangeran? Baik, baik, bagus, majulah hendak kulihat apakah kau sudah mempelajari Im-sin Kiam-sut dengan baik!"
Marahlah Kim-thouw Thian-li dan benar saja ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat, Im-sin Kiam-sut! Sementara itu, Toat-beng Yok-mo setelah mengantongi tiga buah kitabnya lalu maju pula dengan tongkatnya.
"Song-bun-kwi, kau semakin tua semakin jahat, suka membikin kacau saja! Perbuatanmu mengacau Istana Kembang sudah membuat namaku rusak, orang mengira akulah yang melakukannya. Kau harus mencuci namaku!" Tongkatnya melayang dan sekali bergerak telah mengirim lima totokan ke arah tubuh kakek itu.
"Ha-ha-ha, maju semua, hayo majulah!" Song-bun-kwi berteriak.
Tiba-tiba dia mengeluarkan lengking tinggi memanjang dan tahu-tahu kedua saudara Bu telah menjerit kaget akibat pedang mereka terpental dan tangan mereka sampai berdarah sedangkan Thian It Tosu terjengkang ke belakang keserempet ujung lengan baju.
Song-bun-kwi tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat ke dekat Kun Hong, "Hayo kau ikut aku!"
Tangan Kun Hong sudah dicekalnya kemudian pemuda ini dibawanya lari seperti terbang cepatnya! Biar pun ganas dan tidak takut terhadap siapa pun juga, Song-bun-kwi masih cukup cerdik untuk menanam permusuhan dengan Ngo-lian-kauw. Maka ia lalu pergi saja setelah memperlihatkan kelihaiannya. Dia membawa pergi Kun Hong, karena tadi melihat gerakan pemuda itu yang aneh sekali ketika mengelak dari serangan Souw Ki.
"Heii, kakek tua, hendak kau bawa ke mana aku?" Kun Hong berteriak-teriak sepanjang jalan, akan tetapi kakek itu membisu saja dan menarik tangannya yang dicekal erat.
"Kakek tua, kalau kau ada urusan denganku, mari kita bicara baik-baik, kenapa kau lari seperti orang dikejar setan? Apakah kau takut kalau mereka itu mengejarmu?"
Kalau saja Kun Hong mengeluarkan ucapan lain, agaknya kakek aneh ini tidak akan mempedulikannya dan lari terus. Akan tetapi sekali Kun Hong mengucapkan sangkaan takut, kakek itu tiba-tiba berhenti dan memandang marah,
"Aku takut kepada mereka? Ehh, bocah, kau tidak tahu siapa aku!"
"Tentu saja aku tahu. Kau adalah seorang tokoh di Min-san bernama Kwee Lun berjuluk Song-bun-kwi," jawab Kun Hong.
Kakek tua itu nampak tercengang. Di Ngo-lian-kauw tadi, orang-orang hanya menyebut julukannya, bagaimana bocah ini bisa kenal namanya yang jarang disebut-sebut dunia kang-ouw?
"Bocah, kau siapakah dan bagaimana kau bisa kenal namaku?"
"Locianpwe, namaku Kwa Kun Hong dan aku telah banyak mendengar tentang Locianpwe dari Ayah."
"Siapa ayahmu? Lekas katakan!"
"Ayah adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai."
Tiba-tiba kakek itu mendelikkan matanya. "Kau anak Kwa Tin Siong? Kau adik siluman betina? Ha-ha-heh-heh, bagus sekali! Tak kusangka untungku sebaik ini. Ha-ha, Bi Goat anakku, lihat betapa adik musuhmu ini akan kuhancurkan kepalanya dan kucabut keluar jantungnya!" Dengan buas ia lalu maju menerkam Kun Hong.
Pemuda ini terkejut setengah mati karena penyerangan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu. Disangkanya tadi bahwa dengan mengenalkan nama ayahnya sebagai seorang tokoh kang-ouw juga, kakek ini tak akan mengganggunya lagi, siapa tahu justru nama ayahnya membuat kakek ini marah sekali.
Akan tetapi yang kaget sekali ternyata malah Song-bun-kwi sendiri ketika tubrukannya mengenai angin dan tubuh pemuda itu sudah melejit seperti seekor belut dengan geseran kaki yang ajaib. Tanpa menghentikan gerakannya Song-bun-kwi melempar tubuh ke kiri mengejar, sekarang tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala dan tangan kirinya menyambar lambung dengan gerak tipu yang ampuh dan tidak mungkin dapat ditangkis atau dihindarkan oleh orang yang diserangnya. Angin yang panas hawanya mendahului serangan ini.
Sekarang Song-bun-kwi mengeluarkan suara gerengan keras saking marah dan herannya karena kembali penyerangannya tadi hanya mengenai angin belaka, jangankan mengenai tubuh Si Pemuda, menyentuh ujung bajunya pun tidak. Kemarahan dan penasarannya memuncak. Kakek ini lantas menyerang lagi dengan segenap tenaga dan kepandaiannya, memukul-mukul dan menendang-nendang sambil terus mengeluarkan suara melengking.
Kun Hong mengerahkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk menahan isi dadanya yang mendadak tergetar-getar karena suara lengkingan itu. Untuk menghadapi serangan-serangan Song-bun-kwi, dia terpaksa mengeluarkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun. Namun belum pernah ia balas menyerang karena memang tidak ada niat di hatinya untuk menyerang orang yang sama sekali tak dikenalnya dan tidak mempunyai urusan dengannya ini.
"Locianpwe, kenapa kau menyerangku? Apa salahku?" berkali-kali ia bertanya.
Akan tetapi hal ini bahkan merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan Song-bun-kwi karena masih dapatnya pemuda itu mengajukan pertanyaan berarti bahwa semua serangannya itu dipandang rendah saja. Kalau saja ia tidak ingat bahwa lawannya seorang pemuda, tentu telah ia cabut pedangnya.
Song-bun-kwi adalah seorang tokoh sakti. Biar pun sampai belasan jurus ia belum mampu memukul roboh Kun Hong, namun sebenarnya dia cukup membuat pemuda itu bingung sekali. Hanya karena gerakan-gerakannya yang aneh serta langkah-langkah yang ajaib maka sebegitu lama pemuda ini masih dapat menyelamatkan diri.
Akan tetapi, karena ia tidak balas menyerang, kalau ia terus-menerus mengelak, kiranya lambat-laun kakek itu akan mengenal gerakan-gerakannya dan akan dapat memecahkan rahasia lalu memukulnya. Sekali saja terkena pukulan kakek ini, kiranya akan celakalah pemuda itu.
Kun Hong tidak berani mencobakan ilmu sihirnya atas diri kakek yang sakti ini. Celaka, pikirnya, apakah dia gila mendadak? Lebih baik lari saja.
Setelah berpikir demikian, ia menunggu kesempatan baik. Ketika dilihatnya Song-bun-kwi tiba-tiba berjongkok dengan dua tangan dibuka di kanan kiri seperti seekor katak hendak melompat, tanpa pikir panjang lagi Kun Hong lalu memutar tubuh dan melarikan diri.
Ia merasa datangnya hawa pukulan yang luar biasa dari belakang, cepat kakinya digeser ke kanan dan tubuhnya seperti terhuyung-huyung ke depan sedangkan kedua tangannya diam-diam menggunakan gerakan Dewa Menyambut Mustika. Ia merasa dua tangannya itu bertemu dengan hawa yang panas, akan tetapi dengan pengerahan lweekang yang dilatih selama berada di puncak bukit, ia dapat menolak serangan itu.
Kembali Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan heran dan kagum, lalu ia mengejar sambil mengerahkan ginkang-nya. Beberapa kali lompatan saja membuat ia dapat menyusul Kun Hong. Akan tetapi anehnya, ketika sudah dekat, tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak aneh dan sudah menjauh lagi beberapa tombak jauhnya. Ada kalanya kalau ia melompat menyusul, tahu-tahu pemuda itu seperti mundur sehingga lompatannya terlewat jauh. Kalau sudah berhasil ia mendekat, selalu uluran tangannya tak berhasil mencengkeram pemuda aneh itu.
Keringat dingin mulai membasahi tubuh Song-bun-kwi. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami hal seaneh ini. Banyak sudah dia menghadapi lawan-lawan sakti dan sering mengalami pertempuran-pertempuran mati-matian dan hebat, akan tetapi belum pernah ia menghadapi perlawanan begini aneh.
Pemuda itu laksana bayangan saja, susah dijamah, akan tetapi juga sama sekali tidak pernah membalas. Ia kelihatan takut-takut dan bingung, bagai orang tidak bisa ilmu silat. Gerakan-gerakannya itu pun tidak patut disebut ilmu silat, lebih mirip seperti ayam dikejar atau seperti burung.
Mereka terus berkejaran keluar masuk hutan dan sudah setengah jam lebih Song-bun-kwi mengejar, belum juga ia dapat memegang pemuda itu. Saking marahnya ia lalu mencabut keluar pedangnya dan membentak, "Anak setan, rasakan ketajaman pedangku!"
Ia masih merasa malu kepada dirinya sendiri jika harus mempergunakan senjata rahasia. Menggunakan pedang saja sebetulnya sudah merupakan hal yang amat memalukan, apa lagi kalau harus menggunakan senjata gelap!
Sekali ini kehormatannya benar-benar tersinggung sekali. Diam-diam Song-bun-kwi hanya mengharap jangan sampai perbuatannya ini diketahui lain orang. Akan tetapi pengharapannya itu ternyata bahkan sebaliknya karena mendadak terdengar suara orang mengejek, "Ha-ha, sejak kapan Song-bun-kwi tua bangka menjadi pengecut, mengejar-ngejar seorang pemuda dengan pedang di tangan? Ha-ha-ha!"
Kaget bukan main Song-bun-kwi, mukanya menjadi merah padam dan otomatis ia lantas menghentikan pengejarannya, kemudian membalikkan tubuh. Ia melihat seorang kakek bertubuh sedang, agak membungkuk saking tuanya. Segera ia mengenal kakek ini dan makin malulah ia. Dari malu ia menjadi marah sekali.
"Siauw-ong-kwi, berani kau mengatakan aku pengecut? Kau sudah bosan hidup!"
Cepat ia lalu menyerang kakek itu dengan pedangnya tanpa memberi kesempatan lagi. Kakek itu memang benar Siauw-ong-kwi adanya, seorang tokoh besar dari utara. Belasan tahun kakek ini tidak pernah lagi memperlihatkan diri di dunia kang-ouw, seperti halnya Song-bun-kwi sendiri.
Seperti pembaca masih ingat, dalam cerita Raja Pedang sudah pernah diceritakan bahwa Siauw-ong-kwi ini adalah seorang di antara Empat Besar dan dia adalah jago nomor satu dari utara, guru dari Giam Kin. Mengapa ia tiba-tiba bisa muncul di situ?
Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Giam Kin telah bertemu dengan Kwa Hong dan disiksa setengah mati oleh rajawali emas dan Kwa Hong ketika Giam Kin menculik Lee Giok. Semenjak itu Giam Kin tak pernah ada kabar ceritanya lagi. Karena inilah maka sekarang Siauw-ong-kwi yang selama ini mengasingkan diri, menjadi kuatir akan keselamatan muridnya. Sengaja ia sekarang turun gunung untuk mencarinya, sekalian ia hendak datang pada upacara pembukaan Thai-san-pai karena sebagai tokoh besar ia pun ingin mencoba lagi kelihaian Si Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi pendiri dari Thai-san-pai.
Kebetulan sekali di hutan ini dia melihat Song-bun-kwi sedang mengejar-ngejar seorang pemuda yang kelihatan lari ketakutan, maka ia lalu muncul dan mengejek. Ketika dengan marah Song-bun-kwi menyerangnya, Siauw-ong-kwi mengeluarkan teriakan keras sambil menggerakkan kedua lengan bajunya yang merupakan senjatanya yang ampuh.
Dua orang tokoh besar ini segera bertempur dengan hebatnya. Sambaran angin pukulan mereka membuat daun-daun di puncak pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar. Pertempuran hebat ini diselingi teriakan-teriakan aneh Siauw-ong-kwi serta suara melengking dari tenggorokan Song-bun-kwi. Selain bertarung dengan kepandaian silat, kedua tokoh ini juga saling mengadu kekuatan khikang mereka.
Sementara itu, untuk sejenak Kun Hong hanya berdiri bengong. Bukan main kagumnya dia menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu sampai pandang matanya berkunang melihatnya. Diam-diam ia menarik napas panjang dan harus mengakui bahwa dua orang kakek itu benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Ketika teringat bahwa mungkin ia akan celaka kalau tertawan oleh dua orang ini, segera ia mengangkat kaki melarikan diri secepat mungkin pergi dari tempat itu.
Ia masih berlari-lari ketika tiba-tiba ada orang menegurnya, "Heii, kenapa kau berlari-lari seperti dikejar setan?"
Kun Hong menoleh dengan kaget karena mengira bahwa yang berseru itu adalah kakek yang hendak menawannya. Akan tetapi ketika ia melihat seorang pemuda yang tampan sekali, timbul kemendongkolan hatinya. Ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda tampan pesolek yang pernah menampar pipinya di rumah gedung Tan-taijin! Segera dia berhenti dan memandang dengan muka merengut.
"Ada keperluan apa kau mencampuri urusanku?"
Pemuda itu balas memandang dan agaknya baru sekarang ia bisa mengenal Kun Hong. Alisnya yang hitam itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan ia lalu tersenyum.
"Ehhh, kiranya kaukah ini? Kutu buku yang sombong itu?" katanya dengan nada seakan kecewa sudah menegurnya tadi. Tanpa bilang apa-apa lagi pemuda itu lalu melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah dari mana Kun Hong datang.
Kun Hong mendongkol sekali kepada pemuda itu. Hemm, sampai-sampai di dalam hutan begini dan dalam melakukan perjalanan, pemuda itu masih berpakaian indah dan bersih, sepertl orang berjalan-jalan menjual aksi saja. Dan alangkah angkuh dan sombongnya!
Akan tetapi ketika melihat pemuda itu menuju ke arah dari mana ia datang, ia menjadi kuatir juga. Betapa pun juga, pemuda itu yang menyebut Tan-taijin pek-hu (uwa), berarti masih keponakan pembesar itu dan Tan-taijin berkesan baik di hati Kun Hong.
Apa lagi pembesar itu dulu menyatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayahnya. Kalau sampai pemuda angkuh ini bertemu dengan dua orang kakek sakti itu dan tertimpa mala petaka, tentu Tan-taijin akan menjadi susah hatinya.
"Heii, tunggu dulu!" teriaknya mengejar.
Pemuda itu menoleh. "Mau apa kau?" caranya bertanya memandang rendah sekali.
Kun Hong menahan gemas hatinya. "Jangan kau pergi ke sana, di sana ada dua orang kakek sakti sedang bertanding. Kalau kau terlihat oleh mereka, kau akan celaka!"
Pemuda itu mencibirkan bibir mengejek, "Huh, mana aku takut dengan segala obrolan kosongmu?"
"Sombong kau! Siapa mengobrol kosong? Song-bun-kwi dan seorang kakek lain bernama Siauw-ong-kwi sedang bertempur hebat di sana. Mereka benar-benar sakti dan jahat."
Berubah wajah pemuda itu mendengar nama-nama ini dan diam-diam Kun Hong merasa girang. Nah, baru tahu kau sekarang, baru takut mendengar dua nama itu.
Akan tetapi pemuda itu segera mencabut pedang dan berseru, "Betulkah Song-bun-kwi di sana?"
Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu kemudian berlari meninggalkan Kun Hong menuju ke hutan di depan. Sejenak Kun Hong hanya terlongong. Apakah orang muda itu sudah gila? Ataukah saking sombongnya maka tidak mengenal keadaan seperti seekor anak kerbau yang tak gentar menghadapi singa?
Celaka, dia tentu mampus, pikirnya. Kembali ia merasa tidak enak terhadap Tan-taijin dan di luar kehendaknya kedua kakinya sudah bergerak, mengejar pemuda itu!
"Heee, jangan ke sana...!" serunya berkali-kali.
Kun Hong kagum sekali pada saat melihat betapa pemuda itu berlari cepat sekali laksana terbang. Tubuhnya demikian ringan sehingga terlihat dari belakang seakan-akan pemuda itu tidak menginjak tanah! Ia juga mempergunakan ilmu lari cepat yang ia miliki tanpa ia sadari, akan tetapi Kun Hong menjaga supaya jangan sampai dia menyusul pemuda itu, melainkan mengikuti dari belakang.
Ketika ia tiba di dalam hutan di mana tadi Song-bun-kwi bertempur, ia melihat pemuda itu berdiri tegak seorang diri, menanti kedatangannya dengan wajah tak senang. Begitu Kun Hong datang, pemuda itu menyambutnya dengan suara marah, "Kau pembohong besar! Mana dia Song-bun-kwi? Bayangannya pun tidak ada di sini?"
Kun Hong berpura-pura terengah-engah napasnya karena dia tidak ingin diketahui orang bahwa ia pun pandai ilmu lari cepat. "Wah! Kau lari seperti kijang melompat. Bagus sekali Song-bun-kwi sudah pergi, kalau tidak kau tentu akan dipukul mati dan aku pun tidak diampuni. Tadi dia berada di sini bertempur dengan kakek aneh itu. Siapa membohong? Hayo kau kembalikan pedangku yang kau rampas tempo hari!"
Pemuda itu mendengus marah. "Orang macam kau, mana pantas mempunyai pedang pusaka?"
"Ehh-ehh, soal pantas atau tidak bukan urusanmu. Yang terang pedang Ang-hong-kiam adalah pedangku, apakah kau nekat hendak merampas pedang orang? Benar-benar tak bermalu!"
Mendengar kata-kata ini, pemuda itu marah sekali. Pedang Ang-hong-kiam yang masih tergantung di pinggangnya itu segera diambilnya dan sekali tangannya diayun pedang itu berikut sarungnya amblas ke tanah sampai setengahnya!
"Nah, nih pedangmu pemotong ayam!"
Kun Hong menghampiri pedang itu dan dengan kedua tangannya mencabut. Pemuda itu memandang dengan mulut mengejek. Melihat sikap orang itu, Kun Hong malah sengaja berpura-pura mengerahkan seluruh tenaganya sehingga ketika pedang itu dapat tercabut ia terjengkang ke belakang dengan pedang di tangan.
Pemuda itu pun terkekeh geli, "Kutu buku macam kau mempunyai pedang itu untuk apa? Paling-paling di tengah jalan dirampas orang jahat. Kau telah berhasil lari dari tahanan, siapa yang menolongmu? Apakah Song-bun-kwi? Dan dua orang gadis Hoa-san-pai itu, ke mana mereka?"
"Aku... aku tidak tahu bagaimana aku bisa keluar. Ehhh... para penjaga tahanan yang mengeluarkan aku, kukira Tan-taijin yang memerintahkannya. Ada pun tentang dua orang keponakanku itu, justru aku hendak mencari mereka."
"Ke mana kau hendak mencari mereka?"
"Mungkin mereka ke Thai-san... ehhh, kau... kenapa kau memperhatikan mereka?" Kun Hong memandang dengan tajam penuh curiga.
Melihat pandang mata Kun Hong ini, pemuda itu mencibirkan bibir dan berkata, "Kudengar mereka cantik-cantik, aku senang gadis-gadis jelita!"
Wajah Kun Hong merah sekali. Dengan telunjuknya ia menuding ke arah hidung pemuda itu. Dengan lagak seorang tua memberi peringatan seorang anak nakal, ia lalu berkata, "Hemm, kau bocah kurang ajar, dengarlah baik-baik! Kalau bukan keponakan Tan-taijin yang menjadi sahabat ayahku, takkan sudi aku memberi nasihat kepadamu. Jangan kau mengumbar nafsumu yang bejat, janganlah kau bertingkah seperti laki-laki yang gagah sendiri, yang tampan sendiri, yang kaya sendiri. Kau berlagak seperti... seperti seorang banci, laki-laki pesolek yang mata keranjang. Apa kau kira semua perempuan akan jatuh olehmu? Awas kau kalau kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemm..."
Pemuda itu membusungkan dada, mengedikkan kepalanya kemudian berkata menantang, "Kalau aku ganggu mereka, kau mau apakah? Apa kau berani berkelahi melawanku?"
Merah muka Kun Hong. Ia tidak suka berkelahi, tidak sudi, apa lagi dengan pemuda yang seperti kanak-kanak ini. Juga ia tidak mau memperlihatkan kepada siapa pun juga bahwa ia pandai ilmu silat. Akan tetapi pemuda ini benar-benar memanaskan perutnya.
"Huh, lagakmu! Kalau kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemmm, tentu ada seorang laki-laki muda penuh aksi yang roboh dan mampus oleh dua orang gadis keponakanku itu! Sudah, tak sudi aku bicara lagi denganmu!"
Dengan marah Kun Hong lalu membalikkan tubuh hendak melanjutkan perjalanannya. Di dalam hatinya ia betul-betul marah kepada pemuda ini, belum pernah seingatnya ia marah dan mendongkol kepada orang lain seperti kepada orang muda sombong ini.
"He! kau bilang hendak ke Thai-san. Kenapa ke sana?"
Tanpa menoleh Kun Hong menjawab, "Banyak cerewet! Kalau ke sana mengapa?"
Terdengar pemuda itu tertawa mengejek, "Soalnya, tolol, Thai-san berada di sebelah sini, bukan sana!"
Kalau tadinya Kun Hong mengambil sikap tidak peduli, ketika mendengar kata-kata itu ia kaget dan cepat-cepat menghentikan tindakannya dan menengok...