CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJAWALI EMAS JILID 24
"Iihhh!" Bi Houw sampai melompat kaget atas kejadian yang luar biasa ini, namun ia tidak menghentikan serangannya, bahkan makin gencar ia membabat.
"Awas, buntutmu putus!"
Entah bagaimana pedang yang tadinya menyambar leher pemuda itu, tahu-tahu menyelonong balik dan membabat leher Bi Houw sendiri. Tentu saja Bi Houw kaget bukan main dan menahan gerakan tangannya itu. Akan tetapi, agaknya tangan kanannya sudah tidak mau menurut perintah hatinya sehingga..."Brettt!" kepalanya terbabat pedang membuat ikat kepala dan rambutnya putus, membuat ia setengah gundul!
"Heh-heh-heh, tikus gundul... tikus gundul...!"
Bi Houw yang marah hendak, menubruk , dengan pedangnya, namun tahu-tahu ia merasa tubuhnya terlempar ke belakang dan pedangnya terlepas dari kedua tangan. Ia berusaha untuk menahan diri, namun tidak kuat dan tubuhnya menggelinding terus. Tahu-tahu tubuhnya tertahan sesuatu dan ketika ia melihat, ternyata yang menahannya itu adalah sepasang pedangnya yang entah datang dari mana tahu-tahu sudah menancap di atas tanah dan menahan tubuhnya yang menggelinding tadi! Dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya, Si Muka Tikus ini berdiri dan mencabut sepasang pedangnya, kemudian hanya dapat memandang pemuda itu dengan mata melotot tanpa berani membuka suara.
"Bocah, kau benar-benar menghina orang!" terdengar seruan. Orang ke tiga dari Lam-thian Si-houw yang tampan dan berusia tiga puluhan lebih, sudah menerjang maju sambil meloloskan senjatanya, yaitu sebuah cambuk baja yang panjang.
"Eh, kau ini gembala bebek hendak berlagak? Lebih baik kakakmu yang matanya juling itu kau suruh maju!" Pemuda itu mengejek sambil menudingkan telunjuknya kearah orang ke dua yang berambut putih, bertubuh bongkok dan bermata juling.
"Sombong, rasakan cambukku!"
Orang ketiga yang bernama Teng Houw segera menyerang. Cambuknya mengeluarkan bunyi bergeletar keras dan ujung cambuk itu bergerak-gerak menyambar di atas kepala pemuda itu. Akan tetapi hebat sekali pemuda ini. Ia hanya sejenak mengerling ke arah ujung cambuk dan sama sekali tidak mau mengelak kalau ujung cambuk itu belum mendekati tubuhnya benar. Agaknya dia maklum bahwa Si Pemegang Cambuk itu membunyikan cambuk dan mengamang-amangkannya hanya untuk menggertak saja.
Melihat hal ini, Teng Houw menjadi panas hatinya. Seperti juga saudara-saudaranya, dia tadinya merasa jengah pula untuk menyerang seorang pemuda bertangan kosong dengan cambuknya yang sudah amat terkenal ganas dan entah sudah merenggut berapa banyak nyawa lawan. Akan tetapi pemuda aneh itu hanya tersenyum-senyum sambil memandang cambuknya seperti sebuah benda mainan yang tiada harganya.
"Awas senjata!" Akhirnya ia berseru dan kali ini cambuknya betul-betul menerjang dengan serangan yang amat dahsyat dan ganas.
Namun, pemuda itu masih tersenyum-senyum ketika tubuhnya mulai bergerak mendahului gerakan cambuk. Sedikit pun juga ujung cambuk tak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Bahkan dia masih mengejek ke arah Si Mata Juling yang maju mendekat dengan maksud mempelaiari gerakan-gerakan pemuda lihai itu.
"Hei mata juling, kenapa hanya menonton saja dan tidak ikut turun tangan? Matamu akan menjadi makin juling nanti kalau kau banyak menonton."
Si Mata Juling agaknya tak dapat dibikin panas hatinya, hanya berdiri menonton dengan penuh perhatian. Akan tetapi tidak lama kemudian, benar saja matanya menjadi semakin juling pada waktu ia melihat betapa pemuda itu bergerak bagaikan seekor lalat gesitnya, berputar-putar beterbangan di sekeliling tubuh Teng Houw. Orang ke tiga dari Lam-thian Sin-houw ini masih mencoba menyabet bayangan lawannya yang luar biasa gesitnya itu dengan cambuknya, namun sia-sia belaka. Dia hanya dapat menyerang dengan sabetan-sabetan yang membabi buta, seolah-olah sedang menyerang bayangan setan.
Tiba-tiba saja terdengar pemuda itu tertawa dan Teng Houw terkejut bukan main. Entah bagaimana, tahu-tahu ujung cambuknya telah melilit batang lehernya sendiri. Ia berusaha membetot gagangnya, namun makin dibetot semakin erat lilitan itu sehingga ia mendelik karena lehernya tercekik!
Kiranya dalam kegesitannya, pemuda itu tadi dapat menyambar ujung cambuk kemudian melilitkannya di leher lawannya sambil tertawa-tawa. Saking bingung dan kuatirnya, Teng Houw melompat keluar dari kalangan dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar. Baru setelah twako-nya menghampiri dan melepaskan lilitan cambuknya, ia sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali saking malunya, dan di lehernya terlihat garis-garis merah bekas lilitan cambuknya sendiri. Orang ini tidak bisa berbuat lain kecuali memandang ke arah pemuda itu dengan heran dan gentar.
"Sudah kukatakan tadi, lebih baik maju sekaligus agar cepat beres. Kalian benar-benar tak tahu diri, Lam-thian Si-houw!" Pemuda itu menantang dan menertawakan ketika melihat Si Mata Juling, Ban Houw, melangkah maju dengan ruyung di tangan kanan.
Ban Houw ini adalah seorang jagoan tua yang jarang menemui tandingannya di daerah pantai selatan. Dia sudah memiliki banyak pengalaman, maka tak berani ia memandang rendah kepada pemuda aneh itu. Melihat gerak-gerik pemuda ini dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, diam-diam kakek juling ini dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah murid seorang yang sangat sakti. Diam-diam ia menghubungkan pemuda ini dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, yang hanya pernah ia dengar namanya dan kelihaiannya.
"Orang muda, kau benar-benar lihai sekali. Sebegini muda sudah mempunyai kepandaian sehebat itu. Orang muda, aku tak percaya bahwa kau hanyalah seorang anak murid biasa saja dari Thai-san-pai. Si Raja Pedang Ketua Thai-san-pai itu apamukah?"
Pemuda itu memang kurang ajar sekali. Orang tua bicara baik-baik, ia tetap menyambut dengan ejekan, "Ehh, kakek mata juling, kau tanya-tanya tentang aku apakah kau ingin menarik aku sebagai mantumu? Apakah anak gadismu tidak juling seperti kau? Sudahlah, jangan banyak tanya dan cukup kukatakan kalau aku anak murid Thai-san-pai. Kalian ini orang-orang banyak lagak, akan tetapi tidak becus apa-apa dan berani hendak mengacau Thai-san-pai? Hayo, kalian boleh kalahkan aku lebih dulu, murid kecil dari Thai-san-pai!”
Diam-diam Kun Hong mendongkol juga menyaksikan sikap pemuda itu. Harus dia akui bahwa kepandaian pemuda itu hebat sekali. Dari gerak-geriknya tadi ketika bertempur, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa walau pun masih amat muda, orang itu benar-benar telah matang kepandaiannya dan mempunyai dasar yang amat kuat, baik lweekang mau pun ginkang-nya dari tingkat tinggi.
Akan tetapi ia menganggap pemuda itu terlalu sombong dan agaknya mata keranjang pula. Sudah dua kali ia mendengar pemuda itu bicara tentang perempuan, yaitu ketika di gedung Tan-taijin dahulu pemuda ini menyatakan iri hati kepada Pangeran Mahkota yang selalu rnendapatkan wanita cantik untuk menjadi selir. Sekarang terhadap Si Mata Juling lagi-lagi pemuda ini memperlihatkan sikap ceriwisnya.
Ban Houw tidak marah mendengar ejekan-ejekan pemuda itu. Dia melintangkan ruyung di depan dadanya, lalu berkata, "Orang muda, setidaknya kau tentu suka memberi tahukan siapa namamu? Kau sudah mengenal kami semua, memang kau mempunyai mata yang amat tajam, dan harus kuakui bahwa kami tidak dapat menduga siapakah sebetulnya kau orang muda yang lihai ini?"
Agaknya kesabaran dan ketenangan Ban Houw ini membuat pemuda ini berhati-hati, hal ini ternyata dari jawabannya yang tidak main-main lagi.
"Orang tua, namaku tidak ada artinya bagimu. Jika kuberi tahu juga kau takkan pernah mendengarnya dan tidak akan mengenalnya. Yang jelas bahwa aku adalah anak murid Thai-san-pai dan jika kalian hendak mengganggu Thai-san-pai, harus dapat mengalahkan aku lebih dulu."
Kakek juling itu mengangguk-angguk. "Kau memang takabur, akan tetapi juga sesuai dengan kepandaianmu. Marilah kau layani ruyungku ini! Apakah menghadapi aku kau pun akan bertangan kosong saja?"
Pemuda itu sejenak meragu. Biar pun ia masih muda, namun agaknya ia sudah mengerti bahwa menghadapi seorang lawan yang begini tenang, ia harus berhati-hati sekali. Akan tetapi dasar wataknya memang manja seperti biasanya anak orang berpangkat atau orang kaya, agaknya ia sudah biasa dipuji dan diangkat, maka kini pun ia merasa segan untuk mengurangi kesan setelah beberapa kali ia mendapat kemenangan.
"Kau sudah tua, aku masih muda sudah sepatutnya kalau aku mengalah sedikit, boleh kau serang aku, kakek juling."
Ucapan ini betul-betul amat takabur sebab keadaannya terbalik. Yang patut mengeluarkan kata-kata itu adalah Si Tua, bukan Si Muda karena dalam hal ilmu silat, pada umumnya yang lebih tua itu lebih matang dan mempunyai pengalaman lebih banyak sehingga lebih patut pula kalau yang tua yang mengalah.
Akan tetapi kakek juling itu tidak menjadi panas perutnya seperti yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh pemuda itu, sebaliknya kakek ini lalu memasang kuda-kuda dan berkata, "Kau sendiri yang menetapkan, jangan menyesal nanti. Nah, kau lihat senjataku!"
Baru saja habis ucapannya ini, ruyung sudah menyambar dekat sekali dengan kepala pemuda itu. Bukan main cepatnya gerakan kakek itu dan yang paling hebat, ruyungnya yang amat berat itu bergerak tanpa mendatangkan angin dan tahu-tahu sudah mendekati kepala lawannya!
"Bagus!" Pemuda itu berseru nyaring.
Ia benar-benar kaget dan tahu bahwa lawannya kali ini benar-benar seorang yang ‘berisi’, jauh bedanya dengan yang sudah-sudah. Maka dia berlaku waspada, cepat menggeser kedua kakinya dan mempergunakan langkah-langkah yang amat teratur dan amat indah, sementara kedua tangannya bergerak-gerak untuk mengimbangi tubuh dan kadang kala juga digunakan untuk balas menyerang. Anehnya, dua tangan itu gerakannya sama sekali berlainan dan bahkan berlawanan sehingga memperlihatkan cara bersilat yang janggal sekali, aneh, dan membingungkan.
Kalau tadi pemuda ini hanya mempermainkan sekalian lawannya, kali ini ia tidak hanya main loncat dan kelit, akan tetapi tiap kali mendapat kesempatan juga balas menyerang dengan sengit. Hebatnya tidak pernah ada serangan lawan yang tidak dibalasnya. Sambil mengelak atau mendorong ruyung dari samping, tentu ia segera balas menyerang dengan pukulan atau tendangan.
Berkali-kali kakek juling itu harus berseru memuji karena segera ternyata bahwa serangan balasan pemuda itu dengan tangan atau kakinya ternyata tidak kalah hebatnya dengan serangan ruyungnya. Dan yang sangat membingungkan hatinya adalah gerakan tangan pemuda itu. Sebegitu jauh belum juga ia dapat mengenal ilmu silat itu. Maka ia segera menggerakkan ruyungnya lebih gencar pula agar pemuda itu mengeluarkan simpanannya dan dia dapat mengenal ilmu silatnya.
Hebat gerakan ruyung ini. Kalau tadi gerakannya sama sekali tidak mendatangkan angin, sekarang begitu ruyung diputar, angin menderu dan terdengar angin mengiung. Ruyung itu kelihatannya menjadi puluhan buah banyaknya, mengancam pemuda ini dari segala jurusan.
Melihat hal ini, Kun Hong mengerutkan keningnya dan otomatis kedua tangannya sudah memegang lagi dua buah batu kecil yang tadi dilepasnya. Si Juling ini benar-benar hebat, pikirnya, sekali saja kepala pemuda itu terlanggar ruyung, tentu akan pecah berantakan dan habislah riwayat pemuda sombong dan nakal ini.
Betapa pun tidak senangnya terhadap pemuda itu, melihat orang membela mati-matian kepada Thai-san-pai yaitu perkumpulan yang didirikan oleh Tan Beng San, orang yang dipuji-puji dan dihormati ayahnya, tentu saja ia tak akan membiarkan pemuda ini tertimpa bencana. Di samping ini, dia pun mempunyai kesan baik atas sikap pemuda yang tidak mau membunuh lawannya itu.
Dua hal inilah, yaitu membela Thai-san-pai dan tidak mau membunuh lawan, merupakan penawar dari kebenciannya terhadap Si Pemuda, kebencian yang dia sendiri tidak tahu mengapa bisa mengotori hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bisa membenci orang seperti perasaannya terhadap pemuda ini. Banyak sudah ia melihat orang sombong, juga banyak melihat orang manja, akan tetapi belum pernah dia merasakan kebencian dalam hatinya seperti terhadap pemuda ini.
Agaknya desakan ruyung yang dimainkan secara ganas itu membuat si pemuda harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan bersilat dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring sekali sampai memekakkan telinga, lalu tubuhnya melesat ke sana ke mari sambil kedua tangannya mengirim serangan-serangan jarak jauh yang membuat si pemegang ruyung beberapa kali mengeluarkan seruan tertahan.
Pada saat si mata juling menghantamkan ruyungnya untuk menyerang pinggang, pemuda itu meloncat ke atas dengan gerakan yang sangat ringan seperti burung walet terbang. Akan tetapi lawannya juga gesit sekali karena ruyung itu tidak dibiarkan melewat, hanya langsung ia babatkan ke atas untuk memukul kedua kaki pemuda yang tubuhnya masih berada di udara itu!
Kedua tangan Kun Hong sudah gemetar dan menegang, siap melontarkan sambitan batu untuk menolong si pemuda ketika terjadi pertunjukan yang amat luar biasa oleh pemuda itu. Biar pun dirinya diserang selagi berada di udara, pemuda itu tidak menjadi gugup, malah ujung kaki kirinya dari samping ditotolkan kepada ujung ruyung lawannya dan… tubuhnya mencelat mumbul lagi ke atas berjungkir-balik. Ketika tubuhnya turun dan dia disambut hantaman ruyung, kembali dia menotolkan ujung kaki pada ruyung dan kembali tubuhnya mencelat ke atas.
Pertunjukan ini amat hebat sampai-sampai semua orang yang memandang mengeluarkan seruan memuji. Betul-betul ginkang yang sangat hebat disertai kelincahan dan kegesitan yang luar biasa! Agaknya si mata juling menjadi penasaran. Ia sudah menang di atas angin, pemuda itu tak dapat turun lagi dan posisinya amat buruk, masa ia tidak mampu mengalahkannya? Dengan penuh semangat, ketika pemuda itu kembali melayang turun, ruyungnya segera melakukan hantaman dari kiri ke kanan sehingga tak mungkin disambut oleh kaki pemuda itu lagi!
"Cringgg! Aduhhh...!"
Tampaklah bunga api berpijar dan Si Mata Juling terhuyung-huyung ke belakang dengan ujung ruyungnya yang sudah sapat, sedangkan pemuda itu sudah turun dengan wajah tersenyum dan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya berada pada tangan kanannya!
Entah kapan ia mencabut pedangnya, tahu-tahu ia sudah dapat mempergunakan itu, tidak hanya untuk menangkis saja, bahkan untuk membikin sapat senjata lawan dan sekaligus mendesak lawannya mundur terhuyung-huyung.
"Lepas senjata!” serunya dengan suara nyaring.
Tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan, pedangnya bergerak seperti kilat berputaran ke arah tangan Si Pemegang Ruyung dan... mau tak mau Si Mata juling harus melepaskan ruyungnya karena pedang lawan yang hebat itu sudah berputaran di sekitar pergelangan tangannya yang memegang gagang ruyung!
Pemuda itu melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya. Dengan wajah pucat Si Mata Juling memandang, mulutnya berkata gagap, "Kau... kau… apanya Si Raja Pedang...?"
Pemuda itu hanya tersenyum tidak menjawab, sebaliknya menghadapi orang pertama dari Lan-thouw Si-houw, yaitu orang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh pendek gemuk berperut gendut dengan muka seperti kanak-kanak.
"Kau adalah orang pertama dari Lam-thian Si-houw. Nah, sesudah semua bawahanmu kalah, apakah kau pun ingin coba-coba?"
Si Gendut ini tersenyum lebar, matanya jelas membayangkan kekaguman. "Hebat... hebat... aku orang kasar yang puluhan tahun berkelana di dunia kang-ouw, belum pernah bertemu dengan seorang muda seperti kau ini! Beranikah kau menyambut sebuah pukulanku?"
Pemuda itu memandang tajam, bibirnya tersenyum manis tetapi matanya bergerak-gerak penuh kecerdikan. "Mengapa tidak berani? Kau adalah seorang ahli lweekang, akan tetapi Thai-san-pai tidak pernah gentar terhadap ahli lweekang!”
"Bagus, kau boleh coba menyambut ini!"
Kakek gendut itu lalu memukul dengan tangan kiri terbuka jari-jarinya ke arah ulu hati Si Pemuda. Melihat ini, pemuda itu dengan berani sekali segera menyambut pukulan dengan tangan kanannya.
“Celaka!” Kun Hong yang melihat dari tempat persembunyiannya diam-diam berseru.
Kun Hong maklum bahwa Si Gendut itu mempunyai tenaga lweekang yang sangat lihai, bagaimana pemuda itu demikian bodoh menyambut? Tidak tahukah bahwa pemuda itu kena dipancing dan dijebak oleh Si Gemuk?
Terang bahwa Si Gemuk maklum akan kelihaian permainan pedang pemuda itu, maka ia sengaja mengajak adu tenaga lweekang dan sengaja pula menggunakan tangan kiri agar disambut tangan kanan pemuda itu. Kalau tangan kanan pemuda itu sudah tertempel di tangan kirinya, lalu datang lain serangan, tentu pemuda itu takkan dapat menggunakan pedangnya! Sekali lagi batu-batu kecil tergenggam erat tangan Kun Hong.
Begitu dua telapak tangan itu bertemu, tubuh keduanya tergetar. Akan tetapi bukan main kaget hati Si Gemuk ketika merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan kulit yang halus dan lunak seperti kapas, akan tetapi yang memiliki dasar kuat sekali sehingga tidak bergeming oleh daya dorongannya. Ia kini maklum bahwa pemuda lihai itu karena merasa kalah tenaga, telah mempergunakan tenaga lemas dan menyerah saja di ‘tempel’.
Inilah yang dia kehendaki. Sambil tersenyum tangan kanannya lalu mengeluarkan sehelai cambuk yang dililitkan pada pinggangnya, memutar-mutar cemeti itu di atas kepala lalu cemeti atau cambuk itu menyambar ke arah leher lawan! Akan tetapi tangan kiri pemuda itu bergerak cepat. Tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu tangan kiri itu telah memegang sebatang pedang yang digunakan untuk membabat cambuk.
Si Gemuk menarik kembali cambuknya dan mainkan cambuk itu dengan hebat sehingga cambuk bergulung-gulung di atas kepalanya seperti seekor ular hidup. Ia mengira bahwa dengan pedang di tangan kiri tentu Si Pemuda tidak akan dapat main dengan baik. Siapa kira gerakan pemuda itu dengan tangan kirinya sangat cekatan dan tangkas tidak kalah oleh gerakan tangan kanan. Ia tidak dapat menghindar lagi ketika pedang itu menyambar, terpaksa menangkis dengan cambuk dan...
"Bretttt…!" ujung cambuknya putus.
"Ayaaaa…!"
Si Gemuk mengerahkan tenaga mendorong sehingga perlahan kedua telapak tangan itu terlepas. Dia sendiri cepat-cepat menggulingkan tubuh di atas tanah untuk membebaskan diri dari tenaga lweekang yang membalik. Sedangkan pemuda itu dengan teriakan nyaring melompat dan berjumpalitan di udara.
Sama-sama mereka membebaskan diri dari serangan tenaga lweekang yang membalik. Namun tentu saja jauh lebih indah gerakan pemuda itu dengan berjungkir-balik beberapa kali di udara, membuat salto yang amat manisnya. Si Gemuk bangun berdiri dengan pakaian kotor semua. Pemuda itu telah turun kembali, berdiri tegak dengan senyum dan pedang di tangan kiri. Jelas bahwa dalam pertandingan gebrakan pertama ini Si Gemuk kalah setingkat karena ujung cambuknya telah putus.
"Twako, buat apa memberi ampun kepadanya? Mari kita serbu bersama!" teriak Bi Houw Si Muka Tikus dengan marah sambil memegang kedua pedang di tangan kanan kiri, juga yang lain sudah mengambil senjata dan mengurung pemuda itu.
"Ha-ha-ha, sudah semenjak tadi kukatakan, lebih baik maju bersama, biar kalian merasai ketajaman pedangku!" kata pemuda itu dengan sikap menantang dan sama sekali tidak gentar.
Merah muka Si Gemuk. Sebagai pemimpin rombongan itu, dia merasa tepukul dan malu sekali. Masa mereka sembilan orang lelaki gagah yang namanya tidak asing lagi di dunia persilatan, kini hendak mengeroyok seorang pemuda yang masih setengah kanak-kanak? Akan tetapi, jika pemuda ini tidak dibinasakan, tidak saja usaha mereka akan gagal, juga nama mereka akan rusak, maka ia lalu melangkah maju dan membentak,
"Orang muda, biar pun kau berkepala tiga berlengan enam, menghadapi kami sembilan orang tentu kau tak dapat keluar dengan selamat!"
Pemuda itu sekali lagi tersenyum, pedangnya lalu bergerak-gerak indah sekali di depan dadanya. Gerakan yang amat aneh, akan tetapi indah bukan main seperti seorang penari ulung memperlihatkan keahliannya.
"Siapa takut kepada kalian? Kalau aku tidak sanggup merobohkan kalian sembilan tikus kecil, percuma saja aku mengaku datang dari Thai-san-pai!"
Kun Hong mengerutkan kening. Pertempuran ini harus dicegah, pikirnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, keadaannya benar-benar berbahaya. Walau pun seorang melawan seorang dia sudah menang, akan tetapi dikeroyok sembilan orang yang kesemuanya merupakan ahli-ahli silat pandai ini, bukanlah hal yang boleh dipandang ringan begitu saja.
Selain ini, bila dikeroyok kiranya pemuda itu takkan dapat mengalahkan tanpa membunuh seperti tadi dan tentulah akan terjadi pembunuhan besar-besaran. Ia harus turun tangan mencegah.
Setelah berpikir sejenak, pemuda ini lalu melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru keras, "Tahan dulu, jangan berkelahi!"
Semua orang menunda gerakan masing-masing dan menoleh heran. Terutama sekali dua orang saudara Kam yang tinggi besar dan pemuda pesolek itu, yang mengenal Kun Hong. Pemuda itu sendiri tampak kaget karena ia sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu dengan Kun Hong di tempat ini.
"Kau siapa? Mau apa?" Kang Houw bertanya dengan suara bentakan.
Kun Hong cepat mengerahkan tenaga batin seperti yang dia pelajari dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok, menatap wajah sembilan orang itu berganti-ganti, kemudian dengan suara aneh ia berkata, "Kalian ini sembilan orang benar-benar tak tahu diri. Kalian sudah kalah semua, tidak tahukah betapa lihainya saudara muda ini? Tidak melihatkah kalian bahwa dia benar-benar berkepala tiga dan berlengan enam? Lihatlah baik-baik dan akan lebih selamat kalau kalian lekas pergi saja sebelum mampus oleh manusia berkepala tiga berlengan enam ini!"
Hampir saja pemuda itu tertawa bergelak mendengar kata-kata yang dianggapnya lucu ini. Benar-benar keterlaluan Si Kutu Buku ini, pikirnya. Tapi mulutnya yang sudah tersenyum itu tiba-tiba terbuka, ternganga keheranan melihat orang-orang itu.
Muka sembilan orang itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak memandang kepadanya. Tubuh kedua saudara Kam menggigil dengan bibir yang membiru. Tiga saudara Hui-liong Sam-heng-te memandang dengan mata melotot, biji mata mereka seakan-akan hendak keluar dari ruangnya.
Si Muka Tikus gemetar seluruh tubuhnya sampai giginya mengeluarkan bunyi. Teng Houw berdiri bagai patung, memegang cambuk dan menggigit gagang cambuknya. Kakek juling itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk ‘mengatur’ matanya yang juling, seakan-akan tidak percaya akan pandangan matanya yang semakin menjuling.
Yang lucu adalah sikap Kang Houw Si Gendut. Ia menggosok-gosok kedua matanya, lalu menggaruk-garuk rambutnya, menggosok-gosok lagi matanya, akhirnya dia berteriak,
"Siluman...!"
"Iblis...!"
"Setan! Lebih baik pergi."
"Lari...!" teriak Kang Houw yang tak dapat menahan rasa takutnya lagi.
Berserabutan mereka lari. Ada yang masih mencoba untuk menengok, akan tetapi begitu menengok dia menjadi makin ketakutan sampai jatuh bangun ketika lari.
Pemuda itu berdiri bengong. Bulu tengkuknya meremang dan otomatis ia pun menengok ke belakangnya. Mana siluman atau iblis yang ditakuti mereka? Ia memandang ke sana ke mari, akhirnya memandang Kun Hong yang berdiri tersenyum-senyum saja.
"Kenapa... kenapa mereka itu...?" pemuda itu berkata dengan suara perlahan, masih belum lenyap keheranannya melihat peristiwa yang luar biasa anehnya itu.
"Kenapa lagi kalau tidak takut kepadamu, orang berkepala tiga berlengan enam?" jawab Kun Hong, nadanya mengejek.
Pemuda itu matanya berkilat, marah. "Jangan main-main kau!"
"Ehhh, siapa main-main? Bukankah mereka bilang kau berkepala tiga berlengan enam? Apakah tidak senang berkepala tiga berlengan enam?"
"Siapa sudi jadi tontonan orang?!"
"Kan bagus jadi tontonan orang, tinggal masuk pasar pukul tambur mengumpulkan uang."
"Ehh, kutu buku busuk! Jangan kau mempermainkan aku, ya?"
"Siapa yang mempermainkan? Aku sama sekali tidak ingin mempermainkan orang, apa lagi mengandalkan kepandaian. Ahh, aku tidak berkepandaian apa-apa."
Pemuda ini merasa dirinya disindir, tangannya diangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya kembali. Kun Hong melangkah maju, mukanya merah sekali saking marahnya. Ia maklum apa arti gerakan tangan seperti seorang dewasa menggertak anak kecil yang hendak ditempeleng itu.
"Kau mau pukul lagi? Boleh, pukullah. Memang kau manusia sombong, manja dan selalu mengandalkan kepandaian, bisanya cuma pukul orang. Huh!"
Mata pemuda itu semakin membara. "Siapa sombong? Kau sendiri yang sombong, kutu buku! Orang macam kau ini berani memaki-maki Tan-pek-hu! Kau berlagak pintar, berani memberi nasihat kepada Tan-pek-hu. Sudah patut kalau kutampar. Aku tidak menyesal menamparmu dahulu itu."
Dada Kun Hong terasa panas seakan hendak meledak. "Kau memang anak jahat. Heran aku mengapa Thai-san-pai bisa mempunyai murid begini jahat."
Pemuda itu tiba-tiba membentak, "He, kenapa kau mengintai aku? Kenapa kau mengikuti aku?"
"Setan, siapa mengintai? Siapa yang mengikuti? Aku hendak ke Thai-san, apa urusannya dengan kau?"
Kun Hong diam-diam merasa heran sekali mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, ia tak dapat menguasai diri lagi dan menjadi pemarah. Dan ia tidak tahu pula kenapa ia marah-marah, mungkin sebal karena melihat sikap pemuda itu terhadapnya demikian sombong dan memandang rendah.
"Kau hendak ke Thai-san? Mau apa ke sana? Apakah mau mengacau seperti sembilan ekor tikus tadi?"
"Jangan kau menyangka yang bukan-bukan. Aku datang hendak mengunjungi Paman Tan Beng San, menyampaikan hormatku dan salam dari Ayah. Ketua Thai-san-pai merupakan sahabat yang amat baik dari Ayahku, seperti saudara saja, masa aku hendak mengacau, bagaimana caranya? Aku tidak becus apa-apa."
Pemuda itu tersenyum, agak berkurang marahnya. "Kau anak siapa, sih? Gampang saja mengaku-aku sahabat Ketua Thai-san-pai."
Mengkal bukan main hati Kun Hong. Bocah ini terlalu sekali, terlalu memandang rendah kepadanya. Ia segera menjawab, "Jelek-jelek aku ini adalah orang Hoa-san-pai."
Pemuda itu mendengus, "Siapa yang tidak tahu? Dua orang gadis itu keponakanmu, jika mereka anak Hoa-san-pai, kau pun tentulah orang Hoa-san-pai. Anehnya kau tidak belajar silat, malah belajar menjadi kutu buku dan menjadi sombong."
"Tidak sesombong engkau! Padahal kau hanya anak murid Thai-san-pai biasa saja, biar pun kepandaianmu tinggi. Hemmm, hendak kulihat nanti apa kata Paman Tan Beng San kalau mendengar tentang sepak terjang muridnya seperti kau ini!”
Pemuda itu nampak terkejut sekali, terbelalak memandang Kun Hong. "Hee! Apa kau mau mengadu kepada... Ketua Thai-san-pai tentang aku? Siapa sih kau berani berbuat begitu? Siapa ayahmu?"
"Ayah hanyalah Ketua Hoa-san-pai."
Pemuda itu kelihatan makin kaget. Ia tak menyembunyikan kekagetannya saat bertanya, "Apa? Kau... kau anak dari... Kwa Tin Siong Lo-enghiong, yang berjuluk Hoa-san It-kiam, ketua dari Hoa-san-pai?"
Kun Hong merasa dadanya mengembung. Mungkin kalau orang lain yang bersikap begini, dia akan merendahkan diri, lahir batin. Akan tetapi terhadap pemuda ini, benar-benar sikapnya membuat ia merasa bangga.
"Betul, Kwa Tin Siong adalah ayahku, karena itu aku hendak menjumpai Paman Tan Beng San di Thai-san."
Pemuda itu semakin panik. "Jadi kau... kau hendak mengadukan aku kepada... kepada… pamanmu itu?"
"Hemm, kau maksud gurumu? Bukankah kau ini anak murid Thai-san-pai dan kau menjadi murid Paman Tan Beng San?"
"Betul," suara pemuda itu sekarang terdengar perlahan dan lemah, mukanya menunduk. "Kau akan mengadu kepada Suhu tentang apa?"
"Tentang apa lagi? Tentang kesombonganmu, tentang sikapmu terhadap aku, tentang..." Tanpa terasa Kun Hong mengusap kedua pipinya, seakan-akan masih terasa gaplokan di pipinya.
Pemuda itu mengangkat muka memandang. "Ah, kau mau mengadukan bahwa aku telah menampar pipimu?"
"Hemmm, mungkin juga. Dan tentang kesombonganmu yang tidak mau membagi kamar, tentang sikapmu yang takabur. Tidak patut kau menjadi murid seorang pendekar perkasa seperti Paman Tan Beng San."
"Apakah kau pernah bertemu dengan dia?"
"Belum, akan tetapi kalau Paman mendengar bahwa aku anak Kwa Tin Siong, kiraku dia akan percaya."
Hening sejenak, pemuda itu duduk di atas rumput, tangannya mencabuti rumput, nampak bingung sehingga diam-diam Kun Hong tersenyum dengan puas. Rasakan kau sekarang anak manja. Kau ketakutan sekarang!
Pemuda itu kemudian mengangkat mukanya memandang Kun Hong, berkata perlahan dan dengan memohon, "Kuharap kau tidak akan menceritakan hal begini kepada Suhu!"
Kun Hong tersenyum mengejek. Kepalanya dikedikkan, bukan main girang hatinya akan kemenangan ini.
"Mengapa tidak? Orang seperti kau ini memang patut diberi hajaran, biarlah kulihat nanti betapa Paman Tan Beng San akan memaki, mungkin memukulmu. Ha-ha-ha!"
Kun Hong membereskan bungkusan, siap untuk melanjutkan perjalanan.
"Kakak yang baik..., jangan kau adukan aku..."
Makin girang hati Kun Hong. Ia mencibirkan bibirnya, membuang muka seperti orang tak peduli. Namun aneh sekali, dadanya berdebar saking girangnya. Huh, baru sekarang kau menyebutku kakak yang baik, pikirnya. Heran bukan main akan dirinya sendiri. Kenapa sekarang kebenciannya terhadap pemuda itu lenyap seperti awan tipis dihembus angin?
Akan tetapi mulutnya hanya mendengus, "Huhh...!"
"Kakak yang baik, aku... aku minta maaf kepadamu. Kalau kau suka, nih... kau boleh tampar pipiku sebagai pembalasan..."
Kun Hong menoleh dan melihat pemuda itu mengajukan mukanya, memberikan pipinya yang putih halus itu untuk ditampar. Kembali Kun Hong menjadi heran. Kalau tadinya ia ingin sekali menampar muka bocah ini, sekarang mendadak ia menjadi tidak tega dan penyesalan serta permohonan maaf bocah ini sudah lebih dari cukup, sudah menebus sakit hatinya, habislah yang sudah-sudah, tak teringat lagi.
"Aku bukan orang yang suka menampar muka orang!" Ia masih memaksa diri berkata ketus.
Pemuda itu memandang penuh pertanyaan. "Jadi... kau masih tetap hendak melaporkan aku...?"
"Hemmm..." Kun Hong pura-pura merasa ragu.
Akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.
"Twako (Kakak) yang baik, kau benar-benar sudi memaafkan aku? Tidak mendendam lagi?"
"Hemmm, aku bukanlah orang yang suka menaruh dendam dan tentang maaf, ehhh... sebetulnya, ehhh... tidak ada apa-apa yang harus dimaafkan."
Kun Hong memaki dirinya sendiri. Mengapa hati ini begini lemah? Hemm, keenakan benar bocah ini!
Pemuda itu dengan girang kemudian menyambar tangan Kun Hong, akan tetapi segera dilepaskannya kembali, bagaikan sikap seorang anak kecil yang kegirangan akan tetapi malu-malu.
"Ahh, Twako yang baik, terima kasih. Kau tentu takkan melaporkan aku kepada... Suhu, bukan?"
Mau tak mau Kun Hong tertawa juga, walau pun hanya tertawa ditahan. Sikap bocah ini mengingatkan ia akan sikap Li Eng. Hemm, setelah dilihat dari dekat, pemuda ini nampak benar-benar masih bocah. Heran sekali, kenapa sedemikian tinggi ilmu silatnya.
"Tidak, siapa hendak melapor? Aku bukan seorang yang panjang mulut."
"Aduh, terima kasih. Kau berjanji?"
"Janji!"
"Sumpah?"
Kun Hong cemberut. "Janji seorang laki-laki lebih berharga dari nyawa. Selama hidup aku tak pernah bersumpah!"
"Ahh, Twako, harap jangan marah. Aku percaya kepadamu!"
Tiba-tiba ia melompat ke atas dan kelihatan girang sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang amat tajam itu bersinar-sinar. Kun Hong melongo. Bukan main tampannya anak ini, pikirnya. Tak mungkin orang bisa benci kepadanya. Akan tetapi kenapa sebelum ini dia amat benci, ya amat membencinya sehingga ingin dia memukulnya? Ia benar-benar tidak mengerti.
"Ehh, kau tadi bilang siapa namamu, Twako?"
"Aku tidak pernah bilang siapa namaku."
"Ahh, ya. Aku yang lupa. Siapa sih namamu, Twako? Kau tentu she Kwa, dan namamu siapa?"
"Hemm, kau lebih muda. Kau harus memperkenalkan lebih dulu."
Pemuda itu tertawa. Makin tampan wajahnya pada waktu tertawa. "Namaku Cui Bi. Nah, sekarang katakan, siapa namamu, Twako?"
"Namaku Kun Hong."
"Kwa Kun Hong. Hemm, kalau begitu kau kupanggil Hong-ko (Kakak Hong)."
Sejenak mereka diam. Nama pemuda itu sama sekali tidak menarik perhatian Kun Hong. Dia lebih tertarik oleh gerak-gerik pemuda yang lincah jenaka dan gembira ini.
"Hong-ko, kedua orang keponakanmu itu lenyap. Ke manakah mereka?"
"Siapa tahu mereka di mana? Yang menculik mereka adalah Song-bun-kwi, aku pernah mendengar sendiri waktu iblis itu mengaku di depan para pengawal istana. Karena itu aku hendak minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk menolong mereka."
Pemuda itu nampak terkejut sekali. "Song-bun-kwi...? Ah, sudah kuduga...! Celaka, dia itu lihai sekali... apakah kau betul-betul telah bertemu dengan Song-bun-kwi?"
"Siapa membohong padamu? Aku melihat sendiri Song-bun-kwi mengaku di depan para pengawal istana, di tempat kediaman Ngo-lian-kauw, kemudian Song-bun-kwi dikeroyok oleh para pengawal, dibantu oleh Toat-beng Yok-mo dan Ngo-lian Kauwcu. Song-bun-kwi lalu lari sambil menyeret aku, dan ia bertemu dengan iblis yang bernama Siauw-ong-kwi. Mereka kemudian bertempur dan aku lari lalu... bertemu dengan kau."
Cui Bi pemuda itu menggeleng-geleng kepala, nampak keheranan sekali.
"Aneh benar, Hong-ko. Kau putera Ketua Hoa-san-pai, tetapi tidak pandai silat. Kau tidak pandai silat, namun bertemu dengan tokoh-tokoh jahat seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, Ngo-lian Kauwcu dan lain-lain. Hebat!" Pemuda ini menggeleng-geleng kepala dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan bunyi berdecak tanda bahwa dia benar-benar keheranan.
Kun Hong tiada hentinya memandangi wajah pemuda ini, makin dipandang ia pun makin kagum. Pemuda ini benar-benar tampan dan lincah. Ahhh, alangkah cocoknya dengan Li Eng!
"Hong-ko, apakah selama ini kau melakukan perjalanan dengan dua orang keponakanmu itu? Siapa sih mereka itu? Siapa saja nama mereka? Aku ingin sekali berkenalan dengan mereka."
Kembali ada rasa tidak enak di hati Kun Hong. Teringat dia akan sikap pemuda ini yang agaknya mata keranjang! Hemm, perlu diperkenalkan supaya pemuda ini tahu anak siapa mereka itu sehingga tidak akan berani main-main.
"Yang seorang bernama Kui Li Eng, anak Paman Kui Lok dan Bibi Thio Bwee. Seorang lagi bernama Thio Hui Cu, anak Paman Thio Ki dan Bibi Lee Giok."
Wajah Cui Bi makin berseri, "Kau maksudkan Bibi Lee Giok? Bukankah itu bibi guruku, murid dari Sukong Cia Hui Gan?"
"Betul, karena itu kau tidak boleh main-main."
Cui Bi mengerling dan memainkan bibirnya, setengah tersenyum ketika berkata, agaknya sengaja memanaskan hati, "Hong-ko, apakah... apakah mereka itu... ehh, cantik jelita?"
Merah wajah Kun Hong dan kembali hatinya tak sedap rasanya. Ia memandang tajam dan membentak, "Kau tanya-tanya mau apa sih?"
Cui Bi tertawa. "Ahh, tanya saja apa salahnya? Hong-ko, engkau mengadakan perjalanan bertiga saja dengan mereka. Hemmm, senang sekali, ya?"
"Kau bilang apa?!" Kun Hong mendelik marah.
"Hisss, jangan marah, Twako. Aku hanya main-main. Kok engkau gampang sekali marah. Pemarah benar kau, ya?"
"Siapa suruh kau bercakap-cakap tidak karuan?"
"Twako, bukanlah menggirangkan hati kalau mendengar bahwa aku mempunyai saudara-saudara seperguruan? Mareka itu, apa lagi... Nona Hui Cu itu, terhitung masih saudara seperguruan denganku karena ia pun cucu murid dari kakek guruku, bukan? Nah, sudah sepatutnya kalau aku ingin mendengar tentang diri mereka. Katakanlah, apakah mereka itu cantik? Bagaimana kepandaian mereka?"
Diam-diam Kun Hong harus membenarkan kata-kata ini. Pula, bocah masih sebegini kecil, masih kekanak-kanakan, masa mempunyai pikiran yang bukan-bukan?
"Tunggu saja, kalau kau sudah bertemu dengan Li Eng. Hemmm, pasti kau takkan bisa bicara main-main. Kau akan kalah bicara dengan dia."
"Cantik benarkah dia?"
"Cantik, seperti bidadari, seperti... seperti bunga mawar hutan."
Cui Bi tertawa geli. "Aha, kiranya kau pria yang amat romantis, Twako. Pintar mengambil perumpamaan. Mengapa kau bilang dia seperti bunga mawar hutan?"
Merah wajah Kun Hong. Bocah ini benar-benar menggemaskan, kadang-kadang dia kalah bicara dengannya, selalu kena goda. Benar-benar harus bertemu dengan Li Eng, baru tahu rasa kau, pikirnya.
"Dia tidak hanya cantik, namun juga jenaka, gembira, lincah dan pandai bicara, sifat-sifat liar menarik yang ada pada bunga mawar hutan."
"Aih-aih... hebat sekali. Dan kepandaiannya?"
"Wah, jangan ditanya soal kepandaiannya. Ilmu silatnya hebat sekali. Dialah satu-satunya orang yang paling pandai tentang ilmu silat Hoa-san-pai pada saat ini."
Cui Bi melengak, suaranya tidak main-main lagi ketika dia bertanya, "Aneh sekali, Twako. Bukankah ayahmu yang terpandai?"
Kun Hong menggeleng kepala. "Bukan, yang terpandai adalah ayah bunda Li Eng itulah. Mereka telah bertemu dengan Sukong Lian Ti Tojin yang telah memiliki dan mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai yang asli dan mengangkat mereka sebagai murid. Li Eng mewarisinya dari ayah bundanya. Lihainya bukan main. Kau akan kalah segala-galanya dengan dia."
Aneh benar. Pemuda itu kelihatan penasaran.
"Hemm, hemm... ingin aku bertemu dengannya dan mencoba-coba!"
Pada saat ia menoleh dan bertemu pandang dengan Kun Hong yang memandang tajam penuh selidik, ia tersenyum lagi, lenyap wajah bersungguh-sungguh tadi dan ia bertanya, "Dan bagaimana dengan... Nona Hui Cu, saudara seperguruanku itu? Apakah dia juga cantik dan pandai? Seperti... bunga apakah dia?"
"Dia? Hemmm, dia seperti bunga seruni, alim pendiam, serius dan pandangannya jauh, pikirannya luas dan cerdik. Tentang ilmu silat, dia kalah oleh Li Eng, akan tetapi dia pun lihai karena selain menerima pelajaran ilmu silat Hoa-sai-pai, dia pun sudah mempelajari ilmu pedang dari ibunya."
"Heee, kalau begitu ilmu pedangnya tentu sama dengan ilmu pedang Subo (Ibu Guru). Wah-wah-wah, dan kau selama ini melakukan perjalanan dengan dua orang bidadari? Hemm, kau pamannya, tapi masih begini muda... agaknya kau dan mereka tidak banyak selisih usianya, bukan?"
"Hush, kau bicara apa? Aku bukan laki-laki seperti kau!"
"Betulkah?" Cui Bi mengerling dengan sikap menggoda dan tidak percaya.
"Sudahlah. Hatiku gelisah mengingat nasib mereka, kau hanya bicara main-main saja."
Agaknya pemuda itu baru ingat akan hal ini. "Ah, betul juga. Hayo kita cepat-cepat pergi ke Thai-san menjumpai Suhu. Kalau Suhu turun tangan, jangankan baru Song-bun-kwi, biar ada sepuluh Song-bun-kwi tak perlu takut lagi!"
Mereka lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Diam-diam Kun Hong mendapat kesan aneh akan diri pemuda di sampingnya ini. Sombong, sudah jelas. Ucapan terakhir tentang suhu-nya saja amat sombong. Binal, seperti kuda liar. Gembira dan jenaka, hampir sama dengan Li Eng. Kadang-kadang mendatangkan rasa suka, kadang-kadang menimbulkan kegemasan yang luar biasa.
Pemuda yang aneh, pikirnya. Akan tetapi Pamannya Tan Beng San itu, kabarnya adalah seorang Raja Pedang, seorang sakti. Seorang sakti tentu aneh dan tidak mengherankan kalau muridnya pun aneh. Hanya saja, masih begini muda...!
Mereka berhenti istirahat di sebuah hutan. Hari itu sangat terik. Sudah tiga hari mereka melakukan perjalanan dan selalu bermalam di hutan. Malam tadi tak dapat tidur karena banyak sekali nyamuk di hutan itu. Karena kurang tidur, hari ini baru berjalan setengah hari saja mereka sudah lelah dan beristirahat di situ.
Namun kegembiraan dan kejenakaan Cui Bi banyak menolong menggembirakan suasana. Pandai benar pemuda ini bicara, dan selalu ada saja yang dipercakapkan. Pandai pula dia memancing-mancing sehingga banyak Kun Hong bercerita tentang dirinya, walau pun ia berhasil menyembunyikan segala kepandaian silat yang pernah dipelajarinya. Tentu saja Kun Hong tidak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa sedikit banyak dia mengerti ilmu silat. "Aku hanya mempelajari teorinya, tidak suka mempelajari prakteknya. Ayah tidak membolehkan," demikian katanya.
"Hong-ko, betul-betulkah kau sama sekali tidak bisa mainkan ilmu silat?" sambil duduk mengaso di bawah pohon yang teduh, pemuda itu bertanya.
Kun Hong hanya menggelengkan kepala, menguap dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, mencoba untuk tidur. Melihat kawannya ini lelah benar, Cui Bi tidak mau mengganggu lebih jauh lagi dan ia pun menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang berdekatan. Angin semilir menggerakkan daun-daun pohon, menimbulkan suara yang berirama dan mendatangkan hawa yang nyaman, membuat kedua orang muda itu terkantuk-kantuk dan tidur ayam. Mendadak terdengar suara keras,
"Nah, inilah mereka!"
Kun Hong dan Cui Bi terkejut dan membuka mata. Tiba-tiba melayang sebuah benda di dekat kedua orang muda itu, terdengar ledakan keras dan asap tebal memenuhi tempat itu.
"Celaka, Hong-ko... awas...!" terdengar suara Cui Bi dan selanjutnya sunyi.
Kun Hong mencium bau yang amat harum menyengat hidung. Cepat ia menekan hawa murni dari pusar ke atas dan mendorong keluar asap yang sedikit memasuki dadanya, kemudian dengan pengerahan tenaga murni ini ia dapat menahan napas dan terhuyung-huyung menghampiri Cui Bi. Dilihatnya Cui Bi bergerak lemah, merangkak hendak pergi dari daerah berasap.
Melihat keadaan pemuda itu, Kun Hong cepat menangkap tangannya dan diseret, dibawa lari ke tempat bersih. Untung bahwa asap itu sebentar saja lenyap, terbawa angin yang bertiup agak kencang. Akan tetapi dengan lemas Cui Bi menjatuhkan tubuhnya di atas tanah ketika Kun Hong melepaskan tangannya. Kun Hong tidak apa-apa, dan ia amat kuatir melihat keadaan Cui Bi yang agaknya jatuh pingsan itu. Ia berdiri dan menoleh ke belakang. Alangkah kagetnya ketika ia melihat tiga orang berdiri di situ.
Seorang adalah Kang Houw, orang tertua dari Lam-thian Si-houw yang gemuk pendek bermuka kanak-kanak. Orang kedua adalah seorang hwesio tinggi kurus berkepala gundul licin dan beralis tebal sampai hampir menutupi kedua matanya, dan orang ke tiga adalah Toat-beng Yok-mo sendiri!
Kun Hong menjadi gelisah dan gugup. Jelas bahwa kedatangan tiga orang ini tidak akan mendatangkan kebaikan, buktinya datang-datang mereka lantas menyerang dengan obat peledak dengan racun memabukkan, sehingga Cui Bi yang boleh ia harapkan akan dapat melawan mereka ini sekarang pingsan dan tidak berdaya.
Tentu saja Kun Hong tidak tahu bahwa Cui Bi hanya sebentar saja nanar. llmu lweekang pemuda ini juga sudah tinggi sekali, maka sebentar saja ia bisa mendorong asap beracun itu dari tubuhnya, keluar dan ia sudah tidak apa-apa lagi...
"Awas, buntutmu putus!"
Entah bagaimana pedang yang tadinya menyambar leher pemuda itu, tahu-tahu menyelonong balik dan membabat leher Bi Houw sendiri. Tentu saja Bi Houw kaget bukan main dan menahan gerakan tangannya itu. Akan tetapi, agaknya tangan kanannya sudah tidak mau menurut perintah hatinya sehingga..."Brettt!" kepalanya terbabat pedang membuat ikat kepala dan rambutnya putus, membuat ia setengah gundul!
"Heh-heh-heh, tikus gundul... tikus gundul...!"
Bi Houw yang marah hendak, menubruk , dengan pedangnya, namun tahu-tahu ia merasa tubuhnya terlempar ke belakang dan pedangnya terlepas dari kedua tangan. Ia berusaha untuk menahan diri, namun tidak kuat dan tubuhnya menggelinding terus. Tahu-tahu tubuhnya tertahan sesuatu dan ketika ia melihat, ternyata yang menahannya itu adalah sepasang pedangnya yang entah datang dari mana tahu-tahu sudah menancap di atas tanah dan menahan tubuhnya yang menggelinding tadi! Dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya, Si Muka Tikus ini berdiri dan mencabut sepasang pedangnya, kemudian hanya dapat memandang pemuda itu dengan mata melotot tanpa berani membuka suara.
"Bocah, kau benar-benar menghina orang!" terdengar seruan. Orang ke tiga dari Lam-thian Si-houw yang tampan dan berusia tiga puluhan lebih, sudah menerjang maju sambil meloloskan senjatanya, yaitu sebuah cambuk baja yang panjang.
"Eh, kau ini gembala bebek hendak berlagak? Lebih baik kakakmu yang matanya juling itu kau suruh maju!" Pemuda itu mengejek sambil menudingkan telunjuknya kearah orang ke dua yang berambut putih, bertubuh bongkok dan bermata juling.
"Sombong, rasakan cambukku!"
Orang ketiga yang bernama Teng Houw segera menyerang. Cambuknya mengeluarkan bunyi bergeletar keras dan ujung cambuk itu bergerak-gerak menyambar di atas kepala pemuda itu. Akan tetapi hebat sekali pemuda ini. Ia hanya sejenak mengerling ke arah ujung cambuk dan sama sekali tidak mau mengelak kalau ujung cambuk itu belum mendekati tubuhnya benar. Agaknya dia maklum bahwa Si Pemegang Cambuk itu membunyikan cambuk dan mengamang-amangkannya hanya untuk menggertak saja.
Melihat hal ini, Teng Houw menjadi panas hatinya. Seperti juga saudara-saudaranya, dia tadinya merasa jengah pula untuk menyerang seorang pemuda bertangan kosong dengan cambuknya yang sudah amat terkenal ganas dan entah sudah merenggut berapa banyak nyawa lawan. Akan tetapi pemuda aneh itu hanya tersenyum-senyum sambil memandang cambuknya seperti sebuah benda mainan yang tiada harganya.
"Awas senjata!" Akhirnya ia berseru dan kali ini cambuknya betul-betul menerjang dengan serangan yang amat dahsyat dan ganas.
Namun, pemuda itu masih tersenyum-senyum ketika tubuhnya mulai bergerak mendahului gerakan cambuk. Sedikit pun juga ujung cambuk tak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Bahkan dia masih mengejek ke arah Si Mata Juling yang maju mendekat dengan maksud mempelaiari gerakan-gerakan pemuda lihai itu.
"Hei mata juling, kenapa hanya menonton saja dan tidak ikut turun tangan? Matamu akan menjadi makin juling nanti kalau kau banyak menonton."
Si Mata Juling agaknya tak dapat dibikin panas hatinya, hanya berdiri menonton dengan penuh perhatian. Akan tetapi tidak lama kemudian, benar saja matanya menjadi semakin juling pada waktu ia melihat betapa pemuda itu bergerak bagaikan seekor lalat gesitnya, berputar-putar beterbangan di sekeliling tubuh Teng Houw. Orang ke tiga dari Lam-thian Sin-houw ini masih mencoba menyabet bayangan lawannya yang luar biasa gesitnya itu dengan cambuknya, namun sia-sia belaka. Dia hanya dapat menyerang dengan sabetan-sabetan yang membabi buta, seolah-olah sedang menyerang bayangan setan.
Tiba-tiba saja terdengar pemuda itu tertawa dan Teng Houw terkejut bukan main. Entah bagaimana, tahu-tahu ujung cambuknya telah melilit batang lehernya sendiri. Ia berusaha membetot gagangnya, namun makin dibetot semakin erat lilitan itu sehingga ia mendelik karena lehernya tercekik!
Kiranya dalam kegesitannya, pemuda itu tadi dapat menyambar ujung cambuk kemudian melilitkannya di leher lawannya sambil tertawa-tawa. Saking bingung dan kuatirnya, Teng Houw melompat keluar dari kalangan dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar. Baru setelah twako-nya menghampiri dan melepaskan lilitan cambuknya, ia sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali saking malunya, dan di lehernya terlihat garis-garis merah bekas lilitan cambuknya sendiri. Orang ini tidak bisa berbuat lain kecuali memandang ke arah pemuda itu dengan heran dan gentar.
"Sudah kukatakan tadi, lebih baik maju sekaligus agar cepat beres. Kalian benar-benar tak tahu diri, Lam-thian Si-houw!" Pemuda itu menantang dan menertawakan ketika melihat Si Mata Juling, Ban Houw, melangkah maju dengan ruyung di tangan kanan.
Ban Houw ini adalah seorang jagoan tua yang jarang menemui tandingannya di daerah pantai selatan. Dia sudah memiliki banyak pengalaman, maka tak berani ia memandang rendah kepada pemuda aneh itu. Melihat gerak-gerik pemuda ini dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, diam-diam kakek juling ini dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah murid seorang yang sangat sakti. Diam-diam ia menghubungkan pemuda ini dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, yang hanya pernah ia dengar namanya dan kelihaiannya.
"Orang muda, kau benar-benar lihai sekali. Sebegini muda sudah mempunyai kepandaian sehebat itu. Orang muda, aku tak percaya bahwa kau hanyalah seorang anak murid biasa saja dari Thai-san-pai. Si Raja Pedang Ketua Thai-san-pai itu apamukah?"
Pemuda itu memang kurang ajar sekali. Orang tua bicara baik-baik, ia tetap menyambut dengan ejekan, "Ehh, kakek mata juling, kau tanya-tanya tentang aku apakah kau ingin menarik aku sebagai mantumu? Apakah anak gadismu tidak juling seperti kau? Sudahlah, jangan banyak tanya dan cukup kukatakan kalau aku anak murid Thai-san-pai. Kalian ini orang-orang banyak lagak, akan tetapi tidak becus apa-apa dan berani hendak mengacau Thai-san-pai? Hayo, kalian boleh kalahkan aku lebih dulu, murid kecil dari Thai-san-pai!”
Diam-diam Kun Hong mendongkol juga menyaksikan sikap pemuda itu. Harus dia akui bahwa kepandaian pemuda itu hebat sekali. Dari gerak-geriknya tadi ketika bertempur, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa walau pun masih amat muda, orang itu benar-benar telah matang kepandaiannya dan mempunyai dasar yang amat kuat, baik lweekang mau pun ginkang-nya dari tingkat tinggi.
Akan tetapi ia menganggap pemuda itu terlalu sombong dan agaknya mata keranjang pula. Sudah dua kali ia mendengar pemuda itu bicara tentang perempuan, yaitu ketika di gedung Tan-taijin dahulu pemuda ini menyatakan iri hati kepada Pangeran Mahkota yang selalu rnendapatkan wanita cantik untuk menjadi selir. Sekarang terhadap Si Mata Juling lagi-lagi pemuda ini memperlihatkan sikap ceriwisnya.
Ban Houw tidak marah mendengar ejekan-ejekan pemuda itu. Dia melintangkan ruyung di depan dadanya, lalu berkata, "Orang muda, setidaknya kau tentu suka memberi tahukan siapa namamu? Kau sudah mengenal kami semua, memang kau mempunyai mata yang amat tajam, dan harus kuakui bahwa kami tidak dapat menduga siapakah sebetulnya kau orang muda yang lihai ini?"
Agaknya kesabaran dan ketenangan Ban Houw ini membuat pemuda ini berhati-hati, hal ini ternyata dari jawabannya yang tidak main-main lagi.
"Orang tua, namaku tidak ada artinya bagimu. Jika kuberi tahu juga kau takkan pernah mendengarnya dan tidak akan mengenalnya. Yang jelas bahwa aku adalah anak murid Thai-san-pai dan jika kalian hendak mengganggu Thai-san-pai, harus dapat mengalahkan aku lebih dulu."
Kakek juling itu mengangguk-angguk. "Kau memang takabur, akan tetapi juga sesuai dengan kepandaianmu. Marilah kau layani ruyungku ini! Apakah menghadapi aku kau pun akan bertangan kosong saja?"
Pemuda itu sejenak meragu. Biar pun ia masih muda, namun agaknya ia sudah mengerti bahwa menghadapi seorang lawan yang begini tenang, ia harus berhati-hati sekali. Akan tetapi dasar wataknya memang manja seperti biasanya anak orang berpangkat atau orang kaya, agaknya ia sudah biasa dipuji dan diangkat, maka kini pun ia merasa segan untuk mengurangi kesan setelah beberapa kali ia mendapat kemenangan.
"Kau sudah tua, aku masih muda sudah sepatutnya kalau aku mengalah sedikit, boleh kau serang aku, kakek juling."
Ucapan ini betul-betul amat takabur sebab keadaannya terbalik. Yang patut mengeluarkan kata-kata itu adalah Si Tua, bukan Si Muda karena dalam hal ilmu silat, pada umumnya yang lebih tua itu lebih matang dan mempunyai pengalaman lebih banyak sehingga lebih patut pula kalau yang tua yang mengalah.
Akan tetapi kakek juling itu tidak menjadi panas perutnya seperti yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh pemuda itu, sebaliknya kakek ini lalu memasang kuda-kuda dan berkata, "Kau sendiri yang menetapkan, jangan menyesal nanti. Nah, kau lihat senjataku!"
Baru saja habis ucapannya ini, ruyung sudah menyambar dekat sekali dengan kepala pemuda itu. Bukan main cepatnya gerakan kakek itu dan yang paling hebat, ruyungnya yang amat berat itu bergerak tanpa mendatangkan angin dan tahu-tahu sudah mendekati kepala lawannya!
"Bagus!" Pemuda itu berseru nyaring.
Ia benar-benar kaget dan tahu bahwa lawannya kali ini benar-benar seorang yang ‘berisi’, jauh bedanya dengan yang sudah-sudah. Maka dia berlaku waspada, cepat menggeser kedua kakinya dan mempergunakan langkah-langkah yang amat teratur dan amat indah, sementara kedua tangannya bergerak-gerak untuk mengimbangi tubuh dan kadang kala juga digunakan untuk balas menyerang. Anehnya, dua tangan itu gerakannya sama sekali berlainan dan bahkan berlawanan sehingga memperlihatkan cara bersilat yang janggal sekali, aneh, dan membingungkan.
Kalau tadi pemuda ini hanya mempermainkan sekalian lawannya, kali ini ia tidak hanya main loncat dan kelit, akan tetapi tiap kali mendapat kesempatan juga balas menyerang dengan sengit. Hebatnya tidak pernah ada serangan lawan yang tidak dibalasnya. Sambil mengelak atau mendorong ruyung dari samping, tentu ia segera balas menyerang dengan pukulan atau tendangan.
Berkali-kali kakek juling itu harus berseru memuji karena segera ternyata bahwa serangan balasan pemuda itu dengan tangan atau kakinya ternyata tidak kalah hebatnya dengan serangan ruyungnya. Dan yang sangat membingungkan hatinya adalah gerakan tangan pemuda itu. Sebegitu jauh belum juga ia dapat mengenal ilmu silat itu. Maka ia segera menggerakkan ruyungnya lebih gencar pula agar pemuda itu mengeluarkan simpanannya dan dia dapat mengenal ilmu silatnya.
Hebat gerakan ruyung ini. Kalau tadi gerakannya sama sekali tidak mendatangkan angin, sekarang begitu ruyung diputar, angin menderu dan terdengar angin mengiung. Ruyung itu kelihatannya menjadi puluhan buah banyaknya, mengancam pemuda ini dari segala jurusan.
Melihat hal ini, Kun Hong mengerutkan keningnya dan otomatis kedua tangannya sudah memegang lagi dua buah batu kecil yang tadi dilepasnya. Si Juling ini benar-benar hebat, pikirnya, sekali saja kepala pemuda itu terlanggar ruyung, tentu akan pecah berantakan dan habislah riwayat pemuda sombong dan nakal ini.
Betapa pun tidak senangnya terhadap pemuda itu, melihat orang membela mati-matian kepada Thai-san-pai yaitu perkumpulan yang didirikan oleh Tan Beng San, orang yang dipuji-puji dan dihormati ayahnya, tentu saja ia tak akan membiarkan pemuda ini tertimpa bencana. Di samping ini, dia pun mempunyai kesan baik atas sikap pemuda yang tidak mau membunuh lawannya itu.
Dua hal inilah, yaitu membela Thai-san-pai dan tidak mau membunuh lawan, merupakan penawar dari kebenciannya terhadap Si Pemuda, kebencian yang dia sendiri tidak tahu mengapa bisa mengotori hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bisa membenci orang seperti perasaannya terhadap pemuda ini. Banyak sudah ia melihat orang sombong, juga banyak melihat orang manja, akan tetapi belum pernah dia merasakan kebencian dalam hatinya seperti terhadap pemuda ini.
Agaknya desakan ruyung yang dimainkan secara ganas itu membuat si pemuda harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan bersilat dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring sekali sampai memekakkan telinga, lalu tubuhnya melesat ke sana ke mari sambil kedua tangannya mengirim serangan-serangan jarak jauh yang membuat si pemegang ruyung beberapa kali mengeluarkan seruan tertahan.
Pada saat si mata juling menghantamkan ruyungnya untuk menyerang pinggang, pemuda itu meloncat ke atas dengan gerakan yang sangat ringan seperti burung walet terbang. Akan tetapi lawannya juga gesit sekali karena ruyung itu tidak dibiarkan melewat, hanya langsung ia babatkan ke atas untuk memukul kedua kaki pemuda yang tubuhnya masih berada di udara itu!
Kedua tangan Kun Hong sudah gemetar dan menegang, siap melontarkan sambitan batu untuk menolong si pemuda ketika terjadi pertunjukan yang amat luar biasa oleh pemuda itu. Biar pun dirinya diserang selagi berada di udara, pemuda itu tidak menjadi gugup, malah ujung kaki kirinya dari samping ditotolkan kepada ujung ruyung lawannya dan… tubuhnya mencelat mumbul lagi ke atas berjungkir-balik. Ketika tubuhnya turun dan dia disambut hantaman ruyung, kembali dia menotolkan ujung kaki pada ruyung dan kembali tubuhnya mencelat ke atas.
Pertunjukan ini amat hebat sampai-sampai semua orang yang memandang mengeluarkan seruan memuji. Betul-betul ginkang yang sangat hebat disertai kelincahan dan kegesitan yang luar biasa! Agaknya si mata juling menjadi penasaran. Ia sudah menang di atas angin, pemuda itu tak dapat turun lagi dan posisinya amat buruk, masa ia tidak mampu mengalahkannya? Dengan penuh semangat, ketika pemuda itu kembali melayang turun, ruyungnya segera melakukan hantaman dari kiri ke kanan sehingga tak mungkin disambut oleh kaki pemuda itu lagi!
"Cringgg! Aduhhh...!"
Tampaklah bunga api berpijar dan Si Mata Juling terhuyung-huyung ke belakang dengan ujung ruyungnya yang sudah sapat, sedangkan pemuda itu sudah turun dengan wajah tersenyum dan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya berada pada tangan kanannya!
Entah kapan ia mencabut pedangnya, tahu-tahu ia sudah dapat mempergunakan itu, tidak hanya untuk menangkis saja, bahkan untuk membikin sapat senjata lawan dan sekaligus mendesak lawannya mundur terhuyung-huyung.
"Lepas senjata!” serunya dengan suara nyaring.
Tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan, pedangnya bergerak seperti kilat berputaran ke arah tangan Si Pemegang Ruyung dan... mau tak mau Si Mata juling harus melepaskan ruyungnya karena pedang lawan yang hebat itu sudah berputaran di sekitar pergelangan tangannya yang memegang gagang ruyung!
Pemuda itu melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya. Dengan wajah pucat Si Mata Juling memandang, mulutnya berkata gagap, "Kau... kau… apanya Si Raja Pedang...?"
Pemuda itu hanya tersenyum tidak menjawab, sebaliknya menghadapi orang pertama dari Lan-thouw Si-houw, yaitu orang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh pendek gemuk berperut gendut dengan muka seperti kanak-kanak.
"Kau adalah orang pertama dari Lam-thian Si-houw. Nah, sesudah semua bawahanmu kalah, apakah kau pun ingin coba-coba?"
Si Gendut ini tersenyum lebar, matanya jelas membayangkan kekaguman. "Hebat... hebat... aku orang kasar yang puluhan tahun berkelana di dunia kang-ouw, belum pernah bertemu dengan seorang muda seperti kau ini! Beranikah kau menyambut sebuah pukulanku?"
Pemuda itu memandang tajam, bibirnya tersenyum manis tetapi matanya bergerak-gerak penuh kecerdikan. "Mengapa tidak berani? Kau adalah seorang ahli lweekang, akan tetapi Thai-san-pai tidak pernah gentar terhadap ahli lweekang!”
"Bagus, kau boleh coba menyambut ini!"
Kakek gendut itu lalu memukul dengan tangan kiri terbuka jari-jarinya ke arah ulu hati Si Pemuda. Melihat ini, pemuda itu dengan berani sekali segera menyambut pukulan dengan tangan kanannya.
“Celaka!” Kun Hong yang melihat dari tempat persembunyiannya diam-diam berseru.
Kun Hong maklum bahwa Si Gendut itu mempunyai tenaga lweekang yang sangat lihai, bagaimana pemuda itu demikian bodoh menyambut? Tidak tahukah bahwa pemuda itu kena dipancing dan dijebak oleh Si Gemuk?
Terang bahwa Si Gemuk maklum akan kelihaian permainan pedang pemuda itu, maka ia sengaja mengajak adu tenaga lweekang dan sengaja pula menggunakan tangan kiri agar disambut tangan kanan pemuda itu. Kalau tangan kanan pemuda itu sudah tertempel di tangan kirinya, lalu datang lain serangan, tentu pemuda itu takkan dapat menggunakan pedangnya! Sekali lagi batu-batu kecil tergenggam erat tangan Kun Hong.
Begitu dua telapak tangan itu bertemu, tubuh keduanya tergetar. Akan tetapi bukan main kaget hati Si Gemuk ketika merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan kulit yang halus dan lunak seperti kapas, akan tetapi yang memiliki dasar kuat sekali sehingga tidak bergeming oleh daya dorongannya. Ia kini maklum bahwa pemuda lihai itu karena merasa kalah tenaga, telah mempergunakan tenaga lemas dan menyerah saja di ‘tempel’.
Inilah yang dia kehendaki. Sambil tersenyum tangan kanannya lalu mengeluarkan sehelai cambuk yang dililitkan pada pinggangnya, memutar-mutar cemeti itu di atas kepala lalu cemeti atau cambuk itu menyambar ke arah leher lawan! Akan tetapi tangan kiri pemuda itu bergerak cepat. Tampak sinar berkelebat dan tahu-tahu tangan kiri itu telah memegang sebatang pedang yang digunakan untuk membabat cambuk.
Si Gemuk menarik kembali cambuknya dan mainkan cambuk itu dengan hebat sehingga cambuk bergulung-gulung di atas kepalanya seperti seekor ular hidup. Ia mengira bahwa dengan pedang di tangan kiri tentu Si Pemuda tidak akan dapat main dengan baik. Siapa kira gerakan pemuda itu dengan tangan kirinya sangat cekatan dan tangkas tidak kalah oleh gerakan tangan kanan. Ia tidak dapat menghindar lagi ketika pedang itu menyambar, terpaksa menangkis dengan cambuk dan...
"Bretttt…!" ujung cambuknya putus.
"Ayaaaa…!"
Si Gemuk mengerahkan tenaga mendorong sehingga perlahan kedua telapak tangan itu terlepas. Dia sendiri cepat-cepat menggulingkan tubuh di atas tanah untuk membebaskan diri dari tenaga lweekang yang membalik. Sedangkan pemuda itu dengan teriakan nyaring melompat dan berjumpalitan di udara.
Sama-sama mereka membebaskan diri dari serangan tenaga lweekang yang membalik. Namun tentu saja jauh lebih indah gerakan pemuda itu dengan berjungkir-balik beberapa kali di udara, membuat salto yang amat manisnya. Si Gemuk bangun berdiri dengan pakaian kotor semua. Pemuda itu telah turun kembali, berdiri tegak dengan senyum dan pedang di tangan kiri. Jelas bahwa dalam pertandingan gebrakan pertama ini Si Gemuk kalah setingkat karena ujung cambuknya telah putus.
"Twako, buat apa memberi ampun kepadanya? Mari kita serbu bersama!" teriak Bi Houw Si Muka Tikus dengan marah sambil memegang kedua pedang di tangan kanan kiri, juga yang lain sudah mengambil senjata dan mengurung pemuda itu.
"Ha-ha-ha, sudah semenjak tadi kukatakan, lebih baik maju bersama, biar kalian merasai ketajaman pedangku!" kata pemuda itu dengan sikap menantang dan sama sekali tidak gentar.
Merah muka Si Gemuk. Sebagai pemimpin rombongan itu, dia merasa tepukul dan malu sekali. Masa mereka sembilan orang lelaki gagah yang namanya tidak asing lagi di dunia persilatan, kini hendak mengeroyok seorang pemuda yang masih setengah kanak-kanak? Akan tetapi, jika pemuda ini tidak dibinasakan, tidak saja usaha mereka akan gagal, juga nama mereka akan rusak, maka ia lalu melangkah maju dan membentak,
"Orang muda, biar pun kau berkepala tiga berlengan enam, menghadapi kami sembilan orang tentu kau tak dapat keluar dengan selamat!"
Pemuda itu sekali lagi tersenyum, pedangnya lalu bergerak-gerak indah sekali di depan dadanya. Gerakan yang amat aneh, akan tetapi indah bukan main seperti seorang penari ulung memperlihatkan keahliannya.
"Siapa takut kepada kalian? Kalau aku tidak sanggup merobohkan kalian sembilan tikus kecil, percuma saja aku mengaku datang dari Thai-san-pai!"
Kun Hong mengerutkan kening. Pertempuran ini harus dicegah, pikirnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, keadaannya benar-benar berbahaya. Walau pun seorang melawan seorang dia sudah menang, akan tetapi dikeroyok sembilan orang yang kesemuanya merupakan ahli-ahli silat pandai ini, bukanlah hal yang boleh dipandang ringan begitu saja.
Selain ini, bila dikeroyok kiranya pemuda itu takkan dapat mengalahkan tanpa membunuh seperti tadi dan tentulah akan terjadi pembunuhan besar-besaran. Ia harus turun tangan mencegah.
Setelah berpikir sejenak, pemuda ini lalu melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru keras, "Tahan dulu, jangan berkelahi!"
Semua orang menunda gerakan masing-masing dan menoleh heran. Terutama sekali dua orang saudara Kam yang tinggi besar dan pemuda pesolek itu, yang mengenal Kun Hong. Pemuda itu sendiri tampak kaget karena ia sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu dengan Kun Hong di tempat ini.
"Kau siapa? Mau apa?" Kang Houw bertanya dengan suara bentakan.
Kun Hong cepat mengerahkan tenaga batin seperti yang dia pelajari dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok, menatap wajah sembilan orang itu berganti-ganti, kemudian dengan suara aneh ia berkata, "Kalian ini sembilan orang benar-benar tak tahu diri. Kalian sudah kalah semua, tidak tahukah betapa lihainya saudara muda ini? Tidak melihatkah kalian bahwa dia benar-benar berkepala tiga dan berlengan enam? Lihatlah baik-baik dan akan lebih selamat kalau kalian lekas pergi saja sebelum mampus oleh manusia berkepala tiga berlengan enam ini!"
Hampir saja pemuda itu tertawa bergelak mendengar kata-kata yang dianggapnya lucu ini. Benar-benar keterlaluan Si Kutu Buku ini, pikirnya. Tapi mulutnya yang sudah tersenyum itu tiba-tiba terbuka, ternganga keheranan melihat orang-orang itu.
Muka sembilan orang itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak memandang kepadanya. Tubuh kedua saudara Kam menggigil dengan bibir yang membiru. Tiga saudara Hui-liong Sam-heng-te memandang dengan mata melotot, biji mata mereka seakan-akan hendak keluar dari ruangnya.
Si Muka Tikus gemetar seluruh tubuhnya sampai giginya mengeluarkan bunyi. Teng Houw berdiri bagai patung, memegang cambuk dan menggigit gagang cambuknya. Kakek juling itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk ‘mengatur’ matanya yang juling, seakan-akan tidak percaya akan pandangan matanya yang semakin menjuling.
Yang lucu adalah sikap Kang Houw Si Gendut. Ia menggosok-gosok kedua matanya, lalu menggaruk-garuk rambutnya, menggosok-gosok lagi matanya, akhirnya dia berteriak,
"Siluman...!"
"Iblis...!"
"Setan! Lebih baik pergi."
"Lari...!" teriak Kang Houw yang tak dapat menahan rasa takutnya lagi.
Berserabutan mereka lari. Ada yang masih mencoba untuk menengok, akan tetapi begitu menengok dia menjadi makin ketakutan sampai jatuh bangun ketika lari.
Pemuda itu berdiri bengong. Bulu tengkuknya meremang dan otomatis ia pun menengok ke belakangnya. Mana siluman atau iblis yang ditakuti mereka? Ia memandang ke sana ke mari, akhirnya memandang Kun Hong yang berdiri tersenyum-senyum saja.
"Kenapa... kenapa mereka itu...?" pemuda itu berkata dengan suara perlahan, masih belum lenyap keheranannya melihat peristiwa yang luar biasa anehnya itu.
"Kenapa lagi kalau tidak takut kepadamu, orang berkepala tiga berlengan enam?" jawab Kun Hong, nadanya mengejek.
Pemuda itu matanya berkilat, marah. "Jangan main-main kau!"
"Ehhh, siapa main-main? Bukankah mereka bilang kau berkepala tiga berlengan enam? Apakah tidak senang berkepala tiga berlengan enam?"
"Siapa sudi jadi tontonan orang?!"
"Kan bagus jadi tontonan orang, tinggal masuk pasar pukul tambur mengumpulkan uang."
"Ehh, kutu buku busuk! Jangan kau mempermainkan aku, ya?"
"Siapa yang mempermainkan? Aku sama sekali tidak ingin mempermainkan orang, apa lagi mengandalkan kepandaian. Ahh, aku tidak berkepandaian apa-apa."
Pemuda ini merasa dirinya disindir, tangannya diangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya kembali. Kun Hong melangkah maju, mukanya merah sekali saking marahnya. Ia maklum apa arti gerakan tangan seperti seorang dewasa menggertak anak kecil yang hendak ditempeleng itu.
"Kau mau pukul lagi? Boleh, pukullah. Memang kau manusia sombong, manja dan selalu mengandalkan kepandaian, bisanya cuma pukul orang. Huh!"
Mata pemuda itu semakin membara. "Siapa sombong? Kau sendiri yang sombong, kutu buku! Orang macam kau ini berani memaki-maki Tan-pek-hu! Kau berlagak pintar, berani memberi nasihat kepada Tan-pek-hu. Sudah patut kalau kutampar. Aku tidak menyesal menamparmu dahulu itu."
Dada Kun Hong terasa panas seakan hendak meledak. "Kau memang anak jahat. Heran aku mengapa Thai-san-pai bisa mempunyai murid begini jahat."
Pemuda itu tiba-tiba membentak, "He, kenapa kau mengintai aku? Kenapa kau mengikuti aku?"
"Setan, siapa mengintai? Siapa yang mengikuti? Aku hendak ke Thai-san, apa urusannya dengan kau?"
Kun Hong diam-diam merasa heran sekali mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, ia tak dapat menguasai diri lagi dan menjadi pemarah. Dan ia tidak tahu pula kenapa ia marah-marah, mungkin sebal karena melihat sikap pemuda itu terhadapnya demikian sombong dan memandang rendah.
"Kau hendak ke Thai-san? Mau apa ke sana? Apakah mau mengacau seperti sembilan ekor tikus tadi?"
"Jangan kau menyangka yang bukan-bukan. Aku datang hendak mengunjungi Paman Tan Beng San, menyampaikan hormatku dan salam dari Ayah. Ketua Thai-san-pai merupakan sahabat yang amat baik dari Ayahku, seperti saudara saja, masa aku hendak mengacau, bagaimana caranya? Aku tidak becus apa-apa."
Pemuda itu tersenyum, agak berkurang marahnya. "Kau anak siapa, sih? Gampang saja mengaku-aku sahabat Ketua Thai-san-pai."
Mengkal bukan main hati Kun Hong. Bocah ini terlalu sekali, terlalu memandang rendah kepadanya. Ia segera menjawab, "Jelek-jelek aku ini adalah orang Hoa-san-pai."
Pemuda itu mendengus, "Siapa yang tidak tahu? Dua orang gadis itu keponakanmu, jika mereka anak Hoa-san-pai, kau pun tentulah orang Hoa-san-pai. Anehnya kau tidak belajar silat, malah belajar menjadi kutu buku dan menjadi sombong."
"Tidak sesombong engkau! Padahal kau hanya anak murid Thai-san-pai biasa saja, biar pun kepandaianmu tinggi. Hemmm, hendak kulihat nanti apa kata Paman Tan Beng San kalau mendengar tentang sepak terjang muridnya seperti kau ini!”
Pemuda itu nampak terkejut sekali, terbelalak memandang Kun Hong. "Hee! Apa kau mau mengadu kepada... Ketua Thai-san-pai tentang aku? Siapa sih kau berani berbuat begitu? Siapa ayahmu?"
"Ayah hanyalah Ketua Hoa-san-pai."
Pemuda itu kelihatan makin kaget. Ia tak menyembunyikan kekagetannya saat bertanya, "Apa? Kau... kau anak dari... Kwa Tin Siong Lo-enghiong, yang berjuluk Hoa-san It-kiam, ketua dari Hoa-san-pai?"
Kun Hong merasa dadanya mengembung. Mungkin kalau orang lain yang bersikap begini, dia akan merendahkan diri, lahir batin. Akan tetapi terhadap pemuda ini, benar-benar sikapnya membuat ia merasa bangga.
"Betul, Kwa Tin Siong adalah ayahku, karena itu aku hendak menjumpai Paman Tan Beng San di Thai-san."
Pemuda itu semakin panik. "Jadi kau... kau hendak mengadukan aku kepada... kepada… pamanmu itu?"
"Hemm, kau maksud gurumu? Bukankah kau ini anak murid Thai-san-pai dan kau menjadi murid Paman Tan Beng San?"
"Betul," suara pemuda itu sekarang terdengar perlahan dan lemah, mukanya menunduk. "Kau akan mengadu kepada Suhu tentang apa?"
"Tentang apa lagi? Tentang kesombonganmu, tentang sikapmu terhadap aku, tentang..." Tanpa terasa Kun Hong mengusap kedua pipinya, seakan-akan masih terasa gaplokan di pipinya.
Pemuda itu mengangkat muka memandang. "Ah, kau mau mengadukan bahwa aku telah menampar pipimu?"
"Hemmm, mungkin juga. Dan tentang kesombonganmu yang tidak mau membagi kamar, tentang sikapmu yang takabur. Tidak patut kau menjadi murid seorang pendekar perkasa seperti Paman Tan Beng San."
"Apakah kau pernah bertemu dengan dia?"
"Belum, akan tetapi kalau Paman mendengar bahwa aku anak Kwa Tin Siong, kiraku dia akan percaya."
Hening sejenak, pemuda itu duduk di atas rumput, tangannya mencabuti rumput, nampak bingung sehingga diam-diam Kun Hong tersenyum dengan puas. Rasakan kau sekarang anak manja. Kau ketakutan sekarang!
Pemuda itu kemudian mengangkat mukanya memandang Kun Hong, berkata perlahan dan dengan memohon, "Kuharap kau tidak akan menceritakan hal begini kepada Suhu!"
Kun Hong tersenyum mengejek. Kepalanya dikedikkan, bukan main girang hatinya akan kemenangan ini.
"Mengapa tidak? Orang seperti kau ini memang patut diberi hajaran, biarlah kulihat nanti betapa Paman Tan Beng San akan memaki, mungkin memukulmu. Ha-ha-ha!"
Kun Hong membereskan bungkusan, siap untuk melanjutkan perjalanan.
"Kakak yang baik..., jangan kau adukan aku..."
Makin girang hati Kun Hong. Ia mencibirkan bibirnya, membuang muka seperti orang tak peduli. Namun aneh sekali, dadanya berdebar saking girangnya. Huh, baru sekarang kau menyebutku kakak yang baik, pikirnya. Heran bukan main akan dirinya sendiri. Kenapa sekarang kebenciannya terhadap pemuda itu lenyap seperti awan tipis dihembus angin?
Akan tetapi mulutnya hanya mendengus, "Huhh...!"
"Kakak yang baik, aku... aku minta maaf kepadamu. Kalau kau suka, nih... kau boleh tampar pipiku sebagai pembalasan..."
Kun Hong menoleh dan melihat pemuda itu mengajukan mukanya, memberikan pipinya yang putih halus itu untuk ditampar. Kembali Kun Hong menjadi heran. Kalau tadinya ia ingin sekali menampar muka bocah ini, sekarang mendadak ia menjadi tidak tega dan penyesalan serta permohonan maaf bocah ini sudah lebih dari cukup, sudah menebus sakit hatinya, habislah yang sudah-sudah, tak teringat lagi.
"Aku bukan orang yang suka menampar muka orang!" Ia masih memaksa diri berkata ketus.
Pemuda itu memandang penuh pertanyaan. "Jadi... kau masih tetap hendak melaporkan aku...?"
"Hemmm..." Kun Hong pura-pura merasa ragu.
Akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.
"Twako (Kakak) yang baik, kau benar-benar sudi memaafkan aku? Tidak mendendam lagi?"
"Hemmm, aku bukanlah orang yang suka menaruh dendam dan tentang maaf, ehhh... sebetulnya, ehhh... tidak ada apa-apa yang harus dimaafkan."
Kun Hong memaki dirinya sendiri. Mengapa hati ini begini lemah? Hemm, keenakan benar bocah ini!
Pemuda itu dengan girang kemudian menyambar tangan Kun Hong, akan tetapi segera dilepaskannya kembali, bagaikan sikap seorang anak kecil yang kegirangan akan tetapi malu-malu.
"Ahh, Twako yang baik, terima kasih. Kau tentu takkan melaporkan aku kepada... Suhu, bukan?"
Mau tak mau Kun Hong tertawa juga, walau pun hanya tertawa ditahan. Sikap bocah ini mengingatkan ia akan sikap Li Eng. Hemm, setelah dilihat dari dekat, pemuda ini nampak benar-benar masih bocah. Heran sekali, kenapa sedemikian tinggi ilmu silatnya.
"Tidak, siapa hendak melapor? Aku bukan seorang yang panjang mulut."
"Aduh, terima kasih. Kau berjanji?"
"Janji!"
"Sumpah?"
Kun Hong cemberut. "Janji seorang laki-laki lebih berharga dari nyawa. Selama hidup aku tak pernah bersumpah!"
"Ahh, Twako, harap jangan marah. Aku percaya kepadamu!"
Tiba-tiba ia melompat ke atas dan kelihatan girang sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang amat tajam itu bersinar-sinar. Kun Hong melongo. Bukan main tampannya anak ini, pikirnya. Tak mungkin orang bisa benci kepadanya. Akan tetapi kenapa sebelum ini dia amat benci, ya amat membencinya sehingga ingin dia memukulnya? Ia benar-benar tidak mengerti.
"Ehh, kau tadi bilang siapa namamu, Twako?"
"Aku tidak pernah bilang siapa namaku."
"Ahh, ya. Aku yang lupa. Siapa sih namamu, Twako? Kau tentu she Kwa, dan namamu siapa?"
"Hemm, kau lebih muda. Kau harus memperkenalkan lebih dulu."
Pemuda itu tertawa. Makin tampan wajahnya pada waktu tertawa. "Namaku Cui Bi. Nah, sekarang katakan, siapa namamu, Twako?"
"Namaku Kun Hong."
"Kwa Kun Hong. Hemm, kalau begitu kau kupanggil Hong-ko (Kakak Hong)."
Sejenak mereka diam. Nama pemuda itu sama sekali tidak menarik perhatian Kun Hong. Dia lebih tertarik oleh gerak-gerik pemuda yang lincah jenaka dan gembira ini.
"Hong-ko, kedua orang keponakanmu itu lenyap. Ke manakah mereka?"
"Siapa tahu mereka di mana? Yang menculik mereka adalah Song-bun-kwi, aku pernah mendengar sendiri waktu iblis itu mengaku di depan para pengawal istana. Karena itu aku hendak minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk menolong mereka."
Pemuda itu nampak terkejut sekali. "Song-bun-kwi...? Ah, sudah kuduga...! Celaka, dia itu lihai sekali... apakah kau betul-betul telah bertemu dengan Song-bun-kwi?"
"Siapa membohong padamu? Aku melihat sendiri Song-bun-kwi mengaku di depan para pengawal istana, di tempat kediaman Ngo-lian-kauw, kemudian Song-bun-kwi dikeroyok oleh para pengawal, dibantu oleh Toat-beng Yok-mo dan Ngo-lian Kauwcu. Song-bun-kwi lalu lari sambil menyeret aku, dan ia bertemu dengan iblis yang bernama Siauw-ong-kwi. Mereka kemudian bertempur dan aku lari lalu... bertemu dengan kau."
Cui Bi pemuda itu menggeleng-geleng kepala, nampak keheranan sekali.
"Aneh benar, Hong-ko. Kau putera Ketua Hoa-san-pai, tetapi tidak pandai silat. Kau tidak pandai silat, namun bertemu dengan tokoh-tokoh jahat seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, Ngo-lian Kauwcu dan lain-lain. Hebat!" Pemuda ini menggeleng-geleng kepala dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan bunyi berdecak tanda bahwa dia benar-benar keheranan.
Kun Hong tiada hentinya memandangi wajah pemuda ini, makin dipandang ia pun makin kagum. Pemuda ini benar-benar tampan dan lincah. Ahhh, alangkah cocoknya dengan Li Eng!
"Hong-ko, apakah selama ini kau melakukan perjalanan dengan dua orang keponakanmu itu? Siapa sih mereka itu? Siapa saja nama mereka? Aku ingin sekali berkenalan dengan mereka."
Kembali ada rasa tidak enak di hati Kun Hong. Teringat dia akan sikap pemuda ini yang agaknya mata keranjang! Hemm, perlu diperkenalkan supaya pemuda ini tahu anak siapa mereka itu sehingga tidak akan berani main-main.
"Yang seorang bernama Kui Li Eng, anak Paman Kui Lok dan Bibi Thio Bwee. Seorang lagi bernama Thio Hui Cu, anak Paman Thio Ki dan Bibi Lee Giok."
Wajah Cui Bi makin berseri, "Kau maksudkan Bibi Lee Giok? Bukankah itu bibi guruku, murid dari Sukong Cia Hui Gan?"
"Betul, karena itu kau tidak boleh main-main."
Cui Bi mengerling dan memainkan bibirnya, setengah tersenyum ketika berkata, agaknya sengaja memanaskan hati, "Hong-ko, apakah... apakah mereka itu... ehh, cantik jelita?"
Merah wajah Kun Hong dan kembali hatinya tak sedap rasanya. Ia memandang tajam dan membentak, "Kau tanya-tanya mau apa sih?"
Cui Bi tertawa. "Ahh, tanya saja apa salahnya? Hong-ko, engkau mengadakan perjalanan bertiga saja dengan mereka. Hemmm, senang sekali, ya?"
"Kau bilang apa?!" Kun Hong mendelik marah.
"Hisss, jangan marah, Twako. Aku hanya main-main. Kok engkau gampang sekali marah. Pemarah benar kau, ya?"
"Siapa suruh kau bercakap-cakap tidak karuan?"
"Twako, bukanlah menggirangkan hati kalau mendengar bahwa aku mempunyai saudara-saudara seperguruan? Mareka itu, apa lagi... Nona Hui Cu itu, terhitung masih saudara seperguruan denganku karena ia pun cucu murid dari kakek guruku, bukan? Nah, sudah sepatutnya kalau aku ingin mendengar tentang diri mereka. Katakanlah, apakah mereka itu cantik? Bagaimana kepandaian mereka?"
Diam-diam Kun Hong harus membenarkan kata-kata ini. Pula, bocah masih sebegini kecil, masih kekanak-kanakan, masa mempunyai pikiran yang bukan-bukan?
"Tunggu saja, kalau kau sudah bertemu dengan Li Eng. Hemmm, pasti kau takkan bisa bicara main-main. Kau akan kalah bicara dengan dia."
"Cantik benarkah dia?"
"Cantik, seperti bidadari, seperti... seperti bunga mawar hutan."
Cui Bi tertawa geli. "Aha, kiranya kau pria yang amat romantis, Twako. Pintar mengambil perumpamaan. Mengapa kau bilang dia seperti bunga mawar hutan?"
Merah wajah Kun Hong. Bocah ini benar-benar menggemaskan, kadang-kadang dia kalah bicara dengannya, selalu kena goda. Benar-benar harus bertemu dengan Li Eng, baru tahu rasa kau, pikirnya.
"Dia tidak hanya cantik, namun juga jenaka, gembira, lincah dan pandai bicara, sifat-sifat liar menarik yang ada pada bunga mawar hutan."
"Aih-aih... hebat sekali. Dan kepandaiannya?"
"Wah, jangan ditanya soal kepandaiannya. Ilmu silatnya hebat sekali. Dialah satu-satunya orang yang paling pandai tentang ilmu silat Hoa-san-pai pada saat ini."
Cui Bi melengak, suaranya tidak main-main lagi ketika dia bertanya, "Aneh sekali, Twako. Bukankah ayahmu yang terpandai?"
Kun Hong menggeleng kepala. "Bukan, yang terpandai adalah ayah bunda Li Eng itulah. Mereka telah bertemu dengan Sukong Lian Ti Tojin yang telah memiliki dan mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai yang asli dan mengangkat mereka sebagai murid. Li Eng mewarisinya dari ayah bundanya. Lihainya bukan main. Kau akan kalah segala-galanya dengan dia."
Aneh benar. Pemuda itu kelihatan penasaran.
"Hemm, hemm... ingin aku bertemu dengannya dan mencoba-coba!"
Pada saat ia menoleh dan bertemu pandang dengan Kun Hong yang memandang tajam penuh selidik, ia tersenyum lagi, lenyap wajah bersungguh-sungguh tadi dan ia bertanya, "Dan bagaimana dengan... Nona Hui Cu, saudara seperguruanku itu? Apakah dia juga cantik dan pandai? Seperti... bunga apakah dia?"
"Dia? Hemmm, dia seperti bunga seruni, alim pendiam, serius dan pandangannya jauh, pikirannya luas dan cerdik. Tentang ilmu silat, dia kalah oleh Li Eng, akan tetapi dia pun lihai karena selain menerima pelajaran ilmu silat Hoa-sai-pai, dia pun sudah mempelajari ilmu pedang dari ibunya."
"Heee, kalau begitu ilmu pedangnya tentu sama dengan ilmu pedang Subo (Ibu Guru). Wah-wah-wah, dan kau selama ini melakukan perjalanan dengan dua orang bidadari? Hemm, kau pamannya, tapi masih begini muda... agaknya kau dan mereka tidak banyak selisih usianya, bukan?"
"Hush, kau bicara apa? Aku bukan laki-laki seperti kau!"
"Betulkah?" Cui Bi mengerling dengan sikap menggoda dan tidak percaya.
"Sudahlah. Hatiku gelisah mengingat nasib mereka, kau hanya bicara main-main saja."
Agaknya pemuda itu baru ingat akan hal ini. "Ah, betul juga. Hayo kita cepat-cepat pergi ke Thai-san menjumpai Suhu. Kalau Suhu turun tangan, jangankan baru Song-bun-kwi, biar ada sepuluh Song-bun-kwi tak perlu takut lagi!"
Mereka lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Diam-diam Kun Hong mendapat kesan aneh akan diri pemuda di sampingnya ini. Sombong, sudah jelas. Ucapan terakhir tentang suhu-nya saja amat sombong. Binal, seperti kuda liar. Gembira dan jenaka, hampir sama dengan Li Eng. Kadang-kadang mendatangkan rasa suka, kadang-kadang menimbulkan kegemasan yang luar biasa.
Pemuda yang aneh, pikirnya. Akan tetapi Pamannya Tan Beng San itu, kabarnya adalah seorang Raja Pedang, seorang sakti. Seorang sakti tentu aneh dan tidak mengherankan kalau muridnya pun aneh. Hanya saja, masih begini muda...!
Mereka berhenti istirahat di sebuah hutan. Hari itu sangat terik. Sudah tiga hari mereka melakukan perjalanan dan selalu bermalam di hutan. Malam tadi tak dapat tidur karena banyak sekali nyamuk di hutan itu. Karena kurang tidur, hari ini baru berjalan setengah hari saja mereka sudah lelah dan beristirahat di situ.
Namun kegembiraan dan kejenakaan Cui Bi banyak menolong menggembirakan suasana. Pandai benar pemuda ini bicara, dan selalu ada saja yang dipercakapkan. Pandai pula dia memancing-mancing sehingga banyak Kun Hong bercerita tentang dirinya, walau pun ia berhasil menyembunyikan segala kepandaian silat yang pernah dipelajarinya. Tentu saja Kun Hong tidak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa sedikit banyak dia mengerti ilmu silat. "Aku hanya mempelajari teorinya, tidak suka mempelajari prakteknya. Ayah tidak membolehkan," demikian katanya.
"Hong-ko, betul-betulkah kau sama sekali tidak bisa mainkan ilmu silat?" sambil duduk mengaso di bawah pohon yang teduh, pemuda itu bertanya.
Kun Hong hanya menggelengkan kepala, menguap dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, mencoba untuk tidur. Melihat kawannya ini lelah benar, Cui Bi tidak mau mengganggu lebih jauh lagi dan ia pun menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang berdekatan. Angin semilir menggerakkan daun-daun pohon, menimbulkan suara yang berirama dan mendatangkan hawa yang nyaman, membuat kedua orang muda itu terkantuk-kantuk dan tidur ayam. Mendadak terdengar suara keras,
"Nah, inilah mereka!"
Kun Hong dan Cui Bi terkejut dan membuka mata. Tiba-tiba melayang sebuah benda di dekat kedua orang muda itu, terdengar ledakan keras dan asap tebal memenuhi tempat itu.
"Celaka, Hong-ko... awas...!" terdengar suara Cui Bi dan selanjutnya sunyi.
Kun Hong mencium bau yang amat harum menyengat hidung. Cepat ia menekan hawa murni dari pusar ke atas dan mendorong keluar asap yang sedikit memasuki dadanya, kemudian dengan pengerahan tenaga murni ini ia dapat menahan napas dan terhuyung-huyung menghampiri Cui Bi. Dilihatnya Cui Bi bergerak lemah, merangkak hendak pergi dari daerah berasap.
Melihat keadaan pemuda itu, Kun Hong cepat menangkap tangannya dan diseret, dibawa lari ke tempat bersih. Untung bahwa asap itu sebentar saja lenyap, terbawa angin yang bertiup agak kencang. Akan tetapi dengan lemas Cui Bi menjatuhkan tubuhnya di atas tanah ketika Kun Hong melepaskan tangannya. Kun Hong tidak apa-apa, dan ia amat kuatir melihat keadaan Cui Bi yang agaknya jatuh pingsan itu. Ia berdiri dan menoleh ke belakang. Alangkah kagetnya ketika ia melihat tiga orang berdiri di situ.
Seorang adalah Kang Houw, orang tertua dari Lam-thian Si-houw yang gemuk pendek bermuka kanak-kanak. Orang kedua adalah seorang hwesio tinggi kurus berkepala gundul licin dan beralis tebal sampai hampir menutupi kedua matanya, dan orang ke tiga adalah Toat-beng Yok-mo sendiri!
Kun Hong menjadi gelisah dan gugup. Jelas bahwa kedatangan tiga orang ini tidak akan mendatangkan kebaikan, buktinya datang-datang mereka lantas menyerang dengan obat peledak dengan racun memabukkan, sehingga Cui Bi yang boleh ia harapkan akan dapat melawan mereka ini sekarang pingsan dan tidak berdaya.
Tentu saja Kun Hong tidak tahu bahwa Cui Bi hanya sebentar saja nanar. llmu lweekang pemuda ini juga sudah tinggi sekali, maka sebentar saja ia bisa mendorong asap beracun itu dari tubuhnya, keluar dan ia sudah tidak apa-apa lagi...