CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
RAJAWALI EMAS JILID 27
Kun Hong menggigit bibir, kemudian menekan debar jantungnya dan menjawab, suaranya bersungguh-sungguh, "Bi-moi, aku suka kepadamu, aku suka sekali kepadamu. Entah mengapa, dahulu ketika kau menampar pipiku dan merampas pedangku, aku benci sekali kepadamu. Aku benci dan selalu mendongkol kepadamu. Setelah itu aku terheran sendiri mengetahui bahwa kebencian dan kemarahanku kepadamu itu bukan karena pribadimu, melainkan karena aku merasa bahwa kau tidak suka kepadaku! Aku tidak senang karena kau tidak suka padaku, begitu perkiraanku dahulu. Setelah kita saling jumpa kembali, dan kau... kelihatan suka kepadaku, tidak membenciku, malah membelaku, aku... ahh, sejak itu lenyap semua kebencianku kepadamu, menjadi suka sekali. Ketika kau pergi, ahh... memalukan sekali, aku merasa rindu, ingin bertemu, ingin berdekatan. Kuanggap kau sebagai sahabat yang luar biasa, entah mengapa, rasa sayang memenuhi hatiku. Setelah sekarang ternyata kau seorang wanita, ahhh... tak tahu aku, aku bingung, Moi-moi."
Bulan bersembunyi di balik awan sehingga Kun Hong tidak melihat betapa mata gadis itu menjadi basah air mata, tapi mulut gadis itu tersenyum bahagia.
"Hong-ko, katakan terus terang, apakah kau sekarang, setelah melihat bahwa sahabatmu ini seorang wanita, masih sayang kepadaku?"
"Ahh, soal itu... itu... ahh, mana aku berani begitu kurang ajar, Moi-moi? Mana aku berani menyatakan hal demikian kurang ajar? Kau adalah puterinya Paman Tan Beng San, kau berkepandaian tinggi, kau cantik jelita, sedangkan aku..."
"Kau seorang pemuda luar biasa, Hong-ko, Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang seperti kau. Kau hebat, kau mengagumkan hatiku dan aku... aku amat suka kepadamu, Hong-ko. Hanya sayang..."
"Sayang... apakah, Moi-moi?"
"Hong-ko, apakah kau benar-benar tidak mengerti ilmu silat? Enci Hui Cu dan Enci Li Eng bercerita banyak tentang kau, katanya kau mengerti banyak teori ilmu silat, tetapi tidak pernah melatihnya. Betulkah?"
"Hemm, agaknya betul begitu."
"Kalau begitu, mudah saja kau berlatih silat. Kau berbakat baik sekali. Aku yakin, apa bila kau sudah berlatih, aku sendiri pun tak akan mampu melawanmu!" Cui Bi tampak gembira sekali.
"Sstttt...!" Tiba-tiba Kun Hong berdiri dan menoleh. Cui Bi juga menoleh dan masih dapat melihat bayangan orang berkelebat cepat sekali, menghilang di dalam gelap.
"Ada orang...," kata Cui Bi, terheran-heran mengapa ia kalah dulu oleh Kun Hong melihat orang itu tadi.
Kun Hong juga sadar bahwa tanpa terasa dia telah memperlihatkan kelihaian matanya, maka cepat-cepat ia berkata, "Aku kebetulan menengok dan melihat bayangannya. Adik Cui Bi, lebih baik kita berpisah, biarlah besok masih banyak waktu bercakap-cakap. Tidak baik orang melihat kita bicara berdua di sini."
Cui Bi mengangguk. "Dan... Hong-ko, apakah kau masih tetap bersikeras hendak pergi meninggalkan aku?"
"Tidak, tidak nanti!" kata Kun Hong.
"Selamanya?" desak Cui Bi.
Makin berdebar hati Kun Hong, apa lagi melihat gadis itu berdiri amat dekat. Tanpa terasa lagi ia pun memegang kedua tangan gadis itu, ditekannya erat-erat untuk beberapa detik sambil berkata, "Selamanya tidak akan kutinggalkan kau..."
Begitu Kun Hong melepaskan pegangan tangannya, gadis itu lari memasuki pondoknya, meninggalkan suara keluhan panjang, setengah tertawa setengah menangis. Untuk beberapa menit Kun Hong berdiri mematung di tempat itu, lalu perlahan berjalan pulang ke pondoknya dengan wajah berseri-seri. Wajahnya berubah dan menjadi merah ketika dia memasuki pondok. Dia melihat Kong Bu sudah berbaring di atas dipan sambil memandang kepadanya dengan tersenyum.
"Kau sudah pulang...?" Kun Hong bertanya untuk menyembunyikan kegugupannya.
Kong Bu tersenyum lebar, "Sudah semenjak tadi aku menantimu. Ke manakah kau pergi, Saudara Kun Hong?"
"Aku... aku pergi buang air ke anak sungai di sana..."
"Ohh, begitukah?"
Kun Hong tak mau banyak bicara lagi dan segera merebahkan diri di atas dipan yang lain, lalu pura-pura tidur. Padahal sampai jauh tengah malam ia tidak dapat tidur. Wajah yang cantik itu terbayang-bayang terus di depan matanya. Lewat tengah malam barulah dapat tidur.
Pagi-pagi sekali Kun Hong telah terbangun akibat mendengar suara orang di luar pondok. Ketika ia bangkit duduk, ia tidak melihat lagi Kong Bu, maka ia segera memburu keluar. Tersipu-sipu pemuda ini ketika melihat Cui Bi sudah berada di luar dengan pakaian pria. Ia tidak jadi keluar dan berhenti di belakang daun pintu. Ia mendengar Cui Bi berkata,
"Kalau kau tidak melayaninya dan mengalahkannya, dia akan selalu memandang rendah kepadamu, Bu-ko."
"Aihh, kau ini ada-ada saja. Bagaimana kalau terlihat oleh seorang tamu?"
"Tidak mungkin," jawab Cui Bi, "aku yang akan membawa kalian ke tempat rahasia. Kau ikutlah."
Kong Bu mengomel tidak jelas dan agaknya ragu-ragu, akan tetapi mereka lalu berjalan meninggalkan pondok. Kun Hong tertarik sekali, lalu diam-diam ia mengintai dan setelah dua orang itu pergi jauh, ia cepat menyelinap keluar dan mengikuti dari belakang. Udara amat dingin dan keadaan masih agak gelap, memudahkan ia mengikuti mereka itu. Dua orang itu berhenti sebentar di depan pondok ke dua di mana Li Eng dan Hui Cu telah menunggu. Empat orang muda itu lalu berjalan cepat ke arah utara, menjauhi kelompok pondok para tamu.
Kun Hong makin terheran-heran dan diam-diam ia terus mengikuti mereka. Ia melihat Cui Bi memimpin perjalanan, memasuki hutan. Heran betul ia melihat cara gadis itu membawa teman-temannya pergi. Pertama-tama masuk hutan, baru lewat seratus meter membelok ke kanan dan... keluar lagi dari hutan, lalu masuk lagi dan keluar lagi dari sebelah kiri. Kun Hong amat cerdik. Ia tadi sudah amat curiga ketika Cui Bi bicara tentang tempat rahasia, maka diam-diam ia menaruh perhatian dan selalu mengikuti jejak mereka. Karena perhatiannya itu maka ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu selalu berbelok sesudah mereka melewati sembilan buah pohon besar.
Setelah keluar masuk hutan sembilan kali, sampailah mereka di tempat terbuka, sebuah padang rumput yang luas. Cui Bi dan teman-temannya berhenti. Kun Hong juga berhenti tak jauh dari situ dan bersembunyi dalam segerombol pohon kembang. Ia berjongkok dan mengintai. Ia melihat Cui Bi membuat guratan di atas tanah, guratan yang merupakan garis kurung selebar sepuluh meter. Hebat gadis ini. Dengan jari telunjuk ia menggurat dan rumput di atas tanah seperti dicabuti, tampak nyata garis lingkaran itu seperti dipacul saja!
"Nah, kalian sudah berjanji kalau bertemu kembali akan mengadu kepandaian. Keduanya penasaran dan hal ini harus dilakukan untuk menentukan siapa di antara kalian yang lebih pandai. Aku tidak suka melihat kalian saling mendendam dan penasaran. Sekarang kalian bertandinglah, lapangan luas tidak ada yang mengganggu. Siapa yang pedangnya jatuh terlempar atau badannya terdesak dari lingkaran ini dianggap kalah. Setuju?"
Tanpa menjawab Li Eng mengangguk dan mencabut pedangnya, dilintangkan di depan dada dan memandang tajam kepada Kong Bu. Pemuda ini mula-mula nampak ragu-ragu, lalu dengan sikap ‘apa boleh buat’ dari menggeleng-geleng kepala serta menarik napas panjang, mencabut keluar pula pedangnya dan memasang kuda-kuda.
Kun Hong terheran-heran dan mendongkol. Kenapa Cui Bi seolah-olah hendak mengadu keponakannya itu dengan Kong Bu?
Semua ini adalah gara-gara Cui Bi. Di dalam pondok, gadis ini menggoda Li Eng yang dikatakannya menyukai Kong Bu. Li Eng menyangkal, malah menyatakan bahwa ia akan menantang pemuda itu yang dijawab oleh Cui Bi dengan memanaskan hati. Katanya Li Eng tak akan menang. Demikianlah, dengan perantaraan Cui Bi lalu diajukan tantangan pertandingan ini.
Kun Hong tidak tahu akan kecerdikan Cui Bi yang bermata tajam itu. Gadis ini sudah dapat menduga bahwa kakak tirinya dan Li Eng ini saling mencinta, akan tetapi keduanya berkeras kepala menyangkal. Maka jalan satu-satunya untuk ‘saling menemukan’ mereka hanyalah memancing mereka bertanding!
Kedua orang muda itu sudah mulai menggerakkan pedang masing-masing dan terjadilah pertandingan pedang yang bukan main hebat dan serunya. Bayangan keduanya lenyap ditelan sinar pedang masing-masing dan sebentar kemudian terdengarlah angin bersuitan diseling suara nyaring kalau pedang itu bertemu mengeluarkan suara berdenting disusul muncratnya bunga api.
Tadinya Kun Hong hendak melompat keluar untuk mencegah, akan tetapi maksud hatinya ini ia batalkan. Ia melihat sesuatu yang aneh dalam pertandingan itu. Ia memasang mata dan memperhatikan.
Tidak salah lagi! Dua orang muda yang tampaknya bertempur mati-matian itu sebetulnya saling mengalah dan tidak rnenyerang dengan sungguh-sungguh! Li Eng menang cepat, kalau ia mau mempergunakan kecepatannya, kiranya ia akan dapat melakukan serangan maut yang akan membahayakan keselamatan Kong Bu. Sebaliknya, dengan ilmu pedang yang ganas, yaitu Yang-sin Kiam-sut, pemuda ini sebetulnya menang setingkat.
Dengan geli hatinya Kun Hong melihat betapa setiap kali Kong Bu melancarkan serangan ganas dan ujung pedangnya sudah mengancam lawan, akan tetapi tiba-tiba pedangnya itu menyeleweng ke samping, tidak melanjutkan serangan. Kalau hanya terjadi sekali dua kali saja hal ini kiranya tidak akan kentara, akan tetapi karena terlalu sering, jelas bahwa hal itu ia sengaja karena ia tidak mau melukai lawannya!
Demikian pula di pihak Li Eng. Kecepatan pedangnya pada saat ditangkis lawan, demikian hebat sehingga kalau ia mau, menurut penglihatan Kun Hong yang tajam, pedang itu bisa dilanjutkan untuk terus menusuk lawan, namun kerap kali Li Eng hanya menarik pedang yang tertangkis, sama sekali tidak mau mencelakai lawan.
Dua ratus jurus telah lewat dan agaknya sikap mengalah itu diketahui juga oleh keduanya, buktinya muka mereka menjadi merah akan tetapi sinar mata mereka berseri. Ketika Kun Hong melirik ke arah Cui Bi, gadis ini pun tertawa-tawa, hanya Hui Cu yang tidak setinggi itu tingkatnya, memandang penuh kekuatiran dan tentu saja berdoa untuk kemenangan Li Eng!
Kong Bu mulai mundur teratur dan Li Eng dengan girang mendesaknya. Memang maksud keduanya sama sekali tidak mau melukai lawan yang mereka ‘benci’, melainkan hendak mencari kemenangan dengan mendesak lawan mundur dari lingkaran atau memukul jatuh pedangnya.
Terdesaknya Kong Bu ini bukanlah pura-pura lagi, karena memang saking terus-menerus mengalah dan memang kalah dalam kegesitan, akhirnya Kong Bu yang terdesak. Hui Cu berseri mukanya akan tetapi Cui Bi mengerutkan kening.
Ia maklum bahwa kakak tirinya sebetulnya tidak kalah, kalau sampai keluar dari lingkaran, bukankah akan memalukan dia juga? Ia mengepal tangan menggigit bibir dan pada saat itu Kong Bu sudah tinggal selangkah lagi keluar dari lingkaran.
Li Eng gembira, mendesak dengan tusukan digetarkan yang mengancam leher terus ke pusar lawan. Kali ini mau tidak mau Kong Bu harus melompat keluar lingkaran!
"Tranggg!"
Kong Bu benar-benar keluar lingkaran, akan tetapi pedangnya secepat kilat menangkis dari atas ke bawah sambil mengerahkan tenaga sehingga pedang itu terlepas dari cekalan tangan Li Eng.
Kong Bu cepat mengambil pedang dan mengembalikan kepada Li Eng sambil berkata, "Aku menyerah kalah, aku keluar dari lingkaran. Hebat benar ilmu pedangmu, Nona."
Merah wajah Li Eng namun wajahnya berseri. Ia menerima pedang dan menjura berkata, "Bukan, akulah yang kalah. Pedangku terpukul jatuh."
Cui Bi bertepuk-tepuk tangan sambil menari-nari. "Hi-hi-hi, bagus... bagus! Kalian sudah saling mengalah, hi-hi-hi, bagus! Lenyaplah benci, muncullah perasaan suci!"
"Idihhh... kau... ceriwis...!"
Li Eng melompat dan mencubit bibir Cui Bi, namun sekali mengelak serangan ini luput. Li Eng lalu lari meninggalkan tempat itu.
"Eng-moi, tunggu...!" Hui Cu yang kuatir kalau-kalau adiknya itu marah-marah lalu segera mengejar.
"Heiii, kalian jangan pergi, nanti tersesat jalan. Tidak mudah jalan pulang!" Cui Bi berseru.
Akan tetapi dua orang gadis Hoa-san-pai itu tidak mempedulikan seruannya dan terus berlari, Li Eng lebih dulu, dikejar Hui Cu.
"Biarlah, anak-anak nakal itu tidak kapok kalau belum kebingungan dan tersesat di sini. Hemmm, biar mereka melihat kelihaian jalan rahasia Thai-san-pai!" kata Cui Bi. "Jangan kuatir," katanya kepada Kong Bu, "nanti mereka akan kucari."
Setelah berkata demikian, Cui Bi menghampiri Kong Bu, menggandeng tangan pemuda itu diajak duduk dl bawah pohon yang besar, agak jauh dari tempat sembunyi Kun Hong. Pemuda ini kini hanya dapat memandang dari jauh akan tetapi tidak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dia hanya melihat mereka bercakap-cakap, kadang-kadang Cui Bi tertawa, kadang-kadang menggelengkan kepala dan kelihatan berduka.
Apakah yang dipercakapkan oleh dua orang muda itu?
"Hi-hi-hik Bu-koko, sekarang apakah kau mau menyangkal lagi? Jelas kau mengalah dan tidak tega melukai Enci Li Eng, itu hanya berarti bahwa kau sama sekali tidak membenci dia, sebaliknya kau... mencintanya. Nah, coba kalau berani menyangkal sekarang!" kata Cui Bi sambil tertawa-tawa menggoda.
Kong Bu menarik napas panjang. "Sudahlah, aku mengaku. Memang dia itu amat menarik hatiku, aku... aku kagum kepadanya."
"Katakanlah cinta, masa hanya kagum?" desak Cui Bi.
"Kau anak nakal! Ya, baiklah, aku cinta kepadanya. Akan tetapi, jangan kau kira aku tidak tahu bahwa kau pun mencinta... kutu buku itu! Hayo, coba kalau kau berani menyangkal setelah pertemuan kalian malam tadi."
Berubah merah wajah Cui Bi ketika dengan mata terbelalak dia memandang kakak tirinya. "Heee...?! Jadi bayangan itu... kaukah itu?"
Tiba-tiba saja Cui Bi menutupi muka dengan kedua tangan dan terdengar dia menangis terisak-isak.
Kong Bu kaget dan memegang tangan adik tirinya itu, "Eh, Bi-moi, kenapa kau menangis? Maafkan, aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, maafkan godaanku tadi."
Sambil menangis tersedu-sedu Cui Bi menggeleng-gelengkan kepala, "Tidak... kau tidak menggodaku... Bu-ko, memang aku... aku cinta kepadanya... tetapi, ahhh, bagaimana tak akan hancur hatiku karena aku dipaksa berjodoh dengan orang lain...?"
Saking sedih dan hancur hatinya Cui Bi menjatuhkan diri, menubruk Kong Bu kemudian menangis di atas dada kakak tirinya itu. Ayah dan ibunya hendak memaksa dia berjodoh dengan lain orang, dan sekarang hanya ada kakak tirinya ini yang menjadi satu-satunya orang yang kiranya dapat ia sambati, dapat ia mintai tolong.
"Tenanglah, Moi-moi, tenanglah... nanti di depan Ayah, aku pasti akan bilang untukmu..." Kong Bu dengan terharu mengusap-usap rambut kepala adiknya dan membiarkan gadis itu menangis dan menyembunyikan muka di atas dadanya.
Di tempat persembunyiannya, Kun Hong yang hanya dapat melihat adegan ini dari jauh tanpa dapat mendengar pembicaraan mereka, seketika menjadi pucat. Seluruh tubuhnya gemetar, kepalanya terasa berputar dan matanya berkunang-kunang. Hampir ia tak dapat mempercayai adegan yang dilihatnya.
Dua orang itu berpeluk-pelukan. Ahh, jahat benar cucu Song-bun-kwi, sejahat kakeknya. Dan keji benar Cui Bi, setelah malam tadi demikian mesra sikapnya. Hemm, gadis keji ini hendak mempermainkannya rupanya. Hati Kun Hong sakit sekali. Belum pernah selama hidupnya ia merasa sakit hati seperti ini. Kedua matanya yang berapi-api meneteskan dua butir air mata.
Kong Bu, kau keparat...! Sudah jelas bahwa kau berusaha menarik hati Li Eng, terang dalam pertandingan tadi kalian saling mengalah. Bahkan Cui Bi mengucapkan kata-kata menyindir tentang perasaan Kong Bu dan Li Eng. Tapi sekarang... ahh, kalian dua orang berhati binatang. Tak bermalu!
Hampir Kun Hong tak kuat menahan hatinya, hampir ia melompat dan menerjang mereka dengan kata-kata pedas. Akan tetapi dia menahan hatinya ketika melihat dua orang itu bangkit berdiri, berjalan bergandengan tangan sampai dekat tempat ia bersembunyi.
"Bu-ko, biar sekarang kususul Enci Li Eng dan Enci Hui Cu. Akan kubawa kalian semua menghadap Ayah."
Kong Bu hanya mengangguk. Cui Bi lalu lari dari tempat itu, tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon. Kun Hong yang sudah tak dapat menahan hatinya lagi, melompat keluar.
Kong Bu memandang kaget, "Ehh, Saudara Kun Hong, kau di sini?"
Kekagetan Kong Bu bukan hanya disebabkan munculnya Kun Hong yang tidak disangka-sangkanya itu, akan tetapi terutama sekali karena melihat pemuda ‘kutu buku’ ini beringas mukanya, matanya berapi-api dan tangannya memegang sebatang pedang yang sinarnya kemerahan.
Pemuda yang biasanya sopan santun dan lemah lembut ini kelihatannya bengis sekali. Wajahnya tersinar cahaya matahari pagi yang kini mulai menerobos dari celah-celah daun pohon.
"Kong Bu, cabut pedangmu!" tiba-tiba saja Kun Hong berkata, suaranya menggeledek tak seperti biasanya.
Kong Bu makin kaget dan heran.
"Ehh, apa maksudmu, Saudara Kun Hong?" tanyanya bingung.
"Jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah melihat semua perbuatanmu yang tak senonoh dengan... Nona Tan Cui Bi. Kau... kau manusia rendah! Kau memikat hati Li Eng dengan kepandaianmu, kau memperlihatkan sikap mengalah di dalam pertandingan sehingga dia jatuh dan mengira bahwa kau cinta kepadanya. Kiranya kau hanya mempermainkannya, diam-diam kau main gila dengan Nona Cui Bi! Hemmm, Kong Bu, aku seorang penyabar, akan tetapi kali ini kita harus mengadu nyawa! Bersiaplah!"
Melihat semua ini, melihat sikap menantang dari Kun Hong, melihat pula cara Kun Hong memegang pedang seperti orang memegang pisau dapur, mendadak Kong Bu tak dapat menahan gelak tawanya yang bergema di sekitar tempat itu.
"Keparat, tak usah mentertawakan! Kalau kau memang jantan, cabut pedangmu!" Makin panas hati Kun Hong, "Tak dapat aku membiarkan kau merusak hati Li Eng!"
"Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong. Hebat benar kau! Aku kagum melihat keberanianmu. Akan tetapi kenapa kalau aku merusak hati Nona Li Eng? Katakanlah saja aku merusak hatimu, kau anggap aku merampas Cui Bi darimu! Ha-ha-ha, apa kau kira aku tidak tahu akan pertemuanmu dengan Cui Bi malam tadi? Kau mencinta Cui Bi dan kini kau cemburu kepadaku."
Wajah Kun Hong menjadi merah sekali. "Hemm, apa lagi kalau sudah tahu akan hal itu, berarti makin jahatnya hatimu dan rendahnya Bi-moi."
"Tak boleh kau memaki Cui Bi!"
"Aku tidak memaki, kenyataan yang amat rendah membuktikan."
"Ehh, Kun Hong, kau makin menghina. Kau kira aku takut padamu?" Kong Bu mencabut pula pedangnya. "Mari, mari... kalau kau ingin main-main denganku, boleh!"
"Majulah, tak usah banyak cakap!" Kun Hong menantang.
Melihat betapa pemuda Hoa-san-pai itu memegang pedang dengan ujung pedang terseret di atas tanah, Kong Bu makin geli dan ia menggertak, "Awas pedang!"
Cepat seperti kilat menyambar pedangnya menusuk ke arah dada Kun Hong. Akan tetapi secepat itu pula dia menarik kembali pedangnya ketika melihat betapa Kun Hong sama sekali tidak melakukan gerakan untuk menangkis mau pun mengelak.
"Ehh, benar-benarkah kau hendak mengadu pedang denganku?"
"Siapa mau main-main denganmu?" jawab Kun Hong.
"Kenapa kau tidak menangkis atau mengelak?"
"Hemmm, pedangmu belum menyentuh bajuku, kau sudah ribut-ribut? Hayo seranglah, kalau kau memang laki-laki!"
Kong Bu kembali menggerakkan pedangnya, kali ini membacok ke arah leher lawannya itu. Ketika pedangnya tinggal beberapa sentimeter lagi dari leher Kun Hong dan kali ini juga Kun Hong tidak menangkis mau pun mengelak, Kong Bu terkejut sekali dan cepat merubah arah pedang sehingga membabat atas kepala Kun Hong.
Kun Hong tersenyum. Tentu saja dia sudah siap sedia dan dia dapat mengikuti gerakan pedang itu dengan baik sekali sehingga dia tidak perlu menangkis atau mengelak sebelum benar-benar dia terancam.
"Mengapa tidak jadi menyerang? Apakah kau takut?" ejeknya.
Kong Bu benar-benar kagum sekali. Belum pernah ia menemui seorang yang begini besar keberaniannya, menanti datangnya pedang dengan mata tidak berkedip sedikit pun.
"Hebat! Kau benar-benar gagah berani, Saudara Kun Hong. Biarlah tak perlu lebih lama lagi aku menggodamu."
Kong Bu menyimpan pedangnya. "Ketahuilah, kau yang gagah dan cerdik ini, kali ini kau seakan-akan buta karena cinta kasih mengeruhkan hati dan pikiranmu sehingga kau tidak melihat kenyataan bahwa apa yang kau lihat antara aku dan Cui Bi itu bukanlah hal yang perlu kau ributkan. Ketahuilah, dia dan aku adalah saudara tiri, kami sama-sama anak Ayah Tan Beng San, dia lahir dari Ibu Cia Li Cu dan aku dari Ibu Kwee Bi Goat. Kau tahu apa yang kami bicarakan tadi? Dia menangis karena cintanya kepadamu!"
Lemas seluruh sendi tulang di tubuh Kun Hong. Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya dan memegang lengan Kong Bu yang kuat, "Ahh, Saudaraku, aku benar-benar buta! Aku layak kau maki, layak kau pukul. Hemmm, orang macam aku ini mana ada harga untuk mencintanya?"
Kong Bu tertawa gembira. "Sudahlah, Saudara Kun Hong, tak perlu kau merendahkan diri. Salah mengerti ini sudah dapat dilenyapkan, itu bagus sekali. Tentang adikku Cui Bi, tak usah kau kuatir, dia benar-benar mencintamu. Hanya aku masih sangsi apakah cintamu kepadanya betul-betul sebesar perasaannya terhadapmu."
"Saudara Kong Bu," kata Kun Hong bernafsu. "Biarlah bumi dan langit menjadi saksi, dan dengarlah sumpahku bahwa aku mencinta Bi-moi sepenuh jiwaku dan aku rela berkorban nyawa untuknya!"
"Bagus! Aku menjadi saksi!"
"Jangan mau menang sendiri, Saudara Kong Bu. Sikapmu terhadap keponakanku Li Eng juga tidak berterus terang. Dahulu kau mengalah dan membiarkan dirimu ditawan, lalu tadi kau sengaja berlaku mengalah dalam pertandingan. Apa artinya? Seorang laki-laki sejati tidak akan ragu-ragu untuk menyatakan perasaannya secara jujur."
Merah muka Kong Bu, akan tetapi sambil tersenyum ia mengangkat dada berkata, "Kau telah memberi contoh. Aku pun bersumpah bahwa aku betul-betul mencinta Nona Kui Li Eng dengan sepenuh jiwaku."
Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan dan tertawa, "Bagus, bagus... sudah kudengar sumpah dua orang. Awas, aku menjadi saksi utama!"
Muncullah Hui Cu dari balik sebatang pohon. Gadis ini dengan wajah berseri-seri berkata sambil menoleh ke belakang. "Adik Eng, Adik Cui Bi, keluarlah, kenapa malu-malu kucing bersembunyi saja?"
Dengan muka merah dan ditundukkan, dua orang gadis itu membiarkan mereka tertarik keluar oleh Hui Cu. Kun Hong dan Kong Bu sangat terkejut dan tentu saja menjadi malu sekali, wajah mereka merah sampai ke telinga.
Kiranya tempat rahasia itu hebat sekali sehingga di tempat ini ada tiga orang gadis muncul tanpa mereka ketahui sama sekali! Tentu mereka bertiga tadi telah melihat dan sekaligus mendengar segala-galanya.
Terdengar Li Eng berkata malu-malu kepada Cui Bi sambil merangkul gadis berpakaian pria itu, "Adik Bi, maafkanlah aku..."
Apakah yang terjadi? Seperti telah kita ketahui, Cui Bi pergi menyusul Hui Cu dan Li Eng. Karena jalan rahasia itu memang sulit sekali, akhirnya Li Eng tersesat, malah Hui Cu yang mengejarnya juga tersasar sehingga dua orang gadis ini terpisah, makin lama makin jauh. Cui Bi yang mengenal jalan rahasia itu mengejar Li Eng dan... tanpa disadari oleh Li Eng sendiri, sebetulnya Li Eng telah mengambil jalan memutar kembali ke tempat semula.
Karena inilah maka tadi ia sempat menyaksikan, seperti juga Kun Hong, adegan mesra antara Cui Bi dan Kong Bu. Begitu melihat Cui Bi hendak mencarinya, Li Eng sengaja menunggu dan segera memaki setelah melihat Cui Bi muncul di depannya,
"Bagus, kau perempuan tak tahu malu! Kau mendorong-dorongku kepada Kong Bu, kau sendiri menyatakan cintamu kepada Paman Hong, akan tetapi apa yang kau lakukan tadi? Benar-benar tak tahu malu!"
Tentu saja Cui Bi kaget sekali. Akan tetapi dia segera dapat menduga apa yang menjadi sebabnya, maka ia tersenyum manis.
"Enci Li Eng, kemarahanmu ini malah menggirangkan hatiku, tanda bahwa rasa cemburu di hatimu ini membuktikan betapa besar cinta kasihmu kepada kakak tiriku Kong Bu."
"Kakak tiri? Apa maksudmu?"
"Dia putera Ayah, dari Ibu Kwee Bi Goat, tentu saja dia kakak tiriku. Nah, apa kau masih cemburu?"
Bukan main menyesal dan malunya hati Li Eng maka ia hanya bengong saja dan tidak membantah ketika Cui Bi menarik tangannya untuk menyusul Hui Cu. Setelah bertemu, mereka bertiga kembali ke tempat tadi melalui jalan rahasia yang sangat dekat sehingga mereka sempat menyaksikan keributan antara Kun Hong dan Kong Bu, bahkan sempat pula mendengar sumpah cinta kasih mereka. Kini tibalah giliran Hui Cu untuk menggoda mereka dan menyatakan kegembiraannya.
Pada pertemuan yang serba menggembirakan ini, Kun Hong agak gelisah melihat betapa wajah kekasihnya itu muram seperti matahari tertutup awan. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani untuk bertanya.
Di lain pihak, Cui Bi yang masih amat sungkan dan likat, segera berkata, "Sekarang tiba waktunya kita naik ke puncak menghadap Ayah. Hati-hati, jalan rahasia ini amat sulit, dan aku kuatir kalau-kalau perjalanan kita ini ada yang mengikuti. Kong Bu-koko, aku menjadi penunjuk jalan di depan dan biarlah kau jalan paling belakang sambil meneliti kalau-kalau ada musuh yang mengikuti perjalanan kita ke puncak."
"Adik Bi, apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan?" Kong Bu bertanya.
"Agaknya selama ini ada orang yang memata-matai kita. Malam itu..." Cui Bi melirik ke arah Kun Hong yang juga teringat akan bayangan semalam.
"Apakah itu bayanganmu Bu-koko?"
Kong Bu menggeleng kepala, wajahnya serius. "Aku hanya melihat dari jauh dari belakang pondok, mana bisa kau melihat bayanganku?"
"Hemm, agaknya orang lain. Mari, jangan membuang waktu," berkata Cui Bi yang segera memimpin perjalanan itu dengan hati-hati dan perlahan.
Jalan rahasia itu memang amat sukar. Kalau bukan orang Thai-san-pai, takkan mungkin dapat mencarinya. Jalan yang luas dihindari, akan tetapi gerombolan pohon yang sangat lebat malah dimasuki, semua ini memakai perhitungan, dan sebagai tanda-tanda hanyalah pohon-pohon yang tumbuh malang melintang tidak teratur di sekitar puncak.
Cui Bi membawa mereka menyusupi celah antara dua batang pohon yang berdampingan sehingga mereka hanya dapat bergerak maju dengan tubuh miring, melewati tetumbuhan penuh duri dan akhirnya mereka terhalang oleh sebuah rawa yang lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter.
Di atas rawa ini dipasangi jembatan bambu melintang, terdiri dari dua batang bambu yang disambung-sambung tanpa pegangan. Jembatan itu sempit dan kalau dilalui orang tentu memerlukan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Pendeknya, orang biasa takkan mampu melewati jembatan yang cukup panjang ini.
Akan tetapi, para muda itu terheran-heran melihat Cui Bi tidak mengajak menyeberangi rawa melalui jembatan itu, melainkan langsung turun ke dalam rawa!
"Ehh, ada jembatan mengapa menyeberang rawa yang airnya begitu kotor, dan siapa tahu kalau membuat kita tenggelam?" teriak Li Eng yang berjalan di belakang Cui Bi.
Cui Bi berhenti, menoleh dan tertawa. "Di antara seratus orang, tentu tak ada seorang pun yang tidak mengira bahwa perjalanan selanjutnya tentu melalui jembatan yang sukar ini. Akan tetapi ini hanya perangkap bagi musuh yang mencoba-coba memasuki jalan rahasia ini. Siapa yang menyeberang melalui bambu ini, akan tersesat jauh dan akan menghadapi bahaya yang hebat di sebelah sana. Sekarang ikutilah saja bekas jejak kakiku dan jangan sampai terpeleset!"
Dengan perlahan supaya dapat diikuti dengan seksama oleh kawan-kawannya, Cui Bi lalu melangkahkan kaki ke dalam rawa dan... kiranya di dekat permukaan air rawa yang hitam itu dipasangi patok-patok tertentu yang cukup lebar sebagai injakan kaki. Patok-patok ini dipasang sedemikian rupa sehingga hanya mereka yang telah hafal saja yang akan dapat mencarinya.
Cui Bi melangkah, ke kanan sembilan langkah, memutar ke kiri sembilan langkah, lurus sembilan langkah lalu membelok lagi ke kanan dan kemudian melalui bawah jembatan bambu itu, sama sekali tidak menyeberang, tapi menyusur sepanjang rawa itu memanjang ke kiri. Dilihat dari jauh, lima orang muda itu seakan-akan berjalan di atas air rawa! Sama sekali bukan seberang di mana jembatan itu berakhir yang dituju oleh Cui Bi, melainkan membelok dan lenyap di tikungan yang penuh dengan tetumbuhan liar.
Setelah melangkah sebanyak sembilan puluh sembilan langkah, mereka tiba di seberang sana dan meloncat ke daratan yang indah, penuh kembang dan rumput hijau.
"Kita berhenti di sini, di sebelah sana ada terowongan yang menuju ke puncak. Biarlah aku sendiri yang akan naik melapor kepada Ayah. Biasanya Ayah kalau hendak menemui para murid tentu keluar dari terowongan itu. Tak sembarang orang diperbolehkan melalui terowongan. Nah, kalian tunggu sebentar, aku segera kembali bersama Ayah."
Lin Eng, Hui Cu, Kun Hong dan Kong Bu terpaksa menanti di situ sungguh pun Kong Bu dan Li Eng yang keras hati itu tidak sabar dan tidak puas mengapa diadakan peraturan seperti ini. Mereka tentu saja tidak tahu betapa dulu Beng San mempunyai banyak sekali musuh-musuh yang sangat lihai, yang selalu berusaha menyerbu tempat tinggalnya untuk membalas dendam. Untuk menjaga keselamatan keluarganya, terpaksa pendekar ini lalu membuat tempat yang penuh rahasia ini.
Baru saja Cui Bi lenyap di sebuah tikungan, tiba-tiba Kun Hong yang kebetulan menengok ke belakang berseru, "Ada orang datang!"
Semua orang segera menengok dan cepat meloncat berdiri dari tempat duduk mereka di atas tanah. Benar saja, sesosok bayangan dengan gerakan yang gesit dan ringan sekali berloncatan dari patok ke patok, persis seperti yang mereka lakukan dengan hati-hati dan perlahan tadi.
"Wah, ia tentu mengikuti kita sejak tadi dan diam-diam memperhatikan jalan rahasia untuk menyeberangi rawa!" Kata Li Eng sambil siap untuk menghadapi lawan.
Empat orang muda ini maklum bahwa yang datang adalah seorang yang mempunyai ilmu meringankan tubuh hebat sekali. Kong Bu melompat ke dekat rawa.
"Dia lihai, biarlah aku menghadapinya!" dengan kata-kata demikian dia hendak mencegah kekasihnya itu berhadapan dengan lawan yang demikian lihainya.
Orang yang berloncatan itu tiba-tiba berhenti, agaknya menjadi ragu-ragu melihat bahwa orang-orang yang diikutinya itu ternyata berhenti dan telah melihatnya. Tetapi agaknya ia sudah merasa kepalang dan kini malah meloncat-loncat lagi dengan cekatan dan lebih cepat dari tadi.
Kedua lengannya berkembang ke kanan kiri, pakaian di tubuhnya berkibar, dipandang dari jauh seperti seekor burung besar. Kun Hong hampir berseru kaget karena dia mengenal bahwa langkah-langkah dan gerakan itu mirip betul dengan langkah ajaib Kim-tiauw-kun.
"Dia bukan musuh...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru. “Dia... dia Saudara Tiauw...!"
Memang benar dugaan gadis ini yang tak pernah dapat melupakan pemuda penolongnya itu sehingga dari jauh saja dia sudah mengenalnya. Bayangan yang datang berlompatan seperti terbang itu bukan lain adalah Sin Lee!
Akan tetapi seruan Hui Cu tidak berpengaruh bagi Kong Bu yang tidak mengenal pemuda itu. Dia membiarkan Sin Lee melakukan loncatan terakhir hingga berada di darat, lalu dia memapaki dan berkata, suaranya ketus,
"Siapa kau dan apa maksudmu mengikuti kami?"
Sin Lee adalah seorang pemuda yang berwatak kasar, juga jujur dan tidak pernah merasa takut terhadap siapa pun juga. Ia dapat merasakan ketusnya suara pemuda tampan yang menyambutnya, maka ia menjawab sama ketusnya, "Tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu sobat, perlu apa kau banyak bertanya?"
Lalu ia menoleh ke arah Hui Cu, mengangkat tangan memberi hormat pula kepada Kun Hong sambil berkata, "Maafkan aku, sengaja aku menyusul ke sini sebab aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Thai-san-pai."
Di sini sudah tidak ada Cui Bi dan tiga orang muda Hoa-san-pai itu termasuk tamu, tentu saja mereka tidak berhak melarang orang lain yang juga hendak bertemu dengan Ketua Thai-san-pai. Apa lagi Kun Hong dan dua orang keponakannya itu seperti orang kesima melihat betapa dua orang muda yang sama gagah sama tampan itu benar-benar mirip satu dengan yang lain!
Tetapi, Kong Bu yang merasa bahwa sebagai putera Ketua Thai-san-pai ia pun berhak melindungi kehormatan Thai-san-pai, segera membentak,
"Kau datang memata-matai kami. Kau mengikuti kami dengan diam-diam, perbuatanmu ini saja sudah cukup menyakinkan bahwa kau tentulah seorang jahat! Hayo mengaku kau siapa dan apa maksud kedatanganmu?"
"Saudara Kong Bu, dia bukan orang jahat!" serta merta Hui Cu membela, nada suaranya mengandung kemarahan. "Dialah yang menolong aku ketika kakekmu menculikku!"
Karena panas mendengar penolongnya dimaki, Hui Cu tak dapat mengendalikan hatinya dan sengaja ia mencela kakek Kong Bu. Hal ini tentu saja membuat Kong Bu makin tak senang kepada pendatang ini.
Hemmm, kiranya inilah orangnya yang oleh kakeknya dianggap lihai dan yang ternyata berhasil merampas Hui Cu dari tangan kakeknya. Ia memandang tajam, sinar matanya berapi-api.
Ada pun Sin Lee ketika mendengar pembelaan Hui Cu, diam-diam merasa puas sekali, kemudian dia bertanya, suaranya mengandung ejekan, "Sobat, kau bersikap seolah-olah kau raja tempat ini. Apa hubunganmu dengan Ketua Thai-san-pai dan betulkah kata-kata Nona Hui Cu bahwa kau cucu iblis tua Song-bun-kwi?"
Segera Kong Bu memandang dengan mata melotot, "Keparat, tutup mulutmu yang kotor! Song-bun-kwi memang kakekku dan Ketua Thai-san-pai ayahku, kau mau apa?"
"Bagus! Kiranya kau si keparat, keturunan para pembunuh ayahku! Hemm, setelah kita bertemu di tempat ini, jangan harap kau mampu lepas dari tanganku!" Sin Lee mencabut pedangnya dan memandang penuh kebencian.
"Ho-ho-ho, manusia sombong, bukan aku yang akan roboh, melainkan kau yang akan menggeletak tak bernyawa di depan kakiku! Hayo, jika kau memang jantan katakan siapa namamu dan mengenai kematian ayahmu. Memang entah sudah berapa ratus manusia jahat yang tewas di tangan Ayah dan kakekku, agaknya termasuk ayahmu itulah!" Kong Bu mengejek dan mencabut pula pedangnya.
Sin Lee menggerakkan pedangnya, lalu menerjang sambil berkata, "Ibuku Kwa Hong dan ayahku terbunuh oleh kakekmu. Mampuslah kau!"
Terjangan ini hebat sekali, seperti seekor burung menyerbu. Akan tetapi Kong Bu sudah waspada. Pemuda ini sudah mengerti bahwa kini ia menghadapi lawan yang tidak boleh dipandang ringan. Cepat ia mengeluarkan suara melengking dan pedangnya menangkis, tubuhnya menggeliat dan tiba-tiba ia sudah balas menyerang tidak kalah cepatnya. Akan tetapi, serangan yang biasanya sukar dihindarkan oleh lawan ini ternyata dengan mudah dielakkan oleh Sin Lee yang menggeser kakinya secara aneh.
Segera dua orang muda ini bertanding dengan hebat sekali. Pedang di tangan mereka bersuitan, mengeluarkan angin yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin. Mata pedang menyambar-nyambar mencari mangsa dan di antara mereka terdengar lengking-lengking saling bersahut, suara yang menggetarkan jantung karena suara ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam.
Melihat ‘kekasihnya’ bertempur, Li Eng sudah mencabut pedangnya pula, siap untuk maju membantu. Akan tetapi Hui Cu menyentuh lengannya dan ketika Li Eng menengok, dia terheran melihat bahwa Hui Cu menangis!
"Adik Eng..., jangan... jangan serang dia... dia itu penolongku..."
Li Eng bingung sekali. "Tapi... tapi... pertandingan ini begini hebat, salah seorang tentu akan celaka..." katanya penuh kekuatiran. Tentu saja kuatir kalau-kalau Kong Bu yang terluka.
Sementara itu, Kun Hong sangat tertarik, terheran-heran melihat gerakan pedang serta gerakan kaki yang dimainkan Sin Lee. Itulah Kim-tiauw-kun, pikirnya. Kim-tiauw-kun yang tidak sempurna dan tidak lengkap namun dilengkapi dengan ilmu silat lain yang aneh.
Melihat cara dua orang pemuda itu bertanding, Kun Hong segera maklum bahwa dengan pedangnya dia sanggup memisahkan mereka, sanggup melerai. Akan tetapi karena dia melihat bahwa keduanya setingkat dan seimbang kepandaiannya, dia tidak terburu-buru melerai. Dia ingin melihat lebih lama lagi ilmu silat yang dimainkan oleh Sin Lee.
"Kalian tak usah kuatir, mereka takkan celaka, keduanya sama tangguh, kita nonton saja," katanya.
Li Eng mengerutkan kening, juga Hui Cu. Entah mengapa, ada sesuatu perasaan yang membuat mereka saling menjauhi! Memang keduanya terpisah oleh perasaan yang saling bertentangan, yang seorang memihak Kong Bu yang seorang lagi memihak Sin Lee. Biar pun mereka berdua merasa sungkan untuk membantu namun diam-diam mereka sudah mengambil keputusan, terutama Li Eng, bahwa kalau sampai orang yang dicintai terluka, tentu dia akan menyerbu dan menuntut balas.
Pertandingan itu benar-benar seru sekali. Ketika di antara permainan pedangnya Sin Lee kelihatan memutar-mutar tangan kiri, diam-diam Kun Hong menjadi gelisah dan otomatis dia mengambil beberapa buah batu kecil siap untuk disambitkan ke arah pergelangan tangan kiri Sin Lee andai kata ia melihat Kong Bu terancam bahaya.
Ia sudah mengenal kehebatan pukulan tangan kiri dengan tangan diputar-putar ini. Pernah ia melihat Sin Lee merobohkan Kim-thouw Thian-li dengan pukulan semacam ini yang mengakibatkan luka dalam yang hebat dan mengandung hawa beracun.
Benar saja, setelah memutar-mutar tangan kiri beberapa kali, Sin Lee lalu mengeluarkan seruan dan mendorongkan tangan kirinya itu ke depan. Kun Hong sudah menegang urat tangannya, akan tetapi dia menjadi lega ketika melihat Kong Bu mengeluarkan seruan keras sekali, tangan kirinya juga mendorong ke depan dengan jari tangan terbuka. Dua hawa pukulan yang sama hebatnya bertemu dan... akibatnya keduanya terjengkang ke belakang!
"Ahh... kau tidak apa-apa...?" Li Eng memburu Kong Bu.
Sedangkan Hui Cu memburu Sin Lee, juga bertanya, "Kau tidak apa-apa...?"
Kedua orang pemuda itu menggeleng kepala, lalu dengan beringas menerjang maju lagi, bertanding lebih hebat dari pada tadi.
Li Eng dan Hui Cu sudah mencabut pedang, agaknya sudah gatal-gatal tangan mereka hendak membantu kekasih masing-masing. Tapi Kun Hong segera mendatangi mereka, menarik tangan mereka diajak duduk di bawah pohon, menjauhi pertempuran.
"Kalian bocah-bocah nakal, untuk apa mesti turut-turut? Yang seorang anak Bibi Bi Goat dan paman Beng San, yang seorang lagi anak Enci Kwa Hong dan Paman Beng San, mengapa turut-turut? Kulihat mereka sama pandai, sama kuat, nanti kalau memang ada yang terdesak, barulah kita maju untuk melerai sebelum ada yang terdesak. Kalau kita memisah, tentu mereka penasaran dan tidak mau menerima. Biarlah saja, kita nonton di sini."
Sin Lee yang selama ini belum pernah menemui tandingan berat kecuali pada waktu dia bergebrak sejurus saja dengan Kakek Song-bun-kwi, menjadi penasaran sekali. Ia lantas memekik-mekik dan tubuhnya kadang-kadang meloncat tinggi, kadang-kadang menerjang dari kanan kiri seperti orang terhuyung-huyung, beberapa kali mempergunakan gerakan seperti rajawali emas, menyerang dengan pedang akan tetapi yang betul-betul merupakan serangan adalah pukulan tangan kiri, kadang-kadang menerjang hebat dengan pedang, pukulan tangan kiri dan tendangan bertubi-tubi dengan kedua kakinya! Ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya.
Akan tetapi Kong Bu benar-benar kuat sekali penjagaannya. Juga cucu Song-bun-kwi ini merasa sangat penasaran sampai mukanya menjadi merah, matanya mendelik marah. Selamanya, kecuali ketika bertanding melawan Li Eng, belum pernah ia bertemu tanding sehebat pemuda ini.
Kadang kala ia dibikin bingung oleh gerakan-gerakan yang aneh dan ajaib, namun berkat gemblengan kakeknya yang amat hati-hati mengajar cucunya, Kong Bu dapat menangkis semua serangan lawan, bahkan dia pun mampu membalas tak kalah hebatnya. Ia malah mengeluarkan Yang-sin Kiam-sut yang berhawa panas, dan setelah dia memainkan ilmu pedang ini, benar saja ia mampu mendesak lawan.
Namun Sin Lee dengan langkah ajaib yang ia warisi dari ibunya, dapat menghindarkan kurungan-kurungan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut ini, sehingga walau pun dia terdesak oleh ilmu pedang aneh ini, namun belum pernah pedang lawan dapat menyentuh ujung bajunya. Sudah empat ratus jurus lebih dua orang muda itu bertanding seperti dua ekor naga atau dua ekor singa. Kun Hong sudah mulai ragu-ragu dan sudah timbul niat di hatinya untuk turun tangan melerai. Kalau ia turun tangan, tentu saja berarti ia membuka rahasia sendiri, karena kalau bukan seorang yang memiiiki ilmu silat tinggi tak mungkin dapat mendekati dua orang muda yang sedang bertanding itu, apa pula memisah.
Pada saat Kun Hong meragu itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang. Kun Hong melihat bahwa orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, memelihara jengot pendek, pakaiannya sederhana dan tubuhnya sedang, matanya berkilat-kilat bagai mata harimau, di punggungnya tergantung pedang.
Bayangan orang ini langsung menyerbu ke dalam gelanggang pertandingan, gerakannya gesit dan luar biasa sekali sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata. Tetapi tahu-tahu dua orang yang bertanding tadi seperti terdorong oleh angin yang mengandung kekuatan tak terlawan, keduanya terpental ke belakang, terhuyung-huyung mundur masing-masing lebih dari tujuh langkah!
Beberapa detik kemudian muncullah seorang wanita cantik, usianya juga hampir empat puluh, dandanannya sederhana pula, ringkas dan rambutnya yang hitam itu digelung ke atas, sebatang pedang menempel pula di punggung. Biar pun sudah setengah tua wanita ini masih tangkas dan cantik, sepasang pipinya masih segar kemerahan dan gerakannya tangkas biar pun melihat perutnya yang agak besar itu mudah diketahui bahwa ia sedang mengandung muda.
Di belakang wanita ini berlari-lari Cui Bi yang kini berpakaian sebagai seorang gadis cantik sehingga untuk sejenak Kun Hong memandang dengan muka merah dan mata melotot sukar dikejapkan!
Mudah diduga bahwa laki-laki yang memisah pertandingan itu bukan lain adalah Si Raja Pedang Tan Beng San sendiri, sedangkan wanita cantik yang mengandung itu adalah Cia Li Cu.
Setelah berhasil memisah dua orang muda yang bertanding hebat itu, Beng San berdiri memandang dengan penuh kekaguman dan keheranan. Ia bingung juga karena menurut puterinya, Cui Bi, di sini ia akan bertemu dengan puteranya, putera Bi Goat yang bernama Kong Bu. Tidak tahunya sekarang ada dua orang pemuda yang bertanding sedemikian hebatnya, sama-sama muda, sama-sama gagah dan yang aneh, ia merasa seakan-akan sudah mengenal wajah keduanya!
Cui Bi serta merta menghampiri Kong Bu dan menarik tangan kakak tirinya ini, dibawa mendekat kepada ayahnya. "Bu-ko, inilah Ayah. Ayah, inilah Kakak Kong Bu!"
Keduanya berdiri saling pandang seperti terpesona. Beberapa detik kemudian, menitiklah dua air mata dari mata Beng San. Dia seakan-akan melihat Bi Goat dalam diri Kong Bu, mulut itu, mata itu...
"Ayah...!" Kong Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Beng San.
"Anakku... kau anakku...!"
Beng San lalu memeluk pundaknya, mendekap kepala puteranya itu seperti ia mendekap kepala Bi Goat, isteri yang amat dikasihinya dahulu.
"Terima kasih, Tuhan. Kau telah mempertemukan kami dalam keadaan begini..."
Memang selama ini Beng San selalu berkuatir kalau-kalau anak-anaknya dari Bi Goat dan Kwa Hong akan dididik orang untuk membenci dan memusuhinya.
"Ayah, terus terang saja, memang tadinya anak datang mengandung pikiran yang tak baik terhadap Ayah. Syukur anak bertemu dengan Adik Cui Bi...," kata Kong Bu yang jujur.
Berseri wajah Beng San. "Cui Bi anak baik!"
Ia berdiri dan Li Cu lalu mendekati Kong Bu, memandang dengan wajah berseri.
"Kong Bu-koko, ini ibuku," kata Cui Bi memperkenalkan.
Kong Bu memandang sejenak, melihat wajah cantik berseri-seri, lalu ia pun menjatuhkan diri berlutut. "Anak Kong Bu menghaturkan hormat."
Sepasang mata yang bening itu menjadi basah. Suaranya menjadi serak karena terharu ketika wanita ini merangkul Kong Bu sambil berkata, "Kau anakku! Belasan tahun aku menanti-nanti datangnya saat ini. Ayahmu sangat banyak menderita karena memikirkan kau, Anak."
Diam-diam Kong Bu terharu sekali. Sama sekali tak pernah ia membayangkan bahwa ibu tirinya adalah seorang wanita yang selain cantik jelita dan gagah, juga demikian baik hati dan mau menerimanya sebagai anak dengan tulus ikhlas. Hal ini tak dapat disangkal lagi, tidak mungkin sikap seperti ini dibuat-buat dan diam-diam ia makin bersyukur bahwa ia telah percaya akan segala omongan adik tirinya, Cui Bi.
Dalam kegirangan dan keharuannya, Kong Bu teringat kepada lawannya, maka ia segera berkata kepada ayahnya, "Ayah, dia adalah anak... siluman betina Kwa Hong yang telah merusak hidup mendiang ibuku! Harap Ayah jangan kuatir, biar kubinasakan dia!"
"Hemm, Kong Bu bocah sombong, kau ingin mengandalkan teman banyak untuk menjual lagak? Kau kira aku takut? Boleh maju mengeroyok, aku Sin Lee takkan mundur setapak!"
Sementara itu, ketika Beng San dan Li Cu mendengar kata-kata Kong Bu tadi, suami isteri ini berdiri terkesima dan mereka memandang kepada Sin Lee seperti patung. Anehnya, wajah Beng San pucat sekali dan air mata makin deras mengalir dari sepasang mata Li Cu.
"Thian Yang Maha Adil!" Beng San akhirnya mengeluh. "Sudah terasa di hatiku tadi, aku... aku seperti mengenali wajahnya..."
Beng San melangkah mendekati Sin Lee yang memandang dengan mata tajam curiga.
"Kau... kau anak Hong Hong? Kau... kau juga anakku... anakku...!" Dengan kedua lengan dikembangkan, Beng San hendak memeluk Sin Lee.
Pucat seketika wajah Sin Lee dan ia cepat-cepat menghindarkan diri. "Bohong! Aku bukan anakmu! Bukankah kau yang bernama Tan Beng San?"
Berseri wajah Raja Pedang ini, girang bahwa puteranya, keturunan Kwa Hong, ternyata mengenal namanya. Dengan penuh gairah dia menjawab, "Betul, anakku, betul... akulah Tan Beng San!"
Muka Sin Lee mengeras. "Bagus, memang kedatanganku ini hendak bertemu dengan Tan Beng San Ketua Thai-san-pai. Menurut ibuku, engkaulah salah seorang di antara mereka yang menjadi sebab kematian ayahku dan sebab kesengsaraan hidup ibuku. Tan Beng San, kau harus ikut dengan aku ke Lu-liang-san untuk menghadap Ibuku dan menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Ibu sendiri!"
Semuanya kaget mendengar ini, kecuali Beng San yang mendengarnya dengan senyum duka.
"Kanda Sin Lee...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru dan mendekati pemuda ini. Dalam sedih dan bingungnya nona ini sampai lupa diri dalam panggilannya yang demikian penuh perasaan dan mesra. "Jangan... jangan kau memusuhi Paman Tan Beng San... ahh, kenapa jadi begini...?" Gadis itu lalu menangis terisak-isak.
Kening Sin Lee berkerut. Kekerasaan hatinya tertusuk dan kelemahannya tersinggung. Akan tetapi ia mengeraskan perasaan, menyentuh tangan Hui Cu yang diulurkan. Hanya sedetik saja tangan mereka bersentuhan, dan pemuda ini berkata, suaranya halus namun penuh ketegasan,
"Dinda Hui Cu... menjauhlah kau... urusan ini tak dapat dirubah lagi. Ini kehendak Ibu dan aku harus berbakti kepada Ibu, biar untuk itu aku harus berkorban nyawa sekali pun. Ibu selamanya hidup menderita, ditinggal Ayah dan dihina banyak orang, kalau aku sebagai putera tunggalnya tidak berbakti kepadanya, habis apa balasku terhadap Ibu yang telah melahirkan aku? Dinda, jangan kau turut-turut, jangan beratkan hatiku, mundurlah..."
"Kalau begitu. kau memang patut mampus!" Tiba-tiba Kong Bu membentak dan pemuda ini mengirim pukulan keras sekali.
Sin Lee mendengus dan mengangkat tangan menangkis.
"Dukkk!"
Dua lengan tangan yang sama kuatnya bertemu, membuat tubuh keduanya terpental ke belakang tiga langkah. Kong Bu masih hendak menyerang lagi namun Beng San segera berseru,
"Kong Bu, tahan! Jangan kau serang dia! Sin Lee, kau adalah anakku, kau mau mengaku atau tidak, kau adalah anakku!" Beng San berseru dengan suara parau.
Kong Bu terpaksa melompat mundur dengan hati gemas, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak ayahnya. Juga Cui Bi yang sudah tahu akan semua hal ini karena ia pernah mendengar dari ibunya tentang Kwa Hong, sekarang mendekati Kong Bu dan memegang tangannya, memberi isyarat agar supaya kakak tirinya ini tidak ikut campur.
Melihat betapa suaminya meratap-ratap dengan hati hancur, sementara Sin Lee berdiri tegak dan tegap, sikapnya angkuh membayangkan sikap Kwa Hong dahulu, Li Cu dapat merasakan betapa hancurnya hati suaminya itu, betapa suaminya saat ini seperti ditampar mukanya, seperti dibuka matanya akan akibat dari perbuatannya yang lalu.
Li Cu adalah seorang wanita bijaksana, seorang yang berpandangan luas dan memang pada dasarnya berbudi mulia. Ia tidak hanya berkasihan kepada suaminya yang tercinta, akan tetapi juga kasihan kepada Sin Lee yang tidak berdosa apa-apa tetapi seakan-akan sekarang memikul akibat dari dosa yang dilakukan ayah bundanya.
"Aku tidak percaya kau ayahkul" Sin Lee membentak. "Ayah sudah mati dan kau adalah seorang di antara mereka yang menyebabkan kematiannya. Aku harus percaya kepada ibuku seorang dan kau mau tidak mau harus ikut aku menghadap ibuku!"
Li Cu bergerak ke depan dan menghadapi Sin Lee. Ia menahan-nahan keluarnya air matanya. Memang harus dikasihani wanita ini. Kalau ada wanita yang merasa perih dan tertusuk hatinya menghadapi semua peristiwa ini dialah orangnya.
Pada waktu yang sama, dia harus menyaksikan pertemuan antara suami dan dua orang anak yang terlahir dari dua orang isteri suaminya yang lain. Akan tetapi dasar ia berwatak baik, ia tidak merasa sakit hati malah merasa kasihan sekali, baik kepada suaminya mau pun kepada anak-anaknya itu.
"Sin Lee, aku adalah Cia Li Cu, isteri Tan Beng San. Akulah saksi utama bahwa kau adalah benar-benar anak suamiku ini, kau anak Tan Beng San dan Kwa Hong, jangan kau melawan ayahmu sendiri, Nak. Kau anak suamiku, juga anakku, meski pun anak tiri tapi kuanggap kau anakku sendiri. Majulah, berilah hormat kepada ayahmu, Sin Lee, seperti yang kau lihat tadi dilakukan oleh Kong Bu, juga anak kami yang lahir dari Kwee Bi Goat. Berdosa melawan orang tua sendiri, Sin Lee."
Pemuda itu memandang dengan mata terbelalak tajam. "Hanya Ibu yang kupercaya! Ibu menyatakan bahwa Tan Beng San adalah musuh Ibu, yang harus kuseret ke depan Ibu di Lu-liang-san. Malah Ibu bepesan, wanita yang bernama Cia Li Cu adalah musuh besarnya dan harus kubunuh."
Terdengar jerit kemarahan dan Cui Bi sudah melompat maju menerjang dengan pedang terhunus.
"Traangggg!"
Pedang gadis ini terangkis oleh pedang Sin Lee. Demikian keras pertemuan senjata ini sampai keduanya mundur tiga langkah, saling pandang dengan mata berapi-api. Dengan pedangnya Cui Bi menuding ke arah muka Sin Lee sambil berseru marah,
"Keparat kau! Sombong dan jahat, seperti orang yang menjadi ibumu! Ketahuilah, ibumu itulah yang jahat, bagaikan iblis betina. Dunia kang-ouw tahu belaka akan hal ini. Ibunya iblis, anaknya pun setan!"
"Cui Bi... diam kau...!" Li Cu membentak dan menarik tangan anaknya.
"Memang betul ucapan Cui Bi!" Tiba-tiba saja Li Eng berteriak dan gadis ini pun sudah mencabut pedang. "Siluman betina Kwa Hong orang terjahat di dunia, anaknya pun bukan orang baik! Aku masih ada perhitungan dengan siluman Kwa Hong yang belum kutagih!"
Seperti juga Cui Bi tadi, Li Eng saking marah melihat anak musuh besarnya, menerjang dengan pedang diputar. Hebat sekali serangan ini, sinar pedang itu sampai menyerupai payung lebar yang mengurung diri Sin Lee. Kembali Sin Lee menggerakkan pedangnya menangkis dan dua orang muda itu terpental ke belakang.
"Adik Li Eng, jangan...!" Hui Cu mengejar sambil terisak-isak dan menarik tangan Li Eng mundur. "Janganlah... kau jangan serang dia..." bisik Hui Cu dengan muka pucat dan pipi basah air mata.
Menghadapi Kong Bu, Cui Bi, dan Li Eng yang memandang padanya seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat itu, Sin Lee tersenyum mengejek, "Hemmm, ada kabar akan didirikannya Thai-san-pai, yang katanya diketuai seorang ahli pedang yang berkepandaian tinggi. Kiranya hanya tukang keroyok. Hayo Tan Beng San, kalau memang kau tidak suka kuseret ke Lu-liang-san, terpaksa aku menggunakan kekerasan. Ataukah engkau hendak menggunakan anak-anakmu untuk mengeroyok? Majulah kalian, siapa takut kepadamu?"
"Jahanam jangan sombong kau!" Kong Bu yang berdarah panas itu tak dapat menguasai hatinya lagi, segera ia menerjang dengan pedang di tangannya.
Gerakan Kong Bu ini otomatis disusul oleh Cui Bi dan Li Eng, sehingga sekaligus Sin Lee menghadapi serangan tiga orang muda itu! Tingkatnya adalah tak berbeda jauh dengan seorang di antara mereka, bahkan dibandingkan Cui Bi, kiranya sukarlah dia mengatasi gadis ini. Akan tetapi Sin Lee memiliki keberanian yang tak kenal batas dan ketabahan hatinya membuat dia nekat. Pedangnya diputar dan…
“Trang-trang-trang!” terdengar suara nyaring disusul muncratnya bunga api.
Li Cu dan Beng San berteriak-teriak melarang, juga Hui Cu berteriak-teriak memanggil nama Li Eng. Hanya Kun Hong yang berdiri seperti patung, tak tahu harus berbuat apa. Ia sudah mulai mengerti akan duduknya perkara, dan ia benar-benar merasa bingung.
Kun Hong menarik napas panjang dan berkata seorang diri, "Hukum karma... orang tua yang menanam, anak-anak yang memetik buahnya!"
Mendadak berkelebat bayangan orang yang didahului oleh lengking tinggi, sinar pedang menderu dan bunyi cambuk berdetar-detar di udara sehingga membuat tiga orang muda yang mengeroyok Sin Lee terkejut dan cepat meloncat mundur sambil melindungi tubuh dengan pedang masing-masing karena entah dari mana datangnya, ujung cambuk yang ada anak panahnya menyerang bagian-bagian berbahaya tubuh mereka.
"Hi-hi-hi, Beng San pengecut! Melepaskan anjing-anjing cilik untuk mengeroyok Sin Lee. Anakku Sin Lee, jangan takut! Ibumu datang!"
Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik dan bermata liar, memegang cambuk yang berekor lima batang anak panah hijau. Kwa Hong, wanita yang selama belasan tahun menyembunyikan diri itu sekarang muncul tiba-tiba di tempat itu dengan sinar mata penuh mengandung nafsu membalas dendam, sepasang mata yang masih bening akan tetapi amat liar dan ganas!
"Hong-moi...!" Beng San berseru.
Akan tetapi suaranya terhenti karena lehernya serasa tercekik. Ia sudah melangkah maju dua tindak lalu berdiri seperti patung, sinar matanya membayangkan kedukaan hebat.
"Ha-ha-ha-ha, Beng San, masih merdu suaramu memanggil aku. Hong-moi... alangkah merdunya. Ahh, Beng San, kau masih pandai merayu, hik-hik-hik!"
"Hong-moi, apakah kau tidak dapat menyudahi saja urusan lama? Lihat, anak kita sudah begitu besar, Hong-moi, dan demi Tuhan, janganlah kau bawa anak kita terseret-seret ke dalam urusan kita...," kata pula Beng San dengan suara menggetar.
Kembali Kwa Hong tertawa. "Beng San, apakah kau tidak ingat betapa dahulu kau selalu menyakiti hatiku, menolakku dan membiarkan aku hidup merana sendiri? Membiarkan aku berubah menjadi iblis? Hi-hi-hik, sejak kecil kupelihara, kugembleng supaya setelah besar dapat membalaskan sakit hatiku terhadapmu, sekarang tibalah saatnya. Sin Lee, anakku, inilah orangnya yang sudah merusak hidup ibumu. Kau turun tanganlah, bunuh dia. Kau jangan takut, ada ibumu di sini!"
Tangan Sin Lee yang memegang pedang menegang, lalu menggetar, akan tetapi bibirnya bertanya, lirih, "Ibu..., benarkah dia itu ayahku?"
"Tak peduli dia itu apamu, dia seorang yang jahat melebihi binatang, patut kau binasakan. Dia menyia-nyiakan kau. Dia makhluk jahat, perusak hati wanita. Bunuh dia!"
Tiba-tiba Li Eng yang sejak tadi memandang marah kepada Kwa Hong, menerjang maju menggerakkan pedangnya mengancam Kwa Hong, "Kwa Hong, kau siluman betina jahat, dengarlah! Aku Kui Li Eng dari Hoa-san-pai! Ingatkah kau betapa kau mengusir ayah dan ibuku memasuki Im-kan-kok, membiarkan mereka mati tidak hidup pun tidak? Sekarang kau hendak mengacau lagi di Thai-san, ahhh... dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, hari ini aku akan membalaskan sakit hati orang tuaku!"
Pedang gadis ini menyerang seperti kilat cepatnya sehingga Kwa Hong menjadi terkejut juga dan cepat mengelak. Untuk sejenak wanita ini tercengang, dan hanya mengelak ke sana ke mari atas desakan Li Eng.
"Kau... kau... anak Thio Bwee dan Kui Lok? Kau lahir di Im-kan-kok? He-he, lucu sekali... kau berani melawan aku?" Mulailah ia menangkis dan balas menyerang.
Sementara itu, Sin Lee sudah memandang kepada Beng San dengan mata mendelik. Dan melihat ibunya sudah bertempur, ia melempar semua keraguan dan menganggap bahwa dia dan ibunya sedang berada di tempat musuh. Maka, cepat ia menusukkan pedang ke arah dada Beng San sambil berseru,
"Kau musuh ibuku, harus kubunuh!"
Beng San mengeluarkan keluhan panjang. Peristiwa yang terjadi di hadapan matanya ini membuat seluruh tubuhnya lemas, matanya berkunang dan hatinya rusak, maka serangan Sin Lee puteranya sendiri itu tak dihiraukan.
"Trangggg!"
Pedang Sin Lee membentur sebatang pedang lain yang digerakkan secepat kilat. Cui Bi sudah menangkis pedang itu dengan mata berapi-api.
"Keparat, jangan ganggu Ayahl"
Pedangnya terus menyerang dan di lain detik Sin Lee sudah bertanding hebat melawan Cui Bi.
Tadinya Kong Bu hanya menonton saja. Biar pun munculnya Kwa Hong mendatangkan rasa panas di hatinya karena teringat bahwa wanita inilah yang menyebabkan ibunya mati ngenes, namun karena Kwa Hong sedang berhadapan dengan ayahnya, dia tidak berani mencampuri dan menanti saat baik.
Sekarang saat itu tiba, yaitu setelah Kwa Hong bertempur melawan Li Eng, kekasihnya. Tentu saja ia tidak bisa tinggal diam, apa lagi karena maklum bahwa wanita itu lihai sekali dan Li Eng bisa berbahaya kalau melawannya seorang diri saja.
"Kwa Hong wanita busuk, ibuku Kwee Bi Goat meninggal dunia akibat merana karena kejahatanmu. Lihat pedangku menamatkan riwayatmu!" bentaknya sambil menerjang.
Tidak heran hati Kwa Hong mendengar ini karena memang ia sudah tahu akan pemuda ini. Sudah lama juga ia mengikuti puteranya sehingga ia tadi mendengar bahwa pemuda gagah ini adalah putera Kwee Bi Goat. Tanpa berkata apa-apa ia segera menangkis dan menghadapi Kong Bu dan Li Eng dengan gerakan aneh dari pedang dan cambuknya.
Beng San susah sekali hatinya melihat pertempuran-pertempuran itu. Beberapa kali Li Cu hendak mencabut pedang dan ikut menerjang maju, akan tetapi melihat betapa suaminya menjadi amat sedih, ia pun tidak tega. Li Cu dapat menyelami sepenuhnya kesedihan hati suaminya. Siapa tak akan sedih melihat kedatangan seorang putera yang datang-datang menjadi musuh?
Kun Hong yang bingung juga melihat Hui Cu dengan muka pucat berdiri memandang Sin Lee, merasa bahwa enci tirinya itu memang keterlaluan. Kalau ada urusan lama, mengapa diteruskan sampai sekarang, malah seorang anak disuruh melawan ayahnya sendiri. Tak terasa lagi kakinya melangkah mendekati pertempuran, langsung ia mendekati Kwa Hong dan berkata, suaranya lantang,
"Enci Kwa Hong, kalau Ayah melihat kelakuanmu hari ini, tentu akan marah sekali!"
Kwa Hong kaget dan melirik heran. Biar pun dikeroyok dua oleh Kong Bu dan Li Eng, ia masih sempat memperhatikan pemuda tampan yang aneh, yang berani menegurnya dan memanggil enci ini.
"Bocah, kau siapa?"
“Aku adalah adik tirimu, ayahku Kwa Tin Siong ibuku Liem Sian Hwa! Kelakuanmu hari ini sungguh tidak patut. Seharusnya kau mempertemukan anakmu dengan Tan Beng San Taihiap sebagai anak dan ayah dengan mengubur persoalan-persoalan lama."
"Keparat, tutup mulut kau!"
Sebuah anak panah hijau di ujung cambuk menyambar pundak Kun Hong. Akan tetapi anehnya, anak panah itu tidak mengenai sasaran biar pun tadi kelihatan sudah jitu. Kwa Hong terkejut, apa lagi ketika melirik ke arah gerak kaki Kun Hong yang tidak karuan itu.
"Siapa namamu?"
"Kwa Kun Hong. Enci, kau turutlah permintaanku...," kata Kun Hong girang.
"Kun Hong, kau adikku, seharusnya kau membantuku. Tan Beng San itu orang jahat, dia harus membayar hutangnya."
Terpaksa Kwa Hong memutar cepat cambuknya untuk mendesak Li Eng dan Kong Bu karena selagi dia bercakap-cakap, dua orang muda itu mendapatkan kesempatan untuk menekannya.
"Tidak bisa, Enci Hong. Kau yang tidak patut..."
"Setan, mampuslah!"
Kini dua batang panah menyambar, satu ke ulu hati satu lagi ke arah kepala Kun Hong. Serangan ini hebat sekali dan memang amat keji hati Kwa Hong, menyerang adik tirinya sendiri secara mendadak seperti itu. Akan tetapi kembali ia melengak karena dua batang anak panahnya tidak mengenai sasaran, sedangkan Kun Hong hanya terhuyung-huyung saja.
Semakin kuatir hati Kwa Hong. Baru orang-orang muda ini saja sudah begini hebat. Kalau sampai Beng San dan Li Cu turun tangan, jangan harap ia akan dapat membalas dendam, malah-malah sangat boleh jadi ia dan puteranya akan tewas di tempat itu!
Sementara itu, melihat Kwa Hong dan puteranya terdesak, Beng San tak dapat menahan lagi. Betapa pun lihainya, tapi menghadapi Cui Bi yang marah itu Sin Lee mulai terdesak, sedangkan Kwa Hong juga payah menanggulangi kemarahan Kong Bu dan Li Eng yang amat lihai ilmu pedangnya. Tentu saja ia tidak ingin melihat pertumpahan darah terjadi di antara keluarganya sendiri.
"Berhenti...! Tahan senjata, hentikan pertempuran...!" serunya berkali-kali.
Ketika orang-orang muda itu nekat tidak mau berhenti, Beng San menggerakkan kedua lengannya berkali-kali dan... angin dingin yang luar biasa kuat menyambar ke depan dan membuat mereka yang bertempur itu terhuyung-huyung ke belakang.
Kwa Hong mengeluarkan bunyi lengking marah dan kecewa. "Sin Lee anakku, hayo kita pergi saja!" Ia menyambar tangan Sin Lee dan membawanya pergi melompat dari tempat itu.
Setetah bayangan dua orang ini lenyap, terdengar suara Kwa Hong, melengking nyaring, "Beng San manusia tak berjantung! Boleh kau tertawa atas kemenanganmu, akan tetapi tunggu saja pada hari pembukaan, hendak kulihat apakah kau masih ada muka menjadi Ketua Thai-san-pai, hi-hi-hik!"
"Bu-ko mari kita kejar dan bunuh mereka!" Cui Bi berseru.
"Hayo!" Kong Bu menjawab dan keduanya berlari maju hendak mengejar, malah Li Eng juga tidak ketinggalan.
"Kong Bu...! Kenapa kau tidak melakukan perintahku?!"
Mendadak sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu seorang kakek tinggi besar bermuka bengis sudah berdiri menghadang. Li Eng sampai mengeluarkan teriakan saking kagetnya karena ia segera mengenal kakek ini yang pernah menculik dia dan Hui Cu.
"Kongkong...!" Kong Bu juga berseru, girang dan kaget.
Sementara itu, ketika Beng San melihat munculnya kakek ini, wajahnya berubah. Cepat ia mengangkat tangan menjura dan berkata, "Gak-hu (Ayah Mertua)..."
Song-bun-kwi, kakek itu, tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, sebutan palsu itu masih saja kau pakai? Siapa yang tidak tahu akan kepalsuan hatimu? Eh, Kong Bu, kenapa kau berbaik dengan mereka ini?"
"Kakek, aku mengejar Kwa Hong, bukankah dia musuh besar kita?"
"Betul, akan tetapi kau melupakan laki-laki ini." Dia menuding ke arah Beng San. "Dialah yang membuat ibumu tidak panjang usia. Dia tergila-gila pada wanita lain, meninggalkan ibumu sampai ibumu mati merana. Kita harus memusuhi dia!"
"Kakek... akan tetapi dia… ayahku..."
"Huh! Ayah macam apa! Kau kena dibujuk orang!" Matanya liar menyapu ke kanan kiri. "Hayo pergi, tempat ini tak patut untukmu."
"Tapi... Kongkong..." Kong Bu meragu dan menoleh kepada ayahnya.
"Tidak ada tapi, hayo kau ikut aku pergi! Kau berat ayah keparat yang baru saja kau lihat sekarang ini ataukah kakekmu yang memelihara dan mendidikmu sejak kau masih bayi?" Suara Song-bun-kwi menggeledek dan matanya melotot.
Terjadi pertarungan dalam hati Kong Bu. Baru saja dia mengalami kebahagiaan bertemu dengan ayahnya, terutama sekali dengan Li Eng di tempat yang penuh damai itu. Baru saja hatinya dipenuhi dengan kebanggaan akan ayahnya, yang menyentuh hati baktinya untuk membela ayah dan memusuhi Kwa Hong.
Akan tetapi kemunculan kakeknya ini sekaligus membuyarkan segala yang indah-indah itu, membuka matanya bahwa di sana masih ada arwah ibunya yang menghendaki dia menuntut balas, tidak hanya kepada Kwa Hong, akan tetapi juga kepada Beng San yang meninggalkan ibunya. Hati dan perasaan Kong Bu ketika itu terbelah-belah, terbagi-bagi, sebagian besar condong kepada Li Eng, sebagian lagi pada ayahnya dan sebagian pula kepada kakeknya.
"Kong Bu...!" Suara Song-bun-kwi menggetar penuh kemarahan. "Jika kau tidak mau pergi bersamaku, biarlah mulai saat ini juga aku Song-bun-kwi bukan kakekmu lagi, melainkan musuh besarmu, biarlah lain saat aku mengadu nyawa denganmu!"
"Kongkong..."
Tetapi Song-bun-kwi sudah tidak mau menjawab lagi, melainkan membalikkan tubuh dan melompat pergi dari situ. Dengan muka pucat dan wajah sedih sekali Kong Bu terpaksa melompat juga, kemudian mengikuti kakeknya meninggalkan tempat yang disenanginya, orang-orang yang disayanginya.
Sunyi keadaan di situ setelah kakek dan cucunya itu lenyap bayangannya. Li Eng dan Hui Cu saling pandang dengan muka sedih dan kecewa. Kun Hong sejenak berpandangan dengan Cui Bi, akan tetapi Cui Bi segera menundukkan muka, ngeri melihat wajah Beng San yang berdiri di situ dengan kedua kaki terpentang, kedua lengan bertumpang di atas dada. Li Cu memandang suaminya dengan mata basah.
Orang gagah ini berdiri tegak. Mukanya yang tampan dan gagah itu merah sekali, malah hampir hitam. Alisnya terangkat, matanya menakutkan seperti mengeluarkan api dan kilat. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundak kirinya.
Beng San melirik dan melihat wajah isterinya yang berusaha tersenyum membesarkan hatinya. Perlahan-lahan warna merah kehitaman pada mukanya itu berubah menjadi putih lalu kehijauan. Ia menarik napas berulang-ulang. Barulah ia menurunkan dua tangannya dan memandang ke arah Kun Hong, Li Eng dan Hui Cu yang sudah menghadap dengan sikap hormat.
"Inikah mereka anak-anak Hoa-san-pai?" terdengar dia bertanya, suaranya masih agak gemetar karena pukulan batin tadi.
Cui Bi segera maju dan memperkenalkan tiga orang muda Hoa-san-pai itu kepada ayah bundanya. Ketiga orang itu, dipimpin oleh Kun Hong, segera menjura dan menghaturkan penghormatan mereka.
Kalau saja Beng San tidak baru saja menderita pukulan batin yang sangat hebat, kiranya pertemuan ini akan menggembirakannya sekali. Mereka ini adalah anak-anak para tokoh Hoa-san-pai yang dikenalnya dengan baik. Akan tetapi karena perasaannya sudah terluka oleh peristiwa tadi, ia hanya berkata kepada Cui Bi,
"Kau ajaklah mereka masuk dan beristirahat di puncak."
Cui Bi maklum akan keadaan hati ayahnya, maka ia lalu mengajak tiga orang muda itu melalui jalan terowongan menuju ke puncak, tempat tinggal ayahnya. Ada pun Beng San dan Li Cu yang ditinggalkan mereka, saling pandang penuh pengertian dan keharuan.
"Aku harus menyusul mereka, aku harus dapat merubah kekerasan hati Hong-moi...," kata Beng San kemudian, seperti kepada diri sendiri.
Li Cu mengerutkan keningnya. "Hatinya keras sekali, juga puteranya. Aku kuatir kau tak akan berhasil. Kenapa tidak menanti sampai selesainya ucapara pendirian Thai-san-pai?"
Beng San menggeleng kepala. "Justru aku tidak mau dia muncul di waktu upacara. Tentu dia akan mempergunakan urusan itu untuk merusak nama dan menggagalkan pendirian Thai-san-pai, Soal namaku, aku tidak peduli, akan tetapi kalau Thai-san-pai gagal berdiri, hal ini lebih hebat dari pada kehilangan nyawa."
Li Cu memegang tangan suaminya. "Akan tetapi, bagaimana kalau kau gagal? Kau akan dihina, kau... kau... biarlah aku ikut bersamamu."
Beng San cepat memegang kedua lengan istrinya. "Tidak! Jangan kau mencampurinya. Ini urusan antara aku dan Kwa Hong. Kalau perlu aku pun bisa menggunakan kekerasan. Kukira aku masih dapat mengatasi mereka ibu dan anak. Kau tak boleh banyak bergerak, isteriku, kau ingatlah kandunganmu. Kau tunggu saja di rumah dan percayalah padaku."
Li Cu menatap wajah suaminya, terisak dan menjatuhkan kepala pada pundak suaminya yang lalu mengelus-elus rambutnya. Awan gelap menyelubungi sepasang suami isteri ini, awan gelap yang timbul dari urusan-urusan lama. Beberapa kali Beng San menarik napas panjang, hatinya penuh penyesalan kepada diri sendiri. Akan tetapi, sesal kemudian tiada guna…..
"Ibu, aku benar-benar tidak mengerti!" Sin Lee mendesak ibunya.
Mereka berdua duduk di bawah pohon dalam tengah sebuah hutan yang gelap karena penuh dengan pohon-pohon raksasa yang tinggi dan berdaun lebat.
"Kau banyak cerewet!" Kwa Hong mengomel. "Sudah kukatakan dia adalah musuh besar kita, habis perkara."
Sin Lee mengerutkan kening, lalu menggeleng kepala. "Aku ingin mengetahui duduknya perkara yang betul-betul, Ibu. Aku takkan suka diam kalau belum diberi penjelasan. Dia mengaku ayahku, bagaimana kau bilang dia adalah musuh besarku dan harus kubunuh? Bukankah ini aneh sekali? Ibu, dari pada berbohong kepadaku, lebih baik kau berterus terang, apa betul Tan Beng San itu ayahku dan suamimu, dan apa bila betul demikian mengapa terjadi permusuhan ini?"
Kwa Hong meloncat bangun, membanting kaki sambil membentak, "Kau kepala batu! Dulu kau tidak pernah begini cerewet!"
Sin Lee juga meloncat berdiri dan menghadapi ibunya dengan tegak.
"Sudah sepatutnya anak menanyakan ayahnya. Ibu yang terlalu jual mahal, kenapa terus menyimpan rahasia?"
Dua orang itu berdiri berhadapan, ibu dan anak yang sama keras hatinya, dua pasang mata yang sama tajam saling tentang. Akhirnya Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa aneh, lalu memeluk puteranya dan menarik tangannya untuk diajak duduk kembali.
"Kau memang bandel sekali seperti... seperti dia! Baiklah kau mendengar kalau hendak mengetahui. Tan Beng San itu memang ayahmu, tapi dia bukan suamiku."
"Bagaimana pula ini? Dia ayahku tapi bukan suami ibu?"
"Karena dia tidak mau mengawiniku, dan meninggalkan aku untuk kawin dengan wanita lain anak Song-bun-kwi si iblis tua itu."
Sin Lee adalah seorang yang cerdik, akan tetapi belum dapat ia menghubungkan cerita yang disingkat-singkat ini. "Kau maksudkan Ayah tidak mau mengawini ibu, pergi menikah dengan lain wanita? Kenapa begitu? Apakah Ayah tidak suka kepada Ibu?"
Merah wajah Kwa Hong, matanya memancarkan sakit hati. Ia menggelengkan kepalanya. "Dia tidak cinta padaku, hanya suka seperti seorang kakak terhadap adiknya."
"Tapi... tapi Ibu cinta kepadanya?"
Kwa Hong mengangkat tangan hendak menampar, tetapi ditahannya. "Kau lancang mulut. Sudahlah. Pendeknya dia itu meninggalkan kau dalam kandunganku dan tidak mau peduli lagi, lalu menikah dengan Kwee Bi Goat. Malah ketika Bi Goat mati dia menikah dengan isterinya yang sekarang itu, padaku ia sama sekali tidak mau peduli."
Sin Lee berpikir keras. "Jadi... dia telah melakukah perhubungan dengan ibu, kemudian Ibu mengandung aku dan... dan Ibu ditinggalkan begitu saja?"
Wajah Sin Lee sebentar pucat sebentar merah ketika melihat ibunya mengangguk dan dua titik air mata keluar dari sepasang mata ibunya.
"Si keparat... kalau begitu dia memang jahat...," kata Sin Lee dengan suara mendesis dan dengan hati penuh dendam.
"Kwa Hong, kau tidak adil! Kenapa tidak kau ceritakan tentang racun yang memabokkan kita ketika itu?" tiba-tiba muncul Beng San, begitu tiba-tiba sehingga Sin Lee dan Kwa Hong terkejut sekali.
Wanita ini semenjak dulu amat gentar menghadapi ilmu kepandaian Beng San. Biar pun sekarang di situ ada puteranya, namun ia masih ragu-ragu apakah mereka berdua akan dapat menang menghadapi Beng San yang amat hebat kepandaiannya. Namun, karena niatnya membalas dendam sudah ditahan-tahan semenjak bertahun-tahun, ia pun menjadi nekat dan cepat mencabut senjatanya, diturut oleh Sin Lee yang memandang Beng San dengan mata berapi-api.
"Hemmm, kau mengejar kami?" tegurnya, penuh selidik.
Beng San tersenyum pahit. "Kwa Hong, semenjak dulu kau selalu menyembunyikan diri, menyembunyikan anak kita, kiranya kau sudah jejali dia dengan kebencian dan dendam terhadap diriku. Sekarang aku sudah datang, seorang diri, coba katakan, engkau hendak berbuat apakah terhadap diriku?"
"Aku... aku hendak membunuhmu!"
"Kau kira begitu mudah? Hong-moi, kau tahu bahwa kau takkan mampu melakukan hal itu kepadaku."
"Akan kucoba, bersama anakku. Kami akan mengadu nyawa! Sin Lee, hayo kita bunuh keparat jahanam ini, musuh besar kita!"
Sin Lee sudah menggerakkan pedangnya.
Beng San bertanya, "Hong-moi, sebelum kau dan anak kita bergerak, maukah kau pergi dengan tenang dan tidak mengganggu pendirian Thai-san-pai kalau nanti kalian berdua ternyata dapat kukalahkan?"
"Tak sudi! Aku akan bunuh kau, akan kubuka semua rahasia busukmu, hendak kulihat apakah kau masih ada muka menjadi ketua Thai-san-pai!" Kwa Hong berteriak-teriak dan mencak-mencak.
Beng San mengerutkan keningnya. "Kwa Hong, dengarlah baik-baik! Semenjak dulu aku sudah merasa menyesal dengan peristiwa yang terjadi antara kita. Kalau kau hendak menyalahkan aku, biarlah kuterima. Bahkan dulu pun aku siap untuk menerima kematian di tanganmu. Akan tetapi kau tahu, bagi seorang gagah nama lebih berharga dari pada nyawa! Pendirian Thai-san-pai sangat penting dan siapa pun juga, juga kau sendiri, tidak boleh menghalanginya!"
"Kalau aku tetap hendak mengganggunya, kau mau apa?"
"Kwa Hong, kesabaran manusia ada batasnya, Aku sudah cukup banyak mengalah, dan aku berjanji, kalau kau pergi sekarang dengan baik-baik, aku akan datang ke Lu-liang-san setelah selesai pendirian Thai-san-pai dan aku akan menurut apa kehendakmu kelak, biar kau bunuh sekali pun."
"Aku tidak sudi."
"Hemm… hemm, tiada jalan lain bagiku kecuali menggunakan kekerasan, mengalahkan dan menawan kalian sampai selesainya upacara pendirian Thai-san-pai." Sambil berkata demikian, tangan Beng San bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang berkilauan telah berada di tangannya. Itulah Liong-cu-kiam yang amat ampuh!
"Beng San, jangan kau kira aku takut. Sin Lee, hayo serang!"
Ibu dan anak itu lalu menggerakkan senjata mereka, serentak mereka menyerang Beng San dengan hebat. Pada mulanya Sin Lee masih ragu-ragu, merasa betapa ibunya agak keterlaluan tidak mau mendengar janji orang yang sebenarnya ayahnya ini.
Akan tetapi begitu pedangnya terbentur pedang Beng San dan tangannya kesemutan, tahulah ia bahwa Ketua Thai-san-pai ini benar-benar lihai bukan main. Maka ia pun tidak ragu-ragu lagi dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengeroyok.
Namun, dengan rasa heran dan kagum, juga rasa penasaran memenuhi hatinya, Sin Lee merasa seakan-akan semua serangannya itu lenyap tak berbekas, seperti menyerang bayangan atau menyerang angin belaka. Semua jurus serangannya bagai tertelan habis oleh gelombang permainan pedang Beng San, sama sekali tidak ada artinya.
Juga Kwa Hong yang mainkan pedang dan cambuknya, merasa betapa akan sia-sia saja dia dan puteranya mengeroyok orang ini. Kebenciannya semakin memuncak, akan tetapi kekagumannya juga meningkat.
"Kwa Hong kau benar-benar kejam sekali, menyuruh anakku sendiri memusuhi aku. Kwa Hong, kau berdua takkan menang, lebih baik pulanglah. Kelak aku akan datang padamu untuk menerima hukuman..." berkali-kali Beng San membujuk sambil terus menangkis sambaran anak panah hijau yang mengarah bagian tubuh yang berbahaya.
Diam-diam Beng San gelisah juga kalau ingat bahwa tempat ini adalah tempat di luar dari jalan rahasia, sehingga tiap saat bisa saja datang tamu-tamu yang mengandung maksud jahat. Ia maklum bahwa di antara para tamunya, tentu tidak sedikit terdapat bekas-bekas musuhnya yang sengaja datang untuk mengacau atau untuk membalas dendam.
Oleh karena itu, ia membujuk agar Kwa Hong suka mengalah dan segera pertempuran itu selesai. Kalau ia mau, sudah tentu saja dengan mudah ia dapat merobohkan Kwa Hong dan Sin Lee. Akan tetapi ia tak menghendaki hal ini terjadi, karena selain ia harus melukai mereka, juga hal itu pastl akan menambah sakit hati Kwa Hong. Merobohkan dua orang lawan selihai mereka tanpa melukai, merupakan hal yang amat sukar, biar oleh dia sekali pun.
Tiba-tiba terdengar suara tiupan suling yang aneh, disusul suara orang tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, ini namanya sekali tepuk mendapat dua lalat ditambah seekor lalat cilik!" terdengar suara orang.
Mendengar suara suling ini Beng San kaget sekali. Ia menahan serangan dua orang ibu dan anak itu, akan tetapi ketika ia melompat mundur, Kwa Hong dan Sin Lee yang sudah penasaran sekali terus saja menyerang. Terpaksa Beng San memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dan sementara itu ia memperhatikan orang-orang yang baru datang dan yang sekarang sudah berada di hutan itu.
Beng San menekan debar jantungnya ketika ia mengenal beberapa orang tokoh luar biasa yang ia tahu tak akan mengandung maksud hati baik terhadapnya. Pertama-tama adalah Hek-hwa Kui-bo, nenek yang sejak dahulu selalu memusuhinya itu. Orang ke dua adalah Siauw-ong-kwi yang sudah nampak tua namun sepasang matanya masih bergerak-gerak liar membayangkan kenakalan dan kejahatannya.
Kalau Hek-hwa Kui-bo merupakan tokoh nomor satu dari selatan, adalah Siauw-ong-kwi ini merupakan tokoh nomor wahid dari utara. Keduanya merupakan iblis-iblis di samping tokoh besar seperti Song-bun-kwi.
Di samping dua orang ini dia mengenal tokoh yang tidak kalah jahatnya, yaitu Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio, yaitu seorang perampok tunggal yang setelah tua menjadi hwesio dan yang telah ia ketahui pula macamnya. Empat orang ini saja sudah merupakan lawan yang berbahaya, di samping Kwa Hong dan Sin Lee.
Apa lagi di situ masih terlihat seorang tosu tua sekali yang memakai kopyah seperti anak kecil, memegang tongkat berwarna merah dan kelihatannya lemah sekali, seakan-akan kalau ada angin besar bertiup, kakek ini tentu akan roboh terjengkang. Namun, kakek yang belum pernah dikenal Beng San ini malah yang menimbulkan kekuatiran hatinya.
Di samping ini, masih terdengar suara tiupan suling aneh itu, akan tetapi peniupnya tidak kelihatan. Tiupan suling itu mengingatkan Beng San akan seorang tokoh yang sering kali mendatangkan ular-ular dengan sulingnya, tokoh yang sudah belasan tahun tak pernah ia dengar, yang kabarnya sudah mati, yaitu murid Siauw-ong-kwi yang malah lebih jahat dari gurunya, bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin!
Akhirnya perhatian Kwa Hong tertarik pula oleh rombongan ini dan ketika ia menengok, wajahnya berubah. Cepat ia menarik tangan puteranya dan berseru, "Mundur dulu!"
Setelah Sin Lee melompat mundur di samping Ibunya, wanita ini berkata sambil tertawa, "Kau lihat saja, Hi-hik-hik, hari ini keparat Beng San akan menerima hukumannya!"
Sin Lee tidak mengerti akan maksud kata-kata ibunya, dia hanya memandang dengan kening berkerut dan pedang tetap terpegang di tangan kanan.
Tadinya agak lega hati Beng San melihat Kwa Hong dan Sin Lee menghentikan serangan mereka, akan tetapi mendengar ucapan Kwa Hong itu, dia tersenyum perih. Terpaksa ia lalu menyimpan pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi rombongan itu.
"Cu-wi Locianpwe jauh-jauh datang mengunjungi Thai-san, harap maafkan siauwte yang tidak dapat melakukan penyambutan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, hari pendirian Thai-san-pai masih dua malam dua hari lagi, harap Cu-wi sekalian sudi untuk bersabar dan menanti di tempat peristirahatan yang sederhana dan yang telah kami sediakan."
Siauw-ong-kwi tertawa terkekeh-kekeh, juga Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio ikut tertawa, kemudian orang-orang tua ini menggerakkan tubuh mengambil sikap mengurung. Jelas bahwa mereka ini berusaha memotong jalan keluar dari Beng San.
Ada pun kakek yang tua renta bertongkat merah itu lalu melangkah maju, langkahnya gontai. Ketika sampai di depan Beng San dalam jarak dua meter ia berkata, suaranya lirih agak menggigil seperti suara kakek yang sudah tua sekali,
"Inikah Raja Pedang pengganti Cia Hui Gan? Masih muda sekali... masih muda sudah menjagoi, selayaknya pinto (aku) memberi hormat!"
Kakek ini mengempit tongkat merahnya lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk dengan sikap menjura. Sambaran hawa pukulan yang menimbulkan angin halus mengejutkan Beng San.
Ia tidak kaget karena diserang secara demikian karena hal seperti ini sudah biasa terjadi di kalangan ahli-ahli silat tinggi. Namun yang mengejutkannya adalah angin halus sekali yang menyambar ke arahnya, karena semakin halus angin yang ditimbulkan oleh hawa pukulan, berarti makin hebatlah tenaga lweekang-nya.
Cepat dia mengerahkan hawa murni di tubuhnya, balas menjura sambil berkata, "Siauwte yang muda mana berani menerima penghormatan Locianpwe?"
Biar pun kelihatannya ia menjura dengan hormat, namun diam-diam Beng San menangkis pukulan yang tidak kelihatan itu dan sebagai seorang calon ketua, tentu saja ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Sengaja dia menerima serangan gelap itu dengan keras lawan keras!
Dua pasang tangan diangkat ke depan dada, dua tenaga tak kelihatan bertemu di udara dan biar pun kedua kaki Beng San masih tetap dalam kuda-kuda, tetapi ternyata ia telah tergeser mundur tiga jengkal!
Juga kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, lalu cepat ia menggunakan tongkat yang tadi dikempitnya untuk menunjang tubuhnya sehingga dia tidak jadi terhuyung ke belakang. Sejenak mata yang tua itu terbelalak kagum, lalu katanya,
"Hebat... hebat... patut dipuji!"
"Ah, Locianpwe terlalu merendah. Bolehkah siauwte yang bodoh mengetahui nama besar Locianpwe?" tanya Beng San, diam-diam ia mengeluh karena kakek tua ini benar-benar merupakan lawan yang paling berat yang pernah ia jumpai selama ia berkecimpung di dalam dunia persilatan.
Kakek itu tertawa sehingga kelihatan gusi mulutnya yang sudah tak bergigi lagi. "Ha-ha-ha pinto orang gunung, mana ada nama? Di utara sana, pinto disebut Pak-thian Locu (Nabi Locu dari utara), tentu saja Sicu tidak pernah mendengarnya."
Memang nama ini tak pernah dikenal Beng San.
Siauw-ong-kwi segera berkata sambil mendengus, “Thai-san amat tinggi sehingga kadang kala membuat orang lupa bahwa di atasnya masih ada langit! Calon ketua Thai-san-pai sampai tak mengenal twa-suheng-ku (kakak seperguruan tua), benar-benar telah merasa diri paling tinggi."
Beng-San terkejut. Kiranya kakek ini twa-suheng dari Siauw-ong-kwi. Pantas saja begitu hebat.
"Ah, maafkan... maafkan... ini hanya menunjukkan bahwa siauwte kurang pengalaman."
"Tan Beng San, selama bertahun-tahun ini telah banyak kau menghina kami, dan secara pengecut kau menyembunyikan diri di balik jalan-jalan rahasia. Kini dengan sombong kau hendak mengumumkan pendirian Thai-san-pai. Heran, apakah kau sudah merasa dirimu menjadi guru besar?" kata Toat-beng Yok-mo sambil melangkah maju dan menggerakkan tongkatnya yang hitam.
"Hutangmu kepadaku belum kau bayar lunas!" pekik Hek-hwa Kui-bo sambil mengerling ke arah Kwa Hong dan Sin Lee. "Kalian dua anjing cilik tunggulah giliranmu." Nenek yang mengerikan ini sudah mencabut pedang dan selampai yang beraneka warna.
Melihat betapa lima orang itu mengurungnya dan telah siap mengeroyoknya, Beng San tersenyum lalu berkata dengan nada mengejek, "Aku tahu isi hati kalian! Dua hari lagi, di atas panggung, disaksikan semua tokoh kang-ouw, sudah pasti kalian takkan dapat maju mengeroyok, melainkan seorang lawan seorang. Hari ini sengaja kalian menggerebek di sini dengan dalih membalas dendam sehingga kalian punya kesempatan mengeroyokku, bagus!"
Namun Hek-hwa Kui-bo sudah menyerbu dengan pedang dan selampainya, menyerang dari kiri dan dibarengi oleh Siauw-ong-kwi yang menyerang dari kanan. Seperti biasa, Siauw-ong-kwi menggunakan sepasang lengan bajunya yang menerjang untuk melakukan totokan dengan ujung baju mengarah jalan darah. Serangan ini tak kalah bahayanya dibandingkan dengan penyerangan Hek-hwa Kui-bo.
Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio sambil tertawa juga menyerang cepat. Yok-mo menggunakan tongkat hitamnya, ada pun Tok Kak Hwesio menggunakan kepandaiannya yang diandalkan, yaitu cengkeraman monyet...
Bulan bersembunyi di balik awan sehingga Kun Hong tidak melihat betapa mata gadis itu menjadi basah air mata, tapi mulut gadis itu tersenyum bahagia.
"Hong-ko, katakan terus terang, apakah kau sekarang, setelah melihat bahwa sahabatmu ini seorang wanita, masih sayang kepadaku?"
"Ahh, soal itu... itu... ahh, mana aku berani begitu kurang ajar, Moi-moi? Mana aku berani menyatakan hal demikian kurang ajar? Kau adalah puterinya Paman Tan Beng San, kau berkepandaian tinggi, kau cantik jelita, sedangkan aku..."
"Kau seorang pemuda luar biasa, Hong-ko, Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang seperti kau. Kau hebat, kau mengagumkan hatiku dan aku... aku amat suka kepadamu, Hong-ko. Hanya sayang..."
"Sayang... apakah, Moi-moi?"
"Hong-ko, apakah kau benar-benar tidak mengerti ilmu silat? Enci Hui Cu dan Enci Li Eng bercerita banyak tentang kau, katanya kau mengerti banyak teori ilmu silat, tetapi tidak pernah melatihnya. Betulkah?"
"Hemm, agaknya betul begitu."
"Kalau begitu, mudah saja kau berlatih silat. Kau berbakat baik sekali. Aku yakin, apa bila kau sudah berlatih, aku sendiri pun tak akan mampu melawanmu!" Cui Bi tampak gembira sekali.
"Sstttt...!" Tiba-tiba Kun Hong berdiri dan menoleh. Cui Bi juga menoleh dan masih dapat melihat bayangan orang berkelebat cepat sekali, menghilang di dalam gelap.
"Ada orang...," kata Cui Bi, terheran-heran mengapa ia kalah dulu oleh Kun Hong melihat orang itu tadi.
Kun Hong juga sadar bahwa tanpa terasa dia telah memperlihatkan kelihaian matanya, maka cepat-cepat ia berkata, "Aku kebetulan menengok dan melihat bayangannya. Adik Cui Bi, lebih baik kita berpisah, biarlah besok masih banyak waktu bercakap-cakap. Tidak baik orang melihat kita bicara berdua di sini."
Cui Bi mengangguk. "Dan... Hong-ko, apakah kau masih tetap bersikeras hendak pergi meninggalkan aku?"
"Tidak, tidak nanti!" kata Kun Hong.
"Selamanya?" desak Cui Bi.
Makin berdebar hati Kun Hong, apa lagi melihat gadis itu berdiri amat dekat. Tanpa terasa lagi ia pun memegang kedua tangan gadis itu, ditekannya erat-erat untuk beberapa detik sambil berkata, "Selamanya tidak akan kutinggalkan kau..."
Begitu Kun Hong melepaskan pegangan tangannya, gadis itu lari memasuki pondoknya, meninggalkan suara keluhan panjang, setengah tertawa setengah menangis. Untuk beberapa menit Kun Hong berdiri mematung di tempat itu, lalu perlahan berjalan pulang ke pondoknya dengan wajah berseri-seri. Wajahnya berubah dan menjadi merah ketika dia memasuki pondok. Dia melihat Kong Bu sudah berbaring di atas dipan sambil memandang kepadanya dengan tersenyum.
"Kau sudah pulang...?" Kun Hong bertanya untuk menyembunyikan kegugupannya.
Kong Bu tersenyum lebar, "Sudah semenjak tadi aku menantimu. Ke manakah kau pergi, Saudara Kun Hong?"
"Aku... aku pergi buang air ke anak sungai di sana..."
"Ohh, begitukah?"
Kun Hong tak mau banyak bicara lagi dan segera merebahkan diri di atas dipan yang lain, lalu pura-pura tidur. Padahal sampai jauh tengah malam ia tidak dapat tidur. Wajah yang cantik itu terbayang-bayang terus di depan matanya. Lewat tengah malam barulah dapat tidur.
Pagi-pagi sekali Kun Hong telah terbangun akibat mendengar suara orang di luar pondok. Ketika ia bangkit duduk, ia tidak melihat lagi Kong Bu, maka ia segera memburu keluar. Tersipu-sipu pemuda ini ketika melihat Cui Bi sudah berada di luar dengan pakaian pria. Ia tidak jadi keluar dan berhenti di belakang daun pintu. Ia mendengar Cui Bi berkata,
"Kalau kau tidak melayaninya dan mengalahkannya, dia akan selalu memandang rendah kepadamu, Bu-ko."
"Aihh, kau ini ada-ada saja. Bagaimana kalau terlihat oleh seorang tamu?"
"Tidak mungkin," jawab Cui Bi, "aku yang akan membawa kalian ke tempat rahasia. Kau ikutlah."
Kong Bu mengomel tidak jelas dan agaknya ragu-ragu, akan tetapi mereka lalu berjalan meninggalkan pondok. Kun Hong tertarik sekali, lalu diam-diam ia mengintai dan setelah dua orang itu pergi jauh, ia cepat menyelinap keluar dan mengikuti dari belakang. Udara amat dingin dan keadaan masih agak gelap, memudahkan ia mengikuti mereka itu. Dua orang itu berhenti sebentar di depan pondok ke dua di mana Li Eng dan Hui Cu telah menunggu. Empat orang muda itu lalu berjalan cepat ke arah utara, menjauhi kelompok pondok para tamu.
Kun Hong makin terheran-heran dan diam-diam ia terus mengikuti mereka. Ia melihat Cui Bi memimpin perjalanan, memasuki hutan. Heran betul ia melihat cara gadis itu membawa teman-temannya pergi. Pertama-tama masuk hutan, baru lewat seratus meter membelok ke kanan dan... keluar lagi dari hutan, lalu masuk lagi dan keluar lagi dari sebelah kiri. Kun Hong amat cerdik. Ia tadi sudah amat curiga ketika Cui Bi bicara tentang tempat rahasia, maka diam-diam ia menaruh perhatian dan selalu mengikuti jejak mereka. Karena perhatiannya itu maka ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu selalu berbelok sesudah mereka melewati sembilan buah pohon besar.
Setelah keluar masuk hutan sembilan kali, sampailah mereka di tempat terbuka, sebuah padang rumput yang luas. Cui Bi dan teman-temannya berhenti. Kun Hong juga berhenti tak jauh dari situ dan bersembunyi dalam segerombol pohon kembang. Ia berjongkok dan mengintai. Ia melihat Cui Bi membuat guratan di atas tanah, guratan yang merupakan garis kurung selebar sepuluh meter. Hebat gadis ini. Dengan jari telunjuk ia menggurat dan rumput di atas tanah seperti dicabuti, tampak nyata garis lingkaran itu seperti dipacul saja!
"Nah, kalian sudah berjanji kalau bertemu kembali akan mengadu kepandaian. Keduanya penasaran dan hal ini harus dilakukan untuk menentukan siapa di antara kalian yang lebih pandai. Aku tidak suka melihat kalian saling mendendam dan penasaran. Sekarang kalian bertandinglah, lapangan luas tidak ada yang mengganggu. Siapa yang pedangnya jatuh terlempar atau badannya terdesak dari lingkaran ini dianggap kalah. Setuju?"
Tanpa menjawab Li Eng mengangguk dan mencabut pedangnya, dilintangkan di depan dada dan memandang tajam kepada Kong Bu. Pemuda ini mula-mula nampak ragu-ragu, lalu dengan sikap ‘apa boleh buat’ dari menggeleng-geleng kepala serta menarik napas panjang, mencabut keluar pula pedangnya dan memasang kuda-kuda.
Kun Hong terheran-heran dan mendongkol. Kenapa Cui Bi seolah-olah hendak mengadu keponakannya itu dengan Kong Bu?
Semua ini adalah gara-gara Cui Bi. Di dalam pondok, gadis ini menggoda Li Eng yang dikatakannya menyukai Kong Bu. Li Eng menyangkal, malah menyatakan bahwa ia akan menantang pemuda itu yang dijawab oleh Cui Bi dengan memanaskan hati. Katanya Li Eng tak akan menang. Demikianlah, dengan perantaraan Cui Bi lalu diajukan tantangan pertandingan ini.
Kun Hong tidak tahu akan kecerdikan Cui Bi yang bermata tajam itu. Gadis ini sudah dapat menduga bahwa kakak tirinya dan Li Eng ini saling mencinta, akan tetapi keduanya berkeras kepala menyangkal. Maka jalan satu-satunya untuk ‘saling menemukan’ mereka hanyalah memancing mereka bertanding!
Kedua orang muda itu sudah mulai menggerakkan pedang masing-masing dan terjadilah pertandingan pedang yang bukan main hebat dan serunya. Bayangan keduanya lenyap ditelan sinar pedang masing-masing dan sebentar kemudian terdengarlah angin bersuitan diseling suara nyaring kalau pedang itu bertemu mengeluarkan suara berdenting disusul muncratnya bunga api.
Tadinya Kun Hong hendak melompat keluar untuk mencegah, akan tetapi maksud hatinya ini ia batalkan. Ia melihat sesuatu yang aneh dalam pertandingan itu. Ia memasang mata dan memperhatikan.
Tidak salah lagi! Dua orang muda yang tampaknya bertempur mati-matian itu sebetulnya saling mengalah dan tidak rnenyerang dengan sungguh-sungguh! Li Eng menang cepat, kalau ia mau mempergunakan kecepatannya, kiranya ia akan dapat melakukan serangan maut yang akan membahayakan keselamatan Kong Bu. Sebaliknya, dengan ilmu pedang yang ganas, yaitu Yang-sin Kiam-sut, pemuda ini sebetulnya menang setingkat.
Dengan geli hatinya Kun Hong melihat betapa setiap kali Kong Bu melancarkan serangan ganas dan ujung pedangnya sudah mengancam lawan, akan tetapi tiba-tiba pedangnya itu menyeleweng ke samping, tidak melanjutkan serangan. Kalau hanya terjadi sekali dua kali saja hal ini kiranya tidak akan kentara, akan tetapi karena terlalu sering, jelas bahwa hal itu ia sengaja karena ia tidak mau melukai lawannya!
Demikian pula di pihak Li Eng. Kecepatan pedangnya pada saat ditangkis lawan, demikian hebat sehingga kalau ia mau, menurut penglihatan Kun Hong yang tajam, pedang itu bisa dilanjutkan untuk terus menusuk lawan, namun kerap kali Li Eng hanya menarik pedang yang tertangkis, sama sekali tidak mau mencelakai lawan.
Dua ratus jurus telah lewat dan agaknya sikap mengalah itu diketahui juga oleh keduanya, buktinya muka mereka menjadi merah akan tetapi sinar mata mereka berseri. Ketika Kun Hong melirik ke arah Cui Bi, gadis ini pun tertawa-tawa, hanya Hui Cu yang tidak setinggi itu tingkatnya, memandang penuh kekuatiran dan tentu saja berdoa untuk kemenangan Li Eng!
Kong Bu mulai mundur teratur dan Li Eng dengan girang mendesaknya. Memang maksud keduanya sama sekali tidak mau melukai lawan yang mereka ‘benci’, melainkan hendak mencari kemenangan dengan mendesak lawan mundur dari lingkaran atau memukul jatuh pedangnya.
Terdesaknya Kong Bu ini bukanlah pura-pura lagi, karena memang saking terus-menerus mengalah dan memang kalah dalam kegesitan, akhirnya Kong Bu yang terdesak. Hui Cu berseri mukanya akan tetapi Cui Bi mengerutkan kening.
Ia maklum bahwa kakak tirinya sebetulnya tidak kalah, kalau sampai keluar dari lingkaran, bukankah akan memalukan dia juga? Ia mengepal tangan menggigit bibir dan pada saat itu Kong Bu sudah tinggal selangkah lagi keluar dari lingkaran.
Li Eng gembira, mendesak dengan tusukan digetarkan yang mengancam leher terus ke pusar lawan. Kali ini mau tidak mau Kong Bu harus melompat keluar lingkaran!
"Tranggg!"
Kong Bu benar-benar keluar lingkaran, akan tetapi pedangnya secepat kilat menangkis dari atas ke bawah sambil mengerahkan tenaga sehingga pedang itu terlepas dari cekalan tangan Li Eng.
Kong Bu cepat mengambil pedang dan mengembalikan kepada Li Eng sambil berkata, "Aku menyerah kalah, aku keluar dari lingkaran. Hebat benar ilmu pedangmu, Nona."
Merah wajah Li Eng namun wajahnya berseri. Ia menerima pedang dan menjura berkata, "Bukan, akulah yang kalah. Pedangku terpukul jatuh."
Cui Bi bertepuk-tepuk tangan sambil menari-nari. "Hi-hi-hi, bagus... bagus! Kalian sudah saling mengalah, hi-hi-hi, bagus! Lenyaplah benci, muncullah perasaan suci!"
"Idihhh... kau... ceriwis...!"
Li Eng melompat dan mencubit bibir Cui Bi, namun sekali mengelak serangan ini luput. Li Eng lalu lari meninggalkan tempat itu.
"Eng-moi, tunggu...!" Hui Cu yang kuatir kalau-kalau adiknya itu marah-marah lalu segera mengejar.
"Heiii, kalian jangan pergi, nanti tersesat jalan. Tidak mudah jalan pulang!" Cui Bi berseru.
Akan tetapi dua orang gadis Hoa-san-pai itu tidak mempedulikan seruannya dan terus berlari, Li Eng lebih dulu, dikejar Hui Cu.
"Biarlah, anak-anak nakal itu tidak kapok kalau belum kebingungan dan tersesat di sini. Hemmm, biar mereka melihat kelihaian jalan rahasia Thai-san-pai!" kata Cui Bi. "Jangan kuatir," katanya kepada Kong Bu, "nanti mereka akan kucari."
Setelah berkata demikian, Cui Bi menghampiri Kong Bu, menggandeng tangan pemuda itu diajak duduk dl bawah pohon yang besar, agak jauh dari tempat sembunyi Kun Hong. Pemuda ini kini hanya dapat memandang dari jauh akan tetapi tidak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dia hanya melihat mereka bercakap-cakap, kadang-kadang Cui Bi tertawa, kadang-kadang menggelengkan kepala dan kelihatan berduka.
Apakah yang dipercakapkan oleh dua orang muda itu?
"Hi-hi-hik Bu-koko, sekarang apakah kau mau menyangkal lagi? Jelas kau mengalah dan tidak tega melukai Enci Li Eng, itu hanya berarti bahwa kau sama sekali tidak membenci dia, sebaliknya kau... mencintanya. Nah, coba kalau berani menyangkal sekarang!" kata Cui Bi sambil tertawa-tawa menggoda.
Kong Bu menarik napas panjang. "Sudahlah, aku mengaku. Memang dia itu amat menarik hatiku, aku... aku kagum kepadanya."
"Katakanlah cinta, masa hanya kagum?" desak Cui Bi.
"Kau anak nakal! Ya, baiklah, aku cinta kepadanya. Akan tetapi, jangan kau kira aku tidak tahu bahwa kau pun mencinta... kutu buku itu! Hayo, coba kalau kau berani menyangkal setelah pertemuan kalian malam tadi."
Berubah merah wajah Cui Bi ketika dengan mata terbelalak dia memandang kakak tirinya. "Heee...?! Jadi bayangan itu... kaukah itu?"
Tiba-tiba saja Cui Bi menutupi muka dengan kedua tangan dan terdengar dia menangis terisak-isak.
Kong Bu kaget dan memegang tangan adik tirinya itu, "Eh, Bi-moi, kenapa kau menangis? Maafkan, aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, maafkan godaanku tadi."
Sambil menangis tersedu-sedu Cui Bi menggeleng-gelengkan kepala, "Tidak... kau tidak menggodaku... Bu-ko, memang aku... aku cinta kepadanya... tetapi, ahhh, bagaimana tak akan hancur hatiku karena aku dipaksa berjodoh dengan orang lain...?"
Saking sedih dan hancur hatinya Cui Bi menjatuhkan diri, menubruk Kong Bu kemudian menangis di atas dada kakak tirinya itu. Ayah dan ibunya hendak memaksa dia berjodoh dengan lain orang, dan sekarang hanya ada kakak tirinya ini yang menjadi satu-satunya orang yang kiranya dapat ia sambati, dapat ia mintai tolong.
"Tenanglah, Moi-moi, tenanglah... nanti di depan Ayah, aku pasti akan bilang untukmu..." Kong Bu dengan terharu mengusap-usap rambut kepala adiknya dan membiarkan gadis itu menangis dan menyembunyikan muka di atas dadanya.
Di tempat persembunyiannya, Kun Hong yang hanya dapat melihat adegan ini dari jauh tanpa dapat mendengar pembicaraan mereka, seketika menjadi pucat. Seluruh tubuhnya gemetar, kepalanya terasa berputar dan matanya berkunang-kunang. Hampir ia tak dapat mempercayai adegan yang dilihatnya.
Dua orang itu berpeluk-pelukan. Ahh, jahat benar cucu Song-bun-kwi, sejahat kakeknya. Dan keji benar Cui Bi, setelah malam tadi demikian mesra sikapnya. Hemm, gadis keji ini hendak mempermainkannya rupanya. Hati Kun Hong sakit sekali. Belum pernah selama hidupnya ia merasa sakit hati seperti ini. Kedua matanya yang berapi-api meneteskan dua butir air mata.
Kong Bu, kau keparat...! Sudah jelas bahwa kau berusaha menarik hati Li Eng, terang dalam pertandingan tadi kalian saling mengalah. Bahkan Cui Bi mengucapkan kata-kata menyindir tentang perasaan Kong Bu dan Li Eng. Tapi sekarang... ahh, kalian dua orang berhati binatang. Tak bermalu!
Hampir Kun Hong tak kuat menahan hatinya, hampir ia melompat dan menerjang mereka dengan kata-kata pedas. Akan tetapi dia menahan hatinya ketika melihat dua orang itu bangkit berdiri, berjalan bergandengan tangan sampai dekat tempat ia bersembunyi.
"Bu-ko, biar sekarang kususul Enci Li Eng dan Enci Hui Cu. Akan kubawa kalian semua menghadap Ayah."
Kong Bu hanya mengangguk. Cui Bi lalu lari dari tempat itu, tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon. Kun Hong yang sudah tak dapat menahan hatinya lagi, melompat keluar.
Kong Bu memandang kaget, "Ehh, Saudara Kun Hong, kau di sini?"
Kekagetan Kong Bu bukan hanya disebabkan munculnya Kun Hong yang tidak disangka-sangkanya itu, akan tetapi terutama sekali karena melihat pemuda ‘kutu buku’ ini beringas mukanya, matanya berapi-api dan tangannya memegang sebatang pedang yang sinarnya kemerahan.
Pemuda yang biasanya sopan santun dan lemah lembut ini kelihatannya bengis sekali. Wajahnya tersinar cahaya matahari pagi yang kini mulai menerobos dari celah-celah daun pohon.
"Kong Bu, cabut pedangmu!" tiba-tiba saja Kun Hong berkata, suaranya menggeledek tak seperti biasanya.
Kong Bu makin kaget dan heran.
"Ehh, apa maksudmu, Saudara Kun Hong?" tanyanya bingung.
"Jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah melihat semua perbuatanmu yang tak senonoh dengan... Nona Tan Cui Bi. Kau... kau manusia rendah! Kau memikat hati Li Eng dengan kepandaianmu, kau memperlihatkan sikap mengalah di dalam pertandingan sehingga dia jatuh dan mengira bahwa kau cinta kepadanya. Kiranya kau hanya mempermainkannya, diam-diam kau main gila dengan Nona Cui Bi! Hemmm, Kong Bu, aku seorang penyabar, akan tetapi kali ini kita harus mengadu nyawa! Bersiaplah!"
Melihat semua ini, melihat sikap menantang dari Kun Hong, melihat pula cara Kun Hong memegang pedang seperti orang memegang pisau dapur, mendadak Kong Bu tak dapat menahan gelak tawanya yang bergema di sekitar tempat itu.
"Keparat, tak usah mentertawakan! Kalau kau memang jantan, cabut pedangmu!" Makin panas hati Kun Hong, "Tak dapat aku membiarkan kau merusak hati Li Eng!"
"Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong. Hebat benar kau! Aku kagum melihat keberanianmu. Akan tetapi kenapa kalau aku merusak hati Nona Li Eng? Katakanlah saja aku merusak hatimu, kau anggap aku merampas Cui Bi darimu! Ha-ha-ha, apa kau kira aku tidak tahu akan pertemuanmu dengan Cui Bi malam tadi? Kau mencinta Cui Bi dan kini kau cemburu kepadaku."
Wajah Kun Hong menjadi merah sekali. "Hemm, apa lagi kalau sudah tahu akan hal itu, berarti makin jahatnya hatimu dan rendahnya Bi-moi."
"Tak boleh kau memaki Cui Bi!"
"Aku tidak memaki, kenyataan yang amat rendah membuktikan."
"Ehh, Kun Hong, kau makin menghina. Kau kira aku takut padamu?" Kong Bu mencabut pula pedangnya. "Mari, mari... kalau kau ingin main-main denganku, boleh!"
"Majulah, tak usah banyak cakap!" Kun Hong menantang.
Melihat betapa pemuda Hoa-san-pai itu memegang pedang dengan ujung pedang terseret di atas tanah, Kong Bu makin geli dan ia menggertak, "Awas pedang!"
Cepat seperti kilat menyambar pedangnya menusuk ke arah dada Kun Hong. Akan tetapi secepat itu pula dia menarik kembali pedangnya ketika melihat betapa Kun Hong sama sekali tidak melakukan gerakan untuk menangkis mau pun mengelak.
"Ehh, benar-benarkah kau hendak mengadu pedang denganku?"
"Siapa mau main-main denganmu?" jawab Kun Hong.
"Kenapa kau tidak menangkis atau mengelak?"
"Hemmm, pedangmu belum menyentuh bajuku, kau sudah ribut-ribut? Hayo seranglah, kalau kau memang laki-laki!"
Kong Bu kembali menggerakkan pedangnya, kali ini membacok ke arah leher lawannya itu. Ketika pedangnya tinggal beberapa sentimeter lagi dari leher Kun Hong dan kali ini juga Kun Hong tidak menangkis mau pun mengelak, Kong Bu terkejut sekali dan cepat merubah arah pedang sehingga membabat atas kepala Kun Hong.
Kun Hong tersenyum. Tentu saja dia sudah siap sedia dan dia dapat mengikuti gerakan pedang itu dengan baik sekali sehingga dia tidak perlu menangkis atau mengelak sebelum benar-benar dia terancam.
"Mengapa tidak jadi menyerang? Apakah kau takut?" ejeknya.
Kong Bu benar-benar kagum sekali. Belum pernah ia menemui seorang yang begini besar keberaniannya, menanti datangnya pedang dengan mata tidak berkedip sedikit pun.
"Hebat! Kau benar-benar gagah berani, Saudara Kun Hong. Biarlah tak perlu lebih lama lagi aku menggodamu."
Kong Bu menyimpan pedangnya. "Ketahuilah, kau yang gagah dan cerdik ini, kali ini kau seakan-akan buta karena cinta kasih mengeruhkan hati dan pikiranmu sehingga kau tidak melihat kenyataan bahwa apa yang kau lihat antara aku dan Cui Bi itu bukanlah hal yang perlu kau ributkan. Ketahuilah, dia dan aku adalah saudara tiri, kami sama-sama anak Ayah Tan Beng San, dia lahir dari Ibu Cia Li Cu dan aku dari Ibu Kwee Bi Goat. Kau tahu apa yang kami bicarakan tadi? Dia menangis karena cintanya kepadamu!"
Lemas seluruh sendi tulang di tubuh Kun Hong. Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya dan memegang lengan Kong Bu yang kuat, "Ahh, Saudaraku, aku benar-benar buta! Aku layak kau maki, layak kau pukul. Hemmm, orang macam aku ini mana ada harga untuk mencintanya?"
Kong Bu tertawa gembira. "Sudahlah, Saudara Kun Hong, tak perlu kau merendahkan diri. Salah mengerti ini sudah dapat dilenyapkan, itu bagus sekali. Tentang adikku Cui Bi, tak usah kau kuatir, dia benar-benar mencintamu. Hanya aku masih sangsi apakah cintamu kepadanya betul-betul sebesar perasaannya terhadapmu."
"Saudara Kong Bu," kata Kun Hong bernafsu. "Biarlah bumi dan langit menjadi saksi, dan dengarlah sumpahku bahwa aku mencinta Bi-moi sepenuh jiwaku dan aku rela berkorban nyawa untuknya!"
"Bagus! Aku menjadi saksi!"
"Jangan mau menang sendiri, Saudara Kong Bu. Sikapmu terhadap keponakanku Li Eng juga tidak berterus terang. Dahulu kau mengalah dan membiarkan dirimu ditawan, lalu tadi kau sengaja berlaku mengalah dalam pertandingan. Apa artinya? Seorang laki-laki sejati tidak akan ragu-ragu untuk menyatakan perasaannya secara jujur."
Merah muka Kong Bu, akan tetapi sambil tersenyum ia mengangkat dada berkata, "Kau telah memberi contoh. Aku pun bersumpah bahwa aku betul-betul mencinta Nona Kui Li Eng dengan sepenuh jiwaku."
Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan dan tertawa, "Bagus, bagus... sudah kudengar sumpah dua orang. Awas, aku menjadi saksi utama!"
Muncullah Hui Cu dari balik sebatang pohon. Gadis ini dengan wajah berseri-seri berkata sambil menoleh ke belakang. "Adik Eng, Adik Cui Bi, keluarlah, kenapa malu-malu kucing bersembunyi saja?"
Dengan muka merah dan ditundukkan, dua orang gadis itu membiarkan mereka tertarik keluar oleh Hui Cu. Kun Hong dan Kong Bu sangat terkejut dan tentu saja menjadi malu sekali, wajah mereka merah sampai ke telinga.
Kiranya tempat rahasia itu hebat sekali sehingga di tempat ini ada tiga orang gadis muncul tanpa mereka ketahui sama sekali! Tentu mereka bertiga tadi telah melihat dan sekaligus mendengar segala-galanya.
Terdengar Li Eng berkata malu-malu kepada Cui Bi sambil merangkul gadis berpakaian pria itu, "Adik Bi, maafkanlah aku..."
Apakah yang terjadi? Seperti telah kita ketahui, Cui Bi pergi menyusul Hui Cu dan Li Eng. Karena jalan rahasia itu memang sulit sekali, akhirnya Li Eng tersesat, malah Hui Cu yang mengejarnya juga tersasar sehingga dua orang gadis ini terpisah, makin lama makin jauh. Cui Bi yang mengenal jalan rahasia itu mengejar Li Eng dan... tanpa disadari oleh Li Eng sendiri, sebetulnya Li Eng telah mengambil jalan memutar kembali ke tempat semula.
Karena inilah maka tadi ia sempat menyaksikan, seperti juga Kun Hong, adegan mesra antara Cui Bi dan Kong Bu. Begitu melihat Cui Bi hendak mencarinya, Li Eng sengaja menunggu dan segera memaki setelah melihat Cui Bi muncul di depannya,
"Bagus, kau perempuan tak tahu malu! Kau mendorong-dorongku kepada Kong Bu, kau sendiri menyatakan cintamu kepada Paman Hong, akan tetapi apa yang kau lakukan tadi? Benar-benar tak tahu malu!"
Tentu saja Cui Bi kaget sekali. Akan tetapi dia segera dapat menduga apa yang menjadi sebabnya, maka ia tersenyum manis.
"Enci Li Eng, kemarahanmu ini malah menggirangkan hatiku, tanda bahwa rasa cemburu di hatimu ini membuktikan betapa besar cinta kasihmu kepada kakak tiriku Kong Bu."
"Kakak tiri? Apa maksudmu?"
"Dia putera Ayah, dari Ibu Kwee Bi Goat, tentu saja dia kakak tiriku. Nah, apa kau masih cemburu?"
Bukan main menyesal dan malunya hati Li Eng maka ia hanya bengong saja dan tidak membantah ketika Cui Bi menarik tangannya untuk menyusul Hui Cu. Setelah bertemu, mereka bertiga kembali ke tempat tadi melalui jalan rahasia yang sangat dekat sehingga mereka sempat menyaksikan keributan antara Kun Hong dan Kong Bu, bahkan sempat pula mendengar sumpah cinta kasih mereka. Kini tibalah giliran Hui Cu untuk menggoda mereka dan menyatakan kegembiraannya.
Pada pertemuan yang serba menggembirakan ini, Kun Hong agak gelisah melihat betapa wajah kekasihnya itu muram seperti matahari tertutup awan. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani untuk bertanya.
Di lain pihak, Cui Bi yang masih amat sungkan dan likat, segera berkata, "Sekarang tiba waktunya kita naik ke puncak menghadap Ayah. Hati-hati, jalan rahasia ini amat sulit, dan aku kuatir kalau-kalau perjalanan kita ini ada yang mengikuti. Kong Bu-koko, aku menjadi penunjuk jalan di depan dan biarlah kau jalan paling belakang sambil meneliti kalau-kalau ada musuh yang mengikuti perjalanan kita ke puncak."
"Adik Bi, apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan?" Kong Bu bertanya.
"Agaknya selama ini ada orang yang memata-matai kita. Malam itu..." Cui Bi melirik ke arah Kun Hong yang juga teringat akan bayangan semalam.
"Apakah itu bayanganmu Bu-koko?"
Kong Bu menggeleng kepala, wajahnya serius. "Aku hanya melihat dari jauh dari belakang pondok, mana bisa kau melihat bayanganku?"
"Hemm, agaknya orang lain. Mari, jangan membuang waktu," berkata Cui Bi yang segera memimpin perjalanan itu dengan hati-hati dan perlahan.
Jalan rahasia itu memang amat sukar. Kalau bukan orang Thai-san-pai, takkan mungkin dapat mencarinya. Jalan yang luas dihindari, akan tetapi gerombolan pohon yang sangat lebat malah dimasuki, semua ini memakai perhitungan, dan sebagai tanda-tanda hanyalah pohon-pohon yang tumbuh malang melintang tidak teratur di sekitar puncak.
Cui Bi membawa mereka menyusupi celah antara dua batang pohon yang berdampingan sehingga mereka hanya dapat bergerak maju dengan tubuh miring, melewati tetumbuhan penuh duri dan akhirnya mereka terhalang oleh sebuah rawa yang lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter.
Di atas rawa ini dipasangi jembatan bambu melintang, terdiri dari dua batang bambu yang disambung-sambung tanpa pegangan. Jembatan itu sempit dan kalau dilalui orang tentu memerlukan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Pendeknya, orang biasa takkan mampu melewati jembatan yang cukup panjang ini.
Akan tetapi, para muda itu terheran-heran melihat Cui Bi tidak mengajak menyeberangi rawa melalui jembatan itu, melainkan langsung turun ke dalam rawa!
"Ehh, ada jembatan mengapa menyeberang rawa yang airnya begitu kotor, dan siapa tahu kalau membuat kita tenggelam?" teriak Li Eng yang berjalan di belakang Cui Bi.
Cui Bi berhenti, menoleh dan tertawa. "Di antara seratus orang, tentu tak ada seorang pun yang tidak mengira bahwa perjalanan selanjutnya tentu melalui jembatan yang sukar ini. Akan tetapi ini hanya perangkap bagi musuh yang mencoba-coba memasuki jalan rahasia ini. Siapa yang menyeberang melalui bambu ini, akan tersesat jauh dan akan menghadapi bahaya yang hebat di sebelah sana. Sekarang ikutilah saja bekas jejak kakiku dan jangan sampai terpeleset!"
Dengan perlahan supaya dapat diikuti dengan seksama oleh kawan-kawannya, Cui Bi lalu melangkahkan kaki ke dalam rawa dan... kiranya di dekat permukaan air rawa yang hitam itu dipasangi patok-patok tertentu yang cukup lebar sebagai injakan kaki. Patok-patok ini dipasang sedemikian rupa sehingga hanya mereka yang telah hafal saja yang akan dapat mencarinya.
Cui Bi melangkah, ke kanan sembilan langkah, memutar ke kiri sembilan langkah, lurus sembilan langkah lalu membelok lagi ke kanan dan kemudian melalui bawah jembatan bambu itu, sama sekali tidak menyeberang, tapi menyusur sepanjang rawa itu memanjang ke kiri. Dilihat dari jauh, lima orang muda itu seakan-akan berjalan di atas air rawa! Sama sekali bukan seberang di mana jembatan itu berakhir yang dituju oleh Cui Bi, melainkan membelok dan lenyap di tikungan yang penuh dengan tetumbuhan liar.
Setelah melangkah sebanyak sembilan puluh sembilan langkah, mereka tiba di seberang sana dan meloncat ke daratan yang indah, penuh kembang dan rumput hijau.
"Kita berhenti di sini, di sebelah sana ada terowongan yang menuju ke puncak. Biarlah aku sendiri yang akan naik melapor kepada Ayah. Biasanya Ayah kalau hendak menemui para murid tentu keluar dari terowongan itu. Tak sembarang orang diperbolehkan melalui terowongan. Nah, kalian tunggu sebentar, aku segera kembali bersama Ayah."
Lin Eng, Hui Cu, Kun Hong dan Kong Bu terpaksa menanti di situ sungguh pun Kong Bu dan Li Eng yang keras hati itu tidak sabar dan tidak puas mengapa diadakan peraturan seperti ini. Mereka tentu saja tidak tahu betapa dulu Beng San mempunyai banyak sekali musuh-musuh yang sangat lihai, yang selalu berusaha menyerbu tempat tinggalnya untuk membalas dendam. Untuk menjaga keselamatan keluarganya, terpaksa pendekar ini lalu membuat tempat yang penuh rahasia ini.
Baru saja Cui Bi lenyap di sebuah tikungan, tiba-tiba Kun Hong yang kebetulan menengok ke belakang berseru, "Ada orang datang!"
Semua orang segera menengok dan cepat meloncat berdiri dari tempat duduk mereka di atas tanah. Benar saja, sesosok bayangan dengan gerakan yang gesit dan ringan sekali berloncatan dari patok ke patok, persis seperti yang mereka lakukan dengan hati-hati dan perlahan tadi.
"Wah, ia tentu mengikuti kita sejak tadi dan diam-diam memperhatikan jalan rahasia untuk menyeberangi rawa!" Kata Li Eng sambil siap untuk menghadapi lawan.
Empat orang muda ini maklum bahwa yang datang adalah seorang yang mempunyai ilmu meringankan tubuh hebat sekali. Kong Bu melompat ke dekat rawa.
"Dia lihai, biarlah aku menghadapinya!" dengan kata-kata demikian dia hendak mencegah kekasihnya itu berhadapan dengan lawan yang demikian lihainya.
Orang yang berloncatan itu tiba-tiba berhenti, agaknya menjadi ragu-ragu melihat bahwa orang-orang yang diikutinya itu ternyata berhenti dan telah melihatnya. Tetapi agaknya ia sudah merasa kepalang dan kini malah meloncat-loncat lagi dengan cekatan dan lebih cepat dari tadi.
Kedua lengannya berkembang ke kanan kiri, pakaian di tubuhnya berkibar, dipandang dari jauh seperti seekor burung besar. Kun Hong hampir berseru kaget karena dia mengenal bahwa langkah-langkah dan gerakan itu mirip betul dengan langkah ajaib Kim-tiauw-kun.
"Dia bukan musuh...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru. “Dia... dia Saudara Tiauw...!"
Memang benar dugaan gadis ini yang tak pernah dapat melupakan pemuda penolongnya itu sehingga dari jauh saja dia sudah mengenalnya. Bayangan yang datang berlompatan seperti terbang itu bukan lain adalah Sin Lee!
Akan tetapi seruan Hui Cu tidak berpengaruh bagi Kong Bu yang tidak mengenal pemuda itu. Dia membiarkan Sin Lee melakukan loncatan terakhir hingga berada di darat, lalu dia memapaki dan berkata, suaranya ketus,
"Siapa kau dan apa maksudmu mengikuti kami?"
Sin Lee adalah seorang pemuda yang berwatak kasar, juga jujur dan tidak pernah merasa takut terhadap siapa pun juga. Ia dapat merasakan ketusnya suara pemuda tampan yang menyambutnya, maka ia menjawab sama ketusnya, "Tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu sobat, perlu apa kau banyak bertanya?"
Lalu ia menoleh ke arah Hui Cu, mengangkat tangan memberi hormat pula kepada Kun Hong sambil berkata, "Maafkan aku, sengaja aku menyusul ke sini sebab aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Thai-san-pai."
Di sini sudah tidak ada Cui Bi dan tiga orang muda Hoa-san-pai itu termasuk tamu, tentu saja mereka tidak berhak melarang orang lain yang juga hendak bertemu dengan Ketua Thai-san-pai. Apa lagi Kun Hong dan dua orang keponakannya itu seperti orang kesima melihat betapa dua orang muda yang sama gagah sama tampan itu benar-benar mirip satu dengan yang lain!
Tetapi, Kong Bu yang merasa bahwa sebagai putera Ketua Thai-san-pai ia pun berhak melindungi kehormatan Thai-san-pai, segera membentak,
"Kau datang memata-matai kami. Kau mengikuti kami dengan diam-diam, perbuatanmu ini saja sudah cukup menyakinkan bahwa kau tentulah seorang jahat! Hayo mengaku kau siapa dan apa maksud kedatanganmu?"
"Saudara Kong Bu, dia bukan orang jahat!" serta merta Hui Cu membela, nada suaranya mengandung kemarahan. "Dialah yang menolong aku ketika kakekmu menculikku!"
Karena panas mendengar penolongnya dimaki, Hui Cu tak dapat mengendalikan hatinya dan sengaja ia mencela kakek Kong Bu. Hal ini tentu saja membuat Kong Bu makin tak senang kepada pendatang ini.
Hemmm, kiranya inilah orangnya yang oleh kakeknya dianggap lihai dan yang ternyata berhasil merampas Hui Cu dari tangan kakeknya. Ia memandang tajam, sinar matanya berapi-api.
Ada pun Sin Lee ketika mendengar pembelaan Hui Cu, diam-diam merasa puas sekali, kemudian dia bertanya, suaranya mengandung ejekan, "Sobat, kau bersikap seolah-olah kau raja tempat ini. Apa hubunganmu dengan Ketua Thai-san-pai dan betulkah kata-kata Nona Hui Cu bahwa kau cucu iblis tua Song-bun-kwi?"
Segera Kong Bu memandang dengan mata melotot, "Keparat, tutup mulutmu yang kotor! Song-bun-kwi memang kakekku dan Ketua Thai-san-pai ayahku, kau mau apa?"
"Bagus! Kiranya kau si keparat, keturunan para pembunuh ayahku! Hemm, setelah kita bertemu di tempat ini, jangan harap kau mampu lepas dari tanganku!" Sin Lee mencabut pedangnya dan memandang penuh kebencian.
"Ho-ho-ho, manusia sombong, bukan aku yang akan roboh, melainkan kau yang akan menggeletak tak bernyawa di depan kakiku! Hayo, jika kau memang jantan katakan siapa namamu dan mengenai kematian ayahmu. Memang entah sudah berapa ratus manusia jahat yang tewas di tangan Ayah dan kakekku, agaknya termasuk ayahmu itulah!" Kong Bu mengejek dan mencabut pula pedangnya.
Sin Lee menggerakkan pedangnya, lalu menerjang sambil berkata, "Ibuku Kwa Hong dan ayahku terbunuh oleh kakekmu. Mampuslah kau!"
Terjangan ini hebat sekali, seperti seekor burung menyerbu. Akan tetapi Kong Bu sudah waspada. Pemuda ini sudah mengerti bahwa kini ia menghadapi lawan yang tidak boleh dipandang ringan. Cepat ia mengeluarkan suara melengking dan pedangnya menangkis, tubuhnya menggeliat dan tiba-tiba ia sudah balas menyerang tidak kalah cepatnya. Akan tetapi, serangan yang biasanya sukar dihindarkan oleh lawan ini ternyata dengan mudah dielakkan oleh Sin Lee yang menggeser kakinya secara aneh.
Segera dua orang muda ini bertanding dengan hebat sekali. Pedang di tangan mereka bersuitan, mengeluarkan angin yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin. Mata pedang menyambar-nyambar mencari mangsa dan di antara mereka terdengar lengking-lengking saling bersahut, suara yang menggetarkan jantung karena suara ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam.
Melihat ‘kekasihnya’ bertempur, Li Eng sudah mencabut pedangnya pula, siap untuk maju membantu. Akan tetapi Hui Cu menyentuh lengannya dan ketika Li Eng menengok, dia terheran melihat bahwa Hui Cu menangis!
"Adik Eng..., jangan... jangan serang dia... dia itu penolongku..."
Li Eng bingung sekali. "Tapi... tapi... pertandingan ini begini hebat, salah seorang tentu akan celaka..." katanya penuh kekuatiran. Tentu saja kuatir kalau-kalau Kong Bu yang terluka.
Sementara itu, Kun Hong sangat tertarik, terheran-heran melihat gerakan pedang serta gerakan kaki yang dimainkan Sin Lee. Itulah Kim-tiauw-kun, pikirnya. Kim-tiauw-kun yang tidak sempurna dan tidak lengkap namun dilengkapi dengan ilmu silat lain yang aneh.
Melihat cara dua orang pemuda itu bertanding, Kun Hong segera maklum bahwa dengan pedangnya dia sanggup memisahkan mereka, sanggup melerai. Akan tetapi karena dia melihat bahwa keduanya setingkat dan seimbang kepandaiannya, dia tidak terburu-buru melerai. Dia ingin melihat lebih lama lagi ilmu silat yang dimainkan oleh Sin Lee.
"Kalian tak usah kuatir, mereka takkan celaka, keduanya sama tangguh, kita nonton saja," katanya.
Li Eng mengerutkan kening, juga Hui Cu. Entah mengapa, ada sesuatu perasaan yang membuat mereka saling menjauhi! Memang keduanya terpisah oleh perasaan yang saling bertentangan, yang seorang memihak Kong Bu yang seorang lagi memihak Sin Lee. Biar pun mereka berdua merasa sungkan untuk membantu namun diam-diam mereka sudah mengambil keputusan, terutama Li Eng, bahwa kalau sampai orang yang dicintai terluka, tentu dia akan menyerbu dan menuntut balas.
Pertandingan itu benar-benar seru sekali. Ketika di antara permainan pedangnya Sin Lee kelihatan memutar-mutar tangan kiri, diam-diam Kun Hong menjadi gelisah dan otomatis dia mengambil beberapa buah batu kecil siap untuk disambitkan ke arah pergelangan tangan kiri Sin Lee andai kata ia melihat Kong Bu terancam bahaya.
Ia sudah mengenal kehebatan pukulan tangan kiri dengan tangan diputar-putar ini. Pernah ia melihat Sin Lee merobohkan Kim-thouw Thian-li dengan pukulan semacam ini yang mengakibatkan luka dalam yang hebat dan mengandung hawa beracun.
Benar saja, setelah memutar-mutar tangan kiri beberapa kali, Sin Lee lalu mengeluarkan seruan dan mendorongkan tangan kirinya itu ke depan. Kun Hong sudah menegang urat tangannya, akan tetapi dia menjadi lega ketika melihat Kong Bu mengeluarkan seruan keras sekali, tangan kirinya juga mendorong ke depan dengan jari tangan terbuka. Dua hawa pukulan yang sama hebatnya bertemu dan... akibatnya keduanya terjengkang ke belakang!
"Ahh... kau tidak apa-apa...?" Li Eng memburu Kong Bu.
Sedangkan Hui Cu memburu Sin Lee, juga bertanya, "Kau tidak apa-apa...?"
Kedua orang pemuda itu menggeleng kepala, lalu dengan beringas menerjang maju lagi, bertanding lebih hebat dari pada tadi.
Li Eng dan Hui Cu sudah mencabut pedang, agaknya sudah gatal-gatal tangan mereka hendak membantu kekasih masing-masing. Tapi Kun Hong segera mendatangi mereka, menarik tangan mereka diajak duduk di bawah pohon, menjauhi pertempuran.
"Kalian bocah-bocah nakal, untuk apa mesti turut-turut? Yang seorang anak Bibi Bi Goat dan paman Beng San, yang seorang lagi anak Enci Kwa Hong dan Paman Beng San, mengapa turut-turut? Kulihat mereka sama pandai, sama kuat, nanti kalau memang ada yang terdesak, barulah kita maju untuk melerai sebelum ada yang terdesak. Kalau kita memisah, tentu mereka penasaran dan tidak mau menerima. Biarlah saja, kita nonton di sini."
Sin Lee yang selama ini belum pernah menemui tandingan berat kecuali pada waktu dia bergebrak sejurus saja dengan Kakek Song-bun-kwi, menjadi penasaran sekali. Ia lantas memekik-mekik dan tubuhnya kadang-kadang meloncat tinggi, kadang-kadang menerjang dari kanan kiri seperti orang terhuyung-huyung, beberapa kali mempergunakan gerakan seperti rajawali emas, menyerang dengan pedang akan tetapi yang betul-betul merupakan serangan adalah pukulan tangan kiri, kadang-kadang menerjang hebat dengan pedang, pukulan tangan kiri dan tendangan bertubi-tubi dengan kedua kakinya! Ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya.
Akan tetapi Kong Bu benar-benar kuat sekali penjagaannya. Juga cucu Song-bun-kwi ini merasa sangat penasaran sampai mukanya menjadi merah, matanya mendelik marah. Selamanya, kecuali ketika bertanding melawan Li Eng, belum pernah ia bertemu tanding sehebat pemuda ini.
Kadang kala ia dibikin bingung oleh gerakan-gerakan yang aneh dan ajaib, namun berkat gemblengan kakeknya yang amat hati-hati mengajar cucunya, Kong Bu dapat menangkis semua serangan lawan, bahkan dia pun mampu membalas tak kalah hebatnya. Ia malah mengeluarkan Yang-sin Kiam-sut yang berhawa panas, dan setelah dia memainkan ilmu pedang ini, benar saja ia mampu mendesak lawan.
Namun Sin Lee dengan langkah ajaib yang ia warisi dari ibunya, dapat menghindarkan kurungan-kurungan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut ini, sehingga walau pun dia terdesak oleh ilmu pedang aneh ini, namun belum pernah pedang lawan dapat menyentuh ujung bajunya. Sudah empat ratus jurus lebih dua orang muda itu bertanding seperti dua ekor naga atau dua ekor singa. Kun Hong sudah mulai ragu-ragu dan sudah timbul niat di hatinya untuk turun tangan melerai. Kalau ia turun tangan, tentu saja berarti ia membuka rahasia sendiri, karena kalau bukan seorang yang memiiiki ilmu silat tinggi tak mungkin dapat mendekati dua orang muda yang sedang bertanding itu, apa pula memisah.
Pada saat Kun Hong meragu itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang. Kun Hong melihat bahwa orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, memelihara jengot pendek, pakaiannya sederhana dan tubuhnya sedang, matanya berkilat-kilat bagai mata harimau, di punggungnya tergantung pedang.
Bayangan orang ini langsung menyerbu ke dalam gelanggang pertandingan, gerakannya gesit dan luar biasa sekali sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata. Tetapi tahu-tahu dua orang yang bertanding tadi seperti terdorong oleh angin yang mengandung kekuatan tak terlawan, keduanya terpental ke belakang, terhuyung-huyung mundur masing-masing lebih dari tujuh langkah!
Beberapa detik kemudian muncullah seorang wanita cantik, usianya juga hampir empat puluh, dandanannya sederhana pula, ringkas dan rambutnya yang hitam itu digelung ke atas, sebatang pedang menempel pula di punggung. Biar pun sudah setengah tua wanita ini masih tangkas dan cantik, sepasang pipinya masih segar kemerahan dan gerakannya tangkas biar pun melihat perutnya yang agak besar itu mudah diketahui bahwa ia sedang mengandung muda.
Di belakang wanita ini berlari-lari Cui Bi yang kini berpakaian sebagai seorang gadis cantik sehingga untuk sejenak Kun Hong memandang dengan muka merah dan mata melotot sukar dikejapkan!
Mudah diduga bahwa laki-laki yang memisah pertandingan itu bukan lain adalah Si Raja Pedang Tan Beng San sendiri, sedangkan wanita cantik yang mengandung itu adalah Cia Li Cu.
Setelah berhasil memisah dua orang muda yang bertanding hebat itu, Beng San berdiri memandang dengan penuh kekaguman dan keheranan. Ia bingung juga karena menurut puterinya, Cui Bi, di sini ia akan bertemu dengan puteranya, putera Bi Goat yang bernama Kong Bu. Tidak tahunya sekarang ada dua orang pemuda yang bertanding sedemikian hebatnya, sama-sama muda, sama-sama gagah dan yang aneh, ia merasa seakan-akan sudah mengenal wajah keduanya!
Cui Bi serta merta menghampiri Kong Bu dan menarik tangan kakak tirinya ini, dibawa mendekat kepada ayahnya. "Bu-ko, inilah Ayah. Ayah, inilah Kakak Kong Bu!"
Keduanya berdiri saling pandang seperti terpesona. Beberapa detik kemudian, menitiklah dua air mata dari mata Beng San. Dia seakan-akan melihat Bi Goat dalam diri Kong Bu, mulut itu, mata itu...
"Ayah...!" Kong Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Beng San.
"Anakku... kau anakku...!"
Beng San lalu memeluk pundaknya, mendekap kepala puteranya itu seperti ia mendekap kepala Bi Goat, isteri yang amat dikasihinya dahulu.
"Terima kasih, Tuhan. Kau telah mempertemukan kami dalam keadaan begini..."
Memang selama ini Beng San selalu berkuatir kalau-kalau anak-anaknya dari Bi Goat dan Kwa Hong akan dididik orang untuk membenci dan memusuhinya.
"Ayah, terus terang saja, memang tadinya anak datang mengandung pikiran yang tak baik terhadap Ayah. Syukur anak bertemu dengan Adik Cui Bi...," kata Kong Bu yang jujur.
Berseri wajah Beng San. "Cui Bi anak baik!"
Ia berdiri dan Li Cu lalu mendekati Kong Bu, memandang dengan wajah berseri.
"Kong Bu-koko, ini ibuku," kata Cui Bi memperkenalkan.
Kong Bu memandang sejenak, melihat wajah cantik berseri-seri, lalu ia pun menjatuhkan diri berlutut. "Anak Kong Bu menghaturkan hormat."
Sepasang mata yang bening itu menjadi basah. Suaranya menjadi serak karena terharu ketika wanita ini merangkul Kong Bu sambil berkata, "Kau anakku! Belasan tahun aku menanti-nanti datangnya saat ini. Ayahmu sangat banyak menderita karena memikirkan kau, Anak."
Diam-diam Kong Bu terharu sekali. Sama sekali tak pernah ia membayangkan bahwa ibu tirinya adalah seorang wanita yang selain cantik jelita dan gagah, juga demikian baik hati dan mau menerimanya sebagai anak dengan tulus ikhlas. Hal ini tak dapat disangkal lagi, tidak mungkin sikap seperti ini dibuat-buat dan diam-diam ia makin bersyukur bahwa ia telah percaya akan segala omongan adik tirinya, Cui Bi.
Dalam kegirangan dan keharuannya, Kong Bu teringat kepada lawannya, maka ia segera berkata kepada ayahnya, "Ayah, dia adalah anak... siluman betina Kwa Hong yang telah merusak hidup mendiang ibuku! Harap Ayah jangan kuatir, biar kubinasakan dia!"
"Hemm, Kong Bu bocah sombong, kau ingin mengandalkan teman banyak untuk menjual lagak? Kau kira aku takut? Boleh maju mengeroyok, aku Sin Lee takkan mundur setapak!"
Sementara itu, ketika Beng San dan Li Cu mendengar kata-kata Kong Bu tadi, suami isteri ini berdiri terkesima dan mereka memandang kepada Sin Lee seperti patung. Anehnya, wajah Beng San pucat sekali dan air mata makin deras mengalir dari sepasang mata Li Cu.
"Thian Yang Maha Adil!" Beng San akhirnya mengeluh. "Sudah terasa di hatiku tadi, aku... aku seperti mengenali wajahnya..."
Beng San melangkah mendekati Sin Lee yang memandang dengan mata tajam curiga.
"Kau... kau anak Hong Hong? Kau... kau juga anakku... anakku...!" Dengan kedua lengan dikembangkan, Beng San hendak memeluk Sin Lee.
Pucat seketika wajah Sin Lee dan ia cepat-cepat menghindarkan diri. "Bohong! Aku bukan anakmu! Bukankah kau yang bernama Tan Beng San?"
Berseri wajah Raja Pedang ini, girang bahwa puteranya, keturunan Kwa Hong, ternyata mengenal namanya. Dengan penuh gairah dia menjawab, "Betul, anakku, betul... akulah Tan Beng San!"
Muka Sin Lee mengeras. "Bagus, memang kedatanganku ini hendak bertemu dengan Tan Beng San Ketua Thai-san-pai. Menurut ibuku, engkaulah salah seorang di antara mereka yang menjadi sebab kematian ayahku dan sebab kesengsaraan hidup ibuku. Tan Beng San, kau harus ikut dengan aku ke Lu-liang-san untuk menghadap Ibuku dan menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Ibu sendiri!"
Semuanya kaget mendengar ini, kecuali Beng San yang mendengarnya dengan senyum duka.
"Kanda Sin Lee...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru dan mendekati pemuda ini. Dalam sedih dan bingungnya nona ini sampai lupa diri dalam panggilannya yang demikian penuh perasaan dan mesra. "Jangan... jangan kau memusuhi Paman Tan Beng San... ahh, kenapa jadi begini...?" Gadis itu lalu menangis terisak-isak.
Kening Sin Lee berkerut. Kekerasaan hatinya tertusuk dan kelemahannya tersinggung. Akan tetapi ia mengeraskan perasaan, menyentuh tangan Hui Cu yang diulurkan. Hanya sedetik saja tangan mereka bersentuhan, dan pemuda ini berkata, suaranya halus namun penuh ketegasan,
"Dinda Hui Cu... menjauhlah kau... urusan ini tak dapat dirubah lagi. Ini kehendak Ibu dan aku harus berbakti kepada Ibu, biar untuk itu aku harus berkorban nyawa sekali pun. Ibu selamanya hidup menderita, ditinggal Ayah dan dihina banyak orang, kalau aku sebagai putera tunggalnya tidak berbakti kepadanya, habis apa balasku terhadap Ibu yang telah melahirkan aku? Dinda, jangan kau turut-turut, jangan beratkan hatiku, mundurlah..."
"Kalau begitu. kau memang patut mampus!" Tiba-tiba Kong Bu membentak dan pemuda ini mengirim pukulan keras sekali.
Sin Lee mendengus dan mengangkat tangan menangkis.
"Dukkk!"
Dua lengan tangan yang sama kuatnya bertemu, membuat tubuh keduanya terpental ke belakang tiga langkah. Kong Bu masih hendak menyerang lagi namun Beng San segera berseru,
"Kong Bu, tahan! Jangan kau serang dia! Sin Lee, kau adalah anakku, kau mau mengaku atau tidak, kau adalah anakku!" Beng San berseru dengan suara parau.
Kong Bu terpaksa melompat mundur dengan hati gemas, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak ayahnya. Juga Cui Bi yang sudah tahu akan semua hal ini karena ia pernah mendengar dari ibunya tentang Kwa Hong, sekarang mendekati Kong Bu dan memegang tangannya, memberi isyarat agar supaya kakak tirinya ini tidak ikut campur.
Melihat betapa suaminya meratap-ratap dengan hati hancur, sementara Sin Lee berdiri tegak dan tegap, sikapnya angkuh membayangkan sikap Kwa Hong dahulu, Li Cu dapat merasakan betapa hancurnya hati suaminya itu, betapa suaminya saat ini seperti ditampar mukanya, seperti dibuka matanya akan akibat dari perbuatannya yang lalu.
Li Cu adalah seorang wanita bijaksana, seorang yang berpandangan luas dan memang pada dasarnya berbudi mulia. Ia tidak hanya berkasihan kepada suaminya yang tercinta, akan tetapi juga kasihan kepada Sin Lee yang tidak berdosa apa-apa tetapi seakan-akan sekarang memikul akibat dari dosa yang dilakukan ayah bundanya.
"Aku tidak percaya kau ayahkul" Sin Lee membentak. "Ayah sudah mati dan kau adalah seorang di antara mereka yang menyebabkan kematiannya. Aku harus percaya kepada ibuku seorang dan kau mau tidak mau harus ikut aku menghadap ibuku!"
Li Cu bergerak ke depan dan menghadapi Sin Lee. Ia menahan-nahan keluarnya air matanya. Memang harus dikasihani wanita ini. Kalau ada wanita yang merasa perih dan tertusuk hatinya menghadapi semua peristiwa ini dialah orangnya.
Pada waktu yang sama, dia harus menyaksikan pertemuan antara suami dan dua orang anak yang terlahir dari dua orang isteri suaminya yang lain. Akan tetapi dasar ia berwatak baik, ia tidak merasa sakit hati malah merasa kasihan sekali, baik kepada suaminya mau pun kepada anak-anaknya itu.
"Sin Lee, aku adalah Cia Li Cu, isteri Tan Beng San. Akulah saksi utama bahwa kau adalah benar-benar anak suamiku ini, kau anak Tan Beng San dan Kwa Hong, jangan kau melawan ayahmu sendiri, Nak. Kau anak suamiku, juga anakku, meski pun anak tiri tapi kuanggap kau anakku sendiri. Majulah, berilah hormat kepada ayahmu, Sin Lee, seperti yang kau lihat tadi dilakukan oleh Kong Bu, juga anak kami yang lahir dari Kwee Bi Goat. Berdosa melawan orang tua sendiri, Sin Lee."
Pemuda itu memandang dengan mata terbelalak tajam. "Hanya Ibu yang kupercaya! Ibu menyatakan bahwa Tan Beng San adalah musuh Ibu, yang harus kuseret ke depan Ibu di Lu-liang-san. Malah Ibu bepesan, wanita yang bernama Cia Li Cu adalah musuh besarnya dan harus kubunuh."
Terdengar jerit kemarahan dan Cui Bi sudah melompat maju menerjang dengan pedang terhunus.
"Traangggg!"
Pedang gadis ini terangkis oleh pedang Sin Lee. Demikian keras pertemuan senjata ini sampai keduanya mundur tiga langkah, saling pandang dengan mata berapi-api. Dengan pedangnya Cui Bi menuding ke arah muka Sin Lee sambil berseru marah,
"Keparat kau! Sombong dan jahat, seperti orang yang menjadi ibumu! Ketahuilah, ibumu itulah yang jahat, bagaikan iblis betina. Dunia kang-ouw tahu belaka akan hal ini. Ibunya iblis, anaknya pun setan!"
"Cui Bi... diam kau...!" Li Cu membentak dan menarik tangan anaknya.
"Memang betul ucapan Cui Bi!" Tiba-tiba saja Li Eng berteriak dan gadis ini pun sudah mencabut pedang. "Siluman betina Kwa Hong orang terjahat di dunia, anaknya pun bukan orang baik! Aku masih ada perhitungan dengan siluman Kwa Hong yang belum kutagih!"
Seperti juga Cui Bi tadi, Li Eng saking marah melihat anak musuh besarnya, menerjang dengan pedang diputar. Hebat sekali serangan ini, sinar pedang itu sampai menyerupai payung lebar yang mengurung diri Sin Lee. Kembali Sin Lee menggerakkan pedangnya menangkis dan dua orang muda itu terpental ke belakang.
"Adik Li Eng, jangan...!" Hui Cu mengejar sambil terisak-isak dan menarik tangan Li Eng mundur. "Janganlah... kau jangan serang dia..." bisik Hui Cu dengan muka pucat dan pipi basah air mata.
Menghadapi Kong Bu, Cui Bi, dan Li Eng yang memandang padanya seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat itu, Sin Lee tersenyum mengejek, "Hemmm, ada kabar akan didirikannya Thai-san-pai, yang katanya diketuai seorang ahli pedang yang berkepandaian tinggi. Kiranya hanya tukang keroyok. Hayo Tan Beng San, kalau memang kau tidak suka kuseret ke Lu-liang-san, terpaksa aku menggunakan kekerasan. Ataukah engkau hendak menggunakan anak-anakmu untuk mengeroyok? Majulah kalian, siapa takut kepadamu?"
"Jahanam jangan sombong kau!" Kong Bu yang berdarah panas itu tak dapat menguasai hatinya lagi, segera ia menerjang dengan pedang di tangannya.
Gerakan Kong Bu ini otomatis disusul oleh Cui Bi dan Li Eng, sehingga sekaligus Sin Lee menghadapi serangan tiga orang muda itu! Tingkatnya adalah tak berbeda jauh dengan seorang di antara mereka, bahkan dibandingkan Cui Bi, kiranya sukarlah dia mengatasi gadis ini. Akan tetapi Sin Lee memiliki keberanian yang tak kenal batas dan ketabahan hatinya membuat dia nekat. Pedangnya diputar dan…
“Trang-trang-trang!” terdengar suara nyaring disusul muncratnya bunga api.
Li Cu dan Beng San berteriak-teriak melarang, juga Hui Cu berteriak-teriak memanggil nama Li Eng. Hanya Kun Hong yang berdiri seperti patung, tak tahu harus berbuat apa. Ia sudah mulai mengerti akan duduknya perkara, dan ia benar-benar merasa bingung.
Kun Hong menarik napas panjang dan berkata seorang diri, "Hukum karma... orang tua yang menanam, anak-anak yang memetik buahnya!"
Mendadak berkelebat bayangan orang yang didahului oleh lengking tinggi, sinar pedang menderu dan bunyi cambuk berdetar-detar di udara sehingga membuat tiga orang muda yang mengeroyok Sin Lee terkejut dan cepat meloncat mundur sambil melindungi tubuh dengan pedang masing-masing karena entah dari mana datangnya, ujung cambuk yang ada anak panahnya menyerang bagian-bagian berbahaya tubuh mereka.
"Hi-hi-hi, Beng San pengecut! Melepaskan anjing-anjing cilik untuk mengeroyok Sin Lee. Anakku Sin Lee, jangan takut! Ibumu datang!"
Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik dan bermata liar, memegang cambuk yang berekor lima batang anak panah hijau. Kwa Hong, wanita yang selama belasan tahun menyembunyikan diri itu sekarang muncul tiba-tiba di tempat itu dengan sinar mata penuh mengandung nafsu membalas dendam, sepasang mata yang masih bening akan tetapi amat liar dan ganas!
"Hong-moi...!" Beng San berseru.
Akan tetapi suaranya terhenti karena lehernya serasa tercekik. Ia sudah melangkah maju dua tindak lalu berdiri seperti patung, sinar matanya membayangkan kedukaan hebat.
"Ha-ha-ha-ha, Beng San, masih merdu suaramu memanggil aku. Hong-moi... alangkah merdunya. Ahh, Beng San, kau masih pandai merayu, hik-hik-hik!"
"Hong-moi, apakah kau tidak dapat menyudahi saja urusan lama? Lihat, anak kita sudah begitu besar, Hong-moi, dan demi Tuhan, janganlah kau bawa anak kita terseret-seret ke dalam urusan kita...," kata pula Beng San dengan suara menggetar.
Kembali Kwa Hong tertawa. "Beng San, apakah kau tidak ingat betapa dahulu kau selalu menyakiti hatiku, menolakku dan membiarkan aku hidup merana sendiri? Membiarkan aku berubah menjadi iblis? Hi-hi-hik, sejak kecil kupelihara, kugembleng supaya setelah besar dapat membalaskan sakit hatiku terhadapmu, sekarang tibalah saatnya. Sin Lee, anakku, inilah orangnya yang sudah merusak hidup ibumu. Kau turun tanganlah, bunuh dia. Kau jangan takut, ada ibumu di sini!"
Tangan Sin Lee yang memegang pedang menegang, lalu menggetar, akan tetapi bibirnya bertanya, lirih, "Ibu..., benarkah dia itu ayahku?"
"Tak peduli dia itu apamu, dia seorang yang jahat melebihi binatang, patut kau binasakan. Dia menyia-nyiakan kau. Dia makhluk jahat, perusak hati wanita. Bunuh dia!"
Tiba-tiba Li Eng yang sejak tadi memandang marah kepada Kwa Hong, menerjang maju menggerakkan pedangnya mengancam Kwa Hong, "Kwa Hong, kau siluman betina jahat, dengarlah! Aku Kui Li Eng dari Hoa-san-pai! Ingatkah kau betapa kau mengusir ayah dan ibuku memasuki Im-kan-kok, membiarkan mereka mati tidak hidup pun tidak? Sekarang kau hendak mengacau lagi di Thai-san, ahhh... dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, hari ini aku akan membalaskan sakit hati orang tuaku!"
Pedang gadis ini menyerang seperti kilat cepatnya sehingga Kwa Hong menjadi terkejut juga dan cepat mengelak. Untuk sejenak wanita ini tercengang, dan hanya mengelak ke sana ke mari atas desakan Li Eng.
"Kau... kau... anak Thio Bwee dan Kui Lok? Kau lahir di Im-kan-kok? He-he, lucu sekali... kau berani melawan aku?" Mulailah ia menangkis dan balas menyerang.
Sementara itu, Sin Lee sudah memandang kepada Beng San dengan mata mendelik. Dan melihat ibunya sudah bertempur, ia melempar semua keraguan dan menganggap bahwa dia dan ibunya sedang berada di tempat musuh. Maka, cepat ia menusukkan pedang ke arah dada Beng San sambil berseru,
"Kau musuh ibuku, harus kubunuh!"
Beng San mengeluarkan keluhan panjang. Peristiwa yang terjadi di hadapan matanya ini membuat seluruh tubuhnya lemas, matanya berkunang dan hatinya rusak, maka serangan Sin Lee puteranya sendiri itu tak dihiraukan.
"Trangggg!"
Pedang Sin Lee membentur sebatang pedang lain yang digerakkan secepat kilat. Cui Bi sudah menangkis pedang itu dengan mata berapi-api.
"Keparat, jangan ganggu Ayahl"
Pedangnya terus menyerang dan di lain detik Sin Lee sudah bertanding hebat melawan Cui Bi.
Tadinya Kong Bu hanya menonton saja. Biar pun munculnya Kwa Hong mendatangkan rasa panas di hatinya karena teringat bahwa wanita inilah yang menyebabkan ibunya mati ngenes, namun karena Kwa Hong sedang berhadapan dengan ayahnya, dia tidak berani mencampuri dan menanti saat baik.
Sekarang saat itu tiba, yaitu setelah Kwa Hong bertempur melawan Li Eng, kekasihnya. Tentu saja ia tidak bisa tinggal diam, apa lagi karena maklum bahwa wanita itu lihai sekali dan Li Eng bisa berbahaya kalau melawannya seorang diri saja.
"Kwa Hong wanita busuk, ibuku Kwee Bi Goat meninggal dunia akibat merana karena kejahatanmu. Lihat pedangku menamatkan riwayatmu!" bentaknya sambil menerjang.
Tidak heran hati Kwa Hong mendengar ini karena memang ia sudah tahu akan pemuda ini. Sudah lama juga ia mengikuti puteranya sehingga ia tadi mendengar bahwa pemuda gagah ini adalah putera Kwee Bi Goat. Tanpa berkata apa-apa ia segera menangkis dan menghadapi Kong Bu dan Li Eng dengan gerakan aneh dari pedang dan cambuknya.
Beng San susah sekali hatinya melihat pertempuran-pertempuran itu. Beberapa kali Li Cu hendak mencabut pedang dan ikut menerjang maju, akan tetapi melihat betapa suaminya menjadi amat sedih, ia pun tidak tega. Li Cu dapat menyelami sepenuhnya kesedihan hati suaminya. Siapa tak akan sedih melihat kedatangan seorang putera yang datang-datang menjadi musuh?
Kun Hong yang bingung juga melihat Hui Cu dengan muka pucat berdiri memandang Sin Lee, merasa bahwa enci tirinya itu memang keterlaluan. Kalau ada urusan lama, mengapa diteruskan sampai sekarang, malah seorang anak disuruh melawan ayahnya sendiri. Tak terasa lagi kakinya melangkah mendekati pertempuran, langsung ia mendekati Kwa Hong dan berkata, suaranya lantang,
"Enci Kwa Hong, kalau Ayah melihat kelakuanmu hari ini, tentu akan marah sekali!"
Kwa Hong kaget dan melirik heran. Biar pun dikeroyok dua oleh Kong Bu dan Li Eng, ia masih sempat memperhatikan pemuda tampan yang aneh, yang berani menegurnya dan memanggil enci ini.
"Bocah, kau siapa?"
“Aku adalah adik tirimu, ayahku Kwa Tin Siong ibuku Liem Sian Hwa! Kelakuanmu hari ini sungguh tidak patut. Seharusnya kau mempertemukan anakmu dengan Tan Beng San Taihiap sebagai anak dan ayah dengan mengubur persoalan-persoalan lama."
"Keparat, tutup mulut kau!"
Sebuah anak panah hijau di ujung cambuk menyambar pundak Kun Hong. Akan tetapi anehnya, anak panah itu tidak mengenai sasaran biar pun tadi kelihatan sudah jitu. Kwa Hong terkejut, apa lagi ketika melirik ke arah gerak kaki Kun Hong yang tidak karuan itu.
"Siapa namamu?"
"Kwa Kun Hong. Enci, kau turutlah permintaanku...," kata Kun Hong girang.
"Kun Hong, kau adikku, seharusnya kau membantuku. Tan Beng San itu orang jahat, dia harus membayar hutangnya."
Terpaksa Kwa Hong memutar cepat cambuknya untuk mendesak Li Eng dan Kong Bu karena selagi dia bercakap-cakap, dua orang muda itu mendapatkan kesempatan untuk menekannya.
"Tidak bisa, Enci Hong. Kau yang tidak patut..."
"Setan, mampuslah!"
Kini dua batang panah menyambar, satu ke ulu hati satu lagi ke arah kepala Kun Hong. Serangan ini hebat sekali dan memang amat keji hati Kwa Hong, menyerang adik tirinya sendiri secara mendadak seperti itu. Akan tetapi kembali ia melengak karena dua batang anak panahnya tidak mengenai sasaran, sedangkan Kun Hong hanya terhuyung-huyung saja.
Semakin kuatir hati Kwa Hong. Baru orang-orang muda ini saja sudah begini hebat. Kalau sampai Beng San dan Li Cu turun tangan, jangan harap ia akan dapat membalas dendam, malah-malah sangat boleh jadi ia dan puteranya akan tewas di tempat itu!
Sementara itu, melihat Kwa Hong dan puteranya terdesak, Beng San tak dapat menahan lagi. Betapa pun lihainya, tapi menghadapi Cui Bi yang marah itu Sin Lee mulai terdesak, sedangkan Kwa Hong juga payah menanggulangi kemarahan Kong Bu dan Li Eng yang amat lihai ilmu pedangnya. Tentu saja ia tidak ingin melihat pertumpahan darah terjadi di antara keluarganya sendiri.
"Berhenti...! Tahan senjata, hentikan pertempuran...!" serunya berkali-kali.
Ketika orang-orang muda itu nekat tidak mau berhenti, Beng San menggerakkan kedua lengannya berkali-kali dan... angin dingin yang luar biasa kuat menyambar ke depan dan membuat mereka yang bertempur itu terhuyung-huyung ke belakang.
Kwa Hong mengeluarkan bunyi lengking marah dan kecewa. "Sin Lee anakku, hayo kita pergi saja!" Ia menyambar tangan Sin Lee dan membawanya pergi melompat dari tempat itu.
Setetah bayangan dua orang ini lenyap, terdengar suara Kwa Hong, melengking nyaring, "Beng San manusia tak berjantung! Boleh kau tertawa atas kemenanganmu, akan tetapi tunggu saja pada hari pembukaan, hendak kulihat apakah kau masih ada muka menjadi Ketua Thai-san-pai, hi-hi-hik!"
"Bu-ko mari kita kejar dan bunuh mereka!" Cui Bi berseru.
"Hayo!" Kong Bu menjawab dan keduanya berlari maju hendak mengejar, malah Li Eng juga tidak ketinggalan.
"Kong Bu...! Kenapa kau tidak melakukan perintahku?!"
Mendadak sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu seorang kakek tinggi besar bermuka bengis sudah berdiri menghadang. Li Eng sampai mengeluarkan teriakan saking kagetnya karena ia segera mengenal kakek ini yang pernah menculik dia dan Hui Cu.
"Kongkong...!" Kong Bu juga berseru, girang dan kaget.
Sementara itu, ketika Beng San melihat munculnya kakek ini, wajahnya berubah. Cepat ia mengangkat tangan menjura dan berkata, "Gak-hu (Ayah Mertua)..."
Song-bun-kwi, kakek itu, tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, sebutan palsu itu masih saja kau pakai? Siapa yang tidak tahu akan kepalsuan hatimu? Eh, Kong Bu, kenapa kau berbaik dengan mereka ini?"
"Kakek, aku mengejar Kwa Hong, bukankah dia musuh besar kita?"
"Betul, akan tetapi kau melupakan laki-laki ini." Dia menuding ke arah Beng San. "Dialah yang membuat ibumu tidak panjang usia. Dia tergila-gila pada wanita lain, meninggalkan ibumu sampai ibumu mati merana. Kita harus memusuhi dia!"
"Kakek... akan tetapi dia… ayahku..."
"Huh! Ayah macam apa! Kau kena dibujuk orang!" Matanya liar menyapu ke kanan kiri. "Hayo pergi, tempat ini tak patut untukmu."
"Tapi... Kongkong..." Kong Bu meragu dan menoleh kepada ayahnya.
"Tidak ada tapi, hayo kau ikut aku pergi! Kau berat ayah keparat yang baru saja kau lihat sekarang ini ataukah kakekmu yang memelihara dan mendidikmu sejak kau masih bayi?" Suara Song-bun-kwi menggeledek dan matanya melotot.
Terjadi pertarungan dalam hati Kong Bu. Baru saja dia mengalami kebahagiaan bertemu dengan ayahnya, terutama sekali dengan Li Eng di tempat yang penuh damai itu. Baru saja hatinya dipenuhi dengan kebanggaan akan ayahnya, yang menyentuh hati baktinya untuk membela ayah dan memusuhi Kwa Hong.
Akan tetapi kemunculan kakeknya ini sekaligus membuyarkan segala yang indah-indah itu, membuka matanya bahwa di sana masih ada arwah ibunya yang menghendaki dia menuntut balas, tidak hanya kepada Kwa Hong, akan tetapi juga kepada Beng San yang meninggalkan ibunya. Hati dan perasaan Kong Bu ketika itu terbelah-belah, terbagi-bagi, sebagian besar condong kepada Li Eng, sebagian lagi pada ayahnya dan sebagian pula kepada kakeknya.
"Kong Bu...!" Suara Song-bun-kwi menggetar penuh kemarahan. "Jika kau tidak mau pergi bersamaku, biarlah mulai saat ini juga aku Song-bun-kwi bukan kakekmu lagi, melainkan musuh besarmu, biarlah lain saat aku mengadu nyawa denganmu!"
"Kongkong..."
Tetapi Song-bun-kwi sudah tidak mau menjawab lagi, melainkan membalikkan tubuh dan melompat pergi dari situ. Dengan muka pucat dan wajah sedih sekali Kong Bu terpaksa melompat juga, kemudian mengikuti kakeknya meninggalkan tempat yang disenanginya, orang-orang yang disayanginya.
Sunyi keadaan di situ setelah kakek dan cucunya itu lenyap bayangannya. Li Eng dan Hui Cu saling pandang dengan muka sedih dan kecewa. Kun Hong sejenak berpandangan dengan Cui Bi, akan tetapi Cui Bi segera menundukkan muka, ngeri melihat wajah Beng San yang berdiri di situ dengan kedua kaki terpentang, kedua lengan bertumpang di atas dada. Li Cu memandang suaminya dengan mata basah.
Orang gagah ini berdiri tegak. Mukanya yang tampan dan gagah itu merah sekali, malah hampir hitam. Alisnya terangkat, matanya menakutkan seperti mengeluarkan api dan kilat. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundak kirinya.
Beng San melirik dan melihat wajah isterinya yang berusaha tersenyum membesarkan hatinya. Perlahan-lahan warna merah kehitaman pada mukanya itu berubah menjadi putih lalu kehijauan. Ia menarik napas berulang-ulang. Barulah ia menurunkan dua tangannya dan memandang ke arah Kun Hong, Li Eng dan Hui Cu yang sudah menghadap dengan sikap hormat.
"Inikah mereka anak-anak Hoa-san-pai?" terdengar dia bertanya, suaranya masih agak gemetar karena pukulan batin tadi.
Cui Bi segera maju dan memperkenalkan tiga orang muda Hoa-san-pai itu kepada ayah bundanya. Ketiga orang itu, dipimpin oleh Kun Hong, segera menjura dan menghaturkan penghormatan mereka.
Kalau saja Beng San tidak baru saja menderita pukulan batin yang sangat hebat, kiranya pertemuan ini akan menggembirakannya sekali. Mereka ini adalah anak-anak para tokoh Hoa-san-pai yang dikenalnya dengan baik. Akan tetapi karena perasaannya sudah terluka oleh peristiwa tadi, ia hanya berkata kepada Cui Bi,
"Kau ajaklah mereka masuk dan beristirahat di puncak."
Cui Bi maklum akan keadaan hati ayahnya, maka ia lalu mengajak tiga orang muda itu melalui jalan terowongan menuju ke puncak, tempat tinggal ayahnya. Ada pun Beng San dan Li Cu yang ditinggalkan mereka, saling pandang penuh pengertian dan keharuan.
"Aku harus menyusul mereka, aku harus dapat merubah kekerasan hati Hong-moi...," kata Beng San kemudian, seperti kepada diri sendiri.
Li Cu mengerutkan keningnya. "Hatinya keras sekali, juga puteranya. Aku kuatir kau tak akan berhasil. Kenapa tidak menanti sampai selesainya ucapara pendirian Thai-san-pai?"
Beng San menggeleng kepala. "Justru aku tidak mau dia muncul di waktu upacara. Tentu dia akan mempergunakan urusan itu untuk merusak nama dan menggagalkan pendirian Thai-san-pai, Soal namaku, aku tidak peduli, akan tetapi kalau Thai-san-pai gagal berdiri, hal ini lebih hebat dari pada kehilangan nyawa."
Li Cu memegang tangan suaminya. "Akan tetapi, bagaimana kalau kau gagal? Kau akan dihina, kau... kau... biarlah aku ikut bersamamu."
Beng San cepat memegang kedua lengan istrinya. "Tidak! Jangan kau mencampurinya. Ini urusan antara aku dan Kwa Hong. Kalau perlu aku pun bisa menggunakan kekerasan. Kukira aku masih dapat mengatasi mereka ibu dan anak. Kau tak boleh banyak bergerak, isteriku, kau ingatlah kandunganmu. Kau tunggu saja di rumah dan percayalah padaku."
Li Cu menatap wajah suaminya, terisak dan menjatuhkan kepala pada pundak suaminya yang lalu mengelus-elus rambutnya. Awan gelap menyelubungi sepasang suami isteri ini, awan gelap yang timbul dari urusan-urusan lama. Beberapa kali Beng San menarik napas panjang, hatinya penuh penyesalan kepada diri sendiri. Akan tetapi, sesal kemudian tiada guna…..
********************
"Ibu, aku benar-benar tidak mengerti!" Sin Lee mendesak ibunya.
Mereka berdua duduk di bawah pohon dalam tengah sebuah hutan yang gelap karena penuh dengan pohon-pohon raksasa yang tinggi dan berdaun lebat.
"Kau banyak cerewet!" Kwa Hong mengomel. "Sudah kukatakan dia adalah musuh besar kita, habis perkara."
Sin Lee mengerutkan kening, lalu menggeleng kepala. "Aku ingin mengetahui duduknya perkara yang betul-betul, Ibu. Aku takkan suka diam kalau belum diberi penjelasan. Dia mengaku ayahku, bagaimana kau bilang dia adalah musuh besarku dan harus kubunuh? Bukankah ini aneh sekali? Ibu, dari pada berbohong kepadaku, lebih baik kau berterus terang, apa betul Tan Beng San itu ayahku dan suamimu, dan apa bila betul demikian mengapa terjadi permusuhan ini?"
Kwa Hong meloncat bangun, membanting kaki sambil membentak, "Kau kepala batu! Dulu kau tidak pernah begini cerewet!"
Sin Lee juga meloncat berdiri dan menghadapi ibunya dengan tegak.
"Sudah sepatutnya anak menanyakan ayahnya. Ibu yang terlalu jual mahal, kenapa terus menyimpan rahasia?"
Dua orang itu berdiri berhadapan, ibu dan anak yang sama keras hatinya, dua pasang mata yang sama tajam saling tentang. Akhirnya Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa aneh, lalu memeluk puteranya dan menarik tangannya untuk diajak duduk kembali.
"Kau memang bandel sekali seperti... seperti dia! Baiklah kau mendengar kalau hendak mengetahui. Tan Beng San itu memang ayahmu, tapi dia bukan suamiku."
"Bagaimana pula ini? Dia ayahku tapi bukan suami ibu?"
"Karena dia tidak mau mengawiniku, dan meninggalkan aku untuk kawin dengan wanita lain anak Song-bun-kwi si iblis tua itu."
Sin Lee adalah seorang yang cerdik, akan tetapi belum dapat ia menghubungkan cerita yang disingkat-singkat ini. "Kau maksudkan Ayah tidak mau mengawini ibu, pergi menikah dengan lain wanita? Kenapa begitu? Apakah Ayah tidak suka kepada Ibu?"
Merah wajah Kwa Hong, matanya memancarkan sakit hati. Ia menggelengkan kepalanya. "Dia tidak cinta padaku, hanya suka seperti seorang kakak terhadap adiknya."
"Tapi... tapi Ibu cinta kepadanya?"
Kwa Hong mengangkat tangan hendak menampar, tetapi ditahannya. "Kau lancang mulut. Sudahlah. Pendeknya dia itu meninggalkan kau dalam kandunganku dan tidak mau peduli lagi, lalu menikah dengan Kwee Bi Goat. Malah ketika Bi Goat mati dia menikah dengan isterinya yang sekarang itu, padaku ia sama sekali tidak mau peduli."
Sin Lee berpikir keras. "Jadi... dia telah melakukah perhubungan dengan ibu, kemudian Ibu mengandung aku dan... dan Ibu ditinggalkan begitu saja?"
Wajah Sin Lee sebentar pucat sebentar merah ketika melihat ibunya mengangguk dan dua titik air mata keluar dari sepasang mata ibunya.
"Si keparat... kalau begitu dia memang jahat...," kata Sin Lee dengan suara mendesis dan dengan hati penuh dendam.
"Kwa Hong, kau tidak adil! Kenapa tidak kau ceritakan tentang racun yang memabokkan kita ketika itu?" tiba-tiba muncul Beng San, begitu tiba-tiba sehingga Sin Lee dan Kwa Hong terkejut sekali.
Wanita ini semenjak dulu amat gentar menghadapi ilmu kepandaian Beng San. Biar pun sekarang di situ ada puteranya, namun ia masih ragu-ragu apakah mereka berdua akan dapat menang menghadapi Beng San yang amat hebat kepandaiannya. Namun, karena niatnya membalas dendam sudah ditahan-tahan semenjak bertahun-tahun, ia pun menjadi nekat dan cepat mencabut senjatanya, diturut oleh Sin Lee yang memandang Beng San dengan mata berapi-api.
"Hemmm, kau mengejar kami?" tegurnya, penuh selidik.
Beng San tersenyum pahit. "Kwa Hong, semenjak dulu kau selalu menyembunyikan diri, menyembunyikan anak kita, kiranya kau sudah jejali dia dengan kebencian dan dendam terhadap diriku. Sekarang aku sudah datang, seorang diri, coba katakan, engkau hendak berbuat apakah terhadap diriku?"
"Aku... aku hendak membunuhmu!"
"Kau kira begitu mudah? Hong-moi, kau tahu bahwa kau takkan mampu melakukan hal itu kepadaku."
"Akan kucoba, bersama anakku. Kami akan mengadu nyawa! Sin Lee, hayo kita bunuh keparat jahanam ini, musuh besar kita!"
Sin Lee sudah menggerakkan pedangnya.
Beng San bertanya, "Hong-moi, sebelum kau dan anak kita bergerak, maukah kau pergi dengan tenang dan tidak mengganggu pendirian Thai-san-pai kalau nanti kalian berdua ternyata dapat kukalahkan?"
"Tak sudi! Aku akan bunuh kau, akan kubuka semua rahasia busukmu, hendak kulihat apakah kau masih ada muka menjadi ketua Thai-san-pai!" Kwa Hong berteriak-teriak dan mencak-mencak.
Beng San mengerutkan keningnya. "Kwa Hong, dengarlah baik-baik! Semenjak dulu aku sudah merasa menyesal dengan peristiwa yang terjadi antara kita. Kalau kau hendak menyalahkan aku, biarlah kuterima. Bahkan dulu pun aku siap untuk menerima kematian di tanganmu. Akan tetapi kau tahu, bagi seorang gagah nama lebih berharga dari pada nyawa! Pendirian Thai-san-pai sangat penting dan siapa pun juga, juga kau sendiri, tidak boleh menghalanginya!"
"Kalau aku tetap hendak mengganggunya, kau mau apa?"
"Kwa Hong, kesabaran manusia ada batasnya, Aku sudah cukup banyak mengalah, dan aku berjanji, kalau kau pergi sekarang dengan baik-baik, aku akan datang ke Lu-liang-san setelah selesai pendirian Thai-san-pai dan aku akan menurut apa kehendakmu kelak, biar kau bunuh sekali pun."
"Aku tidak sudi."
"Hemm… hemm, tiada jalan lain bagiku kecuali menggunakan kekerasan, mengalahkan dan menawan kalian sampai selesainya upacara pendirian Thai-san-pai." Sambil berkata demikian, tangan Beng San bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang berkilauan telah berada di tangannya. Itulah Liong-cu-kiam yang amat ampuh!
"Beng San, jangan kau kira aku takut. Sin Lee, hayo serang!"
Ibu dan anak itu lalu menggerakkan senjata mereka, serentak mereka menyerang Beng San dengan hebat. Pada mulanya Sin Lee masih ragu-ragu, merasa betapa ibunya agak keterlaluan tidak mau mendengar janji orang yang sebenarnya ayahnya ini.
Akan tetapi begitu pedangnya terbentur pedang Beng San dan tangannya kesemutan, tahulah ia bahwa Ketua Thai-san-pai ini benar-benar lihai bukan main. Maka ia pun tidak ragu-ragu lagi dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengeroyok.
Namun, dengan rasa heran dan kagum, juga rasa penasaran memenuhi hatinya, Sin Lee merasa seakan-akan semua serangannya itu lenyap tak berbekas, seperti menyerang bayangan atau menyerang angin belaka. Semua jurus serangannya bagai tertelan habis oleh gelombang permainan pedang Beng San, sama sekali tidak ada artinya.
Juga Kwa Hong yang mainkan pedang dan cambuknya, merasa betapa akan sia-sia saja dia dan puteranya mengeroyok orang ini. Kebenciannya semakin memuncak, akan tetapi kekagumannya juga meningkat.
"Kwa Hong kau benar-benar kejam sekali, menyuruh anakku sendiri memusuhi aku. Kwa Hong, kau berdua takkan menang, lebih baik pulanglah. Kelak aku akan datang padamu untuk menerima hukuman..." berkali-kali Beng San membujuk sambil terus menangkis sambaran anak panah hijau yang mengarah bagian tubuh yang berbahaya.
Diam-diam Beng San gelisah juga kalau ingat bahwa tempat ini adalah tempat di luar dari jalan rahasia, sehingga tiap saat bisa saja datang tamu-tamu yang mengandung maksud jahat. Ia maklum bahwa di antara para tamunya, tentu tidak sedikit terdapat bekas-bekas musuhnya yang sengaja datang untuk mengacau atau untuk membalas dendam.
Oleh karena itu, ia membujuk agar Kwa Hong suka mengalah dan segera pertempuran itu selesai. Kalau ia mau, sudah tentu saja dengan mudah ia dapat merobohkan Kwa Hong dan Sin Lee. Akan tetapi ia tak menghendaki hal ini terjadi, karena selain ia harus melukai mereka, juga hal itu pastl akan menambah sakit hati Kwa Hong. Merobohkan dua orang lawan selihai mereka tanpa melukai, merupakan hal yang amat sukar, biar oleh dia sekali pun.
Tiba-tiba terdengar suara tiupan suling yang aneh, disusul suara orang tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, ini namanya sekali tepuk mendapat dua lalat ditambah seekor lalat cilik!" terdengar suara orang.
Mendengar suara suling ini Beng San kaget sekali. Ia menahan serangan dua orang ibu dan anak itu, akan tetapi ketika ia melompat mundur, Kwa Hong dan Sin Lee yang sudah penasaran sekali terus saja menyerang. Terpaksa Beng San memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dan sementara itu ia memperhatikan orang-orang yang baru datang dan yang sekarang sudah berada di hutan itu.
Beng San menekan debar jantungnya ketika ia mengenal beberapa orang tokoh luar biasa yang ia tahu tak akan mengandung maksud hati baik terhadapnya. Pertama-tama adalah Hek-hwa Kui-bo, nenek yang sejak dahulu selalu memusuhinya itu. Orang ke dua adalah Siauw-ong-kwi yang sudah nampak tua namun sepasang matanya masih bergerak-gerak liar membayangkan kenakalan dan kejahatannya.
Kalau Hek-hwa Kui-bo merupakan tokoh nomor satu dari selatan, adalah Siauw-ong-kwi ini merupakan tokoh nomor wahid dari utara. Keduanya merupakan iblis-iblis di samping tokoh besar seperti Song-bun-kwi.
Di samping dua orang ini dia mengenal tokoh yang tidak kalah jahatnya, yaitu Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio, yaitu seorang perampok tunggal yang setelah tua menjadi hwesio dan yang telah ia ketahui pula macamnya. Empat orang ini saja sudah merupakan lawan yang berbahaya, di samping Kwa Hong dan Sin Lee.
Apa lagi di situ masih terlihat seorang tosu tua sekali yang memakai kopyah seperti anak kecil, memegang tongkat berwarna merah dan kelihatannya lemah sekali, seakan-akan kalau ada angin besar bertiup, kakek ini tentu akan roboh terjengkang. Namun, kakek yang belum pernah dikenal Beng San ini malah yang menimbulkan kekuatiran hatinya.
Di samping ini, masih terdengar suara tiupan suling aneh itu, akan tetapi peniupnya tidak kelihatan. Tiupan suling itu mengingatkan Beng San akan seorang tokoh yang sering kali mendatangkan ular-ular dengan sulingnya, tokoh yang sudah belasan tahun tak pernah ia dengar, yang kabarnya sudah mati, yaitu murid Siauw-ong-kwi yang malah lebih jahat dari gurunya, bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin!
Akhirnya perhatian Kwa Hong tertarik pula oleh rombongan ini dan ketika ia menengok, wajahnya berubah. Cepat ia menarik tangan puteranya dan berseru, "Mundur dulu!"
Setelah Sin Lee melompat mundur di samping Ibunya, wanita ini berkata sambil tertawa, "Kau lihat saja, Hi-hik-hik, hari ini keparat Beng San akan menerima hukumannya!"
Sin Lee tidak mengerti akan maksud kata-kata ibunya, dia hanya memandang dengan kening berkerut dan pedang tetap terpegang di tangan kanan.
Tadinya agak lega hati Beng San melihat Kwa Hong dan Sin Lee menghentikan serangan mereka, akan tetapi mendengar ucapan Kwa Hong itu, dia tersenyum perih. Terpaksa ia lalu menyimpan pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi rombongan itu.
"Cu-wi Locianpwe jauh-jauh datang mengunjungi Thai-san, harap maafkan siauwte yang tidak dapat melakukan penyambutan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, hari pendirian Thai-san-pai masih dua malam dua hari lagi, harap Cu-wi sekalian sudi untuk bersabar dan menanti di tempat peristirahatan yang sederhana dan yang telah kami sediakan."
Siauw-ong-kwi tertawa terkekeh-kekeh, juga Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio ikut tertawa, kemudian orang-orang tua ini menggerakkan tubuh mengambil sikap mengurung. Jelas bahwa mereka ini berusaha memotong jalan keluar dari Beng San.
Ada pun kakek yang tua renta bertongkat merah itu lalu melangkah maju, langkahnya gontai. Ketika sampai di depan Beng San dalam jarak dua meter ia berkata, suaranya lirih agak menggigil seperti suara kakek yang sudah tua sekali,
"Inikah Raja Pedang pengganti Cia Hui Gan? Masih muda sekali... masih muda sudah menjagoi, selayaknya pinto (aku) memberi hormat!"
Kakek ini mengempit tongkat merahnya lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk dengan sikap menjura. Sambaran hawa pukulan yang menimbulkan angin halus mengejutkan Beng San.
Ia tidak kaget karena diserang secara demikian karena hal seperti ini sudah biasa terjadi di kalangan ahli-ahli silat tinggi. Namun yang mengejutkannya adalah angin halus sekali yang menyambar ke arahnya, karena semakin halus angin yang ditimbulkan oleh hawa pukulan, berarti makin hebatlah tenaga lweekang-nya.
Cepat dia mengerahkan hawa murni di tubuhnya, balas menjura sambil berkata, "Siauwte yang muda mana berani menerima penghormatan Locianpwe?"
Biar pun kelihatannya ia menjura dengan hormat, namun diam-diam Beng San menangkis pukulan yang tidak kelihatan itu dan sebagai seorang calon ketua, tentu saja ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Sengaja dia menerima serangan gelap itu dengan keras lawan keras!
Dua pasang tangan diangkat ke depan dada, dua tenaga tak kelihatan bertemu di udara dan biar pun kedua kaki Beng San masih tetap dalam kuda-kuda, tetapi ternyata ia telah tergeser mundur tiga jengkal!
Juga kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, lalu cepat ia menggunakan tongkat yang tadi dikempitnya untuk menunjang tubuhnya sehingga dia tidak jadi terhuyung ke belakang. Sejenak mata yang tua itu terbelalak kagum, lalu katanya,
"Hebat... hebat... patut dipuji!"
"Ah, Locianpwe terlalu merendah. Bolehkah siauwte yang bodoh mengetahui nama besar Locianpwe?" tanya Beng San, diam-diam ia mengeluh karena kakek tua ini benar-benar merupakan lawan yang paling berat yang pernah ia jumpai selama ia berkecimpung di dalam dunia persilatan.
Kakek itu tertawa sehingga kelihatan gusi mulutnya yang sudah tak bergigi lagi. "Ha-ha-ha pinto orang gunung, mana ada nama? Di utara sana, pinto disebut Pak-thian Locu (Nabi Locu dari utara), tentu saja Sicu tidak pernah mendengarnya."
Memang nama ini tak pernah dikenal Beng San.
Siauw-ong-kwi segera berkata sambil mendengus, “Thai-san amat tinggi sehingga kadang kala membuat orang lupa bahwa di atasnya masih ada langit! Calon ketua Thai-san-pai sampai tak mengenal twa-suheng-ku (kakak seperguruan tua), benar-benar telah merasa diri paling tinggi."
Beng-San terkejut. Kiranya kakek ini twa-suheng dari Siauw-ong-kwi. Pantas saja begitu hebat.
"Ah, maafkan... maafkan... ini hanya menunjukkan bahwa siauwte kurang pengalaman."
"Tan Beng San, selama bertahun-tahun ini telah banyak kau menghina kami, dan secara pengecut kau menyembunyikan diri di balik jalan-jalan rahasia. Kini dengan sombong kau hendak mengumumkan pendirian Thai-san-pai. Heran, apakah kau sudah merasa dirimu menjadi guru besar?" kata Toat-beng Yok-mo sambil melangkah maju dan menggerakkan tongkatnya yang hitam.
"Hutangmu kepadaku belum kau bayar lunas!" pekik Hek-hwa Kui-bo sambil mengerling ke arah Kwa Hong dan Sin Lee. "Kalian dua anjing cilik tunggulah giliranmu." Nenek yang mengerikan ini sudah mencabut pedang dan selampai yang beraneka warna.
Melihat betapa lima orang itu mengurungnya dan telah siap mengeroyoknya, Beng San tersenyum lalu berkata dengan nada mengejek, "Aku tahu isi hati kalian! Dua hari lagi, di atas panggung, disaksikan semua tokoh kang-ouw, sudah pasti kalian takkan dapat maju mengeroyok, melainkan seorang lawan seorang. Hari ini sengaja kalian menggerebek di sini dengan dalih membalas dendam sehingga kalian punya kesempatan mengeroyokku, bagus!"
Namun Hek-hwa Kui-bo sudah menyerbu dengan pedang dan selampainya, menyerang dari kiri dan dibarengi oleh Siauw-ong-kwi yang menyerang dari kanan. Seperti biasa, Siauw-ong-kwi menggunakan sepasang lengan bajunya yang menerjang untuk melakukan totokan dengan ujung baju mengarah jalan darah. Serangan ini tak kalah bahayanya dibandingkan dengan penyerangan Hek-hwa Kui-bo.
Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio sambil tertawa juga menyerang cepat. Yok-mo menggunakan tongkat hitamnya, ada pun Tok Kak Hwesio menggunakan kepandaiannya yang diandalkan, yaitu cengkeraman monyet...