CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SI BANGAU MERAH BAGIAN 07
WAKTU itu malam hampir tiba dan di dalam goa sudah mulai gelap. Namun, berkat kebiasaan, mereka dapat saling melihat dengan tajam. Yo Han memiliki ketajaman mata yang dapat melihat di dalam gelap seperti mata harimau atau mata kucing.
"Yo Han, apa engkau sudah gila? Kau lihat sendiri, kalau engkau tak pandai mengelak, tentu engkau sudah mampus diserang Ang-I Moli. Mengapa engkau tetap tidak mau menerima pelajaran silat dariku? Aku akan membuat engkau orang yang paling pandai di kolong langit ini."
"Tidak, Suhu. Teecu tetap takkan mau belajar memukul orang. Untuk apa? Teecu tidak akan memukul orang, apa lagi membunuh orang. Hidup ini bukan berarti harus saling bermusuhan dan saling bunuh."
"Tolol! Kau kira ilmu silat itu hanya untuk membunuh orang?"
“Teecu tetap tidak mau! Semenjak kecil teecu tidak suka ilmu silat. Ayah Ibu teecu juga tewas hanya karena mereka itu ahli-ahli silat. Kalau dulu mereka tidak pandai silat, tidak mungkin mereka itu mati muda."
"Huh! Hal itu terjadi karena ilmu silat mereka masih rendah, masih mentah! Sudahlah, tidak perlu banyak berbantah lagi, mari kau keluar bersamaku, dan akan kuperlihatkan bukti-bukti kepadamu!"
Sebelum Yo Han menjawab, tiba-tiba saja punggung bajunya sudah dicengkeram oleh gurunya dan dia merasa tubuhnya dibawa terbang atau lari dengan kecepatan yang luar biasa. Diam-diam dia merasa kagum. Gurunya ini bukan manusia agaknya. Hanya iblis yang dapat bergerak seperti itu!
Akan tetapi dia pun diam saja dan hanya melihat betapa mereka melalui lembah bukit, menuruni jurang, dan akhirnya mereka tiba di luar sebuah dusun. Dari luar saja sudah terdengar suara ribut-ribut di dusun itu, suara sorak sorai disertai gelak tawa di antara suara tangis dan jerit mengerikan, juga nampak api berkobar.
"Suhu, apa yang terjadi?" Yo Han bertanya dengan kaget sekali.
Thian-te Tok-ong melepaskan muridnya, kemudian membiarkan muridnya itu menuntun tongkatnya, diajaknya memasuki dusun itu.
"Tidak perlu banyak bertanya dan kau lihatlah saja sendiri," katanya.
Setelah mereka memasuki dusun, mendadak kakek itu memegang lengan Yo Han dan membawanya loncat naik ke atas pohon besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat apa yang sedang terjadi di bawah.
Yo Han terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Dia melihat peristiwa yang mendirikan bulu romanya, perbuatan kejam yang membuat ia merasa ngeri bukan main. Belasan orang laki-laki yang bengis dan kasar, dengan golok di tangan, membantai orang-orang dusun yang sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan.
Ada pula yang memperlakukan wanita dengan kasar dan tidak sopan, menelanjanginya, menciuminya dan memukulinya. Ada pula yang mengusungi barang-barang berharga dari dalam rumah. Tahulah dia bahwa mereka adalah perampok-perampok yang sedang menyerang dusun itu dengan kejam sekali.
Hampir saja Yo Han menjerit melihat itu semua dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun dari atas pohon itu. Dia sendiri terkejut karena dia dapat meloncat dari tempat setinggi itu tanpa cidera. Gurunya hanya melihat sambil tersenyum saja. Yo Han lari ke dusun itu.
"Manusia-manusia jahat, kalian ini manusia ataukah iblis?" bentaknya berkali-kali dan ke mana pun tubuhnya berkelebat, dia sudah merampas sebatang golok dan mendorong seorang perampok sampai terjengkang dan terguling-guling.
Melihat seorang anak remaja maju mendorong roboh beberapa orang anak buahnya, kepala perampok yang brewok menjadi marah dan dia melepaskan wanita muda yang tadi dipermainkannya, lalu dengan bertelanjang dada dan dengan golok besar diangkat, dia menyerang Yo Han dengan bacokan ke arah leher anak itu.
Yo Han yang telah mahir ‘menari’ itu dapat melihat dengan jelas datangnya golok, maka dengan gerakan tari monyet, amat mudah baginya untuk meloncat ke samping sehingga golok itu tidak mengenai sasaran. Dia tidak bermaksud memukul orang, tetapi karena dia marah melihat orang itu tadi menggeluti seorang wanita, dan kini melihat orang itu hendak membunuhnya, dia pun mendorong sambil berseru nyaring,
"Engkau orang jahat, pergilah!"
Dan akibatnya sungguh luar biasa sekali. Begitu kena dorongan tangan Yo Han, kepala perampok itu terlempar bagai daun kering ditiup angin dan tubuhnya menabrak dinding. Dia pingsan seketika karena kepalanya terbentur pada dinding.
Para perampok menjadi marah dan kini beramai-ramai mereka menggerakkan golok mengepung dan menyerang Yo Han. Akan tetapi Yo Han berloncatan menari-nari dan semua serangan itu pun luput. Sayangnya, karena Yo Han memang tak suka berkelahi, tidak suka memukul orang, tidak suka menggunakan kekerasan dan perasaan ini sudah mendarah-daging sejak kecil, maka dia pun hanya berloncatan mengelak ke sana sini saja tanpa membalas.
"Huh, orang-orang semacam ini masih kau kasihani?" tiba-tiba terdengar seruan lembut dan Yo Han melihat betapa belasan orang itu terlempar ke kanan kiri, berkelojotan dan mati semua! Gurunya sudah berdiri di situ dan kini Yo Han memandang kepada gurunya dengan terbelalak dan alis berkerut.
"Suhu membunuh mereka semua? Suhu kejam! Sungguh kejam!"
Thian-te Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu lalu terkekeh-kekeh. "Dan engkau hendak bilang bahwa belasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari rumah penduduk itu tidak kejam?"
"Mereka juga kejam seperti setan, tapi jika suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"
"Ho-ho-ho, dan kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan punggung mereka, kemudian memuji-muji perbuatan mereka?"
"Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu tidak sudi membunuh dan tidak suka menggunakan kekerasan!"
"Hemmm, kau kira engkau ini pintar dan baik, ya? Bocah tolol. Kau lihatlah, mengapa penduduk dusun ini sampai dibunuh, diperkosa dan dirampok? Karena mereka lemah! Coba mereka itu kuat, coba mereka itu mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban kekerasan!"
Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajaknya pergi. Di sepanjang perjalanan pulang ke goa, anak itu termenung. Hatinya amat tidak senang. Gurunya membunuhi orang begitu saja walau pun orang-orang itu perampok kejam.
Mereka sampai di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik muridnya dan meloncat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar. Mereka melihat seekor harimau sedang menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu sudah menghunjam leher dan pundak. Darah dihisap dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol korbannya memasuki semak belukar.
Thian-te Tok-ong memandang muridnya. "Bagaimana pendapatmu, Yo Han? Apakah harimau itu kejam? Andai kata kijang itu mampu melawan dan menang, atau mampu melarikan diri, bukankah berarti ia tidak akan menjadi korban?"
"Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"
"Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati kelaparan! Untuk itu ia telah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing dan gigi tajam. Harimau tak dapat hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat dia bertahan!"
"Teecu tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu jahat dan ingin memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tak suka belajar silat, tidak suka menggunakan kekerasan karena hal itu akan membuat teecu menjadi jahat!"
"Yo Han, kau lihat apa ini?"
"Suhu memegang tongkat!"
"Apakah tongkat ini merupakan senjata untuk melakukan kekerasan?"
"Tentu saja!"
"Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"
"Tidak."
"Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau tidak mampu melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan senjata kekerasan yang jahat? Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan dapat menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila? Hayo jawab!"
Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik. "Kalau pun teecu memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing itu, bukan untuk memukul, melukai apa lagi membunuhnya!"
"Nah, demikian pula dengan ilmu silat, anak keras kepala! Apa kau kira kalau kita sudah mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan membunuh orang? Kalau kita mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua, kita dapat membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, yang terutama sekali, kita dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, dapat menjadi orang yang terpandang di dalam dunia!"
Yo Han mengerutkan alisnya. Ada sebagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang terakhir itu dia sama sekali tidak setuju. "Bagaimana pun juga, orang-orang yang pandai silat selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai silat."
"Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"
"Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bicara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau belajar silat!" berkata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, tentang nyawa teecu, semua berada di tangan Tuhan dan teecu yakin benar akan hal ini!"
"Huh, bocah aneh, tolol tapi... benar juga..." kakek itu menggumam.
Sudah sering dia melihat Yo Han yang tak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal pula terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang selalu melindunginya.
Dia sendiri adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya kekuasaan di luar dirinya. Kekuasan Tuhan? Dia tidak percaya karena tak dapat melihatnya! Dia sama sekali tidak sadar bahwa perasaan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan yang tidak dipercayanya itu.
Waktu berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini sudah tiga tahun Yo Han berada di dalam goa itu dan usianya sudah lima belas tahun. Dia menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja keras.
Mukanya yang lonjong dengan dagu runcing berlekuk itu membayangkan kegagahan. Rambutnya gemuk panjang serta dikuncir besar. Pakaiannya sederhana dan kasar. Alis matanya amat menyolok karena amat tebal menghitam berbentuk golok. Dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya ramah walau pun dia pendiam. Sepasang matanya membayangkan kejujuran dan kelembutan.
Dia sudah mulai jemu tinggal di dalam goa itu. Setiap hari selain melayani gurunya yang sudah makin tua dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga siu-lian (semedhi) yang menurut gurunya berguna untuk kesehatan dan memanjangkan usia.
Tetapi, bila timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada gurunya. Kakek itu sudah tua sekali. Dia pun merasa kasihan kepada orang hukuman yang berada di dalam sumur. Bahkan sering kali timbul keinginannya untuk menengok orang itu ke dalam sumur, akan tetapi dia selalu mengurungkan niatnya karena dilarang oleh suhu-nya.
Akan tetapi pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketuanya, yaitu Ouw Ban dan Lauw Kang Hu, datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di ruangan depan goa. Yo Han disuruh ke dalam oleh suhu-nya dan tidak diperkenankan untuk menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan mereka pun tidak boleh.
Yo Han masuk ke bagian paling dalam dari goa itu supaya tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dan bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi dia duduk termenung, matanya yang terlatih itu dapat melihat keadaan yang bagi orang lain tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya terharu melihat keadaan sumur yang garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak dapat diukur itu.
Setiap kali memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke bawah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan orang sembarangan karena dalam keadaan yang gelap itu mampu menerima luncuran bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.
Sambil menanti percakapan gurunya dengan kedua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu duduk di bibir sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat gelap di bawah sana, tidak nampak sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar apa-apa, kecuali kadang saja terdengar suara yang amat mengerikan, seperti suara melengking panjang, seperti jerit tangis, seperti tawa, pendeknya bukan seperti suara manusia!
Tiba-tiba saja Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukannya pekik melengking mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan yang terdengar kini adalah suara nyanyian merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi, dan nyanyiannya sederhana akan tetapi suara itu demikian merdu dan lembut.
Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!
Yo Han mendengarkan. Karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka sekali membaca, maka mendengar satu kali saja dia sudah hafal. Tetapi, bagaimana seorang remaja berusia lima belas tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata itu? Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka berarti:
Badan Manusia Adalah Alam Kecil,
Satu Im (Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Jalan atau Kekuasaan Tuhan)!
Yo Han menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia lebih kagum mendengar kemerduan suara itu dari pada isi kata-katanya yang tidak dia mengerti benar. Jika biasanya dia tak pernah tertarik untuk memeriksa ke dalam sumur, sebab selain dilarang suhu-nya, juga dia tak pernah menganggur dan suara melengking yang mengerikan itu membuatnya ragu, sekarang mendengar nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat hatinya tertarik bukan main.
Apakah si penyanyi adalah orang yang suka menjerit-jerit itu? Perasaan iba memenuhi hatinya. Kenapa orang itu dihukum di sana? Apakah dosanya? Dan mengingat betapa orang-orang Thian-li-pang adalah orang-orang sakti yang aneh, juga jahat dan curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya mengetahui dan marah, dia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Bagaimana pun juga, ia harus tahu siapa salah siapa benar, dan bila orang di bawah sumur itu tak bersalah, dia tidak sepatutnya dihukum dan di siksa seperti itu.
Dengan hati yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerjaan yang bagi orang lain tentu hampir tidak mungkin dilakukan ini, bagi dia tidaklah begitu sukar. Dia telah lama digembleng oleh Thian-te Tok-ong untuk menirukan gerakan binatang cecak merayap di dinding goa! Dengan latihan semedhi, dia bisa menggunakan tenaga dalam tubuh untuk menyedot hawa dan kedua tangan serta kakinya yang telanjang itu dapat melekat di dinding.
Dalamnya sumur itu tidak kurang dari dua puluh lima meter dan meski pun gelap pekat, akan tetapi pandangan mata Yo Han masih dapat menembus sehingga remang-remang nampak olehnya bahwa sumur itu agak menyerong. Akhirnya, tibalah dia di dasar sumur yang cukup luas, ada empat meter persegi dan terdapat sedikit cahaya yang datang dari sebuah lubang sebesar lengan tangan yang datang dari jurusan lain. Dasar sumur itu becek dan baunya pengap sekali, sungguh orang akan tersiksa hebat bila harus tinggal di situ.
Ketika dia turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah batu bundar sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling. Tidak mungkin ada orang bersembunyi di ruangan persegi itu, atau entah kalau masih ada lorong rahasia lain.
Tiba-tiba saja tubuhnya seperti disedot oleh kekuatan yang amat kuat menuju ke salah sebuah guci yang berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri, namun sia-sia. Tenaga sedotan itu seperti besi magnet menarik jarum, angin sedotannya terlalu kuat baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci besar itu.
Dan guci itu pun bergerak maju menabraknya!
"Desss...!"
Tubuh Yo Han terbentur benda lunak, akan tetapi yang kuatnya bukan main sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.
"Bressss...!"
Yo Han terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak memandang kepada ‘guci’ itu. Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak memiliki tangan dan tak mempunyai kaki. Tinggal badan dan kepala saja! Sungguh mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan kanak-kanak yang dapat dibuat jungkir balik, akan tetapi selalu dapat berdiri tanpa kaki.
Sekarang penglihatan Yo Han mulai terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan penerangan dan dia memperhatikan makhluk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu bulat dan cukup gemuk, agaknya telanjang tetapi kulitnya ditutup ‘pakaian’ lumpur kering. Hanya mukanya yang tidak berlumur lumpur. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung, putih. Alis, kumis dan jenggotnya juga putih. Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan makhluk yang mengerikan sekali. Tentu iblis, pikir Yo Han. Semacam iblis penghuni sumur yang aneh dan berbahaya.
Kini makhluk itu berloncatan, bukan menggelundung, tapi berloncatan menghampiri Yo Han. Anak ini memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia memang tidak mempunyai niat buruk. Dia hanya memandang dengan penuh perhatian.
Wajah itu kini nampak nyata, wajah seorang kakek yang tentu sudah tua sekali. Dan sinar mata kehijauan itu pun tidak kejam, bahkan mulut yang sebagian tertutup kumis itu seperti menyeringai tersenyum.
"Kau tidak mati...? Kau... kau tidak terluka dan tidak mati?" Suara itu lembut, seperti suara orang yang terpelajar, akan tetapi agak aneh terdengar di tempat seperti itu, dan seolah bukan keluar dari mulutnya melainkan turun dari atas.
Yo Han tidak dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri mepet di dinding dan menggelengkan kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah seorang manusia, walau pun aneh, bahkan mungkin sekali seorang tapa-daksa yang patut dikasihani, maka dia pun berkata,
"Locianpwe, harap suka ampunkan aku. Aku... aku tidak bermaksud mengganggu, aku hanya ingin melihat karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu."
Dia lalu menyanyi seperti tadi, menirukan suara yang didengarnya tadi.
Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!
"Siancai...! Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu? Ehh, anak muda, tahukah engkau apa artinya kalimat itu?"
Yo Han sudah membaca banyak kitab. Selain itu, memang dia mempunyai kelebihan, bahkan keanehan di dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia masih kecil sekali pun, ada suatu pengertian di dalam batinnya, seolah-olah dia pernah mengenal semua kitab itu dan sudah paham benar akan maknanya. Atau seolah ada yang membisikinya, memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar pertanyaan itu, dia mengangguk.
"Kurasa aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."
"Tidak, tidak. Engkau ini yang setiap hari mengirim makanan kepadaku, bukan? Sudah kudengar langkah-langkah kakimu dari sini kalau engkau menghampiri sumur dan aku sudah tahu, engkau bukan anak sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna yang terkandung dalam kalimat itu."
"Jin Sin It Siauw Thian Te, atau Badan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe, kita dapat melihat kenyataan bahwa di antara segala makhluk di dunia ini, manusia adalah merupakan makhluk yang paling unggul dalam kesempurnaannya dibandingkan makhluk lain. Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung unsur-unsur yang terdapat di alam besar, terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan kalau air samudera terasa asin, demikian pula tubuh manusia mengandung rasa asin apa bila mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah terpisah dari api, maka tubuh manusia pun selalu mengandung panas, api yang apa bila padam berarti kematian. Seperti yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di alam besar akan berlaku pula di alam kecil. Bukankah, demikian, Locianpwe?"
"Siancai...! Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau dikotori oleh manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!" Kakek yang tanpa lengan tanpa kaki itu berkata dengan wajah berseri, suaranya lembut sekali.
"Lanjutannya adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative) itulah To. Locianpwe, telah menjadi kehendak Tuhan bahwa yang menggerakkan segala sesuatu di dunia ini adalah dua keadaan yang saling berlawanan, saling bertentangan, akan tetapi saling dorong dan saling melengkapi, karena tanpa ada yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak lengkap. Im itu wanita, dan Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan Yang terkandung di dalam bawah dan atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan langit, dingin dan panas dan sebagainya. Tanpa ada Im, bagaimana ada Yang? Tanpa ada Yang, Im pun tak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa adanya kegelapan? Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut? Kalau tidak ada bumi, langit pun tidak ada. Maka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling melengkapi, saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan kesempurnaan alam. Kalau Im dan Yang dalam alam besar tidak seimbang, maka akan timbul kekacauan-kekacauan. Bila dalam alam kecil, yaitu badan kita, Im dan Yang tidak seimbang, maka akan timbul gangguan penyakit dalam tubuh kita. Kalau Im dan Yang seimbang, maka To akan bekerja dengan sempurnanya."
Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia menghela napas panjang. "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bijaksana, Maha Kasih Sayang sekali. Manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya To, adanya kekuasaan Tuhan yang menjadi Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kekacauan-kekacauan di dunia ini. Ehh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda? Ataukah seorang manusia ajaib yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"
Yo Han tersenyum. "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat dimiliki siapa pun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."
"Baru lima belas tahun? Dan engkau sudah mampu menahan tubrukanku tadi? Padahal, seorang jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan To? Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk menjadi murid dan ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"
Yo Han mengerutkan alisnya. "Locianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin menjadi murid dan ahli warismu."
"Ehh? Apa katamu? Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan berlomba untuk menjadi muridku, dan engkau menolak menjadi murid dan ahli warisku? Wah, wah, aku Ciu Lam Hok bisa mati karena keheranan!"
Kepala dengan tubuh yang buntung itu sekarang berloncatan sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung kaki tangannya ini tentu menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut tentang ilmu silat dan jagoan di dunia kang-ouw.
"Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah mempunyai guru."
"Ehhh? Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya? Coba katakan, siapa gurumu yang tidak becus itu!"
"Guruku adalah Thian-te Tok-ong..."
"Uhhhh...!"
Tiba-tiba tubuh itu ‘terbang’ ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke dinding kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, terpental ke dinding kanan dan bolak balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu turun kembali dan berdiri tanpa kaki di depan Yo Han.
"Kiranya engkau datang atas perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"
"Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tak mau menyerang orang, apa lagi membunuh. Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka dari itu aku tidak mau menjadi murid Locianpwe, tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"
Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-remang itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak memiliki sebuah pun gigi lagi.
"Engkau? Yang dapat menahan tabrakanku, tidak mau belajar silat? Membenci ilmu silat dan membenci kekerasan? Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong? Ha-ha-ha, engkau boleh membohongi orang lain, akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam Hok!"
"Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."
"Orang muda, omongan apa yang kau keluarkan ini? Engkau mengaku murid Thian-te Tok-ong akan tetapi mengatakan tidak suka belajar silat? Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau menari? Ha-ha-ha..."
"Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."
Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu baru berhenti di ujung ruangan itu dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Yo Han segera merasa ada banyak benda-benda kecil yang meluncur deras menyambar ke arah lehernya.
Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyambar ke arahnya dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Ia cepat menggerakkan tubuh, menari seperti monyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu mengelak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.
"Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kau bilang tidak pernah belajar silat?" kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan. "Dan kau bilang tidak berbohong, tidak pernah berbohong? Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti gurumu!"
"Locianpwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari dan memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"
Tiba-tiba ada sebuah benda kecil menyambar lagi dan sekali ini Yo Han kurang cepat mengelak sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda itu perih dan agak nyeri, akan tetapi baginya tidak berapa mengganggu.
"Yang licik dan curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara membokong sehingga leherku terkena tiupan benda rahasiamu.”
Tangan Yo Han memijat bagian leher yang terluka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum itu dan melemparkannya ke lantai dengan sikap acuh.
Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba untuk membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesima adalah cara orang muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai lehernya.
Orang lain, betapa pun lihainya, sekali terluka jarumnya, apa lagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas! Tetapi orang muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih sempat menegurnya. Jangankan tewas, roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong serigala, dan tubuhnya sudah bergulingan. Kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han.
Pemuda ini terkejut dan kembali dia ‘menari’, akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia hanya berhasil meloncat dan mengelak empat lima kali saja, kemudian tiba-tiba kedua kakinya terkena totokan ujung rambut dan dia pun terpelanting jatuh!
Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek itu menyerangnya dengan rambut. Suara rambut itu menyambar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo Han kini menggunakan ilmu ‘senam’, berdiri kokoh, mengerahkan tenaga yang dapat membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek itu dengan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit.
Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo Han mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari kepala atau rambut-rambut itu sehingga Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tubuhnya terpental ke belakang dan kembali dia roboh!
Kakek itu pun terguling-guling ke belakang dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum.
"Siancai...! Engkau ini manusia ataukah setan? Heii, Yo Han, katakan sejujurnya, siapa engkau dan apa pula maksudmu menuruni sumur ini?"
Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh takjub. Kini tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biar pun tak bertangan kaki lagi, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali.
Ang-I Moli, Si Iblis Betina yang amat lihai itu saja tidak mampu merobohkannya sampai dua puluh jurus ketika dia mainkan tarian monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam ‘Mendorong Bukit’. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam yang dikuasainya tidak mampu menolongnya. Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang-I Moli!
"Locianpwe, tadi sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi muridnya. Aku pula orang yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke dalam sumur. Sudah lama aku sangat tertarik dengan suara tangisan dari dalam sumur, maka hari ini aku tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku, aku turun ke dalam sumur untuk melihat siapa yang menangis, bila perlu aku akan menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa yang suka meraung-raung itu?"
"Ahh... ahhh... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tuhan... yang mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"
"Dengan merayap, Locianpwe. Di antara tari-tarian yang diajarkan oleh Suhu, terdapat tarian gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.”
"Ahh… ahhh... engkau ini anak tolol ataukah anak yang sungguh luar biasa? Yo Han, mendekatlah, nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."
Yo Han maklum bahwa jauh atau dekat, bagi kakek sakti ini sama saja. Kalau kakek ini hendak membunuhnya, walau pun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia pun melangkah dan menghampiri kakek itu.
"Diamlah, Yo Han, aku hendak memeriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu.
Tiba-tiba rambut kepalanya bergerak, bagai ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu telah melibat-libat seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini. Rambut itu hidup!
Yo Han memejamkan matanya, seluruh jiwa raganya memuji kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya karena kakek ini kehilangan kaki dan tangan, maka rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba, memijit, bahkan menekan-nekannya.
Berulang-ulang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo Han, dia terlempar dan bergulingan.
"Locianpwe...! Engkau tidak apa-apa...?” Yo Han cepat menghampiri.
Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.
"Ya Tuhan, inilah... inilah..." dan tiba-tiba dia pun menangis! Suara tangis yang sering didengar oleh Yo Han!
Tentu saja Yo Han menjadi heran bukan main. "Locianpwe, ada apakah? Maafkan kalau aku bersalah." Dan Yo Han memandang terharu. "Jadi... kiranya Locianpwe yang suka meraung dan menangis itu?"
Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak mengusap air mata dari mukanya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena bagai mana pun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.
"Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang suka meraung dan menangis, lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk menolongmu dan membawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu terkandung ketegasan.
Kakek itu kini tertawa! Baru saja ia menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali kakek itu.
"Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong? Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang dibunuhnya, apakah pengorbananku ini akan menjadi sia-sia?"
"Apa maksudmu, Locianpwe?"
"Engkau duduklah, meski pun tempat ini agak kotor, akan tetapi aku akan bercerita, dan agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk mendengarkan ceritaku."
"Aku pun yakin bahwa tentu kekuasaan Tuhan yang telah mendorongku untuk menuruni sumur ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."
Kakek yang lengannya buntung sampai hanya tinggal kedua pundaknya saja, dan yang kakinya buntung mulai dari pangkal paha itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandar dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik.
Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki dan tangannya masih lengkap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga serangkai kakak beradik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Ciu Lam Hok adalah yang termuda, akan tetapi dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam Hok lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang suheng-nya itu. Hal ini adalah karena dia memang suka sekali merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu mempelajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat.
Pada waktu Thian-li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang didirikan dengan tujuan untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Tak lama kemudian, Ciu Lam Hok pergi meninggalkan Thian-li-pang untuk kembali bertualang.
Kurang lebih sembilan tahun yang lalu, ketika mendengar sepak terjang Thian-li-pang yang mengarah kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi ketika mendengar betapa dua orang suheng-nya sudah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu mengenai racun sehingga mereka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi). Hatinya merasa khawatir sekali dan dia pun cepat pulang untuk membuktikan kebenaran berita itu.
Betapa kagetnya ketika tiba di Thian-li-pang dia melihat bahwa berita yang didengarnya memang tepat! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang bergaul pula dengan golongan sesat, bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tak segan melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup melakukan apa pun juga, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan!
Ciu Lam Hok dengan berani menemui kedua orang suheng-nya, lalu menegur mereka yang ia anggap menyeleweng. Dua orang suheng-nya kemudian menjadi marah, terjadi pertengkaran yang berakhir dengan perkelahian. Tapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok!
Dua orang kakek yang sekarang sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan kecurangan itu berpura-pura menyesal dan bertobat. Dan tentu saja Ciu Lam Hok mau memaafkan kedua orang suheng-nya itu asal mereka mau mengubah haluan Thian-li-pang yang dibuat menyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pendekar.
Dan setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu dapat demikian lihai sekarang.
"Aku dapat terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang sangat menarik hati Yo Han. "Aku menceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng yang pernah diperebutkan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi seorang yang sudah menjadi hamba nafsunya untuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat berpura-pura, namun sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertobat. Biasanya, pernyataan tobat itu hanya terjadi karena mereka merasa menderita sebagai akibat perbuatan mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mereka lupa lagi akan pernyataan mereka untuk bertobat, bahkan melakukan kejahatan lebih besar lagi untuk menebus kekalahan mereka sebelumnya."
Yo Han mengangguk-angguk. "Kalau saja mereka memiliki iman kepada Tuhan sampai ke tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan jika sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu menuntun mereka kembali ke jalan benar. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."
"He-he-heh, engkau memang anak aneh!” kata kakek itu. "Nah, karena kelengahanku, pada suatu hari aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tak mampu lagi menandingi mereka. Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesak untuk menyerahkan kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu sudah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan ke dalam kepalaku, tercatat dalam ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng, mereka menjadi marah. Lalu mereka menyiksaku, bahkan juga membuntungi kaki tanganku dan melemparkan aku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek Hoat-keng dapat kugunakan untuk menyelamatkan nyawaku, bahkan juga membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan racun mereka, ha-ha-ha!"
Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri. "Betapa kejam mereka!" katanya penasaran. "Ahhh, tentu Locianpwe sudah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini. Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi, mengapa tidak berusaha keluar dari sini?"
Kakek itu menghela napas panjang. "Betapa pun hebatnya ilmu Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi kalau tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat merayap naik? Loncatanku pun tidak akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andai kata aku sudah berhasil naik, kalau di sana aku diserang oleh dua orang suheng-ku, dalam keadaan tak bertangan tak berkaki ini, aku pun pasti kalah."
"Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik seperguruan sendiri. Tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke sini, berarti mereka menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap hari mereka masih mengirim makanan untukmu?"
"Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"
Pemuda remaja itu mengerutkan alis, kemudian mengangguk. "Aku mengerti sekarang. Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, hanya membuat Locianpwe tidak berdaya, dengan maksud supaya Locianpwe akhirnya menyerah lalu memberikan rahasia-rahasia Bu-kek Hoat-keng kepada mereka?"
"Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biar pun siksaan ini kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti sampai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan untuk menolongku. Sesudah ilmuku ada yang mewarisinya, aku lebih suka mati. Apa artinya hidup bagiku dalam keadaan seperti ini? Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini, Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi muridku, menjadi ahli warisku!"
"Tetapi, Locianpwe, aku... aku… tidak mau belajar silat. Aku tidak mau menggunakan kekerasan, tidak mau berkelahi..."
"Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"
"Tapi, ilmu apakah Bu-kek Hoat-keng itu?"
"Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tiada bedanya dengan ilmu tari dan senam yang engkau pelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak menjadi muridku? Engkau memilih menjadi muridnya?"
"Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh dua orang suheng Locianpwe itu. Kalau di sini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini bersamamu?"
"Heh-heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, katakanlah. Maukah engkau menjadi muridku? Ingat, sisa hidupku ini hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, sudahlah, aku tidak mau hidup lebih lama lagi, meski untuk semenit pun. Sekali aku menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah dan nyawaku akan melayang!"
Yo Han sangat terkejut. Dia tahu bahwa kakek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang aneh, maka tentu ancaman itu bukanlah gertak sambal belaka. Mengingat akan pengalaman kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimana pun juga, dia tidak boleh membiarkan kakek ini membunuh diri. Bila dia menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri, berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah yang membunuh atau menyebabkan kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."
Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, lalu melibat-libat tubuh Yo Han seperti pengganti kedua lengan, merangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak. Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun mulai menangis sesenggukan.
"Ahhh, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.
Kakek itu tertawa kembali. "Ha-ha-ha, tidak apa, muridku. Aku hanya merasa girang dan terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dikabulkan! Mari, Yo Han, kita harus cepat-cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir dengan kematian kita berdua."
"Ehh, kenapa begitu, Suhu?"
"Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."
Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek itu meloncat-loncat mendekati batu dari dia pun mengikuti.
"Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambutku dan hidungku saja. Pekerjaan itu berhasil setelah aku berusaha selama satu tahun! Dan tahun-tahun berikutnya lalu kupergunakan untuk membuat terowongan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini menjadi pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu melalui terowongan. Mari engkau bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."
Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur. Suara itu nyaring dan memasuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak telinga, serta mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar sangat aneh dan menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.
"Ciu Sute...!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.
"Yo Han...!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya.
Sebelum Yo Han menjawab, kakek Ciu Lam Hok telah mendahului. "Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"
"Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suheng-mu sendiri?"
"Ha-ha-ha, sejak kau lempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persaudaraan lagi di antara kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kau suruh turun untuk membunuhku itu? Ha-ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, meski engkau sendiri yang turun, engkau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"
Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas.
"Suheng, muridmu pasti sudah dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng!"
"Jangan, Sute. Dia bukan pembual. Kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap siaga. Siapa tahu dia memasang perangkap."
"Tapi, dia sudah tidak mempunyai kaki tangan, Suheng! Takut apa?"
"Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Dan di bawah sana gelap, kita tidak mengenal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk membunuhnya."
Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu bahwa gurunya yang baru tidak berbohong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko sangat keji dan jahat. Maka kini dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara.
Ciu Lam Hok memberi isyarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu. Dia pun mengerahkan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser sehingga nampaklah lubang sebesar tubuh orang. Ciu Lam Hok memberi isyarat untuk berhenti, kemudian dia tertawa.
"Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau tidak takut, kenapa tidak kalian berdua saja turun ke sini supaya kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya terkandung ejekan dan tantangan.
Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Bila tidak ditahan oleh suheng-nya, tentu dia sudah merayap turun untuk membunuh bekas sute-nya itu. Dulu memang dia harus mengaku kalah terhadap sute-nya itu, bahkan dia dan suheng-nya ketika mengeroyok pun tidak akan menang. Akan tetapi, kini sute-nya itu sudah menjadi manusia tapa daksa, sudah kehilangan kedua kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi?
"Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Dari pada membahayakan diri sendiri lebih baik kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."
"Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"
"Yo Han? Ahhh, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan tetapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-pang? Biarlah dia mampus bersama Si Buntung."
Tidak lama kemudian dua orang tokoh besar dari Thian-li-pang itu sudah menghujankan jarum-jarum beracun ke dalam sumur, juga melemparkan banyak ular dan kalajengking dan segala macam binatang beracun. Bahkan yang terakhir mereka menyiramkan air yang kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur!
Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah cepat menyelinap ke dalam lubang. Kemudian mereka menggeser kembali batu sebesar gajah agar menutupi lubang sehingga semua benda dan binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, memanggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi dari bawah.
Tentu saja demikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah pergi, dan mereka pun tak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.
"Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan batu-batu besar!"
"Tapi, Suheng. Bukankah mereka sudah tewas?"
Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh, Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biar pun kaki tangannya sudah buntung, akan tetapi dengan Bu-kek Hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimana pun juga mereka tidak akan mungkin dapat hidup lagi."
Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suheng-nya ini, merasa ngeri dan takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah ditutup dengan batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk memberi perintah itu kepada Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang.
Puluhan orang anggota Thian-li-pang sekali ini mendapatkan perkenan untuk memasuki goa sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-pikuk bergemuruh.
Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian–li-pang yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh baru seluruh sumur itu dapat ditutup. Meski orang memiliki kepandaian seperti dewa sekali pun, kalau berada di dalam sumur kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter lebih itu ditimbun batu-batu besar sampai penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.
Yo Han mengikuti kakek buntung itu merangkak melalui terowongan kecil, dan ternyata panjang terowongan itu hanya belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun!
Akhir terowongan itu merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya, di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walau pun tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya.
Keadaan dalam ruangan di dasar sumur ini bahkan lebih baik dari pada dasar sumur pertama, karena dasar sumur ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.
“Ahh, apakah itu, Suhu?”
“Ha-ha-ha, mereka sedang menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana.”
Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang bisa berbuat demikian kejamnya terhadap adik seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap muridnya sendiri? Tadinya dia mengira bahwa Ang-I Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan kejam di dunia ini. Siapa kira bahwa orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga tahun, yang bisa bersikap ramah dan lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!
"Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita, Yo Han. Ingat, mulai sekarang kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita tinggal di sini tanpa makan, hanya dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau merayap naik dan lakukanlah dengan hati-hati, jangan sampai engkau ketahuan orang-orang Thian-li-pang. Engkau carilah bahan makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering untuk ransum kita selama beberapa hari supaya tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari makan. Untuk minum mudah saja. Kalau tanah ini kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan oleh orang di atas."
"Suhu, mengapa susah-susah amat? Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita dapat mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."
"Yo Han, sebelum berhasil mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu, aku takkan mau keluar dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman dari pada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku keluar, seluruh datuk dunia kang-ouw akan mencariku dan kita akan menghadapi bahaya yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini? Baru sumur yang pertama saja, yang mengetahuinya hanyalah Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apa lagi di sini, tiada seorang pun yang tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."
Pemuda remaja itu nampak agak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu, Suhu?"
"Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"
"Tapi... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"
"Hushh! Siapa suruh engkau minta-minta makanan? Kalau engkau minta makanan tentu semua orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapa pun juga. Mengerti? Sekali saja engkau memperlihatkan diri, maka celakalah kita. Tempat ini tentu dapat diketahui, atau engkau akan ditangkap lebih dulu."
"Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu? Andai kata membeli pun, mereka akan melihatku. Apa lagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, bagaimana dapat membeli makanan?"
"Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han? Dengan kepandaianmu itu, engkau dapat mencuri makanan dengan sangat mudahnya dan membawanya ke sini tanpa diketahui orang."
Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Mencuri? Wahhh... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat dari pada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat menyuruh aku untuk melakukan pencurian? Kita bukan maling, Suhu..."
Kalau saja kakek itu masih mempunyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkelnya.
"Waduh! Engkau ini sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa? Dewa pun masih suka mencuri kalau terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau mengambil makanan, pakaian dan apa saja yang kau perlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kau tinggalkan uang di tempat engkau mengambil barang-barang itu. Cara ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah kiri itu.”
Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri dinding itu. "Kau lihat bagian yang mengkilat itu? Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja, yang sebesar ibu jari tanganmu!"
Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam goa itu memang terpantul oleh beberapa buah batu di dinding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua buah batu sebesar ibu jari tangannya.
"Apakah ini, Suhu?"
"Emas."
"Emas? Benarkah?" Yo Han terbelalak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah batu yang mengkilap di tangannya, kemudian menoleh ke arah dinding.
"Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apa lagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu emas, dan dua buah di tanganmu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang kau kehendaki. Jangan khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup berharga untuk ditukar dengan sebuah batu emas itu. Kau tinggalkan saja salah sebuah di tempat engkau mengambil barang, dan pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia telah mendapat keuntungan besar. Berarti engkau tidak mencuri, kan?"
Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus mencuri, maka dengan adanya dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan meninggalkan batu itu di tempat barang yang diambilnya.
"Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."
"Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun, gunakan kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini sampai engkau kembali, menunggumu dengan rasa lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati kalau engkau tidak kembali. Nah, pergilah."
Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak merayap, dia menanggalkan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu mulailah dia merayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sinkang di tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat menyedot ke permukaan dinding sumur dan melekat di situ!
Perlahan-lahan dan dengan hati-hati ia mulai merayap naik. Sekali saja keliru mengatur tenaga pada telapak tangan dan kakinya, tentu dia akan terjatuh kembali ke bawah! Akan tetapi, Yo Han sudah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong dinamakan ‘tarian cecak’ ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk senang.
Anak muda itu seorang yang memiliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga sakti yang mukjijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos dan jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apa lagi sudah dia bekali pesan bahwa dia akan menanti setiap saat sampai ia mati kelaparan. Itu saja pasti akan membuat hati anak itu tidak tega meninggalkannya.
Ketika tiba di permukaan sumur, ternyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak. Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tingginya dan ternyata mulut sumur berada di dalam sebuah goa yang kecil. Mulut goa nampak di depan sana, akan tetapi melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak oleh orang yang tidak terlalu besar tubuhnya.
Melihat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh sangat baik tempat sembunyi gurunya di dalam sumur itu. Tidak mungkin ada orang memasuki terowongan goa yang demikian sempitnya, dan andai kata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang itu tentu akan segera kembali keluar setelah melihat bahwa goa terowongan itu berakhir pada mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!
Lebih baik lagi, mulut goa kecil itu tertutup rapat oleh semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai dari mulut goa, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu masih termasuk daerah Thian-li-pang, pikirnya.
Dia harus berhati-hati. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati dan mengingat tempat itu supaya tidak lupa kalau akan kembali ke sumur. Kemudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng itu, menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dilihatnya dari atas, sebab nampak genteng banyak rumah.
Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam, sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang.
Dan giranglah dia ketika dia melihat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia menyelinap ke belakang dan menuju dapur. Ketika dalam intaiannya dia melihat pekerja restoran itu mengambil guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap dan setelah orang itu keluar, dia masuk ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya berada di dalam gudang itu.
Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap, asinan, daging kering, roti kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai karung terisi penuh. Dia mengambil pula mangkok, piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia dengan cepat.
Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya.
Ia kembali ke dalam goa kecil membawa dua buah karung. Ia membayangkan betapa akan senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko ketika menemukan potongan batu emas. Seperti juga di rumah makan, dia pun meninggalkan potongan batu emas di meja di mana dia mengambil pakaian.
Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil menyeret dua buah karung itu, kemudian setelah tiba di mulut sumur, dia merayap turun. Sempat pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia harus kembali ke tempat yang seperti neraka itu? Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek yang tak berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di dasar sumur dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia tidak kembali? Tidak, dia tidak boleh sekejam itu. Apa lagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.
"Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang dikirimkan Tuhan kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan kembali ke sini!" Kakek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang dibawa turun oleh muridnya.
Ketika dia melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah sebuah guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap.
Yo Han memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Walau pun kaki tangannya sudah tidak ada, namun dia dapat melayani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya, mulutnya, bahkan hidungnya sebagai pengganti tangan. Dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya sama sekali tidak canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti katak yang lincah.
"Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di sini? Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan meninggalkan sumur ini."
"Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dan bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi menjadi tontonan orang. Tidak, engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dahulu, terutama Bu-kek Hoat-keng, baru engkau boleh meninggalkan sumur ini."
"Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han berkata dengan nada suara yang terdengar tegas dan mantap.
Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik. "Muridku yang baik, apakah yang baru kau ucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu? Sudah kau pikirkan masak-masak dan engkau tidak akan keliru lagi?"
"Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, mendiang kedua orang tuaku selalu menasehatiku agar aku hidup melewati jalan yang benar, selalu menjauhi segala macam bentuk kekerasan, terutama sekali jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh serta saling dendam. Orang tuaku sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andai kata sejak kecil ibuku tidak pandai silat seperti ayahku, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku tidak menjadi yatim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"
"Ha-ha-ha-ha! Sebaliknya, muridku. Jika ibu dan ayahmu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, tak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena ilmu silat mereka kurang tinggi, sehingga mereka tak mampu membela diri dengan baik. Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka? Kalau engkau membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"
Pemuda remaja itu menentang pandang mata gurunya dengan berani dan bersungguh-sungguh. "Kenapa takut, Suhu? Kita hidup ada yang menghidupkan, mati pun ada yang mematikan, kita ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pelindung utama dan kalau Tuhan melindungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?”
"Bagus! Benar sekali itu, Yo Han. Bila Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan akan melindungi kita dan tak ada seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh kita. Akan tetapi bagaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati? Punya ilmu silat atau tidak, bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah menghendaki kita mati. Bahkan tanpa ada yang mengganggu pun ia akan mati sendiri, ha-ha-ha!"
Yo Han tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu lagi membantah kebenaran itu.
“Ayah ibumu memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi tentu saja mereka itu tewas hanya karena Tuhan telah menghendaki mereka mati. Andai Tuhan tidak menghendaki, mereka tentu tak akan mati. Hanya Tuhan yang menentukan mati hidupnya seseorang, Tuhan Maha Kuasa!”
Akan tetapi hanya sebentar dia termangu, lalu dia menggeleng kepala. "Bagaimana pun juga, aku tidak suka belajar ilmu silat, Suhu. Ilmu silat adalah jahat!"
"Jahat? Ha-ha-ha, Yo Han, kau tahu apa tentang jahat dan baik? Lihat, barang-barang yang kau bawa turun itu! Lihatlah barang-barang itu, kapak, gunting, jarum, pisau, catut dan martil. Apakah semua itu tidak jahat sekali?"
Yo Han memandang gurunya dengan heran dan dia cepat menjawab. "Tentu saja tidak jahat, Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu bisa kita pergunakan untuk memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk menggunting kain, jarum dan benang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat roti dan daging, catut dan martil untuk membuat perabot dari kayu dan sebagainya."
Kembali kakek itu tertawa. "Lalu bagaimana dengan kedua tanganmu itu? Jahat atau baikkah kedua tanganmu itu?"
Yo Han memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya. "Tentu saja baik, Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua pekerjaan yang bermanfaat itu."
"Sekarang dengar baik-baik! Bagaimana kalau kapak itu dipergunakan untuk mengapak kepala orang, lalu gunting itu untuk menusuk perut orang, pisau untuk menyayat leher orang, dan jarum untuk disambitkan menyerang lawan, juga catut dan martil itu untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat dinamakan barang yang baik dan berguna?"
Yo Han terbelalak. Tak pernah tergambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu. "Tapi... tapi..."
"Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han? Kalau kedua tanganmu itu kau pergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah kedua tangan itu masih kau katakan baik dan tidak jahat?"
"Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.
"Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Jika engkau mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi bukan benda-benda itu yang menentukan, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat menggunakan api untuk memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru dinamakan jahat atau baik bila sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang disembunyikan di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya perbuatan itu. Seperti tanganmu, dapat digunakan untuk menolong orang dan itu dikatakan baik, juga bisa digunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak benarkah ini?"
Yo Han mengangguk, tak dapat berbuat lain. Memang demikianlah kenyataannya. "Kini aku mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada di dalam diri manusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Ada pun ini hanyalah alat, bukankah demikian, Suhu?"
"Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batinnya bersih dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya jika batinnya sudah kotor dan jahat, alat apa pun yang dipergunakan dalam perbuatan, condong ke arah kejahatan."
"Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"
"Nah, sekarang kita kembali pada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat? Sama seperti semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Jika ilmu silat tidak digunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Tetapi setelah digunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu mempergunakannya. Kalau ilmu silat digunakan untuk melakukan kejahatan, merampok, membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat kejahatan. Akan tetapi kalau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat menamakan ilmu silat itu jahat? Ingat, muridku. Kau tahu harimau? Mengapa Tuhan menciptakan harimau dengan diberi kuku dan taring? Kenapa lembu bertanduk? Ular berbisa? Ulat berbulu gatal? Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk melindungi diri sendiri. Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring, tanpa tanduk untuk menjaga diri. Tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi. Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain itu juga untuk menjaga kesehatan dan melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Ilmu silat merupakan gerakan manusia yang mengandung unsur kesenian, kesehatan, bela diri, juga untuk membela mereka yang lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang memiliki batin bersih!”
Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasehat ayah ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan pengalamannya ketika ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan.
Akan tetapi juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subo-nya yang pertama kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Teringat pula dia akan Tan Siang Li, puteri suhu dan subo-nya itu. Suhu dan subo-nya berkeras hendak mengajarkan ilmu silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat.
Dia membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai ilmu silat, gagah perkasa. Bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, tetapi juga dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita.
Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek buntung itu. “Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya.”
"Bagus sekali, Yo Han. Jadi, sejak saat ini engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan? Terutama sekali Bu-kek Hoat-keng?"
Yo Han mengangguk. "Mudah-mudahan kelak teecu akan mendapat bimbingan Tuhan sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan untuk mencari permusuhan dan membunuh orang."
"Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."
Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek Ciu Lam Hok. Tentu saja kakek itu sama sekali tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia menjelaskan. Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biar pun dia hanya menggunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han untuk dapat bertahan.
Namun Yo Han belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Apa lagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu ‘tari’ dan ‘senam’ yang sebenarnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong. Juga sebelum itu dia sudah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subo-nya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, walau pun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.
Kita tinggalkan dulu Yo Han yang dengan tekun berlatih ilmu digembleng kakek Ciu Lam Hok dalam sumur dan kita tengok keadaan di luar sumur.
Meski pun lenyapnya Yo Han yang mereka sangka tentu sudah mati bersama kakek Ciu Lam Hok di dalam sumur membuat para tokoh Thian-li-pang merasa agak kecewa, oleh karena mereka tadinya mengharapkan anak luar biasa itu kelak akan bisa memperkuat Thian-li-pang, akan tetapi mereka mempunyai urusan yang lebih penting dan segera melupakan anak dan kakek itu yang mereka anggap sudah mati.
Pada saat Yo Han memasuki sumur pertama, para pimpinan Thian-li-pang mengadakan pertemuan penting, bahkan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko juga turut hadir dalam pertemuan puncak itu. Terdapat pula wakil dari Pek-lian-kauw, bukan saja Ang-I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw yang selama ini memang telah bekerja sama dengan mereka, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, bahkan ada seorang tosu tingkat tinggi dari Pek-lian-kauw datang pula, yaitu Pek Hong Siansu, seorang tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang mewakili pimpinan perkumpulan itu.
Mereka membicarakan tentang surat yang mereka terima dari kaki tangan Thian-li-pang yang telah mereka sebar sebagai mata-mata untuk melihat perkembangan permusuhan antara empat partai persilatan besar yang sudah mereka adu domba. Pembunuhan atas diri Thian Kwan Hwesio di kuil Pao-teng juga adalah perbuatan para tokoh Thian-li-pang untuk memperuncing permusuhan akibat adu domba itu.
Dan surat yang mereka terima adalah surat laporan dari mata-mata mereka. Isinya amat mengecewakan hati para pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Laporan itu terang menyatakan bahwa kini permusuhan di antara partai-partai persilatan itu telah mereda, dan tidak pernah terjadi bentrokan lagi. Semua itu akibat usaha bekas panglima Kao Cin Liong dan keluarga keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
Belum lama ini Kao Cin Liong mengadakan perayaan ulang tahun yang ke enam puluh empat, dan keluarga para pendekar itu mengundang para tokoh dari dunia persilatan sebagai tamunya, termasuk pula empat partai besar, yaitu Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai serta Go-bi-pai. Dalam pertemuan itu, di mana suasananya ramah karena semua tamu amat menghormati tuan rumah, Kao Cin Liong dan keluarganya mengajak empat partai besar yang mengirim wakil-wakilnya untuk bicara secara terbuka dan dari hati ke hati.
Kao Cin Liong menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap Thian Kwan Hwesio, bahkan dia sendiri dan isterinya sempat terluka ketika membela hwesio itu. Biar pun sebelum meninggal Thian Kwan Hwesio mengatakan bahwa yang menyerangnya adalah orang-orang Bu-tong-pai, namun dia merasa curiga dan tidak percaya. Apa lagi ketika para pimpinan Bu-tong-pai menyangkal.
Kao Cin Liong bercerita mengenai luka beracun akibat racun ular hitam yang biasanya hanya digunakan tokoh-tokoh sesat. Keterangan Kao Cin Liong yang dihormati semua utusan partai persilatan besar itu mendatangkan kesan mendalam, apa lagi ketika Suma Ceng Liong yang namanya sudah sangat terkenal dan amat disegani semua orang turut menyatakan pendapatnya, semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Cuwi adalah orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, serta bersikap gagah dan bijaksana. Karena itulah, mengingat bahwa empat partai persilatan Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai adalah partai-partai besar yang namanya selalu harum, memiliki murid-murid pendekar, maka tidak semestinya kalau para pimpinan empat partai itu hanya menuruti dendam dan kemarahan belaka. Saya sudah mendengar tentang peristiwa aneh di Gunung Naga. Tentu Cuwi (Anda Sekalian) juga sependapat dengan saya bahwa peristiwa itu sungguh patut dicurigai. Amat mudah dimengerti bahwa tentu ada pihak ke tiga yang agaknya sengaja ingin mengadu domba! Saya condong berpendapat bahwa pelaku-pelaku kejahatan itu, baik para pembunuh yang beraksi di Gunung Naga, mau pun pembunuh Losuhu Thian Kwan Hwesio, sudah pasti pihak ke tiga yang hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai! Oleh karena itu, apa bila Cuwi tidak menghentikan permusuhan antara saudara sendiri, itu berarti Cuwi dengan mudah dapat dipermainkan oleh pihak ke tiga yang mengadu domba."
Semua orang mengangguk, mereka menyatakan setuju dengan pendapat dari pendekar yang sangat mereka hormati itu. Diam-diam mereka pun menduga-duga, siapa kiranya yang amat berani melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk mengadu domba antara partai-partai persilatan.
Ada di antara mereka yang menduga bahwa pihak ketiga itu mungkin saja pemerintah Kerajaan Mancu yang tentu ingin melihat partai-partai persilatan itu saling bermusuhan dan menjadi hancur atau lemah sendiri supaya tidak membahayakan pemerintah lagi. Akan tetapi Kao Cin Liong menggelengkan kepala.
"Bukan karena saya pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu maka saya terpaksa tidak menyetujui dugaan itu. Kita semua tahu bahwa Kaisar Kian Liong, walau pun dia seorang Mancu dan sebagai manusia biasa tentu saja memiliki kelemahan-kelemahan, sejak muda dia sudah bergaul akrab dengan para pendekar. Dia seorang yang selalu bersikap bijaksana dan ingin bersahabat dengan partai-partai persilatan besar. Dia pun sangat cerdik, maka saya tidak percaya bahwa dia akan melakukan suatu kebodohan dengan memusuhi para partai persilatan besar dan menjadikan mereka sebagai musuh. Hal itu hanya akan membuat kedudukannya lemah. Tidak, saya yakin bahwa pihak ke tiga itu bukan pemerintah. Perbuatan itu bukan menolong pemerintah, melainkan malah membahayakannya."
Semua orang setuju dengan pendapat bekas panglima itu. Akan tetapi mereka menjadi semakin bingung. Lalu siapa lagi yang patut dicurigai dan dituduh menjadi pihak ke tiga yang mengadu dombakan mereka? Akhirnya Kao Cin Liong yang memberi usul.
"Yang terpenting lebih dulu adalah persatuan di antara kita semua. Setelah kita yakin bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba, maka para pimpinan masing-masing harus menjaga sekuatnya agar tidak ada anak buah atau murid yang saling bermusuhan lagi. Semua murid harus diberi tahu bahwa permusuhan itu timbul karena adu domba, dan semua bentrokan yang pernah ada agar dianggap selesai saja. Tidak ada dendam, tiada permusuhan sehingga dengan sikap demikian kita mendapatkan dua keuntungan. Pertama, kita telah menggagalkan niat busuk pihak ke tiga itu. Ke dua suasana menjadi tenteram dan dalam keadaan tenteram itu, kita semua bekerja sama untuk melakukan penyelidikan agar pihak ke tiga itu dapat kita ketahui siapa dan kelak kita bersama-sama mengambil tindakan terhadap mereka."
Kembali semua orang setuju dan pertemuan itu lalu benar-benar menjadi sebuah pesta yang menggembirakan di mana para wakil empat partai persilatan itu dapat berbincang-bincang dengan hati lega karena semua perasaan dendam telah dihapus dengan penuh pengertian bahwa mereka semua menjadi korban fitnah dan adu domba.
Demikianlah, para mata-mata Thian-li-pang kini melaporkan semua peristiwa itu kepada pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Tentu saja para pimpinan itu menjadi sangat kecewa.
"Ini kesalahan Si Keparat Thian Kwan Hwesio itu!" kata Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang sambil mengepal tinju. "Dia dapat melarikan diri ke atas rumah keluarga Kao Cin Liong sehingga melibatkan keluarga itu. Dan sekarang, keluarga itu pula yang menggagalkan siasat yang telah kita atur sebaiknya."
"Memang. itu suatu kesialan," kata gurunya, yaitu Ban-tok Mo-ko. "Kita atur semua itu dengan tujuan agar empat partai persilatan saling bermusuhan. Tetapi kini mereka tidak saling bermusuhan lagi, bahkan menyadari bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba. Semua ini adalah akibat ikut campurnya keluarga Kao Cin Liong."
"Kita sikat saja mereka! Kita basmi Kao Cin Liong dan keluarganya!" kata pula Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang dengan muka merah.
"Hemmm, usul yang bodoh sekali itu!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong yang sejak tadi diam saja, kini berkata dan semua orang memandang kakek itu.
Semua orang di situ takut dan menghormati kakek yang hampir tidak pernah keluar dari dalam goa tempat pertapaannya itu. Hanya untuk urusan yang amat penting saja dia mau bertemu dengan pimpinan Thian-li-pang seperti sekarang ini.
"Apakah kalian belum tahu siapa Kao Cin Liong itu? Dia keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, dan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Jadi, kalau kita memusuhi mereka, kedua keluarga itu akan dapat mendatangkan kegagalan pada kita, bahkan mungkin kehancuran. Kita akan membentur batu karang jika memusuhi mereka. Dan pula, apa untungnya memusuhi mereka? Tujuan kita hanya satu, menghancurkan pemerintah Kerajaan Mancu!"
Semua orang saling pandang dan berdiam diri. Memang tepat apa yang dikatakan datuk dari Thian-li-pang itu.
"Siancai...!" Pek Hong Siansu, tokoh Pek-lian-kauw itu tiba-tiba berseru, "Agaknya jalan satu-satunya haruslah menyalakan api pertentangan antara empat partai itu dengan kerajaan! Oleh karena itu, sekarang kita harus berusaha membujuk Kaisar Mancu untuk memusuhi mereka."
Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.
"Sayang sekali hubungan baik yang sudah kita rintis dengan Siang Hong-houw kini telah putus," kata Ouw Ban Ketua Thian-li-pang. "Bahkan kita sudah kehilangan murid kita yang terbaik, Ciang Sun yang tewas karena gagal membunuh Kaisar Kian Liong."
"Muridmu itu tergesa-gesa," kata pula Thian-te Tok-ong. "Membunuh Kaisar dan para pangeran yang dapat menggantikannya harus dilakukan dengan cara halus. Kita dapat menggunakan racun. Akan tetapi harus mencari kesempatan yang baik dan untuk itu kita harus bersabar dan menggunakan waktu. Juga hubungan dengan Pangeran Kian Ban Kok harus lebih dipererat agar kalau sudah tiba masanya, dia tidak akan menolak. Sebaiknya kita dekati lagi Siang Hong-houw dan kita menyelundupkan orang ke istana. Walau pun harus menunggu bertahun-tahun, akan tetapi kita harus bersabar dan sekali bergerak harus berhasil."
"Bagus sekali! Apa yang dikatakan oleh Locianpwe Thian-te Tok-ong itu memang tepat. Kami dari Pek-lian-kauw amat menyetujuinya. Kami juga akan menyusun kekuatan dan siap bergerak kalau sudah mendapat kesempatan baik. Untuk sementara ini, sebaiknya kita dari Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menahan kesabaran agar jangan melakukan gerakan yang kasar dulu, agar tidak mengejutkan pihak lawan sehingga mereka dapat siap siaga," kata Pek Hok Siansu dari Pek-lian-kauw.
Demikianlah, para pemberontak ini akhirnya bersepakat bahwa untuk sementara tidak akan melakukan gerakan keluar, tidak menggunakan kekerasan, tetapi menggunakan siasat halus untuk menyusup ke dalam istana, menghubungi kembali Siang Hong-houw dan Pangeran Kian Ban Kok, dan menyusun kekuatan.
"Yo Han, apa engkau sudah gila? Kau lihat sendiri, kalau engkau tak pandai mengelak, tentu engkau sudah mampus diserang Ang-I Moli. Mengapa engkau tetap tidak mau menerima pelajaran silat dariku? Aku akan membuat engkau orang yang paling pandai di kolong langit ini."
"Tidak, Suhu. Teecu tetap takkan mau belajar memukul orang. Untuk apa? Teecu tidak akan memukul orang, apa lagi membunuh orang. Hidup ini bukan berarti harus saling bermusuhan dan saling bunuh."
"Tolol! Kau kira ilmu silat itu hanya untuk membunuh orang?"
“Teecu tetap tidak mau! Semenjak kecil teecu tidak suka ilmu silat. Ayah Ibu teecu juga tewas hanya karena mereka itu ahli-ahli silat. Kalau dulu mereka tidak pandai silat, tidak mungkin mereka itu mati muda."
"Huh! Hal itu terjadi karena ilmu silat mereka masih rendah, masih mentah! Sudahlah, tidak perlu banyak berbantah lagi, mari kau keluar bersamaku, dan akan kuperlihatkan bukti-bukti kepadamu!"
Sebelum Yo Han menjawab, tiba-tiba saja punggung bajunya sudah dicengkeram oleh gurunya dan dia merasa tubuhnya dibawa terbang atau lari dengan kecepatan yang luar biasa. Diam-diam dia merasa kagum. Gurunya ini bukan manusia agaknya. Hanya iblis yang dapat bergerak seperti itu!
Akan tetapi dia pun diam saja dan hanya melihat betapa mereka melalui lembah bukit, menuruni jurang, dan akhirnya mereka tiba di luar sebuah dusun. Dari luar saja sudah terdengar suara ribut-ribut di dusun itu, suara sorak sorai disertai gelak tawa di antara suara tangis dan jerit mengerikan, juga nampak api berkobar.
"Suhu, apa yang terjadi?" Yo Han bertanya dengan kaget sekali.
Thian-te Tok-ong melepaskan muridnya, kemudian membiarkan muridnya itu menuntun tongkatnya, diajaknya memasuki dusun itu.
"Tidak perlu banyak bertanya dan kau lihatlah saja sendiri," katanya.
Setelah mereka memasuki dusun, mendadak kakek itu memegang lengan Yo Han dan membawanya loncat naik ke atas pohon besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat apa yang sedang terjadi di bawah.
Yo Han terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Dia melihat peristiwa yang mendirikan bulu romanya, perbuatan kejam yang membuat ia merasa ngeri bukan main. Belasan orang laki-laki yang bengis dan kasar, dengan golok di tangan, membantai orang-orang dusun yang sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan.
Ada pula yang memperlakukan wanita dengan kasar dan tidak sopan, menelanjanginya, menciuminya dan memukulinya. Ada pula yang mengusungi barang-barang berharga dari dalam rumah. Tahulah dia bahwa mereka adalah perampok-perampok yang sedang menyerang dusun itu dengan kejam sekali.
Hampir saja Yo Han menjerit melihat itu semua dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun dari atas pohon itu. Dia sendiri terkejut karena dia dapat meloncat dari tempat setinggi itu tanpa cidera. Gurunya hanya melihat sambil tersenyum saja. Yo Han lari ke dusun itu.
"Manusia-manusia jahat, kalian ini manusia ataukah iblis?" bentaknya berkali-kali dan ke mana pun tubuhnya berkelebat, dia sudah merampas sebatang golok dan mendorong seorang perampok sampai terjengkang dan terguling-guling.
Melihat seorang anak remaja maju mendorong roboh beberapa orang anak buahnya, kepala perampok yang brewok menjadi marah dan dia melepaskan wanita muda yang tadi dipermainkannya, lalu dengan bertelanjang dada dan dengan golok besar diangkat, dia menyerang Yo Han dengan bacokan ke arah leher anak itu.
Yo Han yang telah mahir ‘menari’ itu dapat melihat dengan jelas datangnya golok, maka dengan gerakan tari monyet, amat mudah baginya untuk meloncat ke samping sehingga golok itu tidak mengenai sasaran. Dia tidak bermaksud memukul orang, tetapi karena dia marah melihat orang itu tadi menggeluti seorang wanita, dan kini melihat orang itu hendak membunuhnya, dia pun mendorong sambil berseru nyaring,
"Engkau orang jahat, pergilah!"
Dan akibatnya sungguh luar biasa sekali. Begitu kena dorongan tangan Yo Han, kepala perampok itu terlempar bagai daun kering ditiup angin dan tubuhnya menabrak dinding. Dia pingsan seketika karena kepalanya terbentur pada dinding.
Para perampok menjadi marah dan kini beramai-ramai mereka menggerakkan golok mengepung dan menyerang Yo Han. Akan tetapi Yo Han berloncatan menari-nari dan semua serangan itu pun luput. Sayangnya, karena Yo Han memang tak suka berkelahi, tidak suka memukul orang, tidak suka menggunakan kekerasan dan perasaan ini sudah mendarah-daging sejak kecil, maka dia pun hanya berloncatan mengelak ke sana sini saja tanpa membalas.
"Huh, orang-orang semacam ini masih kau kasihani?" tiba-tiba terdengar seruan lembut dan Yo Han melihat betapa belasan orang itu terlempar ke kanan kiri, berkelojotan dan mati semua! Gurunya sudah berdiri di situ dan kini Yo Han memandang kepada gurunya dengan terbelalak dan alis berkerut.
"Suhu membunuh mereka semua? Suhu kejam! Sungguh kejam!"
Thian-te Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu lalu terkekeh-kekeh. "Dan engkau hendak bilang bahwa belasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari rumah penduduk itu tidak kejam?"
"Mereka juga kejam seperti setan, tapi jika suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"
"Ho-ho-ho, dan kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan punggung mereka, kemudian memuji-muji perbuatan mereka?"
"Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu tidak sudi membunuh dan tidak suka menggunakan kekerasan!"
"Hemmm, kau kira engkau ini pintar dan baik, ya? Bocah tolol. Kau lihatlah, mengapa penduduk dusun ini sampai dibunuh, diperkosa dan dirampok? Karena mereka lemah! Coba mereka itu kuat, coba mereka itu mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban kekerasan!"
Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajaknya pergi. Di sepanjang perjalanan pulang ke goa, anak itu termenung. Hatinya amat tidak senang. Gurunya membunuhi orang begitu saja walau pun orang-orang itu perampok kejam.
Mereka sampai di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik muridnya dan meloncat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar. Mereka melihat seekor harimau sedang menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu sudah menghunjam leher dan pundak. Darah dihisap dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol korbannya memasuki semak belukar.
Thian-te Tok-ong memandang muridnya. "Bagaimana pendapatmu, Yo Han? Apakah harimau itu kejam? Andai kata kijang itu mampu melawan dan menang, atau mampu melarikan diri, bukankah berarti ia tidak akan menjadi korban?"
"Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"
"Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati kelaparan! Untuk itu ia telah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing dan gigi tajam. Harimau tak dapat hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat dia bertahan!"
"Teecu tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu jahat dan ingin memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tak suka belajar silat, tidak suka menggunakan kekerasan karena hal itu akan membuat teecu menjadi jahat!"
"Yo Han, kau lihat apa ini?"
"Suhu memegang tongkat!"
"Apakah tongkat ini merupakan senjata untuk melakukan kekerasan?"
"Tentu saja!"
"Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"
"Tidak."
"Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau tidak mampu melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan senjata kekerasan yang jahat? Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan dapat menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila? Hayo jawab!"
Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik. "Kalau pun teecu memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing itu, bukan untuk memukul, melukai apa lagi membunuhnya!"
"Nah, demikian pula dengan ilmu silat, anak keras kepala! Apa kau kira kalau kita sudah mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan membunuh orang? Kalau kita mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua, kita dapat membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, yang terutama sekali, kita dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, dapat menjadi orang yang terpandang di dalam dunia!"
Yo Han mengerutkan alisnya. Ada sebagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang terakhir itu dia sama sekali tidak setuju. "Bagaimana pun juga, orang-orang yang pandai silat selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai silat."
"Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"
"Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bicara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau belajar silat!" berkata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, tentang nyawa teecu, semua berada di tangan Tuhan dan teecu yakin benar akan hal ini!"
"Huh, bocah aneh, tolol tapi... benar juga..." kakek itu menggumam.
Sudah sering dia melihat Yo Han yang tak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal pula terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang selalu melindunginya.
Dia sendiri adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya kekuasaan di luar dirinya. Kekuasan Tuhan? Dia tidak percaya karena tak dapat melihatnya! Dia sama sekali tidak sadar bahwa perasaan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan yang tidak dipercayanya itu.
**********
Waktu berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini sudah tiga tahun Yo Han berada di dalam goa itu dan usianya sudah lima belas tahun. Dia menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja keras.
Mukanya yang lonjong dengan dagu runcing berlekuk itu membayangkan kegagahan. Rambutnya gemuk panjang serta dikuncir besar. Pakaiannya sederhana dan kasar. Alis matanya amat menyolok karena amat tebal menghitam berbentuk golok. Dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya ramah walau pun dia pendiam. Sepasang matanya membayangkan kejujuran dan kelembutan.
Dia sudah mulai jemu tinggal di dalam goa itu. Setiap hari selain melayani gurunya yang sudah makin tua dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga siu-lian (semedhi) yang menurut gurunya berguna untuk kesehatan dan memanjangkan usia.
Tetapi, bila timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada gurunya. Kakek itu sudah tua sekali. Dia pun merasa kasihan kepada orang hukuman yang berada di dalam sumur. Bahkan sering kali timbul keinginannya untuk menengok orang itu ke dalam sumur, akan tetapi dia selalu mengurungkan niatnya karena dilarang oleh suhu-nya.
Akan tetapi pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketuanya, yaitu Ouw Ban dan Lauw Kang Hu, datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di ruangan depan goa. Yo Han disuruh ke dalam oleh suhu-nya dan tidak diperkenankan untuk menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan mereka pun tidak boleh.
Yo Han masuk ke bagian paling dalam dari goa itu supaya tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dan bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi dia duduk termenung, matanya yang terlatih itu dapat melihat keadaan yang bagi orang lain tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya terharu melihat keadaan sumur yang garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak dapat diukur itu.
Setiap kali memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke bawah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan orang sembarangan karena dalam keadaan yang gelap itu mampu menerima luncuran bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.
Sambil menanti percakapan gurunya dengan kedua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu duduk di bibir sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat gelap di bawah sana, tidak nampak sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar apa-apa, kecuali kadang saja terdengar suara yang amat mengerikan, seperti suara melengking panjang, seperti jerit tangis, seperti tawa, pendeknya bukan seperti suara manusia!
Tiba-tiba saja Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukannya pekik melengking mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan yang terdengar kini adalah suara nyanyian merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi, dan nyanyiannya sederhana akan tetapi suara itu demikian merdu dan lembut.
Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!
Yo Han mendengarkan. Karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka sekali membaca, maka mendengar satu kali saja dia sudah hafal. Tetapi, bagaimana seorang remaja berusia lima belas tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata itu? Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka berarti:
Badan Manusia Adalah Alam Kecil,
Satu Im (Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Jalan atau Kekuasaan Tuhan)!
Yo Han menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia lebih kagum mendengar kemerduan suara itu dari pada isi kata-katanya yang tidak dia mengerti benar. Jika biasanya dia tak pernah tertarik untuk memeriksa ke dalam sumur, sebab selain dilarang suhu-nya, juga dia tak pernah menganggur dan suara melengking yang mengerikan itu membuatnya ragu, sekarang mendengar nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat hatinya tertarik bukan main.
Apakah si penyanyi adalah orang yang suka menjerit-jerit itu? Perasaan iba memenuhi hatinya. Kenapa orang itu dihukum di sana? Apakah dosanya? Dan mengingat betapa orang-orang Thian-li-pang adalah orang-orang sakti yang aneh, juga jahat dan curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya mengetahui dan marah, dia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Bagaimana pun juga, ia harus tahu siapa salah siapa benar, dan bila orang di bawah sumur itu tak bersalah, dia tidak sepatutnya dihukum dan di siksa seperti itu.
Dengan hati yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerjaan yang bagi orang lain tentu hampir tidak mungkin dilakukan ini, bagi dia tidaklah begitu sukar. Dia telah lama digembleng oleh Thian-te Tok-ong untuk menirukan gerakan binatang cecak merayap di dinding goa! Dengan latihan semedhi, dia bisa menggunakan tenaga dalam tubuh untuk menyedot hawa dan kedua tangan serta kakinya yang telanjang itu dapat melekat di dinding.
Dalamnya sumur itu tidak kurang dari dua puluh lima meter dan meski pun gelap pekat, akan tetapi pandangan mata Yo Han masih dapat menembus sehingga remang-remang nampak olehnya bahwa sumur itu agak menyerong. Akhirnya, tibalah dia di dasar sumur yang cukup luas, ada empat meter persegi dan terdapat sedikit cahaya yang datang dari sebuah lubang sebesar lengan tangan yang datang dari jurusan lain. Dasar sumur itu becek dan baunya pengap sekali, sungguh orang akan tersiksa hebat bila harus tinggal di situ.
Ketika dia turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah batu bundar sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling. Tidak mungkin ada orang bersembunyi di ruangan persegi itu, atau entah kalau masih ada lorong rahasia lain.
Tiba-tiba saja tubuhnya seperti disedot oleh kekuatan yang amat kuat menuju ke salah sebuah guci yang berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri, namun sia-sia. Tenaga sedotan itu seperti besi magnet menarik jarum, angin sedotannya terlalu kuat baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci besar itu.
Dan guci itu pun bergerak maju menabraknya!
"Desss...!"
Tubuh Yo Han terbentur benda lunak, akan tetapi yang kuatnya bukan main sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.
"Bressss...!"
Yo Han terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak memandang kepada ‘guci’ itu. Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak memiliki tangan dan tak mempunyai kaki. Tinggal badan dan kepala saja! Sungguh mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan kanak-kanak yang dapat dibuat jungkir balik, akan tetapi selalu dapat berdiri tanpa kaki.
Sekarang penglihatan Yo Han mulai terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan penerangan dan dia memperhatikan makhluk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu bulat dan cukup gemuk, agaknya telanjang tetapi kulitnya ditutup ‘pakaian’ lumpur kering. Hanya mukanya yang tidak berlumur lumpur. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung, putih. Alis, kumis dan jenggotnya juga putih. Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan makhluk yang mengerikan sekali. Tentu iblis, pikir Yo Han. Semacam iblis penghuni sumur yang aneh dan berbahaya.
Kini makhluk itu berloncatan, bukan menggelundung, tapi berloncatan menghampiri Yo Han. Anak ini memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia memang tidak mempunyai niat buruk. Dia hanya memandang dengan penuh perhatian.
Wajah itu kini nampak nyata, wajah seorang kakek yang tentu sudah tua sekali. Dan sinar mata kehijauan itu pun tidak kejam, bahkan mulut yang sebagian tertutup kumis itu seperti menyeringai tersenyum.
"Kau tidak mati...? Kau... kau tidak terluka dan tidak mati?" Suara itu lembut, seperti suara orang yang terpelajar, akan tetapi agak aneh terdengar di tempat seperti itu, dan seolah bukan keluar dari mulutnya melainkan turun dari atas.
Yo Han tidak dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri mepet di dinding dan menggelengkan kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah seorang manusia, walau pun aneh, bahkan mungkin sekali seorang tapa-daksa yang patut dikasihani, maka dia pun berkata,
"Locianpwe, harap suka ampunkan aku. Aku... aku tidak bermaksud mengganggu, aku hanya ingin melihat karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu."
Dia lalu menyanyi seperti tadi, menirukan suara yang didengarnya tadi.
Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!
"Siancai...! Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu? Ehh, anak muda, tahukah engkau apa artinya kalimat itu?"
Yo Han sudah membaca banyak kitab. Selain itu, memang dia mempunyai kelebihan, bahkan keanehan di dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia masih kecil sekali pun, ada suatu pengertian di dalam batinnya, seolah-olah dia pernah mengenal semua kitab itu dan sudah paham benar akan maknanya. Atau seolah ada yang membisikinya, memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar pertanyaan itu, dia mengangguk.
"Kurasa aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."
"Tidak, tidak. Engkau ini yang setiap hari mengirim makanan kepadaku, bukan? Sudah kudengar langkah-langkah kakimu dari sini kalau engkau menghampiri sumur dan aku sudah tahu, engkau bukan anak sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna yang terkandung dalam kalimat itu."
"Jin Sin It Siauw Thian Te, atau Badan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe, kita dapat melihat kenyataan bahwa di antara segala makhluk di dunia ini, manusia adalah merupakan makhluk yang paling unggul dalam kesempurnaannya dibandingkan makhluk lain. Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung unsur-unsur yang terdapat di alam besar, terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan kalau air samudera terasa asin, demikian pula tubuh manusia mengandung rasa asin apa bila mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah terpisah dari api, maka tubuh manusia pun selalu mengandung panas, api yang apa bila padam berarti kematian. Seperti yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di alam besar akan berlaku pula di alam kecil. Bukankah, demikian, Locianpwe?"
"Siancai...! Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau dikotori oleh manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!" Kakek yang tanpa lengan tanpa kaki itu berkata dengan wajah berseri, suaranya lembut sekali.
"Lanjutannya adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative) itulah To. Locianpwe, telah menjadi kehendak Tuhan bahwa yang menggerakkan segala sesuatu di dunia ini adalah dua keadaan yang saling berlawanan, saling bertentangan, akan tetapi saling dorong dan saling melengkapi, karena tanpa ada yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak lengkap. Im itu wanita, dan Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan Yang terkandung di dalam bawah dan atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan langit, dingin dan panas dan sebagainya. Tanpa ada Im, bagaimana ada Yang? Tanpa ada Yang, Im pun tak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa adanya kegelapan? Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut? Kalau tidak ada bumi, langit pun tidak ada. Maka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling melengkapi, saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan kesempurnaan alam. Kalau Im dan Yang dalam alam besar tidak seimbang, maka akan timbul kekacauan-kekacauan. Bila dalam alam kecil, yaitu badan kita, Im dan Yang tidak seimbang, maka akan timbul gangguan penyakit dalam tubuh kita. Kalau Im dan Yang seimbang, maka To akan bekerja dengan sempurnanya."
Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia menghela napas panjang. "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bijaksana, Maha Kasih Sayang sekali. Manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya To, adanya kekuasaan Tuhan yang menjadi Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kekacauan-kekacauan di dunia ini. Ehh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda? Ataukah seorang manusia ajaib yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"
Yo Han tersenyum. "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat dimiliki siapa pun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."
"Baru lima belas tahun? Dan engkau sudah mampu menahan tubrukanku tadi? Padahal, seorang jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan To? Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk menjadi murid dan ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"
Yo Han mengerutkan alisnya. "Locianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin menjadi murid dan ahli warismu."
"Ehh? Apa katamu? Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan berlomba untuk menjadi muridku, dan engkau menolak menjadi murid dan ahli warisku? Wah, wah, aku Ciu Lam Hok bisa mati karena keheranan!"
Kepala dengan tubuh yang buntung itu sekarang berloncatan sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung kaki tangannya ini tentu menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut tentang ilmu silat dan jagoan di dunia kang-ouw.
"Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah mempunyai guru."
"Ehhh? Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya? Coba katakan, siapa gurumu yang tidak becus itu!"
"Guruku adalah Thian-te Tok-ong..."
"Uhhhh...!"
Tiba-tiba tubuh itu ‘terbang’ ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke dinding kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, terpental ke dinding kanan dan bolak balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu turun kembali dan berdiri tanpa kaki di depan Yo Han.
"Kiranya engkau datang atas perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"
"Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tak mau menyerang orang, apa lagi membunuh. Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka dari itu aku tidak mau menjadi murid Locianpwe, tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"
Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-remang itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak memiliki sebuah pun gigi lagi.
"Engkau? Yang dapat menahan tabrakanku, tidak mau belajar silat? Membenci ilmu silat dan membenci kekerasan? Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong? Ha-ha-ha, engkau boleh membohongi orang lain, akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam Hok!"
"Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."
"Orang muda, omongan apa yang kau keluarkan ini? Engkau mengaku murid Thian-te Tok-ong akan tetapi mengatakan tidak suka belajar silat? Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau menari? Ha-ha-ha..."
"Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."
Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu baru berhenti di ujung ruangan itu dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Yo Han segera merasa ada banyak benda-benda kecil yang meluncur deras menyambar ke arah lehernya.
Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyambar ke arahnya dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Ia cepat menggerakkan tubuh, menari seperti monyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu mengelak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.
"Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kau bilang tidak pernah belajar silat?" kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan. "Dan kau bilang tidak berbohong, tidak pernah berbohong? Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti gurumu!"
"Locianpwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari dan memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"
Tiba-tiba ada sebuah benda kecil menyambar lagi dan sekali ini Yo Han kurang cepat mengelak sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda itu perih dan agak nyeri, akan tetapi baginya tidak berapa mengganggu.
"Yang licik dan curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara membokong sehingga leherku terkena tiupan benda rahasiamu.”
Tangan Yo Han memijat bagian leher yang terluka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum itu dan melemparkannya ke lantai dengan sikap acuh.
Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba untuk membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesima adalah cara orang muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai lehernya.
Orang lain, betapa pun lihainya, sekali terluka jarumnya, apa lagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas! Tetapi orang muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih sempat menegurnya. Jangankan tewas, roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong serigala, dan tubuhnya sudah bergulingan. Kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han.
Pemuda ini terkejut dan kembali dia ‘menari’, akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia hanya berhasil meloncat dan mengelak empat lima kali saja, kemudian tiba-tiba kedua kakinya terkena totokan ujung rambut dan dia pun terpelanting jatuh!
Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek itu menyerangnya dengan rambut. Suara rambut itu menyambar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo Han kini menggunakan ilmu ‘senam’, berdiri kokoh, mengerahkan tenaga yang dapat membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek itu dengan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit.
Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo Han mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari kepala atau rambut-rambut itu sehingga Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tubuhnya terpental ke belakang dan kembali dia roboh!
Kakek itu pun terguling-guling ke belakang dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum.
"Siancai...! Engkau ini manusia ataukah setan? Heii, Yo Han, katakan sejujurnya, siapa engkau dan apa pula maksudmu menuruni sumur ini?"
Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh takjub. Kini tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biar pun tak bertangan kaki lagi, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali.
Ang-I Moli, Si Iblis Betina yang amat lihai itu saja tidak mampu merobohkannya sampai dua puluh jurus ketika dia mainkan tarian monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam ‘Mendorong Bukit’. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam yang dikuasainya tidak mampu menolongnya. Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang-I Moli!
"Locianpwe, tadi sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi muridnya. Aku pula orang yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke dalam sumur. Sudah lama aku sangat tertarik dengan suara tangisan dari dalam sumur, maka hari ini aku tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku, aku turun ke dalam sumur untuk melihat siapa yang menangis, bila perlu aku akan menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa yang suka meraung-raung itu?"
"Ahh... ahhh... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tuhan... yang mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"
"Dengan merayap, Locianpwe. Di antara tari-tarian yang diajarkan oleh Suhu, terdapat tarian gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.”
"Ahh… ahhh... engkau ini anak tolol ataukah anak yang sungguh luar biasa? Yo Han, mendekatlah, nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."
Yo Han maklum bahwa jauh atau dekat, bagi kakek sakti ini sama saja. Kalau kakek ini hendak membunuhnya, walau pun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia pun melangkah dan menghampiri kakek itu.
"Diamlah, Yo Han, aku hendak memeriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu.
Tiba-tiba rambut kepalanya bergerak, bagai ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu telah melibat-libat seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini. Rambut itu hidup!
Yo Han memejamkan matanya, seluruh jiwa raganya memuji kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya karena kakek ini kehilangan kaki dan tangan, maka rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba, memijit, bahkan menekan-nekannya.
Berulang-ulang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo Han, dia terlempar dan bergulingan.
"Locianpwe...! Engkau tidak apa-apa...?” Yo Han cepat menghampiri.
Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.
"Ya Tuhan, inilah... inilah..." dan tiba-tiba dia pun menangis! Suara tangis yang sering didengar oleh Yo Han!
Tentu saja Yo Han menjadi heran bukan main. "Locianpwe, ada apakah? Maafkan kalau aku bersalah." Dan Yo Han memandang terharu. "Jadi... kiranya Locianpwe yang suka meraung dan menangis itu?"
Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak mengusap air mata dari mukanya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena bagai mana pun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.
"Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang suka meraung dan menangis, lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk menolongmu dan membawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu terkandung ketegasan.
Kakek itu kini tertawa! Baru saja ia menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali kakek itu.
"Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong? Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang dibunuhnya, apakah pengorbananku ini akan menjadi sia-sia?"
"Apa maksudmu, Locianpwe?"
"Engkau duduklah, meski pun tempat ini agak kotor, akan tetapi aku akan bercerita, dan agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk mendengarkan ceritaku."
"Aku pun yakin bahwa tentu kekuasaan Tuhan yang telah mendorongku untuk menuruni sumur ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."
Kakek yang lengannya buntung sampai hanya tinggal kedua pundaknya saja, dan yang kakinya buntung mulai dari pangkal paha itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandar dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik.
Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki dan tangannya masih lengkap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga serangkai kakak beradik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Ciu Lam Hok adalah yang termuda, akan tetapi dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam Hok lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang suheng-nya itu. Hal ini adalah karena dia memang suka sekali merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu mempelajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat.
Pada waktu Thian-li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang didirikan dengan tujuan untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Tak lama kemudian, Ciu Lam Hok pergi meninggalkan Thian-li-pang untuk kembali bertualang.
Kurang lebih sembilan tahun yang lalu, ketika mendengar sepak terjang Thian-li-pang yang mengarah kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi ketika mendengar betapa dua orang suheng-nya sudah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu mengenai racun sehingga mereka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi). Hatinya merasa khawatir sekali dan dia pun cepat pulang untuk membuktikan kebenaran berita itu.
Betapa kagetnya ketika tiba di Thian-li-pang dia melihat bahwa berita yang didengarnya memang tepat! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang bergaul pula dengan golongan sesat, bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tak segan melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup melakukan apa pun juga, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan!
Ciu Lam Hok dengan berani menemui kedua orang suheng-nya, lalu menegur mereka yang ia anggap menyeleweng. Dua orang suheng-nya kemudian menjadi marah, terjadi pertengkaran yang berakhir dengan perkelahian. Tapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok!
Dua orang kakek yang sekarang sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan kecurangan itu berpura-pura menyesal dan bertobat. Dan tentu saja Ciu Lam Hok mau memaafkan kedua orang suheng-nya itu asal mereka mau mengubah haluan Thian-li-pang yang dibuat menyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pendekar.
Dan setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu dapat demikian lihai sekarang.
"Aku dapat terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang sangat menarik hati Yo Han. "Aku menceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng yang pernah diperebutkan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi seorang yang sudah menjadi hamba nafsunya untuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat berpura-pura, namun sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertobat. Biasanya, pernyataan tobat itu hanya terjadi karena mereka merasa menderita sebagai akibat perbuatan mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mereka lupa lagi akan pernyataan mereka untuk bertobat, bahkan melakukan kejahatan lebih besar lagi untuk menebus kekalahan mereka sebelumnya."
Yo Han mengangguk-angguk. "Kalau saja mereka memiliki iman kepada Tuhan sampai ke tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan jika sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu menuntun mereka kembali ke jalan benar. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."
"He-he-heh, engkau memang anak aneh!” kata kakek itu. "Nah, karena kelengahanku, pada suatu hari aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tak mampu lagi menandingi mereka. Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesak untuk menyerahkan kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu sudah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan ke dalam kepalaku, tercatat dalam ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng, mereka menjadi marah. Lalu mereka menyiksaku, bahkan juga membuntungi kaki tanganku dan melemparkan aku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek Hoat-keng dapat kugunakan untuk menyelamatkan nyawaku, bahkan juga membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan racun mereka, ha-ha-ha!"
Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri. "Betapa kejam mereka!" katanya penasaran. "Ahhh, tentu Locianpwe sudah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini. Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi, mengapa tidak berusaha keluar dari sini?"
Kakek itu menghela napas panjang. "Betapa pun hebatnya ilmu Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi kalau tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat merayap naik? Loncatanku pun tidak akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andai kata aku sudah berhasil naik, kalau di sana aku diserang oleh dua orang suheng-ku, dalam keadaan tak bertangan tak berkaki ini, aku pun pasti kalah."
"Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik seperguruan sendiri. Tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke sini, berarti mereka menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap hari mereka masih mengirim makanan untukmu?"
"Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"
Pemuda remaja itu mengerutkan alis, kemudian mengangguk. "Aku mengerti sekarang. Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, hanya membuat Locianpwe tidak berdaya, dengan maksud supaya Locianpwe akhirnya menyerah lalu memberikan rahasia-rahasia Bu-kek Hoat-keng kepada mereka?"
"Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biar pun siksaan ini kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti sampai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan untuk menolongku. Sesudah ilmuku ada yang mewarisinya, aku lebih suka mati. Apa artinya hidup bagiku dalam keadaan seperti ini? Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini, Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi muridku, menjadi ahli warisku!"
"Tetapi, Locianpwe, aku... aku… tidak mau belajar silat. Aku tidak mau menggunakan kekerasan, tidak mau berkelahi..."
"Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"
"Tapi, ilmu apakah Bu-kek Hoat-keng itu?"
"Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tiada bedanya dengan ilmu tari dan senam yang engkau pelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak menjadi muridku? Engkau memilih menjadi muridnya?"
"Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh dua orang suheng Locianpwe itu. Kalau di sini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini bersamamu?"
"Heh-heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, katakanlah. Maukah engkau menjadi muridku? Ingat, sisa hidupku ini hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, sudahlah, aku tidak mau hidup lebih lama lagi, meski untuk semenit pun. Sekali aku menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah dan nyawaku akan melayang!"
Yo Han sangat terkejut. Dia tahu bahwa kakek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang aneh, maka tentu ancaman itu bukanlah gertak sambal belaka. Mengingat akan pengalaman kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimana pun juga, dia tidak boleh membiarkan kakek ini membunuh diri. Bila dia menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri, berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah yang membunuh atau menyebabkan kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."
Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, lalu melibat-libat tubuh Yo Han seperti pengganti kedua lengan, merangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak. Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun mulai menangis sesenggukan.
"Ahhh, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.
Kakek itu tertawa kembali. "Ha-ha-ha, tidak apa, muridku. Aku hanya merasa girang dan terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dikabulkan! Mari, Yo Han, kita harus cepat-cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir dengan kematian kita berdua."
"Ehh, kenapa begitu, Suhu?"
"Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."
Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek itu meloncat-loncat mendekati batu dari dia pun mengikuti.
"Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambutku dan hidungku saja. Pekerjaan itu berhasil setelah aku berusaha selama satu tahun! Dan tahun-tahun berikutnya lalu kupergunakan untuk membuat terowongan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini menjadi pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu melalui terowongan. Mari engkau bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."
Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur. Suara itu nyaring dan memasuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak telinga, serta mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar sangat aneh dan menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.
"Ciu Sute...!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.
"Yo Han...!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya.
Sebelum Yo Han menjawab, kakek Ciu Lam Hok telah mendahului. "Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"
"Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suheng-mu sendiri?"
"Ha-ha-ha, sejak kau lempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persaudaraan lagi di antara kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kau suruh turun untuk membunuhku itu? Ha-ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, meski engkau sendiri yang turun, engkau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"
Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas.
"Suheng, muridmu pasti sudah dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng!"
"Jangan, Sute. Dia bukan pembual. Kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap siaga. Siapa tahu dia memasang perangkap."
"Tapi, dia sudah tidak mempunyai kaki tangan, Suheng! Takut apa?"
"Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Dan di bawah sana gelap, kita tidak mengenal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk membunuhnya."
Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu bahwa gurunya yang baru tidak berbohong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko sangat keji dan jahat. Maka kini dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara.
Ciu Lam Hok memberi isyarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu. Dia pun mengerahkan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser sehingga nampaklah lubang sebesar tubuh orang. Ciu Lam Hok memberi isyarat untuk berhenti, kemudian dia tertawa.
"Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau tidak takut, kenapa tidak kalian berdua saja turun ke sini supaya kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya terkandung ejekan dan tantangan.
Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Bila tidak ditahan oleh suheng-nya, tentu dia sudah merayap turun untuk membunuh bekas sute-nya itu. Dulu memang dia harus mengaku kalah terhadap sute-nya itu, bahkan dia dan suheng-nya ketika mengeroyok pun tidak akan menang. Akan tetapi, kini sute-nya itu sudah menjadi manusia tapa daksa, sudah kehilangan kedua kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi?
"Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Dari pada membahayakan diri sendiri lebih baik kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."
"Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"
"Yo Han? Ahhh, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan tetapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-pang? Biarlah dia mampus bersama Si Buntung."
Tidak lama kemudian dua orang tokoh besar dari Thian-li-pang itu sudah menghujankan jarum-jarum beracun ke dalam sumur, juga melemparkan banyak ular dan kalajengking dan segala macam binatang beracun. Bahkan yang terakhir mereka menyiramkan air yang kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur!
Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah cepat menyelinap ke dalam lubang. Kemudian mereka menggeser kembali batu sebesar gajah agar menutupi lubang sehingga semua benda dan binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, memanggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi dari bawah.
Tentu saja demikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah pergi, dan mereka pun tak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.
"Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan batu-batu besar!"
"Tapi, Suheng. Bukankah mereka sudah tewas?"
Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh, Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biar pun kaki tangannya sudah buntung, akan tetapi dengan Bu-kek Hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimana pun juga mereka tidak akan mungkin dapat hidup lagi."
Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suheng-nya ini, merasa ngeri dan takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah ditutup dengan batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk memberi perintah itu kepada Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang.
Puluhan orang anggota Thian-li-pang sekali ini mendapatkan perkenan untuk memasuki goa sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-pikuk bergemuruh.
Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian–li-pang yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh baru seluruh sumur itu dapat ditutup. Meski orang memiliki kepandaian seperti dewa sekali pun, kalau berada di dalam sumur kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter lebih itu ditimbun batu-batu besar sampai penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.
Yo Han mengikuti kakek buntung itu merangkak melalui terowongan kecil, dan ternyata panjang terowongan itu hanya belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun!
Akhir terowongan itu merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya, di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walau pun tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya.
Keadaan dalam ruangan di dasar sumur ini bahkan lebih baik dari pada dasar sumur pertama, karena dasar sumur ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.
“Ahh, apakah itu, Suhu?”
“Ha-ha-ha, mereka sedang menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana.”
Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang bisa berbuat demikian kejamnya terhadap adik seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap muridnya sendiri? Tadinya dia mengira bahwa Ang-I Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan kejam di dunia ini. Siapa kira bahwa orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga tahun, yang bisa bersikap ramah dan lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!
"Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita, Yo Han. Ingat, mulai sekarang kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita tinggal di sini tanpa makan, hanya dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau merayap naik dan lakukanlah dengan hati-hati, jangan sampai engkau ketahuan orang-orang Thian-li-pang. Engkau carilah bahan makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering untuk ransum kita selama beberapa hari supaya tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari makan. Untuk minum mudah saja. Kalau tanah ini kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan oleh orang di atas."
"Suhu, mengapa susah-susah amat? Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita dapat mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."
"Yo Han, sebelum berhasil mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu, aku takkan mau keluar dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman dari pada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku keluar, seluruh datuk dunia kang-ouw akan mencariku dan kita akan menghadapi bahaya yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini? Baru sumur yang pertama saja, yang mengetahuinya hanyalah Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apa lagi di sini, tiada seorang pun yang tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."
Pemuda remaja itu nampak agak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu, Suhu?"
"Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"
"Tapi... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"
"Hushh! Siapa suruh engkau minta-minta makanan? Kalau engkau minta makanan tentu semua orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapa pun juga. Mengerti? Sekali saja engkau memperlihatkan diri, maka celakalah kita. Tempat ini tentu dapat diketahui, atau engkau akan ditangkap lebih dulu."
"Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu? Andai kata membeli pun, mereka akan melihatku. Apa lagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, bagaimana dapat membeli makanan?"
"Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han? Dengan kepandaianmu itu, engkau dapat mencuri makanan dengan sangat mudahnya dan membawanya ke sini tanpa diketahui orang."
Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Mencuri? Wahhh... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat dari pada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat menyuruh aku untuk melakukan pencurian? Kita bukan maling, Suhu..."
Kalau saja kakek itu masih mempunyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkelnya.
"Waduh! Engkau ini sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa? Dewa pun masih suka mencuri kalau terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau mengambil makanan, pakaian dan apa saja yang kau perlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kau tinggalkan uang di tempat engkau mengambil barang-barang itu. Cara ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah kiri itu.”
Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri dinding itu. "Kau lihat bagian yang mengkilat itu? Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja, yang sebesar ibu jari tanganmu!"
Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam goa itu memang terpantul oleh beberapa buah batu di dinding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua buah batu sebesar ibu jari tangannya.
"Apakah ini, Suhu?"
"Emas."
"Emas? Benarkah?" Yo Han terbelalak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah batu yang mengkilap di tangannya, kemudian menoleh ke arah dinding.
"Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apa lagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu emas, dan dua buah di tanganmu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang kau kehendaki. Jangan khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup berharga untuk ditukar dengan sebuah batu emas itu. Kau tinggalkan saja salah sebuah di tempat engkau mengambil barang, dan pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia telah mendapat keuntungan besar. Berarti engkau tidak mencuri, kan?"
Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus mencuri, maka dengan adanya dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan meninggalkan batu itu di tempat barang yang diambilnya.
"Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."
"Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun, gunakan kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini sampai engkau kembali, menunggumu dengan rasa lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati kalau engkau tidak kembali. Nah, pergilah."
Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak merayap, dia menanggalkan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu mulailah dia merayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sinkang di tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat menyedot ke permukaan dinding sumur dan melekat di situ!
Perlahan-lahan dan dengan hati-hati ia mulai merayap naik. Sekali saja keliru mengatur tenaga pada telapak tangan dan kakinya, tentu dia akan terjatuh kembali ke bawah! Akan tetapi, Yo Han sudah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong dinamakan ‘tarian cecak’ ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk senang.
Anak muda itu seorang yang memiliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga sakti yang mukjijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos dan jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apa lagi sudah dia bekali pesan bahwa dia akan menanti setiap saat sampai ia mati kelaparan. Itu saja pasti akan membuat hati anak itu tidak tega meninggalkannya.
Ketika tiba di permukaan sumur, ternyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak. Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tingginya dan ternyata mulut sumur berada di dalam sebuah goa yang kecil. Mulut goa nampak di depan sana, akan tetapi melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak oleh orang yang tidak terlalu besar tubuhnya.
Melihat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh sangat baik tempat sembunyi gurunya di dalam sumur itu. Tidak mungkin ada orang memasuki terowongan goa yang demikian sempitnya, dan andai kata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang itu tentu akan segera kembali keluar setelah melihat bahwa goa terowongan itu berakhir pada mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!
Lebih baik lagi, mulut goa kecil itu tertutup rapat oleh semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai dari mulut goa, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu masih termasuk daerah Thian-li-pang, pikirnya.
Dia harus berhati-hati. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati dan mengingat tempat itu supaya tidak lupa kalau akan kembali ke sumur. Kemudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng itu, menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dilihatnya dari atas, sebab nampak genteng banyak rumah.
Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam, sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang.
Dan giranglah dia ketika dia melihat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia menyelinap ke belakang dan menuju dapur. Ketika dalam intaiannya dia melihat pekerja restoran itu mengambil guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap dan setelah orang itu keluar, dia masuk ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya berada di dalam gudang itu.
Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap, asinan, daging kering, roti kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai karung terisi penuh. Dia mengambil pula mangkok, piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia dengan cepat.
Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya.
Ia kembali ke dalam goa kecil membawa dua buah karung. Ia membayangkan betapa akan senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko ketika menemukan potongan batu emas. Seperti juga di rumah makan, dia pun meninggalkan potongan batu emas di meja di mana dia mengambil pakaian.
Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil menyeret dua buah karung itu, kemudian setelah tiba di mulut sumur, dia merayap turun. Sempat pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia harus kembali ke tempat yang seperti neraka itu? Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek yang tak berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di dasar sumur dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia tidak kembali? Tidak, dia tidak boleh sekejam itu. Apa lagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.
"Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang dikirimkan Tuhan kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan kembali ke sini!" Kakek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang dibawa turun oleh muridnya.
Ketika dia melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah sebuah guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap.
Yo Han memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Walau pun kaki tangannya sudah tidak ada, namun dia dapat melayani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya, mulutnya, bahkan hidungnya sebagai pengganti tangan. Dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya sama sekali tidak canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti katak yang lincah.
"Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di sini? Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan meninggalkan sumur ini."
"Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dan bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi menjadi tontonan orang. Tidak, engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dahulu, terutama Bu-kek Hoat-keng, baru engkau boleh meninggalkan sumur ini."
"Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han berkata dengan nada suara yang terdengar tegas dan mantap.
Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik. "Muridku yang baik, apakah yang baru kau ucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu? Sudah kau pikirkan masak-masak dan engkau tidak akan keliru lagi?"
"Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, mendiang kedua orang tuaku selalu menasehatiku agar aku hidup melewati jalan yang benar, selalu menjauhi segala macam bentuk kekerasan, terutama sekali jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh serta saling dendam. Orang tuaku sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andai kata sejak kecil ibuku tidak pandai silat seperti ayahku, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku tidak menjadi yatim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"
"Ha-ha-ha-ha! Sebaliknya, muridku. Jika ibu dan ayahmu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, tak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena ilmu silat mereka kurang tinggi, sehingga mereka tak mampu membela diri dengan baik. Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka? Kalau engkau membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"
Pemuda remaja itu menentang pandang mata gurunya dengan berani dan bersungguh-sungguh. "Kenapa takut, Suhu? Kita hidup ada yang menghidupkan, mati pun ada yang mematikan, kita ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pelindung utama dan kalau Tuhan melindungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?”
"Bagus! Benar sekali itu, Yo Han. Bila Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan akan melindungi kita dan tak ada seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh kita. Akan tetapi bagaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati? Punya ilmu silat atau tidak, bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah menghendaki kita mati. Bahkan tanpa ada yang mengganggu pun ia akan mati sendiri, ha-ha-ha!"
Yo Han tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu lagi membantah kebenaran itu.
“Ayah ibumu memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi tentu saja mereka itu tewas hanya karena Tuhan telah menghendaki mereka mati. Andai Tuhan tidak menghendaki, mereka tentu tak akan mati. Hanya Tuhan yang menentukan mati hidupnya seseorang, Tuhan Maha Kuasa!”
Akan tetapi hanya sebentar dia termangu, lalu dia menggeleng kepala. "Bagaimana pun juga, aku tidak suka belajar ilmu silat, Suhu. Ilmu silat adalah jahat!"
"Jahat? Ha-ha-ha, Yo Han, kau tahu apa tentang jahat dan baik? Lihat, barang-barang yang kau bawa turun itu! Lihatlah barang-barang itu, kapak, gunting, jarum, pisau, catut dan martil. Apakah semua itu tidak jahat sekali?"
Yo Han memandang gurunya dengan heran dan dia cepat menjawab. "Tentu saja tidak jahat, Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu bisa kita pergunakan untuk memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk menggunting kain, jarum dan benang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat roti dan daging, catut dan martil untuk membuat perabot dari kayu dan sebagainya."
Kembali kakek itu tertawa. "Lalu bagaimana dengan kedua tanganmu itu? Jahat atau baikkah kedua tanganmu itu?"
Yo Han memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya. "Tentu saja baik, Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua pekerjaan yang bermanfaat itu."
"Sekarang dengar baik-baik! Bagaimana kalau kapak itu dipergunakan untuk mengapak kepala orang, lalu gunting itu untuk menusuk perut orang, pisau untuk menyayat leher orang, dan jarum untuk disambitkan menyerang lawan, juga catut dan martil itu untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat dinamakan barang yang baik dan berguna?"
Yo Han terbelalak. Tak pernah tergambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu. "Tapi... tapi..."
"Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han? Kalau kedua tanganmu itu kau pergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah kedua tangan itu masih kau katakan baik dan tidak jahat?"
"Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.
"Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Jika engkau mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi bukan benda-benda itu yang menentukan, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat menggunakan api untuk memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru dinamakan jahat atau baik bila sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang disembunyikan di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya perbuatan itu. Seperti tanganmu, dapat digunakan untuk menolong orang dan itu dikatakan baik, juga bisa digunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak benarkah ini?"
Yo Han mengangguk, tak dapat berbuat lain. Memang demikianlah kenyataannya. "Kini aku mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada di dalam diri manusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Ada pun ini hanyalah alat, bukankah demikian, Suhu?"
"Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batinnya bersih dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya jika batinnya sudah kotor dan jahat, alat apa pun yang dipergunakan dalam perbuatan, condong ke arah kejahatan."
"Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"
"Nah, sekarang kita kembali pada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat? Sama seperti semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Jika ilmu silat tidak digunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Tetapi setelah digunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu mempergunakannya. Kalau ilmu silat digunakan untuk melakukan kejahatan, merampok, membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat kejahatan. Akan tetapi kalau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat menamakan ilmu silat itu jahat? Ingat, muridku. Kau tahu harimau? Mengapa Tuhan menciptakan harimau dengan diberi kuku dan taring? Kenapa lembu bertanduk? Ular berbisa? Ulat berbulu gatal? Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk melindungi diri sendiri. Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring, tanpa tanduk untuk menjaga diri. Tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi. Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain itu juga untuk menjaga kesehatan dan melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Ilmu silat merupakan gerakan manusia yang mengandung unsur kesenian, kesehatan, bela diri, juga untuk membela mereka yang lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang memiliki batin bersih!”
Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasehat ayah ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan pengalamannya ketika ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan.
Akan tetapi juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subo-nya yang pertama kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Teringat pula dia akan Tan Siang Li, puteri suhu dan subo-nya itu. Suhu dan subo-nya berkeras hendak mengajarkan ilmu silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat.
Dia membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai ilmu silat, gagah perkasa. Bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, tetapi juga dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita.
Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek buntung itu. “Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya.”
"Bagus sekali, Yo Han. Jadi, sejak saat ini engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan? Terutama sekali Bu-kek Hoat-keng?"
Yo Han mengangguk. "Mudah-mudahan kelak teecu akan mendapat bimbingan Tuhan sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan untuk mencari permusuhan dan membunuh orang."
"Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."
Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek Ciu Lam Hok. Tentu saja kakek itu sama sekali tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia menjelaskan. Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biar pun dia hanya menggunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han untuk dapat bertahan.
Namun Yo Han belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Apa lagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu ‘tari’ dan ‘senam’ yang sebenarnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong. Juga sebelum itu dia sudah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subo-nya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, walau pun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.
***********
Kita tinggalkan dulu Yo Han yang dengan tekun berlatih ilmu digembleng kakek Ciu Lam Hok dalam sumur dan kita tengok keadaan di luar sumur.
Meski pun lenyapnya Yo Han yang mereka sangka tentu sudah mati bersama kakek Ciu Lam Hok di dalam sumur membuat para tokoh Thian-li-pang merasa agak kecewa, oleh karena mereka tadinya mengharapkan anak luar biasa itu kelak akan bisa memperkuat Thian-li-pang, akan tetapi mereka mempunyai urusan yang lebih penting dan segera melupakan anak dan kakek itu yang mereka anggap sudah mati.
Pada saat Yo Han memasuki sumur pertama, para pimpinan Thian-li-pang mengadakan pertemuan penting, bahkan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko juga turut hadir dalam pertemuan puncak itu. Terdapat pula wakil dari Pek-lian-kauw, bukan saja Ang-I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw yang selama ini memang telah bekerja sama dengan mereka, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, bahkan ada seorang tosu tingkat tinggi dari Pek-lian-kauw datang pula, yaitu Pek Hong Siansu, seorang tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang mewakili pimpinan perkumpulan itu.
Mereka membicarakan tentang surat yang mereka terima dari kaki tangan Thian-li-pang yang telah mereka sebar sebagai mata-mata untuk melihat perkembangan permusuhan antara empat partai persilatan besar yang sudah mereka adu domba. Pembunuhan atas diri Thian Kwan Hwesio di kuil Pao-teng juga adalah perbuatan para tokoh Thian-li-pang untuk memperuncing permusuhan akibat adu domba itu.
Dan surat yang mereka terima adalah surat laporan dari mata-mata mereka. Isinya amat mengecewakan hati para pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Laporan itu terang menyatakan bahwa kini permusuhan di antara partai-partai persilatan itu telah mereda, dan tidak pernah terjadi bentrokan lagi. Semua itu akibat usaha bekas panglima Kao Cin Liong dan keluarga keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
Belum lama ini Kao Cin Liong mengadakan perayaan ulang tahun yang ke enam puluh empat, dan keluarga para pendekar itu mengundang para tokoh dari dunia persilatan sebagai tamunya, termasuk pula empat partai besar, yaitu Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai serta Go-bi-pai. Dalam pertemuan itu, di mana suasananya ramah karena semua tamu amat menghormati tuan rumah, Kao Cin Liong dan keluarganya mengajak empat partai besar yang mengirim wakil-wakilnya untuk bicara secara terbuka dan dari hati ke hati.
Kao Cin Liong menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap Thian Kwan Hwesio, bahkan dia sendiri dan isterinya sempat terluka ketika membela hwesio itu. Biar pun sebelum meninggal Thian Kwan Hwesio mengatakan bahwa yang menyerangnya adalah orang-orang Bu-tong-pai, namun dia merasa curiga dan tidak percaya. Apa lagi ketika para pimpinan Bu-tong-pai menyangkal.
Kao Cin Liong bercerita mengenai luka beracun akibat racun ular hitam yang biasanya hanya digunakan tokoh-tokoh sesat. Keterangan Kao Cin Liong yang dihormati semua utusan partai persilatan besar itu mendatangkan kesan mendalam, apa lagi ketika Suma Ceng Liong yang namanya sudah sangat terkenal dan amat disegani semua orang turut menyatakan pendapatnya, semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Cuwi adalah orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, serta bersikap gagah dan bijaksana. Karena itulah, mengingat bahwa empat partai persilatan Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai adalah partai-partai besar yang namanya selalu harum, memiliki murid-murid pendekar, maka tidak semestinya kalau para pimpinan empat partai itu hanya menuruti dendam dan kemarahan belaka. Saya sudah mendengar tentang peristiwa aneh di Gunung Naga. Tentu Cuwi (Anda Sekalian) juga sependapat dengan saya bahwa peristiwa itu sungguh patut dicurigai. Amat mudah dimengerti bahwa tentu ada pihak ke tiga yang agaknya sengaja ingin mengadu domba! Saya condong berpendapat bahwa pelaku-pelaku kejahatan itu, baik para pembunuh yang beraksi di Gunung Naga, mau pun pembunuh Losuhu Thian Kwan Hwesio, sudah pasti pihak ke tiga yang hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai! Oleh karena itu, apa bila Cuwi tidak menghentikan permusuhan antara saudara sendiri, itu berarti Cuwi dengan mudah dapat dipermainkan oleh pihak ke tiga yang mengadu domba."
Semua orang mengangguk, mereka menyatakan setuju dengan pendapat dari pendekar yang sangat mereka hormati itu. Diam-diam mereka pun menduga-duga, siapa kiranya yang amat berani melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk mengadu domba antara partai-partai persilatan.
Ada di antara mereka yang menduga bahwa pihak ketiga itu mungkin saja pemerintah Kerajaan Mancu yang tentu ingin melihat partai-partai persilatan itu saling bermusuhan dan menjadi hancur atau lemah sendiri supaya tidak membahayakan pemerintah lagi. Akan tetapi Kao Cin Liong menggelengkan kepala.
"Bukan karena saya pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu maka saya terpaksa tidak menyetujui dugaan itu. Kita semua tahu bahwa Kaisar Kian Liong, walau pun dia seorang Mancu dan sebagai manusia biasa tentu saja memiliki kelemahan-kelemahan, sejak muda dia sudah bergaul akrab dengan para pendekar. Dia seorang yang selalu bersikap bijaksana dan ingin bersahabat dengan partai-partai persilatan besar. Dia pun sangat cerdik, maka saya tidak percaya bahwa dia akan melakukan suatu kebodohan dengan memusuhi para partai persilatan besar dan menjadikan mereka sebagai musuh. Hal itu hanya akan membuat kedudukannya lemah. Tidak, saya yakin bahwa pihak ke tiga itu bukan pemerintah. Perbuatan itu bukan menolong pemerintah, melainkan malah membahayakannya."
Semua orang setuju dengan pendapat bekas panglima itu. Akan tetapi mereka menjadi semakin bingung. Lalu siapa lagi yang patut dicurigai dan dituduh menjadi pihak ke tiga yang mengadu dombakan mereka? Akhirnya Kao Cin Liong yang memberi usul.
"Yang terpenting lebih dulu adalah persatuan di antara kita semua. Setelah kita yakin bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba, maka para pimpinan masing-masing harus menjaga sekuatnya agar tidak ada anak buah atau murid yang saling bermusuhan lagi. Semua murid harus diberi tahu bahwa permusuhan itu timbul karena adu domba, dan semua bentrokan yang pernah ada agar dianggap selesai saja. Tidak ada dendam, tiada permusuhan sehingga dengan sikap demikian kita mendapatkan dua keuntungan. Pertama, kita telah menggagalkan niat busuk pihak ke tiga itu. Ke dua suasana menjadi tenteram dan dalam keadaan tenteram itu, kita semua bekerja sama untuk melakukan penyelidikan agar pihak ke tiga itu dapat kita ketahui siapa dan kelak kita bersama-sama mengambil tindakan terhadap mereka."
Kembali semua orang setuju dan pertemuan itu lalu benar-benar menjadi sebuah pesta yang menggembirakan di mana para wakil empat partai persilatan itu dapat berbincang-bincang dengan hati lega karena semua perasaan dendam telah dihapus dengan penuh pengertian bahwa mereka semua menjadi korban fitnah dan adu domba.
Demikianlah, para mata-mata Thian-li-pang kini melaporkan semua peristiwa itu kepada pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Tentu saja para pimpinan itu menjadi sangat kecewa.
"Ini kesalahan Si Keparat Thian Kwan Hwesio itu!" kata Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang sambil mengepal tinju. "Dia dapat melarikan diri ke atas rumah keluarga Kao Cin Liong sehingga melibatkan keluarga itu. Dan sekarang, keluarga itu pula yang menggagalkan siasat yang telah kita atur sebaiknya."
"Memang. itu suatu kesialan," kata gurunya, yaitu Ban-tok Mo-ko. "Kita atur semua itu dengan tujuan agar empat partai persilatan saling bermusuhan. Tetapi kini mereka tidak saling bermusuhan lagi, bahkan menyadari bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba. Semua ini adalah akibat ikut campurnya keluarga Kao Cin Liong."
"Kita sikat saja mereka! Kita basmi Kao Cin Liong dan keluarganya!" kata pula Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang dengan muka merah.
"Hemmm, usul yang bodoh sekali itu!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong yang sejak tadi diam saja, kini berkata dan semua orang memandang kakek itu.
Semua orang di situ takut dan menghormati kakek yang hampir tidak pernah keluar dari dalam goa tempat pertapaannya itu. Hanya untuk urusan yang amat penting saja dia mau bertemu dengan pimpinan Thian-li-pang seperti sekarang ini.
"Apakah kalian belum tahu siapa Kao Cin Liong itu? Dia keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, dan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Jadi, kalau kita memusuhi mereka, kedua keluarga itu akan dapat mendatangkan kegagalan pada kita, bahkan mungkin kehancuran. Kita akan membentur batu karang jika memusuhi mereka. Dan pula, apa untungnya memusuhi mereka? Tujuan kita hanya satu, menghancurkan pemerintah Kerajaan Mancu!"
Semua orang saling pandang dan berdiam diri. Memang tepat apa yang dikatakan datuk dari Thian-li-pang itu.
"Siancai...!" Pek Hong Siansu, tokoh Pek-lian-kauw itu tiba-tiba berseru, "Agaknya jalan satu-satunya haruslah menyalakan api pertentangan antara empat partai itu dengan kerajaan! Oleh karena itu, sekarang kita harus berusaha membujuk Kaisar Mancu untuk memusuhi mereka."
Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.
"Sayang sekali hubungan baik yang sudah kita rintis dengan Siang Hong-houw kini telah putus," kata Ouw Ban Ketua Thian-li-pang. "Bahkan kita sudah kehilangan murid kita yang terbaik, Ciang Sun yang tewas karena gagal membunuh Kaisar Kian Liong."
"Muridmu itu tergesa-gesa," kata pula Thian-te Tok-ong. "Membunuh Kaisar dan para pangeran yang dapat menggantikannya harus dilakukan dengan cara halus. Kita dapat menggunakan racun. Akan tetapi harus mencari kesempatan yang baik dan untuk itu kita harus bersabar dan menggunakan waktu. Juga hubungan dengan Pangeran Kian Ban Kok harus lebih dipererat agar kalau sudah tiba masanya, dia tidak akan menolak. Sebaiknya kita dekati lagi Siang Hong-houw dan kita menyelundupkan orang ke istana. Walau pun harus menunggu bertahun-tahun, akan tetapi kita harus bersabar dan sekali bergerak harus berhasil."
"Bagus sekali! Apa yang dikatakan oleh Locianpwe Thian-te Tok-ong itu memang tepat. Kami dari Pek-lian-kauw amat menyetujuinya. Kami juga akan menyusun kekuatan dan siap bergerak kalau sudah mendapat kesempatan baik. Untuk sementara ini, sebaiknya kita dari Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menahan kesabaran agar jangan melakukan gerakan yang kasar dulu, agar tidak mengejutkan pihak lawan sehingga mereka dapat siap siaga," kata Pek Hok Siansu dari Pek-lian-kauw.
Demikianlah, para pemberontak ini akhirnya bersepakat bahwa untuk sementara tidak akan melakukan gerakan keluar, tidak menggunakan kekerasan, tetapi menggunakan siasat halus untuk menyusup ke dalam istana, menghubungi kembali Siang Hong-houw dan Pangeran Kian Ban Kok, dan menyusun kekuatan.