Si Bangau Merah Bagian 08

Cerita silat karya kho ping hoo episode si bangau merah bagian 08
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SI BANGAU MERAH BAGIAN 08

ANAK perempuan berusia dua belas tahun itu mungil dan cantik manis sekali. Ia bersilat dengan gaya yang indah tetapi gagah. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir menjadi dua dan bergantungan di kanan kiri, diikat dengan pita warna kuning. Ketika ia bersilat, sepasang kuncir itu bergerak-gerak seperti dua ekor ular hitam, kadang di depan dada, kadang di belakang punggung. Kalau kepala itu digerakkan dengan cepat, kedua utas kuncir itu pun ikut bergerak meluncur seperti sepasang senjata. Kalau tubuh itu tiba-tiba merendah, sepasang kuncir itu seperti terbang ke atas kepala.

Gerakan kaki tangannya mantap dan indah, bagaikan gerakan seekor burung bangau merah. Dia adalah Tan Sian Li yang sedang berlatih di kebun belakang rumah, diamati ayahnya, Tan Sin Hong yang berdiri menonton sambil bertolak pinggang.

Tan Sian Li kini telah menjadi seorang anak berusia dua belas tahun yang cantik jelita, manis, dan lincah sekali. Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat telur dengan sepasang mata yang lebar dan jeli, hidung mancung dan mulutnya yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek sehingga sepasang lesung di pipinya selalu nampak.

Ia sedang memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Burung Bangau Putih), ilmu silat ayahnya yang amat lihai. Akan tetapi, karena usianya baru dua belas tahun, maka Tan Sin Hong hanya mengajarkan gerakannya saja, belum ‘mengisi’ tubuh anaknya dengan tenaga sakti ilmu itu.

Anaknya masih terlalu muda sehingga akan membahayakan kalau tubuhnya menerima kekuatan yang amat dahsyat itu. Sekarang, anaknya hanya mempelajari dan menguasai gerakannya saja, dan kelak kalau sudah dewasa, baru akan diisi dengan tenaga sakti sehingga ilmunya itu akan menjadi lengkap.

Selain ilmu silat yang merupakan ilmu simpanan itu, juga Sin Hong mengajarkan semua gerakan dasar ilmu tinggi yang menjadi dasar ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi seorang di antara guru-gurunya. Dia juga sudah mengajarkan dasar-dasar dari ilmu yang pernah dipelajarinya dari dua orang gurunya yang lain, yaitu mendiang nenek Wan Ceng dan kakek Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat, Si Jari Maut.

Biar pun usianya baru dua belas tahun, namun Sian Li telah menjadi seorang anak yang luar biasa. Ilmu silatnya sudah hebat bukan main. Jarang ada orang dewasa yang akan mampu menandinginya.

Ketika dia menyelesaikan gerakan terakhir dari Pek-ho Sin-kun, tiba-tiba muncul ibunya, Kao Hong Li. "Ada tamu yang datang, kalian hentikan dahulu latihan itu, dan mari keluar menyambut tamu!"

Sian Li menghentikan latihannya dan Sin Hong menghampiri isterinya. "Siapakah yang datang berkunjung?"

"Seorang utusan dari Paman Suma Ceng Liong."

Mereka segera memasuki rumah dan menuju ke ruangan depan di mana tadi tamu itu dipersilakan duduk. Saat mereka tiba di ruangan depan, Tan Sin Hong melihat seorang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun dan berjenggot panjang bangkit berdiri dari kursinya. Dia tidak mengenal orang itu, akan tetapi melihat sikapnya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki kegagahan.

Orang itu sudah mengangkat kedua tangan di depan dada untuk menghormati tuan dan nyonya rumah. Sin Hong dan Kao Hong Li cepat membalas penghormatan itu kemudian mempersilakan tamunya duduk.

"Sian Li, engkau masuklah dulu, mandi dan tukar pakaian. Jangan lupa, suruh pelayan mengeluarkan minuman untuk tamu kita."

Tamu itu cepat menggerakkan tangannya. "Saya kira Siocia tidak perlu masuk, karena urusan ini justru menyangkut diri Siocia (Nona)."

Sin Hong memandang tamu itu dan dia pun mengerti. Kalau tamu ini utusan pamannya, Suma Ceng Liong, dan mengatakan urusan itu menyangkut diri Sian Li, maka tidak salah lagi. Tentu pamannya itu menyuruh utusan ini untuk menjemput puterinya karena dulu mereka pernah berjanji bahwa kalau sudah tiba waktunya, Sian Li akan digembleng ilmu oleh paman dan bibinya itu. Walau pun dia sendiri dan isterinya sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun tentu saja paman dan bibinya itu mempunyai ilmu-ilmu yang khas dan amat menguntungkan kalau Sian Li mendapat bimbingan mereka.

Melihat tuan rumah memandang kepadanya, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat dan menyerahkan surat itu kepada Sin Hong yang segera menerima dan mengambil suratnya lalu dibaca bersama isterinya yang berdiri di belakangnya. Mereka membaca surat dari Suma Ceng Liong dan tepat seperti yang diduga oleh Sin Hong, di dalam surat itu pamannya minta agar Sian Li diperkenankan ikut utusan itu ke Hong-cun. Dia dan isterinya ingin memenuhi janji mereka dan mulai mengajarkan ilmu mereka kepada Sian Li.

Membaca surat itu, Hong Li mengerutkan alisnya dan menyentuh pundak suaminya. "Ahh, bagaimana kita dapat melepaskan anak kita begini tiba-tiba?"

Sin Hong lalu memandang kepada tamu itu dan berkata, "Terima kasih atas jerih payah Toako yang telah mengantarkan surat Paman Suma Ceng Liong kepada kami," katanya dengan amat ramah. "Harap sampaikan saja pada Paman Suma Ceng Liong dan Bibi, bahwa anak kami Tan Sian Li akan kami antarkan sendiri ke Hong-cun. Tetapi sebelum ke sana, kami akan mengunjungi dulu kota raja."

Tamu itu dijamu oleh Sin Hong sekeluarga, kemudian tamu itu meninggalkan mereka untuk kembali ke Hong-cun dan menyampaikan pesan mereka. Hong Li merasa puas, karena kalau Sian Li dibawa begitu saja oleh utusan yang tidak mereka kenal, tentu saja ia tidak akan merasa tenteram hatinya.

Sian Li sendiri tadinya hampir menolak ketika diberi tahu bahwa ia akan diberi pelajaran silat oleh paman dan bibi orang tuanya. Akan tetapi setelah diberi penjelasan oleh ayah ibunya, apa lagi ketika mendengar bahwa dia akan diantar sendiri oleh mereka dan sebelum ke Hong-cun akan diajak pesiar ke kota raja, ia pun merasa terhibur dan tidak membantah lagi.

Tiga hari kemudian, ayah ibu dan anak ini berangkat meninggalkan rumah mereka di kota Ta-tung menuju ke kota raja Peking yang berada di sebelah timur. Untuk pergi ke dusun Hong-cun akan makan waktu yang lama sekali karena dusun itu terletak di dekat kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Peking merupakan kota yang memang akan mereka lewati kalau mereka pergi ke Shantung, jadi perjalanan itu tidak memutar.

Pada suatu senja, tibalah mereka di sebuah kota yang letaknya dekat dengan Peking, di sebelah barat selatan kota raja itu. Kota ini disebut kota Heng-tai dan merupakan kota yang cukup ramai karena banyak pengunjung kota raja yang kemalaman tentu akan bermalam di kota ini.

Karena banyaknya tamu dari luar daerah yang hendak berkunjung ke kota raja berhenti dan bermalam di kota Heng-tai, maka kota ini tentu saja berkembang menjadi ramai dan di situ banyak orang mendirikan rumah penginapan, rumah makan dan toko-toko. Tanpa adanya tiga perusahaan ini, sebuah kota tidak akan menjadi ramai karena ketiganya memenuhi kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal, makan, dan pakaian berikut segala keperluan hidup sehari-hari.

Ketika pada senja hari itu Tan Sin Hong, Kao Hong Li dan Tan Sian Li memasuki kota Heng-tai, kota itu sedang ramai-ramainya dan semua rumah penginapan sudah penuh tamu! Sin Hong dan anak isterinya mencari kamar dari satu ke lain penginapan tanpa hasil.

"Ahh, kita sudah penat sekali. Apa kita harus bermalam di kuil kosong?" Sian Li mulai mengomel setelah belasan kali keluar masuk rumah penginapan tanpa hasil. Semua pengurus rumah penginapan terpaksa menolak mereka karena semua kamar memang sudah penuh.

"Tidak perlu kita harus bermalam di kuil kosong kalau semua rumah penginapan telah penuh," kata Kao Hong Li. "Kalau perlu kita juga dapat menumpang di rumah seorang penduduk dengan membayar sewa kamar."

"Mari kita coba hotel yang di sana itu. Nampaknya besar dan paling mewah, mungkin masih ada kamar di sana," kata Sin Hong.

Mereka lalu menuju ke hotel yang nampak besar dan mewah itu dan membaca papan nama hotel yang tergantung di depan. Hotel itu bernama ‘Thai Li-koan’ (Hotel Besar). Nampak kesibukan di hotel itu, seolah ada suatu peristiwa penting terjadi di sana. Ketika mereka hendak menaiki anak tangga di depan hotel, seorang pelayan menghampiri mereka dan sebelum mereka bicara, pelayan itu sudah mendahului mereka.

"Maaf, Tuan, semua kamar sudah penuh. Malam ini semua kamar sudah diborong oleh Ouw-ciangkun dari kota raja."

"Bukankah hotel ini besar sekali dan kamarnya tentu amat banyak? Untuk apa panglima Ouw itu memborong semua kamar? Begitu banyakkah rombongannya?" tanya Hong Li penasaran.

Pelayan itu mengangguk. "Rombongannya tidak banyak sekali, akan tetapi dia hendak menerima tamu, dan dia tidak mau diganggu, maka semua kamar di bagian dalam, yaitu kamar-kamar besar sudah diborongnya bahkan tidak ada orang diperbolehkan masuk ruangan dalam kalau tidak diberi ijin. Semua pintu depan dan belakang dijaga prajurit pengawal."

"Tapi, yang disewa kan hanya kamar besar dan kamar-kamar bagian dalam?" Tiba-tiba Sian Li berkata. "Kan masih ada banyak kamar-kamar yang lebih kecil di kanan kiri dan belakang?"

Pelayan itu memandang kepada Sian Li dan wajahnya tersenyum. Anak perempuan yang berpakaian serba merah ini memang manis sekali.

"Memang ada, Nona, tapi... ahhh, banyak yang sudah pesan lebih dulu..."

Hong Li yang amat cerdik dapat melihat sikap pelayan itu, maka ia pun segera berkata, "Berilah kami sebuah kamar samping atau belakang, maka kami akan memberi imbalan secukupnya!" Ia mengeluarkan sepotong perak yang cukup besar.

Melihat mengkilapnya perak itu, sikap Si Pelayan berubah amat ramah. Dia melirik ke kanan kiri, lalu menyambar perak itu dari tangan Hong Li dan membungkuk-bungkuk, menyembunyikan perak itu ke dalam saku bajunya.

"Marilah, Sam-wi masih beruntung tidak terlambat. Biar pun sudah banyak pemesan, akan tetapi melihat Nona kecil ini, aku merasa kasihan dan biarlah kuberikan kepada kalian."

Mereka memasuki rumah penginapan besar itu melalui pintu samping, dan Si Pelayan lalu mengantar mereka ke sebuah kamar di belakang yang cukup besar untuk mereka bertiga. Dia menerima uang sewanya untuk semalam dan memesan agar mereka itu jangan sekali-kali keluar masuk melalui pintu depan, jangan memasuki ruangan dalam dan selalu menggunakan pintu samping saja untuk keluar masuk.

Ketika mereka masuk, mereka melihat ada banyak prajurit pengawal yang berjaga-jaga di sekitar hotel itu, dan bahkan ada prajurit yang sempat menahan Si Pelayan dan baru membolehkan mereka lewat setelah pelayan mengatakan bahwa tiga orang itu adalah tamu-tamu yang sudah mendapatkan kamar di belakang.

"Ingat, selama di sini malam ini, kalian tidak boleh menerima tamu, dan juga tidak boleh memasukkan orang asing ke sini," kata Si Prajurit pengawal kepada mereka.

Setelah mendapat kamar, Sin Hong, Hong Li dan Sian Li lalu membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan pelayan untuk mereka. Hotel itu memang hotel besar, sewa kamarnya pun mahal, akan tetapi pelayannya juga baik, tidak seperti di rumah-rumah penginapan biasa.

Setelah berganti pakaian, Hong Li yang sudah selesai lebih dahulu, keluar dari kamar bersama Sian Li. Mereka hendak berjalan-jalan di taman sebelah belakang hotel itu sambil menanti selesainya Sin Hong yang mandi paling akhir.

Walau pun malam telah tiba, akan tetapi taman bunga itu masih tetap indah dan dapat dinikmati karena di sana-sini dipasangi lampu beraneka warna dan saat itu, kembang-kembang di taman sedang mekar semerbak. Sian Li gembira sekali melihat keindahan taman bunga itu, dan ia pun berlari-lari di dalam taman.

"Sian Li, jangan berlari-lari...!" kata ibunya sambil mengejar.

Tiba-tiba Hong Li mendengar teriakan puterinya. "Ibu, tolonggg...!"

Hong Li terkejut sekali, dan dengan beberapa lompatan ia sudah tiba di balik pohon itu. Ia melihat puterinya tengah didekap seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Puterinya meronta-ronta, akan tetapi agaknya laki-laki itu sangat kuat sehingga Sian Li tidak mampu melepaskan diri. Hong Li lantas maklum bahwa laki-laki itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, jika tidak, bagaimana puterinya yang sudah memiliki kelincahan dan ilmu yang lumayan itu demikian mudah ditangkap?

"Lepaskan anakku!" bentak Hong Li dan tubuhnya melayang ke depan laki-laki tinggi besar muka hitam.

Laki-laki itu memandang wajah Hong Li dan kalau tadi dia menyeringai, kini dia tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya ibunya malah lebih cantik lagi! Aku baru menyayangkan bahwa gadis ini masih terlalu kecil, dan sekarang muncul yang sudah dewasa dan matang. Marilah, manis, kulepaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menjadi penggantinya."

"Jahanam busuk...!" Hong Li membentak marah.

Begitu orang itu melepaskan Sian Li dan mendorong gadis remaja itu ke samping, Hong Li sudah menerjang ke depan dan dia pun menyerang dengan pukulan kedua tangan secara bertubi. Karena ia tak ingin mencari keributan, dan tidak ingin membunuh orang, tapi hanya ingin menghajarnya saja, maka nyonya muda ini tidak menggunakan pukulan maut seperti Ban-tok-ciang, melainkan mempergunakan jurus dari Sin-liong Ciang-hoat. Bahkan ia tidak mengerahkan seluruh tenaga saktinya.

Melihat nyonya muda yang cantik itu menyerangnya, Si Tinggi Besar bermuka hitam menyambut dengan tangkisan sambil menyeringai, bahkan mencoba untuk menangkap lengan Hong Li.

"Plak-plak-dukk...!"

Tangkisan terakhir membuat keduanya mengadu tenaga melalui telapak tangan yang didorongkan. Akibatnya, tubuh tinggi besar itu terhuyung ke belakang.

Si Muka Hitam itu terkejut karena dia merasa betapa telapak tangannya amat nyeri dan tadi, ketika telapak tangannya bertemu dengan lengan lawan, seluruh tubuhnya tergetar dan dia sampai terdorong ke belakang. Marahlah dia. Segera dia mencabut golok dari pinggangnya.

"Berani engkau menyerangku?" bentak Si Muka Hitam dan dia sudah memutar golok di atas kepalanya.

Kao Hong Li sudah siap siaga menghadapinya. Pada saat itu, nampak seorang wanita muncul di pintu belakang.

"Hek-bin (Muka Hitam), jangan bikin ribut di situ. Masuklah!" teriak wanita itu, suaranya lembut namun penuh wibawa.

Aneh sekali. Mendengar teriakan lembut ini, Si Muka Hitam yang tinggi besar itu segera menyimpan kembali goloknya, lalu memutar tubuh sambil menjawab, suaranya penuh kepatuhan.

"Baik..., baik... maafkan saya." Dan dia pun melangkah lebar menuju ke pintu belakang itu dan menghilang ke dalam bersama wanita yang tadi memanggilnya.

Kao Hong Li terbelalak. Wanita tadi kebetulan sekali berdiri di bawah lampu gantung di atas pintu dan wajahnya nampak jelas olehnya. Ang-I Moli! Dia masih mengenal wanita yang pakaiannya serba merah itu! Ang-I Moli di situ. Mau apa iblis betina itu? Dan di mana adanya Yo Han? Apakah masih bersama iblis betina itu? Hong Li merasa betapa jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Ia sudah melupakan laki-laki kurang ajar bermuka hitam tadi dan yang memenuhi pikirannya sekarang hanyalah Ang-I Moli.

"Ibu, perempuan itu adalah Ang-I Moli!" Tiba-tiba suara puterinya menyadarkannya dari lamunan. "Mari kita kejar Ibu!"

Anak itu sudah berlari menuju ke pintu, akan tetapi ibunya menyambar pundaknya.

"Sstt, jangan, Sian Li."

"Ehh? Kenapa, Ibu? Pertama, laki-laki tadi harus Ibu beri hajaran, supaya dia bertobat. Dan Ang-I Moli juga tidak boleh dilepaskan. Bukankah ia yang membawa pergi Suheng Yo Han? Ibu harus merebut Yo Suheng kembali dari tangan iblis betina itu!"

"Ssttt, ini urusan gawat, Sian Li. Mari kita beri tahu ayah, engkau jangan membuat ribut. Ingat, mereka itu mempunyai banyak kawan, bahkan ada pula seorang panglima yang mempunyai banyak prajurit." Hong Li lalu menggandeng tangan anaknya dan mereka pun kembali ke kamar mereka.

Sin Hong memandang heran ketika melihat wajah dan sikap isteri dan puterinya yang demikian tegang. "Ada terjadi apakah?" tanyanya.

"Ayah, Ang-I Moli berada di hotel ini!" kata Sian Li.

Tentu saja ayahnya terkejut mendengar pemberi tahuan ini. Tetapi Hong Li memberi isyarat agar puterinya menutup mulut, kemudian dengan suara lirih ia pun menceritakan apa yang baru saja ia alami di dalam taman. Betapa di taman muncul seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang bersikap kurang ajar dan ketika ia hendak menghajarnya, muncul Ang-I Moli yang memanggil Si Muka Hitam itu.

Tan Sin Hong meraba-raba dagunya yang tak berjenggot, alisnya berkerut. "Hemmm, kalau iblis betina itu muncul di sini, tentu ada sesuatu yang amat penting di sini. Dan aku heran, apakah Yo Han juga berada di sini?"

"Kita harus menyelidikinya," kata Hong Li. "Bukankah menurut pelayan tadi, pembesar yang disebut Ouw-ciangkun (Komandan Ouw) hendak menjamu tamu-tamunya malam ini? Dan Ang-I Moli berada di dalam hotel, berarti ia menjadi tamu pula."

"Atau mungkin juga ia anak buah panglima she Ouw itu," kata Sin Hong, "Yang penting apakah Yo Han juga ikut dengannya di sini? Kita harus menyelidikinya. Aku selama ini merasa berdosa kepada mendiang ayah ibunya..."

"Malam ini kita menyelidiki mereka," kata Hong Li dan suaminya mengangguk.

"Aku ikut!" kata Sian Li penuh semangat.

"Tidak boleh, Sian Li," berkata ibunya. "Pekerjaan kami berbahaya sekali. Engkau lihat, baru Si Muka Hitam tadi saja sudah lihai, apa lagi Ang-I Moli dan kita belum tahu siapa lagi yang berada di sana. Kami hanya akan menyelidiki apa yang mereka lakukan."

"Dan menyelidiki apakah Yo Han berada pula di hotel ini," sambung ayahnya.

Walau pun hatinya merasa kecewa, namun Sian Li adalah seorang gadis remaja yang cukup cerdik. Ia maklum bahwa bahayanya memang besar sekali. Laki-laki muka hitam yang ditemuinya di taman tadi saja sudah amat lihai sehingga dalam waktu singkat ia sudah dapat ditangkap dan dibuat tidak berdaya. Kalau ia nekat ikut dan ia membuat ayah dan ibunya gagal dalam penyelidikan mereka, ia sendiri akan merasa menyesal sekali.

Apa lagi jika suheng-nya, Yo Han, juga berada di hotel itu. Orang tuanya harus mampu membebaskan suheng-nya! Ia tidak boleh mengganggu pekerjaan mereka dan ia akan menungggu di kamar.

Dari depan kamar mereka yang berada di bagian belakang, Sin Hong dan anak isterinya dapat melihat kesibukan di ruangan dalam hotel itu. Agaknya orang-orang itu sedang mengadakan pesta.

"Sian Li, engkau tinggal saja di dalam kamar, ya? Jangan keluar, apa lagi meninggalkan bagian belakang ini. Kami hendak mulai melakukan penyelidikan."

"Baik, Ayah," kata Sian Li.

"Hati-hati, Sian Li. Di sini engkau tidak boleh bertindak sembarangan. Bisa berbahaya sekali. Dan jangan sekali-kali engkau mendekati ruangan dalam hotel di mana terdapat penjagaan para prajurit pengawal," pesan ibunya.

Sian Li mengangguk. Di dalam dada anak ini terjadi ketegangan yang hebat. Munculnya Ang-I Moli mengingatkan ia akan semua peristiwa yang dialaminya ketika ia masih kecil, delapan tahun yang lalu. Dan sekaligus mengingatkan ia kepada suheng-nya, Yo Han yang pernah membuat ia menangis dan rewel ketika suheng-nya itu pergi meninggalkan keluarga ayahnya karena dibawa oleh wanita iblis itu.

Tentu saja kini ia hampir melupakan wajah suheng-nya itu. Sang waktu telah menelan segalanya, juga kedukaannya karena ditinggalkan suheng-nya. Akan tetapi, yang jelas masih teringat olehnya adalah bahwa suheng-nya itu amat baik kepadanya, bagaikan seorang kakak kandungnya sendiri.

Sementara itu, Tan Sin Hong bersama Kao Hong Li sudah menyelinap keluar. Dengan perlindungan kegelapan malam, mereka berhasil menyusup ke bagian yang gelap dari kebun di samping rumah, kemudian dengan gerakan yang ringan bagaikan dua ekor burung walet, mereka melompat ke atas pohon dan setelah mengintai dari pohon dan tidak melihat adanya penjaga di bawahnya, mereka lalu melompat ke atas genteng.

Gerakan mereka begitu ringan sehingga tak menimbulkan suara dan begitu tiba di atas wuwungan rumah penginapan itu, keduanya mendekam dan dengan hati-hati mereka memandang ke sekeliling. Hati mereka amat lega melihat bahwa para prajurit pengawal hanya menjaga di sekitar rumah itu, di bawah. Tentu saja tak ada yang mengira bahwa akan ada orang berani mengganggu kehadiran seorang panglima kerajaan di hotel itu!

Ruangan tengah hotel itu dikepung prajurit pengawal dan keadaan di sana terang sekali. Hal ini menarik perhatian suami isteri pendekar itu. Berdebar rasa jantung mereka dan terdapat suatu kegembiraan yang sudah lama tidak mereka rasakan. Jiwa petualang mereka bangkit.

Sudah terlalu lama mereka tidak mengalami hal-hal yang menegangkan seperti ini, dan pengalaman ini mengingatkan mereka akan masa lalu mereka, ketika mereka masih bertualang sebagai pendekar dan sering kali menghadapi lawan-lawan tangguh dalam keadaan yang menegangkan seperti sekarang.

Dengan hati-hati mereka bergerak di atas genteng sampai mereka tiba di atas ruangan tengah itu. Kemudian mereka menuruni wuwungan, lalu merayap pada genteng di atas ruangan itu dan mengintai ke bawah. Mereka terlindung oleh wuwungan di kanan kiri yang lebih tinggi sehingga dengan rebah menelungkup, mereka dapat mengintai ke dalam ruangan itu dengan leluasa. Bukan saja mereka dapat melihat semua dengan jelas, juga mereka dapat mendengarkan percakapan mereka yang berada di bawah.

Ruangan itu cukup luas dan terang sekali karena sudah diberi tambahan penerangan. Terdapat beberapa buah meja yang diatur di tengah ruangan, berderet memanjang. Di kepala meja duduklah seorang berpakaian panglima.

Dia masih muda, tidak lebih dari dua puluh tiga tahun usianya, berwajah tampan dan gagah, pakaian panglimanya mentereng dan mewah. Di kanan kiri meja duduk berderet banyak orang, akan tetapi sebagian besar di antara mereka berpakaian seperti tosu.

Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, apa lagi pada waktu mereka mengenal adanya Ang-I Moli di antara mereka, dan mengenal pula bahwa para pendeta itu sebagian besar adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan orang-orang Thian-li-pang. Suami isteri ini menduga bahwa tentu panglima muda itu yang bernama Ouw Ciangkun. Mereka merasa heran bukan main.

Sepanjang pengetahuan mereka, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang sesat yang selalu menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Juga Thian-li-pang, meski terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah, namanya tidaklah terlalu bersih. Akan tetapi Thian-li-pang juga terkenal sebagai kaum pemberontak terhadap Kerajaan Mancu. Lalu, bagaimana mungkin sekarang para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang berkumpul di situ dan agaknya menjadi tamu dari seorang panglima kerajaan?

"Aku tidak melihat adanya Yo Han di sana..." bisik Hong Li dan suaminya memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Hong Li mengerti dan mengangguk.

Mereka tahu bahwa di bawah berkumpul orang-orang lihai. Menghadapi belasan orang tokoh Peklian-kauw dan Thian-li-pang bukanlah hal yang dapat dipandang rendah. Baru Ang-I Moli seorang saja sudah bukan merupakan lawan yang ringan, apa lagi masih ada para pendeta Pek-lian-kauw itu, dan orang-orang Thian-li-pang juga terkenal tangguh.

Sin Hong mengenal Lauw Kang Hui di situ. Tokoh yang tinggi besar bermuka merah ini adalah wakil ketua Thian-li-pang. Kalau wakil ketuanya sampai ikut hadir juga, berarti pertemuan itu tentu penting sekali, pikir Sin Hong. Keingin tahuannya untuk mencari Yo Han pun menipis, tertutup oleh perhatiannya untuk mengetahui apa maksudnya para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang kini sedang dijamu oleh seorang panglima muda Kerajaan Mancu!

Dia dan isterinya harus berhati-hati. Kalau sampai terjadi bentrokan dengan mereka, sungguh berbahaya. Apa lagi di situ masih terdapat pasukan anak buah panglima itu. Dan mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama puteri mereka yang tentunya membutuhkan perlindungan.

"Ciangkun, sebelum kita mulai dengan percakapan kita, apakah engkau sudah yakin benar bahwa tempat ini terjaga dengan baik dan tidak ada orang luar yang dapat ikut mendengarkan?" kata Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang kepada panglima itu.

Panglima itu tertawa. "Aihh, Susiok (Paman Guru), kenapa masih meragukan ketatnya penjagaan kami? Harap Lauw-susiok jangan khawatir. Hotel ini sudah kami borong dan para tamu yang berada di pinggir dan belakang sudah didaftar semua dan diawasi, juga sekeliling ruangan ini, bahkan sekitar rumah penginapan sudah diblok dan dijaga oleh pasukanku. Tidak ada yang begitu gila untuk berani mendekati tempat ini!"

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Kiranya panglima muda itu ialah murid keponakan dari adik ketua Thian-li-pang! Suami isteri yang berpengalaman ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.

Kiranya Thian-li-pang kini telah berhasil menyelundupkan seorang anggotanya ke dalam kerajaan, bahkan ke dalam istana sebab melihat pakaiannya, panglima dan pasukannya itu termasuk pasukan pengawal istana Kaisar! Sungguh keadaan yang berbahaya sekali bagi keselamatan istana kalau begitu!

Memang dugaan mereka besar. Yang menjadi panglima itu bukan lain adalah Ouw Cun Ki, putera Ketua Thian-li-pang, Ouw Ban. Ouw Cun Ki yang berusia dua puluh tiga tahun itu adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian ayahnya, seorang yang gagah dan berani, juga cerdik sekali.

Saat Thian-li-pang gagal mengadu domba empat partai persilatan besar karena campur tangan keluarga Kao Cin Liong yang mendamaikan dan menyadarkan para pimpinan dari empat partai besar, Thian-li-pang lalu berunding dengan Pek-lian-kauw dan mereka mencari jalan lain. Kembali mereka menghubungi Siang Hong-houw (Permaisuri Harum) dan berhasil membujuk permaisuri itu untuk membantu mereka hingga memungkinkan mereka untuk menyelundupkan Ouw Cun Ki menjadi seorang panglima muda pasukan pengawal istana!

Siang Hong-houw masih mendendam pada Kerajaan Mancu yang telah menghancurkan suku bangsanya, dengan senang hati membantu perjuangan Thian-li-pang, dengan janji bahwa Thian-li-pang tidak akan menggunakan kekerasan membunuh suaminya, Kaisar Kian Liong, seperti yang dahulu pernah terjadi ketika ada orang Thian-li-pang berusaha membunuh Kaisar itu tetapi dapat digagalkan. Pihak Thian-li-pang menyanggupi, hanya mengatakan bahwa penyelundupan orang-orang.

Thian-li-pang ke istana bukan untuk membunuh Kaisar, melainkan untuk memata-matai semua siasat dan pertahanan sehingga akan memudahkan gerakan mereka apa bila tiba waktunya untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah Mancu.

Demikianlah, karena kepandaiannya membawa diri, Ouw Cun Ki yang dikenal dengan sebutan Ouw Ciangkun itu sebentar saja memperoleh kepercayaan dari para panglima lainnya yang lebih tinggi kedudukannya. Bahkan dengan siasat yang telah diatur oleh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, beberapa kali Ouw Ciangkun sudah ‘membuat jasa’ dengan membasmi gerombolan penjahat yang seakan-akan sengaja diumpankan oleh dua perkumpulan pemberontak itu. Karena jasa-jasanya itulah maka Kaisar Kian Liong sendiri, mendengar laporan Siang Hong-houw dan para panglima, berkenan menaikkan kedudukan Ouw Ciangkun.

Karena sudah mendapatkan kepercayaan sebagai seorang panglima muda yang setia, Ouw Can Ki mendapatkan kebebasan bergerak dan setelah demikian, mulailah ia berani mengadakan kontak dengan Thian-li-pang.

Demikianlah, pada malam hari itu, dengan dalih berpesiar ke kota Heng-tai, Ouw Cun Ki mengadakan pertemuan rahasia di hotel besar itu dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw untuk mengatur siasat selunjutnya. Meski pun yang hadir di ruangan dalam hotel itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang berilmu tinggi, tapi karena mereka merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang berani mengganggu pertemuan itu, maka mereka menjadi teledor dan kurang teliti. Mereka tidak tahu bahwa ada dua pasang mata dan dua pasang telinga ikut melihat dan mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu!

"Saya mengumpulkan dan mengundang para Locianpwe ke sini untuk merundingkan kelanjutan siasat yang sudah kita rencanakan semula. Saya hendak melaporkan bahwa segalanya berjalan dengan lancar dan sekarang sudah terbuka kesempatan yang amat baik bagi kita untuk bertindak, untuk menyingkirkan semua pangeran yang kini menjadi saingan bagi Pangeran Kian Ban Kok," kata Ouw Ciangkun.

"Coba jelaskan, bagaimana kesempatan itu? Kita harus bertindak hati-hati dan sekali ini, begitu bertindak kita harus berhasil," kata Ang-I Moli.

Ang-I Moli bersama dua orang tosu itu, yaitu Kwan Thian-cu dan Kwi Thian-cu menjadi utusan Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan Ang-I Moli ini, semua orang memandang kepada Ouw Ciangkun karena semua orang juga ingin sekali mendengar jawabannya.

"Kesempatan ini memang sudah saya tunggu-tunggu selama berbulan-bulan ini," kata Ouw Ciangkun. "Dan akhirnya tiba juga kesempatan yang amat baik. Nanti pada tanggal lima belas bulan ini, tepat pada bulan purnama. Siang Hong-houw hendak menjamu semua pangeran dalam sebuah pesta taman untuk merayakan hari ulang tahunnya dan menikmati musim bunga dalam bulan purnama. Nah, pada kesempatan itulah seluruh pangeran berkumpul di sana dan mereka akan berpesta pada saat yang sama."

"Bagus!" Lauw Kang Hui berseru girang. "Kalau semua lalat itu sudah berkumpul, sekali tepuk kita akan dapat membunuh mereka semua!"

"Lauw-pangcu, engkau hendak menggunakan kekerasan dan menyerang ke taman itu?" Ang-I Moli bertanya sambil mengerutkan alisnya.

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha-ha, jangan salah sangka, Moli. Kami tidak begitu bodoh untuk mempergunakan jalan kekerasan. Kami sudah berjanji kepada Siang Hong-houw untuk tidak menggunakan kekerasan dan kami tentu harus menjaga benar tindakan kami agar supaya jangan melanggar janji. Lagi pula, biar pun Ouw Cun Ki telah berhasil menghimpun satu regu pasukan pengawal pribadinya yang terdiri dari orang-orang kita sendiri, akan tetapi apa artinya seregu pasukan dalam istana jika menghadapi pasukan pengawal yang sangat besar jumlahnya? Tidak, kami akan mempergunakan jalan yang paling halus, dan untuk ini, tentu saja kami mengharapkan bantuan dari para saudara di Pek-lian-kauw."

"Hemm, Lauw Pangcu, apa yang dapat kami bantu?" berkata Kwi Thian-cu. "Bukankah Pangcu akan menggunakan racun untuk meracuni para pangeran itu melalui hidangan? Nah, kalau mengenai racun, siapa yang akan mampu menandingi para Locianpwe di Thian-li-pang seperti Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)? Apa pula yang dapat kami lakukan untuk membantu kalian?”

"Totiang (Bapak Pendeta) harap jangan salah menyangka. Memang kami sendiri sudah mempersiapkan racun yang sangat kuat. Racun itu tidak ada rasanya bila dicampurkan arak. Akan tetapi, untuk melaksanakannya, kami membutuhkan bantuan seorang wanita yang cerdik dan lihai. Dan kami kira hanya seorang Ang-I Moli saja yang akan mampu melakukannya, yaitu menjadi kepala pelayan dari Siang Hong-houw, membantu dalam pesta itu, bahkan yang bertugas menuangkan arak dalam cawan para pangeran. Nah, pada kesempatan menuangkan arak itulah dapat digunakan Moli untuk mencampurkan racun kami. Siapa lagi yang akan mampu melakukannya kalau bukan Ang-I Moli?"

"Aihh, Lauw Pangcu. Bagaimana mungkin aku dapat melakukan tugas yang berbahaya sekali itu? Baru saja memasuki istana, aku pasti akan diketahui dan ditangkap. Bagai mana aku akan mampu melawan para jagoan istana yang amat banyak?"

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha, apakah Ang-I Moli yang terkenal amat pandai dan lihai itu sekarang merasa takut?"

"Lauw Pangcu, harap jangan bicara sembarangan! Aku tidak pernah takut kepada siapa pun juga! Akan tetapi, aku pun bukan seorang tolol yang tidak memakai perhitungan, dengan mata terpejam saja memasuki sarang singa dan mati konyol!" bantah Ang-I Moli dengan muka menjadi merah.

Ouw Cun Ki segera menengahi dan berkata. "Harap Bibi Ang-I Moli tidak menyalah artikan maksud Lauw-susiok (Paman Guru Lauw)! Semua memang sudah kami atur dan rencanakan sebelumnya. Ketahuilah bahwa saya sendiri yang akan mengaturkan, agar Siang Hong-houw suka menerima Bibi menjadi kepala pelayan sehingga Bibi tidak akan dicurigai siapa pun juga ketika melayani penuangan arak untuk para pangeran. Selain itu, juga saya akan mengerahkan pengawal untuk berjaga di taman itu, yang sebetulnya merupakan pengepungan untuk mencegah campur tangannya pihak luar. Rencana kita sudah masak dan takkan gagal, hanya membutuhkan bantuan kecekatan dan kelihaian Bibi untuk mencampurkan bubuk racun itu ke dalam cawan para pangeran, kecuali cawan Pangeran Kian Ban Kok. Selain bantuan Bibi, juga kami membutuhkan bantuan para Locianpwe dari Pek-lian-kauw untuk suka menyamar menjadi anak buah pasukan pengawal saya, dan pada saat pesta itu terjadi, agar para Locianpwe dari Pek-lian-kauw bisa mengarahkan kekuatan sihir mereka untuk mempengaruhi para pangeran sehingga mereka akan tunduk dan akan minum arak mereka tanpa banyak bercuriga."

Ang-I Moli mengangguk-angguk. "Nah, kalau begitu tentu saja kami suka bekerja sama. Sebaiknya diatur dari sekarang. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi."

"Sebab itulah maka saya mengundang Cuwi (Anda Sekalian) mengadakan perundingan di sini. Memang sebaiknya jika besok pagi Bibi sudah dapat saya selundupkan ke istana dan diterima oleh Siang Hong-houw. Ada pun para Locianpwe yang akan menyamar sebagai anggota pengawal saya, lebih mudah dilakukan. Malam ini pun bisa saja."

Mendengar percakapan itu, tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li menjadi terkejut bukan main. Kiranya komplotan itu bermaksud membunuh para pangeran dalam sebuah pesta tiga hari lagi di taman istana! Sin Hong memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pun meninggalkan tempat pengintaian itu dan kembali ke kamar mereka di belakang. Ternyata Sian Li masih belum tidur dan masih menunggu kembalinya ayah bundanya.

"Bagaimana, Ayah? Apakah Yo-suheng (Kakak Seperguruan Yo) juga berada di dalam sana?" Sian Li bertanya kepada ayahnya dengan suara penuh harap.

Sin Hong menggeleng kepalanya dan melihat sikap ibunya yang demikian serius, Sian Li segera bertanya, "Ibu, ada terjadi apakah?"

Sin Hong dan Hong Li sudah sepakat untuk memberi tahu puteri mereka. Sian Li bukan anak kecil lagi. Walau usianya baru dua belas tahun, namun anak ini cerdik dan sudah dapat mengetahui keadaan.

“Sian Li, telah terjadi hal yang amat penting.” Hong Li lalu menceritakan dengan suara lirih tentang segala yang telah mereka lihat dan dengar tadi. Mendengar cerita ibunya, Sian Li mengerutkan alisnya.

“Aih, kalau begitu, para pangeran itu terancam bahaya maut!” serunya khawatir. “Lalu apa yang akan dilakukan Ayah dan Ibu?”

“Engkau tahu betapa gawatnya keadaan, Sian Li,” kata Sin Hong dengan sikap serius.

“Ibu dan ayahmu harus cepat melakukan usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan di istana itu. Maka, sebaiknya kalau engkau tinggal di kamar ini lebih dahulu, agar gerakan kami tidak terhalang dan leluasa. Engkau tahu, kami menghadapi lawan-lawan yang amat jahat dan berbahaya, juga lihai. Lebih aman bagimu kalau engkau bersembunyi dulu di sini sampai kami kembali.”

Sian Li mengangguk-angguk. Ia maklum bahwa kalau ia ikut, tentu ayah dan ibunya tak akan leluasa bergerak. Apa lagi kalau sampai terjadi bentrokan, dia tidak akan dapat membantu bahkan menjadi beban perlindungan orang tuanya. Pihak lawan amat lihai, merupakan datuk-datuk sesat. Ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu orang tuanya.

“Akan tetapi, sebaiknya engkau bersembunyi saja di kamar, anakku. Dan kalau engkau membutuhkan makan minum, pesan saja kepada pelayan agar dibelikan dan dibawa ke sini. Jangan engkau bepergian keluar.”

“Baiklah, Ibu. Akan tetapi, apakah Ibu dan Ayah akan pergi malam-malam begini?”

“Benar, kami harus pergi sekarang juga. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi. Bagai mana pun juga, besok pagi-pagi kami tentu sudah pulang,” kata Sin Hong.

“Andai kata urusan ini belum selesai pun kami tentu akan kembali ke sini dahulu untuk menjengukmu, Sian Li,” kata Hong Li.

“Baiklah, Ayah dan Ibu. Aku akan menanti di sini sampai Ayah dan Ibu kembali.”

Setelah sekali lagi memesan kepada anak mereka agar berhati-hati dan jangan keluar dari kamar, suami isteri pendekar itu kemudian pergi meninggalkan rumah penginapan, menggunakan kepandaian mereka sehingga tidak ada orang lain yang melihat mereka meninggalkan tempat itu.

**********

Tentu saja para prajurit yang menjaga di gardu penjagaan depan rumah gedung tempat tinggal Panglima Liu merasa curiga ketika Sin Hong dan Hong Li minta agar mereka melapor kepada panglima itu bahwa suami isteri itu minta menghadap Liu Tai-ciangkun, Malam sudah larut. Bagaimana mungkin mereka berani mengganggu atasan mereka yang sedang tidur?

Liu Tai-ciangkun adalah seorang panglima tua, berusia enam puluh tiga tahun, dan yang dikenal oleh hampir semua pendekar. Panglima ini terkenal sebagai seorang panglima yang setia dan adil. Juga dia dapat menghargai para pendekar, bahkan sering kali dia mengulurkan tangan mengajak kerja sama dengan para pendekar untuk mengamankan negara dari gangguan para penjahat.

Karena hal inilah maka Sin Hong mengajak isterinya untuk malam-malam menghadap panglima itu. Kiranya hanya panglima itu yang dapat mereka harapkan untuk mengatasi kemelut di istana itu, untuk menghadapi Ouw Ciangkun, murid keponakan wakil ketua Thian-li-pang yang berhasil menyelundup menjadi perwira pasukan pengawal istana.

Akan tetapi, mereka kini berhadapan dengan lima orang prajurit penjaga yang berkeras tidak dapat menerima tamu pada malam-malam begitu.

“Kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) mempunyai kepentingan dengan Liu Tai-ciangkun, sebaiknya supaya Jiwi kembali besok saja. Malam-malam begini, bagaimana panglima dapat menerima tamu? Beliau tentu sudah tidur dan kami tidak berani lancang untuk mengganggunya,” kata kepala jaga.

“Hemm, kalian tidak mengenal kami,” bentak Hong Li yang berwatak keras. “Kalau Liu Tai-ciangkun mendengar bahwa kami yang datang, dia tentu akan cepat-cepat keluar menyambut!”

Para penjaga mengerutkan alisnya, dan Sin Hong yang selalu berwatak sabar dan lemah lembut, cepat maju memberi hormat kepada mereka. “Harap saudara sekalian memaafkan isteriku. Tetapi sungguh, kami mempunyai urusan yang teramat penting yang harus kami sampaikan kepada Liu Tai-ciangkun sekarang juga.”

Para penjaga itu sudah merasa tidak senang dengan sikap keras Kao Hong Li tadi, maka kepala jaga itu sambil memandang kepada nyonya muda yang cantik dan galak itu, bertanya, “Sebetulnya, siapakah Jiwi? Kami sama sekali tidak mengenal Jiwi, dan apa keperluannya? Karena kami belum mengenal Jiwi, bagaimana kami dapat percaya kepada Jiwi?”

“Hemm, kalian ingin mengenal kami? Nah, jagalah baik-baik!” kata Hong Li dan sebelum suaminya mencegah, nyonya muda itu sudah bergerak cepat sekali menyerang dengan totokan-totokan. Tangannya bergerak cepat bukan main dan tubuhnya berkelebatan di antara lima orang penjaga itu.

Para penjaga tentu saja berusaha untuk mengelak, menangkis, bahkan balas memukul. Namun, tanpa mereka ketahui bagaimana, tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi lemas dan mereka terkulai roboh satu demi satu tanpa mampu bangkit kembali!

“Nah, kalian lihatlah. Apa sukarnya bagi kami untuk langsung saja mencari sendiri Liu Tai-ciangkun ke dalam? Akan tetapi kami tidak mau melakukan itu. Kami menggunakan tata cara dan sopan santun, akan tetapi kalian malah menolak kami! Kalian mau tahu siapa kami? Katakan saja pada Liu Tai-ciangkun bahwa yang datang adalah Pendekar Bangau Putih dan isterinya, puteri pendekar Kao Cin Liong!”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang cepat sekali, tangan Hong Li bergerak membebaskan totokannya kepada lima orang penjaga itu.

Kini lima orang itu yang tadi terkejut, tidak banyak tingkah lagi. Mereka bukan saja berkenalan dengan kelihaian nyonya muda itu, akan tetapi mendengar nama Pendekar Bangau Putih dan puteri bekas Jenderal Kao Cin Liong, mereka sudah menjadi tunduk dan tanpa banyak cakap lagi, kepala jaga cepat-cepat berlari masuk untuk melapor, biar pun untuk itu terpaksa dia harus mengetuk pintu kamar tidur Sang Panglima, suatu hal yang dalam keadaan biasa, biar bagaimana pun juga takkan berani dia melakukannya!

Tak lama kemudian kepala jaga itu kembali. Dengan sikap hormat dia mempersilakan suami isteri pendekar itu untuk memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri bangunan.

Pada saat Sin Hong dan Hong Li tiba di rumah yang lebar itu, mereka mendapatkan Liu Tai-ciangkun sudah duduk menanti. Nampak panglima tua itu baru bangun tidur, bahkan agaknya dia mengenakan pakaian pengganti baju tidur secara tergesa-gesa, rambutnya juga nampak kusut.

Mereka saling memberi hormat, dan panglima itu bangkit dengan wajah berseri-seri.

“Tai-ciangkun, mohon maaf sebesarnya kalau kami sudah mengganggu Ciangkun dari tidur,” kata Sin Hong dengan sikap hormat.

“Ah, tidak apa-apa, Taihiap dan Lihiap. Silakan duduk!” kata panglima itu dengan ramah sambil mempersilakan mereka untuk duduk di kursi-kursi yang sudah diatur berhadapan dengan dia, hanya terhalang meja besar. “Kalau Jiwi malam-malam begini menemuiku, sudah pasti Jiwi membawa urusan yang teramat penting. Nah, para pengawal sengaja kularang mendekat. Kita hanya bertiga saja. Katakanlah apa kepentingan itu!” Sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang pembesar tinggi militer, Liu Ciangkun bersikap tegas.

Sin Hong kemudian menceritakan dengan sejelasnya apa yang telah dialaminya dengan isterinya ketika mereka mengintai dan mendengarkan percakapan di antara para tokoh dari Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang dijamu oleh Ouw Ciangkun, perwira pasukan pengawal istana.

Mendengar laporan yang jelas itu, muka Liu Tai-ciangkun berubah merah dan dia marah bukan main, di samping juga sangat terkejut. “Aku sudah meragukan perwira muda itu! Dia terlalu cepat mendapat kenaikan pangkat, dan itu atas perintah Sri Baginda sendiri! Kiranya para pemberontak itu diam-diam mempergunakan pengaruh Siang Hong-houw. Sungguh berbahaya sekali. Sekarang juga aku harus mengerahkan satu pasukan untuk menangkap semua pengkhianat dan pemberontak itu!” Panglima itu bangkit berdiri.

“Maaf, Tai-ciangkun. Kukira itu bukanlah tindakan yang tepat dan bijaksana!” kata Kao Hong Li.

Panglima itu mengerutkan alisnya, kemudian menghadapi wanita itu dengan sinar mata penasaran. “Aku hendak mengerahkan pasukan menangkapi para pemberontak itu dan Lihiap mengatakan tidak tepat dan tidak bijaksana? Apa maksud Lihiap?”

“Tai-ciangkun, mereka kini berada di rumah penginapan umum di kota Heng-tai. Kalau Ciangkun mengerahkan pasukan ke sana, tentu makan waktu lama dan setelah malam lewat, tentu mereka sudah tidak lagi mengadakan rapat di sana. Ciangkun pasti akan terlambat,” kata Hong Li.

“Pula, di tempat terbuka mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik. Ingat, mereka memiliki banyak orang yang lihai!” kata pula Sin Hong.

“Andai kata Ciangkun tidak terlambat dan dapat menangkap mereka, lalu apa alasan Ciangkun untuk menuntut mereka semua? Tak ada bukti sama sekali. Ciangkun hanya mendengar laporan kami. Kalau Ouw-ciangkun itu menyangkal, apa yang akan dijadikan bukti? Ingat, Ouw-ciangkun dekat dengan Siang Hong-houw. Kalau terjadi perdebatan tanpa bukti, apakah Ciangkun mampu melawan pengaruh Siang Hong-houw yang tentu akan melindungi Ouw-ciangkun?”

Mendengarkan ucapan suami isteri itu, Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya, meraba-raba jenggotnya dan dia pun mengangguk-angguk. “Benar sekali apa yang Jiwi katakan. Untung Jiwi mengingatkan aku sehingga tidak bertindak secara tergesa dan gegabah. Akan tetapi, lalu apa yang harus kita lakukan?”

“Maaf, Ciangkun,” kata Hong Li. “Mereka bersiasat, sebaiknya kita hadapi dengan siasat pula. Ciangkun pura-pura tidak tahu akan rencana jahat mereka, agar mereka lengah. Namun diam-diam Ciangkun mengatur siasat pula untuk menghadapi rencana mereka itu, untuk menggagalkan rencana jahat mereka. Tanggal lima belas kurang tiga hari lagi, masih ada waktu bagi Ciangkun untuk bersiap-siap mengatur siasat.”

“Kalau Ciangkun dapat menyergap mereka di taman istana, akan ada dua keuntungan. Pertama, Ciangkun dapat menangkap basah dengan bukti-bukti bahwa orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menyusup ke dalam pasukan pengawal yang dipimpin Ouw-ciangkun di samping menangkap Ang-I Moli yang hendak meracuni cawan para pangeran. Dan ke dua, penyergapan itu pasti berhasil baik karena penjahat-penjahat itu telah terkurung di lingkungan istana, bagaimana mereka akan mampu lolos?” kata Sin Hong.

Panglima itu mengangguk-angguk “Bagus! Jiwi sungguh berjasa besar. Usul Jiwi baik sekali!”

Panglima itu lalu berunding dengan mereka. Dia akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk diam-diam mengepung taman itu pada waktu pesta ulang tahun Siang Hong-houw berlangsung sehingga seluruh pasukan pengawal bersama Ouw-ciangkun akan dapat tertangkap semua.

"Akan tetapi, kami sangat membutuhkan bantuan Jiwi. Permainan ini terlalu berbahaya. Keselamatan nyawa para pangeran terancam dan menurut keterangan Jiwi sendiri tadi, Ang-I Moli yang akan bertindak sebagai kepala pelayan itu yang akan meracuni cawan arak para pangeran. Oleh karena itu, sebaiknya kalau Jiwi yang membantu kami untuk melindungi para pangeran dan mencegah perbuatan Ang-I Moli itu. Demi kepentingan negara, kami mohon Jiwi tidak menolak dan jangan kepalang membantu kami dalam menyelamatkan para pangeran dan mencegah terjadinya perbuatan yang amat keji dan jahat.”

Suami isteri itu saling pandang. Memang tidak semestinya kalau mereka membantu setengah-setengah. Apa lagi mereka tahu bahwa bantuan mereka bukan berarti mereka berpihak kepada Kerajaan Mancu semata, tetapi terutama sekali menentang golongan sesat yang hendak melakukan kejahatan besar.

“Baiklah, Tai-ciangkun,” kata Sin Hong dan isterinya juga mengangguk setuju. “Kami akan membantumu, akan tetapi karena kami datang ke kota Heng-tai bersama puteri kami yang sekarang masih berada di kamar rumah penginapan itu, maka kami akan menjemputnya lebih dahulu dan kalau kami membantu Ciangkun, kami ingin menitipkan anak kami di rumah Ciangkun agar keselamatannya terjamin.”

“Ah, kenapa tidak Jiwi bawa sekalian sejak tadi? Baiklah, saya tunggu kedatangan Jiwi bersama puteri Jiwi.”

Sin Hong dan Hong Li segera berpamit untuk kembali ke Heng-tai yang jauhnya belasan li dari benteng pasukan di mana Liu Ciangkun tinggal di gedungnya itu. Panglima itu lalu mengantar mereka sampai di pintu gerbang dan ketika melihat betapa panglima itu amat menghormati mereka, para prajurit penjaga juga memberi hormat secara militer seolah suami isteri itu merupakan dua orang yang berpangkat tinggi.

Malam telah berganti pagi ketika Sin Hong dan Hong Li tiba kembali di kota Heng-tai. Mereka langsung saja menuju ke rumah penginapan yang kini nampak sudah sunyi walau pun masih ada prajurit pengawal yang menjaga. Agaknya rapat itu sudah selesai dan kini para tokoh sesat itu entah bersembunyi di mana.

Sin Hong dan Hong Li segera menyelinap dan bersembunyi ketika tiba di belakang hotel itu dan dapat melihat kesibukan di antara para prajurit pengawal. Kiranya Ouw Ciangkun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan itu.

Ketika Sin Hong dan Hong Li kembali ke kamar mereka, suami isteri ini mendapatkan pintu kamar itu tidak terkunci. Mereka mendorong daun pintu kamar terbuka dan tidak melihat puteri mereka di dalam kamar! Mereka mencari-cari di sekitar kamar, namun tak nampak bayangan Sian Li! Mulailah mereka merasa khawatir, apa lagi ketika mereka meneliti tempat tidur anak itu dan mendapat kenyataan bahwa tempat tidur itu masih rapi, tidak ada bekas ditiduri anak mereka.

Mereka cepat-cepat memanggil pelayan yang kemarin memberi kamar kepada mereka. Dengan sinar mata penuh ancaman, Hong Li mendorong pelayan itu masuk kamar dan mencengkeram pundaknya.

“Hayo katakan di mana anak perempuan kami!”

Pelayan itu meringis kesakitan dan kedua lututnya menggigil. “Saya... saya tidak tahu..., apa... apa yang telah terjadi maka Jiwi marah kepada saya?”

“Malam tadi kami meninggalkan anak kami seorang diri di kamar ini, tetapi sekarang ia tidak ada. Apakah engkau melihatnya semalam? Hayo katakan, kalau engkau tidak mau mengaku atau berbohong, kami akan membunuhmu!” Sin Hong yang biasanya tenang dan lembut itu, kini terpaksa menghardik dan mengancam karena dia pun mulai gelisah sekali.

“Sungguh mati Taihiap dan Lihiap, sungguh mati saya tidak tahu. Semalam kami semua sibuk sekali melayani semua perintah Ouw Ciangkun sehingga kami sama sekali tidak sempat mengurus hal-hal lainnya. Kami semua tidak pernah melihat puteri Jiwi... tidak nampak Siocia keluar kamar. Sungguh mati saya tidak tahu...”

Suami isteri itu saling pandang.

“Sudahlah,” akhirnya Sin Hong berkata. “Kalau engkau benar tidak tahu, tidak mengapa dan pergilah. Akan tetapi awas, kalau engkau berbohong, kelak masih belum terlambat bagi kami untuk menghukummu!”

“Terima kasih, Taihiap, terima kasih, Lihiap... nanti kalau saya melihat atau mendengar tentang Siocia, tentu akan segera saya laporkan kepada Jiwi...”

Hong Li mengangguk dan pelayan yang sudah menggigil ketakutan dengan muka pucat itu, kini bagaikan seekor tikus yang baru saja lolos dari cengkeraman kucing, dia berlari keluar.

“Heran, ke mana Sian Li pergi?” Sin Hong berkata lirih.

“Tentu ada hal yang tidak beres! Akan kuserbu saja ke dalam dan akan paksa mereka mengaku di mana anak kita!” kata Hong Li.

Akan tetapi Sin Hong memegang lengannya. “Sssttt, perlahan dulu. Tidak ada gunanya menggunakan kekerasan. Kita berhadapan dengan perwira yang mempunyai pasukan! Tidak bisa kita menuduh mereka begitu saja tanpa bukti. Sebaiknya kita mengamati kepergian mereka. Kalau jelas Sian Li berada dengan mereka, baru kita turun tangan menyelamatkan puteri kita. Kalau tidak ada, kita harus mencari jalan lain.”

Hong Li menurut, akan tetapi ia nampak agak pucat dan gelisah. “Kalau Ang-I Moli yang melakukan penculikan terhadap Sian Li, kali ini aku akan mengadu nyawa dengannya!”

“Yang penting, kita harus dapat menemukan dulu di mana adanya Sian Li, dan melihat anak kita itu dalam keadaan selamat,” kata Sin Hong.

“Tidak ada kemungkinan lainnya,” berkata Hong Li. “Lenyapnya anak kita itu pasti ada hubungannya dengan komplotan pemberontak yang semalam mengadakan rapat di sini. Tentu orang-orang Pek-lian-kauw, Thian-li-pang dan para pemberontak itu yang harus bertanggung jawab.”

“Karena itu, kita amati saja mereka. Dan kita pun akan menghadapi mereka di istana. Di sana kita lebih banyak mendapat kesempatan untuk menangkap Ang-I Moli, kemudian memaksanya mengaku untuk mengembalikan anak kita.”

Setelah mencari-cari tanpa hasil, kemudian mengintai keberangkatan Ouw Ciangkun dan pasukannya dan tidak melihat adanya Sian Li di sana bersama pasukan itu, juga mereka berdua tidak melihat adanya Ang-I Moli beserta para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, terpaksa, meski dengan hati berat, Sin Hong dan Hong Li segera berlari ke benteng Liu Tai-ciangkun.

Panglima itu terkejut bukan main mendengar bahwa puteri sepasang pendekar itu telah lenyap dari kamar rumah penginapan. “Jangan khawatir, Taihiap dan Lihiap, kami akan menyebar penyelidik untuk mencari keterangan tentang puteri Jiwi (Kalian) itu.”

Dan seketika itu juga panglima Liu menyebar anak buahnya yang ahli untuk melakukan penyelidikan ke kota Heng-tai dan sekitarnya, mencari jejak nona Tan Sian Li, gadis cilik berusia dua belas tahun itu.

Ada pun suami isteri itu sendiri oleh Liu Tai-ciangkun kemudian diselundupkan ke dalam istana. Mereka menyamar sebagai pengawal-pengawal yang tergabung dalam pasukan pengawal istana bagian luar.

Dengan memegang tanda perintah khusus dari Liu Tai-ciangkun dan seorang perwira pasukan pengawal yang menjadi sahabat panglima itu, Sin Hong serta Hong Li dapat bergerak bebas dalam istana itu tanpa dicurigai orang. Tetapi, sepasang suami isteri ini hanya menyembunyikan diri sambil menanti datangnya saat yang ditentukan, yaitu pada malam bulan purnama di taman besar, di mana Siang Hong-houw hendak mengadakan pesta ulang tahunnya, dan dihadiri oleh semua pangeran.

Penanggalan Imlek dibuat menurut peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu, setiap tanggal lima belas dapat dipastikan bahwa bulan purnama sebulat-bulatnya dan seterang-terangnya.

Malam itu bulan purnama amat cerahnya karena di langit tidak ada awan menghalang. Dan kemulusan bulan ini menambah meriahnya pesta di taman istana yang amat indah. Lampu-lampu gantung beraneka bentuk dan warna menambah indah suasana, seolah-olah menggantikan bintang-bintang yang tidak nampak di langit karena sinarnya ditelan cahaya bulan purnama. Bunga-bunga di taman itu sedang mekar semerbak, menambah keindahan malam itu.

Siang Hong-houw sudah berusia empat puluh tahun lebih. Akan tetapi, permaisuri ini masih nampak anggun dan jauh lebih muda dari usia yang sesungguhnya. Sanggulnya tinggi dan dihias emas permata, pakaiannya juga gemerlapan dan semua itu ditambah kecantikannya dan senyumnya yang tidak pernah meninggalkan bibirnya, membuat dia nampak cantik jelita dan menarik sekali. Para pangeran yang hadir adalah putera-putera tirinya, dan semua pangeran menyayang Siang Hong-houw yang selalu bersikap manis terhadap mereka.

Pesta berjalan dengan meriah. Delapan orang pangeran dan enam belas orang puteri hadir. Mereka semua adalah saudara-saudara seayah berlainan ibu. Kaisar sendiri tidak hadir, juga tidak ada selir lainnya yang hadir. Hal ini memang dikehendaki Siang Hong-houw yang ingin berpesta dengan anak-anak tirinya saja untuk menghibur hatinya.

Untuk membuat pesta bertambah meriah, serombongan besar pemusik, penyanyi dan penari menyajikan hiburan-hiburan yang bermutu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong dan Hong Li, tentu saja atas usaha Liu Tai-ciangkun, untuk berbaur dengan rombongan seniman dan seniwati itu agar mereka dapat hadir lebih dekat dengan para pangeran. Kalau mereka menyamar menjadi pengawal, maka kehadiran mereka tentu dalam jarak yang jauh dan sukar bagi mereka untuk melindungi para pangeran.

Taman itu sendiri dijaga oleh tiga puluh lebih orang pengawal yang merupakan pasukan istimewa dan yang dipimpin oleh Ouw-ciangkun.

Biar pun mereka berada di antara para seniman, Sin Hong dan Hong Li selalu waspada mengamati keadaan di sekeliling. Terutama sekali mereka memperhatikan para prajurit yang berjaga di situ karena mereka tahu bahwa di antara para prajurit itu tentu terdapat para tokoh sesat yang menyelundup. Mereka melihat betapa Ouw-ciangkun sendiri turun tangan melakukan perondaan di dalam taman itu, seakan-akan hendak menjaga dan melindungi semua orang yang sedang berpesta di dalam taman.

Tempat pesta itu sendiri berada di tengah taman, di mana terdapat sebuah kolam ikan yang dikelilingi petak rumput yang luas. Di atas petak rumput inilah dipasangi kursi-kursi dan meja yang mengelilingi kolam ikan. Suasana sungguh meriah dan gembira, walau pun yang sedang berpesta tidak terlalu banyak.

Ketika Sin Hong dan Hong Li melayangkan pandang mata mereka ke arah mereka yang sedang berpesta, kedua orang suami isteri ini terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga amat girang karena mereka melihat seorang kakek yang gagah, yang mereka kenal karena kakek itu bukan lain adalah Suma Ciang Bun!

Dan di dekat kakek itu duduk seorang wanita setengah tua yang nampak asing, namun wanita ini masih nampak cantik dan juga sikapnya gagah sekali. Sin Hong dan Hong Li tidak mengenal wanita itu, akan tetapi kehadiran Suma Ciang Bun di tempat itu sungguh membuat mereka heran akan tetapi juga girang.

Bagaimana Suma Ciang Bun dapat berada di taman itu dan menjadi seorang di antara mereka yang ikut berpesta? Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun dan nenek Gangga Dewi melakukan perjalanan bersama untuk mencari Yo Han yang diculik Ang-I Moli. Mereka terus membayangi Ang-I Moli selama bertahun-tahun, namun akhirnya mereka kehilangan jejak iblis betina itu.

Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka berdua terpaksa menghentikan usaha mereka mencari Yo Han. Mereka telah bergaul dengan akrab dan mudah bagi mereka untuk menyadari bahwa api yang puluhan tahun lalu membakar hati mereka ternyata masih belum padam. Mereka masih saling mencinta!

Dan pada suatu hari yang baik, Gangga Dewi yang lebih tegas dan berani dibandingkan Suma Ciang Bun, menyatakan perasaannya itu kepada Suma Ciang Bun. Pendekar ini menyambutnya dengan terharu dan gembira sampai tak tertahan lagi Suma Ciang Bun menangis!

Akhirnya, Suma Ciang Bun mengajak Gangga Dewi untuk berkunjung ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang sahabatnya, seorang pendeta Agama To. Tosu itulah yang mengatur upacara pernikahan antara Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, tanpa dihadiri seorang pun tamu, hanya disaksikan oleh delapan orang tosu lainnya. Namun, secara hukum agama pernikahan itu sudah sah dan sejak saat itu, Suma Ciang Bun hidup bersama Gangga Dewi sebagai suami isteri!

Dalam perjalanan mereka melakukan perantauan, keduanya hidup dengan rukun saling mencinta dan saling menghormat. Dalam banyak hal, Gangga Dewi bersikap kejantanan dan menjadi pemimpin, sedangkan Suma Ciang Bun lebih kewanitaan dan lebih banyak menyetujui apa yang diputuskan oleh isterinya.

Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi mengunjungi keluarga pendekar itu. Mereka sudah berkunjung ke rumah Kao Cin Liong dan Suma Hui kakak perempuannya, juga sudah mengunjungi rumah Suma Ceng Liong. Dua orang saudaranya ini menerima mereka dengan gembira sekali. Mereka itu semua menyatakan perasaan sukur bahwa akhirnya Suma Ciang Bun menemukan jodohnya, walau pun sudah agak terlambat. Apa lagi yang dipilihnya adalah bekas kekasihnya dahulu, dan puteri dari mendiang Wan Tek Hoat pula. Masih ada hubungan yang tidak jauh!

Demikianlah, pada saat mereka berdua merantau sampai ke kota raja, Gangga Dewi teringat kepada Siang Hong-houw yang sudah dikenalnya sebelum menjadi selir Kaisar, ketika masih tinggal di barat dahulu. Karena pengawal istana melaporkan kepada Siang Hong-houw bahwa ada seorang wanita yang bernama Gangga Dewi dari Bhutan datang berkunjung bersama suaminya, permaisuri itu menjadi gembira bukan main. Cepat dia menyambut dan ketika bertemu, kedua orang wanita itu saling rangkul dengan akrab sekali.

Demikian girangnya hati Siang Hong-houw bisa bertemu dengan sahabat lamanya yang mendatangkan kenangan lama sebelum dia menjadi selir Kaisar, sehingga dia menahan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun supaya tinggal di istana sebagai tamunya, tamu kehormatan dan agar dapat turut menghadiri pesta ulang tahunnya yang diadakan pada tanggal lima belas.

Gangga Dewi yang berpengalaman itu dapat melihat betapa sesungguhnya sahabatnya itu menderita tekanan batin walau pun hidup di dalam gemerlapnya kemewahan dan kemuliaan, maka ia merasa amat kasihan kepada sahabatnya itu. Dibandingkan dengan sahabatnya yang hidup sebagai seorang permaisuri yang mulia, ia merasa berbahagia sekali dan merasa jauh lebih beruntung biar pun ia bersama suaminya hidup sederhana, bahkan selama ini hidup sebagai perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Oleh karena itu, ia membujuk suaminya untuk memenuhi permintaan Siang Hong-houw dan tinggal di istana sampai tiba saatnya pesta ulang tahun itu.

Ketika akhirnya pesta pada malam hari itu tiba, diam-diam mereka pun merasa heran mengapa Siang Hong-houw merayakan ulang tahunnya secara demikian sederhana, tidak dihadiri Kaisar, tidak pula dihadiri oleh para selir lain atau pejabat tinggi, melainkan dihadiri oleh semua pangeran dan puteri, anak-anak tiri Siang Hong-houw.

Suma Ciang Bun sama sekali tidak pernah menduga bahwa di antara para seniman dan seniwati yang menghibur di pesta itu, terdapat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li! Tentu saja Suma Ciang Bun tidak mengenal kedua orang itu karena Sin Hong dan Hong Li mengenakan bedak yang tebal dan mengubah corak wajah mereka.

Sementara itu Ang-I Moli berpakaian sebagai pelayan kepala. Dia pun memakai riasan penyamaran supaya jangan dikenal orang. Ketika Ouw Ciangkun menyarankan kepada Siang Hong-houw agar Ang-I Moli bisa diterima sebagai kepala pelayan, dengan alasan bahwa keamanan di situ harus dijaga ketat, Siang Hong-houw yang tidak menyangka buruk menerimanya begitu saja. Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Ang-I Moli ketika ia mengenal Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.

Sungguh tidak dinyana sama sekali bahwa dua orang yang amat lihai itu berada pula di situ sebagai tamu! Tentu saja Ang-I Moli menjadi bingung. Apakah artinya itu? Apakah Siang Hong-houw sudah menduga akan sesuatu dan sengaja mendatangkan dua orang lihai itu untuk menjamin keamanan di situ?

Beberapa kali Ang-I Moli mencari-cari Ouw Ciangkun dengan pandang matanya. Akan tetapi ia tidak memiliki kesempatan lagi untuk berunding dengan perwira itu. Munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi demikian mendadak dan tidak tersangka-sangka sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk berunding dengan sekutunya lagi. Bagaimana pun juga, rencana semula harus dilanjutkan!

Ang-I Moli sama sekali tidak tahu bahwa kejutan baginya bukan hanya munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Ia tidak tahu bahwa di antara para seniman itu terdapat pula dua orang yang ditakutinya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Ia tidak dapat mengenal mereka, akan tetapi suami isteri itu dapat segera mengenalnya.

Hal ini bukan karena penyamarannya kurang baik. Sama sekali tidak. Andai kata suami isteri itu belum tahu bahwa dia akan menyamar sebagai kepala pelayan dan bertugas memberi racun pada cawan arak para pangeran, agaknya belum tentu suami isteri pendekar itu akan mengenalnya.

Akan tetapi, di luar tahunya, Sin Hong dan Hong Li segera dapat mengenali kepala pelayan setengah tua yang cantik dan lembut itu, dan mereka sudah siap siaga dan mengamati gerak-gerik Ang-I Moli dengan seksama. Suami isteri pendekar ini maklum bahwa pada saat itu, Liu Tai-ciangkun tentu juga sudah mengerahkan pasukan untuk mengepung taman itu dan memblokir semua jalan keluar dari dalam istana.

Sejak tadi, nampak Ang-I Moli mengatur para pelayan, gadis-gadis manis yang cekatan, untuk mengeluarkan hidangan dan keadaan berjalan lancar tanpa ada sesuatu hal yang mencurigakan. Kemudian, tibalah saat menegangkan yang dinanti-nanti oleh Sin Hong dan Hong Li.

Permaisuri itu memberi isyarat pada pelayan pribadinya yang datang membawa sebuah guci arak yang bentuknya asing dan indah, yang terbuat dari emas murni. Dengan sikap lembut dan ramah, Siang Hong-houw mengangkat guci itu ke atas, memperlihatkannya kepada anak-anak tirinya, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, kemudian berkata,

“Aku masih menyimpan seguci anggur buatan bangsaku Uighur yang amat baik, sudah puluhan tahun umurnya. Selain amat manis dan lezat, juga kasiatnya dapat membuat badan sehat dan semangat tinggi.”

Para pangeran bersorak gembira, sedangkan para puteri tersenyum-senyum. Gangga Dewi menyentuh lengan suaminya. “Anggur Uighur yang sudah puluhan tahun umurnya memang amat hebat.”

Ang-I Moli menghampiri Siang Hong-houw, kemudian dia berkata dengan penuh hormat dan halus, “Perkenankan hamba sendiri yang mewakili Paduka menuangkan anggur ke dalam cawan para tamu yang mulia.”

Oleh karena sejak pertama kali Ang-I Moli bersikap halus, ramah dan sopan sehingga menyenangkan hati Siang Hong-houw, maka dia pun mengangguk dan menyerahkan guci anggur itu kepada kepala pelayan baru yang cekatan itu.

Ang-I Moli dengan sikapnya yang menarik dan lembut, segera menuangkan anggur dari guci itu ke dalam cawan di depan Siang Hong-houw, kemudian ke dalam cawan arak di depan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun yang sama sekali tidak mencurigai sesuatu. Kemudian, dengan teliti dan tahu peraturan, kepala pelayan itu menuangkan anggur ke dalam cawan para pangeran, mulai dari yang paling tua sampai yang paling muda, baru menuangkan anggur ke dalam cawan para puteri.

Semua hal itu dilakukan dengan tepat dan cermat, tidak ada setetes pun anggur yang menetes keluar sehingga semua orang merasa senang. Juga tidak ada yang menduga bahwa ketika menuangkan anggur untuk para pangeran, kecuali untuk Pangeran Kian Ban Kok, kuku jari telunjuk kiri wanita itu sempat menjentik keluar bubuk racun yang sebelumnya sudah dipersiapkan, menempel di ujung lengan baju sehingga di setiap cawan arak itu terpecik bubuk racun halus yang tidak kelihatan orang lain.

Sin Hong dan Hong Li sendiri akan sukar dapat mengetahui gerakan ini, akan tetapi sebelumnya mereka sudah tahu, tentu saja perhatian mereka tercurah ke arah tangan wanita itu dan mereka tahu bahwa bubuk racun telah disebar dan dibagi. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sendiri, yang lihai dan berpengalaman, tidak tahu akan hal itu karena mereka tidak menyangka buruk.

Ketika semua cawan telah terisi dan Siang Hong-houw mendahului mengangkat cawan dan mempersilakan semua orang minum, dan semua orang telah mengangkat cawan masing-masing dengan wajah amat gembira penuh senyum, tiba-tiba terdengar seruan nyaring.

“Tahan semua cawan! Harap Paduka sekalian jangan minum anggur itu!”

Tentu saja semua orang, termasuk Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, terkejut dan heran mendengar teriakan itu dan semua orang memandang ketika Kao Hong Li keluar dari rombongan seniman seniwati yang sejak tadi menghibur para tamu dengan musik, nyanyian dan tarian mereka.

Karena tidak ingin gagal, Hong Li cepat menyambung teriakannya tadi sambil memberi hormat kepada semua orang yang merupakan keluarga agung Kaisar. “Harap Paduka semua jangan minum anggur itu karena semua cawan sudah diracuni, kecuali cawan para puteri dan Pangeran Kian Ban Kok. Semua cawan pangeran lain telah diracuni dan siapa yang minum anggur itu akan tewas!”

Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ini dan otomatis semua orang meletakkan cawan masing-masing di atas meja dan memandang cawan itu dengan hati ngeri.

Melihat ini, Pangeran Kian Ban Kok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah. Tadi wanita itu mengatakan bahwa semua pangeran diberi racun, kecuali dia. Ini sama saja dengan menuduh bahwa kalau benar ada yang meracuni para pangeran, maka pelaku itu bersekongkol dengan dia karena dia sendiri tidak diracuni.

“Perempuan rendah! Engkau hanya seorang wanita penghibur! Sungguh lancang sekali mulutmu menuduh Ibu Permaisuri hendak meracuni para pangeran! Engkau berbohong dan akan kubuktikan.”

Pangeran Kian Ban Kok yang sungguh tidak tahu bahwa diam-diam dia dipilih oleh para pemberontak untuk menjadi pangeran tunggal karena ibunya ialah seorang wanita Han, cepat menyambar cawan anggur di depan pangeran yang duduk di sebelah kanannya, kemudian sekali tuang, isi cawan itu memasuki tenggorokannya.

“Nah, aku sudah minum dari cawan seorang pangeran lain! Apa engkau masih berani mengatakan bahwa cawan semua pangeran, kecuali aku, sudah diberi racun?!” bentak Pangeran Kian Ban Kok.

Akan tetapi semua orang terbelalak memandang pangeran ini karena melihat betapa wajah pangeran ini berubah kehijauan, lalu menghitam dan tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking dan terjungkal roboh. Dia tewas seketika! Terdengar jeritan-jeritan para puteri dan teriakan para pangeran yang menjadi panik.

Melihat keadaan yang kacau ini, Ang-I Moli terkejut bukan main. Ia lantas tahu bahwa rahasianya diketahui wanita anggota rombongan pemusik itu dan akibatnya sungguh hebat. Pangeran Kian Ban Kok yang seharusnya menjadi satu-satunya pangeran yang tidak terbunuh, kini malah keracunan dan tewas. Maklum bahwa keadaannya di situ berbahaya, ia pun menjadi bingung.

Tiba-tiba terdengar bunyi suitan. Itu merupakan tanda dan teringatlah Ang-I Moli bahwa menurut rencana mereka, kalau sampai usaha mereka meracuni para pangeran itu gagal, maka jalan satu-satunya hanyalah mempergunakan kekerasan membunuhi para pangeran! Maka, tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan ia sudah memegang pedang yang tadi ia sembunyikan di balik bajunya.

Akan tetapi, tiba-tiba wanita anggota pemusik yang tadi berteriak, sudah meloncat ke depannya dan wanita itu berseru, “Ang-I Moli, sekali ini engkau tidak akan lolos dari tanganku!”

Wanita itu sudah menggosok mukanya yang tertutup bedak tebal, kemudian menoleh ke arah Suma Ciang Bun dan berteriak, “Paman Suma Ciang Bun, aku Kao Hong Li. Cepat lindungi para pangeran! Ada komplotan pombunuh!”

Pada saat itu pula, Ang-I Moli yang terkejut ketika mendengar pengakuan Kao Hong Li, telah menyerangnya dengan tusukan pedang. Tapi Kao Hong Li sudah cepat mengelak dan membalas dengan tamparan tangan kiri yang mengandung hawa beracun karena ia menggunakan ilmu pukulan Ban-tok-ciang.

Sementara itu, Sin Hong sudah pula meloncat dari rombongan pemusik dan pada saat itu, dua orang prajurit pengawal yang memegang pedang terhunus sudah berloncatan untuk menyerang para pangeran. Dengan hantaman tangan dan tendangan kaki, dia membuat dua orang anggota Thian-li-pang yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu terjengkang dan terpelanting.

“Paman Suma Ciang Bun, cepat selamatkan para pangeran!” teriak pula Sin Hong.

Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sudah berloncatan ke depan. Mereka tadinya amat bingung, akan tetapi begitu tadi mendengar suara Kao Hong Li, Ciang Bun terkejut dan juga girang. Apa lagi ketika melihat munculnya Sin Hong. Mendengar seruan Sin Hong, dia lalu menyambar lengan isterinya.

“Mari kita lindungi mereka!”

Suami isteri ini berloncatan melindungi para pangeran yang terlihat sangat bingung dan ketakutan. Ketika ada prajurit-prajurit pengawal dengan senjata di tangan menyerbu ke arah para pangeran. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menggerakkan tangan kaki dan robohlah empat orang penyerbu.

Sementara itu, wajah Siang Hong-houw menjadi pucat sekali pada waktu tadi ia melihat betapa Pangeran Kian Ban Kok roboh dan tewas begitu minum arak dari cawan seorang pangeran lain. Permaisuri Kaisar ini sama sekali tak tahu tentang rencana pembunuhan keji terhadap para pangeran itu dan begitu kini telah jatuh korban, tentu saja ia menjadi terkejut dan gelisah.

Apa lagi saat para prajurit pengawal yang seharusnya bertugas melindungi keselamatan keluarga Kaisar, kini berbalik malah hendak membunuh para pangeran. Dan dia sudah melibatkan diri dengan pembunuh-pembunuh itu!

Kalau ia mau bekerja sama dengan Thian-li-pang, hal itu ia kerjakan karena ia melihat Thian-li-pang sebagai pejuang untuk mengusir penjajah Mancu. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa sekutu itu akan bertindak demikian nekatnya, meracuni dan hendak membunuh para pangeran. Padahal, sebelumnya ia sudah mendapatkan janji mereka bahwa mereka tidak akan menggunakan kekerasan di dalam istana.

Ia merasa telah ditipu dan dibohongi, dan tahu bahwa ia ikut bertanggung jawab karena dialah yang menerima masuknya orang-orang Thian-li-pang seperti Ouw Cun Ki yang dijadikan panglima pasukan pengawal, bahkan baru saja ia menerima pula wanita cantik sebagai kepala pelayan dalam pesta itu!

Melihat munculnya seorang wanita beserta seorang pria dari rombongan pemusik yang menentang usaha pembunuhan para pangeran, bahkan ketika melihat dua orang tamu agungnya, yaitu Gangga Dewi dan suaminya juga sudah berloncatan melindungi para pangeran, Siang Hong-houw cepat bertindak.

“Mari cepat menyingkir ke dalam!” katanya.

Ia bersama para pangeran dan puteri meninggalkan tempat yang kini menjadi medan pertempuran itu, kembali ke istana, dikawal oleh Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Setelah semua pangeran dan puteri memasuki istana bersama Siang Hong-houw, dan jenazah Pangeran Kian Ban Kok diangkut masuk pula, barulah suami isteri itu kembali ke taman dan ikut membantu pasukan menghadapi anak buah gerombolan yang terdiri dari tokoh-tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw itu.

Pasukan pengawal yang dipimpin Ouw Ciangkun yang bukan lain adalah Ouw Cun Ki putera Ketua Thian-li-pang sendiri, yaitu Ouw Ban, bukan semua anggota Thian-li-pang. Anggota Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang diselundupkan oleh Ouw Cun Ki menjadi prajurit pasukan pengawal hanya ada dua puluh orang lebih. Selebihnya adalah prajurit pengawal asli.

Oleh karena itu, ketika para prajurit asli melihat bahwa pasukan mereka dikepung oleh pasukan besar pimpinan Panglima Liu, mereka terkejut dan heran. Akan tetapi, melihat adegan di taman itu, dan mendengar betapa pemimpin mereka ternyata adalah seorang pemberontak yang hendak membunuh para pangeran, tentu saja sikap mereka segera membalik dan turut menyerang orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw, biar pun rata-rata pandai ilmu silat, dikeroyok banyak sekali lawan.

Melihat betapa keadaan amat tidak menguntungkannya, Ouw Cun Ki melompat hendak melarikan diri. Akan tetapi, nampaklah bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pria gagah dengan pakaian serba putih telah berdiri tepat di depannya. Orang ini bukan lain adalah Tan Sin Hong yang sudah menanggalkan jubahnya sebagai pemain musik dan kini mengenakan pakaian putihnya yang ringkas.

“Ouw Cun Ki, engkau hendak lari ke mana? Engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!” kata Sin Hong.

“Penjilat busuk, anjing penjajah Mancu!” teriak Ouw Cun Ki. Dia sudah mempergunakan pedangnya untuk menusuk ke arah dada Sin Hong.

Muka Sin Hong berubah merah ketika menerima makian ini, akan tetapi karena dia tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan orang jahat dan sudah bersekongkol dengan Pek-lian-kauw yang berkedok perjuangan namun diam-diam menyembunyikan pamrih yang mementingkan diri sendiri, maka dia tahu bahwa dia bukan berhadapan dengan para pahlawan pejuang, melainkan dengan para penjahat.

“Jahanam, orang macam engkau ini yang mengotorkan perjuangan!” bentaknya sambil mengelak dan membalas dengan tendangan yang biar pun dapat dihindarkan Ouw Cun Ki, namun tetap saja membuat putera Ketua Thian-li-pang itu terhuyung.

Ouw Cun Ki putera Ouw Ban Ketua Thian-li-pang ini baru berusia dua puluh tiga tahun, tampan gagah dan telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Tentu saja dia lihai sekali dan termasuk seorang tokoh Thian-li-pang yang berkedudukan penting.

Akan tetapi, kali ini dia berhadapan dengan Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Maka, walau pun pemuda itu memegang pedang dan menyerang dengan nekat, dalam beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak oleh pukulan, totokan dan tendangan Sin Hong yang membuat dia terus mundur dan kadang terhuyung.

Sementara itu, pertandingan antara Kao Hong Li melawan Ang-I Moli berlangsung seru. Kepandaian kedua orang wanita ini lebih seimbang dibandingkan kepandaian antara Sin Hong dan Ouw Cun Ki.

Ang-I Moli kini telah menguasai ilmu barunya, yaitu Toat-beng Tok-hiat (Darah beracun Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Ilmu ini dilatih secara menyeramkan karena telah puluhan orang anak laki-laki dikorbankan untuk mematangkannya. Dan kini Ang-I Moli telah menguasai ilmu itu, bahkan telah dapat membuat obat penawar pukulan beracun itu yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong.

Melihat betapa lihainya Kao Hong Li, Ang-I Moli yang menggunakan pedang di tangan kanan itu, lalu menyelingi serangannya dengan dorongan tangan kiri yang mengandung pukulan beracun yang amat jahat itu.

Ketika pertama kali Ang-I Moli menyerang dengan dorongan telapak tangan kiri yang mengeluarkan semacam uap putih dan yang juga membawa bau yang busuk seperti bau mayat, Hong Li maklum bahwa dia menghadapi pukulan beracun yang berbahaya. Maka, ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga dari ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Racun Selaksa) yang juga merupakan ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Biar pun tidak sejahat Toat-beng Tok-hiat, akan tetapi juga tidak kalah ampuhnya.

“Plakkk!”

Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh kedua orang wanita itu terdorong ke belakang. Keduanya terkejut, akan tetapi yang merasa lebih penasaran adalah Ang-I Moli. Setelah berhasil menguasai Toat-beng-tok-hiat, ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada ilmu pukulan yang dapat menandingi ilmunya itu!

Sebelum kedua orang wanita ini kembali saling terjang, mendadak nampak bayangan berkelebat dan Gangga Dewi telah berhadapan dengan Ang-I Moli.

“Iblis betina Ang-I Moli, sekarang aku mengenalmu! Di mana kau sembunyikan Yo Han? Hayo cepat beri tahu atau terpaksa aku akan menyiksamu untuk mengaku!” bentakan Gangga Dewi ini selain sangat mengejutkan hati Ang-I Moli, juga membuat Kao Hong Li memandang heran. Ia tidak mengenal wanita cantik yang tadi dia lihat duduk di sebelah pamannya, Suma Ciang Bun. Dan sekarang wanita ini mengenal Ang-I Moli, bahkan menyebut-nyebut nama Yo Han!

Ang-I Moli sudah pernah bertemu dan bertanding dengan Gangga Dewi dan dia tahu akan kelihaian wanita Bhutan itu. Tak disangkanya bahwa wanita itu dapat mengenal ia yang sudah menyamar.

“Mampuslah!” bentaknya dan ia pun menggerakkan pedangnya menusuk.

Gangga Dewi memiliki ginkang yang hebat dan dia mampu bergerak cepat bukan main. Serangan pedang itu dapat dielakkannya dengan amat mudah dan begitu tangan kirinya bergerak, nampaklah gulungan sinar putih mengkilat yang panjang seperti seekor ular menyambar. Kiranya Gangga Dewi telah membalas pula dengan serangan sabuk sutera putihnya. Sab碌k itu meluncur kaku bagaikan berubah menjadi tongkat menotok ke arah dada Ang-I Moli.

Ang-I Moli menangkis dengan pedangnya, dan tangan kirinya mendorong dengan ilmu yang diandalkannya, yaitu Toat-beng Tok-hiat. Serangkum uap putih yang berbau busuk menyambar dan Gangga Dewi cepat meloncat ke belakang, maklum bahwa lawannya itu menggunakan pukulan beracun yang amat jahat.

“Bibi, biar aku yang menghalau iblis betina ini!” Kao Hong Li membentak.

Hong Li menerjang maju, sekali ini menggunakan jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat dari Istana Gurun Pasir. Demikian hebatnya daya serang ilmu ini sehingga Ang-I Moli yang memegang pedang itu tidak berani menyambut dan terhuyung ke belakang.

Gangga Dewi sudah mendapat bisikan dari suaminya siapa adanya Kao Hong Li, yaitu keponakan suaminya, puteri dari Kao Cin Liong dan Suma Hui, maka ia pun memutar sabuk suteranya dan berseru.

“Kao Hong Li, aku adalah isteri pamanmu Suma Ciang Bun. Namaku Gangga Dewi dari Bhutan.”

Mendengar ini, Hong Li merasa heran akan tetapi juga gembira. Ia pernah mendengar akan keadaan pamannya, Suma Ciang Bun yang mempunyai kelainan, tidak menyukai wanita karenanya tidak mau menikah. Dan kini tahu-tahu dia mempunyai seorang isteri yang cantik, seorang wanita Bhutan. Dan ia pun teringat bahwa ayah dan ibunya pernah bercerita tentang seorang puteri Bhutan bernama Syanti Dewi yang menikah dengan pendekar Wan Tek hoat, saudara tiri dari neneknya, yaitu mendiang nenek, Wan Ceng!

“Apakah engkau puteri dari kakek Wan Tek Hoat, Bibi?” katanya sambil mengelak dari sambaran pedang Ang-I Moli yang sudah membalas serangannya.

“Benar! Mari kita tundukkan iblis ini, Hong Li!”

Kao Hong Li semakin gembira dan kedua orang wanita ini mendesak Ang-I Moli yang menjadi sibuk sekali. Menghadapi seorang di antara mereka saja, amat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan. Kini mereka maju bersama mengeroyoknya. Tentu saja ia kewalahan dan terus mundur.

“Singgg...!”

Dengan nekat Ang-I Moli membacokkan pedang ke arah kepala Gangga Dewi. Wanita Bhutan ini mengelebatkan sabuknya yang kini menjadi lemas dan sabuk itu menyambut pedang, terus melibatnya dengan kuat.

Ang-I Moli terkejut dan berusaha menarik lepas pedangnya, namun sia-sia saja karena sabuk sutera putih itu sudah melibat pedang dengan amat kuatnya. Ketika dia sedang bersitegang dan menarik-narik pedangnya supaya terlepas, Hong Li sudah meloncat ke depan. Sekali jari tangannya meluncur dan menotok, Ang-I Moli roboh terkulai dengan lemas.

Hong Li menginjak perut Ang-I Moli. Melihat ini, Gangga Dewi berseru, “Jangan bunuh dulu!”

Hong Li memandang wanita Bhutan itu sambil tersenyum. “Bibi, tentu aku tidak ingin membunuhnya. Akan kuserahkan kepada Liu Tai-ciangkun. Akan tetapi, dia harus lebih dahulu mengatakan di mana dia menyembunyikan puteriku. Hayo, Moli, tiada gunanya engkau melawan lagi. Aku dapat membunuhmu, menyiksamu. Katakan di mana engkau menyembunyikan puteriku, dan aku tidak akan menyiksamu, melainkan menyerahkan engkau kepada Liu Ciangkun.”

“Aku tidak tahu, aku tak pernah melihat puterimu,” jawab Ang-I Moli dengan sikap acuh. Ia tahu bahwa ia telah kalah dan tertawan, akan tetapi wanita sesat yang lihai dan cerdik ini tidak merasa gentar. Selama dia masih hidup, ia tidak akan pernah putus asa dan menyerah.

“Bohong! Puteriku yang kami tinggalkan di rumah penginapan itu telah hilang. Siapa lagi kalau bukan engkau dan kawan-kawanmu yang sudah manculiknya? Hayo katakan, di mana dia!”

“Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu. Terserah engkau mau percaya atau tidak,” jawab Ang-I Moli acuh.

“Iblis busuk, engkau benar-benar patut dihajar!” Hong Li yang sangat mengkhawatirkan puterinya, mengangkat tangan hendak memukul. Akan tetapi Gangga Dewi menyentuh pundaknya.

“Nanti dulu, Hong Li. Ia harus memberi tahu dulu di mana adanya Yo Han. Ang-I Moli, engkau dan dua orang tosu itu melarikan Yo Han. Beberapa tahun yang lalu aku pernah mengejarmu dan mencarimu, tetapi gagal. Nah, katakan di mana Yo Han sekarang?”

Ang-I Moli tersenyum mengejek. “Yo Han sudah menjadi murid pimpinan Thian-li-pang dan dia sudah menjadi orang Thian-li-pang. Kalau engkau hendak mencarinya, carilah di Thian-li-pang.”

Karena dapat menduga bahwa dalam keadaan seperti itu, Ang-I Moli kiranya tidak ada perlunya lagi membohong. Hong Li tidak mendesaknya lagi melainkan menyerahkan wanita itu kepada seorang perwira untuk dibelenggu dan dijadikan tawanan.

“Bibi, kita tangkap yang lain dan paksa mereka mengaku di mana anakku Sian Li dan di mana pula adanya Yo Han,” kata Hong Li dan kedua orang wanita ini lalu terjun lagi ke dalam pertempuran.

Sementara itu, Sin Hong yang juga sudah berhasil menundukkan dan merobohkan Ouw Cun Ki tanpa membunuhnya. Bekas perwira pasukan pengawal hasil selundupan orang Thian-li-pang ini dibelenggu dan menjadi tawanan. Melihat betapa isterinya dan wanita Bhutan itu mengamuk, membantu Suma Ciang Bun, Sin Hong juga membantu mereka dan keadaan para tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw semakin terdesak. Akhirnya belasan orang dapat ditawan dan beberapa orang tewas.

Kaisar Kian Liong marah sekali mendengar bahwa Ouw Cun Ki yang dipercaya dan diberi anugerah pangkat tinggi itu ternyata ialah mata-mata pemberontak Thian-li-pang yang diselundupkan ke istana. Dia memerintahkan para panglimanya untuk menghukum berat kepada para pemberontak itu, yaitu hukuman buang dan hukum mati bagi para pemimpinnya.

Meski tiada bukti bahwa Siang Hong-houw terlibat langsung dengan para pemberontak, namun permaisuri itulah yang memberi angin dan yang memperkenalkan Ouw Cun Ki kepada Kaisar. Akan tetapi ketika Kaisar yang merasa tidak enak hati dan tidak senang mengunjungi permaisurinya, dia mendapatkan bahwa Siang Hong-houw sedang rebah dan dalam keadaan sakit keras.

Melihat keadaan Siang Hong-houw, Kaisar tidak tega lagi untuk menegur atau bertanya. Dan memang penyakit permaisuri itu cukup payah, bahkan pertolongan para tabib tidak mampu mengurangi penderitaannya. Permaisuri ini merasa amat berduka dan kecewa karena telah dibohongi untuk kedua kalinya oleh orang-orang Thian-li-pang.

Hampir saja semua pangeran tewas keracunan, dan kalau hal itu sampai terjadi, maka ialah yang bertanggung jawab. Bahkan kematian Pangeran Kian Ban Kok juga membuat ia merasa bersalah besar. Ia merasa bahwa kematian itu tidak akan terjadi kalau saja ia tidak memasukkan Ouw Cun Ki ke dalam istana! Hal itu berarti bahwa ialah pembunuh pangeran itu dan perasaan ini membuat ia berduka dan menyesal bukan main.

Ia memang amat mendendam terhadap pemerintah Mancu yang telah menghancurkan kehidupan keluarganya. Akan tetapi, harus diakuinya bahwa Kaisar Kian Liong amat menyayangnya dan bersikap amat baik kepadanya sehingga kalau ia sebagai seorang isteri yang dicinta sampai melakukan kejahatan terhadap Kaisar dan keluarganya, maka ialah yang berdosa besar.

Perasaan bersalah ini mendatangkan penyesalan yang membuat Siang Hong-houw lalu jatuh sakit parah. Demikian parah sakitnya sehingga beberapa bulan kemudian, Siang Hong-houw atau Permaisuri Harum ini meninggal dunia karena sakitnya.

Setelah merobohkan banyak orang tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, Sin Hong, Hong Li, dibantu Suma Ciang Bun serta Gangga Dewi, mencoba mencari keterangan tentang Sian Li dan Yo Han kepada mereka. Akan tetapi, ternyata tak ada seorang pun di antara mereka tahu mengenai dua orang itu. Akhirnya, setelah menyerahkan semua tawanan kepada Liu Ciangkun, empat orang itu meninggalkan istana tanpa mengharap balas jasa sama sekali.

Mereka berempat keluar dari istana kemudian saling menceritakan pengalaman masing-masing. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Yo Han yang diculik dan dilarikan Ang-I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw.

“Menurut pengakuan Ang-I Moli tadi, Yo Han diserahkan kepada pimpinan Thian-li-pang dan menjadi murid mereka. Aku harus pergi mencarinya di sarang Thian-li-pang!” kata Gangga Dewi.

“Hemm, kukira tidak mudah untuk menentang Thian-li-pang. Perkumpulan pemberontak itu selain mempunyai anak buah yang ribuan orang banyaknya, juga bersekutu dengan Pek-lian-kauw sehingga mereka itu kuat sekali. Kita harus berhati-hati dalam melakukan penyelidikan.”

“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Paman Suma Ciang Bun,” berkata Tan Sin Hong. “Pasukan pemerintah pun sulit sekali membasmi perkumpulan Thian-li-pang yang selalu merahasiakan tempat yang menjadi sarang mereka. Di mana-mana mereka mempunyai cabang, bahkan banyak orang gagah yang membantu mereka karena mereka itu selalu melakukan gerakan menentang pemerintah Mancu.”

“Bagi kami, yang paling penting adalah mencari anak kami. Sian Li lenyap dari rumah penginapan di mana orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw mengadakan rapat,” kata Hong Li dengan nada suara mengandung kegelisahan.

“Hemm, memang amat mencurigakan,” kata Suma Ciang Bun. “Siapa lagi kalau bukan mereka yang menculik anakmu? Akan tetapi, tiada seorang pun di antara mereka yang kita robohkan mengakui melihat anak itu. Sebaiknya kalau kita mencari keterangan di rumah penginapan itu lagi.”

Mereka berempat lalu pergi ke rumah penginapan itu dan melakukan penyelidikan lagi. Akhirnya, dari seorang tukang masak di rumah penginapan itu, mereka mendengar bahwa pada saat lenyapnya Sian Li, seperti biasanya di depan dapur berkumpul banyak pengemis dan di antaranya terdapat seorang pengemis tua yang asing.

Ketika Sian Li melihat para pengemis meminta makanan sisa, tukang masak itu melihat betapa pengemis asing itu menghampiri Sian Li dan minta sumbangan dari nona kecil itu. Oleh Sian Li, pengemis itu diberi sepotong uang perak dan pengemis itu pun pergi, tidak jadi minta makanan sisa.

Keterangan itu sebenarnya tidak begitu berarti, namun cukup menjadi bahan pemikiran Sin Hong dan isterinya, juga Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.

“Dalam keadaan seperti itu, setiap kemungkinan dapat saja terjadi, dan tiap orang asing patut dicurigai,” kata Gangga Dewi. Mereka kemudian minta pada tukang masak untuk menggambarkan keadaan pengemis itu.

“Dia sudah berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan punggung bongkok seperti udang. Dia memegang tongkat butut dan suaranya seperti orang dari daerah selatan. Matanya juling.” Demikian keterangan yang mereka peroleh.

Empat orang pendekar itu lalu berpencar, mencari pengemis-pengemis di kota Heng-tai. Kepada setiap pengemis, mereka memberi hadiah dan bertanya mengenai pengemis seperti yang digambarkan tukang masak tadi.


SELANJUTNYA SI BANGAU MERAH BAGIAN 09


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.