CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SI BANGAU MERAH BAGIAN 14
"Ucapan Pek-lian Sam-li wakil dari Pek-lian-kauw itu benar!" mendadak terdengar suara lantang.
Ternyata yang berbicara adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya penuh tambalan. Dia adalah seorang tokoh dari dunia pengemis, bertubuh tinggi kurus dan bongkok, dan ketika dia bangkit berdiri, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam.
"Kami harus tahu benar apakah yang hadir di sini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu. Sebelum tiba di sini, kami banyak mendengar dan kami pun merasa heran ketika ada berita bahwa pemerintah Tibet tidak mau menentang Kerajaan Ceng, bahkan kabarnya Dalai Lama sendiri mengakui pemerintahan penjajah Mancu. Kami juga mendengar bahwa pemerintah Nepal yang resmi tidak menentang penjajah Mancu. Maka, apa artinya gerakan yang diadakan oleh Hek-I Lama dan Pangeran Gulam Sing? Sebelum kami menyatakan diri bergabung, kami harus mengetahui dahulu dengan jelas seperti yang diucapkan wakil Pek-lian-kauw tadi."
Sehabis bicara, kakek pengemis itu duduk kembali dan suasana menjadi riuh karena di antara orang-orang Han yang berkumpul di situ, banyak pula yang menyetujui pendapat kakek pengemis itu.
Sian Li memandang ke arah kakek itu dengan hati berdebar. Dia mengenal kakek itu! Nampaknya masih sama saja seperti dulu, kurang lebih lima tahun yang lalu. Tentu saja dia tidak dapat melupakan kakek pengemis itu yang pernah merampasnya dari tangan Hek-bin-houw, bahkan kakek itu membunuh Hek-bin-houw.
Kakek itu adalah Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam). Dahulu, sesudah membebaskan dia dari tangan Hek-bin-houw, kakek pengemis itu hendak mengajaknya pergi untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, muncul Nenek Bu Ci Sian yang merampas dirinya. Nenek sakti itu mengalahkan Hek-pang Sin-kai, bahkan melukai paha pengemis itu. Dia ingat benar semua peristiwa itu dan kini dia memandang ke arah pengemis itu penuh perhatian.
Mendengar ucapan kakek pengemis itu, Dobhin Lama, Ketua Hek-I Lama yang sejak tadi duduk melenggut saja, sekarang menegakkan tubuhnya dan membuka matanya. Kemudian terdengar suaranya dan dia bicara tanpa bangkit berdiri.
"Siapa yang bicara itu tadi?"
"Kami adalah Hek-pang Sin-kai, Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam di daerah selatan!" kata kakek itu dengan berani.
Namun, begitu pendeta Lama yang kelihatan lemah itu mengangkat muka memandang padanya, begitu dua pasang pandang mata bertemu, kakek pengemis itu terkejut bukan main oleh karena pandang matanya bertemu dengan dua sinar mencorong yang seperti menembus sampai ke jantungnya. Dia tidak tahan memandang lebih lama dan segera menundukkan mukanya.
"Omitohud, Ketua Hek-pang Kai-pang meragukan kami? Ketahuilah Sin-kai, meski pun Dalai Lama sendiri mengakui kekuasaan Kerajaan Mancu, akan tetapi kami golongan Hek-I Lama tidak! Biar pemerintah Tibet tidak bergerak, akan tetapi kami akan bergerak dan kami yakin bahwa rakyat Tibet akan mendukung kami!"
Terdengar suara ketawa dan Pangeran Gulam Sing juga berkata dalam bahasa Nepal, diikuti kalimat demi kalimat oleh penterjemahnya. "Ha-ha-ha, agaknya Hek-pang Sin-kai ingin mengetahui keadaan orang lain dan menaruh kecurigaan. Terus terang saja, kami memang tidak sejalan dengan pemerintah kami yang berkuasa sekarang di Nepal. Raja kami terlalu lemah dan tidak berani menentang orang Mancu. Karena itu, kami bergerak sendiri tanpa persetujuan raja. Lalu, apa hubungannya urusan pribadi kami ini dengan perjuanganmu untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu, Sin-kai?"
"Maaf, Pangeran. Tidak ada hubungannya apa-apa, hanya kami merasa heran melihat betapa negara Bhutan yang demikian kecilnya, tidak turut bergerak seperti Nepal untuk menentang Mancu," kata pengemis tua itu pula.
"Omitohud... agaknya engkau belum mengetahui keadaan di Bhutan, Sin-kai!" terdengar Lulung Lama berkata. "Tentu saja Bhutan tidak mau menentang Mancu, sebab keluarga Kerajaan Bhutan masih ada hubungan darah dengan Mancu! Bahkan yang sekarang menjadi sesepuh di sana, Puteri Gangga Dewi, sudah menikah pula dengan seorang keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang masih berdarah Mancu pula."
"Keluarga Pendekar Pulau Es bukan hanya berdarah Mancu, juga musuh-musuh yang selalu mengganggu kita!" terdengar teriakan beberapa orang tokoh kang-ouw yang hadir di situ.
"Tentu saja," kata Lulung Ma pula. "Keturunan Pendekar Super Sakti semuanya beribu Mancu, bahkan keluarga itu lalu berbesan dengan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Dua keluarga itu adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa, antek-antek bangsa Mancu yang harus kita basmi!"
Sian Lun sudah bangkit berdiri dengan kedua tangan dikepal, akan tetapi Sian Li segera menyentuh lengannya dan menarik pemuda itu duduk kembali sambil memberi isyarat dengan gelengan kepala. Ia sendiri tentu saja juga marah mendengar betapa keluarga Pendekar Pulau Es dan Pendekar Gurun Pasir dijelek-jelekkan oleh mereka yang hadir.
Sian Li sendiri memang memiliki darah dua keluarga itu! Dari ibunya ia mewarisi darah keluarga Kao keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan neneknya ialah keluarga Suma, keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es! Sian Lun sendiri tadi hanya marah karena keluarga gurunya, Suma Ceng Liong, dimusuhi mereka.
Dengan menahan kemarahannya, Sian Lun terpaksa berdiam diri memenuhi permintaan sumoi-nya. Ia duduk cemberut dan kadang-kadang pandang matanya yang ditujukan ke arah pihak tuan rumah bersinar penuh kemarahan.
"Sekarang kami tak meragukan lagi kesungguhan hati para saudara untuk bekerja sama dengan kami dalam menghadapi Kerajaan Mancu di timur. Kami hanya menghendaki kesungguhan hati, agar jangan sampai kami dikecewakan lagi seperti yang telah terjadi dengan Thian-li-pang," kata Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li.
Semua orang memandang pada wanita itu. Mereka yang hadir tahu belaka perkumpulan apakah Thian-li-pang itu. Selain Pek-lian-kauw, perkumpulan Thian-li-pang merupakan perkumpulan yang terkenal sangat gigih menentang pemerintah Kerajaan Mancu, sejak pemerintah itu menguasai daratan Cina.
Bahkan dua perkumpulan itu diketahui telah bekerja sama dengan baik sekali sehingga sering kali terjadi kekacauan di kota raja, bahkan juga di istana, ditimbulkan oleh mereka berdua. Kenapa sekarang tokoh Pek-lian-kauw itu menjelek-jelekkan Thian-li-pang yang dikatakan telah mengecewakan Peklian-kauw?
"Nanti dulu, Toanio," kata Lulung Lama. "Kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Bukankah Thian-li-pang selalu berjuang menentang Mancu juga? Dan bukankah selama bertahun-tahun ini Thian-li-pang dikenal sebagai kawan seperjuangan Pek-lian-kauw?"
"Itu memang benar, tapi dahulu. Akan tetapi sekarang, keadaan sudah lain sama sekali. Selama beberapa tahun ini, Thian-li-pang sudah berubah, sudah menyeleweng!"
"Benarkah itu, Nona?" Hek-pang Sin-kai bertanya heran. "Aku masih mendengar bahwa Thian-li-pang tetap berjuang melawan pemerintah penjajah Mancu, bahkan akhir-akhir ini gerakan mereka bertambah kuat."
"Huh, mereka itu orang-orang yang tak mengenal budi, orang-orang yang tidak memiliki perasaan setia kawan. Dahulu, kami dari Pek-lian-kauw yang membantu mereka, kami bekerja sama dengan baik. Akan tetapi sekarang, setelah Lauw Kang Hui yang menjadi ketua, mereka itu menjadi sombong, mereka memisahkan diri dan tidak mau mengakui lagi Pek-lian-kauw sebagai teman seperjuangan. Mereka berlagak pendekar dan suka menghina orang. Tidakkah itu amat mengecewakan? Kami tidak mau lagi kalau sampai kerja sama dengan kalian ini akhirnya kelak hanya akan merugikan dan mengecewakan kami seperti yang dilakukan oleh Thian-li-pang."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona!" Pangeran Gulam Sing berbicara dalam bahasa Han bercampur Nepal, karena baru beberapa tahun ia mempelajari bahasa Han, sehingga ia selalu dikawal seorang penterjemah.
"Kami berjanji akan membantu Nona agar kelak memberi hajaran kepada Thian-li-pang yang sombong dan tidak mengenal setia kawan itu, ha-ha-ha-ha!" Pangeran Nepal yang ganteng itu mengelus-elus kumisnya yang melintang gagah dan matanya bersinar-sinar ditujukan kepada tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw itu.
Tiga orang wanita muda itu tersenyum. Ji Hwa, orang ke dua yang kulitnya putih mulus dan wajahnya cantik, tersenyum dan suaranya terdengar basah ketika berbicara dengan suara mendesah. "Pangeran, harap jangan pandang rendah Thian-li-pang. Di sana juga banyak terdapat tokoh yang amat lihai!"
"Benar sekali kata Enci ke dua itu, Pangeran," kata Ji Kim, wanita ke tiga yang selain jelita, juga lincah jenaka dan cerdik sekali. "Ketuanya yang bernama Lauw Kang Hui itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sungguh tidak boleh dipandang ringan!"
Pangeran Gulam Sing tertawa dan nampaklah giginya yang putih dan kuat. "Ha-ha-ha, kami tidak memandang rendah, Nona-nona yang baik. Kami hanya menyatakan hendak membantu kalian menghadapi Thian-li-pang. Dan tentang kelihaian mereka, kita tidak perlu takut karena kita pun bukan orang-orang lemah. Aku sendiri pun, biar pun bodoh, tapi memiliki juga sedikit tenaga untuk disumbangkan membantu kalian dalam segala hal, ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, pangeran yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat itu lalu menghampiri sebuah arca singa besi yang berada di sudut ruangan. Singa besi itu jelas amat berat dan sedikitnya membutuhkan tenaga sepuluh orang untuk mengangkatnya! Akan tetapi, Pangeran Gulam Sing membungkuk, memegang benda itu dengan kedua tangannya dan sekali dia mengeluarkan suara bentakan nyaring, benda itu diangkatnya di atas kepala!
Tentu saja semua orang memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, kaget dan kagum. Setelah pangeran itu menurunkan kembali singa batu di tempatnya semula, dan hanya mukanya menjadi kemerahan serta napasnya agak memburu, semua orang bertepuk tangan memuji. Memang jarang ada orang yang memiliki tenaga gajah seperti pangeran itu. Diam-diam Sian Li dan Sian Lun terkejut juga dan tahulah mereka bahwa pangeran itu akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.
Tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu pun menyambut dengan tepuk tangan dan mereka tersenyum-senyum gembira. "Aihhh kiranya Pangeran memiliki tenaga yang amat kuat, lebih kuat dari pada kuda!" Ji Kui memuji.
Pangeran itu tertawa. "Ha-ha-ha, setiap saat kami siap menggunakan tenaga kuda kami untuk Nona bertiga!"
Sekarang Lulung Lama bangkit berdiri dan memberi isyarat agar semua orang tenang, lalu ia pun berkata, "Terima kasih, kami gembira sekali melihat bahwa saudara sekalian agaknya telah siap untuk bekerja sama dengan kami. Masih adakah di antara para tamu yang ingin mengemukakan pendapatnya? Silakan!" Lulung Lama sengaja memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.
Akan tetapi kembali Sian Li menyentuh lengan Sian Lun yang sudah gatal mulut untuk bicara itu. Saat itu pula, seorang lelaki Han berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, bangkit dan berbicara dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.
"Bersatu untuk bekerja sama dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu memang mudah dibicarakan, akan tetapi pelaksanaannya menentang pemerintah Mancu amatlah berbahaya dan sukar. Kaisar Kian Liong yang sekarang menjadi Kaisar telah berusaha mendekati dan menggandeng para tokoh pendekar di dunia persilatan sehingga mereka sama sekali tidak mau menentang Kaisar, apa lagi membantu usaha perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan Mancu. Sekarang ini masih banyak para pendekar yang berubah menjadi penjilat penjajah Mancu. Dan selama para pendekar penjilat itu tidak dibasmi terlebih dahulu, tentu mereka akan menjadi penghalang perjuangan kita."
"Pendapat itu tepat dan benar sekali!" tiba-tiba Ji Kui berseru dengan lantang dan penuh semangat. "Kalau tidak karena ulah para pendekar penjilat, terutama sekali keturunan pendekar Pulau Es dan pendekar Gurun Pasir, tentu telah lama keluarga Kaisar dapat kami basmi! Beberapa tahun yang lalu, ketika Thian-li-pang masih bekerja sama dengan kami, kami telah berhasil mendekati Siang Hong-houw. Bahkan putera kandung Ketua Thian-li-pang telah berhasil diselundupkan ke istana bersama Ang-I Moli, seorang tokoh murid Pek-lian-kauw. Mereka nyaris berhasil membunuh para pangeran kalau saja tidak digagalkan oleh Gangga Dewi dan suaminya, yaitu Suma Ciang Bun, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Jelaslah bahwa orang-orang dari keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir merupakan penghalang besar bagi perjuangan kita!"
Lulung Lama tertawa dan dia bersama muridnya, Cu Ki Bok kini memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.
"Ha-ha-ha, belum tentu, Toanio," katanya. "Belum tentu kalau semua keturunan kedua pendekar itu sudi menjadi antek dan penjilat penjajah Mancu. Di sini hadir pula dua orang muda gagah perkasa yang berhubungan dekat dengan Gangga Dewi. Kami tidak yakin bahwa mereka berdua ini sudi menjadi antek penjilat orang Mancu. Liem-sicu dan Tan-lihiap, bagaimana pendapat kalian?"
Tentu saja semua orang menoleh dan memandang kepada Sian Li dan Sian Lun yang diperkenalkan sebagai orang yang dekat dengan Gangga Dewi dan ada hubungannya dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu. Sian Lun yang sejak tadi sudah hampir tak kuat menahan kemarahannya mendengar keluarga gurunya dimaki-maki, dan hanya menahan kemarahannya karena dilarang sumoi-nya, kini mendapat kesempatan dan dia pun meloncat berdiri sambil mengepal tinju.
"Kami bukanlah penjilat pemerintah Mancu, juga kami bukan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Akan tetapi, aku sebagai murid dari keluarga Pulau Es, siap untuk menandingi siapa saja yang berani menghina keluarga Pulau Es!" Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan sumoi-nya, dia sudah melompat ke tengah ruangan itu, di depan meja tuan rumah.
Melihat kenekatan suheng-nya itu, tentu saja Sian Li merasa khawatir karena gadis ini maklum sepenuhnya bahwa di tempat itu berkumpul banyak lawan yang pandai sekali. Maka ia pun harus melindungi dan membela suheng-nya dan ia pun sudah melompat ke dekat Sian Lun.
"Suheng berkata benar!" katanya. "Kalian telah terlalu banyak memandang rendah dan menghina keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Nah, ini aku keturunan kedua keluarga itu, siap untuk membela kehormatan dan nama dua keluargaku itu, menandingi siapa saja yang berani menghina!"
Melihat munculnya pemuda dan gadis yang mengaku sebagai keluarga Pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir, bahkan yang berani menantang, para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang sebagian besar mendendam terhadap kedua keluarga besar itu segera menjadi gaduh.
"Bunuh pengkhianat!"
"Basmi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir"
"Tangkap mereka, tentu telah memata-matai kita!"
Teriakan-teriakan terdengar dan agaknya mereka semua sudah siap untuk mengeroyok Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi, terdengar seruan Gulam Sing. "Lulung Lama, bagai mana kalau aku saja yang menghadapi nona cantik dan gagah ini? Bukankah dia yang pernah kau ceritakan kepadaku tempo hari?"
Lulung Lama menoleh pada pangeran itu, kemudian mengangguk. "Baiklah, Pangeran. Memang sebaiknya salah seorang di antara kita yang maju. Memalukan jika harus maju keroyokan," katanya.
"Dan pemuda itu serahkan kepada kami untuk menangkapnya!" berkata Pek-lian Sam-li dan tiga orang wanita muda itu sudah berloncatan menghadapi Sian Lun dengan kerling yang memikat dan senyum yang manis.
Melihat ini, Gulam Sing tertawa.
"Ha-ha-ha, tiga orang nona yang jelita! Pemuda itu hanya seorang, bagaimana kalian dapat membaginya? Bukankah sudah ada aku? Ha-ha!" Pangeran yang mata keranjang ini di depan banyak orang tanpa malu-malu mengeluarkan ucapan yang mengandung arti tak senonoh itu.
"Pangeran, mari kita berlomba, siapa di antara kita yang dapat lebih dahulu menangkap lawan tanpa melukai, kami bertiga ataukah engkau!" tantang Ji Kui. "Taruhannya, siapa kalah cepat harus menurut kehendak yang menang. Setuju?"
Melihat pandang mata penuh tantangan dan senyuman penuh ajakan itu, Pangeran Gulam Sing mengangguk, "Setuju!"
Sian Li dan Sian Lun yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, apa lagi mereka sekarang berada di sarang musuh dan setiap saat mereka dapat menghadapi pengeroyokan, sudah mencabut pedang mereka.
"Pangeran sombong, majulah kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!" bentak Sian Li.
Pangeran itu tertawa dan mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung bagai bulan sabit. Melihat lawannya sudah siap siaga dengan golok di tangan, Sian Li sudah meloncat ke depan dan melakukan serangan yang dahsyat sakali.
"Tranggg...!"
Pangeran itu menangkis dengan babatan goloknya, dan biar pun Sian Li sudah maklum akan kuatnya tenaga lawan, ia tetap saja terkejut ketika pedangnya hampir terlepas dari pegangan tangannya. Pedang itu terpental sedangkan telapak tangannya yang berhasil menahan gagang pedang terasa panas. Melihat ini, terdengar suara tawa di sana sini dan pangeran itu pun tertawa bergelak.
Sian Lun yang dihadapi Pek-lian Sam-li, biar mendongkol sekali karena lawan bersikap curang dan belum apa-apa sudah hendak mengeroyoknya, tak mau banyak cakap lagi. Tidak ada gunanya mencela dan memprotes orang-orang macam itu, apa lagi tiga orang wanita ini adalah orang-orang Pek-lian-kauw.
Sambil membentak nyaring pedangnya sudah berkelebat menjadi gulungan sinar yang menyambar ke arah tiga orang wanita itu. Pek-lian Sam-li juga telah mencabut pedang mereka dan mereka pun mengepung dengan membentuk barisan Segi Tiga. Ternyata gerakan mereka lincah sekali dan bagaikan tiga ekor kupu-kupu mengepung setangkai bunga, mereka berloncatan ke sana sini, membuat Sian Lun sukar sekali untuk dapat mengarahkan serangannya.
Sian Li juga segera terdesak karena ia tidak berani mengadu senjata. Hal ini tentu saja membuat pangeran itu menang angin dan dia pun terus mendesak sambil tertawa-tawa karena dia ingin lebih duluan menangkap lawannya untuk mendahului Pek-lian Sam-li. Dengan demikian, dia tidak hanya akan menguasai gadis cantik berpakaian merah ini, akan tetapi juga dia akan membuat tiga orang wanita genit itu membayar kekalahan mereka dengan mentaatinya! Betapa akan senangnya dilayani empat orang wanita itu, pikirnya.
Akan tetapi, sementara itu Sian Lun juga sudah terdesak hebat oleh tiga pedang yang mengepungnya. Tingkat kepandaian pemuda ini tidak jauh selisihnya dengan tiap orang dari Pek-lian Sam-li, maka kini dikeroyok tiga tentu saja dia menjadi kewalahan dan repot sekali melindungi tubuhnya dari sambaran tiga gulungan sinar pedang lawan.
Pada saat yang amat kritis bagi Sian Lun dan Sian Li, setiap saat mereka akan dapat tertangkap, mendadak nampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor rajawali saja bayangan itu menyambar-nyambar. Mula-mula ke arah Sian Li dan Gulam Sing yang sedang bertanding.
Baik Gulam Sing mau pun Sian Li mengeluarkan seruan kaget pada saat bayangan itu menggerakkan tangan dan mereka berdua terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Bayangan itu berkelebat ke arah Sian Lun yang dikeroyok tiga dan di sana bayangan itu berputaran. Juga Sian Lun dan tiga orang wanita pengeroyoknya terdorong ke belakang seperti diterjang angin badai.
Otomatis, mereka semua menghentikan serangan dan memandang kepada orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Sian Li hampir berteriak saking girangnya.
Ia melihat seorang lelaki yang tubuhnya sedang saja namun tegap, rambutnya panjang dibiarkan riap-riapan ke belakang dan sebagian menutupi muka, membantu tirai hitam yang bergantungan dari atas topi capingnya yang lebar. Sukar melihat wajah orang itu, yang nampak hanya kilatan sepasang mata dari balik tirai dan rambut. Pakaiannya sederhana saja seperti pakaian petani, namun ringkas. Dan dia tidak membawa senjata apa pun.
"Sin-ciang Taihiap...!" terdengar teriakan beberapa orang dan demikian pula teriakan hati Sian Li yang memandang penuh kagum, juga kini mendadak saja ia merasa aman begitu orang ini sudah berada di situ. Lenyap semua kekhawatirannya akan dikeroyok dan ditangkap oleh para pemberontak ini.
Lulung Lama mewakili suheng-nya, Dobhin Lama yang sejak tadi hanya menonton saja. Dengan langkah lebar dia menghampiri laki-laki bercaping lebar yang menyembunyikan mukanya itu. Dia mencoba untuk menembus tirai hitam dan rambut itu untuk mengamati wajahnya, lalu dia mengangkat kedua tangan ke depan dada dan memberi hormat.
"Omitohud...! Kiranya engkau adalah Sin-ciang Taihiap yang selama beberapa tahun ini membuat nama besar di daerah perbatasan Tibet ini? Selamat datang, Taihiap! Apakah engkau datang hendak menghadiri rapat pertemuan yang kami adakan ini?"
Pendekar bercaping itu membalas penghormatan tuan rumah dengan sikap sopan, lalu terdengar suaranya, sangat lembut dan singkat. "Lulung Lama, terserah dengan nama apa orang akan menyebutku. Aku datang bukan untuk menjadi tamu dalam pertemuan ini."
Lulung Lama mengerutkan alis. "Sin-ciang Taihiap, pinceng (saya) yakin bahwa sebagai sama-sama tokoh dunia persilatan yang tahu akan peraturan dunia kang-ouw, engkau tentu maklum bahwa jalan kita bersimpang. Aku tidak pernah mencampuri urusanmu, dan demikian pula kami harap engkau tak akan mencampuri dan mengacaukan urusan kami. Kalau engkau tidak datang untuk menghadiri pertemuan, lalu mengapa engkau menghentikan pertandingan tadi dan apa pula maksudmu datang berkunjung tanpa diundang ini?"
Lulung Lama bicara dengan nada tinggi hati. Hal ini adalah karena dia sebagai tokoh besar Hek-I Lama tentu saja tidak takut kepada pendekar rahasia ini walau pun sudah banyak dia mendengar tentang kelihaian Sin-ciang Taihiap, dan ke dua karena pada saat itu, dia berada di tempat sendiri, mempunyai banyak anak buah, bahkan ada pula suheng-nya yang sakti dan banyak tamu yang dapat diandalkan.
Semua orang menaruh perhatian besar kepada pendatang aneh itu. Suasana menjadi sunyi senyap karena semua orang ingin mendengarkan bagaimana jawaban pendekar yang selama akhir-akhir ini amat terkenal namanya.
Pendekar aneh itu menggerakkan tubuhnya, memandang ke sekeliling, kemudian ia pun menjawab, suaranya masih lembut seperti tadi.
"Lulung Lama, aku tidak ingin mencampuri urusan siapa pun. Kalau pun tadi aku melerai pertandingan adalah karena aku tidak suka melihat orang menyelesaikan persoalan melalui senjata, saling melukai dan saling membunuh. Kedatanganku ini untuk bertemu dan bicara dengan saudara Thong Nam, kepada suku Miao yang aku tahu berada di sini sebagai tamu. Biarkan aku bicara dengan dia, dan setelah selesai urusanku dengan dia, aku akan pergi dari sini."
Lulung Lama mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, Thong Nam adalah kepala suku Miao, seorang di antara sekutunya yang saat itu menjadi tamunya, maka sebagai tuan rumah dia harus dapat melindungi tamunya.
Akan tetapi, sebelum dia dapat berkata atau berbuat sesuatu, seorang di antara para tamu sudah bangkit berdiri dan berkata lantang dengan suara keras dan logatnya asing. "Akulah Thong Nam, kepala suku Miao. Biar pun kami telah mendengar nama Sin-ciang Taihiap, namun kami belum pernah berurusan dengannya. Sekarang engkau datang mencariku di sini, katakan apa perlunya engkau mencari aku, Sin-ciang Taihiap!"
Pendekar bercaping itu memutar tubuh ke kiri untuk memandang ke arah Si Pembicara. Ternyata orang bernama Thong Nam itu bertubuh pendek dengan perut gendut, namun tubuhnya nampak kokoh kuat dan wajahnya yang bulat itu membayangkan ketinggian hati.
Tidak mengherankan kalau kepala suku Miao ini dengan lantang memperkenalkan diri, karena dia pun terkenal sebagai seorang jagoan di antara suku bangsanya. Dia terkenal mempunyai tenaga kuat, ilmu gulat yang tak pernah terkalahkan, juga dia memiliki ilmu tendangan maut. Selain itu, ia pun tahu bahwa di tempat itu, dia memiliki banyak kawan tangguh yang pasti akan membantunya kalau dia terancam bahaya.
Sejenak pendekar bercaping itu mengamati Si Pendek Gendut dan karena ia diam saja, semua orang menjadi semakin tegang.
"Thong Nam," akhirnya terdengar dia berkata, "aku mencarimu untuk meminta kembali sebutir mutiara hitam. Engkau tak berhak memilikinya dan benda itu harus dikembalikan kepada pemiliknya."
Semua orang tidak mengerti mengenai mutiara hitam itu, akan tetapi wajah Si Pendek Gendut itu berubah merah dan alisnya berkerut, nampak bahwa dia marah mendengar itu.
Otomatis tangan kirinya meraba ke arah dadanya, lalu dia berkata lantang, "Sin-ciang, Taihiap! Mutiara Hitam itu adalah milikku, dan kuterima dari mendiang ayahku. Aku tidak pernah mengambilnya dari orang lain!"
"Kalau begitu, saudara Thong Nam, ayahmu itulah yang sudah mengambilnya. Mutiara Hitam itu milik orang lain, kuharap engkau suka berbesar hati untuk mengembalikannya kepadaku agar dapat kupenuhi pesan pemiliknya."
"Sin-ciang Taihiap, engkau sungguh terlalu mendesak. Orang lain boleh takut padamu, akan tetapi aku tidak! Dan menurut peraturan dunia kang-ouw, untuk memiliki sesuatu dari orang lain haruslah lebih dahulu mengalahkannya."
Kepala suku Miao itu lalu mengambil sesuatu dari balik baju, kemudian menyerahkan sebuah mutiara hitam yang tadi ia pakai sebagai kalung kepada Lulung Lama. "Losuhu, tolong simpan dulu benda ini, aku akan menandingi pendekar yang sombong ini!"
Setelah menyerahkan benda itu kepada Lulung Lama, Thong Nam lalu lompat ke depan pendekar bercaping lebar dengan sikap menantang. Lulung Lama menerima benda itu, nampak tertarik dan segera dia mendekati suheng-nya. Dobhin Lama menerima benda itu kemudian mereka berdua mengamati benda itu sambil berbisik-bisik, pandang mata mereka bersinar-sinar.
Sementara itu, Thong Nam yang merasa diremehkan di hadapan banyak orang, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang pendekar bercaping itu dengan tubrukan ganas, seperti seekor beruang menubruk mangsanya. Agaknya dia hendak mengandalkan ilmu gulatnya untuk menangkap lawan, karena dia yakin bahwa sekali dia dapat menangkap lengan lawan, dia akan mampu membuat lawannya tak berdaya dengan ringkusan atau bantingan.
Sin-ciang Taihiap agaknya tidak tahu akan keistimewaan Thong Nam. Maka dia seperti acuh saja dan bahkan menangkis dengan pemutaran lengan kanan dari kiri ke kanan dan membiarkan lengannya itu tertangkap lawan!
Tentu saja girang hati Thong Nam. Begitu dia berhasil menangkap lengan kanan lawan, dia mempergunakan kedua tangannya, menangkap dengan pengerahan tenaga yang mendadak disentakkan. Dia hendak menekuk lengan itu ke belakang. Sekali dia berhasil menekuk lengan itu ke belakang tubuh, dia akan dapat membuat lawan tidak berdaya dengan mendorong lengan yang tertekuk ke belakang itu ke atas!
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia sama sekali tak mampu menekuk lengan lawan itu. Jangankan memuntir ke belakang, bahkan menekuk sikunya saja dia tidak mampu. Lengan itu terasa olehnya seperti sebatang baja yang sangat kuat. Padahal, sebatang tongkat atau tombak baja pun akan dapat ditekuknya dengan mudah!
Tiba-tiba pendekar bercaping itu menggerakkan lengannya yang ditangkap dan sedang hendak ditekuk ke belakang dan... Thong Nam tidak mampu bertahan lagi. Pegangan kedua tangannya terlepas dan dia pun terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.
Thong Nam tidak terluka, dia hanya terkejut. Dia bangkit kembali dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi semakin penasaran dan marah, dan tanpa bicara lagi segera menerjang lawannya.
Sekali ini dia tidak ingin menangkap, melainkan mengandalkan ilmu tendangannya yang memang hebat dan berbahaya. Selain kedua kaki itu dapat bergerak cepat sekali, juga setiap tendangan mengandung tenaga yang amat kuat, apa lagi kedua kaki itu memakai sepatu yang dilapis baja, bagian bawahnya memiliki tepi yang tajam dan ujungnya juga runcing.
Dengan gerakan yang tenang sekali, Sin-ciang Taihiap dapat menghindarkan sambaran dua buah kaki yang melakukan serangkaian tendangan secara bertubi-tubi. Tubuhnya hanya bergerak sedikit saja, namun cukup membuat tendangan itu hanya lewat di dekat tubuhnya.
"Hemm, sepatumu itu terlalu keji, Thong Nam," kata pendekar itu lembut.
Tiba-tiba saja, tubuh Thong Nam kembali terlempar dan terjengkang ke belakang, akan tetapi sekali ini kedua kakinya sudah telanjang karena sepasang sepatu itu tertinggal di kedua tangan pendekar bercaping itu!
Pendekar itu memeriksa sepasang sepatu yang sangat istimewa itu, kemudian jari-jari tangannya bergerak dan... lapisan besi di bawah sepatu itu sudah terlepas semua dan yang tinggal hanya sepasang sepatu kulit biasa. Dia melemparkan sepasang sepatu itu kepada Thong Nam.
Kini wajah Thong Nam berubah pucat. Ia mengenakan sepatunya yang menjadi sepatu biasa itu dan lenyaplah semua ketinggian hatinya. Dia tahu benar bahwa pendekar itu sama sekali bukan lawannya dan jika pendekar itu menghendaki, mungkin dia sekarang telah tewas, atau setidaknya terluka berat.
Sementara itu, Sian Lun yang tadi pertandingannya dihentikan menjadi penasaran. Juga diam-diam, seperti juga Sian Li, kini hatinya menjadi besar setelah munculnya Sin-ciang Taihiap. Dilihatnya betapa tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi masih berdiri dengan pedang di tangan, maka dia segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah mereka dan pihak tuan rumah.
"Kalian semua mengaku sebagai pejuang-pejuang patriot, tapi sesungguhnya hanyalah penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Keluarga Pulau Es dan Istana Gurun Pasir memang selalu menentang dan membasmi penjahat-penjahat seperti kalian!"
Melihat suheng-nya sudah nekat seperti itu, Sian Li juga meloncat ke dekatnya untuk membantu. Melihat ini, Lulung Lama menjadi marah dan dia memberi perintah kepada anak buahnya.
"Tangkap dua orang muda kurang ajar ini!"
"Tahan!" Sin-ciang Taihiap berseru ketika melihat banyak orang sudah bangkit dan siap menyerbu. "Lulung Lama, urusanku dengan Thong Nam belum selesai. Mutiara Hitam belum diserahkan kembali kepadaku, dan mengenai kedua orang muda ini, seyogianya kalau kalian membiarkan mereka pergi. Mereka adalah pendekar-pendekar gagah yang tidak ada hubungannya dengan segala macam pemberontakan."
Kini Dobhin Lama yang masih memegang mutiara hitam itu bangkit berdiri. Tubuhnya nampak semakin kurus dan tinggi ketika dia telah berdiri dan dan memandang kepada Sin-ciang Taihiap.
"Hemmm, Sin-ciang Taihiap. Meski pun engkau menyembunyikan wajahmu, akan tetapi kami tahu bahwa engkau adalah seorang yang masih amat muda. Mengagumkan sekali seorang yang demikian muda sudah mempunyai ilmu kepandaian sepertimu. Alangkah sayangnya kalau kepandaian seperti itu tidak kau gunakan untuk mencapai kemuliaan selagi engkau masih muda. Sin-ciang Taihiap, sebagai seorang Han, apakah engkau tidak prihatin melihat bangsa Mancu menjajah negara dan bangsamu? Marilah engkau bergabung dengan kami. Kami akan memberi kedudukan yang tinggi padamu, bahkan mungkin sekali kami akan mengangkatmu sebagai panglima besar."
Dengan sikap yang sopan pendekar itu memberi hormat kepada Dobhin Lama, lalu terdengar suaranya yang lembut namun lantang dan tegas. "Terima kasih atas uluran tanganmu, Dobhin Lama. Tentu saja aku merasa prihatin dengan adanya penjajahan bangsa Mancu. Aku mengagumi usaha para patriot yang berjuang demi membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Tetapi, Losuhu, perjuangan bukanlah perjuangan murni lagi kalau didasari pamrih untuk kepentingan pribadi, pamrih untuk mendapatkan imbalan jasa bagi diri sendiri. Perjuangan yang benar adalah suatu kebaktian terhadap tanah air dan bangsa, tanpa adanya pamrih untuk pribadi. Kalau ada pamrih, maka perjuangan itu hanyalah menjadi suatu alat, suatu cara untuk mencapai keuntungan pribadi seperti kedudukan, kemuliaan, harta dan segala kesenangan lain sebagai hasil dari kemenangan. Saudara sekalian yang berada di sini tentu dapat pula meneliti diri sendiri, apakah perjuangan kalian itu murni ataukah hanya menjadi suatu cara saja untuk mengejar hasil kemenangan yang akan menyenangkan diri sendiri atau golongan sendiri?"
"Sin-ciang Taihiap, perlukah bicara dengan mereka ini?" Tiba-tiba Sian Li berseru. "Lihat saja siapa adanya mereka ini dan kita akan tahu macam apa perjuangan mereka itu! Perkumpulan Lama Jubah Hitam adalah pemberontak terhadap pemerintah Tibet yang sah. Juga orang-orang Nepal yang bersekutu dengan mereka ini adalah orang-orang Nepal yang memberontak terhadap Kerajaan Nepal sendiri sehingga mereka itu menjadi buronan dan buruan dari kedua kerajaan itu! Dan lihat pula siapa lagi sekutu mereka! Pek-lian-kauw! Tak perlu berpanjang cerita lagi, mereka bukanlah pejuang-pejuang asli, perjuangan itu hanya menjadi kedok untuk menutupi kejahatan mereka!"
"Tangkap mereka!" Lulung Lama berteriak lagi dan dia menghadapi Sin-ciang Taihiap. "Sin-ciang Taihiap, harap jangan mencampuri urusan kami! Atau terpaksa kami akan menentangmu!"
Pek-lian Sam-li berloncatan mengepung Sian Lun dan Ji Kui berkata kepada anak buah tuan rumah, "Biarkan kami bertiga yang menangkap pemuda ini!" Dan mereka pun telah mengepung dan menyerang Sian Lun dengan pedang mereka.
"Gadis ini untukku, ha-ha-ha-ha!" Pangeran Gulam Sing juga membentak dan dia sudah menghadapi Sian Li dengan goloknya yang melengkung. Kembali mereka bertempur, melanjutkan pertandingan tadi yang tertunda oleh kemunculan Sin-ciang Taihiap.
Sebelum Sin-ciang Taihiap bisa mencegah terjadinya pengeroyokan itu, ia sendiri sudah diserang oleh dua orang yang amat lihai, yaitu Cu Ki Bok dan gurunya, Lulung Lama! Begitu pemuda peranakan Han Tibet itu meyerang dengan sabuk baja yang pada kedua ujungnya dipasangi pisau, tahulah pendekar bercaping lebar itu bahwa dia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Apa lagi ketika Lulung Lama juga ikut menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang gelang roda besar yang warnanya keemasan dan tepinya bersirip tajam.
Pendekar itu pun memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet, beterbangan di antara gulungan sinar senjata dua orang pengeroyoknya!
Akan tetapi, tepat seperti yang dikabarkan orang. Sin-ciang Taihiap agaknya tidak mau melukai lawan, apa lagi membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa sukar baginya untuk menundukkan dua orang pengeroyoknya yang memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau saja dia mau melukai, tentu tidak akan lama pertandingan itu, karena dia tentu dapat merobohkan Cu Ki Bok mau pun Lulung Lama!
Keadaan Sian Lun mau pun Sian Li sangat payah, walau pun kedua orang muda ini melawan dengan gigih. Mereka langsung terdesak hebat, akan tetapi tidak mudah pula bagi lawan-lawan mereka untuk segera meraih kemenangan.
Sian Lun menghadapi tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki ilmu kepandaian tingkat tinggi. Tiga orang wanita itu merasa kagum bukan main. Baru kini mereka berhadapan dengan seorang lawan muda yang dapat menahan pengeroyokan mereka bertiga!
Memang Sian Lun bukan merupakan lawan yang lunak. Dia telah digembleng oleh dua orang gurunya, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Walau pun tidak seluruh ilmu kesaktian dari keluarga para pendekar Pulau Es dikuasainya, akan tetapi dia sudah menguasai Hwi-yang Sinkang dan Soat-Im Sinkang, kedua ilmu menggunakan tenaga sakti yang panas dan dingin, dan juga ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang diajarkan oleh Kam Bi Eng.
Pemuda ini memang belum mempunyai banyak pengalaman bertanding, namun karena dia menguasai ilmu pedang yang dahsyat dan memiliki gabungan tenaga sinkang yang sangat kuat, maka tiga orang wanita dari Pek-liankauw yang bermaksud menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya itu mengalami kesulitan.
Sian Li juga menghadapi lawan yang tangguh. Seperti juga Sian Lun, gadis remaja ini telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan dia masih lebih tangguh kalau dibandingkan suheng-nya itu karena gadis ini menguasai pula ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dari ayahnya. Andai kata ia sudah memiliki banyak pengalaman bertanding, tentu ia akan mampu mengalahkan pangeran Nepal itu.
Akan tetapi, karena dia kurang pengalaman menghadapi ilmu golok melengkung dari pangeran asing itu yang gerakan-gerakannya aneh sekali, ia menjadi agak bingung. Biar pun demikian, karena pangeran Nepal itu tidak ingin melukainya dan ingin menangkap gadis itu hidup-hidup, maka pangeran itu tidak mudah dapat menundukkannya.
Sian Lun yang memang sudah terdesak, dengan nekat memutar pedangnya dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu bagaikan benteng baja yang sangat kuat, membuat tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu kagum dan juga penasaran. Mereka saling memberi isyarat dan masing-masing mengaluaran sehelai sapu tangan merah.
Tanpa diduga-duga oleh Sian Lun, mereka mengebutkan sapu tangan merah ke arah pemuda itu. Sian Lun memang kurang pengalaman, melihat uap tipis kemerahan itu dia tidak menyangka buruk. Baru setelah dia mencium bau harum yang aneh dan matanya berkunang, kepalanya pening, setelah sangat terlambat, dia baru tahu bahwa tiga orang pengeroyoknya itu menggunakan bubuk beracun.
"Iblis-iblis betina yang curang...!” Dia berteriak dan memaksakan diri untuk menyerang dengan nekat, akan tetapi kepalanya semakin pening dan dia pun terhuyung-huyung.
Ji Kui mengeluarkan suara ketawa mengejek. Sekali menggerakkan tangan menotok, Sian Lun terkulai dalam rangkulannya dan pemuda itu lemas tak mampu bergerak lagi.
Sian Li mendengar teriakan suheng-nya dan cepat menengok. Melihat suheng-nya telah tertawan, ia menjadi marah dan tubuhnya bergerak cepat. Bagai seekor burung bangau dia sudah mengirim tujuh kali tusukan beruntun dengan pedangnya kepada Pangeran Gulam Sing.
Pangeran ini terkejut, merasa seperti menghadapi seekor burung besar. Dia memutar golok dan melangkah mundur. Akan tetapi kesempatan seperti itu dipergunakan oleh Sian Li untuk meloncat ke arah Sian Lun.
Melihat ini, tiga orang wanita Pek-lian-kauw terkejut dan marah. Tangan kiri mereka pun bergerak ke arah Sian Li dan belasan batang jarum halus menyambar ke arah tubuh gadis yang sedang melayang ke arah mereka itu!
Sukar bagi Sian Li untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum karena pada saat itu ia sedang meloncat ke arah Sian Lun yang tertawan. Dan Pangeran Gulam Sing juga mengejar dengan lompatan seperti seekor harimau yang menubruk, bukan sekedar melompat, melainkan sambil menggerakkan kaki menendang! Keadaan Sian Li sunggh berbahaya sekali.
Pada saat itu pula, Sin-ciang Taihiap yang melihat keadaan itu secepat kilat mengirim tendangan beruntun kepada dua orang pengeroyoknya. Tendangan itu mendatangkan angin yang bersiutan sehingga Lulung Lama dan Cu Ki Bok terpaksa berloncatan ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat mendahului Sian Li untuk melindungi gadis itu dari sambaran jarum-jarum halus!
Sian Li yang mendengar gerakan kaki Pangeran Gulam Sing dari belakang, walau pun tubuhnya sedang melayang di udara, dapat berjungkir balik dan pedangnya menyambar ke belakang. Bila kaki pangeran itu dilanjutkan menendang, tentu akan bertemu dengan pedangnya!
Akan tetapi pangeran itu juga berjungkir balik dan turun kembali. Sedangkan Sin-ciang Taihiap dengan ujung lengan bajunya mengebut jarum-jarum halus itu sehingga runtuh dan dia pun sudah menyambar lengan kiri Sian Li dan berseru,
"Mari kita pergi!"
"Tidak, Suheng-ku...!"
Sian Li hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya dibawa meloncat jauh oleh Sin-ciang Taihiap dan terpaksa dia pun ikut menggerakkan kaki berlari karena ia tidak mau terseret. Cepat bukan main gerakan Sin-ciang Taihiap sehingga biar pun dia ingin meronta, tetap saja dia kalah kuat dan tidak berhasil melepaskan lengan kirinya yang terpegang.
Sian Li merasa penasaran sekali. Akan tetapi karena ia tahu bahwa pendekar aneh ini sudah berulang kali menolongnya, dia pun tidak mau menyerang dengan pedangnya, hanya terpaksa ikut berlari dengan alis berkerut sambil bersungut-sungut. Mengapa pendekar ini mengajaknya berlari? Suheng-nya telah tertawan, dan sekarang ia disuruh melarikan diri! Ia bukan seorang pengecut seperti itu!
Agaknya, semua orang yang sedang mengadakan pertemuan di sana merasa jeri juga terhadap Sin-ciang Taihiap dan mereka tidak berani melakukan pengejaran. Apa lagi, mereka telah berhasil menawan seorang dan tawanan ini dapat menjamin mereka agar Sin-ciang Taihiap dan Tan Sian Li tidak akan berani mengganggu mereka lagi.
"Harap Sam-li jangan sampai melukai atau membunuh pemuda itu," kata Lulung Lama. "Dia masih berguna bagi kita, selain untuk jaminan, juga kalau kita dapat membujuk sandera ini sehingga dia taluk dan dapat membantu, hal itu amat menguntungkan."
Ji Kui yang merangkul Sian Lun yang tak sadarkan diri, mengelus dagu pemuda itu dan tersenyum sambil saling pandang dengan dua orang adiknya.
"Jangan khawatir, Losuhu. Kami pun tidak bermaksud mencelakai pemuda tampan ini. Bahkan kami akan membantu agar dia tunduk dan takluk kepada kita."
Ji Hwa, orang ke dua dari mereka, memandang pada Pangeran Gulam Sing dan sambil tersenyum manis ia berkata, "Pangeran, engkau telah kalah oleh kami. Mengakulah!"
Gulam Sing juga tersenyum. "Ah, kalian memang cerdik, menggunakan bubuk racun itu. Sungguh aku kalah cerdik dan aku mengaku kalah. Perintahkan saja apa yang kalian kehendaki, aku tentu akan mentaati untuk membayar kekalahanku."
"Hi-hik, nanti saja kita bicarakan hal itu di kamar kami, Pangeran!" kata Ji Kim, wanita Pek-lian-kauw termuda.
Mereka bertiga tertawa dan pangeran Nepal itu pun tertawa bergelak. Sudah diduganya. Kalah atau menang, sama saja baginya, tetap akan menyenangkan.
"Pangeran, mengapa tadi tidak mempergunakan sihir untuk mengalahkan Tan Sian Li?" Lulung Lama berkata kepada pangeran itu.
"Hemm, apa kau kira aku begitu bodoh?" Pangeran itu balas bertanya. "Sudah kucoba, akan tetapi gagal, tidak ada pengaruhnya sama sekali! Dan kenapa engkau pun tidak menggunakan sihir untuk menundukkan Sin-ciang Taihiap tadi?"
"Omitohud, kalau begitu sama saja. Pinceng juga sudah mencobanya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali," kata Lulung Lama.
"Sungguh mengherankan. Tadi sebelum menggunakan bubuk racun merah, kami juga telah mencoba dengan sihir akan tetapi kekuatan sihir kami seperti tenggelam ke dalam air saja!" kata pula Ji Kui.
Jika semua orang merasa heran, Dobhin Lama justru tertawa. "Ha-ha-ha, kalian seperti anak-anak saja. Sudah jelas bahwa pengaruh ilmu sihir menjadi punah karena adanya Sin-ciang Taihiap di sini. Orang itu berbahaya sekali, karena itu kita harus berhati-hati. Kulihat tadi ketika dia melindungi gadis itu, ada jarum Pek-lian Sam-li yang mengenai pundak kirinya. Dia telah terluka jarum Pek-lian Tok-ciam!"
"Ah, benarkah itu, Losuhu?" Ji Kui dan dua orang adiknya berseru girang. "Kalau begitu, dia tentu tidak akan dapat lolos! Jarum kami mengandung racun yang sukar dilawan."
“Jangan gembira dulu, Sam-li," kata Dobhin Lama. "Pinceng sudah mengenal baik jarum baracun Pek-tlan Tok-ciam. Bukankah siapa yang terkena jarum itu tentu akan lumpuh seketika? Dan melihat betapa Sin-ciang Taihiap masih dapat melarikan diri, hal itu menunjukkan bahwa dia memang lihai bukan main. Belum tentu jarummu akan dapat membuat dia tak berdaya. Bagaimana pun juga kita harus berhati-hati dan suruh anak buah melakukan penjagaan ketat."
Ternyata yang berbicara adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya penuh tambalan. Dia adalah seorang tokoh dari dunia pengemis, bertubuh tinggi kurus dan bongkok, dan ketika dia bangkit berdiri, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam.
"Kami harus tahu benar apakah yang hadir di sini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu. Sebelum tiba di sini, kami banyak mendengar dan kami pun merasa heran ketika ada berita bahwa pemerintah Tibet tidak mau menentang Kerajaan Ceng, bahkan kabarnya Dalai Lama sendiri mengakui pemerintahan penjajah Mancu. Kami juga mendengar bahwa pemerintah Nepal yang resmi tidak menentang penjajah Mancu. Maka, apa artinya gerakan yang diadakan oleh Hek-I Lama dan Pangeran Gulam Sing? Sebelum kami menyatakan diri bergabung, kami harus mengetahui dahulu dengan jelas seperti yang diucapkan wakil Pek-lian-kauw tadi."
Sehabis bicara, kakek pengemis itu duduk kembali dan suasana menjadi riuh karena di antara orang-orang Han yang berkumpul di situ, banyak pula yang menyetujui pendapat kakek pengemis itu.
Sian Li memandang ke arah kakek itu dengan hati berdebar. Dia mengenal kakek itu! Nampaknya masih sama saja seperti dulu, kurang lebih lima tahun yang lalu. Tentu saja dia tidak dapat melupakan kakek pengemis itu yang pernah merampasnya dari tangan Hek-bin-houw, bahkan kakek itu membunuh Hek-bin-houw.
Kakek itu adalah Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam). Dahulu, sesudah membebaskan dia dari tangan Hek-bin-houw, kakek pengemis itu hendak mengajaknya pergi untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, muncul Nenek Bu Ci Sian yang merampas dirinya. Nenek sakti itu mengalahkan Hek-pang Sin-kai, bahkan melukai paha pengemis itu. Dia ingat benar semua peristiwa itu dan kini dia memandang ke arah pengemis itu penuh perhatian.
Mendengar ucapan kakek pengemis itu, Dobhin Lama, Ketua Hek-I Lama yang sejak tadi duduk melenggut saja, sekarang menegakkan tubuhnya dan membuka matanya. Kemudian terdengar suaranya dan dia bicara tanpa bangkit berdiri.
"Siapa yang bicara itu tadi?"
"Kami adalah Hek-pang Sin-kai, Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam di daerah selatan!" kata kakek itu dengan berani.
Namun, begitu pendeta Lama yang kelihatan lemah itu mengangkat muka memandang padanya, begitu dua pasang pandang mata bertemu, kakek pengemis itu terkejut bukan main oleh karena pandang matanya bertemu dengan dua sinar mencorong yang seperti menembus sampai ke jantungnya. Dia tidak tahan memandang lebih lama dan segera menundukkan mukanya.
"Omitohud, Ketua Hek-pang Kai-pang meragukan kami? Ketahuilah Sin-kai, meski pun Dalai Lama sendiri mengakui kekuasaan Kerajaan Mancu, akan tetapi kami golongan Hek-I Lama tidak! Biar pemerintah Tibet tidak bergerak, akan tetapi kami akan bergerak dan kami yakin bahwa rakyat Tibet akan mendukung kami!"
Terdengar suara ketawa dan Pangeran Gulam Sing juga berkata dalam bahasa Nepal, diikuti kalimat demi kalimat oleh penterjemahnya. "Ha-ha-ha, agaknya Hek-pang Sin-kai ingin mengetahui keadaan orang lain dan menaruh kecurigaan. Terus terang saja, kami memang tidak sejalan dengan pemerintah kami yang berkuasa sekarang di Nepal. Raja kami terlalu lemah dan tidak berani menentang orang Mancu. Karena itu, kami bergerak sendiri tanpa persetujuan raja. Lalu, apa hubungannya urusan pribadi kami ini dengan perjuanganmu untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu, Sin-kai?"
"Maaf, Pangeran. Tidak ada hubungannya apa-apa, hanya kami merasa heran melihat betapa negara Bhutan yang demikian kecilnya, tidak turut bergerak seperti Nepal untuk menentang Mancu," kata pengemis tua itu pula.
"Omitohud... agaknya engkau belum mengetahui keadaan di Bhutan, Sin-kai!" terdengar Lulung Lama berkata. "Tentu saja Bhutan tidak mau menentang Mancu, sebab keluarga Kerajaan Bhutan masih ada hubungan darah dengan Mancu! Bahkan yang sekarang menjadi sesepuh di sana, Puteri Gangga Dewi, sudah menikah pula dengan seorang keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang masih berdarah Mancu pula."
"Keluarga Pendekar Pulau Es bukan hanya berdarah Mancu, juga musuh-musuh yang selalu mengganggu kita!" terdengar teriakan beberapa orang tokoh kang-ouw yang hadir di situ.
"Tentu saja," kata Lulung Ma pula. "Keturunan Pendekar Super Sakti semuanya beribu Mancu, bahkan keluarga itu lalu berbesan dengan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Dua keluarga itu adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa, antek-antek bangsa Mancu yang harus kita basmi!"
Sian Lun sudah bangkit berdiri dengan kedua tangan dikepal, akan tetapi Sian Li segera menyentuh lengannya dan menarik pemuda itu duduk kembali sambil memberi isyarat dengan gelengan kepala. Ia sendiri tentu saja juga marah mendengar betapa keluarga Pendekar Pulau Es dan Pendekar Gurun Pasir dijelek-jelekkan oleh mereka yang hadir.
Sian Li sendiri memang memiliki darah dua keluarga itu! Dari ibunya ia mewarisi darah keluarga Kao keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan neneknya ialah keluarga Suma, keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es! Sian Lun sendiri tadi hanya marah karena keluarga gurunya, Suma Ceng Liong, dimusuhi mereka.
Dengan menahan kemarahannya, Sian Lun terpaksa berdiam diri memenuhi permintaan sumoi-nya. Ia duduk cemberut dan kadang-kadang pandang matanya yang ditujukan ke arah pihak tuan rumah bersinar penuh kemarahan.
"Sekarang kami tak meragukan lagi kesungguhan hati para saudara untuk bekerja sama dengan kami dalam menghadapi Kerajaan Mancu di timur. Kami hanya menghendaki kesungguhan hati, agar jangan sampai kami dikecewakan lagi seperti yang telah terjadi dengan Thian-li-pang," kata Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li.
Semua orang memandang pada wanita itu. Mereka yang hadir tahu belaka perkumpulan apakah Thian-li-pang itu. Selain Pek-lian-kauw, perkumpulan Thian-li-pang merupakan perkumpulan yang terkenal sangat gigih menentang pemerintah Kerajaan Mancu, sejak pemerintah itu menguasai daratan Cina.
Bahkan dua perkumpulan itu diketahui telah bekerja sama dengan baik sekali sehingga sering kali terjadi kekacauan di kota raja, bahkan juga di istana, ditimbulkan oleh mereka berdua. Kenapa sekarang tokoh Pek-lian-kauw itu menjelek-jelekkan Thian-li-pang yang dikatakan telah mengecewakan Peklian-kauw?
"Nanti dulu, Toanio," kata Lulung Lama. "Kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Bukankah Thian-li-pang selalu berjuang menentang Mancu juga? Dan bukankah selama bertahun-tahun ini Thian-li-pang dikenal sebagai kawan seperjuangan Pek-lian-kauw?"
"Itu memang benar, tapi dahulu. Akan tetapi sekarang, keadaan sudah lain sama sekali. Selama beberapa tahun ini, Thian-li-pang sudah berubah, sudah menyeleweng!"
"Benarkah itu, Nona?" Hek-pang Sin-kai bertanya heran. "Aku masih mendengar bahwa Thian-li-pang tetap berjuang melawan pemerintah penjajah Mancu, bahkan akhir-akhir ini gerakan mereka bertambah kuat."
"Huh, mereka itu orang-orang yang tak mengenal budi, orang-orang yang tidak memiliki perasaan setia kawan. Dahulu, kami dari Pek-lian-kauw yang membantu mereka, kami bekerja sama dengan baik. Akan tetapi sekarang, setelah Lauw Kang Hui yang menjadi ketua, mereka itu menjadi sombong, mereka memisahkan diri dan tidak mau mengakui lagi Pek-lian-kauw sebagai teman seperjuangan. Mereka berlagak pendekar dan suka menghina orang. Tidakkah itu amat mengecewakan? Kami tidak mau lagi kalau sampai kerja sama dengan kalian ini akhirnya kelak hanya akan merugikan dan mengecewakan kami seperti yang dilakukan oleh Thian-li-pang."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona!" Pangeran Gulam Sing berbicara dalam bahasa Han bercampur Nepal, karena baru beberapa tahun ia mempelajari bahasa Han, sehingga ia selalu dikawal seorang penterjemah.
"Kami berjanji akan membantu Nona agar kelak memberi hajaran kepada Thian-li-pang yang sombong dan tidak mengenal setia kawan itu, ha-ha-ha-ha!" Pangeran Nepal yang ganteng itu mengelus-elus kumisnya yang melintang gagah dan matanya bersinar-sinar ditujukan kepada tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw itu.
Tiga orang wanita muda itu tersenyum. Ji Hwa, orang ke dua yang kulitnya putih mulus dan wajahnya cantik, tersenyum dan suaranya terdengar basah ketika berbicara dengan suara mendesah. "Pangeran, harap jangan pandang rendah Thian-li-pang. Di sana juga banyak terdapat tokoh yang amat lihai!"
"Benar sekali kata Enci ke dua itu, Pangeran," kata Ji Kim, wanita ke tiga yang selain jelita, juga lincah jenaka dan cerdik sekali. "Ketuanya yang bernama Lauw Kang Hui itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sungguh tidak boleh dipandang ringan!"
Pangeran Gulam Sing tertawa dan nampaklah giginya yang putih dan kuat. "Ha-ha-ha, kami tidak memandang rendah, Nona-nona yang baik. Kami hanya menyatakan hendak membantu kalian menghadapi Thian-li-pang. Dan tentang kelihaian mereka, kita tidak perlu takut karena kita pun bukan orang-orang lemah. Aku sendiri pun, biar pun bodoh, tapi memiliki juga sedikit tenaga untuk disumbangkan membantu kalian dalam segala hal, ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, pangeran yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat itu lalu menghampiri sebuah arca singa besi yang berada di sudut ruangan. Singa besi itu jelas amat berat dan sedikitnya membutuhkan tenaga sepuluh orang untuk mengangkatnya! Akan tetapi, Pangeran Gulam Sing membungkuk, memegang benda itu dengan kedua tangannya dan sekali dia mengeluarkan suara bentakan nyaring, benda itu diangkatnya di atas kepala!
Tentu saja semua orang memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, kaget dan kagum. Setelah pangeran itu menurunkan kembali singa batu di tempatnya semula, dan hanya mukanya menjadi kemerahan serta napasnya agak memburu, semua orang bertepuk tangan memuji. Memang jarang ada orang yang memiliki tenaga gajah seperti pangeran itu. Diam-diam Sian Li dan Sian Lun terkejut juga dan tahulah mereka bahwa pangeran itu akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.
Tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu pun menyambut dengan tepuk tangan dan mereka tersenyum-senyum gembira. "Aihhh kiranya Pangeran memiliki tenaga yang amat kuat, lebih kuat dari pada kuda!" Ji Kui memuji.
Pangeran itu tertawa. "Ha-ha-ha, setiap saat kami siap menggunakan tenaga kuda kami untuk Nona bertiga!"
Sekarang Lulung Lama bangkit berdiri dan memberi isyarat agar semua orang tenang, lalu ia pun berkata, "Terima kasih, kami gembira sekali melihat bahwa saudara sekalian agaknya telah siap untuk bekerja sama dengan kami. Masih adakah di antara para tamu yang ingin mengemukakan pendapatnya? Silakan!" Lulung Lama sengaja memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.
Akan tetapi kembali Sian Li menyentuh lengan Sian Lun yang sudah gatal mulut untuk bicara itu. Saat itu pula, seorang lelaki Han berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, bangkit dan berbicara dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.
"Bersatu untuk bekerja sama dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu memang mudah dibicarakan, akan tetapi pelaksanaannya menentang pemerintah Mancu amatlah berbahaya dan sukar. Kaisar Kian Liong yang sekarang menjadi Kaisar telah berusaha mendekati dan menggandeng para tokoh pendekar di dunia persilatan sehingga mereka sama sekali tidak mau menentang Kaisar, apa lagi membantu usaha perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan Mancu. Sekarang ini masih banyak para pendekar yang berubah menjadi penjilat penjajah Mancu. Dan selama para pendekar penjilat itu tidak dibasmi terlebih dahulu, tentu mereka akan menjadi penghalang perjuangan kita."
"Pendapat itu tepat dan benar sekali!" tiba-tiba Ji Kui berseru dengan lantang dan penuh semangat. "Kalau tidak karena ulah para pendekar penjilat, terutama sekali keturunan pendekar Pulau Es dan pendekar Gurun Pasir, tentu telah lama keluarga Kaisar dapat kami basmi! Beberapa tahun yang lalu, ketika Thian-li-pang masih bekerja sama dengan kami, kami telah berhasil mendekati Siang Hong-houw. Bahkan putera kandung Ketua Thian-li-pang telah berhasil diselundupkan ke istana bersama Ang-I Moli, seorang tokoh murid Pek-lian-kauw. Mereka nyaris berhasil membunuh para pangeran kalau saja tidak digagalkan oleh Gangga Dewi dan suaminya, yaitu Suma Ciang Bun, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Jelaslah bahwa orang-orang dari keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir merupakan penghalang besar bagi perjuangan kita!"
Lulung Lama tertawa dan dia bersama muridnya, Cu Ki Bok kini memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.
"Ha-ha-ha, belum tentu, Toanio," katanya. "Belum tentu kalau semua keturunan kedua pendekar itu sudi menjadi antek dan penjilat penjajah Mancu. Di sini hadir pula dua orang muda gagah perkasa yang berhubungan dekat dengan Gangga Dewi. Kami tidak yakin bahwa mereka berdua ini sudi menjadi antek penjilat orang Mancu. Liem-sicu dan Tan-lihiap, bagaimana pendapat kalian?"
Tentu saja semua orang menoleh dan memandang kepada Sian Li dan Sian Lun yang diperkenalkan sebagai orang yang dekat dengan Gangga Dewi dan ada hubungannya dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu. Sian Lun yang sejak tadi sudah hampir tak kuat menahan kemarahannya mendengar keluarga gurunya dimaki-maki, dan hanya menahan kemarahannya karena dilarang sumoi-nya, kini mendapat kesempatan dan dia pun meloncat berdiri sambil mengepal tinju.
"Kami bukanlah penjilat pemerintah Mancu, juga kami bukan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Akan tetapi, aku sebagai murid dari keluarga Pulau Es, siap untuk menandingi siapa saja yang berani menghina keluarga Pulau Es!" Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan sumoi-nya, dia sudah melompat ke tengah ruangan itu, di depan meja tuan rumah.
Melihat kenekatan suheng-nya itu, tentu saja Sian Li merasa khawatir karena gadis ini maklum sepenuhnya bahwa di tempat itu berkumpul banyak lawan yang pandai sekali. Maka ia pun harus melindungi dan membela suheng-nya dan ia pun sudah melompat ke dekat Sian Lun.
"Suheng berkata benar!" katanya. "Kalian telah terlalu banyak memandang rendah dan menghina keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Nah, ini aku keturunan kedua keluarga itu, siap untuk membela kehormatan dan nama dua keluargaku itu, menandingi siapa saja yang berani menghina!"
Melihat munculnya pemuda dan gadis yang mengaku sebagai keluarga Pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir, bahkan yang berani menantang, para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang sebagian besar mendendam terhadap kedua keluarga besar itu segera menjadi gaduh.
"Bunuh pengkhianat!"
"Basmi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir"
"Tangkap mereka, tentu telah memata-matai kita!"
Teriakan-teriakan terdengar dan agaknya mereka semua sudah siap untuk mengeroyok Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi, terdengar seruan Gulam Sing. "Lulung Lama, bagai mana kalau aku saja yang menghadapi nona cantik dan gagah ini? Bukankah dia yang pernah kau ceritakan kepadaku tempo hari?"
Lulung Lama menoleh pada pangeran itu, kemudian mengangguk. "Baiklah, Pangeran. Memang sebaiknya salah seorang di antara kita yang maju. Memalukan jika harus maju keroyokan," katanya.
"Dan pemuda itu serahkan kepada kami untuk menangkapnya!" berkata Pek-lian Sam-li dan tiga orang wanita muda itu sudah berloncatan menghadapi Sian Lun dengan kerling yang memikat dan senyum yang manis.
Melihat ini, Gulam Sing tertawa.
"Ha-ha-ha, tiga orang nona yang jelita! Pemuda itu hanya seorang, bagaimana kalian dapat membaginya? Bukankah sudah ada aku? Ha-ha!" Pangeran yang mata keranjang ini di depan banyak orang tanpa malu-malu mengeluarkan ucapan yang mengandung arti tak senonoh itu.
"Pangeran, mari kita berlomba, siapa di antara kita yang dapat lebih dahulu menangkap lawan tanpa melukai, kami bertiga ataukah engkau!" tantang Ji Kui. "Taruhannya, siapa kalah cepat harus menurut kehendak yang menang. Setuju?"
Melihat pandang mata penuh tantangan dan senyuman penuh ajakan itu, Pangeran Gulam Sing mengangguk, "Setuju!"
Sian Li dan Sian Lun yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, apa lagi mereka sekarang berada di sarang musuh dan setiap saat mereka dapat menghadapi pengeroyokan, sudah mencabut pedang mereka.
"Pangeran sombong, majulah kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!" bentak Sian Li.
Pangeran itu tertawa dan mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung bagai bulan sabit. Melihat lawannya sudah siap siaga dengan golok di tangan, Sian Li sudah meloncat ke depan dan melakukan serangan yang dahsyat sakali.
"Tranggg...!"
Pangeran itu menangkis dengan babatan goloknya, dan biar pun Sian Li sudah maklum akan kuatnya tenaga lawan, ia tetap saja terkejut ketika pedangnya hampir terlepas dari pegangan tangannya. Pedang itu terpental sedangkan telapak tangannya yang berhasil menahan gagang pedang terasa panas. Melihat ini, terdengar suara tawa di sana sini dan pangeran itu pun tertawa bergelak.
Sian Lun yang dihadapi Pek-lian Sam-li, biar mendongkol sekali karena lawan bersikap curang dan belum apa-apa sudah hendak mengeroyoknya, tak mau banyak cakap lagi. Tidak ada gunanya mencela dan memprotes orang-orang macam itu, apa lagi tiga orang wanita ini adalah orang-orang Pek-lian-kauw.
Sambil membentak nyaring pedangnya sudah berkelebat menjadi gulungan sinar yang menyambar ke arah tiga orang wanita itu. Pek-lian Sam-li juga telah mencabut pedang mereka dan mereka pun mengepung dengan membentuk barisan Segi Tiga. Ternyata gerakan mereka lincah sekali dan bagaikan tiga ekor kupu-kupu mengepung setangkai bunga, mereka berloncatan ke sana sini, membuat Sian Lun sukar sekali untuk dapat mengarahkan serangannya.
Sian Li juga segera terdesak karena ia tidak berani mengadu senjata. Hal ini tentu saja membuat pangeran itu menang angin dan dia pun terus mendesak sambil tertawa-tawa karena dia ingin lebih duluan menangkap lawannya untuk mendahului Pek-lian Sam-li. Dengan demikian, dia tidak hanya akan menguasai gadis cantik berpakaian merah ini, akan tetapi juga dia akan membuat tiga orang wanita genit itu membayar kekalahan mereka dengan mentaatinya! Betapa akan senangnya dilayani empat orang wanita itu, pikirnya.
Akan tetapi, sementara itu Sian Lun juga sudah terdesak hebat oleh tiga pedang yang mengepungnya. Tingkat kepandaian pemuda ini tidak jauh selisihnya dengan tiap orang dari Pek-lian Sam-li, maka kini dikeroyok tiga tentu saja dia menjadi kewalahan dan repot sekali melindungi tubuhnya dari sambaran tiga gulungan sinar pedang lawan.
Pada saat yang amat kritis bagi Sian Lun dan Sian Li, setiap saat mereka akan dapat tertangkap, mendadak nampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor rajawali saja bayangan itu menyambar-nyambar. Mula-mula ke arah Sian Li dan Gulam Sing yang sedang bertanding.
Baik Gulam Sing mau pun Sian Li mengeluarkan seruan kaget pada saat bayangan itu menggerakkan tangan dan mereka berdua terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Bayangan itu berkelebat ke arah Sian Lun yang dikeroyok tiga dan di sana bayangan itu berputaran. Juga Sian Lun dan tiga orang wanita pengeroyoknya terdorong ke belakang seperti diterjang angin badai.
Otomatis, mereka semua menghentikan serangan dan memandang kepada orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Sian Li hampir berteriak saking girangnya.
Ia melihat seorang lelaki yang tubuhnya sedang saja namun tegap, rambutnya panjang dibiarkan riap-riapan ke belakang dan sebagian menutupi muka, membantu tirai hitam yang bergantungan dari atas topi capingnya yang lebar. Sukar melihat wajah orang itu, yang nampak hanya kilatan sepasang mata dari balik tirai dan rambut. Pakaiannya sederhana saja seperti pakaian petani, namun ringkas. Dan dia tidak membawa senjata apa pun.
"Sin-ciang Taihiap...!" terdengar teriakan beberapa orang dan demikian pula teriakan hati Sian Li yang memandang penuh kagum, juga kini mendadak saja ia merasa aman begitu orang ini sudah berada di situ. Lenyap semua kekhawatirannya akan dikeroyok dan ditangkap oleh para pemberontak ini.
Lulung Lama mewakili suheng-nya, Dobhin Lama yang sejak tadi hanya menonton saja. Dengan langkah lebar dia menghampiri laki-laki bercaping lebar yang menyembunyikan mukanya itu. Dia mencoba untuk menembus tirai hitam dan rambut itu untuk mengamati wajahnya, lalu dia mengangkat kedua tangan ke depan dada dan memberi hormat.
"Omitohud...! Kiranya engkau adalah Sin-ciang Taihiap yang selama beberapa tahun ini membuat nama besar di daerah perbatasan Tibet ini? Selamat datang, Taihiap! Apakah engkau datang hendak menghadiri rapat pertemuan yang kami adakan ini?"
Pendekar bercaping itu membalas penghormatan tuan rumah dengan sikap sopan, lalu terdengar suaranya, sangat lembut dan singkat. "Lulung Lama, terserah dengan nama apa orang akan menyebutku. Aku datang bukan untuk menjadi tamu dalam pertemuan ini."
Lulung Lama mengerutkan alis. "Sin-ciang Taihiap, pinceng (saya) yakin bahwa sebagai sama-sama tokoh dunia persilatan yang tahu akan peraturan dunia kang-ouw, engkau tentu maklum bahwa jalan kita bersimpang. Aku tidak pernah mencampuri urusanmu, dan demikian pula kami harap engkau tak akan mencampuri dan mengacaukan urusan kami. Kalau engkau tidak datang untuk menghadiri pertemuan, lalu mengapa engkau menghentikan pertandingan tadi dan apa pula maksudmu datang berkunjung tanpa diundang ini?"
Lulung Lama bicara dengan nada tinggi hati. Hal ini adalah karena dia sebagai tokoh besar Hek-I Lama tentu saja tidak takut kepada pendekar rahasia ini walau pun sudah banyak dia mendengar tentang kelihaian Sin-ciang Taihiap, dan ke dua karena pada saat itu, dia berada di tempat sendiri, mempunyai banyak anak buah, bahkan ada pula suheng-nya yang sakti dan banyak tamu yang dapat diandalkan.
Semua orang menaruh perhatian besar kepada pendatang aneh itu. Suasana menjadi sunyi senyap karena semua orang ingin mendengarkan bagaimana jawaban pendekar yang selama akhir-akhir ini amat terkenal namanya.
Pendekar aneh itu menggerakkan tubuhnya, memandang ke sekeliling, kemudian ia pun menjawab, suaranya masih lembut seperti tadi.
"Lulung Lama, aku tidak ingin mencampuri urusan siapa pun. Kalau pun tadi aku melerai pertandingan adalah karena aku tidak suka melihat orang menyelesaikan persoalan melalui senjata, saling melukai dan saling membunuh. Kedatanganku ini untuk bertemu dan bicara dengan saudara Thong Nam, kepada suku Miao yang aku tahu berada di sini sebagai tamu. Biarkan aku bicara dengan dia, dan setelah selesai urusanku dengan dia, aku akan pergi dari sini."
Lulung Lama mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, Thong Nam adalah kepala suku Miao, seorang di antara sekutunya yang saat itu menjadi tamunya, maka sebagai tuan rumah dia harus dapat melindungi tamunya.
Akan tetapi, sebelum dia dapat berkata atau berbuat sesuatu, seorang di antara para tamu sudah bangkit berdiri dan berkata lantang dengan suara keras dan logatnya asing. "Akulah Thong Nam, kepala suku Miao. Biar pun kami telah mendengar nama Sin-ciang Taihiap, namun kami belum pernah berurusan dengannya. Sekarang engkau datang mencariku di sini, katakan apa perlunya engkau mencari aku, Sin-ciang Taihiap!"
Pendekar bercaping itu memutar tubuh ke kiri untuk memandang ke arah Si Pembicara. Ternyata orang bernama Thong Nam itu bertubuh pendek dengan perut gendut, namun tubuhnya nampak kokoh kuat dan wajahnya yang bulat itu membayangkan ketinggian hati.
Tidak mengherankan kalau kepala suku Miao ini dengan lantang memperkenalkan diri, karena dia pun terkenal sebagai seorang jagoan di antara suku bangsanya. Dia terkenal mempunyai tenaga kuat, ilmu gulat yang tak pernah terkalahkan, juga dia memiliki ilmu tendangan maut. Selain itu, ia pun tahu bahwa di tempat itu, dia memiliki banyak kawan tangguh yang pasti akan membantunya kalau dia terancam bahaya.
Sejenak pendekar bercaping itu mengamati Si Pendek Gendut dan karena ia diam saja, semua orang menjadi semakin tegang.
"Thong Nam," akhirnya terdengar dia berkata, "aku mencarimu untuk meminta kembali sebutir mutiara hitam. Engkau tak berhak memilikinya dan benda itu harus dikembalikan kepada pemiliknya."
Semua orang tidak mengerti mengenai mutiara hitam itu, akan tetapi wajah Si Pendek Gendut itu berubah merah dan alisnya berkerut, nampak bahwa dia marah mendengar itu.
Otomatis tangan kirinya meraba ke arah dadanya, lalu dia berkata lantang, "Sin-ciang, Taihiap! Mutiara Hitam itu adalah milikku, dan kuterima dari mendiang ayahku. Aku tidak pernah mengambilnya dari orang lain!"
"Kalau begitu, saudara Thong Nam, ayahmu itulah yang sudah mengambilnya. Mutiara Hitam itu milik orang lain, kuharap engkau suka berbesar hati untuk mengembalikannya kepadaku agar dapat kupenuhi pesan pemiliknya."
"Sin-ciang Taihiap, engkau sungguh terlalu mendesak. Orang lain boleh takut padamu, akan tetapi aku tidak! Dan menurut peraturan dunia kang-ouw, untuk memiliki sesuatu dari orang lain haruslah lebih dahulu mengalahkannya."
Kepala suku Miao itu lalu mengambil sesuatu dari balik baju, kemudian menyerahkan sebuah mutiara hitam yang tadi ia pakai sebagai kalung kepada Lulung Lama. "Losuhu, tolong simpan dulu benda ini, aku akan menandingi pendekar yang sombong ini!"
Setelah menyerahkan benda itu kepada Lulung Lama, Thong Nam lalu lompat ke depan pendekar bercaping lebar dengan sikap menantang. Lulung Lama menerima benda itu, nampak tertarik dan segera dia mendekati suheng-nya. Dobhin Lama menerima benda itu kemudian mereka berdua mengamati benda itu sambil berbisik-bisik, pandang mata mereka bersinar-sinar.
Sementara itu, Thong Nam yang merasa diremehkan di hadapan banyak orang, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang pendekar bercaping itu dengan tubrukan ganas, seperti seekor beruang menubruk mangsanya. Agaknya dia hendak mengandalkan ilmu gulatnya untuk menangkap lawan, karena dia yakin bahwa sekali dia dapat menangkap lengan lawan, dia akan mampu membuat lawannya tak berdaya dengan ringkusan atau bantingan.
Sin-ciang Taihiap agaknya tidak tahu akan keistimewaan Thong Nam. Maka dia seperti acuh saja dan bahkan menangkis dengan pemutaran lengan kanan dari kiri ke kanan dan membiarkan lengannya itu tertangkap lawan!
Tentu saja girang hati Thong Nam. Begitu dia berhasil menangkap lengan kanan lawan, dia mempergunakan kedua tangannya, menangkap dengan pengerahan tenaga yang mendadak disentakkan. Dia hendak menekuk lengan itu ke belakang. Sekali dia berhasil menekuk lengan itu ke belakang tubuh, dia akan dapat membuat lawan tidak berdaya dengan mendorong lengan yang tertekuk ke belakang itu ke atas!
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia sama sekali tak mampu menekuk lengan lawan itu. Jangankan memuntir ke belakang, bahkan menekuk sikunya saja dia tidak mampu. Lengan itu terasa olehnya seperti sebatang baja yang sangat kuat. Padahal, sebatang tongkat atau tombak baja pun akan dapat ditekuknya dengan mudah!
Tiba-tiba pendekar bercaping itu menggerakkan lengannya yang ditangkap dan sedang hendak ditekuk ke belakang dan... Thong Nam tidak mampu bertahan lagi. Pegangan kedua tangannya terlepas dan dia pun terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.
Thong Nam tidak terluka, dia hanya terkejut. Dia bangkit kembali dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi semakin penasaran dan marah, dan tanpa bicara lagi segera menerjang lawannya.
Sekali ini dia tidak ingin menangkap, melainkan mengandalkan ilmu tendangannya yang memang hebat dan berbahaya. Selain kedua kaki itu dapat bergerak cepat sekali, juga setiap tendangan mengandung tenaga yang amat kuat, apa lagi kedua kaki itu memakai sepatu yang dilapis baja, bagian bawahnya memiliki tepi yang tajam dan ujungnya juga runcing.
Dengan gerakan yang tenang sekali, Sin-ciang Taihiap dapat menghindarkan sambaran dua buah kaki yang melakukan serangkaian tendangan secara bertubi-tubi. Tubuhnya hanya bergerak sedikit saja, namun cukup membuat tendangan itu hanya lewat di dekat tubuhnya.
"Hemm, sepatumu itu terlalu keji, Thong Nam," kata pendekar itu lembut.
Tiba-tiba saja, tubuh Thong Nam kembali terlempar dan terjengkang ke belakang, akan tetapi sekali ini kedua kakinya sudah telanjang karena sepasang sepatu itu tertinggal di kedua tangan pendekar bercaping itu!
Pendekar itu memeriksa sepasang sepatu yang sangat istimewa itu, kemudian jari-jari tangannya bergerak dan... lapisan besi di bawah sepatu itu sudah terlepas semua dan yang tinggal hanya sepasang sepatu kulit biasa. Dia melemparkan sepasang sepatu itu kepada Thong Nam.
Kini wajah Thong Nam berubah pucat. Ia mengenakan sepatunya yang menjadi sepatu biasa itu dan lenyaplah semua ketinggian hatinya. Dia tahu benar bahwa pendekar itu sama sekali bukan lawannya dan jika pendekar itu menghendaki, mungkin dia sekarang telah tewas, atau setidaknya terluka berat.
Sementara itu, Sian Lun yang tadi pertandingannya dihentikan menjadi penasaran. Juga diam-diam, seperti juga Sian Li, kini hatinya menjadi besar setelah munculnya Sin-ciang Taihiap. Dilihatnya betapa tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi masih berdiri dengan pedang di tangan, maka dia segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah mereka dan pihak tuan rumah.
"Kalian semua mengaku sebagai pejuang-pejuang patriot, tapi sesungguhnya hanyalah penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Keluarga Pulau Es dan Istana Gurun Pasir memang selalu menentang dan membasmi penjahat-penjahat seperti kalian!"
Melihat suheng-nya sudah nekat seperti itu, Sian Li juga meloncat ke dekatnya untuk membantu. Melihat ini, Lulung Lama menjadi marah dan dia memberi perintah kepada anak buahnya.
"Tangkap dua orang muda kurang ajar ini!"
"Tahan!" Sin-ciang Taihiap berseru ketika melihat banyak orang sudah bangkit dan siap menyerbu. "Lulung Lama, urusanku dengan Thong Nam belum selesai. Mutiara Hitam belum diserahkan kembali kepadaku, dan mengenai kedua orang muda ini, seyogianya kalau kalian membiarkan mereka pergi. Mereka adalah pendekar-pendekar gagah yang tidak ada hubungannya dengan segala macam pemberontakan."
Kini Dobhin Lama yang masih memegang mutiara hitam itu bangkit berdiri. Tubuhnya nampak semakin kurus dan tinggi ketika dia telah berdiri dan dan memandang kepada Sin-ciang Taihiap.
"Hemmm, Sin-ciang Taihiap. Meski pun engkau menyembunyikan wajahmu, akan tetapi kami tahu bahwa engkau adalah seorang yang masih amat muda. Mengagumkan sekali seorang yang demikian muda sudah mempunyai ilmu kepandaian sepertimu. Alangkah sayangnya kalau kepandaian seperti itu tidak kau gunakan untuk mencapai kemuliaan selagi engkau masih muda. Sin-ciang Taihiap, sebagai seorang Han, apakah engkau tidak prihatin melihat bangsa Mancu menjajah negara dan bangsamu? Marilah engkau bergabung dengan kami. Kami akan memberi kedudukan yang tinggi padamu, bahkan mungkin sekali kami akan mengangkatmu sebagai panglima besar."
Dengan sikap yang sopan pendekar itu memberi hormat kepada Dobhin Lama, lalu terdengar suaranya yang lembut namun lantang dan tegas. "Terima kasih atas uluran tanganmu, Dobhin Lama. Tentu saja aku merasa prihatin dengan adanya penjajahan bangsa Mancu. Aku mengagumi usaha para patriot yang berjuang demi membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Tetapi, Losuhu, perjuangan bukanlah perjuangan murni lagi kalau didasari pamrih untuk kepentingan pribadi, pamrih untuk mendapatkan imbalan jasa bagi diri sendiri. Perjuangan yang benar adalah suatu kebaktian terhadap tanah air dan bangsa, tanpa adanya pamrih untuk pribadi. Kalau ada pamrih, maka perjuangan itu hanyalah menjadi suatu alat, suatu cara untuk mencapai keuntungan pribadi seperti kedudukan, kemuliaan, harta dan segala kesenangan lain sebagai hasil dari kemenangan. Saudara sekalian yang berada di sini tentu dapat pula meneliti diri sendiri, apakah perjuangan kalian itu murni ataukah hanya menjadi suatu cara saja untuk mengejar hasil kemenangan yang akan menyenangkan diri sendiri atau golongan sendiri?"
"Sin-ciang Taihiap, perlukah bicara dengan mereka ini?" Tiba-tiba Sian Li berseru. "Lihat saja siapa adanya mereka ini dan kita akan tahu macam apa perjuangan mereka itu! Perkumpulan Lama Jubah Hitam adalah pemberontak terhadap pemerintah Tibet yang sah. Juga orang-orang Nepal yang bersekutu dengan mereka ini adalah orang-orang Nepal yang memberontak terhadap Kerajaan Nepal sendiri sehingga mereka itu menjadi buronan dan buruan dari kedua kerajaan itu! Dan lihat pula siapa lagi sekutu mereka! Pek-lian-kauw! Tak perlu berpanjang cerita lagi, mereka bukanlah pejuang-pejuang asli, perjuangan itu hanya menjadi kedok untuk menutupi kejahatan mereka!"
"Tangkap mereka!" Lulung Lama berteriak lagi dan dia menghadapi Sin-ciang Taihiap. "Sin-ciang Taihiap, harap jangan mencampuri urusan kami! Atau terpaksa kami akan menentangmu!"
Pek-lian Sam-li berloncatan mengepung Sian Lun dan Ji Kui berkata kepada anak buah tuan rumah, "Biarkan kami bertiga yang menangkap pemuda ini!" Dan mereka pun telah mengepung dan menyerang Sian Lun dengan pedang mereka.
"Gadis ini untukku, ha-ha-ha-ha!" Pangeran Gulam Sing juga membentak dan dia sudah menghadapi Sian Li dengan goloknya yang melengkung. Kembali mereka bertempur, melanjutkan pertandingan tadi yang tertunda oleh kemunculan Sin-ciang Taihiap.
Sebelum Sin-ciang Taihiap bisa mencegah terjadinya pengeroyokan itu, ia sendiri sudah diserang oleh dua orang yang amat lihai, yaitu Cu Ki Bok dan gurunya, Lulung Lama! Begitu pemuda peranakan Han Tibet itu meyerang dengan sabuk baja yang pada kedua ujungnya dipasangi pisau, tahulah pendekar bercaping lebar itu bahwa dia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Apa lagi ketika Lulung Lama juga ikut menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang gelang roda besar yang warnanya keemasan dan tepinya bersirip tajam.
Pendekar itu pun memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet, beterbangan di antara gulungan sinar senjata dua orang pengeroyoknya!
Akan tetapi, tepat seperti yang dikabarkan orang. Sin-ciang Taihiap agaknya tidak mau melukai lawan, apa lagi membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa sukar baginya untuk menundukkan dua orang pengeroyoknya yang memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau saja dia mau melukai, tentu tidak akan lama pertandingan itu, karena dia tentu dapat merobohkan Cu Ki Bok mau pun Lulung Lama!
Keadaan Sian Lun mau pun Sian Li sangat payah, walau pun kedua orang muda ini melawan dengan gigih. Mereka langsung terdesak hebat, akan tetapi tidak mudah pula bagi lawan-lawan mereka untuk segera meraih kemenangan.
Sian Lun menghadapi tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki ilmu kepandaian tingkat tinggi. Tiga orang wanita itu merasa kagum bukan main. Baru kini mereka berhadapan dengan seorang lawan muda yang dapat menahan pengeroyokan mereka bertiga!
Memang Sian Lun bukan merupakan lawan yang lunak. Dia telah digembleng oleh dua orang gurunya, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Walau pun tidak seluruh ilmu kesaktian dari keluarga para pendekar Pulau Es dikuasainya, akan tetapi dia sudah menguasai Hwi-yang Sinkang dan Soat-Im Sinkang, kedua ilmu menggunakan tenaga sakti yang panas dan dingin, dan juga ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang diajarkan oleh Kam Bi Eng.
Pemuda ini memang belum mempunyai banyak pengalaman bertanding, namun karena dia menguasai ilmu pedang yang dahsyat dan memiliki gabungan tenaga sinkang yang sangat kuat, maka tiga orang wanita dari Pek-liankauw yang bermaksud menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya itu mengalami kesulitan.
Sian Li juga menghadapi lawan yang tangguh. Seperti juga Sian Lun, gadis remaja ini telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan dia masih lebih tangguh kalau dibandingkan suheng-nya itu karena gadis ini menguasai pula ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dari ayahnya. Andai kata ia sudah memiliki banyak pengalaman bertanding, tentu ia akan mampu mengalahkan pangeran Nepal itu.
Akan tetapi, karena dia kurang pengalaman menghadapi ilmu golok melengkung dari pangeran asing itu yang gerakan-gerakannya aneh sekali, ia menjadi agak bingung. Biar pun demikian, karena pangeran Nepal itu tidak ingin melukainya dan ingin menangkap gadis itu hidup-hidup, maka pangeran itu tidak mudah dapat menundukkannya.
Sian Lun yang memang sudah terdesak, dengan nekat memutar pedangnya dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu bagaikan benteng baja yang sangat kuat, membuat tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu kagum dan juga penasaran. Mereka saling memberi isyarat dan masing-masing mengaluaran sehelai sapu tangan merah.
Tanpa diduga-duga oleh Sian Lun, mereka mengebutkan sapu tangan merah ke arah pemuda itu. Sian Lun memang kurang pengalaman, melihat uap tipis kemerahan itu dia tidak menyangka buruk. Baru setelah dia mencium bau harum yang aneh dan matanya berkunang, kepalanya pening, setelah sangat terlambat, dia baru tahu bahwa tiga orang pengeroyoknya itu menggunakan bubuk beracun.
"Iblis-iblis betina yang curang...!” Dia berteriak dan memaksakan diri untuk menyerang dengan nekat, akan tetapi kepalanya semakin pening dan dia pun terhuyung-huyung.
Ji Kui mengeluarkan suara ketawa mengejek. Sekali menggerakkan tangan menotok, Sian Lun terkulai dalam rangkulannya dan pemuda itu lemas tak mampu bergerak lagi.
Sian Li mendengar teriakan suheng-nya dan cepat menengok. Melihat suheng-nya telah tertawan, ia menjadi marah dan tubuhnya bergerak cepat. Bagai seekor burung bangau dia sudah mengirim tujuh kali tusukan beruntun dengan pedangnya kepada Pangeran Gulam Sing.
Pangeran ini terkejut, merasa seperti menghadapi seekor burung besar. Dia memutar golok dan melangkah mundur. Akan tetapi kesempatan seperti itu dipergunakan oleh Sian Li untuk meloncat ke arah Sian Lun.
Melihat ini, tiga orang wanita Pek-lian-kauw terkejut dan marah. Tangan kiri mereka pun bergerak ke arah Sian Li dan belasan batang jarum halus menyambar ke arah tubuh gadis yang sedang melayang ke arah mereka itu!
Sukar bagi Sian Li untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum karena pada saat itu ia sedang meloncat ke arah Sian Lun yang tertawan. Dan Pangeran Gulam Sing juga mengejar dengan lompatan seperti seekor harimau yang menubruk, bukan sekedar melompat, melainkan sambil menggerakkan kaki menendang! Keadaan Sian Li sunggh berbahaya sekali.
Pada saat itu pula, Sin-ciang Taihiap yang melihat keadaan itu secepat kilat mengirim tendangan beruntun kepada dua orang pengeroyoknya. Tendangan itu mendatangkan angin yang bersiutan sehingga Lulung Lama dan Cu Ki Bok terpaksa berloncatan ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat mendahului Sian Li untuk melindungi gadis itu dari sambaran jarum-jarum halus!
Sian Li yang mendengar gerakan kaki Pangeran Gulam Sing dari belakang, walau pun tubuhnya sedang melayang di udara, dapat berjungkir balik dan pedangnya menyambar ke belakang. Bila kaki pangeran itu dilanjutkan menendang, tentu akan bertemu dengan pedangnya!
Akan tetapi pangeran itu juga berjungkir balik dan turun kembali. Sedangkan Sin-ciang Taihiap dengan ujung lengan bajunya mengebut jarum-jarum halus itu sehingga runtuh dan dia pun sudah menyambar lengan kiri Sian Li dan berseru,
"Mari kita pergi!"
"Tidak, Suheng-ku...!"
Sian Li hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya dibawa meloncat jauh oleh Sin-ciang Taihiap dan terpaksa dia pun ikut menggerakkan kaki berlari karena ia tidak mau terseret. Cepat bukan main gerakan Sin-ciang Taihiap sehingga biar pun dia ingin meronta, tetap saja dia kalah kuat dan tidak berhasil melepaskan lengan kirinya yang terpegang.
Sian Li merasa penasaran sekali. Akan tetapi karena ia tahu bahwa pendekar aneh ini sudah berulang kali menolongnya, dia pun tidak mau menyerang dengan pedangnya, hanya terpaksa ikut berlari dengan alis berkerut sambil bersungut-sungut. Mengapa pendekar ini mengajaknya berlari? Suheng-nya telah tertawan, dan sekarang ia disuruh melarikan diri! Ia bukan seorang pengecut seperti itu!
Agaknya, semua orang yang sedang mengadakan pertemuan di sana merasa jeri juga terhadap Sin-ciang Taihiap dan mereka tidak berani melakukan pengejaran. Apa lagi, mereka telah berhasil menawan seorang dan tawanan ini dapat menjamin mereka agar Sin-ciang Taihiap dan Tan Sian Li tidak akan berani mengganggu mereka lagi.
"Harap Sam-li jangan sampai melukai atau membunuh pemuda itu," kata Lulung Lama. "Dia masih berguna bagi kita, selain untuk jaminan, juga kalau kita dapat membujuk sandera ini sehingga dia taluk dan dapat membantu, hal itu amat menguntungkan."
Ji Kui yang merangkul Sian Lun yang tak sadarkan diri, mengelus dagu pemuda itu dan tersenyum sambil saling pandang dengan dua orang adiknya.
"Jangan khawatir, Losuhu. Kami pun tidak bermaksud mencelakai pemuda tampan ini. Bahkan kami akan membantu agar dia tunduk dan takluk kepada kita."
Ji Hwa, orang ke dua dari mereka, memandang pada Pangeran Gulam Sing dan sambil tersenyum manis ia berkata, "Pangeran, engkau telah kalah oleh kami. Mengakulah!"
Gulam Sing juga tersenyum. "Ah, kalian memang cerdik, menggunakan bubuk racun itu. Sungguh aku kalah cerdik dan aku mengaku kalah. Perintahkan saja apa yang kalian kehendaki, aku tentu akan mentaati untuk membayar kekalahanku."
"Hi-hik, nanti saja kita bicarakan hal itu di kamar kami, Pangeran!" kata Ji Kim, wanita Pek-lian-kauw termuda.
Mereka bertiga tertawa dan pangeran Nepal itu pun tertawa bergelak. Sudah diduganya. Kalah atau menang, sama saja baginya, tetap akan menyenangkan.
"Pangeran, mengapa tadi tidak mempergunakan sihir untuk mengalahkan Tan Sian Li?" Lulung Lama berkata kepada pangeran itu.
"Hemm, apa kau kira aku begitu bodoh?" Pangeran itu balas bertanya. "Sudah kucoba, akan tetapi gagal, tidak ada pengaruhnya sama sekali! Dan kenapa engkau pun tidak menggunakan sihir untuk menundukkan Sin-ciang Taihiap tadi?"
"Omitohud, kalau begitu sama saja. Pinceng juga sudah mencobanya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali," kata Lulung Lama.
"Sungguh mengherankan. Tadi sebelum menggunakan bubuk racun merah, kami juga telah mencoba dengan sihir akan tetapi kekuatan sihir kami seperti tenggelam ke dalam air saja!" kata pula Ji Kui.
Jika semua orang merasa heran, Dobhin Lama justru tertawa. "Ha-ha-ha, kalian seperti anak-anak saja. Sudah jelas bahwa pengaruh ilmu sihir menjadi punah karena adanya Sin-ciang Taihiap di sini. Orang itu berbahaya sekali, karena itu kita harus berhati-hati. Kulihat tadi ketika dia melindungi gadis itu, ada jarum Pek-lian Sam-li yang mengenai pundak kirinya. Dia telah terluka jarum Pek-lian Tok-ciam!"
"Ah, benarkah itu, Losuhu?" Ji Kui dan dua orang adiknya berseru girang. "Kalau begitu, dia tentu tidak akan dapat lolos! Jarum kami mengandung racun yang sukar dilawan."
“Jangan gembira dulu, Sam-li," kata Dobhin Lama. "Pinceng sudah mengenal baik jarum baracun Pek-tlan Tok-ciam. Bukankah siapa yang terkena jarum itu tentu akan lumpuh seketika? Dan melihat betapa Sin-ciang Taihiap masih dapat melarikan diri, hal itu menunjukkan bahwa dia memang lihai bukan main. Belum tentu jarummu akan dapat membuat dia tak berdaya. Bagaimana pun juga kita harus berhati-hati dan suruh anak buah melakukan penjagaan ketat."