CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SI BANGAU MERAH BAGIAN 20
Dari balik tirainya, Yo Han melihat bahwa pondok itu sudah didatangi sedikitnya tiga puluh orang dan masih ada puluhan orang anak buah Hek-I Lama berada di belakang rombongan itu. Dia melihat Pangeran Nepal Gulam Sing bersama Badhu dan Sagha, juga beberapa orang tosu Pek-lian-kauw, Hek-pang Sin-kai dan para anak buahnya, beberapa Pendeta Lama yang agaknya menjadi pimpinan. Akan tetapi dia tidak melihat adanya Lulung Lama, juga tidak melihat Pek-lian Sam-li.
Dia tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan lawan yang sangat berbahaya karena selain mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, memiliki pula ilmu sihir dan ahli menggunakan racun, juga mereka berjumlah banyak. Kiranya tak mungkin dia seorang diri saja akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, kalau Sian Li sudah lolos, agaknya bukan tak mungkin baginya untuk melarikan dan meloloskan diri dari kepungan mereka.
“Omitohud... kiranya Sin-ciang Taihiap yang terkenal itu tidak datang baik-baik melalui pintu gerbang depan seperti seorang gagah, tetapi secara curang menyelundup masuk seperti maling!” kata seorang pendeta Lama, seorang di antara para pembantu Lulung Lama sambil memegang sebatang tongkat pendeta berkepala naga yang lebih panjang dari pada tubuhnya yang tinggi.
“Losuhu, siapa yang curang agaknya perlu diteliti lebih jauh, aku ataukah perkumpulan Hek-I Lama yang terdiri dari pendeta-pendeta yang sudah sepantasnya bersikap jujur, adil dan mengharamkan perbuatan-perbuatan sesat. Ketua kalian, Dobhin Lama, sudah menantangku untuk mengadu ilmu dengan taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan mengembalikan mutiara hitam dan membebaskan Liem Sian Lun. Kami bertanding dan Tuhan membimbingku sehingga ketua kalian kalah. Dobhin Lama telah dengan gagah mengakui kekalahan dan mengembalikan mutiara hitam, tapi kalian tidak membebaskan Liem Sian Lun, bahkan secara curang sekali sudah menawan Tan Sian Li. Nah, siapa yang curang?”
Tiba-tiba Gulam Sing mencabut goloknya yang melengkung, mengangkat goloknya itu tinggi di atas kepalanya. Setelah mendengar ucapan Yo Han melalui penterjemahnya, dia pun berteriak dalam bahasanya sendiri.
“Sin-ciang Taihiap, engkau ini manusia sombong! Engkau sudah mengalahkan Dobhin Lama, tetapi hal itu terjadi karena dia sudah tua dan kehabisan tenaga. Kini engkau berani lancang menyusup ke sini seperti pencuri, jangan harap akan dapat keluar lagi hidup-hidup!”
Ketika ucapan itu hendak diterjemahkan, Yo Han mendahului. “Aku mengerti apa yang kau katakan, Pangeran Gulam Sing. Dan aku sudah mengerti pula kenapa engkau dan gerombolanmu keluar dari Nepal sebagai orang-orang pemberontak pelarian. Sekarang engkau bergabung dengan Lama Jubah Hitam yang juga tengah memberontak terhadap pemerintah Tibet, tentu hanya untuk mencari kawan saja agar kelak dapat membalas budi dan membantumu memberontak terhadap pemerintah Nepal!”
“Sin-ciang Taihiap, mati hidupmu ada di tangan kami dan engkau masih membuka mulut besar? Kepung dan keroyok!” teriak seorang pemimpin Hek-I Lama.
Pangeran Nepal itu sudah mendahului dengan serangan golok melengkung yang amat tajam itu, disusul rekan-rekannya sehingga dalam beberapa detik saja hujan senjata telah menyerang ke arah tubuh Yo Han. Yo Han maklum bahwa dia diserang oleh banyak orang pandai, maka dia mengerahkan ginkang-nya. Tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung walet cepatnya, berloncatan dan mengelak dari hujan senjata yang menyambar dari segenap penjuru itu.
Dia harus memberi waktu kepada Sian Li untuk dapat lolos terlebih dahulu sebelum dia sendiri melarikan diri. Sebaiknya dia memancing datangnya semua tokoh di tempat itu supaya pelarian Sian Li dapat berjalan lancar. Sian Lun sudah tewas dan tidak perlu dipikirkan lagi. Sambil berloncatan mengelak, kaki tangannya bergerak dengan tamparan-tamparan dan tendangan. Beberapa orang pengeroyok terpelanting, usahanya memang berhasil. Semua tokoh yang dirinya memiliki kepandaian yang tinggi saja yang hanya mengepung dengan senjata di tangan, tanpa berani lancang ikut mengeroyok.
Akan tetapi Yo Han tetap merasa khawatir karena belum juga nampak Lulung Lama dan Pek-Sian Sam-Li turut mengeroyok. Dia khawatir kalau-kalau empat orang yang paling lihai itu menjadi penghalang bagi lolosnya Sian Li yang tadi dibantu oleh Cu Ki Bok. Kekhawatiran Yo Han itu memang terbukti benar. Cu Ki Bok berhasil membawa Sian Li lari sampai ke dekat pagar bambu runcing dan tidak pernah ada penjaga yang berani menghalanginya. Mereka berhenti di bawah pagar bambu runcing.
“Nah, engkau loncatlah ke atas dan cepat tinggalkan tempat ini, Sian Li,” berkata Cu Ki Bok, suaranya agak gemetar.
Sian Li memegang tangan pemuda itu. Ia dapat mendengar getaran suara itu dan ia pun terharu. “Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Ki Bok? Mereka akan tahu bahwa engkau telah membebaskan aku, dan tentu engkau akan celaka...”
Ki Bok tersenyum dan menggeleng kepala. ”Aku cukup penting bagi perjuangan Suhu dan kawan-kawan. Kesalahanku itu kecil saja karena engkau bukanlah orang Mancu, bukan musuh yang penting. Sudahlah, aku pasti dapat menjaga diriku sendiri, Sian Li. Kau pergilah...!”
Sian Li melepaskan pegangan tangannya, melangkah ke arah pagar bambu, akan tetapi terhenti lagi dan menengok. “Ki Bok...” ia meragu.
“Ada apa lagi, Sian Li? Cepat-cepatlah, jangan sampai mereka datang mengejar.”
“Aku hanya ingin minta maaf padamu...”
“Minta maaf? Untuk apa?” Ki Bok memandang heran.
“Engkau begitu mencintaiku dan sudah kau buktikan dengan pertolongan ini, akan tetapi aku... aku tidak dapat membalas cintamu. Maafkan aku, Ki Bok.”
Cu Ki Bok tertawa, namun suara ketawanya sumbang, “Sudah nasibku Sian Li, cinta tak dapat bertepuk sebelah tangan. Engkau tidak bersalah. Cinta tidak dapat dipaksakan, hanya aku yang tidak tahu diri. Nah, pergilah dan jangan pikirkan aku lagi...”
Mendadak mereka melihat beberapa bayangan berkelebat. Mata Ki Bok terbelalak pada saat melihat bahwa gurunya, Lulung Lama, ketiga Pek-Lian Sam-li dan belasan orang pembantu mereka telah mengepung tempat itu!
“Omitohud, tidak kusangka bahwa muridku yang paling kupercaya, sekarang bahkan mengkhianatiku! Sungguh seperti memelihara anak harimau, ketika kecil dan lemah dirawat dan dipelihara, setelah besar dan kuat hendak menubruk pemeliharanya sendiri. Engkau murid murtad!”
“Suhu, teecu hanya hendak membebaskan Nona Tan Sian Li karena dia tidak bersalah dan karena teecu tidak tega melihat dia celaka. Suhu, Nona Tan bukan musuh kita, dan membebaskannya tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan perjuangan kita. Bagai mana Suhu dapat mengatakan bahwa teecu murtad dan pengkhianat? Suhu, kalau Suhu menghendaki supaya perjuangan kita mendapat dukungan para pendekar di dunia kang-ouw, sebaiknya Suhu membebaskan Nona ini.”
Terdengar suara tertawa merdu, disambung suara Ji Kim, orang ke tiga dari Pek-lian Sam-li yang cantik manis dan lincah. “Hi-hi-hik, apakah Losuhu masih belum mengerti? Muridmu itu telah tergila-gila kepada gadis ini, dan orang yang tergila-gila seperti dia itu mau berbuat apa saja untuk orang yang dicintainya. Kalau perlu melawan guru sendiri demi membela wanita yang dicintainya, heh-heh!”
“Benar sekali, Losuhu. Muridmu ini tidak ada harganya sama sekali, bahkan berbahaya karena sewaktu-waktu dia dapat mengkhianati kita,” kata Ji Kui.
Cu Ki Bok marah sekali dan dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka tiga orang wanita itu. “Pek-Lian Sam-li, kalian ini hanya tamu akan tetapi tidak tahu diri! Aku tahu kenapa kalian membenciku, karena aku tak sudi melayani rayuan kalian, bukan? Kalian sungguh menjemukan, kalian perempuan-perempuan hina yang berkedok pejuang!”
“Ki Bok tutup mulutmu!” Lulung Lama membentak.
Sian Li yang sejak tadi mendengarkan saja, kini melangkah maju dan ia pun berseru nyaring. “Ucapan Ki Bok benar! Tiga orang wanita jalang ini tak tahu malu! Ki Bok seribu kali lebih berharga dari pada mereka ini, Losuhu.”
“Hi-hik, engkau sudah mau mampus masih banyak lagak!” bentak Ji kui, dan bersama adiknya ia sudah menyerang ke arah Sian Li.
Gadis berpakaian merah ini bergerak cepat. Dia mengelak, dan meski pun ia bertangan kosong, ia membalas dengan serangan yang dahsyat.
“Ki Bok, pinceng tidak mungkin dapat membiarkan engkau kelak mengkhianatiku. Nah, terimalah hukuman dariku ini!’ Pendeta Lama itu menerjang ke depan dan menghantam dengan tangan kanan ke arah kepala murid sendiri.
“Suhu...!” Ki Bok berseru.
Dia cepat melempar tubuhnya ke belakang. Biar pun dia sudah mengelak cepat, namun angin pukulan itu masih menyambar dahsyat dan tubuhnya terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter lebih.
“Ki Bok...! Losuhu engkau tidak boleh membunuhnya!” Sian Li berteriak.
Akan tetapi tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu sudah menyerangnya dari tiga penjuru dan walau pun ia dapat menangkis dan mengelak, tetap saja ia terhuyung ke belakang. Seorang penjaga yang memegang pedang menyambutnya dengan tusukan pedangnya.
Sian Li adalah seorang gadis gemblengan. Walau pun dia kurang pengalaman dan ilmu-ilmunya belum masak benar, namun ia telah mewarisi ilmu-ilmu hebat. Ketika ada angin tusukan pedang menyambar tubuh bagian iga dari samping, dia masih dapat menekuk tubuhnya sehingga pedang lewat di dekat iganya. Kakinya menendang dan pergelangan tangan yang memegang pedang itu terkena sambaran ujung kakinya. Tangannya juga cepat merenggut dan pada lain detik pedang itu sudah berpindah ke tangannya! Begitu memegang pedang, senjata itu langsung menyambar sehingga penyerangnya tadi pun roboh oleh pedangnya sendiri.
Dengan pedang di tangan, Sian Li lantas mengamuk, memainkan Liong-siauw Kiam-sut dengan pedang rampasan itu. Namun Pek-lian Sam-li yang juga sudah menggunakan pedang, mengepung dan mengeroyoknya, membuat Sian Li tidak mungkin lagi dapat mendekati Ki Bok lagi. Pemuda itu bangkit berdiri setelah tadi terguling-guling, hanya untuk melihat suhu-nya sudah berdiri di depannya, kini dengan sepasang senjata gelang roda besar di kedua tangan, serta matanya mencorong marah, penuh nafsu membunuh.
“Suhu, ampunkan teecu...” Cu Ki Bok meratap.
Dia tidak takut mati konyol di tangan gurunya sendiri, walau pun hanya untuk kesalahan sekecil itu. Kalau diingat betapa semenjak kecil ia diperlakukan dengan baik oleh Lulung Ma, sungguh penasaran bila sekarang terancam maut di tangan orang yang selama ini dianggap sebagai pengganti orang tuanya, yang menyayang dan disayangnya. Agaknya Lulung Lama juga tak tega untuk membunuh pemuda yang selama ini menjadi tumpuan harapan dan yang disayangnya, yang selama ini setia kepadanya itu, maka dia nampak ragu-ragu.
“Losuhu, ingat, ia agaknya pun berbaik dengan Sin-ciang Taihiap. Dia amat berbahaya, seperti musuh dalam selimut!” teriak Ji Kim yang merasa kecewa dan sakit hati karena selamanya baru sekali ia dan encinya ditolak pria, yaitu ketika mereka gagal merayu Ki Bok.
Mendengar teriakan ini, bangkit kembali kemarahan Lulung Lama. Memang muridnya ini yang menerima Yo Han.
“Mampuslah...!” bentaknya dan dia pun menyerang dengan sepasang rodanya.
Ki Bok terkejut bukan main dan berusaha untuk mengelak. Dia tetap tidak mau melawan gurunya dan hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut. Akan tetapi, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan gurunya, maka sebuah tendangan kaki Lulung Lama mencium lutut kanannya dan dia pun terpelanting.
“Sian Li, larilah... cepat...!” Dia masih sempat berteriak sebelum sebuah roda di tangan kiri Lulung Lama menghantam kepalanya dan pemuda itu tewas seketika.
Lulung Lama berdiri seperti patung, memandang ke arah pemuda yang kepalanya retak dan tewas itu, dan baru dia merasa menyesal bukan main.
“Ki Bok... omitohud... apa yang kulakukan ini? Ki Bok...,” dia mengeluh.
Seolah menjawab kata-katanya, terdengar sorak-sorai riuh sekali dan nampak obor-obor dinyalakan di luar pagar bambu, kemudian terdengar suara hiruk pikuk pada saat pagar bambu yang mengelilingi perkampungan itu dijebol orang dari luar. Perkampungan itu diserbu orang dari luar. Dapat dibayangkan alangkah kagetnya rasa hati Lulung Lama ketika pagar itu jebol. Dia melihat banyak pendeta Lama di antara para penyerbu yang terdiri dari pasukan Tibet!
“Celaka...!” serunya.
Dia maklum bahwa sarangnya diserbu oleh pasukan pemerintah Tibet bersama anak buah Dalai Lama. Dia pun cepat lari ke bangunan induk untuk memimpin anak buahnya mengadakan perlawanan. Akan tetapi, dengan kaget Lulung Lama melihat bahwa para penyerbu bukan hanya terdiri dari pasukan Tibet dan para pendeta Lama saja, tetapi juga puluhan orang kang-ouw.
Orang-orang kang-ouw itu kini membantu Yo Han yang dikeroyok dan yang tadi sedang mengamuk. Maklumlah Lulung Lama bahwa dia harus melawan mati-matian. Karena itu, sambil mengeluarkan teriakan menantang, dia sudah menyerbu ke arah Yo Han yang kini dia ketahui adalah Sin-ciang Taihiap sendiri. Yo Han menyambut senjata roda di tangan Lulung Lama dan terjadilah perkelahian hebat di antara mereka.
Sementara itu, pada waktu melihat serbuan pasukan Tibet dan para pendeta Lama, juga orang-orang kang-ouw, Sian Li menjadi girang sekali dan ia pun tidak jadi melarikan diri. Bahkan ia lalu menggunakan suling emasnya yang tadi ia terima kembali dari Cu Ki Bok untuk membantu para penyerbu, mengamuk sambil mencari-cari Pangeran Gulam Sing yang amat dibencinya untuk membalas kematian suheng-nya.
Gadis ini menerima sebuah suling berselaput emas dari Kam Bi Eng, nenek yang telah menggemblengnya. Meski pun ia juga pandai memainkan pedang, namun ia lebih suka kalau memegang suling ini sebagai senjatanya. Akhirnya Sian Li menemukan orang yang dicari-carinya. Ternyata Pangeran Gulam Sing yang tinggi besar brewok dan gagah perkasa itu, dengan senjatanya yang mengerikan, yaitu golok melengkung yang amat tajam, sedang bertanding malawan Gak Ciang Hun dan ibunya.
Pangeran Nepal itu memang tangguh, dan terutama sekali dia memiliki tenaga raksasa yang membuat Ciang Hun dan ibunya kewalahan. Setiap kali senjata ibu dan anak itu bertemu dengan golok melengkung itu, tentu pedang mereka terpental. Hanya setelah Ciang Hun mengerahkan tenaga sinkang-nya, barulah dia berani beradu senjata. Akan tetapi ibunya tidak berani mengadu senjata secara langsung, hanya mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengeroyok.
“Pangeran jahanam!” Sian Li berseru dan sekali lompat, tubuhnya menjadi bayangan merah dan suling emasnya mengeluarkan bunyi melengking ketika ia menotok ke arah leher pangeran yang tinggi besar itu.
“Ha-ha-ha-ha, Si Bangau Merah datang. Bagus, marilah kita main-main sebentar, nona manis!” kata pangeran itu dalam bahasa yang patah-patah.
Goloknya digerakkan dengan pengerahan tenaga, dihantamkan ke arah suling emas yang menusuk lehernya, dengan maksud agar senjata di tangan nona pakaian merah itu terpental dan lepas. Akan tetapi Sian Li bukan seorang gadis bodoh. Dia sudah tahu bahwa lawannya ini mempunyai tenaga yang sangat besar, maka dia menarik kembali sulingnya dan secepat kilat, sulingnya yang lepas dari tangkisan lawan itu sudah balas menotok ke arah ulu hati lawan!
Pada saat yang bersamaan, Gak Ciang Hun dan ibunya, Souw Hui Lian atau Nyonya Gak, sudah menyerang pula dengan pedang mereka dari kanan kiri. Melihat dirinya diserang oleh tiga orang lawan yang kesemuanya tidak boleh dipandang ringan, Pangeran Gulam Sing lantas mengeluarkan bentakan nyaring, bentakan yang mengandung kekuatan sihir.
Tiga orang lawan itu tergetar seperti kehilangan tenaga dan di lain saat, kaki Pangeran Nepal itu sudah merobohkan Nyonya Gak dengan tendangan kakinya yang mengenai paha. Goloknya menyambar ke arah Gak Ciang Hun yang masih sempat melempar diri ke belakang sehingga serangan itu luput, sementara tangan kiri pangeran Nepal itu mencengkeram ke arah kepala Sian Li!
Gadis ini terkejut. Tadi ketika Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan, ia pun ikut tergetar dan seperti kehilangan tenaga sehingga tusukan sulingnya gagal. Kini tiba-tiba lengan yang panjang itu telah terjulur secepat kilat dan telapak tangan yang besar itu sudah mencengkeram ke arah kepalanya!
Sian Li cepat miringkan kepala mengelak. Akan tetapi tangan itu terus menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kirinya dan terdengar pangeran itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Nona merah, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku... ehhh...!” Dia terkejut karena mendadak saja cengkeraman tangannya itu tertolak ke belakang oleh tenaga dahsyat dari sinar emas yang menyambar ke arah tangannya itu.
Dia cepat meloncat ke belakang dan ketika dia mengangkat muka, dia melihat bahwa di situ telah berdiri seorang lelaki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, berpakaian sederhana. Melihat pria ini sama sekali tidak mengesankan, tetapi sepasang matanya mencorong penuh wibawa.
Pria itu memandang kepada Sian Li yang tadi terkejut dan juga lega bahwa ada orang yang menyelamatkannya. Terdengar dia berkata, “Nona, biarlah aku yang menghadapi orang Nepal ini.”
Pangeran Gulam Sing yang menjadi marah tidak memberi kesempatan kepada lawan yang tangguh itu untuk banyak bicara. Dengan geram dia telah mengeluarkan bentakan nyaring yang disertai kekuatan sihirnya sambil menggerakkan golok melengkung untuk menyerang.
Akan tetapi pria itu bersikap tenang saja, agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakan itu dan dia sudah mencabut kembali sebatang suling dari ikat pinggangnya. Suling itu terbuat dari kayu, akan tetapi mengkilap sepeti emas, dan ketika dia gerakkan, maka terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup orang. Golok melengkung itu tertolak keras ketika bertemu suling, membuat Pangeran Gulam Sing menjadi terkejut. Dia pun mengamuk dan menyerang membabi buta, dilayani oleh pria yang sederhana itu.
Sian Li, Nyonya Gak, dan Ciang Hun memandang kagum. Terutama sekali Sian Li yang sekarang melongo dan terheran-heran. Ia dapat melihat dengan jelas bahwa suling itu dimainkan oleh Si Pria tiada bedanya sama sekali dengan permainannya sendiri, itulah Liong-siauw-kiam-sut (ilmu Pedang Suling Naga)! Dimainkan dengan gerakan perlahan saja, namun anehnya, golok melengkung itu sama sekali tidak mampu banyak berlagak lagi setelah berhadapan dengan permainan suling pria itu!
Sian Li teringat akan neneknya, yaitu Kam Bi Eng, istri kakek Suma Ceng Liong. Seperti itulah kalau Nenek Kam Bi Eng memainkan sulingnya! Dan meski pun ia sendiri telah digembleng nenek itu dan sudah menguasai Liong-siauw Kiam-sut, namun tentu saja tingkatnya masih jauh. Mungkin ia telah menguasai gerakannya, namun ‘isinya’ belum matang sehingga tenaga yang dikandung dalam gerakannya masih belum begitu kuat.
Akan tetapi, Sian Li tak sempat banyak melamun karena seperti juga Ciang Hun dan ibunya, dia sudah harus berkelahi lagi dengan anak buah Pangeran Gulam Sing, yaitu orang-orang Nepal yang juga terpaksa harus menggerakkan senjata menyambut para penyerbu. Terjadilah pertempuran hebat pada malam itu.
Pria yang baru tiba itu memang hebat. Pangeran Gulam Sing yang gagah perkasa itu pun tidak mampu menandinginya. Belum juga lima puluh jurus, setelah Pangeran Nepal itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, dia sudah terdesak dan terhimpit oleh gulungan sinar suling di tangan orang itu.
Maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawan ini, tiba-tiba Pangeran Gulam Sing mengeluarkan teriakan nyaring dan kakinya yang panjang dan besar itu melakukan tendangan-tendangannya yang sungguh ampuh. Kedua kaki itu bertubi-tubi melakukan tendangan, menyambar dari bawah ke atas, dari kanan kiri dan mendatangkan angin yang menyambar-nyambar.
Namun, lawannya agaknya tidak menjadi terkejut melihat ilmu tendangan yang sangat dahsyat itu. Tubuhnya mencelat ke atas dan setelah berjungkir balik, dia pun meluncur turun dan didahului oleh sinar sulingnya, menyambut tendangan kaki Gulam Sing!
“Tukk! Tukk!” Gulam Sing terjengkang, kedua kakinya roboh.
Saat itu dipergunakan oleh Sian Li yang sejak tadi mengamati jalannya perkelahian itu sambil menjaga diri dari serangan para anak buah Gulam Sing, untuk meloncat ke dekat Gulam Sing. Sulingnya menyambar dan sebelum Pangeran Nepal itu sempat mengelak, suling di tangan Sian Li telah menotok tengkuknya dari samping dan pangeran Nepal itu pun terkulai.
“Awaaas...!”
Pria itu cepat menyambar lengan Sian Li dan ditariknya. Untunglah dia bertindak cepat karena saat itu pula, dalam keadaan sekarat Gulam Sing masih mampu melontarkan goloknya ke arah Sian Li. Demikian kuat dan cepatnya lemparan golok itu sehingga andai kata Sian Li tidak ditarik orang tadi, tentu dara ini akan menjadi korban sambaran golok. Melihat robohnya Gulam Sing, anak buahnya menjadi panik dan mereka lari cerai berai, disambut oleh pasukan Tibet.
“Gak-twako dan Bibi, mari kita bantu Han-ko!” kata Sian Li dan ia pun menghadapi pria itu sambil memberi hormat. ”Paman yang gagah perkasa, terima kasih atas pertolongan Paman. Kalau Paman suka, kami harap Paman suka membantu kami sampai selesai!”
Pria itu tersenyum. “Aku hanya kebetulan lewat dan mendengar keributan di sini. Aku datang dan melihat engkau tadi terancam, Nona. Mari, aku ikut di belakang kalian.”
Sian Li, Ciang Hun, Nyonya Gak dan diikuti pria itu lalu mencari Yo Han. Sementara itu, Yo Han yang tadi bertanding melawan Lulung Lama, tidak menggunakan waktu terlalu lama. Biar pun Lulung Lama dibantu oleh Pek-lian Sam-li namun Yo Han dapat mendesak mereka dengan gerakan yang aneh.
Ia menggunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng. Begitu empat orang lawannya menyerangnya, mereka itu bahkan terjengkang sendiri. Makin hebat mereka menyerang, semakin kuat pula mereka tertolak dan terbanting!
Memang ilmu yang diwarisi Yo Han dari mendiang Kekek Ciu Lam Hok ini merupakan ilmu yang luar biasa. Ilmu ini dapat menghimpun tenaga sakti yang mengandung daya tolak yang luar biasa sehingga setiap orang penyerang, apa lagi kalau hatinya dibakar kebencian dan kemarahan, tentu akan langsung terpukul sendiri oleh serangannya yang membalik.
Ketika itu, para pendeta Lama telah berdatangan dan melihat Lulung Lama terjengkang berkali-kali setiap menyerang Yo Han, maka para pendeta Lama itu lalu menubruk dan meringkus pemberontak itu. Akan tetapi terhadap Pek-lian Sam-li, baru pendeta Lama dan pasukan tidak memberi ampun. Tiga orang wanita ini dikeroyok dan di bawah hujan senjata, mereka pun tewas. Demikian pula kedua orang pembantu Gulam Sing, yaitu Badhu dan Sagha, juga para tosu Pek-lian-lauw yang menjadi kawan-kawan Pek-lian Sam-li semua tewas.
Pada saat Yo Han melihat Sian Li, Ciang Hun dan Nyonya Gak, juga ada seorang pria sederhana datang hendak membantunya, dia yang sedang meneriaki orang kang-ouw untuk menghentikan pertempuran, segera berkata kepada mereka. “Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita tidak perlu mencampuri pertempuran antara pasukan Tibet yang sedang menangkapi para pemberontak.”
Orang-orang kang-ouw itu kemudian meninggalkan tempat itu, lari cerai berai setelah mendengar perintah dari Sin-ciang Taihiap yang mereka taati. Ada pun Sian Li, Ciang Hun dan ibunya, juga pria itu, segera mengikuti Yo Han melarikan diri keluar dari kancah pertempuran itu. Mereka lari menuruni bukit itu. Setelah mereka tiba di kaki bukit, malam mulai berganti pagi dan mereka berhenti di tempat sunyi untuk istirahat.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Li untuk sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada pria yang telah menolongnya. “Paman, terima kasih atas bantuan Paman. Kalau tidak ada Paman, mungkin aku telah menjadi korban golok Pangeran Gulam Sing yang lihai.”
Ia mengamati wajah pria itu dengan kagum dan heran sekali. “Permainan senjata suling dari Paman begitu hebatnya, padahal gerakannya serupa benar dengan permainanku. Kalau boleh aku mengetahui, siapa nama Paman yang terhormat?”
Tiba-tiba Nyonya Gak berkata, “Sian Li, apakah engkau tak pernah mendengar tentang pendekar sakti yang berjuluk Suling Naga? Aku berani bertaruh bahwa kita semua kini sedang berhadapan dengan pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw. Benarkah dugaanku itu, saudara yang gagah perkasa?”
Mendengar itu, pria yang sederhana itu lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada Souw Hui Lian atau Nyonya Gak. “Toanio memiliki penglihatan tajam dan pandangan luas. Saya yang rendah memang bernama Sim Houw. Dan kalau boleh saya mengenal, siapakah Toanio dan siapa pula orang-orang muda yang gagah perkasa ini?”
Mendengar bahwa pria itu bernama Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga, Sian Li mengeluarkan seruan girang dan cepat ia lalu memberi hormat. “Aihhh, kiranya Locianpwe yang nama besarnya sudah sering kudengar dari Bibi Nenek Kam Bi Eng!”
Kini Sim Houw tersenyum lebar. “Aha, kiranya engkau menguasai Liong-siauw Kiam-sut dari Sumoi Kam Bi Eng! Nona berbaju merah, siapakah engkau dan siapa pula orang tuamu?” Sim Houw memandang dengan wajah berseri-seri karena hatinya girang bukan main.
“Locianpwe, sekarang kita semua berada di antara orang sendiri. Mungkin Locianpwe tidak mengenal Ayahku. Ayahku bernama Tan Sin Hong...!”
“Ayahnya berjuluk Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih), murid Istana Gurun Pasir!” kata nyonya Gak gembira.
“Hebat!” Sim Houw berseru girang, “Kiranya ayahmu pendekar yang namanya terkenal itu. Sungguh girang sekali aku dapat bertemu denganmu, Nona baju merah!”
“Locianpwe, namaku Sian Li. Tan Sian Li. Ada pun ibuku bernama Kao Hong Li...”
“She Kao...? Apa hubungannya dengan bekas Panglima Kao Cin Liong di Pao-teng?”
“Dia adalah Kakekku!” Sian Li berseru gembira.
Sim Houw tertawa bergelak, bukan main girang rasa hatinya. Tiba-tiba dia mengambil sulingnya dan meniup suling kayu berbentuk naga itu. Terdengarlah suara suling yang melengking-lengking, merdu dan halus, akan tetapi mengandung getaran yang sangat kuat sehingga menimbulkan gelombang suara yang mencapai tempat jauh.
Dan tiba-tiba terdengar suara suling yang lebih lembut dan melengking tinggi. Meski pun tidak sekuat suara suling yang ditiup oleh Sim Houw, namun cukup jelas terdengar dari tempat itu. Suara suling yang menjawab itu dengan cepat terdengar semakin dekat dan tidak lama kemudian, muncullah seorang wanita cantik. Wanita itu berusia empat puluh tahun, namun nampak manis dan jauh lebih muda, matanya membayangkan kelincahan dan kejenakaan, juga kecerdikan.
“Aihh, aku sudah mulai tidak sabar menunggumu dan ternyata di sini terdapat banyak orang. Siapakah mereka ini?” tanya wanita itu sambil memandang kepada semua orang satu demi satu.
“Lihatlah, Nona baju merah ini adalah puteri dari Pendekar Bangau Putih, dan ibunya adalah puteri bekas panglima Cin Liong. Juga, ia telah menguasai Liong-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari Sumoi Kam Bi Eng. Hebat tidak?” kata Sim Houw kepada wanita itu yang bukan lain adalah isterinya yang bernama Can Bi Lan.
Can Bi Lan yang berwatak jenaka dan gembira itu segera maju dan memegang lengan Sian Li. “Aihh, betapa gagahnya kau! Siapa namamu, Nona merah?”
Gembira sekali hati Sian Li bertemu dengan suami isteri yang namanya sudah pernah ia dengar dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu. “Bibi yang gagah dan cantik jelita, namaku Tan Sian Li dan orang memberi julukan kepadaku Si Bangau Merah!”
“Si Bangau Merah? Puteri Pendekar Bangau Putih? Heh-heh-heh, sungguh tepat sekali, Sian Li, siapakah orang-orang yang lain ini? Perkenalkan mereka kepadaku.”
“Aku sendiri pun belum sempat berkenalan dengan yang lain,” kata Sim Houw kepada isterinya. “Pertama-tama saya harap Toanio suka mengenalkan diri. Agaknya Toanio mengenal keadaan keluarga kami, akan tetapi kami tidak tahu siapa Toanio.”
“Kukira Paman dan Bibi tentu sudah mengenal Bibi Gak. Suaminya adalah mendiang Beng-san Sian-eng. Dan ini adalah puteranya Gak Ciang Hun.”
“Aih, kiranya isterinya sepasang Locianpwe kembar, Sepasang Garuda dari Beng-san?” seru Sim Houw, “Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat.”
Juga Can Bi Lan memberi hormat kepada Nyonya Gak yang cepat-cepat membalas penghormatan itu, diturut oleh puteranya.
“Dan siapakah pemuda ini? Sepintas lalu tadi aku melihat betapa hebatnya dia ketika melawan pengeroyokan lawan-lawannya yang lihai. Aku yakin dia ini pun bukan orang sembarangan!” kata Sim Houw sambil memandang kepada Yo Han yag sejak tadi diam saja.
Akan tetapi diam-diam Yo Han mengamati wajah Can Bi Lan. Pernah dia mendengar cerita mendiang ibunya ketika dia masih kecil tentang seorang Sumoi dari ibunya yang berjuluk Siauw Kwi (Setan Cilik). Mendiang ibunya sendiri pernah menjadi seorang tokoh sesat berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), dan Sumoi dari ibunya itu kalau tidak salah ingat bernama Can Bi Lan. Wanita ini adalah Sumoi dari mendiang ibunya!
Sian Li yang merasa sangat bangga dan suka pamer segera memperkenalkan Yo Han. “Pernahkah Paman dan Bibi dalam perantauan kalian mendengar nama besar Sin-ciang Taihiap di daerah ini? Nah, inilah orangnya. Namanya Yo Han!”
“Tentu saja kami pernah mendengarnya!” kata Can Bi Lan kagum. “Seorang pendekar yang tidak pernah membunuh, seorang pendekar budiman yang menalukkan orang-orang jahat dan menyadarkan mereka. Masih begini muda? Sungguh tak kusangka!”
“Sin-ciang Taihiap, engkau masih begini muda, namun sudah membuat nama besar. Tentu gurumu seorang yang sakti dan terkenal sekali!” kata Sim Houw.
“Dan ayah ibumu tentu juga tokoh-tokoh dunia persilatan!” sambung Can Bi Lan.
Yo Han memberi hormat kepada suami isteri itu dan kemudian berkata kepada Can Bi Lan, “Bibi Guru, teecu Yo Han menghaturkan hormat. Mendiang Ibu adalah Ciong Siu Kwi...”
“Aihhh...!” Bi Lan berseru dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda putera suci-nya itu. “Suci...? Aku mendengar bahwa Suci menikah dengan seorang pemuda sederhana she Yo... dan mereka tewas bersama sebagai orang-orang gagah di tangan para pemberontak. Kiranya engkau... ahhh, engkau keponakanku...!” Bi Lan maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, penuh rasa kagum dan juga bangga. “Syukurlah, akhirnya Suci meninggalkan seorang keturunan yang begini gagah perkasa dan berjiwa pendekar! Aku ikut merasa bangga, Yo Han!”
Rombongan itu lalu duduk di atas akar dan batu, dan bercakap-cakap dengan gembira, saling menceritakan pengalaman masing-masing. Karena mereka adalah orang-orang segolongan, bahkan di antara mereka masih ada hubungan, baik kekeluargaan mau pun perguruan, maka tentu saja suasana menjadi akrab sekali.
Nyonya Gak atau Souw Hui Lin menceritakan betapa kedua orang suaminya, Si kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong yang dikenal dengan julukan Beng-san Sian-eng, telah meninggal dunia dan ia hidup berdua dengan putera tunggalnya yaitu Gak Ciang Hun yang kini sudah berusia dua puluh delapan tahun.
“Pertemuan dengan kalian semua membuat aku terkenang kembali kepada kampung halaman,” kata Nyonya Gak sambil menghela napas panjang. “Sejak kematian suamiku, aku mengajak Ciang Hun merantau, karena aku merasa hidupku kosong. Ternyata aku hanya mengejar bayangan belaka. Kelahiran dan kematian merupakan kodrat Tuhan yang tidak dapat dimengerti oleh kita. Kita hanya menerima dan menjalani saja, tidak kuasa mengatur, maka kematian merupakan hal wajar yang tidak perlu disedihkan terus menerus. Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san.”
Gak Ciang Hun memandang kepada ibunya dengan mata bersinar dan wajah berseri. Selama ini dia menghibur hati ibunya yang menjadi berduka sekali karena kematian kedua orang ayahnya. Namun betapa pun dia membujuk, ibunya tidak mau kembali ke Beng-san yang katanya hanya akan membuat ia berduka dan teringat kepada ayah-ayahnya. Akan tetapi sekarang, ibunya sudah menyadari dan bahkan ingin kembali.
Tentu saja Ciang Hun menjadi girang bukan main. Kalau ibunya sudah mau kembali ke Beng-san, tentu dia dapat memikirkan untuk berumah tangga. Tidak seperti sekarang ini, selama hampir dua tahun hanya merantau ke sana sini tanpa tempat tinggal yang tetap.
“Bagaimana dengan engkau, Sian Li?” tanya Can Bi Lan kepada gadis itu.
Sian Li bercerita tentang pengalamannya, betapa ia bersama mendiang Sian Lun yang menjadi suheng-nya meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi berkunjung ke Bhutan bersama Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Betapa kemudian dia bersama suheng-nya bertemu dengan Lulung Lama sehingga mengalami banyak hal yang hebat.
“Dan di mana sekarang suheng-mu itu?” tanya Sim Houw.
Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang kepada Yo Han. Berat rasa hatinya untuk menceritakan penyelewengan yang sudah dilakukan suheng-nya itu, apa lagi mengingat bahwa dalam saat-saat terakhir hidupnya, Sian Lun telah menyadari kesesatannya dan bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Melihat gadis itu memandang kepadanya seperti orang meminta bantuan, Yo Han lalu menjawab untuknya.
“Sayang sekali, dalam pertentangan menghadapi persekutuan pemberontak itu, Liem Sian Lun telah tewas di tangan para pimpinan penjahat yang lihai.”
Gak Ciang Hun dan ibunya menunduk. Mereka dapat menduga bahwa suheng dari Si Bangau Merah itu telah menyeleweng, namun mereka tak ingin mencampuri urusan itu dan diam saja.
Sim Houw menghela napas panjang. “Memang demikianlah resiko menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Kalau pihak penjahat lebih kuat, mungkin saja seorang pendekar akan mengorbankan nyawanya, mati muda. Akan tetapi kematian seperti itu tidaklah sia-sia, karena dia mati dalam membela kebenaran, dia seorang pahlawan kemanusiaan.”
“Lalu sekarang engkau hendak pergi ke mana Sian Li?” tanya Can Bi Lan yang terlihat amat sayang kepada gadis berpakaian merah itu.
“Aku ingin segera pulang ke rumah Paman Suma Ceng Liong, Bibi, karena sudah lama meninggalkan dusun Hong-cun. Ayah dan Ibu tentu akan merasa khawatir kalau mereka datang menjemputku dan aku belum pulang. Dan Han-ko akan ikut denganku karena dia pun sudah merasa rindu kepada Ayah Ibuku.”
Mereka semua memandang pada Yo Han dan pemuda ini mengangguk membenarkan. ”Kasihan kalau adik Sian Li harus pulang seorang diri, padahal ketika pergi ia bersama mendiang suheng-nya. Selain itu, saya ingin bertemu dengan ayah ibunya, yaitu guru-guru saya yang pertama.”
“Paman dan Bibi sendiri hendak pergi ke manakah?” Sian Li bertanya kepada suami isteri itu.
Dan mereka semua merasa heran karena pertanyaan itu agaknya membuat suami isteri itu seperti termenung, bahkan ada bayangan kesedihan meliputi wajah mereka. Tetapi Can Bi Lan memiliki dasar watak yang lincah dan gembira, maka ia tidak membiarkan wajahnya muram terlalu lama.
Segera ia tersenyum lagi dan setelah menghela napas panjang, ia lalu berkata, “Biarlah kami ceritakan keadaan kami karena kalian bukan orang luar, melainkan masih terhitung anggota keluarga sendiri. Mungkin kalian sudah mendengar tentang nama kami, tetapi tentu merasa heran mengapa selama ini kami berdua tidak pernah memperlihatkan diri, bahkan seperti mengasingkan diri dari dunia persilatan. Sesunguhnya ada musibah besar menimpa keluarga kami. Terjadinya kurang lebih dua puluh tahun lalu. Ketika itu, anak tunggal kami, seorang anak perempuan yang baru berusia tiga tahun, telah lenyap dari rumah kami.”
“Ahhh...!” Mereka yang mendengarkan cerita itu berseru kaget. “Apakah sampai kini belum juga dapat ditemukan, Bibi?” tanya Sian Li.
Can Bi Lan menggeleng kepala sambil menghela napas.
“Adik Bi Lan, bagaimana mungkin peristiwa seperti itu dapat menimpa suami isteri yang sakti seperti kalian berdua? Apakah yang telah terjadi dengan puterimu?” tanya Nyonya Gak dengan terkejut, penasaran dan heran. Sukar membayangkan ada orang berani menculik puteri dari suami isteri Pendekar Suling Naga!
Bi Lan kembali menghela napas. “Ketika itu, anak kami Sim Hui Eng yang baru berusia tiga tahun sedang diasuh oleh seorang pelayan di taman belakang rumah dan tiba-tiba kami mendengar jeritan pelayan kami di taman belakang. Kami cepat lari ke sana dan mendapatkan pelayan kami sudah tewas tanpa luka. Setelah kami memeriksa dengan teliti, ternyata ia telah tewas oleh tepukan pada ubun-ubun kepalanya yang merusak isi kepala tanpa menimbulkan luka, dan anak kami lenyap tanpa bekas. Di atas tanah terdapat tulisan yang mungkin sudah ditulis lebih dahulu, yang menyatakan bahwa kalau kami melakukan pengejaran, anak kami akan dibunuhnya seperti orang itu membunuh pelayan kami.” Bi Lan menghentikan ceritanya dan memejamkan mata, agaknya masih ngeri membayangkan apa yang terjadi pada diri anaknya.
“Terkutuk! Bibi, siapakah pelaku yang jahat itu?” Gak Ciang Hun berseru marah.
Sekarang Sim Houw yang menjawab, suaranya tetap tenang walau pun terdengar jelas bahwa pendekar ini pun menahan kesedihan hatinya. “Sampai sekarang kami belum dapat menduga siapa pelakunya. Kami berdua dengan sangat hati-hati melakukan pencarian, takut kalau ancamannya itu dilaksanakan penculik itu. Akan tetapi, ternyata orang itu memang lihai bukan main karena sampai sekarang, dua puluh tahun telah lewat dan kami berdua belum juga berhasil menemukan Hui Eng. Kami tidak tahu pria atau wanita yang menculik anak kami itu, apa lagi namanya. Semua masih gelap bagi kami. Namun kami menduga bahwa perbuatan ini tentu merupakan balas dendam. Di waktu muda kami banyak menentang para tokoh sesat dan tentu mereka itu ada di antaranya yang mendendam kepada kami. Akan tetapi karena banyak sekali tokoh sesat yang pernah kami tentang, kami tidak tahu benar siapa penculik itu. Kami sudah menyelidiki di seluruh penjuru, sampai ke tempat ini, namun tidak pernah berhasil.” Suami isteri itu menunduk dan jelas bahwa mereka menderita tekanan batin yang amat hebat.
“Luar biasa!” Sian Li berseru. ”Kenapa sama benar dengan yang telah terjadi padaku? Paman dan Bibi, ketika aku masih kecil, berusia empat tahun, aku pun diculik orang dari taman! Akan tetapi untung ada Han-ko ini, kalau tidak, mungkin nasibku sama dengan puteri Paman dan Bibi, sampai sekarang tidak dapat bertemu lagi dengan orang tuaku!”
Sim Houw dan Bi Lan memandang kaget dan heran. “Siapa yang menculikmu ketika itu?” tanya mereka hampir berbareng karena tentu saja mereka merasa tertarik sekali mendengar terjadinya peristiwa yang serupa dengan apa yang terjadi pada diri anak mereka.
“Yang menculik aku adalah Ang-I Moli Tee Kui Cu, puteri dari mendiang Tee Kok dari Yunan, ketua Ang-I Mo-pang. Akan tetapi Ang-I Moli juga menjadi tokoh Pek-lian-kauw dan sekarang ia telah mati dihukum pemerintah karena bersekutu dengan pemberontak. Nah, ketika aku diculik, Han-koko masih tinggal bersama orang tuaku dan dia inilah yang membebaskan aku dari tangan Ang-I Moli dengan cara menggantikan aku dengan dirinya sendiri.”
“Aihh, Li-moi. Ketika engkau diculik, engkau sedang bermain-main denganku, maka aku merasa bertanggungjawab,” kata Yo Han ketika semua mata memandang kepadanya dengan kagum.
Cerita Sian Li itu membuat suami isteri itu saling pandang dan berpikir. “Hemmm, kami kira memang ada persamaannya. Tentu penculik itu juga mendendam kepada orang tuamu,” kata Sim Houw. “Akan tetapi, kami tidak berhasil menemukan kembali anak kami, padahal kini ia tentu telah berusia dua puluh tiga tahun dan kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengannya.”
“Yang membuat hatiku terasa hancur kalau membayangkan adalah keadaannya yang tidak menentu itu. Kami akan merasa lebih bersedih kalau ia sampai dibawa sesat oleh penculiknya, lebih sedih dari pada kalau andai kata ia sudah terbunuh,” kata Bi Lan dan nyonya ini nampak berduka sekali.
Yo Han yang semenjak tadi mendengarkan merasa iba sekali. “Maaf, Paman dan Bibi, peristiwa itu telah berlalu selama dua puluh tahun. Kini puteri Jiwi (Kalian) tentu sudah merupakan seorang gadis dewasa berusia dua puluh tiga tahun. Namanya pun mungkin sudah diganti nama baru oleh penculiknya. Bagaimana Paman dan Bibi akan dapat mengenalnya andai kata bertemu dengannya, apa lagi kalau dia menggunakan nama baru?”
Bi Lan memandang kepada pemuda itu. “Kami pun sudah berpikir demikian. Nama memang bisa saja diganti, akan tetapi ada dua buah tanda pada tubuh anak kami itu yang tidak mungkin dipunyai oleh anak lain. Di pundak kirinya terdapat sebuah tahi lalat hitam yang jelas dan di telapak kaki kanannya terdapat tanda noda merah sebesar ibu jari kaki. Dengan adanya dua tanda itu, kami tentu akan dapat mengenal anak kami.”
Tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, Yo Han mencatat semua itu di dalam hatinya. Dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menemukan Sim Hui Eng untuk suami isteri yang sudah menderita duka selama dua puluh tahun itu. Tak lama kemudian, mereka terpecah menjadi tiga rombongan. Sim Houw dan Can Bi Lan meninggalkan tempat itu, untuk kembali ke Lok-yang, tempat tinggal mereka, sebab sudah terlalu lama mereka meninggalkan rumah dalam perantauan mereka mencari anak mereka dan juga untuk menghibur diri.
Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga pergi kembali ke Beng-san di mana mereka masih mempunyai sebuah rumah peninggalan mendiang Beng-san Siang-eng yang makamnya juga berada di puncak gunung itu. Ada pun Sian Li diantar Yo Han melakukan perjalanan pulang ke dusun Hong-cun di luar kota Cin-an...
Sore itu, seperti yang mereka lakukan selama beberapa hari ini, Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, duduk di serambi luar sambil bercakap-cakap, kadang-kadang mereka melayangkan pandang mata ke jalan di depan rumah mereka. Mereka setiap hari menanti dengan hati mengharap-harap kembalinya murid-murid mereka, yaitu Liem Sian Lun dan Tan Sian Li.
“Kenapa mereka belum juga pulang?” gumam Suma Ceng Liong. “Dalam waktu sebulan lagi, tahun baru tiba dan tentu Sin Hong dan Hong Li akan datang berkunjung untuk menjemput puteri mereka. Sungguh tidak enak kalau mereka datang, Sian Li belum juga pulang.”
“Mengapa mesti merasa tidak enak?” isterinya membantah. “Sian Li bukan pergi sendiri, melainkan diajak oleh Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Pula, ada Sian Lun yang menemaninya agar ia tidak pulang seorang diri. Andai kata mereka terlambat dan ayah ibu Sian Li yang datang lebih dahulu, mereka tentu akan dapat mengerti.”
“Engkau benar. Sin Hong dan Hong Li adalah orang-orang bijaksana. Buktinya biar pun mereka berdua sendiri memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak menolak permintaan kita untuk mendidik anak mereka selama lima tahun. Bahkan sebelum anak dan mantu kita datang, aku akan minta bantuan mereka untuk menyusun daftar nama dari mereka yang hendak kuundang dalam perayaan ulang tahun ke enam puluh yang juga akan kupergunakan untuk suatu pertemuan besar berikut keluarga mereka semua.”
Isterinya memandang dengan wajah berseri. “Jadikah rencanamu untuk mengumpulkan demikian banyaknya keluarga dari tiga perguruan besar itu?”
“Mengapa tidak? Kalau tidak dikumpulkan agar mereka saling berkenalan, tentu anak cucu mereka tidak akan saling mengenal dan hubungan baik antara ketiga keluarga besar itu akan terputus. Sayang sekali, bukan? Sejak dahulu, nama besar dari keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Gunung Naga telah dikenal di seluruh dunia persilatan. Kini keturunan mereka cerai berai, padahal di antara ketiga perguruan besar itu telah terjalin hubungan kekeluargaan yang amat erat.”
Isterinya mengangguk setuju. Mereka sendiri adalah gabungan dari dua keluarga besar. Suma Ceng Liong adalah cucu dalam dari Pendekar Pulau Es, putera dari Pendekar Siluman Kecil. Sedangan Kam Bi Eng adalah puteri dari Kam Hong Si Pendekar Suling Emas dan Bu Ci Sian yang terhitung murid ayah mertuanya pula.
“Pasti akan menggembirakan sekali dan merupakan peristiwa besar kalau cita-citamu itu sampai terlaksana, “ katanya.
“Kenapa tidak? Tentu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng, juga sudah menerima suratku dan tak lama lagi mereka tentu akan tiba di sini. Hubungan kekeluargaan harus diperbaiki, tidak seperti sekarang ini. Bertahun-tahun di antara keluarga tidak sempat bertemu karena terpisah jauh. Ingat saja kematian ayahmu. Sampai-sampai kita sendiri tidak mengetahui! Orang tentu akan menganggap aku seorang mantu yang sama sekali tak berbakti, ayah mertua meninggal sampai dikebumikan tapi tidak tahu sama sekali.”
Isterinya menyentuh lengan suaminya. “Sudahlah, tidak perlu lagi disesalkan hal itu. Ibu sendiri mengatakan bahwa memang sengaja Ibu tidak mengabarkan tentang kematian Ayah, sesuai dengan pesan terakhir dari Ayah. Dan aku mengenal watak Ayah. Dahulu Ayah sering kali bicara tentang kematian sebagai perjalanan pulang kampung! Ayah tidak setuju kalau orang meninggal ditangisi dan dikabungi, yang dikatakan semua itu hanya upacara pura-pura dan palsu belaka. Sepatutnya keluarga bersyukur kalau ada orang yang dikasihinya ‘pulang kampung’ karena terbebas dari siksa dunia. Yah, Ayah memang aneh dan kukira setiap orang berilmu tinggi di dalam ini mempunyai keanehan masing-masing yang tidak mereka sadari bahwa mereka berbeda dengan orang-orang awam.”
“Engkau benar, isteriku. Aku tidak menyesali peristiwa itu, hanya alangkah baiknya bila sebelum mati, kita selalu memiliki hubungan yang akrab dengan keluarga besar kita.”
Percakapan mereka terhenti seketika karena pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda menuju ke rumah itu. Ketika nampak dua ekor yang ditunggangi Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, suami itu cepat bangkit berdiri dengan wajah berseri. Mereka memang sedang menanti-nanti kedatangan mereka. Setiap tahun sekali, semenjak Sian Li berada di situ, Sin Hong dan Hong Li pasti datang berkunjung, yaitu menjelang hari raya sin-cia (tahun baru). Dan kunjungan mereka kali ini adalah untuk menjemput kembali puteri mereka yang sudah tiba waktunya untuk pulang setelah berada di bawah bimbingan kakek dan nenek itu selama lima tahun.
Tan Sin Hong yang sekarang telah berusia empat puluh tahun itu masih nampak gagah dengan pakaian yang sederhana berwarna serba putih, yang membuat dia dijuluki Pendekar Bangau Putih di dunia persilatan. Sedangkan isterinya, Kao Hong Li yang berusia tiga puluh sembilan tahun itu masih nampak muda, cantik, lincah dan gagah. Dengan sigapnya mereka berdua meloncat turun dari atas punggung kuda. Dua orang pelayan yang mengenal kewajiban dan mengenal pula dua orang tamu itu sudah datang berlari-lari menyambut dan mereka segera mengurus dua ekor kuda itu.
Sin Hong dan Hong Li cepat maju memberi hormat kepada tuan dan nyonya rumah, yang disambut dengan ramah dan gembira. “Aha, kami memang sudah menanti-nanti kalian!” kata Suma Ceng Liong sambil membalas penghormatan mereka. “Mari silakan duduk di dalam.”
“Harap kalian jangan kecewa, Sian Li tidak turut menyambut karena ia masih belum pulang,” berkata Kam Bi Eng sambil tersenyum ketika melihat suami isteri itu melihat-lihat ke sekeliling, mencari-cari.
“Bibi, ia pergi kemanakah?” tanya Hong Li heran.
“Duduklah dulu dan nanti kita bicara,” kata Suma Ceng Liong yang mengajak dua orang tamunya duduk di ruangan sebelah dalam.
Setelah mereka semua duduk, berceritalah kakek dan nenek itu mengenai kunjungan Suma Cian Bun dan Gangga Dewi dan betapa Sian Lun ikut kedua orang itu berpesiar ke Bhutan.
“Ke Bhutan?” Kao Hong Li berseru kaget. “Tapi tempat itu amat jauh dan perjalanannya berbahaya sekali!”
Suaminya juga sangat terkejut mendengar bahwa puteri mereka pergi ke Bhutan melalui pegunungan dan gurun yang berbahaya.
“Sian Li mendesak dan kami tak dapat mencegahnya. Apa lagi ia pergi bersama Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan ia pun ditemani suheng-nya, Liem Sian Lun. Kami pikir, mereka berdua sudah mempunyai ilmu kepandaian yang cukup untuk dapat menjaga diri. Pula, bukankah amat penting bagi mereka untuk meluaskan pengalaman mereka!” kata Suma Ceng Liong.
Mendengar penjelasan itu, Sin Hong dan Hong Li dapat menerimanya dan mereka pun menjadi tenang kembali. Bagaimana pun juga, mereka berdua dahulu pun merupakan petualang-petualang yang malang-melintang di dunia kang-ouw. Hanya pengalaman di dunia kang-ouw saja yang akan membuat seseorang menjadi matang, pikir mereka dan mereka pun menghilangkan kekhawatiran mereka.
“Akan tetapi, menurut perhitungan kami, dalam hari-hari mendatang ini ia dan Sian Lun tentu akan segera datang, kata Kam Bi Eng.
“Kalau begitu, biarlah kami menunggu kedatangan Sian Li di sini, Bibi!” kata Hong Li.
Suma Ceng Liong tersenyum. “Itulah yang kuharapkan karena aku ingin minta bantuan kalian berdua untuk melengkapi catatan daftar keluarga yang akan kami kumpulkan pada hari ulang tahunku yang keenam puluh. Aku ingin agar tidak ada anggota keluarga yang terlewat. Yang kumaksudkan dengan keluarga adalah keluarga dari tiga perguruan besar, yaitu keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, keluarga Lembah Gunung Naga, dan sekalian murid-murid mereka.”
Sin Hong dan Hong Li ikut gembira mendengar niat ini. Sebuah niat yang baik sekali dan pasti pesta pertemuan itu sangat menggembirakan. Membayangkan akan bertemu muka dengan seluruh keluarga tiga perguruan itu saja sudah membuat mereka merasa tegang dan gembira.
Selama beberapa hari menunggu kedatangan Sian Li beserta Sian Lun, suami isteri itu membantu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyusun daftar para anggota keluarga. Tentu saja hanya yang mereka ingat dan kenal. Keluarga dari tiga perguruan itu sudah berkembang menjadi sangat luas dan banyak sehingga untuk dapat mengetahui seluruh anggota keluarga secara lengkap akan memakan waktu lama dan harus bertanya-tanya kepada anggota keluarga lain.
“Kita mulai dahulu dari keluarga Istana Pulau Es,” kata Suma Ceng Liong dengan sikap gembira. Di depan empat orang itu, di atas meja, telah dipersiapkan sebuah buku daftar untuk mencatat nama dan alamat keluarga yang akan diundang.
“Sebaiknya kita susun dari anggota keluarga yang paling tua berikut keluarga masing-masing,” usul isterinya.
“Benar sekali,” kata Suma Ceng Liong sambil mengingat-ingat. “Sekarang ini anggota keluarga Istana Pulau Es yang paling tua tentulah Enci Suma Hui.”
Hong Li mengangguk senang. “Memang, agaknya Ibuku itulah yang paling tua di antara keluarga Suma.”
“Nah, kita mulai dengan nama Enci Suma Hui, dan suaminya juga kebetulan merupakan anggota tertua dari keluarga Istana Gurun Pasir,” kata Suma Ceng Liong. “Kita mulai dengan keluarga mereka di tempat teratas, dan tentu saja anak cucu dan para murid mereka.”
Dengan bantuan isterinya dan dua orang tamunya, Suma Ceng Liong mulai menyusun daftar keluarga yang dikirim undangan untuk pertemuan besar itu. Dan setelah bekerja beberapa hari lamanya, tersusunlah daftar sementara seperti berikut.
Keluarga Istana Pulau Es terdiri dari: Suma Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, yang tinggal di kota Pao-teng, serta anak mereka Kao Hong Li yang bersama suaminya, Tan Sin Hong tinggal di kota Ta-tung bersama puteri mereka, Tan Sian Li.
Suma Ciang Bun bersama isterinya, Gangga Dewi yang kini tinggal di istana Kerajaan Bhutan, yaitu kota raja Thim-phu. Tidak diketahui apakah keduanya mempunyai murid ataukah tidak.
Kemudian Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an, bersama seorang murid mereka bernama Liem Sian Lun. Puteri mereka, Suma Lian bersama suaminya, Gu Hong Beng, yang tinggal di kota Ping-san di selatan Pao-teng, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai murid pula.
Nyonya Gak dapat dibilang masih keluarga Istana Pulau Es, karena ia adalah isteri dari dua saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu putera dari mendiang Gak Bun Beng dan Puteri Milana, yaitu masih puteri Pendekar Super Sakti. Maka Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga masuk dalam daftar undangan. Kini ibu dan anak itu tinggal di puncak Beng-san.
Ada pun keluarga Istana Gurun Pasir yang tertua yaitu Kao Cin Liong, suami Suma Hui yang sudah masuk urutan pertama dari daftar itu. Ayah Kao Cin Liong, mendiang Kao Kok Cu mempunyai murid, yaitu Can Bi Lan yang kini bersama suaminya, Sim Houw, tinggal di Lok-yang, dan ada puteri mereka, Sim Hui Eng, yang kabarnya lenyap ketika berusia tiga tahun, demikian yang diketahui Suma Ceng Liong.
Sepanjang yang diketahuinya, Sim Houw dan Can Bi Lan mempunyai seorang putera pertama, Sim Hok Bu, akan tetapi anak itu meninggal dalam usia delapan tahun karena penyakit. Kalau pun masih ada murid-murid dari keluarga Istana Gurun Pasir, hal itu tidak diketahui sama sekali oleh mereka berempat dan harus mereka selidiki lebih dulu dengan menanyakan kepada anggota keluarga lain.
Keluarga lain yang mereka catat adalah anggota keluarga dari Lembah Gunung Naga, atau keturunan dari perguruan Suling Emas. Setelah Kam Hong meninggal dunia, maka yang tertua tentu saja adalah Bu Ci Sian ibunda Kam Bi Eng, nenek yang kini tinggal seorang diri di puncak Bukit Nelayan menunggui makam suaminya. Tidak diketahui jelas siapa murid mereka, bahkan Kam Bi Eng sendiri juga tidak tahu karena ibunya tdak pernah memberi tahu.
Kemudian ada Cu Kun Tek yang bersama isterinya, Pouw Li Sian murid Gak Bun Beng, tinggal di Lembah Gunung Naga sebagai pewaris keluarga Cu. Tidak diketahui dengan pasti keadaan mereka dan siapa saja yang masih terhitung murid atau keluarga dari perguruan Suling Emas dan Naga Siluman ini.
"Jangan dilupakan nama Yo Han," Sin Hong mengingatkan. "Biar pun dia putera Yo Jin dan Ciong Siu Kwi yang tidak ada sangkut pautnya dengan ketiga perguruan, namun Yo Han pernah menjadi murid kami berdua, dan dia bahkan pernah kami anggap seperti anak sendiri."
Suma Ceng Liong mengangguk dan dia pun mencatat nama Yo Han. Masih jauh dari pada lengkap daftar itu, hanya mereka catat nama-nama yang mereka kenal saja. Pada hari kelima, muncullah Tan Sian Li bersama Yo Han. Pagi hari itu, Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li sedang duduk di serambi depan. Mereka berempat menengok dan begitu melihat Sian Li, mereka melompat bangun dan memandang dengan wajah berseri.
"Ibu...! Ayah...!" Sian Li berteriak begitu melihat ayah ibunya, lalu berlari menghampiri mereka dan di lain saat ia sudah berpelukan dengan ibunya.
Mereka gembira bukan main sampai melupakan Yo Han yang berdiri termangu. Hatinya diliputi keharuan ketika dia melihat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Oleh karena mereka semua sedang asyik dan sibuk, dia pun tidak berani mengganggu dan hanya berdiri di bawah, di luar serambi sambil memandang.
Setelah Sian Li memberi hormat kepada ayah ibunya serta kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, barulah dua orang tua ini berseru heran, dan memandang kepada Yo Han. "Sian Li, mana Sian Lun? Dan dia itu... siapa dia yang datang bersamamu?" tanya Suma Ceng Liong dengan suara heran.
Kao Hong Li yang masih merangkul puterinya juga memandang kepada Yo Han dan bertanya, "Sian Li, engkau datang bersama siapakah?"
Dalam perjalanan mereka, Yo Han pernah menasehatkan Sian Li untuk melapor kepada Suma Ceng Liong dan isterinya bahwa suheng-nya itu tewas sebagai seorang pendekar dan tidak bercerita tentang penyelewengannya. Kini Sian Li, yang tak biasa berbohong, dengan muka ditundukkan lalu berkata, suaranya lirih.
"Ayah Ibu, Kakek dan Nenek, dengan menyesal sekali aku harus mengabarkan bahwa Suheng Liem Sian Lun telah... tewas..."
Tentu saja empat orang itu terkejut mendengar ini, terutama sekali Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mendengar betapa murid mereka tewas, keduanya saling pandang, lalu mengamati wajah Sian Li dan Kam Bi Eng bertanya.
"Tewas? Sian Lun... tewas? Apa yang terjadi? Siapa yang telah berani membunuhnya?"
"Panjang ceritanya..." Sian Li mengeluh.
Kemudian dia menceritakan betapa dalam perjalanan ke Bhutan itu mereka bertemu dengan Lulung Lama dan kemudian, ketika mereka pulang dari Bhutan, mereka bahkan terlibat dan bentrok dengan persekutuan pemberontak yang terdiri dari para Lama jubah hitam, Pangeran Gulam Sing dari Nepal, para pengemis Tongkat Hitam, serta orang-orang Pek-lian-kauw.
"Kami terlibat dengan mereka, terjadi bentrokan, bahkan aku sendiri pernah tertawan oleh mereka. Dan dalam pertempuran itu, Suheng tewas di tangan Pangeran Gulam Sing dari Nepal. Kami dibantu oleh pasukan Tibet dan para orang kang-ouw, bahkan kami mendapat bantuan dari Bibi Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun. Bahkan di sana kami bertemu dan dibantu oleh Paman Sim Houw, Pendekar Suling Naga." Dan dengan panjang lebar Sian Li kemudian menceritakan tentang pertempuran yang akhirnya dapat membasmi para pemberontak itu.
"Beberapa kali aku terancam bahaya maut dan tentu sudah tewas pula seperti Suheng kalau saja tidak dibantu olehnya," katanya sebagai penutup sambil menuding ke arah Yo Han yang masih berdiri di luar sambil mendengarkan dan menundukkan mukanya.
"Sian Li, siapakah dia?" Kao Hong Li bertanya kepada puterinya sambil mengamati wajah yang menunduk itu.
"Ayah dan Ibu, benarkah kalian tidak mengenalnya?" tanya Sian Li sambil tertawa.
Karena Sin Hong dan Hong Li kini mengamati wajahnya, Yo Han segera menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada mereka, berkata dengan suara terharu. "Suhu dan Subo, harap maafkan teecu..."
"Yo Han...!" suami isteri itu berteriak.
Mereka sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu adalah Yo Han walau pun mereka merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing bagi mereka. Kini, mereka segera dapat mengenalinya dan keduanya cepat keluar dari serambi. Dengan gembira Sin Hong lalu menarik tangan Yo Han dan disuruhnya bangkit berdiri.
"Yo Han, terima kasih kepada Tuhan bahwa engkau dalam keadaan sehat dan baik!" seru Sin Hong.
Wajah Sin Hong berseri karena gembira melihat pemuda itu yang pernah membuat dia merasa prihatin sekali karena kepergiannya. Dia kadang merasa berdosa kepada Yo Jin dan Bi Kwi, ayah ibu pemuda itu yang telah mempercayakan Yo Han kepadanya.
"Yo Han, sekarang engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa!" seru Hong Li yang sebenarnya juga merasa sangat sayang kepada murid yang pandai membawa diri ini.
"Ayah, ibu, kalian tidak tahu bahwa Han-ko sekarang sudah menjadi Sin-ciang Taihiap yang memiliki kesaktian hebat! Kalau tidak ada dia, tentu aku tidak akan dapat pulang hari ini!" Sian Li memuji, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Benarkah? Luar biasa sekali! Bukankah sejak kecil engkau tidak suka mempelajari ilmu silat, Yo Han?" tegur Sin Hong.
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang masih tertegun mendengar kematian murid mereka, segera mengajak mereka semua untuk masuk dan berbicara di dalam. Setelah semua duduk di ruangan dalam, barulah Yo Han menceritakan pengalamannya sejak dia dibawa pergi oleh Ang-I Moli sebagai penukaran atau tebusan atas diri Sian Li yang dibebaskan iblis betina itu. Betapa dia kemudian menyadari akan perlunya membekali diri dengan ilmu kepandaian agar dapat menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menyadarkan mereka yang mengambil jalan sesat.
"Thian-li-pang?" kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. "Seingatku, Thian-li-pang di Bukit Naga adalah satu perkumpulan para patriot yang menentang pemerintah. Mereka terkenal gagah perkasa dan di antara para pemimpinnya terdapat orang-orang yang sakti. Akan tetapi, aku juga pernah mendengar bahwa Thian-li-pang kemudian menjadi perkumpulan yang tidak bersih namanya. Para muridnya suka melakukan hal-hal yang jahat, bahkan kabarnya pernah mengadu domba perguruan-perguruan silat yang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai. Kabarnya perkumpulan itu diselewengkan oleh dua orang tokohnya yang berjuluk Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong. Entah sampai di mana kebenaran berita itu."
Sin Hong dan isterinya amat terkejut. "Yo Han, benarkah itu? Dan engkau menjadi murid Thian-li-pang yang tersesat itu?" Sin Hong bertanya sambil menatap wajah pemuda itu penuh selidik.
"Apa yang barusan diucapkan Suma Locianpwe memang benar. Thian-li-pang adalah perkumpulan yang anti pemerintah, anti penjajah, akan tetapi setelah Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong yang memegang pimpinan, perkumpulan itu dibawa menyeleweng ke jalan sesat. Memang mula-mula teecu dipaksa menjadi murid dua orang datuk itu. Akan tetapi kemudian teecu bertemu dengan orang ke tiga dari para datuk Thian-li-pang yang kemudian menjadi guru teecu yang sebenarnya. Beliau bernama Ciu Lam Hok dan di sana beliau menjadi orang hukuman yang disiksa oleh dua orang suheng-nya Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong itu. Kaki dan tangannya dibuntungi dan beliau dihukum di dalam sumur yang amat dalam. Teecu berhasil bertemu dan menjadi muridnya. Setelah beliau meninggal karena usia tua, teecu berhasil keluar. Ban-tok Mo-ko serta Thian-te Tok-ong lalu saling menyalahkan ketika mendengar kematian Suhu Ciu Lam Hok dan mereka saling serang sendiri sampai keduanya tewas. Teecu yang menerima tugas dari mendiang Suhu untuk meluruskan kembali Thian-li-pang, berhasil menundukkan serta membujuk para pimpinan dan sekarang teecu yakin bahwa Thian-li-pang telah kembali ke jalan benar."
"Ciu Lam Hok...? Hemm, tidak pernah aku mendengar nama itu. Yang terkenal hanyalah Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong," kata Suma Ceng Liong.
"Ayah, nama Han-ko sebagai Sin-ciang Taihiap sudah sangat terkenal di daerah barat. Dibandingkan dengan dia, kemampuanku tidak ada artinya..."
"Aih, Li-moi, harap jangan terlalu memuji. Engkau membuat aku menjadi malu saja."
Pujian yang tiada hentinya dari Sian Li membuat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li kagum, akan tetapi juga penasaran. Rasanya tidak mungkin Yo Han memiliki kepandaian yang melebihi Sian Li. Akan tetapi mereka tidak memperlihatkan rasa penasaran ini, hanya tersenyum gembira.
"Sian Li, ceritakan yang lebih jelas tentang kematian suheng-mu," Kam Bi Eng yang masih belum dapat menghilangkan perasaan dukanya atas kematian Sian Lun, tiba-tiba berkata. Suma Ceng Liong mengangguk-angguk membenarkan permintaan isterinya.
Sian Li mengerutkan alisnya. Berat tugas ini terasa olehnya. Ia seorang yang tidak suka berbohong, tidak biasa membohong akan tetapi sekali ini, terpaksa ia harus berbohong. Yo Han yang mengajarkan kepadanya bahwa untuk urusan ini, amat bijaksanalah kalau dia berbohong.
Bagaimana pun juga, Sian Lun sudah tewas, dan harus dia akui bahwa pada saat-saat terakhir, Sian Lun sudah menebus penyelewengannya dengan perbuatan gagah, yaitu membelanya sampai mengorbankan nyawa. Jika dia menceritakan penyelewengan Sian Lun, hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan tentu akan membuat kakek dan nenek itu merasa menyesal bukan main. Tapi bagaimana pun juga, amat sukar baginya untuk berbohong seluruhnya, maka ia pun mengambil ‘jalan tengah’.
Sian Li menceritakan lebih jelas tentang semua pengalamannya bersama Sian Lun saat mereka terlibat dalam pertentangan dengan persekutuan pemberontak itu.
"Aku bersama Suheng tertawan musuh yang selain lihai juga amat banyak jumlahnya,” katanya. "Kemudian mereka itu, dengan kekuatan sihir mereka, menyihir Suheng dan mempengaruhi Suheng sehingga nampaknya Suheng suka membantu mereka. Apa lagi mereka itu menggunakan dalih perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, pada saat terakhir, Suheng bisa membebaskan diri dari pengaruh sihir, kemudian Suheng mengamuk dengan gagah perkasa. Tapi lawannya, Pangeran Gulam Sing dari Nepal memang tangguh bukan main sehingga akhirnya Suheng roboh dan tewas. Aku sendiri dapat terbebas dari maut karena ada Han-ko yang mengamuk di dekatku dan yang selalu melindungi aku."
Suma Ceng Liong menghela napas panjang. "Sudahlah, memang sudah nasibnya mati muda. Bagaimana pun juga, kita tidak perlu menyesali kematiannya karena dia gugur sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku bahkan kecewa tidak dapat ikut melawan gerombolan itu disamping Sian Lun."
"Hemm, ingin aku mencoba kepandaian pangeran Nepal itu!" kata Kam Bi Eng dengan gemas dan dengan kedua mata agak merah karena ia menahan tangisnya.
“Kita tidak perlu mengingat lagi pangeran itu karena dia sudah tertangkap oleh pasukan Tibet dan sudah pasti akan dihukum mati," kata Sian Li.
Setelah tinggal di situ selama dua hari dua malam, Sin Hong dan Hong Li lalu mengajak puteri mereka dan Yo Han untuk pulang ke Ta-tung. Mereka berjanji akan membantu Suma Ceng Liong untuk menyebar undangan kepada para sanak keluarga yang akan diundang menghadiri perayaan ulang tahun sekalian mengadakan pertemuan keluarga besar itu.
Di sepanjang perjalanan, Sin Hong dan Hong Li kembali minta kepada Sian Li dan Yo Han untuk menceritakan lagi dengan terperinci semua pengalamannya. Bahkan Yo Han juga terpaksa menceritakan semua pengalamannya secara lengkap, yang didengarkan pula oleh Sian Li karena kepada gadis itu, sebelumnya Yo Han hanya menceritakan garis besarnya saja.
Ada rasa khawatir di dalam hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ketika mereka melihat sikap yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han di sepanjang perjalanan menuju pulang itu. Mereka melihat betapa mesra dan manisnya sikap Sian Li kepada Yo Han. Memang mereka mengetahui bahwa sejak kecil, Sian Li amat sayang kepada Yo Han yang juga menyayangnya. Akan tetapi, dahulu rasa sayang mereka adalah seperti rasa sayang antara kakak dan adik, dan hal itu pun tidak aneh karena sejak Sian Li masih bayi, Yo Han yang mengasuhnya dan menjadi teman bermain. Tetapi ketika itu mereka masih kecil dan sekarang mereka bukan kanak-kanak lagi.
Yo Han sudah menjadi seorang laki-laki yang dewasa, sedangkan Sian Li telah berusia tujuh belas tahun, seperti setangkai bunga yang mulai berkembang dan mekar menjadi dewasa. Kemesraan yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han membuat suami isteri itu khawatir, apa lagi melihat betapa sinar mata Sian Li demikian penuh rasa kagum ketika memandang Yo Han.
Dan Yo Han telah merupakan seorang laki-laki yang tampan, gagah dan halus budi, sifat yang mudah sekali menjatuhkan hati setiap orang gadis. Mereka berdua dilanda kekhawatiran yang sama seperti dulu ketika Sian Li masih kecil. Khawatir kalau Sian Li terpengaruh! Walau pun yang mereka khawatirkan itu berbeda.
Dahulu mereka khawatir kalau Sian Li ketularan watak Yo Han yang tidak suka belajar ilmu silat sehingga Sian Li juga akan malas belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah. Sekarang mereka khawatir kalau puteri mereka itu akan jatuh cinta kepada Yo Han, cinta seorang wanita terhadap seorang pria!
Setiap kali mendapat kesempatan berbicara berdua, yaitu pada waktu malam di dalam sebuah kamar rumah penginapan di mana mereka berdua berada, mereka berbisik-bisik membicarakan puteri mereka dan Yo Han, dan keduanya memang sudah sepakat dan satu hati.
"Tidak dapat disangkal bahwa Yo Han memang sudah menjadi seorang pemuda yang ganteng, tampan dan halus budi. Kalau dilihat dari keadaan lahiriahnya, memang tidak akan mengecewakan andai kata dia menjadi suami anak kita," kata Hong Li.
"Engkau benar. Dan meski pun aku sendiri belum membuktikan, akan tetapi dari cerita Sian Li, aku percaya bahwa Yo Han memang sudah mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Memang jika dilihat keadaan wajahnya, tubuhnya, kepandaiannya, kita tidak akan malu mempunyai seorang mantu seperti dia."
Isterinya mengangguk. "Memang sungguh sayang sekali. Sayang bahwa ibunya adalah Bi Kwi. Masih ngeri hatiku kalau mengenang kembali kejahatan yang pernah dilakukan ibunya. Seorang iblis betina yang kejam dan amat jahat, walau pun pada waktu-waktu terakhir dia telah menyadari kesalahannya dan bertobat. Siapa tahu, sifatnya yang jahat itu akan diwarisi oleh puteranya."
Sin Hong menghela napas panjang. "Aku pun merasa berat sekali untuk berpikir seperti itu, akan tetapi apa boleh buat, demi kebahagiaan anak tunggal kita. Tidak mungkin kita membiarkan anak kita kelak hidup menderita bila suaminya berubah wataknya menjadi jahat. Kita tidak dapat yakin bahwa Yo Han tidak mewarisi watak jahat ibunya. Memang nampaknya selama ini dia mirip dengan watak mendiang Yo Jin, ayahnya yang walau pun petani sederhana dan tidak pandai silat namun berjiwa gagah. Kita tidak mungkin mempertahankan nasib Sian Li secara untung-untungan.”
Hong Li termenung dan nampak khawatir sekali. "Akan tetapi aku melihat sinar mata Sian Li kalau memandang kepadanya. Ah, aku khawatir kalau anak kita telah jatuh cinta kepada Yo Han..."
"Aaahh, kalau pun demikian, cintanya itu hanyalah cinta monyet. Sian Li belum dewasa benar, usianya baru tujuh belas tahun, cintanya akan mudah goyah dan berubah. Justru karena itu maka mereka harus cepat dipisahkan, kalau dibiarkan mereka bergaul lebih dekat dan akrab, bukan tidak mungkin mereka akan saling jatuh cinta."
Hong Li menghela napas panjang. "Sebetulnya aku merasa malu dan tidak enak sekali. Yo Han demikian baik, akan tetapi klta... ahhh, dulu kita juga ingin memisahkan mereka, sekarang pun kita masih tidak menghendaki mereka bergaul dekat. Kalau dipandang sepintas saja, kita yang keterlaluan. Akan tetapi, demi kebahagiaan anak kita..."
“Ya, demi kebahagiaan anak kita. Akan tetapi kita harus mencari cara agar tidak kentara, dan terutama sekali agar Yo Han tidak sampai tersinggung."
"Itulah yang merisaukan hatiku. Alasan apa pula yang dapat kita pergunakan sekarang? Dahulu, kebetulan muncul Ang-I Moli yang mengajak Yo Han pergi sebagai pengganti Sian Li. Akan tetapi sekarang? Bagaimana mungkin kita mengusir dia begitu saja?"
"Memang tidak boleh kita mengusirnya begitu saja. Dulu aku telah berjanji kepada ayah ibunya untuk merawat dan mendidik Yo Han, dan andai kata tidak ada permasalahan dengan Sian Li, janji itu sudah pasti akan kupegang teguh!"
"Lalu bagaimana kita harus bertindak supaya pengusiran itu tidak menyinggung hatinya, akan tetapi berhasil baik?"
"Aku ada akal. Ingatkah engkau akan cerita Sian Li tentang puteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw? Nah, hilangnya anak itu dapat kita pergunakan untuk membujuk Yo Han! Ibu anak itu, siapa namanya... oh ya, Sim Hui Eng, ibunya Can Bi Lan adalah sumoi dari Bi Kwi, ibu Yo Han. Aku tahu benar betapa erat dan baiknya hubungan antara suci dan sumoi itu, seperti dua saudara kandung saja. Nah, kita ingatkan kepada Yo Han bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membela keluarga Can Bi Lan yang dahulu berjuluk Siauw Kwi itu, sebagai pengganti ibunya. Melihat hubungan yang amat baik antara ibunya dan Can Bi Lan, maka dia seperti keluarga sendiri saja dan sudah sepatutnya jika ia menggunakan kepandaiannya untuk berusaha mencari sampai dapat Sim Hui Eng yang kini hilang itu, atau setidaknya, memperoleh keterangan bagaimana jadinya dengan anak yang hilang itu."
Kao Hong Li mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya berkerut. "Memang itu boleh kita jadikan pendorong agar dia pergi. Akan tetapi rasanya masih kurang kuat. Bagaimana kalau aku memberi tahu kepadanya, tentu saja dengan lembut dan hati-hati, bahwa sekarang dia sudah dewasa, sudah sepantasnya kalau berdiri sendiri dan bahwa kini Sian Li sudah mulai besar dan dewasa sehingga tidak pantaslah kalau dia serumah dengan Sian Li? Juga dapat kusindirkan dengan halus kepadanya bahwa kita sudah menerima usul dan sedang menjajaki dan mempertimbangkan ikatan jodoh antara anak kita dengan seorang pangeran..."
Tan Sin Hong menatap tajam wajah isterinya. "Pangeran...?"
Kao Hong Li tersenyum. "Lupakah engkau akan Pangeran Cia Sun? Dulu kita pernah berjumpa dengan dia dan aku tidak dapat melupakan betapa engkau kagum kepadanya, dan pernah melontarkan harapan agar anak kita dapat menjadi jodohnya?"
"Ihh, engkau melamun dari mengkhayal, terlalu jauh dan tinggi! Bagaimana mungkin kita mendapat mantu seorang pangeran seperti dia?" Tan Sin Hong tersenyum, akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh harapan.
Pangeran Cia Sun memang bukan putera mahkota, bukan seorang pangeran yang nanti ada harapan untuk menjadi Kaisar. Walau pun demikian, dia adalah seorang pangeran yang tentu saja hidup mulia dan berkecukupan, juga lowongan jabatan dan kedudukan tinggi terbuka lebar untuk seorang pangeran.
Apa lagi Pangeran Cia Sun masih muda, terpelajar tinggi, dan pandai ilmu silat, bahkan pernah minta petunjuk kepada mereka tentang ilmu silat. Meski pun masih belum dapat dinamakan murid mereka karena hanya menerima petunjuk dan baru dilatih selama beberapa bulan saja ketika suami isteri itu pergi ke kota raja, namun mereka mengenal pangeran itu sebagai seorang pemuda yang baik, berbakat dan pantas menjadi mantu mereka.
Yang membuat mereka mengharapkan terjadinya hal ini adalah pernah ayah pangeran muda itu, yaitu Pangeran Cia Yan, secara berkelakar mengatakan bahwa ia akan amat senang jika dapat berbesan dengan Pendekar Bangau Putih, ketika mendengar bahwa pendekar itu mempunyai seorang puteri yang kini sedang memperdalam ilmu silatnya di rumah paman kakeknya.
Pangeran Cia Sun memang hanya seorang cucu dari Kaisar Kian Liong, namun karena dia pangeran, tentu saja dalam pandangan suami isteri itu, dia lebih segala-galanya dari pada pemuda lain. Akhirnya mereka tiba di kota Ta-tung dan Sian Li merasa gembira sekali tiba kembali di rumah orang tuanya yang telah ia tinggalkan selama lebih dari lima tahun.
Sin Hong dan Hong Li mempergunakan kesempatan selagi puteri mereka, Sian Li pergi berbelanja untuk keperluan menyambut hari sin-cia yang akan tiba sepekan lagi, untuk mengajak Yo Han berbicara. Mereka memanggil Yo Han untuk bicara di ruangan depan. Hal ini mereka maksudkan supaya kalau Sian Li pulang, mereka dapat melihatnya dan puteri mereka itu tidak sempat ikut mendengarkan percakapan mereka.
Sin Hong memulai percakapan itu dengan suara yang serius tapi juga ramah. "Yo Han, sudah beberapa hari ini engkau berada di sini, dan setelah engkau beristirahat, barulah hari ini aku ingin membicarakan suatu hal yang sejak kami bertemu kembali denganmu dan mendengar cerita Sian Li selalu menjadi ganjalan di hati kami.”
Yo Han memandang Sin Hong dengan sepasang matanya yang tajam seperti hendak menembus dan menjenguk hati orang yang dianggapnya sebagai guru pertama, bahkan sebagai pengganti ayahnya itu. "Suhu, katakanlah apa yang menjadi ganjalan hati Suhu dan Subo, mudah-mudahan teecu dapat membantu melegakan hati Suhu dan Subo."
"Memang hanya engkau yang bisa melegakan hati kami, Yo Han. Ganjalan di hati kami itu adalah saat kami mendengar tentang hilangnya Sim Hui Eng, puteri bibi gurumu Can Bi Lan. Kami merasa kasihan sekali kepada Pendekar Suling Naga dan isterinya. Putera mereka meninggal dunia ketika masih kecil, kemudian puteri mereka yang menjadi satu-satunya anak yang ada, semenjak berusia tiga tahun sudah diculik orang. Kami dapat membayangkan betapa sengsara hidup mereka dan pantaslah mereka itu seperti hidup mengasingkan diri, tidak pernah menghubungi keluarga dan para handai taulan. Apakah engkau tidak merasa kasihan, Yo Han?"
"Yo Han, tahukah engkau betapa akrab dulu hubungan antara mendiang ibumu dengan sumoi-nya, yaitu Can Bi Lan?" Hong Li ikut bicara.
Yo Han mengangguk. "Tentu saja teecu juga merasa kasihan sekali mendengarkan nasib mereka yang kehilangan anak tunggal. Dan teecu masih ingat bahwa mendiang Ibu amat sayang kepada Bibi Can Bi Lan."
"Syukurlah kalau engkau masih ingat," kata Sin Hong. "Nah, sekarang tentang ganjalan di hati kami itu, Yo Han. Ayah dan ibumu dahulu menitipkan engkau kepadaku, dan aku akan merasa berdosa sekali kalau tidak menganjurkan supaya engkau sekarang pergi mencari Sim Hui Eng sampai dapat! Siapa lagi kalau bukan engkau yang membantu bibimu Can Bi Lan itu menemukan kembali puterinya? Dan aku yakin bahwa arwah ibumu akan bersyukur dan berterima kasih sekali kalau engkau dapat melakukan hal itu kepada bibimu Bi Lan. Mereka akan merasa berbahagia sekali, dan kami berdua juga akan merasa bangga. Setidaknya, bukan hal yang sia-sia saja Ibumu dahulu menitipkan engkau kepadaku."
Yo Han mengangguk-angguk mengerti, walau pun diam-diam dia mengeluh karena ke mana dan bagaimana dia akan mungkin dapat menemukan anak yang sudah dua puluh tahun menghilang itu? Dia ingat bahwa anak perempuan itu mempunyai ciri-ciri yang khas di pundak dan telapak kakinya, namun alangkah akan sukarnya mencari seorang gadis yang mempunyai ciri-ciri di tempat yang tertutup dan tersembunyi itu!
"Ada sebuah hal lagi yang ingin kusampaikan kepadamu, Yo Han. Bagaimana pun juga, kami berdua sudah menganggap engkau seperti keluarga sendiri, karena dahulu oleh orang tuamu engkau diserahkan dan dititipkan kepada suamiku. Nah, sekarang usiamu sudah dewasa, kalau tidak salah, usiamu sudah dua puluh lima tahun. Karena itu, kami ingin melihat engkau berumah tangga. Kalau kami berhasil merayakan pernikahanmu, barulah suamiku akan merasa puas dan lega, menganggap bahwa tugasnya merawat dan mendidikmu baru sempurna. Selain itu, karena engkau sudah kami anggap seperti anak sendiri, tidak baiklah kalau sampai adikmu Sian Li menikah lebih dahulu...," kata Hong Li seperti sambil lalu saja.
Yo Han memandang kepada suami isteri itu dengan wajah yang berubah kemerahan. Anjuran kepadanya untuk segera menikah dianggapnya wajar saja, akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah berita tentang Sian Li dan pernikahan!
"Tapi... Li-moi... kalau tidak salah baru berusia tujuh belas tahun..." katanya hanya untuk mengucapkan sesuatu agar tidak diam dan bengong saja.
"Sudah mulai dewasa, dan bukan kanak-kanak lagi. Bahkan kami pernah menerima usul perjodohannya dengan seorang pangeran... ahhh, hal itu belum resmi, tidak perlu kami beri tahukan sekarang," kata Hong Li.
Yo Han merasa betapa dadanya bagaikan ditekan sesuatu yang berat. Sian Li sudah dipilihkan calon suami? Seorang pangeran? Wah...! Entah kenapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi berita ini sama sekali tidak mendatangkan kegembiraan di dalam hatinya, bahkan membuat dia merasa tidak tenang.
"Nah, kami harap engkau segera bersiap-siap untuk mulai dengan tugasmu itu, Yo Han, dan tidak mengecewakan kami. Kalau hal ini ditunda lebih lama lagi, kami khawatir akan terlambat. Dan ketahuilah bahwa andai kata engkau dapat menemukan puteri bibimu Can Bi Lan itu, selain hal itu akan amat membanggakan hati kami, juga kalau gadis itu memang baik dan pantas, kami akan merasa berbahagia sekali untuk berbesan dengan Pendekar Suling Naga."
"Maksud Suhu...?"
"Akan baik sekali kalau engkau dapat menemukan kembali puteri mereka dan kemudian engkau menikah dengannya."
"Ahh, Suhu...!" Yo Han tersipu.
Betapa muluknya jalan pikiran gurunya ini. Mencari saja belum tentu bisa dapat, sudah hendak menjodohkannya. Ayah bunda gadis itu sendiri yang merupakan suami isteri yang sakti, selama dua puluh tahun mencari anak mereka tanpa hasil. Apa lagi dia yang sekarang baru hendak mulai.
"Sudahlah, hal itu kita bicarakan kelak saja. Akan tetapi, sanggupkah engkau memenuhi permintaan suhu-mu untuk mencari Sim Hui Eng sampai dapat?" tanya Hong Li.
"Teecu akan berusaha sekuat tenaga."
"Jadi engkau sanggup?" Sin Hong mendesak.
"Teecu sanggup, Suhu."
"Bagus! Engkau membuat lega hati kami, Yo Han. Andai kata kelak tidak berhasil sekali pun, namun engkau sudah berusaha sekuat tenaga dan itu saja sudah melegakan hati kami terhadap arwah orang tuamu."
"Nah, lebih baik engkau membuat persiapan. Semakin cepat dimulai pencarian itu akan semakin baik, Yo Han," kata Hong Li.
Yo Han mengangguk lalu mengundurkan diri, masuk ke kamarnya membuat persiapan. Dia tidak boleh bersikap lemah. Meski pun hari sin-cia kurang sepekan lagi, akan tetapi rasanya amat cengeng kalau dia harus menunda tugasnya itu sampai lewat hari sin-cia. Seperti anak kecil saja, padahal tugas itu penting sekali.
Akan tetapi dia harus meninggalkan Sian Li! Hal inilah yang membuat dia termenung sedih. Rasanya sangat berat untuk berpisah lagi dari gadis itu setelah berpisah selama tiga belas tahun dan kini saling jumpa dan berkumpul kembali. Dia tahu bahwa gadis itu pun tentu akan merasa bersedih kalau dia tinggalkan lagi.
Selagi dia sedang mengumpulkan pakaian untuk dijadikan sebuah buntalan, daun pintu kamarnya diketuk orang. Dia membuka daun pintu itu, berharap Sian Li yang datang walau pun gadis itu tak pernah mengetuk pintunya melainkan langsung masuk saja bila hendak bicara. Akan tetapi ternyata yang datang berkunjung adalah Kao Hong Li!
"Subo...," kata Yo Han dengan sikap hormat.
"Yo Han, ada satu hal penting yang tadi kami lupa untuk memesan kepadamu."
"Hal apakah itu, Subo?"
"Engkau tahu, Sian Li kadang-kadang suka kekanak-kanakan. Ia lupa bahwa ia bukan kanak-kanak lagi, melainkan sudah menjadi seorang gadis dewasa. Karena itu, mungkin sekali kalau engkau memberi tahu kepadanya bahwa engkau akan pergi mencari Sim Hui Eng, ia akan rewel dan ingin ikut. Kalau ia rewel seperti itu, kuharap engkau suka dan dapat membujuknya agar dia tidak ikut pergi. Engkau tentu cukup maklum bahwa tidak mungkin kami membolehkan ia pergi lagi meninggalkan kami, apa lagi sekarang ia sudah dewasa. Bagaimana kalau sampai calon suaminya mendengar bahwa dia pergi merantau berdua saja dengan seorang pemuda, walau pun pemuda itu adalah engkau, yang dapat dibilang sebagai kakak angkatnya? Engkau maklum, bukan?"
Yo Han merasa betapa hatinya pedih mendengar ini, akan tetapi tentu saja dia dapat memaklumi apa yang dimaksudkan oleh subo-nya itu. "Baik, Subo. Kalau sampai Li-moi hendak ikut, tentu akan teecu bujuk ia agar tidak melakukan hal itu."
Akan tetapi, pelaksanaan selalu lebih sulit dari pada rencana. Sore hari itu, pada waktu mereka berdua bicara dalam taman bunga di belakang rumah, Yo Han berpamit dari Sian Li bahwa sore hari itu juga dia akan pergi meninggalkan rumah itu.
Sian Li terbelalak menatap wajah Yo Han. "Pergi? Engkau hendak pergi, Han-ko? Pergi ke mana dan mengapa?" Sian Li menghampiri Yo Han dan memegang kedua tangan pemuda itu. Ia memang selalu bersikap akrab, bahkan manja kepada pemuda itu.
"Li-moi, ingatkah engkau akan Sim Hui Eng?"
Sian Li membelalakkan mata. "Sim Hui Eng? Siapa yang kau maksudkan? Ahhh, she Sim! Ingat aku sekarang, bukankah ia puteri Paman Sim Houw yang hilang dua puluh tahun yang lalu itu?" Kini matanya memandang tajam penuh selidik. "Mengapa engkau tiba-tiba menyebut namanya, Han-ko?"
"Nah, aku harus pergi karena aku berkewajiban membantu Bibi Can Bi Lan menemukan kembali puterinya. Mendiang Ibuku sangat akrab dan sayang kepada Bibi Bi Lan, maka arwah Ibuku akan senang sekali kalau aku membantu Bibi Bi Lan untuk menemukan kembali puterinya yang hilang itu."
Sian Li menatap wajah pemuda itu dan mukanya agak berubah. "Han-ko, baru saja kita berkumpul kembali dan kini engkau akan meninggalkan aku lagi? Sampai berapa lama Han-ko?"
"Entahlah, Li-moi. Engkau pun tahu bahwa aku juga ingin selalu berada di sampingmu. Akan tetapi tugas ini penting sekali. Pula, tidak ada perjumpaan tanpa diakhiri dengan perpisahan, Li-moi. Engkau tentu tidak ingin melihat aku menjadi seorang yang tidak mengenal budi dan tidak mau mewakili mendiang Ibu untuk menolong Bibi Bi Lan."
Sian Li merasa kepalanya nanar. Berita kepergian Yo Han demikian tiba-tiba datangnya. Baru saja dia bergembira, berbelanja untuk keperluan sin-cia dan sin-cia kali ini terasa amat istimewa baginya karena di situ terdapat Yo Han yang akan merayakan sin-cia bersamanya. Dan kini, mendadak Yo Han menyatakan hendak pergi meninggalkannya, entah untuk berapa lama!
"Han-ko, kapan engkau akan berangkat?" Sian Li bertanya, suaranya mulai terdengar sumbang.
"Sekarang juga, Li-moi. Aku sudah berkemas dan siap berangkat, tadi hanya menanti engkau untuk berpamit saja."
Sian Li terbelalak dan tiba-tiba dia merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu. "Han-ko, aku ikut engkau pergi!" katanya mantap dan bersungguh-sungguh.
Yo Han terkejut, tetapi juga merasa betapa hatinya berdebar penuh perasaan bahagia, girang dan terharu. Dia memejamkan kedua matanya ketika merasa betapa lingkaran kedua lengan gadis itu amat ketat, dan dia menguatkan hatinya agar jangan menuruti kehendak batinnya yang ingin membalas, ingin mendekap kepala yang disayangnya itu ke dadanya.
"Li-moi, janganlah begitu. Tidak mungkin engkau ikut bersamaku. Perjalanan ini tidak menentu kapan berakhirnya. Engkau tak boleh meninggalkan ayah ibumu. Biarkan aku pergi, Li-moi."
"Tidak... tidak... aku tak mau kau tinggalkan, aku tak mau berpisah lagi darimu, Han-ko!" Sian Li berkata, kini gadis itu menangis di atas dada Yo Han dan rangkulannya semakin kuat. Yo Han menjadi bingung, apa lagi pada saat itu muncul Sin Hong dan Hong Li!
"Yo Han, apa yang kau lakukan ini?!" terdengar Tan Sin Hong membentak marah.
"Suhu, Subo... maafkan teecu...," berkata Yo Han tanpa berdaya karena Sian Li masih merangkulnya.
"Yo Han, sungguh tidak pantas kelakuanmu ini. Sian Li, lepaskan dia!" Hong Li juga berseru marah.
Sian Li tidak melepaskan rangkulannya, akan tetapi ia mengangkat mukanya dari dada Yo Han dan menoleh kepada orang tuanya.
"Ayah, Ibu, Han-ko tidak bersalah apa-apa. Aku... aku ingin ikut dengannya, aku tidak mau ditinggalkannya lagi..."
Yo Han menguatkan hatinya, melepaskan rangkulan Sian Li dengan lembut. Dia harus mengambil keputusan yang tepat. Tidak boleh ia menyenangkan hatinya sendiri dengan mengorbankan perasaan Sin Hong dan Hong Li, dua orang yang dihormatinya itu.
"Li-moi, lepaskanlah. Aku tak mau mengajak engkau pergi. Engkau hanya akan menjadi beban saja, dan aku mempunyai tugas penting.”
"Han-ko...!" Sian Li berseru dan dengan mata basah oleh air mata memandang kepada Yo Han seperti orang yang tidak percaya. "Engkau... engkau...?"
Yo Han menunduk sambil menghela napas pandang. "Sudahlah, Li-moi, engkau tidak boleh membikin marah ayah ibumu. Suhu dan Subo, teecu berangkat sekarang. Li-moi, jaga baik-baik dirimu!” Pemuda itu lalu melangkah lebar memasuki rumah, mengambil buntalannya dan akan segera pergi.
"Han-koko...!”
Sian Li hendak mengejar, akan tetapi ibunya sudah memegang lengannya.
"Sian Li, sungguh memalukan sekali sikapmu ini!"
Akan tetapi Sian Li meronta, melepaskan pegangan ibunya dan berlari ke dalam rumah mengejar Yo Han. Ayah ibunya saling pandang, menggeleng kepala, kemudian berlari mengikuti. Akan tetapi setelah tiba di kamar Yo Han, Sian Li tidak melihat lagi pemuda itu.
Yo Han telah pergi dengan cepat sekali. Sian Li mencari ke sana sini dan memanggil-manggil, namun percuma, yang dipanggilnya sudah pergi tanpa meninggalkan bekas.
"Han-ko...! Han-koko...!" Ia berteriak-teriak dan hampir bertubrukan dengan ayah ibunya di ruangan tengah.
"Sian Li!" bentak Sin Hong marah.
"Sian Li, kelakuanmu ini sungguh tidak patut," ibunya juga mengomeli anaknya. "Yo Han telah pergi, ia pergi melaksanakan tugas. Engkau bukan anak kecil lagi yang begitu saja hendak ikut pergi. Engkau sudah dewasa, seorang gadis dewasa. Bagaimana mungkin seorang gadis pergi begitu saja, berdua dengan seorang pemuda? Memalukan!"
Sian Li memandang ayah dan ibunya, wajahnya pucat dan basah air mata. "Ayah dan Ibu yang melakukan semua ini! Ayah dan Ibu yang mengusahakan supaya dia pergi meninggalkan aku. Dahulu, Ayah Ibu pula yang memisahkan kami, sekarang ayah dan Ibu pula yang mengulangi hal itu. Aku ingin dekat Han-ko! Apakah Ayah dan Ibu tidak tahu? Aku cinta kepada Han-ko. Aku cinta padanya...!” Sian Li menjatuhkan diri di atas bangku dan menangis.
Sin Hong dan Hong Li saling pandang, kemudian menggeleng-geleng kepala. Hong Li mendekati anaknya, merangkulnya. Sian Li menoleh, lalu merangkul ibunya.
"Ibu...!" Dan ia menangis tersedu-sedudi dada ibunya.
"Sian Li, kami juga mencinta Yo Han. Akan tetapi engkau dan Yo Han sudah seperti saudara sendiri. Dia cinta padamu sebagai seorang kakak, dan engkau masih terlalu kecil untuk mencinta sebagai seorang wanita. Ingatlah, kita semua akan ternoda aib bila sebagai seorang gadis baik-baik, engkau pergi merantau bersama seorang pemuda. Tugasnya berat. Dia harus membantu bibinya mencari puteri mereka yang hilang. Kita sendiri pun harus membantu pamanmu Sim Houw. Kita bertiga juga akan pergi mencari keterangan. Kita akan pergi ke kota raja, siapa tahu kita akan dapat menemukan Sim Hui Eng."
Dihibur ayah ibunya dan dijanjikan akan diajak pergi membantu pencarian Sim Hui Eng, Sian Li menghentikan tangisnya.
"Sian Li, ingatlah bahwa sebetulnya tidak tepat sama sekali jika engkau memperlihatkan kecengengan seperti ini." Sin Hong berkata, "Engkau bukanlah seorang anak kecil lagi. Engkau seorang gadis hampir dewasa dan usiamu sudah tujuh belas tahun. Lebih dari pada itu, engkau telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Bahkan engkau sudah pantas dijuluki Si Bangau Merah sebagai imbangan ayahmu yang dijuluki orang sebagai Pendekar Bangau Putih. Karena itu engkau harus memperdalam ilmu silat keluarga kita, yaitu Pek-ho Sin-kun. Dan untuk menyesuaikan kesukaanmu akan warna merah dan julukanmu Si Bangau Merah, aku akan mengubah sedikit dalam Pek-ho Sin-kun supaya lebih tepat dinamakan Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah), khusus untukmu."
Akhirnya Sian Li dapat melupakan kesedihannya. Apa lagi karena dia mengharapkan bahwa kelak dia akan dapat bertemu kembali dengan Yo Han. Mungkin dalam pesta perayaan dan pertemuan besar yang diadakan oleh Kakek Suma Ceng Liong, atau jika Yo Han tak muncul di sana, tentu pemuda itu akan muncul setelah berhasil menemukan Sim Hui Eng. Juga janji ayah ibunya untuk mengajak dia membantu pencarian Sim Hui Eng, dimulai di kota raja, mendatangkan kegembiraan di hatinya yang pada dasarnya memang lincah gembira, tidak dapat menyimpan kesedihan terlalu lama.
Dia tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan lawan yang sangat berbahaya karena selain mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, memiliki pula ilmu sihir dan ahli menggunakan racun, juga mereka berjumlah banyak. Kiranya tak mungkin dia seorang diri saja akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, kalau Sian Li sudah lolos, agaknya bukan tak mungkin baginya untuk melarikan dan meloloskan diri dari kepungan mereka.
“Omitohud... kiranya Sin-ciang Taihiap yang terkenal itu tidak datang baik-baik melalui pintu gerbang depan seperti seorang gagah, tetapi secara curang menyelundup masuk seperti maling!” kata seorang pendeta Lama, seorang di antara para pembantu Lulung Lama sambil memegang sebatang tongkat pendeta berkepala naga yang lebih panjang dari pada tubuhnya yang tinggi.
“Losuhu, siapa yang curang agaknya perlu diteliti lebih jauh, aku ataukah perkumpulan Hek-I Lama yang terdiri dari pendeta-pendeta yang sudah sepantasnya bersikap jujur, adil dan mengharamkan perbuatan-perbuatan sesat. Ketua kalian, Dobhin Lama, sudah menantangku untuk mengadu ilmu dengan taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan mengembalikan mutiara hitam dan membebaskan Liem Sian Lun. Kami bertanding dan Tuhan membimbingku sehingga ketua kalian kalah. Dobhin Lama telah dengan gagah mengakui kekalahan dan mengembalikan mutiara hitam, tapi kalian tidak membebaskan Liem Sian Lun, bahkan secara curang sekali sudah menawan Tan Sian Li. Nah, siapa yang curang?”
Tiba-tiba Gulam Sing mencabut goloknya yang melengkung, mengangkat goloknya itu tinggi di atas kepalanya. Setelah mendengar ucapan Yo Han melalui penterjemahnya, dia pun berteriak dalam bahasanya sendiri.
“Sin-ciang Taihiap, engkau ini manusia sombong! Engkau sudah mengalahkan Dobhin Lama, tetapi hal itu terjadi karena dia sudah tua dan kehabisan tenaga. Kini engkau berani lancang menyusup ke sini seperti pencuri, jangan harap akan dapat keluar lagi hidup-hidup!”
Ketika ucapan itu hendak diterjemahkan, Yo Han mendahului. “Aku mengerti apa yang kau katakan, Pangeran Gulam Sing. Dan aku sudah mengerti pula kenapa engkau dan gerombolanmu keluar dari Nepal sebagai orang-orang pemberontak pelarian. Sekarang engkau bergabung dengan Lama Jubah Hitam yang juga tengah memberontak terhadap pemerintah Tibet, tentu hanya untuk mencari kawan saja agar kelak dapat membalas budi dan membantumu memberontak terhadap pemerintah Nepal!”
“Sin-ciang Taihiap, mati hidupmu ada di tangan kami dan engkau masih membuka mulut besar? Kepung dan keroyok!” teriak seorang pemimpin Hek-I Lama.
Pangeran Nepal itu sudah mendahului dengan serangan golok melengkung yang amat tajam itu, disusul rekan-rekannya sehingga dalam beberapa detik saja hujan senjata telah menyerang ke arah tubuh Yo Han. Yo Han maklum bahwa dia diserang oleh banyak orang pandai, maka dia mengerahkan ginkang-nya. Tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung walet cepatnya, berloncatan dan mengelak dari hujan senjata yang menyambar dari segenap penjuru itu.
Dia harus memberi waktu kepada Sian Li untuk dapat lolos terlebih dahulu sebelum dia sendiri melarikan diri. Sebaiknya dia memancing datangnya semua tokoh di tempat itu supaya pelarian Sian Li dapat berjalan lancar. Sian Lun sudah tewas dan tidak perlu dipikirkan lagi. Sambil berloncatan mengelak, kaki tangannya bergerak dengan tamparan-tamparan dan tendangan. Beberapa orang pengeroyok terpelanting, usahanya memang berhasil. Semua tokoh yang dirinya memiliki kepandaian yang tinggi saja yang hanya mengepung dengan senjata di tangan, tanpa berani lancang ikut mengeroyok.
Akan tetapi Yo Han tetap merasa khawatir karena belum juga nampak Lulung Lama dan Pek-Sian Sam-Li turut mengeroyok. Dia khawatir kalau-kalau empat orang yang paling lihai itu menjadi penghalang bagi lolosnya Sian Li yang tadi dibantu oleh Cu Ki Bok. Kekhawatiran Yo Han itu memang terbukti benar. Cu Ki Bok berhasil membawa Sian Li lari sampai ke dekat pagar bambu runcing dan tidak pernah ada penjaga yang berani menghalanginya. Mereka berhenti di bawah pagar bambu runcing.
“Nah, engkau loncatlah ke atas dan cepat tinggalkan tempat ini, Sian Li,” berkata Cu Ki Bok, suaranya agak gemetar.
Sian Li memegang tangan pemuda itu. Ia dapat mendengar getaran suara itu dan ia pun terharu. “Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Ki Bok? Mereka akan tahu bahwa engkau telah membebaskan aku, dan tentu engkau akan celaka...”
Ki Bok tersenyum dan menggeleng kepala. ”Aku cukup penting bagi perjuangan Suhu dan kawan-kawan. Kesalahanku itu kecil saja karena engkau bukanlah orang Mancu, bukan musuh yang penting. Sudahlah, aku pasti dapat menjaga diriku sendiri, Sian Li. Kau pergilah...!”
Sian Li melepaskan pegangan tangannya, melangkah ke arah pagar bambu, akan tetapi terhenti lagi dan menengok. “Ki Bok...” ia meragu.
“Ada apa lagi, Sian Li? Cepat-cepatlah, jangan sampai mereka datang mengejar.”
“Aku hanya ingin minta maaf padamu...”
“Minta maaf? Untuk apa?” Ki Bok memandang heran.
“Engkau begitu mencintaiku dan sudah kau buktikan dengan pertolongan ini, akan tetapi aku... aku tidak dapat membalas cintamu. Maafkan aku, Ki Bok.”
Cu Ki Bok tertawa, namun suara ketawanya sumbang, “Sudah nasibku Sian Li, cinta tak dapat bertepuk sebelah tangan. Engkau tidak bersalah. Cinta tidak dapat dipaksakan, hanya aku yang tidak tahu diri. Nah, pergilah dan jangan pikirkan aku lagi...”
Mendadak mereka melihat beberapa bayangan berkelebat. Mata Ki Bok terbelalak pada saat melihat bahwa gurunya, Lulung Lama, ketiga Pek-Lian Sam-li dan belasan orang pembantu mereka telah mengepung tempat itu!
“Omitohud, tidak kusangka bahwa muridku yang paling kupercaya, sekarang bahkan mengkhianatiku! Sungguh seperti memelihara anak harimau, ketika kecil dan lemah dirawat dan dipelihara, setelah besar dan kuat hendak menubruk pemeliharanya sendiri. Engkau murid murtad!”
“Suhu, teecu hanya hendak membebaskan Nona Tan Sian Li karena dia tidak bersalah dan karena teecu tidak tega melihat dia celaka. Suhu, Nona Tan bukan musuh kita, dan membebaskannya tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan perjuangan kita. Bagai mana Suhu dapat mengatakan bahwa teecu murtad dan pengkhianat? Suhu, kalau Suhu menghendaki supaya perjuangan kita mendapat dukungan para pendekar di dunia kang-ouw, sebaiknya Suhu membebaskan Nona ini.”
Terdengar suara tertawa merdu, disambung suara Ji Kim, orang ke tiga dari Pek-lian Sam-li yang cantik manis dan lincah. “Hi-hi-hik, apakah Losuhu masih belum mengerti? Muridmu itu telah tergila-gila kepada gadis ini, dan orang yang tergila-gila seperti dia itu mau berbuat apa saja untuk orang yang dicintainya. Kalau perlu melawan guru sendiri demi membela wanita yang dicintainya, heh-heh!”
“Benar sekali, Losuhu. Muridmu ini tidak ada harganya sama sekali, bahkan berbahaya karena sewaktu-waktu dia dapat mengkhianati kita,” kata Ji Kui.
Cu Ki Bok marah sekali dan dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka tiga orang wanita itu. “Pek-Lian Sam-li, kalian ini hanya tamu akan tetapi tidak tahu diri! Aku tahu kenapa kalian membenciku, karena aku tak sudi melayani rayuan kalian, bukan? Kalian sungguh menjemukan, kalian perempuan-perempuan hina yang berkedok pejuang!”
“Ki Bok tutup mulutmu!” Lulung Lama membentak.
Sian Li yang sejak tadi mendengarkan saja, kini melangkah maju dan ia pun berseru nyaring. “Ucapan Ki Bok benar! Tiga orang wanita jalang ini tak tahu malu! Ki Bok seribu kali lebih berharga dari pada mereka ini, Losuhu.”
“Hi-hik, engkau sudah mau mampus masih banyak lagak!” bentak Ji kui, dan bersama adiknya ia sudah menyerang ke arah Sian Li.
Gadis berpakaian merah ini bergerak cepat. Dia mengelak, dan meski pun ia bertangan kosong, ia membalas dengan serangan yang dahsyat.
“Ki Bok, pinceng tidak mungkin dapat membiarkan engkau kelak mengkhianatiku. Nah, terimalah hukuman dariku ini!’ Pendeta Lama itu menerjang ke depan dan menghantam dengan tangan kanan ke arah kepala murid sendiri.
“Suhu...!” Ki Bok berseru.
Dia cepat melempar tubuhnya ke belakang. Biar pun dia sudah mengelak cepat, namun angin pukulan itu masih menyambar dahsyat dan tubuhnya terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter lebih.
“Ki Bok...! Losuhu engkau tidak boleh membunuhnya!” Sian Li berteriak.
Akan tetapi tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu sudah menyerangnya dari tiga penjuru dan walau pun ia dapat menangkis dan mengelak, tetap saja ia terhuyung ke belakang. Seorang penjaga yang memegang pedang menyambutnya dengan tusukan pedangnya.
Sian Li adalah seorang gadis gemblengan. Walau pun dia kurang pengalaman dan ilmu-ilmunya belum masak benar, namun ia telah mewarisi ilmu-ilmu hebat. Ketika ada angin tusukan pedang menyambar tubuh bagian iga dari samping, dia masih dapat menekuk tubuhnya sehingga pedang lewat di dekat iganya. Kakinya menendang dan pergelangan tangan yang memegang pedang itu terkena sambaran ujung kakinya. Tangannya juga cepat merenggut dan pada lain detik pedang itu sudah berpindah ke tangannya! Begitu memegang pedang, senjata itu langsung menyambar sehingga penyerangnya tadi pun roboh oleh pedangnya sendiri.
Dengan pedang di tangan, Sian Li lantas mengamuk, memainkan Liong-siauw Kiam-sut dengan pedang rampasan itu. Namun Pek-lian Sam-li yang juga sudah menggunakan pedang, mengepung dan mengeroyoknya, membuat Sian Li tidak mungkin lagi dapat mendekati Ki Bok lagi. Pemuda itu bangkit berdiri setelah tadi terguling-guling, hanya untuk melihat suhu-nya sudah berdiri di depannya, kini dengan sepasang senjata gelang roda besar di kedua tangan, serta matanya mencorong marah, penuh nafsu membunuh.
“Suhu, ampunkan teecu...” Cu Ki Bok meratap.
Dia tidak takut mati konyol di tangan gurunya sendiri, walau pun hanya untuk kesalahan sekecil itu. Kalau diingat betapa semenjak kecil ia diperlakukan dengan baik oleh Lulung Ma, sungguh penasaran bila sekarang terancam maut di tangan orang yang selama ini dianggap sebagai pengganti orang tuanya, yang menyayang dan disayangnya. Agaknya Lulung Lama juga tak tega untuk membunuh pemuda yang selama ini menjadi tumpuan harapan dan yang disayangnya, yang selama ini setia kepadanya itu, maka dia nampak ragu-ragu.
“Losuhu, ingat, ia agaknya pun berbaik dengan Sin-ciang Taihiap. Dia amat berbahaya, seperti musuh dalam selimut!” teriak Ji Kim yang merasa kecewa dan sakit hati karena selamanya baru sekali ia dan encinya ditolak pria, yaitu ketika mereka gagal merayu Ki Bok.
Mendengar teriakan ini, bangkit kembali kemarahan Lulung Lama. Memang muridnya ini yang menerima Yo Han.
“Mampuslah...!” bentaknya dan dia pun menyerang dengan sepasang rodanya.
Ki Bok terkejut bukan main dan berusaha untuk mengelak. Dia tetap tidak mau melawan gurunya dan hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut. Akan tetapi, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan gurunya, maka sebuah tendangan kaki Lulung Lama mencium lutut kanannya dan dia pun terpelanting.
“Sian Li, larilah... cepat...!” Dia masih sempat berteriak sebelum sebuah roda di tangan kiri Lulung Lama menghantam kepalanya dan pemuda itu tewas seketika.
Lulung Lama berdiri seperti patung, memandang ke arah pemuda yang kepalanya retak dan tewas itu, dan baru dia merasa menyesal bukan main.
“Ki Bok... omitohud... apa yang kulakukan ini? Ki Bok...,” dia mengeluh.
Seolah menjawab kata-katanya, terdengar sorak-sorai riuh sekali dan nampak obor-obor dinyalakan di luar pagar bambu, kemudian terdengar suara hiruk pikuk pada saat pagar bambu yang mengelilingi perkampungan itu dijebol orang dari luar. Perkampungan itu diserbu orang dari luar. Dapat dibayangkan alangkah kagetnya rasa hati Lulung Lama ketika pagar itu jebol. Dia melihat banyak pendeta Lama di antara para penyerbu yang terdiri dari pasukan Tibet!
“Celaka...!” serunya.
Dia maklum bahwa sarangnya diserbu oleh pasukan pemerintah Tibet bersama anak buah Dalai Lama. Dia pun cepat lari ke bangunan induk untuk memimpin anak buahnya mengadakan perlawanan. Akan tetapi, dengan kaget Lulung Lama melihat bahwa para penyerbu bukan hanya terdiri dari pasukan Tibet dan para pendeta Lama saja, tetapi juga puluhan orang kang-ouw.
Orang-orang kang-ouw itu kini membantu Yo Han yang dikeroyok dan yang tadi sedang mengamuk. Maklumlah Lulung Lama bahwa dia harus melawan mati-matian. Karena itu, sambil mengeluarkan teriakan menantang, dia sudah menyerbu ke arah Yo Han yang kini dia ketahui adalah Sin-ciang Taihiap sendiri. Yo Han menyambut senjata roda di tangan Lulung Lama dan terjadilah perkelahian hebat di antara mereka.
Sementara itu, pada waktu melihat serbuan pasukan Tibet dan para pendeta Lama, juga orang-orang kang-ouw, Sian Li menjadi girang sekali dan ia pun tidak jadi melarikan diri. Bahkan ia lalu menggunakan suling emasnya yang tadi ia terima kembali dari Cu Ki Bok untuk membantu para penyerbu, mengamuk sambil mencari-cari Pangeran Gulam Sing yang amat dibencinya untuk membalas kematian suheng-nya.
Gadis ini menerima sebuah suling berselaput emas dari Kam Bi Eng, nenek yang telah menggemblengnya. Meski pun ia juga pandai memainkan pedang, namun ia lebih suka kalau memegang suling ini sebagai senjatanya. Akhirnya Sian Li menemukan orang yang dicari-carinya. Ternyata Pangeran Gulam Sing yang tinggi besar brewok dan gagah perkasa itu, dengan senjatanya yang mengerikan, yaitu golok melengkung yang amat tajam, sedang bertanding malawan Gak Ciang Hun dan ibunya.
Pangeran Nepal itu memang tangguh, dan terutama sekali dia memiliki tenaga raksasa yang membuat Ciang Hun dan ibunya kewalahan. Setiap kali senjata ibu dan anak itu bertemu dengan golok melengkung itu, tentu pedang mereka terpental. Hanya setelah Ciang Hun mengerahkan tenaga sinkang-nya, barulah dia berani beradu senjata. Akan tetapi ibunya tidak berani mengadu senjata secara langsung, hanya mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengeroyok.
“Pangeran jahanam!” Sian Li berseru dan sekali lompat, tubuhnya menjadi bayangan merah dan suling emasnya mengeluarkan bunyi melengking ketika ia menotok ke arah leher pangeran yang tinggi besar itu.
“Ha-ha-ha-ha, Si Bangau Merah datang. Bagus, marilah kita main-main sebentar, nona manis!” kata pangeran itu dalam bahasa yang patah-patah.
Goloknya digerakkan dengan pengerahan tenaga, dihantamkan ke arah suling emas yang menusuk lehernya, dengan maksud agar senjata di tangan nona pakaian merah itu terpental dan lepas. Akan tetapi Sian Li bukan seorang gadis bodoh. Dia sudah tahu bahwa lawannya ini mempunyai tenaga yang sangat besar, maka dia menarik kembali sulingnya dan secepat kilat, sulingnya yang lepas dari tangkisan lawan itu sudah balas menotok ke arah ulu hati lawan!
Pada saat yang bersamaan, Gak Ciang Hun dan ibunya, Souw Hui Lian atau Nyonya Gak, sudah menyerang pula dengan pedang mereka dari kanan kiri. Melihat dirinya diserang oleh tiga orang lawan yang kesemuanya tidak boleh dipandang ringan, Pangeran Gulam Sing lantas mengeluarkan bentakan nyaring, bentakan yang mengandung kekuatan sihir.
Tiga orang lawan itu tergetar seperti kehilangan tenaga dan di lain saat, kaki Pangeran Nepal itu sudah merobohkan Nyonya Gak dengan tendangan kakinya yang mengenai paha. Goloknya menyambar ke arah Gak Ciang Hun yang masih sempat melempar diri ke belakang sehingga serangan itu luput, sementara tangan kiri pangeran Nepal itu mencengkeram ke arah kepala Sian Li!
Gadis ini terkejut. Tadi ketika Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan, ia pun ikut tergetar dan seperti kehilangan tenaga sehingga tusukan sulingnya gagal. Kini tiba-tiba lengan yang panjang itu telah terjulur secepat kilat dan telapak tangan yang besar itu sudah mencengkeram ke arah kepalanya!
Sian Li cepat miringkan kepala mengelak. Akan tetapi tangan itu terus menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kirinya dan terdengar pangeran itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Nona merah, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku... ehhh...!” Dia terkejut karena mendadak saja cengkeraman tangannya itu tertolak ke belakang oleh tenaga dahsyat dari sinar emas yang menyambar ke arah tangannya itu.
Dia cepat meloncat ke belakang dan ketika dia mengangkat muka, dia melihat bahwa di situ telah berdiri seorang lelaki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, berpakaian sederhana. Melihat pria ini sama sekali tidak mengesankan, tetapi sepasang matanya mencorong penuh wibawa.
Pria itu memandang kepada Sian Li yang tadi terkejut dan juga lega bahwa ada orang yang menyelamatkannya. Terdengar dia berkata, “Nona, biarlah aku yang menghadapi orang Nepal ini.”
Pangeran Gulam Sing yang menjadi marah tidak memberi kesempatan kepada lawan yang tangguh itu untuk banyak bicara. Dengan geram dia telah mengeluarkan bentakan nyaring yang disertai kekuatan sihirnya sambil menggerakkan golok melengkung untuk menyerang.
Akan tetapi pria itu bersikap tenang saja, agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakan itu dan dia sudah mencabut kembali sebatang suling dari ikat pinggangnya. Suling itu terbuat dari kayu, akan tetapi mengkilap sepeti emas, dan ketika dia gerakkan, maka terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup orang. Golok melengkung itu tertolak keras ketika bertemu suling, membuat Pangeran Gulam Sing menjadi terkejut. Dia pun mengamuk dan menyerang membabi buta, dilayani oleh pria yang sederhana itu.
Sian Li, Nyonya Gak, dan Ciang Hun memandang kagum. Terutama sekali Sian Li yang sekarang melongo dan terheran-heran. Ia dapat melihat dengan jelas bahwa suling itu dimainkan oleh Si Pria tiada bedanya sama sekali dengan permainannya sendiri, itulah Liong-siauw-kiam-sut (ilmu Pedang Suling Naga)! Dimainkan dengan gerakan perlahan saja, namun anehnya, golok melengkung itu sama sekali tidak mampu banyak berlagak lagi setelah berhadapan dengan permainan suling pria itu!
Sian Li teringat akan neneknya, yaitu Kam Bi Eng, istri kakek Suma Ceng Liong. Seperti itulah kalau Nenek Kam Bi Eng memainkan sulingnya! Dan meski pun ia sendiri telah digembleng nenek itu dan sudah menguasai Liong-siauw Kiam-sut, namun tentu saja tingkatnya masih jauh. Mungkin ia telah menguasai gerakannya, namun ‘isinya’ belum matang sehingga tenaga yang dikandung dalam gerakannya masih belum begitu kuat.
Akan tetapi, Sian Li tak sempat banyak melamun karena seperti juga Ciang Hun dan ibunya, dia sudah harus berkelahi lagi dengan anak buah Pangeran Gulam Sing, yaitu orang-orang Nepal yang juga terpaksa harus menggerakkan senjata menyambut para penyerbu. Terjadilah pertempuran hebat pada malam itu.
Pria yang baru tiba itu memang hebat. Pangeran Gulam Sing yang gagah perkasa itu pun tidak mampu menandinginya. Belum juga lima puluh jurus, setelah Pangeran Nepal itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, dia sudah terdesak dan terhimpit oleh gulungan sinar suling di tangan orang itu.
Maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawan ini, tiba-tiba Pangeran Gulam Sing mengeluarkan teriakan nyaring dan kakinya yang panjang dan besar itu melakukan tendangan-tendangannya yang sungguh ampuh. Kedua kaki itu bertubi-tubi melakukan tendangan, menyambar dari bawah ke atas, dari kanan kiri dan mendatangkan angin yang menyambar-nyambar.
Namun, lawannya agaknya tidak menjadi terkejut melihat ilmu tendangan yang sangat dahsyat itu. Tubuhnya mencelat ke atas dan setelah berjungkir balik, dia pun meluncur turun dan didahului oleh sinar sulingnya, menyambut tendangan kaki Gulam Sing!
“Tukk! Tukk!” Gulam Sing terjengkang, kedua kakinya roboh.
Saat itu dipergunakan oleh Sian Li yang sejak tadi mengamati jalannya perkelahian itu sambil menjaga diri dari serangan para anak buah Gulam Sing, untuk meloncat ke dekat Gulam Sing. Sulingnya menyambar dan sebelum Pangeran Nepal itu sempat mengelak, suling di tangan Sian Li telah menotok tengkuknya dari samping dan pangeran Nepal itu pun terkulai.
“Awaaas...!”
Pria itu cepat menyambar lengan Sian Li dan ditariknya. Untunglah dia bertindak cepat karena saat itu pula, dalam keadaan sekarat Gulam Sing masih mampu melontarkan goloknya ke arah Sian Li. Demikian kuat dan cepatnya lemparan golok itu sehingga andai kata Sian Li tidak ditarik orang tadi, tentu dara ini akan menjadi korban sambaran golok. Melihat robohnya Gulam Sing, anak buahnya menjadi panik dan mereka lari cerai berai, disambut oleh pasukan Tibet.
“Gak-twako dan Bibi, mari kita bantu Han-ko!” kata Sian Li dan ia pun menghadapi pria itu sambil memberi hormat. ”Paman yang gagah perkasa, terima kasih atas pertolongan Paman. Kalau Paman suka, kami harap Paman suka membantu kami sampai selesai!”
Pria itu tersenyum. “Aku hanya kebetulan lewat dan mendengar keributan di sini. Aku datang dan melihat engkau tadi terancam, Nona. Mari, aku ikut di belakang kalian.”
Sian Li, Ciang Hun, Nyonya Gak dan diikuti pria itu lalu mencari Yo Han. Sementara itu, Yo Han yang tadi bertanding melawan Lulung Lama, tidak menggunakan waktu terlalu lama. Biar pun Lulung Lama dibantu oleh Pek-lian Sam-li namun Yo Han dapat mendesak mereka dengan gerakan yang aneh.
Ia menggunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng. Begitu empat orang lawannya menyerangnya, mereka itu bahkan terjengkang sendiri. Makin hebat mereka menyerang, semakin kuat pula mereka tertolak dan terbanting!
Memang ilmu yang diwarisi Yo Han dari mendiang Kekek Ciu Lam Hok ini merupakan ilmu yang luar biasa. Ilmu ini dapat menghimpun tenaga sakti yang mengandung daya tolak yang luar biasa sehingga setiap orang penyerang, apa lagi kalau hatinya dibakar kebencian dan kemarahan, tentu akan langsung terpukul sendiri oleh serangannya yang membalik.
Ketika itu, para pendeta Lama telah berdatangan dan melihat Lulung Lama terjengkang berkali-kali setiap menyerang Yo Han, maka para pendeta Lama itu lalu menubruk dan meringkus pemberontak itu. Akan tetapi terhadap Pek-lian Sam-li, baru pendeta Lama dan pasukan tidak memberi ampun. Tiga orang wanita ini dikeroyok dan di bawah hujan senjata, mereka pun tewas. Demikian pula kedua orang pembantu Gulam Sing, yaitu Badhu dan Sagha, juga para tosu Pek-lian-lauw yang menjadi kawan-kawan Pek-lian Sam-li semua tewas.
Pada saat Yo Han melihat Sian Li, Ciang Hun dan Nyonya Gak, juga ada seorang pria sederhana datang hendak membantunya, dia yang sedang meneriaki orang kang-ouw untuk menghentikan pertempuran, segera berkata kepada mereka. “Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita tidak perlu mencampuri pertempuran antara pasukan Tibet yang sedang menangkapi para pemberontak.”
Orang-orang kang-ouw itu kemudian meninggalkan tempat itu, lari cerai berai setelah mendengar perintah dari Sin-ciang Taihiap yang mereka taati. Ada pun Sian Li, Ciang Hun dan ibunya, juga pria itu, segera mengikuti Yo Han melarikan diri keluar dari kancah pertempuran itu. Mereka lari menuruni bukit itu. Setelah mereka tiba di kaki bukit, malam mulai berganti pagi dan mereka berhenti di tempat sunyi untuk istirahat.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Li untuk sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada pria yang telah menolongnya. “Paman, terima kasih atas bantuan Paman. Kalau tidak ada Paman, mungkin aku telah menjadi korban golok Pangeran Gulam Sing yang lihai.”
Ia mengamati wajah pria itu dengan kagum dan heran sekali. “Permainan senjata suling dari Paman begitu hebatnya, padahal gerakannya serupa benar dengan permainanku. Kalau boleh aku mengetahui, siapa nama Paman yang terhormat?”
Tiba-tiba Nyonya Gak berkata, “Sian Li, apakah engkau tak pernah mendengar tentang pendekar sakti yang berjuluk Suling Naga? Aku berani bertaruh bahwa kita semua kini sedang berhadapan dengan pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw. Benarkah dugaanku itu, saudara yang gagah perkasa?”
Mendengar itu, pria yang sederhana itu lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada Souw Hui Lian atau Nyonya Gak. “Toanio memiliki penglihatan tajam dan pandangan luas. Saya yang rendah memang bernama Sim Houw. Dan kalau boleh saya mengenal, siapakah Toanio dan siapa pula orang-orang muda yang gagah perkasa ini?”
Mendengar bahwa pria itu bernama Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga, Sian Li mengeluarkan seruan girang dan cepat ia lalu memberi hormat. “Aihhh, kiranya Locianpwe yang nama besarnya sudah sering kudengar dari Bibi Nenek Kam Bi Eng!”
Kini Sim Houw tersenyum lebar. “Aha, kiranya engkau menguasai Liong-siauw Kiam-sut dari Sumoi Kam Bi Eng! Nona berbaju merah, siapakah engkau dan siapa pula orang tuamu?” Sim Houw memandang dengan wajah berseri-seri karena hatinya girang bukan main.
“Locianpwe, sekarang kita semua berada di antara orang sendiri. Mungkin Locianpwe tidak mengenal Ayahku. Ayahku bernama Tan Sin Hong...!”
“Ayahnya berjuluk Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih), murid Istana Gurun Pasir!” kata nyonya Gak gembira.
“Hebat!” Sim Houw berseru girang, “Kiranya ayahmu pendekar yang namanya terkenal itu. Sungguh girang sekali aku dapat bertemu denganmu, Nona baju merah!”
“Locianpwe, namaku Sian Li. Tan Sian Li. Ada pun ibuku bernama Kao Hong Li...”
“She Kao...? Apa hubungannya dengan bekas Panglima Kao Cin Liong di Pao-teng?”
“Dia adalah Kakekku!” Sian Li berseru gembira.
Sim Houw tertawa bergelak, bukan main girang rasa hatinya. Tiba-tiba dia mengambil sulingnya dan meniup suling kayu berbentuk naga itu. Terdengarlah suara suling yang melengking-lengking, merdu dan halus, akan tetapi mengandung getaran yang sangat kuat sehingga menimbulkan gelombang suara yang mencapai tempat jauh.
Dan tiba-tiba terdengar suara suling yang lebih lembut dan melengking tinggi. Meski pun tidak sekuat suara suling yang ditiup oleh Sim Houw, namun cukup jelas terdengar dari tempat itu. Suara suling yang menjawab itu dengan cepat terdengar semakin dekat dan tidak lama kemudian, muncullah seorang wanita cantik. Wanita itu berusia empat puluh tahun, namun nampak manis dan jauh lebih muda, matanya membayangkan kelincahan dan kejenakaan, juga kecerdikan.
“Aihh, aku sudah mulai tidak sabar menunggumu dan ternyata di sini terdapat banyak orang. Siapakah mereka ini?” tanya wanita itu sambil memandang kepada semua orang satu demi satu.
“Lihatlah, Nona baju merah ini adalah puteri dari Pendekar Bangau Putih, dan ibunya adalah puteri bekas panglima Cin Liong. Juga, ia telah menguasai Liong-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari Sumoi Kam Bi Eng. Hebat tidak?” kata Sim Houw kepada wanita itu yang bukan lain adalah isterinya yang bernama Can Bi Lan.
Can Bi Lan yang berwatak jenaka dan gembira itu segera maju dan memegang lengan Sian Li. “Aihh, betapa gagahnya kau! Siapa namamu, Nona merah?”
Gembira sekali hati Sian Li bertemu dengan suami isteri yang namanya sudah pernah ia dengar dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu. “Bibi yang gagah dan cantik jelita, namaku Tan Sian Li dan orang memberi julukan kepadaku Si Bangau Merah!”
“Si Bangau Merah? Puteri Pendekar Bangau Putih? Heh-heh-heh, sungguh tepat sekali, Sian Li, siapakah orang-orang yang lain ini? Perkenalkan mereka kepadaku.”
“Aku sendiri pun belum sempat berkenalan dengan yang lain,” kata Sim Houw kepada isterinya. “Pertama-tama saya harap Toanio suka mengenalkan diri. Agaknya Toanio mengenal keadaan keluarga kami, akan tetapi kami tidak tahu siapa Toanio.”
“Kukira Paman dan Bibi tentu sudah mengenal Bibi Gak. Suaminya adalah mendiang Beng-san Sian-eng. Dan ini adalah puteranya Gak Ciang Hun.”
“Aih, kiranya isterinya sepasang Locianpwe kembar, Sepasang Garuda dari Beng-san?” seru Sim Houw, “Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat.”
Juga Can Bi Lan memberi hormat kepada Nyonya Gak yang cepat-cepat membalas penghormatan itu, diturut oleh puteranya.
“Dan siapakah pemuda ini? Sepintas lalu tadi aku melihat betapa hebatnya dia ketika melawan pengeroyokan lawan-lawannya yang lihai. Aku yakin dia ini pun bukan orang sembarangan!” kata Sim Houw sambil memandang kepada Yo Han yag sejak tadi diam saja.
Akan tetapi diam-diam Yo Han mengamati wajah Can Bi Lan. Pernah dia mendengar cerita mendiang ibunya ketika dia masih kecil tentang seorang Sumoi dari ibunya yang berjuluk Siauw Kwi (Setan Cilik). Mendiang ibunya sendiri pernah menjadi seorang tokoh sesat berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), dan Sumoi dari ibunya itu kalau tidak salah ingat bernama Can Bi Lan. Wanita ini adalah Sumoi dari mendiang ibunya!
Sian Li yang merasa sangat bangga dan suka pamer segera memperkenalkan Yo Han. “Pernahkah Paman dan Bibi dalam perantauan kalian mendengar nama besar Sin-ciang Taihiap di daerah ini? Nah, inilah orangnya. Namanya Yo Han!”
“Tentu saja kami pernah mendengarnya!” kata Can Bi Lan kagum. “Seorang pendekar yang tidak pernah membunuh, seorang pendekar budiman yang menalukkan orang-orang jahat dan menyadarkan mereka. Masih begini muda? Sungguh tak kusangka!”
“Sin-ciang Taihiap, engkau masih begini muda, namun sudah membuat nama besar. Tentu gurumu seorang yang sakti dan terkenal sekali!” kata Sim Houw.
“Dan ayah ibumu tentu juga tokoh-tokoh dunia persilatan!” sambung Can Bi Lan.
Yo Han memberi hormat kepada suami isteri itu dan kemudian berkata kepada Can Bi Lan, “Bibi Guru, teecu Yo Han menghaturkan hormat. Mendiang Ibu adalah Ciong Siu Kwi...”
“Aihhh...!” Bi Lan berseru dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda putera suci-nya itu. “Suci...? Aku mendengar bahwa Suci menikah dengan seorang pemuda sederhana she Yo... dan mereka tewas bersama sebagai orang-orang gagah di tangan para pemberontak. Kiranya engkau... ahhh, engkau keponakanku...!” Bi Lan maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, penuh rasa kagum dan juga bangga. “Syukurlah, akhirnya Suci meninggalkan seorang keturunan yang begini gagah perkasa dan berjiwa pendekar! Aku ikut merasa bangga, Yo Han!”
Rombongan itu lalu duduk di atas akar dan batu, dan bercakap-cakap dengan gembira, saling menceritakan pengalaman masing-masing. Karena mereka adalah orang-orang segolongan, bahkan di antara mereka masih ada hubungan, baik kekeluargaan mau pun perguruan, maka tentu saja suasana menjadi akrab sekali.
Nyonya Gak atau Souw Hui Lin menceritakan betapa kedua orang suaminya, Si kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong yang dikenal dengan julukan Beng-san Sian-eng, telah meninggal dunia dan ia hidup berdua dengan putera tunggalnya yaitu Gak Ciang Hun yang kini sudah berusia dua puluh delapan tahun.
“Pertemuan dengan kalian semua membuat aku terkenang kembali kepada kampung halaman,” kata Nyonya Gak sambil menghela napas panjang. “Sejak kematian suamiku, aku mengajak Ciang Hun merantau, karena aku merasa hidupku kosong. Ternyata aku hanya mengejar bayangan belaka. Kelahiran dan kematian merupakan kodrat Tuhan yang tidak dapat dimengerti oleh kita. Kita hanya menerima dan menjalani saja, tidak kuasa mengatur, maka kematian merupakan hal wajar yang tidak perlu disedihkan terus menerus. Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san.”
Gak Ciang Hun memandang kepada ibunya dengan mata bersinar dan wajah berseri. Selama ini dia menghibur hati ibunya yang menjadi berduka sekali karena kematian kedua orang ayahnya. Namun betapa pun dia membujuk, ibunya tidak mau kembali ke Beng-san yang katanya hanya akan membuat ia berduka dan teringat kepada ayah-ayahnya. Akan tetapi sekarang, ibunya sudah menyadari dan bahkan ingin kembali.
Tentu saja Ciang Hun menjadi girang bukan main. Kalau ibunya sudah mau kembali ke Beng-san, tentu dia dapat memikirkan untuk berumah tangga. Tidak seperti sekarang ini, selama hampir dua tahun hanya merantau ke sana sini tanpa tempat tinggal yang tetap.
“Bagaimana dengan engkau, Sian Li?” tanya Can Bi Lan kepada gadis itu.
Sian Li bercerita tentang pengalamannya, betapa ia bersama mendiang Sian Lun yang menjadi suheng-nya meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi berkunjung ke Bhutan bersama Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Betapa kemudian dia bersama suheng-nya bertemu dengan Lulung Lama sehingga mengalami banyak hal yang hebat.
“Dan di mana sekarang suheng-mu itu?” tanya Sim Houw.
Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang kepada Yo Han. Berat rasa hatinya untuk menceritakan penyelewengan yang sudah dilakukan suheng-nya itu, apa lagi mengingat bahwa dalam saat-saat terakhir hidupnya, Sian Lun telah menyadari kesesatannya dan bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Melihat gadis itu memandang kepadanya seperti orang meminta bantuan, Yo Han lalu menjawab untuknya.
“Sayang sekali, dalam pertentangan menghadapi persekutuan pemberontak itu, Liem Sian Lun telah tewas di tangan para pimpinan penjahat yang lihai.”
Gak Ciang Hun dan ibunya menunduk. Mereka dapat menduga bahwa suheng dari Si Bangau Merah itu telah menyeleweng, namun mereka tak ingin mencampuri urusan itu dan diam saja.
Sim Houw menghela napas panjang. “Memang demikianlah resiko menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Kalau pihak penjahat lebih kuat, mungkin saja seorang pendekar akan mengorbankan nyawanya, mati muda. Akan tetapi kematian seperti itu tidaklah sia-sia, karena dia mati dalam membela kebenaran, dia seorang pahlawan kemanusiaan.”
“Lalu sekarang engkau hendak pergi ke mana Sian Li?” tanya Can Bi Lan yang terlihat amat sayang kepada gadis berpakaian merah itu.
“Aku ingin segera pulang ke rumah Paman Suma Ceng Liong, Bibi, karena sudah lama meninggalkan dusun Hong-cun. Ayah dan Ibu tentu akan merasa khawatir kalau mereka datang menjemputku dan aku belum pulang. Dan Han-ko akan ikut denganku karena dia pun sudah merasa rindu kepada Ayah Ibuku.”
Mereka semua memandang pada Yo Han dan pemuda ini mengangguk membenarkan. ”Kasihan kalau adik Sian Li harus pulang seorang diri, padahal ketika pergi ia bersama mendiang suheng-nya. Selain itu, saya ingin bertemu dengan ayah ibunya, yaitu guru-guru saya yang pertama.”
“Paman dan Bibi sendiri hendak pergi ke manakah?” Sian Li bertanya kepada suami isteri itu.
Dan mereka semua merasa heran karena pertanyaan itu agaknya membuat suami isteri itu seperti termenung, bahkan ada bayangan kesedihan meliputi wajah mereka. Tetapi Can Bi Lan memiliki dasar watak yang lincah dan gembira, maka ia tidak membiarkan wajahnya muram terlalu lama.
Segera ia tersenyum lagi dan setelah menghela napas panjang, ia lalu berkata, “Biarlah kami ceritakan keadaan kami karena kalian bukan orang luar, melainkan masih terhitung anggota keluarga sendiri. Mungkin kalian sudah mendengar tentang nama kami, tetapi tentu merasa heran mengapa selama ini kami berdua tidak pernah memperlihatkan diri, bahkan seperti mengasingkan diri dari dunia persilatan. Sesunguhnya ada musibah besar menimpa keluarga kami. Terjadinya kurang lebih dua puluh tahun lalu. Ketika itu, anak tunggal kami, seorang anak perempuan yang baru berusia tiga tahun, telah lenyap dari rumah kami.”
“Ahhh...!” Mereka yang mendengarkan cerita itu berseru kaget. “Apakah sampai kini belum juga dapat ditemukan, Bibi?” tanya Sian Li.
Can Bi Lan menggeleng kepala sambil menghela napas.
“Adik Bi Lan, bagaimana mungkin peristiwa seperti itu dapat menimpa suami isteri yang sakti seperti kalian berdua? Apakah yang telah terjadi dengan puterimu?” tanya Nyonya Gak dengan terkejut, penasaran dan heran. Sukar membayangkan ada orang berani menculik puteri dari suami isteri Pendekar Suling Naga!
Bi Lan kembali menghela napas. “Ketika itu, anak kami Sim Hui Eng yang baru berusia tiga tahun sedang diasuh oleh seorang pelayan di taman belakang rumah dan tiba-tiba kami mendengar jeritan pelayan kami di taman belakang. Kami cepat lari ke sana dan mendapatkan pelayan kami sudah tewas tanpa luka. Setelah kami memeriksa dengan teliti, ternyata ia telah tewas oleh tepukan pada ubun-ubun kepalanya yang merusak isi kepala tanpa menimbulkan luka, dan anak kami lenyap tanpa bekas. Di atas tanah terdapat tulisan yang mungkin sudah ditulis lebih dahulu, yang menyatakan bahwa kalau kami melakukan pengejaran, anak kami akan dibunuhnya seperti orang itu membunuh pelayan kami.” Bi Lan menghentikan ceritanya dan memejamkan mata, agaknya masih ngeri membayangkan apa yang terjadi pada diri anaknya.
“Terkutuk! Bibi, siapakah pelaku yang jahat itu?” Gak Ciang Hun berseru marah.
Sekarang Sim Houw yang menjawab, suaranya tetap tenang walau pun terdengar jelas bahwa pendekar ini pun menahan kesedihan hatinya. “Sampai sekarang kami belum dapat menduga siapa pelakunya. Kami berdua dengan sangat hati-hati melakukan pencarian, takut kalau ancamannya itu dilaksanakan penculik itu. Akan tetapi, ternyata orang itu memang lihai bukan main karena sampai sekarang, dua puluh tahun telah lewat dan kami berdua belum juga berhasil menemukan Hui Eng. Kami tidak tahu pria atau wanita yang menculik anak kami itu, apa lagi namanya. Semua masih gelap bagi kami. Namun kami menduga bahwa perbuatan ini tentu merupakan balas dendam. Di waktu muda kami banyak menentang para tokoh sesat dan tentu mereka itu ada di antaranya yang mendendam kepada kami. Akan tetapi karena banyak sekali tokoh sesat yang pernah kami tentang, kami tidak tahu benar siapa penculik itu. Kami sudah menyelidiki di seluruh penjuru, sampai ke tempat ini, namun tidak pernah berhasil.” Suami isteri itu menunduk dan jelas bahwa mereka menderita tekanan batin yang amat hebat.
“Luar biasa!” Sian Li berseru. ”Kenapa sama benar dengan yang telah terjadi padaku? Paman dan Bibi, ketika aku masih kecil, berusia empat tahun, aku pun diculik orang dari taman! Akan tetapi untung ada Han-ko ini, kalau tidak, mungkin nasibku sama dengan puteri Paman dan Bibi, sampai sekarang tidak dapat bertemu lagi dengan orang tuaku!”
Sim Houw dan Bi Lan memandang kaget dan heran. “Siapa yang menculikmu ketika itu?” tanya mereka hampir berbareng karena tentu saja mereka merasa tertarik sekali mendengar terjadinya peristiwa yang serupa dengan apa yang terjadi pada diri anak mereka.
“Yang menculik aku adalah Ang-I Moli Tee Kui Cu, puteri dari mendiang Tee Kok dari Yunan, ketua Ang-I Mo-pang. Akan tetapi Ang-I Moli juga menjadi tokoh Pek-lian-kauw dan sekarang ia telah mati dihukum pemerintah karena bersekutu dengan pemberontak. Nah, ketika aku diculik, Han-koko masih tinggal bersama orang tuaku dan dia inilah yang membebaskan aku dari tangan Ang-I Moli dengan cara menggantikan aku dengan dirinya sendiri.”
“Aihh, Li-moi. Ketika engkau diculik, engkau sedang bermain-main denganku, maka aku merasa bertanggungjawab,” kata Yo Han ketika semua mata memandang kepadanya dengan kagum.
Cerita Sian Li itu membuat suami isteri itu saling pandang dan berpikir. “Hemmm, kami kira memang ada persamaannya. Tentu penculik itu juga mendendam kepada orang tuamu,” kata Sim Houw. “Akan tetapi, kami tidak berhasil menemukan kembali anak kami, padahal kini ia tentu telah berusia dua puluh tiga tahun dan kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengannya.”
“Yang membuat hatiku terasa hancur kalau membayangkan adalah keadaannya yang tidak menentu itu. Kami akan merasa lebih bersedih kalau ia sampai dibawa sesat oleh penculiknya, lebih sedih dari pada kalau andai kata ia sudah terbunuh,” kata Bi Lan dan nyonya ini nampak berduka sekali.
Yo Han yang semenjak tadi mendengarkan merasa iba sekali. “Maaf, Paman dan Bibi, peristiwa itu telah berlalu selama dua puluh tahun. Kini puteri Jiwi (Kalian) tentu sudah merupakan seorang gadis dewasa berusia dua puluh tiga tahun. Namanya pun mungkin sudah diganti nama baru oleh penculiknya. Bagaimana Paman dan Bibi akan dapat mengenalnya andai kata bertemu dengannya, apa lagi kalau dia menggunakan nama baru?”
Bi Lan memandang kepada pemuda itu. “Kami pun sudah berpikir demikian. Nama memang bisa saja diganti, akan tetapi ada dua buah tanda pada tubuh anak kami itu yang tidak mungkin dipunyai oleh anak lain. Di pundak kirinya terdapat sebuah tahi lalat hitam yang jelas dan di telapak kaki kanannya terdapat tanda noda merah sebesar ibu jari kaki. Dengan adanya dua tanda itu, kami tentu akan dapat mengenal anak kami.”
Tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, Yo Han mencatat semua itu di dalam hatinya. Dia akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menemukan Sim Hui Eng untuk suami isteri yang sudah menderita duka selama dua puluh tahun itu. Tak lama kemudian, mereka terpecah menjadi tiga rombongan. Sim Houw dan Can Bi Lan meninggalkan tempat itu, untuk kembali ke Lok-yang, tempat tinggal mereka, sebab sudah terlalu lama mereka meninggalkan rumah dalam perantauan mereka mencari anak mereka dan juga untuk menghibur diri.
Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga pergi kembali ke Beng-san di mana mereka masih mempunyai sebuah rumah peninggalan mendiang Beng-san Siang-eng yang makamnya juga berada di puncak gunung itu. Ada pun Sian Li diantar Yo Han melakukan perjalanan pulang ke dusun Hong-cun di luar kota Cin-an...
Sore itu, seperti yang mereka lakukan selama beberapa hari ini, Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, duduk di serambi luar sambil bercakap-cakap, kadang-kadang mereka melayangkan pandang mata ke jalan di depan rumah mereka. Mereka setiap hari menanti dengan hati mengharap-harap kembalinya murid-murid mereka, yaitu Liem Sian Lun dan Tan Sian Li.
“Kenapa mereka belum juga pulang?” gumam Suma Ceng Liong. “Dalam waktu sebulan lagi, tahun baru tiba dan tentu Sin Hong dan Hong Li akan datang berkunjung untuk menjemput puteri mereka. Sungguh tidak enak kalau mereka datang, Sian Li belum juga pulang.”
“Mengapa mesti merasa tidak enak?” isterinya membantah. “Sian Li bukan pergi sendiri, melainkan diajak oleh Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Pula, ada Sian Lun yang menemaninya agar ia tidak pulang seorang diri. Andai kata mereka terlambat dan ayah ibu Sian Li yang datang lebih dahulu, mereka tentu akan dapat mengerti.”
“Engkau benar. Sin Hong dan Hong Li adalah orang-orang bijaksana. Buktinya biar pun mereka berdua sendiri memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak menolak permintaan kita untuk mendidik anak mereka selama lima tahun. Bahkan sebelum anak dan mantu kita datang, aku akan minta bantuan mereka untuk menyusun daftar nama dari mereka yang hendak kuundang dalam perayaan ulang tahun ke enam puluh yang juga akan kupergunakan untuk suatu pertemuan besar berikut keluarga mereka semua.”
Isterinya memandang dengan wajah berseri. “Jadikah rencanamu untuk mengumpulkan demikian banyaknya keluarga dari tiga perguruan besar itu?”
“Mengapa tidak? Kalau tidak dikumpulkan agar mereka saling berkenalan, tentu anak cucu mereka tidak akan saling mengenal dan hubungan baik antara ketiga keluarga besar itu akan terputus. Sayang sekali, bukan? Sejak dahulu, nama besar dari keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Gunung Naga telah dikenal di seluruh dunia persilatan. Kini keturunan mereka cerai berai, padahal di antara ketiga perguruan besar itu telah terjalin hubungan kekeluargaan yang amat erat.”
Isterinya mengangguk setuju. Mereka sendiri adalah gabungan dari dua keluarga besar. Suma Ceng Liong adalah cucu dalam dari Pendekar Pulau Es, putera dari Pendekar Siluman Kecil. Sedangan Kam Bi Eng adalah puteri dari Kam Hong Si Pendekar Suling Emas dan Bu Ci Sian yang terhitung murid ayah mertuanya pula.
“Pasti akan menggembirakan sekali dan merupakan peristiwa besar kalau cita-citamu itu sampai terlaksana, “ katanya.
“Kenapa tidak? Tentu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng, juga sudah menerima suratku dan tak lama lagi mereka tentu akan tiba di sini. Hubungan kekeluargaan harus diperbaiki, tidak seperti sekarang ini. Bertahun-tahun di antara keluarga tidak sempat bertemu karena terpisah jauh. Ingat saja kematian ayahmu. Sampai-sampai kita sendiri tidak mengetahui! Orang tentu akan menganggap aku seorang mantu yang sama sekali tak berbakti, ayah mertua meninggal sampai dikebumikan tapi tidak tahu sama sekali.”
Isterinya menyentuh lengan suaminya. “Sudahlah, tidak perlu lagi disesalkan hal itu. Ibu sendiri mengatakan bahwa memang sengaja Ibu tidak mengabarkan tentang kematian Ayah, sesuai dengan pesan terakhir dari Ayah. Dan aku mengenal watak Ayah. Dahulu Ayah sering kali bicara tentang kematian sebagai perjalanan pulang kampung! Ayah tidak setuju kalau orang meninggal ditangisi dan dikabungi, yang dikatakan semua itu hanya upacara pura-pura dan palsu belaka. Sepatutnya keluarga bersyukur kalau ada orang yang dikasihinya ‘pulang kampung’ karena terbebas dari siksa dunia. Yah, Ayah memang aneh dan kukira setiap orang berilmu tinggi di dalam ini mempunyai keanehan masing-masing yang tidak mereka sadari bahwa mereka berbeda dengan orang-orang awam.”
“Engkau benar, isteriku. Aku tidak menyesali peristiwa itu, hanya alangkah baiknya bila sebelum mati, kita selalu memiliki hubungan yang akrab dengan keluarga besar kita.”
Percakapan mereka terhenti seketika karena pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda menuju ke rumah itu. Ketika nampak dua ekor yang ditunggangi Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, suami itu cepat bangkit berdiri dengan wajah berseri. Mereka memang sedang menanti-nanti kedatangan mereka. Setiap tahun sekali, semenjak Sian Li berada di situ, Sin Hong dan Hong Li pasti datang berkunjung, yaitu menjelang hari raya sin-cia (tahun baru). Dan kunjungan mereka kali ini adalah untuk menjemput kembali puteri mereka yang sudah tiba waktunya untuk pulang setelah berada di bawah bimbingan kakek dan nenek itu selama lima tahun.
Tan Sin Hong yang sekarang telah berusia empat puluh tahun itu masih nampak gagah dengan pakaian yang sederhana berwarna serba putih, yang membuat dia dijuluki Pendekar Bangau Putih di dunia persilatan. Sedangkan isterinya, Kao Hong Li yang berusia tiga puluh sembilan tahun itu masih nampak muda, cantik, lincah dan gagah. Dengan sigapnya mereka berdua meloncat turun dari atas punggung kuda. Dua orang pelayan yang mengenal kewajiban dan mengenal pula dua orang tamu itu sudah datang berlari-lari menyambut dan mereka segera mengurus dua ekor kuda itu.
Sin Hong dan Hong Li cepat maju memberi hormat kepada tuan dan nyonya rumah, yang disambut dengan ramah dan gembira. “Aha, kami memang sudah menanti-nanti kalian!” kata Suma Ceng Liong sambil membalas penghormatan mereka. “Mari silakan duduk di dalam.”
“Harap kalian jangan kecewa, Sian Li tidak turut menyambut karena ia masih belum pulang,” berkata Kam Bi Eng sambil tersenyum ketika melihat suami isteri itu melihat-lihat ke sekeliling, mencari-cari.
“Bibi, ia pergi kemanakah?” tanya Hong Li heran.
“Duduklah dulu dan nanti kita bicara,” kata Suma Ceng Liong yang mengajak dua orang tamunya duduk di ruangan sebelah dalam.
Setelah mereka semua duduk, berceritalah kakek dan nenek itu mengenai kunjungan Suma Cian Bun dan Gangga Dewi dan betapa Sian Lun ikut kedua orang itu berpesiar ke Bhutan.
“Ke Bhutan?” Kao Hong Li berseru kaget. “Tapi tempat itu amat jauh dan perjalanannya berbahaya sekali!”
Suaminya juga sangat terkejut mendengar bahwa puteri mereka pergi ke Bhutan melalui pegunungan dan gurun yang berbahaya.
“Sian Li mendesak dan kami tak dapat mencegahnya. Apa lagi ia pergi bersama Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan ia pun ditemani suheng-nya, Liem Sian Lun. Kami pikir, mereka berdua sudah mempunyai ilmu kepandaian yang cukup untuk dapat menjaga diri. Pula, bukankah amat penting bagi mereka untuk meluaskan pengalaman mereka!” kata Suma Ceng Liong.
Mendengar penjelasan itu, Sin Hong dan Hong Li dapat menerimanya dan mereka pun menjadi tenang kembali. Bagaimana pun juga, mereka berdua dahulu pun merupakan petualang-petualang yang malang-melintang di dunia kang-ouw. Hanya pengalaman di dunia kang-ouw saja yang akan membuat seseorang menjadi matang, pikir mereka dan mereka pun menghilangkan kekhawatiran mereka.
“Akan tetapi, menurut perhitungan kami, dalam hari-hari mendatang ini ia dan Sian Lun tentu akan segera datang, kata Kam Bi Eng.
“Kalau begitu, biarlah kami menunggu kedatangan Sian Li di sini, Bibi!” kata Hong Li.
Suma Ceng Liong tersenyum. “Itulah yang kuharapkan karena aku ingin minta bantuan kalian berdua untuk melengkapi catatan daftar keluarga yang akan kami kumpulkan pada hari ulang tahunku yang keenam puluh. Aku ingin agar tidak ada anggota keluarga yang terlewat. Yang kumaksudkan dengan keluarga adalah keluarga dari tiga perguruan besar, yaitu keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, keluarga Lembah Gunung Naga, dan sekalian murid-murid mereka.”
Sin Hong dan Hong Li ikut gembira mendengar niat ini. Sebuah niat yang baik sekali dan pasti pesta pertemuan itu sangat menggembirakan. Membayangkan akan bertemu muka dengan seluruh keluarga tiga perguruan itu saja sudah membuat mereka merasa tegang dan gembira.
Selama beberapa hari menunggu kedatangan Sian Li beserta Sian Lun, suami isteri itu membantu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyusun daftar para anggota keluarga. Tentu saja hanya yang mereka ingat dan kenal. Keluarga dari tiga perguruan itu sudah berkembang menjadi sangat luas dan banyak sehingga untuk dapat mengetahui seluruh anggota keluarga secara lengkap akan memakan waktu lama dan harus bertanya-tanya kepada anggota keluarga lain.
“Kita mulai dahulu dari keluarga Istana Pulau Es,” kata Suma Ceng Liong dengan sikap gembira. Di depan empat orang itu, di atas meja, telah dipersiapkan sebuah buku daftar untuk mencatat nama dan alamat keluarga yang akan diundang.
“Sebaiknya kita susun dari anggota keluarga yang paling tua berikut keluarga masing-masing,” usul isterinya.
“Benar sekali,” kata Suma Ceng Liong sambil mengingat-ingat. “Sekarang ini anggota keluarga Istana Pulau Es yang paling tua tentulah Enci Suma Hui.”
Hong Li mengangguk senang. “Memang, agaknya Ibuku itulah yang paling tua di antara keluarga Suma.”
“Nah, kita mulai dengan nama Enci Suma Hui, dan suaminya juga kebetulan merupakan anggota tertua dari keluarga Istana Gurun Pasir,” kata Suma Ceng Liong. “Kita mulai dengan keluarga mereka di tempat teratas, dan tentu saja anak cucu dan para murid mereka.”
Dengan bantuan isterinya dan dua orang tamunya, Suma Ceng Liong mulai menyusun daftar keluarga yang dikirim undangan untuk pertemuan besar itu. Dan setelah bekerja beberapa hari lamanya, tersusunlah daftar sementara seperti berikut.
Keluarga Istana Pulau Es terdiri dari: Suma Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, yang tinggal di kota Pao-teng, serta anak mereka Kao Hong Li yang bersama suaminya, Tan Sin Hong tinggal di kota Ta-tung bersama puteri mereka, Tan Sian Li.
Suma Ciang Bun bersama isterinya, Gangga Dewi yang kini tinggal di istana Kerajaan Bhutan, yaitu kota raja Thim-phu. Tidak diketahui apakah keduanya mempunyai murid ataukah tidak.
Kemudian Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an, bersama seorang murid mereka bernama Liem Sian Lun. Puteri mereka, Suma Lian bersama suaminya, Gu Hong Beng, yang tinggal di kota Ping-san di selatan Pao-teng, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai murid pula.
Nyonya Gak dapat dibilang masih keluarga Istana Pulau Es, karena ia adalah isteri dari dua saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu putera dari mendiang Gak Bun Beng dan Puteri Milana, yaitu masih puteri Pendekar Super Sakti. Maka Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga masuk dalam daftar undangan. Kini ibu dan anak itu tinggal di puncak Beng-san.
Ada pun keluarga Istana Gurun Pasir yang tertua yaitu Kao Cin Liong, suami Suma Hui yang sudah masuk urutan pertama dari daftar itu. Ayah Kao Cin Liong, mendiang Kao Kok Cu mempunyai murid, yaitu Can Bi Lan yang kini bersama suaminya, Sim Houw, tinggal di Lok-yang, dan ada puteri mereka, Sim Hui Eng, yang kabarnya lenyap ketika berusia tiga tahun, demikian yang diketahui Suma Ceng Liong.
Sepanjang yang diketahuinya, Sim Houw dan Can Bi Lan mempunyai seorang putera pertama, Sim Hok Bu, akan tetapi anak itu meninggal dalam usia delapan tahun karena penyakit. Kalau pun masih ada murid-murid dari keluarga Istana Gurun Pasir, hal itu tidak diketahui sama sekali oleh mereka berempat dan harus mereka selidiki lebih dulu dengan menanyakan kepada anggota keluarga lain.
Keluarga lain yang mereka catat adalah anggota keluarga dari Lembah Gunung Naga, atau keturunan dari perguruan Suling Emas. Setelah Kam Hong meninggal dunia, maka yang tertua tentu saja adalah Bu Ci Sian ibunda Kam Bi Eng, nenek yang kini tinggal seorang diri di puncak Bukit Nelayan menunggui makam suaminya. Tidak diketahui jelas siapa murid mereka, bahkan Kam Bi Eng sendiri juga tidak tahu karena ibunya tdak pernah memberi tahu.
Kemudian ada Cu Kun Tek yang bersama isterinya, Pouw Li Sian murid Gak Bun Beng, tinggal di Lembah Gunung Naga sebagai pewaris keluarga Cu. Tidak diketahui dengan pasti keadaan mereka dan siapa saja yang masih terhitung murid atau keluarga dari perguruan Suling Emas dan Naga Siluman ini.
"Jangan dilupakan nama Yo Han," Sin Hong mengingatkan. "Biar pun dia putera Yo Jin dan Ciong Siu Kwi yang tidak ada sangkut pautnya dengan ketiga perguruan, namun Yo Han pernah menjadi murid kami berdua, dan dia bahkan pernah kami anggap seperti anak sendiri."
Suma Ceng Liong mengangguk dan dia pun mencatat nama Yo Han. Masih jauh dari pada lengkap daftar itu, hanya mereka catat nama-nama yang mereka kenal saja. Pada hari kelima, muncullah Tan Sian Li bersama Yo Han. Pagi hari itu, Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li sedang duduk di serambi depan. Mereka berempat menengok dan begitu melihat Sian Li, mereka melompat bangun dan memandang dengan wajah berseri.
"Ibu...! Ayah...!" Sian Li berteriak begitu melihat ayah ibunya, lalu berlari menghampiri mereka dan di lain saat ia sudah berpelukan dengan ibunya.
Mereka gembira bukan main sampai melupakan Yo Han yang berdiri termangu. Hatinya diliputi keharuan ketika dia melihat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Oleh karena mereka semua sedang asyik dan sibuk, dia pun tidak berani mengganggu dan hanya berdiri di bawah, di luar serambi sambil memandang.
Setelah Sian Li memberi hormat kepada ayah ibunya serta kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, barulah dua orang tua ini berseru heran, dan memandang kepada Yo Han. "Sian Li, mana Sian Lun? Dan dia itu... siapa dia yang datang bersamamu?" tanya Suma Ceng Liong dengan suara heran.
Kao Hong Li yang masih merangkul puterinya juga memandang kepada Yo Han dan bertanya, "Sian Li, engkau datang bersama siapakah?"
Dalam perjalanan mereka, Yo Han pernah menasehatkan Sian Li untuk melapor kepada Suma Ceng Liong dan isterinya bahwa suheng-nya itu tewas sebagai seorang pendekar dan tidak bercerita tentang penyelewengannya. Kini Sian Li, yang tak biasa berbohong, dengan muka ditundukkan lalu berkata, suaranya lirih.
"Ayah Ibu, Kakek dan Nenek, dengan menyesal sekali aku harus mengabarkan bahwa Suheng Liem Sian Lun telah... tewas..."
Tentu saja empat orang itu terkejut mendengar ini, terutama sekali Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mendengar betapa murid mereka tewas, keduanya saling pandang, lalu mengamati wajah Sian Li dan Kam Bi Eng bertanya.
"Tewas? Sian Lun... tewas? Apa yang terjadi? Siapa yang telah berani membunuhnya?"
"Panjang ceritanya..." Sian Li mengeluh.
Kemudian dia menceritakan betapa dalam perjalanan ke Bhutan itu mereka bertemu dengan Lulung Lama dan kemudian, ketika mereka pulang dari Bhutan, mereka bahkan terlibat dan bentrok dengan persekutuan pemberontak yang terdiri dari para Lama jubah hitam, Pangeran Gulam Sing dari Nepal, para pengemis Tongkat Hitam, serta orang-orang Pek-lian-kauw.
"Kami terlibat dengan mereka, terjadi bentrokan, bahkan aku sendiri pernah tertawan oleh mereka. Dan dalam pertempuran itu, Suheng tewas di tangan Pangeran Gulam Sing dari Nepal. Kami dibantu oleh pasukan Tibet dan para orang kang-ouw, bahkan kami mendapat bantuan dari Bibi Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun. Bahkan di sana kami bertemu dan dibantu oleh Paman Sim Houw, Pendekar Suling Naga." Dan dengan panjang lebar Sian Li kemudian menceritakan tentang pertempuran yang akhirnya dapat membasmi para pemberontak itu.
"Beberapa kali aku terancam bahaya maut dan tentu sudah tewas pula seperti Suheng kalau saja tidak dibantu olehnya," katanya sebagai penutup sambil menuding ke arah Yo Han yang masih berdiri di luar sambil mendengarkan dan menundukkan mukanya.
"Sian Li, siapakah dia?" Kao Hong Li bertanya kepada puterinya sambil mengamati wajah yang menunduk itu.
"Ayah dan Ibu, benarkah kalian tidak mengenalnya?" tanya Sian Li sambil tertawa.
Karena Sin Hong dan Hong Li kini mengamati wajahnya, Yo Han segera menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada mereka, berkata dengan suara terharu. "Suhu dan Subo, harap maafkan teecu..."
"Yo Han...!" suami isteri itu berteriak.
Mereka sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu adalah Yo Han walau pun mereka merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing bagi mereka. Kini, mereka segera dapat mengenalinya dan keduanya cepat keluar dari serambi. Dengan gembira Sin Hong lalu menarik tangan Yo Han dan disuruhnya bangkit berdiri.
"Yo Han, terima kasih kepada Tuhan bahwa engkau dalam keadaan sehat dan baik!" seru Sin Hong.
Wajah Sin Hong berseri karena gembira melihat pemuda itu yang pernah membuat dia merasa prihatin sekali karena kepergiannya. Dia kadang merasa berdosa kepada Yo Jin dan Bi Kwi, ayah ibu pemuda itu yang telah mempercayakan Yo Han kepadanya.
"Yo Han, sekarang engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa!" seru Hong Li yang sebenarnya juga merasa sangat sayang kepada murid yang pandai membawa diri ini.
"Ayah, ibu, kalian tidak tahu bahwa Han-ko sekarang sudah menjadi Sin-ciang Taihiap yang memiliki kesaktian hebat! Kalau tidak ada dia, tentu aku tidak akan dapat pulang hari ini!" Sian Li memuji, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Benarkah? Luar biasa sekali! Bukankah sejak kecil engkau tidak suka mempelajari ilmu silat, Yo Han?" tegur Sin Hong.
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang masih tertegun mendengar kematian murid mereka, segera mengajak mereka semua untuk masuk dan berbicara di dalam. Setelah semua duduk di ruangan dalam, barulah Yo Han menceritakan pengalamannya sejak dia dibawa pergi oleh Ang-I Moli sebagai penukaran atau tebusan atas diri Sian Li yang dibebaskan iblis betina itu. Betapa dia kemudian menyadari akan perlunya membekali diri dengan ilmu kepandaian agar dapat menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menyadarkan mereka yang mengambil jalan sesat.
"Thian-li-pang?" kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. "Seingatku, Thian-li-pang di Bukit Naga adalah satu perkumpulan para patriot yang menentang pemerintah. Mereka terkenal gagah perkasa dan di antara para pemimpinnya terdapat orang-orang yang sakti. Akan tetapi, aku juga pernah mendengar bahwa Thian-li-pang kemudian menjadi perkumpulan yang tidak bersih namanya. Para muridnya suka melakukan hal-hal yang jahat, bahkan kabarnya pernah mengadu domba perguruan-perguruan silat yang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai. Kabarnya perkumpulan itu diselewengkan oleh dua orang tokohnya yang berjuluk Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong. Entah sampai di mana kebenaran berita itu."
Sin Hong dan isterinya amat terkejut. "Yo Han, benarkah itu? Dan engkau menjadi murid Thian-li-pang yang tersesat itu?" Sin Hong bertanya sambil menatap wajah pemuda itu penuh selidik.
"Apa yang barusan diucapkan Suma Locianpwe memang benar. Thian-li-pang adalah perkumpulan yang anti pemerintah, anti penjajah, akan tetapi setelah Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong yang memegang pimpinan, perkumpulan itu dibawa menyeleweng ke jalan sesat. Memang mula-mula teecu dipaksa menjadi murid dua orang datuk itu. Akan tetapi kemudian teecu bertemu dengan orang ke tiga dari para datuk Thian-li-pang yang kemudian menjadi guru teecu yang sebenarnya. Beliau bernama Ciu Lam Hok dan di sana beliau menjadi orang hukuman yang disiksa oleh dua orang suheng-nya Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong itu. Kaki dan tangannya dibuntungi dan beliau dihukum di dalam sumur yang amat dalam. Teecu berhasil bertemu dan menjadi muridnya. Setelah beliau meninggal karena usia tua, teecu berhasil keluar. Ban-tok Mo-ko serta Thian-te Tok-ong lalu saling menyalahkan ketika mendengar kematian Suhu Ciu Lam Hok dan mereka saling serang sendiri sampai keduanya tewas. Teecu yang menerima tugas dari mendiang Suhu untuk meluruskan kembali Thian-li-pang, berhasil menundukkan serta membujuk para pimpinan dan sekarang teecu yakin bahwa Thian-li-pang telah kembali ke jalan benar."
"Ciu Lam Hok...? Hemm, tidak pernah aku mendengar nama itu. Yang terkenal hanyalah Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong," kata Suma Ceng Liong.
"Ayah, nama Han-ko sebagai Sin-ciang Taihiap sudah sangat terkenal di daerah barat. Dibandingkan dengan dia, kemampuanku tidak ada artinya..."
"Aih, Li-moi, harap jangan terlalu memuji. Engkau membuat aku menjadi malu saja."
Pujian yang tiada hentinya dari Sian Li membuat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li kagum, akan tetapi juga penasaran. Rasanya tidak mungkin Yo Han memiliki kepandaian yang melebihi Sian Li. Akan tetapi mereka tidak memperlihatkan rasa penasaran ini, hanya tersenyum gembira.
"Sian Li, ceritakan yang lebih jelas tentang kematian suheng-mu," Kam Bi Eng yang masih belum dapat menghilangkan perasaan dukanya atas kematian Sian Lun, tiba-tiba berkata. Suma Ceng Liong mengangguk-angguk membenarkan permintaan isterinya.
Sian Li mengerutkan alisnya. Berat tugas ini terasa olehnya. Ia seorang yang tidak suka berbohong, tidak biasa membohong akan tetapi sekali ini, terpaksa ia harus berbohong. Yo Han yang mengajarkan kepadanya bahwa untuk urusan ini, amat bijaksanalah kalau dia berbohong.
Bagaimana pun juga, Sian Lun sudah tewas, dan harus dia akui bahwa pada saat-saat terakhir, Sian Lun sudah menebus penyelewengannya dengan perbuatan gagah, yaitu membelanya sampai mengorbankan nyawa. Jika dia menceritakan penyelewengan Sian Lun, hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan tentu akan membuat kakek dan nenek itu merasa menyesal bukan main. Tapi bagaimana pun juga, amat sukar baginya untuk berbohong seluruhnya, maka ia pun mengambil ‘jalan tengah’.
Sian Li menceritakan lebih jelas tentang semua pengalamannya bersama Sian Lun saat mereka terlibat dalam pertentangan dengan persekutuan pemberontak itu.
"Aku bersama Suheng tertawan musuh yang selain lihai juga amat banyak jumlahnya,” katanya. "Kemudian mereka itu, dengan kekuatan sihir mereka, menyihir Suheng dan mempengaruhi Suheng sehingga nampaknya Suheng suka membantu mereka. Apa lagi mereka itu menggunakan dalih perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, pada saat terakhir, Suheng bisa membebaskan diri dari pengaruh sihir, kemudian Suheng mengamuk dengan gagah perkasa. Tapi lawannya, Pangeran Gulam Sing dari Nepal memang tangguh bukan main sehingga akhirnya Suheng roboh dan tewas. Aku sendiri dapat terbebas dari maut karena ada Han-ko yang mengamuk di dekatku dan yang selalu melindungi aku."
Suma Ceng Liong menghela napas panjang. "Sudahlah, memang sudah nasibnya mati muda. Bagaimana pun juga, kita tidak perlu menyesali kematiannya karena dia gugur sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku bahkan kecewa tidak dapat ikut melawan gerombolan itu disamping Sian Lun."
"Hemm, ingin aku mencoba kepandaian pangeran Nepal itu!" kata Kam Bi Eng dengan gemas dan dengan kedua mata agak merah karena ia menahan tangisnya.
“Kita tidak perlu mengingat lagi pangeran itu karena dia sudah tertangkap oleh pasukan Tibet dan sudah pasti akan dihukum mati," kata Sian Li.
Setelah tinggal di situ selama dua hari dua malam, Sin Hong dan Hong Li lalu mengajak puteri mereka dan Yo Han untuk pulang ke Ta-tung. Mereka berjanji akan membantu Suma Ceng Liong untuk menyebar undangan kepada para sanak keluarga yang akan diundang menghadiri perayaan ulang tahun sekalian mengadakan pertemuan keluarga besar itu.
Di sepanjang perjalanan, Sin Hong dan Hong Li kembali minta kepada Sian Li dan Yo Han untuk menceritakan lagi dengan terperinci semua pengalamannya. Bahkan Yo Han juga terpaksa menceritakan semua pengalamannya secara lengkap, yang didengarkan pula oleh Sian Li karena kepada gadis itu, sebelumnya Yo Han hanya menceritakan garis besarnya saja.
*********
Ada rasa khawatir di dalam hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ketika mereka melihat sikap yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han di sepanjang perjalanan menuju pulang itu. Mereka melihat betapa mesra dan manisnya sikap Sian Li kepada Yo Han. Memang mereka mengetahui bahwa sejak kecil, Sian Li amat sayang kepada Yo Han yang juga menyayangnya. Akan tetapi, dahulu rasa sayang mereka adalah seperti rasa sayang antara kakak dan adik, dan hal itu pun tidak aneh karena sejak Sian Li masih bayi, Yo Han yang mengasuhnya dan menjadi teman bermain. Tetapi ketika itu mereka masih kecil dan sekarang mereka bukan kanak-kanak lagi.
Yo Han sudah menjadi seorang laki-laki yang dewasa, sedangkan Sian Li telah berusia tujuh belas tahun, seperti setangkai bunga yang mulai berkembang dan mekar menjadi dewasa. Kemesraan yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han membuat suami isteri itu khawatir, apa lagi melihat betapa sinar mata Sian Li demikian penuh rasa kagum ketika memandang Yo Han.
Dan Yo Han telah merupakan seorang laki-laki yang tampan, gagah dan halus budi, sifat yang mudah sekali menjatuhkan hati setiap orang gadis. Mereka berdua dilanda kekhawatiran yang sama seperti dulu ketika Sian Li masih kecil. Khawatir kalau Sian Li terpengaruh! Walau pun yang mereka khawatirkan itu berbeda.
Dahulu mereka khawatir kalau Sian Li ketularan watak Yo Han yang tidak suka belajar ilmu silat sehingga Sian Li juga akan malas belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah. Sekarang mereka khawatir kalau puteri mereka itu akan jatuh cinta kepada Yo Han, cinta seorang wanita terhadap seorang pria!
Setiap kali mendapat kesempatan berbicara berdua, yaitu pada waktu malam di dalam sebuah kamar rumah penginapan di mana mereka berdua berada, mereka berbisik-bisik membicarakan puteri mereka dan Yo Han, dan keduanya memang sudah sepakat dan satu hati.
"Tidak dapat disangkal bahwa Yo Han memang sudah menjadi seorang pemuda yang ganteng, tampan dan halus budi. Kalau dilihat dari keadaan lahiriahnya, memang tidak akan mengecewakan andai kata dia menjadi suami anak kita," kata Hong Li.
"Engkau benar. Dan meski pun aku sendiri belum membuktikan, akan tetapi dari cerita Sian Li, aku percaya bahwa Yo Han memang sudah mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Memang jika dilihat keadaan wajahnya, tubuhnya, kepandaiannya, kita tidak akan malu mempunyai seorang mantu seperti dia."
Isterinya mengangguk. "Memang sungguh sayang sekali. Sayang bahwa ibunya adalah Bi Kwi. Masih ngeri hatiku kalau mengenang kembali kejahatan yang pernah dilakukan ibunya. Seorang iblis betina yang kejam dan amat jahat, walau pun pada waktu-waktu terakhir dia telah menyadari kesalahannya dan bertobat. Siapa tahu, sifatnya yang jahat itu akan diwarisi oleh puteranya."
Sin Hong menghela napas panjang. "Aku pun merasa berat sekali untuk berpikir seperti itu, akan tetapi apa boleh buat, demi kebahagiaan anak tunggal kita. Tidak mungkin kita membiarkan anak kita kelak hidup menderita bila suaminya berubah wataknya menjadi jahat. Kita tidak dapat yakin bahwa Yo Han tidak mewarisi watak jahat ibunya. Memang nampaknya selama ini dia mirip dengan watak mendiang Yo Jin, ayahnya yang walau pun petani sederhana dan tidak pandai silat namun berjiwa gagah. Kita tidak mungkin mempertahankan nasib Sian Li secara untung-untungan.”
Hong Li termenung dan nampak khawatir sekali. "Akan tetapi aku melihat sinar mata Sian Li kalau memandang kepadanya. Ah, aku khawatir kalau anak kita telah jatuh cinta kepada Yo Han..."
"Aaahh, kalau pun demikian, cintanya itu hanyalah cinta monyet. Sian Li belum dewasa benar, usianya baru tujuh belas tahun, cintanya akan mudah goyah dan berubah. Justru karena itu maka mereka harus cepat dipisahkan, kalau dibiarkan mereka bergaul lebih dekat dan akrab, bukan tidak mungkin mereka akan saling jatuh cinta."
Hong Li menghela napas panjang. "Sebetulnya aku merasa malu dan tidak enak sekali. Yo Han demikian baik, akan tetapi klta... ahhh, dulu kita juga ingin memisahkan mereka, sekarang pun kita masih tidak menghendaki mereka bergaul dekat. Kalau dipandang sepintas saja, kita yang keterlaluan. Akan tetapi, demi kebahagiaan anak kita..."
“Ya, demi kebahagiaan anak kita. Akan tetapi kita harus mencari cara agar tidak kentara, dan terutama sekali agar Yo Han tidak sampai tersinggung."
"Itulah yang merisaukan hatiku. Alasan apa pula yang dapat kita pergunakan sekarang? Dahulu, kebetulan muncul Ang-I Moli yang mengajak Yo Han pergi sebagai pengganti Sian Li. Akan tetapi sekarang? Bagaimana mungkin kita mengusir dia begitu saja?"
"Memang tidak boleh kita mengusirnya begitu saja. Dulu aku telah berjanji kepada ayah ibunya untuk merawat dan mendidik Yo Han, dan andai kata tidak ada permasalahan dengan Sian Li, janji itu sudah pasti akan kupegang teguh!"
"Lalu bagaimana kita harus bertindak supaya pengusiran itu tidak menyinggung hatinya, akan tetapi berhasil baik?"
"Aku ada akal. Ingatkah engkau akan cerita Sian Li tentang puteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw? Nah, hilangnya anak itu dapat kita pergunakan untuk membujuk Yo Han! Ibu anak itu, siapa namanya... oh ya, Sim Hui Eng, ibunya Can Bi Lan adalah sumoi dari Bi Kwi, ibu Yo Han. Aku tahu benar betapa erat dan baiknya hubungan antara suci dan sumoi itu, seperti dua saudara kandung saja. Nah, kita ingatkan kepada Yo Han bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membela keluarga Can Bi Lan yang dahulu berjuluk Siauw Kwi itu, sebagai pengganti ibunya. Melihat hubungan yang amat baik antara ibunya dan Can Bi Lan, maka dia seperti keluarga sendiri saja dan sudah sepatutnya jika ia menggunakan kepandaiannya untuk berusaha mencari sampai dapat Sim Hui Eng yang kini hilang itu, atau setidaknya, memperoleh keterangan bagaimana jadinya dengan anak yang hilang itu."
Kao Hong Li mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya berkerut. "Memang itu boleh kita jadikan pendorong agar dia pergi. Akan tetapi rasanya masih kurang kuat. Bagaimana kalau aku memberi tahu kepadanya, tentu saja dengan lembut dan hati-hati, bahwa sekarang dia sudah dewasa, sudah sepantasnya kalau berdiri sendiri dan bahwa kini Sian Li sudah mulai besar dan dewasa sehingga tidak pantaslah kalau dia serumah dengan Sian Li? Juga dapat kusindirkan dengan halus kepadanya bahwa kita sudah menerima usul dan sedang menjajaki dan mempertimbangkan ikatan jodoh antara anak kita dengan seorang pangeran..."
Tan Sin Hong menatap tajam wajah isterinya. "Pangeran...?"
Kao Hong Li tersenyum. "Lupakah engkau akan Pangeran Cia Sun? Dulu kita pernah berjumpa dengan dia dan aku tidak dapat melupakan betapa engkau kagum kepadanya, dan pernah melontarkan harapan agar anak kita dapat menjadi jodohnya?"
"Ihh, engkau melamun dari mengkhayal, terlalu jauh dan tinggi! Bagaimana mungkin kita mendapat mantu seorang pangeran seperti dia?" Tan Sin Hong tersenyum, akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh harapan.
Pangeran Cia Sun memang bukan putera mahkota, bukan seorang pangeran yang nanti ada harapan untuk menjadi Kaisar. Walau pun demikian, dia adalah seorang pangeran yang tentu saja hidup mulia dan berkecukupan, juga lowongan jabatan dan kedudukan tinggi terbuka lebar untuk seorang pangeran.
Apa lagi Pangeran Cia Sun masih muda, terpelajar tinggi, dan pandai ilmu silat, bahkan pernah minta petunjuk kepada mereka tentang ilmu silat. Meski pun masih belum dapat dinamakan murid mereka karena hanya menerima petunjuk dan baru dilatih selama beberapa bulan saja ketika suami isteri itu pergi ke kota raja, namun mereka mengenal pangeran itu sebagai seorang pemuda yang baik, berbakat dan pantas menjadi mantu mereka.
Yang membuat mereka mengharapkan terjadinya hal ini adalah pernah ayah pangeran muda itu, yaitu Pangeran Cia Yan, secara berkelakar mengatakan bahwa ia akan amat senang jika dapat berbesan dengan Pendekar Bangau Putih, ketika mendengar bahwa pendekar itu mempunyai seorang puteri yang kini sedang memperdalam ilmu silatnya di rumah paman kakeknya.
Pangeran Cia Sun memang hanya seorang cucu dari Kaisar Kian Liong, namun karena dia pangeran, tentu saja dalam pandangan suami isteri itu, dia lebih segala-galanya dari pada pemuda lain. Akhirnya mereka tiba di kota Ta-tung dan Sian Li merasa gembira sekali tiba kembali di rumah orang tuanya yang telah ia tinggalkan selama lebih dari lima tahun.
********
Sin Hong dan Hong Li mempergunakan kesempatan selagi puteri mereka, Sian Li pergi berbelanja untuk keperluan menyambut hari sin-cia yang akan tiba sepekan lagi, untuk mengajak Yo Han berbicara. Mereka memanggil Yo Han untuk bicara di ruangan depan. Hal ini mereka maksudkan supaya kalau Sian Li pulang, mereka dapat melihatnya dan puteri mereka itu tidak sempat ikut mendengarkan percakapan mereka.
Sin Hong memulai percakapan itu dengan suara yang serius tapi juga ramah. "Yo Han, sudah beberapa hari ini engkau berada di sini, dan setelah engkau beristirahat, barulah hari ini aku ingin membicarakan suatu hal yang sejak kami bertemu kembali denganmu dan mendengar cerita Sian Li selalu menjadi ganjalan di hati kami.”
Yo Han memandang Sin Hong dengan sepasang matanya yang tajam seperti hendak menembus dan menjenguk hati orang yang dianggapnya sebagai guru pertama, bahkan sebagai pengganti ayahnya itu. "Suhu, katakanlah apa yang menjadi ganjalan hati Suhu dan Subo, mudah-mudahan teecu dapat membantu melegakan hati Suhu dan Subo."
"Memang hanya engkau yang bisa melegakan hati kami, Yo Han. Ganjalan di hati kami itu adalah saat kami mendengar tentang hilangnya Sim Hui Eng, puteri bibi gurumu Can Bi Lan. Kami merasa kasihan sekali kepada Pendekar Suling Naga dan isterinya. Putera mereka meninggal dunia ketika masih kecil, kemudian puteri mereka yang menjadi satu-satunya anak yang ada, semenjak berusia tiga tahun sudah diculik orang. Kami dapat membayangkan betapa sengsara hidup mereka dan pantaslah mereka itu seperti hidup mengasingkan diri, tidak pernah menghubungi keluarga dan para handai taulan. Apakah engkau tidak merasa kasihan, Yo Han?"
"Yo Han, tahukah engkau betapa akrab dulu hubungan antara mendiang ibumu dengan sumoi-nya, yaitu Can Bi Lan?" Hong Li ikut bicara.
Yo Han mengangguk. "Tentu saja teecu juga merasa kasihan sekali mendengarkan nasib mereka yang kehilangan anak tunggal. Dan teecu masih ingat bahwa mendiang Ibu amat sayang kepada Bibi Can Bi Lan."
"Syukurlah kalau engkau masih ingat," kata Sin Hong. "Nah, sekarang tentang ganjalan di hati kami itu, Yo Han. Ayah dan ibumu dahulu menitipkan engkau kepadaku, dan aku akan merasa berdosa sekali kalau tidak menganjurkan supaya engkau sekarang pergi mencari Sim Hui Eng sampai dapat! Siapa lagi kalau bukan engkau yang membantu bibimu Can Bi Lan itu menemukan kembali puterinya? Dan aku yakin bahwa arwah ibumu akan bersyukur dan berterima kasih sekali kalau engkau dapat melakukan hal itu kepada bibimu Bi Lan. Mereka akan merasa berbahagia sekali, dan kami berdua juga akan merasa bangga. Setidaknya, bukan hal yang sia-sia saja Ibumu dahulu menitipkan engkau kepadaku."
Yo Han mengangguk-angguk mengerti, walau pun diam-diam dia mengeluh karena ke mana dan bagaimana dia akan mungkin dapat menemukan anak yang sudah dua puluh tahun menghilang itu? Dia ingat bahwa anak perempuan itu mempunyai ciri-ciri yang khas di pundak dan telapak kakinya, namun alangkah akan sukarnya mencari seorang gadis yang mempunyai ciri-ciri di tempat yang tertutup dan tersembunyi itu!
"Ada sebuah hal lagi yang ingin kusampaikan kepadamu, Yo Han. Bagaimana pun juga, kami berdua sudah menganggap engkau seperti keluarga sendiri, karena dahulu oleh orang tuamu engkau diserahkan dan dititipkan kepada suamiku. Nah, sekarang usiamu sudah dewasa, kalau tidak salah, usiamu sudah dua puluh lima tahun. Karena itu, kami ingin melihat engkau berumah tangga. Kalau kami berhasil merayakan pernikahanmu, barulah suamiku akan merasa puas dan lega, menganggap bahwa tugasnya merawat dan mendidikmu baru sempurna. Selain itu, karena engkau sudah kami anggap seperti anak sendiri, tidak baiklah kalau sampai adikmu Sian Li menikah lebih dahulu...," kata Hong Li seperti sambil lalu saja.
Yo Han memandang kepada suami isteri itu dengan wajah yang berubah kemerahan. Anjuran kepadanya untuk segera menikah dianggapnya wajar saja, akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah berita tentang Sian Li dan pernikahan!
"Tapi... Li-moi... kalau tidak salah baru berusia tujuh belas tahun..." katanya hanya untuk mengucapkan sesuatu agar tidak diam dan bengong saja.
"Sudah mulai dewasa, dan bukan kanak-kanak lagi. Bahkan kami pernah menerima usul perjodohannya dengan seorang pangeran... ahhh, hal itu belum resmi, tidak perlu kami beri tahukan sekarang," kata Hong Li.
Yo Han merasa betapa dadanya bagaikan ditekan sesuatu yang berat. Sian Li sudah dipilihkan calon suami? Seorang pangeran? Wah...! Entah kenapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi berita ini sama sekali tidak mendatangkan kegembiraan di dalam hatinya, bahkan membuat dia merasa tidak tenang.
"Nah, kami harap engkau segera bersiap-siap untuk mulai dengan tugasmu itu, Yo Han, dan tidak mengecewakan kami. Kalau hal ini ditunda lebih lama lagi, kami khawatir akan terlambat. Dan ketahuilah bahwa andai kata engkau dapat menemukan puteri bibimu Can Bi Lan itu, selain hal itu akan amat membanggakan hati kami, juga kalau gadis itu memang baik dan pantas, kami akan merasa berbahagia sekali untuk berbesan dengan Pendekar Suling Naga."
"Maksud Suhu...?"
"Akan baik sekali kalau engkau dapat menemukan kembali puteri mereka dan kemudian engkau menikah dengannya."
"Ahh, Suhu...!" Yo Han tersipu.
Betapa muluknya jalan pikiran gurunya ini. Mencari saja belum tentu bisa dapat, sudah hendak menjodohkannya. Ayah bunda gadis itu sendiri yang merupakan suami isteri yang sakti, selama dua puluh tahun mencari anak mereka tanpa hasil. Apa lagi dia yang sekarang baru hendak mulai.
"Sudahlah, hal itu kita bicarakan kelak saja. Akan tetapi, sanggupkah engkau memenuhi permintaan suhu-mu untuk mencari Sim Hui Eng sampai dapat?" tanya Hong Li.
"Teecu akan berusaha sekuat tenaga."
"Jadi engkau sanggup?" Sin Hong mendesak.
"Teecu sanggup, Suhu."
"Bagus! Engkau membuat lega hati kami, Yo Han. Andai kata kelak tidak berhasil sekali pun, namun engkau sudah berusaha sekuat tenaga dan itu saja sudah melegakan hati kami terhadap arwah orang tuamu."
"Nah, lebih baik engkau membuat persiapan. Semakin cepat dimulai pencarian itu akan semakin baik, Yo Han," kata Hong Li.
Yo Han mengangguk lalu mengundurkan diri, masuk ke kamarnya membuat persiapan. Dia tidak boleh bersikap lemah. Meski pun hari sin-cia kurang sepekan lagi, akan tetapi rasanya amat cengeng kalau dia harus menunda tugasnya itu sampai lewat hari sin-cia. Seperti anak kecil saja, padahal tugas itu penting sekali.
Akan tetapi dia harus meninggalkan Sian Li! Hal inilah yang membuat dia termenung sedih. Rasanya sangat berat untuk berpisah lagi dari gadis itu setelah berpisah selama tiga belas tahun dan kini saling jumpa dan berkumpul kembali. Dia tahu bahwa gadis itu pun tentu akan merasa bersedih kalau dia tinggalkan lagi.
Selagi dia sedang mengumpulkan pakaian untuk dijadikan sebuah buntalan, daun pintu kamarnya diketuk orang. Dia membuka daun pintu itu, berharap Sian Li yang datang walau pun gadis itu tak pernah mengetuk pintunya melainkan langsung masuk saja bila hendak bicara. Akan tetapi ternyata yang datang berkunjung adalah Kao Hong Li!
"Subo...," kata Yo Han dengan sikap hormat.
"Yo Han, ada satu hal penting yang tadi kami lupa untuk memesan kepadamu."
"Hal apakah itu, Subo?"
"Engkau tahu, Sian Li kadang-kadang suka kekanak-kanakan. Ia lupa bahwa ia bukan kanak-kanak lagi, melainkan sudah menjadi seorang gadis dewasa. Karena itu, mungkin sekali kalau engkau memberi tahu kepadanya bahwa engkau akan pergi mencari Sim Hui Eng, ia akan rewel dan ingin ikut. Kalau ia rewel seperti itu, kuharap engkau suka dan dapat membujuknya agar dia tidak ikut pergi. Engkau tentu cukup maklum bahwa tidak mungkin kami membolehkan ia pergi lagi meninggalkan kami, apa lagi sekarang ia sudah dewasa. Bagaimana kalau sampai calon suaminya mendengar bahwa dia pergi merantau berdua saja dengan seorang pemuda, walau pun pemuda itu adalah engkau, yang dapat dibilang sebagai kakak angkatnya? Engkau maklum, bukan?"
Yo Han merasa betapa hatinya pedih mendengar ini, akan tetapi tentu saja dia dapat memaklumi apa yang dimaksudkan oleh subo-nya itu. "Baik, Subo. Kalau sampai Li-moi hendak ikut, tentu akan teecu bujuk ia agar tidak melakukan hal itu."
Akan tetapi, pelaksanaan selalu lebih sulit dari pada rencana. Sore hari itu, pada waktu mereka berdua bicara dalam taman bunga di belakang rumah, Yo Han berpamit dari Sian Li bahwa sore hari itu juga dia akan pergi meninggalkan rumah itu.
Sian Li terbelalak menatap wajah Yo Han. "Pergi? Engkau hendak pergi, Han-ko? Pergi ke mana dan mengapa?" Sian Li menghampiri Yo Han dan memegang kedua tangan pemuda itu. Ia memang selalu bersikap akrab, bahkan manja kepada pemuda itu.
"Li-moi, ingatkah engkau akan Sim Hui Eng?"
Sian Li membelalakkan mata. "Sim Hui Eng? Siapa yang kau maksudkan? Ahhh, she Sim! Ingat aku sekarang, bukankah ia puteri Paman Sim Houw yang hilang dua puluh tahun yang lalu itu?" Kini matanya memandang tajam penuh selidik. "Mengapa engkau tiba-tiba menyebut namanya, Han-ko?"
"Nah, aku harus pergi karena aku berkewajiban membantu Bibi Can Bi Lan menemukan kembali puterinya. Mendiang Ibuku sangat akrab dan sayang kepada Bibi Bi Lan, maka arwah Ibuku akan senang sekali kalau aku membantu Bibi Bi Lan untuk menemukan kembali puterinya yang hilang itu."
Sian Li menatap wajah pemuda itu dan mukanya agak berubah. "Han-ko, baru saja kita berkumpul kembali dan kini engkau akan meninggalkan aku lagi? Sampai berapa lama Han-ko?"
"Entahlah, Li-moi. Engkau pun tahu bahwa aku juga ingin selalu berada di sampingmu. Akan tetapi tugas ini penting sekali. Pula, tidak ada perjumpaan tanpa diakhiri dengan perpisahan, Li-moi. Engkau tentu tidak ingin melihat aku menjadi seorang yang tidak mengenal budi dan tidak mau mewakili mendiang Ibu untuk menolong Bibi Bi Lan."
Sian Li merasa kepalanya nanar. Berita kepergian Yo Han demikian tiba-tiba datangnya. Baru saja dia bergembira, berbelanja untuk keperluan sin-cia dan sin-cia kali ini terasa amat istimewa baginya karena di situ terdapat Yo Han yang akan merayakan sin-cia bersamanya. Dan kini, mendadak Yo Han menyatakan hendak pergi meninggalkannya, entah untuk berapa lama!
"Han-ko, kapan engkau akan berangkat?" Sian Li bertanya, suaranya mulai terdengar sumbang.
"Sekarang juga, Li-moi. Aku sudah berkemas dan siap berangkat, tadi hanya menanti engkau untuk berpamit saja."
Sian Li terbelalak dan tiba-tiba dia merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu. "Han-ko, aku ikut engkau pergi!" katanya mantap dan bersungguh-sungguh.
Yo Han terkejut, tetapi juga merasa betapa hatinya berdebar penuh perasaan bahagia, girang dan terharu. Dia memejamkan kedua matanya ketika merasa betapa lingkaran kedua lengan gadis itu amat ketat, dan dia menguatkan hatinya agar jangan menuruti kehendak batinnya yang ingin membalas, ingin mendekap kepala yang disayangnya itu ke dadanya.
"Li-moi, janganlah begitu. Tidak mungkin engkau ikut bersamaku. Perjalanan ini tidak menentu kapan berakhirnya. Engkau tak boleh meninggalkan ayah ibumu. Biarkan aku pergi, Li-moi."
"Tidak... tidak... aku tak mau kau tinggalkan, aku tak mau berpisah lagi darimu, Han-ko!" Sian Li berkata, kini gadis itu menangis di atas dada Yo Han dan rangkulannya semakin kuat. Yo Han menjadi bingung, apa lagi pada saat itu muncul Sin Hong dan Hong Li!
"Yo Han, apa yang kau lakukan ini?!" terdengar Tan Sin Hong membentak marah.
"Suhu, Subo... maafkan teecu...," berkata Yo Han tanpa berdaya karena Sian Li masih merangkulnya.
"Yo Han, sungguh tidak pantas kelakuanmu ini. Sian Li, lepaskan dia!" Hong Li juga berseru marah.
Sian Li tidak melepaskan rangkulannya, akan tetapi ia mengangkat mukanya dari dada Yo Han dan menoleh kepada orang tuanya.
"Ayah, Ibu, Han-ko tidak bersalah apa-apa. Aku... aku ingin ikut dengannya, aku tidak mau ditinggalkannya lagi..."
Yo Han menguatkan hatinya, melepaskan rangkulan Sian Li dengan lembut. Dia harus mengambil keputusan yang tepat. Tidak boleh ia menyenangkan hatinya sendiri dengan mengorbankan perasaan Sin Hong dan Hong Li, dua orang yang dihormatinya itu.
"Li-moi, lepaskanlah. Aku tak mau mengajak engkau pergi. Engkau hanya akan menjadi beban saja, dan aku mempunyai tugas penting.”
"Han-ko...!" Sian Li berseru dan dengan mata basah oleh air mata memandang kepada Yo Han seperti orang yang tidak percaya. "Engkau... engkau...?"
Yo Han menunduk sambil menghela napas pandang. "Sudahlah, Li-moi, engkau tidak boleh membikin marah ayah ibumu. Suhu dan Subo, teecu berangkat sekarang. Li-moi, jaga baik-baik dirimu!” Pemuda itu lalu melangkah lebar memasuki rumah, mengambil buntalannya dan akan segera pergi.
"Han-koko...!”
Sian Li hendak mengejar, akan tetapi ibunya sudah memegang lengannya.
"Sian Li, sungguh memalukan sekali sikapmu ini!"
Akan tetapi Sian Li meronta, melepaskan pegangan ibunya dan berlari ke dalam rumah mengejar Yo Han. Ayah ibunya saling pandang, menggeleng kepala, kemudian berlari mengikuti. Akan tetapi setelah tiba di kamar Yo Han, Sian Li tidak melihat lagi pemuda itu.
Yo Han telah pergi dengan cepat sekali. Sian Li mencari ke sana sini dan memanggil-manggil, namun percuma, yang dipanggilnya sudah pergi tanpa meninggalkan bekas.
"Han-ko...! Han-koko...!" Ia berteriak-teriak dan hampir bertubrukan dengan ayah ibunya di ruangan tengah.
"Sian Li!" bentak Sin Hong marah.
"Sian Li, kelakuanmu ini sungguh tidak patut," ibunya juga mengomeli anaknya. "Yo Han telah pergi, ia pergi melaksanakan tugas. Engkau bukan anak kecil lagi yang begitu saja hendak ikut pergi. Engkau sudah dewasa, seorang gadis dewasa. Bagaimana mungkin seorang gadis pergi begitu saja, berdua dengan seorang pemuda? Memalukan!"
Sian Li memandang ayah dan ibunya, wajahnya pucat dan basah air mata. "Ayah dan Ibu yang melakukan semua ini! Ayah dan Ibu yang mengusahakan supaya dia pergi meninggalkan aku. Dahulu, Ayah Ibu pula yang memisahkan kami, sekarang ayah dan Ibu pula yang mengulangi hal itu. Aku ingin dekat Han-ko! Apakah Ayah dan Ibu tidak tahu? Aku cinta kepada Han-ko. Aku cinta padanya...!” Sian Li menjatuhkan diri di atas bangku dan menangis.
Sin Hong dan Hong Li saling pandang, kemudian menggeleng-geleng kepala. Hong Li mendekati anaknya, merangkulnya. Sian Li menoleh, lalu merangkul ibunya.
"Ibu...!" Dan ia menangis tersedu-sedudi dada ibunya.
"Sian Li, kami juga mencinta Yo Han. Akan tetapi engkau dan Yo Han sudah seperti saudara sendiri. Dia cinta padamu sebagai seorang kakak, dan engkau masih terlalu kecil untuk mencinta sebagai seorang wanita. Ingatlah, kita semua akan ternoda aib bila sebagai seorang gadis baik-baik, engkau pergi merantau bersama seorang pemuda. Tugasnya berat. Dia harus membantu bibinya mencari puteri mereka yang hilang. Kita sendiri pun harus membantu pamanmu Sim Houw. Kita bertiga juga akan pergi mencari keterangan. Kita akan pergi ke kota raja, siapa tahu kita akan dapat menemukan Sim Hui Eng."
Dihibur ayah ibunya dan dijanjikan akan diajak pergi membantu pencarian Sim Hui Eng, Sian Li menghentikan tangisnya.
"Sian Li, ingatlah bahwa sebetulnya tidak tepat sama sekali jika engkau memperlihatkan kecengengan seperti ini." Sin Hong berkata, "Engkau bukanlah seorang anak kecil lagi. Engkau seorang gadis hampir dewasa dan usiamu sudah tujuh belas tahun. Lebih dari pada itu, engkau telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Bahkan engkau sudah pantas dijuluki Si Bangau Merah sebagai imbangan ayahmu yang dijuluki orang sebagai Pendekar Bangau Putih. Karena itu engkau harus memperdalam ilmu silat keluarga kita, yaitu Pek-ho Sin-kun. Dan untuk menyesuaikan kesukaanmu akan warna merah dan julukanmu Si Bangau Merah, aku akan mengubah sedikit dalam Pek-ho Sin-kun supaya lebih tepat dinamakan Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah), khusus untukmu."
Akhirnya Sian Li dapat melupakan kesedihannya. Apa lagi karena dia mengharapkan bahwa kelak dia akan dapat bertemu kembali dengan Yo Han. Mungkin dalam pesta perayaan dan pertemuan besar yang diadakan oleh Kakek Suma Ceng Liong, atau jika Yo Han tak muncul di sana, tentu pemuda itu akan muncul setelah berhasil menemukan Sim Hui Eng. Juga janji ayah ibunya untuk mengajak dia membantu pencarian Sim Hui Eng, dimulai di kota raja, mendatangkan kegembiraan di hatinya yang pada dasarnya memang lincah gembira, tidak dapat menyimpan kesedihan terlalu lama.
EPISODE SELANJUTNYA SI TANGAN SAKTI BAGIAN 01