CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SI TANGAN SAKTI BAGIAN 14
Siangkoan Kok menuruni lembah Bukit Setan. Tiba di lembah terakhir dia berhenti dan memutar tubuhnya, lalu memandang ke arah Ban-kwi-kok yang nampak menghitam dari situ. Selama bertahun-tahun ia membangun kekuatan di tempat itu. Dan terpaksa kini ia harus meninggalkan tempat itu yang sudah kosong dan hancur. Selama belasan tahun dia menghimpun tenaga para anak buahnya, hanya untuk hancur dalam waktu sehari saja!
Dia merasa berduka dan menyesal sekali, maklum bahwa dia memang telah bersikap sangat bodoh. Dia terlalu mengandalkan kekuatan perkumpulannya. Perkumpulan yang menentang pemerintah harusnya menyembunyikan diri, menghimpun kekuatan secara diam-diam pula, tidak boleh memamerkan kekuatan sehingga terbasmi sebelum sempat memberontak.
Ia harus mulai lagi dari permulaan, menghimpun pembantu-pembantu yang lebih cakap dari pada yang sudah. Akan tetapi dia tahu betapa sukarnya hal itu tercapai. Yang jelas, dahulu dia dibantu oleh isterinya, Lauw Cu Si yang selain setia juga amat lihai ilmunya, sebagai keturunan para pimpinan Beng-kauw. Tidak mudah mencari seorang pengganti isteri seperti Lauw Cu Si yang pandai dan lihai.
Kemudian dia berhasil menggembleng Eng Eng yang dianggapnya seperti anak sendiri sehingga Eng Eng yang tinggal bersamanya sejak berusia dua setengah tahun, menjadi seorang gadis yang mempunyai kelihaian melebihi ibunya! Dua orang wanita itu tadinya merupakan pembantu-pembantu yang amat boleh diandalkan, terutama Eng Eng.
Akan tetapi sekarang, semuanya telah hancur. Bahkan isterinya telah tewas, dan Eng Eng sudah lari. Dan dia tahu bahwa sekarang Eng Eng bukan lagi anaknya, melainkan musuhnya! Dan semua pembantu yang telah dididiknya, juga murid-muridnya, kini telah habis, entah tewas entah ditawan pasukan pemerintah. Dia hanya seorang diri di dunia ini. Bahkan lima orang bekas anak buahnya tadi pun terpaksa dibunuhnya.
"Aku tak boleh putus asa," bisik Siangkoan Kok kepada dirinya sendiri sambil mengepal tinju. "Aku harus mencari lagi pembantu-pembantu yang lebih kuat lagi."
Seandainya saja orang-orang seperti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok tadi dapat menjadi pembantu-pembantunya! Jika tadi Ouw-pangcu tidak muncul, mungkin dia sudah dapat membujuk atau memaksa Cu Kim Giok menjadi pembantunya yang baru, atau menjadi selirnya! Dia bukan tergila-gila karena kecantikan dan kemudaan Kim Giok, melainkan ingin memiliki gadis itu agar dapat menjadi pembantunya yang setia.
Dengan keputusan hati yang penuh harapan, penuh semangat, kemudian pria perkasa ini melanjutkan perjalanan, dengan langkah lebar dia menuruni lereng terakhir. Di dalam sakunya masih terdapat banyak emas permata untuk bekal perjalanannya, walau pun hal ini tidak dipentingkan benar karena kalau dia membutuhkan biaya, tak sukar baginya untuk mengambil dari rumah orang yang mana pun.
Ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup ramai di kaki Kwi-san, matahari telah condong ke barat dan cuaca sudah mulai remang-remang. Karena itu Siangkoan Kok mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu.
Meski pun dia bekas ketua Pao-beng-pai yang bermarkas di Lembah Selaksa Setan, di lereng Bukit Setan itu, namun penduduk dusun di kaki bukit ini tidak pernah melihatnya. Oleh karena itu, tak seorang pun mengenal pria tinggi besar gagah perkasa yang pada senja hari itu memasuki dusun.
Akan tetapi, walau pun dia sendiri belum pernah memasuki dusun itu, Siangkoan Kok sudah mendengar dari anak buahnya bahwa dusun itu cukup ramai, penduduknya hidup cukup makmur karena sawah dan ladang di daerah itu amat subur, juga bahwa kepala dusunnya kaya raya.
So-chungcu (Kepala dusun So) bersama isterinya dan puterinya yang pada sore hari itu sedang duduk di serambi depan, tidak menduga buruk ketika melihat seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, berpakaian cukup pantas seperti seorang kota yang pakaiannya dari kain sutera, memasuki pekarangan rumah mereka. Bahkan Lurah So segera bangkit berdiri sambil memandang penuh perhatian ketika orang itu datang menghampiri mereka. Akan tetapi dia merasa heran karena merasa tidak mengenal tamu yang datang itu. Kalau seorang pejabat dari kota, kenapa datang tanpa pengawal?
Sekarang mereka berdiri berhadapan. Juga isteri Lurah So dan puterinya yang berusia delapan belas tahun, bangkit berdiri dan memandang pada tamu itu. Oleh karena tamu pria itu sudah setengah tua, maka dua orang wanita itu tidak merasa sungkan. Andai kata yang datang itu seorang laki-laki muda, tentu So Biauw Hwa, puteri lurah itu, akan masuk ke dalam bersama ibunya.
"Apakah engkau kepala dusun di sini?" kata tamu itu tiba-tiba, mendahului tuan rumah. Suaranya menggelegar dan sikapnya berwibawa, namun sikapnya ini tidak menghormat si kepala dusun seperti sikap penduduk dusun di situ pada umumnya.
Akan tetapi, So-chungcu tidak marah karena dia menduga bahwa tentu tamu ini seorang dari kota, mungkin seorang pejabat atau pedagang. Dia hanya memandang sejenak lalu mengangguk. "Benar, saya adalah kepala dusun di sini. Siapakah Saudara serta dari mana dan hendak ke mana? Ada keperluan apa Saudara berkunjung ke rumah kami?"
Siangkoan Kok mengamati lurah itu. Seorang laki-laki yang sebaya dengannya, tinggi kurus. Isterinya berusia empat puluhan tahun, masih cantik, dan puterinya yang berusia delapan belas tahun itu berwajah manis dan matanya lebar indah seperti mata kelinci. Ruangan depan itu pun memiliki prabot rumah yang cukup mewah, tanda bahwa lurah ini memang cukup keadaannya.
"Saya hanyalah orang yang kebetulan lewat di dusun ini dan karena kemalaman, saya ingin melewatkan malam di sini, di rumah ini," kata Siangkoan Kok dengan sikap acuh, seolah-olah dia sudah merasa yakin bahwa permintaannya itu pasti dikabulkan.
Mulailah Lurah So mengerutkan alisnya, juga isteri dan puterinya memandang dengan alis berkerut. Tamu ini sungguh tidak sopan, dan permintaannya agak keterlaluan. Tidak mengenalkan nama, tidak menceritakan maksud kedatangannya, namun datang-datang menyatakan ingin menginap di rumah itu, bahkan tidak memohon agar diterima!
"Hemmm, kalau ada tamu kemalaman di sini, kami sudah menyediakan tempat umum untuk bermalam, yaitu di balai dusun. Tetapi setiap tamu harus mendaftarkan namanya, tempat tinggalnya, supaya kami tahu siapa yang datang bermalam. Nah, Saudara boleh pergi ke balai dusun, itu di sebelah kiri, rumah ketiga dari sini, dan di sana sudah ada petugas yang akan melayanimu. Silakan!" kata tuan rumah itu, mengusir dengan nada halus.
Tetapi, jawaban yang diberikan tamu itu sungguh membuat keluarga lurah itu menjadi terbelalak. Siangkoan Kok berkata dengan nada suara marah.
"Lurah So, tak perlu banyak cakap lagi. Cepat sediakan sebuah kamar terbaik di rumah ini untukku! Sediakan air hangat untuk mandi. Setelah itu, aku ingin makan malam yang enak. Karena itu sediakan masakan yang lengkap, sembelih ayam dan bebek, dan aku ingin makan dilayanioleh wanita yang muda-muda dan cantik-cantik!" berkata demikian, Siangkoan Kok mengerling ke arah isteri dan puteri lurah itu.
Dia bukan seorang mata keranjang, tapi dia hanya ingin memperlihatkan kekuasaannya, ingin dihormati secara berlebihan. Kalau pun dia pernah memaksa muridnya, mendiang Tio Sui Lan, karena dia marah kepada isterinya dan ingin mendapatkan ganti isterinya. Dan Sui Lan pada saat itu yang paling dekat dengannya, maka dia mengambil murid itu sebagai isteri secara paksa.
Sebelum peristiwa itu, dia tidak pernah mengganggu wanita lain. Curahan nafsu dalam diri Siangkoan Kok bukan kepada wanita cantik, tetapi kepada pengejaran cita-citanya, yaitu membangun kembali kerajaan Beng dan dia yang menjadi kaisar!
Tentu saja Lurah So marah bukan main mendengar permintaan kurang ajar seperti itu. Seorang pejabat tinggi dari kota pun tentu tidak akan mengajukan permintaan seperti itu secara langsung, seolah-olah dia merupakan abdi dari orang itu!
Lurah So tidak mau banyak cakap lagi, lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah lima orang dari samping rumah, membawa seekor anjing yang dirantai. Anjing itu besar dan nampaknya menyeramkan. Lima orang itu adalah penjaga atau peronda yang malam itu akan bertugas jaga di dusun itu, melakukan perondaan dan memang rumah samping Lurah So menjadi pusat penjagaan.
"Usir orang yang tidak sopan ini keluar dari dusun!" perintah Lurah So dengan geram sambil menunjuk ke arah Siangkoan Kok.
Lima orang itu segera menghampiri dengan sikap bengis. Para petugas ronda di dusun itu memang dipilih warga dusun yang bertubuh kuat dan masih muda. Biar pun mereka bukan tukang pukul, akan tetapi lima orang itu yang merasa mendapat wewenang, lalu menghampiri Siangkoan Kok dengan sikap bengis mengancam. Sementara itu, isteri dan puteri Lurah So yang merasa ketakutan, sudah lari masuk ke dalam rumah.
"Hayo engkau cepat pergi dari sini!" kata seorang penjaga.
"Kalau tidak cepat pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!" bentak orang kedua.
Siangkoan Kok memandang kepada mereka dengan senyum mengejek. "Aku tidak mau pergi dan hendak kulihat, kekerasan macam apa yang hendak kalian lakukan terhadap diriku!"
Mendengar kata-kata serta melihat sikap yang penuh tantangan ini, lima orang penjaga menjadi marah. Mereka berlima maju dan mengulur tangan hendak menangkap orang setengah tua itu. Akan tetapi, begitu Siangkoan Kok menggerakkan kedua tangannya, lima orang itu terdorong dan terjengkang, lalu terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya!
Anjing yang tadinya dipegang ujung rantainya oleh seorang dari mereka, kini terlepas. Dan anjing itu menggonggong, lalu menubruk ke arah Siangkoan Kok dengan moncong dibuka lebar, memperlihatkan gigi bertaring yang runcing.
Melihat serangan anjing besar itu, Siangkoan Kok menjadi marah. Dengan jari terbuka tangan kirinya menyambut tubrukan anjing itu, menyambar dari samping ke arah kepala anjing.
"Krekkk!" Anjing itu terbanting roboh dan berkelojotan dengan kepala pecah.
Lima orang penjaga itu terkejut. Mereka sudah mencabut golok masing-masing sambil berloncatan berdiri. Akan tetapi, saat Siangkoan Kok menggerakkan kakinya, tubuhnya berkelebat ke depan, kakinya dan tangannya bergerak, maka segera lima batang golok itu beterbangan lepas dari tangan pemegangnya.
"Apakah kalian ingin mampus seperti anjing itu?!" bentaknya dan sekali tangan kirinya meraih, dia sudah mencengkeram baju di tengkuk Lurah So.
"Kalau permintaanku yang pantas itu tidak dituruti, aku akan membunuh Lurah So serta keluarganya dan membakar rumah ini. Jika ada penghuni dusun ini berani melawanku, akan kubunuh mereka semua!"
Dia melepaskan lagi cengkeramannya, dan Lurah So dengan muka pucat lalu menyuruh para penjaga itu mundur. Lurah So kemudian membungkuk dan memberi hormat pada Siangkoan Kok.
"Maafkan kami... karena tidak tahu kami telah berani membangkang perintah Taihiap (Pendekar Besar)."
"Cukup sudah! Cepat sediakan yang kupinta tadi. Kamar terbaik, mandi air hangat, lalu makan malam yang meriah dilayani wanita-wanita muda dan cantik!"
"Silakan, Taihiap... silakan, biar Taihiap mempergunakan kamar kami sendiri. Silakan!"
Dengan langkah lebar Siangkoan Kok memasuki rumah lurah itu, diiringkan Lurah So yang masih ketakutan. Lima orang penjaga membawa pergi bangkai anjing dan dengan ketakutan mereka menceritakan apa yang terjadi di rumah Lurah So kepada penghuni dusun. Semua orang dusun dicekam ketakutan, akan tetapi mereka tidak berdaya, takut untuk melakukan sesuatu karena keselamatan keluarga Lurah So telah dicengkeram oleh tamu aneh itu.
Terpaksa Lurah So melayani tamunya, memberikan kamarnya sendiri untuk Siangkoan Kok, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi dan memerintahkan juru masak untuk menyembelih ayam dan bebek, membuat masakan dan mempersiapkan makan malam sebaik mungkin untuk tamu aneh yang amat ditakuti itu. Diam-diam dia menyuruh puterinya pergi meninggalkan rumah, mengungsi ke mana saja agar jangan sampai diganggu tamu itu.
Sementara itu, pada sore hari itu juga, seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih juga menuruni lereng Kwi-san. Gadis ini cantik jelita, dengan wajahnya yang bulat telur dan kulit putih kemerahan. Matanya lebar dengan sinar tajam, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum yang sangat manis karena ujung bibirnya dimeriahkan lesung pipit.
Dari pakaiannya yang serba merah, mudah diduga siapa adanya gadis jelita ini, apa lagi kalau nampak sebatang suling berselaput emas terselip di pinggangnya. Dia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li!
Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini hadir pula bersama ayah ibunya di dalam pesta ulang tahun dan pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong. Diam-diam ia kecewa karena tidak melihat Yo Han di sana, apa lagi kemudian terjadi pengacauan yang dilakukan Eng Eng dari Pao-beng-pai.
Hal ini dijadikan alasan oleh Sian Li untuk meninggalkan ayah ibunya dengan diam-diam di rumah Suma Ceng Liong. Ia hanya meninggalkan surat untuk ayah ibunya bahwa dia pergi untuk membantu Yo Han mencari puteri Sim Houw, yaitu Sim Hui Eng, dan juga untuk menyelidiki Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar.
Karena tidak tahu ke mana Yo Han pergi, maka Sian Li mencari tanpa tujuan tertentu. Ke mana pun dia pergi, dia bertanya-tanya mengenai pendekar yang berjuluk Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti), namun tidak pernah menemukan orang yang dapat menunjukkan di mana adanya pendekar yang dicarinya itu.
Akhirnya, dia menuju ke Bukit Setan untuk menyelidiki Pao-beng-pai. Dalam perjalanan menuju ke sana itulah dia mendengar akan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap gerombolan pemberontak itu, mendengar betapa Pao-beng-pai dibasmi oleh pasukan pemerintah. Namun ia tetap pergi ke sana dan berhasil naik sampai ke Lembah Selaksa Setan, melihat betapa bekas sarang Pao-beng-pai telah menjadi puing karena dibakar oleh pasukan pemerintah.
Sian Li sama sekali tidak tahu bahwa pada saat dia meninggalkan lembah itu, di lembah sebelah bawah tengah terjadi perkelahian antara Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok yang kemudian dibantu oleh Ouw Seng Bu. Hanya beberapa jam selisihnya ketika ia melewati lembah itu. Ia terus menuruni lembah dan ketika tiba di kaki bukit, ia lantas menuju ke dusun yang tadi dilihatnya dari lembah terakhir.
Pada saat dia memasuki hutan kecil yang berada di kaki bukit, untuk menuju ke dusun di seberang hutan, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya.
"Nona Tan Sian Li...!"
Sian Li terkejut. Ia menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya memandang. Segera ia mengenal pemuda yang datang berlari-lari menghampirinya itu.
"Twako (Kakak) Gak Ciang Hun...!" serunya girang dan juga heran sekali.
Terakhir ia berjumpa dengan pemuda itu di rumah Suma Ceng Liong ketika diadakan pertemuan antara tiga keluarga besar. "Bagaimana engkau dapat berada di sini?"
Dengan wajah berseri-seri karena gembira dapat menemukan gadis itu, Ciang Hun lalu menjawab, "Aku memang menyusul dan mencarimu setelah kami semua mengetahui kepergianmu."
Sian Li mengerutkan alisnya. "Kenapa, Gak-twako? Mau apa engkau menyusul dan mencariku?"
Ciang Hun menyadari kesalahannya. Hampir saja dia membuka rahasia hatinya. Tentu saja dia menyusul Sian Li karena mengkhawatirkan gadis itu dan ingin membantunya. Semua ini terdorong oleh perasaan cintanya kepada Sian Li! Akan tetapi, dia tidak berani menceritakan itu.
"Aku... aku pun ingin ikut mencari puteri paman Sim Houw yang hilang sejak kecil, aku ingin pula ikut menyelidiki Pao-beng-pai. Aku sudah mendapat perkenan ibu, maka aku cepat-cepat pergi menyusulmu, Nona. Kurasa, dengan tenaga kita berdua, akan lebih kuat dan..."
"Gak-twako, jangan menyebut aku nona. Engkau membuat aku merasa sungkan saja. Bagaimana pun juga, di antara kita masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau perguruan. Nah, kalau aku menyebutmu kakak, sudah sepatutnya kau menyebut aku adik, bukan?"
Wajah Ciang Hun menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. Memang pemuda ini, walau pun sudah berusia dua puluh sembilan tahun, akan tetapi belum berpengalaman dalam pergaulan dengan wanita, maka dia merasa canggung dan rikuh.
"Baiklah, Siauw-moi. Aku memang mencarimu ke Kwi-san, karena engkau ingin pula menyelidiki Pao-beng-pai. Akan tetapi aku menjadi bingung ketika mendengar bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah. Maka aku hanya berkeliaran di sekitar kaki bukit sampai tadi kebetulan sekali aku melihatmu, maka aku mengejarmu."
Siang Li yang merasa lelah, tidak begitu senang bila membayangkan dirinya melakukan perjalanan berdua saja dengan Ciang Hun. Bukan Ciang Hun yang diharapkannya, tapi Yo Han! Dan dia mendapat kesan bahwa pandang mata Gak Ciang Hun terhadapnya begitu penuh kagum, begitu mesra. Dan ini hanya berarti bahwa pemuda perkasa ini agaknya menaruh hati kepadanya, hal yang sama sekali tidak ia harapkan!
Sian Li adalah seorang gadis yang berwatak tegas dan keras. Ia lalu duduk di atas batu, di bawah pohon yang rindang. Matahari sudah condong ke barat, namun sinarnya masih cukup panas dan duduk di tempat teduh itu terasa sangat nyaman, apa lagi karena ia sudah melakukan perjalanan melelahkan menuruni Lembah Selaksa Setan tadi.
"Gak-twako, sesungguhnya, perjalananku meninggalkan ayah ibu tempo hari terutama sekali untuk mencari kanda Yo Han." Ia berkata dengan tekanan suara kepada nama pemuda itu, dan matanya memandang tajam.
Ciang Hun mengerutkan alisnya. "Yo Han? Kau maksudkan, Pendekar Tangan Sakti?"
Sian Li mengangguk dan ia semakin yakin akan dugaannya melihat betapa sinar mata pemuda itu menunduk dan alisnya berkerut, jelas nampak kalau dia terpukul. Sebaiknya aku berterus terang saja, pikir gadis itu, dari pada membiarkan dia berlarut-larut hanyut dalam khayal.
"Benar, Gak-twako. Aku ingin mencari Han-koko. Dia bertekad untuk menemukan puteri Paman Sim Houw yang hilang, maka aku akan mencarinya karena aku tidak ingin ikut ayah dan ibu ke kota raja."
Ciang Hun sudah dapat menguasai kekecewaan mendengar betapa gadis yang sejak pertemuannya pertama kali sudah merampas semangatnya ini mencari-cari Yo Han. Dia menduga bahwa tentu ada perhatian khusus dari gadis ini terhadap pendekar itu. Untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, dia bertanya, "Kenapa engkau tidak ingin ikut dengan orang tuamu ke kota raja, Nona... ehh, Siauw-moi?"
"Hemmm, orang tuaku hendak mengajak aku ke kota raja untuk membicarakan urusan perjodohanku. Aku tidak suka itu. Aku hendak dijodohkan dengan putera Pangeran Cia Yan, bahkan ikatan itu sudah dilakukan semenjak dahulu dan kini orang tuaku hendak mematangkan urusan itu. Aku tidak suka menjadi calon mantu pangeran!"
Ciang Hun memandang wajah gadis itu yang nampak cemberut, namun tak mengurangi kecantikannya.
"Akan tetapi, kenapa, Siauw-moi? Bukankah menjadi mantu pangeran merupakan suatu penghormatan yang besar? Engkau akan hidup mulia dan terhormat, dan kurasa putera pangeran itu pun seorang pemuda yang baik maka sampai diterima oleh ayah ibumu..."
"Tidak peduli bagaimana pun baiknya, aku tidak sudi! Ah, Twako, kurasa tidak perlu lagi aku merahasiakan. Hanya ada seorang saja pria yang aku inginkan menjadi suamiku, pria yang kucinta sejak dahulu, dia adalah Han-koko..."
"Sin-ciang Taihiap Yo Han?" Ciang Hun bertanya. Dia tidak merasa heran karena hal ini sudah diduganya.
Gadis itu mengangguk, merasa puas karena ia memang ingin berterus terang agar Gak Ciang Hun tidak lagi mengharapkannya.
"Ia memang seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku pun kagum dan menghormati dia. Pilihan hatimu tidak keliru, Siauw-moi. Akan tetapi bagaimana dengan pilihan orang tuamu, pangeran itu...?"
"Aku tidak mau! Ayah dan ibu harus dapat mengerti. Aku hanya mencinta Han-ko, aku akan mencarinya."
"Kalau begitu, aku akan membantumu, Siauw-moi. Aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan Yo Han!" kata Ciang Hun penuh semangat.
Ciang Hun memang berjiwa pendekar. Meski pun baru saja harapannya hancur lebur, bahwa cintanya kepada Sian Li tak akan mungkin terbalas, bahwa dia hanya bertepuk tangan sebelah, akan tetapi dia tidak menjadi patah hati. Tidak, dia dapat menerima dan menghadapi kenyataan. Apa lagi mendengar bahwa pilihan hati Sian Li adalah Yo Han, pendekar yang dia kagumi, dan dia tahu bahwa Yo Han jauh lebih baik dari dirinya sendiri!
Dia tahu bahwa dia bukan jodoh Sian Li, akan tetapi hal ini bukan berarti dia membenci Sian Li. Tidak, dia tetap menyayangnya, karena bagaimana pun juga, di antara mereka masih ada hubungan dan ikatan antara tiga keluarga besar. Dia harus membantu gadis itu menemukan kekasihnya, calon suaminya, menemukan kebahagiaannya.
Sian Li mengangkat muka memandang wajah yang menunduk itu. Diam-diam ia merasa terharu, dan juga kagum. Seorang pria yang hebat, pikirnya. Betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada pria ini, sekiranya di sana tidak ada Yo Han! Ia mengulur tangan dan menyentuh lengan Ciang Hun.
"Benarkah, Twako? Aihhh, engkau memang baik hati sekali. Engkau dan ibumu selalu berbuat baik. Terima kasih, Twako!"
Ciang Hun mengangkat muka dan tersenyum melihat Sian Li begitu gembira. Begitu kekanak-kenakan!
"Mari kita lanjutkan perjalanan, matahari sudah condong ke barat. Sebentar lagi gelap, dan kita harus dapat melintasi hutan ini sebelum malam tiba."
"Marilah, Gak-twako. Tadi kulihat dari atas bahwa di seberang hutan kecil ini terdapat sebuah dusun. Kita ke sana sebelum malam tiba, Twako."
Mereka memasuki hutan itu dengan langkah cepat. Akan tetapi ketika mereka hampir tiba di seberang, mereka mendengar isak tangis seorang wanita. Mereka terkejut dan heran, bahkan sempat bulu tengkuk mereka meremang karena di waktu senja ketika cuaca sudah hampir gelap, terdengar isak tangis di hutan.
Siapa lagi kalau bukan siluman atau iblis yang mengeluarkan suara seperti itu untuk menakut-nakuti mereka? Memang mereka merasa ngeri, akan tetapi mereka adalah dua orang pendekar yang tidak mudah lari ketakutan. Mereka menghentikan langkah dan memperhatikan. Suara tangis wanita itu ditanggapi suara seorang wanita lain.
"Sudahlah jangan menangis. Tidak ada yang tahu bahwa kita bersembunyi di sini..."
Orang yang menangis itu berkata dengan suara ketakutan, "Tetapi... Ibu... bagaimana dengan ayah? Bagaimana kalau dia dipukul atau dibunuh iblis jahat itu...?"
Mendengar percakapan ini, Sian Li cepat menghampiri, diikuti oleh Ciang Hun. Kedua orang wanita yang sedang duduk di dalam gubuk kecil tempat para pemburu beristirahat itu, menahan jerit mereka ketika mendadak muncul dua bayangan orang dalam cuaca yang sudah remang-remang itu. Akan tetapi mereka tidak jadi menjerit ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis cantik bersama seorang pemuda tampan.
"Jangan takut, Bibi dan Cici, kami bukan orang jahat. Namaku Tan Sian Li dan ini kakak Gak Ciang Hun. Kami kebetulan lewat di sini dan tadi mendengar percakapan kalian. Mengapa kalian bersembunyi di sini dan siapa yang mengancam keselamatan suami Bibi?"
Melihat sikap Sian Li yang gagah, juga pemuda di dekatnya itu bersikap gagah, wanita itu lalu memberi hormat dan berkata, "Aku adalah isteri Lurah So di dusun sana, dan ini So Biauw Hwa puteri kami. Baru saja rumah kami didatangi seorang laki-laki yang amat kasar dan jahat. Dia dengan paksa hendak bermalam di rumah kami, minta disediakan kamar terbaik, mandi air hangat, dan pesta-pesta, minta dilayani wanita-wanita cantik. Dia memukul para penjaga, dan membunuh anjing kami. Dia menakutkan sekali. Karena takut kalau anakku diganggu, maka ia kuajak melarikan diri dan bersembunyi di sini."
"Hemmm, apakah orang itu perampok dan mempunyai banyak teman?" tanya Sian Li penasaran dan sudah marah kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang.
Akan tetapi nyonya itu menggeleng kepala. "Dia hanya seorang diri, dan lagaknya tidak seperti perampok. Pakaiannya pantas, hanya sikapnya yang seperti raja memerintah kami. Ahh, kami takut sekali, khawatir kalau sampai suamiku dicelakakan olehnya..."
"Siauw-moi, mari kita ke sana!" kata Gak Ciang Hun yang juga sudah marah mendengar kelakuan tamu yang demikian kurang ajar.
"Mari, Bibi dan Cici, mari antar kami ke rumah kalian. Kami akan hajar dan usir tamu tak tahu diri itu!" kata Sian Li.
Melihat sikap pemuda dan pemudi itu, ibu dan anak ini menjadi berani dan timbul pula harapan mereka agar cepat terbebas dari ancaman tamu yang jahat itu.
Hari telah menjadi gelap pada saat mereka berempat memasuki dusun. Suasana dusun yang tadinya ramai itu sekarang mendadak menjadi sepi sekali karena semua rumah menutupkan pintu dan jendelanya. Tiada seorang pun berani menampakkan diri di luar rumah, mereka semua telah mendengar akan munculnya seorang manusia yang jahat dan amat lihai di rumah kepala dusun.
Ketika mereka berempat tiba di rumah Lurah So, dari luar mereka sudah mendengar ribut-ribut. Suara itu datangnya dari ruangan makan seperti yang diberi tahukan ibu dan anak itu, dan mereka semua langsung menuju ke ruangan makan di sebelah belakang. Mereka melihat betapa laki-laki setengah tua yang tinggi besar itu sedang bertanding melawan seorang gadis yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang).
Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat dengan dagu runcing dan rambutnya yang hitam itu lebat dan panjang sekali, digelung dua di belakang kepala. Matanya bersinar lembut dan mulutnya amat indah, dengan bibir yang kemerahan dan lekuknya amat menggairahkan. Tubuhnya ramping dan gadis ini memang cantik manis. Juga ilmu sepasang pedangnya cukup lumayan. Jelas bahwa ia sedang marah sekali, menyerang pria itu dengan mati-matian.
Akan tetapi, Ciang Hun dan Sian Li melihat betapa pria itu memang lihai bukan main, Biar pun hanya menggunakan tangan kosong, namun pria itu sama sekali tidak terdesak oleh sepasang pedang lawannya, bahkan dia menggulung lengan baju dan dengan lengan telanjang dia berani menangkis pedang, seolah-olah lengannya terbuat dari baja saja!
Sian Li dan Ciang Hun tidak mengenal wanita cantik manis yang meski pun melihat kehebatan lawan, namun tidak nampak gentar dan terus menyerang itu. Karena mereka tidak tahu siapa gadis itu, juga ibu dan anak itu tidak mengenalnya, maka Sian Li dan Ciang Hun meragu untuk turun tangan.
Gadis yang mulutnya menggairahkan itu adalah Gan Bi Kim! Para pembaca kisah Si Bangau Merah akan mengenal Gan Bi Kim. Dia adalah puteri seorang pejabat tinggi, yaitu kepala gudang pusaka kerajaan dan tinggal di kota raja, bernama Gan Seng.
Saat Yo Han telah tamat belajar ilmu silat dari kakek yang buntung lengan dan kakinya, yaitu mendiang Ciu Lam Hok, sebelum mati kakek itu memesan kepada muridnya agar suka berkunjung kepada cici-nya yang tinggal di kota raja. Cici dari kakek Ciu Lam Hok adalah nenek Ciu Cing, yaitu ibu kandung Gan Seng ayah Bi Kim.
Ketika Yo Han berkunjung ke sana, nenek Ciu Cing menangisi kematian adiknya Ciu Lam Hok dan ketika menyembahyangi arwah adiknya, di depan meja sembahyang itu nenek itu menjodohkan cucunya, Gan Bi Kim, dengan murid adiknya, yaitu Yo Han. Dan kebetulan sekali Bi Kim jatuh cinta pula kepada Yo Han, walau pun Yo Han sendiri tidak mencintanya karena semenjak remaja, Yo Han telah jatuh cinta kepada Tan Sian Li, Si Bangau Merah!
Yo Han meninggalkan keluarga Gan di kota raja. Bi Kim merasa amat penasaran karena belum mendapatkan kepastian dari Yo Han, maka ia pun lalu mendesak ayahnya untuk mengundang jagoan-jagoan istana dan mengajarkan ilmu silat kepadanya. Ternyata ia berbakat dan terutama sekali ia pandai memainkan sepasang pedang.
Setelah ditunggu-tunggu tidak juga Yo Han datang, bahkan tidak ada berita, Gan Bi Kim merasa penasaran. Dia merasa bahwa dia telah menguasai ilmu pedang dan pandai menjaga diri, maka pada suatu hari, dia pun lolos dari gedung ayahnya, meninggalkan sepucuk surat dan menyatakan kepada ayah ibunya bahwa dia pergi untuk mencari tunangannya, yaitu Yo Han!
Pada sore hari itu, kebetulan sekali ia pun tiba di dusun itu. Ia sudah lelah dan ingin bermalam di dusun itu. Akan tetapi betapa herannya melihat semua rumah di dusun itu tertutup pintu dan jendelanya, bahkan di jalan pun tidak nampak seorang pun manusia!
Akan tetapi, dia tahu benar bahwa dusun itu bukan dusun kosong. Pekarangan rumah bersih terpelihara, juga sawah ladang dan tanaman di sekeliling perumahan dusun. Dan lebih dari itu, ia pun dapat mendengar gerakan orang-orang di dalam rumah-rumah yang tertutup rapat dan yang tidak dipasangi lampu walau pun senja telah mendatang.
Karena merasa heran dan penasaran, ketika mendengar tangis anak kecil dari sebuah rumah dan tangis itu berhenti tiba-tiba seolah-olah mulut anak yang menangis itu sudah didekap tangan, ia tidak sabar lagi dan mengetuk daun pintu rumah itu.
"Paman atau bibi, bukalah pintunya. Aku bukan orang jahat. Aku seorang gadis yang kebetulan kemalaman dan ingin bermalam di dusun ini. Biarkan aku menginap semalam di rumah kalian, nanti akan kuberi pengganti kerugian!"
Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan berteriak, akhirnya terdengar juga jawaban seorang wanita dari dalam, tanpa membuka pintu. "Nona, maafkan kami... tempat kami penuh sesak... ehh, kalau Nona ingin bermalam... datanglah ke rumah kepala dusun, di sebelah itu, sepuluh rumah dari sini."
Terpaksa Bi Kim meninggalkan rumah itu, menuju ke kanan sampai ia tiba di depan rumah kepala dusun. Mudah saja menemukan rumah itu karena jauh lebih besar bila dibandingkan rumah-rumah lain. Dan memang hanya rumah besar ini saja yang daun pintu sebelah depan terbuka, dan di dalam rumah itu dipasangi lampu penerangan yang cukup banyak. Ketika Bi Kim memasuki pekarangan, beberapa orang bermunculan dari tempat gelap, agaknya mereka ini pun ketakutan.
"Nona mencari siapakah?" seorang setengah tua bertanya dengan suara gemetar, juga tiga orang temannya nampak ketakutan.
"Aku seorang yang kebetulan lewat dan kemalaman di dusun ini, aku hendak minta pertolongan lurah agar suka menerimaku semalam ini."
Empat orang itu saling pandang, kemudian menengok ke arah dalam rumah dan orang setengah tua tadi berbisik, "Nona, pergilah dari sini. Di rumah ini kedatangan seorang penjahat yang menakutkan. Dia sedang memaksa lurah untuk menjamunya dengan pesta. Dia jahat sekali!"
Mendengar ini, Gan Bi Kim tersenyum dan meraba gagang siang-kiam yang tergantung di punggungnya, "Aku tidak takut, bahkan kalau ada penjahat mengganggu rumah ini, aku akan mengusirnya."
Kembali empat orang itu saling pandang. "Kalau begitu, masuklah, pergilah ke ruangan belakang, ruangan makan. Akan tetapi, kami tidak berani mengantarmu, Nona." kata mereka dan kembali mereka menyelinap ke dalam bayangan-bayangan yang gelap.
Tentu saja Bi Kim merasa heran dan penasaran. Dengan langkah lebar ia memasuki rumah itu. Sunyi saja, agaknya semua orang, seperti empat orang pria tadi, sudah lari menyingkir dan bersembunyi ketakutan. Namun terdengar suara di ruangan belakang dan dia pun menuju ke sana.
Ruangan itu luas dan terang sekali. Sebuah meja makan besar penuh hidangan yang masih mengepulkan uap berada di tengah ruangan. Seorang pria tinggi besar duduk makan minum seorang diri, dilayani oleh tiga orang wanita muda. Seorang laki-laki lain berusia lima puluh tahun lebih, tinggi kurus, berdiri di sudut, memandang dengan sikap takut-takut.
Mendengar langkah kaki, pria yang sedang makan itu menoleh dan ketika melihat Bi Kim, wajahnya berseri, matanya memandang penuh selidik dan dengan suaranya yang parau berwibawa dia bertanya, "Siapa kau? Mau apa kau masuk ke sini?"
Karena tidak tahu mana lurah yang dia cari, Bi Kim memandang kepada pria yang sedang makan itu, bertanya, "Aku ingin bertemu dengan lurah dusun ini. Mana dia?"
"Aku... akulah Lurah So dari dusun ini, Nona..." Lurah So berkata dengan gagap.
Kini Bi Kim menoleh kepada pria tinggi besar yang bukan lain adalah Siangkoan Kok itu. "Hemmm, jadi orang inikah yang datang mengacau?" Bi Kim bertanya sambil menoleh kepada Lurah So.
Akan tetapi lurah ini tidak berani mengeluarkan suara, bahkan menunduk karena takut membuat marah tamunya. Juga tiga orang wanita muda itu tidak berani bergerak.
"Ha-ha-ha, engkau cantik manis, Nona. Engkau jauh lebih cantik dari pada tiga orang perempuan dusun ini. Sayang puteri lurah ini telah melarikan diri. Biar engkau menjadi penggantinya menemaniku makan minum. Mari, Nona, duduklah di sini, makan minum sepuasnya!"
"Hemmm, kiranya engkau ini jahanam busuk, manusia tak tahu diri, begitu datang ke rumah orang bertindak sewenang-wenang. Setelah aku datang, jangan harap engkau akan dapat menjual lagak lagi. Hayo pergilah cepat meninggalkan rumah ini, tinggalkan dusun ini, atau sepasang pedangku akan membuat engkau menjadi setan tanpa kepala!" Berkata demikian, untuk menggertak, Bi Kim mencabut sepasang pedangnya.
Sepasang pedang yang baik karena ayahnya mencarikan sepasang pedang pilihan untuk puterinya. Nampak kilat menyambar pada waktu gadis itu mencabut sepasang pedangnya.
Akan tetapi, Siangkoan Kok tertawa dan sama sekali tidak kelihatan gentar.
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Aku memang lebih senang kalau gadis cantik yang menemani aku makan minum bukan seorang wanita lemah. Nah, sekarang kita bertaruh, Nona. Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku pergi tanpa banyak cakap lagi. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk. Bagai mana?"
Wajah Bi Kim berubah merah sekali, matanya mencorong penuh kemarahan. "Jahanam busuk!" katanya melihat orang itu bangkit dan menghampirinya. "Engkau memang layak dibasmi!" Dan sepasang pedangnya sudah menyambar ganas.
Akan tetapi Siangkoan Kok dapat mengelak dengan mudah dan dia segera mengenal bahwa ilmu pedang nona ini bukan ilmu sembarangan, melainkan ilmu pedang yang tinggi nilainya. Hal ini tidak mengherankan sebab Bi Kim telah dilatih oleh jagoan-jagoan istana yang lihai.
Maka, timbul penyakit lama Siangkoan Kok. Dia tidak segera mengalahkan gadis yang tingkatnya masih jauh di bawahnya itu, bahkan dia menggulung kedua lengan bajunya agar tidak sampai robek, menggunakan dua lengan untuk menangkis serangan pedang sambil memperhatikan jurus-jurus ilmu pedang itu untuk menambah pengetahuannya yang sudah banyak.
Tentu saja Lurah So dan tiga orang gadis dusun yang dipaksa menjadi pelayan tadi merasa ketakutan. Apa lagi melihat betapa tamu yang ditakuti itu mampu melawan si gadis yang berpedang hanya dengan tangan kosong saja.
Juga Bi Kim sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa penjahat ini memang luar biasa, memiliki kesaktian. Apa lagi dia, bahkan guru-gurunya belum tentu mampu menandingi kakek ini!
Pada saat pertandingan itu berlangsung, muncullah Sian Li dan Ciang Hun. Akan tetapi karena kedua orang pendekar ini tidak mengenal Bi Kim, tentu saja mereka tidak dapat turun tangan membantu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, siapa gadis ber-siang-kiam itu dan mengapa pula berkelahi melawan kakek yang amat lihai itu.
Seperti yang mereka duga, kakek itu hanya mempermainkan lawannya dan setelah dia mengenal benar ilmu pedang berpasangan dari Bi Kim, tiba-tiba saja Siangkoan Kok membentak nyaring dan tahu-tahu sepasang pedang itu sudah berpindah tangan! Dia menyeringai ketika Bi Kim meloncat ke belakang dengan kaget.
"Ha-ha-ha, engkau telah kalah, Nona. Nah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk!"
"Tidak sudi! Sebelum mati aku tidak akan mengaku kalah!" bentak Bi Kim dan ia pun menerjang lagi, kini dengan tangan kosong.
Kini Sian Li dan Ciang Hun tidak ragu-ragu lagi. Jelas bahwa gadis itu merupakan orang yang menentang penjahat lihai itu, maka keduanya sudah melompat ke depan untuk mencegah Bi Kim bertindak nekat. Dengan sepasang pedang saja bukan lawan kakek itu, apa lagi bertangan kosong.
"Tahan...!" kata Sian Li dan dari samping dia sudah menangkap pergelangan tangan Bi Kim dan menariknya ke samping.
Bi Kim yang tertangkap pergelangan tangannya, merasa tenaganya lumpuh, maka ia terkejut sekali dan menurut saja ditarik ke samping.
Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, memandang pada Sian Li yang berpakaian merah dan Ciang Hun yang gagah.
"Huh, siapa lagi kalian ini yang datang mengganggu kesenanganku!" katanya sambil melemparkan sepasang pedang rampasan dari Bi Kim.
Biar pun hanya dilempar sambil lalu saja, namun sepasang pedang itu meluncur bagai anak panah ke arah Sian Li dan Ciang Hun! Jelas bahwa kakek yang lihai itu sengaja hendak menguji kepandaian dua orang muda yang baru muncul!
Dengan tenang Sian Li menangkap pedang yang meluncur ke arahnya dari samping, dengan jalan menjepitnya di antara telunjuk dan ibu jarinya, persis seperti anak-anak menangkap capung pada ekornya.
Sedangkan Ciang Hun lebih repot lagi, mengelak ke samping lalu memutar tubuh dan menangkap pedang itu pada gagangnya dari belakang! Dari cara menangkap pedang ini saja sudah dapat dinilai bahwa tingkat kepandaian Si Bangau Merah lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Gak Ciang Hun!
Siangkoan Kok agak terkejut. Kiranya dua orang muda ini amat hebat! Sama sekali tidak boleh dipandang ringan, tidak dapat disamakan dengan kepandaian Bi Kim.
Ciang Hun dan Sian Li menyerahkan sepasang pedang itu kembali kepada Bi Kim, kemudian Sian Li menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Siangkoan Kok.
"Engkau ini orang tua yang kelihatan gagah perkasa, juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Sungguh menjijikkan sikapmu di dusun ini, bertindak seperti perampok kecil saja!"
Wajah Siangkoan Kok berubah kemerahan.
"Bocah bermulut lancang!" Setelah berkata demikian, dia menubruk ke arah Sian Li dan mengirim serangan kilat.
Namun, nampak bayangan merah berkelebat dan Sian Li sudah dapat mengelak dari serangan dahsyat itu. Ketika tubuhnya turun di depan kakek itu, dia sudah memegang sebatang suling berselaput emas, sikapnya gagah dan tenang sekali.
Siangkoan Kok terkejut sekali, apa lagi ketika melihat suling emas itu. Alisnya berkerut mengingat-ingat. Pakaian merah! Tentu saja!
"Hemmm, apakah engkau ini yang berjuluk Si Bangau Merah?" tanya Siangkoan Kok sambil memandang penuh selidik.
Sian Li menggerakkan sulingnya. Terdengar suara berdesing, disusul ucapannya yang lantang, "Memang benar aku yang dijuluki Si Bangau Merah."
"Bagus! Ha-ha-ha, hari ini aku sungguh beruntung, dapat bertemu dengan tokoh-tokoh muda dunia kangouw. Dan engkau siapa orang muda?" tanyanya. "Tidak perlu engkau menjawab, biarkan aku menebak siapa engkau!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat. Tangannya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Ciang Hun. Pemuda ini sama sekali tidak menduga akan diserang, maka dia tidak sempat mengelak lagi, lalu mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menggerakkan kedua tangan terbuka menyambut.
"Dukkkkk!" Keduanya terdorong ke belakang.
Ciang Hun sudah berjongkok dan berlutut dengan sebelah kakinya. Kedua tangannya di depan dada, dengan kedua telapak tangannya menghadap ke atas.
Siangkoan Kok terbelalak. "Wah, apakah engkau memiliki sinkang yang disebut Tenaga Inti Bumi? Engkau mengambil tenaga dari tanah?"
Diam-diam Gak Ciang Hun tertegun dan kagum. Sekali beradu tenaga yang membuat dia tadi terlempar dan terpaksa memasang kuda-kuda Dewa Menyangga Bumi untuk memulihkan tenaga dan siap menghadapi serangan lanjutan lawan, dan kakek itu sudah mengenal dasar ilmunya.
Memang dia tadi telah menggunakan tenaga yang menjadi ilmu warisan keluarga Gak. Bahkan mendiang kakeknya, Bu-beng Lo-kai atau dahulu bernama Gak Bun Beng, sebelum meninggal dunia sudah mengoperkan tenaga kepadanya sehingga meski pun bakatnya tidak sangat baik, namun dia telah dapat menghimpun tenaga sinkang itu.
"Orang muda, apakah hubunganmu dengan mendiang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?" tanyanya lagi.
Ciang Hun tak ingin menyombongkan dirinya, akan tetapi dia pun bangga dengan nama besar kedua ayahnya. "Mereka adalah ayah kandungku!" jawabnya gagah, sama sekali tidak merasa sungkan mengaku bahwa dia memiliki dua orang ayah kandung!
Memang suatu hal yang aneh dalam keluarga itu. Ayahnya adalah sepasang pendekar kembar yang mencintai seorang wanita, maka keduanya menjadi suami wanita itu dan lahirlah Ciang Hun, anak dari seorang ibu dan dua orang ayah.
"Ha-ha-ha-ha, pantas kalian berani mengganggu kesenanganku. Nah, mengingat bahwa kalian keturunan orang-orang pandai, mari kuundang kalian makan minum denganku, Bangau Merah dari orang muda she Gak! Dan engkau juga, Nona. Tadi permainan siang-kiam (sepasang pedang) darimu cukup lumayan, membuktikan bahwa engkau pun sudah dilatih oleh guru yang pandai. Ha-ha-ha, marilah orang-orang muda, kita mempererat perkenalan dengan makan minum!"
Siangkoan Kok tidak berpura-pura dengan keramahan ajakannya ini. Tadinya dia adalah majikan yang dihormati bagai seorang raja kecil. Akan tetapi sekarang semua kemuliaan itu habislah sudah.
Anak buahnya dibasmi pasukan pemerintah, Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) telah diobrak-abrik, seluruh hartanya habis. Habislah sudah semuanya, bahkan ia kehilangan anak yang disayangnya walau pun hanya anak tiri, juga kehilangan isteri yang dia bunuh sendiri, serta kehilangan murid tersayang yang diambilnya secara paksa menjadi isteri, juga murid ini dia bunuh.
Sekarang dia sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi. Karena itu, melihat tiga orang muda ini, yang gagah perkasa dan juga dua orang di antaranya adalah gadis-gadis perkasa yang cantik, timbul keinginan hatinya untuk bersahabat dengan mereka. Siapa tahu dia dapat menguasai mereka dan dengan bantuan tiga orang muda seperti ini dia tentu akan mampu membangun lagi perkumpulannya yang terbasmi dan dia akan jaya kembali...
Dia merasa berduka dan menyesal sekali, maklum bahwa dia memang telah bersikap sangat bodoh. Dia terlalu mengandalkan kekuatan perkumpulannya. Perkumpulan yang menentang pemerintah harusnya menyembunyikan diri, menghimpun kekuatan secara diam-diam pula, tidak boleh memamerkan kekuatan sehingga terbasmi sebelum sempat memberontak.
Ia harus mulai lagi dari permulaan, menghimpun pembantu-pembantu yang lebih cakap dari pada yang sudah. Akan tetapi dia tahu betapa sukarnya hal itu tercapai. Yang jelas, dahulu dia dibantu oleh isterinya, Lauw Cu Si yang selain setia juga amat lihai ilmunya, sebagai keturunan para pimpinan Beng-kauw. Tidak mudah mencari seorang pengganti isteri seperti Lauw Cu Si yang pandai dan lihai.
Kemudian dia berhasil menggembleng Eng Eng yang dianggapnya seperti anak sendiri sehingga Eng Eng yang tinggal bersamanya sejak berusia dua setengah tahun, menjadi seorang gadis yang mempunyai kelihaian melebihi ibunya! Dua orang wanita itu tadinya merupakan pembantu-pembantu yang amat boleh diandalkan, terutama Eng Eng.
Akan tetapi sekarang, semuanya telah hancur. Bahkan isterinya telah tewas, dan Eng Eng sudah lari. Dan dia tahu bahwa sekarang Eng Eng bukan lagi anaknya, melainkan musuhnya! Dan semua pembantu yang telah dididiknya, juga murid-muridnya, kini telah habis, entah tewas entah ditawan pasukan pemerintah. Dia hanya seorang diri di dunia ini. Bahkan lima orang bekas anak buahnya tadi pun terpaksa dibunuhnya.
"Aku tak boleh putus asa," bisik Siangkoan Kok kepada dirinya sendiri sambil mengepal tinju. "Aku harus mencari lagi pembantu-pembantu yang lebih kuat lagi."
Seandainya saja orang-orang seperti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok tadi dapat menjadi pembantu-pembantunya! Jika tadi Ouw-pangcu tidak muncul, mungkin dia sudah dapat membujuk atau memaksa Cu Kim Giok menjadi pembantunya yang baru, atau menjadi selirnya! Dia bukan tergila-gila karena kecantikan dan kemudaan Kim Giok, melainkan ingin memiliki gadis itu agar dapat menjadi pembantunya yang setia.
Dengan keputusan hati yang penuh harapan, penuh semangat, kemudian pria perkasa ini melanjutkan perjalanan, dengan langkah lebar dia menuruni lereng terakhir. Di dalam sakunya masih terdapat banyak emas permata untuk bekal perjalanannya, walau pun hal ini tidak dipentingkan benar karena kalau dia membutuhkan biaya, tak sukar baginya untuk mengambil dari rumah orang yang mana pun.
Ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup ramai di kaki Kwi-san, matahari telah condong ke barat dan cuaca sudah mulai remang-remang. Karena itu Siangkoan Kok mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu.
Meski pun dia bekas ketua Pao-beng-pai yang bermarkas di Lembah Selaksa Setan, di lereng Bukit Setan itu, namun penduduk dusun di kaki bukit ini tidak pernah melihatnya. Oleh karena itu, tak seorang pun mengenal pria tinggi besar gagah perkasa yang pada senja hari itu memasuki dusun.
Akan tetapi, walau pun dia sendiri belum pernah memasuki dusun itu, Siangkoan Kok sudah mendengar dari anak buahnya bahwa dusun itu cukup ramai, penduduknya hidup cukup makmur karena sawah dan ladang di daerah itu amat subur, juga bahwa kepala dusunnya kaya raya.
So-chungcu (Kepala dusun So) bersama isterinya dan puterinya yang pada sore hari itu sedang duduk di serambi depan, tidak menduga buruk ketika melihat seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, berpakaian cukup pantas seperti seorang kota yang pakaiannya dari kain sutera, memasuki pekarangan rumah mereka. Bahkan Lurah So segera bangkit berdiri sambil memandang penuh perhatian ketika orang itu datang menghampiri mereka. Akan tetapi dia merasa heran karena merasa tidak mengenal tamu yang datang itu. Kalau seorang pejabat dari kota, kenapa datang tanpa pengawal?
Sekarang mereka berdiri berhadapan. Juga isteri Lurah So dan puterinya yang berusia delapan belas tahun, bangkit berdiri dan memandang pada tamu itu. Oleh karena tamu pria itu sudah setengah tua, maka dua orang wanita itu tidak merasa sungkan. Andai kata yang datang itu seorang laki-laki muda, tentu So Biauw Hwa, puteri lurah itu, akan masuk ke dalam bersama ibunya.
"Apakah engkau kepala dusun di sini?" kata tamu itu tiba-tiba, mendahului tuan rumah. Suaranya menggelegar dan sikapnya berwibawa, namun sikapnya ini tidak menghormat si kepala dusun seperti sikap penduduk dusun di situ pada umumnya.
Akan tetapi, So-chungcu tidak marah karena dia menduga bahwa tentu tamu ini seorang dari kota, mungkin seorang pejabat atau pedagang. Dia hanya memandang sejenak lalu mengangguk. "Benar, saya adalah kepala dusun di sini. Siapakah Saudara serta dari mana dan hendak ke mana? Ada keperluan apa Saudara berkunjung ke rumah kami?"
Siangkoan Kok mengamati lurah itu. Seorang laki-laki yang sebaya dengannya, tinggi kurus. Isterinya berusia empat puluhan tahun, masih cantik, dan puterinya yang berusia delapan belas tahun itu berwajah manis dan matanya lebar indah seperti mata kelinci. Ruangan depan itu pun memiliki prabot rumah yang cukup mewah, tanda bahwa lurah ini memang cukup keadaannya.
"Saya hanyalah orang yang kebetulan lewat di dusun ini dan karena kemalaman, saya ingin melewatkan malam di sini, di rumah ini," kata Siangkoan Kok dengan sikap acuh, seolah-olah dia sudah merasa yakin bahwa permintaannya itu pasti dikabulkan.
Mulailah Lurah So mengerutkan alisnya, juga isteri dan puterinya memandang dengan alis berkerut. Tamu ini sungguh tidak sopan, dan permintaannya agak keterlaluan. Tidak mengenalkan nama, tidak menceritakan maksud kedatangannya, namun datang-datang menyatakan ingin menginap di rumah itu, bahkan tidak memohon agar diterima!
"Hemmm, kalau ada tamu kemalaman di sini, kami sudah menyediakan tempat umum untuk bermalam, yaitu di balai dusun. Tetapi setiap tamu harus mendaftarkan namanya, tempat tinggalnya, supaya kami tahu siapa yang datang bermalam. Nah, Saudara boleh pergi ke balai dusun, itu di sebelah kiri, rumah ketiga dari sini, dan di sana sudah ada petugas yang akan melayanimu. Silakan!" kata tuan rumah itu, mengusir dengan nada halus.
Tetapi, jawaban yang diberikan tamu itu sungguh membuat keluarga lurah itu menjadi terbelalak. Siangkoan Kok berkata dengan nada suara marah.
"Lurah So, tak perlu banyak cakap lagi. Cepat sediakan sebuah kamar terbaik di rumah ini untukku! Sediakan air hangat untuk mandi. Setelah itu, aku ingin makan malam yang enak. Karena itu sediakan masakan yang lengkap, sembelih ayam dan bebek, dan aku ingin makan dilayanioleh wanita yang muda-muda dan cantik-cantik!" berkata demikian, Siangkoan Kok mengerling ke arah isteri dan puteri lurah itu.
Dia bukan seorang mata keranjang, tapi dia hanya ingin memperlihatkan kekuasaannya, ingin dihormati secara berlebihan. Kalau pun dia pernah memaksa muridnya, mendiang Tio Sui Lan, karena dia marah kepada isterinya dan ingin mendapatkan ganti isterinya. Dan Sui Lan pada saat itu yang paling dekat dengannya, maka dia mengambil murid itu sebagai isteri secara paksa.
Sebelum peristiwa itu, dia tidak pernah mengganggu wanita lain. Curahan nafsu dalam diri Siangkoan Kok bukan kepada wanita cantik, tetapi kepada pengejaran cita-citanya, yaitu membangun kembali kerajaan Beng dan dia yang menjadi kaisar!
Tentu saja Lurah So marah bukan main mendengar permintaan kurang ajar seperti itu. Seorang pejabat tinggi dari kota pun tentu tidak akan mengajukan permintaan seperti itu secara langsung, seolah-olah dia merupakan abdi dari orang itu!
Lurah So tidak mau banyak cakap lagi, lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah lima orang dari samping rumah, membawa seekor anjing yang dirantai. Anjing itu besar dan nampaknya menyeramkan. Lima orang itu adalah penjaga atau peronda yang malam itu akan bertugas jaga di dusun itu, melakukan perondaan dan memang rumah samping Lurah So menjadi pusat penjagaan.
"Usir orang yang tidak sopan ini keluar dari dusun!" perintah Lurah So dengan geram sambil menunjuk ke arah Siangkoan Kok.
Lima orang itu segera menghampiri dengan sikap bengis. Para petugas ronda di dusun itu memang dipilih warga dusun yang bertubuh kuat dan masih muda. Biar pun mereka bukan tukang pukul, akan tetapi lima orang itu yang merasa mendapat wewenang, lalu menghampiri Siangkoan Kok dengan sikap bengis mengancam. Sementara itu, isteri dan puteri Lurah So yang merasa ketakutan, sudah lari masuk ke dalam rumah.
"Hayo engkau cepat pergi dari sini!" kata seorang penjaga.
"Kalau tidak cepat pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!" bentak orang kedua.
Siangkoan Kok memandang kepada mereka dengan senyum mengejek. "Aku tidak mau pergi dan hendak kulihat, kekerasan macam apa yang hendak kalian lakukan terhadap diriku!"
Mendengar kata-kata serta melihat sikap yang penuh tantangan ini, lima orang penjaga menjadi marah. Mereka berlima maju dan mengulur tangan hendak menangkap orang setengah tua itu. Akan tetapi, begitu Siangkoan Kok menggerakkan kedua tangannya, lima orang itu terdorong dan terjengkang, lalu terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya!
Anjing yang tadinya dipegang ujung rantainya oleh seorang dari mereka, kini terlepas. Dan anjing itu menggonggong, lalu menubruk ke arah Siangkoan Kok dengan moncong dibuka lebar, memperlihatkan gigi bertaring yang runcing.
Melihat serangan anjing besar itu, Siangkoan Kok menjadi marah. Dengan jari terbuka tangan kirinya menyambut tubrukan anjing itu, menyambar dari samping ke arah kepala anjing.
"Krekkk!" Anjing itu terbanting roboh dan berkelojotan dengan kepala pecah.
Lima orang penjaga itu terkejut. Mereka sudah mencabut golok masing-masing sambil berloncatan berdiri. Akan tetapi, saat Siangkoan Kok menggerakkan kakinya, tubuhnya berkelebat ke depan, kakinya dan tangannya bergerak, maka segera lima batang golok itu beterbangan lepas dari tangan pemegangnya.
"Apakah kalian ingin mampus seperti anjing itu?!" bentaknya dan sekali tangan kirinya meraih, dia sudah mencengkeram baju di tengkuk Lurah So.
"Kalau permintaanku yang pantas itu tidak dituruti, aku akan membunuh Lurah So serta keluarganya dan membakar rumah ini. Jika ada penghuni dusun ini berani melawanku, akan kubunuh mereka semua!"
Dia melepaskan lagi cengkeramannya, dan Lurah So dengan muka pucat lalu menyuruh para penjaga itu mundur. Lurah So kemudian membungkuk dan memberi hormat pada Siangkoan Kok.
"Maafkan kami... karena tidak tahu kami telah berani membangkang perintah Taihiap (Pendekar Besar)."
"Cukup sudah! Cepat sediakan yang kupinta tadi. Kamar terbaik, mandi air hangat, lalu makan malam yang meriah dilayani wanita-wanita muda dan cantik!"
"Silakan, Taihiap... silakan, biar Taihiap mempergunakan kamar kami sendiri. Silakan!"
Dengan langkah lebar Siangkoan Kok memasuki rumah lurah itu, diiringkan Lurah So yang masih ketakutan. Lima orang penjaga membawa pergi bangkai anjing dan dengan ketakutan mereka menceritakan apa yang terjadi di rumah Lurah So kepada penghuni dusun. Semua orang dusun dicekam ketakutan, akan tetapi mereka tidak berdaya, takut untuk melakukan sesuatu karena keselamatan keluarga Lurah So telah dicengkeram oleh tamu aneh itu.
Terpaksa Lurah So melayani tamunya, memberikan kamarnya sendiri untuk Siangkoan Kok, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi dan memerintahkan juru masak untuk menyembelih ayam dan bebek, membuat masakan dan mempersiapkan makan malam sebaik mungkin untuk tamu aneh yang amat ditakuti itu. Diam-diam dia menyuruh puterinya pergi meninggalkan rumah, mengungsi ke mana saja agar jangan sampai diganggu tamu itu.
Sementara itu, pada sore hari itu juga, seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih juga menuruni lereng Kwi-san. Gadis ini cantik jelita, dengan wajahnya yang bulat telur dan kulit putih kemerahan. Matanya lebar dengan sinar tajam, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum yang sangat manis karena ujung bibirnya dimeriahkan lesung pipit.
Dari pakaiannya yang serba merah, mudah diduga siapa adanya gadis jelita ini, apa lagi kalau nampak sebatang suling berselaput emas terselip di pinggangnya. Dia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li!
Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini hadir pula bersama ayah ibunya di dalam pesta ulang tahun dan pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong. Diam-diam ia kecewa karena tidak melihat Yo Han di sana, apa lagi kemudian terjadi pengacauan yang dilakukan Eng Eng dari Pao-beng-pai.
Hal ini dijadikan alasan oleh Sian Li untuk meninggalkan ayah ibunya dengan diam-diam di rumah Suma Ceng Liong. Ia hanya meninggalkan surat untuk ayah ibunya bahwa dia pergi untuk membantu Yo Han mencari puteri Sim Houw, yaitu Sim Hui Eng, dan juga untuk menyelidiki Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar.
Karena tidak tahu ke mana Yo Han pergi, maka Sian Li mencari tanpa tujuan tertentu. Ke mana pun dia pergi, dia bertanya-tanya mengenai pendekar yang berjuluk Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti), namun tidak pernah menemukan orang yang dapat menunjukkan di mana adanya pendekar yang dicarinya itu.
Akhirnya, dia menuju ke Bukit Setan untuk menyelidiki Pao-beng-pai. Dalam perjalanan menuju ke sana itulah dia mendengar akan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap gerombolan pemberontak itu, mendengar betapa Pao-beng-pai dibasmi oleh pasukan pemerintah. Namun ia tetap pergi ke sana dan berhasil naik sampai ke Lembah Selaksa Setan, melihat betapa bekas sarang Pao-beng-pai telah menjadi puing karena dibakar oleh pasukan pemerintah.
Sian Li sama sekali tidak tahu bahwa pada saat dia meninggalkan lembah itu, di lembah sebelah bawah tengah terjadi perkelahian antara Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok yang kemudian dibantu oleh Ouw Seng Bu. Hanya beberapa jam selisihnya ketika ia melewati lembah itu. Ia terus menuruni lembah dan ketika tiba di kaki bukit, ia lantas menuju ke dusun yang tadi dilihatnya dari lembah terakhir.
Pada saat dia memasuki hutan kecil yang berada di kaki bukit, untuk menuju ke dusun di seberang hutan, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya.
"Nona Tan Sian Li...!"
Sian Li terkejut. Ia menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya memandang. Segera ia mengenal pemuda yang datang berlari-lari menghampirinya itu.
"Twako (Kakak) Gak Ciang Hun...!" serunya girang dan juga heran sekali.
Terakhir ia berjumpa dengan pemuda itu di rumah Suma Ceng Liong ketika diadakan pertemuan antara tiga keluarga besar. "Bagaimana engkau dapat berada di sini?"
Dengan wajah berseri-seri karena gembira dapat menemukan gadis itu, Ciang Hun lalu menjawab, "Aku memang menyusul dan mencarimu setelah kami semua mengetahui kepergianmu."
Sian Li mengerutkan alisnya. "Kenapa, Gak-twako? Mau apa engkau menyusul dan mencariku?"
Ciang Hun menyadari kesalahannya. Hampir saja dia membuka rahasia hatinya. Tentu saja dia menyusul Sian Li karena mengkhawatirkan gadis itu dan ingin membantunya. Semua ini terdorong oleh perasaan cintanya kepada Sian Li! Akan tetapi, dia tidak berani menceritakan itu.
"Aku... aku pun ingin ikut mencari puteri paman Sim Houw yang hilang sejak kecil, aku ingin pula ikut menyelidiki Pao-beng-pai. Aku sudah mendapat perkenan ibu, maka aku cepat-cepat pergi menyusulmu, Nona. Kurasa, dengan tenaga kita berdua, akan lebih kuat dan..."
"Gak-twako, jangan menyebut aku nona. Engkau membuat aku merasa sungkan saja. Bagaimana pun juga, di antara kita masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau perguruan. Nah, kalau aku menyebutmu kakak, sudah sepatutnya kau menyebut aku adik, bukan?"
Wajah Ciang Hun menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. Memang pemuda ini, walau pun sudah berusia dua puluh sembilan tahun, akan tetapi belum berpengalaman dalam pergaulan dengan wanita, maka dia merasa canggung dan rikuh.
"Baiklah, Siauw-moi. Aku memang mencarimu ke Kwi-san, karena engkau ingin pula menyelidiki Pao-beng-pai. Akan tetapi aku menjadi bingung ketika mendengar bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah. Maka aku hanya berkeliaran di sekitar kaki bukit sampai tadi kebetulan sekali aku melihatmu, maka aku mengejarmu."
Siang Li yang merasa lelah, tidak begitu senang bila membayangkan dirinya melakukan perjalanan berdua saja dengan Ciang Hun. Bukan Ciang Hun yang diharapkannya, tapi Yo Han! Dan dia mendapat kesan bahwa pandang mata Gak Ciang Hun terhadapnya begitu penuh kagum, begitu mesra. Dan ini hanya berarti bahwa pemuda perkasa ini agaknya menaruh hati kepadanya, hal yang sama sekali tidak ia harapkan!
Sian Li adalah seorang gadis yang berwatak tegas dan keras. Ia lalu duduk di atas batu, di bawah pohon yang rindang. Matahari sudah condong ke barat, namun sinarnya masih cukup panas dan duduk di tempat teduh itu terasa sangat nyaman, apa lagi karena ia sudah melakukan perjalanan melelahkan menuruni Lembah Selaksa Setan tadi.
"Gak-twako, sesungguhnya, perjalananku meninggalkan ayah ibu tempo hari terutama sekali untuk mencari kanda Yo Han." Ia berkata dengan tekanan suara kepada nama pemuda itu, dan matanya memandang tajam.
Ciang Hun mengerutkan alisnya. "Yo Han? Kau maksudkan, Pendekar Tangan Sakti?"
Sian Li mengangguk dan ia semakin yakin akan dugaannya melihat betapa sinar mata pemuda itu menunduk dan alisnya berkerut, jelas nampak kalau dia terpukul. Sebaiknya aku berterus terang saja, pikir gadis itu, dari pada membiarkan dia berlarut-larut hanyut dalam khayal.
"Benar, Gak-twako. Aku ingin mencari Han-koko. Dia bertekad untuk menemukan puteri Paman Sim Houw yang hilang, maka aku akan mencarinya karena aku tidak ingin ikut ayah dan ibu ke kota raja."
Ciang Hun sudah dapat menguasai kekecewaan mendengar betapa gadis yang sejak pertemuannya pertama kali sudah merampas semangatnya ini mencari-cari Yo Han. Dia menduga bahwa tentu ada perhatian khusus dari gadis ini terhadap pendekar itu. Untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, dia bertanya, "Kenapa engkau tidak ingin ikut dengan orang tuamu ke kota raja, Nona... ehh, Siauw-moi?"
"Hemmm, orang tuaku hendak mengajak aku ke kota raja untuk membicarakan urusan perjodohanku. Aku tidak suka itu. Aku hendak dijodohkan dengan putera Pangeran Cia Yan, bahkan ikatan itu sudah dilakukan semenjak dahulu dan kini orang tuaku hendak mematangkan urusan itu. Aku tidak suka menjadi calon mantu pangeran!"
Ciang Hun memandang wajah gadis itu yang nampak cemberut, namun tak mengurangi kecantikannya.
"Akan tetapi, kenapa, Siauw-moi? Bukankah menjadi mantu pangeran merupakan suatu penghormatan yang besar? Engkau akan hidup mulia dan terhormat, dan kurasa putera pangeran itu pun seorang pemuda yang baik maka sampai diterima oleh ayah ibumu..."
"Tidak peduli bagaimana pun baiknya, aku tidak sudi! Ah, Twako, kurasa tidak perlu lagi aku merahasiakan. Hanya ada seorang saja pria yang aku inginkan menjadi suamiku, pria yang kucinta sejak dahulu, dia adalah Han-koko..."
"Sin-ciang Taihiap Yo Han?" Ciang Hun bertanya. Dia tidak merasa heran karena hal ini sudah diduganya.
Gadis itu mengangguk, merasa puas karena ia memang ingin berterus terang agar Gak Ciang Hun tidak lagi mengharapkannya.
"Ia memang seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku pun kagum dan menghormati dia. Pilihan hatimu tidak keliru, Siauw-moi. Akan tetapi bagaimana dengan pilihan orang tuamu, pangeran itu...?"
"Aku tidak mau! Ayah dan ibu harus dapat mengerti. Aku hanya mencinta Han-ko, aku akan mencarinya."
"Kalau begitu, aku akan membantumu, Siauw-moi. Aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan Yo Han!" kata Ciang Hun penuh semangat.
Ciang Hun memang berjiwa pendekar. Meski pun baru saja harapannya hancur lebur, bahwa cintanya kepada Sian Li tak akan mungkin terbalas, bahwa dia hanya bertepuk tangan sebelah, akan tetapi dia tidak menjadi patah hati. Tidak, dia dapat menerima dan menghadapi kenyataan. Apa lagi mendengar bahwa pilihan hati Sian Li adalah Yo Han, pendekar yang dia kagumi, dan dia tahu bahwa Yo Han jauh lebih baik dari dirinya sendiri!
Dia tahu bahwa dia bukan jodoh Sian Li, akan tetapi hal ini bukan berarti dia membenci Sian Li. Tidak, dia tetap menyayangnya, karena bagaimana pun juga, di antara mereka masih ada hubungan dan ikatan antara tiga keluarga besar. Dia harus membantu gadis itu menemukan kekasihnya, calon suaminya, menemukan kebahagiaannya.
Sian Li mengangkat muka memandang wajah yang menunduk itu. Diam-diam ia merasa terharu, dan juga kagum. Seorang pria yang hebat, pikirnya. Betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada pria ini, sekiranya di sana tidak ada Yo Han! Ia mengulur tangan dan menyentuh lengan Ciang Hun.
"Benarkah, Twako? Aihhh, engkau memang baik hati sekali. Engkau dan ibumu selalu berbuat baik. Terima kasih, Twako!"
Ciang Hun mengangkat muka dan tersenyum melihat Sian Li begitu gembira. Begitu kekanak-kenakan!
"Mari kita lanjutkan perjalanan, matahari sudah condong ke barat. Sebentar lagi gelap, dan kita harus dapat melintasi hutan ini sebelum malam tiba."
"Marilah, Gak-twako. Tadi kulihat dari atas bahwa di seberang hutan kecil ini terdapat sebuah dusun. Kita ke sana sebelum malam tiba, Twako."
Mereka memasuki hutan itu dengan langkah cepat. Akan tetapi ketika mereka hampir tiba di seberang, mereka mendengar isak tangis seorang wanita. Mereka terkejut dan heran, bahkan sempat bulu tengkuk mereka meremang karena di waktu senja ketika cuaca sudah hampir gelap, terdengar isak tangis di hutan.
Siapa lagi kalau bukan siluman atau iblis yang mengeluarkan suara seperti itu untuk menakut-nakuti mereka? Memang mereka merasa ngeri, akan tetapi mereka adalah dua orang pendekar yang tidak mudah lari ketakutan. Mereka menghentikan langkah dan memperhatikan. Suara tangis wanita itu ditanggapi suara seorang wanita lain.
"Sudahlah jangan menangis. Tidak ada yang tahu bahwa kita bersembunyi di sini..."
Orang yang menangis itu berkata dengan suara ketakutan, "Tetapi... Ibu... bagaimana dengan ayah? Bagaimana kalau dia dipukul atau dibunuh iblis jahat itu...?"
Mendengar percakapan ini, Sian Li cepat menghampiri, diikuti oleh Ciang Hun. Kedua orang wanita yang sedang duduk di dalam gubuk kecil tempat para pemburu beristirahat itu, menahan jerit mereka ketika mendadak muncul dua bayangan orang dalam cuaca yang sudah remang-remang itu. Akan tetapi mereka tidak jadi menjerit ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis cantik bersama seorang pemuda tampan.
"Jangan takut, Bibi dan Cici, kami bukan orang jahat. Namaku Tan Sian Li dan ini kakak Gak Ciang Hun. Kami kebetulan lewat di sini dan tadi mendengar percakapan kalian. Mengapa kalian bersembunyi di sini dan siapa yang mengancam keselamatan suami Bibi?"
Melihat sikap Sian Li yang gagah, juga pemuda di dekatnya itu bersikap gagah, wanita itu lalu memberi hormat dan berkata, "Aku adalah isteri Lurah So di dusun sana, dan ini So Biauw Hwa puteri kami. Baru saja rumah kami didatangi seorang laki-laki yang amat kasar dan jahat. Dia dengan paksa hendak bermalam di rumah kami, minta disediakan kamar terbaik, mandi air hangat, dan pesta-pesta, minta dilayani wanita-wanita cantik. Dia memukul para penjaga, dan membunuh anjing kami. Dia menakutkan sekali. Karena takut kalau anakku diganggu, maka ia kuajak melarikan diri dan bersembunyi di sini."
"Hemmm, apakah orang itu perampok dan mempunyai banyak teman?" tanya Sian Li penasaran dan sudah marah kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang.
Akan tetapi nyonya itu menggeleng kepala. "Dia hanya seorang diri, dan lagaknya tidak seperti perampok. Pakaiannya pantas, hanya sikapnya yang seperti raja memerintah kami. Ahh, kami takut sekali, khawatir kalau sampai suamiku dicelakakan olehnya..."
"Siauw-moi, mari kita ke sana!" kata Gak Ciang Hun yang juga sudah marah mendengar kelakuan tamu yang demikian kurang ajar.
"Mari, Bibi dan Cici, mari antar kami ke rumah kalian. Kami akan hajar dan usir tamu tak tahu diri itu!" kata Sian Li.
Melihat sikap pemuda dan pemudi itu, ibu dan anak ini menjadi berani dan timbul pula harapan mereka agar cepat terbebas dari ancaman tamu yang jahat itu.
Hari telah menjadi gelap pada saat mereka berempat memasuki dusun. Suasana dusun yang tadinya ramai itu sekarang mendadak menjadi sepi sekali karena semua rumah menutupkan pintu dan jendelanya. Tiada seorang pun berani menampakkan diri di luar rumah, mereka semua telah mendengar akan munculnya seorang manusia yang jahat dan amat lihai di rumah kepala dusun.
Ketika mereka berempat tiba di rumah Lurah So, dari luar mereka sudah mendengar ribut-ribut. Suara itu datangnya dari ruangan makan seperti yang diberi tahukan ibu dan anak itu, dan mereka semua langsung menuju ke ruangan makan di sebelah belakang. Mereka melihat betapa laki-laki setengah tua yang tinggi besar itu sedang bertanding melawan seorang gadis yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang).
Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat dengan dagu runcing dan rambutnya yang hitam itu lebat dan panjang sekali, digelung dua di belakang kepala. Matanya bersinar lembut dan mulutnya amat indah, dengan bibir yang kemerahan dan lekuknya amat menggairahkan. Tubuhnya ramping dan gadis ini memang cantik manis. Juga ilmu sepasang pedangnya cukup lumayan. Jelas bahwa ia sedang marah sekali, menyerang pria itu dengan mati-matian.
Akan tetapi, Ciang Hun dan Sian Li melihat betapa pria itu memang lihai bukan main, Biar pun hanya menggunakan tangan kosong, namun pria itu sama sekali tidak terdesak oleh sepasang pedang lawannya, bahkan dia menggulung lengan baju dan dengan lengan telanjang dia berani menangkis pedang, seolah-olah lengannya terbuat dari baja saja!
Sian Li dan Ciang Hun tidak mengenal wanita cantik manis yang meski pun melihat kehebatan lawan, namun tidak nampak gentar dan terus menyerang itu. Karena mereka tidak tahu siapa gadis itu, juga ibu dan anak itu tidak mengenalnya, maka Sian Li dan Ciang Hun meragu untuk turun tangan.
Gadis yang mulutnya menggairahkan itu adalah Gan Bi Kim! Para pembaca kisah Si Bangau Merah akan mengenal Gan Bi Kim. Dia adalah puteri seorang pejabat tinggi, yaitu kepala gudang pusaka kerajaan dan tinggal di kota raja, bernama Gan Seng.
Saat Yo Han telah tamat belajar ilmu silat dari kakek yang buntung lengan dan kakinya, yaitu mendiang Ciu Lam Hok, sebelum mati kakek itu memesan kepada muridnya agar suka berkunjung kepada cici-nya yang tinggal di kota raja. Cici dari kakek Ciu Lam Hok adalah nenek Ciu Cing, yaitu ibu kandung Gan Seng ayah Bi Kim.
Ketika Yo Han berkunjung ke sana, nenek Ciu Cing menangisi kematian adiknya Ciu Lam Hok dan ketika menyembahyangi arwah adiknya, di depan meja sembahyang itu nenek itu menjodohkan cucunya, Gan Bi Kim, dengan murid adiknya, yaitu Yo Han. Dan kebetulan sekali Bi Kim jatuh cinta pula kepada Yo Han, walau pun Yo Han sendiri tidak mencintanya karena semenjak remaja, Yo Han telah jatuh cinta kepada Tan Sian Li, Si Bangau Merah!
Yo Han meninggalkan keluarga Gan di kota raja. Bi Kim merasa amat penasaran karena belum mendapatkan kepastian dari Yo Han, maka ia pun lalu mendesak ayahnya untuk mengundang jagoan-jagoan istana dan mengajarkan ilmu silat kepadanya. Ternyata ia berbakat dan terutama sekali ia pandai memainkan sepasang pedang.
Setelah ditunggu-tunggu tidak juga Yo Han datang, bahkan tidak ada berita, Gan Bi Kim merasa penasaran. Dia merasa bahwa dia telah menguasai ilmu pedang dan pandai menjaga diri, maka pada suatu hari, dia pun lolos dari gedung ayahnya, meninggalkan sepucuk surat dan menyatakan kepada ayah ibunya bahwa dia pergi untuk mencari tunangannya, yaitu Yo Han!
Pada sore hari itu, kebetulan sekali ia pun tiba di dusun itu. Ia sudah lelah dan ingin bermalam di dusun itu. Akan tetapi betapa herannya melihat semua rumah di dusun itu tertutup pintu dan jendelanya, bahkan di jalan pun tidak nampak seorang pun manusia!
Akan tetapi, dia tahu benar bahwa dusun itu bukan dusun kosong. Pekarangan rumah bersih terpelihara, juga sawah ladang dan tanaman di sekeliling perumahan dusun. Dan lebih dari itu, ia pun dapat mendengar gerakan orang-orang di dalam rumah-rumah yang tertutup rapat dan yang tidak dipasangi lampu walau pun senja telah mendatang.
Karena merasa heran dan penasaran, ketika mendengar tangis anak kecil dari sebuah rumah dan tangis itu berhenti tiba-tiba seolah-olah mulut anak yang menangis itu sudah didekap tangan, ia tidak sabar lagi dan mengetuk daun pintu rumah itu.
"Paman atau bibi, bukalah pintunya. Aku bukan orang jahat. Aku seorang gadis yang kebetulan kemalaman dan ingin bermalam di dusun ini. Biarkan aku menginap semalam di rumah kalian, nanti akan kuberi pengganti kerugian!"
Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan berteriak, akhirnya terdengar juga jawaban seorang wanita dari dalam, tanpa membuka pintu. "Nona, maafkan kami... tempat kami penuh sesak... ehh, kalau Nona ingin bermalam... datanglah ke rumah kepala dusun, di sebelah itu, sepuluh rumah dari sini."
Terpaksa Bi Kim meninggalkan rumah itu, menuju ke kanan sampai ia tiba di depan rumah kepala dusun. Mudah saja menemukan rumah itu karena jauh lebih besar bila dibandingkan rumah-rumah lain. Dan memang hanya rumah besar ini saja yang daun pintu sebelah depan terbuka, dan di dalam rumah itu dipasangi lampu penerangan yang cukup banyak. Ketika Bi Kim memasuki pekarangan, beberapa orang bermunculan dari tempat gelap, agaknya mereka ini pun ketakutan.
"Nona mencari siapakah?" seorang setengah tua bertanya dengan suara gemetar, juga tiga orang temannya nampak ketakutan.
"Aku seorang yang kebetulan lewat dan kemalaman di dusun ini, aku hendak minta pertolongan lurah agar suka menerimaku semalam ini."
Empat orang itu saling pandang, kemudian menengok ke arah dalam rumah dan orang setengah tua tadi berbisik, "Nona, pergilah dari sini. Di rumah ini kedatangan seorang penjahat yang menakutkan. Dia sedang memaksa lurah untuk menjamunya dengan pesta. Dia jahat sekali!"
Mendengar ini, Gan Bi Kim tersenyum dan meraba gagang siang-kiam yang tergantung di punggungnya, "Aku tidak takut, bahkan kalau ada penjahat mengganggu rumah ini, aku akan mengusirnya."
Kembali empat orang itu saling pandang. "Kalau begitu, masuklah, pergilah ke ruangan belakang, ruangan makan. Akan tetapi, kami tidak berani mengantarmu, Nona." kata mereka dan kembali mereka menyelinap ke dalam bayangan-bayangan yang gelap.
Tentu saja Bi Kim merasa heran dan penasaran. Dengan langkah lebar ia memasuki rumah itu. Sunyi saja, agaknya semua orang, seperti empat orang pria tadi, sudah lari menyingkir dan bersembunyi ketakutan. Namun terdengar suara di ruangan belakang dan dia pun menuju ke sana.
Ruangan itu luas dan terang sekali. Sebuah meja makan besar penuh hidangan yang masih mengepulkan uap berada di tengah ruangan. Seorang pria tinggi besar duduk makan minum seorang diri, dilayani oleh tiga orang wanita muda. Seorang laki-laki lain berusia lima puluh tahun lebih, tinggi kurus, berdiri di sudut, memandang dengan sikap takut-takut.
Mendengar langkah kaki, pria yang sedang makan itu menoleh dan ketika melihat Bi Kim, wajahnya berseri, matanya memandang penuh selidik dan dengan suaranya yang parau berwibawa dia bertanya, "Siapa kau? Mau apa kau masuk ke sini?"
Karena tidak tahu mana lurah yang dia cari, Bi Kim memandang kepada pria yang sedang makan itu, bertanya, "Aku ingin bertemu dengan lurah dusun ini. Mana dia?"
"Aku... akulah Lurah So dari dusun ini, Nona..." Lurah So berkata dengan gagap.
Kini Bi Kim menoleh kepada pria tinggi besar yang bukan lain adalah Siangkoan Kok itu. "Hemmm, jadi orang inikah yang datang mengacau?" Bi Kim bertanya sambil menoleh kepada Lurah So.
Akan tetapi lurah ini tidak berani mengeluarkan suara, bahkan menunduk karena takut membuat marah tamunya. Juga tiga orang wanita muda itu tidak berani bergerak.
"Ha-ha-ha, engkau cantik manis, Nona. Engkau jauh lebih cantik dari pada tiga orang perempuan dusun ini. Sayang puteri lurah ini telah melarikan diri. Biar engkau menjadi penggantinya menemaniku makan minum. Mari, Nona, duduklah di sini, makan minum sepuasnya!"
"Hemmm, kiranya engkau ini jahanam busuk, manusia tak tahu diri, begitu datang ke rumah orang bertindak sewenang-wenang. Setelah aku datang, jangan harap engkau akan dapat menjual lagak lagi. Hayo pergilah cepat meninggalkan rumah ini, tinggalkan dusun ini, atau sepasang pedangku akan membuat engkau menjadi setan tanpa kepala!" Berkata demikian, untuk menggertak, Bi Kim mencabut sepasang pedangnya.
Sepasang pedang yang baik karena ayahnya mencarikan sepasang pedang pilihan untuk puterinya. Nampak kilat menyambar pada waktu gadis itu mencabut sepasang pedangnya.
Akan tetapi, Siangkoan Kok tertawa dan sama sekali tidak kelihatan gentar.
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Aku memang lebih senang kalau gadis cantik yang menemani aku makan minum bukan seorang wanita lemah. Nah, sekarang kita bertaruh, Nona. Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku pergi tanpa banyak cakap lagi. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk. Bagai mana?"
Wajah Bi Kim berubah merah sekali, matanya mencorong penuh kemarahan. "Jahanam busuk!" katanya melihat orang itu bangkit dan menghampirinya. "Engkau memang layak dibasmi!" Dan sepasang pedangnya sudah menyambar ganas.
Akan tetapi Siangkoan Kok dapat mengelak dengan mudah dan dia segera mengenal bahwa ilmu pedang nona ini bukan ilmu sembarangan, melainkan ilmu pedang yang tinggi nilainya. Hal ini tidak mengherankan sebab Bi Kim telah dilatih oleh jagoan-jagoan istana yang lihai.
Maka, timbul penyakit lama Siangkoan Kok. Dia tidak segera mengalahkan gadis yang tingkatnya masih jauh di bawahnya itu, bahkan dia menggulung kedua lengan bajunya agar tidak sampai robek, menggunakan dua lengan untuk menangkis serangan pedang sambil memperhatikan jurus-jurus ilmu pedang itu untuk menambah pengetahuannya yang sudah banyak.
Tentu saja Lurah So dan tiga orang gadis dusun yang dipaksa menjadi pelayan tadi merasa ketakutan. Apa lagi melihat betapa tamu yang ditakuti itu mampu melawan si gadis yang berpedang hanya dengan tangan kosong saja.
Juga Bi Kim sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa penjahat ini memang luar biasa, memiliki kesaktian. Apa lagi dia, bahkan guru-gurunya belum tentu mampu menandingi kakek ini!
Pada saat pertandingan itu berlangsung, muncullah Sian Li dan Ciang Hun. Akan tetapi karena kedua orang pendekar ini tidak mengenal Bi Kim, tentu saja mereka tidak dapat turun tangan membantu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, siapa gadis ber-siang-kiam itu dan mengapa pula berkelahi melawan kakek yang amat lihai itu.
Seperti yang mereka duga, kakek itu hanya mempermainkan lawannya dan setelah dia mengenal benar ilmu pedang berpasangan dari Bi Kim, tiba-tiba saja Siangkoan Kok membentak nyaring dan tahu-tahu sepasang pedang itu sudah berpindah tangan! Dia menyeringai ketika Bi Kim meloncat ke belakang dengan kaget.
"Ha-ha-ha, engkau telah kalah, Nona. Nah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk!"
"Tidak sudi! Sebelum mati aku tidak akan mengaku kalah!" bentak Bi Kim dan ia pun menerjang lagi, kini dengan tangan kosong.
Kini Sian Li dan Ciang Hun tidak ragu-ragu lagi. Jelas bahwa gadis itu merupakan orang yang menentang penjahat lihai itu, maka keduanya sudah melompat ke depan untuk mencegah Bi Kim bertindak nekat. Dengan sepasang pedang saja bukan lawan kakek itu, apa lagi bertangan kosong.
"Tahan...!" kata Sian Li dan dari samping dia sudah menangkap pergelangan tangan Bi Kim dan menariknya ke samping.
Bi Kim yang tertangkap pergelangan tangannya, merasa tenaganya lumpuh, maka ia terkejut sekali dan menurut saja ditarik ke samping.
Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, memandang pada Sian Li yang berpakaian merah dan Ciang Hun yang gagah.
"Huh, siapa lagi kalian ini yang datang mengganggu kesenanganku!" katanya sambil melemparkan sepasang pedang rampasan dari Bi Kim.
Biar pun hanya dilempar sambil lalu saja, namun sepasang pedang itu meluncur bagai anak panah ke arah Sian Li dan Ciang Hun! Jelas bahwa kakek yang lihai itu sengaja hendak menguji kepandaian dua orang muda yang baru muncul!
Dengan tenang Sian Li menangkap pedang yang meluncur ke arahnya dari samping, dengan jalan menjepitnya di antara telunjuk dan ibu jarinya, persis seperti anak-anak menangkap capung pada ekornya.
Sedangkan Ciang Hun lebih repot lagi, mengelak ke samping lalu memutar tubuh dan menangkap pedang itu pada gagangnya dari belakang! Dari cara menangkap pedang ini saja sudah dapat dinilai bahwa tingkat kepandaian Si Bangau Merah lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Gak Ciang Hun!
Siangkoan Kok agak terkejut. Kiranya dua orang muda ini amat hebat! Sama sekali tidak boleh dipandang ringan, tidak dapat disamakan dengan kepandaian Bi Kim.
Ciang Hun dan Sian Li menyerahkan sepasang pedang itu kembali kepada Bi Kim, kemudian Sian Li menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Siangkoan Kok.
"Engkau ini orang tua yang kelihatan gagah perkasa, juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Sungguh menjijikkan sikapmu di dusun ini, bertindak seperti perampok kecil saja!"
Wajah Siangkoan Kok berubah kemerahan.
"Bocah bermulut lancang!" Setelah berkata demikian, dia menubruk ke arah Sian Li dan mengirim serangan kilat.
Namun, nampak bayangan merah berkelebat dan Sian Li sudah dapat mengelak dari serangan dahsyat itu. Ketika tubuhnya turun di depan kakek itu, dia sudah memegang sebatang suling berselaput emas, sikapnya gagah dan tenang sekali.
Siangkoan Kok terkejut sekali, apa lagi ketika melihat suling emas itu. Alisnya berkerut mengingat-ingat. Pakaian merah! Tentu saja!
"Hemmm, apakah engkau ini yang berjuluk Si Bangau Merah?" tanya Siangkoan Kok sambil memandang penuh selidik.
Sian Li menggerakkan sulingnya. Terdengar suara berdesing, disusul ucapannya yang lantang, "Memang benar aku yang dijuluki Si Bangau Merah."
"Bagus! Ha-ha-ha, hari ini aku sungguh beruntung, dapat bertemu dengan tokoh-tokoh muda dunia kangouw. Dan engkau siapa orang muda?" tanyanya. "Tidak perlu engkau menjawab, biarkan aku menebak siapa engkau!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat. Tangannya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Ciang Hun. Pemuda ini sama sekali tidak menduga akan diserang, maka dia tidak sempat mengelak lagi, lalu mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menggerakkan kedua tangan terbuka menyambut.
"Dukkkkk!" Keduanya terdorong ke belakang.
Ciang Hun sudah berjongkok dan berlutut dengan sebelah kakinya. Kedua tangannya di depan dada, dengan kedua telapak tangannya menghadap ke atas.
Siangkoan Kok terbelalak. "Wah, apakah engkau memiliki sinkang yang disebut Tenaga Inti Bumi? Engkau mengambil tenaga dari tanah?"
Diam-diam Gak Ciang Hun tertegun dan kagum. Sekali beradu tenaga yang membuat dia tadi terlempar dan terpaksa memasang kuda-kuda Dewa Menyangga Bumi untuk memulihkan tenaga dan siap menghadapi serangan lanjutan lawan, dan kakek itu sudah mengenal dasar ilmunya.
Memang dia tadi telah menggunakan tenaga yang menjadi ilmu warisan keluarga Gak. Bahkan mendiang kakeknya, Bu-beng Lo-kai atau dahulu bernama Gak Bun Beng, sebelum meninggal dunia sudah mengoperkan tenaga kepadanya sehingga meski pun bakatnya tidak sangat baik, namun dia telah dapat menghimpun tenaga sinkang itu.
"Orang muda, apakah hubunganmu dengan mendiang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?" tanyanya lagi.
Ciang Hun tak ingin menyombongkan dirinya, akan tetapi dia pun bangga dengan nama besar kedua ayahnya. "Mereka adalah ayah kandungku!" jawabnya gagah, sama sekali tidak merasa sungkan mengaku bahwa dia memiliki dua orang ayah kandung!
Memang suatu hal yang aneh dalam keluarga itu. Ayahnya adalah sepasang pendekar kembar yang mencintai seorang wanita, maka keduanya menjadi suami wanita itu dan lahirlah Ciang Hun, anak dari seorang ibu dan dua orang ayah.
"Ha-ha-ha-ha, pantas kalian berani mengganggu kesenanganku. Nah, mengingat bahwa kalian keturunan orang-orang pandai, mari kuundang kalian makan minum denganku, Bangau Merah dari orang muda she Gak! Dan engkau juga, Nona. Tadi permainan siang-kiam (sepasang pedang) darimu cukup lumayan, membuktikan bahwa engkau pun sudah dilatih oleh guru yang pandai. Ha-ha-ha, marilah orang-orang muda, kita mempererat perkenalan dengan makan minum!"
Siangkoan Kok tidak berpura-pura dengan keramahan ajakannya ini. Tadinya dia adalah majikan yang dihormati bagai seorang raja kecil. Akan tetapi sekarang semua kemuliaan itu habislah sudah.
Anak buahnya dibasmi pasukan pemerintah, Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) telah diobrak-abrik, seluruh hartanya habis. Habislah sudah semuanya, bahkan ia kehilangan anak yang disayangnya walau pun hanya anak tiri, juga kehilangan isteri yang dia bunuh sendiri, serta kehilangan murid tersayang yang diambilnya secara paksa menjadi isteri, juga murid ini dia bunuh.
Sekarang dia sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi. Karena itu, melihat tiga orang muda ini, yang gagah perkasa dan juga dua orang di antaranya adalah gadis-gadis perkasa yang cantik, timbul keinginan hatinya untuk bersahabat dengan mereka. Siapa tahu dia dapat menguasai mereka dan dengan bantuan tiga orang muda seperti ini dia tentu akan mampu membangun lagi perkumpulannya yang terbasmi dan dia akan jaya kembali...