CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SI TANGAN SAKTI BAGIAN 17
SAMPAI lama Eng Eng tidak mampu bicara. Mukanya yang pucat kelihatan seperti mau menangis dan ketika ia bertanya, suaranya hampir tidak dapat didengar, "Bagaimana... perasaanmu terhadap aku kalau aku tidak mempunyai tanda-tanda itu, kalau aku bukan Sim Hui Eng?"
"Eng-moi, masihkah engkau meragukan cintaku kepadamu? Ketika aku jatuh cinta dan meminangmu, engkau adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan? Engkau tetap engkau bagiku, satu-satunya gadis yang kucinta, baik engkau mempunyai tanda atau tidak, baik engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau puteri siapa pun juga. Aku tetap cinta padamu, Eng-moi, biar engkau akan membunuhku sekali pun. Tapi... untuk meyakinkan, benarkah engkau memiliki tanda-tanda itu?"
Tiba-tiba Eng Eng menjatuhkan diri berlutut kemudian menangis terisak-isak. Tentu saja pangeran itu terkejut dan khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu.
"Eng-moi, kenapa, Eng-moi...? Ahhh, maafkan jika aku sudah membuat hatimu berduka, Eng-moi. Lebih baik aku melihat engkau marah-marah kepadaku seperti tadi dari pada melihat engkau bersedih seperti ini, Eng-moi."
Ucapan itu membuat Eng Eng semakin mengguguk. Cia Sun merasa hatinya bagaikan ditusuk-tusuk melihat keadaan kekasihnya itu dan dia pun menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.
"Eng-moi, ada apakah...?"
Akhirnya Eng Eng dapat bicara tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya.
"Kau... kau lihat sendiri... apakah... ada tanda-tanda itu..."
Ia lalu menyingkap baju di bagian pundak kiri dan melepas sepatu serta kaos kakinya yang kanan. Cia Sun memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana, jelas sekali nampak sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat. Dan pada telapak kaki yang putih kemerahan itu nampak pula noda merah.
"Kau... kau benar-benar Sim Hui Eng...!" serunya seperti bersorak gembira.
Eng Eng kini merangkul ke arah kaki Cia Sun, "Pangeran..., ampunkan aku... aku telah berbuat kejam dan tidak adil padamu... aku... aku layak kau pukul. Balaslah, Pangeran, pukullah aku, siksalah aku, bunuhlah aku... huuu-huhuuuuu...!"
Gadis itu tersedu-sedu, menangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah terhadap dirinya sendiri dan sangat iba kepada pria yang dicintanya namun yang telah disiksanya tanpa salah itu. Bahkan pangeran itu telah mencegah pasukan membunuh Lauw Cu Si sehingga ia merupakan satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia dirinya.
Pangeran ini telah berjasa kepadanya. Sebaliknya, ia menuduhnya sebagai pembunuh. Ia telah menyiksanya dengan kata-kata, dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu pangeran itu untuk menyatakan penyesalannya.
Melihat betapa gadis yang dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium sepatunya, Cia Sun cepat-cepat merangkul, menarik dan mendekap kepala itu, seolah-olah hendak membenamkannya ke dadanya untuk disimpan di dalam dada dan tak akan dilepaskan lagi selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya yang basah air mata ke dalam rambut itu.
Sampai beberapa lamanya mereka berpelukan dan bertangisan. Beberapa kali Eng Eng mengusap dan membelai muka yang masih ada bekas-bekas tamparan tangannya itu dengan jari-jari gemetar.
Setelah gelora keharuan hati mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar di dadanya. Dia membelai rambut yang kusut itu dan berbisik, "Sudahlah, Eng-moi, sudah cukup engkau menyesali diri. Aku tidak akan menyalahkanmu. Memang batinmu mengalami guncangan yang hebat. Akhirnya semua kegelapan lewat dan kini kita berdua tinggal menyongsong sinar kebahagiaan."
"Pangeran..."
Cia Sun menghentikan kata-kata itu dengan sentuhan bibirnya pada bibir Eng Eng. "Hushhh..., kalau kau menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan seluruh wanita yang menjadi kawula dan menyebutku seperti itu. Engkau adalah calon isteriku, engkau tunanganku, engkau kekasihku, ingat?"
Eng Eng tersipu, akan tetapi tersenyum penuh bahagia. "Kakanda... Cia Sun..." Betapa merdunya panggilan itu.
"Adinda Hui Eng..." Sang pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing baginya itu mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.
"Kakanda Pangeran, dengan hati berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menunggu engkau memberi tahu kepadaku, siapa sebenarnya orang tuaku? Apakah ayah ibuku masih hidup?"
"Engkau akan terkejut, berbahagia dan bangga sekali jika mendengar siapa ayah ibumu, Eng-moi. Pada saat engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku sudah kagum dan cinta padamu. Ketika aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa ayah dan ibumu, kekagumanku padamu bertambah-tambah. Ketahuilah bahwa ayahmu bernama Sim Houw dan ibumu bernama Can Bi Lan. Ehhh, kenapa kau, Eng-moi (adinda Eng)?"
Mendengar disebutnya kedua nama itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah meloncat berdiri sehingga terlepas dari rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Ayahku... Pendekar Suling Naga dan ibuku Si Setan Kecil...! Aihhhh... Kakanda... sekali ini celakalah aku..."
Cia Sun cepat bangkit dan merangkul gadis itu. "Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau berkata begitu? Bukankah sepatutnya engkau berbangga? Ayah ibumu adalah suami isteri pendekar yang sakti dan nama mereka terkenal sekali di dunia persilatan!"
"Aihh, engkau tidak tahu, Koko! Ahh, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka. Ketahuilah, aku pernah mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar para pendekar itu dan menantang mereka mengadu kepandaian. Bahkan dalam peristiwa itu, Siauw-kwi Can Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk menandingiku. Akan tetapi aku, si tinggi hati tak tahu diri ini, aku bahkan menghinanya dan menantang Pendekar Suling Naga, ayahku sendiri untuk maju menandingiku! Aku telah bersikap sangat angkuh dan menghina tiga keluarga besar, dan ternyata Pendekar Suling Naga itu adalah ayahku sendiri. Bagaimana aku dapat berhadapan dengan mereka, Koko?" Dalam rangkulan Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng gemetar seperti orang terserang demam.
"Jangan risaukan hal itu, Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu engkau mewakili Pao-beng-pai maka tentu saja engkau menganggap para pendekar itu sebagai musuh. Apa lagi engkau hanya melaksanakan tugas, karena pada waktu itu engkau menganggap bahwa kau adalah puteri ketua Pao-beng-pai. Dan aku mengerti mengapa engkau mendapat tugas itu. Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kau angap sebagai ibumu itulah yang mempunyai peran penting, sengaja membujuk Siangkoan Kok agar engkau melakukan penghinaan terhadap keluarga besar para pendekar itu."
Gadis itu menatap wajah Cia Sun. "Ehhh, kenapa begitu?"
"Aku sudah melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya mendiang bibi Lauw Cu Si itu. Ia adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur. Karena ia seorang tokoh sesat, tentu saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Siluman. Itu pula yang menyebabkan ia menculikmu, yaitu untuk membalas dendam terhadap Pendekar Suling Naga dan isterinya yang terkenal sebagai pendekar-pendekar yang menentang golongan sesat. Dengan mengadu dirimu melawan keluarga pendekar itu, melawan golongan orang tuamu sendiri, agaknya bibi Lauw Cu Si menemukan kepuasan tersendiri."
"Akan tetapi, Koko. Kalau orang tuaku itu Pendekar Suling Naga dan isterinya yang merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, mengapa aku sampai dapat terculik? Dan kenapa pula mereka tidak mencari si penculik dan merampasku kembali?"
"Pertanyaan seperti itu juga kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicarakan anak hilang itu. Menurut keterangan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah sejak kehilangan puteri mereka itu berusaha sampai bertahun-tahun untuk menemukan anak mereka kembali. Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka. Agaknya si penculik, yaitu bibi Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali sudah menghilang, yaitu menjadi isteri Siangkoan Kok sehingga tidak seorang pun mengira bahwa engkau adalah anak yang diculik itu. Semua orang, bahkan Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw Cu Si."
Eng Eng mengangguk-angguk, semua rasa penasarannya hilang. Akan tetapi tetap saja ia mengerutkan alisnya. Jika saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah orang-orang biasa, bahkan petani miskin sekali pun, dia tentu akan berbahagia sekali dan merasa rindu untuk segera dapat bertemu dengan orang tuanya yang asli.
Akan tetapi, Pendekar Suling Naga?! Semua pengalamannya ketika dia menantang tiga keluarga besar itu terkenang dan makin dikenang, semakin merah wajahnya karena ia merasa malu bukan main.
"Koko, aku... aku takut untuk bertemu dengan mereka, aku takut dan malu..."
Cia Sun merangkul pundaknya, dan mengajaknya menghampiri kuda mereka. Matahari telah naik tinggi dan di jalan raya sana lalu lintas sudah mulai ramai.
"Eng-moi, buang saja semua perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tak pernah berhenti memikirkanmu, bahkan sekarang pun masih minta bantuan Yo-toako untuk mencarimu. Mereka tentu akan berbahagia sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali. Dan mengenai kemunculanmu tempo hari, mereka tentu akan dapat mengerti. Jangan khawatir, akulah yang akan menemanimu ke sana menghadap mereka, dan aku yang tanggung bahwa mereka tentu akan menerima dengan bahagia dan tak akan ada yang menyesalkan tindakanmu dahulu."
"Aihh, aku merasa ngeri sekali bertemu mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah memperlihatkan diri saja kepada mereka? Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua saja. Aku... aku tidak mau membuat suami isteri pendekar itu mendapat malu besar dan nama baik mereka tercemar karena mempunyai anak seperti aku ..."
"Hushhhhh, jangan berkata begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku seperti aku mencintamu?"
"Apakah itu masih perlu ditanyakan lagi, Koko? Aku mencintamu, bahkan kekejamanku terhadapmu tadi pun karena terdorong cintaku padamu, akibat hatiku panas mendengar engkau mencinta Sim Hui Eng yang kukira gadis lain. Aku cinta padamu, Koko."
"Bagus, dan karena kita saling mencinta, apakah engkau mau menjadi isteriku?"
Gadis itu mengangguk. Sebagai puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hidup dalam suasana kekerasan, ia tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan cintanya, "Tentu saja aku mau, koko!"
"Nah, kalau begitu, karena aku seorang pangeran yang tak mungkin meninggalkan tata susila dan adat-istiadat, aku akan melamarmu dengan terhormat dan secara baik-baik. Dan untuk itu, engkau harus mempunyai wali, mempunyai orang tua. Sekarang, mari kita pergi ke Lok-yang, ke rumah orang tuamu. Setelah engkau diterima dengan baik, aku akan kembali ke kota raja, kemudian aku akan mengirim utusan untuk meminangmu secara terhormat."
Gadis itu mengerutkan alis, akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang mata pangeran itu, ia pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua ekor kuda mereka yang sedang makan rumput. Tidak lama kemudian, sepasang orang muda yang berbahagia ini pun sudah melarikan kuda, menuju ke Lok-yang.
Oleh karena Cia Sun merupakan seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran yang pandai bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di sepanjang perjalanan itu dengan mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh penghormatan, mendapat tempat bermalam di rumah para kepala daerah, dijamu pesta dan dapat menukar kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup menyenangkan bagi Eng Eng!
Yo Han mendaki lereng bukit itu. Bukit Naga. Thian-li-pang berada di lereng paling atas, dekat puncak. Sudah hampir setengah tahun dia merantau, mencari Sim Hui Eng, puteri Pendekar Suling Naga. Namun, usahanya sia-sia. Tak pernah dia berhasil mendengar keterangan tentang penculikan terhadap putri pendekar sakti itu.
Dia sudah memasuki dunia kang-ouw, bahkan banyak menundukkan tokoh-tokoh sesat, hanya untuk dimintai keterangan kalau-kalau ada yang mengetahui, siapa yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga dua puluh tahun yang lalu. Akan tetapi semua usahanya, dari bujukan halus sampai kekerasan, tidak ada hasilnya.
Agaknya tidak ada seorang pun tahu siapa gerangan yang menculik puteri pendekar itu. Penculiknya agaknya lihai dan cerdik bukan main sehingga setelah menculik anak itu, dia seperti menghilang ke dalam bumi membawa anak culikannya!
Akhirnya Yo Han mengambil kesimpulan bahwa tanpa banyak tenaga pembantu, akan sukarlah menemukan anak yang hilang itu. Dia teringat kepada Thian-li-pang. Dia telah dianggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang dan anak buah Thian-li-pang adalah orang-orang yang berpengalaman dan memiliki hubungan luas dalam dunia kang-ouw.
Mungkin para tokoh kangouw yang sudah ditanyainya, merasa enggan untuk membuka rahasia rekan mereka sendiri yang melakukan penculikan, karena dia dianggap sebagai Pendekar Tangan Sakti, seorang pendekar yang menentang kejahatan. Bila anak buah Thian-li-pang yang melakukan penyelidikan, mungkin akan lebih mudah. Orang-orang kang-ouw tentu akan bersikap lebih terbuka di antara golongan sendiri.
Benar sekali, kenapa sejak dahulu dia tidak minta bantuan para anggota Thian-li-pang, pikirnya menyesali diri sendiri. Paman Lauw Kang Hui tentu akan senang membantunya sehingga lebih besar harapannya untuk dapat menemukan orang yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga!
Demikianlah, pada pagi hari itu, Yo Han mendaki lereng Bukit Naga. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di Thian-li-pang telah terjadi perubahan yang amat besar. Tidak tahu bahwa Lauw Kang Hui dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang sudah tewas, terbunuh oleh Ouw Seng Bu, yang kini menjadi ketua Thian-li-pang…..
Memang Thian-li-pang telah berubah sama sekali semenjak pimpinannya dipegang oleh Ouw Seng Bu. Pemuda tampan yang telah menemukan ilmu silat yang amat hebat ini membiarkan para anggota Thian-li-pang berbuat apa saja dengan bebasnya. Bahkan dia menjalin hubungan lagi dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, seperti yang dahulu pernah dilakukan Thian-li-pang sebelum muncul Yo Han yang kemudian membersihkan perkumpulan pejuang itu.
Ouw Seng Bu bahkan memiliki cita-cita untuk mempersatukan semua kelompok pejuang dengan dia yang menjadi pemimpin besar. Kalau semua kekuatan kelompok pejuang sudah dipersatukan, baik itu dari golongan pendekar mau pun golongan sesat, dan dia yang menjadi pemimpin besar, tentu perjuangan untuk mengusir penjajah Mancu akan berhasil. Dan jika sudah berhasil, dia yang menjadi pemimpin besar, tentu berhak untuk menjadi kaisar kerajaan baru! Besar sekali jangkauan cita-cita pemuda ini.
Setelah secara kebetulan bertemu dengan Cu Kim Giok di dekat Ban-kwi-kok, menolong gadis itu dari ancaman Siangkoan Kok, dan berhasil pula menundukkan bekas ketua Pao-beng-pai yang lalu berjanji untuk membantunya, Ouw Seng Bu mengajak, Kim Giok berkunjung ke Bukti Naga.
Kim Giok sudah mendengar tentang perkumpulan Thian-lipang yang di dunia kang-ouw (sungai telaga, atau persilatan) dikenal sebagai sebuah perkumpulan para patriot yang berjuang untuk menggulingkan pemerintah penjajah. Itulah sebabnya, ia merasa kagum dan tertarik sekali kepada Ouw Seng Bu, pemuda tampan dan gagah yang mengaku sebagai ketua Thian-li-pang. Dan di sepanjang perjalanan menuju ke Bukit Naga, Kim Giok melihat betapa sikap Seng Bu memang sangat baik. Pemuda itu pendiam, juga sopan dan ramah terhadap dirinya.
Cu Kim Giok merupakan puteri tunggal suami isteri pendekar. Ayahnya, Cu Kun Tek, adalah pendekar keturunan langsung dari keluarga Cu, majikan Lembah Naga Siluman. Ibunya tidak kalah lihai dibandingkan ayahnya, karena ibunya adalah murid mendiang Bu Beng Lokai.
Sebagai anak tunggal, tentu saja Kim Giok telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya. Dan biar pun usianya baru delapan belas tahun lebih, Kim Giok telah menjadi seorang pendekar wanita yang amat lihai.
Akan tetapi tentu saja ia kurang pengalaman karena ini merupakan yang pertama kali ia merantau seorang diri untuk meluaskan pengalamannya. Meski pun demikian, ia sudah membawa banyak bekal nasehat dan pesan kedua orang tuanya.
Andai kata Seng Bu bersikap ceriwis terhadapnya, terdapat kegenitan dalam pandang mata atau kata-katanya saja, tentu ia akan menjauhkan diri. Akan tetapi, sikap Seng Bu sungguh baik. Dia nampak seperti seorang pemuda pendiam yang sopan dan berwatak pendekar sejati! Inilah sebabnya mengapa Kim Giok merasa tertarik sekali, kagum dan merasa suka.
Rasa kagumnya semakin bertambah ketika Kim Giok dan Seng Bu tiba di Bukit Naga, di pusat perkampungan Thian-li-pang. Para anggota Thian-li-pang rata-rata terlihat gagah perkasa dengan pakaian yang rapi serta bersih, baik prianya mau pun wanitanya, dan mereka semua menyambut kedatangan Seng Bu dengan sikap yang amat menghormat!
Masih begitu muda, akan tetapi telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pejuang yang terkenal gagah perkasa. Dan melihat perkampungan Thian-li-pang itu, Kim Giok dapat menaksir bahwa anggota perkumpulan itu tidak kurang dari seratus orang banyaknya.
Akan tetapi, hati gadis itu merasa penasaran ketika pada keesokan harinya ia melihat lima orang tamu yang datang menghadap ketua Thian-li-pang. Dua orang di antara tamu-tamu itu adalah dua orang tosu (pendeta) berambut panjang yang pada baju di dadanya ada lukisan teratai putih. Orang-orang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)! Ada lagi tiga orang pendeta lainnya mengenakan gambar pat-kwa (segi delapan) pada dadanya. Ia pernah mendengar akan nama perkumpulan pemberontak yang namanya tidak bersih di dunia kang-ouw sebab para anggotanya tidak pantang melakukan segala macam kejahatan!
Setelah kelima orang tamu itu meninggalkan perkampungan Thian-li-pang, barulah Kim Giok memberanikan diri menemui ketua Thian-li-pang untuk melampiaskan penasaran dalam hatinya. Ia melihat pemuda itu sedang duduk di ruangan rapat yang luas, sedang memberi perintah kepada belasan orang pembantunya.
Melihat ini, Kim Giok yang sudah sampai di ambang pintu, mundur kembali. Akan tetapi Seng Bu telah melihatnya dan ketua ini berseru dengan ramah.
"Nona Cu, masuk sajalah. Di antara kita orang sendiri tidak ada rahasia. Masuk dan silakan duduk."
Setelah gadis itu memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari mereka yang sedang melakukan perundingan, Seng Bu melanjutkan, "Harap suka menunggu sebentar, Nona, pembicaraan kami sudah hampir selesai."
Kim Giok mengangguk dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka. Akan tetapi Seng Bu tidak melirihkan suaranya saat pemuda itu melanjutkan pengarahannya kepada para pembantunya.
"Kalian sudah tahu akan tugas-tugas kalian? Terserah kalian membagi tugas, tapi kalian harus ingat apa yang terpenting dalam tugas kalian. Yang pertama menghubungi semua kelompok pejuang, membujuk mereka agar suka bekerja sama dengan mengemukakan alasan seperti yang sudah kujelaskan tadi. Kalau ada yang tidak bersedia bekerja sama, kalian selidiki keadaan mereka, siapa para pemimpinnya dan sampai di mana tingkat kepandaian mereka agar aku bisa segera mengambil tindakan. Dan ke dua, selidiki pula kelemahan-kelemahan yang ada di dalam keluarga kaisar, terutama orang-orang yang dekat hubungannya dengan kaisar. Sudah mengerti semua?"
Belasan orang itu menyatakan bahwa mereka sudah mengerti, dan Seng Bu kemudian mempersilakan mereka keluar. Sikap pemuda itu demikian tegas dan berwibawa hingga Kim Giok yang ikut mendengarkan merasa kagum sekali.
Setelah belasan orang pembantunya keluar, Seng Bu menghampiri Kim Giok dan duduk berhadapan dengan gadis itu. Sikapnya seperti biasa, amat sopan dan ramah, sangat menghormati gadis yang dianggap sebagai seorang tamu agung di Thian-li-pang.
"Nona Cu, selamat pagi. Maafkan, bahwa tadi aku meninggalkanmu seorang diri karena kesibukanku menerima tamu malam tadi dan memberi tugas kepada para pembantuku. Apakah semalam Nona enak tidur, dan apakah pelayanan kepada Nona tidak ada yang mengecewakan?"
"Terima kasih, Pangcu (Ketua). Pelayanan cukup memuaskan dan aku merasa terlalu disanjung di sini. Pangcu, aku sengaja datang mencarimu karena aku melihat sesuatu yang membuat hatiku merasa penasaran sekali dan aku mengharapkan jawaban yang sejujurnya darimu."
Seng Bu menatap wajah gadis itu. Semenjak pertama kali berjumpa, ia telah terpesona. Dia bukanlah seorang pria yang mudah terpikat kecantikan wanita. Akan tetapi, belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis muda seperti Kim Giok. Gadis ini manis sekali dan terutama yang membuat dia terpesona adalah sepasang matanya. Mata itu demikian indahnya.
Selain ini, ilmu silat gadis itu pun cukup tinggi, dan sikapnya demikian pendiam dan gagah. Semua ini ditambah lagi kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri pendekar dari Lembah Naga Siluman! Kiranya sukar dicari keduanya gadis seperti ini.
Selama ini Seng Bu sibuk menggembleng diri dengan ilmu yang ditemukannya di dalam sumur maut, maka dia pun tidak sempat memikirkan hal lain. Apa lagi, dia memang bukan tergolong pemuda yang suka bergaul dengan gadis-gadis cantik. Dan baru sekarang dia merasa kagum dan tertarik kepada seorang gadis.
"Nona Cu, aku tidak menyembunyikan sesuatu darimu. Kalau ada hal yang membuat engkau merasa penasaran, tanyakanlah dan aku akan menjawab sejujurnya."
Kim Giok juga menatap tajam sehingga dua pasang mata mereka bertaut, seperti saling menyelidik, hingga kemudian Kim Giok berkata, "Pangcu, bukan aku sebagai tamu ingin mencampuri urusan tuan rumah. Akan tetapi, aku suka menjadi tamu di Thian-li-pang karena aku merasa yakin bahwa perkumpulanmu ini adalah perkumpulan orang-orang gagah yang merupakan pejuang-pejuang sejati, yang selalu menentang kejahatan dan berpihak kepada kebenaran, seperti yang pernah kudengar dibicarakan orang di dunia kang-ouw. Aku percaya itu, apa lagi setelah aku mengenalmu. Akan tetapi apa yang kulihat hari ini membuat aku merasa penasaran bukan main. Aku melihat para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai menjadi tamu Thian-li-pang! Bagaimana ini? Aku sudah mendengar bahwa kedua perkumpulan itu merupakan perkumpulan jahat yang banyak ditentang oleh para pendekar!"
Seng Bu tersenyum, dengan berani menentang pandang mata gadis itu tanpa merasa canggung. "Ahh, kiranya itu yang membuatmu penasaran, Nona. Hal ini membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, Nona. Akan tetapi, apakah Nona tertarik oleh urusan perjuangan? Lika-liku perjuangan amat rumit, Nona. Dipandang sepintas lalu dari segi kependekaranmu, memang rasanya janggal jika melihat kami juga berhubungan dengan orang-orang dari golongan yang ditentang oleh para pendekar. Tapi, dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan golongan terpaksa harus dikesampingkan. Yang paling penting adalah urusan perjuangan, urusan usaha untuk membebaskan bangsa dan negara dari cengkeraman penjajah Mancu."
"Maksudmu bagaimana, Pangcu?"
"Tentu engkau telah mengetahui, hampir satu setengah abad negara kita dijajah bangsa Mancu, dan selama satu setengah abad itu semua usaha perjuangan rakyat untuk merebut kembali tanah air selalu gagal. Mengapa begitu? Karena tidak ada persatuan di antara para kelompok yang berjuang! Bahkan banyak kelompok perjuangan yang saling gempur sendiri, bersaing dan memperebutkan kebenaran demi kepentingan pribadi atau golongan. Itulah penyebab utama dari kegagalan perjuangan selama ini, dan kami dari Thian-li-pang melihat kekeliruan itu, maka kini kami berusaha untuk mengubahnya.”
"Caranya?"
"Mempersatukan semua golongan, tanpa membedakan mana golongan putih mana pula golongan hitam, mana golongan pendekar atau mana yang dinamakan kaum sesat. Pendeknya, siapa saja, dari golongan mana pun, apa pun pekerjaannya, bagaimana bentuk sepak terjangnya, asalkan dia itu menentang pemerintah penjajah Mancu, dia adalah sekutu kita! Dengan cara ini, maka di seluruh negeri akan terdapat persatuan yang kokoh dan kalau sudah tercapai persatuan itu, maka menggulingkan pemerintah penjajah bukan merupakan masalah yang sukar lagi."
"Jadi pendirian itukah yang membuat Pangcu tidak memandang bulu dalam memilih sahabat, dan suka menerima Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai sebagai sahabat pula?"
"Benar, Nona. Kalau misalnya Thian-li-pang, Pek-lian-kauw, bersama Pat-kwa-pai, yang ketiganya merupakan perkumpulan para pejuang, bisa bersatu padu dan bersama-sama menentang penjajah, bukankah itu akan jauh lebih kuat dari pada kalau kami berjuang sendiri-sendiri secara terpisah? Apa lagi kalau seluruh kekuatan yang ada, baik dari golongan hitam mau pun putih, dapat bersatu padu!"
"Kebenaran pendapat itu tidak dapat disangkal, Pangcu. Akan tetapi kita kaum pendekar bagaimana mungkin bekerja sama dengan kaum sesat? Justru tugas utama kita adalah untuk menentang segala perbuatan jahat dari kaum sesat, serta membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat tetapi jahat!”
Ketua yang masih muda itu tersenyum ramah. Dia bicara penuh semangat, akan tetapi tidak terbawa perasaan, masih tetap tenang dan tersenyum sehingga membuat gadis itu pun tidak terbawa dan terseret dalam perbantahan yang memperebutkan kebenaran masing-masing.
"Sudah kukatakan tadi bahwa dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan kepentingan golongan harus disingkirkan lebih dahulu. Tanpa sikap seperti itu, bagaimana mungkin muncul persatuan, dan tanpa persatuan bagaimana mungkin ada kekuatan? Buktinya, semua usaha perjuangan yang lalu selama ini, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam, gagal semua. Karena terpecah-pecah! Kalau kita menuruti kepentingan pribadi dan golongan, misalnya kalau kita tidak mau bersatu dengan golongan sesat dan memusuhi mereka, maka kita akan terpecah belah dan akibatnya akan melemahkan diri sendiri. Dengan demikian, yang untung adalah pemerintah penjajah! Sudah mengertikah engkau, Nona?"
Cu Kim Giok bukan seorang gadis yang bodoh. Dia termenung dan menelan ucapan ketua itu dalam hatinya, dan mulailah ia mengerti akan apa yang dimaksudkan Seng Bu.
"Aku mengerti, Pangcu. Akan tetapi karena sejak kecil orang tuaku menanamkan jiwa kependekaran di dalam hatiku, rasanya sangat berat bagiku menerima kenyataan dari kebenaran pendapatmu tadi. Kalau kita para pendekar tidak menentang golongan sesat, bukankah kehidupan rakyat akan menjadi semakin parah dan sengsara, tertindas oleh kejahatan tanpa ada yang membela dan melindungi?"
"Tentu saja kita tidak hanya berdiam diri saja kalau terjadi kejahatan di depan mata kita, Nona. Kita wajib melindungi orang yang menjadi korban kejahatan. Akan tetapi, urusan itu bukan merupakan urusan yang diutamakan kepentingannya, lebih penting urusan perjuangan sehingga kalau pun kita menentang kejahatan, harus dicegah agar jangan sampai menimbulkan keretakan persatuan antara golongan. Ketahuilah, Nona, bahwa peristiwa kejahatan hanyalah merupakan akibat dari tidak sehatnya pemerintah. Seperti sebuah penyakit, kejahatan, ketidak amanan, ketidak makmuran, bahkan kesengsaraan rakyat hanya merupakan bintik-bintik kecil akibat penyakit itu. Bla kita memberantas dan mengobati bintik-bintiknya saja tak akan banyak manfaatnya karena bintik-bintik itu akan timbul lagi setelah diobati sebab penyakit itu masih ada. Kita harus lebih mementingkan pengobatan penyakitnya, sumber penyakit itu sendiri. Dalam hal ini, sumber penyakitnya terletak pada pemerintahan. Bangsa dan tanah air kita dicengkeram penjajah Mancu, tentu saja pemerintahnya tidak sehat dan memeras rakyat jelata. Kalau penjajahan itu dapat kita bongkar dan kita ganti dengan pemerintah bangsa sendiri, maka penyakit itu sembuh pada sumbernya dan tidak akan timbul bintik-bintik berbahaya. Segala bentuk kejahatan akan dapat kita tumpas. Penindasan yang dilakukan para penjahat itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan penindasan dan penghisapan yang dilakukan penjajah terhadap kita."
Kim Giok tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia kagum sekali dan sekarang ia dapat mengerti sepenuhnya. "Sekarang aku mengerti, Pangcu, dan aku tidak penasaran lagi melihat Thian-li-pang bersahabat dengan golongan sesat, jika maksudnya hanya untuk mempersatukan tenaga melawan penjajah."
Sejak percakapan itu, Kim Giok semakin kagum dan tartarik kepada ketua Thian-li-pang itu, dan sebaliknya Seng Bu juga telah jatuh hati kepada puteri Lembah Naga Siluman. Ketika Seng Bu minta agar gadis itu tinggal di Thian-li-pang sebagai tamu kehormatan selama beberapa hari, Kim Giok tidak menolak.
Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Yo Han mendaki Bukit Naga, Cu Kim Giok telah tinggal selama lima hari di perkampungan Thian-li-pang. Hubungannya dengan Seng Bu semakin akrab namun ketua itu masih tetap bersikap sopan dan tak pernah menyatakan perasaan hatinya.
Kim Giok sudah mendengar banyak dari Seng Bu tentang Thian-li-pang. Dan ia sudah mendengar pula kisah yang aneh, peristiwa mengerikan yang terjadi beberapa bulan yang lalu, yaitu tentang pembunuhan terhadap ketua Thian-li-pang yang dilakukan oleh seorang yang tadinya dianggap sebagai pemimpin Thian-li-pang, yaitu Sin-ciang Taihiap Yo Han.
Ia sudah pernah mendengar nama itu, maka menyatakan keheranannya kepada Seng Bu mengapa Yo Han yang dianggap sebagai pemimpin besar malah membunuh ketua Thian-li-pang. Dengan cerdik Seng Bu menceritakan bahwa pembunuhan itu dilakukan Yo Han untuk membalas dendam atas kematian gurunya yang bernama Ciu Lam Hok. Demikian pandainya Seng Bu bercerita sehingga Kim Giok percaya dan gadis ini pun merasa tidak senang kepada pendekar yang di juluki Si Tangan Sakti itu…..
Kita kembali kepada Yo Han yang sedang mendaki Bukit Naga dengan santai. Kembali ke tempat ini, di mana selama bertahun-tahun dia hidup dalam sumur maut bersama gurunya, mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, mendatangkan segala macam kenangan lama padanya. Bahkan kenangan itu berkembang sampai akhirnya dia terkenang kepada Tan Sian Li, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya sejak dia masih seorang pemuda remaja.
Akan tetapi, percakapannya dengan Cia Sun, setidaknya kembali menimbulkan harapan baru dalam hatinya. Ketika dia meninggalkan Sian Li, di rumah orang tua gadis itu yang dulu pernah menjadi suhu dan subo-nya pertama kali, harapannya sudah hancur luluh. Ia mendengar betapa suhu dan subo-nya hendak menjodohkan Sian Li dengan seorang pangeran di kota raja!
Tentu saja seorang pangeran jauh lebih pantas menjadi suami seorang gadis seperti Si Bangau Merah itu dari pada dia! Dia yatim piatu miskin dan papa, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap!
Akan tetapi, kebetulan dia bertemu dengan Pangeran Cia Sun, lalu bersahabat, bahkan pernah senasib sependeritaan yang mendorong mereka mengangkat saudara. Dan dari adik angkatnya yang pangeran ini dia mendengar bahwa ternyata adik angkatnya itulah pangeran yang hendak dijodohkan dengan Sian Li!
Akan tetapi, di samping berita mengejutkan itu, terdapat kenyataan yang membuat dia tumbuh lagi semangatnya, timbul pula harapannya, yaitu bahwa Pangeran Cia Sun dan Tan Sian Li tidak saling mencinta. Pangeran itu bahkan mencinta gadis lain, yaitu puteri ketua Pao-beng-pai!
Dalam perjalanannya menuju ke Thian-li-pang, dia pun sudah mendengar mengenai pembasmian Pao-beng-pai yang dilakukan oleh pasukan pemerintah. Ia mengira bahwa tentu adik angkatnya, Pangeran Cia Sun, yang melakukan penyerbuan itu, walau pun ada kesangsian di hatinya apakah sang pangeran mau melakukan hal itu mengingat akan cintanya terhadap Siangkoan Eng.
Tiba-tiba Yo Han menghentikan langkahnya dan mengerutkan alisnya. Dia mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan suara itu makin mendekat, tanda bahwa mereka yang bercakap-cakap itu sedang berjalan menuruni lereng. Yo Han menyelinap ke balik pohon besar.
Sudah lama dia meninggalkan Thian-li-pang dan dia tidak tahu bagaimana keadaannya. Walau pun dia percaya sepenuhnya kepada Lauw Kang Hui yang diserahi pimpinan perkumpulan itu, akan tetapi sebaiknya kalau dia menyelidiki keadaannya karena bagai mana pun juga, kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak benar di Thian-li-pang, dialah yang bertanggung jawab. Gurunya berpesan agar dia menyelamatkan Thian-li-pang dari penyelewengan, maka biar pun tidak memimpin langsung, dia harus selalu mengawasi.
Mereka yang tertawa-tawa tadi sekarang telah datang mendekat dan dari balik batang pohon, Yo Han mengintai. Alisnya terangkat dan kemudian berkerut tidak senang ketika ia melihat dua orang anggota Thian-li-pang sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan dua orang pendeta muda yang dari tanda gambar di dadanya bisa diketahuinya sebagai dua orang anggota Pat-kwa-pai!
Ia merasa heran bukan main. Bagaimana mungkin anggota Thian-li-pang bergaul begitu demikian akrabnya dengan anggota Pat-kwa-pai yang terkenal sebagai golongan sesat yang menggunakan kedok perjuangan, atau bisa juga dikatakan sebagai pemberontak-pemberontak yang tidak segan-segan menggunakan kejahatan serta kekejaman dalam pemberontakan mereka?
Yo Han menahan diri, ingin tahu lebih banyak, maka dari jauh dia membayangi empat orang itu. Dia tidak mengenal para anggota Thian-li-pang. Yang dikenalnya hanyalah Lauw Kang Hui dan pimpinannya, bahkan dia tidak tahu nama para pimpinan mudanya satu demi satu. Akan tetapi, melihat sikap mereka, siapa lagi mereka itu kalau bukan anggota Thian-li-pang?
Dan mereka telah berada di wilayah Thian-li-pang, maka kehadiran dua orang anggota Pat-kwa-pai itu sungguh mencurigakan sekali. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Yo Han untuk membayangi mereka, kadang malah demikian dekatnya sehingga dia dapat mendengarkan sebagian percakapan mereka. Setelah mendengar percakapan itu dia pun yakin bahwa dua orang itu adalah anggota Thian-li-pang.
"Kenapa kalian khawatir?" terdengar seorang di antara dua anggota Thian-li-pang itu berkata kepada dua orang tosu itu. "Kalau hanya kami berdua yang menghilang dari tempat penjagaan, tidak akan kentara. Pula siapa sih yang akan berani mendaki Bukit Naga dan mengganggu wilayah Thian-li-pang? Baru mendengar nama Thian-li-pang saja, nyali mereka sudah terbang melayang!" Mereka tertawa-tawa.
"Pula, berapa lamanya untuk sekedar bersenang-senang dengan kalian di dusun bawah sana? Andai kata para pimpinan mengetahui kalau kami pergi bersama kalian, tentu kita tidak akan dimarahi. Bukankah Thian-li-pang kini bersahabat baik dengan Pat-kwa-pai?"
Kembali mereka tertawa-tawa. Mereka tidak tahu betapa Yo Han mengepal tinju ketika mendengarkan percakapan itu.
Akhirnya empat orang itu tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Naga. Di dusun itu terdapat sebuah kedai arak dan ke sanalah mereka masuk. Yo Han yang memakai caping lebar, duduk pula dengan memilih tempat jauh di sudut dan capingnya tidak dilepas sehingga mukanya tertutup. Ketika pelayan datang menghampiri, dia memesan arak dan semangkuk bubur.
Terdengar ribut-ribut di meja empat orang itu. Agaknya pemilik kedai arak menghampiri mereka dan menuntut supaya mereka lebih dahulu mengeluarkan uang untuk membeli makanan dan minuman yang mereka pesan.
"Sudah terlalu sering teman-teman kalian makan minum di sini tanpa membayar! Aku tidak mau dirugikan lagi, harap kalian suka membayar lebih dulu," kata pemilik kedai itu, seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang kurus agak bongkok.
Seorang anggota Thian-li-pang yang tinggi bermuka kuning bangkit, kemudian bertolak pinggang. "Apa katamu tadi? Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Kami berdua adalah anggota Thian-ii-pang dan kedua orang sahabat kami ini adalah anggota Pat-kwa-pai. Kami adalah pejuang! Kami adalah pahlawan bangsa, pembela rakyat dan tanah air! Masa hanya mengeluarkan sedikit makanan dan minuman saja bagi kami engkau tidak rela? Kami berjuang dengan taruhan nyawa dan engkau tidak mau menjamu makan minum kepada kami?"
Seorang di antara dua orang tosu Pat-kwa-pai itu menggebrak meja dan dengan sikap bengis berkata, "Hayo cepat keluarkan hidangan untuk kami atau engkau ingin kedaimu ini kami hancurkan?!"
"Kalian sungguh kejam!" Pemilik kedai itu membantah dan mempertahankan miliknya. "Jika hanya dua tiga orang saja yang datang minta makan minum, kami pasti rela, akan tetapi kalau setiap hari datang dan jumlah kalian sampai puluhan orang selalu minta makan dan minum dengan gratis, kami bisa bangkrut! Kami pun mempunyai keluarga yang harus hidup dari hasil usaha kami yang kecil ini."
"Jahanam, masih banyak cakap? Engkau memang perlu dihajar!" bentak salah seorang anggota Thian-li-pang bermuka kuning tadi. Sekali kaki kanannya terayun menendang, pemilik kedai itu terpelanting keras.
"Penuhi permintaan kami tanpa banyak cakap lagi atau engkau akan kuhajar sampai mampus!" bentaknya.
"Ayah...!" Dari dalam berlari keluar seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Dia segera menubruk ayahnya yang sudah bangkit duduk sambil menyeringai kesakitan.
Melihat gadis itu, yang cukup manis, seorang di antara dua orang anggota Pat-kwa-pai tersenyum menyeringai dan segera menangkap lengan gadis itu dan menariknya lalu memaksanya duduk di sebuah bangku dekat meja mereka.
"Ha-ha-ha, tukang warung! Lekas keluarkan hidangan itu atau kami akan membawa pergi gadismu. Nona, kau temani kami makan minum di sini dan cepat suruh pelayan mengeluarkan hidangan dan arak terbaik," katanya.
Gadis itu tidak berani meronta, bahkan membujuk ayahnya yang sudah bangkit berdiri. "Ayah, turuti saja permintaan mereka."
Keempat orang itu tertawa bergelak melihat pemilik kedai dengan terhuyung memasuki dapur untuk menyediakan hidangan bagi empat orang itu.
"Manis, engkau lebih bijaksana dari pada ayahmu. Untung engkau muncul, kalau tidak tentu ayahmu telah menjadi mayat," kata si muka kuning sambil mencolek dagu gadis itu.
Gadis itu membuang muka dan berkata, "Kami sudah memenuhi permintaan kalian, menyuguhkan hidangan, harap jangan ganggu aku lagi." Gadis itu bangkit berdiri.
"Duduk saja, engkau tidak boleh pergi," kata seorang tosu Pat-kwa-pai.
"Aku akan membantu ayah mempersiapkan hidangan untuk kalian," bantah gadis itu.
"Dan menaruh racun dalam hidangannya, ya? Ha-ha-ha, kami tidak sebodoh itu, Manis. Kami berempat makan minum dan engkau harus menemani kami, ikut pula makan minum sehingga kalau hidangan itu beracun, engkau yang akan lebih dulu keracunan!" Si muka kuning menekan pundak gadis itu sehingga ia terduduk kembali.
Tiba-tiba terdengar suara lembut namun nadanya mengejek. "Ini rumah makan macam apa, membiarkan empat ekor buaya darat mengotorinya! Sungguh mendatangkan bau yang busuk sekali, empat orang maling kecil mengaku pejuang seperti empat ekor tikus mengaku harimau!"
Jelas sekali makna ucapan itu. Empat orang tadi tentu saja mengerti bahwa merekalah yang dimaki tikus dan maling! Hampir mereka tidak percaya ada orang berani memaki mereka seperti itu. Mengatakan mereka maling kecil dan tikus.
Tentu saja mereka terbelalak dan muka mereka berubah kemerahan pada saat mereka menoleh dan memandang ke arah meja di sudut kanan, di mana duduk seorang laki-laki yang mengenakan sebuah caping lebar sehingga muka dan kepala orang itu tertutup sama sekali.
Akan tetapi tidak dapat diragukan lagi. Orang bercaping itulah yang tadi mengeluarkan ucapan menghina karena ucapannya datang dari arah itu dan di sudut itu tak ada orang lain kecuali dia. Serentak empat orang itu meninggalkan gadis puteri pemilik kedai dan dengan langkah lebar mereka menghampiri meja di mana Yo Han duduk.
Yo Han bersikap tenang saja, bahkan kini menuangkan arak ke dalam cawannya yang telah kosong.
"Heiii, kaukah yang tadi mengeluarkan ucapan menghina kami?!" bentak salah seorang di antara mereka.
Yo Han mengangkat cawan araknya dan membawanya ke mulut.
"Heiii, apakah engkau tuli? Kalau benar engkau yang tadi bicara, coba ulangi ucapanmu kalau engkau berani!" kata si muka kuning yang ingin mendapat kepastian bahwa orang bercaping ini yang tadi bicara. Apa lagi melihat orang bercaping itu ternyata masih muda, maka dia agak merasa ragu-ragu apakah benar pemuda itu berani mengeluarkan ucapan seperti itu.
"Kalian berempat memang maling kecil dan tikus-tikus busuk. Pergilah!" kata Yo Han, menahan kemarahannya mengingat bahwa dua di antara mereka adalah termasuk anak buahnya sendiri, anggota Thian-li-pang!
"Jahanam!"
"Keparat!"
Empat orang itu marah sekali dan menggerakkan tangan memukul dari depan belakang dan kanan kiri. Yo Han menggerakkan tangannya yang memegang cawan arak ke arah sekelilingnya dan empat orang itu berteriak dan terhuyung mundur karena muka mereka disiram arak. Biar pun hanya arak, dan tidak banyak pula karena isi cawan itu dibagi empat, namun ketika mengenai muka, terutama mata, membuat mereka sejenak tidak mampu membuka mata dan kulit muka terasa perih.
Setelah menggosok-gosok matanya dan dapat melihat lagi, empat orang itu mencabut golok mereka dan serentak menyerang sambil memaki dengan kamarahan memuncak. Orang-orang yang sedang makan minum di situ menjadi ketakutan dan berhamburan lari keluar. Juga pemilik kedai dan puterinya, beserta para pelayan, sudah bersembunyi di balik meja dengan tubuh gemetar ketakutan.
Yo Han masih tetap duduk, akan tetapi kedua tangannya mengambil sepasang sumpit dan juga dua buah mangkok yang kosong. Begitu empat orang dengan golok mereka menyerbu mendekat, kembali kedua tangan Yo Han bergerak.
Dua sumpit menembus pundak kanan dua orang tosu sehingga golok mereka terlepas dan mereka mengaduh-aduh, sedangkan dua buah mangkok menghantam muka dua orang anggota Thian-li-pang dengan kerasnya. Dua orang Thian-li-pang itu terjengkang roboh dengan muka berdarah karena mangkok yang menghantam muka mereka tadi pecah-pecah dan melukai mereka. Memang tidak sampai membunuh mereka, namun mereka terjengkang roboh dengan muka berlumuran darah dan pingsan!
Dua orang tosu terbelalak dan tidak berani melawan lagi, bahkan melarikan diri keluar dari rumah makan itu ketika Yo Han dengan sikap sembarangan saja mencengkeram baju di punggung kedua orang anggota Thian-li-pang itu dan melempar tubuh mereka yang pingsan ke sudut ruangan itu di mana mereka rebah bertumpuk. Kemudian, dia melanjutkan makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Pemilik rumah makan bersama puterinya segera menghampiri Yo Han, mengucapkan terima kasih sambil membungkuk-bungkuk.
"Terima kasih atas pertolongan Taihiap, akan tetapi... ahhh, bagaimana dengan nasib kami? Tentu mereka akan datang lagi dan akan menghancurkan rumah kami, bahkan mungkin kami pun akan mereka bunuh..."
"Benar apa yang dikatakan Ayah, Taihiap," berkata gadis itu sambil menangis. "Harap Taihiap suka melepaskan dua orang itu, karena sudah pasti kami yang akan menderita akibat pembalasan mereka."
"Paman dan Nona, harap jangan khawatir. Aku akan menunggu di sini sampai mereka semua datang. Aku yang akan menanggung bahwa kalian tidak akan diganggu lagi oleh mereka. Kalian tenang saja. Nanti akan kuganti semua kerugian karena kerusakan yang diakibatkan keributan ini. Sekarang, tolong tambahkan arak seguci untukku. Aku akan menanti mereka datang semua."
Biar pun khawatir sekali, ayah anak itu tidak berani membantah lagi. Mereka tadi sudah melihat betapa mudahnya pemuda bercaping ini mengalahkan empat orang pengacau. Akan tetapi mereka tahu belaka betapa kuatnya Thian-li-pang dan kalau mereka semua itu datang, apakah pemuda itu akan mampu menghadapi mereka seorang diri saja?
Dua orang tosu Pat-kwa-pai yang sedang bermain-main ke Thian-li-pang tadi, tentu saja tidak mau tinggal diam. Mereka terluka dan masing-masing menderita kesakitan dengan sebatang sumpit masih menancap dan menembusi pundak mematahkan tulang pundak, sedangkan dua orang teman mereka sudah ditawan.
Mereka cepat mendaki lereng Bukit Naga yang menjadi sarang Thian-li-pang dan sambil meringis kesakitan mereka melapor kepada para anggota Thian-li-pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang perkampungan perkumpulan itu.
Tentu saja para anggota Thian-li-pang menjadi gempar dan marah mendengar bahwa dua orang kawan mereka dirobohkan seorang asing di dusun yang berada di kaki bukit. Mereka cepat melapor kepada kepala jaga. Mereka menganggap urusan itu terlalu kecil untuk dilaporkan kepada ketua, bahkan mereka tidak ingin ketua mendengar bahwa mereka tidak mampu membereskan urusan kecil itu.
"Di mana jahanam itu sekarang? tanya seorang murid yang tingkatnya lebih tinggi.
"Di dalam kedai arak dusun itu," kata dua orang tosu itu.
Murid yang termasuk tingkat atas dari Thian-li-pang itu lalu mengumpulkan empat orang saudara lain. "Kalian tetap berjaga saja di sini, kami berlima yang akan menghajarnya," katanya dan lima orang yang memiliki tingkat tiga di Thian-li-pang itu segera turun dari lereng bukit sambil berlari cepat.
Sekejap saja, lima orang murid Thian-li-pang yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini telah tiba di depan kedai arak itu. Mereka melihat betapa kedai arak itu sepi sekali, dan ada beberapa orang yang mengitai dari jauh dengan sikap ketakutan.
Dengan sikap gagah kelima orang itu memasuki kedai. Di dalam ruangan kedai yang biasanya penuh tamu itu, ternyata sekarang kosong. Hanya ada seorang tamu sedang minum-minum seorang diri di sudut dan mereka melihat orang itu mengenakan caping lebar sehingga tak nampak mukanya. Mereka melihat pula dua orang adik seperguruan mereka duduk bersandar dinding di lantai sudut itu dengan muka berlumuran darah!
Pada saat dua orang itu melihat lima orang kakak seperguruan mereka muncul di pintu rumah makan, mereka segera bangkit.
"Suheng, tolonglah kami...," kata mereka setengah meratap.
Mereka hendak menghampiri kawan-kawan mereka, akan tetap begitu tangan Yo Han bergerak, dua butir kacang menyambar dan mengenai dada kedua orang itu, membuat mereka mengeluh dan roboh kembali! Melihat hal itu, lima orang yang baru datang tentu saja menjadi marah sekali.
"Jahanam busuk!" bentak salah seorang di antara mereka dan lima orang itu serentak menyerang Yo Han dari sekelilingnya.
Yo Han masih tetap duduk di atas bangkunya. Kedua tangannya bergerak, juga kedua kakinya menyambar dan empat orang pengeroyok lalu roboh terpelanting! Orang kelima yang melihat ini, terbelalak kaget dan dengan jeri dia melangkah mundur.
Empat orang yang roboh itu mencoba untuk mencabut pedang dan kembali menyerang. Akan tetapi sebelum mereka dapat melakukan serangan, kembali kaki tangan Yo Han bergerak tanpa dia turun dari bangkunya. Akibatnya, keempat orang itu roboh kembali, pedang mereka terlepas berkerontangan dan mereka tidak mampu bangkit.
Melihat ini orang ke lima segera meloncat keluar dan melarikan diri ketakutan. Dia tidak tahu bahwa memang Yo Han sengaja melepasnya, dengan maksud supaya dia melapor kepada pimpinan Thian-li-pang. Dengan tenang ia turun dari bangkunya, lalu tangannya mencengkeram punggung baju mereka dan melemparkan tubuh mereka satu demi satu ke sudut ruangan sehingga kini di situ berserakan dan bertumpuk enam orang anggota Thian-li-pang.
Ketika melakukan hal ini, enam orang itu dapat sekilas melihat tampangnya dan dua di antara mereka terbelalak.
"Sin... ciang... Taihiap..." Mereka berbisik dan jatuh pingsan saking kaget dan takutnya.
Tentu saja mereka sangat ketakutan karena mereka sudah melawan pemimpin besar Thian-li-pang! Apa lagi mereka juga segera menyadari bahwa mereka sudah melakukan penyelewengan besar dari garis-garis yang ditentukan pemimpin besar ini, menyadari bahwa Thian-li-pang telah berubah semenjak ketua Lauw Kang Hui tewas dan pimpinan dipegang oleh Ouw Seng Bu.
Yo Han tidak peduli dan melanjutkan minum seorang diri. Dia harus meluruskan kembali Thian-li-pang seperti pesan mendiang suhu-nya, yaitu kakek Ciu Lam Hok. Dia sengaja merobohkan para anggota Thian-li-pang dan menumpuk tubuh mereka di sudut ruangan kedai itu untuk memancing kedatangan para pimpinan Thian-li-pang ke situ, terutama sekali Lauw Kang Hui.
Dia tidak langsung datang ke Thian-li-pang karena maklum betapa besar bahayanya kalau dia melakukan itu. Kalau benar para pemimpin Thian-li-pang sudah menyeleweng dan dia dimusuhi, maka mendatangi pusat Thian-li-pang sama saja dengan menghadapi bahaya besar.
Thian-li-pang mempunyai anggota yang rata-rata kuat, juga para pemimpinnya lihai, di samping tempat itu pun berbahaya dan penuh rahasia. Ia harus dapat memancing para pemimpinya keluar dan datang ke rumah makan ini, agar lebih leluasa dia turun tangan menghajar mereka dan memaksa mereka untuk kembali ke jalan yang benar seperti dikehendaki mendiang Ciu Lam Hok gurunya.
Sementara itu, anggota Thian-li-pang yang ketakutan dan lari pulang, membuat para anggota lainnya menjadi gempar. Mereka tidak berani menganggap persoalan itu kecil lagi, apa lagi ketika rekan mereka menceritakan betapa empat kawannya roboh dengan mudah sekali oleh si caping lebar yang aneh. Mereka lalu berangkat untuk melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.
Ketika itu, ketua Thian-li-pang yang baru, Ouw Seng Bu, sedang menjamu dua orang tamu yang dihormatinya, yaitu Cu Kim Giok dan Siangkoan Kok. Seperti diceritakan di bagian depan, Cu Kim Giok tertarik kepada Ouw Seng Bu dan menganggap pemuda itu seorang ketua perkumpulan besar Thian-li-pang yang amat tampan, gagah perkasa dan berjiwa patriot, membuat ia merasa tunduk dan kagum bukan main.
Ada pun Siangkoan Kok, bekas ketua Pao-beng-pai, juga dapat ditundukkan Ouw Seng Bu dengan ilmunya yang luar biasa sehingga kini Siankoan Kok yang perkumpulannya sudah hancur itu mau menggabungkan diri untuk menentang pemerintah dan mencari kedudukan yang tinggi.
Demikian besar rasa kagum Cu Kim Giok kepada Ouw Seng Bu sehingga dia tidak berkeberatan untuk makan bersama dua orang tosu wakil Pek-lian-kauw dan dua orang tosu wakil Pat-kwa-pai yang datang sebagai tamu Thian-li-pang. Padahal, sejak kecil ia telah mendengar dari ayah ibunya bahwa Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang banyak melakukan kejahatan, walau pun perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah Mancu. Alasan yang dikemukakan Ouw Seng Bu bahwa untuk menentang penjajah, semua kekuatan harus bersatu, tanpa membeda-bedakan antar golongan putih atau hitam, dapat ia terima bahkan membenarkannya.
Demikianlah, pada saat itu, Ouw Seng Bu, sedang makan minum semeja dengan Cu Kim Giok, Siangkoan Kok, dan empat orang tosu, yaitu dua tokoh Pat-kwa-pai dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw.
Wakil Pat-kwa-pai yang tubuhnya tinggi kurus bernama Im Yang Ji, murid kepala ketua Pat-kwa-pai yang lihai, yang datang bersama bersama adik seperguruannya. Ada pun wakil dari Pek-lian-kauw adalah Kui Thiancu yang sudah kita kenal ketika dia mewakili Pek-lian-kauw dan hadir dalam pesta yang diadakan Siangkoan Kok saat masih menjadi ketua Pao-beng-pai, yang datang bersama seorang adik seperguruannya pula.
Ouw Seng Bu yang merasa bergembira sekali sudah mendapat dua sekutu yang boleh dibanggakan, Siangkoan Kok yang selain amat lihai juga dapat diharapkan menghimpun banyak orang untuk menjadi anak buah mereka, dan Cu Kim Giok. Gadis puteri majikan Lembah Naga Siluman ini tentu saja merupakan seorang sekutu yang sangat besar artinya, karena tentu akan dapat menjadi jembatan agar para tokoh kang-ouw lainnya suka bergabung dengan Thian-li-pang.
Selain itu, semenjak pertemuan yang pertama kalinya, hati Ouw Seng Bu sudah terjerat. Dia tahu bahwa dia jatuh cinta kepada gadis yang bermata indah dan amat manis itu.
"Mari kita minum untuk persatuan di antara kita yang kokoh kuat untuk menumbangkan penjajah dan mengusir mereka dari tanah air tercinta!" dengan penuh semangat Ouw Seng Bu berkata.
Enam orang lainnya yang duduk semeja itu menyambut dengan penuh semangat pula. Bahkan Cu Kim Giok merasa bangga karena ia merasa yakin bahwa ayah ibunya tentu akan merasa bangga pula melihat puteri mereka kini bersekutu dengan para pejuang yang hendak menumbangkan pemerintah penjajah Mancu!
Baru saja mereka mengosongkan cawan, seorang anggota Thian-li-pang dengan sangat tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu. Dia adalah kepala jaga, dan biar pun dalam hal tingkatan, orang ini masih adik seperguruan Ouw Seng Bu, yaitu murid mendiang Lauw Kang Hui, akan tetapi karena kini Ouw Seng Bu telah menjadi ketua dan orang itu bukan lain hanya seorang anak buah, ketua Thian-li-pang yang masih muda itu mengerutkan alisnya dan merasa terganggu.
"Hemmm, ada urusan apa hingga engkau berani datang mengganggu kami?" bentaknya dengan sikap berwibawa.
"Harap maafkan kelancangan saya, Pangcu. Akan tetapi saya hendak melapor bahwa ada seseorang yang telah merobohkan dan menawan enam orang anggota kita di kedai arak di dusun bawah sana."
Kerut di antara mata Seng Bu semakin mendalam dan matanya mencorong marah. "Hemmm, muncul seorang pengacau saja kalian tidak mampu membereskannya sendiri dan masih melapor kepada kami?"
"Maaf, Pangcu. Mula-mula, dua orang anggota kita bersama seorang teman anggota Pat-kwa-pai dan seorang anggota Pek-lian-kauw minum di kedai itu, bertemu dengan si pengacau yang merobohkan dua orang anggota kita, akan tetapi hanya melukai dua orang tosu sahabat dan membiarkan mereka pergi. Dua orang anggota Thian-li-pang itu ditawannya di kedai. Kemudian, lima orang saudara tua kami turun lereng, bermaksud untuk memberi hajaran. Akan tetapi, empat orang di antara mereka roboh dan ditawan. Seorang dapat melarikan diri melapor dan menurut laporannya, empat orang saudara tua itu dalam segebrakan saja roboh oleh pengacau yang bercaping lebar itu."
"Hemmm...!" Ouw Seng Bu diam-diam terkejut.
Yang disebut saudara tua adalah para anggota yang tingkatnya sejajar dengan dirinya, yaitu murid atau murid keponakan dari mendiang Lauw Kang Hui. Kalau empat orang di antara mereka roboh dengan mudah oleh pengacau itu, dapat dibayangkan alangkah lihainya orang itu.
"Ahhh, siapa berani melukai anggota Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?" seru Im Yang Ji, tokoh Pat-kwa-pai dengan marah. Dia sudah mulai mabuk, maka hatinya mudah sekali panas mendengar bahwa seorang anak buahnya sudah dilukai orang. "Toyu, kita harus menghajar orang itu!" katanya kepada dua orang tosu Pek-lian-kauw.
Kui Thiancu mengangguk dan bangkit berdiri, memberi hormat kepada Seng Bu sambil berkata, "Pangcu, biarlah kami berempat yang menghajar orang itu dan menyeretnya ke sini agar Pangcu dapat menghukumnya. Pangcu tak perlu marah-marah dan terganggu makan minum. Sebaiknya, Pangcu, Nona dan Siangkoan Locianpwe tetap melanjutkan makan minum. Kami berempat akan segera kembali sambil menyeret si pengacau itu."
Ouw Seng Bu mengangguk dan bangkit berdiri membalas penghormatan empat orang tosu itu.
"Kalau Cuwi hendak menghajar si pengacau yang telah melukai anggota Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, silakan dan harap jangan membunuhnya karena saya ingin melihatnya dan menanyainya mengapa dia berani memusuhi kita."
Empat orang tosu itu mengangguk dan ke luar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Setelah mereka pergi, Ouw Seng Bu menoleh kepada Cu Kim Giok sambil tersenyum.
"Aihh, ada-ada saja. Sayang sekali masih terdapat orang-orang yang tidak menghargai perjuangan kita sehingga mereka itu bukan membantu kita, bahkan memusuhi kita dan lebih rela menjadi antek penjajah Mancu. Siapa yang tidak akan merasa menyesal kalau orang-orang pandai yang termasuk golongan para pendekar, seperti Sin-ciang Taihiap Yo Han itu, membiarkan dirinya menjadi anjing penjilat dan antek penjajah Mancu."
"Sangat menyakitkan hati memang!" kata Siangkoan Kok sambil menuangkan arak dari cawan ke dalam mulutnya. "Bahkan para pendekar dari keluarga pendekar terbesar di dunia persilatan, rela mengekor kepada penjajah Mancu. Harap maafkan aku, nona Cu. Selama ini aku pun belum pernah mendengar keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman menjadi antek Mancu, meski hubungan keluargamu dekat sekali dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Dua keluarga pendekar itulah yang sejak dulu membantu penjajah Mancu, sungguh mengecewakan sekali. Apakah mereka tak pernah tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa liar yang menjajah tanah air dan bangsa kita? Kita berjuang untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah, namun mereka tidak membantu kita dan malah memusuhi kita!"
Wajah Kim Giok berubah menjadi agak kemerahan. Selain pengaruh arak, juga hatinya tersentuh. Ia telah jatuh cinta kepada Ouw Seng Bu dan merasa yakin akan kebenaran pemuda itu, akan kemurnian perjuangan melawan penjajah.
Dia pun tahu bahwa di antara keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, memang terdapat hubungan yang akrab dengan kerajaan Mancu, bahkan ada pertalian hubungan darah. Walau pun ayah ibunya tidak pernah memusuhi kerajaan Mancu secara berterang, akan tetapi juga mereka tidak pernah menjadi pembantu langsung atau pejabat. Akan tetapi, harus diakui bahwa keluarga orang tuanya sangat dekat dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir.
Sekarang pandangannya terhadap Siangkoan Kok juga berubah. Kakek tua ini adalah seorang pejuang sejati, pikirnya, seperti juga Seng Bu, meski kakek ini berwatak keras dan aneh, tidak seperti Seng Bu yang halus dan tampan.
"Meski keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir tidak memusuhi kita secara terang-terangan, akan tetapi mereka tidak mau bersatu dengan kita untuk menghancurkan penjajah. Kita harap saja nona Cu akan dapat membujuk mereka dan membuka mata mereka betapa pentingnya perjuangan menentang penjajah. Yang kukhawatirkan hanyalah satu orang saja, yaitu Sin-ciang Taihiap..."
"Hemmm, orang itu memang amat berbahaya dan dia pun telah menjadi antek penjajah. Bahkan dia bergaul akrab sekali dengan seorang pangeran Mancu, yaitu Pangeran Cia Sun," kata Siangkoan Kok.
Dengan singkat Siangkoan Kok lalu menceritakan betapa Yo Han beserta Pangeran Cia Sun pernah menyelundup ke dalam perkumpulannya, Pao-beng-pai sehingga berakibat perkumpulannya itu dihancurkan pasukan pemerintah.
"Sudah jelas bahwa pasukan itu dibawa datang oleh Yo Han dan Cia Sun yang bekerja sebagai mata-mata," kata Siangkoan Kok mengakhiri ceritanya.
"Yo Han memang harus dibasmi. Dia pun merupakan ancaman bagi Thian-li-pang pula, karena dulu dia pernah diangkat oleh mendiang suhu Lauw Kang Hui sebagai pemimpin Thian-li-pang. Sewaktu-waktu dia bisa muncul di sini, dan kemudian menggunakan hak kekuasaannya untuk mengubah Thian-li-pang dari suatu perkumpulan pejuang menjadi perkumpulan pengekor kerajaan Mancu," kata Seng Bu penasaran.
"Biarkan saja dia datang, kita akan sambut dia dengan pedang. Aku akan membantumu menundukkannya, Pangcu," berkata Siangkoan Kok yang masih merasa sakit hati kalau teringat kepada Yo Han dan Cia Sun yang dianggapnya menjadi penyebab kehancuran Pao-beng-pai.
"Akan tetapi, dia lihai bukan main, paman Siangkoan," kata Seng Bu, "Sebaiknya kalau kita menggunakan siasat untuk menundukkannya, dan kuharap Paman dan juga nona Cu suka membantuku untuk menundukkannya kalau dia berani datang di sini."
"Tentu saja aku akan membantumu, Pangcu," kata Kim Giok tanpa ragu lagi.
Sin-ciang Taihiap adalah seorang yang jahat, pikirnya, telah mengkhianati Thian-li-pang, juga membunuh ketua Thian-li-pang, bahkan dia bergaul dengan Pangeran Cia Sun dari kerajaan Mancu. Yo Han sudah membunuh banyak tokoh Thian-li-pang dan orang yang sejahat itu memang harus ditentang.
"Kalau perlu, kita minta bantuan tenaga ketua Pek-lian-kauw dan ketua Pat-kwa-pai," kata Siangkoan Kok yang diam-diam juga merasa jeri terhadap Sin-ciang Taihiap.
"Memang aku sudah mempunyai rencana, dan sudah mengirim surat kepada mereka," kata Seng Bu.
Mereka kemudian melanjutkan makan minum dan merasa yakin bahwa dua orang tosu Pek-lian-kauw bersama dua orang tosu Pat-kwa-pai tadi akan mampu membereskan kerusuhan dan menyeret pengacaunya ke markas Thian-li-pang…..
Empat orang tosu itu memasuki rumah makan dengan hati-hati, dan di belakang mereka nampak dua belas orang anggota Thian-li-pang tingkat tertinggi, siap dengan pedang di tangan. Pada waktu mereka memasuki pintu depan rumah makan itu, Kui Thiancu tokoh Pek-lian-kauw yang memimpin rombongan, memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk berhenti.
Tadi dia sudah merundingkan dengan Im Yang Ji serta dua orang tosu lainnya untuk mempermainkan pengacau yang berada di rumah makan itu dengan mempergunakan kekuatan sihir. Sekarang mereka berempat mengerahkan kekuatan sihir, menyatukan kekuatan mereka.
Mulut mereka berkemak-kemik membaca mantera, dan mata mereka memandang ke arah caping yang menutupi kepala dan muka Yo Han, kemudian mereka menudingkan telunjuk kanan ke arah caping itu. Kui Thiancu yang ditunjuk menjadi juru bicara mereka berempat, segera berkata dengan suara bergema dan mengandung kekuatan sihir.
"Caping yang berada di atas kepala pengacau, terbanglah ke sini!"
Para anggota Thian-li-pang yang bergerombol di luar pintu rumah makan itu terbelalak heran dan kagum. Mereka melihat betapa caping yang menutupi kepala orang yang duduk membelakangi mereka di sudut itu tiba-tiba saja terbang melayang ke atas dan meninggalkan kepala itu.
Empat orang tosu itu sudah siap untuk mentertawakan Yo Han. Tetapi wajah mereka yang tadinya menyeringai itu seketika berubah ketika caping yang melayang ke atas itu kini menyambar ke arah mereka seperti peluru yang berputar-putar mengeluarkan suara berdesing! Tentu saja mereka terkejut bukan main dan mereka cepat mengelak.
Caping itu bagaikan berubah menjadi seekor burung elang yang menyambar-nyambar kepala mereka sehingga mereka sibuk berloncatan ke sana-sini. Akhirnya, setelah gagal memperoleh korban, caping itu melayang kembali ke arah kepala pemiliknya, kemudian hinggap di atas kepala seperti burung terbang kembali ke sarangnya!
Sekarang empat orang tosu itu saling pandang. Mereka maklum bahwa pemilik caping itu sudah mempermainkan mereka dan bahwa kekuatan sihir mereka tadi sama sekali tidak berhasil!
Kui Thiancu melihat betapa ruangan itu terlalu sempit dan banyak terhalang meja serta bangku sehingga kawan-kawannya takkan dapat leluasa untuk mengeroyok lawan yang agaknya amat lihai ini. Karena itu dia segera membentak, "Orang bercaping sombong! Engkau berani melukai para anggota Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw. Jika engkau memang berkepandaian dan bukan seorang pengecut, keluarlah dan mari kita mengadu kepandaian di luar yang luas! Jika engkau tidak mau keluar, maka kami akan membakar rumah ini!"
Setelah berkata demikian, Kui Thiancu memberi isyarat dan bersama teman-temannya, dia pun melangkah keluar dan menanti di luar rumah makan.
Mendengar ucapan yang bernada mengancam itu, pemilik kedai dan puterinya menjadi ketakutan. Mereka nekat keluar dari persembunyian mereka, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han.
"Taihiap... tolonglah... harap Taihiap keluar dari sini dan berkelahi diluar saja... jangan sampai rumah kami dibakar...!"
Juga enam orang anggota Thian-li-pang yang masih meringkuk di sudut ruangan itu dan tetap tidak berani bergerak, menjadi pucat ketakutan. Mereka sejak tadi takut pergi dari situ, takut kalau dirobohkan kembali oleh si caping lebar yang amat lihai itu. Akan tetapi sekarang ada ancaman dari tosu tadi, kalau mereka diam saja di situ, tentu mereka akan ikut terbakar!
Yo Han tentu saja tidak ingin merugikan si pemilik rumah makan. Tanpa menjawab dia pun menyambar buntalan pakaiannya, menggendong buntalan itu, lantas mengeluarkan sepotong emas dan melemparkannya ke atas meja.
"Ini untuk menggantikan semua kerugianmu, Paman," katanya sambil melangkah keluar perlahan-lahan.
Tentu saja ayah dan anak itu terkejut dan gembira bukan main. Pemberian itu puluhan kali lebih banyak dari pada kerugian yang mereka derita.
Sementara itu, pada waktu si caping lebar melangkah lambat-lambat keluar dari rumah makan, empat orang tosu serta selosin anggota Thian-li-pang memandang dengan hati tegang. Yo Han melangkah dengan muka ditundukkan sehingga mereka masih belum bisa melihat wajahnya. Setelah sampai di depan empat orang tosu itu, Yo Han berhenti melangkah.
"Heiii, orang asing!" bentak Kui Thiancu marah. "Siapa engkau dan apa pula sebabnya engkau melukai para anggota Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?"
Tanpa mengangkat mukanya yang menunduk dan tertutup caping, Yo Han menjawab, suaranya terdengar sangat dingin, "Sejak dahulu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw adalah penjahat-penjahat yang berkedok perjuangan, tidak aneh kalau hari ini mereka kembali melakukan kejahatan. Akan tetapi, Thian-li-pang adalah perkumpulan pejuang-pejuang sejati, sekarang anak buahnya menyeleweng, patut disesalkan dan dibuat penasaran!"
"Keparat, enak saja engkau membuka mulut! Perlihatkan mukamu, atau engkau begitu pengecut untuk memperkenalkan diri?"
"Kui Thiancu, aku bukanlah orang asing bagimu," kata Yo Han dan kini dia mengangkat mukanya sehingga sekilas nampak wajahnya, akan tetapi dia sudah menunduk kembali. Mereka yang sudah mengenalnya terkejut, termasuk Kui Thiancu.
"Ahhh, kiranya Sin-ciang Taihiap? Semenjak kapan engkau memusuhi Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?"
"Kui Thiancu, aku tak memusuhi siapa pun, akan tetapi akan menghajar siapa saja yang berbuat jahat. Anak buah Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai melakukan kejahatan bersama anak buah Thian-li-pang yang menyeleweng, maka aku menghajar mereka. Pergilah dan jangan mencampuri urusanku dengan Thian-li-pang, ini merupakan urusan dalam Thian-li-pang sendiri."
Akan tetapi Kui Thiancu sudah marah sekali, apa lagi memang dia tahu bahwa ketua Thian-li-pang, sekutunya, harus membunuh orang ini yang merupakan ancaman bagi perkumpulan itu.
"Serang dan bunuh dia!" bentaknya.
Ia pun telah menggerakkan pedangnya, diikuti Im Yang Ji dan dua tosu lain yang sudah mencabut pedang. Kini Yo Han dikeroyok empat orang tosu! Yo Han bergerak cepat, tubuhnya berkelebat dan menyelinap di antara gulungan sinar empat batang pedang itu.
Sementara itu, selosin anak buah Thian-li-pang tadi terkejut bukan main ketika melihat wajah Yo Han. Akan tetapi, mereka semua telah menjadi anak buah Ouw Seng Bu dan mereka sudah ikut melakukan penyelewengan, maka tentu saja kini mereka pun tidak menghendaki Yo Han yang berkuasa di Thian-li-pang, oleh karena hal itu akan berarti hilangnya semua kesenangan yang selama ini mereka peroleh sejak Seng Bu menjadi ketua. Maka, mereka pun serentak ikut mengeroyok!
Seorang di antara mereka diam-diam sudah berlari naik ke lereng bukit untuk melapor kepada ketuanya. Ketika dia tiba di pusat Thian-li-pang, Ouw Seng Bu yang menjamu Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok, baru saja selesai makan minum.
"Celaka, Pangcu. Sin-ciang Taihiap Yo Han telah muncul. Dialah orang yang mengacau tadi!" anggota itu melapor dengan suara gemetar.
Mendengar ini, Ouw Seng Bu meloncat bangkit. Dia nampak gugup. Akan tetapi, melihat Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok di situ, dia menenangkan diri.
"Di mana dia sekarang?"
"Dia kini berada di luar rumah makan, dikeroyok oleh keempat orang tosu dan sebelas orang anggota kita, Pangcu. Saya lari pulang untuk melapor kepada Pangcu."
Ouw Seng Bu yang amat cerdik itu bertindak cepat sekali.
"Paman Siangkoan Kok, harap Paman tidak memperlihatkan diri kepada Yo Han dan bersembunyi di dalam kamar Paman. Nona Cu, harap engkau juga beristirahat di dalam kamar sampai nanti aku memberi tahukan segalanya kepadamu. Aku akan menghadapi Yo Han dan menerimanya dengan baik-baik untuk mencegah jatuhnya banyak korban."
Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok mengangguk. Mereka pergi ke kamar masing-masing yang sudah diberikan kepada mereka sejak mereka tiba di situ.
Ouw Seng Bu segera mengumpulkan anak buahnya dan dengan tegas memesan agar mereka semua memperlihatkan sikap lunak dan takluk terhadap Yo Han, dan bersikap seperti dulu agar tidak menimbulkan kecurigaan di dalam hati Pendekar Tangan Sakti. Kemudian, dia menuju ke kamar Cu Kim Giok dan mengetuk daun pintunya.
Setelah Cu Kim Giok muncul, Ouw Seng Bu pun berkata, "Nona Cu, sekarang saatnya engkau bisa membantuku. Aku ingin menaklukkan Yo Han tanpa mendatangkan banyak korban, karena itu aku akan berpura-pura tidak tahu bahwa dia yang sudah menyebar pembunuhan di sini. Engkau bersikaplah sebagai seorang tamuku, seorang sahabat baikku..."
"Tapi, apa manfaatnya kehadiranku..."
"Banyak sekali, Nona. Engkau akan menimbulkan kepercayaan di hatinya bahwa kita tak mempunyai maksud tertentu terhadap dirinya. Bila melihat engkau sebagai tamuku, pasti dia akan percaya kepadaku. Marilah, Nona, aku... sungguh aku membutuhkan pertolonganmu. Ataukah... engkau begitu tega tidak mau membantuku?"
Ouw Seng Bu sudah dapat melihat selama dia bergaul dengan Kim Giok bahwa gadis itu pun membalas perasaan hatinya, bahwa gadis itu pun jatuh cinta kepadanya, maka dia mempergunakan sikap lunak dan menarik rasa iba gadis itu. Dia berhasil, karena Cu Kim Giok mengangguk.
"Baiklah, Pangcu. Aku akan membantumu."
"Engkau tidak perlu bicara atau berbuat apa pun, hanya mengaku saja bahwa engkau menjadi sahabatku. Nah, aku tidak ingin menyuruhmu berbuat jahat atau berbohong bukan?"
Mereka berdua segera berlari cepat menuruni lereng bukit dan ketika mereka memasuki dusun dan tiba di depan kedai arak, mereka berdua tertegun. Apa yang telah terjadi?
Yo Han dikeroyok oleh empat orang tosu lihai dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, juga oleh sebelas orang murid Thian-li-pang dari tingkat atas. Para pengeroyok itu semuanya menggunakan pedang, sedangkan Yo Han bertangan kosong!
Akan tetapi, tubuhnya yang dapat dibuat ringan seperti bayangan itu berkelebatan di atas belasan batang pedang dan setiap kali terbuka kesempatan, begitu tangan atau kakinya bergerak menyambar, tentu salah seorang pengeroyok dapat dirobohkan! Dia mengenal gerakan silat orang-orang Thian-li-pang, mengenal cakar beracun mereka, maka dengan mudah dia dapat mengenal bagian lemah mereka sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, seorang anggota Thian-li-pang terjungkal.
Yo Han tidak mau membunuh mereka, hanya merobohkan dan membuat mereka tak mampu bangkit kembali karena patah tulang atau menotok mereka sehingga tak mampu bergerak kembali. Akhirnya, sebelas orang Thian-li-pang itu pun roboh tak dapat bangkit kembali dan tinggal dua orang tosu Pek-lian-kauw dan dua orang tosu Pat-kwa-pai saja yang masih terus mengeroyoknya dengan serangan membabi buta karena sejak tadi serangan pedang mereka tidak pernah mengenai tubuh pemuda itu.
"Orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, kalian pergilah. Aku tak ingin bermusuhan dengan kalian dan jangan mencampuri urusan kami orang-orang Thian-li-pang!" dua kali Yo Han menegur dan menyuruh mereka pergi.
Ketika empat orang itu terus mengamuk tanpa mempedulikan kata-katanya, Yo Han menjadi marah. "Kalian ini orang-orang bandel yang pantas menerima hajaran!"
Dia pun bergerak cepat, menggunakan ilmu silat Bu-kek Hoat-keng. Segera timbul angin berpusing yang cepat sekali, membuat empat orang tosu itu ikut terputar dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, pedang mereka beterbangan lepas dari tangan. Mereka pun seperti dilontarkan oleh tenaga yang sangat kuat, terlempar dan terbanting sampai beberapa meter jauhnya! Agaknya Si Tangan Sakti itu memang tidak ingin membunuh mereka sehingga mereka hanya terbanting keras tanpa menderita luka parah.
Pada saat mereka terbanting itulah, Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok menuruni lereng. Ouw Seng Bu mengenal gerakan Yo Han itu. Dia pun merasa sanggup bergerak hingga menimbulkan angin berpusing seperti itu seperti yang pernah dia pelajari dalam sumur!
Ketika melihat Seng Bu, empat orang tosu seperti mendapat hati. Mereka dengan muka meringis kesakitan karena pinggul mereka tadi terbanting keras, bangkit menyongsong kedatangan Seng Bu.
"Pangcu...," kata mereka, akan tetapi Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat.
"Harap Totiang berempat suka memaafkan kami dan meninggalkan tempat ini. Biarkan kami menyelesaikan urusan dalam Thian-li-pang."
Empat orang tosu itu merasa heran, akan tetapi karena mereka sudah maklum bahwa ketua baru itu tentu akan menggunakan siasat. Mereka pun memberi hormat dan pergi dari tempat itu tanpa banyak cakap lagi.
Kini Seng Bu berdiri berhadapan dengan Yo Han dan keduanya saling pandang.
"Kiranya Sin-ciang Taihiap yang datang! Harap maafkan siauwte bersama para anggota Thian-li-pang yang tidak tahu akan kedatangan Taihiap dan tidak sempat menyambut seperti mestinya." Dia memberi hormat.
Yo Han mengerutkan alis, memandang penuh selidik. Dia tadi mendengar Kui Thiancu menyebut ‘pangcu’ kepada pemuda tampan ini! Dengan sikap tenang namun suaranya tegas dan menyelidik, Yo Han berkata,
"Wajahmu tidak asing bagiku. Bukankah engkau seorang di antara para murid suheng Lauw Kang Hui? Mengapa tosu tadi menyebutmu sebagai pangcu? Di mana suheng Lauw Kang Hui dan apa yang terjadi dengan Thian-li-pang? Mengapa Thian-li-pang kini bersahabat dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan mengapa pula ada murid Thian-li-pang yang dapat melakukan kejahatan di dusun ini?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, Seng Bu merasa laksana dihujani serangan yang berbahaya. Dia memberi hormat lagi.
"Taihiap, banyak sekali hal-hal yang amat hebat telah terjadi di tempat kita. Suhu... suhu telah... mati dibunuh orang... dan aku terpaksa untuk sementara mewakili dan diangkat menjadi pangcu karena tidak ada orang lain lagi yang dapat memegang kedudukan itu sebagai pemimpin sementara. Suhu Lauw Kang Hui dibunuh orang, demikian pula suci Lauw Sek, suheng Lauw Kin, susiok Su Kian dan susiok Thio Cu. Semua tewas dibunuh orang..."
"Ahhh?!" Yo Han benar-benar merasa terkejut. "Siapakah yang membunuh mereka?"
"Panjang ceritanya, Taihiap. Marilah kita naik dulu ke tempat kita dan di sana nanti aku menceritakan semuanya. Banyak sekali rahasia tersembunyi di balik semua peristiwa yang mengerikan itu, Taihiap."
Yo Han masih mengerutkan alisnya, akan tetapi dia mengangguk. Ketika mereka mulai mendaki bukit dan melihat gadis manis yang datang bersama Ouw Seng Bu ikut pula mendaki, dia berhenti dan bertanya.
"Nanti dulu, siapakah Nona ini?"
"Taihiap, Nona ini adalah nona Cu Kim Giok. Dia seorang sahabat baikku dan sekarang menjadi tamu terhormat di Thian-li-pang. Dia bukan gadis sembarangan, Taihiap. Aku yakin Taihiap pernah mendengar tentang keluarga majikan Lembah Naga Siluman, yaitu keluarga Cu. Nah, Nona ini adalah puteri dari pendekar besar Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman."
"Ahhh, kiranya Nona dari keluarga yang terkenal itu," berkata Yo Han sambil memberi hormat.
Kim Giok cepat membalas penghormatan itu.
"Harap Yo Taihiap tidak bersikap merendah. Sudah lama aku mendengar tentang nama besar Taihiap. Sayang dalam pertemuan tiga keluarga besar di rumah Paman Suma Ceng Liong di Hong-cun, Taihiap tidak ikut hadir."
Yo Han tersenyum. Ia sejenak memandang gadis itu penuh selidik. "Jadi engkau adalah sahabat baik dari... ehhh, ketua Thian-li-pang ini?"
"Benar, dan baru beberapa hari aku menjadi tamu dari Thian-li-pang."
"Taihiap agaknya sudah lupa kepadaku. Aku murid termuda dari mendiang suhu Lauw Kang Hui, namaku Ouw Seng Bu," ketua itu memperkenalkan diri.
Yo Han mengangguk-angguk. "Ya, aku sekarang teringat. Jadi semua murid tertua dari suheng Lauw Kang Hui telah dibunuh orang?"
Diam-diam Cu Kim Giok mengerling dan mengamati wajah pendekar itu. Menurut cerita yang didengarnya dari Seng Bu, orang inilah yang membunuh Lauw Kang Hui dan para muridnya. Apakah sekarang dia sedang berpura-pura? Ataukah ada rahasia lain di balik pembunuhan itu dan pembunuhnya bukan Sin-ciang Taihiap melainkan orang lain lagi? Sukar diduga apa yang terkandung dalam hati pemilik wajah tampan dengan sinar mata tajam mencorong itu.
"Taihiap, nanti saja akan kuceritakan semua setelah kita tiba di rumah," kata Seng Bu.
Yo Han mengangguk. Mereka lalu mendaki lereng bukit dan ketika mereka tiba di pintu gerbang perkampungan Thian-li-pang, dengan sikap meriah dan gembira para murid Thian-li-pang segera menyambut mereka.
"Sin-ciang Taihiap datang! Sin-ciang Taihiap sudah datang!" demikian mereka berteriak dan bersorak sambil memberi hormat.
Yo Han menerima sambutan itu dengan senyum, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran bukan main. Betapa jauh bedanya antara sikap para anggota Thian-li-pang yang berada di perkampungan ini dengan mereka yang tadi berada di dusun! Seolah-olah tak wajar lagi!
Setelah mereka memasuki ruangan dalam, Seng Bu lalu berkata kepada Cu Kim Giok, "Nona Cu, maafkan saya, harap Nona suka beristirahat dan meninggalkan kami berdua untuk membicarakan soal perkumpulan kami."
Cu Kim Giok mengangguk dan meninggalkan ruangan itu. Seng Bu lalu menutup pintu ruangan itu, kemudian dia pun mempersilakan Yo Han untuk duduk.
Yo Han duduk dan menghela napas panjang. "Nah, sekarang ceritakanlah semua. Apa yang telah terjadi di sini? Ceritakan semua dengan jelas."
Tiba-tiba Ouw Seng Bu menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han sambil menangis! Yo Han mengerutkan alisnya dan menegur dengan tegas.
"Ouw Seng Bu, sikapmu ini sungguh memalukan sekali! Engkau telah ditunjuk sebagai ketua, akan tetapi anak buah Thian-li-pang menyeleweng, Thian-li-pang mengadakan persekutuan dengan partai-partai sesat seperti Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, bahkan sekarang engkau menangis seperti anak kecil atau seperti wanita lemah yang cengeng. Engkau tidak patut menjadi ketua Thian-li-pang!"
"Yo Taihiap, harap maafkan dan kasihanilah saya! Saya terpaksa menjadi ketua karena tidak ada orang lainnya lagi. Hanya sayalah satu-satunya murid mendiang suhu yang dianggap paling kuat. Akan tetapi, setelah suhu beserta para susiok dan suheng tewas, saya menjadi bingung dan tidak mampu lagi mengendalikan semua murid, tidak dapat mencegah kalau ada yang melakukan penyelewengan. Mereka semua condong untuk memberontak dan saya tak berdaya menghadapi mereka. Juga saya tak berani menolak ketika Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw melakukan pendekatan, takut kalau-kalau mereka akan memusuhi kami. Sekarang Taihiap telah pulang, maka saya menyerahkan kepada Taihiap untuk mengatur kembali perkumpulan kita ini."
"Sudahlah, duduklah dan sekarang ceritakan apa yang terjadi dan bagaimana suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain sampai dibunuh orang, dan siapa pembunuh mereka itu."
Seng Bu duduk dan menghapus air matanya.
"Peristiwa yang terjadi itu amat mengerikan dan penuh rahasia, Yo Taihiap. Kami hanya melihat ada bayangan hitam yang menangkap mereka seorang demi seorang kemudian membawa mereka masuk ke dalam sumur tua itu. Dan setelah mereka dibawa masuk ke dalam sumur, sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya lagi sehingga kami semua menganggap bahwa mereka tentu telah tewas terbunuh."
"Hemmm, siapakah bayangan hitam itu?" Yo Han bertanya, alisnya berkerut, penasaran sekali.
"Itulah yang membuat kami semua penasaran, Taihiap. Tak ada yang dapat melihatnya, hanya melihat bayangan hitam seperti setan, menangkap mereka dan membawa loncat ke dalam sumur. Tentu saja peristiwa itu membuat semua anggota menjadi panik dan ketakutan. Karena itu, untuk meredakan kepanikan mereka, maka terpaksa saya untuk sementara menggantikan kedudukan suhu dan memimpin mereka."
"Akan tetapi, mengapa kalian tidak memasuki sumur itu untuk menyelidiki apa yang terjadi di sana? Siapa tahu suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain belum tewas?"
Seng Bu kelihatan terkejut dan ketakutan. "Maafkan kami, Yo Taihiap. Tentu saja kami juga berpikir demikian, mengharapkan mereka belum tewas dan sewaktu-waktu akan muncul keluar. Akan tetapi, untuk menyelidikinya, untuk memasuki sumur tua itu, siapa yang berani?"
"Tidak berani? Aihh, tak kusangka orang-orang Thian-li-pang berubah menjadi penakut dan pengecut!" Lalu Yo Han melanjutkan sambil menatap tajam wajah Seng Bu, "Dan engkau sendiri, yang sudah menerima menjadi ketua, mengapa engkau tidak memasuki sumur itu untuk menyelidikinya?"
Seng Bu menundukkan mukanya. "Maafkan kami semua, Yo Taihiap. Sebetulnya kami ingin sekali, akan tetapi kami takut. Kalau suhu dan para susiok, suci dan suheng sendiri tak berdaya dibawa masuk ke sumur oleh bayangan hitam itu, lalu bagaimana mungkin kami akan bisa menandinginya? Memasuki sumur berarti mati konyol, dan kami semua, tidak berani."
Yo Han menghela napas panjang, teringat akan mendiang kakek Ciu Lam Hok. Gurunya itu adalah seorang yang gagah perkasa, bahkan dua orang paman gurunya, mendiang Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, biar pun keduanya sudah menyeleweng dari jalan kebenaran, tetap saja mereka berdua adalah orang-orang yang gagah perkasa. Begitu pula murid mereka, Lauw Kang Hui, memiliki keberanian dan kegagahan.
Akan tetapi bagaimana sekarang para murid Thian-li-pang menjadi begitu penakut dan pengecut? Sedangkan gurunya pernah berpesan agar dia mengawasi Thian-li-pang dan berusaha mengusahakan agar Thian-li-pang pulih kembali menjadi perkumpulan besar yang berjiwa pahlawan pembela nusa bangsa.
"Sudah berapa lamakah peristiwa hilangnya suheng Lauw Kang Hui ke dalam sumur tua itu terjadi?"
"Sudah kurang lebih tiga bulan, Yo Taihiap."
Yo Han merasa penasaran dan khawatir. Kalau sampai tiga bulan mereka tidak keluar dari dalam sumur tua itu, kecil sekali harapannya mereka masih hidup. Akan tetapi, mati atau hidup mereka itu, dia harus mengetahui dengan pasti.
"Baiklah, kalau begitu biar aku sendiri yang akan memasuki sumur itu dan melakukan penyelidikan," Yo Han berkata.
Ouw Seng Bu memandang dengan mata terbelalak. "Akan tetapi, Taihiap. Itu berbahaya sekali!"
Yo Han tersenyum, "Seorang gagah tidak gentar menempuh bahaya, asal itu dilakukan demi kebaikan. Lupakah engkau akan pelajaran kegagahan dari Thian-li-pang?"
"Be... benar, Taihiap. Akan tetapi... sumur tua itu penuh rahasia dan menyeramkan, tentu banyak iblis yang menjadi penghuninya di sana sehingga tak seorang pun berani memasukinya. Saya takut kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Taihiap..."
"Mati hidup di tangan Tuhan. Aku tidak minta ditemani siapa pun kalau memang kalian takut. Biarlah aku sendiri yang masuk dan kalian berjaga di luar sumur saja. Sediakan sehelai tali yang kuat dan panjang, sekarang juga aku akan memasuki sumur itu untuk menyelidiki keadaan suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain."
"Baik, Taihiap."
"Dan mulai saat ini, Thian-li-pang harus memutuskan hubungan dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw. Para murid dilarang bergaul dengan mereka, dan kalau ada yang melanggar, harus dihukum berat. Dua orang anggota Thian-li-pang yang tadi membuat kerusuhan di rumah makan harus dihukum kurung selama sepekan. Nah, laksanakan!"
"Baik, Taihiap."
Ouw Seng Bu membuka daun pintu dan berseru memanggil pembantunya. Para murid kelas tertinggi dari Thian-li-pang datang berlarian dan berkumpul di luar pintu ruangan itu. Seng Bu lalu berkata dengan suara lantang kepada mereka.
"Seluruh anggota agar bersiap-siap dan berkumpul di dekat sumur tua dan sediakan sehelai tambang yang kuat dan panjang. Sin-ciang Taihiap sendiri akan turun ke dalam sumur melakukan penyelidikan sekarang juga!"
Terdengar seruan-seruan kaget di antara para anggota Thian-li-pang, namun mereka segera mentaati perintah ketua mereka itu. Dengan diantar oleh Ouw Seng Bu, mereka semua lalu bergegas pergi ke bagian belakang perkampungan Thian-li-pang dan tiba di dekat sumur tua...
"Eng-moi, masihkah engkau meragukan cintaku kepadamu? Ketika aku jatuh cinta dan meminangmu, engkau adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan? Engkau tetap engkau bagiku, satu-satunya gadis yang kucinta, baik engkau mempunyai tanda atau tidak, baik engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau puteri siapa pun juga. Aku tetap cinta padamu, Eng-moi, biar engkau akan membunuhku sekali pun. Tapi... untuk meyakinkan, benarkah engkau memiliki tanda-tanda itu?"
Tiba-tiba Eng Eng menjatuhkan diri berlutut kemudian menangis terisak-isak. Tentu saja pangeran itu terkejut dan khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu.
"Eng-moi, kenapa, Eng-moi...? Ahhh, maafkan jika aku sudah membuat hatimu berduka, Eng-moi. Lebih baik aku melihat engkau marah-marah kepadaku seperti tadi dari pada melihat engkau bersedih seperti ini, Eng-moi."
Ucapan itu membuat Eng Eng semakin mengguguk. Cia Sun merasa hatinya bagaikan ditusuk-tusuk melihat keadaan kekasihnya itu dan dia pun menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.
"Eng-moi, ada apakah...?"
Akhirnya Eng Eng dapat bicara tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya.
"Kau... kau lihat sendiri... apakah... ada tanda-tanda itu..."
Ia lalu menyingkap baju di bagian pundak kiri dan melepas sepatu serta kaos kakinya yang kanan. Cia Sun memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana, jelas sekali nampak sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat. Dan pada telapak kaki yang putih kemerahan itu nampak pula noda merah.
"Kau... kau benar-benar Sim Hui Eng...!" serunya seperti bersorak gembira.
Eng Eng kini merangkul ke arah kaki Cia Sun, "Pangeran..., ampunkan aku... aku telah berbuat kejam dan tidak adil padamu... aku... aku layak kau pukul. Balaslah, Pangeran, pukullah aku, siksalah aku, bunuhlah aku... huuu-huhuuuuu...!"
Gadis itu tersedu-sedu, menangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah terhadap dirinya sendiri dan sangat iba kepada pria yang dicintanya namun yang telah disiksanya tanpa salah itu. Bahkan pangeran itu telah mencegah pasukan membunuh Lauw Cu Si sehingga ia merupakan satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia dirinya.
Pangeran ini telah berjasa kepadanya. Sebaliknya, ia menuduhnya sebagai pembunuh. Ia telah menyiksanya dengan kata-kata, dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu pangeran itu untuk menyatakan penyesalannya.
Melihat betapa gadis yang dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium sepatunya, Cia Sun cepat-cepat merangkul, menarik dan mendekap kepala itu, seolah-olah hendak membenamkannya ke dadanya untuk disimpan di dalam dada dan tak akan dilepaskan lagi selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya yang basah air mata ke dalam rambut itu.
Sampai beberapa lamanya mereka berpelukan dan bertangisan. Beberapa kali Eng Eng mengusap dan membelai muka yang masih ada bekas-bekas tamparan tangannya itu dengan jari-jari gemetar.
Setelah gelora keharuan hati mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar di dadanya. Dia membelai rambut yang kusut itu dan berbisik, "Sudahlah, Eng-moi, sudah cukup engkau menyesali diri. Aku tidak akan menyalahkanmu. Memang batinmu mengalami guncangan yang hebat. Akhirnya semua kegelapan lewat dan kini kita berdua tinggal menyongsong sinar kebahagiaan."
"Pangeran..."
Cia Sun menghentikan kata-kata itu dengan sentuhan bibirnya pada bibir Eng Eng. "Hushhh..., kalau kau menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan seluruh wanita yang menjadi kawula dan menyebutku seperti itu. Engkau adalah calon isteriku, engkau tunanganku, engkau kekasihku, ingat?"
Eng Eng tersipu, akan tetapi tersenyum penuh bahagia. "Kakanda... Cia Sun..." Betapa merdunya panggilan itu.
"Adinda Hui Eng..." Sang pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing baginya itu mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.
"Kakanda Pangeran, dengan hati berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menunggu engkau memberi tahu kepadaku, siapa sebenarnya orang tuaku? Apakah ayah ibuku masih hidup?"
"Engkau akan terkejut, berbahagia dan bangga sekali jika mendengar siapa ayah ibumu, Eng-moi. Pada saat engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku sudah kagum dan cinta padamu. Ketika aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa ayah dan ibumu, kekagumanku padamu bertambah-tambah. Ketahuilah bahwa ayahmu bernama Sim Houw dan ibumu bernama Can Bi Lan. Ehhh, kenapa kau, Eng-moi (adinda Eng)?"
Mendengar disebutnya kedua nama itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah meloncat berdiri sehingga terlepas dari rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Ayahku... Pendekar Suling Naga dan ibuku Si Setan Kecil...! Aihhhh... Kakanda... sekali ini celakalah aku..."
Cia Sun cepat bangkit dan merangkul gadis itu. "Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau berkata begitu? Bukankah sepatutnya engkau berbangga? Ayah ibumu adalah suami isteri pendekar yang sakti dan nama mereka terkenal sekali di dunia persilatan!"
"Aihh, engkau tidak tahu, Koko! Ahh, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka. Ketahuilah, aku pernah mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar para pendekar itu dan menantang mereka mengadu kepandaian. Bahkan dalam peristiwa itu, Siauw-kwi Can Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk menandingiku. Akan tetapi aku, si tinggi hati tak tahu diri ini, aku bahkan menghinanya dan menantang Pendekar Suling Naga, ayahku sendiri untuk maju menandingiku! Aku telah bersikap sangat angkuh dan menghina tiga keluarga besar, dan ternyata Pendekar Suling Naga itu adalah ayahku sendiri. Bagaimana aku dapat berhadapan dengan mereka, Koko?" Dalam rangkulan Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng gemetar seperti orang terserang demam.
"Jangan risaukan hal itu, Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu engkau mewakili Pao-beng-pai maka tentu saja engkau menganggap para pendekar itu sebagai musuh. Apa lagi engkau hanya melaksanakan tugas, karena pada waktu itu engkau menganggap bahwa kau adalah puteri ketua Pao-beng-pai. Dan aku mengerti mengapa engkau mendapat tugas itu. Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kau angap sebagai ibumu itulah yang mempunyai peran penting, sengaja membujuk Siangkoan Kok agar engkau melakukan penghinaan terhadap keluarga besar para pendekar itu."
Gadis itu menatap wajah Cia Sun. "Ehhh, kenapa begitu?"
"Aku sudah melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya mendiang bibi Lauw Cu Si itu. Ia adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur. Karena ia seorang tokoh sesat, tentu saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Siluman. Itu pula yang menyebabkan ia menculikmu, yaitu untuk membalas dendam terhadap Pendekar Suling Naga dan isterinya yang terkenal sebagai pendekar-pendekar yang menentang golongan sesat. Dengan mengadu dirimu melawan keluarga pendekar itu, melawan golongan orang tuamu sendiri, agaknya bibi Lauw Cu Si menemukan kepuasan tersendiri."
"Akan tetapi, Koko. Kalau orang tuaku itu Pendekar Suling Naga dan isterinya yang merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, mengapa aku sampai dapat terculik? Dan kenapa pula mereka tidak mencari si penculik dan merampasku kembali?"
"Pertanyaan seperti itu juga kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicarakan anak hilang itu. Menurut keterangan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah sejak kehilangan puteri mereka itu berusaha sampai bertahun-tahun untuk menemukan anak mereka kembali. Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka. Agaknya si penculik, yaitu bibi Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali sudah menghilang, yaitu menjadi isteri Siangkoan Kok sehingga tidak seorang pun mengira bahwa engkau adalah anak yang diculik itu. Semua orang, bahkan Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw Cu Si."
Eng Eng mengangguk-angguk, semua rasa penasarannya hilang. Akan tetapi tetap saja ia mengerutkan alisnya. Jika saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah orang-orang biasa, bahkan petani miskin sekali pun, dia tentu akan berbahagia sekali dan merasa rindu untuk segera dapat bertemu dengan orang tuanya yang asli.
Akan tetapi, Pendekar Suling Naga?! Semua pengalamannya ketika dia menantang tiga keluarga besar itu terkenang dan makin dikenang, semakin merah wajahnya karena ia merasa malu bukan main.
"Koko, aku... aku takut untuk bertemu dengan mereka, aku takut dan malu..."
Cia Sun merangkul pundaknya, dan mengajaknya menghampiri kuda mereka. Matahari telah naik tinggi dan di jalan raya sana lalu lintas sudah mulai ramai.
"Eng-moi, buang saja semua perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tak pernah berhenti memikirkanmu, bahkan sekarang pun masih minta bantuan Yo-toako untuk mencarimu. Mereka tentu akan berbahagia sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali. Dan mengenai kemunculanmu tempo hari, mereka tentu akan dapat mengerti. Jangan khawatir, akulah yang akan menemanimu ke sana menghadap mereka, dan aku yang tanggung bahwa mereka tentu akan menerima dengan bahagia dan tak akan ada yang menyesalkan tindakanmu dahulu."
"Aihh, aku merasa ngeri sekali bertemu mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah memperlihatkan diri saja kepada mereka? Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua saja. Aku... aku tidak mau membuat suami isteri pendekar itu mendapat malu besar dan nama baik mereka tercemar karena mempunyai anak seperti aku ..."
"Hushhhhh, jangan berkata begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku seperti aku mencintamu?"
"Apakah itu masih perlu ditanyakan lagi, Koko? Aku mencintamu, bahkan kekejamanku terhadapmu tadi pun karena terdorong cintaku padamu, akibat hatiku panas mendengar engkau mencinta Sim Hui Eng yang kukira gadis lain. Aku cinta padamu, Koko."
"Bagus, dan karena kita saling mencinta, apakah engkau mau menjadi isteriku?"
Gadis itu mengangguk. Sebagai puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hidup dalam suasana kekerasan, ia tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan cintanya, "Tentu saja aku mau, koko!"
"Nah, kalau begitu, karena aku seorang pangeran yang tak mungkin meninggalkan tata susila dan adat-istiadat, aku akan melamarmu dengan terhormat dan secara baik-baik. Dan untuk itu, engkau harus mempunyai wali, mempunyai orang tua. Sekarang, mari kita pergi ke Lok-yang, ke rumah orang tuamu. Setelah engkau diterima dengan baik, aku akan kembali ke kota raja, kemudian aku akan mengirim utusan untuk meminangmu secara terhormat."
Gadis itu mengerutkan alis, akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang mata pangeran itu, ia pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua ekor kuda mereka yang sedang makan rumput. Tidak lama kemudian, sepasang orang muda yang berbahagia ini pun sudah melarikan kuda, menuju ke Lok-yang.
Oleh karena Cia Sun merupakan seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran yang pandai bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di sepanjang perjalanan itu dengan mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh penghormatan, mendapat tempat bermalam di rumah para kepala daerah, dijamu pesta dan dapat menukar kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup menyenangkan bagi Eng Eng!
Yo Han mendaki lereng bukit itu. Bukit Naga. Thian-li-pang berada di lereng paling atas, dekat puncak. Sudah hampir setengah tahun dia merantau, mencari Sim Hui Eng, puteri Pendekar Suling Naga. Namun, usahanya sia-sia. Tak pernah dia berhasil mendengar keterangan tentang penculikan terhadap putri pendekar sakti itu.
Dia sudah memasuki dunia kang-ouw, bahkan banyak menundukkan tokoh-tokoh sesat, hanya untuk dimintai keterangan kalau-kalau ada yang mengetahui, siapa yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga dua puluh tahun yang lalu. Akan tetapi semua usahanya, dari bujukan halus sampai kekerasan, tidak ada hasilnya.
Agaknya tidak ada seorang pun tahu siapa gerangan yang menculik puteri pendekar itu. Penculiknya agaknya lihai dan cerdik bukan main sehingga setelah menculik anak itu, dia seperti menghilang ke dalam bumi membawa anak culikannya!
Akhirnya Yo Han mengambil kesimpulan bahwa tanpa banyak tenaga pembantu, akan sukarlah menemukan anak yang hilang itu. Dia teringat kepada Thian-li-pang. Dia telah dianggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang dan anak buah Thian-li-pang adalah orang-orang yang berpengalaman dan memiliki hubungan luas dalam dunia kang-ouw.
Mungkin para tokoh kangouw yang sudah ditanyainya, merasa enggan untuk membuka rahasia rekan mereka sendiri yang melakukan penculikan, karena dia dianggap sebagai Pendekar Tangan Sakti, seorang pendekar yang menentang kejahatan. Bila anak buah Thian-li-pang yang melakukan penyelidikan, mungkin akan lebih mudah. Orang-orang kang-ouw tentu akan bersikap lebih terbuka di antara golongan sendiri.
Benar sekali, kenapa sejak dahulu dia tidak minta bantuan para anggota Thian-li-pang, pikirnya menyesali diri sendiri. Paman Lauw Kang Hui tentu akan senang membantunya sehingga lebih besar harapannya untuk dapat menemukan orang yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga!
Demikianlah, pada pagi hari itu, Yo Han mendaki lereng Bukit Naga. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di Thian-li-pang telah terjadi perubahan yang amat besar. Tidak tahu bahwa Lauw Kang Hui dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang sudah tewas, terbunuh oleh Ouw Seng Bu, yang kini menjadi ketua Thian-li-pang…..
Memang Thian-li-pang telah berubah sama sekali semenjak pimpinannya dipegang oleh Ouw Seng Bu. Pemuda tampan yang telah menemukan ilmu silat yang amat hebat ini membiarkan para anggota Thian-li-pang berbuat apa saja dengan bebasnya. Bahkan dia menjalin hubungan lagi dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, seperti yang dahulu pernah dilakukan Thian-li-pang sebelum muncul Yo Han yang kemudian membersihkan perkumpulan pejuang itu.
Ouw Seng Bu bahkan memiliki cita-cita untuk mempersatukan semua kelompok pejuang dengan dia yang menjadi pemimpin besar. Kalau semua kekuatan kelompok pejuang sudah dipersatukan, baik itu dari golongan pendekar mau pun golongan sesat, dan dia yang menjadi pemimpin besar, tentu perjuangan untuk mengusir penjajah Mancu akan berhasil. Dan jika sudah berhasil, dia yang menjadi pemimpin besar, tentu berhak untuk menjadi kaisar kerajaan baru! Besar sekali jangkauan cita-cita pemuda ini.
Setelah secara kebetulan bertemu dengan Cu Kim Giok di dekat Ban-kwi-kok, menolong gadis itu dari ancaman Siangkoan Kok, dan berhasil pula menundukkan bekas ketua Pao-beng-pai yang lalu berjanji untuk membantunya, Ouw Seng Bu mengajak, Kim Giok berkunjung ke Bukti Naga.
Kim Giok sudah mendengar tentang perkumpulan Thian-lipang yang di dunia kang-ouw (sungai telaga, atau persilatan) dikenal sebagai sebuah perkumpulan para patriot yang berjuang untuk menggulingkan pemerintah penjajah. Itulah sebabnya, ia merasa kagum dan tertarik sekali kepada Ouw Seng Bu, pemuda tampan dan gagah yang mengaku sebagai ketua Thian-li-pang. Dan di sepanjang perjalanan menuju ke Bukit Naga, Kim Giok melihat betapa sikap Seng Bu memang sangat baik. Pemuda itu pendiam, juga sopan dan ramah terhadap dirinya.
Cu Kim Giok merupakan puteri tunggal suami isteri pendekar. Ayahnya, Cu Kun Tek, adalah pendekar keturunan langsung dari keluarga Cu, majikan Lembah Naga Siluman. Ibunya tidak kalah lihai dibandingkan ayahnya, karena ibunya adalah murid mendiang Bu Beng Lokai.
Sebagai anak tunggal, tentu saja Kim Giok telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya. Dan biar pun usianya baru delapan belas tahun lebih, Kim Giok telah menjadi seorang pendekar wanita yang amat lihai.
Akan tetapi tentu saja ia kurang pengalaman karena ini merupakan yang pertama kali ia merantau seorang diri untuk meluaskan pengalamannya. Meski pun demikian, ia sudah membawa banyak bekal nasehat dan pesan kedua orang tuanya.
Andai kata Seng Bu bersikap ceriwis terhadapnya, terdapat kegenitan dalam pandang mata atau kata-katanya saja, tentu ia akan menjauhkan diri. Akan tetapi, sikap Seng Bu sungguh baik. Dia nampak seperti seorang pemuda pendiam yang sopan dan berwatak pendekar sejati! Inilah sebabnya mengapa Kim Giok merasa tertarik sekali, kagum dan merasa suka.
Rasa kagumnya semakin bertambah ketika Kim Giok dan Seng Bu tiba di Bukit Naga, di pusat perkampungan Thian-li-pang. Para anggota Thian-li-pang rata-rata terlihat gagah perkasa dengan pakaian yang rapi serta bersih, baik prianya mau pun wanitanya, dan mereka semua menyambut kedatangan Seng Bu dengan sikap yang amat menghormat!
Masih begitu muda, akan tetapi telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pejuang yang terkenal gagah perkasa. Dan melihat perkampungan Thian-li-pang itu, Kim Giok dapat menaksir bahwa anggota perkumpulan itu tidak kurang dari seratus orang banyaknya.
Akan tetapi, hati gadis itu merasa penasaran ketika pada keesokan harinya ia melihat lima orang tamu yang datang menghadap ketua Thian-li-pang. Dua orang di antara tamu-tamu itu adalah dua orang tosu (pendeta) berambut panjang yang pada baju di dadanya ada lukisan teratai putih. Orang-orang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)! Ada lagi tiga orang pendeta lainnya mengenakan gambar pat-kwa (segi delapan) pada dadanya. Ia pernah mendengar akan nama perkumpulan pemberontak yang namanya tidak bersih di dunia kang-ouw sebab para anggotanya tidak pantang melakukan segala macam kejahatan!
Setelah kelima orang tamu itu meninggalkan perkampungan Thian-li-pang, barulah Kim Giok memberanikan diri menemui ketua Thian-li-pang untuk melampiaskan penasaran dalam hatinya. Ia melihat pemuda itu sedang duduk di ruangan rapat yang luas, sedang memberi perintah kepada belasan orang pembantunya.
Melihat ini, Kim Giok yang sudah sampai di ambang pintu, mundur kembali. Akan tetapi Seng Bu telah melihatnya dan ketua ini berseru dengan ramah.
"Nona Cu, masuk sajalah. Di antara kita orang sendiri tidak ada rahasia. Masuk dan silakan duduk."
Setelah gadis itu memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari mereka yang sedang melakukan perundingan, Seng Bu melanjutkan, "Harap suka menunggu sebentar, Nona, pembicaraan kami sudah hampir selesai."
Kim Giok mengangguk dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka. Akan tetapi Seng Bu tidak melirihkan suaranya saat pemuda itu melanjutkan pengarahannya kepada para pembantunya.
"Kalian sudah tahu akan tugas-tugas kalian? Terserah kalian membagi tugas, tapi kalian harus ingat apa yang terpenting dalam tugas kalian. Yang pertama menghubungi semua kelompok pejuang, membujuk mereka agar suka bekerja sama dengan mengemukakan alasan seperti yang sudah kujelaskan tadi. Kalau ada yang tidak bersedia bekerja sama, kalian selidiki keadaan mereka, siapa para pemimpinnya dan sampai di mana tingkat kepandaian mereka agar aku bisa segera mengambil tindakan. Dan ke dua, selidiki pula kelemahan-kelemahan yang ada di dalam keluarga kaisar, terutama orang-orang yang dekat hubungannya dengan kaisar. Sudah mengerti semua?"
Belasan orang itu menyatakan bahwa mereka sudah mengerti, dan Seng Bu kemudian mempersilakan mereka keluar. Sikap pemuda itu demikian tegas dan berwibawa hingga Kim Giok yang ikut mendengarkan merasa kagum sekali.
Setelah belasan orang pembantunya keluar, Seng Bu menghampiri Kim Giok dan duduk berhadapan dengan gadis itu. Sikapnya seperti biasa, amat sopan dan ramah, sangat menghormati gadis yang dianggap sebagai seorang tamu agung di Thian-li-pang.
"Nona Cu, selamat pagi. Maafkan, bahwa tadi aku meninggalkanmu seorang diri karena kesibukanku menerima tamu malam tadi dan memberi tugas kepada para pembantuku. Apakah semalam Nona enak tidur, dan apakah pelayanan kepada Nona tidak ada yang mengecewakan?"
"Terima kasih, Pangcu (Ketua). Pelayanan cukup memuaskan dan aku merasa terlalu disanjung di sini. Pangcu, aku sengaja datang mencarimu karena aku melihat sesuatu yang membuat hatiku merasa penasaran sekali dan aku mengharapkan jawaban yang sejujurnya darimu."
Seng Bu menatap wajah gadis itu. Semenjak pertama kali berjumpa, ia telah terpesona. Dia bukanlah seorang pria yang mudah terpikat kecantikan wanita. Akan tetapi, belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis muda seperti Kim Giok. Gadis ini manis sekali dan terutama yang membuat dia terpesona adalah sepasang matanya. Mata itu demikian indahnya.
Selain ini, ilmu silat gadis itu pun cukup tinggi, dan sikapnya demikian pendiam dan gagah. Semua ini ditambah lagi kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri pendekar dari Lembah Naga Siluman! Kiranya sukar dicari keduanya gadis seperti ini.
Selama ini Seng Bu sibuk menggembleng diri dengan ilmu yang ditemukannya di dalam sumur maut, maka dia pun tidak sempat memikirkan hal lain. Apa lagi, dia memang bukan tergolong pemuda yang suka bergaul dengan gadis-gadis cantik. Dan baru sekarang dia merasa kagum dan tertarik kepada seorang gadis.
"Nona Cu, aku tidak menyembunyikan sesuatu darimu. Kalau ada hal yang membuat engkau merasa penasaran, tanyakanlah dan aku akan menjawab sejujurnya."
Kim Giok juga menatap tajam sehingga dua pasang mata mereka bertaut, seperti saling menyelidik, hingga kemudian Kim Giok berkata, "Pangcu, bukan aku sebagai tamu ingin mencampuri urusan tuan rumah. Akan tetapi, aku suka menjadi tamu di Thian-li-pang karena aku merasa yakin bahwa perkumpulanmu ini adalah perkumpulan orang-orang gagah yang merupakan pejuang-pejuang sejati, yang selalu menentang kejahatan dan berpihak kepada kebenaran, seperti yang pernah kudengar dibicarakan orang di dunia kang-ouw. Aku percaya itu, apa lagi setelah aku mengenalmu. Akan tetapi apa yang kulihat hari ini membuat aku merasa penasaran bukan main. Aku melihat para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai menjadi tamu Thian-li-pang! Bagaimana ini? Aku sudah mendengar bahwa kedua perkumpulan itu merupakan perkumpulan jahat yang banyak ditentang oleh para pendekar!"
Seng Bu tersenyum, dengan berani menentang pandang mata gadis itu tanpa merasa canggung. "Ahh, kiranya itu yang membuatmu penasaran, Nona. Hal ini membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, Nona. Akan tetapi, apakah Nona tertarik oleh urusan perjuangan? Lika-liku perjuangan amat rumit, Nona. Dipandang sepintas lalu dari segi kependekaranmu, memang rasanya janggal jika melihat kami juga berhubungan dengan orang-orang dari golongan yang ditentang oleh para pendekar. Tapi, dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan golongan terpaksa harus dikesampingkan. Yang paling penting adalah urusan perjuangan, urusan usaha untuk membebaskan bangsa dan negara dari cengkeraman penjajah Mancu."
"Maksudmu bagaimana, Pangcu?"
"Tentu engkau telah mengetahui, hampir satu setengah abad negara kita dijajah bangsa Mancu, dan selama satu setengah abad itu semua usaha perjuangan rakyat untuk merebut kembali tanah air selalu gagal. Mengapa begitu? Karena tidak ada persatuan di antara para kelompok yang berjuang! Bahkan banyak kelompok perjuangan yang saling gempur sendiri, bersaing dan memperebutkan kebenaran demi kepentingan pribadi atau golongan. Itulah penyebab utama dari kegagalan perjuangan selama ini, dan kami dari Thian-li-pang melihat kekeliruan itu, maka kini kami berusaha untuk mengubahnya.”
"Caranya?"
"Mempersatukan semua golongan, tanpa membedakan mana golongan putih mana pula golongan hitam, mana golongan pendekar atau mana yang dinamakan kaum sesat. Pendeknya, siapa saja, dari golongan mana pun, apa pun pekerjaannya, bagaimana bentuk sepak terjangnya, asalkan dia itu menentang pemerintah penjajah Mancu, dia adalah sekutu kita! Dengan cara ini, maka di seluruh negeri akan terdapat persatuan yang kokoh dan kalau sudah tercapai persatuan itu, maka menggulingkan pemerintah penjajah bukan merupakan masalah yang sukar lagi."
"Jadi pendirian itukah yang membuat Pangcu tidak memandang bulu dalam memilih sahabat, dan suka menerima Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai sebagai sahabat pula?"
"Benar, Nona. Kalau misalnya Thian-li-pang, Pek-lian-kauw, bersama Pat-kwa-pai, yang ketiganya merupakan perkumpulan para pejuang, bisa bersatu padu dan bersama-sama menentang penjajah, bukankah itu akan jauh lebih kuat dari pada kalau kami berjuang sendiri-sendiri secara terpisah? Apa lagi kalau seluruh kekuatan yang ada, baik dari golongan hitam mau pun putih, dapat bersatu padu!"
"Kebenaran pendapat itu tidak dapat disangkal, Pangcu. Akan tetapi kita kaum pendekar bagaimana mungkin bekerja sama dengan kaum sesat? Justru tugas utama kita adalah untuk menentang segala perbuatan jahat dari kaum sesat, serta membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat tetapi jahat!”
Ketua yang masih muda itu tersenyum ramah. Dia bicara penuh semangat, akan tetapi tidak terbawa perasaan, masih tetap tenang dan tersenyum sehingga membuat gadis itu pun tidak terbawa dan terseret dalam perbantahan yang memperebutkan kebenaran masing-masing.
"Sudah kukatakan tadi bahwa dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan kepentingan golongan harus disingkirkan lebih dahulu. Tanpa sikap seperti itu, bagaimana mungkin muncul persatuan, dan tanpa persatuan bagaimana mungkin ada kekuatan? Buktinya, semua usaha perjuangan yang lalu selama ini, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam, gagal semua. Karena terpecah-pecah! Kalau kita menuruti kepentingan pribadi dan golongan, misalnya kalau kita tidak mau bersatu dengan golongan sesat dan memusuhi mereka, maka kita akan terpecah belah dan akibatnya akan melemahkan diri sendiri. Dengan demikian, yang untung adalah pemerintah penjajah! Sudah mengertikah engkau, Nona?"
Cu Kim Giok bukan seorang gadis yang bodoh. Dia termenung dan menelan ucapan ketua itu dalam hatinya, dan mulailah ia mengerti akan apa yang dimaksudkan Seng Bu.
"Aku mengerti, Pangcu. Akan tetapi karena sejak kecil orang tuaku menanamkan jiwa kependekaran di dalam hatiku, rasanya sangat berat bagiku menerima kenyataan dari kebenaran pendapatmu tadi. Kalau kita para pendekar tidak menentang golongan sesat, bukankah kehidupan rakyat akan menjadi semakin parah dan sengsara, tertindas oleh kejahatan tanpa ada yang membela dan melindungi?"
"Tentu saja kita tidak hanya berdiam diri saja kalau terjadi kejahatan di depan mata kita, Nona. Kita wajib melindungi orang yang menjadi korban kejahatan. Akan tetapi, urusan itu bukan merupakan urusan yang diutamakan kepentingannya, lebih penting urusan perjuangan sehingga kalau pun kita menentang kejahatan, harus dicegah agar jangan sampai menimbulkan keretakan persatuan antara golongan. Ketahuilah, Nona, bahwa peristiwa kejahatan hanyalah merupakan akibat dari tidak sehatnya pemerintah. Seperti sebuah penyakit, kejahatan, ketidak amanan, ketidak makmuran, bahkan kesengsaraan rakyat hanya merupakan bintik-bintik kecil akibat penyakit itu. Bla kita memberantas dan mengobati bintik-bintiknya saja tak akan banyak manfaatnya karena bintik-bintik itu akan timbul lagi setelah diobati sebab penyakit itu masih ada. Kita harus lebih mementingkan pengobatan penyakitnya, sumber penyakit itu sendiri. Dalam hal ini, sumber penyakitnya terletak pada pemerintahan. Bangsa dan tanah air kita dicengkeram penjajah Mancu, tentu saja pemerintahnya tidak sehat dan memeras rakyat jelata. Kalau penjajahan itu dapat kita bongkar dan kita ganti dengan pemerintah bangsa sendiri, maka penyakit itu sembuh pada sumbernya dan tidak akan timbul bintik-bintik berbahaya. Segala bentuk kejahatan akan dapat kita tumpas. Penindasan yang dilakukan para penjahat itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan penindasan dan penghisapan yang dilakukan penjajah terhadap kita."
Kim Giok tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia kagum sekali dan sekarang ia dapat mengerti sepenuhnya. "Sekarang aku mengerti, Pangcu, dan aku tidak penasaran lagi melihat Thian-li-pang bersahabat dengan golongan sesat, jika maksudnya hanya untuk mempersatukan tenaga melawan penjajah."
Sejak percakapan itu, Kim Giok semakin kagum dan tartarik kepada ketua Thian-li-pang itu, dan sebaliknya Seng Bu juga telah jatuh hati kepada puteri Lembah Naga Siluman. Ketika Seng Bu minta agar gadis itu tinggal di Thian-li-pang sebagai tamu kehormatan selama beberapa hari, Kim Giok tidak menolak.
Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Yo Han mendaki Bukit Naga, Cu Kim Giok telah tinggal selama lima hari di perkampungan Thian-li-pang. Hubungannya dengan Seng Bu semakin akrab namun ketua itu masih tetap bersikap sopan dan tak pernah menyatakan perasaan hatinya.
Kim Giok sudah mendengar banyak dari Seng Bu tentang Thian-li-pang. Dan ia sudah mendengar pula kisah yang aneh, peristiwa mengerikan yang terjadi beberapa bulan yang lalu, yaitu tentang pembunuhan terhadap ketua Thian-li-pang yang dilakukan oleh seorang yang tadinya dianggap sebagai pemimpin Thian-li-pang, yaitu Sin-ciang Taihiap Yo Han.
Ia sudah pernah mendengar nama itu, maka menyatakan keheranannya kepada Seng Bu mengapa Yo Han yang dianggap sebagai pemimpin besar malah membunuh ketua Thian-li-pang. Dengan cerdik Seng Bu menceritakan bahwa pembunuhan itu dilakukan Yo Han untuk membalas dendam atas kematian gurunya yang bernama Ciu Lam Hok. Demikian pandainya Seng Bu bercerita sehingga Kim Giok percaya dan gadis ini pun merasa tidak senang kepada pendekar yang di juluki Si Tangan Sakti itu…..
********
Kita kembali kepada Yo Han yang sedang mendaki Bukit Naga dengan santai. Kembali ke tempat ini, di mana selama bertahun-tahun dia hidup dalam sumur maut bersama gurunya, mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, mendatangkan segala macam kenangan lama padanya. Bahkan kenangan itu berkembang sampai akhirnya dia terkenang kepada Tan Sian Li, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya sejak dia masih seorang pemuda remaja.
Akan tetapi, percakapannya dengan Cia Sun, setidaknya kembali menimbulkan harapan baru dalam hatinya. Ketika dia meninggalkan Sian Li, di rumah orang tua gadis itu yang dulu pernah menjadi suhu dan subo-nya pertama kali, harapannya sudah hancur luluh. Ia mendengar betapa suhu dan subo-nya hendak menjodohkan Sian Li dengan seorang pangeran di kota raja!
Tentu saja seorang pangeran jauh lebih pantas menjadi suami seorang gadis seperti Si Bangau Merah itu dari pada dia! Dia yatim piatu miskin dan papa, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap!
Akan tetapi, kebetulan dia bertemu dengan Pangeran Cia Sun, lalu bersahabat, bahkan pernah senasib sependeritaan yang mendorong mereka mengangkat saudara. Dan dari adik angkatnya yang pangeran ini dia mendengar bahwa ternyata adik angkatnya itulah pangeran yang hendak dijodohkan dengan Sian Li!
Akan tetapi, di samping berita mengejutkan itu, terdapat kenyataan yang membuat dia tumbuh lagi semangatnya, timbul pula harapannya, yaitu bahwa Pangeran Cia Sun dan Tan Sian Li tidak saling mencinta. Pangeran itu bahkan mencinta gadis lain, yaitu puteri ketua Pao-beng-pai!
Dalam perjalanannya menuju ke Thian-li-pang, dia pun sudah mendengar mengenai pembasmian Pao-beng-pai yang dilakukan oleh pasukan pemerintah. Ia mengira bahwa tentu adik angkatnya, Pangeran Cia Sun, yang melakukan penyerbuan itu, walau pun ada kesangsian di hatinya apakah sang pangeran mau melakukan hal itu mengingat akan cintanya terhadap Siangkoan Eng.
Tiba-tiba Yo Han menghentikan langkahnya dan mengerutkan alisnya. Dia mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan suara itu makin mendekat, tanda bahwa mereka yang bercakap-cakap itu sedang berjalan menuruni lereng. Yo Han menyelinap ke balik pohon besar.
Sudah lama dia meninggalkan Thian-li-pang dan dia tidak tahu bagaimana keadaannya. Walau pun dia percaya sepenuhnya kepada Lauw Kang Hui yang diserahi pimpinan perkumpulan itu, akan tetapi sebaiknya kalau dia menyelidiki keadaannya karena bagai mana pun juga, kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak benar di Thian-li-pang, dialah yang bertanggung jawab. Gurunya berpesan agar dia menyelamatkan Thian-li-pang dari penyelewengan, maka biar pun tidak memimpin langsung, dia harus selalu mengawasi.
Mereka yang tertawa-tawa tadi sekarang telah datang mendekat dan dari balik batang pohon, Yo Han mengintai. Alisnya terangkat dan kemudian berkerut tidak senang ketika ia melihat dua orang anggota Thian-li-pang sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan dua orang pendeta muda yang dari tanda gambar di dadanya bisa diketahuinya sebagai dua orang anggota Pat-kwa-pai!
Ia merasa heran bukan main. Bagaimana mungkin anggota Thian-li-pang bergaul begitu demikian akrabnya dengan anggota Pat-kwa-pai yang terkenal sebagai golongan sesat yang menggunakan kedok perjuangan, atau bisa juga dikatakan sebagai pemberontak-pemberontak yang tidak segan-segan menggunakan kejahatan serta kekejaman dalam pemberontakan mereka?
Yo Han menahan diri, ingin tahu lebih banyak, maka dari jauh dia membayangi empat orang itu. Dia tidak mengenal para anggota Thian-li-pang. Yang dikenalnya hanyalah Lauw Kang Hui dan pimpinannya, bahkan dia tidak tahu nama para pimpinan mudanya satu demi satu. Akan tetapi, melihat sikap mereka, siapa lagi mereka itu kalau bukan anggota Thian-li-pang?
Dan mereka telah berada di wilayah Thian-li-pang, maka kehadiran dua orang anggota Pat-kwa-pai itu sungguh mencurigakan sekali. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Yo Han untuk membayangi mereka, kadang malah demikian dekatnya sehingga dia dapat mendengarkan sebagian percakapan mereka. Setelah mendengar percakapan itu dia pun yakin bahwa dua orang itu adalah anggota Thian-li-pang.
"Kenapa kalian khawatir?" terdengar seorang di antara dua anggota Thian-li-pang itu berkata kepada dua orang tosu itu. "Kalau hanya kami berdua yang menghilang dari tempat penjagaan, tidak akan kentara. Pula siapa sih yang akan berani mendaki Bukit Naga dan mengganggu wilayah Thian-li-pang? Baru mendengar nama Thian-li-pang saja, nyali mereka sudah terbang melayang!" Mereka tertawa-tawa.
"Pula, berapa lamanya untuk sekedar bersenang-senang dengan kalian di dusun bawah sana? Andai kata para pimpinan mengetahui kalau kami pergi bersama kalian, tentu kita tidak akan dimarahi. Bukankah Thian-li-pang kini bersahabat baik dengan Pat-kwa-pai?"
Kembali mereka tertawa-tawa. Mereka tidak tahu betapa Yo Han mengepal tinju ketika mendengarkan percakapan itu.
Akhirnya empat orang itu tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Naga. Di dusun itu terdapat sebuah kedai arak dan ke sanalah mereka masuk. Yo Han yang memakai caping lebar, duduk pula dengan memilih tempat jauh di sudut dan capingnya tidak dilepas sehingga mukanya tertutup. Ketika pelayan datang menghampiri, dia memesan arak dan semangkuk bubur.
Terdengar ribut-ribut di meja empat orang itu. Agaknya pemilik kedai arak menghampiri mereka dan menuntut supaya mereka lebih dahulu mengeluarkan uang untuk membeli makanan dan minuman yang mereka pesan.
"Sudah terlalu sering teman-teman kalian makan minum di sini tanpa membayar! Aku tidak mau dirugikan lagi, harap kalian suka membayar lebih dulu," kata pemilik kedai itu, seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang kurus agak bongkok.
Seorang anggota Thian-li-pang yang tinggi bermuka kuning bangkit, kemudian bertolak pinggang. "Apa katamu tadi? Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Kami berdua adalah anggota Thian-ii-pang dan kedua orang sahabat kami ini adalah anggota Pat-kwa-pai. Kami adalah pejuang! Kami adalah pahlawan bangsa, pembela rakyat dan tanah air! Masa hanya mengeluarkan sedikit makanan dan minuman saja bagi kami engkau tidak rela? Kami berjuang dengan taruhan nyawa dan engkau tidak mau menjamu makan minum kepada kami?"
Seorang di antara dua orang tosu Pat-kwa-pai itu menggebrak meja dan dengan sikap bengis berkata, "Hayo cepat keluarkan hidangan untuk kami atau engkau ingin kedaimu ini kami hancurkan?!"
"Kalian sungguh kejam!" Pemilik kedai itu membantah dan mempertahankan miliknya. "Jika hanya dua tiga orang saja yang datang minta makan minum, kami pasti rela, akan tetapi kalau setiap hari datang dan jumlah kalian sampai puluhan orang selalu minta makan dan minum dengan gratis, kami bisa bangkrut! Kami pun mempunyai keluarga yang harus hidup dari hasil usaha kami yang kecil ini."
"Jahanam, masih banyak cakap? Engkau memang perlu dihajar!" bentak salah seorang anggota Thian-li-pang bermuka kuning tadi. Sekali kaki kanannya terayun menendang, pemilik kedai itu terpelanting keras.
"Penuhi permintaan kami tanpa banyak cakap lagi atau engkau akan kuhajar sampai mampus!" bentaknya.
"Ayah...!" Dari dalam berlari keluar seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Dia segera menubruk ayahnya yang sudah bangkit duduk sambil menyeringai kesakitan.
Melihat gadis itu, yang cukup manis, seorang di antara dua orang anggota Pat-kwa-pai tersenyum menyeringai dan segera menangkap lengan gadis itu dan menariknya lalu memaksanya duduk di sebuah bangku dekat meja mereka.
"Ha-ha-ha, tukang warung! Lekas keluarkan hidangan itu atau kami akan membawa pergi gadismu. Nona, kau temani kami makan minum di sini dan cepat suruh pelayan mengeluarkan hidangan dan arak terbaik," katanya.
Gadis itu tidak berani meronta, bahkan membujuk ayahnya yang sudah bangkit berdiri. "Ayah, turuti saja permintaan mereka."
Keempat orang itu tertawa bergelak melihat pemilik kedai dengan terhuyung memasuki dapur untuk menyediakan hidangan bagi empat orang itu.
"Manis, engkau lebih bijaksana dari pada ayahmu. Untung engkau muncul, kalau tidak tentu ayahmu telah menjadi mayat," kata si muka kuning sambil mencolek dagu gadis itu.
Gadis itu membuang muka dan berkata, "Kami sudah memenuhi permintaan kalian, menyuguhkan hidangan, harap jangan ganggu aku lagi." Gadis itu bangkit berdiri.
"Duduk saja, engkau tidak boleh pergi," kata seorang tosu Pat-kwa-pai.
"Aku akan membantu ayah mempersiapkan hidangan untuk kalian," bantah gadis itu.
"Dan menaruh racun dalam hidangannya, ya? Ha-ha-ha, kami tidak sebodoh itu, Manis. Kami berempat makan minum dan engkau harus menemani kami, ikut pula makan minum sehingga kalau hidangan itu beracun, engkau yang akan lebih dulu keracunan!" Si muka kuning menekan pundak gadis itu sehingga ia terduduk kembali.
Tiba-tiba terdengar suara lembut namun nadanya mengejek. "Ini rumah makan macam apa, membiarkan empat ekor buaya darat mengotorinya! Sungguh mendatangkan bau yang busuk sekali, empat orang maling kecil mengaku pejuang seperti empat ekor tikus mengaku harimau!"
Jelas sekali makna ucapan itu. Empat orang tadi tentu saja mengerti bahwa merekalah yang dimaki tikus dan maling! Hampir mereka tidak percaya ada orang berani memaki mereka seperti itu. Mengatakan mereka maling kecil dan tikus.
Tentu saja mereka terbelalak dan muka mereka berubah kemerahan pada saat mereka menoleh dan memandang ke arah meja di sudut kanan, di mana duduk seorang laki-laki yang mengenakan sebuah caping lebar sehingga muka dan kepala orang itu tertutup sama sekali.
Akan tetapi tidak dapat diragukan lagi. Orang bercaping itulah yang tadi mengeluarkan ucapan menghina karena ucapannya datang dari arah itu dan di sudut itu tak ada orang lain kecuali dia. Serentak empat orang itu meninggalkan gadis puteri pemilik kedai dan dengan langkah lebar mereka menghampiri meja di mana Yo Han duduk.
Yo Han bersikap tenang saja, bahkan kini menuangkan arak ke dalam cawannya yang telah kosong.
"Heiii, kaukah yang tadi mengeluarkan ucapan menghina kami?!" bentak salah seorang di antara mereka.
Yo Han mengangkat cawan araknya dan membawanya ke mulut.
"Heiii, apakah engkau tuli? Kalau benar engkau yang tadi bicara, coba ulangi ucapanmu kalau engkau berani!" kata si muka kuning yang ingin mendapat kepastian bahwa orang bercaping ini yang tadi bicara. Apa lagi melihat orang bercaping itu ternyata masih muda, maka dia agak merasa ragu-ragu apakah benar pemuda itu berani mengeluarkan ucapan seperti itu.
"Kalian berempat memang maling kecil dan tikus-tikus busuk. Pergilah!" kata Yo Han, menahan kemarahannya mengingat bahwa dua di antara mereka adalah termasuk anak buahnya sendiri, anggota Thian-li-pang!
"Jahanam!"
"Keparat!"
Empat orang itu marah sekali dan menggerakkan tangan memukul dari depan belakang dan kanan kiri. Yo Han menggerakkan tangannya yang memegang cawan arak ke arah sekelilingnya dan empat orang itu berteriak dan terhuyung mundur karena muka mereka disiram arak. Biar pun hanya arak, dan tidak banyak pula karena isi cawan itu dibagi empat, namun ketika mengenai muka, terutama mata, membuat mereka sejenak tidak mampu membuka mata dan kulit muka terasa perih.
Setelah menggosok-gosok matanya dan dapat melihat lagi, empat orang itu mencabut golok mereka dan serentak menyerang sambil memaki dengan kamarahan memuncak. Orang-orang yang sedang makan minum di situ menjadi ketakutan dan berhamburan lari keluar. Juga pemilik kedai dan puterinya, beserta para pelayan, sudah bersembunyi di balik meja dengan tubuh gemetar ketakutan.
Yo Han masih tetap duduk, akan tetapi kedua tangannya mengambil sepasang sumpit dan juga dua buah mangkok yang kosong. Begitu empat orang dengan golok mereka menyerbu mendekat, kembali kedua tangan Yo Han bergerak.
Dua sumpit menembus pundak kanan dua orang tosu sehingga golok mereka terlepas dan mereka mengaduh-aduh, sedangkan dua buah mangkok menghantam muka dua orang anggota Thian-li-pang dengan kerasnya. Dua orang Thian-li-pang itu terjengkang roboh dengan muka berdarah karena mangkok yang menghantam muka mereka tadi pecah-pecah dan melukai mereka. Memang tidak sampai membunuh mereka, namun mereka terjengkang roboh dengan muka berlumuran darah dan pingsan!
Dua orang tosu terbelalak dan tidak berani melawan lagi, bahkan melarikan diri keluar dari rumah makan itu ketika Yo Han dengan sikap sembarangan saja mencengkeram baju di punggung kedua orang anggota Thian-li-pang itu dan melempar tubuh mereka yang pingsan ke sudut ruangan itu di mana mereka rebah bertumpuk. Kemudian, dia melanjutkan makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Pemilik rumah makan bersama puterinya segera menghampiri Yo Han, mengucapkan terima kasih sambil membungkuk-bungkuk.
"Terima kasih atas pertolongan Taihiap, akan tetapi... ahhh, bagaimana dengan nasib kami? Tentu mereka akan datang lagi dan akan menghancurkan rumah kami, bahkan mungkin kami pun akan mereka bunuh..."
"Benar apa yang dikatakan Ayah, Taihiap," berkata gadis itu sambil menangis. "Harap Taihiap suka melepaskan dua orang itu, karena sudah pasti kami yang akan menderita akibat pembalasan mereka."
"Paman dan Nona, harap jangan khawatir. Aku akan menunggu di sini sampai mereka semua datang. Aku yang akan menanggung bahwa kalian tidak akan diganggu lagi oleh mereka. Kalian tenang saja. Nanti akan kuganti semua kerugian karena kerusakan yang diakibatkan keributan ini. Sekarang, tolong tambahkan arak seguci untukku. Aku akan menanti mereka datang semua."
Biar pun khawatir sekali, ayah anak itu tidak berani membantah lagi. Mereka tadi sudah melihat betapa mudahnya pemuda bercaping ini mengalahkan empat orang pengacau. Akan tetapi mereka tahu belaka betapa kuatnya Thian-li-pang dan kalau mereka semua itu datang, apakah pemuda itu akan mampu menghadapi mereka seorang diri saja?
Dua orang tosu Pat-kwa-pai yang sedang bermain-main ke Thian-li-pang tadi, tentu saja tidak mau tinggal diam. Mereka terluka dan masing-masing menderita kesakitan dengan sebatang sumpit masih menancap dan menembusi pundak mematahkan tulang pundak, sedangkan dua orang teman mereka sudah ditawan.
Mereka cepat mendaki lereng Bukit Naga yang menjadi sarang Thian-li-pang dan sambil meringis kesakitan mereka melapor kepada para anggota Thian-li-pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang perkampungan perkumpulan itu.
Tentu saja para anggota Thian-li-pang menjadi gempar dan marah mendengar bahwa dua orang kawan mereka dirobohkan seorang asing di dusun yang berada di kaki bukit. Mereka cepat melapor kepada kepala jaga. Mereka menganggap urusan itu terlalu kecil untuk dilaporkan kepada ketua, bahkan mereka tidak ingin ketua mendengar bahwa mereka tidak mampu membereskan urusan kecil itu.
"Di mana jahanam itu sekarang? tanya seorang murid yang tingkatnya lebih tinggi.
"Di dalam kedai arak dusun itu," kata dua orang tosu itu.
Murid yang termasuk tingkat atas dari Thian-li-pang itu lalu mengumpulkan empat orang saudara lain. "Kalian tetap berjaga saja di sini, kami berlima yang akan menghajarnya," katanya dan lima orang yang memiliki tingkat tiga di Thian-li-pang itu segera turun dari lereng bukit sambil berlari cepat.
Sekejap saja, lima orang murid Thian-li-pang yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini telah tiba di depan kedai arak itu. Mereka melihat betapa kedai arak itu sepi sekali, dan ada beberapa orang yang mengitai dari jauh dengan sikap ketakutan.
Dengan sikap gagah kelima orang itu memasuki kedai. Di dalam ruangan kedai yang biasanya penuh tamu itu, ternyata sekarang kosong. Hanya ada seorang tamu sedang minum-minum seorang diri di sudut dan mereka melihat orang itu mengenakan caping lebar sehingga tak nampak mukanya. Mereka melihat pula dua orang adik seperguruan mereka duduk bersandar dinding di lantai sudut itu dengan muka berlumuran darah!
Pada saat dua orang itu melihat lima orang kakak seperguruan mereka muncul di pintu rumah makan, mereka segera bangkit.
"Suheng, tolonglah kami...," kata mereka setengah meratap.
Mereka hendak menghampiri kawan-kawan mereka, akan tetap begitu tangan Yo Han bergerak, dua butir kacang menyambar dan mengenai dada kedua orang itu, membuat mereka mengeluh dan roboh kembali! Melihat hal itu, lima orang yang baru datang tentu saja menjadi marah sekali.
"Jahanam busuk!" bentak salah seorang di antara mereka dan lima orang itu serentak menyerang Yo Han dari sekelilingnya.
Yo Han masih tetap duduk di atas bangkunya. Kedua tangannya bergerak, juga kedua kakinya menyambar dan empat orang pengeroyok lalu roboh terpelanting! Orang kelima yang melihat ini, terbelalak kaget dan dengan jeri dia melangkah mundur.
Empat orang yang roboh itu mencoba untuk mencabut pedang dan kembali menyerang. Akan tetapi sebelum mereka dapat melakukan serangan, kembali kaki tangan Yo Han bergerak tanpa dia turun dari bangkunya. Akibatnya, keempat orang itu roboh kembali, pedang mereka terlepas berkerontangan dan mereka tidak mampu bangkit.
Melihat ini orang ke lima segera meloncat keluar dan melarikan diri ketakutan. Dia tidak tahu bahwa memang Yo Han sengaja melepasnya, dengan maksud supaya dia melapor kepada pimpinan Thian-li-pang. Dengan tenang ia turun dari bangkunya, lalu tangannya mencengkeram punggung baju mereka dan melemparkan tubuh mereka satu demi satu ke sudut ruangan sehingga kini di situ berserakan dan bertumpuk enam orang anggota Thian-li-pang.
Ketika melakukan hal ini, enam orang itu dapat sekilas melihat tampangnya dan dua di antara mereka terbelalak.
"Sin... ciang... Taihiap..." Mereka berbisik dan jatuh pingsan saking kaget dan takutnya.
Tentu saja mereka sangat ketakutan karena mereka sudah melawan pemimpin besar Thian-li-pang! Apa lagi mereka juga segera menyadari bahwa mereka sudah melakukan penyelewengan besar dari garis-garis yang ditentukan pemimpin besar ini, menyadari bahwa Thian-li-pang telah berubah semenjak ketua Lauw Kang Hui tewas dan pimpinan dipegang oleh Ouw Seng Bu.
Yo Han tidak peduli dan melanjutkan minum seorang diri. Dia harus meluruskan kembali Thian-li-pang seperti pesan mendiang suhu-nya, yaitu kakek Ciu Lam Hok. Dia sengaja merobohkan para anggota Thian-li-pang dan menumpuk tubuh mereka di sudut ruangan kedai itu untuk memancing kedatangan para pimpinan Thian-li-pang ke situ, terutama sekali Lauw Kang Hui.
Dia tidak langsung datang ke Thian-li-pang karena maklum betapa besar bahayanya kalau dia melakukan itu. Kalau benar para pemimpin Thian-li-pang sudah menyeleweng dan dia dimusuhi, maka mendatangi pusat Thian-li-pang sama saja dengan menghadapi bahaya besar.
Thian-li-pang mempunyai anggota yang rata-rata kuat, juga para pemimpinnya lihai, di samping tempat itu pun berbahaya dan penuh rahasia. Ia harus dapat memancing para pemimpinya keluar dan datang ke rumah makan ini, agar lebih leluasa dia turun tangan menghajar mereka dan memaksa mereka untuk kembali ke jalan yang benar seperti dikehendaki mendiang Ciu Lam Hok gurunya.
Sementara itu, anggota Thian-li-pang yang ketakutan dan lari pulang, membuat para anggota lainnya menjadi gempar. Mereka tidak berani menganggap persoalan itu kecil lagi, apa lagi ketika rekan mereka menceritakan betapa empat kawannya roboh dengan mudah sekali oleh si caping lebar yang aneh. Mereka lalu berangkat untuk melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.
Ketika itu, ketua Thian-li-pang yang baru, Ouw Seng Bu, sedang menjamu dua orang tamu yang dihormatinya, yaitu Cu Kim Giok dan Siangkoan Kok. Seperti diceritakan di bagian depan, Cu Kim Giok tertarik kepada Ouw Seng Bu dan menganggap pemuda itu seorang ketua perkumpulan besar Thian-li-pang yang amat tampan, gagah perkasa dan berjiwa patriot, membuat ia merasa tunduk dan kagum bukan main.
Ada pun Siangkoan Kok, bekas ketua Pao-beng-pai, juga dapat ditundukkan Ouw Seng Bu dengan ilmunya yang luar biasa sehingga kini Siankoan Kok yang perkumpulannya sudah hancur itu mau menggabungkan diri untuk menentang pemerintah dan mencari kedudukan yang tinggi.
Demikian besar rasa kagum Cu Kim Giok kepada Ouw Seng Bu sehingga dia tidak berkeberatan untuk makan bersama dua orang tosu wakil Pek-lian-kauw dan dua orang tosu wakil Pat-kwa-pai yang datang sebagai tamu Thian-li-pang. Padahal, sejak kecil ia telah mendengar dari ayah ibunya bahwa Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang banyak melakukan kejahatan, walau pun perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah Mancu. Alasan yang dikemukakan Ouw Seng Bu bahwa untuk menentang penjajah, semua kekuatan harus bersatu, tanpa membeda-bedakan antar golongan putih atau hitam, dapat ia terima bahkan membenarkannya.
Demikianlah, pada saat itu, Ouw Seng Bu, sedang makan minum semeja dengan Cu Kim Giok, Siangkoan Kok, dan empat orang tosu, yaitu dua tokoh Pat-kwa-pai dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw.
Wakil Pat-kwa-pai yang tubuhnya tinggi kurus bernama Im Yang Ji, murid kepala ketua Pat-kwa-pai yang lihai, yang datang bersama bersama adik seperguruannya. Ada pun wakil dari Pek-lian-kauw adalah Kui Thiancu yang sudah kita kenal ketika dia mewakili Pek-lian-kauw dan hadir dalam pesta yang diadakan Siangkoan Kok saat masih menjadi ketua Pao-beng-pai, yang datang bersama seorang adik seperguruannya pula.
Ouw Seng Bu yang merasa bergembira sekali sudah mendapat dua sekutu yang boleh dibanggakan, Siangkoan Kok yang selain amat lihai juga dapat diharapkan menghimpun banyak orang untuk menjadi anak buah mereka, dan Cu Kim Giok. Gadis puteri majikan Lembah Naga Siluman ini tentu saja merupakan seorang sekutu yang sangat besar artinya, karena tentu akan dapat menjadi jembatan agar para tokoh kang-ouw lainnya suka bergabung dengan Thian-li-pang.
Selain itu, semenjak pertemuan yang pertama kalinya, hati Ouw Seng Bu sudah terjerat. Dia tahu bahwa dia jatuh cinta kepada gadis yang bermata indah dan amat manis itu.
"Mari kita minum untuk persatuan di antara kita yang kokoh kuat untuk menumbangkan penjajah dan mengusir mereka dari tanah air tercinta!" dengan penuh semangat Ouw Seng Bu berkata.
Enam orang lainnya yang duduk semeja itu menyambut dengan penuh semangat pula. Bahkan Cu Kim Giok merasa bangga karena ia merasa yakin bahwa ayah ibunya tentu akan merasa bangga pula melihat puteri mereka kini bersekutu dengan para pejuang yang hendak menumbangkan pemerintah penjajah Mancu!
Baru saja mereka mengosongkan cawan, seorang anggota Thian-li-pang dengan sangat tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu. Dia adalah kepala jaga, dan biar pun dalam hal tingkatan, orang ini masih adik seperguruan Ouw Seng Bu, yaitu murid mendiang Lauw Kang Hui, akan tetapi karena kini Ouw Seng Bu telah menjadi ketua dan orang itu bukan lain hanya seorang anak buah, ketua Thian-li-pang yang masih muda itu mengerutkan alisnya dan merasa terganggu.
"Hemmm, ada urusan apa hingga engkau berani datang mengganggu kami?" bentaknya dengan sikap berwibawa.
"Harap maafkan kelancangan saya, Pangcu. Akan tetapi saya hendak melapor bahwa ada seseorang yang telah merobohkan dan menawan enam orang anggota kita di kedai arak di dusun bawah sana."
Kerut di antara mata Seng Bu semakin mendalam dan matanya mencorong marah. "Hemmm, muncul seorang pengacau saja kalian tidak mampu membereskannya sendiri dan masih melapor kepada kami?"
"Maaf, Pangcu. Mula-mula, dua orang anggota kita bersama seorang teman anggota Pat-kwa-pai dan seorang anggota Pek-lian-kauw minum di kedai itu, bertemu dengan si pengacau yang merobohkan dua orang anggota kita, akan tetapi hanya melukai dua orang tosu sahabat dan membiarkan mereka pergi. Dua orang anggota Thian-li-pang itu ditawannya di kedai. Kemudian, lima orang saudara tua kami turun lereng, bermaksud untuk memberi hajaran. Akan tetapi, empat orang di antara mereka roboh dan ditawan. Seorang dapat melarikan diri melapor dan menurut laporannya, empat orang saudara tua itu dalam segebrakan saja roboh oleh pengacau yang bercaping lebar itu."
"Hemmm...!" Ouw Seng Bu diam-diam terkejut.
Yang disebut saudara tua adalah para anggota yang tingkatnya sejajar dengan dirinya, yaitu murid atau murid keponakan dari mendiang Lauw Kang Hui. Kalau empat orang di antara mereka roboh dengan mudah oleh pengacau itu, dapat dibayangkan alangkah lihainya orang itu.
"Ahhh, siapa berani melukai anggota Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?" seru Im Yang Ji, tokoh Pat-kwa-pai dengan marah. Dia sudah mulai mabuk, maka hatinya mudah sekali panas mendengar bahwa seorang anak buahnya sudah dilukai orang. "Toyu, kita harus menghajar orang itu!" katanya kepada dua orang tosu Pek-lian-kauw.
Kui Thiancu mengangguk dan bangkit berdiri, memberi hormat kepada Seng Bu sambil berkata, "Pangcu, biarlah kami berempat yang menghajar orang itu dan menyeretnya ke sini agar Pangcu dapat menghukumnya. Pangcu tak perlu marah-marah dan terganggu makan minum. Sebaiknya, Pangcu, Nona dan Siangkoan Locianpwe tetap melanjutkan makan minum. Kami berempat akan segera kembali sambil menyeret si pengacau itu."
Ouw Seng Bu mengangguk dan bangkit berdiri membalas penghormatan empat orang tosu itu.
"Kalau Cuwi hendak menghajar si pengacau yang telah melukai anggota Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, silakan dan harap jangan membunuhnya karena saya ingin melihatnya dan menanyainya mengapa dia berani memusuhi kita."
Empat orang tosu itu mengangguk dan ke luar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Setelah mereka pergi, Ouw Seng Bu menoleh kepada Cu Kim Giok sambil tersenyum.
"Aihh, ada-ada saja. Sayang sekali masih terdapat orang-orang yang tidak menghargai perjuangan kita sehingga mereka itu bukan membantu kita, bahkan memusuhi kita dan lebih rela menjadi antek penjajah Mancu. Siapa yang tidak akan merasa menyesal kalau orang-orang pandai yang termasuk golongan para pendekar, seperti Sin-ciang Taihiap Yo Han itu, membiarkan dirinya menjadi anjing penjilat dan antek penjajah Mancu."
"Sangat menyakitkan hati memang!" kata Siangkoan Kok sambil menuangkan arak dari cawan ke dalam mulutnya. "Bahkan para pendekar dari keluarga pendekar terbesar di dunia persilatan, rela mengekor kepada penjajah Mancu. Harap maafkan aku, nona Cu. Selama ini aku pun belum pernah mendengar keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman menjadi antek Mancu, meski hubungan keluargamu dekat sekali dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Dua keluarga pendekar itulah yang sejak dulu membantu penjajah Mancu, sungguh mengecewakan sekali. Apakah mereka tak pernah tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa liar yang menjajah tanah air dan bangsa kita? Kita berjuang untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah, namun mereka tidak membantu kita dan malah memusuhi kita!"
Wajah Kim Giok berubah menjadi agak kemerahan. Selain pengaruh arak, juga hatinya tersentuh. Ia telah jatuh cinta kepada Ouw Seng Bu dan merasa yakin akan kebenaran pemuda itu, akan kemurnian perjuangan melawan penjajah.
Dia pun tahu bahwa di antara keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, memang terdapat hubungan yang akrab dengan kerajaan Mancu, bahkan ada pertalian hubungan darah. Walau pun ayah ibunya tidak pernah memusuhi kerajaan Mancu secara berterang, akan tetapi juga mereka tidak pernah menjadi pembantu langsung atau pejabat. Akan tetapi, harus diakui bahwa keluarga orang tuanya sangat dekat dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir.
Sekarang pandangannya terhadap Siangkoan Kok juga berubah. Kakek tua ini adalah seorang pejuang sejati, pikirnya, seperti juga Seng Bu, meski kakek ini berwatak keras dan aneh, tidak seperti Seng Bu yang halus dan tampan.
"Meski keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir tidak memusuhi kita secara terang-terangan, akan tetapi mereka tidak mau bersatu dengan kita untuk menghancurkan penjajah. Kita harap saja nona Cu akan dapat membujuk mereka dan membuka mata mereka betapa pentingnya perjuangan menentang penjajah. Yang kukhawatirkan hanyalah satu orang saja, yaitu Sin-ciang Taihiap..."
"Hemmm, orang itu memang amat berbahaya dan dia pun telah menjadi antek penjajah. Bahkan dia bergaul akrab sekali dengan seorang pangeran Mancu, yaitu Pangeran Cia Sun," kata Siangkoan Kok.
Dengan singkat Siangkoan Kok lalu menceritakan betapa Yo Han beserta Pangeran Cia Sun pernah menyelundup ke dalam perkumpulannya, Pao-beng-pai sehingga berakibat perkumpulannya itu dihancurkan pasukan pemerintah.
"Sudah jelas bahwa pasukan itu dibawa datang oleh Yo Han dan Cia Sun yang bekerja sebagai mata-mata," kata Siangkoan Kok mengakhiri ceritanya.
"Yo Han memang harus dibasmi. Dia pun merupakan ancaman bagi Thian-li-pang pula, karena dulu dia pernah diangkat oleh mendiang suhu Lauw Kang Hui sebagai pemimpin Thian-li-pang. Sewaktu-waktu dia bisa muncul di sini, dan kemudian menggunakan hak kekuasaannya untuk mengubah Thian-li-pang dari suatu perkumpulan pejuang menjadi perkumpulan pengekor kerajaan Mancu," kata Seng Bu penasaran.
"Biarkan saja dia datang, kita akan sambut dia dengan pedang. Aku akan membantumu menundukkannya, Pangcu," berkata Siangkoan Kok yang masih merasa sakit hati kalau teringat kepada Yo Han dan Cia Sun yang dianggapnya menjadi penyebab kehancuran Pao-beng-pai.
"Akan tetapi, dia lihai bukan main, paman Siangkoan," kata Seng Bu, "Sebaiknya kalau kita menggunakan siasat untuk menundukkannya, dan kuharap Paman dan juga nona Cu suka membantuku untuk menundukkannya kalau dia berani datang di sini."
"Tentu saja aku akan membantumu, Pangcu," kata Kim Giok tanpa ragu lagi.
Sin-ciang Taihiap adalah seorang yang jahat, pikirnya, telah mengkhianati Thian-li-pang, juga membunuh ketua Thian-li-pang, bahkan dia bergaul dengan Pangeran Cia Sun dari kerajaan Mancu. Yo Han sudah membunuh banyak tokoh Thian-li-pang dan orang yang sejahat itu memang harus ditentang.
"Kalau perlu, kita minta bantuan tenaga ketua Pek-lian-kauw dan ketua Pat-kwa-pai," kata Siangkoan Kok yang diam-diam juga merasa jeri terhadap Sin-ciang Taihiap.
"Memang aku sudah mempunyai rencana, dan sudah mengirim surat kepada mereka," kata Seng Bu.
Mereka kemudian melanjutkan makan minum dan merasa yakin bahwa dua orang tosu Pek-lian-kauw bersama dua orang tosu Pat-kwa-pai tadi akan mampu membereskan kerusuhan dan menyeret pengacaunya ke markas Thian-li-pang…..
********
Empat orang tosu itu memasuki rumah makan dengan hati-hati, dan di belakang mereka nampak dua belas orang anggota Thian-li-pang tingkat tertinggi, siap dengan pedang di tangan. Pada waktu mereka memasuki pintu depan rumah makan itu, Kui Thiancu tokoh Pek-lian-kauw yang memimpin rombongan, memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk berhenti.
Tadi dia sudah merundingkan dengan Im Yang Ji serta dua orang tosu lainnya untuk mempermainkan pengacau yang berada di rumah makan itu dengan mempergunakan kekuatan sihir. Sekarang mereka berempat mengerahkan kekuatan sihir, menyatukan kekuatan mereka.
Mulut mereka berkemak-kemik membaca mantera, dan mata mereka memandang ke arah caping yang menutupi kepala dan muka Yo Han, kemudian mereka menudingkan telunjuk kanan ke arah caping itu. Kui Thiancu yang ditunjuk menjadi juru bicara mereka berempat, segera berkata dengan suara bergema dan mengandung kekuatan sihir.
"Caping yang berada di atas kepala pengacau, terbanglah ke sini!"
Para anggota Thian-li-pang yang bergerombol di luar pintu rumah makan itu terbelalak heran dan kagum. Mereka melihat betapa caping yang menutupi kepala orang yang duduk membelakangi mereka di sudut itu tiba-tiba saja terbang melayang ke atas dan meninggalkan kepala itu.
Empat orang tosu itu sudah siap untuk mentertawakan Yo Han. Tetapi wajah mereka yang tadinya menyeringai itu seketika berubah ketika caping yang melayang ke atas itu kini menyambar ke arah mereka seperti peluru yang berputar-putar mengeluarkan suara berdesing! Tentu saja mereka terkejut bukan main dan mereka cepat mengelak.
Caping itu bagaikan berubah menjadi seekor burung elang yang menyambar-nyambar kepala mereka sehingga mereka sibuk berloncatan ke sana-sini. Akhirnya, setelah gagal memperoleh korban, caping itu melayang kembali ke arah kepala pemiliknya, kemudian hinggap di atas kepala seperti burung terbang kembali ke sarangnya!
Sekarang empat orang tosu itu saling pandang. Mereka maklum bahwa pemilik caping itu sudah mempermainkan mereka dan bahwa kekuatan sihir mereka tadi sama sekali tidak berhasil!
Kui Thiancu melihat betapa ruangan itu terlalu sempit dan banyak terhalang meja serta bangku sehingga kawan-kawannya takkan dapat leluasa untuk mengeroyok lawan yang agaknya amat lihai ini. Karena itu dia segera membentak, "Orang bercaping sombong! Engkau berani melukai para anggota Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw. Jika engkau memang berkepandaian dan bukan seorang pengecut, keluarlah dan mari kita mengadu kepandaian di luar yang luas! Jika engkau tidak mau keluar, maka kami akan membakar rumah ini!"
Setelah berkata demikian, Kui Thiancu memberi isyarat dan bersama teman-temannya, dia pun melangkah keluar dan menanti di luar rumah makan.
Mendengar ucapan yang bernada mengancam itu, pemilik kedai dan puterinya menjadi ketakutan. Mereka nekat keluar dari persembunyian mereka, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han.
"Taihiap... tolonglah... harap Taihiap keluar dari sini dan berkelahi diluar saja... jangan sampai rumah kami dibakar...!"
Juga enam orang anggota Thian-li-pang yang masih meringkuk di sudut ruangan itu dan tetap tidak berani bergerak, menjadi pucat ketakutan. Mereka sejak tadi takut pergi dari situ, takut kalau dirobohkan kembali oleh si caping lebar yang amat lihai itu. Akan tetapi sekarang ada ancaman dari tosu tadi, kalau mereka diam saja di situ, tentu mereka akan ikut terbakar!
Yo Han tentu saja tidak ingin merugikan si pemilik rumah makan. Tanpa menjawab dia pun menyambar buntalan pakaiannya, menggendong buntalan itu, lantas mengeluarkan sepotong emas dan melemparkannya ke atas meja.
"Ini untuk menggantikan semua kerugianmu, Paman," katanya sambil melangkah keluar perlahan-lahan.
Tentu saja ayah dan anak itu terkejut dan gembira bukan main. Pemberian itu puluhan kali lebih banyak dari pada kerugian yang mereka derita.
Sementara itu, pada waktu si caping lebar melangkah lambat-lambat keluar dari rumah makan, empat orang tosu serta selosin anggota Thian-li-pang memandang dengan hati tegang. Yo Han melangkah dengan muka ditundukkan sehingga mereka masih belum bisa melihat wajahnya. Setelah sampai di depan empat orang tosu itu, Yo Han berhenti melangkah.
"Heiii, orang asing!" bentak Kui Thiancu marah. "Siapa engkau dan apa pula sebabnya engkau melukai para anggota Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?"
Tanpa mengangkat mukanya yang menunduk dan tertutup caping, Yo Han menjawab, suaranya terdengar sangat dingin, "Sejak dahulu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw adalah penjahat-penjahat yang berkedok perjuangan, tidak aneh kalau hari ini mereka kembali melakukan kejahatan. Akan tetapi, Thian-li-pang adalah perkumpulan pejuang-pejuang sejati, sekarang anak buahnya menyeleweng, patut disesalkan dan dibuat penasaran!"
"Keparat, enak saja engkau membuka mulut! Perlihatkan mukamu, atau engkau begitu pengecut untuk memperkenalkan diri?"
"Kui Thiancu, aku bukanlah orang asing bagimu," kata Yo Han dan kini dia mengangkat mukanya sehingga sekilas nampak wajahnya, akan tetapi dia sudah menunduk kembali. Mereka yang sudah mengenalnya terkejut, termasuk Kui Thiancu.
"Ahhh, kiranya Sin-ciang Taihiap? Semenjak kapan engkau memusuhi Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?"
"Kui Thiancu, aku tak memusuhi siapa pun, akan tetapi akan menghajar siapa saja yang berbuat jahat. Anak buah Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai melakukan kejahatan bersama anak buah Thian-li-pang yang menyeleweng, maka aku menghajar mereka. Pergilah dan jangan mencampuri urusanku dengan Thian-li-pang, ini merupakan urusan dalam Thian-li-pang sendiri."
Akan tetapi Kui Thiancu sudah marah sekali, apa lagi memang dia tahu bahwa ketua Thian-li-pang, sekutunya, harus membunuh orang ini yang merupakan ancaman bagi perkumpulan itu.
"Serang dan bunuh dia!" bentaknya.
Ia pun telah menggerakkan pedangnya, diikuti Im Yang Ji dan dua tosu lain yang sudah mencabut pedang. Kini Yo Han dikeroyok empat orang tosu! Yo Han bergerak cepat, tubuhnya berkelebat dan menyelinap di antara gulungan sinar empat batang pedang itu.
Sementara itu, selosin anak buah Thian-li-pang tadi terkejut bukan main ketika melihat wajah Yo Han. Akan tetapi, mereka semua telah menjadi anak buah Ouw Seng Bu dan mereka sudah ikut melakukan penyelewengan, maka tentu saja kini mereka pun tidak menghendaki Yo Han yang berkuasa di Thian-li-pang, oleh karena hal itu akan berarti hilangnya semua kesenangan yang selama ini mereka peroleh sejak Seng Bu menjadi ketua. Maka, mereka pun serentak ikut mengeroyok!
Seorang di antara mereka diam-diam sudah berlari naik ke lereng bukit untuk melapor kepada ketuanya. Ketika dia tiba di pusat Thian-li-pang, Ouw Seng Bu yang menjamu Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok, baru saja selesai makan minum.
"Celaka, Pangcu. Sin-ciang Taihiap Yo Han telah muncul. Dialah orang yang mengacau tadi!" anggota itu melapor dengan suara gemetar.
Mendengar ini, Ouw Seng Bu meloncat bangkit. Dia nampak gugup. Akan tetapi, melihat Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok di situ, dia menenangkan diri.
"Di mana dia sekarang?"
"Dia kini berada di luar rumah makan, dikeroyok oleh keempat orang tosu dan sebelas orang anggota kita, Pangcu. Saya lari pulang untuk melapor kepada Pangcu."
Ouw Seng Bu yang amat cerdik itu bertindak cepat sekali.
"Paman Siangkoan Kok, harap Paman tidak memperlihatkan diri kepada Yo Han dan bersembunyi di dalam kamar Paman. Nona Cu, harap engkau juga beristirahat di dalam kamar sampai nanti aku memberi tahukan segalanya kepadamu. Aku akan menghadapi Yo Han dan menerimanya dengan baik-baik untuk mencegah jatuhnya banyak korban."
Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok mengangguk. Mereka pergi ke kamar masing-masing yang sudah diberikan kepada mereka sejak mereka tiba di situ.
Ouw Seng Bu segera mengumpulkan anak buahnya dan dengan tegas memesan agar mereka semua memperlihatkan sikap lunak dan takluk terhadap Yo Han, dan bersikap seperti dulu agar tidak menimbulkan kecurigaan di dalam hati Pendekar Tangan Sakti. Kemudian, dia menuju ke kamar Cu Kim Giok dan mengetuk daun pintunya.
Setelah Cu Kim Giok muncul, Ouw Seng Bu pun berkata, "Nona Cu, sekarang saatnya engkau bisa membantuku. Aku ingin menaklukkan Yo Han tanpa mendatangkan banyak korban, karena itu aku akan berpura-pura tidak tahu bahwa dia yang sudah menyebar pembunuhan di sini. Engkau bersikaplah sebagai seorang tamuku, seorang sahabat baikku..."
"Tapi, apa manfaatnya kehadiranku..."
"Banyak sekali, Nona. Engkau akan menimbulkan kepercayaan di hatinya bahwa kita tak mempunyai maksud tertentu terhadap dirinya. Bila melihat engkau sebagai tamuku, pasti dia akan percaya kepadaku. Marilah, Nona, aku... sungguh aku membutuhkan pertolonganmu. Ataukah... engkau begitu tega tidak mau membantuku?"
Ouw Seng Bu sudah dapat melihat selama dia bergaul dengan Kim Giok bahwa gadis itu pun membalas perasaan hatinya, bahwa gadis itu pun jatuh cinta kepadanya, maka dia mempergunakan sikap lunak dan menarik rasa iba gadis itu. Dia berhasil, karena Cu Kim Giok mengangguk.
"Baiklah, Pangcu. Aku akan membantumu."
"Engkau tidak perlu bicara atau berbuat apa pun, hanya mengaku saja bahwa engkau menjadi sahabatku. Nah, aku tidak ingin menyuruhmu berbuat jahat atau berbohong bukan?"
Mereka berdua segera berlari cepat menuruni lereng bukit dan ketika mereka memasuki dusun dan tiba di depan kedai arak, mereka berdua tertegun. Apa yang telah terjadi?
Yo Han dikeroyok oleh empat orang tosu lihai dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, juga oleh sebelas orang murid Thian-li-pang dari tingkat atas. Para pengeroyok itu semuanya menggunakan pedang, sedangkan Yo Han bertangan kosong!
Akan tetapi, tubuhnya yang dapat dibuat ringan seperti bayangan itu berkelebatan di atas belasan batang pedang dan setiap kali terbuka kesempatan, begitu tangan atau kakinya bergerak menyambar, tentu salah seorang pengeroyok dapat dirobohkan! Dia mengenal gerakan silat orang-orang Thian-li-pang, mengenal cakar beracun mereka, maka dengan mudah dia dapat mengenal bagian lemah mereka sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, seorang anggota Thian-li-pang terjungkal.
Yo Han tidak mau membunuh mereka, hanya merobohkan dan membuat mereka tak mampu bangkit kembali karena patah tulang atau menotok mereka sehingga tak mampu bergerak kembali. Akhirnya, sebelas orang Thian-li-pang itu pun roboh tak dapat bangkit kembali dan tinggal dua orang tosu Pek-lian-kauw dan dua orang tosu Pat-kwa-pai saja yang masih terus mengeroyoknya dengan serangan membabi buta karena sejak tadi serangan pedang mereka tidak pernah mengenai tubuh pemuda itu.
"Orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, kalian pergilah. Aku tak ingin bermusuhan dengan kalian dan jangan mencampuri urusan kami orang-orang Thian-li-pang!" dua kali Yo Han menegur dan menyuruh mereka pergi.
Ketika empat orang itu terus mengamuk tanpa mempedulikan kata-katanya, Yo Han menjadi marah. "Kalian ini orang-orang bandel yang pantas menerima hajaran!"
Dia pun bergerak cepat, menggunakan ilmu silat Bu-kek Hoat-keng. Segera timbul angin berpusing yang cepat sekali, membuat empat orang tosu itu ikut terputar dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, pedang mereka beterbangan lepas dari tangan. Mereka pun seperti dilontarkan oleh tenaga yang sangat kuat, terlempar dan terbanting sampai beberapa meter jauhnya! Agaknya Si Tangan Sakti itu memang tidak ingin membunuh mereka sehingga mereka hanya terbanting keras tanpa menderita luka parah.
Pada saat mereka terbanting itulah, Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok menuruni lereng. Ouw Seng Bu mengenal gerakan Yo Han itu. Dia pun merasa sanggup bergerak hingga menimbulkan angin berpusing seperti itu seperti yang pernah dia pelajari dalam sumur!
Ketika melihat Seng Bu, empat orang tosu seperti mendapat hati. Mereka dengan muka meringis kesakitan karena pinggul mereka tadi terbanting keras, bangkit menyongsong kedatangan Seng Bu.
"Pangcu...," kata mereka, akan tetapi Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat.
"Harap Totiang berempat suka memaafkan kami dan meninggalkan tempat ini. Biarkan kami menyelesaikan urusan dalam Thian-li-pang."
Empat orang tosu itu merasa heran, akan tetapi karena mereka sudah maklum bahwa ketua baru itu tentu akan menggunakan siasat. Mereka pun memberi hormat dan pergi dari tempat itu tanpa banyak cakap lagi.
Kini Seng Bu berdiri berhadapan dengan Yo Han dan keduanya saling pandang.
"Kiranya Sin-ciang Taihiap yang datang! Harap maafkan siauwte bersama para anggota Thian-li-pang yang tidak tahu akan kedatangan Taihiap dan tidak sempat menyambut seperti mestinya." Dia memberi hormat.
Yo Han mengerutkan alis, memandang penuh selidik. Dia tadi mendengar Kui Thiancu menyebut ‘pangcu’ kepada pemuda tampan ini! Dengan sikap tenang namun suaranya tegas dan menyelidik, Yo Han berkata,
"Wajahmu tidak asing bagiku. Bukankah engkau seorang di antara para murid suheng Lauw Kang Hui? Mengapa tosu tadi menyebutmu sebagai pangcu? Di mana suheng Lauw Kang Hui dan apa yang terjadi dengan Thian-li-pang? Mengapa Thian-li-pang kini bersahabat dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan mengapa pula ada murid Thian-li-pang yang dapat melakukan kejahatan di dusun ini?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, Seng Bu merasa laksana dihujani serangan yang berbahaya. Dia memberi hormat lagi.
"Taihiap, banyak sekali hal-hal yang amat hebat telah terjadi di tempat kita. Suhu... suhu telah... mati dibunuh orang... dan aku terpaksa untuk sementara mewakili dan diangkat menjadi pangcu karena tidak ada orang lain lagi yang dapat memegang kedudukan itu sebagai pemimpin sementara. Suhu Lauw Kang Hui dibunuh orang, demikian pula suci Lauw Sek, suheng Lauw Kin, susiok Su Kian dan susiok Thio Cu. Semua tewas dibunuh orang..."
"Ahhh?!" Yo Han benar-benar merasa terkejut. "Siapakah yang membunuh mereka?"
"Panjang ceritanya, Taihiap. Marilah kita naik dulu ke tempat kita dan di sana nanti aku menceritakan semuanya. Banyak sekali rahasia tersembunyi di balik semua peristiwa yang mengerikan itu, Taihiap."
Yo Han masih mengerutkan alisnya, akan tetapi dia mengangguk. Ketika mereka mulai mendaki bukit dan melihat gadis manis yang datang bersama Ouw Seng Bu ikut pula mendaki, dia berhenti dan bertanya.
"Nanti dulu, siapakah Nona ini?"
"Taihiap, Nona ini adalah nona Cu Kim Giok. Dia seorang sahabat baikku dan sekarang menjadi tamu terhormat di Thian-li-pang. Dia bukan gadis sembarangan, Taihiap. Aku yakin Taihiap pernah mendengar tentang keluarga majikan Lembah Naga Siluman, yaitu keluarga Cu. Nah, Nona ini adalah puteri dari pendekar besar Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman."
"Ahhh, kiranya Nona dari keluarga yang terkenal itu," berkata Yo Han sambil memberi hormat.
Kim Giok cepat membalas penghormatan itu.
"Harap Yo Taihiap tidak bersikap merendah. Sudah lama aku mendengar tentang nama besar Taihiap. Sayang dalam pertemuan tiga keluarga besar di rumah Paman Suma Ceng Liong di Hong-cun, Taihiap tidak ikut hadir."
Yo Han tersenyum. Ia sejenak memandang gadis itu penuh selidik. "Jadi engkau adalah sahabat baik dari... ehhh, ketua Thian-li-pang ini?"
"Benar, dan baru beberapa hari aku menjadi tamu dari Thian-li-pang."
"Taihiap agaknya sudah lupa kepadaku. Aku murid termuda dari mendiang suhu Lauw Kang Hui, namaku Ouw Seng Bu," ketua itu memperkenalkan diri.
Yo Han mengangguk-angguk. "Ya, aku sekarang teringat. Jadi semua murid tertua dari suheng Lauw Kang Hui telah dibunuh orang?"
Diam-diam Cu Kim Giok mengerling dan mengamati wajah pendekar itu. Menurut cerita yang didengarnya dari Seng Bu, orang inilah yang membunuh Lauw Kang Hui dan para muridnya. Apakah sekarang dia sedang berpura-pura? Ataukah ada rahasia lain di balik pembunuhan itu dan pembunuhnya bukan Sin-ciang Taihiap melainkan orang lain lagi? Sukar diduga apa yang terkandung dalam hati pemilik wajah tampan dengan sinar mata tajam mencorong itu.
"Taihiap, nanti saja akan kuceritakan semua setelah kita tiba di rumah," kata Seng Bu.
Yo Han mengangguk. Mereka lalu mendaki lereng bukit dan ketika mereka tiba di pintu gerbang perkampungan Thian-li-pang, dengan sikap meriah dan gembira para murid Thian-li-pang segera menyambut mereka.
"Sin-ciang Taihiap datang! Sin-ciang Taihiap sudah datang!" demikian mereka berteriak dan bersorak sambil memberi hormat.
Yo Han menerima sambutan itu dengan senyum, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran bukan main. Betapa jauh bedanya antara sikap para anggota Thian-li-pang yang berada di perkampungan ini dengan mereka yang tadi berada di dusun! Seolah-olah tak wajar lagi!
Setelah mereka memasuki ruangan dalam, Seng Bu lalu berkata kepada Cu Kim Giok, "Nona Cu, maafkan saya, harap Nona suka beristirahat dan meninggalkan kami berdua untuk membicarakan soal perkumpulan kami."
Cu Kim Giok mengangguk dan meninggalkan ruangan itu. Seng Bu lalu menutup pintu ruangan itu, kemudian dia pun mempersilakan Yo Han untuk duduk.
Yo Han duduk dan menghela napas panjang. "Nah, sekarang ceritakanlah semua. Apa yang telah terjadi di sini? Ceritakan semua dengan jelas."
Tiba-tiba Ouw Seng Bu menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han sambil menangis! Yo Han mengerutkan alisnya dan menegur dengan tegas.
"Ouw Seng Bu, sikapmu ini sungguh memalukan sekali! Engkau telah ditunjuk sebagai ketua, akan tetapi anak buah Thian-li-pang menyeleweng, Thian-li-pang mengadakan persekutuan dengan partai-partai sesat seperti Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, bahkan sekarang engkau menangis seperti anak kecil atau seperti wanita lemah yang cengeng. Engkau tidak patut menjadi ketua Thian-li-pang!"
"Yo Taihiap, harap maafkan dan kasihanilah saya! Saya terpaksa menjadi ketua karena tidak ada orang lainnya lagi. Hanya sayalah satu-satunya murid mendiang suhu yang dianggap paling kuat. Akan tetapi, setelah suhu beserta para susiok dan suheng tewas, saya menjadi bingung dan tidak mampu lagi mengendalikan semua murid, tidak dapat mencegah kalau ada yang melakukan penyelewengan. Mereka semua condong untuk memberontak dan saya tak berdaya menghadapi mereka. Juga saya tak berani menolak ketika Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw melakukan pendekatan, takut kalau-kalau mereka akan memusuhi kami. Sekarang Taihiap telah pulang, maka saya menyerahkan kepada Taihiap untuk mengatur kembali perkumpulan kita ini."
"Sudahlah, duduklah dan sekarang ceritakan apa yang terjadi dan bagaimana suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain sampai dibunuh orang, dan siapa pembunuh mereka itu."
Seng Bu duduk dan menghapus air matanya.
"Peristiwa yang terjadi itu amat mengerikan dan penuh rahasia, Yo Taihiap. Kami hanya melihat ada bayangan hitam yang menangkap mereka seorang demi seorang kemudian membawa mereka masuk ke dalam sumur tua itu. Dan setelah mereka dibawa masuk ke dalam sumur, sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya lagi sehingga kami semua menganggap bahwa mereka tentu telah tewas terbunuh."
"Hemmm, siapakah bayangan hitam itu?" Yo Han bertanya, alisnya berkerut, penasaran sekali.
"Itulah yang membuat kami semua penasaran, Taihiap. Tak ada yang dapat melihatnya, hanya melihat bayangan hitam seperti setan, menangkap mereka dan membawa loncat ke dalam sumur. Tentu saja peristiwa itu membuat semua anggota menjadi panik dan ketakutan. Karena itu, untuk meredakan kepanikan mereka, maka terpaksa saya untuk sementara menggantikan kedudukan suhu dan memimpin mereka."
"Akan tetapi, mengapa kalian tidak memasuki sumur itu untuk menyelidiki apa yang terjadi di sana? Siapa tahu suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain belum tewas?"
Seng Bu kelihatan terkejut dan ketakutan. "Maafkan kami, Yo Taihiap. Tentu saja kami juga berpikir demikian, mengharapkan mereka belum tewas dan sewaktu-waktu akan muncul keluar. Akan tetapi, untuk menyelidikinya, untuk memasuki sumur tua itu, siapa yang berani?"
"Tidak berani? Aihh, tak kusangka orang-orang Thian-li-pang berubah menjadi penakut dan pengecut!" Lalu Yo Han melanjutkan sambil menatap tajam wajah Seng Bu, "Dan engkau sendiri, yang sudah menerima menjadi ketua, mengapa engkau tidak memasuki sumur itu untuk menyelidikinya?"
Seng Bu menundukkan mukanya. "Maafkan kami semua, Yo Taihiap. Sebetulnya kami ingin sekali, akan tetapi kami takut. Kalau suhu dan para susiok, suci dan suheng sendiri tak berdaya dibawa masuk ke sumur oleh bayangan hitam itu, lalu bagaimana mungkin kami akan bisa menandinginya? Memasuki sumur berarti mati konyol, dan kami semua, tidak berani."
Yo Han menghela napas panjang, teringat akan mendiang kakek Ciu Lam Hok. Gurunya itu adalah seorang yang gagah perkasa, bahkan dua orang paman gurunya, mendiang Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, biar pun keduanya sudah menyeleweng dari jalan kebenaran, tetap saja mereka berdua adalah orang-orang yang gagah perkasa. Begitu pula murid mereka, Lauw Kang Hui, memiliki keberanian dan kegagahan.
Akan tetapi bagaimana sekarang para murid Thian-li-pang menjadi begitu penakut dan pengecut? Sedangkan gurunya pernah berpesan agar dia mengawasi Thian-li-pang dan berusaha mengusahakan agar Thian-li-pang pulih kembali menjadi perkumpulan besar yang berjiwa pahlawan pembela nusa bangsa.
"Sudah berapa lamakah peristiwa hilangnya suheng Lauw Kang Hui ke dalam sumur tua itu terjadi?"
"Sudah kurang lebih tiga bulan, Yo Taihiap."
Yo Han merasa penasaran dan khawatir. Kalau sampai tiga bulan mereka tidak keluar dari dalam sumur tua itu, kecil sekali harapannya mereka masih hidup. Akan tetapi, mati atau hidup mereka itu, dia harus mengetahui dengan pasti.
"Baiklah, kalau begitu biar aku sendiri yang akan memasuki sumur itu dan melakukan penyelidikan," Yo Han berkata.
Ouw Seng Bu memandang dengan mata terbelalak. "Akan tetapi, Taihiap. Itu berbahaya sekali!"
Yo Han tersenyum, "Seorang gagah tidak gentar menempuh bahaya, asal itu dilakukan demi kebaikan. Lupakah engkau akan pelajaran kegagahan dari Thian-li-pang?"
"Be... benar, Taihiap. Akan tetapi... sumur tua itu penuh rahasia dan menyeramkan, tentu banyak iblis yang menjadi penghuninya di sana sehingga tak seorang pun berani memasukinya. Saya takut kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Taihiap..."
"Mati hidup di tangan Tuhan. Aku tidak minta ditemani siapa pun kalau memang kalian takut. Biarlah aku sendiri yang masuk dan kalian berjaga di luar sumur saja. Sediakan sehelai tali yang kuat dan panjang, sekarang juga aku akan memasuki sumur itu untuk menyelidiki keadaan suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain."
"Baik, Taihiap."
"Dan mulai saat ini, Thian-li-pang harus memutuskan hubungan dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw. Para murid dilarang bergaul dengan mereka, dan kalau ada yang melanggar, harus dihukum berat. Dua orang anggota Thian-li-pang yang tadi membuat kerusuhan di rumah makan harus dihukum kurung selama sepekan. Nah, laksanakan!"
"Baik, Taihiap."
Ouw Seng Bu membuka daun pintu dan berseru memanggil pembantunya. Para murid kelas tertinggi dari Thian-li-pang datang berlarian dan berkumpul di luar pintu ruangan itu. Seng Bu lalu berkata dengan suara lantang kepada mereka.
"Seluruh anggota agar bersiap-siap dan berkumpul di dekat sumur tua dan sediakan sehelai tambang yang kuat dan panjang. Sin-ciang Taihiap sendiri akan turun ke dalam sumur melakukan penyelidikan sekarang juga!"
Terdengar seruan-seruan kaget di antara para anggota Thian-li-pang, namun mereka segera mentaati perintah ketua mereka itu. Dengan diantar oleh Ouw Seng Bu, mereka semua lalu bergegas pergi ke bagian belakang perkampungan Thian-li-pang dan tiba di dekat sumur tua...