CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
SI TANGAN SAKTI BAGIAN 19
SETELAH mereka berlari sampai ke kaki bukit dan tidak ada yang kelihatan melakukan pengejaran, Sian Li menghentikan langkahnya. Dengan sendirinya Cia Sun dan Hui Eng juga berhenti berlari. Dengan leher basah oleh keringat, mereka saling memandang. Akhirnya Sian Li yang lebih dulu bicara, suaranya agak ketus dan ucapannya ditujukan kepada Hui Eng.
"Sekarang boleh kau katakan kepadaku, apa artinya ini semua? Engkau yang pernah mengacau dan memusuhi keluarga kami, mengapa sekarang mendadak membantuku? Bukankah engkau tokoh Pao-beng-pai dan Siangkoan Kok tadi ketua Pao-beng-pai?"
Sebelum Hui Eng menjawab, karena hal ini terasa sukar sekali baginya, Cia Sun yang mendahuluinya memberi keterangan.
"Nona Tan Sian Li, memang sudah terjadi perubahan besar sekali atas diri Eng-moi ini. Jangankan engkau atau orang lain, dia sendiri pun terheran-heran ketika mendengar tentang keadaan dirinya."
Sian Li mengerutkan alisnya dan kini dia mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik. Sikapnya masih dingin. "Hemmm, sebelum engkau bercerita, katakan dulu siapa engkau ini dan bagaimana engkau dapat mengenal namaku!"
Wajah pangeran itu berubah menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. "Ehhh... sebetulnya... yang mengenalimu tadi bukanlah aku, melainkan Eng-moi ini, Nona. Aku bernama Cia Sun..."
"Cia...?" Sekarang Sian Li terbelalak memandang pemuda itu dan perlahan-lahan kedua pipinya berubah kemerahan. "Cia Sun...? Kau... maksudkan pangeran...?"
"Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Cia Sun yang oleh orang tua kita..." Cia Sun tidak melanjutkan kata-katanya.
"Sudahlah, Pangeran. Harap engkau suka menceritakan tentang semuanya ini, tentang Enci ini, tentang perubahan yang kau katakan tadi."
Sian Li memotong untuk mengalihkan pembicaraan karena ia menjadi rikuh sekali kalau harus bicara tentang hubungan di antara mereka. Siapa yang tidak menjadi rikuh dan gugup kalau secara tiba-tiba dihadapkan kepada seorang pemuda yang oleh ayah dan ibunya dicalonkan menjadi suaminya.
"Nona, ketika memusuhi keluargamu dan para pendekar, Eng-moi ini adalah seorang gadis yang bernama Siangkoan Eng, puteri dari ketua Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Akan tetapi, sekarang Eng-moi bukan lagi puteri ketua Pao-beng-pai, bahkan musuh besarnya, karena Eng-moi ini sebenarnya adalah puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan, yang hilang ketika masih kecil."
Sian Li terbelalak. "Aihhh...! Jadi engkau... engkau inikah puteri Paman Sim Houw yang hilang itu? Engkau yang dicari-cari semua pendekar, dicari oleh Han-koko dan aku pun ikut membantu mereka mencarimu? Dan engkau bahkan pernah datang menemui kami sebagai seorang musuh yang sengaja menantang kami?"
"Benar sekali, adik Sian Li. Ketika itu aku sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa aku bahkan anggota keluarga dekat dengan keluarga yang kutantang, sama sekali tak tahu bahwa aku bukanlah anak kandung Siangkoan Kok dan isterinya. Wanita yang sejak aku kecil mengaku sebagai ibu kandungku itu adalah Lauw Cu Si, seorang keturunan Beng-kauw yang memusuhi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir."
Kemudian, secara singkat namun jelas, diceritakanlah semua mengenai dirinya, tentang Siangkoan Kok dan Lauw Cu Si kepada Sian Li yang mendengarkan dengan bengong. Cerita itu sungguh seperti dongeng dan tentu saja dia tidak dapat menyalahkan Hui Eng atas sikapnya ketika memusuhi keluarganya dahulu. Bahkan dia lalu memegang kedua tangan Hui Eng.
"Aihhh, enci Hui Eng. Sungguh malang nasibmu, sejak kecil dipisahkan dari ayah ibu kandung dan dipelihara oleh orang-orang sesat. Akan tetapi dasar engkau keturunan suami isteri pendekar, maka biar pun engkau mendapat didikan para tokoh sesat, tetap saja engkau setelah dewasa berjiwa pendekar dan menentang kejahatan. Kemudian, bagaimana pula ceritanya, engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan... Pangeran Cia Sun ini dan kalian dapat datang tepat pada waktunya selagi aku terancam oleh pengeroyokan mereka tadi?"
"Kami saling berkenalan ketika aku dan kakak angkatku Yo Han..."
"Kakak angkatmu, Pangeran?" Sian Li terbelalak.
"Benar, Nona Tan. Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan aku sudah saling mengangkat saudara. Kami bertemu di Pao-beng-pai, kemudian kami mengangkat saudara setelah kami menjadi tawanan di Pao-beng-pai. Untunglah ada adik Eng ini yang membebaskan kami. Lalu Pao-beng-pai diserbu oleh pasukan pemerintah. Aku yang mengkhawatirkan nasib Eng-moi, lalu ikut pasukan untuk mencarinya. Akan tetapi dia tidak ada dan aku malah sempat bertemu dengan isteri Siangkoan Kok yang tewas oleh suaminya sendiri. Sebelum meninggal dunia, wanita itulah yang membuka rahasia Eng-moi kepadaku…"
Pangeran itu menghentikan kisahnya dan kini Hui Eng yang melanjutkan.
"Aku mengira bahwa Pangeran Cia Sun yang membawa pasukan dan menghancurkan Pao-beng-pai. Aku tak peduli kalau Pao-beng-pai yang jahat itu hancur, akan tetapi aku mendendam karena wanita yang tadinya kuanggap ibu kandungku itu tewas. Maka aku menyusul ia dan menawannya, dengan maksud membunuhnya di depan makam ibuku. Akan tetapi, aku mendengar ceritanya dan aku mengetahui keadaan diriku. Kami... kami lalu berbaik kembali, apa lagi setelah aku mendengar bahwa wanita yang kuanggap ibu kandungku itu tewas di tangan Siangkoan Kok."
"Tapi, kenapa kalian dapat datang ke Thian-li-pang?" tanya Sian Li yang masih terkesan oleh kisah yang terjadi antara kedua orang itu.
Pangeran Cia Sun yang mengambil keputusan untuk berterus terang, lalu menyambung cerita kekasihnya tadi. "Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa orang tua kita sudah menjodohkan kita, akan tetapi sebaiknya aku berterus terang kepadamu, nona Tan Sian Li. Meski setelah bertemu denganmu aku merasa bahwa orang tuaku telah melakukan pilihan yang tepat dan bahkan terlalu baik untukku, akan tetapi aku sudah saling jatuh cinta dengan Eng-moi dan kami telah bersumpah untuk menjadi suami isteri. Maafkan aku kalau menyinggung..."
Sian Li tersenyum! Senyum yang cerah dan sedikit pun tidak mengandung penyesalan sehingga melegakan hati Cia Sun dan Hui Eng. "Aku bahkan merasa lega dan gembira dengan pernyataanmu ini, Pangeran. Terus terang saja, aku sendiri pun sama sekali tak setuju dengan tindakan ayah dan ibuku yang memilihkan seorang calon suami untukku, seorang yang sama sekali tidak kukenal dan tidak kuketahui bagaimana orangnya. Nah, sekarang ceritakan bagaimana kalian dapat datang ke sini.”
"Aku hendak mengantar Eng-moi menghadap ayah dan ibu kandungnya yang tinggal di Lok-yang. Akan tetapi dalam perjalanan itu kami mendengar akan sepak terjang orang-orang Thian-li-pang. Aku merasa penasaran sekali kenapa Thian-li-pang dapat berubah menjadi perkumpulan yang menyeleweng, padahal, kakak angkatku Yo Han itu menjadi ketua kehormatannya. Aku lalu mengajak Eng-moi untuk berkunjung, dan kalau di sana ada Yo-toako, aku ingin menegurnya."
Sian Li kembali terheran-heran. "Pangeran, apakah engkau masih belum tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para pejuang yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah?! Dan engkau sendiri seorang pangeran kerajaan Ceng..."
"Benar, Nona. Aku adalah seorang Pangeran Mancu, pemerintah penjajah. Akan tetapi aku sendiri tidak menyetujui penjajahan dan menganggap bahwa perjuangan para orang gagah itu memang sudah benar dan menjadi hak mereka. Aku tidak ingin mencampuri urusan itu. Aku bercita-cita untuk menjadi orang biasa yang tidak mencampuri urusan pemerintahan. Bahkan kami sekeluarga pun tak mau memiliki ambisi untuk memegang kedudukan. Sebab itu, selama perkumpulan pejuang benar-benar merupakan pahlawan dan patriot sejati, aku menghormati mereka. Akan tetapi kalau mereka itu melakukan penyelewengan dan menjadikan perjuangan sebagai kedok untuk menutupi kejahatan yang mereka lakukan, aku pasti akan menentang mereka."
Sian Li mengangguk-angguk kagum dan dia memandang kepada Hui Eng.
"Aihh, enci Eng, engkau sudah mendapatkan seorang calon suami yang gagah perkasa. Sekarang tahulah aku kenapa ayah dan ibu berkeras hendak menjodohkan aku dengan Pangeran Cia Sun! Harap kau lanjutkan ceritamu, Pangeran."
Mendengar ucapan San Li yang begitu jujur dan terbuka, memuji pangeran itu begitu saja tanpa disembunyikan, sepasang kekasih itu tersipu akan tetapi juga merasa suka dan kagum kepada Si Bangau Merah.
"Kami segera mendaki Bukit Naga ini dan melihat engkau dikeroyok tadinya aku merasa ragu karena tidak tahu urusannya. Tapi begitu Eng-moi mengenalmu dan menyebutkan namamu, kami berdua segera terjun dan membantumu."
Sian Li menghela napas panjang. "Pertolongan Tuhan datang melalui apa saja, bahkan yang tidak pernah terduga sekali pun. Siapa yang pernah menyangka bahwa aku akan diselamatkan oleh orang yang ditunangkan denganku akan tetapi tak pernah kukenal dan akhirnya harus kutolak, dan oleh orang yang tadinya jelas memusuhi keluargaku? Kalian datang pada saat yang tepat sekali, karena tadi aku sudah hampir tidak tahan menghadapi mereka, terutama sekali Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang yang amat lihai itu."
"Sekarang tiba giliranmu, Nona. Kami ingin sekali mengetahui bagaimana engkau dapat berada di sana tadi dan dikeroyok banyak orang lihai?" tanya Cia Sun.
Ditanya begitu, Sian Li teringat akan Yo Han dan mendadak wajahnya menjadi muram. Kalau saja dia bukan seorang gadis yang tabah dan berhati baja, tentu dia pun sudah menangis karena teringat bahwa mungkin sekali pria yang dikasihinya itu telah tewas.
Cia Sun dan Hui Eng melihat perubahan muka Sian Li itu dan mereka saling pandang. Ketika beberapa kali Sian Li hanya menghela napas panjang dan menunduk, alisnya berkerut, Cia Sun menjadi tidak sabar lagi.
"Nona, apakah yang telah terjadi? Apakah ada sesuatu yang membuat engkau enggan menceritakan kepada kami? Kalau begitu, engkau tidak usah menceritakannya..."
"Tidak, Pangeran, bukan begitu, tetapi, ahhh, hatiku sangat risau dan gelisah. Maafkan kelemahanku ini dan biarlah kuceritakan dari semula. Sebelum kuceritakan semuanya, sebaiknya kalau aku pun membuat pengakuan padamu, pengakuan yang hanya dapat aku lakukan setelah engkau berterus terang tentang hubunganmu dengan enci Hui Eng. Pangeran, aku dan kakak Yo Han... kami berdua... ehhh..."
Melihat keraguan Sian Li dan perubahan mukanya yang menjadi merah sekali, terlebih lagi bibirnya yang mengulum senyum malu-malu, Cia Sun lalu tersenyum, "Kalian saling mencinta?"
Sian Li mengerling kepadanya dan mengangguk.
"Ha, sudah kuduga, Nona. Engkau memang pantas sekali menjadi calon isteri Yo-toako. Nah, teruskan ceritamu."
"Pada waktu tiga orang keluarga besar berkumpul di rumah Paman Suma Ceng Liong, aku tidak melihat Yo Han koko di sana. Aku tahu bahwa dia sedang membantu Paman Sim Houw untuk mencarikan puterinya yang hilang. Oleh karena itu, aku lalu mengambil keputusan untuk membantunya mencarikan enci Hui Eng."
Mendengar ini, Hui Eng lalu berkata. "Aihhh, kalian semua begitu baik, bersusah payah mencari aku, akan tetapi aku sendiri malah sudah bertindak jahat, mengacau di sana..." Suaranya penuh penyesalan.
"Ahh, enci Eng. Seperti yang dikatakan Pangeran tadi, ketika itu engkau bukanlah enci Sim Hui Eng yang sekarang, melainkan Siangkoan Eng puterinya ketua Pao-beng-pai. Yang sudah lewat anggap saja mimpi buruk, Enci."
"Engkau benar adik Sian Li. Teruskan ceritamu."
Sian Li kemudian menceritakan bahwa dalam perjalanannya, ia pun mendengar tentang kejahatan orang-orang Thian-li-pang, maka dia pun merasa penasaran dan ingin sekali menyelidiki. Akhirnya dia bertemu dengan para tokoh Bu-tong-pai di lereng Bukit Naga dan mendengar penuturan mereka yang membuat dirinya terkejut setengah mati, yaitu bahwa kabarnya, Yo Han tewas di tangan ketua Thian-li-pang yang baru.
"Apa...?! Tidak mungkin itu!" Cia Sun berseru kaget setengah mati.
"Aku sendiri juga tidak percaya, Pangeran. Lebih tak percaya lagi ketika Ouw Seng Bu, ketua yang baru itu, menceritakan bahwa Han-koko sudah membunuh para pimpinan Thian-li-pang, dan bahwa Han-koko datang untuk membunuh dia. Dia melawan di dekat sumur tua dan akhirnya terluka oleh pukulan Han-koko, akan tetapi para anak buahnya mengeroyok Han-koko yang katanya tergelincir masuk ke dalam sumur tua itu. Dan... dan... mereka lalu menimbuni sumur tua itu dengan batu." Suara Sian Li terdengar lirih dan penuh kegelisahan.
"Tetapi, aku tetap tidak percaya! Memang ketua baru Thian-li-pang itu lihai, akan tetapi tidak mungkin dia mampu membuat Yo-toako terjatuh ke dalam sumur. Tidak mungkin Yo-toako tewas, aku tidak percaya!" kata Cia Sun keras sambil mengepal tinju, namun suaranya mengandung isak tertahan, tanda bahwa dia juga merasa gelisah sekali.
"Pangeran, biarlah adik Sian Li melanjutkan ceritanya. Lalu apa yang terjadi kemudian, Li-moi?"
"Aku menuntut kepada Ouw-pangcu agar anak buah Thian-li-pang menggali sumur itu dan menyingkirkan timbunan batu-batu. Akan tetapi dia melarang dengan alasan sumur itu keramat bagi Thian-li-pang dan tidak boleh diganggu. Kami bercekcok, lalu berkelahi dan aku dikeroyok oleh mereka."
"Aku tetap tidak percaya! Nona, apakah engkau percaya akan keterangan itu? Bohong, ketua Thian-li-pang itu tentu orang jahat yang berhasil menguasai Thian-li-pang dengan ilmu kepandaiannya. Mungkin dialah yang telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang dan menjatuhkan fitnah kepada Yo-toako. Kita harus menyelidiki hal ini!"
"Aku pun tidak percaya, Pangeran. Akan tetapi, satu hal yang sangat mencemaskan hatiku adalah kesaksian yang diberikan oleh Cu Kim Giok."
"Cu Kim Giok? Siapakah itu?" tanda Sim Hui Eng dan Cia Sun hampir berbareng.
"Cu Kim Giok adalah puterinya Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pouw Li Sian dari Lembah Naga Siluman. Dia keturunan terakhir dari keluarga Lembah Naga Siluman dan masih terhitung kerabat yang ada hubungan pertalian kekeluargaan denganku. Aku merasa heran bukan main melihat ia bisa berada di sana, bahkan nampak akrab sekali dengan Ouw-pangcu itu. Kim Giok inilah yang memberi kesaksian bahwa Ouw-pangcu memang terluka parah oleh pukulan Han-koko. Kehadiran Kim Giok di sana bukan sembarangan saja, pasti tersembunyi rahasia di balik itu semua."
"Aihh, jangan-jangan gadis itu sudah dipengaruhi oleh Ouw Seng Bu itu."
"Aku pun menduga begitu, Pangeran. Akan tetapi, jelas bahwa Kim Giok tidak menjadi jahat karenanya. Buktinya, dia berkali-kali memperingatkan Ouw-pangcu supaya jangan membunuhku atau melukaiku. Agaknya dia pun percaya bahwa Ouw-pangcu berada di pihak yang benar, bahwa ketua baru itu benar seorang pejuang, seorang pendekar dan pahlawan, dan agaknya dia pun membenarkan Ouw-pangcu dalam urusannya dengan Han-koko. Pasti ada apa-apanya di balik semua ini."
"Pangeran, adik Sian Li, kita semua sudah saling menceritakan apa yang kita alami. Kini tak ada gunanya untuk menduga-duga dan berheran-heran. Yang terpenting, kita harus menyelidiki sumur tua itu. Kita harus dapat melihat kenyataan apakah benar Yo Taihiap sudah tewas seperti dikatakan Ouw-pangcu itu. Dengan demikian, kita tidak ragu lagi dan setelah itu baru kita putuskan, tindakan apa yang akan kita ambil."
"Tepat sekali apa yang dikatakan oleh dinda Hui Eng, Nona. Kita semua harus berusaha sekuat tenaga untuk mencari bukti tentang keadaan Yo-toako. Karena bukan tidak ada sebabnya kalau orang-orang Thian-li-pang itu kemudian menimbuni sumur yang mereka anggap keramat itu dengan batu. Walau pun kita tidak percaya akan berita tewasnya Yo-toako, namun kita harus mendapat kepastian."
Sian Li mengangguk. "Memang kalian benar, dan aku pun sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan mau pergi dari sini sebelum mendapat kenyataan yang jelas tentang diri Han-koko."
Mereka bertiga lalu turun lagi untuk mencari pedusunan di mana mereka bisa membeli makanan. Setelah membawa bekal makanan kering dan minuman, mereka bertiga lalu berangkat lagi mendaki Bukit Naga. Mereka mencari jalan agar dapat memasuki daerah perkampungan Thian-li-pang dari belakang, langsung menuju ke sumur tua yang berada di bagian belakang. Sumur yang dipisahkan oleh sebuah bukit kecil dari perkampungan perkumpulan itu…..
"Adik Gan Bi Kim, kau tunggu dulu...!"
Gan Bi Kim menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh. Dia melihat pemuda itu berlari cepat menghampirinya. Wajah Bi Kim berseri gembira ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah Gak Ciang Hun, pemuda yang selalu terbayang di pelupuk matanya semenjak mereka bertemu lalu berpisah.
Dalam keadaan duka karena kasihnya yang gagal terhadap Yo Han, ia bertemu pemuda itu yang juga mengalami derita patah hati karena kasihnya terhadap Si Bangau Merah tidak terbalas. Mereka seolah-olah merasa saling menemukan, saling menghibur serta saling mengisi kekosongan hati masing-masing.
Tetapi, pertemuan singkat itu segera diakhiri perpisahan, membuat Gan Bi Kim merasa kehilangan. Mereka bertiga, dia, Gak Ciang Hun, dan Tan Sian Li, harus saling berpisah di jalan perempatan. Sian Li melakukan perjalanan ke utara, Ciang Hun ke selatan, dan Bi Kim ke timur. Mereka bertiga bertujuan sama, yaitu membantu pencarian terhadap puteri Sim Houw yang hilang sejak kecil, yaitu Sim Hui Eng.
"Gak-toako...!" Bi Kim berseru dan kini ia pun lari menghampiri, menyambut pemuda itu dengan hati terbuka dan kedua tangan di julurkan ke depan. Sejak berpisah, dia merasa kehilangan dan kesepian, kehilangan gairah dan semangat.
"Kim-moi (adik Kim)...!"
Kedua orang itu saling menjulurkan kedua tangan, saling tatap tanpa kata. Dua pasang mata itu bersinar-sinar, lalu mata Ciang Hun berkaca-kaca sedangkan Bi Kim yang berusaha keras menahan keras guncangan hatinya, tidak urung meneteskan beberapa butir air mata saking merasa lega dan bahagia dapat bertemu kembali dengan orang yang amat dikenangnya.
Ketika ada beberapa orang pejalan kaki mendatangi, Ciang Hun menggandeng tangan Bi Kim ke tepi jalan dan mengajaknya duduk di atas batu besar. "Mari kita bicara di sini, Kim-moi," katanya.
Setelah duduk saling berhadapan di atas batu, Bi Kim berkata, "Toako, aku tadi merasa seperti dalam mimpi ketika mendengar panggilanmu, kemudian melihat bahwa engkau benar-benar datang. Kiranya bukan mimpi dan sekarang betapa bahagianya rasa hatiku melihatmu, Toako."
Ciang Hun menggenggam tangan yang masih digandengnya. Dari tangan mereka yang saling genggam itu saja sudah terasa getaran hati mereka yang berbahagia.
"Kim-moi, aku gembira sekali bahwa engkau merasa berbahagia melihat aku mengejar dirimu. Tadinya aku khawatir kalau-kalau engkau akan marah."
"Marah? Aihh, Toako, pada saat kita saling berpisah, aku merasa kehilangan pegangan, seolah hidupku hampa. Tetapi, apakah yang menyebabkan engkau kembali kepadaku? Apakah ada sesuatu yang penting?"
Ciang Hun tersenyum dan menggelengkan kepala, nampak agak tersipu. Akan tetapi dengan sejujurnya dia berkata, "Kim-moi, setelah kita saling berpisah, entah mengapa, hatiku selalu terasa berat. Lalu kupikir betapa besar bahaya yang mengancammu dalam perjalanan seorang diri. Apa lagi mengingat bahwa kita sama-sama hendak membantu dan mencari Sim Hui Eng, maka apa salahnya kalau kita mencari bersama? Dengan berdua, atau bertiga dengan Sian Li, kita akan lebih kuat menghadapi bahaya, bukan? Nah, aku lalu berbalik mengejarmu."
Bi Kim tersenyum, "Kalau begitu pikiran kita sama. Aku pun senang sekali engkau akan menemaniku, Toako. Marilah kita segera menyusul Sian Li ke utara."
"Aku pernah mendengar bahwa Yo Han menjadi pemimpin Thian-li-pang di Bukit Naga. Sian Li mungkin sekali mencari Yo Han yang dicintanya itu untuk membantunya karena Yo Han sedang mencari Hui Eng. Mari kita cari Sian Li ke sana, siapa tahu ia pergi ke Thian-li-pang di Bukit Naga."
Setelah Ciang Hun berada di sampingnya, tentu saja Bi Kim mengikuti saja ke mana pemuda itu pergi. Mereka berdua melakukan perjalanan cepat ke utara dan kini mereka merasakan betapa perjalanan mereka amat menyenangkan, tidak lagi merasa kesepian dan kehilangan…..
Kita tinggalkan dulu kedua orang ini dan kita tengok keadaan Sian Li, Hui Eng, dan Cia Sun. Tiga orang ini telah mengambil keputusan untuk menyelidiki sumur tua di belakang Thian-li-pang untuk mencari bukti kebenaran bahwa Yo Han berada di dalam sumur dan ditimbuni batu-batu.
Setelah membuat persiapan secukupnya, tiga orang pendekar ini mendaki Bukit Naga dari arah belakang Thian-li-pang. Mereka adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka biar pun perjalanan pendakian itu amat sulit bagi orang biasa, tapi dalam waktu yang cukup singkat mereka dapat juga sampai di belakang bukit yang memisahkan sumur itu dengan pusat Thian-li-pang.
Tempat ini memang merupakan tempat yang seolah terasing. Juga dianggap keramat oleh para murid Thian-li-pang sehingga tanpa ijin ketua, tak seorang anggota pun berani memasuki daerah yang menyeramkan itu.
Hari masih pagi sekali ketika mereka mulai mendaki bukit dan kini matahari sudah mulai menyengatkan cahayanya setelah mereka tiba di dekat sumur yang ditimbuni batu-batu. Tempat itu nampak sunyi, tidak nampak ada seorang pun anak buah Thian-li-pang.
Hal ini melegakan hati ketiga orang pendekar itu, membuat mereka lebih leluasa untuk melakukan pemeriksaan. Andai kata di situ terdapat anak buah Thian-li-pang, mereka tentu harus merobohkan terlebih dahulu sebelum dapat melakukan pemeriksaan.
Sian Li mengerutkan alisnya saat menjenguk ke dalam sumur tua itu. Sumur itu tertutup banyak batu-batu dan rasanya tidak mungkin batu-batu itu dapat digali dan disingkirkan hanya oleh mereka bertiga. Tentu akan memakan waktu berhari-hari!
"Ahhh, benarkah Yo-toako ditimbuni batu-batu itu di dalam sumur ini?" Aku sama sekali tidak dapat percaya!"
Sim Hui Eng juga memandang ngeri ke dalam sumur itu. "Aihhh, adik Sian Li, bagai mana kita akan dapat menyingkirkan batu-batu itu? Tidak tahu sampai berapa dalamnya sumur ini dan berapa banyaknya batu yang menimbuninya."
"Bagaimana pun juga, kita harus membongkar batu-batu itu dan mengangkatnya keluar dari sumur. Kalau tidak begitu, bagaimana kita akan dapat membuktikan bualan ketua baru Thian-li-pang itu?"
Tapi Sian Li berkata, "Nanti dulu, Pangeran. Coba engkau dan enci Eng menyerang dan mengeroyokku di dekat sumur ini, aku ingin melihat kemungkinan Han-koko tergelincir ke dalam sumur. Mungkin atau tidak hal itu terjadi kalau kita sedang dikeroyok. Harap kalian mengeroyok dengan sungguh-sungguh, karena kalau benar Han-koko berkelahi melawan ketua Thian-li-pang itu, dan dikeroyok oleh para sekutunya, berarti Han-koko menghadapi banyak lawan tangguh. Nah, mulailah."
Mengerti apa yang dimaksudkan Si Bangau Merah, Cia Sun dan Hui Eng mengangguk, kemudian keduanya sudah menyerang gadis itu dari kanan kiri. Sian Li mengelak dan menangkis, dan membiarkan dirinya terdesak sampai ke tepi sumur. Dengan cara tidak membalas, ia lalu terdesak mundur sampai ke tepi sumur. Tiba-tiba, nampak bayangan merah berkelebat ke atas dan gadis itu sudah meloncati kedua orang lawannya, seperti seekor burung bangau melayang, melampaui kepala mereka.
"Cukup sudah!" katanya. "Nah, kalian lihat sendiri. Dalam keadaan gawat menghadapi pengeroyokan, aku saja kiranya mampu meloloskan diri dengan mengandalkan ginkang. Apa lagi Han-koko yang memiliki tingkat ginkang jauh lebih tinggi dariku. Jadi, mustahil kalau sampai mereka itu dapat membuat Han-koko tergelincir ke dalam sumur, bukan?"
"Tepat, Nona. Aku pun sama sekali tak percaya bahwa Yo-toako demikian bodoh untuk dapat dibuat tergelincir ke dalam sumur yang bibirnya cukup tinggi ini," kata Pangeran Cia Sun sambil menyentuh bibir sumur yang tingginya ada satu satu meter itu. "Dia pasti berbohong!"
"Adik Sian Li, lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Apakah tidak lebih baik kita serbu saja Thian-li-pang, menangkap ketuanya dan memaksanya untuk mengaku, atau memaksa dia mengerahkan anak buahnya untuk membongkar batu-batu dalam sumur ini?" kata Hui Eng.
"Atau kalau kekuatan mereka terlampau besar bagi kita, biarlah aku mencari bantuan ke benteng pasukan yang terdekat."
"Nanti dulu, Pangeran. Aku memang sangat mengkhawatirkan keselamatan Han-koko. Akan tetapi, andai kata ia benar tewas, kurasa tentu bukan karena perkelahian melawan orang-orang jahat itu. Ia mungkin saja tewas atau tertawan akibat dijebak, dan mungkin saja ia tidak berada di dalam sumur ini, melainkan ditawan di suatu tempat rahasia di sarang Thian-li-pang."
"Ahhh, itu mungkin sekali!" kata Cia Sun.
"Bagaimana kalau kita bertiga mencari secara berpencaran? Dengan terpencar, selain lebih mudah menyusup, juga pencarian dapat dilakukan lebih luas," kata Hui Eng.
Wajah Sian Li nampak berseri. "Demikianlah sebaiknya, enci Eng! Akan tetapi... ahhh, aku merasa tidak enak sekali karena selain merepotkan kalian, juga menyeret kalian ke dalam bahaya besar mengingat betapa lihainya mereka."
"Ihhh, nona Tan, mengapa engkau mengatakan demikian? Kakak Yo Han adalah kakak angkatku, karena itu sudah sepatutnya kalau aku rela mengorbankan nyawa sekali pun untuk membelanya!" kata Cia Sun.
"Ucapan itu tepat sekali," sambung Hui Eng. "Adik Sian Li, bukankah keluarga orang tua kita sejak dulu merupakan keluarga besar para pendekar? Aku telah terseret ke dalam dunia sesat, tetapi sekarang tibalah saatnya aku menebus semua kekuranganku itu dan memperlihatkan kepada dunia bahwa aku masih tetap keturunan keluarga pendekar!"
Sian Li memandang dengan haru. "Kalau begitu, semoga Tuhan melindungi kita semua. Aku akan mengambil jalan dari sini ke kiri, dan engkau ke kanan, enci Eng. Pangeran sendiri melakukan penyelidikan di sini dan terus ke bagian belakang Thian-li-pang."
"Dan kapan kita bertemu lagi? Di mana?"
"Di sini saja. Setelah kita melakukan penyelidikan, kita kembali ke sini dan siang atau sore ini kita harus sudah kembali ke sini mengumpulkan hasil penyelidikan kita," kata Sian Li.
Setelah bersepakat, Sian Li berkelebat ke kiri dan Hui Eng meloncat ke kanan. Dalam sekejap mata saja kedua orang gadis perkasa itu telah lenyap, meninggalkan Cia Sun seorang diri.
Pangeran ini termenung, hatinya diliputi penuh kekhawatiran. Pertama-tama tentu saja dia mengkhawatirkan Hui Eng, gadis yang dicintanya, kemudian dia mengkhawatirkan Yo Han dan Sian Li. Pihak musuh terlampau kuat, dan jumlah mereka terlalu banyak.
Dia memang tidak ingin mencampuri urusan pemerintah, juga tidak mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan. Akan tetapi kali ini ia harus mencari bantuan pasukan pemerintah, bukan untuk membasmi pemberontak, melainkan untuk melindungi kedua orang gadis itu dan mencari keterangan tentang Yo Han.
Biar pun dia tahu bahwa Hui Eng memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan belum tentu di bawah tingkat kepandaian Si Bangau Merah, akan tetapi menghadapi Thian-li-pang yang mempunyai anak buah ratusan orang banyaknya, belum lagi sekutu-sekutunya yang banyak dan lihai, apa yang dapat diperbuat oleh dua orang gadis itu dibantu olehnya seorang diri?
Setelah berpikir keras, Cia Sun meninggalkan tempat itu, bukan untuk menyelidiki ke Thian-li-pang, melainkan kembali menuruni bukit itu untuk memasuki dusun di mana tadi mereka membeli bekal makanan. Dia tahu bahwa kurang lebih seratus li dari dusun itu terdapat benteng Siang-heng-koan di mana terdapat pasukan pemerintah. Dia sendiri tidak mungkin pergi ke sana karena dia harus membantu dua orang gadis itu.
Melihat seorang laki-laki sedang menggarap sawah di luar dusun itu, Cia Sun segera memanggilnya dari pinggir sawah. Laki-laki itu bertubuh kuat berkat pekerjaan berat di sawah dan setiap hari mandi cahaya matahari, usianya sekitar empat puluh tahun.
"Toako, kesinilah sebentar. Aku mempunyai urusan penting untuk dibicarakan!" kata Cia Sun.
Melihat seorang pemuda di tepi sawah memanggilnya, dan pemuda itu bukan seperti seorang pemuda dusun, petani itu segera menghampiri. Tubuh atas yang telanjang itu nampak kekar, celananya yang hitam penuh lumpur.
"Ada urusan apakah Kongcu memanggil aku?" tanya heran.
"Sobat, maukah engkau mendapat penghasilan yang lebih besar jumlahnya dari pada penghasilan sawahmu selama beberapa tahun?"
"Ehhh? Apa maksudmu Kongcu? Aku tidak mengerti..."
Cia Sun mengeluarkan tiga potong besar emas dari sakunya dan memperlihatkannya kepada petani itu. "Emas ini akan kuberikan kepadamu kalau engkau suka melakukan sesuatu untukku."
Sepasang mata itu terbelalak. Biar pun selama hidupnya belum pernah ia melihat emas sebanyak itu, apa lagi memilikinya, akan tetapi ia pun cukup dewasa untuk mengetahui bahwa tiga potong besar emas itu bukan saja sangat mahal harganya dan merupakan jumlah yang lebih besar dari pada hasil sepuluh tahun bekerja di sawah, bahkan dengan emas itu dia akan mampu membeli sawah yang luas dan rumah tinggal yang cukup baik!
"Apa yang harus kulakukan untuk Kongcu? Meski pun aku orang miskin, aku tidak mau kalau disuruh mencuri atau membunuh orang, biar dibayar berapa banyaknya pun!"
"Aihhh, siapa suruh engkau melakukan kejahatan? Tugasmu hanya mudah saja, yaitu mengantarkan surat ke benteng Siang-heng-koan."
"Benteng pasukan...? Ahhh, mana aku berani, Kongcu? Aku akan ditangkap!"
"Suratku akan membuka pintu benteng dan engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai utusanku. Katakan dulu, sanggupkah engkau?"
Karena hanya disuruh mengantar surat, dengan penuh semangat petani itu berkata, "Aku... ehhh, saya sanggup, Kongcu!"
"Kalau begitu, mari kita ke rumahmu, akan kubuatkan surat itu."
Petani itu pun bergegas mencuci kaki tangannya, lalu mengenakan baju dan capingnya, memanggul cangkulnya dan bersama Cia Sun dia pulang. Rumahnya di ujung dusun itu, sebuah rumah yang amat sederhana, bahkan miskin. Mereka disambut isteri petani itu bersama empat orang anak mereka yang merasa terheran-heran melihat petani itu telah pulang bersama seorang pemuda tampan yang bukan seorang petani.
Petani itu menyuruh anak isterinya ke belakang. Dia duduk di tengah rumah bersama tamunya. Atas permintaan Cia Sun, petani itu keluar sebentar untuk membeli alat tulis dan menyewa seekor kuda yang paling kuat. Kemudian, Cia Sun menulis surat kepada komandan benteng Siang-heng-koan dan surat itu dibubuhi tanda tangan dan cap yang selalu dibawanya.
"Nah, sekarang juga engkau cepat pergi menunggang kuda ke benteng itu dan emas ini pun boleh kau miliki. Dengan emas ini, maka kau akan dapat mengubah keadaan hidup keluargamu. Tetapi awas, jika surat ini tidak kau sampaikan, maka pasukan di benteng itu akan kukerahkan untuk menangkapmu dan engkau beserta seluruh keluargamu akan dihukum berat. Katakan siapa namamu!" kata Cia Sun sambil menyerahkan surat itu.
"Nama hamba Ki Siok...," kata petani itu, kini nampak takut dan hormat. "Kalau boleh hamba mengetahui nama Kongcu..."
"Katakan saja kepada komandan benteng itu bahwa engkau diutus oleh seorang yang bernama Sun dan serahkan suratku itu. Tetapi ingat, tidak boleh orang lain mengetahui tentang urusan kita ini dan siapa pun juga tidak boleh melihat surat ini. Juga isteri dan anak-anakmu tidak boleh mengetahui."
"Baik, baik, hamba mengerti..." kata petani itu ketakutan.
Meski pun sebodoh-bodohnya manusia, dia pun dapat menduga bahwa pengirim surat ini tentulah bukan orang sembarangan, buktinya memiliki emas sebanyak itu, bersikap royal, dan berani mengirim surat kepada komandan benteng.
Setelah melihat sendiri Ki Siok pergi meninggalkan dusun itu dan menuju ke benteng Siang-heng-koan, cepat Cia Sun mendaki Bukit Naga dan kembali ke tempat yang tadi. Matahari telah naik tinggi, tengah hari hampir lewat, tapi di dekat sumur tua itu nampak sepi, belum kelihatan kedua orang gadis itu kembali. Dia pun menunggu dengan hati berdebar tegang penuh kekhawatiran…..
Kekuasaan Tuhan mencakup dan menyelimuti seluruh yang ada, seluruh yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata manusia. Keadaan di seluruh alam semesta ini terjadi karena Kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan berada di dalam yang paling dalam dan di luar yang paling luar, mencakup yang terendah sampai yang tertinggi, yang paling kecil sampai yang paling besar. Kekuasaan Tuhan jugalah yang mencipta, memelihara, dan mengadakan sampai yang meniadakan.
Segala sesuatu terjadi karena Kehendak Tuhan. Segala macam suka, duka, indah atau buruk, hanya merupakan ulah pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.
Sebab akibat merupakan mata rantai kait mengait yang dibentuk oleh hati akal pikiran kita sendiri. Tidak ada yang lebih kuat dari pada Kekuasaan Tuhan, yang juga bekerja di dalam tubuh kita, dari ujung rambut sampai ke kuku jari kaki. Kekuasaan Tuhan bekerja sepenuhnya kalau kita menyerah. Penyerahan total yang meniadakan ulah hati akal pikiran sehingga kekuasaan Tuhan mutlak bekerja.
Kalau sudah begitu, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya Tuhanlah Maha Sempurna, Maha Kuasa. Segala kehendakNya jadilah!
Ketika dia terjebak di dalam sumur tua, dan sumur itu ditimbuni batu-batu dari atas, Yo Han mengerahkan segala daya hati akal pikirannya. Sebagai manusia, memang sudah tugasnya untuk mempertahankan agar tetap dapat hidup di dalam dunia ini. Dia berhasil menutup terowongan di dalam sumur itu dengan batu besar sehingga batu-batu yang dilemparkan dari atas sumur itu tertahan oleh batu besar itu.
Yo Han duduk bersila di atas gulungan tali, memusatkan semua rasa diri, seolah-olah dia tenggelam. Dia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam lautan penyerahan. Sampai malam lewat, dia tidak menyadari dan dia merasa seperti hidup di dalam lautan, atau di dalam udara tanpa dataran. Tubuhnya ringan, tidak ada secuil pun pikiran mengganggu batin, bahkan tidak ada lagi rasa enak atau tidak enak.
Seperti orang tidur atau orang mati, begitu kiranya keadaan Yo Han. Hanya bedanya, dia sadar. Dia menyadari bahwa dia berada di dasar sumur tua dan tidak ada jalan keluar. Namun pada saat dia duduk bersila seperti itu, dia tidak merasa khawatir, tidak merasa apa-apa seolah-olah tidak peduli dan tiada bedanya baginya.
Malam sudah lewat dan setelah ada sinar matahari menyorot masuk melalui celah-celah di antara batu-batu di atas, dia seperti terbangun. Dan teringatlah dia akan semua yang terjadi kemarin. Kemarin? Hanya samar-samar dia teringat bahwa malam telah lewat, berarti dia telah semalaman berada di terowongan sumur itu.
Lima orang pimpinan Thian-li-pang telah tewas dan mayat mereka dilempar ke dalam sumur yang sekarang ditimbuni batu-batu. Kini semuanya jelas baginya. Ouw Seng Bu membunuhi para pimpinan Thian-li-pang karena ingin menguasai perkumpulan itu. Gila!
Bukankah Ouw Seng Bu murid Lauw Kang Hui, bahkan merupakan murid tersayang? Kalau dia hanya murid mendiang Lauw Kang Hui, lalu bagaimana mungkin dia mampu membunuh lima orang tokoh pimpinan Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi itu? Bagaimana pula para murid Thian-li-pang mau menerima dia sebagai ketua baru? Dan yang membuat dia lebih terheran-heran lagi, bagaimana gadis yang diperkenalkan kepadanya sebagai puteri Cu Kun Tek, pendekar sakti dari Lembah Naga Siluman, dapat berada di Thian-li-pang, bahkan bersahabat baik dengan Ouw Seng Bu?
"Aku harus dapat keluar dari sini. Harus! Aku harus dapat membongkar semua rahasia Ouw Seng Bu, kalau tidak Thian-li-pang akan diselewengkan, dan dunia kang-ouw akan kacau balau karena kejahatan akan menjadi-jadi. Semoga Tuhan memberi bimbingan kepadaku," katanya dalam hati.
Perutnya mulai terasa lapar, akan tetapi dia menampung rembesan air yang menetes turun dari atas dengan kedua tangan dan setelah minum air beberapa teguk, laparnya hilang. Mulailah dia memeriksa semua dinding terowongan itu. Dinding itu terjal ke atas, licin dan keras, tidak mungkin dipanjat, apa lagi di atasnya tidak nampak lubang yang cukup besar seperti mulut sumur, melainkan tertutup dan sinar yang masuk pun melalui celah-celah dari samping atas yang tidak nampak dari situ.
Tiba-tiba terdengar suara mencicit dan Yo Han melihat seekor tikus yang cukup besar, sebesar anak kucing, berlari keluar dari sebuah lubang sambil menggigit sebuah benda hitam kehijauan. Dia merasa heran bagaimana binatang itu mampu membawa sesuatu dengan gigitan, dan mengeluarkan bunyi mencicit pula. Tikus itu lenyap menyelinap ke dalam lubang kecil dan tak lama kemudian terdengar suara mencicit-cicit anak tikus.
Yo Han tersenyum. Betapa besar kekuasaan Tuhan, pikirnya. Bahkan di tempat seperti ini pun terdapat makhluk hidup. Belum yang tidak nampak olehnya, seperti cacing dan kutu-kutu lainnya, bahkan mungkin dalam tetesan-tetesan air itu pun terdapat makhluk hidupnya! Hatinya semakin tenang karena dia yakin bahwa kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, sehingga kalau memang Tuhan menghendaki dia tidak mati, tentu ada jalan keluar dari situ!
Tikus itu! Dia membawa benda hitam kehijauan dan kembali ke sarang, memberi makan kepada anak-anaknya. Benda tadi tentulah makanan. Teringat ia akan jamur-jamur atau tanaman dalam air yang terdapat di terowongan goa di mana dia pernah mempelajari ilmu dari Kakek Ciu Lam Hok!
Kini Yo Han memandang ke arah lubang dari mana tikus tadi keluar. Bukan lubang sesempit kepalan tangan ke mana tikus tadi menghilang, melainkan lubang yang cukup besar, agaknya dia akan dapat memasuki lubang itu dengan merangkak rendah. Siapa tahu, itu merupakan jalan keluar, setidaknya jalan menuju ke tempat makanan! Andai kata bukan jalan keluar sekali pun, kalau dari sana dia bisa mendapatkan makanan sebagai penyambung hidup, itu sudah lumayan namanya.
Akan tetapi, baru dua meter lebih dia merangkak melalui lubang sempit itu, lubang itu mengecil dan tubuhnya tak dapat maju lagi. Terpaksa Yo Han menggunakan tenaganya untuk membongkar batu-batu di depannya, memperbesar terowongan itu sehingga dia dapat maju lagi.
Tentu saja pekerjaan ini memakan waktu dan setelah sehari penuh bekerja, dia baru dapat maju sejauh empat meter dan terpaksa menghentikan pekerjaannya karena lelah dan gelap. Dia merangkak mundur dan minum air dengan menadah air rembesan dari atas dengan kedua tangannya sampai kenyang.
Malam itu, Yo Han mengatur tali sehingga merupakan tempat tidur darurat, lumayan untuk membiarkan tubuhnya beristirahat dengan rebah terlentang.
Sudah menjadi lajim bagi kita bahwa dalam keadaan menderita sengsara, kalau semua daya kita sudah tidak mampu menolong keadaan kita, maka kita baru teringat kepada Tuhan! Kita lalu merengek-rengek dan memohon kepada Tuhan agar kita dibebaskan dari penderitaan.
Tentu saja setiap orang dari kita tidak mau kalau dikatakan bahwa kita hanya teringat kepada pencipta kita bila kita sedang membutuhkan saja. Di waktu kita dalam keadaan senang, sewaktu kita berhasil, maka kita tidak ingat lagi kepada Tuhan dan merasa bahwa semua hasil itu adalah karena kepintaran kita!
Keberhasilan mendatangkan kesombongan, kita menjadi tinggi hati dan merasa diri kita hebat. Sebaliknya, dalam keadaan gagal dan menderita, baru kita merasa betapa kita lemah tak berdaya, dan kita baru berdoa dan meminta-minta kepada Tuhan.
Segala macam permintaan kita ajukan. Kita mohon diberi rejeki, mohon diberi kenaikan pangkat, mohon diluluskan ujian, mohon disembuhkan dari penyakit, dan segala macam permohonan lagi. Kita lupa bahwa segala sarana yang lengkap telah diberikan Tuhan kepada kita untuk mencapai itu semua.
Untuk mendapat rejeki, kita sudah diberi anggota tubuh lengkap, berikut hati akal pikiran untuk kerja dan mencari rejeki. Untuk naik pangkat kita harus bekerja dengan jujur, setia dan baik. Untuk lulus ujian kita harus belajar dengan rajin. Untuk sembuh dari penyakit kita harus berobat dan untuk mencegah datangnya penyakit kita harus hidup bersih dan sehat, dan sebagainya.
Akan tetapi, kesenangan merupakan semua penggunaan sarana tidak sehat. Karena penggunaan akal pikiran secara tidak sehat sehingga melahirkan perbuatan yang tidak sehat pula, maka timbullah semua akibat buruk. Kalau sudah begitu, kita minta-minta kepada Tuhan agar kita dibebaskan dari pada akibat perbuatan kita sendiri itu.
Berbahagialah manusia yang lahir batinnya menyerah dengan tawakal dan ikhlas pada Tuhan, mendasari semua ikhtiar sehat di atas penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bagi seorang yang sudah dapat menyerah lahir batin, maka segala apa pun yang datang menimpa diri, merupakan kehendak Tuhan yang penuh rahasia.
Tuhan mengetahui apa yang paling tepat untuk kita, baik itu merupakan hukuman atau ujian. Hukuman memang tepat untuk mengingatkan kita akan dosa kita dan ujian akan memperkuat batin dan iman kita. Orang yang menyerah kepada Tuhan hanya mengenal ucapan terima kasih dan syukur kepada Tuhan, dan hanya mengenal satu permohonan, yaitu permohonan ampun atas segala dosa yang sudah diperbuatnya di masa lalu dan bimbingan di masa depan. Tidak banyak mengeluh kalau sedang ditimpa duka, dan tidak mabuk kalau sedang dijenguk suka.
Pada keesokan harinya, begitu ada cahaya memasuki terowongan itu, Yo Han sudah bekerja lagi dengan rajin. Dia tidak tergesa-gesa, tidak terlalu memeras tenaganya agar tidak sampai kehabisan tenaga dan kelelahan sebab perutnya yang kosong mengurangi banyak tenaganya.
Setelah tiga hari lamanya membongkar tumpukan batu dan hanya minum air, setelah tenaganya hampir habis, lubang itu membesar lagi sehingga dia dapat melanjutkan merangkak ke depan dan menemukan jamur atau tumbuhan di antara dinding batu yang basah, jamur liar seperti yang dibawa oleh induk tikus untuk memberi makan kepada anak-anaknya. Yo Han pernah makan jamur ini atas petunjuk mendiang kakek Ciu Lam Hok, maka tanpa ragu lagi dia pun makan beberapa potong jamur.
Dan terhindarlah dia dari bahaya kelaparan! Kini dia dapat melanjutkan usahanya untuk mencari jalan keluar dengan menjelajahi lubang-lubang yang banyak terdapat di bawah permukaan bukit itu, merupakan lubang dan terowongan bawah tanah dari batu karang yang kuat.
Sambil mengerahkan seluruh anggota badannya, seluruh panca inderanya, didasari penyerahan diri kepada Tuhan, yakin bahwa kekuatan Tuhan akan membimbingnya, Yo Han terus bekerja dengan tekun, tak pernah putus asa walau pun beberapa kali lubang yang diikutinya tiba di dinding buntu dan terpaksa dia harus mencari lubang lain.
Kalau Yo Han dengan penuh semangat mencari jalan keluar, maka di atas sumur, di permukaan bukit itu, terjadi hal-hal yang hebat, yang tentu akan menggelisahkan hati Yo Han kalau dia mengetahuinya.
Bayangan tubuh Sim Hui Eng yang ramping padat itu berkelebat cepat, menyelinap di antara pohon-pohon. Dia sedang melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang, untuk mengetahui lebih banyak tentang perkumpulan itu dan bila mungkin menyelidiki apakah benar Yo Han telah tewas, ataukah ditahan di dalam rumah perkumpulan itu.
Gadis yang anggun dan cantik ini tidak lagi bersikap dingin dan angkuh seperti dulu saat dia masih menjadi puteri ketua Pao-beng-pai. Dia gunakan ginkang-nya dan gerakannya sedemikian cepat sehingga tidak akan kelihatan oleh orang-orang Thian-li-pang.
Akan tetapi, hal ini hanya dugaannya saja karena ia mengira bahwa musuh tidak tahu akan kedatangannya. Padahal, sejak ia bersama Sian Li dan Cia Sun berada di dekat sumur tua itu, para murid Thian-li-pang telah melakukan penjagaan dan Ouw Seng Bu sendiri telah mengamati gerak-gerik ketiga orang itu.
Tentu saja gerakan Hui Eng sekarang juga sudah selalu diamati. Setelah gadis itu kini berpisah jauh dari Sian Li dan Cia Sun, dan dia melihat bagian kanan perkampungan itu nampaknya tidak terjaga ketat, dengan berani ia melompati pagar dan memasuki bagian belakang sebuah bangunan besar yang akan diselidikinya. Mungkin ia dapat mendengar percakapan murid Thian-li-pang, atau syukur kalau menemukan sesuatu yang akan bisa menunjukkan tentang Yo Han.
Akan tetapi baru saja ia tiba di ruangan terbuka yang tadinya sepi itu, tiba-tiba terdengar gerakan orang. Ketika ia cepat memutar tubuhnya, ia melihat dirinya sudah terkepung oleh puluhan orang anak buah Thian-li-pang yang semuanya menyeringai dengan gaya mengejek!
"Hemmm...!" Hui Eng tidak menjadi gentar dan ia sudah mempersiapkan pedang dan kebutannya.
Dua orang pria yang agaknya menjadi pimpinan dari tiga puluh orang lebih anak buah Thian-li-pang itu melangkah maju dan berkata dengan suara yang mengandung ejekan.
"Nona, sebaiknya engkau menyerah dan akan kami hadapkan kepada pangcu dari pada tubuhmu yang mulus itu halus lecet-lecet dan mungkin terluka."
Sinar mata Hui Eng mencorong marah. "Aku? Menyerah kepada kalian? Makanlah ini!" Pedangnya menyambar ganas.
Dua orang anggota Thian-li-pang yang memimpin rombongan itu merupakan murid yang sudah agak tinggi tingkatnya. Mereka terkejut melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyambar, akan tetapi mereka masih dapat melempar tubuh ke belakang sehingga terhindar dari maut. Para anggota Thian-li-pang yang lainnya sudah mengepung ketat sambil menggerakkan senjata mereka mengeroyok gadis itu.
"Tar-tar-tarrr...!"
Sinar merah menyambar-nyambar dan bulu-bulu kebutan yang halus itu langsung saja merobohkan empat orang pengeroyok. Hui Eng mengamuk. Pedang serta kebutannya menyambar-nyambar menjadi dua gulungan sinar putih dan merah, dan dalam waktu belasan jurus saja sudah ada belasan orang anggota Thian-li-pang roboh!
"Semua mundur!" terdengar bentakan dan muncullah Siangkoan Kok! Datuk ini dengan muka merah karena marah menghadapi bekas puterinya, juga muridnya yang tadinya amat disayangnya. "Eng Eng, cepat menyerah!"
Akan tetapi Hui Eng memandang kepada orang yang dulu dianggap guru dan ayahnya itu dengan mata mencorong. "Kenapa aku harus menyerah kepadamu? Aku tidak sudi!"
Siangkoan Kok melotot. "Eng Eng, lupakah engkau bahwa aku adalah gurumu, juga pernah menjadi ayahmu yang menyayangmu?"
"Aku tidak lupa, semuanya aku tidak lupa, juga betapa engkau dengan kejam hampir membunuhku, dan engkau membunuh pula sumoi Tio Sui Lan, membunuh pula isterimu yang pernah menjadi ibuku. Aku tidak lupa dan sekaranglah saatnya aku membalaskan semua itu!" Setelah berkata demikian, dengan nekat Hui Eng sudah menerjang maju menyerang datuk yang pernah menjadi guru dan ayahnya itu.
"Keparat, kalau begitu engkau tak layak dikasihani!" Siangkoan Kok membentak sambil menangkis, lalu balas menyerang.
Guru dan murid itu segera saling serang dengan dahsyat dan terjadilah pertandingan yang amat seru karena keduanya menyerang untuk membunuh.
Melawan bekas gurunya sendiri itu saja Hui Eng sudah kewalahan, karena betapa pun juga, semua ilmunya ia dapatkan dari Siargkoan Kok, sehingga semua gerakannya telah diketahui oleh datuk itu. Biar pun ia mengenal pula gerakan lawan, akan tetapi ia kalah pengalaman dan ilmunya kalah matang.
Apa lagi kini muncul dua orang tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang tanpa banyak cakap sudah maju membantu Siangkoan Kok. Hui Eng terdesak hebat dan ia hanya mampu memutar pedang dan kebutannya untuk menangkis saja, tidak mendapat kesempatan lagi untuk membalas serangan tiga orang lawannya.
Melihat kedua orang tosu yang membantunya itu menyerang dengan sungguh-sungguh, timbul kekhawatiran di hati Siangkoan Kok bahwa gadis itu akan roboh dan tewas, atau akan terluka berat. Hal ini tidak dikehendaki oleh Ouw-pangcu, juga dia sendiri tidak ingin melihat bekas murid dan puterinya itu tewas.
Dia masih sayang kepada Eng Eng. Bahkan kini, setelah gadis itu bukan lagi puterinya, timbul keinginan di hatinya untuk menarik gadis itu sebagai pengganti isterinya. Ia masih sayang kepada Eng Eng dan rasa sayang sebagai guru dan ayah itu dapat dialihkan menjadi kasih sayang seorang pria terhadap seorang wanita yang menjadi isterinya.
"Jangan lukai atau bunuh gadis ini. Kita tangkap hidup-hidup sesuai perintah pangcu!" kata Siangkoan Kok dengan suara lantang.
Dan mendengar seruan ini, kedua orang tusu lalu mengubah gerakan mereka, tidak lagi menyerang dengan pedang mereka, melainkan menggunakan pedang untuk menangkis dan menyerang dengan totokan tangan kiri untuk merobohkan gadis itu tanpa melukai atau membunuhnya.
Setelah melakukan perlawanan mati-matian, akhirnya Hui Eng terkena totokan dan roboh terkulai lemas! Siangkoan Kok cepat menelikungnya dan membawanya ke dalam, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi.
"Jaga baik-baik dan jangan sampai ia bisa meloloskan diri!" pesannya kepada beberapa orang Thian-li-pang yang sedang melakukan penjagaan. "Akan tetapi, siapa yang berani mengganggunya pasti akan dihukum berat!"
Siangkoan Kok, Im Yang Ji dan Kui Thiancu kemudian meninggalkan tempat tahanan itu sebab mereka sudah mendengar berita bahwa sekarang Ouw-pangcu sedang berusaha untuk menawan Si Bangau Merah.
Seperti juga Hui Eng, Sian Li melakukan penyelidikan melalui samping perkampungan Thian-li-pang. Ia pun meloncati pagar dan sama sekali tidak mendapatkan perlawanan karena di balik pagar tembok itu tidak nampak seorang pun anggota Thian-li-pang.
Akan tetapi, sungguh tak mudah untuk menjebak Si Bangau Merah. Ia cukup waspada. Dan melihat keadaan yang sepi itu, ia pun maklum bahwa agaknya pihak musuh sudah mengetahui akan kedatangan dirinya dan kini sengaja mengosongkan tempat itu untuk memasang perangkap.
Dengan ginkang-nya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Sian Li berkelebat, kemudian menyelinap ke dalam sebuah taman kecil dan dari sini ia pun meloncat ke atas genteng dan bersembunyi di balik wuwungan. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga para anggota Thian-li-pang yang mengawasinya kehilangan jejaknya. Bahkan Ouw Seng Bu yang diam-diam juga mengamatinya dari dalam, menjadi terkejut dan bingung karena Si Bangau Merah itu tidak nampak lagi.
Dari balik wuwungan, Sian Li mengintai ke bawah dan dia tersenyum mengejek ketika melihat beberapa orang anak buah Thian-li-pang yang mulai bermunculan dari tempat sembunyi mereka. Seperti telah diduganya, orang-orang Thian-li-pang telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja bersembunyi untuk membiarkan dia masuk ke dalam jebakan mereka. Akan tetapi karena ia lenyap bersembunyi di wuwungan, mereka mulai menjadi bingung dan ada yang keluar mencari-cari.
Sian Li mengambil jalan memutar. Ia melihat seorang anggota Thian-li-pang mencari ke arah belakang dengan pedang terhunus di tangan sambil melongok-longok. Sian Li lalu bergerak mendekati dari atas. Setelah cukup dekat, ia menggerakkan tangan kanannya dan sepotong genteng yang ia patahkan dari ujung wuwungan menyambar dan tepat mengenai tengkuk orang itu. Dia hanya sempat mengeluh pendek, pedangnya terlepas kemudian roboh terkulai, pingsan.
Sian Li menanti beberapa lamanya. Setelah yakin tidak ada orang melihat penyerangan itu, ia melayang turun dan menarik lengan orang yang tak mampu bergerak itu ke dalam sebuah ruangan kosong, dan ia menutupkan daun pintu ruangan itu.
Anggota Thian-li-pang itu terkejut bukan main ketika totokannya punah dan dia siuman. Ia melihat gadis berpakaian merah itu menodongkan pedang tajam yang menggigit kulit lehernya. Pedangnya sendiri!
"Kalau engkau tidak mau mengaku terus terang, pedang ini akan langsung menembus tenggorokanmu!" Sian Li mendesis.
Mata orang itu terbelalak, mukanya berubah pucat. Apa lagi ketika dia merasa perihnya kulit leher di mana ujung pedangnya sendiri menempel.
"Saya... saya mengaku terus terang...," katanya lirih.
"Hayo katakan, di mana Sin-ciang Taihiap Yo Han? Jangan bohong!"
Orang itu semakin ketakutan. "Dia... dia... di tempat... tahanan..."
Berdebar-debar rasa hati Sian Li karena lega. Seperti sudah diduganya, Ouw Seng Bu hanya membohonginya.
"Di mana tempat itu? Hayo antar aku ke sana!"
"Saya... saya tidak berani... ahhh...!"
Pedang itu menusuk, masuk ke kulit lehernya sampai setengah senti, mendatangkan rasa nyeri dan ketakutan hebat. Sedikit saja nona baju merah itu menusukkan pedang itu, tentu lehernya akan tembus dan matilah dia.
"Baik... baik...," katanya.
Sian Li menarik pedangnya. "Hayo jalan dulu, awas, kalau engkau memberi tanda atau berteriak, akan kucincang tubuhmu."
Dengan tubuh gemetar ketakutan, anak buah Thian-li-pang itu lalu membawa Sian Li menyelinap melalui sebuah lorong kecil. Setiap kali melihat ada anak buah Thian-li-pang lainnya, orang itu ditarik oleh Sian Li untuk bersembunyi dengan pedangnya menodong pada punggung orang itu.
Akhirnya, setelah melalui jalan yang berliku-liku, orang itu membawa Sian Li memasuki ruangan bagian belakang. Bangunan di situ cukup besar dan mereka memasuki lorong sehingga tiba di depan pintu sebuah kamar yang terbuat dari besi dan ada jerujinya yang kokoh kuat. Pintu kamar itu dipasangi rantai yang dikunci.
"Dia... dia ada di sana..." Orang itu menuding ke dalam kamar tahanan itu.
Sian Li menggerakkan tangan kirinya dan orang itu terkulai lemas, tak mampu bergerak lagi karena tertotok. Sian Li menghampiri jeruji pintu kamar itu dan melihat ke dalam. Jantungnya berdebar.
"Han-koko...!" Ia berseru, akan tetapi lirih karena tidak ingin membuat gaduh.
Ia melihat Yo Han duduk bersila, membelakangi pintu. Ia memang tidak melihat wajah orang itu, akan tetapi perawakannya membuat ia mengenal pemuda itu, apa lagi anak buah Thian-li-pang tadi mengatakan bahwa Yo Han ditawan di kamar itu.
"Han-koko...!" Ia memanggil lagi.
Akan tetapi orang yang bersila membelakanginya itu tidak menjawab dan tak bergerak. Agaknya Yo Han terluka parah dan sedang menghimpun hawa murni, maka tidak dapat menjawabnya, pikir Sian Li. Dia melihat betapa Yo Han menarik napas panjang dan menahan napas itu sampai lama.
Ahhh, Yo Han tentu terjebak musuh dan menderita luka, maka bisa tertawan, pikir Sian Li. Sekaranglah saatnya membebaskannya, karena kalau sampai Ouw Seng Bu dan sekutunya muncul, tidak akan mudah baginya untuk membebaskan kekasih hatinya itu.
"Han-koko, jangan khawatir, aku akan menolongmu!" katanya.
Ia memperhitungkan bahwa kalau kamar tahanan itu dipasangi jebakan, tentu Yo Han akan memperingatkannya. Sian Li lalu mengeluarkan sulingnya.
Suling itu hanya disaput emas, akan tetapi sebetulnya di sebelah dalamnya terbuat dari baja pilihan yang sangat kuat. Dia mengerahkan tenaganya, tenaga gabungan Im-yang Sinkang dari keluarga Pulau Es seperti yang ia pelajari dari Suma Ceng Liong, memutar sulingnya dengan ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan sinar emas menyambar ke arah lantai yang membelenggu daun pintu kamar tahanan itu.
"Tranggg... trakkk!"
Rantai itu patah dan Sian Li mendorong daun pintu kamar tahanan itu sehingga terbuka. Dengan cepat, namun hati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaan, dia pun memasuki kamar tahanan itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar dan ketika ia menengok, nampak banyak anak buah Thian-li-pang memasuki rumah tahanan itu.
Hemmm, ia telah ketahuan musuh, pikirnya. Ia harus cepat membebaskan Yo Han.
"Han-koko, mari kita pergi..." Ia menahan kata-katanya dan terbelalak ketika orang yang tadinya bersila membelakanginya itu meloncat ke depan, membalikkan tubuhnya dan ia berhadapan dengan Ouw Seng Bu!
Kiranya, ketua baru Thian-li-pang yang tadi duduk bersila membelakanginya. Memang perawakan ketua baru ini mirip dengan perawakan Yo Han, dan agaknya sang ketua ini sengaja menyamar sehingga rambut yang dikucir bergantung dan melingkar leher itu pun sama, juga pakaiannya.
"Ha-ha-ha, Bangau Merah! Sudah kukatakan bahwa Yo Han telah berkhianat, dan dia sudah mati di dalam sumur tua, dan engkau masih juga tidak percaya? Sekarang, lebih baik engkau menyerah dan membantu kami berjuang melawan penjajah, sesuai dengan nama besar keluargamu sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa."
"Keparat Ouw Seng Bu! Engkau tentu telah menjebak Han-koko! Sekarang aku harus membalas dendam kepadamu!" Setelah berkata demikian, Sian Li memutar suling dan menerjang maju. Akan tetapi, Ouw Seng Bu menghindar dengan loncatan ke kiri.
"Ha-ha-ha, engkau sudah terkepung dan masih bicara besar? Lihatlah, di luar kamar ini anak buahku sudah menghadang dan mengepung. Engkau tidak akan dapat lolos, Tan Sian Li. Melawan pun tiada gunanya karena kalau Yo Han saja tak mampu menandingi aku, apa lagi engkau."
"Jahanam busuk yang sombong!" Sian Li berteriak dan ia pun menyerang lagi dengan dahsyat.
Diam-diam Ouw Seng Bu terkejut karena serangan Si Bangau Merah itu memang kuat dan dahsyat bukan main. Sulingnya berubah menjadi sinar emas yang mengeluarkan suara melengking-lengking aneh. Ia melompat ke tepi kamar, tangannya cepat menekan tombol di dinding sehingga dinding di belakangnya terbuka. Dan ia melompat masuk.
"Pengecut, hendak lari ke mana kau?" bentak Sian Li yang cepat-cepat mengejar. Dia pun ikut meloncat masuk ke dalam kamar lain di mana Ouw Seng Bu sudah menunggu sambil tersenyum mengejek.
Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya secara aneh dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan! Dia telah menghimpun tenaga dari ilmunya yang sesat, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latih. Kini wajahnya berubah, masih tampan, tapi senyumnya yang tadinya ramah dan manis itu berubah menjadi wajah menyeringai yang amat menyeramkan, sadis dan dingin. Matanya liar dan suara tawanya bagaikan setan tertawa.
Ketika Sian Li melihat keadaan Ouw Seng Bu seperti itu, ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang yang tidak waras, atau miring otaknya! Ia tidak tahu bahwa keadaan itu merupakan akibat dari ilmu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan.
"Iblis gila!" bentaknya dan ia menyerang lagi dengan sulingnya.
Kamar yang ini berbeda dengan kamar tahanan di depan tadi. Dinding yang tadi terbuka menembus ke kamar tahanan sekarang sudah menutup kembali dengan sendirinya dan kamar ini lebih luas.
Sian Li menghantamkan sulingnya ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi, Seng Bu meloncat ke samping dan ketika suling itu mengejar dengan sambaran ke samping, dia menangkis dengan tangan kirinya.
"Takkk...!"
Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh Sian Li terdorong ke belakang hingga tiga langkah. Gadis itu terkejut bukan main. Sulingnya yang ditangkis tadi tergetar hebat. Ada tenaga aneh yang amat dingin menyusup melalui suling dan tangannya dan tenaga itu amat kuat sehingga dia terdorong dan terhuyung. Baiknya dia masih mengerahkan tenaga sinkang untuk menolak pengaruh hawa dingin aneh itu.
"Ha-ha-he-he-he!" Ouw Seng Bu terkekeh menyeramkan dan membusungkan dadanya. "Si Bangau Merah, engkau tidak akan menang melawan aku. Ilmuku yang amat hebat ini tidak dapat ditandingi siapa pun juga. Sebentar lagi aku akan menjadi jagoan nomor satu di dunia dan mengusai dunia kang-ouw. Bahkan setelah menjatuhkan pemerintah penjajah Mancu, akulah yang layak dan pantas menjadi kaisar. Ha-ha-ha!"
"Gila, dia gila akan tetapi memiliki ilmu yang ajaib," pikir Sian Li.
Ia harus dapat merobohkan orang ini, kalau tidak, ia tentu akan celaka. Baru orang ini saja sudah demikian hebat, kalau para sekutunya datang mengeroyok, ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi mereka.
Sian Li mengeluarkan pekik melengking. Kini dia memutar suling emasnya, memainkan ilmu pedangnya yang paling ampuh, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Bangau Merah) yang ia pelajari dari ayahnya, Pendekar Sakti Bangau Putih.
Sulingnya berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung yang menyilaukan mata, dan tubuhnya juga lenyap berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan terbungkus sinar emas. Dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyerang ke arah Ouw Seng Bu.
Namun, sambil terkekeh-kekeh aneh, Ouw Seng Bu berdiri tegak dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, kadang diputar seperti baling-baling, dan dari kedua tangan itu menyambar hawa dahsyat yang membuat semua serangan Sian Li tertolak kembali, mental sebelum mengenai tubuh lawan! Ketika Ouw Seng Bu melangkah maju mendekat, hawa pukulan kedua tangannya semakin kuat sehingga kini gulungan sinar emas itu makin menyempit, tanda bahwa Si Bangau Merah terdesak oleh tenaga aneh itu.
Pada saat itu terdengar suara wanita berteriak, "Bu-ko, jangan bunuh atau lukai dia!"
Mendengar teriakan itu, Ouw Seng Bu lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, tidak, tidak, sayang, jangan khawatir!"
Setelah berkata demikian, mendadak dia meloncat ke belakang dan berlari keluar dari ruangan itu melalui sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan panjang.
"Jangan lari!" bentak Sian Li yang mengejar.
Terdengar suara keras dan lorong itu sudah tertutup dari depan dan belakang oleh pintu rahasia. Sian Li terkejut, merasa terjebak dalam lorong yang tertutup, akan tetapi karena Ouw Seng Bu masih berada di situ bersamanya, ia tidak takut dan memutar suling lebih cepat untuk menjaga agar orang itu tidak melarikan diri melalui sebuah pintu rahasia.
"Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lolos, Bangau Merah!" kata Ouw Seng Bu.
Mendadak dari lantai lorong itu keluar asap kemerahan yang memenuhi lorong. Sian Li mencium bau harum menyengat dan tahulah dia bahwa asap itu mengandung racun pembius! Akan tetapi, tidak ada jalan keluar dan jalan satu-satunya hanya menyerang mati-matian pada lawan yang masih terus tertawa-tawa walau pun asap merah semakin menebal.
Gadis perkasa yang cerdik ini menyesal akan kebodohan dirinya sendiri. Tentu saja, pikirnya. Ouw Seng Bu telah memakai obat penawar! Asap sudah terpaksa disedotnya ketika ia bernapas.
"Keparat keji, pengecut, curang...!" Ia menyerang kembali akan tetapi kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang dan ia pun roboh terkulai pingsan.
Ketika siuman kembali, Sian Li mendapatkan dirinya sudah rebah di atas sebuah dipan. Dia melihat betapa kaki tangannya diikat oleh rantai baja yang panjang. Cepat ia turun dari pembaringan itu dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mematahkan rantai kaki tangannya.
"Jangan, Sian Li. Jangan patahkan rantai kaki tanganmu," terdengar suara orang.
Sian Li menengok dan melihat Hui Eng juga berada di kamar itu. Juga gadis ini dirantai kaki tangannya, dengan rantai panjang yang membuat ia mampu bergerak ke sana sini, mampu mempergunakan tangan kakinya, akan tetapi rantai itu tidak sampai pintu kamar tahanan yang beruji.
"Ahh, kiranya engkau pun sudah tertawan. Bagaimana dengan pang..." Sian Li teringat. Mereka berada di tangan pemberontak Thian-li-pang, sungguh berbahaya kalau mereka mengetahui bahwa Cia Sun adalah pangeran Mancu. "Di mana Sun-toako?"
"Entah, kami berpencar, bukan? Aku dikepung dan dikeroyok, lalu tertangkap."
"Tapi mengapa engkau melarang aku mematahkan rantai ini! Kurasa engkau pun akan mampu mematahkan rantai kaki tanganmu."
"Agaknya aku akan mampu mematahkan rantai ini, akan tetapi apa gunanya? Mereka jelas tidak ingin membunuh kita, dan rantai ini bagaimana pun juga masih memberi kebebasan bergerak kepada kita. Dengan mematahkannya, belum berarti kita bebas. Kamar ini kokoh kuat dan terjaga kuat, juga mereka dapat mempergunakan perangkap untuk menangkap kita kembali. Kalau sampai mereka menggantikan rantai ini dengan belenggu yang membuat kita tidak mampu bergerak leluasa, bukankah hal itu lebih menyiksa? Kita harus tenang dan sabar, tidak menuruti kemarahan."
Sian Li mengangguk membenarkan. "Mereka itu lihai, dan orang she Ouw itu agaknya miring otaknya. Dia itu gila, akan tetapi memiliki ilmu seperti iblis sendiri. Belum pernah selama hidupku bertemu dengan lawan setangguh itu yang memiliki ilmu seaneh itu."
"Aku... aku mengkhawatirkan pangeran..." kata Hui Eng lirih.
"Agaknya dia tidak seperti kita, tidak tertangkap. Mudah-mudah saja begitu karena kalau dia masih bebas, berarti kita masih mempunyai harapan akan dapat tertolong. Aku sekarang mengerti bahwa anggota Thian-li-pang yang kutangkap tadi sengaja dipasang sebagai umpan perangkap. Mereka itu amat lihai dan licik sekali. Sekarang aku sungguh mencemaskan keadaan Han-koko."
Mereka terdiam karena mendengar langkah kaki yang ringan menghampiri dari luar kamar tahanan. Muncullah Cu Kim Giok, gadis manis dengan mata indah, akan tetapi kini wajahnya agak muram dan matanya mengandung penyesalan.
"Hemmm, engkau sungguh tidak tahu malu masih berani muncul di depan kami!" Sian Li langsung menyambut dengan ucapan keras. "Ingin aku melihat wajah Paman Cu Kun Tek serta Bibi Pouw Li Sian yang gagah perkasa kalau melihat puterinya seperti ini, membantu orang-orang jahat!"
Cu Kim Giok memandang sedih. "Aihhh, tidak kusangka akan begini jadinya. Sungguh, aku bersumpah, Sian Li, aku bukan orang yang membela orang jahat. Semua ini hanya salah sangka dari pihakmu saja. Aku berani menanggung bahwa Ouw Seng Bu adalah orang yang gagah perkasa, seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Bahkan dia mau mengorbankan apa saja dengan perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Salahkah aku kalau aku membantu perjuangan yang suci ini? Engkau terlalu berprasangka dan menganggap buruk. Tentang kematian Pendekar Tangan Sakti Yo Han, sungguh bukan kesalahan Ouw-toako. Aku sendiri menjadi saksinya. Yo Han yang berusaha membunuh Ouw-koko seperti yang telah dilakukannya kepada para pimpinan Thian-li-pang, dan Ouw-koko hanya membela diri. Jika Yo Han tidak tergelincir ke dalam sumur, dan tidak ditimbuni batu, tentu Ouw-koko yang tewas di tangannya. Percayalah, Ouw-koko adalah seorang yang baik, seorang pendekar yang..."
"Gila! Ya, dia seorang yang miring otaknya, Kim Giok. Tidak tahukah engkau akan hal itu atau pura-pura tidak tahu? Cu Kim Giok, katakan kepada iblis gila Ouw Seng Bu itu bahwa kalau benar Han-koko tewas di tangannya, aku Tan Sian Li akan mengerahkan seluruh keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir untuk membalas dendam! Aku tidak akan berhenti berusaha sampai aku dapat memenggal lehernya serta membawa kepalanya dan hatinya untuk sembahyang kepada Han-koko!"
Berkata demikian, karena sambil membayangkan kematian Yo Han, kedua mata Sian Li lantas menjadi basah dan suaranya gemetar, walau pun mengandung ancaman yang membuat Kim Giok merasa ngeri.
"Sian Li, engkau rela mengorankan apa pun untuk membela Yo Han, karena engkau menganggap dia benar dan mencintanya. Apakah aku tidak boleh membela orang yang kuanggap benar dan yang kucinta?"
Dengan muka penuh kesedihan Kim Giok meninggalkan tempat itu dengan cepat. Dua orang gadis perkasa itu masih sempat mendengar isak tangis yang dibawa lari gadis dari Lembah Naga Siluman itu.
"Sungguh aneh! Ia mencinta Ouw Seng Bu...!" kata Sian Li lirih.
"Ihhh, kenapa hal itu kau anggap aneh, Sian Li?" tanya Hui Eng, tersenyum.
"Akan tetapi Ouw Seng Bu itu orang gila! Iblis gila!"
Hui Eng tertawa geli dan Sian Li memandang heran. Memang nampak aneh dan lucu melihat gadis itu tertawa-tawa geli, padahal mereka kini berada dalam tahanan musuh dengan kaki tangan dipasangi rantai! Sungguh-sungguh merupakan keadaan yang patut mendatangkan tangis, bukan tawa geli! Ini saja sudah membuktikan betapa tabah hati Sim Hui Eng menghadapi keadaan yang gawat. Dan hal ini membesarkan pula hati Sian Li. Mempunyai seorang kawan sependeritaan setabah ini memang membesarkan hati.
"Hemmm, apa yang perlu ditertawakan? Apanya yang lucu?" tanya Sian Li.
"Engkau yang lucu," kata Hui Eng. "Mengapa engkau seperti orang kebakaran jenggot melihat gadis itu mencintai Ouw Seng Bu?"
"Hushhh! Mana aku berjenggot?" cela Sian Li, akan tetapi kini ia pun tertawa geli.
"Sian Li, cinta membuat orang yang kita cinta nampak selalu benar selalu baik, selalu menarik, sebaliknya benci membuat orang yang kita benci nampak selalu salah, selalu buruk, selalu menyebalkan. Buktinya, engkau ditunangkan dengan pangeran Cia Sun, tapi engkau malah memilih Yo Han. Dan pangeran malah memilih aku, padahal saat itu aku masih puteri ketua Pao-beng-pai yang memberontak kepada kerajaan keluarganya. Dan aku pun memilih dia, padahal aku selalu tak suka kepada penjajah Mancu, dan aku yakin, Yo Han juga tak akan suka memilih lain gadis kecuali engkau. Nah, apa anehnya kalau sekarang gadis itu mencinta Ouw Seng Bu dan menganggap dia selalu baik dan benar?"
Sian Li termenung. Kebenaran ucapan Hui Eng meresap dalam hatinya. Memang apa yang dikatakan Hui Eng patut direnungkan.
Kita semua selalu mengambil kesimpulan dan mempunyai pendapat mengenai sesuatu berdasarkan penilaian kita, dan kita menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk. Kita lupa bahwa sesuatu itu tiada yang abadi, tak ada yang tetap dan selalu akan berubah-ubah.
Kita tidak mungkin dapat menentukan seseorang itu baik atau buruk, karena si orang yang kita nilai itu sudah pasti akan mengalami perubahan, dan perubahan ini akan mendatangkan kesan berbeda-beda bagi kita, ada kalanya kita anggap baik dan ada kalanya pula kita anggap buruk. Orang yang hari ini kita anggap sebaik-baiknya orang, mungkin pada suatu saat kelak akan kita anggap seburuk-buruknya orang, demikian sebaliknya.
Mengapa demikian? Pertama, karena tidak ada apa atau siapa pun di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Dan kedua, karena pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian, dan setiap penilaian, diakui atau pun tidak, disadari mau pun tidak, selalu berdasarkan kepentingan si-aku, si penilai.
Penilaian muncul dengan pertimbangan untung rugi, disenangkan atau tak disenangkan. Jika seseorang atau sesuatu benda itu menguntungkan dan menyenangkan, bagaimana mungkin kita menilainya jelek dan jahat? Sebaliknya, kalau seseorang atau sesuatu itu merugikan dan tidak menyenangkan, sudah pasti kita menilainya tidak baik, tak mungkin kita menilainya bagus atau baik.
Biar pun orang sedunia mengatakan bahwa seorang yang baik dan patut dipuji, akan tetapi kalau memusuhi kita, merugikan dan tidak menyenangkan kita, mungkinkah kita menilainya sebagai seorang yang baik dan patut dipuji? Sebaliknya, andai kata orang sedunia mencaci sebagai seorang yang jahat dan patut dikutuk, akan tetapi kalau baik terhadap kita, menguntungkan dan menyenangkan kita, dapatkah kita mengutuknya dan menilainya sebagai seorang yang jahat?
Bahkan seorang kekasih yang dicinta setengah mati pun, karena dia menyenangkan kita, kita puja karena menguntungkan perasaan kita. Seandainya pada suatu hari dia itu melakukan sesuatu yang merugikan kita dan tidak menyenangkan kita, misalnya menipu kita, menyeleweng dengan orang lain, tak mau melayani kita sebagai kekasih, dapatkah kita tetap menilainya baik dan mencintanya? Biasanya, cinta itu berubah menjadi benci!
Mengapa? Sebab benci itu merupakan akibat penilaian yang buruk terhadap seseorang! Kalau menyenangkan, dinilai baik dan dicinta, kalau sekali waktu tidak menyenangkan, dinilai buruk dan dibenci!
Hujan tinggal tetap hujan, air yang jatuh dari atas. Akan tetapi jika hujan itu merupakan sesuatu yang merugikan kita seperti banjir, atau menghalangi kesenangan, kita akan menganggapnya buruk dan mengomel. Namun kalau hujan itu datang dan kita anggap menyenangkan dan menguntungkan, seperti para petani yang berharap datangnya air untuk sawah ladang mereka, maka kita akan menilainya baik dan hati kita senang, mulut tidak lagi mengomel dan cemberut, melainkan tertawa-tawa dan bersyukur!
Demikianlah panggung sandiwara dalam kehidupan ini, lebih lucu dan konyol dari pada panggung para pelawak. Kita dipermainkan nafsu yang sudah menyusup dalam diri kita lahir batin, dan karena nafsu selalu mengejar kesenangan, maka timbullah suka duka dan penilaian baik buruk, persahabatan permusuhan dan segala macam kebalikan-kebalikan yang mendatangkan konflik lahir batin pula.
Dapatkah kita hidup tanpa menilai dan menerima kenyataan apa adanya? Apa pun yang terjadi dan menimpa kehidupan kita merupakan suatu kenyataan hidup yang patut kita hadapi dengan segala kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan!
Tuhan Maha Pencipta. Seluruh isi alam maya pada adalah milik Sang Maha Pencipta, jadi Dialah yang menentukan segala. Kewajiban kita hanyalah berusaha dan berikhtiar untuk mempertahankan hidup ini yang berarti membantu kodrat Tuhan yang sudah menghidupkan kita, dan mengisi kehidupan ini supaya hidup kita bermanfaat bagi diri sendiri, bagi keluarga dan bagi lingkungan. Bermanfaat berarti tidak merusak.
Dengan pasrah, dengan menyerahkan kepada Tuhan yang menciptakan kita, menyerah penuh keiklasan dan ketawakalan, barulah mungkin bagi kita untuk menerima segala yang terjadi dengan penuh kesadaran, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu, pada akhirnya ditentukan oleh kekuasaan-Nya.
"Aku mengerti sekarang, enci Eng, dan aku merasa kasihan kepada Kim Giok. Aku hampir yakin bahwa dia sudah terbujuk, bahwa Ouw Seng Bu itu seorang yang tidak waras, orang gila yang teramat cerdik dan licik, juga memiliki ilmu silat yang aneh dan berbahaya sekali."
"Kita lihat perkembangannya, adik Sian Li. Kita harus bersabar dan melihat apa yang akan mereka lakukan terhadap kita. Aku yakin mereka akan menghubungi kita, mungkin melalui Cu Kim Giok tadi. Tidak perlu kita bergerak dengan sia-sia, sebaiknya menanti datangnya kesempatan baru kita mematahkan rantai ini dan mencoba untuk lolos."
Sian Li mengangguk, diam-diam dia merasa lega dan girang karena mempunyai teman seperti ini boleh diandalkan.
Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tiba di kaki Bukit Naga. Terdapat sebuah kuil tua yang kosong di kaki bukit sebelah itu. Dan karena hari menjelang senja, mereka mengambil keputusan untuk melewatkan malam di kuil tua itu. Tadi mereka telah membeli bekal makanan dari dusun terakhir.
Di luar kuil tua yang tidak digunakan lagi itu, mereka berhenti dan terkejut melihat ada seorang tosu duduk bersila di bagian depan kuil. Ciang Hun yang telah berpengalaman tidak berani lancang dan dia menghampiri tosu itu. Bi Kim mengikutinya dari belakang, bersiap menghadapi segala kemungkinan karena tahu bahwa mereka telah berada di daerah Bukit Naga.
"Harap Totiang memaafkan kami berdua. Karena kemalaman di perjalanan kami ingin melewatkan malam di kuil tua ini, kalau saja tidak mengganggu Totiang."
"Siancai, silakan, Kongcu dan Siocia,” kata pendeta itu dengan sikap acuh.
Pada saat kedua orang muda itu hendak melangkah masuk, dari dalam keluar empat orang tosu lainnya. Tentu saja hal ini membuat Ciang Hun sangat terkejut.
"Ahhh, maafkan kami, Cuwi Totiang. Kiranya kuil ini sekarang menjadi tempat tinggal Totiang sekalian?"
Tosu tertua yang tadi duduk bersila di luar berkata lembut, "Sama sekali bukan, Kongcu. Kami berlima juga sedang berteduh dan melewatkan malam di sini. Kuil ini kosong dan tidak dipergunakan lagi."
"Ahh, kalau begitu kebetulan dan terima kasih Totiang."
Ciang Hun dan Bi Kim lalu membersihkan lantai di sudut ruangan depan karena ternyata hanya ruangan depan itu saja yang masih agak utuh dan bersih, sedangkan ruangan tengah dan belakang kuil itu sudah rusak dan kotor.
Lima orang tosu itu duduk bersila, dan dua orang muda di sudut itu lalu menyalakan lilin yang tadi mereka beli sehingga ruangan itu tidak menjadi gelap lagi. Malam tiba dan hawa udara amat dinginnya. Dua orang di antara para tosu itu lalu membuat api unggun dari kayu-kayu yang agaknya sudah mereka cari dan kumpulkan siang tadi. Keadaan menjadi semakin terang oleh cahaya api unggun dan timbul kehangatan di situ.
Bi Kim mengeluarkan buntalan makanan yang mereka beli tadi, dan dengan ramah dan hormat Ciang Hun dan Bi Kim menawarkan makanan kepada lima orang tosu itu.
"Cuwi Totiang, mari silakan Cuwi Totiang makan malam bersama kami. Kita makan seadanya, Totiang," kata Bi Kim.
"Silakan, Totiang, kami akan gembira sekali untuk menjamu Cuwi dengan makanan kami yang sederhana," kata pula Ciang Hun.
"Siancai, Ji-wi adalah dua orang muda yang ramah dan baik. Terima kasih, Kongcu dan Siocia, kami tadi sudah makan dan sekarang merasa kenyang. Silakan Ji-wi makan, harap jangan sungkan-sungkan," kata tosu tertua.
Karena maklum bahwa mereka berdua menghadapi perjalanan yang mungkin sukar dan membutuhkan banyak pengerahan tenaga, maka kedua orang muda itu tidak merasa sungkan-sungkan lagi dan mulai makan bak-pao dan dendeng yang tadi mereka beli sebagai bekal. Setelah mereka selesai makan, membersihkan mulut dan tangan dengan air yang mereka bawa, mereka diundang duduk dekat api unggun oleh para tosu.
Dengan gembira dua orang muda itu duduk mengelilingi api unggun bersama lima orang pendeta itu.
"Kalau pinto (saya) tidak salah lihat, Ji-wi bukanlah dua orang muda biasa, melainkan dua orang muda yang memiliki kepandaian silat. Bolehkah pinto mengetahui nama Ji-wi dan apa keperluan Ji-wi mendatangi daerah yang berbahaya ini?"
Karena yakin bahwa lima orang pendeta ini adalah orang-orang beribadat yang baik, maka Ciang Hun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan keadaan mereka. "Totiang, saya bernama Gak Ciang Hun dan nona ini adalah Gan Bi Kim. Kami berdua melakukan perjalanan ke sini untuk mencari seorang sahabat kami yang jejaknya menuju ke bukit ini."
Tiba-tiba Gan Bi Kim berkata, "Mungkin sekali Cuwi Totiang ada yang melihat sahabat kami itu lewat di sini!"
"Aihh, benar juga!" seru Ciang Hun girang. "Apakah Cuwi Totiang melihat sahabat kami itu lewat di sini? Dia seorang gadis muda..."
"Pakaiannya serba merah?" potong seorang tosu.
"Benar, benar!" Ciang Hun berseru girang.
"Siancai, yang kalian cari itu bukankah Si Bangau Merah, nona Tan Sian Li?"
Dua orang muda itu hampir berteriak karena girangnya.
"Benar sekali, Totiang!" kata Gak Ciang Hun. "Apakah Totiang melihatnya? Di mana?" tanyanya dengan penuh gairah.
"Nanti dulu, kalau Ji-wi mengenal Si Bangau Merah, tentulah Ji-wi bukan orang-orang sembarangan. Kongcu she Gak? Hemmm...? Pinto sudah pernah mendengar tentang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san), apakah hubungan Kongcu dengan para pendekar she Gak itu?"
"Saya adalah puteranya..."
"Ahh! Sungguh kami merasa beruntung bertemu dengan putera Beng-san Siang-eng!"
"Kalau boleh kami mengetahui, siapakah Cuwi Totiang?" Ciang Hun bertanya, sekarang sambil memandang penuh perhatian.
Tosu tertua itu menghela napas panjang. "Pinto disebut Thian Tocu, seorang murid dari Bu-tong-pai dan empat orang ini adalah para sute pinto. Baru kemarin pinto berlima bertemu dengan Si Bangau Merah, bahkan dialah yang mengobati pinto dari pukulan beracun. Karena kekuatan pinto masih belum pulih, maka kami berhenti di sini untuk memulihkan tenaga."
"Lalu, ke manakah perginya adik Sian Li?" tanya Ciang Hun.
Tosu itu menghela napas panjang. "Kami khawatir sekali. Ia pergi mendaki Bukit Naga dan hendak berkunjung ke Thian-li-pang, padahal keadaan Thian-li-pang telah berubah sama sekali. Perkumpulan itu telah menyeleweng dan dipimpin oleh seorang ketua baru yang seperti Iblis. Kami sungguh mengkhawatirkan keselamatan pendekar wanita itu."
"Totiang, apakah yang sudah terjadi?" Gan Bi Kim bertanya, ikut pula merasa khawatir mendengar ucapan tosu itu.
Thian Tocu lalu menceritakan semua pengalaman mereka berlima. Mereka sengaja mendatangi Thian-li-pang karena mendengar berita tentang sepak terjang Thian-li-pang yang menyeleweng, yang menundukkan para tokoh-tokoh kang-ouw dengan kekerasan dan melakukan pemerasan.
"Bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah berita mengenai terbunuhnya Pendekar Tangan Sakti Yo Han oleh ketua baru Thian-li-pang..."
"Ahhh...! Benarkah itu, Totiang?" Ciang Hun berseru kaget.
"Kami pun tidak percaya. Ketika kami tanyakan hal itu kepada Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang, dia bahkan mengatakan bahwa Yo Han telah membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, kemudian Yo Han juga menyerang dia. Dalam perlawanan yang dibantu anak buahnya, Yo Han akhirnya tewas. Demikian keterangan Ouw-pangcu. Kami tidak percaya sehingga terjadi perkelahian, akan tetapi ketua baru itu seperti iblis, lihai bukan main dan pinto terkena pukulan beracun darinya. Kami merasa kalah dan turun bukit, lalu bertemu di jalan dengan Si Bangau Merah yang mengobati pinto. Kami sungguh mengkhawatirkan Si Bangau Merah yang hendak melakukan penyelidikan ke tempat berbahaya itu."
"Kalau begitu, adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus cepat ke sana, Kim-moi!" kata Ciang Hun, khawatir sekali.
"Gak-taihiap, sebaiknya bila kita berhati-hati menghadapi Thian-li-pang. Selain ketuanya sangat lihai, juga kini Thian-li-pang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti Siangkoan Kok bekas ketua Pao-beng-pai, juga para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai berada di sana. Sebaiknya kalau Ji-wi bersabar sampai lewat malam ini dan besok pagi-pagi barulah kita mendaki ke sana."
"Kita?" Ciang Hun bertanya.
"Kongcu, melihat Ji-wi yang muda-muda tetapi begitu bersemangat untuk membantu Si Bangau Merah, menentang bahaya dengan gagah berani, kami yang tua-tua merasa malu kalau hanya tinggal diam saja. Kami akan menemani Ji-wi membantu pendekar wanita Bangau Merah, walau pun kami tahu bahwa kekuatan kita ini tidak ada artinya dibandingkan kekuatan mereka yang mempunyai ratusan orang anak buah."
"Kita tidak bermaksud menyerang Thian-li-pang, Totiang, tapi hanya hendak menyelidiki kalau-kalau adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus membantunya."
"Kami siap membantu, Kongcu."
Demikianlah, malam itu mereka lewatkan dengan beristirahat dan menghimpun tenaga karena siapa tahu, besok mereka akan menghadapi musuh dan bahaya yang harus ditentang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Hun, Bi Kim dan lima orang tosu dari Bu-tong-pai telah mendaki Bukit Naga. Mereka bergerak cepat akan tetapi dengan hati-hati sekali dan tosu-tosu itu yang memimpin pendakian karena mereka lebih mengenal daerah itu dari pada kedua orang muda yang baru pertama kali itu berkunjung ke situ.
Akan tetapi gerak-gerik tujuh orang ini tidak terlepas dari pengintaian para anak buah Thian-li-pang. Ouw Seng Bu maklum bahwa sebelum pemuda yang datang bersama Sian Li dan Hui Eng itu tertangkap, tentu Thian-li-pang akan terancam bahaya.
Apa lagi ketika dia mendengar dari Siangkoan Kok bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran Mancu! Maka dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan tersembunyi, siang malam harus melakukan pengamatan terhadap seluruh permukaan bukit itu. Karena itu begitu tujuh orang itu mendaki bukit, para anak buah Thian-li-pang telah mengetahuinya dan diam-diam setiap gerak-gerik mereka telah diamati dan diikuti.
Sementara itu, di dalam rumah tahanan Cu Kim Giok kembali datang mengunjungi dua orang tawanan, Hui Eng dan Sian Li. Kini Sian Li sudah dapat menekan kemarahan hatinya dan melihat munculnya Kim Giok, ia bertanya, suaranya tenang saja. "Kim Giok, apa lagi yang hendak kau katakan kepada kami?"
"Sian Li, engkau melihat sendiri betapa Thian-li-pang bersikap baik kepada kalian yang bahkan tidak dianggap sebagai musuh, melainkan sebagai tamu. Aku berharap dengan sepenuh hatiku supaya kalian berdua juga bisa melihat kenyataan bahwa Thian-li-pang sesungguhnya mengharapkan persahabatan dan kerja sama dengan kalian berdua, bukan permusuhan."
"Kim Giok, sekarang aku mengerti bahwa engkau saling mencinta dengan Ouw Seng Bu, maka engkau membantu dan membelanya. Aku tidak akan mempersoalkan baik buruknya Ouw-pangcu itu, tetapi kalau memang benar Thian-li-pang hendak berbaik dan bersahabat dengan kami, mengapa kami dijebak, dikeroyok dan ditahan di dalam kurungan ini? Kenapa kami tidak dibebaskan saja?”
"Sian Li, percayalah, aku sudah minta-minta kepada pangcu supaya kalian dibebaskan, akan tetapi dia mengajukan alasan kuat sehingga aku sendiri pun tidak berdaya karena alasannya memang tepat. Ia mengatakan bahwa di dalam perjuangan, kita harus dapat membedakan mana kawan dan mana lawan. Sekarang ini, kalian memperlihatkan sikap sebagai lawan, dan kalau kalian dibebaskan, sungguh amat berbahaya bagi perjuangan Thian-li-pang. Kalian lihai dan dapat mendatangkan bencana kepada kami, kecuali tentu saja kalau kalian suka bekerja sama dengan kami dan sama-sama berjuang menentang pemerintah penjajah Mancu. Karena itu, aku mohon kepada kalian, jangan memusuhi Thian-li-pang, jangan memusuhi Ouw-pangcu, jangan memusuhi kami. Sungguh aku bersumpah, kami tidak mempunyai niat buruk terhadap kalian, hanya ingin mengajak kalian bekerja sama."
"Cu Kim Giok, tidak perlu engkau membujuk kami, tentu engkau sudah tahu bahwa kami tak akan sudi untuk bekerja sama dengan golongan sesat. Sebetulnya, melihat engkau membantu Ouw-pangcu, hatiku tidak rela, dan aku tidak ingin lagi berbicara denganmu. Akan tetapi mengingat ayah ibumu, orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, aku minta engkau berterus terang mengenai satu hal. Benarkah Yo Han telah tewas di sumur tua itu?"
Kim Giok menghela napas panjang. Jawaban itu memang sudah diduganya. Akan tetapi bagaimana pun juga, apa pun yang terjadi, ia akan tetap membela Seng Bu karena ia sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.
"Sian Li, dengan menyesal sekali terpaksa kukatakan bahwa memang benar Yo Han telah tewas di dalam sumur," katanya lirih.
Mendengar keterangan ini, Sian Li menahan jeritnya. Mukanya menjadi pucat dan dia hanya berdiri termangu-mangu bagaikan patung. Kedua tangan yang dipasangi rantai pada pergelangannya itu menggenggam...
"Sekarang boleh kau katakan kepadaku, apa artinya ini semua? Engkau yang pernah mengacau dan memusuhi keluarga kami, mengapa sekarang mendadak membantuku? Bukankah engkau tokoh Pao-beng-pai dan Siangkoan Kok tadi ketua Pao-beng-pai?"
Sebelum Hui Eng menjawab, karena hal ini terasa sukar sekali baginya, Cia Sun yang mendahuluinya memberi keterangan.
"Nona Tan Sian Li, memang sudah terjadi perubahan besar sekali atas diri Eng-moi ini. Jangankan engkau atau orang lain, dia sendiri pun terheran-heran ketika mendengar tentang keadaan dirinya."
Sian Li mengerutkan alisnya dan kini dia mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik. Sikapnya masih dingin. "Hemmm, sebelum engkau bercerita, katakan dulu siapa engkau ini dan bagaimana engkau dapat mengenal namaku!"
Wajah pangeran itu berubah menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. "Ehhh... sebetulnya... yang mengenalimu tadi bukanlah aku, melainkan Eng-moi ini, Nona. Aku bernama Cia Sun..."
"Cia...?" Sekarang Sian Li terbelalak memandang pemuda itu dan perlahan-lahan kedua pipinya berubah kemerahan. "Cia Sun...? Kau... maksudkan pangeran...?"
"Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Cia Sun yang oleh orang tua kita..." Cia Sun tidak melanjutkan kata-katanya.
"Sudahlah, Pangeran. Harap engkau suka menceritakan tentang semuanya ini, tentang Enci ini, tentang perubahan yang kau katakan tadi."
Sian Li memotong untuk mengalihkan pembicaraan karena ia menjadi rikuh sekali kalau harus bicara tentang hubungan di antara mereka. Siapa yang tidak menjadi rikuh dan gugup kalau secara tiba-tiba dihadapkan kepada seorang pemuda yang oleh ayah dan ibunya dicalonkan menjadi suaminya.
"Nona, ketika memusuhi keluargamu dan para pendekar, Eng-moi ini adalah seorang gadis yang bernama Siangkoan Eng, puteri dari ketua Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Akan tetapi, sekarang Eng-moi bukan lagi puteri ketua Pao-beng-pai, bahkan musuh besarnya, karena Eng-moi ini sebenarnya adalah puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan, yang hilang ketika masih kecil."
Sian Li terbelalak. "Aihhh...! Jadi engkau... engkau inikah puteri Paman Sim Houw yang hilang itu? Engkau yang dicari-cari semua pendekar, dicari oleh Han-koko dan aku pun ikut membantu mereka mencarimu? Dan engkau bahkan pernah datang menemui kami sebagai seorang musuh yang sengaja menantang kami?"
"Benar sekali, adik Sian Li. Ketika itu aku sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa aku bahkan anggota keluarga dekat dengan keluarga yang kutantang, sama sekali tak tahu bahwa aku bukanlah anak kandung Siangkoan Kok dan isterinya. Wanita yang sejak aku kecil mengaku sebagai ibu kandungku itu adalah Lauw Cu Si, seorang keturunan Beng-kauw yang memusuhi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir."
Kemudian, secara singkat namun jelas, diceritakanlah semua mengenai dirinya, tentang Siangkoan Kok dan Lauw Cu Si kepada Sian Li yang mendengarkan dengan bengong. Cerita itu sungguh seperti dongeng dan tentu saja dia tidak dapat menyalahkan Hui Eng atas sikapnya ketika memusuhi keluarganya dahulu. Bahkan dia lalu memegang kedua tangan Hui Eng.
"Aihhh, enci Hui Eng. Sungguh malang nasibmu, sejak kecil dipisahkan dari ayah ibu kandung dan dipelihara oleh orang-orang sesat. Akan tetapi dasar engkau keturunan suami isteri pendekar, maka biar pun engkau mendapat didikan para tokoh sesat, tetap saja engkau setelah dewasa berjiwa pendekar dan menentang kejahatan. Kemudian, bagaimana pula ceritanya, engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan... Pangeran Cia Sun ini dan kalian dapat datang tepat pada waktunya selagi aku terancam oleh pengeroyokan mereka tadi?"
"Kami saling berkenalan ketika aku dan kakak angkatku Yo Han..."
"Kakak angkatmu, Pangeran?" Sian Li terbelalak.
"Benar, Nona Tan. Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan aku sudah saling mengangkat saudara. Kami bertemu di Pao-beng-pai, kemudian kami mengangkat saudara setelah kami menjadi tawanan di Pao-beng-pai. Untunglah ada adik Eng ini yang membebaskan kami. Lalu Pao-beng-pai diserbu oleh pasukan pemerintah. Aku yang mengkhawatirkan nasib Eng-moi, lalu ikut pasukan untuk mencarinya. Akan tetapi dia tidak ada dan aku malah sempat bertemu dengan isteri Siangkoan Kok yang tewas oleh suaminya sendiri. Sebelum meninggal dunia, wanita itulah yang membuka rahasia Eng-moi kepadaku…"
Pangeran itu menghentikan kisahnya dan kini Hui Eng yang melanjutkan.
"Aku mengira bahwa Pangeran Cia Sun yang membawa pasukan dan menghancurkan Pao-beng-pai. Aku tak peduli kalau Pao-beng-pai yang jahat itu hancur, akan tetapi aku mendendam karena wanita yang tadinya kuanggap ibu kandungku itu tewas. Maka aku menyusul ia dan menawannya, dengan maksud membunuhnya di depan makam ibuku. Akan tetapi, aku mendengar ceritanya dan aku mengetahui keadaan diriku. Kami... kami lalu berbaik kembali, apa lagi setelah aku mendengar bahwa wanita yang kuanggap ibu kandungku itu tewas di tangan Siangkoan Kok."
"Tapi, kenapa kalian dapat datang ke Thian-li-pang?" tanya Sian Li yang masih terkesan oleh kisah yang terjadi antara kedua orang itu.
Pangeran Cia Sun yang mengambil keputusan untuk berterus terang, lalu menyambung cerita kekasihnya tadi. "Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa orang tua kita sudah menjodohkan kita, akan tetapi sebaiknya aku berterus terang kepadamu, nona Tan Sian Li. Meski setelah bertemu denganmu aku merasa bahwa orang tuaku telah melakukan pilihan yang tepat dan bahkan terlalu baik untukku, akan tetapi aku sudah saling jatuh cinta dengan Eng-moi dan kami telah bersumpah untuk menjadi suami isteri. Maafkan aku kalau menyinggung..."
Sian Li tersenyum! Senyum yang cerah dan sedikit pun tidak mengandung penyesalan sehingga melegakan hati Cia Sun dan Hui Eng. "Aku bahkan merasa lega dan gembira dengan pernyataanmu ini, Pangeran. Terus terang saja, aku sendiri pun sama sekali tak setuju dengan tindakan ayah dan ibuku yang memilihkan seorang calon suami untukku, seorang yang sama sekali tidak kukenal dan tidak kuketahui bagaimana orangnya. Nah, sekarang ceritakan bagaimana kalian dapat datang ke sini.”
"Aku hendak mengantar Eng-moi menghadap ayah dan ibu kandungnya yang tinggal di Lok-yang. Akan tetapi dalam perjalanan itu kami mendengar akan sepak terjang orang-orang Thian-li-pang. Aku merasa penasaran sekali kenapa Thian-li-pang dapat berubah menjadi perkumpulan yang menyeleweng, padahal, kakak angkatku Yo Han itu menjadi ketua kehormatannya. Aku lalu mengajak Eng-moi untuk berkunjung, dan kalau di sana ada Yo-toako, aku ingin menegurnya."
Sian Li kembali terheran-heran. "Pangeran, apakah engkau masih belum tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para pejuang yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah?! Dan engkau sendiri seorang pangeran kerajaan Ceng..."
"Benar, Nona. Aku adalah seorang Pangeran Mancu, pemerintah penjajah. Akan tetapi aku sendiri tidak menyetujui penjajahan dan menganggap bahwa perjuangan para orang gagah itu memang sudah benar dan menjadi hak mereka. Aku tidak ingin mencampuri urusan itu. Aku bercita-cita untuk menjadi orang biasa yang tidak mencampuri urusan pemerintahan. Bahkan kami sekeluarga pun tak mau memiliki ambisi untuk memegang kedudukan. Sebab itu, selama perkumpulan pejuang benar-benar merupakan pahlawan dan patriot sejati, aku menghormati mereka. Akan tetapi kalau mereka itu melakukan penyelewengan dan menjadikan perjuangan sebagai kedok untuk menutupi kejahatan yang mereka lakukan, aku pasti akan menentang mereka."
Sian Li mengangguk-angguk kagum dan dia memandang kepada Hui Eng.
"Aihh, enci Eng, engkau sudah mendapatkan seorang calon suami yang gagah perkasa. Sekarang tahulah aku kenapa ayah dan ibu berkeras hendak menjodohkan aku dengan Pangeran Cia Sun! Harap kau lanjutkan ceritamu, Pangeran."
Mendengar ucapan San Li yang begitu jujur dan terbuka, memuji pangeran itu begitu saja tanpa disembunyikan, sepasang kekasih itu tersipu akan tetapi juga merasa suka dan kagum kepada Si Bangau Merah.
"Kami segera mendaki Bukit Naga ini dan melihat engkau dikeroyok tadinya aku merasa ragu karena tidak tahu urusannya. Tapi begitu Eng-moi mengenalmu dan menyebutkan namamu, kami berdua segera terjun dan membantumu."
Sian Li menghela napas panjang. "Pertolongan Tuhan datang melalui apa saja, bahkan yang tidak pernah terduga sekali pun. Siapa yang pernah menyangka bahwa aku akan diselamatkan oleh orang yang ditunangkan denganku akan tetapi tak pernah kukenal dan akhirnya harus kutolak, dan oleh orang yang tadinya jelas memusuhi keluargaku? Kalian datang pada saat yang tepat sekali, karena tadi aku sudah hampir tidak tahan menghadapi mereka, terutama sekali Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang yang amat lihai itu."
"Sekarang tiba giliranmu, Nona. Kami ingin sekali mengetahui bagaimana engkau dapat berada di sana tadi dan dikeroyok banyak orang lihai?" tanya Cia Sun.
Ditanya begitu, Sian Li teringat akan Yo Han dan mendadak wajahnya menjadi muram. Kalau saja dia bukan seorang gadis yang tabah dan berhati baja, tentu dia pun sudah menangis karena teringat bahwa mungkin sekali pria yang dikasihinya itu telah tewas.
Cia Sun dan Hui Eng melihat perubahan muka Sian Li itu dan mereka saling pandang. Ketika beberapa kali Sian Li hanya menghela napas panjang dan menunduk, alisnya berkerut, Cia Sun menjadi tidak sabar lagi.
"Nona, apakah yang telah terjadi? Apakah ada sesuatu yang membuat engkau enggan menceritakan kepada kami? Kalau begitu, engkau tidak usah menceritakannya..."
"Tidak, Pangeran, bukan begitu, tetapi, ahhh, hatiku sangat risau dan gelisah. Maafkan kelemahanku ini dan biarlah kuceritakan dari semula. Sebelum kuceritakan semuanya, sebaiknya kalau aku pun membuat pengakuan padamu, pengakuan yang hanya dapat aku lakukan setelah engkau berterus terang tentang hubunganmu dengan enci Hui Eng. Pangeran, aku dan kakak Yo Han... kami berdua... ehhh..."
Melihat keraguan Sian Li dan perubahan mukanya yang menjadi merah sekali, terlebih lagi bibirnya yang mengulum senyum malu-malu, Cia Sun lalu tersenyum, "Kalian saling mencinta?"
Sian Li mengerling kepadanya dan mengangguk.
"Ha, sudah kuduga, Nona. Engkau memang pantas sekali menjadi calon isteri Yo-toako. Nah, teruskan ceritamu."
"Pada waktu tiga orang keluarga besar berkumpul di rumah Paman Suma Ceng Liong, aku tidak melihat Yo Han koko di sana. Aku tahu bahwa dia sedang membantu Paman Sim Houw untuk mencarikan puterinya yang hilang. Oleh karena itu, aku lalu mengambil keputusan untuk membantunya mencarikan enci Hui Eng."
Mendengar ini, Hui Eng lalu berkata. "Aihhh, kalian semua begitu baik, bersusah payah mencari aku, akan tetapi aku sendiri malah sudah bertindak jahat, mengacau di sana..." Suaranya penuh penyesalan.
"Ahh, enci Eng. Seperti yang dikatakan Pangeran tadi, ketika itu engkau bukanlah enci Sim Hui Eng yang sekarang, melainkan Siangkoan Eng puterinya ketua Pao-beng-pai. Yang sudah lewat anggap saja mimpi buruk, Enci."
"Engkau benar adik Sian Li. Teruskan ceritamu."
Sian Li kemudian menceritakan bahwa dalam perjalanannya, ia pun mendengar tentang kejahatan orang-orang Thian-li-pang, maka dia pun merasa penasaran dan ingin sekali menyelidiki. Akhirnya dia bertemu dengan para tokoh Bu-tong-pai di lereng Bukit Naga dan mendengar penuturan mereka yang membuat dirinya terkejut setengah mati, yaitu bahwa kabarnya, Yo Han tewas di tangan ketua Thian-li-pang yang baru.
"Apa...?! Tidak mungkin itu!" Cia Sun berseru kaget setengah mati.
"Aku sendiri juga tidak percaya, Pangeran. Lebih tak percaya lagi ketika Ouw Seng Bu, ketua yang baru itu, menceritakan bahwa Han-koko sudah membunuh para pimpinan Thian-li-pang, dan bahwa Han-koko datang untuk membunuh dia. Dia melawan di dekat sumur tua dan akhirnya terluka oleh pukulan Han-koko, akan tetapi para anak buahnya mengeroyok Han-koko yang katanya tergelincir masuk ke dalam sumur tua itu. Dan... dan... mereka lalu menimbuni sumur tua itu dengan batu." Suara Sian Li terdengar lirih dan penuh kegelisahan.
"Tetapi, aku tetap tidak percaya! Memang ketua baru Thian-li-pang itu lihai, akan tetapi tidak mungkin dia mampu membuat Yo-toako terjatuh ke dalam sumur. Tidak mungkin Yo-toako tewas, aku tidak percaya!" kata Cia Sun keras sambil mengepal tinju, namun suaranya mengandung isak tertahan, tanda bahwa dia juga merasa gelisah sekali.
"Pangeran, biarlah adik Sian Li melanjutkan ceritanya. Lalu apa yang terjadi kemudian, Li-moi?"
"Aku menuntut kepada Ouw-pangcu agar anak buah Thian-li-pang menggali sumur itu dan menyingkirkan timbunan batu-batu. Akan tetapi dia melarang dengan alasan sumur itu keramat bagi Thian-li-pang dan tidak boleh diganggu. Kami bercekcok, lalu berkelahi dan aku dikeroyok oleh mereka."
"Aku tetap tidak percaya! Nona, apakah engkau percaya akan keterangan itu? Bohong, ketua Thian-li-pang itu tentu orang jahat yang berhasil menguasai Thian-li-pang dengan ilmu kepandaiannya. Mungkin dialah yang telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang dan menjatuhkan fitnah kepada Yo-toako. Kita harus menyelidiki hal ini!"
"Aku pun tidak percaya, Pangeran. Akan tetapi, satu hal yang sangat mencemaskan hatiku adalah kesaksian yang diberikan oleh Cu Kim Giok."
"Cu Kim Giok? Siapakah itu?" tanda Sim Hui Eng dan Cia Sun hampir berbareng.
"Cu Kim Giok adalah puterinya Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pouw Li Sian dari Lembah Naga Siluman. Dia keturunan terakhir dari keluarga Lembah Naga Siluman dan masih terhitung kerabat yang ada hubungan pertalian kekeluargaan denganku. Aku merasa heran bukan main melihat ia bisa berada di sana, bahkan nampak akrab sekali dengan Ouw-pangcu itu. Kim Giok inilah yang memberi kesaksian bahwa Ouw-pangcu memang terluka parah oleh pukulan Han-koko. Kehadiran Kim Giok di sana bukan sembarangan saja, pasti tersembunyi rahasia di balik itu semua."
"Aihh, jangan-jangan gadis itu sudah dipengaruhi oleh Ouw Seng Bu itu."
"Aku pun menduga begitu, Pangeran. Akan tetapi, jelas bahwa Kim Giok tidak menjadi jahat karenanya. Buktinya, dia berkali-kali memperingatkan Ouw-pangcu supaya jangan membunuhku atau melukaiku. Agaknya dia pun percaya bahwa Ouw-pangcu berada di pihak yang benar, bahwa ketua baru itu benar seorang pejuang, seorang pendekar dan pahlawan, dan agaknya dia pun membenarkan Ouw-pangcu dalam urusannya dengan Han-koko. Pasti ada apa-apanya di balik semua ini."
"Pangeran, adik Sian Li, kita semua sudah saling menceritakan apa yang kita alami. Kini tak ada gunanya untuk menduga-duga dan berheran-heran. Yang terpenting, kita harus menyelidiki sumur tua itu. Kita harus dapat melihat kenyataan apakah benar Yo Taihiap sudah tewas seperti dikatakan Ouw-pangcu itu. Dengan demikian, kita tidak ragu lagi dan setelah itu baru kita putuskan, tindakan apa yang akan kita ambil."
"Tepat sekali apa yang dikatakan oleh dinda Hui Eng, Nona. Kita semua harus berusaha sekuat tenaga untuk mencari bukti tentang keadaan Yo-toako. Karena bukan tidak ada sebabnya kalau orang-orang Thian-li-pang itu kemudian menimbuni sumur yang mereka anggap keramat itu dengan batu. Walau pun kita tidak percaya akan berita tewasnya Yo-toako, namun kita harus mendapat kepastian."
Sian Li mengangguk. "Memang kalian benar, dan aku pun sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan mau pergi dari sini sebelum mendapat kenyataan yang jelas tentang diri Han-koko."
Mereka bertiga lalu turun lagi untuk mencari pedusunan di mana mereka bisa membeli makanan. Setelah membawa bekal makanan kering dan minuman, mereka bertiga lalu berangkat lagi mendaki Bukit Naga. Mereka mencari jalan agar dapat memasuki daerah perkampungan Thian-li-pang dari belakang, langsung menuju ke sumur tua yang berada di bagian belakang. Sumur yang dipisahkan oleh sebuah bukit kecil dari perkampungan perkumpulan itu…..
*********
"Adik Gan Bi Kim, kau tunggu dulu...!"
Gan Bi Kim menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh. Dia melihat pemuda itu berlari cepat menghampirinya. Wajah Bi Kim berseri gembira ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah Gak Ciang Hun, pemuda yang selalu terbayang di pelupuk matanya semenjak mereka bertemu lalu berpisah.
Dalam keadaan duka karena kasihnya yang gagal terhadap Yo Han, ia bertemu pemuda itu yang juga mengalami derita patah hati karena kasihnya terhadap Si Bangau Merah tidak terbalas. Mereka seolah-olah merasa saling menemukan, saling menghibur serta saling mengisi kekosongan hati masing-masing.
Tetapi, pertemuan singkat itu segera diakhiri perpisahan, membuat Gan Bi Kim merasa kehilangan. Mereka bertiga, dia, Gak Ciang Hun, dan Tan Sian Li, harus saling berpisah di jalan perempatan. Sian Li melakukan perjalanan ke utara, Ciang Hun ke selatan, dan Bi Kim ke timur. Mereka bertiga bertujuan sama, yaitu membantu pencarian terhadap puteri Sim Houw yang hilang sejak kecil, yaitu Sim Hui Eng.
"Gak-toako...!" Bi Kim berseru dan kini ia pun lari menghampiri, menyambut pemuda itu dengan hati terbuka dan kedua tangan di julurkan ke depan. Sejak berpisah, dia merasa kehilangan dan kesepian, kehilangan gairah dan semangat.
"Kim-moi (adik Kim)...!"
Kedua orang itu saling menjulurkan kedua tangan, saling tatap tanpa kata. Dua pasang mata itu bersinar-sinar, lalu mata Ciang Hun berkaca-kaca sedangkan Bi Kim yang berusaha keras menahan keras guncangan hatinya, tidak urung meneteskan beberapa butir air mata saking merasa lega dan bahagia dapat bertemu kembali dengan orang yang amat dikenangnya.
Ketika ada beberapa orang pejalan kaki mendatangi, Ciang Hun menggandeng tangan Bi Kim ke tepi jalan dan mengajaknya duduk di atas batu besar. "Mari kita bicara di sini, Kim-moi," katanya.
Setelah duduk saling berhadapan di atas batu, Bi Kim berkata, "Toako, aku tadi merasa seperti dalam mimpi ketika mendengar panggilanmu, kemudian melihat bahwa engkau benar-benar datang. Kiranya bukan mimpi dan sekarang betapa bahagianya rasa hatiku melihatmu, Toako."
Ciang Hun menggenggam tangan yang masih digandengnya. Dari tangan mereka yang saling genggam itu saja sudah terasa getaran hati mereka yang berbahagia.
"Kim-moi, aku gembira sekali bahwa engkau merasa berbahagia melihat aku mengejar dirimu. Tadinya aku khawatir kalau-kalau engkau akan marah."
"Marah? Aihh, Toako, pada saat kita saling berpisah, aku merasa kehilangan pegangan, seolah hidupku hampa. Tetapi, apakah yang menyebabkan engkau kembali kepadaku? Apakah ada sesuatu yang penting?"
Ciang Hun tersenyum dan menggelengkan kepala, nampak agak tersipu. Akan tetapi dengan sejujurnya dia berkata, "Kim-moi, setelah kita saling berpisah, entah mengapa, hatiku selalu terasa berat. Lalu kupikir betapa besar bahaya yang mengancammu dalam perjalanan seorang diri. Apa lagi mengingat bahwa kita sama-sama hendak membantu dan mencari Sim Hui Eng, maka apa salahnya kalau kita mencari bersama? Dengan berdua, atau bertiga dengan Sian Li, kita akan lebih kuat menghadapi bahaya, bukan? Nah, aku lalu berbalik mengejarmu."
Bi Kim tersenyum, "Kalau begitu pikiran kita sama. Aku pun senang sekali engkau akan menemaniku, Toako. Marilah kita segera menyusul Sian Li ke utara."
"Aku pernah mendengar bahwa Yo Han menjadi pemimpin Thian-li-pang di Bukit Naga. Sian Li mungkin sekali mencari Yo Han yang dicintanya itu untuk membantunya karena Yo Han sedang mencari Hui Eng. Mari kita cari Sian Li ke sana, siapa tahu ia pergi ke Thian-li-pang di Bukit Naga."
Setelah Ciang Hun berada di sampingnya, tentu saja Bi Kim mengikuti saja ke mana pemuda itu pergi. Mereka berdua melakukan perjalanan cepat ke utara dan kini mereka merasakan betapa perjalanan mereka amat menyenangkan, tidak lagi merasa kesepian dan kehilangan…..
**********
Kita tinggalkan dulu kedua orang ini dan kita tengok keadaan Sian Li, Hui Eng, dan Cia Sun. Tiga orang ini telah mengambil keputusan untuk menyelidiki sumur tua di belakang Thian-li-pang untuk mencari bukti kebenaran bahwa Yo Han berada di dalam sumur dan ditimbuni batu-batu.
Setelah membuat persiapan secukupnya, tiga orang pendekar ini mendaki Bukit Naga dari arah belakang Thian-li-pang. Mereka adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka biar pun perjalanan pendakian itu amat sulit bagi orang biasa, tapi dalam waktu yang cukup singkat mereka dapat juga sampai di belakang bukit yang memisahkan sumur itu dengan pusat Thian-li-pang.
Tempat ini memang merupakan tempat yang seolah terasing. Juga dianggap keramat oleh para murid Thian-li-pang sehingga tanpa ijin ketua, tak seorang anggota pun berani memasuki daerah yang menyeramkan itu.
Hari masih pagi sekali ketika mereka mulai mendaki bukit dan kini matahari sudah mulai menyengatkan cahayanya setelah mereka tiba di dekat sumur yang ditimbuni batu-batu. Tempat itu nampak sunyi, tidak nampak ada seorang pun anak buah Thian-li-pang.
Hal ini melegakan hati ketiga orang pendekar itu, membuat mereka lebih leluasa untuk melakukan pemeriksaan. Andai kata di situ terdapat anak buah Thian-li-pang, mereka tentu harus merobohkan terlebih dahulu sebelum dapat melakukan pemeriksaan.
Sian Li mengerutkan alisnya saat menjenguk ke dalam sumur tua itu. Sumur itu tertutup banyak batu-batu dan rasanya tidak mungkin batu-batu itu dapat digali dan disingkirkan hanya oleh mereka bertiga. Tentu akan memakan waktu berhari-hari!
"Ahhh, benarkah Yo-toako ditimbuni batu-batu itu di dalam sumur ini?" Aku sama sekali tidak dapat percaya!"
Sim Hui Eng juga memandang ngeri ke dalam sumur itu. "Aihhh, adik Sian Li, bagai mana kita akan dapat menyingkirkan batu-batu itu? Tidak tahu sampai berapa dalamnya sumur ini dan berapa banyaknya batu yang menimbuninya."
"Bagaimana pun juga, kita harus membongkar batu-batu itu dan mengangkatnya keluar dari sumur. Kalau tidak begitu, bagaimana kita akan dapat membuktikan bualan ketua baru Thian-li-pang itu?"
Tapi Sian Li berkata, "Nanti dulu, Pangeran. Coba engkau dan enci Eng menyerang dan mengeroyokku di dekat sumur ini, aku ingin melihat kemungkinan Han-koko tergelincir ke dalam sumur. Mungkin atau tidak hal itu terjadi kalau kita sedang dikeroyok. Harap kalian mengeroyok dengan sungguh-sungguh, karena kalau benar Han-koko berkelahi melawan ketua Thian-li-pang itu, dan dikeroyok oleh para sekutunya, berarti Han-koko menghadapi banyak lawan tangguh. Nah, mulailah."
Mengerti apa yang dimaksudkan Si Bangau Merah, Cia Sun dan Hui Eng mengangguk, kemudian keduanya sudah menyerang gadis itu dari kanan kiri. Sian Li mengelak dan menangkis, dan membiarkan dirinya terdesak sampai ke tepi sumur. Dengan cara tidak membalas, ia lalu terdesak mundur sampai ke tepi sumur. Tiba-tiba, nampak bayangan merah berkelebat ke atas dan gadis itu sudah meloncati kedua orang lawannya, seperti seekor burung bangau melayang, melampaui kepala mereka.
"Cukup sudah!" katanya. "Nah, kalian lihat sendiri. Dalam keadaan gawat menghadapi pengeroyokan, aku saja kiranya mampu meloloskan diri dengan mengandalkan ginkang. Apa lagi Han-koko yang memiliki tingkat ginkang jauh lebih tinggi dariku. Jadi, mustahil kalau sampai mereka itu dapat membuat Han-koko tergelincir ke dalam sumur, bukan?"
"Tepat, Nona. Aku pun sama sekali tak percaya bahwa Yo-toako demikian bodoh untuk dapat dibuat tergelincir ke dalam sumur yang bibirnya cukup tinggi ini," kata Pangeran Cia Sun sambil menyentuh bibir sumur yang tingginya ada satu satu meter itu. "Dia pasti berbohong!"
"Adik Sian Li, lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Apakah tidak lebih baik kita serbu saja Thian-li-pang, menangkap ketuanya dan memaksanya untuk mengaku, atau memaksa dia mengerahkan anak buahnya untuk membongkar batu-batu dalam sumur ini?" kata Hui Eng.
"Atau kalau kekuatan mereka terlampau besar bagi kita, biarlah aku mencari bantuan ke benteng pasukan yang terdekat."
"Nanti dulu, Pangeran. Aku memang sangat mengkhawatirkan keselamatan Han-koko. Akan tetapi, andai kata ia benar tewas, kurasa tentu bukan karena perkelahian melawan orang-orang jahat itu. Ia mungkin saja tewas atau tertawan akibat dijebak, dan mungkin saja ia tidak berada di dalam sumur ini, melainkan ditawan di suatu tempat rahasia di sarang Thian-li-pang."
"Ahhh, itu mungkin sekali!" kata Cia Sun.
"Bagaimana kalau kita bertiga mencari secara berpencaran? Dengan terpencar, selain lebih mudah menyusup, juga pencarian dapat dilakukan lebih luas," kata Hui Eng.
Wajah Sian Li nampak berseri. "Demikianlah sebaiknya, enci Eng! Akan tetapi... ahhh, aku merasa tidak enak sekali karena selain merepotkan kalian, juga menyeret kalian ke dalam bahaya besar mengingat betapa lihainya mereka."
"Ihhh, nona Tan, mengapa engkau mengatakan demikian? Kakak Yo Han adalah kakak angkatku, karena itu sudah sepatutnya kalau aku rela mengorbankan nyawa sekali pun untuk membelanya!" kata Cia Sun.
"Ucapan itu tepat sekali," sambung Hui Eng. "Adik Sian Li, bukankah keluarga orang tua kita sejak dulu merupakan keluarga besar para pendekar? Aku telah terseret ke dalam dunia sesat, tetapi sekarang tibalah saatnya aku menebus semua kekuranganku itu dan memperlihatkan kepada dunia bahwa aku masih tetap keturunan keluarga pendekar!"
Sian Li memandang dengan haru. "Kalau begitu, semoga Tuhan melindungi kita semua. Aku akan mengambil jalan dari sini ke kiri, dan engkau ke kanan, enci Eng. Pangeran sendiri melakukan penyelidikan di sini dan terus ke bagian belakang Thian-li-pang."
"Dan kapan kita bertemu lagi? Di mana?"
"Di sini saja. Setelah kita melakukan penyelidikan, kita kembali ke sini dan siang atau sore ini kita harus sudah kembali ke sini mengumpulkan hasil penyelidikan kita," kata Sian Li.
Setelah bersepakat, Sian Li berkelebat ke kiri dan Hui Eng meloncat ke kanan. Dalam sekejap mata saja kedua orang gadis perkasa itu telah lenyap, meninggalkan Cia Sun seorang diri.
Pangeran ini termenung, hatinya diliputi penuh kekhawatiran. Pertama-tama tentu saja dia mengkhawatirkan Hui Eng, gadis yang dicintanya, kemudian dia mengkhawatirkan Yo Han dan Sian Li. Pihak musuh terlampau kuat, dan jumlah mereka terlalu banyak.
Dia memang tidak ingin mencampuri urusan pemerintah, juga tidak mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan. Akan tetapi kali ini ia harus mencari bantuan pasukan pemerintah, bukan untuk membasmi pemberontak, melainkan untuk melindungi kedua orang gadis itu dan mencari keterangan tentang Yo Han.
Biar pun dia tahu bahwa Hui Eng memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan belum tentu di bawah tingkat kepandaian Si Bangau Merah, akan tetapi menghadapi Thian-li-pang yang mempunyai anak buah ratusan orang banyaknya, belum lagi sekutu-sekutunya yang banyak dan lihai, apa yang dapat diperbuat oleh dua orang gadis itu dibantu olehnya seorang diri?
Setelah berpikir keras, Cia Sun meninggalkan tempat itu, bukan untuk menyelidiki ke Thian-li-pang, melainkan kembali menuruni bukit itu untuk memasuki dusun di mana tadi mereka membeli bekal makanan. Dia tahu bahwa kurang lebih seratus li dari dusun itu terdapat benteng Siang-heng-koan di mana terdapat pasukan pemerintah. Dia sendiri tidak mungkin pergi ke sana karena dia harus membantu dua orang gadis itu.
Melihat seorang laki-laki sedang menggarap sawah di luar dusun itu, Cia Sun segera memanggilnya dari pinggir sawah. Laki-laki itu bertubuh kuat berkat pekerjaan berat di sawah dan setiap hari mandi cahaya matahari, usianya sekitar empat puluh tahun.
"Toako, kesinilah sebentar. Aku mempunyai urusan penting untuk dibicarakan!" kata Cia Sun.
Melihat seorang pemuda di tepi sawah memanggilnya, dan pemuda itu bukan seperti seorang pemuda dusun, petani itu segera menghampiri. Tubuh atas yang telanjang itu nampak kekar, celananya yang hitam penuh lumpur.
"Ada urusan apakah Kongcu memanggil aku?" tanya heran.
"Sobat, maukah engkau mendapat penghasilan yang lebih besar jumlahnya dari pada penghasilan sawahmu selama beberapa tahun?"
"Ehhh? Apa maksudmu Kongcu? Aku tidak mengerti..."
Cia Sun mengeluarkan tiga potong besar emas dari sakunya dan memperlihatkannya kepada petani itu. "Emas ini akan kuberikan kepadamu kalau engkau suka melakukan sesuatu untukku."
Sepasang mata itu terbelalak. Biar pun selama hidupnya belum pernah ia melihat emas sebanyak itu, apa lagi memilikinya, akan tetapi ia pun cukup dewasa untuk mengetahui bahwa tiga potong besar emas itu bukan saja sangat mahal harganya dan merupakan jumlah yang lebih besar dari pada hasil sepuluh tahun bekerja di sawah, bahkan dengan emas itu dia akan mampu membeli sawah yang luas dan rumah tinggal yang cukup baik!
"Apa yang harus kulakukan untuk Kongcu? Meski pun aku orang miskin, aku tidak mau kalau disuruh mencuri atau membunuh orang, biar dibayar berapa banyaknya pun!"
"Aihhh, siapa suruh engkau melakukan kejahatan? Tugasmu hanya mudah saja, yaitu mengantarkan surat ke benteng Siang-heng-koan."
"Benteng pasukan...? Ahhh, mana aku berani, Kongcu? Aku akan ditangkap!"
"Suratku akan membuka pintu benteng dan engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai utusanku. Katakan dulu, sanggupkah engkau?"
Karena hanya disuruh mengantar surat, dengan penuh semangat petani itu berkata, "Aku... ehhh, saya sanggup, Kongcu!"
"Kalau begitu, mari kita ke rumahmu, akan kubuatkan surat itu."
Petani itu pun bergegas mencuci kaki tangannya, lalu mengenakan baju dan capingnya, memanggul cangkulnya dan bersama Cia Sun dia pulang. Rumahnya di ujung dusun itu, sebuah rumah yang amat sederhana, bahkan miskin. Mereka disambut isteri petani itu bersama empat orang anak mereka yang merasa terheran-heran melihat petani itu telah pulang bersama seorang pemuda tampan yang bukan seorang petani.
Petani itu menyuruh anak isterinya ke belakang. Dia duduk di tengah rumah bersama tamunya. Atas permintaan Cia Sun, petani itu keluar sebentar untuk membeli alat tulis dan menyewa seekor kuda yang paling kuat. Kemudian, Cia Sun menulis surat kepada komandan benteng Siang-heng-koan dan surat itu dibubuhi tanda tangan dan cap yang selalu dibawanya.
"Nah, sekarang juga engkau cepat pergi menunggang kuda ke benteng itu dan emas ini pun boleh kau miliki. Dengan emas ini, maka kau akan dapat mengubah keadaan hidup keluargamu. Tetapi awas, jika surat ini tidak kau sampaikan, maka pasukan di benteng itu akan kukerahkan untuk menangkapmu dan engkau beserta seluruh keluargamu akan dihukum berat. Katakan siapa namamu!" kata Cia Sun sambil menyerahkan surat itu.
"Nama hamba Ki Siok...," kata petani itu, kini nampak takut dan hormat. "Kalau boleh hamba mengetahui nama Kongcu..."
"Katakan saja kepada komandan benteng itu bahwa engkau diutus oleh seorang yang bernama Sun dan serahkan suratku itu. Tetapi ingat, tidak boleh orang lain mengetahui tentang urusan kita ini dan siapa pun juga tidak boleh melihat surat ini. Juga isteri dan anak-anakmu tidak boleh mengetahui."
"Baik, baik, hamba mengerti..." kata petani itu ketakutan.
Meski pun sebodoh-bodohnya manusia, dia pun dapat menduga bahwa pengirim surat ini tentulah bukan orang sembarangan, buktinya memiliki emas sebanyak itu, bersikap royal, dan berani mengirim surat kepada komandan benteng.
Setelah melihat sendiri Ki Siok pergi meninggalkan dusun itu dan menuju ke benteng Siang-heng-koan, cepat Cia Sun mendaki Bukit Naga dan kembali ke tempat yang tadi. Matahari telah naik tinggi, tengah hari hampir lewat, tapi di dekat sumur tua itu nampak sepi, belum kelihatan kedua orang gadis itu kembali. Dia pun menunggu dengan hati berdebar tegang penuh kekhawatiran…..
**********
Kekuasaan Tuhan mencakup dan menyelimuti seluruh yang ada, seluruh yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata manusia. Keadaan di seluruh alam semesta ini terjadi karena Kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan berada di dalam yang paling dalam dan di luar yang paling luar, mencakup yang terendah sampai yang tertinggi, yang paling kecil sampai yang paling besar. Kekuasaan Tuhan jugalah yang mencipta, memelihara, dan mengadakan sampai yang meniadakan.
Segala sesuatu terjadi karena Kehendak Tuhan. Segala macam suka, duka, indah atau buruk, hanya merupakan ulah pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.
Sebab akibat merupakan mata rantai kait mengait yang dibentuk oleh hati akal pikiran kita sendiri. Tidak ada yang lebih kuat dari pada Kekuasaan Tuhan, yang juga bekerja di dalam tubuh kita, dari ujung rambut sampai ke kuku jari kaki. Kekuasaan Tuhan bekerja sepenuhnya kalau kita menyerah. Penyerahan total yang meniadakan ulah hati akal pikiran sehingga kekuasaan Tuhan mutlak bekerja.
Kalau sudah begitu, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya Tuhanlah Maha Sempurna, Maha Kuasa. Segala kehendakNya jadilah!
Ketika dia terjebak di dalam sumur tua, dan sumur itu ditimbuni batu-batu dari atas, Yo Han mengerahkan segala daya hati akal pikirannya. Sebagai manusia, memang sudah tugasnya untuk mempertahankan agar tetap dapat hidup di dalam dunia ini. Dia berhasil menutup terowongan di dalam sumur itu dengan batu besar sehingga batu-batu yang dilemparkan dari atas sumur itu tertahan oleh batu besar itu.
Yo Han duduk bersila di atas gulungan tali, memusatkan semua rasa diri, seolah-olah dia tenggelam. Dia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam lautan penyerahan. Sampai malam lewat, dia tidak menyadari dan dia merasa seperti hidup di dalam lautan, atau di dalam udara tanpa dataran. Tubuhnya ringan, tidak ada secuil pun pikiran mengganggu batin, bahkan tidak ada lagi rasa enak atau tidak enak.
Seperti orang tidur atau orang mati, begitu kiranya keadaan Yo Han. Hanya bedanya, dia sadar. Dia menyadari bahwa dia berada di dasar sumur tua dan tidak ada jalan keluar. Namun pada saat dia duduk bersila seperti itu, dia tidak merasa khawatir, tidak merasa apa-apa seolah-olah tidak peduli dan tiada bedanya baginya.
Malam sudah lewat dan setelah ada sinar matahari menyorot masuk melalui celah-celah di antara batu-batu di atas, dia seperti terbangun. Dan teringatlah dia akan semua yang terjadi kemarin. Kemarin? Hanya samar-samar dia teringat bahwa malam telah lewat, berarti dia telah semalaman berada di terowongan sumur itu.
Lima orang pimpinan Thian-li-pang telah tewas dan mayat mereka dilempar ke dalam sumur yang sekarang ditimbuni batu-batu. Kini semuanya jelas baginya. Ouw Seng Bu membunuhi para pimpinan Thian-li-pang karena ingin menguasai perkumpulan itu. Gila!
Bukankah Ouw Seng Bu murid Lauw Kang Hui, bahkan merupakan murid tersayang? Kalau dia hanya murid mendiang Lauw Kang Hui, lalu bagaimana mungkin dia mampu membunuh lima orang tokoh pimpinan Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi itu? Bagaimana pula para murid Thian-li-pang mau menerima dia sebagai ketua baru? Dan yang membuat dia lebih terheran-heran lagi, bagaimana gadis yang diperkenalkan kepadanya sebagai puteri Cu Kun Tek, pendekar sakti dari Lembah Naga Siluman, dapat berada di Thian-li-pang, bahkan bersahabat baik dengan Ouw Seng Bu?
"Aku harus dapat keluar dari sini. Harus! Aku harus dapat membongkar semua rahasia Ouw Seng Bu, kalau tidak Thian-li-pang akan diselewengkan, dan dunia kang-ouw akan kacau balau karena kejahatan akan menjadi-jadi. Semoga Tuhan memberi bimbingan kepadaku," katanya dalam hati.
Perutnya mulai terasa lapar, akan tetapi dia menampung rembesan air yang menetes turun dari atas dengan kedua tangan dan setelah minum air beberapa teguk, laparnya hilang. Mulailah dia memeriksa semua dinding terowongan itu. Dinding itu terjal ke atas, licin dan keras, tidak mungkin dipanjat, apa lagi di atasnya tidak nampak lubang yang cukup besar seperti mulut sumur, melainkan tertutup dan sinar yang masuk pun melalui celah-celah dari samping atas yang tidak nampak dari situ.
Tiba-tiba terdengar suara mencicit dan Yo Han melihat seekor tikus yang cukup besar, sebesar anak kucing, berlari keluar dari sebuah lubang sambil menggigit sebuah benda hitam kehijauan. Dia merasa heran bagaimana binatang itu mampu membawa sesuatu dengan gigitan, dan mengeluarkan bunyi mencicit pula. Tikus itu lenyap menyelinap ke dalam lubang kecil dan tak lama kemudian terdengar suara mencicit-cicit anak tikus.
Yo Han tersenyum. Betapa besar kekuasaan Tuhan, pikirnya. Bahkan di tempat seperti ini pun terdapat makhluk hidup. Belum yang tidak nampak olehnya, seperti cacing dan kutu-kutu lainnya, bahkan mungkin dalam tetesan-tetesan air itu pun terdapat makhluk hidupnya! Hatinya semakin tenang karena dia yakin bahwa kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, sehingga kalau memang Tuhan menghendaki dia tidak mati, tentu ada jalan keluar dari situ!
Tikus itu! Dia membawa benda hitam kehijauan dan kembali ke sarang, memberi makan kepada anak-anaknya. Benda tadi tentulah makanan. Teringat ia akan jamur-jamur atau tanaman dalam air yang terdapat di terowongan goa di mana dia pernah mempelajari ilmu dari Kakek Ciu Lam Hok!
Kini Yo Han memandang ke arah lubang dari mana tikus tadi keluar. Bukan lubang sesempit kepalan tangan ke mana tikus tadi menghilang, melainkan lubang yang cukup besar, agaknya dia akan dapat memasuki lubang itu dengan merangkak rendah. Siapa tahu, itu merupakan jalan keluar, setidaknya jalan menuju ke tempat makanan! Andai kata bukan jalan keluar sekali pun, kalau dari sana dia bisa mendapatkan makanan sebagai penyambung hidup, itu sudah lumayan namanya.
Akan tetapi, baru dua meter lebih dia merangkak melalui lubang sempit itu, lubang itu mengecil dan tubuhnya tak dapat maju lagi. Terpaksa Yo Han menggunakan tenaganya untuk membongkar batu-batu di depannya, memperbesar terowongan itu sehingga dia dapat maju lagi.
Tentu saja pekerjaan ini memakan waktu dan setelah sehari penuh bekerja, dia baru dapat maju sejauh empat meter dan terpaksa menghentikan pekerjaannya karena lelah dan gelap. Dia merangkak mundur dan minum air dengan menadah air rembesan dari atas dengan kedua tangannya sampai kenyang.
Malam itu, Yo Han mengatur tali sehingga merupakan tempat tidur darurat, lumayan untuk membiarkan tubuhnya beristirahat dengan rebah terlentang.
Sudah menjadi lajim bagi kita bahwa dalam keadaan menderita sengsara, kalau semua daya kita sudah tidak mampu menolong keadaan kita, maka kita baru teringat kepada Tuhan! Kita lalu merengek-rengek dan memohon kepada Tuhan agar kita dibebaskan dari penderitaan.
Tentu saja setiap orang dari kita tidak mau kalau dikatakan bahwa kita hanya teringat kepada pencipta kita bila kita sedang membutuhkan saja. Di waktu kita dalam keadaan senang, sewaktu kita berhasil, maka kita tidak ingat lagi kepada Tuhan dan merasa bahwa semua hasil itu adalah karena kepintaran kita!
Keberhasilan mendatangkan kesombongan, kita menjadi tinggi hati dan merasa diri kita hebat. Sebaliknya, dalam keadaan gagal dan menderita, baru kita merasa betapa kita lemah tak berdaya, dan kita baru berdoa dan meminta-minta kepada Tuhan.
Segala macam permintaan kita ajukan. Kita mohon diberi rejeki, mohon diberi kenaikan pangkat, mohon diluluskan ujian, mohon disembuhkan dari penyakit, dan segala macam permohonan lagi. Kita lupa bahwa segala sarana yang lengkap telah diberikan Tuhan kepada kita untuk mencapai itu semua.
Untuk mendapat rejeki, kita sudah diberi anggota tubuh lengkap, berikut hati akal pikiran untuk kerja dan mencari rejeki. Untuk naik pangkat kita harus bekerja dengan jujur, setia dan baik. Untuk lulus ujian kita harus belajar dengan rajin. Untuk sembuh dari penyakit kita harus berobat dan untuk mencegah datangnya penyakit kita harus hidup bersih dan sehat, dan sebagainya.
Akan tetapi, kesenangan merupakan semua penggunaan sarana tidak sehat. Karena penggunaan akal pikiran secara tidak sehat sehingga melahirkan perbuatan yang tidak sehat pula, maka timbullah semua akibat buruk. Kalau sudah begitu, kita minta-minta kepada Tuhan agar kita dibebaskan dari pada akibat perbuatan kita sendiri itu.
Berbahagialah manusia yang lahir batinnya menyerah dengan tawakal dan ikhlas pada Tuhan, mendasari semua ikhtiar sehat di atas penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bagi seorang yang sudah dapat menyerah lahir batin, maka segala apa pun yang datang menimpa diri, merupakan kehendak Tuhan yang penuh rahasia.
Tuhan mengetahui apa yang paling tepat untuk kita, baik itu merupakan hukuman atau ujian. Hukuman memang tepat untuk mengingatkan kita akan dosa kita dan ujian akan memperkuat batin dan iman kita. Orang yang menyerah kepada Tuhan hanya mengenal ucapan terima kasih dan syukur kepada Tuhan, dan hanya mengenal satu permohonan, yaitu permohonan ampun atas segala dosa yang sudah diperbuatnya di masa lalu dan bimbingan di masa depan. Tidak banyak mengeluh kalau sedang ditimpa duka, dan tidak mabuk kalau sedang dijenguk suka.
Pada keesokan harinya, begitu ada cahaya memasuki terowongan itu, Yo Han sudah bekerja lagi dengan rajin. Dia tidak tergesa-gesa, tidak terlalu memeras tenaganya agar tidak sampai kehabisan tenaga dan kelelahan sebab perutnya yang kosong mengurangi banyak tenaganya.
Setelah tiga hari lamanya membongkar tumpukan batu dan hanya minum air, setelah tenaganya hampir habis, lubang itu membesar lagi sehingga dia dapat melanjutkan merangkak ke depan dan menemukan jamur atau tumbuhan di antara dinding batu yang basah, jamur liar seperti yang dibawa oleh induk tikus untuk memberi makan kepada anak-anaknya. Yo Han pernah makan jamur ini atas petunjuk mendiang kakek Ciu Lam Hok, maka tanpa ragu lagi dia pun makan beberapa potong jamur.
Dan terhindarlah dia dari bahaya kelaparan! Kini dia dapat melanjutkan usahanya untuk mencari jalan keluar dengan menjelajahi lubang-lubang yang banyak terdapat di bawah permukaan bukit itu, merupakan lubang dan terowongan bawah tanah dari batu karang yang kuat.
Sambil mengerahkan seluruh anggota badannya, seluruh panca inderanya, didasari penyerahan diri kepada Tuhan, yakin bahwa kekuatan Tuhan akan membimbingnya, Yo Han terus bekerja dengan tekun, tak pernah putus asa walau pun beberapa kali lubang yang diikutinya tiba di dinding buntu dan terpaksa dia harus mencari lubang lain.
Kalau Yo Han dengan penuh semangat mencari jalan keluar, maka di atas sumur, di permukaan bukit itu, terjadi hal-hal yang hebat, yang tentu akan menggelisahkan hati Yo Han kalau dia mengetahuinya.
Bayangan tubuh Sim Hui Eng yang ramping padat itu berkelebat cepat, menyelinap di antara pohon-pohon. Dia sedang melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang, untuk mengetahui lebih banyak tentang perkumpulan itu dan bila mungkin menyelidiki apakah benar Yo Han telah tewas, ataukah ditahan di dalam rumah perkumpulan itu.
Gadis yang anggun dan cantik ini tidak lagi bersikap dingin dan angkuh seperti dulu saat dia masih menjadi puteri ketua Pao-beng-pai. Dia gunakan ginkang-nya dan gerakannya sedemikian cepat sehingga tidak akan kelihatan oleh orang-orang Thian-li-pang.
Akan tetapi, hal ini hanya dugaannya saja karena ia mengira bahwa musuh tidak tahu akan kedatangannya. Padahal, sejak ia bersama Sian Li dan Cia Sun berada di dekat sumur tua itu, para murid Thian-li-pang telah melakukan penjagaan dan Ouw Seng Bu sendiri telah mengamati gerak-gerik ketiga orang itu.
Tentu saja gerakan Hui Eng sekarang juga sudah selalu diamati. Setelah gadis itu kini berpisah jauh dari Sian Li dan Cia Sun, dan dia melihat bagian kanan perkampungan itu nampaknya tidak terjaga ketat, dengan berani ia melompati pagar dan memasuki bagian belakang sebuah bangunan besar yang akan diselidikinya. Mungkin ia dapat mendengar percakapan murid Thian-li-pang, atau syukur kalau menemukan sesuatu yang akan bisa menunjukkan tentang Yo Han.
Akan tetapi baru saja ia tiba di ruangan terbuka yang tadinya sepi itu, tiba-tiba terdengar gerakan orang. Ketika ia cepat memutar tubuhnya, ia melihat dirinya sudah terkepung oleh puluhan orang anak buah Thian-li-pang yang semuanya menyeringai dengan gaya mengejek!
"Hemmm...!" Hui Eng tidak menjadi gentar dan ia sudah mempersiapkan pedang dan kebutannya.
Dua orang pria yang agaknya menjadi pimpinan dari tiga puluh orang lebih anak buah Thian-li-pang itu melangkah maju dan berkata dengan suara yang mengandung ejekan.
"Nona, sebaiknya engkau menyerah dan akan kami hadapkan kepada pangcu dari pada tubuhmu yang mulus itu halus lecet-lecet dan mungkin terluka."
Sinar mata Hui Eng mencorong marah. "Aku? Menyerah kepada kalian? Makanlah ini!" Pedangnya menyambar ganas.
Dua orang anggota Thian-li-pang yang memimpin rombongan itu merupakan murid yang sudah agak tinggi tingkatnya. Mereka terkejut melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyambar, akan tetapi mereka masih dapat melempar tubuh ke belakang sehingga terhindar dari maut. Para anggota Thian-li-pang yang lainnya sudah mengepung ketat sambil menggerakkan senjata mereka mengeroyok gadis itu.
"Tar-tar-tarrr...!"
Sinar merah menyambar-nyambar dan bulu-bulu kebutan yang halus itu langsung saja merobohkan empat orang pengeroyok. Hui Eng mengamuk. Pedang serta kebutannya menyambar-nyambar menjadi dua gulungan sinar putih dan merah, dan dalam waktu belasan jurus saja sudah ada belasan orang anggota Thian-li-pang roboh!
"Semua mundur!" terdengar bentakan dan muncullah Siangkoan Kok! Datuk ini dengan muka merah karena marah menghadapi bekas puterinya, juga muridnya yang tadinya amat disayangnya. "Eng Eng, cepat menyerah!"
Akan tetapi Hui Eng memandang kepada orang yang dulu dianggap guru dan ayahnya itu dengan mata mencorong. "Kenapa aku harus menyerah kepadamu? Aku tidak sudi!"
Siangkoan Kok melotot. "Eng Eng, lupakah engkau bahwa aku adalah gurumu, juga pernah menjadi ayahmu yang menyayangmu?"
"Aku tidak lupa, semuanya aku tidak lupa, juga betapa engkau dengan kejam hampir membunuhku, dan engkau membunuh pula sumoi Tio Sui Lan, membunuh pula isterimu yang pernah menjadi ibuku. Aku tidak lupa dan sekaranglah saatnya aku membalaskan semua itu!" Setelah berkata demikian, dengan nekat Hui Eng sudah menerjang maju menyerang datuk yang pernah menjadi guru dan ayahnya itu.
"Keparat, kalau begitu engkau tak layak dikasihani!" Siangkoan Kok membentak sambil menangkis, lalu balas menyerang.
Guru dan murid itu segera saling serang dengan dahsyat dan terjadilah pertandingan yang amat seru karena keduanya menyerang untuk membunuh.
Melawan bekas gurunya sendiri itu saja Hui Eng sudah kewalahan, karena betapa pun juga, semua ilmunya ia dapatkan dari Siargkoan Kok, sehingga semua gerakannya telah diketahui oleh datuk itu. Biar pun ia mengenal pula gerakan lawan, akan tetapi ia kalah pengalaman dan ilmunya kalah matang.
Apa lagi kini muncul dua orang tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang tanpa banyak cakap sudah maju membantu Siangkoan Kok. Hui Eng terdesak hebat dan ia hanya mampu memutar pedang dan kebutannya untuk menangkis saja, tidak mendapat kesempatan lagi untuk membalas serangan tiga orang lawannya.
Melihat kedua orang tosu yang membantunya itu menyerang dengan sungguh-sungguh, timbul kekhawatiran di hati Siangkoan Kok bahwa gadis itu akan roboh dan tewas, atau akan terluka berat. Hal ini tidak dikehendaki oleh Ouw-pangcu, juga dia sendiri tidak ingin melihat bekas murid dan puterinya itu tewas.
Dia masih sayang kepada Eng Eng. Bahkan kini, setelah gadis itu bukan lagi puterinya, timbul keinginan di hatinya untuk menarik gadis itu sebagai pengganti isterinya. Ia masih sayang kepada Eng Eng dan rasa sayang sebagai guru dan ayah itu dapat dialihkan menjadi kasih sayang seorang pria terhadap seorang wanita yang menjadi isterinya.
"Jangan lukai atau bunuh gadis ini. Kita tangkap hidup-hidup sesuai perintah pangcu!" kata Siangkoan Kok dengan suara lantang.
Dan mendengar seruan ini, kedua orang tusu lalu mengubah gerakan mereka, tidak lagi menyerang dengan pedang mereka, melainkan menggunakan pedang untuk menangkis dan menyerang dengan totokan tangan kiri untuk merobohkan gadis itu tanpa melukai atau membunuhnya.
Setelah melakukan perlawanan mati-matian, akhirnya Hui Eng terkena totokan dan roboh terkulai lemas! Siangkoan Kok cepat menelikungnya dan membawanya ke dalam, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi.
"Jaga baik-baik dan jangan sampai ia bisa meloloskan diri!" pesannya kepada beberapa orang Thian-li-pang yang sedang melakukan penjagaan. "Akan tetapi, siapa yang berani mengganggunya pasti akan dihukum berat!"
Siangkoan Kok, Im Yang Ji dan Kui Thiancu kemudian meninggalkan tempat tahanan itu sebab mereka sudah mendengar berita bahwa sekarang Ouw-pangcu sedang berusaha untuk menawan Si Bangau Merah.
Seperti juga Hui Eng, Sian Li melakukan penyelidikan melalui samping perkampungan Thian-li-pang. Ia pun meloncati pagar dan sama sekali tidak mendapatkan perlawanan karena di balik pagar tembok itu tidak nampak seorang pun anggota Thian-li-pang.
Akan tetapi, sungguh tak mudah untuk menjebak Si Bangau Merah. Ia cukup waspada. Dan melihat keadaan yang sepi itu, ia pun maklum bahwa agaknya pihak musuh sudah mengetahui akan kedatangan dirinya dan kini sengaja mengosongkan tempat itu untuk memasang perangkap.
Dengan ginkang-nya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Sian Li berkelebat, kemudian menyelinap ke dalam sebuah taman kecil dan dari sini ia pun meloncat ke atas genteng dan bersembunyi di balik wuwungan. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga para anggota Thian-li-pang yang mengawasinya kehilangan jejaknya. Bahkan Ouw Seng Bu yang diam-diam juga mengamatinya dari dalam, menjadi terkejut dan bingung karena Si Bangau Merah itu tidak nampak lagi.
Dari balik wuwungan, Sian Li mengintai ke bawah dan dia tersenyum mengejek ketika melihat beberapa orang anak buah Thian-li-pang yang mulai bermunculan dari tempat sembunyi mereka. Seperti telah diduganya, orang-orang Thian-li-pang telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja bersembunyi untuk membiarkan dia masuk ke dalam jebakan mereka. Akan tetapi karena ia lenyap bersembunyi di wuwungan, mereka mulai menjadi bingung dan ada yang keluar mencari-cari.
Sian Li mengambil jalan memutar. Ia melihat seorang anggota Thian-li-pang mencari ke arah belakang dengan pedang terhunus di tangan sambil melongok-longok. Sian Li lalu bergerak mendekati dari atas. Setelah cukup dekat, ia menggerakkan tangan kanannya dan sepotong genteng yang ia patahkan dari ujung wuwungan menyambar dan tepat mengenai tengkuk orang itu. Dia hanya sempat mengeluh pendek, pedangnya terlepas kemudian roboh terkulai, pingsan.
Sian Li menanti beberapa lamanya. Setelah yakin tidak ada orang melihat penyerangan itu, ia melayang turun dan menarik lengan orang yang tak mampu bergerak itu ke dalam sebuah ruangan kosong, dan ia menutupkan daun pintu ruangan itu.
Anggota Thian-li-pang itu terkejut bukan main ketika totokannya punah dan dia siuman. Ia melihat gadis berpakaian merah itu menodongkan pedang tajam yang menggigit kulit lehernya. Pedangnya sendiri!
"Kalau engkau tidak mau mengaku terus terang, pedang ini akan langsung menembus tenggorokanmu!" Sian Li mendesis.
Mata orang itu terbelalak, mukanya berubah pucat. Apa lagi ketika dia merasa perihnya kulit leher di mana ujung pedangnya sendiri menempel.
"Saya... saya mengaku terus terang...," katanya lirih.
"Hayo katakan, di mana Sin-ciang Taihiap Yo Han? Jangan bohong!"
Orang itu semakin ketakutan. "Dia... dia... di tempat... tahanan..."
Berdebar-debar rasa hati Sian Li karena lega. Seperti sudah diduganya, Ouw Seng Bu hanya membohonginya.
"Di mana tempat itu? Hayo antar aku ke sana!"
"Saya... saya tidak berani... ahhh...!"
Pedang itu menusuk, masuk ke kulit lehernya sampai setengah senti, mendatangkan rasa nyeri dan ketakutan hebat. Sedikit saja nona baju merah itu menusukkan pedang itu, tentu lehernya akan tembus dan matilah dia.
"Baik... baik...," katanya.
Sian Li menarik pedangnya. "Hayo jalan dulu, awas, kalau engkau memberi tanda atau berteriak, akan kucincang tubuhmu."
Dengan tubuh gemetar ketakutan, anak buah Thian-li-pang itu lalu membawa Sian Li menyelinap melalui sebuah lorong kecil. Setiap kali melihat ada anak buah Thian-li-pang lainnya, orang itu ditarik oleh Sian Li untuk bersembunyi dengan pedangnya menodong pada punggung orang itu.
Akhirnya, setelah melalui jalan yang berliku-liku, orang itu membawa Sian Li memasuki ruangan bagian belakang. Bangunan di situ cukup besar dan mereka memasuki lorong sehingga tiba di depan pintu sebuah kamar yang terbuat dari besi dan ada jerujinya yang kokoh kuat. Pintu kamar itu dipasangi rantai yang dikunci.
"Dia... dia ada di sana..." Orang itu menuding ke dalam kamar tahanan itu.
Sian Li menggerakkan tangan kirinya dan orang itu terkulai lemas, tak mampu bergerak lagi karena tertotok. Sian Li menghampiri jeruji pintu kamar itu dan melihat ke dalam. Jantungnya berdebar.
"Han-koko...!" Ia berseru, akan tetapi lirih karena tidak ingin membuat gaduh.
Ia melihat Yo Han duduk bersila, membelakangi pintu. Ia memang tidak melihat wajah orang itu, akan tetapi perawakannya membuat ia mengenal pemuda itu, apa lagi anak buah Thian-li-pang tadi mengatakan bahwa Yo Han ditawan di kamar itu.
"Han-koko...!" Ia memanggil lagi.
Akan tetapi orang yang bersila membelakanginya itu tidak menjawab dan tak bergerak. Agaknya Yo Han terluka parah dan sedang menghimpun hawa murni, maka tidak dapat menjawabnya, pikir Sian Li. Dia melihat betapa Yo Han menarik napas panjang dan menahan napas itu sampai lama.
Ahhh, Yo Han tentu terjebak musuh dan menderita luka, maka bisa tertawan, pikir Sian Li. Sekaranglah saatnya membebaskannya, karena kalau sampai Ouw Seng Bu dan sekutunya muncul, tidak akan mudah baginya untuk membebaskan kekasih hatinya itu.
"Han-koko, jangan khawatir, aku akan menolongmu!" katanya.
Ia memperhitungkan bahwa kalau kamar tahanan itu dipasangi jebakan, tentu Yo Han akan memperingatkannya. Sian Li lalu mengeluarkan sulingnya.
Suling itu hanya disaput emas, akan tetapi sebetulnya di sebelah dalamnya terbuat dari baja pilihan yang sangat kuat. Dia mengerahkan tenaganya, tenaga gabungan Im-yang Sinkang dari keluarga Pulau Es seperti yang ia pelajari dari Suma Ceng Liong, memutar sulingnya dengan ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan sinar emas menyambar ke arah lantai yang membelenggu daun pintu kamar tahanan itu.
"Tranggg... trakkk!"
Rantai itu patah dan Sian Li mendorong daun pintu kamar tahanan itu sehingga terbuka. Dengan cepat, namun hati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaan, dia pun memasuki kamar tahanan itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar dan ketika ia menengok, nampak banyak anak buah Thian-li-pang memasuki rumah tahanan itu.
Hemmm, ia telah ketahuan musuh, pikirnya. Ia harus cepat membebaskan Yo Han.
"Han-koko, mari kita pergi..." Ia menahan kata-katanya dan terbelalak ketika orang yang tadinya bersila membelakanginya itu meloncat ke depan, membalikkan tubuhnya dan ia berhadapan dengan Ouw Seng Bu!
Kiranya, ketua baru Thian-li-pang yang tadi duduk bersila membelakanginya. Memang perawakan ketua baru ini mirip dengan perawakan Yo Han, dan agaknya sang ketua ini sengaja menyamar sehingga rambut yang dikucir bergantung dan melingkar leher itu pun sama, juga pakaiannya.
"Ha-ha-ha, Bangau Merah! Sudah kukatakan bahwa Yo Han telah berkhianat, dan dia sudah mati di dalam sumur tua, dan engkau masih juga tidak percaya? Sekarang, lebih baik engkau menyerah dan membantu kami berjuang melawan penjajah, sesuai dengan nama besar keluargamu sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa."
"Keparat Ouw Seng Bu! Engkau tentu telah menjebak Han-koko! Sekarang aku harus membalas dendam kepadamu!" Setelah berkata demikian, Sian Li memutar suling dan menerjang maju. Akan tetapi, Ouw Seng Bu menghindar dengan loncatan ke kiri.
"Ha-ha-ha, engkau sudah terkepung dan masih bicara besar? Lihatlah, di luar kamar ini anak buahku sudah menghadang dan mengepung. Engkau tidak akan dapat lolos, Tan Sian Li. Melawan pun tiada gunanya karena kalau Yo Han saja tak mampu menandingi aku, apa lagi engkau."
"Jahanam busuk yang sombong!" Sian Li berteriak dan ia pun menyerang lagi dengan dahsyat.
Diam-diam Ouw Seng Bu terkejut karena serangan Si Bangau Merah itu memang kuat dan dahsyat bukan main. Sulingnya berubah menjadi sinar emas yang mengeluarkan suara melengking-lengking aneh. Ia melompat ke tepi kamar, tangannya cepat menekan tombol di dinding sehingga dinding di belakangnya terbuka. Dan ia melompat masuk.
"Pengecut, hendak lari ke mana kau?" bentak Sian Li yang cepat-cepat mengejar. Dia pun ikut meloncat masuk ke dalam kamar lain di mana Ouw Seng Bu sudah menunggu sambil tersenyum mengejek.
Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya secara aneh dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan! Dia telah menghimpun tenaga dari ilmunya yang sesat, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latih. Kini wajahnya berubah, masih tampan, tapi senyumnya yang tadinya ramah dan manis itu berubah menjadi wajah menyeringai yang amat menyeramkan, sadis dan dingin. Matanya liar dan suara tawanya bagaikan setan tertawa.
Ketika Sian Li melihat keadaan Ouw Seng Bu seperti itu, ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang yang tidak waras, atau miring otaknya! Ia tidak tahu bahwa keadaan itu merupakan akibat dari ilmu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan.
"Iblis gila!" bentaknya dan ia menyerang lagi dengan sulingnya.
Kamar yang ini berbeda dengan kamar tahanan di depan tadi. Dinding yang tadi terbuka menembus ke kamar tahanan sekarang sudah menutup kembali dengan sendirinya dan kamar ini lebih luas.
Sian Li menghantamkan sulingnya ke arah kepala pemuda itu. Akan tetapi, Seng Bu meloncat ke samping dan ketika suling itu mengejar dengan sambaran ke samping, dia menangkis dengan tangan kirinya.
"Takkk...!"
Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh Sian Li terdorong ke belakang hingga tiga langkah. Gadis itu terkejut bukan main. Sulingnya yang ditangkis tadi tergetar hebat. Ada tenaga aneh yang amat dingin menyusup melalui suling dan tangannya dan tenaga itu amat kuat sehingga dia terdorong dan terhuyung. Baiknya dia masih mengerahkan tenaga sinkang untuk menolak pengaruh hawa dingin aneh itu.
"Ha-ha-he-he-he!" Ouw Seng Bu terkekeh menyeramkan dan membusungkan dadanya. "Si Bangau Merah, engkau tidak akan menang melawan aku. Ilmuku yang amat hebat ini tidak dapat ditandingi siapa pun juga. Sebentar lagi aku akan menjadi jagoan nomor satu di dunia dan mengusai dunia kang-ouw. Bahkan setelah menjatuhkan pemerintah penjajah Mancu, akulah yang layak dan pantas menjadi kaisar. Ha-ha-ha!"
"Gila, dia gila akan tetapi memiliki ilmu yang ajaib," pikir Sian Li.
Ia harus dapat merobohkan orang ini, kalau tidak, ia tentu akan celaka. Baru orang ini saja sudah demikian hebat, kalau para sekutunya datang mengeroyok, ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi mereka.
Sian Li mengeluarkan pekik melengking. Kini dia memutar suling emasnya, memainkan ilmu pedangnya yang paling ampuh, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Bangau Merah) yang ia pelajari dari ayahnya, Pendekar Sakti Bangau Putih.
Sulingnya berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung yang menyilaukan mata, dan tubuhnya juga lenyap berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan terbungkus sinar emas. Dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyerang ke arah Ouw Seng Bu.
Namun, sambil terkekeh-kekeh aneh, Ouw Seng Bu berdiri tegak dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, kadang diputar seperti baling-baling, dan dari kedua tangan itu menyambar hawa dahsyat yang membuat semua serangan Sian Li tertolak kembali, mental sebelum mengenai tubuh lawan! Ketika Ouw Seng Bu melangkah maju mendekat, hawa pukulan kedua tangannya semakin kuat sehingga kini gulungan sinar emas itu makin menyempit, tanda bahwa Si Bangau Merah terdesak oleh tenaga aneh itu.
Pada saat itu terdengar suara wanita berteriak, "Bu-ko, jangan bunuh atau lukai dia!"
Mendengar teriakan itu, Ouw Seng Bu lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, tidak, tidak, sayang, jangan khawatir!"
Setelah berkata demikian, mendadak dia meloncat ke belakang dan berlari keluar dari ruangan itu melalui sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan panjang.
"Jangan lari!" bentak Sian Li yang mengejar.
Terdengar suara keras dan lorong itu sudah tertutup dari depan dan belakang oleh pintu rahasia. Sian Li terkejut, merasa terjebak dalam lorong yang tertutup, akan tetapi karena Ouw Seng Bu masih berada di situ bersamanya, ia tidak takut dan memutar suling lebih cepat untuk menjaga agar orang itu tidak melarikan diri melalui sebuah pintu rahasia.
"Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lolos, Bangau Merah!" kata Ouw Seng Bu.
Mendadak dari lantai lorong itu keluar asap kemerahan yang memenuhi lorong. Sian Li mencium bau harum menyengat dan tahulah dia bahwa asap itu mengandung racun pembius! Akan tetapi, tidak ada jalan keluar dan jalan satu-satunya hanya menyerang mati-matian pada lawan yang masih terus tertawa-tawa walau pun asap merah semakin menebal.
Gadis perkasa yang cerdik ini menyesal akan kebodohan dirinya sendiri. Tentu saja, pikirnya. Ouw Seng Bu telah memakai obat penawar! Asap sudah terpaksa disedotnya ketika ia bernapas.
"Keparat keji, pengecut, curang...!" Ia menyerang kembali akan tetapi kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang dan ia pun roboh terkulai pingsan.
Ketika siuman kembali, Sian Li mendapatkan dirinya sudah rebah di atas sebuah dipan. Dia melihat betapa kaki tangannya diikat oleh rantai baja yang panjang. Cepat ia turun dari pembaringan itu dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mematahkan rantai kaki tangannya.
"Jangan, Sian Li. Jangan patahkan rantai kaki tanganmu," terdengar suara orang.
Sian Li menengok dan melihat Hui Eng juga berada di kamar itu. Juga gadis ini dirantai kaki tangannya, dengan rantai panjang yang membuat ia mampu bergerak ke sana sini, mampu mempergunakan tangan kakinya, akan tetapi rantai itu tidak sampai pintu kamar tahanan yang beruji.
"Ahh, kiranya engkau pun sudah tertawan. Bagaimana dengan pang..." Sian Li teringat. Mereka berada di tangan pemberontak Thian-li-pang, sungguh berbahaya kalau mereka mengetahui bahwa Cia Sun adalah pangeran Mancu. "Di mana Sun-toako?"
"Entah, kami berpencar, bukan? Aku dikepung dan dikeroyok, lalu tertangkap."
"Tapi mengapa engkau melarang aku mematahkan rantai ini! Kurasa engkau pun akan mampu mematahkan rantai kaki tanganmu."
"Agaknya aku akan mampu mematahkan rantai ini, akan tetapi apa gunanya? Mereka jelas tidak ingin membunuh kita, dan rantai ini bagaimana pun juga masih memberi kebebasan bergerak kepada kita. Dengan mematahkannya, belum berarti kita bebas. Kamar ini kokoh kuat dan terjaga kuat, juga mereka dapat mempergunakan perangkap untuk menangkap kita kembali. Kalau sampai mereka menggantikan rantai ini dengan belenggu yang membuat kita tidak mampu bergerak leluasa, bukankah hal itu lebih menyiksa? Kita harus tenang dan sabar, tidak menuruti kemarahan."
Sian Li mengangguk membenarkan. "Mereka itu lihai, dan orang she Ouw itu agaknya miring otaknya. Dia itu gila, akan tetapi memiliki ilmu seperti iblis sendiri. Belum pernah selama hidupku bertemu dengan lawan setangguh itu yang memiliki ilmu seaneh itu."
"Aku... aku mengkhawatirkan pangeran..." kata Hui Eng lirih.
"Agaknya dia tidak seperti kita, tidak tertangkap. Mudah-mudah saja begitu karena kalau dia masih bebas, berarti kita masih mempunyai harapan akan dapat tertolong. Aku sekarang mengerti bahwa anggota Thian-li-pang yang kutangkap tadi sengaja dipasang sebagai umpan perangkap. Mereka itu amat lihai dan licik sekali. Sekarang aku sungguh mencemaskan keadaan Han-koko."
Mereka terdiam karena mendengar langkah kaki yang ringan menghampiri dari luar kamar tahanan. Muncullah Cu Kim Giok, gadis manis dengan mata indah, akan tetapi kini wajahnya agak muram dan matanya mengandung penyesalan.
"Hemmm, engkau sungguh tidak tahu malu masih berani muncul di depan kami!" Sian Li langsung menyambut dengan ucapan keras. "Ingin aku melihat wajah Paman Cu Kun Tek serta Bibi Pouw Li Sian yang gagah perkasa kalau melihat puterinya seperti ini, membantu orang-orang jahat!"
Cu Kim Giok memandang sedih. "Aihhh, tidak kusangka akan begini jadinya. Sungguh, aku bersumpah, Sian Li, aku bukan orang yang membela orang jahat. Semua ini hanya salah sangka dari pihakmu saja. Aku berani menanggung bahwa Ouw Seng Bu adalah orang yang gagah perkasa, seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Bahkan dia mau mengorbankan apa saja dengan perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Salahkah aku kalau aku membantu perjuangan yang suci ini? Engkau terlalu berprasangka dan menganggap buruk. Tentang kematian Pendekar Tangan Sakti Yo Han, sungguh bukan kesalahan Ouw-toako. Aku sendiri menjadi saksinya. Yo Han yang berusaha membunuh Ouw-koko seperti yang telah dilakukannya kepada para pimpinan Thian-li-pang, dan Ouw-koko hanya membela diri. Jika Yo Han tidak tergelincir ke dalam sumur, dan tidak ditimbuni batu, tentu Ouw-koko yang tewas di tangannya. Percayalah, Ouw-koko adalah seorang yang baik, seorang pendekar yang..."
"Gila! Ya, dia seorang yang miring otaknya, Kim Giok. Tidak tahukah engkau akan hal itu atau pura-pura tidak tahu? Cu Kim Giok, katakan kepada iblis gila Ouw Seng Bu itu bahwa kalau benar Han-koko tewas di tangannya, aku Tan Sian Li akan mengerahkan seluruh keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir untuk membalas dendam! Aku tidak akan berhenti berusaha sampai aku dapat memenggal lehernya serta membawa kepalanya dan hatinya untuk sembahyang kepada Han-koko!"
Berkata demikian, karena sambil membayangkan kematian Yo Han, kedua mata Sian Li lantas menjadi basah dan suaranya gemetar, walau pun mengandung ancaman yang membuat Kim Giok merasa ngeri.
"Sian Li, engkau rela mengorankan apa pun untuk membela Yo Han, karena engkau menganggap dia benar dan mencintanya. Apakah aku tidak boleh membela orang yang kuanggap benar dan yang kucinta?"
Dengan muka penuh kesedihan Kim Giok meninggalkan tempat itu dengan cepat. Dua orang gadis perkasa itu masih sempat mendengar isak tangis yang dibawa lari gadis dari Lembah Naga Siluman itu.
"Sungguh aneh! Ia mencinta Ouw Seng Bu...!" kata Sian Li lirih.
"Ihhh, kenapa hal itu kau anggap aneh, Sian Li?" tanya Hui Eng, tersenyum.
"Akan tetapi Ouw Seng Bu itu orang gila! Iblis gila!"
Hui Eng tertawa geli dan Sian Li memandang heran. Memang nampak aneh dan lucu melihat gadis itu tertawa-tawa geli, padahal mereka kini berada dalam tahanan musuh dengan kaki tangan dipasangi rantai! Sungguh-sungguh merupakan keadaan yang patut mendatangkan tangis, bukan tawa geli! Ini saja sudah membuktikan betapa tabah hati Sim Hui Eng menghadapi keadaan yang gawat. Dan hal ini membesarkan pula hati Sian Li. Mempunyai seorang kawan sependeritaan setabah ini memang membesarkan hati.
"Hemmm, apa yang perlu ditertawakan? Apanya yang lucu?" tanya Sian Li.
"Engkau yang lucu," kata Hui Eng. "Mengapa engkau seperti orang kebakaran jenggot melihat gadis itu mencintai Ouw Seng Bu?"
"Hushhh! Mana aku berjenggot?" cela Sian Li, akan tetapi kini ia pun tertawa geli.
"Sian Li, cinta membuat orang yang kita cinta nampak selalu benar selalu baik, selalu menarik, sebaliknya benci membuat orang yang kita benci nampak selalu salah, selalu buruk, selalu menyebalkan. Buktinya, engkau ditunangkan dengan pangeran Cia Sun, tapi engkau malah memilih Yo Han. Dan pangeran malah memilih aku, padahal saat itu aku masih puteri ketua Pao-beng-pai yang memberontak kepada kerajaan keluarganya. Dan aku pun memilih dia, padahal aku selalu tak suka kepada penjajah Mancu, dan aku yakin, Yo Han juga tak akan suka memilih lain gadis kecuali engkau. Nah, apa anehnya kalau sekarang gadis itu mencinta Ouw Seng Bu dan menganggap dia selalu baik dan benar?"
Sian Li termenung. Kebenaran ucapan Hui Eng meresap dalam hatinya. Memang apa yang dikatakan Hui Eng patut direnungkan.
Kita semua selalu mengambil kesimpulan dan mempunyai pendapat mengenai sesuatu berdasarkan penilaian kita, dan kita menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk. Kita lupa bahwa sesuatu itu tiada yang abadi, tak ada yang tetap dan selalu akan berubah-ubah.
Kita tidak mungkin dapat menentukan seseorang itu baik atau buruk, karena si orang yang kita nilai itu sudah pasti akan mengalami perubahan, dan perubahan ini akan mendatangkan kesan berbeda-beda bagi kita, ada kalanya kita anggap baik dan ada kalanya pula kita anggap buruk. Orang yang hari ini kita anggap sebaik-baiknya orang, mungkin pada suatu saat kelak akan kita anggap seburuk-buruknya orang, demikian sebaliknya.
Mengapa demikian? Pertama, karena tidak ada apa atau siapa pun di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Dan kedua, karena pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian, dan setiap penilaian, diakui atau pun tidak, disadari mau pun tidak, selalu berdasarkan kepentingan si-aku, si penilai.
Penilaian muncul dengan pertimbangan untung rugi, disenangkan atau tak disenangkan. Jika seseorang atau sesuatu benda itu menguntungkan dan menyenangkan, bagaimana mungkin kita menilainya jelek dan jahat? Sebaliknya, kalau seseorang atau sesuatu itu merugikan dan tidak menyenangkan, sudah pasti kita menilainya tidak baik, tak mungkin kita menilainya bagus atau baik.
Biar pun orang sedunia mengatakan bahwa seorang yang baik dan patut dipuji, akan tetapi kalau memusuhi kita, merugikan dan tidak menyenangkan kita, mungkinkah kita menilainya sebagai seorang yang baik dan patut dipuji? Sebaliknya, andai kata orang sedunia mencaci sebagai seorang yang jahat dan patut dikutuk, akan tetapi kalau baik terhadap kita, menguntungkan dan menyenangkan kita, dapatkah kita mengutuknya dan menilainya sebagai seorang yang jahat?
Bahkan seorang kekasih yang dicinta setengah mati pun, karena dia menyenangkan kita, kita puja karena menguntungkan perasaan kita. Seandainya pada suatu hari dia itu melakukan sesuatu yang merugikan kita dan tidak menyenangkan kita, misalnya menipu kita, menyeleweng dengan orang lain, tak mau melayani kita sebagai kekasih, dapatkah kita tetap menilainya baik dan mencintanya? Biasanya, cinta itu berubah menjadi benci!
Mengapa? Sebab benci itu merupakan akibat penilaian yang buruk terhadap seseorang! Kalau menyenangkan, dinilai baik dan dicinta, kalau sekali waktu tidak menyenangkan, dinilai buruk dan dibenci!
Hujan tinggal tetap hujan, air yang jatuh dari atas. Akan tetapi jika hujan itu merupakan sesuatu yang merugikan kita seperti banjir, atau menghalangi kesenangan, kita akan menganggapnya buruk dan mengomel. Namun kalau hujan itu datang dan kita anggap menyenangkan dan menguntungkan, seperti para petani yang berharap datangnya air untuk sawah ladang mereka, maka kita akan menilainya baik dan hati kita senang, mulut tidak lagi mengomel dan cemberut, melainkan tertawa-tawa dan bersyukur!
Demikianlah panggung sandiwara dalam kehidupan ini, lebih lucu dan konyol dari pada panggung para pelawak. Kita dipermainkan nafsu yang sudah menyusup dalam diri kita lahir batin, dan karena nafsu selalu mengejar kesenangan, maka timbullah suka duka dan penilaian baik buruk, persahabatan permusuhan dan segala macam kebalikan-kebalikan yang mendatangkan konflik lahir batin pula.
Dapatkah kita hidup tanpa menilai dan menerima kenyataan apa adanya? Apa pun yang terjadi dan menimpa kehidupan kita merupakan suatu kenyataan hidup yang patut kita hadapi dengan segala kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan!
Tuhan Maha Pencipta. Seluruh isi alam maya pada adalah milik Sang Maha Pencipta, jadi Dialah yang menentukan segala. Kewajiban kita hanyalah berusaha dan berikhtiar untuk mempertahankan hidup ini yang berarti membantu kodrat Tuhan yang sudah menghidupkan kita, dan mengisi kehidupan ini supaya hidup kita bermanfaat bagi diri sendiri, bagi keluarga dan bagi lingkungan. Bermanfaat berarti tidak merusak.
Dengan pasrah, dengan menyerahkan kepada Tuhan yang menciptakan kita, menyerah penuh keiklasan dan ketawakalan, barulah mungkin bagi kita untuk menerima segala yang terjadi dengan penuh kesadaran, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu, pada akhirnya ditentukan oleh kekuasaan-Nya.
"Aku mengerti sekarang, enci Eng, dan aku merasa kasihan kepada Kim Giok. Aku hampir yakin bahwa dia sudah terbujuk, bahwa Ouw Seng Bu itu seorang yang tidak waras, orang gila yang teramat cerdik dan licik, juga memiliki ilmu silat yang aneh dan berbahaya sekali."
"Kita lihat perkembangannya, adik Sian Li. Kita harus bersabar dan melihat apa yang akan mereka lakukan terhadap kita. Aku yakin mereka akan menghubungi kita, mungkin melalui Cu Kim Giok tadi. Tidak perlu kita bergerak dengan sia-sia, sebaiknya menanti datangnya kesempatan baru kita mematahkan rantai ini dan mencoba untuk lolos."
Sian Li mengangguk, diam-diam dia merasa lega dan girang karena mempunyai teman seperti ini boleh diandalkan.
**********
Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tiba di kaki Bukit Naga. Terdapat sebuah kuil tua yang kosong di kaki bukit sebelah itu. Dan karena hari menjelang senja, mereka mengambil keputusan untuk melewatkan malam di kuil tua itu. Tadi mereka telah membeli bekal makanan dari dusun terakhir.
Di luar kuil tua yang tidak digunakan lagi itu, mereka berhenti dan terkejut melihat ada seorang tosu duduk bersila di bagian depan kuil. Ciang Hun yang telah berpengalaman tidak berani lancang dan dia menghampiri tosu itu. Bi Kim mengikutinya dari belakang, bersiap menghadapi segala kemungkinan karena tahu bahwa mereka telah berada di daerah Bukit Naga.
"Harap Totiang memaafkan kami berdua. Karena kemalaman di perjalanan kami ingin melewatkan malam di kuil tua ini, kalau saja tidak mengganggu Totiang."
"Siancai, silakan, Kongcu dan Siocia,” kata pendeta itu dengan sikap acuh.
Pada saat kedua orang muda itu hendak melangkah masuk, dari dalam keluar empat orang tosu lainnya. Tentu saja hal ini membuat Ciang Hun sangat terkejut.
"Ahhh, maafkan kami, Cuwi Totiang. Kiranya kuil ini sekarang menjadi tempat tinggal Totiang sekalian?"
Tosu tertua yang tadi duduk bersila di luar berkata lembut, "Sama sekali bukan, Kongcu. Kami berlima juga sedang berteduh dan melewatkan malam di sini. Kuil ini kosong dan tidak dipergunakan lagi."
"Ahh, kalau begitu kebetulan dan terima kasih Totiang."
Ciang Hun dan Bi Kim lalu membersihkan lantai di sudut ruangan depan karena ternyata hanya ruangan depan itu saja yang masih agak utuh dan bersih, sedangkan ruangan tengah dan belakang kuil itu sudah rusak dan kotor.
Lima orang tosu itu duduk bersila, dan dua orang muda di sudut itu lalu menyalakan lilin yang tadi mereka beli sehingga ruangan itu tidak menjadi gelap lagi. Malam tiba dan hawa udara amat dinginnya. Dua orang di antara para tosu itu lalu membuat api unggun dari kayu-kayu yang agaknya sudah mereka cari dan kumpulkan siang tadi. Keadaan menjadi semakin terang oleh cahaya api unggun dan timbul kehangatan di situ.
Bi Kim mengeluarkan buntalan makanan yang mereka beli tadi, dan dengan ramah dan hormat Ciang Hun dan Bi Kim menawarkan makanan kepada lima orang tosu itu.
"Cuwi Totiang, mari silakan Cuwi Totiang makan malam bersama kami. Kita makan seadanya, Totiang," kata Bi Kim.
"Silakan, Totiang, kami akan gembira sekali untuk menjamu Cuwi dengan makanan kami yang sederhana," kata pula Ciang Hun.
"Siancai, Ji-wi adalah dua orang muda yang ramah dan baik. Terima kasih, Kongcu dan Siocia, kami tadi sudah makan dan sekarang merasa kenyang. Silakan Ji-wi makan, harap jangan sungkan-sungkan," kata tosu tertua.
Karena maklum bahwa mereka berdua menghadapi perjalanan yang mungkin sukar dan membutuhkan banyak pengerahan tenaga, maka kedua orang muda itu tidak merasa sungkan-sungkan lagi dan mulai makan bak-pao dan dendeng yang tadi mereka beli sebagai bekal. Setelah mereka selesai makan, membersihkan mulut dan tangan dengan air yang mereka bawa, mereka diundang duduk dekat api unggun oleh para tosu.
Dengan gembira dua orang muda itu duduk mengelilingi api unggun bersama lima orang pendeta itu.
"Kalau pinto (saya) tidak salah lihat, Ji-wi bukanlah dua orang muda biasa, melainkan dua orang muda yang memiliki kepandaian silat. Bolehkah pinto mengetahui nama Ji-wi dan apa keperluan Ji-wi mendatangi daerah yang berbahaya ini?"
Karena yakin bahwa lima orang pendeta ini adalah orang-orang beribadat yang baik, maka Ciang Hun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan keadaan mereka. "Totiang, saya bernama Gak Ciang Hun dan nona ini adalah Gan Bi Kim. Kami berdua melakukan perjalanan ke sini untuk mencari seorang sahabat kami yang jejaknya menuju ke bukit ini."
Tiba-tiba Gan Bi Kim berkata, "Mungkin sekali Cuwi Totiang ada yang melihat sahabat kami itu lewat di sini!"
"Aihh, benar juga!" seru Ciang Hun girang. "Apakah Cuwi Totiang melihat sahabat kami itu lewat di sini? Dia seorang gadis muda..."
"Pakaiannya serba merah?" potong seorang tosu.
"Benar, benar!" Ciang Hun berseru girang.
"Siancai, yang kalian cari itu bukankah Si Bangau Merah, nona Tan Sian Li?"
Dua orang muda itu hampir berteriak karena girangnya.
"Benar sekali, Totiang!" kata Gak Ciang Hun. "Apakah Totiang melihatnya? Di mana?" tanyanya dengan penuh gairah.
"Nanti dulu, kalau Ji-wi mengenal Si Bangau Merah, tentulah Ji-wi bukan orang-orang sembarangan. Kongcu she Gak? Hemmm...? Pinto sudah pernah mendengar tentang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san), apakah hubungan Kongcu dengan para pendekar she Gak itu?"
"Saya adalah puteranya..."
"Ahh! Sungguh kami merasa beruntung bertemu dengan putera Beng-san Siang-eng!"
"Kalau boleh kami mengetahui, siapakah Cuwi Totiang?" Ciang Hun bertanya, sekarang sambil memandang penuh perhatian.
Tosu tertua itu menghela napas panjang. "Pinto disebut Thian Tocu, seorang murid dari Bu-tong-pai dan empat orang ini adalah para sute pinto. Baru kemarin pinto berlima bertemu dengan Si Bangau Merah, bahkan dialah yang mengobati pinto dari pukulan beracun. Karena kekuatan pinto masih belum pulih, maka kami berhenti di sini untuk memulihkan tenaga."
"Lalu, ke manakah perginya adik Sian Li?" tanya Ciang Hun.
Tosu itu menghela napas panjang. "Kami khawatir sekali. Ia pergi mendaki Bukit Naga dan hendak berkunjung ke Thian-li-pang, padahal keadaan Thian-li-pang telah berubah sama sekali. Perkumpulan itu telah menyeleweng dan dipimpin oleh seorang ketua baru yang seperti Iblis. Kami sungguh mengkhawatirkan keselamatan pendekar wanita itu."
"Totiang, apakah yang sudah terjadi?" Gan Bi Kim bertanya, ikut pula merasa khawatir mendengar ucapan tosu itu.
Thian Tocu lalu menceritakan semua pengalaman mereka berlima. Mereka sengaja mendatangi Thian-li-pang karena mendengar berita tentang sepak terjang Thian-li-pang yang menyeleweng, yang menundukkan para tokoh-tokoh kang-ouw dengan kekerasan dan melakukan pemerasan.
"Bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah berita mengenai terbunuhnya Pendekar Tangan Sakti Yo Han oleh ketua baru Thian-li-pang..."
"Ahhh...! Benarkah itu, Totiang?" Ciang Hun berseru kaget.
"Kami pun tidak percaya. Ketika kami tanyakan hal itu kepada Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang, dia bahkan mengatakan bahwa Yo Han telah membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, kemudian Yo Han juga menyerang dia. Dalam perlawanan yang dibantu anak buahnya, Yo Han akhirnya tewas. Demikian keterangan Ouw-pangcu. Kami tidak percaya sehingga terjadi perkelahian, akan tetapi ketua baru itu seperti iblis, lihai bukan main dan pinto terkena pukulan beracun darinya. Kami merasa kalah dan turun bukit, lalu bertemu di jalan dengan Si Bangau Merah yang mengobati pinto. Kami sungguh mengkhawatirkan Si Bangau Merah yang hendak melakukan penyelidikan ke tempat berbahaya itu."
"Kalau begitu, adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus cepat ke sana, Kim-moi!" kata Ciang Hun, khawatir sekali.
"Gak-taihiap, sebaiknya bila kita berhati-hati menghadapi Thian-li-pang. Selain ketuanya sangat lihai, juga kini Thian-li-pang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti Siangkoan Kok bekas ketua Pao-beng-pai, juga para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai berada di sana. Sebaiknya kalau Ji-wi bersabar sampai lewat malam ini dan besok pagi-pagi barulah kita mendaki ke sana."
"Kita?" Ciang Hun bertanya.
"Kongcu, melihat Ji-wi yang muda-muda tetapi begitu bersemangat untuk membantu Si Bangau Merah, menentang bahaya dengan gagah berani, kami yang tua-tua merasa malu kalau hanya tinggal diam saja. Kami akan menemani Ji-wi membantu pendekar wanita Bangau Merah, walau pun kami tahu bahwa kekuatan kita ini tidak ada artinya dibandingkan kekuatan mereka yang mempunyai ratusan orang anak buah."
"Kita tidak bermaksud menyerang Thian-li-pang, Totiang, tapi hanya hendak menyelidiki kalau-kalau adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus membantunya."
"Kami siap membantu, Kongcu."
Demikianlah, malam itu mereka lewatkan dengan beristirahat dan menghimpun tenaga karena siapa tahu, besok mereka akan menghadapi musuh dan bahaya yang harus ditentang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Hun, Bi Kim dan lima orang tosu dari Bu-tong-pai telah mendaki Bukit Naga. Mereka bergerak cepat akan tetapi dengan hati-hati sekali dan tosu-tosu itu yang memimpin pendakian karena mereka lebih mengenal daerah itu dari pada kedua orang muda yang baru pertama kali itu berkunjung ke situ.
Akan tetapi gerak-gerik tujuh orang ini tidak terlepas dari pengintaian para anak buah Thian-li-pang. Ouw Seng Bu maklum bahwa sebelum pemuda yang datang bersama Sian Li dan Hui Eng itu tertangkap, tentu Thian-li-pang akan terancam bahaya.
Apa lagi ketika dia mendengar dari Siangkoan Kok bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran Mancu! Maka dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan tersembunyi, siang malam harus melakukan pengamatan terhadap seluruh permukaan bukit itu. Karena itu begitu tujuh orang itu mendaki bukit, para anak buah Thian-li-pang telah mengetahuinya dan diam-diam setiap gerak-gerik mereka telah diamati dan diikuti.
Sementara itu, di dalam rumah tahanan Cu Kim Giok kembali datang mengunjungi dua orang tawanan, Hui Eng dan Sian Li. Kini Sian Li sudah dapat menekan kemarahan hatinya dan melihat munculnya Kim Giok, ia bertanya, suaranya tenang saja. "Kim Giok, apa lagi yang hendak kau katakan kepada kami?"
"Sian Li, engkau melihat sendiri betapa Thian-li-pang bersikap baik kepada kalian yang bahkan tidak dianggap sebagai musuh, melainkan sebagai tamu. Aku berharap dengan sepenuh hatiku supaya kalian berdua juga bisa melihat kenyataan bahwa Thian-li-pang sesungguhnya mengharapkan persahabatan dan kerja sama dengan kalian berdua, bukan permusuhan."
"Kim Giok, sekarang aku mengerti bahwa engkau saling mencinta dengan Ouw Seng Bu, maka engkau membantu dan membelanya. Aku tidak akan mempersoalkan baik buruknya Ouw-pangcu itu, tetapi kalau memang benar Thian-li-pang hendak berbaik dan bersahabat dengan kami, mengapa kami dijebak, dikeroyok dan ditahan di dalam kurungan ini? Kenapa kami tidak dibebaskan saja?”
"Sian Li, percayalah, aku sudah minta-minta kepada pangcu supaya kalian dibebaskan, akan tetapi dia mengajukan alasan kuat sehingga aku sendiri pun tidak berdaya karena alasannya memang tepat. Ia mengatakan bahwa di dalam perjuangan, kita harus dapat membedakan mana kawan dan mana lawan. Sekarang ini, kalian memperlihatkan sikap sebagai lawan, dan kalau kalian dibebaskan, sungguh amat berbahaya bagi perjuangan Thian-li-pang. Kalian lihai dan dapat mendatangkan bencana kepada kami, kecuali tentu saja kalau kalian suka bekerja sama dengan kami dan sama-sama berjuang menentang pemerintah penjajah Mancu. Karena itu, aku mohon kepada kalian, jangan memusuhi Thian-li-pang, jangan memusuhi Ouw-pangcu, jangan memusuhi kami. Sungguh aku bersumpah, kami tidak mempunyai niat buruk terhadap kalian, hanya ingin mengajak kalian bekerja sama."
"Cu Kim Giok, tidak perlu engkau membujuk kami, tentu engkau sudah tahu bahwa kami tak akan sudi untuk bekerja sama dengan golongan sesat. Sebetulnya, melihat engkau membantu Ouw-pangcu, hatiku tidak rela, dan aku tidak ingin lagi berbicara denganmu. Akan tetapi mengingat ayah ibumu, orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, aku minta engkau berterus terang mengenai satu hal. Benarkah Yo Han telah tewas di sumur tua itu?"
Kim Giok menghela napas panjang. Jawaban itu memang sudah diduganya. Akan tetapi bagaimana pun juga, apa pun yang terjadi, ia akan tetap membela Seng Bu karena ia sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.
"Sian Li, dengan menyesal sekali terpaksa kukatakan bahwa memang benar Yo Han telah tewas di dalam sumur," katanya lirih.
Mendengar keterangan ini, Sian Li menahan jeritnya. Mukanya menjadi pucat dan dia hanya berdiri termangu-mangu bagaikan patung. Kedua tangan yang dipasangi rantai pada pergelangannya itu menggenggam...