CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO
KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 02
Linggajaya adalah putera Ki Lurah Suramenggala yang dimanja. Ibunya adalah istri ketiga lurah itu. Wajahnya tampan, kulitnya halus seperti ibunya, akan tetapi wataknya bengis dan angkuh seperti ayahnya. Setelah lari sepanjang malam dengan cepat sekali menuju ke arah barat, pada keesokan harinya setelah matahari mulai terbit, Resi Bajrasakti tiba di sebuah hutan dan dia berhenti, lalu menurunkan tubuh Linggajaya ke atas tanah. Dilemparkannya begitu saja sehingga tubuh pemuda remaja itu terjatuh dan rebah terlentang di atas tanah.
Linggajaya yang rebah di atas tanah itu tetap tak mampu bergerak atau bersuara. Akan tetapi dia memandang kepada kakek itu dengan mata melotot penuh kemarahan. Melihat ini Resi Bajrasakti menjadi heran dan mengerutkan alisnya. Betapa berani dan tabahnya bocah ini, pikirnya penasaran akan tetapi juga kagum. Dia sama sekali tidak tahu bahwa kemarahan pemuda remaja yang diperlihatkan dari pandang matanya itu sama sekali bukan karena Linggajaya seorang yang tabah dan pemberani. Kemarahannya itu terbawa oleh wataknya yang angkuh dan sombong. Biasanya orang sedusun bersikap hormat dan mengalah kepadanya, takut akan kedudukan ayahnya sebagai kepala dusun. Sekarang melihat ada orang berani bersikap sewenang-wenang kepadanya, tidak takut sama sekali, dia menjadi marah!
"Heh-heh, bocah keparat! Berani engkau melotot kepadaku?. Huh, untuk apa anak iblis seperti engkau ini bagiku? Tunggu, aku akan menyiksamu sampai mati, engkau akan mati perlahan-lahan dan aku ingin dulu mendengar engkau bernyanyi-nyanyi kesakitan dalam sekarat!".
Setelah berkata demikian, Resi Bajrasakti lalu mengebutkan tangannya tiga kali ke arah muka, perut dan kaki pemuda itu dan seketika Linggajaya dapat bergerak dan bersuara kembali. Begitu dapat hergerak dan mengeluarkan suara, Linggajaya yang merasa tersinggung kehormatannya dan sudah marah sekali itu lalu melompat dan bangkit berdiri. Dia bertolak pinggang dengan tangan kanannya, lalu telunjuk kirinya menunjuk ke arah muka datuk itu dan dia memaki.
"Jahanam tua bangka kurang ajar! Apa engkau sudah bosan hidup? Engkau tidak tahu siapa aku!"
Resi Bajrasakti terbelalak, heran dan kagum. Sikap pemuda remaja itu dianggapnya luar biasa berani dan kurang ajarnya, satu diantara sikap-sikap yang disukai dan dikagumi.
"Ha-ha-ha, memangnya engkau siapa?" tanyanya.
“Aku adalah putera tunggal Ki Suramenggala yang menjadi orang nomor satu di Karang Tirta, paling kaya, paling kuat dan paling berkuasa! Engkau mencari mati kalau berani mengganggu aku!"
Mendengar kesombongan ini, Resi Bajrasakti menjadi semakin kagum dan dia mulai tertawa bergelak. Watak anak ini cocok sekali dengan wataknya sendiri!
"Ha-ha-ha-ha! Kalau aku tidak takut mati dan sekarang aku mengganggumu, engkau mau apa cah bagus?"
"Akan kupukuli engkau! Akan kubunuh engkau!" teriak Linggajaya.
"Heh-heh, engkau berani?" kakek itu mengejek.
Linggajaya semakin marah. "Kenapa t idak berani? Apamu yang kutakuti? Nah, mampuslah kau" anak itu lalu menerjang maju dan memukul ke arah dada dan perut kakek itu.
Sambil tertawa kakek itu menangkis dan begitu tangannya bertemu dengan kedua tangan Linggajaya, anak itu terlempar dan terbanting tiga meter jauhnya! Akan tetapi Linggajaya menjadi semakin marah. Dia bangkit berdiri dan lari menyerang lagi, mengerahkan seluruh tenaganya. Kembali Resi Bajrasakti menyambutnya dengan tendangan sehingga tubuh linggajaya terpental. Sambil tertawa-tawa kakek itu menghadapi serangan Linggajaya yang tidak juga jera. Anak itu sudah babak belur dan benjol-benjol, akan tetapi dia selalu bangkit lagi dengan nekat, seakan merasa yakin bahwa ayah dan para jagabaya tentu akan datang dan membelanya seperti selalu terjadi jika dia berkelahi. Memang Linggajaya termasuk anak yang bandel dan bengal, suka berkelahi dan ditakuti semua pemuda di Karang Tirta.
Resi Bajrasakti menjadi semakin suka dan kagum. Apalagi ketika beberapa kali menangkis, dia mendapat kenyataan betapa anak itu memiliki tulang yang kuat, semangat baja, keberanian yang nekat dan memiliki bakat untuk menjadi seorang yang sakti mandraguna yang mengandalkan kekuatannya untuk bertindak menuruti keinginan sendiri. Anak seperti inilah yang cocok menjadi muridnya! Ketika untuk kesekian kalinya Linggajaya menyerang lagi, Resi Bajrasakti mengebutkan tangannya dan anak itu terpelanting roboh dan diam saja karena dia kembali tidak mampu bergerak atau bersuara. Resi Bajrasakti lalu mencengkram baju anak itu dan merenggutnya.
"Brettt …..!" baju itu robek dan terlepas dari tubuh Linggajaya sehingga anak itu kini telanjang dari pinggang keatas. Jari-jari tangan Resi Bajrasakti lalu menggerayangi tubuh anak itu, memeriksa bagian leher, punggung, tengkuk dan pinggang. Berkali-kali dia mengeluarkan pujian dan akhirnya dia tertawa begelak.
“Ha-ha-ha-ha-ha, cocok! cocok!" Dia lalu mengebutkan tangannya lagi dan anak itu dapat bergerak dan bersuara kembali. "Linggajaya, mulai sekarang engkau menjadi muridku!"
"Menjadi muridmu? Huh, siapa sudi menjadi muridmu? Kalau ingin menjadi guruku, harus minta ijin kepada ayahku dulu agar ayah dapat mengujimu apakah engkau pantas menjadi guruku. Aku tidak mau menjadi muridmu!" teriak Linggajaya sambil bangkit berdiri. Mukanya benjol-benjol, tubuhnya babak belur, bahkan ujung bibirnya berdarah, akan tetapi sorot matanya masih bersinar penuh keberanian dan kemarahan, kedua tangannya dikepal.
Melihat sikap ini Resi Bajrasakti tertawa senang. Anak ini bebar-benar cocok menjadi muridnya. Dia sudah lupa kepada gadis remaja yang diculiknya tadi, dan sekarang dia malah merasa senang dan beruntung bahwa dia memperoleh ganti seorang pemuda remaja yang kiranya tepat untuk menjadi muridnya, cocok untuk dapat meneruskan ketenarannya dan yang akan mengangkat tinggi nama besarnya.
"Linggajaya, engkau ingin melihat dulu kesaktian gurumu? Nah, lihatlah baik-baik!" Resi Bajrasakti lalu menghampiri sebongkah batu sebesar perut kerbau. Dia lau menampar ke arah batu itu sambil berteriak, "Hiaatttttt!"
"Pyarrr .....!" batu besar itu hancur berhamburan.
Biarpun Linggajaya merasa terkejut dan kagum sekali, dia tetap tersenyum, bahkan dengan cerdiknya untuk melihat lebih banyak lagi kehebatan kakek itu sengaja ia tersenyum mengejek.
"Hanya sebegitu sajakah?" suaranya seolah menyatakan bahwa yang dipertontonkan kakek itu belum apa-apa baginya! Padahal tentu saja dia merasa terkejut dan kagum bukan main. Belum pernah dia melihat orang sedemikian saktinya sehingga batu sebesar itu dipukul hancur dengan tangan kosong.
"Hmm, memang aku hanya main-main tadi. Akan tetapi lihatlah ini! " Resi Bajrasakti mengusap dahinya, menggosok kedua telapak tangannya, lalu mendorongkan kedua tangan itu ke arah sebatang pohon yang berdiri dalam jarak empat meter darinya.
"Wuuutttt ..... kraakkkk!!" pohon itu tumbang dan roboh mengeluarkan suara gaduh.
Linggajaya tak dapat menyembunyikan kekagumannya. Dia terbelalak memandang dan wajahnya tampak gembira bukan main.
"Linggajaya, sekarang lihat dimana aku?”
Pemuda remaja itu memandang dan dia melihat tubuh kakek itu berkelebat lenyap! Dia celingukan mencari-cari dengan pandang matanya, namun tak dapat menemukan kakek itu yang agaknya telah menghilang begitu saja! Tiba-tiba terdengar suara dari atas, arah belakangnya.
"Linggajaya, lihatlah ke sini!" linggajaya memutar tubuh dan memandang keatas dan ternyata kakek itu telah berada di puncak sebuah pohon yang tinggi. Resi Bajrasakti tertawa bergelak dan tubuhnya melayang turun, seperti seekor burung raksasa dia hinggap di depan Linggajaya.
"Nah, engkau tentu mau menjadi muridku mempelajari semua aji kesaktian itu, bukan?"
Hati Linggajaya kagum bukan main, akan tetapi keangkuhannya sudah menjadi wataknya dan dia bersikap "jual mahal". Dia tahu bahwa kakek itu ingin sekali mengambil dia sebagai murid, maka dia sengaja bersikap tak acuh dan menggeleng kepalanya.
Resi Bajrasakti adalah seorang yang aneh. Wataknya kadang berlawanan dengan orang-orang lumrah pada umumnya. Melihat sikap Linggajaya ini dia tidak marah, bahkan senang karena sikap yang angkuh itu cocok dengannya. Akan tetapi diapun amat cerdik dan ingin memaksa anak itu agar mau menjadi muridnya, kalau perlu dengan kekerasan.
"Kalau begitu engkau harus dihajar!" bentaknya dan dia menangkap pinggang Linggajaya lalu melontarkan tubuh anak itu ke atas. Tubuh anak itu melayang naik, tinggi sekali.
Linggajaya terkejut dan ketakutan ketika tubuhnya meluncur turun. Tentu dia akan hancur terbanting di atas tanah yang berbatu-batu. Dia tak berdaya untuk menghindarkan ancaman maut. Namun dia menggigit bibirnya, tidak berteriak, hanya memejamkan kedua matanya. Akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting, tangan Resi Bajrasakti menangkapnya lalu melontarkannya kembali ke atas! Setelah hal itu terjadi beberapa kali, Linggajaya tertawa ketika dilontarkan ke atas. Dia maklum bahwa kakek itu hanya menggertak saja dan tidak menghendaki dia terbanting mati!
Mendengar suara tawa anak itu, Resi Bajrasakti menjadi semakin senang. Disangka anak itu mempunyai keberanian menentang maut yang luar biasa, dalam keadaan terancam maut masih bisa tertawa-tawa. Dia tidak tahu bahwa anak itu lebih cerdik daripada yang ia duga. Tawa Linggajaya itu timbul karena anak itu sama sekali tidak terancam maut.
"Nah, sekarang hancur kepalamu!" tiba-tiba Resi Bajrasakti melontarkan tubuh anak itu tinggi sekali dan meluncur turun, anak itu terbelalak karena kepalanya berada di bawah dan kakek itu tidak lagi ada di sana untuk menyambutnya! Betapapun tabahnya, melihat bahaya maut tak terhindarkan lagi, Linggajaya berteriak.
"Toloooonggg .....!" akan tetapi kepalanya sudah meluncur dekat sekali dengan batu yang menonjol di atas tanah. Linggajaya menjerit, akan tetapi pada detik terakhir, tangan Resi Bajrasakti sudah menyambut kepada anak itu sehingga tidak terbanting pada batu. Kakek itu lalu mengangkat tubuh Linggajaya dan membalikkannya. Setelah berdiri, Linggajaya masih merasa pening dan wajahnya pucat sekali.
"Ha-ha-haha... katakan sekarang, apakah engkau masih menolak menjadi muridku?"
Linggajaya yang cerdik maklum bahwa dia tidak boleh mengggoda kakek ini terlalu lama. Kakek ini memiliki watak aneh dan bukan mustahil kalau kakek ini akan membunuhnya kalau dia terus menolak. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. "Bapaa guru .....!" mulutnya menyebut demikian, akan tetapi hati Linggajaya berkata, "Awas kau! Kelak aku akan membunuhmu!"
Resi Bajrasakti tertawa bergelak saking senangnya. "Ha-haha-ha, muridku yang baik, engkau akan kuberi semua ilmuku agar kelak engkau menjadi wakil Kerajaan Wengker yang akan menghancurkan Sang Prabu Erlangga keturunan kerajaan Mataram! Ha-ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, kembali dia tertawa dan tiba-tiba dia menangkap pergelangan tangan Linggajaya dan membawa anak itu berlari secepat terbang menuju ke barat, pulang ke wilayah kerajaan Wengker (sekarang sekitar Ponorogo). Di dalam hatinya, dia merasa menyesal mengapa dia harus jatuh ke tangan kakek raksasa yang kasar ini. Dia akan merasa lebih senang kalau menjadi tawanan Nyi Dewi Durgakumala yang cantik pesolek itu. Sama sekali dia tidak pernah membayangkan bahwa dia beruntung sekali terjatuh ke tangan kakek itu. Kalau dia tetap menjadi tawanan wanita cantik yang seperti iblis betina itu, tentu dia akan dibuat permainan, dihisap sampai habis sari manisnya seperti sebatang tebu untuk kemudian ampasnya dibuang begitu saja atau disiksa lalu dibunuh.
Bagaimana pula dengan nasib Puspa Dewi? Keadaan bocah berusia tigabelas tahun ini mirip Linggajaya. Kalau saja ia jatuh ke tangan penculiknya, Resi Bajrasakti, iapun akan mengalami nasib mengerikan, ia akan dipermainkan sampai mati. Akan tetapi ia jatuh ke tangan Nyi Dewi Durgakumala yang membawa lari ke timur dengan cepat karena iblis betina inipun jerih kepada Empu Dewamurti yang disangka akan mengejarnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Nyi Dewi Durgakumala yang memanggul tubuh Puspa Dewi tiba di sebuah bukit yang berada di Pegunungan Tengger. Di puncak bukit itu ia berhenti menurunkan anak perempuan itu dan membebaskannya sehingga Puspa Dewi dapat bergerak dan bersuara lagi. Anak ini adalah seorang yang cerdik. Melihat betapa ia ditangkap dan dibawa lari secepat angin oleh seorang wanita yang cantik jelita, ia tidak begitu takut seperti ketika ia ditangkap Resi Bajrasakti. Bahkan dianggapnya wanita ini tentu seorang dewi yang baik hati, yang telah menolongnya dari kakek jahat itu. Ia sudah banyak mendengar tentang para dewi yang didongengkan ibunya. Dewi yang cantik jelita akan tetapi juga sakti mandraguna.
Malam tadi ia membuktikan sendiri. Ia dipanggul dan dibawa terbang. Ia hendak menghaturkan terima kasih., akan tetapi dilihatnya wanita cantik itu sedang duduk bersila di atas sebuah batu sambil memejamkan kedua matanya. Ia tahu bahwa dewi itu sedang bersamadhi, maka ia tidak berani mengganggu dan menanti sambil duduk pula di atas batu yang rendah. Dilihatnya pemandangan di bawah puncak. Puspa Dewi terkagum-kagum. Baru kali ini dia melihat matahari pagi seindah itu. Kebetulan ia menghadap ke timur dan ia melihat sebuah bola merah tersembul dari balik gungung yang tinggi. Ia tidak tahu bahwa gunung itu adalah Gunung Bromo.
Matahari pagi mulai menyinarkan cahayanya yang lembut dan hangat, menggugah segala sesuatu di permukaan bumi yang tadinya tidur diselimuti kegelapan malam. Malam terang bulan berubah menjadi gelap setelah larut tadi, setelah bulan purnama menghilang di ufuk barat. Dan kini kegelapan malam terusir perlahan-lahan oleh sinar matahari pagi, meninggalkan kabut yang bermalas-malasan meninggalkan bumi. Hutan-hutan diselingi sawah ladang dan pondok-pondok pedusunan terhampar di bawah puncak, tampak makin jelas setelah embun terusir sinar matahari. Burung-burung berkicau menyambut datangnya sang surya. Kehidupan mulai tampak dan terdengar. Suara-suara segala macam mahluk hidup itu seakan-akan merupakan doa dan puja-piji kepada Sang Hyang Widhi yang melimpahkan berkah kehidupan melalui sinar matahari, melalui desir angin, melalui awan yang berarak melayang-layang.
"Heh-heh, gila betul! Untuk apa aku membawa lari?"
Suara itu menyadarkan Puspa Dewi dari lamunannya dan cepat ia memutar tubuh memandang kepada Nyi Dewi Durgakumala. Melihat wanita itu kini telah membuka matanya, Puspa Dewi cepat menghampiri dan bersembah sujud di depan kaki wanita itu. Ia sudah diajari ibunya sejak kecil bagaimana harus menghaturkan sembah sujud dan sesaji kepada para dewa dewi.
"Hamba menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan paduka kepada hamba, pakulun." Ia menyembah.
Nyi Dewi Durgakumala tadi memang bersamadhi untuk memulihkan tenaganya yang banyak terbuang membuat ia kelelahan. Kini setelah tenaganya pulih dan ia melihat Puspa Dewi duduk tek jauh darinya, baru ia teringat bahwa semalam, dalam keadaan panik dan gugup, pengejarannya tidak membawa ia kepada calon korbannya, pemuda remaja yang tampan itu, melainkan bertemu dengan anak perempuan yang tadinya ia tahu merupakan tawanan Resi Bajrasakti itu. Maka ia tertawa dan mencela diri sendiri. Sekarang anak perempuan itu bersembah sujud kepadanya menghaturkan terima kasih, bahkan menyebutnya pakulun seolah-olah ia seorang dewi yang turun dari Kahyangan.
"Hik-hik-hik! Kau kira siapa aku ini" tanyanya sambil tertawa cekikikan seperti seorang perawan genit.
Puspa Dewi kembali menyembah. Ampun pakulun, paduka tentu seorang dewi dari kahyangan yang sakti dan baik budi."
"Hemm, bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa aku seorang dewi kahyangan?" hatinya mulai merasa senang. Wanita mana yang tidak merasa bangga dan senang disebut Dewi Kahyangan? Walaupun yang menyebutnya itu hanya seorang gadis remaja.
"Hamba mengetahui karena paduka sangat cantik jelita, sangat sakti mandraguna dan berbudi baik, suka menolong pula." Jawab Puspa Dewi penuh keyakinan, bukan untuk menyenangkan hati melainkan karena ia memang yakin bahwa penolongnya itu adalah seorang dewi kahyangan.
"Heh-heh-heh-hik-hik! Aku memang seorang dewi. Namaku Dewi Durgakumala."
"Hamba menghaturkan sembah dan hormat, pakulun." Kembali Puspa Dewi menyembah.
Akan tetapi tiba-tiba wanita cantik yang tadinya tersenyum dan tertawa-tawa senang itu, menghentikan tawanya dan mukanya berubah dingin. Watak iblis betina ini memang aneh atau juga tidak normal. Begitu ia teringat bahwa ia telah kehilangan pemuda remaja tampan dan sebagai gantinya mendapatkan seorang anak perempuan, kecewanya timbul, membuatnya menjadi marah dan ia memandang kepada Puspa Dewi dengan penuh kebencian. Tangan kirinya sudah terasa gatal untuk melayangkan pukulan maut membunuh anak perampuan itu. Untuk apa ia membawa anak perempuan? Ia menjadi gemas kepada Resi Bajrasakti dan lebih benci lagi kepada Empu Dewamurti yang telah menggagalkan segalanya.
Akan tetapi ketika tangannya hendak melayang membunuh Puspa Dewi, tiba-tiba akan itu yang merasa heran betapa wanita yang disangkanya dewi kahyangan itu mendadak diam saja, lalu mendongak dan memandang wajah Nyi Dewi Durgakumala. Dua pasang mata bertemu pandang dan hati iblis betina itu tertegun. Sepasang mata itu mengingatkan ia akan mata seorang anak perempuan lain yang kini telah tiada. Mata anaknya, mata puterinya yang kini telah tewas menjadi mangsa harimau.
Beberapa tahun yang lalu wanita ini menculik seorang anak yang ketika itu berusia empat tahun. Seperti biasa, ia menculik anak-anak untuk menyempurnakan ilmu sesatnya. Darah anak kecil dihisapnya sampai habis dan darah ini memperkuat tenaga ilmu hitamnya. Akan tetapi entah mengapa sepasang mata anak yang diculiknya itu mendatangkan rasa suka di hatinya dan ia tidak membunuh anak itu, bahkan memelihara anak itu dan dianggapnya sebagai anak sendiri. Setelah anak itu berusia lima tahun, pada suatu hari di puncak Gunung Anjasmara, ia bertemu dengan Rekryan Kanuruhan Empu Dharmamurti Narotama Danasura yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Patih Narotama, yaitu mahapatih dan sahabat setia dari Sang Prabu Erlangga!
Bertemu dengan Ki Patih Narotama, ksatria sakti mandraguna, orang kepercayaan utama dari Sang Prabu Erlangga, berwajah tampan dan gagah, Nyi Dewi Durgakumala tergila-gila dan ia berusaha keras menggunakan segala ajiannya, mengerahkan aji guna-guna dan pemeletan, namun semua pernyataan cintanya ditolak mentah-mentah oleh Ki Patih Narotama.
Nyi Dewi Durgakumala menjadi marah. Ia meninggalkan anak angkatnya yang berusia lima tahun itu di bawah pohon dan lalu ia menyerang Ki Patih Narotama. Kalau laki-laki yang digandrunginya itu tidak mau menerima cintanya, dia harus mati di tangan. Namun Ki Patih Narotama bukan seorang yang lemah. Terjadilah perkelahian yang hebat di puncak Gunung Anjasmara. Akhirnya Nyi Dewi Durgakumala baru mengakui kedigjayaan Ki Patih. Ia lari kembali ke anak angkatnya dan dapat dibayangkan betapa hancur hatinya melihat bahwa anak angkatnya telah menjadi korban, dicabik-cabik dan dimakan harimau!
Ia menjadi sakit hati sekali kepada Ki Patih Narotama dan kepada harimau. Ia mengamuk dan hampir seluruh harimau yang berada di hutan sekitar pegunungan Anjasmara dibunuhnya. Akan tetapi tidak mudah baginya untuk melampiaskan dendamnya kepada Ki Patih Narotama. Dan dendam kepada Ki Patih ini ia alihkan kepada kerajaan Kahuripan. Ia lalu membantu kerajaan Wurawari untuk memusuhi Kahuripan, keturunan Mataram itu. Bahkan ketika kerajaan Wurawari menyerang Kahuripan pada tahun 1007 sehingga menyebabkan kerajaan Kahuripan jatuh dan rajanya yaitu Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa tewas dalam perang itu, Nyi Dewi Durgakumala juga ikut dalam perang itu membantu raja Wurawari.
Demikianlah ketika Nyi Dewi Durgakumala sudah menggerakkan tangannya hendak membunuh Puspa Dewi dan bertemu pandang dengan anak itu, ia seolah melihat sepasang mata anak angkatnya yang dimakan harimau. Naik sedu sedan dari dadanya, menyesakkan kerongkongannya dan ia menubruk dan merangkul, mendekapnya dan menciuminya.
"Anakku ....., anakku .....!" Nyi Dewi Durgakumala mengeluh sambil menahan isaknya. Beberapa butir air mata membasahi pipinya.
Menghadapi perlakuan ini, Puspa Dewi yang pada dasarnya mempunyai perasaan yang halus dan peka menjadi terharu dan balas merangkul. Anak ini merasa terkejut dan heran melihat Dewi Kahyangan itu menangis!
"Pakulun, kenapa paduka menangis?” Tanyanya lirih karena segan dan takut.
Nyi Dewi Durgakumala memeluk makin erat. "Anak yang baik, siapakah namamu?"
"Pakulun …."
"Jangan menyebut pakulun. Aku ini ibumu, nak. Sebut aku ibu …"
Berdebar jantung dalam dada Puspa Dewi, ia merasa gembira dan bahagia sekali. Seorang Dewi Kahyangan menjadi ibunya? Dengan suara bergetar saking terharu dan bahagia, ia berkata, "Ibu, nama saya Puspa Dewi ...!"
"Dewi? Engkau bernama Dewi? Ah cocok sekali! Anakku Dewi, mulai sekarang engkau menjadi anakku dan aku akan menurunkan semua aji kesaktianku kepadamu. Maukah engkau ikut denganku dan menjadi anakku?"
Tentu saja Puspa Dewi mau sekali anak seorang Dewi Kahyangan! "Saya mau, ibu ....."
"Bagus, dan sekarang berjanjilah bahwa kelak engkau akam memusuhi Empu Dewamurti, memusuhi Kerajaan keluarga Istana yaitu Kahuripan, dan yang terpenting sekali, engkau harus mewakili aku merebut keris pusaka Megatantra yang berada di tangan anak laki-laki yang dilindungi oleh Empu Dewamurti. Nah maukah engkau berjanji, cah ayu?"
"Saya berjanji, ibu. Saya akan mentaati semua perintah ibu." Kata Puspa Dewi yang sama sekali tidak tahu bahwa ia telah berada dibawah pengaruh aji pemeletan iblis betina itu sehingga ia merasa amat tertarik dan suka kepada Nyi Dewi Durgakumala, dan menganggap wanita itu teramat baik kepadanya. Ia seperti terbuai, bahkan tidak ada keinginan untuk kembali kepada ibunya sendiri.
Nyi Dewi Durgakulama juga merasa senang sekali. Ia menemukan lagi anaknya! Ia lalu memondong tubuh Puspa Dewi dan mengajaknya lari lagi dengan cepat seperti terbang sehingga makin yakinlah hati anak itu bahwa ibunya adalah seorang Dewi dari kahyangan yang sakti mandraguna! Mulai saat itu, Puspa Dewi menjadi anak angkat dan juga murid terkasih dari Nyi Dewi Durgakumala. Ia dibawa lari ke arah timur, mendaki perbukitan dan melompati jurang-jurang.
Setelah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa tewas dalam perang melawan kerajaan Wurawari, Erlangga yang menjadi mantunya yang merebut kembali Kerajaan Kahuripan dibantu sahabatnya Narotama dan para Brahmana (pendeta) yang bertapa di wanagiri (hutan, gunung) lalu dinobatkan menjadi Raja Kahuripan.
Pada mulanya di jaman pemerintahan Raja Sindok, ibukota kerajaan bernama Watu Galuh (letaknya di sekitar Jombang). Pada jaman pemerintahan Raja Teguh Dharmawangsa ibukota kerajaan dipindahkan ke arah timur di kaki gunung Penanggungan (sebelah selatan Sidoarjo). Setelah Erlangga yang dibantu Narotama mengalahkan Raja Wurawari dan merebut kembali kerajaan, ibukota Watan ditinggalkan dan oleh Raja Erlangga dibangun ibukota baru yang diberi nama Watan Mas. Kemudian Watan Mas juga ditinggalkan dan ibu kota kerajaan sekarang pindah lagi ke Kahuripan.
Riwayat singkat Erlangga sampai menjadi raja amat menarik. Diantara kerajaan Mataram yang menurunkan Raja Sindok, kemudian Raja Dharmawangsa dan kerajaan Bali memang terdapat hubungan yang erat. Erlangga sendiri adalah keturunan seorang pangeran dari wangsa Ishana (keturunan Mataram). Karena itu, tidak mengherankan kalau Erlangga kemudian dijodohkan dengan seorang puteri dari Raja Teguh Dharmawangsa. Pada saaat pernikahan dilangsungkan, ketika itu Erlangga berusia enam belas tahun, terjadilah penyerbuan pasukan kerajaan Wurawari sehingga Raja Dharmawangsa gugur dan kerajaan direbut raja Wurawari. Erlangga sendiri, dibantu Narotama, dapat menyelamatkan diri ke Wanagiri. Kemudian dia menyusun kekuatan dan dibantu oleh Narotama yang setia dan sakti mandraguna, Erlangga berhasil merebut kembali dari tangan Raja Wurawari. Kemudian dia diangkat menjadi raja.
Mula-mula kerajan yang dipimpin oleh Raja Erlangga ini tidak begitu besar. Masih banyak raja-raja lain yang selalu menentang dan memusuhinya, diantara mereka adalah Raja Adhamapanuda dari kerajaan Wengker dan Raja Wijaya dari kerajaan Wurawari. Juga ada kerajaan kecil dari pantai Laut Kidul yang dipimpin oleh seorang Ratu (Raja Wanita) berjuluk Ratu Durgamala yang terkenal sakti selalu menentangnya.
Tiga kerajaan inilah yang selalu merupakan ancaman bagi Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Sang Prabu Erlangga. Sang Prabu Erlangga mempunyai dua orang permaisuri. Yang pertama adalah puteri mendiang Sang Prabu Dharmawangsa yang kelak kemudian terkenal dengan sebutan Sang Kili suci dan setelah berusia lanjut hidup sebagai seorang pertapa. Adapun yang ke dua adalah puteri dari Kerajaan Sriwijaya yang bernama Sri Sanggramawijaya Dharmaprastunggawarman. Tentu saja seperti umumnya raja-raja di jaman itu, Prabu Erlangga juga mempunyai banyak selir yang tidak tercatat dalam sejarah.
Dalam pergolakan yang ditimbulkan karena permusuhan Sang Prabu Erlangga dengan Kerajaan Wengker, Kerajaan Wurawari dan Kerajaan Ratu Durgamala atau terkenal dengan sebutan Kerajaan Parang Siluman itulah cerita ini terjadi. Biarpun permusuhan itu belum tercetus menjadi perang terbuka, namun seringkali terjadi bentrokan diantara para tokoh pendukung masing-masing kerajaan, seperti bentrokan yang terjadi antara Empu Dewamurti dengan dua orang datuk dari Wengker dan Wurawari itu. Disamping persoalan yang terjadi yang membuat mereka saling berlawanan, pada dasarnya memang terdapat pertentangan diantara mereka, karena Empu Dewamurti adalah seorang Empu terkenal di Kahuripan dan tentu saja dia membela Raja Erlangga. Sebaliknya dua orang lawannya itu, yang seorang datuk Wengker dan seorang lagi tokoh pendukung kerajaan Wurawari.
Raja Erlangga adalah seorang raja yang sakti mandraguna, seorang panglima besar yang pandai mengatur bala tentara. Sebagai seorang raja dia amat adil dan bijaksana, tidak sewenang-wenang, tidak memikirkan kepentingan dan kesenangan sendiri. Kebanyakan para raja di dunia ini setelah menduduki tingkat tertinggi dalam kerajaan, menjadi orang nomor satu, lalu menguruk dirinya dan seluruh sanak keluarganya dengan kemewahan yang berlebihan. Kebanyakan para raja itu lalu menumpuk harta benda sebanyak-banyaknya, tidak peduli lagi darimana harta itu datang, bahkan rela membiarkan rakyat hidup menderita, sengsara karena kemiskinan.
Raja Erlangga tidaklah demikian. Dia seorang raja bijaksana yang memikirkan kepantingan dan kemakmuran rakyat jelata. Dia memperhatikan kebutuhan para petani. Dibangunnya pematang dekat Wringin Sapta (sekarang Wringin Pitu) untuk mengalirkan air Kali Berantas agar sungai itu tidak lagi membanjiri sawah petani. Setelah pematang itu didirikan, pelabuhan Huyuh Galuh di muara sungai itu menjadi semakin ramai.
Bukan hanya kemakmuran rakyat yang dia perhatikan. Juga Raja Erlangga memperhatikan kemajuan kebudayaan. Dia mendukung majunya kesusastraan dan kesenian. Dalam jamannyalah karya sastra yang indah, yaitu kekawin "Arjuna Wiwaha" ditulis Empu Kanwa. Karena kebijaksanaannya, maka keadaan rakyat cukup makmur.
Hal ini menarik perhatian banyak raja muda di daerah-daerah pinggiran dan banyak diantara mereka yang dengan sukarela menyatakan tunduk dan takluk, mengakui kebesaran dan kedaulatan dari Raja Erlangga, ingin membonceng wibawa raja erlangga agar daerah kekuasaan merekapun menjadi makmur dengan meniru apa yang telah dilakukan raja bijaksana itu. Tentu saja tidak semua daerah mau tunduk, terutama sekali Kerajaan Wengker yang letaknya paling dekat dengan Kahuripan.
Demikianlah sedikit tentang pemerintahaan Raja Erlangga yang selalu dibantu oleh patihnya yang setia, yaitu Patih Narotama. Raja Erlangga seringkali cukup dengan mengutus Patih Narotama untuk mewakilinya membereskan persoalan-persoalan berat dan selalu Narotama dapat menyelesaikan persoalan-persoalan itu dengan baik.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Kalau tidak diperhatikan sang waktu berkelebat secepat kilat, sebaliknya kalau kita memperhatikan, waktu merayap seperti siput. Karena tidak diikuti dan diperhatikan, waktu meluncur cepat dan tahu-tahu lima tahun telah lewat sejak terjadinya peristiwa di pantai pasir putih di tepi laut selatan itu.
Pagi yang tenang tenteram penuh damai, di sebuah tempat diantara puncak-puncak pegunungan Arjuna. Kokok ayam hutan jantan terdengar bersahut-sahutan, suara mereka nyaring pendek. Agaknya gaung suara mereka terdengar sampai ke dusun pegunungan di lereng dekat puncak karena tak lama kemudian terdengar lapat-lapat, sayup sampai, kokok ayam jantan peliharaan yang suaranya lebih panjang namun tidak begitu menyentak nyaring seperti kokok ayam hutan.
Kokok ayam hutan itu seakan menggugah burung-burung yang tidur di pohon-pohon besar yang lebat daunnya. Mulailah mereka berkicau bersahut-sahutan dalam bahasa mereka yang riang gembira sambil berloncat-loncatan di atas ranting dan dahan, mengguncang daun-daun, meruntuhkan embun yang bergelantungan di ujung daun.
Ada yang menggeliat menjulurkan sayap atau kaki, ada yang menyisiri bulu dengan paruh, kemudian berciap-ciap lagi dengan riuhnya. Akan tetapi suara yang menyambut pagi itu membungkam suara lain, yaitu suara kutu-kutu walang ataga, segala serangga malam seperti jengkrik, belalang, orong-orong dan sebagainya yang sepanjang malam telah mengeluarkan suara sambung menyambung tiada hentinya.
Siang malam alam ini dipenuhi suara-suara, seolah semua ciptaan itu memanjatkan doa dan puji tan kendat (tanpa henti) kepada Sang Hyang Widhi, Sang Maha Pencipta! Terdengar pula sayup sampai suara bocah berteriak riang, diselingi suara wanita yang menegur anak-anak itu, lalu suara kerbau menguak dan kambing mengembik.
Semua suara itu jelas menutupi suara lain yang tadi malan juga terdengar jelas, yaitu bunyi percik air terjun yang berada di lereng dekat puncak. Ada pula selingan anjing menggonggong. Suasana kehidupan warga dusun mulailah pada pagi itu. Sinar matahari pagi mulai mengusik halimun yang bermalas-malasan meninggalkan bumi yang mereka dekap semalam suntuk. Sinar matahari yang mulai mencipta pemandangan yang indah menarik dengan adanya perpaduan sinar dan bayang-bayang.
Dari hutan itu tampak hutan-hutan menghijau, berkelompok-kelompok, disana-sini diselingi adnya sawah ladang menguning. Atap-atap pondok dusun dari klaras, ada juga beberapa buah dari genteng, tersembul diantara pedusunan. Sebatang anak sungai nampak putih berkelak kelok, kadang lenyap tertutup tebing.
Dua orang anak dengan tubuh bagian atas telanjang mengiring tujuh ekor kerbau yang gemuk-gemuk menyusuri sepanjang anak sungai. Burung mulai beterbangan meninggalkan sarang untuk mulai dengan pekerjaan mereka hari itu, ialah mencari makan. Pemuda itu duduk bersila di atas batu, menghadap ke timur. Sejak tadi dia menikmati kesemuanya itu. Menikmati pendengaran yang begitu nyaman dan merdu di perasaan dan menikmati penglihatan yang begitu indah sejak matahari mulai terbit dia menghirup nafas dalam-dalam. Udara yang sejuk, bersih alami itu memasuki hidungnya, memenuhi paru-parunya sampai dada dan perutnya mengembang.
Dia bernafas sampai dada dan perutnya tidak tersisa ruangan yang tidak terisi hawa udara yang menghidupkan dan menyegarkan. Lalu dikeluarkan nafas perlahan-lahan. Terasa kehangatan yang makin memanas berputar disekitar bawah pusarnya dan membumbung keatas dan keseluruh tubuhnya. Diulangi pernafasan itu sampai beberapa kali dan terasa betapa nikmatnya bernafas seperti itu. Akhirnya dia bernafas biasa dan mencurahkan pandangan dan pendengarannya ke sekelilingnya.
"Segala puji bagi Sang Hyang Widhi yang mencipta segala yang terlihat dan terdengar. Puji syukur kepada Sang Maha Pencipta atas segala karunia yang diberikan kepad hamba, termasuk alat jasmani seperti mata dan telinga." Bisiknya dengan tangan dirangkap dalam bentuk sembah di depan dada, lalu diangkat kedepan dahi dan turun lagi di depan dada.
Dia menyadari sepenuhnya bahwa karunia yang perpenting baginya adalah semua anggota jasmaninya, karena betapapun indah dan mersunya semua yang tampak dan terdengar, semua itu tidak akan ada gunanya kalau mata dan telinganya tidak dapat melihat atau mendengar.
Pemuda itu berusia kurang lenih dua puluh satu tahun, bertubuh sedang saja. Wajahnya juga sederhana, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan, wajah pemuda biasa saja. Kulitnya agak gelap kecoklatan. Akan tetapi dalam kesederhanaan wajahnya terdapat sesuatu yang menarik yaitu matanya yang tajam lembut dan penuh pengertian dan mulutnya yang selalu mengembang kearah senyum penuh kesbaran. Pakaiannya juga amat sederhana seperti pakaian seorang petani. Dia tadi sejak pagi sekali sebelum matahari menyingsing, telah duduk di atas batu dan duduk bersila menghadap ke timur seperti sebuah arca.
Tak lama kemudian pemuda itu turun dari atas batu dan memutar tubuhnya. Walaupun tidak ada suara, langkah tak terdengar, namun dia tahu bahwa ada orang berjalan menghampirinya. Benar saja seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, melangkah tenang, bertumpu pada sebatang tongkat bambu kuning menghampirinya. Kakek itu tinggi kurus. Rambut, kumis dan jenggotnya yang panjang sudah bercampur banyak uban, memandang kepada pemuda yang telah menyambutnya dengan berdiri membungkuk hormat itu dengan senyum.
"Eyang guru, silakan duduk!" kata pemuda itu mempersilakan kakek itu duduk di atas batu datar yang tadi dipakai duduk bersila.
Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum melebar lalu matanya memandang ke arah pemandangan yang permai di bawah puncak sambil duduk di atas batu itu.
"Hemm, Nurseta, sejak kapan engkau berada di sini menikmati segala keindahan ini?" tanya kakek itu yang bukan lain adalah Empu Dewamurti.
Pemuda itu adalah Nurseta. Seperti telah diceritakan dibagian depan kisah ini, lima tahun yang lalu, Nurseta diajak Empu Dewamurti ke pegunungan Arjuna dan di atas puncak ini sang empu mengajarkan aji-aji kanuragan kepada Nurseta. Selama lima tahun Nurseta belajar dan telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun yang sakti mandraguna.
"Saya telah berada di sini sejak fajar tadi, eyang, sebelum matahari muncul di balik puncak di timur itu."
"Duduklah, Seta." Kata kakek itu melihat muridnya hanya berdiri saja dengan sikap hormat.
"Terima kasih eyang." Nurseta lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol di permukaan tanah di bawan dan depan batu yang menjadi tempat duduk gurunya.
"Seta, selama lima tahun engkau berada disini mempelajari ilmu dan kalaupun kadang turun, paling jauh hanya ke dusun di bawah itu. Dari puncak ini engkau dapat melihat daerah yang amat luas. Tentu engkau merasa rindu untuk menjelajahi tempat-tempat yang jauh itu, bergaul dengan manusia-manusia lain, menghadapi pengalaman-pengalaman baru, meningkatkan pengetahuanmu dan terutama sekali memanfaatkan ilmu yang telah kau pelajari selama lima tahun disini."
Diam-diam Nurseta merasa kagum. Gurunya ini selain sakti mandraguna juga bijaksana sekali dan seolah dapat membaca apa yang terkandung dalam hatinya. "Mengapa eyang berkata begitu?" pancingnya.
Empu Dewamurti tersenyum dan mengelus jenggotnya. "Nurseta, selama ini aku memperhatikan dan melihat kenyataan bahwa sudah lima hari berturut-turut ditiap pagi sebelum fajar menyingsing engkau berada di sini dan melamun. Karena itu aku dapat mengetahui bahwa engkau rindu untuk menjelajahi tempat-tempat di luar daerah ini. Aku menyetujui keinginanmu itu, Seta. Kukira sudah cukup engkau menimba ilmu di sini, sudah cukup sebagai bekal perjalananmu menjelajahi dunia ramai."
Nurseta menyembah. "Sesungguhnya benar sekali apa yang paduka katakan itu, eyang. Akan tetapi ada dua hal yang membuat saya merasa ragu dan berat hati untuk memenuhi keinginan hati merantau. Pertama, saya mendapat kasih sayang dan bimbingan dari paduka selama lima tahun di sini. Kedua, saya mendapatkan ketentraman batin di sini dan saya khawatir kehilangan ketentraman itu kalau saya berada di tempat ramai”.
"Heh-heh-heh-heh!" kakek itu tertawa. “Kita masing-masing harus berani meninggalkan dan ditinggalkan, harus berani seorang diri. Bukankah ketika lahir kitapun sendirian dan nanti juga meninggalkan kehidupan dunia ini sendirian pula? Tidak ada pertemuan yang tidak diakhiri dengan perpisahan. Akupun akan segera pergi dari sini dan tidak akan kembali lagi. Karena itu jangan pikirkan tentang diriku. Adapun tentang ketenteraman batin, bukan tempat dan keadaan yang menentukan, melainkan keadaan batinmu sendiri. Kalau batinmu tenteram, dimanapun engkau akan merasa tenteram. Sebaliknya kalau batinmu kacau, biar tinggal dimanapun engkau akan merasa kacau."
"Eyang selalu mengatakan bahwa bahaya terbesar dalam kehidupan ini datang dari dalam, dari diri sendiri. Terkadang saya masih bingung memikirkan hal ini, eyang. Sudikah kiranya eyang memberi penjelasan?"
"Musuh terbesar adalah peserta atau pembantu kita sendiri yang berada dalam hati akal pikiran, yaitu nafsu-nafsu kita. Hidup kita menjadi berbahagia lahir dan batin kalau kita dapat menjaga agar nafsu-nafsu kita tetap menjadi pelayan kita, untuk memenuhi kebutuhan hidup kita secara lahiriah. Akan tetapi sekali kita melangkah dan nafsu-nafsu itu menguasai kita, memperbudak kita maka kehidupan kita lahir batin akan hancur. Nafsu menimbulkan keinginan-keinginan. Keinginan adalah angan-angan, bukan kenyataan. Nafsu mendorong kita untuk menginginkan segala sesuatu yang tidak ada pada kita, menginginkan segala sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan dari pada apa yang ada pada kita. Dengan demikian keinginan justeru meniadakan hidup yang sudah ada. Mengejar keinginan berarti mengejar bayangan hampa, bagaikan orang mengejar bayangan bulan yang indah di dalam air. Salah-salah kita dapat tenggelam dan hanyut. Mengejar kesenangan berarti membuka pintu menuju duka. Kalau tidak tercapai kita kecewa dan berduka, kalau tercapai apa yang kita kejar kita akan kecewa pula karena disana sudah ada bayangan lain lagi yang kita kejar karena kita anggap lebih menyenangkan dari pada apa yang kita dapat."
"Akan tetapi eyang guru, kalau manusia hidup tanpa keinginan, bukankan itu berarti sama dengan mati?"
Empu Dewamurti tersenyum. "Sudah kukatakan bahwa kita tidak dapat hidup tanpa nafsu. Kita mempergunakan nafsu sebagai pelayan, sebagai abdi yang membantu kita untuk mendapatkan segala sesuatu yang kita butuhkan dalam kehidupan di dunia ini. Kita bahkan wajib berusaha untuk hidup sejahtera, mencukupi semua kebutuhan. Akan tetapi kalau kesadaran jiwa yang mengendalikan nafsu, maka usaha untuk dapat hidup itu selalu berpijak di atas jalan kebenaran. Sebaliknya kalau nafsu yang menguasai kita, maka keinginan mendapatkan segala sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan itu akan mendorong kita melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, dapat membuat kita berbuat jahat demi memperoleh kesenangan yang kita kejar dan inginkan."
"Mohon ampun kalau saya bertanya terus, bukan hendak membantah, melainkan hendak menyampaikan uneg-uneg agar hati saya tidak merasa penasaran, eyang. Kalau segala keinginan datang dari nafsu, bagaimana dengan keinginan untuk berbuat kebaikan? Keinginan untuk menolong orang lain?"
Kakek itu mengelus jenggotnya. "Maksudmu, keinginan orang untuk menjadi seorang yang baik?"
"Benar Eyang..."
"Angger Nurseta, memang julig (cerdik) dan licik sekali nafsu daya rendah yang kadang kita menyebutnya sebagai setan itu. Terkadang dia bisa mengubah dirinya menjadi dewa atau dewi dengan suara lemah lembut dan bijaksana, namun semua itu merupakan umpan untuk memancing manusia sehingga dapat dikelabui dan dikuasainya. Sebetulnya tidak ada yang disebut keinginan baik itu, semua keinginan dating dari nafsu daya rendah dan nafsu selalu menginginkan sesuatu yang menyenangkan diri sendiri. Kalau seorang ingin melakukan kebaikan, pada hakekatnya tersembunyi keinginan untuk menguntungkan dan menyenangkan diri pribadi. Di situ tersembunyi pamrih untuk mendapatkan sesuatu."
"Maaf eyang. Bukankah pamrih itu ada pula yang baik? Misalnya orang berbuat kebaikan dengan pamrih agar mendapat berkah dari Sang Hyang Widhi, agar menanam karma baik, agar kelak mendapat tempat yang baik di sorgaloka setelah meninggalkan dunia ini."
"Nah, camkanlah itu. Buka mata hatimu dengan waspada dan lihatlah kenyataan yang terkandung dalam pertanyaanmu sendiri tadi. Perbuatan itu, betapapun baik sifatnya, kalau didorong keinginan sendiri, menimbulkan pamrih agar begini agar begitu, yang pada hakekatnya agar mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri, perbuatan seperti itu bukanlah kebaikan yang sejati, melainkan kebaikan semu yang munafik. Selidiki pamrihnya seperti kau kemukakan tadi. Agar mendapat berkah dari Sang Hyang Widhi. Siapa yang mendapat berkah? AKU. Siapa yang untung dan senang akibat perbuatan baik tersebut? AKU. Tadi perbuatan yang katanya baik itu dilakukan dengan satu tujuan, yaitu menguntungkan dan menyenangkan si AKU. Agar menanam karma baik, juga AKU yang akhirnya senang dan untung. Lalu, agar masuk sorgaloka. Berarti juga agar AKU yang senang karena sorgaloka dianggap sebagai tempat yang menyenangkan, bukan? Perbuatan baik yang didorong keinginan itu bukan lain hanya merupakan penyogokan atau penyuapan saja, seperti modal dalam perdagangan agar kelak mendapat keuntungan bagi diri sendiri. Dapatkah engkau melihat kenyataan itu, Nurseta?"
Pemuda itu tertegun. Betapa anehnya,akan tetapi betapa jelasnya menelanjangi kenyataan yang terselubung. Semua Weda (Kitab Suci), semua guru agama dan kebatinan mengajarkan agar manusia berbuat baik. Ajaran-ajaran ini tentu saja menimbulkan keinginan manusia untuk berbuat baik, apalagi di samping ajaran untuk berbuat baik itu selalu disertai janji-janji muluk terutama janji akan "KEADAAN YANG LEBIH BAIK" setelah manusia meninggalkan dunia ini. Apakah setan yang licik menyusup dan justeru menggunakan ajaran dan janji pahala ini untuk menyeret manusia ke dalam kemunafikan? Berbuat baik hanya karena menginginkan keuntungan dan kesenangan bagi diri sendiri?
"Aduh eyang! Kalau begitu, apakah manusia di dunia ini tidak dapat berbuat baik?"
Kakek itu merenung sejenak sambil memejamkan kedua matanya. Kemudian dia berbicara dengan lembut sekali, hampir tidak terdengar, seperti berbisik. "Yang benar dan baik secara mutlak dan sejati hanyalah Sang Hyang Widhi. Yang dilakukan manusia barulah dikatakan benar dan baik kalau itu merupakan kehendak Sang Hyang Widhi. Manusia hanya menjadi pelaksana, menjadi alatnya. Kalau sinar Sang Hyang Maha Asih menerangi jiwa nurani maka hati, akal, pikiran akan terbimbing dan lahirlah perbuatan tanpa pamrih, tanpa dinilai baik atau buruk, melainkan dituntun sebagai alat Sang Hyang Widhi. Batin akan dipenuhi cinta kasih dan perbuatan apapun juga macamnya, kalau didasari cinta kasih yang merupakan sinar Sang Hyang Maha Asih, pasti benar dan bik, karena bukan timbul dari dorongan nafsu yang membonceng dari akal pikiran. Murni dan bersih dari keinginan nafsu. Berbahagialah manusia yang menjadi alatnya selama hidupnya."
Nurseta menyembah. "Sebuah pertanyaan lagi, eyang guru. Bagaimana caranya agar seorang dapat disinari kasih murni dari Sang Hyang Maha Asih? Agar dapat dijadikan alatnya?"
"Heh-heh-heh, kembali pertanyaan itu timbul dari bujukan nafsu, angger Nurseta. Kembali timbul keinginan agar begini agar begitu! Cara itu menunjukkan adanya keinginan, bukan? Tidak ada caranya. Hanya berserah diri, membuka jiwa kita dari kungkungan nafsu, mendekatkan diri dari Sang Hyang Widhi dengan berdoa setiap saat tanpa henti. Kalau nafsu yang mengaku-aku sudah tidak bekerja, maka kekuasaan Sang Hyang Widhi yang akan bekerja dalam diri kita. Ingat, hanya Dia yang jkuasa, hanya Dia yang memiliki . kita tidak berkuasa, kita hanya mempunyai secara lahiriah akan tetapi tidak memiliki. Kita hanya berupaya dengan dasar penyerahan diri terhadap keputusanNya. Nah cukuplah, angger. Tidak perlu bertanya lagi. Engkau akan mengerti sendiri kelak. Dengan kepasrahanmu, penyerahanmu, Dia akan membimbing, akan memberi petunjuk, karena dialah gurumu yang sejati, Dialah pemimpinmu yang sejati. Nah sekarang berkemaslah karena hari ini juga engkau harus turun gunung melaksanakan tugasmu sebagai seorang kesatria."
"Duh eyang ….."
"Heh-heh-heh-heh, jangan cengeng, Nurseta!" kata kakek itu sambil menatap wajah muridnya yang tampak bersedih.
"Eyang tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, hidup sebatang kara, demikian pula saya. Apakah kita berdua yang hidup sebatang kara ini tidak dapat hidup bersama?"
"Siapa bilang kita hidup sebatang kara? Tengoklah, seluruh manusia di dunia ini, bukanlah mereka semua itu juga senasib sependeritaan denganmu? Bukankah mereka-mereka itupun saudara-saudaramu? Hayo cepat berkemas, tidak pantas muridku cengeng seperti perempuan."
"Baik eyang." Nurseta lalu bangkit dan pergi ke pondok yang berada tidak jauh dari situ.
Setelah Nurseta pergi, Empu Dewamurti tersenyum seorang diri, lalu menggelengkan kepalanya perlahan-lahan dan menghela nafas panjang. Dia memejamkan kedua matanya, merangkap kedua tangan menjadi sembah di depan dadanya dan mulutnya berbisik. "Duh gusti, Sang Hyang Widhi Wasa, segala kehendak paduka terjadilah. Apapun yang menimpa diri hamba akan hamba terima dengan rela karena hamba tahu bahwa semua itu paduka kehendaki dan kehendak paduka adalah benar dan baik bagi hamba."
Tak lama kemudian Nurseta telah datang lagi di tempat itu, membawa pakaiannya dalam buntalan kain hijau. Dia berlutut dan menyembah kepada gurunya. "Eyang guru, saya sudah siap."
Empu Dewamurti membuka matanya dan memandang kepada Nurseta yang menggendong buntalan pakaian dan berlutut menyembah kepadanya itu. "Engkau tidak lupa membawa Keris Pusaka Megatantra?" tanyanya lembut.
Nurseta meraba gagang keris itu yang terselip di pinggangnya. "Tidak eyang."
"Sekarang dengarkan pesanku terakhir, Nurseta. Keris Pusaka Megatantra itu dahulu merupakan pusaka Kerajaan Ishana, kelanjutan mataram yang didirikan oleh Empu Sindok dan keris pusaka itu berada di tangan keturunan raja-raja Mataram. Akan tetapi keris pusaka itu pada suatu hari lenyap dan sejak ratusan tahun lalu tidak pernah dapat ditemukan, juga tidak pernah diketahui siapa pencurinya. Akhirnya secara tidak terduga-duga, keris itu engkau temukan. Ditemukannya keris pusaka itu dekat pantai laut selatan menunjukkan bahwa dulu pencurinya tentu seorang diantara para siluman, yaitu tokoh-tokoh sesat yang dikenal dengan Siluman Laut Kidul. Nah, sekarang tugas pertamamu adalah mengembalikan keris pusaka itu kepada keturunan para raja Mataram yaitu Sang Prabu Erlangga."
"Baik eyang. Akan saya lakukan perintah eyang."
"Pesanku yang kedua. Aku masih ingat akan ceritamu dulu bahwa ayah ibumu pergi meninggalkanmu tanpa pamit. Hal itu pasti ada rahasianya. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menyelidiki perginya kedua orang tuamu, mencari mereka dan menemukan mereka kalau masih hidup dan menemukan mereka kalau sudah mati."
"Baik eyang. Saya tidak akan melupakan perintah eyang ini dan akan saya cari mereka sampai dapat saya temukan."
"Pesanku ketiga. Melihat keadaanya sekarang, walaupun banyak raja muda yang menakluk kepada Sang Prabu Erlangga tanpa perang, namun masih banyak kerajaan yang memusuhi Kahuripan. Sang prabu Erlangga adalah seorang raja bijaksana, karena itu engkau sebagai kawulannya harus membelanya. Jadilah kesatria yang bukan saja membela kebenaran dan keadilan, namun juga menjadi pahlawan yang membela nusa dan bangsa."
"Saya mengerti Eyang. Saya akan selalu mentaati semua petunjuk dan nasehat eyang yang pernah saya terima."
"Bagus kalau begitu," kakek itu mengambil sebuah kantung kain kuning dari balik jubahnya. "Sudah lama aku menyimpan harta ini. Karena aku sendiri tidak membutuhkannya, maka kuberikan kepadamu untuk bekal dalam perantauanmu. Nah, sekarang berangkatlah."
Nurseta menerima kantung kain yang berisi potongan emas itu. Dia merasa terharu akan tetapi sekali ini dia menguatkan perasaannya dan tidak memperlihatkan keharuannya agar tidak disebut cengeng oleh eyang gurunya.
"Terimakasih eyang. Saya mohon pamit." Nurseta berlutut menyembah.
Kakek itu mengibaskan tangannya. "Pergilah dan selalu waspadalah!"
"Selamat tinggal eyang. Harap eyang menjaga diri baik-baik. Saya … saya pergi eyang."
"Pergilah!" kata kakek itu dan dia sudah memejamkan matanya kembali, bersikap seolah tidak mengacuhkan pemuda itu lagi.
Nurseta menyembah lagi lalu dia bangkit dan berjalan pergi menuruni puncak gunung Arjuna itu. Setelah pemuda itu pergi barulah Empu Dewamurti membuka matanya dan memandang ke arah bayangan muridnya yang menuruni lereng bawah puncak. Dia menghela nafas panjang dan berbisik, "Semoga Sang Hyang Widhi selalu membimbingmu, Nurseta!"
Setelah bayangan muridnya itu lenyap, Empu Dewamurti masih termenung duduk diatas batu besar itu. Dia sedang mengamati diri sendiri, mengamati perasaan hatinya, mengamati ulah pikirannya dan dengan waspada ia melihat bagaimana nafsu daya rendah bekerja. Mula-mula hati akal pikiran diusiknya, sehingga pikirannya membayangkan betapa dia ditinggal sendiri oleh murid yang dikasihinya, betapa dia kini seorang diri di tempat sunyi itu, betapa dia kehilangan, kesepian. Muncullah dari pemikiran ini rasa iba diri, meremas-remas hati merasakan betapa dia merupakan seorang tua yang terlantar, tiada yang memperhatikan, tiada yang melayani lagi, tiada yang menghibur. Dari rasa iba muncullah kesedihan. Kakek itu tersenyum. Yang merasa iba diri lalu menjadi sedih itu bukan aku, melainkan nafsu dalam hati akal pikiran yang mengaku-aku.
Tiba-tiba kakek yang sudah waspada selalu itu tubuhnya bergerak ke atas dalam keadaan duduk bersila dan Nampak berkelebat menghantam batu yang didudukinya tadi.
"Darrr …!!" api pijar disusul asap mengepul dan batu besar yang tadi diduduki Empu Dewamurti pecah berkeping-keping!
Tubuh Empu Dewamurti kini melayang turun dan hinggap di atas tanah dalam keadaan berdiri. Lima bayangan orang berkelebat. Dan didepannya telah berdiri seorang wanita bertubuh tinggi besar dan gendut seperti seorang raksesi (raksasa wanita). Pakaiannya mewah sekali, serba gemerlapan. Dan ia memakai perhiasan terbuat dari emas dan batu permata. Usianya sekitar lima puluh tahun namun ia amat pesolek, bedaknya tebal seperti kapur, pipi, bibir dan kuku jari tangan serta kakinya memakai pacar (daun pemerah), rambutnya berkilau oleh minyak, disisir dan digelung rapi. Wajahnya serba bulat, matanya, hidungnya, mulutnya, pipinya, dagunya semuanya serba bulat dan bundar. Akan tetapi kalau ia tersenyum, tampak gigi taringnya panjang.
Disampingnya, di kanan kiri, berdiri empat orang laki-laki yang berusia sekitar enam puluh tahun atau kurang sedikit. Seorang diantara mereka adalah laki-laki tinggi besar brewok berkulit hitam, berpakaian mewah dan sikapnya angkuh. Sekali pandang saja Empu Dewamurti mengenal dua orang ini. Si wanita raseksi adalah Mayang Gupita, seorang yang dianggap ratu oleh segolongan orang liar yang tinggal di pantai laut kidul. Mayang Gupita ini adalah keturunan terakhir dari mereka yang disebut raja-raja siluman dari pantai laut kidul. Wanita ini terkenal bukan saja karena kesaktiannya, melainkan juga karena kekejamannya dan kabarnya sebulan sekali dia makan daging bayi!
Adapun laki-laki tinggi besar itu bukan lain adalah Resi Bajrasakti, datuk kerajaan Wengker yang lima tahun lalu pernah bertanding dengan Empu Dewmurti di pantai pasir putih dekat Dusun Karang Tirta.
Tiga orang yang lain adalah laki-laki berusia lima puluh sampai enam puluh tahun. Mereka bertiga ini mengenakan pakaian yang lain potongannya, dengan kain ikat kepala yang meruncing ke atas. Melihat pakaian mereka, Empu Dewamurti mengenal mereka sebagai orang-orang Wurawari yang agaknya merupakan bangsawan-bangsawan karena pakaian mereka juga serba mewah. Seorang bertubuh tinggi kurus, orang kedua bertubuh pendek gendut, dan orang ketiga berkepala gundul seperti seorang Bhiksu (Pendeta Agama Budha). Diam-diam mengertilah Empu dewamurti bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang sakti mandraguna, orang-orang yang berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang dari tiga kerajaan kecil yang selalu memusuhi keturunan Mataram sejak dulu.
"Jagat Dewa Bhatara! Kiranya Sang Ratu Mayang Gupita dari kerajaan siluman pantai kidul dan Resi dari Kerajaan Wengker yang datang. Dan andika bertiga tentu dari Kerajaan Wurawari, siapakah gerangan andika?"
"Aku Kalamuka!" kata yang tinggi kurus bermuka tikus, berusia enam puluh tahun.
"Aku Kalamanik!" kata yang pendek gendut berusia sekitar lima puluh lima tahun.
"Dan aku Kalateja!" kata yang berkepala gundul berusia lima puluh tahun. "kami bertiga adalah para senopati Kerajaan Wurawari”.
Empu Dewamurti tahu benar bahwa mereka inilah yang mendatangkan perasaan dalam hatinya bahwa saat akhir hidupnya telah tiba. Karena itu dia menyuruh muridnya turun gunung. Namun sikap sang empu ini masih tenang saja dan dia berkata dengan suara mengandung teguran.
"Andika berlima dari tiga kerajaan datang menyerang secara pengecut, sebetulnya apakah maksud kedatangan kalian ke sini?"
"Bojleng-bojleng iblis laknat! Empu Dewamurti, tidak perlu berpura-pura bertanya lagi. Diantara andika masih ada perhitungan yang belum lunas."
"Dan Andika Ratu Mayang Gupita, ada keperluan apakah andika dengan aku sehingga jauh-jauh andika meninggalkan kerajaanmu dan datang ke puncak Arjuna ini?"
"Babo-babo, Empu Dewamurti!" kata raseksi itu dengan suara yang besar dan parau seperti suara seorang pria. "Andika akan kubiarkan hidup asalkan engkau suka menyerahkan Keris Pusaka Megatantra kepadaku, heh-hehheh-heh!"
"Ah, begitukah? Resi Bajrasakti datang untuk menebus kekalahannya lima tahun yang lalu dan Ratu Mayang Gupita datang untuk merampas Keris Pusaka Megatantra. Lalu andika bertiga dari Wurawari datang kesini dengan maksud apakah?"
"Kami bertiga mewakili Nyi Durgakumala untuk minta Keris Megatantra darimu, Empu Dewamurti!" kata Kalamuka yang agaknya sebagai saudara tertua memimpin tiga sekawan itu.
"Hemmm, begitukah? Jadi kalian berlima datang untuk mengeroyok aku seorang diri? Benar-benar kalian berlima adalah orang-orang gagah perkasa!" Empu Dewamurti mengejek sambil tersenyum tenang walaupun dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya maut.
"Hik-hik-hik, Empu Dewamurti, manusia sombong! Apakah kau kira aku takut kepadamu? Lihat serangan mautku yang akan menghancurkan tubuhmu. Haaaahhhh!!" Raseksi wanita yang tubuhnya satu setengah tinggi dari besar tubuh Resi Bajrasakti itu mendorong kedua tangannya ke arah Empu Dewamurti. Sebongkah bola api meluncur keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah Empu Dewamurti.
Melihat ini Sang Empu maklum bahwa penyerang pertama tadi yang menghancurkan batu yang didudukinya, tentu dilakukan oleh ratu kerajaan siluman ini. Dia maklum betapa dahsyatnya serangan itu, maka dia tidak berani menyambutnya. Dia menggunakan kecepatan gerakannya mengelak sehingga bola api itu luput dan menghantam sebatang pohon cemara.
"Darrr ... krakkk!" pohon itu tumbang lalu roboh dan asap mengepul tebal.
Maklum bahwa lawannya amat sakti, Empu Dewamurti tentu saja tidak membiarkan dirinya diserang tanpa melawan. Dia lalu berseru nyaring dan tubuhnya melompat dan menerjang ke arah raksasa perempuan itu. Dia mengerahkan aji bayusakti yang membuat tubuhnya amat ringan dan dapat bergerak seperti angin dan kaki tangannya bergerak memainkan ilmu silat Baka Denta (Bangau Putih).Tubuh kakek itu berkelebat dan berubah menjadi bayang-bayang putih seperti seekor burung bangau menyambar-nyambar.
Kedua tangannya dalam menyerang membentuk patuk burung dengan lengan menjadi leher burung bangau yang panjang. Gerakannya cepat dan aneh sehingga Ratu Mayang Gupita menjadi terkejut sekali. Akan tetapi Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul ini memang sakti mandraguna. Terutama ia memiliki kekuatan sihir yang kuat karena gurunya bukan manusia melainkan siluman atau sebangsa lelembut. Ia mengeluarkan pekik panjang melengking yang menggetarkan seluruh puncak itu dan tiba-tiba tubuh yang hampir dua kali besar tubuh Empu Dewamurti itu berpusing cepat seperti gasing!
Menghadapi ilmu aneh dari ratu kerajaan siluman ini Empu Dewamurti menjadi terkejut. Biarpun gerakannya amat cepat, Namun dia tidak mampu menyerang tubuh yang berpusing seperti gasing itu. Setiap kali dia mengirim tamparan, pukulan atau tendangan, selalu tertangkis tubuh yang berpusing itu. Dan pusingan itu kadang mencuat tangan yang mencengkeram atau menampar, terkadang kaki yang panjang besar mencuat dengan tendangan kilat yang amat dahsyat. Setelah kedua orang sakti itu bertanding beberapa lamanya, di tonton oleh empat orang datuk yang lain, akhirnya perlahan-lahan Empu Dewamurti mulai terdesak.
Tubuh raseksi yang berpusing itu gerakannya semakin cepat sehingga tubuhnya lenyap berubah menjadi gulungan bayang-bayang yang selain mengeluarkan suara menderu, juga diselingi suara tawa melengking yang menggetarkan jantung penuh dengan pengaruh dan tenaga sihir dahsyat.
Empu Dewamurti maklum bahwa kalau dilanjutkan dia tentu akan roboh. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan terdengar suaranya mengelegar seperti Guntur sehingga bumi di mana mereka berpijak tergetar dan pohon-pohon terguncang seperti di landa angin ribut.
"Aji Triwikrama!" Kakinya dibanting ke tanah sambil melangkah tiga kali dan Ratu Mayang Gupita mengeluarkan seruan kaget melihat betapa kini tubuh Empu Dewamurti berubah menjadi besar sekali, jauh lebih besar daripada tubuhnya sendiri, seperti sebatang pohon beringin yang besar dan lebat!
Akan tetapi raseksi itu adalah seorang yang selain sakti mandraguna juga sudah memiliki banyak sekali pengalaman bertanding, maka ia tidak menjadi gentar. Maka pada saat Empu Dewamurti yang telah menjadi raksasa sebesar pohon beringin itu mendorongkan telapak tangan kearahnya, ia berani mengerahkan tenaga dan menyambut dengan dorongan tangannya yang mengeluarkan bola api.
"Blarrr .....!"
Hebat sekali pertemuan dua tenaga sakti itu. Bola api itu meledak dan mengeluarkan asap, dan tubuh ratu kerajaan siluman itu terdorong mundur empat langkah. Pada saat itu, Empu Dewamurti kembali menyerangnya dengan dorongan kedua telapak tangannya yang bertenaga dahsyat. Ratu Mayang Gupita juga sudah siap menyambut, la merasa girang sekali ketika melihat betapa Resi Bajrasakti dan tiga orang datuk dari kerajaan Wurawari itu serentak maju pula menyambut serangan Empu Dewamurti dengan dorongan tangan mereka yang disertai pengerahan tenaga sakti.
"Syuuuuttt ..... darrrrr .....!"
Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tenaga lima orang itu yang dipersatukan menyambut serangan Empu Dewamurti. Tubuh setinggi pohon beringin itu terlempar jauh ke belakang dan berubah menjadi seperti biasa kembali.
Ketika terbanting ke atas tanah, darah mengalir dari mata, telinga, hidung dan mulut Empu Dewamurti. Akan tetapi dalam keadaan separah itu, sang empu masih sanggup mengeluarkan Aji Sirnasarira dan tiba-tiba saja tubuhnya menghilang! Lima orang lawannya yang tadinya merasa girang melihat mereka dapat merobohkan sang empu yang amat sakti itu menjadi terkejut dan bingung karena tiba-tiba tubuh lawan yang mereka robohkan itu lenyap. Mereka menjadi gentar, takut kalau-kalau dalam keadaan tidak tampak Empu Dewamurti menyerang mereka dengan pukulan mematikan.
Maka, tanpa dikomando lagi lima orang itu lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu. Karena tidak dapat melihat lawan, lima orang itu menjadi ketakutan seolah merasa diri mereka dikejar, maka mereka mengerahkan tenaga berlari secepat mungkin menuruni Gunung Arjuna. Ketika mereka tiba di lereng bawah dekat kaki gunung, mereka yang berlari cepat dengan ketakutan itu tidak melihat Nurseta yang bersembunyi di balik sebatang pohon jati yang besar.
Pemuda itu secara kebetulan tadi menengok memandang ke belakang, ke arah puncak di mana dia meninggalkan gurunya. Pada saat itulah dia melihat lima bayangan orang yang berlari secepat terbang, menuruni puncak. Dari cara mereka berlari seperti terbang, tahulah Nurseta bahwa mereka tentu orang-orang yang memiliki aji kanuragan yang tinggi tingkatnya. Timbul keheranan dan kecurigaan dalam hatinya, maka dia lalu menyelinap dibalik batang pohon agar mereka tidak dapat melihatnya.
Ketika lima orang itu lewat dekat, dia mengenal seorang di antara mereka sebagai Resi Bajrasakti yang pada lima tahun yang lalu bersama Nyi Dewi Durgakumala pernah bertanding melawan gurunya. Hati Nurseta merasa tidak enak. Melihat adanya Resi Bajrasakti di antara lima orang itu, timbul kecurigaannya. Apa lagi empat orang yang lain itu juga memiliki kesaktian, hal ini tampak dari cara mereka berlari. Walaupun Nyi Dewi Durgakumala tidak tampak di antara mereka, akan tetapi seorang di antara mereka adalah seorang wanita bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang menyeramkan.
Hampir dapat dipastikan bahwa tentu lima orang itu tidak bermaksud baik mendaki puncak itu. Jangan-jangan mereka menyerbu pondok gurunya. Membayangkan hal ini, Nurseta lalu cepat berlari mendaki gunung itu lagi menuju ke puncak di mana tadi dia meninggalkan gurunya. Dengan mempergunakan Aji Bayu Sakti, tubuhnya meluncur seperti angin cepatnya dan sebentar saja dia sudah tiba di depan pondok.
"Eyang guru .....!" serunya lirih dan cepat dia membuka pintu pondok dan masuk. Akan tetapi, dia tidak dapat menemukan gurunya dalam pondok. Nurseta melompat keluar dan berlari cepat menuju ke tempat di mana tadi dia meninggalkan gurunya yang duduk di atas batu besar. Tak lama kemudian pemuda itu berdiri terbelalak dengan muka pucat memandang ke arah batu yang biasa menjadi tempat dia termenung dan bersamadhi itu sudah hancur berkeping-keping dan tidak tampak gurunya berada di situ...
Linggajaya yang rebah di atas tanah itu tetap tak mampu bergerak atau bersuara. Akan tetapi dia memandang kepada kakek itu dengan mata melotot penuh kemarahan. Melihat ini Resi Bajrasakti menjadi heran dan mengerutkan alisnya. Betapa berani dan tabahnya bocah ini, pikirnya penasaran akan tetapi juga kagum. Dia sama sekali tidak tahu bahwa kemarahan pemuda remaja yang diperlihatkan dari pandang matanya itu sama sekali bukan karena Linggajaya seorang yang tabah dan pemberani. Kemarahannya itu terbawa oleh wataknya yang angkuh dan sombong. Biasanya orang sedusun bersikap hormat dan mengalah kepadanya, takut akan kedudukan ayahnya sebagai kepala dusun. Sekarang melihat ada orang berani bersikap sewenang-wenang kepadanya, tidak takut sama sekali, dia menjadi marah!
"Heh-heh, bocah keparat! Berani engkau melotot kepadaku?. Huh, untuk apa anak iblis seperti engkau ini bagiku? Tunggu, aku akan menyiksamu sampai mati, engkau akan mati perlahan-lahan dan aku ingin dulu mendengar engkau bernyanyi-nyanyi kesakitan dalam sekarat!".
Setelah berkata demikian, Resi Bajrasakti lalu mengebutkan tangannya tiga kali ke arah muka, perut dan kaki pemuda itu dan seketika Linggajaya dapat bergerak dan bersuara kembali. Begitu dapat hergerak dan mengeluarkan suara, Linggajaya yang merasa tersinggung kehormatannya dan sudah marah sekali itu lalu melompat dan bangkit berdiri. Dia bertolak pinggang dengan tangan kanannya, lalu telunjuk kirinya menunjuk ke arah muka datuk itu dan dia memaki.
"Jahanam tua bangka kurang ajar! Apa engkau sudah bosan hidup? Engkau tidak tahu siapa aku!"
Resi Bajrasakti terbelalak, heran dan kagum. Sikap pemuda remaja itu dianggapnya luar biasa berani dan kurang ajarnya, satu diantara sikap-sikap yang disukai dan dikagumi.
"Ha-ha-ha, memangnya engkau siapa?" tanyanya.
“Aku adalah putera tunggal Ki Suramenggala yang menjadi orang nomor satu di Karang Tirta, paling kaya, paling kuat dan paling berkuasa! Engkau mencari mati kalau berani mengganggu aku!"
Mendengar kesombongan ini, Resi Bajrasakti menjadi semakin kagum dan dia mulai tertawa bergelak. Watak anak ini cocok sekali dengan wataknya sendiri!
"Ha-ha-ha-ha! Kalau aku tidak takut mati dan sekarang aku mengganggumu, engkau mau apa cah bagus?"
"Akan kupukuli engkau! Akan kubunuh engkau!" teriak Linggajaya.
"Heh-heh, engkau berani?" kakek itu mengejek.
Linggajaya semakin marah. "Kenapa t idak berani? Apamu yang kutakuti? Nah, mampuslah kau" anak itu lalu menerjang maju dan memukul ke arah dada dan perut kakek itu.
Sambil tertawa kakek itu menangkis dan begitu tangannya bertemu dengan kedua tangan Linggajaya, anak itu terlempar dan terbanting tiga meter jauhnya! Akan tetapi Linggajaya menjadi semakin marah. Dia bangkit berdiri dan lari menyerang lagi, mengerahkan seluruh tenaganya. Kembali Resi Bajrasakti menyambutnya dengan tendangan sehingga tubuh linggajaya terpental. Sambil tertawa-tawa kakek itu menghadapi serangan Linggajaya yang tidak juga jera. Anak itu sudah babak belur dan benjol-benjol, akan tetapi dia selalu bangkit lagi dengan nekat, seakan merasa yakin bahwa ayah dan para jagabaya tentu akan datang dan membelanya seperti selalu terjadi jika dia berkelahi. Memang Linggajaya termasuk anak yang bandel dan bengal, suka berkelahi dan ditakuti semua pemuda di Karang Tirta.
Resi Bajrasakti menjadi semakin suka dan kagum. Apalagi ketika beberapa kali menangkis, dia mendapat kenyataan betapa anak itu memiliki tulang yang kuat, semangat baja, keberanian yang nekat dan memiliki bakat untuk menjadi seorang yang sakti mandraguna yang mengandalkan kekuatannya untuk bertindak menuruti keinginan sendiri. Anak seperti inilah yang cocok menjadi muridnya! Ketika untuk kesekian kalinya Linggajaya menyerang lagi, Resi Bajrasakti mengebutkan tangannya dan anak itu terpelanting roboh dan diam saja karena dia kembali tidak mampu bergerak atau bersuara. Resi Bajrasakti lalu mencengkram baju anak itu dan merenggutnya.
"Brettt …..!" baju itu robek dan terlepas dari tubuh Linggajaya sehingga anak itu kini telanjang dari pinggang keatas. Jari-jari tangan Resi Bajrasakti lalu menggerayangi tubuh anak itu, memeriksa bagian leher, punggung, tengkuk dan pinggang. Berkali-kali dia mengeluarkan pujian dan akhirnya dia tertawa begelak.
“Ha-ha-ha-ha-ha, cocok! cocok!" Dia lalu mengebutkan tangannya lagi dan anak itu dapat bergerak dan bersuara kembali. "Linggajaya, mulai sekarang engkau menjadi muridku!"
"Menjadi muridmu? Huh, siapa sudi menjadi muridmu? Kalau ingin menjadi guruku, harus minta ijin kepada ayahku dulu agar ayah dapat mengujimu apakah engkau pantas menjadi guruku. Aku tidak mau menjadi muridmu!" teriak Linggajaya sambil bangkit berdiri. Mukanya benjol-benjol, tubuhnya babak belur, bahkan ujung bibirnya berdarah, akan tetapi sorot matanya masih bersinar penuh keberanian dan kemarahan, kedua tangannya dikepal.
Melihat sikap ini Resi Bajrasakti tertawa senang. Anak ini bebar-benar cocok menjadi muridnya. Dia sudah lupa kepada gadis remaja yang diculiknya tadi, dan sekarang dia malah merasa senang dan beruntung bahwa dia memperoleh ganti seorang pemuda remaja yang kiranya tepat untuk menjadi muridnya, cocok untuk dapat meneruskan ketenarannya dan yang akan mengangkat tinggi nama besarnya.
"Linggajaya, engkau ingin melihat dulu kesaktian gurumu? Nah, lihatlah baik-baik!" Resi Bajrasakti lalu menghampiri sebongkah batu sebesar perut kerbau. Dia lau menampar ke arah batu itu sambil berteriak, "Hiaatttttt!"
"Pyarrr .....!" batu besar itu hancur berhamburan.
Biarpun Linggajaya merasa terkejut dan kagum sekali, dia tetap tersenyum, bahkan dengan cerdiknya untuk melihat lebih banyak lagi kehebatan kakek itu sengaja ia tersenyum mengejek.
"Hanya sebegitu sajakah?" suaranya seolah menyatakan bahwa yang dipertontonkan kakek itu belum apa-apa baginya! Padahal tentu saja dia merasa terkejut dan kagum bukan main. Belum pernah dia melihat orang sedemikian saktinya sehingga batu sebesar itu dipukul hancur dengan tangan kosong.
"Hmm, memang aku hanya main-main tadi. Akan tetapi lihatlah ini! " Resi Bajrasakti mengusap dahinya, menggosok kedua telapak tangannya, lalu mendorongkan kedua tangan itu ke arah sebatang pohon yang berdiri dalam jarak empat meter darinya.
"Wuuutttt ..... kraakkkk!!" pohon itu tumbang dan roboh mengeluarkan suara gaduh.
Linggajaya tak dapat menyembunyikan kekagumannya. Dia terbelalak memandang dan wajahnya tampak gembira bukan main.
"Linggajaya, sekarang lihat dimana aku?”
Pemuda remaja itu memandang dan dia melihat tubuh kakek itu berkelebat lenyap! Dia celingukan mencari-cari dengan pandang matanya, namun tak dapat menemukan kakek itu yang agaknya telah menghilang begitu saja! Tiba-tiba terdengar suara dari atas, arah belakangnya.
"Linggajaya, lihatlah ke sini!" linggajaya memutar tubuh dan memandang keatas dan ternyata kakek itu telah berada di puncak sebuah pohon yang tinggi. Resi Bajrasakti tertawa bergelak dan tubuhnya melayang turun, seperti seekor burung raksasa dia hinggap di depan Linggajaya.
"Nah, engkau tentu mau menjadi muridku mempelajari semua aji kesaktian itu, bukan?"
Hati Linggajaya kagum bukan main, akan tetapi keangkuhannya sudah menjadi wataknya dan dia bersikap "jual mahal". Dia tahu bahwa kakek itu ingin sekali mengambil dia sebagai murid, maka dia sengaja bersikap tak acuh dan menggeleng kepalanya.
Resi Bajrasakti adalah seorang yang aneh. Wataknya kadang berlawanan dengan orang-orang lumrah pada umumnya. Melihat sikap Linggajaya ini dia tidak marah, bahkan senang karena sikap yang angkuh itu cocok dengannya. Akan tetapi diapun amat cerdik dan ingin memaksa anak itu agar mau menjadi muridnya, kalau perlu dengan kekerasan.
"Kalau begitu engkau harus dihajar!" bentaknya dan dia menangkap pinggang Linggajaya lalu melontarkan tubuh anak itu ke atas. Tubuh anak itu melayang naik, tinggi sekali.
Linggajaya terkejut dan ketakutan ketika tubuhnya meluncur turun. Tentu dia akan hancur terbanting di atas tanah yang berbatu-batu. Dia tak berdaya untuk menghindarkan ancaman maut. Namun dia menggigit bibirnya, tidak berteriak, hanya memejamkan kedua matanya. Akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting, tangan Resi Bajrasakti menangkapnya lalu melontarkannya kembali ke atas! Setelah hal itu terjadi beberapa kali, Linggajaya tertawa ketika dilontarkan ke atas. Dia maklum bahwa kakek itu hanya menggertak saja dan tidak menghendaki dia terbanting mati!
Mendengar suara tawa anak itu, Resi Bajrasakti menjadi semakin senang. Disangka anak itu mempunyai keberanian menentang maut yang luar biasa, dalam keadaan terancam maut masih bisa tertawa-tawa. Dia tidak tahu bahwa anak itu lebih cerdik daripada yang ia duga. Tawa Linggajaya itu timbul karena anak itu sama sekali tidak terancam maut.
"Nah, sekarang hancur kepalamu!" tiba-tiba Resi Bajrasakti melontarkan tubuh anak itu tinggi sekali dan meluncur turun, anak itu terbelalak karena kepalanya berada di bawah dan kakek itu tidak lagi ada di sana untuk menyambutnya! Betapapun tabahnya, melihat bahaya maut tak terhindarkan lagi, Linggajaya berteriak.
"Toloooonggg .....!" akan tetapi kepalanya sudah meluncur dekat sekali dengan batu yang menonjol di atas tanah. Linggajaya menjerit, akan tetapi pada detik terakhir, tangan Resi Bajrasakti sudah menyambut kepada anak itu sehingga tidak terbanting pada batu. Kakek itu lalu mengangkat tubuh Linggajaya dan membalikkannya. Setelah berdiri, Linggajaya masih merasa pening dan wajahnya pucat sekali.
"Ha-ha-haha... katakan sekarang, apakah engkau masih menolak menjadi muridku?"
Linggajaya yang cerdik maklum bahwa dia tidak boleh mengggoda kakek ini terlalu lama. Kakek ini memiliki watak aneh dan bukan mustahil kalau kakek ini akan membunuhnya kalau dia terus menolak. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. "Bapaa guru .....!" mulutnya menyebut demikian, akan tetapi hati Linggajaya berkata, "Awas kau! Kelak aku akan membunuhmu!"
Resi Bajrasakti tertawa bergelak saking senangnya. "Ha-haha-ha, muridku yang baik, engkau akan kuberi semua ilmuku agar kelak engkau menjadi wakil Kerajaan Wengker yang akan menghancurkan Sang Prabu Erlangga keturunan kerajaan Mataram! Ha-ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, kembali dia tertawa dan tiba-tiba dia menangkap pergelangan tangan Linggajaya dan membawa anak itu berlari secepat terbang menuju ke barat, pulang ke wilayah kerajaan Wengker (sekarang sekitar Ponorogo). Di dalam hatinya, dia merasa menyesal mengapa dia harus jatuh ke tangan kakek raksasa yang kasar ini. Dia akan merasa lebih senang kalau menjadi tawanan Nyi Dewi Durgakumala yang cantik pesolek itu. Sama sekali dia tidak pernah membayangkan bahwa dia beruntung sekali terjatuh ke tangan kakek itu. Kalau dia tetap menjadi tawanan wanita cantik yang seperti iblis betina itu, tentu dia akan dibuat permainan, dihisap sampai habis sari manisnya seperti sebatang tebu untuk kemudian ampasnya dibuang begitu saja atau disiksa lalu dibunuh.
********************
Bagaimana pula dengan nasib Puspa Dewi? Keadaan bocah berusia tigabelas tahun ini mirip Linggajaya. Kalau saja ia jatuh ke tangan penculiknya, Resi Bajrasakti, iapun akan mengalami nasib mengerikan, ia akan dipermainkan sampai mati. Akan tetapi ia jatuh ke tangan Nyi Dewi Durgakumala yang membawa lari ke timur dengan cepat karena iblis betina inipun jerih kepada Empu Dewamurti yang disangka akan mengejarnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Nyi Dewi Durgakumala yang memanggul tubuh Puspa Dewi tiba di sebuah bukit yang berada di Pegunungan Tengger. Di puncak bukit itu ia berhenti menurunkan anak perempuan itu dan membebaskannya sehingga Puspa Dewi dapat bergerak dan bersuara lagi. Anak ini adalah seorang yang cerdik. Melihat betapa ia ditangkap dan dibawa lari secepat angin oleh seorang wanita yang cantik jelita, ia tidak begitu takut seperti ketika ia ditangkap Resi Bajrasakti. Bahkan dianggapnya wanita ini tentu seorang dewi yang baik hati, yang telah menolongnya dari kakek jahat itu. Ia sudah banyak mendengar tentang para dewi yang didongengkan ibunya. Dewi yang cantik jelita akan tetapi juga sakti mandraguna.
Malam tadi ia membuktikan sendiri. Ia dipanggul dan dibawa terbang. Ia hendak menghaturkan terima kasih., akan tetapi dilihatnya wanita cantik itu sedang duduk bersila di atas sebuah batu sambil memejamkan kedua matanya. Ia tahu bahwa dewi itu sedang bersamadhi, maka ia tidak berani mengganggu dan menanti sambil duduk pula di atas batu yang rendah. Dilihatnya pemandangan di bawah puncak. Puspa Dewi terkagum-kagum. Baru kali ini dia melihat matahari pagi seindah itu. Kebetulan ia menghadap ke timur dan ia melihat sebuah bola merah tersembul dari balik gungung yang tinggi. Ia tidak tahu bahwa gunung itu adalah Gunung Bromo.
Matahari pagi mulai menyinarkan cahayanya yang lembut dan hangat, menggugah segala sesuatu di permukaan bumi yang tadinya tidur diselimuti kegelapan malam. Malam terang bulan berubah menjadi gelap setelah larut tadi, setelah bulan purnama menghilang di ufuk barat. Dan kini kegelapan malam terusir perlahan-lahan oleh sinar matahari pagi, meninggalkan kabut yang bermalas-malasan meninggalkan bumi. Hutan-hutan diselingi sawah ladang dan pondok-pondok pedusunan terhampar di bawah puncak, tampak makin jelas setelah embun terusir sinar matahari. Burung-burung berkicau menyambut datangnya sang surya. Kehidupan mulai tampak dan terdengar. Suara-suara segala macam mahluk hidup itu seakan-akan merupakan doa dan puja-piji kepada Sang Hyang Widhi yang melimpahkan berkah kehidupan melalui sinar matahari, melalui desir angin, melalui awan yang berarak melayang-layang.
"Heh-heh, gila betul! Untuk apa aku membawa lari?"
Suara itu menyadarkan Puspa Dewi dari lamunannya dan cepat ia memutar tubuh memandang kepada Nyi Dewi Durgakumala. Melihat wanita itu kini telah membuka matanya, Puspa Dewi cepat menghampiri dan bersembah sujud di depan kaki wanita itu. Ia sudah diajari ibunya sejak kecil bagaimana harus menghaturkan sembah sujud dan sesaji kepada para dewa dewi.
"Hamba menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan paduka kepada hamba, pakulun." Ia menyembah.
Nyi Dewi Durgakumala tadi memang bersamadhi untuk memulihkan tenaganya yang banyak terbuang membuat ia kelelahan. Kini setelah tenaganya pulih dan ia melihat Puspa Dewi duduk tek jauh darinya, baru ia teringat bahwa semalam, dalam keadaan panik dan gugup, pengejarannya tidak membawa ia kepada calon korbannya, pemuda remaja yang tampan itu, melainkan bertemu dengan anak perempuan yang tadinya ia tahu merupakan tawanan Resi Bajrasakti itu. Maka ia tertawa dan mencela diri sendiri. Sekarang anak perempuan itu bersembah sujud kepadanya menghaturkan terima kasih, bahkan menyebutnya pakulun seolah-olah ia seorang dewi yang turun dari Kahyangan.
"Hik-hik-hik! Kau kira siapa aku ini" tanyanya sambil tertawa cekikikan seperti seorang perawan genit.
Puspa Dewi kembali menyembah. Ampun pakulun, paduka tentu seorang dewi dari kahyangan yang sakti dan baik budi."
"Hemm, bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa aku seorang dewi kahyangan?" hatinya mulai merasa senang. Wanita mana yang tidak merasa bangga dan senang disebut Dewi Kahyangan? Walaupun yang menyebutnya itu hanya seorang gadis remaja.
"Hamba mengetahui karena paduka sangat cantik jelita, sangat sakti mandraguna dan berbudi baik, suka menolong pula." Jawab Puspa Dewi penuh keyakinan, bukan untuk menyenangkan hati melainkan karena ia memang yakin bahwa penolongnya itu adalah seorang dewi kahyangan.
"Heh-heh-heh-hik-hik! Aku memang seorang dewi. Namaku Dewi Durgakumala."
"Hamba menghaturkan sembah dan hormat, pakulun." Kembali Puspa Dewi menyembah.
Akan tetapi tiba-tiba wanita cantik yang tadinya tersenyum dan tertawa-tawa senang itu, menghentikan tawanya dan mukanya berubah dingin. Watak iblis betina ini memang aneh atau juga tidak normal. Begitu ia teringat bahwa ia telah kehilangan pemuda remaja tampan dan sebagai gantinya mendapatkan seorang anak perempuan, kecewanya timbul, membuatnya menjadi marah dan ia memandang kepada Puspa Dewi dengan penuh kebencian. Tangan kirinya sudah terasa gatal untuk melayangkan pukulan maut membunuh anak perampuan itu. Untuk apa ia membawa anak perempuan? Ia menjadi gemas kepada Resi Bajrasakti dan lebih benci lagi kepada Empu Dewamurti yang telah menggagalkan segalanya.
Akan tetapi ketika tangannya hendak melayang membunuh Puspa Dewi, tiba-tiba akan itu yang merasa heran betapa wanita yang disangkanya dewi kahyangan itu mendadak diam saja, lalu mendongak dan memandang wajah Nyi Dewi Durgakumala. Dua pasang mata bertemu pandang dan hati iblis betina itu tertegun. Sepasang mata itu mengingatkan ia akan mata seorang anak perempuan lain yang kini telah tiada. Mata anaknya, mata puterinya yang kini telah tewas menjadi mangsa harimau.
Beberapa tahun yang lalu wanita ini menculik seorang anak yang ketika itu berusia empat tahun. Seperti biasa, ia menculik anak-anak untuk menyempurnakan ilmu sesatnya. Darah anak kecil dihisapnya sampai habis dan darah ini memperkuat tenaga ilmu hitamnya. Akan tetapi entah mengapa sepasang mata anak yang diculiknya itu mendatangkan rasa suka di hatinya dan ia tidak membunuh anak itu, bahkan memelihara anak itu dan dianggapnya sebagai anak sendiri. Setelah anak itu berusia lima tahun, pada suatu hari di puncak Gunung Anjasmara, ia bertemu dengan Rekryan Kanuruhan Empu Dharmamurti Narotama Danasura yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Patih Narotama, yaitu mahapatih dan sahabat setia dari Sang Prabu Erlangga!
Bertemu dengan Ki Patih Narotama, ksatria sakti mandraguna, orang kepercayaan utama dari Sang Prabu Erlangga, berwajah tampan dan gagah, Nyi Dewi Durgakumala tergila-gila dan ia berusaha keras menggunakan segala ajiannya, mengerahkan aji guna-guna dan pemeletan, namun semua pernyataan cintanya ditolak mentah-mentah oleh Ki Patih Narotama.
Nyi Dewi Durgakumala menjadi marah. Ia meninggalkan anak angkatnya yang berusia lima tahun itu di bawah pohon dan lalu ia menyerang Ki Patih Narotama. Kalau laki-laki yang digandrunginya itu tidak mau menerima cintanya, dia harus mati di tangan. Namun Ki Patih Narotama bukan seorang yang lemah. Terjadilah perkelahian yang hebat di puncak Gunung Anjasmara. Akhirnya Nyi Dewi Durgakumala baru mengakui kedigjayaan Ki Patih. Ia lari kembali ke anak angkatnya dan dapat dibayangkan betapa hancur hatinya melihat bahwa anak angkatnya telah menjadi korban, dicabik-cabik dan dimakan harimau!
Ia menjadi sakit hati sekali kepada Ki Patih Narotama dan kepada harimau. Ia mengamuk dan hampir seluruh harimau yang berada di hutan sekitar pegunungan Anjasmara dibunuhnya. Akan tetapi tidak mudah baginya untuk melampiaskan dendamnya kepada Ki Patih Narotama. Dan dendam kepada Ki Patih ini ia alihkan kepada kerajaan Kahuripan. Ia lalu membantu kerajaan Wurawari untuk memusuhi Kahuripan, keturunan Mataram itu. Bahkan ketika kerajaan Wurawari menyerang Kahuripan pada tahun 1007 sehingga menyebabkan kerajaan Kahuripan jatuh dan rajanya yaitu Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa tewas dalam perang itu, Nyi Dewi Durgakumala juga ikut dalam perang itu membantu raja Wurawari.
Demikianlah ketika Nyi Dewi Durgakumala sudah menggerakkan tangannya hendak membunuh Puspa Dewi dan bertemu pandang dengan anak itu, ia seolah melihat sepasang mata anak angkatnya yang dimakan harimau. Naik sedu sedan dari dadanya, menyesakkan kerongkongannya dan ia menubruk dan merangkul, mendekapnya dan menciuminya.
"Anakku ....., anakku .....!" Nyi Dewi Durgakumala mengeluh sambil menahan isaknya. Beberapa butir air mata membasahi pipinya.
Menghadapi perlakuan ini, Puspa Dewi yang pada dasarnya mempunyai perasaan yang halus dan peka menjadi terharu dan balas merangkul. Anak ini merasa terkejut dan heran melihat Dewi Kahyangan itu menangis!
"Pakulun, kenapa paduka menangis?” Tanyanya lirih karena segan dan takut.
Nyi Dewi Durgakumala memeluk makin erat. "Anak yang baik, siapakah namamu?"
"Pakulun …."
"Jangan menyebut pakulun. Aku ini ibumu, nak. Sebut aku ibu …"
Berdebar jantung dalam dada Puspa Dewi, ia merasa gembira dan bahagia sekali. Seorang Dewi Kahyangan menjadi ibunya? Dengan suara bergetar saking terharu dan bahagia, ia berkata, "Ibu, nama saya Puspa Dewi ...!"
"Dewi? Engkau bernama Dewi? Ah cocok sekali! Anakku Dewi, mulai sekarang engkau menjadi anakku dan aku akan menurunkan semua aji kesaktianku kepadamu. Maukah engkau ikut denganku dan menjadi anakku?"
Tentu saja Puspa Dewi mau sekali anak seorang Dewi Kahyangan! "Saya mau, ibu ....."
"Bagus, dan sekarang berjanjilah bahwa kelak engkau akam memusuhi Empu Dewamurti, memusuhi Kerajaan keluarga Istana yaitu Kahuripan, dan yang terpenting sekali, engkau harus mewakili aku merebut keris pusaka Megatantra yang berada di tangan anak laki-laki yang dilindungi oleh Empu Dewamurti. Nah maukah engkau berjanji, cah ayu?"
"Saya berjanji, ibu. Saya akan mentaati semua perintah ibu." Kata Puspa Dewi yang sama sekali tidak tahu bahwa ia telah berada dibawah pengaruh aji pemeletan iblis betina itu sehingga ia merasa amat tertarik dan suka kepada Nyi Dewi Durgakumala, dan menganggap wanita itu teramat baik kepadanya. Ia seperti terbuai, bahkan tidak ada keinginan untuk kembali kepada ibunya sendiri.
Nyi Dewi Durgakulama juga merasa senang sekali. Ia menemukan lagi anaknya! Ia lalu memondong tubuh Puspa Dewi dan mengajaknya lari lagi dengan cepat seperti terbang sehingga makin yakinlah hati anak itu bahwa ibunya adalah seorang Dewi dari kahyangan yang sakti mandraguna! Mulai saat itu, Puspa Dewi menjadi anak angkat dan juga murid terkasih dari Nyi Dewi Durgakumala. Ia dibawa lari ke arah timur, mendaki perbukitan dan melompati jurang-jurang.
********************
Setelah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa tewas dalam perang melawan kerajaan Wurawari, Erlangga yang menjadi mantunya yang merebut kembali Kerajaan Kahuripan dibantu sahabatnya Narotama dan para Brahmana (pendeta) yang bertapa di wanagiri (hutan, gunung) lalu dinobatkan menjadi Raja Kahuripan.
Pada mulanya di jaman pemerintahan Raja Sindok, ibukota kerajaan bernama Watu Galuh (letaknya di sekitar Jombang). Pada jaman pemerintahan Raja Teguh Dharmawangsa ibukota kerajaan dipindahkan ke arah timur di kaki gunung Penanggungan (sebelah selatan Sidoarjo). Setelah Erlangga yang dibantu Narotama mengalahkan Raja Wurawari dan merebut kembali kerajaan, ibukota Watan ditinggalkan dan oleh Raja Erlangga dibangun ibukota baru yang diberi nama Watan Mas. Kemudian Watan Mas juga ditinggalkan dan ibu kota kerajaan sekarang pindah lagi ke Kahuripan.
Riwayat singkat Erlangga sampai menjadi raja amat menarik. Diantara kerajaan Mataram yang menurunkan Raja Sindok, kemudian Raja Dharmawangsa dan kerajaan Bali memang terdapat hubungan yang erat. Erlangga sendiri adalah keturunan seorang pangeran dari wangsa Ishana (keturunan Mataram). Karena itu, tidak mengherankan kalau Erlangga kemudian dijodohkan dengan seorang puteri dari Raja Teguh Dharmawangsa. Pada saaat pernikahan dilangsungkan, ketika itu Erlangga berusia enam belas tahun, terjadilah penyerbuan pasukan kerajaan Wurawari sehingga Raja Dharmawangsa gugur dan kerajaan direbut raja Wurawari. Erlangga sendiri, dibantu Narotama, dapat menyelamatkan diri ke Wanagiri. Kemudian dia menyusun kekuatan dan dibantu oleh Narotama yang setia dan sakti mandraguna, Erlangga berhasil merebut kembali dari tangan Raja Wurawari. Kemudian dia diangkat menjadi raja.
Mula-mula kerajan yang dipimpin oleh Raja Erlangga ini tidak begitu besar. Masih banyak raja-raja lain yang selalu menentang dan memusuhinya, diantara mereka adalah Raja Adhamapanuda dari kerajaan Wengker dan Raja Wijaya dari kerajaan Wurawari. Juga ada kerajaan kecil dari pantai Laut Kidul yang dipimpin oleh seorang Ratu (Raja Wanita) berjuluk Ratu Durgamala yang terkenal sakti selalu menentangnya.
Tiga kerajaan inilah yang selalu merupakan ancaman bagi Kerajaan Kahuripan yang dipimpin Sang Prabu Erlangga. Sang Prabu Erlangga mempunyai dua orang permaisuri. Yang pertama adalah puteri mendiang Sang Prabu Dharmawangsa yang kelak kemudian terkenal dengan sebutan Sang Kili suci dan setelah berusia lanjut hidup sebagai seorang pertapa. Adapun yang ke dua adalah puteri dari Kerajaan Sriwijaya yang bernama Sri Sanggramawijaya Dharmaprastunggawarman. Tentu saja seperti umumnya raja-raja di jaman itu, Prabu Erlangga juga mempunyai banyak selir yang tidak tercatat dalam sejarah.
Dalam pergolakan yang ditimbulkan karena permusuhan Sang Prabu Erlangga dengan Kerajaan Wengker, Kerajaan Wurawari dan Kerajaan Ratu Durgamala atau terkenal dengan sebutan Kerajaan Parang Siluman itulah cerita ini terjadi. Biarpun permusuhan itu belum tercetus menjadi perang terbuka, namun seringkali terjadi bentrokan diantara para tokoh pendukung masing-masing kerajaan, seperti bentrokan yang terjadi antara Empu Dewamurti dengan dua orang datuk dari Wengker dan Wurawari itu. Disamping persoalan yang terjadi yang membuat mereka saling berlawanan, pada dasarnya memang terdapat pertentangan diantara mereka, karena Empu Dewamurti adalah seorang Empu terkenal di Kahuripan dan tentu saja dia membela Raja Erlangga. Sebaliknya dua orang lawannya itu, yang seorang datuk Wengker dan seorang lagi tokoh pendukung kerajaan Wurawari.
Raja Erlangga adalah seorang raja yang sakti mandraguna, seorang panglima besar yang pandai mengatur bala tentara. Sebagai seorang raja dia amat adil dan bijaksana, tidak sewenang-wenang, tidak memikirkan kepentingan dan kesenangan sendiri. Kebanyakan para raja di dunia ini setelah menduduki tingkat tertinggi dalam kerajaan, menjadi orang nomor satu, lalu menguruk dirinya dan seluruh sanak keluarganya dengan kemewahan yang berlebihan. Kebanyakan para raja itu lalu menumpuk harta benda sebanyak-banyaknya, tidak peduli lagi darimana harta itu datang, bahkan rela membiarkan rakyat hidup menderita, sengsara karena kemiskinan.
Raja Erlangga tidaklah demikian. Dia seorang raja bijaksana yang memikirkan kepantingan dan kemakmuran rakyat jelata. Dia memperhatikan kebutuhan para petani. Dibangunnya pematang dekat Wringin Sapta (sekarang Wringin Pitu) untuk mengalirkan air Kali Berantas agar sungai itu tidak lagi membanjiri sawah petani. Setelah pematang itu didirikan, pelabuhan Huyuh Galuh di muara sungai itu menjadi semakin ramai.
Bukan hanya kemakmuran rakyat yang dia perhatikan. Juga Raja Erlangga memperhatikan kemajuan kebudayaan. Dia mendukung majunya kesusastraan dan kesenian. Dalam jamannyalah karya sastra yang indah, yaitu kekawin "Arjuna Wiwaha" ditulis Empu Kanwa. Karena kebijaksanaannya, maka keadaan rakyat cukup makmur.
Hal ini menarik perhatian banyak raja muda di daerah-daerah pinggiran dan banyak diantara mereka yang dengan sukarela menyatakan tunduk dan takluk, mengakui kebesaran dan kedaulatan dari Raja Erlangga, ingin membonceng wibawa raja erlangga agar daerah kekuasaan merekapun menjadi makmur dengan meniru apa yang telah dilakukan raja bijaksana itu. Tentu saja tidak semua daerah mau tunduk, terutama sekali Kerajaan Wengker yang letaknya paling dekat dengan Kahuripan.
Demikianlah sedikit tentang pemerintahaan Raja Erlangga yang selalu dibantu oleh patihnya yang setia, yaitu Patih Narotama. Raja Erlangga seringkali cukup dengan mengutus Patih Narotama untuk mewakilinya membereskan persoalan-persoalan berat dan selalu Narotama dapat menyelesaikan persoalan-persoalan itu dengan baik.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Kalau tidak diperhatikan sang waktu berkelebat secepat kilat, sebaliknya kalau kita memperhatikan, waktu merayap seperti siput. Karena tidak diikuti dan diperhatikan, waktu meluncur cepat dan tahu-tahu lima tahun telah lewat sejak terjadinya peristiwa di pantai pasir putih di tepi laut selatan itu.
Pagi yang tenang tenteram penuh damai, di sebuah tempat diantara puncak-puncak pegunungan Arjuna. Kokok ayam hutan jantan terdengar bersahut-sahutan, suara mereka nyaring pendek. Agaknya gaung suara mereka terdengar sampai ke dusun pegunungan di lereng dekat puncak karena tak lama kemudian terdengar lapat-lapat, sayup sampai, kokok ayam jantan peliharaan yang suaranya lebih panjang namun tidak begitu menyentak nyaring seperti kokok ayam hutan.
Kokok ayam hutan itu seakan menggugah burung-burung yang tidur di pohon-pohon besar yang lebat daunnya. Mulailah mereka berkicau bersahut-sahutan dalam bahasa mereka yang riang gembira sambil berloncat-loncatan di atas ranting dan dahan, mengguncang daun-daun, meruntuhkan embun yang bergelantungan di ujung daun.
Ada yang menggeliat menjulurkan sayap atau kaki, ada yang menyisiri bulu dengan paruh, kemudian berciap-ciap lagi dengan riuhnya. Akan tetapi suara yang menyambut pagi itu membungkam suara lain, yaitu suara kutu-kutu walang ataga, segala serangga malam seperti jengkrik, belalang, orong-orong dan sebagainya yang sepanjang malam telah mengeluarkan suara sambung menyambung tiada hentinya.
Siang malam alam ini dipenuhi suara-suara, seolah semua ciptaan itu memanjatkan doa dan puji tan kendat (tanpa henti) kepada Sang Hyang Widhi, Sang Maha Pencipta! Terdengar pula sayup sampai suara bocah berteriak riang, diselingi suara wanita yang menegur anak-anak itu, lalu suara kerbau menguak dan kambing mengembik.
Semua suara itu jelas menutupi suara lain yang tadi malan juga terdengar jelas, yaitu bunyi percik air terjun yang berada di lereng dekat puncak. Ada pula selingan anjing menggonggong. Suasana kehidupan warga dusun mulailah pada pagi itu. Sinar matahari pagi mulai mengusik halimun yang bermalas-malasan meninggalkan bumi yang mereka dekap semalam suntuk. Sinar matahari yang mulai mencipta pemandangan yang indah menarik dengan adanya perpaduan sinar dan bayang-bayang.
Dari hutan itu tampak hutan-hutan menghijau, berkelompok-kelompok, disana-sini diselingi adnya sawah ladang menguning. Atap-atap pondok dusun dari klaras, ada juga beberapa buah dari genteng, tersembul diantara pedusunan. Sebatang anak sungai nampak putih berkelak kelok, kadang lenyap tertutup tebing.
Dua orang anak dengan tubuh bagian atas telanjang mengiring tujuh ekor kerbau yang gemuk-gemuk menyusuri sepanjang anak sungai. Burung mulai beterbangan meninggalkan sarang untuk mulai dengan pekerjaan mereka hari itu, ialah mencari makan. Pemuda itu duduk bersila di atas batu, menghadap ke timur. Sejak tadi dia menikmati kesemuanya itu. Menikmati pendengaran yang begitu nyaman dan merdu di perasaan dan menikmati penglihatan yang begitu indah sejak matahari mulai terbit dia menghirup nafas dalam-dalam. Udara yang sejuk, bersih alami itu memasuki hidungnya, memenuhi paru-parunya sampai dada dan perutnya mengembang.
Dia bernafas sampai dada dan perutnya tidak tersisa ruangan yang tidak terisi hawa udara yang menghidupkan dan menyegarkan. Lalu dikeluarkan nafas perlahan-lahan. Terasa kehangatan yang makin memanas berputar disekitar bawah pusarnya dan membumbung keatas dan keseluruh tubuhnya. Diulangi pernafasan itu sampai beberapa kali dan terasa betapa nikmatnya bernafas seperti itu. Akhirnya dia bernafas biasa dan mencurahkan pandangan dan pendengarannya ke sekelilingnya.
"Segala puji bagi Sang Hyang Widhi yang mencipta segala yang terlihat dan terdengar. Puji syukur kepada Sang Maha Pencipta atas segala karunia yang diberikan kepad hamba, termasuk alat jasmani seperti mata dan telinga." Bisiknya dengan tangan dirangkap dalam bentuk sembah di depan dada, lalu diangkat kedepan dahi dan turun lagi di depan dada.
Dia menyadari sepenuhnya bahwa karunia yang perpenting baginya adalah semua anggota jasmaninya, karena betapapun indah dan mersunya semua yang tampak dan terdengar, semua itu tidak akan ada gunanya kalau mata dan telinganya tidak dapat melihat atau mendengar.
Pemuda itu berusia kurang lenih dua puluh satu tahun, bertubuh sedang saja. Wajahnya juga sederhana, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan, wajah pemuda biasa saja. Kulitnya agak gelap kecoklatan. Akan tetapi dalam kesederhanaan wajahnya terdapat sesuatu yang menarik yaitu matanya yang tajam lembut dan penuh pengertian dan mulutnya yang selalu mengembang kearah senyum penuh kesbaran. Pakaiannya juga amat sederhana seperti pakaian seorang petani. Dia tadi sejak pagi sekali sebelum matahari menyingsing, telah duduk di atas batu dan duduk bersila menghadap ke timur seperti sebuah arca.
Tak lama kemudian pemuda itu turun dari atas batu dan memutar tubuhnya. Walaupun tidak ada suara, langkah tak terdengar, namun dia tahu bahwa ada orang berjalan menghampirinya. Benar saja seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, melangkah tenang, bertumpu pada sebatang tongkat bambu kuning menghampirinya. Kakek itu tinggi kurus. Rambut, kumis dan jenggotnya yang panjang sudah bercampur banyak uban, memandang kepada pemuda yang telah menyambutnya dengan berdiri membungkuk hormat itu dengan senyum.
"Eyang guru, silakan duduk!" kata pemuda itu mempersilakan kakek itu duduk di atas batu datar yang tadi dipakai duduk bersila.
Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum melebar lalu matanya memandang ke arah pemandangan yang permai di bawah puncak sambil duduk di atas batu itu.
"Hemm, Nurseta, sejak kapan engkau berada di sini menikmati segala keindahan ini?" tanya kakek itu yang bukan lain adalah Empu Dewamurti.
Pemuda itu adalah Nurseta. Seperti telah diceritakan dibagian depan kisah ini, lima tahun yang lalu, Nurseta diajak Empu Dewamurti ke pegunungan Arjuna dan di atas puncak ini sang empu mengajarkan aji-aji kanuragan kepada Nurseta. Selama lima tahun Nurseta belajar dan telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun yang sakti mandraguna.
"Saya telah berada di sini sejak fajar tadi, eyang, sebelum matahari muncul di balik puncak di timur itu."
"Duduklah, Seta." Kata kakek itu melihat muridnya hanya berdiri saja dengan sikap hormat.
"Terima kasih eyang." Nurseta lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol di permukaan tanah di bawan dan depan batu yang menjadi tempat duduk gurunya.
"Seta, selama lima tahun engkau berada disini mempelajari ilmu dan kalaupun kadang turun, paling jauh hanya ke dusun di bawah itu. Dari puncak ini engkau dapat melihat daerah yang amat luas. Tentu engkau merasa rindu untuk menjelajahi tempat-tempat yang jauh itu, bergaul dengan manusia-manusia lain, menghadapi pengalaman-pengalaman baru, meningkatkan pengetahuanmu dan terutama sekali memanfaatkan ilmu yang telah kau pelajari selama lima tahun disini."
Diam-diam Nurseta merasa kagum. Gurunya ini selain sakti mandraguna juga bijaksana sekali dan seolah dapat membaca apa yang terkandung dalam hatinya. "Mengapa eyang berkata begitu?" pancingnya.
Empu Dewamurti tersenyum dan mengelus jenggotnya. "Nurseta, selama ini aku memperhatikan dan melihat kenyataan bahwa sudah lima hari berturut-turut ditiap pagi sebelum fajar menyingsing engkau berada di sini dan melamun. Karena itu aku dapat mengetahui bahwa engkau rindu untuk menjelajahi tempat-tempat di luar daerah ini. Aku menyetujui keinginanmu itu, Seta. Kukira sudah cukup engkau menimba ilmu di sini, sudah cukup sebagai bekal perjalananmu menjelajahi dunia ramai."
Nurseta menyembah. "Sesungguhnya benar sekali apa yang paduka katakan itu, eyang. Akan tetapi ada dua hal yang membuat saya merasa ragu dan berat hati untuk memenuhi keinginan hati merantau. Pertama, saya mendapat kasih sayang dan bimbingan dari paduka selama lima tahun di sini. Kedua, saya mendapatkan ketentraman batin di sini dan saya khawatir kehilangan ketentraman itu kalau saya berada di tempat ramai”.
"Heh-heh-heh-heh!" kakek itu tertawa. “Kita masing-masing harus berani meninggalkan dan ditinggalkan, harus berani seorang diri. Bukankah ketika lahir kitapun sendirian dan nanti juga meninggalkan kehidupan dunia ini sendirian pula? Tidak ada pertemuan yang tidak diakhiri dengan perpisahan. Akupun akan segera pergi dari sini dan tidak akan kembali lagi. Karena itu jangan pikirkan tentang diriku. Adapun tentang ketenteraman batin, bukan tempat dan keadaan yang menentukan, melainkan keadaan batinmu sendiri. Kalau batinmu tenteram, dimanapun engkau akan merasa tenteram. Sebaliknya kalau batinmu kacau, biar tinggal dimanapun engkau akan merasa kacau."
"Eyang selalu mengatakan bahwa bahaya terbesar dalam kehidupan ini datang dari dalam, dari diri sendiri. Terkadang saya masih bingung memikirkan hal ini, eyang. Sudikah kiranya eyang memberi penjelasan?"
"Musuh terbesar adalah peserta atau pembantu kita sendiri yang berada dalam hati akal pikiran, yaitu nafsu-nafsu kita. Hidup kita menjadi berbahagia lahir dan batin kalau kita dapat menjaga agar nafsu-nafsu kita tetap menjadi pelayan kita, untuk memenuhi kebutuhan hidup kita secara lahiriah. Akan tetapi sekali kita melangkah dan nafsu-nafsu itu menguasai kita, memperbudak kita maka kehidupan kita lahir batin akan hancur. Nafsu menimbulkan keinginan-keinginan. Keinginan adalah angan-angan, bukan kenyataan. Nafsu mendorong kita untuk menginginkan segala sesuatu yang tidak ada pada kita, menginginkan segala sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan dari pada apa yang ada pada kita. Dengan demikian keinginan justeru meniadakan hidup yang sudah ada. Mengejar keinginan berarti mengejar bayangan hampa, bagaikan orang mengejar bayangan bulan yang indah di dalam air. Salah-salah kita dapat tenggelam dan hanyut. Mengejar kesenangan berarti membuka pintu menuju duka. Kalau tidak tercapai kita kecewa dan berduka, kalau tercapai apa yang kita kejar kita akan kecewa pula karena disana sudah ada bayangan lain lagi yang kita kejar karena kita anggap lebih menyenangkan dari pada apa yang kita dapat."
"Akan tetapi eyang guru, kalau manusia hidup tanpa keinginan, bukankan itu berarti sama dengan mati?"
Empu Dewamurti tersenyum. "Sudah kukatakan bahwa kita tidak dapat hidup tanpa nafsu. Kita mempergunakan nafsu sebagai pelayan, sebagai abdi yang membantu kita untuk mendapatkan segala sesuatu yang kita butuhkan dalam kehidupan di dunia ini. Kita bahkan wajib berusaha untuk hidup sejahtera, mencukupi semua kebutuhan. Akan tetapi kalau kesadaran jiwa yang mengendalikan nafsu, maka usaha untuk dapat hidup itu selalu berpijak di atas jalan kebenaran. Sebaliknya kalau nafsu yang menguasai kita, maka keinginan mendapatkan segala sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan itu akan mendorong kita melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, dapat membuat kita berbuat jahat demi memperoleh kesenangan yang kita kejar dan inginkan."
"Mohon ampun kalau saya bertanya terus, bukan hendak membantah, melainkan hendak menyampaikan uneg-uneg agar hati saya tidak merasa penasaran, eyang. Kalau segala keinginan datang dari nafsu, bagaimana dengan keinginan untuk berbuat kebaikan? Keinginan untuk menolong orang lain?"
Kakek itu mengelus jenggotnya. "Maksudmu, keinginan orang untuk menjadi seorang yang baik?"
"Benar Eyang..."
"Angger Nurseta, memang julig (cerdik) dan licik sekali nafsu daya rendah yang kadang kita menyebutnya sebagai setan itu. Terkadang dia bisa mengubah dirinya menjadi dewa atau dewi dengan suara lemah lembut dan bijaksana, namun semua itu merupakan umpan untuk memancing manusia sehingga dapat dikelabui dan dikuasainya. Sebetulnya tidak ada yang disebut keinginan baik itu, semua keinginan dating dari nafsu daya rendah dan nafsu selalu menginginkan sesuatu yang menyenangkan diri sendiri. Kalau seorang ingin melakukan kebaikan, pada hakekatnya tersembunyi keinginan untuk menguntungkan dan menyenangkan diri pribadi. Di situ tersembunyi pamrih untuk mendapatkan sesuatu."
"Maaf eyang. Bukankah pamrih itu ada pula yang baik? Misalnya orang berbuat kebaikan dengan pamrih agar mendapat berkah dari Sang Hyang Widhi, agar menanam karma baik, agar kelak mendapat tempat yang baik di sorgaloka setelah meninggalkan dunia ini."
"Nah, camkanlah itu. Buka mata hatimu dengan waspada dan lihatlah kenyataan yang terkandung dalam pertanyaanmu sendiri tadi. Perbuatan itu, betapapun baik sifatnya, kalau didorong keinginan sendiri, menimbulkan pamrih agar begini agar begitu, yang pada hakekatnya agar mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri, perbuatan seperti itu bukanlah kebaikan yang sejati, melainkan kebaikan semu yang munafik. Selidiki pamrihnya seperti kau kemukakan tadi. Agar mendapat berkah dari Sang Hyang Widhi. Siapa yang mendapat berkah? AKU. Siapa yang untung dan senang akibat perbuatan baik tersebut? AKU. Tadi perbuatan yang katanya baik itu dilakukan dengan satu tujuan, yaitu menguntungkan dan menyenangkan si AKU. Agar menanam karma baik, juga AKU yang akhirnya senang dan untung. Lalu, agar masuk sorgaloka. Berarti juga agar AKU yang senang karena sorgaloka dianggap sebagai tempat yang menyenangkan, bukan? Perbuatan baik yang didorong keinginan itu bukan lain hanya merupakan penyogokan atau penyuapan saja, seperti modal dalam perdagangan agar kelak mendapat keuntungan bagi diri sendiri. Dapatkah engkau melihat kenyataan itu, Nurseta?"
Pemuda itu tertegun. Betapa anehnya,akan tetapi betapa jelasnya menelanjangi kenyataan yang terselubung. Semua Weda (Kitab Suci), semua guru agama dan kebatinan mengajarkan agar manusia berbuat baik. Ajaran-ajaran ini tentu saja menimbulkan keinginan manusia untuk berbuat baik, apalagi di samping ajaran untuk berbuat baik itu selalu disertai janji-janji muluk terutama janji akan "KEADAAN YANG LEBIH BAIK" setelah manusia meninggalkan dunia ini. Apakah setan yang licik menyusup dan justeru menggunakan ajaran dan janji pahala ini untuk menyeret manusia ke dalam kemunafikan? Berbuat baik hanya karena menginginkan keuntungan dan kesenangan bagi diri sendiri?
"Aduh eyang! Kalau begitu, apakah manusia di dunia ini tidak dapat berbuat baik?"
Kakek itu merenung sejenak sambil memejamkan kedua matanya. Kemudian dia berbicara dengan lembut sekali, hampir tidak terdengar, seperti berbisik. "Yang benar dan baik secara mutlak dan sejati hanyalah Sang Hyang Widhi. Yang dilakukan manusia barulah dikatakan benar dan baik kalau itu merupakan kehendak Sang Hyang Widhi. Manusia hanya menjadi pelaksana, menjadi alatnya. Kalau sinar Sang Hyang Maha Asih menerangi jiwa nurani maka hati, akal, pikiran akan terbimbing dan lahirlah perbuatan tanpa pamrih, tanpa dinilai baik atau buruk, melainkan dituntun sebagai alat Sang Hyang Widhi. Batin akan dipenuhi cinta kasih dan perbuatan apapun juga macamnya, kalau didasari cinta kasih yang merupakan sinar Sang Hyang Maha Asih, pasti benar dan bik, karena bukan timbul dari dorongan nafsu yang membonceng dari akal pikiran. Murni dan bersih dari keinginan nafsu. Berbahagialah manusia yang menjadi alatnya selama hidupnya."
Nurseta menyembah. "Sebuah pertanyaan lagi, eyang guru. Bagaimana caranya agar seorang dapat disinari kasih murni dari Sang Hyang Maha Asih? Agar dapat dijadikan alatnya?"
"Heh-heh-heh, kembali pertanyaan itu timbul dari bujukan nafsu, angger Nurseta. Kembali timbul keinginan agar begini agar begitu! Cara itu menunjukkan adanya keinginan, bukan? Tidak ada caranya. Hanya berserah diri, membuka jiwa kita dari kungkungan nafsu, mendekatkan diri dari Sang Hyang Widhi dengan berdoa setiap saat tanpa henti. Kalau nafsu yang mengaku-aku sudah tidak bekerja, maka kekuasaan Sang Hyang Widhi yang akan bekerja dalam diri kita. Ingat, hanya Dia yang jkuasa, hanya Dia yang memiliki . kita tidak berkuasa, kita hanya mempunyai secara lahiriah akan tetapi tidak memiliki. Kita hanya berupaya dengan dasar penyerahan diri terhadap keputusanNya. Nah cukuplah, angger. Tidak perlu bertanya lagi. Engkau akan mengerti sendiri kelak. Dengan kepasrahanmu, penyerahanmu, Dia akan membimbing, akan memberi petunjuk, karena dialah gurumu yang sejati, Dialah pemimpinmu yang sejati. Nah sekarang berkemaslah karena hari ini juga engkau harus turun gunung melaksanakan tugasmu sebagai seorang kesatria."
"Duh eyang ….."
"Heh-heh-heh-heh, jangan cengeng, Nurseta!" kata kakek itu sambil menatap wajah muridnya yang tampak bersedih.
"Eyang tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, hidup sebatang kara, demikian pula saya. Apakah kita berdua yang hidup sebatang kara ini tidak dapat hidup bersama?"
"Siapa bilang kita hidup sebatang kara? Tengoklah, seluruh manusia di dunia ini, bukanlah mereka semua itu juga senasib sependeritaan denganmu? Bukankah mereka-mereka itupun saudara-saudaramu? Hayo cepat berkemas, tidak pantas muridku cengeng seperti perempuan."
"Baik eyang." Nurseta lalu bangkit dan pergi ke pondok yang berada tidak jauh dari situ.
Setelah Nurseta pergi, Empu Dewamurti tersenyum seorang diri, lalu menggelengkan kepalanya perlahan-lahan dan menghela nafas panjang. Dia memejamkan kedua matanya, merangkap kedua tangan menjadi sembah di depan dadanya dan mulutnya berbisik. "Duh gusti, Sang Hyang Widhi Wasa, segala kehendak paduka terjadilah. Apapun yang menimpa diri hamba akan hamba terima dengan rela karena hamba tahu bahwa semua itu paduka kehendaki dan kehendak paduka adalah benar dan baik bagi hamba."
Tak lama kemudian Nurseta telah datang lagi di tempat itu, membawa pakaiannya dalam buntalan kain hijau. Dia berlutut dan menyembah kepada gurunya. "Eyang guru, saya sudah siap."
Empu Dewamurti membuka matanya dan memandang kepada Nurseta yang menggendong buntalan pakaian dan berlutut menyembah kepadanya itu. "Engkau tidak lupa membawa Keris Pusaka Megatantra?" tanyanya lembut.
Nurseta meraba gagang keris itu yang terselip di pinggangnya. "Tidak eyang."
"Sekarang dengarkan pesanku terakhir, Nurseta. Keris Pusaka Megatantra itu dahulu merupakan pusaka Kerajaan Ishana, kelanjutan mataram yang didirikan oleh Empu Sindok dan keris pusaka itu berada di tangan keturunan raja-raja Mataram. Akan tetapi keris pusaka itu pada suatu hari lenyap dan sejak ratusan tahun lalu tidak pernah dapat ditemukan, juga tidak pernah diketahui siapa pencurinya. Akhirnya secara tidak terduga-duga, keris itu engkau temukan. Ditemukannya keris pusaka itu dekat pantai laut selatan menunjukkan bahwa dulu pencurinya tentu seorang diantara para siluman, yaitu tokoh-tokoh sesat yang dikenal dengan Siluman Laut Kidul. Nah, sekarang tugas pertamamu adalah mengembalikan keris pusaka itu kepada keturunan para raja Mataram yaitu Sang Prabu Erlangga."
"Baik eyang. Akan saya lakukan perintah eyang."
"Pesanku yang kedua. Aku masih ingat akan ceritamu dulu bahwa ayah ibumu pergi meninggalkanmu tanpa pamit. Hal itu pasti ada rahasianya. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menyelidiki perginya kedua orang tuamu, mencari mereka dan menemukan mereka kalau masih hidup dan menemukan mereka kalau sudah mati."
"Baik eyang. Saya tidak akan melupakan perintah eyang ini dan akan saya cari mereka sampai dapat saya temukan."
"Pesanku ketiga. Melihat keadaanya sekarang, walaupun banyak raja muda yang menakluk kepada Sang Prabu Erlangga tanpa perang, namun masih banyak kerajaan yang memusuhi Kahuripan. Sang prabu Erlangga adalah seorang raja bijaksana, karena itu engkau sebagai kawulannya harus membelanya. Jadilah kesatria yang bukan saja membela kebenaran dan keadilan, namun juga menjadi pahlawan yang membela nusa dan bangsa."
"Saya mengerti Eyang. Saya akan selalu mentaati semua petunjuk dan nasehat eyang yang pernah saya terima."
"Bagus kalau begitu," kakek itu mengambil sebuah kantung kain kuning dari balik jubahnya. "Sudah lama aku menyimpan harta ini. Karena aku sendiri tidak membutuhkannya, maka kuberikan kepadamu untuk bekal dalam perantauanmu. Nah, sekarang berangkatlah."
Nurseta menerima kantung kain yang berisi potongan emas itu. Dia merasa terharu akan tetapi sekali ini dia menguatkan perasaannya dan tidak memperlihatkan keharuannya agar tidak disebut cengeng oleh eyang gurunya.
"Terimakasih eyang. Saya mohon pamit." Nurseta berlutut menyembah.
Kakek itu mengibaskan tangannya. "Pergilah dan selalu waspadalah!"
"Selamat tinggal eyang. Harap eyang menjaga diri baik-baik. Saya … saya pergi eyang."
"Pergilah!" kata kakek itu dan dia sudah memejamkan matanya kembali, bersikap seolah tidak mengacuhkan pemuda itu lagi.
Nurseta menyembah lagi lalu dia bangkit dan berjalan pergi menuruni puncak gunung Arjuna itu. Setelah pemuda itu pergi barulah Empu Dewamurti membuka matanya dan memandang ke arah bayangan muridnya yang menuruni lereng bawah puncak. Dia menghela nafas panjang dan berbisik, "Semoga Sang Hyang Widhi selalu membimbingmu, Nurseta!"
Setelah bayangan muridnya itu lenyap, Empu Dewamurti masih termenung duduk diatas batu besar itu. Dia sedang mengamati diri sendiri, mengamati perasaan hatinya, mengamati ulah pikirannya dan dengan waspada ia melihat bagaimana nafsu daya rendah bekerja. Mula-mula hati akal pikiran diusiknya, sehingga pikirannya membayangkan betapa dia ditinggal sendiri oleh murid yang dikasihinya, betapa dia kini seorang diri di tempat sunyi itu, betapa dia kehilangan, kesepian. Muncullah dari pemikiran ini rasa iba diri, meremas-remas hati merasakan betapa dia merupakan seorang tua yang terlantar, tiada yang memperhatikan, tiada yang melayani lagi, tiada yang menghibur. Dari rasa iba muncullah kesedihan. Kakek itu tersenyum. Yang merasa iba diri lalu menjadi sedih itu bukan aku, melainkan nafsu dalam hati akal pikiran yang mengaku-aku.
Tiba-tiba kakek yang sudah waspada selalu itu tubuhnya bergerak ke atas dalam keadaan duduk bersila dan Nampak berkelebat menghantam batu yang didudukinya tadi.
"Darrr …!!" api pijar disusul asap mengepul dan batu besar yang tadi diduduki Empu Dewamurti pecah berkeping-keping!
Tubuh Empu Dewamurti kini melayang turun dan hinggap di atas tanah dalam keadaan berdiri. Lima bayangan orang berkelebat. Dan didepannya telah berdiri seorang wanita bertubuh tinggi besar dan gendut seperti seorang raksesi (raksasa wanita). Pakaiannya mewah sekali, serba gemerlapan. Dan ia memakai perhiasan terbuat dari emas dan batu permata. Usianya sekitar lima puluh tahun namun ia amat pesolek, bedaknya tebal seperti kapur, pipi, bibir dan kuku jari tangan serta kakinya memakai pacar (daun pemerah), rambutnya berkilau oleh minyak, disisir dan digelung rapi. Wajahnya serba bulat, matanya, hidungnya, mulutnya, pipinya, dagunya semuanya serba bulat dan bundar. Akan tetapi kalau ia tersenyum, tampak gigi taringnya panjang.
Disampingnya, di kanan kiri, berdiri empat orang laki-laki yang berusia sekitar enam puluh tahun atau kurang sedikit. Seorang diantara mereka adalah laki-laki tinggi besar brewok berkulit hitam, berpakaian mewah dan sikapnya angkuh. Sekali pandang saja Empu Dewamurti mengenal dua orang ini. Si wanita raseksi adalah Mayang Gupita, seorang yang dianggap ratu oleh segolongan orang liar yang tinggal di pantai laut kidul. Mayang Gupita ini adalah keturunan terakhir dari mereka yang disebut raja-raja siluman dari pantai laut kidul. Wanita ini terkenal bukan saja karena kesaktiannya, melainkan juga karena kekejamannya dan kabarnya sebulan sekali dia makan daging bayi!
Adapun laki-laki tinggi besar itu bukan lain adalah Resi Bajrasakti, datuk kerajaan Wengker yang lima tahun lalu pernah bertanding dengan Empu Dewmurti di pantai pasir putih dekat Dusun Karang Tirta.
Tiga orang yang lain adalah laki-laki berusia lima puluh sampai enam puluh tahun. Mereka bertiga ini mengenakan pakaian yang lain potongannya, dengan kain ikat kepala yang meruncing ke atas. Melihat pakaian mereka, Empu Dewamurti mengenal mereka sebagai orang-orang Wurawari yang agaknya merupakan bangsawan-bangsawan karena pakaian mereka juga serba mewah. Seorang bertubuh tinggi kurus, orang kedua bertubuh pendek gendut, dan orang ketiga berkepala gundul seperti seorang Bhiksu (Pendeta Agama Budha). Diam-diam mengertilah Empu dewamurti bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang sakti mandraguna, orang-orang yang berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang dari tiga kerajaan kecil yang selalu memusuhi keturunan Mataram sejak dulu.
"Jagat Dewa Bhatara! Kiranya Sang Ratu Mayang Gupita dari kerajaan siluman pantai kidul dan Resi dari Kerajaan Wengker yang datang. Dan andika bertiga tentu dari Kerajaan Wurawari, siapakah gerangan andika?"
"Aku Kalamuka!" kata yang tinggi kurus bermuka tikus, berusia enam puluh tahun.
"Aku Kalamanik!" kata yang pendek gendut berusia sekitar lima puluh lima tahun.
"Dan aku Kalateja!" kata yang berkepala gundul berusia lima puluh tahun. "kami bertiga adalah para senopati Kerajaan Wurawari”.
Empu Dewamurti tahu benar bahwa mereka inilah yang mendatangkan perasaan dalam hatinya bahwa saat akhir hidupnya telah tiba. Karena itu dia menyuruh muridnya turun gunung. Namun sikap sang empu ini masih tenang saja dan dia berkata dengan suara mengandung teguran.
"Andika berlima dari tiga kerajaan datang menyerang secara pengecut, sebetulnya apakah maksud kedatangan kalian ke sini?"
"Bojleng-bojleng iblis laknat! Empu Dewamurti, tidak perlu berpura-pura bertanya lagi. Diantara andika masih ada perhitungan yang belum lunas."
"Dan Andika Ratu Mayang Gupita, ada keperluan apakah andika dengan aku sehingga jauh-jauh andika meninggalkan kerajaanmu dan datang ke puncak Arjuna ini?"
"Babo-babo, Empu Dewamurti!" kata raseksi itu dengan suara yang besar dan parau seperti suara seorang pria. "Andika akan kubiarkan hidup asalkan engkau suka menyerahkan Keris Pusaka Megatantra kepadaku, heh-hehheh-heh!"
"Ah, begitukah? Resi Bajrasakti datang untuk menebus kekalahannya lima tahun yang lalu dan Ratu Mayang Gupita datang untuk merampas Keris Pusaka Megatantra. Lalu andika bertiga dari Wurawari datang kesini dengan maksud apakah?"
"Kami bertiga mewakili Nyi Durgakumala untuk minta Keris Megatantra darimu, Empu Dewamurti!" kata Kalamuka yang agaknya sebagai saudara tertua memimpin tiga sekawan itu.
"Hemmm, begitukah? Jadi kalian berlima datang untuk mengeroyok aku seorang diri? Benar-benar kalian berlima adalah orang-orang gagah perkasa!" Empu Dewamurti mengejek sambil tersenyum tenang walaupun dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya maut.
"Hik-hik-hik, Empu Dewamurti, manusia sombong! Apakah kau kira aku takut kepadamu? Lihat serangan mautku yang akan menghancurkan tubuhmu. Haaaahhhh!!" Raseksi wanita yang tubuhnya satu setengah tinggi dari besar tubuh Resi Bajrasakti itu mendorong kedua tangannya ke arah Empu Dewamurti. Sebongkah bola api meluncur keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah Empu Dewamurti.
Melihat ini Sang Empu maklum bahwa penyerang pertama tadi yang menghancurkan batu yang didudukinya, tentu dilakukan oleh ratu kerajaan siluman ini. Dia maklum betapa dahsyatnya serangan itu, maka dia tidak berani menyambutnya. Dia menggunakan kecepatan gerakannya mengelak sehingga bola api itu luput dan menghantam sebatang pohon cemara.
"Darrr ... krakkk!" pohon itu tumbang lalu roboh dan asap mengepul tebal.
Maklum bahwa lawannya amat sakti, Empu Dewamurti tentu saja tidak membiarkan dirinya diserang tanpa melawan. Dia lalu berseru nyaring dan tubuhnya melompat dan menerjang ke arah raksasa perempuan itu. Dia mengerahkan aji bayusakti yang membuat tubuhnya amat ringan dan dapat bergerak seperti angin dan kaki tangannya bergerak memainkan ilmu silat Baka Denta (Bangau Putih).Tubuh kakek itu berkelebat dan berubah menjadi bayang-bayang putih seperti seekor burung bangau menyambar-nyambar.
Kedua tangannya dalam menyerang membentuk patuk burung dengan lengan menjadi leher burung bangau yang panjang. Gerakannya cepat dan aneh sehingga Ratu Mayang Gupita menjadi terkejut sekali. Akan tetapi Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul ini memang sakti mandraguna. Terutama ia memiliki kekuatan sihir yang kuat karena gurunya bukan manusia melainkan siluman atau sebangsa lelembut. Ia mengeluarkan pekik panjang melengking yang menggetarkan seluruh puncak itu dan tiba-tiba tubuh yang hampir dua kali besar tubuh Empu Dewamurti itu berpusing cepat seperti gasing!
Menghadapi ilmu aneh dari ratu kerajaan siluman ini Empu Dewamurti menjadi terkejut. Biarpun gerakannya amat cepat, Namun dia tidak mampu menyerang tubuh yang berpusing seperti gasing itu. Setiap kali dia mengirim tamparan, pukulan atau tendangan, selalu tertangkis tubuh yang berpusing itu. Dan pusingan itu kadang mencuat tangan yang mencengkeram atau menampar, terkadang kaki yang panjang besar mencuat dengan tendangan kilat yang amat dahsyat. Setelah kedua orang sakti itu bertanding beberapa lamanya, di tonton oleh empat orang datuk yang lain, akhirnya perlahan-lahan Empu Dewamurti mulai terdesak.
Tubuh raseksi yang berpusing itu gerakannya semakin cepat sehingga tubuhnya lenyap berubah menjadi gulungan bayang-bayang yang selain mengeluarkan suara menderu, juga diselingi suara tawa melengking yang menggetarkan jantung penuh dengan pengaruh dan tenaga sihir dahsyat.
Empu Dewamurti maklum bahwa kalau dilanjutkan dia tentu akan roboh. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan terdengar suaranya mengelegar seperti Guntur sehingga bumi di mana mereka berpijak tergetar dan pohon-pohon terguncang seperti di landa angin ribut.
"Aji Triwikrama!" Kakinya dibanting ke tanah sambil melangkah tiga kali dan Ratu Mayang Gupita mengeluarkan seruan kaget melihat betapa kini tubuh Empu Dewamurti berubah menjadi besar sekali, jauh lebih besar daripada tubuhnya sendiri, seperti sebatang pohon beringin yang besar dan lebat!
Akan tetapi raseksi itu adalah seorang yang selain sakti mandraguna juga sudah memiliki banyak sekali pengalaman bertanding, maka ia tidak menjadi gentar. Maka pada saat Empu Dewamurti yang telah menjadi raksasa sebesar pohon beringin itu mendorongkan telapak tangan kearahnya, ia berani mengerahkan tenaga dan menyambut dengan dorongan tangannya yang mengeluarkan bola api.
"Blarrr .....!"
Hebat sekali pertemuan dua tenaga sakti itu. Bola api itu meledak dan mengeluarkan asap, dan tubuh ratu kerajaan siluman itu terdorong mundur empat langkah. Pada saat itu, Empu Dewamurti kembali menyerangnya dengan dorongan kedua telapak tangannya yang bertenaga dahsyat. Ratu Mayang Gupita juga sudah siap menyambut, la merasa girang sekali ketika melihat betapa Resi Bajrasakti dan tiga orang datuk dari kerajaan Wurawari itu serentak maju pula menyambut serangan Empu Dewamurti dengan dorongan tangan mereka yang disertai pengerahan tenaga sakti.
"Syuuuuttt ..... darrrrr .....!"
Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tenaga lima orang itu yang dipersatukan menyambut serangan Empu Dewamurti. Tubuh setinggi pohon beringin itu terlempar jauh ke belakang dan berubah menjadi seperti biasa kembali.
Ketika terbanting ke atas tanah, darah mengalir dari mata, telinga, hidung dan mulut Empu Dewamurti. Akan tetapi dalam keadaan separah itu, sang empu masih sanggup mengeluarkan Aji Sirnasarira dan tiba-tiba saja tubuhnya menghilang! Lima orang lawannya yang tadinya merasa girang melihat mereka dapat merobohkan sang empu yang amat sakti itu menjadi terkejut dan bingung karena tiba-tiba tubuh lawan yang mereka robohkan itu lenyap. Mereka menjadi gentar, takut kalau-kalau dalam keadaan tidak tampak Empu Dewamurti menyerang mereka dengan pukulan mematikan.
Maka, tanpa dikomando lagi lima orang itu lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu. Karena tidak dapat melihat lawan, lima orang itu menjadi ketakutan seolah merasa diri mereka dikejar, maka mereka mengerahkan tenaga berlari secepat mungkin menuruni Gunung Arjuna. Ketika mereka tiba di lereng bawah dekat kaki gunung, mereka yang berlari cepat dengan ketakutan itu tidak melihat Nurseta yang bersembunyi di balik sebatang pohon jati yang besar.
Pemuda itu secara kebetulan tadi menengok memandang ke belakang, ke arah puncak di mana dia meninggalkan gurunya. Pada saat itulah dia melihat lima bayangan orang yang berlari secepat terbang, menuruni puncak. Dari cara mereka berlari seperti terbang, tahulah Nurseta bahwa mereka tentu orang-orang yang memiliki aji kanuragan yang tinggi tingkatnya. Timbul keheranan dan kecurigaan dalam hatinya, maka dia lalu menyelinap dibalik batang pohon agar mereka tidak dapat melihatnya.
Ketika lima orang itu lewat dekat, dia mengenal seorang di antara mereka sebagai Resi Bajrasakti yang pada lima tahun yang lalu bersama Nyi Dewi Durgakumala pernah bertanding melawan gurunya. Hati Nurseta merasa tidak enak. Melihat adanya Resi Bajrasakti di antara lima orang itu, timbul kecurigaannya. Apa lagi empat orang yang lain itu juga memiliki kesaktian, hal ini tampak dari cara mereka berlari. Walaupun Nyi Dewi Durgakumala tidak tampak di antara mereka, akan tetapi seorang di antara mereka adalah seorang wanita bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang menyeramkan.
Hampir dapat dipastikan bahwa tentu lima orang itu tidak bermaksud baik mendaki puncak itu. Jangan-jangan mereka menyerbu pondok gurunya. Membayangkan hal ini, Nurseta lalu cepat berlari mendaki gunung itu lagi menuju ke puncak di mana tadi dia meninggalkan gurunya. Dengan mempergunakan Aji Bayu Sakti, tubuhnya meluncur seperti angin cepatnya dan sebentar saja dia sudah tiba di depan pondok.
"Eyang guru .....!" serunya lirih dan cepat dia membuka pintu pondok dan masuk. Akan tetapi, dia tidak dapat menemukan gurunya dalam pondok. Nurseta melompat keluar dan berlari cepat menuju ke tempat di mana tadi dia meninggalkan gurunya yang duduk di atas batu besar. Tak lama kemudian pemuda itu berdiri terbelalak dengan muka pucat memandang ke arah batu yang biasa menjadi tempat dia termenung dan bersamadhi itu sudah hancur berkeping-keping dan tidak tampak gurunya berada di situ...