CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO
KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 03
Tiba-tiba dia mendengar gerakan orang. Cepat dia memutar tubuhnya dan dia melihat Empu Dewamurti berdiri dan terhuyung-huyung agaknya hendak melangkah namun sukar kakek itu mempertahankan dirinya yang hendak roboh.
"Eyang guru .....!" Nurseta melompat dan cepat merangkul dan alangkah kagetnya melihat darah mengalir dari mata, hidung, mulut dan telinga gurunya. Ketika dia merangkul, Empu Dewamurti terkulai pingsan dalam pelukannya.
"Eyang .....!" Nurseta lalu memondong tubuh gurunya dan dibawanya tubuh yang kurus itu berlari cepat ke pondok. Setelah merebahkan tubuh gurunya ke atas amben (dipan), Nurseta memeriksa keadaan Empu Dewamurti dan alangkah kagetnya mendapat kenyataan betapa kakek itu menderita luka dalam yang amat parah dan hebat. Dia hanya dapat mengurut jalan darah di tubuh gurunya untuk memperlancar jalan darahnya yang kacau. Akhirnya, kakek itu menghela napas dan membuka matanya. Dia tersenyum ketika melihat muridnya.
"Nurseta ....., kau ..... kau belum pergi .....?" katanya lemah.
"Saya sudah tiba di kaki gunung ketika saya melihat lima orang itu melarikan diri. Di antara mereka terdapat Rasi Bajrasakti. Mereka yang melukai paduka eyang?"
Kakek itu tersenyum. "Syukur engkau sudah pergi ketika mereka datang... mereka itu dari Kerajaan Wengker... Kerajaan Wurawiri... Kerajaan Siluman Laut Kidul... musuh-musuh Kahuripan... maka mereka... hendak merampas Megatantra.... berhati-hatilah... men..... menjaganya...." Kakek itu memejamkan kedua matanya, terkulai dan menghembuskan napas terakhir dalam keadaan tersenyum penuh kepasrahan.
"Eyang .....!" Nurseta menyembah lalu berbisik sambil mendekatkan mulutnya di telinga kakek itu. "Selamat jalan eyang, semoga Sang Hyang Widhi selalu membimbing paduka."
Nurseta duduk diam, bersila di atas lantai untuk berdoa, memujikan agar sang empu dapat memasuki kedamaian abadi. Beberapa kali nafsu daya rendah mengganggu hati dan pikirannya untuk membayangkan kematian eyang gurunya sehingga perasaan dendam sakit hati dapat membakar dan menguasai hatinya. Nurseta maklum akan bahayanya pengaruh nafsu daya rendah ini. Eyang gurunya selalu memperingatkan agar dia jangan sampai dikuasai nafsu-nafsunya sendiri.
Terutama sekali nafsu amarah yang menimbulkan dendam akan mendorongnya kepada kekejaman dan pelampiasan nafsu dendam. Dia memang harus menentang orang-orang jahat, akan tetapi bukan didasari dendam kebencian. Menghadapi dorongan nafsu daya rendah ini, dia tidak melawan, tidak menekan, melainkan membiarkan dirinya lentur dan kuat sehingga serangan nafsu itu hanya lewat dan lalu begitu saja, hilang dengan sendirinya.
Inilah Aji Sirnasarira (Lenyap Diri) yang ditujukan ke dalam. Aji ini membuat perasaan yang bersumber dari si aku menghilang. Kalau tidak ada lagi si-aku, dengan sendirinya tidak ada rasa benci, dendam dan sebagainya lagi. Semua itu hanya ulah nafsu. Aji Sirnasarira ini kalau ditujukan keluar, dapat berpengaruh seperti aji palimutan yang membuat dia dapat menghilang atau tidak tampak oleh mata orang lain.
Setelah matahari naik tinggi, Nurseta lalu menumpuk kayu-kayu kering di sekeliling tempat tidur gurunya, kemudian dia membakar kayu yang ditumpuk-tumpuk itu. Setelah kayu terbakar dan berkobar besar, dia keluar dari dalam pondok. Pondok mulai terbakar. Perbuatan ini dia lakukan sesuai dengan pesan eyang gurunya yang pernah mengatakan bahwa kalau dia mati, dia ingin agar jenazahnya diperabukan.
"Setelah badan ini menjadi abu, taburkan dari puncak agar tersebar di seluruh permukaan gunung dan menjadi pupuk bagi kesuburan sawah ladang." demikian pesan eyang gurunya. Kini dia teringat akan sikap dan kata-kata gurunya pagi tadi. Gurunya secara mendadak menyuruhnya pergi meninggalkan puncak, membawa pergi Keris Megatantra, menyerahkan seluruh emas yang dimilikinya kepadanya! Seolah orang tua itu sudah tahu atau dapat merasakan bahwa saat akhir hidupnya akan tiba pada hari itu.
Setelah pondok kayu sederhana itu terbakar habis, Nurseta lalu mencari di antara puing dan menemukan abu jenazah Empu Dewamurti di antara abu kayu pondok. Abu jenazah itu keputih-putihan, berbeda dengan abu dan arang kayu. Dia mengumpulkan abu jenazah itu, membungkusnya dalam sehelai kain ikat kepala yang lebar, kemudian membawanya ke puncak, ke tempat di mana dia dapat memandang seluruh permukaan lereng vang di bawah puncak itu. Sawah ladang terbentang luas.
Ada rasa haru dalam hatinya. Gurunya adalah seorang manusia yang bijaksana dan budiman. Bahkan setelah mati pun dia ingin agar jasmaninya bermanfaat bagi manusia, agar abu jenazahnya dapat menjadi pupuk dan menyuburkan sawah ladang! Nurseta lalu mulai menaburkan abu itu sedikit demi sedikit keatas ketika angin bertiup. Abu itu terbawa angin melayang-layang ke bawah puncak, seolah menghujani sawah ladang yang berada di sana.
Setelah abu jenazah itu disebarkan semua, Nurseta lalu menuruni puncak itu dan dia mempergunakan ilmunya Bayu Sakti sehingga tubuhnya seolah melayang layang turun dari puncak Arjuna dengan cepat sekali.
Pada suatu sore Nurseta berjalan melalui sebuah hutan cemara dan dia sedang mencari kalau-kalau terdapat sebuah dusun di sekitar daerah itu agar dia dapat melewatkan malam dengan menumpang di rumah sebuah keluarga petani, atau setidaknya dia dapat menemukan sebuah gubuk di tengah sawah ladang.
Setelah keluar dari hutan cemara yang tidak berapa besar itu, dari jauh dia sudah mendengar suara gemercik air, tanda bahwa tak jauh dari situ terdapat sebatang anak sungai yang airnya bening mengalir di antara batu-batu atau sebuah grojogan (air terjun) yang airnya menimpa batu-batu mendatangkan suasana sejuk dan nyaman. Nurseta merasa gembira karena dia memang merasa gerah dan dapat membayangkan betapa akan sejuk dan segarnya mandi di air yang jernih. Dia mempercepat langkahnya menuju ke arah suara air gemercik. Tiba-tiba dia menahan langkahnya. Terdengar suara beberapa orang wanita bercakap-cakap, bersenda gurau dan tertawa cekikikan di antara gemercik suara air itu. Kalau ada wanita-wanita di situ, berarti tempat itu pasti dekat dengan sebuah dusun!
Hatinya merasa lega dan girang. Dia akan menghampiri para wanita itu dan menyapa mereka. Akan tetapi ketika dia'sudah berada dekat dengan dari mana datangnya suara itu, dia tertegun dan mengintai dari balik batu besar. Gemercik air itu memang berasal dari sebuah grojogan kecil dan dibawahnya terdapat sebatang anak sungai yang airnya jernih sekali, mengalir di antara batu-batu bersih. Yang membuat dia tersipu adalah ketika dia melihat tiga orang gadis bertapih pinjung (kain penutup tubuh dari dada ke bawah) yang basah kuyup sehingga mencetak bentuk tubuh mereka yang indah dan tampak kulit pundak, leher dan lengan yang putih kuning mulus. Usia mereka antara tujuh belas sampai dua puluh tahun. Wajah mereka tampak ayu dan manis, dengan rambut basah terurai dan wajah berseri seri penuh senyum dan tawa senda gurau. Kalau tertawa, mulut mereka agak terbuka dan tampak deretan gigi yang putih mengkilat di balik bibir merah segar.
Bukan seperti gadis-gadis dusun pada umumnya, pikir Nurseta. Lebih pantas kalau mereka itu datang dari kota, gadis gadis bangsawan, seperti yang pernah dilihatnya beberapa kali dahulu ketika dia masih tinggal di Karang Tirta, yaitu kalau Ki Lurah Suramenggala kedatangan tamu Bangsawan. Akan tetapi kalau mereka itu puteri bangsawan, mengapa mereka berada di dusun dan mandi di kali?
Nurseta merasa tidak enak untuk mengintai terus, dapat menimbulkan prasangka buruk, pikirnya. Maka diapun keluar dari balik batu besar itu dan menghampiri mereka. Tiga orang gadis itu agaknya habis mencuci pakaian yang mereka taruh di dalam keranjang, dan kini mereka sedang mandi. Seorang dari mereka yang usianya sekitar dua puluh tahun, sedang berkeramas (mencuci rambut). Rambutnya yang hitam panjang itu digosok gosoknya dengan biji lerak dan daun kenanga dan ketika melakukan pekerjaan ini, kepalanya ditundukkan, rambutnya terurai ke bawah, kedua tangannya menggosok-gosok sehingga tubuh bagian atas itu bergerak gerak seperti sedang menari.
Orang kedua, gadis manis berusia sekitar delapan belas tahun, sedang menggosok-gosok kulit dada bagian atas dekat leher dengan sebuah batu hitam yang halus. Adapun gadis ke tiga yang usianya sekitar tujuh belas tahun sedang menggosok-gosok betis kaki kanannya yang ia angkat ke atas sebuah batu. Betis berkulit kuning mulus itu juga digosok-gosok dengan batu hitam yang halus.
Melihat tiga tubuh gadis muda yang padat, berkulit putih mulus, dengan lekuk lengkung yang sempurna, bagaikan tiga tangkai bunga yang sedang mekarnya, Nurseta terpesona. Belum pernah selamanya dia merasa sedang melihat suatu pemandangan yang luar biasa indahnya. Nurseta tiba di tepi anak sungai, hanya dalam jarak tiga meter dari mereka. Karena sedang asyik dengan pekerjaan masing-masing dan tersamar oleh suara gemercik air, mereka agaknya tidak melihat atau mendengar kedatangan pemuda itu.
"Maafkan aku, nimas bertiga" kata Nurseta dengan suara agak nyaring untuk mengatasi suara gemercik air.
Tiga orang gadis itu menengok dan mereka terkejut sekali melihat ada seorang pemuda telah berdiri di tepi sungai. Bahkan gadis yang termuda, yang tadi mengangkat kakinya ke atas batu dan menggosok-gosok betisnya, kini berdiri tegak dan gerakannya yang tiba tiba ini membuat ikatan tapih pinjungnya terlepas dan kain itu merosot. Ia menjerit kecil dan kedua tangannya cepat menangkap kain itu dan menariknya kembali ke atas, namun kain itu tadi telah sempat membuka dan memperlihatkan sekilas sepasang payudara yang padat dan indah bentuknya. Pada jaman itu, payudara wanita bukan merupakan bagian tubuh yang teramat dirahasiakan. Namun gadis itu tersenyum malu-malu, tersipu dan menundukkan mukanya. Dua orang gadis lainnya juga memandang kepada Nurseta. Mereka bertiga terkejut karena tidak menyangka akan ada seorang laki-laki muda mendekati dan menyapa mereka. Gadis tertua, yang mempunyai titik tahi lalat hitam di pipi kirinya, membuatnya tampak manis sekali, mewakili teman-temannya. Agaknya ia yang paling berani menghadapi pemuda asing itu dan suaranya terdengar merdu dan tutur sapanya halus, jelas menunjukkan bahwa ia bukan seorang gadis dusun yang lugu dan kasar.
"Ki sanak, andika ini seorang pria, apa maksud andika mendekati dan menyapa kami tiga orang wanita yang sedang mandi?" Pertanyaan ini merupakan teguran, namun dilakukan dengan halus menjadi sebuah pertanyaan.
Nurseta maklum akan hal ini dan semakin kuat dugaannya bahwa wanita-wanita muda ini jelas bukan gadis-gadis dusun biasa yang sederhana dan bodoh.
"Sekali lagi aku mohon maaf kalau mengganggu andika bertiga. Aku bernama Nurseta, seorang kelana yang ingin minta keterangan kepada andika di manakah kiranya aku dapat menemukan tempat untuk melewatkan malam ini." kata Nurseta dan diapun bersikap sopan.
Dia duduk di atas sebongkah batu di tepi anak sungai itu dan mengamati mereka bertiga dengan sikap sopan, tidak secara langsung mengamati wajah dan tubuh mereka, melainkan sambil lalu seolah di depannya itu tidak terdapat pemandangan yang amat menarik hatinya. Dia mendapat kenyataan betapa gadis tertua yang bicara dengannya bertubuh agak tinggi semampai lehernya panjang kepalanya tegak membuat ia tampak anggun. Wajahnya manis, pandang matanya penuh pengertian dan cerdik. Akan tetapi keseriusan yang membayang di wajahnya yang ayu itu mendatangkan kesan bahwa ia seorang wanita yang tidak mudah diajak bergurau, mungkin agak keras hatinya. Tahi lalat di pipi kirinya itu menambah kemanisan wajahnya.
Gadis ke dua yang usianya sekitar delapan belas tahun berwajah bulat dan kulitnya putih sekali. Wajahnya cantik jelita, sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup dan mulutnya yang tersenyum-senyum nakal itu membuat Nurseta menduga bahwa gadis ini tentu seorang yang berwatak riang jenaka. Mulutnya yang bentuknya indah dengan sepasang bibir tipis merah membasah yang agaknya selalu berjebi, selalu senyum dan kadang tampaklah kilatan gigi yang berderet rapi dan putih.
Ada pun gadis ke tiga yang tadi merosot tapih pinjungnya, berusia sekitar tujuh belas tahun, bagaikan kuncup bunga mawar mulai mekar, wajahnya berbentuk bulat telur, dahinya agak nonong (menonjol) akan tetapi ia juga manis sekali, kalau tersenyum muncul lesung pipit kanan kiri mulutnya. Ia lebih banyak menundukkan pandang matanya, seperti malu-malu, namun sikap seperti ini bahkan menambah daya tariknya sebagai seorang dara yang baru tumbuh dewasa.
Tiga orang gadis yang amat menarik hati, pikir Nurseta. Dia merasa heran bagaimana di luar sebuah hutan, di tempat yang sunyi ini, dia dapat bertemu dengan tiga orang gadis cantik seperti mereka.
Mendengar ucapan Nurseta yang penuh hormat itu dan melihat sikapnya yang sopan santun, tiga orang gadis itu menjadi agak berani. Bahkan gadis kedua tertawa dan menutupi mulut dengan tangan kirinya gerakannya begitu luwes dan indah, penuh kelembutan seorang wanita.
"Hi-hik, andika telah memperkenalkan nama kepada kami, tentu andika juga ingin sekali mengetahui nama kami Bukankah begitu, Kakangmas Nurseta?"
"Ih, malu, Mbakayu Kenangasari!" kata dara yang paling muda sambil menahan senyum dan mengerling sopan ke arah Nurseta.
"Mengapa mesti malu, Widarti? Orang saling memperkenalkan nama sewaktu bertemu, bukankah itu wajar-wajar saja? bukankah begitu, Mbakayu Sukarti?" kata gadis ke dua sambil tersenyum cerah. Gadis pertama mengerutkan alisnya.
"Diamlah kalian berdua dan jangan bergurau selalu. Kisanak ini tentu akan menganggap kita kurang sopan." tegur dara pertama yang tertua.
Nurseta tertawa. Sikap tiga dara ini membuat suasana menjadi semakin cerah dan indah, membuat gemercik air semakin nyaring menggembirakan.
"Ha-ha-ha, nimas bertiga yang baik. Tidak perlu bersusah payah memperkenalkan nama karena aku sudah tahu siapa nama andika bertiga."
"Andika sudah tahu, Kakangmas Nurseta?" Tanya Kenangasari sambil tersenyum.
"Tentu saja! Andika bernama Kenangasari, nimas ini bernama Sukarti dan yaing itu bernama Widarti." kata Nurseta yang kini dihinggapi perasaan gembira menghadapi tiga orang gadis jelita itu.
"Hemm, apa anehnya itu? Kenangasari, jangan bodoh. Tentu saja dia tau, karena tadi kita saling memanggil nama masing-masing!" kata Sukarti.
"Benar sekali. Tadi andika bertiga tanpa kuminta telah memperkenalkan nama masing-masing. Sekarang, setelah kita saling berkenalan, maukah andika bertiga suka menjawab pertanyaanku tadi?"
"Pertanyaan yang mana? Andika tadi bertanya apa sih?" Tanya Kenangasari dengan senyum manis.
"Tadi aku bertanya apakah andika bertiga dapat menunjukkan di mana aku bisa mendapatkan tempat untuk melewatkan malam ini."
Tiga orang gadis itu saling pandang, kemudian Kenangasari yang menjawab. Agaknya ia merupakan orang yang paling pandai dan berani bicara sehingga ia mewakili kedua orang temannya untuk menjawab.
"Kenapa andika tidak bermalam saja di rumah kami, Kangmas Nurseta?"
"Ih, Mbak ayu Kenangasari, engkau lancang!" tegur Widarti.
"Kenapa lancang? Bukankah kita sudah berkenalan dengan Kangmas Nurseta dan agaknya dia bukan penjahat? Apa salahnya dia bermalam di rumah kita semalam? Kita mempunyai sebuah kamar kosong."
"Tapi ....." Kini Sukarti yang mencela. Ucapannya dipotong cepat oleh Kenangasari.
"Kau maksudkan..... ayah kita, Mbak yu Sukarti? Kalau kita yang minta agar Kangmas Nurseta dibolehkan menginap di rumah kita malam ini, pasti dia akan menyetujui."
Nurseta merasa girang, akan tetapi juga rikuh (sungkan). "Ah, nimas, terima kasih atas kebaikan hati andika bertiga, akan tetapi aku sama sekali tidak ingin merepotkan andika!"
"Kalau kita sudah saling berkenalan dan menjadi sahabat, mengapa masih bersikap sungkan?" Sukarti yang kini menyetujui usul Kenangasari.
"Kakangmas, boleh aku bertanya?" kata Widarti. Gadis manis yang tadi tampak pemalu itu kini berani menatap wajah Nurseta dan sepasang lesung pipitnya muncul di kedua pipinya.
"Tentu saja boleh, nimas. Bertanyalah." jawab Nurseta.
Bercakap-cakap dengan tiga orang gadis yang ayu manis dan ramah ini sungguh menyenangkan hatinya.
"Begini, Kangmas Nurseta. Andaikan andika berada dalam rumah andika dan kami bertiga datang berkunjung, apakah kiranya andika akan menolak kedatangan kami karena merasa repot?"
Nurseta tertegun. Dia tadi salah sangka! Gadis yang tampak pemalu ini sesungguhnya pandai bicara dan cerdas sekali. Kalau dua orang gadis yang lain membujuknya untuk bermalam dengan kata-kata biasa yang dapat ditolaknya, gadis termuda ini mengajukan pertanyaan yang sekaligus membuat dia tidak mungkin lagi menolak!
"Tentu saja tidak, nimas." jawabnya dan dia sudah merasa kalah.
"Nah, kalau andika akan mau menerima kami dan tidak merasa repot, kamipun demikian pula. Kami tidak akan repot, bahkan merasa gembira sekali kalau andika mau bermalam di gubuk kami, tentu saja kalau andika tidak merasa jijik tinggal semalam di gubuk kami yang reyot dan kotor!"
Nurseta takluk. Ucapan gadis itu menambah kuatnya desakan itu dan dia sama sekali tidak berdaya untuk menolaknya. Tidak ada alasan lagi baginya untuk menolak karena tadi dia sudah menyatakan bahwa dia membutuhkan tempat untuk menginap malam ini. Dia mengembangkan kedua lengan dan menggerakkan kedua pundak tanda tak berdaya sambil tersenyum.
"Baiklah, aku terima undangan andika dan sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih"
"Horeee .....!" Kenangasari bersorak seperti anak kecil.
"Kalau begitu mari kita pulang! Mari, Kakangmas Nurseta!"
Tiga orang gadis itu mengambil keranjang pakaian dan keluar dari anak sungai itu.
"Di mana rumah andika bertiga?" tanya Nurseta.
"Di depan sana, tidak jauh dari sini!" jawab Sukarti sambil menunjuk ke arah utara
"Silakan andika berangkat lebih dulu, Nanti aku menyusul ke sana." kata Nurseta.
"Eh, kenapa, kakangmas? Bukankah andika sudah setuju untuk bermalam dirumah kami?" tanya Kenangasari.
"Benar, nimas. Akan tetapi aku ingin mandi dulu di sini. Airnya begitu jernih dan segar."
"Andika tidak akan melanggar janji dan berbohong kepada kami, Kang Nurseta?" tanya Widarti.
"Kalau begitu, biar kami menanti disini sampai andika selesai mandi!" kata Sukarti.
"Wah, jangan andika bertiga menunggu di sini. Aku akan merasa malu! Percayalah, seorang laki-laki tidak akan sudi melanggar janjinya! Pulanglah kalian lebih dulu. Setelah selesai mandi aku akan segera datang berkunjung. Tentu kalian ingin bersiap-siap sebelum aku datang, bukan? Jangan repot-repot, hidangkan saja seadanya, semuanya!" Nurseta berkelakar. Tiga orang gadis itu tertawa renyah, gigi mereka yang putih tampak sebentar.
"Jangan terlalu lama, kami tunggu!" kata Sukarti dan mereka bertiga lalu pergi dari situ sambil tertawa-tawa.
Dari belakang mereka, Nurseta melihat betis-betis yang memadi bunting dan putih mulus bergerak-gerak, pinggul-pinggul yang indah di balik kain basah itu menari-nari. Setelah tiga orang gadis itu menghilang di balik pohon-pohon, Nurseta tersenyum dan menghela napas panjang. baik sekali nasibnya, bertemu dengan bidadari-bidadari yang selain ayu merak ati (cantik menggiurkan) juga baik hati dan ramah sekali.
Dia lalu menanggalkan seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam air yang sejuk segar. Dia meniru apa yang dilakukan para gadis tadi. Diambilnya sepotong batu hitam yang licin dan dia menggosok-gosok seluruh kulitnya dengan batu hitam itu sehingga bersih. Kemudian dia mencuci pakaian yang tadi dipakainya dan setelah selesai memeras pakaian itu dan menaruhnya di atas batu, dia lalu mengenakan pakaian bersih.
Setelah naik ke tepi anak sungai. Nurseta mengembangkan dan mengebut ngebutkan pakaian yang tadi dicucinya. Karena dia mengerahkan tenaganya, maka pakaian itu berkibar kuat dan sebentar saja sudah menjadi kering kembali! Setelah menyimpan pakaian itu ke dalam buntalan pakaiannya dan menggendong buntalan itu, berangkatlah Nurseta menuju ke arah yang ditunjuk Sukarti tadi.
Hari telah menjelang senja ketika akhirnya Nurseta tiba di pekarangan depan sebuah rumah pondok besar yang tidak berapa jauh letaknya dari anak sungai tadi. Begitu dia memasuki pekarangan, muncul empat orang dari pintu depan pondok itu. Lampu gantung sudah di pasang di beranda itu dan Nurseta lihat tiga orang gadis tadi yang kini sudah mengenakan pakaian baru, rambut gelung dengan rapi dan dihias bunga melati. Mereka tersenyum-senyum, manis sekali.
Akan tetapi pandang mata Nurseta ditujukan kepada laki-laki yang berada di antara mereka. Laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun. Pakaiannya mewah seperti priyayi. Rambutnya digelung keatas dan diikat rantai kecil dari emas! Sebatang keris dengan sarungnya yang indah terselip di depan pinggangnya. Laki-laki ini bertubuh tegap dengan dada bidang dan wajahnya masih tampak muda, tampan dan gagah. Melihat empat orang itu agaknya sedang menanti untuk menyambutnya, Nurseta segera menghampiri mereka dan memberi hormat dengan sembah di depan dada.
"Kakangmas Nurseta, inilah ayah kami, Raden Hendratama." Sukarti memperkenalkan laki-laki gagah itu.
Nurseta memberi hormat. Diam-diam ia terkejut mendengar laki-laki itu seorang priyayi, seorang bangsawan. Kalau begitu tiga orang gadis itu adalah puteri puteri bangsawan seperti yang tadi pernah diduganya. Akan tetapi yang amat aneh, mengapa keluarga ini tinggal di pondok yang terpencil? Tidak tampak rumah lain di situ.
"Raden, maafkanlah kalau kelancangan saya berkunjung ini mengganggu ketenangan keluarga paduka." kata Nurseta hormat.
Agaknya sikap sopan pemuda itu menyenangkan hati laki-laki yang bernama raden Hendratama itu. Dia tersenyum.
"Wah, anakmas Nurseta, anak-anakku telah menceritakan tentang dirimu, anggaplah kami sebagai keluargamu atau sahabat baik, karena itu jangan sebut aku raden. Sebut saja paman. Biarpun aku seorang pangeran, namun sudah lama aku meninggalkan keluarga istana dan hidup sebagai rakyat biasa."
Nurseta merasa gembira sekali. Kiranya ayah dari tiga orang dara Inipun rendah hati dan ramah sekali. Diapun tidak merasa ragu lagi dan menganggap mereka itu sebuah keluarga bekas ningrat yang baik hati sekali.
"Terima kasih, Paman Hendratama."
"Mari, mari masuk, Kangmas Nurseta. Kita duduk dan bicara di ruangan dalam." kata Kenangasari ramah.
"Benar, anakmas. Silakan masuk dan kita bercakap-cakap di dalam." kata pula Hendratama. Nurseta tidak merasa sungkan lagi dan dia ikut memasuki ruangan yang luas.
Ternyata ruangan itu cukup indah, dengan meja kursi terukir dan terutama sekali di dinding ruangan itu tergantung banyak sekali senjata yang tampak serba indah. Tentu pusaka-pusaka ampuh, pikir Nurseta. Terdapat banyak tombak, klewang (golok), pedang, dan bermacam-macam keris, dari yang kecil sampai yang besar.
Dia merasa heran sekali, akan tetapi diam saja takut kalau disebut lancang kalau banyak bertanya. Setelah dipersilakan duduk, Nurseta duduk berhadapan dengan Hendratama dan tiga orang gadis yang masih berdiri memandang kepadanya. Kenangasari yang centil lalu berkata kepada Nurseta sambil tersenyum.
"Kakangmas, sekarang kami bertiga pamit dulu untuk mempersiapkan hidangan makan malam."
"Ah, harap andika jangan repot-repot, nimas...." kata Nurseta sambil menggerakkan tangan seolah mencegah.
"Tidak usah repot, keluarkan saja seadanya, semuanya! Begitu katamu tadi, bukan?" kata Windarti sambil tersenyum dan mengerling nakal.
Tentu saja wajah Nurseta menjadi merah. Tadi dia hanya bergurau akan tetapi gadis-gadis itu malah mengulanginya di depan ayah mereka! Tiga orang dara jelita itu tertawa-tawa sambil meninggalkan ruangan itu menuju ke belakang.
"Ah, anakmas Nurseta. Jangan Sungkan Anak-anak itu memang nakal dan suka menggoda orang."
"Hemm, tidak sama sekali, paman. Mereka..... mereka adalah gadis-gadis yang baik budi, berhati mulia dan manis sekali."
"Ha-ha-ha!" Laki-laki gagah itu tertawa. "Andika suka kepada mereka?"
Nurseta tertegun, akan tetapi dia menyadari bahwa yang dimaksudkan tuan rumah ini tentulah rasa suka akan sesuatu yang indah dan baik, bukan rasa cinta seorang pria terhadap wanita. Setelah berpikir demikian, diapun menjawab dengan sikap biasa.
"Tentu saja, paman saya suka sekali kepada mereka."
"Bagus! Kalau begitu, andika mau menjadi suami mereka, atau seorang di antara mereka?"
Mau tidak mau Nurseta terbelalak saking herannya. Ini sudah gila! Mana ada seorang ayah menawarkan tiga orang anak gadisnya untuk menjadi isteri seorang pemuda asing yang sama sekali tidak dikenalnya? Ditawarkan ketiga tiganya lagi! Kekhawatirannya sesaat terjadi. Rasa suka itu diartikan rasa cinta oleh Raden Hendratama!
"Ahh! Ini... ini... saya maksudkan. saya suka sekali kepada mereka karena mereka baik budi, saya suka menjadi sahabat mereka..."
"Hemm, andika tidak suka memperisteri mereka atau seorang di antara mereka?"
"Maafkan saya, paman. Bukan saya tidak suka, akan tetapi saya sama sekali belum mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan perjodohan."
"Kenapa, anakmas?" Hendratama mendesak sambil mengamati wajah pemuda itu.
Merasa terdesak, dan juga karena dia percaya kepada keluarga bangsawan yang rendah hati dan baik budi bahasanya ini, Nurseta berterus terang.
"Saya tidak mau mengikatkan diri dengan perjodohan dulu paman, karena saya masih mempunyai banyak tugas dari mendiang eyang guru saya yang harus saya selesaikan."
Raden Hendratama mengangguk angguk. "Itu bagus sekali, anakmas. Seorang murid haruslah berbakti dan taat kepada gurunya, dan sikapmu itu menunjukkan bahwa andika seorang murid yang baik sekali. Siapakah mendiang guru andika itu?"
"Mendiang eyang guru adalah Empu Dewamurti, paman."
Raden Hendratama terkejut. "Jagat Dewa Bathara Kiranya guru andika adalah Sang Empu Dewamurti yang sakti mandraguna! Dan katamu tadi dia sudah meninggal dunia?"
"Benar, paman. Beberapa bulan yang lalu eyang guru telah wafat."
"Wah, kalau begitu andika tentu seorang ksatria yang sakti mandraguna, Anakmas Nurseta!"
"Apakah paman mengenal mendiang eyang guru?" Nurseta bertanya untuk mengalihkan perhatian karena dia tidak ingin bicara tentang kesaktian.
"Siapa tidak mengenal Empu Dewamurti? Ada beberapa batang keris buatannya kusimpan! Semua keturunan Wangsa ishana mengenalnya dengan baik!"
Diam-diam Nurseta terkejut. Dia menatap wajah laki-laki itu dan bertanya, "Maafkan saya, paman. Kalau begitu... paman adalah seorang keturunan keluarga istana kerajaan Mataram?"
Raden Hendratama menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada suara letih. "Sebenarnyalah, anakmas Nurseta aku dahulu adalah Pangeran Hendratama, putera mendiang Rama Teguh Dharmawangsa. Akan tetapi karena ibuku hanya seorang selir dari kasta rendahan, maka aku tidak masuk hitungan dan ketika Erlangga menduduki tahta, aku lalu menyingkir dan lebih baik hidup tentram sebagai rakyat biasa."
Mendengar ini, Nurseta yang sejak kecil sudah belajar tata krama (tata susila) oleh ayahnya kemudian oleh eyang gurunya, cepat bangkit berdiri dan berjongkok menyembah. "Gusti Pangeran, ampunkan hamba yang tidak mengenal paduka ....."
Raden Hendratama tertawa, lalu bangkit dan memegang pundak pemuda itu, menariknya bangkit dan berdiri kembali.
“Ha-ha-ha, jangan bersikap seperti itu, anakmas. Andika membuat aku menjadi rikuh dan malu saja. Aku sendiri sudah melupakan bahwa aku adalah seorang bekas pangeran. Bekas kataku, sekarang bukan lagi pangeran. Nah, duduklah dan jangan mengubah sikapmu yang baik tadi. Tetap sebut aku paman atau aku malah menjadi tidak senang menerimamu sebagai seorang sahabat."
Nurseta terpaksa duduk kembali "Aduh, paman. Paman sungguh bijaksana dan rendah hati. Bagaimana seorang pangeran dapat hidup menjadi seorang anggota rakyat biasa?"
"Ha-ha-ha, apa bedanya? Apakah kehebatan atau kebesaran seorang raja melebihi rakyat? Raja juga manusia biasa seperti rakyat jelata! Dapatkah andika membayangkan seorang raja tanpa rakyat seorangpun? Dia hanya seperti seorang badut yang tidak lucu, atau bahkan menjadi seorang gila. Sebaliknya, kalau rakyat kehilangan raja, hal itu masih dapat berlangsung. Menjadi rakyat biasa bukan berarti hina atau rendah, juga bukan berarti tidak dapat hidup tentram dan bahagia."
"Paman sungguh bijaksana!" Nurseta memuji.
"Oya, eyang gurumu itu, Empu Dewamurti, bagaimana dia wafat? Seingatku dia belum begitu tua."
Tentu saja kini Nurseta merasa lebih percaya kepada pangeran ini. Orang ini adalah putera mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, berarti kakak ipar sang Prabu Erlangga! Kiranya tidak perlu ia merahasiakan segala mengenai dirinya dan eyang gurunya yang juga merupakan kawula Mataram yang selalu akan membela Mataram atau keturunan Mataram yang sekarang menjadi Kerajaan Kahuripan.
"Eyang guru tewas dikeroyok lima orang yang dating dari Kerajaan Wengger, Wirawari, dan Kerajaan Siluman pantai Laut Kidul. Ketika itu saya tidak ada di sana dan ketika saya datang, sang guru sudah berada dalam keadaan gawat dan beliau meninggal karena luka lukanya."
Raden Hendratama, bekas pangeran itu mengerutkan alisnya dan mengepal tangan kanannya. "Hemm, mereka memang orang-orang jahat! Kanjeng Rama juga wafat ketika kerajaan diserang oleh raja Wurawari! Akan tetapi, Anakmas Nurseta, mengapa Sang Empu Dewamurti mereka musuhi dan mereka bunuh"
Kembali Nurseta tak dapat merahasiakan hal itu. "Mereka agaknya menyerang eyang guru karena mereka ingin merebut keris pusaka ini dari tangan eyang guru, paman. Akan tetapi keris pusaka ini telah diserahkan kepada saya karena memang saya yang dulu menemukannya, sehingga eyang guru sampai tewas."
"Hemmm, keris pusaka apakah itu anakmas?" Tanya Raden Hendratama sambil memandang keris yang terselip dipinggang pemuda itu.
"Menurut keterangan eyang guru. keris ini adalah Keris Pusaka Megatantra. Menurut eyang, keris pusaka ini adalah keris pusaka Kerajaan Mataram yang dahulu lenyap dan kebetulan saya temukan ketika saya menggali tanah di dusun Karang Tirta dekat pantai Laut Kidul."
"Hemm, begitukah?" Sikap bekas pangeran itu agaknya tidak begitu acuh atau tertarik. Mungkin karena dia melihat gagang dan sarung keris yang buruk itu. Dia sendiri yang mengganti gagang keris yang sudah lapuk karena lama terpendam, juga dia yang menbuatkan warangkanya. Atau mungkin karena Raden Hendratama sudah memiliki pusaka yang demikian banyaknya, pikir Nurseta.
Pada saat itu, terdengar suara tawa lembut dan tiga orang gadis cantik yang kini diketahui oleh Nurseta sebagai puteri-puteri bangsawan tinggi, puteri-puteri seorang pangeran!
"Hidangan makan malam telah siap!" kata Kenangasari dengan senyum manis dan sinar matanya berseri.
"Tidak repot-repot akan tetapi semua telah dikeluarkan!" kata Widarti yang kini tampak lebih berani dan centil.
"Mari silakan, hidangan telah kami siapkan di ruangan makan!" kata pula Sukarti.
"Ha-ha-ha, hayo anak mas, kita makan didalam. Nanti kita lanjutkan pembicaraan kita!" kata Raden Hendratama sambil bangkit berdiri.
Nurseta bangkit pula dan dia lalu mengikuti tuan rumah menuju keruangan sebelah dalam. Ketika Widarti melangkah dekat ayahnya, Raden Hendrarama merangkul gadis itu dan Widarti tampak manja sekali ketika sambil melangkah ayahnya merangkulnya. Tadinya tiga orang gadis itu berdiri dan melayani dua orang laki-laki yang mulai makan itu, akan tetapi Nurseta merasa tidak enak dilayani puteri-puteri bangsawan itu.
"Harap andika bertiga makan bersama agar aku tidak merasa sungkan." katanya.
Raden Hendratama tertawa. "Duduklah kalian bertiga dan mari makan bersama. Memang akan lebih lezat rasanya kalau kembul bnojana (makan bersama).!”
Tiga orang gadis itupun duduk dan Nurseta melihat bahwa meja besar ini penuh dengan hidangan yang serba lezat. Heran dia melihat adanya hidangan dari bermacam daging. Ada daging ayam yang tentu saja mudah menyembelih ayam piaraan sendiri. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah melihat adanya daging ikan seperti lele, baber dan lain-lain. Juga tersedia masakan daging kambing dan kerbau!
"Bukan main!" dia berseru. "Bagaimana andika sekalian bisa mendapatkan segala macam daging ini?"
"Hi-hik! Bukan sulap bukan sihir Kangmas Nurseta. Ayam dan ikan-ikan itu dipeliharaan kami sendiri, dan daging kerbau dan kambing itu kami dapatkan dari sebuah dusun tak jauh dari sini. Katanya semua dan seadanya harus dikeluarkan!" kata Kenangasari yang centil.
"Aduh, kalau begitu aku benar-benar membuat andika semua repot sekali!"
"Ayolah, anakmas. Jangan sungkan lagi. Makan saja seadanya, cicipi satu demi satu. Kalau ada hidangan yang tidak andika makan, pembuatnya tentu akan kecewa." Kata Raden Hendratama sambil tertawa.
"Kalau masakanku tidak dicicipi, aku akan menangis!" kata Kenangasari.
"Aku juga!" kata Widarti.
"Dan aku akan marah!" kata Sukarti.
Nurseta tersenyum dan karena dia tidak tahu mereka bertiga itu masing-masing masak yang mana, terpaksa dia mencicipi semua hidangan yang tersedia. Hal ini mudah saja dia lakukan karena memang perutnya sudah amat lapar. Sejak pagi tadi, sehari penuh, dia tidak makan. Kini dengan tubuh sehat perut lapar dan suasana menggembirakan, tentu saja dia dapat makan dengan lahapnya, membuat tiga orang gadis itu tampak gembira sekali.
Setelah selesai makan minum, Raden Hendratama mengajak Nurseta duduk kembali ke ruangan depan. Kepada tiga orang gadis itu dia berkata, "Bersihkan dan persiapkan kamar tamu itu untuk Anakmas Nurseta dan aku minta agar kalian bertiga beristirahat di dalam. Jangan mengganggu kami yang akan bercakap-cakap."
Tiga orang gadis itu terang-terangan memperlihatkan muka cemberut. Bibir-bibir yang manis itu diruncingkan, mata yang indah jeli itu mengerling manja dan marah, akan tetapi tidak ada yang berani membantah. Diam-diam Nurseta sendiri juga merasa kecewa karena akan lebih menggembirakan baginya kalau bercakap-cakap dengan dihadiri mereka bertiga yang lincah itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menanggapi perintah Raden Hendratama kepada para puterinya itu dan mengikuti tuan rumah menuju ke ruangan depan.
Setelah duduk di atas kursi, Raden Hendratama melihat betapa Nurseta memandang ke arah keris dan tombak yang tergantung di dinding, agaknya mengagumi warangka dan gagang yang terukir indah itu.
"Aku sejak dulu memang suka mengumpulkan keris dan tombak pusaka, anakmas. Biarpun aku bukan seorang empu pembuat keris, namun aku pandai mengukir gagang warangka. Lihat ini, keris ini kuberi gagang dan warangka yang terbuat dari kayu cendana." Dia mengambil sebatang keris dalam sarung keris yang mengkilap dan terukir indah, memperlihatkannya kepada pemuda Itu.
Nurseta menerima dan mengamati gagang dan warangka keris itu. Memang indah sekali dan mengeluarkan ganda harum cendana. Setelah Nurseta mengemballkannya, Raden Hendratama menyelipkan keris itu di ikat pinggangnya. Kemudian bekas pangeran itu memandang kearah keris yang terselip di pinggang Nurseta.
"Oya, apa namanya keris yang andika temukan itu, anakmas?" pertanyaan ini terdengar sambil lalu saja, seperti tak acuh.
Nurseta meraba gagang kerisnya. "Namanya menurut mendiang eyang guru adalah Megatantra, paman."
"Hemm, rasanya belum pernah aku mendengar nama itu. Bolehkah aku melihatnya sebentar, Anakmas Nurseta?"
"Ah, tentu saja boleh, paman!" kata Nurseta dan cepat dia mengambil keris itu berikut warangkanya yang amat sederhana dan menyerahkannya kepada Raden Hendratama.
Raden Hendratama lalu mencabut keris itu dari warangkanya yang sederhana, lalu mengamatinya. Agaknya dia sudah terbiasa melihat keris-keris pusaka ampuh karena melihat keris Megatantra dia tidak kelihatan kagum atau heran. Dia meneliti keris itu dan berkata lirih.
"Keris ini mempunyai ganja wuyung berbentuk Kalap Lintah, kudupnya (pucuknya) Kembang Gambir, berdapur Sagara Winotan luk (lekuk) tiga, racikannya Kembang Kacang, Jenggot, dengan Sogokan dua yang satu sampai ujung. Hemm, bukan keris pusaka sembarangan saja, anakmas! Lho, ehh ....." Tiba-tiba tangan kanan bekas pangeran yang memegang gagang keris itu gemetar lalu menggigil. Cepat dia menggunakan tangan kirinya untuk mencabut keris bergagang dan berwarangka kayu cendana yang diselipkan di ikat pinggangnya tadi dan melemparkan keris itu ke atas meja. Seketika tangan kanannya yang memegang Keris Megatantra tidak menggigil lagi!
"Nah, andika melihat sendiri, anakmas! Kerismu ini memiliki daya yang ampuh sekali. Karena tadi aku memakai keris pusaka kayu cendana itu daya mereka bertanding dan kerisku kalah ampuh maka tanganku menggigil. Setelah kulepaskan kerisku, keadaanku pulih kembali. Keris pusakamu ini ampuh, sayang sekali diberi gagang dan warangka seburuk ini. Namanya itu kurang menghargai. Aku akan memberi hadiah kepada andika anak mas. Aku masih mempunyai cadangan warangka dan gagang ukiran yang indah. Biar kuhadiahkan kepadamu dan malam ini akan kupasangkan gagang dan warangka itu kepada kerismu. Besok pagi-pagi sudah selesai dan andika dapat menerimanya kembali dengan gagang dan warangka baru yang sepadan dengan kehebatan keris pusaka ini."
"Wah, saya hanya merepotkan paman saja!" kata Nurseta dengan sungkan sekali. Masa seorang pangeran harus memasangkan gagang kerisnya, bersusah payah untuknya?
"Sama sekali tidak. Aku memang suka sekali mendandani sebuah keris pusaka. Tentu saja kalau andika boleh dan percaya kepadaku, Anakmas Nurseta!"
"Tentu saja saya percaya dan juga merasa senang sekali kalau keris saya mendapatkan gagang dan warangka yang indah. Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati paman."
"Tidak perlu berterima kasih, anak mas. Aku malah merasa senang melakukannya. Nah, sekarang anakmas boleh beristirahat, dan aku akan segera mengerjakan pemasangan gagang keris ini." Dia menengok ke arah dalam dan berseru memanggil, "Sukarti! Kenangasari! Widarti! Di mana kalian?"
Tiba-tiba saja tiga orang gadis itu muncul dari ruangan dalam sambil tersenyum. "Kami berada di sini sejak tadi!" kata Kenangasari.
"Eh! Kalian sudah sejak tadi di balik pintu, ya? Bukankah tadi kusuruh kalian membereskan kamar tamu untuk tempat tamu kita menginap?"
"Sudah kami persiapkan dengan rapi untuk tamu agung kita." kata Sukarti.
"Nah, kamar andika sudah siap, anakmas. Silakan beristirahat." kata Raden Hendratama.
Nurseta bangkit berdiri. "Terima kasih, paman."
"Mari, kakangmas, kami antar andika ke kamar tamu." Kata Widarti.
Nurseta keluar dari ruangan itu dan mengikuti tiga orang gadis yang mengajaknya ke bagian belakang pondok itu. kamar tamu itu sederhana, namun bersih. Hanya terdapat sebuah pembaringan, sebuah meja dan empat kursi dalam kamar itu. Sebuah lampu duduk berada di atas meja. Nurseta memasuki kamar itu dan dia merasa rikuh sekali melihat betapa tiga orang dara itu ikut pula memasuki kamar!
"Nimas, kalian bertiga dan ayah kalian sungguh telah melimpahkan kebaikan kepadaku. Tiada habisnya aku merasa berterima kasih. Sekarang harap andika bertiga meninggalkan aku karena aku hendak mengaso. Perjalanan sehari tadi amat melelahkan."
"Aeh, kakangmas. Apakah kami tidak boleh duduk-duduk sebentar dalam kamarmu ini?" tanya Kenangasari sambil mengerling manis. Ia dan dua orang saudaranya lalu duduk di atas kursi-kursi itu, ketiganya memandang kepada Nurseta sambil tersenyum manis.
Tent u saja Nurseta merasa sungkan dan tidak enak sekali. Tiga orang gadis puteri pangeran yang cantik jelita duduk di dalam kamarnya! Mana dia berani merebahkan diri atas pembaringan kalau mereka bertiga duduk di situ? Maka diapun lalu duduk dikursi ke empat, menghadapi mereka.
"Katanya mau istirahat, kakangmas. Kalau hendak tidur, tidur sajalah. Kami akan menjagamu." kata Sukarti.
Nurseta tertawa. "Wah, kenapa harus dijaga? Seperti anak kecil saja, tidur pakai dijaga!"
"Habis, andika kan tamu agung kami, harus dijaga baik-baik, tentu saja!" kata Kenangasari.
"Akan tetapi.... aku takut dan malu kepada ayah kalian! Beliau tentu akan marah sekali kalau melihat tiga orang puterinya berada di dalam kamar ini bersamaku." Nurseta membantah.
"Ayah? Dia tidak akan marah. Bukankah dia senang sekali kalau saja kakangmas mau menjadi..... eh..... suami kami?" kata Windarti dengan sikap malu-malu kucing. Dua orang kakaknya tertawa cekikikan.
Nurseta terkejut dan merasa heran bukan main. Bagaimana sikap tiga orang puteri pangeran itu seperti ini Genit centil dan agaknya kurang bersusila. Mulailah rasa kagum dalam hatinya terhadap mereka bertiga agak berkurang. Rasa bimbang dan curiga mulai menyelinap dalam hatinya.
Dia bangkit berdiri. "Kalau andika bertiga tidak mau keluar dari kamar ini, lebih baik aku yang keluar. Aku akan menanti lewatnya malam ini di ruangan depan saja!" Setelah berkata demikian Nurseta melangkah dan hendak keluar dari kamar itu.
Tiba-tiba ada tangan lembut memegang lengannya dari belakang. Ketika dia menengok, yang memegang lengannya itu adalah Sukarti. Dia merasa heran bagaimana gadis lembut itu begitu cepat dan tiba-tiba memegang lengannya.
"Kakangmas Nurseta, kenapa andika begini pemarah? Kurang baikkah pelayanan kami kepadamu? Kalau andika tidak suka kami temani, biarlah kami keluar dari kamar ini. Tidak perlu andika marah-marah kepada kami."
Mendengar ucapan yang lembut dan penuh teguran itu, Nurseta merasa malu sendiri. Bagaimanapun juga, sikap tiga orang gadis itu belum membuktikan perbuatan yang melanggar susila. Mungkin saja mereka bersikap seperti itu karena memang mereka itu terlalu baik hati dan tulus ingin bersahabat.
"Maafkan aku, nimas. Aku tidak marah, melainkan takut kalau kalau aku akan dianggap sebagai seorang tamu, seorang laki-laki kurang ajar. Ayah andika telah begitu baik kepadaku, aku tidak ingin kelihatan tidak sopan atau tidak menghargai andika bertiga. Maafkan aku."
Tiga orang gadis itu bangkit berdiri. “Sudahlah, mbak ayu Sukarti, mari kita tinggalkan kamar ini. Mungkin Kakang mas Nurseta ini menganggap dirinya terlalu baik dan kami tidak pantas untuk menemaninya." kata Kenangasari dan mereka bertiga melangkah keluar dari kamar itu.
"Maafkan aku.... maafkan....!" kata Nurseta dan merasa menyesal bahwa dia telah membuat hati para gadis Itu menjadi tidak senang. Dia lalu menutupkan daun pintu, kemudian merebahkan diri terlentang di atas pembaringan. Akan tetapi dia tidak dapat tidur. Pikirannya masih dipenuhi tiga orang gadis itu dan mempertimbangkan sikap mereka yang dianggapnya aneh dan tidak lajim. Mereka itu terlalu baik, terlalu ramah, ataukah memang memiliki watak yang genit? Mereka itu puteri-puteri bangsawan yang bersusila tinggi, ataukah wanita-wanita yang tidak tahu....
Tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar suara gerakan orang di luar kamarnya. Nurseta cepat turun dengan mengerahkan kepandaiannya sehingga gerakannya tidak menimbulkan suara sedikitpun. Dia menghampiri pintu dan mengintai dari renggangan di dekat daun pintu. Dia melihat Sukarti duduk di atas sebuah bangku, di sudut kiri luar kamar itu. Ketika dia menoleh ke arah kanan dia melihat Kenangasari juga duduk di atas sebuah bangku. Dua orang gadis itu duduk diam dan Nurseta merasa heran bukan main. Benarkah mereka sengaja duduk berjaga di luar kamarnya? Menjaga apakah? Menjaga keselamatan dirinya? Rasanya tidak mungkin. Teringatlah dia akan ucapan Kenangasari tadi.
"Andika kan tamu agung kami, harus dijaga baik-baik, tentu saja!" Demikian kata gadis itu. Jadi mereka itu menjaganya? Dan dimana Widarti, gadis termuda? Dia menghampiri jendela dan mengintai keluar. Benar saja, gadis cantik jelita berlesung pipit itu juga duduk di atas sebuah bangku, tak jauh dari jendelanya. Semua jalan keluar, atau jalan masuk dari dan ke kamarnya telah terjaga! Apakah yang mereka jaga? Menjaga agar jangan ada yang masuk kamar atau menjaga agar jangan ada yang keluar kamar?
Kalau benar mereka itu berjaga, sungguh menggelikan. Apakah yang mampu dilakukan gadis-gadis manis itu kalau ada yang masuk atau keluar kamar? Tiba-tiba dia teringat betapa tadi, ketika dia hendak keluar kamar, Sukarti tahu-tahu telah memegang lengannya. Padahal tadinya gadis itu masih duduk di atas kursi. Betapa cepatnya dia bergerak!
Apakah tiga orang puteri pangeran yang cantik jelita itu ahli aji kanuragan, gadis-gadis yang digdaya? Betapapun juga, dari sikap mereka dan sikap ayah mereka, sama sekali tidak ada yang mencurigakan, tidak ada kesan-kesan bahwa mereka memusuhinya.
Mungkin mereka itu agak berlebihan dan terlalu memanjakannya. Dia menjadi malu sendiri. Biarlah mereka berbuat sesuka mereka karena dia tidak terganggu. Dengan pikiran ini Nurseta kembali merebahkan diri dan tak lama kemudian karena dia memang lelah sekali, diapun tertidur. Karena larut malam baru dapat pulas dan tubuhnya memang amat lelah, Nurseta tidur nyenyak sekali.
Pagi keesokan harinya dia tergugah oleh kicau burung di luar jendela. Begitu merdu dan indah kicau burung kutilang di luar rumah itu sehingga Nurseta tetap rebah sambil menikmati suara itu. Kemudian terdengar ringkik kuda. Suara ini membuat bangkit duduk keheranan. Ada ringkik kuda! Kemarin dia tidak melihat adanya kuda di sekitar rumah itu. Dan dari gerakan kaki kuda di atas tanah itu dia dapat mengetahui bahwa ada lebih dari dua ekor kuda di sana. Mungkin ada empat ekor.
Karena ingin tahu sekali, Nurseta lalu menghampiri jendela dan membuka daun jendela. Widarti yang semalam duduk 'berjaga" di situ tak tampak lagi. Dari jendela dia dapat melihat adanya empat ekor kuda tertambat pada batang pohon-pohon di kebun. Empat ekor kuda yang tinggi besar, indah dan kuat, lengkap dengan pelana dan kendalinya. Apakah ada tamu-tamu datang berkunjung? Mungkin, karena tiga orang gadis itu tidak tampak, tentu sedang menyambut para tamu itu. Dia merasa tidak enak karena masih belum keluar dari kamarnya. Dia segera membuka daun pintu. Tidak tampak ada orang.
Nurseta keluar rumah dan karena tidak melihat keluarga tuan rumah, dia langsung pergi ke anak sungai untuk membersihkan diri. Air anak sungai yang jernih dan dingin menyegarkan tubuhnya dan dia cepat kembali ke rumah. Setelah dia tiba di beranda, dia melihat Raden Hendratama dan tiga orang puterinya telah berada di situ. Nurseta yang berpemandangan tajam segera dapat merasakan bahwa ada terjadi sesuatu.
Hal ini dapat dia lihat dari sikap mereka. Wajah mereka, terutama sekali tiga orang gadis yang kemarin amat ramah kepadanya penuh senyum dan pandang mata berseri kini tampak dingin sekali, bahkan seolah tiga orang dara itu menghindari pertemuan pandang mata dengan dia. Apakah mereka kecewa dan marah atas sikapnya semalam...?
"Anakmas Nurseta, terimalah kerismu ini. Sudah kupasangkan gagang baru dan kumasukkan dalam warangka baru”. Raden Hendratama menyerahkan keris itu kepada Nurseta.
Nurseta menerimanya dan dia kagum melihat warangka yang terukir indah dan gagang kerisnya sudah terganti gagang berukir pula. Dia lalu menyelipkan keris itu pada ikat pinggangnya, tanpa memeriksa isinya karena hal itu akan menimbulkan kesan seolah dia tidak percaya kepada bekas pangeran itu. "Terima kasih banyak, paman." katanya.
"Anakmas Nurseta, terpaksa andika akan kami tinggalkan karena kami ada urusan penting sekali yang harus kami lakukan pagi ini. Maaf, kami tidak sempat mengajak andika makan pagi."
Nurseta tersenyum. "Ah, tidak mengapa, paman. Saya hanya membutuhkan tempat bermalam dan paman sekalian telah begitu baik untuk menerima saya. Biarlah saya pergi sekarang juga agar tidak mengganggu kesibukan paman sekalian." Setelah berkata demikian, Nurseta memasuki rumah, terus ke kamarmya, berkemas lalu keluar lagi menggendong buntalan pakaian di punggungnya. Dia mendengar derap kaki kuda dan setelah tiba di beranda, dia melihat Raden Hendratama telah melarikan kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu. Tentu saja Nurseta merasa heran sekali dan dia bertanya kepada Kenangasari yang biasanya paling ramah kepadanya.
"Nimas Kenangasari, ke manakah perginya Paman Hendratama? Aku ingin berpamit kepadanya."
"Tidak usah berpamit lagi. Dia sudah pergi." Jawab Kenangasari dengan pendek dan ketus.
Nurseta merasa tidak enak sekali. Dia merasa berhutang budi kepada mereka, maka meninggalkan mereka dalam keadaan seperti ini sungguh tidak menyenangkan.
"Nimas bertiga, apakah sebetulnya yang terjadi? Kalian tampak berbeda sekali. Apakah ada kesulitan yang kalian semua hadapi? Kalau memerlukan bantuan, percayalah, aku akan membantu sekuat tenagaku."
"Sudah, pergilah! Kami tidak membutuhkan kamu!" kata Sukarti.
"Ya, cerewet benar sih, kamu!" kata pula Widarti dan tiga orang gadis itu lalu memasuki ruangan depan yang penuh dengan keris dan tombak itu, mengumpulkan semua senjata itu, agaknya mereka seperti berkemas hendak pindah dari pondok itu.
Menghadapi sikap tiga orang gadis itu, Nurseta mengangkat kedua pundaknya dan diapun melompat keluar dan pergi dari situ dengan cepat. Hatinya tertekan kekecewaan, perasaannya terpukul. Tak habis heran dia memikirkan perubahan yang terjadi dalam sikap keluarga pangeran itu terhadap dirinya. Sambil melangkah pergi, pikirannya terus bekerja. Dia mencari-cari, kesalahan apa yang telah dilakukannya sehingga membuat marah keluarga itu. Kalau sikapnya tidak mau menerima tiga orang gadis itu tinggal di kamarnya itu dianggap salah, maka merekalah yang bersalah. Dia sudah benar, menjaga kesusilaan. Kalau dianggap salah, maka merekalah gadis-gadis cantik yang sayangnya tidak dapat menjaga kesusilaan. Apakah dia telah lengah, melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang tidak semestinya atau yang seharusnya?
Dia mcngingat-ingat kembali dan tiba-tiba dia menghentikan langkahnya, mengerutkan alisnya. Raden Hendratama telah mengembalikan keris pusakanya akan tetapi kenapa dia tidak memeriksanya. Tidak memeriksa isi warangka itu untuk melihat kerisnya. Hal itu seharusnya dia lakukan mengingat bahwa keris itu adalah sebuah benda pusaka yang amat ampuh, yang diperebutkan banyak orang. Bahkan eyang gurunya tewas karena mempertahankan keris itu!
Cepat dia memegang gagang keris itu dan mencabutnya, memeriksanya dengan teliti. Nurseta mengerutkan alisnya. Ujud keris itu memang masih sama, baik luk (lekuk) tiga dan semua cirinya. Akan tetapi dia merasa kehilangan wibawa yang keluar dari keris itu, yang dirasakannya setiap kali keris itu dia cabut. Sinar aneh yang dimiliki keris itu tak tampak atau terasa lagi. Dia teringat akan petunjuk mendiang Empu Dewamurti bagaimana untuk mengenal keaslian Keris Megatantra. Dengan telunjuk kirinya Nurseta lalu menjentik ujung keris itu. Biasanya, kalau dia menjentik ujung keris pusaka itu dengan pengerahan tenaga sakti, maka akan terdengar bunyi melenting nyaring dan ujung keris Itu tergetar!
"Trikk ....." Bukan main kaget rasa hati Nurseta ketika telunjuknya menjentik, ujung keris itu patah!
"Celaka .....!" serunya, maklum sepenuhnya bahwa dia tertipu. Keris yang sama benar rupa dan bentuknya ini ternyata palsu! Cepat dia menyarungkan keris yang buntung ujungnya itu ke dalam warangka yang masih terselip diikat pinggangnya, lalu dia berlari cepat sekali ke arah pondok tempat tinggal keluarga bekas pangeran itu.
Akan tetapi ketika dia tiba di pekarangan rumah itu, hanya tinggal seekor kuda saja yang tertambat pada batang pohon dan seorang gadis jelita berdiri di luar beranda. Gadis yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek itu bukan lain adalah Kenangasari, gadis paling genit di antara tiga orang puteri bekas pangeran itu.
Nurseta tidak memperdulikannya, melainkan langsung memasuki ruangan tamu di mana tersimpan banyak senjata pusaka. Akan tetapi ruangan itu kini telah kosong, tidak tampak sepotongpun senjata! Juga dua orang gadis yang lain, Sukarti dan Widarti, tidak tampak. Cepat dia melompat keluar lagi dan pada saat itu dia mendengar derap kaki kuda dan melihat Kenangasari sudah menunggang seekor kuda dan membalapkan kuda itu ke arah barat. Nurseta hendak mengejar dan menghalangi gadis itu kabur, akan tetapi dia lalu teringat. Gadis itu adalah satu-satunya orang yang akan dapat membawa dia kepada Raden Hendratama yang telah menipu dan mencuri Keris Megatantra!
Gadis itu tentu akan melarikan diri menyusul ayahnya. Berpikir demikian, Nurseta tidak jadi mengejar untuk menangkap, melainkan membayangi saja. Biarpun kuda itu seekor kuda besar yang baik dan kuat, larinya cepat dan ternyata penunggangnya mahir sekali, namun dengan menggunakan Aji Bayu Sakti, tubuh Nurseta meluncur seperti angin dan selalu dapat membayangi dan menjaga jarak sehingga tidak sampai tertinggal.
Akan tetapi, yang dibayangi itu membalap terus ke barat. Setelah matahari naik tinggi dan matahari terik sekali, Kenangasari menghentikan kudanya di tengah hutan lebat, la menjadi bingung dan agaknya tersesat, tidak tahu jalan. Melihat bahwa tidak ada orang mengejarnya, gadis itu melompat turun dan menanggalkan kendali, membiarkan kudanya minum air anak sungai yang terdapat di situ dan makan rumput, la sendiri lalu merebahkan diri bersandar pada batang pohon, mengusap keringatnya dan beristirahat, la tersenyum-senyurn manis seorang diri, mengira bahwa tidak mungkin pemuda tolol itu dapat mengejarnya.
"Nimas Kenangasari!"
Gadis itu terkejut sekali sampai tersentak dan melompat berdiri sambil memutar tubuhnya. Kiranya Nurseta telah berada di situ!
"Kau .....?" gadis itu menggagap.
"Nimas, hentikan semua main-main ini. Aku hanya menginginkan keris pusakaku dikembalikan."
Tiba-tiba gadis itu sudah melompat Lompatannya amat ringan dan tahu-tahu ia telah berada di atas punggung kudanya yang berada dalam jarak empat lima meter dari tempat ia berdiri. Ia sudah menyambar kendali kuda dan hendak membalapkan kudanya. Akan tetapi Nurseta Tidak membiarkan gadis itu melarikan diri. Cepat dia melompat ke depan kuda dan menangkap kendali di depan mulut kuda itu...
"Eyang guru .....!" Nurseta melompat dan cepat merangkul dan alangkah kagetnya melihat darah mengalir dari mata, hidung, mulut dan telinga gurunya. Ketika dia merangkul, Empu Dewamurti terkulai pingsan dalam pelukannya.
"Eyang .....!" Nurseta lalu memondong tubuh gurunya dan dibawanya tubuh yang kurus itu berlari cepat ke pondok. Setelah merebahkan tubuh gurunya ke atas amben (dipan), Nurseta memeriksa keadaan Empu Dewamurti dan alangkah kagetnya mendapat kenyataan betapa kakek itu menderita luka dalam yang amat parah dan hebat. Dia hanya dapat mengurut jalan darah di tubuh gurunya untuk memperlancar jalan darahnya yang kacau. Akhirnya, kakek itu menghela napas dan membuka matanya. Dia tersenyum ketika melihat muridnya.
"Nurseta ....., kau ..... kau belum pergi .....?" katanya lemah.
"Saya sudah tiba di kaki gunung ketika saya melihat lima orang itu melarikan diri. Di antara mereka terdapat Rasi Bajrasakti. Mereka yang melukai paduka eyang?"
Kakek itu tersenyum. "Syukur engkau sudah pergi ketika mereka datang... mereka itu dari Kerajaan Wengker... Kerajaan Wurawiri... Kerajaan Siluman Laut Kidul... musuh-musuh Kahuripan... maka mereka... hendak merampas Megatantra.... berhati-hatilah... men..... menjaganya...." Kakek itu memejamkan kedua matanya, terkulai dan menghembuskan napas terakhir dalam keadaan tersenyum penuh kepasrahan.
"Eyang .....!" Nurseta menyembah lalu berbisik sambil mendekatkan mulutnya di telinga kakek itu. "Selamat jalan eyang, semoga Sang Hyang Widhi selalu membimbing paduka."
Nurseta duduk diam, bersila di atas lantai untuk berdoa, memujikan agar sang empu dapat memasuki kedamaian abadi. Beberapa kali nafsu daya rendah mengganggu hati dan pikirannya untuk membayangkan kematian eyang gurunya sehingga perasaan dendam sakit hati dapat membakar dan menguasai hatinya. Nurseta maklum akan bahayanya pengaruh nafsu daya rendah ini. Eyang gurunya selalu memperingatkan agar dia jangan sampai dikuasai nafsu-nafsunya sendiri.
Terutama sekali nafsu amarah yang menimbulkan dendam akan mendorongnya kepada kekejaman dan pelampiasan nafsu dendam. Dia memang harus menentang orang-orang jahat, akan tetapi bukan didasari dendam kebencian. Menghadapi dorongan nafsu daya rendah ini, dia tidak melawan, tidak menekan, melainkan membiarkan dirinya lentur dan kuat sehingga serangan nafsu itu hanya lewat dan lalu begitu saja, hilang dengan sendirinya.
Inilah Aji Sirnasarira (Lenyap Diri) yang ditujukan ke dalam. Aji ini membuat perasaan yang bersumber dari si aku menghilang. Kalau tidak ada lagi si-aku, dengan sendirinya tidak ada rasa benci, dendam dan sebagainya lagi. Semua itu hanya ulah nafsu. Aji Sirnasarira ini kalau ditujukan keluar, dapat berpengaruh seperti aji palimutan yang membuat dia dapat menghilang atau tidak tampak oleh mata orang lain.
Setelah matahari naik tinggi, Nurseta lalu menumpuk kayu-kayu kering di sekeliling tempat tidur gurunya, kemudian dia membakar kayu yang ditumpuk-tumpuk itu. Setelah kayu terbakar dan berkobar besar, dia keluar dari dalam pondok. Pondok mulai terbakar. Perbuatan ini dia lakukan sesuai dengan pesan eyang gurunya yang pernah mengatakan bahwa kalau dia mati, dia ingin agar jenazahnya diperabukan.
"Setelah badan ini menjadi abu, taburkan dari puncak agar tersebar di seluruh permukaan gunung dan menjadi pupuk bagi kesuburan sawah ladang." demikian pesan eyang gurunya. Kini dia teringat akan sikap dan kata-kata gurunya pagi tadi. Gurunya secara mendadak menyuruhnya pergi meninggalkan puncak, membawa pergi Keris Megatantra, menyerahkan seluruh emas yang dimilikinya kepadanya! Seolah orang tua itu sudah tahu atau dapat merasakan bahwa saat akhir hidupnya akan tiba pada hari itu.
Setelah pondok kayu sederhana itu terbakar habis, Nurseta lalu mencari di antara puing dan menemukan abu jenazah Empu Dewamurti di antara abu kayu pondok. Abu jenazah itu keputih-putihan, berbeda dengan abu dan arang kayu. Dia mengumpulkan abu jenazah itu, membungkusnya dalam sehelai kain ikat kepala yang lebar, kemudian membawanya ke puncak, ke tempat di mana dia dapat memandang seluruh permukaan lereng vang di bawah puncak itu. Sawah ladang terbentang luas.
Ada rasa haru dalam hatinya. Gurunya adalah seorang manusia yang bijaksana dan budiman. Bahkan setelah mati pun dia ingin agar jasmaninya bermanfaat bagi manusia, agar abu jenazahnya dapat menjadi pupuk dan menyuburkan sawah ladang! Nurseta lalu mulai menaburkan abu itu sedikit demi sedikit keatas ketika angin bertiup. Abu itu terbawa angin melayang-layang ke bawah puncak, seolah menghujani sawah ladang yang berada di sana.
Setelah abu jenazah itu disebarkan semua, Nurseta lalu menuruni puncak itu dan dia mempergunakan ilmunya Bayu Sakti sehingga tubuhnya seolah melayang layang turun dari puncak Arjuna dengan cepat sekali.
Pada suatu sore Nurseta berjalan melalui sebuah hutan cemara dan dia sedang mencari kalau-kalau terdapat sebuah dusun di sekitar daerah itu agar dia dapat melewatkan malam dengan menumpang di rumah sebuah keluarga petani, atau setidaknya dia dapat menemukan sebuah gubuk di tengah sawah ladang.
Setelah keluar dari hutan cemara yang tidak berapa besar itu, dari jauh dia sudah mendengar suara gemercik air, tanda bahwa tak jauh dari situ terdapat sebatang anak sungai yang airnya bening mengalir di antara batu-batu atau sebuah grojogan (air terjun) yang airnya menimpa batu-batu mendatangkan suasana sejuk dan nyaman. Nurseta merasa gembira karena dia memang merasa gerah dan dapat membayangkan betapa akan sejuk dan segarnya mandi di air yang jernih. Dia mempercepat langkahnya menuju ke arah suara air gemercik. Tiba-tiba dia menahan langkahnya. Terdengar suara beberapa orang wanita bercakap-cakap, bersenda gurau dan tertawa cekikikan di antara gemercik suara air itu. Kalau ada wanita-wanita di situ, berarti tempat itu pasti dekat dengan sebuah dusun!
Hatinya merasa lega dan girang. Dia akan menghampiri para wanita itu dan menyapa mereka. Akan tetapi ketika dia'sudah berada dekat dengan dari mana datangnya suara itu, dia tertegun dan mengintai dari balik batu besar. Gemercik air itu memang berasal dari sebuah grojogan kecil dan dibawahnya terdapat sebatang anak sungai yang airnya jernih sekali, mengalir di antara batu-batu bersih. Yang membuat dia tersipu adalah ketika dia melihat tiga orang gadis bertapih pinjung (kain penutup tubuh dari dada ke bawah) yang basah kuyup sehingga mencetak bentuk tubuh mereka yang indah dan tampak kulit pundak, leher dan lengan yang putih kuning mulus. Usia mereka antara tujuh belas sampai dua puluh tahun. Wajah mereka tampak ayu dan manis, dengan rambut basah terurai dan wajah berseri seri penuh senyum dan tawa senda gurau. Kalau tertawa, mulut mereka agak terbuka dan tampak deretan gigi yang putih mengkilat di balik bibir merah segar.
Bukan seperti gadis-gadis dusun pada umumnya, pikir Nurseta. Lebih pantas kalau mereka itu datang dari kota, gadis gadis bangsawan, seperti yang pernah dilihatnya beberapa kali dahulu ketika dia masih tinggal di Karang Tirta, yaitu kalau Ki Lurah Suramenggala kedatangan tamu Bangsawan. Akan tetapi kalau mereka itu puteri bangsawan, mengapa mereka berada di dusun dan mandi di kali?
Nurseta merasa tidak enak untuk mengintai terus, dapat menimbulkan prasangka buruk, pikirnya. Maka diapun keluar dari balik batu besar itu dan menghampiri mereka. Tiga orang gadis itu agaknya habis mencuci pakaian yang mereka taruh di dalam keranjang, dan kini mereka sedang mandi. Seorang dari mereka yang usianya sekitar dua puluh tahun, sedang berkeramas (mencuci rambut). Rambutnya yang hitam panjang itu digosok gosoknya dengan biji lerak dan daun kenanga dan ketika melakukan pekerjaan ini, kepalanya ditundukkan, rambutnya terurai ke bawah, kedua tangannya menggosok-gosok sehingga tubuh bagian atas itu bergerak gerak seperti sedang menari.
Orang kedua, gadis manis berusia sekitar delapan belas tahun, sedang menggosok-gosok kulit dada bagian atas dekat leher dengan sebuah batu hitam yang halus. Adapun gadis ke tiga yang usianya sekitar tujuh belas tahun sedang menggosok-gosok betis kaki kanannya yang ia angkat ke atas sebuah batu. Betis berkulit kuning mulus itu juga digosok-gosok dengan batu hitam yang halus.
Melihat tiga tubuh gadis muda yang padat, berkulit putih mulus, dengan lekuk lengkung yang sempurna, bagaikan tiga tangkai bunga yang sedang mekarnya, Nurseta terpesona. Belum pernah selamanya dia merasa sedang melihat suatu pemandangan yang luar biasa indahnya. Nurseta tiba di tepi anak sungai, hanya dalam jarak tiga meter dari mereka. Karena sedang asyik dengan pekerjaan masing-masing dan tersamar oleh suara gemercik air, mereka agaknya tidak melihat atau mendengar kedatangan pemuda itu.
"Maafkan aku, nimas bertiga" kata Nurseta dengan suara agak nyaring untuk mengatasi suara gemercik air.
Tiga orang gadis itu menengok dan mereka terkejut sekali melihat ada seorang pemuda telah berdiri di tepi sungai. Bahkan gadis yang termuda, yang tadi mengangkat kakinya ke atas batu dan menggosok-gosok betisnya, kini berdiri tegak dan gerakannya yang tiba tiba ini membuat ikatan tapih pinjungnya terlepas dan kain itu merosot. Ia menjerit kecil dan kedua tangannya cepat menangkap kain itu dan menariknya kembali ke atas, namun kain itu tadi telah sempat membuka dan memperlihatkan sekilas sepasang payudara yang padat dan indah bentuknya. Pada jaman itu, payudara wanita bukan merupakan bagian tubuh yang teramat dirahasiakan. Namun gadis itu tersenyum malu-malu, tersipu dan menundukkan mukanya. Dua orang gadis lainnya juga memandang kepada Nurseta. Mereka bertiga terkejut karena tidak menyangka akan ada seorang laki-laki muda mendekati dan menyapa mereka. Gadis tertua, yang mempunyai titik tahi lalat hitam di pipi kirinya, membuatnya tampak manis sekali, mewakili teman-temannya. Agaknya ia yang paling berani menghadapi pemuda asing itu dan suaranya terdengar merdu dan tutur sapanya halus, jelas menunjukkan bahwa ia bukan seorang gadis dusun yang lugu dan kasar.
"Ki sanak, andika ini seorang pria, apa maksud andika mendekati dan menyapa kami tiga orang wanita yang sedang mandi?" Pertanyaan ini merupakan teguran, namun dilakukan dengan halus menjadi sebuah pertanyaan.
Nurseta maklum akan hal ini dan semakin kuat dugaannya bahwa wanita-wanita muda ini jelas bukan gadis-gadis dusun biasa yang sederhana dan bodoh.
"Sekali lagi aku mohon maaf kalau mengganggu andika bertiga. Aku bernama Nurseta, seorang kelana yang ingin minta keterangan kepada andika di manakah kiranya aku dapat menemukan tempat untuk melewatkan malam ini." kata Nurseta dan diapun bersikap sopan.
Dia duduk di atas sebongkah batu di tepi anak sungai itu dan mengamati mereka bertiga dengan sikap sopan, tidak secara langsung mengamati wajah dan tubuh mereka, melainkan sambil lalu seolah di depannya itu tidak terdapat pemandangan yang amat menarik hatinya. Dia mendapat kenyataan betapa gadis tertua yang bicara dengannya bertubuh agak tinggi semampai lehernya panjang kepalanya tegak membuat ia tampak anggun. Wajahnya manis, pandang matanya penuh pengertian dan cerdik. Akan tetapi keseriusan yang membayang di wajahnya yang ayu itu mendatangkan kesan bahwa ia seorang wanita yang tidak mudah diajak bergurau, mungkin agak keras hatinya. Tahi lalat di pipi kirinya itu menambah kemanisan wajahnya.
Gadis ke dua yang usianya sekitar delapan belas tahun berwajah bulat dan kulitnya putih sekali. Wajahnya cantik jelita, sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup dan mulutnya yang tersenyum-senyum nakal itu membuat Nurseta menduga bahwa gadis ini tentu seorang yang berwatak riang jenaka. Mulutnya yang bentuknya indah dengan sepasang bibir tipis merah membasah yang agaknya selalu berjebi, selalu senyum dan kadang tampaklah kilatan gigi yang berderet rapi dan putih.
Ada pun gadis ke tiga yang tadi merosot tapih pinjungnya, berusia sekitar tujuh belas tahun, bagaikan kuncup bunga mawar mulai mekar, wajahnya berbentuk bulat telur, dahinya agak nonong (menonjol) akan tetapi ia juga manis sekali, kalau tersenyum muncul lesung pipit kanan kiri mulutnya. Ia lebih banyak menundukkan pandang matanya, seperti malu-malu, namun sikap seperti ini bahkan menambah daya tariknya sebagai seorang dara yang baru tumbuh dewasa.
Tiga orang gadis yang amat menarik hati, pikir Nurseta. Dia merasa heran bagaimana di luar sebuah hutan, di tempat yang sunyi ini, dia dapat bertemu dengan tiga orang gadis cantik seperti mereka.
Mendengar ucapan Nurseta yang penuh hormat itu dan melihat sikapnya yang sopan santun, tiga orang gadis itu menjadi agak berani. Bahkan gadis kedua tertawa dan menutupi mulut dengan tangan kirinya gerakannya begitu luwes dan indah, penuh kelembutan seorang wanita.
"Hi-hik, andika telah memperkenalkan nama kepada kami, tentu andika juga ingin sekali mengetahui nama kami Bukankah begitu, Kakangmas Nurseta?"
"Ih, malu, Mbakayu Kenangasari!" kata dara yang paling muda sambil menahan senyum dan mengerling sopan ke arah Nurseta.
"Mengapa mesti malu, Widarti? Orang saling memperkenalkan nama sewaktu bertemu, bukankah itu wajar-wajar saja? bukankah begitu, Mbakayu Sukarti?" kata gadis ke dua sambil tersenyum cerah. Gadis pertama mengerutkan alisnya.
"Diamlah kalian berdua dan jangan bergurau selalu. Kisanak ini tentu akan menganggap kita kurang sopan." tegur dara pertama yang tertua.
Nurseta tertawa. Sikap tiga dara ini membuat suasana menjadi semakin cerah dan indah, membuat gemercik air semakin nyaring menggembirakan.
"Ha-ha-ha, nimas bertiga yang baik. Tidak perlu bersusah payah memperkenalkan nama karena aku sudah tahu siapa nama andika bertiga."
"Andika sudah tahu, Kakangmas Nurseta?" Tanya Kenangasari sambil tersenyum.
"Tentu saja! Andika bernama Kenangasari, nimas ini bernama Sukarti dan yaing itu bernama Widarti." kata Nurseta yang kini dihinggapi perasaan gembira menghadapi tiga orang gadis jelita itu.
"Hemm, apa anehnya itu? Kenangasari, jangan bodoh. Tentu saja dia tau, karena tadi kita saling memanggil nama masing-masing!" kata Sukarti.
"Benar sekali. Tadi andika bertiga tanpa kuminta telah memperkenalkan nama masing-masing. Sekarang, setelah kita saling berkenalan, maukah andika bertiga suka menjawab pertanyaanku tadi?"
"Pertanyaan yang mana? Andika tadi bertanya apa sih?" Tanya Kenangasari dengan senyum manis.
"Tadi aku bertanya apakah andika bertiga dapat menunjukkan di mana aku bisa mendapatkan tempat untuk melewatkan malam ini."
Tiga orang gadis itu saling pandang, kemudian Kenangasari yang menjawab. Agaknya ia merupakan orang yang paling pandai dan berani bicara sehingga ia mewakili kedua orang temannya untuk menjawab.
"Kenapa andika tidak bermalam saja di rumah kami, Kangmas Nurseta?"
"Ih, Mbak ayu Kenangasari, engkau lancang!" tegur Widarti.
"Kenapa lancang? Bukankah kita sudah berkenalan dengan Kangmas Nurseta dan agaknya dia bukan penjahat? Apa salahnya dia bermalam di rumah kita semalam? Kita mempunyai sebuah kamar kosong."
"Tapi ....." Kini Sukarti yang mencela. Ucapannya dipotong cepat oleh Kenangasari.
"Kau maksudkan..... ayah kita, Mbak yu Sukarti? Kalau kita yang minta agar Kangmas Nurseta dibolehkan menginap di rumah kita malam ini, pasti dia akan menyetujui."
Nurseta merasa girang, akan tetapi juga rikuh (sungkan). "Ah, nimas, terima kasih atas kebaikan hati andika bertiga, akan tetapi aku sama sekali tidak ingin merepotkan andika!"
"Kalau kita sudah saling berkenalan dan menjadi sahabat, mengapa masih bersikap sungkan?" Sukarti yang kini menyetujui usul Kenangasari.
"Kakangmas, boleh aku bertanya?" kata Widarti. Gadis manis yang tadi tampak pemalu itu kini berani menatap wajah Nurseta dan sepasang lesung pipitnya muncul di kedua pipinya.
"Tentu saja boleh, nimas. Bertanyalah." jawab Nurseta.
Bercakap-cakap dengan tiga orang gadis yang ayu manis dan ramah ini sungguh menyenangkan hatinya.
"Begini, Kangmas Nurseta. Andaikan andika berada dalam rumah andika dan kami bertiga datang berkunjung, apakah kiranya andika akan menolak kedatangan kami karena merasa repot?"
Nurseta tertegun. Dia tadi salah sangka! Gadis yang tampak pemalu ini sesungguhnya pandai bicara dan cerdas sekali. Kalau dua orang gadis yang lain membujuknya untuk bermalam dengan kata-kata biasa yang dapat ditolaknya, gadis termuda ini mengajukan pertanyaan yang sekaligus membuat dia tidak mungkin lagi menolak!
"Tentu saja tidak, nimas." jawabnya dan dia sudah merasa kalah.
"Nah, kalau andika akan mau menerima kami dan tidak merasa repot, kamipun demikian pula. Kami tidak akan repot, bahkan merasa gembira sekali kalau andika mau bermalam di gubuk kami, tentu saja kalau andika tidak merasa jijik tinggal semalam di gubuk kami yang reyot dan kotor!"
Nurseta takluk. Ucapan gadis itu menambah kuatnya desakan itu dan dia sama sekali tidak berdaya untuk menolaknya. Tidak ada alasan lagi baginya untuk menolak karena tadi dia sudah menyatakan bahwa dia membutuhkan tempat untuk menginap malam ini. Dia mengembangkan kedua lengan dan menggerakkan kedua pundak tanda tak berdaya sambil tersenyum.
"Baiklah, aku terima undangan andika dan sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih"
"Horeee .....!" Kenangasari bersorak seperti anak kecil.
"Kalau begitu mari kita pulang! Mari, Kakangmas Nurseta!"
Tiga orang gadis itu mengambil keranjang pakaian dan keluar dari anak sungai itu.
"Di mana rumah andika bertiga?" tanya Nurseta.
"Di depan sana, tidak jauh dari sini!" jawab Sukarti sambil menunjuk ke arah utara
"Silakan andika berangkat lebih dulu, Nanti aku menyusul ke sana." kata Nurseta.
"Eh, kenapa, kakangmas? Bukankah andika sudah setuju untuk bermalam dirumah kami?" tanya Kenangasari.
"Benar, nimas. Akan tetapi aku ingin mandi dulu di sini. Airnya begitu jernih dan segar."
"Andika tidak akan melanggar janji dan berbohong kepada kami, Kang Nurseta?" tanya Widarti.
"Kalau begitu, biar kami menanti disini sampai andika selesai mandi!" kata Sukarti.
"Wah, jangan andika bertiga menunggu di sini. Aku akan merasa malu! Percayalah, seorang laki-laki tidak akan sudi melanggar janjinya! Pulanglah kalian lebih dulu. Setelah selesai mandi aku akan segera datang berkunjung. Tentu kalian ingin bersiap-siap sebelum aku datang, bukan? Jangan repot-repot, hidangkan saja seadanya, semuanya!" Nurseta berkelakar. Tiga orang gadis itu tertawa renyah, gigi mereka yang putih tampak sebentar.
"Jangan terlalu lama, kami tunggu!" kata Sukarti dan mereka bertiga lalu pergi dari situ sambil tertawa-tawa.
Dari belakang mereka, Nurseta melihat betis-betis yang memadi bunting dan putih mulus bergerak-gerak, pinggul-pinggul yang indah di balik kain basah itu menari-nari. Setelah tiga orang gadis itu menghilang di balik pohon-pohon, Nurseta tersenyum dan menghela napas panjang. baik sekali nasibnya, bertemu dengan bidadari-bidadari yang selain ayu merak ati (cantik menggiurkan) juga baik hati dan ramah sekali.
Dia lalu menanggalkan seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam air yang sejuk segar. Dia meniru apa yang dilakukan para gadis tadi. Diambilnya sepotong batu hitam yang licin dan dia menggosok-gosok seluruh kulitnya dengan batu hitam itu sehingga bersih. Kemudian dia mencuci pakaian yang tadi dipakainya dan setelah selesai memeras pakaian itu dan menaruhnya di atas batu, dia lalu mengenakan pakaian bersih.
Setelah naik ke tepi anak sungai. Nurseta mengembangkan dan mengebut ngebutkan pakaian yang tadi dicucinya. Karena dia mengerahkan tenaganya, maka pakaian itu berkibar kuat dan sebentar saja sudah menjadi kering kembali! Setelah menyimpan pakaian itu ke dalam buntalan pakaiannya dan menggendong buntalan itu, berangkatlah Nurseta menuju ke arah yang ditunjuk Sukarti tadi.
Hari telah menjelang senja ketika akhirnya Nurseta tiba di pekarangan depan sebuah rumah pondok besar yang tidak berapa jauh letaknya dari anak sungai tadi. Begitu dia memasuki pekarangan, muncul empat orang dari pintu depan pondok itu. Lampu gantung sudah di pasang di beranda itu dan Nurseta lihat tiga orang gadis tadi yang kini sudah mengenakan pakaian baru, rambut gelung dengan rapi dan dihias bunga melati. Mereka tersenyum-senyum, manis sekali.
Akan tetapi pandang mata Nurseta ditujukan kepada laki-laki yang berada di antara mereka. Laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun. Pakaiannya mewah seperti priyayi. Rambutnya digelung keatas dan diikat rantai kecil dari emas! Sebatang keris dengan sarungnya yang indah terselip di depan pinggangnya. Laki-laki ini bertubuh tegap dengan dada bidang dan wajahnya masih tampak muda, tampan dan gagah. Melihat empat orang itu agaknya sedang menanti untuk menyambutnya, Nurseta segera menghampiri mereka dan memberi hormat dengan sembah di depan dada.
"Kakangmas Nurseta, inilah ayah kami, Raden Hendratama." Sukarti memperkenalkan laki-laki gagah itu.
Nurseta memberi hormat. Diam-diam ia terkejut mendengar laki-laki itu seorang priyayi, seorang bangsawan. Kalau begitu tiga orang gadis itu adalah puteri puteri bangsawan seperti yang tadi pernah diduganya. Akan tetapi yang amat aneh, mengapa keluarga ini tinggal di pondok yang terpencil? Tidak tampak rumah lain di situ.
"Raden, maafkanlah kalau kelancangan saya berkunjung ini mengganggu ketenangan keluarga paduka." kata Nurseta hormat.
Agaknya sikap sopan pemuda itu menyenangkan hati laki-laki yang bernama raden Hendratama itu. Dia tersenyum.
"Wah, anakmas Nurseta, anak-anakku telah menceritakan tentang dirimu, anggaplah kami sebagai keluargamu atau sahabat baik, karena itu jangan sebut aku raden. Sebut saja paman. Biarpun aku seorang pangeran, namun sudah lama aku meninggalkan keluarga istana dan hidup sebagai rakyat biasa."
Nurseta merasa gembira sekali. Kiranya ayah dari tiga orang dara Inipun rendah hati dan ramah sekali. Diapun tidak merasa ragu lagi dan menganggap mereka itu sebuah keluarga bekas ningrat yang baik hati sekali.
"Terima kasih, Paman Hendratama."
"Mari, mari masuk, Kangmas Nurseta. Kita duduk dan bicara di ruangan dalam." kata Kenangasari ramah.
"Benar, anakmas. Silakan masuk dan kita bercakap-cakap di dalam." kata pula Hendratama. Nurseta tidak merasa sungkan lagi dan dia ikut memasuki ruangan yang luas.
Ternyata ruangan itu cukup indah, dengan meja kursi terukir dan terutama sekali di dinding ruangan itu tergantung banyak sekali senjata yang tampak serba indah. Tentu pusaka-pusaka ampuh, pikir Nurseta. Terdapat banyak tombak, klewang (golok), pedang, dan bermacam-macam keris, dari yang kecil sampai yang besar.
Dia merasa heran sekali, akan tetapi diam saja takut kalau disebut lancang kalau banyak bertanya. Setelah dipersilakan duduk, Nurseta duduk berhadapan dengan Hendratama dan tiga orang gadis yang masih berdiri memandang kepadanya. Kenangasari yang centil lalu berkata kepada Nurseta sambil tersenyum.
"Kakangmas, sekarang kami bertiga pamit dulu untuk mempersiapkan hidangan makan malam."
"Ah, harap andika jangan repot-repot, nimas...." kata Nurseta sambil menggerakkan tangan seolah mencegah.
"Tidak usah repot, keluarkan saja seadanya, semuanya! Begitu katamu tadi, bukan?" kata Windarti sambil tersenyum dan mengerling nakal.
Tentu saja wajah Nurseta menjadi merah. Tadi dia hanya bergurau akan tetapi gadis-gadis itu malah mengulanginya di depan ayah mereka! Tiga orang dara jelita itu tertawa-tawa sambil meninggalkan ruangan itu menuju ke belakang.
"Ah, anakmas Nurseta. Jangan Sungkan Anak-anak itu memang nakal dan suka menggoda orang."
"Hemm, tidak sama sekali, paman. Mereka..... mereka adalah gadis-gadis yang baik budi, berhati mulia dan manis sekali."
"Ha-ha-ha!" Laki-laki gagah itu tertawa. "Andika suka kepada mereka?"
Nurseta tertegun, akan tetapi dia menyadari bahwa yang dimaksudkan tuan rumah ini tentulah rasa suka akan sesuatu yang indah dan baik, bukan rasa cinta seorang pria terhadap wanita. Setelah berpikir demikian, diapun menjawab dengan sikap biasa.
"Tentu saja, paman saya suka sekali kepada mereka."
"Bagus! Kalau begitu, andika mau menjadi suami mereka, atau seorang di antara mereka?"
Mau tidak mau Nurseta terbelalak saking herannya. Ini sudah gila! Mana ada seorang ayah menawarkan tiga orang anak gadisnya untuk menjadi isteri seorang pemuda asing yang sama sekali tidak dikenalnya? Ditawarkan ketiga tiganya lagi! Kekhawatirannya sesaat terjadi. Rasa suka itu diartikan rasa cinta oleh Raden Hendratama!
"Ahh! Ini... ini... saya maksudkan. saya suka sekali kepada mereka karena mereka baik budi, saya suka menjadi sahabat mereka..."
"Hemm, andika tidak suka memperisteri mereka atau seorang di antara mereka?"
"Maafkan saya, paman. Bukan saya tidak suka, akan tetapi saya sama sekali belum mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan perjodohan."
"Kenapa, anakmas?" Hendratama mendesak sambil mengamati wajah pemuda itu.
Merasa terdesak, dan juga karena dia percaya kepada keluarga bangsawan yang rendah hati dan baik budi bahasanya ini, Nurseta berterus terang.
"Saya tidak mau mengikatkan diri dengan perjodohan dulu paman, karena saya masih mempunyai banyak tugas dari mendiang eyang guru saya yang harus saya selesaikan."
Raden Hendratama mengangguk angguk. "Itu bagus sekali, anakmas. Seorang murid haruslah berbakti dan taat kepada gurunya, dan sikapmu itu menunjukkan bahwa andika seorang murid yang baik sekali. Siapakah mendiang guru andika itu?"
"Mendiang eyang guru adalah Empu Dewamurti, paman."
Raden Hendratama terkejut. "Jagat Dewa Bathara Kiranya guru andika adalah Sang Empu Dewamurti yang sakti mandraguna! Dan katamu tadi dia sudah meninggal dunia?"
"Benar, paman. Beberapa bulan yang lalu eyang guru telah wafat."
"Wah, kalau begitu andika tentu seorang ksatria yang sakti mandraguna, Anakmas Nurseta!"
"Apakah paman mengenal mendiang eyang guru?" Nurseta bertanya untuk mengalihkan perhatian karena dia tidak ingin bicara tentang kesaktian.
"Siapa tidak mengenal Empu Dewamurti? Ada beberapa batang keris buatannya kusimpan! Semua keturunan Wangsa ishana mengenalnya dengan baik!"
Diam-diam Nurseta terkejut. Dia menatap wajah laki-laki itu dan bertanya, "Maafkan saya, paman. Kalau begitu... paman adalah seorang keturunan keluarga istana kerajaan Mataram?"
Raden Hendratama menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada suara letih. "Sebenarnyalah, anakmas Nurseta aku dahulu adalah Pangeran Hendratama, putera mendiang Rama Teguh Dharmawangsa. Akan tetapi karena ibuku hanya seorang selir dari kasta rendahan, maka aku tidak masuk hitungan dan ketika Erlangga menduduki tahta, aku lalu menyingkir dan lebih baik hidup tentram sebagai rakyat biasa."
Mendengar ini, Nurseta yang sejak kecil sudah belajar tata krama (tata susila) oleh ayahnya kemudian oleh eyang gurunya, cepat bangkit berdiri dan berjongkok menyembah. "Gusti Pangeran, ampunkan hamba yang tidak mengenal paduka ....."
Raden Hendratama tertawa, lalu bangkit dan memegang pundak pemuda itu, menariknya bangkit dan berdiri kembali.
“Ha-ha-ha, jangan bersikap seperti itu, anakmas. Andika membuat aku menjadi rikuh dan malu saja. Aku sendiri sudah melupakan bahwa aku adalah seorang bekas pangeran. Bekas kataku, sekarang bukan lagi pangeran. Nah, duduklah dan jangan mengubah sikapmu yang baik tadi. Tetap sebut aku paman atau aku malah menjadi tidak senang menerimamu sebagai seorang sahabat."
Nurseta terpaksa duduk kembali "Aduh, paman. Paman sungguh bijaksana dan rendah hati. Bagaimana seorang pangeran dapat hidup menjadi seorang anggota rakyat biasa?"
"Ha-ha-ha, apa bedanya? Apakah kehebatan atau kebesaran seorang raja melebihi rakyat? Raja juga manusia biasa seperti rakyat jelata! Dapatkah andika membayangkan seorang raja tanpa rakyat seorangpun? Dia hanya seperti seorang badut yang tidak lucu, atau bahkan menjadi seorang gila. Sebaliknya, kalau rakyat kehilangan raja, hal itu masih dapat berlangsung. Menjadi rakyat biasa bukan berarti hina atau rendah, juga bukan berarti tidak dapat hidup tentram dan bahagia."
"Paman sungguh bijaksana!" Nurseta memuji.
"Oya, eyang gurumu itu, Empu Dewamurti, bagaimana dia wafat? Seingatku dia belum begitu tua."
Tentu saja kini Nurseta merasa lebih percaya kepada pangeran ini. Orang ini adalah putera mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, berarti kakak ipar sang Prabu Erlangga! Kiranya tidak perlu ia merahasiakan segala mengenai dirinya dan eyang gurunya yang juga merupakan kawula Mataram yang selalu akan membela Mataram atau keturunan Mataram yang sekarang menjadi Kerajaan Kahuripan.
"Eyang guru tewas dikeroyok lima orang yang dating dari Kerajaan Wengger, Wirawari, dan Kerajaan Siluman pantai Laut Kidul. Ketika itu saya tidak ada di sana dan ketika saya datang, sang guru sudah berada dalam keadaan gawat dan beliau meninggal karena luka lukanya."
Raden Hendratama, bekas pangeran itu mengerutkan alisnya dan mengepal tangan kanannya. "Hemm, mereka memang orang-orang jahat! Kanjeng Rama juga wafat ketika kerajaan diserang oleh raja Wurawari! Akan tetapi, Anakmas Nurseta, mengapa Sang Empu Dewamurti mereka musuhi dan mereka bunuh"
Kembali Nurseta tak dapat merahasiakan hal itu. "Mereka agaknya menyerang eyang guru karena mereka ingin merebut keris pusaka ini dari tangan eyang guru, paman. Akan tetapi keris pusaka ini telah diserahkan kepada saya karena memang saya yang dulu menemukannya, sehingga eyang guru sampai tewas."
"Hemmm, keris pusaka apakah itu anakmas?" Tanya Raden Hendratama sambil memandang keris yang terselip dipinggang pemuda itu.
"Menurut keterangan eyang guru. keris ini adalah Keris Pusaka Megatantra. Menurut eyang, keris pusaka ini adalah keris pusaka Kerajaan Mataram yang dahulu lenyap dan kebetulan saya temukan ketika saya menggali tanah di dusun Karang Tirta dekat pantai Laut Kidul."
"Hemm, begitukah?" Sikap bekas pangeran itu agaknya tidak begitu acuh atau tertarik. Mungkin karena dia melihat gagang dan sarung keris yang buruk itu. Dia sendiri yang mengganti gagang keris yang sudah lapuk karena lama terpendam, juga dia yang menbuatkan warangkanya. Atau mungkin karena Raden Hendratama sudah memiliki pusaka yang demikian banyaknya, pikir Nurseta.
Pada saat itu, terdengar suara tawa lembut dan tiga orang gadis cantik yang kini diketahui oleh Nurseta sebagai puteri-puteri bangsawan tinggi, puteri-puteri seorang pangeran!
"Hidangan makan malam telah siap!" kata Kenangasari dengan senyum manis dan sinar matanya berseri.
"Tidak repot-repot akan tetapi semua telah dikeluarkan!" kata Widarti yang kini tampak lebih berani dan centil.
"Mari silakan, hidangan telah kami siapkan di ruangan makan!" kata pula Sukarti.
"Ha-ha-ha, hayo anak mas, kita makan didalam. Nanti kita lanjutkan pembicaraan kita!" kata Raden Hendratama sambil bangkit berdiri.
Nurseta bangkit pula dan dia lalu mengikuti tuan rumah menuju keruangan sebelah dalam. Ketika Widarti melangkah dekat ayahnya, Raden Hendrarama merangkul gadis itu dan Widarti tampak manja sekali ketika sambil melangkah ayahnya merangkulnya. Tadinya tiga orang gadis itu berdiri dan melayani dua orang laki-laki yang mulai makan itu, akan tetapi Nurseta merasa tidak enak dilayani puteri-puteri bangsawan itu.
"Harap andika bertiga makan bersama agar aku tidak merasa sungkan." katanya.
Raden Hendratama tertawa. "Duduklah kalian bertiga dan mari makan bersama. Memang akan lebih lezat rasanya kalau kembul bnojana (makan bersama).!”
Tiga orang gadis itupun duduk dan Nurseta melihat bahwa meja besar ini penuh dengan hidangan yang serba lezat. Heran dia melihat adanya hidangan dari bermacam daging. Ada daging ayam yang tentu saja mudah menyembelih ayam piaraan sendiri. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah melihat adanya daging ikan seperti lele, baber dan lain-lain. Juga tersedia masakan daging kambing dan kerbau!
"Bukan main!" dia berseru. "Bagaimana andika sekalian bisa mendapatkan segala macam daging ini?"
"Hi-hik! Bukan sulap bukan sihir Kangmas Nurseta. Ayam dan ikan-ikan itu dipeliharaan kami sendiri, dan daging kerbau dan kambing itu kami dapatkan dari sebuah dusun tak jauh dari sini. Katanya semua dan seadanya harus dikeluarkan!" kata Kenangasari yang centil.
"Aduh, kalau begitu aku benar-benar membuat andika semua repot sekali!"
"Ayolah, anakmas. Jangan sungkan lagi. Makan saja seadanya, cicipi satu demi satu. Kalau ada hidangan yang tidak andika makan, pembuatnya tentu akan kecewa." Kata Raden Hendratama sambil tertawa.
"Kalau masakanku tidak dicicipi, aku akan menangis!" kata Kenangasari.
"Aku juga!" kata Widarti.
"Dan aku akan marah!" kata Sukarti.
Nurseta tersenyum dan karena dia tidak tahu mereka bertiga itu masing-masing masak yang mana, terpaksa dia mencicipi semua hidangan yang tersedia. Hal ini mudah saja dia lakukan karena memang perutnya sudah amat lapar. Sejak pagi tadi, sehari penuh, dia tidak makan. Kini dengan tubuh sehat perut lapar dan suasana menggembirakan, tentu saja dia dapat makan dengan lahapnya, membuat tiga orang gadis itu tampak gembira sekali.
Setelah selesai makan minum, Raden Hendratama mengajak Nurseta duduk kembali ke ruangan depan. Kepada tiga orang gadis itu dia berkata, "Bersihkan dan persiapkan kamar tamu itu untuk Anakmas Nurseta dan aku minta agar kalian bertiga beristirahat di dalam. Jangan mengganggu kami yang akan bercakap-cakap."
Tiga orang gadis itu terang-terangan memperlihatkan muka cemberut. Bibir-bibir yang manis itu diruncingkan, mata yang indah jeli itu mengerling manja dan marah, akan tetapi tidak ada yang berani membantah. Diam-diam Nurseta sendiri juga merasa kecewa karena akan lebih menggembirakan baginya kalau bercakap-cakap dengan dihadiri mereka bertiga yang lincah itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menanggapi perintah Raden Hendratama kepada para puterinya itu dan mengikuti tuan rumah menuju ke ruangan depan.
Setelah duduk di atas kursi, Raden Hendratama melihat betapa Nurseta memandang ke arah keris dan tombak yang tergantung di dinding, agaknya mengagumi warangka dan gagang yang terukir indah itu.
"Aku sejak dulu memang suka mengumpulkan keris dan tombak pusaka, anakmas. Biarpun aku bukan seorang empu pembuat keris, namun aku pandai mengukir gagang warangka. Lihat ini, keris ini kuberi gagang dan warangka yang terbuat dari kayu cendana." Dia mengambil sebatang keris dalam sarung keris yang mengkilap dan terukir indah, memperlihatkannya kepada pemuda Itu.
Nurseta menerima dan mengamati gagang dan warangka keris itu. Memang indah sekali dan mengeluarkan ganda harum cendana. Setelah Nurseta mengemballkannya, Raden Hendratama menyelipkan keris itu di ikat pinggangnya. Kemudian bekas pangeran itu memandang kearah keris yang terselip di pinggang Nurseta.
"Oya, apa namanya keris yang andika temukan itu, anakmas?" pertanyaan ini terdengar sambil lalu saja, seperti tak acuh.
Nurseta meraba gagang kerisnya. "Namanya menurut mendiang eyang guru adalah Megatantra, paman."
"Hemm, rasanya belum pernah aku mendengar nama itu. Bolehkah aku melihatnya sebentar, Anakmas Nurseta?"
"Ah, tentu saja boleh, paman!" kata Nurseta dan cepat dia mengambil keris itu berikut warangkanya yang amat sederhana dan menyerahkannya kepada Raden Hendratama.
Raden Hendratama lalu mencabut keris itu dari warangkanya yang sederhana, lalu mengamatinya. Agaknya dia sudah terbiasa melihat keris-keris pusaka ampuh karena melihat keris Megatantra dia tidak kelihatan kagum atau heran. Dia meneliti keris itu dan berkata lirih.
"Keris ini mempunyai ganja wuyung berbentuk Kalap Lintah, kudupnya (pucuknya) Kembang Gambir, berdapur Sagara Winotan luk (lekuk) tiga, racikannya Kembang Kacang, Jenggot, dengan Sogokan dua yang satu sampai ujung. Hemm, bukan keris pusaka sembarangan saja, anakmas! Lho, ehh ....." Tiba-tiba tangan kanan bekas pangeran yang memegang gagang keris itu gemetar lalu menggigil. Cepat dia menggunakan tangan kirinya untuk mencabut keris bergagang dan berwarangka kayu cendana yang diselipkan di ikat pinggangnya tadi dan melemparkan keris itu ke atas meja. Seketika tangan kanannya yang memegang Keris Megatantra tidak menggigil lagi!
"Nah, andika melihat sendiri, anakmas! Kerismu ini memiliki daya yang ampuh sekali. Karena tadi aku memakai keris pusaka kayu cendana itu daya mereka bertanding dan kerisku kalah ampuh maka tanganku menggigil. Setelah kulepaskan kerisku, keadaanku pulih kembali. Keris pusakamu ini ampuh, sayang sekali diberi gagang dan warangka seburuk ini. Namanya itu kurang menghargai. Aku akan memberi hadiah kepada andika anak mas. Aku masih mempunyai cadangan warangka dan gagang ukiran yang indah. Biar kuhadiahkan kepadamu dan malam ini akan kupasangkan gagang dan warangka itu kepada kerismu. Besok pagi-pagi sudah selesai dan andika dapat menerimanya kembali dengan gagang dan warangka baru yang sepadan dengan kehebatan keris pusaka ini."
"Wah, saya hanya merepotkan paman saja!" kata Nurseta dengan sungkan sekali. Masa seorang pangeran harus memasangkan gagang kerisnya, bersusah payah untuknya?
"Sama sekali tidak. Aku memang suka sekali mendandani sebuah keris pusaka. Tentu saja kalau andika boleh dan percaya kepadaku, Anakmas Nurseta!"
"Tentu saja saya percaya dan juga merasa senang sekali kalau keris saya mendapatkan gagang dan warangka yang indah. Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati paman."
"Tidak perlu berterima kasih, anak mas. Aku malah merasa senang melakukannya. Nah, sekarang anakmas boleh beristirahat, dan aku akan segera mengerjakan pemasangan gagang keris ini." Dia menengok ke arah dalam dan berseru memanggil, "Sukarti! Kenangasari! Widarti! Di mana kalian?"
Tiba-tiba saja tiga orang gadis itu muncul dari ruangan dalam sambil tersenyum. "Kami berada di sini sejak tadi!" kata Kenangasari.
"Eh! Kalian sudah sejak tadi di balik pintu, ya? Bukankah tadi kusuruh kalian membereskan kamar tamu untuk tempat tamu kita menginap?"
"Sudah kami persiapkan dengan rapi untuk tamu agung kita." kata Sukarti.
"Nah, kamar andika sudah siap, anakmas. Silakan beristirahat." kata Raden Hendratama.
Nurseta bangkit berdiri. "Terima kasih, paman."
"Mari, kakangmas, kami antar andika ke kamar tamu." Kata Widarti.
Nurseta keluar dari ruangan itu dan mengikuti tiga orang gadis yang mengajaknya ke bagian belakang pondok itu. kamar tamu itu sederhana, namun bersih. Hanya terdapat sebuah pembaringan, sebuah meja dan empat kursi dalam kamar itu. Sebuah lampu duduk berada di atas meja. Nurseta memasuki kamar itu dan dia merasa rikuh sekali melihat betapa tiga orang dara itu ikut pula memasuki kamar!
"Nimas, kalian bertiga dan ayah kalian sungguh telah melimpahkan kebaikan kepadaku. Tiada habisnya aku merasa berterima kasih. Sekarang harap andika bertiga meninggalkan aku karena aku hendak mengaso. Perjalanan sehari tadi amat melelahkan."
"Aeh, kakangmas. Apakah kami tidak boleh duduk-duduk sebentar dalam kamarmu ini?" tanya Kenangasari sambil mengerling manis. Ia dan dua orang saudaranya lalu duduk di atas kursi-kursi itu, ketiganya memandang kepada Nurseta sambil tersenyum manis.
Tent u saja Nurseta merasa sungkan dan tidak enak sekali. Tiga orang gadis puteri pangeran yang cantik jelita duduk di dalam kamarnya! Mana dia berani merebahkan diri atas pembaringan kalau mereka bertiga duduk di situ? Maka diapun lalu duduk dikursi ke empat, menghadapi mereka.
"Katanya mau istirahat, kakangmas. Kalau hendak tidur, tidur sajalah. Kami akan menjagamu." kata Sukarti.
Nurseta tertawa. "Wah, kenapa harus dijaga? Seperti anak kecil saja, tidur pakai dijaga!"
"Habis, andika kan tamu agung kami, harus dijaga baik-baik, tentu saja!" kata Kenangasari.
"Akan tetapi.... aku takut dan malu kepada ayah kalian! Beliau tentu akan marah sekali kalau melihat tiga orang puterinya berada di dalam kamar ini bersamaku." Nurseta membantah.
"Ayah? Dia tidak akan marah. Bukankah dia senang sekali kalau saja kakangmas mau menjadi..... eh..... suami kami?" kata Windarti dengan sikap malu-malu kucing. Dua orang kakaknya tertawa cekikikan.
Nurseta terkejut dan merasa heran bukan main. Bagaimana sikap tiga orang puteri pangeran itu seperti ini Genit centil dan agaknya kurang bersusila. Mulailah rasa kagum dalam hatinya terhadap mereka bertiga agak berkurang. Rasa bimbang dan curiga mulai menyelinap dalam hatinya.
Dia bangkit berdiri. "Kalau andika bertiga tidak mau keluar dari kamar ini, lebih baik aku yang keluar. Aku akan menanti lewatnya malam ini di ruangan depan saja!" Setelah berkata demikian Nurseta melangkah dan hendak keluar dari kamar itu.
Tiba-tiba ada tangan lembut memegang lengannya dari belakang. Ketika dia menengok, yang memegang lengannya itu adalah Sukarti. Dia merasa heran bagaimana gadis lembut itu begitu cepat dan tiba-tiba memegang lengannya.
"Kakangmas Nurseta, kenapa andika begini pemarah? Kurang baikkah pelayanan kami kepadamu? Kalau andika tidak suka kami temani, biarlah kami keluar dari kamar ini. Tidak perlu andika marah-marah kepada kami."
Mendengar ucapan yang lembut dan penuh teguran itu, Nurseta merasa malu sendiri. Bagaimanapun juga, sikap tiga orang gadis itu belum membuktikan perbuatan yang melanggar susila. Mungkin saja mereka bersikap seperti itu karena memang mereka itu terlalu baik hati dan tulus ingin bersahabat.
"Maafkan aku, nimas. Aku tidak marah, melainkan takut kalau kalau aku akan dianggap sebagai seorang tamu, seorang laki-laki kurang ajar. Ayah andika telah begitu baik kepadaku, aku tidak ingin kelihatan tidak sopan atau tidak menghargai andika bertiga. Maafkan aku."
Tiga orang gadis itu bangkit berdiri. “Sudahlah, mbak ayu Sukarti, mari kita tinggalkan kamar ini. Mungkin Kakang mas Nurseta ini menganggap dirinya terlalu baik dan kami tidak pantas untuk menemaninya." kata Kenangasari dan mereka bertiga melangkah keluar dari kamar itu.
"Maafkan aku.... maafkan....!" kata Nurseta dan merasa menyesal bahwa dia telah membuat hati para gadis Itu menjadi tidak senang. Dia lalu menutupkan daun pintu, kemudian merebahkan diri terlentang di atas pembaringan. Akan tetapi dia tidak dapat tidur. Pikirannya masih dipenuhi tiga orang gadis itu dan mempertimbangkan sikap mereka yang dianggapnya aneh dan tidak lajim. Mereka itu terlalu baik, terlalu ramah, ataukah memang memiliki watak yang genit? Mereka itu puteri-puteri bangsawan yang bersusila tinggi, ataukah wanita-wanita yang tidak tahu....
Tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar suara gerakan orang di luar kamarnya. Nurseta cepat turun dengan mengerahkan kepandaiannya sehingga gerakannya tidak menimbulkan suara sedikitpun. Dia menghampiri pintu dan mengintai dari renggangan di dekat daun pintu. Dia melihat Sukarti duduk di atas sebuah bangku, di sudut kiri luar kamar itu. Ketika dia menoleh ke arah kanan dia melihat Kenangasari juga duduk di atas sebuah bangku. Dua orang gadis itu duduk diam dan Nurseta merasa heran bukan main. Benarkah mereka sengaja duduk berjaga di luar kamarnya? Menjaga apakah? Menjaga keselamatan dirinya? Rasanya tidak mungkin. Teringatlah dia akan ucapan Kenangasari tadi.
"Andika kan tamu agung kami, harus dijaga baik-baik, tentu saja!" Demikian kata gadis itu. Jadi mereka itu menjaganya? Dan dimana Widarti, gadis termuda? Dia menghampiri jendela dan mengintai keluar. Benar saja, gadis cantik jelita berlesung pipit itu juga duduk di atas sebuah bangku, tak jauh dari jendelanya. Semua jalan keluar, atau jalan masuk dari dan ke kamarnya telah terjaga! Apakah yang mereka jaga? Menjaga agar jangan ada yang masuk kamar atau menjaga agar jangan ada yang keluar kamar?
Kalau benar mereka itu berjaga, sungguh menggelikan. Apakah yang mampu dilakukan gadis-gadis manis itu kalau ada yang masuk atau keluar kamar? Tiba-tiba dia teringat betapa tadi, ketika dia hendak keluar kamar, Sukarti tahu-tahu telah memegang lengannya. Padahal tadinya gadis itu masih duduk di atas kursi. Betapa cepatnya dia bergerak!
Apakah tiga orang puteri pangeran yang cantik jelita itu ahli aji kanuragan, gadis-gadis yang digdaya? Betapapun juga, dari sikap mereka dan sikap ayah mereka, sama sekali tidak ada yang mencurigakan, tidak ada kesan-kesan bahwa mereka memusuhinya.
Mungkin mereka itu agak berlebihan dan terlalu memanjakannya. Dia menjadi malu sendiri. Biarlah mereka berbuat sesuka mereka karena dia tidak terganggu. Dengan pikiran ini Nurseta kembali merebahkan diri dan tak lama kemudian karena dia memang lelah sekali, diapun tertidur. Karena larut malam baru dapat pulas dan tubuhnya memang amat lelah, Nurseta tidur nyenyak sekali.
Pagi keesokan harinya dia tergugah oleh kicau burung di luar jendela. Begitu merdu dan indah kicau burung kutilang di luar rumah itu sehingga Nurseta tetap rebah sambil menikmati suara itu. Kemudian terdengar ringkik kuda. Suara ini membuat bangkit duduk keheranan. Ada ringkik kuda! Kemarin dia tidak melihat adanya kuda di sekitar rumah itu. Dan dari gerakan kaki kuda di atas tanah itu dia dapat mengetahui bahwa ada lebih dari dua ekor kuda di sana. Mungkin ada empat ekor.
Karena ingin tahu sekali, Nurseta lalu menghampiri jendela dan membuka daun jendela. Widarti yang semalam duduk 'berjaga" di situ tak tampak lagi. Dari jendela dia dapat melihat adanya empat ekor kuda tertambat pada batang pohon-pohon di kebun. Empat ekor kuda yang tinggi besar, indah dan kuat, lengkap dengan pelana dan kendalinya. Apakah ada tamu-tamu datang berkunjung? Mungkin, karena tiga orang gadis itu tidak tampak, tentu sedang menyambut para tamu itu. Dia merasa tidak enak karena masih belum keluar dari kamarnya. Dia segera membuka daun pintu. Tidak tampak ada orang.
Nurseta keluar rumah dan karena tidak melihat keluarga tuan rumah, dia langsung pergi ke anak sungai untuk membersihkan diri. Air anak sungai yang jernih dan dingin menyegarkan tubuhnya dan dia cepat kembali ke rumah. Setelah dia tiba di beranda, dia melihat Raden Hendratama dan tiga orang puterinya telah berada di situ. Nurseta yang berpemandangan tajam segera dapat merasakan bahwa ada terjadi sesuatu.
Hal ini dapat dia lihat dari sikap mereka. Wajah mereka, terutama sekali tiga orang gadis yang kemarin amat ramah kepadanya penuh senyum dan pandang mata berseri kini tampak dingin sekali, bahkan seolah tiga orang dara itu menghindari pertemuan pandang mata dengan dia. Apakah mereka kecewa dan marah atas sikapnya semalam...?
"Anakmas Nurseta, terimalah kerismu ini. Sudah kupasangkan gagang baru dan kumasukkan dalam warangka baru”. Raden Hendratama menyerahkan keris itu kepada Nurseta.
Nurseta menerimanya dan dia kagum melihat warangka yang terukir indah dan gagang kerisnya sudah terganti gagang berukir pula. Dia lalu menyelipkan keris itu pada ikat pinggangnya, tanpa memeriksa isinya karena hal itu akan menimbulkan kesan seolah dia tidak percaya kepada bekas pangeran itu. "Terima kasih banyak, paman." katanya.
"Anakmas Nurseta, terpaksa andika akan kami tinggalkan karena kami ada urusan penting sekali yang harus kami lakukan pagi ini. Maaf, kami tidak sempat mengajak andika makan pagi."
Nurseta tersenyum. "Ah, tidak mengapa, paman. Saya hanya membutuhkan tempat bermalam dan paman sekalian telah begitu baik untuk menerima saya. Biarlah saya pergi sekarang juga agar tidak mengganggu kesibukan paman sekalian." Setelah berkata demikian, Nurseta memasuki rumah, terus ke kamarmya, berkemas lalu keluar lagi menggendong buntalan pakaian di punggungnya. Dia mendengar derap kaki kuda dan setelah tiba di beranda, dia melihat Raden Hendratama telah melarikan kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu. Tentu saja Nurseta merasa heran sekali dan dia bertanya kepada Kenangasari yang biasanya paling ramah kepadanya.
"Nimas Kenangasari, ke manakah perginya Paman Hendratama? Aku ingin berpamit kepadanya."
"Tidak usah berpamit lagi. Dia sudah pergi." Jawab Kenangasari dengan pendek dan ketus.
Nurseta merasa tidak enak sekali. Dia merasa berhutang budi kepada mereka, maka meninggalkan mereka dalam keadaan seperti ini sungguh tidak menyenangkan.
"Nimas bertiga, apakah sebetulnya yang terjadi? Kalian tampak berbeda sekali. Apakah ada kesulitan yang kalian semua hadapi? Kalau memerlukan bantuan, percayalah, aku akan membantu sekuat tenagaku."
"Sudah, pergilah! Kami tidak membutuhkan kamu!" kata Sukarti.
"Ya, cerewet benar sih, kamu!" kata pula Widarti dan tiga orang gadis itu lalu memasuki ruangan depan yang penuh dengan keris dan tombak itu, mengumpulkan semua senjata itu, agaknya mereka seperti berkemas hendak pindah dari pondok itu.
Menghadapi sikap tiga orang gadis itu, Nurseta mengangkat kedua pundaknya dan diapun melompat keluar dan pergi dari situ dengan cepat. Hatinya tertekan kekecewaan, perasaannya terpukul. Tak habis heran dia memikirkan perubahan yang terjadi dalam sikap keluarga pangeran itu terhadap dirinya. Sambil melangkah pergi, pikirannya terus bekerja. Dia mencari-cari, kesalahan apa yang telah dilakukannya sehingga membuat marah keluarga itu. Kalau sikapnya tidak mau menerima tiga orang gadis itu tinggal di kamarnya itu dianggap salah, maka merekalah yang bersalah. Dia sudah benar, menjaga kesusilaan. Kalau dianggap salah, maka merekalah gadis-gadis cantik yang sayangnya tidak dapat menjaga kesusilaan. Apakah dia telah lengah, melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang tidak semestinya atau yang seharusnya?
Dia mcngingat-ingat kembali dan tiba-tiba dia menghentikan langkahnya, mengerutkan alisnya. Raden Hendratama telah mengembalikan keris pusakanya akan tetapi kenapa dia tidak memeriksanya. Tidak memeriksa isi warangka itu untuk melihat kerisnya. Hal itu seharusnya dia lakukan mengingat bahwa keris itu adalah sebuah benda pusaka yang amat ampuh, yang diperebutkan banyak orang. Bahkan eyang gurunya tewas karena mempertahankan keris itu!
Cepat dia memegang gagang keris itu dan mencabutnya, memeriksanya dengan teliti. Nurseta mengerutkan alisnya. Ujud keris itu memang masih sama, baik luk (lekuk) tiga dan semua cirinya. Akan tetapi dia merasa kehilangan wibawa yang keluar dari keris itu, yang dirasakannya setiap kali keris itu dia cabut. Sinar aneh yang dimiliki keris itu tak tampak atau terasa lagi. Dia teringat akan petunjuk mendiang Empu Dewamurti bagaimana untuk mengenal keaslian Keris Megatantra. Dengan telunjuk kirinya Nurseta lalu menjentik ujung keris itu. Biasanya, kalau dia menjentik ujung keris pusaka itu dengan pengerahan tenaga sakti, maka akan terdengar bunyi melenting nyaring dan ujung keris Itu tergetar!
"Trikk ....." Bukan main kaget rasa hati Nurseta ketika telunjuknya menjentik, ujung keris itu patah!
"Celaka .....!" serunya, maklum sepenuhnya bahwa dia tertipu. Keris yang sama benar rupa dan bentuknya ini ternyata palsu! Cepat dia menyarungkan keris yang buntung ujungnya itu ke dalam warangka yang masih terselip diikat pinggangnya, lalu dia berlari cepat sekali ke arah pondok tempat tinggal keluarga bekas pangeran itu.
Akan tetapi ketika dia tiba di pekarangan rumah itu, hanya tinggal seekor kuda saja yang tertambat pada batang pohon dan seorang gadis jelita berdiri di luar beranda. Gadis yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek itu bukan lain adalah Kenangasari, gadis paling genit di antara tiga orang puteri bekas pangeran itu.
Nurseta tidak memperdulikannya, melainkan langsung memasuki ruangan tamu di mana tersimpan banyak senjata pusaka. Akan tetapi ruangan itu kini telah kosong, tidak tampak sepotongpun senjata! Juga dua orang gadis yang lain, Sukarti dan Widarti, tidak tampak. Cepat dia melompat keluar lagi dan pada saat itu dia mendengar derap kaki kuda dan melihat Kenangasari sudah menunggang seekor kuda dan membalapkan kuda itu ke arah barat. Nurseta hendak mengejar dan menghalangi gadis itu kabur, akan tetapi dia lalu teringat. Gadis itu adalah satu-satunya orang yang akan dapat membawa dia kepada Raden Hendratama yang telah menipu dan mencuri Keris Megatantra!
Gadis itu tentu akan melarikan diri menyusul ayahnya. Berpikir demikian, Nurseta tidak jadi mengejar untuk menangkap, melainkan membayangi saja. Biarpun kuda itu seekor kuda besar yang baik dan kuat, larinya cepat dan ternyata penunggangnya mahir sekali, namun dengan menggunakan Aji Bayu Sakti, tubuh Nurseta meluncur seperti angin dan selalu dapat membayangi dan menjaga jarak sehingga tidak sampai tertinggal.
Akan tetapi, yang dibayangi itu membalap terus ke barat. Setelah matahari naik tinggi dan matahari terik sekali, Kenangasari menghentikan kudanya di tengah hutan lebat, la menjadi bingung dan agaknya tersesat, tidak tahu jalan. Melihat bahwa tidak ada orang mengejarnya, gadis itu melompat turun dan menanggalkan kendali, membiarkan kudanya minum air anak sungai yang terdapat di situ dan makan rumput, la sendiri lalu merebahkan diri bersandar pada batang pohon, mengusap keringatnya dan beristirahat, la tersenyum-senyurn manis seorang diri, mengira bahwa tidak mungkin pemuda tolol itu dapat mengejarnya.
"Nimas Kenangasari!"
Gadis itu terkejut sekali sampai tersentak dan melompat berdiri sambil memutar tubuhnya. Kiranya Nurseta telah berada di situ!
"Kau .....?" gadis itu menggagap.
"Nimas, hentikan semua main-main ini. Aku hanya menginginkan keris pusakaku dikembalikan."
Tiba-tiba gadis itu sudah melompat Lompatannya amat ringan dan tahu-tahu ia telah berada di atas punggung kudanya yang berada dalam jarak empat lima meter dari tempat ia berdiri. Ia sudah menyambar kendali kuda dan hendak membalapkan kudanya. Akan tetapi Nurseta Tidak membiarkan gadis itu melarikan diri. Cepat dia melompat ke depan kuda dan menangkap kendali di depan mulut kuda itu...