Cerita Silat Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 07

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 07 karya Kho Ping Hoo - Manusia, betapapun kecilnya, pasti memiliki kelemahan. Dan Sang Prabu Erlangga, seperti juga Sang Arjuna, tokoh yang dikaguminya, juga memiliki satu kelemahan, yaitu terhadap wanita. Mendengar keterangan Mandari bahwa Lasmini sejak dulu sampai sekarang memuja dan mencintanya, dan hanya karena ulah Narotama yang licik maka gadis yang cantik jelita itu kini menjadi selir Narotama, hati Sang Prabu Erlangga tergerak.

cerita silat online karya kho ping hoo

Kalau begitu, dialah yang berhak mempersunting gadis itu. Pikiran ini menyambar bagaikan kilat di dalam benaknya. Walaupun memiliki kelemahan terhadap wanita cantik, namun seorang yang bijaksana seperti Sang Prabu Erlangga tidaklah diperbudak oleh nafsunya. Bujukan nafsu itu hanya sekilas.

Dia sudah pula dapat cepat menekan gejolak nafsu yang ingin mendapatkan Lasmini yang cantik jelita menggairahkan itu. Dia teringat siapa Narotama, seorang yang amat dekat dengan hatinya, kawan seperjuangan, pembantunya sejak dahulu yang amat setia. Ditolaknya bujukan nafsu berahi itu dan dia sudah dapat menguasai dirinya. Dia tersenyum dan mengelus rambut kepala Mandari.

"Tidak, Mandari wong ayu. Lasmini telah menjadi milik Kakang Narotama. Aku tidak berhak merampasnya, bahkan tidak berhak membayangkan wajahnya dan kecantikannya. Hubungan ku dengan Kakang Narotama tidak dapat dinilai harganya, tidak mungkin menjadi retak dan terganggu hanya karena seorang wanita. Pula, aku sudah memiliki engkau dan aku tidak menginginkan wanita lain. Biarlah Lasmini tetap menjadi selir Kakang Narotama."

Dapat dibayangkan betapa kecewa dan sebal hati Mandari mendengar ucapan Sang Prabu Erlangga ini. Pria ini ternyata memiliki keteguhan hati seperti gunung karang! la menangis dan mengeluh.

"Duhai sinuwun pujaan hamba..... kalau begitu paduka tidak cinta lagi kepada hamba....." Ia terisak-isak dan menangis di atas pangkuan Sang Prabu Erlangga.

Sang Prabu Erlangga tersenyum dan mengangkat bangun selirnya sehingga Mandari dipaksa duduk di sampingnya, ditepi pembaringan.

"Kenapa engkau berkata demikian, yayi? Justeru penolakanku ini sebagian adalah karena sayang dan cintaku kepadamu. Aku tidak ingin ada wanita lain lagi yang berada di sampingku selain engkau dan permaisuri serta selir yang sudah ada. Aku tidak ingin mengambil selir lain lagi."

"Akan tetapi hamba merasa kasihan kepada Mbakayu Lasmini, hamba ingin menolongnya dan membahagiakannya. Kalau paduka memenuhi permintaan hamba dan mengambilnya sebagai garwo ampil (selir), hamba akan merasa bahagia, sebaliknya kalau paduka menolak, hamba akan merasa berduka. Apakah paduka tidak kasihan kepada hamba?"

"Mandari, selirku terkasih. Ketahuilah, cinta tidak berarti harus memenuhi semua permintaan orang yang dicintai Sama sekali tidak. Cinta bahkan harus menolak permintaan orang yang dicintai kalau permintaan itu tidak benar, berarti menyadarkan orang yang dicinta dan kekeliruan. Kalau menuruti saja permintaan yang keliru dari orang yang dicintai hal itu berarti malah mendorongnya ke dalam jurang. Dan ketahuilah bahwa permintaanmu sekali ini adalah keliru tidak benar sama sekali. Kakang Narotama adalah tulang punggung Kerajaan Kahuripan. Apakah aku harus mematahkan tulang punggung itu hanya demi merampas seorang wanita cantik dari tangan pria yang berhak memilikinya?? Tidak, wong ayu, sekali lagi tidak!"

Dalam ucapan Sang Prabu itu terdengar suara yang mengandung keyakinan dan kepastian yang tidak mungkin dapat diubah pula dan Mandari tahu akan hal ini, maka iapun tidak berani membujuk lagi, takut kalau-kalau Sang Prabu Erlangga menjadi curiga kepadanya.

Beberapa hari kemudian, Sang Prabu Erlangga terkejut ketika Ki Patih Narotama datang berkunjung dan mohon menghadap tidak pada hari paseban (menghadap raja). Dan kedatangan Ki Patih Narotama ini bersama Lasmini yang berdandan rapi sehingga tampak cantik jelita seperti bidadari!

Maklum bahwa Narotama tentu mempunyai urusan penting untuk dibicarakan, maka Sang Prabu Erlangga menerima patihnya bersama Lasmini dalam sebuah ruangan tertutup tanpa dihadiri orang lain, bahkan Mandari sendiripun tidak diperkenankan ikut menyambut.

Setelah dipersilakan duduk, Sang Prabu Erlangga berkata sambil tersenyum. "Wahai, Kakang Narotama, andika dating berkunjung bukan pada hari paseban, tentu ada urusan yang teramat penting. Dan andika mengajak pula selir andika Lassmini, ada urusan apakah gerangan, Kakang Narotama?"

Sang Prabu mengerling ke arah Lasmini yang menundukkan mukanya dan harus dia akui bahwa wanita itu memang cantik luar biasa. Hanya Mandari saja yang dapat menandingi kecantikan itu.

"Ampun beribu ampun, gusti sinuwun Kedatangan hamba menghadap paduka tanpa dipanggil ini adalah untuk menghaturkan Lasmini kepada paduka."

Sang Prabu Erlangga memandang patihnya dengan mata terbelalak penuh keheranan. "Menghaturkan Lasmini kepadaku? Apa maksudmu, Kakang Narotama?"

"Apabila paduka berkenan menghendaki untuk mengambil Lasmini sebagai garwo ampil, silakan, gusti. Hamba menyerahkannya dengan kedua tangan terbuka dan hati serela-relanya."

"Duh Jagad Dewa Bathara! Serendah itukah penilaianmu terhadap diriku? Aku bukan perusak pagar ayu, aku tidak akan merampas isteri orang lain, apa lagi isterimu, kakang, Bawalah garwamu pulang dan jangan berpikir yang bukan bukan! Heh, Lasmini, andika bersuamikan seorang ksatria yang arif bijaksana. Pulanglah bersama dia dan hiduplah bahagia disampingnya sebagai seorang isteri yang setia. Nah, pulanglah kalian!"

Dalam kalimat terakhir ini terkandung perintah tegas sehingga Ki Patih Narotama tidak berani membantah lagi. Setelah berpamit dan mohon diri dia lalu mengajak Lasmini pulang dengan hati yang lega dan tenang.

Kalau benar Sang Prabu Erlangga tertarik dan mencintai Lasmini, hal itu tidaklah aneh. Selirnya itu memang memiliki kecantikan luar biasa sehingga kalau ada dewa sekalipun yang jatuh cinta padanya, dia tidak akan merasa heran. Sang Prabu Erlangga sebagai seorang pria boleh jadi terpikat dan jatuh cinta kepada Lasmini, namun dia percaya sepenuhnya bahwa Sang Prabu Erlangga tidak akan sedemikian sesat untuk mengganggu isteri orang lain.

Dari semula dia sudah menduga begitu, maka diapun sengaja mengajak Lasmini menghadap dan menyerahkan Lasmini kepada Sang Prabu Erlangga. Dan, seperti memang sudah diduganya, Sang Prabu Erlangga menolak keras! Maka timbul perasaan terima kasih dan bangga kepada rajanya yang membuat dia semakin kagum, memuja dan setia kepada junjungannya yang juga merupakan sahabat dan saudara seperguruannya itu.

Sebaliknya, Lasmini dan Mandiri yang diam-diam menyumpah-serapah, kecewa dan marah bukan main melihat betapa siasat mereka berdua itu gagal sama sekali. Hasilnya bukan mengadu domba dan memecah belah, bahkan membuat hubungan antara raja dan patihnya itu menjadi semakin kuat.

Akan tetapi dua orang kakak beradik yang cantik jelita dan cerdik sekali ini tidak memperlihatkan perasaan mereka di depan suami masing-masing, bahkan berusaha sekuat tenaga untuk semakin memikat suami mereka sehingga mereka berdua semakin disayang. Mereka bagaikan dua ekor harimau yang tampak jinak menyenangkan, akan tetapi yang diam-diam menanti saat dan kesempatan baik untuk menerkam dan membinasakan!

********************

Tanah perdikan Lemah Citra merupakan sebidang tanah yang subur di daerah perbukitan. Tanah perdikan ini cukup luas, dihuni oleh sekitar seratus buah keluarga yang menjadi petani. Lemah Citra ini adalah milik Empu Bharada, pemberian Prabu Erlangga kepadanya. Setelah banyak keluarga menghuni Lemah Citra dengan persetujuan Empu Bharada sebagai pemiliknya, maka Lemah Citra menjadi sebuah pedusunan yang cukup aman, makmur dan penuh kedamaian.

Dengan adanya Empu Bharada yang menjadi pemilik tanah sekaligus pimpinan, tidak ada orang berani berbuat jahat. Bahkan mereka yang tadinya mudah dipengaruhi dan dipermainkan nafsu sendiri, setelah tinggal di Lemah Citra dan sering mendengarkan sang empu memberi wejangan-wejangan, berubah menjadi seorang manusia yang bertaubat dan mengubah jalan hidupnya. Mereka bertani, bekerja keras dan bergotong royong dengan akrab sehingga mereka bagaikan keluarga besar, kalau ada hasil panen besar sama dinikmati, kalau ada kesulitan sama ditanggulangi, ada kesukaran sama dipikul

Empu Bharada tinggal di tengah dusun, di bagian tanah yang paling tinggi di puncak sebuah bukit kecil. Rumahnya terbuat dari kayu jati, cukup besar dan kokoh. Empu Bharada hidup membujang sejak muda, tinggal di dalam rumah itu, ditemani lima cantrik yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Mereka tidak berkeluarga.

Kalau ada cantrik yang mau menikah, dia harus pindah ke rumah lain, tidak diperkenankan tinggal di rumah itu. Lima orang cantrik ini selain menjadi murid juga melayani segala kebutuhan sang empu, membersihkan rumah dan pekarangan, mencuci, kerja di dapur. Selain mengajarkan masalah kerohanian kepada para cantrik, sang empu juga sering memberi wejangan kepada penduduk sehingga rata-rata para penduduk merupakan orang-orang yang memiliki pandangan hidup yang luas dan bersikap bijaksana.

Sebagai seorang pemimpin, Empu Bharada dengan teguh menegakkan kebenaran dan keadilan, didasari kasih sayang antara manusia. Tidak ragu untuk menghukum yang bersalah, selalu siap menolong yang lemah dan mengekang yang kuat agar tidak bertindak sewenang-wenang. Karena itu, sang empu disegani, dihormati dan juga dicinta oleh penduduk Lemah Citra.

Pada suatu pagi yang cerah. Matahari pagi tersenyum memancarkan cahayanya yang keemasan dan hangat, membawa daya hidup bagi semua yang berada di permukaan bumi. Orang-orang dusun Lemah Citra sedang bekerja dengan tekun dan gembira. Kaum prianya tua muda bekerja di sawah ladang sambil bertembang tanda bahwa mereka bekerja dengan hati senang. Empu Bharada selalu menasihati mereka bahwa hidup itu bergerak dan gerakan yang paling baik dan bermanfaat adalah bekerja.

"Apapun yang kalian lakukan dalam kehidupan ini, lakukanlah dengan hati penuh cinta terhadap apa yang kalian lakukan. Dengan demikian kalian dapat menikmati hidup kalian dan akan ternyata bahwa hidup ini sesungguhnya indah."

Demikian antara lain sang empu memberi wejangan. Karena itu, mereka yang bekerja di sawah ladang pagi itu bekerja dengan wajah ceria dan bertembang karena bekerja merupakan kesenangan bagi mereka. Sebagian wanita membantu di ladang. Sebagian lagi bekerja di dapur, membuat masakan untuk mereka yang bekerja di sawah ladang, mencuci pakaian, memelihara anak-anak yang masih kecil. Anak-anak bermain main di pelataran.

Pekik dan tawa mereka menyaingi kicau burung-burung. Mereka diawasi kakek atau nenek mereka yang sudah terlalu tua dan terlalu lemah untuk bekerja di sawah ladang. Mereka semua mendapat kenyataan akan kebenaran wejangan sang empu. Mereka mencintai pekerjaan mereka dan menganggap bahwa setiap pekerjaan merupakan ibadah kepada Sang Hyang Widhi seperti yang dikatakan Empu Bharada.

Pagi itu, setelah melakukan samadhi sejak fajar tadi, Empu Bharada duduk di pendopo rumahnya, menikmati keindahan pagi yang cerah itu sambil mendengarkan kicau beberapa ekor burung kutilang yang beterbangan dari dahan ke dahan pohon sawo yang tumbuh subur di pelataran rumahnya. Empu Bharada yang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun ini bertubuh tinggi kurus, wajahnya dihiasi jenggot panjang, sepasang matanya yang cekung itu lembut berwibawa, mulutnya selalu tersenyum penuh pengertian.

Tubuhnya tinggi kurus, memakai jubah yang panjang dan lebar. Empu Bharada ini adalah seorang sakti mandraguna, masih terhitung adik seperguruan dari mendiang Empu Dewamurti yang tewas dikeroyok Resi Bajrasakti datuk Wengker, Ratu Mayang Gupita dari kerajaan Siluman Laut Kidul, dan tiga bersaudara Tri Kala para jagoan kerajaan Wura-wari.

Tiba-tiba Empu Bharada mendengar kicau burung prenjak di atas pohon jambu yang tumbuh di sebelah kanan dalam pekarangan depan itu. Dia mendengarkan, termenung sejenak dan tersenyum. Kebetulan seorang cantriknya bernama Dwipo datang mengantarkan minuman untuk sang empu. Setelah cantrik itu menaruh cangkir minuman air teh ke atas meja kecil di depan sang empu dan dia hendak mengundurkan diri, Empu Bharada berkata, "Eh, Dwipo, cepat kau persiapkan minuman air teh yang cukup untuk disuguhkan tamu, dan godok ubi-ubi merah yang manis itu."

"Baik, bapa empu." jawab Dwipo yang memberi hormat lalu cepat masuk kedalam untuk melaksanakan perintah gurunya. Dia tidak merasa heran melihat betapa gurunya dapat mengetahui lebih dulu bahwa akan ada tamu dating berkunjung.

Tepat pada saat pesan sang empu kepada Dwipo itu terlaksana dan ubi-ubi merah itu telah matang, muncullah seorang laki-laki di pekarangan rumah Empu Bharada. Laki-laki itu berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya sedang saja dan pakaiannya sederhana bahkan sembarangan, agak kedodoran namun cukup bersih. Kuku jari tangannya panjang, rambutnya juga panjang. Ada kesan sembarangan dan tidak perduitan akan keadaan dirinya. Namun sinar matanya terang dan jernih, sedangkan senyum di bibirnya penuh pengertian.

Biarpun tampaknya seperti orang biasa saja yang sederhana tanpa arti, namun sesungguhnya orang ini bukan orang sembarangan. Dia adalah Empu Kanwa, seorang ahli sastra, seorang sastrawan besar yang dihormati oleh Sang Prabu Erlangga sendiri karena keahliannya itu dan karena kebijaksanaannya. Sudah lama Empu Kanwa menjadi sahabat baik Empu Bharada walaupun keadaan diri mereka jauh berbeda.

Empu Kanwa adalah seorang sastrawan yang tidak menyukai kekerasan, seorang yang tubuhnya lemah seperti orang biasa, sebaliknya Empu Bharada adalah seorang yang sakti mandraguna. Mereka saling mengagumi. Empu Kanwa mengagumi kesaktian Empu Bharada, sebaliknya Empu Bharada mengagumi Empu Kanwa karena kecemerlangannya dalam perbincangan tentang kehidupan. Ketika Empu Kanwa tiba di pendopo Empu Bharada menyambut dengan wajah girang. Mereka saling berpelukan dengan senyum yang penuh kegembiraan.

"Pantas pagi tadi burung prenjak berkicau riang mengisaratkan datangnya seorang tamu penting! Kiranya andika yang datang berkunjung! Selamat datang, Kakang Kanwa!" kata Empu Bharada.

Empu Kanwa menepuk-nepuk pundak tuan rumah sambil tertawa. "Ha-ha-ha, bagi seorang bijaksana seperti andika, alam ini bagaikan sebuah kitab terbuka lebar, membuka semua rahasia peristiwa yang akan terjadi. Bagaimana, Adi Bharada, selama ini andika baik-baik saja, bukan?"

"Baik-baik, terima kasih atas doa restumu, Kakang Kanwa. Mari, mari silakan duduk!" Empu Bharada menggandeng lengan Empu Kanwa dan diajaknya duduk di ruangan dalam, duduk di atas lantai beralaskan tikar halus menghadapi sebuah meja pendek.

Pada saat itu, Dwipo keluar menyuguhkan ubi yang masih megepulkan uap dan sepoci air teh dengan cangkirnya. Mereka bercakap-cakap, saling menanyakan keadaan masing-masing selama mereka tak jumpa. Sudah setengah tahun lebih mereka tidak pernah berjumpa karena Empu Kanwa adalah seorang yang suka berkelana seorang diri, tidak terikat keluarga, harta benda, atau apapun juga. Dari ruangan itu, mereka dapat melihat keadaan di taman sebelah rumah itu melalui jendela yang terbuka lebar.

Sinar matahari pagi tampak menerobos antara celah-celah daun pohon dan beberapa ekor burung yang masih bermalas-malasan meninggalkan pohon, mandi sinar matahari sambil menyisiri bulu dengan paruh mereka sambil bercowetan saling menegur. Beberapa ekor kupu-kupu dengan sayapnya yang indah beterbangan di antara bunga-bunga mawar yang beraneka warna.

"Lihat, Kakang Kanwa, alangkah indahnya pagi ini. Kedatangan andika menambah keindahan hari ini!" kata Empu Bharada, sengaja memancing tanggapan Empu Kanwa atas pendapatnya itu. Dia selalu kagum akan gagasan-gagasan yang cemerlang dan baru dari sahabatnya itu dan dapat banyak memetik buahnya yang dapat memperluas pengertiannya tentang kehidupan ini.Empu Kanwa memandang ke luar jendela, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar.

"Adi Bharada, segala macam keindahan yang menjadi hasil pendapat dan penilaian hanyalah bayangan dari suasana hati. Kalau hati sedang senang maka segalapun tampak indah, sebaliknya kalau hati sedang susah, maka segala pun tampak buruk!"

Empu Bharada tersenyum dan mengangguk-angguk maklum karena memang tidak mungkin ucapan Empu Kanwa itu dibantah lagi. Yang diucapkan itu memang suatu kenyataan.

"Aku dapat merasakan kebenaran itu, Kakang Kanwa Lalu apakah keindahan yang sejati itu?"

"Adi Bharada, aku tidak berwenang menentukan apa itu keindahan yang sejati. Aku hanya mengenal keindahan yang kurasakan setiap saat, keindahan dari kenyataan yang ada tanpa adanya penilaian dan pendapat. Tanpa adanya si aku yang merasakan keindahan itu karena diri ini menjadi sebagian dari keindahan itu, tidak terpisah. Di manapun, bilamanapun, dalam keadaan apapun, keindahan itu menjadi bagian hidup ini sehingga diri ini hanya dapat memuji sukur yang tiada hentinya kepada Sang Hyang Widhi Sang Pencipta keindahan itu sendiri."

"Hemm, ucapan andika mengandung makna yang amat dalam dan menambah pengertian yang amat berarti bagiku, Kakang Kanwa. Ada hal yang selalu mengherankan hatiku kalau mengingat akan keadaan andika. Gusti Sinuwun sudah memberi banyak hadiah kepada andika berupa tanah, rumah dan harta benda. Akan tetapi semua itu andika bagi-bagikan kepada orang-orang sehingga andika tidak mempunyai apa-apa lagi. Mengapa andika lebih suka hidup miskin, kakang?"

Empu Kanwa tertawa. "Ha-ha-ha, siapa bilang aku miskin, adi? Aku sama sekali bukan orang miskin!"

"Wah, kalau begitu, andika seorang kaya?"

Kembali Empu Kanwa tertawa. "Tidak, aku bukan orang kaya. Miskin tidak, kayapun tidak. Aku ini orang cukup, tidak kurang tidak lebih melainkan cukup dan karena aku merasa cukup, berkecukupan segala kebutuhan hidupku, maka setiap saat aku selalu berterima kasih dan bersukur memuji nama Sang Hyang Widhi."

Empu Bharada mengangguk-angguk. "Bukan main! Seperti andika inilah yang patut disebut manusia yang berbahagia kakang. Orang miskin selalu merasa tidak cukup, bahkan orang kayapun tidak ada yang merasa cukup! Nafsu angkara murka membuat orang tidak pernah merasa cukup, biar seluruh dunia diberikan kepadanya dia masih menginginkan dunia yang ke dua, ke tiga dan seterusnya. Ada satu hal lagi yang ingin kuperbincangkan dengan andika, Kakang Kanwa. Dia antara kita berdua terdapat perbedaan yang amat besar. Aku mempelajari aji kanuragan dan kesaktian sejak kecil dan andika mempelajari kesusastraan sehingga keadaan kita berdua sekarang berbeda jauh. Lalu apa bedanya tugas di antara kita yang berbeda jauh keadaannya ini?"

"Apanya yang berbeda, Adi Bharada Tidak ada bedanya sama sekali! Tugas kita, juga tugas seluruh manusia di dunia, adalah sama. Tugas kita, adalah MAMAYU HAYUNING BAWANA (mengusahakan kesejahteraan dunia atau manusia), tentu saja dengan cara dan keahlian masing-masing! Segala apapun yang tampak maupun yang tidak tampak adalah milik Sang Hyang Widhi. Kalau milikNya itu diberikan kepada kita secara berlimpahan maka sudah menjadi kehendakNya agar kita melimpahkan karunia itu kepada orang-orang lain sehingga kita menjadi alat bagi Sang Hyang Widhi untuk menyalurkan berkahNya."

"Nanti dulu Kakang Kanwa. Apa yang andika ucapkan ini penting sekali dan aku mohon penjelasan."

"Kekayaan, kepandaian, kekuatan, kekuasaan, semua itu adalah milik Sang Hyang Widhi, hanya dipinjamkan kepada manusia tertentu selagi manusia itu hidup dengan tugas kewajiban untuk melimpahkan semua kelebihan itu kepada mereka yang membutuhkan. Karena itu, orang kaya harus memberikan sebagian kekayaannya kepada orang miskin yang membutuhkannya, orang pandai harus memberikan sebagian kepandaiannya kepada orang bodoh yang membutuhkannya, orang kuat harus memberikan sebagian kekuatannya kepada orang lemah yang membutuhkan, orang berkuasa harus menggunakan kekuasaannya untuk menyejahterakan rakyat kecil yang membutuhkan pertolongannya dan sebagainya. Pemberian itu harus tanpa pamrih untuk kepentingan diri sendiri, melainkan semata-mata sebagai pelaksana tugas kewajiban sebagai penyalur berkah Sang Hyang Widhi kepada manusia."

"Jagad Dewa Bathara! Wejanganmu ini teramat penting, kakang. Aku akan membantu menyebar luaskan pengertian ini. Akan tetapi berapa gelintir manusia yang sanggup melaksanakan tugas suci itu? Mereka pasti tidak rela kehilangan .....”

"Kehilangan apa, Adi Bharada? Yang diberikan kepada orang lain itu bukan miliknya! Itu milik Sang Hyang Widhi Kalau Yang Maha Kuasa mengambil kembali miliknya berupa harta, kepandaian, kekuatan, kekuasaan itu dari orang yang dititipiNya, orang itu dapat berbuat apakah? Bahkan nyawa itupun milikNya dan kalau Dia mengambilnya kembali, orang itupun tidak akan dapat berbuat apa-apa untuk menolaknya. Memang, kuasa kegelapan akan selalu menghalangi manusia yang ingin menjadi alat Sang Hyang Widhi, ingin menarik semua manusia untuk menjadi alatnya, alat setan. Karena itu, kita harus mohon kepada Sang Hyang Widhi setiap saat agar Dia bertahta dalam hati sanubari kita sehingga tumbuh Kasih dengan suburnya. Kalau ada Kasih tumbuh dalam hati sanubari kita, maka tugas itu akan kita laksanakan dengan baik, bersih dari pada pamrih karena digerakkan oleh kekuasaan-Nya!"

Percakapan antara kedua orang empu sambil makan ubi rebus dan minum air teh ini tiba-tiba terhenti ketika terdengar gerengan dahsyat yang membuat ruangan di mana kedua empu itu duduk bercakap-cakap, tergetar dan disusul bunyi ledakan tiga kali yang amat nyaring. Kemudian terdengar suara besar parau menggelegar.

"Haiii! Empu Bharada, keluarlah kamu! Kami ingin bicara!"

Empu Bharada memandang kepada Empu Kanwa sambil menghela napas.

"Ah, agaknya andika lebih bijaksana memilih tugas, kakang. Tugasku ini lebih banyak bertemu dengan kekerasan dan pertentangan."

Empu Kanwa tersenyum. "Sama saja tantangan selalu ada, Adi Bharada. Yang penting kita membela kebenaran dan keadilan dan selalu berusaha menjadi alat Sang Hyang Widhi."

"Andika duduklah saja di sini, kakang Aku akan menemui mereka di luar" Setelah berkata demikian, Empu Bharada lalu keluar dari rumahnya.

Sementara itu, lima orang cantrik murid Empu Bharada telah berada di pekarangan, menghadapi dua orang kakek yang berdiri di situ dan yang tadi berteriak memanggil Empu Bharada. Kakek pertama berusia lima puluh lima tahun bertubuh tinggi besar bermuka penuh brewok, berpakaian mewah seperti orang bangsawan tinggi. Dia adalah Resi Bajrasakti, datuk penasihat kerajaan Wengker itu. Adapun orang ke dua berusia lima puluh tahun, bertubuh sedang dengan wajah tampan gagah dengan kumis melintang seperti Raden Gatotkaca. Dia adalah Ki Nagakumala, paman dan juga guru Lasmini dan Mandari.

Seperti telah kita ketahui, Ki Nagakumala dan adiknya, Ratu Durgamala, telah mendengar pelaporan kedua orang puteri ratu kerajaan Parang Siluman itu tentang Empu Bharada yang memperingatkan Sang Prabu Erlangga dan merupakan ancaman bagi kedua orang puteri. Mereka lalu mengatur rencana. Ratu Durgamala lalu menghubungi Kerajaan Wengker yang menjadi sekutunya, minta bantuan untuk membinasakan Empu Bharada yang merupakan ancaman dan dapat menggagalkan rencana untuk mengadu domba antara Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.

Adipati Adhamapanuda, raja Wengker, lalu mengutus Resi Bajrasakti untuk membantu. Demikianlah, Resi Bajrasakti sebagai utusan Kerajaan Wengker dan Ki Nagakumala yang mewakili Kerajaan Parang Siluman lalu berangkat ke Lemah Citra mencari Empu Bharada.

Dwipo mewakili rekan-rekannya berkata kepada dua orang tamu itu. "Harap andika berdua tidak berteriak-teriak seperti itu. Kalau andika hendak bertamu, beritahukanlah nama andika dan akan kami laporkan kepada Bapa Empu."

Ucapan itu walaupun nadanya halus namun mengandung teguran, seolah mengingatkan bahwa sikap yang diperlihatkan dua orang itu sebagai tamu adalah kurang pantas. Resi Bajrasakti yang berwatak brangasan (pemarah) mengerutkan alisnya yang tebal. Dia menggulung ujung cambuknya dengan tangan kiri dan dengan sikap angkuh dia bertanya kepada lima orang cantrik itu.

"Heh, kalian berlima ini siapa berani menyambut kami dengan lancang? Hayo suruh Empu Bharada keluar menemui kami!"

Dwipo menjawab dengan alis berkerut "Kami adalah para cantrik yang melayani Bapa Empu. Katakan siapa andika agar dapat kami laporkan ke dalam."

Mendengar ini, Resi Bajrasakti tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha! Hanya cantrik? Cantrik-cantrik kurus kelaparan jangan banyak tingkah. Hayo menari!" Setelah berkata demikian, cambuknya menyambar-nyambar ke depan, ke arah kaki lima orang cantrik itu, suaranya meledak-ledak nyaring. Para cantrik terkejut, ujung cambuk yang mengenai kaki mendatangkan rasa panas dan nyeri sehingga mereka terpaksa berloncat-loncatan untuk menghindarkan cambukan. Karena mereka berloncat-loncatan, maka mereka seolah menari-nari dan hal ini dianggap lucu sekali oleh Resi Bajrasakti dan Ki Nagakumala sehingga mereka tertawa-tawa.

"Tar-tar-tar-tar-tar ..... plakk!"

Tiba tiba ujung cambuk itu mental karena bertemu dengan ujung lengan baju yang menangkisnya. Resi Bajrasakti terkejut dan menghentikan gerakan cambuknya, memandang kepada Empu Bharada yang tadinya menangkis cambuk itu dengan ujung lengan bajunya yang longgar dan panjang.

"Kalian masuklah dan obati kaki kalian." kata Empu Bharada kepada lima orang cantrik yang kakinya lecet-lecet terkena sengatan ujung cambuk.

Setelah lima orang cantrik itu memasuki rumah, Empu Bharada menghadapi dua orang itu, mengamati mereka penuh selidik. Dia mengangguk-angguk setelah mengenal siapa dua orang yang datang membikin kacau itu.

"Teja-teja sulaksana! Kalau aku tidak salah duga, andika tentu Resi Bajrasakti, datuk besar dari Kadipaten Wengker yang tersohor itu." Empu Bharada kini memandang kepada orang ke dua. "Dan bukankah andika ini Ki Nagakumala, pertapa di Junggringslaka itu?"

Resi Bajrasakti mendengus dengan sikap mengejek lalu berkata dengan lantang dan angkuh. "Ha, inikah Empu Bharada yang terkenal itu? Ternyata matamu masih tajam, dapat mengenal kami berdua!"

"Resi Bajrasakti, karena andika tadi berteriak memanggilku keluar, maka kini aku keluar menyambut kalian dan katakanlah, apa maksud kedatangan andika berdua ini?"

Kini Ki Nagakumala yang menjawab. Sikap kakek ini tidaklah sekasar sikap Resi Bajrasakti, bahkan sikapnya halus dan gagah, namun suaranya mengandung kebencian melihat orang yang menjadi penghalang bagi dua orang keponakannya itu.

"Empu Bharada, namamu tersohor sampai ke sepanjang pantai Laut Kidul, bergelora menyaingi Laut Kidul. Karena itu, kami sengaja datang untuk membuktikan sendiri sampai dimana kedigdayaan Empu Bharada yang terkenal sakti mandraguna itu!"

"Hemm, Ki Nagakumala, apakah gerangan yang tersembunyi di balik kata kata andika itu? Apa yang andika maksudkan?"

Resi Bajrasakti tertawa. "Ha-ha-ha! Masih kurang jelaskah, Empu Bharada? tentu saja maksud kami adalah untuk bertanding aji kesaktian denganmu, untuk menguji apakah benar-benar andika sakti mandraguna ataukah ketenaranmu itu hanya kosong belaka!"

"Jagad Dewa Bathara! jadi kalian berdua ini jauh-jauh datang berkunjung ke sini hanya untuk menantang aku bertanding? Sungguh tidak masuk akal kalau andika berdua menantang aku tanpa alasan apapun. Secara pribadi, di antara kita tidak ada permusuhan apapun. Terus terang saja, Resi Bajrasakti dan Ki Nagakumala, katakan mengapa kalian menantangku bertanding?"

"Ha-ha, apa anehnya itu, Empu Bharada? Di antara kerajaan Kahuripan dan kerajan kami berdua, Wengker dan Parang Siluman, sejak dulu memang sudah bermusuhan. Andika setia kepada Kahuripan dan kamipun setia kepada kerajaan kami masing-masing. Selain itu, kami sudah mendengar akan kesombongan yang selalu menganggap diri paling sakti Karena itulah kami sengaja datang untuk menantangmu dan menghentikan kesombonganmu!" kata Resi Bajrasakti.

"Hemm, andika berdua bukalah telinga kalian baik-baik dan dengar kata-kataku ini! Kalau kalian datang menantangku bertanding hanya karena perasaan pribadi untuk mengujiku, aku tidak bersedia melayani ulah nafsu kalian. Akan tetapi kalau kalian datang sebagai utusan Wengker dan Parang Siluman untuk mengacau Kahuripan, akulah yang akan menentang kalian!"

"Babo-babo, manusia sombong! Sambut ini! "Resi Bajrasakti mengeluarkan segenggam pasir yang sejak tadi sudah dia persiapkan dan setelah berkemak-kemik membaca mantra dia melempar segenggam pasir itu ke atas dan berseru dengan suara nyaring berwibawa.

"Aji Bramara Sewu (Lebah Seribu)....."

Sungguh aneh! Segenggam pasir itu setelah dilontarkan keatas segera berubah menjadi serombongan lebah yang beterbangan sambil mengeluarkan suara berdengung. Rombongan lebah ini meluncur dan menyerang ke arah Empu Bharada.

Empu Bharada memandang serangan yang mengandung ilmu sihir ini sebagai permainan kanak-kanak. Dengan tenang dia menggerakkan lengan kirinya dan jubahnya yang panjang dan lebar itu mengebut ke atas. Angin yang amat kuat bertiup ke arah serombongan lebah yang datang menyerang.

"Kembalilah ke asalmu!" bentaknya dengan suara lembut namun amat berwibawa. Angin dari kebutan jubah itu menyambar serombongan lebah jadi-jadian dan runtuhlah semua lebah itu, jatuh ke atas tanah dan kembali menjadi pasir yang berserakan!

Resi Bajrasakti terkejut dan menjadi marah sekali. Dia membaca mantra dan mengerahkan Aji Panglimutan agar dirinya tidak tampak oleh Empu Bharada sehingga dia akan dapat menyerang dan membunuh sang empu. Muncullah halimun tebal yang menutup tubuhnya sehingga lenyap dari pandang mata. Akan tetap kembali Empu Bharada mengebutkan jubahnya beberapa kali dan..... halimun tebal itupun membuyar dan lenyap sehingga tubuh Resi Bajrasakti tampak lagi. Merah wajah sang resi datuk Wengker ini.

"Aji Sihung Naga ...... haaiiiikk!"
Resi Bajrasakti kini menggerakkan tubuh dan menerjang maju, kedua tangannya yang besar panjang itu melakukan serangan pukulan bertubi. Pukulan itu dahsyat sekali, ketika tangannya menyambar, terdengar suara angin bersiutan, tanda betapa kuatnya pukulan itu.

Dengan tenang namun gesit dan ringan, tubuh Empu Bharada menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Sampai belasan kali Resi Bajrasakti menyerang dengan pukulan bertubi-tubi, namun selalu pukulan dahsyat itu hanya mengenai angin karena tubuh sang empu berkelebat bagaikan bayangan yang tidak dapat terkena pukulan.

"Hyaaahhh!" kembali pukulan tangan kanan Resi Bajrasakti menyambar kearah perut sang empu. Empu Bharada miringkan tubuh dan tangan kanannya menyambar ke depan, menangkap pergelangan tangan lawan dan dengan sentakan kuat menarik lengan tangan lawan sehingga ketika dilepaskan, tubuh Resi Bajrasakti geloyoran (terhuyung) ke depan dan hampir terjungkal. Namun dia berhasil mematahkan daya dorongan yang kuat itu dengan cara melompat ke atas dan ketika turun lagi, tangannya sudah memegang gagang cambuk yang terbuat dari gading gajah itu. Kini dia marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang dengan senjata cambuk pusaka itu.

"Tar-tar-tarrr .....!"

Cambuk itu meledak-ledak di atas lalu turun menyambar ke arah tubuh Empu Bharada. Namun, kini tubuh Empu Bharada bergerak lebih cepat lagi sehingga tubuhnya berkelebatan, sukar sekali diserang karena tubuh itu berpindah-pindah sehingga membingungkan lawan. Sang empu yang sakti ini telah mempergunakan Aji Bayu Sakti yang membuat tubuhnya ringan sekali dan dapat bergerak cepat sekali.

Kini, melihat ancaman cambuk yang ampuh itu, Empu Bharada mulai membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya. Tamparan itu tampaknya perlahan saja, namun tamparan tangan yang dibarengi dengan menyambarnya ujung lengan baju yang longgar itu membawa tenaga sakti yang amat kuat. Bahkan kedua tangan yang sudah dipenuhi tenaga sakti itu berani menyambut dan menangkis sambaran cambuk dan beberapa kali tangan empu berusaha untuk menangkap ujung cambuk!

Tentu saja Resi Bajrasakti tidak membiarkan ujung cambuknya ditangkap karena kalau hal itu terjadi cambuknya dapat rusak, putus atau bahkan terampas lawan! Perkelahian menjadi seimbang, bahkan Resi Bajrasakti tampak terdesak karena dia mulai merasa gentar melawan empu yang sakti mandraguna ini.

Melihat betapa temannya tidak mampu mengalahkan Empu Bharada, Ki Nagakumala yang tadinya hanya menonton, tidak dapat tinggal diam. Rencana mereka berdua datang ke Lemah Citra adalah untuk membunuh Empu Bharada. Kalau tadi dia diam saja adalah karena dia percaya bahwa Resi Bajrasakti yang angkuh itu akan mampu merobohkan sang empu. Dia tidak ingin menyinggung perasaan datuk Wengker itu dengan membantunya. Akan tetapi kini melihat kenyataan bahwa sang resi malah terdesak, terpaksa dia lalu melompat maju dan menyerang Empu Bharada dengan pukulan tangan kanannya.

"Sambut Aji Ampak-ampak...!" bentaknya dan ketika tangan kanan itu menyambar dengan telapak tangan terbuka ada hawa yang amat dingin terasa oleh Empu Bharada. Sang empu terkejut karena dia mengenal ilmu pukulan yang ampuh, pukulan yang mengandung tenaga sakti berhawa dingin. Pukulan seperti ini kalau mengenai sasaran amat berbahaya. Darah dalam tubuh dapat membeku terpengaruh hawa dingin itu!

Menghadapi pengeroyokan dua orang lawan yang sakti itu, Empu Bharada mulai terdesak hebat. Dia masih mampu menghindarkan semua serangan kedua orang lawannya dengan pengerahan Aji Bayu Sakti, akan tetapi dia tidak mendapat kesempatan untuk membalas dengan dua aji pukulannya yang ampuh, yaitu Aji Sihung Warak dan Aji Tapak Saloko. Dia terdesak terus, hanya mampu mengelak dan kadang menangkis, tidak sempat membalas serangan.

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun muncul. Pria ini bertubuh sedang, penampilannya sederhana, pakaiannya juga pakaian longgar seperti yang biasa dipakai seorang petani dusun. Akan tetapi sepasang matanya mencorong pertanda bahwa dia adalah seorang yang "berisi".

"Hemm, sungguh licik dan curang...! Dua orang mengeroyok seorang lawan! Kakang Empu... maafkan kalau aku membantu andika tanpa diperintah...!" Setelah berkata demikian, pria itu cepat menerjang ke arah Ki Nagakumala dengan tamparan tangan kiri yang mendatangkan angin dahsyat.

"Sambut Aji Gelap Musti...!" bentaknya ketika tangannya menyambar dan menampar ke arah dada Ki Nagakumala.

Pertapa Jonggringslaka ini terkejut bukan main dan maklum bahwa lawan barunya ini memiliki aji pukulan yang dahsyat. Maka dia pun cepat mengangkat tangan untuk menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga saktinya.

"Desss .....!!"

Dua lengan bertemu dan akibatnya Ki Nagakumalaka terdorong kebelakang sampai terhuyung sedangkan lawannya hanya mundur dua langkah. Ini menunjukkan bahwa Ki Nagakumala masih kalah kuat dalam adu tenaga sakti. Hatinya menjadi gentar. Demikian pula Resi Bajrasakti, melihat Ki Nagakumala tidak lagi dapat membantunya karena diserang pendatang baru itu, menjadi gentar karena merasa bahwa seorang diri saja dia tidak akan mampu menandingi kedigdayaan Empu Bharada. Tiba-tiba Resi Bajrasakti mengerahkan Aji Panglimutan lagi. Halimun putih tebal menyelubungi tempat itu.

"Kita pergi!" katanya kepada Ki Nagakumala yang maklum akan isyarat ini. Maka kedua orang itu lalu melompat jauh dan menggunakan ilmu mereka untuk melarikan diri secepatnya.

Setelah Empu Bharada mengusir halimun dengan kebutan jubahnya, ternyata kedua orang penyerbu itu telah lenyap. Dia menghela napas dan memandang kepada orang yang membantunya tadi.

"Adi Bargowo, Sang Hyang Widhi telah mengirim andika datang membantu ku sehingga aku terbebas dari ancaman dua orang sakti tadi. Selamat datang, adi!"

Pria itu melangkah maju menghampiri Empu Bharada dan mereka saling rangkul. Pria itu adalah Ki Bargowo yang merupakan adik seperguruan yang kemudian menjadi adik angkat Empu Bharada.

"Kakang Bharada, aku sungguh merasa terkejut dan heran. Sudah tiga tahun kita tidak saling berjumpa, dan aku tahu bahwa andika telah menjadi pembantu yang amat dikasihi Gusti Sinuwun, mendapat anugerah dan hidup dengan tenteram di tanah perdikan Lemah Citra ini. Akan tetapi apa yang ku lihat tadi? Andika bertanding melawan dua orang sakti yang berbahaya... Bagaimana andika dapat hidup terancam bahaya seperti itu, kakang?"

Empu Bharada tersenyum dan menarik tangan Ki Bargowo diajak masuk ke ruangan dalam. "Kita bicara di dalam saja, Adi Bargowo, dan di dalam masih ada seorang sahabat baik ku, yaitu Empu Kanwa, seorang sastrawan yang bijaksana. Mari ku perkenalkan dan nanti ku jelaskan semua."

Sambil bergandengan tangan mereka berdua memasuki ruangan di mana Empu Kanwa masih duduk sambil makan ubi rebus dengan enaknya. Empu Bharada tidak merasa heran melihat sikap sahabatnya ini, yang masih duduk enak-enak dan tenang-tenang saja walaupun maklum bahwa dia berhadapan dengan orang orang yang memaksanya bertanding. Padahal Empu Kanwa adalah seorang yang lemah jasmaninya.

Namun dia adalah seorang yang sudah sepenuhnya percaya dan pasrah kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi, maklum bahwa kalau Hyang Widhi menghendaki seseorang selamat, biarpun dikeroyok selaksa bahayapun akan dapat lolos, namun sebaliknya kalau Hyang Widhi menghendaki seseorang mati, biarpun seribu orang dewa tidak akan mampu menghindarkannya dari kematian!


BERSAMBUNG KE JILID 08
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.