CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO
KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 09
Nurseta berjalan menuruni lereng bukit itu sambil melamun. Dia merasa, kecewa sekali kepada dirinya sendiri. Baru saja turun gunung, dia telah kehilangan keris pusaka Sang Megatantra!
Dan hal itu terjadi karena kebodohan dan kelengahannya. Dia terlalu percaya kepada pria yang bernama Raden Hendratama dan tiga orang wanita cantik yang tadinya mengaku sebagai puteri bangsawan itu. Tidak tahunya, Raden Hendratama adalah seorang pangeran dan tiga orang wanita muda yang cantik itu adalah selir-selirnya.
Dia telah terjebak, keris pusakanya dilarikan orang. Dengan demikian, dia telah menggagalkan pesan mendiang Empu Dewamurti yang minta kepadanya agar keris pusaka itu diserahkan kepada Sang Prabu Erlangga. Kini malah hilang. Dan dia tidak tahu kemana harus mencari pangeran yang mencuri keris itu. Ke mana dia harus mencari Pangeran Hendratama?
Bagaimanapun dia harus mencari pangeran itu dan merampas kembali keris pusaka Megatantra karena keris pusaka itu sebetulnya merupakan pusaka istana Kahuripan sebagai keturunan kerajaan Mataram dan harus dia kembalikan kepada Sang Prabu Erlangga.
Akan tetapi karena dia tidak tahu ke mana harus mencari Raden Hendratarna yang pangeran itu, dia mengambil keputusan untuk lebih dulu menyelidiki tentang orang tuanya dan mencari di mana ayah ibunya kini berada. Hal inipun merupakan pesan terakhir gurunya.
Pesan itu ada tiga, yaitu mengembalikan keris pusaka Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga, mencari orang tuanya yang meninggalkannya ketika dia berusia sepuluh tahun, dan ketiga, mempergunakan semua ilmu yang telah dipelajari dan dikuasainya untuk membantu kerajaaan Kahuripan menghadapi musuh-musuhnya.
Setelah mengambil keputusan dia lalu berjalan cepat kearah selatan. Untuk menyelidiki tentang orang tuanya, dia harus pergi ke Karang Tirta, karena disanalah ayah ibunya pergi meninggalkannya sebelas tahun yang lalu. Mungkin ada orang-orang tua yang mengenal orang tuanya dan dapat menceritakan tentang mereka. Di antara mereka yang mengenal orang tuanya tentulah Ki Suramenggala, lurah Karang Tirta. Mungkin dari Karang Tirta dia akan mendapatkan keterangan tentang orang tuanya dan dapat melacak jejak mereka dari sana.
Pada suatu sore tibalah dia di dusun Karang Sari, sebuah dusun yang letaknya dekat perbatasan antara wilayah Kahuripan dan Wengker, akan tetapi Karang Sari masih termasuk wilayah Kahuripan. Dusun Karang Sari merupakan dusun yang makmur karena tanahnya di bagian selatan itu subur. Nurseta tidak asing dengan dusun Karang Sari yang letaknya tidak amat jauh dari Karang Tirta.
Dari Karang Sari menuju ke Karang Tirta dapat ditempuh oleh pejalan kaki biasa selama setengah hari saja. Kalau Nurseta menggunakan aji kesaktiannya berlari cepat, tentu hanya memakan waktu tidak terlalu lama. Akan tetapi karena hari sudah mulai gelap, Nurseta mengambil keputusan untuk melewatkan malam di Karang Sari.
Akan tetapi ketika dia memasuki dusun itu, dia melihat keadaan yang luar biasa. Dusun itu sepi sekali. Rumah rumah sudah menutup daun jendela dan pintunya, padahal waktu itu baru selewat senja, belum malam benar. Dan ketika Nurseta berjalan di sepanjang jalan, pendengarannya yang tajam dapat menangkap bisik-bisik orang di dalam rumah-rumah di sepanjang jalan itu.
Para penghuni rumah itu agaknya berada dalam rumah mereka semua mengintai keluar! Sungguh merupakan keadaan yang penuh rahasia. Dusun itu seolah menjadi dusun yang mati, padahal para penduduk masih berada di situ, hanya seperti ketakutan dan tidak berani keluar rumah masing-masing.
Nurseta teringat bahwa dulu, lima tahun lebih yang lalu, ketika dia masih tinggal di Karang Tirta, pernah dia berkenalan dengan seorang penjual grabah (alat-alat dapur dari tanah) bernama Ki Karja yang tinggal di Karang Sari. Bahkan dia pernah berkunjung dan bermalam satu malam di rumah Ki Karja. Teringat akan hal ini, Nurseta lalu mencari rumah dimana dia pernah bermalam itu. Tak lama kemudian dia menemukan rumah tu, masih sama dengan lima tahun yang lalu, rumah sederhana dengan sebatang pohon sawo kecik tumbuh di depannya. Dia menghampiri rumah itu.
Seperti rumah-rumah lain, rumah ini juga tampak sunyi dan gelap. Tidak ada penerangan dinyalakan di luar maupun di dalam rumah dan semua daun pintu dan jendela tertutup, seolah rumah kosong tanpa penghuni. Akan tetapi Nurseta dapat mendengar suara gerakan orang di dalam maka dia yakin bahwa di dalam rumah itupun terdapat orang.
"Tok-tok-to k!" Nurseta mengetuk pintu. Tidak ada jawaban, tidak ada gerakan. Dia mengulang ketukannya sampai tiga kali, akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Dia menduga bahwa orang orang di dusun ini tentu benar-benar sedang dilanda ketakutan, entah terhadap apa atau siapa, maka ketika diketuk daun pintunya, tidak ada yang berani membukanya.
"Paman Karja, bukalah pintunya. Ini aku, jangan takut. Aku Nurseta, dari Karang Tirta. Bukalah pintunya, paman Karja!"
Ada gerakan di dalam rumah, akan tetapi tetap saja daun pintunya tidak terbuka dan tidak ada jawaban. Nurseta menduga bahwa kalau Ki Karja berada di dalam rumah itu, tentu orang itu meragukan pengakuannya tadi. Mungkin Ki Karja sudah lupa kepadanya. Dengan sabar dan suara tenang Nurseta bicara lagi.
"Paman Karja, lupakah paman kepadaku? Aku yang dulu, lima tahun yang lalu, ketika paman berjualan grabah di Karang Tirta lalu terpeleset jatuh, menolong paman. Bahkan aku pernah berkunjung dan bermalam di rumah ini. Aku Nurseta, pemuda miskin dari Karang Tirta itu, paman."
"Nurseta? Benarkah itu engkau?" terdengar suara dari dalam.
"Benar, Paman Karja. Habis, kalau bukan Nurseta, siapa lagi? Aku tidak berbohong, paman. Bukalah pintunya paman lihat sendiri siapa aku."
Daun pintu itu terbuka sedikit dan sebuah mata mengintai keluar. Cuaca belum begitu gelap sehingga mata itu dapat melihat wajah Nurseta dengan jelas. Agaknya pemilik mata itu mengenalnya dan merasa yakin. Daun pintu terbuka lebih lebar dan tampaklah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, masih di balik ambang pintu, agaknya tidak berani keluar.
"Nurseta, ternyata benar engkau, cepat, masuklah, pintu ini harus segera ditutup kembali!"
"Eh, kenapakah, paman? Kenapa semua pintu dan jendela rumah-rumah di dusun ini ditutup dan tidak ada penerangan sama sekali?"
"Sstt ....., jangan ribut. Masuklah, kita bicara di dalam saja!" kata Ki Karja dan dia lalu memegang lengan Nurseta ketika pemuda itu mendekat lalu menariknya masuk ke dalam rumah. Kemudian dengan cepat pula daun pintu ditutup kembali dan diganjal palang dari dalam. Mereka berada dalam kegelapan yang remang-remang.
Nurseta dapat melihat bahwa selain Ki Karja, di dalam rumah itu terdapat pula Nyi Karja dan dua orang pemuda remaja, yaitu anak-anak mereka.
"Paman, ceritakanlah apa yang sedang terjadi di dusun Karang Sari ini? Kenapa semua orang seperti ketakutan, tidak berani menyalakan penerangan dan tidak berani membuka pintu?"
"Ssttt .....jangan keras-keras, Nurseta Sudah seminggu ini kami penduduk dusun ini setiap malam ketakutan. Ada segerombolan orang jahat seperti iblis mengacau dusun ini. Mereka merampok, memukuli bahkan membunuh orang, menculik dan memperkosa wanita. Kabarnya malam ini mereka kembali akan merampok rumah Ki Lurah. Kami semua ketakutan maka ketika engkau mengetuk pintu, kami tidak berani membukanya."
Nurseta mengerutkan alisnya. Bagaimana mungkin ada kejadian seperti ini? Karang Sari adalah sebuah dusun yang termasuk wilayah Kahuripan dan menurut keterangan mendiang gurunya, setelah Sang Prabu Erlangga dibantu Ki Patih Narotama berkuasa di Kahuripan, kerajaan itu aman tentram. Hampir tidak ada penjahat berani muncul karena pemimpin kerajaan Kahuripan terkenal sebagai orang-orang yang sakti mandraguna. Bagaimana sekarang ada gerombolan yang demikian jahat dan ganas berani mengacau sebuah dusun yang masih termasuk wilayah Kahuripan?
"Akan tetapi, bukankah di setiap kelurahan ada beberapa orang jagabayanya?" tanya Nurseta penasaran.
"Hemm, pada malam pertama ketika mereka datang menyerbu, belasan orang jagabaya telah serentak keluar menyambut. Akan tetapi gerombolan itu amat tangguh, terutama pemimpin mereka. Belasan orang jagabaya itu roboh dan luka-luka bahkan tiga orang di antara mereka tewas. Sejak itu, siapa yang berani melawan?"
"Paman Karja, berapakah jumlahnya gerombolan yang mengacau itu?"
"Hanya enam orang, tujuh bersama pemimpin mereka yang tinggi besar seperti raksasa dan yang amat digdaya, tubuhnya kebal tidak terluka oleh senjata tajam."
"Bagaimana andika tahu bahwa malam ini mereka hendak merampok rumah Ki Lurah?"
"Kemarin malam, ketika mereka menjarah rayah (merampok) rumah Ki Jabur, seorang dari mereka berkata bahwa malam ini giliran rumah Ki Lurah. Padahal, pada malam pertama dulu mereka sudah mengacau di rumah Ki Lurah, bahkan menculik puterinya. Dan pada malam itu pula para jagabaya itu roboh dan tiga orang di antara mereka tewas, yang lain luka-luka."
Nurseta menghela napas panjang. "Sayang sekali. Mengapa para pria penduduk dusun ini, terutama mereka yang muda-muda, diam saja dan tidak bangkit melawan? Kalau semua bersatu dan melawan, tentu kalian yang berjumlah puluhan, bahkan mungkin seratus orang lebih itu akan dengan mudah membasmi tujuh orang penjahat itu."
"Kami ..... kami tidak berani ....., mereka itu sakti ....."
"Sudahlah, Paman Karja. Kalau semua laki-laki di sini pengecut, biarlah aku seorang diri yang akan menghadapi mereka. Katakan saja dari arah mana biasanya para penjahat itu memasuki dusun ini."
"Dari ..... dari barat sana ....." Ki Karja menuding ke arah barat.
"Nah, aku pergi, paman. Kalau paman takut, tutup saja lagi pintu rumahmu." Setelah berkata demikian, Nurseta lalu membuka daun pintu dan meninggalkan rumah itu dengan cepat. Dia berjalan-cepat menuju ke pintu gerbang dusun Karang Sari di sebelah barat karena dia ingin menghadang para penjahat itu agar tidak membikin kacau di dalam dusun.
Untung baginya bahwa bulan sepotong mulai muncul dengan datangnya sang malam sehingga walaupun dusun itu tidak ada sedikitpun penerangan, namun cuaca tidaklah amat gelap, masih remang remang. Nurseta duduk di atas sebuah batu dekat pintu gerbang yang sepi itu. Tidak ada penjaga, tidak ada peronda seperti pada malam-malam biasanya sebelum gangguan penjahat itu ada.
Tidak terlalu lama dia menunggu. Kedatangan gerombolan itu sudah dapat dilihat dari jauh. Mereka itu membawa obor, agaknya sudah tahu bahwa dusun Karang Sari dalam keadaan gelap tanpa ada penerangan. Setelah mereka tiba dekat pintu gerbang sebelah barat dusun itu, sudah terdengar suara mereka. Mereka bercakap-cakap diseling suara tawa mereka yang ngakak (terbahak).
Ketika mereka melewati pintu gerbang, tiba-tiba muncul Nurseta menghadang di depan mereka. Pemuda ini melihat jelas wajah-wajah mereka di bawah sinar enam buah obor besar. Wajah-wajah yang seram dan jelek, dengan tubuh yang kekar berotot, membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan dan kekuatan untuk memaksakan kehendak mereka. Apa lagi yang berdiri paling depan. Seorang laki-laki yang bertubuh raksasa, kepalanya besar, matanya lebar dan sikapnya menyeramkan.
Melihat ada orang menghadang perjalanan mereka, tujuh orang yang usianya sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun Itu merasa heran sekali dan mereka yang membawa obor segera mengangkat obor mereka ke atas agar dapat melihat lebih jelas orang yang berani menghadang mereka itu.
Mereka semakin heran melihat bahwa yang menghadang mereka itu hanyalah seorang yang masih muda sekali. Kepala gerombolan itupun merasa heran dan dia cepat membentak dengan suaranya yang parau dan berat seperti gerengan binatang buas, "Heh, bocah! Siapakah kamu dan mau apa kamu menghadang perjalanan kami?"
Nurseta tersenyum dan dengan tangan kiri bertolak pinggang, telunjuk tangan kanannya menuding ke arah mereka lalu berkata dengan suara lantang.
"Tidak perlu kalian ketahui siapa aku, akan tetapi aku adalah anak daerah ini yang tidak rela melihat kalian manusia-manusia iblis berbuat jahat dan keji terhadap penduduk dusun Karang Sari ini!"
Mendengar ini, marahlah kepala gerombolan yang bertubuh besar dan tingginya satu setengah kali tinggi tubuh Nurseta itu. "Bocah keparat, kamu sudah bosan hidup!" bentaknya dan kepalan tangannya yang sebesar kepala Nurseta itu menyambar dengan jotosan yang cepat dan kuat sekali, mengiuk suaranya seperti palu godam menyambar pelipis Nurseta.
Akan tetapi biarpun gerakan itu amat kuat dan lengan itu panjang sekali, namun bagi Nurseta gerakan itu tampak terlalu lamban. Dengan mudah saja dia mengelak. Akan tetapi kepala gerombolan itu menyusulkan cengkeraman tangan kirinya kearah leher pemuda itu. Ketika Nurseta Kembali mengelak, kaki kanannya menbuat dan menendang bagaikan sebatang pohon menyambar dahsyat.
Nurseta miringkan tubuhnya dan ketika kaki itu lewat di dekatnya, secepat kilat tangannya menyambar, menangkap tumit kaki itu dan meminjam tenaga tendangan lawan itu dia mengerahkan tenaga mendorong atas! Tak dapat dihindarkan lagi, kaki kanan kepala gerombolan itu terayun kuat sekali ke atas sehingga tubuhnya terbawa terbang dan d ia pun roboh ke atas tanah, pinggulnya lebih dulu menghantam tanah.
"Bukkk .....ngekkk!"
Raksasa itu mengeluh, akan tetapi dia merangkak bangun sambil berseru marah kepada enam orang anak buahnya. "Bunuh dia! Bunuh .....!!"
Enam orang perampok itu sergera bergerak. Tiga orang di antara mereka mencabut golok dengan tangan kanan lalu menyerang Nurseta dengan golok di tangan kanan dan obor di tangan kiri. Tiga orang yang lain merasa cukup menggunakan obor itu untuk menyerang, memegangi dengan kedua tangan.
Nyala api menyambar-nyambar ke arah Nurseta menimbulkan pandangan yang aneh dan juga indah. Nurseta yang maklum bahwa mereka adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya diberi hajaran keras, bergerak cepat. Dengan Aji Bayu Sakti, tubuhnya berkelebatan dan keenam lawannya menjadi pusing karena pemuda itu sukar sekali dijadikan sasaran serangan mereka.
Nurseta lalu menyerang dengan gerakan silat Baka Denta. Gerakannya cepat dan tidak terduga-duga oleh enam orang pengeroyoknya. Kedua tangannya menyambar-nyambar dengan tamparan kilat, kedua kakinya bergantian mencuat dengan tendangan halilintar. Enam orang itu berpelantingan roboh dan obor mereka jatuh dan padam.
Keadaan menjadi gelap, akan tetapi tiba-tiba muncul banyak orang mengepung pintu gerbang Itu dan segera keadaan menjadi terang benderang ketika banyak obor dipasang, Kiranya penduduk dusun Karang Sari berjumlah seratus orang, semuanya laki-laki dari pemuda remaja sampai kakek-kakek. Melihat enam orang itu roboh, mereka lalu bersorak dan berteriak-teriak menyerbu, menggunakan segala macam senjata alat pertanian seperti pacul, linggis, arit, kampak dan sebagainya.
Nurseta terkejut sekali melihat puluhan orang itu menggunakan senjata mereka untuk menyerang enam orang anggota gerombolan yang sudah roboh. Enam orang itu ketakutan, mencoba untuk membela diri. Akan tetapi apa daya mereka menghadapi amukan puluhan orang yang seperti keranjingan itu?
Apa lagi mereka berenam sudah menderita luka oleh tamparan dan tendangan Nurseta tadi. Tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka menjadi lumat menjadi onggokan daging cacah berlepotan darah. Dalam keributan itu, kepala gerombolan yang bertubuh raksasa itu sempat melarikan diri dan Nurseta tidak mengejarnya karena dia sendiri tertegun dan ngeri menyaksikan kekejaman para penduduk itu. Manusia kalau sudah dikuasai amarah dan dendam dapat menjadi amat kejam!
"Sudah cukup kawan-kawan! Sudah cukup kita membalas dendam!" teriak Nurseta dan semua orang menghentikan amukan mereka. Seorang di antara mereka, yaitu Ki Karja dan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tebal.
"Ki Lurah, inilah Nurseta yang telah membangkitkan semangat kita dan tadi telah merobohkan para perampok." Ki Karja memperkenalkan Nurseta kepada pria itu yang ternyata adalah lurah dusun Karang Sari.
Ki Lurah cepat maju menghampiri dan dengan sikap hormat dia berkata, "Perkenalkan, anak mas Nurseta. Saya Ki Lurah Warsita yang memimpin desa Karang Sari."
Nurseta membalas penghormatan lurah Itu dan berkata. "Sekarang, paman, kita harus dapat menemukan sarang mereka untuk menolong para gadis yang terculik."
Di ingatkan demikian, Ki Warsita cepat berkata. "Andika benar, anak mas. Ada empat orang gadis dusun ini, termasuk anakku sendiri Kartiyah, yang diculik gerombolan. Mari kita cari, Anak mas Nurseta."
"Apakah paman telah mengetahui dimana adanya sarang gerombolan itu" tanya Nurseta.
"Kami belum melihat sendiri, akan tetapi kami semua dapat menduga bahwa sarang mereka tentu berada di puncak bukit kecil di sebelah barat dusun kami itu."
"Kalau begitu, mari kita menyerbu sarang mereka!" kata Nurseta dan ucapan ini disambut oleh sorakan hampir seratus orang itu, kemudian berbondong-bondong barisan obor itu lalu keluar dari dusun menuju ke bukit kecil yang berada jauh di sebelah barat dusun.
Benar saja dugaan Ki Lurah Warsita Setelah mendaki puncak bukit kecil mereka menemukan sebuah rumah darurat dari bambu dan kayu, sederhana namun cukup besar, berdiri di lereng dekat puncak bukit. Nurseta mendorong pintu rumah itu sehingga terbuka dan diikuti oleh Ki Lurah Warsita dan Ki Karja orang-orang lain yang membawa mengikuti ke dalam akan tetapi tentu saja tidak semua orang yang begitu banyak dapat memasuki rumah itu.
Tidak ada seorangpun anggota gerombongan di dalam rumah itu dan kepala gerombolan bertubuh raksasa itupun tidak tampak. Nurseta dan Ki Lurah Warsita menemukan Kartiyah, puteri ki lurah yang berusia delapan belas tahun itu terikat di atas pembaringan bersama tiga orang gadis lain dan mereka itu tadinya tidak berani menangis. Akan tetapi melihat siapa yang datang, mereka lalu menjerit-jerit dan menangis.
Mereka berempat telah menjadi korban kekejian para penjahat itu. Ki Lurah Warsita melepaskan ikatan puterinya dan mereka berangkulan. Juga Nurseta melepaskan ikatan kaki tangan tiga orang gadis lainnya. Selain berhasil menemukan dan membebaskan empat orang gadis yang diculik gerombolan itu, mereka juga menemukan barang-barang rampokan milik ki lurah dan para penduduk lain. Semua barang itu diangkut keluar kemudian rumah itu dibakar oleh penduduk yang marah. Kemudian mereka kembali ke dusun Karang Sari, membawa pulang empat orang gadis korban penculikan dan barang-barang rampokan.
Setelah tiba di dusun, semua orang memuji-muji Nurseta, juga Ki Lurah Warsita mengucapkan terima kasih kepadanya. Di depan para penduduk Karang Sari, Nurseta berkata dengan suara lantang, "Saudara-saudara, saya senang sekali melihat andika sekalian kini bangkit, bersatu dan berani menentang para penjahat. Saya yakin, kalau andika sekalian tetap bersatu padu menghadapi kejahatan, tidak ada gerombolan yang akan berani mengganggu dusun kalian. Akan tetapi, harap jangan bertindak kejam seperti yang andika sekalian lakukan tadi. Kalau ada penjahat mengganggu ketentraman, kepung dan tangkap, serahkan kepada Ki lurah untuk diadili. Penjahat boleh dihukum, kalau perlu hukum mati, akan tetapi harus melalui pengadilan dulu, jangan main bunuh seperti tadi. Cara seperti itu tidak adil, kejam, dan dapat menimbulkan bencana karena membunuh orang yang salah, yang tidak berdosa. Nah, dapatkah andika sekalian mengerti dan berjanji tidak akan mengulang kekejaman seperti tadi?"
Penduduk dusun Karang Sari yang amat kagum dan berterima kasih kepada Nurseta menyatakan mengerti dan mau berjanji. Malam itu Nurseta dipersilakan untuk bermalam di rumah Ki Lurah Warsita, akan tetapi Nurseta mengucapkan terima kasih dan memilih bermalam di rumah Ki Karja yang sudah dikenalnya.
Dari orang ini dia mendapat keterangan bahwa setelah malam tadi Nurseta meninggalkannya, Ki Karja lalu nekat keluar dari rumah, menghubungi Ki Lurah Warsita dan para pemuda, menceritakan tentang Nurseta yang hendak membasmi gerombolan. Semangat mereka bangkit dan bersama ki lurah, Ki Karja lalu mengumpulkan semua laki-laki di dusun itu dan mereka membuat persiapan untuk membantu Nurseta membasmi para penjahat itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika Nurseta berpamit hendak meninggalkan rumah Ki Karja dan keluarganya, Ki Karja berkata dengan serius, "Anakmas Nurseta, maafkan saya kalau saya bicara lancang. Akan tetapi saya hanya menyampaikan pesan Ki Lurah Warsita."
"Katakanlah, Paman Karja, apa yang hendak andika sampaikan kepadaku itu?"
"Begini, anakmas. Malam tadi, ketika hendak meninggalkan rumah ki lurah, dia memesan saya untuk menyampaikan keinginannya kepadamu. Dia berpesan kalau sekiranya Anakmas Nurseta masih belum mempunyai isteri dan mau menerimanya, Ki lurah ingin sekali menjodohkan puterinya, yaitu Nini Kartiyah yang malam tadi diambil dari pondok gerombolan, dengan anakmas. Bagaimana pendapatmu, Anakmas Nurseta? Saya harus menyampaikan jawaban anakmas sekarang kepada ki lurah."
Wajah Nurseta berubah kemerahan karena malu. Dia teringat akan gadis puteri lurah itu. Usianya sekitar delapan belas tahun gadis yang bernasib malang itu memang cantik, hitam manis dan menarik. Paling cantik di antara empat orang gadis yang diculik gerombolan. Akan tetapi dia sama sekali sedikitpun belum mempunyai keinginan untuk menikah. Tiba-tiba dia teringat... Kalau dia menolak, tentu dapat menimbulkan kesan bahwa dia menolak karena Kartiyah itu menjadi korban gerombolan jahat, bukan perawan lagi. Maka dia lalu berkata dengan hati-hati.
"Paman Karja, harap sampaikan terima kasihku kepada Paman Lurah Warsita atas niat baiknya itu. Akan tetapi, saya tidak dapat menerima usulnya itu. Sama sekali bukan karena puterinya itu telah menjadi korban gerombolan, sama sekali tidak. Melainkan hanya karena sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikat diri dengan sebuah pernikahan. Harap sampaikan maaf saya kepada ki lurah dan kalau boleh saya nasihatkan, sebaiknya segera dicarikan seorang suami untuk Kartiyah agar ia terbebas dari duka dan aib. Nah, selamat tinggal paman dan terima kasih atas kebaikanmu."
Nurseta tidak memberi kesempatan kepada Ki Karja untuk bicara lebih banyak mengenai usul perjodohan itu dan cepat dia meninggalkan dusun Karang Sari, menuju ke dusun Karang Tirta.
Ada rasa haru dalam hati Nurseta ketika dia melangkahkan kakinya di atas jalan setapak yang amat dikenalnya itu Rasanya seperti baru kemarin saja dia meninggalkan tempat ini. Jalan setapak itu masih belum berubah, juga pohon-pohon disepanjang jalan, semua masih sama seperti lima tahun yang lalu ketika dia meninggalkan tempat ini. Ketika dia menggembala kerbau, ketika dia menggarap sawah ladang di sana itu! Melihat semua itu, dia terkenang akan masa lalunya.
Ketika akhirnya dia memasuki pintu gerbang dusun Karang Tirta, perasaan harunya bercampur perasaan gembira. Dia merasa seolah kembali ke kampung halamannya sendiri, tempat yang membangkitkan semua kenangan lama, ketika dia masih kecil, masa kanak-kanaknya sampai masa remajanya. Suka dukanya di dusun karang Tirta itu. Di antara orang-orang yang dijumpainya, ada beberapa wajah yang masih dikenalnya dengan baik. Akan tetapi mereka itu agaknya pangling (tidak ingat) dia lagi. Mungkin dia telah berubah.
Ketika pergi bersama gurunya lima tahun lebih yang lalu, dia telah menjadi remaja, baru berusia enam belas tahun. Sekarang dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun lebih. Karena dia berpakaian seperti seorang pemuda desa biasa, maka kehadirannya tidak menarik perhatian orang. Kalau perhatian mereka tertarik, tentu diantara mereka akan ada yang mengenal wajahnya.
Nurseta langsung saja menujukan langkahnya ke rumah KI Lurah Suramengala yang berada di tepi jalan raya di tengah-tengah dusun. Ketika dia melangkah sepanjang jalan dusun yang cukup lebar itu dan memandang ke arah rumah-rumah yang amat dikenalnya, yang berjajar di kanan kiri jalan, timbul keterenyuan hatinya. Rumah-rumah itu masih seperti dulu dan baru sekarang dia melihat betapa buruk dan sederhananya rumah-rumah itu.
Kemudian dia tiba di depan rumah ki lurah dan baru sekarang tampak jelas olehnya perbedaan yang amat besar antara rumah-rumah para penduduk dan rumah Ki Lurah Suramengala! Sebuah gedung mewah dengan pekarangan lebar penuh dengan tanaman bunga-bunga dan pohon-pohon buah.
Baru sekarang matanya seperti terbuka, ingat betapa kehidupan rakyat yang sederhana dan miskin itu alangkah jauh bedanya dengan kehidupan sang lurah sekeluarga yang mewah dan kaya raya. Sawah ladangnya luas sekali, ternaknya banyak, rumah ada beberapa buah dan hidupnya seperti seorang raja kecil di dusun itu.
Dulu, sebelum menjadi murid mendiang Empu Dewamurti, dia menganggap keadaan itu wajar-wajar saja. Akan tetapi sekarang dia melihat bahwa keadaan seperti itu sungguh tidak adil sama sekali. Penduduk dusun itu dapat dikatakan semua hidup sederhana, bahkan kekurangan. Akan tetapi lurahnya, orang yang memimpin dusun itu, hidup berlebihan.
Dia kini teringat betapa ketika dia berusia sepuluh tahun dan kedua orang tuanya pergi meninggalkannya begitu saja, Ki Lurah Suramenggala yang mengatur semua harta peninggalan orang tuanya, berupa rumah dan sawah ladang. Harta milik peninggalan orang tuanya itu dibeli oleh sang lurah, dan uangnya menurut sang lurah, telah habis untuk biaya hidupnya selama tiga tahun! Sehingga mulai berusia tiga belas tahun dia harus bekerja membantu orang untuk sekedar dapat makan.
Tiga tahun saja peninggalan orang tuanya itu habis, padahal setiap harinya dia hanya diberi makan sederhana oleh ki lurah. Baru sekarang dia menyadari bahwa dia telah ditipu oleh Ki Suramenggala. Mungkin sang lurah itu dapat mengumpulkan harta kekayaan yang berlimpahan itu dengan cara menindas dan menipu warganya seperti yang terjadi dengan dirinya. Mungkin dengan memungut pajak terlalu besar atau mengerahkan seluruh tenaga, pikiran di harta penduduk Karang Tirta demi untuk kesejahteraan dirinya sendiri.
Nurseta memasuki pekarangan kelurahan itu. Tiga orang jagabaya yang tadinya duduk di dalam gardu penjagaan cepat keluar dari gardu dan seorang dan mereka menegur. "Hei, berhenti...! Siapa engkau dan mau apa memasuki pekarangan ini?"
Nurseta memandang tiga orang itu dan dia masih mengenal penanya tadi sebagai seorang jagabaya yang dulu juga telah menjadi jagabaya di kelurahan itu Yang dua lagi tidak dia kenal. Mungkin mereka itu merupakan orang-orang baru di Karang Tirta.
"Saya Nurseta, hendak bertemu dengan Ki Lurah Suramenggala." kata Nurseta dengan ramah. "Apakah paman lupa kepada saya?"
Jagabaya itu mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian. Akhirnya dia teringat akan peristiwa yang tidak dapat dilupakan lima tahun yang lalu. Ketika itu pemuda ini, masih remaja, datang bersama seorang kakek. Ki lurah marah-marah dan memerintahkan dia dan kawan-kawannya untuk menangkap Nurseta dan kakek itu, akan tetapi terjadilah keanehan. Dia dan kawan-kawannya, juga ki lurah, tidak mampu bergerak sama sekali! Setelah Nurseta dan kakek Itu pergi, barulah mereka dapat bergerak kembali.
"Ah, engkau..... engkau Nurseta bocah jembel itu? Yang dulu datang bersama pendeta siluman itu?" tanyanya gagap.
Nurseta tersenyum, tidak marah. Dia maklum orang macam apa yang bicara kepadanya. Orang bodoh yang hanya mengandalkan kedudukannya sebagai jagabaya dan kekuatannya untuk bersikap congkak. Orang macam ini biasanya tentu menjilat ke atas dan menginjak kebawah.
"Saya benar Nurseta anak yang dulu itu. Harap paman suka memberitahukan Ki Lurah Suramenggala bahwa saya datang hendak bertemu dan bicara dengannya."
"Beraninya engkau, bocah lancang." jagabaya itu membentak. "Ki lurah sedang sibuk, sedang ada tamu, tidak sempat menemui bocah seperti engkau!" Dia masih marah kalau teringat akan peristiwa lima tahun yang lalu, yang membuat dia dan kawan-kawannya menjadi bahan ejekan karena berubah seperti patung ketika berhadapan dengan Nurseta dan pendeta tua itu.
Paman... andika hanya jagabaya, hanya petugas, sudah menjadi kewajiban mu untuk melaporkan kepada ki lurah kalau ada tamu. Maka, sekali lagi aku minta kepadamu untuk memberitahukan ki lurah akan kedatanganku ini." Kata Nurseta.
"Kurang ajar engkau!" Jagabaya itu marah dan mengayun tangan kanannya untuk menampar muka Nurseta. Perlakuan seperti ini terhadap rakyat sudah biasa dia lakukan.
"Wuuuuttt......... plakk...!"
Pergelangan tangan yang menampar itu telah dapat ditangkap Nurseta dan dengan sekali sentakan, tubuh jagabaya itu terpelanting dan terbanting ke atas tanah. Dua orang temannya marah dan tanpa diperintah lagi mereka berdua sudah memukul dari kanan dan kiri ke arah kepala dan dada Nurseta. Akan tetapi pemuda ini dengan gerakan amat cepat sudah mendahului menampar dengan tangan kiri dan menendang dengan kaki kanan. Dua orang jagabaya itu mengaduh dan merekapun terpelanting roboh.
"Heii! Ada apakah ini?" terdengar suara orang membentak.
Nurseta memandang ke arah dua orang yang baru muncul dari dalam gedung. Dia segera mengenal Ki Lurah Suramenggala, akan tetapi ketika dia memandang orang kedua yang berdiri di samping lurah itu dia terkejut mengenal orang yang bertubuh raksasa itu bukan lain adalah kepala gerombolan yang mengacau di dusun Karang Sari dan yang berhasil melarikan diri ketika enam orang anak buah gerombolan itu dikeroyok dan dibunuh oleh penduduk.
Kalau Nurseta terkejut, raksasa itu lebih kaget lagi. Dia menuding dengan telunjuk tangan kirinya yang besar sambil berseru kepada Ki Suramenggala. "Dia ..... dia itulah bocah setan itu.....!"
Ki Suramenggala terkejut mendengar ini. Tadi dia sudah mendengar dan ketika gerombolan yang menjadi anak buahnya itu bahwa gerombolan itu dibinasakan seorang pemuda dusun Karang Sari. setelah sekarang melihat pemuda itupun segera mengenalnya sebagai Nurseta. Maka dia lalu berseru keras, "Tangkap bocah ini!"
Pada saat itu, dari dalam gedung berlari keluar tiga orang jagabaya lain. Tiga orang jagabaya yang tadi dirobohkan Nurseta juga sudah bangkit dan mereka semua mencabut klewang mengepung Nurseta. Kepala gerombolan yang tinggi besar itupun ikut mengepung. Dia sudah mencabut senjatanya, sebatang pedang berpunggung gergaji yang menyeramkan. Kini, kepala gerombolan itu merasa yakin bahwa dia akan dapat membalas dendam kepada pemuda itu. Selain dia sendiri dapat mempergunakan senjatanya yang ampuh, juga di situ ada Ki Lurah Suramenggala yang membantunya dengan para jagabayanya.
"Bunuh saja dia! Bocah ini jahat dan berbahaya sekali!" bentak raksasa itu dan dia sudah mendahului para jagabaya menyerang dengan pedangnya. Gerakannya tangkas dan kuat sekali sehingga pedang gergaji itu mendesing nyaring ketika menyambar ke arah leher Nurseta.
"Singgg .....!"
Pedang itu meluncur lewat di atas kepala Nurseta yang menekuk kedua lututnya merendahkan diri sehingga serangan itu tidak mengenai sasaran. Pada saat itu, enam orang jagabaya telah menghujankan serangan kepadanya dari belakang, depan, kiri dan kanan.
Melihat gerakan mereka, maklumlah Nurseta bahwa para pengeroyoknya itu tidak merupakan lawan yang berbahaya maka diapun tidak merasa gugup dan dengan Aji Bayu Sakti yang membuat tubuhnya seringan dan secepat angin, dia bersilat dengan ilmu silat Baka Denta. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar tujuh buah senjata tajam itu dan para pengeroyoknya menjadi bingung karena mereka merasa seolah-olah mereka mengeroyok sebuah bayangan saja.
Dengan tamparan tamparan tangannya yang ampuh, tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga, Nurseta membuat enam orang jagabaya itu seorang demi seorang terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali karena ada yang merasa kepalanya pening seperti hendak pecah, ada yang tulang pundaknya terkilir, bahkan ada yang tulang lengannya retak.
Melihat ini, kepala gerombolan yang sejak tadi menyerang tanpa hasil menjadi terkejut dan gentar. Di Karang Sari enam orang anak buahnya roboh oleh pemuda ini dan sekarang enam orang jagabaya juga roboh. Tahulah dia bahwa pemuda sakti itu bukan tandingannya dan amat berbahaya kalau dia melanjutkan perkelahian itu.
Maka dia lalu memutar tubuhnya hendak melarikan diri dari tempat itu. Melihat ini, Nurseta yang tahu betapa jahatnya orang itu dan betapa orang itu merupakan ancaman bahaya bagi orang-orang lain, cepat mengambil sebatang klewang milik para jagabaya yang jatuh ke tanah, kemudian dia menyambitkan kelewang itu ke arah kepala gerombolan yang melarikan diri.
"Wuuuttt ..... cappp!!" Tubuh raksasa itu roboh tertelungkup dengan punggung ditembusi kelewang yang runcing dan tajam. Dia tewas seketika.
Ki Lurah Suramenggala menjadi pucat melihat betapa semua jagoannya roboh, bahkan kepala gerombolan yang dia andalkan itu agaknya telah tewas. Dia lalu membalikkan tubuh dan lari hendak memasuki gedungnya. Akan tetapi tampak bayangan berkelebat melewatinya dan tahu-tahu Nurseta telah berdiri menghadang di depannya! Ki Suramenggala terkejut dan gentar. Akan tetapi dia teringat bahwa dahulu Nurseta pernah berhutang budi kepadanya, maka dia hendak menggunakan gertakan untuk memulihkan wibawanya terhadap pemuda itu.
"Nurseta! Berani engkau membikin Kacau di sini? Lihat baik-baik, siapa aku? Aku adalah lurah mu, aku yang dulu memeliharamu ketika engkau masih kecil dan hidup sebatang kara!"
Nurseta memandang wajah lurah itu dengan alis berkerut. "Aku tidak lupa, Ki Suramenggala. Engkaulah yang merampas tanah dan sawah ladang peninggalan orang tuaku dan memberi aku makan selama tiga tahun saja!"
"Heh! Berani engkau kurang ajar kepadaku, bocah tak mengenal budi?" Ki Suramenggala menampar dengan tangan kanannya seperti yang dia lakukan kalau dahulu Nurseta berani membantahnya ketika pemuda itu masih kecil. Akan tetapi Nurseta menangkis sambaran tangan itu sambil mengerahkan tenaga.
"Wuuutt..... dukkk.....! Aduhhh"
Ki Suramenggala merasa lengannya seperti bertemu linggis dan tulangnya seperti patah. Dia memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri, mengeluh kesakitan
"Ki Suramenggala, kedatanganku ini bukan untuk membuat keributan. Orang-orangmu yang tadi mengajak ribut. Aku datang hanya ingin bertanya padamu tentang orang tuaku! Dari mana orang tuaku datang dan di mana sekarang mereka berada? Hayo katakan dan aku tidak akan mengganggumu lagi!"
Ki Suramenggala tidak berani berlagak lagi. "Ayahmu bernama Ki Darmaguna dan ibumu bernama Nyi Sawitri. Mereka berasal dari kota raja Kahuripan, pindah ke Karang Tirta sini ketika engkau masih kecil, berusia kurang lebih tiga tahun."
"Ketika aku berusia sepuluh tahun, tiba-tiba saja mereka pergi dari sini. Kemanakah mereka pergi dan di mana sekarang mereka berada?"
Ki Suramenggala menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, Nurseta. Mereka juga tidak pamit kepadaku dan sampai sekarang aku tidak tahu ke mana mereka pergi."
"Benarkah andika tidak tahu?" desak Nurseta.
"Benar! Sungguh, aku tidak berbohong, Nurseta."
"Sekarang, jawab pertanyaanku ini. Kenapa andika bersahabat dengan jahanam Itu?" Nurseta menunjuk ke tubuh raksasa kepala gerombolan yang sudah menjadi mayat. "Siapakah dia dan bagaimana andika bersahabat dengan orang jahat seperti itu?"
Ki Suramenggala melebarkan matanya seolah merasa heran dan kaget. "Dia bukan orang jahat, Nurseta. Aku mengenal dia sebagai seorang jagoan gagah yang tinggal di barat, di perbatasan Wengker."
"Hemm, jadi dia itu orang Kadipaten Wengker? Andika bilang dia tidak jahat Ki Suramenggala? Dia dan anak buahnya telah mengganas dan melakukan perampokan dan kejahatan di dusun Karng Sari!"
"Ah, begitukah? Aku..... aku sungguh tidak tahu....., kalau aku tahu tentu aku tidak sudi bersahabat dengan dia!" kata Ki Suramenggala.
"Hemm, sudahlah. Mudah-mudahan peristiwa hari ini menjadi pelajaran bagi andika harus mengusahakan kesejahteraan penduduk dusun ini, bukan hanya mencari kesejahteraan untuk diri sendiri. Jangan bergaul dengan orang jahat dan jangan sekali-kali menggunakan kekerasan menggunakan tukang pukul untuk menakut-nakuti dan menindas rakyat. Nah, aku pergi!" Setelah berkata demikian, Nurseta cepat meninggalkan pekarangan gedung ki lurah itu.
Tentu saja dia tidak puas dengan keterangan Ki Suramenggala. Lurah itu hanya memberitahukan nama ayah ibunya yang masih diingatnya, akan tetapi sama sekali tidak dapat menunjukkan di mana adanya ayah bundanya sehingga dia tidak tahu ke mana harus mencari mereka. Kini dia segera menuju ke bekas rumah orang tuanya.
Agaknya penduduk Karang Tirta sudah mendengar akan peristiwa yang terjadi di pekarangan rumah gedung Ki Lurah Suramenggala karena ketika Nurseta berjalan menuju ke bekas rumah orang tuanya, para penduduk keluar dari rumah dan memandang kepadanya dengan penuh keheranan dan kekaguman.
Ketika dia tiba di dekat rumah bekas tempat tinggal orang tuanya, seorang laki-laki berusia enam puluh tahun berlari menyongsongnya. Dengan ramah dan gembira laki-laki itu memegang lengan Nurseta.
"Aduh, Nurseta! Sungguh tidak sangka bahwa engkau telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, yang berani menghajar Ki Lurah Suramenggala dan para tukang pukulnya! Ah, sungguh kami seluruh penduduk merasa gembira sekali dan aku amat bangga kepadamu Nurseta!"
Nurseta segera mengenal laki-laki itu. "Paman Tejomoyo, andika baik-baik saja bukan?"
Ki Tejomoyo ini adalah seorang tetangga yang sejak dulu hidup sebatang kara dan dulu sering menolong Nurseta, memberinya makan kalau Nurseta sedang kekurangan. Mereka berangkulan, lalu Tejomoyo menarik lengan Nurseta, diajak masuk ke rumahnya yang sederhana.
"Mari, Nurseta, kita bicara di dalam. Aku ingin sekali mendengar tentang dirimu, kemana saja selama lima tahun lebih ini engkau pergi dan bagaimana sekarang setelah muncul tahu-tahu engkau menjadi seorang yang sakti mandraguna!"
"Akupun ingin sekali mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada andika, paman dan mengharapkan keterangan dari andika." Nurseta mengikuti Ki Tejomoyo memasuki rumah itu.
Setelah mereka duduk di atas bale-bale bambu, Nurseta memenuhi permintaan tuan rumah, menceritakan bahwa selama ini dia berguru kepada Empu Dewamurti yang membawanya ke lereng gunung Arjuna. Setelah menceritakan keadaan dirinya, dia lalu berkata dengan wajah serius.
"Paman Tejomoyo, sekarang aku ingin sekali bertanya kepadamu dan kuharap Andika suka memberi keterangan yang sejelas-jelasnya."
"Apa yang hendak kau tanyakan, Nurseta? Tanyalah, tentu aku akan menerangkan apa saja yang kuketahui."
"Begini, paman. Paman adalah tetangga yang baik dari orang tuaku, tentu paman mengenal baik ayah ibuku, bukan?"
Ki Tejomoyo tersenyum. "Mengenal ayah ibumu? Tentu saja aku mengenal mereka dengan baik. Ayahmu adalah orang yang bijaksana dan pandai, seorang sasterawan yang halus budi bahasanya dan ramah terhadap siapa saja." Dia termenung, mengingat-ingat. "Biarpun dia tidak pernah mengaku, namun aku yakin bahwa Ki Darmaguna dan Nyi Sawitri ayah ibumu itu, tentulah keluarga bangsawan. Biarpun mereka bukan orang kaya dan hidup sederhana, namun sikap dan tutur sapa mereka demikian halus sehingga mudah diduga bahwa mereka tentulah berdarah bangsawan. Seperti engkau ini, Nurseta, engkau seorang anak desa dibesarkan di Karang Tirta ini, akan tetapi engkau lain dibandingkan anak-anak desa pada umumnya."
"Yang ingin kutanyakan, paman. Tahukah paman kemana mereka pergi dan dimana mereka kini berada?" Sambil bertanya demikian, Nurseta menatap wajah orang dengan penuh selidik.
Ki Tejomoyo menghela napas panjang "Sungguh menyesal sekali bahwa aku tidak dapat menjawab kedua pertanyaanmu itu, Nurseta. Aku sendiri sampai sekarang masih merasa heran kemana ayah ibumu itu pergi dan di mana mereka kini berada. Mengapa pula mereka sampai sekarang tiada beritanya seolah lupa kepadamu, padahal aku yakin benar bahwa ayah ibumu itu sayang kepadamu. Sungguh aku tidak mengerti."
Nurseta merasa terpukul sekali hatinya mendengar ucapan ini. Seakan sudah putuslah harapannya. Siapa lagi yang dapat ditanyai? Ki Tejomoyo ini merupakan tetangga yang paling dekat dan paling akrab dengan ayahnya. Dia hanya dapat termenung dengan kedua alis berkerut dan pandang matanya kosong dan sayu. Melihat keadaan pemuda itu, Ki Tejomoyo merasa iba sekali dan dia berkata.
"Nurseta, agaknya di dusun ini hanya ada satu orang yang akan mampu menjawab dua pertanyaanmu tadi."
Sepasang mata Nurseta mencorong dan harapannya muncul kembali. "Begitukah, paman? Siapakah orang itu?"
"Dia itu bukan lain adalah Ki Lurah Suramenggala! Dialah yang tahu, setidaknya tahu mengapa orang tuamu pergi meninggalkan dusun ini!"
Nurseta terkejut. "Ah, benarkah itu, Paman? Akan tetapi ketika tadi aku bertanya kepadanya, dia mengatakan tidak tahu."
"Bohong! Dia berbohong. Aku yakin dia pasti tahu mengapa ayah ibumu pergi, karena dialah yang menjadi biang keladi perginya orang tuamu."
"Eh? Mengapa begitu, paman? Apakah yang telah terjadi ketika itu? Harap paman suka memberi penjelasan."
Kembali Ki Tejomoyo menghela napas panjang. "Dahulu aku takut untuk menceritakan hal ini kepada siapapun juga Akan tetapi setelah mendengar betapa tadi engkau telah berani menghajar dia dan para tukang pukulnya, biarlah kuceritakan kepadamu. Di antara Ki Darmaguna dan Ki Lurah Suramenggala memang terdapat semacam perasaan saling membenci atau setidaknya saling tidak suka. Hal itu terjadi karena ulah Ki Suramenggala. Baru beberapa bulan setelah orang tuamu pindah ke dusun ini Ki Suramenggala itu agaknya tergila-gila kepada ibumu, Nyi Sawitri yang memang merupakan seorang wanita berusia dua puluh tiga tahun yang cantik jelita ketika itu. Ki lurah itu berusaha untuk merayu Nyi Sawitri pada saat ayahmu tidak berada di rumah. Akan tetapi niat kotor ki lurah itu ditolak mentah-mentah oleh ibumu, bahkan ibumu lalu melaporkan hal itu kepada ayahmu. Maka terjadilah rasa saling tidak suka di antara ayahmu dan ki lurah."
"Hemm, manusia hina!" seru Nurseta marah mendengar ibunya dirayu oleh Ki Lurah Suramenggala.
"Ya, memang Ki Suramenggala terkenal sebagai seorang laki-laki yang mata keranjang dan suka mengandalkan kekuasaan dan kekayaannya untuk menggoda wanita, baik gadis, janda, maupun isteri orang. Akan tetapi karena ayahmu seorang yang memiliki wibawa sebagai seorang bangsawan dan terpelajar, Ki Suramenggala tidak berani lagi mencoba-coba untuk mengulangi perbuatannya, tidak berani pula menggunakan kekerasan. Kemudian terjadilah hal itu yang membuat aku yakin bahwa Ki Suramenggala yang menjadi biang keladi perginya orang tuamu dari sini."
"Apa yang telah terjadi, paman?"
Ki Tejomoyo melanjutkan ceritanya tujuh tahun sejak Ki Darmaguna dan anak isterinya tinggal di Karang Tirta pada suatu pagi Ki Tejomoyo memikul dagangannya, yaitu alat-alat dapur dan tanah, hendak dijual ke dusun-dusun lain. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan Tardi, seorang jagabaya anak buah Ki Lurah Suramenggala. Tardi ini masih terhitung keponakan Ki Tejomoyo dan dia menghentikan kudanya ketika bertemu dengan pamannya yang memikul dagangannya.
"Eh, Tardi, ke mana sepagi ini engkau hendak pergi?" Tanya Ki Tejomoyo kepada keponakannya itu.
"Paman Tejomoyo, aku hendak pergi ke kota raja, menjadi utusan Ki Lurah Suramenggala!" kata Tardi dengan nada suara bangga.
"Ke kota raja? Ada keperluan apakah"
"Wah, penting sekali, paman. Ada kabar yang amat menghebohkan! Dusun kita pasti akan geger!"
"Eh? Ada apakah?"
"Begini, paman. Akan tetapi ..... hemm. Ini rahasia lho, jangan sampai terdengar orang lain. Bisa celaka engkau dan aku kalau sampai terdengar orang lain kemudian ki lurah mengetahui bahwa kita yang membocorkan."
"Tentu saja tidak akan kuceritakan pada orang lain. Ada apa sih?"
"Paman tahu, Ki Darmaguna, tetanggamu itu ....."
"Ya, kenapa dia?"
"Dia itu seorang pelarian yang kabur dari kota raja!"
"Eh? Jangan main-main, Tardi!"
"Sungguh, paman. Ini, aku membawa surat Ki Lurah untuk disampaikan kepada Senopati Sindukerta di kota raja!" Setelah berkata demikian, Tardi membedal kudanya. "Selamat tinggal, paman!"
Mendengar berita itu, Ki Tejomoyo yang amat menghormati Ki Darmaguna sekeluarga, membatalkan kepergiannya berjualan grabah (prabot dapur dari tanah) dan kembali ke rumahnya. Dia lalu langsung saja melaporkan kepada Ki Darmaguna dan isterinya.
"Demikianlah, Nurseta. Setelah menerima laporan ku bahwa Ki Lurah Suramenggala mengutus jagabaya pergi ke kota raja untuk melapor kepada Senopati Sindukerta bahwa Ki Darmaguna sekeluarga tinggal di Karang Tirta, ayah ibumu meninggalkan Karang Tirta pada malam hari itu juga. Jadi, kalau engkau hendak mengetahui sebabnya, kiranya Ki Lurah Suramenggala yang mengetahui dengan pasti."
Sejak tadi Nurseta mendengarkan cerita K i Tejomoyo dengan penuh perhatian sambil membayangkan wajah ayah dan ibunya. Dia masih ingat wajah mereka. Ayahnya seorang laki-laki tampan dan ibunya seorang wanita cantik sekali. Setelah Ki Tejomoyo selesai bercerita dia menanyakan apa yang selama ini selalu menjadi gangguan dalam hatinya yang membuat dia merasa penasaran, "Akan tetapi, paman. Ketika itu, aku masih kecil."
"Ya, usiamu baru kira-kira sepuluh tahun ketika ayah ibumu pergi."
"Itulah yang membuat hatiku selalu merasa penasaran, paman. Mengapa kalau orang tuaku pergi, mereka tidak membawa aku?"
Ki Tejomoyo menghela napas panjang. "Aku hanya dapat mengira-ngira. Mereka pergi tergesa-gesa, seperti orang yang terancam bahaya. Maka, karena mereka menyayangimu, mereka sengaja meninggalkanmu agar jangan sampai engkau juga ikut terancam bahaya. Akan tetapi, kalau ingin tahu lebih jelas, Ki Lurah Suramenggala tentu akan dapat bercerita banyak."
"Baiklah, paman. Aku akan pergi ke rumah Ki Lurah Suramenggala dan memaksa dia untuk mengaku!" Setelah berkata demikian, Nurseta meninggalkan tempat itu dan berjalan cepat menuju ke rumah Ki Lurah Suramenggala.
Ketika dia tiba di pekarangan kelurahan, suasana dalam rumah Ki Lurah Suramenggala masih di liputi kekagetan dan kebingungan karena amukan Nurseta tadi. Maka, ketika melihat pemuda itu datang lagi, para sisa jagabaya sudah lari lintang pukang karena takut. Nurseta memasuki serambi dan berseru, "Ki Lurah Suramenggala, keluarlah, aku mau bicara...!"
Ketika berseru dia mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya terdengar lantang dan bergema memasuki setiap ruangan di rumah besar itu.
Pada saat itu, Ki Lurah Suramenggala sedang diobati lengannya oleh para selirnya, termasuk Nyi Lasmi. Nyi Lasmi adalah ibu kandung Puspa Dewi yang telah menjadi janda. Ketika Puspa Dewi diculik lima tahun yang lalu bersama Linggajaya putera Ki Lurah Suramenggala berusia tiga puluh satu tahun dan Nyi Lasmi memang terkenal cantik. Peristiwa itu membuat ia sering bertemu dengan Ki Lurah Suramenggala karena sama-sama kehilangan anak dan Ki Lurah Suramenggala yang mata keranjang itu segera jatuh cinta. Maka dipinanglah Nyi Lasmi dan semenjak itu, Nyi Lasmi menjadi seorang selirnya yang terkasih.
Lengan Ki Lurah Suramenggala dibebat semacam param karena terasanya ketika pukulannya ditangkis Nurseta tadi. Pada saat itu, terdengarlah suara Nurseta memanggilnya. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi dia tidak berani membangkang. Segera dia membereskan pakaiannya dan keluar untuk menemui pemuda itu. Begitu melihat lurah itu muncul seorang diri dengan muka pucat, Nurseta cepat menghampirinya dan berkata dengan suara bernada marah dan mengancam.
"Ki Suramenggala, aku tidak ingin mempergunakan kekerasan, maka andika ceritakan sejujurnya apa yang terjadi sebelas tahun yang lalu, mengapa ayah ibuku meninggalkan aku dan rumah mereka."
Wajah yang sudah pucat itu semakin ketakutan. "Nurseta..... demi Sang Hyang widhi ....."
"Tidak usah engkau menyebut Sang Hyang Widhi. Hatimu terlalu kotor untuk menyebut namaNya. Kalau andika tidak mau mengaku terus terang, terpaksa aku harus menyiksamu sampai andika mengaku. Ingat, aku sudah tahu bahwa sebelum orang tuaku pergi tanpa pamit, andika telah mengutus seorang jagabaya untuk membawa surat laporan kepada Senopati Sindukerta di kota raja!"
Ki Lurah Suramenggala membelalakan kedua matanya. "Dari..... dari mana..... engkau tahu.....?"
"Tidak perduli dari mana aku tahu Hayo ceritakan sejelasnya dan selengkapnya, atau haruskah kupatahkan kedua tangan dan kakimu lebih dulu?"
"Tidak..... tidak, jangan pukul aku Nurseta. Baiklah, akan kuceritakan apa yang kutahu. Mari, silakan duduk," kata Ki Lurah Suramenggala.
Mereka lalu duduk di kursi yang terdapat di serambi itu. "Nah, ceritakanlah!" kata Nurseta.
"Ketika ayah ibumu datang dan tinggal di dusun ini, aku hanya tahu bahwa mereka itu pindah dari kota raja. Ayahmu seorang ahli sastra dan orang baik, maka selama tujuh tahun tinggal di sini, tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi ketika aku pergi ke kota raja karena suatu urusan aku mendengar bahwa Ki Darmaguna dan isterinya adalah pelarian, orang-orang yang sedang dicari-cari oleh Senopati Sindukerta. Mendengar ini, sebagai seorang lurah tentu saja aku harus membantu pamong praja yang lebih tinggi kedudukannya. Maka aku lalu mengirim utusan ke kota raja, melaporkan bahwa orang-orang buruan itu telah tujuh tahun tinggal di dusun ini. Kalau aku tidak melaporkan, aku bisa dituduh menyembunyikan dan membantu mereka. Nah, ketika utusanku pulang membawa perintah Senopati Sindukerta untuk menangkap Ki Darmaguna dan isterinya, ternyata mereka sudah melarikan diri."
"Ke mana mereka pergi?" tanya Nurseta.
"Sungguh, aku tidak tahu, Nurseta. Sebetulnya antara aku dan orang tuamu tidak ada permusuhan apapun, akan tetapi karena mereka itu orang buruan Senopati Sindukerta, dan aku adalah lurah, maka terpaksa ....."
"Hemm, mengapa ayahku dikejar-kejar senopati Sindukerta Mengapa mereka menjadi buruan?"
"Aku tidak tahu, Nurseta, sungguh aku tidak tahu. Ayahmu seorang yang baik, aku tidak tahu mengapa Senopati Sindukerta memusuhinya. Aku sendiri menganggap Ki Darmaguna sebagai seorang sahabat baik."
"Hemmm, andika bohong, Ki Suramenggala! Aku tahu bahwa dulu engkau tergila-gila kepada ibuku dan pernah berusaha untuk merayunya! Hayo menyangkal kalau berani!"
Wajah lurah itu menjadi pucat, akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya dan tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Tidak kusangkal, Nurseta. Ibumu adalah seorang wanita yang paling cantik yang pernah kulihat. Aku tergila-gila kepadanya, apakah itu salah? Aku tidak pernah mengganggunya. Dan percaya atau tidak, kenapa engkau tidak ku laporkan sebagai anak ayahmu yang menjadi buruan? Karena melihat engkau, aku teringat kepada Sawitri, ibumu. Aku kasihan kepada mu maka aku sengaja menyelamatkanmu dan memelihara mu."
"Cukup!" hardik Nurseta sehingga mengejutkan hati sang lurah yang menjadi ketakutan lagi. "Tidak perlu andika membohongi aku lagi. Andika hanya hendak merampas tanah dan rumah orang tuaku. Kalau aku teringat akan semua Itu, sudah sepatutnya kalau sekarang kuhancurkan kepalamu!"
"Aduh..... ampun, Nurseta. Jangan lakukan itu.....! Kalau engkau ingin membalas dendam, carilah Senopati Sindukerta. Dialah yang memusuhi orang tuamu, bukan aku!"
Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan tiba-tiba diserambi itu telah berdiri seorang pemuda tampan. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun, pakaiannya mewah. Tubuhnya tinggi tegap, mata lebar, hidung mancung dan mulutnya tersenyum mengejek. Wajah yang tampan memandang kepada Ki lurah Suramenggala yang masih berlutut minta ampun kepada Nurseta, lalu memandang wajah Nurseta dengan mata mencorong marah.
"Keparat!" pemuda itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Nurseta.
"Siapa engkau yang berani mengancam dan menghina ayahku?!"
Ki Lurah Suramenggala yang tadi merasa terkejut dan pangling, kini melompat dan menghampiri pemuda itu sambil berseru girang, "Kau..... kau puteraku Lingga jaya .....!" Dia merangkul pemuda itu dengan girang sekali. Akan tetapi dengan lembut pemuda itu mendorong Ki Lurah Suramenggala dan berkata sambil tetap memandang Nurseta.
"Bapak, nanti saja. Sekarang masuklah dulu, biar aku menghajar bocah kurang ajar ini!"
"Engkau benar, Linggajaya. Hajarlah dia. Dia itu Nurseta bocah tak mengenal budi itu. Dia tadi hendak membunuh aku!" Setelah berkata demikian, Ki Lurah Suramenggala lalu berlari memasuki rumahnya.
Nurseta berdiri berhadapan dengan Linggajaya. "Hemm, kiranya engkau Nurseta bocah jembel itu? Tak tahu malu dan tidak mengenal budi. Bukankah dulu yang memberi engkau makan adalah keluarga kami?" Linggajaya menegur marah. "Sekarang berani engkau mengancam ayahku?"
"Dan engkau Linggajaya, bocah yang sombong dulu itu! Ayahmu memang sudah sepatutnya dihajar karena dia adalah seorang yang jahat dan suka bergaul dengan penjahat dan perampok!"
"Tutup mulutmu yang busuk!" bentak Linggajaya dan pemuda yang baru saja meninggalkan gurunya, Resi Bajrasakti di Kerajaan Wengker itu, sudah menggerakkan tangan memukul ke arah muka Nurseta.
Linggajaya yang sejak kecil memang terlalu dimanja, menyadari bahwa ayahnya adalah orang nomor satu seluruh dusun Karang Tirta, memupuk watak yang sombong, tinggi hati dan menganggap diri sendiri dan keluarganya paling hebat. Apalagi sekarang, setelah dia mewarisi ilmu-ilmu tinggi yang membuat dia menjadi seorang pemuda sakti, kesombongannya bertambah, bagaikan seekor harimau tumbuh sayap dan dia memandang remeh orang lain.
Sekarangpun, ketika menyerang Nurseta, dia memandang rendah pemuda yang pernah menjadi kuli borongan atau pekerja kasar itu dan dia merasa yakin bahwa pukulannya yang dilakukan sembarangan saja itu sudah cukup untuk membikin remuk muka Nurseta.
"Wussss .....!" Linggajaya kecelik dan menjadi semakin marah karena pukulannya amat kuat dan cepat itu dapat di elakkan dengan mudah oleh Nurseta.
Rasa penasaran membuat kemarahannya memuncak dan diapun menyusulkan serangan dengan tendangan kedua kakinya silih berganti. Namun, Nurseta yang cepat menyadari bahwa Linggajaya yang menyerangnya ini sama sekali bukan Linggajaya yang dahulu, melainkan seorang pemuda yang memiliki kedigdayaan maklum bahwa kalau dia melayani bertanding di dalam rumah, dia yang akan menderita rugi. Maka diapun melompat ke belakang menghindari dua tendangan itu, lalu terus berlompatan keluar dari serambi.
"Nurseta, jahanam keparat, jangan lari kau!" seru Linggajaya dan pemuda inipun melompat keluar dan mengejar.
Akan tetapi Nurseta tidak melarikan diri, hanya mencari tempat yang lebih luas. Kini dia sudah berdiri di pekarangan yang luas itu dan siap menanti Linggajaya.
"Linggajaya, ayahmu adalah seorang jahat. Kalau engkau membelanya, berarti engkau juga jahat!" Nurseta memperingatkan.
"Bocah jembel kurang ajar. Bersiaplah untuk mampus! Terimalah Aji Gelap Sewu...! Ciaaattttt......!"
Linggajaya menyerang dengan hebatnya. Gerakan tangan terbuka yang memukul itu bagaikan petir menyambar dan mengandung hawa yang amat panas. Diam-diam Nurseta merasa heran. Kiranya pemuda sombong ini bukan sekadar menyombong, melainkan benar-benar memiliki ilmu pukulan yang ampuh sekali.
Maka diapun waspada, mengerahkan aji meringankan tubuh Bayu Sakti dan kaki tangannya bergerak-gerak memainkan ilmu silat Baka Denta (Bangau Putih). Hantaman tangan terbuka lawannya itu dia elakkan dengan lincah dan dari samping dia pun membalas dengan totokan dua jari tangan kirinya ke arah lambung Linggajaya.
Syutttt ......plakkk...!"
Linggajaya cepat menangkis dan ketika dua lengan itu bertemu, keduanya melompat ke belakang dengan kaget. Ternyata pertemuan dua lengan itu membuat Linggajaya tergetar dan baru sekarang pemuda ini menyadari bahwa Nurseta juga bukan bocah yang lemah dahulu, melainkan menjadi seorang pemuda yang sakti dan memiliki tenaga yang amat kuat.
Akan tetapi tentu saja dia tidak menjadi gentar dan dia menyerang lagi secara bertubi-tubi, bahkan dia mengerahkan Aji Wisa Langking. Kedua telapak tangannya berubah hitam dan mengandung racun yang amat ampuh. Nurseta maklum bahwa kedua tangan lawan itu mengandung racun, maka diapun mempercepat gerakannya sehingga tubuhnya tak pernah tersentuh tangan itu.
Dengan ilmu silat Baka Denta, tubuhnya bergerak cepat dan dia dapat menghindarkan semua serangan lawan dan membalas dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah ampuhnya, walaupun tidak ada pukulannya yang mengandung racun. Lambat namun pasti, akhirnya Nurseta dapat mulai mendesak Linggajaya.
Tingkat kesaktian kedua orang muda ini memang seimbang, akan tetapi gerakan Nurseta lebih tenang dan keadaan batinnya lebih kuat sehingga dia selalu dapat menguasai perasaan dan gerakan tubuhnya. Sebaliknya Linggajaya banyak dikuasai perasaan marah, tekebur dan terkadang kaget...
Dan hal itu terjadi karena kebodohan dan kelengahannya. Dia terlalu percaya kepada pria yang bernama Raden Hendratama dan tiga orang wanita cantik yang tadinya mengaku sebagai puteri bangsawan itu. Tidak tahunya, Raden Hendratama adalah seorang pangeran dan tiga orang wanita muda yang cantik itu adalah selir-selirnya.
Dia telah terjebak, keris pusakanya dilarikan orang. Dengan demikian, dia telah menggagalkan pesan mendiang Empu Dewamurti yang minta kepadanya agar keris pusaka itu diserahkan kepada Sang Prabu Erlangga. Kini malah hilang. Dan dia tidak tahu kemana harus mencari pangeran yang mencuri keris itu. Ke mana dia harus mencari Pangeran Hendratama?
Bagaimanapun dia harus mencari pangeran itu dan merampas kembali keris pusaka Megatantra karena keris pusaka itu sebetulnya merupakan pusaka istana Kahuripan sebagai keturunan kerajaan Mataram dan harus dia kembalikan kepada Sang Prabu Erlangga.
Akan tetapi karena dia tidak tahu ke mana harus mencari Raden Hendratarna yang pangeran itu, dia mengambil keputusan untuk lebih dulu menyelidiki tentang orang tuanya dan mencari di mana ayah ibunya kini berada. Hal inipun merupakan pesan terakhir gurunya.
Pesan itu ada tiga, yaitu mengembalikan keris pusaka Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga, mencari orang tuanya yang meninggalkannya ketika dia berusia sepuluh tahun, dan ketiga, mempergunakan semua ilmu yang telah dipelajari dan dikuasainya untuk membantu kerajaaan Kahuripan menghadapi musuh-musuhnya.
Setelah mengambil keputusan dia lalu berjalan cepat kearah selatan. Untuk menyelidiki tentang orang tuanya, dia harus pergi ke Karang Tirta, karena disanalah ayah ibunya pergi meninggalkannya sebelas tahun yang lalu. Mungkin ada orang-orang tua yang mengenal orang tuanya dan dapat menceritakan tentang mereka. Di antara mereka yang mengenal orang tuanya tentulah Ki Suramenggala, lurah Karang Tirta. Mungkin dari Karang Tirta dia akan mendapatkan keterangan tentang orang tuanya dan dapat melacak jejak mereka dari sana.
Pada suatu sore tibalah dia di dusun Karang Sari, sebuah dusun yang letaknya dekat perbatasan antara wilayah Kahuripan dan Wengker, akan tetapi Karang Sari masih termasuk wilayah Kahuripan. Dusun Karang Sari merupakan dusun yang makmur karena tanahnya di bagian selatan itu subur. Nurseta tidak asing dengan dusun Karang Sari yang letaknya tidak amat jauh dari Karang Tirta.
Dari Karang Sari menuju ke Karang Tirta dapat ditempuh oleh pejalan kaki biasa selama setengah hari saja. Kalau Nurseta menggunakan aji kesaktiannya berlari cepat, tentu hanya memakan waktu tidak terlalu lama. Akan tetapi karena hari sudah mulai gelap, Nurseta mengambil keputusan untuk melewatkan malam di Karang Sari.
Akan tetapi ketika dia memasuki dusun itu, dia melihat keadaan yang luar biasa. Dusun itu sepi sekali. Rumah rumah sudah menutup daun jendela dan pintunya, padahal waktu itu baru selewat senja, belum malam benar. Dan ketika Nurseta berjalan di sepanjang jalan, pendengarannya yang tajam dapat menangkap bisik-bisik orang di dalam rumah-rumah di sepanjang jalan itu.
Para penghuni rumah itu agaknya berada dalam rumah mereka semua mengintai keluar! Sungguh merupakan keadaan yang penuh rahasia. Dusun itu seolah menjadi dusun yang mati, padahal para penduduk masih berada di situ, hanya seperti ketakutan dan tidak berani keluar rumah masing-masing.
Nurseta teringat bahwa dulu, lima tahun lebih yang lalu, ketika dia masih tinggal di Karang Tirta, pernah dia berkenalan dengan seorang penjual grabah (alat-alat dapur dari tanah) bernama Ki Karja yang tinggal di Karang Sari. Bahkan dia pernah berkunjung dan bermalam satu malam di rumah Ki Karja. Teringat akan hal ini, Nurseta lalu mencari rumah dimana dia pernah bermalam itu. Tak lama kemudian dia menemukan rumah tu, masih sama dengan lima tahun yang lalu, rumah sederhana dengan sebatang pohon sawo kecik tumbuh di depannya. Dia menghampiri rumah itu.
Seperti rumah-rumah lain, rumah ini juga tampak sunyi dan gelap. Tidak ada penerangan dinyalakan di luar maupun di dalam rumah dan semua daun pintu dan jendela tertutup, seolah rumah kosong tanpa penghuni. Akan tetapi Nurseta dapat mendengar suara gerakan orang di dalam maka dia yakin bahwa di dalam rumah itupun terdapat orang.
"Tok-tok-to k!" Nurseta mengetuk pintu. Tidak ada jawaban, tidak ada gerakan. Dia mengulang ketukannya sampai tiga kali, akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Dia menduga bahwa orang orang di dusun ini tentu benar-benar sedang dilanda ketakutan, entah terhadap apa atau siapa, maka ketika diketuk daun pintunya, tidak ada yang berani membukanya.
"Paman Karja, bukalah pintunya. Ini aku, jangan takut. Aku Nurseta, dari Karang Tirta. Bukalah pintunya, paman Karja!"
Ada gerakan di dalam rumah, akan tetapi tetap saja daun pintunya tidak terbuka dan tidak ada jawaban. Nurseta menduga bahwa kalau Ki Karja berada di dalam rumah itu, tentu orang itu meragukan pengakuannya tadi. Mungkin Ki Karja sudah lupa kepadanya. Dengan sabar dan suara tenang Nurseta bicara lagi.
"Paman Karja, lupakah paman kepadaku? Aku yang dulu, lima tahun yang lalu, ketika paman berjualan grabah di Karang Tirta lalu terpeleset jatuh, menolong paman. Bahkan aku pernah berkunjung dan bermalam di rumah ini. Aku Nurseta, pemuda miskin dari Karang Tirta itu, paman."
"Nurseta? Benarkah itu engkau?" terdengar suara dari dalam.
"Benar, Paman Karja. Habis, kalau bukan Nurseta, siapa lagi? Aku tidak berbohong, paman. Bukalah pintunya paman lihat sendiri siapa aku."
Daun pintu itu terbuka sedikit dan sebuah mata mengintai keluar. Cuaca belum begitu gelap sehingga mata itu dapat melihat wajah Nurseta dengan jelas. Agaknya pemilik mata itu mengenalnya dan merasa yakin. Daun pintu terbuka lebih lebar dan tampaklah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, masih di balik ambang pintu, agaknya tidak berani keluar.
"Nurseta, ternyata benar engkau, cepat, masuklah, pintu ini harus segera ditutup kembali!"
"Eh, kenapakah, paman? Kenapa semua pintu dan jendela rumah-rumah di dusun ini ditutup dan tidak ada penerangan sama sekali?"
"Sstt ....., jangan ribut. Masuklah, kita bicara di dalam saja!" kata Ki Karja dan dia lalu memegang lengan Nurseta ketika pemuda itu mendekat lalu menariknya masuk ke dalam rumah. Kemudian dengan cepat pula daun pintu ditutup kembali dan diganjal palang dari dalam. Mereka berada dalam kegelapan yang remang-remang.
Nurseta dapat melihat bahwa selain Ki Karja, di dalam rumah itu terdapat pula Nyi Karja dan dua orang pemuda remaja, yaitu anak-anak mereka.
"Paman, ceritakanlah apa yang sedang terjadi di dusun Karang Sari ini? Kenapa semua orang seperti ketakutan, tidak berani menyalakan penerangan dan tidak berani membuka pintu?"
"Ssttt .....jangan keras-keras, Nurseta Sudah seminggu ini kami penduduk dusun ini setiap malam ketakutan. Ada segerombolan orang jahat seperti iblis mengacau dusun ini. Mereka merampok, memukuli bahkan membunuh orang, menculik dan memperkosa wanita. Kabarnya malam ini mereka kembali akan merampok rumah Ki Lurah. Kami semua ketakutan maka ketika engkau mengetuk pintu, kami tidak berani membukanya."
Nurseta mengerutkan alisnya. Bagaimana mungkin ada kejadian seperti ini? Karang Sari adalah sebuah dusun yang termasuk wilayah Kahuripan dan menurut keterangan mendiang gurunya, setelah Sang Prabu Erlangga dibantu Ki Patih Narotama berkuasa di Kahuripan, kerajaan itu aman tentram. Hampir tidak ada penjahat berani muncul karena pemimpin kerajaan Kahuripan terkenal sebagai orang-orang yang sakti mandraguna. Bagaimana sekarang ada gerombolan yang demikian jahat dan ganas berani mengacau sebuah dusun yang masih termasuk wilayah Kahuripan?
"Akan tetapi, bukankah di setiap kelurahan ada beberapa orang jagabayanya?" tanya Nurseta penasaran.
"Hemm, pada malam pertama ketika mereka datang menyerbu, belasan orang jagabaya telah serentak keluar menyambut. Akan tetapi gerombolan itu amat tangguh, terutama pemimpin mereka. Belasan orang jagabaya itu roboh dan luka-luka bahkan tiga orang di antara mereka tewas. Sejak itu, siapa yang berani melawan?"
"Paman Karja, berapakah jumlahnya gerombolan yang mengacau itu?"
"Hanya enam orang, tujuh bersama pemimpin mereka yang tinggi besar seperti raksasa dan yang amat digdaya, tubuhnya kebal tidak terluka oleh senjata tajam."
"Bagaimana andika tahu bahwa malam ini mereka hendak merampok rumah Ki Lurah?"
"Kemarin malam, ketika mereka menjarah rayah (merampok) rumah Ki Jabur, seorang dari mereka berkata bahwa malam ini giliran rumah Ki Lurah. Padahal, pada malam pertama dulu mereka sudah mengacau di rumah Ki Lurah, bahkan menculik puterinya. Dan pada malam itu pula para jagabaya itu roboh dan tiga orang di antara mereka tewas, yang lain luka-luka."
Nurseta menghela napas panjang. "Sayang sekali. Mengapa para pria penduduk dusun ini, terutama mereka yang muda-muda, diam saja dan tidak bangkit melawan? Kalau semua bersatu dan melawan, tentu kalian yang berjumlah puluhan, bahkan mungkin seratus orang lebih itu akan dengan mudah membasmi tujuh orang penjahat itu."
"Kami ..... kami tidak berani ....., mereka itu sakti ....."
"Sudahlah, Paman Karja. Kalau semua laki-laki di sini pengecut, biarlah aku seorang diri yang akan menghadapi mereka. Katakan saja dari arah mana biasanya para penjahat itu memasuki dusun ini."
"Dari ..... dari barat sana ....." Ki Karja menuding ke arah barat.
"Nah, aku pergi, paman. Kalau paman takut, tutup saja lagi pintu rumahmu." Setelah berkata demikian, Nurseta lalu membuka daun pintu dan meninggalkan rumah itu dengan cepat. Dia berjalan-cepat menuju ke pintu gerbang dusun Karang Sari di sebelah barat karena dia ingin menghadang para penjahat itu agar tidak membikin kacau di dalam dusun.
Untung baginya bahwa bulan sepotong mulai muncul dengan datangnya sang malam sehingga walaupun dusun itu tidak ada sedikitpun penerangan, namun cuaca tidaklah amat gelap, masih remang remang. Nurseta duduk di atas sebuah batu dekat pintu gerbang yang sepi itu. Tidak ada penjaga, tidak ada peronda seperti pada malam-malam biasanya sebelum gangguan penjahat itu ada.
Tidak terlalu lama dia menunggu. Kedatangan gerombolan itu sudah dapat dilihat dari jauh. Mereka itu membawa obor, agaknya sudah tahu bahwa dusun Karang Sari dalam keadaan gelap tanpa ada penerangan. Setelah mereka tiba dekat pintu gerbang sebelah barat dusun itu, sudah terdengar suara mereka. Mereka bercakap-cakap diseling suara tawa mereka yang ngakak (terbahak).
Ketika mereka melewati pintu gerbang, tiba-tiba muncul Nurseta menghadang di depan mereka. Pemuda ini melihat jelas wajah-wajah mereka di bawah sinar enam buah obor besar. Wajah-wajah yang seram dan jelek, dengan tubuh yang kekar berotot, membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan dan kekuatan untuk memaksakan kehendak mereka. Apa lagi yang berdiri paling depan. Seorang laki-laki yang bertubuh raksasa, kepalanya besar, matanya lebar dan sikapnya menyeramkan.
Melihat ada orang menghadang perjalanan mereka, tujuh orang yang usianya sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun Itu merasa heran sekali dan mereka yang membawa obor segera mengangkat obor mereka ke atas agar dapat melihat lebih jelas orang yang berani menghadang mereka itu.
Mereka semakin heran melihat bahwa yang menghadang mereka itu hanyalah seorang yang masih muda sekali. Kepala gerombolan itupun merasa heran dan dia cepat membentak dengan suaranya yang parau dan berat seperti gerengan binatang buas, "Heh, bocah! Siapakah kamu dan mau apa kamu menghadang perjalanan kami?"
Nurseta tersenyum dan dengan tangan kiri bertolak pinggang, telunjuk tangan kanannya menuding ke arah mereka lalu berkata dengan suara lantang.
"Tidak perlu kalian ketahui siapa aku, akan tetapi aku adalah anak daerah ini yang tidak rela melihat kalian manusia-manusia iblis berbuat jahat dan keji terhadap penduduk dusun Karang Sari ini!"
Mendengar ini, marahlah kepala gerombolan yang bertubuh besar dan tingginya satu setengah kali tinggi tubuh Nurseta itu. "Bocah keparat, kamu sudah bosan hidup!" bentaknya dan kepalan tangannya yang sebesar kepala Nurseta itu menyambar dengan jotosan yang cepat dan kuat sekali, mengiuk suaranya seperti palu godam menyambar pelipis Nurseta.
Akan tetapi biarpun gerakan itu amat kuat dan lengan itu panjang sekali, namun bagi Nurseta gerakan itu tampak terlalu lamban. Dengan mudah saja dia mengelak. Akan tetapi kepala gerombolan itu menyusulkan cengkeraman tangan kirinya kearah leher pemuda itu. Ketika Nurseta Kembali mengelak, kaki kanannya menbuat dan menendang bagaikan sebatang pohon menyambar dahsyat.
Nurseta miringkan tubuhnya dan ketika kaki itu lewat di dekatnya, secepat kilat tangannya menyambar, menangkap tumit kaki itu dan meminjam tenaga tendangan lawan itu dia mengerahkan tenaga mendorong atas! Tak dapat dihindarkan lagi, kaki kanan kepala gerombolan itu terayun kuat sekali ke atas sehingga tubuhnya terbawa terbang dan d ia pun roboh ke atas tanah, pinggulnya lebih dulu menghantam tanah.
"Bukkk .....ngekkk!"
Raksasa itu mengeluh, akan tetapi dia merangkak bangun sambil berseru marah kepada enam orang anak buahnya. "Bunuh dia! Bunuh .....!!"
Enam orang perampok itu sergera bergerak. Tiga orang di antara mereka mencabut golok dengan tangan kanan lalu menyerang Nurseta dengan golok di tangan kanan dan obor di tangan kiri. Tiga orang yang lain merasa cukup menggunakan obor itu untuk menyerang, memegangi dengan kedua tangan.
Nyala api menyambar-nyambar ke arah Nurseta menimbulkan pandangan yang aneh dan juga indah. Nurseta yang maklum bahwa mereka adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya diberi hajaran keras, bergerak cepat. Dengan Aji Bayu Sakti, tubuhnya berkelebatan dan keenam lawannya menjadi pusing karena pemuda itu sukar sekali dijadikan sasaran serangan mereka.
Nurseta lalu menyerang dengan gerakan silat Baka Denta. Gerakannya cepat dan tidak terduga-duga oleh enam orang pengeroyoknya. Kedua tangannya menyambar-nyambar dengan tamparan kilat, kedua kakinya bergantian mencuat dengan tendangan halilintar. Enam orang itu berpelantingan roboh dan obor mereka jatuh dan padam.
Keadaan menjadi gelap, akan tetapi tiba-tiba muncul banyak orang mengepung pintu gerbang Itu dan segera keadaan menjadi terang benderang ketika banyak obor dipasang, Kiranya penduduk dusun Karang Sari berjumlah seratus orang, semuanya laki-laki dari pemuda remaja sampai kakek-kakek. Melihat enam orang itu roboh, mereka lalu bersorak dan berteriak-teriak menyerbu, menggunakan segala macam senjata alat pertanian seperti pacul, linggis, arit, kampak dan sebagainya.
Nurseta terkejut sekali melihat puluhan orang itu menggunakan senjata mereka untuk menyerang enam orang anggota gerombolan yang sudah roboh. Enam orang itu ketakutan, mencoba untuk membela diri. Akan tetapi apa daya mereka menghadapi amukan puluhan orang yang seperti keranjingan itu?
Apa lagi mereka berenam sudah menderita luka oleh tamparan dan tendangan Nurseta tadi. Tak dapat dihindarkan lagi tubuh mereka menjadi lumat menjadi onggokan daging cacah berlepotan darah. Dalam keributan itu, kepala gerombolan yang bertubuh raksasa itu sempat melarikan diri dan Nurseta tidak mengejarnya karena dia sendiri tertegun dan ngeri menyaksikan kekejaman para penduduk itu. Manusia kalau sudah dikuasai amarah dan dendam dapat menjadi amat kejam!
"Sudah cukup kawan-kawan! Sudah cukup kita membalas dendam!" teriak Nurseta dan semua orang menghentikan amukan mereka. Seorang di antara mereka, yaitu Ki Karja dan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tebal.
"Ki Lurah, inilah Nurseta yang telah membangkitkan semangat kita dan tadi telah merobohkan para perampok." Ki Karja memperkenalkan Nurseta kepada pria itu yang ternyata adalah lurah dusun Karang Sari.
Ki Lurah cepat maju menghampiri dan dengan sikap hormat dia berkata, "Perkenalkan, anak mas Nurseta. Saya Ki Lurah Warsita yang memimpin desa Karang Sari."
Nurseta membalas penghormatan lurah Itu dan berkata. "Sekarang, paman, kita harus dapat menemukan sarang mereka untuk menolong para gadis yang terculik."
Di ingatkan demikian, Ki Warsita cepat berkata. "Andika benar, anak mas. Ada empat orang gadis dusun ini, termasuk anakku sendiri Kartiyah, yang diculik gerombolan. Mari kita cari, Anak mas Nurseta."
"Apakah paman telah mengetahui dimana adanya sarang gerombolan itu" tanya Nurseta.
"Kami belum melihat sendiri, akan tetapi kami semua dapat menduga bahwa sarang mereka tentu berada di puncak bukit kecil di sebelah barat dusun kami itu."
"Kalau begitu, mari kita menyerbu sarang mereka!" kata Nurseta dan ucapan ini disambut oleh sorakan hampir seratus orang itu, kemudian berbondong-bondong barisan obor itu lalu keluar dari dusun menuju ke bukit kecil yang berada jauh di sebelah barat dusun.
Benar saja dugaan Ki Lurah Warsita Setelah mendaki puncak bukit kecil mereka menemukan sebuah rumah darurat dari bambu dan kayu, sederhana namun cukup besar, berdiri di lereng dekat puncak bukit. Nurseta mendorong pintu rumah itu sehingga terbuka dan diikuti oleh Ki Lurah Warsita dan Ki Karja orang-orang lain yang membawa mengikuti ke dalam akan tetapi tentu saja tidak semua orang yang begitu banyak dapat memasuki rumah itu.
Tidak ada seorangpun anggota gerombongan di dalam rumah itu dan kepala gerombolan bertubuh raksasa itupun tidak tampak. Nurseta dan Ki Lurah Warsita menemukan Kartiyah, puteri ki lurah yang berusia delapan belas tahun itu terikat di atas pembaringan bersama tiga orang gadis lain dan mereka itu tadinya tidak berani menangis. Akan tetapi melihat siapa yang datang, mereka lalu menjerit-jerit dan menangis.
Mereka berempat telah menjadi korban kekejian para penjahat itu. Ki Lurah Warsita melepaskan ikatan puterinya dan mereka berangkulan. Juga Nurseta melepaskan ikatan kaki tangan tiga orang gadis lainnya. Selain berhasil menemukan dan membebaskan empat orang gadis yang diculik gerombolan itu, mereka juga menemukan barang-barang rampokan milik ki lurah dan para penduduk lain. Semua barang itu diangkut keluar kemudian rumah itu dibakar oleh penduduk yang marah. Kemudian mereka kembali ke dusun Karang Sari, membawa pulang empat orang gadis korban penculikan dan barang-barang rampokan.
Setelah tiba di dusun, semua orang memuji-muji Nurseta, juga Ki Lurah Warsita mengucapkan terima kasih kepadanya. Di depan para penduduk Karang Sari, Nurseta berkata dengan suara lantang, "Saudara-saudara, saya senang sekali melihat andika sekalian kini bangkit, bersatu dan berani menentang para penjahat. Saya yakin, kalau andika sekalian tetap bersatu padu menghadapi kejahatan, tidak ada gerombolan yang akan berani mengganggu dusun kalian. Akan tetapi, harap jangan bertindak kejam seperti yang andika sekalian lakukan tadi. Kalau ada penjahat mengganggu ketentraman, kepung dan tangkap, serahkan kepada Ki lurah untuk diadili. Penjahat boleh dihukum, kalau perlu hukum mati, akan tetapi harus melalui pengadilan dulu, jangan main bunuh seperti tadi. Cara seperti itu tidak adil, kejam, dan dapat menimbulkan bencana karena membunuh orang yang salah, yang tidak berdosa. Nah, dapatkah andika sekalian mengerti dan berjanji tidak akan mengulang kekejaman seperti tadi?"
Penduduk dusun Karang Sari yang amat kagum dan berterima kasih kepada Nurseta menyatakan mengerti dan mau berjanji. Malam itu Nurseta dipersilakan untuk bermalam di rumah Ki Lurah Warsita, akan tetapi Nurseta mengucapkan terima kasih dan memilih bermalam di rumah Ki Karja yang sudah dikenalnya.
Dari orang ini dia mendapat keterangan bahwa setelah malam tadi Nurseta meninggalkannya, Ki Karja lalu nekat keluar dari rumah, menghubungi Ki Lurah Warsita dan para pemuda, menceritakan tentang Nurseta yang hendak membasmi gerombolan. Semangat mereka bangkit dan bersama ki lurah, Ki Karja lalu mengumpulkan semua laki-laki di dusun itu dan mereka membuat persiapan untuk membantu Nurseta membasmi para penjahat itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika Nurseta berpamit hendak meninggalkan rumah Ki Karja dan keluarganya, Ki Karja berkata dengan serius, "Anakmas Nurseta, maafkan saya kalau saya bicara lancang. Akan tetapi saya hanya menyampaikan pesan Ki Lurah Warsita."
"Katakanlah, Paman Karja, apa yang hendak andika sampaikan kepadaku itu?"
"Begini, anakmas. Malam tadi, ketika hendak meninggalkan rumah ki lurah, dia memesan saya untuk menyampaikan keinginannya kepadamu. Dia berpesan kalau sekiranya Anakmas Nurseta masih belum mempunyai isteri dan mau menerimanya, Ki lurah ingin sekali menjodohkan puterinya, yaitu Nini Kartiyah yang malam tadi diambil dari pondok gerombolan, dengan anakmas. Bagaimana pendapatmu, Anakmas Nurseta? Saya harus menyampaikan jawaban anakmas sekarang kepada ki lurah."
Wajah Nurseta berubah kemerahan karena malu. Dia teringat akan gadis puteri lurah itu. Usianya sekitar delapan belas tahun gadis yang bernasib malang itu memang cantik, hitam manis dan menarik. Paling cantik di antara empat orang gadis yang diculik gerombolan. Akan tetapi dia sama sekali sedikitpun belum mempunyai keinginan untuk menikah. Tiba-tiba dia teringat... Kalau dia menolak, tentu dapat menimbulkan kesan bahwa dia menolak karena Kartiyah itu menjadi korban gerombolan jahat, bukan perawan lagi. Maka dia lalu berkata dengan hati-hati.
"Paman Karja, harap sampaikan terima kasihku kepada Paman Lurah Warsita atas niat baiknya itu. Akan tetapi, saya tidak dapat menerima usulnya itu. Sama sekali bukan karena puterinya itu telah menjadi korban gerombolan, sama sekali tidak. Melainkan hanya karena sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikat diri dengan sebuah pernikahan. Harap sampaikan maaf saya kepada ki lurah dan kalau boleh saya nasihatkan, sebaiknya segera dicarikan seorang suami untuk Kartiyah agar ia terbebas dari duka dan aib. Nah, selamat tinggal paman dan terima kasih atas kebaikanmu."
Nurseta tidak memberi kesempatan kepada Ki Karja untuk bicara lebih banyak mengenai usul perjodohan itu dan cepat dia meninggalkan dusun Karang Sari, menuju ke dusun Karang Tirta.
Ada rasa haru dalam hati Nurseta ketika dia melangkahkan kakinya di atas jalan setapak yang amat dikenalnya itu Rasanya seperti baru kemarin saja dia meninggalkan tempat ini. Jalan setapak itu masih belum berubah, juga pohon-pohon disepanjang jalan, semua masih sama seperti lima tahun yang lalu ketika dia meninggalkan tempat ini. Ketika dia menggembala kerbau, ketika dia menggarap sawah ladang di sana itu! Melihat semua itu, dia terkenang akan masa lalunya.
Ketika akhirnya dia memasuki pintu gerbang dusun Karang Tirta, perasaan harunya bercampur perasaan gembira. Dia merasa seolah kembali ke kampung halamannya sendiri, tempat yang membangkitkan semua kenangan lama, ketika dia masih kecil, masa kanak-kanaknya sampai masa remajanya. Suka dukanya di dusun karang Tirta itu. Di antara orang-orang yang dijumpainya, ada beberapa wajah yang masih dikenalnya dengan baik. Akan tetapi mereka itu agaknya pangling (tidak ingat) dia lagi. Mungkin dia telah berubah.
Ketika pergi bersama gurunya lima tahun lebih yang lalu, dia telah menjadi remaja, baru berusia enam belas tahun. Sekarang dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun lebih. Karena dia berpakaian seperti seorang pemuda desa biasa, maka kehadirannya tidak menarik perhatian orang. Kalau perhatian mereka tertarik, tentu diantara mereka akan ada yang mengenal wajahnya.
Nurseta langsung saja menujukan langkahnya ke rumah KI Lurah Suramengala yang berada di tepi jalan raya di tengah-tengah dusun. Ketika dia melangkah sepanjang jalan dusun yang cukup lebar itu dan memandang ke arah rumah-rumah yang amat dikenalnya, yang berjajar di kanan kiri jalan, timbul keterenyuan hatinya. Rumah-rumah itu masih seperti dulu dan baru sekarang dia melihat betapa buruk dan sederhananya rumah-rumah itu.
Kemudian dia tiba di depan rumah ki lurah dan baru sekarang tampak jelas olehnya perbedaan yang amat besar antara rumah-rumah para penduduk dan rumah Ki Lurah Suramengala! Sebuah gedung mewah dengan pekarangan lebar penuh dengan tanaman bunga-bunga dan pohon-pohon buah.
Baru sekarang matanya seperti terbuka, ingat betapa kehidupan rakyat yang sederhana dan miskin itu alangkah jauh bedanya dengan kehidupan sang lurah sekeluarga yang mewah dan kaya raya. Sawah ladangnya luas sekali, ternaknya banyak, rumah ada beberapa buah dan hidupnya seperti seorang raja kecil di dusun itu.
Dulu, sebelum menjadi murid mendiang Empu Dewamurti, dia menganggap keadaan itu wajar-wajar saja. Akan tetapi sekarang dia melihat bahwa keadaan seperti itu sungguh tidak adil sama sekali. Penduduk dusun itu dapat dikatakan semua hidup sederhana, bahkan kekurangan. Akan tetapi lurahnya, orang yang memimpin dusun itu, hidup berlebihan.
Dia kini teringat betapa ketika dia berusia sepuluh tahun dan kedua orang tuanya pergi meninggalkannya begitu saja, Ki Lurah Suramenggala yang mengatur semua harta peninggalan orang tuanya, berupa rumah dan sawah ladang. Harta milik peninggalan orang tuanya itu dibeli oleh sang lurah, dan uangnya menurut sang lurah, telah habis untuk biaya hidupnya selama tiga tahun! Sehingga mulai berusia tiga belas tahun dia harus bekerja membantu orang untuk sekedar dapat makan.
Tiga tahun saja peninggalan orang tuanya itu habis, padahal setiap harinya dia hanya diberi makan sederhana oleh ki lurah. Baru sekarang dia menyadari bahwa dia telah ditipu oleh Ki Suramenggala. Mungkin sang lurah itu dapat mengumpulkan harta kekayaan yang berlimpahan itu dengan cara menindas dan menipu warganya seperti yang terjadi dengan dirinya. Mungkin dengan memungut pajak terlalu besar atau mengerahkan seluruh tenaga, pikiran di harta penduduk Karang Tirta demi untuk kesejahteraan dirinya sendiri.
Nurseta memasuki pekarangan kelurahan itu. Tiga orang jagabaya yang tadinya duduk di dalam gardu penjagaan cepat keluar dari gardu dan seorang dan mereka menegur. "Hei, berhenti...! Siapa engkau dan mau apa memasuki pekarangan ini?"
Nurseta memandang tiga orang itu dan dia masih mengenal penanya tadi sebagai seorang jagabaya yang dulu juga telah menjadi jagabaya di kelurahan itu Yang dua lagi tidak dia kenal. Mungkin mereka itu merupakan orang-orang baru di Karang Tirta.
"Saya Nurseta, hendak bertemu dengan Ki Lurah Suramenggala." kata Nurseta dengan ramah. "Apakah paman lupa kepada saya?"
Jagabaya itu mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian. Akhirnya dia teringat akan peristiwa yang tidak dapat dilupakan lima tahun yang lalu. Ketika itu pemuda ini, masih remaja, datang bersama seorang kakek. Ki lurah marah-marah dan memerintahkan dia dan kawan-kawannya untuk menangkap Nurseta dan kakek itu, akan tetapi terjadilah keanehan. Dia dan kawan-kawannya, juga ki lurah, tidak mampu bergerak sama sekali! Setelah Nurseta dan kakek Itu pergi, barulah mereka dapat bergerak kembali.
"Ah, engkau..... engkau Nurseta bocah jembel itu? Yang dulu datang bersama pendeta siluman itu?" tanyanya gagap.
Nurseta tersenyum, tidak marah. Dia maklum orang macam apa yang bicara kepadanya. Orang bodoh yang hanya mengandalkan kedudukannya sebagai jagabaya dan kekuatannya untuk bersikap congkak. Orang macam ini biasanya tentu menjilat ke atas dan menginjak kebawah.
"Saya benar Nurseta anak yang dulu itu. Harap paman suka memberitahukan Ki Lurah Suramenggala bahwa saya datang hendak bertemu dan bicara dengannya."
"Beraninya engkau, bocah lancang." jagabaya itu membentak. "Ki lurah sedang sibuk, sedang ada tamu, tidak sempat menemui bocah seperti engkau!" Dia masih marah kalau teringat akan peristiwa lima tahun yang lalu, yang membuat dia dan kawan-kawannya menjadi bahan ejekan karena berubah seperti patung ketika berhadapan dengan Nurseta dan pendeta tua itu.
Paman... andika hanya jagabaya, hanya petugas, sudah menjadi kewajiban mu untuk melaporkan kepada ki lurah kalau ada tamu. Maka, sekali lagi aku minta kepadamu untuk memberitahukan ki lurah akan kedatanganku ini." Kata Nurseta.
"Kurang ajar engkau!" Jagabaya itu marah dan mengayun tangan kanannya untuk menampar muka Nurseta. Perlakuan seperti ini terhadap rakyat sudah biasa dia lakukan.
"Wuuuuttt......... plakk...!"
Pergelangan tangan yang menampar itu telah dapat ditangkap Nurseta dan dengan sekali sentakan, tubuh jagabaya itu terpelanting dan terbanting ke atas tanah. Dua orang temannya marah dan tanpa diperintah lagi mereka berdua sudah memukul dari kanan dan kiri ke arah kepala dan dada Nurseta. Akan tetapi pemuda ini dengan gerakan amat cepat sudah mendahului menampar dengan tangan kiri dan menendang dengan kaki kanan. Dua orang jagabaya itu mengaduh dan merekapun terpelanting roboh.
"Heii! Ada apakah ini?" terdengar suara orang membentak.
Nurseta memandang ke arah dua orang yang baru muncul dari dalam gedung. Dia segera mengenal Ki Lurah Suramenggala, akan tetapi ketika dia memandang orang kedua yang berdiri di samping lurah itu dia terkejut mengenal orang yang bertubuh raksasa itu bukan lain adalah kepala gerombolan yang mengacau di dusun Karang Sari dan yang berhasil melarikan diri ketika enam orang anak buah gerombolan itu dikeroyok dan dibunuh oleh penduduk.
Kalau Nurseta terkejut, raksasa itu lebih kaget lagi. Dia menuding dengan telunjuk tangan kirinya yang besar sambil berseru kepada Ki Suramenggala. "Dia ..... dia itulah bocah setan itu.....!"
Ki Suramenggala terkejut mendengar ini. Tadi dia sudah mendengar dan ketika gerombolan yang menjadi anak buahnya itu bahwa gerombolan itu dibinasakan seorang pemuda dusun Karang Sari. setelah sekarang melihat pemuda itupun segera mengenalnya sebagai Nurseta. Maka dia lalu berseru keras, "Tangkap bocah ini!"
Pada saat itu, dari dalam gedung berlari keluar tiga orang jagabaya lain. Tiga orang jagabaya yang tadi dirobohkan Nurseta juga sudah bangkit dan mereka semua mencabut klewang mengepung Nurseta. Kepala gerombolan yang tinggi besar itupun ikut mengepung. Dia sudah mencabut senjatanya, sebatang pedang berpunggung gergaji yang menyeramkan. Kini, kepala gerombolan itu merasa yakin bahwa dia akan dapat membalas dendam kepada pemuda itu. Selain dia sendiri dapat mempergunakan senjatanya yang ampuh, juga di situ ada Ki Lurah Suramenggala yang membantunya dengan para jagabayanya.
"Bunuh saja dia! Bocah ini jahat dan berbahaya sekali!" bentak raksasa itu dan dia sudah mendahului para jagabaya menyerang dengan pedangnya. Gerakannya tangkas dan kuat sekali sehingga pedang gergaji itu mendesing nyaring ketika menyambar ke arah leher Nurseta.
"Singgg .....!"
Pedang itu meluncur lewat di atas kepala Nurseta yang menekuk kedua lututnya merendahkan diri sehingga serangan itu tidak mengenai sasaran. Pada saat itu, enam orang jagabaya telah menghujankan serangan kepadanya dari belakang, depan, kiri dan kanan.
Melihat gerakan mereka, maklumlah Nurseta bahwa para pengeroyoknya itu tidak merupakan lawan yang berbahaya maka diapun tidak merasa gugup dan dengan Aji Bayu Sakti yang membuat tubuhnya seringan dan secepat angin, dia bersilat dengan ilmu silat Baka Denta. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar tujuh buah senjata tajam itu dan para pengeroyoknya menjadi bingung karena mereka merasa seolah-olah mereka mengeroyok sebuah bayangan saja.
Dengan tamparan tamparan tangannya yang ampuh, tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga, Nurseta membuat enam orang jagabaya itu seorang demi seorang terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali karena ada yang merasa kepalanya pening seperti hendak pecah, ada yang tulang pundaknya terkilir, bahkan ada yang tulang lengannya retak.
Melihat ini, kepala gerombolan yang sejak tadi menyerang tanpa hasil menjadi terkejut dan gentar. Di Karang Sari enam orang anak buahnya roboh oleh pemuda ini dan sekarang enam orang jagabaya juga roboh. Tahulah dia bahwa pemuda sakti itu bukan tandingannya dan amat berbahaya kalau dia melanjutkan perkelahian itu.
Maka dia lalu memutar tubuhnya hendak melarikan diri dari tempat itu. Melihat ini, Nurseta yang tahu betapa jahatnya orang itu dan betapa orang itu merupakan ancaman bahaya bagi orang-orang lain, cepat mengambil sebatang klewang milik para jagabaya yang jatuh ke tanah, kemudian dia menyambitkan kelewang itu ke arah kepala gerombolan yang melarikan diri.
"Wuuuttt ..... cappp!!" Tubuh raksasa itu roboh tertelungkup dengan punggung ditembusi kelewang yang runcing dan tajam. Dia tewas seketika.
Ki Lurah Suramenggala menjadi pucat melihat betapa semua jagoannya roboh, bahkan kepala gerombolan yang dia andalkan itu agaknya telah tewas. Dia lalu membalikkan tubuh dan lari hendak memasuki gedungnya. Akan tetapi tampak bayangan berkelebat melewatinya dan tahu-tahu Nurseta telah berdiri menghadang di depannya! Ki Suramenggala terkejut dan gentar. Akan tetapi dia teringat bahwa dahulu Nurseta pernah berhutang budi kepadanya, maka dia hendak menggunakan gertakan untuk memulihkan wibawanya terhadap pemuda itu.
"Nurseta! Berani engkau membikin Kacau di sini? Lihat baik-baik, siapa aku? Aku adalah lurah mu, aku yang dulu memeliharamu ketika engkau masih kecil dan hidup sebatang kara!"
Nurseta memandang wajah lurah itu dengan alis berkerut. "Aku tidak lupa, Ki Suramenggala. Engkaulah yang merampas tanah dan sawah ladang peninggalan orang tuaku dan memberi aku makan selama tiga tahun saja!"
"Heh! Berani engkau kurang ajar kepadaku, bocah tak mengenal budi?" Ki Suramenggala menampar dengan tangan kanannya seperti yang dia lakukan kalau dahulu Nurseta berani membantahnya ketika pemuda itu masih kecil. Akan tetapi Nurseta menangkis sambaran tangan itu sambil mengerahkan tenaga.
"Wuuutt..... dukkk.....! Aduhhh"
Ki Suramenggala merasa lengannya seperti bertemu linggis dan tulangnya seperti patah. Dia memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri, mengeluh kesakitan
"Ki Suramenggala, kedatanganku ini bukan untuk membuat keributan. Orang-orangmu yang tadi mengajak ribut. Aku datang hanya ingin bertanya padamu tentang orang tuaku! Dari mana orang tuaku datang dan di mana sekarang mereka berada? Hayo katakan dan aku tidak akan mengganggumu lagi!"
Ki Suramenggala tidak berani berlagak lagi. "Ayahmu bernama Ki Darmaguna dan ibumu bernama Nyi Sawitri. Mereka berasal dari kota raja Kahuripan, pindah ke Karang Tirta sini ketika engkau masih kecil, berusia kurang lebih tiga tahun."
"Ketika aku berusia sepuluh tahun, tiba-tiba saja mereka pergi dari sini. Kemanakah mereka pergi dan di mana sekarang mereka berada?"
Ki Suramenggala menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, Nurseta. Mereka juga tidak pamit kepadaku dan sampai sekarang aku tidak tahu ke mana mereka pergi."
"Benarkah andika tidak tahu?" desak Nurseta.
"Benar! Sungguh, aku tidak berbohong, Nurseta."
"Sekarang, jawab pertanyaanku ini. Kenapa andika bersahabat dengan jahanam Itu?" Nurseta menunjuk ke tubuh raksasa kepala gerombolan yang sudah menjadi mayat. "Siapakah dia dan bagaimana andika bersahabat dengan orang jahat seperti itu?"
Ki Suramenggala melebarkan matanya seolah merasa heran dan kaget. "Dia bukan orang jahat, Nurseta. Aku mengenal dia sebagai seorang jagoan gagah yang tinggal di barat, di perbatasan Wengker."
"Hemm, jadi dia itu orang Kadipaten Wengker? Andika bilang dia tidak jahat Ki Suramenggala? Dia dan anak buahnya telah mengganas dan melakukan perampokan dan kejahatan di dusun Karng Sari!"
"Ah, begitukah? Aku..... aku sungguh tidak tahu....., kalau aku tahu tentu aku tidak sudi bersahabat dengan dia!" kata Ki Suramenggala.
"Hemm, sudahlah. Mudah-mudahan peristiwa hari ini menjadi pelajaran bagi andika harus mengusahakan kesejahteraan penduduk dusun ini, bukan hanya mencari kesejahteraan untuk diri sendiri. Jangan bergaul dengan orang jahat dan jangan sekali-kali menggunakan kekerasan menggunakan tukang pukul untuk menakut-nakuti dan menindas rakyat. Nah, aku pergi!" Setelah berkata demikian, Nurseta cepat meninggalkan pekarangan gedung ki lurah itu.
Tentu saja dia tidak puas dengan keterangan Ki Suramenggala. Lurah itu hanya memberitahukan nama ayah ibunya yang masih diingatnya, akan tetapi sama sekali tidak dapat menunjukkan di mana adanya ayah bundanya sehingga dia tidak tahu ke mana harus mencari mereka. Kini dia segera menuju ke bekas rumah orang tuanya.
Agaknya penduduk Karang Tirta sudah mendengar akan peristiwa yang terjadi di pekarangan rumah gedung Ki Lurah Suramenggala karena ketika Nurseta berjalan menuju ke bekas rumah orang tuanya, para penduduk keluar dari rumah dan memandang kepadanya dengan penuh keheranan dan kekaguman.
Ketika dia tiba di dekat rumah bekas tempat tinggal orang tuanya, seorang laki-laki berusia enam puluh tahun berlari menyongsongnya. Dengan ramah dan gembira laki-laki itu memegang lengan Nurseta.
"Aduh, Nurseta! Sungguh tidak sangka bahwa engkau telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, yang berani menghajar Ki Lurah Suramenggala dan para tukang pukulnya! Ah, sungguh kami seluruh penduduk merasa gembira sekali dan aku amat bangga kepadamu Nurseta!"
Nurseta segera mengenal laki-laki itu. "Paman Tejomoyo, andika baik-baik saja bukan?"
Ki Tejomoyo ini adalah seorang tetangga yang sejak dulu hidup sebatang kara dan dulu sering menolong Nurseta, memberinya makan kalau Nurseta sedang kekurangan. Mereka berangkulan, lalu Tejomoyo menarik lengan Nurseta, diajak masuk ke rumahnya yang sederhana.
"Mari, Nurseta, kita bicara di dalam. Aku ingin sekali mendengar tentang dirimu, kemana saja selama lima tahun lebih ini engkau pergi dan bagaimana sekarang setelah muncul tahu-tahu engkau menjadi seorang yang sakti mandraguna!"
"Akupun ingin sekali mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada andika, paman dan mengharapkan keterangan dari andika." Nurseta mengikuti Ki Tejomoyo memasuki rumah itu.
Setelah mereka duduk di atas bale-bale bambu, Nurseta memenuhi permintaan tuan rumah, menceritakan bahwa selama ini dia berguru kepada Empu Dewamurti yang membawanya ke lereng gunung Arjuna. Setelah menceritakan keadaan dirinya, dia lalu berkata dengan wajah serius.
"Paman Tejomoyo, sekarang aku ingin sekali bertanya kepadamu dan kuharap Andika suka memberi keterangan yang sejelas-jelasnya."
"Apa yang hendak kau tanyakan, Nurseta? Tanyalah, tentu aku akan menerangkan apa saja yang kuketahui."
"Begini, paman. Paman adalah tetangga yang baik dari orang tuaku, tentu paman mengenal baik ayah ibuku, bukan?"
Ki Tejomoyo tersenyum. "Mengenal ayah ibumu? Tentu saja aku mengenal mereka dengan baik. Ayahmu adalah orang yang bijaksana dan pandai, seorang sasterawan yang halus budi bahasanya dan ramah terhadap siapa saja." Dia termenung, mengingat-ingat. "Biarpun dia tidak pernah mengaku, namun aku yakin bahwa Ki Darmaguna dan Nyi Sawitri ayah ibumu itu, tentulah keluarga bangsawan. Biarpun mereka bukan orang kaya dan hidup sederhana, namun sikap dan tutur sapa mereka demikian halus sehingga mudah diduga bahwa mereka tentulah berdarah bangsawan. Seperti engkau ini, Nurseta, engkau seorang anak desa dibesarkan di Karang Tirta ini, akan tetapi engkau lain dibandingkan anak-anak desa pada umumnya."
"Yang ingin kutanyakan, paman. Tahukah paman kemana mereka pergi dan dimana mereka kini berada?" Sambil bertanya demikian, Nurseta menatap wajah orang dengan penuh selidik.
Ki Tejomoyo menghela napas panjang "Sungguh menyesal sekali bahwa aku tidak dapat menjawab kedua pertanyaanmu itu, Nurseta. Aku sendiri sampai sekarang masih merasa heran kemana ayah ibumu itu pergi dan di mana mereka kini berada. Mengapa pula mereka sampai sekarang tiada beritanya seolah lupa kepadamu, padahal aku yakin benar bahwa ayah ibumu itu sayang kepadamu. Sungguh aku tidak mengerti."
Nurseta merasa terpukul sekali hatinya mendengar ucapan ini. Seakan sudah putuslah harapannya. Siapa lagi yang dapat ditanyai? Ki Tejomoyo ini merupakan tetangga yang paling dekat dan paling akrab dengan ayahnya. Dia hanya dapat termenung dengan kedua alis berkerut dan pandang matanya kosong dan sayu. Melihat keadaan pemuda itu, Ki Tejomoyo merasa iba sekali dan dia berkata.
"Nurseta, agaknya di dusun ini hanya ada satu orang yang akan mampu menjawab dua pertanyaanmu tadi."
Sepasang mata Nurseta mencorong dan harapannya muncul kembali. "Begitukah, paman? Siapakah orang itu?"
"Dia itu bukan lain adalah Ki Lurah Suramenggala! Dialah yang tahu, setidaknya tahu mengapa orang tuamu pergi meninggalkan dusun ini!"
Nurseta terkejut. "Ah, benarkah itu, Paman? Akan tetapi ketika tadi aku bertanya kepadanya, dia mengatakan tidak tahu."
"Bohong! Dia berbohong. Aku yakin dia pasti tahu mengapa ayah ibumu pergi, karena dialah yang menjadi biang keladi perginya orang tuamu."
"Eh? Mengapa begitu, paman? Apakah yang telah terjadi ketika itu? Harap paman suka memberi penjelasan."
Kembali Ki Tejomoyo menghela napas panjang. "Dahulu aku takut untuk menceritakan hal ini kepada siapapun juga Akan tetapi setelah mendengar betapa tadi engkau telah berani menghajar dia dan para tukang pukulnya, biarlah kuceritakan kepadamu. Di antara Ki Darmaguna dan Ki Lurah Suramenggala memang terdapat semacam perasaan saling membenci atau setidaknya saling tidak suka. Hal itu terjadi karena ulah Ki Suramenggala. Baru beberapa bulan setelah orang tuamu pindah ke dusun ini Ki Suramenggala itu agaknya tergila-gila kepada ibumu, Nyi Sawitri yang memang merupakan seorang wanita berusia dua puluh tiga tahun yang cantik jelita ketika itu. Ki lurah itu berusaha untuk merayu Nyi Sawitri pada saat ayahmu tidak berada di rumah. Akan tetapi niat kotor ki lurah itu ditolak mentah-mentah oleh ibumu, bahkan ibumu lalu melaporkan hal itu kepada ayahmu. Maka terjadilah rasa saling tidak suka di antara ayahmu dan ki lurah."
"Hemm, manusia hina!" seru Nurseta marah mendengar ibunya dirayu oleh Ki Lurah Suramenggala.
"Ya, memang Ki Suramenggala terkenal sebagai seorang laki-laki yang mata keranjang dan suka mengandalkan kekuasaan dan kekayaannya untuk menggoda wanita, baik gadis, janda, maupun isteri orang. Akan tetapi karena ayahmu seorang yang memiliki wibawa sebagai seorang bangsawan dan terpelajar, Ki Suramenggala tidak berani lagi mencoba-coba untuk mengulangi perbuatannya, tidak berani pula menggunakan kekerasan. Kemudian terjadilah hal itu yang membuat aku yakin bahwa Ki Suramenggala yang menjadi biang keladi perginya orang tuamu dari sini."
"Apa yang telah terjadi, paman?"
Ki Tejomoyo melanjutkan ceritanya tujuh tahun sejak Ki Darmaguna dan anak isterinya tinggal di Karang Tirta pada suatu pagi Ki Tejomoyo memikul dagangannya, yaitu alat-alat dapur dan tanah, hendak dijual ke dusun-dusun lain. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan Tardi, seorang jagabaya anak buah Ki Lurah Suramenggala. Tardi ini masih terhitung keponakan Ki Tejomoyo dan dia menghentikan kudanya ketika bertemu dengan pamannya yang memikul dagangannya.
"Eh, Tardi, ke mana sepagi ini engkau hendak pergi?" Tanya Ki Tejomoyo kepada keponakannya itu.
"Paman Tejomoyo, aku hendak pergi ke kota raja, menjadi utusan Ki Lurah Suramenggala!" kata Tardi dengan nada suara bangga.
"Ke kota raja? Ada keperluan apakah"
"Wah, penting sekali, paman. Ada kabar yang amat menghebohkan! Dusun kita pasti akan geger!"
"Eh? Ada apakah?"
"Begini, paman. Akan tetapi ..... hemm. Ini rahasia lho, jangan sampai terdengar orang lain. Bisa celaka engkau dan aku kalau sampai terdengar orang lain kemudian ki lurah mengetahui bahwa kita yang membocorkan."
"Tentu saja tidak akan kuceritakan pada orang lain. Ada apa sih?"
"Paman tahu, Ki Darmaguna, tetanggamu itu ....."
"Ya, kenapa dia?"
"Dia itu seorang pelarian yang kabur dari kota raja!"
"Eh? Jangan main-main, Tardi!"
"Sungguh, paman. Ini, aku membawa surat Ki Lurah untuk disampaikan kepada Senopati Sindukerta di kota raja!" Setelah berkata demikian, Tardi membedal kudanya. "Selamat tinggal, paman!"
Mendengar berita itu, Ki Tejomoyo yang amat menghormati Ki Darmaguna sekeluarga, membatalkan kepergiannya berjualan grabah (prabot dapur dari tanah) dan kembali ke rumahnya. Dia lalu langsung saja melaporkan kepada Ki Darmaguna dan isterinya.
"Demikianlah, Nurseta. Setelah menerima laporan ku bahwa Ki Lurah Suramenggala mengutus jagabaya pergi ke kota raja untuk melapor kepada Senopati Sindukerta bahwa Ki Darmaguna sekeluarga tinggal di Karang Tirta, ayah ibumu meninggalkan Karang Tirta pada malam hari itu juga. Jadi, kalau engkau hendak mengetahui sebabnya, kiranya Ki Lurah Suramenggala yang mengetahui dengan pasti."
Sejak tadi Nurseta mendengarkan cerita K i Tejomoyo dengan penuh perhatian sambil membayangkan wajah ayah dan ibunya. Dia masih ingat wajah mereka. Ayahnya seorang laki-laki tampan dan ibunya seorang wanita cantik sekali. Setelah Ki Tejomoyo selesai bercerita dia menanyakan apa yang selama ini selalu menjadi gangguan dalam hatinya yang membuat dia merasa penasaran, "Akan tetapi, paman. Ketika itu, aku masih kecil."
"Ya, usiamu baru kira-kira sepuluh tahun ketika ayah ibumu pergi."
"Itulah yang membuat hatiku selalu merasa penasaran, paman. Mengapa kalau orang tuaku pergi, mereka tidak membawa aku?"
Ki Tejomoyo menghela napas panjang. "Aku hanya dapat mengira-ngira. Mereka pergi tergesa-gesa, seperti orang yang terancam bahaya. Maka, karena mereka menyayangimu, mereka sengaja meninggalkanmu agar jangan sampai engkau juga ikut terancam bahaya. Akan tetapi, kalau ingin tahu lebih jelas, Ki Lurah Suramenggala tentu akan dapat bercerita banyak."
"Baiklah, paman. Aku akan pergi ke rumah Ki Lurah Suramenggala dan memaksa dia untuk mengaku!" Setelah berkata demikian, Nurseta meninggalkan tempat itu dan berjalan cepat menuju ke rumah Ki Lurah Suramenggala.
Ketika dia tiba di pekarangan kelurahan, suasana dalam rumah Ki Lurah Suramenggala masih di liputi kekagetan dan kebingungan karena amukan Nurseta tadi. Maka, ketika melihat pemuda itu datang lagi, para sisa jagabaya sudah lari lintang pukang karena takut. Nurseta memasuki serambi dan berseru, "Ki Lurah Suramenggala, keluarlah, aku mau bicara...!"
Ketika berseru dia mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya terdengar lantang dan bergema memasuki setiap ruangan di rumah besar itu.
Pada saat itu, Ki Lurah Suramenggala sedang diobati lengannya oleh para selirnya, termasuk Nyi Lasmi. Nyi Lasmi adalah ibu kandung Puspa Dewi yang telah menjadi janda. Ketika Puspa Dewi diculik lima tahun yang lalu bersama Linggajaya putera Ki Lurah Suramenggala berusia tiga puluh satu tahun dan Nyi Lasmi memang terkenal cantik. Peristiwa itu membuat ia sering bertemu dengan Ki Lurah Suramenggala karena sama-sama kehilangan anak dan Ki Lurah Suramenggala yang mata keranjang itu segera jatuh cinta. Maka dipinanglah Nyi Lasmi dan semenjak itu, Nyi Lasmi menjadi seorang selirnya yang terkasih.
Lengan Ki Lurah Suramenggala dibebat semacam param karena terasanya ketika pukulannya ditangkis Nurseta tadi. Pada saat itu, terdengarlah suara Nurseta memanggilnya. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi dia tidak berani membangkang. Segera dia membereskan pakaiannya dan keluar untuk menemui pemuda itu. Begitu melihat lurah itu muncul seorang diri dengan muka pucat, Nurseta cepat menghampirinya dan berkata dengan suara bernada marah dan mengancam.
"Ki Suramenggala, aku tidak ingin mempergunakan kekerasan, maka andika ceritakan sejujurnya apa yang terjadi sebelas tahun yang lalu, mengapa ayah ibuku meninggalkan aku dan rumah mereka."
Wajah yang sudah pucat itu semakin ketakutan. "Nurseta..... demi Sang Hyang widhi ....."
"Tidak usah engkau menyebut Sang Hyang Widhi. Hatimu terlalu kotor untuk menyebut namaNya. Kalau andika tidak mau mengaku terus terang, terpaksa aku harus menyiksamu sampai andika mengaku. Ingat, aku sudah tahu bahwa sebelum orang tuaku pergi tanpa pamit, andika telah mengutus seorang jagabaya untuk membawa surat laporan kepada Senopati Sindukerta di kota raja!"
Ki Lurah Suramenggala membelalakan kedua matanya. "Dari..... dari mana..... engkau tahu.....?"
"Tidak perduli dari mana aku tahu Hayo ceritakan sejelasnya dan selengkapnya, atau haruskah kupatahkan kedua tangan dan kakimu lebih dulu?"
"Tidak..... tidak, jangan pukul aku Nurseta. Baiklah, akan kuceritakan apa yang kutahu. Mari, silakan duduk," kata Ki Lurah Suramenggala.
Mereka lalu duduk di kursi yang terdapat di serambi itu. "Nah, ceritakanlah!" kata Nurseta.
"Ketika ayah ibumu datang dan tinggal di dusun ini, aku hanya tahu bahwa mereka itu pindah dari kota raja. Ayahmu seorang ahli sastra dan orang baik, maka selama tujuh tahun tinggal di sini, tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi ketika aku pergi ke kota raja karena suatu urusan aku mendengar bahwa Ki Darmaguna dan isterinya adalah pelarian, orang-orang yang sedang dicari-cari oleh Senopati Sindukerta. Mendengar ini, sebagai seorang lurah tentu saja aku harus membantu pamong praja yang lebih tinggi kedudukannya. Maka aku lalu mengirim utusan ke kota raja, melaporkan bahwa orang-orang buruan itu telah tujuh tahun tinggal di dusun ini. Kalau aku tidak melaporkan, aku bisa dituduh menyembunyikan dan membantu mereka. Nah, ketika utusanku pulang membawa perintah Senopati Sindukerta untuk menangkap Ki Darmaguna dan isterinya, ternyata mereka sudah melarikan diri."
"Ke mana mereka pergi?" tanya Nurseta.
"Sungguh, aku tidak tahu, Nurseta. Sebetulnya antara aku dan orang tuamu tidak ada permusuhan apapun, akan tetapi karena mereka itu orang buruan Senopati Sindukerta, dan aku adalah lurah, maka terpaksa ....."
"Hemm, mengapa ayahku dikejar-kejar senopati Sindukerta Mengapa mereka menjadi buruan?"
"Aku tidak tahu, Nurseta, sungguh aku tidak tahu. Ayahmu seorang yang baik, aku tidak tahu mengapa Senopati Sindukerta memusuhinya. Aku sendiri menganggap Ki Darmaguna sebagai seorang sahabat baik."
"Hemmm, andika bohong, Ki Suramenggala! Aku tahu bahwa dulu engkau tergila-gila kepada ibuku dan pernah berusaha untuk merayunya! Hayo menyangkal kalau berani!"
Wajah lurah itu menjadi pucat, akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya dan tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Tidak kusangkal, Nurseta. Ibumu adalah seorang wanita yang paling cantik yang pernah kulihat. Aku tergila-gila kepadanya, apakah itu salah? Aku tidak pernah mengganggunya. Dan percaya atau tidak, kenapa engkau tidak ku laporkan sebagai anak ayahmu yang menjadi buruan? Karena melihat engkau, aku teringat kepada Sawitri, ibumu. Aku kasihan kepada mu maka aku sengaja menyelamatkanmu dan memelihara mu."
"Cukup!" hardik Nurseta sehingga mengejutkan hati sang lurah yang menjadi ketakutan lagi. "Tidak perlu andika membohongi aku lagi. Andika hanya hendak merampas tanah dan rumah orang tuaku. Kalau aku teringat akan semua Itu, sudah sepatutnya kalau sekarang kuhancurkan kepalamu!"
"Aduh..... ampun, Nurseta. Jangan lakukan itu.....! Kalau engkau ingin membalas dendam, carilah Senopati Sindukerta. Dialah yang memusuhi orang tuamu, bukan aku!"
Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan tiba-tiba diserambi itu telah berdiri seorang pemuda tampan. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun, pakaiannya mewah. Tubuhnya tinggi tegap, mata lebar, hidung mancung dan mulutnya tersenyum mengejek. Wajah yang tampan memandang kepada Ki lurah Suramenggala yang masih berlutut minta ampun kepada Nurseta, lalu memandang wajah Nurseta dengan mata mencorong marah.
"Keparat!" pemuda itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Nurseta.
"Siapa engkau yang berani mengancam dan menghina ayahku?!"
Ki Lurah Suramenggala yang tadi merasa terkejut dan pangling, kini melompat dan menghampiri pemuda itu sambil berseru girang, "Kau..... kau puteraku Lingga jaya .....!" Dia merangkul pemuda itu dengan girang sekali. Akan tetapi dengan lembut pemuda itu mendorong Ki Lurah Suramenggala dan berkata sambil tetap memandang Nurseta.
"Bapak, nanti saja. Sekarang masuklah dulu, biar aku menghajar bocah kurang ajar ini!"
"Engkau benar, Linggajaya. Hajarlah dia. Dia itu Nurseta bocah tak mengenal budi itu. Dia tadi hendak membunuh aku!" Setelah berkata demikian, Ki Lurah Suramenggala lalu berlari memasuki rumahnya.
Nurseta berdiri berhadapan dengan Linggajaya. "Hemm, kiranya engkau Nurseta bocah jembel itu? Tak tahu malu dan tidak mengenal budi. Bukankah dulu yang memberi engkau makan adalah keluarga kami?" Linggajaya menegur marah. "Sekarang berani engkau mengancam ayahku?"
"Dan engkau Linggajaya, bocah yang sombong dulu itu! Ayahmu memang sudah sepatutnya dihajar karena dia adalah seorang yang jahat dan suka bergaul dengan penjahat dan perampok!"
"Tutup mulutmu yang busuk!" bentak Linggajaya dan pemuda yang baru saja meninggalkan gurunya, Resi Bajrasakti di Kerajaan Wengker itu, sudah menggerakkan tangan memukul ke arah muka Nurseta.
Linggajaya yang sejak kecil memang terlalu dimanja, menyadari bahwa ayahnya adalah orang nomor satu seluruh dusun Karang Tirta, memupuk watak yang sombong, tinggi hati dan menganggap diri sendiri dan keluarganya paling hebat. Apalagi sekarang, setelah dia mewarisi ilmu-ilmu tinggi yang membuat dia menjadi seorang pemuda sakti, kesombongannya bertambah, bagaikan seekor harimau tumbuh sayap dan dia memandang remeh orang lain.
Sekarangpun, ketika menyerang Nurseta, dia memandang rendah pemuda yang pernah menjadi kuli borongan atau pekerja kasar itu dan dia merasa yakin bahwa pukulannya yang dilakukan sembarangan saja itu sudah cukup untuk membikin remuk muka Nurseta.
"Wussss .....!" Linggajaya kecelik dan menjadi semakin marah karena pukulannya amat kuat dan cepat itu dapat di elakkan dengan mudah oleh Nurseta.
Rasa penasaran membuat kemarahannya memuncak dan diapun menyusulkan serangan dengan tendangan kedua kakinya silih berganti. Namun, Nurseta yang cepat menyadari bahwa Linggajaya yang menyerangnya ini sama sekali bukan Linggajaya yang dahulu, melainkan seorang pemuda yang memiliki kedigdayaan maklum bahwa kalau dia melayani bertanding di dalam rumah, dia yang akan menderita rugi. Maka diapun melompat ke belakang menghindari dua tendangan itu, lalu terus berlompatan keluar dari serambi.
"Nurseta, jahanam keparat, jangan lari kau!" seru Linggajaya dan pemuda inipun melompat keluar dan mengejar.
Akan tetapi Nurseta tidak melarikan diri, hanya mencari tempat yang lebih luas. Kini dia sudah berdiri di pekarangan yang luas itu dan siap menanti Linggajaya.
"Linggajaya, ayahmu adalah seorang jahat. Kalau engkau membelanya, berarti engkau juga jahat!" Nurseta memperingatkan.
"Bocah jembel kurang ajar. Bersiaplah untuk mampus! Terimalah Aji Gelap Sewu...! Ciaaattttt......!"
Linggajaya menyerang dengan hebatnya. Gerakan tangan terbuka yang memukul itu bagaikan petir menyambar dan mengandung hawa yang amat panas. Diam-diam Nurseta merasa heran. Kiranya pemuda sombong ini bukan sekadar menyombong, melainkan benar-benar memiliki ilmu pukulan yang ampuh sekali.
Maka diapun waspada, mengerahkan aji meringankan tubuh Bayu Sakti dan kaki tangannya bergerak-gerak memainkan ilmu silat Baka Denta (Bangau Putih). Hantaman tangan terbuka lawannya itu dia elakkan dengan lincah dan dari samping dia pun membalas dengan totokan dua jari tangan kirinya ke arah lambung Linggajaya.
Syutttt ......plakkk...!"
Linggajaya cepat menangkis dan ketika dua lengan itu bertemu, keduanya melompat ke belakang dengan kaget. Ternyata pertemuan dua lengan itu membuat Linggajaya tergetar dan baru sekarang pemuda ini menyadari bahwa Nurseta juga bukan bocah yang lemah dahulu, melainkan menjadi seorang pemuda yang sakti dan memiliki tenaga yang amat kuat.
Akan tetapi tentu saja dia tidak menjadi gentar dan dia menyerang lagi secara bertubi-tubi, bahkan dia mengerahkan Aji Wisa Langking. Kedua telapak tangannya berubah hitam dan mengandung racun yang amat ampuh. Nurseta maklum bahwa kedua tangan lawan itu mengandung racun, maka diapun mempercepat gerakannya sehingga tubuhnya tak pernah tersentuh tangan itu.
Dengan ilmu silat Baka Denta, tubuhnya bergerak cepat dan dia dapat menghindarkan semua serangan lawan dan membalas dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah ampuhnya, walaupun tidak ada pukulannya yang mengandung racun. Lambat namun pasti, akhirnya Nurseta dapat mulai mendesak Linggajaya.
Tingkat kesaktian kedua orang muda ini memang seimbang, akan tetapi gerakan Nurseta lebih tenang dan keadaan batinnya lebih kuat sehingga dia selalu dapat menguasai perasaan dan gerakan tubuhnya. Sebaliknya Linggajaya banyak dikuasai perasaan marah, tekebur dan terkadang kaget...