Cerita Silat Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 10

Cerita silat online karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO

KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 10

Sementara itu, selagi kedua orang muda perkasa itu saling serang dengan serunya, di bagian belakang rumah Ki Lurah Suramenggala terjadi pula suatu peristiwa yang menarik. Tanpa diketahui dua orang muda sakti yang sedang mencurahkan perhatian mereka dalam pertandingan itu, sesosok bayangan berkelebat. Bayangan itu adalah seorang gadis cantik jelita berusia sekitar delapan belas tahun, pakaian yang indah.

Sejenak ia berhenti dan menonton perkelahian itu, kemudian ia tidak memperdulikan lagi dan terus bergerak cepat menuju ke belakang rumah besar itu. Ketika ia tiba di bagian belakang rumah itu, tiga orang pengawal yang berada di situ segera menghadang di depannya dan seorang di antara mereka membentak, "Hei, siapa andika dan mengapa memasuki tempat ini tanpa ijin?"

Gadis itu memandang kepada tiga orang jagabaya itu dan mengerutkan alisnya. "Dan kalian ini siapa dan orang-orang macam apa berani menghadangku dan lancang menegur aku?"

Tiga orang jagabaya itu terpesona oleh kecantikan gadis itu, akan tetapi melihat sikap yang demikian kasar, tentu saja mereka menjadi marah dan curiga. Tidak ada anggauta keluarga Ki Lurah Suramenggala yang seperti gadis ini. Jelas ia orang asing yang datang memasuki rumah tanpa ijin dan sikapnya yang kasar itu menunjukkan bahwa gadis itu mempunyai niat yang tidak baik.

"Hayo ikut kami, andika harus kami tangkap dan kami hadapkan kepada Ki Lurah!"

Gadis itu menjadi semakin marah, la berdiri tegak, membusungkan dadanya yang mulai montok, lalu berkata sambil tersenyum mengejek dan memandang rendah. "Kalian tiga ekor tikus busuk ini hendak menangkap aku? Hah, menggelikan!"

Tentu saja tiga orang jagabaya itu marah sekali. Mereka memang harus mengakui bahwa mereka takut terhadap Nurseta yang sakti mandraguna. Akan tetapi bagaimanapun juga mereka adalah jagabaya yang biasanya ditakuti orang sedusun. Tentu saja mereka tidak takut menghadapi seorang gadis yang belum dewasa benar itu! Apalagi gadis itu telah menghina mereka dengan kata-kata yang meremehkan, memaki mereka tiga ekor tikus busuk!

"Gadis liar! Engkau kurang ajar!" kata mereka dan tiga orang itu serentak menjulurkan tangan untuk menangkap kedua lengan gadis itu. Akan tetapi terjadi hal yang sama sekali tidak mereka sangka. Gadis itu bergerak cepat sekali, kedua tangannya menyambar-nyambar dan tiga orang jagabaya itu terpelanting roboh seperti disambar petir! Mereka hanya dapat mengaduh-aduh dan tidak dapat bangkit lagi!

Gadis itu tidak memperdulikan mereka dan melangkah masuk melalui pintu belakang. Ketika bertemu seorang pelayan wanita setengah tua, ia menangkap lengan pelayan itu. Pelayan itu berteriak kesakitan karena merasa betapa lengannya seperti dijepit besi!

"Hayo cepat bawa aku kepada Nyi Lasmi! Cepat, atau akan kupatahkan tanganmu!" Gadis itu mencengkeram lebih kuat dan wanita itu mengaduh.

"Baik, baik ..... marilah saya antar andika, tapi jangan sakiti lenganku ....."

Gadis itu mengendurkan cengkeramannya dan mengikuti pembantu wanita itu masuk ke dalam rumah. Pembantu wanita itu membawanya memasuki sebuah kamar dimana lima orang isteri Ki Lurah Suramenggala berkumpul. Mereka itu ketakutan karena maklum bahwa Nurseta datang lagi dan kini sedang berkelahi melawan Linggajaya.

"Ibuuu .....!" Gadis itu berseru ketika melihat Nyi Lasmi berada di antara wanita-wanita itu.

"Puspa Dewi .....! Kau .....? Ah, Puspa Dewi .....!" Ibu dan anak itu saling tubruk dan berangkulan.

Nyi Lasmi menangis saking girang hatinya melihat puterinya selamat dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Puspa Dewi juga girang melihat ibunya dalam keadaan selamat. Tadi ketika ia pulang ke rumah ibunya, ia mendapatkan rumah itu kosong dan seorang tetangga mengatakan bahwa beberapa bulan setelah ia lenyap diculik orang, ibunya menjadi selir Ki Lurah Suramenggala dan kini tinggal di kelurahan. Maka ia lalu menyusul ke kelurahan dan melihat perkelahian di pekarangan, akan tetapi tidak diperdulikannya karena ia ingin mencari ibunya.

"Kenapa ibu di sini? Kenapa menjadi isteri Ki Lurah Suramenggala? Apa dia memaksa ibu? Kalau dia memaksa, biar kuhajar dan kubunuh dia!"

"Jangan .....! Dengar, Puspa Dewi Dia tidak memaksa. Ibumu hidup seorang diri, sebatang kara setelah engkau diculik orang. Ibumu membutuhkan perlindungan dan ki lurah telah bersikap baik sekali kepadaku. Karena itu aku menerimanya ketika dia meminangku. Puspa Dewi, sekarang dia menjadi ayah tirimu dan dia sedang terancam! Ada orang muda yang datang mengancam dan hendak membunuhnya. Kini pemuda jahat itu ditandingi oleh Linggajaya, putera Ki Lurah yang juga baru saja datang dan membela ayahnya."

"Ah, begitukah? Kalau begitu, biar akan kuhajar orang kurang ajar itu!" setelah berkata demikian, sekali berkelebat gadis itu telah lenyap, cepat sekali ia melompat keluar dari kamar dan langsung saja menuju ke depan!

Pertandingan antara Linggajaya dan Nurseta sudah mencapai puncaknya. Linggajaya yang terdesak terus itu kini sudah mencabut senjatanya yang ampuh, pemberian gurunya, yaitu sebatang pecut yang disebut Pecut Tatit Geni (Kilat Api ). Dia memutar-mutar pecut itu keatas kepala.

"Tar-tar-tarrr .....!" Pecut itu meledak-ledak di atas kepala Nurseta, menyambar-nyambar seperti halilintar.

Namun Nurseta yang menggunakan Aji Bayu Sakti, dapat bergerak cepat sekali, tubuhnya berkelebatan seperti bayangan bayangan di antara gulungan sinar pecut yang menyambar-nyambar. Sekali waktu dia mengerahkan tenaga saktinya dan dengan telapak tangan miring dia menangkis pecut lalu mencengkeram dan membetot kuat-kuat. Linggajaya terkejut bukan main dan dia mempertahankan pecutnya agar jangan terampas. Akan tetapi tiba-tiba Nurseta melepaskan cengkeramannya sehingga ujung pecut itu berbalik menyerang ke arah kepala Linggajaya sendiri! Linggajaya mengangkat tangan ke atas dan melempar tubuh ke bawah lalu bergulingan sehingga dia terbebas dari serangan pecutnya sendiri!

Pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan Puspa Dewi sudah berdiri di antara mereka. Gadis ini agaknya pangling dan tidak mengenal dua orang pemuda itu. Maka, agar jangan salah tangan ia lalu menghardik.

"Yang mana pemuda setan yang hendak membunuh Ki Lurah Suramenggala?!"

Nurseta segera mengenal Puspa Dewi. Dia terkejut dan merasa heran sekali melihat betapa cepatnya gerakan gadis seperti terbang saja. Agaknya gadis yang terculik ini, seperti halnya Linggajaya, selama lima tahun ini telah mempelajari ilmu yang tinggi dan yang membuat ia sakti mandraguna!

"Puspa Dewi, andikakah ini? Aku Nurseta, lupakah andika kepadaku?"

Puspa Dewi mengerutkan alisnya. "Hemm, engkau Nurseta? Dan dia ini tentu Linggajaya!" Ia menoleh dan memandang kepada Linggajaya yang sudah bangkit berdiri. "Nurseta, engkaukah yang mengacau di sini dan katanya hendak membunuh ayah tiriku?"

"Ayah tirimu .....?" Nurseta bertanya heran sedangkan Linggajaya yang kini juga mengenal gadis cantik jelita itupun memandang heran karena dia sendiri belum tahu bahwa ibu gadis itu, janda Nyi Lasmi, kini telah menjadi isteri selir Ayahnya.

"Aku mendengar bahwa engkau hendak membunuh Ki Lurah Suramenggala, bukan? Huh, Nurseta, jangan harap engkau akan dapat membunuhnya selama aku berada di sini!"

"Tapi ..... tapi Ki Suramenggala itu orang jahat, Puspa Dewi ....."

"Engkau yang jahat!" Puspa Dewi membentak marah.

Linggajaya tadi juga melihat betapa cepat Puspa Dewi bergerak, maka cepat dia berkata, "Puspa Dewi, mari kita basmi orang yang hendak membunuh ayah kita!"

Setelah berkata demikian, Linggajaya sudah mencabut keris Candulamani, keris luk tiga belas yang ampuh itu dan secepat kilat dia sudah menubruk maju dan menyerang dengan tusukan kerisnya ke arah perut Nurseta. Nurseta cepatmengelak ke kiri.

"Sambutlah Aji Guntur Geni ...hyaaatt .....!!" Puspa Dewi sudah memasang kuda-kuda Guntur Geni, kedua kaki terpentang ke depan dan ke belakang, lutut kiri di depan ditekuk, kaki kanan di belakang lurus, kedua lengan dipentang seperti burung terbang. Kemudian, sambil berteriak nyaring, kedua lengannya dari kanan kiri bergerak kedepan seperti orang mendorong dan dari kedua telapak tangan itu menyambar hawa panas sekali ke arah Nurseta!

Nurseta terkejut dan melompat ke kanan untuk menghindarkan sambaran hawa panas itu. Melihat pukulannya luput, Puspa Dewi lalu mengadu kedua telapak tangannya beberapa kali seperti bertepuk dan terdengarlah suara nyaring meledak-ledak seperti dua benda keras beradu dan di antara kedua telapak tangannya itu muncrat bunga api. Kemudian ia memukul lagi bertubi-tubi dengan dorongan kedua telapak tangannya yang mengandung hawa panas. Itulah Aji Guntur Geni!

Setelah mengelak beberapa kali, Nurseta terpaksa lalu menyambut pukulan ampuh itu dengan dorongan kedua tangannya pula menyambut dengan dorongan sambil mengerahkan tenaga saktinya yang bersifat lembut dan menahan.

"Wuuuttt .....desss .....!" Puspa Dewi terkejut sekali karena ia merasa betapa tenaganya seperti memukul air saja, tenggelam dan kedua telapak tangannya terasa dingin! Ia melompat ke belakang dan dari punggungnya ia mencabut batang pedang hitam. Itulah Candrasa Langking yang ampuh dan mengandung racun amat berbahaya. Tergores sedikit saja sampai terluka cukup untuk membunuh lawan!

Sementara itu, Linggajaya juga sudah melakukan serangan bertubi-tubi dengan keris Candulanmanik. Diserang oleh orang yang mempergunakan senjata ampuh itu, Nurseta menjadi kewalahan juga Sungguh tidak pernah disangkanya sama sekali bahwa dua orang anak Karang Tirta yang lima tahun lalu diculik penjahat itu kini telah pulang ke dusun dan menjadi orang-orang yang sakti mandraguna!

Dia menggerakkan tubuhnya dengan Aji Bayu Sakti. Tubuhnya berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar pedang dan keris yang menyerangnya. Karena maklum betapa berbahayanya dua buah senjata lawan yang mengandung racun itu, Nurseta bergerak cepat dengan hati-hati sekali sehingga dia hanya mampu menghindarkan semua serangan kedua orang pengeroyok yang tangguh itu tanpa dapat membalas.

Dua orang yang mengeroyok itu merasa penasaran sekali karena sampai belasan jurus tetap saja serangan mereka tidak pernah mengenai sasaran. Terutama sekali Linggajaya yang tadinya amat membanggakan kemampuan sendiri dan mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandinginya, kini menjadi penasaran bukan main. Tiba tiba dia membungkuk, meraih segenggam tanah berpasir lalu membaca mantera lalu melontarkan pasir yang digenggam kearah Nurseta sambil membentak.

"Aji Bramara Sewu (Seribu Lebah) ..!"

Pasir-pasir itu melayang dan menyambar ke arah Nurseta dan terdengar suara mbrengengeng seperti suara banyak lebah yang terbang dan menyerang! Nurseta yang memang sudah terdesak oleh serangan dua buah senjata lawan itu terkejut dan cepat dia melempar tubuh ke bawah, lalu bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan sambaran pasir sakti itu. Dan diapun mengerahkan ajinya yang ampuh, yaitu Sirnasarira.

Dua orang pengeroyok itu terkejut bukan main karena tiba-tiba Nurseta menghilang! Tubuh pemuda itu tidak tampak lagi! Maklum bahwa Nurseta tentu mempergunakan semacam aji panglimutan yang dapat membuat buat orang seolah terselubung kegelapan dan tidak tampak. Karena baik Linggajaya maupun Puspa Dewi adalah murid guru yang sakti mandraguna, maka keduanya lalu mengerahkan kekuatan batinnya.

Linggajaya mengeluarkan pekik melengking dan Puspa Dewi bertepuk-tepuk tangan yang mengeluarkan bunyi nyaring seperti canang. Akan tetapi ketika mata mereka dapat menemukan tubuh Nurseta lagi, ternyata Nurseta tampak oleh mereka telah pergi jauh, hanya tampak bayangan hitam mengecil lalu lenyap.

Linggajaya dan Puspa Dewi kini saling pandang. Linggajaya terpesona dan seketika dia tertarik dan jatuh cinta. Puspa Dewi memang memiliki kecantikan yang luar biasa. Daya tariknya amat kuat. Apalagi seorang laki-laki yang pada dasarnya memang mata keranjang dan gila perempuan cantik seperti Linggajaya bahkan laki-laki yang alim sekalipun pasti goyah batinnya kalau melihat gadis berusia delapan belas yang bagaikan setangkai bunga sedang mekar-mekarnya dan semerbak harum, bagaikan buah sedang kemampo, menjelang matang dan menggairahkan.

Kulitnya putih kuning mulus, tubuhnya padat dengan lekuk lengkung sempurna, pinggangnya ramping, perawakannya sedang. Rambutnya hitam panjang berombak dan digelung indah dengan hiasan tusuk sanggul dari emas permata berkilauan, ditancapi bunga melati. Alisnya hitam melengkung dan sepasang matanya bersinar-sinar seperti bintang kejora penuh daya tarik. Hidungnya kecil mancung dan bibirnya! Bibir itu selalu merah membasah dan segar seperti buah masak yang membuat orang menjadi gemas dan ingin menggigit. Entah mana yang memiliki daya tarik lebih kuat, matanya ataukah bibirnya.

Semua keindahan itu masih ditambah lagi dengan adanya setitik tahi lalat di dagunya sehingga wajah yang cantik jelita berbentuk bulat telur itu menjadi semakin manis. Linggajaya sudah seringkali bertemu dan melihat wanita cantik, bahkan dia sudah terbiasa bergaul dengan wanita Akan tetapi belum pernah dia tergila gila seperti ini hanya dalam waktu beberapa detik setelah dia memandang wajah dan tubuh Puspa Dewi dengan penuh perhatian. Dia terpesona dan bengong sehingga lupa diri.

"Eh, engkau Linggajaya, bukan? Kenapa bengong memandangku seperti itu?" Puspa Dewi menegur dengan alis berkerut.

Linggajaya tersentak kaget, seolah baru tersadar dari lamunannya. Dia cepat menguasai dirinya, tersenyum semanis mungkin. Memang pemuda ini berwajah tampan dan gagah, maka senyumnya membuat wajahnya semakin menarik.

"Ah..... maaf, Puspa Dewi. Aku memang merasa heran dan seperti dalam mimpi melihat engkau! Bagaimana mungkin engkau yang dulu itu seorang gadis kecil sederhana, kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang begini..... eh, seperti bidadari yang baru turun dari kahyangan dan memiliki kesaktian yang hebat? Aku benar-benar kagum dan juga merasa heran sekali, Puspa Dewi. Dan lebih heran lagi mendengar pengakuanmu tadi bahwa engkau adalah anak tiri ayahku....."

Pada saat itu, Ki Lurah Suramenggala diikuti Nyi Lasmi dan isteri-isterinya yang lain, juga diikuti para jagabaya yang tadi melarikan diri bersembunyi, muncul dari serambi.

"Tidak perlu heran, Linggajaya. Ibu Puspa Dewi sekarang memang telah menjadi isteriku!" kata Ki Lurah Suramenggala.

Linggajaya memandang ayahnya dan melihat betapa Nyi Lasmi, ibu Puspa Dewi berdiri di samping ayahnya. Dia Lalu menghampiri ayah-ibunya, sedangkan Puspa Dewi menghampiri Nyi Lasmi yang merangkulnya.

"Ah, sungguh hari yang penuh malapetaka ini berakhir menjadi hari bahagia dengan kembalinya kalian berdua dalam keadaan sehat, bahkan telah menjadi orang-orang yang sakti mandraguna. Terobatilah pengorbanan berupa malapetaka yang menimpaku hari ini. Mari, mari mari semua masuk. Kita bicara didalam." kata Ki Lurah Suramenggala merasa gembira sekali, sedikitpun tidak ingat akan para jagabaya yang tewas karena membelanya. Orang seperti Ki Lurah Suramenggala ini, mana mau memperduhkan nasib orang lain? Yang paling penting adalah keuntungan dan kesenangan diri sendiri dan keluarganya!

Setelah semua keluarga K i Lurah Suramenggala berkumpul di ruangan dalam, mereka menghujani Linggajaya dan Puspa Dewi dengan pertanyaan. Linggajaya adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia belum tahu akan isi hati ayahnya. Yang diketahuinya hanya bahwa ayahnya adalah seorang lurah, lurah dusun Karang Tirta yang masih termasuk wilayah Kahuripan. Karena itu, ketika dia menceritakan pengalamannya sejak diculik, dia hanya memberitahu bahwa dia telah diambil murid oleh seorang datuk sakti mandraguna, yaitu Sang Rasi Bajrasakti. Dia sama sekali tidak menceritakan bahwa gurunya adalah seorang berkedudukan tinggi di Kerajaan Wengker, Menjadi penasihat kerajaan. Dia hanya mengatakan bahwa gurunya adalah seorang datuk yang sakti mandraguna dan bahwa dia telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari datuk itu.

"Wah, bagus sekali! Kita untung besar! Engkau menjadi murid seorang datuk besar! Aku sudah mendengar akan nama besar Sang Maha Resi Bajrasakti itu, yang kabarnya memiliki kesaktian seperti Dewa. Aku senang sekali, Linggajaya anakku! Dan bagaimana dengan engkau, Puspa Dewi? Engkau juga anakku, nini. semenjak engkau dilarikan penculik, ibumu perlu perlindungan dan ia menjadi isteriku dan tinggal di sini. Ceritakanlah,nini, apa yang kau alami sejak engkau dilarikan penculik?" kata Ki Lurah Suramenggala gembira. Puspa Dewi memandang ibunya dan Nyi Lasmi mengangguk kepadanya.

"Ceritakanlah, Puspa. Engkau berada di antara keluarga sendiri. Akupun ingin sekali mendengar tentang pengalamanmu." kata Nyi Lasmi.

Semua mata memandang kepada Puspa Dewi, terutama sekali sepasang mata Linggajaya yang seolah ingin menelan bulat-bulat perawan yang membuatnya tergila-gila itu. Seperti juga Linggajaya, Puspa Dewi juga memiliki kecerdikan. Ia merasa tidak enak kalau mengaku bahwa gurunya kini telah menjadi permaisuri Raja Bhismaprabhawa, raja Wura-wuri dan ia diangkat menjadi seorang puteri kerajaan Wura-wuri. Bagaimanapun juga, semua orang tahu belaka bahwa Kerajaan Wura-wuri adalah musuh bebuyutan kerajaan Mataram sejak dulu sampai sekarang menjadi kerajaan Kahuripan sebagai keturunan Mataram.

Tentu saja tidak enak kalau menceritakan bahwa ia telah menjadi puteri kerajaan musuh! Maka ia lalu menceritakan bahwa ia dulu dilarikan oleh Nyi Dewi Durgakumala, diangkat menjadi murid, bahkan dianggap anak angkat dan Ia telah mewarisi semua ilmu yang tinggi dari Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi datuk besar yang sakti mandraguna, la hanya menceritakan bahwa oleh gurunya dibawa ke tempat pertapaan gurunya di Lembah Tengkorak yang terletak di antara Gunung Arjuno dan Gunung Bromo.

"Nyi Dewi Durgakumala?" terdengar linggajaya berseru kagum setelah Puspa Dewi menceritakan pengalamannya. "Wah, pantas engkau sekarang menjadi sakti mandraguna! Kiranya gurumu adalah Nyi Dewi Durgakumala, seorang datuk besar yang terkenal sekali. Guruku pernah bercerita tentang datuk wanita itu, Puspa dewi."

Puspa Dewi tersenyum. Sejak menjadi murid Nyi Dewi Durgakumala, ia memang menjadi seorang gadis yang berhati keras, lincah, dan tidak pemalu. "Akupun sudah mendengar dari guruku tentang Resi Bajrasakti yang menjadi gurumu, Linggajaya!"

"Hei, Puspa Dewi, engkau tidak boleh menyebut Linggajaya begitu saja! Dia lebih tua darimu dan dia adalah kakakmu, seharusnya engkau menyebut kakang (kakak) kepadanya!" Nyi Lasmi menegur sambil tersenyum.

Puspa Dewi juga tersenyum. Ia tadi lupa akan kenyataan yang sama sekali tidak diduga-duganya sebelumnya bahwa kini ia menjadi anak tiri Lurah Suramenggala sehingga sekaligus ia juga menjadi adik dari Linggajaya.

Linggajaya tertawa. "Ha-ha, akupun kalau begitu harus menyebutmu adik, akan tetapi aku lebih senang menyebut namamu saja. Namamu begitu indah Puspa Dewi, dan pula, kita ini kakak beradik hanya sebutannya saja, bukan Sebetulnya, tidak ada hubungan darah antara kita!"

Ucapan Linggajaya ini mengandung maksud yang lebih mendalam dan hal ini dirasakan dan diketahui oleh Ki Suramenggala dan semua isterinya. Dengan ucapan itu Linggajaya seolah hendak menyatakan isi hatinya bahwa dia dan Puspa Dewi tidak ada hubungan darah sehingga tidak ada larangan untuk berjodoh dan menjadi suami isteri! Ucapan, sikap dan pandang matanya sudah cukup jelas menunjukkan bahwa dia menaruh hati kepada gadis itu! Akan tetapi Puspa Dewi sendiri, gadis yang masih hijau dan belum ada pengalaman, menganggap ucapan pemuda itu biasa-biasa saja, maka iapun menerimanya dengan senyum wajar.

"Terserah kepadamu, Kakang Lingga. Engkau yang lebih tua, boleh menyebutku apa saja asal jangan menyebut bulik (bibi muda) atau bude (bibi tua)!"

Semua orang tertawa mendengar ucapan Puspa Dewi ini. Ibunya sendiri, Nyi Lasmi, diam-diam merasa heran. Dahulu, lima tahun yang lalu Puspa Dewi adalah seorang anak yang pendiam, akan tetapi sekarang gadis itu selain berubah menjadi seorang yang sakti mandraguna, juga sikapnya begitu berani, lincah jenaka dan tidak malu-malu.

Ki Lurah Suramenggala mengadakan pesta besar untuk menyambut pulangnya linggajaya dan Puspa Dewi, pesta yang meriah dan gembira ria. Dia sama sekali tidak ingat bahwa keluarga para jagabaya yang tewas, sedang tenggelam dalam duka cita yang besar.

********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Sore hari di taman bunga kepatihan Kahuripan. Sore itu sepi di situ. Taman bunga yang indah itu terpelihara baik berkat kesukaan dan ketekunan isteri Patih Narotama akan bunga-bunga yang indah. Mungkin hanya taman-sari istana Sang Prabu Erlangga saja yang dapat menandingi keindahan taman bunga kepatihan. Di tengah taman itu terdapat sebuah pondok mungil dan di sebelahnya ada sebuah kolam ikan yang ditumbuhi bunga teratai merah dan putih.

Pada saat itu, seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun duduk seorang diri di serambi pondok mungil, atas sebuah bangku panjang. Wanita itu berkulit putih kuning mulus, wajahnya mendaun sirih, matanya lebar jernih dengan sinar lembut, hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah dan segar, bentuknya manis.

Gerak geriknya lembut dan pada wajahnya yang ayu manis itu tampak watak yang lembut dan sabar. Rambutnya hitam panjang disanggul rapi dan sederhana. Pakaiannya indah dan rapi, namun baik pakaian maupun perhiasan yang menempel di tubuhnya yang menunjukkan bahwa ia seorang bangsawan, tidak terlalu mewah. Tubuhnya langsing montok, terbayang kesegaran karena sehat.

Akan tetapi wanita itu duduk seorang diri, berulang kali menghela napas menyelingi lamunannya. Ia adalah Listyarini, isteri Ki Patih Narotama yang berasal dari Sukadana, sebuah kota di wilayah Bali-dwipa. Sudah empat tahun lebih ia menjadi isteri Ki Patih Narotama, akan tetapi belum juga dikaruniai seorang anak. Hal ini sebetulnya tidak dirisaukannya benar karena Ki Patih Narotama amat mencintanya.

Akan tetapi ketika kurang lebih dua tahun yang lalu Ki Patih Narotama mengambil Lasmini sebagai selir, Listyarini seringkali merasa duka. Sikap Lasmini kepadanya terkadang amat menyakitkan hati. Lasmini bersikap ramah dan hormat kepadanya di hadapan Ki Patih Narotama, akan tetapi di belakang suami mereka itu, Lasmini sering kali mengejek dan menyindirnya. Apalagi setelah Lasmini mengenalnya dan tahu bahwa ia berasal dari gadis dusun di Bali!

Memang Listyarini dahulu adalah seorang gadis dusun bernama Nogati. Setelah Sang Prabu Erlangga menjadi raja dan Narotama diangkat menjadi patih. Narotama pergi ke Bali untuk menjemput Nogati yang saling mencinta dengannya membawa Nogati ke Kahuripan dan memjadi isterinya. Setelah menjadi isteri Ki Patih Narotama, oleh suaminya nama Nogati diganti menjadi Listyarini agar menghilangkan kesan desanya.

Setelah Lasmini menjadi selir suaminya, sebenarnya Nogati atau yang sekarang bernama Listyarini tidak merasa cemburu. Pada jaman itu bukan hal aneh kalau seorang pria memiliki lebih dari seorang isteri, apalagi seorang yang berpangkat begitu tinggi seperti Ki Patih Narotama. lapun tidak cemburu melihat betapa suaminya tampak amat mencinta Lasmini.

Akan tetapi setelah menjadi selir suaminya selama setahun lebih, mulailah Lasmini memperlihatkan belangnya atau watak aselinya. Lasmini sering mengejek dan menyindirnya, dan mulailah ia merasa khawatir kalau kalau Lasmini dapat mempunyai anak sebaliknya ia tidak. Tentu kedudukannya sebagai garwa padmi (isteri pertama) akan diambil alih oleh Lasmini yang ia lihat amat keras berusaha agar menjadi orang nomor satu di samping Ki Patih Narotama!

Makin dikenang dalam lamunannya. Listyarini menjadi semakin sedih. Ia adalah seorang anak yatim piatu, tiada sanak tiada kadang. Satu-satunya orang yang dekat dengannya, yang menjadi gantungan hidupnya, adalah Ki Patih Narotama yang dicinta dengan segenap jiwanya. Namun, satu-satunya orang inipun agaknya akan direngut lepas darinya oleh Lasmini yang cantik jelita dan pandai merayu, bahkan masih berdarah bangsawan tinggi karena Lasmini adalah puteri dari Ratu Kerajaan Parang Siluman!

Tiba-tiba ada suara orang berdehem di belakangnya. Listyarini cepat menengok dan ternyata Lasmini sudah berada di situ. Selir suaminya itu sudah mandi dan mengenakan pakaian baru yang serba indah dan mewah. Kalau mereka berdua berjajar, orang yang tidak tahu tentu yakin bahwa Lasmini yang menjadi garwa padmi (isteri pertama ) dan Listyarini hanya seorang garwa ampil (selir)!

"Ah, engkaukah itu, yayi (adik) Lasmini" Seperti biasa, Listyarini menyapa dengan halus. "Duduklah!"

Akan tetapi Lasmini tidak duduk melainkan melangkah dan berdiri di depan madunya. Karena Listyarini duduk dan ia berdiri, maka Listyarini lebih rendah dan harus menengadah memandangnya. Dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan meraba kalung barunya yang baru saja ia terima sebagai hadiah dari Ki Patih Narotama, Lasmini berkata sambil tersenyum mengejek.

"Kakang-mbok (kakak) Listyarini, mengapa engkau duduk seorang diri dan melamun di sini? Apakah engkau mengenang masa lalumu ketika engkau masih berada di dusun kecil yang berada di Bali-dwipa itu? Ketika engkau masih nama Ni Nogati sebelum diangkat oleh Kakangmas Narotama menjadi isterinya?" Dalam ucapan itu terkandung ejekan yang amat merendahkan, mengingatkan Listyarini akan masa lalunya sebagai seorang berkasta biasa dan rendah.

Listyarini tentu saja merasakan penghinaan ini, akan tetapi wanita yang halus budi ini sudah terlalu sering mengalami ejekan itu dan ia mengerti bahwa madunya memang sengaja hendak menyakiti hatinya. Pengertian ini membuat ia tersenyum dan sama sekali tidak merasa sakit hati.

"Dugaanmu benar, Lasmini. Memang aku mengenang akan keadaanku ketika masih tinggal di Sukadana, Bali-Dwipa sebagai seorang gadis dusun. Alangkah bahagianya ketika itu, semua orang begitu ramah, rukun dan damai dan akupun saling mencinta dengan Kakangma Narotama yang ketika itu juga seorang muda biasa, bukan bangsawan, dan belum menjadi patih seperti sekarang ini."

Ucapan yang lembut dan terus terang tanpa bermaksud menyerang itu diterima oleh Lasmini dengan muka berubah merah karena ia merasa disindir madunya itu seolah hendak mengatakan bahwa Listyarini saling mencinta dengan Narotama sejak patih itu masih pemuda biasa sebaliknya ia menjadi isteri Narotama setelah dia menjadi patih! Seolah ia mengejar kedudukan!

"Hemm..., sebelum menjadi isteri Kakangmas Narotama, aku adalah puteri Ratu Kerajaan Parang Siluman! Kedudukanku bahkan lebih tinggi daripada Ki Patih Narotama!" Ia balas menyerang.

Merasa betapa dalam suara Lasmini terkandung kemarahan, Listyarini lalu bangkit dari bangkunya dan berkata dengan suara tetap halus, "Maafkan, Yayi Lasmini, aku tidak dapat melayanimu bercakap-cakap lebih lama lagi. Aku ingin mandi dan berganti pakaian sebelum malam tiba."

Setelah berkata demikian, Listyarini lalu meninggalkan taman itu dengan cepat, seolah ia merasa risi berada di dekat Lasmini terlampau lama.

"Jahanam .....!" desis Lasmini lirih dengan geram sambil mengepal tangan kanannya. Ia merasa gemas sekali kepada Listyarini dan ingin sekali membunuhnya. Akan tetapi ia tidak berani melakukan hal itu dengan tangannya sendiri karena kalau hal ini ketahuan Ki Patih Narotama, tentu ia akan celaka.

Lasmini merasa menyesal dan kecewa sekali. Semua rencana yang diaturnya bersama Mandari, pamannya dan ibunya, ternyata mengalami kegagalan. Selama hampir dua tahun ia membiarkan dirinya menjadi selir Ki Patih Narotama. Memang benar suaminya itu seorang pria yang mengagumkan dan diam-diam ia sendiripun jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi suaminya itu adalah musuh besar keluarganya yang harus ia hancurkan dan semua rencana itu tidak berhasil.

Siasat untuk mengadu domba antara Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama belum pernah berhasil. Untuk membunuh Ki Patih Narotama, selain ia merasa sayang dan tidak tega, juga ia merasa ngeri dan takut. Ki Patih Narotama itu terlalu sakti untuk dapat dibunuh begitu saja.

"Awas kau, Listyarini, bersiaplah untuk mampus!" desisnya lagi dan Lasmini lalu cepat meninggalkan taman. Ia memasuki keputren dan memanggil Sarti, pelayan pribadinya.

Sarti ini seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun, seorang kawula Parang Siluman yang sengaja dipanggilnya untuk menjadi pelayan pribadinya. Tentu saja Sarti yang dahulu menjadi pengasuhnya ketika ia masih kecil, merupakan hamba yang setia kepadanya, apalagi wanita itu juga seorang kawula Parang Siluman. Setelah Sarti menghadap kepadanya, Lasmini berkata, "Sarti, cepat kau panggil Nismara ke sini, suruh dia menemui diriku di taman, belakang rumpun bambu gading."

"Baik, gusti puteri." Sarti menyembah dan wanita berusia empat puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah buruk kasar seperti laki-laki itu cepat meninggalkan keputren.

Ia menyelinap dan tak lama kemudian sudah berhasil menemui Nismara, seorang perajurit pengawal kepatihan. Nismara ini berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh pendek gempal (kokoh). Dia seorang perajurit pengawal kepatihan yang sudah lama mengabdi kepada Narotama. Akan tetapi diam-diam dia merasa dendam kepada Narotama karena pernah dalam keadaan mabok menggoda dayang (gadis pelayan) kepatihan.

Perbuatan ini diketahui KI Patih Narotama yang menegurnya dengan keras, bahkan menghukumnya dengan cambukan dan menurunkan pangkatnya. Biarpun pada lahirnya dia menghaturkan terima kasih karena diampuni dan tidak dipecat, namun batinnya menaruh dendam kepada Ki Patih Narotama.

Lasmini yang bermata tajam dan cerdik dapat melihat hal ini dan ia segera mendekati Nismara dan memberinya hadiah-hadiah sehingga sebentar saja perajurit yang berwatak buruk ini tunduk kepada Lasmini dan menjadi anteknya! Ketika mendengar ucapan Sarti, Nismara segera menyelinap ke dalam taman.

Di sudut taman itu terdapat serumpun bambu kuning (gading) dan ketika dia tiba di belakang rumpun bambu gading yang gelap, dia melihat Lasmini sudah berdiri menantinya di situ. Nismara yang mata keranjang itu tergila-gila kepada Lasmini. Akan tetapi sekarang ia selalu gemetar ketakutan kalau berhadapan dengan wanita cantik itu karena pernah Lasmini menghajarnya habis habisan karena dia berani bersikap kurang ajar dan merayu selir Ki Patih ini.

semenjak itu tahulah dia bahwa dia sama sekali bukan lawan wanita yang sakti mandraguna ini. Karena itu pula dia menjadi semakin tunduk, menghormati dan menaatinya karena Lasmini royal sekali memberi hadiah kepadanya.

"Paduka memanggil saya, gusti putri?" tanya Nismara setelah memberi hormat dengan sembah.

"Ada tugas penting sekali untukmu, Nismara." kata Lasmini.

"Perintahkan saja, gusti. Pasti akan saya laksanakan dengan sebaiknya!" jawab Nismara gagah.

Lasmini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik penutup dadanya dan memberikannya kepada Nismara. "Ini adalah sebungkus bubuk racun yang mematikan. Usahakanlah agar engkau dapat memasukkan bubuk racun ini ke dalam cawan tempat minuman Kakangmbok Listyarini."

Nismara membuka matanya lebar lebar sambil memandang bungkusan kecil yang sudah berada di tangannya. "Ta..... tapi....., itu berbahaya sekali, gusti Kalau ketahuan ....."

"Bodoh! Tentu saja jangan sampai ketahuan. Kalau engkau berani menolak engkau akan mati tersiksa hebat. Sebaliknya kalau engkau melaksanakan tugas ini sampai berhasil, hemm..... engkau boleh menemani aku bersenang-senang dalam pondok mungil di taman ini! "

Jantung dalam dada Nismara berdebar kencang. Janji ini jauh lebih mendebarkan dan menggembirakan daripada janji diberi hadiah uang berapapun banyaknya Dia sudah dapat membayangkan betapa dia akan dapat mendekap dan membelai tubuh yang bahenol itu! Ingin dia seketika menerkam tubuh Lasmini dan menciumi wajahnya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani sebelum mendapat ijin dari si empunya tubuh!

"Sendika dawuh paduka, gusti. Saya akan melaksanakannya dengan baik!"

Lasmini melangkah maju menghampiri, lalu tangan kirinya yang bertelapak halus dan berbau harum itu mengusap pipi Nismara seperti membelai mesra. "Nah, pergi dan lakukanlah, Nismara. Kalau engkau berhasil, besok kita bersenang-senang."

Nismara hampir terkulai. Sentuhan lembut pada pipinya itu seperti mengusap hatinya. Untuk belaian itu saja rasanya dia mau melakukan apa saja untuk sang puteri ini!

"Sendika, gusti!" Dia lalu melompat dan pergi dengan jantung masih berdebar-debar, dan seluruh tubuh terasa panas dingin!

Setelah Nismara pergi, Lasmini tersenyum mengejek. Tentu saja ia tidak sudi menyerahkan dirinya kepada laki-laki macam Nismara! la hanya memberi janji untuk mendorong laki-laki bodoh itu agar melaksanakan perintahnya sekuat tenaga. Dan nanti, baik tugasnya itu berhasil atau tidak, Nismara harus mati agar tidak dapat membuka rahasianya!

Sambil tersenyum-senyum membayangkan Listyarini berkelojotan dan mati, Ki Patih Narotama terpukul hatinya dan berduka cita, kemudian ia tentu akan naik kedudukannya menjadi garwa padmi (isteri pertama) sehingga akan lebih banyak mendapat kesempatan untuk melaksanakan siasatnya mengadu domba antara Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga, atau membunuh Ki Patih, atau melakukan apa saja untuk menghancurkan Kahuripan lewat Ki Patih Narotama!

Dengan kepandaiannya yang tinggi, Lasmini lalu diam-diam membayangi Nismara untuk melihat apakah perajurit pengawal itu akan berhasil melaksanakan perintahnya. Sebagai seorang perajurit pengawal, tentu saja Nismara mempunyai kebebasan untuk meronda di semua bagian bangunan kepatihan. Bahkan dia dapat pula meronda sampai di keputren. Ketika dia meronda di keputren, memasuki bagian dapur, hampir saja dia bertabrakan dengnan seorang dayang yang menjadi pelayan pribadi Listyarini.

"Aduh..... eh, kiranya engkau, paman Nismara. Engkau mengejutkan aku, hampir saja aku tertabrak, dan jamu ini tumpah. Aku tentu akan mendapat marah dari Gusti Puteri kalau jamu ini sampai tumpah!" kata gadis pelayan itu.

"Maaf, Tarni, aku tidak sengaja... Lihat, jamunya tertumpah sedikit ke lantai. Hayo bersihkan, jangan sampai nanti gusti puteri terpeleset kalau lewat di sini. Untuk siapakah jamu ini?"

"Untuk siapa lagi kalau bukan untuk gusti puteri Listyarini?"

"Apakah beliau sakit?" tanya Nismara sambil mendekati secawan jamu yang diletakkan di atas meja kecil yang terdapat di depan dapur karena dayang itu harus membersihkan lantai yang terkena sedikit air jamu yang tumpah.

"Hemm, apakah seorang puteri harus sakit dulu untuk minum jamu? Setiap hari sang puteri minum jamu untuk menjaga kesehatan dan kecantikannya!" kata Tarni, gadis pelayan yang berusia kurang lebih sembilan belas tahun itu.

Setelah membersihkan lantai, Tarni mengambil cawan berisi jamu yang tadi diletakkan di atas meja, lalu membawanya ke kamar Puteri Listyarini, sama sekali tidak tahu bahwa tadi Nismara mempergunakan kesempatan itu untuk memasukkan bubuk racun dari bungkusan itu ke dalam cawan berisi jamu. Setelah berhasil memasukkan racun itu, Nismara melanjutkan perondaan dengan hati berdebar tegang.

Tarni mengetuk pintu kamar Listyarini dan setelah diperkenankan masuk, ia memasuki kamar itu sambil membawa cawan berisi jamu. Listyarini sudah mandi dan berganti pakaian. Melihat jamu dalam cawan yang diletakkan Tarni di atas meja, Listyarini lalu mengambilnya dan seperti biasa tiap malam, ia minum jamu itu dengan tenang. Jamu itu pahit dan berbau harum sehingga kalau ada rasa lain memasukinya, tidak akan terasa karena kalah oleh rasa pahit jamu itu.

Akan tetapi begitu jamu itu terminum habis, Listyarini melepaskan cawan yang jatuh berkerontangan di atas lantai, kemudian wanita itu mengaduh dan terkulai roboh di atas lantai! Melihat ini, Tarni terkejut, menubruk dan melihat Listyarini menggeliat kesakitan, ia menjadi ketakutan dan berlari keluar dari kamar itu sambil berteriak-teriak.

"Tolooonggg ..... toloonggg .....!"

Akan tetapi pada saat itu, sebatang pisau dapur yang runcing melayang dan menancap di dadanya. Gadis pelayan itu menjerit dan roboh, tewas seketika. Sesosok bayangan berkelebat. Itulah Lasmini yang tadi mengambil pisau dapur itu dan diam-diam membayangi Tarni Setelah melihat Listyarini roboh dan Tarni berlari keluar kamar sambil menjerit-jerit, ia cepat melontarkan pisau itu yang membunuh Tarni.

Teriakan Tarni sebelum roboh tadi mengejutkan Ki Patih Narotama yang sedang berjalan menuju ke keputren. Dia cepat melompat ke arah dari mana datangnya jeritan itu. Juga para pelayan wanita berhamburan keluar dan melihat Tarni menggeletak mandi darah, Ki Patih Narotama yang mengenalnya sebagai dayang pelayan pribadi Listyarini, cepat memasuki kamar isterinya yang pintunya terbuka itu. Melihat Listyarini menggeletak di atas lantai, Ki Patih Narotama cepat menubruknya. Wanita itu pingsan dan wajahnya kebiruan.

Sekali pandang saja tahulah Narotama bahwa sterinya keracunan. Cepat dia memondong tubuh isterinya, dibawa lari memasuki kamarnya sendiri dan segera dia mengambil Tongkat Tunggulmanik. Tongkat berwarna hitam ini merupakan sebatang tongkat wasiat yang dapat dipergunakan sebagai obat penawar racun yang ampuh sekali.

Ki Patih Narotama cepat menggunakan tongkat pusaka itu, digosok-gosokkan di seluruh tubuh Listyarini, terutama di bagian perutnya. Selagi dia melakukan pengobatan itu, Lasmini berlari memasuki kamarnya. Kalau para abdi tidak berani memasuki kamar itu tanpa dipanggil, tentu saja Lasmini berani.

"Ah, apakah yang terjadi, kakangmas? Kenapa kakangmbok Listyarini?" tanya Lasmini sambil duduk di tepi pembaringan melihat betapa dengan penuh perhatian dan kasih saying Narotama menggosok-gosokkan tongkat pusaka hitam itu ke tubuh Listyarini. Dengan matanya yang cerdik, Lasmini mendapatkan kenyataan yang amat mengecewakan hatinya. Jelas sekali tampak olehnya yang ahli dalam hal racun bahwa Listyarini tertolong oleh pengobatan menggunakan tongkat pusaka itu. Warna kebiruan pada tubuh Listyarini sudah mulai menipis dan sebentar lagi saja Listyarini tentu akan terbebas sama sekali dari pengaruh racun.

"la keracunan dan abdinya dibunuh orang! Entah siapa yang melakukan perbuatan jahat dan keji itu. Diajeng Lasmini, cepat pergunakan kepandaianmu untuk menyelidiki siapa pelaku kejahatan ini, mungkin dia masih berada di dalam gedung kepatihan. Cari dan tangkap dia" kata Narotama.

"Baik, kakangmas!" kata Lasmini dan sekali berkelebat ia telah keluar dari kamar itu. Beberapa lama kemudian masuk kembali ke kamar itu. Ia melihat betapa keadaan Listyarini sudah jauh lebih baik, bahkan wanita itu telah sadar dari pingsannya.

"Bagaimana, diajeng?" tanya Narotama.

Lasmini duduk di tepi pembaringan. "Sudah kucari, akan tetapi aku tidak menemukan jejaknya. Setelah kuperiksa keadaan gadis pelayan itu, kulihat bahwa pembunuhnya tentu seorang biasa saja. dia menggunakan pisau dapur kepatihan sini untuk membunuh pelayan itu."

Dengan suara masih lemah, Listyarini yang sudah diberi tahu suaminya bahwa Tarni dibunuh orang, bertanya, "Akan tetapi..... mengapa penjahat itu membunuh Tarni? la tidak mempunyai kesalahan apapun, bahkan tidak pernah berhubungan dengan orang luar, sikapnya juga baik terhadap semua keluarga dan abdi yang berada di kepatihan."

Narotama menghela napas. "Sama anehnya dengan orang yang hendak meracunimu, diajeng! Engkau juga tidak pernah mempunyai musuh!"

"Hemm, kalau kakangmbok hendak dibunuh, hal itu tidak mengherankan mengingat bahwa paduka tentu mempunyai banyak musuh, kakangmas. Bisa saja dendam kepada paduka ditumpahkan kepada kami, keluarga paduka. Dan tentang Tarni, mungkin saja pelayan itu mengenal orang yang hendak meracuni kakangmbok Listyarini, maka ia bunuh."

Narotama mengangguk-angguk. "Hemmnn, kurasa pendapatmu itu tepat sekali, diajeng Lasmini."

Akan tetapi Lasmini melihat betapa sinar mata Listyarini memandang penuh kecurigaan, la segera berkata, "Kakangmas, keadaan kakangmbok Listyarini masih lemah, agaknya hawa racun belum bersih benar dari tubuhnya, Aku mengetahui cara pengobatan untuk mengusir semua sisa hawa beracun itu.

"Kalau begitu, lakukanlah, diajeng" kata Narotama.

"Kakangmbok Listyarini, telentanglah, biar aku mengobatimu sampai sembuh benar." kata Lasmini kepada madunya yang rebah miring.

Listyarini tampak meragu dan memandang suaminya.

Narotama mengangguk. "Menurut sajalah, diajeng. Diajeng Lasmini tentu dapat menyembuhkanmu secara tuntas."

Listyarini lalu menelentangkan tubuh, Lasmini meletakkan kedua telapak tangannya ke atas perut madunya, mengerahkan tenaga sakti dari Aji Ampak-Ampak. Listyarini merasa betapa kedua telapak tangan madunya itu dingin sekali. Hawa dingin memasuki perutnya dan dia merasa nyaman sekali. Rasa panas yang tadi mengganggunya perlahan-lahan lenyap dan saking nyamannya, Listyarini lalu tertidur!

Lasmini menghentikan pengobatannya. Narotama memeriksa denyut jantung isteri pertamanya dengan meraba lehernya. Dia merasa lega. Denyut itu menunjukkan bahwa isterinya telah benar-benar sehat kembali dan kini tertidur pulas.

Narotama tersenyum, lalu merangkul dan mencium bibir Lasmini yang selalu menantang setiap kali selir itu memandangnya. "Terima kasih, diajeng. la telah sehat kembali."

Lasmini yang amat kecewa itu dapat memperlihatkan wajah yang gembira, turun dari pembaringan. "Kakangmas, saya hendak melanjutkan penyelidikan, mudah-mudahan dapat membongkar rahasia ini dan menemukan pembunuh itu."

"Baik, diajeng. Kuhargai sekali bantuanmu." Kata Narotama.

Peristiwa itu membangkitkan rasa cinta Narotama kepada Listyarini, perasaan cinta yang tadinya agak mengurang, karena semua berahinya dikuasai oleh Lasmini yang pandai menyenangkan dan menggairahkan itu. Mulai malam itu sampai malam-malam berikutnya, Narotama menahan Listyarini agar tidur dikamarnya untuk menjaga dan melindungnya.

Tiga bulan kemudian setelah peristiwa pembunuhan itu. Malam terang bulan. Taman kepatihan sunyi sekali, akan tetapi di belakang rumpun bambu gading itu Lasmini bicara berbisik-bisik dengan Nismara yang bertubuh pendek.

"Sebetulnya sudah sejak dulu seharusnya engkau kubunuh! Masih ingin mengharapkan hadiah dariku? Engkau bodoh, tolol! Kegagalan karena ketololanmu itu bahkan mendatangkan kerugian yang amat besar kepadaku!"

"Ampun, gusti puteri. Sebetulnya hamba sudah berusaha sebaik mungkin." kata Nismara merendah.

"Berapa kali engkau mengatakan begitu! Akan tetapi kenyataannya, engkau sembrono, bodoh dan tolol. Semestinya engkau tidak memperlihatkan diri kepada Tarni itu. Kalau Tarni tidak kubunuh, tentu ia akan menceritakan pertemuannya denganmu dan apa kau kira Ki Patih Narotama begitu bodoh? Engkau tentu akan ditangkap dan dihukum mati! Sialan, karena ketololanmu, sekarang kakangmbok Listyarini malah hamil!" Lasmini marah sekali sehingga biarpun ia bicara berbisik, suaranya seolah menghujam kehati Nismara.

"Akan tetapi..... gusti puteri apa hubungannya kehamilan itu dengan kegagalan hamba...?

"Dasar tolol, goblok! Kalau engkau tidak terlihat oleh Tarni, kalau Listyarini minum jamu itu seorang diri di kamarnya, tentu ia sudah mampus karena tidak ada yang tahu. Akan tetapi karena kesalahanmu, Tarni melihat Listyarini roboh dan ia menjerit-jerit sehingga Ki Patih Narotama keburu datang menyelamatkannya! Kemudian, karena pengaruh racun dari pengobatannya itu mendatangkan kesuburan dalam guwagarba Listyarini dari semenjak itu, Ki Patih Narotama selalu menemaninya di waktu malam, maka kini Listyarini hamil. Goblok kau!"

"Aduh, gusti puteri. Hamba tidak mengira akan begini jadinya. Hamba kira gusti ayu Listyarini akan tewas seketika setelah minum jamu yang diberi racun itu."

"Sudah! Sekarang engkau harus menebus kesalahanmu!"

"Menebus ..... bagaimana ....., gusti puteri...?" tanya Nismara dengan muka pucat.

Sungguh sial. Dahulu ia sampai bermimpi menerima hadiah Lasmini, dapat membelai tubuh menggairahkan itu dan menikmatinya. Tidak tahunya sekarang ia malah diancam dan mendapat makian setiap kali bertemu dengan sang puteri. Masih untung bahwa sampai sekarang, hampir tiga bulan semenjak terjadinya peristiwa itu, dia belum dibunuh. Akan tetapi agaknya sekarang saatnya tiba, maka tubuhnya sudah menggigil ketakutan.

"Engkau harus menebus kesalahan dan kegagalanmu yang dulu dan sekarang aku tidak ingin melihat engkau gagal lagi. Engkau harus membunuh Listyarini!"

Nismara terbelalak. "Akan tetapi ..... bagaimana caranya, gusti puteri?"

"Begini. Sudah menjadi kebiasaan Listyarini untuk duduk-duduk di bangku dekat pondok di taman ini. Biasanya, ia  datang di sini seorang diri saja. Ia ditemani Ki Patih Narotama hanya di waktu malam. Nah, saat sore di waktu ia seorang diri duduk di taman ini merupakan kesempatan yang amat baik. Kau tangkap Listyarini, lalu kau bawa ia pergi, culik ia dan bawa lari keluar dari kota raja. la kuserahkan kepadamu seluruhnya. Kau boleh perkosa ia, boleh mempermainkannya sesuka hatimu. Kalau engkau sudah puas, kau bunuh ia!"

Wajah Nismara menjadi semakin pucat. "Akan tetapi..... Gusti Patih tentu akan marah sekali. Kalau hamba dikejarnya dan tertangkap, celakalah hamba"

"Jangan khawatir, aku telah mempersiapkan semua. Setelah berhasil membunuh Listyarini, engkau larilah ke selatan. Setelah tiba di perbatasan Kerajaan Parang Siluman, orang-orangku akan menyembunyikan engkau di sana dan Ki Patih Narotama tidak akan pernah dapat menemukanmu. Aku tanggung hal itu!"

"Tapi ..... tapi ....." Nismara masih ragu dan takut.

"Sekarang pilih saja. Engkau menerima tugas ini dan mendapatkan kesenangan, menikmati Listyarini yang cantik jelita. Apakah engkau tidak melihat betapa cantik wajahnya dan betapa menggairahan tubuhnya? Selain itu, kalau engkau berhasil membunuhnya, engkau akan kuberi hadiah banyak sekali dan mungkin kelak akan kuberi kedudukan tinggi di Kerajaan Parang Siluman. Sebaliknya, kalau engkau tidak mau melaksanakan perintahku itu, sekarang juga engkau akan kusiksa dan kubunuh!"

Tiada lain pilihan bagi Nismara. Apa lagi, nafsu berahinya sudah bangkit ketika dia membayangkan kejelitaan Listyarini dan ia percaya bahwa Lasmini akan melindunginya seperti yang telah dilakukan Lasmini ketika membunuh Tarni agar ia tidak sampai dicurigai.

"Baiklah, gusti puteri. Akan hamba laksanakan perintah itu."

Lasmini menjadi girang sekali. "Engkau siap-siap saja. Pekerjaan ini mudah bagimu. Listyarini adalah seorang wanita lemah. Tentu engkau akan dapat menculiknya dengan mudah tanpa ada perlawanan yang berarti. Cegah jangan sampai ia dapat menjerit. Aku akan melakukan pengamatan dan setelah kuanggap saatnya yang tepat tiba, aku akan memberi isarat kepadamu. Mulai hari ini setiap kali Listyarini seorang diri memasuki taman, engkau harus sudah siap di sana. Kalau sampai engkau melalaikan tugas ini, kepalamu akan menjadi seperti ini." Lasmini menggerakkan tangan kirinya ke arah sebuah batu besar.

"Darr!" Batu itu pecah berantakan, kepingannya bertebaran. Nismara memandang dengan muka pucat. Dia sendiri adalah seorang perajurit pengawal kepatihan yang cukup sakti. Kalau hanya menghadapi pengeroyokan lima orang lawan saja dia masih sangup menang. Akan tetapi melihat tamparan tangan mungil itu sedemikian hebatnya, tubuhnya menggigil, hatinya penuh kengerian.

Sambil tersenyum manis Lasmini lalu mengeluarkan sebuah kantung kecil berwarna merah dari balik bajunya, dari belahan sepasang payudaranya. Kantung itu berisi kepingan-kepingan emas.

"Terimalah ini untuk biaya perjalananmu ke selatan." katanya sambil melemparkan kantung merah itu kepada Nismara.

Perwira perajurit itu menangkap kantung kecil, menciumnya dengan penuh gairah mengingat benda itu tadi diambil dari antara payudara yang membusung indah. Dia mencium keharuman melati yang membuat dia memejamkan matanya.

"Sudah, pergilah!" Lasmini menghardik akan tetapi sambil tersenyum geli.

"Sendika dawuh! Baik, gusti puteri!" kata Nismara lalu dia melompat dan menghilang di antara pohon-pohon.

Demikianlah, mulai hari itu, dua orang yang mempunyai rencana keji itu setiap hari melakukan pengintaian. Nismara menunggu isarat dan Lasmini menanti datangnya kesempatan baik. Selama beberapa bulan akhir-akhir ini hati Ki Patih Narotama selalu merasa tidak enak. Terkadang berdebar-debar tak menentu.

Terkadang dia merasa gelisah tanpa sebab tertentu. Bahkan sejak terjadinya peristiwa percobaan pembunuhan dengan racun atas diri Listyarini, dia selalu menduga-duga siapa gerangan orang yang ingin membunuh isterinya itu. Dia tidak percaya bahwa rencana pembunuhan itu diatur oleh mendiang Tarni yang merupakan dayang pribadi kepercayaan isterinya. Tentu ada seorang musuhnya yang mengatur semua itu. Sayang dia tidak dapat menemukan orangnya.

Akan tetapi dalam peristiwa yang hampir merengut nyawa istrinya itu Narotama mendapatkan hikmat dan berkah yang amat besar. Buktinya, kini Listyarini mengandung! Hal yang sudah lama mereka idam-idamkan. Dia memang ingin sekali mempunyai keturunan dari Listyarini. Dia tidak ingin mempunyai keturunan dari Lasmini. Bukan karena dia kurang mencinta selir jelita itu.

Akan tetapi dia dapat merasakan bahwa cinta antara dia dan Lasmini hanyalah cinta yang sepenuhnya mengandung birahi semata. Jiwa mereka tidak pernah bersentuhan. Hanya tubuh mereka yang saling bermesraan, saling membutuhkan saling menikmati dan saling dipuaskan.

Dia merasa bahwa secara batiniah, tidak ada keserasian antara dia dan Lasmini. Karena itu, dia dengan kebijaksanaan dan kesaktiannya, selalu menjaga agar hubungan badan mereka tidak membuahkan keturunan.

Perasaan hati yang selalu tidak enak ini membuat Narotama bersikap hati hati sekali. Kepekaannya itu mengisaratkan kepadanya bahwa ada sesuatu yang mengancam dirinya atau diri Listyarini, isterinya. Oleh karena itu dia selalu waspada, apalagi kalau isterinya berada seorang diri.

Sore itu udara tidak dapat dibilang gerah. Bahkan agak muram karena mendung tebal bergantung rendah di bagian barat. Terdengar bunyi guntur bergema di kejauhan, seperti bergulung-gulung marah. Namun karena jauhnya, maka hanya kadang saja tampak kilatan cahaya halilintar menembus awan mendung yang hitam.

Hampir semua orang yang berada di luar rumah memandang ke arah barat. Mereka mengharapkan hujan turun karena sudah dua minggu lebih tidak ada hujan sedangkan sawah ladang membutuhkan air. Akan tetapi seorang kakek yang melihat betapa angin sore hari itu bertiup kuat dan awan mendung itu terbawa angin menuju ke barat, semakin menjauh dari kepatihan, menggeleng kepala dan menghela napas kecewa. Agaknya, sore dan malam hari itu daerah kepatihan masih belum mendapatkan bagian air hujan yang amat dibutuhkan itu...


BERSAMBUNG KE JILID 11


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.