CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO
KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 11
Listyarini keluar dari pintu belakang gedung kepatihan. Ia sudah mandi dan berganti pakaian, la tampak segar dan ayu. Kehamilannya belum tampak benar, perutnya belum tampak menggendut, hanya pinggangnya tidak begitu ramping dan pinggulnya menjadi montok dan penuh. Namun, bagi orang yang biasa melihat ciri wanita hamil, cahaya berseri pada wajahnya itu sudah cukup menunjukkan bahwa Listyarini sedang menjadi seorang calon ibu, walaupun kandungannya masih muda, baru sekitar satu bulan lebih.
Dengan langkah perlahan Listyarini memasuki taman kepatihan. Taman itu terawat baik, dapat dilihat dari tumbuh-tumbuhan yang subur, kembang-kembang hampir semua berbunga. Ia paling suka menanam bunga mawar beraneka warna dan dengan teliti ia melihat apakah tanah di bawah semua tanaman bunga kesayangan itu basah, tanda mendapatkan siraman setiap hari.
Sama sekali Listyarini tidak pernah menduga bahwa sejak kakinya melangkah memasuki taman, ada dua pasang mata nengikuti setiap langkahnya dari tempat tersembunyi. Dengan penuh perhatian dan rasa sayang, Listyarini memperhatikan setiap pohon mawar, membuang daun yang mengering dan bunga yang sudah rontok agar kuncup-kuncup muda yang lain mendapat kesempatan dan rangsangan untuk mekar semerbak menggantikan kemegahan bunga-bunga yang sudah rontok dan layu.
Diam-diam Lasmini merasa girang sekali. Inilah kesempatan terbaik, pikirnya. Cepat ia lalu memberi isarat kepada Nismara untuk bersiap-siap melaksanakan apa yang telah lama ia rencanakan. Sekali ini ia dan Nismara pasti berhasil, harus berhasil. Keberhasilan membunuh Listyarini mendatangkan banyak keuntungan baginya. Pertama, kebencian dan ke iri hatiannya terhadap wanita isteri ki patih itu terpuaskan, kedua hal itu akan menghancurkan perasaan hati Ki Patih Narotama dan ke tiga setelah Listyarini mati, maka akan mudah baginya untuk menjadi garwa padma sang patih sehingga ia akan lebih leluasa melaksanakan tugas dan kewajibannya yang telah direncanakan.
Kini Listyarini sudah bergerak melangkah semakin mendekati pondok kecil yang terletak di tengah taman, seolah seekor kelinci yang tanpa disadarinya semakin mendekati moncong harimau yang sudah lama menantinya di tempat persembunyiannya. Harimau dalam ujud seorang laki-laki, Nismara, yang mendekam dan menanti dengan sepasang mata mencorong penuh nafsu bagaikan seekor harimau yang sudah membayangkan betapa akan sedapnya daging lunak dan darah hangat kelinci yang akan dirobek-robeknya.
Melihat wajah ayu manis merak ati, tubuh yang sintal dan denok itu melenggang dengan langkah yang membuat tubuh itu bergoyang-goyang indah seperti menari, berulang kali Nismara menelan air liurnya. Dalam benaknya sudah dia bayangkan semua kenikmatan yang akan dapat direguknya. Mendekap tubuh seperti itu! Tidak, dia tidak akan segera membunuh Listyarini. Terlalu sayang kalau dibunuh begitu saja. Dia akan menangkapnya dan melarikannya keluar dari kepatihan dan akan bersenang-senang sepuas hatinya. Bahkan kalau perlu, perempuan ini tidak akan dibunuhnya, melainkan diambilnya sebagai teman hidup, sebagai penghibur dan pusat kesenangan!
Listyarini kini tiba di luar pondok, lalu membuka pintu pondok yang tidak terkunci, membiarkan daun pintu itu terbuka lalu memasuki pondok. Akan tetapi baru saja ia duduk diatas sebuah dipan untuk beristirahat karena taman itu cukup luas dan perjalanan dari gedung kepatihan sampai pondok di tengah taman itu cukup jauh.
Tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang berkelebat dan melompat memasuki pondok. Tahu-tahu Nismara telah berdiri didekat pembaringan, bertolak pinggang sambil menyeringai menyeramkan!
Listyarini yang tadinya terkejut sekali kini memandang heran ketika mengenal siapa orang yang menyelonong masuk seperti itu. la segera bangkit berdiri dan memandang kepada Nismara dengan alis berkerut.
"Nismara! Apa maksudmu masuk kesini dengan sikap seperti ini?"
Merasa aman dan yakin bahwa di situ tidak ada bahaya baginya, apalagi dia merasa yakin pula bahwa diam-diam Lasmini tentu akan melindunginya, Nismara tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Listyarini wong denok ayu, Sudah lama aku merindukan dirimu dan sekarang engkau harus pergi bersamaku dan menjadi isteriku. Marilah, manis, mari kupondong!"
Listyarini semakin terkejut. Wajahnya berubah merah karena marah. "Nismara keparat! Berani engkau bersikap kurang ajar seperti ini? Kalau gustimu patih mengetahui, tentu engkau akan dihukum berat! Pergilah dan jangan mengganggu aku!"
"Ha-ha-ha, aku tidak takut. Tidak ada seorangpun dapat menghalangiku!" Nismara menghampiri dan siap untuk menubruk wanita itu.
Listyarini memang seorang wanita lemah yang tidak memiliki aji kanuragan. Akan tetapi ia adalah isteri seorang sakti dan iapun terpengaruh suaminya, memiliki ketabahan dan keberanian. Ketika tadi memasuki taman, ia membawa sebatang pisau yang tadi ia pergunakan untuk membersihkan tanaman bunga dan untuk memotong tangkai tangkai yang layu. Kini, ia mencabut pisau yang diselipkannya di ikat pinggang dan dengan pisau itu ia menyambut Nismara yang menubruknya.
Akan tetapi, apa artinya serangan seorang wanita lemah seperti Listyarini. hanya mempergunakan sebatang pisau dapur, terhadap perwira perajurit pengawal seperti Nismara? Dengan mudah dia menangkap pergelangan tangan kanan wanita itu dan sekali cengkeram, Listyarini menjerit dan pisaunya terlepas dari genggamannya. Sambil tertawa-tawa Nismara lalu menangkap kedua lengan wanita itu dan memondongnya. Listyarini meronta dan menjerit.
"Toloonggg .....!"
Akan tetapi jeritnya terhenti seketika karena Nismara menekan tengkuknya dan wanita itu terkulai pingsan di atas pundak Nismara yang memanggulnya dan membawanya keluar dari pondok itu. Menurut gelora nafsu berahinya, ingin ia memperkosa wanita itu di tempat itu juga, akan tetapi dia merasa ngeri kalau-kalau akan muncul Ki Patih Narotama. Maka dia ingin membawa wanita itu cepat-cepat pergi jauh meninggalkan kepatihan menuju ke tempat aman.
Pada saat itu, tak jauh dari pondok itu Lasmini sedang mengintai dan hatinya merasa gembira sekali melihat betapa Nismara telah menyerbu masuk ke dalam pondok. Akan tetapi ia terkejut juga mendengar jerit suara Listyarini.
"Goblok .....!" la memaki, marah karena menganggap Nismara bodoh sekali memberi kesempatan kepada Listyarini untuk mengeluarkan jeritan. Dengan hati khawatir ia melihat ke kanan kiri, kalau-kalau suara jeritan pendek yang cukup melengking itu menarik perhatian orang lain. Dan benar saja, ia melihat dua orang laki-laki datang berlarian kearah situ. Mereka adalah dua orang tukang kebun yang biasa mengurus taman. Diam-diam Lasmini mengutuk. Sialan pikirnya, padahal menurut perhitungannya, biasanya pada waktu sore seperti itu dua orang tukang kebun itu tidak pernah bekerja di taman. Kenapa begitu kebetulan mereka sekarang berada di situ dan agaknya mendengar jeritan suara Listyarini?
Yang sial adalah dua orang tukang kebun itu. Mereka mengadakan pemeriksaan ke dalam taman karena mengira akan turun hujan sehingga mereka hari mempersiapkan segalanya agar taman jangan menjadi rusak oleh membanjirnya air hujan. Ketika dengan lapat-lapat mereka mendengar jerit wanita, mereka lalu berlari menuju kepondok.
Akan tetapi, dalam perjalanan itu, tiba-tiba saja dua buah batu sebesar kepala mereka meluncur dan menghantam kepala mereka. Tanpa dapat mengeluarkan teriakan lagi dua orang tukang kebun itu tersungkur roboh dan tewas seketika dengan kepala pecah! Lasmini memang cerdik sekali. Ia tidak mau membunuh dua orang itu dengan menggunakan aji pukulannya yang ampuh, karena kalau hal itu ia lakukan, Ki Patih Narotama tentu akan mengenal aji itu dan rahasianya akan terbuka.
Akan tetapi, pada saat itu, kebetulan Lasmini menoleh ke belakang, ke arah gedung kepatihan dan wajahnya mendadak nenjadi pucat sekali. Dia melihat sesosok bayangan berkelebat seperti terbang dan segera, mengenal bahwa itu adalah bayangan Ki Patih Narotama sendiri.
"Celaka .....!" Lasmini berbisik dalam hati. Akan tetapi dasar ia seorang yang amat cerdik, ia sudah dapat membuang kegugupannya, bahkan kini ia berlagak menyambut suaminya itu.
"Kakangmas..... celaka..... sesuatu yang hebat telah terjadi.....!" katanya setelah bertemu dengan Ki Patih Narotama yang menghentikan larinya.
Patih Narotama tadi berlari cepat memasuki taman setelah mendengar dari para dayang bahwa Listyarini seorang diri berjalan-jalan dalam taman. Hatinya merasa khawatir dan dia cepat berlari menyusul.
"Diajeng Lasmini! Apa yang terjadi.....?
"Saya ..... saya tidak tahu, kakangmas Tadi saya memasuki taman dan melihat dua orang tukang kebun menggeletak dengan kepala pecah dan sudah tewas!"
"Di mana mereka?"
"Di sana, mari!" Mereka berdua berlompatan dan dengan cepat sudah tiba di tempat di mana dua orang tukang kebun itu menggeletak tak bernyawa lagi. Ki Patih Narotama memeriksa sebentar. Darah yang mengalir keluar dari kepala-kepala yang pecah itu masih segar.
"Hemm, baru saja dibunuh. Pembunuhnya tentu masih berada di taman. Tapi ..... Listyarini .....! Di mana ia .....?"
"Saya tidak tahu, kakangmas. Ketika memasuki taman, saya tidak melihatnya dan baru tiba di sini, saya melihat dua orang ini. Ketika melihat kakangmas berlari memasuki taman, saya cepat menyongsong dan memberitahukan. Mari kita mencari Kakangmbok Listyarini!"
Lasmini mendahului suaminya, melompat dan lari menuju pondok. Tentu saja ia tersenyum dalam hatinya karena tahu benar bahwa Nismara sudah lama membawa lari Listyarini dari dalam pondok itu. Keduanya memasuki pondok. Tidak ada siapapun di sana. Juga tidak tampak adanya bekas-bekas kekerasan. Akan tetapi Ki Narotama membungkuk dan nengambil sebatang pisau yang menggeletak di atas lantai, dekat dipan.
"Hemm, pisau apakah ini? Milik siapa?" Dia bertanya sambil mengamati pisau itu. Lasmini mengambil pisau itu dari tangan suaminya dan memeriksanya.
"Ini seperti pisau yang biasa dipergunakan para dayang didalam dapur, kakangmas. Hemm, saya kira pisau ini tadi dibawa Kakangmbok Listyarini ke taman untuk memotong kembang dan ranting yang sudah layu, kemudian tertinggal disini. Mungkin sekali ia sudah kembali ke gedung kepatihan!"
"Hemm, mudah-mudahan begitu. Mari kita cari ia di sana!"
Ki Patih Narotama tidak merasa curiga karena tidak melihat ada tanda-tanda kekerasan terjadi di dalam pondok yang kesemuanya masih rapi. Mereka kembali keluar dari pondok dan dengan cepat berlari menuju ke gedung kepatihan. Tentu saja senyum dalam hati Lasmini makin melebar karena ia tahu bahwa kini Nismara tentu sudah dapat lari lebih jauh lagi sehingga takkan mungkin dapat disusul oleh Ki Patih Narotama.
Setelah tiba di gedung kepatihan, dengan selalu diikuti Lasmini, Narotama mencari isterinya. Akan tetapi sia-sia, Listyarini tidak dapat ditemukan dan tidak ada seorangpun dayang tahu kemana perginya garwa padmi ki patih itu. Setahu mereka hanyalah bahwa Listyarini seorang diri memasuki taman membawa sebatang pisau dapur. Narotama berlari lagi memasuki taman, diikuti Lasmini. Kini mereka mencari sambil berteriak-teriak memanggil, bergantian.
"Diajeng Listyarini .....!"
"Kakangmbok Listyarini ......"
Akan tetapi yang menjawab hanya suara gaung gema teriakan mereka. Mereka mencari keluar dan taman, akan tetapi karena tidak menemukan jejak, Narotama menjadi gelisah dan bingung, tidak tahu harus mengejar ke arah mana. Sementara itu, senja telah mulai gelap, malam mulai datang menguasai bumi. Setelah tiba jauh di luar daerah Kerajaan Kahuripan, Narotama mengajak Lasmini untuk mengambil jalan yang menuju ke selatan.
Jantung Lasmini berdebar tegang, karena menurut seperti yang telah direncanakan, Nismara yang melarikan Listyarini tentu juga mengambil jalan itu. Dan betapapun cepat larinya Nismara, kalau Narotama melakukan pengejaran yang arahnya tepat, akhirnya Nismara tentu akan tersusul! Akan tetapi otaknya yang cerdik sudah membuat ia mengambil sikap yang amat tepat. Ia berlutut, menyembah dan merangkul kedua kaki Narotama sambil menangis!
Narotama cepat merangkul dan mengangkat bangun selirnya itu. "Adinda Lasmini, apa yang kaulakukan ini? Apa artinya ini?"
"Aduh kakangmas pujaan hamba .... tidak tahukah paduka betapa remuk redam, betapa hancur luluh hati hamba biarkan paduka untuk mengejar penjahat yang menculik kakangmbok ke selatan? Aduh kakangmas sesembahan hamba, mengapa hati kakangmas begitu tega kepada hamba, menjatuhkan fitnah keji kepada hamba dan keluarga hamba?” Lasmini berkata di antara tangisnya.
"Diajeng Lasmini!" kata Narotama dengan alis berkerut dan memandang wajah selirnya di keremangan malam yang hanya diterangi bulan sepotong. "Aku mengajak engkau mengejar penculik Listyarini untuk menyelamatkannya dari marabahaya Aku sama sekali tidak pernah menduga atau mengatakan bahwa pelaku penculikan adalah keluargamu. Mungkin saja penjahat itu melarikan diri ke arah selatan sana! Jangan berkesimpulan yang bukan-bukan!"
Lasmini sudah tidak menangis, akan tetapi ia membiarkan dirinya didekap Narotama dan ia menyandarkan kepalanya yang semerbak harum melati itu didada suaminya.
"Akan tetapi, kakangmas. Semua orang tahu belaka bahwa di selatan sana termasuk wilayah Kerajaan Parang Siluman dimana ibu kandung hamba, Sang Ratu Durgakumala menjadi penguasanya. Penculik itu tentu mengetahui pula bahwa hamba, puteri Parang Siluman, telah menjadi garwa paduka. Bagaimana mungkin dia membawa lari Kakangmbok listyarini ke sana? Sama saja dengan ular menghampiri penggebuk. Kalau paduka melakukan pengejaran memasuki wilayah Kerajaan Parang Siluman, bukankah itu berarti bahwa paduka mencurigai kanjeng ibu ratu dan keluarganya? Tidak, kakangmas, paduka tidak boleh mengejar dalam wilayah Parang Siluman. Hamba malu, kakangmas, malu kepada kanjeng ibu, malu kepada kanjeng rama, malu kepada kanjeng paman yang juga guru hamba, malu kepada seluruh keluarga dan kawula Parang Siluman."
Narotama termenung sejenak. Ah..betulnya juga ucapan yang keluar mulut selirnya yang diseling isak tangis itu. "Hemm, diajeng Lasmini, semua tuturmu itu dapat kuterima dan memang benarnya. Akan tetapi, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa Listyarini diculik orang memasuki daerah Parang Siluman?"
"Kakangmas, kalau sampai terjadi seperti itu, kalau kemudian ternyata bahwa penjahat itu melarikan Kakang mbok Listyarini ke dalam daerah Parang Siluman dan menyembunyikannya di sana, hamba mempertaruhkan nyawa ini. Hamba siap dipenggal leher hamba sebagai pertanggunan jawab. Akan tetapi sebaliknya, kakangmas, kalau sekarang paduka bersikeras untuk mengejar sampai memasuki perbatasan Parang Siluman, hamba akan membunuh diri sekarang juga di depan kaki paduka. Tidak kuat hamba menderita aib dan malu karena tidak paduka percaya."
Narotama menghela napas panjang dan mengusap rambut kepala selirnya yang masin dipeluknya itu. "Baiklah, diAjeng. Kalau begitu janji dan tanggung jawabmu, aku tidak akan mengejar kedalam daerah Kerajaan Parang Siluman. Akan tetapi, lalu ke mana aku harus mencari Listyarini? Aku khawatir sekali akan keselamatannya."
"Harap kakangmas menenangkan hati dan jangan khawatir. Hamba dapat memastikan bahwa keselamatan nyawa kakangmbok Listyarini tidak akan terancam bahaya. Hamba yakin bahwa penculik itu tidak akan membunuhnya."
"Bagaimana andika dapat yakin begitu diajeng?"
"Menurut penalaran, kakangmas. Kalau penjahat itu memang berniat membunuh Kakangmbok Listyarini, tentu hal itu sudah dia lakukan dalam taman, seperti juga dia telah membunuh dua orang tukang kebun itu. Kenyataannya bahwa dia tidak membunuh melainkan menculik Kakangmbok Listyarini menunjukkan bahwa dia tidak ingin membunuhnya sehingga masih terdapat harapan bahwa kita akan dapat menemukannya. Hamba akan membantu dengan taruhan nyawa hamba agar kita dapat menemukan kembali Kakangmbok Listyarini."
Narotama merasa lega sekali. Kalau ada selirnya ini yang membantu, dia merasa yakin bahwa dia akan dapat menemukan kembali garwa padminya yang hilang diculik orang itu.
"Aduh, diajeng Lasmini, terima kasih. Kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya. Hatiku sekarang ini merasa risau dan cemas sehingga aku tidak dapat berpikir dengan baik. Kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan sekarang, yayi?"
"Kalau menurut hamba, kakangmas, sebaiknya kita pulang saja dulu. Bagaimanapun juga, hamba yakin Kakangmbok Listyarini tidak akan dibunuh. Kakangmas pulang dulu untuk mencari jalan terbaik. Hamba kira, dengan mengerahkan pasukan yang kita sebar, akan lebih mudah menemukan penculik itu. Juga kita berdua dapat pula melanjutkan pencarian kita. Sekarang, untuk mengejarpun, kita belum tahu ke arah mana penjahat itu lari. Mungkin ke utara, ke timur, atau ke barat. Karena itu, mari kita pulang dulu, menenangkan hati dan merencanakan siasat terbaik untuk mencari Kakangmbok Listyarini."
Dengan hati agak lega Narotama mencium bibir yang mengucapkan kata-kata yang dianggapnya amat bijaksana itu. Mereka lalu bergandengan tangan, berlari cepat kembali ke gedung kepatihan di Kahuripan.
Betapa hebatnya sebuah rencana, betapa telitinyapun rencana itu diatur dan betapa canggihnyapun pelaksanaannya, semua itu belum dapat dipastikan berhasil. Ada Kekuasaan lain yang mutlak menentukan hasil tidaknya sebuah tindakan.
Manusia dengan segala akal budinya boleh merencanakan yang muluk-muluk, namun pada akhirnya manusia harus tunduk kepada Kekuasaan yang menentukan itu. Kekuasaan Ilahi, Kekuasaan Gusti Yang Maha Kuasa, Kekuasaan Sang Hyang Widhi wasa, Pengatur seluruh alam semesta dengan semua isinya!
Demikian pula dengan rencana pembunuhan atas diri Listyarini yang telah diatur dengan sempurna oleh Lasmini. Memang pada mulanya rencana itu tampaknya seperti berhasil baik menurut rencana. Listyarini telah dapat diculik Nismara seperti direncanakan, bahkan Lasmini telah berhasil membujuk Narotama agar tidak melakukan pengejaran ke selatan.
Akan tetapi, hasil kelanjutannya ternyata lain sama sekali seperti yang telah direncanakan. Nismara tidak melarikan diri ke selatan, tidak masuk ke wilayah Kerajaan Parang Siluman. Mengapa demikian? Ternyata Nismara sudah mengenal baik keadaan di Kerajaan Parang Siluman. Dia tahu bahwa kerajaan itu menjadi tempatnya orang-orang yang amat keji dan kejam, orang-orang yang licik dan curang. Kalau dia membawa Listyarini ke sana, jangan-jangan nasibnya menjadi celaka. Bukan tidak mungkin dia akan dicurangi dan dibunuh, sedangkan Listyarini akan dirampas darinya. Tidak, dia tidak akan pergi ke Kerajaan Parang Siluman itu.
Dia kini telah memondong puteri ayu, telah mengantungi banyak emas. Dia telah bebas, boleh pergi ke mana dia suka. Mengapa harus ke Parang Siluman? Kalau Narotama mengejar ke sana, mungkin saja untuk menyimpan rahasia, Ratu Parang Siluman yang cantik akan tetapi keji seperti iblis betina itu akan membunuhnya! Teringat akan kekejaman Lasmini saja dia sudah bergidik. Lebih baik dia membawa Listyarini pergi jauh sekali dari Kahuripan dan Parang Siluman, di tempat jauh dia akan hidup senang dengan sang puteri juwita, tanpa ada yang mengganggu!
Pemikiran inilah yang membuat Nismara tidak jadi lari ke selatan, melainkan lari ke arah barat! Dia memanggul tubuh Listyarini dan melarikan diri kebarat, melalui hutan-hutan dan gunung gunung. Dia tidak berani mengganggu Listyarini karena hatinya selalu dikejar rasa takut dan ngeri. Kini dia tidak hanya melarikan diri dari pengejaran Narotama, akan tetapi juga pengejaran Lasmini yang tentu akan membunuhnya kalau mengetahui bahwa ia lari ke barat, bukan masuk ke wilayah Parang Siluman seperti yang diperintahkan Lasmini. Dan dia malah lebih takut akan pengejaran Lasmini daripada pengejaran Ki Patih Narotama. Dia tahu, Narotama adalah seorang bijaksana dan tidak kejam. Mungkin dia akan dibunuhnya begitu saja. Akan tetapi kalau dia sampai terjatuh ketangan Lasmini, dia tentu akan disiksanya setengah mati!
Karena setiap hari dikejar rasa ngeri dan ketakutan, seolah setiap saat dia mendengar langkah kaki orang-orang yang mengejarnya, Nismara tidak pernah mau mengganggu Listyarini. Apalagi setelah Listyarini tampaknya tidak meronta lagi. Ketika itu dia menurunkan Listyarini dari pondongannya untuk sekadar beristirahat melepas lelah dan menenangkan hatinya yang terguncang rasa takut dan gelisah.
Listyarini kini tidak mau menjerit lagi. la maklum bahwa dirinya tidak berdaya dan ia hanya pasrah kepada Hyang Widhi, setiap saat berdoa semoga Sang Hyang Widhi melindunginya dari pada marabahaya. Melihat Nismara menyeka keringat dari leher dan mukanya, dan melihat wajah itu seperti orang ketakutan, matanya bergerak liar ke sana sini seolah takut melihat orang datang, Listyarini yang dilepas dari pondongan dan kini duduk di atas tanah itu menyapa dengan suara lembut.
"Nismara, katakan saja terus terang, mengapa engkau membawa aku pergi ke tempat ini? Mengapa engkau yang menjadi perwira pasukan pengawal tega menculik aku?"
Sudah beberapa kali pertanyaan diajukan oleh Listyarini selama beberapa hari ini, akan tetapi Nismara tidak pernah mau menjawab. Kinipun dia tidak menjawab, hanya memandang sejenak wajah elok itu lalu menggeleng kepala dan mengalihkan pandang matanya. Entah bagaimana, mungkin karena dihantui rasa takut dan ngeri kalau-kalau dia tertangkap, selama beberapa hari ini seolah semua nafsu berahinya terhadap wanita cantik ini menghilang begitu saja!
"Nismara," kata Listyarini dengan halus. "Aku tahu bahwa selama beberapa hari ini sejak engkau menculik aku engkau bersikap baik sekali padaku, engkau memondongku, memperhatikan keperluanku dan tidak pernah mengangguku. Sebaliknya aku selalu meronta dan melawan, sehingga engkau tentu lelah sekali. Aku berterima kasih kepadamu untuk itu. Akan tetapi, Nismara, aku melawanmu karena aku takut dan tidak tahu mengapa aku kau culik. Kalau engkau memberitahu, tentu aku akan merasa lega dan tidak akan melawan lagi. Aku akan menyerah sehingga perjalanan ini dapat dilakukan lebih lancar dan menyenangkan. Karena itu, katakanlah, Nismara, mengapa kau lakukan semua ini."
"Benar engkau akan menyerah dan tidak melawan atau meronta lagi kalau kuberitahu?" Nismara bertanya.
"Aku bukan orang yang suka berbohong. Apa yang kujanjikan pasti akan kutepati." kata Listyarini.
"Baiklah, akan kuberitahu. Sudah lama ku mengagumimu, Listyarini, bahkan aku tergila gila kepadamu. Aku cemburu kepada Ki Patih Narotama, yang telah memperisterimu, akan tetapi masih begitu murka untuk mempunyai seorang isteri lain, yaitu Lasmini. Puteri dari Parang Siluman itulah yang merencanakan ini semua, menyuruh aku untuk menculikmu dan membawamu pergi, agar ia dapat menjadi garwa padmi Ki Patih Narotama."
Listyarini terkejut, namun tidak merasa terlalu heran karena ia sudah dapat merasakan betapa selir suaminya itu diam-diam membencinya.
"Hemm, jadi ini biang keladinya? Lalu, kenapa engkau melarikan aku sampai sejauh ini dan tidak membunuhku?"
"Membunuhmu? Tidak, Listyarini, aku tidak tega membunuhmu. Aku..... aku cinta padamu. Aku diperintah untu membawa engkau ke Parang Siluman, akan tetapi aku tidak mau karena setibanya di sana engkau pasti dibunuh mereka! Aku tidak ingin engkau dibunuh, maka engkau kularikan sampai di sini. Aku harus melarikan sejauh mungkin sehingga Ki Patih Narotama dan juga Lasmini dan pihak Parang Siluman tidak akan dapat mencari kita. Nah, kuharap mulai sekarang engkau suka menurut dan melarikan diri tanpa melakukan perlawanan."
Listyarini berpikir. Selama orang ini tidak menggangguku, sebaiknya aku menurut agar dia tidak bersikap kasar kepadaku. Akan tetapi, kalau dia hendak berbuat sesuatu yang tidak senonoh, aku akan membunuh diri. Sementara itu, hanya mengharapkan pertolongan dari Sang Hyang Widhi.Maka, lapun mengangguk.
Dengan girang Nismara mengajak ia melanjutkan perjalanan dan ketika mereka melewati sebuah dusun yang cukup ramai, yaitu dusun Kerta, Nismara lalu membeli dua ekor kuda. Biarpun tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan, namun kalau menunggang kuda, Listyarini cukup mahir. Perjalanan dilanjutkan dengan berkuda sehingga lebih cepat dan lancar. Juga bagi Listyarini, tentu lebih leluasa dan enak melakukan perjalanan menunggang kuda daripada dipondong oleh Nismara.
Mereka mendaki Gunung Lawu dari sisi timur. Pada suatu pagi tibalah mereka di lereng Gunung Lawu. Pemandangan alamnya amat indah dan tempat itupun sunyi, penuh dengan hutan lebat dan hawanya sejuk, nyaman bukan main. Dari tempat mereka berhenti mengaso, tampak sebuah telaga yang airnya membiru dan pemandangan di situ teramat indahnya.
Timbul kegembiraan besar di dalam hati Nismara. Selama beberapa hari ini kekhawatirannya mulai menipis dan perjalanan berkuda yang menyenangkan itu, tanpa harus memondong tubuh Listyarini,membangkitkan kembali gairahnya. Mereka menambatkan kuda di batang pohon dan keduanya duduk di atas batu gunung. Di sekeliling mereka tampak padang rumput menghijau.
Nismara mulai memandang kepada Listyarini dengan penuh perhatian dan perlahan-lahan api gairah berahi mulai menyala dalam pandang matanya. Wanita itu tampak amat cantik menggairahkan. Rambutnya yang agak kusut itu bahkan menambah keelokannya, dengan sinom berjuntai dan bergantung! kacau di dahi dan pelipisnya, pakaian yang kusut itu mempertajam lekuk lengkung tubuhnya.
Muncul bayangan-bayangan penuh nafsu berahi dalam benak Nismara. Ah.. sebetulnya sudah lama wanita ini berada di tangannya akan tetapi dia tidak sempat memilikinya. Sekaranglah saatnya pikirnya. Jelas bahwa tidak akan ada yang mampu mengejarnya sampai di tempat sunyi ini. Dia harus memilikinya sekarang juga dan sekali menjadi miliknya, wanita ini tentu selanjutnya akan tunduk kepadanya dan akan menjadi isterinya.
Nismara turun dari atas batu dan menghampiri Listyarini. Listyarini menengok. Mereka bertemu pandang dan Listyarini terbelalak. Ia melihat kobaran nafsu berahi dalam mata laki-laki itu. Marabahaya yang hampir setiap hari dikhawatirkannya itu akhirnya muncul. Nalurinya mengatakan bahwa saat itu Nismara seperti kemasukan iblis dan ia memandang ngeri.
"Nismara, kau mau apa .....?" tanyanya dan wajahnya sudah berubah pucat.
Nismara tersenyum, menyeringai seperti seekor srigala memperlihatkan taringnya.
"Mari kubantu engkau turun, Listyarini, kita melanjutkan perjalanan." katanya sambil menjulurkan tangannya.
Listyarini merasa agak lega dan ia menerima uluran tangan itu. Akan tetapi ketika ia sudah turun dari atas batu, tiba-tiba saja kedua lengan Nismara mendekapnya dengan kuat dan muka laki laki itu mendekati mukanya, berusaha untuk menciuminya.
"Jangan.....! Tidaaak.....!"
Listyarini menjerit dan mengelak dari ciuman dengan memalingkan mukanya kekanan kiri. Akan tetapi tentu saja ia kalah kuat dan pada saat hidung Nismara mendarat di pipi kirinya, dalam kenekatannya Listyarini mengangkat lututnya ke atas. Nismara berteriak mengaduh dan rangkulannya mengendur karena lutut kaki Listyarini tepat menghantam bawah pusarnya. Listyarini meronta sekuat tenaga sehingga terlepas dari rangkulan lalu membalik dan melarikan diri.
Akan tetapi hanya sebentar Nismara kesakitan. Dia melompat dan mengejar. Akhirnya dia dapat menubruk dari belakang dan memeluk Listyarini. Wanita itu terguling dan Nismara ikut pula terjatuh Mereka bergulingan di atas rumput. Lityarini mencoba untuk memukul, mencakar bahkan menggigit. Namun karena kalah kuat, akhirnya Nismara dapat menindihnya dan memegangi kedua pergelangan tangannya.
Pada saat yang teramat gawat bagi kehormatan Listyarini itu, tiba-tiba saja sebuah tangan mencengkeram rambut kepala Nismara, menariknya ke belakang dengan sentakan yang demikian kuatnya sehingga Nismara berteriak kesakitan dan tubuhnya terseret ke belakang. Sebuah tendangan menyusul dan tubuh Nismara terpental bergulingan.
Akan tetapi yang paling nyeri adalah kepalanya. Rambutnya seolah tercabut copot semua, rasanya pedih dan panas. Dia meraba kepalanya dan merasa lega bahwa rambutnya masih ada. Dia melompat berdiri dan dengan mata merah dia memandang kedepan.
Dia melihat seorang laki-laki membantu Listyarini bangun dan berkata kepada wanita itu. "Ke sanalah, nona. Biar kuhajar orang jahat ini."
Laki-laki itu bicara dengan suara pelo. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya agak pucat kekuningan, matanya sipit dan rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pita biru. Dari raut wajahnya sampai bentuk baju dan celananya tahulah Nismara bahwa, pemuda itu adalah seorang berbangsa Cina.
Pernah dia melihat beberapa orang Cina berkunjung ke Kahuripan, sebagian sebagai pedagang dan ada pula yang menjadi tukang-tukang yang ahli dalam pembuatan perabot rumah tangga dari kayu dan rotan atau dari bambu. Sungguh mengherankan sekali di tempat sesunyi itu dia bertemu dengan seorang Cina.
Akan tetapi orang Cina itu telah berani mengganggunya bahkan menyeret dan menendangnya sehingga dia gagal memperkosa Listyarini. Dia bangkit dan mukanya berubah merah ketika dia memandang kepada pemuda Cina itu dengan mata melotot.
"Setan alas keparat busuk..! Siapa engkau berani mencampuri urusanku?" ia menghardik dan tangan kanannya meraba gagang keris yang terselip di pinggangnya. Dengan bahasa daerah yang cukup jelas dan lancar namun yang diucapkannya dengan pelo, orang itu menjawab
"Nama saya The Jiauw Lan ....."
"Siapa?" Nismara menegaskan karena nama yang diucapkan orang itu tidak dapat ditangkap telinganya dengan baik.
"The Jiauw Lan," Orang Cina itu mengulang. Namun tetap saja Nismara tidak dapat menerima jelas.
"Sudahlah, persetan dengan namamu! Kenapa engkau berani mencampuri urusanku dengan wanita itu? Hayo cepat minggat dari sini, atau aku akan membunuhmu!" Dia mencabut Kerisnya dan mengancam.
The Jiauw Lan menggeleng-geleng kepalanya. "Aku tidak ingin berkelahi, tidak ingin mencari musuh. Akan tetapi kaujangan ganggu pelempuan itu. Itu tidak baik, salah dan jahat sekali! Kau pelgilah, jangan ganggu ia!"
"Babo-babo, keparat. Berani engkau menghalang dan menantangku? Engkau sudah bosan hidup. Mampuslah!"
Nismara lalu menubruk sambil menyerang dengan kerisnya. Gerakannya cukup cekatan dan mengandung tenaga kuat. Dia merupakan seorang perwira kepatihan yang cukup tangguh. Namun, tusukan keris itu hanya mengenai tempat kosong karena The Jiauw Lan dapat cepat mengelak dengan geseran kakinya yang lincah sekali.
Nismara menjadi semakin marah. Dia cepat menyusulkan serangan kerisnya, lagi, dilanjutkan dengan tamparan tangan kirinya. Ketika tusukan keris dan tamparan tangan itu kenbuli hanya mengenai tempat kosong, dia menambahkan dengan tendangan bertubi-tubi. Namun semua serangannya itu tidak mengenai sasaran. Lawannya ternyata memiliki gerakan yang amat lincah, tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri dan semakin cepat dan gencar Nismara rntnyerang, semakin cepat pula dia bergerak menghindar.
Dengan langkah perlahan Listyarini memasuki taman kepatihan. Taman itu terawat baik, dapat dilihat dari tumbuh-tumbuhan yang subur, kembang-kembang hampir semua berbunga. Ia paling suka menanam bunga mawar beraneka warna dan dengan teliti ia melihat apakah tanah di bawah semua tanaman bunga kesayangan itu basah, tanda mendapatkan siraman setiap hari.
Sama sekali Listyarini tidak pernah menduga bahwa sejak kakinya melangkah memasuki taman, ada dua pasang mata nengikuti setiap langkahnya dari tempat tersembunyi. Dengan penuh perhatian dan rasa sayang, Listyarini memperhatikan setiap pohon mawar, membuang daun yang mengering dan bunga yang sudah rontok agar kuncup-kuncup muda yang lain mendapat kesempatan dan rangsangan untuk mekar semerbak menggantikan kemegahan bunga-bunga yang sudah rontok dan layu.
Diam-diam Lasmini merasa girang sekali. Inilah kesempatan terbaik, pikirnya. Cepat ia lalu memberi isarat kepada Nismara untuk bersiap-siap melaksanakan apa yang telah lama ia rencanakan. Sekali ini ia dan Nismara pasti berhasil, harus berhasil. Keberhasilan membunuh Listyarini mendatangkan banyak keuntungan baginya. Pertama, kebencian dan ke iri hatiannya terhadap wanita isteri ki patih itu terpuaskan, kedua hal itu akan menghancurkan perasaan hati Ki Patih Narotama dan ke tiga setelah Listyarini mati, maka akan mudah baginya untuk menjadi garwa padma sang patih sehingga ia akan lebih leluasa melaksanakan tugas dan kewajibannya yang telah direncanakan.
Kini Listyarini sudah bergerak melangkah semakin mendekati pondok kecil yang terletak di tengah taman, seolah seekor kelinci yang tanpa disadarinya semakin mendekati moncong harimau yang sudah lama menantinya di tempat persembunyiannya. Harimau dalam ujud seorang laki-laki, Nismara, yang mendekam dan menanti dengan sepasang mata mencorong penuh nafsu bagaikan seekor harimau yang sudah membayangkan betapa akan sedapnya daging lunak dan darah hangat kelinci yang akan dirobek-robeknya.
Melihat wajah ayu manis merak ati, tubuh yang sintal dan denok itu melenggang dengan langkah yang membuat tubuh itu bergoyang-goyang indah seperti menari, berulang kali Nismara menelan air liurnya. Dalam benaknya sudah dia bayangkan semua kenikmatan yang akan dapat direguknya. Mendekap tubuh seperti itu! Tidak, dia tidak akan segera membunuh Listyarini. Terlalu sayang kalau dibunuh begitu saja. Dia akan menangkapnya dan melarikannya keluar dari kepatihan dan akan bersenang-senang sepuas hatinya. Bahkan kalau perlu, perempuan ini tidak akan dibunuhnya, melainkan diambilnya sebagai teman hidup, sebagai penghibur dan pusat kesenangan!
Listyarini kini tiba di luar pondok, lalu membuka pintu pondok yang tidak terkunci, membiarkan daun pintu itu terbuka lalu memasuki pondok. Akan tetapi baru saja ia duduk diatas sebuah dipan untuk beristirahat karena taman itu cukup luas dan perjalanan dari gedung kepatihan sampai pondok di tengah taman itu cukup jauh.
Tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang berkelebat dan melompat memasuki pondok. Tahu-tahu Nismara telah berdiri didekat pembaringan, bertolak pinggang sambil menyeringai menyeramkan!
Listyarini yang tadinya terkejut sekali kini memandang heran ketika mengenal siapa orang yang menyelonong masuk seperti itu. la segera bangkit berdiri dan memandang kepada Nismara dengan alis berkerut.
"Nismara! Apa maksudmu masuk kesini dengan sikap seperti ini?"
Merasa aman dan yakin bahwa di situ tidak ada bahaya baginya, apalagi dia merasa yakin pula bahwa diam-diam Lasmini tentu akan melindunginya, Nismara tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Listyarini wong denok ayu, Sudah lama aku merindukan dirimu dan sekarang engkau harus pergi bersamaku dan menjadi isteriku. Marilah, manis, mari kupondong!"
Listyarini semakin terkejut. Wajahnya berubah merah karena marah. "Nismara keparat! Berani engkau bersikap kurang ajar seperti ini? Kalau gustimu patih mengetahui, tentu engkau akan dihukum berat! Pergilah dan jangan mengganggu aku!"
"Ha-ha-ha, aku tidak takut. Tidak ada seorangpun dapat menghalangiku!" Nismara menghampiri dan siap untuk menubruk wanita itu.
Listyarini memang seorang wanita lemah yang tidak memiliki aji kanuragan. Akan tetapi ia adalah isteri seorang sakti dan iapun terpengaruh suaminya, memiliki ketabahan dan keberanian. Ketika tadi memasuki taman, ia membawa sebatang pisau yang tadi ia pergunakan untuk membersihkan tanaman bunga dan untuk memotong tangkai tangkai yang layu. Kini, ia mencabut pisau yang diselipkannya di ikat pinggang dan dengan pisau itu ia menyambut Nismara yang menubruknya.
Akan tetapi, apa artinya serangan seorang wanita lemah seperti Listyarini. hanya mempergunakan sebatang pisau dapur, terhadap perwira perajurit pengawal seperti Nismara? Dengan mudah dia menangkap pergelangan tangan kanan wanita itu dan sekali cengkeram, Listyarini menjerit dan pisaunya terlepas dari genggamannya. Sambil tertawa-tawa Nismara lalu menangkap kedua lengan wanita itu dan memondongnya. Listyarini meronta dan menjerit.
"Toloonggg .....!"
Akan tetapi jeritnya terhenti seketika karena Nismara menekan tengkuknya dan wanita itu terkulai pingsan di atas pundak Nismara yang memanggulnya dan membawanya keluar dari pondok itu. Menurut gelora nafsu berahinya, ingin ia memperkosa wanita itu di tempat itu juga, akan tetapi dia merasa ngeri kalau-kalau akan muncul Ki Patih Narotama. Maka dia ingin membawa wanita itu cepat-cepat pergi jauh meninggalkan kepatihan menuju ke tempat aman.
Pada saat itu, tak jauh dari pondok itu Lasmini sedang mengintai dan hatinya merasa gembira sekali melihat betapa Nismara telah menyerbu masuk ke dalam pondok. Akan tetapi ia terkejut juga mendengar jerit suara Listyarini.
"Goblok .....!" la memaki, marah karena menganggap Nismara bodoh sekali memberi kesempatan kepada Listyarini untuk mengeluarkan jeritan. Dengan hati khawatir ia melihat ke kanan kiri, kalau-kalau suara jeritan pendek yang cukup melengking itu menarik perhatian orang lain. Dan benar saja, ia melihat dua orang laki-laki datang berlarian kearah situ. Mereka adalah dua orang tukang kebun yang biasa mengurus taman. Diam-diam Lasmini mengutuk. Sialan pikirnya, padahal menurut perhitungannya, biasanya pada waktu sore seperti itu dua orang tukang kebun itu tidak pernah bekerja di taman. Kenapa begitu kebetulan mereka sekarang berada di situ dan agaknya mendengar jeritan suara Listyarini?
Yang sial adalah dua orang tukang kebun itu. Mereka mengadakan pemeriksaan ke dalam taman karena mengira akan turun hujan sehingga mereka hari mempersiapkan segalanya agar taman jangan menjadi rusak oleh membanjirnya air hujan. Ketika dengan lapat-lapat mereka mendengar jerit wanita, mereka lalu berlari menuju kepondok.
Akan tetapi, dalam perjalanan itu, tiba-tiba saja dua buah batu sebesar kepala mereka meluncur dan menghantam kepala mereka. Tanpa dapat mengeluarkan teriakan lagi dua orang tukang kebun itu tersungkur roboh dan tewas seketika dengan kepala pecah! Lasmini memang cerdik sekali. Ia tidak mau membunuh dua orang itu dengan menggunakan aji pukulannya yang ampuh, karena kalau hal itu ia lakukan, Ki Patih Narotama tentu akan mengenal aji itu dan rahasianya akan terbuka.
Akan tetapi, pada saat itu, kebetulan Lasmini menoleh ke belakang, ke arah gedung kepatihan dan wajahnya mendadak nenjadi pucat sekali. Dia melihat sesosok bayangan berkelebat seperti terbang dan segera, mengenal bahwa itu adalah bayangan Ki Patih Narotama sendiri.
"Celaka .....!" Lasmini berbisik dalam hati. Akan tetapi dasar ia seorang yang amat cerdik, ia sudah dapat membuang kegugupannya, bahkan kini ia berlagak menyambut suaminya itu.
"Kakangmas..... celaka..... sesuatu yang hebat telah terjadi.....!" katanya setelah bertemu dengan Ki Patih Narotama yang menghentikan larinya.
Patih Narotama tadi berlari cepat memasuki taman setelah mendengar dari para dayang bahwa Listyarini seorang diri berjalan-jalan dalam taman. Hatinya merasa khawatir dan dia cepat berlari menyusul.
"Diajeng Lasmini! Apa yang terjadi.....?
"Saya ..... saya tidak tahu, kakangmas Tadi saya memasuki taman dan melihat dua orang tukang kebun menggeletak dengan kepala pecah dan sudah tewas!"
"Di mana mereka?"
"Di sana, mari!" Mereka berdua berlompatan dan dengan cepat sudah tiba di tempat di mana dua orang tukang kebun itu menggeletak tak bernyawa lagi. Ki Patih Narotama memeriksa sebentar. Darah yang mengalir keluar dari kepala-kepala yang pecah itu masih segar.
"Hemm, baru saja dibunuh. Pembunuhnya tentu masih berada di taman. Tapi ..... Listyarini .....! Di mana ia .....?"
"Saya tidak tahu, kakangmas. Ketika memasuki taman, saya tidak melihatnya dan baru tiba di sini, saya melihat dua orang ini. Ketika melihat kakangmas berlari memasuki taman, saya cepat menyongsong dan memberitahukan. Mari kita mencari Kakangmbok Listyarini!"
Lasmini mendahului suaminya, melompat dan lari menuju pondok. Tentu saja ia tersenyum dalam hatinya karena tahu benar bahwa Nismara sudah lama membawa lari Listyarini dari dalam pondok itu. Keduanya memasuki pondok. Tidak ada siapapun di sana. Juga tidak tampak adanya bekas-bekas kekerasan. Akan tetapi Ki Narotama membungkuk dan nengambil sebatang pisau yang menggeletak di atas lantai, dekat dipan.
"Hemm, pisau apakah ini? Milik siapa?" Dia bertanya sambil mengamati pisau itu. Lasmini mengambil pisau itu dari tangan suaminya dan memeriksanya.
"Ini seperti pisau yang biasa dipergunakan para dayang didalam dapur, kakangmas. Hemm, saya kira pisau ini tadi dibawa Kakangmbok Listyarini ke taman untuk memotong kembang dan ranting yang sudah layu, kemudian tertinggal disini. Mungkin sekali ia sudah kembali ke gedung kepatihan!"
"Hemm, mudah-mudahan begitu. Mari kita cari ia di sana!"
Ki Patih Narotama tidak merasa curiga karena tidak melihat ada tanda-tanda kekerasan terjadi di dalam pondok yang kesemuanya masih rapi. Mereka kembali keluar dari pondok dan dengan cepat berlari menuju ke gedung kepatihan. Tentu saja senyum dalam hati Lasmini makin melebar karena ia tahu bahwa kini Nismara tentu sudah dapat lari lebih jauh lagi sehingga takkan mungkin dapat disusul oleh Ki Patih Narotama.
Setelah tiba di gedung kepatihan, dengan selalu diikuti Lasmini, Narotama mencari isterinya. Akan tetapi sia-sia, Listyarini tidak dapat ditemukan dan tidak ada seorangpun dayang tahu kemana perginya garwa padmi ki patih itu. Setahu mereka hanyalah bahwa Listyarini seorang diri memasuki taman membawa sebatang pisau dapur. Narotama berlari lagi memasuki taman, diikuti Lasmini. Kini mereka mencari sambil berteriak-teriak memanggil, bergantian.
"Diajeng Listyarini .....!"
"Kakangmbok Listyarini ......"
Akan tetapi yang menjawab hanya suara gaung gema teriakan mereka. Mereka mencari keluar dan taman, akan tetapi karena tidak menemukan jejak, Narotama menjadi gelisah dan bingung, tidak tahu harus mengejar ke arah mana. Sementara itu, senja telah mulai gelap, malam mulai datang menguasai bumi. Setelah tiba jauh di luar daerah Kerajaan Kahuripan, Narotama mengajak Lasmini untuk mengambil jalan yang menuju ke selatan.
Jantung Lasmini berdebar tegang, karena menurut seperti yang telah direncanakan, Nismara yang melarikan Listyarini tentu juga mengambil jalan itu. Dan betapapun cepat larinya Nismara, kalau Narotama melakukan pengejaran yang arahnya tepat, akhirnya Nismara tentu akan tersusul! Akan tetapi otaknya yang cerdik sudah membuat ia mengambil sikap yang amat tepat. Ia berlutut, menyembah dan merangkul kedua kaki Narotama sambil menangis!
Narotama cepat merangkul dan mengangkat bangun selirnya itu. "Adinda Lasmini, apa yang kaulakukan ini? Apa artinya ini?"
"Aduh kakangmas pujaan hamba .... tidak tahukah paduka betapa remuk redam, betapa hancur luluh hati hamba biarkan paduka untuk mengejar penjahat yang menculik kakangmbok ke selatan? Aduh kakangmas sesembahan hamba, mengapa hati kakangmas begitu tega kepada hamba, menjatuhkan fitnah keji kepada hamba dan keluarga hamba?” Lasmini berkata di antara tangisnya.
"Diajeng Lasmini!" kata Narotama dengan alis berkerut dan memandang wajah selirnya di keremangan malam yang hanya diterangi bulan sepotong. "Aku mengajak engkau mengejar penculik Listyarini untuk menyelamatkannya dari marabahaya Aku sama sekali tidak pernah menduga atau mengatakan bahwa pelaku penculikan adalah keluargamu. Mungkin saja penjahat itu melarikan diri ke arah selatan sana! Jangan berkesimpulan yang bukan-bukan!"
Lasmini sudah tidak menangis, akan tetapi ia membiarkan dirinya didekap Narotama dan ia menyandarkan kepalanya yang semerbak harum melati itu didada suaminya.
"Akan tetapi, kakangmas. Semua orang tahu belaka bahwa di selatan sana termasuk wilayah Kerajaan Parang Siluman dimana ibu kandung hamba, Sang Ratu Durgakumala menjadi penguasanya. Penculik itu tentu mengetahui pula bahwa hamba, puteri Parang Siluman, telah menjadi garwa paduka. Bagaimana mungkin dia membawa lari Kakangmbok listyarini ke sana? Sama saja dengan ular menghampiri penggebuk. Kalau paduka melakukan pengejaran memasuki wilayah Kerajaan Parang Siluman, bukankah itu berarti bahwa paduka mencurigai kanjeng ibu ratu dan keluarganya? Tidak, kakangmas, paduka tidak boleh mengejar dalam wilayah Parang Siluman. Hamba malu, kakangmas, malu kepada kanjeng ibu, malu kepada kanjeng rama, malu kepada kanjeng paman yang juga guru hamba, malu kepada seluruh keluarga dan kawula Parang Siluman."
Narotama termenung sejenak. Ah..betulnya juga ucapan yang keluar mulut selirnya yang diseling isak tangis itu. "Hemm, diajeng Lasmini, semua tuturmu itu dapat kuterima dan memang benarnya. Akan tetapi, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa Listyarini diculik orang memasuki daerah Parang Siluman?"
"Kakangmas, kalau sampai terjadi seperti itu, kalau kemudian ternyata bahwa penjahat itu melarikan Kakang mbok Listyarini ke dalam daerah Parang Siluman dan menyembunyikannya di sana, hamba mempertaruhkan nyawa ini. Hamba siap dipenggal leher hamba sebagai pertanggunan jawab. Akan tetapi sebaliknya, kakangmas, kalau sekarang paduka bersikeras untuk mengejar sampai memasuki perbatasan Parang Siluman, hamba akan membunuh diri sekarang juga di depan kaki paduka. Tidak kuat hamba menderita aib dan malu karena tidak paduka percaya."
Narotama menghela napas panjang dan mengusap rambut kepala selirnya yang masin dipeluknya itu. "Baiklah, diAjeng. Kalau begitu janji dan tanggung jawabmu, aku tidak akan mengejar kedalam daerah Kerajaan Parang Siluman. Akan tetapi, lalu ke mana aku harus mencari Listyarini? Aku khawatir sekali akan keselamatannya."
"Harap kakangmas menenangkan hati dan jangan khawatir. Hamba dapat memastikan bahwa keselamatan nyawa kakangmbok Listyarini tidak akan terancam bahaya. Hamba yakin bahwa penculik itu tidak akan membunuhnya."
"Bagaimana andika dapat yakin begitu diajeng?"
"Menurut penalaran, kakangmas. Kalau penjahat itu memang berniat membunuh Kakangmbok Listyarini, tentu hal itu sudah dia lakukan dalam taman, seperti juga dia telah membunuh dua orang tukang kebun itu. Kenyataannya bahwa dia tidak membunuh melainkan menculik Kakangmbok Listyarini menunjukkan bahwa dia tidak ingin membunuhnya sehingga masih terdapat harapan bahwa kita akan dapat menemukannya. Hamba akan membantu dengan taruhan nyawa hamba agar kita dapat menemukan kembali Kakangmbok Listyarini."
Narotama merasa lega sekali. Kalau ada selirnya ini yang membantu, dia merasa yakin bahwa dia akan dapat menemukan kembali garwa padminya yang hilang diculik orang itu.
"Aduh, diajeng Lasmini, terima kasih. Kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya. Hatiku sekarang ini merasa risau dan cemas sehingga aku tidak dapat berpikir dengan baik. Kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan sekarang, yayi?"
"Kalau menurut hamba, kakangmas, sebaiknya kita pulang saja dulu. Bagaimanapun juga, hamba yakin Kakangmbok Listyarini tidak akan dibunuh. Kakangmas pulang dulu untuk mencari jalan terbaik. Hamba kira, dengan mengerahkan pasukan yang kita sebar, akan lebih mudah menemukan penculik itu. Juga kita berdua dapat pula melanjutkan pencarian kita. Sekarang, untuk mengejarpun, kita belum tahu ke arah mana penjahat itu lari. Mungkin ke utara, ke timur, atau ke barat. Karena itu, mari kita pulang dulu, menenangkan hati dan merencanakan siasat terbaik untuk mencari Kakangmbok Listyarini."
Dengan hati agak lega Narotama mencium bibir yang mengucapkan kata-kata yang dianggapnya amat bijaksana itu. Mereka lalu bergandengan tangan, berlari cepat kembali ke gedung kepatihan di Kahuripan.
Betapa hebatnya sebuah rencana, betapa telitinyapun rencana itu diatur dan betapa canggihnyapun pelaksanaannya, semua itu belum dapat dipastikan berhasil. Ada Kekuasaan lain yang mutlak menentukan hasil tidaknya sebuah tindakan.
Manusia dengan segala akal budinya boleh merencanakan yang muluk-muluk, namun pada akhirnya manusia harus tunduk kepada Kekuasaan yang menentukan itu. Kekuasaan Ilahi, Kekuasaan Gusti Yang Maha Kuasa, Kekuasaan Sang Hyang Widhi wasa, Pengatur seluruh alam semesta dengan semua isinya!
Demikian pula dengan rencana pembunuhan atas diri Listyarini yang telah diatur dengan sempurna oleh Lasmini. Memang pada mulanya rencana itu tampaknya seperti berhasil baik menurut rencana. Listyarini telah dapat diculik Nismara seperti direncanakan, bahkan Lasmini telah berhasil membujuk Narotama agar tidak melakukan pengejaran ke selatan.
Akan tetapi, hasil kelanjutannya ternyata lain sama sekali seperti yang telah direncanakan. Nismara tidak melarikan diri ke selatan, tidak masuk ke wilayah Kerajaan Parang Siluman. Mengapa demikian? Ternyata Nismara sudah mengenal baik keadaan di Kerajaan Parang Siluman. Dia tahu bahwa kerajaan itu menjadi tempatnya orang-orang yang amat keji dan kejam, orang-orang yang licik dan curang. Kalau dia membawa Listyarini ke sana, jangan-jangan nasibnya menjadi celaka. Bukan tidak mungkin dia akan dicurangi dan dibunuh, sedangkan Listyarini akan dirampas darinya. Tidak, dia tidak akan pergi ke Kerajaan Parang Siluman itu.
Dia kini telah memondong puteri ayu, telah mengantungi banyak emas. Dia telah bebas, boleh pergi ke mana dia suka. Mengapa harus ke Parang Siluman? Kalau Narotama mengejar ke sana, mungkin saja untuk menyimpan rahasia, Ratu Parang Siluman yang cantik akan tetapi keji seperti iblis betina itu akan membunuhnya! Teringat akan kekejaman Lasmini saja dia sudah bergidik. Lebih baik dia membawa Listyarini pergi jauh sekali dari Kahuripan dan Parang Siluman, di tempat jauh dia akan hidup senang dengan sang puteri juwita, tanpa ada yang mengganggu!
Pemikiran inilah yang membuat Nismara tidak jadi lari ke selatan, melainkan lari ke arah barat! Dia memanggul tubuh Listyarini dan melarikan diri kebarat, melalui hutan-hutan dan gunung gunung. Dia tidak berani mengganggu Listyarini karena hatinya selalu dikejar rasa takut dan ngeri. Kini dia tidak hanya melarikan diri dari pengejaran Narotama, akan tetapi juga pengejaran Lasmini yang tentu akan membunuhnya kalau mengetahui bahwa ia lari ke barat, bukan masuk ke wilayah Parang Siluman seperti yang diperintahkan Lasmini. Dan dia malah lebih takut akan pengejaran Lasmini daripada pengejaran Ki Patih Narotama. Dia tahu, Narotama adalah seorang bijaksana dan tidak kejam. Mungkin dia akan dibunuhnya begitu saja. Akan tetapi kalau dia sampai terjatuh ketangan Lasmini, dia tentu akan disiksanya setengah mati!
Karena setiap hari dikejar rasa ngeri dan ketakutan, seolah setiap saat dia mendengar langkah kaki orang-orang yang mengejarnya, Nismara tidak pernah mau mengganggu Listyarini. Apalagi setelah Listyarini tampaknya tidak meronta lagi. Ketika itu dia menurunkan Listyarini dari pondongannya untuk sekadar beristirahat melepas lelah dan menenangkan hatinya yang terguncang rasa takut dan gelisah.
Listyarini kini tidak mau menjerit lagi. la maklum bahwa dirinya tidak berdaya dan ia hanya pasrah kepada Hyang Widhi, setiap saat berdoa semoga Sang Hyang Widhi melindunginya dari pada marabahaya. Melihat Nismara menyeka keringat dari leher dan mukanya, dan melihat wajah itu seperti orang ketakutan, matanya bergerak liar ke sana sini seolah takut melihat orang datang, Listyarini yang dilepas dari pondongan dan kini duduk di atas tanah itu menyapa dengan suara lembut.
"Nismara, katakan saja terus terang, mengapa engkau membawa aku pergi ke tempat ini? Mengapa engkau yang menjadi perwira pasukan pengawal tega menculik aku?"
Sudah beberapa kali pertanyaan diajukan oleh Listyarini selama beberapa hari ini, akan tetapi Nismara tidak pernah mau menjawab. Kinipun dia tidak menjawab, hanya memandang sejenak wajah elok itu lalu menggeleng kepala dan mengalihkan pandang matanya. Entah bagaimana, mungkin karena dihantui rasa takut dan ngeri kalau-kalau dia tertangkap, selama beberapa hari ini seolah semua nafsu berahinya terhadap wanita cantik ini menghilang begitu saja!
"Nismara," kata Listyarini dengan halus. "Aku tahu bahwa selama beberapa hari ini sejak engkau menculik aku engkau bersikap baik sekali padaku, engkau memondongku, memperhatikan keperluanku dan tidak pernah mengangguku. Sebaliknya aku selalu meronta dan melawan, sehingga engkau tentu lelah sekali. Aku berterima kasih kepadamu untuk itu. Akan tetapi, Nismara, aku melawanmu karena aku takut dan tidak tahu mengapa aku kau culik. Kalau engkau memberitahu, tentu aku akan merasa lega dan tidak akan melawan lagi. Aku akan menyerah sehingga perjalanan ini dapat dilakukan lebih lancar dan menyenangkan. Karena itu, katakanlah, Nismara, mengapa kau lakukan semua ini."
"Benar engkau akan menyerah dan tidak melawan atau meronta lagi kalau kuberitahu?" Nismara bertanya.
"Aku bukan orang yang suka berbohong. Apa yang kujanjikan pasti akan kutepati." kata Listyarini.
"Baiklah, akan kuberitahu. Sudah lama ku mengagumimu, Listyarini, bahkan aku tergila gila kepadamu. Aku cemburu kepada Ki Patih Narotama, yang telah memperisterimu, akan tetapi masih begitu murka untuk mempunyai seorang isteri lain, yaitu Lasmini. Puteri dari Parang Siluman itulah yang merencanakan ini semua, menyuruh aku untuk menculikmu dan membawamu pergi, agar ia dapat menjadi garwa padmi Ki Patih Narotama."
Listyarini terkejut, namun tidak merasa terlalu heran karena ia sudah dapat merasakan betapa selir suaminya itu diam-diam membencinya.
"Hemm, jadi ini biang keladinya? Lalu, kenapa engkau melarikan aku sampai sejauh ini dan tidak membunuhku?"
"Membunuhmu? Tidak, Listyarini, aku tidak tega membunuhmu. Aku..... aku cinta padamu. Aku diperintah untu membawa engkau ke Parang Siluman, akan tetapi aku tidak mau karena setibanya di sana engkau pasti dibunuh mereka! Aku tidak ingin engkau dibunuh, maka engkau kularikan sampai di sini. Aku harus melarikan sejauh mungkin sehingga Ki Patih Narotama dan juga Lasmini dan pihak Parang Siluman tidak akan dapat mencari kita. Nah, kuharap mulai sekarang engkau suka menurut dan melarikan diri tanpa melakukan perlawanan."
Listyarini berpikir. Selama orang ini tidak menggangguku, sebaiknya aku menurut agar dia tidak bersikap kasar kepadaku. Akan tetapi, kalau dia hendak berbuat sesuatu yang tidak senonoh, aku akan membunuh diri. Sementara itu, hanya mengharapkan pertolongan dari Sang Hyang Widhi.Maka, lapun mengangguk.
Dengan girang Nismara mengajak ia melanjutkan perjalanan dan ketika mereka melewati sebuah dusun yang cukup ramai, yaitu dusun Kerta, Nismara lalu membeli dua ekor kuda. Biarpun tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan, namun kalau menunggang kuda, Listyarini cukup mahir. Perjalanan dilanjutkan dengan berkuda sehingga lebih cepat dan lancar. Juga bagi Listyarini, tentu lebih leluasa dan enak melakukan perjalanan menunggang kuda daripada dipondong oleh Nismara.
Mereka mendaki Gunung Lawu dari sisi timur. Pada suatu pagi tibalah mereka di lereng Gunung Lawu. Pemandangan alamnya amat indah dan tempat itupun sunyi, penuh dengan hutan lebat dan hawanya sejuk, nyaman bukan main. Dari tempat mereka berhenti mengaso, tampak sebuah telaga yang airnya membiru dan pemandangan di situ teramat indahnya.
Timbul kegembiraan besar di dalam hati Nismara. Selama beberapa hari ini kekhawatirannya mulai menipis dan perjalanan berkuda yang menyenangkan itu, tanpa harus memondong tubuh Listyarini,membangkitkan kembali gairahnya. Mereka menambatkan kuda di batang pohon dan keduanya duduk di atas batu gunung. Di sekeliling mereka tampak padang rumput menghijau.
Nismara mulai memandang kepada Listyarini dengan penuh perhatian dan perlahan-lahan api gairah berahi mulai menyala dalam pandang matanya. Wanita itu tampak amat cantik menggairahkan. Rambutnya yang agak kusut itu bahkan menambah keelokannya, dengan sinom berjuntai dan bergantung! kacau di dahi dan pelipisnya, pakaian yang kusut itu mempertajam lekuk lengkung tubuhnya.
Muncul bayangan-bayangan penuh nafsu berahi dalam benak Nismara. Ah.. sebetulnya sudah lama wanita ini berada di tangannya akan tetapi dia tidak sempat memilikinya. Sekaranglah saatnya pikirnya. Jelas bahwa tidak akan ada yang mampu mengejarnya sampai di tempat sunyi ini. Dia harus memilikinya sekarang juga dan sekali menjadi miliknya, wanita ini tentu selanjutnya akan tunduk kepadanya dan akan menjadi isterinya.
Nismara turun dari atas batu dan menghampiri Listyarini. Listyarini menengok. Mereka bertemu pandang dan Listyarini terbelalak. Ia melihat kobaran nafsu berahi dalam mata laki-laki itu. Marabahaya yang hampir setiap hari dikhawatirkannya itu akhirnya muncul. Nalurinya mengatakan bahwa saat itu Nismara seperti kemasukan iblis dan ia memandang ngeri.
"Nismara, kau mau apa .....?" tanyanya dan wajahnya sudah berubah pucat.
Nismara tersenyum, menyeringai seperti seekor srigala memperlihatkan taringnya.
"Mari kubantu engkau turun, Listyarini, kita melanjutkan perjalanan." katanya sambil menjulurkan tangannya.
Listyarini merasa agak lega dan ia menerima uluran tangan itu. Akan tetapi ketika ia sudah turun dari atas batu, tiba-tiba saja kedua lengan Nismara mendekapnya dengan kuat dan muka laki laki itu mendekati mukanya, berusaha untuk menciuminya.
"Jangan.....! Tidaaak.....!"
Listyarini menjerit dan mengelak dari ciuman dengan memalingkan mukanya kekanan kiri. Akan tetapi tentu saja ia kalah kuat dan pada saat hidung Nismara mendarat di pipi kirinya, dalam kenekatannya Listyarini mengangkat lututnya ke atas. Nismara berteriak mengaduh dan rangkulannya mengendur karena lutut kaki Listyarini tepat menghantam bawah pusarnya. Listyarini meronta sekuat tenaga sehingga terlepas dari rangkulan lalu membalik dan melarikan diri.
Akan tetapi hanya sebentar Nismara kesakitan. Dia melompat dan mengejar. Akhirnya dia dapat menubruk dari belakang dan memeluk Listyarini. Wanita itu terguling dan Nismara ikut pula terjatuh Mereka bergulingan di atas rumput. Lityarini mencoba untuk memukul, mencakar bahkan menggigit. Namun karena kalah kuat, akhirnya Nismara dapat menindihnya dan memegangi kedua pergelangan tangannya.
Pada saat yang teramat gawat bagi kehormatan Listyarini itu, tiba-tiba saja sebuah tangan mencengkeram rambut kepala Nismara, menariknya ke belakang dengan sentakan yang demikian kuatnya sehingga Nismara berteriak kesakitan dan tubuhnya terseret ke belakang. Sebuah tendangan menyusul dan tubuh Nismara terpental bergulingan.
Akan tetapi yang paling nyeri adalah kepalanya. Rambutnya seolah tercabut copot semua, rasanya pedih dan panas. Dia meraba kepalanya dan merasa lega bahwa rambutnya masih ada. Dia melompat berdiri dan dengan mata merah dia memandang kedepan.
Dia melihat seorang laki-laki membantu Listyarini bangun dan berkata kepada wanita itu. "Ke sanalah, nona. Biar kuhajar orang jahat ini."
Laki-laki itu bicara dengan suara pelo. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya agak pucat kekuningan, matanya sipit dan rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pita biru. Dari raut wajahnya sampai bentuk baju dan celananya tahulah Nismara bahwa, pemuda itu adalah seorang berbangsa Cina.
Pernah dia melihat beberapa orang Cina berkunjung ke Kahuripan, sebagian sebagai pedagang dan ada pula yang menjadi tukang-tukang yang ahli dalam pembuatan perabot rumah tangga dari kayu dan rotan atau dari bambu. Sungguh mengherankan sekali di tempat sesunyi itu dia bertemu dengan seorang Cina.
Akan tetapi orang Cina itu telah berani mengganggunya bahkan menyeret dan menendangnya sehingga dia gagal memperkosa Listyarini. Dia bangkit dan mukanya berubah merah ketika dia memandang kepada pemuda Cina itu dengan mata melotot.
"Setan alas keparat busuk..! Siapa engkau berani mencampuri urusanku?" ia menghardik dan tangan kanannya meraba gagang keris yang terselip di pinggangnya. Dengan bahasa daerah yang cukup jelas dan lancar namun yang diucapkannya dengan pelo, orang itu menjawab
"Nama saya The Jiauw Lan ....."
"Siapa?" Nismara menegaskan karena nama yang diucapkan orang itu tidak dapat ditangkap telinganya dengan baik.
"The Jiauw Lan," Orang Cina itu mengulang. Namun tetap saja Nismara tidak dapat menerima jelas.
"Sudahlah, persetan dengan namamu! Kenapa engkau berani mencampuri urusanku dengan wanita itu? Hayo cepat minggat dari sini, atau aku akan membunuhmu!" Dia mencabut Kerisnya dan mengancam.
The Jiauw Lan menggeleng-geleng kepalanya. "Aku tidak ingin berkelahi, tidak ingin mencari musuh. Akan tetapi kaujangan ganggu pelempuan itu. Itu tidak baik, salah dan jahat sekali! Kau pelgilah, jangan ganggu ia!"
"Babo-babo, keparat. Berani engkau menghalang dan menantangku? Engkau sudah bosan hidup. Mampuslah!"
Nismara lalu menubruk sambil menyerang dengan kerisnya. Gerakannya cukup cekatan dan mengandung tenaga kuat. Dia merupakan seorang perwira kepatihan yang cukup tangguh. Namun, tusukan keris itu hanya mengenai tempat kosong karena The Jiauw Lan dapat cepat mengelak dengan geseran kakinya yang lincah sekali.
Nismara menjadi semakin marah. Dia cepat menyusulkan serangan kerisnya, lagi, dilanjutkan dengan tamparan tangan kirinya. Ketika tusukan keris dan tamparan tangan itu kenbuli hanya mengenai tempat kosong, dia menambahkan dengan tendangan bertubi-tubi. Namun semua serangannya itu tidak mengenai sasaran. Lawannya ternyata memiliki gerakan yang amat lincah, tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri dan semakin cepat dan gencar Nismara rntnyerang, semakin cepat pula dia bergerak menghindar.
”Aku tidak ingin belkelahi. Pelgilah......!" The Jiauw Lan berseru lagi.
Akan tetapi karena merasa penasaran, Nismara tetap saja menyerang secara bertubi-tubi. Ketika kerisnya meluncur ke arah perut lawan, tiba-tiba orang Cina itu menepis dengan tangan kiri dari samping. Tepisan dengan jari-jari tangan ini mengenai pergelangan tangan yang memegang ker is.
"Tukk!" Keris terlepas dari pegangan dan di lain detik, sebuah tendangan mengenai perut Nismara.
"Bukk .....!" Tubuh Nismara terjengkang. Dia merasa lengan kanannya nyeri dan perutnya mendadak mulas. Terkejutlah dia dan sekarang baru dia menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang yang pandai dan tangguh. Maka cepat dia menyambar kerisnya yang menggeletak di dekatnya, kemudian dia bangkit dan melarikan diri.
"Jahanam, kau tunggu pembalasanku!" teriaknya mengancam sambil melanjutkan larinya. Orang Cina itu hanya memandang sambil menggeleng-geleng kepala.
"Helan ..... di sana ..... di sini ..... dunia ini penuh olang jahat ....." Dia menghela napas panjang lalu memutar tubuhnya untuk memandang wanita yang nyaris diperkosa penjahat tadi.
Listyarini berdiri di bawah pohon. Sejak tadi ia menonton perkelahian itu. Dia mengerti bahwa orang yang bicaranya pelo itu sedang membelanya, maka tentu saja diam-diam ia mendoakan kemenangan bagi orang asing itu. Mula mula ia merasa ngeri melihat Nismara menyerang bertubi-tubi dengan kerisnya dan agaknya orang asing itu terdesak. Ia sudah mengambil keputusan nekat. Ada sebuah batu besar di bawah pohon didekatnya. Kalau ia melihat pembelanya itu kalah, ia akan membunuh diri dengan menghantamkan kepala sendiri kepada batu besar itu. Akan tetapi ternyata pembelanya itu menang dan Nismara melarikan diri! Hal yang sama sekali tidak disangkanya ini membuat wajahnya yang tadinya pucat berubah kemerahan berseri, sinar mata yang tadinya layu kini bercahaya dan bibirnya yang mungil berkembang dan muncullah senyumnya yang manis penuh rasa bahagia.
Tadi ketika melihat seorang laki-laki hendak memperkosa seorang wanita, The Jiauw Lan tidak dapat tinggal diam saja dan cepat dia mencegah. Pada saat itu, dia sama sekali tidak memperhatikan wajah Listyarini. Baru sekarang dia bertatap muka dengan Listyarini, melihat wajah yang berseri, mata yang indah bercahaya serta senyuman yang manis itu. Dia terbelalak heran, terpesona, lalu tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah sambil berucap penuh hormat.
"Kwan Im Pouwsat .....!"
Kwan Im Pouwsat atau Dewi Kwan Im adalah sebutan seorang dewi kahyangan yang juga disebut Dewi Kebajikan, Dewi Penolong atau Dewi Welas Asih yang terkenal cantik jelita dan sakti mandraguna. Dalam dongeng di Negeri Cina, sang dewi ini sering kali muncul di dunia untuk menyelamatkan manusia, dan tidak jarang pula ia menjelma manusia biasa untuk menguji budi pekerti orang. Jadi, menurut kepercayaan The Jiauw Lan, bukan mustahil kalau tadi Kwan Im Pouwsat sengaja menyamar sebagai wanita yang hendak diperkosa penjahat untuk mengujinya!
The Jiauw Lan percaya sekali sang dewi yang menjadi pujaan seluruh rakyat di Negeri Cina itu, maka melihat Listyarini yang demikian cantik jelita, anggun dan penuh wibawa serta merta dia menganggapnya Dewi Kwan Im dan memberi hormat sambil mohon ampun dan menghaturkan terima kasih.
Listyarini tertegun. Penolongnya itu tiba-tiba berlutut kepadanya, menyembah-yembah dan berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengertinya sarna sekali! Ia meenengok ke belakangnya, untuk melihat kalau-kalau di sana ada orang lain yang dihormati penolongnya itu. Akan tetapi tidak ada siapa-siapa sehingga jelaslah bahwa ia yang disembahsembah itu. Maka, ia lalu melangkah maju menghampiri penolongnya dan menyentuh pundak orang itu.
"Ki sanak, bangkitlah dan bicaralah dengan bahasa yang kumengerti. Jangan menyembah-nyembah seperti ini."
Sentuhan lembut di pundaknya itu terasa oleh The Jiauw Lan sebagai sentuhan yang mengandung getaran hebat,maka makin gencar dia menyembah karena hatinya makin yakin bahwa yang menyentuhnya itu benar-benar jari tangan Kwan Im Pouwsat yang sakti.
"Paduka Kwan Im Pouwsat ..... Kwan Im Pouwsat ..... saya holmati ....."
"Kwan Im Pouwsat? Siapa itu ....." Listyarini bertanya heran.
"Dewi pujaan kami, Dewi Solga yang bijaksana, penyelamat manusia. Paduka Dewi Kebajikan, maafkan saya ....."
Kini mengertilah Listyarini. Ia merasa geli dan tertawa. Tawanya lembut tertahan dan sopan. "Heh-heh, aku sama sekali bukan dewi kahyangan, ki sanak. Aku manusia biasa. Bangkitlah dan mari kita bicara. Engkaulah yang menolongku dan aku berterima kasih sekali kepadamu."
Mendengar ini, The J iauw Lan mengangkat mukanya dan memandang heran. Kini baru dia melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang wanita Jawa yang sudah pasti seorang bangsawan tinggi, cantik jelita dan anggun. Mungkin saja Kwan Im Pouwsat yang menyamar, akan tetapi wanita itu mengaku bahwa ia seorang manusia biasa. Maka diapun bangkit berdiri.
"Engkau ..... seolang manusia biasa? Benalkah itu? Akan tetapi, bagaimana bisa belada di tempat ini dan siapa pula olang jahat tadi? Siapakah engkau dan dali mana?"
Pertanyaannya meluncur bagaikan hujan dan Listyarini tersenyum. Biarpun laki-laki ini asing dan bicaranya lucu dan pelo, namun ia dapat merasakan dan tahu dari pandang matanya bahwa orang ini bukan orang jahat hamba nafsu.
"Ceritanya panjang, ki sanak. Marilah duduk dan akan kuceritakan semua untuk menjawab pertanyaanmu itu."
Listyarini duduk di atas batu dan laki-laki itu duduk di atas batu lain tak jauh darinya. "Ki sanak, sebelum aku menceritakan keadaan diriku, kuharap engkau suka lebih dulu menceritakan tentang dirimu. Memang aku telah menerima pertolongan darimu dan aku percaya sepenuhnya kepadamu, namun kiranya tidaklah pantas bagi seorang wanita menceritakan keadaan dirinya kepada seorang pria yang tidak dikenalnya sama sekali. Ki sanak, maukah engkau bercerita tentang dirimu kepadaku?"
"Tentu, tentu saja, nona. Namaku adalah The Jiauw Lan." kata laki-laki itu dengan nada gembira.
"Tejo ..... siapa...?"
"The Jiauw Lan."
"Wah, sulit sekali namamu. Tejoranu begitukah?"
Sepasang mata itu menjadi semakin sipit ketika dia tertawa.
"Tejolanu Begitu juga baiklah."
"Baik, mulai sekarang aku akan menyebutmu Ki Tejoranu. Setujukah engkau?"
"Ki Tejolanu? Ha-ha-ha, Ki Tejolanu! Bagus sekali, aku suka nama itu. Mulai sekalang, aku adalah Ki Tejolanu!" kata laki-laki itu sambil tertawa senang. Ketika tertawa, wajahnya yang tadinya tampak asing karena matanya yang sipit itu kelihatan cerah dan menyenangkan, sehingga Listyarini juga ikut tertawa.
"Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu, riwayatmu, Ki Tejoranu. Aku tahu bahwa engkau tentu seorang asing. Dari mana engkau datang dan bagaimana engkau dapat berada di sini?"
"Aku belasal dali Tiongkok."
"Tiongkok? Di mana itu?"
"Aku bangsa Cina, dali Negeli Cina, nona."
"Jangan sebut aku nona. Aku sudah bersuami, namaku Listyarini."
"Listyalini?"
"Ya, jangan sebut nona, sebut aku dengan mas ayu Listyarini."
"Mas ayu Lini, begitu lebih mudah dan tidak telalu panjang. Bolehkah?"
"Baiklah, Ki Tejoranu. Nah, teruskan ceritamu. Engkau berasal dari Negeri Cina? Aku pernah mendengar tentang negara dan kerajaan besar di seberang itu, akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan seorang Cina."
Ki Tejoranu lalu menceritakan riwayatnya. The Jiauw Lan atau yang kini kita kenal sebagai Ki Tejoranu itu tadinya tinggal di sebuah dusun dekat kota Nan-king. Lima tahun yang lalu, ketika itu dia berusia dua puluh tahun, dia seorang yang dikenal sebagai seorang pendekar yang cukup lihai dan ditakuti golongan sesat karena permainan sepasang goloknya yang hebat sehingga dia dijuluki Sha-Jiong-to (Golok Pembunuh Naga).
Karena dia selalu bersikap menentang kejahatan, pada suatu hari dia menghajar seorang pemuda dari Nan-king yang mencoba mengganggu dan menculik seorang gadis dusun, dibantu beberapa orang jagoannya. Ki Tejoranu menghajar kongcu (tuan muda) hidung belang itu bersama para jagoannya sehingga mereka kocar kacir melarikan diri pulang ke Nan-king. Ki Tejoranu sama sekali tidak tahu bahwa yang dihajarnya itu adalah putera seorang pejabat tinggi, bahkan masih keponakan dari seorang pangeran!
Ketika beberapa hari kemudian dia mengetahui akan hal ini, dia terkejut dan khawatir, akan tetapi telah terlambat. Dia mendengar dari seorang teman ketika dia keluar rumah. Karena khawatir akan akibat peristiwa itu, dia cepat pulang, akan tetapi apa yang ditemukannya di rumahnya?
Ayah dan ibunya telah tewas terbunuh, adiknya, seorang gadis kecil berusia empat belas tahun, telah hilang entah ke mana dan rumah mereka porak poranda dihancurkan sejumlah perajurit yang dipimpin oleh Bong-kongcu (tuan muda Bong) yang dihajarnya beberapa hari yang lalu.
Dari para tetangganya dia mendengar bahwa pasukan itu mencarinya lalu mengamuk dan merusak rumah, membunuh ayah ibunya. Adapun tentang adiknya, The Kim Lan, tidak ada yang mengetahuinya. Menurut para tetangga, tidak ada yang melihat gadis cilik itu dibawa lari para perajurit. Mungkin anak itu sempat melarikan diri entah ke mana.
The Jiauw Lan atau Ki Tejoranu marah sekali. Sambil membawa sepasang goloknya, dia segera pergi ke rumah keluarga Pembesar Bong dan di situ dia mengamuk. Puluhan orang perajurit pengawal dibunuhnya dan akhirnya dia berhasil juga membunuh Bong Kongcu.
Setelah dapat membunuh tuan muda Bong itu barulah kemarahannya mereda dan karena tahu bahwa kalau dia melanjutkan, amukannya, akhirnya dia akan mati dikeroyok banyak perajurit, akhirnya dia melarikan diri.
"Begitulah, Mas ayu Lini. Aku dikejal pasukan, telpaksa melalikan dili ke sini, ikut pelahu jong bekelja menjadi kuli dan melantau, kalena takut pembesal Bong mengilim olang-olang pandai mencali, aku belpindah pindah dan akhilnya aku belsembunyi di daelah ini, dekat telaga sana." Ki Tejoranu mengakhiri ceritanya.
Sejak tadi Listyarini mendengarkan dengan penuh perhatian. Biarpun bicaranya pelo, namun ternyata Ki Tejoranu sudah fasih berbahasa daerah sehingga ia dapat menangkap semua ceritanya. Ia menghela napas panjang, membayangkan betapa besar persamaan kejahatan orang dinegeri Cina dan di sini.
Orang-orang berkuasa condong untuk memiliki watak hadigang hadigung-hadiguna, memegang aji mumpung, menggunakan kekuasaan, harta dan kekuatan untuk berbuat sewenang-wenang. Ketenangan kehidupan di Kahuripan sendiri hanya terlaksana karena kebijaksanaan Sang Prabu Erlangga dengan bantuan suaminya, Ki Patih Narotama.
Karena raja dan patihnya itu berwatak adil, berbudi BAWA LAKSANA, maka para pembesarnya takut untuk melakukan pelanggaran, tidak berani bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Akan tetapi di daerah-daerah yang agak jauh dari kota raja, sering terdengar penindasan dan kesewenangan seperti yang menimpa diri Ki Tejoranu itu.
"Ah, kasihan sekali engkau, Ki Tejoranu. Jadi, sudah lima tahun engkau meninggalkan negerimu? Lalu bagaimana kabarnya dengan adikmu, siapa namanya tadi, Kim Lan?"
"Ya, The Kim Lan. Sebelum aku pelgi, aku sudah belusaha mencalinya, namun sia-sia. Dan aku mendengal kabal yang lebih menyedihkan lagi, yaitu .....tunanganku..... yang belnama Mei Hwa, telah dipaksa, diambil menjadi isteli ke tiga dali Pembesal Bong, untuk balas dendam padaku!" Setelah berkata demikian, Ki Tejoranu mengayun tangannya ke atas batu.
"Brakkk!" Tepi batu itu pecah berhamburan dan Listyarini melihat pemuda Cina itu mengusap beberapa butir air mata dengan punggung tangannya.
Listyarini merasa terharu. "Ah, Ki Tejoranu, penderitaanmu sungguh berat. Akan tetapi percayalah. Sang Hyang Widhi akhirnya akan melindungi yang benar dan akan menghukum yang jahat. Sekarang aku semakin yakin bahwa engkau adalah seorang yang baik dan aku makin percaya padamu, Ki Tejoranu." Listyarini bangkit, menghampiri laki-laki itu dan menyentuh pundaknya dengan lembut. Ki Tejoranu meletakkan tangannya diatas tangan Listyarini yang menyentuh pundaknya. Hanya sebentar saja dan dia sudah menarik kembali tangannya.
"Telima kasih, Mas ayu Lini, telima kasih. Hatiku sudah tidak sedih lagi sekalang." Dan untuk membuktikan ini, Ki Tejoranu tersenyum.
"Duduklah, Mas ayu dan sekalang celitakan tentang dilimu."
Listyarini lalu kembali ke tempat duduknya semula. Setelah ia menarik napas panjang beberapa kali, mulailah ia menceritakan tentang dirinya. "Aku berasal dari Nusa Bali bernama Ni Nogati. Setelah aku menjadi garwa padmi Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan, namaku diganti menjadi Listyarini. Aku hidup bahagia dengan suamiku, hidup saling mencinta dan mulia di Kerajaan Kahuripan. Akan tetapi semenjak suamiku, Ki Patih Narotama mengambil seorang puteri Kerajaan Parang Siluman yang bernama Lasmini menjadi selir, datanglah gangguan dalam hidupku. Pertama aku diracuni orang sampai hampir mati. Untung suamiku seorang pandai sehingga aku dapat disembuhkan. Kami semua tidak tahu siapa pelakunya karena Tarni, dayang yang membawakan jamu yang diisi racun itu telah dibunuh oleh Lasmini. Diam-diam aku curiga kepadanya, akan tetapi tidak ada bukti, maka aku tak dapat berbuat apa-apa. Kemudian datanglah malapetaka itu ....." Listyarini menghela napas panjang.
"Apa yang teljadi, Mas ayu Lini?"
"Pada suatu sore, ketika aku seorang diri dalam taman, seorang perwira pasukan pengawal kepatihan bernama Nismara, menculik aku dan melarikan aku keluar dari kepatihan. Dia membawaku lari sampai berhari-hari lamanya. Selama itu dia tidak berani menggangguku karena agaknya dia dicekam ketakutan kalau-kalau sampai dapat dikejar suamiku yang sakti mandraguna. Menurut keterangan dan pengakuannya dalam perjalanan dia menculikku karena disuruh oleh Lasmini dengan tujuan agar Lasmini dapat menggantikan kedudukanku menjadi garwa padmi Ki Patih Narotama. Setelah tiba di sini, dia merasa aman dan bebas dari pengejaran suamiku, maka dia mempunyai niat keji untuk menggangguku. Untung engkau datang dan menolongku, Ki Tejoranu."
Mendengar kisah ini, Ki Tejoranu melompat dari atas batu yang didudukinya, mencabut sepasang goloknya dan mencaci maki dalam bahasa Cina yang sama sekali tidak dimengerti oleh Listyarini sambil memainkan sepasang goloknya. Dua gulungan sinar menyambar-nyambar dahsyat dan daun-daun pohon di dekatnya rontok berhamburan seperti hujan daun! Melihat ini, Listyarini merasa kagum akan tetapi juga ngeri. Orang itu tidak tampak lagi, hanya bayangannya saja yang terbungkus dua sinar yang bergulung-gulung.
"Sudahlah, Ki Tejoranu, jangan mengamuk. Aku ngeri melihatnya." katanya halus. Ki Tejoranu menghentikan permainan silatnya dan sepasang golok itu sudah kembali ke tempatnya semula, tersilang di belakang punggungnya.
"Maaf, Mas ayu, aku membuat engkau kaget dan ngeli." katanya sambil merangkap kedua tangan di depan dada dengan sikap hormat.
"Tadi engkau bicara apa, Ki Tejoranu! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan." Listyarini bertanya sambil tersenyum.
Ki Tejoranu tersenyum malu. "Aku ..... ah, tidak apa-apa, Mas ayu, aku malah dan memaki-maki Nismala itu dan aku melasa menyesal membialkan dia lolos. Kalau aku tahu dia begitu jahat tentu sudah kubunuh dia!"
"Engkau tidak perlu merepotkan hal itu, Ki Tejoranu. Suamiku sendiri tentu akan mengambil tindakan tegas terhadap dua orang yang merencanakan penculikan terhadap diriku itu. Sekarang aku hendak minta bantuanmu, Ki Tejoranu. Engkau tentu mau membantu dan menolongku bukan?"
"Tentu saja, Mas ayu Lini. Bantuan apa yang dapat kubelikan untukmu?"
"Begini, K i Tejoranu. Maukah engkau mengantar aku pulang ke Kepatihan Kerajaan Kahuripan? Ketika penjahat itu melarikan aku sampai ke sini, perjalanan memakan waktu kurang lebih sepuluh hari. Itupun sebagian dilakukan dengan jalan kaki dan dia memondongku. Kalau dilakukan dengan menunggang kuda, tentu lebih cepat lagi. Di sana dua ekor kuda itu masih ada, dapat kita pergunakan."
Mendengar permintaan ini, K i Tejoranu tampak tertegun dan sejenak dia bengong tak mampu menjawab sehingga Listyarini mendesaknya. "Bagaimana, Ki Tejoranu? Engkau tentu tidak berkeberatan untuk mengantarku, bukan? Suamiku tentu akan memberi imbalan yang memadai, bahkan aku akan minta kepadanya agar engkau diberi kedudukan tinggi dalam pasukannya."
"Hayaa....." Ki Tejoranu mengeluh, lalu berkata, "Tentu saja aku selalu mau membantumu, Mas ayu, akan tetapi aku..... aku ..... bukan tidak mau, melainkan tidak belani."
"Tidak berani? Engkau yang memiliki kepandaian begitu tinggi?"
"Sudah kucelitakan padamu, aku selama ini melantau, belpindah-pindah, sekalang sembunyi di sini. Aku memang takut kalena aku tahu bahwa Pembesal Bong mengutus olang-olang pandai mencaliku dan akan membunuhku."
"Tapi engkau dapat melawan mereka! Apalagi kalau engkau sudah berada di Kepatihan, suamiku tentu akan melindungimu!"
Ki Tejoranu menggeleng kepala. "Engkau tidak tahu, Mas ayu, olang-olang yang diutus itu lihai-lihai sekali, bahkan aku dengal bahwa Pembesal Bong sudah dapat membujuk guluku untuk ikut mencali aku. Aku takut pelgi jauh dali sini Mas ayu. Maafkan aku." Ki Tejoranu mengangkat kedua tangan kedepan dada dan memberi hormat berulang-ulang sehingga Listyarini merasa tidak enak untuk memaksanya, la mengerti bahwa orang ini benar-benar ketakutan, dan hal itu tidak aneh kalau diingat bahwa gurunya sendiri ikut mencari untuk membunuhnya!
"Kalau begitu, menurut pendapatmu bagaimana baiknya? Apa yang harus ku lakukan sekarang, Ki Tejoranu?" Ia berhenti sebentar. "Bagaimana kalau aku menunggang kuda dan mencoba untuk kembali sendiri ke Kahuripan?"
"Aihh! Jangan, jangan Mas Lini! Jangan lakukan itu, belbahaya sekali, sebelum sampai di sana, engkau bisa celaka. Banyak sekali olang jahat dalam peljalananmu itu!"
"Lalu bagaimana baiknya? Pulang sendiri tidak boleh dan engkau tidak berani mengantarku!"
"Begini saja, Mas ayu. Aku sudah membangun sebuah pondok yang kokoh di dekat telaga. Tempatnya indan telsembunyi dan aman. Tanahnya subul dan tidak kekulangan makanan, banyak pula ikan di ail telaga. Kau tinggal di sana pasti aman. Aku akan melindungimu."
Tiba-tiba Listyarini mendapat pikiran yang dianggapnya amat baik. "Ah, engkau benar, Ki Tejoranu! Untuk sementara aku tinggal di sana, lalu kita mengutus seseorang yang tinggal di dusun terdekat untuk memberi kabar kepada Ki Patih Narotama bahwa aku berada di sana. Tentu suamiku akan segera datang menjemputku!"
Dalam suara wanita itu terkandung harapan dan kegembiraan besar. Ki Tejoranu tersenyum sehingga matanya yang sipit hampir terpejam.
"Bagus! Bagus dan baik sekali pikilan itu, Mas ayu. Sebaiknya diatul begitu. Nanti aku yang mencali olang untuk diutus membeli kabal ke Kepatihan Kahulipan! Kalau begitu, mali, Mas ayu, mali kita pulang!" Laki-laki itupun tampak gembira bukan main.
"Pulang .....?" Listyarini bertanya, sejenak termangu kata-kata itu membuat ia terbayang kepada gedung kepatihan dan keluarganya.
"Ya, pulang ..... maksudku ..... pelgi ke pondokku .....!" kata Ki Tejoranu, lalu dia menghampiri dua ekor kuda yang tadi ditambatkan pada batang pohon dan membawa dua ekor kuda itu dengan menuntunnya.
Listyarini mengikuti dari belakang dan mereka menuruni lembah menuju ke Telaga Sarangan yang tidak begitu jauh dari tempat itu. Ketika mereka tiba di pondok, Listyarini melihat sebuah pondok yang memang kokoh kuat, terbuat dari balok balok kayu besar. Namun pondok itu sederhana sekali, walaupun tampak bersih dan terawat baik-baik. Meja kursinya juga buatan sendiri, kasar namun kokoh. Akan tetapi di dapur terdapat bahan makanan yang cukup banyak. Jagung, ketela, bahkan beras, buah-buahan dan segala macam bumbu masak. Prabotan dapurnya terbuat dari tanah liat, juga serba tebal dan kuat. Ada beberapa buah guci Cina yang indah, juga tempayan besar berisi air jernih. Ada dua buah kamar di pondok itu dan begitu sampai di situ, Ki Tejoranu sibuk membersihkan sebuah kamar yang tadinya tidak terpakai, dipersiapkan untuk Listyarini.
Senang juga hati Listyarini tinggal untuk sementara di tempat itu, biarpun serba sederhana namun bersih dan udaranya sejuk, penuh dengan pohon-pohon dan terutama sekali yang menyenangkan hatinya, sikap Ki Tejoranu terhadap dirinya bahkan melebihi apa yang dia bayangkan. Ramah dan sopan, bahkan penuh pengartian dan lembut sehingga terkadang ia merasa terharu sekali.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ki Tejoranu sudah menuruni lereng menuju ke sebuah dusun kecil di kaki Gunung Lawu sebelah timur. Dengan memberikan sedikit perhiasan berupa sebuah cincin bermata mirah milik Listyarini dan seekor kuda, Ki Tejoranu berhasil membujuk seorang laki-laki dusun berusia empat puluh tahun bernama Sukardi untuk pergi ke kepatihan Kerajaan Kahuripan dan melapor kepada Patih Narotama bahwa Gusti Puteri Listyarini berada di Telaga Sarangan dan minta dijemput.
"Selahkan cincin ini kepada Ki Patih dan dia akan pelcaya ketelanganmu, dan kuda ini boleh kau miliki. Setelah selesai tugasmu, aku akan membeli hadiah lain lagi padamu." Pesan Ki Tejoranu dan Sukardi menyanggupi.
Hari itu juga dia menunggang kuda menuju ke timur, Kerajaan Kahuripan. Mendengar laporan Ki Tejoranu bahwa dia berhasil menyuruh seseorang pergi melapor ke Ki Patih Narotama, hati Listyarini merasa gembira bukan main. Saking girangnya ia lalu berjanji kepada Ki Tejoranu bahwa siang hari itu ia akan membuat masakan lezat untuk penolongnya itu. Ki Tejoranu segera pergi memancing ikan dan sebentar saja dia sudah pulang membawa empat ekor bader yang gemuk dan besar. Lalu dipotongnya leher seekor ayam gemuk dan besar.
Listyarini lalu sibuk memasak nasi dan masakan daging ayam dan ikan itu. la sibuk di dapur dan sama sekali menolak bantuan Ki Tejoranu. Laki-laki itu tersenyum dan duduk di luar, termenung dan merasa betapa indahnya hari itu, betapa bahagianya hatinya. Belum pernah sejak dia melarikan diri dari Cina dia merasa berbahagia seperti pada hari itu!
Akan tetapi, selagi sibuk memasak tiba-tiba Listyarini mendengar suara gaduh di luar pondok, disusul teriakan-teriakan orang dan beradunya senjata berdentingan. La terkejut dan cepat berlari ke depan, lalu mengintai dari balik daun pintu depan. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat Ki Tejoranu berkelahi dikeroyok tiga orang. Seorang di antara para pengeroyok itu bukan lain adalah Nismara! Adapun yang dua orang lagi, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya serba hitam, sikapnya kasar, yang seorang memegang sebatang pecut yang ujungnya dipasangi potongan besi-besi kecil dan yang seorang lagi bersenjatakan sepasang ujung kolor berwarna merah yang panjang.
Mereka adalah dua orang jagoan warok yang dimintai bantuan oleh Nismara dari daerah Ponorogo. Seperti juga para jagoan di dunia persilatan lainnya, para warok dari Ponorogo pun terpisah menjadi dua bagian, sebagian terkenal sebagai warok yang hidup sesat, mengandalkan kesaktian dan kekuatan mereka untuk melakukan penindasan dan kekerasan memaksakan kehendak mereka sendiri, mengejar kesenangan dan gairah nafsu daya rendah sendiri. Sedangkan yang sebagian lagi terkenal sebagai para warok pendekar yang selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang jahat.
Dua orang warok yang datang membantu Nismara ini adalah dua orang warok golongan sesat yang dimintai bantuan oleh Nismara dengan imbalan emas. Setelah perbuatannya yang tidak senonoh terhadap Listyarini digagalkan Ki Tejoranu dan dia merasa tidak mampu menandingi kesaktiannya, Nismara lalu melarikan diri.
Tentu saja dia tidak mau kehilangan Listyarini setelah bersusah payah menculiknya dari Kepatihan Kahuripan. Maka dia yang sudah mengenal beberapa orang warok sesat di daerah Ponorogo, lalu segera mengunjungi mereka dan berhasil mendapatkan bantuan dua orang bersaudara yang terkenal sebagai orang-orang digdaya dan pembunuh pembunuh bayaran. Mereka bernama Wirobento dan Wirobandrek, yang pertama terkenal sebagai ahli bersilat dengan senjata pecutnya dan yang ke dua seperti kebanyakan para warok, memiliki kolor yang merupakan senjata ampuh.
Pada keesokan harinya, mereka bertiga mendaki Gunung Lawu dan tiba di Telaga Sarangan menjelang siang. Mereka menemukan pondok tempat bersembunyi Ki Tejoranu dan kebetulan sekali pada saat itu Ki Tejoranu sedang duduk termenung seorang diri di atas lincak (bangku) bambu di depan pondoknya. Melihat musuh besarnya itu, Nismara memberi isarat kepada dua orang kawannya dan mereka bertiga, tanpa mengeluarkan kata apapun, langsung saja menggunakan senjata mereka untuk menyerang Ki Tejoranu.
"Tarr-tarr ..... syuuuttt .....!" Ujung cambuk atau pecut di tangan Wirobento menyambar dahsyat ke arah dada Ki Tejoranu yang sedang duduk termenung. Ki Tejoranu terkejut dan cepat sekali, dengan refleks yang peka sekali, dia melempar tubuh ke bawah dan bergulingan di atas tanah.
"Pyarrr .....!" Ujung pecut menyambar lincak yang menjadi hancur berkeping-keping.
"Wuutt-wuuttt ..... blarrr .....!"
Sepasang kolor merah dari Wirobento menyambar-nyambar ke arah kepala Ki Tejoranu yang baru saja melompat bangun. Akan tetapi pertapa muda Telaga Sarangan ini sekarang telah siap siaga dan maklum bahwa dia diserang orang-orang yang berbahaya. Cepat tubuhnya bergerak bagaikan seekor burung emprit lincah dan ringan sehingga sambaran sepasang kolor merah itu selalu mengenai tempat kosong dan ketika kolor itu mengenai sebatang pohon sebesar tubuh manusia, pohon itupun patah dan tumbang!
Tadi ketika melihat seorang laki-laki hendak memperkosa seorang wanita, The Jiauw Lan tidak dapat tinggal diam saja dan cepat dia mencegah. Pada saat itu, dia sama sekali tidak memperhatikan wajah Listyarini. Baru sekarang dia bertatap muka dengan Listyarini, melihat wajah yang berseri, mata yang indah bercahaya serta senyuman yang manis itu. Dia terbelalak heran, terpesona, lalu tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah sambil berucap penuh hormat.
"Kwan Im Pouwsat .....!"
Kwan Im Pouwsat atau Dewi Kwan Im adalah sebutan seorang dewi kahyangan yang juga disebut Dewi Kebajikan, Dewi Penolong atau Dewi Welas Asih yang terkenal cantik jelita dan sakti mandraguna. Dalam dongeng di Negeri Cina, sang dewi ini sering kali muncul di dunia untuk menyelamatkan manusia, dan tidak jarang pula ia menjelma manusia biasa untuk menguji budi pekerti orang. Jadi, menurut kepercayaan The Jiauw Lan, bukan mustahil kalau tadi Kwan Im Pouwsat sengaja menyamar sebagai wanita yang hendak diperkosa penjahat untuk mengujinya!
The Jiauw Lan percaya sekali sang dewi yang menjadi pujaan seluruh rakyat di Negeri Cina itu, maka melihat Listyarini yang demikian cantik jelita, anggun dan penuh wibawa serta merta dia menganggapnya Dewi Kwan Im dan memberi hormat sambil mohon ampun dan menghaturkan terima kasih.
Listyarini tertegun. Penolongnya itu tiba-tiba berlutut kepadanya, menyembah-yembah dan berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengertinya sarna sekali! Ia meenengok ke belakangnya, untuk melihat kalau-kalau di sana ada orang lain yang dihormati penolongnya itu. Akan tetapi tidak ada siapa-siapa sehingga jelaslah bahwa ia yang disembahsembah itu. Maka, ia lalu melangkah maju menghampiri penolongnya dan menyentuh pundak orang itu.
"Ki sanak, bangkitlah dan bicaralah dengan bahasa yang kumengerti. Jangan menyembah-nyembah seperti ini."
Sentuhan lembut di pundaknya itu terasa oleh The Jiauw Lan sebagai sentuhan yang mengandung getaran hebat,maka makin gencar dia menyembah karena hatinya makin yakin bahwa yang menyentuhnya itu benar-benar jari tangan Kwan Im Pouwsat yang sakti.
"Paduka Kwan Im Pouwsat ..... Kwan Im Pouwsat ..... saya holmati ....."
"Kwan Im Pouwsat? Siapa itu ....." Listyarini bertanya heran.
"Dewi pujaan kami, Dewi Solga yang bijaksana, penyelamat manusia. Paduka Dewi Kebajikan, maafkan saya ....."
Kini mengertilah Listyarini. Ia merasa geli dan tertawa. Tawanya lembut tertahan dan sopan. "Heh-heh, aku sama sekali bukan dewi kahyangan, ki sanak. Aku manusia biasa. Bangkitlah dan mari kita bicara. Engkaulah yang menolongku dan aku berterima kasih sekali kepadamu."
Mendengar ini, The J iauw Lan mengangkat mukanya dan memandang heran. Kini baru dia melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang wanita Jawa yang sudah pasti seorang bangsawan tinggi, cantik jelita dan anggun. Mungkin saja Kwan Im Pouwsat yang menyamar, akan tetapi wanita itu mengaku bahwa ia seorang manusia biasa. Maka diapun bangkit berdiri.
"Engkau ..... seolang manusia biasa? Benalkah itu? Akan tetapi, bagaimana bisa belada di tempat ini dan siapa pula olang jahat tadi? Siapakah engkau dan dali mana?"
Pertanyaannya meluncur bagaikan hujan dan Listyarini tersenyum. Biarpun laki-laki ini asing dan bicaranya lucu dan pelo, namun ia dapat merasakan dan tahu dari pandang matanya bahwa orang ini bukan orang jahat hamba nafsu.
"Ceritanya panjang, ki sanak. Marilah duduk dan akan kuceritakan semua untuk menjawab pertanyaanmu itu."
Listyarini duduk di atas batu dan laki-laki itu duduk di atas batu lain tak jauh darinya. "Ki sanak, sebelum aku menceritakan keadaan diriku, kuharap engkau suka lebih dulu menceritakan tentang dirimu. Memang aku telah menerima pertolongan darimu dan aku percaya sepenuhnya kepadamu, namun kiranya tidaklah pantas bagi seorang wanita menceritakan keadaan dirinya kepada seorang pria yang tidak dikenalnya sama sekali. Ki sanak, maukah engkau bercerita tentang dirimu kepadaku?"
"Tentu, tentu saja, nona. Namaku adalah The Jiauw Lan." kata laki-laki itu dengan nada gembira.
"Tejo ..... siapa...?"
"The Jiauw Lan."
"Wah, sulit sekali namamu. Tejoranu begitukah?"
Sepasang mata itu menjadi semakin sipit ketika dia tertawa.
"Tejolanu Begitu juga baiklah."
"Baik, mulai sekarang aku akan menyebutmu Ki Tejoranu. Setujukah engkau?"
"Ki Tejolanu? Ha-ha-ha, Ki Tejolanu! Bagus sekali, aku suka nama itu. Mulai sekalang, aku adalah Ki Tejolanu!" kata laki-laki itu sambil tertawa senang. Ketika tertawa, wajahnya yang tadinya tampak asing karena matanya yang sipit itu kelihatan cerah dan menyenangkan, sehingga Listyarini juga ikut tertawa.
"Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu, riwayatmu, Ki Tejoranu. Aku tahu bahwa engkau tentu seorang asing. Dari mana engkau datang dan bagaimana engkau dapat berada di sini?"
"Aku belasal dali Tiongkok."
"Tiongkok? Di mana itu?"
"Aku bangsa Cina, dali Negeli Cina, nona."
"Jangan sebut aku nona. Aku sudah bersuami, namaku Listyarini."
"Listyalini?"
"Ya, jangan sebut nona, sebut aku dengan mas ayu Listyarini."
"Mas ayu Lini, begitu lebih mudah dan tidak telalu panjang. Bolehkah?"
"Baiklah, Ki Tejoranu. Nah, teruskan ceritamu. Engkau berasal dari Negeri Cina? Aku pernah mendengar tentang negara dan kerajaan besar di seberang itu, akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan seorang Cina."
Ki Tejoranu lalu menceritakan riwayatnya. The Jiauw Lan atau yang kini kita kenal sebagai Ki Tejoranu itu tadinya tinggal di sebuah dusun dekat kota Nan-king. Lima tahun yang lalu, ketika itu dia berusia dua puluh tahun, dia seorang yang dikenal sebagai seorang pendekar yang cukup lihai dan ditakuti golongan sesat karena permainan sepasang goloknya yang hebat sehingga dia dijuluki Sha-Jiong-to (Golok Pembunuh Naga).
Karena dia selalu bersikap menentang kejahatan, pada suatu hari dia menghajar seorang pemuda dari Nan-king yang mencoba mengganggu dan menculik seorang gadis dusun, dibantu beberapa orang jagoannya. Ki Tejoranu menghajar kongcu (tuan muda) hidung belang itu bersama para jagoannya sehingga mereka kocar kacir melarikan diri pulang ke Nan-king. Ki Tejoranu sama sekali tidak tahu bahwa yang dihajarnya itu adalah putera seorang pejabat tinggi, bahkan masih keponakan dari seorang pangeran!
Ketika beberapa hari kemudian dia mengetahui akan hal ini, dia terkejut dan khawatir, akan tetapi telah terlambat. Dia mendengar dari seorang teman ketika dia keluar rumah. Karena khawatir akan akibat peristiwa itu, dia cepat pulang, akan tetapi apa yang ditemukannya di rumahnya?
Ayah dan ibunya telah tewas terbunuh, adiknya, seorang gadis kecil berusia empat belas tahun, telah hilang entah ke mana dan rumah mereka porak poranda dihancurkan sejumlah perajurit yang dipimpin oleh Bong-kongcu (tuan muda Bong) yang dihajarnya beberapa hari yang lalu.
Dari para tetangganya dia mendengar bahwa pasukan itu mencarinya lalu mengamuk dan merusak rumah, membunuh ayah ibunya. Adapun tentang adiknya, The Kim Lan, tidak ada yang mengetahuinya. Menurut para tetangga, tidak ada yang melihat gadis cilik itu dibawa lari para perajurit. Mungkin anak itu sempat melarikan diri entah ke mana.
The Jiauw Lan atau Ki Tejoranu marah sekali. Sambil membawa sepasang goloknya, dia segera pergi ke rumah keluarga Pembesar Bong dan di situ dia mengamuk. Puluhan orang perajurit pengawal dibunuhnya dan akhirnya dia berhasil juga membunuh Bong Kongcu.
Setelah dapat membunuh tuan muda Bong itu barulah kemarahannya mereda dan karena tahu bahwa kalau dia melanjutkan, amukannya, akhirnya dia akan mati dikeroyok banyak perajurit, akhirnya dia melarikan diri.
"Begitulah, Mas ayu Lini. Aku dikejal pasukan, telpaksa melalikan dili ke sini, ikut pelahu jong bekelja menjadi kuli dan melantau, kalena takut pembesal Bong mengilim olang-olang pandai mencali, aku belpindah pindah dan akhilnya aku belsembunyi di daelah ini, dekat telaga sana." Ki Tejoranu mengakhiri ceritanya.
Sejak tadi Listyarini mendengarkan dengan penuh perhatian. Biarpun bicaranya pelo, namun ternyata Ki Tejoranu sudah fasih berbahasa daerah sehingga ia dapat menangkap semua ceritanya. Ia menghela napas panjang, membayangkan betapa besar persamaan kejahatan orang dinegeri Cina dan di sini.
Orang-orang berkuasa condong untuk memiliki watak hadigang hadigung-hadiguna, memegang aji mumpung, menggunakan kekuasaan, harta dan kekuatan untuk berbuat sewenang-wenang. Ketenangan kehidupan di Kahuripan sendiri hanya terlaksana karena kebijaksanaan Sang Prabu Erlangga dengan bantuan suaminya, Ki Patih Narotama.
Karena raja dan patihnya itu berwatak adil, berbudi BAWA LAKSANA, maka para pembesarnya takut untuk melakukan pelanggaran, tidak berani bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Akan tetapi di daerah-daerah yang agak jauh dari kota raja, sering terdengar penindasan dan kesewenangan seperti yang menimpa diri Ki Tejoranu itu.
"Ah, kasihan sekali engkau, Ki Tejoranu. Jadi, sudah lima tahun engkau meninggalkan negerimu? Lalu bagaimana kabarnya dengan adikmu, siapa namanya tadi, Kim Lan?"
"Ya, The Kim Lan. Sebelum aku pelgi, aku sudah belusaha mencalinya, namun sia-sia. Dan aku mendengal kabal yang lebih menyedihkan lagi, yaitu .....tunanganku..... yang belnama Mei Hwa, telah dipaksa, diambil menjadi isteli ke tiga dali Pembesal Bong, untuk balas dendam padaku!" Setelah berkata demikian, Ki Tejoranu mengayun tangannya ke atas batu.
"Brakkk!" Tepi batu itu pecah berhamburan dan Listyarini melihat pemuda Cina itu mengusap beberapa butir air mata dengan punggung tangannya.
Listyarini merasa terharu. "Ah, Ki Tejoranu, penderitaanmu sungguh berat. Akan tetapi percayalah. Sang Hyang Widhi akhirnya akan melindungi yang benar dan akan menghukum yang jahat. Sekarang aku semakin yakin bahwa engkau adalah seorang yang baik dan aku makin percaya padamu, Ki Tejoranu." Listyarini bangkit, menghampiri laki-laki itu dan menyentuh pundaknya dengan lembut. Ki Tejoranu meletakkan tangannya diatas tangan Listyarini yang menyentuh pundaknya. Hanya sebentar saja dan dia sudah menarik kembali tangannya.
"Telima kasih, Mas ayu Lini, telima kasih. Hatiku sudah tidak sedih lagi sekalang." Dan untuk membuktikan ini, Ki Tejoranu tersenyum.
"Duduklah, Mas ayu dan sekalang celitakan tentang dilimu."
Listyarini lalu kembali ke tempat duduknya semula. Setelah ia menarik napas panjang beberapa kali, mulailah ia menceritakan tentang dirinya. "Aku berasal dari Nusa Bali bernama Ni Nogati. Setelah aku menjadi garwa padmi Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan, namaku diganti menjadi Listyarini. Aku hidup bahagia dengan suamiku, hidup saling mencinta dan mulia di Kerajaan Kahuripan. Akan tetapi semenjak suamiku, Ki Patih Narotama mengambil seorang puteri Kerajaan Parang Siluman yang bernama Lasmini menjadi selir, datanglah gangguan dalam hidupku. Pertama aku diracuni orang sampai hampir mati. Untung suamiku seorang pandai sehingga aku dapat disembuhkan. Kami semua tidak tahu siapa pelakunya karena Tarni, dayang yang membawakan jamu yang diisi racun itu telah dibunuh oleh Lasmini. Diam-diam aku curiga kepadanya, akan tetapi tidak ada bukti, maka aku tak dapat berbuat apa-apa. Kemudian datanglah malapetaka itu ....." Listyarini menghela napas panjang.
"Apa yang teljadi, Mas ayu Lini?"
"Pada suatu sore, ketika aku seorang diri dalam taman, seorang perwira pasukan pengawal kepatihan bernama Nismara, menculik aku dan melarikan aku keluar dari kepatihan. Dia membawaku lari sampai berhari-hari lamanya. Selama itu dia tidak berani menggangguku karena agaknya dia dicekam ketakutan kalau-kalau sampai dapat dikejar suamiku yang sakti mandraguna. Menurut keterangan dan pengakuannya dalam perjalanan dia menculikku karena disuruh oleh Lasmini dengan tujuan agar Lasmini dapat menggantikan kedudukanku menjadi garwa padmi Ki Patih Narotama. Setelah tiba di sini, dia merasa aman dan bebas dari pengejaran suamiku, maka dia mempunyai niat keji untuk menggangguku. Untung engkau datang dan menolongku, Ki Tejoranu."
Mendengar kisah ini, Ki Tejoranu melompat dari atas batu yang didudukinya, mencabut sepasang goloknya dan mencaci maki dalam bahasa Cina yang sama sekali tidak dimengerti oleh Listyarini sambil memainkan sepasang goloknya. Dua gulungan sinar menyambar-nyambar dahsyat dan daun-daun pohon di dekatnya rontok berhamburan seperti hujan daun! Melihat ini, Listyarini merasa kagum akan tetapi juga ngeri. Orang itu tidak tampak lagi, hanya bayangannya saja yang terbungkus dua sinar yang bergulung-gulung.
"Sudahlah, Ki Tejoranu, jangan mengamuk. Aku ngeri melihatnya." katanya halus. Ki Tejoranu menghentikan permainan silatnya dan sepasang golok itu sudah kembali ke tempatnya semula, tersilang di belakang punggungnya.
"Maaf, Mas ayu, aku membuat engkau kaget dan ngeli." katanya sambil merangkap kedua tangan di depan dada dengan sikap hormat.
"Tadi engkau bicara apa, Ki Tejoranu! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan." Listyarini bertanya sambil tersenyum.
Ki Tejoranu tersenyum malu. "Aku ..... ah, tidak apa-apa, Mas ayu, aku malah dan memaki-maki Nismala itu dan aku melasa menyesal membialkan dia lolos. Kalau aku tahu dia begitu jahat tentu sudah kubunuh dia!"
"Engkau tidak perlu merepotkan hal itu, Ki Tejoranu. Suamiku sendiri tentu akan mengambil tindakan tegas terhadap dua orang yang merencanakan penculikan terhadap diriku itu. Sekarang aku hendak minta bantuanmu, Ki Tejoranu. Engkau tentu mau membantu dan menolongku bukan?"
"Tentu saja, Mas ayu Lini. Bantuan apa yang dapat kubelikan untukmu?"
"Begini, K i Tejoranu. Maukah engkau mengantar aku pulang ke Kepatihan Kerajaan Kahuripan? Ketika penjahat itu melarikan aku sampai ke sini, perjalanan memakan waktu kurang lebih sepuluh hari. Itupun sebagian dilakukan dengan jalan kaki dan dia memondongku. Kalau dilakukan dengan menunggang kuda, tentu lebih cepat lagi. Di sana dua ekor kuda itu masih ada, dapat kita pergunakan."
Mendengar permintaan ini, K i Tejoranu tampak tertegun dan sejenak dia bengong tak mampu menjawab sehingga Listyarini mendesaknya. "Bagaimana, Ki Tejoranu? Engkau tentu tidak berkeberatan untuk mengantarku, bukan? Suamiku tentu akan memberi imbalan yang memadai, bahkan aku akan minta kepadanya agar engkau diberi kedudukan tinggi dalam pasukannya."
"Hayaa....." Ki Tejoranu mengeluh, lalu berkata, "Tentu saja aku selalu mau membantumu, Mas ayu, akan tetapi aku..... aku ..... bukan tidak mau, melainkan tidak belani."
"Tidak berani? Engkau yang memiliki kepandaian begitu tinggi?"
"Sudah kucelitakan padamu, aku selama ini melantau, belpindah-pindah, sekalang sembunyi di sini. Aku memang takut kalena aku tahu bahwa Pembesal Bong mengutus olang-olang pandai mencaliku dan akan membunuhku."
"Tapi engkau dapat melawan mereka! Apalagi kalau engkau sudah berada di Kepatihan, suamiku tentu akan melindungimu!"
Ki Tejoranu menggeleng kepala. "Engkau tidak tahu, Mas ayu, olang-olang yang diutus itu lihai-lihai sekali, bahkan aku dengal bahwa Pembesal Bong sudah dapat membujuk guluku untuk ikut mencali aku. Aku takut pelgi jauh dali sini Mas ayu. Maafkan aku." Ki Tejoranu mengangkat kedua tangan kedepan dada dan memberi hormat berulang-ulang sehingga Listyarini merasa tidak enak untuk memaksanya, la mengerti bahwa orang ini benar-benar ketakutan, dan hal itu tidak aneh kalau diingat bahwa gurunya sendiri ikut mencari untuk membunuhnya!
"Kalau begitu, menurut pendapatmu bagaimana baiknya? Apa yang harus ku lakukan sekarang, Ki Tejoranu?" Ia berhenti sebentar. "Bagaimana kalau aku menunggang kuda dan mencoba untuk kembali sendiri ke Kahuripan?"
"Aihh! Jangan, jangan Mas Lini! Jangan lakukan itu, belbahaya sekali, sebelum sampai di sana, engkau bisa celaka. Banyak sekali olang jahat dalam peljalananmu itu!"
"Lalu bagaimana baiknya? Pulang sendiri tidak boleh dan engkau tidak berani mengantarku!"
"Begini saja, Mas ayu. Aku sudah membangun sebuah pondok yang kokoh di dekat telaga. Tempatnya indan telsembunyi dan aman. Tanahnya subul dan tidak kekulangan makanan, banyak pula ikan di ail telaga. Kau tinggal di sana pasti aman. Aku akan melindungimu."
Tiba-tiba Listyarini mendapat pikiran yang dianggapnya amat baik. "Ah, engkau benar, Ki Tejoranu! Untuk sementara aku tinggal di sana, lalu kita mengutus seseorang yang tinggal di dusun terdekat untuk memberi kabar kepada Ki Patih Narotama bahwa aku berada di sana. Tentu suamiku akan segera datang menjemputku!"
Dalam suara wanita itu terkandung harapan dan kegembiraan besar. Ki Tejoranu tersenyum sehingga matanya yang sipit hampir terpejam.
"Bagus! Bagus dan baik sekali pikilan itu, Mas ayu. Sebaiknya diatul begitu. Nanti aku yang mencali olang untuk diutus membeli kabal ke Kepatihan Kahulipan! Kalau begitu, mali, Mas ayu, mali kita pulang!" Laki-laki itupun tampak gembira bukan main.
"Pulang .....?" Listyarini bertanya, sejenak termangu kata-kata itu membuat ia terbayang kepada gedung kepatihan dan keluarganya.
"Ya, pulang ..... maksudku ..... pelgi ke pondokku .....!" kata Ki Tejoranu, lalu dia menghampiri dua ekor kuda yang tadi ditambatkan pada batang pohon dan membawa dua ekor kuda itu dengan menuntunnya.
Listyarini mengikuti dari belakang dan mereka menuruni lembah menuju ke Telaga Sarangan yang tidak begitu jauh dari tempat itu. Ketika mereka tiba di pondok, Listyarini melihat sebuah pondok yang memang kokoh kuat, terbuat dari balok balok kayu besar. Namun pondok itu sederhana sekali, walaupun tampak bersih dan terawat baik-baik. Meja kursinya juga buatan sendiri, kasar namun kokoh. Akan tetapi di dapur terdapat bahan makanan yang cukup banyak. Jagung, ketela, bahkan beras, buah-buahan dan segala macam bumbu masak. Prabotan dapurnya terbuat dari tanah liat, juga serba tebal dan kuat. Ada beberapa buah guci Cina yang indah, juga tempayan besar berisi air jernih. Ada dua buah kamar di pondok itu dan begitu sampai di situ, Ki Tejoranu sibuk membersihkan sebuah kamar yang tadinya tidak terpakai, dipersiapkan untuk Listyarini.
Senang juga hati Listyarini tinggal untuk sementara di tempat itu, biarpun serba sederhana namun bersih dan udaranya sejuk, penuh dengan pohon-pohon dan terutama sekali yang menyenangkan hatinya, sikap Ki Tejoranu terhadap dirinya bahkan melebihi apa yang dia bayangkan. Ramah dan sopan, bahkan penuh pengartian dan lembut sehingga terkadang ia merasa terharu sekali.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ki Tejoranu sudah menuruni lereng menuju ke sebuah dusun kecil di kaki Gunung Lawu sebelah timur. Dengan memberikan sedikit perhiasan berupa sebuah cincin bermata mirah milik Listyarini dan seekor kuda, Ki Tejoranu berhasil membujuk seorang laki-laki dusun berusia empat puluh tahun bernama Sukardi untuk pergi ke kepatihan Kerajaan Kahuripan dan melapor kepada Patih Narotama bahwa Gusti Puteri Listyarini berada di Telaga Sarangan dan minta dijemput.
"Selahkan cincin ini kepada Ki Patih dan dia akan pelcaya ketelanganmu, dan kuda ini boleh kau miliki. Setelah selesai tugasmu, aku akan membeli hadiah lain lagi padamu." Pesan Ki Tejoranu dan Sukardi menyanggupi.
Hari itu juga dia menunggang kuda menuju ke timur, Kerajaan Kahuripan. Mendengar laporan Ki Tejoranu bahwa dia berhasil menyuruh seseorang pergi melapor ke Ki Patih Narotama, hati Listyarini merasa gembira bukan main. Saking girangnya ia lalu berjanji kepada Ki Tejoranu bahwa siang hari itu ia akan membuat masakan lezat untuk penolongnya itu. Ki Tejoranu segera pergi memancing ikan dan sebentar saja dia sudah pulang membawa empat ekor bader yang gemuk dan besar. Lalu dipotongnya leher seekor ayam gemuk dan besar.
Listyarini lalu sibuk memasak nasi dan masakan daging ayam dan ikan itu. la sibuk di dapur dan sama sekali menolak bantuan Ki Tejoranu. Laki-laki itu tersenyum dan duduk di luar, termenung dan merasa betapa indahnya hari itu, betapa bahagianya hatinya. Belum pernah sejak dia melarikan diri dari Cina dia merasa berbahagia seperti pada hari itu!
Akan tetapi, selagi sibuk memasak tiba-tiba Listyarini mendengar suara gaduh di luar pondok, disusul teriakan-teriakan orang dan beradunya senjata berdentingan. La terkejut dan cepat berlari ke depan, lalu mengintai dari balik daun pintu depan. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat Ki Tejoranu berkelahi dikeroyok tiga orang. Seorang di antara para pengeroyok itu bukan lain adalah Nismara! Adapun yang dua orang lagi, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya serba hitam, sikapnya kasar, yang seorang memegang sebatang pecut yang ujungnya dipasangi potongan besi-besi kecil dan yang seorang lagi bersenjatakan sepasang ujung kolor berwarna merah yang panjang.
Mereka adalah dua orang jagoan warok yang dimintai bantuan oleh Nismara dari daerah Ponorogo. Seperti juga para jagoan di dunia persilatan lainnya, para warok dari Ponorogo pun terpisah menjadi dua bagian, sebagian terkenal sebagai warok yang hidup sesat, mengandalkan kesaktian dan kekuatan mereka untuk melakukan penindasan dan kekerasan memaksakan kehendak mereka sendiri, mengejar kesenangan dan gairah nafsu daya rendah sendiri. Sedangkan yang sebagian lagi terkenal sebagai para warok pendekar yang selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang jahat.
Dua orang warok yang datang membantu Nismara ini adalah dua orang warok golongan sesat yang dimintai bantuan oleh Nismara dengan imbalan emas. Setelah perbuatannya yang tidak senonoh terhadap Listyarini digagalkan Ki Tejoranu dan dia merasa tidak mampu menandingi kesaktiannya, Nismara lalu melarikan diri.
Tentu saja dia tidak mau kehilangan Listyarini setelah bersusah payah menculiknya dari Kepatihan Kahuripan. Maka dia yang sudah mengenal beberapa orang warok sesat di daerah Ponorogo, lalu segera mengunjungi mereka dan berhasil mendapatkan bantuan dua orang bersaudara yang terkenal sebagai orang-orang digdaya dan pembunuh pembunuh bayaran. Mereka bernama Wirobento dan Wirobandrek, yang pertama terkenal sebagai ahli bersilat dengan senjata pecutnya dan yang ke dua seperti kebanyakan para warok, memiliki kolor yang merupakan senjata ampuh.
Pada keesokan harinya, mereka bertiga mendaki Gunung Lawu dan tiba di Telaga Sarangan menjelang siang. Mereka menemukan pondok tempat bersembunyi Ki Tejoranu dan kebetulan sekali pada saat itu Ki Tejoranu sedang duduk termenung seorang diri di atas lincak (bangku) bambu di depan pondoknya. Melihat musuh besarnya itu, Nismara memberi isarat kepada dua orang kawannya dan mereka bertiga, tanpa mengeluarkan kata apapun, langsung saja menggunakan senjata mereka untuk menyerang Ki Tejoranu.
"Tarr-tarr ..... syuuuttt .....!" Ujung cambuk atau pecut di tangan Wirobento menyambar dahsyat ke arah dada Ki Tejoranu yang sedang duduk termenung. Ki Tejoranu terkejut dan cepat sekali, dengan refleks yang peka sekali, dia melempar tubuh ke bawah dan bergulingan di atas tanah.
"Pyarrr .....!" Ujung pecut menyambar lincak yang menjadi hancur berkeping-keping.
"Wuutt-wuuttt ..... blarrr .....!"
Sepasang kolor merah dari Wirobento menyambar-nyambar ke arah kepala Ki Tejoranu yang baru saja melompat bangun. Akan tetapi pertapa muda Telaga Sarangan ini sekarang telah siap siaga dan maklum bahwa dia diserang orang-orang yang berbahaya. Cepat tubuhnya bergerak bagaikan seekor burung emprit lincah dan ringan sehingga sambaran sepasang kolor merah itu selalu mengenai tempat kosong dan ketika kolor itu mengenai sebatang pohon sebesar tubuh manusia, pohon itupun patah dan tumbang!