CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
JAKA LOLA JILID 04
Pada saat itu, terdengar suara berisik dan para tukang pukul berdatangan ke tempat itu sambil membawa senjata. Jumlah tukang pukul keluarga Bhong ada dua puluh orang, dan kini mendengar berita bahwa gedung majikan mereka didatangi seorang wanita yang mengamuk, tergesa-gesa mereka lari mendatangi. Ketika mendengar bahwa ada enam orang teman mereka yang dibuntungi lengannya, mereka menjadi marah sekali. Apa lagi saat melihat betapa Bhong-siauw-ya (tuan muda Bhong) mereka sekarang telah bertempur melawan wanita itu dan sedang berada dalam keadaan terdesak, kemarahan mereka memuncak dan tanpa diberi komando lagi, empat belas orang tukang pukul itu serentak maju mengeroyok.
Siu Bi tadi sudah mendengar keterangan para petani bahwa lurah itu mempunyai dua puluh orang tukang pukul, maka melihat serbuan ini, maklumlah ia bahwa mereka semua sudah lengkap berkumpul di situ. Memang inilah yang ia kehendaki, maka tadi ia tidak lekas-lekas merobohkan Bhong Lam, yaitu hendak memancing datangnya semua tukang pukul, baru ia hendak turun tangan.
"Para paman, lihatlah aku membalaskan dendam kalian!" terdengar bentakan merdu dan nyaring di antara hujan senjata itu. Para petani sudah gelisah sekali dan menggigil, maka mereka menjadi girang mendengar suara ini.
Seiring dengan bentakan merdu dan nyaring itu, lenyaplah tubuh Siu Bi, berubah menjadi bayangan berkelebat yang dibungkus sinar kehitaman. Pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang dipergunakan oleh gadis itu, dan akibatnya mengerikan sekali. Jerit dan tangis terdengar susul-menyusul.
Tubuh para tukang pukul roboh bergelimpangan satu demi satu dengan cara yang cepat sekali. Paling akhir Bhong Lam yang tadinya mainkan toya dengan ganas itu pun roboh tersungkur tak dapat berkutik lagi. Tak sampai seperempat jam lamanya, empat belas orang tukang pukul itu roboh semua dengan lengan kanan terbabat putus. Sedangkan Bhong Lam sendiri roboh tak berkutik dan darah mengucur dari dadanya yang telah tertembus pedang. Mandi darah dan hujan rintihan memenuhi halaman itu.
Para petani yang tadinya menonton dengan jantung berdebar-debar, sekarang tak berani memandang lagi. Mereka adalah korban-korban kekejaman yang sudah sering disiksa, akan tetapi menyaksikan ini membuat mereka menggigil dan tak berani memandang lagi. Mereka memang menaruh dendam dan ingin sekali menyaksikan para penyiksa mereka itu terbalas dan terhukum, akan tetapi apa yang barusan dilakukan oleh ‘Dewi Kwan Im’ ini benar-benar amat menyeramkan.
Empat belas orang dan enam orang mandor di sawah dibuntungi lengannya, sedangkan Bhong-kongcu tewas. Semua tukang pukul merintih-rintih memegangi lengan kanan yang buntung dengan tangan kiri, bingung melihat darahnya sendiri mengucur bagai pancuran. Siu Bi bagaikan seekor harimau betina mencium darah. Dengan sikap beringas karena mengira bahwa akan datang lagi antek-antek keluarga Bhong, dia kemudian menantang, "Hayo, bila masih ada binatang-binatang keji penindas orang-orang miskin, majulah dan inilah lawanmu, aku Cui-beng Kwan Im!"
Seorang laki-laki setengah tua, yaitu Bhong-loya sendiri, alias lurah Bhong Ciat, diiringi isterinya, berlari tersaruk-saruk keluar gedung dan menangislah pasangan suami isteri ini setelah melihat putera tunggal mereka menggeletak mandi darah tak bernyawa lagi. Pada waktu itu terdengar derap kaki kuda dan datanglah serombongan orang berkuda. Melihat pakaian mereka, terang bahwa mereka adalah prajurit-prajurit istana, berjumlah dua puluh empat orang, dikepalai oleh seorang muda yang amat gagah dan tampan.
"Minggir! Bun-enghiong (pendekar Bun) telah datang...!" teriak orang-orang yang tadinya berkumpul memenuhi tempat itu, menonton kejadian yang hebat di depan gedung lurah Bhong.
Pemuda tampan itu memberi tanda dengan tangan, menyuruh barisannya berhenti. Dia sendiri melompat turun dan atas kudanya dan lari memasuki pekarangan. Alisnya yang tebal itu bergerak-gerak dan matanya terbelalak heran menyaksikan empat belas orang tukang pukul merintih-rintih dengan lengan buntung serta Bhong-kongcu tewas ditangisi ayah bundanya.
Ada pun Bhong Ciat, ketika mendengar seruan orang-orang dan melihat pemuda gagah itu, segera menangis sambil menyambut dan berlutut di depan pemuda itu.
"Aduh, Bun-enghiong... tolonglah kami... malapetaka telah menimpa keluarga kami, anak kami tewas... orang-orang kami buntung semua lengan mereka... penasaran... sungguh penasaran...."
"Paman Bhong, siapa yang melakukan perbuatan keji itu?" Si pemuda tampan bertanya, pandang matanya mencari-cari.
"Aku yang melakukan!" tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Pemuda itu cepat memandang dan dia melongo. Sinar matanya yang tajam itu jelas tidak percaya, dan sampai lama dia memandang Siu Bi. Kemudian dia tersenyum, sama sekali tidak mau percaya ketika dia berkata,
"Nona, harap kau jangan main-main dalam urusan yang begini hebat. Lebih baik Nona tolong memberi tahu siapa mereka yang telah melakukan pengamukan seperti ini."
"Siapa yang main-main? Huh, kalau hanya memberi hajaran kepada anjing-anjing ini saja apa sih sukarnya? Biar mereka ada sepuluh kali banyaknya, semua akan aku robohkan!" Siu Bi menyombong, ada pun pedangnya digerakkan melintang di depan dada, gerakan yang amat indah dan gagah.
Seketika berubah wajah pemuda tampan itu, sinar matanya menyinarkan kekerasan dan kekagetan. "Nona siapakah?"
"Huh, baru bertemu tanya-tanya nama segala, mau apa sih? Kau sendiri siapa, lagaknya kayak pembesar, datang-datang main urus persoalan orang lain!"
Pemuda itu cepat-cepat memberi hormat sambil menjura, bibirnya tersenyum dan untuk sedetik matanya menyinarkan kegembiraan. "Nona, ketahuilah, aku yang rendah adalah Bun Hui. Bolehkah sekarang aku tahu, siapa Nona?"
"Aku Cui-beng Kwan Im!" jawab Siu Bi berlagak, mengedikkan kepala membusungkan dada serta pandang matanya menantang, memandang rendah, sungguh pun diam-diam dia kagum melihat pemuda yang tampan dan gagah ini,
Bun Hui tercengang. Dia tahu bahwa nona itu menggunakan nama samaran atau nama julukan. Julukan yang hebat dan tepat. Memang cantik jelita seperti Kwan Im, dan ganas seperti setan pengejar nyawa!
Dia mengingat-ingat. Sudah banyak dia mengenal tokoh-tokoh di dunia kang-ouw, lebih banyak lagi yang sudah dia dengar namanya, namun belum pernah dia mendengar nama julukan Cui-beng Kwan Im! Apa lagi kalau yang mempunyai nama itu seorang dara jelita seperti ini!
Sementara itu, petani tua yang tadi mempelopori kawan-kawannya kini mendekati Siu Bi dan berbisik, "Pouwsat (dewi), dia adalah Bun-enghiong, putera Bun-goanswe (Jenderal Bun) yang amat berkuasa di kota raja dan terkenal sebagai keluarga yang amat adil dan ditakuti pembesar macam Bhong-loya."
Siu Bi mengangguk-angguk, akan tetapi hatinya merasa dongkol. Jadi pemuda ini putera pembesar tinggi yang ditakuti semua orang? Hemmm, dia tidak takut!
"Ehh, orang she Bun, kiranya kau putera pembesar yang katanya adil? Huh, siapa sudi percaya? Apa bila kau atau ayahmu benar-benar adil, tentu tidak akan membiarkan para penduduk miskin dusun ini ditekan dan dicekik oleh lurah Bhong beserta kaki tangannya. Karena kau dan ayahmu, meski pun merupakan pembesar-pembesar tinggi namun tidak becus memberi hajaran kepada bawahanmu semacam anjing-anjing ini, maka aku yang turun tangan memberi hajaran. Sekarang kau mau apa? Mau membela mereka? Boleh! Aku tidak takut!"
Bun Hui terheran-heran dan diam-diam dia amat kagum di samping kemarahannya akan kesombongan dara ini. Ia menoleh ke arah Bhong Ciat yang masih berlutut, lalu bertanya, "Betulkah apa yang dikatakan Nona ini, paman Bhong?"
Bhong Ciat adalah seorang yang pandai mengambil hati, karena kekayaannya dia pandai bermuka-muka sehingga banyak pembesar di kota raja yang dapat dikelabui, mengira dia seorang yang baik dan pandai mengurus kewajibannya. Tadinya Bun Hui juga mendapat kesan baik akan diri lurah ini, maka hari itu dia hendak membelokkan tugas kelilingnya ke dusun Pau-ling.
"Bohong, Bun-enghiong, Nona itu mengatakan fitnah!" Bhong Ciat segera membantah. "Siapa yang menindas orang? Harap tanyakan saja kepada para saudara petani."
Akan tetapi belum juga Bun Hui melakukan pertanyaan, para petani itu sudah serempak berteriak-teriak,
"Memang benar ucapan Pouwsat! Bertahun-tahun kami ditindas dan hidup sengsara di bawah telapak kaki Bhong-kongcu dan kaki tangannya yang kejam! Bhong-loya tak tahu apa-apa, enak-enak saja di dalam gedung tidak peduli akan keganasan puteranya, selalu berpihak kepada puteranya!"
Biar pun orang-orang itu bicara tidak karuan dan saling susul, namun isi teriakan-teriakan itu adalah cukup bagi Bun Hui. Dia kini menghadapi Siu Bi kembali, yang masih berdiri tegak menantang.
"Nah, apakah kau masih hendak memihak lurah yang bejat moralnya ini? Boleh, aku tetap berpihak kepada mereka yang tertindas!"
"Sabar, Nona. Aku tak berpihak kepada siapa-siapa, melainkan berpihak kepada hukum. Ketahuilah, oleh yang mulia kaisar, ayahku diberi tugas untuk meneliti serta mengawasi sepak-terjang para petugas negara. Kini, sebagai wakil ayah, aku menghadapi peristiwa ini. Bukanlah kewajibanku untuk mengambil keputusan di sini, khawatir kalau-kalau aku terpengaruh oleh salah satu pihak kemudian dianggap tidak adil. Oleh karena itu, aku persilakan Nona suka ikut bersamaku, juga paman Bhong, dan beberapa orang saudara petani sebagai saksi. Apakah Nona berani menghadapi pemeriksaan pengadilan yang berwenang?"
Biar pun masih muda, baru dua puluh lewat usianya, Bun Hui memiliki kecerdikan yang berhubungan dengan tugasnya mewakili ayahnya. Karena kecerdikannya inilah dia dapat menghadapi Siu Bi. Dia dapat menyelami watak dara lincah yang tidak mungkin mau mengalah itu, oleh karena itu sengaja dia menantang apakah Siu Bi berani menghadapi pemeriksaan pengadilan. Benar saja dugaannya, dengan mata berapi gadis itu langsung membentaknya,
"Mengapa tidak berani? Hayo, biar pun malaikat sendiri datang mengadili, aku tidak takut karena aku membela keadilan!" serunya.
"Bagus sekali!" Bun Hui berseru girang. "Nona betul-betul gagah perkasa. Banyak orang kang-ouw yang tak mau tahu akan pemeriksaan pengadilan negara, seolah-olah mereka itu tidak bernegara dan tidak mengenal hukum. Mereka lebih suka menjadi hakim sendiri menurut kehendak hati mereka, sehingga terjadilah balas-membalas dan permusuhan di mana-mana."
Siu Bi mengerutkan keningnya. Ucapan ini tidak menyenangkan hatinya, sebab ia sendiri menganggap dirinya merupakan seorang tokoh kang-ouw pula, biar pun belum ternama. "Karena mereka itu tidak berani!" serunya ingin menang.
"Memang, karena mereka itu tidak berani, dan Nona tentu saja berani menghadapi apa saja."
"Tentu aku berani, takut apa? Kalau aku tidak bersalah, siapa pun juga akan kulawan dan kuhadapi dengan pedangku!"
Bun Hui tersenyum. Ia segera memberi perintah kepada anak buahnya agar menyiapkan kuda. la sendiri lalu memberikan kudanya kepada Siu Bi.
"Mari, Nona, ayo kita berangkat." Kepada para petani yang tidak ikut menjadi saksi, dia berkata, "Paman sekalian harap rawat mereka yang terluka. Mulai saat ini juga di dusun Pau-ling tak lagi boleh terjadi keributan, tidak boleh ada yang menggunakan kekerasan. Kalau terjadi sesuatu penasaran, harap lapor kepadaku."
Berangkatlah rombongan itu. Siu Bi naik kuda di samping Bun Hui, di depan barisan. Lurah Bhong dan enam orang petani saksi berada di tengah rombongan. Para penduduk Pau-ling mengantar rombongan itu dengan pandangan mata mereka. Banyak yang berlinang air mata karena girang, terharu akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Siu Bi. Nama Cui-beng Kwan Im akan tetap terukir di sanubari para petani miskin di Pau-ling karena sesungguhnya, sejak Siu Bi turun tangan, penderitaan mereka lenyap, setelah di dusun itu diperintah oleh seorang lurah baru yang adil sehingga tidak ada lagi terjadi pemerasan dan penindasan di situ.
Tak ada seorang pun yang tahu bahwa semenjak Siu Bi dikeroyok tadi, semua peristiwa dilihat oleh sepasang mata yang sangat tajam, yang tadi memandang kagum, kemudian memandang khawatir ketika melihat gadis itu turut pergi bersama rombongan Bun Hui. Tanpa diketahui siapa pun, pemilik sepasang mata ini diam-diam mengikuti rombongan. Hebatnya, biar pun rombongan itu berkuda, dia dapat berlari cepat dan tetap mengikuti di belakang rombongan. Dia adalah seorang laki-laki muda, kurang dari tiga puluh tahun, pakaiannya sederhana, sikapnya halus dan pendiam. Siapa lagi kalau bukan Si Jaka Lola, Yo Wan!
Seperti diketahui, Yo Wan meninggalkan Pegunungan Himalaya, dalam perantauannya menuju ke timur. Tiba-tiba saja timbul pikirannya untuk mengunjungi Hoa-san. Ketika dia mengenangkan peristiwa di Hoa-san beberapa tahun yang silam, dia menyesalkan akan sikapnya sendiri yang telah mendatangkan gara-gara di sana. la tidak perlu merasa takut, karena maksud kedatangannya sekarang hanya ingin mengunjungi suhu dan subo-nya, untuk memberi hormat dan melihat keadaan kedua orang tua itu.
Gembira juga hatinya kalau memikirkan bahwa tentu sekarang Swan Bu, anak yang dulu sangat manja itu, kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Tampan dan gagah, tak salah lagi. Dahulu pada waktu kecil saja sudah memperlihatkan ketampanan dan kegagahan. la akan merasa bangga melihat adik seperguruan ini.
Pada hari itu, secara kebetulan sekali dia tiba di dusun Pau-ling dan mendengar adanya keributan. Ketika dia memasuki dusun, tepat dilihatnya seorang gadis remaja dikeroyok oleh banyak orang. Dia tidak tahu akan persoalannya, maka ditanyakannya kepada seorang petani di antara banyak penonton itu. Dan apa yang didengarnya benar-benar membuatnya kagum luar biasa. Gadis itu, yang berjuluk Cui-beng Kwan Im, ternyata membela para petani miskin yang ditindas lurah, dan sekarang tengah dikeroyok oleh tukang pukul-tukang pukul yang biasanya menyiksa penghidupan para petani miskin.
la kagum, akan tetapi juga khawatir kalau-kalau gadis pendekar itu akan celaka di tangan para tukang pukul yang galak. Akan tetapi, betapa kagumnya menyaksikan sepak terjang gadis itu, sepak terjang yang amat ganas dengan ilmu pedang serta ilmu pukulan yang dahsyat dan ganas pula. Uap hitam yang keluar dari tangan kiri gadis itu! Terang merupakan ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun, sedangkan ilmu pedang yang juga bersinar hitam, semua ini membuktikan bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian dari golongan hitam. Akan tetapi harus diakui bahwa kepandaian gadis itu benar-benar luar biasa!
Munculnya pemuda bernama Bun Hui mengagumkan hatinya, juga gerak-gerik pemuda itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Sekali pandang saja Yo Wan dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Langkah kakinya yang mantap, semua gerak-geriknya yang ringan, terang menjadi tanda-tanda seorang ahli silat tinggi.
Maka diam-diam dia mentertawai gadis itu yang amat tinggi hati. Kau terlalu memandang rendah pemuda ini, pikirnya. Betapa pun juga, dia mengkhawatirkan gadis perkasa yang agaknya masih hijau ini dan diam-diam dia mengikuti dari jauh. Gembira juga hati Siu Bi, kegembiraan yang timbul oleh kebanggaan. Ketika rombongan memasuki kota Tai-goan, sebuah kota besar di sebelah barat kota raja, rombongan itu lantas menjadi tontonan banyak orang. Dan terutama sekali, dirinya yang menjadi pusat perhatian para penonton. Dengan lagak angkuh ia duduk di atas kudanya yang berjalan berendeng dengan kuda Bun Hui.
Di sepanjang jalan tadi ia tidak mempedulikan pemuda ini, juga Bun Hui tidak satu kali pun bicara dengan Siu Bi. Walau pun di dalam hatinya Bun Hui amat kagum dan tertarik dengan gadis ini, akan tetapi dia adalah seorang pemuda gagah yang menjunjung tinggi kesopanan, maka dia menahan perasaannya dan tidak mau mengajak bicara Siu Bi di depan orang banyak.
Akan tetapi tidak sedetik pun perhatiannya beralih dari diri gadis di sampingnya. la heran sekali bagaimana seorang gadis semuda dan sejelita ini dapat bersikap demikian ganas. Diam-diam dia menduga-duga, murid siapakah gerangan gadis ini, siapa pula namanya. Ingin dia segera sampai di kota raja agar dalam pemeriksaan dia akan dapat mendengar riwayat dara yang telah menjatuh bangunkan hatinya itu.
Siapakah pemuda ini sesungguhnya? Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu telah mengenal ayah pemuda ini yang bukan lain adalah Bun Wan, putera tunggal dari ketua Kun-lun-pai! Di dalam cerita Pendekar Buta telah dituturkan bahwa Bun Wan menikah dengan seorang gadis lihai puteri majikan Pulau Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau) yang bernama Giam Hui Siang.
Kemudian, karena jasa-jasanya dalam perjuangan membantu Raja Muda Yung Lo yang mengalahkan keponakannya sendiri, setelah Yung Lo menggantikan kedudukan sebagai kaisar dan memindahkan ibu kota dari selatan ke utara, Bun Wan diberi kedudukan tinggi sesuai dengan jasanya, malah pernah menjabat sebagai seorang jenderal. Dari perkawinannya dengan Giam Hui Siang, dia memperoleh seorang putera yang diberi nama Hui. Kemudian, melihat watak Jenderal Bun yang sangat jujur keras dan adil, oleh kaisar Jenderal Bun diangkat menjadi pengawas dan pemeriksa semua alat negara.
Kekuasaannya amat tinggi sehingga dengan pedang kekuasaannya yang diberikan oleh kaisar, Jenderal Bun berkuasa memeriksa semua petugas, dari yang terendah sampai yang paling tinggi. Inilah yang menyebabkan dia ditakuti dan disegani oleh para menteri sekali pun, karena jenderal ini terkenal sebagai seorang yang berdisiplin, keras dan adil, tak mungkin bisa disuap dan tidak mengenal ampun pada para pembesar yang korup.
Di samping keseganan, tentu saja Jenderal Bun ini mendapatkan banyak sekali musuh yang membencinya secara diam-diam. Tetapi siapakah orangnya berani menentangnya secara berterang? Jenderal Bun selain lihai ilmu silatnya, memiliki prajurit-prajurit pilihan, disayang dan dipercaya kaisar, dan di samping ini, masih ada Kun-lun-pai sebagai partai persilatan besar yang seratus persen berdiri di belakangnya!
Jenderal Bun adalah seorang ahli silat Kun-lun-pai yang memiliki kepandaian tinggi. Juga Giam Hui Siang isterinya adalah seorang ahli silat tinggi yang telah mewarisi kepandaian Ching-toanio majikan Pulau Ching-coa-to. Tentu saja, sebagai putera Bun Hui semenjak kecil digembleng ayah bundanya sendiri sehingga memiliki kepandaian yang hebat. Pemuda ini mewarisi watak ayahnya, keras, jujur dan adil. Oleh karena inilah maka dia dipercaya oleh ayahnya dan sering kali mewakili ayahnya yang sibuk dengan pekerjaan di Tai-goan, untuk mengadakan pemeriksaan di wilayah yang dikuasakan oleh kaisar.
Pada hari itu, Bun-goanswe (Jenderal Bun) yang tengah sibuk di kamar kerjanya menjadi terheran-heran ketika melihat puteranya pulang bersama seorang gadis cantik jelita yang sikapnya angkuh dan gagah, diiringkan pula oleh lurah Bhong dari dusun Pau-ling dan beberapa orang petani miskin. Lurah Bhong dan para petani segera menjatuhkan diri berlutut di depan meja jenderal itu. Akan tetapi Siu Bi tentu saja tidak sudi berlutut, malah berdiri tegak dan memandang pria tinggi besar yang duduk di belakang meja.
Dia melihat seorang laki-laki yang gagah, berusia sepantar ayahnya, pakaiannya seperti seorang panglima perang. Matanya yang sebelah kanan buta, akan tetapi hal ini malah menambah keangkerannya. Mau tidak mau Siu Bi menaruh segan dan hormat terhadap orang tua ini, maka dia diam saja, hanya memandang. Sejenak Bun-goanswe menatap wajah Siu Bi, maklum bahwa gadis ini tentulah seorang gadis kang-ouw yang tinggi hati dan merasa dirinya paling pandai. Maka dia tersenyum di dalam hati dan tidak menjadi kurang senang melihat gadis remaja itu tidak mau memberi hormat kepadanya.
Dengan tenang Bun-goanswe mendengarkan penuturan Bun Hui mengenai keributan di dusun Pau-ling. Tampak mata yang tinggal sebelah itu bersinar marah dan alisnya yang tebal hitam berkerut. Segera dia menoleh ke arah lurah Bhong yang masih berlutut tanpa berani mengangkat mukanya.
"Lurah Bhong, benarkah pendengaranku bahwa kau memperlakukan penduduk desamu secara tidak adil, melakukan tindakan sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu?"
"Mohon ampun, Taijin... hamba... hamba tidak merasa melakukan perbuatan sewenang-wenang. Ham... hamba sudah tua... sudah jarang bekerja di luar... semua urusan hamba serahkan kepada petugas petugas hamba..."
"Hemmm, sudah keenakan lalu bermalas-malasan dan bersenang di dalam gedung saja, ya? Melalaikan kewajiban, tidak peduli akan keadaan penduduk, bersikap masa bodoh asal kau sendiri senang? Begitukah sikap seorang kepala kampung? Tentang keributan antara anakmu dan orang-orangmu dengan Nona ini, bagaimana?"
"Hamba kurang jelas... hanya gadis liar ini datang menyerang, membunuh anak hamba... juga melukai semua petugas, membuntungi lengan mereka, tidak seorang pun selamat. Hamba... hamba mohon Taijin sudi menghukum gadis liar ini, dia sangat jahat!"
Bun-goanswe menoleh ke arah Siu Bi, sinar matanya penuh selidik. Dia tak senang juga mendengar gadis ini sudah membunuh orang dan membuntungi lengan dua puluh orang lebih. Sungguh ganas!
Akan tetapi Siu Bi menentang pandang matanya dengan berani, bahkan berkedip pun tidak. Sepasang mata yang amat tajam, penuh ketabahan dan kekerasan hati. Seorang gadis berbahaya, apa lagi kalau berkepandaian tinggi.
"Nona, kau siapakah?"
"Orang-orang dusun menyebutku Kwan Im Pouwsat, tetapi aku lebih senang memakai nama Cui-beng Kwan-im," jawab Siu Bi, suaranya merdu dan lantang.
Bun-goanswe tak dapat menahan senyumnya, senyum maklum dan setengah mengejek. la pernah muda, pernah dia melihat gadis-gadis kang-ouw seperti ini di waktu mudanya. Malah isterinya sendiri, dahulu lebih ganas dari pada gadis ini!
"Namamu siapa? Siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu?"
Siu Bi mengerutkan kening. Untuk apa tanya-tanya orang tua ini, pikirnya. Akan tetapi ia tidak berani menjawab secara kurang ajar, hanya menjawab sewajarnya, "Tentang orang tuaku, kiranya tidak perlu disebut-sebut di sini. Namaku Siu Bi, dan mengenai guruku... hemmm, mendiang guruku berjuluk Hek Lojin."
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bun-goanswe mendengar nama ini. Di dalam cerita Pendekar Buta telah diceritakan betapa dia dan isterinya pernah bertemu dengan Hek Lojin dan terluka hebat, mungkin binasa kalau tidak ditolong oleh Kwan Kun Hong Si Pendekar Buta!
Hek Lojin adalah seorang kakek iblis, yang dulu pernah hampir membunuh dia bersama isterinya. Dan sekarang muridnya, gadis yang tentu juga seorang gadis iblis pula, berdiri di depannya Kalau saja Bun-goanswe bukan seorang tua yang pengalamannya sudah matang, berwatak adil dan pandai menyembunyikan perasaan, tentu dia sudah melompat untuk menerjang murid bekas musuhnya ini. la menekan perasaannya dan mengangguk-angguk.
“Mengapa kau membunuh putera lurah Bhong dan membuntungi lengan banyak orang?" tanyanya, sikapnya masih tetap tenang akan tetapi suaranya sekarang tidak sehalus tadi, terdengar agak ketus sehingga Bun Hui yang mengenal watak ayahnya, mengangkat muka memandang.
Siu Bi mengedikkan kepala, mengangkat kedua pundak, gerakan yang membayangkan bahwa dia tidak peduli. "Harap kau orang tua suka tanya saja kepada para petani ini bagaimana duduknya perkara yang sebenarnya. Kalau benar seperti yang kudengar dari paman tani bahwa kau seorang pembesar yang adil, tentu kau akan menghukum lurah brengsek ini, kalau tidak, akulah yang akan turun tangan memberi hajaran kepadanya!" Siu Bi mengerling kepada lurah Bhong dengan pandang mata jijik.
Merah muka Bun-goanswe. Seorang bocah berbicara seperti itu di depan banyak orang, benar-benar hal ini amat merendahkannya. Akan tetapi dia bertanya, "Dengan cara apa kau hendak menghajarnya?"
Siu Bu menepuk gagang pedangnya. "Dengan ini! Mungkin akan kulepaskan kedua daun telinganya yang terlalu lebar itu.”
Menggigil tubuh lurah Bhong mendengar ini, bahkan kedua telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci saking ngeri hatinya. Bun Hui yang otomatis melirik ke arah telinga lurah itu, menahan rasa geli di dalam hatinya.
Bun-goanswe lalu bertanya kepada para petani. Mereka ini serta-merta, sambil berlutut dan menempelkan jidat pada lantai, menceritakan penderitaan mereka sedusun, tentang perbuatan sewenang-wenang dari Bhong-kongcu dan para kaki tangannya, juga tentang perampasan wanita, perampasan sawah ladang, pemerasan dan mengenai upah yang tidak cukup mereka makan sendiri. Kemarahan Bun-goanswe membuat mukanya semakin merah lagi. Ada seorang lurah macam ini di dalam wilayah yang dikuasakan kepadanya, benar-benar amat memalukan!
"Hemmm, urusan ini harus kuselidiki sendiri di Pau-ling. Kalau betul lurah ini sewenang-wenang, akan kuhukum dan kuganti. Sebaliknya, pembunuhan dan penganiayaan berat sampai membuntungi lengan dua puluh orang, bukanlah hal kecil seakan-akan di sini tak ada hukum yang berlaku lagi. Perkara ini akan diputuskan besok setelah aku meninjau ke sana. Nona, kau harus ditahan semalam ini, serahkan pedangmu padaku. Tidak ada tahanan yang boleh membawa pedang atau senjata lain."
Siu Bi merah mukanya, hendak marah. Akan tetapi Bun Hui melangkah maju dan berkata halus, "Harap Nona suka mengindahkan peraturan dan hukum di sini, percayalah bahwa ayah akan memberi keadilan yang seadil-adilnya. Melawan akan menjerumuskan Nona ke dalam urusan yang lebih besar lagi. Pedang itu hanya disimpan dulu di sini, tidak akan hilang. Besok kalau urusan selesai, Nona tentu akan menerimanya kembali."
Karena sikap Bun Hui yang ramah dan halus sopan, Siu Bi mengalah. Dia pikir tidak ada gunanya mengamuk di sini. Dia melihat jenderal mata satu itu sangat berwibawa, juga tampaknya gagah perkasa, demikian pula pemuda ini. Dan di situ tampak pula barisan pengawal yang bersenjata lengkap, sungguh tak boleh dipandang ringan. Jika melawan seorang pembesar tinggi sama dengan memberontak, pengetahuan ini sedikit banyak ia dapatkan dari ayah dan mendiang kakek gurunya.
"Boleh, andai kata tidak dikembalikan pun, apakah aku tidak akan dapat mengambilnya kembali?" Siu Bi berkata sambil meloloskan pedang berikut sarung pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam ia letakkan di atas meja depan Bun-goanswe yang memandangnya penuh selidik.
Bun-goanswe memerintahkan orang-orangnya untuk menggiring Bhong Ciat serta enam orang petani ke dalam kamar tahanan, kemudian setelah semua orang itu dibawa pergi, dia berkata kepada puteranya, "Bawa Nona ini ke kamar tahanan di belakang, suruh jaga, jangan boleh dia bermain gila sebelum urusan ini selesai."
Mendongkol juga hati Siu Bi mendengar ini, "Orang tua, kuharap saja besok urusan ini sudah harus selesai. Aku tidak punya banyak waktu untuk tinggal di sini, apa lagi menjadi orang tahanan. Aku mempunyai urusan penting di Liong-thouw-san!"
Mendengar ini makin terkejutlah Bun-goanswe. Liong-thouw-san adalah tempat tinggal Pendekar Buta, sahabat sekaligus penolongnya. Mau apa murid Hek Lojin ini pergi ke Liong-thouw-san?
"Hemmm, ke Liong-thouw-san, ada urusan apakah? Atau, kau tidak berani mengatakan kepadaku karena di sana hendak melakukan sesuatu yang jahat?" Ternyata jenderal ini menggunakan akal seperti yang dipakai puteranya, memancing dengan memanfaatkan ketinggian hati gadis itu!
"Mengapa tidak berani? Apa yang hendak kulakukan di sana, siapa pun di dunia ini tidak bisa melarangku! Aku akan... membuntungi lengan beberapa orang di sana!" Gadis itu memandang Bun-goanswe dengan pandang mata seakan berkata, "kau mau apa?!"
Bun-goanswe tercengang. "Lengan siapa yang hendak kau buntungi lagi? Agaknya kau mempunyai penyakit ingin membuntungi lengan orang!" serunya.
Akan tetapi tanpa dijawab dia sudah dapat menduga. Lengan siapa lagi kalau bukan lengan Pendekar Buta yang akan dibuntungi gadis itu? Dia sudah mendengar tentang pertempuran hebat antara Pendekar Buta dan musuh-musuhnya, dan betapa lengan Hek Lojin buntung dalam pertandingan itu oleh Pendekar Buta.
Mengingat betapa gadis yang masih hijau ini mengancam hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, tak dapat ditahan lagi Bun-goanswe tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kau hendak membuntungi lengannya dengan pedang ini?" Dia lalu mencabut pedang itu dan tiba-tiba dia terbelalak.
Pedang itu adalah pedang yang mempunyai sinar hitam dan mengandung hawa dingin yang amat jahat. Diam-diam dia bergidik dan memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya.
"Hui-ji (anak Hui), antarkan dia ke dalam tahanan besar."
"Mari, Nona," ajak Bun Hui yang mukanya berubah pucat.
Pemuda ini tadi juga kaget sekali mendengar maksud gadis ini pergi ke Liong-thouw-san untuk membuntungi lengan orang. Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang Pendekar Buta, pendekar besar yang menjadi sahabat dan penolong ayahnya, orang yang paling dihormati ayahnya di dunia ini. Dan gadis ini hendak pergi ke sana membuntungi lengan pendekar itu!
Dia mengerti kehendak ayahnya. Gadis ini berbahaya dan merupakan musuh besar dari Pendekar Buta, harus ditahan di dalam kamar tahanan besar, yaitu kamar tahanan di belakang yang paling kuat, berpintu besi dengan jeruji baja yang amat kuat, cukup kuat untuk mengeram seekor harimau yang liar sekali pun!
Bun Hui berduka. Dia amat tertarik kepada gadis ini, ingin dia melihat gadis ini menjadi sahabat baiknya, melihat gadis ini berbahagia. Siapa duga, keadaan menghendaki lain. Gadis ini harus dikeram dalam kamar tahanan, dan justru dia yang harus melakukannya. Dia sedih, akan tetapi tanpa bicara sesuatu dia mengantarkan Siu Bi ke belakang. Gadis itu pun tanpa banyak cakap mengikuti, mengagumi gedung besar yang menjadi kantor dan rumah tinggal Jenderal Bun.
"Silakan masuk, Nona. Jangan khawatir, ayah adalah seorang yang adil. Nona pasti akan diperlakukan dengan baik," katanya, akan tetapi suaranya agak gemetar karena dia tidak percaya kepada omongannya sendiri.
Begitu Siu Bi masuk, pintu ditutup dan dikunci dari luar oleh Bun Hui. Siu Bi kaget dan marah. "Kenapa harus dikurung seperti binatang liar? Tempat apa ini?" teriaknya.
Bun Hui menjawab sambil menunduk. "Nona, sungguh aku menyesal sekali. Akan tetapi, kau... kau..." Bun Hui tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan segera berlari pergi dari situ. Wajahnya pucat, nafasnya terengah-engah dan dia langsung lari ke kamarnya untuk menenteramkan hatinya yang tidak karuan rasanya.
Siu Bi membanting-banting kedua kakinya. Didorongnya daun pintu, akan tetapi daun pintu yang dicat seperti daun pintu kayu itu ternyata terbuat dari besi yang amat kuat. la memeriksa ruangan tahanan itu. Cukup luas, akan tetapi di kanan kiri tembok tebal, di sebelah belakang terbuka dan dihalangi jeruji baja yang besar dan kokoh kuat.
Tidak mungkin dia sanggup merusak pintu atau jeruji itu untuk membebaskan diri hanya mengandalkan tenaganya saja. Namun Siu Bi masih penasaran. la mengerahkan tenaga Hek-in-kang, lalu menghantamkan kedua tangan ke arah jeruji.
Terdengar suara berdengung keras dan bergema, seluruh kamar tahanan itu tergetar, akan tetapi jeruji tidak menjadi patah. Dia mencoba pula untuk menarik jeruji agar lebar lubangnya supaya ia dapat lolos keluar, akan tetapi sia-sia. Jeruji baja itu amat kuat dan tenaga gwakang (tenaga luar) yang ia miliki tidak cukup besar. Tenaga Iweekang (tenaga dalam) memang tiada artinya lagi kalau menghadapi benda mati yang tak dapat bergerak seperti pintu dan jeruji yang terpasang mati di tempat itu.
Siu Bi membanting-banting kedua kakinya, berjalan hilir-mudik seperti seekor harimau liar yang baru saja dimasukkan kerangkeng. Biar pun besok ia akan dibebaskan, ia merasa terhina dengan dimasukkan dalam kamar tahanan seperti kerangkeng binatang ini.
Sore hari itu, hanya beberapa jam kemudian, seorang penjaga datang dan mengulurkan sebuah baki terisi mangkok nasi dan masakan, juga minuman yang cukup mahal. Namun hampir saja pengawal itu remuk lengannya kalau saja dia tidak cepat-cepat menariknya keluar karena Siu Bi sambil memaki telah menerkam tangan itu untuk dipatahkan!
Siu Bi marah sekali, lalu memaki-maki sambil menyambar baki dan isinya. Mangkok dan sumpit beterbangan menyambar keluar dari sela-sela jeruji dan menyerang pengawal itu yang segera lari tunggang-langgang! Siu Bi makin jengkel apa bila mengingat betapa dia telah menyerahkan pedangnya kepada Jenderal Bun. Andai kata pedang Cui-beng-kiam berada di tangannya, tentu dia dapat membabat putus jeruji-jeruji ini.
Malam tiba dan Siu Bi menjadi agak tenang. Akhirnya dia berpendapat bahwa semua kemarahannya itu tiada gunanya sama sekali. Tubuhnya menjadi letih sekali, pikirannya bingung dan... perutnya lapar! Mengapa dia tidak menerima sabar saja sampai besok. Kalau dia sudah bebas dan mendapatkan pedangnya kembali, mudah saja baginya untuk mengumbar nafsu amarah. Sedikitnya dia akan memaki-maki jenderal dan puteranya itu sebelum dia melanjutkan perjalanannya.
Pikiran ini membuat dia tenang. Dibaringkannya tubuhnya yang sangat lelah itu di atas sebuah dipan kayu yang terdapat di ujung kamar tahanan. Lebih baik mengaso sambil memulihkan tenaga, siapa tahu besok ia harus menggunakan banyak tenaga, pikirnya. la kemudian bangkit dan duduk bersila, bersemedhi mengumpulkan tenaga serta mengatur pernafasan.
"Nona... maafkan aku..."
Semenjak tadi memang agak sukar bagi Siu Bi untuk dapat bersemedhi dengan tenang. Perutnya sangat terganggu, berkeruyuk terus! la membuka mata dan menoleh. Biar pun kamar tahanan itu buruk, sedikitnya di waktu malam tidak gelap, mendapat sinar lampu besar yang dipasang di luar. Bun Hui berdiri di luar jeruji, membawa sebuah baki terisi makanan dan minuman.
"Mau apa kau?!" bentak Siu Bi timbul kembali kemarahannya.
"Nona, maafkan kalau tadi pelayan yang mengantar makanan kurang sopan. Sekarang aku sendiri yang mengantar makanan dan minuman, harap Nona sudi menerima. Tidak baik membiarkan perut kosong. Silakan, Nona."
Dengan kedua tangannya Bun Hui mengulurkan dan memasukkan baki itu ke dalam kamar tahanan melalui sela-sela jeruji yang cukup lebar untuk dimasuki baki yang kecil dan panjang itu.
Sejenak timbul niat di hati Siu Bi untuk membikin celaka pemuda putera Jenderal Bun ini dengan cara menangkap dan mematahkan kedua lengannya. Akan tetapi niat ini segera diurungkannya ketika dia memandang wajah yang ramah, tampan dan kelihatan agak bersedih ini.
"Ayahmu menahanku dalam kerangkeng, mengapa kau pura-pura berbaik hati padaku? Jangan kira kau akan dapat menyuapku hanya dengan makanan dan minuman ini. Apa artinya kau mengantar sendiri ini? Hayo katakan, kalau hendak menyuap, lebih baik aku mati kelaparan!"
"Ahh, kau terlalu berprasangka yang bukan-bukan dan yang buruk terhadap diriku, Nona. Di antara kita tak ada permusuhan, kenapa kami akan mencelakakanmu? Hanya karena persoalan itu baru beres besok, terpaksa ayah menahanmu, juga lurah Bhong dan para saksi. Harap Nona suka memaafkan aku dan suka bersabar untuk semalam ini."
”Hemmmm, begitukah? Muak aku akan segala aturan dan hukum ini!" kata Siu Bi, akan tetapi suaranya tidak seketus tadi.
Bun Hui girang hatinya, lalu berkata, "Silakan makan, Nona, aku takkan mengganggumu lagi."
Dan pemuda itu segera pergi dari situ. Andai kata pemuda itu tetap berada di tempat itu, agaknya Su Bi takkan sudi menyentuh makanan dan minuman itu. Akan tetapi sekarang, ditinggalkan seorang diri, matanya mulai melirik baki dan melihat masakan mengepulkan uap yang sedap dan gurih, perutnya makin menggeliat-geliat.
Setelah celingukan ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang yang melihatnya, mulailah Siu Bi makan. Setelah kenyang, ia sengaja melemparkan baki dan semua isinya keluar jeruji sehingga mangkok-mangkok itu pecah. Isinya, yaitu sisa yang ia makan, tumpah ruah tidak karuan. Dengan begitu, takkan ada yang tahu apakah tadi ia makan dan minum isi baki ataukah tidak!
Suara berisik ini diikuti datangnya Bun Hui. "Kenapa...? Kenapa kau buang makanan dan minuman itu, Nona?"
"Ihhh, siapa sudi…?" Siu Bi tidak melanjutkan kata-katanya dan diam-diam dia mengusap pinggir mulutnya dengan lengan baju.
"Nona, maafkan aku. Aku sengaja datang untuk bicara sedikit denganmu."
"Mau bicara, bicaralah, mengapa banyak cerewet?" Siu Bi sengaja bersikap galak.
Pemuda itu makin bingung dibuatnya, tampak maju mundur untuk mengeluarkan isi hati. "Nona Siu Bi, aku tidak tahu mengapa kau berniat mengacau ke Liong-thouw-san. Akan tetapi, ketahuilah bahwa yang tinggal di sana adalah pendekar besar Kwa Kun Hong yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta. Beliau adalah seorang pendekar besar yang menjagoi dunia persilatan, tidak hanya terkenal karena kesaktiannya, juga karena kegagahan dan pribudinya. Oleh karena itu Nona, kuharap dengan sangat, apa pun juga alasannya, kau batalkan saja niatmu itu.”
Siu Bi melotot. "Apa?! Apa pedulimu? Apamukah Pendekar Buta?"
"Bukan apa-apa, hanya dia satu-satunya manusia yang paling dihormati ayah!”
"Wah, celaka! Aku masuk perangkap musuh! He, orang she Bun, kalau memang kau dan ayahmu orang-orang gagah, kalau memang mau membela Pendekar Buta, hayo cepat lepaskan aku, kembalikan pedangku lalu kita bertempur dengan cara orang-orang gagah. Mengapa menggunakan akal curang untuk menahanku di sini?"
"Wah, harap Nona bersabar dan jangan salah sangka. Niatku hanya untuk menolongmu keluar dari kesulitan, Nona. Aku tak akan mencampuri urusanmu dengan siapa pun juga, sungguh pun sedih hatiku melihat engkau memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san. Maksudku, kalau saja besok kau suka berkata kepada ayah bahwa kau membatalkan niatmu memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san, tentu kau akan mudah dibebaskan. Setelah bebas, terserah kepadamu. Ini hanya untuk menolongmu, Nona..."
"Ihhh, apa maksudmu dengan pertolonganmu ini? Hayo bilang, orang she Bun, jangan bersembunyi di balik kata-kata manis. Kenapa kau begini ngotot hendak menolongku?"
Wajah pemuda itu merah seluruhnya. Sukar sekali menjawab pertanyaan yang berupa serangan tiba-tiba ini. "Kenapa? Ah... kenapa, ya? Aku sendiri tidak tahu pasti, Nona... hanya agaknya... aku tidak suka bila melihat kau mendapatkan kesukaran. Aku kagum kepadamu, Nona... aku... aku ingin menjadi sahabatmu. Nah, itulah! Aku ingin menjadi sahabat baikmu karena aku kagum dan suka padamu."
Kini Siu Bi yang tiba-tiba menjadi merah sekali wajahnya. Celaka, pikirnya. Pemuda ini benar-benar tidak tahu malu, terang-terangan bilang suka dan kagum dan ingin menjadi sahabat baik! Sekarang dia yang kebingungan dan tidak segera dapat membuka mulut.
"Sejak aku melihat kau menolong petani-petani miskin, lalu dengan gagah kau melawan tukang-tukang pukul jahat di Pau-ling itu, aku amat kagum dan tertarik kepadamu, Nona. Aku tahu, juga ayah tentu yakin bahwa dalam urusan ini kau tidak bersalah malah kau berjasa bagi peri kemanusiaan, bagi kebenaran dan keadilan, kau telah menolong yang tergencet, menghajar yang menindas. Akan tetapi, hukum tetap hukum yang harus ditaati dan dilaksanakan dengan tertib. Bila mana ayah mengambil keputusan begitu saja tanpa mengadili terus membenarkan kau, apa akan kata orang? Terhadap urusan di Pau-ling itu, aku tidak khawatir sama sekali. Akan tetapi urusan kedua ini... ahhh, kau tidak tahu, Nona. Ayah pasti akan mencegah maksud hatimu itu, bukan sekedar karena menjadi sahabat baik, akan tetapi masih ada ikatan keluarga. Ketahuilah bahwa isteri Pendekar Buta adalah enci angkat dari ibuku. Nah, kau tahu betapa tidak bijaksananya kalau kau mengaku akan hal itu di depan ayah!"
"Ahhh, begitukah? Jadi kau masih keponakan isteri musuh besarku? Wah, celaka, aku terjebak. Tentu kau mengajakku ke sini untuk menipuku... ahhh, mengapa aku begitu bodoh?"
"Nona, harap jangan bicara begitu. Urusan itu baru kami ketahui setelah kau berada di sini dan mengakuinya di depan ayah. Aku... aku tidak memandang kau sebagai musuh, sebaliknya dari itu. Aku bersedia menolongmu, Nona. Aku akan membujuk ayah untuk membebaskanmu, asal saja kau suka berjanji kepada ayah bahwa kau takkan memusuhi Pendekar Buta..."
"Aku mau memusuhi siapa pun juga, apa pedulinya dengan kau?"
"Nona..." suara Bun Hui penuh penyesalan, akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua yang cantik telah berdiri di sebelah Bun Hui.
"Ibu... kau di sini...?" Bun Hui bertanya gagap.
"Hui-ji (anak Hui), aku mendengar dari ayahmu bahwa ada seorang gadis liar yang mengancam hendak menyerbu ke Liong-thouw-san dan membuntungi lengan Kun Hong dan enci Hui Kauw? Mana dia? Apakah ini?" telunjuk yang runcing menuding ke arah Siu Bi yang memandang dengan bengong.
Wanita itu bukan main cantiknya, suaranya nyaring, matanya bersinar-sinar. Pakaiannya sangat indah namun tidak mengurangi gerakannya yang gesit tanda bahwa nyonya ini mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Siu Bi kagum. Alangkah jauh bedanya dengan ibunya sendiri. Ibunya wanita lemah.
"Betul, Ibu. Aku... aku sedang membujuknya supaya tidak melanjutkan maksud hatinya itu," kata Bun Hui sambil menundukkan muka, khawatir kalau-kalau ibunya akan dapat membaca isi hatinya.
Wanita itu adalah Giam Hui Siang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita ini adalah puteri dari Ching-toanio. Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan di waktu mudanya ia sendiri merupakan seorang gadis yang selain cantik dan lihai, juga amat ganas, malah pernah bentrok dengan cici angkatnya dan Kwa Kun Hong. Kini dia melangkah maju dan memandang Siu Bi penuh perhatian.
"Kau anak siapa? Kenapa hendak memusuhi Pendekar Buta dan isterinya?" la bertanya memandang tajam.
Ditanya tentang orang tuanya, hati Siu Bi menjadi panas dan jengkel. la bukan anak The Sun yang semenjak kecil ia anggap seperti ayah sendiri. Semenjak rahasia bahwa ia bukan anak The Sun ia ketahui dari ucapan Hek Lojin, ia pun tidak mau mengaku The Sun sebagai ayahnya lagi. la sendiri tidak tahu siapakah orang tuanya, atau lebih tepat lagi, siapa ayahnya. la tidak pernah meragu bahwa ia bukan anak ibunya. Mudah saja diketahui akan hal ini. Wajahnya serupa benar dengan wajah ibunya. Akan tetapi ayahnya? la tidak tahu!
Karena pertanyaan itu membuatnya mendongkol, maka ia menjawab seenaknya. "Sejak tadi sudah kukatakan bahwa orang tuaku tidak perlu disebut-sebut di sini. Aku memusuhi Pendekar Buta karena aku benci kepadanya, karena dia memang musuh besarku. Habis perkara."
Giam Hui Siang tercengang mendengar jawaban dan melihat sifat berandalan ini. Dia lalu teringat akan masa mudanya. Dia dahulu juga seperti nona ini, penuh keberanian, penuh kepercayaan akan kepandaian sendiri. Apakah nona ini selihai dia? Mungkinkah ia dapat mengalahkan Pendekar Buta dan cici-nya yang amat lihai itu?
Diam-diam ia mengharapkan akan ada orang yang dapat mengalahkan Pendekar Buta, kalau perlu dapat membuntungi lengannya dan lengan Hui Kauw! Diam-diam nyonya ini masih merasa mendendam dan benci kepada Pendekar Buta dan isterinya. Hal ini ada sebabnya.
Pertama karena ketika dia masih muda, dua orang itu pernah menjadi musuhnya. Kedua kalinya, karena suaminya, Bun Wan, menjadi buta sebelah matanya karena Pendekar Buta pula. Sungguh pun suaminya itu membutakan sebelah mata sendiri karena malu dan menyesal atas perbuatannya sendiri yang menyangka buruk kepada Pendekar Buta, tapi secara tidak langsung, suaminya buta karena Pendekar Buta!
Inilah sebabnya terselip rasa dendam di sudut hati kecil nyonya ini. Akan tetapi, apakah mungkin dara remaja yang masih setengah kanak-kanak ini dapat melawan Kun Hong?
"Lihat senjata!" tiba-tiba Giam Hui Siang berseru nyaring.
Tangannya bergerak dan sinar hijau menyambar ke arah Siu Bi, melalui sela-sela jeruji baja. Itulah belasan batang jarum Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau), senjata rahasia maut dari Ching-coa-to yang sangat ditakuti lawan karena selain halus juga amat cepat menyambarnya, apa lagi racunnya amat ampuh. Lebih hebat lagi, serangan ini masih ia susul dengan pukulan jarak jauh oleh sepasang lengannya yang didorongkan ke depan!
"Ibu...!"
Bun Hui terkejut bukan main, namun tidak sempat mencegah karena gerakan ibunya itu sama sekali tidak pernah disangka sebelumnya. Dia maklum akan kehebatan serangan ibunya ini, maka dengan muka pucat dia memandang kepada Siu Bi.
Siu Bi juga terkejut menghadapi serangan mendadak itu. Akan tetapi karena sejak tadi ia sudah mengambil sikap bermusuhan, tentu saja ia waspada dan tidak kehilangan akal. la mengerahkan Hek-in-kang kemudian menggerakkan dua lengannya menyampok sambil mendoyongkan tubuh ke kiri, lalu ia susul dengan dorongan ke muka yang mengandung tenaga Hek-in-kang yang amat kuat.
Giam Hui Siang dan Bun Hui hanya melihat uap menghitam bergulung dari kedua lengan Siu Bi dan pada lain saat tubuh Hui Siang sudah terhuyung-huyung ke belakang. Hampir saja nyonya ini roboh terjengkang kalau dia tidak lekas-lekas melompat dan berjungkir balik. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Hebat...! Kau cukup lihai untuk menghadapi dia! Hui-ji, hayo kita pulang."
Bun Hui menghadapi Siu Bi, suaranya terdengar sedih, "Nona, harap kau suka maafkan ibuku yang sebetulnya hanya hendak mencoba kepandaianmu."
"Hemmm...!" Siu Bi mendengus, masih belum hilang kagetnya.
Nyonya itu benar-benar ganas dan galak, juga lihai bukan main. Jarum-jarum yang lewat di dekat tubuhnya tadi mengandung hawa panas yang luar biasa, juga pukulan jarak jauh tadi amat kuat. Baiknya ia memiliki Hek-in-kang, jika tidak, tentu ia akan menjadi korban jarum atau pukulan sinkang.
Setelah ibu dan anak itu pergi, Siu Bi kembali duduk di atas pembaringan di sudut kamar, berusaha untuk istirahat sambil mengumpulkan tenaga. la dapat duduk tenang, kemudian menjelang tengah malam yang sunyi, mendadak ia berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki yang tetap bersila itu di atas, untuk melatih Iweekang menurut ajaran Hek Lojin. Belum ada setengah jam ia berlatih, terdengar suara orang perlahan.
"Selagi kesempatan lari terbuka, mengapa membiarkan diri terkurung?"
Cepat sekali gerakan Siu Bi, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke dekat jeruji. Di luar jeruji berdiri seorang laki-laki yang mengeluarkan seruan kagum akan gerakannya yang memang luar biasa tadi. Laki-laki ini berdiri tegak, bersedekap dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. Sukar menduga apa yang berada di dalam pikiran laki-laki ini. Siu Bi memandang tajam, memperhatikan dan siap untuk memaki atau menyerang melalui sela-sela jeruji.
Akan tetapi dia mendapat kenyataan bahwa laki-laki itu bukanlah seorang penjaga atau pengawal. Pakaiannya sederhana berwarna serba putih, rambutnya digelung ke atas dan dibungkus kain putih. Mukanya membayangkan ketenangan luar biasa dengan sepasang mata yang sayu, membayangkan kematangan jiwa dan penderitaan lahir batin. Orang ini bukan lain adalah Si Jaka Lola, Yo Wan.
Seperti diketahui, Yo Wan melihat bagaimana gadis yang luar biasa dan mengagumkan hatinya itu merobohkan para tukang pukul, lalu ikut bersama pemuda yang memimpin barisan. la tidak tergesa turun tangan menolong karena ingin ia melihat apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, dan apa pula yang akan dilakukan oleh gadis itu untuk bisa menolong dirinya sendiri. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu membiarkan dirinya ditahan.
Malam tadi dia diam-diam memasuki bagian belakang gedung ini dan ia sempat melihat betapa ibu pemuda itu tiba-tiba menyerang dengan jarum hijau dan pukulan sinkang. la kaget sekali, akan tetapi kembali ia dibuat kagum oleh kepandaian Siu Bi. la tidak sempat mendengar percakapan mereka tentang niat Siu Bi untuk membuntungi lengan Pendekar Buta, karena kedatangannya tepat pada waktu Giam Hui Siang melakukan penyerangan tadi
Dia benar-benar merasa heran akan sikap tiga orang itu. Lebih-lebih lagi rasa herannya kenapa gadis ini membiarkan dirinya dijebloskan kamar tahanan. Oleh karena itu, ketika menyaksikan sampai jauh malam betapa gadis itu tidak berusaha melarikan diri, tetapi malah berlatih Iweekang secara aneh, dia tak dapat menahan keheranannya dan muncul sambil mengucapkan kata-kata tadi.
Kenapa ia terlambat muncul? Tadi ketika berhasil memasuki gedung, diam-diam Yo Wan menculik seorang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya. la lalu melompati tembok dan membawa lari penjaga itu ke luar kota, lalu memaksanya bercerita tentang gadis itu.
Si penjaga ketakutan setengah mati karena ia tidak dapat melihat siapa penculiknya dan baru dilepaskan ketika berada di tempat yang gelap dan sunyi di luar kota, di bawah pohon yang besar. Dia hanya merasa tubuhnya tidak mampu berkutik dan seakan-akan dibawa terbang. Saking takutnya mengira bahwa ia diculik iblis, tubuhnya menggigil dan ia tak berani membantah.
Dengan suara gemetar ia menceritakan betapa Bun-goanswe menahan gadis itu karena urusan ini akan diselidiki ke Pau-ling pada esok hari oleh Goanswe sendiri, dan besok baru akan diberi keputusannya. Juga ia menceritakan betapa gadis itu tidak membantah, malah menyerahkan pedangnya.
Demikianlah, dengan penuh keheranan Yo Wan cepat kembali ke dalam gedung setelah menotok penjaga itu dan meninggalkannya di tempat sunyi. la tahu bahwa penjaga itu tak mungkin akan dapat melepaskan diri sebelum besok pagi.
Dia tidak langsung mencari tempat gadis itu ditahan akan tetapi mencuri masuk secara diam-diam ke dalam kamar Bun-goanswe dan dengan kepandaiannya yang luar biasa ia berhasil mencuri pedang Siu Bi yang disimpan di dalam kamar itu! Setelah menyimpan pedang di balik jubahnya, barulah dia mencari tempat tahanan di belakang dan tepat kedatangannya pada saat Hui Siang menyerang Siu Bi.
Siu Bi kini berdiri dekat jeruji. Mereka saling pandang dan gadis itu berdebar jantungnya karena merasa seram melihat laki-laki itu berdiri seperti patung di luar kamar tahanan.
"Kau siapa? Apa maksud ucapanmu tadi?" Akhirnya ia menegur, sambil menatap wajah yang tampan dan agak pucat, tubuhnya yang kurus sehingga tulang pundaknya tampak menjendul di balik bajunya yang sederhana.
"Maksud ucapanku tadi sudah jelas, Nona. Selagi ada kesempatan untuk lari, mengapa membiarkan dirimu terkurung di sini?”
Siu Bi merasa heran. Apa kehendak orang ini dan siapa dia? Apa yang diucapkan orang ini memang menjadi suara hatinya. Memang ingin ia melarikan diri, tidak sudi ditahan seperti binatang buas. Akan tetapi bagaimana ia dapat melarikan diri kalau ia tidak kuat membongkar daun pintu dan jeruji baja? Bahkan pedangnya pun ditahan, bagaimana ia suka pergi tanpa mendapatkan pedangnya kembali?
Akan tetapi untuk menjawab kenyataan ini, tentu saja dia tidak sudi. Hal itu hanya akan merendahkan dirinya sendiri, mengakui kebodohan serta kelemahan dirinya. Maka ia pun menjawab dengan suara ketus,
"Kau peduli apa? Aku harus tunduk kepada hukum, aku bukan manusia liar yang tidak mengenal hukum."
Laki-laki muda itu tertawa, hanya sebentar saja. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik itu, selagi tertawa, laki-laki itu dalam pandang mata Siu Bi kelihatan tampan dan lenyap semua kekeruhan pada mukanya. Akan tetapi hanya sebentar saja, senyum dan tawa itu melenyap, kembali wajah itu tampak suram muram.
"Hukum, kau bilang? Nona, aku lebih banyak mengalami hal-hal yang berkaitan hukum. Semua pembesar bicara tentang hukum, bersembunyi di belakang hukum, dan tahukah kau apa arti hukum sebenarnya? Hukum hanya menjadi alat penyelamat mereka belaka, bahkan alat menindas mereka yang lebih lemah! Hukum dapat mereka putar balik, dapat ditekuk-tekuk ke arah yang menguntungkan dan memenangkan mereka. Kau nanti akan kecewa kalau kau mempercayakan keselamatanmu kepada hukum, Nona. Karena itu, pokok yang terpenting, kau tak bersalah dalam suatu persoalan. Perbuatanmu membela para petani miskin yang tertindas itu adalah perbuatan orang gagah, sama sekali tidak seharusnya dihukum atau ditahan."
Di dalam hatinya, Siu Bi setuju seribu persen. Tetapi bagaimana dia dapat menyatakan setuju kemudian menyatakan pula bahwa dia tidak mampu keluar?
"Eh, kau ini siapakah, berlagak pandai dan membelaku? Hemmm, lagaknya saja hendak menolong. Apa sih yang dapat kau lakukan untuk menolongku? Lagi pula, aku pun tidak membutuhkan pertolonganmu, dan andai kata kau mau menolong, mengapa pula kau yang sama sekali tidak kukenal ini hendak menolongku? Apakah bukan maksudmu untuk mencari muka belaka?"
Yo Wan tersenyum kecut. la kagum menyaksikan sepak terjang gadis ini, juga senang menyaksikan ketabahan dan kelincahannya, akan tetapi watak gadis ini sangat sombong. Yo Wan sudah mencapai tingkat tinggi, baik dalam ilmu silat mau pun ilmu batin, berkat gemblengan selama sepuluh tahun di puncak Pegunungan Himalaya. Karena itu ia tidak menjadi marah oleh sikap kasar dan ketus dari gadis itu.
Dengan tenang dia kemudian mengeluarkan pedang Cui-beng-kiam dari balik jubahnya, menaruh pedang itu di atas lantai, lalu dia menggunakan kedua tangannya memegang jeruji baja, mengerahkan sedikit sinkang dan jeruji-jeruji itu pun melengkung, membuka lubang yang cukup lebar untuk dilalui tubuh orang!
"Aku datang sekedar memenuhi kewajiban membantu yang benar, tidak perlu berbicara tentang pertolongan. Tentang kau mau ke luar atau tidak, adalah menjadi hakmu untuk menentukan, Nona. Pedangmu ini tadi kuambil dari kamar Bun-goanswe. Tidak baik bila seorang gagah berjauhan dari senjatanya. Selamat tinggal."
Siu Bi bengong terlongong. Dia berdiri seperti patung memandang bayangan laki-laki itu yang berjalan perlahan, pergi meninggalkannya dan menghilang di dalam gelap. Setelah bayangan orang itu tidak tampak, baru ia sadar. Kerangkeng terbuka, pedangnya di situ, mau tunggu apa lagi?
Cepat ia menyelinap ke luar di antara dua jeruji yang sudah melengkung, disambarnya pedang Cui-beng-kiam dan di lain saat ia sudah melompat ke atas genteng, memandang ke sana ke mari. Namun sunyi di atas gedung itu, tidak tampak bayangan laki-laki tadi.
Hatinya merasa bimbang. Apakah ia akan pergi melarikan diri sekarang juga ke luar kota. Memang sesungguhnya lebih baik dan lebih aman begitu. Akan tetapi, setelah Jenderal Bun itu melakukan hal yang tidak patut terhadapnya, mengurungnya dalam kerangkeng seperti binatang, lalu nyonya jenderal itu tanpa sebab menyerangnya dengan jarum dan pukulan, masa ia harus pergi begitu saja seperti orang lari ketakutan?
Tidak, tidak ada penghinaan yang tidak dibalas. Sebelum pergi meninggalkan tempat itu dia harus menunjukkan kelihaiannya dan memberi sedikit hajaran kepada Jenderal Bun dan isterinya yang galak. Tentu saja Bun Hui tidak termasuk dalam daftarnya untuk diberi hukuman, karena pemuda itu bersikap baik sekali kepadanya.
Pikiran ini mendorong Siu Bi membatalkan niatnya untuk melarikan diri. Tubuhnya lantas bergerak-gerak bagaikan seekor kucing ringannya, meloncati genteng di atas gedung itu menuju ke bangunan besar, kemudian ia mengintai dan mencari di mana adanya kamar Jenderal Bun dan isterinya, mendekam serta mendengarkan. Mendadak dia mendengar suara Jenderal Bun dan isterinya.
"Masa tengah malam begini hendak pergi? Urusan bagaimana pentingnya pun, kan bisa diurus besok pagi?" terdengar suara nyonya Jenderal Bun, suara yang merdu dan halus.
"Harus sekarang juga kuselesaikan. Selain menyelidiki ke Pau-ling, aku juga harus cepat menyuruh seorang pengawal yang tangkas untuk mengabarkan kepada Kwa Kun Hong di Liong-thouw-san tentang ancaman gadis liar itu." Suara yang berat dari Jenderal Bun ini mendebarkan hati Siu Bi yang mendengarkan terus.
"Ahh, tentang urusan itu, apa sangkut-pautnya dengan kita? Kalau dia memiliki dendam pribadi dengan Kun Hong, biarkan dia menyelesaikannya sendiri. Urusan pribadi orang lain, bagaimana kita dapat ikut campur?" Isterinya mencela.
"Orang lain? Kurasa Kwa Kun Hong dengan keluarganya tidaklah dapat dikatakan orang lain!" Bun-goanswe berseru keras, suaranya mengandung penasaran besar. "Bukankah isterinya adalah cici-mu (kakakmu)?"
"Enci Hui Kauw hanyalah saudara pungut."
Hening sejenak, lalu terdengar suara jenderal itu penuh penyesalan.
"Hui Siang, isteriku, harap kau jangan merusak perasaan hatiku dengan sikapmu seperti ini terhadap mereka. Aku tahu bahwa kau masih menaruh dendam akan urusan lama, bukankah itu merupakan sifat kanak-kanak? Kita bukan kanak-kanak lagi. Perbuatanmu tadi mendatangi kamar tahanan dan menyerang gadis itu, juga merupakan sisa dari sifat di waktu mudamu. Ahh, Hui Siang, aku dapat menduga isi hatimu, setelah kau menguji gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa dia cukup lihai, kau ingin sekali melihat dia itu mengacau Liong-thouw-san. Begitukah?"
Nyonya itu berseru kaget. "Kau... kau mengintai...?" Kemudian disusul suaranya bernada menantang, "Benar, aku... aku memang masih benci terhadap Kun Hong dan enci Hui Kauw!" Disusul isak tangis tertahan dan tarikan nafas panjang jenderal itu,
"Hui Siang, mengapa kau masih juga belum dapat memadamkan api dendam terhadap mereka? Lupakah kau bahwa Kun Hong adalah penolong kita? Dia seorang pendekar besar yang telah terkenal kegagahan dan budi pekertinya. Dia merupakan penolong kita!"
Isak tangis itu semakin keras. "Aku... aku pun tidak bisa lupa... bahwa kau... kau sudah membutakan mata kananmu karena dia...!”
Bun-goanswe tertawa. "Ha-ha-ha-ha, itukah yang membuat dendammu tak dapat hilang? Tidak usah dipusingkan, isteriku. Kebutaan sebelah mataku ini dapat membuka kebutaan mata hatiku, bukankah itu baik sekali?"
"Lalu, apa yang hendak kau lakukan terhadap gadis itu?"
"Aku akan membujuknya agar supaya ia membatalkan niatnya mengacau tempat tinggal Kun Hong. Kalau dia bersikeras, apa boleh buat, aku akan memasukkannya ke dalam tahanan sampai dia bertobat."
"Jenderal busuk, kau benar-benar ingin menggunakan hukum untuk mencari kebenaran dan kemenangan sendiri. Aku, Cui-beng Kwan Im, mana sudi kau perlakukan demikian?" Sesosok bayangan melayang turun dari jendela dan sinar pedang hitam lalu menerjang Bun-goanswe.
Jenderal ini kaget sekali, cepat dia menghunus pedangnya dan menangkis. Ada pun Hui Siang, isteri jenderal itu, terkejut dan khawatir, untuk sejenak hanya dapat memandang dengan kaget. Akan tetapi, beberapa menit kemudian nyonya ini sudah mendapatkan pedangnya lalu menyerbu dan mengeroyok Siu Bi.
Dara ini tidak menjadi gentar, malah berseru keras. Segera pedangnya berubah menjadi gulungan sinar kehitaman, diselingi oleh pukulan-pukulannya yang mengandung tenaga Hek-in-kang! Memang hebat gadis ini. Ilmunya tinggi nyalinya pun sebesar nyali harimau, akan tetapi dia terlalu memandang rendah orang lain. Terjangannya yang dahsyat dan ganas itu memang membuat suami isteri itu kaget dan terdesak mundur.
Akan tetapi, jenderal itu adalah Bun Wan, putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya juga hebat. Dan isterinya adalah puteri dari Ching-toanio yang juga memiliki ilmu silat segolongan dengan Siu Bi, yaitu golongan hitam. Biar pun tingkat ilmu silat kedua orang suami isteri ini tidak sedahsyat ilmu silat Siu Bi warisan dari kakek sakti Hek Lojin, tapi gadis itu kalah ulet dan kalah pengalaman sehingga semua terjangannya meski pun mendesak dan mengejutkan, namun belum mampu merobohkan mereka.
Pada saat itu, Bun Hui datang berlari-lari dengan muka pucat. Cepat pemuda yang juga lihai ini memutar pedangnya menahan pedang Cui-beng-kiam, lalu dia berkata, suaranya menggetarkan penuh perasaan, "Nona...! Mengapa kau tidak memegang janjimu, malah melarikan diri dan menyerbu ke sini? Ah... Nona, kenapa kau menyerang ayah bundaku? Mengapa kau lakukan hal ini... Kau, yang kupandang gagah perkasa..."
Getaran suara yang terkandung di dalam ucapan Bun Hui ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya. Jelas terdengar dan terasa, baik oleh Siu Bi mau pun oleh ayah bunda pemuda itu, bahwa Bun Hui menaruh hati cinta kepada gadis ini!
"Hui-ji, mundur kau!" bentak Jenderal Bun.
"Hui-ji, kenapa kau merengek-rengek kepada bocah ini?" seru pula ibunya penuh teguran dan suami isteri itu sudah menerjang Siu Bi dengan hebat.
Terpaksa Siu Bi mundur tiga langkah karena terjangan kedua orang itu dalam serangan balasan bukanlah main-main. Namun dengan Hek-in-kang, dia berhasil mengusir mundur lagi kedua orang pengeroyoknya. Ternyata Hek-in-kang ampuh luar biasa, hawanya saja cukup membuat kedua orang suami isteri tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi itu tergetar mundur dan tidak berani terlalu mendekat.
Mendengar suara ribut-ribut ini, beberapa orang pengawal menerjang masuk dan melihat betapa Jenderal Bun bersama isterinya bertempur melawan gadis tahanan yang entah bagaimana kini telah berada di situ, mereka cepat mencabut senjata masing-masing dan bersiap.
Sementara itu, dengan hati hancur saking menyesal dan kecewa, Bun Hui menggunakan pedangnya membantu ayah bundanya sambil berkata lirih, "Betapa pun berat bagiku, aku harus memihak ayah bundaku, Nona."
"Cih, cerewet amat. Mau keroyok, keroyoklah. Hayo semua orang di sini boleh masuk mengeroyokku. Aku Cui-beng Kwan Ini tidak gentar seujung rambut pun!"
Bukan main marahnya Bun-goanswe. "Hayo tangkap dia! Jangan bunuh, tangkap kataku. Mana akal kalian? Masa tidak mampu menangkap hidup-hidup seorang bocah nakal?"
Belasan orang pengawal yang cukup tinggi kepandaiannya datang, mereka membawa tali-tali yang besar dan kuat. Dengan senjata ini mereka mengurung Siu Bi dari segala penjuru, kemudian mereka mengayunkan tambang itu ke arah kaki untuk merobohkan Siu Bi.
Gadis ini kaget sekali karena suami isteri yang kosen itu, dibantu puteranya yang tak boleh dipandang ringan, membuat ia cukup repot menjaga diri. Sekarang ada tambang-tambang yang menyambar dari segala jurusan, melibat dan menjegal kedua kakinya.
Dia terpaksa berloncatan untuk menyelamatkan diri, menendang sana sini sambil tetap melayani tiga orang lawannya. Akan tetapi, mana dapat gadis yang kurang pengalaman bertempur ini memecah perhatiannya menghadapi serangan yang sekian banyaknya.
Tiga batang pedang dengan dahsyat mengurungnya dan mengancamnya dari atas, ini saja sudah membutuhkan pemusatan perhatian sebab tiga batang pedang itu digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Belasan jurus dia masih sanggup bertahan, akan tetapi karena kebingungannya, akhirnya kakinya terlibat tambang dan tanpa dapat ia pertahankan lagi, kakinya kena dijegal sehingga ia terguling dengan pedang masih di tangan.
Ketika itu, selagi Bun-goanswe dan para pengawalnya siap menubruk dan menangkap Siu Bi, mendadak mereka kelabakan karena lampu penerangan tiba-tiba menjadi padam. Perubahan seketika antara keadaan terang benderang menjadi gelap ini benar-benar membingungkan mereka.
"Pasang lampu...! Lekas pasang lampu...!" bentak Bun-goanswe.
Tak ada seorang pun berani menubruk ke depan untuk meringkus Siu Bi. Mereka cukup maklum akan kelihaian nona itu yang masih memegang pedang. Di dalam keadaan gelap itu, mana ada yang berani mempertaruhkan nyawa?
Setelah suasana gelap yang hiruk-pikuk ini diakhiri dengan penerangan lampu, keributan lain timbul ketika mereka melihat bahwa gadis yang tadinya terguling miring itu sudah tiada di tempatnya lagi. Gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, tidak meninggalkan bekas.
Bun-goanswe cepat memerintah para pengawalnya melakukan pengejaran. Dia sendiri menjatuhkan diri di atas kursi, penasaran, malu dan marah. Hui Siang dan Bun Hui saling pandang.
"Wah, dia dapat melarikan diri!" Kata Hui Siang, diam-diam girang karena sesungguhnya ia ingin sekali mendengar gadis itu menyerbu rumah tangga Kun Hong, apa lagi setelah sekarang ia yakin benar akan kelihaian gadis itu.
"Siapa bilang lari?" Jawab jenderal itu marah. "Terang ada orang sakti yang menolong dan membawanya lari. Siapa yang memadamkan lampu serentak seperti itu tadi? Tentu bukan gadis itu. Dan cara ia meloloskan diri, sama sekali tidak terdengar olehku."
"Mudah-mudahan ia tidak membikin ribut lagi...," Bun Hui menggumam seorang diri.
"He, kau Hui-ji. Sikapmu tadi sungguh memalukan! Apa maksudmu? Apakah kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu?"
Bentakan ayahnya ini membuat Bun Hui merah mukanya. Ia tergagap mencari jawaban, "Aku... aku... tidak begitu, Ayah. Aku hanya... kagum akan sepak terjangnya dan aku... aku kasihan…”
"Hemmm, menilai seseorang, apa lagi wanita, jangan sekali-kali dari kecantikan wajah atau kepandaiannya. Akan tetapi wataknya! Gadis itu wataknya keranjingan, seperti iblis betina. Hui-ji, besok pagi-pagi kau berangkatlah ke Liong-thouw-san menemui pamanmu Kwa Kun Hong kemudian berikan sepucuk suratku. Urusan ini terlampau penting untuk kuserahkan kepada seorang pengawal, maka harus kau sendiri yang membawanya ke Liong-thouw-san."
"Baik, Ayah."
Diam-diam pemuda ini menjadi girang juga, karena memang sudah amat lama ia ingin bertemu dengan orang yang selalu disebut-sebut ayahnya dengan penuh penghormatan, yaitu Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta….
Siu Bi mencoba tenaganya untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi sia-sia saja. Orang itu memanggulnya dengan menekan tengkuk serta punggungnya, di mana pusat tenaganya ditekan sehingga kekuatannya menjadi hilang. Dia merasa dibawa lari cepat sekali, sementara angin dingin membuat dia mengantuk sekali. Akhirnya, saking lelahnya bertempur tadi dan semalam tidak tidur sedikit pun juga, ia tertidur di atas pundak orang yang memanggulnya itu.
Ketika Siu Bi sadar dari tidurnya, sedetik ia tertegun, hendak mengulet (menggeliat) tidak dapat. Tubuhnya serasa kesemutan, sedangkan pipi kanannya yang berada di sebelah atas terasa panas. Kiranya matahari sudah menyorot agak tinggi juga. Segera ia teringat. la masih berada di atas pundak orang, masih dipanggul! Sejak lewat tengah malam sampai sekarang, lewat pagi! Dan dia tertidur di dalam pondongan orang! Dan selama itu ia masih belum tahu siapa orang yang menculiknya ini, yang membawa lari tubuhnya dari dalam gedung Jenderal Bun selagi dia roboh dalam keroyokan para pengawal.
"Hemmm, perawan macam apa ini? Dipondong orang sejak malam, tapi enak-enak tidur mendengkur. Malas dan manja, ihhh, benar-benar celaka..." Orang yang memanggulnya itu terdengar bersungut-sungut.
Kemarahan memenuhi kepala Siu Bi. "Siapa mendengkur? Aku tak pernah mendengkur kalau tidur. Hayo lepaskan kau laki-laki kurang ajar!"
"He? Kau sudah bangun? Nah, turunlah!" Dengan gerakan tiba-tiba orang itu melepaskan pondongan sambil mendorong sedikit sehingga tubuh Siu Bi terlempar dan jatuh berdiri di depannya dalam jarak dua meter.
Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, dan marahnya ketika melihat bahwa orang yang memanggulnya tadi adalah laki-laki muda sederhana berpakaian putih yang tadi malam mengunjunginya di dalam kerangkengnya!
"Heeeiiiii! Kenapa kau memondongku? Aku bukan anak kecil!" Siu Bi membanting kaki dengan gemas.
Yo Wan, orang itu, tersenyum kecil. Cahaya matahari pagi serasa lebih gemilang bila menghadapi seorang dara lincah nakal ini.
"Kau masih kanak-kanak," katanya tenang.
"Siapa bilang? Aku bukan anak kecil, aku bukan kanak-kanak lagi!" Siu Bi bersitegang.
Disebut kanak-kanak baginya sama dengan penghinaan. Masa dia yang sudah memiliki julukan Cui-beng Kwan Im sekarang di-‘cap’ kanak-kanak?
"Aku Cui-beng Kwan Im, aku seorang dewasa. Jangan kau main-main!"
"Bagiku kau masih kanak-kanak," kata pula Yo Wan, memalingkan muka seperti seorang yang tidak acuh.
Padahal pemuda ini memalingkan muka karena merasa ‘silau’ akan kecantikan wajah Siu Bi. Kebetulan sekali cahaya matahari yang menerobos melalui celah-celah daun pohon menyoroti muka dan rambut itu, sehingga wajah gadis itu gilang gemilang dan rambutnya membayangkan warna indah, benar-benar laksana Dewi Kwan Im turun melalui sinar matahari pagi. Yo Wan memalingkan muka agar jangan melihat keindahan di depannya ini, yang membuat isi dadanya tergetar.
"Wah, kau ini kakek-kakek, ya? Aksinya!" Siu Bi membentak gemas.
"Aku jauh lebih tua dari padamu." Suara Yo Wan perlahan, seperti berkata kepada diri sendiri.
Memang ini suara hatinya yang membantah gelora di dalam dada, untuk memadamkan api aneh yang mulai menyala dengan peringatan bahwa dia jauh lebih tua dari pada gadis remaja yang berdiri di depannya dengan sikap menantang itu.
"Hanya beberapa tahun lebih tua. Hemmm, lagakmu seperti kakek-kakek berusia lima puluh tahun saja. Kurasa kau belum ada tiga puluh."
"Dua puluh enam tahun umurku, dan kau ini paling banyak lima belas..."
"Siapa bilang? Ngawur! Sudah tujuh belas lebih, hampir delapan belas aku."
"Ya itulah, masih kanak-kanak kataku."
"Setan kau. Delapan belas tahun kau anggap kanak-kanak? Kau baru umur dua puluh enam tahun sudah berlagak tua bangka. Biarlah kusebut kau lopek (paman tua) kalau begitu. Heh, Lopek yang sudah pikun, kenapa kau tadi memondongku? Siapa yang beri ijin kepadamu?"
Yo Wan panas perutnya. Masa dia disebut lopek? Ngenyek (ngece) benar bocah ini. Dia mengebut-ngebutkan ujung lengan baju di lehernya, seakan-akan kepanasan. Memang ada rasa panas, tapi bukan di kulit melainkan di hati. Lalu dia memilih akar yang bersih, akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah. Didudukinya akar itu tanpa menjawab pertanyaan Siu Bi.
"Hee, Lopek Apakah kau sudah terlalu tua sehingga telingamu sudah setengah tuli?" bentak Siu Bi dengan suara nyaring.
"Kau anak kecil jangan kurang ajar terhadap orang tua. Duduklah, anakku, duduk yang baik dan kakekmu akan mendongeng, kalau kau mendengarkan baik-baik, nanti kuberi mainan."
Siu Bi meloncat-loncat marah. "Nak-nak-nak? Aku bukan anakmu, juga bukan cucumu. Jangan sebut nak, aku bukan anak kecil!" la menjerit-jerit, kedua pipinya merah padam, kemarahannya melewati takaran.
Yo Wan bersungut-sungut, "Kalau kau bukan anak kecil, aku pun bukan kakek-kakek yang sudah tua renta, kenapa kau sebut aku lopek?"
"Kau yang mulai dulu!"
"Siapa mulai? Kau yang mulai," jawab Yo Wan mulai mendongkol hatinya.
"Kau yang mulai."
"Kau."
"Kau! Kau! Kau! Nah, aku bilang seribu kali, kau yang mulai, mau apa?" kata Siu Bi menantang.
Yo Wan mengeluh, kemudian menarik nafas panjang, menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar dara lincah nakal ini sudah menyeretnya kembali ke alam kanak-kanak dan berhasil mengaduk isi dada dan isi perutnya menjadi panas. Sepuluh tahun ia bertapa di Himalaya menguasai tujuh macam perasaan, sekarang perasaannya diawut-awut oleh gadis remaja ini.
"Dibebaskan dari bahaya, dipondong sampai setengah malam suntuk, tahu-tahu upahnya hanya diajak bertengkar. Di dunia ini mana ada aturan bo-cengli tidak benar macam ini?" Ia mengomel panjang pendek.
"Siapa suruh kau mondong aku? Siapa? Aku tidak sudi kau pondong, tahu?"
"Tidak sudi masa bodoh, pokoknya aku gudah memondongmu sampai setengah malam, tangan dan pundakku sampai pegal rasanya.”
Siu Bi semakin marah, kedua tangannya dikepal. "Aku tidak sudi, tidak sudi, tidak sudi! Hayo jawab, kenapa kau memondongku? Kalau kau tidak jawab, jangan menyesal kalau aku marah dan menghajarmu. Aku Cui-beng Kwan Im, ingat?"
"Kenapa aku memondongmu? Habis kalau tidak dipondong, apa minta digendong? Atau harus kuseret? Kau dikepung, berada dalam bahaya maut, tetapi masih membuka mulut besar. Tak tahu diri benar!"
"Biar aku dikepung, biar dicengkeram maut, apa pedulimu? Aku tak sudi pertolonganmu, mengapa kau menolong aku?"
"Aku pun tidak bermaksud menolongmu. Aku hanya tidak senang melihat seorang gadis dikeroyok oleh para pengawal jenderal itu, oleh karena itu aku berusaha menggagalkan pengeroyokan mereka dan membawamu pergi."
Siu Bi seakan-akan tidak mendengarkan omongan Yo Wan, ia termenung lalu berkata penuh penyesalan, "Celaka betul, karena kau membawaku pergi, pedangku hilang! Ahh, Cui-beng-kiam itu tentu ketinggalan di tempat pertempuran dan..."
Siu Bi menghentikan kata-katanya karena melihat sinar kehitaman pada saat pedang itu dicabut oleh Yo Wan dari balik jubahnya. Tanpa berkata sesuatu Yo Wan memberikan pedang kepada Siu Bi yang cepat menyambarnya.
"Kebetulan aku juga melihat pedang ini terlepas dari tanganmu, aku tidak ingin pengawal-pengawal itu merampasnya, maka kubawa sekalian. Nah, kiranya sudah cukup obrolan kita yang amat menyenangkan hati ini. Aku tak pernah tolong kau dan kau tak pernah ada urusan denganku. Kita sama-sama bebas, tak ada urusan apa-apa. Selamat tinggal." Yo Wan berdiri, lalu berjalan perlahan meninggalkan Siu Bi.
Seperti malam tadi, Siu Bi memandang dengan mata tak berkedip. Ketika bayangan Yo Wan hampir lenyap pada sebuah tikungan, ia baru teringat sesuatu dan cepat melompat mengejar sambil berseru,
"Heee, berhenti dulu!!"
Yo Wan berhenti dan perlahan membalikkan tubuhnya. Dilihatnya gadis itu berloncatan sambil membawa pedang. Hemmm, jangan-jangan gadis itu akan menyerangnya, siapa dapat menduga isi hati gadis liar dan buas seperti itu?
"Ada apa lagi? Hendak menghajarku?" tanyanya.
Siu Bi menggelengkan kepala, akan tetapi mulutnya masih cemberut. "Tergantung dari jawabanmu," katanya, lalu disambungnya cepat-cepat, "Aku tidak pernah mendengkur kalau tidur. Kau tadi bilang aku mendengkur, kau bohong! Aku tidak pernah mendengkur, memalukan sekali!"
Hampir Yo Wan ketawa terbahak-bahak. Benar-benar gadis yang liar dan aneh. Masa menyusulnya hanya akan bicara tentang itu?
"Tidak mendengkur, hanya... ngo…rok..."
"Bohong! Kau berani sumpah? Aku tak pernah ngorok, mendengkur pun tidak."
"Ngorok pun mana kau bisa tahu? Kan kau sedang tidur? Yang tahu hanya orang lain tentu."
"Tidak, tidak! Aku tidak ngorok, hayo katakan, aku tidak pernah ngorok!"
Siu Bi hampir menangis ketika membanting-banting kaki di depan Yo Wan. la marah dan malu sekali, kedua matanya sudah merah, air matanya sudah hampir runtuh. la bukan seorang gadis cengeng, malah jauh dari itu, menangis sebetulnya merupakan pantangan baginya. Hatinya amat keras, nyalinya besar, tak pernah ia mengenal takut. Akan tetapi dikatakan ngorok dalam tidur, sungguh-sungguh merupakan hal yang menyakitkan hati, memalukan dan menjengkelkan.
Kasihan juga hati Yo Wan melihat keadaan gadis ini. "Ya sudahlah, tidak mengorok ya sudah. Agaknya karena terlampau lelah bertanding dan terlalu enak kau pulas, nafasmu menjadi berat seperti orang mengorok. Tidurmu memang enak sekali sampai aku tidak tega untuk membangunkan dan terpaksa memondongmu terus sampai kau bangun."
Memang watak Siu Bi aneh. Mana bisa tidak aneh watak gadis ini yang semenjak kecil hidup dekat Hek Lojin, manusia aneh yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw? Kini dia memandang kepada Yo Wan dengan sinar mata berseri, melalui selapis air mata yang tidak jadi tumpah.
"Kau baik sekali..."
Yo Wan tertegun. Alangkah bedanya dengan tadi. Kini dia benar-benar melihat seorang Dewi Kwan Im di depannya, seorang dewi yang cantik jelita, yang bersuara lembut dan yang matanya bersinar mesra.
"Ahhh... sama sekali tidak baik, biasa saja," katanya. "Aku melihat kau menolong para petani miskin, tentu saja aku tidak suka melihat kau celaka di tangan para pengawal."
Hening sejenak, agaknya Yo Wan sudah lupa bahwa baru saja ia mengucapkan selamat tinggal. Juga Siu Bi bagaikan orang termenung, tidak memandang Yo Wan, melainkan memandang ke tempat jauh di sebelah kiri. Mendadak dia menengok, agak berdongak untuk mencari mata Yo Wan dengan pandangannya,
"Kau... lapar...?"
Yo Wan melongo beberapa detik.
"Lapar? Tentu saja..." jawabnya otomatis, karena memang perutnya terasa perih minta diisi.
Wajah Siu Bi berseri gembira. "Kau tunggu di sini sebentar, kutangkap kelinci gemuk di sana itu!" Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan pada lain saat dia telah menguber-uber seekor kelinci putih yang gemuk.
Yo Wan kembali tertegun, kemudian dia tersenyum geli dan menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. Lalu dia mengumpulkan daun dan ranting kering serta duduk di atas sebuah batu, menunggu dengan sabar.
Siu Bi datang sambil berloncatan dan menari-nari kegirangan. Seekor kelinci yang gemuk sekali meronta-ronta di bawah pegangannya. Siu Bi memegang kedua telinga itu.
"Lihat, wah gemuk sekali! Masih muda lagi!" teriaknya sambil tertawa-tawa.
Wajah Yo Wan berseri dan untuk sejenak lenyaplah kemuraman wajahnya.
”Hemmm, tentu lezat sekali dagingnya. Biar kubuatkan api."
la lalu membuat api sambil matanya melirik ke arah gadis itu yang dengan cekatan sekali menyembelih kelinci dengan pedangnya, lalu mengulitinya dengan cepat. Sambil bekerja, Siu Bi bersenandung dan Yo Wan beberapa kali melirik ke arah gadis ini. Seorang gadis yang benar-benar aneh, pikirnya. Watak yang luar biasa dan sukar diselami.
"Lihat nih, gajihnya sampai tebal? Hemmm... Makin lapar perutku," kata Siu Bi sambil mengangkat daging kelinci tinggi-tinggi.
"Lekas panggang, tak kuat lagi aku." Yo Wan berkata sambil beberapa kali menelan air ludah sendiri.
Bagaikan seorang anak kecil, sambil tertawa-tawa gembira Siu Bi lalu menusuk daging kelinci dengan bambu dan memanggangnya. Bau yang sedap gurih segera memenuhi udara, menambah rasa lapar di perut. Selama mengerjakan itu, Siu Bi tidak bicara, hanya beberapa kali melirik ke arah Yo Wan, tetapi kalau pemuda itu membalas pandangnya, ia mengalihkan kerling sambil tersenyum. Biar pun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun di dalam hatinya Siu Bi tiada hentinya berkata-kata. Pikirannya diputar terus. Pemuda ini baik, pikirnya. Tidak kurang ajar, biar pun kelihatan agak tolol. Terang bahwa dia itu lihai sekali, sudah berkali-kali dibuktikan biar pun tidak berterang.
Dapat memasuki rumah gedung Jenderal Bun tanpa diketahui, seperti setan saja, dapat membebaskannya dari kerangkeng, kemudian ia harus mengakui bahwa ketika ia roboh terjegal kakinya oleh tambang-tambang itu, keadaannya memang amat berbahaya. Pemuda itu tiba-tiba saja muncul dalam gelap, dapat membawanya pergi tanpa diketahui semua pengeroyok, malah tidak lupa membawa pula pedangnya. Kalau tidak lihai sekali mana mungkin dia melakukan semua itu?
Kembali dia melirik Yo Wan duduk termenung, tapi lubang hidungnya kembang-kempis, jakunnya naik turun, jelas bahwa dalam termenung, pemuda itu tergoda hebat oleh asap panggang kelinci yang sedap dan gurih. Melihat ini, Siu Bi tertawa mengikik sehingga dia terpaksa menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Ibunya yang selalu marah kalau melihat ia ketawa tanpa menutupi mulutnya dan terlalu sering Siu Bi melupakan hal ini. Baiknya sekarang ia tidak lupa, mungkin karena sadar bahwa ada orang lain di dekatnya, laki-laki pula.
"Hemmm, mengapa kau tertawa?" Yo Wan bertanya, kaget dan sadar dari lamunannya.
"Tidak apa-apa, tidak bolehkah orang tertawa?" Siu Bi menjawab sambil melirik nakal, tangannya memutar-mutar daging kelinci di atas api.
Jawaban ini merupakan tangkisan yang membuat Yo Wan gelagapan. "A... a... aku tidak melarang... tentu saja, siapa pun boleh tertawa. Kau mentertawai aku?"
Siu Bi hanya tersenyum saja, tidak menjawab, melirik pun tidak. Daging itu sudah hampir matang. Yo Wan juga tidak mendesak, tapi cukup mendongkol hatinya. Gadis remaja ini benar-benar pandai mengobrak-abrik hati orang dengan sikapnya yang aneh, sebentar marah, sebentar ramah, sebentar kemudian menggoda. Pemuda ini terang pandai sekali, Siu Bi melanjutkan lamunannya. Apa bila aku berbaik kepadanya dan kemudian mendapat bantuannya, agaknya akan lebih besar hasilnya di Liong-thouw-san.
Menurut ucapan Bun Hui pemuda putera jenderal itu, Pendekar Buta adalah seorang sakti yang sangat tinggi kepandaiannya. Tentu saja ia tidak takut, akan tetapi bagaimana kalau dia gagal? Tentu akan mengecewakan sekali jika dia tidak berhasil membalaskan dendam kakek Hek Lojin. Akan tetapi kalau bisa mendapat bantuan pemuda ini, hemmm, kepandaian mereka berdua dapat disatukan untuk menghadapi dan mengalahkan Kwa Kun Hong si Pendekar Buta.
Akan tetapi apakah benar-benar pemuda ini lihai? Kembali dia melirik. Yo Wan tampak mengantuk, sepasang matanya hampir meram dan kepalanya terangguk-angguk ke kiri dan kanan, seakan-akan lehernya tidak kuat pula menyangga kepalanya. Kasihan! Tentu dia sangat mengantuk, mengantuk dan lapar karena semalam tidak tidur sama sekali, memondongnya pergi sejauh ini. Kalau sedang mengantuk dan ‘tidur ayam’ begini sama sekali tidak patut menjadi seorang yang berkepandaian tinggi. Juga tidak nampak membawa senjata.
Makin dia perhatikan, semakin tidak memuaskan kesan di hati Siu Bi. Pemuda yang tidak muda lagi, sungguh pun belum tua. Rambutnya kering akibat tidak terpelihara baik-baik. Wajahnya biar pun tampan, akan tetapi tampak muram seperti orang yang sedih selalu. Pakaiannya yang serba putih itu tidak bersih lagi, juga ada beberapa bagian yang robek. Pemuda miskin!
Tiba-tiba Yo Wan yang benar-benar sangat mengantuk itu terangguk ke depan, menjadi kaget dan membuka matanya, memandang bingung.
"Hi-hi-hik...!" kembali Siu Bi terkekeh. Lucu sekali keadaan pemuda itu.
"Kenapa kau tertawa?"
"Siapa yang tidak tertawa melihat kau terkantuk-kantuk seperti ayam keloren (menderita penyakit kelor)? Hayo bangun, dagingnya sudah matang!" Siu Bi mengangkat panggang daging kelinci dan menaruhnya di atas daun-daun bersih yang sudah disediakan di situ, di depan Yo Wan.
"Wah, gurih baunya!" Yo Wan memuji. "Hayo, kau ambil dulu."
"Kau ambillah dulu."
"Kau yang tangkap dan masak kelinci, masa aku harus makan dulu?"
"Sudahlah, kau ambil dulu, mengapa sih? Aku tidak selapar engkau!"
Yo Wan tidak berlaku sungkan lagi. Dengan penuh gairah ia segera merobek daging itu, mengambil bagian yang ada tulangnya, lalu langsung menggerogotinya dengan lahap.
"Wah, hebat...! Lezat bukan main...!" katanya sambil mengunyah.
Memang kelinci itu gemuk sekali, gajihnya banyak sehingga begitu daging tergigit, gajih yang mencair oleh api itu menitik dari kanan kiri bibir Yo Wan.
"Sayang tidak ada arak...Heee! Kau ke mana, Nona?"
"Tunggu dulu sebentar, aku ambil air minum!" Cepat Siu Bi berlari meninggalkan Yo Wan.
Pemuda ini mengunyah lambat-lambat dan pikirannya makin penuh oleh keadaan Siu Bi. Gadis itu benar-benar hebat, wataknya aneh sekali. Sekarang sangat ramah dan baik kepadanya. Siapakah dia ini?
Siu Bi kembali membawa dua buah kulit labu yang penuh air jernih, dan selain air, juga ia membawa banyak buah-buah manis yang dipetiknya dari dalam hutan. Dengan hati-hati agar jangan tumpah, dia menaruh kulit labu yang dipakai menjadi tempat air itu di atas tanah, kemudian ia pun mulai makan daging kelinci. Keduanya makan dengan lahap, tanpa bicara, hanya kadang-kadang pandangan mata mereka bertemu sebentar. Yo Wan duduk di atas batu, Siu Bi duduk bersila di atas tanah berumput. Api bekas pemanggang daging masih bernyala sedikit...
Siu Bi tadi sudah mendengar keterangan para petani bahwa lurah itu mempunyai dua puluh orang tukang pukul, maka melihat serbuan ini, maklumlah ia bahwa mereka semua sudah lengkap berkumpul di situ. Memang inilah yang ia kehendaki, maka tadi ia tidak lekas-lekas merobohkan Bhong Lam, yaitu hendak memancing datangnya semua tukang pukul, baru ia hendak turun tangan.
"Para paman, lihatlah aku membalaskan dendam kalian!" terdengar bentakan merdu dan nyaring di antara hujan senjata itu. Para petani sudah gelisah sekali dan menggigil, maka mereka menjadi girang mendengar suara ini.
Seiring dengan bentakan merdu dan nyaring itu, lenyaplah tubuh Siu Bi, berubah menjadi bayangan berkelebat yang dibungkus sinar kehitaman. Pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang dipergunakan oleh gadis itu, dan akibatnya mengerikan sekali. Jerit dan tangis terdengar susul-menyusul.
Tubuh para tukang pukul roboh bergelimpangan satu demi satu dengan cara yang cepat sekali. Paling akhir Bhong Lam yang tadinya mainkan toya dengan ganas itu pun roboh tersungkur tak dapat berkutik lagi. Tak sampai seperempat jam lamanya, empat belas orang tukang pukul itu roboh semua dengan lengan kanan terbabat putus. Sedangkan Bhong Lam sendiri roboh tak berkutik dan darah mengucur dari dadanya yang telah tertembus pedang. Mandi darah dan hujan rintihan memenuhi halaman itu.
Para petani yang tadinya menonton dengan jantung berdebar-debar, sekarang tak berani memandang lagi. Mereka adalah korban-korban kekejaman yang sudah sering disiksa, akan tetapi menyaksikan ini membuat mereka menggigil dan tak berani memandang lagi. Mereka memang menaruh dendam dan ingin sekali menyaksikan para penyiksa mereka itu terbalas dan terhukum, akan tetapi apa yang barusan dilakukan oleh ‘Dewi Kwan Im’ ini benar-benar amat menyeramkan.
Empat belas orang dan enam orang mandor di sawah dibuntungi lengannya, sedangkan Bhong-kongcu tewas. Semua tukang pukul merintih-rintih memegangi lengan kanan yang buntung dengan tangan kiri, bingung melihat darahnya sendiri mengucur bagai pancuran. Siu Bi bagaikan seekor harimau betina mencium darah. Dengan sikap beringas karena mengira bahwa akan datang lagi antek-antek keluarga Bhong, dia kemudian menantang, "Hayo, bila masih ada binatang-binatang keji penindas orang-orang miskin, majulah dan inilah lawanmu, aku Cui-beng Kwan Im!"
Seorang laki-laki setengah tua, yaitu Bhong-loya sendiri, alias lurah Bhong Ciat, diiringi isterinya, berlari tersaruk-saruk keluar gedung dan menangislah pasangan suami isteri ini setelah melihat putera tunggal mereka menggeletak mandi darah tak bernyawa lagi. Pada waktu itu terdengar derap kaki kuda dan datanglah serombongan orang berkuda. Melihat pakaian mereka, terang bahwa mereka adalah prajurit-prajurit istana, berjumlah dua puluh empat orang, dikepalai oleh seorang muda yang amat gagah dan tampan.
"Minggir! Bun-enghiong (pendekar Bun) telah datang...!" teriak orang-orang yang tadinya berkumpul memenuhi tempat itu, menonton kejadian yang hebat di depan gedung lurah Bhong.
Pemuda tampan itu memberi tanda dengan tangan, menyuruh barisannya berhenti. Dia sendiri melompat turun dan atas kudanya dan lari memasuki pekarangan. Alisnya yang tebal itu bergerak-gerak dan matanya terbelalak heran menyaksikan empat belas orang tukang pukul merintih-rintih dengan lengan buntung serta Bhong-kongcu tewas ditangisi ayah bundanya.
Ada pun Bhong Ciat, ketika mendengar seruan orang-orang dan melihat pemuda gagah itu, segera menangis sambil menyambut dan berlutut di depan pemuda itu.
"Aduh, Bun-enghiong... tolonglah kami... malapetaka telah menimpa keluarga kami, anak kami tewas... orang-orang kami buntung semua lengan mereka... penasaran... sungguh penasaran...."
"Paman Bhong, siapa yang melakukan perbuatan keji itu?" Si pemuda tampan bertanya, pandang matanya mencari-cari.
"Aku yang melakukan!" tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Pemuda itu cepat memandang dan dia melongo. Sinar matanya yang tajam itu jelas tidak percaya, dan sampai lama dia memandang Siu Bi. Kemudian dia tersenyum, sama sekali tidak mau percaya ketika dia berkata,
"Nona, harap kau jangan main-main dalam urusan yang begini hebat. Lebih baik Nona tolong memberi tahu siapa mereka yang telah melakukan pengamukan seperti ini."
"Siapa yang main-main? Huh, kalau hanya memberi hajaran kepada anjing-anjing ini saja apa sih sukarnya? Biar mereka ada sepuluh kali banyaknya, semua akan aku robohkan!" Siu Bi menyombong, ada pun pedangnya digerakkan melintang di depan dada, gerakan yang amat indah dan gagah.
Seketika berubah wajah pemuda tampan itu, sinar matanya menyinarkan kekerasan dan kekagetan. "Nona siapakah?"
"Huh, baru bertemu tanya-tanya nama segala, mau apa sih? Kau sendiri siapa, lagaknya kayak pembesar, datang-datang main urus persoalan orang lain!"
Pemuda itu cepat-cepat memberi hormat sambil menjura, bibirnya tersenyum dan untuk sedetik matanya menyinarkan kegembiraan. "Nona, ketahuilah, aku yang rendah adalah Bun Hui. Bolehkah sekarang aku tahu, siapa Nona?"
"Aku Cui-beng Kwan Im!" jawab Siu Bi berlagak, mengedikkan kepala membusungkan dada serta pandang matanya menantang, memandang rendah, sungguh pun diam-diam dia kagum melihat pemuda yang tampan dan gagah ini,
Bun Hui tercengang. Dia tahu bahwa nona itu menggunakan nama samaran atau nama julukan. Julukan yang hebat dan tepat. Memang cantik jelita seperti Kwan Im, dan ganas seperti setan pengejar nyawa!
Dia mengingat-ingat. Sudah banyak dia mengenal tokoh-tokoh di dunia kang-ouw, lebih banyak lagi yang sudah dia dengar namanya, namun belum pernah dia mendengar nama julukan Cui-beng Kwan Im! Apa lagi kalau yang mempunyai nama itu seorang dara jelita seperti ini!
Sementara itu, petani tua yang tadi mempelopori kawan-kawannya kini mendekati Siu Bi dan berbisik, "Pouwsat (dewi), dia adalah Bun-enghiong, putera Bun-goanswe (Jenderal Bun) yang amat berkuasa di kota raja dan terkenal sebagai keluarga yang amat adil dan ditakuti pembesar macam Bhong-loya."
Siu Bi mengangguk-angguk, akan tetapi hatinya merasa dongkol. Jadi pemuda ini putera pembesar tinggi yang ditakuti semua orang? Hemmm, dia tidak takut!
"Ehh, orang she Bun, kiranya kau putera pembesar yang katanya adil? Huh, siapa sudi percaya? Apa bila kau atau ayahmu benar-benar adil, tentu tidak akan membiarkan para penduduk miskin dusun ini ditekan dan dicekik oleh lurah Bhong beserta kaki tangannya. Karena kau dan ayahmu, meski pun merupakan pembesar-pembesar tinggi namun tidak becus memberi hajaran kepada bawahanmu semacam anjing-anjing ini, maka aku yang turun tangan memberi hajaran. Sekarang kau mau apa? Mau membela mereka? Boleh! Aku tidak takut!"
Bun Hui terheran-heran dan diam-diam dia amat kagum di samping kemarahannya akan kesombongan dara ini. Ia menoleh ke arah Bhong Ciat yang masih berlutut, lalu bertanya, "Betulkah apa yang dikatakan Nona ini, paman Bhong?"
Bhong Ciat adalah seorang yang pandai mengambil hati, karena kekayaannya dia pandai bermuka-muka sehingga banyak pembesar di kota raja yang dapat dikelabui, mengira dia seorang yang baik dan pandai mengurus kewajibannya. Tadinya Bun Hui juga mendapat kesan baik akan diri lurah ini, maka hari itu dia hendak membelokkan tugas kelilingnya ke dusun Pau-ling.
"Bohong, Bun-enghiong, Nona itu mengatakan fitnah!" Bhong Ciat segera membantah. "Siapa yang menindas orang? Harap tanyakan saja kepada para saudara petani."
Akan tetapi belum juga Bun Hui melakukan pertanyaan, para petani itu sudah serempak berteriak-teriak,
"Memang benar ucapan Pouwsat! Bertahun-tahun kami ditindas dan hidup sengsara di bawah telapak kaki Bhong-kongcu dan kaki tangannya yang kejam! Bhong-loya tak tahu apa-apa, enak-enak saja di dalam gedung tidak peduli akan keganasan puteranya, selalu berpihak kepada puteranya!"
Biar pun orang-orang itu bicara tidak karuan dan saling susul, namun isi teriakan-teriakan itu adalah cukup bagi Bun Hui. Dia kini menghadapi Siu Bi kembali, yang masih berdiri tegak menantang.
"Nah, apakah kau masih hendak memihak lurah yang bejat moralnya ini? Boleh, aku tetap berpihak kepada mereka yang tertindas!"
"Sabar, Nona. Aku tak berpihak kepada siapa-siapa, melainkan berpihak kepada hukum. Ketahuilah, oleh yang mulia kaisar, ayahku diberi tugas untuk meneliti serta mengawasi sepak-terjang para petugas negara. Kini, sebagai wakil ayah, aku menghadapi peristiwa ini. Bukanlah kewajibanku untuk mengambil keputusan di sini, khawatir kalau-kalau aku terpengaruh oleh salah satu pihak kemudian dianggap tidak adil. Oleh karena itu, aku persilakan Nona suka ikut bersamaku, juga paman Bhong, dan beberapa orang saudara petani sebagai saksi. Apakah Nona berani menghadapi pemeriksaan pengadilan yang berwenang?"
Biar pun masih muda, baru dua puluh lewat usianya, Bun Hui memiliki kecerdikan yang berhubungan dengan tugasnya mewakili ayahnya. Karena kecerdikannya inilah dia dapat menghadapi Siu Bi. Dia dapat menyelami watak dara lincah yang tidak mungkin mau mengalah itu, oleh karena itu sengaja dia menantang apakah Siu Bi berani menghadapi pemeriksaan pengadilan. Benar saja dugaannya, dengan mata berapi gadis itu langsung membentaknya,
"Mengapa tidak berani? Hayo, biar pun malaikat sendiri datang mengadili, aku tidak takut karena aku membela keadilan!" serunya.
"Bagus sekali!" Bun Hui berseru girang. "Nona betul-betul gagah perkasa. Banyak orang kang-ouw yang tak mau tahu akan pemeriksaan pengadilan negara, seolah-olah mereka itu tidak bernegara dan tidak mengenal hukum. Mereka lebih suka menjadi hakim sendiri menurut kehendak hati mereka, sehingga terjadilah balas-membalas dan permusuhan di mana-mana."
Siu Bi mengerutkan keningnya. Ucapan ini tidak menyenangkan hatinya, sebab ia sendiri menganggap dirinya merupakan seorang tokoh kang-ouw pula, biar pun belum ternama. "Karena mereka itu tidak berani!" serunya ingin menang.
"Memang, karena mereka itu tidak berani, dan Nona tentu saja berani menghadapi apa saja."
"Tentu aku berani, takut apa? Kalau aku tidak bersalah, siapa pun juga akan kulawan dan kuhadapi dengan pedangku!"
Bun Hui tersenyum. Ia segera memberi perintah kepada anak buahnya agar menyiapkan kuda. la sendiri lalu memberikan kudanya kepada Siu Bi.
"Mari, Nona, ayo kita berangkat." Kepada para petani yang tidak ikut menjadi saksi, dia berkata, "Paman sekalian harap rawat mereka yang terluka. Mulai saat ini juga di dusun Pau-ling tak lagi boleh terjadi keributan, tidak boleh ada yang menggunakan kekerasan. Kalau terjadi sesuatu penasaran, harap lapor kepadaku."
Berangkatlah rombongan itu. Siu Bi naik kuda di samping Bun Hui, di depan barisan. Lurah Bhong dan enam orang petani saksi berada di tengah rombongan. Para penduduk Pau-ling mengantar rombongan itu dengan pandangan mata mereka. Banyak yang berlinang air mata karena girang, terharu akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Siu Bi. Nama Cui-beng Kwan Im akan tetap terukir di sanubari para petani miskin di Pau-ling karena sesungguhnya, sejak Siu Bi turun tangan, penderitaan mereka lenyap, setelah di dusun itu diperintah oleh seorang lurah baru yang adil sehingga tidak ada lagi terjadi pemerasan dan penindasan di situ.
Tak ada seorang pun yang tahu bahwa semenjak Siu Bi dikeroyok tadi, semua peristiwa dilihat oleh sepasang mata yang sangat tajam, yang tadi memandang kagum, kemudian memandang khawatir ketika melihat gadis itu turut pergi bersama rombongan Bun Hui. Tanpa diketahui siapa pun, pemilik sepasang mata ini diam-diam mengikuti rombongan. Hebatnya, biar pun rombongan itu berkuda, dia dapat berlari cepat dan tetap mengikuti di belakang rombongan. Dia adalah seorang laki-laki muda, kurang dari tiga puluh tahun, pakaiannya sederhana, sikapnya halus dan pendiam. Siapa lagi kalau bukan Si Jaka Lola, Yo Wan!
Seperti diketahui, Yo Wan meninggalkan Pegunungan Himalaya, dalam perantauannya menuju ke timur. Tiba-tiba saja timbul pikirannya untuk mengunjungi Hoa-san. Ketika dia mengenangkan peristiwa di Hoa-san beberapa tahun yang silam, dia menyesalkan akan sikapnya sendiri yang telah mendatangkan gara-gara di sana. la tidak perlu merasa takut, karena maksud kedatangannya sekarang hanya ingin mengunjungi suhu dan subo-nya, untuk memberi hormat dan melihat keadaan kedua orang tua itu.
Gembira juga hatinya kalau memikirkan bahwa tentu sekarang Swan Bu, anak yang dulu sangat manja itu, kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Tampan dan gagah, tak salah lagi. Dahulu pada waktu kecil saja sudah memperlihatkan ketampanan dan kegagahan. la akan merasa bangga melihat adik seperguruan ini.
Pada hari itu, secara kebetulan sekali dia tiba di dusun Pau-ling dan mendengar adanya keributan. Ketika dia memasuki dusun, tepat dilihatnya seorang gadis remaja dikeroyok oleh banyak orang. Dia tidak tahu akan persoalannya, maka ditanyakannya kepada seorang petani di antara banyak penonton itu. Dan apa yang didengarnya benar-benar membuatnya kagum luar biasa. Gadis itu, yang berjuluk Cui-beng Kwan Im, ternyata membela para petani miskin yang ditindas lurah, dan sekarang tengah dikeroyok oleh tukang pukul-tukang pukul yang biasanya menyiksa penghidupan para petani miskin.
la kagum, akan tetapi juga khawatir kalau-kalau gadis pendekar itu akan celaka di tangan para tukang pukul yang galak. Akan tetapi, betapa kagumnya menyaksikan sepak terjang gadis itu, sepak terjang yang amat ganas dengan ilmu pedang serta ilmu pukulan yang dahsyat dan ganas pula. Uap hitam yang keluar dari tangan kiri gadis itu! Terang merupakan ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun, sedangkan ilmu pedang yang juga bersinar hitam, semua ini membuktikan bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian dari golongan hitam. Akan tetapi harus diakui bahwa kepandaian gadis itu benar-benar luar biasa!
Munculnya pemuda bernama Bun Hui mengagumkan hatinya, juga gerak-gerik pemuda itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Sekali pandang saja Yo Wan dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Langkah kakinya yang mantap, semua gerak-geriknya yang ringan, terang menjadi tanda-tanda seorang ahli silat tinggi.
Maka diam-diam dia mentertawai gadis itu yang amat tinggi hati. Kau terlalu memandang rendah pemuda ini, pikirnya. Betapa pun juga, dia mengkhawatirkan gadis perkasa yang agaknya masih hijau ini dan diam-diam dia mengikuti dari jauh. Gembira juga hati Siu Bi, kegembiraan yang timbul oleh kebanggaan. Ketika rombongan memasuki kota Tai-goan, sebuah kota besar di sebelah barat kota raja, rombongan itu lantas menjadi tontonan banyak orang. Dan terutama sekali, dirinya yang menjadi pusat perhatian para penonton. Dengan lagak angkuh ia duduk di atas kudanya yang berjalan berendeng dengan kuda Bun Hui.
Di sepanjang jalan tadi ia tidak mempedulikan pemuda ini, juga Bun Hui tidak satu kali pun bicara dengan Siu Bi. Walau pun di dalam hatinya Bun Hui amat kagum dan tertarik dengan gadis ini, akan tetapi dia adalah seorang pemuda gagah yang menjunjung tinggi kesopanan, maka dia menahan perasaannya dan tidak mau mengajak bicara Siu Bi di depan orang banyak.
Akan tetapi tidak sedetik pun perhatiannya beralih dari diri gadis di sampingnya. la heran sekali bagaimana seorang gadis semuda dan sejelita ini dapat bersikap demikian ganas. Diam-diam dia menduga-duga, murid siapakah gerangan gadis ini, siapa pula namanya. Ingin dia segera sampai di kota raja agar dalam pemeriksaan dia akan dapat mendengar riwayat dara yang telah menjatuh bangunkan hatinya itu.
Siapakah pemuda ini sesungguhnya? Para pembaca cerita Pendekar Buta tentu telah mengenal ayah pemuda ini yang bukan lain adalah Bun Wan, putera tunggal dari ketua Kun-lun-pai! Di dalam cerita Pendekar Buta telah dituturkan bahwa Bun Wan menikah dengan seorang gadis lihai puteri majikan Pulau Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau) yang bernama Giam Hui Siang.
Kemudian, karena jasa-jasanya dalam perjuangan membantu Raja Muda Yung Lo yang mengalahkan keponakannya sendiri, setelah Yung Lo menggantikan kedudukan sebagai kaisar dan memindahkan ibu kota dari selatan ke utara, Bun Wan diberi kedudukan tinggi sesuai dengan jasanya, malah pernah menjabat sebagai seorang jenderal. Dari perkawinannya dengan Giam Hui Siang, dia memperoleh seorang putera yang diberi nama Hui. Kemudian, melihat watak Jenderal Bun yang sangat jujur keras dan adil, oleh kaisar Jenderal Bun diangkat menjadi pengawas dan pemeriksa semua alat negara.
Kekuasaannya amat tinggi sehingga dengan pedang kekuasaannya yang diberikan oleh kaisar, Jenderal Bun berkuasa memeriksa semua petugas, dari yang terendah sampai yang paling tinggi. Inilah yang menyebabkan dia ditakuti dan disegani oleh para menteri sekali pun, karena jenderal ini terkenal sebagai seorang yang berdisiplin, keras dan adil, tak mungkin bisa disuap dan tidak mengenal ampun pada para pembesar yang korup.
Di samping keseganan, tentu saja Jenderal Bun ini mendapatkan banyak sekali musuh yang membencinya secara diam-diam. Tetapi siapakah orangnya berani menentangnya secara berterang? Jenderal Bun selain lihai ilmu silatnya, memiliki prajurit-prajurit pilihan, disayang dan dipercaya kaisar, dan di samping ini, masih ada Kun-lun-pai sebagai partai persilatan besar yang seratus persen berdiri di belakangnya!
Jenderal Bun adalah seorang ahli silat Kun-lun-pai yang memiliki kepandaian tinggi. Juga Giam Hui Siang isterinya adalah seorang ahli silat tinggi yang telah mewarisi kepandaian Ching-toanio majikan Pulau Ching-coa-to. Tentu saja, sebagai putera Bun Hui semenjak kecil digembleng ayah bundanya sendiri sehingga memiliki kepandaian yang hebat. Pemuda ini mewarisi watak ayahnya, keras, jujur dan adil. Oleh karena inilah maka dia dipercaya oleh ayahnya dan sering kali mewakili ayahnya yang sibuk dengan pekerjaan di Tai-goan, untuk mengadakan pemeriksaan di wilayah yang dikuasakan oleh kaisar.
Pada hari itu, Bun-goanswe (Jenderal Bun) yang tengah sibuk di kamar kerjanya menjadi terheran-heran ketika melihat puteranya pulang bersama seorang gadis cantik jelita yang sikapnya angkuh dan gagah, diiringkan pula oleh lurah Bhong dari dusun Pau-ling dan beberapa orang petani miskin. Lurah Bhong dan para petani segera menjatuhkan diri berlutut di depan meja jenderal itu. Akan tetapi Siu Bi tentu saja tidak sudi berlutut, malah berdiri tegak dan memandang pria tinggi besar yang duduk di belakang meja.
Dia melihat seorang laki-laki yang gagah, berusia sepantar ayahnya, pakaiannya seperti seorang panglima perang. Matanya yang sebelah kanan buta, akan tetapi hal ini malah menambah keangkerannya. Mau tidak mau Siu Bi menaruh segan dan hormat terhadap orang tua ini, maka dia diam saja, hanya memandang. Sejenak Bun-goanswe menatap wajah Siu Bi, maklum bahwa gadis ini tentulah seorang gadis kang-ouw yang tinggi hati dan merasa dirinya paling pandai. Maka dia tersenyum di dalam hati dan tidak menjadi kurang senang melihat gadis remaja itu tidak mau memberi hormat kepadanya.
Dengan tenang Bun-goanswe mendengarkan penuturan Bun Hui mengenai keributan di dusun Pau-ling. Tampak mata yang tinggal sebelah itu bersinar marah dan alisnya yang tebal hitam berkerut. Segera dia menoleh ke arah lurah Bhong yang masih berlutut tanpa berani mengangkat mukanya.
"Lurah Bhong, benarkah pendengaranku bahwa kau memperlakukan penduduk desamu secara tidak adil, melakukan tindakan sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu?"
"Mohon ampun, Taijin... hamba... hamba tidak merasa melakukan perbuatan sewenang-wenang. Ham... hamba sudah tua... sudah jarang bekerja di luar... semua urusan hamba serahkan kepada petugas petugas hamba..."
"Hemmm, sudah keenakan lalu bermalas-malasan dan bersenang di dalam gedung saja, ya? Melalaikan kewajiban, tidak peduli akan keadaan penduduk, bersikap masa bodoh asal kau sendiri senang? Begitukah sikap seorang kepala kampung? Tentang keributan antara anakmu dan orang-orangmu dengan Nona ini, bagaimana?"
"Hamba kurang jelas... hanya gadis liar ini datang menyerang, membunuh anak hamba... juga melukai semua petugas, membuntungi lengan mereka, tidak seorang pun selamat. Hamba... hamba mohon Taijin sudi menghukum gadis liar ini, dia sangat jahat!"
Bun-goanswe menoleh ke arah Siu Bi, sinar matanya penuh selidik. Dia tak senang juga mendengar gadis ini sudah membunuh orang dan membuntungi lengan dua puluh orang lebih. Sungguh ganas!
Akan tetapi Siu Bi menentang pandang matanya dengan berani, bahkan berkedip pun tidak. Sepasang mata yang amat tajam, penuh ketabahan dan kekerasan hati. Seorang gadis berbahaya, apa lagi kalau berkepandaian tinggi.
"Nona, kau siapakah?"
"Orang-orang dusun menyebutku Kwan Im Pouwsat, tetapi aku lebih senang memakai nama Cui-beng Kwan-im," jawab Siu Bi, suaranya merdu dan lantang.
Bun-goanswe tak dapat menahan senyumnya, senyum maklum dan setengah mengejek. la pernah muda, pernah dia melihat gadis-gadis kang-ouw seperti ini di waktu mudanya. Malah isterinya sendiri, dahulu lebih ganas dari pada gadis ini!
"Namamu siapa? Siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu?"
Siu Bi mengerutkan kening. Untuk apa tanya-tanya orang tua ini, pikirnya. Akan tetapi ia tidak berani menjawab secara kurang ajar, hanya menjawab sewajarnya, "Tentang orang tuaku, kiranya tidak perlu disebut-sebut di sini. Namaku Siu Bi, dan mengenai guruku... hemmm, mendiang guruku berjuluk Hek Lojin."
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bun-goanswe mendengar nama ini. Di dalam cerita Pendekar Buta telah diceritakan betapa dia dan isterinya pernah bertemu dengan Hek Lojin dan terluka hebat, mungkin binasa kalau tidak ditolong oleh Kwan Kun Hong Si Pendekar Buta!
Hek Lojin adalah seorang kakek iblis, yang dulu pernah hampir membunuh dia bersama isterinya. Dan sekarang muridnya, gadis yang tentu juga seorang gadis iblis pula, berdiri di depannya Kalau saja Bun-goanswe bukan seorang tua yang pengalamannya sudah matang, berwatak adil dan pandai menyembunyikan perasaan, tentu dia sudah melompat untuk menerjang murid bekas musuhnya ini. la menekan perasaannya dan mengangguk-angguk.
“Mengapa kau membunuh putera lurah Bhong dan membuntungi lengan banyak orang?" tanyanya, sikapnya masih tetap tenang akan tetapi suaranya sekarang tidak sehalus tadi, terdengar agak ketus sehingga Bun Hui yang mengenal watak ayahnya, mengangkat muka memandang.
Siu Bi mengedikkan kepala, mengangkat kedua pundak, gerakan yang membayangkan bahwa dia tidak peduli. "Harap kau orang tua suka tanya saja kepada para petani ini bagaimana duduknya perkara yang sebenarnya. Kalau benar seperti yang kudengar dari paman tani bahwa kau seorang pembesar yang adil, tentu kau akan menghukum lurah brengsek ini, kalau tidak, akulah yang akan turun tangan memberi hajaran kepadanya!" Siu Bi mengerling kepada lurah Bhong dengan pandang mata jijik.
Merah muka Bun-goanswe. Seorang bocah berbicara seperti itu di depan banyak orang, benar-benar hal ini amat merendahkannya. Akan tetapi dia bertanya, "Dengan cara apa kau hendak menghajarnya?"
Siu Bu menepuk gagang pedangnya. "Dengan ini! Mungkin akan kulepaskan kedua daun telinganya yang terlalu lebar itu.”
Menggigil tubuh lurah Bhong mendengar ini, bahkan kedua telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci saking ngeri hatinya. Bun Hui yang otomatis melirik ke arah telinga lurah itu, menahan rasa geli di dalam hatinya.
Bun-goanswe lalu bertanya kepada para petani. Mereka ini serta-merta, sambil berlutut dan menempelkan jidat pada lantai, menceritakan penderitaan mereka sedusun, tentang perbuatan sewenang-wenang dari Bhong-kongcu dan para kaki tangannya, juga tentang perampasan wanita, perampasan sawah ladang, pemerasan dan mengenai upah yang tidak cukup mereka makan sendiri. Kemarahan Bun-goanswe membuat mukanya semakin merah lagi. Ada seorang lurah macam ini di dalam wilayah yang dikuasakan kepadanya, benar-benar amat memalukan!
"Hemmm, urusan ini harus kuselidiki sendiri di Pau-ling. Kalau betul lurah ini sewenang-wenang, akan kuhukum dan kuganti. Sebaliknya, pembunuhan dan penganiayaan berat sampai membuntungi lengan dua puluh orang, bukanlah hal kecil seakan-akan di sini tak ada hukum yang berlaku lagi. Perkara ini akan diputuskan besok setelah aku meninjau ke sana. Nona, kau harus ditahan semalam ini, serahkan pedangmu padaku. Tidak ada tahanan yang boleh membawa pedang atau senjata lain."
Siu Bi merah mukanya, hendak marah. Akan tetapi Bun Hui melangkah maju dan berkata halus, "Harap Nona suka mengindahkan peraturan dan hukum di sini, percayalah bahwa ayah akan memberi keadilan yang seadil-adilnya. Melawan akan menjerumuskan Nona ke dalam urusan yang lebih besar lagi. Pedang itu hanya disimpan dulu di sini, tidak akan hilang. Besok kalau urusan selesai, Nona tentu akan menerimanya kembali."
Karena sikap Bun Hui yang ramah dan halus sopan, Siu Bi mengalah. Dia pikir tidak ada gunanya mengamuk di sini. Dia melihat jenderal mata satu itu sangat berwibawa, juga tampaknya gagah perkasa, demikian pula pemuda ini. Dan di situ tampak pula barisan pengawal yang bersenjata lengkap, sungguh tak boleh dipandang ringan. Jika melawan seorang pembesar tinggi sama dengan memberontak, pengetahuan ini sedikit banyak ia dapatkan dari ayah dan mendiang kakek gurunya.
"Boleh, andai kata tidak dikembalikan pun, apakah aku tidak akan dapat mengambilnya kembali?" Siu Bi berkata sambil meloloskan pedang berikut sarung pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam ia letakkan di atas meja depan Bun-goanswe yang memandangnya penuh selidik.
Bun-goanswe memerintahkan orang-orangnya untuk menggiring Bhong Ciat serta enam orang petani ke dalam kamar tahanan, kemudian setelah semua orang itu dibawa pergi, dia berkata kepada puteranya, "Bawa Nona ini ke kamar tahanan di belakang, suruh jaga, jangan boleh dia bermain gila sebelum urusan ini selesai."
Mendongkol juga hati Siu Bi mendengar ini, "Orang tua, kuharap saja besok urusan ini sudah harus selesai. Aku tidak punya banyak waktu untuk tinggal di sini, apa lagi menjadi orang tahanan. Aku mempunyai urusan penting di Liong-thouw-san!"
Mendengar ini makin terkejutlah Bun-goanswe. Liong-thouw-san adalah tempat tinggal Pendekar Buta, sahabat sekaligus penolongnya. Mau apa murid Hek Lojin ini pergi ke Liong-thouw-san?
"Hemmm, ke Liong-thouw-san, ada urusan apakah? Atau, kau tidak berani mengatakan kepadaku karena di sana hendak melakukan sesuatu yang jahat?" Ternyata jenderal ini menggunakan akal seperti yang dipakai puteranya, memancing dengan memanfaatkan ketinggian hati gadis itu!
"Mengapa tidak berani? Apa yang hendak kulakukan di sana, siapa pun di dunia ini tidak bisa melarangku! Aku akan... membuntungi lengan beberapa orang di sana!" Gadis itu memandang Bun-goanswe dengan pandang mata seakan berkata, "kau mau apa?!"
Bun-goanswe tercengang. "Lengan siapa yang hendak kau buntungi lagi? Agaknya kau mempunyai penyakit ingin membuntungi lengan orang!" serunya.
Akan tetapi tanpa dijawab dia sudah dapat menduga. Lengan siapa lagi kalau bukan lengan Pendekar Buta yang akan dibuntungi gadis itu? Dia sudah mendengar tentang pertempuran hebat antara Pendekar Buta dan musuh-musuhnya, dan betapa lengan Hek Lojin buntung dalam pertandingan itu oleh Pendekar Buta.
Mengingat betapa gadis yang masih hijau ini mengancam hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, tak dapat ditahan lagi Bun-goanswe tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kau hendak membuntungi lengannya dengan pedang ini?" Dia lalu mencabut pedang itu dan tiba-tiba dia terbelalak.
Pedang itu adalah pedang yang mempunyai sinar hitam dan mengandung hawa dingin yang amat jahat. Diam-diam dia bergidik dan memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya.
"Hui-ji (anak Hui), antarkan dia ke dalam tahanan besar."
"Mari, Nona," ajak Bun Hui yang mukanya berubah pucat.
Pemuda ini tadi juga kaget sekali mendengar maksud gadis ini pergi ke Liong-thouw-san untuk membuntungi lengan orang. Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang Pendekar Buta, pendekar besar yang menjadi sahabat dan penolong ayahnya, orang yang paling dihormati ayahnya di dunia ini. Dan gadis ini hendak pergi ke sana membuntungi lengan pendekar itu!
Dia mengerti kehendak ayahnya. Gadis ini berbahaya dan merupakan musuh besar dari Pendekar Buta, harus ditahan di dalam kamar tahanan besar, yaitu kamar tahanan di belakang yang paling kuat, berpintu besi dengan jeruji baja yang amat kuat, cukup kuat untuk mengeram seekor harimau yang liar sekali pun!
Bun Hui berduka. Dia amat tertarik kepada gadis ini, ingin dia melihat gadis ini menjadi sahabat baiknya, melihat gadis ini berbahagia. Siapa duga, keadaan menghendaki lain. Gadis ini harus dikeram dalam kamar tahanan, dan justru dia yang harus melakukannya. Dia sedih, akan tetapi tanpa bicara sesuatu dia mengantarkan Siu Bi ke belakang. Gadis itu pun tanpa banyak cakap mengikuti, mengagumi gedung besar yang menjadi kantor dan rumah tinggal Jenderal Bun.
"Silakan masuk, Nona. Jangan khawatir, ayah adalah seorang yang adil. Nona pasti akan diperlakukan dengan baik," katanya, akan tetapi suaranya agak gemetar karena dia tidak percaya kepada omongannya sendiri.
Begitu Siu Bi masuk, pintu ditutup dan dikunci dari luar oleh Bun Hui. Siu Bi kaget dan marah. "Kenapa harus dikurung seperti binatang liar? Tempat apa ini?" teriaknya.
Bun Hui menjawab sambil menunduk. "Nona, sungguh aku menyesal sekali. Akan tetapi, kau... kau..." Bun Hui tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan segera berlari pergi dari situ. Wajahnya pucat, nafasnya terengah-engah dan dia langsung lari ke kamarnya untuk menenteramkan hatinya yang tidak karuan rasanya.
Siu Bi membanting-banting kedua kakinya. Didorongnya daun pintu, akan tetapi daun pintu yang dicat seperti daun pintu kayu itu ternyata terbuat dari besi yang amat kuat. la memeriksa ruangan tahanan itu. Cukup luas, akan tetapi di kanan kiri tembok tebal, di sebelah belakang terbuka dan dihalangi jeruji baja yang besar dan kokoh kuat.
Tidak mungkin dia sanggup merusak pintu atau jeruji itu untuk membebaskan diri hanya mengandalkan tenaganya saja. Namun Siu Bi masih penasaran. la mengerahkan tenaga Hek-in-kang, lalu menghantamkan kedua tangan ke arah jeruji.
Terdengar suara berdengung keras dan bergema, seluruh kamar tahanan itu tergetar, akan tetapi jeruji tidak menjadi patah. Dia mencoba pula untuk menarik jeruji agar lebar lubangnya supaya ia dapat lolos keluar, akan tetapi sia-sia. Jeruji baja itu amat kuat dan tenaga gwakang (tenaga luar) yang ia miliki tidak cukup besar. Tenaga Iweekang (tenaga dalam) memang tiada artinya lagi kalau menghadapi benda mati yang tak dapat bergerak seperti pintu dan jeruji yang terpasang mati di tempat itu.
Siu Bi membanting-banting kedua kakinya, berjalan hilir-mudik seperti seekor harimau liar yang baru saja dimasukkan kerangkeng. Biar pun besok ia akan dibebaskan, ia merasa terhina dengan dimasukkan dalam kamar tahanan seperti kerangkeng binatang ini.
Sore hari itu, hanya beberapa jam kemudian, seorang penjaga datang dan mengulurkan sebuah baki terisi mangkok nasi dan masakan, juga minuman yang cukup mahal. Namun hampir saja pengawal itu remuk lengannya kalau saja dia tidak cepat-cepat menariknya keluar karena Siu Bi sambil memaki telah menerkam tangan itu untuk dipatahkan!
Siu Bi marah sekali, lalu memaki-maki sambil menyambar baki dan isinya. Mangkok dan sumpit beterbangan menyambar keluar dari sela-sela jeruji dan menyerang pengawal itu yang segera lari tunggang-langgang! Siu Bi makin jengkel apa bila mengingat betapa dia telah menyerahkan pedangnya kepada Jenderal Bun. Andai kata pedang Cui-beng-kiam berada di tangannya, tentu dia dapat membabat putus jeruji-jeruji ini.
Malam tiba dan Siu Bi menjadi agak tenang. Akhirnya dia berpendapat bahwa semua kemarahannya itu tiada gunanya sama sekali. Tubuhnya menjadi letih sekali, pikirannya bingung dan... perutnya lapar! Mengapa dia tidak menerima sabar saja sampai besok. Kalau dia sudah bebas dan mendapatkan pedangnya kembali, mudah saja baginya untuk mengumbar nafsu amarah. Sedikitnya dia akan memaki-maki jenderal dan puteranya itu sebelum dia melanjutkan perjalanannya.
Pikiran ini membuat dia tenang. Dibaringkannya tubuhnya yang sangat lelah itu di atas sebuah dipan kayu yang terdapat di ujung kamar tahanan. Lebih baik mengaso sambil memulihkan tenaga, siapa tahu besok ia harus menggunakan banyak tenaga, pikirnya. la kemudian bangkit dan duduk bersila, bersemedhi mengumpulkan tenaga serta mengatur pernafasan.
"Nona... maafkan aku..."
Semenjak tadi memang agak sukar bagi Siu Bi untuk dapat bersemedhi dengan tenang. Perutnya sangat terganggu, berkeruyuk terus! la membuka mata dan menoleh. Biar pun kamar tahanan itu buruk, sedikitnya di waktu malam tidak gelap, mendapat sinar lampu besar yang dipasang di luar. Bun Hui berdiri di luar jeruji, membawa sebuah baki terisi makanan dan minuman.
"Mau apa kau?!" bentak Siu Bi timbul kembali kemarahannya.
"Nona, maafkan kalau tadi pelayan yang mengantar makanan kurang sopan. Sekarang aku sendiri yang mengantar makanan dan minuman, harap Nona sudi menerima. Tidak baik membiarkan perut kosong. Silakan, Nona."
Dengan kedua tangannya Bun Hui mengulurkan dan memasukkan baki itu ke dalam kamar tahanan melalui sela-sela jeruji yang cukup lebar untuk dimasuki baki yang kecil dan panjang itu.
Sejenak timbul niat di hati Siu Bi untuk membikin celaka pemuda putera Jenderal Bun ini dengan cara menangkap dan mematahkan kedua lengannya. Akan tetapi niat ini segera diurungkannya ketika dia memandang wajah yang ramah, tampan dan kelihatan agak bersedih ini.
"Ayahmu menahanku dalam kerangkeng, mengapa kau pura-pura berbaik hati padaku? Jangan kira kau akan dapat menyuapku hanya dengan makanan dan minuman ini. Apa artinya kau mengantar sendiri ini? Hayo katakan, kalau hendak menyuap, lebih baik aku mati kelaparan!"
"Ahh, kau terlalu berprasangka yang bukan-bukan dan yang buruk terhadap diriku, Nona. Di antara kita tak ada permusuhan, kenapa kami akan mencelakakanmu? Hanya karena persoalan itu baru beres besok, terpaksa ayah menahanmu, juga lurah Bhong dan para saksi. Harap Nona suka memaafkan aku dan suka bersabar untuk semalam ini."
”Hemmmm, begitukah? Muak aku akan segala aturan dan hukum ini!" kata Siu Bi, akan tetapi suaranya tidak seketus tadi.
Bun Hui girang hatinya, lalu berkata, "Silakan makan, Nona, aku takkan mengganggumu lagi."
Dan pemuda itu segera pergi dari situ. Andai kata pemuda itu tetap berada di tempat itu, agaknya Su Bi takkan sudi menyentuh makanan dan minuman itu. Akan tetapi sekarang, ditinggalkan seorang diri, matanya mulai melirik baki dan melihat masakan mengepulkan uap yang sedap dan gurih, perutnya makin menggeliat-geliat.
Setelah celingukan ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang yang melihatnya, mulailah Siu Bi makan. Setelah kenyang, ia sengaja melemparkan baki dan semua isinya keluar jeruji sehingga mangkok-mangkok itu pecah. Isinya, yaitu sisa yang ia makan, tumpah ruah tidak karuan. Dengan begitu, takkan ada yang tahu apakah tadi ia makan dan minum isi baki ataukah tidak!
Suara berisik ini diikuti datangnya Bun Hui. "Kenapa...? Kenapa kau buang makanan dan minuman itu, Nona?"
"Ihhh, siapa sudi…?" Siu Bi tidak melanjutkan kata-katanya dan diam-diam dia mengusap pinggir mulutnya dengan lengan baju.
"Nona, maafkan aku. Aku sengaja datang untuk bicara sedikit denganmu."
"Mau bicara, bicaralah, mengapa banyak cerewet?" Siu Bi sengaja bersikap galak.
Pemuda itu makin bingung dibuatnya, tampak maju mundur untuk mengeluarkan isi hati. "Nona Siu Bi, aku tidak tahu mengapa kau berniat mengacau ke Liong-thouw-san. Akan tetapi, ketahuilah bahwa yang tinggal di sana adalah pendekar besar Kwa Kun Hong yang terkenal dengan julukan Pendekar Buta. Beliau adalah seorang pendekar besar yang menjagoi dunia persilatan, tidak hanya terkenal karena kesaktiannya, juga karena kegagahan dan pribudinya. Oleh karena itu Nona, kuharap dengan sangat, apa pun juga alasannya, kau batalkan saja niatmu itu.”
Siu Bi melotot. "Apa?! Apa pedulimu? Apamukah Pendekar Buta?"
"Bukan apa-apa, hanya dia satu-satunya manusia yang paling dihormati ayah!”
"Wah, celaka! Aku masuk perangkap musuh! He, orang she Bun, kalau memang kau dan ayahmu orang-orang gagah, kalau memang mau membela Pendekar Buta, hayo cepat lepaskan aku, kembalikan pedangku lalu kita bertempur dengan cara orang-orang gagah. Mengapa menggunakan akal curang untuk menahanku di sini?"
"Wah, harap Nona bersabar dan jangan salah sangka. Niatku hanya untuk menolongmu keluar dari kesulitan, Nona. Aku tak akan mencampuri urusanmu dengan siapa pun juga, sungguh pun sedih hatiku melihat engkau memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san. Maksudku, kalau saja besok kau suka berkata kepada ayah bahwa kau membatalkan niatmu memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san, tentu kau akan mudah dibebaskan. Setelah bebas, terserah kepadamu. Ini hanya untuk menolongmu, Nona..."
"Ihhh, apa maksudmu dengan pertolonganmu ini? Hayo bilang, orang she Bun, jangan bersembunyi di balik kata-kata manis. Kenapa kau begini ngotot hendak menolongku?"
Wajah pemuda itu merah seluruhnya. Sukar sekali menjawab pertanyaan yang berupa serangan tiba-tiba ini. "Kenapa? Ah... kenapa, ya? Aku sendiri tidak tahu pasti, Nona... hanya agaknya... aku tidak suka bila melihat kau mendapatkan kesukaran. Aku kagum kepadamu, Nona... aku... aku ingin menjadi sahabatmu. Nah, itulah! Aku ingin menjadi sahabat baikmu karena aku kagum dan suka padamu."
Kini Siu Bi yang tiba-tiba menjadi merah sekali wajahnya. Celaka, pikirnya. Pemuda ini benar-benar tidak tahu malu, terang-terangan bilang suka dan kagum dan ingin menjadi sahabat baik! Sekarang dia yang kebingungan dan tidak segera dapat membuka mulut.
"Sejak aku melihat kau menolong petani-petani miskin, lalu dengan gagah kau melawan tukang-tukang pukul jahat di Pau-ling itu, aku amat kagum dan tertarik kepadamu, Nona. Aku tahu, juga ayah tentu yakin bahwa dalam urusan ini kau tidak bersalah malah kau berjasa bagi peri kemanusiaan, bagi kebenaran dan keadilan, kau telah menolong yang tergencet, menghajar yang menindas. Akan tetapi, hukum tetap hukum yang harus ditaati dan dilaksanakan dengan tertib. Bila mana ayah mengambil keputusan begitu saja tanpa mengadili terus membenarkan kau, apa akan kata orang? Terhadap urusan di Pau-ling itu, aku tidak khawatir sama sekali. Akan tetapi urusan kedua ini... ahhh, kau tidak tahu, Nona. Ayah pasti akan mencegah maksud hatimu itu, bukan sekedar karena menjadi sahabat baik, akan tetapi masih ada ikatan keluarga. Ketahuilah bahwa isteri Pendekar Buta adalah enci angkat dari ibuku. Nah, kau tahu betapa tidak bijaksananya kalau kau mengaku akan hal itu di depan ayah!"
"Ahhh, begitukah? Jadi kau masih keponakan isteri musuh besarku? Wah, celaka, aku terjebak. Tentu kau mengajakku ke sini untuk menipuku... ahhh, mengapa aku begitu bodoh?"
"Nona, harap jangan bicara begitu. Urusan itu baru kami ketahui setelah kau berada di sini dan mengakuinya di depan ayah. Aku... aku tidak memandang kau sebagai musuh, sebaliknya dari itu. Aku bersedia menolongmu, Nona. Aku akan membujuk ayah untuk membebaskanmu, asal saja kau suka berjanji kepada ayah bahwa kau takkan memusuhi Pendekar Buta..."
"Aku mau memusuhi siapa pun juga, apa pedulinya dengan kau?"
"Nona..." suara Bun Hui penuh penyesalan, akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua yang cantik telah berdiri di sebelah Bun Hui.
"Ibu... kau di sini...?" Bun Hui bertanya gagap.
"Hui-ji (anak Hui), aku mendengar dari ayahmu bahwa ada seorang gadis liar yang mengancam hendak menyerbu ke Liong-thouw-san dan membuntungi lengan Kun Hong dan enci Hui Kauw? Mana dia? Apakah ini?" telunjuk yang runcing menuding ke arah Siu Bi yang memandang dengan bengong.
Wanita itu bukan main cantiknya, suaranya nyaring, matanya bersinar-sinar. Pakaiannya sangat indah namun tidak mengurangi gerakannya yang gesit tanda bahwa nyonya ini mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Siu Bi kagum. Alangkah jauh bedanya dengan ibunya sendiri. Ibunya wanita lemah.
"Betul, Ibu. Aku... aku sedang membujuknya supaya tidak melanjutkan maksud hatinya itu," kata Bun Hui sambil menundukkan muka, khawatir kalau-kalau ibunya akan dapat membaca isi hatinya.
Wanita itu adalah Giam Hui Siang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita ini adalah puteri dari Ching-toanio. Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan di waktu mudanya ia sendiri merupakan seorang gadis yang selain cantik dan lihai, juga amat ganas, malah pernah bentrok dengan cici angkatnya dan Kwa Kun Hong. Kini dia melangkah maju dan memandang Siu Bi penuh perhatian.
"Kau anak siapa? Kenapa hendak memusuhi Pendekar Buta dan isterinya?" la bertanya memandang tajam.
Ditanya tentang orang tuanya, hati Siu Bi menjadi panas dan jengkel. la bukan anak The Sun yang semenjak kecil ia anggap seperti ayah sendiri. Semenjak rahasia bahwa ia bukan anak The Sun ia ketahui dari ucapan Hek Lojin, ia pun tidak mau mengaku The Sun sebagai ayahnya lagi. la sendiri tidak tahu siapakah orang tuanya, atau lebih tepat lagi, siapa ayahnya. la tidak pernah meragu bahwa ia bukan anak ibunya. Mudah saja diketahui akan hal ini. Wajahnya serupa benar dengan wajah ibunya. Akan tetapi ayahnya? la tidak tahu!
Karena pertanyaan itu membuatnya mendongkol, maka ia menjawab seenaknya. "Sejak tadi sudah kukatakan bahwa orang tuaku tidak perlu disebut-sebut di sini. Aku memusuhi Pendekar Buta karena aku benci kepadanya, karena dia memang musuh besarku. Habis perkara."
Giam Hui Siang tercengang mendengar jawaban dan melihat sifat berandalan ini. Dia lalu teringat akan masa mudanya. Dia dahulu juga seperti nona ini, penuh keberanian, penuh kepercayaan akan kepandaian sendiri. Apakah nona ini selihai dia? Mungkinkah ia dapat mengalahkan Pendekar Buta dan cici-nya yang amat lihai itu?
Diam-diam ia mengharapkan akan ada orang yang dapat mengalahkan Pendekar Buta, kalau perlu dapat membuntungi lengannya dan lengan Hui Kauw! Diam-diam nyonya ini masih merasa mendendam dan benci kepada Pendekar Buta dan isterinya. Hal ini ada sebabnya.
Pertama karena ketika dia masih muda, dua orang itu pernah menjadi musuhnya. Kedua kalinya, karena suaminya, Bun Wan, menjadi buta sebelah matanya karena Pendekar Buta pula. Sungguh pun suaminya itu membutakan sebelah mata sendiri karena malu dan menyesal atas perbuatannya sendiri yang menyangka buruk kepada Pendekar Buta, tapi secara tidak langsung, suaminya buta karena Pendekar Buta!
Inilah sebabnya terselip rasa dendam di sudut hati kecil nyonya ini. Akan tetapi, apakah mungkin dara remaja yang masih setengah kanak-kanak ini dapat melawan Kun Hong?
"Lihat senjata!" tiba-tiba Giam Hui Siang berseru nyaring.
Tangannya bergerak dan sinar hijau menyambar ke arah Siu Bi, melalui sela-sela jeruji baja. Itulah belasan batang jarum Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau), senjata rahasia maut dari Ching-coa-to yang sangat ditakuti lawan karena selain halus juga amat cepat menyambarnya, apa lagi racunnya amat ampuh. Lebih hebat lagi, serangan ini masih ia susul dengan pukulan jarak jauh oleh sepasang lengannya yang didorongkan ke depan!
"Ibu...!"
Bun Hui terkejut bukan main, namun tidak sempat mencegah karena gerakan ibunya itu sama sekali tidak pernah disangka sebelumnya. Dia maklum akan kehebatan serangan ibunya ini, maka dengan muka pucat dia memandang kepada Siu Bi.
Siu Bi juga terkejut menghadapi serangan mendadak itu. Akan tetapi karena sejak tadi ia sudah mengambil sikap bermusuhan, tentu saja ia waspada dan tidak kehilangan akal. la mengerahkan Hek-in-kang kemudian menggerakkan dua lengannya menyampok sambil mendoyongkan tubuh ke kiri, lalu ia susul dengan dorongan ke muka yang mengandung tenaga Hek-in-kang yang amat kuat.
Giam Hui Siang dan Bun Hui hanya melihat uap menghitam bergulung dari kedua lengan Siu Bi dan pada lain saat tubuh Hui Siang sudah terhuyung-huyung ke belakang. Hampir saja nyonya ini roboh terjengkang kalau dia tidak lekas-lekas melompat dan berjungkir balik. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Hebat...! Kau cukup lihai untuk menghadapi dia! Hui-ji, hayo kita pulang."
Bun Hui menghadapi Siu Bi, suaranya terdengar sedih, "Nona, harap kau suka maafkan ibuku yang sebetulnya hanya hendak mencoba kepandaianmu."
"Hemmm...!" Siu Bi mendengus, masih belum hilang kagetnya.
Nyonya itu benar-benar ganas dan galak, juga lihai bukan main. Jarum-jarum yang lewat di dekat tubuhnya tadi mengandung hawa panas yang luar biasa, juga pukulan jarak jauh tadi amat kuat. Baiknya ia memiliki Hek-in-kang, jika tidak, tentu ia akan menjadi korban jarum atau pukulan sinkang.
Setelah ibu dan anak itu pergi, Siu Bi kembali duduk di atas pembaringan di sudut kamar, berusaha untuk istirahat sambil mengumpulkan tenaga. la dapat duduk tenang, kemudian menjelang tengah malam yang sunyi, mendadak ia berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki yang tetap bersila itu di atas, untuk melatih Iweekang menurut ajaran Hek Lojin. Belum ada setengah jam ia berlatih, terdengar suara orang perlahan.
"Selagi kesempatan lari terbuka, mengapa membiarkan diri terkurung?"
Cepat sekali gerakan Siu Bi, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke dekat jeruji. Di luar jeruji berdiri seorang laki-laki yang mengeluarkan seruan kagum akan gerakannya yang memang luar biasa tadi. Laki-laki ini berdiri tegak, bersedekap dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. Sukar menduga apa yang berada di dalam pikiran laki-laki ini. Siu Bi memandang tajam, memperhatikan dan siap untuk memaki atau menyerang melalui sela-sela jeruji.
Akan tetapi dia mendapat kenyataan bahwa laki-laki itu bukanlah seorang penjaga atau pengawal. Pakaiannya sederhana berwarna serba putih, rambutnya digelung ke atas dan dibungkus kain putih. Mukanya membayangkan ketenangan luar biasa dengan sepasang mata yang sayu, membayangkan kematangan jiwa dan penderitaan lahir batin. Orang ini bukan lain adalah Si Jaka Lola, Yo Wan.
Seperti diketahui, Yo Wan melihat bagaimana gadis yang luar biasa dan mengagumkan hatinya itu merobohkan para tukang pukul, lalu ikut bersama pemuda yang memimpin barisan. la tidak tergesa turun tangan menolong karena ingin ia melihat apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, dan apa pula yang akan dilakukan oleh gadis itu untuk bisa menolong dirinya sendiri. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu membiarkan dirinya ditahan.
Malam tadi dia diam-diam memasuki bagian belakang gedung ini dan ia sempat melihat betapa ibu pemuda itu tiba-tiba menyerang dengan jarum hijau dan pukulan sinkang. la kaget sekali, akan tetapi kembali ia dibuat kagum oleh kepandaian Siu Bi. la tidak sempat mendengar percakapan mereka tentang niat Siu Bi untuk membuntungi lengan Pendekar Buta, karena kedatangannya tepat pada waktu Giam Hui Siang melakukan penyerangan tadi
Dia benar-benar merasa heran akan sikap tiga orang itu. Lebih-lebih lagi rasa herannya kenapa gadis ini membiarkan dirinya dijebloskan kamar tahanan. Oleh karena itu, ketika menyaksikan sampai jauh malam betapa gadis itu tidak berusaha melarikan diri, tetapi malah berlatih Iweekang secara aneh, dia tak dapat menahan keheranannya dan muncul sambil mengucapkan kata-kata tadi.
Kenapa ia terlambat muncul? Tadi ketika berhasil memasuki gedung, diam-diam Yo Wan menculik seorang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya. la lalu melompati tembok dan membawa lari penjaga itu ke luar kota, lalu memaksanya bercerita tentang gadis itu.
Si penjaga ketakutan setengah mati karena ia tidak dapat melihat siapa penculiknya dan baru dilepaskan ketika berada di tempat yang gelap dan sunyi di luar kota, di bawah pohon yang besar. Dia hanya merasa tubuhnya tidak mampu berkutik dan seakan-akan dibawa terbang. Saking takutnya mengira bahwa ia diculik iblis, tubuhnya menggigil dan ia tak berani membantah.
Dengan suara gemetar ia menceritakan betapa Bun-goanswe menahan gadis itu karena urusan ini akan diselidiki ke Pau-ling pada esok hari oleh Goanswe sendiri, dan besok baru akan diberi keputusannya. Juga ia menceritakan betapa gadis itu tidak membantah, malah menyerahkan pedangnya.
Demikianlah, dengan penuh keheranan Yo Wan cepat kembali ke dalam gedung setelah menotok penjaga itu dan meninggalkannya di tempat sunyi. la tahu bahwa penjaga itu tak mungkin akan dapat melepaskan diri sebelum besok pagi.
Dia tidak langsung mencari tempat gadis itu ditahan akan tetapi mencuri masuk secara diam-diam ke dalam kamar Bun-goanswe dan dengan kepandaiannya yang luar biasa ia berhasil mencuri pedang Siu Bi yang disimpan di dalam kamar itu! Setelah menyimpan pedang di balik jubahnya, barulah dia mencari tempat tahanan di belakang dan tepat kedatangannya pada saat Hui Siang menyerang Siu Bi.
Siu Bi kini berdiri dekat jeruji. Mereka saling pandang dan gadis itu berdebar jantungnya karena merasa seram melihat laki-laki itu berdiri seperti patung di luar kamar tahanan.
"Kau siapa? Apa maksud ucapanmu tadi?" Akhirnya ia menegur, sambil menatap wajah yang tampan dan agak pucat, tubuhnya yang kurus sehingga tulang pundaknya tampak menjendul di balik bajunya yang sederhana.
"Maksud ucapanku tadi sudah jelas, Nona. Selagi ada kesempatan untuk lari, mengapa membiarkan dirimu terkurung di sini?”
Siu Bi merasa heran. Apa kehendak orang ini dan siapa dia? Apa yang diucapkan orang ini memang menjadi suara hatinya. Memang ingin ia melarikan diri, tidak sudi ditahan seperti binatang buas. Akan tetapi bagaimana ia dapat melarikan diri kalau ia tidak kuat membongkar daun pintu dan jeruji baja? Bahkan pedangnya pun ditahan, bagaimana ia suka pergi tanpa mendapatkan pedangnya kembali?
Akan tetapi untuk menjawab kenyataan ini, tentu saja dia tidak sudi. Hal itu hanya akan merendahkan dirinya sendiri, mengakui kebodohan serta kelemahan dirinya. Maka ia pun menjawab dengan suara ketus,
"Kau peduli apa? Aku harus tunduk kepada hukum, aku bukan manusia liar yang tidak mengenal hukum."
Laki-laki muda itu tertawa, hanya sebentar saja. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik itu, selagi tertawa, laki-laki itu dalam pandang mata Siu Bi kelihatan tampan dan lenyap semua kekeruhan pada mukanya. Akan tetapi hanya sebentar saja, senyum dan tawa itu melenyap, kembali wajah itu tampak suram muram.
"Hukum, kau bilang? Nona, aku lebih banyak mengalami hal-hal yang berkaitan hukum. Semua pembesar bicara tentang hukum, bersembunyi di belakang hukum, dan tahukah kau apa arti hukum sebenarnya? Hukum hanya menjadi alat penyelamat mereka belaka, bahkan alat menindas mereka yang lebih lemah! Hukum dapat mereka putar balik, dapat ditekuk-tekuk ke arah yang menguntungkan dan memenangkan mereka. Kau nanti akan kecewa kalau kau mempercayakan keselamatanmu kepada hukum, Nona. Karena itu, pokok yang terpenting, kau tak bersalah dalam suatu persoalan. Perbuatanmu membela para petani miskin yang tertindas itu adalah perbuatan orang gagah, sama sekali tidak seharusnya dihukum atau ditahan."
Di dalam hatinya, Siu Bi setuju seribu persen. Tetapi bagaimana dia dapat menyatakan setuju kemudian menyatakan pula bahwa dia tidak mampu keluar?
"Eh, kau ini siapakah, berlagak pandai dan membelaku? Hemmm, lagaknya saja hendak menolong. Apa sih yang dapat kau lakukan untuk menolongku? Lagi pula, aku pun tidak membutuhkan pertolonganmu, dan andai kata kau mau menolong, mengapa pula kau yang sama sekali tidak kukenal ini hendak menolongku? Apakah bukan maksudmu untuk mencari muka belaka?"
Yo Wan tersenyum kecut. la kagum menyaksikan sepak terjang gadis ini, juga senang menyaksikan ketabahan dan kelincahannya, akan tetapi watak gadis ini sangat sombong. Yo Wan sudah mencapai tingkat tinggi, baik dalam ilmu silat mau pun ilmu batin, berkat gemblengan selama sepuluh tahun di puncak Pegunungan Himalaya. Karena itu ia tidak menjadi marah oleh sikap kasar dan ketus dari gadis itu.
Dengan tenang dia kemudian mengeluarkan pedang Cui-beng-kiam dari balik jubahnya, menaruh pedang itu di atas lantai, lalu dia menggunakan kedua tangannya memegang jeruji baja, mengerahkan sedikit sinkang dan jeruji-jeruji itu pun melengkung, membuka lubang yang cukup lebar untuk dilalui tubuh orang!
"Aku datang sekedar memenuhi kewajiban membantu yang benar, tidak perlu berbicara tentang pertolongan. Tentang kau mau ke luar atau tidak, adalah menjadi hakmu untuk menentukan, Nona. Pedangmu ini tadi kuambil dari kamar Bun-goanswe. Tidak baik bila seorang gagah berjauhan dari senjatanya. Selamat tinggal."
Siu Bi bengong terlongong. Dia berdiri seperti patung memandang bayangan laki-laki itu yang berjalan perlahan, pergi meninggalkannya dan menghilang di dalam gelap. Setelah bayangan orang itu tidak tampak, baru ia sadar. Kerangkeng terbuka, pedangnya di situ, mau tunggu apa lagi?
Cepat ia menyelinap ke luar di antara dua jeruji yang sudah melengkung, disambarnya pedang Cui-beng-kiam dan di lain saat ia sudah melompat ke atas genteng, memandang ke sana ke mari. Namun sunyi di atas gedung itu, tidak tampak bayangan laki-laki tadi.
Hatinya merasa bimbang. Apakah ia akan pergi melarikan diri sekarang juga ke luar kota. Memang sesungguhnya lebih baik dan lebih aman begitu. Akan tetapi, setelah Jenderal Bun itu melakukan hal yang tidak patut terhadapnya, mengurungnya dalam kerangkeng seperti binatang, lalu nyonya jenderal itu tanpa sebab menyerangnya dengan jarum dan pukulan, masa ia harus pergi begitu saja seperti orang lari ketakutan?
Tidak, tidak ada penghinaan yang tidak dibalas. Sebelum pergi meninggalkan tempat itu dia harus menunjukkan kelihaiannya dan memberi sedikit hajaran kepada Jenderal Bun dan isterinya yang galak. Tentu saja Bun Hui tidak termasuk dalam daftarnya untuk diberi hukuman, karena pemuda itu bersikap baik sekali kepadanya.
Pikiran ini mendorong Siu Bi membatalkan niatnya untuk melarikan diri. Tubuhnya lantas bergerak-gerak bagaikan seekor kucing ringannya, meloncati genteng di atas gedung itu menuju ke bangunan besar, kemudian ia mengintai dan mencari di mana adanya kamar Jenderal Bun dan isterinya, mendekam serta mendengarkan. Mendadak dia mendengar suara Jenderal Bun dan isterinya.
"Masa tengah malam begini hendak pergi? Urusan bagaimana pentingnya pun, kan bisa diurus besok pagi?" terdengar suara nyonya Jenderal Bun, suara yang merdu dan halus.
"Harus sekarang juga kuselesaikan. Selain menyelidiki ke Pau-ling, aku juga harus cepat menyuruh seorang pengawal yang tangkas untuk mengabarkan kepada Kwa Kun Hong di Liong-thouw-san tentang ancaman gadis liar itu." Suara yang berat dari Jenderal Bun ini mendebarkan hati Siu Bi yang mendengarkan terus.
"Ahh, tentang urusan itu, apa sangkut-pautnya dengan kita? Kalau dia memiliki dendam pribadi dengan Kun Hong, biarkan dia menyelesaikannya sendiri. Urusan pribadi orang lain, bagaimana kita dapat ikut campur?" Isterinya mencela.
"Orang lain? Kurasa Kwa Kun Hong dengan keluarganya tidaklah dapat dikatakan orang lain!" Bun-goanswe berseru keras, suaranya mengandung penasaran besar. "Bukankah isterinya adalah cici-mu (kakakmu)?"
"Enci Hui Kauw hanyalah saudara pungut."
Hening sejenak, lalu terdengar suara jenderal itu penuh penyesalan.
"Hui Siang, isteriku, harap kau jangan merusak perasaan hatiku dengan sikapmu seperti ini terhadap mereka. Aku tahu bahwa kau masih menaruh dendam akan urusan lama, bukankah itu merupakan sifat kanak-kanak? Kita bukan kanak-kanak lagi. Perbuatanmu tadi mendatangi kamar tahanan dan menyerang gadis itu, juga merupakan sisa dari sifat di waktu mudamu. Ahh, Hui Siang, aku dapat menduga isi hatimu, setelah kau menguji gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa dia cukup lihai, kau ingin sekali melihat dia itu mengacau Liong-thouw-san. Begitukah?"
Nyonya itu berseru kaget. "Kau... kau mengintai...?" Kemudian disusul suaranya bernada menantang, "Benar, aku... aku memang masih benci terhadap Kun Hong dan enci Hui Kauw!" Disusul isak tangis tertahan dan tarikan nafas panjang jenderal itu,
"Hui Siang, mengapa kau masih juga belum dapat memadamkan api dendam terhadap mereka? Lupakah kau bahwa Kun Hong adalah penolong kita? Dia seorang pendekar besar yang telah terkenal kegagahan dan budi pekertinya. Dia merupakan penolong kita!"
Isak tangis itu semakin keras. "Aku... aku pun tidak bisa lupa... bahwa kau... kau sudah membutakan mata kananmu karena dia...!”
Bun-goanswe tertawa. "Ha-ha-ha-ha, itukah yang membuat dendammu tak dapat hilang? Tidak usah dipusingkan, isteriku. Kebutaan sebelah mataku ini dapat membuka kebutaan mata hatiku, bukankah itu baik sekali?"
"Lalu, apa yang hendak kau lakukan terhadap gadis itu?"
"Aku akan membujuknya agar supaya ia membatalkan niatnya mengacau tempat tinggal Kun Hong. Kalau dia bersikeras, apa boleh buat, aku akan memasukkannya ke dalam tahanan sampai dia bertobat."
"Jenderal busuk, kau benar-benar ingin menggunakan hukum untuk mencari kebenaran dan kemenangan sendiri. Aku, Cui-beng Kwan Im, mana sudi kau perlakukan demikian?" Sesosok bayangan melayang turun dari jendela dan sinar pedang hitam lalu menerjang Bun-goanswe.
Jenderal ini kaget sekali, cepat dia menghunus pedangnya dan menangkis. Ada pun Hui Siang, isteri jenderal itu, terkejut dan khawatir, untuk sejenak hanya dapat memandang dengan kaget. Akan tetapi, beberapa menit kemudian nyonya ini sudah mendapatkan pedangnya lalu menyerbu dan mengeroyok Siu Bi.
Dara ini tidak menjadi gentar, malah berseru keras. Segera pedangnya berubah menjadi gulungan sinar kehitaman, diselingi oleh pukulan-pukulannya yang mengandung tenaga Hek-in-kang! Memang hebat gadis ini. Ilmunya tinggi nyalinya pun sebesar nyali harimau, akan tetapi dia terlalu memandang rendah orang lain. Terjangannya yang dahsyat dan ganas itu memang membuat suami isteri itu kaget dan terdesak mundur.
Akan tetapi, jenderal itu adalah Bun Wan, putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya juga hebat. Dan isterinya adalah puteri dari Ching-toanio yang juga memiliki ilmu silat segolongan dengan Siu Bi, yaitu golongan hitam. Biar pun tingkat ilmu silat kedua orang suami isteri ini tidak sedahsyat ilmu silat Siu Bi warisan dari kakek sakti Hek Lojin, tapi gadis itu kalah ulet dan kalah pengalaman sehingga semua terjangannya meski pun mendesak dan mengejutkan, namun belum mampu merobohkan mereka.
Pada saat itu, Bun Hui datang berlari-lari dengan muka pucat. Cepat pemuda yang juga lihai ini memutar pedangnya menahan pedang Cui-beng-kiam, lalu dia berkata, suaranya menggetarkan penuh perasaan, "Nona...! Mengapa kau tidak memegang janjimu, malah melarikan diri dan menyerbu ke sini? Ah... Nona, kenapa kau menyerang ayah bundaku? Mengapa kau lakukan hal ini... Kau, yang kupandang gagah perkasa..."
Getaran suara yang terkandung di dalam ucapan Bun Hui ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya. Jelas terdengar dan terasa, baik oleh Siu Bi mau pun oleh ayah bunda pemuda itu, bahwa Bun Hui menaruh hati cinta kepada gadis ini!
"Hui-ji, mundur kau!" bentak Jenderal Bun.
"Hui-ji, kenapa kau merengek-rengek kepada bocah ini?" seru pula ibunya penuh teguran dan suami isteri itu sudah menerjang Siu Bi dengan hebat.
Terpaksa Siu Bi mundur tiga langkah karena terjangan kedua orang itu dalam serangan balasan bukanlah main-main. Namun dengan Hek-in-kang, dia berhasil mengusir mundur lagi kedua orang pengeroyoknya. Ternyata Hek-in-kang ampuh luar biasa, hawanya saja cukup membuat kedua orang suami isteri tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi itu tergetar mundur dan tidak berani terlalu mendekat.
Mendengar suara ribut-ribut ini, beberapa orang pengawal menerjang masuk dan melihat betapa Jenderal Bun bersama isterinya bertempur melawan gadis tahanan yang entah bagaimana kini telah berada di situ, mereka cepat mencabut senjata masing-masing dan bersiap.
Sementara itu, dengan hati hancur saking menyesal dan kecewa, Bun Hui menggunakan pedangnya membantu ayah bundanya sambil berkata lirih, "Betapa pun berat bagiku, aku harus memihak ayah bundaku, Nona."
"Cih, cerewet amat. Mau keroyok, keroyoklah. Hayo semua orang di sini boleh masuk mengeroyokku. Aku Cui-beng Kwan Ini tidak gentar seujung rambut pun!"
Bukan main marahnya Bun-goanswe. "Hayo tangkap dia! Jangan bunuh, tangkap kataku. Mana akal kalian? Masa tidak mampu menangkap hidup-hidup seorang bocah nakal?"
Belasan orang pengawal yang cukup tinggi kepandaiannya datang, mereka membawa tali-tali yang besar dan kuat. Dengan senjata ini mereka mengurung Siu Bi dari segala penjuru, kemudian mereka mengayunkan tambang itu ke arah kaki untuk merobohkan Siu Bi.
Gadis ini kaget sekali karena suami isteri yang kosen itu, dibantu puteranya yang tak boleh dipandang ringan, membuat ia cukup repot menjaga diri. Sekarang ada tambang-tambang yang menyambar dari segala jurusan, melibat dan menjegal kedua kakinya.
Dia terpaksa berloncatan untuk menyelamatkan diri, menendang sana sini sambil tetap melayani tiga orang lawannya. Akan tetapi, mana dapat gadis yang kurang pengalaman bertempur ini memecah perhatiannya menghadapi serangan yang sekian banyaknya.
Tiga batang pedang dengan dahsyat mengurungnya dan mengancamnya dari atas, ini saja sudah membutuhkan pemusatan perhatian sebab tiga batang pedang itu digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Belasan jurus dia masih sanggup bertahan, akan tetapi karena kebingungannya, akhirnya kakinya terlibat tambang dan tanpa dapat ia pertahankan lagi, kakinya kena dijegal sehingga ia terguling dengan pedang masih di tangan.
Ketika itu, selagi Bun-goanswe dan para pengawalnya siap menubruk dan menangkap Siu Bi, mendadak mereka kelabakan karena lampu penerangan tiba-tiba menjadi padam. Perubahan seketika antara keadaan terang benderang menjadi gelap ini benar-benar membingungkan mereka.
"Pasang lampu...! Lekas pasang lampu...!" bentak Bun-goanswe.
Tak ada seorang pun berani menubruk ke depan untuk meringkus Siu Bi. Mereka cukup maklum akan kelihaian nona itu yang masih memegang pedang. Di dalam keadaan gelap itu, mana ada yang berani mempertaruhkan nyawa?
Setelah suasana gelap yang hiruk-pikuk ini diakhiri dengan penerangan lampu, keributan lain timbul ketika mereka melihat bahwa gadis yang tadinya terguling miring itu sudah tiada di tempatnya lagi. Gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, tidak meninggalkan bekas.
Bun-goanswe cepat memerintah para pengawalnya melakukan pengejaran. Dia sendiri menjatuhkan diri di atas kursi, penasaran, malu dan marah. Hui Siang dan Bun Hui saling pandang.
"Wah, dia dapat melarikan diri!" Kata Hui Siang, diam-diam girang karena sesungguhnya ia ingin sekali mendengar gadis itu menyerbu rumah tangga Kun Hong, apa lagi setelah sekarang ia yakin benar akan kelihaian gadis itu.
"Siapa bilang lari?" Jawab jenderal itu marah. "Terang ada orang sakti yang menolong dan membawanya lari. Siapa yang memadamkan lampu serentak seperti itu tadi? Tentu bukan gadis itu. Dan cara ia meloloskan diri, sama sekali tidak terdengar olehku."
"Mudah-mudahan ia tidak membikin ribut lagi...," Bun Hui menggumam seorang diri.
"He, kau Hui-ji. Sikapmu tadi sungguh memalukan! Apa maksudmu? Apakah kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu?"
Bentakan ayahnya ini membuat Bun Hui merah mukanya. Ia tergagap mencari jawaban, "Aku... aku... tidak begitu, Ayah. Aku hanya... kagum akan sepak terjangnya dan aku... aku kasihan…”
"Hemmm, menilai seseorang, apa lagi wanita, jangan sekali-kali dari kecantikan wajah atau kepandaiannya. Akan tetapi wataknya! Gadis itu wataknya keranjingan, seperti iblis betina. Hui-ji, besok pagi-pagi kau berangkatlah ke Liong-thouw-san menemui pamanmu Kwa Kun Hong kemudian berikan sepucuk suratku. Urusan ini terlampau penting untuk kuserahkan kepada seorang pengawal, maka harus kau sendiri yang membawanya ke Liong-thouw-san."
"Baik, Ayah."
Diam-diam pemuda ini menjadi girang juga, karena memang sudah amat lama ia ingin bertemu dengan orang yang selalu disebut-sebut ayahnya dengan penuh penghormatan, yaitu Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta….
Siu Bi mencoba tenaganya untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi sia-sia saja. Orang itu memanggulnya dengan menekan tengkuk serta punggungnya, di mana pusat tenaganya ditekan sehingga kekuatannya menjadi hilang. Dia merasa dibawa lari cepat sekali, sementara angin dingin membuat dia mengantuk sekali. Akhirnya, saking lelahnya bertempur tadi dan semalam tidak tidur sedikit pun juga, ia tertidur di atas pundak orang yang memanggulnya itu.
Ketika Siu Bi sadar dari tidurnya, sedetik ia tertegun, hendak mengulet (menggeliat) tidak dapat. Tubuhnya serasa kesemutan, sedangkan pipi kanannya yang berada di sebelah atas terasa panas. Kiranya matahari sudah menyorot agak tinggi juga. Segera ia teringat. la masih berada di atas pundak orang, masih dipanggul! Sejak lewat tengah malam sampai sekarang, lewat pagi! Dan dia tertidur di dalam pondongan orang! Dan selama itu ia masih belum tahu siapa orang yang menculiknya ini, yang membawa lari tubuhnya dari dalam gedung Jenderal Bun selagi dia roboh dalam keroyokan para pengawal.
"Hemmm, perawan macam apa ini? Dipondong orang sejak malam, tapi enak-enak tidur mendengkur. Malas dan manja, ihhh, benar-benar celaka..." Orang yang memanggulnya itu terdengar bersungut-sungut.
Kemarahan memenuhi kepala Siu Bi. "Siapa mendengkur? Aku tak pernah mendengkur kalau tidur. Hayo lepaskan kau laki-laki kurang ajar!"
"He? Kau sudah bangun? Nah, turunlah!" Dengan gerakan tiba-tiba orang itu melepaskan pondongan sambil mendorong sedikit sehingga tubuh Siu Bi terlempar dan jatuh berdiri di depannya dalam jarak dua meter.
Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, dan marahnya ketika melihat bahwa orang yang memanggulnya tadi adalah laki-laki muda sederhana berpakaian putih yang tadi malam mengunjunginya di dalam kerangkengnya!
"Heeeiiiii! Kenapa kau memondongku? Aku bukan anak kecil!" Siu Bi membanting kaki dengan gemas.
Yo Wan, orang itu, tersenyum kecil. Cahaya matahari pagi serasa lebih gemilang bila menghadapi seorang dara lincah nakal ini.
"Kau masih kanak-kanak," katanya tenang.
"Siapa bilang? Aku bukan anak kecil, aku bukan kanak-kanak lagi!" Siu Bi bersitegang.
Disebut kanak-kanak baginya sama dengan penghinaan. Masa dia yang sudah memiliki julukan Cui-beng Kwan Im sekarang di-‘cap’ kanak-kanak?
"Aku Cui-beng Kwan Im, aku seorang dewasa. Jangan kau main-main!"
"Bagiku kau masih kanak-kanak," kata pula Yo Wan, memalingkan muka seperti seorang yang tidak acuh.
Padahal pemuda ini memalingkan muka karena merasa ‘silau’ akan kecantikan wajah Siu Bi. Kebetulan sekali cahaya matahari yang menerobos melalui celah-celah daun pohon menyoroti muka dan rambut itu, sehingga wajah gadis itu gilang gemilang dan rambutnya membayangkan warna indah, benar-benar laksana Dewi Kwan Im turun melalui sinar matahari pagi. Yo Wan memalingkan muka agar jangan melihat keindahan di depannya ini, yang membuat isi dadanya tergetar.
"Wah, kau ini kakek-kakek, ya? Aksinya!" Siu Bi membentak gemas.
"Aku jauh lebih tua dari padamu." Suara Yo Wan perlahan, seperti berkata kepada diri sendiri.
Memang ini suara hatinya yang membantah gelora di dalam dada, untuk memadamkan api aneh yang mulai menyala dengan peringatan bahwa dia jauh lebih tua dari pada gadis remaja yang berdiri di depannya dengan sikap menantang itu.
"Hanya beberapa tahun lebih tua. Hemmm, lagakmu seperti kakek-kakek berusia lima puluh tahun saja. Kurasa kau belum ada tiga puluh."
"Dua puluh enam tahun umurku, dan kau ini paling banyak lima belas..."
"Siapa bilang? Ngawur! Sudah tujuh belas lebih, hampir delapan belas aku."
"Ya itulah, masih kanak-kanak kataku."
"Setan kau. Delapan belas tahun kau anggap kanak-kanak? Kau baru umur dua puluh enam tahun sudah berlagak tua bangka. Biarlah kusebut kau lopek (paman tua) kalau begitu. Heh, Lopek yang sudah pikun, kenapa kau tadi memondongku? Siapa yang beri ijin kepadamu?"
Yo Wan panas perutnya. Masa dia disebut lopek? Ngenyek (ngece) benar bocah ini. Dia mengebut-ngebutkan ujung lengan baju di lehernya, seakan-akan kepanasan. Memang ada rasa panas, tapi bukan di kulit melainkan di hati. Lalu dia memilih akar yang bersih, akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah. Didudukinya akar itu tanpa menjawab pertanyaan Siu Bi.
"Hee, Lopek Apakah kau sudah terlalu tua sehingga telingamu sudah setengah tuli?" bentak Siu Bi dengan suara nyaring.
"Kau anak kecil jangan kurang ajar terhadap orang tua. Duduklah, anakku, duduk yang baik dan kakekmu akan mendongeng, kalau kau mendengarkan baik-baik, nanti kuberi mainan."
Siu Bi meloncat-loncat marah. "Nak-nak-nak? Aku bukan anakmu, juga bukan cucumu. Jangan sebut nak, aku bukan anak kecil!" la menjerit-jerit, kedua pipinya merah padam, kemarahannya melewati takaran.
Yo Wan bersungut-sungut, "Kalau kau bukan anak kecil, aku pun bukan kakek-kakek yang sudah tua renta, kenapa kau sebut aku lopek?"
"Kau yang mulai dulu!"
"Siapa mulai? Kau yang mulai," jawab Yo Wan mulai mendongkol hatinya.
"Kau yang mulai."
"Kau."
"Kau! Kau! Kau! Nah, aku bilang seribu kali, kau yang mulai, mau apa?" kata Siu Bi menantang.
Yo Wan mengeluh, kemudian menarik nafas panjang, menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar dara lincah nakal ini sudah menyeretnya kembali ke alam kanak-kanak dan berhasil mengaduk isi dada dan isi perutnya menjadi panas. Sepuluh tahun ia bertapa di Himalaya menguasai tujuh macam perasaan, sekarang perasaannya diawut-awut oleh gadis remaja ini.
"Dibebaskan dari bahaya, dipondong sampai setengah malam suntuk, tahu-tahu upahnya hanya diajak bertengkar. Di dunia ini mana ada aturan bo-cengli tidak benar macam ini?" Ia mengomel panjang pendek.
"Siapa suruh kau mondong aku? Siapa? Aku tidak sudi kau pondong, tahu?"
"Tidak sudi masa bodoh, pokoknya aku gudah memondongmu sampai setengah malam, tangan dan pundakku sampai pegal rasanya.”
Siu Bi semakin marah, kedua tangannya dikepal. "Aku tidak sudi, tidak sudi, tidak sudi! Hayo jawab, kenapa kau memondongku? Kalau kau tidak jawab, jangan menyesal kalau aku marah dan menghajarmu. Aku Cui-beng Kwan Im, ingat?"
"Kenapa aku memondongmu? Habis kalau tidak dipondong, apa minta digendong? Atau harus kuseret? Kau dikepung, berada dalam bahaya maut, tetapi masih membuka mulut besar. Tak tahu diri benar!"
"Biar aku dikepung, biar dicengkeram maut, apa pedulimu? Aku tak sudi pertolonganmu, mengapa kau menolong aku?"
"Aku pun tidak bermaksud menolongmu. Aku hanya tidak senang melihat seorang gadis dikeroyok oleh para pengawal jenderal itu, oleh karena itu aku berusaha menggagalkan pengeroyokan mereka dan membawamu pergi."
Siu Bi seakan-akan tidak mendengarkan omongan Yo Wan, ia termenung lalu berkata penuh penyesalan, "Celaka betul, karena kau membawaku pergi, pedangku hilang! Ahh, Cui-beng-kiam itu tentu ketinggalan di tempat pertempuran dan..."
Siu Bi menghentikan kata-katanya karena melihat sinar kehitaman pada saat pedang itu dicabut oleh Yo Wan dari balik jubahnya. Tanpa berkata sesuatu Yo Wan memberikan pedang kepada Siu Bi yang cepat menyambarnya.
"Kebetulan aku juga melihat pedang ini terlepas dari tanganmu, aku tidak ingin pengawal-pengawal itu merampasnya, maka kubawa sekalian. Nah, kiranya sudah cukup obrolan kita yang amat menyenangkan hati ini. Aku tak pernah tolong kau dan kau tak pernah ada urusan denganku. Kita sama-sama bebas, tak ada urusan apa-apa. Selamat tinggal." Yo Wan berdiri, lalu berjalan perlahan meninggalkan Siu Bi.
Seperti malam tadi, Siu Bi memandang dengan mata tak berkedip. Ketika bayangan Yo Wan hampir lenyap pada sebuah tikungan, ia baru teringat sesuatu dan cepat melompat mengejar sambil berseru,
"Heee, berhenti dulu!!"
Yo Wan berhenti dan perlahan membalikkan tubuhnya. Dilihatnya gadis itu berloncatan sambil membawa pedang. Hemmm, jangan-jangan gadis itu akan menyerangnya, siapa dapat menduga isi hati gadis liar dan buas seperti itu?
"Ada apa lagi? Hendak menghajarku?" tanyanya.
Siu Bi menggelengkan kepala, akan tetapi mulutnya masih cemberut. "Tergantung dari jawabanmu," katanya, lalu disambungnya cepat-cepat, "Aku tidak pernah mendengkur kalau tidur. Kau tadi bilang aku mendengkur, kau bohong! Aku tidak pernah mendengkur, memalukan sekali!"
Hampir Yo Wan ketawa terbahak-bahak. Benar-benar gadis yang liar dan aneh. Masa menyusulnya hanya akan bicara tentang itu?
"Tidak mendengkur, hanya... ngo…rok..."
"Bohong! Kau berani sumpah? Aku tak pernah ngorok, mendengkur pun tidak."
"Ngorok pun mana kau bisa tahu? Kan kau sedang tidur? Yang tahu hanya orang lain tentu."
"Tidak, tidak! Aku tidak ngorok, hayo katakan, aku tidak pernah ngorok!"
Siu Bi hampir menangis ketika membanting-banting kaki di depan Yo Wan. la marah dan malu sekali, kedua matanya sudah merah, air matanya sudah hampir runtuh. la bukan seorang gadis cengeng, malah jauh dari itu, menangis sebetulnya merupakan pantangan baginya. Hatinya amat keras, nyalinya besar, tak pernah ia mengenal takut. Akan tetapi dikatakan ngorok dalam tidur, sungguh-sungguh merupakan hal yang menyakitkan hati, memalukan dan menjengkelkan.
Kasihan juga hati Yo Wan melihat keadaan gadis ini. "Ya sudahlah, tidak mengorok ya sudah. Agaknya karena terlampau lelah bertanding dan terlalu enak kau pulas, nafasmu menjadi berat seperti orang mengorok. Tidurmu memang enak sekali sampai aku tidak tega untuk membangunkan dan terpaksa memondongmu terus sampai kau bangun."
Memang watak Siu Bi aneh. Mana bisa tidak aneh watak gadis ini yang semenjak kecil hidup dekat Hek Lojin, manusia aneh yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw? Kini dia memandang kepada Yo Wan dengan sinar mata berseri, melalui selapis air mata yang tidak jadi tumpah.
"Kau baik sekali..."
Yo Wan tertegun. Alangkah bedanya dengan tadi. Kini dia benar-benar melihat seorang Dewi Kwan Im di depannya, seorang dewi yang cantik jelita, yang bersuara lembut dan yang matanya bersinar mesra.
"Ahhh... sama sekali tidak baik, biasa saja," katanya. "Aku melihat kau menolong para petani miskin, tentu saja aku tidak suka melihat kau celaka di tangan para pengawal."
Hening sejenak, agaknya Yo Wan sudah lupa bahwa baru saja ia mengucapkan selamat tinggal. Juga Siu Bi bagaikan orang termenung, tidak memandang Yo Wan, melainkan memandang ke tempat jauh di sebelah kiri. Mendadak dia menengok, agak berdongak untuk mencari mata Yo Wan dengan pandangannya,
"Kau... lapar...?"
Yo Wan melongo beberapa detik.
"Lapar? Tentu saja..." jawabnya otomatis, karena memang perutnya terasa perih minta diisi.
Wajah Siu Bi berseri gembira. "Kau tunggu di sini sebentar, kutangkap kelinci gemuk di sana itu!" Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan pada lain saat dia telah menguber-uber seekor kelinci putih yang gemuk.
Yo Wan kembali tertegun, kemudian dia tersenyum geli dan menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. Lalu dia mengumpulkan daun dan ranting kering serta duduk di atas sebuah batu, menunggu dengan sabar.
Siu Bi datang sambil berloncatan dan menari-nari kegirangan. Seekor kelinci yang gemuk sekali meronta-ronta di bawah pegangannya. Siu Bi memegang kedua telinga itu.
"Lihat, wah gemuk sekali! Masih muda lagi!" teriaknya sambil tertawa-tawa.
Wajah Yo Wan berseri dan untuk sejenak lenyaplah kemuraman wajahnya.
”Hemmm, tentu lezat sekali dagingnya. Biar kubuatkan api."
la lalu membuat api sambil matanya melirik ke arah gadis itu yang dengan cekatan sekali menyembelih kelinci dengan pedangnya, lalu mengulitinya dengan cepat. Sambil bekerja, Siu Bi bersenandung dan Yo Wan beberapa kali melirik ke arah gadis ini. Seorang gadis yang benar-benar aneh, pikirnya. Watak yang luar biasa dan sukar diselami.
"Lihat nih, gajihnya sampai tebal? Hemmm... Makin lapar perutku," kata Siu Bi sambil mengangkat daging kelinci tinggi-tinggi.
"Lekas panggang, tak kuat lagi aku." Yo Wan berkata sambil beberapa kali menelan air ludah sendiri.
Bagaikan seorang anak kecil, sambil tertawa-tawa gembira Siu Bi lalu menusuk daging kelinci dengan bambu dan memanggangnya. Bau yang sedap gurih segera memenuhi udara, menambah rasa lapar di perut. Selama mengerjakan itu, Siu Bi tidak bicara, hanya beberapa kali melirik ke arah Yo Wan, tetapi kalau pemuda itu membalas pandangnya, ia mengalihkan kerling sambil tersenyum. Biar pun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun di dalam hatinya Siu Bi tiada hentinya berkata-kata. Pikirannya diputar terus. Pemuda ini baik, pikirnya. Tidak kurang ajar, biar pun kelihatan agak tolol. Terang bahwa dia itu lihai sekali, sudah berkali-kali dibuktikan biar pun tidak berterang.
Dapat memasuki rumah gedung Jenderal Bun tanpa diketahui, seperti setan saja, dapat membebaskannya dari kerangkeng, kemudian ia harus mengakui bahwa ketika ia roboh terjegal kakinya oleh tambang-tambang itu, keadaannya memang amat berbahaya. Pemuda itu tiba-tiba saja muncul dalam gelap, dapat membawanya pergi tanpa diketahui semua pengeroyok, malah tidak lupa membawa pula pedangnya. Kalau tidak lihai sekali mana mungkin dia melakukan semua itu?
Kembali dia melirik Yo Wan duduk termenung, tapi lubang hidungnya kembang-kempis, jakunnya naik turun, jelas bahwa dalam termenung, pemuda itu tergoda hebat oleh asap panggang kelinci yang sedap dan gurih. Melihat ini, Siu Bi tertawa mengikik sehingga dia terpaksa menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Ibunya yang selalu marah kalau melihat ia ketawa tanpa menutupi mulutnya dan terlalu sering Siu Bi melupakan hal ini. Baiknya sekarang ia tidak lupa, mungkin karena sadar bahwa ada orang lain di dekatnya, laki-laki pula.
"Hemmm, mengapa kau tertawa?" Yo Wan bertanya, kaget dan sadar dari lamunannya.
"Tidak apa-apa, tidak bolehkah orang tertawa?" Siu Bi menjawab sambil melirik nakal, tangannya memutar-mutar daging kelinci di atas api.
Jawaban ini merupakan tangkisan yang membuat Yo Wan gelagapan. "A... a... aku tidak melarang... tentu saja, siapa pun boleh tertawa. Kau mentertawai aku?"
Siu Bi hanya tersenyum saja, tidak menjawab, melirik pun tidak. Daging itu sudah hampir matang. Yo Wan juga tidak mendesak, tapi cukup mendongkol hatinya. Gadis remaja ini benar-benar pandai mengobrak-abrik hati orang dengan sikapnya yang aneh, sebentar marah, sebentar ramah, sebentar kemudian menggoda. Pemuda ini terang pandai sekali, Siu Bi melanjutkan lamunannya. Apa bila aku berbaik kepadanya dan kemudian mendapat bantuannya, agaknya akan lebih besar hasilnya di Liong-thouw-san.
Menurut ucapan Bun Hui pemuda putera jenderal itu, Pendekar Buta adalah seorang sakti yang sangat tinggi kepandaiannya. Tentu saja ia tidak takut, akan tetapi bagaimana kalau dia gagal? Tentu akan mengecewakan sekali jika dia tidak berhasil membalaskan dendam kakek Hek Lojin. Akan tetapi kalau bisa mendapat bantuan pemuda ini, hemmm, kepandaian mereka berdua dapat disatukan untuk menghadapi dan mengalahkan Kwa Kun Hong si Pendekar Buta.
Akan tetapi apakah benar-benar pemuda ini lihai? Kembali dia melirik. Yo Wan tampak mengantuk, sepasang matanya hampir meram dan kepalanya terangguk-angguk ke kiri dan kanan, seakan-akan lehernya tidak kuat pula menyangga kepalanya. Kasihan! Tentu dia sangat mengantuk, mengantuk dan lapar karena semalam tidak tidur sama sekali, memondongnya pergi sejauh ini. Kalau sedang mengantuk dan ‘tidur ayam’ begini sama sekali tidak patut menjadi seorang yang berkepandaian tinggi. Juga tidak nampak membawa senjata.
Makin dia perhatikan, semakin tidak memuaskan kesan di hati Siu Bi. Pemuda yang tidak muda lagi, sungguh pun belum tua. Rambutnya kering akibat tidak terpelihara baik-baik. Wajahnya biar pun tampan, akan tetapi tampak muram seperti orang yang sedih selalu. Pakaiannya yang serba putih itu tidak bersih lagi, juga ada beberapa bagian yang robek. Pemuda miskin!
Tiba-tiba Yo Wan yang benar-benar sangat mengantuk itu terangguk ke depan, menjadi kaget dan membuka matanya, memandang bingung.
"Hi-hi-hik...!" kembali Siu Bi terkekeh. Lucu sekali keadaan pemuda itu.
"Kenapa kau tertawa?"
"Siapa yang tidak tertawa melihat kau terkantuk-kantuk seperti ayam keloren (menderita penyakit kelor)? Hayo bangun, dagingnya sudah matang!" Siu Bi mengangkat panggang daging kelinci dan menaruhnya di atas daun-daun bersih yang sudah disediakan di situ, di depan Yo Wan.
"Wah, gurih baunya!" Yo Wan memuji. "Hayo, kau ambil dulu."
"Kau ambillah dulu."
"Kau yang tangkap dan masak kelinci, masa aku harus makan dulu?"
"Sudahlah, kau ambil dulu, mengapa sih? Aku tidak selapar engkau!"
Yo Wan tidak berlaku sungkan lagi. Dengan penuh gairah ia segera merobek daging itu, mengambil bagian yang ada tulangnya, lalu langsung menggerogotinya dengan lahap.
"Wah, hebat...! Lezat bukan main...!" katanya sambil mengunyah.
Memang kelinci itu gemuk sekali, gajihnya banyak sehingga begitu daging tergigit, gajih yang mencair oleh api itu menitik dari kanan kiri bibir Yo Wan.
"Sayang tidak ada arak...Heee! Kau ke mana, Nona?"
"Tunggu dulu sebentar, aku ambil air minum!" Cepat Siu Bi berlari meninggalkan Yo Wan.
Pemuda ini mengunyah lambat-lambat dan pikirannya makin penuh oleh keadaan Siu Bi. Gadis itu benar-benar hebat, wataknya aneh sekali. Sekarang sangat ramah dan baik kepadanya. Siapakah dia ini?
Siu Bi kembali membawa dua buah kulit labu yang penuh air jernih, dan selain air, juga ia membawa banyak buah-buah manis yang dipetiknya dari dalam hutan. Dengan hati-hati agar jangan tumpah, dia menaruh kulit labu yang dipakai menjadi tempat air itu di atas tanah, kemudian ia pun mulai makan daging kelinci. Keduanya makan dengan lahap, tanpa bicara, hanya kadang-kadang pandangan mata mereka bertemu sebentar. Yo Wan duduk di atas batu, Siu Bi duduk bersila di atas tanah berumput. Api bekas pemanggang daging masih bernyala sedikit...