CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
JAKA LOLA JILID 06
Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah mereka berhasil melemparkan kedua orang tosu ke dalam air.
"Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada anggota-anggota Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah bermaksud melepaskan anak panah, terpaksa membatalkan niatnya.
Siu Bi juga merasa gembira sekali. Dia sudah membuktikan bahwa dia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam menghadapi musuh besarnya.
"Adik Siu Bi, bagaimana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang indah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!"
Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-lari menghampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Seperti dua orang anak-anak sedang bermain-main, mereka dengan gembira melepaskan perahu dan naik ke dalam perahu kecil itu. Ouwyang Lam mengambil dua buah dayung, lalu keduanya mendayung perahu itu ke tengah telaga, diikuti pandang mata penuh maklum oleh para anak buah Ang-hwa-pai.
"Wah, kongcu mendapatkan seorang kekasih baru," kata seorang anggota yang kurus kering tubuhnya, jelas dalam suaranya bahwa dia merasa iri.
"Hemmm, tapi yang satu ini sungguh tak boleh dibuat main-main. Ilmu kepandaiannya hebat. Saingan berat bagi pangcu...," kata temannya yang gendut.
"Sssttttt... apa kau bosan hidup?" cela si kurus sambil pergi ketakutan.
Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa gembira ketika mendayung perahu sekuat tenaga sehingga perahu itu meluncur seperti anak panah cepatnya. Pemuda itu menerangkan keadaan pulau dan Siu Bi beberapa kali berseru kagum. Memang bagus pulau ini, biar pun tidak berapa besar akan tetapi mempunyai bagian-bagian yang menarik. Ada bagian yang penuh bukit karang, ada bagian yang merupakan taman bunga yang amat indah.
"Lihat, di sana itu adalah pusat ular-ular hijau. Tidak ada musuh yang berani menyerbu ke Ching-coa-to, karena sekali kami melepaskan ular-ular itu, mereka akan menghadapi barisan ular yang lebih hebat dari pada barisan manusia bersenjata."
Siu Bi bergidik. Dia melihat banyak sekali ular-ular besar dan kecil berwarna hijau, keluar masuk di lubang-lubang batu karang. "Apakah binatang-binatang itu tidak berkeliaran di seluruh pulau dan membahayakan kalian sendiri?" tanyanya.
Ouwyang Lam tersenyum. "Kami mempunyai minyak bunga yang ditakuti ular-ular hijau itu. Sekeliling daerah batu karang telah kami sirami minyak dan para penjaga selalu siap menyiram minyak baru jika yang lama sudah hilang pengaruhnya. Dengan pagar minyak itu, ular hijau tidak berani berkeliaran."
"Tapi... apa perlunya memelihara ular sebanyak itu?"
"Sebetulnya tenaga mereka tidak berapa kami butuhkan. Hanya racunnya... hemm, racun mereka kami ambil dan Nio-nio amat pandai membuat obat dan senjata dari racun-racun itu."
"Ahhh... hebat kalau begitu!" Siu Bi berseru kagum.
Perahu digerakkan lagi.
"Lihat, di sana itu adalah taman bunga kami. Bukan main senangnya beristirahat di sana, hawanya nyaman, baunya harum dan keadaan di situ betul-betul dapat menenteramkan perasaan orang."
"Aduh, bagusnya... mari kita mendarat ke sana... wah, indahnya seruni-seruni di ujung sana itu. Beraneka warna dan sedang mekar...!"
Ouwyang Lam melirik dengan hati gembira ke arah nona cantik di sebelahnya ini. Betapa akan bahagianya bila tiba saatnya ia dapat bersenang-senang dengan gadis ini di taman, sebagai kekasihnya!
"Nanti saja, Moi-moi, kita keliling dulu dengan perahu. Karena kau menjadi orang sendiri, seluruh pulau dan isinya ini anggap saja tempatmu sendiri. Tetapi untuk dapat menikmati tempat kita ini, terlebih dahulu kau harus mengenal bagian-bagian yang berbahaya, yang indah dan lain-lain. Jangan khawatir, masih banyak waktu untuk kau bermain sepuasmu di dalam taman itu. Di sana terdapat beberapa pondok kecil yang nyaman dan aku akan minta pada Nio-nio agar kau diperbolehkan menempati sebuah di antara pondok-pondok di taman itu. Aku juga tinggal di sebuah di antara pondok-pondok kecil di sana."
Sambil berkata demikian, Ouwyang Lam melirik dengan tajam, ingin melihat bagaimana reaksi dari gadis itu. Akan tetapi, Siu Bi bersikap biasa saja, hanya dia sangat gembira mendengar ini, namun sama sekali tidak memperlihatkan tanda bahwa ia mengerti akan isyarat dalam ucapan Ouwyang Lam. Memang, dia adalah seorang gadis remaja yang masih hijau, mana dia mengerti akan kata-kata menyimpang itu?
Perahu didayung lagi.
"Mari kita sekarang melihat taman air..." ucapan Ouwyang Lam terhenti.
Pada saat itu mereka berdua melihat sebuah perahu kecil yang meluncur laju dari depan. Seorang gadis mendayung perahu itu sambil berdiri di tengah perahu, memandang pada mereka dengan mata melotot.
Ouwyang Lam merasa kagum, mengapa hari ini peruntungannya begitu baik sehingga matanya kembali sempat melihat seorang gadis yang begini cantik jelita setelah bertemu dengan Siu Bi. Sedangkan Siu Bi sendiri juga kagum karena di dalam pandang matanya gadis yang sendirian di perahu itu mempunyai sifat yang gagah dalam kesederhanaan pakaiannya.
Perahu mereka kini sudah saling berhadapan dan kedua pihak menahan perahu dengan gerakan dayung. Sejenak tiga orang ini saling pandang, penuh selidik. Ouwyang Lam yang selalu tidak mau melewatkan kesempatan untuk mencari muka dan bermanis-manis terhadap gadis cantik, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil tersenyum dan menegur.
"Nona, aku Ouwyang Lam tidak pernah bertemu muka denganmu. Agaknya Nona adalah seorang tamu yang hendak mengunjungi Ang-hwa-pai. Kalau memang demikian halnya, dapat Nona bicara dengan aku yang mewakili ketua Ang-hwa-pai."
Cui Sian sudah menduga bahwa tentu dua orang ini yang tadi telah menghina tosu-tosu Kun-lun-pai. Sekarang mendengar pemuda itu memperkenalkan nama, ia tidak ragu-ragu lagi.
"Aku seorang pelancong, sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Ang-hwa-pai atau perkumpulan jahat mana pun juga!" Sengaja Cui Sian menjawab ketus karena memang dia hendak mencari perkara kemudian memberi hajaran kepada orang-orang muda yang dianggapnya jahat itu.
Siu Bi mendengar ini dan tak dapat menahan tawanya. Memang Siu Bi wataknya aneh. Senang ia melihat gadis itu berani menghina Ang-hwa-pai secara begitu terang-terangan di depan Ouwyang Lam, maka ia tertawa, tentu saja mentertawakan pemuda itu. Mendengar suara ketawa ditahan ini, Ouwyang Lam menjadi dongkol. Alisnya yang tebal berkerut dan matanya memandang galak kepada Cui Sian. Akan tetapi karena gadis di depannya itu benar-benar cantik jelita, tidak kalah oleh Siu Bi sendiri, dia masih menahan kemarahannya dan mempermainkan senyum pada bibirnya.
"Nona yang baik, ketahuilah bahwa telaga ini termasuk wilayah Ang-hwa-pai, jadi kau kini sudah berada di dalam wilayah kami. Karena itu berarti kau sudah menjadi tamu kami, maka tadi aku sengaja bertanya. Andai kata kau hanya pelancong biasa dan tidak punya urusan dengan Ang-hwa-pai, akan tetapi karena tanpa sadar kau telah menjadi tamuku, tiada buruknya kalau kita menjadi sahabat."
Kembali Siu Bi tersenyum dan mengejek, "Wah, kau benar-benar amat sabar dan ramah, Ouwyang-twako!"
Kalau Siu Bi mengejek karena mengira Ouwyang Lam takut-takut dan jeri, adalah Cui Sian yang menjadi muak perutnya. Gadis ini lebih berpengalaman atau setidaknya lebih mengenal watak pria dari pada Siu Bi yang hijau maka ia dapat menangkap nada suara kurang ajar dalam ucapan Ouwyang Lam. Dengan ketus ia menjawab,
"Kau manusia sombong. Kurasa telaga ini adalah buatan alam, bagaimana Ang-hwa-pai berani mengaku sebagai hak dan wilayahnya? Eh, bocah, apakah kau yang telah berani menghina bahkan membunuh tosu dari Kun-lun-pai?"
Ouwyang Lam terkejut dan hilang keramahannya. Juga Siu Bi hilang senyumnya. Mereka berdua bangkit berdiri dan memandang Cui Sian dengan curiga. Kalau gadis ini datang membela Kun-lun-pai, berarti dia itu musuh!
"Kalau betul begitu, kau mau apakah?" teriak Ouwyang Lam. "Apakah kau anak murid Kun-lun-pai yang hendak menuntut balas?"
”Aku bukan anak murid Kun-lun-pai, juga tidak tahu-menahu tentang permusuhan kalian dengan Kun-lun-pai. Akan tetapi kebetulan sekali aku berjumpa dengan dua orang tosu Kun-lun-pai yang sudah kalian hina. Tosu-tosu Kun-lun-pai bukanlah orang-orang jahat, maka kalau kalian sudah berani menghina mereka, berarti kalian benar-benar merupakan orang-orang kurang ajar dan mengandalkan kepandaian. Jika bicara tentang kegagahan, agaknya aku lebih condong menganggap kalianlah yang bersalah dan jahat."
"Heei, kau orang liar dari mana datang-datang membuka mulut asal bunyi saja?" Siu Bi berseru marah. "Dua orang tosu bau itu memang kami berdua yang melempar ke dalam air, habis kau mau apa?!”
"Hemmm, aku tidak akan mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi aku pun tidak biasa membiarkan orang berlaku sewenang-wenang. Kau menghina dan melempar orang ke air, sekarang aku pun hendak melempar kalian ke dalam air!"
"Sombong amat! Twako, mari kita lempar bocah sombong ini dari perahunya!" Cepat Siu Bi menggerakkan dayungnya, diikuti oleh Ouwyang Lam yang bermaksud merobohkan dan menawan gadis cantik yang sombong itu.
"Plakkk! Plakkkkk!"
Siu Bi dan Ouwyang Lam berseru kaget sekali karena dayung mereka tertangkis oleh dayung di tangan Cui Sian. Demikian kuat dan hebatnya tangkisan itu sehingga hampir saja Siu Bi dan Ouwyang Lam tak mampu menahan dan melepaskan dayung. Telapak tangan mereka terasa panas dan sakit-sakit. Hal ini sama sekali tak pernah mereka duga karena tadi mereka memandang rendah sekali, dan sesaat mereka kaget dan bingung.
Sebelum mereka dapat memperbaiki kedudukan, perahu mereka tertumbuk oleh perahu Cui Sian dan dayung di tangan Cui Sian secara dahsyat sekali telah menerjang mereka. Perahu miring, dua orang muda itu hampir terjengkang ke belakang dan oleh karena kedudukan yang buruk sekali dan lemah ini, sampai dayung di tangan Cui Sian tak dapat mereka tangkis lagi dan jalan satu-satunya bagi mereka untuk menyelamatkan diri hanya melempar diri ke belakang.
“Byuurrrrr…! Byuurrrrr…!”
Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua orang itu terlempar ke dalam air, juga perahu mereka telah terbalik!
Ouwyang Lam yang pandai berenang itu cepat menyambar lengan tangan Siu Bi yang gelagapan dan menarik gadis itu ke arah perahu mereka yang terbalik. Karena dayung mereka terlempar dan mereka berada di bawah ancaman dayung Cui Sian, mereka tak dapat berbuat sesuatu apa pun kecuali memegangi perahu yang terbalik dengan muka dan kepala yang basah kuyup!
"Ketahuilah, aku bernama Tan Cui Sian, bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya seorang pelancong yang kebetulan lewat dan tak senang melihat kekurang ajaranmu. Harap kali ini kalian menganggap sebagai pelajaran agar lain kali jangan kurang ajar dan sombong lagi." Setelah berkata demikian Cui Sian mendayung perahunya pergi meninggalkan dua orang yang tak berdaya dan memegangi perahu terbalik itu.
"He, manusia curang!" Siu Bi berteriak marah, memaki-maki. "Tunggu aku di darat kalau kau memang benar-benar gagah dan kita bertanding sampai sepuluh ribu jurus! Tidak bisa kau menghina Cui-beng Kwan Im dan pergi enak-enak begitu saja!"
Cui Sian menoleh dan tersenyum mengejek. "Julukannya saja Cui-beng (Pengejar Roh), walau pun cantik seperti Kwan Im, tetap saja jahat. Bocah masih ingusan, siapa takut padamu? Kutunggu kau di darat dan aku tanggung kau akan kulempar sekali lagi ke dalam air!"
Siu Bi memaki-maki, akan tetapi apa dayanya? Mengejar perahu itu terang tak mungkin. Lain dengan Ouwyang Lam. Biar pun amat mendongkol dan malu, tetapi segera bersuit nyaring memberi aba-aba kepada anak buahnya. Beberapa buah perahu hitam meluncur cepat dari balik alang-alang, menghampiri Ouwyang Lam dan Siu Bi yang kini sudah berhasil membalikkan perahu dan melompat ke dalam perahu dengan pakaian basah kuyup.
"Kejar iblis betina itu, gulingkan perahunya dan tangkap dia. Ingat, harus gulingkan perahunya lebih dulu!"
Perintah Ouwyang Lam ini segera ditaati oleh tiga buah perahu yang masing-masing berpenumpang tiga orang. Sembilan orang ahli air Ang-hwa-pai melakukan pengejaran. Ouwyang Lam dan Siu Bi mengikuti dari belakang setelah Ouwyang Lam terjun dan berenang mengambil dayung-dayung mereka yang tadi terlempar.
Cui Sian yang sama sekali tidak menduga bahwa dia akan dikejar, dengan hati puas mendayung perahunya ke tengah telaga, tidak tergesa-gesa pergi mendarat karena dia ingin melihat-lihat pulau itu dari dekat. Tak lama kemudian barulah dia melihat tiga buah perahu hitam meluncur cepat mendekati perahunya.
la dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang Ang-hwa-pai, apa lagi setelah dekat ia melihat bunga merah tersulam di baju mereka. Akan tetapi tentu saja ia tidak takut, malah menanti kedatangan mereka dengan dayung di tangan, siap menghantam dan menghajar mereka yang berani mengganggunya.
Akan tetapi, ia mulai terkejut melihat sembilan orang di dalam tiga buah perahu itu semua melompat ke dalam air dan tidak muncul lagi. Mereka menyelam! Segera Cui Sian dapat menduga apa yang akan mereka lakukan. Cepat dia mendayung perahunya meluncur pergi, namun terlambat. Perahunya berguncang hebat.
la berdiri menggunakan ginkang-nya, mengatur keseimbangan tubuh agar jangan sampai terjungkal ke dalam air. Bahkan dayungnya berhasil mengemplang punggung seorang penyelam yang segera menyelam dan berenang pergi sambil merintih-rintih. Akan tetapi akhirnya perahunya terguling!
Namun dengan gerakan yang amat indah, tubuh Cui Sian mencelat ke atas dan dengan berjungkir balik beberapa kali, tubuhnya cukup lama berada di atas sehingga ketika dia meluncur turun, perahunya sudah terbalik dan terapung lagi. la mendarat di atas perahu yang terbalik itu, siap dengan dayungnya. Para penyelam melihat ini menjadi kagum sekali, juga penasaran. Mereka menyelam lagi mendekati dan berusaha menggulingkan perahu yang sudah terbalik agar nona itu ikut tenggelam.
Namun Cui Sian dengan dayungnya mempertahankan perahunya. Dua orang penyelam kena dihajar tangan mereka sehingga tulangnya patah, seorang penyelam lagi terpaksa dibawa pergi temannya karena kemplangan pada kepalanya membuat dia pingsan. Ouwyang Lam dan Siu Bi sudah tiba di situ. Melihat betapa gadis kosen itu masih belum dapat ditangkap, malah mengamuk dan mempertahankan perahu yang sudah terbalik itu, melukai beberapa orang penyelam, dia menjadi marah dan diam-diam kaget juga.
Gadis itu benar-benar lihai. Hatinya tidak enak sekali. Kemudian dia bersuit memberi tanda kepada ternan-temannya yang sudah muncul di permukaan air tetapi tidak berani mendekati perahu terbalik itu. Kini hanya tinggal empat orang penyelam yang belum terluka, akan tetapi mereka jeri, tidak berani mendekat. Setelah Ouwyang Lam bersuit, mereka menyelam lagi.
Ouwyang Lam mendayung perahunya yang meluncur cepat mendekati perahu Cui Sian yang terbalik. "Adik Siu Bi, kesempatan kita untuk membalas!" katanya.
Siu Bi sudah bersiap dengan dayungnya. Ketika perahu mereka sudah dekat, Ouwyang Lam dan Siu Bi menggerakkan dayung. Kali ini mereka berlaku hati-hati, dayung mereka menerjang hebat dengan pengerahan tenaga. Sebaliknya, Cui Sian berada dalam keadaan yang amat buruk. Berdiri di atas perahu terbalik amat licin dan terlalu sempit, sedangkan dua buah dayung yang menyerangnya itu pun tak boleh dibuat main-main.
Tadi pun ia sudah dapat kenyataan bahwa kedua orang muda ini memiliki kepandaian tinggi, hanya karena tadi memandang rendah kepadanya maka dalam segebrakan saja ia berhasil melempar mereka ke air. la maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Namun, Cui Sian memiliki sifat yang amat tenang, juga tabah. la tidak menjadi gentar, malah mengejek,
"Beginikah cara orang gagah? Mengeroyok dengan cara yang licik?"
Merah muka Siu Bi. Sesungguhnya ia benci akan cara demikian ini, akan tetapi semua itu yang mengatur adalah Ouwyang Lam, ia sebagai tamu tak dapat berbuat lain. Untuk diam saja tidak ikut mengeroyok juga tidak enak, apa lagi ia tadi sudah dibikin basah kuyup dan merasa amat marah kepada gadis bernama Cui Sian itu. Dengan tenaga dalamnya yang murni dan sangat kuat serta gerakan dayungnya yang hebat, Cui Sian masih mampu mempertahankan diri dari desakan kedua buah dayung lawannya. Akan tetapi tiba-tiba perahu yang diinjaknya berguncang hebat.
Kini ia tidak mungkin dapat melawan orang-orang yang berada di dalam air karena dua batang dayung yang mengancamnya dari depan sudah cukup berbahaya. la berusaha mempertahankan diri, akan tetapi ketika tiba-tiba perahu yang diinjaknya itu tenggelam, tak mungkin lagi ia mempertahankan diri.
la ikut tenggelam dan pada lain saat ia gelagapan karena seperti juga Siu Bi, ia adalah seorang puteri gunung dan tidak pandai berenang! Sungguh pun demikian, ketika dua orang penyelam berusaha menangkap dan memeluknya, mereka itu memekik kesakitan dan pingsan terkena sampokan tangannya!
Melihat ini, Ouwyang Lam terjun ke air. Cui Sian sudah gelagapan dan menelan air, tentu saja bukan lawan Ouwyang Lam yang selain berkepandaian tinggi, juga ahli bermain di air. Sebelum Cui Sian sempat mempertahankan diri, sebuah sapu tangan merah yang diambil pemuda itu dari saku bajunya, telah menutup mukanya. la mencium bau harum dan tak ingat diri lagi.
Ouwyang Lam menyeretnya sambil berenang. Ketika sampai di pinggir perahu, pemuda itu memondongnya naik ke perahu, melempar tubuh yang pingsan dan basah kuyup itu ke dalam perahu. Siu Bi mengerutkan keningnya. "Mau diapakan dia ini, Ouwyang-twako?"
Mendengar pertanyaan ini dan melihat pandang mata Siu Bi yang tajam penuh selidik, Ouwyang Lam menjadi agak gagap ketika menjawab. "Diapakan? Dia... ehhh, tentu saja harus ditawan. Soal ini harus dilaporkan kepada Nio-nio. Gadis ini mencurigakan sekali, Siauw-moi (Adik Kecil). Kepandaiannya amat tinggi dan andai kata dia betul-betul bukan orang Kun-lun-pai, mengapa ia memusuhi kita? Dan mengapa pula ia berperahu di sini?"
"Kan ia sudah bilang bahwa ia seorang pelancong...," bantah Siu Bi, tidak setuju melihat gadis ini ditawan secara begitu.
Ouwyang Lam tersenyum, maklum bahwa gadis ini mulai menaruh curiga. la harus lebih berhati-hati, pikirnya. "Jangan kau khawatir, Moi-moi. Dia ini ditawan hanya untuk ditanyai kelak. Bila ternyata benar dia itu hanyalah seorang pelancong yang iseng dan gatal tangan, tentu saja kami akan membebaskannya. Biar dia ditawan beberapa hari, hitung-hitung untuk membalas penghinaannya atas diri kita berdua."
Puas hati Siu Bi dengan jawaban ini. Sambil mendayung perahu kembali ke pulau, Siu Bi diam-diam mengagumi kecantikan gadis yang telentang di depannya. Benar-benar cantik jelita dan manis sekali. Sayang dia sombong, pikirnya, dan pernah menghinaku. Kalau tidak, hemmm, senang juga mempunyai kawan yang juga memiliki kepandaian tinggi ini.
la melihat ada benda mengganjal di atas pinggang belakang. Dirabanya, ternyata gagang pedang. Dengan perlahan disingkapnya baju luar itu dan ditariknya pedang itu. Sebuah pedang pendek! Akan tetapi begitu Siu Bi mencabutnya dari sarung, matanya silau oleh sinar yang putih gemerlapan.
"Wahhh, pedang yang hebat, pusaka ampuh!" seru Ouwyang Lam. "Moi-moi, kau benar. Pedang itu harus dirampas, kalau tidak dia bisa membikin kacau setelah siuman."
Ucapan ini membikin muka Siu Bi semakin merah. Sama sekali dia tidak mempunyai niat untuk merampas pedang orang, hanya ingin melihat saja. Akan tetapi tiba-tiba ia berpikir.
Pedang pusakanya sendiri ia tinggalkan kepada Jaka Lola. la tidak bersenjata. Tak ada salahnya ia menyimpan dulu pedang ini, dan kalau segala sesuatu beres, mudah saja dia kembalikan kepada yang punya. Dari pada dirampas oleh Ouwyang Lam. Ia masih belum percaya penuh kepada pemuda ini atau kepada ‘bibi Kui Ciauw’.
Dalam keadaan masih pingsan, Cui Sian dibawa ke daratan pulau, dihadapkan kepada Ang-hwa Nio-nio. Nenek ini mengerutkan alisnya ketika mendengar laporan Ouwyang Lam. la memeriksa buntalan pakaian Cui Sian yang juga dibawa ke situ oleh anak buah yang menemukannya dari perahu yang terbalik. Akan tetapi buntalan itu isinya hanyalah beberapa potong pakaian dan sekantung uang emas. Tidak ada sesuatu yang membuka rahasia tentang diri gadis aneh itu.
Ang-hwa Nio-nio lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan warna biru, mengebutkan sapu tangan itu ke arah hidung Cui Sian, kemudian dengan sapu tangan itu pula ia menotok belakang leher. Ujung sapu tangan dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, hal ini saja membuktikan kelihaian nenek ini. Kiranya sapu tangan warna biru itu mengandung obat pemunah racun merah. Tak lama kemudian Cui Sian menggerakkan pelupuk matanya dan pada waktu matanya terbuka, gadis ini sudah melompat bangun dan berada dalam keadaan siap siaga!
la memandang ke sekelilingnya, melihat muda-mudi bekas lawannya tadi berada di situ bersama seorang nenek berpakaian serba merah dan beberapa orang laki-laki setengah tua yang memakai tanda bunga merah di dada. Di pinggir berdiri pelayan-pelayan wanita. Maklum bahwa dirinya dikepung musuh, Cui Sian meraba pinggangnya. Pedangnya tidak ada! Akan tetapi gadis ini tenang-tenang saja, sama sekali tidak menjadi gentar atau gugup. la malah tersenyum mengejek dan berkata, "Bagus! Kiranya Ang-hwa-pai penuh tipu muslihat. Kalian secara curang sudah berhasil menawan aku, mau apa?"
Ang-hwa Nio-nio membentak ketus, "Bocah sombong, berani kau berlagak di depanku?! Sudah diampuni jiwanya masih sombong. Kalau tadi kami turun tangan membunuhmu, kau akan bisa apa?"
Cui Sian memandang nenek itu, pandang matanya tajam bukan main, membuat si nenek diam-diam tercengang dan menduga-duga, siapakah gerangan gadis yang bernyali besar dan penuh wibawa ini.
"Agaknya kau adalah ketua Ang-hwa-pai. Nah, katakan kehendakmu. Soal mati hidup, kau membunuhku pun aku tidak takut, kau membebaskan aku pun tak merasa berhutang budi."
"Bocah, lebih baik larutkan keangkuhanmu ini dan lekas kau mengaku, siapakah yang menyuruh kau datang memata-matai Ang-hwa-pai dan membikin kacau? Jika tidak ada yang menyuruh, apa maksud kedatanganmu? Jawab sebenarnya, jangan membikin aku habis sabar. Apa hubunganmu dengan Kun-lun-pai?"
"Tidak ada yang menyuruhku, Kun-lun-pai tiada sangkut-pautnya denganku. Aku seorang pelancong, kebetulan lewat dan berpesiar di telaga, lalu bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai. Kuanggap dua orang bocah ini keterlaluan sekali, maka aku sengaja hendak memberi hajaran. Dengan curang mereka berhasil menawan aku, terserah kalian mau apa sekarang. Mau bertanding sampai seribu jurus, hayo!"
Kembali Ang-hwa Nio-nio tercengang dan diam-diam harus dia akui bahwa gadis seperti ini tentu tak boleh dipandang ringan. "Siapakah kau dan dari mana kau datang?"
"Sudah kukatakan pada dua orang bocah ini, namaku Tan Cui Sian dan aku bukan orang Kun-lun-pai, sungguh pun Kun-lun-pai adalah partai segolongan dengan Thai-san-pai."
Berubah wajah Ang-hwa Nio-nio. "Kau anak murid Thai-san-pai? Dan kau... kau she Tan, apamukah Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San si kakek ketua Thai-san-pai?"
"Dia ayahku..."
"Keparat! Kiranya kini kau menyerahkan nyawa anakmu kepadaku, manusia she Tan?" Sambil berseru keras Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju, tangannya menghantam dan sinar merah membayang pada pukulannya ini.
Cui Sian sudah siap sejak tadi. la maklum bahwa nenek ini tentulah seorang sakti dan alangkah kecewanya bahwa dia tadi sudah mengaku dan menyebut nama ayahnya dan Thai-san-pai. Ternyata pengakuan itu hanya mendatangkan bahaya bagi dirinya karena ternyata bahwa nenek ini kiranya adalah musuh ayahnya. Ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, memang mempunyai banyak sekali musuh, terutama dari golongan hitam. Setelah terlanjur membuat pengakuan, ia sekarang harus menghadapi bahaya dengan tabah.
Cui Sian bukan seorang gadis nekat seperti Siu Bi. Dia seorang yang berpemandangan luas, cerdik dan dapat melihat gelagat. Tentu saja ia maklum bahwa, amatlah berbahaya baginya untuk seorang diri saja menghadapi orang-orang Ang-hwa-pai di tempat mereka sendiri. Apa lagi ia bertangan kosong, kalau ada Liong-cu-kiam di tangannya masih boleh diandalkan. Maka, melihat datangnya pukulan maut yang mengandung sinar merah, dia cepat-cepat miringkan tubuh dan mainkan jurus Im-yang Kun-hoat yang ia warisi dari ayahnya. Kedua tangannya dengan pengerahan dua macam tenaga Im dan Yang, menangkis sambaran tangan Ang-hwa Nio-nio yang tak mungkin dapat dielakkan lagi itu.
"Dukkk!"
Tubuh Cui Sian terlempar sampai ke luar dari pintu ruangan, ada pun ketua Ang-hwa-pai itu kelihatan meringis kesakitan.
Terlemparnya tubuh Cui Sian memang disengaja oleh gadis itu sendiri karena pertemuan tenaga mukjijat itu memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri, atau setidaknya keluar dari ruangan yang sempit itu agar kalau dikeroyok, ia dapat melawan lebih leluasa di tempat yang luas di luar rumah.
"Bocah setan, mau lari ke mana engkau?" Ang-hwa Nio-nio berseru, kemudian menoleh kepada Siu Bi dan Ouwyang Lam berkata, "Kejar, ia dan ayahnya adalah sekutu musuh besar kita, Pendekar Buta!"
Mendengar seruan ini, Ouwyang Lam dan Siu Bi cepat berkelebat melakukan pengejaran di belakang Ang-hwa Nio-nio. Juga para pembantu pengurus Ang-hwa-pai beramai-ramai ikut mengejar. Tentu saja Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam dan Siu Bi yang paling cepat gerakannya sehingga para pembantu itu tertinggal jauh.
Ternyata Cui Sian memiliki ginkang yang hebat, larinya cepat seperti kijang. Akan tetapi karena dia tidak mengenal tempat itu, tanpa dia ketahui dia telah lari ke daerah karang. Melihat ini, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam tertawa dan sengaja tidak mempercepat larinya, hanya mengejar dari belakang.
Siu Bi merasa heran, tetapi segera ia melihat kenyataan dan mengetahui persoalannya. Wajahnya seketika berubah pucat. Gadis yang dikejar itu telah lari memasuki sarang ular hijau! Dia bergidik dan diam-diam dia merasa tidak senang. Boleh saja mendesak dan menyerang musuh, akan tetapi tidak secara pengecut dan menggunakan akal busuk.
Melihat di depannya batu-batu karang yang sukar dilalui, apa lagi tiga orang pengejarnya masih terus mengejar dari belakang, Cui Sian terpaksa berhenti, membalikkan tubuh dan tersenyum mengejek.
"Kalian bertiga hendak mengeroyokku yang bertangan kosong? Bagus, memang benar gagah orang-orang Ang-hwa-pai! Setelah merampas pedang, kini mengeroyok."
Ouwyang Lam yang tadinya tertarik sekali akan kecantikan Cui Sian sekarang timbul kemarahannya. la telah dibikin malu, dan sekarang tiba saat baginya untuk membalas. la memang pernah dirobohkan, akan tetapi hal itu terjadi karena dia memandang rendah dan kejadian itu hanya dapat dialami secara tidak tersangka-sangka.
Sekarang mereka saling berhadapan dan dapat mengandalkan ilmu kepandaian mereka. la tidak percaya bahwa dia takkan dapat menangkan seorang gadis! Mendengar ejekan ini dia berkata, "Nio-nio, biarkan aku menghadapi gadis sombong ini!"
Dia melompat maju dan dengan nada suara mengejek pula dia menjawab Cui Sian,
"Perempuan sombong. Kau kira di dunia ini tidak ada yang dapat mengalahkanmu? Kau bertangan kosong? Lihat, aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, kau kira aku tidak berani? Akan tetapi kalau nanti kau tidak berlutut dan minta-minta ampun tujuh kali kepadaku, aku tidak akan melepaskanmu!"
Cui Sian menggigit bibirnya saking gemas dan marahnya. Baginya, ucapan pemuda ini pun mengandung arti yang kotor dan menghina. Tak sudi ia banyak cakap lagi, tubuhnya segera menerjang maju dengan seruan nyaring. "Lihat pukulan!"
Seruan begini adalah lazim dilakukan oleh pendekar-pendekar yang pantang menyerang orang tanpa peringatan lebih dulu, berbeda dengan sifat rendah tokoh-tokoh dunia hitam yang selalu menyerang secara sembunyi, malah menggunakan kesempatan selagi lawan lengah untuk merobohkan lawan itu.
Ouwyang Lam cepat mengelak dan sambaran angin pukulan gadis ini cukup meyakinkan hatinya bahwa dia tidak boleh main-main menghadapinya. Maka dia pun lalu cepat-cepat menggerakkan kaki tangan, memainkan Ilmu Silat Bintang Terbang sambil mengerahkan tenaga Ang-tok-ciang sehingga dari dua tangannya itu menyambar-nyambar sinar merah karena hawa beracun Ang-tok sudah memenuhi pukulan-pukulan itu.
Akan tetapi, Cui Sian bukanlah gadis sembarangan. Dia puteri Raja Pedang dan ketua Thai-san-pai yang sakti, yang semenjak kecil telah menggemblengnya dengan ilmu-ilmu kesaktian. Raja Pedang cukup mengenal ilmu-ilmu dari dunia hitam, maka pengertiannya tentang hal ini ia turunkan semua kepada puterinya sehingga kini, menghadapi pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun bersinar merah, Cui Sian sama sekali tidak menjadi gentar. Kalau tadi ia dapat ditangkap, hal itu adalah karena ia tidak pandai berenang. Sekarang, sama-sama menggunakan tangan kosong, jangan harap Ouwyang Lam akan sanggup mengatasinya.
Dengan jurus-jurus Im-yang Sin-kun yang luar biasa, Cui Sian mampu menolak semua terjangan lawan, bahkan mulai balas mendesak dengan hebat. Ouwyang Lam terkejut setengah mati. Selama menjadi murid dan kekasih Ang-hwa Nio-nio dan telah mewarisi ilmu kesaktian wanita ini, belum pernah ia menemui tanding yang begini hebat selain Siu Bi.
Dia menjadi bingung oleh gerakan Cui Sian yang mengandung dua unsur tenaga yang berlawanan itu. Di suatu saat, pukulan Cui Sian bersifat keras, di lain detik merupakan pukulan lunak tetapi berbahaya. Memang di sini letak kehebatan Im-yang Sin-kun, ilmu silat yang berbeda dengan ilmu silat lain.
Ilmu-ilmu silat yang lain hanya mempunyai satu sifat, lembek atau keras, kalau lembek mengandalkan tenaga Iweekang, kalau keras mengandalkan gwakang. Akan tetapi gadis cantik ini mencampur aduk Iweekang dan gwakang, mencampur aduk hawa Im dan Yang dalam terjangannya, pencampur adukan yang sangat rapi karena memang menurut Ilmu Sakti Im-yang Sin-kun yang ia warisi dari ayahnya.
Setelah lewat lima puluh jurus, Ouwyang Lam sudah tidak kuat lagi. Hendak mencabut pedangnya, dia merasa malu karena di situ terdapat Siu Bi yang turut menonton. Masa melawan seorang gadis, setelah tadi menyombong sama-sama dengan tangan kosong, kini dia harus mencabut pedang? Memalukan sekali, lebih memalukan dari pada kalau dia kalah dalam pertandingan ini. la mengerahkan tenaga mengumpulkan semangat dan menerjang dengan buas. Kini dia menggunakan jurus Bintang Terbang Terjang Bulan, tubuhnya melayang ke depan, dua tangannya mencengkeram ke arah dada dan leher. Serangan hebat yang mematikan!
Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Di samping kehebatannya, serangan ini pun tidak sopan. la membiarkan kedua tangan lawan itu menyambar dekat, memperlihatkan sikap gugup dan bingung. Ouwyang Lam girang sekali, akan berhasil agaknya dia kali ini.
"Awas...!" Ang-hwa Nio-nio berseru dan melompat ke depan.
Terlambat sudah! Tubuh Ouwyang Lam terbanting dari samping dan pemuda ini roboh bergulingan di atas tanah berbatu yang keras! Kiranya tadi sikap gugup dan bingung Cui Sian hanya merupakan pancingan belaka membiarkan lawan menjadi girang berbesar hati dan karenanya lemah kedudukannya.
Secepat kilat Cui Sian membuang diri ke kiri, hanya tubuh bagian atas saja yang meliuk ke kiri, sebatas lutut ke atas, namun kedua kakinya masih memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Gerakan yang amat indah. Pada saat kedua tangan Ouwyang Lam sudah menyambar lewat, Cui Sian balas menghantam dengan sampokan kedua lengannya dari samping, jari-jari tangannya terbuka dan dua tangannya yang mengandung dua macam tenaga, yang kiri menghentak dengan tenaga Im sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga Yang.
Tak kuat Ouwyang Lam mempertahankan diri dari serangan balasan yang mendadak dan tidak terduga-duga ini sehingga dia terbanting cukup hebat. Untung baginya bahwa pada saat itu, Ang-hwa Nio-nio sudah melompat datang dan menerjang Cui Sian tanpa banyak cakap lagi. Bila tidak demikian halnya, dalam keadaan terbanting dan kepalanya masih pening tadi, dengan amat mudahnya Cui Sian akan dapat menyusulkan serangan berikutnya yang membahayakan keselamatannya.
Ouwyang Lam bangun dengan muka merah. Hatinya panas mendongkol, apa lagi ketika dia menoleh ke arah Siu Bi dilihatnya gadis itu memandang ke arah Cui Sian dengan sinar mata penuh kekaguman. Dia merasa malu di depan Siu Bi. Terang bahwa dalam pertandingan tangan kosong tadi, dia kalah oleh gadis lihai puteri Raja Pedang ini.
Dalam marahnya, ingin dia mencabut pedang dan menyerang lagi bekas lawannya, biar pun Cui Sian pada saat itu sedang bertanding melawan Ang-hwa Nio-nio dengan hebat. Akan tetapi kehadiran Siu Bi di situ membuat Ouwyang Lam terpaksa menahan sabar dan tidak ada muka untuk melakukan pengeroyokan.
Sementara itu, pertandingan antara Cui Sian dan Ang-hwa Nio-nio sudah berlangsung dengan hebatnya. Dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ouwyang Lam, tentu saja Ang-hwa Nio-nio jauh lebih tinggi. Cui Sian maklum dan merasakan hal ini, namun gadis perkasa ini mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan ilmu kesaktian Im-yang Sin-kun sehingga biar pun ia tidak mampu melakukan desakan macam tadi terhadap ketua Ang-hwa-pai ini, namun pertahanannya kokoh kuat laksana benteng baja.
Seperti juga Ouwyang Lam, ketua Ang-hwa-pai ini merasa malu untuk mempergunakan senjatanya, bukan malu terhadap lawan, melainkan tak enak hati terhadap Siu Bi yang dianggap sebagai tamu dan orang luar. Jika tidak ada Siu Bi di situ, sudah tentu Cui Sian sejak tadi dikeroyok dan tak mungkin gadis perkasa itu dapat menyelamatkan dirinya.
Di samping hal ini, juga Ang-hwa Nio-nio merasa penasaran sekali. Ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang tinggi, malah ia sudah mematangkan kepandaiannya sehingga ia berpendapat bahwa tingkatnya sekarang sudah tak berbeda jauh dengan tingkat musuh besarnya, Pendekar Buta. Akan tetapi mengapa menghadapi seorang gadis muda saja ia tidak mampu mendesaknya?
Memang dia sudah tahu akan kesaktian Raja Pedang. Akan tetapi puterinya ini baru dua puluh usianya, betapa pun juga baru berlatih belasan tahun, bagaimana dapat menahan dia yang telah melatih diri puluhan tahun? Inilah yang membuat hatinya penasaran dan ia menguras semua ilmunya untuk memecahkan pertahanan Cui Sian.
Namun, Im-yang Sin-kun adalah ilmu yang bersumber kepada Im-yang Bu-tek Cin-keng, merupakan rajanya ilmu silat dan telah mencakup inti sari dari semua gerakan silat. Ilmu silat yang dimiliki Pendekar Buta sendiri pun bersumber pada ilmu silat ini, demikian pula ilmu-ilmu silat dari semua partai bersih. Andai masa latihan Cui Sian sedemikian lamanya seperti Ang-hwa Nio-nio, jangan harap ketua Ang-hwa-pai itu akan dapat menang.
Sekarang pun, karena kalah matang dalam latihan, biar tak dapat mendesak lawan, akan tetapi Cui Sian masih dapat mempertahankan diri dengan baik. Memang jika dilanjutkan akhirnya dia akan kalah juga karena terus-menerus mempertahankan diri tanpa mampu membalas, akan tetapi akan memakan waktu lama sekali.
Siu Bi menonton pertempuran Itu dengan hati tegang. Matanya yang sudah terlatih akan ilmu-ilmu silat tinggi dapat membedakan sifat-sifat kepandaian kedua orang yang sedang bertanding itu.
Terjangan-terjangan Ang-hwa Nio-nio bersifat ganas dan kasar, ditunjang dengan hawa pukulan bersinar merah yang menyelubungi seluruh tubuh berpakaian serba merah itu. Sebaliknya, Cui Sian bersilat dengan gerakan yang sifatnya tenang serta kokoh kuat, indah dalam setiap gerakan dan hawa pukulan dari kedua tangannya mengandung sinar jernih tak berwarna namun cukup kuat sehingga menolak bayangan sinar merah lawan.
Saking tegangnya dan memandang penuh perhatian, Siu Bi tidak melihat lagi kepada Ouwyang Lam. Pemuda ini diam-diam mengeluarkan sebungkus bubuk berwarna putih, menyebarkannya di sekeliling tempat mereka, kemudian memberi tanda isyarat kepada para anak buah Ang-hwa-pai.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara melengking tinggi bagaikan suling ditiup, tiada putus-putusnya datang dari empat penjuru, makin lama semakin melengking. Beberapa menit kemudian, Siu Bi mengeluarkan seruan kaget.
Beratus-ratus ekor ular mendesis-desis dan bergerak cepat dari semua jurusan menuju ke pertempuran itu. Seekor ular hijau yang besar dan panjang, paling cepat sampai di situ dan serta merta binatang ini mengangkat kepala dan meloncat dengan mulut terbuka ke arah Cui Sian!
Gadis sakti ini pun sudah melihat adanya ular-ular hijau yang datang menyerbu. Maka, begitu mendengar desis keras dari arah kiri, cepat dia melangkah mundur dan tangan kirinya dengan jari terbuka menyabet miring, tepat mengenai leher ular.
"Trakkk!"
Ular sebesar pangkal lengan itu terpukul keras sehingga terlepas sambungan tulangnya, tak berdaya lagi, lalu terbanting dan hanya ekornya saja yang masih menggeliat-geliat, kepalanya tak dapat digerakkan lagi!
Akan tetapi, Cui Sian harus menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan karena pada saat ia menghadapi penyerangan ular tadi, Ang-hwa Nio-nio sudah melakukan serangan hebat sekali yang amat berbahaya. Segulung sinar merah menerjang ke arah dada dan lehernya, dan ternyata Ang-hwa Nio-nio sudah mencabut pedangnya dan menyerangnya pada saat gadis itu tidak kuat kedudukannya.
Hanya dengan cara membuang diri ke belakang dan bergulingan inilah Cui Sian mampu menyelamatkan diri. Dia segera melompat bangun. Wajahnya merah, sepasang matanya berapi-api saking marahnya.
Biar pun lawan sudah memegang pedang dan di sekelilingnya sudah berkumpul ular-ular hijau, namun dara perkasa ini sama sekali tidak menjadi gentar! la maklum bahwa tak mungkin melarikan diri setelah ular-ular itu mendatangi dari segala jurusan, jalan lari selain terhalang ular-ular berbisa dan gunung-gunungan batu karang, juga di bagian lain berdiri Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya yang amat banyak.
Cui Sian maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dan besar kemungkinan ia akan tewas di sini. Namun ia mengambil keputusan untuk melawan dengan nekat dan sampai titik darah yang terakhir, tewas sebagaimana layaknya puteri pendekar besar dan ketua Thai-san-pai!
"Ang-hwa-pai tak tahu malu! Mengandalkan pengeroyokan dan bantuan ular-ular berbisa! Ang-hwa Nio-nio, majulah, jangan kira aku takut menghadapi kecuranganmu!"
Ang-hwa Nio-nio merasa penasaran, malu dan marah sekali. Memang amat memalukan kalau dia tidak mampu mengalahkan gadis ini, gadis muda tak bersenjata, dan ia masih dibantu ular-ular-hya. Kalau ia tidak mampu membunuh Cui Sian, sekali ini benar-benar akan rusak nama besarnya.
"Iblis cilik, siaplah untuk mampus!
"Nanti dulu, Nio-nio!" Tiba-tiba Siu Bi berseru dan melompat ke depan.
Ang-hwa Nio-nio kaget dan heran, lebih-lebih herannya ketika Siu Bi berkata lantang,
"Aku tidak suka melihat ini! Aku pun benci dia karena dia adalah sahabat baik Pendekar Buta musuh besarku, akan tetapi aku tak suka melihat pertandingan yang berat sebelah ini. Ang-hwa Nio-nio, karena aku dan kau sudah bersahabat, aku tidak mau sahabatku melakukan hal yang tidak pantas. Dia ini boleh saja dibunuh, akan tetapi sedikitnya harus memberi kesempatan melawan, itulah haknya. Ayah... ayahku selain menekankan bahwa dalam keadaan bagaimana pun juga, aku harus bersikap gagah dan sama sekali tidak boleh curang. Hee, Cui Sian, ini pedangmu, kukembalikan. Sebelum mampus, kau boleh melawan dan jangan bilang bahwa aku menyembunyikan pedangmu. Tetapi berjanjilah, bila mana nanti kau sudah mati, relakan pedangmu ini menjadi milikku!" Sambil berkata demikian Siu Bi melemparkan Liong-cu-kiam kepada Cui Sian.
Sejenak Cui Sian tertegun sambil memegangi Liong-cu-kiam di tangannya. Tentu saja hatinya menjadi sebesar Gunung Thai-san sendiri setelah pedang pusakanya kembali di tangannya. Namun dia menjadi terheran-heran melihat sikap dan mendengar kata-kata gadis cilik itu.
Tahulah dia bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan anak buah Ang-hwa-pai! Seorang tamu agaknya, dan tentu gadis cilik yang juga lihai itu anak seorang tokoh hitam pula. la tersenyum dan menatap mesra ke arah Siu Bi.
"Adik manis, kau adalah batu kumala terbenam lumpur, biar sekelilingmu kotor kau tetap cemerlang! Tentu saja, aku berjanji, rohku akan rela kalau setelah aku mati, pedang ini menjadi milikmu. Namun sayangnya, aku tak akan mati, Adik manis. Dan kelak akan tiba saatnya aku membalas kebaikanmu ini!"
Sementara itu, Ang-hwa Nio-nio marah sekali. "Siu Bi, kau... kau amat lancang dan tolol!”
Setelah berkata demikian ketua Ang-hwa-pai ini menerjang dengan pedangnya. Sinar merah berkelebat ketika pedangnya, pedang pusaka ampuh yang sudah direndam racun kembang merah dan diberi nama sesuai pula, yaitu Ang-hwa-kiam, digerakkan menusuk ke depan. Pada saat yang sama, empat ekor ular juga sudah menerjang dari belakang, menggigit ke arah kaki Cui Sian.
Akan tetapi, setelah kini Liong-cu-kiam ada di tangannya, Cui Sian seakan-akan menjadi seekor harimau betina yang tumbuh sayap. Sinar putih berkilat-kilat menyilaukan mata ketika Liong-cu-kiam di tangannya beraksi. Pedang pusaka ampuh ini sudah menangkis Ang-hwa-kiam dan tenaga benturan itu ia manfaatkan dengan cara mengayun pedang ke belakang sambil merubah kedudukan kaki dari kuda-kuda melintang menjadi kuda-kuda membujur.
“Cringgg!”
Tenaga benturan membuat Liong-cu-kiam bergerak cepat, mengeluarkan suara nyaring, dan empat ekor ular yang menyerang dari belakang tubuhnya telah terbabat buntung menjadi delapan potong!
"Hebat...!" Siu Bi terbengong-bengong kagum tiada habisnya.
Indah sekali gerakan itu dan ia maklum bahwa dengan pedang pusaka di tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan lawan berat dan ia sendiri masih sangsi apakah ia dengan Cui-beng-kiam akan dapat mengimbangi kesaktian nona cantik langsing ini.
"Kenapa kau membantunya...?"
Siu Bi menengok. Alisnya berkerut ketika melihat bahwa yang mengeluarkan pertanyaan dengan suara ketus itu bukan lain adalah Ouwyang Lam. Pemuda itu sekarang berdiri dengan pedang terhunus, sikapnya mengancam.
Siu Bi mengedikkan kepalanya. "Siapa membantunya? Aku tak sudi membantu sahabat baik musuh besarku, akan tetapi aku pun tidak sudi membantu kecurangan, walau pun yang curang adalah teman sendiri. Kau mau apa?!"
"Mari kita keroyok dia. Dia lihai sekali dan kalau sampai dia terlepas, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan di belakang hari."
"Kau mau keroyok, terserah. Twako, apakah kau tidak malu? Lihat, ketua Ang-hwa-pai telah melawannya dengan bantuan ular-ular mengerikan itu. Hal itu saja sudah tidak adil, masa kau mau ajak aku mengeroyok lagi? Aku tak sudi mengambil kemenangan secara rendah begitu!"
"Tetapi, Moi-moi, dia itu termasuk musuh kita. Ayahnya adalah ketua Thai-san-pai, bukan saja sahabat baik Pendekar Buta, malah masih terhitung gurunya!"
"Ahhh..."
Ouwyang Lam mengira bahwa seruan ini menyatakan perubahan di hati Siu Bi. Akan tetapi sebetulnya bukan demikian. Siu Bi terkejut memang, akan tetapi ia terkejut karena teringat bahwa gadis itu saja sudah begitu lihai, apa lagi Pendekar Buta!
"Lihat, Moi-moi, dia begitu lihai. Kalau kita tidak turun tangan, bisa berbahaya!"
Sesudah berkata demikian, dengan pedang terhunus Ouwyang Lam lantas menerjang ke medan pertempuran. Dia sudah menyebar bubuk anti ular pada sepatu serta celananya sehingga seperti halnya Ang-hwa Nio-nio, dia tak akan diganggu lagi oleh ular-ular itu.
Sesudah Liong-cu-kiam berada di tangannya, Cui Sian memang hebat luar biasa. Boleh jadi dalam hal keuletan, pengalaman, dan keahlian, dia masih belum mampu menandingi Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi biar pun belum matang betul karena usianya masih muda, akan tetapi ilmu pedang yang ia mainkan adalah raja sekalian ilmu pedang, yaitu Im-yang Sin-kiam.
Ilmu pedang inilah yang dulu sudah membuat ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, menjagoi di dunia persilatan dan membuat Raja Pedang itu berhasil mengalahkan semua lawannya yang sakti. Kini, dengan ilmu pedang sakti itu, ditambah pula dengan pedang pusaka Liong-cu-kiam yang amat ampuh di tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan seorang lawan yang sukar dikalahkan.
Betapa pun juga, keroyokan ular-ular itu membuat Cui Sian repot. Menghadapi Ang-hwa Nio-nio saja dia sudah harus mengerahkan seluruh perhatiannya karena memang wanita itu amat ganas dan berbahaya, apa lagi sekarang dibantu oleh Ouwyang Lam yang tidak rendah kepandaiannya.
Oleh karena itu, sambaran ular-ular dari belakang dan kanan kiri benar-benar membuat ia sibuk sekali dan ngeri. la maklum bahwa sekali saja tergigit ular hijau, maka nyawanya tidak akan dapat tertolong lagi. Sudah puluhan ekor ular terbabat mati oleh pedangnya, sehingga bangkai ular itu bertumpuk serta berserakan di sekelilingnya, menyiarkan bau yang amis dan memuakkan, bau yang mengandung racun pula.
Cui Sian terkejut bukan main. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menahan nafas sambil mengerahkan sinkang melawan bau yang sangat memuakkan itu. Akan tetapi karena di lain pihak ia diserang hebat oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dan diancam pula oleh semburan ular-ular beracun, berkali-kali perhatiannya terpecah dan tanpa sengaja ia menyedot dan terserang bau amis itu.
Kepalanya mulai pening, pandang matanya berputaran. Pedangnya masih dia gerakkan secara cepat, diputar-putar melindungi tubuhnya. Akan tetapi akibat matanya makin lama semakin gelap, akhirnya dia terkena tusukan ujung pedang Ouwyang Lam yang melukai pundaknya.
Dengan hati merasa muak Siu Bi memandang dan hatinya merasa ngeri juga karena sebentar lagi dia akan menyaksikan gadis perkasa itu roboh mandi darah dan dikeroyok ular-ular hijau. Untuk menolong, dia tidak sudi karena bukankah gadis perkasa itu masih sahabat bahkan saudara seperguruan dengan musuh besarnya?
la harus membenci gadis itu, biar pun perasaan hatinya tak memungkinkannya menaruh rasa itu, bahkan ada rasa kagum di lubuk hatinya. Namun, dia harus membenci semua yang ‘berbau’ Pendekar Buta! Betapa pun juga, rasa bencinya yang dipaksakan ini tidak melebihi rasa tidak senangnya terhadap Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam yang dia anggap berjiwa pengecut dan curang, sama sekali tidak memiliki sifat-sifat gagah sedikit pun juga.
"Tranggg! Tranggg!" Bunga api berpijar.
Ang-hwa Nio-nio, juga Ouwyang Lam, melompat ke belakang, kaget bukan main karena pedang mereka tersambar sinar hitam, telapak tangan mereka menjadi sakit dan hampir mereka terpaksa melepaskan pedang. Sinar hitam masih terus berkelebatan dan matilah ular-ular yang berada di sekeliling Cui Sian dalam jarak dua meter!
Siu Bi melompat kaget ketika melihat laki-laki yang memegang pedang bersinar hitam itu. Itulah pedangnya dan laki-laki itu bukan lain adalah Yo Wan!
"Kau...?!?" serunya, kaget dan heran.
Yo Wan cepat merangkul pundak Cui Sian yang terhuyung dan tidak ingat diri dengan Liong-cu-kiam masih tergenggam erat-erat. Kemudian Yo Wan menoleh ke arah Siu Bi, tersenyum getir dan melemparkan Cui-beng-kiam. "Nona, ini pedangmu kukembalikan. Terimalah!"
Pedang itu melayang dengan gagang di depan ke arah Siu Bi yang menangkapnya dengan mudah. Mata gadis ini terbelalak memandang. Entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, melihat Yo Wan memondong tubuh Cui Sian yang pingsan itu dan melangkah pergi dengan cepat, hatinya menjadi panas dan marah!
Sementara itu, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam sejenak tercengang. Heran mereka mengapa hari ini, setelah Siu Bi muncul pula orang-orang muda yang amat lihai, padahal orang-orang muda ini sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw.
Namun, melihat betapa pemuda sederhana berpakaian putih itu memondong tubuh Cui Sian yang pingsan, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam menjadi marah. Sambil berseru keras Ang-hwa Nio-nio melompat diikuti oleh Ouwyang Lam.
"Jahanam, jangan harap dapat keluar dari Ching-coa-to dalam keadaan bernyawa!" seru Ang-hwa Nio-nio.
Tangannya bergerak dan sinar kemerahan meluncur ke arah punggung Yo Wan. Itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang ampuh serta tak kalah jahatnya dengan Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang dahulu dimiliki oleh majikan pulau itu.
Kedua-duanya memang merupakan senjata rahasia yang ampuh dan sekali menyentuh kulit dan menimbulkan luka, korban itu takkan tertolong lagi nyawanya. Akan tetapi, tentu saja Ang-hwa Nio-nio lebih lihai dalam menggunakan senjata halus ini karena memang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada mendiang Ching-toanio. Oleh karena itu pelepasan jarum-jarum itu amat berbahaya.
Bagi si penyambit dan orang lain, jarum-jarum yang sudah berubah menjadi segulungan sinar merah itu agaknya pasti akan mengenai punggung Yo Wan yang lari memondong tubuh Cui Sian. Akan tetapi, aneh bin ajaib akan tetapi nyata terjadi, pemuda itu masih berlari-lari dan jarum-jarum itu melayang ke depan, hilang di antara pepohonan, sama sekali tidak menyentuh baju Yo Wan!
Hal ini sebenarnya tidak mengherankan, oleh karena dalam larinya, Yo Wan yang selalu berhati-hati, apa lagi maklum bahwa dia dikejar orang-orang pandai, telah menggunakan langkah ajaib Si-cap-it Sin-po. Dengan langkah-langkah ajaib ini, apa lagi ditambah oleh pendengarannya yang sangat tajam karena terlatih sehingga dia dapat mendengar angin sambaran senjata rahasia, tentu saja dengan mudah dia dapat menghindarkan serangan gelap dari belakang.
Betapa pun lihainya Yo Wan, dia adalah seorang asing di pulau itu, sama sekali tidak mengenal jalan. Dia hanya berlari dengan tujuan ke pantai telaga, karena itu dalam kejar mengejar ini sebentar saja Ouwyang Lam serta Ang-hwa Nio-nio yang mengambil jalan memotong dapat menyusulnya. Bahkan dua orang ini tahu-tahu sudah muncul di depan, menghadang larinya Yo Wan!
Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Tadinya dia tidak ingin bertempur, apa lagi dengan tubuh gadis itu dalam pondongannya. Akan tetapi agaknya dia tak dapat menghindarkan pertempuran kalau menghendaki selamat.
Segera dia meraih pedang di tangan gadis itu yang walau pun dalam keadaan pingsan masih memegangnya erat-erat. Sekali renggut dia dapat merampas pedang ini dan tepat di saat itu, pedang Ang-hwa Nio-nio serta pedang Ouwyang Lam sudah menyerangnya dengan ganas.
Yo Wan memondong tubuh Cui Sian dengan lengan kirinya. Tangan kanannya memutar pedang dan sekali bergerak dia berhasil menangkis dua pedang lawannya. Pertempuran hebat segera terjadi dan karena tiga batang pedang itu kesemuanya merupakan pedang-pedang pusaka, maka berhamburanlah bunga api setiap kali ada pedang beradu.
”Uuhhh..." Cui Sian mengeluh meronta.
Yo Wan yang memondongnya cepat-cepat melepaskan nona itu sambil menariknya ke belakang agar menjauh dari sinar pedang dua orang pengeroyoknya.
"Nona, kau sudah kuat betul?"
Cui Sian adalah seorang gadis yang sudah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil. Sinkang di tubuhnya sudah amat kuat, maka pengaruh racun tadi tidak lama menguasai dirinya. Setelah siuman hanya sejenak ia nanar, akan tetapi segera teringat akan segala pengalamannya dan seketika dia maklum bahwa pemuda yang dikeroyok oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dengan mempergunakan pedangnya secara aneh itu adalah penolongnya.
"Sudah, terima kasih. Harap kau kembalikan pedangku dan biarkan aku melawan mereka yang curang ini!"
Yo Wan menggunakan tenaganya menangkis dan sekaligus menerjang ganas sehingga dua orang lawannya terpaksa menghindar ke belakang. Kesempatan ini dia pergunakan untuk mengembalikan pedang Liong-cu-kiam kepada pemiliknya. Dengan hati gemas Cui Sian lalu memutar pedang itu dan menerjang kedua orang lawannya.
"Nona, tidak baik mengacau tempat orang lain, lebih baik lari selagi ada kesempatan," kata Yo Wan sambil mencabut pedang kayu dari balik jubahnya.
Pemuda ini sebetulnya mempunyai sebatang pedang pusaka pula, yaitu pedang pusaka pemberian isteri Pendekar Buta. Akan tetapi dia tidak pernah mempergunakan pedang ini dan hanya menggunakan pedang kayu cendana yang dibuatnya sendiri di Pegunungan Himalaya. Ilmu batin yang dalam dipelajarinya dari Bhewakala membuat hatinya dingin terhadap pertempuran dan permusuhan, maka dia tak akan menggunakan senjata tajam untuk menyerang orang apa bila keselamatannya sudah cukup dilindungi dengan pedang kayunya.
Serangan Cui Sian yang dahsyat diterima Ouwyang Lam. Ang-hwa Nio-mo menghadapi Yo Wan yang dia tahu malah lebih lihai dari pada puteri Raja Pedang itu. Bukan main kaget, heran, dan kagumnya pada saat dia mendapat kenyataan bahwa pedang kayu di tangan pemuda itu sanggup menahan senjata pusakanya, Ang-hwa-kiam! Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan muda yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, merupakan lawan yang amat berat.
Ada pun Ouwyang Lam yang kini menghadapi Cui Sian sendirian saja, dalam beberapa gebrakan sudah nampak terdesak hebat. Untung baginya, Cui Sian dapat menangkap kata-kata Yo Wan.
Gadis ini diam-diam membenarkan bahwa tiada gunanya melanjutkan pertempuran. Biar pun dia akan dapat menangkan pemuda ini, akan tetapi tempat itu merupakan sebuah pulau yang terkurung air, dan anak buah Ang-hwa-pai amat banyak. Selain ini, pulau itu sangat berbahaya dengan ular-ularnya, juga Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya pandai menggunakan racun-racun jahat. Melanjutkan pertempuran hanya berarti mengundang bahaya bagi diri sendiri. la pribadi tidak mempunyai urusan, apa lagi permusuhan dengan orang-orang ini, apa perlunya bertempur mati-matian?
"Kau benar, Sahabat, mari kita pergi!” katanya.
Yo Wan kagum dan girang sekali. Gadis ini ternyata seorang yang berpengalaman dan berpandangan jauh, alangkah bedanya dengan Siu Bi yang tindakannya amat sembrono. Mereka berdua lalu melompat jauh ke belakang, kemudian lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju ke pantai.
Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu menangkan dua orang itu, maka mereka tidak mengejar. Ang-hwa Nio-nio dengan muka keruh memberi tanda rahasia dengan suitan nyaring kepada anak buahnya agar supaya menghalangi kedua orang musuh itu, dan berusaha menangkap mereka di dalam air.
Akan tetapi, Yo Wan dan Cui Sian sudah melompat ke sebuah perahu kecil dan begitu mereka menggerakkan dayung di kanan kiri perahu, tidak mungkin lagi ada anak buah Ang-hwa-pai yang akan dapat mengejar mereka. Perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa karena digerakkan oleh tangan-tangan sakti, maka gagallah harapan terakhir Ang-hwa Nio-nio untuk menangkap mereka dengan cara menggulingkan perahu.
Ketika dua orang ini kembali ke tengah pulau, ternyata Siu Bi sudah lenyap, tidak berada di situ lagi. Ouwyang Lam kelabakan dan mencari-cari, memanggil-manggil, namun gadis yang dicarinya tidak ada, karena memang dalam keributan tadi, diam-diam Siu Bi sudah lari meninggalkan pulau itu.
Setelah kedua orang muda pelarian itu melompat ke darat dengan selamat, barulah Cui Sian sempat berhadapan dengan Yo Wan. Dengan perasaan kagum gadis ini kemudian menjura memberi hormat yang dibalas cepat-cepat oleh Yo Wan.
"Hari ini saya, Tan Cui Sian, menerima bantuan yang amat berharga dari sahabat yang gagah perkasa. Saya amat berterima kasih dan bolehkah saya mengetahui nama dan julukan sahabat yang mulia?"
Akan tetapi orang yang ditanya membelalakkan kedua matanya, lalu menatap wajah Cui Sian penuh selidik. Kadang-kadang kepala pemuda itu miring ke kanan, kadang-kadang ke kiri, wajahnya membayangkan rasa keheranan dan kegirangan yang besar.
Cui Sian mengerutkan alisnya, dan kecewalah hatinya. Apakah pemuda yang tadinya ia anggap luar biasa, gagah perkasa dan sederhana ini sebenarnya seorang laki-laki yang kurang ajar? Kedua pipinya mulai menjadi merah, pandang matanya yang penuh kagum dan hormat mulai berapi-api.
Akan tetapi semua ini buyar seketika dan berubah menjadi keheranan ketika pemuda itu tertawa bergelak dengan amat gembira, kemudian seperti orang gila hendak memegang tangannya sambil berseru,
"Ya Tuhan...! Benar sekali, tidak salah lagi... ahhh, kau Cui San... ehh, maksudku, kau... ehhh, Tan-siocia (nona Tan). Ha-ha-ha, sungguh hal yang tidak tersangka-sangka sama sekali. Serasa mimpi!"
Tentu saja Cui Sian tidak membolehkan tangannya dipegang. Dia mengelak dan dengan suara ketus dia bertanya, "Apa artinya ini? Siapa kau dan apa kehendakmu?"
"Ha-ha-ha, tidak aneh kalau Anda lupa, sudah lewat dua puluh tahun! Nona Tan, saya adalah Yo Wan!"
"...Yo Wan..? Yang mana... siapa...?" Cui Sian mengingat-ingat.
"Wah, sudah lupa benar-benar? Saya A Wan, masa lupa kepada A Wan yang dahulu pernah... ha-ha-ha, pernah menggendongmu, bermain-main di Liong-thouw-san bersama kakek Sin-eng-cu Lui Bok?"
Mendadak wajah yang ayu itu berseri, matanya bersinar-sinar dan kini Cui Sian yang melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu. "A Wan! Ahh, tentu saja aku ingat...! A Wan, kau... kau A Wan? Ahh, siapa duga..."
Sejenak jari-jari tangannya menggenggam tangan pemuda itu, namun segera dilepasnya kembali dan kedua pipinya menjadi merah. "...ahhh... ehh, sungguh tidak sangka... siapa kira kau sendiri yang akan menolongku? Tentu saja aku tak dapat segera mengenalmu, kau sekarang menjadi begini... begini, gagah perkasa dan lihai. Benar-benar aku kagum sekali!"
Wajah Yo Wan juga menjadi merah karena jengah dan malu, biar pun hatinya berdebar girang dengan pujian itu. "Kaulah yang hebat, Nona... tidak mengecewakan kau menjadi puteri Raja Pedang Tan-locianpwe ketua Thai-san-pai."
"A Wan, di antara kita tak perlu pujian-pujian kosong itu, dan apa artinya kau menyebut nona kepadaku? Namaku Cui Sian, kau tahu akan ini. Aku mendengar dari ayah bahwa Pendekar Buta hanya mempunyai seorang murid, yaitu engkau, akan tetapi mengapa gerakan pedangmu tadi... serasa asing bagiku?"
Yo Wan menarik nafas panjang, "Memang sebetulnya aku adalah murid suhu Kwa Kun Hong, akan tetapi... aneh memang, aku menerima pelajaran ilmu dari orang lain, yaitu dari mendiang Sin-eng-cu locianpwe dan mendiang Bhewakala locianpwe."
Sejenak kedua orang muda ini berdiri saling pandang. Yo Wan kagum, sama sekali tidak mengira bahwa bocah perempuan yang dulu itu, yang sering digodanya akan tetapi juga sering dia ajak bermain-main di Pegunungan Liong-thouw-san, dia carikan kembang atau dia tangkapkan kupu-kupu, pernah ketika gadis ini jatuh dia gendong di belakang, bocah yang dahulu itu sekarang telah menjadi seorang gadis yang begini hebat. Berkepandaian amat tinggi, berpandangan luas, bersikap gagah perkasa, wajahnya cantik sekali, bentuk tubuhnya langsing dan luwes. Pendeknya, seorang dara yang hebat.
Cui Sian segera menundukkan muka. Kedua pipinya menjadi makin merah, jantungnya berdegupan secara aneh. Mengapa dadanya bergelora, jalan darahnya berdenyar serta kepalanya menjadi pening? Mengapa ia yang tadinya berani menghadapi siapa pun juga dengan hati terbuka, tabah dan tidak pemalu, sekarang tiba-tiba merasa amat canggung dan malu terhadap pemuda ini, yang sama sekali bukanlah seorang asing baginya? Dia merasa benar-benar bingung dan tidak mengerti. Belum pernah Cui Sian merasakan hal seperti ini.
Biasanya dia amat pandai membawa diri, pandai bicara dan tidak canggung meski pun berhadapan dengan siapa pun juga. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan A Wan yang kini telah berubah menjadi seorang lelaki yang berpakaian sederhana, wajah yang membayangkan kematangan jiwa, dengan kepandaian yang sudah terbukti amat tinggi, ia benar-benar kehilangan akal!
"Non... eh, adik Cui Sian. Bagaimanakah kau bisa tersesat ke pulau yang menjadi sarang orang-orang jahat berbahaya itu? Bukankah kau masih tetap tinggal di Thai-san bersama orang tuamu?"
Di dalam hatinya Yo Wan menghitung-hitung dan dapat menduga bahwa usia Cui Sian tentu sekitar dua puluh tiga tahun. Dalam usia demikian, sudah semestinya kalau puteri ketua Thai-san-pai ini telah menjadi isteri orang. Mungkin suaminya tinggal tak jauh dari tempat ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya secara langsung dan karenanya dia bertanya dengan cara memutar.
Cui Sian amat cerdik. la setengah dapat menduga isi hati Yo Wan, maka cepat-cepat ia menjawab, "Aku masih tinggal dengan ayah bundaku di Thai-san dan sekarang ini... aku memang sedang merantau, turun gunung. Kebetulan di telaga ini aku bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai yang dihina orang-orang Ang-hwa-pai. Karena Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar dan kenalan baik ayahku, maka aku tidak tinggal diam dan membantu mereka. Siapa sangka, dengan cara amat curang Ang-hwa-pai menawanku..." selanjutnya dengan singkat ia menceritakan pengalamannya di telaga itu.
"Baiknya bagaikan dari langit turunnya, muncul engkau sehingga aku dapat terbebas dari maut. Kau sendiri, bagaimana bisa kebetulan berada di sini? Apakah tempat tinggalmu sekarang dekat-dekat sini... ehh, Twako? Kau lebih tua dari padaku, sepatutnya kusebut twako, Yo-twako!"
Yo Wan tersenyum. "Memang sebaiknya begitulah, Sian-moi (adik Sian). Tadi kau tanya tentang tempat tinggalku? Ahh, aku tiada tempat tinggal, juga tiada sanak kadang, hidup sebatang kara dan merantau tanpa tujuan."
"Oohhh..." Cui Sian menghela nafas dan hatinya pun berbisik, "Dia masih... sendiri, seperti aku, dia kesepian, seperti aku pula." Dengan kepala tunduk Cui Sian lalu mendengarkan cerita Yo Wan.
"Datangku ke Ching-coa-to hanya kebetulan saja, gara-gara... seorang gadis yang aneh. Dia lihai, wataknya aneh, akan tetapi sebetulnya berjiwa gagah." Secara singkat Yo Wan bercerita tentang pertemuannya dengan Siu Bi, betapa gadis lincah galak itu karena menolong para petani yang tertindas, dimasukkan dalam tahanan, kemudian dia bantu membebaskannya.
"Dia aneh sekali," Yo Wan menutup ceritanya, "tanpa sebab dia menguji kepandaian denganku, tetapi kemudian setelah terdesak, ia melarikan diri, meninggalkan pedangnya. Aku lalu mengejarnya untuk mengembalikan pedang, dan ternyata jejaknya membawaku ke Ching-coa-to dan agaknya bukan dia yang membutuhkan pertolongan, melainkan kau yang sama sekali tak pernah kuduga!"
Cui Sian mengangguk. "Dia memang seorang gadis gagah, sayang dia bergaul dengan orang-orang jahat dari Ang-hwa-pai. Bagaimana pun juga, dia telah menolongku dengan mengembalikan pedangku ketika aku dikeroyok ular."
"Aku pun heran sekali, sepak terjangnya gagah. Akan tetapi bagaimana dia bisa berada di sana? Ahh, agaknya dia memang memiliki hubungan dengan Ang-hwa-pai... sungguh tak kuduga sama sekali!" Wajah Yo Wan membayangkan kekecewaan besar.
Diam-diam Cui Sian yang menaruh perhatian, perasaannya tertusuk. Menurut cerita Yo Wan tadi, pemuda ini baru saja bertemu dengan Siu Bi, akan tetapi agaknya telah begitu tertarik dan amat memperhatikan keadaannya. Cui Sian mencoba untuk membayangkan wajah Siu Bi. Gadis yang masih muda sekali, cantik jelita, akan tetapi memiliki sifat-sifat keras dan ganas.
"Agaknya dia hanya seorang tamu di sana. Sepanjang dugaanku ketika aku dikeroyok di sana, dia tetap tidak sudi melakukan pengeroyokan biar pun mereka belum juga berhasil merobohkan aku. Ini saja menjadi tanda bahwa dia berbeda dengan orang-orang pulau itu. Akan tetapi, jika ia selalu berdekatan dengan mereka, akhirnya ia pun mungkin akan rusak..."
Tiba-tiba saja Cui Sian dan Yo Wan bergerak berbareng, melompat ke arah gerombolan pohon di sebelah kiri.
Siu Bi muncul dari balik pohon, pedang Cui-beng-kiam di tangan. Wajahnya keruh dan matanya berapi-api memandang Cui Sian yang menjadi tercengang setelah mengenal siapa orangnya yang bersembunyi di balik pohon-pohon itu. Juga Yo Wan tercengang, sama sekali tidak disangkanya bahwa Siu Bi sudah menyusul.
Sebetulnya bukan menyusul, malah Siu Bi lebih dulu meninggalkan Ching-coa-to. Ketika melihat Yo Wan menolong Cui Sian dan memondongnya pergi, hatinya menjadi panas dan tak senang. la marah-marah, dia sendiri tidak tahu marah kepada siapa, pendeknya ia amat marah, kepada siapa saja. Kepada Ouwyang Lam, kepada Ang-hwa Nio-nio dan kepada semua penghuni Ching-coa-to.
Diam-diam ia lalu pergi dari situ, menggunakan sebuah perahu dan mendayungnya cepat ke darat. Tak ada seorang pun anggota Ang-hwa-pai melihatnya karena mereka sedang bingung dan bersiap-siap melakukan pengepungan terhadap musuh apa bila diperintah. Andai ada yang melihatnya pun, mereka tentu tak akan berani mengganggu. Bukankah gadis ini sudah menjadi ‘orang sendiri’ dan sahabat baik kongcu?
Setibanya di darat, Siu Bi duduk termenung dan ketika melihat munculnya perahu yang didayung cepat oleh Cui Sian dan Yo Wan, ia cepat bersembunyi di balik pepohonan dan sempat mendengarkan percakapan mereka. Ucapan-ucapan terakhir yang menyinggung dirinya membuat ia tak dapat tenang, sehingga gerakannya segera dapat ditangkap oleh pendengaran Cui Sian dan Yo Wan yang amat tajam dan terlatih.
"Kalian berdua adalah orang-orang yang tak tahu malu! Kalau memang berani, hayo kita bermain pedang, kalau perlu boleh aku kalian keroyok dua. Apa perlunya bermain mulut, menggoyang lidah tak bertulang?"
"Eh-eh-ehh, Nona. Datang-datang kau marah besar tidak karuan, ada apakah?" Yo Wan mengangkat kedua alisnya, bertanya.
Cui Sian juga memandang heran dan diam-diam ia harus akui akan kebenaran kata-kata Yo Wan tadi, betapa aneh watak dara remaja itu. Akan tetapi diam-diam dia juga harus mengakui, betapa cantik moleknya Siu Bi.
"Marah-marah tidak karuan? Pandai memutar balikkan fakta!" Siu Bi membentak marah sekali, pedangnya yang terhunus itu ia acung-acungkan. "Kalian yang mengumbar mulut jahat, menggoyang lidah membicarakan orang semaunya dan tidak karuan! Hayo mau bilang apa sekarang, apakah kalian kira aku tak mendengarkan kasak-kusuk kalian yang busuk? Apakah ini sikap orang-orang gagah, laki-laki dan wanita kasak-kusuk di tempat sunyi, membicarakan orang lain?"
Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Tadinya ia kagum dan suka kepada Siu Bi, apa lagi dara remaja itu sudah menolongnya di Ching-coa-to. Akan tetapi ucapan yang galak ini benar-benar menyinggung hatinya, karena mengandung sindiran tentang dia berdua Yo Wan.
"Nanti dulu, adik yang baik. Kami memang telah bicara tentang dirimu, akan tetapi bukan membicarakan hal yang buruk..."
"Cih! Bicarakan hal buruk atau pun baik, aku melarang kalian bicara tentang diriku! Apa peduli kalian kalau aku rusak atau tidak? Apa sangkutannya kalian dengan apa yang aku lakukan, dengan siapa aku bergaul? Huh, sekarang aku sudah rusak, nah, kalian mau apa? Puteri Raja Pedang, hayo cabut pedangmu, kita bertanding sampai selaksa jurus, yang kalah boleh mampus!"
"Siu Bi...!" dalam kagetnya Yo Wan lupa menyebut ‘nona’. Dia takut gadis aneh ini akan kumat (kambuh) lagi penyakitnya, tiada hujan tiada angin menantang orang bertanding. "Sungguh mati, Sian-moi (adik Sian) sama sekali tidak bicara buruk tentang..."
"Diam kau! Atau kau hendak membela moi-moi-mu yang manis ini? Boleh, boleh, kau boleh maju sekalian mengeroyokku. Aku tidak takut!"
Celaka benar, pikir Yo Wan kewalahan. Tanpa sengaja dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Melihat ini, Cui Sian menahan senyumnya. Gadis ini sudah cukup berpengalaman, cukup bijaksana sehingga dia tidak terseret ke dalam gelombang kemarahan akibat sikap gadis muda yang liar ini.
Akan tetapi hatinya terasa perih. Dia harus mengakui bahwa dalam pertemuan yang tidak terduga-duga dengan Yo Wan ini, hatinya yang selama ini tegak, kini menunduk, runtuh oleh kesederhanaan, kegagahan dan wajah Yo Wan. Akan tetapi berbareng ia pun dapat menduga bahwa pemuda yang menjatuhkan hatinya ini agaknya mencinta Siu Bi, dan kini, melihat sikap Siu Bi ia dapat menduga bahwa gadis remaja ini menjadi marah-marah seperti itu karena cemburu dan cemburu adalah sahabat cinta!
Dengan suara lembut dia lalu berkata, "Bertanding sih mudah, memang bermain pedang merupakan kesenanganku. Akan tetapi, aku selamanya tak sudi bertanding tanpa alasan tepat. Di pulau tadi, kau tidak mau mengeroyokku, malah kau telah membantuku dengan mengembalikan pedang ini. Sekarang kau menantangku, apa alasannya?"
"Peduli apa dengan alasan? Kalau memang kau berani, hayo lawan aku!"
"Berani sih berani, adik yang manis. Akan tetapi tanpa alasan, aku tidak mau bertempur dengan kau atau pun dengan siapa juga."
Panas hati Siu Bi. Gadis ini demikian tenang, demikian sabar. Tentu akan kelihatan amat baik hati dalam pandang mata Yo Wan! Atau agaknya karena di hadapan pemuda itulah maka gadis ini bersikap begitu sabar dan tenang, biar dipuji!
"Kau mau tahu alasannya? Karena kau puteri Raja Pedang, maka kutantang kau!”
"Itu bukan alasan, Biar ayahku berjuluk Raja Pedang, tapi kau tidak kenal dengan ayah, tak mungkin bermusuhan dengan ayah, mana bisa dijadikan alasan?"
"Aku memusuhi ayahmu!"
"Ihhh, kenapa?"
"Karena ayahmu sahabat baik, bahkan gurunya Pendekar Buta!"
"Ahhh...!" Yo Wan yang mengeluarkan suara ini dan makin panas hati Siu Bi.
Apakah nama Pendekar Buta demikian besar dan hebatnya sehingga Yo Wan juga kaget ketika mendengar dia memusuhi Pendekar Buta? Karena panasnya hati, ia melanjutkan, suaranya lantang dan ketus.
"Aku telah bersumpah, akan kubuntungi lengan Pendekar Buta, juga isterinya dan semua keturunannya, dan tentu saja semua sahabat baiknya adalah musuhku. Ayahmu Si Raja Pedang sahabat Pendekar Buta, kau pun tentu sahabatnya, maka kau musuhku. Hayo, berani tidak? Tak sudi aku bicara lagi!"
Wajah Yo Wan seketika menjadi pucat mendengar ini. Cui Sian maklum akan hal ini dan dapat merasakan juga pukulan hebat yang diterima pemuda itu. la tahu bahwa Pendekar Buta adalah penolong dan guru Yo Wan yang amat dikasihi, dan agaknya baru sekarang pemuda ini mendengar kenyataan yang amat menusuk perasaan, yaitu kenyataan bahwa gadis lincah dan liar ini adalah musuh besar Pendekar Buta.
Oleh karena itu, Cui Sian hanya tersenyum masam dan memberi kesempatan kepada Yo Wan untuk menguasai perasaannya yang tertikam. la tidak ingin menambah penderitaan Yo Wan dengan melayani kenekatan Siu Bi. Sesudah berhasil menekan perasaannya yang kacau balau, Yo Wan segera melangkah maju. Matanya memandang tajam kepada Siu Bi ketika dia berkata,
"Nona, kau... kau benar-benar sudah tersesat jauh sekali! Harap kau singkirkan jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu, tidak mungkin itu... Beliau adalah seorang pendekar yang berbudi, seorang gagah perkasa dan bijaksana yang tiada duanya di dunia ini. Aku tak percaya bahwa kau pernah dibikin sakit hati oleh Pendekar Buta. Mana mungkin kau bersumpah hendak membuntungi lengannya dan lengan keluarganya? Tak mungkin ini!”
"Hemmm, begitukah pendapatmu? Kiranya kau hanya berpura-pura berlaku baik padaku karena hendak mengubah kehendakku? Tidak mungkin ini! Aku sudah mempertaruhkan nyawaku. Biar Pendekar Buta seorang yang memiliki tiga buah kepala dan enam buah lengan, aku tidak akan mundur setapak pun. Boleh jadi dia pendekar besar, boleh jadi dia berbudi dan bijaksana terhadap orang lain, akan tetapi terhadap mendiang kakek Hek Lojin, sama sekali tidak! Lengan Kakek Hek Lojin menjadi buntung oleh Pendekar Buta, dan karena itu, aku bersumpah hendak membalaskan sakit hati ini, aku telah bersumpah akan membuntungi lengan..."
"Jangan... jangan kau berkata begitu...,” Yo Wan melompat dan laksana seorang gila dia menggunakan tangannya mendekap mulut Siu Bi!
"Ahhh... aku... uppp, lepaskan… lepaskan...!"
Siu Bi tentu saja meronta ronta, berusaha memukulkan gagang pedangnya, bahkan dia lalu membalikkan pedangnya hendak menusuk. Akan tetapi Yo Wan sudah memegangi lengannya dan dia sama sekali tidak dapat melepaskan diri.
Diam-diam Cui Sian menjadi terharu sekali, berseru nyaring, "Yo-twako, aku pergi dulu ke Liong-thouw-san."
la melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. la memang seorang gadis yang luas dan tajam pikirannya, dapat menggunakan pikiran mengatasi perasaan hatinya. Cui Sian maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, lebih baik kalau dia pergi meninggalkan dua orang itu.
Siu Bi sedang dikuasai rasa cemburu dan tentu akan makin menggila dan menantangnya sehingga dia khawatir kalau-kalau dia akhirnya tidak kuat menahan kesabarannya. Juga, tak mungkin ia dapat memukul Siu Bi, pertama karena gadis liar itu pernah menolongnya, kedua kalinya karena ia tidak mempunyai permusuhan dengannya.
la pernah mendengar nama Hek Lojin dari ayah ibunya, dan maklum bahwa Hek Lojin adalah seorang tokoh hitam yang amat jahat seperti iblis, juga berilmu tinggi. Siapa duga, gadis yang tadinya dia sangka seorang gadis gagah perkasa itu, kiranya cucu murid Hek Lojin. Pantas demikian aneh dan liar seperti setan!
Yo Wan sedang gugup, bingung, berduka dan kecewa. Karena itulah maka dia hanya menyesal sebentar bahwa Cui Sian pergi dalam keadaan seperti itu. Baru setelah Siu Bi mengeluarkan suara seperti orang menangis terisak, dia sadar akan perbuatannya yang luar biasa ini.
Dia sedang merangkul Siu Bi, mendekap mulutnya dan memegangi lengannya. Setelah sadar, dengan tersipu-sipu ia cepat melepaskan pegangannya. Mukanya sebentar merah sebentar pucat.
"Kau... kau... mau kurang ajaran, ya? Kau mengandalkan kepandaianmu? Karena kau sudah dapat menangkan aku, kau lalu mengira boleh berbuat sesukamu kepadaku? Kau laki-laki kurang ajar, kau laki-laki sombong, kau... kau... jangan kira aku takut, kau harus mampus...!" Serta merta Siu Bi menerjang dengan pedangnya.
Tentu saja Yo Wan cepat mengelak dan berkata, "Siu Bi... ehh, Nona..., tunggu dulu...”
"Tunggu apa lagi? Tunggu kau kurang ajar lagi? Kau merangkul-rangkul aku, mendekap mulutku, siapa beri ijin? Kurang ajar! Kau kira aku sama seperti Cui Sian, kau kira aku akan tergila-gila kepadamu, karena kau tampan, karena kau gagah, karena kau lihai? Cih, tak bermalu!" Pedangnya menusuk leher dan kembali Yo Wan mengelak.
"Sabar...!" Dia sempat berkata, tetapi cepat mengelak lagi karena sinar pedang hitam itu sudah menyambar. "Siu Bi, jauh-jauh aku mengejarmu, di sepanjang jalan penuh gelisah setelah menemukan sapu tanganmu ini..." la mencabut sapu tangan kuning dari sakunya. "Kukira kau terancam bahaya maut... kiranya kau menyambutku dengan serangan nekat begini. Aku takut kau terancam bahaya, kau malah ingin aku mati..."
"Makan ini!" kembali pedang Siu Bi menyambar, kini menyabet ke arah hidung.
Cepat Yo Wan meloncat dan menggerakkan kedua kakinya dengan langkah ajaib karena penyerangan gadis itu benar-benar tak boleh dipandang rendah.
"Kau mau menggunakan lidah tak bertulang? Jangan coba bujuk aku, he... Jaka Lola tak tahu diri. Kau bilang gelisah memikirkan aku, tetapi kenyataannya, dengan menyolok kau hanya datang untuk membantu Cui Sian. Wah, kau gendong-gendong dia. Mesra, ya? Cih, tak bermalu! Sekarang kau hendak membela Pendekar Buta lagi? Nah, matilah!"
Mau tidak mau Yo Wan tersenyum geli. Gadis ini memang luar biasa aneh. Tapi... tapi... agaknya marah-marah karena dia telah menolong Cui Sian? Hatinya berdebar. Benarkah dugaannya ini? Benarkah Siu Bi tak senang dia menolong gadis lain? Cemburu? Susah berurusan dengan gadis yang begini galak, pikirnya.
"Nanti dulu, Siu Bi, berhenti dulu...”
"Berhenti kalau kau sudah mati!" teriak Siu Bi.
Siu Bi mengirim tusukan cepat dan kuat sekali. Kalau terkena lambung Yo Wan, tentu pemuda itu akan di ‘sate’ hidup-hidup. Akan tetapi langkah ajaib menolong Yo Wan dan pedang itu meluncur lewat belakang punggungnya. Cepat dia memutar tubuh ke kiri dan tangan berikut gagang pedang itu sudah dikempit di bawah lengannya. Siu Bi tak dapat bergerak lagi!
"Nanti dulu, dengarkan dulu omonganku. Bila sudah dengar dan tetap menganggap aku salah, boleh kau sembelih aku dan aku Yo Wan tak akan mengelak lagi!"
Tangan kiri Siu Bi tadinya sudah bergerak hendak mengirim pukulan. Mendengar ucapan ini dia tampak ragu-ragu dan bertanya. "Betulkah itu? Kau tak akan mengelak lagi kalau nanti kuserang?"
"Tidak, tapi kau harus dengarkan dulu omonganku, bersabar dulu, jangan terlalu galak."
"Sumpah?"
"Sumpah...? Sumpah apa?"
"Sumpah bahwa kau tak akan melanggar janji?"
"Pakai sumpah segala?" Yo Wan melepaskan kempitannya dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. "Aku..."
"Tidak usah, bersumpah pun percuma! Mana bisa dipegang sumpah laki-laki? Sebagai gantinya sumpah, hayo bersihkan tanganku ini!" la mengasurkan tangannya ke depan.
Yo Wan melongo. "Bersihkan tanganmu? Kenapa?" la mengerutkan alisnya. Tak sudi dia demikian direndahkan, apakah dia akan diperlakukan sebagai seorang bujang?
Siu Bi merengut, marah lagi, terbayang pada matanya yang bersinar-sinar seperti akan mengeluarkan api.
"Memang kau tak bertanggung jawab, berani berbuat tak berani menanggung akibatnya. Kau tadi mengempit tanganku di ketiakmu, apa tidak kotor?"
Hampir saja Yo Wan meledak ketawanya, begitu geli hatinya sehingga perutnya terasa mengkal dan mengeras. Gadis ini benar-benar... ah, gemas dia, kalau berani tentu sudah dicubitnya pipi dara itu.
Tapi ia maklum bahwa gadis ini tidak berpura-pura, memang benar-benar bersikap wajar, sikap kanak-kanak yang nakal dan manja. Yo Wan lalu menggunakan ujung baju untuk menyusuti tangan yang berjari dan berkulit halus itu. Makin berdebar jantungnya hingga jari-jari tangannya agak gemetar ketika bersentuhan dengan jari-jari tangan Siu Bi yang ‘dibersihkan’.
Tiba-tiba Siu Bi merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Yo Wan. "Sudahlah...! Lama-lama amat membersihkan saja, agaknya kau memang senang pegang-pegang tanganku, ya?"
Tentu saja kedua pipi Yo Wan seketika menjadi merah sekali saking malu dan jengah mendengar teguran yang benar-benar tidak mengenal sungkan lagi ini akan tetapi yang langsung menusuk hati dengan tepatnya.
"Nah, sekarang kau omonglah! Awas, jika dari omonganmu ternyata kau masih bersalah terhadapku, pedangku akan menyembelih lehermu!" Mata Siu Bi memandang ke arah leher Yo Wan, penuh ancaman.
Akan tetapi Yo Wan sama sekali tidak merasa ngeri. Meski gadis ini merupakan kenalan baru, akan tetapi dia seperti telah mengenal luar dalam, sudah hafal akan wataknya yang memang aneh itu. Dia yakin bahwa sampai mati Siu Bi tak akan sudi melakukan hal itu, menyembelih orang yang tidak melawan seperti orang menyembelih ayam saja!
Dia tersenyum dan duduk di atas rumput. Ketika Siu Bi juga menjatuhkan diri duduk di depannya, dia merasa gembira dan lega hatinya, timbul kembali rasa aneh yang sangat bahagia di hatinya seperti ketika dia bersama gadis itu makan berdua menghadapi api unggun.
"Aku tidak berbohong, tak pernah membohong dan juga takkan suka membohong kalau akibat perbuatan itu aku merugikan orang lain." Yo Wan mulai dengan kata-kata memutar karena dia maklum bahwa menghadapi seorang seperti Siu Bi, ada perlunya sekali-kali membohong, maka dia tadi sengaja menambahi kata-kata ‘kalau akibat membohong itu akan merugikan lain orang’! "Pada waktu kau lari itu, pedangmu tertinggal. Aku menyesal sekali telah membikin kau marah dan kecewa, maka aku mengambil pedangmu dan lari mengejar. Celaka, kiranya ilmu lari cepatmu luar biasa sekali. Mana aku mampu untuk mengejar? Aku tidak dapat mengejarmu dan ketika kulihat sapu tangan ini... ada darah di situ... aku menjadi gelisah bukan main. Aku khawatir kalau-kalau kau terjatuh ke tangan orang jahat...”
"Memang aku terjatuh ke tangan orang jahat, anak buah Ang-hwa-pai yang menculikku setelah membuat aku pingsan dengan bubuk racun merah yang harum."
"Ahhh...! Sudah kukhawatirkan terjadi hal seperti itu...! Kemudian bagaimana?"
Siu Bi meruncingkan bibirnya. Yo Wan terpaksa meramkan kedua matanya melihat mulut yang kecil itu meruncing seperti hendak menusuk ulu hatinya. "Huh, yang mau omong ini engkau atau aku? Kaulah yang harus meneruskan omonganmu. Hayo, lalu bagaimana?"
Yo Wan tersenyum. Timbul lagi kegembiraannya. Ah, alangkah akan nikmat dan bahagia hidup jika bisa seperti ini terus. Heran dia, kenapa selalu terasa seperti ini, bunga-bunga makin indah, daun hijau makin segar, bahkan batang-batang pohon bentuknya menjadi penuh keindahan, semua hal aneh ini terjadi apa bila Siu Bi berada di dekatnya, dengan sikapnya yang nakal, aneh, menggemaskan dan kadang-kadang membingungkan.
"Aku lalu menyimpan sapu tangan pembungkus rambutmu ini yang... ehhh, yang harum baunya tapi ternoda darah... tadinya kusangka darahmu..."
"Bukan darahku. Kupukul seorang penjahat sampai berdarah. Pada waktu aku pingsan, agaknya dia sudah mengambil sapu tangan itu dan menggunakannya untuk mengusap darahnya..."
"Celaka..." pikir Yo Wan dan hidungnya dikernyitkan, alisnya berkerut.
"Ehhh, kenapa kau? Mukamu seperti... seperti monyet kalau begitu!"
Yo Wan tidak menjawab, hanya cemberut. Celaka, pikirnya. Teringat dia betapa kadang-kadang dia menciumi sapu tangan berdarah itu, mengira itu darah Siu Bi. Kiranya darah penjahat. Pantas baunya tak sedap.
"Sudahlah, sapu tanganku itu boleh kau miliki, teruskan omonganmu. Sampai di sini aku belum melihat kesalahan-kesalahan."
Belum ada kesalahan? Kesalahan besar yang patut diberi hukuman tamparan tiga kali, pikir Yo Wan.
"Aku mengejar terus sampai akhirnya aku berhenti di pinggir Sungai Fen-ho. Di sana aku dihadang oleh bajak sungai. Kukalahkan tiga orang itu, kutangkap seorang dan kupaksa mengaku. Dari bajak itulah aku tahu bahwa kau telah menjadi tawanan Ang-hwa-pai dan dibawa ke Ching-coa-to. Aku lalu melakukan pengejaran, akan tetapi karena aku belum mengenal jalan dan di sepanjang jalan harus berhenti untuk bertanya-tanya, maka tentu saja bajak itu sampai ke Ching-coa-to lebih dulu."
"Stop dulu! Awas, apakah pada bagian ini kau tidak membohong? Agaknya di jalan kau bertemu dengan Cui Sian dan itulah yang menyebabkan kau terlambat datang."
"Tidak sama sekali!"
"Kalau tidak, bagaimana bisa begitu kebetulan? Nah, lanjutkanlah,"
"Ketika mendarat di Ching-coa-to, aku sama sekali tidak tahu bahwa di situ ada Cui Sian, malah aku tidak pernah kenal siapa dia. Yang kukhawatirkan tentu saja kau, karena aku menyusul tergesa-gesa ke Ching-coa-to adalah karena hendak menolongmu."
"Hemmm..." Siu Bi menggerakkan mulut mengejek, tanda tak percaya. "Teruskanlah..." kata-kata ini membayangkan bahwa dia amat tertarik. Diam-diam Yo Wan geli hatinya.
"Tapi, ketika aku tiba di tempat pertempuran, aku melihat hal yang amat aneh dan sama sekali di luar dugaanku."
"Apa itu?"
"Ehh, kulihat kau yang kukhawatirkan setengah mati itu sedang berdampingan dengan seorang pemuda tampan dan ganteng, sama sekali kau tidak ditawan, apa lagi terancam! Sekali pandang saja aku maklum bahwa kau memang tidak membutuhkan pertolongan, maka perhatianku lalu tertarik oleh keadaan Cui Sian yang terancam bahaya maut. Tentu saja aku tidak bisa membiarkan orang-orang jahat menyiksa orang seperti itu, maka aku kemudian turun tangan menolongnya. Karena maklum bahwa berlama-lama di sana akan berbahaya, aku lalu membawa pergi Cui Sian yang masih pingsan, melarikan diri dengan perahu meninggalkan Ching-coa-to."
"Tanpa pedulikan aku lagi, ya?"
"Lho, kau kan tidak apa-apa! Aku sama sekali tidak merasa khawatir meninggalkan kau di sana karena agaknya kau tidak bermusuhan dengan orang-orang Ang-hwa-pai."
"Hemmm, tadi kau bilang tidak kenal Cui Sian, padahal sesudah kau dengan dia berada di sini, kalian bicara kasak-kusuk begitu mesra. Kau menyebutnya moi-moi segala!"
Yo Wan tersenyum dan mukahya menjadi merah. Benar-benar gadis ini belum mengenal sungkan, bicara secara blak-blakan tanpa malu-malu dan sungkan lagi, malah dia yang menjadi jengah dan untuk sejenak tak mampu menjawab.
"Pringas-pringis! Hayo beri keterangan, bagaimana? Atau, barangkali kau bohong ketika bilang tidak mengenal dia?"
"Begini, Nona..."
"Huh, aku yang lebih dulu kau kenal, masih kau sebut nona-nona segala. Dia baru saja kau jumpai, sudah kau sebut moi-moi. Coba pikir, bukankah hal ini sangat memanaskan perut?"
Senyum Yo Wan melebar. Benar-benar seperti anak kecil. "Kalau begitu, biar kusebut kau moi-moi. Aku tadinya takut menyebut kau moi-moi, kau begitu galak sih.”
”Siapa kegilaan dengan sebutanmu? Teruskan!”
"Begini sebenarnya. Ketika aku menolong Cui Sian, aku benar-benar tidak mengenal dia, dan aku menolong hanya karena tidak dapat berdiam diri saja melihat seorang wanita muda terancam maut. Akan tetapi sesudah kami berdua bercakap-cakap, baru aku tahu bahwa dia itu adalah seorang temanku bermain ketika kami masih kecil. Ketika itu dia baru berusia tiga empat tahun, dan aku berusia enam tujuh tahun. Tentu saja pertemuan yang tak terduga-duga itu menggembirakan dan kami bicara tentang masa lalu."
Siu Bi mengangguk-angguk, wajahnya agak berseri, tidak marah lagi seperti tadi.
"Dan kalian kasak-kusuk? Bicara tentang diriku, ya?"
"Tapi kami tidak bicara buruk. Cui Sian bukan macam gadis yang suka memburukkan orang lain."
"Aku tahu. Dia gagah perkasa memang. Tapi... tapi dia sahabatnya Pendekar Buta. Dan kau...!" Tiba-tiba Siu Bi berdiri, "Kau juga hendak membela Pendekar Buta? Mengapa? Kau siapa? Apamukah Pendekar Buta itu?"
"Eeittt, sabar dan tenanglah. Aku sama sekali tidak membelanya. Dengar baik-baik, Siu Bi Moi-moi. Aku mencegah kau memusuhi Pendekar Buta, sama sekali bukan dengan maksud lain kecuali untuk mencegah kau menghadapi bahaya maut. Kau tahu, Pendekar Buta adalah seorang yang teramat sakti, tak terkalahkan, dan mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat di dunia ini, sahabat-sahabat yang sakti-sakti pula. Karena itu, harap kau jangan sembarangan bicara dan ingat baik-baik lebih dulu sebelum memusuhinya, karena hal itu teramat berbahaya bagi keselamatanmu."
Sejenak Siu Bi termenung, kemudian matanya bersinar dan dia menyimpan pedangnya. Yo Wan menarik nafas panjang, dadanya lapang.
"Yo-twako... nah, aku pun menyebutmu Yo-twako, seperti Cui Sian tadi. Yo-twako..."
“Hemmm…”
"Waduh, kau senang ya kusebut Yo-twako?"
"Tentu saja senang, Bi-moi. Kau hendak berkata apa tadi?"
"Yo-twako, apakah kau suka kepadaku?"
"Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada anggota-anggota Ang-hwa-pai sehingga beberapa orang yang tadinya sudah bermaksud melepaskan anak panah, terpaksa membatalkan niatnya.
Siu Bi juga merasa gembira sekali. Dia sudah membuktikan bahwa dia suka membantu Ang-hwa-pai dan sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya, maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam menghadapi musuh besarnya.
"Adik Siu Bi, bagaimana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang indah ini? Akan kuperlihatkan kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana. Mari!"
Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-lari menghampiri sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Seperti dua orang anak-anak sedang bermain-main, mereka dengan gembira melepaskan perahu dan naik ke dalam perahu kecil itu. Ouwyang Lam mengambil dua buah dayung, lalu keduanya mendayung perahu itu ke tengah telaga, diikuti pandang mata penuh maklum oleh para anak buah Ang-hwa-pai.
"Wah, kongcu mendapatkan seorang kekasih baru," kata seorang anggota yang kurus kering tubuhnya, jelas dalam suaranya bahwa dia merasa iri.
"Hemmm, tapi yang satu ini sungguh tak boleh dibuat main-main. Ilmu kepandaiannya hebat. Saingan berat bagi pangcu...," kata temannya yang gendut.
"Sssttttt... apa kau bosan hidup?" cela si kurus sambil pergi ketakutan.
Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa gembira ketika mendayung perahu sekuat tenaga sehingga perahu itu meluncur seperti anak panah cepatnya. Pemuda itu menerangkan keadaan pulau dan Siu Bi beberapa kali berseru kagum. Memang bagus pulau ini, biar pun tidak berapa besar akan tetapi mempunyai bagian-bagian yang menarik. Ada bagian yang penuh bukit karang, ada bagian yang merupakan taman bunga yang amat indah.
"Lihat, di sana itu adalah pusat ular-ular hijau. Tidak ada musuh yang berani menyerbu ke Ching-coa-to, karena sekali kami melepaskan ular-ular itu, mereka akan menghadapi barisan ular yang lebih hebat dari pada barisan manusia bersenjata."
Siu Bi bergidik. Dia melihat banyak sekali ular-ular besar dan kecil berwarna hijau, keluar masuk di lubang-lubang batu karang. "Apakah binatang-binatang itu tidak berkeliaran di seluruh pulau dan membahayakan kalian sendiri?" tanyanya.
Ouwyang Lam tersenyum. "Kami mempunyai minyak bunga yang ditakuti ular-ular hijau itu. Sekeliling daerah batu karang telah kami sirami minyak dan para penjaga selalu siap menyiram minyak baru jika yang lama sudah hilang pengaruhnya. Dengan pagar minyak itu, ular hijau tidak berani berkeliaran."
"Tapi... apa perlunya memelihara ular sebanyak itu?"
"Sebetulnya tenaga mereka tidak berapa kami butuhkan. Hanya racunnya... hemm, racun mereka kami ambil dan Nio-nio amat pandai membuat obat dan senjata dari racun-racun itu."
"Ahhh... hebat kalau begitu!" Siu Bi berseru kagum.
Perahu digerakkan lagi.
"Lihat, di sana itu adalah taman bunga kami. Bukan main senangnya beristirahat di sana, hawanya nyaman, baunya harum dan keadaan di situ betul-betul dapat menenteramkan perasaan orang."
"Aduh, bagusnya... mari kita mendarat ke sana... wah, indahnya seruni-seruni di ujung sana itu. Beraneka warna dan sedang mekar...!"
Ouwyang Lam melirik dengan hati gembira ke arah nona cantik di sebelahnya ini. Betapa akan bahagianya bila tiba saatnya ia dapat bersenang-senang dengan gadis ini di taman, sebagai kekasihnya!
"Nanti saja, Moi-moi, kita keliling dulu dengan perahu. Karena kau menjadi orang sendiri, seluruh pulau dan isinya ini anggap saja tempatmu sendiri. Tetapi untuk dapat menikmati tempat kita ini, terlebih dahulu kau harus mengenal bagian-bagian yang berbahaya, yang indah dan lain-lain. Jangan khawatir, masih banyak waktu untuk kau bermain sepuasmu di dalam taman itu. Di sana terdapat beberapa pondok kecil yang nyaman dan aku akan minta pada Nio-nio agar kau diperbolehkan menempati sebuah di antara pondok-pondok di taman itu. Aku juga tinggal di sebuah di antara pondok-pondok kecil di sana."
Sambil berkata demikian, Ouwyang Lam melirik dengan tajam, ingin melihat bagaimana reaksi dari gadis itu. Akan tetapi, Siu Bi bersikap biasa saja, hanya dia sangat gembira mendengar ini, namun sama sekali tidak memperlihatkan tanda bahwa ia mengerti akan isyarat dalam ucapan Ouwyang Lam. Memang, dia adalah seorang gadis remaja yang masih hijau, mana dia mengerti akan kata-kata menyimpang itu?
Perahu didayung lagi.
"Mari kita sekarang melihat taman air..." ucapan Ouwyang Lam terhenti.
Pada saat itu mereka berdua melihat sebuah perahu kecil yang meluncur laju dari depan. Seorang gadis mendayung perahu itu sambil berdiri di tengah perahu, memandang pada mereka dengan mata melotot.
Ouwyang Lam merasa kagum, mengapa hari ini peruntungannya begitu baik sehingga matanya kembali sempat melihat seorang gadis yang begini cantik jelita setelah bertemu dengan Siu Bi. Sedangkan Siu Bi sendiri juga kagum karena di dalam pandang matanya gadis yang sendirian di perahu itu mempunyai sifat yang gagah dalam kesederhanaan pakaiannya.
Perahu mereka kini sudah saling berhadapan dan kedua pihak menahan perahu dengan gerakan dayung. Sejenak tiga orang ini saling pandang, penuh selidik. Ouwyang Lam yang selalu tidak mau melewatkan kesempatan untuk mencari muka dan bermanis-manis terhadap gadis cantik, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil tersenyum dan menegur.
"Nona, aku Ouwyang Lam tidak pernah bertemu muka denganmu. Agaknya Nona adalah seorang tamu yang hendak mengunjungi Ang-hwa-pai. Kalau memang demikian halnya, dapat Nona bicara dengan aku yang mewakili ketua Ang-hwa-pai."
Cui Sian sudah menduga bahwa tentu dua orang ini yang tadi telah menghina tosu-tosu Kun-lun-pai. Sekarang mendengar pemuda itu memperkenalkan nama, ia tidak ragu-ragu lagi.
"Aku seorang pelancong, sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Ang-hwa-pai atau perkumpulan jahat mana pun juga!" Sengaja Cui Sian menjawab ketus karena memang dia hendak mencari perkara kemudian memberi hajaran kepada orang-orang muda yang dianggapnya jahat itu.
Siu Bi mendengar ini dan tak dapat menahan tawanya. Memang Siu Bi wataknya aneh. Senang ia melihat gadis itu berani menghina Ang-hwa-pai secara begitu terang-terangan di depan Ouwyang Lam, maka ia tertawa, tentu saja mentertawakan pemuda itu. Mendengar suara ketawa ditahan ini, Ouwyang Lam menjadi dongkol. Alisnya yang tebal berkerut dan matanya memandang galak kepada Cui Sian. Akan tetapi karena gadis di depannya itu benar-benar cantik jelita, tidak kalah oleh Siu Bi sendiri, dia masih menahan kemarahannya dan mempermainkan senyum pada bibirnya.
"Nona yang baik, ketahuilah bahwa telaga ini termasuk wilayah Ang-hwa-pai, jadi kau kini sudah berada di dalam wilayah kami. Karena itu berarti kau sudah menjadi tamu kami, maka tadi aku sengaja bertanya. Andai kata kau hanya pelancong biasa dan tidak punya urusan dengan Ang-hwa-pai, akan tetapi karena tanpa sadar kau telah menjadi tamuku, tiada buruknya kalau kita menjadi sahabat."
Kembali Siu Bi tersenyum dan mengejek, "Wah, kau benar-benar amat sabar dan ramah, Ouwyang-twako!"
Kalau Siu Bi mengejek karena mengira Ouwyang Lam takut-takut dan jeri, adalah Cui Sian yang menjadi muak perutnya. Gadis ini lebih berpengalaman atau setidaknya lebih mengenal watak pria dari pada Siu Bi yang hijau maka ia dapat menangkap nada suara kurang ajar dalam ucapan Ouwyang Lam. Dengan ketus ia menjawab,
"Kau manusia sombong. Kurasa telaga ini adalah buatan alam, bagaimana Ang-hwa-pai berani mengaku sebagai hak dan wilayahnya? Eh, bocah, apakah kau yang telah berani menghina bahkan membunuh tosu dari Kun-lun-pai?"
Ouwyang Lam terkejut dan hilang keramahannya. Juga Siu Bi hilang senyumnya. Mereka berdua bangkit berdiri dan memandang Cui Sian dengan curiga. Kalau gadis ini datang membela Kun-lun-pai, berarti dia itu musuh!
"Kalau betul begitu, kau mau apakah?" teriak Ouwyang Lam. "Apakah kau anak murid Kun-lun-pai yang hendak menuntut balas?"
”Aku bukan anak murid Kun-lun-pai, juga tidak tahu-menahu tentang permusuhan kalian dengan Kun-lun-pai. Akan tetapi kebetulan sekali aku berjumpa dengan dua orang tosu Kun-lun-pai yang sudah kalian hina. Tosu-tosu Kun-lun-pai bukanlah orang-orang jahat, maka kalau kalian sudah berani menghina mereka, berarti kalian benar-benar merupakan orang-orang kurang ajar dan mengandalkan kepandaian. Jika bicara tentang kegagahan, agaknya aku lebih condong menganggap kalianlah yang bersalah dan jahat."
"Heei, kau orang liar dari mana datang-datang membuka mulut asal bunyi saja?" Siu Bi berseru marah. "Dua orang tosu bau itu memang kami berdua yang melempar ke dalam air, habis kau mau apa?!”
"Hemmm, aku tidak akan mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi aku pun tidak biasa membiarkan orang berlaku sewenang-wenang. Kau menghina dan melempar orang ke air, sekarang aku pun hendak melempar kalian ke dalam air!"
"Sombong amat! Twako, mari kita lempar bocah sombong ini dari perahunya!" Cepat Siu Bi menggerakkan dayungnya, diikuti oleh Ouwyang Lam yang bermaksud merobohkan dan menawan gadis cantik yang sombong itu.
"Plakkk! Plakkkkk!"
Siu Bi dan Ouwyang Lam berseru kaget sekali karena dayung mereka tertangkis oleh dayung di tangan Cui Sian. Demikian kuat dan hebatnya tangkisan itu sehingga hampir saja Siu Bi dan Ouwyang Lam tak mampu menahan dan melepaskan dayung. Telapak tangan mereka terasa panas dan sakit-sakit. Hal ini sama sekali tak pernah mereka duga karena tadi mereka memandang rendah sekali, dan sesaat mereka kaget dan bingung.
Sebelum mereka dapat memperbaiki kedudukan, perahu mereka tertumbuk oleh perahu Cui Sian dan dayung di tangan Cui Sian secara dahsyat sekali telah menerjang mereka. Perahu miring, dua orang muda itu hampir terjengkang ke belakang dan oleh karena kedudukan yang buruk sekali dan lemah ini, sampai dayung di tangan Cui Sian tak dapat mereka tangkis lagi dan jalan satu-satunya bagi mereka untuk menyelamatkan diri hanya melempar diri ke belakang.
“Byuurrrrr…! Byuurrrrr…!”
Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua orang itu terlempar ke dalam air, juga perahu mereka telah terbalik!
Ouwyang Lam yang pandai berenang itu cepat menyambar lengan tangan Siu Bi yang gelagapan dan menarik gadis itu ke arah perahu mereka yang terbalik. Karena dayung mereka terlempar dan mereka berada di bawah ancaman dayung Cui Sian, mereka tak dapat berbuat sesuatu apa pun kecuali memegangi perahu yang terbalik dengan muka dan kepala yang basah kuyup!
"Ketahuilah, aku bernama Tan Cui Sian, bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya seorang pelancong yang kebetulan lewat dan tak senang melihat kekurang ajaranmu. Harap kali ini kalian menganggap sebagai pelajaran agar lain kali jangan kurang ajar dan sombong lagi." Setelah berkata demikian Cui Sian mendayung perahunya pergi meninggalkan dua orang yang tak berdaya dan memegangi perahu terbalik itu.
"He, manusia curang!" Siu Bi berteriak marah, memaki-maki. "Tunggu aku di darat kalau kau memang benar-benar gagah dan kita bertanding sampai sepuluh ribu jurus! Tidak bisa kau menghina Cui-beng Kwan Im dan pergi enak-enak begitu saja!"
Cui Sian menoleh dan tersenyum mengejek. "Julukannya saja Cui-beng (Pengejar Roh), walau pun cantik seperti Kwan Im, tetap saja jahat. Bocah masih ingusan, siapa takut padamu? Kutunggu kau di darat dan aku tanggung kau akan kulempar sekali lagi ke dalam air!"
Siu Bi memaki-maki, akan tetapi apa dayanya? Mengejar perahu itu terang tak mungkin. Lain dengan Ouwyang Lam. Biar pun amat mendongkol dan malu, tetapi segera bersuit nyaring memberi aba-aba kepada anak buahnya. Beberapa buah perahu hitam meluncur cepat dari balik alang-alang, menghampiri Ouwyang Lam dan Siu Bi yang kini sudah berhasil membalikkan perahu dan melompat ke dalam perahu dengan pakaian basah kuyup.
"Kejar iblis betina itu, gulingkan perahunya dan tangkap dia. Ingat, harus gulingkan perahunya lebih dulu!"
Perintah Ouwyang Lam ini segera ditaati oleh tiga buah perahu yang masing-masing berpenumpang tiga orang. Sembilan orang ahli air Ang-hwa-pai melakukan pengejaran. Ouwyang Lam dan Siu Bi mengikuti dari belakang setelah Ouwyang Lam terjun dan berenang mengambil dayung-dayung mereka yang tadi terlempar.
Cui Sian yang sama sekali tidak menduga bahwa dia akan dikejar, dengan hati puas mendayung perahunya ke tengah telaga, tidak tergesa-gesa pergi mendarat karena dia ingin melihat-lihat pulau itu dari dekat. Tak lama kemudian barulah dia melihat tiga buah perahu hitam meluncur cepat mendekati perahunya.
la dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang Ang-hwa-pai, apa lagi setelah dekat ia melihat bunga merah tersulam di baju mereka. Akan tetapi tentu saja ia tidak takut, malah menanti kedatangan mereka dengan dayung di tangan, siap menghantam dan menghajar mereka yang berani mengganggunya.
Akan tetapi, ia mulai terkejut melihat sembilan orang di dalam tiga buah perahu itu semua melompat ke dalam air dan tidak muncul lagi. Mereka menyelam! Segera Cui Sian dapat menduga apa yang akan mereka lakukan. Cepat dia mendayung perahunya meluncur pergi, namun terlambat. Perahunya berguncang hebat.
la berdiri menggunakan ginkang-nya, mengatur keseimbangan tubuh agar jangan sampai terjungkal ke dalam air. Bahkan dayungnya berhasil mengemplang punggung seorang penyelam yang segera menyelam dan berenang pergi sambil merintih-rintih. Akan tetapi akhirnya perahunya terguling!
Namun dengan gerakan yang amat indah, tubuh Cui Sian mencelat ke atas dan dengan berjungkir balik beberapa kali, tubuhnya cukup lama berada di atas sehingga ketika dia meluncur turun, perahunya sudah terbalik dan terapung lagi. la mendarat di atas perahu yang terbalik itu, siap dengan dayungnya. Para penyelam melihat ini menjadi kagum sekali, juga penasaran. Mereka menyelam lagi mendekati dan berusaha menggulingkan perahu yang sudah terbalik agar nona itu ikut tenggelam.
Namun Cui Sian dengan dayungnya mempertahankan perahunya. Dua orang penyelam kena dihajar tangan mereka sehingga tulangnya patah, seorang penyelam lagi terpaksa dibawa pergi temannya karena kemplangan pada kepalanya membuat dia pingsan. Ouwyang Lam dan Siu Bi sudah tiba di situ. Melihat betapa gadis kosen itu masih belum dapat ditangkap, malah mengamuk dan mempertahankan perahu yang sudah terbalik itu, melukai beberapa orang penyelam, dia menjadi marah dan diam-diam kaget juga.
Gadis itu benar-benar lihai. Hatinya tidak enak sekali. Kemudian dia bersuit memberi tanda kepada ternan-temannya yang sudah muncul di permukaan air tetapi tidak berani mendekati perahu terbalik itu. Kini hanya tinggal empat orang penyelam yang belum terluka, akan tetapi mereka jeri, tidak berani mendekat. Setelah Ouwyang Lam bersuit, mereka menyelam lagi.
Ouwyang Lam mendayung perahunya yang meluncur cepat mendekati perahu Cui Sian yang terbalik. "Adik Siu Bi, kesempatan kita untuk membalas!" katanya.
Siu Bi sudah bersiap dengan dayungnya. Ketika perahu mereka sudah dekat, Ouwyang Lam dan Siu Bi menggerakkan dayung. Kali ini mereka berlaku hati-hati, dayung mereka menerjang hebat dengan pengerahan tenaga. Sebaliknya, Cui Sian berada dalam keadaan yang amat buruk. Berdiri di atas perahu terbalik amat licin dan terlalu sempit, sedangkan dua buah dayung yang menyerangnya itu pun tak boleh dibuat main-main.
Tadi pun ia sudah dapat kenyataan bahwa kedua orang muda ini memiliki kepandaian tinggi, hanya karena tadi memandang rendah kepadanya maka dalam segebrakan saja ia berhasil melempar mereka ke air. la maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Namun, Cui Sian memiliki sifat yang amat tenang, juga tabah. la tidak menjadi gentar, malah mengejek,
"Beginikah cara orang gagah? Mengeroyok dengan cara yang licik?"
Merah muka Siu Bi. Sesungguhnya ia benci akan cara demikian ini, akan tetapi semua itu yang mengatur adalah Ouwyang Lam, ia sebagai tamu tak dapat berbuat lain. Untuk diam saja tidak ikut mengeroyok juga tidak enak, apa lagi ia tadi sudah dibikin basah kuyup dan merasa amat marah kepada gadis bernama Cui Sian itu. Dengan tenaga dalamnya yang murni dan sangat kuat serta gerakan dayungnya yang hebat, Cui Sian masih mampu mempertahankan diri dari desakan kedua buah dayung lawannya. Akan tetapi tiba-tiba perahu yang diinjaknya berguncang hebat.
Kini ia tidak mungkin dapat melawan orang-orang yang berada di dalam air karena dua batang dayung yang mengancamnya dari depan sudah cukup berbahaya. la berusaha mempertahankan diri, akan tetapi ketika tiba-tiba perahu yang diinjaknya itu tenggelam, tak mungkin lagi ia mempertahankan diri.
la ikut tenggelam dan pada lain saat ia gelagapan karena seperti juga Siu Bi, ia adalah seorang puteri gunung dan tidak pandai berenang! Sungguh pun demikian, ketika dua orang penyelam berusaha menangkap dan memeluknya, mereka itu memekik kesakitan dan pingsan terkena sampokan tangannya!
Melihat ini, Ouwyang Lam terjun ke air. Cui Sian sudah gelagapan dan menelan air, tentu saja bukan lawan Ouwyang Lam yang selain berkepandaian tinggi, juga ahli bermain di air. Sebelum Cui Sian sempat mempertahankan diri, sebuah sapu tangan merah yang diambil pemuda itu dari saku bajunya, telah menutup mukanya. la mencium bau harum dan tak ingat diri lagi.
Ouwyang Lam menyeretnya sambil berenang. Ketika sampai di pinggir perahu, pemuda itu memondongnya naik ke perahu, melempar tubuh yang pingsan dan basah kuyup itu ke dalam perahu. Siu Bi mengerutkan keningnya. "Mau diapakan dia ini, Ouwyang-twako?"
Mendengar pertanyaan ini dan melihat pandang mata Siu Bi yang tajam penuh selidik, Ouwyang Lam menjadi agak gagap ketika menjawab. "Diapakan? Dia... ehhh, tentu saja harus ditawan. Soal ini harus dilaporkan kepada Nio-nio. Gadis ini mencurigakan sekali, Siauw-moi (Adik Kecil). Kepandaiannya amat tinggi dan andai kata dia betul-betul bukan orang Kun-lun-pai, mengapa ia memusuhi kita? Dan mengapa pula ia berperahu di sini?"
"Kan ia sudah bilang bahwa ia seorang pelancong...," bantah Siu Bi, tidak setuju melihat gadis ini ditawan secara begitu.
Ouwyang Lam tersenyum, maklum bahwa gadis ini mulai menaruh curiga. la harus lebih berhati-hati, pikirnya. "Jangan kau khawatir, Moi-moi. Dia ini ditawan hanya untuk ditanyai kelak. Bila ternyata benar dia itu hanyalah seorang pelancong yang iseng dan gatal tangan, tentu saja kami akan membebaskannya. Biar dia ditawan beberapa hari, hitung-hitung untuk membalas penghinaannya atas diri kita berdua."
Puas hati Siu Bi dengan jawaban ini. Sambil mendayung perahu kembali ke pulau, Siu Bi diam-diam mengagumi kecantikan gadis yang telentang di depannya. Benar-benar cantik jelita dan manis sekali. Sayang dia sombong, pikirnya, dan pernah menghinaku. Kalau tidak, hemmm, senang juga mempunyai kawan yang juga memiliki kepandaian tinggi ini.
la melihat ada benda mengganjal di atas pinggang belakang. Dirabanya, ternyata gagang pedang. Dengan perlahan disingkapnya baju luar itu dan ditariknya pedang itu. Sebuah pedang pendek! Akan tetapi begitu Siu Bi mencabutnya dari sarung, matanya silau oleh sinar yang putih gemerlapan.
"Wahhh, pedang yang hebat, pusaka ampuh!" seru Ouwyang Lam. "Moi-moi, kau benar. Pedang itu harus dirampas, kalau tidak dia bisa membikin kacau setelah siuman."
Ucapan ini membikin muka Siu Bi semakin merah. Sama sekali dia tidak mempunyai niat untuk merampas pedang orang, hanya ingin melihat saja. Akan tetapi tiba-tiba ia berpikir.
Pedang pusakanya sendiri ia tinggalkan kepada Jaka Lola. la tidak bersenjata. Tak ada salahnya ia menyimpan dulu pedang ini, dan kalau segala sesuatu beres, mudah saja dia kembalikan kepada yang punya. Dari pada dirampas oleh Ouwyang Lam. Ia masih belum percaya penuh kepada pemuda ini atau kepada ‘bibi Kui Ciauw’.
Dalam keadaan masih pingsan, Cui Sian dibawa ke daratan pulau, dihadapkan kepada Ang-hwa Nio-nio. Nenek ini mengerutkan alisnya ketika mendengar laporan Ouwyang Lam. la memeriksa buntalan pakaian Cui Sian yang juga dibawa ke situ oleh anak buah yang menemukannya dari perahu yang terbalik. Akan tetapi buntalan itu isinya hanyalah beberapa potong pakaian dan sekantung uang emas. Tidak ada sesuatu yang membuka rahasia tentang diri gadis aneh itu.
Ang-hwa Nio-nio lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan warna biru, mengebutkan sapu tangan itu ke arah hidung Cui Sian, kemudian dengan sapu tangan itu pula ia menotok belakang leher. Ujung sapu tangan dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, hal ini saja membuktikan kelihaian nenek ini. Kiranya sapu tangan warna biru itu mengandung obat pemunah racun merah. Tak lama kemudian Cui Sian menggerakkan pelupuk matanya dan pada waktu matanya terbuka, gadis ini sudah melompat bangun dan berada dalam keadaan siap siaga!
la memandang ke sekelilingnya, melihat muda-mudi bekas lawannya tadi berada di situ bersama seorang nenek berpakaian serba merah dan beberapa orang laki-laki setengah tua yang memakai tanda bunga merah di dada. Di pinggir berdiri pelayan-pelayan wanita. Maklum bahwa dirinya dikepung musuh, Cui Sian meraba pinggangnya. Pedangnya tidak ada! Akan tetapi gadis ini tenang-tenang saja, sama sekali tidak menjadi gentar atau gugup. la malah tersenyum mengejek dan berkata, "Bagus! Kiranya Ang-hwa-pai penuh tipu muslihat. Kalian secara curang sudah berhasil menawan aku, mau apa?"
Ang-hwa Nio-nio membentak ketus, "Bocah sombong, berani kau berlagak di depanku?! Sudah diampuni jiwanya masih sombong. Kalau tadi kami turun tangan membunuhmu, kau akan bisa apa?"
Cui Sian memandang nenek itu, pandang matanya tajam bukan main, membuat si nenek diam-diam tercengang dan menduga-duga, siapakah gerangan gadis yang bernyali besar dan penuh wibawa ini.
"Agaknya kau adalah ketua Ang-hwa-pai. Nah, katakan kehendakmu. Soal mati hidup, kau membunuhku pun aku tidak takut, kau membebaskan aku pun tak merasa berhutang budi."
"Bocah, lebih baik larutkan keangkuhanmu ini dan lekas kau mengaku, siapakah yang menyuruh kau datang memata-matai Ang-hwa-pai dan membikin kacau? Jika tidak ada yang menyuruh, apa maksud kedatanganmu? Jawab sebenarnya, jangan membikin aku habis sabar. Apa hubunganmu dengan Kun-lun-pai?"
"Tidak ada yang menyuruhku, Kun-lun-pai tiada sangkut-pautnya denganku. Aku seorang pelancong, kebetulan lewat dan berpesiar di telaga, lalu bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai. Kuanggap dua orang bocah ini keterlaluan sekali, maka aku sengaja hendak memberi hajaran. Dengan curang mereka berhasil menawan aku, terserah kalian mau apa sekarang. Mau bertanding sampai seribu jurus, hayo!"
Kembali Ang-hwa Nio-nio tercengang dan diam-diam harus dia akui bahwa gadis seperti ini tentu tak boleh dipandang ringan. "Siapakah kau dan dari mana kau datang?"
"Sudah kukatakan pada dua orang bocah ini, namaku Tan Cui Sian dan aku bukan orang Kun-lun-pai, sungguh pun Kun-lun-pai adalah partai segolongan dengan Thai-san-pai."
Berubah wajah Ang-hwa Nio-nio. "Kau anak murid Thai-san-pai? Dan kau... kau she Tan, apamukah Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San si kakek ketua Thai-san-pai?"
"Dia ayahku..."
"Keparat! Kiranya kini kau menyerahkan nyawa anakmu kepadaku, manusia she Tan?" Sambil berseru keras Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju, tangannya menghantam dan sinar merah membayang pada pukulannya ini.
Cui Sian sudah siap sejak tadi. la maklum bahwa nenek ini tentulah seorang sakti dan alangkah kecewanya bahwa dia tadi sudah mengaku dan menyebut nama ayahnya dan Thai-san-pai. Ternyata pengakuan itu hanya mendatangkan bahaya bagi dirinya karena ternyata bahwa nenek ini kiranya adalah musuh ayahnya. Ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, memang mempunyai banyak sekali musuh, terutama dari golongan hitam. Setelah terlanjur membuat pengakuan, ia sekarang harus menghadapi bahaya dengan tabah.
Cui Sian bukan seorang gadis nekat seperti Siu Bi. Dia seorang yang berpemandangan luas, cerdik dan dapat melihat gelagat. Tentu saja ia maklum bahwa, amatlah berbahaya baginya untuk seorang diri saja menghadapi orang-orang Ang-hwa-pai di tempat mereka sendiri. Apa lagi ia bertangan kosong, kalau ada Liong-cu-kiam di tangannya masih boleh diandalkan. Maka, melihat datangnya pukulan maut yang mengandung sinar merah, dia cepat-cepat miringkan tubuh dan mainkan jurus Im-yang Kun-hoat yang ia warisi dari ayahnya. Kedua tangannya dengan pengerahan dua macam tenaga Im dan Yang, menangkis sambaran tangan Ang-hwa Nio-nio yang tak mungkin dapat dielakkan lagi itu.
"Dukkk!"
Tubuh Cui Sian terlempar sampai ke luar dari pintu ruangan, ada pun ketua Ang-hwa-pai itu kelihatan meringis kesakitan.
Terlemparnya tubuh Cui Sian memang disengaja oleh gadis itu sendiri karena pertemuan tenaga mukjijat itu memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri, atau setidaknya keluar dari ruangan yang sempit itu agar kalau dikeroyok, ia dapat melawan lebih leluasa di tempat yang luas di luar rumah.
"Bocah setan, mau lari ke mana engkau?" Ang-hwa Nio-nio berseru, kemudian menoleh kepada Siu Bi dan Ouwyang Lam berkata, "Kejar, ia dan ayahnya adalah sekutu musuh besar kita, Pendekar Buta!"
Mendengar seruan ini, Ouwyang Lam dan Siu Bi cepat berkelebat melakukan pengejaran di belakang Ang-hwa Nio-nio. Juga para pembantu pengurus Ang-hwa-pai beramai-ramai ikut mengejar. Tentu saja Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam dan Siu Bi yang paling cepat gerakannya sehingga para pembantu itu tertinggal jauh.
Ternyata Cui Sian memiliki ginkang yang hebat, larinya cepat seperti kijang. Akan tetapi karena dia tidak mengenal tempat itu, tanpa dia ketahui dia telah lari ke daerah karang. Melihat ini, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam tertawa dan sengaja tidak mempercepat larinya, hanya mengejar dari belakang.
Siu Bi merasa heran, tetapi segera ia melihat kenyataan dan mengetahui persoalannya. Wajahnya seketika berubah pucat. Gadis yang dikejar itu telah lari memasuki sarang ular hijau! Dia bergidik dan diam-diam dia merasa tidak senang. Boleh saja mendesak dan menyerang musuh, akan tetapi tidak secara pengecut dan menggunakan akal busuk.
Melihat di depannya batu-batu karang yang sukar dilalui, apa lagi tiga orang pengejarnya masih terus mengejar dari belakang, Cui Sian terpaksa berhenti, membalikkan tubuh dan tersenyum mengejek.
"Kalian bertiga hendak mengeroyokku yang bertangan kosong? Bagus, memang benar gagah orang-orang Ang-hwa-pai! Setelah merampas pedang, kini mengeroyok."
Ouwyang Lam yang tadinya tertarik sekali akan kecantikan Cui Sian sekarang timbul kemarahannya. la telah dibikin malu, dan sekarang tiba saat baginya untuk membalas. la memang pernah dirobohkan, akan tetapi hal itu terjadi karena dia memandang rendah dan kejadian itu hanya dapat dialami secara tidak tersangka-sangka.
Sekarang mereka saling berhadapan dan dapat mengandalkan ilmu kepandaian mereka. la tidak percaya bahwa dia takkan dapat menangkan seorang gadis! Mendengar ejekan ini dia berkata, "Nio-nio, biarkan aku menghadapi gadis sombong ini!"
Dia melompat maju dan dengan nada suara mengejek pula dia menjawab Cui Sian,
"Perempuan sombong. Kau kira di dunia ini tidak ada yang dapat mengalahkanmu? Kau bertangan kosong? Lihat, aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, kau kira aku tidak berani? Akan tetapi kalau nanti kau tidak berlutut dan minta-minta ampun tujuh kali kepadaku, aku tidak akan melepaskanmu!"
Cui Sian menggigit bibirnya saking gemas dan marahnya. Baginya, ucapan pemuda ini pun mengandung arti yang kotor dan menghina. Tak sudi ia banyak cakap lagi, tubuhnya segera menerjang maju dengan seruan nyaring. "Lihat pukulan!"
Seruan begini adalah lazim dilakukan oleh pendekar-pendekar yang pantang menyerang orang tanpa peringatan lebih dulu, berbeda dengan sifat rendah tokoh-tokoh dunia hitam yang selalu menyerang secara sembunyi, malah menggunakan kesempatan selagi lawan lengah untuk merobohkan lawan itu.
Ouwyang Lam cepat mengelak dan sambaran angin pukulan gadis ini cukup meyakinkan hatinya bahwa dia tidak boleh main-main menghadapinya. Maka dia pun lalu cepat-cepat menggerakkan kaki tangan, memainkan Ilmu Silat Bintang Terbang sambil mengerahkan tenaga Ang-tok-ciang sehingga dari dua tangannya itu menyambar-nyambar sinar merah karena hawa beracun Ang-tok sudah memenuhi pukulan-pukulan itu.
Akan tetapi, Cui Sian bukanlah gadis sembarangan. Dia puteri Raja Pedang dan ketua Thai-san-pai yang sakti, yang semenjak kecil telah menggemblengnya dengan ilmu-ilmu kesaktian. Raja Pedang cukup mengenal ilmu-ilmu dari dunia hitam, maka pengertiannya tentang hal ini ia turunkan semua kepada puterinya sehingga kini, menghadapi pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun bersinar merah, Cui Sian sama sekali tidak menjadi gentar. Kalau tadi ia dapat ditangkap, hal itu adalah karena ia tidak pandai berenang. Sekarang, sama-sama menggunakan tangan kosong, jangan harap Ouwyang Lam akan sanggup mengatasinya.
Dengan jurus-jurus Im-yang Sin-kun yang luar biasa, Cui Sian mampu menolak semua terjangan lawan, bahkan mulai balas mendesak dengan hebat. Ouwyang Lam terkejut setengah mati. Selama menjadi murid dan kekasih Ang-hwa Nio-nio dan telah mewarisi ilmu kesaktian wanita ini, belum pernah ia menemui tanding yang begini hebat selain Siu Bi.
Dia menjadi bingung oleh gerakan Cui Sian yang mengandung dua unsur tenaga yang berlawanan itu. Di suatu saat, pukulan Cui Sian bersifat keras, di lain detik merupakan pukulan lunak tetapi berbahaya. Memang di sini letak kehebatan Im-yang Sin-kun, ilmu silat yang berbeda dengan ilmu silat lain.
Ilmu-ilmu silat yang lain hanya mempunyai satu sifat, lembek atau keras, kalau lembek mengandalkan tenaga Iweekang, kalau keras mengandalkan gwakang. Akan tetapi gadis cantik ini mencampur aduk Iweekang dan gwakang, mencampur aduk hawa Im dan Yang dalam terjangannya, pencampur adukan yang sangat rapi karena memang menurut Ilmu Sakti Im-yang Sin-kun yang ia warisi dari ayahnya.
Setelah lewat lima puluh jurus, Ouwyang Lam sudah tidak kuat lagi. Hendak mencabut pedangnya, dia merasa malu karena di situ terdapat Siu Bi yang turut menonton. Masa melawan seorang gadis, setelah tadi menyombong sama-sama dengan tangan kosong, kini dia harus mencabut pedang? Memalukan sekali, lebih memalukan dari pada kalau dia kalah dalam pertandingan ini. la mengerahkan tenaga mengumpulkan semangat dan menerjang dengan buas. Kini dia menggunakan jurus Bintang Terbang Terjang Bulan, tubuhnya melayang ke depan, dua tangannya mencengkeram ke arah dada dan leher. Serangan hebat yang mematikan!
Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Di samping kehebatannya, serangan ini pun tidak sopan. la membiarkan kedua tangan lawan itu menyambar dekat, memperlihatkan sikap gugup dan bingung. Ouwyang Lam girang sekali, akan berhasil agaknya dia kali ini.
"Awas...!" Ang-hwa Nio-nio berseru dan melompat ke depan.
Terlambat sudah! Tubuh Ouwyang Lam terbanting dari samping dan pemuda ini roboh bergulingan di atas tanah berbatu yang keras! Kiranya tadi sikap gugup dan bingung Cui Sian hanya merupakan pancingan belaka membiarkan lawan menjadi girang berbesar hati dan karenanya lemah kedudukannya.
Secepat kilat Cui Sian membuang diri ke kiri, hanya tubuh bagian atas saja yang meliuk ke kiri, sebatas lutut ke atas, namun kedua kakinya masih memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Gerakan yang amat indah. Pada saat kedua tangan Ouwyang Lam sudah menyambar lewat, Cui Sian balas menghantam dengan sampokan kedua lengannya dari samping, jari-jari tangannya terbuka dan dua tangannya yang mengandung dua macam tenaga, yang kiri menghentak dengan tenaga Im sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga Yang.
Tak kuat Ouwyang Lam mempertahankan diri dari serangan balasan yang mendadak dan tidak terduga-duga ini sehingga dia terbanting cukup hebat. Untung baginya bahwa pada saat itu, Ang-hwa Nio-nio sudah melompat datang dan menerjang Cui Sian tanpa banyak cakap lagi. Bila tidak demikian halnya, dalam keadaan terbanting dan kepalanya masih pening tadi, dengan amat mudahnya Cui Sian akan dapat menyusulkan serangan berikutnya yang membahayakan keselamatannya.
Ouwyang Lam bangun dengan muka merah. Hatinya panas mendongkol, apa lagi ketika dia menoleh ke arah Siu Bi dilihatnya gadis itu memandang ke arah Cui Sian dengan sinar mata penuh kekaguman. Dia merasa malu di depan Siu Bi. Terang bahwa dalam pertandingan tangan kosong tadi, dia kalah oleh gadis lihai puteri Raja Pedang ini.
Dalam marahnya, ingin dia mencabut pedang dan menyerang lagi bekas lawannya, biar pun Cui Sian pada saat itu sedang bertanding melawan Ang-hwa Nio-nio dengan hebat. Akan tetapi kehadiran Siu Bi di situ membuat Ouwyang Lam terpaksa menahan sabar dan tidak ada muka untuk melakukan pengeroyokan.
Sementara itu, pertandingan antara Cui Sian dan Ang-hwa Nio-nio sudah berlangsung dengan hebatnya. Dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ouwyang Lam, tentu saja Ang-hwa Nio-nio jauh lebih tinggi. Cui Sian maklum dan merasakan hal ini, namun gadis perkasa ini mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan ilmu kesaktian Im-yang Sin-kun sehingga biar pun ia tidak mampu melakukan desakan macam tadi terhadap ketua Ang-hwa-pai ini, namun pertahanannya kokoh kuat laksana benteng baja.
Seperti juga Ouwyang Lam, ketua Ang-hwa-pai ini merasa malu untuk mempergunakan senjatanya, bukan malu terhadap lawan, melainkan tak enak hati terhadap Siu Bi yang dianggap sebagai tamu dan orang luar. Jika tidak ada Siu Bi di situ, sudah tentu Cui Sian sejak tadi dikeroyok dan tak mungkin gadis perkasa itu dapat menyelamatkan dirinya.
Di samping hal ini, juga Ang-hwa Nio-nio merasa penasaran sekali. Ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang tinggi, malah ia sudah mematangkan kepandaiannya sehingga ia berpendapat bahwa tingkatnya sekarang sudah tak berbeda jauh dengan tingkat musuh besarnya, Pendekar Buta. Akan tetapi mengapa menghadapi seorang gadis muda saja ia tidak mampu mendesaknya?
Memang dia sudah tahu akan kesaktian Raja Pedang. Akan tetapi puterinya ini baru dua puluh usianya, betapa pun juga baru berlatih belasan tahun, bagaimana dapat menahan dia yang telah melatih diri puluhan tahun? Inilah yang membuat hatinya penasaran dan ia menguras semua ilmunya untuk memecahkan pertahanan Cui Sian.
Namun, Im-yang Sin-kun adalah ilmu yang bersumber kepada Im-yang Bu-tek Cin-keng, merupakan rajanya ilmu silat dan telah mencakup inti sari dari semua gerakan silat. Ilmu silat yang dimiliki Pendekar Buta sendiri pun bersumber pada ilmu silat ini, demikian pula ilmu-ilmu silat dari semua partai bersih. Andai masa latihan Cui Sian sedemikian lamanya seperti Ang-hwa Nio-nio, jangan harap ketua Ang-hwa-pai itu akan dapat menang.
Sekarang pun, karena kalah matang dalam latihan, biar tak dapat mendesak lawan, akan tetapi Cui Sian masih dapat mempertahankan diri dengan baik. Memang jika dilanjutkan akhirnya dia akan kalah juga karena terus-menerus mempertahankan diri tanpa mampu membalas, akan tetapi akan memakan waktu lama sekali.
Siu Bi menonton pertempuran Itu dengan hati tegang. Matanya yang sudah terlatih akan ilmu-ilmu silat tinggi dapat membedakan sifat-sifat kepandaian kedua orang yang sedang bertanding itu.
Terjangan-terjangan Ang-hwa Nio-nio bersifat ganas dan kasar, ditunjang dengan hawa pukulan bersinar merah yang menyelubungi seluruh tubuh berpakaian serba merah itu. Sebaliknya, Cui Sian bersilat dengan gerakan yang sifatnya tenang serta kokoh kuat, indah dalam setiap gerakan dan hawa pukulan dari kedua tangannya mengandung sinar jernih tak berwarna namun cukup kuat sehingga menolak bayangan sinar merah lawan.
Saking tegangnya dan memandang penuh perhatian, Siu Bi tidak melihat lagi kepada Ouwyang Lam. Pemuda ini diam-diam mengeluarkan sebungkus bubuk berwarna putih, menyebarkannya di sekeliling tempat mereka, kemudian memberi tanda isyarat kepada para anak buah Ang-hwa-pai.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara melengking tinggi bagaikan suling ditiup, tiada putus-putusnya datang dari empat penjuru, makin lama semakin melengking. Beberapa menit kemudian, Siu Bi mengeluarkan seruan kaget.
Beratus-ratus ekor ular mendesis-desis dan bergerak cepat dari semua jurusan menuju ke pertempuran itu. Seekor ular hijau yang besar dan panjang, paling cepat sampai di situ dan serta merta binatang ini mengangkat kepala dan meloncat dengan mulut terbuka ke arah Cui Sian!
Gadis sakti ini pun sudah melihat adanya ular-ular hijau yang datang menyerbu. Maka, begitu mendengar desis keras dari arah kiri, cepat dia melangkah mundur dan tangan kirinya dengan jari terbuka menyabet miring, tepat mengenai leher ular.
"Trakkk!"
Ular sebesar pangkal lengan itu terpukul keras sehingga terlepas sambungan tulangnya, tak berdaya lagi, lalu terbanting dan hanya ekornya saja yang masih menggeliat-geliat, kepalanya tak dapat digerakkan lagi!
Akan tetapi, Cui Sian harus menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan karena pada saat ia menghadapi penyerangan ular tadi, Ang-hwa Nio-nio sudah melakukan serangan hebat sekali yang amat berbahaya. Segulung sinar merah menerjang ke arah dada dan lehernya, dan ternyata Ang-hwa Nio-nio sudah mencabut pedangnya dan menyerangnya pada saat gadis itu tidak kuat kedudukannya.
Hanya dengan cara membuang diri ke belakang dan bergulingan inilah Cui Sian mampu menyelamatkan diri. Dia segera melompat bangun. Wajahnya merah, sepasang matanya berapi-api saking marahnya.
Biar pun lawan sudah memegang pedang dan di sekelilingnya sudah berkumpul ular-ular hijau, namun dara perkasa ini sama sekali tidak menjadi gentar! la maklum bahwa tak mungkin melarikan diri setelah ular-ular itu mendatangi dari segala jurusan, jalan lari selain terhalang ular-ular berbisa dan gunung-gunungan batu karang, juga di bagian lain berdiri Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya yang amat banyak.
Cui Sian maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dan besar kemungkinan ia akan tewas di sini. Namun ia mengambil keputusan untuk melawan dengan nekat dan sampai titik darah yang terakhir, tewas sebagaimana layaknya puteri pendekar besar dan ketua Thai-san-pai!
"Ang-hwa-pai tak tahu malu! Mengandalkan pengeroyokan dan bantuan ular-ular berbisa! Ang-hwa Nio-nio, majulah, jangan kira aku takut menghadapi kecuranganmu!"
Ang-hwa Nio-nio merasa penasaran, malu dan marah sekali. Memang amat memalukan kalau dia tidak mampu mengalahkan gadis ini, gadis muda tak bersenjata, dan ia masih dibantu ular-ular-hya. Kalau ia tidak mampu membunuh Cui Sian, sekali ini benar-benar akan rusak nama besarnya.
"Iblis cilik, siaplah untuk mampus!
"Nanti dulu, Nio-nio!" Tiba-tiba Siu Bi berseru dan melompat ke depan.
Ang-hwa Nio-nio kaget dan heran, lebih-lebih herannya ketika Siu Bi berkata lantang,
"Aku tidak suka melihat ini! Aku pun benci dia karena dia adalah sahabat baik Pendekar Buta musuh besarku, akan tetapi aku tak suka melihat pertandingan yang berat sebelah ini. Ang-hwa Nio-nio, karena aku dan kau sudah bersahabat, aku tidak mau sahabatku melakukan hal yang tidak pantas. Dia ini boleh saja dibunuh, akan tetapi sedikitnya harus memberi kesempatan melawan, itulah haknya. Ayah... ayahku selain menekankan bahwa dalam keadaan bagaimana pun juga, aku harus bersikap gagah dan sama sekali tidak boleh curang. Hee, Cui Sian, ini pedangmu, kukembalikan. Sebelum mampus, kau boleh melawan dan jangan bilang bahwa aku menyembunyikan pedangmu. Tetapi berjanjilah, bila mana nanti kau sudah mati, relakan pedangmu ini menjadi milikku!" Sambil berkata demikian Siu Bi melemparkan Liong-cu-kiam kepada Cui Sian.
Sejenak Cui Sian tertegun sambil memegangi Liong-cu-kiam di tangannya. Tentu saja hatinya menjadi sebesar Gunung Thai-san sendiri setelah pedang pusakanya kembali di tangannya. Namun dia menjadi terheran-heran melihat sikap dan mendengar kata-kata gadis cilik itu.
Tahulah dia bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan anak buah Ang-hwa-pai! Seorang tamu agaknya, dan tentu gadis cilik yang juga lihai itu anak seorang tokoh hitam pula. la tersenyum dan menatap mesra ke arah Siu Bi.
"Adik manis, kau adalah batu kumala terbenam lumpur, biar sekelilingmu kotor kau tetap cemerlang! Tentu saja, aku berjanji, rohku akan rela kalau setelah aku mati, pedang ini menjadi milikmu. Namun sayangnya, aku tak akan mati, Adik manis. Dan kelak akan tiba saatnya aku membalas kebaikanmu ini!"
Sementara itu, Ang-hwa Nio-nio marah sekali. "Siu Bi, kau... kau amat lancang dan tolol!”
Setelah berkata demikian ketua Ang-hwa-pai ini menerjang dengan pedangnya. Sinar merah berkelebat ketika pedangnya, pedang pusaka ampuh yang sudah direndam racun kembang merah dan diberi nama sesuai pula, yaitu Ang-hwa-kiam, digerakkan menusuk ke depan. Pada saat yang sama, empat ekor ular juga sudah menerjang dari belakang, menggigit ke arah kaki Cui Sian.
Akan tetapi, setelah kini Liong-cu-kiam ada di tangannya, Cui Sian seakan-akan menjadi seekor harimau betina yang tumbuh sayap. Sinar putih berkilat-kilat menyilaukan mata ketika Liong-cu-kiam di tangannya beraksi. Pedang pusaka ampuh ini sudah menangkis Ang-hwa-kiam dan tenaga benturan itu ia manfaatkan dengan cara mengayun pedang ke belakang sambil merubah kedudukan kaki dari kuda-kuda melintang menjadi kuda-kuda membujur.
“Cringgg!”
Tenaga benturan membuat Liong-cu-kiam bergerak cepat, mengeluarkan suara nyaring, dan empat ekor ular yang menyerang dari belakang tubuhnya telah terbabat buntung menjadi delapan potong!
"Hebat...!" Siu Bi terbengong-bengong kagum tiada habisnya.
Indah sekali gerakan itu dan ia maklum bahwa dengan pedang pusaka di tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan lawan berat dan ia sendiri masih sangsi apakah ia dengan Cui-beng-kiam akan dapat mengimbangi kesaktian nona cantik langsing ini.
"Kenapa kau membantunya...?"
Siu Bi menengok. Alisnya berkerut ketika melihat bahwa yang mengeluarkan pertanyaan dengan suara ketus itu bukan lain adalah Ouwyang Lam. Pemuda itu sekarang berdiri dengan pedang terhunus, sikapnya mengancam.
Siu Bi mengedikkan kepalanya. "Siapa membantunya? Aku tak sudi membantu sahabat baik musuh besarku, akan tetapi aku pun tidak sudi membantu kecurangan, walau pun yang curang adalah teman sendiri. Kau mau apa?!"
"Mari kita keroyok dia. Dia lihai sekali dan kalau sampai dia terlepas, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan di belakang hari."
"Kau mau keroyok, terserah. Twako, apakah kau tidak malu? Lihat, ketua Ang-hwa-pai telah melawannya dengan bantuan ular-ular mengerikan itu. Hal itu saja sudah tidak adil, masa kau mau ajak aku mengeroyok lagi? Aku tak sudi mengambil kemenangan secara rendah begitu!"
"Tetapi, Moi-moi, dia itu termasuk musuh kita. Ayahnya adalah ketua Thai-san-pai, bukan saja sahabat baik Pendekar Buta, malah masih terhitung gurunya!"
"Ahhh..."
Ouwyang Lam mengira bahwa seruan ini menyatakan perubahan di hati Siu Bi. Akan tetapi sebetulnya bukan demikian. Siu Bi terkejut memang, akan tetapi ia terkejut karena teringat bahwa gadis itu saja sudah begitu lihai, apa lagi Pendekar Buta!
"Lihat, Moi-moi, dia begitu lihai. Kalau kita tidak turun tangan, bisa berbahaya!"
Sesudah berkata demikian, dengan pedang terhunus Ouwyang Lam lantas menerjang ke medan pertempuran. Dia sudah menyebar bubuk anti ular pada sepatu serta celananya sehingga seperti halnya Ang-hwa Nio-nio, dia tak akan diganggu lagi oleh ular-ular itu.
Sesudah Liong-cu-kiam berada di tangannya, Cui Sian memang hebat luar biasa. Boleh jadi dalam hal keuletan, pengalaman, dan keahlian, dia masih belum mampu menandingi Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi biar pun belum matang betul karena usianya masih muda, akan tetapi ilmu pedang yang ia mainkan adalah raja sekalian ilmu pedang, yaitu Im-yang Sin-kiam.
Ilmu pedang inilah yang dulu sudah membuat ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, menjagoi di dunia persilatan dan membuat Raja Pedang itu berhasil mengalahkan semua lawannya yang sakti. Kini, dengan ilmu pedang sakti itu, ditambah pula dengan pedang pusaka Liong-cu-kiam yang amat ampuh di tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan seorang lawan yang sukar dikalahkan.
Betapa pun juga, keroyokan ular-ular itu membuat Cui Sian repot. Menghadapi Ang-hwa Nio-nio saja dia sudah harus mengerahkan seluruh perhatiannya karena memang wanita itu amat ganas dan berbahaya, apa lagi sekarang dibantu oleh Ouwyang Lam yang tidak rendah kepandaiannya.
Oleh karena itu, sambaran ular-ular dari belakang dan kanan kiri benar-benar membuat ia sibuk sekali dan ngeri. la maklum bahwa sekali saja tergigit ular hijau, maka nyawanya tidak akan dapat tertolong lagi. Sudah puluhan ekor ular terbabat mati oleh pedangnya, sehingga bangkai ular itu bertumpuk serta berserakan di sekelilingnya, menyiarkan bau yang amis dan memuakkan, bau yang mengandung racun pula.
Cui Sian terkejut bukan main. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menahan nafas sambil mengerahkan sinkang melawan bau yang sangat memuakkan itu. Akan tetapi karena di lain pihak ia diserang hebat oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dan diancam pula oleh semburan ular-ular beracun, berkali-kali perhatiannya terpecah dan tanpa sengaja ia menyedot dan terserang bau amis itu.
Kepalanya mulai pening, pandang matanya berputaran. Pedangnya masih dia gerakkan secara cepat, diputar-putar melindungi tubuhnya. Akan tetapi akibat matanya makin lama semakin gelap, akhirnya dia terkena tusukan ujung pedang Ouwyang Lam yang melukai pundaknya.
Dengan hati merasa muak Siu Bi memandang dan hatinya merasa ngeri juga karena sebentar lagi dia akan menyaksikan gadis perkasa itu roboh mandi darah dan dikeroyok ular-ular hijau. Untuk menolong, dia tidak sudi karena bukankah gadis perkasa itu masih sahabat bahkan saudara seperguruan dengan musuh besarnya?
la harus membenci gadis itu, biar pun perasaan hatinya tak memungkinkannya menaruh rasa itu, bahkan ada rasa kagum di lubuk hatinya. Namun, dia harus membenci semua yang ‘berbau’ Pendekar Buta! Betapa pun juga, rasa bencinya yang dipaksakan ini tidak melebihi rasa tidak senangnya terhadap Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam yang dia anggap berjiwa pengecut dan curang, sama sekali tidak memiliki sifat-sifat gagah sedikit pun juga.
"Tranggg! Tranggg!" Bunga api berpijar.
Ang-hwa Nio-nio, juga Ouwyang Lam, melompat ke belakang, kaget bukan main karena pedang mereka tersambar sinar hitam, telapak tangan mereka menjadi sakit dan hampir mereka terpaksa melepaskan pedang. Sinar hitam masih terus berkelebatan dan matilah ular-ular yang berada di sekeliling Cui Sian dalam jarak dua meter!
Siu Bi melompat kaget ketika melihat laki-laki yang memegang pedang bersinar hitam itu. Itulah pedangnya dan laki-laki itu bukan lain adalah Yo Wan!
"Kau...?!?" serunya, kaget dan heran.
Yo Wan cepat merangkul pundak Cui Sian yang terhuyung dan tidak ingat diri dengan Liong-cu-kiam masih tergenggam erat-erat. Kemudian Yo Wan menoleh ke arah Siu Bi, tersenyum getir dan melemparkan Cui-beng-kiam. "Nona, ini pedangmu kukembalikan. Terimalah!"
Pedang itu melayang dengan gagang di depan ke arah Siu Bi yang menangkapnya dengan mudah. Mata gadis ini terbelalak memandang. Entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, melihat Yo Wan memondong tubuh Cui Sian yang pingsan itu dan melangkah pergi dengan cepat, hatinya menjadi panas dan marah!
Sementara itu, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam sejenak tercengang. Heran mereka mengapa hari ini, setelah Siu Bi muncul pula orang-orang muda yang amat lihai, padahal orang-orang muda ini sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw.
Namun, melihat betapa pemuda sederhana berpakaian putih itu memondong tubuh Cui Sian yang pingsan, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam menjadi marah. Sambil berseru keras Ang-hwa Nio-nio melompat diikuti oleh Ouwyang Lam.
"Jahanam, jangan harap dapat keluar dari Ching-coa-to dalam keadaan bernyawa!" seru Ang-hwa Nio-nio.
Tangannya bergerak dan sinar kemerahan meluncur ke arah punggung Yo Wan. Itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang ampuh serta tak kalah jahatnya dengan Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang dahulu dimiliki oleh majikan pulau itu.
Kedua-duanya memang merupakan senjata rahasia yang ampuh dan sekali menyentuh kulit dan menimbulkan luka, korban itu takkan tertolong lagi nyawanya. Akan tetapi, tentu saja Ang-hwa Nio-nio lebih lihai dalam menggunakan senjata halus ini karena memang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada mendiang Ching-toanio. Oleh karena itu pelepasan jarum-jarum itu amat berbahaya.
Bagi si penyambit dan orang lain, jarum-jarum yang sudah berubah menjadi segulungan sinar merah itu agaknya pasti akan mengenai punggung Yo Wan yang lari memondong tubuh Cui Sian. Akan tetapi, aneh bin ajaib akan tetapi nyata terjadi, pemuda itu masih berlari-lari dan jarum-jarum itu melayang ke depan, hilang di antara pepohonan, sama sekali tidak menyentuh baju Yo Wan!
Hal ini sebenarnya tidak mengherankan, oleh karena dalam larinya, Yo Wan yang selalu berhati-hati, apa lagi maklum bahwa dia dikejar orang-orang pandai, telah menggunakan langkah ajaib Si-cap-it Sin-po. Dengan langkah-langkah ajaib ini, apa lagi ditambah oleh pendengarannya yang sangat tajam karena terlatih sehingga dia dapat mendengar angin sambaran senjata rahasia, tentu saja dengan mudah dia dapat menghindarkan serangan gelap dari belakang.
Betapa pun lihainya Yo Wan, dia adalah seorang asing di pulau itu, sama sekali tidak mengenal jalan. Dia hanya berlari dengan tujuan ke pantai telaga, karena itu dalam kejar mengejar ini sebentar saja Ouwyang Lam serta Ang-hwa Nio-nio yang mengambil jalan memotong dapat menyusulnya. Bahkan dua orang ini tahu-tahu sudah muncul di depan, menghadang larinya Yo Wan!
Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Tadinya dia tidak ingin bertempur, apa lagi dengan tubuh gadis itu dalam pondongannya. Akan tetapi agaknya dia tak dapat menghindarkan pertempuran kalau menghendaki selamat.
Segera dia meraih pedang di tangan gadis itu yang walau pun dalam keadaan pingsan masih memegangnya erat-erat. Sekali renggut dia dapat merampas pedang ini dan tepat di saat itu, pedang Ang-hwa Nio-nio serta pedang Ouwyang Lam sudah menyerangnya dengan ganas.
Yo Wan memondong tubuh Cui Sian dengan lengan kirinya. Tangan kanannya memutar pedang dan sekali bergerak dia berhasil menangkis dua pedang lawannya. Pertempuran hebat segera terjadi dan karena tiga batang pedang itu kesemuanya merupakan pedang-pedang pusaka, maka berhamburanlah bunga api setiap kali ada pedang beradu.
”Uuhhh..." Cui Sian mengeluh meronta.
Yo Wan yang memondongnya cepat-cepat melepaskan nona itu sambil menariknya ke belakang agar menjauh dari sinar pedang dua orang pengeroyoknya.
"Nona, kau sudah kuat betul?"
Cui Sian adalah seorang gadis yang sudah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil. Sinkang di tubuhnya sudah amat kuat, maka pengaruh racun tadi tidak lama menguasai dirinya. Setelah siuman hanya sejenak ia nanar, akan tetapi segera teringat akan segala pengalamannya dan seketika dia maklum bahwa pemuda yang dikeroyok oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dengan mempergunakan pedangnya secara aneh itu adalah penolongnya.
"Sudah, terima kasih. Harap kau kembalikan pedangku dan biarkan aku melawan mereka yang curang ini!"
Yo Wan menggunakan tenaganya menangkis dan sekaligus menerjang ganas sehingga dua orang lawannya terpaksa menghindar ke belakang. Kesempatan ini dia pergunakan untuk mengembalikan pedang Liong-cu-kiam kepada pemiliknya. Dengan hati gemas Cui Sian lalu memutar pedang itu dan menerjang kedua orang lawannya.
"Nona, tidak baik mengacau tempat orang lain, lebih baik lari selagi ada kesempatan," kata Yo Wan sambil mencabut pedang kayu dari balik jubahnya.
Pemuda ini sebetulnya mempunyai sebatang pedang pusaka pula, yaitu pedang pusaka pemberian isteri Pendekar Buta. Akan tetapi dia tidak pernah mempergunakan pedang ini dan hanya menggunakan pedang kayu cendana yang dibuatnya sendiri di Pegunungan Himalaya. Ilmu batin yang dalam dipelajarinya dari Bhewakala membuat hatinya dingin terhadap pertempuran dan permusuhan, maka dia tak akan menggunakan senjata tajam untuk menyerang orang apa bila keselamatannya sudah cukup dilindungi dengan pedang kayunya.
Serangan Cui Sian yang dahsyat diterima Ouwyang Lam. Ang-hwa Nio-mo menghadapi Yo Wan yang dia tahu malah lebih lihai dari pada puteri Raja Pedang itu. Bukan main kaget, heran, dan kagumnya pada saat dia mendapat kenyataan bahwa pedang kayu di tangan pemuda itu sanggup menahan senjata pusakanya, Ang-hwa-kiam! Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan muda yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, merupakan lawan yang amat berat.
Ada pun Ouwyang Lam yang kini menghadapi Cui Sian sendirian saja, dalam beberapa gebrakan sudah nampak terdesak hebat. Untung baginya, Cui Sian dapat menangkap kata-kata Yo Wan.
Gadis ini diam-diam membenarkan bahwa tiada gunanya melanjutkan pertempuran. Biar pun dia akan dapat menangkan pemuda ini, akan tetapi tempat itu merupakan sebuah pulau yang terkurung air, dan anak buah Ang-hwa-pai amat banyak. Selain ini, pulau itu sangat berbahaya dengan ular-ularnya, juga Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya pandai menggunakan racun-racun jahat. Melanjutkan pertempuran hanya berarti mengundang bahaya bagi diri sendiri. la pribadi tidak mempunyai urusan, apa lagi permusuhan dengan orang-orang ini, apa perlunya bertempur mati-matian?
"Kau benar, Sahabat, mari kita pergi!” katanya.
Yo Wan kagum dan girang sekali. Gadis ini ternyata seorang yang berpengalaman dan berpandangan jauh, alangkah bedanya dengan Siu Bi yang tindakannya amat sembrono. Mereka berdua lalu melompat jauh ke belakang, kemudian lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju ke pantai.
Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu menangkan dua orang itu, maka mereka tidak mengejar. Ang-hwa Nio-nio dengan muka keruh memberi tanda rahasia dengan suitan nyaring kepada anak buahnya agar supaya menghalangi kedua orang musuh itu, dan berusaha menangkap mereka di dalam air.
Akan tetapi, Yo Wan dan Cui Sian sudah melompat ke sebuah perahu kecil dan begitu mereka menggerakkan dayung di kanan kiri perahu, tidak mungkin lagi ada anak buah Ang-hwa-pai yang akan dapat mengejar mereka. Perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa karena digerakkan oleh tangan-tangan sakti, maka gagallah harapan terakhir Ang-hwa Nio-nio untuk menangkap mereka dengan cara menggulingkan perahu.
Ketika dua orang ini kembali ke tengah pulau, ternyata Siu Bi sudah lenyap, tidak berada di situ lagi. Ouwyang Lam kelabakan dan mencari-cari, memanggil-manggil, namun gadis yang dicarinya tidak ada, karena memang dalam keributan tadi, diam-diam Siu Bi sudah lari meninggalkan pulau itu.
Setelah kedua orang muda pelarian itu melompat ke darat dengan selamat, barulah Cui Sian sempat berhadapan dengan Yo Wan. Dengan perasaan kagum gadis ini kemudian menjura memberi hormat yang dibalas cepat-cepat oleh Yo Wan.
"Hari ini saya, Tan Cui Sian, menerima bantuan yang amat berharga dari sahabat yang gagah perkasa. Saya amat berterima kasih dan bolehkah saya mengetahui nama dan julukan sahabat yang mulia?"
Akan tetapi orang yang ditanya membelalakkan kedua matanya, lalu menatap wajah Cui Sian penuh selidik. Kadang-kadang kepala pemuda itu miring ke kanan, kadang-kadang ke kiri, wajahnya membayangkan rasa keheranan dan kegirangan yang besar.
Cui Sian mengerutkan alisnya, dan kecewalah hatinya. Apakah pemuda yang tadinya ia anggap luar biasa, gagah perkasa dan sederhana ini sebenarnya seorang laki-laki yang kurang ajar? Kedua pipinya mulai menjadi merah, pandang matanya yang penuh kagum dan hormat mulai berapi-api.
Akan tetapi semua ini buyar seketika dan berubah menjadi keheranan ketika pemuda itu tertawa bergelak dengan amat gembira, kemudian seperti orang gila hendak memegang tangannya sambil berseru,
"Ya Tuhan...! Benar sekali, tidak salah lagi... ahhh, kau Cui San... ehh, maksudku, kau... ehhh, Tan-siocia (nona Tan). Ha-ha-ha, sungguh hal yang tidak tersangka-sangka sama sekali. Serasa mimpi!"
Tentu saja Cui Sian tidak membolehkan tangannya dipegang. Dia mengelak dan dengan suara ketus dia bertanya, "Apa artinya ini? Siapa kau dan apa kehendakmu?"
"Ha-ha-ha, tidak aneh kalau Anda lupa, sudah lewat dua puluh tahun! Nona Tan, saya adalah Yo Wan!"
"...Yo Wan..? Yang mana... siapa...?" Cui Sian mengingat-ingat.
"Wah, sudah lupa benar-benar? Saya A Wan, masa lupa kepada A Wan yang dahulu pernah... ha-ha-ha, pernah menggendongmu, bermain-main di Liong-thouw-san bersama kakek Sin-eng-cu Lui Bok?"
Mendadak wajah yang ayu itu berseri, matanya bersinar-sinar dan kini Cui Sian yang melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu. "A Wan! Ahh, tentu saja aku ingat...! A Wan, kau... kau A Wan? Ahh, siapa duga..."
Sejenak jari-jari tangannya menggenggam tangan pemuda itu, namun segera dilepasnya kembali dan kedua pipinya menjadi merah. "...ahhh... ehh, sungguh tidak sangka... siapa kira kau sendiri yang akan menolongku? Tentu saja aku tak dapat segera mengenalmu, kau sekarang menjadi begini... begini, gagah perkasa dan lihai. Benar-benar aku kagum sekali!"
Wajah Yo Wan juga menjadi merah karena jengah dan malu, biar pun hatinya berdebar girang dengan pujian itu. "Kaulah yang hebat, Nona... tidak mengecewakan kau menjadi puteri Raja Pedang Tan-locianpwe ketua Thai-san-pai."
"A Wan, di antara kita tak perlu pujian-pujian kosong itu, dan apa artinya kau menyebut nona kepadaku? Namaku Cui Sian, kau tahu akan ini. Aku mendengar dari ayah bahwa Pendekar Buta hanya mempunyai seorang murid, yaitu engkau, akan tetapi mengapa gerakan pedangmu tadi... serasa asing bagiku?"
Yo Wan menarik nafas panjang, "Memang sebetulnya aku adalah murid suhu Kwa Kun Hong, akan tetapi... aneh memang, aku menerima pelajaran ilmu dari orang lain, yaitu dari mendiang Sin-eng-cu locianpwe dan mendiang Bhewakala locianpwe."
Sejenak kedua orang muda ini berdiri saling pandang. Yo Wan kagum, sama sekali tidak mengira bahwa bocah perempuan yang dulu itu, yang sering digodanya akan tetapi juga sering dia ajak bermain-main di Pegunungan Liong-thouw-san, dia carikan kembang atau dia tangkapkan kupu-kupu, pernah ketika gadis ini jatuh dia gendong di belakang, bocah yang dahulu itu sekarang telah menjadi seorang gadis yang begini hebat. Berkepandaian amat tinggi, berpandangan luas, bersikap gagah perkasa, wajahnya cantik sekali, bentuk tubuhnya langsing dan luwes. Pendeknya, seorang dara yang hebat.
Cui Sian segera menundukkan muka. Kedua pipinya menjadi makin merah, jantungnya berdegupan secara aneh. Mengapa dadanya bergelora, jalan darahnya berdenyar serta kepalanya menjadi pening? Mengapa ia yang tadinya berani menghadapi siapa pun juga dengan hati terbuka, tabah dan tidak pemalu, sekarang tiba-tiba merasa amat canggung dan malu terhadap pemuda ini, yang sama sekali bukanlah seorang asing baginya? Dia merasa benar-benar bingung dan tidak mengerti. Belum pernah Cui Sian merasakan hal seperti ini.
Biasanya dia amat pandai membawa diri, pandai bicara dan tidak canggung meski pun berhadapan dengan siapa pun juga. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan A Wan yang kini telah berubah menjadi seorang lelaki yang berpakaian sederhana, wajah yang membayangkan kematangan jiwa, dengan kepandaian yang sudah terbukti amat tinggi, ia benar-benar kehilangan akal!
"Non... eh, adik Cui Sian. Bagaimanakah kau bisa tersesat ke pulau yang menjadi sarang orang-orang jahat berbahaya itu? Bukankah kau masih tetap tinggal di Thai-san bersama orang tuamu?"
Di dalam hatinya Yo Wan menghitung-hitung dan dapat menduga bahwa usia Cui Sian tentu sekitar dua puluh tiga tahun. Dalam usia demikian, sudah semestinya kalau puteri ketua Thai-san-pai ini telah menjadi isteri orang. Mungkin suaminya tinggal tak jauh dari tempat ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya secara langsung dan karenanya dia bertanya dengan cara memutar.
Cui Sian amat cerdik. la setengah dapat menduga isi hati Yo Wan, maka cepat-cepat ia menjawab, "Aku masih tinggal dengan ayah bundaku di Thai-san dan sekarang ini... aku memang sedang merantau, turun gunung. Kebetulan di telaga ini aku bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai yang dihina orang-orang Ang-hwa-pai. Karena Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar dan kenalan baik ayahku, maka aku tidak tinggal diam dan membantu mereka. Siapa sangka, dengan cara amat curang Ang-hwa-pai menawanku..." selanjutnya dengan singkat ia menceritakan pengalamannya di telaga itu.
"Baiknya bagaikan dari langit turunnya, muncul engkau sehingga aku dapat terbebas dari maut. Kau sendiri, bagaimana bisa kebetulan berada di sini? Apakah tempat tinggalmu sekarang dekat-dekat sini... ehh, Twako? Kau lebih tua dari padaku, sepatutnya kusebut twako, Yo-twako!"
Yo Wan tersenyum. "Memang sebaiknya begitulah, Sian-moi (adik Sian). Tadi kau tanya tentang tempat tinggalku? Ahh, aku tiada tempat tinggal, juga tiada sanak kadang, hidup sebatang kara dan merantau tanpa tujuan."
"Oohhh..." Cui Sian menghela nafas dan hatinya pun berbisik, "Dia masih... sendiri, seperti aku, dia kesepian, seperti aku pula." Dengan kepala tunduk Cui Sian lalu mendengarkan cerita Yo Wan.
"Datangku ke Ching-coa-to hanya kebetulan saja, gara-gara... seorang gadis yang aneh. Dia lihai, wataknya aneh, akan tetapi sebetulnya berjiwa gagah." Secara singkat Yo Wan bercerita tentang pertemuannya dengan Siu Bi, betapa gadis lincah galak itu karena menolong para petani yang tertindas, dimasukkan dalam tahanan, kemudian dia bantu membebaskannya.
"Dia aneh sekali," Yo Wan menutup ceritanya, "tanpa sebab dia menguji kepandaian denganku, tetapi kemudian setelah terdesak, ia melarikan diri, meninggalkan pedangnya. Aku lalu mengejarnya untuk mengembalikan pedang, dan ternyata jejaknya membawaku ke Ching-coa-to dan agaknya bukan dia yang membutuhkan pertolongan, melainkan kau yang sama sekali tak pernah kuduga!"
Cui Sian mengangguk. "Dia memang seorang gadis gagah, sayang dia bergaul dengan orang-orang jahat dari Ang-hwa-pai. Bagaimana pun juga, dia telah menolongku dengan mengembalikan pedangku ketika aku dikeroyok ular."
"Aku pun heran sekali, sepak terjangnya gagah. Akan tetapi bagaimana dia bisa berada di sana? Ahh, agaknya dia memang memiliki hubungan dengan Ang-hwa-pai... sungguh tak kuduga sama sekali!" Wajah Yo Wan membayangkan kekecewaan besar.
Diam-diam Cui Sian yang menaruh perhatian, perasaannya tertusuk. Menurut cerita Yo Wan tadi, pemuda ini baru saja bertemu dengan Siu Bi, akan tetapi agaknya telah begitu tertarik dan amat memperhatikan keadaannya. Cui Sian mencoba untuk membayangkan wajah Siu Bi. Gadis yang masih muda sekali, cantik jelita, akan tetapi memiliki sifat-sifat keras dan ganas.
"Agaknya dia hanya seorang tamu di sana. Sepanjang dugaanku ketika aku dikeroyok di sana, dia tetap tidak sudi melakukan pengeroyokan biar pun mereka belum juga berhasil merobohkan aku. Ini saja menjadi tanda bahwa dia berbeda dengan orang-orang pulau itu. Akan tetapi, jika ia selalu berdekatan dengan mereka, akhirnya ia pun mungkin akan rusak..."
Tiba-tiba saja Cui Sian dan Yo Wan bergerak berbareng, melompat ke arah gerombolan pohon di sebelah kiri.
Siu Bi muncul dari balik pohon, pedang Cui-beng-kiam di tangan. Wajahnya keruh dan matanya berapi-api memandang Cui Sian yang menjadi tercengang setelah mengenal siapa orangnya yang bersembunyi di balik pohon-pohon itu. Juga Yo Wan tercengang, sama sekali tidak disangkanya bahwa Siu Bi sudah menyusul.
Sebetulnya bukan menyusul, malah Siu Bi lebih dulu meninggalkan Ching-coa-to. Ketika melihat Yo Wan menolong Cui Sian dan memondongnya pergi, hatinya menjadi panas dan tak senang. la marah-marah, dia sendiri tidak tahu marah kepada siapa, pendeknya ia amat marah, kepada siapa saja. Kepada Ouwyang Lam, kepada Ang-hwa Nio-nio dan kepada semua penghuni Ching-coa-to.
Diam-diam ia lalu pergi dari situ, menggunakan sebuah perahu dan mendayungnya cepat ke darat. Tak ada seorang pun anggota Ang-hwa-pai melihatnya karena mereka sedang bingung dan bersiap-siap melakukan pengepungan terhadap musuh apa bila diperintah. Andai ada yang melihatnya pun, mereka tentu tak akan berani mengganggu. Bukankah gadis ini sudah menjadi ‘orang sendiri’ dan sahabat baik kongcu?
Setibanya di darat, Siu Bi duduk termenung dan ketika melihat munculnya perahu yang didayung cepat oleh Cui Sian dan Yo Wan, ia cepat bersembunyi di balik pepohonan dan sempat mendengarkan percakapan mereka. Ucapan-ucapan terakhir yang menyinggung dirinya membuat ia tak dapat tenang, sehingga gerakannya segera dapat ditangkap oleh pendengaran Cui Sian dan Yo Wan yang amat tajam dan terlatih.
"Kalian berdua adalah orang-orang yang tak tahu malu! Kalau memang berani, hayo kita bermain pedang, kalau perlu boleh aku kalian keroyok dua. Apa perlunya bermain mulut, menggoyang lidah tak bertulang?"
"Eh-eh-ehh, Nona. Datang-datang kau marah besar tidak karuan, ada apakah?" Yo Wan mengangkat kedua alisnya, bertanya.
Cui Sian juga memandang heran dan diam-diam ia harus akui akan kebenaran kata-kata Yo Wan tadi, betapa aneh watak dara remaja itu. Akan tetapi diam-diam dia juga harus mengakui, betapa cantik moleknya Siu Bi.
"Marah-marah tidak karuan? Pandai memutar balikkan fakta!" Siu Bi membentak marah sekali, pedangnya yang terhunus itu ia acung-acungkan. "Kalian yang mengumbar mulut jahat, menggoyang lidah membicarakan orang semaunya dan tidak karuan! Hayo mau bilang apa sekarang, apakah kalian kira aku tak mendengarkan kasak-kusuk kalian yang busuk? Apakah ini sikap orang-orang gagah, laki-laki dan wanita kasak-kusuk di tempat sunyi, membicarakan orang lain?"
Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Tadinya ia kagum dan suka kepada Siu Bi, apa lagi dara remaja itu sudah menolongnya di Ching-coa-to. Akan tetapi ucapan yang galak ini benar-benar menyinggung hatinya, karena mengandung sindiran tentang dia berdua Yo Wan.
"Nanti dulu, adik yang baik. Kami memang telah bicara tentang dirimu, akan tetapi bukan membicarakan hal yang buruk..."
"Cih! Bicarakan hal buruk atau pun baik, aku melarang kalian bicara tentang diriku! Apa peduli kalian kalau aku rusak atau tidak? Apa sangkutannya kalian dengan apa yang aku lakukan, dengan siapa aku bergaul? Huh, sekarang aku sudah rusak, nah, kalian mau apa? Puteri Raja Pedang, hayo cabut pedangmu, kita bertanding sampai selaksa jurus, yang kalah boleh mampus!"
"Siu Bi...!" dalam kagetnya Yo Wan lupa menyebut ‘nona’. Dia takut gadis aneh ini akan kumat (kambuh) lagi penyakitnya, tiada hujan tiada angin menantang orang bertanding. "Sungguh mati, Sian-moi (adik Sian) sama sekali tidak bicara buruk tentang..."
"Diam kau! Atau kau hendak membela moi-moi-mu yang manis ini? Boleh, boleh, kau boleh maju sekalian mengeroyokku. Aku tidak takut!"
Celaka benar, pikir Yo Wan kewalahan. Tanpa sengaja dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Melihat ini, Cui Sian menahan senyumnya. Gadis ini sudah cukup berpengalaman, cukup bijaksana sehingga dia tidak terseret ke dalam gelombang kemarahan akibat sikap gadis muda yang liar ini.
Akan tetapi hatinya terasa perih. Dia harus mengakui bahwa dalam pertemuan yang tidak terduga-duga dengan Yo Wan ini, hatinya yang selama ini tegak, kini menunduk, runtuh oleh kesederhanaan, kegagahan dan wajah Yo Wan. Akan tetapi berbareng ia pun dapat menduga bahwa pemuda yang menjatuhkan hatinya ini agaknya mencinta Siu Bi, dan kini, melihat sikap Siu Bi ia dapat menduga bahwa gadis remaja ini menjadi marah-marah seperti itu karena cemburu dan cemburu adalah sahabat cinta!
Dengan suara lembut dia lalu berkata, "Bertanding sih mudah, memang bermain pedang merupakan kesenanganku. Akan tetapi, aku selamanya tak sudi bertanding tanpa alasan tepat. Di pulau tadi, kau tidak mau mengeroyokku, malah kau telah membantuku dengan mengembalikan pedang ini. Sekarang kau menantangku, apa alasannya?"
"Peduli apa dengan alasan? Kalau memang kau berani, hayo lawan aku!"
"Berani sih berani, adik yang manis. Akan tetapi tanpa alasan, aku tidak mau bertempur dengan kau atau pun dengan siapa juga."
Panas hati Siu Bi. Gadis ini demikian tenang, demikian sabar. Tentu akan kelihatan amat baik hati dalam pandang mata Yo Wan! Atau agaknya karena di hadapan pemuda itulah maka gadis ini bersikap begitu sabar dan tenang, biar dipuji!
"Kau mau tahu alasannya? Karena kau puteri Raja Pedang, maka kutantang kau!”
"Itu bukan alasan, Biar ayahku berjuluk Raja Pedang, tapi kau tidak kenal dengan ayah, tak mungkin bermusuhan dengan ayah, mana bisa dijadikan alasan?"
"Aku memusuhi ayahmu!"
"Ihhh, kenapa?"
"Karena ayahmu sahabat baik, bahkan gurunya Pendekar Buta!"
"Ahhh...!" Yo Wan yang mengeluarkan suara ini dan makin panas hati Siu Bi.
Apakah nama Pendekar Buta demikian besar dan hebatnya sehingga Yo Wan juga kaget ketika mendengar dia memusuhi Pendekar Buta? Karena panasnya hati, ia melanjutkan, suaranya lantang dan ketus.
"Aku telah bersumpah, akan kubuntungi lengan Pendekar Buta, juga isterinya dan semua keturunannya, dan tentu saja semua sahabat baiknya adalah musuhku. Ayahmu Si Raja Pedang sahabat Pendekar Buta, kau pun tentu sahabatnya, maka kau musuhku. Hayo, berani tidak? Tak sudi aku bicara lagi!"
Wajah Yo Wan seketika menjadi pucat mendengar ini. Cui Sian maklum akan hal ini dan dapat merasakan juga pukulan hebat yang diterima pemuda itu. la tahu bahwa Pendekar Buta adalah penolong dan guru Yo Wan yang amat dikasihi, dan agaknya baru sekarang pemuda ini mendengar kenyataan yang amat menusuk perasaan, yaitu kenyataan bahwa gadis lincah dan liar ini adalah musuh besar Pendekar Buta.
Oleh karena itu, Cui Sian hanya tersenyum masam dan memberi kesempatan kepada Yo Wan untuk menguasai perasaannya yang tertikam. la tidak ingin menambah penderitaan Yo Wan dengan melayani kenekatan Siu Bi. Sesudah berhasil menekan perasaannya yang kacau balau, Yo Wan segera melangkah maju. Matanya memandang tajam kepada Siu Bi ketika dia berkata,
"Nona, kau... kau benar-benar sudah tersesat jauh sekali! Harap kau singkirkan jauh-jauh pikiranmu yang bukan-bukan itu, tidak mungkin itu... Beliau adalah seorang pendekar yang berbudi, seorang gagah perkasa dan bijaksana yang tiada duanya di dunia ini. Aku tak percaya bahwa kau pernah dibikin sakit hati oleh Pendekar Buta. Mana mungkin kau bersumpah hendak membuntungi lengannya dan lengan keluarganya? Tak mungkin ini!”
"Hemmm, begitukah pendapatmu? Kiranya kau hanya berpura-pura berlaku baik padaku karena hendak mengubah kehendakku? Tidak mungkin ini! Aku sudah mempertaruhkan nyawaku. Biar Pendekar Buta seorang yang memiliki tiga buah kepala dan enam buah lengan, aku tidak akan mundur setapak pun. Boleh jadi dia pendekar besar, boleh jadi dia berbudi dan bijaksana terhadap orang lain, akan tetapi terhadap mendiang kakek Hek Lojin, sama sekali tidak! Lengan Kakek Hek Lojin menjadi buntung oleh Pendekar Buta, dan karena itu, aku bersumpah hendak membalaskan sakit hati ini, aku telah bersumpah akan membuntungi lengan..."
"Jangan... jangan kau berkata begitu...,” Yo Wan melompat dan laksana seorang gila dia menggunakan tangannya mendekap mulut Siu Bi!
"Ahhh... aku... uppp, lepaskan… lepaskan...!"
Siu Bi tentu saja meronta ronta, berusaha memukulkan gagang pedangnya, bahkan dia lalu membalikkan pedangnya hendak menusuk. Akan tetapi Yo Wan sudah memegangi lengannya dan dia sama sekali tidak dapat melepaskan diri.
Diam-diam Cui Sian menjadi terharu sekali, berseru nyaring, "Yo-twako, aku pergi dulu ke Liong-thouw-san."
la melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. la memang seorang gadis yang luas dan tajam pikirannya, dapat menggunakan pikiran mengatasi perasaan hatinya. Cui Sian maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, lebih baik kalau dia pergi meninggalkan dua orang itu.
Siu Bi sedang dikuasai rasa cemburu dan tentu akan makin menggila dan menantangnya sehingga dia khawatir kalau-kalau dia akhirnya tidak kuat menahan kesabarannya. Juga, tak mungkin ia dapat memukul Siu Bi, pertama karena gadis liar itu pernah menolongnya, kedua kalinya karena ia tidak mempunyai permusuhan dengannya.
la pernah mendengar nama Hek Lojin dari ayah ibunya, dan maklum bahwa Hek Lojin adalah seorang tokoh hitam yang amat jahat seperti iblis, juga berilmu tinggi. Siapa duga, gadis yang tadinya dia sangka seorang gadis gagah perkasa itu, kiranya cucu murid Hek Lojin. Pantas demikian aneh dan liar seperti setan!
Yo Wan sedang gugup, bingung, berduka dan kecewa. Karena itulah maka dia hanya menyesal sebentar bahwa Cui Sian pergi dalam keadaan seperti itu. Baru setelah Siu Bi mengeluarkan suara seperti orang menangis terisak, dia sadar akan perbuatannya yang luar biasa ini.
Dia sedang merangkul Siu Bi, mendekap mulutnya dan memegangi lengannya. Setelah sadar, dengan tersipu-sipu ia cepat melepaskan pegangannya. Mukanya sebentar merah sebentar pucat.
"Kau... kau... mau kurang ajaran, ya? Kau mengandalkan kepandaianmu? Karena kau sudah dapat menangkan aku, kau lalu mengira boleh berbuat sesukamu kepadaku? Kau laki-laki kurang ajar, kau laki-laki sombong, kau... kau... jangan kira aku takut, kau harus mampus...!" Serta merta Siu Bi menerjang dengan pedangnya.
Tentu saja Yo Wan cepat mengelak dan berkata, "Siu Bi... ehh, Nona..., tunggu dulu...”
"Tunggu apa lagi? Tunggu kau kurang ajar lagi? Kau merangkul-rangkul aku, mendekap mulutku, siapa beri ijin? Kurang ajar! Kau kira aku sama seperti Cui Sian, kau kira aku akan tergila-gila kepadamu, karena kau tampan, karena kau gagah, karena kau lihai? Cih, tak bermalu!" Pedangnya menusuk leher dan kembali Yo Wan mengelak.
"Sabar...!" Dia sempat berkata, tetapi cepat mengelak lagi karena sinar pedang hitam itu sudah menyambar. "Siu Bi, jauh-jauh aku mengejarmu, di sepanjang jalan penuh gelisah setelah menemukan sapu tanganmu ini..." la mencabut sapu tangan kuning dari sakunya. "Kukira kau terancam bahaya maut... kiranya kau menyambutku dengan serangan nekat begini. Aku takut kau terancam bahaya, kau malah ingin aku mati..."
"Makan ini!" kembali pedang Siu Bi menyambar, kini menyabet ke arah hidung.
Cepat Yo Wan meloncat dan menggerakkan kedua kakinya dengan langkah ajaib karena penyerangan gadis itu benar-benar tak boleh dipandang rendah.
"Kau mau menggunakan lidah tak bertulang? Jangan coba bujuk aku, he... Jaka Lola tak tahu diri. Kau bilang gelisah memikirkan aku, tetapi kenyataannya, dengan menyolok kau hanya datang untuk membantu Cui Sian. Wah, kau gendong-gendong dia. Mesra, ya? Cih, tak bermalu! Sekarang kau hendak membela Pendekar Buta lagi? Nah, matilah!"
Mau tidak mau Yo Wan tersenyum geli. Gadis ini memang luar biasa aneh. Tapi... tapi... agaknya marah-marah karena dia telah menolong Cui Sian? Hatinya berdebar. Benarkah dugaannya ini? Benarkah Siu Bi tak senang dia menolong gadis lain? Cemburu? Susah berurusan dengan gadis yang begini galak, pikirnya.
"Nanti dulu, Siu Bi, berhenti dulu...”
"Berhenti kalau kau sudah mati!" teriak Siu Bi.
Siu Bi mengirim tusukan cepat dan kuat sekali. Kalau terkena lambung Yo Wan, tentu pemuda itu akan di ‘sate’ hidup-hidup. Akan tetapi langkah ajaib menolong Yo Wan dan pedang itu meluncur lewat belakang punggungnya. Cepat dia memutar tubuh ke kiri dan tangan berikut gagang pedang itu sudah dikempit di bawah lengannya. Siu Bi tak dapat bergerak lagi!
"Nanti dulu, dengarkan dulu omonganku. Bila sudah dengar dan tetap menganggap aku salah, boleh kau sembelih aku dan aku Yo Wan tak akan mengelak lagi!"
Tangan kiri Siu Bi tadinya sudah bergerak hendak mengirim pukulan. Mendengar ucapan ini dia tampak ragu-ragu dan bertanya. "Betulkah itu? Kau tak akan mengelak lagi kalau nanti kuserang?"
"Tidak, tapi kau harus dengarkan dulu omonganku, bersabar dulu, jangan terlalu galak."
"Sumpah?"
"Sumpah...? Sumpah apa?"
"Sumpah bahwa kau tak akan melanggar janji?"
"Pakai sumpah segala?" Yo Wan melepaskan kempitannya dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. "Aku..."
"Tidak usah, bersumpah pun percuma! Mana bisa dipegang sumpah laki-laki? Sebagai gantinya sumpah, hayo bersihkan tanganku ini!" la mengasurkan tangannya ke depan.
Yo Wan melongo. "Bersihkan tanganmu? Kenapa?" la mengerutkan alisnya. Tak sudi dia demikian direndahkan, apakah dia akan diperlakukan sebagai seorang bujang?
Siu Bi merengut, marah lagi, terbayang pada matanya yang bersinar-sinar seperti akan mengeluarkan api.
"Memang kau tak bertanggung jawab, berani berbuat tak berani menanggung akibatnya. Kau tadi mengempit tanganku di ketiakmu, apa tidak kotor?"
Hampir saja Yo Wan meledak ketawanya, begitu geli hatinya sehingga perutnya terasa mengkal dan mengeras. Gadis ini benar-benar... ah, gemas dia, kalau berani tentu sudah dicubitnya pipi dara itu.
Tapi ia maklum bahwa gadis ini tidak berpura-pura, memang benar-benar bersikap wajar, sikap kanak-kanak yang nakal dan manja. Yo Wan lalu menggunakan ujung baju untuk menyusuti tangan yang berjari dan berkulit halus itu. Makin berdebar jantungnya hingga jari-jari tangannya agak gemetar ketika bersentuhan dengan jari-jari tangan Siu Bi yang ‘dibersihkan’.
Tiba-tiba Siu Bi merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Yo Wan. "Sudahlah...! Lama-lama amat membersihkan saja, agaknya kau memang senang pegang-pegang tanganku, ya?"
Tentu saja kedua pipi Yo Wan seketika menjadi merah sekali saking malu dan jengah mendengar teguran yang benar-benar tidak mengenal sungkan lagi ini akan tetapi yang langsung menusuk hati dengan tepatnya.
"Nah, sekarang kau omonglah! Awas, jika dari omonganmu ternyata kau masih bersalah terhadapku, pedangku akan menyembelih lehermu!" Mata Siu Bi memandang ke arah leher Yo Wan, penuh ancaman.
Akan tetapi Yo Wan sama sekali tidak merasa ngeri. Meski gadis ini merupakan kenalan baru, akan tetapi dia seperti telah mengenal luar dalam, sudah hafal akan wataknya yang memang aneh itu. Dia yakin bahwa sampai mati Siu Bi tak akan sudi melakukan hal itu, menyembelih orang yang tidak melawan seperti orang menyembelih ayam saja!
Dia tersenyum dan duduk di atas rumput. Ketika Siu Bi juga menjatuhkan diri duduk di depannya, dia merasa gembira dan lega hatinya, timbul kembali rasa aneh yang sangat bahagia di hatinya seperti ketika dia bersama gadis itu makan berdua menghadapi api unggun.
"Aku tidak berbohong, tak pernah membohong dan juga takkan suka membohong kalau akibat perbuatan itu aku merugikan orang lain." Yo Wan mulai dengan kata-kata memutar karena dia maklum bahwa menghadapi seorang seperti Siu Bi, ada perlunya sekali-kali membohong, maka dia tadi sengaja menambahi kata-kata ‘kalau akibat membohong itu akan merugikan lain orang’! "Pada waktu kau lari itu, pedangmu tertinggal. Aku menyesal sekali telah membikin kau marah dan kecewa, maka aku mengambil pedangmu dan lari mengejar. Celaka, kiranya ilmu lari cepatmu luar biasa sekali. Mana aku mampu untuk mengejar? Aku tidak dapat mengejarmu dan ketika kulihat sapu tangan ini... ada darah di situ... aku menjadi gelisah bukan main. Aku khawatir kalau-kalau kau terjatuh ke tangan orang jahat...”
"Memang aku terjatuh ke tangan orang jahat, anak buah Ang-hwa-pai yang menculikku setelah membuat aku pingsan dengan bubuk racun merah yang harum."
"Ahhh...! Sudah kukhawatirkan terjadi hal seperti itu...! Kemudian bagaimana?"
Siu Bi meruncingkan bibirnya. Yo Wan terpaksa meramkan kedua matanya melihat mulut yang kecil itu meruncing seperti hendak menusuk ulu hatinya. "Huh, yang mau omong ini engkau atau aku? Kaulah yang harus meneruskan omonganmu. Hayo, lalu bagaimana?"
Yo Wan tersenyum. Timbul lagi kegembiraannya. Ah, alangkah akan nikmat dan bahagia hidup jika bisa seperti ini terus. Heran dia, kenapa selalu terasa seperti ini, bunga-bunga makin indah, daun hijau makin segar, bahkan batang-batang pohon bentuknya menjadi penuh keindahan, semua hal aneh ini terjadi apa bila Siu Bi berada di dekatnya, dengan sikapnya yang nakal, aneh, menggemaskan dan kadang-kadang membingungkan.
"Aku lalu menyimpan sapu tangan pembungkus rambutmu ini yang... ehhh, yang harum baunya tapi ternoda darah... tadinya kusangka darahmu..."
"Bukan darahku. Kupukul seorang penjahat sampai berdarah. Pada waktu aku pingsan, agaknya dia sudah mengambil sapu tangan itu dan menggunakannya untuk mengusap darahnya..."
"Celaka..." pikir Yo Wan dan hidungnya dikernyitkan, alisnya berkerut.
"Ehhh, kenapa kau? Mukamu seperti... seperti monyet kalau begitu!"
Yo Wan tidak menjawab, hanya cemberut. Celaka, pikirnya. Teringat dia betapa kadang-kadang dia menciumi sapu tangan berdarah itu, mengira itu darah Siu Bi. Kiranya darah penjahat. Pantas baunya tak sedap.
"Sudahlah, sapu tanganku itu boleh kau miliki, teruskan omonganmu. Sampai di sini aku belum melihat kesalahan-kesalahan."
Belum ada kesalahan? Kesalahan besar yang patut diberi hukuman tamparan tiga kali, pikir Yo Wan.
"Aku mengejar terus sampai akhirnya aku berhenti di pinggir Sungai Fen-ho. Di sana aku dihadang oleh bajak sungai. Kukalahkan tiga orang itu, kutangkap seorang dan kupaksa mengaku. Dari bajak itulah aku tahu bahwa kau telah menjadi tawanan Ang-hwa-pai dan dibawa ke Ching-coa-to. Aku lalu melakukan pengejaran, akan tetapi karena aku belum mengenal jalan dan di sepanjang jalan harus berhenti untuk bertanya-tanya, maka tentu saja bajak itu sampai ke Ching-coa-to lebih dulu."
"Stop dulu! Awas, apakah pada bagian ini kau tidak membohong? Agaknya di jalan kau bertemu dengan Cui Sian dan itulah yang menyebabkan kau terlambat datang."
"Tidak sama sekali!"
"Kalau tidak, bagaimana bisa begitu kebetulan? Nah, lanjutkanlah,"
"Ketika mendarat di Ching-coa-to, aku sama sekali tidak tahu bahwa di situ ada Cui Sian, malah aku tidak pernah kenal siapa dia. Yang kukhawatirkan tentu saja kau, karena aku menyusul tergesa-gesa ke Ching-coa-to adalah karena hendak menolongmu."
"Hemmm..." Siu Bi menggerakkan mulut mengejek, tanda tak percaya. "Teruskanlah..." kata-kata ini membayangkan bahwa dia amat tertarik. Diam-diam Yo Wan geli hatinya.
"Tapi, ketika aku tiba di tempat pertempuran, aku melihat hal yang amat aneh dan sama sekali di luar dugaanku."
"Apa itu?"
"Ehh, kulihat kau yang kukhawatirkan setengah mati itu sedang berdampingan dengan seorang pemuda tampan dan ganteng, sama sekali kau tidak ditawan, apa lagi terancam! Sekali pandang saja aku maklum bahwa kau memang tidak membutuhkan pertolongan, maka perhatianku lalu tertarik oleh keadaan Cui Sian yang terancam bahaya maut. Tentu saja aku tidak bisa membiarkan orang-orang jahat menyiksa orang seperti itu, maka aku kemudian turun tangan menolongnya. Karena maklum bahwa berlama-lama di sana akan berbahaya, aku lalu membawa pergi Cui Sian yang masih pingsan, melarikan diri dengan perahu meninggalkan Ching-coa-to."
"Tanpa pedulikan aku lagi, ya?"
"Lho, kau kan tidak apa-apa! Aku sama sekali tidak merasa khawatir meninggalkan kau di sana karena agaknya kau tidak bermusuhan dengan orang-orang Ang-hwa-pai."
"Hemmm, tadi kau bilang tidak kenal Cui Sian, padahal sesudah kau dengan dia berada di sini, kalian bicara kasak-kusuk begitu mesra. Kau menyebutnya moi-moi segala!"
Yo Wan tersenyum dan mukahya menjadi merah. Benar-benar gadis ini belum mengenal sungkan, bicara secara blak-blakan tanpa malu-malu dan sungkan lagi, malah dia yang menjadi jengah dan untuk sejenak tak mampu menjawab.
"Pringas-pringis! Hayo beri keterangan, bagaimana? Atau, barangkali kau bohong ketika bilang tidak mengenal dia?"
"Begini, Nona..."
"Huh, aku yang lebih dulu kau kenal, masih kau sebut nona-nona segala. Dia baru saja kau jumpai, sudah kau sebut moi-moi. Coba pikir, bukankah hal ini sangat memanaskan perut?"
Senyum Yo Wan melebar. Benar-benar seperti anak kecil. "Kalau begitu, biar kusebut kau moi-moi. Aku tadinya takut menyebut kau moi-moi, kau begitu galak sih.”
”Siapa kegilaan dengan sebutanmu? Teruskan!”
"Begini sebenarnya. Ketika aku menolong Cui Sian, aku benar-benar tidak mengenal dia, dan aku menolong hanya karena tidak dapat berdiam diri saja melihat seorang wanita muda terancam maut. Akan tetapi sesudah kami berdua bercakap-cakap, baru aku tahu bahwa dia itu adalah seorang temanku bermain ketika kami masih kecil. Ketika itu dia baru berusia tiga empat tahun, dan aku berusia enam tujuh tahun. Tentu saja pertemuan yang tak terduga-duga itu menggembirakan dan kami bicara tentang masa lalu."
Siu Bi mengangguk-angguk, wajahnya agak berseri, tidak marah lagi seperti tadi.
"Dan kalian kasak-kusuk? Bicara tentang diriku, ya?"
"Tapi kami tidak bicara buruk. Cui Sian bukan macam gadis yang suka memburukkan orang lain."
"Aku tahu. Dia gagah perkasa memang. Tapi... tapi dia sahabatnya Pendekar Buta. Dan kau...!" Tiba-tiba Siu Bi berdiri, "Kau juga hendak membela Pendekar Buta? Mengapa? Kau siapa? Apamukah Pendekar Buta itu?"
"Eeittt, sabar dan tenanglah. Aku sama sekali tidak membelanya. Dengar baik-baik, Siu Bi Moi-moi. Aku mencegah kau memusuhi Pendekar Buta, sama sekali bukan dengan maksud lain kecuali untuk mencegah kau menghadapi bahaya maut. Kau tahu, Pendekar Buta adalah seorang yang teramat sakti, tak terkalahkan, dan mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat di dunia ini, sahabat-sahabat yang sakti-sakti pula. Karena itu, harap kau jangan sembarangan bicara dan ingat baik-baik lebih dulu sebelum memusuhinya, karena hal itu teramat berbahaya bagi keselamatanmu."
Sejenak Siu Bi termenung, kemudian matanya bersinar dan dia menyimpan pedangnya. Yo Wan menarik nafas panjang, dadanya lapang.
"Yo-twako... nah, aku pun menyebutmu Yo-twako, seperti Cui Sian tadi. Yo-twako..."
“Hemmm…”
"Waduh, kau senang ya kusebut Yo-twako?"
"Tentu saja senang, Bi-moi. Kau hendak berkata apa tadi?"
"Yo-twako, apakah kau suka kepadaku?"