Jaka Lola Jilid 08

Cerita silat kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 08

Kepandaian Bhok Hwesio memang amat hebat. Hawa sinkang dalam tubuhnya menjadi berlipat kuatnya setelah dia bertapa selama dua puluh tahun, berlatih setiap hari dengan tekun. Memang dasar latihan semedhi dan peraturan bernafas dari Siauw-lim-pai sangat kuatnya, berasal dari sumber yang bersih dan diperuntukkan bagi para pendeta Buddha untuk menguatkan batin dan mencapai kesempurnaan.

Agaknya dalam hal ini, Bhok Hwesio sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, sungguh pun setelah sampai pada batas yang tinggi, akhirnya ilmunya menjadi menyeleweng dari garis kesempurnaan karena dikotori oleh rasa dendam dan sakit hati sehingga tak dapat menembus rintangan yang dibentuk oleh nafsunya sendiri…..

Andai kata Bhok Hwesio tidak dikotori oleh dendam dan nafsu, kiranya dia akan mampu mencapai tingkat yang bahkan lebih tinggi dari pada yang pernah dicapai oleh semua tokoh Siauw-lim-pai karena memang pada dirinya terdapat bakat yang amat besar. Thian Ti Losu baru sadar akan kehebatan bekas suheng-nya ini sesudah pertandingan berjalan selama lima puluh jurus. la terdesak hebat dan sinar tongkatnya selalu terbentur membalik oleh hawa pukulan lawan yang kuat sekali.

Akan tetapi, bagi tokoh Siauw-lim-pai ini, kiranya membela kebenaran merupakan tugas hidup dan merupakan pegangan sehingga dia tidak merasa gentar menghadapi apa pun. Mati dalam membela kebenaran adalah mati bahagia. la mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya lebih cepat, berusaha sekuatnya untuk menghancurkan benteng hawa pukulan yang terus menghimpitnya itu. Dengan gerakan melingkar tongkatnya melepaskan diri dari tekanan ujung lengan baju, lalu dari samping dia mengirim tusukan ke arah lambung. Gerakan ini boleh dikatakan nekat karena dalam menyerang, dia membiarkan dirinya tidak terlindung. Jika lawannya membarengi dengan serangan balasan, walau pun tongkatnya akan mencapai sasaran dia sendiri tentu akan celaka.

Bhok Hwesio mengeluarkan dengus mengejek. la tidak mempergunakan kesempatan itu untuk balas menyerang, melainkan cepat sekali kedua ujung lengan baju dia sentakkan ke samping dan pada lain saat tongkat itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju, sedang ujung kedua menotok ke arah leher lawannya.

Thian Ti Losu kaget luar biasa, mengerahkan tenaga untuk merenggut lepas tongkatnya. Namun hasilnya sia-sia, tongkatnya seperti sudah berakar dan tak dapat dicabut kembali. Sementara itu, ujung lengan baju kiri Bhok Hwesio seperti seekor ular hidup sudah amat dekat meluncur. Terpaksa sekali, untuk dapat menyelamatkan diri, Thian Ti Losu melepaskan tongkatnya dan melempar tubuh ke belakang sambil bergulingan. la selamat dari totokan maut, tetapi tongkatnya telah dirampas lawan. Bhok Hwesio tertawa pendek, tangannya lalu bergerak dan... tongkat itu amblas ke dalam tanah sampai tidak kelihatan lagi!

"Thian Ti Losu, terang kau bukanlah lawanku. Sekali lagi, cepatlah kau pergi dan jangan menggangguku lagi, aku akan maafkan kekurang ajaranmu untuk terakhir kali mengingat bahwa kau hanya menjalankan perintah. Nah, pergilah!"

Namun, mana Thian Ti Losu sudi mendengarkan kata-kata ini? Melarikan diri dari tugas hanya karena takut kalah atau mati adalah perbuatan pengecut dan akan mencemarkan nama baiknya dan terutama sekali, nama besar Siauw-lim-pai. Mati dalam menunaikan tugas jauh lebih mulia dari pada hidup sebagai pengecut yang mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai. Sekarang Bhok Hwesio bekas suheng-nya, menganjurkan dia menjadi pengkhianat atau pengecut. Thian Ti Losu menengadahkan mukanya ke atas, tertawa bergelak kemudian mengerahkan seluruh lweekang-nya dan di lain saat dia sudah menerjang maju dengan kepala yang mengepulkan uap di depan, menubruk Bhok Hwesio.

Inilah jurus mematikan yang berbahaya bagi lawan dan diri sendiri! Karena jurus seperti ini, yang menggunakan kepala untuk menghantam tubuh lawan, merupakan tantangan untuk mengadu tenaga terakhir untuk menentukan siapa akan menang dan siapa harus mati. Kalau dielakkan, hal ini akan menunjukkan kelemahan yang diserang, tanda bahwa dia tidak berani menerima tantangan adu nyawa. Bagi seorang jagoan, apa lagi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio, tentu saja ini merupakan hal yang akan memalukan sekali.

"Huh, kau keras kepala!" ejek Bhok Hwesio sambil berdiri tegak, perutnya yang gendut besar ditonjolkan ke depan.

Bagaikan seekor lembu mengamuk, Thian Ti Losu menyeruduk ke depan, kepalanya dia arahkan perut bekas suhengnya.

"Cappp!"

Kepala hwesio itu bertemu dengan perut suheng-nya dan menancap atau lebih tepat lagi amblas ke dalam ketika perut itu menggunakan tenaga menyedot. Hebatnya, tubuh Thian Ti Losu lurus seperti sebatang kayu balok. Kedua tangannya bergerak hendak memukul atau mencengkeram, namun Bhok Hwesio yang sudah siap mendahuluinya, mengetuk kedua pundaknya.

Terdengar suara tulang patah dan kedua lengan Thian Ti Losu menjadi lemas seketika, tergantung pada kedua pundak yang sudah patah sambungan tulangnya. Bhok Hwesio masih meneruskan gerakan tangannya. Tiga kali dia mengetuk punggung Thian Ti Losu dan tubuh yang tegak lurus itu menjadi lemas, tanda bahwa tenaganya lenyap. Ada pun kepala tokoh Siauw-lim-pai itu masih menancap di ‘dalam’ perut Bhok Hwesio.

"Nah, pergilah!" seru Bhok Hwesio. Perutnya yang tadinya menyedot itu lalu dikembungkan dan tubuh Thian Ti Losu yang sudah lemas itu terlempar ke belakang sampai lima meter lebih jauhnya, roboh di atas tanah dalam keadaan setengah duduk.

Thian Ti Losu maklum apa yang telah menimpa dirinya. Bhok Hwesio sudah melakukan tindakan yang amat kejam, bukan membunuhnya melainkan mematahkan tulang kedua pundak, tulang punggung dan menghancurkan saluran hawa sakti di punggung sehingga mulai saat itu dia tidak akan mungkin lagi mempergunakan Iweekang atau sinkang dan sudah menjadi seorang tapa daksa selama sisa hidupnya!

"Manusia keji...!" katanya terengah-engah sambil menahan nyeri, akan tetapi sepasang matanya masih memandang tajam, "bunuh saja aku sekalian..."

"Huh-hu-huh, Thian Ti Losu. Kau benar-benar seorang yang tak kenal budi. Aku sengaja tidak membunuhmu agar kau dapat kembali ke Siauw-lim-pai dan membuktikan bahwa kau seorang yang setia dan dapat menunaikan tugas sampai batas kemampuan terakhir. Dan kau masih mengomel?"

"Lempar saja dia ke dalam jurang!" kata Bo Wi Sianjin yang masih merasa penasaran dan marah karena tadi dia terbanting masuk ke dalam tanah oleh tokoh Siauw-lim-pai itu.

"Heeeiii...! Mana dia...?!"

Seruan Maharsi itu membuat Bhok Hwesio dan Bo Wi Sianjin menengok. Baru sekarang mereka teringat akan diri gadis cucu Raja Pedang ketua Thai-san-pai itu.

"Wah, dia melarikan diri. Hayo kejar, dia penting sekali harus kita tawan!" Bhok Hwesio berseru.

Ketiga orang kakek ini segera meloncat dan lenyap dari tempat itu mengejar Lee Si, meninggalkan Thian Ti Losu yang hanya dapat memandang dengan hati mendongkol. la ditinggal dalam keadaan cacad, bersama mayat dua orang temannya, yaitu Sung Bi Tosu tokoh Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pai. Ke manakah perginya Lee Si? Apakah betul dugaan Bhok Hwesio tadi?

Pada saat gadis ini melihat bahwa di antara para kakek sakti itu timbul pertengkaran, dia maklum bahwa kehadirannya di situ sangat berbahaya dan bahwa saat itu merupakan kesempatan baik sekali baginya. Diam-diam ia menyelinap pergi pada saat pertandingan pertama terjadi. Setelah menyelinap di antara pepohonan dia lalu berlari cepat sekali, sengaja mengambil jalan melalui hutan-hutan lebat. Sepuluh hari kemudian, Lee Si yang kali ini berlari menuju ke timur tanpa disengaja tiba di sebuah kota. Di tempat ini barulah dia mendapat kenyataan dari keterangan yang dia dapat bahwa selama ini dia telah salah jalan dan tersesat amat jauh.

Kota ini adalah Kong-goan, sebuah kota di Propinsi Secuan sebelah utara, cukup besar dan ramai, di lembah Sungai Cia-ling. Karena ketika tiba di kota ini hari sudah menjelang senja, setelah mendapatkan keterangan itu Lee Si lalu menyewa sebuah kamar di rumah penginapan yang kecil akan tetapi cukup bersih. Sehabis makan dia berjalan keluar dari kamarnya, terus ke depan rumah penginapan dengan maksud hendak keliling kota. Tiba-tiba ia mengangkat muka dan hatinya berdebar. Entah apa sebabnya, saat bertemu pandang dengan seorang pemuda yang kebetulan lewat di depannya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Lee Si bingung dan heran sendiri.

Pemuda itu tampan sekali, mukanya putih dan halus seperti muka wanita, alisnya hitam tebal. Pakaiannya sederhana saja akan tetapi tak menyembunyikan tubuhnya yang kuat dan tegap. Gerak-geriknya jelas membayangkan ‘isi’, yaitu bahwa orang muda ini tentu memiliki kepandaian.

Agaknya yang kemasukan aliran ‘stroom’ aneh bukan hanya Lee Si karena pemuda itu yang tadinya berjalan dengan kepala menunduk, tiba-tiba saja mengangkat mukanya dan memandang Lee Si, bahkan setelah lewat, beberapa kali dia masih menengok sehingga dua pasang mata bertemu dan sinarnya seakan-akan menembus jantung!

Sejenak Lee Si berdiri termenung, memeras otak dan mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu dengan pemuda tadi dan mengapa dia menjadi tertarik seperti ini. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat ingat di mana dan bila dia pernah melihat wajah itu, wajah yang seakan-akan tidak asing baginya dan yang membuat darah di tubuhnya berdenyut lebih cepat dari biasanya. Akan tetapi setelah melihat betapa pemuda itu beberapa kali menengok memandangnya, timbul kemarahan di hati Lee Si. Betapa pun juga, pemuda itu amat kurang ajar, berani memandanginya seperti itu. Selain kurang ajar juga mencurigakan.

Lee Si cepat kembali memasuki kamarnya untuk mengambil pedangnya, dan tidak lama kemudian tubuhnya sudah berkelebatan di atas genteng yang mulai gelap dan langsung mengejar ke arah perginya pemuda tadi. Gerakannya cepat dan gesit sekali sehingga sebentar saja dia sudah melihat pemuda itu berjalan perlahan melalui jalan kecil yang gelap, kemudian terus keluar kota sebelah timur.

Siapakah pemuda tampan itu? Bukan pemuda biasa. Pemuda itu adalah Kwa Swan Bu, putera tunggal Pendekar Buta Kwa Kun Hong. Sudah lama sekali kita meninggalkan Pendekar Buta dan anak isterinya. Setelah suami isteri beserta putera mereka ini pindah kembali ke tempat lama, yaitu di Liong-thouw-san, Swan Bu tidak begitu dimanja lagi seperti ketika dia berada di Hoa-san. Dia sangat tekun berlatih ilmu kepandaian di bawah bimbingan ayah bundanya, terutama sekali ayahnya.

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali seperti biasa, Swan Bu turun dari puncak Liong-thouw-san dan pergi ke lereng sebelah kanan di mana terdapat jembatan tambang yang menghubungkan Liong-thouw-san dengan dunia luar. la duduk di atas sebuah batu besar dan memandang ke timur. Sudah menjadi kesukaan Swan Bu untuk menanti munculnya matahari yang merah dan besar. Kadang kala dia memandang dengan hati penuh kerinduan, bukan rindu kepada matahari melainkan kepada dunia ramai. Bagi seorang pemuda seperti dia, tentu saja tinggal di puncak Liong-thouw-san hanya bersama ayah bundanya, merupakan keadaan yang kadang-kadang menyiksanya, tersiksa oleh kesunyian dan rindu dengan keramaian dunia.

Tentu saja Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, maklum dan dapat merasakan kesunyian hidup putera mereka, dan maklum pula betapa besar hasrat di hati Swan Bu untuk meninggalkan puncak itu dan merantau di dunia ramai. Akan tetapi, mereka selalu melarangnya dengan alasan bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh dari cukup untuk dijadikan bekal merantau di dunia ramai karena di sana terdapat banyak sekali penjahat-penjahat yang berilmu tinggi.

Selagi Swan Bu masih duduk termenung sambil menikmati bola merah besar yang mulai tampak muncul dari balik puncak sebelah timur, tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh sesosok bayangan manusia yang bergerak cepat meloncat ke sana ke mari. Jelas bahwa orang itu datang mendaki puncak itu yang memang tidak mudah dilalui. Swan Bu tetap duduk tak bergerak, memandang penuh perhatian. Dari jarak sejauh itu, dan di dalam cuaca pagi yang masih remang-remang, dia tidak dapat mengenali siapa adanya orang yang datang ini. Terang bukanlah penduduk di sekitar Pegunungan Liong-thouw-san, karena tidak ada penduduk gunung yang dapat bergerak secepat itu.

Timbul kegembiraan di hati Swan Bu. Tentu seorang di antara anak murid Hoa-san-pai! Siapa lagi kalau bukan orang Hoa-san-pai yang datang berkunjung ini? Hatinya gembira karena semua anak murid Hoa-san-pai telah dia kenal baik.

Swan Bu melihat betapa orang itu meloncat ke atas jembatan tambang. Sesungguhnya bukanlah jembatan, melainkan sehelai tambang yang direntang dari seberang jurang dan untuk melalui ‘jembatan’ ini, orang harus memiliki kepandaian dan ginkang. Sekali saja terpeleset, mulut jurang yang menganga lebar mengerikan telah menanti di bawah untuk menelan lenyap tubuh si penyeberang yang jatuh!

Swan Bu dapat melihat betapa tambang itu bergoyang sedikit ketika orang tadi meloncat di atasnya dan kini berlari melalui tambang. Bergoyangnya tambang ini saja sudah cukup dijadikan ukuran oleh Swan Bu bahwa ginkang si pendatang ini belum begitu sempurna. Teringat dia betapa ibunya melatih ginkang dan tambang inilah yang dijadikan ukuran. Selama dia belum dapat berlari-lari di atas tambang tanpa menggoyangkan tambang itu sedikit pun juga, dia diharuskan terus berlatih! Tentu saja sekarang dia dapat berlari-lari di atas tambang itu tanpa menggoyangkan tambang itu sama sekali.

Setelah orang itu datang mendekat, Swan Bu terheran-heran. Orang itu adalah seorang pemuda, sebaya dengannya. Seorang pemuda yang tampan, pakaiannya indah, pedang yang bersarung indah tergantung di pinggang, kepalanya ditutup sebuah topi lebar yang dihias sehelai bulu merak, membuat wajahnya tampak makin tampan. Yang membuat Swan Bu terheran-heran adalah bahwa dia sama sekali tidak mengenal orang ini. Orang ini bukanlah anak murid Hoa-san-pai! Dia cepat berdiri dan menghadang di situ.

Sesudah melompat ke seberang setelah melalui jembatan tambang, pemuda itu melihat Swan Bu dan cepat dia menghampiri. Wajahnya yang tampan itu berseri dan mulutnya tersenyum. Cepat dia mengangkat kedua tangan memberi salam sambil berkata, "Kalau tidak salah dugaanku, saudara ini adalah Kwa Swan Bu, putera dari paman Kwa Kun Hong, bukan?"

Kening Swan Bu berkerut dan dia menjadi makin curiga. Akan tetapi dengan hati tabah dia menjawab, "Dugaanmu betul. Siapakah engkau dan apa maksudmu mendaki puncak Liong-thouw-san?"

Pemuda itu tersenyum, tidak marah oleh sikap Swan Bu yang tidak manis. "Aku Bun Hui dari Tai-goan, ayahku adalah sahabat baik ayahmu."

"Ayahmu siapakah? She Bun...? Apakah ada hubungannya dengan Bun Lo-sianjin ketua Kun-lun-pai?"

"Beliau adalah kakekku!" seru Bun Hui gembira. "Ayahku adalah Jenderal Bun Wan yang bertugas di Tai-goan, dengan ayahmu terhitung sahabat baik."

Swan Bu lalu mengangguk-angguk. Tahulah dia sekarang siapa adanya pemuda tampan berpakaian indah dan mewah tetapi sikapnya ramah dan sederhana ini. Tentu saja dia telah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh di dunia kang-ouw dari ayah bundanya, baik tokoh-tokoh yang tergolong kawan mau pun yang tergolong lawan. Juga sudah sering kali ayah bundanya menyebut-nyebut nama keluarga Bun dari Kun-lun-pai, malah dia pun tahu bahwa ibu dari pemuda ini masih terhitung bibinya sendiri karena ibu pemuda ini adalah adik angkat ibunya. Jadi mereka berdua masih dapat disebut saudara misan.

Dia segera menjura dan berkata, "Maafkan penyambutanku yang kaku karena aku tidak tahu sebelumnya. Kiranya saudara adalah puteranya paman Bun Wan. Betul dugaanmu, aku adalah Kwa Swan Bu. Bolehkah aku mendengar urusan penting apa gerangan yang mendorong saudara datang ke sini jauh-jauh dari Tai-goan? Kuharap saja tidak terjadi sesuatu yang buruk atas diri paman berdua di Tai-goan."

Bun Hui tersenyum, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ternyata Swan Bu tidak sesombong tampaknya tadi. "Gembira sekali hatiku dapat bertemu muka denganmu, adik Swan Bu. Sudah lama aku mendengar akan dirimu dari ayah bundaku, dan aku tahu bahwa usia kita sebaya, hanya aku lebih tua beberapa bulan saja darimu. Jangan kau khawatir, ayah bundaku dalam keadaan baik-baik saja. Kedatanganku ini diutus oleh ayah, selain untuk menyampaikan hormat kepada ayah bundamu, juga untuk memberi peringatan bahwa kini sudah mulai bermunculan musuh-musuh besar yang berusaha membalas dendam."

Berubah wajah Swan Bu yang tampan. Alisnya yang tebal hitam itu berkerut, matanya memancarkan sinar kemarahan. "Hemmm, kakak Bun Hui, berilah tahu kepadaku, siapa gerangan musuh-musuh yang berusaha untuk membalas dendam kepada ayah?"

"Ayahku lebih mengetahui akan hal itu dan agaknya ayah telah mencatat secara lengkap dalam suratnya yang kubawa untuk ayahmu. Sejauh pengetahuanku, agaknya penghuni Ching-coa-to yang telah mengumpulkan kekuatan untuk memusuhi ayahmu. Juga ada... orang dari Go-bi-san..."

Melihat keraguan Bun Hui, Swan Bu makin tertarik. "Siapakah dia, Twako? Juga musuh besar ayah?"

Bun Hui menelan ludah dan mengangguk. Beratlah hatinya untuk menyebut nama Siu Bi. Dia tidak ingin melihat Siu Bi bermusuhan dengan Liong-thouw-san, dan terlebih lagi dia tidak ingin dia melihat Siu Bi menjadi korban karena sudah pasti gadis itu akan menemui bencana kalau berani memusuhi Pendekar Buta.

"Ia datang dari Go-bi-san di mana terdapat dua orang bekas musuh besar ayahmu, yaitu Hek Lojin serta muridnya, The Sun. Mereka ini memiliki kepandaian hebat dan agaknya tak akan mau berhenti sebelum dapat membalas kekalahan mereka belasan tahun yang lalu."

"Hemmm, dan penghuni Ching-coa-to itu, siapakah?"

"Sepanjang pengetahuanku, kini di sana menjadi sarang Ang-hwa-pai yang dipimpin oleh ketua mereka yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio. Juga ada bekas jagoan di istana selatan yang memiliki julukan Ang Mo-ko, juga amat lihai biar pun tidak sehebat Ang-hwa Nio-nio kepandaiannya. Masih banyak lagi teman-teman mereka yang tidak kuketahui."

"Twako, di manakah letaknya Ching-coa-to? Di mana pula tempat tinggalnya Ang Mo-ko dan apakah orang-orang Go-bi-san itu sudah turun gunung? Mereka berkumpul di mana sekarang?"

Bun Hui memandang curiga. "Adikku yang gagah, agaknya engkau bernafsu sekali ingin mengetahui tempat mereka, mau apakah kau?"

"Tidak apa-apa, twako. Bukankah lebih baik kalau mengetahui kedudukan dan keadaan lawan?"

Bun Hui lalu memberi tahu di mana letak Ching-coa-to. "Mungkin Ang Mo-ko yang tidak tentu tempat tinggalnya itu pun kini sudah berada di Ching-coa-to. Tentang orang-orang Go-bi-san, aku sendiri tidak tahu pasti di mana mereka berada. Hanya... kabarnya sudah turun gunung."

Benar-benar berat hati Bun Hui untuk bicara mengenai Siu Bi, dan ini pula yang sangat menggelisahkan hatinya di dalam perjalanan itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau ayahnya memberi tahu perihal Siu Bi di dalam suratnya kepada Pendekar Buta.

"Twako, silakan kau naik ke puncak menghadap ayah dan ibu. Apa bila mereka bertanya tentang aku, tolong katakan bahwa aku hendak turun gunung mencegah kutu-kutu busuk itu mengganggu ketenteraman Liong-thouw-san!"

"Ehh, adik Swan Bu... jangan begitu... tak boleh tergesa-gesa dan berlaku sembrono...!" Bun Hui berseru gugup.

Namun Swan Bu tersenyum dan dagunya mengeras membayangkan kekerasan hatinya. "Mengapa jangan? Bukankah lebih baik kita mendahului lawan supaya jangan memberi kesempatan kepada mereka untuk bergerak? Apakah artinya aku menjadi putera tunggal ayah ibu jika aku tidak becus membasmi musuh-musuh ayah dan ibu sehingga bangsat-bangsat itu tidak akan berani mengganggu orang tuaku? Selamat berpisah, Twako dan terima kasih atas pemberi tahuanmu. Bila mana selesai tugasku, aku pasti akan mampir di Tai-goan untuk menghaturkan terima kasih kepada ayah bundamu."

Bun Hui menyesal bukan main mengapa dia tadi banyak bicara kepada pemuda yang berwatak keras itu. Cepat-cepat dia mendaki ke atas puncak agar dapat memberi tahu kepada paman serta bibinya sehingga mereka akan dapat mencegah Swan Bu turun gunung. la maklum bahwa Swan Bu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi mana bisa pemuda ini menghadapi musuh-musuh tangguh itu jika hanya seorang diri? Baru Siu Bi, gadis remaja itu saja sudah demikian hebat kepandaiannya, apa lagi musuh-musuh lain yang lebih tua usianya. Ia juga sudah mendengar betapa Ang-hwa Nio-nio memiliki ilmu yang amat tinggi.

Tergesa-gesa dia mendaki puncak melalui tangga tambang. Pada saat dia tiba di depan pondok, dia melihat seorang lelaki berusia sebaya ayahnya sedang duduk di atas bangku menjemur diri di bawah sinar matahari pagi. Di sebelahnya duduk seorang wanita sebaya ibunya, lebih tua sedikit, cantik sekali, keduanya bercakap-cakap dengan sikap tenang. Meski sudah sering kali dia mendengar ayahnya menyanjung-nyanjung dan memuji-muji Pendekar Buta, namun Bun Hui belum pernah bertemu muka dengan pendekar itu atau pun isterinya. Akan tetapi, melihat kesederhanaan mereka yang sekarang sedang duduk di depan pondok, dia dapat menduga bahwa mereka tentulah paman dan bibinya itu.

Apa lagi sekarang jelas kelihatan betapa sepasang mata laki-laki setengah tua itu tidak pernah berkedip dan ketika dia berjalan mendekat, tampak olehnya betapa kedua mata itu kosong tak berbiji! Sebatang tongkat kayu yang bersandar pada bangku laki-laki buta itu menarik perhatiannya. Diam-diam tengkuknya meremang sebab ia sering mendengar dari ayahnya tentang keampuhan tongkat itu yang telah merobohkan banyak tokoh besar dunia kang-ouw.

Kini mereka berhenti bercakap-cakap dan menengok ke arahnya. Terkejut hati Bun Hui pada waktu bertemu pandang dengan sepasang mata nyonya itu. Alangkah tajam, penuh wibawa dan seakan-akan menembus langsung ke dalam dadanya! Seakan-akan mata nyonya itu mewakili pula mata suaminya yang buta sehingga kekuatan pandangannya bagaikan pandangan mata dua orang digabung menjadi satu. Segera dia maju dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan mereka tanpa mempedulikan tanah yang agak basah oleh embun pagi dan mengotori celana pakaiannya yang indah.

"Bangunlah, Hui-ji (anak Hui), tak perlu kau terlalu sungkan. Lihat, pakaianmu kotor oleh tanah basah!" Wanita itu, Kwee Hui Kauw, menegur Bun Hui.

Bun Hui tercengang. Bagaimana nyonya itu dapat mengetahui bahwa dia adalah Bun Hui? Selamanya baru kali ini dia bertemu muka dengan suami isteri pendekar ini!

"Betul kata isteriku, orang muda. Kau bangkit dan duduklah, mari kita bicara yang enak."

"Paman... Bibi... mohon ampun sebesarnya... saya telah berbicara dengan adik Swan Bu dan..."

Pendekar Buta Kwa Kun Hong tersenyum, menggerakkan tangannya mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya. "Dan dia pergi turun gunung? Tidak apa, anakku. Memang sudah waktunya dia turun gunung dan menambah pengalaman. Lebih baik kau serahkan surat ayahmu kepadaku."

Untuk kedua kalinya Bun Hui tercengang. Bagaimana suami isteri itu dapat mengetahui semuanya? Dapat tahu bahwa dia datang membawa surat ayahnya, tahu pula tentang perginya Swan Bu turun gunung dan tahu bahwa dia itu Bun Hui padahal baru kali ini bertemu muka. Satu-satunya jawaban yang menerangkan keanehan ini hanyalah bahwa suami isteri ini tentu tadi sudah melihat kedatangannya dan mendengar percakapannya dengan Swan Bu, tanpa dia sendiri mengetahui akan kehadiran mereka! Ini saja sudah membuktikan kelihaian mereka!

la segera mengambil surat ayahnya dan menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong. Tak enak hatinya, sebab bagaimana dia dapat menyerahkan surat kepada seorang yang buta kedua matanya? Untuk memberi tahu bahwa surat sudah dia keluarkan, bibirnya lantas bergerak hendak bicara agar paman yang buta itu dapat mengetahui. Tapi sebelum dia membuka mulut, Kun Hong sudah menggerakkan tangannya menerima surat itu dengan gerakan sewajarnya seperti seorang yang tidak buta. Seakan-akan dia betul-betul melihat surat itu dan menerimanya tanpa ragu-ragu lagi. Tentu saja Bun Hui menjadi kaget setengah mati dan mulailah dia meragukan kebutaan Kwa Kun Hong.

Akan tetapi keraguannya lenyap ketika Kun Hong menyerahkan surat itu kepada isterinya untuk dibaca. Dengan suaranya yang halus dan merdu Kwee Hui Kauw membaca surat itu yang isinya hampir sama dengan apa yang telah diceritakan Bun Hui kepada Swan Bu tadi, hanya bedanya bahwa di dalam surat itu juga disebut nama Siu Bi sebagai seorang musuh besar yang mengancam hendak membuntungi tangan Pendekar Buta serta anak isterinya!

Kwa Kun Hong tersenyum pahit dan berkata lirih sesudah isterinya selesai membaca, "Hemmm, benci-membenci, dendam-mendendam, permusuhan, bunuh-membunuh, apa senangnya hidup bila dunia penuh dengan amukan nafsu ini? Isteriku, aku sudah bosan dengan segala urusan itu. Mudah-mudahan saja Swan Bu akan dapat mengingat semua nasehatku dan tidak suka menanam bibit permusuhan dengan siapa pun juga di dunia ini..."

"Tak perlu digelisahkan semua itu," jawab isterinya dengan suara tetap tenang, halus dan merdu, "Orang lain boleh meracuni hati sendiri dengan menanam kebencian, orang lain boleh mengikat diri dengan dendam dan permusuhan, akan tetapi kita yang sadar akan penyelewengan hidup itu tidak akan menuruti bujukan nafsu dan setan. Orang membenci kita, orang memusuhi kita, asalkan kita tak membenci dan tidak memusuhi mereka, maka kitalah yang menang. Bukanlah begitu kata-katamu sendiri? Nah, kalau ada yang hendak memusuhi kita, biarkan saja mereka datang. Kalau boleh, kita peringatkan mereka, kita sadarkan mereka, kalau tidak, apa boleh buat, selama masih hidup kita wajib membela diri. Kalau kita yang diberi anugerah hidup tidak mau melakukan kewajiban membela dan menjaga diri, berarti kita kurang terima dan tak bisa menghargai anugerah itu. Bukankah begitu apa yang sering kau katakan, suamiku?"

Kwa Kun Hong menarik nafas panjang, kepalanya mengangguk-angguk. Bun Hui berdiri bengong, hatinya terharu sekali dan tak kuat dia menentang wajah kedua orang itu yang membuatnya tunduk lahir batin. Baru kali ini selama hidupnya dia menyaksikan keadaan penuh damai, penuh cinta kasih, penuh pengertian dan penuh kata-kata yang memiliki arti begitu dalam pada sepasang suami isteri. la menunduk dan sikap serta kata-kata suami isteri itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat hati anak muda ini menjadi kagum dan tunduk.

"Hui-ji, kami sangat berterima kasih kepada ayahmu yang penuh perhatian dan tentu juga kepadamu yang sudah melakukan perjalanan sejauh ini. Kuharap kau suka beristirahat di sini barang sepekan, agar kita dapat bercakap-cakap dan kami bisa mendengar ceritamu tentang keadaan orang tuamu dan juga keadaan dunia ramai," kata Kwa Kun Hong.

"Saya akan mentaati perintah Paman dan sementara itu, saya yang muda dan bodoh banyak mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Paman dan Bibi."

Senang hati suami isteri itu melihat sikap dan mendengar kata-kata yang amat baik dari Bun Hui. Begitulah, pemuda ini tinggal sampai sepuluh hari di puncak Liong-thouw-san dan selama itu, selain menceritakan segala hal tentang keadaan di kota raja dan lain-lain yang ditanyakan kedua orang tua itu, juga dia menerima banyak petunjuk-petunjuk yang amat diperlukan untuk menyempurnakan kepandaian silatnya, terutama ilmu pedangnya Kun-lun Kiam-sut banyak mendapat kemajuan oleh petunjuk Kwa Kun Hong….
cerita silat karya kho ping hoo

Sementara itu, Kwa Swan Bu sudah berlari cepat sekali turun dari puncak. Dia merasa agak bersalah karena tidak berpamitan kepada ayah bundanya, akan tetapi dia sengaja meninggalkan pesan saja kepada Bun Hui karena dia dapat menduga bahwa meski pun ayahnya tidak akan melarangnya, akan tetapi ibunya tentu akan menyatakan keberatan. Sudah sering kali dia menyatakan ingin turun gunung dan selalu dicegah ibunya yang berkata bahwa kepandaiannya kurang cukup untuk dipakai menjaga diri dari gangguan orang-orang jahat yang banyak terdapat di dunia kang-ouw.

Sekarang Swan Bu tak ragu-ragu lagi. Tadinya, memang dia meragu dan membenarkan ibunya, maka dia menunda keinginan hatinya untuk turun gunung. Akan tetapi begitu melihat Bun Hui, keraguannya lenyap.

Dari gerakan Bun Hui pada saat menyeberangi jembatan tambang, jelas tampak olehnya bahwa tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh tingkat yang dimiliki Bun Hui. Kalau Bun Hui sudah diperbolehkan ayahnya melakukan perjalanan jauh seorang diri, mengapa dia tidak boleh? Pendapat ini lebih diperkuat lagi oleh dorongan hatinya yang menjadi panas mendengar betapa orang tuanya diancam oleh banyak bekas musuh lama.

Pada suatu hari sampailah dia di kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling. la bermaksud untuk melanjutkan perjalanan melalui Sungai Cia-ling, terus ke selatan sampai di Sungai Yang-ce-kiang kemudian melanjutkan perjalanan ke timur melalui sungai besar itu. Akan tetapi, pada waktu dia tiba di tepi sungai dan hendak menyewa perahu yang suka mengantarnya sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, dia melihat dua orang pengemis tengah menggotong seorang pengemis lain yang agaknya sakit keras, wajahnya pucat, tubuhnya lemah dan dari mulutnya keluar darah.

Tadinya Swan Bu tak mau mencampuri urusan orang lain sungguh pun sekilas pandang tahulah ia bahwa kakek pengemis yang digotong itu telah terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi perhatiannya segera tertarik pada waktu dia melihat pakaian para pengemis yang penuh tambalan itu. Pakaian penuh tambalan itu berwarna-warni dan berkembang-kembang. Teringat ia akan cerita ayahnya bahwa perkumpulan pengemis Hwa-i Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah suatu perkumpulan pengemis yang patriotik dan ayahnya sendiri menjadi ketua kehormatan!

"Lopek, berhenti dulu! Biarkan aku mencoba untuk menolong orang tua yang menderita luka pukulan Ang-see-ciang ini!"

Dua orang pengemis yang menggotong si sakit memandang curiga. Akan tetapi kakek pengemis yang terluka itu membuka mata, memandang heran, lalu berkata dengan nafas terengah-engah, "Turunkan aku... biarkan Kongcu ini memeriksaku..."

Dua orang pengemis itu terheran, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Tubuh kakek itu tidak jadi dimasukkan ke dalam perahu, akan tetapi diletakkan di atas tanah pasir. Swan Bu tidak mau membuang banyak waktu lagi. Jalur-jalur merah pada leher itu jelas menampakkan tanda korban pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah). Dia segera menghampiri, berlutut dan menggunakan jari telunjuk serta jari tengah kanannya untuk menotok dua kali pada pundak kanan kiri, kemudian sekali dia menekan punggung dan mengurutnya ke bawah sambil mengerahkan tenaga, kakek itu terbatuk dan muntahkan segumpal darah merah yang sudah mengental, sebesar kepala ayam.

Dua orang pengemis yang menggotong tadi terkejut sekali dan mereka melompat maju, malah sudah mengepal tinju siap untuk menerjang Swan Bu.

"Kau... kau membunuh Susiok (Paman Guru)...!" bentak seorang di antara mereka sambil menubruk maju dan memukul.

Swan Bu yang maklum bahwa orang ini salah duga, tidak mempedulikannya. Tubuhnya yang masih berjongkok itu bergerak sedikit dan penyerangnya langsung terlempar ke depan, melalui atas pundaknya kemudian terbanting ke air sungai sehingga air muncrat tinggi dan orang itu gelagapan sambil berenang ke pinggir.

Kawannya hendak menyerang, tapi tiba-tiba kakek yang sakit tadi membentak, "Goblok! Apa mata kalian sudah buta?"

Si pengemis kedua tidak jadi menyerang, sedang pengemis pertama yang telah berhasil berenang ke pinggir, sekarang memandang dengan heran, juga girang. Kiranya kakek pengemis yang tadinya sudah empas-empis nafasnya, sekarang sudah bangkit duduk, malah dengan perlahan lalu bangun berdiri dan menjura ke depan Swan Bu!

"Orang muda yang gagah perkasa, kau sudah menolong nyawa seorang pengemis tua bangka yang tiada gunanya. Sicu, bolehkah aku mengetahui namamu?"

"Lopek, tidak usah banyak sungkan. Bukankah Lopek bertiga ini orang-orang dari Hwa-i Kaipang?"

Pertanyaan Swan Bu ini disambut biasa saja oleh tiga orang kakek itu karena memang Hwa-i Kaipang bukan perkumpulan yang tidak terkenal, apa lagi mudah saja diketahui dari pakaian mereka. Kakek itu mengangguk dan menjawab,

"Tak keliru dugaanmu, Sicu. Aku adalah kakek Toan-kiam Lo-kai (Pengemis Tua Pedang Pendek), sebuah julukan yang kosong melompong, dan dua orang ini adalah murid-murid keponakanku. Sicu masih begini muda sudah luas pandangannya, sekali pandang tahu akan bekas pukulan Ang-see-ciang, siapakah nama Sicu yang mulia dan dari perguruan mana?

"Lopek, mari kita bicara di tempat yang enak," kata Swan Bu sambil mengerling ke arah orang-orang yang banyak berkumpul karena tertarik oleh kejadian ini.

Toan-kiam Lo-kai dapat menangkap isyarat ini, dia lalu menggerakkan kedua lengannya ke arah orang-orang di situ sambil berkata, "Saudara-saudara harap sudi meninggalkan kami agar kami dapat bicara leluasa."

Heran, orang-orang itu segera pergi tanpa banyak membantah lagi. Hal ini membuktikan kepada Swan Bu bahwa di daerah ini agaknya Hwa-i Kaipang bukan tidak mempunyai pengaruh. Setelah semua orang pergi, Swan Bu berkata,

"Lopek, ketahuilah bahwa aku she Kwa bernama Swan Bu, dari Liong-thouw-san...”.

Serta merta kakek itu bersama kedua orang murid keponakannya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Swan Bu!

"Ah, kiranya Siauw-hiap (Pendekar Muda) yang telah menolong saya! Ah, sungguh suatu kebetulan yang sangat membesarkan hati. Bagaimana kabarnya dengan Taihiap berdua di Liong-thouw-san?"

"Ayah dan ibuku baik-baik saja, terima kasih."

"Kiranya putera ketua kehormatan kita!" Kakek itu hampir bersorak kegirangan. "Kalau begitu tidak heran jika sekali pandang saja sudah tahu akan luka pukulan Ang-see-ciang! Wah, Siauwhiap tentu telah mewarisi ilmu kepandaian yang sakti dari Taihiap, ilmu silat dan ilmu pengobatan!"

"Ahh, aku yang muda dan masih hijau mana mampu mewarisi semua kepandaian ayah. Sudahlah, tidak ada gunanya segala puji-memuji ini. Lopek, lebih baik sekarang engkau ceritakan kepadaku, mengapa kau sampai terluka hebat oleh pukulan Ang-see-ciang dan siapakah pemukulmu, apa pula sebab-sebabnya?"

Toan-kiam Lo-kai menarik nafas panjang. "Siauwhiap, perubahan besar telah terjadi pada Hwa-i Kaipang sejak suhu Hwa-i Lo-kai meninggal dunia. Apa lagi sesudah Kwa-taihiap diketahui tidak pernah turun dari puncak Liong-thouw-san. Hwa-i Kaipang tidak dipandang mata lagi orang-orang kang-ouw. Tentu kau sudah mendengar dari ayahmu bahwa sudah semenjak dahulu, perkumpulan Hwa-i Kaipang bukan perkumpulan pengemis biasa saja. Selain itu para anggotanya memiliki tugas untuk menolong kaum lemah yang tertindas, bahkan ikut pula menjaga keamanan kota dari gangguan para penjahat. Akan tetapi, dengan kedatangan pembesar dari kota raja yang bertugas mengumpulkan tenaga-tenaga suka rela untuk membangun terusan dan tembok besar atas perintah kaisar, banyak anak buah Hwa-i Kaipang ditangkapi dan dipaksa menjadi sukarelawan. Orang-orang biasa, terutama yang kaya, dibebaskan asal bisa membayar uang tebusan. Bukankah hal ini menggemaskan?"

"Hemmm, pembesar macam itu sepatutnya diberi hajaran!" kata Swan Bu.

"Itulah! Kami sudah berusaha memberi peringatan kepada Lo-ciangkun (komandan Lo) yang memimpin pengerahan bantuan itu, akan tetapi kami malah dianggap memberontak terhadap perintah kaisar! Karena percekcokan ini, terjadilah keributan dan pertengkaran yang berekor pertempuran."

"Ahh, kalau begitu keliru juga, Lopek. Tidak baik melawan dengan kekerasan, hal itu bisa menimbulkan kesan bahwa Hwa-i Kaipang sudah memberontak."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Memang benar, tetapi kami pun harus membela anak buah kami yang sudah ditahan dan dipaksa, serta membebaskan pula orang-orang muda miskin yang tidak mampu membayar uang tebusan dan ditahan juga. Mereka itu, untuk memberi makan keluarganya saja sudah setengah mati. Sesudah mereka ditangkap dan dibawa pergi untuk kerja paksa yang disebut suka rela itu, keluarganya tentu akan mati kelaparan!”

"Akan tetapi kita dapat mengambil jalan lain, misalnya menemui komandan itu secara langsung."

"Hal itu sudah kulakukan dan hasilnya aku terluka parah inilah, Siauwhiap. Komandan itu dibantu oleh seorang iblis wanita yang sangat lihai, seorang pendatang baru dari barat. Kabarnya karena munculnya wanita itu maka para pembesar di daerah ini amat berubah, berani berlaku sewenang-wenang. Orang-orang gagah yang mencoba menentangnya, semua tewas atau roboh oleh Ang-jiu Toanio, iblis wanita itu. Karena ingin menyingkirkan biang keladi penyalah-gunaan kekuasaan dengan mengandalkan orang kuat itu, sengaja aku mendatangi Ang-jiu Toanio dan kesudahannya aku terluka..."

Sudah bergolak darah Swan Bu mendengar ini. Akan tetapi dia pun terheran, mengapa seorang wanita tua, seorang tokoh kang-ouw, membantu pembesar she Lo itu. "Lopek, mari kau antarkan aku pergi menemui Lo-ciangkun itu. Biarkan aku yang bicara dengannya, apa bila dia masih bertindak sewenang-wenang dan hendak mengandalkan Ang-jiu Toanio, biar aku akan coba-coba menghadapinya."

Girang hati kakek itu. "Akan tetapi, harap kau suka berhati-hati, Siauwhiap. Ketahuilah, Ang-jiu Toanio benar-benar luar biasa sekali. Tinggalnya di kuil rusak di sebelah selatan kota, keadaannya penuh rahasia, seperti iblis saja. Tidak ada orang yang pernah dapat memasuki kuil itu. Semua orang gagah, termasuk aku sendiri, roboh di halaman kuil oleh pukulan-pukulan Ang-see-ciang yang luar biasa."

"Biar aku akan mencobanya, Lopek. Mari!"

Toan-kiam Lo-kai dengan hati besar lalu mengiringi Swan Bu menuju ke rumah gedung tempat tinggal Lo-ciangkun. Gedung besar itu dijaga beberapa orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Begitu para penjaga itu melihat Toan-kiam Lo-kai, mereka terkejut dan panik. Baru kemarin pengemis tua itu telah membikin onar dan mereka yang tidak melihat sendiri sudah mendengar bahwa pengemis itu telah dirobohkan oleh Ang-jiu Toanio, bagaimana sekarang berani muncul di gedung ini lagi?

"He, berhenti! Kalian siapa dan mau apa?" bentak mereka dan berbarislah belasan orang pengawal menjaga di depan pintu, sebagian lagi lari ke dalam untuk melaporkan kepada Lo-ciangkun.

"Aku hendak bicara dengan Lo-ciangkun. Kalian ini para penjaga harap jangan bikin ribut, aku tidak ada urusan dengan kalian. Lebih baik lekas melaporkan kepada Lo-ciangkun bahwa aku Swan Bu minta bicara dengannya," kata Swan Bu dengan tenang, kemudian dia melangkah terus maju melalui pintu gerbang menuju ke ruangan depan.

Para pengawal itu hanya mengurung, namun tidak berani menghalangi, terutama sekali mereka takut terhadap Toan-kiam Lo-kai yang diam saja, hanya melirik ke kanan dan kiri dengan matanya yang sipit.

"Orang muda, berhenti, tidak boleh masuk! Apa kami harus menggunakan kekerasan?!" Komandan jaga membentak dan mengacung-acungkan tombaknya.

"Apa bila Lo-ciangkun tidak mau keluar menemuiku, aku akan terus maju mencarinya ke dalam rumah sampai ketemu, soal kekerasan, terserah kalau hendak menggunakannya!" jawab Swan Bu, masih tetap tenang dan kakinya masih bergerak maju.

Pengemis tua itu diam-diam merasa khawatir dan mengikuti dari belakang. Dia anggap perbuatan Swan Bu itu biar pun gagah berani, akan tetapi sembrono sekali. Bagaimana boleh memasuki mulut harimau secara begini sembrono?

Tentu saja terhadap para penjaga itu dia tidak takut sama sekali, tetapi dia pun maklum bahwa selain Lo-ciangkun sendiri seorang pandai, juga di situ terdapat banyak jago yang tangguh. Siapa tahu kalau-kalau wanita iblis itu berada di situ pula. Para penjaga itu sudah mengurung dan bersiap menerjang dengan senjata mereka yang berkilauan tajam. Akan tetapi tiba-tiba mata mereka silau oleh gulungan sinar putih yang panjang berkelebatan, disusul suara nyaring.

Sinar itu segera lenyap dan hanya tampak tangan pemuda itu bergerak mengembalikan pedang ke belakang punggung dan belasan batang tombak di tangan para pengawal itu tinggal gagangnya saja! Dengan gerakan yang sulit diikuti mata saking cepatnya, dan dengan cara yang amat luar biasa, pemuda itu telah mencabut pedang dan membuntungi belasan batang tombak tanpa mereka ketahui. Malah cara pemuda itu tadi mencabut pedang, menggerakkan, kemudian menyimpannya kembali, tak seorang pun di antara mereka dapat melihat jelas. Seperti sulap saja.

Toan-kiam Lo-kai sendiri mengangguk-angguk dan bukan main kagum di hatinya. Itulah gerakan ilmu pedang yang luar biasa, kesaktian yang hanya mungkin dimiliki oleh putera Pendekar Buta.

"Kalian lihat, aku tidak berniat buruk, buktinya leher kalian tidak putus. Aku hanya ingin bicara dengan Lo-ciangkun!" kata pula Swan Bu, suaranya tetap tenang.

Paniklah para penjaga itu, untuk mundur mereka takut meninggalkan tugas, maju pun jeri menghadapi pemuda yang luar biasa itu. Mereka hanya berdiri mengurung di ruangan depan itu, muka pucat dan badan gemetar. Swan Bu dan pengemis tua itu duduk di atas bangku yang banyak terdapat di ruangan itu.

"Lekas laporkan kepada Lo-ciangkun!" tiba-tiba pengemis itu membentak, suara galak.

"Sudah lapor... sudah lapor...,“ seorang penjaga menjawab ketakutan.

Tiba-tiba pintu sebelah dalam terbuka lebar dan muncullah seorang laki-laki tinggi kurus. Pria berpakaian perwira ini di dampingi oleh empat orang yang tinggi tegap, berpakaian ringkas dengan sikap seperti jagoan-jagoan.

"Ada apakah ribut-ribut di sini...? Ehh, kau berani datang lagi? Benar-benar kau hendak memberontak!" bentak perwira tinggi kurus itu sambil melotot ke arah Toan-kiam Lo-kai.

Swan Bu cepat bangun berdiri, tegak dan gagah. "Kaukah yang disebut Lo-ciangkun?" tanyanya, suaranya nyaring.

Komandan itu memandang marah. "Betul, aku Lo-ciangkun. Orang muda, kau tampan dan gagah, jangan kau ikut-ikut jembel pemberontak ini..."

"Lo-ciangkun, Lopek ini hanya mengantar aku ke sini. Akulah yang sengaja datang ingin bicara denganmu tentang perbuatan sewenang-wenang yang kau lakukan di kota ini dan daerahnya. Kau memaksa orang-orang yang tidak mampu memberi uang tebusan untuk kerja paksa mengerjakan tembok besar dan terusan, dengan alasan bahwa itu adalah perintah kaisar. Orang-orang miskin, pengemis-pengemis, kau paksa serta kau tahan, akan tetapi mereka yang mampu membayar uang tebusan, yang mampu menyogok kau bebaskan. Benarkah ada perbuatan sewenang-wenang macam ini?"

Walau pun sejak kecil Swan Bu tinggal di gunung-gunung, pertama di Hoa-san kemudian pindah ke Liong-thouw-san, namun dia banyak mendengar dari ayah bundanya tentang keadaan kota raja dan sejarahnya.

Wajah perwira itu menjadi merah saking marahnya. "Keparat, kau ini mempunyai kedudukan apa berani bicara macam itu kepadaku? Anak kecil yang masih ingusan dan belum tahu apa-apa, sikapmu yang kurang ajar ini akan mencelakakan kau sendiri. Mengingat akan usiamu yang muda, biarlah kuampuni. Hayo pergi dan jangan banyak rewel lagi!"

Diam-diam Swan Bu berpikir…..

Melihat sikap ini, Lo-ciangkun bukanlah seorang yang sangat kejam dan menggunakan kedudukannya bertindak sewenang-wenang. Buktinya masih memperlihatkan kesabaran terhadap seorang pemuda seperti dia, padahal menurut pendapat umum, sikapnya tadi itu sudah tentu merupakan pelanggaran yang tidak boleh diampuni lagi terhadap seorang pembesar pemerintah.

"Lo-ciangkun, para lopek dari Hwa-i Kaipang sudah berusaha untuk memberi peringatan kepadamu bahwa sepak terjangmu ini sudah melanggar keadilan, akan tetapi kau malah menggunakan kedudukanmu untuk menindas mereka dengan alasan memberontak. Kau insyaflah dan ubahlah peraturan yang tidak adil itu sebelum terlambat!”.

“Orang muda sombong!" teriak seorang di antara empat jagoan tinggi besar itu.

Tanpa perlu komando lagi, empat orang itu sudah menerjang maju dengan golok besar di tangan. Jelas bahwa mereka ini hendak membunuh Swan Bu dan si pengemis tua.

"Lopek, jangan ikut-ikut!" kata Swan Bu.

Mendengar ini, Toan-kiam Lo-kai enak-enakan duduk saja menonton dan tubuh Swan Bu berkelebat cepat ke depan didahului gulungan sinar perak dan keempat orang itu roboh malang-melintang, golok mereka terbabat buntung dan lengan mereka tergurat pedang sampai berdarah, sedangkan dada mereka masing-masing sudah tercium ujung sepatu Swan Bu.

"Anjing-anjing tukang menyiksa orang!" Toan-kiam Lo-kai berkata sambil tertawa. "Tidak lekas mengempit ekor dan lari, apa mau tunggu digebuk lagi?"

Empat orang itu masih belum kehilangan rasa kagetnya. Mereka terbelalak memandang ke arah Swan Bu, kemudian lari tunggang-langgang ke luar!

"Lo-ciangkun, kau saksikan sendiri betapa aku bertekad untuk membela pendirianku, bila perlu dengan pertumpahan darah, karena yang kulakukan ini adalah demi nasib ribuan orang yang tidak berdosa," kata Swan Bu, berdiri tegak dan gagah.

Para pengawal yang berdiri di dekat dinding mengurung tempat itu, hanya terbelalak dan tidak berani berkutik, menanti komando komandan mereka. Akan tetapi Lo-ciangkun tidak memberi komando itu, malah menarik nafas panjang, lalu menggerakkan tangan berkata, "Mereka sudah pergi, sekarang boleh kita bicara. Orang muda, kau ini siapakah dan hak apakah yang kau miliki untuk mencampuri tugasku?"

"Aku Kwa Swan Bu, hanya rakyat biasa. Kau seorang pembesar yang digaji dengan uang hasil keringat rakyat, karena itu setiap orang berhak untuk menilai dan mencela tugasmu jika kau menyeleweng, ketahuilah bahwa pada puluhan tahun yang lalu, nenek moyang dan ayahku berjuang mati-matian membela negara dan rakyat, bahkan ayahku ikut pula membantu perjuangan kaisar sekarang, namun tidak murka akan kedudukan. Pamanku seorang pejuang yang besar jasanya, sekarang menjadi Jenderal Bun yang terkenal jujur dan berwibawa sebagai jaksa agung di Tai-goan. Sedangkan kau ini, mungkin tak pernah ikut berjuang, tetapi setelah sekarang menemukan pangkat sedikit saja lalu kau gunakan untuk memeras rakyat jelata, berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu. Hemmm, mana bisa aku mendiamkan saja kau membunuhi rakyat yang tidak berdosa?"

Pucat wajah Lo-ciangkun. Tentu saja dia amat mengenal siapa adanya Bun-goanswe di Tai-goan. Ternyata pemuda perkasa ini adalah keponakan jenderal itu! Dengan tubuh lemas dia menjatuhkan diri duduk di atas bangkunya.

"Siapa membunuh ? Mereka itu disuruh bekerja, dijamin..."

"Omong kosong!" Kini Toan-kiam Lo-kai yang bicara. "Mereka meninggalkan anak isteri yang harus makan setiap hari. Kalau mereka dibawa pergi, anak isterinya harus makan apa? Pula, di tempat kerja mereka hampir tidak diberi makan."

"Sudahlah... sudahlah, semua itu terjadi akibat terpaksa..." akhirnya Lo-ciangkun berkata dengan muka pucat. "Bukan salahku... bukan salahku...." Dia menutupi mukanya seperti orang ketakutan.

"Lo-ciangkun, tidak perlu main sandiwara lagi, apa artinya semua ini?" Swan Bu berkata, keningnya berkerut.

"Kau lihat empat orang tadi... mereka bukanlah orangku, mereka adalah orang-orang... dia..."

"Dia siapa?" Swan Bu mendesak, terheran-heran melihat pembesar itu begitu ketakutan.

"Peraturan dari kota raja sudah cukup adil. Memang yang dapat menyumbangkan harta boleh dibebaskan dari kerja suka rela, dan uang itu diperlukan untuk menjamin para suka relawan serta menjamin keluarga mereka yang ditinggalkan selama tiga bulan sebelum diganti dengan rombongan lain. Semua sudah diatur, orang yang sakit tak akan dipaksa, hanya yang sehat dan tidak mempunyai pekerjaan penting... tapi... tapi... di daerah ini... dikuasai dia... kami terpaksa menyerahkan uang tebusan, bila tidak... ahhhh!" Pembesar itu tiba-tiba roboh terguling.

Swan Bu cepat-cepat melompat ke luar melalui sebuah jendela sambil menendang daun jendela. Pedangnya merupakan gulungan sinar putih menerjang keluar dan terdengarlah jeritan di luar jendela. Seorang bermuka kuning yang kecil pendek roboh mandi darah.

"Siapakah kau?! Mengapa menyerang Lo-ciangkun dengan jarum beracun?" Swan Bu membentak,

"Aku... aku... atas perintah... Toanio...!" Orang itu berhenti bicara dan nafasnya putus.

Kiranya terjangan Swan Bu tadi tidak saja melukai lehernya, akan tetapi juga beberapa batang jarum beracun yang tadi sudah meluncur masuk, kena ditangkis pedangnya lalu membalik dan melukai si penyambit sendiri.

Geger di ruangan itu. Lo-Ciangkun rebah dengan muka biru dan nafas putus!

Toan-kiam Lo-kai berkata lirih, "Nah, agaknya Ang-jiu Toanio dan orang-orangnya yang tadi turun tangan. Siauwhiap, terang bahwa para pembesar itu diperas dan dipaksa oleh Ang-jiu Toanio. Sekarang, apa yang hendak kau lakukan?"

"Lopek, agaknya wanita yang bernama Ang-jiu Toanio itu memiliki banyak kaki tangan. Yang menyambit jarum itu tentulah kaki tangannya yang tidak menghendaki Lo-ciangkun membuka rahasia. Lopek, harap kau suka kumpulkan kawan-kawanmu Hwa-i Kaipang dan kita menyerbu ke kuil itu. Biarkan aku menghadapi Ang-jiu Toanio dan kalau anak buahnya bergerak, kau dan teman-teman membasmi mereka."

Gembira wajah kakek itu. "Baik, Siauwhiap. Sedikitnya ada tujuh orang temanku di sini, cukup untuk membasmi setan-setan itu."

Demikianlah, pada petang hari itu juga Swan Bu melakukan perjalanan ke kuil di sebelah selatan kota setelah siang tadi dia menyelidiki tempat itu. Dan secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Lee Si yang bermalam di kamar hotel. Swan Bu terkejut sekali dan merasa heran mengapa hatinya menjadi tidak karuan ketika sepasang matanya bentrok dengan sepasang mata yang seperti mata burung hong itu. Beberapa kali dia menengok, sehingga akhirnya dia merasa malu kepada diri sendiri dan mempercepat langkahnya meninggalkan nona cantik jelita yang sedang berdiri di depan pintu rumah penginapan itu.

Dari gerak-gerik si nona dia dapat menduga bahwa gadis jelita itu tentulah bukan orang sembarangan. Mungkin seorang tamu rumah penginapan itu, dan melihat kebebasannya, tentu seorang wanita kang-ouw. Akan tetapi karena dia menghadapi urusan besar, Swan Bu mengusir bayangan nona itu dari ingatannya dan dia langsung menuju ke kuil tua yang berdiri sunyi di pinggir kota.

Setelah tiba di depan kuil yang sunyi itu, dia berhenti. la maklum bahwa di kanan kiri kuil, bersembunyi di balik pohon-pohon, terdapat Toan-kiam Lo-kai yang berjaga-jaga sambil menyembunyikan diri. Hati Swan Bu jadi meragu. Kuil itu sudah tua, kotor dan agaknya kosong. Jangan-jangan Ang-jiu Toanio yang menjadi biang keladi penindasan di kota Kong-goan sudah melarikan diri. Tak mungkin, pikirnya. Wanita itu tentu memiliki kepandaian tinggi, sebelum bertanding melawannya mana mungkin mau lari?

Tempat itu menyeramkan, sunyi seperti kuburan akan tetapi tidak gelap karena berada di tempat terbuka sehingga matahari yang sudah hampir menyelam itu masih menerangi halaman depan. Halaman kuil tadinya tertutup pagar tembok yang tinggi, tetapi karena pagar tembok itu banyak yang runtuh, sekarang menjadi terbuka dan di sana-sini tampak ada pintu yang terbentuk dari tembok runtuh berlubang. Rumah tua yang menyeramkan, kotor dan sunyi, patutnya menjadi tempat tinggal siluman-siluman.

Tiba-tiba dari pintu yang butut itu keluarlah seorang wanita tua, wanita yang tersenyum-senyum dan sanggul rambutnya dihias oleh setangkai bunga merah. Wanita itu setibanya di halaman kuil berkata, suaranya penuh ejekan,

"Bocah she Kwa, kau masih berani datang ke sini? Lihatlah di sebelah kiri kuil di mana teman-temanmu sudah mendapat hukuman!"

Mendengar ini, Swan Bu terkejut, teringat akan Toan-kiam Lo-kai dan teman-temannya anggota Hwa-I Kaipang. Dengan gerakan cepat dia melompat dan berlari ke arah kiri kuil dan... wajahnya berubah merah sekali. Nenek itu ternyata tidak membohong. Di pelataran pinggir itu tampak tujuh mayat bergelimpangan, di antaranya adalah Toan-kiam Lo-kai dan yang enam lagi jelas anggota Hwa-i Kaipang karena pakaian mereka semua penuh tambalan berkembang!

Dengan kemarahan memuncak Swan Bu lari kembali ke depan kuil, berdiri di luar tembok dan menghadap nenek yang masih berada di situ dari balik pecahan pagar tembok. "Apakah kau yang bernama Ang-jiu Toanio?" tanya Swan Bu, suaranya ditekan supaya tidak terdengar menggigil saking marahnya. "Dan kaukah yang membunuh tujuh orang Hwa-i Kaipang itu?"

Nenek itu tersenyum, kembang merah di atas kepalanya bergoyang-goyang. "Dan kau Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong, bukan? Hi-hik-hik, kebetulan sekali kita berjumpa di sini. Di sini aku disebut Ang-jiu Toanio, akan tetapi di tempatku aku adalah Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai, musuh besar ayahmu. Kau berani masuk ke sini dan mengadu kepandaian melawanku?"

Bila tadi Swan Bu sudah marah sekali, sekarang serasa meledak dadanya. Kiranya inilah orang yang mengumpulkan teman-teman untuk menyerbu Liong-thouw-san? Kebetulan sekali! "Siapa yang takut padamu? Orang semacam kau inikah yang hendak menantang ayah? Ha-ha-ha-ha, nenek tua hampir mampus, tidak usah dengan ayah ibu, cukup dengan aku puteranya!"

Sekali menggerakkan kakinya, tubuh Swan Bu sudah melayang masuk dan menghadapi Ang-hwa Nio-nio yang sudah siap memasang kuda-kuda dengan sikap mengejek itu.

Pembaca tentu heran mengapa Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai di Ching-coa-to itu bisa berada di Kong-goan? Ini bukanlah hal kebetulan karena memang sengaja Ang-hwa Nio-nio beserta rombongannya datang ke Kong-goan ini untuk menyambut suheng-nya, Maharsi. Kedatangan Ang Mo-ko, bekas tokoh pengawal istana dari kaisar sebelumnya, juga ikut, demikian pula Ouwyang Lam dan Siu Bi.

Seperti kita ketahui, gadis ini menangis ketika ditinggalkan Si Jaka Lola Yo Wan setelah dia mengaku bahwa dia adalah puteri angkat The Sun. Dalam keadaan berduka ini dia diketemukan oleh Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya yang tentu saja mempergunakan kesempatan bagus ini untuk membujuknya, kembali menggabungkan diri dengan mereka untuk menghadapi musuh besarnya, Pendekar Buta.

Tadinya Siu Bi menyandarkan harapannya pada bantuan Yo Wan, akan tetapi setelah Yo Wan ternyata adalah musuh besar ayah tirinya dan tidak mungkin mau membantunya, memang paling baik baginya adalah menggabungkan diri dengan rombongan Ang-hwa Nio-nio yang kuat. Kong-goan, Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya mengambil tempat di kuil tua itu karena memang di tempat itulah dia berjanji dalam pesannya kepada Maharsi untuk menyambut kedatangan suheng-nya dari barat ini. Dan tentu saja, untuk melayani segala keperluan mereka, Ang-hwa Nio-nio diikuti pula oleh serombongan anak buahnya yang cukup kuat.

Karena pada dasarnya memang penjahat, di Kong-goan Ang-hwa Nio-nio segera melihat kesempatan baik untuk mendapatkan uang banyak ketika datang pembesar dari kota raja untuk mengumpulkan orang yang dijadikan suka relawan yang pada masa itu dibutuhkan sekali untuk memperbaiki bangunan tembok besar dan saluran air.

Kong-goan terletak amat jauh dari kota raja, merupakan kota yang terpencil dan dengan kepandaiannya yang tinggi Ang-hwa Nio-nio mampu menguasai pembesar-pembesar itu, mengancam mereka untuk melakukan pemerasan dalam kesempatan mengumpulkan tenaga-tenaga kerja paksa. Mudah saja ia lakukan hal ini tanpa khawatir akan terganggu, sebab ia menaruh beberapa orang anak buahnya untuk ‘menjaga’ para pembesar yang bersangkutan, di antaranya Lo-ciangkun.

Tentu saja mula-mula dia mendapatkan tentangan hebat, namun sesudah banyak orang roboh oleh pukulan tangannya yang berubah merah, ia mendapat julukan Ang-jiu Toanio (Nyonya Besar Tangan Merah) dan tak seorang pun beran membantahnya lagi. Akhirnya para pengemis Hwa-i Kaipang mendengar mengenai hal ini dan turun tangan. Akan tetapi mereka roboh pula di tangan Ang-jiu Toanio atau Ang-hwa Nio-nio bersama teman-temannya yang amat lihai itu.

Demikianlah ringkasan tentang kehadiran Ang-hwa Nio-nio di Kong-goan. Kita kembali ke depan kuil di mana Swan Bu sedang berhadapan dengan nenek itu. Swan Bu maklum bahwa lawannya ini lihai, namun melihat nenek itu tidak menggunakan senjata, dia pun tak mau mengeluarkan Gin-seng-kiam yang tersimpan di balik jubahnya. Matanya yang tajam memandang ke arah kedua tangan nenek itu yang perlahan-lahan berubah merah ketika nenek itu mengerahkan Ang-see-ciang.

Swan Bu tidak menjadi gentar, dia telah mendengar banyak tentang Tangan Pasir Merah ini dari ayah bundanya dan karenanya ia pun maklum bagaimana harus menghadapinya. Cepat-cepat dia menyalurkan sinkang di tubuhnya dan ‘mengisi’ dua lengannya dengan tenaga lemas yang mengandung Im-kang hingga kedua tangannya menjadi lunak halus dan gerakannya mengeluarkan hawa dingin seperti es.

Akan tetapi sebelum nenek itu menyerangnya, Swan Bu mendengar ada gerakan orang di sebelah belakangnya. Segera dia menggeser kakinya, mengubah kuda-kuda menjadi miring dan matanya mengerling ke arah luar. Kiranya di tempat itu telah berdiri belasan orang anggota Ang-hwa-pai yang memegang senjata, berjajar menutup jalan keluar, di antara mereka terdapat empat orang yang dia robohkan di gedung Lo-ciangkun! Mengertilah dia bahwa dia kini berada di goa harimau dan harus berjuang mati-matian sebab agaknya lawan berusaha sungguh-sungguh untuk menjebaknya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk lolos dari tempat itu.

Pada saat itu juga, muncul pula tiga orang dari pintu kuil. Mereka ini bukan lain adalah Ouwyang Lam, Siu Bi, dan seorang kakek yang pakaiannya serba merah dan mukanya tersenyum-senyum. Usianya sudah sangat tua, sedikitnya tujuh puluh lima atau delapan puluh tahun, memegang sebatang tongkat bambu yang digunakan menunjang tubuhnya yang agak bongkok. Kakek ini bukan lain adalah Ang Mo-ko, seorang tokoh yang cukup terkenal selama puluhan tahun di kota raja.

Sejenak Swan Bu tertegun ketika bertemu pandang dengan gadis yang cantik jelita itu. Teringat dia akan pertemuannya di depan rumah penginapan tadi. Hampir serupa gadis ini dengan gadis tadi, tetapi malah lebih jelita, terutama sepasang matanya yang begitu lincah dan tajam. Siu Bi juga memandang Swan Bu penuh perhatian, pandang matanya menjadi bimbang dan ragu. Inikah putera Pendekar Buta? Betulkah seperti yang dia dengar dari Ang-hwa Nio-nio bahwa putera tunggal Pendekar Buta akan datang menyerbu? Dan pemuda yang luar biasa tampan dan gagahnya inikah musuh besarnya? Diam-diam Siu Bi tertegun dan terpesona. Belum pernah ia melhat seorang pemuda sehebat ini.

Wajahnya berkulit halus putih kemerahan seperti wajah perempuan, akan tetapi alisnya yang tebal hitam, dagunya yang berlekuk sedikit tengahnya, pandang mata yang amat berwibawa, dada bidang yang membayangkan kekuatan, semua itu membayangkan sifat jantan yang mengagumkan. Akan tetapi teringat lagi bahwa pemuda ini adalah putera musuh besar yang akan dibalasnya, matanya bernyala penuh kebencian.

Swan Bu dengan tenang menghadapi pengepungan ini, bahkan dia tersenyum karena memang hatinya girang sekali mendapat kenyataan bahwa musuh-musuh orang tuanya ternyata adalah orang-orang jahat.

"Ang-hwa Nio-nio, memang betul kata-katamu tadi. Amat kebetulan kita dapat bertemu di sini karena sebenarnya aku hendak pergi ke Ching-coa-to untuk mewakili orang tuaku yang kabarnya hendak kau cari dan kau tantang. Sekarang, melihat sepak terjangmu dan kawan-kawanmu, hatiku lega bukan main. Kiranya macam beginilah musuh-musuh orang tuaku, atau lebih tepat lagi, orang-orang yang memusuhi orang tuaku karena aku yakin bahwa orang tuaku tidak akan mau mencari permusuhan. Apa bila orang-orang yang memusuhi orang tuaku jahat-jahat belaka, jelas bahwa di waktu dahulu orang tuaku tidak berada di pihak yang salah."

Baru saja Swan Bu menutup mulutnya, Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju sambil membentak, "Bocah sombong rasakan tanganku!"

Kedua tangannya yang sudah berubah menjadi merah itu menerjang maju dan mengirim pukulan beruntun. Jangan dipandang rendah pukulan ini karena inilah pukulan-pukulan Ang-see-ciang yang amat hebat. Jangankan sampai tangan-tangan merah itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang tidak begitu tinggi ilmu kepandaiannya. Kedua tangan yang merah itu terbuka jari-jarinya, agak melengkung dan hawa pukulan yang menyambar dari telapak tangan itu sangat panas seperti api membara.

Akan tetapi Swan Bu yang sudah mengerahkan Im-kang pada kedua lengannya, bahkan sengaja kakinya melangkah maju dan menyambut pukulan-pukulan itu dengan tangkisan lengannya. Dia hendak menguji kekuatan lawan sambil sekaligus juga memperlihatkan kepandaiannya. Nenek itu girang, juga heran sekali melihat pemuda ini berani menerima Ang-see-ciang. Ia pastikan bahwa pemuda itu tentu akan roboh dalam segebrakan saja. la menambah tekanan pada kedua lengannya.

"Duk! Dukkk!!"

Dua kali lengan mereka bertemu susul-menyusul dalam waktu yang singkat sekali dan hasilnya... Ang-hwa Nio-nio melompat ke belakang dua meter jauhnya sambil meringis kesakitan karena kedua lengannya serasa akan patah, sedangkan pemuda itu masih berdiri tetap dan tenang, biar pun diam-diam dia kaget karena kedua pundaknya serasa tergetar, tanda bahwa nenek itu benar-benar hebat kepandaiannya.

"Bibi Kui Ciauw, biarkan aku menghadapi musuh besarku ini!"

Tiba-tiba saja Siu Bi sudah melompat ke depan Swan Bu dengan pedang Cui-beng-kiam di tangannya. Sikapnya sangat angkuh ketika dia menggerak-gerakkan pedang di depan dada sambil membentak,

"Orang she Kwa, bersiaplah kau untuk menerima hukuman dariku atas dosa ayahmu!"

Swan Bu mengerutkan keningnya. Sombongnya anak ini, pikirnya. Menyebut Ang-hwa Nio-nio bibi, tentu keponakannya dan karena itu, tentu bukan orang baik-baik. Akan tetapi ucapan Siu Bi tadi membuat dia penasaran.

"Memberi hukuman adalah urusan mudah, tapi jelaskan apa dosa ayahku dan hukuman apa yang hendak kau jatuhkan kepadaku," jawabnya tenang.

Tak enak juga hati Siu Bi menyaksikan sikap begini tenang. Segala gerak-gerik pemuda ini membayangkan seorang gagah yang baik, tiada cacad celanya sehingga hatinya tidak senang. Andai kata putera Pendekar Buta ini seorang pemuda berandalan dan kurang ajar, hatinya akan lebih senang untuk memusuhinya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan membentak,

"Ayahmu si buta itu sudah membuntungi lengan kakekku Hek Lojin, oleh karena itu aku telah bersumpah untuk membalas dendam, membuntungi lengan Pendekar Buta beserta anak isterinya. Karena kau adalah puteranya, sekarang aku akan membuntungi sebelah lenganmu agar roh kakekku dapat tenteram!"

Swan Bu tersenyum mengejek. "Roh orang jahat mana mungkin tenteram keadaannya? Tentu sudah dilempar ke neraka dan selamanya akan terbakar api derita! Apa bila ayah membuntungi lengan kakekmu, itu berarti bahwa kakekmu adalah orang jahat...!”

"Setan, lancang amat mulutmu!" Siu Bi menjerit sambil menggerakkan pedangnya disusul dengan pukulan tangan kirinya. Hebat serangan ini, pedangnya menjadi segulung sinar hitam menuju leher dan tangan kirinya membayangkan uap hitam menerjang dada.

"Aihhh, ganas...!" Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cepat dia melempar diri ke belakang berjumpalitan sambil mencabut pedang Gin-seng-kiam.

"Trang! Tranggg!!"

Sepasang pedang hitam dan putih bertemu, bunga api berpijar menyilaukan mata dan Siu Bi, seperti halnya Ang-hwa Nio-nio tadi, melompat ke belakang dengan lengan kanan serasa lumpuh. Ternyata bahwa dia kalah kuat dalam tenaga sinkang sehingga dalam pertemuan senjata tadi hampir saja dia melepaskan pedangnya.

"Jangan takut, Bi-moi moi, aku membantumu!" seru Ouwyang Lam yang sudah melompat maju, siap mengeroyok.

"Aku tidak membutuhkan bantuanmu!" bentak Siu Bi masih mendongkol dan penasaran karena sekali tangkis saja ia hampir keok tadi. Kalau dalam segebrakan saja dia sudah dibantu Ouwyang Lan dan mengeroyok Swan Bu, bukankah hal ini sangat memalukan dirinya?

"Kau akan kalah, dia lihai...!" kata Ang-hwa Nio-nio yang juga melangkah maju.

Swan Bu menggerak-gerakkan pedang di depan dadanya, tersenyum mengejek, "Hayo kalian keroyoklah! Aku tidak takut dan memang aku tahu, pengecut-pengecut semacam kalian kalau tidak main keroyokan mana berani maju?"

"Pemuda sombong, lihat tongkat!"

Ang Mo-ko sudah menyapu dengan tongkat bambunya. Biar pun tongkat ini terbuat dari bambu yang ringan, ketika menyambar mengeluarkan suara bersiutan sehingga Swan Bu tidak berani memandang ringan. Ia lalu melompat ke atas menyelamatkan diri sambil memutar pedang menangkis pedang Ouwyang Lam yang sudah menusuknya. Ouwyang Lam adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Maklum bahwa tadi gurunya dan juga Siu Bi tidak kuat melawan tenaga Swan Bu, dia tidak mau mengadu pedang, cepat menarik pedangnya dan dari samping dia mengirim bacokan kilat yang juga dapat dielakkan oleh Swan Bu.

Pemuda Liong-thouw-san ini sudah memutar pedang mendahului Ang-hwa Nio-nio yang sudah mengeluarkan pedang pula, akan tetapi serangannya dapat ditangkis oleh ketua Ang-hwa-pai itu. Dari luar mendatangi anak buah Ang-hwa-pai dan sebentar saja Swan Bu sudah dikurung dan dikeroyok banyak orang lawan.

"Tak sudi aku! Tak sudi! Masa satu orang dikeroyok begini banyak. Aku tak sudi dibantu!" berkali-kali Siu Bi berteriak-teriak penuh kemarahan, berdiri di pinggir sambil memegangi pedangnya.

Hatinya kecewa bukan main. Biar pun dia tak akan ragu-ragu untuk membalas dendam, membuntungi lengan kiri pemuda tampan putera Pendekar Buta itu namun ia merasa jijik dan rendah sekali bila harus mengeroyok seorang musuh dengan begitu banyak teman. Sungguh perbuatan yang amat memalukan dan rendah sekali.

Diam-diam ia memperhatikan Swan Bu, mengagumi gerakan ilmu pedangnya yang amat aneh dan kuat, lalu membandingkan pemuda musuh itu dengan Ouwyang Lam. Seperti burung hong dibandingkan dengan burung gagak. Bagaikan seekor naga dibandingkan dengan ular beracun. Sebetulnya, biar pun dikeroyok begitu banyak lawan, Swan Bu tidak gentar sedikit pun juga, karena andai kata dia terdesak menghadapi tiga orang terlihai di antara mereka, yaitu Ang-hwa Nio-nio, Ang Mo-ko, dan Ouwyang Lam dengan mudah dia akan mampu menerjang keluar menyelamatkan diri.

Akan tetapi, mendengar teriakan Siu Bi tadi, dia tertegun dan merasa bingung. Terang bahwa gadis itu memiliki watak yang gagah perkasa dan sama sekali tidak patut menjadi anggota gerombolan ini. Dan mempunyai seorang musuh yang wataknya begitu gagah perkasa, benar-benar malah mendatangkan rasa gelisah di hatinya.

Ketika Swan Bu mainkan Im-yang Sin-kiam, pedangnya bergulung seperti seekor naga perak menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat, lima orang anak buah Ang-hwa-pai roboh terluka tak mampu melawan lagi. Ang-hwa Nio-nio kaget dan kagum, akan tetapi juga penasaran. Kalau sekarang mereka tidak sanggup mengalahkan putera Pendekar Buta, bagaimana mereka akan mampu menyerbu Liong-thouw-san, berhadapan dengan Pendekar Buta sendiri?

Di lain pihak, Swan Bu harus mengakui bahwa ketiga orang lawannya itu benar-benar tangguh sekali. Ilmu pedang Ang-hwa Nio-nio hebat serta ganas, ditambah lagi tangan kirinya yang memainkan selingan pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang sebetulnya adalah Ilmu Pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah).

Ilmu silat pemuda tampan pendek itu serupa dengan nenek ini, hanya masih kalah satu tingkat. Ada pun Ang Mo-ko Si Iblis Merah itu juga tidak boleh dipandang ringan. Tongkat bambunya menyambar-nyambar laksana kitiran tertiup angin taufan, mengeluarkan bunyi nyaring dan mengandung tenaga besar.

Andai kata tidak dikeroyok, dengan ilmu pedangnya yang hebat, kiranya Swan Bu akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka dengan mudah. Kini, dikeroyok tiga, dia hanya sanggup mengimbangi saja karena melihat kelihaian daya serangan mereka, dia harus lebih mengutamakan gerakannya pada penjagaan diri sehingga daya serangannya sendiri menjadi kurang kuat. Akan tetapi pertahanannya kuat sekali sehingga betapa pun juga kerasnya tiga orang itu menekannya, dia sama sekali tidak terdesak.

Tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring, "Sungguh tak tahu malu serombongan orang melakukan pengeroyokan!"

Lalu tampak berkelebat sesosok bayangan yang ringan sekali, didahului menyambarnya sinar pedang kuning dan robohnya tiga orang anak buah Ang-hwa-pai lainnya. Kiranya yang datang ini adalah seorang gadis yang cantik jelita yang rambutnya dikuncir dua dan tergantung di belakang punggungnya. Gadis ini bukan lain adalah Lee Si.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lee Si yang merasa curiga melihat gerak-gerik Swan Bu, juga sekaligus tertarik hatinya, diam-diam lalu mengikuti Swan Bu menuju ke sebelah selatan kota. Dia mengintai dari jauh dan ketika Swan Bu melompat masuk ke dalam halaman kuil, kemudian berindap-indap mendekati dan dapat mendengar semua percakapan.

Bukan main kaget dan girang hatinya ketika mendengar bahwa pemuda yang menarik hatinya itu tidak lain adalah putera Liong-thouw-san, putera Pendekar Buta. Benar-benar pertemuan yang sama sekali tidak terduga-duga. Hal ini membuat jantungnya berdebar tidak karuan, membuat la bimbang dan bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

la dapat menduga bahwa putera Liong-thouw-san tentu saja memiliki kepandaian yang luar biasa, yang jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka ia merasa serba salah untuk turun tangan membantu. Ia khawatir kalau hal itu akan merendahkan, tetapi kalau tidak membantu bagaimana? Maka dia hanya mengintai saja. Kagumlah dia ketika menyaksikan sepak terjang Swan Bu.

Memang sejak kecil Lee Si tidak banyak kesempatan untuk berjumpa dengan keluarga ayah bundanya. Hal ini adalah karena keluarga itu terpencar dan tempat tinggalnya amat jauh. Hanya dengan putera pamannya di Lu-liang-san sajalah pernah ia bertemu sampai tiga kali, ketika ia masih kecil dan yang terakhir ketika ia berusia empat belas tahun.

Putera pamannya di Lu-liang-san itu empat tahun lebih tua darinya, bernama Tan Hwat Ki. Pamannya, Tan Sin Lee ketua Lu-liang-pai itu hanya mempunyai seorang putera. Ada pun keluarga lainnya, biar pun dia sudah banyak mendengar penuturan ayah bundanya dan tahu pula akan nama-nama mereka, tetapi dia jarang sekali, bahkan ada yang tidak pernah bertemu. Di antara mereka yang belum pernah dia temui adalah Kwa Swan Bu inilah.

Tentu saja ia sudah sering kali mendengar ayah bundanya memuji-muji Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta yang sakti. Oleh karena itu, ia dapat menduga bahwa putera Pendekar Buta tentu lihai pula. Ternyata sekarang secara kebetulan sekali ia dapat menyaksikan sendiri kepandaian putera Pendekar Buta itu!

Akan tetapi ketika menyaksikan betapa lihainya tiga orang yang mengeroyok Swan Bu, ditambah lagi banyak anak buah Ang-hwa-pai maju dari belakang mencari kesempatan untuk mengirim serangan menggelap, ia tidak dapat tinggal diam lebih lama lagi. Dengan pedang Oie-kong-kiam di tangan ia menerjang sambil membentak nyaring dan akibatnya tiga orang anak buah Ang-hwa-pai roboh oleh sinar pedangnya!

Sekilas pandang ia dapat melihat betapa Swan Bu menoleh kepadanya dan memandang dengan sinar mata penuh keheranan dan juga kaget karena agaknya pemuda itu masih dapat mengenalinya dari pertemuan di depan losmen tadi. Sedetik wajah yang cantik itu menjadi merah, jantungnya berdebar dan untuk menguasai rasa jengah ini Lee Si segera memperkenalkan diri,

"Kita masih orang sendiri, aku Tan Lee Si, ayahku ketua di Min-san!"

Kaget dan girang bukan main hati Swan Bu. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini dari ayah bundanya. Ternyata masih saudaranya sendiri. Saudara? Sebenarnya bukan apa-apa. Hanya ayahnya masih terhitung paman guru ibunya Lee Si, sungguh pun usia mereka sebaya. Sebaliknya, ayahnya sebagai orang yang pernah menerima pelajaran dari Raja Pedang kakek gadis ini, masih terhitung paman guru gadis ini sendiri!

"Bagus!" Swan Bu berseru gembira, bukan karena mendapat bantuan melainkan karena mendapat kenyataan bahwa gadis yang tadi membuat hatinya berdenyut aneh ketika dia melihatnya di depan losmen itu kiranya bukanlah orang lain!

"Mari kita basmi kawanan penjahat ini!"

Akan tetapi pada saat itu Siu Bi sudah melompat dengan gerakan gesit sekali, dengan pedang mendahuluinya merupakan sinar kehitaman. Dengan pedang melintang di depan dada Siu Bi menghadapi Lee Si, sejenak pandang matanya menjelajahi gadis Min-san itu dari atas sampai ke bawah, lalu terdengar dia membentak,

"Kau tidak suka akan keroyokan, aku pun sangat membenci keroyokan. Hayo sekarang kita sama-sama muda, sama-sama wanita, tanpa keroyokan, kita mengadu kepandaian!"

Lee Si tadi sudah melihat sikap Siu Bi dan biar pun ia dapat menduga bahwa gadis ini berbeda dengan orang-orang yang lain, namun tetap saja merupakan musuh dan tentu bukan seorang gadis baik-baik. Akan tetapi karena ia tidak memiliki permusuhan dengan Siu Bi, juga bahwa ia hanya mau bertanding untuk membantu Swan Bu yang dikeroyok, maka ia merasa ragu-ragu untuk melayani gadis cantik yang pedangnya bersinar hitam itu.

"Perempuan liar, di antara kita tidak ada permusuhan, perlu apa aku melayani kau?"

Dimaki perempuan liar, tentu saja Siu Bi seketika menjadi naik darah!

"Kau yang liar, kau yang buas, kau yang ganas! Siapa saja yang menjadi sahabat atau keluarga dia itu adalah musuhku. Sambut pedangku!" Dengan gerakan yang amat lincah dan kuat Siu Bi sudah menerjang maju, didahului gulungan sinar hitam pedangnya.

Tentu saja Lee Si juga cepat mengangkat pedangnya menangkis dan beberapa menit kemudian bayangan dua orang gadis yang sama lincahnya ini sudah lenyap, terbungkus oleh gulungan sinar pedang hitam dan kuning yang saling libat, saling dorong dan saling tekan. Pertandingan antara kedua orang dara remaja yang sama gesitnya ini selain amat menegangkan, juga indah sekali dipandang.

Akan tetapi Lee Si segera menjadi kaget sekali ketika beberapa kali tangan kiri Siu Bi melancarkan pukulan Hek-in-kang yang amat kuat. Segera dia menjadi sibuk mengelak karena maklum bahwa pukulan itu adalah semacam pukulan jarak jauh yang berbahaya sekali.

Tahulah dia bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang tinggi lagi jahat. Oleh karena itu ia berlaku sangat hati-hati, kemudian mainkan bagian-bagian Hoa-san Kiam-sut untuk mempertahankan diri serta bagian Yang-sin Kiam-sut untuk balas menyerang. Sayang bahwa penggabungan kedua ilmu pedang itu belum sempurna benar sehingga untuk melayani Cui-beng Kiam-sut dan Hek-in-kang yang memang luar biasa itu ia pun merasa terdesak hebat.

Memang boleh diakui bahwa ilmu silat yang telah dipelajari Lee Si merupakan ilmu silat golongan bersih, karena itu dasarnya lebih kuat dan sifatnya tidaklah liar seperti ilmu silat yang dimiliki Siu Bi. Akan tetapi oleh karena memang tingkat kepandaian Hek Lojin jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Tan Kong Bu dan isterinya, maka tentu saja tingkat Siu Bi juga lebih tinggi dari pada tingkat Lee Si.

Kalau saja Siu Bi tidak mempunyai Ilmu Hek-in-kang dan hanya mengandalkan Cui-beng Kiam-sut, agaknya Lee Si masih sanggup mempertahankan diri. Akan tetapi sekarang Siu Bi mendesaknya dengan Hek-in-kang yang membuat ia sibuk sekali, harus melompat ke sana ke mari mengelak dari sambaran uap hitam itu, ditambah lagi harus menghadapi sinar pedang hitam yang mengurung dirinya dan menutup semua jalan keluar!

Sementara itu, pertempuran antara Swan Bu dengan para pengeroyoknya juga berjalan amat seru. Sekarang tidak ada anak buah Ang-hwa-pai yang berani maju, mereka hanya berjaga-jaga saja karena setiap kali ada yang maju, baru segebrakan saja tentu roboh mandi darah disambar sinar pedang putih di tangan Swan Bu.

Akan tetapi, biar pun pengeroyoknya hanya tiga orang, namun ketiganya adalah ahli-ahli silat kelas tinggi yang memiliki ilmu kepandaian hebat. Swan Bu memang telah mewarisi kesaktian ayah bundanya, akan tetapi dia masih kurang pengalaman bertempur. Andai kata ayahnya berada di situ, tanpa turun tangan membantunya, hanya dengan nasehat-nasehat saja sudah pasti dia akan dapat menangkan pertandingan ini.

Oleh karena kekurangan pengalaman inilah dia kekurangan taktik sehingga kurang dapat menangkap dengan cepat kelemahan-kelemahan lawan, dan terlampau hati-hati dalam menjaga diri sehingga walau pun pertahanannya rapat sekali, namun daya serangannya kurang kuat dan kurang berhasil. Apa lagi pada waktu dengan sudut matanya dia dapat melihat betapa Lee Si sedang terdesak hebat oleh sinar hitam pedang Siu Bi, hatinya menjadi gelisah sekali.

Pada saat itu pula terdengar suara ketawa aneh dan muncullah dua orang kakek, yang seorang tinggi jangkung yang seorang lagi pendek.

"Heh-heh-heh, sudah ada pesta keramaian di sim!" kata si jangkung dengan suaranya yang aneh dan asing.

"Suheng!" Ang-hwa Nio-nio berseru girang sekali ketika mengenal kakek tinggi jangkung itu, yang bukan lain orang adalah Maharsi si pendeta dari barat. Ada pun si pendek itu adalah Bo Wi Sian Jin!

"Bantulah kami menangkap dua bocah setan ini!".

"Heh-heh-heh, Sianjin. Ini Sumoi (Adik Seperguruan). Kau tangkaplah yang betina, biar aku tangkap yang jantan!"

Setelah berkata demikian Maharsi melangkah panjang ke dalam pertempuran, tangannya mencengkeram dan kagetlah Swan Bu ketika tiba-tiba ada angin keras menyambar dari atas dan tahu-tahu lengan yang panjang itu mengancamnya. Cepat-cepat pedangnya dia kibaskan ke atas untuk membuat buntung lengan itu.

"Wah, boleh juga!" Maharsi memuji.

Perlu diketahui bahwa Ilmu Silat Pai-san-jiu dari pendeta barat yang tinggi ini, seperti juga Ilmu Katak Sakti dari Bo Wi Sianjin, adalah ilmu pukulan sakti yang mengandung sinkang tingkat tinggi sehingga pukulan-pukulan dari dua ilmu silat ini tidak perlu harus menyentuh tubuh lawan, dari jauh saja sudah cukup kuat untuk merobohkan lawan yang biasa. Akan tetapi pemuda itu bukan saja tidak terpengaruh banyak oleh sambaran hawa pukulannya, malah masih dapat membabat dengan pedangnya yang cukup berbahaya. Karena inilah Maharsi memuji.

Akan tetapi sambil menarik kembali lengannya, pendeta jangkung ini sudah mengirimkan serangan bertubi-tubi, susul-menyusul dan angin pukulannya menderu-deru seperti angin taufan mengamuk. Swan Bu benar-benar kaget sekali. Maklumlah dia bahwa si jangkung ini benar-benar amat berbahaya. Apa lagi pada saat itu, Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam dan Ang Mo-ko masih terus menerjangnya dengan sengit, maka pemuda Liong-thouw-san ini betul-betul berada dalam keadaan yang amat berbahaya.

Ada pun Lee Si yang menghadapi Siu Bi dan terdesak hebat, tiba-tiba melihat munculnya seorang kakek pendek yang serta merta menggerakkan tangan menyelonong maju dan dengan pukulan-pukulan serta dorongan-dorongan kuat menerjang... Siu Bi, diiringi suara ketawanya terbahak-bahak. Kakek ini adalah Bo Wi Sianjin yang memandang rendah lawan karenanya dia tidak menggunakan Pukulan Katak Sakti, namun mendesak dengan pukulan-pukulan jarak jauh biasa. Akan tetapi dia salah kira dan bukan menyerang Lee Si, malah menerjang Siu Bi.

"Eh-eh-ehh, Locianpwe, bukan dia musuh kita. Yang seorang lagi...!" seru Ouwyang Lam kaget sambil melompat mendekati, meninggalkan Swan Bu yang kini telah terdesak amat hebat itu.

"Hah?! Yang mana?" Bo Wi Sianjin menghentikan serangannya, tertegun dan bingung.

Sementara itu, Siu Bi marah sekali. la tadi sedang mendesak Lee Si, sama sekali tidak membutuhkan bantuan karena ia berada di pihak yang unggul, maka majunya kakek itu baginya merupakan gangguan yang menjengkelkan.

”Aku tidak butuh bantuan! Mundur!" serunya dan pedangnya dikerjakan lebih hebat.

Lee Si yang maklum bahwa dirinya tidak dapat tertolong lagi kalau ada orang lain maju mengeroyok, menjadi gugup dan sebuah pukulan Hek-in-kang dari Siu Bi tidak dapat dia hindarkan, mengenai pundaknya sehingga dia terhuyung-huyung. Kesempatan baik ini digunakan oleh Siu Bi untuk menyapu kaki Lee Si sehingga gadis ini roboh dan sebuah totokan membuatnya lemas tak dapat bergerak lagi.

Swan Bu yang sudah terdesak hebat, melihat robohnya Lee Si, menjadi marah sekali. "Keparat, lepaskan dia!" la membentak.

Tubuhnya laksana kilat menyambar ke arah Lee Si untuk menolong gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dari kanan menyambar tongkat bambu Ang Mo-ko menotok lambung. la cepat menangkis dan melanjutkan gerakannya menolong Lee Si, namun angin menyambar dari kiri dan Swan Bu merasa seolah-olah tubuhnya didorong oleh tenaga yang amat dahsyat.

Swan Bu terlempar dan sebelum dia sempat bergerak, dua buah lengan panjang Maharsi yang tadi memukulnya sudah mencengkeram pundaknya dan menotok jalan darah pada punggungnya, membuat dia tidak berdaya lagi. Sepasang orang muda itu telah tertawan oleh musuh-musuh besarnya.

"Siapakah dia ini?" Maharsi bertanya kepada sumoi-nya sambil menuding ke arah Swan Bu yang sudah rebah miring di atas tanah. Mau tak mau pendeta dari barat itu kagum bukan main karena semuda itu Swan Bu telah memiliki kepandaian yang hebat.

"Suheng," kata Ang-hwa Nio-nio dengan muka berseri. "Kebetulan sekali kau datang dan amat kebetulan memang, karena bocah ini bukan lain adalah putera Pendekar Buta. Ular menghampiri penggebuk, bukan?"

"Sudah terang anak musuh besar, tidak dibunuh tunggu apa lagi?" Ouwyang Lam yang merasa iri melihat ketampanan dan kegagahan pemuda itu, jauh melebihi dirinya, cepat mengangkat pedangnya menusuk ke arah dada Swan Bu...


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 09


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.