CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
JAKA LOLA JILID 09
Swan Bu maklum bahwa nyawanya berada di ujung pedang lawan, namun karena dia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, Swan Bu hanya dapat memandang dengan mata tidak berkedip sedikit pun juga.
Orang-orang lain yang berada di situ hanya memandang sambil tertawa, karena pemuda Liong-thouw-san ini memang anaknya musuh besar, berarti musuh pula, apa lagi sudah mengacaukan usaha mereka di Kong-goan, kalau tidak dibunuh mau diapakan lagi?
"Cringgg...!"
Ouwyang Lam kaget dan melompat mundur. Pedangnya yang hampir menancap di dada Swan Bu telah terbentur pedang lain yang telah menangkisnya sehingga muncrat bunga api saking kerasnya benturan itu. Pada waktu semua orang memandang, kiranya yang menangkis itu adalah Siu Bi!
"Eh, kau lagi? Bi-moi, terus terang saja, kau sebetulnya berpihak siapa? Ketika di Ching-coa-to kami hendak membunuh puteri Raja Pedang, kau pun telah menghalangi maksud kami!” kata Ouwyang Lam penasaran.
Sepasang mata yang tajam bening itu berkilat, "Aku berpihak pada diriku sendiri. Bocah ini adalah anak Pendekar Buta, berarti musuh besarku. Aku sudah bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, isterinya serta anaknya, membuntungi lengannya hidup-hidup! Kalau dia dibunuh, apa artinya membuntungi lengannya lagi?"
"Tapi... tapi bukan kau yang merobohkan dia, kau tidak berhak. Kami yang merobohkan dan menawannya, maka kami yang berhak melakukan apa saja terhadap dirinya!"
"Siapa saja yang membunuh dia berarti ingin menghalang-halangi aku untuk membalas dendam dan melaksanakan sumpahku. Tentang siapa yang merobohkan, memang betul kalian yang merobohkan, akan tetapi perempuan ini aku yang merobohkan. Sekarang aku ingin menukarkan dia dengan anak Pendekar Buta ini. Ouwyang-twako, kau boleh ambil dia, biarkan aku membuntungi lengan anak Pendekar Buta tanpa membunuhnya!"
Ouwyang Lam menengok ke arah Lee Si yang menggeletak telentang. Dalam keadaan tertotok dan telentang di atas tanah itu dengan pakaian kusut, gadis cantik ini kelihatan menarik sekali, sangat menggairahkan hati Ouwyang Lam yang memang berwatak mata keranjang. Segera dia mengilar ketika pandang matanya menjelajahi tubuh Lee Si dan sambil menyeringai dia berkata, "Aku... aku boleh... memiliki dia...?"
Pada saat itu, Bo Wi Sianjin berkata, "Eh, Maharsi, bukankah gadis ini cucu Raja Pedang yang pernah kita kejar?"
Maharsi memandang. "Aha, betul! Betul dia! Wah, Bhok-losuhu tentu akan girang sekali. Sumoi, benar-benar kita telah mendapatkan tawanan penting. Seorang putera Pendekar Buta, yang seorang lagi cucu Raja Pedang. Baiknya kita jangan bunuh mereka, jadikan tangkapan untuk memaksa musuh-musuh besar itu menyerah!"
"Bagus, itu betul sekali!" seru Bo Wi Sianjin karena baik dia mau pun Maharsi sebetulnya masih merasa jeri untuk bertanding melawan Pendekar Buta serta Raja Pedang yang terkenal sakti.
"Suheng, kau tadi menyebut nama Bhok-losuhu? Siapakah yang kau maksudkan?"
Maharsi tertawa. "Siapa lagi kalau bukan Bhok Hwesio itu tokoh besar yang sakti dari Siauw-lim-pai? Dia pun sudah siap untuk membasmi Pendekar Buta dan Raja Pedang dan dia datang bersama kami ke Kong-goan, akan tetapi tentu saja tidak mau ke sini. Kuharap kau suka mengunjunginya di kelenteng sebelah timur kota, Sumoi."
Girang sekali hati Ang-hwa Nio-nio, apa lagi setelah dia diperkenalkan dengan Bo Wi Sianjin sebagai sute dari Ka Chong Hoatsu yang menaruh dendam kepada Raja Pedang. Dengan begini banyaknya orang pandai di pihaknya, tentu akan terlaksana idam-idaman hatinya, yaitu menebus kematian dua orang adiknya….
Pada saat itu, dengan tergesa-gesa seorang anggota Ang-hwa-pai berlari menghampiri Ang-hwa Nio-nio dan melapor, "Paicu, seorang yang bernama Tan Kong Bu, kabarnya ketua Min-san-pai, mencari Tan Lee Si yang katanya adalah puterinya, sedang menuju ke sini!"
Ang-hwa Nio-nio membelalakkan sepasang matanya, lalu tertawa mengikik. "Wah-wahh, sungguh-sungguh malam baik sekali sekarang. Seorang demi seorang anggota keluarga mereka berdatangan sehingga membuat kita mudah untuk membasminya. Suheng, aku mempunyai rencana yang bagus sekali. Lam-ji (anak Lam), kau bawa dua orang tawanan kita itu ke dalam kuil, tapi jangan ganggu mereka!" perintahnya kepada Ouwyang Lam.
Pemuda ini mengangguk tersenyum, lalu membungkuk, memondong tubuh Lee Si dan menyeret tubuh Swan Bu dengan menjambak rambutnya.
"Twako, serahkan anak Pendekar Buta itu kepadaku!" Siu Bi melompat maju. "Aku harus melaksanakan sumpah pembalasanku!"
"Ihhh, Siu Bi. Apakah kau sudah tergila-gila melihat pemuda yang tampan dan gagah itu? Hi-hi-hik!"
Bukan main marahnya hati Siu Bi mendengar ejekan Ang-hwa Nio-nio ini. Seketika itu mukanya menjadi merah sekali, matanya berapi-api, tangannya yang memegang pedang gemetaran. "Bibi Kui Ciauw! Aku bukan seperti engkau"
Ang-hwa Nio-nio juga marah. "Siu Bi, kuperingatkan kau! Kami tidak butuh bantuanmu. Apa bila kau mau bekerja sama dengan kami untuk menghadapi Pendekar Buta silakan tinggal bersama kami akan tetapi harus menurut apa yang kami rencanakan. Kalau tidak mau, kami tidak akan menahanmu.”
"Nio-nio... Bi-moi... sudahlah, di antara kita sendiri mengapa mesti ribut-ribut?" Ouwyang Lam cepat melerai dengan suara halus, kemudian dia melanjutkan pekerjaannya, yaitu memondong Lee Si dan menyeret tubuh Swan Bu dibawa masuk ke dalam kuil.
Siu Bi merengut, hatinya mendongkol sekali. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia maklum bahwa untuk melawan pun ia akan kalah. Maka tanpa berkata sesuatu ia lalu berjalan pergi dari depan Ang-hwa Nio-nio, menahan isak tangis saking gemasnya.
"Siapakah dia?" Maharsi bertanya.
"Ahh, dia...? Cucu Hek Lojin, juga musuh Pendekar Buta."
"Hek Lojin? Pantas dia begitu liar, kiranya cucu iblis itu!" Bo Wi Sian-jin berkata sambil mengangguk-angguk.
Mereka lalu memasuki kuil dan Ang-hwa Nio-nio memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengatur rencananya yang dianggap amat baik. Apakah yang direncanakan oleh ketua Ang-hwa-pai ini? Kebenciannya pada Pendekar Buta dan Raja Pedang membuat nyonya tua ini pandai mencari cara yang paling keji untuk melampiaskan dendamnya. Marilah kita ikuti bersama apa yang direncanakan.
Seperti sudah dilaporkan oleh seorang anak buah Ang-hwa-pai tadi, di kota Kong-goan malam hari itu kedatangan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan tegap, sikapnya gagah, bicaranya kasar, keras dan nyaring sekali. Orang ini bukan lain adalah Tan Kong Bu yang sudah meninggalkan puncak Min-san untuk mencari puterinya yang diam-diam meninggalkan puncak.
Seperti telah kita ketahui, sejak datangnya murid kepala Raja Pedang, yaitu Su Ki Han telah terjadi Perubahan hebat di Min-san. Lee Si, puteri tunggal itu telah meninggalkan puncak tanpa memberi tahu dan Su Ki Han sendiri yang merasa tidak enak, segera berpamit turun gunung untuk berusaha mengejar Lee Si. Seperginya Su Ki Han, Kong Bu merasa tidak enak dan menyatakan kepada isterinya untuk pergi mengejar puteri mereka itu.
“Tentu saja ia tak boleh dibandingkan dengan adikku Cui Sian," demikian kata pendekar itu. "Kepandaian Lee Si memang sudah cukup untuk menjaga diri, akan tetapi ia masih hijau dan tidak tahu akan bahayanya dunia kang-ouw. Sedikitnya ia harus mendengarkan dulu cerita dari kita tentang kejahatan di dunia kang-ouw sehingga ia dapat menjaga diri. Tinggal kau pilih, kau atau aku yang pergi mengejar?"
Demikianlah, Tan Kong Bu lalu turun dari puncak, mencari puterinya. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ulung, akhirnya Kong Bu pun berhasil mengikuti jejak puterinya dan menuju ke Kong-goan, hanya selisih setengah hari saja dengan puterinya.
la mendengar tentang keributan yang terjadi di rumah Lo-ciangkun, maka dia mempunyai dugaan bahwa agaknya Lee Si terlibat dalam hal ini. la mencari sampai ke losmen di mana Lee Si bermalam, dengan cara kasar dan keras dia mengancam pengurus losmen yang biar mati pun tidak akan mampu memberi keterangan ke mana perginya gadis itu yang pergi melalui genteng dan tidak terlihat oleh siapa pun juga.
Kong Bu lalu berputar-putar di kota Kong-goan sampai jauh malam, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak Lee Si dan tidak ada yang dapat memberi keterangan ke mana perginya gadis itu. Dalam keadaan gelisah Kong Bu berlari-larian keluar masuk lorong gelap, sementara keadaan kota Kong-goan sudah sepi.
Tiba-tiba dia cepat menghindar ke kiri. Hampir saja dia bertubrukan dengan seorang pria kecil kurus yang juga berlari-lari seperti dia dan mereka bertemu di sebuah tikungan jalan kecil. Pria itu kelihatan gugup sekali, tanpa bicara sesuatu terus melarikan diri dengan cepat.
Kong Bu merasa curiga. Jelas bahwa orang itu memiliki kepandaian silat yang lumayan melebihi orang biasa. Larinya cepat dan gerakannya gesit. Dengan beberapa lompatan jauh akhirnya Kong Bu dapat menyusul dan mengejar orang itu.
Si kecil kurus yang berkumis panjang itu kaget bukan main ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar, apa lagi saat dia mengenalnya sebagai laki-laki yang hampir bertubrukan dengannya tadi. Tanpa banyak cakap lagi dia membalikkan tubuh dan lari lagi, akan tetapi dia mengeluh ketika pundaknya tiba-tiba dipegang tangan yang memiliki jari-jari tangan sekuat cepitan baja.
"Kau siapa dan ada apa malam-malam begini kau berlari-larian seperti pencuri? Hayo mengaku terus terang, kalau tidak, tulang-tulang pundakmu akan kuhancurkan!" bentak Kong Bu yang sedang gelisah sehingga menjadi pemarah itu.
"Ampun, Ho-han (Orang Gagah)... ampunkan saya. Saya Ciu Ti, bukan pencuri... saya... saya sedang bingung dan hendak mencari pertolongan. Ada... ada penjahat menyeret seorang gadis cantik ke dalam kuil di mana saya biasanya bermalam... maaf, saya tiada keluarga tiada tempat tinggal... saya... saya berusaha menolong nona cantik itu, tapi... saya kalah. Penjahat muda itu terlampau kuat, dan agaknya ia... ia seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)..."
Kong Bu tertarik hatinya. "Di mana dia? Betulkah dia penjahat pemetik bunga?"
"Mungkin, saya... saya tidak jelas. Hanya pada saat dia merobohkan saya tadi, dia... dia mengaku bahwa dia she Kwa... kemudian mengusir saya pergi. Gadis itu pingsan, pada pinggangnya tergantung pedang... ehh, pedang kuning seperti emas..."
Cengkeraman pada pundak itu mengeras dan si kecil kurus menyeringai kesakitan.
"Bagaimana kau bisa tahu pedang yang tergantung itu pedang kuning?"
"Aduh... lepaskan pundak saya... aduh, mana saya bisa tahu kalau jai-hwa-cat itu tidak mempergunakannya untuk melawan saya? Pedang itu ampuh sekali, golok saya lantas patah begitu beradu..."
Kong Bu tidak sabar lagi, segera menyeret tangan orang itu. "Hayo cepat, antarkan aku ke sana. Cepat... kubanting mampus kau, hayo cepat"
Orang itu mengeluh dan setengah diseret karena betapa pun dia mengerahkan tenaga dan ilmu lari cepatnya, agaknya masih kurang cepat saja sehingga dia seperti diseret dan kedua kakinya tidak menginjak bumi lagi karena tubuhnya seperti menggantung kepada lengan Kong Bu yang kuat.
"Di sinikah tempatnya?" tanya Kong Bu.
"Betul... di dalam... di ruangan belakang, aku... aku takut, harap kau suka masuk sendiri, Ho-han..."
Kong Bu mendorong orang itu sampai terjengkang, kemudian dia melompat naik ke atas genteng kuil tua itu. Hati jago tua ini berdebar tidak karuan. Di mana pun dia berada dan siapa pun gadis yang menjadi korban jai-hwa-cat, jika dia mendengarnya pasti dia akan turun tangan membasmi si penjahat.
Akan tetapi sekarang lain lagi halnya. la sedang mencari puterinya yang dia tahu berada di kota itu, akan tetapi lenyap tak meninggalkan bekas, sedangkan buntalan pakaiannya masih ada di kamar losmen. Dan gadis yang pingsan serta menjadi korban jai-hwa-cat itu berpedang kuning. Oei-kong-kiam!
Mana lagi ada pedang kuning selain Oei-kong-kiam, pedang yang dibawa Lee Si? Inilah yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan, bahkan kedua kakinya agak menggigil dan hampir dia terpeleset ketika dia melompat ke atas genteng yang gelap itu.
Dari atas genteng dia melihat api penerangan di sebelah belakang kuil. Cepat-cepat dia melompat dengan hati-hati ke bagian belakang, di atas tempat yang diterangi lampu di sebelah bawah. Dengan hati-hati dia membongkar genteng, lalu mengintai ke bawah.
Kong Bu memandang dengan mata melotot, kemudian menggosok-gosok dua matanya, memandang lagi, otot-otot pada lehernya menegang, wajahnya tiba-tiba pucat sekali, lalu terdengar giginya berkerot-kerot.
"Bedebah! Keparat biadab...! Kubunuh kau...! Kubunuh...!" teriakan ini mula-mula hanya terdengar bagaikan gerengan harimau marah, kemudian melengking tinggi dan akhirnya terdengar nyaring sekali.
Apakah yang dilihat oleh jago Min-san ini? Pemandangan di dalam ruangan di bawah itu benar-benar membuat darahnya mendidih, matanya tiba-tiba gelap dan dadanya serasa meledak.
Mereka berbaring di atas lantai, dua orang itu, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik jelita. Siapa lagi kalau bukan Lee Si, puterinya? Betapa tidak akan hancur hatinya melihat puterinya itu rebah terlentang, dan entah bagaimana keadaannya karena tubuhnya tertutup selimut sebatas leher, akan tetapi yang jelas puterinya itu menangis terisak-isak dan kelihatan lemah sekali. Tentu dalam keadaan tertotok jalan darahnya, pikirnya dengan hati hancur.
Dan laki-laki tampan itu mukanya seperti perempuan, terlalu tampan. Patut menjadi muka seorang kongcu hidung belang atau seorang penjahat jai-hwa-cat yang lihai! Dan yang lebih memanaskan hatinya, laki-laki tampan itu rebah miring menghadapi Lee Si, tubuh bagian atasnya telanjang.
"Ayaaahhh...!" terdengar Lee Si menjerit, suaranya lemah sekali, bercampur isak.
"Keparat... jahanam...!" Kubunuh engkau, kukeluarkan isi perutmu, kuminum darahmu...!" Kong Bu berteriak lagi, kini diseling suara melengking tinggi yang menggetarkan kuil itu, seperti bukan suara manusia lagi.
Akan tetapi selagi dia hendak membongkar genteng dan menerobos ke bawah tiba-tiba beberapa batang lilin yang menyala di ruangan itu padam, membuat keadaan menjadi gelap pekat. Betapa pun marahnya hati Kong Bu, dia adalah seorang jagoan kang-ouw yang sudah ulung, tentu saja dia tidak mau secara membuta melompat ke dalam ruang yang gelap gulita dan tidak dikenalnya itu.
"Paman Kong Bu... dengarlah... saya adalah Kwa Swan Bu... putera ayah Kwa Kun Hong di Liong-thouw-san.., Paman..."
Teringat Kong Bu akan penuturan si kurus tadi bahwa jai-hwa-cat itu she Kwa. Darahnya makin bergolak. "Tak peduli kau anak setan dari mana, hayo keluar! Hayo kau lawan aku mengadu nyawa. Penghinaan ini baru bisa lunas bila ditebus dengan darah dan nyawa! Keluar!! Kurobek dadamu, kukeluarkan jantungmu!"
Tiba-tiba dari dalam gelap di sebelah bawah terdengar desir angin yang sangat halus. Kong Bu cepat memiringkan tubuh dan pedang yang sudah dicabutnya itu menangkis beberapa batang jarum halus yang menyambar ke arahnya dari bawah sebelah kiri. Itulah jarum rahasia dan mendengar bunyinya yang halus berdesir dapat diketahui bahwa penyambitnya tentu memiliki Iweekang yang amat kuat.
Kong Bu cepat melompat ke bawah sambil memutar pedangnya, melayang ke arah dari mana datangnya jarum-jarum tadi. Akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak tanah, dari arah kanannya menyambar angin pukulan yang amat kuat dan dahsyat.
Kong Bu cepat menggeser kaki, lalu memasang kuda-kuda yang amat rendah sambil menyampok dengan lengan kirinya dan mengerahkan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi hampir saja dia terguling karena ternyata bahwa sambaran angin pukulan itu kuat bukan main.
Ia terkejut sekali, akan tetapi tidak heran. Kalau bangsat itu betul putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong tentu saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Makin panas hatinya! Bagaimanakah putera Kun Hong bisa melakukan perbuatan yang begini biadab?
Kong Bu adalah putera Raja Pedang yang dahulu menerima gemblengan ilmu silat dari kakeknya, yaitu mendiang Song-bun-kwi Kwee Lun. Tentu saja dia mewarisi kepandaian tinggi dan dia tidak gentar meski menghadapi lawan yang bagaimana sakti pun. Apa lagi sekarang dia sedang marah dan nekat karena ingin membela kehormatan puterinya.
Akan tetapi, pada waktu ia memutar pedangnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking tinggi untuk menerjang lawannya yang mengirim pukulan dari tempat gelap, di situ tidak tampak lagi ada orang. Makin kagetlah dia. Terang bahwa lawannya tadi selain memiliki tenaga kuat, juga memiliki kegesitan yang luar biasa.
"Jai-hwa-cat biadab! Kalau memang jantan, hayo kau tandingi aku secara laki-laki. Aku Tan Kong Bu ketua Min-san-pai, sebelum dapat mengeluarkan isi perutmu, aku takkan berhenti berusaha. Kau atau aku yang mati untuk mencuci noda ini!" pekiknya sambil membacokkan pedangnya pada sebuah tiang kuil. Tiang itu terbabat putus dan genteng di atasnya banyak yang rontok karena penahan genteng menjadi miring.
"Hayo keluar! Jangan sembunyi kau, pengecut, jahanam keparat, manusia biadab! Walau pun kau anak Kwa Kun Hong atau putera malaikat sekali pun, jangan harap bisa terlepas dari tanganku!"
Akan tetapi ketika dia hendak menyerbu ke dalam ruangan belakang itu, mendadak ada sambaran angin pukulan jarak jauh lagi, dan kini dari arah belakangnya. Cepat-cepat dia menggeser kaki, memutar-mutar tubuh sehingga pukulan itu meleset.
la melihat bayangan orang berkelebat di belakangnya, cepat dia mengejar. Bayangan itu gesit sekali dan melompat-lompat ke arah pagar ternbok yang mengelilingi kuil, lalu dia menerobos keluar.
"Keparat, hendak lari ke mana kau?" Kong Bu mengejar, pedangnya diputar dan siap untuk melancarkan serangan maut.
Di depan kuil yang agak gelap, bayangan itu berhenti dan Kong Bu segera menghujani serangan-serangan dengan pedangnya. Akan tetapi ternyata bayangan itu gerakannya cepat luar biasa, meski bertangan kosong, namun selalu dapat mengelak dari sambaran pedangnya.
Keadaan yang gelap membuat Kong Bu tidak dapat mengenal wajah orang ini, namun dia masih dapat melihat bayangan seorang pemuda yang tampan. Belum sepuluh jurus dia menyerang, pemuda itu melompat dan menghilang di dalam gelap.
"Jai-hwa-cat, jangan lari kau!" seru Kong Bu sambil mengejar.
Akan tetapi bayangan itu lenyap. Setelah mengejar agak jauh, Kong Bu teringat akan puterinya. Cepat dia membalik dan lari ke arah kuil kembali, sekarang dengan nekat dia menerobos masuk ke dalam kuil sambil menjaga diri dengan pedangnya, langsung dia menuju ke ruangan belakang.
Dengan sekali tendangan, pintu ruangan belakang yang memang sudah reyot itu runtuh berantakan. Kong Bu menerjang lagi ke dalam. Gelap! Dengan kakinya dia meraba-raba, akan tetapi ternyata ruangan itu kosong melompong. Baik pemuda jai-hwa-cat tadi mau pun puterinya, telah lenyap.
Kong Bu mencari ke seluruh ruangan kuil kuno, akan tetapi tidak menemukan seorang pun. Dia memaki-maki, memanggil-manggil nama anaknya, berteriak-teriak menantang. Sia-sia belaka. Bukan main kecewa dan menyesalnya.
la telah ditipu oleh pemuda jai-hwa-cat tadi. Terang bahwa tadi dia sengaja dipancing ke luar, kemudian jai-hwa-cat itu tentu telah kembali ke gedung membawa lari Lee Si yang tidak berdaya melawan.
“Keparat jahanam! Kau anak Kwa Kun Hong! Awas kau! Kwa Kun Kong, si buta, keparat, kau harus mempertanggung jawabkan kebiadaban puteramu. Awas kau!”
Sambil memaki-maki dan menyumpah-nyumpah, Kong Bu lalu berlari seperti orang gila, keluar dari kuil itu. Tujuan hatinya hanya satu, yaitu ke Liong-thouw-san, dan menuntut kepada Kun Hong agar supaya puteranya diserahkan kepadanya, untuk disodet perutnya agar terbebas penghinaan yang hebat ini….
“Wah, baik sekali hasilnya. Sumoi, kau betul-betul amat cerdik dan licin sekali. Ha-ha-ha, antara keturunan Raja Pedang dan keturunan Pendekar Buta sudah terdapat bentrokan yang agaknya hanya dapat diredakan dengan darah dan nyawa. Bagus sekali, Sumoi!"
Maharsi tertawa sambil memuji-muji sumoi-nya setelah pada keesokan harinya pagi-pagi mereka berkumpul di sebuah hutan tidak jauh dari kuil di kota Kong-goan itu. Mereka berkumpul di situ, lengkap seperti kemarin, kecuali Siu Bi. Gadis ini tidak tampak mata hidungnya.
“Ah, Suheng. Kalau tidak sedemikian besar dendamku terhadap mereka, agaknya takkan terpikirkan akal seperti itu olehku. Ketika kau dan Ouwyang Lam memancing Tan Kong Bu menjauhi kuil, sengaja kubebaskan puterinya. Tentu saja gadis itu malu sekali dan tidak ada muka berjumpa dengan ayahnya. Hi-hi-hik, betapa pun dia akan membela diri, siapa percaya bahwa dia tidak tercemar oleh putera Pendekar Buta?"
"Tapi di mana adanya Kwa Swan Bu, dan mana pula adik Siu Bi?" tanya Ouwyang Lam.
"Huh, gadis tiada guna itu! Tadinya Swan Bu kusingkirkan dalam keadaan tertotok, tapi kemudian ia lenyap, tentunya dibawa pergi oleh Siu Bi. Gadis tak tahu malu itu jika tidak tergila-gila kepada pemuda tampan itu, entah mau apa dia...!"
Diam-diam Ang-hwa Nio-nio merasa iri hati dan cemburu kepada Siu Bi karena agaknya kekasihnya, Ouwyang Lam, tergila-gila kepada gadis Go-bi-san itu, maka kesempatan ini ia pergunakan untuk memaki-maki dan memburukkan nama Siu Bi.
Ada pun Ouwyang Lam diam-diam merasa kecewa sekali karena si jelita Lee Si yang diincar-incar dan hendak dijadikan korbannya, telah dibebaskan. Ini belum apa-apa, yang menjengkelkan hatinya adalah perginya Siu Bi! la pun mengomel,
"Ahh, Nio-nio terlalu curiga. Terang bahwa adik Siu Bi membawa pergi Kwa Swan Bu untuk melampiaskan dendamnya. Kita lihat saja, tak lama lagi kita pasti akan mendengar bahwa putera Pendekar Buta kehilangan sebelah lengannya."
"Kalau belum menjadi bangkai!" kata pula Ang-hwa Nio-nio. "Orang gila dari Min-san itu mengejar-ngejarnya. Aha, betapa ramainya nanti di Liong-thouw-san. Tentu Raja Pedang akan terseret-seret pula. Dan selagi mereka saling cekcok memperebutkan kebenaran, kita serbu mereka. Suheng, dan Sianjin, mari kita mengunjungi Bhok-losuhu!"
Biar pun hatinya mendongkol, Ouwyang Lam tidak dapat bicara apa-apa lagi, hanya di dalam hatinya dia mengharapkan kembalinya Siu Bi menggabung kepada rombongan mereka yang makin kuat ini. la percaya bahwa lambat-laun dia pasti akan dapat berhasil memikat hati gadis yang mengguncangkan jantungnya itu.
Dugaan Ang-hwa Nio-nio memang tepat. Ketika terjadi tipu muslihat yang dilakukan oleh Ang-hwa Nio-nio, Siu Bi melihat dengan jelas. Akan tetapi dia tidak ambil pusing, hanya mulutnya tersenyum menghina. la muak dengan cara-cara yang dikerjakan oleh Ang-hwa Nio-nio.
Akan tetapi ia selalu mencari kesempatan untuk memuaskan nafsu hatinya sendiri, yaitu membalas kepada Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta. Urusan orang lain tidak terlalu dia pedulikan, yang penting ia harus melaksanakan tugas dan sumpahnya.
Ketika orang yang dinanti-nanti, yaitu yang katanya adalah putera Raja Pedang, ketua Min-san-pai bernama Tan Kong Bu ayah Lee Si yang tertawan itu datang, ia kagum juga. Bukan main sepak terjang laki-laki tinggi besar itu. Mengingatkan ia akan kakeknya, Hek Lojin.
Akan tetapi ketika dia melihat laki-laki itu dipancing menjauhi kuil dan melihat Ang-hwa Nio-nio menyeret Swan Bu keluar dan meninggalkannya di bagian belakang kuil untuk membebaskan Lee Si, diam-diam dia menyelinap dan mengempit tubuh Swan Bu, terus dibawa lari cepat sekuatnya meninggalkan tempat itu. Yang lain-lain ia tidak peduli, yang penting baginya hanyalah Kwa Swan Bu, putera Pendekar Buta, musuh besarnya!
Siu Bi maklum bahwa Ang-hwa Nio-nio dan teman-temannya adalah orang-orang yang amat sakti, bukan lawannya. Dia akan terpaksa menyerahkan Swan Bu kembali, bahkan dia sendiri mungkin tak bebas dari hukuman apa bila mereka dapat menyusulnya. Oleh karena inilah maka gadis itu terus lari secepatnya, menyusup-nyusup ke dalam hutan dan tidak pernah berhenti sampai malam berganti pagi.
Akhirnya dia tidak kuat berlari lagi. Di dalam sebuah hutan kecil ia pun berhenti, nafasnya terengah-engah lalu melempar tubuh Swan Bu ke atas tanah. Dia berdiri mengatur nafas, menyusut keringat pada leher dan jidatnya dengan sapu tangan, memandang sekilas ke arah pemuda yang terbanting ke atas tanah itu.
la melihat pemuda itu bergerak perlahan, menggerak-gerakkan lengan dan kaki, agaknya sudah terbebas dari totokan, lalu mencoba untuk bangun dan duduk. Siu Bi kaget sekali, teringat betapa lihainya pemuda ini dan kalau tenaganya sudah pulih, tentu sulit baginya untuk mengalahkannya. Segera ia menerjang maju dan tangannya bergerak cepat.
Swan Bu yang tahu bahwa dia diserang, tidak dapat menangkis atau mengelak, karena jalan darahnya belum pulih seluruhnya. Kembali dia roboh dan tak berkutik karena jalan darahnya yang membuat dia lemas sudah ditotok oleh gadis galak itu.
Setelah merasa yakin bahwa lawannya tak akan mampu bergerak, Siu Bi yang merasa kedua kakinya berdenyut-denyut linu dan lelah sekali, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput, melanjutkan kerjanya yang tadi tertunda, yaitu menghapus keringatnya. Kemudian ia mengebut-ngebut sapu tangan, dipakai mengipasi lehernya sambil menatap wajah di depan kakinya itu.
Wajah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah. Alis yang hitam tebal berbentuk golok dengan sepasang mata yang penuh ketabahan. Kebetulan sekali Swan Bu juga memandang kepadanya. Dua pasang mata itu bertemu pandang, penuh amarah, saling serang dan akhirnya Siu Bi yang menunduk lebih dulu.
"Perlu apa kau melarikan diriku ke sini?” tanya Swan Bu, suaranya tenang akan tetapi agak ketus.
"Perlu apa lagi? Tentu saja untuk membuntungi lengan kirimu, untuk membalas sakit hati mendiang kakekku!"
Swan Bu terdiam, memutar otak. Namun dia tidak melihat jalan keluar untuk menolong dirinya. Gadis ini wataknya keras dan aneh, liar dan ganas. Betapa pun juga, kalau gadis ini tidak menculiknya ke sini mungkin jiwanya justru terancam bahaya. Bahaya yang lebih mengerikan lagi.
Dia bukan takut mati. Akan tetapi mati di tangan paman Tan Kong Bu dengan tuduhan melakukan tindakan maksiat, berjinah dengan Lee Si, benar-benar merupakan kematian yang amat pahit dan penasaran.
Betapa pun juga, jika direnungkan benar-benar, gadis liar ini malah sudah menolongnya, menolong kehormatannya, karena meski pun dia akan dibuntungi lengan kirinya, namun dia tidak mati dan selama dia masih hidup dia akan bisa membersihkan namanya, akan dapat membuktikan kepada pamannya, Tan Kong Bu, bahwa dia sama sekali tak berbuat jinah dengan puteri pamannya itu. Juga, walau pun lengannya tinggal sebuah, dia masih akan mendapat kesempatan membalas kepada Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya yang telah membuat fitnah keji terhadap dirinya dan Lee Si itu.
"Huh, wajahmu pucat! Kau ketakutan, ya? Ngeri mengingat lengan kirimu akan buntung? Ya, akan kubuntungi lengan kirimu, biar kau tahu rasa, biar kau merasakan bagaimana sengsaranya kakekku setelah lengan kirinya dibuntungi ayahmu. Dan setelah kau, ayah dan ibumu akan menerima gilirannya!"
"Hemmm, kau ini bocah bermulut besar, amat sombong dan tak tahu malu. Membuntungi lenganku saja kalau tidak secara pengecut, tidak akan becus kau lakukan. Macam kau hendak membuntungi lengan ayah ibuku? Hah, cacing tanah pun akan terbahak geli bila mendengar kata-katamu tadi!"
Tadinya Siu Bi mengira bahwa Swan Bu merasa ngeri serta ketakutan. Hatinya sudah merasa amat girang sebab ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kiranya sekarang malah ucapan pemuda itu bagaikan api yang membakar dadanya, membuat ia melompat bangun, berdiri dengan kedua mata mendelik, muka berwarna merah padam, hidungnya kembang-kempis.
"Nah, marahlah! Hayo, keluarkan kegagahanmu, marahlah sekuatmu kemudian coba kau bebaskan aku kalau berani. Kalau aku bebas, boleh kau mencoba untuk membuntungi lenganku, hendak kulihat kau becus atau tidak. Hemmm, meski kau memegang pedang setan hitam itu dan aku bertangan kosong saja menghadapimu, bukan lenganku yang buntung, melainkan... hemmm hidungmu yang kembang-kempis itu yang akan kucabut copot dari mukamu!"
Dapat dibayangkan betapa memuncak kemarahan Siu Bi ketika mendengar ejekan yang dianggapnya penghinaan hebat ini. la membanting-banting kakinya dan hampir menangis pada saat pedangnya berkelebatan di depan muka Swan Bu dan tangannya menuding-nuding, bibirnya komat-kamit meneriakkan maki-makian yang tidak keluar dari mulut.
"Kau... kau setan, kau... kau... manusia sombong. Hihh, lehermu yang akan kubuntungi, bukan lenganmu. Dengar? Lehermu akan kupenggal dengan pedang ini!"
Namun Swan Bu adalah putera tunggal Kwa Kun Hong, seorang yang meski pun masih muda namun memiliki dasar satria yang tidak takut mati. Selain ini dia pun keras hati dan tidak sudi tunduk kalau merasa dirinya benar. Mendengar ancaman dan melihat pedang berkelebatan di dekat lehernya itu, dia malah tertawa, tertawa nyaring.
"Hee?!"
Siu Bi menahan gerakan pedangnya dan memandang heran. Memang sama sekali ia tidak mengira, orang yang sudah hampir dipenggal lehernya dapat tertawa segembira itu!
"Wah, kau sudah miring otak, ya? Kau sudah menjadi gila saking takut, ya?"
"He, perempuan liar, kaulah yang gila. Kau boleh mengeluarkan seribu macam ancaman, seperti kebiasaan setan-setan dan iblis, akan tetapi seorang gagah tidak takut mati. Aku paling ngeri kalau menjadi pengecut, lebih baik mati dari pada menjadi pengecut macam kau ini. Berani menjual lagak hanya kepada orang yang sudah tidak mampu melawan. Huh, beri aku kesempatan untuk melawanmu, baru kau tahu rasa, barulah akan terbuka matamu bahwa kau harus belajar lima puluh tahun lagi sampai kau menjadi nenek-nenek kempot keriput baru boleh menandingi aku! Mau bunuh, hayo lekas bunuhlah. Sabetkan pedangmu dengan tanganmu yang curang itu ke leherku, siapa takut?"
Siu Bi tertegun. Kali ini bukan karena marahnya melainkan karena heran dan kagumnya. Belum pernah selama hidupnya ia melihat orang begini tabah, begini tenang dan penuh keberanian menghadapi kematian. Hampir dia tidak dapat percaya. Mungkin hanya aksi belaka, pikirnya. Kalau sudah diberi rasa sakit, tentu akan menguik-nguik minta ampun seperti anjing dipecuti.
"Kau betul tidak takut mampus? Nah, rasakan ini!"
Pedangnya lalu digerakkan perlahan-lahan ke arah leher Swan Bu sambil menatap tajam wajah tampan itu. Dia melihat betapa wajah itu tetap tenang, sepasang mata tajam itu memandang penuh tantangan, berkedip pun tidak, sampai ujung pedangnya menggores kulit pundak yang telanjang itu dan kulit pecah darah merah mengucur. Namun wajah itu tetap tenang, bibir itu tetap dalam senyum mengejek dan mata menantang, berkedip pun tidak! Bukan main!
"Hayo, kenapa berhenti? Bukan aku yang takut mampus, kaulah yang takut melanjutkan perbuatanmu yang curang dan pengecut!"
Pucat wajah Siu Bi mendengar ini. "Setan kau!"
Pedangnya kembali diangkat dan kini agak cepat menyambar.
"Crattt!"
Pedang, itu menancap pada pundak beberapa senti meter saja dalamnya karena segera ditahannya, dan ketika dicabut, darah mengucur banyak. Tapi tetap saja wajah Swan Bu tidak berubah, matanya tidak berkedip, senyumnya makin mengejek.
”Nah, kembali kau tidak berani. Melawanku dengan pedang sedang aku hanya bertangan kosong pun tidak berani. Huh, kau pengecut kepalang tanggung!"
Siu Bi menggigit bibirnya. "Sombong! Kau kira aku tidak tahu akan akal bulusmu? Kau sengaja memanas-manasi hatiku, sengaja membakarku agar aku menjadi panas hati dan membebaskanmu. Huh, siapa yang tidak tahu bahwa kau lihai dan jika dibandingkan aku takkan menang? Tapi jangan kira aku sebodoh itu, aku tidak dapat kau pancing! Padahal kalau betul-betul kau bertangan kosong melawan aku bersenjata pedang, dalam belasan jurus saja kau pasti akan roboh. Kau sengaja membuka mulut besar, dan kalau sudah kubebaskan dari totokan, kau tentu akan melarikan diri dan aku tidak dapat mengejarmu, sampai kau mendapatkan senjata dan melawanku. Bukankah begitu akalmu, Bulus?"
Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cerdik betul bocah ini. Tidak ada gunanya menipu gadis seperti ini. Akan tetapi memang ucapannya tadi bukan semata-mata hendak mengejek dan memancing supaya dibebaskan, melainkan betul-betul keluar dari perasaannya yang penasaran dan marah.
"Bocah, tak perlu menjual lagak. Kau pintar atau bodoh bukan urusanku, yang terang kau pengecut. Aku seorang laki-laki sejati, ayahku Pendekar Buta terkenal di kolong jagat ini sebagai seorang pendekar besar. Menyelamatkan diri dengan jalan menipu, apa lagi jika menipu seorang bocah masih ingusan macam engkau, bukanlah perbuatan orang gagah. Kau mau melihat bukti bahwa aku mampu mengalahkan engkau yang berpedang dengan hanya tangan kosong? Bebaskan aku, akan kubuktikan. Aku tidak akan lari, kalau sudah membuktikan omonganku, boleh kau tawan aku lagi, aku tidak akan melawan."
"Huh, siapa percaya omonganmu?" Siu Bi mencibirkan bibirnya yang merah.
Swan Bu mengerutkan alisnya. Terlalu cantik manis dara liar ini apa bila sudah mencibir seperti itu.
"Percaya atau tidak terserah, aku pun tidak akan memaksa kau percaya. Akan tetapi yang jelas, kau berani atau tidak melawan aku bertangan kosong?"
Siu Bi duduk termenung. Tanpa disadarinya jari-jari tangan kirinya bergerak-gerak dan ujungnya memukul-mukul pahanya sendiri. la penasaran sekali. la maklum bahwa ilmu pedang pemuda ini hebat sekali, tadi malam ia sudah menyaksikannya. Akan tetapi kalau bertangan kosong melawan ia berpedang? Ah, tidak mungkin ia akan kalah!
Lagi pula, kalau membuntungi lengannya dalam keadaan tertotok seperti ini, benar-benar sukar baginya untuk melakukannya. Lebih baik membebaskan dia dan tantang berkelahi, kemudian pada kesempatan itu ia akan membuntungi lengannya. Dengan begitu barulah perbuatan gagah.
"Kau tidak akan lari?"
"Kata-kata lari tidak terdapat dalam kamus hatiku."
"Berani sumpah?"
Hampir Swan Bu tertawa. Gadis ini aneh, liar, akan tetapi juga lucu.
"Ucapan yang keluar dari mulut orang gagah dengan sendirinya sudah menjadi sumpah yang lebih berharga dari pada nyawa."
"Baik, kau kubebaskan dan kau lawanlah pedangku dengan tangan kosong. Bila mana kau melarikan diri, tidak apa, aku akan menganggap kau seorang yang paling curang dan pengecut di seluruh permukaan bumi ini."
Sebelum pemuda itu sempat menjawab yang menyakitkan hati, Siu Bi sudah menerjang maju, tangan kirinya menotok dan terbebaslah Swan Bu.
Pemuda ini bergerak dan bangkit berdiri, kaki tangannya kesemutan dan masih terasa kaku. la menggerak-gerakkan lengan dan kakinya sampai jalan darahnya pulih kembali sambil mengatur nafas mengerahkan sinkang. Terasa hawa panas mengelilingi seluruh bagian tubuhnya dan beberapa detik kemudian dia sudah merasa segar kembali. Inilah cara memulihkan jalan darah dan tenaga warisan ajaran ayahnya.
la melirik ke arah pundaknya di mana terdapat guratan dan tikaman pedang. Lukanya tidak berbahaya, akan tetapi terasa sedikit perih dan darahnya cukup banyak. Swan Bu menggerakkan jari tangan menekan pinggir luka, darahnya berhenti dan dia menghadapi Siu Bi dengan senyum mengejek tak pernah meninggalkan bibirnya.
"Kalau kau betul jantan, lawanlah pedangku. Awas pedang!" Siu Bi segera menerjang dengan kecepatan kilat. la sudah maklum bahwa putera Pendekar Buta ini benar-benar lihai, maka begitu menerjang ia sudah menggunakan jurus-jurus yang berbahaya sambil membarengi dengan pukulan Hek-in-kang dari tangan kirinya.
Biar pun baru segebrakan saja Swan Bu pernah melawan Siu Bi, namun dia tahu bahwa gadis itu selain memiliki ilmu pedang yang aneh dan sangat ganas, juga tangan kirinya mengandung hawa pukulan yang keji, hawa pukulan beracun yang mengeluarkan uap hitam.
Oleh karena inilah maka serta merta dia menggunakan ilmu langkah ajaib Kim-tiauw-kun dan memainkan jurus-jurus Im-yang Sin-hoat yang sukar dicari tandingnya itu. Tubuhnya bergerak aneh, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang jongkok, berdiri miring, lantas membungkuk dan berloncatan, seperti bukan orang main silat.
Melihat gerakan ini, hampir saja Siu Bi tak dapat menahan seruan heran dari mulutnya. la mengenal gerakan ini. Pernah dia dibikin tidak berdaya oleh gerakan-gerakan seperti ini, yang dimainkan oleh Yo Wan! Malah sebelum berpisah dari Yo Wan secara menyedihkan, dia pernah minta supaya Yo Wan mengajarkan ilmu langkah ajaib itu karena dengan ilmu langkah itu saja ia pernah dibikin tidak berdaya. Dan sekarang pemuda ini menggunakan ilmu langkah itu! Saking kaget dan herannya, penyerangannya berhenti.
"He, kenapa berhenti? Kau takut?" Swan Bu mengejek.
"Takut hidungmu! Aku hanya heran... apa engkau kenal orang yang bernama Yo Wan Si Jaka Lola?"
Swan Bu tertegun. Gadis aneh, ada-ada saja pertanyaannya, pertanyaan yang aneh dan tak terduga-duga pula.
"Yo Wan? Tentu saja kenal, dia itu suheng-ku, murid ayahku. Mau apa kau sebut-sebut dia?"
Mampus kau! Hampir saja di depan Swan Bu dia mengeluarkan ucapan ini, dan betapa herannya Swan Bu ketika melihat tiba-tiba gadis itu menampar kepalanya sendiri
"Ehh, apa kau gila?"
Siu Bi tidak mendengar pertanyaan ini, pikirannya berputaran tujuh keliling. Siapa kira siapa duga, Yo Wan itu malah murid Pendekar Buta! Dan dia sudah mengajak Yo Wan bersekongkol membantunya melawan Pendekar Buta. Anehnya, mengapa Yo Wan mau saja? Dan pemuda yatim piatu itu baru marah dan meninggalkannya setelah mengetahui bahwa ia adalah puteri tiri The Sun yang katanya membunuh ibunya.
Wah, wah, kalau Yo Wan itu murid Pendekar Buta, celaka dua belas. Sampai mati pun mana mungkin ia menang melawan Pendekar Buta? Tapi, ia sudah menantang pemuda ini, harus dapat memenangkannya, kalau tidak, lagi-lagi ia akan menderita malu.
"Bagaimana kau mengenal suheng-ku itu? Di mana dia?"
"Aku tidak kenal dia! Kau makanlah pedangku ini!"
Siu Bi menerjang lagi, kini gerakannya lebih dahsyat lagi karena ia telah mengeluarkan jurus yang paling lihai sesudah maklum bahwa pemuda ini adalah adik seperguruan Yo Wan dan karenanya tentu mempunyai ilmu yang sakti seperti Yo Wan pula sehingga ia khawatir kalau-kalau ia akan kalah, biar pun hanya dilawan dengan tangan kosong.
Swan Bu cepat mengelak dan di lain saat mereka telah bertempur lagi dengan seru. Sebentar saja puluhan jurus telah lewat dan sama sekali Siu Bi belum dapat mendesak lawannya, sungguh pun bagi Swan Bu juga tidak mudah untuk mengalahkan gadis yang gesit dan memiliki ilmu kepandaian tinggi dan luar biasa itu.
Kalau saja dia berpedang, agaknya tidak akan begitu sukar baginya untuk menundukkan Siu Bi. Dengan ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam, kiranya dia akan dapat mengalahkannya. Betapa pun juga, kekerasan hatinya tak mengijinkan Swan Bu untuk mengalah terhadap gadis liar yang hendak membuntungi lengannya ini.
Pada saat pertempuran sedang berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan orang, "Ini dia! Mari bantu nona The! Serang dan bunuh dia!"
Jarum-jarum halus menyambar ke arah Swan Bu ketika tiga orang yang baru muncul ini menggerakkan tangan mereka, kemudian menyusul serangan senjata halus itu mereka menerjang maju dengan golok, menyerang Swan Bu dengan hebat.
Mereka ini bukan lain adalah tiga orang anggota Ang-hwa-pai yang tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat Ang-hwa Nio-nio sebab hal itu memang dirahasiakan sehingga setahu mereka hanya bahwa pemuda putera Pendekar Buta yang tertawan itu sudah berhasil lolos. Dan kini melihat pemuda itu bertanding melawan Siu Bi, tentu saja mereka segera membantu karena mereka maklum bahwa nona The Siu Bi adalah ‘keponakan’ dari ketua mereka.
Pada saat mereka menyerang dengan jarum-jarum halus itu, Siu Bi sedang mengurung Swan Bu dengan sinar pedang dan pukulan Hek-in-kang. Swan Bu sibuk menghadapi serangan dahsyat ini, maka betapa kagetnya ketika dia merasa adanya sambaran angin halus dari sebelah belakang. Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok sambil mengerahkan sinkang sehingga angin pukulannya menyambar ke belakang.
Namun, di antara jarum-jarum halus yang dapat dia sampok runtuh itu terdapat sebatang yang menyelinap dan menancap pada pundak kanannya. Swan Bu merasa pundaknya kaku dan gatal-gatal, maka tahulah dia bahwa dia sudah menjadi korban senjata rahasia halus yang beracun!
Namun dengan nekat dia lalu melawan. Cepat dia menghindar dari sambaran tiga batang golok dan pada waktu tubuhnya miring itu, kakinya lantas melayang sehingga seorang pengeroyok roboh dengan tulang iga patah!
Sementara itu, Siu Bi juga marah sekali melihat munculnya tiga orang Ang-hwa-pai yang tanpa diminta telah lancang turun tangan membantunya. Dia lalu berseru keras, "Cacing busuk, siapa butuh bantuan kalian? Mundur!"
Akan tetapi dua orang Ang-hwa-pai ketika melihat seorang teman mereka roboh, mana mau mundur. Yang memerintah mereka kali ini bukan seorang pemimpin Ang-hwa-pai, tentu saja mereka tidak peduli dan terus menerjang Swan Bu dengan hebat.
"Trang-trang...!"
Golok di tangan mereka terpental dan sebelum mereka dapat mengelak, mereka sudah roboh dengan pangkal lengan dan paha pecah kulit dan dagingnya dimakan pedang Siu Bi! Mereka begitu kaget sehingga mudah roboh karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka akan diserang oleh gadis itu.
"Lancang!" Siu Bi memaki lagi.
Kini pedangnya bergulung-gulung menyambar ke arah Swan Bu yang cepat menjatuhkan diri ke samping, lalu bergulingan menyelamatkan diri. Ketika Siu Bi mendesak, pemuda ini sudah berhasil melompat berdiri dan kembali mereka bertanding hebat.
Ada pun tiga orang Ang-hwa-pai itu, setelah dapat merangkak bangun, segera pergi dari situ terpincang-pincang. Dua orang yang terluka pedang Siu Bi, dengan susah payah dan sedapat mungkin menggotong temannya yang masih pingsan akibat tendangan Swan Bu mematahkan sedikitnya dua buah tulang iganya. Mereka bergegas pergi untuk mencari bala bantuan.
Sekarang perlawanan Swan Bu tidak lagi segesit tadi. Pemuda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan kelemahan, tidak sudi mengaku bahwa dirinya sudah terluka oleh jarum beracun. la melakukan perlawanan sedapat mungkin meski lengan kanannya kini terasa setengah lumpuh.
Diam-diam Siu Bi merasa amat kagum. Benar-benar hebat pemuda ini dan seperti yang ia khawatirkan, sama sekali ia tidak mampu merobohkannya. Padahal pemuda ini hanya bertangan kosong dan ia memegang Cui-beng-kiam, malah menggunakan Hek-in-kang. Bukan main!
Di dalam hatinya, Siu Bi merasa sayang sekali mengapa pemuda sehebat ini ditakdirkan menjadi putera musuh besar kakeknya yang harus dia buntungi lengannya. Kalau saja tidak demikian halnya, alangkah akan senangnya memiliki seorang sahabat seperti dia ini, sebagai pengganti Yo Wan yang sekarang telah memusuhinya akibat perbuatan ayah tirinya.
Siu Bi diam-diam merasa menyesal bukan main. Mau rasanya dia menangis, apa lagi ditambah dengan kejengkelan hatinya bahwa begitu lama ia masih juga belum berhasil mengalahkan dan membuntungi lengan Swan Bu.
Akan tetapi tiba-tiba saja Swan Bu mengeluh, terhuyung-huyung ke belakang lalu jatuh terduduk. Siu Bi menahan pedangnya, kaget dan terheran-heran. Terang bahwa bukan dia yang merobohkan pemuda itu.
Baru saja pemuda itu menangkis pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Hek-in-kang di tangan kiri. Swan Bu tak dapat mengelak dan terpaksa harus menangkis dengan tangan kanan. Dalam pertemuan tenaga ini, Siu Bi merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat.
Ia makin kagum karena jarang ada orang bisa menangkis tenaga Hek-in-kang demikian rupa sampai dia tergetar ke belakang. Dan sehabis menangkis itulah, ketika ia menerjang lagi dengan pedangnya, Swan Bu mengelak lantas terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh terduduk, meringis menahan sakit sambil menekan pundak kanannya.
Siu Bi melangkah maju, memandang penuh perhatian. Dilihatnya kulit di pundak kanan yang putih itu ternoda oleh bintik merah membengkak.
"Kau terluka Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)!" serunya di luar kesadarannya.
Swan Bu mengangguk lesu. "Tiga orang tadi..."
"Kalau tidak segera dikeluarkan, kau akan mati..."
"Lebih baik begitu, jadi kau tidak usah bersusah-payah lagi..."
Siu Bi maju lagi dan berlutut.
"Kau tidak boleh mati! Kalau mati aku tak akan dapat melaksanakan sumpahku. Jangan bergerak, biar kukeluarkan jarum itu!”
Siu Bi memegang pedangnya dekat ujung, kemudian dengan hati-hati ia merobek kulit di pundak itu, Swan Bu menggigit bibir menahan rasa sakit, jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Siu Bi hanya berjarak beberapa senti saja dari pipi kanannya...
Orang-orang lain yang berada di situ hanya memandang sambil tertawa, karena pemuda Liong-thouw-san ini memang anaknya musuh besar, berarti musuh pula, apa lagi sudah mengacaukan usaha mereka di Kong-goan, kalau tidak dibunuh mau diapakan lagi?
"Cringgg...!"
Ouwyang Lam kaget dan melompat mundur. Pedangnya yang hampir menancap di dada Swan Bu telah terbentur pedang lain yang telah menangkisnya sehingga muncrat bunga api saking kerasnya benturan itu. Pada waktu semua orang memandang, kiranya yang menangkis itu adalah Siu Bi!
"Eh, kau lagi? Bi-moi, terus terang saja, kau sebetulnya berpihak siapa? Ketika di Ching-coa-to kami hendak membunuh puteri Raja Pedang, kau pun telah menghalangi maksud kami!” kata Ouwyang Lam penasaran.
Sepasang mata yang tajam bening itu berkilat, "Aku berpihak pada diriku sendiri. Bocah ini adalah anak Pendekar Buta, berarti musuh besarku. Aku sudah bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, isterinya serta anaknya, membuntungi lengannya hidup-hidup! Kalau dia dibunuh, apa artinya membuntungi lengannya lagi?"
"Tapi... tapi bukan kau yang merobohkan dia, kau tidak berhak. Kami yang merobohkan dan menawannya, maka kami yang berhak melakukan apa saja terhadap dirinya!"
"Siapa saja yang membunuh dia berarti ingin menghalang-halangi aku untuk membalas dendam dan melaksanakan sumpahku. Tentang siapa yang merobohkan, memang betul kalian yang merobohkan, akan tetapi perempuan ini aku yang merobohkan. Sekarang aku ingin menukarkan dia dengan anak Pendekar Buta ini. Ouwyang-twako, kau boleh ambil dia, biarkan aku membuntungi lengan anak Pendekar Buta tanpa membunuhnya!"
Ouwyang Lam menengok ke arah Lee Si yang menggeletak telentang. Dalam keadaan tertotok dan telentang di atas tanah itu dengan pakaian kusut, gadis cantik ini kelihatan menarik sekali, sangat menggairahkan hati Ouwyang Lam yang memang berwatak mata keranjang. Segera dia mengilar ketika pandang matanya menjelajahi tubuh Lee Si dan sambil menyeringai dia berkata, "Aku... aku boleh... memiliki dia...?"
Pada saat itu, Bo Wi Sianjin berkata, "Eh, Maharsi, bukankah gadis ini cucu Raja Pedang yang pernah kita kejar?"
Maharsi memandang. "Aha, betul! Betul dia! Wah, Bhok-losuhu tentu akan girang sekali. Sumoi, benar-benar kita telah mendapatkan tawanan penting. Seorang putera Pendekar Buta, yang seorang lagi cucu Raja Pedang. Baiknya kita jangan bunuh mereka, jadikan tangkapan untuk memaksa musuh-musuh besar itu menyerah!"
"Bagus, itu betul sekali!" seru Bo Wi Sianjin karena baik dia mau pun Maharsi sebetulnya masih merasa jeri untuk bertanding melawan Pendekar Buta serta Raja Pedang yang terkenal sakti.
"Suheng, kau tadi menyebut nama Bhok-losuhu? Siapakah yang kau maksudkan?"
Maharsi tertawa. "Siapa lagi kalau bukan Bhok Hwesio itu tokoh besar yang sakti dari Siauw-lim-pai? Dia pun sudah siap untuk membasmi Pendekar Buta dan Raja Pedang dan dia datang bersama kami ke Kong-goan, akan tetapi tentu saja tidak mau ke sini. Kuharap kau suka mengunjunginya di kelenteng sebelah timur kota, Sumoi."
Girang sekali hati Ang-hwa Nio-nio, apa lagi setelah dia diperkenalkan dengan Bo Wi Sianjin sebagai sute dari Ka Chong Hoatsu yang menaruh dendam kepada Raja Pedang. Dengan begini banyaknya orang pandai di pihaknya, tentu akan terlaksana idam-idaman hatinya, yaitu menebus kematian dua orang adiknya….
Pada saat itu, dengan tergesa-gesa seorang anggota Ang-hwa-pai berlari menghampiri Ang-hwa Nio-nio dan melapor, "Paicu, seorang yang bernama Tan Kong Bu, kabarnya ketua Min-san-pai, mencari Tan Lee Si yang katanya adalah puterinya, sedang menuju ke sini!"
Ang-hwa Nio-nio membelalakkan sepasang matanya, lalu tertawa mengikik. "Wah-wahh, sungguh-sungguh malam baik sekali sekarang. Seorang demi seorang anggota keluarga mereka berdatangan sehingga membuat kita mudah untuk membasminya. Suheng, aku mempunyai rencana yang bagus sekali. Lam-ji (anak Lam), kau bawa dua orang tawanan kita itu ke dalam kuil, tapi jangan ganggu mereka!" perintahnya kepada Ouwyang Lam.
Pemuda ini mengangguk tersenyum, lalu membungkuk, memondong tubuh Lee Si dan menyeret tubuh Swan Bu dengan menjambak rambutnya.
"Twako, serahkan anak Pendekar Buta itu kepadaku!" Siu Bi melompat maju. "Aku harus melaksanakan sumpah pembalasanku!"
"Ihhh, Siu Bi. Apakah kau sudah tergila-gila melihat pemuda yang tampan dan gagah itu? Hi-hi-hik!"
Bukan main marahnya hati Siu Bi mendengar ejekan Ang-hwa Nio-nio ini. Seketika itu mukanya menjadi merah sekali, matanya berapi-api, tangannya yang memegang pedang gemetaran. "Bibi Kui Ciauw! Aku bukan seperti engkau"
Ang-hwa Nio-nio juga marah. "Siu Bi, kuperingatkan kau! Kami tidak butuh bantuanmu. Apa bila kau mau bekerja sama dengan kami untuk menghadapi Pendekar Buta silakan tinggal bersama kami akan tetapi harus menurut apa yang kami rencanakan. Kalau tidak mau, kami tidak akan menahanmu.”
"Nio-nio... Bi-moi... sudahlah, di antara kita sendiri mengapa mesti ribut-ribut?" Ouwyang Lam cepat melerai dengan suara halus, kemudian dia melanjutkan pekerjaannya, yaitu memondong Lee Si dan menyeret tubuh Swan Bu dibawa masuk ke dalam kuil.
Siu Bi merengut, hatinya mendongkol sekali. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia maklum bahwa untuk melawan pun ia akan kalah. Maka tanpa berkata sesuatu ia lalu berjalan pergi dari depan Ang-hwa Nio-nio, menahan isak tangis saking gemasnya.
"Siapakah dia?" Maharsi bertanya.
"Ahh, dia...? Cucu Hek Lojin, juga musuh Pendekar Buta."
"Hek Lojin? Pantas dia begitu liar, kiranya cucu iblis itu!" Bo Wi Sian-jin berkata sambil mengangguk-angguk.
Mereka lalu memasuki kuil dan Ang-hwa Nio-nio memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengatur rencananya yang dianggap amat baik. Apakah yang direncanakan oleh ketua Ang-hwa-pai ini? Kebenciannya pada Pendekar Buta dan Raja Pedang membuat nyonya tua ini pandai mencari cara yang paling keji untuk melampiaskan dendamnya. Marilah kita ikuti bersama apa yang direncanakan.
Seperti sudah dilaporkan oleh seorang anak buah Ang-hwa-pai tadi, di kota Kong-goan malam hari itu kedatangan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan tegap, sikapnya gagah, bicaranya kasar, keras dan nyaring sekali. Orang ini bukan lain adalah Tan Kong Bu yang sudah meninggalkan puncak Min-san untuk mencari puterinya yang diam-diam meninggalkan puncak.
Seperti telah kita ketahui, sejak datangnya murid kepala Raja Pedang, yaitu Su Ki Han telah terjadi Perubahan hebat di Min-san. Lee Si, puteri tunggal itu telah meninggalkan puncak tanpa memberi tahu dan Su Ki Han sendiri yang merasa tidak enak, segera berpamit turun gunung untuk berusaha mengejar Lee Si. Seperginya Su Ki Han, Kong Bu merasa tidak enak dan menyatakan kepada isterinya untuk pergi mengejar puteri mereka itu.
“Tentu saja ia tak boleh dibandingkan dengan adikku Cui Sian," demikian kata pendekar itu. "Kepandaian Lee Si memang sudah cukup untuk menjaga diri, akan tetapi ia masih hijau dan tidak tahu akan bahayanya dunia kang-ouw. Sedikitnya ia harus mendengarkan dulu cerita dari kita tentang kejahatan di dunia kang-ouw sehingga ia dapat menjaga diri. Tinggal kau pilih, kau atau aku yang pergi mengejar?"
Demikianlah, Tan Kong Bu lalu turun dari puncak, mencari puterinya. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ulung, akhirnya Kong Bu pun berhasil mengikuti jejak puterinya dan menuju ke Kong-goan, hanya selisih setengah hari saja dengan puterinya.
la mendengar tentang keributan yang terjadi di rumah Lo-ciangkun, maka dia mempunyai dugaan bahwa agaknya Lee Si terlibat dalam hal ini. la mencari sampai ke losmen di mana Lee Si bermalam, dengan cara kasar dan keras dia mengancam pengurus losmen yang biar mati pun tidak akan mampu memberi keterangan ke mana perginya gadis itu yang pergi melalui genteng dan tidak terlihat oleh siapa pun juga.
Kong Bu lalu berputar-putar di kota Kong-goan sampai jauh malam, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak Lee Si dan tidak ada yang dapat memberi keterangan ke mana perginya gadis itu. Dalam keadaan gelisah Kong Bu berlari-larian keluar masuk lorong gelap, sementara keadaan kota Kong-goan sudah sepi.
Tiba-tiba dia cepat menghindar ke kiri. Hampir saja dia bertubrukan dengan seorang pria kecil kurus yang juga berlari-lari seperti dia dan mereka bertemu di sebuah tikungan jalan kecil. Pria itu kelihatan gugup sekali, tanpa bicara sesuatu terus melarikan diri dengan cepat.
Kong Bu merasa curiga. Jelas bahwa orang itu memiliki kepandaian silat yang lumayan melebihi orang biasa. Larinya cepat dan gerakannya gesit. Dengan beberapa lompatan jauh akhirnya Kong Bu dapat menyusul dan mengejar orang itu.
Si kecil kurus yang berkumis panjang itu kaget bukan main ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar, apa lagi saat dia mengenalnya sebagai laki-laki yang hampir bertubrukan dengannya tadi. Tanpa banyak cakap lagi dia membalikkan tubuh dan lari lagi, akan tetapi dia mengeluh ketika pundaknya tiba-tiba dipegang tangan yang memiliki jari-jari tangan sekuat cepitan baja.
"Kau siapa dan ada apa malam-malam begini kau berlari-larian seperti pencuri? Hayo mengaku terus terang, kalau tidak, tulang-tulang pundakmu akan kuhancurkan!" bentak Kong Bu yang sedang gelisah sehingga menjadi pemarah itu.
"Ampun, Ho-han (Orang Gagah)... ampunkan saya. Saya Ciu Ti, bukan pencuri... saya... saya sedang bingung dan hendak mencari pertolongan. Ada... ada penjahat menyeret seorang gadis cantik ke dalam kuil di mana saya biasanya bermalam... maaf, saya tiada keluarga tiada tempat tinggal... saya... saya berusaha menolong nona cantik itu, tapi... saya kalah. Penjahat muda itu terlampau kuat, dan agaknya ia... ia seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)..."
Kong Bu tertarik hatinya. "Di mana dia? Betulkah dia penjahat pemetik bunga?"
"Mungkin, saya... saya tidak jelas. Hanya pada saat dia merobohkan saya tadi, dia... dia mengaku bahwa dia she Kwa... kemudian mengusir saya pergi. Gadis itu pingsan, pada pinggangnya tergantung pedang... ehh, pedang kuning seperti emas..."
Cengkeraman pada pundak itu mengeras dan si kecil kurus menyeringai kesakitan.
"Bagaimana kau bisa tahu pedang yang tergantung itu pedang kuning?"
"Aduh... lepaskan pundak saya... aduh, mana saya bisa tahu kalau jai-hwa-cat itu tidak mempergunakannya untuk melawan saya? Pedang itu ampuh sekali, golok saya lantas patah begitu beradu..."
Kong Bu tidak sabar lagi, segera menyeret tangan orang itu. "Hayo cepat, antarkan aku ke sana. Cepat... kubanting mampus kau, hayo cepat"
Orang itu mengeluh dan setengah diseret karena betapa pun dia mengerahkan tenaga dan ilmu lari cepatnya, agaknya masih kurang cepat saja sehingga dia seperti diseret dan kedua kakinya tidak menginjak bumi lagi karena tubuhnya seperti menggantung kepada lengan Kong Bu yang kuat.
"Di sinikah tempatnya?" tanya Kong Bu.
"Betul... di dalam... di ruangan belakang, aku... aku takut, harap kau suka masuk sendiri, Ho-han..."
Kong Bu mendorong orang itu sampai terjengkang, kemudian dia melompat naik ke atas genteng kuil tua itu. Hati jago tua ini berdebar tidak karuan. Di mana pun dia berada dan siapa pun gadis yang menjadi korban jai-hwa-cat, jika dia mendengarnya pasti dia akan turun tangan membasmi si penjahat.
Akan tetapi sekarang lain lagi halnya. la sedang mencari puterinya yang dia tahu berada di kota itu, akan tetapi lenyap tak meninggalkan bekas, sedangkan buntalan pakaiannya masih ada di kamar losmen. Dan gadis yang pingsan serta menjadi korban jai-hwa-cat itu berpedang kuning. Oei-kong-kiam!
Mana lagi ada pedang kuning selain Oei-kong-kiam, pedang yang dibawa Lee Si? Inilah yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan, bahkan kedua kakinya agak menggigil dan hampir dia terpeleset ketika dia melompat ke atas genteng yang gelap itu.
Dari atas genteng dia melihat api penerangan di sebelah belakang kuil. Cepat-cepat dia melompat dengan hati-hati ke bagian belakang, di atas tempat yang diterangi lampu di sebelah bawah. Dengan hati-hati dia membongkar genteng, lalu mengintai ke bawah.
Kong Bu memandang dengan mata melotot, kemudian menggosok-gosok dua matanya, memandang lagi, otot-otot pada lehernya menegang, wajahnya tiba-tiba pucat sekali, lalu terdengar giginya berkerot-kerot.
"Bedebah! Keparat biadab...! Kubunuh kau...! Kubunuh...!" teriakan ini mula-mula hanya terdengar bagaikan gerengan harimau marah, kemudian melengking tinggi dan akhirnya terdengar nyaring sekali.
Apakah yang dilihat oleh jago Min-san ini? Pemandangan di dalam ruangan di bawah itu benar-benar membuat darahnya mendidih, matanya tiba-tiba gelap dan dadanya serasa meledak.
Mereka berbaring di atas lantai, dua orang itu, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik jelita. Siapa lagi kalau bukan Lee Si, puterinya? Betapa tidak akan hancur hatinya melihat puterinya itu rebah terlentang, dan entah bagaimana keadaannya karena tubuhnya tertutup selimut sebatas leher, akan tetapi yang jelas puterinya itu menangis terisak-isak dan kelihatan lemah sekali. Tentu dalam keadaan tertotok jalan darahnya, pikirnya dengan hati hancur.
Dan laki-laki tampan itu mukanya seperti perempuan, terlalu tampan. Patut menjadi muka seorang kongcu hidung belang atau seorang penjahat jai-hwa-cat yang lihai! Dan yang lebih memanaskan hatinya, laki-laki tampan itu rebah miring menghadapi Lee Si, tubuh bagian atasnya telanjang.
"Ayaaahhh...!" terdengar Lee Si menjerit, suaranya lemah sekali, bercampur isak.
"Keparat... jahanam...!" Kubunuh engkau, kukeluarkan isi perutmu, kuminum darahmu...!" Kong Bu berteriak lagi, kini diseling suara melengking tinggi yang menggetarkan kuil itu, seperti bukan suara manusia lagi.
Akan tetapi selagi dia hendak membongkar genteng dan menerobos ke bawah tiba-tiba beberapa batang lilin yang menyala di ruangan itu padam, membuat keadaan menjadi gelap pekat. Betapa pun marahnya hati Kong Bu, dia adalah seorang jagoan kang-ouw yang sudah ulung, tentu saja dia tidak mau secara membuta melompat ke dalam ruang yang gelap gulita dan tidak dikenalnya itu.
"Paman Kong Bu... dengarlah... saya adalah Kwa Swan Bu... putera ayah Kwa Kun Hong di Liong-thouw-san.., Paman..."
Teringat Kong Bu akan penuturan si kurus tadi bahwa jai-hwa-cat itu she Kwa. Darahnya makin bergolak. "Tak peduli kau anak setan dari mana, hayo keluar! Hayo kau lawan aku mengadu nyawa. Penghinaan ini baru bisa lunas bila ditebus dengan darah dan nyawa! Keluar!! Kurobek dadamu, kukeluarkan jantungmu!"
Tiba-tiba dari dalam gelap di sebelah bawah terdengar desir angin yang sangat halus. Kong Bu cepat memiringkan tubuh dan pedang yang sudah dicabutnya itu menangkis beberapa batang jarum halus yang menyambar ke arahnya dari bawah sebelah kiri. Itulah jarum rahasia dan mendengar bunyinya yang halus berdesir dapat diketahui bahwa penyambitnya tentu memiliki Iweekang yang amat kuat.
Kong Bu cepat melompat ke bawah sambil memutar pedangnya, melayang ke arah dari mana datangnya jarum-jarum tadi. Akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak tanah, dari arah kanannya menyambar angin pukulan yang amat kuat dan dahsyat.
Kong Bu cepat menggeser kaki, lalu memasang kuda-kuda yang amat rendah sambil menyampok dengan lengan kirinya dan mengerahkan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi hampir saja dia terguling karena ternyata bahwa sambaran angin pukulan itu kuat bukan main.
Ia terkejut sekali, akan tetapi tidak heran. Kalau bangsat itu betul putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong tentu saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Makin panas hatinya! Bagaimanakah putera Kun Hong bisa melakukan perbuatan yang begini biadab?
Kong Bu adalah putera Raja Pedang yang dahulu menerima gemblengan ilmu silat dari kakeknya, yaitu mendiang Song-bun-kwi Kwee Lun. Tentu saja dia mewarisi kepandaian tinggi dan dia tidak gentar meski menghadapi lawan yang bagaimana sakti pun. Apa lagi sekarang dia sedang marah dan nekat karena ingin membela kehormatan puterinya.
Akan tetapi, pada waktu ia memutar pedangnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking tinggi untuk menerjang lawannya yang mengirim pukulan dari tempat gelap, di situ tidak tampak lagi ada orang. Makin kagetlah dia. Terang bahwa lawannya tadi selain memiliki tenaga kuat, juga memiliki kegesitan yang luar biasa.
"Jai-hwa-cat biadab! Kalau memang jantan, hayo kau tandingi aku secara laki-laki. Aku Tan Kong Bu ketua Min-san-pai, sebelum dapat mengeluarkan isi perutmu, aku takkan berhenti berusaha. Kau atau aku yang mati untuk mencuci noda ini!" pekiknya sambil membacokkan pedangnya pada sebuah tiang kuil. Tiang itu terbabat putus dan genteng di atasnya banyak yang rontok karena penahan genteng menjadi miring.
"Hayo keluar! Jangan sembunyi kau, pengecut, jahanam keparat, manusia biadab! Walau pun kau anak Kwa Kun Hong atau putera malaikat sekali pun, jangan harap bisa terlepas dari tanganku!"
Akan tetapi ketika dia hendak menyerbu ke dalam ruangan belakang itu, mendadak ada sambaran angin pukulan jarak jauh lagi, dan kini dari arah belakangnya. Cepat-cepat dia menggeser kaki, memutar-mutar tubuh sehingga pukulan itu meleset.
la melihat bayangan orang berkelebat di belakangnya, cepat dia mengejar. Bayangan itu gesit sekali dan melompat-lompat ke arah pagar ternbok yang mengelilingi kuil, lalu dia menerobos keluar.
"Keparat, hendak lari ke mana kau?" Kong Bu mengejar, pedangnya diputar dan siap untuk melancarkan serangan maut.
Di depan kuil yang agak gelap, bayangan itu berhenti dan Kong Bu segera menghujani serangan-serangan dengan pedangnya. Akan tetapi ternyata bayangan itu gerakannya cepat luar biasa, meski bertangan kosong, namun selalu dapat mengelak dari sambaran pedangnya.
Keadaan yang gelap membuat Kong Bu tidak dapat mengenal wajah orang ini, namun dia masih dapat melihat bayangan seorang pemuda yang tampan. Belum sepuluh jurus dia menyerang, pemuda itu melompat dan menghilang di dalam gelap.
"Jai-hwa-cat, jangan lari kau!" seru Kong Bu sambil mengejar.
Akan tetapi bayangan itu lenyap. Setelah mengejar agak jauh, Kong Bu teringat akan puterinya. Cepat dia membalik dan lari ke arah kuil kembali, sekarang dengan nekat dia menerobos masuk ke dalam kuil sambil menjaga diri dengan pedangnya, langsung dia menuju ke ruangan belakang.
Dengan sekali tendangan, pintu ruangan belakang yang memang sudah reyot itu runtuh berantakan. Kong Bu menerjang lagi ke dalam. Gelap! Dengan kakinya dia meraba-raba, akan tetapi ternyata ruangan itu kosong melompong. Baik pemuda jai-hwa-cat tadi mau pun puterinya, telah lenyap.
Kong Bu mencari ke seluruh ruangan kuil kuno, akan tetapi tidak menemukan seorang pun. Dia memaki-maki, memanggil-manggil nama anaknya, berteriak-teriak menantang. Sia-sia belaka. Bukan main kecewa dan menyesalnya.
la telah ditipu oleh pemuda jai-hwa-cat tadi. Terang bahwa tadi dia sengaja dipancing ke luar, kemudian jai-hwa-cat itu tentu telah kembali ke gedung membawa lari Lee Si yang tidak berdaya melawan.
“Keparat jahanam! Kau anak Kwa Kun Hong! Awas kau! Kwa Kun Kong, si buta, keparat, kau harus mempertanggung jawabkan kebiadaban puteramu. Awas kau!”
Sambil memaki-maki dan menyumpah-nyumpah, Kong Bu lalu berlari seperti orang gila, keluar dari kuil itu. Tujuan hatinya hanya satu, yaitu ke Liong-thouw-san, dan menuntut kepada Kun Hong agar supaya puteranya diserahkan kepadanya, untuk disodet perutnya agar terbebas penghinaan yang hebat ini….
“Wah, baik sekali hasilnya. Sumoi, kau betul-betul amat cerdik dan licin sekali. Ha-ha-ha, antara keturunan Raja Pedang dan keturunan Pendekar Buta sudah terdapat bentrokan yang agaknya hanya dapat diredakan dengan darah dan nyawa. Bagus sekali, Sumoi!"
Maharsi tertawa sambil memuji-muji sumoi-nya setelah pada keesokan harinya pagi-pagi mereka berkumpul di sebuah hutan tidak jauh dari kuil di kota Kong-goan itu. Mereka berkumpul di situ, lengkap seperti kemarin, kecuali Siu Bi. Gadis ini tidak tampak mata hidungnya.
“Ah, Suheng. Kalau tidak sedemikian besar dendamku terhadap mereka, agaknya takkan terpikirkan akal seperti itu olehku. Ketika kau dan Ouwyang Lam memancing Tan Kong Bu menjauhi kuil, sengaja kubebaskan puterinya. Tentu saja gadis itu malu sekali dan tidak ada muka berjumpa dengan ayahnya. Hi-hi-hik, betapa pun dia akan membela diri, siapa percaya bahwa dia tidak tercemar oleh putera Pendekar Buta?"
"Tapi di mana adanya Kwa Swan Bu, dan mana pula adik Siu Bi?" tanya Ouwyang Lam.
"Huh, gadis tiada guna itu! Tadinya Swan Bu kusingkirkan dalam keadaan tertotok, tapi kemudian ia lenyap, tentunya dibawa pergi oleh Siu Bi. Gadis tak tahu malu itu jika tidak tergila-gila kepada pemuda tampan itu, entah mau apa dia...!"
Diam-diam Ang-hwa Nio-nio merasa iri hati dan cemburu kepada Siu Bi karena agaknya kekasihnya, Ouwyang Lam, tergila-gila kepada gadis Go-bi-san itu, maka kesempatan ini ia pergunakan untuk memaki-maki dan memburukkan nama Siu Bi.
Ada pun Ouwyang Lam diam-diam merasa kecewa sekali karena si jelita Lee Si yang diincar-incar dan hendak dijadikan korbannya, telah dibebaskan. Ini belum apa-apa, yang menjengkelkan hatinya adalah perginya Siu Bi! la pun mengomel,
"Ahh, Nio-nio terlalu curiga. Terang bahwa adik Siu Bi membawa pergi Kwa Swan Bu untuk melampiaskan dendamnya. Kita lihat saja, tak lama lagi kita pasti akan mendengar bahwa putera Pendekar Buta kehilangan sebelah lengannya."
"Kalau belum menjadi bangkai!" kata pula Ang-hwa Nio-nio. "Orang gila dari Min-san itu mengejar-ngejarnya. Aha, betapa ramainya nanti di Liong-thouw-san. Tentu Raja Pedang akan terseret-seret pula. Dan selagi mereka saling cekcok memperebutkan kebenaran, kita serbu mereka. Suheng, dan Sianjin, mari kita mengunjungi Bhok-losuhu!"
Biar pun hatinya mendongkol, Ouwyang Lam tidak dapat bicara apa-apa lagi, hanya di dalam hatinya dia mengharapkan kembalinya Siu Bi menggabung kepada rombongan mereka yang makin kuat ini. la percaya bahwa lambat-laun dia pasti akan dapat berhasil memikat hati gadis yang mengguncangkan jantungnya itu.
Dugaan Ang-hwa Nio-nio memang tepat. Ketika terjadi tipu muslihat yang dilakukan oleh Ang-hwa Nio-nio, Siu Bi melihat dengan jelas. Akan tetapi dia tidak ambil pusing, hanya mulutnya tersenyum menghina. la muak dengan cara-cara yang dikerjakan oleh Ang-hwa Nio-nio.
Akan tetapi ia selalu mencari kesempatan untuk memuaskan nafsu hatinya sendiri, yaitu membalas kepada Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta. Urusan orang lain tidak terlalu dia pedulikan, yang penting ia harus melaksanakan tugas dan sumpahnya.
Ketika orang yang dinanti-nanti, yaitu yang katanya adalah putera Raja Pedang, ketua Min-san-pai bernama Tan Kong Bu ayah Lee Si yang tertawan itu datang, ia kagum juga. Bukan main sepak terjang laki-laki tinggi besar itu. Mengingatkan ia akan kakeknya, Hek Lojin.
Akan tetapi ketika dia melihat laki-laki itu dipancing menjauhi kuil dan melihat Ang-hwa Nio-nio menyeret Swan Bu keluar dan meninggalkannya di bagian belakang kuil untuk membebaskan Lee Si, diam-diam dia menyelinap dan mengempit tubuh Swan Bu, terus dibawa lari cepat sekuatnya meninggalkan tempat itu. Yang lain-lain ia tidak peduli, yang penting baginya hanyalah Kwa Swan Bu, putera Pendekar Buta, musuh besarnya!
Siu Bi maklum bahwa Ang-hwa Nio-nio dan teman-temannya adalah orang-orang yang amat sakti, bukan lawannya. Dia akan terpaksa menyerahkan Swan Bu kembali, bahkan dia sendiri mungkin tak bebas dari hukuman apa bila mereka dapat menyusulnya. Oleh karena inilah maka gadis itu terus lari secepatnya, menyusup-nyusup ke dalam hutan dan tidak pernah berhenti sampai malam berganti pagi.
Akhirnya dia tidak kuat berlari lagi. Di dalam sebuah hutan kecil ia pun berhenti, nafasnya terengah-engah lalu melempar tubuh Swan Bu ke atas tanah. Dia berdiri mengatur nafas, menyusut keringat pada leher dan jidatnya dengan sapu tangan, memandang sekilas ke arah pemuda yang terbanting ke atas tanah itu.
la melihat pemuda itu bergerak perlahan, menggerak-gerakkan lengan dan kaki, agaknya sudah terbebas dari totokan, lalu mencoba untuk bangun dan duduk. Siu Bi kaget sekali, teringat betapa lihainya pemuda ini dan kalau tenaganya sudah pulih, tentu sulit baginya untuk mengalahkannya. Segera ia menerjang maju dan tangannya bergerak cepat.
Swan Bu yang tahu bahwa dia diserang, tidak dapat menangkis atau mengelak, karena jalan darahnya belum pulih seluruhnya. Kembali dia roboh dan tak berkutik karena jalan darahnya yang membuat dia lemas sudah ditotok oleh gadis galak itu.
Setelah merasa yakin bahwa lawannya tak akan mampu bergerak, Siu Bi yang merasa kedua kakinya berdenyut-denyut linu dan lelah sekali, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput, melanjutkan kerjanya yang tadi tertunda, yaitu menghapus keringatnya. Kemudian ia mengebut-ngebut sapu tangan, dipakai mengipasi lehernya sambil menatap wajah di depan kakinya itu.
Wajah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah. Alis yang hitam tebal berbentuk golok dengan sepasang mata yang penuh ketabahan. Kebetulan sekali Swan Bu juga memandang kepadanya. Dua pasang mata itu bertemu pandang, penuh amarah, saling serang dan akhirnya Siu Bi yang menunduk lebih dulu.
"Perlu apa kau melarikan diriku ke sini?” tanya Swan Bu, suaranya tenang akan tetapi agak ketus.
"Perlu apa lagi? Tentu saja untuk membuntungi lengan kirimu, untuk membalas sakit hati mendiang kakekku!"
Swan Bu terdiam, memutar otak. Namun dia tidak melihat jalan keluar untuk menolong dirinya. Gadis ini wataknya keras dan aneh, liar dan ganas. Betapa pun juga, kalau gadis ini tidak menculiknya ke sini mungkin jiwanya justru terancam bahaya. Bahaya yang lebih mengerikan lagi.
Dia bukan takut mati. Akan tetapi mati di tangan paman Tan Kong Bu dengan tuduhan melakukan tindakan maksiat, berjinah dengan Lee Si, benar-benar merupakan kematian yang amat pahit dan penasaran.
Betapa pun juga, jika direnungkan benar-benar, gadis liar ini malah sudah menolongnya, menolong kehormatannya, karena meski pun dia akan dibuntungi lengan kirinya, namun dia tidak mati dan selama dia masih hidup dia akan bisa membersihkan namanya, akan dapat membuktikan kepada pamannya, Tan Kong Bu, bahwa dia sama sekali tak berbuat jinah dengan puteri pamannya itu. Juga, walau pun lengannya tinggal sebuah, dia masih akan mendapat kesempatan membalas kepada Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya yang telah membuat fitnah keji terhadap dirinya dan Lee Si itu.
"Huh, wajahmu pucat! Kau ketakutan, ya? Ngeri mengingat lengan kirimu akan buntung? Ya, akan kubuntungi lengan kirimu, biar kau tahu rasa, biar kau merasakan bagaimana sengsaranya kakekku setelah lengan kirinya dibuntungi ayahmu. Dan setelah kau, ayah dan ibumu akan menerima gilirannya!"
"Hemmm, kau ini bocah bermulut besar, amat sombong dan tak tahu malu. Membuntungi lenganku saja kalau tidak secara pengecut, tidak akan becus kau lakukan. Macam kau hendak membuntungi lengan ayah ibuku? Hah, cacing tanah pun akan terbahak geli bila mendengar kata-katamu tadi!"
Tadinya Siu Bi mengira bahwa Swan Bu merasa ngeri serta ketakutan. Hatinya sudah merasa amat girang sebab ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kiranya sekarang malah ucapan pemuda itu bagaikan api yang membakar dadanya, membuat ia melompat bangun, berdiri dengan kedua mata mendelik, muka berwarna merah padam, hidungnya kembang-kempis.
"Nah, marahlah! Hayo, keluarkan kegagahanmu, marahlah sekuatmu kemudian coba kau bebaskan aku kalau berani. Kalau aku bebas, boleh kau mencoba untuk membuntungi lenganku, hendak kulihat kau becus atau tidak. Hemmm, meski kau memegang pedang setan hitam itu dan aku bertangan kosong saja menghadapimu, bukan lenganku yang buntung, melainkan... hemmm hidungmu yang kembang-kempis itu yang akan kucabut copot dari mukamu!"
Dapat dibayangkan betapa memuncak kemarahan Siu Bi ketika mendengar ejekan yang dianggapnya penghinaan hebat ini. la membanting-banting kakinya dan hampir menangis pada saat pedangnya berkelebatan di depan muka Swan Bu dan tangannya menuding-nuding, bibirnya komat-kamit meneriakkan maki-makian yang tidak keluar dari mulut.
"Kau... kau setan, kau... kau... manusia sombong. Hihh, lehermu yang akan kubuntungi, bukan lenganmu. Dengar? Lehermu akan kupenggal dengan pedang ini!"
Namun Swan Bu adalah putera tunggal Kwa Kun Hong, seorang yang meski pun masih muda namun memiliki dasar satria yang tidak takut mati. Selain ini dia pun keras hati dan tidak sudi tunduk kalau merasa dirinya benar. Mendengar ancaman dan melihat pedang berkelebatan di dekat lehernya itu, dia malah tertawa, tertawa nyaring.
"Hee?!"
Siu Bi menahan gerakan pedangnya dan memandang heran. Memang sama sekali ia tidak mengira, orang yang sudah hampir dipenggal lehernya dapat tertawa segembira itu!
"Wah, kau sudah miring otak, ya? Kau sudah menjadi gila saking takut, ya?"
"He, perempuan liar, kaulah yang gila. Kau boleh mengeluarkan seribu macam ancaman, seperti kebiasaan setan-setan dan iblis, akan tetapi seorang gagah tidak takut mati. Aku paling ngeri kalau menjadi pengecut, lebih baik mati dari pada menjadi pengecut macam kau ini. Berani menjual lagak hanya kepada orang yang sudah tidak mampu melawan. Huh, beri aku kesempatan untuk melawanmu, baru kau tahu rasa, barulah akan terbuka matamu bahwa kau harus belajar lima puluh tahun lagi sampai kau menjadi nenek-nenek kempot keriput baru boleh menandingi aku! Mau bunuh, hayo lekas bunuhlah. Sabetkan pedangmu dengan tanganmu yang curang itu ke leherku, siapa takut?"
Siu Bi tertegun. Kali ini bukan karena marahnya melainkan karena heran dan kagumnya. Belum pernah selama hidupnya ia melihat orang begini tabah, begini tenang dan penuh keberanian menghadapi kematian. Hampir dia tidak dapat percaya. Mungkin hanya aksi belaka, pikirnya. Kalau sudah diberi rasa sakit, tentu akan menguik-nguik minta ampun seperti anjing dipecuti.
"Kau betul tidak takut mampus? Nah, rasakan ini!"
Pedangnya lalu digerakkan perlahan-lahan ke arah leher Swan Bu sambil menatap tajam wajah tampan itu. Dia melihat betapa wajah itu tetap tenang, sepasang mata tajam itu memandang penuh tantangan, berkedip pun tidak, sampai ujung pedangnya menggores kulit pundak yang telanjang itu dan kulit pecah darah merah mengucur. Namun wajah itu tetap tenang, bibir itu tetap dalam senyum mengejek dan mata menantang, berkedip pun tidak! Bukan main!
"Hayo, kenapa berhenti? Bukan aku yang takut mampus, kaulah yang takut melanjutkan perbuatanmu yang curang dan pengecut!"
Pucat wajah Siu Bi mendengar ini. "Setan kau!"
Pedangnya kembali diangkat dan kini agak cepat menyambar.
"Crattt!"
Pedang, itu menancap pada pundak beberapa senti meter saja dalamnya karena segera ditahannya, dan ketika dicabut, darah mengucur banyak. Tapi tetap saja wajah Swan Bu tidak berubah, matanya tidak berkedip, senyumnya makin mengejek.
”Nah, kembali kau tidak berani. Melawanku dengan pedang sedang aku hanya bertangan kosong pun tidak berani. Huh, kau pengecut kepalang tanggung!"
Siu Bi menggigit bibirnya. "Sombong! Kau kira aku tidak tahu akan akal bulusmu? Kau sengaja memanas-manasi hatiku, sengaja membakarku agar aku menjadi panas hati dan membebaskanmu. Huh, siapa yang tidak tahu bahwa kau lihai dan jika dibandingkan aku takkan menang? Tapi jangan kira aku sebodoh itu, aku tidak dapat kau pancing! Padahal kalau betul-betul kau bertangan kosong melawan aku bersenjata pedang, dalam belasan jurus saja kau pasti akan roboh. Kau sengaja membuka mulut besar, dan kalau sudah kubebaskan dari totokan, kau tentu akan melarikan diri dan aku tidak dapat mengejarmu, sampai kau mendapatkan senjata dan melawanku. Bukankah begitu akalmu, Bulus?"
Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cerdik betul bocah ini. Tidak ada gunanya menipu gadis seperti ini. Akan tetapi memang ucapannya tadi bukan semata-mata hendak mengejek dan memancing supaya dibebaskan, melainkan betul-betul keluar dari perasaannya yang penasaran dan marah.
"Bocah, tak perlu menjual lagak. Kau pintar atau bodoh bukan urusanku, yang terang kau pengecut. Aku seorang laki-laki sejati, ayahku Pendekar Buta terkenal di kolong jagat ini sebagai seorang pendekar besar. Menyelamatkan diri dengan jalan menipu, apa lagi jika menipu seorang bocah masih ingusan macam engkau, bukanlah perbuatan orang gagah. Kau mau melihat bukti bahwa aku mampu mengalahkan engkau yang berpedang dengan hanya tangan kosong? Bebaskan aku, akan kubuktikan. Aku tidak akan lari, kalau sudah membuktikan omonganku, boleh kau tawan aku lagi, aku tidak akan melawan."
"Huh, siapa percaya omonganmu?" Siu Bi mencibirkan bibirnya yang merah.
Swan Bu mengerutkan alisnya. Terlalu cantik manis dara liar ini apa bila sudah mencibir seperti itu.
"Percaya atau tidak terserah, aku pun tidak akan memaksa kau percaya. Akan tetapi yang jelas, kau berani atau tidak melawan aku bertangan kosong?"
Siu Bi duduk termenung. Tanpa disadarinya jari-jari tangan kirinya bergerak-gerak dan ujungnya memukul-mukul pahanya sendiri. la penasaran sekali. la maklum bahwa ilmu pedang pemuda ini hebat sekali, tadi malam ia sudah menyaksikannya. Akan tetapi kalau bertangan kosong melawan ia berpedang? Ah, tidak mungkin ia akan kalah!
Lagi pula, kalau membuntungi lengannya dalam keadaan tertotok seperti ini, benar-benar sukar baginya untuk melakukannya. Lebih baik membebaskan dia dan tantang berkelahi, kemudian pada kesempatan itu ia akan membuntungi lengannya. Dengan begitu barulah perbuatan gagah.
"Kau tidak akan lari?"
"Kata-kata lari tidak terdapat dalam kamus hatiku."
"Berani sumpah?"
Hampir Swan Bu tertawa. Gadis ini aneh, liar, akan tetapi juga lucu.
"Ucapan yang keluar dari mulut orang gagah dengan sendirinya sudah menjadi sumpah yang lebih berharga dari pada nyawa."
"Baik, kau kubebaskan dan kau lawanlah pedangku dengan tangan kosong. Bila mana kau melarikan diri, tidak apa, aku akan menganggap kau seorang yang paling curang dan pengecut di seluruh permukaan bumi ini."
Sebelum pemuda itu sempat menjawab yang menyakitkan hati, Siu Bi sudah menerjang maju, tangan kirinya menotok dan terbebaslah Swan Bu.
Pemuda ini bergerak dan bangkit berdiri, kaki tangannya kesemutan dan masih terasa kaku. la menggerak-gerakkan lengan dan kakinya sampai jalan darahnya pulih kembali sambil mengatur nafas mengerahkan sinkang. Terasa hawa panas mengelilingi seluruh bagian tubuhnya dan beberapa detik kemudian dia sudah merasa segar kembali. Inilah cara memulihkan jalan darah dan tenaga warisan ajaran ayahnya.
la melirik ke arah pundaknya di mana terdapat guratan dan tikaman pedang. Lukanya tidak berbahaya, akan tetapi terasa sedikit perih dan darahnya cukup banyak. Swan Bu menggerakkan jari tangan menekan pinggir luka, darahnya berhenti dan dia menghadapi Siu Bi dengan senyum mengejek tak pernah meninggalkan bibirnya.
"Kalau kau betul jantan, lawanlah pedangku. Awas pedang!" Siu Bi segera menerjang dengan kecepatan kilat. la sudah maklum bahwa putera Pendekar Buta ini benar-benar lihai, maka begitu menerjang ia sudah menggunakan jurus-jurus yang berbahaya sambil membarengi dengan pukulan Hek-in-kang dari tangan kirinya.
Biar pun baru segebrakan saja Swan Bu pernah melawan Siu Bi, namun dia tahu bahwa gadis itu selain memiliki ilmu pedang yang aneh dan sangat ganas, juga tangan kirinya mengandung hawa pukulan yang keji, hawa pukulan beracun yang mengeluarkan uap hitam.
Oleh karena inilah maka serta merta dia menggunakan ilmu langkah ajaib Kim-tiauw-kun dan memainkan jurus-jurus Im-yang Sin-hoat yang sukar dicari tandingnya itu. Tubuhnya bergerak aneh, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang jongkok, berdiri miring, lantas membungkuk dan berloncatan, seperti bukan orang main silat.
Melihat gerakan ini, hampir saja Siu Bi tak dapat menahan seruan heran dari mulutnya. la mengenal gerakan ini. Pernah dia dibikin tidak berdaya oleh gerakan-gerakan seperti ini, yang dimainkan oleh Yo Wan! Malah sebelum berpisah dari Yo Wan secara menyedihkan, dia pernah minta supaya Yo Wan mengajarkan ilmu langkah ajaib itu karena dengan ilmu langkah itu saja ia pernah dibikin tidak berdaya. Dan sekarang pemuda ini menggunakan ilmu langkah itu! Saking kaget dan herannya, penyerangannya berhenti.
"He, kenapa berhenti? Kau takut?" Swan Bu mengejek.
"Takut hidungmu! Aku hanya heran... apa engkau kenal orang yang bernama Yo Wan Si Jaka Lola?"
Swan Bu tertegun. Gadis aneh, ada-ada saja pertanyaannya, pertanyaan yang aneh dan tak terduga-duga pula.
"Yo Wan? Tentu saja kenal, dia itu suheng-ku, murid ayahku. Mau apa kau sebut-sebut dia?"
Mampus kau! Hampir saja di depan Swan Bu dia mengeluarkan ucapan ini, dan betapa herannya Swan Bu ketika melihat tiba-tiba gadis itu menampar kepalanya sendiri
"Ehh, apa kau gila?"
Siu Bi tidak mendengar pertanyaan ini, pikirannya berputaran tujuh keliling. Siapa kira siapa duga, Yo Wan itu malah murid Pendekar Buta! Dan dia sudah mengajak Yo Wan bersekongkol membantunya melawan Pendekar Buta. Anehnya, mengapa Yo Wan mau saja? Dan pemuda yatim piatu itu baru marah dan meninggalkannya setelah mengetahui bahwa ia adalah puteri tiri The Sun yang katanya membunuh ibunya.
Wah, wah, kalau Yo Wan itu murid Pendekar Buta, celaka dua belas. Sampai mati pun mana mungkin ia menang melawan Pendekar Buta? Tapi, ia sudah menantang pemuda ini, harus dapat memenangkannya, kalau tidak, lagi-lagi ia akan menderita malu.
"Bagaimana kau mengenal suheng-ku itu? Di mana dia?"
"Aku tidak kenal dia! Kau makanlah pedangku ini!"
Siu Bi menerjang lagi, kini gerakannya lebih dahsyat lagi karena ia telah mengeluarkan jurus yang paling lihai sesudah maklum bahwa pemuda ini adalah adik seperguruan Yo Wan dan karenanya tentu mempunyai ilmu yang sakti seperti Yo Wan pula sehingga ia khawatir kalau-kalau ia akan kalah, biar pun hanya dilawan dengan tangan kosong.
Swan Bu cepat mengelak dan di lain saat mereka telah bertempur lagi dengan seru. Sebentar saja puluhan jurus telah lewat dan sama sekali Siu Bi belum dapat mendesak lawannya, sungguh pun bagi Swan Bu juga tidak mudah untuk mengalahkan gadis yang gesit dan memiliki ilmu kepandaian tinggi dan luar biasa itu.
Kalau saja dia berpedang, agaknya tidak akan begitu sukar baginya untuk menundukkan Siu Bi. Dengan ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam, kiranya dia akan dapat mengalahkannya. Betapa pun juga, kekerasan hatinya tak mengijinkan Swan Bu untuk mengalah terhadap gadis liar yang hendak membuntungi lengannya ini.
Pada saat pertempuran sedang berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan orang, "Ini dia! Mari bantu nona The! Serang dan bunuh dia!"
Jarum-jarum halus menyambar ke arah Swan Bu ketika tiga orang yang baru muncul ini menggerakkan tangan mereka, kemudian menyusul serangan senjata halus itu mereka menerjang maju dengan golok, menyerang Swan Bu dengan hebat.
Mereka ini bukan lain adalah tiga orang anggota Ang-hwa-pai yang tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat Ang-hwa Nio-nio sebab hal itu memang dirahasiakan sehingga setahu mereka hanya bahwa pemuda putera Pendekar Buta yang tertawan itu sudah berhasil lolos. Dan kini melihat pemuda itu bertanding melawan Siu Bi, tentu saja mereka segera membantu karena mereka maklum bahwa nona The Siu Bi adalah ‘keponakan’ dari ketua mereka.
Pada saat mereka menyerang dengan jarum-jarum halus itu, Siu Bi sedang mengurung Swan Bu dengan sinar pedang dan pukulan Hek-in-kang. Swan Bu sibuk menghadapi serangan dahsyat ini, maka betapa kagetnya ketika dia merasa adanya sambaran angin halus dari sebelah belakang. Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok sambil mengerahkan sinkang sehingga angin pukulannya menyambar ke belakang.
Namun, di antara jarum-jarum halus yang dapat dia sampok runtuh itu terdapat sebatang yang menyelinap dan menancap pada pundak kanannya. Swan Bu merasa pundaknya kaku dan gatal-gatal, maka tahulah dia bahwa dia sudah menjadi korban senjata rahasia halus yang beracun!
Namun dengan nekat dia lalu melawan. Cepat dia menghindar dari sambaran tiga batang golok dan pada waktu tubuhnya miring itu, kakinya lantas melayang sehingga seorang pengeroyok roboh dengan tulang iga patah!
Sementara itu, Siu Bi juga marah sekali melihat munculnya tiga orang Ang-hwa-pai yang tanpa diminta telah lancang turun tangan membantunya. Dia lalu berseru keras, "Cacing busuk, siapa butuh bantuan kalian? Mundur!"
Akan tetapi dua orang Ang-hwa-pai ketika melihat seorang teman mereka roboh, mana mau mundur. Yang memerintah mereka kali ini bukan seorang pemimpin Ang-hwa-pai, tentu saja mereka tidak peduli dan terus menerjang Swan Bu dengan hebat.
"Trang-trang...!"
Golok di tangan mereka terpental dan sebelum mereka dapat mengelak, mereka sudah roboh dengan pangkal lengan dan paha pecah kulit dan dagingnya dimakan pedang Siu Bi! Mereka begitu kaget sehingga mudah roboh karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka akan diserang oleh gadis itu.
"Lancang!" Siu Bi memaki lagi.
Kini pedangnya bergulung-gulung menyambar ke arah Swan Bu yang cepat menjatuhkan diri ke samping, lalu bergulingan menyelamatkan diri. Ketika Siu Bi mendesak, pemuda ini sudah berhasil melompat berdiri dan kembali mereka bertanding hebat.
Ada pun tiga orang Ang-hwa-pai itu, setelah dapat merangkak bangun, segera pergi dari situ terpincang-pincang. Dua orang yang terluka pedang Siu Bi, dengan susah payah dan sedapat mungkin menggotong temannya yang masih pingsan akibat tendangan Swan Bu mematahkan sedikitnya dua buah tulang iganya. Mereka bergegas pergi untuk mencari bala bantuan.
Sekarang perlawanan Swan Bu tidak lagi segesit tadi. Pemuda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan kelemahan, tidak sudi mengaku bahwa dirinya sudah terluka oleh jarum beracun. la melakukan perlawanan sedapat mungkin meski lengan kanannya kini terasa setengah lumpuh.
Diam-diam Siu Bi merasa amat kagum. Benar-benar hebat pemuda ini dan seperti yang ia khawatirkan, sama sekali ia tidak mampu merobohkannya. Padahal pemuda ini hanya bertangan kosong dan ia memegang Cui-beng-kiam, malah menggunakan Hek-in-kang. Bukan main!
Di dalam hatinya, Siu Bi merasa sayang sekali mengapa pemuda sehebat ini ditakdirkan menjadi putera musuh besar kakeknya yang harus dia buntungi lengannya. Kalau saja tidak demikian halnya, alangkah akan senangnya memiliki seorang sahabat seperti dia ini, sebagai pengganti Yo Wan yang sekarang telah memusuhinya akibat perbuatan ayah tirinya.
Siu Bi diam-diam merasa menyesal bukan main. Mau rasanya dia menangis, apa lagi ditambah dengan kejengkelan hatinya bahwa begitu lama ia masih juga belum berhasil mengalahkan dan membuntungi lengan Swan Bu.
Akan tetapi tiba-tiba saja Swan Bu mengeluh, terhuyung-huyung ke belakang lalu jatuh terduduk. Siu Bi menahan pedangnya, kaget dan terheran-heran. Terang bahwa bukan dia yang merobohkan pemuda itu.
Baru saja pemuda itu menangkis pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Hek-in-kang di tangan kiri. Swan Bu tak dapat mengelak dan terpaksa harus menangkis dengan tangan kanan. Dalam pertemuan tenaga ini, Siu Bi merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat.
Ia makin kagum karena jarang ada orang bisa menangkis tenaga Hek-in-kang demikian rupa sampai dia tergetar ke belakang. Dan sehabis menangkis itulah, ketika ia menerjang lagi dengan pedangnya, Swan Bu mengelak lantas terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh terduduk, meringis menahan sakit sambil menekan pundak kanannya.
Siu Bi melangkah maju, memandang penuh perhatian. Dilihatnya kulit di pundak kanan yang putih itu ternoda oleh bintik merah membengkak.
"Kau terluka Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)!" serunya di luar kesadarannya.
Swan Bu mengangguk lesu. "Tiga orang tadi..."
"Kalau tidak segera dikeluarkan, kau akan mati..."
"Lebih baik begitu, jadi kau tidak usah bersusah-payah lagi..."
Siu Bi maju lagi dan berlutut.
"Kau tidak boleh mati! Kalau mati aku tak akan dapat melaksanakan sumpahku. Jangan bergerak, biar kukeluarkan jarum itu!”
Siu Bi memegang pedangnya dekat ujung, kemudian dengan hati-hati ia merobek kulit di pundak itu, Swan Bu menggigit bibir menahan rasa sakit, jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Siu Bi hanya berjarak beberapa senti saja dari pipi kanannya...