CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
JAKA LOLA JILID 14
Akan tetapi The Sun menggigit bibirnya, mengerahkan seluruh daya tahan yang ada di tubuhnya untuk melawan rasa nyeri ini agar dia dapat menghadapi Ang-hwa Nio-nio. "Dia ini hendak mengganggu anakku dan... mantuku, oleh karena itu aku turun tangan membunuhnya!"
Ang-hwa Nio-nio kelihatan amat kaget dan heran, akan tetapi kemarahannya memuncak mengalahkan perasaan-perasaan lain. Dia mundur tiga langkah, mengeluarkan jerit aneh setengah menangis setengah tertawa, lalu menubruk ke depan melakukan penyerangan dahsyat, pedangnya menubruk perut, tangan kirinya melancarkan pukulan Ang-tok-ciang!
The Sun adalah seorang jago kawakan yang tentu saja sudah maklum betapa lihainya nenek ini. Apa lagi dia dalam keadaan terluka hebat, lengan buntung dan dada tergores pedang. Andai kata dia dalam keadaan sehat dan segar bugar sekali pun, dia maklum bahwa nenek ini bukan lawannya yang seimbang. Mendiang gurunya, Hek Lojin, kiranya baru merupakan lawan setanding.
Maka dia bukan tidak tahu bahwa pertempuran ini akan berakhir dengan kekalahannya. Namun dia tidak takut, tidak gentar. Apa lagi karena apa yang dia idam-idamkan sudah tercapai, yaitu menarik Siu Bi kembali padanya, sebagai anaknya. la terlalu cinta kepada anak itu yang semenjak kecil dia anggap anak sendiri. Ketika Siu Bi pergi, dia sudah mengalami penderitaan batin yang lebih hebat dari pada penderitaan apa pun juga, lebih hebat dari pada kematian. Bahkan sebelum dia bertemu dengan Siu Bi, hanya tubuhnya yang masih hidup untuk menghadapi segala kepalsuan hidup, sedangkan batinnya sudah hampir mati.
Baru setelah Siu Bi menyebutnya ayah, mengaku ayah padanya, jiwanya segar kembali dan The Sun merasakan kebahagian dan kenikmatan yang tiada bandingnya di dunia. la puas, dia lega, dan dia bahagia sehingga menghadapi bahaya maut di tangan Ang-hwa Nio-nio disambutnya dengan senyum!
Betapa pun juga, darah jagoan tidak membiarkan dia mati konyol begitu saja. la seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, meski pun tingkatnya tidak setinggi tingkat Ang-hwa Nio-nio. Namun dia harus memperlihatkan bahwa selama puluhan tahun belajar ilmu silat tidaklah sia-sia. la harus melawan mati-matian. Tangan kanannya yang memegang pedang bergerak melindungi tubuh. Dia menggeser kakinya ke belakang terus ke kiri, membabatkan pedangnya ke tengah-tengah gulungan sinar pedang di tangan Ang-hwa Nio-nio.
"Trang-trang-tranggg...!"
Mereka berdua terpental mundur, masing-masing tiga langkah. Hal ini aneh. Sesungguhnya dalam hal kepandaian mau pun tenaga dalam, The Sun kalah jauh oleh Ang-hwa Nio-nio. Apa lagi dia dalam keadaan terluka dan tubuhnya sudah lemah sekali. Akan tetapi, mengapa tiga kali pedangnya dapat menangkis pedang lawan dan dia dapat mengimbangi tenaga Ang-hwa Nio-nio?
Bukan lain karena rasa bahagia dan ketabahan yang luar biasa, yang membuat The Sun tidak peduli lagi akan mati atau hidup. Perasaan ini lalu mendatangkan tenaga mukjijat kepadanya. Memang, di dalam tubuh manusia ini tersimpan tenaga mukjijat yang rahasianya belum diketahui oleh si manusia sendiri. Kadang-kadang saja, di luar kesadarannya, tenaga ini menonjolkan diri, membuat orang dapat melakukan hal yang tidak mungkin dilakukannya dalam keadaan normal.
Rasa takut yang berlebih-lebihan, rasa marah yang melewati batas, rasa cinta mau pun gembira yang mendalam, kadang-kadang dapat menarik tenaga mukjijat di dalam diri ini sehingga timbul dan memungkinkan orang melakukan hal yang luar biasa, hal-hal di atas kemampuannya yang normal. Demikian pula agaknya dengan The Sun pada saat itu. Secara aneh sekali, perasaan bahagia yang amat mendalam membuat dia tak gentar menghadapi apa pun juga. Mati atau hidup baginya sama saja, pokoknya dia sudah diterima sebagai ayah oleh Siu Bi dan inilah idam-idaman hatinya.
Perasaan inilah yang membangkitkan tenaga mukjijat sehingga dia mampu menangkis sambaran pedang Ang-hwa Nio-nio sambil mengelak dari pukulan Ang-tok-ciang. Akan tetapi, karena memang kalah tingkat dan pula tangan kirinya tak dapat dia gunakan lagi sehingga keseimbangan tubuhnya dalam bersilat juga terganggu, maka ketika Ang-hwa Nio-nio terus menerus mendesaknya dengan kemarahan meluap-luap, The Sun hanya mampu mempertahankan dirinya saja.
"Singgg…!"
Pedang Ang-hwa Nio-nio menyambar, hampir saja mengenai kepala The Sun kalau saja dia tidak cepat-cepat membanting dirinya ke belakang dan terhuyung. Pada waktu itu, Ang-hwa Nio-nio sudah menyusulkan pukulan Ang-tok-ciang. Dalam keadaan terhuyung-huyung ini, tentu saja The Sun tidak mampu lagi mengelak.
"Uhhh...!"
Dada The Sun serasa ditumbuk palu godam, tergetar seluruh isi dadanya dan tubuhnya terlempar sampai tiga meter lebih. The Sun roboh dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Pada saat itu pula Ang-hwa Nio-nio sambil terkekeh-kekeh mengerikan sudah melompat datang dengan pedang terangkat. Akan tetapi The Sun sama sekali tidak gentar, juga tak mau menyerah. Dalam keadaan setengah rebah ini, dia masih mampu mengangkat pedangnya dan menangkis bacokan pedang lawan.
"Tranggg...!"
Pedang di tangan The Sun patah menjadi dua, ujungnya menancap di dadanya sendiri dan gagangnya mencelat entah kemana. The Sun menggulingkan tubuhnya ke depan dan tangan kanannya dikepal melancarkan pukulan sambil menendang. Hebat serangan ini, dan tidak terduga-duga lagi. Siapa bisa menduga orang yang sudah terluka seperti itu masih dapat melakukan serangan begini dahsyat?
"Ihhh...!" Ang-hwa Nio-nio berteriak kaget dan marah.
Biar pun dia dapat menghindar, namun ujung kaki The Sun menyambar pipinya, dekat hidung. Dia mencium bau sepatu yang amat tidak enak dan hal ini dianggap merupakan penghinaan yang melewati takaran. "Keparat, mampus kau!" bentaknya, pedangnya membacok lagi sekuat tenaga.
"Crakkk!"
Lengan kanan The Sun yang menangkis bacokan ini seketika terbabat buntung! Darah muncrat bagaikan air pancuran. Akan tetapi The Sun masih melompat bangun, kedua kakinya bergerak seperti kitiran angin melakukan tendangan berantai.
"Wah, gila...!" Ang-hwa Nio-nio merasa seram juga.
The Sun sudah bermandikan darah, juga pakaiannya ternoda darah yang mancur dari lengannya, akan tetapi tendangannya masih amat berbahaya. Dengan sangat marah dan penasaran Ang-hwa Nio-nio mengayun pedangnya memapaki kaki yang menendang.
"Crokkk!"
Kaki kanan The Sun putus sebatas lutut dan tubuhnya terguling. Namun hebatnya, tidak satu kali pun jagoan ini mengeluarkan suara keluhan. Dia rebah dengan mata melotot memandang Ang-hwa Nio-a nio, mulutnya tersenyum penuh ejekan.
"Setan kau!"
Ang-hwa Nio-nio menubruk maju dan pedangnya dikerjakan laksana seorang penebang pohon memainkan kapaknya. Terdengarlah suara crak-crok-crak-crok dan dalam waktu beberapa detik saja tubuh The Sun tercacah hancur! Mengerikan sekali. Ang-hwa Nio-nio mengangkat mayat Ouwyang Lam dan dibawanya lari pergi. Terdengar lengking tangisnya sepanjang jalan. Ada pun mayat The Sun yang sudah tak karuan lagi bentuknya itu menggeletak di atas tanah di dalam hutan.
Sunyi sekali di situ. Tiada suara apa-apa kecuali suara burung hutan yang bersembunyi mengintai di atas pohon. Yang kelihatan bergerak hanya binatang-binatang hutan yang bersembunyi di dalam gerumbulan, menanti saat untuk menikmati hidangan daging dan darah yang disia-siakan itu. Kematian seorang manusia yang sangat mengerikan, juga menyedihkan.
Patut dikasihani manusia seperti The Sun itu, sungguh pun kematiannya itu tidaklah mengherankan apa bila kita mengingat dan menilai perbuatan-perbuatannya di waktu dia masih muda. Telah ditumpuknya dosa, dan sekarang agaknya dia harus menebusnya. Sayang, amat terlambat dia insyaf.
Di waktu muda dahulu, kedudukan, kekuasaan, kekuatan, dan harta benda membuat dia takabur. Membuatnya sewenang-wenang, seakan-akan di dunia ini tidak ada kekuasaan yang dapat melawannya, yang dapat mengadili perbuatan-perbuatannya. Pada waktu itu dia lupa bahwa di atas segala kekuasaan yang tampak di dunia ini, masih ADA kekuasan tertinggi, kekuasaan Tuhan yang tak terlawan, yang maha adil, yang takkan membiarkan kejahatan lewat tanpa hukuman.
Setiap perbuatan merupakan sebab dan tiap sebab mempunyai akibat. Nasib di tangan Tuhan? Betul, karena Tuhanlah yang mengatur lancarnya akibat-akibat ini seadil-adilnya maka Maha Adillah DIA.
Nasib di tangan manusia sendiri? Juga betul, karena sebenarnya, manusia itu sendirilah yang menjadi sebab dari akibat yang disebut kemudian sebagai nasib! Perbuatan baik tentu berakibat baik, sebaliknya perbuatan busuk pasti akan berakibat buruk, maka baik buruknya akibat atau nasib sesungguhnya adalah di tangan si manusia itu sendiri.
Bagi mereka yang berbuat kejahatan tapi belum menerima hukuman dari Tuhan, jangan terlalu keras ketawa gembira. Yakinlah, bahwa akibat perbuatanmu pasti akan tiba pula! Tuhan Maha Adil.
Kuil tua di kota Kong-goan semakin sunyi keadaannya. Semenjak kuil tua itu dijadikan semacam markas oleh Ang-hwa Nio-nio dan sekutunya, penduduk menganggap tempat itu sebagai tempat terlarang, tempat yang sangat seram dan berbahaya sehingga kuil ini seakan-akan terasing. Apa lagi di waktu malam, tidak ada orang berani lewat dekat kuit ini.
Cukup banyak pula penduduk Kong-goan yang menganggap kuil itu sebagai tempat yang angker, sebagai rumah setan dan iblis! Hal ini tidaklah aneh kalau mereka pernah melihat berkelebatnya bayangan yang dapat ‘menghilang’ dan kadang-kadang dapat ‘terbang’ ke atas genteng, bahkan sering pula melihat cahaya berkelebatan di atas kuil.
Akan tetapi pada malam hari itu, dua sosok bayangan orang dengan langkah perlahan dan tenang menghampiri kuil tua ini, tanpa ragu-ragu memasuki pekarangan kuil yang gelap. Mereka ini bukan lain adalah suami isteri sakti dari Liong-thouw-san, Pendekar Buta dan isterinya!
"Sunyi sekali, agaknya kosong," berkata Hui Kauw setelah meneliti keadaan di sekeliling tempat itu dengan pandang matanya.
"Memang kosong," kata Kun Hong yang juga meneliti keadaan dengan pendengarannya, ”akan tetapi mungkin nanti atau besok mereka akan kembali. Tempat ini belum lama ditinggalkan orang, hawa manusia masih bergantung tebal di ruangan ini."
Setelah melakukan pemeriksaan dan yakin bahwa kuil tua itu tidak ada penghuninya, Kun Hong dan Hui Kauw lalu duduk bersila di ruangan belakang yang lantainya bersih. Mereka melewatkan malam di tempat itu, sambil menunggu dan bersikap waspada.
Di tempat inilah Kong Bu melihat putera mereka yang didakwa melakukan perbuatan jahat terhadap Lee Si, puteri pendekar Min-san itu. Dengan demikian berarti bahwa putera mereka itu terkena fitnah di tempat ini. Maka, dengan hati penuh kekhawatiran mereka menduga-duga apakah yang telah terjadi di sini dan siapa gerangan yang melakukan perbuatan curang mengadu domba itu.
Akan tetapi malam itu tak terjadi apa-apa. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali baru terdengar langkah-langkah kaki di luar kuil tua itu. Kun Hong dan isterinya tentu saja mendengar suara ini dan mereka sudah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan. Mereka bangkit berdiri dan tanpa kata-kata keduanya seperti sudah bermufakat, berjalan perlahan keluar menuju ke ruangan depan untuk menyambut datangnya musuh. Sesudah mereka tiba di luar, Hui Kauw melihat seorang gadis cantik dan gagah berdiri dengan tegak dan pandang mata marah.
"Siapakah dia?" bisik Kun Hong kepada isterinya.
Hui Kauw memandang penuh selidik, mengingat-ingat di mana dan bila mana ia pernah melihat wajah cantik yang serasa telah amat dikenalnya ini. Gadis itu balas memandang kepadanya, penuh selidik pula. Dua orang wanita ini saling pandang, agaknya masing-masing menanti ditegur terlebih dulu. Melihat betapa sikap gadis itu seolah-olah sedang menahan kemarahan besar, Hui Kauw mengalah dan menegur lebih dulu.
"Nona, siapa kau dan siapa yang kau cari di tempat ini?" Hui Kauw bertanya hati-hati karena ia belum tahu apakah gadis ini termasuk sekutu pihak lawan ataukah bukan.
"Kalian ini bukankah Pendekar Buta dan isterinya?" Gadis itu balas bertanya.
Hui Kauw dapat menduga bahwa gadis ini pada dasarnya memiliki suara yang halus dan sopan, akan tetapi karena sedang marah maka terdengar ketus. "Kalau betul demikian, kenapa?" dia balas bertanya, sabar dan tersenyum.
"Sudah kuduga," Gadis itu berkata perlahan seperti kepada diri sendiri, "sepasang suami isteri yang sakti, berilmu tinggi dan menganggap di dunia ini mereka yang paling pandai."
"Ehh, kau siapakah dan apa sebabnya bicara begitu?" Kun Hong bertanya, keningnya berkerut karena pendengarannya tadi menangkap keperihan hati yang sakit dan penuh dendam.
Namun gadis itu tidak menjawab, melainkan kembali bertanya kepada Hui Kauw sambil matanya memandang tajam, "Bibi yang gagah perkasa, bolehkah aku bertanya di mana kau menyimpan pedangmu Kim-seng-kiam?"
Berubah wajah Hui Kauw dan Kun Hong mendengar ini. Bangkit kemarahan di hati Hui Kauw. Pedangnya lenyap dicuri orang, dan pencurinya hanya tampak bayangannya saja yang bertubuh ramping dan tidak seorang pun tahu akan kejadian itu. Gadis ini bertubuh ramping dan tahu akan pedangnya yang hilang.
Tentu gadis ini yang telah mencurinya, atau setidaknya tahu akan pencurian pedang itu. Mudah saja menduganya, seperti dua kali dua sama dengan empat!
"Ehh, bocah nakal! Kiranya kau yang mencuri pedangku? Hayo katakan, sekarang di mana kau sembunyikan pedangku itu dan apa sebabnya kau mencurinya?" la melangkah maju dua tindak menghadapi gadis itu.
Kun Hong tetap berdiri, telinganya mengitari segala gerakan dan suara.
"Hemmm, tidak kusangka, isteri Pendekar Buta yang sakti itu pandai pula berpura-pura. Siapa yang berani dan mampu mencuri pedang dari tangan isteri Pendekar Buta? Lebih baik berterus terang saja bahwa pedang itu tertinggal di dada ketua Min-san-pai. Kalian mengandalkan kepandaian sendiri, dengan pedang Kim-seng-kiam membunuh Tan Kong Bu, apakah sekarang masih hendak berpura-pura lagi?"
Kun Hong menahan seruannya, kerut-merut di antara kedua matanya yang buta menjadi makin dalam. "Kong Bu terbunuh dengan Kim-seng-kiam? Ahhh..., kau siapakah, Nona? Dan apakah yang kau kehendaki setelah kau menceritakan itu kepada kami?"
"Lebih dulu kalian mengakulah bahwa kalian yang membunuh Tan Kong Bu. Orang yang berani bertanggung jawab akan perbuatannya barulah orang gagah, dan hanya kepada orang gagah aku mau memperkenalkan diri. Kalau kalian menyangkal padahal pedang Kim-seng-kiam menancap di dadanya, berarti kalian walau pun terkenal sakti ternyata hanyalah pengecut dan aku tidak sudi banyak bicara lagi, karena pedangku yang akan mewakili aku bicara!"
Hui Kauw tidak dapat menahan sabarnya lagi. la melangkah maju lagi beberapa tindak sehingga kini dia sudah berhadapan dengan gadis itu. Sepasang matanya yang bening memandang tajam seakan berkilat, alisnya saling berdekatan, urat lehernya menegang.
"Bocah lancang! Besar mulutmu! Kami tak pernah mengagulkan diri sebagai orang-orang sakti dan gagah, akan tetapi kami juga tak sudi dimaki pengecut! Pedang Kim-seng-kiam memang pedangku, kau mau tahu namaku ataukah sudah mengenalku? Aku Kwee Hui Kauw. Pedangku itu beberapa hari yang lalu lenyap dicuri orang. Hal ini tidak ada yang tahu, kecuali aku, suamiku, dan si pencuri. Sekarang kau muncul dan bicara tentang ini, siapa lagi orangnya kalau bukan kau yang mencuri pedangku? Dan sekarang setelah kau menggunakan pedang itu untuk membunuh Kong Bu, kau datang ke sini menuduh kami? Keparat, kiranya kau ini biang keladi semua urusan!" Setelah berkata demikian Hui Kauw menerjang ke depan, menyerang gadis itu.
Gadis itu bukan lain adalah Tan Cui Sian. Melihat datangnya serangan, dia cepat-cepat mengelak dan meloncat ke kiri.
"Singgg…!"
Pedang Liong-cu-kiam sudah dicabutnya. Pedang ini mengeluarkan cahaya berkilat yang menyilaukan mata sehingga Hui Kauw yang dapat mengenal pedang pusaka ampuh, ragu-ragu untuk menyerang lagi dengan tangan kosong, apa lagi tadi dia melihat betapa gerakan gadis itu amat ringan dan gesit.
"Huh, ganas!" bentak Cui Sian. "Tak kusangka Pendekar Buta dan isterinya hanya begini! Mengandalkan diri dan kepandaian sendiri untuk menjagoi serta membunuh orang. Aku tahu, pada saat bertemu dengan kalian tentu Tan Kong Bu telah menuduh bahwa putera kalian menghina puterinya sehingga terjadi percekcokan dan pertempuran. Akan tetapi kalau kalian membunuhnya, hal ini keterlaluan sekali dan aku tak akan mendiamkannya begitu saja. Hayo, Pendekar Buta, majulah! Kwee Hui Kauw, karena pedangmu telah kau tinggalkan menancap pada dada Tan Kong Bu, kau boleh mencari senjata lainnya untuk menghadapiku!"
Bukan main heran dan kagetnya hati Pendekar Buta dan isterinya mendengar ucapan ini. Bagaimana gadis ini tahu akan urusan Kwa Swan Bu dan Lee Si? Dan tahu pula bahwa Kong Bu telah bentrok dengan mereka berdua? Siapakah gadis ini?
Perlu diketahui bahwa Hui Kauw belum pernah bertemu dengan Cui Sian, dan Kun Hong pun tak pernah bertemu semenjak Cui Sian berusia lima tahun. Ketika Swan Bu dalam usia belasan tahun pergi ke Thai-san, dia ditemani oleh kakeknya, Kwa Tin Siong.
"Kau... kau anak Kong Bu?” Hui Kauw bertanya.
Cui Sian tersenyum mengejek. Gadis ini tidak mau memperkenalkan namanya, karena kalau ia melakukan hal ini, agaknya akan sukar baginya untuk bersikap seperti ini. Untuk dapat membalas kematian kakaknya, ia harus bersikap kasar dan bermusuhan. Melihat betapa tadi Hui Kauw telah menyerangnya, ia makin merasa yakin bahwa Kong Bu tentu tewas di tangan nyonya ini, dan agaknya dibantu oleh Pendekar Buta karena ia menaksir bahwa kepandaian kakaknya itu tidak kalah oleh kepandaian Kwee Hui Kauw.
"Tak peduli aku siapa, kematian Tan Kong Bu tak boleh kudiamkan saja. Pendekar Buta, kau terkenal sebagai seorang pendekar yang sakti. Awas, pedangku menyerangmu!" Dengan gerakan kilat Cui Sian menerjang Pendekar Buta dengan pedang Liong-cu-kiam!
Gadis ini semenjak kecil tak pernah lagi bertemu dengan Pendekar Buta akan tetapi ia sudah mendengar banyak sekali tentang Kun Hong. Mendengar betapa ayahnya banyak memuji-muji kepandaiannya dan pernah mendengar pula dari ibunya betapa Kwa Kun Hong menjadi buta karena urusan cinta kasih dengan mendiang enci-nya yang bernama Tan Cui Bi dan yang tak pernah ia lihat. (baca Rajawali Emas)
Mendengar cerita mengenai kematian enci-nya yang membunuh diri, diam-diam Cui Sian sudah mempunyai rasa tak senang pada Pendekar Buta, sebab dia menganggap bahwa kematian enci-nya itu adalah gara-gara Kwa Kun Hong. Apa lagi sesudah mendengar bahwa Kwa Kun Hong tidak setia kepada enci-nya yang sudah mengorbankan nyawa demi cinta kasihnya, yaitu bahwa Kun Hong sudah menikah, maka diam-diam dia pun merasa cemburu demi enci-nya, kepada Kwee Hui Kauw.
Puji-puji ayahnya tentang kelihaian Pendekar Buta juga telah membangkitkan penasaran di hatinya. Dulu ia sering kali melamunkan untuk mengadu kepandaian dengan Pendekar Buta yang sudah mengakibatkan enci-nya membunuh diri, dan yang dipuji-puji setinggi langit oleh ayahnya.
"Singgg...!"
Pedang Liong-cu-kiam mengeluarkan suara mendesing ketika digerakkan oleh tangan kanan Cui Sian yang terlatih dan yang gerakannya mengandung tenaga sinkang murni, seketika berubah menjadi seberkas cahaya kilat meluncur cepat ke arah leher Pendekar Buta!
Biar pun kedua matanya buta, sebagai pengganti kekurangan ini, telinga Pendekar Buta amatlah tajam pendengarannya, sehingga dengan pendengarannya dia dapat mengikuti gerakan Cui Sian dengan pedangnya. Alangkah heran dan kaget hati Kun Hong ketika telinganya menangkap gerakan yang amat jelas dari Im-yang Sin-kiam murni! Siapa yang dapat memainkan Im-yang Sin-kiam begini indah dan murni kecuali dia sendiri, dan tentu saja, Raja Pedang Tan Beng San?
la mendiamkan saja tusukan pedang ke arah lehernya ini, tidak ditangkis dan juga tidak dielakkannya. la tahu bahwa gadis ini menusuknya dengan jurus Sian-li Cui-siauw (Dewi Meniup Suling), sebuah jurus yang tergolong Im-sin-kiam, memiliki sebutan yang sifatnya ‘Im’ sedangkan sian-li atau dewi termasuk wanita maka banyak dipakai untuk jurus-jurus Im-sin-kiam. Sebaliknya, dalam Yang-sin-kiam banyak digunakan sebutan yang sifatnya ‘Yang’.
Kun Hong yang telah mewarisi ilmu pedang sakti ini dari Raja Pedang, tentu saja tahu akan perubahan-perubahannya dan dia tahu pula bahwa tusukan ke arah leher ini, biar pun ujung pedangnya sudah menyentuh kulit leher lawan, dapat saja dibelokkan apabila memang si penyerang tak ingin membunuh lawannya. Oleh karena ini maka dia sengaja tidak mengelak atau menangkis, namun tentu saja siap untuk menghancurkan lawan bila serangan ini diteruskan.
Dugaannya tepat. Pada waktu Cui Sian melihat betapa orang buta itu sama sekali tidak menangkis mau pun mengelak sehingga pedangnya meluncur terus mengarah leher, dia menjerit tertahan dan cepat dia menggerakkan pergelangan tangannya mengubah arah pedang. Namun karena dia sedang marah, gerakan serangannya tadi hebat sekali, apa lagi dia menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga. Inilah yang membuat dia kurang cepat mengubah arah pedang sehingga ujung pedangnya masih menyambar pundak kiri Kun Hong sehingga robeklah baju pada pundak berikut kulit dan sedikit daging sehingga darah bercucuran dari luka di pundak.
"Kau... Cui Sian...!” Kun Hong seakan-akan tidak merasakan perihnya luka di pundak.
"Ohhh... kau bocah kurang ajar!" bentak Hui Kauw setelah mendengar seruan suaminya.
Kemarahannya bangkit. Kalau anak ini Cui Sian, berarti dia adik tirinya Tan Kong Bu dan sungguh pun wajar kalau ia marah atas kematian Kong Bu, akan tetapi tidak seharusnya berlaku begitu nekat dan menuduh mereka tanpa penyelidikan lagi. Apa lagi sekarang berani menyerang dan melukai suaminya yang nyata-nyata tidak melawan!
Di lain pihak, Cui Sian yang sudah dikenal, kemudian berdiri dengan pedang melintang di depan dada, tangan kiri bertolak pinggang. Dia seorang gadis yang berpengetahuan dan berpemandangan luas, akan tetapi walau pun demikian, dia tetap seorang wanita yang berperasaan halus, mudah tersinggung sehingga dia bersikap seperti itu karena teringat akan mendiang enci-nya yang membunuh diri karena Kun Hong ditambah pula kematian kakaknya yang tewas tertikam pedang milik isteri Pendekar Buta.
"Betul, aku Tan Cui Sian! Pendekar Buta, dulu sebelum aku lahir, kau sudah menggoda enci-ku Cui Bi dengan ketampanan wajahmu, akan tetapi kemudian kau tak bertanggung jawab sehingga menyebabkan enci-ku tewas membunuh diri. Sekarang, pedang isterimu membuat kakakku Kong Bu tewas pula, tetapi kembali kalian tidak berani bertanggung jawab atas perbuatan kalian. Apakah ini perbuatan orang gagah?. Hayo lawan aku, untuk membereskan perhitungan lama dan baru!"
"Ihhh, sungguh lancang mulutmu!" Hui Kauw berteriak marah sekali.
"Ssttttt, sabarlah isteriku, dia masih anak-anak," kata Kun Hong untuk menyabarkan hati isterinya.
Akan tetapi bagi Cui Sian, ucapan itu merupakan bensin yang menyiram api di dadanya. Dia tadi disebut anak-anak! Akan tetapi sebelum ia sempat membuka mulut menyatakan kemarahannya, Pendekar Buta telah mendahuluinya berkata,
"Cui Sian, alangkah sedih hatiku menghadapi kau seperti ini. Teringat aku betapa dahulu, ketika kau masih kecil, berusia lima enam tahun..."
"Cukup! Tak perlu menggali-gali urusan lama!"
Kun Hong tersenyum, "Kau yang mulai menggali tadi, anak baik. Kau ketahuilah, apa yang dikatakan isteriku tadi tidak bohong. Pedangnya memang sudah dicuri orang dan kami berdua tidak tahu-menahu tentang kematian kakakmu Kong Bu. Tentu saja berita ini amat mengagetkan dan menyedihkan..."
"Sudahlah, siapa bisa percaya omongan seorang yang sudah biasa melanggar sumpah sendiri?"
"Apa maksudmu?!" Kun Hong membentak, suaranya kereng.
"Enci-ku membunuh diri demi cinta kasih, memperlihatkan kesetiaannya kepadamu, lebih baik mati dari pada dijodohkan dengan orang lain. Akan tetapi, belum juga dingin jenazah enci-ku, kau... kau sudah menikah dengan perempuan lain. Apakah aku sekarang harus percaya omonganmu?"
"Bocah kurang ajar! Jangan kau menghina dia!" Hui Kauw berseru marah sekali.
Tahu-tahu ia sudah merenggut tongkat suaminya, meloloskan pedang dari dalam tongkat itu, pedang yang mengeluarkan sinar merah, pedang Ang-hong-kiam!
"Hui Kauw, jangan….!” Kun Hong mencegah.
Akan tetapi dengan pedang Ang-ho-kiam di tangan Hui Kauw sudah melompat maju dan menghadapi Cui Sian. Kemarahan hebat membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Pedangnya berkelebat dan dengan cepat ia telah mengirim serangan hebat kepada gadis itu.
"Tranggg!"
Liong-cu-kiam bertemu dengan Ang-ho-kiam, digerakkan oleh dua buah lengan wanita yang memiliki tenaga sakti. Bunyi nyaring itu diikuti pula dengan bunga api yang muncrat seperti kembang api.
"Bagus!" kata Cui Sian. "Memang Kim-seng-kiam yang tertancap di dada kakakku adalah pedangmu, maka sudah sepatutnya jika kau mempertanggung jawabkan keganasanmu. Ini bukan berarti aku takut kalau kau mengandalkan suamimu Si Pendekar Buta..."
"Tutup mulutmu! Lihat pedang!" Hui Kauw membentak lagi sambil memutar pedang.
Segulung sinar merah berkelebatan di udara, membentuk lingkaran-lingkaran lebar yang bergelombang, kemudian bagaikan seekor naga berwarna merah gulungan sinar pedang itu menyambar ke arah kepala Cui Sian. Cepat bukan main sambaran sinar pedang ini, cepat dan anginnya begitu tajam mendesing sehingga ketika Cui Sian menggerakkan kaki menekuk pinggang ke bawah, sinar pedang itu menyambar lewat di atas kepalanya, meninggalkan bunyi berdesing yang menyeramkan.
Namun Cui Sian sendiri adalah seorang ahli pedang yang sudah tergembleng matang di puncak Thai-san. Tidak percuma kiranya ia menjadi puteri seorang pendekar sakti yang berjuluk Raja Pedang.
Ibunya pun seorang ahli pedang, malah puteri tunggal dari Raja Pedang Tua Cia Hui Gan, pewaris Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang tidak ada taranya sebelum muncul Tan Beng San dengan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam yang sebetulnya satu sumber dengan Sian-li Kiam-sut. Dengan latar belakang keturunan seperti ini, tentu saja Cui Sian adalah seorang ahli pedang yang sakti, biar pun ia hanya seorang gadis yang berusia dua puluh empat tahun.
Begitu sinar merah yang berdesing itu lewat di atas kepalanya, Cui Sian tidak menanti sampai lawannya menyerangnya kembali. la maklum bahwa menghadapi seorang lawan tangguh seperti isteri Pendekar Buta ini, dia tidak boleh sekali-kali berlaku sungkan atau menghemat serangan, harus dapat membalas serangan demi serangan, bahkan sedapat mungkin memperbanyak serangan dari pada pertahanan. Pedangnya digerakkan cepat dan sesosok sinar putih menyilaukan mata, laksana kilatan halilintar, menyelonong dari bawah masuk ke arah dada Hui Kauw.
Pedangnya tidak hanya berhenti sampai di sini karena ujungnya tergetar dan hal ini menyatakan bahwa setiap saat pedangnya ditangkis atau dielakkan lawan, ujung pedang akan dapat melanjutkan serangan dengan jurus yang lain. Tangan kiri gadis itu ditarik ke belakang, lurus dan telapak tangannya dibalik menghadap ke atas.
Indah sekali gerakannya, dengan ujung kaki kanan menotol tanah, tumit diangkat, lutut agak ditekuk ke depan. Inilah gerakan indah seperti gerak tari yang bernama jurus Sian-li Hoan-eng (Sang Dewi Menukar Bayangan), yaitu sebuah jurus dari Sian-li Kiam-sut yang mengandung tenaga Im-yang Sin-hoat, maka hebatnya bukan kepalang!
Pada waktu tadi menyerangkan pedangnya ke arah kepala lawan dan dapat dielakkan, otomatis dada Hui Kauw terbuka. Sebagai isteri Pendekar Buta, tentu saja ia maklum akan kedudukan yang lemah ini. Memang setiap kali menyerang berarti membuka satu bagian yang tidak terlindung. Akan tetapi kalau sudah menguasai kelemahannya sendiri, tentu saja dapat menjaga diri.
Hui Kauw pernah mewarisi ilmu silat tinggi dari sebuah kitab kuno yang dia temukan. Kemudian oleh suaminya, ia dibimbing dan mewarisi beberapa jurus Kim-tiauw-kun yang amat hebat, yang lalu ia gabung dengan ilmu silatnya sendiri sehingga kini memiliki ilmu pedang gabungan yang amat kuat dan dahsyat.
Seperti yang telah ia duga, kekosongan yang terbuka dalam posisinya digunakan lawan. Melihat sinar pedang putih mengancam dada, pedang ia balikkan ke bawah lengan dan dengan pengerahan tenaga sinkang ia cepat menarik lengan yang ditamengi pedang ini ke bawah.
"Criinggg...!"
Kembali sepasang pedang bertemu di udara. Sinar pedang putih yang amat lincah itu begitu kena ditangkis, membalik dan tahu-tahu sudah berubah menjadi sabetan ke arah kaki!
Inilah kelihaian Sian-li Hoan-eng tadi. Begitu ditangkis dan ditindas dari atas oleh lengan Hui Kauw yang dilindungi pedang dibalik, pedang Liong-cu-kiam terpukul ke bawah, akan tetapi pukulan ini malah merupakan landasan tenaga untuk dipergunakan membabat kaki dengan kecepatan kilat!
"Aiiiiihhh...!" Nyonya Pendekar Buta menjerit lirih.
Tahu-tahu kakinya menjejak bumi sehingga tubuhnya mumbul ke atas bagai dilontarkan. Begitu hebat ginkangnya hingga lompatannya lebih cepat dari pada sambaran pedang. Sinar putih itu hanya beberapa senti meter saja lewat di bawah kakinya, nyaris sepasang kaki nyonya ini terbabat buntung!
"Bagus...!" Cui San memuji saking kagumnya menyaksikan gerakan yang sangat indah dan cepat ini.
Itulah gerakan dari Kim-tiauw-kun yang disebut jurus Sin-tiauw-coan-hong (Rajawali Sakti Terjang Angin). Jurus ini tak hanya dapat dipergunakan untuk menyelamatkan serangan di tubuh bagian bawah dengan cara melompat lurus ke atas dengan jalan menotolkan ujung kaki ke tanah, melambung ke atas sambil mengembangkan kedua lengan seperti sayap rajawali sakti, namun lebih dari itu, jurus ini dapat dipergunakan untuk menyerang lawan dengan cara yang dilakukan seekor rajawali.
Dan hal ini pun dilakukan oleh Hui Kauw, karena tiba-tiba saja tubuhnya dari atas telah berjungkir-balik dua kali sehingga tubuh itu mencelat semakin tinggi, kemudian turunnya tepat melayang ke arah lawan, pedangnya menusuk dada, tangan kiri mencengkeram muka, sedangkan dua kakinya masih melakukan tendangan udara. Benar-benar seperti rajawali yang menyerang dengan sepasang sayap dan sepasang cakarnya!
Cui Sian sangat kaget melihat perubahan ini. la tadinya agak terpesona oleh keindahan gerakan lawan, tidak tahu bahwa di dalam keindahan itu tersembunyi bahaya maut yang kini mengancamnya! la sadar akan kehebatan penyerangan ini setelah lawan tiba dekat sekali, bahkan angin pedang yang bersinar merah itu sudah lebih dahulu meniup.
"Hayaaaaah!" Cui Sian berseru.
Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar putih melingkar di depan dada menangkis sinar pedang merah, kemudian sambil menggunakan tenaga benturan ini ia membanting tubuhnya ke belakang.
Orang lain tentu akan celaka apa bila melakukan gerakan ini. Sedikitnya, kepala akan terbanting pada tanah atau batu di belakangnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Cui Sian. Gerakan inilah yang disebut jurus Sian-li-loh-be (Gerakan Membalik Seorang Dewi) yang selain menegangkan, juga amat indah karena digerakkan oleh tubuh yang ramping, manis dan lemah-gemulai.
Biar pun tadinya kepala yang berambut hitam panjang halus harum itu seperti terbanting ke belakang dan ke bawah, namun bukan menghantam tanah di belakang, melainkan terayun terus ke bawah seiring dengan terangkatnya kedua kaki ke depan dan ke atas, lantas tubuh itu membuat salto sampai tiga kali ke belakang! Membuat salto ke depan adalah mudah dan agaknya dapat dilakukan oleh siapa saja yang mau melatihnya. Akan tetapi membuat salto ke belakang berturut-turut tiga kali tanpa ancang-ancang dan dalam keadaan terjepit seperti itu, kiranya hanya dapat dilakukan oleh akrobat-akrobat tingkat tinggi saja!
Diam-diam Hui Kauw kaget dan kagum sekali. Serangannya tadi dengan jurus Sin-tiauw Coan-hong tadi sangat hebat dan jarang sekali tak membawa hasil baik karena serangan itu selain tidak terduga-duga datangnya, juga amat sukar ditangkis atau dielakkan sebab sekaligus kedua tangan dan kedua kakinya menyerang.
Akan tetapi ketika tadi gadis itu tubuhnya berputar-putar seperti kitiran angin ke belakang menjauhinya, otomatis serangannya gagal mutlak, karena tubuhnya yang melayang dari atas tak mungkin dapat ‘terbang’ mengikuti gerakan lawan. Terpaksa ia turun kembali ke atas tanah dan pada saat kedua kakinya menginjak tanah, lawannya yang muda belia itu sudah berdiri pula dengan tegak.
Kini mereka berdiri agak berjauhan karena gerakan salto Cui Sian tadi. Jarak di antara mereka ada lima meter. Masing-masing berdiri dengan pedang di tangan, melintang di depan dada. Dua kaki agak terpentang, tangan kiri di atas pinggul kiri, bibir agak terbuka serta nafas sedikit memburu karena pengerahan tenaga sinkang tadi dicampur dengan ketegangan, sepasang mata menyinarkan api berkilat-kilat, sepasang pipi merah jambu. Bagaikan dua ekor singa betina mereka saling pandang, seakan-akan hendak menaksir kekuatan lawan sambil mengasah otak untuk mengeluarkan jurus-jurus pilihan agar bisa segera merobohkan lawan yang tangguh.
Sejak tadi, kerut-merut di antara kedua mata Kun Hong tampak nyata, nafasnya agak terengah dan beberapa kali dia membanting kaki kiri ke atas tanah. Bingung sekali dia. la maklum bahwa di antara mereka terjadi kesalah pahaman yang amat besar dan amat berbahaya, akan tetapi bagaimana dia dapat mencegah mereka bertanding? Keduanya telah tersinggung perasaan dan kehormatan, masing-masing membela kebenaran sendiri dan satu-satunya jalan untuk menghentikan kesalah pahaman ini hanya mengemukakan fakta-fakta.
Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tak mungkin dia dapat memperlihatkan bukti untuk membuka tabir rahasia ini. Kong Bu terbunuh orang, pedang Kim-seng-kiam menancap di dadanya. Tentu saja adik tirinya ini, Cui Sian, menjadi marah dan menuduh mereka berdua yang melakukan pembunuhan itu.
"Hui Kauw... Cui Sian... hentikanlah pertempuran yang tak ada gunanya ini... dengarkan aku..."
Akan tetapi dia melanjutkan kata-katanya dengan helaan nafas panjang sebab pada saat itu kedua orang singa betina itu sudah saling terjang lagi dengan lebih hebat dari pada tadi. Kini mereka saling menguji lawan dengan gerakan cepat, atau jelasnya, masing-masing hendak mengandalkan kecepatan untuk mencapai kemenangan.
Gerakan mereka bagai sepasang burung walet, sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Pedang mereka lenyap bentuknya, berubah menjadi dua gulung sinar merah dan putih yang berkelebatan ke sana ke mari, saling belit, saling tekan, saling dorong dan saling kurung sehingga menimbulkan pemandangan yang ajaib, indah, tapi penuh ketegangan karena di antara semua keindahan itu mengintai maut!
Segera ternyata oleh kedua orang wanita jagoan itu bahwa dalam ilmu ginkang, nyonya Pendekar Buta dengan gerakan Kim-tiauw-kun masih lebih unggul sedikit. Akan tetapi keunggulan ini dapat ditutup oleh puteri Raja Pedang dengan kelebihannya dalam tenaga Iweekang yang merupakan penggabungan atau kombinasi dari Im-kang dan Yang-kang dari Im-yang Sin-hoat.
Ketika Hui Kauw melakukan serangan dengan jurus Kim-tiauw Liak-sui (Rajawali Emas Sambar Air), pedangnya membacok dari atas ke bawah dengan dua kali kelebatan, mirip seperti orang menulis huruf Z.
Cui Sian yang menjadi silau matanya saking hebatnya serangan ini, cepat menggerakkan pedang Liong-cu-kiam menangkis, dilanjutkan dengan serangan menusuk dada. Dalam menangkis ini, Cui Sian menggunakan jurus Yang-sin Kiam-hoat yang disebut Jit-ho Koan-seng (Api Matahari Menutup Bintang). Pedangnya diputar menjadi gulungan sinar bulat yang digerakkan hawa panas sehingga tangan Hui Kauw yang memegang pedang serasa akan pecah-pecah telapak tangannya. Kemudian, sinar pedang yang bulat seperti bentuk matahari ini mendadak mengeluarkan kilatan meluncur ke depan ketika jurus dari Yang-sin-kiam itu diubah mejadi jurus Im-sin-kiam yang disebut Bi-jin Sia-hwa (Wanita Cantik Memanah Bunga).
"Hui Kauw... awas...!” terdengar Kun Hong berseru kaget. Pendengarannya yang luar biasa tajam itu dapat mengikuti pertandingan ini seakan-akan dia dapat melihat saja.
Tanpa seruan ini pun Hui Kauw sudah kaget setengah mati karena sama sekali tidak disangkanya bahwa pedang lawan yang diputar untuk menangkis itu tahu-tahu dapat diubah menjadi serangan yang mengeluarkan hawa dingin. Pedangnya sendiri pada detik itu berada di atas karena tangannya terpental oleh tangkisan tadi, maka untuk menangkis tidak ada kesempatan lagi. Agaknya pedang lawan akan menancap di dadanya. Dan mungkin ini yang dikehendaki Cui Sian untuk membalas kematian kakaknya dengan serangan yang sama, menikam dada!
Akan tetapi Hui Kauw bukan seorang wanita sembarangan yang akan putus asa dalam menghadapi terkaman maut. Dengan nekat dia hendak mengadu nyawa. Tubuhnya dia tekuk ke bawah menjadi setengah berjongkok dan pedangnya membabat miring ke arah kaki lawan. la maklum bahwa ia tidak akan dapat terhindar dari tusukan maut itu, akan tetapi agaknya pedangnya sendiri pun akan mendapat korban dua buah kaki!
"Aiihhh...!" Cui Sian berseru, kagum dan kaget.
Tapi ia cepat melompat ke atas sehingga pedang Hui Kauw menyambar lewat di bawah kedua kakinya, hanya beberapa senti meter saja selisihnya. Akan tetapi karena tubuh Hui Kauw merendah dan dia sendiri terpaksa melompat, pedangnya berubah arah dan tidak jadi menancap dada melainkan menyerempet pundak kiri Hui Kauw.
Nyonya Pendekar Buta itu mengeluh perlahan. Daging di pundaknya robek dan darah mengalir banyak. la terhuyung ke belakang, pandang matanya nanar.
"Hui Kauw...!"
Sekali kakinya bergerak, Kun Hong sudah melayang ke dekat isterinya dan merangkul tubuhnya. Cepat jari-jari tangannya mencari dan mendapatkan luka di pundak. Hatinya lega, luka itu besar akan tetapi hanya luka daging saja, tidak berbahaya. la menotok dua jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah dan mengurangi rasa nyeri.
"Cu Sian, kau terlalu mendesak kami...," katanya kemudian sambil menyuruh isterinya duduk beristirahat di pinggir. Pedang Ang-hong-kiam sudah dia masukkan kembali ke dalam tongkatnya.
Cui Sian melangkah maju, suaranya lantang dan ketus dengan nada penuh tantangan, "Pendekar Buta, untuk membalaskan kematian kakakku yang sama sekali tidak berdosa, pembunuhnya harus kubunuh pula!"
Setelah berkata demikian, Cui Sian tiba-tiba melompat cepat sekali dengan maksud agar orang buta itu tak sempat menghalanginya. la melompat ke dekat Hui Kauw yang duduk bersila sambil meramkan mata, mengumpulkan kembali tenaga dan memulihkan lukanya. Dengan gerakan cepat ia mengangkat pedangnya, menusuk ke arah dada Hui Kauw.
"Tranggggg...!"
Cui Sian hampir jatuh jungkir-balik saking kerasnya tangkisan ini, yang lantas membuat lengannya kesemutan dan membuat ia cepat melompat ke belakang. Matanya terbelalak marah ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya tadi adalah tongkat di tangan Kun Hong yang entah kapan telah berada di dekat isterinya.
"Bagus, kau telah membelanya? Awas pedang!" la sudah menerjang maju dan sekarang dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang sakti.
Hampir saja Cui Sian berdiri melongo saking herannya kalau saja ia tidak didorong oleh kemarahan dan sakit hati. Pendekar Buta itu hanya terus berdiri tegak dengan tongkat di tangan, kulit di antara kedua matanya kerut-merut, mulut setengah tersenyum setengah menangis membayangkan keperihan hati, akan tetapi sama sekali tak melayani ancaman serangan Cui Sian yang sudah kembali menggerakkan pedang sehingga gulungan sinar putih bergerak-gerak mengurung tubuhnya dari atas ke bawah!
Cui Sian adalah puteri seorang pendekar besar, tentu saja tidak sudi menyerang orang yang tidak melawannya. "Pendekar Buta, tak perlu kau menghina orang dengan kepandaianmu! Hayo kau lawan pedangku kalau kau membela isterimu yang membunuh kakakku!" teriak Cui Sian sambil menodongkan ujung pedangnya di depan dada Kun Hong.
Akan tetapi Pendekar Buta tersenyum pahit dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku bukan orang gila, Siauw-moi (Adik Kecil)! Mana bisa aku melawanmu berkelahi? Isteriku tidak membunuh Kong Bu, aku berani sumpah..."
"Sumpahmu tidak ada harganya!" bentak Cui Sian yang teringat akan mendiang cici-nya. "Mungkin kau tidak membunuh Kong Bu koko, akan tetapi isterimu adalah puteri Ching-coa-to, sejak kecil tergolong keluarga penjahat! Aku bunuh dia!" Sambil berkata demikian Cui Sian melompat cepat sekali sambil menyerang Hui Kauw yang masih duduk bersila mengumpulkan tenaga.
"Tranggg!"
Kembali Cui Sian terhuyung mundur ketika pedangnya tertangkis tongkat di tangan Kun Hong. Namun gadis ini menjadi semakin marah dan dengan nekat mengirim serangan bertubi-tubi, dengan jurus-jurus terlihai dari Im-yang Sin-kiam.
Betapa pun ia mengerahkan tenaga dan kepandaian, semua sinar pedangnya terpental mundur oleh tangkisan tongkat yang merupakan sinar merah. Sinar merah itu jauh lebih kuat dari pada sinar putih pedangnya, agaknya Pendekar Buta hafal betul akan semua gerak-geriknya sehingga ke mana pun juga pedangnya berkelebat dalam serangannya terhadap Hui Kauw, selalu pedang itu membentur tongkat, seakan-akan tubuh Hui Kauw terkurung benteng baja yang tak tertembuskan!
Oleh karena semua serangannya selalu tertangkis, Cui Sian menjadi makin marah dan penasaran. Kalau saja Pendekar Buta melawannya dan ia dikalahkan, hal itu tidak akan mendatangkan rasa penasaran. Namun orang buta itu hanya menangkis dan melindungi isterinya, sama sekali tidak membalas sehingga ia merasa dipermainkan dan dipandang rendah, hanya dianggap anak-anak saja!
Ang-hwa Nio-nio kelihatan amat kaget dan heran, akan tetapi kemarahannya memuncak mengalahkan perasaan-perasaan lain. Dia mundur tiga langkah, mengeluarkan jerit aneh setengah menangis setengah tertawa, lalu menubruk ke depan melakukan penyerangan dahsyat, pedangnya menubruk perut, tangan kirinya melancarkan pukulan Ang-tok-ciang!
The Sun adalah seorang jago kawakan yang tentu saja sudah maklum betapa lihainya nenek ini. Apa lagi dia dalam keadaan terluka hebat, lengan buntung dan dada tergores pedang. Andai kata dia dalam keadaan sehat dan segar bugar sekali pun, dia maklum bahwa nenek ini bukan lawannya yang seimbang. Mendiang gurunya, Hek Lojin, kiranya baru merupakan lawan setanding.
Maka dia bukan tidak tahu bahwa pertempuran ini akan berakhir dengan kekalahannya. Namun dia tidak takut, tidak gentar. Apa lagi karena apa yang dia idam-idamkan sudah tercapai, yaitu menarik Siu Bi kembali padanya, sebagai anaknya. la terlalu cinta kepada anak itu yang semenjak kecil dia anggap anak sendiri. Ketika Siu Bi pergi, dia sudah mengalami penderitaan batin yang lebih hebat dari pada penderitaan apa pun juga, lebih hebat dari pada kematian. Bahkan sebelum dia bertemu dengan Siu Bi, hanya tubuhnya yang masih hidup untuk menghadapi segala kepalsuan hidup, sedangkan batinnya sudah hampir mati.
Baru setelah Siu Bi menyebutnya ayah, mengaku ayah padanya, jiwanya segar kembali dan The Sun merasakan kebahagian dan kenikmatan yang tiada bandingnya di dunia. la puas, dia lega, dan dia bahagia sehingga menghadapi bahaya maut di tangan Ang-hwa Nio-nio disambutnya dengan senyum!
Betapa pun juga, darah jagoan tidak membiarkan dia mati konyol begitu saja. la seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, meski pun tingkatnya tidak setinggi tingkat Ang-hwa Nio-nio. Namun dia harus memperlihatkan bahwa selama puluhan tahun belajar ilmu silat tidaklah sia-sia. la harus melawan mati-matian. Tangan kanannya yang memegang pedang bergerak melindungi tubuh. Dia menggeser kakinya ke belakang terus ke kiri, membabatkan pedangnya ke tengah-tengah gulungan sinar pedang di tangan Ang-hwa Nio-nio.
"Trang-trang-tranggg...!"
Mereka berdua terpental mundur, masing-masing tiga langkah. Hal ini aneh. Sesungguhnya dalam hal kepandaian mau pun tenaga dalam, The Sun kalah jauh oleh Ang-hwa Nio-nio. Apa lagi dia dalam keadaan terluka dan tubuhnya sudah lemah sekali. Akan tetapi, mengapa tiga kali pedangnya dapat menangkis pedang lawan dan dia dapat mengimbangi tenaga Ang-hwa Nio-nio?
Bukan lain karena rasa bahagia dan ketabahan yang luar biasa, yang membuat The Sun tidak peduli lagi akan mati atau hidup. Perasaan ini lalu mendatangkan tenaga mukjijat kepadanya. Memang, di dalam tubuh manusia ini tersimpan tenaga mukjijat yang rahasianya belum diketahui oleh si manusia sendiri. Kadang-kadang saja, di luar kesadarannya, tenaga ini menonjolkan diri, membuat orang dapat melakukan hal yang tidak mungkin dilakukannya dalam keadaan normal.
Rasa takut yang berlebih-lebihan, rasa marah yang melewati batas, rasa cinta mau pun gembira yang mendalam, kadang-kadang dapat menarik tenaga mukjijat di dalam diri ini sehingga timbul dan memungkinkan orang melakukan hal yang luar biasa, hal-hal di atas kemampuannya yang normal. Demikian pula agaknya dengan The Sun pada saat itu. Secara aneh sekali, perasaan bahagia yang amat mendalam membuat dia tak gentar menghadapi apa pun juga. Mati atau hidup baginya sama saja, pokoknya dia sudah diterima sebagai ayah oleh Siu Bi dan inilah idam-idaman hatinya.
Perasaan inilah yang membangkitkan tenaga mukjijat sehingga dia mampu menangkis sambaran pedang Ang-hwa Nio-nio sambil mengelak dari pukulan Ang-tok-ciang. Akan tetapi, karena memang kalah tingkat dan pula tangan kirinya tak dapat dia gunakan lagi sehingga keseimbangan tubuhnya dalam bersilat juga terganggu, maka ketika Ang-hwa Nio-nio terus menerus mendesaknya dengan kemarahan meluap-luap, The Sun hanya mampu mempertahankan dirinya saja.
"Singgg…!"
Pedang Ang-hwa Nio-nio menyambar, hampir saja mengenai kepala The Sun kalau saja dia tidak cepat-cepat membanting dirinya ke belakang dan terhuyung. Pada waktu itu, Ang-hwa Nio-nio sudah menyusulkan pukulan Ang-tok-ciang. Dalam keadaan terhuyung-huyung ini, tentu saja The Sun tidak mampu lagi mengelak.
"Uhhh...!"
Dada The Sun serasa ditumbuk palu godam, tergetar seluruh isi dadanya dan tubuhnya terlempar sampai tiga meter lebih. The Sun roboh dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Pada saat itu pula Ang-hwa Nio-nio sambil terkekeh-kekeh mengerikan sudah melompat datang dengan pedang terangkat. Akan tetapi The Sun sama sekali tidak gentar, juga tak mau menyerah. Dalam keadaan setengah rebah ini, dia masih mampu mengangkat pedangnya dan menangkis bacokan pedang lawan.
"Tranggg...!"
Pedang di tangan The Sun patah menjadi dua, ujungnya menancap di dadanya sendiri dan gagangnya mencelat entah kemana. The Sun menggulingkan tubuhnya ke depan dan tangan kanannya dikepal melancarkan pukulan sambil menendang. Hebat serangan ini, dan tidak terduga-duga lagi. Siapa bisa menduga orang yang sudah terluka seperti itu masih dapat melakukan serangan begini dahsyat?
"Ihhh...!" Ang-hwa Nio-nio berteriak kaget dan marah.
Biar pun dia dapat menghindar, namun ujung kaki The Sun menyambar pipinya, dekat hidung. Dia mencium bau sepatu yang amat tidak enak dan hal ini dianggap merupakan penghinaan yang melewati takaran. "Keparat, mampus kau!" bentaknya, pedangnya membacok lagi sekuat tenaga.
"Crakkk!"
Lengan kanan The Sun yang menangkis bacokan ini seketika terbabat buntung! Darah muncrat bagaikan air pancuran. Akan tetapi The Sun masih melompat bangun, kedua kakinya bergerak seperti kitiran angin melakukan tendangan berantai.
"Wah, gila...!" Ang-hwa Nio-nio merasa seram juga.
The Sun sudah bermandikan darah, juga pakaiannya ternoda darah yang mancur dari lengannya, akan tetapi tendangannya masih amat berbahaya. Dengan sangat marah dan penasaran Ang-hwa Nio-nio mengayun pedangnya memapaki kaki yang menendang.
"Crokkk!"
Kaki kanan The Sun putus sebatas lutut dan tubuhnya terguling. Namun hebatnya, tidak satu kali pun jagoan ini mengeluarkan suara keluhan. Dia rebah dengan mata melotot memandang Ang-hwa Nio-a nio, mulutnya tersenyum penuh ejekan.
"Setan kau!"
Ang-hwa Nio-nio menubruk maju dan pedangnya dikerjakan laksana seorang penebang pohon memainkan kapaknya. Terdengarlah suara crak-crok-crak-crok dan dalam waktu beberapa detik saja tubuh The Sun tercacah hancur! Mengerikan sekali. Ang-hwa Nio-nio mengangkat mayat Ouwyang Lam dan dibawanya lari pergi. Terdengar lengking tangisnya sepanjang jalan. Ada pun mayat The Sun yang sudah tak karuan lagi bentuknya itu menggeletak di atas tanah di dalam hutan.
Sunyi sekali di situ. Tiada suara apa-apa kecuali suara burung hutan yang bersembunyi mengintai di atas pohon. Yang kelihatan bergerak hanya binatang-binatang hutan yang bersembunyi di dalam gerumbulan, menanti saat untuk menikmati hidangan daging dan darah yang disia-siakan itu. Kematian seorang manusia yang sangat mengerikan, juga menyedihkan.
Patut dikasihani manusia seperti The Sun itu, sungguh pun kematiannya itu tidaklah mengherankan apa bila kita mengingat dan menilai perbuatan-perbuatannya di waktu dia masih muda. Telah ditumpuknya dosa, dan sekarang agaknya dia harus menebusnya. Sayang, amat terlambat dia insyaf.
Di waktu muda dahulu, kedudukan, kekuasaan, kekuatan, dan harta benda membuat dia takabur. Membuatnya sewenang-wenang, seakan-akan di dunia ini tidak ada kekuasaan yang dapat melawannya, yang dapat mengadili perbuatan-perbuatannya. Pada waktu itu dia lupa bahwa di atas segala kekuasaan yang tampak di dunia ini, masih ADA kekuasan tertinggi, kekuasaan Tuhan yang tak terlawan, yang maha adil, yang takkan membiarkan kejahatan lewat tanpa hukuman.
Setiap perbuatan merupakan sebab dan tiap sebab mempunyai akibat. Nasib di tangan Tuhan? Betul, karena Tuhanlah yang mengatur lancarnya akibat-akibat ini seadil-adilnya maka Maha Adillah DIA.
Nasib di tangan manusia sendiri? Juga betul, karena sebenarnya, manusia itu sendirilah yang menjadi sebab dari akibat yang disebut kemudian sebagai nasib! Perbuatan baik tentu berakibat baik, sebaliknya perbuatan busuk pasti akan berakibat buruk, maka baik buruknya akibat atau nasib sesungguhnya adalah di tangan si manusia itu sendiri.
Bagi mereka yang berbuat kejahatan tapi belum menerima hukuman dari Tuhan, jangan terlalu keras ketawa gembira. Yakinlah, bahwa akibat perbuatanmu pasti akan tiba pula! Tuhan Maha Adil.
Kuil tua di kota Kong-goan semakin sunyi keadaannya. Semenjak kuil tua itu dijadikan semacam markas oleh Ang-hwa Nio-nio dan sekutunya, penduduk menganggap tempat itu sebagai tempat terlarang, tempat yang sangat seram dan berbahaya sehingga kuil ini seakan-akan terasing. Apa lagi di waktu malam, tidak ada orang berani lewat dekat kuit ini.
Cukup banyak pula penduduk Kong-goan yang menganggap kuil itu sebagai tempat yang angker, sebagai rumah setan dan iblis! Hal ini tidaklah aneh kalau mereka pernah melihat berkelebatnya bayangan yang dapat ‘menghilang’ dan kadang-kadang dapat ‘terbang’ ke atas genteng, bahkan sering pula melihat cahaya berkelebatan di atas kuil.
Akan tetapi pada malam hari itu, dua sosok bayangan orang dengan langkah perlahan dan tenang menghampiri kuil tua ini, tanpa ragu-ragu memasuki pekarangan kuil yang gelap. Mereka ini bukan lain adalah suami isteri sakti dari Liong-thouw-san, Pendekar Buta dan isterinya!
"Sunyi sekali, agaknya kosong," berkata Hui Kauw setelah meneliti keadaan di sekeliling tempat itu dengan pandang matanya.
"Memang kosong," kata Kun Hong yang juga meneliti keadaan dengan pendengarannya, ”akan tetapi mungkin nanti atau besok mereka akan kembali. Tempat ini belum lama ditinggalkan orang, hawa manusia masih bergantung tebal di ruangan ini."
Setelah melakukan pemeriksaan dan yakin bahwa kuil tua itu tidak ada penghuninya, Kun Hong dan Hui Kauw lalu duduk bersila di ruangan belakang yang lantainya bersih. Mereka melewatkan malam di tempat itu, sambil menunggu dan bersikap waspada.
Di tempat inilah Kong Bu melihat putera mereka yang didakwa melakukan perbuatan jahat terhadap Lee Si, puteri pendekar Min-san itu. Dengan demikian berarti bahwa putera mereka itu terkena fitnah di tempat ini. Maka, dengan hati penuh kekhawatiran mereka menduga-duga apakah yang telah terjadi di sini dan siapa gerangan yang melakukan perbuatan curang mengadu domba itu.
Akan tetapi malam itu tak terjadi apa-apa. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali baru terdengar langkah-langkah kaki di luar kuil tua itu. Kun Hong dan isterinya tentu saja mendengar suara ini dan mereka sudah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan. Mereka bangkit berdiri dan tanpa kata-kata keduanya seperti sudah bermufakat, berjalan perlahan keluar menuju ke ruangan depan untuk menyambut datangnya musuh. Sesudah mereka tiba di luar, Hui Kauw melihat seorang gadis cantik dan gagah berdiri dengan tegak dan pandang mata marah.
"Siapakah dia?" bisik Kun Hong kepada isterinya.
Hui Kauw memandang penuh selidik, mengingat-ingat di mana dan bila mana ia pernah melihat wajah cantik yang serasa telah amat dikenalnya ini. Gadis itu balas memandang kepadanya, penuh selidik pula. Dua orang wanita ini saling pandang, agaknya masing-masing menanti ditegur terlebih dulu. Melihat betapa sikap gadis itu seolah-olah sedang menahan kemarahan besar, Hui Kauw mengalah dan menegur lebih dulu.
"Nona, siapa kau dan siapa yang kau cari di tempat ini?" Hui Kauw bertanya hati-hati karena ia belum tahu apakah gadis ini termasuk sekutu pihak lawan ataukah bukan.
"Kalian ini bukankah Pendekar Buta dan isterinya?" Gadis itu balas bertanya.
Hui Kauw dapat menduga bahwa gadis ini pada dasarnya memiliki suara yang halus dan sopan, akan tetapi karena sedang marah maka terdengar ketus. "Kalau betul demikian, kenapa?" dia balas bertanya, sabar dan tersenyum.
"Sudah kuduga," Gadis itu berkata perlahan seperti kepada diri sendiri, "sepasang suami isteri yang sakti, berilmu tinggi dan menganggap di dunia ini mereka yang paling pandai."
"Ehh, kau siapakah dan apa sebabnya bicara begitu?" Kun Hong bertanya, keningnya berkerut karena pendengarannya tadi menangkap keperihan hati yang sakit dan penuh dendam.
Namun gadis itu tidak menjawab, melainkan kembali bertanya kepada Hui Kauw sambil matanya memandang tajam, "Bibi yang gagah perkasa, bolehkah aku bertanya di mana kau menyimpan pedangmu Kim-seng-kiam?"
Berubah wajah Hui Kauw dan Kun Hong mendengar ini. Bangkit kemarahan di hati Hui Kauw. Pedangnya lenyap dicuri orang, dan pencurinya hanya tampak bayangannya saja yang bertubuh ramping dan tidak seorang pun tahu akan kejadian itu. Gadis ini bertubuh ramping dan tahu akan pedangnya yang hilang.
Tentu gadis ini yang telah mencurinya, atau setidaknya tahu akan pencurian pedang itu. Mudah saja menduganya, seperti dua kali dua sama dengan empat!
"Ehh, bocah nakal! Kiranya kau yang mencuri pedangku? Hayo katakan, sekarang di mana kau sembunyikan pedangku itu dan apa sebabnya kau mencurinya?" la melangkah maju dua tindak menghadapi gadis itu.
Kun Hong tetap berdiri, telinganya mengitari segala gerakan dan suara.
"Hemmm, tidak kusangka, isteri Pendekar Buta yang sakti itu pandai pula berpura-pura. Siapa yang berani dan mampu mencuri pedang dari tangan isteri Pendekar Buta? Lebih baik berterus terang saja bahwa pedang itu tertinggal di dada ketua Min-san-pai. Kalian mengandalkan kepandaian sendiri, dengan pedang Kim-seng-kiam membunuh Tan Kong Bu, apakah sekarang masih hendak berpura-pura lagi?"
Kun Hong menahan seruannya, kerut-merut di antara kedua matanya yang buta menjadi makin dalam. "Kong Bu terbunuh dengan Kim-seng-kiam? Ahhh..., kau siapakah, Nona? Dan apakah yang kau kehendaki setelah kau menceritakan itu kepada kami?"
"Lebih dulu kalian mengakulah bahwa kalian yang membunuh Tan Kong Bu. Orang yang berani bertanggung jawab akan perbuatannya barulah orang gagah, dan hanya kepada orang gagah aku mau memperkenalkan diri. Kalau kalian menyangkal padahal pedang Kim-seng-kiam menancap di dadanya, berarti kalian walau pun terkenal sakti ternyata hanyalah pengecut dan aku tidak sudi banyak bicara lagi, karena pedangku yang akan mewakili aku bicara!"
Hui Kauw tidak dapat menahan sabarnya lagi. la melangkah maju lagi beberapa tindak sehingga kini dia sudah berhadapan dengan gadis itu. Sepasang matanya yang bening memandang tajam seakan berkilat, alisnya saling berdekatan, urat lehernya menegang.
"Bocah lancang! Besar mulutmu! Kami tak pernah mengagulkan diri sebagai orang-orang sakti dan gagah, akan tetapi kami juga tak sudi dimaki pengecut! Pedang Kim-seng-kiam memang pedangku, kau mau tahu namaku ataukah sudah mengenalku? Aku Kwee Hui Kauw. Pedangku itu beberapa hari yang lalu lenyap dicuri orang. Hal ini tidak ada yang tahu, kecuali aku, suamiku, dan si pencuri. Sekarang kau muncul dan bicara tentang ini, siapa lagi orangnya kalau bukan kau yang mencuri pedangku? Dan sekarang setelah kau menggunakan pedang itu untuk membunuh Kong Bu, kau datang ke sini menuduh kami? Keparat, kiranya kau ini biang keladi semua urusan!" Setelah berkata demikian Hui Kauw menerjang ke depan, menyerang gadis itu.
Gadis itu bukan lain adalah Tan Cui Sian. Melihat datangnya serangan, dia cepat-cepat mengelak dan meloncat ke kiri.
"Singgg…!"
Pedang Liong-cu-kiam sudah dicabutnya. Pedang ini mengeluarkan cahaya berkilat yang menyilaukan mata sehingga Hui Kauw yang dapat mengenal pedang pusaka ampuh, ragu-ragu untuk menyerang lagi dengan tangan kosong, apa lagi tadi dia melihat betapa gerakan gadis itu amat ringan dan gesit.
"Huh, ganas!" bentak Cui Sian. "Tak kusangka Pendekar Buta dan isterinya hanya begini! Mengandalkan diri dan kepandaian sendiri untuk menjagoi serta membunuh orang. Aku tahu, pada saat bertemu dengan kalian tentu Tan Kong Bu telah menuduh bahwa putera kalian menghina puterinya sehingga terjadi percekcokan dan pertempuran. Akan tetapi kalau kalian membunuhnya, hal ini keterlaluan sekali dan aku tak akan mendiamkannya begitu saja. Hayo, Pendekar Buta, majulah! Kwee Hui Kauw, karena pedangmu telah kau tinggalkan menancap pada dada Tan Kong Bu, kau boleh mencari senjata lainnya untuk menghadapiku!"
Bukan main heran dan kagetnya hati Pendekar Buta dan isterinya mendengar ucapan ini. Bagaimana gadis ini tahu akan urusan Kwa Swan Bu dan Lee Si? Dan tahu pula bahwa Kong Bu telah bentrok dengan mereka berdua? Siapakah gadis ini?
Perlu diketahui bahwa Hui Kauw belum pernah bertemu dengan Cui Sian, dan Kun Hong pun tak pernah bertemu semenjak Cui Sian berusia lima tahun. Ketika Swan Bu dalam usia belasan tahun pergi ke Thai-san, dia ditemani oleh kakeknya, Kwa Tin Siong.
"Kau... kau anak Kong Bu?” Hui Kauw bertanya.
Cui Sian tersenyum mengejek. Gadis ini tidak mau memperkenalkan namanya, karena kalau ia melakukan hal ini, agaknya akan sukar baginya untuk bersikap seperti ini. Untuk dapat membalas kematian kakaknya, ia harus bersikap kasar dan bermusuhan. Melihat betapa tadi Hui Kauw telah menyerangnya, ia makin merasa yakin bahwa Kong Bu tentu tewas di tangan nyonya ini, dan agaknya dibantu oleh Pendekar Buta karena ia menaksir bahwa kepandaian kakaknya itu tidak kalah oleh kepandaian Kwee Hui Kauw.
"Tak peduli aku siapa, kematian Tan Kong Bu tak boleh kudiamkan saja. Pendekar Buta, kau terkenal sebagai seorang pendekar yang sakti. Awas, pedangku menyerangmu!" Dengan gerakan kilat Cui Sian menerjang Pendekar Buta dengan pedang Liong-cu-kiam!
Gadis ini semenjak kecil tak pernah lagi bertemu dengan Pendekar Buta akan tetapi ia sudah mendengar banyak sekali tentang Kun Hong. Mendengar betapa ayahnya banyak memuji-muji kepandaiannya dan pernah mendengar pula dari ibunya betapa Kwa Kun Hong menjadi buta karena urusan cinta kasih dengan mendiang enci-nya yang bernama Tan Cui Bi dan yang tak pernah ia lihat. (baca Rajawali Emas)
Mendengar cerita mengenai kematian enci-nya yang membunuh diri, diam-diam Cui Sian sudah mempunyai rasa tak senang pada Pendekar Buta, sebab dia menganggap bahwa kematian enci-nya itu adalah gara-gara Kwa Kun Hong. Apa lagi sesudah mendengar bahwa Kwa Kun Hong tidak setia kepada enci-nya yang sudah mengorbankan nyawa demi cinta kasihnya, yaitu bahwa Kun Hong sudah menikah, maka diam-diam dia pun merasa cemburu demi enci-nya, kepada Kwee Hui Kauw.
Puji-puji ayahnya tentang kelihaian Pendekar Buta juga telah membangkitkan penasaran di hatinya. Dulu ia sering kali melamunkan untuk mengadu kepandaian dengan Pendekar Buta yang sudah mengakibatkan enci-nya membunuh diri, dan yang dipuji-puji setinggi langit oleh ayahnya.
"Singgg...!"
Pedang Liong-cu-kiam mengeluarkan suara mendesing ketika digerakkan oleh tangan kanan Cui Sian yang terlatih dan yang gerakannya mengandung tenaga sinkang murni, seketika berubah menjadi seberkas cahaya kilat meluncur cepat ke arah leher Pendekar Buta!
Biar pun kedua matanya buta, sebagai pengganti kekurangan ini, telinga Pendekar Buta amatlah tajam pendengarannya, sehingga dengan pendengarannya dia dapat mengikuti gerakan Cui Sian dengan pedangnya. Alangkah heran dan kaget hati Kun Hong ketika telinganya menangkap gerakan yang amat jelas dari Im-yang Sin-kiam murni! Siapa yang dapat memainkan Im-yang Sin-kiam begini indah dan murni kecuali dia sendiri, dan tentu saja, Raja Pedang Tan Beng San?
la mendiamkan saja tusukan pedang ke arah lehernya ini, tidak ditangkis dan juga tidak dielakkannya. la tahu bahwa gadis ini menusuknya dengan jurus Sian-li Cui-siauw (Dewi Meniup Suling), sebuah jurus yang tergolong Im-sin-kiam, memiliki sebutan yang sifatnya ‘Im’ sedangkan sian-li atau dewi termasuk wanita maka banyak dipakai untuk jurus-jurus Im-sin-kiam. Sebaliknya, dalam Yang-sin-kiam banyak digunakan sebutan yang sifatnya ‘Yang’.
Kun Hong yang telah mewarisi ilmu pedang sakti ini dari Raja Pedang, tentu saja tahu akan perubahan-perubahannya dan dia tahu pula bahwa tusukan ke arah leher ini, biar pun ujung pedangnya sudah menyentuh kulit leher lawan, dapat saja dibelokkan apabila memang si penyerang tak ingin membunuh lawannya. Oleh karena ini maka dia sengaja tidak mengelak atau menangkis, namun tentu saja siap untuk menghancurkan lawan bila serangan ini diteruskan.
Dugaannya tepat. Pada waktu Cui Sian melihat betapa orang buta itu sama sekali tidak menangkis mau pun mengelak sehingga pedangnya meluncur terus mengarah leher, dia menjerit tertahan dan cepat dia menggerakkan pergelangan tangannya mengubah arah pedang. Namun karena dia sedang marah, gerakan serangannya tadi hebat sekali, apa lagi dia menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga. Inilah yang membuat dia kurang cepat mengubah arah pedang sehingga ujung pedangnya masih menyambar pundak kiri Kun Hong sehingga robeklah baju pada pundak berikut kulit dan sedikit daging sehingga darah bercucuran dari luka di pundak.
"Kau... Cui Sian...!” Kun Hong seakan-akan tidak merasakan perihnya luka di pundak.
"Ohhh... kau bocah kurang ajar!" bentak Hui Kauw setelah mendengar seruan suaminya.
Kemarahannya bangkit. Kalau anak ini Cui Sian, berarti dia adik tirinya Tan Kong Bu dan sungguh pun wajar kalau ia marah atas kematian Kong Bu, akan tetapi tidak seharusnya berlaku begitu nekat dan menuduh mereka tanpa penyelidikan lagi. Apa lagi sekarang berani menyerang dan melukai suaminya yang nyata-nyata tidak melawan!
Di lain pihak, Cui Sian yang sudah dikenal, kemudian berdiri dengan pedang melintang di depan dada, tangan kiri bertolak pinggang. Dia seorang gadis yang berpengetahuan dan berpemandangan luas, akan tetapi walau pun demikian, dia tetap seorang wanita yang berperasaan halus, mudah tersinggung sehingga dia bersikap seperti itu karena teringat akan mendiang enci-nya yang membunuh diri karena Kun Hong ditambah pula kematian kakaknya yang tewas tertikam pedang milik isteri Pendekar Buta.
"Betul, aku Tan Cui Sian! Pendekar Buta, dulu sebelum aku lahir, kau sudah menggoda enci-ku Cui Bi dengan ketampanan wajahmu, akan tetapi kemudian kau tak bertanggung jawab sehingga menyebabkan enci-ku tewas membunuh diri. Sekarang, pedang isterimu membuat kakakku Kong Bu tewas pula, tetapi kembali kalian tidak berani bertanggung jawab atas perbuatan kalian. Apakah ini perbuatan orang gagah?. Hayo lawan aku, untuk membereskan perhitungan lama dan baru!"
"Ihhh, sungguh lancang mulutmu!" Hui Kauw berteriak marah sekali.
"Ssttttt, sabarlah isteriku, dia masih anak-anak," kata Kun Hong untuk menyabarkan hati isterinya.
Akan tetapi bagi Cui Sian, ucapan itu merupakan bensin yang menyiram api di dadanya. Dia tadi disebut anak-anak! Akan tetapi sebelum ia sempat membuka mulut menyatakan kemarahannya, Pendekar Buta telah mendahuluinya berkata,
"Cui Sian, alangkah sedih hatiku menghadapi kau seperti ini. Teringat aku betapa dahulu, ketika kau masih kecil, berusia lima enam tahun..."
"Cukup! Tak perlu menggali-gali urusan lama!"
Kun Hong tersenyum, "Kau yang mulai menggali tadi, anak baik. Kau ketahuilah, apa yang dikatakan isteriku tadi tidak bohong. Pedangnya memang sudah dicuri orang dan kami berdua tidak tahu-menahu tentang kematian kakakmu Kong Bu. Tentu saja berita ini amat mengagetkan dan menyedihkan..."
"Sudahlah, siapa bisa percaya omongan seorang yang sudah biasa melanggar sumpah sendiri?"
"Apa maksudmu?!" Kun Hong membentak, suaranya kereng.
"Enci-ku membunuh diri demi cinta kasih, memperlihatkan kesetiaannya kepadamu, lebih baik mati dari pada dijodohkan dengan orang lain. Akan tetapi, belum juga dingin jenazah enci-ku, kau... kau sudah menikah dengan perempuan lain. Apakah aku sekarang harus percaya omonganmu?"
"Bocah kurang ajar! Jangan kau menghina dia!" Hui Kauw berseru marah sekali.
Tahu-tahu ia sudah merenggut tongkat suaminya, meloloskan pedang dari dalam tongkat itu, pedang yang mengeluarkan sinar merah, pedang Ang-hong-kiam!
"Hui Kauw, jangan….!” Kun Hong mencegah.
Akan tetapi dengan pedang Ang-ho-kiam di tangan Hui Kauw sudah melompat maju dan menghadapi Cui Sian. Kemarahan hebat membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Pedangnya berkelebat dan dengan cepat ia telah mengirim serangan hebat kepada gadis itu.
"Tranggg!"
Liong-cu-kiam bertemu dengan Ang-ho-kiam, digerakkan oleh dua buah lengan wanita yang memiliki tenaga sakti. Bunyi nyaring itu diikuti pula dengan bunga api yang muncrat seperti kembang api.
"Bagus!" kata Cui Sian. "Memang Kim-seng-kiam yang tertancap di dada kakakku adalah pedangmu, maka sudah sepatutnya jika kau mempertanggung jawabkan keganasanmu. Ini bukan berarti aku takut kalau kau mengandalkan suamimu Si Pendekar Buta..."
"Tutup mulutmu! Lihat pedang!" Hui Kauw membentak lagi sambil memutar pedang.
Segulung sinar merah berkelebatan di udara, membentuk lingkaran-lingkaran lebar yang bergelombang, kemudian bagaikan seekor naga berwarna merah gulungan sinar pedang itu menyambar ke arah kepala Cui Sian. Cepat bukan main sambaran sinar pedang ini, cepat dan anginnya begitu tajam mendesing sehingga ketika Cui Sian menggerakkan kaki menekuk pinggang ke bawah, sinar pedang itu menyambar lewat di atas kepalanya, meninggalkan bunyi berdesing yang menyeramkan.
Namun Cui Sian sendiri adalah seorang ahli pedang yang sudah tergembleng matang di puncak Thai-san. Tidak percuma kiranya ia menjadi puteri seorang pendekar sakti yang berjuluk Raja Pedang.
Ibunya pun seorang ahli pedang, malah puteri tunggal dari Raja Pedang Tua Cia Hui Gan, pewaris Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang tidak ada taranya sebelum muncul Tan Beng San dengan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam yang sebetulnya satu sumber dengan Sian-li Kiam-sut. Dengan latar belakang keturunan seperti ini, tentu saja Cui Sian adalah seorang ahli pedang yang sakti, biar pun ia hanya seorang gadis yang berusia dua puluh empat tahun.
Begitu sinar merah yang berdesing itu lewat di atas kepalanya, Cui Sian tidak menanti sampai lawannya menyerangnya kembali. la maklum bahwa menghadapi seorang lawan tangguh seperti isteri Pendekar Buta ini, dia tidak boleh sekali-kali berlaku sungkan atau menghemat serangan, harus dapat membalas serangan demi serangan, bahkan sedapat mungkin memperbanyak serangan dari pada pertahanan. Pedangnya digerakkan cepat dan sesosok sinar putih menyilaukan mata, laksana kilatan halilintar, menyelonong dari bawah masuk ke arah dada Hui Kauw.
Pedangnya tidak hanya berhenti sampai di sini karena ujungnya tergetar dan hal ini menyatakan bahwa setiap saat pedangnya ditangkis atau dielakkan lawan, ujung pedang akan dapat melanjutkan serangan dengan jurus yang lain. Tangan kiri gadis itu ditarik ke belakang, lurus dan telapak tangannya dibalik menghadap ke atas.
Indah sekali gerakannya, dengan ujung kaki kanan menotol tanah, tumit diangkat, lutut agak ditekuk ke depan. Inilah gerakan indah seperti gerak tari yang bernama jurus Sian-li Hoan-eng (Sang Dewi Menukar Bayangan), yaitu sebuah jurus dari Sian-li Kiam-sut yang mengandung tenaga Im-yang Sin-hoat, maka hebatnya bukan kepalang!
Pada waktu tadi menyerangkan pedangnya ke arah kepala lawan dan dapat dielakkan, otomatis dada Hui Kauw terbuka. Sebagai isteri Pendekar Buta, tentu saja ia maklum akan kedudukan yang lemah ini. Memang setiap kali menyerang berarti membuka satu bagian yang tidak terlindung. Akan tetapi kalau sudah menguasai kelemahannya sendiri, tentu saja dapat menjaga diri.
Hui Kauw pernah mewarisi ilmu silat tinggi dari sebuah kitab kuno yang dia temukan. Kemudian oleh suaminya, ia dibimbing dan mewarisi beberapa jurus Kim-tiauw-kun yang amat hebat, yang lalu ia gabung dengan ilmu silatnya sendiri sehingga kini memiliki ilmu pedang gabungan yang amat kuat dan dahsyat.
Seperti yang telah ia duga, kekosongan yang terbuka dalam posisinya digunakan lawan. Melihat sinar pedang putih mengancam dada, pedang ia balikkan ke bawah lengan dan dengan pengerahan tenaga sinkang ia cepat menarik lengan yang ditamengi pedang ini ke bawah.
"Criinggg...!"
Kembali sepasang pedang bertemu di udara. Sinar pedang putih yang amat lincah itu begitu kena ditangkis, membalik dan tahu-tahu sudah berubah menjadi sabetan ke arah kaki!
Inilah kelihaian Sian-li Hoan-eng tadi. Begitu ditangkis dan ditindas dari atas oleh lengan Hui Kauw yang dilindungi pedang dibalik, pedang Liong-cu-kiam terpukul ke bawah, akan tetapi pukulan ini malah merupakan landasan tenaga untuk dipergunakan membabat kaki dengan kecepatan kilat!
"Aiiiiihhh...!" Nyonya Pendekar Buta menjerit lirih.
Tahu-tahu kakinya menjejak bumi sehingga tubuhnya mumbul ke atas bagai dilontarkan. Begitu hebat ginkangnya hingga lompatannya lebih cepat dari pada sambaran pedang. Sinar putih itu hanya beberapa senti meter saja lewat di bawah kakinya, nyaris sepasang kaki nyonya ini terbabat buntung!
"Bagus...!" Cui San memuji saking kagumnya menyaksikan gerakan yang sangat indah dan cepat ini.
Itulah gerakan dari Kim-tiauw-kun yang disebut jurus Sin-tiauw-coan-hong (Rajawali Sakti Terjang Angin). Jurus ini tak hanya dapat dipergunakan untuk menyelamatkan serangan di tubuh bagian bawah dengan cara melompat lurus ke atas dengan jalan menotolkan ujung kaki ke tanah, melambung ke atas sambil mengembangkan kedua lengan seperti sayap rajawali sakti, namun lebih dari itu, jurus ini dapat dipergunakan untuk menyerang lawan dengan cara yang dilakukan seekor rajawali.
Dan hal ini pun dilakukan oleh Hui Kauw, karena tiba-tiba saja tubuhnya dari atas telah berjungkir-balik dua kali sehingga tubuh itu mencelat semakin tinggi, kemudian turunnya tepat melayang ke arah lawan, pedangnya menusuk dada, tangan kiri mencengkeram muka, sedangkan dua kakinya masih melakukan tendangan udara. Benar-benar seperti rajawali yang menyerang dengan sepasang sayap dan sepasang cakarnya!
Cui Sian sangat kaget melihat perubahan ini. la tadinya agak terpesona oleh keindahan gerakan lawan, tidak tahu bahwa di dalam keindahan itu tersembunyi bahaya maut yang kini mengancamnya! la sadar akan kehebatan penyerangan ini setelah lawan tiba dekat sekali, bahkan angin pedang yang bersinar merah itu sudah lebih dahulu meniup.
"Hayaaaaah!" Cui Sian berseru.
Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar putih melingkar di depan dada menangkis sinar pedang merah, kemudian sambil menggunakan tenaga benturan ini ia membanting tubuhnya ke belakang.
Orang lain tentu akan celaka apa bila melakukan gerakan ini. Sedikitnya, kepala akan terbanting pada tanah atau batu di belakangnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Cui Sian. Gerakan inilah yang disebut jurus Sian-li-loh-be (Gerakan Membalik Seorang Dewi) yang selain menegangkan, juga amat indah karena digerakkan oleh tubuh yang ramping, manis dan lemah-gemulai.
Biar pun tadinya kepala yang berambut hitam panjang halus harum itu seperti terbanting ke belakang dan ke bawah, namun bukan menghantam tanah di belakang, melainkan terayun terus ke bawah seiring dengan terangkatnya kedua kaki ke depan dan ke atas, lantas tubuh itu membuat salto sampai tiga kali ke belakang! Membuat salto ke depan adalah mudah dan agaknya dapat dilakukan oleh siapa saja yang mau melatihnya. Akan tetapi membuat salto ke belakang berturut-turut tiga kali tanpa ancang-ancang dan dalam keadaan terjepit seperti itu, kiranya hanya dapat dilakukan oleh akrobat-akrobat tingkat tinggi saja!
Diam-diam Hui Kauw kaget dan kagum sekali. Serangannya tadi dengan jurus Sin-tiauw Coan-hong tadi sangat hebat dan jarang sekali tak membawa hasil baik karena serangan itu selain tidak terduga-duga datangnya, juga amat sukar ditangkis atau dielakkan sebab sekaligus kedua tangan dan kedua kakinya menyerang.
Akan tetapi ketika tadi gadis itu tubuhnya berputar-putar seperti kitiran angin ke belakang menjauhinya, otomatis serangannya gagal mutlak, karena tubuhnya yang melayang dari atas tak mungkin dapat ‘terbang’ mengikuti gerakan lawan. Terpaksa ia turun kembali ke atas tanah dan pada saat kedua kakinya menginjak tanah, lawannya yang muda belia itu sudah berdiri pula dengan tegak.
Kini mereka berdiri agak berjauhan karena gerakan salto Cui Sian tadi. Jarak di antara mereka ada lima meter. Masing-masing berdiri dengan pedang di tangan, melintang di depan dada. Dua kaki agak terpentang, tangan kiri di atas pinggul kiri, bibir agak terbuka serta nafas sedikit memburu karena pengerahan tenaga sinkang tadi dicampur dengan ketegangan, sepasang mata menyinarkan api berkilat-kilat, sepasang pipi merah jambu. Bagaikan dua ekor singa betina mereka saling pandang, seakan-akan hendak menaksir kekuatan lawan sambil mengasah otak untuk mengeluarkan jurus-jurus pilihan agar bisa segera merobohkan lawan yang tangguh.
Sejak tadi, kerut-merut di antara kedua mata Kun Hong tampak nyata, nafasnya agak terengah dan beberapa kali dia membanting kaki kiri ke atas tanah. Bingung sekali dia. la maklum bahwa di antara mereka terjadi kesalah pahaman yang amat besar dan amat berbahaya, akan tetapi bagaimana dia dapat mencegah mereka bertanding? Keduanya telah tersinggung perasaan dan kehormatan, masing-masing membela kebenaran sendiri dan satu-satunya jalan untuk menghentikan kesalah pahaman ini hanya mengemukakan fakta-fakta.
Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tak mungkin dia dapat memperlihatkan bukti untuk membuka tabir rahasia ini. Kong Bu terbunuh orang, pedang Kim-seng-kiam menancap di dadanya. Tentu saja adik tirinya ini, Cui Sian, menjadi marah dan menuduh mereka berdua yang melakukan pembunuhan itu.
"Hui Kauw... Cui Sian... hentikanlah pertempuran yang tak ada gunanya ini... dengarkan aku..."
Akan tetapi dia melanjutkan kata-katanya dengan helaan nafas panjang sebab pada saat itu kedua orang singa betina itu sudah saling terjang lagi dengan lebih hebat dari pada tadi. Kini mereka saling menguji lawan dengan gerakan cepat, atau jelasnya, masing-masing hendak mengandalkan kecepatan untuk mencapai kemenangan.
Gerakan mereka bagai sepasang burung walet, sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Pedang mereka lenyap bentuknya, berubah menjadi dua gulung sinar merah dan putih yang berkelebatan ke sana ke mari, saling belit, saling tekan, saling dorong dan saling kurung sehingga menimbulkan pemandangan yang ajaib, indah, tapi penuh ketegangan karena di antara semua keindahan itu mengintai maut!
Segera ternyata oleh kedua orang wanita jagoan itu bahwa dalam ilmu ginkang, nyonya Pendekar Buta dengan gerakan Kim-tiauw-kun masih lebih unggul sedikit. Akan tetapi keunggulan ini dapat ditutup oleh puteri Raja Pedang dengan kelebihannya dalam tenaga Iweekang yang merupakan penggabungan atau kombinasi dari Im-kang dan Yang-kang dari Im-yang Sin-hoat.
Ketika Hui Kauw melakukan serangan dengan jurus Kim-tiauw Liak-sui (Rajawali Emas Sambar Air), pedangnya membacok dari atas ke bawah dengan dua kali kelebatan, mirip seperti orang menulis huruf Z.
Cui Sian yang menjadi silau matanya saking hebatnya serangan ini, cepat menggerakkan pedang Liong-cu-kiam menangkis, dilanjutkan dengan serangan menusuk dada. Dalam menangkis ini, Cui Sian menggunakan jurus Yang-sin Kiam-hoat yang disebut Jit-ho Koan-seng (Api Matahari Menutup Bintang). Pedangnya diputar menjadi gulungan sinar bulat yang digerakkan hawa panas sehingga tangan Hui Kauw yang memegang pedang serasa akan pecah-pecah telapak tangannya. Kemudian, sinar pedang yang bulat seperti bentuk matahari ini mendadak mengeluarkan kilatan meluncur ke depan ketika jurus dari Yang-sin-kiam itu diubah mejadi jurus Im-sin-kiam yang disebut Bi-jin Sia-hwa (Wanita Cantik Memanah Bunga).
"Hui Kauw... awas...!” terdengar Kun Hong berseru kaget. Pendengarannya yang luar biasa tajam itu dapat mengikuti pertandingan ini seakan-akan dia dapat melihat saja.
Tanpa seruan ini pun Hui Kauw sudah kaget setengah mati karena sama sekali tidak disangkanya bahwa pedang lawan yang diputar untuk menangkis itu tahu-tahu dapat diubah menjadi serangan yang mengeluarkan hawa dingin. Pedangnya sendiri pada detik itu berada di atas karena tangannya terpental oleh tangkisan tadi, maka untuk menangkis tidak ada kesempatan lagi. Agaknya pedang lawan akan menancap di dadanya. Dan mungkin ini yang dikehendaki Cui Sian untuk membalas kematian kakaknya dengan serangan yang sama, menikam dada!
Akan tetapi Hui Kauw bukan seorang wanita sembarangan yang akan putus asa dalam menghadapi terkaman maut. Dengan nekat dia hendak mengadu nyawa. Tubuhnya dia tekuk ke bawah menjadi setengah berjongkok dan pedangnya membabat miring ke arah kaki lawan. la maklum bahwa ia tidak akan dapat terhindar dari tusukan maut itu, akan tetapi agaknya pedangnya sendiri pun akan mendapat korban dua buah kaki!
"Aiihhh...!" Cui Sian berseru, kagum dan kaget.
Tapi ia cepat melompat ke atas sehingga pedang Hui Kauw menyambar lewat di bawah kedua kakinya, hanya beberapa senti meter saja selisihnya. Akan tetapi karena tubuh Hui Kauw merendah dan dia sendiri terpaksa melompat, pedangnya berubah arah dan tidak jadi menancap dada melainkan menyerempet pundak kiri Hui Kauw.
Nyonya Pendekar Buta itu mengeluh perlahan. Daging di pundaknya robek dan darah mengalir banyak. la terhuyung ke belakang, pandang matanya nanar.
"Hui Kauw...!"
Sekali kakinya bergerak, Kun Hong sudah melayang ke dekat isterinya dan merangkul tubuhnya. Cepat jari-jari tangannya mencari dan mendapatkan luka di pundak. Hatinya lega, luka itu besar akan tetapi hanya luka daging saja, tidak berbahaya. la menotok dua jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah dan mengurangi rasa nyeri.
"Cu Sian, kau terlalu mendesak kami...," katanya kemudian sambil menyuruh isterinya duduk beristirahat di pinggir. Pedang Ang-hong-kiam sudah dia masukkan kembali ke dalam tongkatnya.
Cui Sian melangkah maju, suaranya lantang dan ketus dengan nada penuh tantangan, "Pendekar Buta, untuk membalaskan kematian kakakku yang sama sekali tidak berdosa, pembunuhnya harus kubunuh pula!"
Setelah berkata demikian, Cui Sian tiba-tiba melompat cepat sekali dengan maksud agar orang buta itu tak sempat menghalanginya. la melompat ke dekat Hui Kauw yang duduk bersila sambil meramkan mata, mengumpulkan kembali tenaga dan memulihkan lukanya. Dengan gerakan cepat ia mengangkat pedangnya, menusuk ke arah dada Hui Kauw.
"Tranggggg...!"
Cui Sian hampir jatuh jungkir-balik saking kerasnya tangkisan ini, yang lantas membuat lengannya kesemutan dan membuat ia cepat melompat ke belakang. Matanya terbelalak marah ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya tadi adalah tongkat di tangan Kun Hong yang entah kapan telah berada di dekat isterinya.
"Bagus, kau telah membelanya? Awas pedang!" la sudah menerjang maju dan sekarang dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang sakti.
Hampir saja Cui Sian berdiri melongo saking herannya kalau saja ia tidak didorong oleh kemarahan dan sakit hati. Pendekar Buta itu hanya terus berdiri tegak dengan tongkat di tangan, kulit di antara kedua matanya kerut-merut, mulut setengah tersenyum setengah menangis membayangkan keperihan hati, akan tetapi sama sekali tak melayani ancaman serangan Cui Sian yang sudah kembali menggerakkan pedang sehingga gulungan sinar putih bergerak-gerak mengurung tubuhnya dari atas ke bawah!
Cui Sian adalah puteri seorang pendekar besar, tentu saja tidak sudi menyerang orang yang tidak melawannya. "Pendekar Buta, tak perlu kau menghina orang dengan kepandaianmu! Hayo kau lawan pedangku kalau kau membela isterimu yang membunuh kakakku!" teriak Cui Sian sambil menodongkan ujung pedangnya di depan dada Kun Hong.
Akan tetapi Pendekar Buta tersenyum pahit dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku bukan orang gila, Siauw-moi (Adik Kecil)! Mana bisa aku melawanmu berkelahi? Isteriku tidak membunuh Kong Bu, aku berani sumpah..."
"Sumpahmu tidak ada harganya!" bentak Cui Sian yang teringat akan mendiang cici-nya. "Mungkin kau tidak membunuh Kong Bu koko, akan tetapi isterimu adalah puteri Ching-coa-to, sejak kecil tergolong keluarga penjahat! Aku bunuh dia!" Sambil berkata demikian Cui Sian melompat cepat sekali sambil menyerang Hui Kauw yang masih duduk bersila mengumpulkan tenaga.
"Tranggg!"
Kembali Cui Sian terhuyung mundur ketika pedangnya tertangkis tongkat di tangan Kun Hong. Namun gadis ini menjadi semakin marah dan dengan nekat mengirim serangan bertubi-tubi, dengan jurus-jurus terlihai dari Im-yang Sin-kiam.
Betapa pun ia mengerahkan tenaga dan kepandaian, semua sinar pedangnya terpental mundur oleh tangkisan tongkat yang merupakan sinar merah. Sinar merah itu jauh lebih kuat dari pada sinar putih pedangnya, agaknya Pendekar Buta hafal betul akan semua gerak-geriknya sehingga ke mana pun juga pedangnya berkelebat dalam serangannya terhadap Hui Kauw, selalu pedang itu membentur tongkat, seakan-akan tubuh Hui Kauw terkurung benteng baja yang tak tertembuskan!
Oleh karena semua serangannya selalu tertangkis, Cui Sian menjadi makin marah dan penasaran. Kalau saja Pendekar Buta melawannya dan ia dikalahkan, hal itu tidak akan mendatangkan rasa penasaran. Namun orang buta itu hanya menangkis dan melindungi isterinya, sama sekali tidak membalas sehingga ia merasa dipermainkan dan dipandang rendah, hanya dianggap anak-anak saja!