CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
JAKA LOLA JILID 17
Yo Wan maklum apa artinya ini. Ternyata dia jauh kalah kuat dalam adu kekuatan dan menghadapi seorang yang sinkangnya jauh lebih kuat, tentu saja sukar baginya untuk dapat merobohkan. Sebaliknya, andai kata dia tidak dapat mainkan Si-cap-it Sin-po, yaitu Empat Puluh Satu Langkah Ajaib, sekali saja terkena pukulan Bhok Hwesio, sukar untuk menolong keselamatan nyawanya!
Oleh karena ini, penyerangan-penyerangannya lalu dia ubah sama sekali. Kini dia hanya menyerang apabila mendapatkan kesempatan yang sangat baik dan sasarannya hanya tempat-tempat yang tidak mungkin dilindungi oleh Iweekang, seperti mata dan ubun-ubun kepala.
Bhok Hwesio makin penasaran. Dia, seorang tokoh tinggi Siauw-lim-pai yang hanya bisa dijajari tingkatnya oleh ketua Siauw lim-pai, kini menghadapi seorang pemuda tak dapat mengalahkannya dalam seratus jurus lebih! Alangkah aneh serta memalukan! Bukan itu saja, bahkan sekarang pemuda itu mengarahkan serangannya ke mata dan ubun-ubun kepala, membuat dia terpaksa harus mengelak atau menangkisnya!
Oleh karena rasa penasaran inilah dia segera mempercepat gerakannya. Makin lama dia bersilat makin cepat untuk mengimbangi kecepatan Yo Wan dan untuk dapat cepat-cepat merobohkan bocah itu. Namun Ilmu Langkah Si-cap-it Sin-po benar-benar luar biasa sekali, karena tak pernah pukulan Bhok Hwesio dapat mengenai sasaran. Hal ini sebetulnya tidak mengherankan. Ilmu langkah itu didapat oleh Yo Wan dari Pendekar Buta dan pendekar ini mendapatkan dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Padahal Kim-tiauw-kun yang diciptakan oleh Bu-beng-cu di puncak Liong-thouw-san (Bu-beng-cu merupakan suheng dari Sin-eng-cu) dan kemudian ditemukan Kun Hong, bersumber pada Ilmu Silat Im-yang Bu-tek Cin-keng yang menjadi raja dari segala ilmu silat tinggi dan sudah menjadi pegangan Pendekar Sakti Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu! Tidaklah mengherankan kalau langkah ajaib ini sekarang dapat membuat seorang tokoh besar Siauw-lim-pai menjadi tidak berdaya.
Di lan pihak Yo Wan adalah seorang pemuda yang cerdik. Setelah menjadi yakin bahwa terhadap Bhok Hwesio dia tidak akan sanggup menggunakan ilmunya untuk mencapai kemenangan, dia sepenuhnya menjalankan pesan Pendekar Buta dan Raja Pedang. Dia mainkan langkah ajaib dengan cermat sekali dan setiap kali ada kesempatan, dia segera mengancam mata atau ubun-ubun kepala lawan.
Selain ini, dia sengaja berloncatan menjauhkan diri menggunakan ginkang-nya, sehingga lawannya yang makin bernafsu itu mengejarnya lebih cepat. Ini memerlukan pergerakan cepat, sehingga makin lama mereka bergerak makin cepat sampai lenyap bentuk tubuh mereka berubah menjadi dua bayangan yang berkelebatan.
Betapa pun saktinya Bhok Hwesio, dia hanyalah seorang manusia juga. Manusia yang mempunyai darah daging, otot-otot dan tulang. Manusia yang tidak akan mampu, betapa pun sakti dia, melawan kekuasaan dan kesaktian usia tua. Usia kakek ini sudah amat tinggi, mendekati sembilan puluh tahun. Boleh jadi dia matang dalam kepandaiannya, amat kuat dalam tenaga sinkang. Namun harus diakui bahwa usia tua telah menggerogoti daya tahannya.
Tanpa dia sadari, setelah terus mengejar-ngejar Yo Wan laksana orang mabuk mengejar bayangan dirinya sendiri, setelah lewat tiga ratus jurus, nafasnya mulai kempas-kempis. Mukanya penuh peluh serta pucat, sedangkan dari kepalanya yang gundul itu mengepul uap putih tebal!
Dapat dibayangkan bila seorang kakek berusia sembilan puluh tahun main kejar-kejaran dengan gerakan secepat itu selama tiga jam! Ini masih ditambah oleh rasa amarah dan penasaran yang tentu saja menambah sesak nafasnya. Saking marahnya Bhok Hwesio, ketika untuk ke sekian kalinya, bagaikan ujung ekor ular mempermainkan kucing cambuk Yo Wan menyambar ke arah sepasang matanya, Bhok Hwesio menggeram, tidak mengelak akan tetapi menangkap cambuk ini dengan kedua tangannya! la berhasil menangkap cambuk, lalu merenggut keras.
Yo Wan terkejut, tapi dia mempertahankan cambuknya. Terjadi betot-membetot. Tentu saja pengerahan tenaga menarik jauh bedanya dengan tenaga mendorong. Mendorong merupakan tenaga yang dipaksakan, dan dalam hal ini Yo Wan tidak berani menerima dorongan lawan karena kalah kuat. Akan tetapi dalam adu tenaga menarik, tidak ada bahayanya kalau kalah, paling-paling harus melepaskan cambuk. Karena itulah maka Yo Wan tidak mau menerima kalah begitu saja. Dia memegang gagang cambuk erat-erat dan mengerahkan tenaganya untuk menahan.
Ada sedikit keuntungan baginya. Dia memegang gagang cambuk yang tentu saja lebih ‘enak’ dipegang dari pada ujung cambuk yang kecil dan terasa menggigit kulit tangan. Keuntungan inilah agaknya yang membuat Yo Wan dapat menebus kekalahannya dalam hal tenaga sehingga tidak mudah bagi Bhok Hwesio untuk dapat merampas cambuk itu cepat-cepat.
Cambuk Liong-kut-pian peninggalan Bhewakala ini luar biasa kuatnya. Ditarik oleh dua orang yang memiliki tenaga sakti itu, benda ini mulur panjang, kadang-kadang mengkeret kembali seperti karet. Lama dan ramailah adu tenaga ini, seperti dua orang kanak-kanak main adu tambang. Hanya penasaranlah yang membuat Bhok Hwesio bersitegang tidak mau menyudahi betot-membetot yang lucu dan tidak masuk dalam kamus persilatan ini!
Yo Wan mengangkat muka memandang. Hwesio itu mukanya pucat sekali, seperti tidak berdarah atau agaknya semua darah pada mukanya sudah terkumpul di kedua matanya yang menjadi merah mengerikan. Keringat sebesar kacang kedelai memenuhi muka dan leher, juga kepala, dadanya kembang-kempis secara cepat.
Melihat ini, Yo Wan mengerahkan tenaganya serta mempertahankan cambuknya. Bukan karena dia terlalu sayang akan cambuknya, namun dengan jalan ini dia dapat menguras dan memeras habis tenaga lawan. Dalam hal ilmu silat dan tenaga dalam dia kalah, namun dia harus mencari kemenangan dalam keuletan dan pernafasannya, mencari kemenangan mengandalkan usianya yang jauh lebih muda. Dia sendiri juga mandi keringat, akan tetapi agaknya tak sehebat kakek itu.
Bhok Hwesio semakin penasaran, menahan nafas dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik. Tubuhnya seakan-akan membesar, otot-otot di lehernya mengejang dan menonjol ke luar.
"Krekkkkk!"
Cambuk itu putus di tengah-tengah! Yo Wan terbanting ke belakang, terus bergulingan seperti bola, ada lima meter jauhnya. Tanpa disengaja, dia terguling ke dekat Cui Sian dan agaknya akan menabrak gadis itu kalau saja Cui Sian tidak mengulurkan tangan dan menahannya sehingga mereka seperti berpelukan! Cepat-cepat Cui Sian menjauhkan diri dan mukanya menjadi merah sekali!
"Ahh... ehhh... maaf, Sian-moi...," kata Yo Wan yang juga merah mukanya.
Akan tetapi Cui Sian segera dapat mengatasi hatinya. "Waspadalah, Yo-twako, dia lihai bukan main. Kau usap peluhmu itu..." Sambil berkata demikian, Cui Sian menyerahkan sehelai sapu tangan sutera.
Yo Wan menerimanya, dan ketika teringat akan lawannya, cepat dia melompat bangun dan berdiri sambil mengusapi peluh di mukanya. Bau sedap dari sapu tangan itu terasa menyegarkan semangatnya sehingga dia lupa akan cambuknya yang amat disayangnya, cambuk yang kini sudah putus menjadi dua. la melihat kakek itu juga berdiri tegak, sepasang matanya yang biasanya meram itu kini terbelalak, merah menakutkan. Jelas sekali kakek itu tak dapat menahan nafasnya yang terengah-engah.
"Hwesio tua, kalau kau mau mengaso, mengasolah dulu. Nafasmu perlu diatur, jangan-jangan putus nanti seperti cambukku..." Yo Wan sengaja mengejek, karena dia khawatir kalau kakek itu mengaso dan mendapatkan kembali tenaga serta nafasnya, tentu akan lebih berbahaya.
"Iblis cilik, sekarang pinceng akan menghancurkan kepalamu!" Sambil berkata demikian, Bhok Hwesio menerjang maju lagi.
Yo Wan meloncat dan menghindar. Sekarang tangan kirinya telah memegang sebatang pedang yang berkilauan putih sebagai pengganti cambuknya yang putus. Itulah pedang Pek-giok-kiam pemberian Hui Kauw dahulu.
"Tidak mudah, Hwesio, jika kepandaian yang kau bawa dari Siauw-lim-pai hanya seperti ini..."
Terdengar teriakan ngeri ketika Bhok Hwesio melompat maju seperti harimau menerkam. Teriakan ini keluar dari mulut Cui Sian saking kaget dan gelisahnya. Terkaman itu hebat bukan main. Tubuh Bhok Hwesio melayang bagaikan terbang di angkasa dan tampaknya kedua kakinya ikut pula menyerang, persis seperti seekor harimau yang menerjang.
Yo Wan melompat lagi menghindar, akan tetapi tubuh Bhok Hwesio terus mengikutinya, bagai seekor kelelawar besar mengancam dari atas. Melihat jari-jari tangan yang gemetar dan mengeluarkan bunyi berkerotokan itu, wajah Yo Wan menjadi pucat. Sekali kena dicengkeram, akan hancurlah dia. Jangankan kena dicengkeram, kena sentuh jari-jari itu saja cukup untuk membuat orang roboh!
Melihat betapa tubuh di udara itu laksana terbang dapat mengikutinya, Yo Wan menjadi nekat. Sekuat tenaga ia lalu menggerakkan kedua pedangnya, pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Wangi) di tangan kanannya dan pedang Pek-giok-kiam (Pedang Kumala Putih) di tangan kiri, menyerang dengan tusukan-tusukan maut ke arah tenggorokan dan bawah pusar!
Namun kakek yang melayang itu menggerakkan kedua tangannya, langsung menerima pedang-pedang itu dengan cengkeramannya.
"Krakkk-krekkk!" terdengar bunyi ketika pedang kayu Siang-bhok-kiam hancur berkeping-keping sedangkan pedang Pek-giok-kiam patah-patah menjadi tiga potong!
Akan tetapi terjangan ini membuat tubuh hwesio itu terpaksa turun kembali dan ternyata tangan kanannya yang mencengkeram Pek-giok-kiam tadi mengeluarkan darah karena terluka!
Bhok Hwesio mengeluarkan suara gerengan keras, lalu mendadak berlari menerjang Yo Wan dengan kepala di depan. Gerakan ini luar biasa sekali, aneh dan lucu, bagai seekor kerbau gila mengamuk. Seekor kerbau tentu saja mengandalkan tanduknya yang kuat dan runcing, akan tetapi hwesio tua itu kepalanya gundul licin, masak hendak digunakan sebagai andalan serangan?
Karena Yo Wan memang kurang pengalaman, dia melihat gerakan hwesio ini dengan hati geli. Walau pun dia sudah kehilangan cambuknya, kehilangan Siang-bhok-kiam dan Pek-giok-kiam, namun dia tidak menjadi gentar karena dengan mengandalkan Si-cap-it Sin-po dan ilmu silat-ilmu silatnya yang tinggi, dia masih mampu mempertahankan dirinya sampai hwesio tua ini kehabisan nafasnya.
"Yo Wan, awaaasss...!!" Seruan ini hampir berbareng keluar dan mulut Raja Pedang dan Pendekar Buta.
Kagetlah hati Yo Wan. Tadinya dia menganggap gerakan Bhok Hwesio itu gerakan nekat yang pada hakikatnya hanyalah gerakan bunuh diri karena dengan kepala menyeruduk macam itu, alangkah mudah baginya untuk mengirim pukulan maut ke arah ubun-ubun kepala hwesio itu. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya mendengar seruan dua orang sakti itu.
Cepat dia menggerakkan kaki mengatur langkah cepat karena tadinya tidak menganggap serangan itu berbahaya. Dia hanya merasa tekanan hawa yang luar biasa panas serta membawa getaran aneh, lantas tubuhnya terjengkang.
Kepala mau pun tubuh hwesio itu sama sekali tidak menyentuhnya. Serangan kepala itu boleh dibilang tidak mengenai dirinya karena tubuh Bhok Hwesio menyambar lewat saja, namun hawa pukulannya demikian hebat sehingga Yo Wan terjengkang, terbanting dan merasa betapa dadanya sesak!
Cepat dia menekan perasaan ini dengan mengerahkan sinkang di tubuhnya, akan tetapi dia tidak dapat mencegah tubuhnya terbanting dan bergulingan. Pada saat itu pula, Bhok Hwesio sudah mengejar maju, dan secara bertubi-tubi mengirim pukulan dengan kedua tangannya, pukulan jarak jauh yang tidak kalah ampuhnya oleh pukulan toya baja yang beratnya ratusan kati!
Raja Pedang memandang cemas. Demikian pula Pendekar Buta yang mengepal tangan, hatinya tegang, kepalanya agak miring untuk dapat mengikuti semua gerakan itu dengan baik melalui pendengarannya. Yo Wan melihat bahaya maut datang. Cepat dia kembali bergulingan sehingga pukulan-pukulan jarak jauh itu hanya mengenai tanah, membuat debu beterbangan dan batu-batu terpukul hancur.
Dengan gemas Bhok Hwesio menyambar pedang Pek-giok-kiam yang tadi sudah patah dan menggeletak di atas tanah, dilontarkannya pedang buntung itu ke arah dada Yo Wan yang masih bergulingan di atas tanah.
Yo Wan mendengar bersiutnya angin. Cepat-cepat dia menekankan dua tangan di atas tanah, tubuhnya melejit ke atas dan…
"Syyyuuuuttt!" pedang buntung itu lewat di samping tubuhnya, merobek baju kemudian menancap sampai amblas di dalam tanah!
Yo Wan sudah berhasil melompat bangun, agak terhuyung-huyung dia karena pengaruh angin pukulan sakti tadi masih membuat dadanya sesak. Keadaannya berbahaya sekali karena setelah sekarang bertangan kosong dan terluka di sebelah dalam, biar pun tidak parah akan tetapi cukup akan mengurangi kelincahannya, agaknya dia akan roboh oleh kakek hwesio yang luar biasa tangguhnya itu.
Ada pun Bhok Hwesio sudah kembali menggereng dan kepalanya menunduk, tubuhnya merendah, siap menerjang seperti tadi, terjangan dengan kepala laksana seekor kerbau mengamuk.
"Omitohud, Bhok-sute, banyak jalan utama, mengapa memilih jalan sesat? Selagi masih ada kesempatan, mengapa tidak mencuci noda lama dan kembali ke jalan benar?"
Ucapan yang dikeluarkan dengan suara halus dan tenang penuh kasih sayang ini amat mengagetkan semua orang, terutama sekali Bhok Hwesio. Dia cepat mengangkat muka yang tadi ditundukkan itu, memandang dan alis matanya yang sudah putih itu bergerak-gerak, keningnya berkerut-kerut. Kiranya di depannya telah berdiri seorang hwesio tua yang tinggi kurus, usianya sudah sangat tua, kepalanya gundul mengkilap, alis, jenggot dan kumisnya yang jarang sudah putih semua. Tubuhnya dibalut jubah kuning bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat hwesio.
Melihat hwesio tua ini, Raja Pedang dan Hui Kauw terkejut sekali. Juga Pendekar Buta miringkan kepalanya. Hanya Cui Sian dan Lee Si yang tak mengenal siapa adanya kakek itu, juga Yo Wan tidak mengenalnya. Tentu saja Raja Pedang dan Hui Kauw terkejut karena mengenal kakek itu sebagai Thian Seng Losu, ketua Siauw-lim-pai. Kalau kakek ini datang dan membantu Bhok Hwesio yang terhitung sutenya sendiri, maka celakalah mereka semua. Baru menghadapi Bhok Hwesio seorang saja sudah repot, apa lagi ditambah suhengnya yang tentu saja sebagai ketua Siauw-lim-pai memiliki ilmu yang hebat. Mana Yo Wan akan sanggup menahan?
"Suheng, harap jangan ikut-ikutan, ini urusanku sendiri!" Bhok Hwesio mendengus marah ketika melihat ketua Siauw-lim-pai itu.
"Bhok-sute, segera insyaf dan sadarlah. Bukan saatnya bagi orang-orang yang mencari penerangan seperti kita ini melibatkan diri pada karma yang tiada berkesudahan. Kenapa sudah baik-baik kau bertapa, diam-diam kau pergi, Sute? Kalau kau masih ingin terikat karma, bukan begitu caranya. Lebih baik kau melakukan bakti terhadap negara. Pinceng mendengar bahwa sekarang kaisar kembali memimpin sendiri pasukan ke utara, dan kabarnya di luar tembok besar, orang-orang Mongol mengganas dan mempunyai banyak orang-orang sakti dari barat. Kalau memang hatimu belum puas dan ingin terikat pada dunia, kenapa kau tidak menyusul ke utara dan membantu kaisar?"
"Suheng, sekali lagi, jangan ikut-ikutan. Raja Pedang adalah musuh besarku, dia harus menebus!"
"Omitohud! Pinceng melihat Bu-tek Kiam-ong ketua Thai-san-pai yang terhormat sudah terluka parah dan tidak melawanmu. Mengapa kau sekarang bermain-main dengan anak muda?"
"Bocah ini mewakili Raja Pedang, terpaksa aku harus membunuhnya, Suheng, kemudian aku akan membikin musuh besarku ini menjadi tapa daksa, baru aku akan ikut dengan Suheng kembali ke kelenteng dan bertapa mencari jalan terang."
"Ahh... ahhh... menumpuk dosa dulu baru bertobat? Mengganas dalam kegelapan untuk mencari jalan terang. Mana bisa, Sute. Kau tersesat jauh sekali. Marilah kau ikut dengan pinceng secara damai..."
"Nanti sesudah kurobohkan bocah ini!" Setelah berkata demikian, kembali Bhok Hwesio merendahkan tubuhnya, menundukkan muka dan siap untuk menerjang Yo Wan dengan ilmunya yang dahsyat.
"Jangan, Sute..." Tiba-tiba tubuh kakek tua itu melayang bagaikan sehelai daun kering. Dia tiba di depan Yo Wan, menghadang di antara pemuda itu dan Bhok Hwesio. "San-jin Pai-hud (Kakek Gunung Menyembah Buddha) bukanlah ilmu untuk membunuh manusia!"
"Suheng, minggir!" bentak Bhok Hwesio.
"Jangan, Sute. Pinceng tidak membolehkan kau melakukan pembunuhan, sayang akan pengorbananmu yang selama puluhan tahun menderita dalam hidup. Apakah kau ingin mengulanginya lagi dalam keadaan yang lebih sengsara? Insyaflah."
"Suheng, sekali lagi. Minggirlah!" Bhok Hwesio membentak marah sekali.
"Tidak, Sute..."
"Kalau begitu terpaksa aku akan membunuhmu lebih dahulu!"
"Omitohud, semoga kau diampuni..."
Bhok Hwesio mengeluarkan suara menggereng keras dan tubuhnya segera menerjang maju. Kepalanya mengeluarkan uap kekuningan dan bagaikan sebuah pelor baja kepala gundul itu menubruk ke arah perut Thian Seng Losu yang kurus. Ketua Siauw-lim-pai ini hanya berdiri diam, tidak mengelak, juga tidak menangkis.
"Desssss!!!"
Kepala gundul itu bertemu dengan perut. Tubuh Thian Seng Losu terpental kemudian tak bergerak lagi! Sedangkan Bhok Hwesio bangkit berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, lalu maju terhuyung-huyung.
Yo Wan melompat marah. "Hwesio jahat! Iblis kau, telah membunuh suheng sendiri!" Yo Wan hendak menerjang Bhok Hwesio dengan penuh amarah, akan tetapi terdengar Kun Hong berseru.
"Yo Wan, mundur...!"
"Yo Wan, tak perlu lagi, pertempuran sudah habis...," kata Raja Pedang pula.
Yo Wan terkejut dan alangkah herannya ketika dia melihat tubuh Bhok Hwesio menggigil keras, lalu roboh miring. Ketika dia mendekat, ternyata hwesio tinggi besar ini telah tewas, kepalanya retak-retak! Dan pada saat dia menengok, matanya terbelalak memandang Thian Seng Losu sudah bangkit perlahan, wajahnya pucat dan matanya sayu memandang ke arah Bhok Hwesio. Kemudian dia menghampiri jenazah sute-nya, perlahan-lahan dia mengangkat jenazah itu, dipanggulnya, dan sambil menarik nafas panjang dia menoleh ke arah Yo Wan.
"Orang muda, kepandaianmu hebat. Tapi apa gunanya memiliki kepandaian hebat kalau hanya untuk saling bunuh dengan saudara dan bangsa sendiri? Di pantai timur bajak laut dan penjahat merajalela, di utara orang-orang liar mengganas, di dalam negeri sendiri para pembesar menyalah gunakan wewenang, para menteri durjana berlomba mencari muka sambil menggerogoti kekayaan negara. Sungguh kasihan kaisar yang bijaksana, pendiri kota raja baru, sampai di hari tuanya bersusah payah menghadapi musuh demi keamanan negara. Apa bila orang-orang muda yang berkepandaian seperti kau ini hanya berkeliaran di gunung-gunung, saling serang dan saling bunuh dengan bangsa sendiri, bukankah hal itu sia-sia dan sangat mengecewakan?" Kembali kakek itu menarik nafas panjang dan melangkah hendak pergi dari tempat itu.
"Thian Seng Losuhu, harap maafkan bahwa saya tidak dapat menyambut kedatangan Losuhu. Menyesal sekali urusan pribadi antara kami dan Bhok Hwesio membuat Losuhu terpaksa bertindak dan mengakibatkan tewasnya sute dari Losuhu," kata Raja Pedang dengan suara menyesal dan mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil duduk bersila.
Kakek itu menengok kepadanya, memandang sejenak, lalu memutar pandang matanya ke arah mayat bertumpuk-tumpuk di tempat itu. Kembali dia menarik nafas panjang lalu berkata, "Bunuh-membunuh, dendam-mendendam, apakah hanya untuk ini orang hidup di dunia mempelajari bermacam-macam kepandaian? Bu-tek Kiam-ong, sayang kau yang memiliki kepandaian tinggi memihak kepada sifat merusak, alangkah baiknya kalau kau memihak kepada sifat membangun."
Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan langkahnya, dibantu tongkat, dan mayat Bhok Hwesio tersampir di pundaknya. Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, terdengar suara orang memanggilnya.
"Losuhu!"
Thian Seng Losu menengok dan memandang kepada Kun Hong yang memanggilnya tadi. Pendekar Buta ini melanjutkan kata-katanya. "Losuhu, perbuatan yang sifatnya merusak amatlah diperlukan di dunia ini, bahkan amat dipentingkan karena tanpa adanya sifat merusak, maka sifat membangun juga tidak akan sempurna. Merusak bukanlah selalu jahat, asalkan orang pintar memilih, apa yang harus dirusak, apa yang harus dibasmi, kemudian apa yang harus dibangun serta dipelihara. Petani yang bijaksana tak akan ragu-ragu mencabuti dan membasmi semua rumput liar yang akan mengganggu kesuburan padi. Seorang gagah yang bijaksana juga tidak akan ragu-ragu untuk membasmi para penjahat yang mengganggu ketenteraman hidup rakyat. Semua baik-baik saja dan sudah tepat kalau masing-masing mengetahui kewajibannya, lalu melaksanakannya tanpa pamrih dan kehendak demi keuntungan pribadi. Mengenai membunuh dan dibunuh... ahhh, Losuhu yang mulia dan waspada tentu lebih maklum bahwa hal itu sudah ada yang mengaturnya dan kita semua hanyalah alat belaka..."
Wajah kakek tua yang tadinya muram itu kini berseri-seri, bahkan mulutnya yang ompong membentuk senyum lebar. "Omitohud... semua ucapan peringatan sama nilainya dengan air jernih dingin bagi orang yang kehausan! Bukankah Sicu adalah pendekar Liong-thouw-san yang terkenal dijuluki Pendekar Buta? Hebat... kau gagah sekali, Sicu, gagah lahir batin! Betul kata-katamu, kita semua hanyalah alat yang tidak berkuasa menentukan sesuatu, tetapi... sama-sama alat, bukankah akan lebih menyenangkan menjadi alat yang baik dan berguna? Dan kita berhak untuk berusaha ke arah pilihan yang baik, Sicu. Ha-ha-ha, sungguh pertemuan yang amat menyenangkan. Pinceng akan merasa bahagia sekali kalau Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) sewaktu-waktu sudi mengunjungi Siauw-lim-sie untuk melanjutkan obrolan kita ini. Nah, selamat tinggal!"
Bagaikan segulungan awan, kakek itu bergerak dan seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak bumi. Begitu hebat ginkang dan ilmu lari cepatnya. Biar Raja Pedang sendiri sampai menjadi kagum dan menarik nafas panjang. Tidak kelirulah apabila orang-orang kang-ouw menganggap bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya orang-orang sakti yang menjadi murid-murid Buddha.
Sunyi di tempat itu setelah ketua Siauw-lim-pai pergi. Masing-masing merenung dan baru terasa betapa hebat akibat dari pada pertempuran itu. Raja Pedang masih duduk bersila, berulang kali menarik nafas panjang. Pendekar Buta juga duduk bersila, berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kesehatannya secepat mungkin. Hui Kauw dan Cui Sian saling pandang dengan sinar mata terharu karena mereka telah menjadi korban fitnah sehingga hampir saja saling bunuh.
Yo Wan masih berdiri seperti patung, merasakan betapa hebatnya kakek Siauw-lim yang tadi menjadi lawannya. Hanya Lee Si yang kini terisak kembali.
Isak tangis ini menyadarkan mereka. Raja Pedang Tan Beng San berkata kepada Lee Si, "Lee Si, hentikan tangismu. Ayahmu tewas sebagai seorang laki-laki gagah, tidak perlu disedihkan. Lebih baik sekarang kita urus jenazahnya."
Kun Hong yang juga sudah sadar dari keadaan termenung dan merasa perlu segera bertindak, segera berkata kepada Yo Wan, "Wan-ji (anak Wan), hanya kau yang tidak terluka. Jangan takut lelah, kau galilah lubang untuk semua mayat-mayat ini dan kubur mereka baik-baik."
Yo Wan menyanggupi. Pemuda ini segera menggunakan patahan pedang Pek-giok-kiam untuk menggali lubang yang besar. Melihat pemuda ini mengerahkan tenaga bekerja, tanpa diminta lagi Lee Si bangkit dan membantunya, juga Cui Sian dan Hui Kauw, biar pun terluka, segera membantu sedapatnya.
Pertama-tama mereka mengubur jenazahnya Tan Kong Bu dengan sikap hormat akan tetapi sederhana tanpa upacara, hanya diiringi tangis Lee Si yang sampai tiga kali jatuh pingsan saking sedihnya, dihibur oleh Cui Sian dan Hui Kauw yang juga ikut menangis. Kemudian mereka menggali lubang besar untuk mengubur semua jenazah itu sekaligus, jenazah Ang-hwa Nio-nio, Maharsi, Bo Wi Sianjin, dan anak buah Ang-hwa Nio-nio.
Setelah lebih setengah hari mereka bekerja, selesailah penguburan itu. Pada waktu itu, Kun Hong yang mengerti akan ilmu pengobatan sudah berhasil menyembuhkan lukanya sendiri, bahkan dia membantu penyembuhan luka yang diderita Raja Pedang. la bersila di belakang Raja Pedang dan menempelkan tangan kiri di punggung ketua Thai-san-pai itu sambil mengurut jalan darah pada pundak dengan jari-jari tangan kanannya.
"Cukuplah, Kun Hong. Sekarang tidak berbahaya lagi." Akhirnya Raja Pedang berkata dan mereka berdua bangkit berdiri.
Tiba-tiba Lee Si berlari menghampiri Raja Pedang dan berlutut di depan kakinya sambil menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah, Lee Si." Tan Beng San mengangkat bangun cucunya. "Kehendak Thian tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Aku hanya bingung memikirkan bagaimana cara kita harus menyampaikan berita ini kepada ibumu..."
Mendengar ini, Lee Si makin keras tangisnya.
"Betapa pun juga, pembunuh ayahmu telah kita ketahui, dan dia sudah tewas pula."
Akan tetapi Lee Si masih menangis dan Raja Pedang berkali-kali menghela nafas karena dia dapat menduga bahwa kali ini Lee Si menangis karena mengingat keadaan dirinya sendiri. Betapa pun juga, gadis ini telah mengalami hinaan dan fitnah yang merusakkan namanya. Maka dia membiarkan cucunya menangis.
Ada pun Hui Kauw yang mendekati Cui Sian, dengan wajah pucat bertanya, "Sian-moi, kau tadi bilang tentang Swan Bu... bagaimanakah dia? Siapa yang sudah membuntungi lengannya?"
Jelas nyonya ini mengeraskan hati dan menggigit bibir untuk menahan tangisnya. Cemas dan ngeri hatinya membayangkan puteranya itu menjadi buntung lengannya.
Cui Sian memeluk Hui Kauw. "Maafkan aku, Cici. Kau... kau sudah mengalami tekanan batin berkali-kali, difitnah dan dituduh, lalu sekarang puteramu menjadi korban lagi. Akan tetapi, hal-hal yang sudah terjadi tak perlu melemahkan hati dan semangat kita, bukan? Swan Bu telah dibuntungi lengannya oleh gadis liar yang bernama Siu Bi..."
"Ahhh...!" Hui Kauw menahan seruannya.
Pendekar Buta yang juga mendengarkan penuturan ini, mengerutkan kening. Diam-diam dia merasa menyesal sekali bahwa dulu dia telah menanam bibit permusuhan yang tiada berkesudahan. Terbayang dia akan musuh lamanya, The Sun, yang agaknya sekarang menimbulkan bencana hebat, bukan langsung olehnya sendiri, tetapi oleh keturunannya.
"Aku sudah menangkapnya, menghajarnya, bahkan Lee Si hampir membunuhnya. Akan tetapi... Swan Bu sendiri yang dibuntungi lengannya oleh iblis betina itu mencegah, dan malah minta supaya Siu Bi dibebaskan."
Berdebar jantung Hui Kauw. Sungguh aneh! Adakah suatu rahasia di balik itu, ataukah Swan Bu menjadi seorang pemuda yang berwatak aneh dan kadang kala penuh welas asih seperti watak ayahnya. Orang telah membuntungi lengannya, dan orang itu hendak memusuhi ayah bundanya, akan tetapi dia malah membebaskannya!
Teringat dia akan wajah Siu Bi. Gadis yang cantik jelita tetapi berwatak iblis, hampir saja berhasil membunuh dia serta suaminya. Mendadak dia merasa khawatir. Jangan-jangan kecantikan gadis itu telah melemahkan hati puteranya.
"Di mana dia sekarang, Sian-moi?"
"Aku tidak tahu, Cici. Ketika dia dan aku menemukan jenazah Kong Bu koko aku lalu meninggalkan dia di sini. Agaknya dia yang menguburkan jenazah Kong Bu koko, yang kemudian, tentu saja dibongkar kembali oleh penjahat-penjahat itu untuk dirusak dalam usaha mereka mengadu domba antara kita. Ada pun Swan Bu sendiri, entah ke mana dia pergi."
Tak dapat ditahan lagi Hui Kauw menangis karena dia membayangkan puteranya dalam keadaan buntung lengannya itu masih bersusah payah untuk mengubur jenazah Kong Bu! Pendekar Buta menghampiri isterinya dan menghiburnya.
"Tahan air matamu. Swan Bu tidak apa-apa. Dia tentu akan pulang ke Liong-thouw-san. Sedikit banyak dia mengerti mengenai ilmu pengobatan, luka pada lengannya pasti akan sembuh."
Amarah Hui Kauw bangkit mendengar sikap suaminya yang begitu dingin, seakan-akan soal buntungnya lengan Swan Bu ‘bukan apa-apa’ bagi suaminya. la ingin membentak, menyatakan kemarahannya dan menyatakan kehendaknya untuk mencari Siu Bi untuk dibuntungi kedua lengan berikut kakinya!
Akan tetapi, begitu dia mengangkat muka dan melihat sepasang mata suaminya, hatinya menjadi tertusuk dan kekerasan amarahnya mencair seketika. la tadi sampai lupa saking marahnya, lupa bahwa suaminya sendiri adalah seorang yang cacad, seorang yang buta kedua matanya, namun tetap menjadi pendekar yang tak terkalahkan, menjadi Pendekar Buta yang terkenal. Apakah artinya buntung lengan kirinya apa bila dibandingkan dengan buta kedua matanya? Masih ringan, hanya cacad yang kecil tak berarti. Itulah sebabnya Pendekar Buta tadi mengatakan ‘tidak apa-apa dan akan sembuh’.
"Tetapi... tapi... dia terlunta-lunta melakukan perjalanan dalam keadaan terluka, tidak ada yang merawatnya..."
Yo Wan yang mendengar percakapan ini segera menghampiri mereka, dan dia berkata, "Suhu dan Subo, harap tenangkan hati. Biarlah teecu yang akan pergi mencari Swan Bu dan menemaninya pulang ke Liong-thouw-san."
Girang hati Pendekar Buta mendengar ini. Memang tidak ada orang yang lebih dapat dia percaya untuk ini kecuali Yo Wan. la melangkah maju dan tangan kanannya merangkul pundak pemuda itu.
"Yo Wan, kau anak baik. Kau tahu betapa besar rasa syukur di hati kami terhadapmu. Wan-ji, kau carilah Swan Bu dan ajak dia pulang bersama." Suara Kun Hong terdengar menggetar penuh keharuan sehingga tanpa terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu mata Yo Wan. Cepat dia mengusapnya, memberi hormat kepada suhu dan subo-nya.
"Teecu berangkat sekarang juga," katanya.
Kemudian dia memberi hormat kepada Raja Pedang yang memandangnya dengan sinar mata kagum. Sungguh di luar sangkaannya sama sekali bahwa murid tunggal Pendekar Buta ternyata begini hebat, kuat menghadapi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio yang kepandaiannya sangat luar biasa sehingga dia sendiri pun belum tentu akan dapat mengalahkannya. Diam-diam dia tertarik dan kagum, dan makin gembiralah di dalam hati kakek perkasa ini ketika Yo Wan menjura kepada Cui Sian dan berkata halus, "Adik Cui Sian, selamat berpisah, semoga kita dapat saling bertemu kembali."
Wajah gadis itu menjadi merah. Kerling matanya terang membayangkan hati yang gugup dan jengah saat ia balas menghormat. "Yo-twako, semoga kau lekas dapat menemukan Swan Bu."
Yo Wan kemudian berjalan cepat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata yang mengandung bermacam perasaan.
"Kun Hong, muridmu itu... hemmm, ajaklah dia ke Thai-san sekali waktu. Aku perlu sekali bicara denganmu tentang dia." Ucapan Raja Pedang Tan Beng San ini terdengar jelas dan artinya pun mudah ditangkap sehingga Cui Sian makin merah mukanya. Cepat-cepat gadis ini menundukkan mukanya untuk menyembunyikan debar jantungnya.
Kwa Kun Hong mengangguk-angguk. Dia pun tentu saja mengerti bahwa pendekar tua itu bermaksud menjajaki kemungkinan terikatnya jodoh antara Cui Sian dengan Yo Wan. Akan tetapi sebagai seorang yang berperasaan halus, dia tidak berkata apa-apa supaya jangan membuat Cui Sian menjadi malu.
"Kongkong (Kakek), saya tak berani pulang sendiri, tak berani menyampaikan kematian ayah kepada ibu. Harap Kongkong suka memperkenankan bibi Cui Sian menemani saya ke Min-san," kata Lee Si.
"Tidak hanya Cui Sian yang menemanimu, aku sendiri akan ke sana untuk menghibur ibumu. Malah kalau kalian tidak keberatan, Kun Hong dan isterimu, lebih baik kita semua pergi ke Min-san. Selain tempat itu paling dekat dari sini sehingga kita dapat beristirahat dan memulihkan kesehatan di sana, juga dengan hadirnya kalian berdua, kurasa akan mengurangi kedukaan ibunya Lee Si."
"Bukan itu saja, kuharap Suheng dan Cici ikut ke Min-san untuk membicarakan hal yang amat penting," tiba-tiba Cui Sian berkata.
"Hal penting apakah?" tanya Pendekar Buta dan Raja Pedang hampir berbareng.
"Aku sudah ceritakan hal itu kepada cici Hui Kauw yang telah menyetujui pula. Marilah kita berangkat, nanti di dalam perjalanan aku akan ceritakan hal itu kepada Ayah, biar cici Hui Kauw menceritakannya kepada Kwa-suheng," jawab Cui Sian dan kali ini Lee Si yang menundukkan mukanya karena gadis ini sudah dapat menduga apa yang akan dikemukakan oleh Cui Sian itu.
Diam-diam ia amat berterima kasih kepada Cui Sian, karena ia pun tadi, biar pun kurang jelas, bisa mendengar percakapan antara Cui Sian dan Hui Kauw. Dan ia pun maklum sedalam-dalamnya bahwa satu-satunya jalan untuk mencuci bersih namanya, dan untuk menghapus kesalah pahaman antara mereka, untuk mencuci habis kejadian yang hampir merusak hubungan di antara mereka, hanya satu itulah yaitu ikatan jodoh antara dia dan Swan Bu! Dan ia sudah setuju seratus persen di dalam hatinya yang telah tercuri oleh Swan Bu yang gagah dan tampan, biar pun ada satu hal yang merupakan ganjalan dan merupakan duri dalam daging, yaitu Siu Bi!
Sesungguhnya tidaklah terlalu sukar mencari keterangan tentang Swan Bu. Tidak banyak terdapat seorang pemuda tampan dengan tangan kiri buntung. Namun karena tidak tahu ke jurusan mana pemuda itu pergi, Yo Wan harus menjelajahi semua dusun di sekitar tempat itu. Sesudah berkeliling sampai sehari lamanya, di sebuah dusun kecil dia baru mendengar keterangan tentang Swan Bu. Di dusun ini orang melihat pemuda tampan berlengan kiri buntung yang berjalan menuju ke utara.
Yo Wan segera mengejar ke utara dan terpaksa dia bermalam di sebuah dusun karena terhalang malam. Pada keesokan harinya, dia melanjutkan pengejarannya sambil terus bertanya-tanya. Keterangan yang dia peroleh kemudian sungguh-sungguh membuat dia mengerutkan alisnya. Orang melihat Swan Bu melakukan perjalanan bersama seorang wanita cantik jelita yang merawat luka pemuda itu. Dari keterangan yang didapat, Yo Wan dapat menduga bahwa gadis itu adalah Siu Bi! Swan Bu agaknya bertemu dengan Siu Bi kemudian melakukan perjalanan bersama!
Hatinya amat gelisah. Tak salah dugaannya, Swan Bu saling mencinta dengan gadis itu, gadis yang telah membuntungi lengannya. Dia sudah menduga akan perasaan Swan Bu ini ketika dahulu Swan Bu minta agar Siu Bi yang membuntungi lengannya dibebaskan.
Akan tetapi tadinya dia tidak tahu bahwa Siu Bi pun ternyata membalas cinta kasih itu. Baru sekarang, mendengar gadis itu mengawani Swan Bu dan merawat lukanya dalam perjalanan yang mereka lakukan berdua, dia dapat menduga akan hal itu. Akan tetapi, mengapa Siu Bi membuntungi lengan Swan Bu?
Yo Wan benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi dia cukup mengenal watak Siu Bi yang aneh dan liar dan tentu saja gadis seperti itu dapat melakukan hal yang aneh-aneh dan tak masuk akal, seperti misalnya membuntungi lengan orang yang dicintanya. Yang membuat Yo Wan mengerutkan keningnya adalah karena dia merasa tidak senang bila benar-benar mereka berdua saling mencinta. Menurut pendapatnya, Swan Bu harus berjodoh dengan Lee Si. Gadis yang malang itu selain kehilangan ayahnya, juga sudah difitnah dan dicemarkan nama baiknya. Swan Bu harus mengambil Lee Si sebagai isteri, karena jalan inilah satu-satunya untuk mencuci noda pada nama baiknya. Kalau Swan Bu berjodoh dengan Siu Bi, hal ini akan menimbulkan banyak akibat yang tidak baik dan tentu saja orang tua pemuda itu akan menentangnya. Di dunia ini memang terjadi hal aneh-aneh. Cinta memang aneh, seperti anehnya sikap Cui Sian tadi!
Terang bahwa hatinya sudah bertekuk lutut dan mencinta puteri Raja Pedang itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani nekad. la mengenal diri sendiri, seorang yatim piatu yang bodoh dan miskin, dan dia cukup mengenal pula siapa Cui Sian, Puteri tunggal Raja Pedang, ketua Thai-san-pai!
Betapa pun juga, dia tak dapat menahan gelora di hatinya dan tak dapat menghapuskan harapan hampa di hatinya bahwa gadis itu akan membalas cintanya, harapan bahwa kelak gadis itu akan menjadi jodohnya. Betapa pun gila harapan-harapan itu! Akan tetapi sikap Cui Sian tadi ahhh, siapa tahu, cinta memang aneh. Ataukah orang-orang yang terjerat cinta lalu menjadi sinting dan melakukan hal-hal aneh?
Di dalam perjalanannya mencari Swan Bu, Yo Wan mendengar banyak hal yang selama ini tak pernah menjadi perhatiannya. Hal-hal mengenai keadaan. Agaknya ucapan ketua Siauw-lim-pai telah mengukir kesan mendalam dalam hatinya, membuat dia sadar bahwa selama ini hidupnya hampa, tidak ada isinya, karena dia sudah lalai akan kewajibannya sebagai seorang anak bangsa. Kesan inilah yang membuat dia menaruh perhatian akan berita yang didengarnya di sepanjang jalan.
Sejak Kaisar Yung Lo, pendiri kota raja utara (Peking), memegang tampuk pemerintahan, keadaan di dalam negeri boleh dikata menjadi tenteram. Kaisar yang semenjak mudanya menjadi panglima perang ini memerintah dengan tangan besi. Sayangnya bahwa pada waktu itu, kerajaannya masih mengalami banyak gangguan dari luar, terutama sekali dari bangsa Mongol dan suku bangsa lain di utara, yang berusaha keras menebus kekalahan bangsanya setengah abad yang lalu. Selain ini, para bajak laut di pantai timur yang terdiri dari bangsa Jepang merupakan gangguan pula. Akan tetapi tentu saja gangguan para bajak laut ini tidaklah sebesar gangguan dari utara. Oleh karena inilah Kaisar Yung Lo mencurahkan perhatiannya ke arah utara.
Tembok besar yang melintang di utara itu dia betulkan dengan mengerahkan ratusan ribu tenaga manusia. Tadinya, sebagian tembok besar ini boleh dibilang sudah runtuh, atau sengaja diruntuhkan di jaman Kerajaan Mongol berkuasa, karena bagi Kerajaan Mongol tentu saja tidak perlu adanya tembok besar yang memisahkan negara jajahan dengan negara asal mereka.
Sesudah Kerajaan Mongol runtuh dan Kerajaan Beng-tiauw berdiri, tembok besar yang seakan-akan menjadi tanggul pencegah banjirnya serbuan lawan dari utara itu dibangun kembali. Dan ketika Yung Lo menjadi kaisar, pembangunan ini dipergiat, juga Kota Raja Peking dibangun dengan hebatnya. Akan tetapi, semua pembangunan ini oleh kaisar diserahkan kepada para pembantunya, karena kaisar sendiri, sebagai seorang bekas panglima perang yang berpengalaman, sibuk memimpin pasukan-pasukan menyerbu ke utara untuk memerangi bangsa Mongol yang selalu merupakan ancaman itu.
Agaknya karena terlalu sering kaisar meninggalkan istana untuk memimpin barisannya berperang itulah yang mengakibatkan merajalelanya kaum koruptor, golongan-golongan pembesar yang menyalah gunakan kedudukan dan wewenangnya, terjadi pertentangan dalam perebutan kekuasaan antara para penjilat dan para penentang, antara pangeran yang mencalonkan diri menjadi pengganti kelak bila kaisar meninggal dunia. Terjadilah perpecahan, terjadi beberapa golongan yang berdiri di belakang pangeran yang menjadi calon atau jago aduan masing-masing, dengan mereka sebagai ‘botoh-botohnya’.
Yo Wan mendengar betapa banyak orang gagah pergi ke utara dan menjadi barisan suka rela membantu kaisar memerangi orang-orang Mongol. Ternyata bahwa musuh dari utara itu tidak boleh dipandang ringan. Biar pun mereka tidak pernah berhasil menyerbu ke selatan melalui tembok besar, akan tetapi perlawanan yang mereka lakukan di utara cukup sengit sehingga di pihak tentara kerajaan banyak jatuh korban.
Orang-orang Mongol memiliki panglima-panglima yang pandai, malah kabarnya dibantu oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Bantuan dari orang-orang sakti inilah yang lalu menarik banyak orang kang-ouw menjadi suka relawan, karena sudah menjadi semacam penyakit pada ahli-ahli silat kelas tinggi untuk mencoba-coba ilmu mereka apabila mereka mendengar tentang musuh yang berilmu tinggi pula. Penyakit macam ini terdapat pula dalam diri Yo Wan. Ketika suatu hari dia mendengar dongeng dari seorang bekas suka relawan akan adanya seorang jagoan Mongol yang sekaligus menewaskan enam orang jagoan kerajaan hanya dalam sebuah pertempuran, dia menjadi penasaran sekali.
Kemudian pada saat mendengar akan kegagahan kaisar yang memimpin setiap perang tanding besar-besaran dengan gagah perkasa, ikut pula mengayun pedang dan memutar tombak sebagai panglima yang tidak hanya mengomando dari belakang dan dari tempat yang aman saja, hati Yo Wan ikut bergelora penuh semangat dan amat tertarik. Alangkah senangnya ikut berjuang di bawah pimpinan seorang kaisar segagah itu, pikirnya, dan ucapan dari ketua Siauw-lim-pai makin jelas berdengung di telinganya.
"Apa gunanya memiliki kepandaian kalau hanya untuk saling bunuh dengan saudara dan bangsa sendiri?" demikian ucapan ketua Siauw-lim-pai yang berdengung di telinganya.
Diam-diam Yo Wan merasa heran ketika jejak Swan Bu terus menuju ke utara, bahkan agaknya ke kota raja. la telah mengeluarkan kepandaiannya untuk menyusul, akan tetapi ternyata selalu dia tertinggal di belakang. Soalnya adalah karena kedua orang itu agaknya melakukan perjalanan secara sembunyi sehingga kadang-kadang mereka lenyap, tidak dapat dia mendengar keterangan. Kalau akhirnya dia mendapatkan lagi keterangan tentang Swan Bu dan Siu Bi, ternyata mereka itu sudah mengambil jalan memutar secara diam-diam, seakan-akan mereka memang sengaja menghilangkan jejak agar jangan mudah disusul orang...
Oleh karena ini, penyerangan-penyerangannya lalu dia ubah sama sekali. Kini dia hanya menyerang apabila mendapatkan kesempatan yang sangat baik dan sasarannya hanya tempat-tempat yang tidak mungkin dilindungi oleh Iweekang, seperti mata dan ubun-ubun kepala.
Bhok Hwesio makin penasaran. Dia, seorang tokoh tinggi Siauw-lim-pai yang hanya bisa dijajari tingkatnya oleh ketua Siauw lim-pai, kini menghadapi seorang pemuda tak dapat mengalahkannya dalam seratus jurus lebih! Alangkah aneh serta memalukan! Bukan itu saja, bahkan sekarang pemuda itu mengarahkan serangannya ke mata dan ubun-ubun kepala, membuat dia terpaksa harus mengelak atau menangkisnya!
Oleh karena rasa penasaran inilah dia segera mempercepat gerakannya. Makin lama dia bersilat makin cepat untuk mengimbangi kecepatan Yo Wan dan untuk dapat cepat-cepat merobohkan bocah itu. Namun Ilmu Langkah Si-cap-it Sin-po benar-benar luar biasa sekali, karena tak pernah pukulan Bhok Hwesio dapat mengenai sasaran. Hal ini sebetulnya tidak mengherankan. Ilmu langkah itu didapat oleh Yo Wan dari Pendekar Buta dan pendekar ini mendapatkan dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Padahal Kim-tiauw-kun yang diciptakan oleh Bu-beng-cu di puncak Liong-thouw-san (Bu-beng-cu merupakan suheng dari Sin-eng-cu) dan kemudian ditemukan Kun Hong, bersumber pada Ilmu Silat Im-yang Bu-tek Cin-keng yang menjadi raja dari segala ilmu silat tinggi dan sudah menjadi pegangan Pendekar Sakti Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu! Tidaklah mengherankan kalau langkah ajaib ini sekarang dapat membuat seorang tokoh besar Siauw-lim-pai menjadi tidak berdaya.
Di lan pihak Yo Wan adalah seorang pemuda yang cerdik. Setelah menjadi yakin bahwa terhadap Bhok Hwesio dia tidak akan sanggup menggunakan ilmunya untuk mencapai kemenangan, dia sepenuhnya menjalankan pesan Pendekar Buta dan Raja Pedang. Dia mainkan langkah ajaib dengan cermat sekali dan setiap kali ada kesempatan, dia segera mengancam mata atau ubun-ubun kepala lawan.
Selain ini, dia sengaja berloncatan menjauhkan diri menggunakan ginkang-nya, sehingga lawannya yang makin bernafsu itu mengejarnya lebih cepat. Ini memerlukan pergerakan cepat, sehingga makin lama mereka bergerak makin cepat sampai lenyap bentuk tubuh mereka berubah menjadi dua bayangan yang berkelebatan.
Betapa pun saktinya Bhok Hwesio, dia hanyalah seorang manusia juga. Manusia yang mempunyai darah daging, otot-otot dan tulang. Manusia yang tidak akan mampu, betapa pun sakti dia, melawan kekuasaan dan kesaktian usia tua. Usia kakek ini sudah amat tinggi, mendekati sembilan puluh tahun. Boleh jadi dia matang dalam kepandaiannya, amat kuat dalam tenaga sinkang. Namun harus diakui bahwa usia tua telah menggerogoti daya tahannya.
Tanpa dia sadari, setelah terus mengejar-ngejar Yo Wan laksana orang mabuk mengejar bayangan dirinya sendiri, setelah lewat tiga ratus jurus, nafasnya mulai kempas-kempis. Mukanya penuh peluh serta pucat, sedangkan dari kepalanya yang gundul itu mengepul uap putih tebal!
Dapat dibayangkan bila seorang kakek berusia sembilan puluh tahun main kejar-kejaran dengan gerakan secepat itu selama tiga jam! Ini masih ditambah oleh rasa amarah dan penasaran yang tentu saja menambah sesak nafasnya. Saking marahnya Bhok Hwesio, ketika untuk ke sekian kalinya, bagaikan ujung ekor ular mempermainkan kucing cambuk Yo Wan menyambar ke arah sepasang matanya, Bhok Hwesio menggeram, tidak mengelak akan tetapi menangkap cambuk ini dengan kedua tangannya! la berhasil menangkap cambuk, lalu merenggut keras.
Yo Wan terkejut, tapi dia mempertahankan cambuknya. Terjadi betot-membetot. Tentu saja pengerahan tenaga menarik jauh bedanya dengan tenaga mendorong. Mendorong merupakan tenaga yang dipaksakan, dan dalam hal ini Yo Wan tidak berani menerima dorongan lawan karena kalah kuat. Akan tetapi dalam adu tenaga menarik, tidak ada bahayanya kalau kalah, paling-paling harus melepaskan cambuk. Karena itulah maka Yo Wan tidak mau menerima kalah begitu saja. Dia memegang gagang cambuk erat-erat dan mengerahkan tenaganya untuk menahan.
Ada sedikit keuntungan baginya. Dia memegang gagang cambuk yang tentu saja lebih ‘enak’ dipegang dari pada ujung cambuk yang kecil dan terasa menggigit kulit tangan. Keuntungan inilah agaknya yang membuat Yo Wan dapat menebus kekalahannya dalam hal tenaga sehingga tidak mudah bagi Bhok Hwesio untuk dapat merampas cambuk itu cepat-cepat.
Cambuk Liong-kut-pian peninggalan Bhewakala ini luar biasa kuatnya. Ditarik oleh dua orang yang memiliki tenaga sakti itu, benda ini mulur panjang, kadang-kadang mengkeret kembali seperti karet. Lama dan ramailah adu tenaga ini, seperti dua orang kanak-kanak main adu tambang. Hanya penasaranlah yang membuat Bhok Hwesio bersitegang tidak mau menyudahi betot-membetot yang lucu dan tidak masuk dalam kamus persilatan ini!
Yo Wan mengangkat muka memandang. Hwesio itu mukanya pucat sekali, seperti tidak berdarah atau agaknya semua darah pada mukanya sudah terkumpul di kedua matanya yang menjadi merah mengerikan. Keringat sebesar kacang kedelai memenuhi muka dan leher, juga kepala, dadanya kembang-kempis secara cepat.
Melihat ini, Yo Wan mengerahkan tenaganya serta mempertahankan cambuknya. Bukan karena dia terlalu sayang akan cambuknya, namun dengan jalan ini dia dapat menguras dan memeras habis tenaga lawan. Dalam hal ilmu silat dan tenaga dalam dia kalah, namun dia harus mencari kemenangan dalam keuletan dan pernafasannya, mencari kemenangan mengandalkan usianya yang jauh lebih muda. Dia sendiri juga mandi keringat, akan tetapi agaknya tak sehebat kakek itu.
Bhok Hwesio semakin penasaran, menahan nafas dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik. Tubuhnya seakan-akan membesar, otot-otot di lehernya mengejang dan menonjol ke luar.
"Krekkkkk!"
Cambuk itu putus di tengah-tengah! Yo Wan terbanting ke belakang, terus bergulingan seperti bola, ada lima meter jauhnya. Tanpa disengaja, dia terguling ke dekat Cui Sian dan agaknya akan menabrak gadis itu kalau saja Cui Sian tidak mengulurkan tangan dan menahannya sehingga mereka seperti berpelukan! Cepat-cepat Cui Sian menjauhkan diri dan mukanya menjadi merah sekali!
"Ahh... ehhh... maaf, Sian-moi...," kata Yo Wan yang juga merah mukanya.
Akan tetapi Cui Sian segera dapat mengatasi hatinya. "Waspadalah, Yo-twako, dia lihai bukan main. Kau usap peluhmu itu..." Sambil berkata demikian, Cui Sian menyerahkan sehelai sapu tangan sutera.
Yo Wan menerimanya, dan ketika teringat akan lawannya, cepat dia melompat bangun dan berdiri sambil mengusapi peluh di mukanya. Bau sedap dari sapu tangan itu terasa menyegarkan semangatnya sehingga dia lupa akan cambuknya yang amat disayangnya, cambuk yang kini sudah putus menjadi dua. la melihat kakek itu juga berdiri tegak, sepasang matanya yang biasanya meram itu kini terbelalak, merah menakutkan. Jelas sekali kakek itu tak dapat menahan nafasnya yang terengah-engah.
"Hwesio tua, kalau kau mau mengaso, mengasolah dulu. Nafasmu perlu diatur, jangan-jangan putus nanti seperti cambukku..." Yo Wan sengaja mengejek, karena dia khawatir kalau kakek itu mengaso dan mendapatkan kembali tenaga serta nafasnya, tentu akan lebih berbahaya.
"Iblis cilik, sekarang pinceng akan menghancurkan kepalamu!" Sambil berkata demikian, Bhok Hwesio menerjang maju lagi.
Yo Wan meloncat dan menghindar. Sekarang tangan kirinya telah memegang sebatang pedang yang berkilauan putih sebagai pengganti cambuknya yang putus. Itulah pedang Pek-giok-kiam pemberian Hui Kauw dahulu.
"Tidak mudah, Hwesio, jika kepandaian yang kau bawa dari Siauw-lim-pai hanya seperti ini..."
Terdengar teriakan ngeri ketika Bhok Hwesio melompat maju seperti harimau menerkam. Teriakan ini keluar dari mulut Cui Sian saking kaget dan gelisahnya. Terkaman itu hebat bukan main. Tubuh Bhok Hwesio melayang bagaikan terbang di angkasa dan tampaknya kedua kakinya ikut pula menyerang, persis seperti seekor harimau yang menerjang.
Yo Wan melompat lagi menghindar, akan tetapi tubuh Bhok Hwesio terus mengikutinya, bagai seekor kelelawar besar mengancam dari atas. Melihat jari-jari tangan yang gemetar dan mengeluarkan bunyi berkerotokan itu, wajah Yo Wan menjadi pucat. Sekali kena dicengkeram, akan hancurlah dia. Jangankan kena dicengkeram, kena sentuh jari-jari itu saja cukup untuk membuat orang roboh!
Melihat betapa tubuh di udara itu laksana terbang dapat mengikutinya, Yo Wan menjadi nekat. Sekuat tenaga ia lalu menggerakkan kedua pedangnya, pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Wangi) di tangan kanannya dan pedang Pek-giok-kiam (Pedang Kumala Putih) di tangan kiri, menyerang dengan tusukan-tusukan maut ke arah tenggorokan dan bawah pusar!
Namun kakek yang melayang itu menggerakkan kedua tangannya, langsung menerima pedang-pedang itu dengan cengkeramannya.
"Krakkk-krekkk!" terdengar bunyi ketika pedang kayu Siang-bhok-kiam hancur berkeping-keping sedangkan pedang Pek-giok-kiam patah-patah menjadi tiga potong!
Akan tetapi terjangan ini membuat tubuh hwesio itu terpaksa turun kembali dan ternyata tangan kanannya yang mencengkeram Pek-giok-kiam tadi mengeluarkan darah karena terluka!
Bhok Hwesio mengeluarkan suara gerengan keras, lalu mendadak berlari menerjang Yo Wan dengan kepala di depan. Gerakan ini luar biasa sekali, aneh dan lucu, bagai seekor kerbau gila mengamuk. Seekor kerbau tentu saja mengandalkan tanduknya yang kuat dan runcing, akan tetapi hwesio tua itu kepalanya gundul licin, masak hendak digunakan sebagai andalan serangan?
Karena Yo Wan memang kurang pengalaman, dia melihat gerakan hwesio ini dengan hati geli. Walau pun dia sudah kehilangan cambuknya, kehilangan Siang-bhok-kiam dan Pek-giok-kiam, namun dia tidak menjadi gentar karena dengan mengandalkan Si-cap-it Sin-po dan ilmu silat-ilmu silatnya yang tinggi, dia masih mampu mempertahankan dirinya sampai hwesio tua ini kehabisan nafasnya.
"Yo Wan, awaaasss...!!" Seruan ini hampir berbareng keluar dan mulut Raja Pedang dan Pendekar Buta.
Kagetlah hati Yo Wan. Tadinya dia menganggap gerakan Bhok Hwesio itu gerakan nekat yang pada hakikatnya hanyalah gerakan bunuh diri karena dengan kepala menyeruduk macam itu, alangkah mudah baginya untuk mengirim pukulan maut ke arah ubun-ubun kepala hwesio itu. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya mendengar seruan dua orang sakti itu.
Cepat dia menggerakkan kaki mengatur langkah cepat karena tadinya tidak menganggap serangan itu berbahaya. Dia hanya merasa tekanan hawa yang luar biasa panas serta membawa getaran aneh, lantas tubuhnya terjengkang.
Kepala mau pun tubuh hwesio itu sama sekali tidak menyentuhnya. Serangan kepala itu boleh dibilang tidak mengenai dirinya karena tubuh Bhok Hwesio menyambar lewat saja, namun hawa pukulannya demikian hebat sehingga Yo Wan terjengkang, terbanting dan merasa betapa dadanya sesak!
Cepat dia menekan perasaan ini dengan mengerahkan sinkang di tubuhnya, akan tetapi dia tidak dapat mencegah tubuhnya terbanting dan bergulingan. Pada saat itu pula, Bhok Hwesio sudah mengejar maju, dan secara bertubi-tubi mengirim pukulan dengan kedua tangannya, pukulan jarak jauh yang tidak kalah ampuhnya oleh pukulan toya baja yang beratnya ratusan kati!
Raja Pedang memandang cemas. Demikian pula Pendekar Buta yang mengepal tangan, hatinya tegang, kepalanya agak miring untuk dapat mengikuti semua gerakan itu dengan baik melalui pendengarannya. Yo Wan melihat bahaya maut datang. Cepat dia kembali bergulingan sehingga pukulan-pukulan jarak jauh itu hanya mengenai tanah, membuat debu beterbangan dan batu-batu terpukul hancur.
Dengan gemas Bhok Hwesio menyambar pedang Pek-giok-kiam yang tadi sudah patah dan menggeletak di atas tanah, dilontarkannya pedang buntung itu ke arah dada Yo Wan yang masih bergulingan di atas tanah.
Yo Wan mendengar bersiutnya angin. Cepat-cepat dia menekankan dua tangan di atas tanah, tubuhnya melejit ke atas dan…
"Syyyuuuuttt!" pedang buntung itu lewat di samping tubuhnya, merobek baju kemudian menancap sampai amblas di dalam tanah!
Yo Wan sudah berhasil melompat bangun, agak terhuyung-huyung dia karena pengaruh angin pukulan sakti tadi masih membuat dadanya sesak. Keadaannya berbahaya sekali karena setelah sekarang bertangan kosong dan terluka di sebelah dalam, biar pun tidak parah akan tetapi cukup akan mengurangi kelincahannya, agaknya dia akan roboh oleh kakek hwesio yang luar biasa tangguhnya itu.
Ada pun Bhok Hwesio sudah kembali menggereng dan kepalanya menunduk, tubuhnya merendah, siap menerjang seperti tadi, terjangan dengan kepala laksana seekor kerbau mengamuk.
"Omitohud, Bhok-sute, banyak jalan utama, mengapa memilih jalan sesat? Selagi masih ada kesempatan, mengapa tidak mencuci noda lama dan kembali ke jalan benar?"
Ucapan yang dikeluarkan dengan suara halus dan tenang penuh kasih sayang ini amat mengagetkan semua orang, terutama sekali Bhok Hwesio. Dia cepat mengangkat muka yang tadi ditundukkan itu, memandang dan alis matanya yang sudah putih itu bergerak-gerak, keningnya berkerut-kerut. Kiranya di depannya telah berdiri seorang hwesio tua yang tinggi kurus, usianya sudah sangat tua, kepalanya gundul mengkilap, alis, jenggot dan kumisnya yang jarang sudah putih semua. Tubuhnya dibalut jubah kuning bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat hwesio.
Melihat hwesio tua ini, Raja Pedang dan Hui Kauw terkejut sekali. Juga Pendekar Buta miringkan kepalanya. Hanya Cui Sian dan Lee Si yang tak mengenal siapa adanya kakek itu, juga Yo Wan tidak mengenalnya. Tentu saja Raja Pedang dan Hui Kauw terkejut karena mengenal kakek itu sebagai Thian Seng Losu, ketua Siauw-lim-pai. Kalau kakek ini datang dan membantu Bhok Hwesio yang terhitung sutenya sendiri, maka celakalah mereka semua. Baru menghadapi Bhok Hwesio seorang saja sudah repot, apa lagi ditambah suhengnya yang tentu saja sebagai ketua Siauw-lim-pai memiliki ilmu yang hebat. Mana Yo Wan akan sanggup menahan?
"Suheng, harap jangan ikut-ikutan, ini urusanku sendiri!" Bhok Hwesio mendengus marah ketika melihat ketua Siauw-lim-pai itu.
"Bhok-sute, segera insyaf dan sadarlah. Bukan saatnya bagi orang-orang yang mencari penerangan seperti kita ini melibatkan diri pada karma yang tiada berkesudahan. Kenapa sudah baik-baik kau bertapa, diam-diam kau pergi, Sute? Kalau kau masih ingin terikat karma, bukan begitu caranya. Lebih baik kau melakukan bakti terhadap negara. Pinceng mendengar bahwa sekarang kaisar kembali memimpin sendiri pasukan ke utara, dan kabarnya di luar tembok besar, orang-orang Mongol mengganas dan mempunyai banyak orang-orang sakti dari barat. Kalau memang hatimu belum puas dan ingin terikat pada dunia, kenapa kau tidak menyusul ke utara dan membantu kaisar?"
"Suheng, sekali lagi, jangan ikut-ikutan. Raja Pedang adalah musuh besarku, dia harus menebus!"
"Omitohud! Pinceng melihat Bu-tek Kiam-ong ketua Thai-san-pai yang terhormat sudah terluka parah dan tidak melawanmu. Mengapa kau sekarang bermain-main dengan anak muda?"
"Bocah ini mewakili Raja Pedang, terpaksa aku harus membunuhnya, Suheng, kemudian aku akan membikin musuh besarku ini menjadi tapa daksa, baru aku akan ikut dengan Suheng kembali ke kelenteng dan bertapa mencari jalan terang."
"Ahh... ahhh... menumpuk dosa dulu baru bertobat? Mengganas dalam kegelapan untuk mencari jalan terang. Mana bisa, Sute. Kau tersesat jauh sekali. Marilah kau ikut dengan pinceng secara damai..."
"Nanti sesudah kurobohkan bocah ini!" Setelah berkata demikian, kembali Bhok Hwesio merendahkan tubuhnya, menundukkan muka dan siap untuk menerjang Yo Wan dengan ilmunya yang dahsyat.
"Jangan, Sute..." Tiba-tiba tubuh kakek tua itu melayang bagaikan sehelai daun kering. Dia tiba di depan Yo Wan, menghadang di antara pemuda itu dan Bhok Hwesio. "San-jin Pai-hud (Kakek Gunung Menyembah Buddha) bukanlah ilmu untuk membunuh manusia!"
"Suheng, minggir!" bentak Bhok Hwesio.
"Jangan, Sute. Pinceng tidak membolehkan kau melakukan pembunuhan, sayang akan pengorbananmu yang selama puluhan tahun menderita dalam hidup. Apakah kau ingin mengulanginya lagi dalam keadaan yang lebih sengsara? Insyaflah."
"Suheng, sekali lagi. Minggirlah!" Bhok Hwesio membentak marah sekali.
"Tidak, Sute..."
"Kalau begitu terpaksa aku akan membunuhmu lebih dahulu!"
"Omitohud, semoga kau diampuni..."
Bhok Hwesio mengeluarkan suara menggereng keras dan tubuhnya segera menerjang maju. Kepalanya mengeluarkan uap kekuningan dan bagaikan sebuah pelor baja kepala gundul itu menubruk ke arah perut Thian Seng Losu yang kurus. Ketua Siauw-lim-pai ini hanya berdiri diam, tidak mengelak, juga tidak menangkis.
"Desssss!!!"
Kepala gundul itu bertemu dengan perut. Tubuh Thian Seng Losu terpental kemudian tak bergerak lagi! Sedangkan Bhok Hwesio bangkit berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, lalu maju terhuyung-huyung.
Yo Wan melompat marah. "Hwesio jahat! Iblis kau, telah membunuh suheng sendiri!" Yo Wan hendak menerjang Bhok Hwesio dengan penuh amarah, akan tetapi terdengar Kun Hong berseru.
"Yo Wan, mundur...!"
"Yo Wan, tak perlu lagi, pertempuran sudah habis...," kata Raja Pedang pula.
Yo Wan terkejut dan alangkah herannya ketika dia melihat tubuh Bhok Hwesio menggigil keras, lalu roboh miring. Ketika dia mendekat, ternyata hwesio tinggi besar ini telah tewas, kepalanya retak-retak! Dan pada saat dia menengok, matanya terbelalak memandang Thian Seng Losu sudah bangkit perlahan, wajahnya pucat dan matanya sayu memandang ke arah Bhok Hwesio. Kemudian dia menghampiri jenazah sute-nya, perlahan-lahan dia mengangkat jenazah itu, dipanggulnya, dan sambil menarik nafas panjang dia menoleh ke arah Yo Wan.
"Orang muda, kepandaianmu hebat. Tapi apa gunanya memiliki kepandaian hebat kalau hanya untuk saling bunuh dengan saudara dan bangsa sendiri? Di pantai timur bajak laut dan penjahat merajalela, di utara orang-orang liar mengganas, di dalam negeri sendiri para pembesar menyalah gunakan wewenang, para menteri durjana berlomba mencari muka sambil menggerogoti kekayaan negara. Sungguh kasihan kaisar yang bijaksana, pendiri kota raja baru, sampai di hari tuanya bersusah payah menghadapi musuh demi keamanan negara. Apa bila orang-orang muda yang berkepandaian seperti kau ini hanya berkeliaran di gunung-gunung, saling serang dan saling bunuh dengan bangsa sendiri, bukankah hal itu sia-sia dan sangat mengecewakan?" Kembali kakek itu menarik nafas panjang dan melangkah hendak pergi dari tempat itu.
"Thian Seng Losuhu, harap maafkan bahwa saya tidak dapat menyambut kedatangan Losuhu. Menyesal sekali urusan pribadi antara kami dan Bhok Hwesio membuat Losuhu terpaksa bertindak dan mengakibatkan tewasnya sute dari Losuhu," kata Raja Pedang dengan suara menyesal dan mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil duduk bersila.
Kakek itu menengok kepadanya, memandang sejenak, lalu memutar pandang matanya ke arah mayat bertumpuk-tumpuk di tempat itu. Kembali dia menarik nafas panjang lalu berkata, "Bunuh-membunuh, dendam-mendendam, apakah hanya untuk ini orang hidup di dunia mempelajari bermacam-macam kepandaian? Bu-tek Kiam-ong, sayang kau yang memiliki kepandaian tinggi memihak kepada sifat merusak, alangkah baiknya kalau kau memihak kepada sifat membangun."
Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan langkahnya, dibantu tongkat, dan mayat Bhok Hwesio tersampir di pundaknya. Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, terdengar suara orang memanggilnya.
"Losuhu!"
Thian Seng Losu menengok dan memandang kepada Kun Hong yang memanggilnya tadi. Pendekar Buta ini melanjutkan kata-katanya. "Losuhu, perbuatan yang sifatnya merusak amatlah diperlukan di dunia ini, bahkan amat dipentingkan karena tanpa adanya sifat merusak, maka sifat membangun juga tidak akan sempurna. Merusak bukanlah selalu jahat, asalkan orang pintar memilih, apa yang harus dirusak, apa yang harus dibasmi, kemudian apa yang harus dibangun serta dipelihara. Petani yang bijaksana tak akan ragu-ragu mencabuti dan membasmi semua rumput liar yang akan mengganggu kesuburan padi. Seorang gagah yang bijaksana juga tidak akan ragu-ragu untuk membasmi para penjahat yang mengganggu ketenteraman hidup rakyat. Semua baik-baik saja dan sudah tepat kalau masing-masing mengetahui kewajibannya, lalu melaksanakannya tanpa pamrih dan kehendak demi keuntungan pribadi. Mengenai membunuh dan dibunuh... ahhh, Losuhu yang mulia dan waspada tentu lebih maklum bahwa hal itu sudah ada yang mengaturnya dan kita semua hanyalah alat belaka..."
Wajah kakek tua yang tadinya muram itu kini berseri-seri, bahkan mulutnya yang ompong membentuk senyum lebar. "Omitohud... semua ucapan peringatan sama nilainya dengan air jernih dingin bagi orang yang kehausan! Bukankah Sicu adalah pendekar Liong-thouw-san yang terkenal dijuluki Pendekar Buta? Hebat... kau gagah sekali, Sicu, gagah lahir batin! Betul kata-katamu, kita semua hanyalah alat yang tidak berkuasa menentukan sesuatu, tetapi... sama-sama alat, bukankah akan lebih menyenangkan menjadi alat yang baik dan berguna? Dan kita berhak untuk berusaha ke arah pilihan yang baik, Sicu. Ha-ha-ha, sungguh pertemuan yang amat menyenangkan. Pinceng akan merasa bahagia sekali kalau Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) sewaktu-waktu sudi mengunjungi Siauw-lim-sie untuk melanjutkan obrolan kita ini. Nah, selamat tinggal!"
Bagaikan segulungan awan, kakek itu bergerak dan seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak bumi. Begitu hebat ginkang dan ilmu lari cepatnya. Biar Raja Pedang sendiri sampai menjadi kagum dan menarik nafas panjang. Tidak kelirulah apabila orang-orang kang-ouw menganggap bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya orang-orang sakti yang menjadi murid-murid Buddha.
Sunyi di tempat itu setelah ketua Siauw-lim-pai pergi. Masing-masing merenung dan baru terasa betapa hebat akibat dari pada pertempuran itu. Raja Pedang masih duduk bersila, berulang kali menarik nafas panjang. Pendekar Buta juga duduk bersila, berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kesehatannya secepat mungkin. Hui Kauw dan Cui Sian saling pandang dengan sinar mata terharu karena mereka telah menjadi korban fitnah sehingga hampir saja saling bunuh.
Yo Wan masih berdiri seperti patung, merasakan betapa hebatnya kakek Siauw-lim yang tadi menjadi lawannya. Hanya Lee Si yang kini terisak kembali.
Isak tangis ini menyadarkan mereka. Raja Pedang Tan Beng San berkata kepada Lee Si, "Lee Si, hentikan tangismu. Ayahmu tewas sebagai seorang laki-laki gagah, tidak perlu disedihkan. Lebih baik sekarang kita urus jenazahnya."
Kun Hong yang juga sudah sadar dari keadaan termenung dan merasa perlu segera bertindak, segera berkata kepada Yo Wan, "Wan-ji (anak Wan), hanya kau yang tidak terluka. Jangan takut lelah, kau galilah lubang untuk semua mayat-mayat ini dan kubur mereka baik-baik."
Yo Wan menyanggupi. Pemuda ini segera menggunakan patahan pedang Pek-giok-kiam untuk menggali lubang yang besar. Melihat pemuda ini mengerahkan tenaga bekerja, tanpa diminta lagi Lee Si bangkit dan membantunya, juga Cui Sian dan Hui Kauw, biar pun terluka, segera membantu sedapatnya.
Pertama-tama mereka mengubur jenazahnya Tan Kong Bu dengan sikap hormat akan tetapi sederhana tanpa upacara, hanya diiringi tangis Lee Si yang sampai tiga kali jatuh pingsan saking sedihnya, dihibur oleh Cui Sian dan Hui Kauw yang juga ikut menangis. Kemudian mereka menggali lubang besar untuk mengubur semua jenazah itu sekaligus, jenazah Ang-hwa Nio-nio, Maharsi, Bo Wi Sianjin, dan anak buah Ang-hwa Nio-nio.
Setelah lebih setengah hari mereka bekerja, selesailah penguburan itu. Pada waktu itu, Kun Hong yang mengerti akan ilmu pengobatan sudah berhasil menyembuhkan lukanya sendiri, bahkan dia membantu penyembuhan luka yang diderita Raja Pedang. la bersila di belakang Raja Pedang dan menempelkan tangan kiri di punggung ketua Thai-san-pai itu sambil mengurut jalan darah pada pundak dengan jari-jari tangan kanannya.
"Cukuplah, Kun Hong. Sekarang tidak berbahaya lagi." Akhirnya Raja Pedang berkata dan mereka berdua bangkit berdiri.
Tiba-tiba Lee Si berlari menghampiri Raja Pedang dan berlutut di depan kakinya sambil menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah, Lee Si." Tan Beng San mengangkat bangun cucunya. "Kehendak Thian tidak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Aku hanya bingung memikirkan bagaimana cara kita harus menyampaikan berita ini kepada ibumu..."
Mendengar ini, Lee Si makin keras tangisnya.
"Betapa pun juga, pembunuh ayahmu telah kita ketahui, dan dia sudah tewas pula."
Akan tetapi Lee Si masih menangis dan Raja Pedang berkali-kali menghela nafas karena dia dapat menduga bahwa kali ini Lee Si menangis karena mengingat keadaan dirinya sendiri. Betapa pun juga, gadis ini telah mengalami hinaan dan fitnah yang merusakkan namanya. Maka dia membiarkan cucunya menangis.
Ada pun Hui Kauw yang mendekati Cui Sian, dengan wajah pucat bertanya, "Sian-moi, kau tadi bilang tentang Swan Bu... bagaimanakah dia? Siapa yang sudah membuntungi lengannya?"
Jelas nyonya ini mengeraskan hati dan menggigit bibir untuk menahan tangisnya. Cemas dan ngeri hatinya membayangkan puteranya itu menjadi buntung lengannya.
Cui Sian memeluk Hui Kauw. "Maafkan aku, Cici. Kau... kau sudah mengalami tekanan batin berkali-kali, difitnah dan dituduh, lalu sekarang puteramu menjadi korban lagi. Akan tetapi, hal-hal yang sudah terjadi tak perlu melemahkan hati dan semangat kita, bukan? Swan Bu telah dibuntungi lengannya oleh gadis liar yang bernama Siu Bi..."
"Ahhh...!" Hui Kauw menahan seruannya.
Pendekar Buta yang juga mendengarkan penuturan ini, mengerutkan kening. Diam-diam dia merasa menyesal sekali bahwa dulu dia telah menanam bibit permusuhan yang tiada berkesudahan. Terbayang dia akan musuh lamanya, The Sun, yang agaknya sekarang menimbulkan bencana hebat, bukan langsung olehnya sendiri, tetapi oleh keturunannya.
"Aku sudah menangkapnya, menghajarnya, bahkan Lee Si hampir membunuhnya. Akan tetapi... Swan Bu sendiri yang dibuntungi lengannya oleh iblis betina itu mencegah, dan malah minta supaya Siu Bi dibebaskan."
Berdebar jantung Hui Kauw. Sungguh aneh! Adakah suatu rahasia di balik itu, ataukah Swan Bu menjadi seorang pemuda yang berwatak aneh dan kadang kala penuh welas asih seperti watak ayahnya. Orang telah membuntungi lengannya, dan orang itu hendak memusuhi ayah bundanya, akan tetapi dia malah membebaskannya!
Teringat dia akan wajah Siu Bi. Gadis yang cantik jelita tetapi berwatak iblis, hampir saja berhasil membunuh dia serta suaminya. Mendadak dia merasa khawatir. Jangan-jangan kecantikan gadis itu telah melemahkan hati puteranya.
"Di mana dia sekarang, Sian-moi?"
"Aku tidak tahu, Cici. Ketika dia dan aku menemukan jenazah Kong Bu koko aku lalu meninggalkan dia di sini. Agaknya dia yang menguburkan jenazah Kong Bu koko, yang kemudian, tentu saja dibongkar kembali oleh penjahat-penjahat itu untuk dirusak dalam usaha mereka mengadu domba antara kita. Ada pun Swan Bu sendiri, entah ke mana dia pergi."
Tak dapat ditahan lagi Hui Kauw menangis karena dia membayangkan puteranya dalam keadaan buntung lengannya itu masih bersusah payah untuk mengubur jenazah Kong Bu! Pendekar Buta menghampiri isterinya dan menghiburnya.
"Tahan air matamu. Swan Bu tidak apa-apa. Dia tentu akan pulang ke Liong-thouw-san. Sedikit banyak dia mengerti mengenai ilmu pengobatan, luka pada lengannya pasti akan sembuh."
Amarah Hui Kauw bangkit mendengar sikap suaminya yang begitu dingin, seakan-akan soal buntungnya lengan Swan Bu ‘bukan apa-apa’ bagi suaminya. la ingin membentak, menyatakan kemarahannya dan menyatakan kehendaknya untuk mencari Siu Bi untuk dibuntungi kedua lengan berikut kakinya!
Akan tetapi, begitu dia mengangkat muka dan melihat sepasang mata suaminya, hatinya menjadi tertusuk dan kekerasan amarahnya mencair seketika. la tadi sampai lupa saking marahnya, lupa bahwa suaminya sendiri adalah seorang yang cacad, seorang yang buta kedua matanya, namun tetap menjadi pendekar yang tak terkalahkan, menjadi Pendekar Buta yang terkenal. Apakah artinya buntung lengan kirinya apa bila dibandingkan dengan buta kedua matanya? Masih ringan, hanya cacad yang kecil tak berarti. Itulah sebabnya Pendekar Buta tadi mengatakan ‘tidak apa-apa dan akan sembuh’.
"Tetapi... tapi... dia terlunta-lunta melakukan perjalanan dalam keadaan terluka, tidak ada yang merawatnya..."
Yo Wan yang mendengar percakapan ini segera menghampiri mereka, dan dia berkata, "Suhu dan Subo, harap tenangkan hati. Biarlah teecu yang akan pergi mencari Swan Bu dan menemaninya pulang ke Liong-thouw-san."
Girang hati Pendekar Buta mendengar ini. Memang tidak ada orang yang lebih dapat dia percaya untuk ini kecuali Yo Wan. la melangkah maju dan tangan kanannya merangkul pundak pemuda itu.
"Yo Wan, kau anak baik. Kau tahu betapa besar rasa syukur di hati kami terhadapmu. Wan-ji, kau carilah Swan Bu dan ajak dia pulang bersama." Suara Kun Hong terdengar menggetar penuh keharuan sehingga tanpa terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu mata Yo Wan. Cepat dia mengusapnya, memberi hormat kepada suhu dan subo-nya.
"Teecu berangkat sekarang juga," katanya.
Kemudian dia memberi hormat kepada Raja Pedang yang memandangnya dengan sinar mata kagum. Sungguh di luar sangkaannya sama sekali bahwa murid tunggal Pendekar Buta ternyata begini hebat, kuat menghadapi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio yang kepandaiannya sangat luar biasa sehingga dia sendiri pun belum tentu akan dapat mengalahkannya. Diam-diam dia tertarik dan kagum, dan makin gembiralah di dalam hati kakek perkasa ini ketika Yo Wan menjura kepada Cui Sian dan berkata halus, "Adik Cui Sian, selamat berpisah, semoga kita dapat saling bertemu kembali."
Wajah gadis itu menjadi merah. Kerling matanya terang membayangkan hati yang gugup dan jengah saat ia balas menghormat. "Yo-twako, semoga kau lekas dapat menemukan Swan Bu."
Yo Wan kemudian berjalan cepat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata yang mengandung bermacam perasaan.
"Kun Hong, muridmu itu... hemmm, ajaklah dia ke Thai-san sekali waktu. Aku perlu sekali bicara denganmu tentang dia." Ucapan Raja Pedang Tan Beng San ini terdengar jelas dan artinya pun mudah ditangkap sehingga Cui Sian makin merah mukanya. Cepat-cepat gadis ini menundukkan mukanya untuk menyembunyikan debar jantungnya.
Kwa Kun Hong mengangguk-angguk. Dia pun tentu saja mengerti bahwa pendekar tua itu bermaksud menjajaki kemungkinan terikatnya jodoh antara Cui Sian dengan Yo Wan. Akan tetapi sebagai seorang yang berperasaan halus, dia tidak berkata apa-apa supaya jangan membuat Cui Sian menjadi malu.
"Kongkong (Kakek), saya tak berani pulang sendiri, tak berani menyampaikan kematian ayah kepada ibu. Harap Kongkong suka memperkenankan bibi Cui Sian menemani saya ke Min-san," kata Lee Si.
"Tidak hanya Cui Sian yang menemanimu, aku sendiri akan ke sana untuk menghibur ibumu. Malah kalau kalian tidak keberatan, Kun Hong dan isterimu, lebih baik kita semua pergi ke Min-san. Selain tempat itu paling dekat dari sini sehingga kita dapat beristirahat dan memulihkan kesehatan di sana, juga dengan hadirnya kalian berdua, kurasa akan mengurangi kedukaan ibunya Lee Si."
"Bukan itu saja, kuharap Suheng dan Cici ikut ke Min-san untuk membicarakan hal yang amat penting," tiba-tiba Cui Sian berkata.
"Hal penting apakah?" tanya Pendekar Buta dan Raja Pedang hampir berbareng.
"Aku sudah ceritakan hal itu kepada cici Hui Kauw yang telah menyetujui pula. Marilah kita berangkat, nanti di dalam perjalanan aku akan ceritakan hal itu kepada Ayah, biar cici Hui Kauw menceritakannya kepada Kwa-suheng," jawab Cui Sian dan kali ini Lee Si yang menundukkan mukanya karena gadis ini sudah dapat menduga apa yang akan dikemukakan oleh Cui Sian itu.
Diam-diam ia amat berterima kasih kepada Cui Sian, karena ia pun tadi, biar pun kurang jelas, bisa mendengar percakapan antara Cui Sian dan Hui Kauw. Dan ia pun maklum sedalam-dalamnya bahwa satu-satunya jalan untuk mencuci bersih namanya, dan untuk menghapus kesalah pahaman antara mereka, untuk mencuci habis kejadian yang hampir merusak hubungan di antara mereka, hanya satu itulah yaitu ikatan jodoh antara dia dan Swan Bu! Dan ia sudah setuju seratus persen di dalam hatinya yang telah tercuri oleh Swan Bu yang gagah dan tampan, biar pun ada satu hal yang merupakan ganjalan dan merupakan duri dalam daging, yaitu Siu Bi!
Sesungguhnya tidaklah terlalu sukar mencari keterangan tentang Swan Bu. Tidak banyak terdapat seorang pemuda tampan dengan tangan kiri buntung. Namun karena tidak tahu ke jurusan mana pemuda itu pergi, Yo Wan harus menjelajahi semua dusun di sekitar tempat itu. Sesudah berkeliling sampai sehari lamanya, di sebuah dusun kecil dia baru mendengar keterangan tentang Swan Bu. Di dusun ini orang melihat pemuda tampan berlengan kiri buntung yang berjalan menuju ke utara.
Yo Wan segera mengejar ke utara dan terpaksa dia bermalam di sebuah dusun karena terhalang malam. Pada keesokan harinya, dia melanjutkan pengejarannya sambil terus bertanya-tanya. Keterangan yang dia peroleh kemudian sungguh-sungguh membuat dia mengerutkan alisnya. Orang melihat Swan Bu melakukan perjalanan bersama seorang wanita cantik jelita yang merawat luka pemuda itu. Dari keterangan yang didapat, Yo Wan dapat menduga bahwa gadis itu adalah Siu Bi! Swan Bu agaknya bertemu dengan Siu Bi kemudian melakukan perjalanan bersama!
Hatinya amat gelisah. Tak salah dugaannya, Swan Bu saling mencinta dengan gadis itu, gadis yang telah membuntungi lengannya. Dia sudah menduga akan perasaan Swan Bu ini ketika dahulu Swan Bu minta agar Siu Bi yang membuntungi lengannya dibebaskan.
Akan tetapi tadinya dia tidak tahu bahwa Siu Bi pun ternyata membalas cinta kasih itu. Baru sekarang, mendengar gadis itu mengawani Swan Bu dan merawat lukanya dalam perjalanan yang mereka lakukan berdua, dia dapat menduga akan hal itu. Akan tetapi, mengapa Siu Bi membuntungi lengan Swan Bu?
Yo Wan benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi dia cukup mengenal watak Siu Bi yang aneh dan liar dan tentu saja gadis seperti itu dapat melakukan hal yang aneh-aneh dan tak masuk akal, seperti misalnya membuntungi lengan orang yang dicintanya. Yang membuat Yo Wan mengerutkan keningnya adalah karena dia merasa tidak senang bila benar-benar mereka berdua saling mencinta. Menurut pendapatnya, Swan Bu harus berjodoh dengan Lee Si. Gadis yang malang itu selain kehilangan ayahnya, juga sudah difitnah dan dicemarkan nama baiknya. Swan Bu harus mengambil Lee Si sebagai isteri, karena jalan inilah satu-satunya untuk mencuci noda pada nama baiknya. Kalau Swan Bu berjodoh dengan Siu Bi, hal ini akan menimbulkan banyak akibat yang tidak baik dan tentu saja orang tua pemuda itu akan menentangnya. Di dunia ini memang terjadi hal aneh-aneh. Cinta memang aneh, seperti anehnya sikap Cui Sian tadi!
Terang bahwa hatinya sudah bertekuk lutut dan mencinta puteri Raja Pedang itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani nekad. la mengenal diri sendiri, seorang yatim piatu yang bodoh dan miskin, dan dia cukup mengenal pula siapa Cui Sian, Puteri tunggal Raja Pedang, ketua Thai-san-pai!
Betapa pun juga, dia tak dapat menahan gelora di hatinya dan tak dapat menghapuskan harapan hampa di hatinya bahwa gadis itu akan membalas cintanya, harapan bahwa kelak gadis itu akan menjadi jodohnya. Betapa pun gila harapan-harapan itu! Akan tetapi sikap Cui Sian tadi ahhh, siapa tahu, cinta memang aneh. Ataukah orang-orang yang terjerat cinta lalu menjadi sinting dan melakukan hal-hal aneh?
Di dalam perjalanannya mencari Swan Bu, Yo Wan mendengar banyak hal yang selama ini tak pernah menjadi perhatiannya. Hal-hal mengenai keadaan. Agaknya ucapan ketua Siauw-lim-pai telah mengukir kesan mendalam dalam hatinya, membuat dia sadar bahwa selama ini hidupnya hampa, tidak ada isinya, karena dia sudah lalai akan kewajibannya sebagai seorang anak bangsa. Kesan inilah yang membuat dia menaruh perhatian akan berita yang didengarnya di sepanjang jalan.
Sejak Kaisar Yung Lo, pendiri kota raja utara (Peking), memegang tampuk pemerintahan, keadaan di dalam negeri boleh dikata menjadi tenteram. Kaisar yang semenjak mudanya menjadi panglima perang ini memerintah dengan tangan besi. Sayangnya bahwa pada waktu itu, kerajaannya masih mengalami banyak gangguan dari luar, terutama sekali dari bangsa Mongol dan suku bangsa lain di utara, yang berusaha keras menebus kekalahan bangsanya setengah abad yang lalu. Selain ini, para bajak laut di pantai timur yang terdiri dari bangsa Jepang merupakan gangguan pula. Akan tetapi tentu saja gangguan para bajak laut ini tidaklah sebesar gangguan dari utara. Oleh karena inilah Kaisar Yung Lo mencurahkan perhatiannya ke arah utara.
Tembok besar yang melintang di utara itu dia betulkan dengan mengerahkan ratusan ribu tenaga manusia. Tadinya, sebagian tembok besar ini boleh dibilang sudah runtuh, atau sengaja diruntuhkan di jaman Kerajaan Mongol berkuasa, karena bagi Kerajaan Mongol tentu saja tidak perlu adanya tembok besar yang memisahkan negara jajahan dengan negara asal mereka.
Sesudah Kerajaan Mongol runtuh dan Kerajaan Beng-tiauw berdiri, tembok besar yang seakan-akan menjadi tanggul pencegah banjirnya serbuan lawan dari utara itu dibangun kembali. Dan ketika Yung Lo menjadi kaisar, pembangunan ini dipergiat, juga Kota Raja Peking dibangun dengan hebatnya. Akan tetapi, semua pembangunan ini oleh kaisar diserahkan kepada para pembantunya, karena kaisar sendiri, sebagai seorang bekas panglima perang yang berpengalaman, sibuk memimpin pasukan-pasukan menyerbu ke utara untuk memerangi bangsa Mongol yang selalu merupakan ancaman itu.
Agaknya karena terlalu sering kaisar meninggalkan istana untuk memimpin barisannya berperang itulah yang mengakibatkan merajalelanya kaum koruptor, golongan-golongan pembesar yang menyalah gunakan kedudukan dan wewenangnya, terjadi pertentangan dalam perebutan kekuasaan antara para penjilat dan para penentang, antara pangeran yang mencalonkan diri menjadi pengganti kelak bila kaisar meninggal dunia. Terjadilah perpecahan, terjadi beberapa golongan yang berdiri di belakang pangeran yang menjadi calon atau jago aduan masing-masing, dengan mereka sebagai ‘botoh-botohnya’.
Yo Wan mendengar betapa banyak orang gagah pergi ke utara dan menjadi barisan suka rela membantu kaisar memerangi orang-orang Mongol. Ternyata bahwa musuh dari utara itu tidak boleh dipandang ringan. Biar pun mereka tidak pernah berhasil menyerbu ke selatan melalui tembok besar, akan tetapi perlawanan yang mereka lakukan di utara cukup sengit sehingga di pihak tentara kerajaan banyak jatuh korban.
Orang-orang Mongol memiliki panglima-panglima yang pandai, malah kabarnya dibantu oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Bantuan dari orang-orang sakti inilah yang lalu menarik banyak orang kang-ouw menjadi suka relawan, karena sudah menjadi semacam penyakit pada ahli-ahli silat kelas tinggi untuk mencoba-coba ilmu mereka apabila mereka mendengar tentang musuh yang berilmu tinggi pula. Penyakit macam ini terdapat pula dalam diri Yo Wan. Ketika suatu hari dia mendengar dongeng dari seorang bekas suka relawan akan adanya seorang jagoan Mongol yang sekaligus menewaskan enam orang jagoan kerajaan hanya dalam sebuah pertempuran, dia menjadi penasaran sekali.
Kemudian pada saat mendengar akan kegagahan kaisar yang memimpin setiap perang tanding besar-besaran dengan gagah perkasa, ikut pula mengayun pedang dan memutar tombak sebagai panglima yang tidak hanya mengomando dari belakang dan dari tempat yang aman saja, hati Yo Wan ikut bergelora penuh semangat dan amat tertarik. Alangkah senangnya ikut berjuang di bawah pimpinan seorang kaisar segagah itu, pikirnya, dan ucapan dari ketua Siauw-lim-pai makin jelas berdengung di telinganya.
"Apa gunanya memiliki kepandaian kalau hanya untuk saling bunuh dengan saudara dan bangsa sendiri?" demikian ucapan ketua Siauw-lim-pai yang berdengung di telinganya.
Diam-diam Yo Wan merasa heran ketika jejak Swan Bu terus menuju ke utara, bahkan agaknya ke kota raja. la telah mengeluarkan kepandaiannya untuk menyusul, akan tetapi ternyata selalu dia tertinggal di belakang. Soalnya adalah karena kedua orang itu agaknya melakukan perjalanan secara sembunyi sehingga kadang-kadang mereka lenyap, tidak dapat dia mendengar keterangan. Kalau akhirnya dia mendapatkan lagi keterangan tentang Swan Bu dan Siu Bi, ternyata mereka itu sudah mengambil jalan memutar secara diam-diam, seakan-akan mereka memang sengaja menghilangkan jejak agar jangan mudah disusul orang...