CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
JAKA LOLA JILID 19
Si pemuda teringat akan Yo Wan, segera dia melompat dan membalikkan tubuh. Akan tetapi pemuda tenang yang mencurigakan hatinya tadi sudah lenyap dari sana. Di atas mejanya tergeletak beberapa potong uang perak, agaknya untuk membayar makanan dan minuman. Makin curigalah pemuda itu. "Sumoi, kita harus mengejar si baju putih she Yo itu."
"Mari, Suheng. Aku pun gemas sekali terhadap manusia itu. Kalau dia tidak menyerang secara menggelap, jangan harap dia dapat merampas pedangku Hek-kim-kiam (Pedang Emas Hitam)!"
Walau pun mulutnya berkata demikian, diam-diam hatinya berdebar. Matanya terbayang wajah yang tampan itu dan ia sendiri merasa sangsi apakan ia akan mampu menandingi pemuda luar biasa itu. Dengan suara nyaring pemuda itu memanggil pelayan. Seorang pelayan segera datang berlari-larian, diikuti oleh empat orang temannya. Agaknya para pelayan yang sejak tadi sibuk bersembunyi, sekarang sudah berani keluar lagi setelah keadaan menjadi reda dan pertempuran berhenti.
"Hitung semua, termasuk pengganti kerusakan-kerusakan di sini akan saya bayar."
Pelayan itu lalu membungkuk-bungkuk sambil bibirnya tersenyum-senyum penuh hormat. "Harap Kongcu jangan repot-repot, semua sudah dibayar lunas."
"Siapa yang membayar?" Pemuda itu mengangkat alisnya.
"Yang membayar adalah pemberi benda ini kepada Kongcu, semua sudah dibayarnya dan meninggalkan benda ini yang harus saya serahkan kepada Kongcu." Sambil berkata demikian, pelayan itu menyerahkan sebuah kipas dari sutera hitam.
Pemuda itu mengerutkan kening, akan tetapi menerima juga kipas itu sambil bertanya, "Siapa dia?"
"Siapa lagi kalau bukan yang terhormat pangcu (ketua) dari Hek-san-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) yang tersohor? Kiranya Kongcu dan Siocia (Tuan Muda dan Nona) adalah sahabat-sahabat Hek-san-pangcu, maaf kalau kami berlaku kurang hormat..."
Pemuda itu mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala lalu meninggalkan restoran itu bersama sumoi-nya. "Benar-benar manusia aneh. Apa artinya dia membayari semua hidangan, lalu mengganti semua kerusakan dan memberi kipas hitam ini kepada kita? Apakah ini semacam hinaan lain lagi? Keparat!"
"Kurasa kalau orang itu membayar makan minum kita dan memberikan kipasnya, hal itu bukanlah berarti penghinaan, Suheng. Coba kau buka kipasnya, barang kali ada maksud di dalamnya."
Pemuda itu membuka kipas sutera hitam itu. Benar saja, kipas sutera hitam yang amat indah dan berbau semerbak harum itu ditulisi dengan tinta putih, merupakan huruf-huruf bersyair yang halus indah gayanya,
Berkawan sebatang pedang menjelajah laut bebas
sunyi sendiri merindukan kawan dan lawan seimbang
hati mencari-cari...
"Bagus...!" tak terasa lagi ucapan ini keluar dari mulut mungil gadis itu.
Si pemuda cepat menoleh dan memandang sehingga kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali. la merasa seolah-olah sajak itu ditujukan khusus kepadanya. Pemuda yang aneh luar biasa, tampan dan berkepandaian tinggi, merasa sunyi dan merindukan kawan yang memiliki kepandaian seimbang! Dan pedangnya dirampasnya, dengan maksud supaya ia datang ke sana!
"Pemuda sombong, atau cengeng..." Si pemuda malah mencela.
Sumoinya hanya diam saja, takut kalau-kalau tanpa disadarinya mengucapkan sesuatu yang membuka rahasia hatinya. Mereka segera melakukan perjalanan cepat menuju ke timur, melalui sepanjang lembah Sungai Kuning, menuju ke pantai Po-hai. Pemuda dan sumoi-nya itu bukan pendekar-pendekar biasa, bukan petualang-petualang biasa di dunia kang-ouw. Si pemuda adalah putera tunggal dari pendekar besar Tan Sin Lee.
Seperti telah kita ketahui, pendekar besar putera Raja Pedang ini tinggal di Lu-liang-san, bersama isterinya yang bernama Thio Hui Cu murid Hoa-san-pai. Pemuda inilah putera sepasang suami isteri pendekar itu yang bernama Tan Hwat Ki, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, seorang pemuda yang sejak kecil sudah digembleng oleh orang tuanya dan mewarisi ilmu silat tinggi.
Ada pun sumoi-nya, gadis jelita itu, bernama Bu Cu Kim. Pendekar besar Tan Sin Lee memiliki murid sepuluh orang jumlahnya, termasuk putera mereka. Akan tetapi di antara para murid, yang paling menonjol kepandaiannya adalah Bu Cui Kim. Cui Kim adalah anak yatim piatu, ayah bundanya sudah meninggal dunia akibat penyakit yang merajalela di dusunnya. Karena kasihan kepada anak yang bertulang baik ini, Tan Sin Lee lalu mengambilnya sebagai murid, bahkan karena mereka tidak mempunyai anak perempuan sedangkan Cui Kim semenjak kecil kelihatan sangat rukun dengan Hwat Ki, Cui Kim lalu dianggap sebagai anak sendiri.
Demikianlah, sejak kecil Cui Kim seakan-akan menjadi adik angkat Hwat Ki dan bersama putera suhu-nya itu mempelajari ilmu silat tinggi. Pada suatu hari, puncak Lu-liang-san menerima kunjungan seorang tamu yang tidak lain adalah Bun Hui, putera Bun-goanswe yang tinggal di Tai-goan. Boleh dibilang, di antara pendekar-pendekar keturunan Raja Pedang, Tan Sin Lee inilah yang tempat tinggalnya paling dekat dengan Tai-goan dan kota raja.
Lu-liang-san terletak di sebelah barat kota Tai-goan, bahkan dari kota itu sudah kelihatan puncaknya. Sebab itu, begitu menghadapi kesulitan, Bun-goanswe teringat akan sahabat baiknya ini dan menyuruh puteranya mengunjungi Tan Sin Lee.
Di dalam suratnya, Bun-goanswe minta bantuan Tan Sin Lee dan para muridnya untuk membantu negara yang sedang menghadapi banyak gangguan. Di dalam surat itu, dia ceritakan betapa gangguan dari pihak Mongol di utara masih makin menghebat sehingga kaisar sendiri berkenan memimpin barisan untuk menumpas perusuh-perusuh dari utara itu. Diceritakan pula betapa bajak-bajak laut di laut timur kini juga telah menjadi pengganggu-pengganggu keamanan, tidak saja bagi para nelayan di laut, akan tetapi juga di daratan sepanjang pesisir Laut Po-hai. Demikian besar gangguan ini sehingga kaisar sendiri telah memerintahkan kepada Bun-goanswe untuk mengerahkan tenaga menumpas para bajak laut itu kalau mereka berani mendarat.
Sebenarnya Bun-goanswe sudah melakukan usaha ini, tetapi ternyata bahwa para bajak laut Jepang itu bersama-sama bajak laut bangsa sendiri, memiliki banyak orang-orang yang berilmu tinggi sehingga banyak sudah perwira dari kota raja yang tewas di tangan para bajak laut. Karena inilah Bun-goanswe mengharapkan pertolongan Tan Sin Lee dan murid-muridnya. Dan inilah pula sebabnya maka pendekar Lu-liang-san itu lalu menyuruh puteranya sendiri ditemani oleh Cui Im, turun gunung melakukan penyelidikan ke pantai Po-hai.
Sepasang orang muda ini sengaja menyewa perahu berlayar di sepanjang pantai Po-hai. Betul saja, pada suatu hari perahu itu diganggu bajak laut yang menggunakan bendera Kipas Hitam. Akan tetapi kali ini para bajak laut menemui hari naas karena mereka itu kocar-kacir dan banyak yang tewas di tangan sepasang pendekar dari Lu-liang-san ini. Kemudian karena mendengar bahwa banyak bajak mengganas pula di sepanjang Sungai Huang-ho, Hwat Ki bersama sumoi-nya lalu pergi ke kota Leng-si-bun di pinggir Sungai Huang-ho, memasuki rumah makan dan terjadi peristiwa dengan anak buah Kipas Hitam seperti yang telah dituturkan di bagian depan.
Tentu saja Hwat Ki dan Cui Im menjadi girang karena mereka mendapatkan jejak ketua perkumpulan Kipas Hitam yang merupakan gerombolan bajak laut yang paling terkenal, di samping bajak-bajak laut lainnya yang banyak mengganas di sepanjang pantai timur. Hari telah menjadi hampir malam ketika kedua orang pendekar muda dari Lu-liang-san ini tiba di dusun Kui-bun. Dusun ini bukanlah dusun besar, hanya didiami oleh para nelayan yang tidak lebih dari tiga puluh buah keluarga banyaknya.
Di setiap rumah nelayan itu nampak jala-jala dibentangkan, dan di pinggir rumah banyak terdapat bekas-bekas perahu dan tiang-tiang layar. Di ujung yang paling jauh dari pantai, terlihat sebuah rumah gedung besar yang kelihatan ganjil karena jarang terdapat gedung sedemikian besarnya di dusun sekecil itu. Di pantai laut itu sendiri banyak terdapat para nelayan besar kecil sibuk bekerja, agaknya mereka itu sedang memasang atau pun menarik jaring dari pantai. Biasanya kalau hari mulai gelap itulah mereka menarik jaring dan apa bila untung mereka baik, mereka akan menarik banyak ikan di dalam jaring.
Hwat Ki dan Cui Kim segera tertarik oleh rumah gedung itu. "Kiranya tidak akan salah lagi, tentu gedung ini sarang mereka," Hwat Ki berkata kepada sumoi-nya.
"Akan tetapi sebaiknya kalau kita mencari keterangan lebih dulu, Suheng. Di tempat yang asing ini, sungguh tak baik kalau kita keliru memasuki rumah orang."
Hwat Ki mengangguk, menyuruh adik seperguruannya itu menanti di tempat gelap, lalu dia sendiri melangkah cepat menuju ke pantai. Dengan lagak bagai sudah mengenal baik orang yang dicarinya, dia bertanya dengan lantang kepada seorang nelayan, "Sahabat, ingin saya bertanya. Di manakah tempat tinggal seorang bernama Yo-kongcu? Apakah rumah gedung itu?"
Mendadak sekali orang-orang yang tadinya sibuk bekerja itu berhenti bergerak kemudian memandang kepada Hwat Ki. Melihat ini, pemuda itu dapat menduga bahwa agaknya mereka ini pun anak buah pimpinan Kipas Hitam itu, atau setidaknya tentu teman-teman baik, maka cepat-cepat dia menyambung, "Saya adalah sahabat baiknya, belum pernah datang ke sini, tidak tahu di mana rumahnya. Apakah gedung besar itu?"
Seorang nelayan setengah tua mengangguk pendek. "Betul."
Kemudian dia memberi aba-aba kepada kawan-kawannya untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Hwat Ki lega hatinya, cepat dia kembali ke tempat Cui Kim menanti.
"Sudah kuduga bahwa orang she Yo itu tentu berkuasa di sini. Orang-orang itu agaknya takut kepadanya. Sumoi, mari kita ke sana." Keduanya lalu berjalan menghampiri gedung besar. Di sekitar gedung itu sangat gelap, akan tetapi tampak sinar lampu-lampu menerangi sebelah dalam gedung yang dikelilingi oleh tembok setinggi satu setengah tinggi orang. Hwat Ki dan adiknya mengelilingi luar tembok dan mendapat kenyataan bahwa pintu satu-satunya hanyalah pintu depan yang tertutup rapat.
"Kita ketuk saja pintunya," kata Cui Kim.
"Hemmm, tidak akan ada gunanya. Mengunjungi tempat lawan tidak perlu banyak aturan. Mengetuk pintu berarti membuat mereka siap untuk menjebak kita. Mari!"
Pemuda itu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang naik ke atas tembok, diikuti oleh Cui Kim. Bagaikan dua ekor burung walet mereka sudah meloncat dan berdiri di atas tembok. Terang sekali di sebelah dalam tembok. Ruangan depan rumah gedung itu pun sangat terang dan bersih, akan tetapi sunyi tidak tampak ada orangnya.
"Orang she Yo! Kami datang untuk minta kembali pedang!" Tan Hwat Ki berteriak dengan suara lantang. Sedangkan Cui Kim berdiri di dekatnya dengan tegak, siap menghadapi segala kemungkinan.
Sunyi sepi menyambut suara teriakan Hwat Ki yang sedikit bergema di dalam gedung itu. Kemudian terdengarlah suara halus dan nyaring, "Silakan masuk, pintu tidak dikunci dan kami menanti di ruangan tengah!"
"Hati-hati, Suheng, jangan-jangan musuh mengatur perangkap!" bisik Cui Kim.
"Tak usah takut, marilah!" kata Hwat Ki yang melayang turun ke ruangan depan.
Dengan gerakan lincah sekali Cui Kim mengikutinya, melompat turun ke atas lantai ruang depan yang licin dan bersih itu tanpa mengeluarkan suara. Sejenak keduanya berdiri dan memandang ke sekeliling dengan sikap waspada. Ruangan ini, yang merupakan ruangan depan menyambung halaman, amat bersih dan indah. Ketika mereka memandang ke dalam, di sebelah kiri dinding ruangan itu penuh dengan tulisan-tulisan bersajak. Mereka kemudian melangkah ke dalam melalui pintu besar yang memang tidak tertutup.
Ruangan tengah itu luasnya ada lima belas meter persegi, juga terhias lukisan-lukisan indah. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar dikelilingi bangku-bangku terukir burung hong. Tampak empat orang duduk mengelilingi meja dan seorang di antaranya adalah kongcu yang berpakaian serba putih. Melihat pemuda baju putih ini duduk di kepala meja, dapatlah diduga bahwa dia menjadi pemimpinnya. Tiga orang yang lain adalah dua orang laki-laki setengah tua dan seorang wanita berusia empat puluh tahun yang rambutnya sudah berwarna dua dan di gelung tinggi-tinggi di atas kepala. Melihat sikap mereka, tiga orang setengah tua ini tentu bukan orang sembarangan pula.
Seorang di antara dua laki-laki itu bertubuh pendek gemuk, modelnya seperti Kamatari, juga di pinggang orang ini tergantung pedang samurai. Mudah diduga bahwa dia seorang Jepang. Tubuh dan mukanya tidak bergerak-gerak, akan tetapi sepasang matanya lincah bergerak ke kanan kiri. Yang seorang lagi bertubuh tinggi kurus. Bajunya lebar dengan lengan baju panjang dan kumisnya tipis panjang sehingga bertemu dengan jenggotnya yang menutupi dagu serta leher. Mereka berempat sekarang memandang kepada sepasang orang muda yang baru datang.
Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang lembut dari pemuda baju putih, tiba-tiba saja jantung Cui Kim terasa berdebar tidak karuan. Akan tetapi begitu dia melihat pedang hitamnya terletak di atas meja depan pemuda itu, timbul kemarahannya. Seketika sinar matanya berapi-api dan dia berteriak dengan nyaring. "Dengan muslihat curang kau telah merampas pedangku. Orang she Yo, kalau memang kau jantan, kembalikan pedangku dan kita boleh bertanding sampai seribu jurus!"
Pemuda itu tersenyum, cepat bangkit dari bangkunya kemudian memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam. "Bukan salahku...!" jawabnya sambil tersenyum ramah. "Aku sudah mengutus orang dan mengundang kalian baik-baik, kalian tidak datang malah menyerang orangku. Kalau tidak merampas pedang, mana bisa aku memancing kalian datang pada malam ini?" Berkata demikian, pemuda baju putih itu menatap wajah Hwat Ki dengan tajam, dengan pandang mata penuh selidik.
Hwat Ki tetap tenang, memang pemuda ini semenjak kecil memiliki sikap yang tenang. la maklum bahwa bersama sumoi-nya dia telah memasuki goa harimau, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar. "Setelah kami datang untuk minta kembali pedang, apa lagi yang hendak kau bicarakan dengan kami?" tanyanya.
Pemuda baju putih itu kembali tersenyum lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi. Hwat Ki harus mengakui bahwa wajah orang ini memang amat tampan.
"Banyak yang ingin kami bicarakan. Akan tetapi, kalian berdua adalah tamu-tamu kami, silakan duduk. Sebelum menjamu tamu terhormat, mana bisa bicarakan urusan penting? Silakan duduk, atau... barang kali kalian takut kalau-kalau kami menipu? Apakah kalian tidak berani duduk?"
Hwat Ki tersenyum mengejek. "Takut apa?"
Dia lalu melangkah maju, diikuti sumoi-nya. Keduanya kemudian duduk di atas bangku, berhadap-hadapan dengan empat orang itu. Tiga orang setengah tua itu pun berdiri dan mengangguk, dibalas oleh Hwat Ki dan Cui Kim yang merasa heran dan aneh, karena sama sekali tak menyangka mereka akan diterima sebagai tamu. Hanya adanya pedang Hek-kim-kiam di atas meja itu yang membikin suasana menjadi kaku.
Agaknya tuan rumah merasakan hal ini. Dipungutnya Hek-kim-kiam dan disodorkannya pedang itu kepada Cui Kim sambil berkata, "Silakan, Nona. Inilah pedangmu, maaf atas kelancanganku tadi."
Cui Kim menerima pedangnya dengan dua pipi merah dan kembali jantungnya berdebar tak karuan. Semangatnya serasa terbetot oleh senyum dan pandang mata yang menarik itu. Sesudah menyimpan pedang ke dalam sarung pedangnya, kembali ia duduk dengan muka tunduk.
Si pemuda baju putih bertepuk tangan tiga kali. Segera bermunculan lima orang pelayan wanita yang muda-muda serta cantik-cantik. Mereka sibuk membawa datang hidangan-hidangan lezat dan arak wangi yang mereka tuangkan ke dalam cawan enam orang itu dengan gerakan dan gaya yang manis. Si pemuda baju putih itu dengan ramah-tamah mempersilakan kedua orang tamunya makan dan minum arak.
Memang sehari itu Hwat Ki dan sumoi-nya baru makan sekali, yaitu di rumah makan kota Leng-si-bun sebelum tengah hari, tentu saja pada saat itu mereka sudah merasa lapar. Hwat Ki yang tahu bahwa pihak tuan rumah menguji ketabahan mereka, tentu saja tidak sudi memperlihatkan kekhawatiran. Dengan wajar dan tenang dia mulai makan minum menemani tuan rumah dengan enaknya.
Hanya Cui Kim yang merasa agak canggung. Sebagai seorang gadis, ia berbeda dengan gadis biasa. Bagi dirinya yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, makan bersama orang-orang lelaki bukanlah hal yang menyulitkan. Akan tetapi entah bagaimana, ketika berhadapan dengan tuan rumah she Yo yang muda, tampan dan luar biasa itu, membuat hatinya bergoncang dan sepasang sumpit yang dipegangnya agak gemetar!
"Nona, mengapa sungkan-sungkan? Marilah, harap kau suka mencoba masakan ini. Ini masakan sirip ikan Hiu Harimau, Nona pasti belum pernah mencoba masakan ini, bukan? Silakan!"
Pemuda Yo itu mengangkat mangkok masakan itu dan menawarkannya kepada Cui Kim. Dengan sangat ramah dia menawarkan beberapa macam masakan, malah menuangkan arak memenuhi cawan gadis itu sehingga si gadis menjadi makin canggung dan jengah. Diam-diam Hwat Ki mendongkol sekali. Tuan rumah yang masih muda dan tampan ini, meski pun amat ramah, akan tetapi agaknya terlalu manis sikapnya terhadap Cui Kim. la diam-diam menduga bahwa orang she Yo ini tentulah seorang pemuda hidung belang, seorang kongcu yang gila akan wanita cantik. Buktinya para pelayannya tadi pun semua muda-muda cantik-cantik dan lagaknya menarik, membayangkan pendidikan cukup.
la takkan heran kalau para pelayan itu pandai bernyanyi, menari dan main musik untuk menghibur hati sang kongcu hidung belang. Oleh karena dugaan ini Hwat Ki lalu bersikap lebih waspada dan berhati-hati. Siapa tahu, pancingan ini pada hakekatnya hanya untuk menjadikan sumoi-nya yang cukup cantik sebagai korban!
Sikap pemuda she Yo itu makin manis kepada Cui Kim, selalu tersenyum dan mengajak Cui Kim bercakap-cakap. Malah kelancangannya makin menjadi-jadi ketika dia bertanya sambil tersenyum manis dan mengerling tajam.
"Nona, agaknya lebih patut aku menyebutmu adik. Aku berani bertaruh bahwa usia kita sebaya, akan tetapi lebih enak aku menyebut adik. Berapakah usiamu tahun ini dan eh... betul juga, aku belum mengetahui namamu. Namamu tentu indah, sama manis dengan orangnya.”
Muka Cui Kim menjadi merah sekali, sampai ke telinga dan lehernya. Karena sikap yang manis dan pembicaraan yang manis tadi dia sampai lupa akan kewaspadaan dan agak terlalu banyak minum arak. Mungkin inilah yang membuat dia sekarang merasa betapa badannya panas dingin dan jantungnya berdegup hampir meledak mendengar kata-kata itu.
Biasanya ia akan marah dan memukul, atau paling sedikitnya memaki orang yang berani bersikap begini lancang terhadap dirinya. Akan tetapi entah mengapa, kali ini ia hanya menundukkan muka dan mulutnya berkata gagap, "Aku... namaku... Bu Cui Kim dan... dan..."
"Sumoi, tak perlu memperkenalkan diri pada orang yang belum kita ketahui keadaannya!" tiba-tiba saja Hwat Ki memotong, kemudian menarik bangkunya agak mundur dari meja, menggunakan ujung lengan baju menghapus bibirnya, lalu dia berkata, suaranya tenang dan penuh wibawa,
"Sahabat, kami berdua sudah menerima undanganmu, juga sudah makan serta minum hidanganmu, semua ini kami lakukan untuk melayanimu seperti lazimnya kebiasaan di dunia kang-ouw. Sebagai orang yang mengundang, berarti kau yang mempunyai urusan dengan kami, maka sudah selayaknya apa bila kau yang harus memperkenalkan dirimu kepada kami dan menyatakan secara terus terang apa yang tersembunyi dalam hatimu terhadap kami."
Begitu melihat sikap suheng-nya dan mendengar ucapan ini, sadarlah Cui Kim. Dia pun segera menarik bangkunya menjauhi meja, mukanya masih merah akan tetapi sekarang pandang matanya berkilat dan penuh curiga!
Pemuda berbaju putih itu tersenyum lebar, sebelum berbicara dia menggunakan sehelai sapu tangan putih bersih menghapus mulutnya. Agak keras ia menggosok-gosok bibirnya yang berlepotan minyak masakan itu sehingga ketika dia menurunkan sapu tangan itu, sepasang bibirnya menjadi merah bagai dipulas gincu. Makin tampan wajahnya sehingga kembali Cui Kim harus menekan perasaan hatinya yang bergelora.
Selama hidupnya baru kali ini Cui Kim mengalami hal seaneh ini ketika melihat seorang pemuda. Akan tetapi, memang pemuda ini luar biasa tampannya!
"Sayang, kalian masih belum percaya bahwa aku mengandung maksud hati yang baik. Padahal kalau dipikir-pikir, kau telah membunuhi belasan orang-orang kami, bahkan kau tadinya tak mengindahkan undangan kami. Baiklah aku memperkenalkan diri. Aku adalah keturunan campuran antara bangsamu dengan darah Jepang, namaku Yosiko atau boleh juga diubah menjadi Yo Si Kouw." la tersenyum.
Dengan masih berdiri dan sikapnya angker, Hwat Ki berkata, pandang matanya tajam menyelidik,
"Jadi kau bernama Yosiko dan menjadi ketua dari perkumpulan bajak Kipas Hitam yang mengganggu keamanan Laut Po-hai dan muara Sungai Kuning. Terus terang saja, kami berdua kakak beradik seperguruan memang ditugaskan untuk membersihkan daerah ini dari gangguan bajak! Karena itulah ketika anak buahmu mengganggu, maka kami bunuh mereka. Nah, sekarang kau mengundang kami, ada keperluan apakah?"
Ucapan Hwat Ki ini merupakan tantangan langsung. Akan tetapi Yosiko sama sekali tak menjadi marah, bahkan tersenyum dan memandang kagum.
"Kau sungguh gagah berani! Apa kau kira mudah saja membasmi kami? Apa kau berani menghadapi kami yang berjumlah banyak, sedangkan banyak perwira kerajaan tewas di tangan kami?"
"Orang she Yo, kalau tadi aku sudah berani mengaku terus terang di depanmu, berarti kami tidak takut menghadapi kalian! Akan tetapi karena sikapmu berbeda dengan para bajak yang kasar, bahkan sudah mengundang kami dan menjamu sebagai tamu, biarlah kunasehatkan agar kau cepat-cepat kembali ke tempat asalmu dan jangan melanjutkan pekerjaan kotor menjadi bajak di daerah ini. Aku sudah bicara dan jika tidak menghargai saranku, baiklah, terpaksa aku melupakan semua kebaikanmu dan akan menganggapmu sebagai musuh!"
Yo-kongcu tertawa, giginya yang putih berkilat. "Ahh, alangkah gagahnya! Kau tentu she Tan, bukan? Bukankah kau putera dari ketua Lu-liang-pai dan ayahmu bernama Tan Sin Lee?"
Hwat Ki tak menjadi heran. Sebagai seorang kepala bajak, tentu saja kepala bajak muda ini mempunyai banyak kaki tangan dan penyelidik sehingga dapat mengetahui keadaan dirinya.
"Memang aku Tan Hwat Ki dan ayahku bernama Tan Sin Lee, ketua dari Lu-liang-pai. Setelah tahu akan hal itu, lebih baik kau menerima saranku, hentikanlah pembajakan-pembajakan di daerah ini."
"Ahhh, benar dugaanku. Orang sendiri! Ehh, Tan Hwat Ki, enak saja kau menyuruh orang menghentikan pekerjaan. Kalau aku tidak mau mundur, bagaimana?"
"Pedangku akan membereskan segalanya!" kata Tan Hwat Ki sambil menepuk gagang pedangnya. Dia maklum bahwa menghadapi kepala bajak yang aneh dan lihai ini, perlu sikap tegas, karena mereka berdua sudah berada di sarang harimau.
"Tapi... tapi aku tidak ingin bermusuhan denganmu!"
Kini Cui Kim yang merasa tidak enak kalau diam saja, menjawab. "Kalau kau tidak ingin bermusuhan, lebih baik menerima saran suheng-ku, sebelum terlambat dan pedang kami membasmi kalian!"
"Wah… wah… wah, galaknya!" Yo-kongcu mengeluh. "Tan Hwat Ki, dengarlah sekarang maksud hatiku. Aku sengaja mengundang kau dan Sumoi-mu ke sini dengan maksud baik. Ketahuilah bahwa telah lama aku mendengar nama besar jago-jago di daratan, di antaranya jago dari Lu-liang-san. Aku mempunyai seorang adik perempuan yang sedang mencari jodoh, namun sukarnya, dia menghendaki jodoh seorang pemuda yang mampu mengalahkan aku! Kulihat kau cukup hebat, maka aku ingin mencoba kepandaianmu." Sesudah berkata demikian, Yo-kongcu yang aneh ini melolos sehelai sabuk sutera putih dan sebatang pedang yang kecil panjang.
Merah sekali wajah Hwat Ki, juga dia menjadi semakin marah. "Ucapanmu tidak karuan, orang she Yo! Siapa sudi melayani ucapan gila-gilaan itu? Hayo lekas kau memilih, mau mengundurkan diri dari wilayah ini dengan aman atau harus makan pedangku!"
"Bagus, Tan Hwat Ki, lekas kau majulah. Memang aku hendak menguji kepandaianmu!" tantang ketua Hek-sin-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) itu.
"Suheng, biarkan aku maju menghadapi bajak ini!" tiba-tiba saja Cui Kim meloncat maju dengan pedang Hek-kim-kiam di tangan.
Pemuda tampan baju putih itu tersenyum, membuat wajahnya menjadi ganteng sekali.
"Aha, adik yang manis. Apakah kau juga hendak memasuki sayembara?"
"Apa... apa maksudmu?"
"Agaknya kau sama dengan adik perempuanku, hendak mencari jodoh dengan menguji kepandaian pemuda yang disukainya. Kau hendak menguji kepandaianku?"
Wajah Cui Kim menjadi merah sekali.
"Setan kau...!"
"Sumoi, tunggu! Laki-laki ceriwis ini tidak perlu kau layani, serahkan kepadaku. He, orang she Yo! Apa bila kau memang laki-laki sejati, jangan mengganggu wanita dengan ucapan kotor. Hayo kau tandingi pedangku!"
"Sraattttt!"
Tampak sinar berkilauan ketika pemuda Lu-liang-san ini mencabut pedang. Pedangnya pendek saja, akan tetapi pedang ini mengeluarkan sinar menyilaukan dan mengandung hawa dingin.
Inilah pedang yang terbuat dari logam putih yang sudah terpendam di dalam salju ribuan tahun lamanya, maka diberi nama Swat-cu-kiam (Pedang Mustika Salju). Karena logam putih itu tidak tersedia cukup banyak, maka hanya bisa dibuat menjadi sebatang pedang pendek saja. Logam putih itu didapatkan oleh Tan Sin Lee di puncak gunung yang selalu tertutup salju, dibuat menjadi pedang pendek dan diberikan kepada puteranya.
Pada saat itu, dari pintu samping melompat masuk seorang pemuda. Pemuda ini pendek tegap tubuhnya, kelihatan kuat sekali, mukanya agak hitam karena sering terbakar sinar matahari. Pakaiannya ringkas sedang kepalanya dicukur botak semodel dua orang kakek yang duduk di sana. Tangannya memegang pedang samurai dan matanya berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Yosiko... eh, Yo-kongcu, tak ada laki-laki yang cukup berharga menandingimu sebelum menangkan Shatoku!"
Yo-kongcu kelihatan kaget dan membentak, "Shatoku, mundur...!"
"Maaf, dia harus mengalahkan aku lebih dulu!"
Sesudah berkata demikian, pemuda Jepang yang bernama Shatoku itu menerjang ke depan, ke arah Hwat Ki sambil memekik keras,
"Haaaiiiiittt!"
Pedang samurainya berkelebat bagai halilintar menyambar, amat kuat dan cepat bukan main, jauh lebih kuat dan lebih cepat dari pada gerakan samurai di tangan Kamatari. Menyaksikan gerakan ini, Hwat Ki tidak berani memandang ringan. Dia dapat menduga apa yang terjadi. Tentu pemuda Jepang yang bernama Shatoku ini adalah seorang yang mencinta atau tergila-gila pada gadis adik ketua Kipas Hitam dan kini menjadi cemburu.
Diam-diam dia mendongkol sekali terhadap orang she Yo itu, juga dia marah kepada pemuda Jepang ini yang datang-datang langsung menerjangnya dengan mati-matian. la harus perlihatkan kepandaiannya. Cepat dia mempergunakan langkah-langkah Kim-tiauw Sin-po (Langkah Ajaib Rajawali Emas) yang dia warisi dari ayahnya.
Begitu dia mainkan langkah-langkah ini, sinar samurai yang menyambar-nyambar seperti halilintar itu selalu mengenai tempat kosong. Pemuda Jepang Shatoku itu menjadi sangat penasaran.
Dia seorang yang terkenal paling hebat di antara para pemuda bangsanya yang menjadi anggota Kipas Hitam. Masa sekarang dia tidak sanggup merobohkan seorang pemuda kurus yang kelihatan lemah? Samurainya diputar secepatnya dan sekarang serangannya mengeluarkan bunyi berdesingan selain menciptakan gulungan sinar yang melibat-libat di sekitar tubuh Hwat Ki.
Setelah mainkan Kim-tiauw Sin-po sampai tiga puluh jurus sambil terus memperhatikan gerakan lawan, sekarang tahulah Hwat Ki akan rahasia dan kelemahan ilmu silat pedang lawannya yang aneh itu. Ilmu pedang itu hanya mengandalkan tenaga dan kecepatan tanpa ada variasi atau kembangan, juga tenaga yang diandalkannya hanya tenaga kasar. Memang harus diakui sangat cepat dan andai kata dia tidak mempunyai Ilmu Kim-tiauw Sin-po, agaknya serangan kalang-kabut seperti hujan badai itu sedikitnya akan membuat dia gugup dan kacau.
Setelah mempelajari gerakan lawan, tiba-tiba saja Hwat Ki mengeluarkan seruan nyaring. Tubuhnya berkelebat dan bagi pandangan Shatoku, tiba-tiba lawannya sudah lenyap dari pandangan matanya. Kemudian dia mendengar angin di belakangnya, cepat samurainya dia kelebatkan ke belakang. Akan tetapi hanya mengenai angin belaka dan tahu-tahu, sebelum dia sempat menjaga karena tidak tahu lawan menyerang dari mana, Shatoku merasa betapa dadanya dimasuki oleh sesuatu yang sangat dingin sehingga membuat dia menggigil.
Samurainya terlepas dari tangan, dia terhuyung-huyung lalu roboh miring. Dari dadanya mengucur keluar darah karena dada itu sudah ditebusi pedang Swat-cu-kiam!
"Yosiko...," bibirnya berbisik, sedangkan matanya yang sudah mulai pudar cahayanya itu ditujukan ke arah ketua Kipas Hitam.
Orang she Yo itu membuang muka dan berkata, "Salahmu sendiri, Shatoku. Kau tidak tahu diri, seperti si cebol merindukan bulan. Matilah dengan tenang, kau roboh di tangan seorang pendekar gagah!"
Mata Shatoku tertutup dan matilah pemuda Jepang itu. Atas isyarat Yo-kongcu, empat orang laki-laki muncul dan membawa pergi jenazah itu, sedangkan para pelayan wanita cepat membersihkan sisa-sisa darah di lantai dengan kain dan air. Cepat pekerjaan ini dilaksanakan dan sebentar saja keadaan sudah bersih kembali seperti semula.
"Tan Hwat Ki, kepandaianmu cukup untuk menandingi aku. Hayo majulah!" Yo-kongcu berseru, pedangnya tegak lurus ke atas di depan keningnya, sabuk sutera putih di tangan kiri digulung. Gaya kuda-kuda ini indah dipandang, akan tetapi juga aneh dan asing.
"Orang she Yo, sekali lagi kunasehatkan supaya kau mundur dan menarik semua bajak dari daerah ini, segera kembalilah ke tempat asalmu. Contohnya orangmu tadi, terpaksa kurobohkan karena secara kurang ajar dia menyerangku tanpa sebab. Aku sungguh tidak ingin membunuh orang yang baru saja menjamu kami."
"Tak perlu banyak cakap lagi, Tan Hwat Ki. Kalau kau dapat menangkan aku, kau akan menjadi jodoh adikku, kalau tidak, terpaksa kami memberi hukuman atas kelancanganmu membunuh banyak orang anggota Kipas Hitam."
"Bagus, kau lihat baik-baik pedangku!"
Hwat Ki segera menikam dengan jurus Kim-tiauw Liak-sui (Rajawali Emas Sambar Air). Mula-mula jurus ini digerakkan dengan lambat, akan tetapi secara mendadak berubah cepat dan dahsyat sekali, yang dijadikan sasaran sekaligus adalah tiga tempat, yaitu ulu hati, pusar dan tenggorokan! Ujung pedangnya tergetar menjadi tiga, biar pun menusuk secara berturut-turut, akan tetapi saking cepatnya seakan-akan merupakan tiga batang pedang menusuk sekaligus.
"Bagus!" Yo-kongcu memuji dalam bahasa Jepang. Sepasang kakinya dengan cekatan melangkah ke samping dan sekaligus terhindarlah dia dari pedang lawan.
"Ehhh...!" Hwat Ki berseru kaget melihat cara lawannya menghindarkan diri.
Cepat Hwat Ki menerjang lagi bertubi-tubi dengan tiga jurus dirangkai sekaligus tanpa memberi kesempatan lawan balas menyerang. Pancingannya berhasil karena Yo-kongcu melanjutkan langkah-langkahnya untuk menghindar. Lincah sekali gerakan pemuda itu dan tiga jurus yang dilancarkan dengan cepat ini dapat dihindarkan dengan baik.
"Tahan!" teriak Hwat Ki yang tak dapat menahan keheranan hatinya lagi. "Orang she Yo, dari mana kau mencuri langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun?"
Yo-kongcu tertawa mengejek, mempermainkan sabuk sutera putih di tangan kirinya.
"Tan Hwat Ki, apa kau kira hanya engkau sendiri yang mampu mainkan langkah-langkah Kim-tiauw-kun? Ihhh.., kau terlampau memandang rendah kepadaku. Lihat seranganku!"
Dengan cepat sekali seberkas cahaya putih menyambar ke arah Hwat Ki. Pemuda ini mengenal sinar putih yang siang tadi telah merampas pedang Hek-kim-kiam dari tangan sumoi-nya. la tidak menjadi gentar, segera memutar tangan kirinya dan mendorong ke depan.
"Plakkk!"
Ujung sinar putih atau lebih tepat ujung sabuk sutera putih itu terpental kembali ketika bertemu dengan tangan kiri Hwat Ki yang pada waktu didorongkan mengeluarkan cahaya kehijauan itu. Kagetlah Yo-kongcu.
Pukulan tangan kiri Hwat Ki tadi jelas adalah pukulan jarak jauh yang luar biasa sekali. Memang sesungguhnya demikianlah. Hanya ada satu macam ilmu pukulan jarak jauh di dunia ini yang dilakukannya dengan cara memutar-mutar lengan kiri seperti itu, yaitu Ilmu Pukulan Ching-tok-ciang (Tangan Racun Hijau)!
Ilmu Pukulan Ching-tok-ciang ini diwarisi Hwat Ki dari ayahnya, sebab ilmu ini merupakan peninggalan neneknya, ibu dari Tan Sin Lee. Karena ilmu ini sifatnya ganas dan liar, lebih tepat dipergunakan oleh golongan hitam, maka Tan Sin Lee tidak mengajarkannya kepada murid-muridnya yang lain kecuali kepada putera tunggalnya, dengan pesan agar ilmu ini jangan dipergunakan kalau tidak perlu. Biar pun ilmu ini merupakan ilmu ganas, namun karena merupakan peninggalan ibunya, terpaksa dia wariskan kepada puteranya.
Akan tetapi pemuda she Yo yang tangkas itu hanya sebentar saja terkejut karena selain dia segera dapat mengatasi kekagetannya, juga sekarang pedangnya sudah menerjang dengan gerakan yang sangat ganas dan cepat. Sifat gerakan pedangnya jauh berbeda kalau dibandingkan dengan gerakan samurai di tangan Shatoku, pemuda Jepang tadi. Gerakan samurai cepat bertenaga, akan tetapi tenaganya adalah tenaga kasar, ada pun kecepatannya wajar. Karena itu sifatnya sangat berbeda dengan ilmu silat pedang yang lebih banyak mengandalkan kecepatan ginkang, tenaga dalam dan gerak-gerak tipu dan pancingan-pancingan yang berbahaya.
Hwat Ki menjadi heran dan kagum juga. Pemuda Jepang darah campuran ini ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat dan aneh sekali, karena gerakan-gerakannya biar pun masih jelas merupakan ilmu pedang yang pilihan, juga tercampur gerakan silat Jepang. Ginkang-nya cukup tinggi, tenaga sinkang-nya juga sangat kuat, sedangkan pedang di tangannya itu pun terbuat dari bahan baja pilihan karena setiap kali bertemu dengan Swat-cu-kiam di tangannya, lantas mengeluarkan warna seperti perak dan mempunyai tenaga getaran tanda logam pusaka.
Di sampng ini, pemuda peranakan Jepang itu benar-benar lincah sekali menggunakan langkah-langkah bersumber Kim-tiauw-kun. Dia pernah mendengar dari ayahnya bahwa Kim-tiauw-kun merupakan sumber banyak macam ilmu langkah ajaib, di antaranya yang terhebat adalah Si-cap-it Sin-po dan yang kedua adalah Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te (Terbang di Langit Masuk ke Bumi).
Berbeda dengan Si-cap-it Sin-po yang mempunyai empat puluh satu langkah, Hui-thian Jip-te mempunyai dua puluh empat langkah. Agaknya, pemuda she Yo ini menggunakan Hui-thian Jip-te karena langkah-langkahnya tidak terlalu banyak macamnya namun cukup untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan berbahaya.
Yang lebih berbahaya adalah sabuk sutera putih ini berkelebatan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata, kadang kala bergulung-gulung menjadi lingkaran-lingkaran besar kecil yang selain dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan, juga sering digunakan untuk berusaha melibat pedang lawan dan merampasnya.
Akan tetapi Tan Hwat Ki tidak selemah sumoi-nya. Ilmu pedangnya mantap, gerakannya penuh tenaga dalam, sikapnya tenang dan pertahanannya pun kokoh kuat. Sama sekali sabuk sutera putih itu tidak membuat hatinya gugup, malah secara pelan-pelan dengan dorongan-dorongan Ching-tok-ciang dan tekanan pedang Swat-cu-kiam di tangan kanan, dia mulai mendesak lawannya setelah pertandingan berlangsung lebih dari seratus jurus dengan amat serunya.
Tiga orang tua yang masih duduk menghadapi meja, dan juga Bu Cui Kim, memandang penuh kekaguman. Diam-diam Cui Kim semakin kagum terhadap pemuda Jepang yang tampan sekali itu. Tadinya dia menganggap bahwa di antara semua pemuda di dunia ini, sukarlah mencari tandingan suheng-nya yang mempunyai kepandaian luar biasa. Siapa kira, kini pemuda peranakan Jepang yang tampan sekali itu mampu menandingi Hwat Ki sampai lebih dari seratus jurus dalam pertandingan yang seru dan seimbang. Hatinya makin kagum dan ia memandang penuh perhatian.
Sesudah melihat betapa pelan-pelan pemuda peranakan Jepang itu mulai terdesak oleh lingkaran-lingkaran sinar pedang suhengnya, diam-diam Cui Kim menaruh kekhawatiran kalau-kalau kakak seperguruannya itu akan menurunkan tangan besi dan membunuh si pemuda Jepang seperti yang dilakukannya terhadap Shatoku, pemuda Jepang tadi.
Memang Hwat Ki tidak mau memberi kesempatan lagi kepada Yosiko. la pikir lebih baik melenyapkan ketua Kipas Hitam ini karena kalau ketuanya sudah tewas, tentu akan lebih mudah membasmi gerombolan bajak laut yang mengganggu keamanan wilayah Po-hai. Maka dia makin hebat mendesak dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu pedangnya.
Ada pun Yo-kongcu yang terdesak itu, berkali-kali mengeluarkan seruan kagum atas ilmu kepandaian lawan. la tidak kelihatan gelisah, meski terdesak dan tertekan, seruan-seruan kagum dari mulutnya mengandung kegembiraan.
"Hebat, kau patut menjadi jodohnya..." demikian berkali-kali dia berseru. "Ilmu pedangmu hebat!"
"Tidak usah banyak cakap, bersiaplah untuk mampus!" bentak Hwat Ki dan pedangnya menyambar-nyambar seperti tangan maut mencari korban.
Mendadak dia mendengar suara Cui Kim berseru keras, "Suheng, celaka... kita tertipu...!"
Hwat Ki kaget dan menengok. Ternyata adik seperguruannya itu terhuyung-huyung lalu roboh pingsan di atas lantai! la tidak tahu apa yang terjadi atas diri sumoi-nya, cepat dia meloncat ke arah adik seperguruannya itu, akan tetapi mendadak dia merasa kepalanya pening, pandang matanya berkunang-kunang.
Tahulah dia sekarang. la, seperti juga sumoi-nya, terkena racun! Agaknya tadi karena dia bertanding dan mengerahkan sinkang, racun itu belum begitu terasa olehnya. Apa lagi memang sinkang yang dimiliki sumoi-nya tidak sekuat sinkangnya. Dengan penuh kemarahan Hwat Ki menengok. Dilihatnya Yosiko atau Yo-kongcu (tuan muda Yo) itu tersenyum, berdiri memandang kepadanya seperti orang mengejek.
"Keparat! Kau... curang! Kau meracuni kami...!" Hwat Ki menguatkan diri dan memaki.
Senyum itu melebar, akan tetapi kini pandangan mata Hwat Ki sudah remang-remang dan kurang jelas, hanya kelihatan gigi putih berkilat, kemudian terdengar suara pemuda Jepang kepala bajak itu berkata, terdengar oleh telinganya seperti suara yang datang dari jauh sekali,
“Tan Hwat Ki, kau belum mengenal kelihaian Kipas Hitam. Jika tadi kau kalah bertanding denganku, kau dan adikmu tentu sekarang sudah mati, sebab kau tidak ada harganya. Untung kau menang, maka kau dan adikmu harus menjadi tawananku. Jangan khawatir, kami tidak akan membunuh kalian, racun itu hanya beberapa menit saja membuat kalian pingsan..."
Apa yang diucapkan selanjutnya tak dapat terdengar lagi oleh Hwat Ki yang telah roboh pingsan di samping adik seperguruannya.
"Siauw-pangcu... (Ketua Muda), untuk apa menawan mereka? Lebih baik lekas dibunuh saja agar tidak menimbulkan keruwetan di belakang hari," berkata seorang di antara dua kakek itu, yang bertubuh kurus kering.
"Pauw-lopek (uwa Pauw), mereka itu masih orang sendiri, tidak mungkin aku membunuh mereka, kecuali... hemmm kecuali jika mereka tidak mau menurut memihak kita," jawab Yosiko dengan suara tegas.
"Bagus sekali! Kipas Hitam kiranya hanya perkumpulan bajak busuk yang dipimpin oleh seorang wanita curang!" tiba-tiba terdengar suara orang.
Kaget bukan main hati Yosiko, serentak dia meloncat dan siap, demikian pula tiga orang tua itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di sana sudah muncul seorang pemuda berpakaian serba putih yang sederhana, dengan wajah yang tenang dan penuh wibawa. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Wan!
Seperti kita ketahui, secara kebetulan sekali Yo Wan berada di rumah makan di dusun Leng-si-bun dan menyaksikan peristiwa yang terjadi antara muda-mudi Lu-liang-san itu dengan orang-orang Kipas Hitam. Pada saat muncul Yosiko yang mengaku she Yo dan memiliki gerakan yang sangat hebat, dia kaget dan heran sekali, juga ingin tahu karena bagaimana ketua Kipas Hitam itu memiliki she (nama keturunan) yang sama dengan dia?
Diam-diam dia menyelinap pergi sambil meninggalkan uang pembayaran makan minum, lantas membayangi si pemuda ketua Kipas Hitam itu ke dusun Kui-bun di pantai Po-hai. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Yo Wan berhasil membayangi terus sampai di gedung tempat kediaman ketua Kipas Hitam itu dan bersembunyi. la dapat menduga bahwa muda-mudi yang dirampas pedangnya itu pasti akan menyusul ke Kui-bun. Maka, diam-diam dia bersembunyi sambil memasang mata, siap menolong muda-mudi itu bila mereka terancam bahaya.
Kalau muda-mudi itu bertentangan dengan golongan bajak laut yang telah mengganggu ketenteraman penghidupan para nelayan dan saudagar di tepi laut, tentu saja dia akan memihak mereka. Apa lagi karena timbul dugaan di dalam hatinya bahwa muda-mudi itu sedikit banyak tentu mempunyai hubungan dengan gurunya, Pendekar Buta.
Ketika dugaannya terbukti dengan munculnya muda-mudi di ruangan besar gedung itu, dia mendapat kenyataan yang menggirangkan, juga mengherankan hatinya. Pemuda itu ternyata bernama Tan Hwat Ki, putera Tan Sin Lee ketua Lu-liang-pai. Kini tidak heranlah dia mengapa pemuda itu dan sumoi-nya demikian lihai dan mempunyai gerakan langkah Kim-tiauw-kun. Tentu saja dia girang dan niatnya menolong atau membantu mereka lebih mantap lagi.
Akan tetapi, hal yang amat mengherankan hatinya adalah ketika dia melihat kenyataan pula bahwa pemuda baju putih yang disebut Yosiko atau Yo-kongcu dan menjadi ketua Kipas Hitam itu ternyata adalah seorang wanita! Pandang matanya yang tajam segera dapat membuka rahasia ini ketika Yosiko mulai bersilat melawan Hwat Ki. Ada gerakan-gerakan otomatis pada kaki dan lengan seorang wanita, yang sangat berbeda dengan gerakan otomatis kaki tangan pria.
Dalam menggerakkan lengannya, seorang wanita otomatis tidak mau membuka pangkal lengannya menjauhi dada, hal ini adalah sifat pembawaan tiap wanita. Tentu saja dalam mainkan ilmu silat, hal ini tidak mengikat benar, namun dalam ilmu silat pun tercampur dengan gerakan otomatis yang menjadi dasar menurut pembawaan masing-masing...
"Mari, Suheng. Aku pun gemas sekali terhadap manusia itu. Kalau dia tidak menyerang secara menggelap, jangan harap dia dapat merampas pedangku Hek-kim-kiam (Pedang Emas Hitam)!"
Walau pun mulutnya berkata demikian, diam-diam hatinya berdebar. Matanya terbayang wajah yang tampan itu dan ia sendiri merasa sangsi apakan ia akan mampu menandingi pemuda luar biasa itu. Dengan suara nyaring pemuda itu memanggil pelayan. Seorang pelayan segera datang berlari-larian, diikuti oleh empat orang temannya. Agaknya para pelayan yang sejak tadi sibuk bersembunyi, sekarang sudah berani keluar lagi setelah keadaan menjadi reda dan pertempuran berhenti.
"Hitung semua, termasuk pengganti kerusakan-kerusakan di sini akan saya bayar."
Pelayan itu lalu membungkuk-bungkuk sambil bibirnya tersenyum-senyum penuh hormat. "Harap Kongcu jangan repot-repot, semua sudah dibayar lunas."
"Siapa yang membayar?" Pemuda itu mengangkat alisnya.
"Yang membayar adalah pemberi benda ini kepada Kongcu, semua sudah dibayarnya dan meninggalkan benda ini yang harus saya serahkan kepada Kongcu." Sambil berkata demikian, pelayan itu menyerahkan sebuah kipas dari sutera hitam.
Pemuda itu mengerutkan kening, akan tetapi menerima juga kipas itu sambil bertanya, "Siapa dia?"
"Siapa lagi kalau bukan yang terhormat pangcu (ketua) dari Hek-san-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) yang tersohor? Kiranya Kongcu dan Siocia (Tuan Muda dan Nona) adalah sahabat-sahabat Hek-san-pangcu, maaf kalau kami berlaku kurang hormat..."
Pemuda itu mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala lalu meninggalkan restoran itu bersama sumoi-nya. "Benar-benar manusia aneh. Apa artinya dia membayari semua hidangan, lalu mengganti semua kerusakan dan memberi kipas hitam ini kepada kita? Apakah ini semacam hinaan lain lagi? Keparat!"
"Kurasa kalau orang itu membayar makan minum kita dan memberikan kipasnya, hal itu bukanlah berarti penghinaan, Suheng. Coba kau buka kipasnya, barang kali ada maksud di dalamnya."
Pemuda itu membuka kipas sutera hitam itu. Benar saja, kipas sutera hitam yang amat indah dan berbau semerbak harum itu ditulisi dengan tinta putih, merupakan huruf-huruf bersyair yang halus indah gayanya,
Berkawan sebatang pedang menjelajah laut bebas
sunyi sendiri merindukan kawan dan lawan seimbang
hati mencari-cari...
"Bagus...!" tak terasa lagi ucapan ini keluar dari mulut mungil gadis itu.
Si pemuda cepat menoleh dan memandang sehingga kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali. la merasa seolah-olah sajak itu ditujukan khusus kepadanya. Pemuda yang aneh luar biasa, tampan dan berkepandaian tinggi, merasa sunyi dan merindukan kawan yang memiliki kepandaian seimbang! Dan pedangnya dirampasnya, dengan maksud supaya ia datang ke sana!
"Pemuda sombong, atau cengeng..." Si pemuda malah mencela.
Sumoinya hanya diam saja, takut kalau-kalau tanpa disadarinya mengucapkan sesuatu yang membuka rahasia hatinya. Mereka segera melakukan perjalanan cepat menuju ke timur, melalui sepanjang lembah Sungai Kuning, menuju ke pantai Po-hai. Pemuda dan sumoi-nya itu bukan pendekar-pendekar biasa, bukan petualang-petualang biasa di dunia kang-ouw. Si pemuda adalah putera tunggal dari pendekar besar Tan Sin Lee.
Seperti telah kita ketahui, pendekar besar putera Raja Pedang ini tinggal di Lu-liang-san, bersama isterinya yang bernama Thio Hui Cu murid Hoa-san-pai. Pemuda inilah putera sepasang suami isteri pendekar itu yang bernama Tan Hwat Ki, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, seorang pemuda yang sejak kecil sudah digembleng oleh orang tuanya dan mewarisi ilmu silat tinggi.
Ada pun sumoi-nya, gadis jelita itu, bernama Bu Cu Kim. Pendekar besar Tan Sin Lee memiliki murid sepuluh orang jumlahnya, termasuk putera mereka. Akan tetapi di antara para murid, yang paling menonjol kepandaiannya adalah Bu Cui Kim. Cui Kim adalah anak yatim piatu, ayah bundanya sudah meninggal dunia akibat penyakit yang merajalela di dusunnya. Karena kasihan kepada anak yang bertulang baik ini, Tan Sin Lee lalu mengambilnya sebagai murid, bahkan karena mereka tidak mempunyai anak perempuan sedangkan Cui Kim semenjak kecil kelihatan sangat rukun dengan Hwat Ki, Cui Kim lalu dianggap sebagai anak sendiri.
Demikianlah, sejak kecil Cui Kim seakan-akan menjadi adik angkat Hwat Ki dan bersama putera suhu-nya itu mempelajari ilmu silat tinggi. Pada suatu hari, puncak Lu-liang-san menerima kunjungan seorang tamu yang tidak lain adalah Bun Hui, putera Bun-goanswe yang tinggal di Tai-goan. Boleh dibilang, di antara pendekar-pendekar keturunan Raja Pedang, Tan Sin Lee inilah yang tempat tinggalnya paling dekat dengan Tai-goan dan kota raja.
Lu-liang-san terletak di sebelah barat kota Tai-goan, bahkan dari kota itu sudah kelihatan puncaknya. Sebab itu, begitu menghadapi kesulitan, Bun-goanswe teringat akan sahabat baiknya ini dan menyuruh puteranya mengunjungi Tan Sin Lee.
Di dalam suratnya, Bun-goanswe minta bantuan Tan Sin Lee dan para muridnya untuk membantu negara yang sedang menghadapi banyak gangguan. Di dalam surat itu, dia ceritakan betapa gangguan dari pihak Mongol di utara masih makin menghebat sehingga kaisar sendiri berkenan memimpin barisan untuk menumpas perusuh-perusuh dari utara itu. Diceritakan pula betapa bajak-bajak laut di laut timur kini juga telah menjadi pengganggu-pengganggu keamanan, tidak saja bagi para nelayan di laut, akan tetapi juga di daratan sepanjang pesisir Laut Po-hai. Demikian besar gangguan ini sehingga kaisar sendiri telah memerintahkan kepada Bun-goanswe untuk mengerahkan tenaga menumpas para bajak laut itu kalau mereka berani mendarat.
Sebenarnya Bun-goanswe sudah melakukan usaha ini, tetapi ternyata bahwa para bajak laut Jepang itu bersama-sama bajak laut bangsa sendiri, memiliki banyak orang-orang yang berilmu tinggi sehingga banyak sudah perwira dari kota raja yang tewas di tangan para bajak laut. Karena inilah Bun-goanswe mengharapkan pertolongan Tan Sin Lee dan murid-muridnya. Dan inilah pula sebabnya maka pendekar Lu-liang-san itu lalu menyuruh puteranya sendiri ditemani oleh Cui Im, turun gunung melakukan penyelidikan ke pantai Po-hai.
Sepasang orang muda ini sengaja menyewa perahu berlayar di sepanjang pantai Po-hai. Betul saja, pada suatu hari perahu itu diganggu bajak laut yang menggunakan bendera Kipas Hitam. Akan tetapi kali ini para bajak laut menemui hari naas karena mereka itu kocar-kacir dan banyak yang tewas di tangan sepasang pendekar dari Lu-liang-san ini. Kemudian karena mendengar bahwa banyak bajak mengganas pula di sepanjang Sungai Huang-ho, Hwat Ki bersama sumoi-nya lalu pergi ke kota Leng-si-bun di pinggir Sungai Huang-ho, memasuki rumah makan dan terjadi peristiwa dengan anak buah Kipas Hitam seperti yang telah dituturkan di bagian depan.
Tentu saja Hwat Ki dan Cui Im menjadi girang karena mereka mendapatkan jejak ketua perkumpulan Kipas Hitam yang merupakan gerombolan bajak laut yang paling terkenal, di samping bajak-bajak laut lainnya yang banyak mengganas di sepanjang pantai timur. Hari telah menjadi hampir malam ketika kedua orang pendekar muda dari Lu-liang-san ini tiba di dusun Kui-bun. Dusun ini bukanlah dusun besar, hanya didiami oleh para nelayan yang tidak lebih dari tiga puluh buah keluarga banyaknya.
Di setiap rumah nelayan itu nampak jala-jala dibentangkan, dan di pinggir rumah banyak terdapat bekas-bekas perahu dan tiang-tiang layar. Di ujung yang paling jauh dari pantai, terlihat sebuah rumah gedung besar yang kelihatan ganjil karena jarang terdapat gedung sedemikian besarnya di dusun sekecil itu. Di pantai laut itu sendiri banyak terdapat para nelayan besar kecil sibuk bekerja, agaknya mereka itu sedang memasang atau pun menarik jaring dari pantai. Biasanya kalau hari mulai gelap itulah mereka menarik jaring dan apa bila untung mereka baik, mereka akan menarik banyak ikan di dalam jaring.
Hwat Ki dan Cui Kim segera tertarik oleh rumah gedung itu. "Kiranya tidak akan salah lagi, tentu gedung ini sarang mereka," Hwat Ki berkata kepada sumoi-nya.
"Akan tetapi sebaiknya kalau kita mencari keterangan lebih dulu, Suheng. Di tempat yang asing ini, sungguh tak baik kalau kita keliru memasuki rumah orang."
Hwat Ki mengangguk, menyuruh adik seperguruannya itu menanti di tempat gelap, lalu dia sendiri melangkah cepat menuju ke pantai. Dengan lagak bagai sudah mengenal baik orang yang dicarinya, dia bertanya dengan lantang kepada seorang nelayan, "Sahabat, ingin saya bertanya. Di manakah tempat tinggal seorang bernama Yo-kongcu? Apakah rumah gedung itu?"
Mendadak sekali orang-orang yang tadinya sibuk bekerja itu berhenti bergerak kemudian memandang kepada Hwat Ki. Melihat ini, pemuda itu dapat menduga bahwa agaknya mereka ini pun anak buah pimpinan Kipas Hitam itu, atau setidaknya tentu teman-teman baik, maka cepat-cepat dia menyambung, "Saya adalah sahabat baiknya, belum pernah datang ke sini, tidak tahu di mana rumahnya. Apakah gedung besar itu?"
Seorang nelayan setengah tua mengangguk pendek. "Betul."
Kemudian dia memberi aba-aba kepada kawan-kawannya untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Hwat Ki lega hatinya, cepat dia kembali ke tempat Cui Kim menanti.
"Sudah kuduga bahwa orang she Yo itu tentu berkuasa di sini. Orang-orang itu agaknya takut kepadanya. Sumoi, mari kita ke sana." Keduanya lalu berjalan menghampiri gedung besar. Di sekitar gedung itu sangat gelap, akan tetapi tampak sinar lampu-lampu menerangi sebelah dalam gedung yang dikelilingi oleh tembok setinggi satu setengah tinggi orang. Hwat Ki dan adiknya mengelilingi luar tembok dan mendapat kenyataan bahwa pintu satu-satunya hanyalah pintu depan yang tertutup rapat.
"Kita ketuk saja pintunya," kata Cui Kim.
"Hemmm, tidak akan ada gunanya. Mengunjungi tempat lawan tidak perlu banyak aturan. Mengetuk pintu berarti membuat mereka siap untuk menjebak kita. Mari!"
Pemuda itu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang naik ke atas tembok, diikuti oleh Cui Kim. Bagaikan dua ekor burung walet mereka sudah meloncat dan berdiri di atas tembok. Terang sekali di sebelah dalam tembok. Ruangan depan rumah gedung itu pun sangat terang dan bersih, akan tetapi sunyi tidak tampak ada orangnya.
"Orang she Yo! Kami datang untuk minta kembali pedang!" Tan Hwat Ki berteriak dengan suara lantang. Sedangkan Cui Kim berdiri di dekatnya dengan tegak, siap menghadapi segala kemungkinan.
Sunyi sepi menyambut suara teriakan Hwat Ki yang sedikit bergema di dalam gedung itu. Kemudian terdengarlah suara halus dan nyaring, "Silakan masuk, pintu tidak dikunci dan kami menanti di ruangan tengah!"
"Hati-hati, Suheng, jangan-jangan musuh mengatur perangkap!" bisik Cui Kim.
"Tak usah takut, marilah!" kata Hwat Ki yang melayang turun ke ruangan depan.
Dengan gerakan lincah sekali Cui Kim mengikutinya, melompat turun ke atas lantai ruang depan yang licin dan bersih itu tanpa mengeluarkan suara. Sejenak keduanya berdiri dan memandang ke sekeliling dengan sikap waspada. Ruangan ini, yang merupakan ruangan depan menyambung halaman, amat bersih dan indah. Ketika mereka memandang ke dalam, di sebelah kiri dinding ruangan itu penuh dengan tulisan-tulisan bersajak. Mereka kemudian melangkah ke dalam melalui pintu besar yang memang tidak tertutup.
Ruangan tengah itu luasnya ada lima belas meter persegi, juga terhias lukisan-lukisan indah. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar dikelilingi bangku-bangku terukir burung hong. Tampak empat orang duduk mengelilingi meja dan seorang di antaranya adalah kongcu yang berpakaian serba putih. Melihat pemuda baju putih ini duduk di kepala meja, dapatlah diduga bahwa dia menjadi pemimpinnya. Tiga orang yang lain adalah dua orang laki-laki setengah tua dan seorang wanita berusia empat puluh tahun yang rambutnya sudah berwarna dua dan di gelung tinggi-tinggi di atas kepala. Melihat sikap mereka, tiga orang setengah tua ini tentu bukan orang sembarangan pula.
Seorang di antara dua laki-laki itu bertubuh pendek gemuk, modelnya seperti Kamatari, juga di pinggang orang ini tergantung pedang samurai. Mudah diduga bahwa dia seorang Jepang. Tubuh dan mukanya tidak bergerak-gerak, akan tetapi sepasang matanya lincah bergerak ke kanan kiri. Yang seorang lagi bertubuh tinggi kurus. Bajunya lebar dengan lengan baju panjang dan kumisnya tipis panjang sehingga bertemu dengan jenggotnya yang menutupi dagu serta leher. Mereka berempat sekarang memandang kepada sepasang orang muda yang baru datang.
Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang lembut dari pemuda baju putih, tiba-tiba saja jantung Cui Kim terasa berdebar tidak karuan. Akan tetapi begitu dia melihat pedang hitamnya terletak di atas meja depan pemuda itu, timbul kemarahannya. Seketika sinar matanya berapi-api dan dia berteriak dengan nyaring. "Dengan muslihat curang kau telah merampas pedangku. Orang she Yo, kalau memang kau jantan, kembalikan pedangku dan kita boleh bertanding sampai seribu jurus!"
Pemuda itu tersenyum, cepat bangkit dari bangkunya kemudian memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam. "Bukan salahku...!" jawabnya sambil tersenyum ramah. "Aku sudah mengutus orang dan mengundang kalian baik-baik, kalian tidak datang malah menyerang orangku. Kalau tidak merampas pedang, mana bisa aku memancing kalian datang pada malam ini?" Berkata demikian, pemuda baju putih itu menatap wajah Hwat Ki dengan tajam, dengan pandang mata penuh selidik.
Hwat Ki tetap tenang, memang pemuda ini semenjak kecil memiliki sikap yang tenang. la maklum bahwa bersama sumoi-nya dia telah memasuki goa harimau, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar. "Setelah kami datang untuk minta kembali pedang, apa lagi yang hendak kau bicarakan dengan kami?" tanyanya.
Pemuda baju putih itu kembali tersenyum lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi. Hwat Ki harus mengakui bahwa wajah orang ini memang amat tampan.
"Banyak yang ingin kami bicarakan. Akan tetapi, kalian berdua adalah tamu-tamu kami, silakan duduk. Sebelum menjamu tamu terhormat, mana bisa bicarakan urusan penting? Silakan duduk, atau... barang kali kalian takut kalau-kalau kami menipu? Apakah kalian tidak berani duduk?"
Hwat Ki tersenyum mengejek. "Takut apa?"
Dia lalu melangkah maju, diikuti sumoi-nya. Keduanya kemudian duduk di atas bangku, berhadap-hadapan dengan empat orang itu. Tiga orang setengah tua itu pun berdiri dan mengangguk, dibalas oleh Hwat Ki dan Cui Kim yang merasa heran dan aneh, karena sama sekali tak menyangka mereka akan diterima sebagai tamu. Hanya adanya pedang Hek-kim-kiam di atas meja itu yang membikin suasana menjadi kaku.
Agaknya tuan rumah merasakan hal ini. Dipungutnya Hek-kim-kiam dan disodorkannya pedang itu kepada Cui Kim sambil berkata, "Silakan, Nona. Inilah pedangmu, maaf atas kelancanganku tadi."
Cui Kim menerima pedangnya dengan dua pipi merah dan kembali jantungnya berdebar tak karuan. Semangatnya serasa terbetot oleh senyum dan pandang mata yang menarik itu. Sesudah menyimpan pedang ke dalam sarung pedangnya, kembali ia duduk dengan muka tunduk.
Si pemuda baju putih bertepuk tangan tiga kali. Segera bermunculan lima orang pelayan wanita yang muda-muda serta cantik-cantik. Mereka sibuk membawa datang hidangan-hidangan lezat dan arak wangi yang mereka tuangkan ke dalam cawan enam orang itu dengan gerakan dan gaya yang manis. Si pemuda baju putih itu dengan ramah-tamah mempersilakan kedua orang tamunya makan dan minum arak.
Memang sehari itu Hwat Ki dan sumoi-nya baru makan sekali, yaitu di rumah makan kota Leng-si-bun sebelum tengah hari, tentu saja pada saat itu mereka sudah merasa lapar. Hwat Ki yang tahu bahwa pihak tuan rumah menguji ketabahan mereka, tentu saja tidak sudi memperlihatkan kekhawatiran. Dengan wajar dan tenang dia mulai makan minum menemani tuan rumah dengan enaknya.
Hanya Cui Kim yang merasa agak canggung. Sebagai seorang gadis, ia berbeda dengan gadis biasa. Bagi dirinya yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, makan bersama orang-orang lelaki bukanlah hal yang menyulitkan. Akan tetapi entah bagaimana, ketika berhadapan dengan tuan rumah she Yo yang muda, tampan dan luar biasa itu, membuat hatinya bergoncang dan sepasang sumpit yang dipegangnya agak gemetar!
"Nona, mengapa sungkan-sungkan? Marilah, harap kau suka mencoba masakan ini. Ini masakan sirip ikan Hiu Harimau, Nona pasti belum pernah mencoba masakan ini, bukan? Silakan!"
Pemuda Yo itu mengangkat mangkok masakan itu dan menawarkannya kepada Cui Kim. Dengan sangat ramah dia menawarkan beberapa macam masakan, malah menuangkan arak memenuhi cawan gadis itu sehingga si gadis menjadi makin canggung dan jengah. Diam-diam Hwat Ki mendongkol sekali. Tuan rumah yang masih muda dan tampan ini, meski pun amat ramah, akan tetapi agaknya terlalu manis sikapnya terhadap Cui Kim. la diam-diam menduga bahwa orang she Yo ini tentulah seorang pemuda hidung belang, seorang kongcu yang gila akan wanita cantik. Buktinya para pelayannya tadi pun semua muda-muda cantik-cantik dan lagaknya menarik, membayangkan pendidikan cukup.
la takkan heran kalau para pelayan itu pandai bernyanyi, menari dan main musik untuk menghibur hati sang kongcu hidung belang. Oleh karena dugaan ini Hwat Ki lalu bersikap lebih waspada dan berhati-hati. Siapa tahu, pancingan ini pada hakekatnya hanya untuk menjadikan sumoi-nya yang cukup cantik sebagai korban!
Sikap pemuda she Yo itu makin manis kepada Cui Kim, selalu tersenyum dan mengajak Cui Kim bercakap-cakap. Malah kelancangannya makin menjadi-jadi ketika dia bertanya sambil tersenyum manis dan mengerling tajam.
"Nona, agaknya lebih patut aku menyebutmu adik. Aku berani bertaruh bahwa usia kita sebaya, akan tetapi lebih enak aku menyebut adik. Berapakah usiamu tahun ini dan eh... betul juga, aku belum mengetahui namamu. Namamu tentu indah, sama manis dengan orangnya.”
Muka Cui Kim menjadi merah sekali, sampai ke telinga dan lehernya. Karena sikap yang manis dan pembicaraan yang manis tadi dia sampai lupa akan kewaspadaan dan agak terlalu banyak minum arak. Mungkin inilah yang membuat dia sekarang merasa betapa badannya panas dingin dan jantungnya berdegup hampir meledak mendengar kata-kata itu.
Biasanya ia akan marah dan memukul, atau paling sedikitnya memaki orang yang berani bersikap begini lancang terhadap dirinya. Akan tetapi entah mengapa, kali ini ia hanya menundukkan muka dan mulutnya berkata gagap, "Aku... namaku... Bu Cui Kim dan... dan..."
"Sumoi, tak perlu memperkenalkan diri pada orang yang belum kita ketahui keadaannya!" tiba-tiba saja Hwat Ki memotong, kemudian menarik bangkunya agak mundur dari meja, menggunakan ujung lengan baju menghapus bibirnya, lalu dia berkata, suaranya tenang dan penuh wibawa,
"Sahabat, kami berdua sudah menerima undanganmu, juga sudah makan serta minum hidanganmu, semua ini kami lakukan untuk melayanimu seperti lazimnya kebiasaan di dunia kang-ouw. Sebagai orang yang mengundang, berarti kau yang mempunyai urusan dengan kami, maka sudah selayaknya apa bila kau yang harus memperkenalkan dirimu kepada kami dan menyatakan secara terus terang apa yang tersembunyi dalam hatimu terhadap kami."
Begitu melihat sikap suheng-nya dan mendengar ucapan ini, sadarlah Cui Kim. Dia pun segera menarik bangkunya menjauhi meja, mukanya masih merah akan tetapi sekarang pandang matanya berkilat dan penuh curiga!
Pemuda berbaju putih itu tersenyum lebar, sebelum berbicara dia menggunakan sehelai sapu tangan putih bersih menghapus mulutnya. Agak keras ia menggosok-gosok bibirnya yang berlepotan minyak masakan itu sehingga ketika dia menurunkan sapu tangan itu, sepasang bibirnya menjadi merah bagai dipulas gincu. Makin tampan wajahnya sehingga kembali Cui Kim harus menekan perasaan hatinya yang bergelora.
Selama hidupnya baru kali ini Cui Kim mengalami hal seaneh ini ketika melihat seorang pemuda. Akan tetapi, memang pemuda ini luar biasa tampannya!
"Sayang, kalian masih belum percaya bahwa aku mengandung maksud hati yang baik. Padahal kalau dipikir-pikir, kau telah membunuhi belasan orang-orang kami, bahkan kau tadinya tak mengindahkan undangan kami. Baiklah aku memperkenalkan diri. Aku adalah keturunan campuran antara bangsamu dengan darah Jepang, namaku Yosiko atau boleh juga diubah menjadi Yo Si Kouw." la tersenyum.
Dengan masih berdiri dan sikapnya angker, Hwat Ki berkata, pandang matanya tajam menyelidik,
"Jadi kau bernama Yosiko dan menjadi ketua dari perkumpulan bajak Kipas Hitam yang mengganggu keamanan Laut Po-hai dan muara Sungai Kuning. Terus terang saja, kami berdua kakak beradik seperguruan memang ditugaskan untuk membersihkan daerah ini dari gangguan bajak! Karena itulah ketika anak buahmu mengganggu, maka kami bunuh mereka. Nah, sekarang kau mengundang kami, ada keperluan apakah?"
Ucapan Hwat Ki ini merupakan tantangan langsung. Akan tetapi Yosiko sama sekali tak menjadi marah, bahkan tersenyum dan memandang kagum.
"Kau sungguh gagah berani! Apa kau kira mudah saja membasmi kami? Apa kau berani menghadapi kami yang berjumlah banyak, sedangkan banyak perwira kerajaan tewas di tangan kami?"
"Orang she Yo, kalau tadi aku sudah berani mengaku terus terang di depanmu, berarti kami tidak takut menghadapi kalian! Akan tetapi karena sikapmu berbeda dengan para bajak yang kasar, bahkan sudah mengundang kami dan menjamu sebagai tamu, biarlah kunasehatkan agar kau cepat-cepat kembali ke tempat asalmu dan jangan melanjutkan pekerjaan kotor menjadi bajak di daerah ini. Aku sudah bicara dan jika tidak menghargai saranku, baiklah, terpaksa aku melupakan semua kebaikanmu dan akan menganggapmu sebagai musuh!"
Yo-kongcu tertawa, giginya yang putih berkilat. "Ahh, alangkah gagahnya! Kau tentu she Tan, bukan? Bukankah kau putera dari ketua Lu-liang-pai dan ayahmu bernama Tan Sin Lee?"
Hwat Ki tak menjadi heran. Sebagai seorang kepala bajak, tentu saja kepala bajak muda ini mempunyai banyak kaki tangan dan penyelidik sehingga dapat mengetahui keadaan dirinya.
"Memang aku Tan Hwat Ki dan ayahku bernama Tan Sin Lee, ketua dari Lu-liang-pai. Setelah tahu akan hal itu, lebih baik kau menerima saranku, hentikanlah pembajakan-pembajakan di daerah ini."
"Ahhh, benar dugaanku. Orang sendiri! Ehh, Tan Hwat Ki, enak saja kau menyuruh orang menghentikan pekerjaan. Kalau aku tidak mau mundur, bagaimana?"
"Pedangku akan membereskan segalanya!" kata Tan Hwat Ki sambil menepuk gagang pedangnya. Dia maklum bahwa menghadapi kepala bajak yang aneh dan lihai ini, perlu sikap tegas, karena mereka berdua sudah berada di sarang harimau.
"Tapi... tapi aku tidak ingin bermusuhan denganmu!"
Kini Cui Kim yang merasa tidak enak kalau diam saja, menjawab. "Kalau kau tidak ingin bermusuhan, lebih baik menerima saran suheng-ku, sebelum terlambat dan pedang kami membasmi kalian!"
"Wah… wah… wah, galaknya!" Yo-kongcu mengeluh. "Tan Hwat Ki, dengarlah sekarang maksud hatiku. Aku sengaja mengundang kau dan Sumoi-mu ke sini dengan maksud baik. Ketahuilah bahwa telah lama aku mendengar nama besar jago-jago di daratan, di antaranya jago dari Lu-liang-san. Aku mempunyai seorang adik perempuan yang sedang mencari jodoh, namun sukarnya, dia menghendaki jodoh seorang pemuda yang mampu mengalahkan aku! Kulihat kau cukup hebat, maka aku ingin mencoba kepandaianmu." Sesudah berkata demikian, Yo-kongcu yang aneh ini melolos sehelai sabuk sutera putih dan sebatang pedang yang kecil panjang.
Merah sekali wajah Hwat Ki, juga dia menjadi semakin marah. "Ucapanmu tidak karuan, orang she Yo! Siapa sudi melayani ucapan gila-gilaan itu? Hayo lekas kau memilih, mau mengundurkan diri dari wilayah ini dengan aman atau harus makan pedangku!"
"Bagus, Tan Hwat Ki, lekas kau majulah. Memang aku hendak menguji kepandaianmu!" tantang ketua Hek-sin-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) itu.
"Suheng, biarkan aku maju menghadapi bajak ini!" tiba-tiba saja Cui Kim meloncat maju dengan pedang Hek-kim-kiam di tangan.
Pemuda tampan baju putih itu tersenyum, membuat wajahnya menjadi ganteng sekali.
"Aha, adik yang manis. Apakah kau juga hendak memasuki sayembara?"
"Apa... apa maksudmu?"
"Agaknya kau sama dengan adik perempuanku, hendak mencari jodoh dengan menguji kepandaian pemuda yang disukainya. Kau hendak menguji kepandaianku?"
Wajah Cui Kim menjadi merah sekali.
"Setan kau...!"
"Sumoi, tunggu! Laki-laki ceriwis ini tidak perlu kau layani, serahkan kepadaku. He, orang she Yo! Apa bila kau memang laki-laki sejati, jangan mengganggu wanita dengan ucapan kotor. Hayo kau tandingi pedangku!"
"Sraattttt!"
Tampak sinar berkilauan ketika pemuda Lu-liang-san ini mencabut pedang. Pedangnya pendek saja, akan tetapi pedang ini mengeluarkan sinar menyilaukan dan mengandung hawa dingin.
Inilah pedang yang terbuat dari logam putih yang sudah terpendam di dalam salju ribuan tahun lamanya, maka diberi nama Swat-cu-kiam (Pedang Mustika Salju). Karena logam putih itu tidak tersedia cukup banyak, maka hanya bisa dibuat menjadi sebatang pedang pendek saja. Logam putih itu didapatkan oleh Tan Sin Lee di puncak gunung yang selalu tertutup salju, dibuat menjadi pedang pendek dan diberikan kepada puteranya.
Pada saat itu, dari pintu samping melompat masuk seorang pemuda. Pemuda ini pendek tegap tubuhnya, kelihatan kuat sekali, mukanya agak hitam karena sering terbakar sinar matahari. Pakaiannya ringkas sedang kepalanya dicukur botak semodel dua orang kakek yang duduk di sana. Tangannya memegang pedang samurai dan matanya berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Yosiko... eh, Yo-kongcu, tak ada laki-laki yang cukup berharga menandingimu sebelum menangkan Shatoku!"
Yo-kongcu kelihatan kaget dan membentak, "Shatoku, mundur...!"
"Maaf, dia harus mengalahkan aku lebih dulu!"
Sesudah berkata demikian, pemuda Jepang yang bernama Shatoku itu menerjang ke depan, ke arah Hwat Ki sambil memekik keras,
"Haaaiiiiittt!"
Pedang samurainya berkelebat bagai halilintar menyambar, amat kuat dan cepat bukan main, jauh lebih kuat dan lebih cepat dari pada gerakan samurai di tangan Kamatari. Menyaksikan gerakan ini, Hwat Ki tidak berani memandang ringan. Dia dapat menduga apa yang terjadi. Tentu pemuda Jepang yang bernama Shatoku ini adalah seorang yang mencinta atau tergila-gila pada gadis adik ketua Kipas Hitam dan kini menjadi cemburu.
Diam-diam dia mendongkol sekali terhadap orang she Yo itu, juga dia marah kepada pemuda Jepang ini yang datang-datang langsung menerjangnya dengan mati-matian. la harus perlihatkan kepandaiannya. Cepat dia mempergunakan langkah-langkah Kim-tiauw Sin-po (Langkah Ajaib Rajawali Emas) yang dia warisi dari ayahnya.
Begitu dia mainkan langkah-langkah ini, sinar samurai yang menyambar-nyambar seperti halilintar itu selalu mengenai tempat kosong. Pemuda Jepang Shatoku itu menjadi sangat penasaran.
Dia seorang yang terkenal paling hebat di antara para pemuda bangsanya yang menjadi anggota Kipas Hitam. Masa sekarang dia tidak sanggup merobohkan seorang pemuda kurus yang kelihatan lemah? Samurainya diputar secepatnya dan sekarang serangannya mengeluarkan bunyi berdesingan selain menciptakan gulungan sinar yang melibat-libat di sekitar tubuh Hwat Ki.
Setelah mainkan Kim-tiauw Sin-po sampai tiga puluh jurus sambil terus memperhatikan gerakan lawan, sekarang tahulah Hwat Ki akan rahasia dan kelemahan ilmu silat pedang lawannya yang aneh itu. Ilmu pedang itu hanya mengandalkan tenaga dan kecepatan tanpa ada variasi atau kembangan, juga tenaga yang diandalkannya hanya tenaga kasar. Memang harus diakui sangat cepat dan andai kata dia tidak mempunyai Ilmu Kim-tiauw Sin-po, agaknya serangan kalang-kabut seperti hujan badai itu sedikitnya akan membuat dia gugup dan kacau.
Setelah mempelajari gerakan lawan, tiba-tiba saja Hwat Ki mengeluarkan seruan nyaring. Tubuhnya berkelebat dan bagi pandangan Shatoku, tiba-tiba lawannya sudah lenyap dari pandangan matanya. Kemudian dia mendengar angin di belakangnya, cepat samurainya dia kelebatkan ke belakang. Akan tetapi hanya mengenai angin belaka dan tahu-tahu, sebelum dia sempat menjaga karena tidak tahu lawan menyerang dari mana, Shatoku merasa betapa dadanya dimasuki oleh sesuatu yang sangat dingin sehingga membuat dia menggigil.
Samurainya terlepas dari tangan, dia terhuyung-huyung lalu roboh miring. Dari dadanya mengucur keluar darah karena dada itu sudah ditebusi pedang Swat-cu-kiam!
"Yosiko...," bibirnya berbisik, sedangkan matanya yang sudah mulai pudar cahayanya itu ditujukan ke arah ketua Kipas Hitam.
Orang she Yo itu membuang muka dan berkata, "Salahmu sendiri, Shatoku. Kau tidak tahu diri, seperti si cebol merindukan bulan. Matilah dengan tenang, kau roboh di tangan seorang pendekar gagah!"
Mata Shatoku tertutup dan matilah pemuda Jepang itu. Atas isyarat Yo-kongcu, empat orang laki-laki muncul dan membawa pergi jenazah itu, sedangkan para pelayan wanita cepat membersihkan sisa-sisa darah di lantai dengan kain dan air. Cepat pekerjaan ini dilaksanakan dan sebentar saja keadaan sudah bersih kembali seperti semula.
"Tan Hwat Ki, kepandaianmu cukup untuk menandingi aku. Hayo majulah!" Yo-kongcu berseru, pedangnya tegak lurus ke atas di depan keningnya, sabuk sutera putih di tangan kiri digulung. Gaya kuda-kuda ini indah dipandang, akan tetapi juga aneh dan asing.
"Orang she Yo, sekali lagi kunasehatkan supaya kau mundur dan menarik semua bajak dari daerah ini, segera kembalilah ke tempat asalmu. Contohnya orangmu tadi, terpaksa kurobohkan karena secara kurang ajar dia menyerangku tanpa sebab. Aku sungguh tidak ingin membunuh orang yang baru saja menjamu kami."
"Tak perlu banyak cakap lagi, Tan Hwat Ki. Kalau kau dapat menangkan aku, kau akan menjadi jodoh adikku, kalau tidak, terpaksa kami memberi hukuman atas kelancanganmu membunuh banyak orang anggota Kipas Hitam."
"Bagus, kau lihat baik-baik pedangku!"
Hwat Ki segera menikam dengan jurus Kim-tiauw Liak-sui (Rajawali Emas Sambar Air). Mula-mula jurus ini digerakkan dengan lambat, akan tetapi secara mendadak berubah cepat dan dahsyat sekali, yang dijadikan sasaran sekaligus adalah tiga tempat, yaitu ulu hati, pusar dan tenggorokan! Ujung pedangnya tergetar menjadi tiga, biar pun menusuk secara berturut-turut, akan tetapi saking cepatnya seakan-akan merupakan tiga batang pedang menusuk sekaligus.
"Bagus!" Yo-kongcu memuji dalam bahasa Jepang. Sepasang kakinya dengan cekatan melangkah ke samping dan sekaligus terhindarlah dia dari pedang lawan.
"Ehhh...!" Hwat Ki berseru kaget melihat cara lawannya menghindarkan diri.
Cepat Hwat Ki menerjang lagi bertubi-tubi dengan tiga jurus dirangkai sekaligus tanpa memberi kesempatan lawan balas menyerang. Pancingannya berhasil karena Yo-kongcu melanjutkan langkah-langkahnya untuk menghindar. Lincah sekali gerakan pemuda itu dan tiga jurus yang dilancarkan dengan cepat ini dapat dihindarkan dengan baik.
"Tahan!" teriak Hwat Ki yang tak dapat menahan keheranan hatinya lagi. "Orang she Yo, dari mana kau mencuri langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun?"
Yo-kongcu tertawa mengejek, mempermainkan sabuk sutera putih di tangan kirinya.
"Tan Hwat Ki, apa kau kira hanya engkau sendiri yang mampu mainkan langkah-langkah Kim-tiauw-kun? Ihhh.., kau terlampau memandang rendah kepadaku. Lihat seranganku!"
Dengan cepat sekali seberkas cahaya putih menyambar ke arah Hwat Ki. Pemuda ini mengenal sinar putih yang siang tadi telah merampas pedang Hek-kim-kiam dari tangan sumoi-nya. la tidak menjadi gentar, segera memutar tangan kirinya dan mendorong ke depan.
"Plakkk!"
Ujung sinar putih atau lebih tepat ujung sabuk sutera putih itu terpental kembali ketika bertemu dengan tangan kiri Hwat Ki yang pada waktu didorongkan mengeluarkan cahaya kehijauan itu. Kagetlah Yo-kongcu.
Pukulan tangan kiri Hwat Ki tadi jelas adalah pukulan jarak jauh yang luar biasa sekali. Memang sesungguhnya demikianlah. Hanya ada satu macam ilmu pukulan jarak jauh di dunia ini yang dilakukannya dengan cara memutar-mutar lengan kiri seperti itu, yaitu Ilmu Pukulan Ching-tok-ciang (Tangan Racun Hijau)!
Ilmu Pukulan Ching-tok-ciang ini diwarisi Hwat Ki dari ayahnya, sebab ilmu ini merupakan peninggalan neneknya, ibu dari Tan Sin Lee. Karena ilmu ini sifatnya ganas dan liar, lebih tepat dipergunakan oleh golongan hitam, maka Tan Sin Lee tidak mengajarkannya kepada murid-muridnya yang lain kecuali kepada putera tunggalnya, dengan pesan agar ilmu ini jangan dipergunakan kalau tidak perlu. Biar pun ilmu ini merupakan ilmu ganas, namun karena merupakan peninggalan ibunya, terpaksa dia wariskan kepada puteranya.
Akan tetapi pemuda she Yo yang tangkas itu hanya sebentar saja terkejut karena selain dia segera dapat mengatasi kekagetannya, juga sekarang pedangnya sudah menerjang dengan gerakan yang sangat ganas dan cepat. Sifat gerakan pedangnya jauh berbeda kalau dibandingkan dengan gerakan samurai di tangan Shatoku, pemuda Jepang tadi. Gerakan samurai cepat bertenaga, akan tetapi tenaganya adalah tenaga kasar, ada pun kecepatannya wajar. Karena itu sifatnya sangat berbeda dengan ilmu silat pedang yang lebih banyak mengandalkan kecepatan ginkang, tenaga dalam dan gerak-gerak tipu dan pancingan-pancingan yang berbahaya.
Hwat Ki menjadi heran dan kagum juga. Pemuda Jepang darah campuran ini ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat dan aneh sekali, karena gerakan-gerakannya biar pun masih jelas merupakan ilmu pedang yang pilihan, juga tercampur gerakan silat Jepang. Ginkang-nya cukup tinggi, tenaga sinkang-nya juga sangat kuat, sedangkan pedang di tangannya itu pun terbuat dari bahan baja pilihan karena setiap kali bertemu dengan Swat-cu-kiam di tangannya, lantas mengeluarkan warna seperti perak dan mempunyai tenaga getaran tanda logam pusaka.
Di sampng ini, pemuda peranakan Jepang itu benar-benar lincah sekali menggunakan langkah-langkah bersumber Kim-tiauw-kun. Dia pernah mendengar dari ayahnya bahwa Kim-tiauw-kun merupakan sumber banyak macam ilmu langkah ajaib, di antaranya yang terhebat adalah Si-cap-it Sin-po dan yang kedua adalah Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te (Terbang di Langit Masuk ke Bumi).
Berbeda dengan Si-cap-it Sin-po yang mempunyai empat puluh satu langkah, Hui-thian Jip-te mempunyai dua puluh empat langkah. Agaknya, pemuda she Yo ini menggunakan Hui-thian Jip-te karena langkah-langkahnya tidak terlalu banyak macamnya namun cukup untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan berbahaya.
Yang lebih berbahaya adalah sabuk sutera putih ini berkelebatan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata, kadang kala bergulung-gulung menjadi lingkaran-lingkaran besar kecil yang selain dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan, juga sering digunakan untuk berusaha melibat pedang lawan dan merampasnya.
Akan tetapi Tan Hwat Ki tidak selemah sumoi-nya. Ilmu pedangnya mantap, gerakannya penuh tenaga dalam, sikapnya tenang dan pertahanannya pun kokoh kuat. Sama sekali sabuk sutera putih itu tidak membuat hatinya gugup, malah secara pelan-pelan dengan dorongan-dorongan Ching-tok-ciang dan tekanan pedang Swat-cu-kiam di tangan kanan, dia mulai mendesak lawannya setelah pertandingan berlangsung lebih dari seratus jurus dengan amat serunya.
Tiga orang tua yang masih duduk menghadapi meja, dan juga Bu Cui Kim, memandang penuh kekaguman. Diam-diam Cui Kim semakin kagum terhadap pemuda Jepang yang tampan sekali itu. Tadinya dia menganggap bahwa di antara semua pemuda di dunia ini, sukarlah mencari tandingan suheng-nya yang mempunyai kepandaian luar biasa. Siapa kira, kini pemuda peranakan Jepang yang tampan sekali itu mampu menandingi Hwat Ki sampai lebih dari seratus jurus dalam pertandingan yang seru dan seimbang. Hatinya makin kagum dan ia memandang penuh perhatian.
Sesudah melihat betapa pelan-pelan pemuda peranakan Jepang itu mulai terdesak oleh lingkaran-lingkaran sinar pedang suhengnya, diam-diam Cui Kim menaruh kekhawatiran kalau-kalau kakak seperguruannya itu akan menurunkan tangan besi dan membunuh si pemuda Jepang seperti yang dilakukannya terhadap Shatoku, pemuda Jepang tadi.
Memang Hwat Ki tidak mau memberi kesempatan lagi kepada Yosiko. la pikir lebih baik melenyapkan ketua Kipas Hitam ini karena kalau ketuanya sudah tewas, tentu akan lebih mudah membasmi gerombolan bajak laut yang mengganggu keamanan wilayah Po-hai. Maka dia makin hebat mendesak dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu pedangnya.
Ada pun Yo-kongcu yang terdesak itu, berkali-kali mengeluarkan seruan kagum atas ilmu kepandaian lawan. la tidak kelihatan gelisah, meski terdesak dan tertekan, seruan-seruan kagum dari mulutnya mengandung kegembiraan.
"Hebat, kau patut menjadi jodohnya..." demikian berkali-kali dia berseru. "Ilmu pedangmu hebat!"
"Tidak usah banyak cakap, bersiaplah untuk mampus!" bentak Hwat Ki dan pedangnya menyambar-nyambar seperti tangan maut mencari korban.
Mendadak dia mendengar suara Cui Kim berseru keras, "Suheng, celaka... kita tertipu...!"
Hwat Ki kaget dan menengok. Ternyata adik seperguruannya itu terhuyung-huyung lalu roboh pingsan di atas lantai! la tidak tahu apa yang terjadi atas diri sumoi-nya, cepat dia meloncat ke arah adik seperguruannya itu, akan tetapi mendadak dia merasa kepalanya pening, pandang matanya berkunang-kunang.
Tahulah dia sekarang. la, seperti juga sumoi-nya, terkena racun! Agaknya tadi karena dia bertanding dan mengerahkan sinkang, racun itu belum begitu terasa olehnya. Apa lagi memang sinkang yang dimiliki sumoi-nya tidak sekuat sinkangnya. Dengan penuh kemarahan Hwat Ki menengok. Dilihatnya Yosiko atau Yo-kongcu (tuan muda Yo) itu tersenyum, berdiri memandang kepadanya seperti orang mengejek.
"Keparat! Kau... curang! Kau meracuni kami...!" Hwat Ki menguatkan diri dan memaki.
Senyum itu melebar, akan tetapi kini pandangan mata Hwat Ki sudah remang-remang dan kurang jelas, hanya kelihatan gigi putih berkilat, kemudian terdengar suara pemuda Jepang kepala bajak itu berkata, terdengar oleh telinganya seperti suara yang datang dari jauh sekali,
“Tan Hwat Ki, kau belum mengenal kelihaian Kipas Hitam. Jika tadi kau kalah bertanding denganku, kau dan adikmu tentu sekarang sudah mati, sebab kau tidak ada harganya. Untung kau menang, maka kau dan adikmu harus menjadi tawananku. Jangan khawatir, kami tidak akan membunuh kalian, racun itu hanya beberapa menit saja membuat kalian pingsan..."
Apa yang diucapkan selanjutnya tak dapat terdengar lagi oleh Hwat Ki yang telah roboh pingsan di samping adik seperguruannya.
"Siauw-pangcu... (Ketua Muda), untuk apa menawan mereka? Lebih baik lekas dibunuh saja agar tidak menimbulkan keruwetan di belakang hari," berkata seorang di antara dua kakek itu, yang bertubuh kurus kering.
"Pauw-lopek (uwa Pauw), mereka itu masih orang sendiri, tidak mungkin aku membunuh mereka, kecuali... hemmm kecuali jika mereka tidak mau menurut memihak kita," jawab Yosiko dengan suara tegas.
"Bagus sekali! Kipas Hitam kiranya hanya perkumpulan bajak busuk yang dipimpin oleh seorang wanita curang!" tiba-tiba terdengar suara orang.
Kaget bukan main hati Yosiko, serentak dia meloncat dan siap, demikian pula tiga orang tua itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di sana sudah muncul seorang pemuda berpakaian serba putih yang sederhana, dengan wajah yang tenang dan penuh wibawa. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Wan!
Seperti kita ketahui, secara kebetulan sekali Yo Wan berada di rumah makan di dusun Leng-si-bun dan menyaksikan peristiwa yang terjadi antara muda-mudi Lu-liang-san itu dengan orang-orang Kipas Hitam. Pada saat muncul Yosiko yang mengaku she Yo dan memiliki gerakan yang sangat hebat, dia kaget dan heran sekali, juga ingin tahu karena bagaimana ketua Kipas Hitam itu memiliki she (nama keturunan) yang sama dengan dia?
Diam-diam dia menyelinap pergi sambil meninggalkan uang pembayaran makan minum, lantas membayangi si pemuda ketua Kipas Hitam itu ke dusun Kui-bun di pantai Po-hai. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Yo Wan berhasil membayangi terus sampai di gedung tempat kediaman ketua Kipas Hitam itu dan bersembunyi. la dapat menduga bahwa muda-mudi yang dirampas pedangnya itu pasti akan menyusul ke Kui-bun. Maka, diam-diam dia bersembunyi sambil memasang mata, siap menolong muda-mudi itu bila mereka terancam bahaya.
Kalau muda-mudi itu bertentangan dengan golongan bajak laut yang telah mengganggu ketenteraman penghidupan para nelayan dan saudagar di tepi laut, tentu saja dia akan memihak mereka. Apa lagi karena timbul dugaan di dalam hatinya bahwa muda-mudi itu sedikit banyak tentu mempunyai hubungan dengan gurunya, Pendekar Buta.
Ketika dugaannya terbukti dengan munculnya muda-mudi di ruangan besar gedung itu, dia mendapat kenyataan yang menggirangkan, juga mengherankan hatinya. Pemuda itu ternyata bernama Tan Hwat Ki, putera Tan Sin Lee ketua Lu-liang-pai. Kini tidak heranlah dia mengapa pemuda itu dan sumoi-nya demikian lihai dan mempunyai gerakan langkah Kim-tiauw-kun. Tentu saja dia girang dan niatnya menolong atau membantu mereka lebih mantap lagi.
Akan tetapi, hal yang amat mengherankan hatinya adalah ketika dia melihat kenyataan pula bahwa pemuda baju putih yang disebut Yosiko atau Yo-kongcu dan menjadi ketua Kipas Hitam itu ternyata adalah seorang wanita! Pandang matanya yang tajam segera dapat membuka rahasia ini ketika Yosiko mulai bersilat melawan Hwat Ki. Ada gerakan-gerakan otomatis pada kaki dan lengan seorang wanita, yang sangat berbeda dengan gerakan otomatis kaki tangan pria.
Dalam menggerakkan lengannya, seorang wanita otomatis tidak mau membuka pangkal lengannya menjauhi dada, hal ini adalah sifat pembawaan tiap wanita. Tentu saja dalam mainkan ilmu silat, hal ini tidak mengikat benar, namun dalam ilmu silat pun tercampur dengan gerakan otomatis yang menjadi dasar menurut pembawaan masing-masing...