Jaka Lola Jilid 22

Cerita silat kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 22

Yo Wan mengangguk-angguk dan mulai teranglah sekarang baginya kenapa keponakan Raja Pedang menikah dengan seorang bajak laut. Hanya dia masih merasa heran bagaimana ibu dan anak ini dapat mainkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun, padahal Raja Pedang sendiri tidak mengerti akan ilmu ini. Setahunya, selain dirinya, sekarang di dunia ini hanya ada dua orang yang mengerti ilmu langkah ajaib ini. Yang seorang adalah suhunya, yaitu Pendekar Buta, dan seorang lagi tentu saja Tan Sin Lee, ketua dari Lu-liang-pai.

"Hemmm, kiranya begitukah? Tetapi, Nona..."

"Namaku Yosiko, tak perlu kau repot-repot menambahi nona segala, biasanya aku malah disebut kongcu (tuan muda)...," potong Yosiko sambil tersenyum.

Hemmm, gadis ini lincah jenaka dan galak, sama persis seperti sifat-sifatnya Siu Bi gadis Go-bi-san itu.

"Baiklah, kusebut kau Yosiko. Setelah kau menjadi ketua bajak laut dan kau sudah tahu pula bahwa muda-mudi itu adalah putera dan murid Lu-liang-pai, kenapa kau memusuhi mereka?"

"Mereka adalah komplotan alat pemerintah, mereka agaknya mata-mata yang diperintah menyelidiki keadaan kami, dan mereka telah membunuh beberapa orangku! Tadinya aku masih mengampuni mereka! Hemmm, kalau saja aku tahu bahwa mereka itu berkomplot dengan tentara pemerintah, tentu kemarin sudah kubunuh mereka!"

"Kau menaruh murah hati ataukah karena kau tertarik kepada Tan Hwat Ki yang gagah perkasa dan tampan? Tahukah kau bahwa Tan Hwat Ki adalah cucu pendekar sakti Raja Pedang Tan Beng San lo-kiam-ong (raja pedang tua) ketua Thai-san-pai? Bukankah dia itu masih saudara misanmu sendiri? Bagaimana kau hendak membunuhnya?"

Yosiko terkejut dan heran. "Wah… wah, agaknya engkau mengetahui banyak hal tentang diriku! Yo Wan, kau duduklah, mari kita bicara. Agaknya terhadap orang yang sudah tahu akan segala hal ini, tak perlu lagi aku menyimpan rahasia. Kau duduklah dan dengarkan penjelasanku."

Karena memang kesehatannya belum pulih benar, Yo Wan yang ingin sekali mengetahui keadaan gadis ini dan ingin tahu pula latar belakang mengapa dia dirawat setelah dilukai, dan mengapa pula ibu gadis ini tadi menyerangnya mati-matian, dia tidak membantah dan duduklah dia di atas pembaringan kayu.

Yosiko sendiri lalu duduk di atas sebuah bangku yang berdekatan. Sambil membetulkan dan memainkan kuncir rambutnya, gadis ini berkata, "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa mengetahui bahwa aku merupakan saudara misan dengan Tan Hwat Ki! Sesungguhnya, Raja Pedang Tan Beng San yang kau sohorkan itu adalah paman ibuku. Akan tetapi kami tidak peduli akan dia, karena dia bukanlah paman yang baik dari ibu!"

Yo Wan pernah mendengar pula akan hal ini. Kakak dari Raja Pedang Tan Beng San bernama Tan Beng Kui dan ibu dari Yosiko ini yang bernama Tan Loan Ki adalah puteri Tan Beng Kui itulah. la mendengar pula bahwa memang ada pertentangan antara kedua orang saudara itu, akan tetapi suhu-nya, Pendekar Buta, tak pernah menceritakan secara jelas. (baca kisah Raja Pedang dan Rajawali Emas)

"Apakah karena pertentangan antara kakekmu dan Raja Pedang itu maka kau hendak membunuh cucu Raja Pedang? Akan tetapi kau tadinya kau kagum kepada Hwat Ki, bahkan kau berkata hendak menjodohkan dia dengan adikmu yang ternyata adalah kau sendiri!"

Gadis lain yang ditegur seperti ini, yang sekaligus membuka rahasia hatinya, tentu akan menjadi malu dan marah. Akan tetapi Yosiko tersenyum dan mengangguk-angguk!

"Betul, begitulah! Akan tetapi setelah kau muncul, aku tidak kagum lagi kepada Tan Hwat Ki, bahkan setelah tahu dia berkomplot dengan bala tentara pemerintah yang membasmi kami, aku benci kepadanya."

Sekarang Yo Wan yang terheran-heran mendengar ucapan yang begini terus terang dari seorang gadis remaja. "Yosiko, benar-benar aku tak mengerti bagaimana seorang gadis sepandai engkau, memilih-milih pria seperti ini...?"

Kembali Yosiko tersenyum lagi, seakan-akan pertanyaan yang bagi gadis lain tentu akan merupakan pisau yang menusuk perasaan ini tapi baginya hanya merupakan pertanyaan yang wajar dan biasa.

"Mengapa tidak? Yo Wan, semenjak aku masih kecil, ibu dan aku bercita-cita agar aku mendapatkan jodoh seorang pria yang jauh lebih lihai dari pada aku. Hal ini adalah karena aku dan ibu tidak ingin melihat kematian seperti ayah terulang kembali. Ayah meninggal karena kurang pandai ilmunya, dan aku memang tidak sudi diperisteri laki-laki yang lemah, yang tak dapat menangkan aku. Akan tetapi selama beberapa tahun ini, di antara bajak laut, aku hanya melihat laki-laki yang tak becus, paling hebat hanya macam Shatoku murid ayah yang tewas oleh Tan Hwat Ki kemarin. Sedangkan di darat, aku pun belum pernah bertemu laki-laki yang mampu mengalahkan aku. Itulah sebabnya kenapa pertemuanku dengan Tan Hwat Ki menarik hatiku. Dia lebih lihai dari pada aku, biar pun hanya sedikit selisihnya. Tentu saja pada saat itu hatiku tertarik dan tadinya aku hendak mencalonkan dia sebagai jodohku. Akan tetapi, kemudian muncul kau yang hanya dalam beberapa gebrakan saja dapat mengalahkan aku. Terang bahwa tingkat kepandaianmu jauh melampaui Tan Hwat Ki, karena itu... karena itu..."

Tentu saja Yo Wan maklum akan apa yang dimaksudkan oleh gadis itu. Akan tetapi hal ini membuatnya menjadi mendongkol sekali. Boleh jadi Yosiko seorang gadis yang cantik jelita, yang sukar dicari bandingannya baik dalam hal kecantikan mau pun kepandaian. Akan tetapi dia bukanlah laki-laki yang boleh dipilih sebagai jodoh lalu jadi begitu saja! Kedongkolan hatinya membuat dia jadi tega untuk mendesak Yosiko yang mulai merasa jengah dan malu karena betapa pun juga dia adalah seorang gadis.

"Karena itu... bagaimana, Yosiko? Kau melukai aku dengan jarum beracunmu, kemudian kau menolongku di laut dan merawatku di sini. Apa kehendakmu?"

Yosiko masih tersenyum, akan tetapi sekarang tidak selancar tadi dia menjawab, bahkan kelihatan gagap, "Yo Wan, tak mengertikah kau? Aku... aku... karena kau jauh lebih lihai dari pada Tan Hwat Ki, aku... aku memilih engkau!"

Diam-diam Yo Wan merasa terharu sekali. Gadis ini amat polos dan jujur, terang bahwa di dalam sanubari seorang gadis semacam ini terkandung watak yang bersih dan tidak dibuat-buat. Mungkin gadis ini belum pernah mengenal rasa cinta kasih antar muda-mudi sehingga dalam soal pemilihan jodoh, sama sekali dia tidak mendasarkan pada cinta, melainkan pada ‘tingkat kepandaian’. Dan semua itu ia kemukakan dengan jujur dan apa adanya!

"Hemmmm...! Dan ibumu, mengapa tadi ia menyerangku mati-matian?"

"Ibu tidak percaya kepadaku akan kelihaianmu, tidak puas kalau tidak mencoba sendiri."

Ah, anaknya gila ibunya sinting, gerutu Yo Wan di dalam hatinya. la pernah tertarik sekali kepada Siu Bi dan agaknya kali ini dia akan jatuh cinta pada gadis aneh yang jelita ini kalau saja hatinya tidak sudah terampas oleh Cui Sian, puteri Raja Pedang!

Setelah dia mengenal Cui Sian yang berhasil menjatuhkan hatinya dan merenggut cinta kasihnya, kini Yo Wan menganggap Yosiko sebagai seorang bocah yang nakal. la harus segera membebaskan diri dari ibu dan anak ini, akan tetapi jika lukanya belum sembuh, agaknya tidak mungkin hal itu dia lakukan. Gadis ini sudah cukup berbahaya, apa lagi di situ masih ada ibunya yang lihai. la harus bersabar dan menanti sampai lukanya sembuh betul.

Berpikir demikian, Yo Wan lalu merebahkan dirinya tanpa berkata apa-apa.

"Bagaimana? Menarikkah penuturanku?” tanya Yosiko.

"Menarik juga, tapi sudahlah. Aku mau tidur."

Yosiko merengut gemas. "Bagaimana pendapatmu? Kau tentu tidak keberatan menjadi pilihanku?"

Edan, pikir Yo Wan. Terpaksa dia menjawab, "Yosiko, kau memandang terlalu rendah tentang perjodohan. Apa kau kira syarat kebahagiaan perjodohan adalah ilmu silat yang tinggi? Apakah kalau kau menjadi isteri seorang ahli silat yang lebih lihai dari padamu, hidupmu lalu bahagia?"

"Tentu saja!" jawab Yosiko tanpa ragu-ragu lagi. "Ayah tewas karena kepandaiannya kurang tinggi, sehingga ibu menjadi janda. Bukankah itu celaka sekali? Seandainya ayah berkepandaian tinggi seperti kau, kiranya sekarang ayah masih hidup. Dengan seorang suami berkepandaian paling tinggi, hidupku akan terjamin. Karena itu aku memilihmu!"

Yo Wan menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya, akan tetapi dia tidak bangkit dari pembaringan.

"Yosiko, agaknya semenjak kecil kau hidup dikelilingi kekerasan dan kekejaman hingga kau tak mempedulikan tentang perasaan. Apakah kau tidak mempunyai perasaan halus? Apakah ibumu tidak pernah memberi tahu kepadamu bahwa syarat perjodohan adalah kasih sayang?"

"Tentu saja sudah!" Yosiko tersenyum lagi, matanya bersinar-sinar gembira. "Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?"

Yo Wan mengeluh di dalam hatinya. Sukar bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. la harus bicara dengan ibu gadis ini yang tentu lebih mudah diajak berbicara. Diam-diam dia pun kasihan kepada Yosiko karena kalau dibiarkan demikian, kelak mungkin sekali berjodoh dengan seorang pria tanpa kasih sayang hingga akhirnya hidupnya akan merana dalam kesengsaraan batin.

Hatinya lega juga karena kini dia yakin bahwa perawatan gadis itu, juga sikap manisnya, bukan terdorong oleh rasa cinta yang dia khawatirkan, melainkan oleh rasa kagum akan kepandaiannya sehingga dia dipilih menjadi calon jodohnya dan karena itu harus dirawat hingga sembuh! Diam-diam Yo Wan merasa seolah-olah dirinya menjadi seekor binatang peliharaan terkasih yang sedang sakit!

"Bagaimana, Yo Wan? Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?"

Yo Wan menarik napas panjang. "Sudahlah, Yosiko, biarkan aku mengaso. Kelak kalau aku sudah sembuh, hal ini akan kita bicarakan bersama ibumu. Tentu saja aku sayang kepadamu, kau gadis yang baik."

Girang sekali hati Yosiko dan wajahnya berseri. la cepat mengambil sehelai selimut dan menyelimuti tubuh Yo Wan yang segera tertidur nyenyak. Yosiko juga berbaring di atas sebuah pembaringan kayu kecil di sudut ruangan, wajahnya kelihatan puas dan berseri.

Menjelang pagi, Yo Wan terbangun dari tidurnya ketika dia mendengar orang berseru girang, "Dia di sini...!"

Sebagai seorang ahli silat yang iihai, begitu sadar Yo Wan sudah meloncat turun dari pembaringannya, siap menghadapi bahaya. Akan tetapi wajahnya berubah ketika dia melihat sepasang muda-mudi dari Lu-liang-pai yang berdiri di mulut goa dan memandang kepadanya dengan terheran, apa lagi ketika mereka memandang kepada Yosiko yang juga sudah duduk di atas pembaringannya.

Tentu saja Yo Wan menjadi jengah dan bingung sekali. Betapa tidak? Orang melihat dia berduaan dengan seorang gadis cantik dalam sebuah goa, melewatkan malam di situ! Di lain pihak, Tan Hwat Ki dan sumoi-nya yang tidak mengenal keadaan Yo Wan, tentu saja mengira bahwa gadis ini tentu ada hubungannya dengan pendekar yang telah menolong mereka.

"Saudara yang gagah perkasa, kiranya kau berada di sini dan dalam keadaan selamat. Syukurlah...," kata Hwat Ki sambill melirik ke arah Yosiko.

Lirikan inilah yang membuat Yo Wan cepat-cepat memperkenalkan. "Aku juga gembira melihat kalian selamat dan Nona ini... ehhh, dia nona Yosiko..."

"Apa...?! Dia... dia ketua Kipas Hitam...?"

Yosiko tersenyum, sepasang matanya yang puas tidur itu berseri.

"Aku adiknya!"

"Srattttt!"

Tampak cahaya hitam berkelebat ketika Bu Cui Kim mencabut Hek-kim-kiam dan sambil berseru nyaring nona ini menerjang maju ke arah Yosiko.

"Eh, ahh, galaknya...!" Yosiko mengejek dan sekali meloncat ia telah menghindarkan diri.

"Sumoi...!" Hwat Ki berseru bingung.

"Suheng, tidak lekas-lekas membantu aku membasmi bajak laut mau tunggu apa lagi?" Bu Cui Kim berseru dan terus menyerang lagi.

Hwat Ki menjadi merah mukanya, akan tetapi biar pun tadinya dia ragu-ragu, mengingat betapa lihainya Yosiko, dia sudah mencabut pedangnya pula dan melompat maju untuk membantu sumoi-nya.

"Tahan senjata!" Yo Wan berseru sambil melangkah maju. Suaranya berpengaruh sekali sehingga tidak saja Hwat Ki serta Cui Kim menghentikan penyerangannya, juga Yosiko yang sudah memegang pedangnya, berhenti dan memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang muda Lu-liang-san itu.

"Saudara Tan Hwat Ki, ketahuilah bahwa nona Yosiko ini bukanlah orang lain, melainkan saudara misanmu sendiri. Dia adalah puteri dari bibimu Tan Loan Ki yang telah menikah dengan seorang pendekar Jepang."

Tentu saja Hwat Ki sudah pernah mendengar nama-nama ini dari ayahnya, maka dia memandang dengan bingung, kemudian dia menatap wajah Yo Wan penuh curiga.

"Kau siapakah? Bagaimana mengetahui namaku?"

Yo Wan menjura sambil tersenyum. "Aku Yo Wan..."

Hwat Ki terkejut. "Apa? Kau murid paman Kwa Kun Hong Pendekar Buta?"

"Ahhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Cui Kim dan mulut Yosiko.

"Beliau adalah suhuku yang terhormat," jawab Yo Wan sederhana.

"Saudara Yo... tapi... tapi mengapa dia menjadi... ehhh, ketua bajak laut? Dan di mana pula Bibi Loan Ki?"

"Suheng, walau pun masih ada ikatan keluarga, kalau jahat harus kita basmi!" Cui Kim berseru, matanya masih melotot marah.

"Yo Wan, dua orang ini bersekongkol dengan orang pemerintah, anak buahku banyak yang tewas. Biarkan kubunuh mereka!" bentak Yosiko pula.

Yo Wan maklum akan sulitnya keadaan. Kalau dibiarkan saja, tiga orang ini tentu akan bertanding mati-matian. la mengangkat kedua tangannya dan berkata, suaranya kereng.

"Tidak boleh! Saudara Hwat Ki, biarlah lain kali aku menerangkan semua ini kepadamu. Sekarang kuminta dengan hormat agar kau dan sumoi-mu meninggalkan tempat ini dan kuminta pula agar kau tidak memberi tahukan tempat ini kepada orang lain."

Hwat Ki meragu. Cui Kim mengomel, "Mana bisa? Dia bajak..."

Akhirnya Hwat Ki menjura kepada Yo Wan. "Saudara Yo Wan, oleh karena kau pernah menolong kami, maka aku percaya kepadamu, apa lagi mengingat bahwa engkau adalah murid paman Kwa Kun Hong. Akan tetapi, aku tetap mengharapkan penjelasanmu kelak mengapa kau melarang kami." Setelah berkata demikian, Hwat Ki mengajak sumoi-nya keluar dari goa itu.

Sesudah dua orang muda itu pergi, Yosiko lantas mengomel, "Yo Wan, mengapa kau menghalangi aku membunuh dua orang itu? Mereka musuh Kipas Hitam..."

"Mereka adalah pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa, pembasmi kejahatan, apa lagi Tan Hwat Ki adalah putera Lu-liang-pai, cucu Raja Pedang. Mana mungkin aku membiarkan dia terbunuh? Aku tidak menghendaki permusuhan dengan kau dan kalau kau menyerangnya, terpaksa aku membantunya."

Dengan muka masih cemberut Yosiko berkata, "Hemmm, kau memang tak kenal budi, tidak mengasihani orang. Hwat Ki sendiri saja kepandaiannya sudah lebih lihai dari pada aku, melawan dia saja aku belum tentu dapat menang, kau masih hendak membantunya. Sama saja dengan kau dan dia sengaja hendak membunuh aku!"

Aneh sekali, secara mendadak gadis itu menangis! Akan tetapi hanya sebentar saja air matanya bercucuran keluar, karena segera dihapusnya dan sikapnya kembali keras.

"Kau mau bunuh aku, kenapa masih memakai jalan memutar, plintat-plintut? Mau bunuh hayo bunuh!"

"Eh-ehh, kenapa kau mengamuk tidak karuan, Yosiko? Siapa ingin membunuhmu? Aku bilang membantu mereka, yaitu kalau kau hendak membunuh mereka, karena biar pun ilmu silatmu kalah lihai, namun akalmu lebih banyak dan tipu muslihatmu mungkin akan mengalahkan mereka berdua. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu mereka yang mengancam keselamatanmu dan hendak membunuhmu, sudah tentu akan kuhalangi niat mereka dan kubela engkau."

Seketika berubah wajah Yosiko, kemarahannya lenyap bagaikan awan tipis ditiup angin. Akan tetapi dia masih mencela, "Yo Wan, kalau memang kau suka kepadaku, mengapa kepalang tanggung? Kalau kau membenciku, juga kenapa tidak terus terang saja? Kau orang aneh... tapi sudahlah, kau mengaso biar sembuh, baru kita bicara lagi. Sebentar lagi ibu tentu akan mengantarkan obat yang kuminta, atau aku akan mencari ke sana."

Yo Wan tidak mau membantah lagi. la maklum bahwa menghadapi seorang gadis remaja yang galak ini, lebih baik jika dia menutup mulut dan bersabar sampai dia sembuh benar. Kalau dilawannya cekcok mulut tentu akan makin menjadi-jadi dan hal ini amat tidak baik baginya….
cerita silat karya kho ping hoo

Di tempat lain, terjadi percekcokan lain lagi. Semenjak meninggalkan goa yang dijadikan tempat persernbunyian ketua Kipas Hitam itu, Bu Cui Kim tampak cemberut dan menjadi pendiam. Sudah beberapa kali Hwat Ki mengajaknya bicara, akan tetapi sumoi-nya yang biasanya amat ramah dan taat kepadanya, kini hanya menjawab secara singkat-singkat saja, kadang-kadang bahkan tak menjawab sama sekali. Seakan-akan kegembiraan dan semangat sumoinya tertinggal di goa!

Diam-diam Hwat Ki curiga. Hatinya sudah merasa sangat tidak enak ketika malam tadi mereka dijamu sebagai tamu ketua Kipas Hitam, karena dia menduga bahwa sumoi-nya tertarik oleh ketua Kipas Hitam yang tampan jenaka. Apakah sumoi-nya menjadi kecewa melihat ketua Kipas Hitam yang disangkanya seorang pemuda tampan gagah itu seorang wanita? Ataukah... sumoi-nya tertarik kepada Yo Wan, pemuda sederhana yang sangat sakti itu? Akhirnya Hwat Ki tidak dapat menahan perasaannya. la berhenti di tempat yang amat indah di tepi sungai. Amat sejuk hawa pagi itu dengan sinar matahari dan air sungai yang mulai mengeluarkan suara berdendang saat alirannya bermain dengan batu-batu karang.

Burung-burung pagi berkicau dan menari-nari di atas dahan-dahan pohon. Angin pagi yang semilir merontokkan daun-daun tua dan mutiara-mutiara embun yang menempel di ujung daun-daun hijau. Daun bambu dilanda angin berkeresekan halus seperti sepasang kekasih berbisikan mesra. Pagi yang indah, akan tetapi anehnya, wajah muda-mudi dari Lu-liang-san ini muram!

Melihat Hwat Ki berhenti dan berdiri bersandarkan batu karang, Cui Kim juga berhenti, berdiri termenung memandang air sungai, sama sekali tidak mempedulikan suheng-nya. Suasana kaku serta tegang ini terasa benar oleh mereka dan Hwat Ki maklum bahwa sesuatu yang mengganjal ini bila tidak lekas ia dongkel dan singkirkan, akan merupakan penghalang yang amat tidak menyenangkan dalam pergaulannya dengan sumoinya.

Selama bertahun-tahun sumoi-nya menjadi murid ayahnya, sejak mereka berdua baru berusia dua tiga belas tahun, mereka telah bermain-main bersama, rukun dan tak pernah bercekcok, seperti kakak beradik kandung saja. Baru sekarang ini terjadi hal yang amat aneh, yang membuat mereka murung dan seakan-akan enggan menatap wajah masing-masing, hati penuh kemarahan dan ketidak puasan!

"Sumoi, apakah yang kau pikirkan?"
"Tidak apa-apa..."

Hemm, jawaban yang dipaksakan, sebetulnya enggan menjawab, dan kemarahan serta sakit hati yang amat besar terkandung dalam suara itu, pikir Hwat Ki. Rasa cemburunya makin membesar dan dia pun membuang muka. Sampai beberapa lama keduanya diam saja. Hwat Ki berdiri dengan kaki kanan di atas batu karang, bersandar pada batu karang yang agak tinggi dan membelakangi sungai. Sebaliknya, Cui Kim berdiri menghadapi sungai, mukanya lurus memandang ke arah sungai, mulutnya yang biasanya manis itu cemberut. Karena keduanya berdiam diri, makin teganglah suasana.

"Sumoi, sungguh tidak enak keadaan begini!" Akhirnya berkatalah Hwat Ki dengan suara marah pula. "Semenjak pertemuan kita dengan ketua Kipas Hitam malam tadi, kau sudah berubah, kemudian setelah meninggalkan goa, kau benar-benar berbeda sekali..."

Dengan gerakan serentak Cui Kim membalikkan tubuh memandang, matanya bersinar penuh kemarahan dan suaranya keras kaku, "Suheng, apa perlunya kau memutar balik kenyataan? Siapakah yang berubah? Kau ataukah aku?"

Hwat Ki membelalakkan matanya. "Ehh… ehhh, bagaimana ini? Kau malah bilang aku yang berubah? Sumoi, kau mencari-cari. Aku berubah bagaimana?"

"Masa pura-pura bertanya lagi!" Kembali Cui Kim membuang muka, memutar tubuhnya membelakangi suhengnya.

Benar-benar aneh sekali ini, pikir Hwat Ki. Belum pernah sumoi-nya ini bersikap seperti ini terhadapnya. "Sumoi, bilanglah, apa kesalahanku sehingga kau marah-marah macam ini?"

"Hemmm, setelah kau melihat bahwa ketua Kipas Hitam ternyata seorang gadis secantik bidadari, gadis jelita yang malam tadi menyatakan terang-terangan hendak menjodohkan kau dengan dirinya sendiri, kau... kau... melepaskan dia begitu saja?"

"Ehh… ehhh... aku hanya mentaati permintaan saudara Yo Wan..."

"Alasan kosong. Biar pun dewa yang minta dia dilepaskan, mengingat dialah ketua Kipas Hitam, mestinya kita membunuhnya atau setidaknya menangkapnya. Akan tetapi kau... dengan mudah kau melepaskannya, karena kau... karena kau cinta kepadanya..." Kini suara ini mengandung isak.

Hening sejenak. Hwat Ki mengerutkan kening, kepalanya dimiringkan, dia memutar otak. Kemudian mendadak dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha!"

"Apanya yang lucu?" Cui Kim yang tadinya kaget menengok, bertanya.

Hwat Ki masih tertawa terus, kemudian katanya, "Terang kau cemburu kepada Yosiko! Ha-ha-ha, dan malam tadi aku cemburu pula kepada Yosiko karena kau agaknya tertarik sekali kepadanya! Ha-ha-ha, kumaksudkan tentu saja aku cemburu kepada Yosiko pria dan kau cemburu kepada Yosiko wanita! Ha-ha-ha, kita berdua cemburu kepada satu orang. Malam tadi aku menyangka kau tergila-gila kepada Yosiko, sekarang kaulah yang menyangka aku tergila-gila kepada Yosiko pula. Bukankah lucu sekali ini?"

Seketika wajah Cui Kim pun menjadi merah dan jantungnya berdebar. Bagaimana pun juga ucapan ini mengenai perasaannya karena ia tidak dapat menyangkal hatinya sendiri bahwa malam tadi memang ia tertarik oleh gerak-gerik Yosiko yang disangkanya pemuda yang amat tampan dan gagah! Akan tetapi sebagai seorang gadis, tentu saja ia tidak sudi mengakui hal ini, maka dengan tersipu-sipu ia berkata, "Cih! Siapa yang tergila-gila pada seorang bajak? Suheng, jangan kau hendak menutupi kesalahan sendiri dengan fitnah pada orang lain!"

Namun Hwat Ki yang sudah mengenal sumoi-nya semenjak kecil, dengan lega mendapat kenyataan bahwa adik seperguruannya ini tidak marah lagi seperti tadi. Dia melangkah maju mendekati Cui Kim dan menegur.

"Sumoi, sungguh mati, aku berani bersumpah bahwa tadi aku melepaskan Yosiko hanya karena memandang muka saudara Yo Wan, dan mungkin juga terdorong oleh kenyataan bahwa dia adalah puteri bibi Tan Loan Ki. Kau pun tahu, bibi Tan Loan Ki adalah saudara misan ayah. Akan tetapi, sudahlah, hal itu tak perlu dibicarakan lagi. Yang benar-benar membuat aku heran dan tidak mengerti, Sumoi, andai kata benar-benar aku jatuh cinta kepada Yosiko, kenapa kau menjadi marah-marah? Apakah... sebabnya? Andai kata aku mencinta dia dan dia mencintaku... ahhh, ini hanya andai kata, Sumoi..." Sambung Hwat Ki cepat-cepat karena melihat wajah sumoi-nya itu tiba-tiba menjadi pucat.

Sejenak mereka saling pandang. Lalu Cui Kim berkata, dengan suaranya yang gemetar, "Suheng, sebaliknya engkau sendiri... mengapa kau cemburukan Yosiko laki-laki? Andai kata aku benar mencinta seorang pemuda... mengapa engkau marah-marah...?"

Mereka saling pandang sampai lama dengan sinar mata penuh selidik. Seakan-akan baru kini mata mereka terbuka, baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa masing-masing merasa tidak rela kalau yang satu mencinta orang lain!

"Sumoi... kau tidak senang jika melihat aku mencinta gadis lain...?" Suara Hwat Ki juga gemetar kini. Cui Kim menggeleng kepala keras-keras.

"Aku pun tidak senang kalau melihat kau mencinta pemuda lain! Sumoi... kalau begitu... kau mencintaku?" Cui Kim menundukkan mukanya yang merah, akan tetapi akhirnya dia mengangguk perlahan.

Hwat Ki melangkah maju dan di lain saat dia sudah merangkul sumoi-nya, dan Cui Kim menyembunyikan muka pada dada suheng-nya sambil menangis. Hwat Ki lalu mendekap kepala dengan rambut yang harum itu, menengadah dan berkata lirih, "Ah, alangkah bodoh kita! Seperti buta! Selama ini kusangka bahwa antara kita hanya ada kasih sayang seperti saudara. Sumoi... kiranya sekarang aku yakin betul bahwa aku tidak dapat mencinta wanita lain! Sumoi, mari kita kembali ke Lu-liang-san, biar aku yang akan beri tahukan ayah ibu tentang urusan kita!"

Cui Kim merenggangkan tubuhnya. Ketika mereka saling pandang, sinar mata mereka sudah jauh berbeda. Kini di antara mereka terdapat rahasia mereka berdua, sinar mata mereka membawa seribu satu macam pesan hati yang mesra, pandang mata bergulung menjadi satu, sepaham.

"Suheng," kata Cui Kim, suaranya penuh kesungguhan. "Aku pun semenjak dulu sudah yakin bahwa aku tak dapat mencinta laki-laki lain. Tentang urusan kita, terserah padamu, Suheng. Kelak kalau kita sudah pulang terserah kau yang menyampaikan kepada suhu dan subo. Akan tetapi sekarang kita belum boleh pulang. Bukankah kita bertugas untuk membasmi bajak? Suhu sendiri yang mewakilkan kepada kita. Bajak laut belum terbasmi habis, malah kepalanya, ketua Kipas Hitam, masih hidup berkeliaran. Apa yang akan kita katakan kepada suhu tentang ini?"

Hwat Ki menjadi bingung juga diingatkan demikian. "Habis, apa yang harus kita lakukan, Sumoi? Yo Wan itu adalah murid paman Kwa Kun Hong, dia sudah menolong nyawa kita, dan dia amat lihai. Apa bila dia melarang kita menangkap atau membunuh Yosiko, bagaimana baiknya?"

"Di dalam menunaikan tugas, kita tidak boleh mundur oleh kesukaran apa pun. Murid Pendekar Buta seharusnya seorang pendekar pula yang bertugas membasmi penjahat. Kalau Yo Wan melindungi ketua Kipas Hitam berarti dia menyeleweng dari kebenaran. Biar dia sepuluh kali lebih lihai, sudah menjadi kewajiban kita untuk menentangnya."

Mendengar kata-kata sumoinya yang tercinta, seketika bangkit semangat Hwat Ki. Kini pandangannya terhadap Cui Kim berbeda dan dia merasa bangga sekali mendengar ucapan kekasihnya itu.

"Kau betul, Sumoi. Akan tetapi Yo Wan sudah berjanji hendak memberi penjelasan. Mari kita awasi gerak-geriknya dan kita berunding dengan saudara Bun Hui agar supaya goa itu dikurung dan jangan sampai Yosiko dapat terbang."

"Itu benar, Suheng. Mari kita mencari saudara Bun Hui dan pasukannya."

Sambil bergandengan tangan mesra dua orang muda-mudi yang semenjak kecil menjadi teman baik dan selalu berkumpul, akan tetapi yang baru sekarang ini menemukan cinta kasih antara mereka, meninggalkan tempat yang indah dan sunyi itu…..

**********

Selama tiga hari Yo Wan dirawat oleh Yosiko di dalam goa. Selama tiga hari tiga malam itu Yosiko merawatnya penuh ketekunan, hanya pergi meninggalkan pemuda itu untuk mengambil obat dan makanan.

"Obat ini merupakan obat yang amat manjur untuk membersihkan darah, dan bisa untuk menyembuhkan luka dengan cepat. Obat ini dari Jepang, akan tetapi sekarang ibu telah pandai membuat sendiri," kata Yosiko dengan suara bernada bangga.

"Terima kasih kepada ibumu, dia baik hati."

Yosiko terkekeh, "Hi-hik, kau kira dia memberi obat karena baik hati kepadamu? Sama sekali tidak. la ingin kau lekas-lekas sembuh agar dia segera dapat datang untuk menguji kepandaianmu."

Yo Wan tercengang. Aneh sekali wanita setengah tua keponakan Raja Pedang itu.

"Kemarin ibu bilang, hari ini kau pasti sudah sembuh betul dan nanti ibu tentu datang, kau diminta siap melayaninya."

Memang Yo Wan sudah merasa sembuh dan dia bersyukur sekali. Sebetulnya kalau dia mau, bisa saja dia pergi sekarang juga. Akan tetapi dia bukan seorang pengecut yang melarikan diri dari seseorang, apa lagi dia harus bertemu dengan ibu gadis ini. Pertama dia harus mengucapkan terima kasih atas pemberian obat, dan kedua untuk menjelaskan keadaan Yosiko agar niat buruk tentang pemilihan calon jodoh itu diubah.

"Biarlah ibumu datang, aku memang ingin sekali bertemu dengan ibumu. Bukan untuk bertanding, melainkan untuk bicara."

Yosiko tersenyum. "Bicara tentang perjodohan kita? Ibu tetap tidak percaya bahwa kau dapat menangkan dia, malah ibu juga tidak percaya bahwa kau adalah murid Pendekar Buta Kwa Kun Hong."

"Ehh, ibumu mengenal suhu?"

"Tentu saja! Sahabat baik sekali, kata ibu, malah bekas kekasih, kata ibu."

"Apa...?!" Kini Yo Wan yang tidak percaya. Suhunya seorang pria yang sakti dan gagah, berbatin mulia dan tangguh, setia kepada isteri, mana mungkin main gila dengan nenek galak itu?

Tiba-tiba di depan goa berkelebat bayangan yang amat gesit. Yo Wan sudah melompat dan mengejar pada saat Yosiko baru saja melihat bayangan itu. Gadis ini menyambar pedang dan loncat mengejar pula.

"Dia bukan ibu! Tentu mata-mata musuh!" teriak Yosiko.

Akan tetapi Yo Wan sudah mengejar lebih dulu. Bayangan itu gesit sekali, sebentar saja sudah lenyap di dalam hutan.

"Adik Cui Sian...!" Yo Wan berteriak dengan jantung berdebar ketika dia sempat melihat bayangan tadi sebelum lenyap.

Tidak salah lagi, gadis itu tentu Cui Sian! Mengapa berada di sini dan apa sebabnya melarikan diri darinya? Karena bayangan gadis itu sudah lenyap, dan melihat sikapnya jelas tidak mau bertemu dengannya, Yo Wan menghentikan pengejarannya, lalu berdiri termenung dengan bengong. Dengan terengah-engah karena kalah cepat larinya, Yosiko akhirnya tiba juga di situ.

"Mana dia, Yo Wan? Siapa dia...?"

Akan tetapi Yo Wan tidak menjawab karena pemuda ini dalam bingungnya teringat akan bayangan gesit di luar goa pada beberapa hari yang lalu, di waktu malam. Bayangan itu ternyata bukan ibu Yosiko, juga agaknya bukan Hwat Ki dan Cui Kim. Apakah bayangan tiga malam yang lalu itu juga bayangan Cui Sin? Berpikir sampai di sini tiba-tiba saja wajahnya berubah.

Celaka! Kalau benar bayangan itu bayangan Cui Sian, tentu gadis pujaan hatinya itu mengetahui pula bahwa selama tiga hari tiga malam ini dia tinggal berdua saja dengan Yosiko, gadis cantik! Itukah sebabnya mengapa Cui Sian menghindarkan pertemuannya dengan dirinya?

"Yo Wan, kenapa engkau? Siapa yang kau panggil-panggil tadi?" Kini Yosiko memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya.

Yo Wan menggelengkan kepalanya, menarik napas panjang. "Kau yang mendatangkan gara-gara ini."

"Aku? Lho! Apa maksudmu?" Yosiko terheran dan penasaran.

"Kalau saja kau membiarkan aku pergi tiga hari yang lalu..."

"...tentu kau akan mampus karena luka-lukamu!" sambung Yosiko.

Mendengar kata-kata Yosiko, Yo Wan sadar dari lamunannya dan memandang. Mereka saling pandang dan melihat wajah yang ayu itu cemberut sehingga wajahnya berubah lucu, mau tidak mau Yo Wan tersenyum dan menghela napas lagi.

"Lebih baik mampus dari pada dia menyangka yang bukan-bukan, Yosiko."

"Dia? Siapa dia? Laki-laki atau wanita tadi? Larinya cepat amat!"

Yo Wan merasa tidak perlu lagi untuk menyembunyikan sesuatu kepada gadis ini, malah lebih baik dia berbicara sejujurnya untuk menghapus lamunan kosong gadis ini mengenai perjodohan.

"Tentu saja ia lihai dan larinya cepat, dia itu bibimu!"

Saking kagetnya, hampir Yosiko meloncat tinggi. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka dan lidahnya dikeluarkan sedikit.

"Jangan main-main kau! Siapa bibiku?"

"Dia itu Tan Cui Sian, puteri tunggal Raja Pedang Tan Beng San. Karena ibumu adalah keponakan Raja Pedang, maka berarti dia itu saudara misan ibumu dan dia itu bibimu!"

"Ahhh...!" Yosiko mengeluh.

"Dan dia agaknya sudah memata-matai kita sejak tiga malam yang lalu."

"Ohhh...!" Yosiko mengeluh lagi.

"Mengapa ah-oh-ah-oh? Apa kau kehilangan suaramu?"

"Yo Wan, kau tadi bilang lebih baik mampus dari pada ia menyangka yang bukan-bukan! Kalau begitu... kalau begitu... kau tidak suka dia menyangka yang bukan-bukan?"

"Tentu saja tidak suka!"

"Jadi kau... kau suka kepadanya?"

Yo Wan mengangguk. "Aku sangat cinta kepadanya dan kalau ada wanita di dunia ini yang kuinginkan menjadi jodohku, maka satu-satunya wanita itu adalah dia orangnya!"

"Ihhhh...!" Kali ini Yosiko benar-benar meloncat mundur, kemudian mulutnya mewek dan terdengar suara, "Uhhhu..hu..hu...!" dan dia menangis!

"Yosiko, tak usah kau menangis. Sudah kukatakan, perjodohan hanya dapat terjadi atas dasar saling mencinta," kata Yo Wan sambil melangkah maju dan memegang pundak gadis itu.

Betapa pun juga, dia merasa amat kasihan kepada gadis ini yang kembali telah menjadi kecewa. Mula-mula gadis ini memilih Hwat Ki yang mengecewakannya karena ternyata pemuda itu memusuhi serta membunuhi orang-orangnya, kini pilihannya kepada dirinya kembali keliru.

Mendadak gadis itu menghentikan tangisnya. "Kubunuh dia! Kubunuh dia!"

Dia meronta lepas dan meloncat, mengejar ke arah larinya bayangan tadi. Akan tetapi dengan loncatan panjang Yo Wan sudah mengejarnya dan memegangi tangannya.

"Jangan, Yosiko. Kau tak akan menang!"

"Peduli amat! Aku menang dia mampus, aku kalah aku mampus!"

"Hush, jangan. Adikku yang baik, kau bersabarlah. Bukan begini caranya mencari jodoh. Dunia tidaklah sesempit telapak tangan, masih terdapat banyak sekali laki-laki yang jauh melebihi pilihanmu sekarang."

Yosiko memandang kepadanya dengan mata terbelalak beberapa lamanya seakan-akan hendak menyelidiki isi hatinya, kemudian ia menggelengkan kepalanya.

"Tidak! Kau bohong!"

"Ahh, kau benar-benar seperti katak dalam tempurung. Yosiko, sudah kukatakan bahwa memilih jodoh dengan dasar tingkat ilmu silat merupakan cara yang sangat bodoh. Ilmu kepandaian adalah seperti tingginya langit, sukar diukur. Gunung Thai-san yang tinggi masih kalah oleh awan, awan yang tinggi masih kalah oleh langit. Kalau kau memilih aku berdasarkan ilmu kepandaian, bagaimana kalau di sana ada beberapa ratus orang pria yang melampaui aku tingkat kepandaiannya? Apakah kelak kalau ada laki-laki yang lebih pandai, kau akan menyesal dan memilih dia?"

Kembali Yosiko tertegun, memandang dengan mata terbelalak. Agaknya gadis ini mulai mengerti akan maksud kata-kata Yo Wan dan mulai bimbang akan sikapnya. Yo Wan girang sekali, tersenyum dan berkata halus,

"Nah, kau agaknya mulai mengerti sekarang. Bagaimana, andai kata ada seorang kakek tua masih jejaka yang rupanya buruk, tangan kiri dan kaki kanannya buntung, mata dan telinga kiri tidak ada, hidungnya patah, tapi kepandaiannya mengalahkan aku? Apa kau akan memilih dia sebagai jodohmu?"

Mata yang indah jeli itu bergerak-gerak, tapi tiba-tiba gadis itu menubruk dan merangkul lehernya, menangis. "Tidak! Tidak! Aku tidak mau memilih siapa pun juga. Biar dia lebih pandai dari pada engkau, tetapi tidak ada yang seperti engkau, Yo Wan aku tidak mau memilih orang lain!"

Mampus kau sekarang! Yo Wan menyumpahi dirinya sendiri. Kenapa tiga hari yang lalu dia tidak pergi saja diam-diam meninggalkan goa? Celaka sekarang, celaka sekali kalau gadis peranakan Jepang ini mulai jatuh hati kepadanya, mulai mencintainya!

"Ehh, Yosiko, jangan begitu, ehh... nanti dulu..." Yo Wan melepaskan sepasang lengan halus yang merangkul lehernya seperti dua ekor ular itu.

Dengan terisak dan ujung hidungnya merah Yosiko memandang kepadanya.

"Lihat siapa yang datang!" kata Yo Wan sambil memandang ke depan.

Yosiko menoleh dan wajahnya berubah. Segera gadis ini menghapus air matanya dan menyusut hidungnya dengan ujung baju, dengan gerak dan sikap sewajarnya di depan Yo Wan, sama sekali tidak sungkan-sungkan!

Ternyata yang datang itu adalah seorang wanita setengah tua, ibu Yosiko. Wanita ini masih kelihatan amat cantik dan gagah, sikapnya galak dan cekatan sekali, pakaiannya ringkas, wajahnya yang masih cantik itu tidak dirias, akan tetapi kesederhanaan rias dan pakaiannya menambahkan kesegarannya yang asli.

Inilah ibu Yosiko yang bernama Tan Loan Ki yang pada waktu mudanya dahulu terkenal dengan julukan Bi-yan-cu (Walet Jelita), yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan kelincahan, kepandaian dan keberaniannya! (baca cerita Pendekar Buta)!

Dengan gerakan lari cepat yang tangkas sebentar saja wanita ini sudah tiba di tempat itu, menghadapi Yo Wan dengan pandang mata penuh seiidik, seakan-akan seorang yang ingin menaksir barang dagangan sebelum dibelinya! Ada lima detik ia menatap wajah Yo Wan, keningnya berkerut. Kemudian ia menoleh ke arah Yosiko.

"Kenapa kau menangis?" tanyanya tiba-tiba.

Yosiko menjadi merah mukanya. Agaknya merupakan hal yang memalukan baginya dan aneh bagi ibunya melihat gadis ini menangis. Memang semenjak Yosiko remaja dan suka memakai pakaian pria, belum pernah ibunya melihat puterinya itu menangis.

"Aku menangis karena girang melihat Yo Wan sembuh, Ibu. Lekas kau uji dia dan kalau dia menang, kau tidak boleh membohongi aku, Ibu."

"Hemmm, bohong apa?" tanya wanita itu agak gelisah karena anaknya demikian berterus terang di depan Yo Wan yang belum dikenalnya.

"Kalau Yo Wan menang, Ibu harus mengawinkan aku dengan dia. Kalau tidak tentu aku akan menganggap Ibu tukang bohong dan penipu!"

"Anak setan! Selain belum tentu dia mampu mengalahkan aku, laki-laki ini pun tidak ada harganya menjadi suamimu! Seperti orang gunung..."

"Memang aku tidak berharga menjadi mantumu, Twanio (Nyonya Besar)," kata Yo Wan sambil menjura kepada wanita itu.

"Apa kau bilang?" Tan Loan Ki membentak.

"Terus terang saja, aku sama sekali tidak cukup berharga untuk menjadi suami seorang gadis seperti nona Yosiko."

"Apa? Kau berani menolaknya setelah dia setengah mati merawatmu dan kalian tinggal tiga hari tiga malam dalam satu goa?"

Wajah Yo Wan menjadi merah padam, dan kembali dia menjura. "Harap Twanio sudi memaafkan. Aku sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi. Akan tetapi Yosiko... ehh, nona Yosiko ini memaksaku dan mengobatiku. Aku amat berterima kasih padanya, dan juga sangat berterima kasih kepadamu, Twanio, yang sudah memberi obat padaku. Percayalah, Yo Wan akan menganggap Twanio sebagai seorang locianpwe terhormat dan Yo... ehh, nona Yosiko sebagai seorang sahabat yang baik..."

"Cukup! Muak aku mendengar pidatomu! Kutanya mengapa kau menolak anakku! Kau anggap kurang cantik dia? Kurang pandai? Apa kau terlalu bagus untuknya? Kau merasa terlalu pandai menjadi suaminya, terlalu berharga?"

"Bukan begitu, Twanio. Sama sekali tidak, bahkan aku merasa diri sendiri yang kurang berharga. Aku tidak berani menerima maksud hati nona Yosiko karena sesungguhnya aku tidak setuju dengan dasar pemilihan jodoh itu. Menurut nona Yosiko, Twanio dan dia sendiri sudah mengambil keputusan untuk mencari jodoh bagi nona Yosiko dengan cara menguji kepandaian. Siapa saja yang dapat mengalahkan dia dan Twanio akan menjadi pilihannya."

"Kalau betul begitu, mengapa?"

"Maaf, Twanio. Kurasa hal ini amatlah tidak baik, karena perjodohan harus didasari saling pengertian, saling kasih sayang dan saling cocok. Jika dasarnya hanya kepandaian ilmu silat, aku khawatir sekali kelak nona Yosiko akan mendapat jodoh yang wataknya tidak cocok dan akhirnya akan menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya."

"Cerewet! Baru kali ini aku melihat laki-laki yang cerewet! Yosiko, benarkah kau memilih orang macam ini? Dia cerewet sekali, apakah kau tidak menyesal kelak?

"Tidak, Ibu. Aku tidak mau menikah dengan orang lain kecuali dengan Yo Wan!"

"Kalau dia kalah olehku?"

"Tak mungkin. Kau tak akan menang, Ibu!"

Mendengar ini, diam-diam Yo Wan mengambil keputusan untuk mengalah dan sengaja memberi kemenangan kepada ibu Yosiko apa bila dia dicoba kepandaiannya. Akan tetapi maksud hatinya ini seketika buyar sama sekali pada waktu dia mendengar wanita itu mendengus dan berkata, "Huh, belum tentu! Dan biarlah aku mengalah dan membolehkan dia menjadi suamimu jika aku kalah, biar pun dia cerewet dan aku tidak menyukai laki-laki cerewet. Mendiang ayahmu tak banyak cakap, seorang jantan sejati! Akan tetapi kalau si lidah tak bertulang ini kalah olehku, dia harus mampus karena dia berani menolakmu, Yosiko!"

“Ibu takkan menang!" Yosiko bersungut-sungut.

Tan Loan Ki tidak bicara lagi melainkan meloncat mundur sambil mencabut pedangnya. "Keluarkan senjatamu!" bentaknya.

"Twanio, aku tidak mempunyai senjata," jawab Yo Wan sejujurnya karena memang tiga macam senjatanya telah habis semua, rusak ketika dia melawan Bhok Hwesio yang amat sakti.

"Hemm, lekas kau cari senjata, aku tidak sudi menyerang orang bertangan kosong!"

Pikiran baik menyelinap pada benak Yo Wan. "Twanio, memang aku tak ingin bertempur denganmu, dan aku tidak bersenjata. Nah, selamat tinggal..." Sambil berkata demikian dia melangkah hendak pergi.

"Berhenti" Tan Loan Ki berteriak keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang lantas menghadang di depan pemuda itu. "Aku tidak menyerang lawan bertangan kosong, akan tetapi aku akan membunuhmu sekarang juga apa bila kau berani menghina dan tidak menerima tantanganku. Hayo lawan!"

Diam-diam Yo Wan mendongkol juga. Wanita ini sangat galak dan perlu ditundukkan. Akan tetapi dia menjadi serba salah. Kalau dia menang, berarti dia ‘lulus’ sebagai calon menantu. Kalau kalah, tentu dia dibunuh. Tak mungkin dia mau dibunuh dan mati konyol. Matanya mencari-cari.

"Yo Wan, kau pakailah pedangku ini!" kata Yosiko dengan suara manis.

Yo Wan hendak menerima pedang, akan tetapi cepat-cepat menarik kembali tangannya yang sudah sedikit dia gerakkan. Tidak baik ini. Kalau dia menang dan kemenangannya menggunakan pedang Yosiko, hal itu lebih-lebih akan menguatkan mereka mengikatnya sebagai calon jodoh Yosiko.

"Terima kasih, Yosiko. Aku tidak perlu menggunakan pedang, cukup dengan ini, karena aku memang tidak ingin bertempur sungguh-sungguh dengan ibumu. Bukankah ini hanya ujian saja?"

Sambil berkata demikian, dengan sepatu barunya pemberian Yosiko, Yo Wan mencukil sepotong kayu, agaknya ranting pohon kering yang terletak di atas tanah. Kayu sebesar ibu jari kaki itu tersontek ke atas dan dia sambar di tangan kanan. Ranting yang kecil ini panjangnya kurang lebih empat kaki, kecil dan hanya kayu kering, mana mungkin bisa dipakai senjata menghadapi pedang pusaka?


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 23


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.